Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 383

Buku 383

Pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu mereka semakin lama menjadi semakin tinggi. Pedang mereka berputar, menebas dan mematuk berganti-ganti. Bunga-bunga api pun menjadi semakin banyak terhambur dari benturan kedua senjata di tangan kedua orang Senapati yang berilmu tinggi itu.

Di sisi lain dari benturan kedua pasukan induk itu telah mempertemukan beberapa orang Senapati yang lain. Ki Tumenggung Panjer pun telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Jayayuda yang memang sedang mencarinya. Ternyata Ki Tumenggung Jayayuda juga tidak melupakan kelicikan Ki Tumenggung Panjer, yang telah berusaha mencegatnya pada saat ia menyertai Ki Tumenggung Derpayuda menjadi utusan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati menghadap Kanjeng Adipati Demak.

“Satu kebetulan, Ki Tumenggung Panjer,” berkata Ki Tumenggung Jayayuda, “sudah sejak hari pertama aku ingin mencari Ki Tumenggung Panjer. Tetapi gelar perang Gedong Minep itu tidak menguntungkan. Kami seakan-akan hanya dapat menunggu kalian datang kepada kami. Tetapi sekarang kedudukan kami sudah berubah. Gelar kami bergerak, sehingga kesempatan untuk bertemu dengan Ki Tumenggung menjadi lebih luas. Meskipun kemudian aku tidak ikut berputar bersama pasukanku, tetapi para Senapati bawahanku tahu apa yang harus mereka lakukan.”

“Persetan kau, Tumenggung Jayayuda. Nampaknya kau terlalu yakin akan dapat mengalahkan aku.”

“Ya. Aku yakin,” berkata Ki Tumenggung Jayayuda.

“Jangan terlalu sombong. Kau akan menyesali kesombonganmu itu nanti. Sebaiknya kau bawa beberapa orang pengawal untuk bertempur melawan aku.”

Ki Tumenggung Jayayuda itu pun tertawa. Katanya, “Jangan sesumbar seperti itu, seolah-olah aku belum mengenalmu.”

Ki Tumenggung Panjer menggeram. Dengan garangnya Ki Tumenggung Panjer pun segera meloncat menyerang Ki Tumenggung Jayayuda

Pertempuran antara keduanya pun berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit pun seakan-akan sengaja membiarkan mereka bertempur seorang melawan seorang. Namun setiap kali terdengar sekelompok prajurit Demak serta sekelompok orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati bersorak-sorak. Apalagi jika Ki Tumenggung Jayayuda kebetulan berloncatan surut, sementara ujung senjata Ki Tumenggung Panjer memburunya.

Namun Ki Tumenggung Jayayuda sama sekali tidak tergetar. Bahkan kemudian para prajurit Mataram pun seakan-akan telah dijalari pula kebiasaan sebagaimana orang-orang Demak. Jika Ki Jayayuda berhasil mendesak lawannya, maka prajurit-prajuritnya pun bersorak-sorak pula.

Demikianlah, keduanya bertempur dengan sengitnya. Keduanya adalah Senapati linuwih. Karena itu maka pertempuran di antara keduanya pun bagaikan pertarungan dua ekor burung rajawali di udara. Mereka saling menyambar, saling mendesak, namun juga saling menghindar. Namun akhirnya ujung-ujung senjata mereka pun mulai berbicara. Ki Tumenggung Panjer terkejut ketika pedang Ki Tumenggung Jayayuda sempat menyentuh lengan Ki Tumenggung Panjer.

Ki Tumenggung Panjer itu meloncat surut. Sorak para prajurit di sekitar perang tanding itu pun terdengar bagaikan mengguncang mega-mega di langit. Namun dengan demikian kemarahan Ki Tumenggung Panjer pun telah mendidih di seluruh urat-urat nadinya. Ki Tumenggung Panjer itu pun kemudian menyerangnya seperti prahara.

Tetapi pertahanan Ki Tumenggung Jayayuda pun tidak goyah. Ujung senjata Ki Tumenggung Panjer itu menggapai -gapainya dengan garangnya, seperti kuku-kuku seekor harimau yang berusaha meraih kelinci di liangnya. Tetapi Ki Tumenggung Jayayuda bertempur dengan tangkasnya, sehingga dengan tangkas pula ia menghindari serangan-serangan itu.

Meskipun demikian, sorak orang-orang Demak dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati bagaikan meruntuhkan gunung ketika ujung senjata Ki Tumenggung Panjer menyentuh bahu Ki Tumenggung Jayayuda, sehingga darah pun kemudian mengalir dari luka itu.

Kedua belah pihak yang sudah menitikkan darah itu bertempur semakin sengit. Ki Tumenggung Jayayuda bergerak semakin lama semakin cepat, sehingga Ki Tumenggung Panjer pun menjadi semakin terdesak. Sekali lagi ujung senjata Ki Tumenggung Jayayuda berhasil menggapai lambung Ki Tumenggung Panjer, mengoyakkan pakaiannya serta melukai kulitnya meskipun tidak terlalu dalam.

Namun Ki Tumenggung Panjer merasa lambungnya menjadi panas dan pedih. Lukanya yang menjadi basah oleh darah dan keringat, terasa menggigit sampai ke tulang.

Sementara itu Ki Tumenggung Jayayuda bertempur semakin garang pula, sehingga rasa-rasanya Ki Tumenggung Panjer itu tidak mendapat tempat lagi. Ternyata Ki Tumenggung Panjer bukan seorang Senapati yang tanggon. Dalam keadaan yang terjepit, dari mulutnya telah melengking satu isyarat yang tidak diketahui oleh Ki Tumenggung Jayayuda.

Pada saat Ki Tumenggung Jayayuda mencoba untuk memecahkan isyarat sandi itu, tiba-tiba saja telah berloncatan empat orang dari sebelah-menyebelah. Demikian tiba-tiba, sehingga Ki Tumenggung Jayayuda tidak sempat berbuat apa-apa. Empat ujung senjata telah terhunjam di tubuhnya.

Para prajurit Ki Tumenggung Jayayuda terlambat menyadari kelicikan Ki Tumenggung Panjer itu. Ketika mereka berloncatan menyerang keempat orang itu, maka para prajurit lawan yang semula menyibak telah mengatup pula, sehingga di garis pertempuran itu telah terjadi perang brubuh. Bahkan putaran gelar Cakra Byuha pun telah terhenti.

Para prajurit Ki Tumenggung Jayayuda tidak dapat lagi menyerang keempat orang yang telah berada di belakang para prajurit yang bertempur membabi buta itu. Ki Tumenggung Panjer serta keempat orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Jayayuda itu pun seakan-akan telah hilang dari garis pertempuran.

Namun keempat orang yang ternyata terdiri dari dua orang Senapati Demak dan dua orang dari Perguruan Kedung Jati itu terkejut. Mereka merasa seakan-akan telah terlindungi. Namun tiba-tiba saja empat orang prajurit Mataram telah berada di sekitarnya. Mereka seakan-akan telah menyapu para prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati yang ada di sekitarnya, sehingga para prajurit yang semula mengatup itu telah tersibak lagi.

Para prajurit Mataram tidak mau terjadi kelicikan itu untuk kedua kalinya, karena itu maka para prajurit itu pun dengan garangnya telah menyerang mereka, sementara empat orang pembunuh Ki Tumenggung Jayayuda itu telah dihadapi oleh empat orang pula.

Sementara itu, beberapa orang prajurit Ki Tumenggung Jayayuda telah berjongkok di sampingnya. Dua di antara empat ujung senjata yang tertancap di tubuhnya tidak sempat ditarik, sehingga kedua senjata itu masih tertancap di tubuhnya.

Ki Tumenggung Jayayuda terbaring diam di antara beberapa orang prajuritnya. Mereka pun kemudian segera mengangkatnya dan membawa ke belakang garis perang. Ternyata Ki Tumenggung Jayayuda masih belum meninggal, tetapi Ki Tumenggung Jayayuda itu telah menjadi pingsan.

Seorang tabib terbaik dari jajaran prajurit Mataram di induk pasukan itu pun segera menangani Ki Jayayuda. Dicabutnya dua pucuk senjata yang masih tertancap di tubuhnya. Dengan reramuan obat yang sudah dibuat menjadi serbuk, tabib itu berusaha mengurangi arus darah yang keluar dari luka-lukanya. Ditaburkannya serbuk reramuan obat itu di luka yang menganga perlahan-lahan.

Pedih yang tajam terasa menyengat. Tetapi hanya sebentar. Semakin lama perasaan pedih itu pun menjadi semakin berkurang. Sementara itu arus darah yang keluar dari luka pun menjadi semakin menyusut.

Namun sebenarnyalah luka Ki Tumenggung Jayayuda sudah terlalu parah, sehingga jika tidak terjadi keajaiban, maka sulit untuk dapat menyelamatkan nyawanya.

“Aku tidak mengira,” suara Ki Jayayuda menjadi sangat lemah, “bahwa Ki Tumenggung Panjer ternyata sangat licik.”

“Ya, Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung Panjer itu pun sudah terluka.”

“Sampaikan pesanku kepada para Senapati. Mereka agar menjadi lebih berhati-hati jika mereka berhadapan dengan Ki Tumenggung Panjer.”

“Ki Tumenggung akan segera sembuh,” berkata seorang prajurit yang lebih tua.

Ki Tumenggung Jayayuda menggeleng. Katanya, “Lukaku sangat parah. Rasa-rasanya sudah sulit untuk diobati.”

“Kita mohon kepada Yang Maha Agung.”

Ki Tumenggung Jayayuda berusaha menarik nafas panjang. Tetapi dadanya merasa sakit sekali.

“Laporkan keadaanku kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati yang berada di induk pasukan. Aku mohon maaf, bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Mataram.”

“Sekarang beristirahatlah, Ki Tumenggung,” berkata tabib yang mengobatinya, “jangan banyak bergerak dan berbicara, agar darah Ki Tumenggung benar-benar menjadi mampat.”

Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Rasa-rasanya Ki Tumenggung itu menahan sakit. Kemudian ia pun berdesis, “Aku minta diri. Sampaikan pula kepada keluargaku.”

“Ki Tumenggung? Ki Tumenggung?”

Tetapi Ki Tumenggung itu sudah tidak mendengar lagi. Matanya pun kemudian telah terpejam pula.

Dua orang penghubung pun segera menembus dan menyibak para prajurit untuk menghadap Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Laporan itu telah membuat Kanjeng Panembahan dan Ki Patih Mandaraka terkejut. Ki Tumenggung Jayayuda adalah salah seorang prajurit linuwih yang memiliki ilmu yang tinggi. Kematiannya telah membuat Kanjeng Panembahan menjadi berdebar-debar. Salah seorang Senapati terbaik dari Mataram telah gugur.

“Dalam pertempuran yang sengit seperti sekarang ini, Panembahan, seseorang akan berada dalam kemungkinan yang sama. Hidup atau mati. Ki Tumenggung Jayayuda telah berada pada salah satu keadaan dari kedua kemungkinan itu.”

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun menarik nafas panjang. Namun Panembahan Hanyakrawati itu pun kemudian telah memerintahkan agar tubuh Ki Tumenggung Jayayuda diselamatkan ke perkemahan tanpa menunggu senja.

Dalam pada itu, empat orang Senapati dari pasukan Demak yang terdiri dari dua orang perwira Demak serta dua orang murid Perguruan Kedung Jati, tidak dapat lagi meninggalkan empat orang prajurit Mataram yang tiba-tiba sudah menghadapi mereka. Sementara para prajurit Demak dan para murid Perguruan Kedung Jati tengah bertempur dengan prajurit Mataram di sekitar mereka.

“Ternyata kalian licik sekali,” berkata salah seorang prajurit Mataram itu.

“Apa pedulimu? Kita berada di medan perang. Siapapun boleh membunuh siapa saja yang berdiri di pihak lawan.”

“Bagus. Kalau demikian, maka kami pun akan membunuh kalian.”

“Kalian ternyata sombong sekali. Siapa kalian berempat?”

“Kami adalah murid-murid dari Perguruan Kedung Jati,” jawab seorang perempuan di antara mereka.

“Agaknya Mataram telah kehabisan laki-laki, sehingga membiarkan perempuan maju ke medan.”

“Sudah aku katakan, kami adalah murid-murid Perguruan Kedung Jati.”

“Persetan kau,” geram salah seorang yang mengaku murid Kedung Jati yang berpihak kepada Demak itu, “kau jangan mencoba menipuku.”

Tetapi tiba-tiba saja perempuan itu telah menunjukkan sebatang tongkat baja putihnya sambil berkata, “Kalau kau benar murid Perguruan Kedung Jati, kau tentu mengenal tongkat ini.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Jantungnya rasa-rasanya berdegup semakin cepat.

“Kau akan mendapat kesempatan untuk tetap hidup, jika kau menyampaikan pesanku kepada Ki Saba Lintang, yang berani mengaku sebagai pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.”

Orang itu tertegun sejenak. Namun kemudian ia pun menggeram, “Siapa kau sebenarnya?”

“Aku adalah Sekar Mirah, pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati. Karena itu, katakan kepada Ki Saba Lintang. Jika ia masih menganggap dirinya pemimpin Perguruan Kedung Jati, biarlah ia datang kepadaku. Kami berdua akan membuktikan, siapakah yang pantas memimpin Perguruan Kedung Jati itu.”

“Jangan mengigau. Perguruan Kedung Jati adalah perguruan yang sangat besar. Seorang perempuan tidak akan mampu mengendalikannya.”

“Kau meremehkan kemampuan seorang perempuan?”

“Persetan. Kau tidak usah mencari Ki Saba Lintang. Yang ada di sini sekarang adalah kami berdua.”

“Baiklah. Kami memang sudah sepakat untuk membunuh kalian, setelah kalian dengan licik telah menyerang Ki Tumenggung Jayayuda.”

“Sudah aku katakan, kita berada di medan perang.”

Sekar Mirah pun tidak berbicara terlalu panjang. Tongkat baja putihnya pun segera berputar.

Sementara itu seorang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang lain pun telah bersiap pula. Rara Wulan yang datang bersama Sekar Mirah pun menghadapinya sambil berkata, “Aku juga murid Perguruan Kedung Jati.”

“Persetan kau, perempuan iblis.”

Rara Wulan tertawa. Namun kemudian selendangnyapun telah bergetar pula.

Sementara itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah menghadapi dua orang perwira Demak yang senjatanya tertinggal di tubuh Ki Tumenggung Jayayuda. Mereka sangat tergesa-gesa, sedangkan senjata mereka menghunjam sangat dalam, sehingga mereka tidak sempat menarik dari tubuh Ki Tumenggung.

Untuk menghadapi mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun tidak bersenjata pula.

Namun Agung Sedayu sempat menggeram, “Ke mana Ki Tumenggung Panjer itu bersembunyi?”

“Iblis kau. Ki Tumenggung Panjer tidak bersembunyi.”

“Tetapi ia tinggalkan medan.”

“Ki Tumenggung Panjer sekarang tentu sudah berhadapan dengan Senapati Mataram yang lain.”

“Jika demikian, seharusnya kau juga sudah berada di dekatnya, sehingga kau akan dapat merunduk lagi lawan Ki Tumenggung Panjer itu dan menyerangnya dengan diam-diam, seperti umumnya para pengecut.”

“Tutup mulutmu!” teriak orang itu sambil meloncat menyerang.

Namun ternyata nasibnya buruk sekali. Pertempuran itu hanya berlangsung sebentar. Tiba-tiba saja orang itu sudah terlempar dan terpelanting jatuh.

“Kau harus menerima hukumanmu, karena kau telah membunuh Ki Tumenggung Jayayuda dengan licik,” geram Agung Sedayu.

Tetapi ternyata orang itu sudah tidak dapat mendengar suaranya lagi. Bahkan prajurit Demak yang bertempur melawan Glagah Putih itu pun telah jatuh pada lututnya. Kemudian tubuhnya tertelungkup tanpa dapat bergerak lagi.

Sekar Mirah dan Rara Wulan masih sempat menunjukkan kepada orang-orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu, ciri-ciri dari perguruan mereka. Namun tidak terlalu lama. Demikian keduanya menjadi pening, maka perlawanan mereka pun segera berakhir pula.

Para prajurit Mataram pun kemudian bersorak. Sementara itu mulai terdengar aba-aba dari para Senapati. Perlahan-lahan gelar Cakra Byuha itu pun telah bergeser sedikit. Tetapi Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah diperkenankan berada di luar gelar, untuk dapat berhadapan langsung dengan Ki Saba Lintang di luar gelar.

Tetapi tidak mudah untuk menemukannya. Ia berada di antara beberapa orang berilmu tinggi. Agaknya Ki Saba Lintang pun tidak terikat pada gelar Gajah Meta dari pasukan Demak itu.

Sementara itu di sisi lain, Ki Tumenggung Gending telah menjadi semakin terdesak. Ki Tumenggung Derpayuda semakin meningkatkan kemampuannya, sehingga Ki Tumenggung Gending mengalami kesulitan. Namun Ki Tumenggung Gending pun licik seperti Ki Tumenggung Panjer, meskipun dengan cara yang berbeda. Dalam keadaan yang rumit, maka Ki Tumenggung Gending itu pun telah menyusup di antara prajurit-prajuritnya.

Ki Tumenggung Derpayuda memang melihat bagaikan liang seekor ular yang terbuka, serta melihat Ki Tumenggung Gending bergerak dan menghilang ke dalamnya. Lubang itu pun sengaja tidak segera mengatup, untuk memancing agar Ki Tumenggung Derpayuda memburu masuk ke dalamnya.

Meskipun Ki Tumenggung Derpayuda adalah seorang yang sangat berpengalaman, tetapi pada saat perasaannya bergejolak, maka pertimbangannya pun menjadi agak kabur.

Namun ketika Ki Derpayuda hampir saja berlari memburu Ki Tumenggung Gending, seorang Senapati bawahannya yang rambutnya sudah berbaur dengan uban, justru telah mendahului bersama beberapa orang prajuritnya. Tidak memburu Ki Tumenggung Gending, tetapi dengan sengaja menyumbat lubang itu dengan serangan yang garang. Pertempuran menjadi sengit, sehingga dengan sendirinya lubang itu telah tersumbat.

Ki Tumenggung Derpayuda yang merasa jalannya tertutup menjadi marah. Dengan lantang ia pun berkata, “Kalian telah menutup jalanku untuk memburu Ki Tumenggung Gending.”

Senapati bawahannya yang rambutnya sudah beruban itu pun berkata, “Jalan yang sangat berbahaya, Ki Tumenggung. Maaf bahwa aku sengaja menutup jalan itu, agar Ki Tumenggung tidak terpancing untuk memasukinya karena memburu Ki Tumenggung Gending. Jalan itu bagaikan liang yang menuju ke mulut ular. Kita tidak tahu, apakah ular itu sangat berbisa atau sama sekali tidak berbisa.”

Ki Tumenggung Derpayuda menarik nafas panjang. Ketika gejolak perasaannya sedikit mereda, maka ia pun melihat bahaya yang menunggunya di belakang lubang gelar lawannya itu.

“Terima kasih,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda, “kita sudah sama-sama ubanan. Tetapi ternyata perasaanmu lebih mengendap dari perasaanku, sehingga hampir saja aku kehilangan kiblat.”

“Ki Tumenggung sedang dicengkam oleh gejolak pertempuran. Aku masih belum terlibat langsung, sehingga aku masih sempat melihat bahaya yang bersembunyi di balik jebakan itu.”

Ki Tumenggung Derpayuda pun kemudian menepuk bahu Senapati bawahannya itu. Kemudian Ki Tumenggung pun telah berada di tengah-tengah pasukannya kembali. Ki Tumenggung perlahan-lahan telah hanyut dalam putaran gelar Cakra Byuha. Dalam putaran yang perlahan-lahan itu, Ki Tumenggung Derpayuda bertempur dengan garangnya.

Sementara Ki Tumenggung Gending pun telah mengumpat pula, karena Ki Tumenggung Derpayuda tidak memburunya, sementara para pembantunya telah mempersiapkan sebuah jebakan.

Namun yang terjadi adalah pertempuran yang sengit di antara para prajurit Demak serta para murid Perguruan Kedung Jati melawan para prajurit Mataram.

Ki Tumenggung Gending yang berhasil melepaskan diri dari tangan Ki Tumenggung Derpayuda itu pun masih berada di belakang para prajuritnya. Ki Tumenggung itu ingin beristirahat barang sejenak. Ia baru saja mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya menghadapi amuk Ki Tumenggung Derpayuda.

Yang kemudian berada di permukaan garis perang adalah kelompok-kelompok Senapati serta para pemimpin kelompok para murid Perguruan Kedung Jati, bersama para prajuritnya serta kelompoknya. Mereka menghadapi prajurit Mataram dalam kelompok-kelompok yang pekat dalam bingkai gelar Gajah Meta.

Pada saat Tumenggung Gending hilang dari gading gelar pasukan Demak, maka yang kemudian menggantikannya adalah seorang yang rambutnya telah memutih di sebelah-menyebelah. Kumisnya juga telah memutih. Demikian pula janggutnya yang jarang.

Pada saat orang itu muncul di gading gelar Gajah Meta, maka Senapati dari putaran gelar Cakra Byuha yang sampai di gading gelar Gajah Meta itu adalah pemimpin dari pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung. Swandaru bersama istrinya, Pandan Wangi.

Orang berambut putih yang berada di gading gelar Gajah Meta itu tiba-tiba telah meloncat mencegat Swandaru dan istrinya yang bertempur dengan garangnya.

“He, tidak adakah tempat lain, sehingga kalian berdua bermesraan di medan perang ini, he?”

Swandaru memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian ia pun bertanya, “Kau siapa, Ki Sanak?”

“Aku Sada Aren. Aku adalah salah seorang pemimpin para murid dari Perguruan Kidung Jati.”

Swandaru mengangguk-angguk Katanya, “Minggirlah. Kau sudah terlalu tua untuk turun ke medan perang.”

“Kau kira kau masih muda remaja?”

“Aku juga sudah tua. Tetapi masih belum terlalu tua.”

“Kau siapa, he?”

“Aku anak Demang Sangkal Putung. Aku berada di gelar ini bersama pasukan pengawal kademanganku.”

“He? Jadi kau bukan prajurit? Kalau begitu, minggir sajalah. Aku ingin membunuh prajurit Mataram sebanyak-banyaknya. Jika kau tidak mau minggir, maka kau akan ikut terbunuh pula.”

Swandaru tertawa. Katanya, “Aku pernah membantai murid-murid Perguruan Kedung Jati yang telah datang ke Kademangan Sangkal Putung. Jika kau pernah datang ke Sangkal Putung, maka kau tentu tahu bahwa Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, salah seorang pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati pada masa jayanya, telah terbunuh di Sangkal Putung.”

“Omong kosong. Para pemimpin Perguruan Kedung Jati adalah orang-orang yang tidak terkalahkan.”

“Kau yang omong kosong. Para pemimpin Kadipaten Jipang adalah para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati pada masa jayanya. Berbeda dengan sekarang. Kau dan bahkan Saba Lintang mengaku pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati. Bukankah dengan demikian kalian justru telah meremehkan Perguruan Kedung Jati itu sendiri?”

“Persetan. Bersiaplah untuk mati.”

“Kau terlalu sombong, Sada Aren. Tetapi jangan sesali dirimu yang bernasib buruk itu.”

Sada Aren itu tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Swandaru dengan garangnya. Tetapi Swandaru telah siap menghadapinya. Karena itu maka serangan orang itu sama sekali tidak menyentuhnya. Dengan cepat Swandaru bergeser ke samping. Namun kemudian dengan cepat pula Swandaru meloncat sambil berputar di udara. Kakinya terayun mendatar, langsung mengenai kening Sada Aren.

Sada Aren yang tidak mengira bahwa tiba-tiba saja kaki lawannya dari Sangkal Putung itu menghantam keningnya, terkejut sekali. Tetapi ia tidak dapat menahan tubuhnya yang terpelanting dan jatuh di tanah.

Seseorang dengan cepat meloncat dan berjongkok di sampingnya. Ketika Swandaru melangkah mendekat, orang itu pun segera bangkit dan menggeram, “Selangkah lagi kau maju, maka nyawamu akan terlempar dari tubuhmu.”

“Kau siapa?” bertanya Swandaru.

“Aku saudara seperguruan Sada Aren.”

“Kau murid dari Perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

“Bagus. Aku senang bertemu dengan orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Aku tahu bahwa kalian berbohong. Tetapi tidak apa-apa. Kadang-kadang seseorang memang perlu berbohong.”

“Cukup!” bentak orang itu. Ketika Swandaru melangkah maju lagi, maka orang itu menggeram, “Berhenti! Berhenti, kau dengar?”

Swandaru berhenti, sementara Sada Aren itu pun telah bangkit berdiri.

“Anak iblis,” geram Sada Aren, “kau licik sekali. Kau menyerang sebelum aku benar-benar bersiap.”

Swandaru tertawa pendek. Katanya, “Kau-lah yang menyerang aku lebih dahulu. Bagaimana mungkin kau dapat berkata bahwa aku menyerangmu sebelum kau benar-benar bersiap?”

“Persetan,” geram Sada Aren. Lalu katanya kepada saudara seperguruannya, “Adi Surawana, marilah kita selesaikan anak Demang Sangkal Putung yang sombong ini.”

“Kalian akan bertempur berdua?” Pandan Wangi yang sudah berada di sebelah Swandaru itu pun bertanya.

“Kau mau apa?” bentak Surawana.

“Aku mau ikut dalam permainan ini,” sahut Pandan Wangi.

“Perempuan ini adalah istriku,” berkata Swandaru, “jika kalian bertempur berdua dengan saudara seperguruanmu, maka aku akan bertempur berdua dengan istriku.”

“Kau sangat merendahkan kami,” berkata Surawana, “apa artinya seorang perempuan di medan perang? Meskipun ia memiliki keberanian seekor banteng sekalipun, tetapi ia tetap seorang perempuan yang lemah. Kerja perempuan adalah melahirkan dan menyusui anaknya. Perang adalah kerja laki-laki.”

“Perang memang kerja laki-laki. Tetapi laki-laki yang memiliki bekal ilmu yang memadai.”

“Cukup! Lidahmu ternyata setajam duri pandan.”

“Namaku Pandan Wangi.”

“Anak iblis,” geram Surawana, “jangan salahkan aku jika aku membunuhmu nanti.”

Pandan Wangi bergeser membuat jarak dari suaminya. Namun pedang rangkapnya yang tipis sudah bergetar di tangannya.

Surawana tidak berbicara apa-apa lagi. Ia pun segera meloncat menyerang. Senjatanya yang besar terayun-ayun mendebarkan.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak gentar. Meskipun pedangnya hanya tipis saja, tetapi sepasang pedangnya itu akan mampu mengimbangi golok Surawana yang besar dan berat itu.

Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Surawana berhadapan dengan Pandan Wangi, sementara Sada Aren berloncatan melawan Swandaru.

Pertempuran di antara mereka semakin lama menjadi semakin sengit. Sedangkan mereka yang mengaku murid-murid dari Kedung Jati pun ternyata sulit untuk menembus garis pertempuran.

Para pengawal Kademangan Sangkal Putung benar-benar memiliki kemampuan seorang prajurit yang tangguh. Karena itu maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Para pengawal Sangkal Putung yang memiliki keyakinan yang tinggi akan kemampuan Swandaru dan Pandan Wangi, berusaha untuk memberikan kesempatan kepada mereka untuk berperang tanding melawan dua orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu.

Sada Aren yang bertempur melawan Swandaru telah meningkatkan ilmunya. Sebuah bindi yang bergerigi terayun-ayun menggetarkan. Sementara Swandaru menggenggam sebuah pedang yang panjang dan besar. Benturan-benturan senjata mereka telah memercikkan bunga api yang berhamburan.

Sada Aren yang merasa dirinya memiliki kelebihan dari para murid Perguruan Kedung Jati yang lain, berniat untuk memamerkan kemampuannya itu kepada saudara-saudara seperguruannya. Ia ingin segera mengakhiri perlawanan anak Demang Sangkal Putung itu dan berdiri di atas tubuhnya yang terkapar.

Tetapi ternyata anak Demang Sangkal Putung itu merupakan seorang yang jauh lebih baik dari dugaannya. Meskipun ia bukan seorang prajurit, tetapi ternyata kemampuannya tidak berada di bawah para Senapati di Mataram. Karena itu maka Sada Aren itu pun harus mengerahkan kemampuannya untuk mencoba mengalahkannya.

Tetapi Swandaru memang berilmu tinggi. Karena itu, betapapun orang yang menyebut dirinya Sada Aren itu meningkatkan kemampuannya, namun ia tidak mendapat banyak kesempatan. Serangan-serangan Swandaru semakin lama semakin berbahaya. Bahkan kemudian ujung senjata Swandaru pun mulai menyentuh kulitnya.

“Sudah aku katakan bahwa kau sudah terlalu tua untuk bertempur di pertempuran yang ganas seperti ini. Gelar Cakra Byuha yang berbenturan dengan gelar Gajah Meta ini merupakan benturan yang sangat garang. Apalagi di kedua belah pihak turun senapati-senapati pilihan. Kenapa kau tiba-tiba saja berada di medan? Bukankah sudah waktunya bagimu untuk duduk-duduk di serambi rumahmu, minum minuman hangat, makan ketela rebus yang masih mengepul dengan dendeng ragi, sambil mendengarkan suara perkutut yang nyaring?”

“Persetan kau, bocah Sangkal Putung! Kawan-kawanmu hanya akan dapat membawa kepalamu pulang. Tubuhmu akan aku sayat menjadi berkeping-keping.”

“Mengerikan sekali. Tetapi bagaimana pendapatmu jika hal itu terjadi padamu?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat sambil mengayun-ayunkan senjatanya yang berat. Tetapi pedang Swandaru pun akan terasa berat bagi orang lain, meskipun di tangan Swandaru pedang itu dapat berputar dengan cepatnya.

Sementara itu Surawana pun berusaha mengakhiri perlawanan Pandan Wangi dengan cepat. Goloknya terayun-ayun mengerikan. Ayunan goloknya telah menimbulkan desir angin yang keras dan bahkan terasa bagaikan menusuk-nusuk tubuh lawannya. Namun Pandan Wangi cukup cepat berloncatan menghindari terpaan angin yang timbul oleh ayunan golok lawannya yang besar dan berat itu. Sementara pedang rangkap di kedua tangan Pandan Wangi mampu bergerak dengan cepatnya.

Ketika keringat keduanya sudah membasahi seluruh pakaiannya, maka mereka pun telah menghentakkan kemampuan mereka. Golok di tangan Surawana itu pun seakan-akan telah membara dan bahkan mulai menaburkan udara yang semakin lama terasa semakin panas.

Pandan Wangi merasakan ilmu yang terpancar dari tubuh lawannya itu. Panas udara di sekitar Surawana itu membuat keringat Pandan Wangi bagaikan diperas dari tubuhnya.

Tetapi Pandan Wangi tidak membiarkan lawannya menguasai arena pertempuran itu dengan kekuatan ilmunya yang memancarkan panas itu. Ketika Pandan Wangi menghentakkan serangannya, lawannya pun mulai menjadi bingung. Ujung pedang Pandan Wangi itu rasa-rasanya menjadi lebih panjang dari ujud yang sebenarnya.

Karena itu, ujung pedang Pandan Wangi pun mulai menyentuh tubuh lawannya. Pakaiannya terkoyak di mana-mana, serta goresan-goresan pedang telah melukai lengannya, bahunya dan lambungnya.

“Gila perempuan ini,” geram orang itu, “ilmu iblis manakah yang telah disadapnya, sehingga ia mampu melukai kulitku?”

Kemarahan orang itu telah membuat ilmunya menjadi semakin meningkat. Udara panas yang seakan-akan memancar dari tubuhnya telah ditingkatkannya, sehingga udara panas itu seakan-akan telah memancar dari seluruh lubang-lubang kulitnya. Pandan Wangi pun tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak mulai mengerahkan ilmunya pula, maka ia akan segera digilas oleh lawannya yang menjadi sepanas bara.

Pandan Wangi pun kemudian telah mengerahkan ilmunya pula. Ia menjadi semakin sulit untuk mendekati lawannya. Sementara itu golok lawannya yang besar itu selalu memburunya. Ayunan golok itu telah menaburkan angin yang panas pula. Namun sepasang pedang Pandan Wangi bagaikan menjadi semakin panjang. Meskipun ujudnya menurut penglihatan lawannya masih berjarak dari tubuhnya, namun ternyata ujung pedang itu telah menggores kulitnya.

Dengan demikian maka kedua belah pihak semakin lama menjadi semakin berdebar pula. Panas Surawana itu rasa-rasanya telah membakar kulit Pandan Wangi. Namun goresan-goresan pedang Pandan Wangi semakin banyak menyilang di tubuhnya. Di panasnya udara di sekitar Surawana, terasa tenaga dan kemampuan Pandan Wangi menjadi semakin menyusut. Tubuh dan pakaiannya benar-benar telah menjadi basah kuyup. Karena itu maka Pandan Wangi harus menghentakkan ilmunya untuk menghentikan lawannya.

Tiba-tiba saja Pandan Wangi itu mengabaikan udara panas yang terasa bagaikan membakar tubuhnya. Sambil meningkatkan daya tahannya, Pandan Wangi pun menyerang lawannya dengan ilmunya yang telah membingungkan lawannya itu. Ternyata Pandan Wangi yang merasa dirinya seakan-akan berada di atas perapian itu pun berhasil mengoyak dada Surawana yang mulai merasa berhasil menekan lawannya.

Surawana terkejut. Pedang Pandan Wangi benar-benar telah menorehkan luka yang dalam di dadanya. Surawana itu pun terhuyung-huyung melangkah ke belakang, sementara Pandan Wangi masih mencoba untuk bertahan di keseimbangannya. Namun hampir berbareng keduanya telah tumbang. Surawana itu jatuh terlentang dengan luka yang parah di dadanya, sementara Pandan Wangi jatuh terduduk.

Dengan cepat beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putung pun segera berlarian mendekati Pandan Wangi yang terduduk. Mereka menerobos udara panas yang masih tersisa. Tetapi demikian sumber panas itu terluka dan jatuh terguling di tanah, maka pancaran panas itu pun dengan cepat bagaikan lenyap disapu angin.

Sementara itu beberapa orang yang menyebut dirinya murid dari Perguruan Kedung Jati pun segera menghampiri tubuh Surawana. Namun tubuh itu sudah tidak berdaya lagi. Goloknya yang besar dan panjang, tergolek di sampingnya. Ternyata luka Surawana terlalu parah sehingga nyawanya tidak dapat diselamatkan lagi.

Sementara itu Swandaru masih bertempur dengan sengitnya. Ketika ia mengetahui bahwa Pandan Wangi jatuh terduduk dengan wajah yang pucat serta tubuhnya yang sangat lemah, maka darah Swandaru bagaikan mendidih karenanya. Kemarahannya pun telah membakar ubun-ubunnya.

Karena itu maka Swandaru tidak lagi telaten dengan pedang yang besar dan panjang untuk melawan senjata lawannya. Disarungkannya pedangnya, kemudian diurainya cambuknya yang berjuntai panjang. Masih ada karah-karah besi di juntai cambuk yang dipasangnya sejak semula, meskipun sebenarnya tidak terlalu diperlukan lagi.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru pun telah menghentakkan cambuknya sendal pancing. Suaranya bagaikan meledakkan langit. Udara bergetar terguncang-guncang. Bahkan seluruh medan itu rasa-rasanya telah dihentak gempa. Namun ledakan cambuk yang menggelegar itu sudah tidak lagi memberi kepuasan kepada Swandaru Geni. Sejak ia mengenali kemampuan Agung Sedayu yang sebenarnya, maka Swandaru pun telah menekuni ilmunya pula sampai tuntas.

Karena itu, ketika Swandaru itu menghentakkan cambuknya sekali lagi, maka tidak terdengar ledakan sama sekali. Meskipun demikian, Sada Aren yang berilmu tinggi segera mengenali bahwa justru hentakan yang tidak memperdengarkan ledakan itu adalah ledakan yang sangat berbahaya.

Namun Sada Aren sudah terlambat untuk menghindar. Karena itu maka Sada Aren itu pun berusaha untuk mendahului Swandaru. Seperti saudara seperguruannya, maka Sada Aren pun telah bermain-main dengan panasnya udara. Ketika ia menghentakkan tangannya, maka segumpal awan panas telah meluncur ke arah lawannya.

Namun Swandaru dengan tangkas telah menghindar. Meskipun demikian, Swandaru tidak ingin gumpalan awan panas itu mengenai para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Karena itu maka Swandaru pun kemudian telah menghentakkan cambuknya mengenai gumpalan awan panas itu, sehingga awan panas itu pun pecah berhamburan dan dihanyutkan angin.

Percikan-percikan kecil awan panas itu ternyata sempat melukai kulit orang-orang yang terkena. Namun Swandaru tidak membiarkannya menaburkan luka dan bahkan kematian. Karena itu maka dengan cepatnya Swandaru itu meloncat sambil mengayunkan cambuknya.

Ternyata Swandaru mampu bergerak cepat sekali, melampaui kecepatan gerak lawannya. Karena itu maka Sada Aren tidak mempunyai kesempatan. Sebelum ia sempat melontarkan awan panas lagi dari tangannya, maka ujung cambuk Swandaru telah menggapainya.

Ternyata hentakan cambuk Swandaru, dilambari ilmu yang diturunkan oleh Kiai Gringsing, benar-benar merupakan hentakan yang menentukan. Sada Aren tidak sempat menghindar. Meskipun Sada Aren mencoba menangkis dengan senjatanya, tetapi ujung cambuk Swandaru itu masih saja menggapai dadanya.

Hentakan cambuk yang seakan-akan tidak mengeluarkan bunyi sama sekali itu, justru telah menghentak dada Sada Aren sehingga menghentikan detak jantungnya. Dengan demikian maka Sada Aren itu tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Hentakan di dadanya yang menghentikan detak jantungnya itu telah menghentikan pernafasannya pula.

Demikian Sada Aren terpelanting jatuh, maka terdengar para pengawal Sangkal Putung bersorak gemuruh. Mereka tidak melakukannya ketika Surawana terbunuh oleh Pandan Wangi, karena Pandan Wangi sendiri telah terluka. Tetapi ketika lawan Swandaru itu terpelanting jatuh, sementara Swandaru masih berdiri tegak, maka sorak itu pun tidak tertahan lagi. Para prajurit Mataram yang berada di gelar Cakra Byuha itu pun ikut pula tergetar hatinya. Mereka mendengar para pengawal Sangkal Putung itu berteriak, “Hidup Swandaru! Hidup Swandaru!”

Dua orang penghubung pun segera membawa laporan tentang kematian dua orang Senapati dari mereka yang menyebut dirinya murid dari Perguruan Kedung Jati kepada para pemimpin Mataram. Mereka pun telah melaporkan pula bahwa Ki Tumenggung Gending dengan licik telah bersembunyi di belakang pasukannya yang telah membuka gelar kecil jurang grawah. Tetapi mereka telah gagal menjebak Ki Tumenggung Derpayuda.

Namun meninggalnya Ki Tumenggung Jayayuda yang telah diserang dengan cara yang licik itu pun telah menyebar pula, sehingga para Senapati Mataram menjadi semakin marah.

Sementara itu Swandaru pun segera mendekati Pandan Wangi yang menjadi lemah. Tetapi Pandan Wangi menyambutnya dengan senyuman sambil berkata, “Aku tidak apa-apa, Kakang.”

Swandaru menarik nafas panjang. Ia pun segera berjongkok di sebelahnya. Sementara itu para pengawal Kademangan Sangkal Putung pun segera melindungi mereka. Mereka bertempur dengan sengitnya melawan orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.

Swandaru pun kemudian membimbing Pandan Wangi memasuki gelar Cakra Byuha lebih dalam lagi, sehingga mereka tidak lagi tersentuh oleh benturan kekuatan yang menjadi semakin sengit.

Namun sejenak kemudian Pandan Wangi pun berkata, “Kakang Swandaru, kembalilah ke pasukanmu. Biarlah dua orang pengawal menemani aku di sini. Bukankah aku berada di dekat Pasukan Khusus Pengawal Raja?”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepada pemimpin kelompok Pasukan Khusus Pengawal Raja yang berada di gerigi gelar ini.”

Swandaru pun kemudian segera menemui pemimpin kelompok Pasukan Khusus Pengawal Raja yang berada di gerigi gelar itu. Dengan baik pemimpin kelompok itu pun menerima Pandan Wangi di antara sekelompok Pasukan Khusus Pengawal Raja. Apalagi setelah keadaan Pandan Wangi menjadi semakin baik, sehingga Pandan Wangi tidak akan menjadi beban mereka. Para prajurit dalam Pasukan Khusus Pengawal Raja itu sudah tahu kemampuan Pandan Wangi, yang bersenjata pedang rangkap di kedua lambungnya itu.

Sementara itu, Swandaru pun segera kembali ke dalam pasukannya yang berada di ujung-ujung gerigi roda gelar pasukan Mataram itu.

Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Pangeran Puger muda yang didampingi oleh Ki Tumenggung Untara dalam gelar Supit Urang itu telah berhasil mendesak perlahan-lahan pasukan lawannya, yang juga mempergunakan gelar melebar, gelar Garuda Nglayang.

Ternyata Pangeran Puger muda adalah seorang pemberani, meskipun kadang-kadang justru menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri. Tetapi setiap kali Ki Tumenggung Untara masih dapat memberikan peringatan-peringatan yang berarti bagi Pangeran Puger muda itu.

Di lambung yang lain, pasukan Mataram yang dipimpin oleh Pangeran Demang Tanpa Nangkil telah bertempur dengan sengitnya pula. Namun pasukan Mataram itu masih belum berhasil bergerak maju. Tetapi pasukan Demak pun tidak berhasil mendesak pasukan Mataram itu pula.

Tetapi Ki Tumenggung Ranawira adalah seorang Senapati yang mempunyai pengalaman yang sangat luas. Karena itu maka Ki Tumenggung itulah yang justru banyak memberikan petunjuk kepada Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Meskipun secara pribadi Pangeran Demang Tanpa Nangkil berilmu tinggi, tetapi pengalamannya di medan pertempuran yang garang masih belum terlalu banyak.

Meskipun demikian, para prajurit Demak merasa agak ngeri mendekati Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Ketika empat orang prajurit bersama-sama menghadapinya, maka dalam waktu yang terhitung pendek, dua di antaranya telah terpelanting dari lingkaran pertempuran. Namun demikian keduanya terlempar, maka tiga orang telah datang menggantikannya.

Tetapi para prajurit Demak itu tidak mampu menahan gejolak kemarahan Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Demikian para prajurit itu satu-satu terlempar dari pertempuran, maka seorang Senapati yang bertubuh tinggi besar telah berada di hadapan Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

“Kau mengamuk seperti banteng ketaton,” berkata Senapati yang bertubuh tinggi besar itu, “namamu siapa, he? Biar esok atau lusa aku dapat bercerita, bahwa aku telah membunuh seorang Senapati dari Mataram yang berilmu tinggi, tetapi yang kemudian terhempas karena kesombongannya sendiri.”

Pangeran Demang Tanpa Nangkil yang muda itu menjadi sangat marah mendengar ancaman orang bertubuh tinggi besar itu. Karena itu, tanpa menjawab maka ia pun segera menerjangnya.

“Anak iblis,” geram orang itu, “siapa namamu, he? Namaku adalah Tumenggung Ranapati. Sebaiknya kau katakan namamu sebelum kau mati.”

Pangeran Demang Tanpa Nangkil tidak menjawab. Tetapi ia bergerak semakin cepat. Serangan-serangannya datang seperti amuk prahara. Ternyata lawannya juga seorang Senapati yang berilmu tinggi, sehingga pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin sengit.

Ki Tumenggung Ranawira sendiri bertempur tidak terlalu jauh dari Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Namun selagi Pangeran Demang Tanpa Nangkil bertempur melawan orang bertubuh tinggi dan besar itu, Ki Tumenggung Ranawira telah memberikan perintah agar para Senapati di ujung supit udang pada gelar Supit Urangnya itu meningkatkan kemampuan mereka. Sementara matahari sudah mulai turun di sisi barat langit.

Dengan demikian maka pertempuran antara gelar Supit Urang dan gelar Garuda Nglayang itu menjadi semakin sengit. Setapak demi setapak pasukan Pangeran Demang Tanpa Nangkil itu akhirnya dapat merayap maju, meskipun perlahan sekali.

Sementara itu Sekar Mirah ternyata masih belum menemukan Ki Saba Lintang. Namun untuk memancing hadirnya Ki Saba Lintang, maka Sekar Mirah telah bertempur dengan garangnya.

Jika Sekar Mirah itu bertemu dengan orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati, maka Sekar Mirah pun selalu menantang orang yang bernama Ki Saba Lintang. Sedangkan jika orang itu mencoba untuk melawannya, maka orang itu tentu akan terkapar di medan perang. Lukanya tentu parah, atau bahkan nyawanya akan tercabut dari tubuhnya. Tetapi ia masih juga belum berhasil menemukan orang yang bernama Saba Lintang.

Dalam pada itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kanjeng Adipati Demak yang memimpin langsung gelar Gajah Meta itu berada di kepala gelarnya. Bahkan ketika gelarnya tidak maju-maju juga, Kanjeng Adipati Demak itu pun telah bergeser maju dan berada di ujung gelarnya, memimpin langsung para prajurit pilihan yang berilmu tinggi.

Gelar Cakra Byuha yang mulai berputar perlahan-lahan itu mulai mengalami kesulitan. Tajamnya gerigi gelarnya seakan-akan berpatahan. Senapati-senapati Mataram yang ada di ujung tajamnya gerigi gelar Cakra Byuha itu tidak ada yang mampu melawan amuk Kanjeng Adipati Demak.

Pangeran Singasari yang memimpin gelar pasukan Mataram, yang mendapat laporan tentang keunggulan Kanjeng Adipati Demak itu pun segera turun langsung, berusaha menghadapi Kanjeng Adipati Demak.

Ketika keduanya bertemu dalam hentakan pertempuran yang sengit, maka terasa jantung Kanjeng Adipati Demak berdesir.

“Angger Adipati,” sapa Pangeran Singasari.

“Paman Pangeran.”

“Kau mengamuk seperti banteng ketaton, Ngger.”

“Hari ini gelar pasukan Mataram harus aku pecahkan.”

“Tidak semudah itu, Ngger.”

“Aku tahu Paman adalah seorang Pangeran yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi aku yakin bahwa aku akan dapat menundukkan Paman.”

“Mungkin, Ngger. Tetapi aku minta Angger menyadari, betapa banyaknya korban yang jatuh dalam perang ini. Setiap hari kita mengadakan upacara pemakaman orang-orang terbaik di antara pasukan kita masing-masing.”

“Itu adalah tumbal gegayuhan, Paman. Kita tidak dapat menggapai cita-cita kita tanpa pengorbanan. Nah, nasib mereka memang buruk. Sedangkan yang bernasib baik akan keluar dari pertempuran ini mengusung kemenangan.”

“Angger Pangeran. Jika masih ada sepeletik sinar yang menerangi relung-relung jantung Angger, aku minta Angger menghentikan perang ini.”

“Mustahil, Paman Pangeran. Paman jangan mengharapkan terjadi keajaiban. Aku sudah mulai. Aku akan terus mendesak pasukan Mataram ini ke Selatan, sehingga akhirnya aku akan sampai ke Mataram. Aku-lah yang kemudian akan duduk di atas tahta Mataram. Bukan Dimas Panembahan Hanyakrawati.”

“Segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan baik, Angger Pangeran. Tetapi jangan mengorbankan puluhan, bahkan mungkin ratusan orang.”

“Sudah aku katakan, mereka adalah tumbal dari gegayuhan.”

“Gegayuhan siapa?”

“Gegayuhanku, Ratu Gusti mereka. Adalah sah jika aku mengorbankan rakyatku untuk mengangkat derajadku. Mereka adalah rakyatku yang setia, yang menghargai kesetiaannya lebih dari nyawanya.”

“Sekali lagi aku peringatkan Angger. Angger jangan berniat untuk mendapatkan kemukten dengan berdiri di atas timbunan mayat yang tidak terhitung jumlahnya.”

“Kenapa harus aku yang bertanggung jawab? Kenapa bukan Dimas Panembahan Hanyakrawati? Jika Dimas Panembahan Hanyakrawati bersedia turun dari tahta dan menyerahkannya kepadaku, maka segala sesuatunya akan selesai. Perang akan berakhir, dan kita tidak perlu setiap hari menyelenggarakan upacara pemakaman prajurit-prajurit kita yang gugur.”

“Tentu Angger-lah yang bertanggung jawab, karena Angger Pangeran yang telah melanggar paugeran keraton Mataram.”

“Siapa yang telah membuat paugeran itu? Seorang yang berkuasa mutlak, ia sendiri-lah paugeran itu.”

“Paugeran itu terdapat dalam pustaka yang tersimpan di gedung pusaka di Mataram.”

“Yang membuat paugeran itu adalah orang-orang seperti kita-kita juga. Nanti kalau aku sudah duduk di atas tahta di Mataram, maka aku akan merubah paugeran itu, sehingga tidak akan ada lagi orang yang mengatakan bahwa aku telah melanggar paugeran. Jika ada perdata yang menyebut bahwa aku melanggar paugeran, maka aku akan menjatuhkan hukuman mati kepadanya.”

“Ternyata Angger sudah terlalu jauh berjalan dalam kesesatan. Karena itu, mumpung masih ada kesempatan, aku minta Angger berjalan kembali.”

“Cukup, Paman. Lihat, perang masih berlangsung dengan sengitnya. Darah masih mengalir dari luka. Bersiaplah. Kita akan bertempur, atau Paman meninggalkan garis perang ini.”

“Aku seorang Senapati, Ngger. Apakah seorang Senapati akan meninggalkan medan demi keselamatannya sendiri?”

“Bagus. Aku memang yakin bahwa Paman benar-benar seorang Senapati Agung.”

Keduanya pun kemudian segera mempersiapkan diri. Dengan sigapnya Kanjeng Adipati Demak pun meloncat menyerang. Sementara itu Pangeran Singasari pun dengan tangkasnya pula mengelak. Bahkan dengan cepat pula Pangeran Singasari itu melenting sambil memutar tubuhnya. Kakinya menebas mendatar mengarah ke kening. Namun Pangeran Puger sempat mengelak, sehingga serangan Pangeran Singasari itu tidak mengenainya.

Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Kedua-duanya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga kedua-duanya saling menyerang dan menghindar. Sekali-sekali Pangeran Puger mendesak maju. Namun pada kesempatan lain, Pangeran Singasari-lah yang berhasil mendorong Pangeran Puger surut ke belakang.

Pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin meningkat, sejalan dengan meningkatnya pertempuran di seluruh arena. Setiap Senapati telah berusaha menghentakkan kemampuan mereka serta prajurit-prajurit mereka. Prajurit Pajang yang berada di induk pasukan Mataram pun bertempur dengan dada yang bergelora. Mereka berusaha untuk menempatkan kemampuan prajurit Pajang pada tataran yang setidak-tidaknya sejajar dengan prajurit Mataram.

Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang sudah mendapat pengakuan, bahwa pasukan pengawal mereka memiliki tataran yang sama dengan para prajurit. Sedangkan para Wiratani yang masih berada di bawah tataran para prajurit, selalu berbaur dengan para prajurit yang sebenarnya. Para pemimpin kelompok mereka pun selalu didampingi oleh para prajurit pula, sehingga mereka tidak menjadi sasaran serangan lawan yang melihat kelemahan mereka.

Demikianlah, Pangeran Puger dan Pangeran Singasari telah bertempur dengan sengitnya. Ketika pertempuran itu dilaporkan kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, maka Kanjeng Panembahan menaruh perhatian yang sangat tinggi. Karena itu maka Kanjeng Panembahan Hanyakrawati itu pun berkata kepada Ki Patih Mandaraka, “Eyang, aku ingin melihat, apakah yang terjadi antara Paman Pangeran Singasari dengan Kangmas Pangeran Puger.”

“Tetapi Wayah harus berhati-hati. Wayah harus siap menghadapi pertempuran yang mungkin saja tiba-tiba melibat kita.”

“Bukankah kita sudah berada di medan perang, Eyang? Dengan demikian, bukankah kita memang sudah siap untuk bertempur melawan siapapun juga?”

“Baik. Marilah, Wayah. Tetapi Wayah hadir di pertempuran sebagai seorang Raja Mataram. Karena itu, maka Wayah akan hadir di pertempuran bersama Pasukan Khusus Pengawal Raja.”

Panembahan Hanyakrawati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah, Eyang. Tetapi aku tidak mau terbelenggu di dalam lingkaran pasukan itu. Mereka-lah yang harus menyesuaikan diri, sehingga aku merasa bebas untuk bergerak sebagaimana seorang Senapati perang.”

“Wayah sekarang bukan Senapati perang,” jawab Ki Patih Mandaraka.

Panembahan Hanyakrawati pun menarik napas panjang. Namun ia tidak dapat mengelak lagi.

Ketika ia mulai bergerak ke garis pertempuran, maka beberapa orang Senapati dari Pasukan Khusus Pengawal Raja telah berada di sekitarnya, sedangkan pasukan mereka tertebar pula di seputarnya.

Demikianlah, Kanjeng Panembahan Hanyakrawati pun bergerak ke garis pertempuran untuk menyaksikan perang antara Pangeran Puger melawan Pangeran Singasari.

Ternyata bahwa Pangeran Puger adalah seorang prajurit yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun Pangeran Singasari adalah prajurit yang berpengalaman. Karena itu maka agak sulit bagi Pangeran Puger untuk dapat menundukkan Pangeran Singasari.

Meskipun Pangeran Puger mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi, namun gerak-gerak yang pendek dan mantap dari Pangeran Singasari telah mampu mengimbangi serangan-serangan lawannya. Bahkan semakin lama ternyata bahwa pengalaman yang sangat luas dari Pangeran Singasari telah mampu memaksa Pangeran Puger untuk lebih banyak bertahan.

Pasukan dalam gelar Gajah Meta yang dipimpin langsung oleh Pangeran Puger itu terhenti. Bahkan perlahan-lahan mulai terdesak mundur, ketika Pangeran Singasari terjun langsung menghadapi Pangeran Puger. Tetapi para Senapati dari Demak tidak membiarkan gelar Gajah Meta mereka terdesak. Mereka harus menghentikan Pangeran Singasari, yang memiliki kelebihan dari Kanjeng Adipati Demak.

Karena itu maka dalam pertempuran yang sengit, tiba-tiba saja seorang Senapati Demak yang berada di belakang Pangeran Puger telah meloncat di sebelah Pangeran Puger. Bersama dengan Pangeran Puger, Senapati itu bertempur melawan Pangeran Singasari yang berpegang pada jejer seorang kesatria.

“Tumenggung Gending,” geram Pangeran Singasari.

Tumenggung Gending tidak menjawab. Tetapi serangan-serangan senjatanya menjadi semakin cepat.

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati yang melihat bahwa seseorang telah ikut tampil melawan Pangeran Singasari, di luar sadarnya telah meloncat maju. Tetapi Ki Patih Mandaraka sempat menarik lengannya sambil berkata, “Jangan, Panembahan. Biarlah seorang yang lain yang melawannya.”

Wajah Kanjeng Adipati Hanyakrawati menjadi tegang. Dengan serta-merta ia pun berkata, “Jika Eyang mencegah aku tampil, cepat perintahkan seseorang membantu Paman Singasari. Pertempuran itu menjadi tidak adil.”

“Lihat, Wayah Panembahan. Wayah Panembahan Puger tetap seorang ksatria Mataram.”

Sebenarnyalah tiba-tiba saja Pangeran Puger itu membentak, “Tumenggung Gending! Pergilah! Jangan ganggu aku!”

“Tetapi Pangeran Singasari sangat berbahaya, Kanjeng.”

“Aku bukan seorang pengecut yang licik.”

Tetapi Ki Tumenggung Gending tidak segera pergi. Bahkan ia pun menyerang Pangeran Singasari dengan sengitnya.

“Kalau kau tidak mau pergi, maka biarlah aku yang pergi,” berkata Pangeran Puger.

Tetapi Ki Tumenggung Gending benar-benar tidak mau pergi. Katanya, “Pangeran Singasari sangat berbahaya bagi Kanjeng Adipati.”

Kanjeng Adipati Demak itu tidak berkata apa-apa lagi. Karena Tumenggung Gending tidak juga beranjak pergi, maka Pangeran Puger-lah yang benar-benar meloncat meninggalkan arena sambil berkata, “kita akan bertemu, Paman. Aku tidak mau pertempuran di antara kita terganggu.”

“Angger Pangeran!” teriak Pangeran Singasari.

Tetapi Pangeran Puger tidak mau berpaling lagi. Ia pun segera hilang di antara para prajurit Demak.

Namun perhatiannya terhadap Pangeran Puger, membuatnya sesaat kehilangan perhatian kepada Ki Tumenggung Gending. Agaknya Ki Tumenggung Gending mempergunakan saat itu sebaik-baiknya. Dengan cepat Ki Tumenggung Gending itu pun menerkam dengan senjata terjulur.

Pangeran Singasari yang melihat serangan itu, meskipun agak tergesa-gesa tetapi masih sempat mengelak, sehingga serangan Ki Tumenggung Gending tidak mengenainya. Namun ternyata bahwa masih ada Senapati Demak yang lain, yang ternyata terlalu licik. Pada saat Pangeran Singasari menghindar dengan tergesa-gesa, maka tiba-tiba saja ujung sebuah pedang terjulur lurus menggapai dada.

Pangeran Singasari terkejut. Ia berusaha menggeliat. Namun ujung pedang itu masih saja menyentuh bahunya, sehingga Pangeran Singasari itu terdorong surut.

Panembahan Hanyakrawati yang melihat ujung pedang melukai tubuh Pangeran Singasari itu pun berteriak, “Paman Pangeran!”

Namun pada saat yang bersamaan, ketika Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang dengan licik menusuk Pangeran Singasari itu berloncatan maju dengan senjata terjulur, dua orang telah berloncatan pula menghadang mereka. Dua ujung senjata mereka yang langsung megarah ke dada Pangeran Singasari yang sedang terhuyung-huyung karena tusukan di bahunya itu telah membentur senjata dua orang yang meloncat ke arena.

Sementara itu beberapa orang prajurit pengawal yang bertempur di sekitar Pangeran Singasari itu pun berloncatan untuk menyangga Pangeran Singasari yang hampir terjatuh.

Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang tiba-tiba telah mendapatkan lawan baru itu pun segera berloncatan mundur. Dengan geram kedua orang Tumenggung itu mengamati dua orang yang tiba-tiba telah berdiri di hadapan mereka.

Sementara itu dua orang Senapati Demak yang lain telah berloncatan pula, sementara prajurit-prajuritnya berusaha menyibak para prajurit Mataram yang melindungi Pangeran Singasari yang terluka. Namun sebelum beberapa orang Senapati Mataram berloncatan menghadang kedua orang Senapati Demak yang ingin memanfaatkan keadaan serta membunuh Senapati Agung Mataram itu, mereka telah terhalang oleh dua orang yang justru perempuan.

Sementara itu di putaran pertempuran yang lain, Ki Tumenggung Gending memandang orang yang berdiri di hadapannya itu dengan seksama.

“Kita pernah bertemu Ki Tumenggung Gending. Setidak-tidaknya kita pernah saling melihat di pertempuran. Bukankah Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer telah berusaha menghadang Ki Tumenggung Derpayuda serta para utusan dari Mataram pada saat mereka menghadap Kanjeng Adipati Demak? Atau bahkan sebelumnya?”

“Persetan dengan kalian berdua,” geram KiTumenggung Panjer, “kami akan membunuh kalian hari ini.”

“Ki Tumenggung Panjer. Apa yang dapat kau lakukan selain merunduk lawan-lawanmu dengan licik? Kau pula-lah yang telah memberi kesempatan orang-orangmu membunuh Ki Tumenggung Jayayuda dengan licik.”

“Kita berada di medan pertempuran. Mereka yang tidak waspada akan mati tertusuk senjata. Jangan sesali itu.”

“Baik. Kau pun akan mati di sini.”

Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih yang masih belum menemukan Ki Saba Lintang itulah yang kemudian menghadapi Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer.

Sejenak kemudian keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan telah berhasil menggagalkan dua orang Senapati Demak yang dengan serta-merta memburu Pangeran Singasari, yang kemudian dipapah ke dalam lingkungan gelarnya.

Kedua orang Senapati Demak itu menjadi sangat marah. Seorang di antara mereka berkata lantang, “Perempuan iblis! Kenapa kau berani menghalangi kami? Seharusnya kami sudah dapat mengakhiri tugas Senapati Agung Mataram. Ternyata Pangeran Singasari bukan seorang prajurit linuwih.”

“Omong kosong!” jawab Sekar Mirah tidak kalah lantangnya. “Apa saja yang sudah kalian lakukan? Curang, licik dan tidak tahu malu!”

“Kau-lah yang omong kosong. Kita berada di medan perang, bukan dalam lingkaran perang tanding. Gelar pasukan kami melawan gelar pasukan kalian. Bukan sekedar seorang Senapati bertempur melawan seorang Senapati lawan. Bukankah gelar pasukan Mataram itu selalu bergerak, sehingga seorang Senapati dapat saja bertemu dan bertempur melawan dua atau tiga orang Senapati lawan? Apa salahnya? Mungkin dalam perang tanding kau dapat menyebut kami licik, curang atau istilah-istilah buruk yang lain. Tetapi tidak di sini.”

“Jika demikian, kenapa kau menyalahkan kami bahwa kami telah menghalangi kalian? Bukankah itu juga wajar terjadi di medan perang?”

“Bagus. Sekarang kalian berdua-lah yang akan mati. Tetapi itu salah kalian sendiri. Kalian adalah perempuan yang dengan sombong berani berada di medan pertempuran. Kalau kemudian kalian berdua kami bantai di sini, itu sama sekali bukan salah kami.”

“Kita berada di medan perang. Lakukan yang dapat kalian lakukan.”

Kedua orang Senapati Demak itu tidak sabar lagi. Mereka pun segera berloncatan menyerang Sekar Mirah dan Rara Wulan. Namun Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah siap menghadapi mereka. Dengan tangkasnya keduanya mengelak. Namun kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit di antara mereka.

Dalam pada itu, seorang yang sudah separuh baya, yang berada di antara para prajurit Demak, sejenak memperhatikan Sekar Mirah dan Rara Wulan yang bertempur melawan dua orang Senapati Demak. Tiba-tiba saja orang itu tertarik kepada unsur-unsur gerak keduanya, sehingga orang yang sudah separuh baya itu datang mendekat.

“Aku melihat keduanya menunjukkan ilmu dari aliran Kedung Jati,” berkata orang separuh baya itu.

Sekar Mirah dan Rara Wulan pun berloncatan mengambil jarak. Dengan singkat Sekar Mirah menyahut, “Ya. Kami adalah murid-murid Perguruan Kedung Jati.”

Kedua orang Senapati Demak itu pun tidak segera memburu lawan-lawannya. Diperhatikannya orang separuh baya itu sejenak. Seorang di antara keduanya itu pun bertanya, “Ki Kebo Ireng. Apa yang menarik perhatianmu pada kedua orang perempuan itu?”

“Mereka mempergunakan ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

Kedua orang Senapati Demak itu termangu-mangu sejenak. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Sudah aku katakan bahwa kami memang murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Kenapa kalian berada di antara pasukan Mataram?”

“Kami memang bagian dari pasukan Mataram.”

“Apakah kau tidak pernah merasa bersalah, bahwa dengan demikian kau sudah mengkhianati pemimpinmu?”

“Siapakah pemimpinku?”

“Ki Saba Lintang.”

“Kenapa Ki Saba Lintang?”

“Ia mempunyai ciri kepemimpinan dari Perguruan Kedung Jati.”

“Aku-lah pemimpin Perguruan Kedung Jati,” berkata Sekar Mirah kemudian. “Au yang memiliki tongkat baja putih, ciri kepemimpinan Kedung Jati, yang aku terima langsung dari yang berhak. Sementara tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang itu adalah tongkat baja putih yang telah dicurinya. Sebenarnyalah bahwa ia tidak berhak memiliki tongkat baja putih itu.”

“Jadi kau-lah perempuan yang memiliki pasangan tongkat baja putih itu? Jadi kau-lah perempuan yang bernama Sekar Mirah, dari Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya, Aku adalah Sekar Mirah dari Tanah Perdikan Menoreh, murid langsung dari Ki Sumangkar, yang telah mewariskan tongkat baja putih ini.”

Orang separuh baya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Jika kau berada di medan pertempuran ini, agaknya cerita tentang tongkat baja putih yang mengembara itu hampir berakhir. Sudah waktunya kau menyerahkan tongkat baja putih itu kepada Ki Saba Lintang, agar Ki Saba Lintang segera dapat menunjuk seseorang untuk membantunya memimpin perguruan yang sangat besar itu.”

“Bagus. Tolong, panggil Ki Saba Lintang. Aku ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang itu.”

“Jangan deksura. Ki Saba Lintang adalah pemimpin satu perguruan yang sangat besar. Bagaimana mungkin kau memanggilnya untuk menemuimu?”

“Baik. Kalau begitu, biarlah aku menghancurkan murid-muridnya yang berani menghadapi aku di pertempuran ini hingga orang yang terakhir, sebelum Ki Saba Lintang sendiri.”

Orang separuh baya itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ternyata kau selain deksura juga sombong sekali, Sekar Mirah. Baiklah, nikmati kesombonganmu kali ini. Jangan sesali dirimu jika kau akan mati di pertempuran ini.”

Orang itu pun menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya matahari sudah berada di sisi barat. Katanya, “Sayang, sebentar lagi matahari akan menjadi semakin rendah. Tatapi aku akan membunuhmu sebelum senja. Sebelum terdengar suara sangkakala serta suara bende yang menyatakan bahwa perang hari ini diakhiri.”

“Rara Wulan,” berkata Sekar Mirah, “uruslah dua orang Senapati Demak itu. Aku yakin kau akan dapat menyelesaikan mereka. Biarlah aku menyelesaikan orang yang sombong ini.”

“Kau berani merendahkan aku, he? Kau akan melawan aku seorang diri, sementara kawanmu akan bertempur melawan kedua orang Senapati dari Demak itu?”

“Ya, aku akan melawanmu seorang diri. Aku akan membuktikan kepadamu bahwa aku adalah orang yang berhak memimpin Perguruan Kedung Jati. Bukan Ki Saba Lintang.”

Orang itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Kau tentu belum mengenal gelarku, meskipun barangkali kau sudah mengenal namaku, Kebo Ireng. Gelarku adalah Jagal Kuku Waja. Aku membunuh dengan jari-jariku. Meskipun kau membawa tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati, tetapi tongkatmu itu tidak berarti apa-apa. Hanya di tangan mereka yang berhak sajalah tongkat baja putih itu akan berarti.”

“Cukup. Bersiaplah.”

Orang itu bergeser setapak surut. Namun kemudian orang itu pun meloncat menerkam Sekar Mirah sambil menjulurkan kedua tangannya. Sekilas Sekar Mirah melihat jari-jari orang itu nampak berkilat-kilat. Nampaknya jari-jarinya telah dibalut dengan baja yang ujungnya runcing.

Tetapi Sekar Mirah sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian orang itu menerkam, maka Sekar Mirah pun dengan cepat bergeser ke samping. Kemudian tongkat baja putihnya terayun dengan cepat mengarah ke tengkuk lawannya. Namun lawannya itu pun sempat merendah, sehingga tongkat baja putih Sekar Mirah tidak mengenainya.

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Sementara itu kedua orang Senapati Demak yang semula bertempur melawan Sekar Mirah dan Rara Wulan, hampir berbareng telah menyerang Rara Wulan. Tetapi Rara Wulan sempat meloncat surut. Bahkan tiba-tiba saja seorang Senapati yang rambutnya sudah ditumbuhi uban berdiri di sebelahnya sambil berkata, “Biarlah aku mengambil seorang lawanmu. Aku memang menunggu mereka mulai, agar aku sempat melihat bagaimana dua orang murid Perguruan Kedung Jati bertempur.”

Rara Wulan tidak mencegahnya. Ia tidak ingin menyombongkan dirinya dengan melawan kedua orang Senapati itu bersama-sama. Dengan demikian maka Rara Wulan pun telah bertempur dengan salah seorang dari kedua orang Senapati dari Demak itu.

Sementara itu Sekar Mirah pun telah bertempur dengan sengitnya. Orang yang bernama Kebo Ireng dan bergelar Jagal Kubu Waja itu memang seorang yang berilmu tinggi. Tetapi menurut penglihatan Sekar Mirah, orang itu sama sekali tidak mempunyai landasan ilmu dari Perguruan Kedung Jati.

“Siapakah sebenarnya kau ini?” bertanya Sekar Mirah, “Kau sama sekali bukan murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Kenapa?”

“Landasan ilmumu sama sekali bukan landasan ilmu Perguruan Kedung Jati.”

“Aku bukan murid yang beraliran sempit. Aku mempelajari ilmu dari mana pun datangnya. Dengan demikian maka pandanganku menjadi luas, serta wawasanku tentang ilmu kanuragan pun menjadi semakin jauh.”

“Tetapi jika kau memang murid dari Perguruan Kedung Jati, maka landasan ilmumu meskipun luluh dengan ilmu dari aliran manapun, tentu landasan dasar ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati. Tetapi kau sama sekali tidak menunjukkan dasar ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati itu.”

Orang itu masih sempat tertawa. Katanya, “Dari manapun aku menyadap ilmu, bukan soal. Tetapi sekarang aku mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Itu sudah cukup bagiku. Jika ternyata kemudian ilmuku agak membingungkanmu, itu adalah salahmu, bahwa pandanganmu terhadap ilmu kanuragan terlalu picik.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Namun sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah pun tidak hanya mempelajari ilmu dari perguruan Kedung Jati. Ia melengkapi ilmunya dengan menyadap ilmu dari perguruan Kiai Gringsing, dan bahkan Kiai Sadewa, yang mengalir lewat Ki Lurah Agung Sedayu. Namun karena Sekar Mirah sering berlatih bersama Rara Wulan, maka kadang-kadang mereka dengan tidak terasa telah saling mempengaruhi. Meskipun Rara Wulan pertama kali mendapat bimbingan dari Sekar Mirah, namun setelah Rara Wulan menjadi dewasa dalam oleh kanuragan, maka ilmunya ternyata ada juga yang terselip dan sekaligus luluh dengan lmu yang sudah dikuasai oleh Sekar Mirah.

Itulah sebabnya maka sebenarnyalah ilmu kanuragan yang dikuasai oleh Sekar Mirah pun beraneka, yang dapat tumbuh menyatu dalam perkembangan selanjutnya. Justru karena lawannya tidak menunjukkan landasan dasar ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati, maka Sekar Mirah pun kemudian tidak pula berusaha membuktikan bahwa dirinya mewarisi ilmu Perguruan Kedung Jati. Untuk mengimbangi ilmu lawannya yang rumit, maka Sekar Mirah pun telah mengembangkan ilmunya pula. Meskipun ia tetap berlandaskan pada ilmu dari Perguruan Kedung Jati, tetapi Sekar Mirah telah mengembangkan ilmunya pula dengan berbagai macam aliran yang telah luluh dengan ilmunya.

Dengan demikian maka lawannya pun telah terkejut pula. Ternyata perempuan itu mempunyai cakrawala ilmu yang sangat luas.

Dengan mengerahkan kemampuannya, Jagal Kuku Waja itu menyerang dengan garangnya. Tangannya kadang-kadang mengembang seperti sayap burung garuda. Kemudian kukunya yang tajam menyambar lawannya dengan cepatnya. Setiap sentuhan dari ujung kuku orang itu, tentu akan dapat mengoyakkan kulit daging lawannya.

Tetapi Sekar Mirah cukup cekatan. Ia bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, mendahului sambaran jari-jari orang berkuku baja yang dijuluki Jagal Kuku Waja.

Dalam pada itu, ternyata tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu pun merupakan senjata yang sangat berbahaya. Ayunan tongkat baja putih itu telah menimbulkan desing yang tajam menusuk telinga. Sambaran anginnya pun bagaikan ujung-ujung seribu duri yang menyentuh kulit lawan.

“Gila perempuan ini,” geram Kebo Ireng, “tetapi tidak seorangpun dapat mengalahkan Jagal Kuku Waja. Apalagi seorang perempuan.”

Tetapi Jagal Kuku Waja harus menghadapi kenyataan. Serangan-serangannya sulit untuk dapat menembus pertahanan Sekar Mirah. Tongkat baja putihnya yang berputaran itu seakan-akan telah membuat lapisan baja mengitarinya meskipun tembus pandang. Kuku-kuku baja Kebo Ireng itu sulit untuk dapat menembusnya. Bahkan ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan kulitnya.

Sebenarnyalah ketika orang itu meloncat menerkam dengan kuku-kukunya yang mengembang, Sekar Mirah berusaha untuk menepis serangan itu dengan tongkat baja putihnya. Namun dengan satu tangan orang itu menangkis tongkat baja putih Sekar Mirah, sedangkan tangan yang lain dengan cepat menggapai ke arah wajah Sekar Mirah.

Tetapi dengan tangkas pula Sekar Mirah bergerak ke samping sambil memalingkan wajahnya, sehingga ujung-ujung kuku itu terayun selebar daun saja dari wajahnya.

Namun pada saat itu pula Sekar Mirah sempat menjulurkan tongkat baja putihnya ke arah perut Kebo Ireng. Tetapi Kebo Ireng berusaha untuk mengelak.

Meskipun demikian, namun tongkat baja putih itu masih sempat mengenai bahu Jagal Kuku Waja itu, sehingga orang itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Ketika Jagal Kuku Waja itu berhasil memperbaiki keseimbangannya, tongkat baja putih Sekar Mirah telah terayun mengarah ke keningnya.

Jagal Kuku Waja tidak mempunyai kesempatan lain kecuali melindungi keningnya. Ia sadar jika tongkat baja putih itu berhasil mengenai keningnya, maka tulang kepalanya itu tentu akan retak. Karena itu maka Kebo Ireng itu harus mengorbankan tangannya untuk melindungi kepalanya.

Dengan jari-jari bajanya, Kebo Ireng berusaha menangkis ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah, sehingga terjadi benturan yang keras antara baja pada jari-jari Jagal Kuku Waja dengan tongkat baja putih yang diayunkan oleh Sekar Mirah.

Terdengar desah tertahan. Rasa-rasanya tulang jari-jari Kebo Ireng itu telah diremukkan oleh tongkat baja putih Sekar Mirah. Meskipun tulang-tulang itu sebagian terlindung oleh baja pula, namun kekuatan ayunan Sekar Mirah ternyata sangat besar. Bahkan bukan hanya jari-jari tangannya saja yang terasa sangat kesakitan, tetapi juga pergelangan dan bahkan sikunya. Kebo Ireng itu pun meloncat mundur.

Tetapi demikian ia berdiri, maka Sekar Mirah pun telah meloncat menyerangnya.

Kebo Ireng itu mengumpat kasar. Dengan cepat Kebo Ireng itu berusaha meloncat surut untuk mengambil jarak. Ternyata dua orang yang lain telah berloncatan menyerang Sekar Mirah pula. Dengan tombak di tangan, kedua orang itu menyerang dari dua sisi. Tetapi keduanya segera tertahan ketika dua orang prajurit Mataram siap menghadapi mereka

“Biarkan mereka, jika mereka mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Kau memang sombong, perempuan iblis. Kami memang murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Kau telah membohongi dirimu sendiri.” Lalu katanya kepada prajurit Mataram yang menghalangi mereka, “Lepaskan orang itu. Biarlah aku menunjukkan kepada mereka, siapakah sebenarnya murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu.”

Demikianlah, maka kedua orang prajurit Mataram itu pun melangkah surut. Dibiarkannya kedua orang itu melangkah mendekati Sekar Mirah. Tetapi kedua prajurit itu tidak meninggalkan arena. karena Kebo Ireng masih tetap berdiri di tempatnya sambil menyeringai kesakitan.

Sejenak kemudian maka Sekar Mirah telah bertempur dengan dua orang yang juga mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Berbeda dengan Kebo Ireng, maka pada kedua orang itu justru nampak unsur-unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati. Namun landasan utama ilmu mereka justru bukan ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.

“Itulah yang ada sekarang,” geram Sekar Mirah, “Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu tidak lebih dari keranjang sampah yang dapat ditimbuni sampah dari perguruan manapun juga.”

“Aku akan membungkam mulutmu, perempuan iblis!”

Tetapi yang kemudian terbungkam adalah mulut orang itu sendiri, ketika tongkat baja putih Sekar Mirah menghentak mengenai dadanya. Orang itu pun terpelanting dan terguling jatuh. Namun orang itu tidak segera dapat bangkit kembali, karena ia pun menjadi pingsan.

Karena itu maka yang seorang lagi menjadi gentar menghadapi Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya. Namun tiba-tiba saja ia mendengar Kebo Ireng berkata, “Bertahanlah. Aku akan membantumu.”

Darah orang itu yang seakan-akan hampir membeku, telah mengalir kembali di urat nadinya. Sebenarnyalah Kebo Ireng pun telah meloncat memasuki arena pertempuran itu lagi. Tetapi sebelah tangannya telah menjadi cacat, sehingga tidak dapat dipergunakan lagi dengan leluasa.

Karena itulah maka mereka berdua tidak lagi mampu mengimbangi Sekar Mirah yang bertempur dengan garangnya. Kebo Ireng menyadari akan hal itu. Karena itu maka ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali mempergunakan senjata-senjata rahasianya.

Ketika Sekar Mirah meloncat menghindari ujung tombak lawannya yang seorang, maka dua pisau kecil telah meluncur dengan cepatnya.

Sekar Mirah terkejut. Dengan cepat ia berusaha untuk menghindarinya. Namun satu di antara kedua pisau belati kecil itu telah menyambar pundaknya. Kemarahan Sekar Mirah tidak terbendung lagi. Tanpa sempat mencabut pisau kecil yang tertancap di pundaknya, maka Sekar Mirah pun telah meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya ke arah lawannya yang bersenjata tombak, yang sedang memutar tombaknya dan siap mematuk ke arahnya.

Namun ayunan tongkat baja putih itu telah membuat lawannya mengurungkan serangannya. Ia harus menangkis serangan Sekar Mirah dengan landean tombaknya. Tetapi ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah sangat keras. Kemarahannya seakan-akan telah tertumpah pada ayunan tongkat baja putihnya itu, sehingga landean tombak orang itu pun patah. Orang itu pun tidak sempat berbuat apa-apa lagi, ketika kemudian tongkat baja putih Sekar Mirah terayun ke arah keningnya. Orang itu tidak sempat berteriak.

Sementara itu dua pisau belati kecil telah terbang lagi menyambar Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah sempat melihatnya. Demikian tongkat baja putihnya mengenai kening orang yang bersenjata tombak itu, maka ia pun segera melenting menghindar. Nasib lawan Sekar Mirah yang bersenjata tombak itu memang buruk. Demikian Sekar Mirah melenting menghindar, maka kedua pisau belati itu telah mengenainya. Satu di pundaknya dan satu lagi di perutnya.

Orang itu tidak sempat menggeliat. Ia pun kemudian terbanting jatuh tanpa dapat bergerak lagi untuk selamanya.

Sekar Mirah yang masih marah itu memandang lawannya yang telah melemparnya dengan pisau-pisau belati kecil itu dengan tajamnya. Ketika dua lagi pisau belati meluncur dari tangan lawannya itu, Sekar Mirah pun bergeser ke samping, namun dengan cepat pula melenting tinggi.

Demikian lawannya itu memungut pisau-pisau kecil yang terselip di ikat pinggangnya melingkar lambung, maka tongkat baja putih Sekar Mirah pun telah mengenai tengkuknya. Orang itu berteriak nyaring. Yang terlontar dari mulutnya adalah umpatan-umpatan kasar. Tetapi pisau-pisau kecil itu tidak sempat dilontarkannya.

Sekar Mirah berdiri tegak memandangi tubuh orang itu. Kepalanya terkulai dengan lemahnya. Namun orang itu sudah tidak bernafas lagi.

Sekar Mirah pun kemudian dengan mengatupkan giginya rapat-rapat telah mencabut pisau belati kecil yang menancap di bahunya. Mulutnya pun menyeringai menahan sakit yang menyengat.

“Mbokayu,” desis Rara Wulan.

Sekar Mirah berpaling. Ia masih sempat bertanya, “Dimana lawanmu?”

“Aku terpaksa membunuhnya. Ia curang. Ia mencoba menyerang dengan serbuk beracun. Aku terpaksa menghentak dadanya dengan ujung selendangku.”

Sekar Mirah menarik nafas panjang.

“Luka Mbokayu sebaiknya segera diobati untuk menghentikan aliran darahnya.”

Rara Wulan pun kemudian membantu Sekar Mirah mengobati pundaknya. Ia berdiri membayangi Sekar Mirah yang duduk di hadapannya dengan menaburkan serbuk di lukanya. Semuanya itu dilakukan dengan cepat. Sementara pertempuran masih berlangsung di sekitarnya.

Ketika Sekar Mirah menaburkan obat di lukanya, maka terasa lukanya itu bagaikan disengat api. Namun hanya sejenak. Kemudian serbuk di luka itu pun mulai terasa dingin. Sementara darah pun menjadi pampat.

“Sebaiknya Mbokayu beristirahat saja dahulu. Mbokayu masih harus menyimpan tenaga untuk menghadapi Ki Saba Lintang.”

“Aku tidak apa-apa,” berkata Sekar Mirah sambil membenahi bajunya. Tetapi bajunya itu sudah terkoyak oleh pisau belati yang sempat melukai bahunya. Namun ketika Sekar Mirah itu menengadahkan wajahnya, maka ia melihat bahwa matahari sudah menjadi semakin rendah.

“Rara,” berkata Sekar Mirah kemudian, “marilah. Kita akan melihat apa yang terjadi dengan Kakang Agung Sedayu dan kakangmu Glagah Putih.”

Demikianlah, dengan sedikit menyibak medan, keduanya berusaha untuk melihat apa yang telah terjadi dengan Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Ternyata keduanya bertempur di lingkaran pertempuran yang terpisah. Ki Lurah Agung Sedayu bertempur melawan Ki Tumenggung Gending, sementara itu Glagah Putih bertempur melawan Ki Tumenggung Panjer.

Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Ki Lurah Agung Sedayu yang bertempur menghadapi Ki Tumenggung Gending memutar cambuknya seperti baling-baling. Sementara itu Ki Tumenggung Gending ternyata telah mempergunakan pusaka yang paling dipercayainya dapat melindunginya. Pusaka terbaik yang dimiliknya.

Ki Tumenggung Gending itu pun tidak lagi mempergunakan senjata keprajuritannya, tetapi di tangannya telah tergenggam sebilah keris yang besar dan panjang dengan luk sebelas. Pamornya berkeredipan memantulkan cahaya matahari yang sudah menjadi semakin rendah.

“Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari ujung kerisku,” geram Ki Tumenggung Gending.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi satu hentakan yang keras sendai pancing telah menggetarkan udara di medan pertempuran itu. Ledakan cambuk Ki Lurah Agung Sedayu rasa-rasanya akan meruntuhkan langit.

Ki Tumenggung Gending bergeser surut. Ia memang terkejut. Tetapi hanya sesaat. Kemudian bahkan Ki Tumenggung Gending itu tertawa. Katanya, “Suara cambukmu yang mengguntur itukah yang kau banggakan? Ledakan cambukmu memang dapat menakut-nakuti segerombolan kambing yang kau gembalakan. Tetapi suara cambukmu yang meskipun seperti petir, tidak dapat menakutiku.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Namun sekali lagi tangannya mengayunkan cambuknya sendai pancing.

Cambuk itu sama sekali tidak terdengar suaranya, apalagi seperti ledakan petir. Namun Ki Tumenggung Gending yang berilmu tinggi segera merasakan bahwa getar cambuk itu justru seakan-akan telah merontokkan isi dadanya.

“Ternyata kau memiliki ilmu iblis.”

“Bukan ilmu iblis. Tetapi dengan ilmuku, aku ingin membantu agar hidup sesama kita dapat menjadi lebih tenang.”

Ki Tumenggung Gending itu pun tertawa. Katanya, “Kau sudah kehilangan kiblat. Kau ingin dapat membuat hidup sesama kita menjadi lebih tenang, sementara itu kau telah berlatih dan menguasai ilmu untuk membunuh sesamamu.”

“Aku memang berlatih dan berusaha menguasai ilmu kanuragan, agar aku dapat mencegah orang-orang seperti kau dan orang-orangmu, yang menyalahgunakan kemampuan ilmu kanuragan untuk tujuan yang sesat. Kau dan orang-orangmu yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi telah membujuk Kanjeng Adipati Demak untuk memberontak melawan Panembahan Hanyakrawati.”

“Gegayuhan, Ki Sanak. Setiap orang mempunyai gegayuhan.”

“Kau yang mempunyai gegayuhan. Lalu berapa korban yang telah jatuh sekadar untuk mendukungmu mencapai gegayuhanmu? Apakah dengan demikian, jika kau berhasil mencapai gegayuhanmu, tidak berarti bahwa kau telah mencapai gegayuhanmu dengan alas berpuluh nyawa sesamamu?”

Ki Tumenggung Gending tertawa semakin panjang. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Orang-orang yang bodoh dan tidak berarti, selalu menjadi korban dan tumbal bagi keberhasilan orang lain yang lebih pintar dan cerdik. Bukankah kau juga akan menjadi korban? Jika berhasil mempertahankan dirinya, maka Panembahan Hanyakrawati-lah yang akan tetap duduk di singgasananya. Bukankah itu juga berarti bahwa singgasana Hanyakrawati juga beralaskan mayat-mayat prajuritnya?”

“Kami tidak sekadar membela Panembahan Hanyakrawati, tetapi kami ingin menegakkan tatanan dan paugeran yang berlaku di Mataram. Nah, bukankah ada bedanya? Panembahan Hanyakrawati atau bukan, kami akan tetap menegakkan tatanan dan paugeran. Bukan untuk diri kami sendiri. Karena itu maka pengorbanan kami bukan untuk Panembahan Hanyakrawati. Kau tahu bedanya?”

“Persetan,” geram Tumenggung Gending, “sekarang bersiaplah untuk mati.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sementara itu Ki Tumenggung Gending pun telah menyerang bagaikan banjir bandang. Namun Ki Lurah Agung Sedayu pun telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. Karena itu dengan tangkasnya Ki Lurah Agung Sedayu pun berloncatan sambil memutar ujung cambuknya.

Sementara itu Ki Tumenggung Gending tidak lagi berniat untuk melepaskan lawannya lagi. Ia tidak berniat memancing lawannya memasuki jebakan, sebagaimana di lakukan terhadap Ki Tumenggung Derpayuda. Tetapi kali ini Ki Tumenggung Gending ingin menghabisi lawannya itu. Tetapi lawannya adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Ternyata lawannya itu tidak berada di bawah kemampuan Ki Tumenggung Derpayuda.

Tetapi dengan keris pusakanya yang melampaui ukuran keris kebanyakan itu, Ki Tumenggung Gending yakin bahwa ia akan dapat membunuh lawannya. Satu goresan kecil pada kulit lawannya, telah cukup untuk mengantarkan lawannya itu ke lubang kubur.

Ki Lurah Agung Sedayu pun menyadari bahwa kerisnya merupakan sipat kandel yang sangat dibanggakan oleh Ki Tumenggung Gending. Karena itu maka Ki Lurah Agung Sedayu ingin mengecilkan arti keris itu bagi Ki Tumenggung Gending.

Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dengan sengaja tidak menarik ujung cambuknya ketika Ki Tumenggung Gending menebas ujung cambuknya dengan keris yang dibanggakannya itu. Ki Tumenggung Gending memang agak terkejut, bahwa kerisnya tidak mampu untuk memutuskan ujung cambuk lawannya.

“Gila senjata orang Mataram itu,” geram Ki Tumenggung Gending.

Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu menyerangnya seperti angin prahara. Cambuknya berputaran kemudian menghentak sendai pancing. Sekali-kali ujungnya mematuk seperti kepala seekor ular bandotan. Tetapi Ki Tumenggung Gending pun mampu bergerak dengan cepat. Kakinya berloncatan bagaikan tidak menyentuh tanah.

Meskipun demikian, ternyata bahwa ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu mampu memburunya, sehingga seleret luka telah menggores lengannya.

“Anak iblis kau!” geram Ki Tumenggung Gending. Kemarahannya telah membakar jantungnya ketika ia merasa dari lukanya yang pedih itu meleleh darahnya yang hangat.

Kemarahannya itu telah membuat Ki Tumenggung bertempur semakin sengit. Ujung kerisnya bagaikan lalat yang berterbangan di sekitar tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Meskipun Ki Lurah itu memutar ujung cambuknya sehingga seakan-akan menjadi perisai yang melingkari tubuhnya, namun ternyata bahwa ujung keris Ki Tumenggung Gending sempat juga hinggap di tangannya, sejengkal di atas pergelangannya.

Sengatan itu memang mengejutkan Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Ki Lurah itu pun meloncat surut beberapa langkah. Yang terdengar adalah suara tertawa Ki Tumenggung Gending. Ki Tumenggung Gending merasa ujung kerisnya telah menyentuh tubuh lawannya.

“Kau akan mati, Ki Sanak. Kesombonganmu bahwa kau berani menghadapi aku di medan perang ini telah menghentikan pengabdianmu kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Seperti kataku tadi, Panembahan Hanyakrawati-lah yang akan bertahan duduk di atas tahtanya. Jika ia berhasil, maka tahtanya akan beralaskan mayatmu pula, di samping mayat puluhan korban yang lain.”

Ki Lurah Agung Sedayu memandangi luka di tangannya. Ujung keris itu hanya membuat luka kecil di tangannya itu.

Tetapi Ki Tumenggung itu pun berkata, “Meskipun lukamu tidak lebih besar dari seekor nyamuk kecil, tetapi warangan kerisku adalah warangan yang terbaik yang akan segera membunuhmu.”

Ki Lurah Agung Sedayu masih saja berdiri tegak sambil merenungi luka di tangannya. Namun kemudian katanya, “Ki Tumenggung Gending. Warangan kerismu memang sangat tajam, tetapi kematian seseorang tidak tergantung kepada orang lain. Jika Yang Maha Agung masih melindungiku, maka aku tentu masih akan dapat memberikan perlawanan yang justru akan dapat menghentikan nafasmu untuk mencapai gegayuhan yang tidak sepatutnya itu.”

“Kau masih akan melawan?

“Tentu, Ki Tumenggung.”

“Semakin banyak kau bergerak, maka racun itu akan bekerja semakin cepat di tubuhmu. Umurmu pun akan menjadi semakin cepat pula berakhir.”

“Sudah aku katakan, bukan kau yang menentukan umurku. Sekarang bersiaplah. Kau atau aku yang akan lebih dahulu tersingkir dari arena pertempuran ini.”

Ki Tumenggung Gending masih saja tertawa. Katanya, “Bagus. Agaknya kau sudah menjadi putus asa. Kau akan menghabiskan saat-saat terakhirmu dengan sikap seorang prajurit. Bagus. Ternyata kau memang seorang prajurit sejati.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknya-lah yang menghentak. Tanpa suara, tetapi getarannya bagaikan meruntuhkan jantung Ki Tumenggung Gending.

Demikianlah, keduanya telah terlibat kembali dalam pertarungan yang sengit. Ki Tumenggung Gending yang yakin akan menghentikan perlawanan Ki Lurah Agung Sedayu itupun be rtempur semakin garang. Sementara itu Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menghentakkan ilmunya pula.

Dengan demikian maka pertarungan antara keduanya menjadi semakin sengit, sehingga para prajurit yang bertempur di sekitarnya seakan-akan tidak tahu lagi apa yang terjadi di antara keduanya.

Dalam pertempuran yang semakin sengit itu, Ki Tumenggung Gending menjadi sangat heran, bahwa lawannya itu masih saja mampu bertempur dengan garangnya. Sementara itu Ki Tumenggung Gending yakin bahwa kerisnya telah berhasil menyentuh tangannya sejengkal di atas pergelangan.

“Seharusnya bisa warangan pada kerisku ini sudah mulai bekerja,” berkata Ki Tumenggung Gending di dalam hatinya.

Namun ternyata bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu sama sekali tidak terpengaruh oleh bisa warangan keris Ki Tumenggung Gending yang dibanggakannya itu. Bahkan ujung cambuk Ki Lurah Agung Sedayu yang berputaran itu tiba-tiba saja telah mematuk bahunya.

Ki Tumenggung Gending itu terdorong beberapa langkah surut. Bahunya terasa sakit sekali. Tulang-tulangnya seakan-akan menjadi retak. Ki Tumenggung Gending yang sudah menyentuh tubuh lawannya dengan kerisnya, tetapi seakan-akan tidak berpengaruh itu, menjadi sangat marah. Tetapi Ki Tumenggung Gending sudah jemu berkejar-kejaran dengan Senapati Mataram. Karena itu maka Ki Tumenggung Gending sudah bertekad untuk beradu ilmu pamungkas dengan Senapati Mataram yang bersenjata cambuk itu. Bahkan yang mampu menahan pengaruh bisa dari warangan kerisnya yang sangat tajam.

“Jika aku berhasil, maka aku akan menyapu para Senapati Mataram yang lain dengan aji pamungkasku.”

Ki Tumenggung Gending masih sempat memandang langit sekilas. Matahari sudah menjadi semakin rendah. Namun Ki Tumenggung Gending ingin menyelesaikan lawannya sebelum terdengar tengara untuk menghentikan perang di hari itu.

Demikianlah, Ki Tumenggung Gending itu pun segera meloncat mengambil jarak. Ia pun segera berlutut pada satu lututnya. Ditancapkannya kerisnya di tanah, sementara kedua tangannya menggenggam hulu keris itu kuat-kuat. Keris itu pun telah bergetar, sehingga seakan-akan getaran itu mengalir dari bumi ke dalam urat-urat darah Ki Tumenggung Gending, dan menumpuk di dalam dirinya.

Ki Lurah Agung Sedayu yang telah bersiap untuk menyerangnya, tiba-tiba telah mengurungkannya. Ia melihat gelagat yang kurang menguntungkan. Sehingga justru karena itu maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mempersiapkan dirinya pula. Mula-mula ditingkatkannya daya tahun tubuhnya, sehingga ilmu kebalnya pun telah meningkat pula. Kemudian telah dipusatkannya nalar budinya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu itu pun telah bersiap pula melepaskan ilmu puncaknya.

Dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung Gending itu merasa bahwa kekuatan getar yang mengalir dari bumi telah memenuhi dirinya, maka tiba-tiba saja Ki Tumenggung Gending itu pun bangkit berdiri. Diulurkannya tangannya ke depan dengan telapak tangan yang terbuka menghadap ke bumi. Sementara itu dari ujung jari-jarinya seakan akan telah meluncur seleret sinar yang berwarna kemerah-merahan.

Namun pada saat yang bersamaan, Ki Lurah Agung Sedayu yang memandangnya dengan tajamnya, telah meluncurkan ilmunya pula. Dari sorot matanya memancar cahaya yang hijau kebiruan. Sekar Mirah yang berdiri di luar lingkaran pertempuran itu menjadi sangat tegang. Ia pun melihat benturan yang dahsyat terjadi antara dua ilmu yang sangat tinggi dari seorang Senapati Demak dengan ilmu puncak seorang Senapati Mataram.

Kedua orang itu ternyata telah terguncang. Ki Lurah Agung Sedayu yang tergetar surut beberapa langkah, ternyata tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu itu pun jatuh terguling di tanah.

Sekar Mirah pun dengan cepat berlari ke arahnya, tetapi Sekar Mirah terlambat menahan tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Demikian pula beberapa orang prajurit Mataram. Sehingga tubuh itu sempat terguling di tanah.

Namun dalam pada itu, tubuh Ki Tumenggung Gending pun telah terlempar beberapa langkah pula. Tetapi tubuh itu pun terbanting dengan kerasnya. Terasa dada Ki Tumenggung Gending itu menjadi sesak. Beberapa orang prajurit Demak pun berlari-larian pula. Dua orang Senapati bawahannya pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun para prajurit Mataram tidak menyerang mereka. Sebagian dari mereka pun berusaha melindungi Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Sekar Mirah telah berada di sisinya pula.

“Kakang,” desis Sekar Mirah.

Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menarik nafas panjang. Dadanya memang terasa sakit, tetapi rasa sakit itu pun dapat diatasinya. Untunglah bahwa Agung Sedayu pun telah sempat meningkatkan daya tahannya, sehingga ilmu kebalnya pun telah meningkat pula. Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian telah duduk pula dengan menyilangkan kakinya. Kedua telapak tangannya yang terbuka terletak di kedua lututnya. Sejenak Ki Lurah Agung Sedayu duduk bersila sambil mengatur pernafasannya.

Dalam pada itu, pasukan Demak benar-benar berada dalam keadaan yang sangat gelisah. Seorang Senapati besar yang mendapat kepercayaan yang besar pula dari Kanjeng Adipati Demak, berada dalam keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Nampaknya Ki Tumenggung Gending itu pun telah terluka dalam yang sangat parah. Dari sela-sela bibirnya, darah mulai mengalir. Para prajurit Demak kemudian telah membawa Ki Tumenggung Gending itu ke belakang garis pertempuran. Seorang tabib terbaik dari Demak yang mengikuti pertempuran itu pun segera di panggil.

Tetapi tabib itu hanya dapat menarik nafas panjang. Sebelum ia berbuat sesuatu, keadaan Ki Tumenggung Gending sudah menjadi semakin sulit.

“Tidak ada gunanya, Kiai,” desis Ki Tumenggung Gending.

“Aku harus mencobanya, Ki Tumenggung.”  Tetapi Ki Tumenggung Gending menggeleng.

Sementara itu Kanjeng Adipati pun telah mendapat laporan tentang keadaan Ki Tumenggung Gending. Kanjeng Adipati yang bertempur dengan garangnya itu pun telah meninggalkan garis pertempuran untuk melihat keadaan Ki Tumenggung Gending.

“Ki Tumenggung,” desis Kanjeng Adipati.

Ki Tumenggung Gending itu masih sempat tersenyum. Dengan suara yang tidak begitu jelas ia pun berkata, “Hamba mohon diri, Kanjeng. Semoga Kanjeng berhasil.”

“Ki Tumenggung,” nada suara Kanjeng Adipati meninggi. Namun Ki Tumenggung Gending itu pun menjadi semakin lemah.

“Kita harus menyelesaikan perjuangan ini bersama, Ki Tumenggung,” berkata Kanjeng Adipati selanjutnya.

Tetapi Ki Tumenggung Gending sudah tidak dapat bertahan lagi. Ia pun kemudian menutup mata untuk selamanya.

Kematian Ki Tumenggung Gending telah mengguncang jantung Kanjeng Adipati Demak. Karena itu maka ia pun segera bangkit. Dengan kemarahan yang membakar jantungnya, Kanjeng Adipati itu pun meloncat kembali ke garis pertempuran. Dua orang senapati pengawalnya pun berlari-lari pula mengikutinya.

“Aku akan menghabisi para Senapati Mataram sampai orang yang terakhir.”

Kanjeng Adipati Demak itu pun kemudian bertempur bagaikan banteng ketaton. Para prajurit Mataram yang berani mencoba menghalanginya, akan segera terlempar dari arena pertempuran. Dengan demikian, bersama dengan dua orang Senapati pengawalnya, Kanjeng Adipati Demak itu rasa-rasanya telah berhasil mendesak seluruh pasukan Mataram itu bergeser surut.

Kegarangan Kanjeng Adipati Demak itu ternyata nampak oleh Kanjeng Panembahan Hanyakrawati. Meskipun Kanjeng Panembahan Hanyakrawati masih lebih muda dari Kanjeng Adipati Demak, namun Kanjeng Panembahan itu sudah ditempa oleh beberapa orang yang berilmu tinggi, sehingga Kanjeng Panembahan telah menjadi seorang yang pilih tanding.

“Eyang,” berkata Kanjeng Panembahan Hanyakrawati kepada Ki Patih Mandaraka, “Eyang lihat? Karena Paman Pangeran Singasari terluka, maka pasukan Mataram seperti sapu kehilangan suhnya, Eyang. Sementara Dimas Pangeran Puger dan Dimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil memimpin gelar di lambung pasukan, aku sendiri-lah yang akan memimpin induk pasukan ini.”

Ki Patih Mandaraka termangu-mangu sejenak. Tetapi memang sudah sepantasnya Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri yang turun ke medan. Meskipun demikian, Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Aku akan menjadi Senapati Pengapit, Wayah Panembahan.”

“Eyang sudah terlalu tua untuk turun langsung ke medan pertempuran.”

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku hanya akan menonton, apa yang wayah lakukan.”

“Baik. Tetapi aku berpesan, Eyang jangan terjun ke medan.”

Sementara itu, Pasukan Khusus Pengawal Raja pun segera mempersiapkan diri. Mereka akan berada di sekitar Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, yang akan memimpin langsung prajurit Mataram. Namun sebelum Kanjeng Panembahan maju ke medan, maka Kanjeng Panembahan telah mendapat laporan, bahwa Ki Tumenggung Gending, salah seorang Senapati besar dari Demak, telah terbunuh di medan perang oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Hamba, Kanjeng. Ki Lurah bersama istrinya sedang berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Saba Lintang.”

“Ya. Aku telah mengijinkannya.”

“Tetapi yang ditemuinya justru Ki Tumenggung Gending. Justru pada saat Ki Tumenggung Gending berusaha menyerang Pangeran Singasari yang sedang ditinggalkan oleh Kanjeng Pangeran Puger di arena.”

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk. Ia melihat sekilas. Tetapi hiruk-pikuk pertempuran kemudian telah menghalangi pandangannya.

“Jadi agaknya Kangmas Pangeran Puger mengamuk karena ia telah kehilangan Senapatinya yang terpercaya.”

“Ya. Agaknya memang demikian, Kanjeng.”

“Baiklah. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya.”

Tetapi demikian Kanjeng Panembahan Hanyakrawati bergerak ke garis pertempuran, terdengar suara sangkakala yang ditiup di atas gumuk kecil. Kemudian disahut oleh suara bende yang tertalu-talu.

“Wayah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “memang hari ini wayah masih belum diperkenankan memasuki arena pertempuran.”

“Ya, Eyang. Tetapi besok aku sendiri yang akan turun ke arena pertempuran. Aku sendiri akan menjumpai Kangmas Pangeran Puger. Aku masih akan berusaha membujuknya. Tetapi jika Kangmas Pangeran Puger benar-benar sudah tidak lagi dapat dicegah, apa boleh buat.”

Ki Patih Mandaraka memang sudah tidak mempunyai alasan yang cukup untuk mencegah agar Kanjeng Panembahan Hanyakrawati tidak langsung berhadapan dengan saudaranya sendiri. Tetapi sikap keras Kanjeng Pangeran Puger telah menutup kemungkinan-kemungkinan lain kecuali perang.

Di bawah bayang langit yang suram menjelang senja, maka kedua pasukan yang sedang bertempur itu pun mulai menarik diri. Kedua pasukan itu pun segera kembali ke pasanggrahan masing-masing.

Namun kanjeng Adipati Demak itu terkejut ketika ia melihat sosok tubuh yang terbujur di pendapa pasanggrahan Kanjeng Adipati. Sosok tubuh yang terbujur di samping tubuh Ki Tumenggung Gending.

“Siapa?”

Kanjeng Adipati tidak sabar menunggu jawabannya. Tanganya pun telah menyibak kain yang menutup tubuh yang terbujur itu.

“Ki Tumenggung Panjer?”

“Ya, Kanjeng.”

“Gila! Jadi Ki Tumenggung Panjer juga terbunuh hari ini?”

“Ya, Kanjeng.”

“Siapa yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer? Ketika aku menunggui Ki Tumenggung Gending meninggal, aku lupa bertanya, siapakah yang telah membunuhnya.”

Seorang prajurit yang lain berkata dengan wajah tertunduk, “Yang membunuh Ki Tumenggung Gending adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Senapati Mataram dari kesatuan Pasukan Khusus, Kanjeng.”

“Gila. Ini gila! Jadi yang membunuh Ki Tumenggung Gending hanya seorang lurah prajurit? Ki Tumenggung Derpayuda tidak berhasil membunuhnya. Tiba-tiba seorang lurah prajurit datang menghadapinya dan bahkan membunuhnya.”

“Ki Lurah Agung Sedayu bukan seperti kebanyakan lurah prajurit yang lain, Kanjeng. Ia memiliki kelebihan melampaui seorang Tumenggung.”

“Omong kosong. Jika ia memiliki kemampuan seorang Tumenggung, kenapa ia masih saja lurah prajurit?”

Prajurit yang memberikan laporan itu menggeleng sambil menjawab, “Hamba tidak tahu, Kanjeng.”

“Lalu, siapakah yang telah membunuh Ki Tumenggung Panjer?”

“Seorang laki-laki yang masih terhitung muda, Kanjeng.” jawab prajurit yang lain, “namanya Glagah Putih.”

“Glagah Putih?” Pangeran Puger pun mulai mengingat-ingat. Ia sudah pernah mendengar nama-nama itu. Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Pangeran Puger pun mencoba mengingat saat ia meninggalkan Mataram pergi ke Demak, dengan pengawalan yang kuat dari para prajurit Mataram. Mataram mencemaskan gangguan dari sekelompok orang yang mengaku dari Perguruan Kadung Jati. Tetapi orang-orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu, bahkan bersama dengan pemimpin tertingginya, kini berada dalam barisan yang sama dengan Kanjeng Pangeran Puger untuk melawan Mataram.

Tetapi Pangeran Puger tidak ingin terpengaruh oleh kenangannya itu. Karena itu Pangeran Puger pun kemudian berkata, “Kalian harus mengingat ciri-ciri dari orang-orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Besok aku sendiri yang akan membunuh mereka. Aku tidak tahu siapakah yang besok akan menjadi Senapati Agung di Mataram, setelah Paman Singasari terluka. Seharusnya Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak perlu merunduk mereka dengan cara yang kurang terhormat, meskipun kita berada di medan perang. Tetapi Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer tidak mau mendengarkan perintahku. Aku tahu bahwa mereka bermaksud baik. Tetapi aku adalah seorang ksatria Mataram, yang tidak seharusnya menodai darah ksatriaku.”

“Sebaiknya Kanjeng Adipati sekarang beristirahat saja lebih dahulu,” berkata seorang Senapati.

Wajah Kanjeng Pangeran Puger memang nampak muram. Dua orang Senapatinya yang terpercaya telah terbunuh pada hari yang sama. Bahkan sempat terlintas di angan-angannya, bahwa kematian Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer adalah pertanda buruk bagi pasukan Demak.

“Tidak. Masih ada aku. Masih ada Ki Saba Lintang. Masih ada Ki Patih Tandanegara.”

Meskipun pada saat Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer masih sangat berpengaruh terhadap Kanjeng Adipati maka rasa-rasanya Ki Patih Tandanegara itu seakan-akan telah dilupakan, namun ia adalah seorang Patih yang setia, sehingga ia tidak berkisar meninggalkan Demak.

Malam itu Kanjeng Adipati telah berbicara langsung dengan Ki Saba Lintang, bahwa sebaiknya Ki Saba Lintang langsung memegang peranan dalam pertempuran esok.

Ki Saba Lintang ternyata juga menaruh perhatian yang besar terhadap kematian Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang terjadi pada hari yang sama. Dengan demikian maka Ki Saba Lintang pun menyadari, bahwa Mataram memang mengerahkan kekuatan yang sangat besar untuk dengan sungguh-sungguh menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh Kanjeng Pangeran Puger.

Namun Ki Patih Tandanegara yang ikut pula dalam pembicaraan itu pun berkata, “Ampun Kanjeng Adipati. Jangan cemas, masih banyak para Tumenggung yang memiliki ilmu yang tinggi yang akan memimpin para prajurit di Demak. Masih banyak pula para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang akan mampu mengimbangi kemampuan para Senapati Mataram.”

Kanjeng Adipati itu pun mengangguk-angguk. Namun justru Ki Saba Lintang-lah yang mengerutkan dahinya. Ia pun telah kehilangan beberapa orangnya yang berilmu tinggi. Tetapi masih ada yang dapat diandalkannya untuk menghadapi orang-orang Mataram.

Namun yang dicemaskannya adalah pengaruh keberadaan seorang perempuan yang bersenjata tongkat baja putih. Keberadaan Sekar Mirah di medan pertempuran itu akan sangat mengganggu orang-orang yang telah menyatakan kesediaannya bertempur bersamanya melawan Mataram.

“Kanjeng Adipati,” berkata Ki Saba Lintang, “aku pun merasa bahwa sudah saatnya aku bersungguh-sungguh. Aku harus menghentikan Nyi Agung Sedayu yang juga memiliki senjata ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Entahlah, dari mana ia mencuri tongkat baja putih itu. Atau bahkan mungkin tongkat baja putihnya adalah palsu. Karena itu, jika aku berhasil dapat bertemu langsung dengan perempuan itu, maka aku akan dapat meyakinkan diriku sendiri bahwa aku adalah memang pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati yang besar ini. Aku akan mematahkan tongkat baja putih yang berada di tangan perempuan itu.”

“Jadi perempuan itu adalah istri Ki Lurah Agung Sedayu, yang telah membunuh Ki Tumenggung Gending?”

“Ya.”

“Bagus. Kau bunuh perempuan itu. Aku akan membunuh suaminya karena ia sudah membunuh Ki Tumenggung Gending. Kemudian aku pun akan membunuh laki-laki yang terhitung masih muda yang bernama Glagah Putih, yang telah membunuh Ki Tumenggung Panjer.”

“Glagah Putih adalah sepupu Ki Lurah Agung Sedayu,” sahut Ki Saba Lintang yang pernah bertualang di Tanah Perdikan Menoreh meskipun selalu gagal.

Namun Ki Saba Lintang yang telah menempa diri di bawah bimbingan seorang yang berilmu sangat tinggi yang hidup di sebuah goa di lereng Gunung Telamaya, telah membuatnya menjadi seorang yang pilih tanding. Pertapa itu telah menempanya dengan berbagai ilmu kanuragan yang rumit. “Balaskan dendamku,” berkata pertapa itu. “Aku sendiri sudah kehilangan kesempatan untuk menghukum orang-orang Mataram yang bengis itu. Aku tidak mempunyai dukungan kekuatan yang memadai.”

“Apa yang telah dilakukan oleh orang-orang Mataram itu?”

“Seorang Pangeran dari Mataram telah membunuh guruku.”

“Pangeran siapa?”

“Raden Rangga.”

“Raden Rangga? Raden Rangga sudah lama tidak ada lagi.”

“Aku tahu. Tetapi kebencianku kepada orang-orang Mataram tidak dapat aku redam lagi.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apa yang sudah dilakukan oleh Raden Rangga terhadap Kakek Guru?”

“Raden Rangga memaksa Guru menghentikan tapanya.”

“Apakah tapa Kakek Guru itu dianggap mengganggu Pangeran yang aneh itu? Pangeran yang lebih sering di sebut Raden Rangga, yang mempunyai kesaktian tidak terbatas itu?”

“Sebenarnya Guru tidak mengganggu Raden Rangga itu sendiri. Ketika Raden Rangga lewat di sebelah bukit tempat Guru bertapa, ia menerima pengaduan dari rakyat beberapa padukuhan yang dilewatinya, bahwa karena Guru bertapa di bukit itu maka udara di sekitarnya menjadi sangat panas. Pepohonan menjadi layu dan bahkan kering. Sawah-sawah tidak dapat ditanami, sehingga tanah yang luas di sekitar bukit itu menjadi tanah yang kering-kerontang. Tidak selembar rumput pun dapat tumbuh.”

“Apa yang kemudian dilakukan oleh Raden Rangga?”

“Raden Rangga mendatangi Guru. Raden Rangga yang masih muda itu minta Guru menghentikan tapanya. Tentu saja Guru berkeberatan. Ia menganggap Raden Rangga sebagai seorang anak yang datang mengganggunya. Namun ternyata bahwa Raden Rangga bersungguh-sungguh, sehingga keduanya sepakat untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan perang tanding. Mereka memilih sebatang pohon randu alas sebagai arena perang tanding itu.”

“Randu Alas?”

“Ya. Mereka akan berperang tanding di antara dahan-dahan dan cabang pohon randu alas itu.”

“Mereka benar-benar berperang tanding di atas pohon itu?”

“Ya. Perang tanding yang sangat dahsyat. Semua daun, ranting dan bahkan cabang-cabang pohon randu alas itu pun runtuh sampai dahan yang terakhir.”

“Raden Rangga itu akhirnya dapat mengalahkan Kakek Guru?”

Pertapa itu menarik nafas panjang. Katanya, “Itulah yang sangat menyakitkan hatiku. Pada saut itu aku baru menguasai ilmuku sampai tataran terakhir, tetapi masih belum tuntas. Karena itu ketika guruku terbunuh, aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika guruku saja tidak dapat menandingi kemampuan Raden Rangga, apalagi aku pada waktu itu.”

“Kemudian Guru menyempurnakan ilmu Guru tanpa bimbingan?”

“Ya. Tetapi semua dasar-dasarnya sudah aku kuasai. Aku tinggal menyempurnakan dan mengembangkannya. Bahkan aku merasa bahwa apa yang aku kuasai sekarang lebih baik dari apa yang dikuasai oleh Guru pada waktu itu. Bahkan seandainya Raden Rangga itu masih ada sekarang, aku ingin menjajagi ilmunya yang dikatakan orang tidak ada batasnya itu.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk penuh harap, bahwa ia pun akan memiliki ilmu yang akan mampu menandingi ilmu Raden Rangga itu.

Tetapi berbeda dengan pertapa yang menjadi gurunya, Ki Saba Lintang tidak mempunyai waktu sebanyak gurunya untuk menyempurnakan dan mengembangkan ilmunya. Karena itu maka Ki Saba Lintang masih belum mampu memiliki tingkat kemampuan sebagaimana pertapa yang tinggal di goa lereng Bukit Telamaya itu.

Meskipun demikian, kemajuan ilmu Ki Saba Lintang sudah memberinya kebanggaan. Ia yakin bahwa ia adalah orang terbaik di Perguruan Kedung Jati. Bahkan jika perempuan yang bernama Sekar Mirah itu datang kepadanya dengan tongkat baja putihnya, ia akan menyambutnya dengan penuh keyakinan akan dapat mengalahkannya, dan bahkan menguasai tongkat baja putihnya itu pula.

Tetapi Ki Saba Lintang tidak tahu bahwa pada saat-saat terakhir, Nyi Lurah Agung Sedayu itu telah mengasah ilmunya sehingga sampai pada tataran tertinggi. Dalam samadinya serta dalam penempaan diri, gurunya, Ki Sumangkar, seakan-akan telah datang kepadanya serta menumpahkan segala ilmunya itu kepadanya. Bukan hanya bekal yang diberikan oleh Ki Sumangkar, tetapi Sekar Mirah telah dimatangkan pula oleh Ki Lurah Agung Sedayu, serta dalam latihan bersama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan, ilmunya pun menjadi semakin lengkap.

Demikianlah, maka Ki Saba Lintang pun telah mengusung dua beban di pundaknya. Selain keinginannya yang melambung tinggi untuk mendapatkan kamukten lewat dukungannya kepada Demak, ia juga dibebani oleh pertapa di Bukit Telamaya itu untuk membalaskan dendamnya kepada orang-orang Mataram, terutama kepada saudara-saudara Raden Rangga. Di antaranya tentu Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri.

Malam itu Ki Saba Lintang telah memutuskan bahwa di keesokan harinya ia harus terjun langsung di pertempuran, di antara beberapa orang yang berilmu tinggi yang sudah bergabung dengan perguruan terbesar di bumi Mataram, Perguruan Kedung Jati. Namun dalam pada itu, Kanjeng Adipati Demak memutuskan, bahwa Demak tidak akan merubah-rubah gelarnya. Besok pagi Demak masih akan turun dengan gelar Gajah Meta.

Sementara itu para Senapati di pasukan Mataram pun telah mendapat perintah, bahwa besok yang akan memimpin langsung pasukan Mataram adalah Kanjeng Panembahan Hanyakrawati sendiri. Pangeran Singasari yang terluka memang tidak akan dapat memimpin pasukan Mataram di keesokan harinya. Karena itu maka Pangeran Singasari itu hanya dapat berpesan, “Hati-hatilah, Angger Panembahan. Ada orang-orang yang licik di dalam pasukan Demak. Mereka berpegang pada tatanan perang tanpa menghiraukan pertarungan Senapati yang sedang berlangsung.”

“Aku mengerti, Paman. Maksud Paman, sebagaimana terjadi pada Paman sendiri?”

“Ya.”

“Aku akan berada di medan bersama para Senapati pengawalku. Mereka akan mencegah kelicikan-kelicikan seperti itu. Yang telah terjadi pada Paman merupakan pelajaran yang berharga, sehingga tidak akan aku abaikan.”

“Aku akan menonton di belakang, Wayah Panembahan,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Pangeran Singasari menarik nafas panjang. Meskipun sebenarnya Ki Patih Mandaraka sudah terlalu tua untuk berada di medan pertempuran, tetapi ia tentu akan didampingi oleh Senapati-Senapati pengawalnya yang masih lebih muda.

Sedangkan Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil masih akan tetap berada di gelar pasukan sebelah-menyebelah pasukan induk. Panembahan Hanyakrawati pun tidak akan merubah gelarnya pula. Gelar Cakra Byuha, yang ternyata memiliki kelebihan dari gelar Gedong Minep yang lebih banyak bertahan.

Menjelang tengah malam, para pemimpin pasukan dari kedua belah pihak pun menyempatkan diri untuk beristirahat. Sementara itu sekelompok prajurit masih sibuk mengurus kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur di pertempuran. Sementara itu Ki Patih Mandaraka sendiri masih merenungi tubuh-tubuh yang terbujur membeku, yang akan dimakamkan dengan upacara keprajuritan.

“Silahkan beristirahat, Ki Patih,” berkata seorang Senapati yang bertugas.

“Kau sendiri tidak beristirahat?”

“Aku besok tidak turun ke medan. Malam ini aku bertugas.”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Katanya, “Aku pun besok tidak bertugas. Aku hanya akan menonton permainan bunuh-bunuhan itu.”

Senapati itu mengerutkan dahinya. Namun Senapati itu dapat mengerti perasaan Ki Patih Mandaraka yang sudah menjadi semakin tua. Sejak pertempuran itu pecah, maka setiap kali ia melihat wajah Ki Patih itu muram.

Dalam pada itu di perkemahannya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah memulihkan keadaannya. Ki Lurah Agung Sedayu sudah dapat menguasai kesulitan di dalam tubuhnya. Sementara itu luka di bahu Sekar Mirah sudah tidak terasa mempengaruhinya lagi. Bahkan obat-obatan terbaik yang diberikan oleh Ki Lurah Agung Sedayu seakan-akan telah menyembuhkan luka itu. Bahkan seandainya Sekar Mirah harus bertempur melawan Ki Saba Lintang, luka itu tidak akan mengganggunya.

“Mirah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, “Kanjeng Adipati Demak telah kehilangan dua orang Senapati Pengapitnya yang sangat dipercayainya. Karena itu, besok mungkin sekali yang akan hadir di medan adalah Ki Patih Tandanegara dan Ki Saba Lintang itu sendiri. Para pemimpin dari mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati yang lain, tentu merasa tidak akan banyak mempunyai kesempatan, karena Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer yang mereka agungkan itu sudah terbunuh.”

“Ya, Kakang. Besok aku berharap akan dapat bertemu langsung dengan Ki Saba Lintang.”

“Kesempatanmu untuk membuktikan, bahwa bukan Ki Saba Lintang-lah yang pantas disebut pemimpin Perguruan Kedung Jati.”

“Ya, Kakang.”

“Untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu, agar kau tidak kehabisan tenaga selama kau bertempur melawannya, jangan lupa, butir-butir reramuan obat yang aku buat itu.”

“Ya, Kakang. Tadi siang aku juga sudah menelannya sebutir.”

“Kau rasakan pengaruhnya?”

“Ya, Kakang.”

“Jangan menunggu tenagamu menurun. Kau dapat menelannya tiga butir atau empat butir sehari. Besok, sebelum kita bergerak ke medan, kemudian setelah matahari sepenggalah, berikutnya pada saat matahari melampaui puncaknya, dan berikutnya lagi pada saat matahari menjadi semakin rendah. Jika Ki Saba Lintang mempergunakan ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati yang murni, maka kau pun dapat memamerkannya. Aku yakin bahwa apa yang pernah kau warisi dari Ki Sumangkar sudah sangat lengkap. Kau pun telah mematangkannya. Tetapi jika Ki Saba Lintang melengkapi ilmunya dengan aliran yang lain, jangan segan-segan melengkapi ilmumu yang kau warisi dari Perguruan Kedung Jati lewat Ki Sumangkar itu dengan unsur-unsur lain, yang dapat membuatmu semakin mapan.”

“Ya, Kakang. Aku mengerti.”

Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah memanfaatkan waktu mereka untuk beristirahat.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah beristirahat pula, setelah mereka sempat mempertajam ingatan mereka atas isi kitab yang mereka terima lewat isyarat dari Kiai Namaskara.

Namun baik Glagah Putih maupun Rara Wulan yang pernah berlatih bersama Nyi Lurah itu pada hari-hari terakhir, menganggap bahwa ilmu Sekar Mirah itu sudah cukup memadai. Pada saat-saat Nyi Lurah itu meningkatkan daya tahan tubuhnya pada tataran tertinggi, yang dimatangkan oleh pengaruh ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, maka daya tahan Nyi Lurah itu telah berada pada lapisan ilmu kebal, meskipun belum sekokoh ilmu kebal Ki Lurah Agung Sedayu sendiri.

Nyi Lurah pun telah mampu melontarkan getar puncak ilmu Perguruan Kedung Jati, dengan atau tanpa tongkat baja putihnya, sebagaimana unsur kewadagannya. Terutama inti panasnya api. Namun unsur-unsur yang lainnya akan dapat pula terangkat untuk saling mendukung.

Malam pun menjadi semakin dalam. Suasana menjadi semakin hening, kecuali di pemakaman. Para prajurit yang bertugas masih sibuk memakamkan kawan-kawan mereka yang gugur. Bahkan Ki Patih Mandaraka pun berada di makam pula, mendampingi Senapati yang bertugas.

Sementara itu di perkemahan, para Senapati dan prajurit yang besok pagi akan turun ke medan sedang beristirahat sebaik-baiknya. Besok mereka harus bangun pagi-pagi, mempersiapkan diri, kemudian maju ke medan perang. Beberapa kelompok prajurit, baik yang berada di induk pasukan maupun yang berada di gelar samping, yang telah beristirahat di hari itu, akan dapat menjadi tenaga yang lebih segar dari kawan-kawannya. Sementara itu para prajurit cadangan pun telah diturunkan pula ke medan.

Ketika langit menjadi merah menjelang fajar, para prajurit di kedua belah pihak telah mulai mempersiapkan diri. Ada yang menyempatkan diri mandi di sungai. Tetapi ada yang hanya mencuci muka saja. Mereka pun kemudian menyempatkan diri untuk makan, agar mereka sempat beristirahat sejenak setelah makan.

Ketika langit menjadi lebih terang, maka para prajurit itu pun mulai bergerak ke kesatuan mereka masing-masing. Pangeran Puger muda serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil tetap memimpin gelar di samping gelar pasukan induk, yang akan langsung dipimpin oleh Panembahan Hanyakrawati sendiri.

Sejenak kemudian maka terdengar isyarat yang pertama. Suara sangkakala di atas gumuk kecil, disahut oleh gaung bende yang bertalu untuk yang pertama kalinya. Kedua pasukan yang akan bertempur di medan itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Mereka telah memeriksa senjata-senjata serta senjata cadangan mereka. Ikat pinggang mereka, pakaian mereka dan ikat kepala mereka, serta ciri-ciri keprajuritan serta kesatuan mereka masing-masing.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar