Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 381

Buku 381

Karena itu maka Kanjeng Pangeran Puger itu pun kemudian berkata, “Ki Tumenggung Derpayuda. Ki Tumenggung adalah utusan bersama dengan beberapa orang narapraja yang lain. Aku hargai kedudukan Ki Tumenggung. Namun sebagai utusan, sebaiknya Ki Tumenggung tidak mengambil sikap yang mati. Sampaikan saja kepada Adimas Panembahan jawabku. Aku akan datang kemudian. Terserah kepada Adimas Panembahan Hanyakrawati, bagaimana Adimas Panembahan menanggapi jawabku itu.”

“Kanjeng Adipati, jawab Kanjeng Adipati itu bagiku merupakan pernyataan bahwa Kanjeng Adipati tidak bersedia pergi ke Mataram bersamaku. Baik, aku akan menyampaikannya kepada Kanjeng Panembahan. Tetapi Kanjeng Adipati tentu dapat memahami arti dari sikap Kanjeng Adipati itu. Dengan demikian, maka Demak telah memberontak terhadap Mataram.”

Jantung Kanjeng Adipati Demak seakan-akan telah berhenti berdetak ketika ia disebut telah memberontak kepada Mataram Bagaimana mungkin hal itu terjadi. Mataram-lah yang telah mengangkatnya menjadi Adipati di Demak. Mataram-lah yang telah memberi kekuasaan. Mataram-lah yang telah memberikan segala-galanya kepadanya.

Tetapi ternyata Ki Tumenggung Gending-lah yang menjawab, “Jika Mataram mengartikan sikap Kanjeng Adipati itu sebagai satu pemberontakan, maka kami pun akan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Biarlah Mataram mengambil sikap apapun. Tetapi kami sudah menentukan sikap.”

“Bagus, Ki Tumenggung Gending,” sahut Ki Tumenggung Derpayuda, “aku tidak akan pernah melupakan pertemuan ini. Aku tidak akan melupakan sikap dan kata-kata kalian. Maka jika aku datang kembali ke Demak dalam kedudukanku sebagai prajurit, maka mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.”

Ki Tumenggung Gending pun menyahut, “Aku akan menunggu, Ki Tumenggung. Bahkan aku tidak sabar lagi menunggu sampai besok lusa.”

Hampir saja Ki Tumenggung Derpayuda kehilangan kendali. Namun ketika ia memandang wajah Kanjeng Adipati Demak yang sangat tegang, maka Ki Tumenggung pun menyadari sepenuhnya bahwa ia tidak lebih seorang utusan untuk menyampaikan titah Kanjeng Sinuhun di Mataram, tanpa wewenang lebih jauh.

Karena itu maka Ki Tumenggung Derpayuda itu pun kemudian berkata, “Kanjeng Adipati, jika demikian segala sesuatunya sudah jelas. Karena itu maka kami akan mohon diri. Malam ini kami akan bermalam di Demak. Besok pagi-pagi sekali kami akan meninggalkan Demak, kembali ke Mataram.”

“Silahkan, Ki Tumenggung. Sampaikan jawabku kepada Adimas Panembahan Hanyakrawati.”

“Baik, Kanjeng Adipati. Sekarang semuanya sudah jelas, sehingga Kanjeng Panembahan Hanyakrawati tidak akan ragu-ragu mengambil langkah.”

Ki Tumenggung Derpayuda bersama ketiga Tumenggung yang menyertainya serta Raden Yudatengara pun segera meninggalkan istana Kanjeng Adipati di Demak.

Segala sesuatunya kemudian berjalan menurut rencana. Ki Tumenggung akan bermalam di sebuah penginapan yang terhitung baik di Demak. Penginapan yang juga sudah direncanakan.

“Mudah-mudahan masih ada bilik yang kosong di penginapan itu,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda.

“Tentu masih ada,” sahut Raden Yudatengara, “penginapan itu termasuk penginapan yang mahal, sehingga jarang sekali menjadi penuh.”

Sebenarnyalah ketika mereka sampai di penginapan itu, maka petugas di penginapan itu pun menerima mereka dengan sangat baik dan menyiapkan tiga buah bilik bagi lima orang yang akan menginap itu.

Di penginapan itu, seorang petugas sandi telah menemuinya. Ketika Ki Tumenggung Derpayuda itu pergi ke pakiwan yang berada di longkangan, maka petugas sandi itu pun memberitahukan kedatangan Ki Tumenggung Panjer dan Ki Tumenggung Gending dengan tergesa-gesa, karena dua orang prajurit telah memanggil mereka lewat pintu gerbang pungkuran.

“Nampaknya sudah tidak ada lubang sama sekali di sekitar Kanjeng Pangeran Puger. Jika saja Raden Yudatengara masih berada di Demak, mungkin ada celah-celah yang dapat ditembus untuk mengintip kegiatan-kegiatan terakhir di istana kadipaten,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda kepada Raden Yudatengara ketika kemudian kelima orang itu duduk-duduk di serambi.

“Aku tidak dapat menahan diri dan berpura-pura mengikuti arus. Karena itu maka datang waktunya para pemimpin di Demak berniat membunuhku. Untunglah aku dapat melarikan diri karena pertolongan petugas sandi dari Mataram suami istri.”

“Glagah Putih dan Rara Wulan, maksud Raden?”

“Ya.”

“Baiklah. Tetapi malam ini kita harus berhati-hati. Namun aku percaya kepada para petugas sandi yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

Dari petugas sandi yang menemuinya, Ki Tumenggung Derpayuda mengetahui bahwa Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya malam itu juga berada di dalam kota.

Sebenarnyalah malam itu penginapan yang dipergunakan oleh Ki Tumenggung Derpayuda dengan empat orang yang menyertainya mendapat pengamatan yang sangat ketat oleh para petugas sandi dari Mataram. Di antara mereka termasuk Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah sendiri.

Namun sampai menjelang pagi, tidak ada tanda-tanda bahwa ada gerakan pasukan Demak yang akan mencelakai lima orang utusan Kanjeng Panembahan Hanyakrawati itu. Tetapi sebelum fajar, dua orang penghubung petugas sandi telah berusaha menemui Ki Tumenggung Derpayuda.

Ki Tumenggung Derpayuda pun kemudian keluar dari biliknya dan pergi ke pakiwan. Di pakiwan, penghubung itu memberi laporan bahwa sekelompok prajurit berkuda telah bergerak keluar kota. Mereka telah mempersiapkan satu jebakan tidak terlalu jauh dari kota.

“Dimana mereka akan menjebak kami?”

“Di sebuah jembatan dan tikungan. Mereka menebang sebatang pohon di pinggir jalan dan menyilangkannya di ujung jembatan. Menurut dugaan kami, mereka akan membiarkan Ki Tumenggung berlima memasuki jembatan di tikungan itu. Namun kuda Ki Tumenggung akan terhenti di jembatan. Demikian Ki Tumenggung berniat berputar balik, maka para prajurit Demak akan menutup ujung jembatan yang lain. Sementara itu, sungai di bawah jembatan itu adalah sungai yang sangat dalam. Sementara airnya hanya mengalir tidak lebih setinggi mata kaki. Di sana-sini berserakan bebatuan. Ada yang besar, ada yang kecil.”

“Apakah kawan-kawanmu sudah tahu?”

“Sudah, Ki Tumenggung, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada tidak jauh dari jembatan itu.”

“Bagaimana dengan Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Seorang penghubung telah memberikan laporan kepada Ki Lurah.”

“Apa yang harus kami lakukan besok pagi?”

Penghubung itu pun dengan agak ragu menjawab, “Ki Tumenggung, kami belum menerima perintah dari Ki Lurah. Tetapi jika tidak ada perintah yang lain, maka sebaiknya Ki Tumenggung menjaga agar Ki Tumenggung tidak masuk ke jembatan di tikungan itu.”

“Baiklah. Kami akan berhati-hati jika kami sampai di jembatan, agar kami tidak terjebak masuk ke dalamnya. Tetapi jika ada kesempatan, usahakan memberi kami isyarat.”

“Baik, Ki Tumenggung. Yang perlu kami ketahui, kapan Ki Tumenggung akan keluar dari gerbang kota?”

“Kami akan berangkat pagi-pagi sekali menjelang matahari terbit.”

“Jika demikian, kami harus sudah siap di sekitar jembatan itu sebelum matahari terbit. Kami harus menempatkan diri kami sebaik-baiknya, karena para prajurit Demak tentu juga berada di sekitar jembatan itu. Mungkin kami akan berada di belakang para prajurit Demak, sehingga kami akan sampai di jembatan itu beberapa saat sesudah pasukan Demak.”

“Baik. Kami akan berusaha mengulur waktu.”

“Tetapi hati-hati, Ki Tumenggung. Jangan sampai terdorong memasuki jembatan. Jika Ki Tumenggung terjebak di jembatan, maka Ki Tumenggung akan mengalami kesulitan untuk keluar. Di kedua mulut jembatan itu tentu akan dipagar dengan ujung senjata oleh para prajurit Demak.”

“Terima kasih atas keterangan kalian.”

Sejenak kemudian maka petugas sandi itu pun telah meninggalkan penginapan.

Pagi itu, waktu kelima utusan dari Mataram itu tidak terlalu banyak. Mereka pun segera berbenah diri. Seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, maka sebelum matahari terbit, kelima orang itu pun telah meninggalkan penginapan.

“Pagi-pagi sekali Tuan-Tuan meninggalkan penginapan?” bertanya petugas di penginapan itu.

“Ya. Kami masih harus menyelesaikan tugas kami yang lain,” jawab salah seorang dari para Tumenggung itu.

Demikianlah, kuda-kuda mereka pun berpacu. Tidak ada kesan apapun yang nampak di dalam kota. Bahkan ketika mereka melewati pintu gerbang pun tidak nampak adanya satu gerakan pasukan keluar kota.

Namun Ki Tumenggung Derpayuda itu harus berhati-hati. Karena tidak ada pesan-pesan berikutnya, maka Ki Tumenggung menganggap bahwa Ki Lurah sudah sependapat dengan pendapat para prajurit yang akan mempersiapkan diri di jembatan.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Derpayuda sengaja tidak melarikan kuda mereka terlalu cepat. Mereka harus berhati-hati agar mereka tidak terjebak masuk ke dalam jembatan di tikungan. Letak jembatan itu tidak terlalu jauh dari pintu gerbang kota.

Ketika mereka melewati sebuah simpang empat, maka Ki Tumenggung itu semakin memperlambat lari kudanya. Ki Tumenggung Derpayuda dan bahkan yang lain pun ingat, bahwa di belakang tikungan di depan mereka terdapat sebuah jembatan yang terhitung panjang. Sungai di bawah jembatan itu sangat dalam. Tetapi arus sungai itu sangat kecil, sehingga tidak lebih dari pergelangan kaki. Namun di dasar sungai itu berserakan bebatuan besar dan kecil.

“Mungkin jembatan di belakang tikungan itulah yang dimaksud,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda kepada kawan-kawan seperjalanannya.

“Ya,” sahut Raden Yudatengara yang lebih mengenal tempat itu, “di belakang tikungan itu memang terdapat sebuah jembatan yang panjang, di atas sebuah sungai yang sangat dalam, tetapi airnya hanya sedikit sekali.”

Sebenarnyalah, demikian mereka menikung, maka mereka pun segera melihat sebuah jembatan. Untunglah bahwa Ki Tumenggung Derpayuda telah mendapat keterangan tentang jembatan itu. Jika tidak, maka mereka tentu tidak memperhatikan bahwa di ujung jembatan yang lain memang terdapat sebatang pohon yang roboh menyilang mulut jembatan.

Demikian Ki Tumenggung mendekati jembatan, maka seorang laki-laki dengan pakaian yang kurang pantas, serta rambut terurai tanpa ikat kepala, berjalan di atas jembatan mendekat ke mulut jembatan, menyongsong Ki Tumenggung Derpayuda.

Ki Tumenggung Derpayuda sudah menduga bahwa orang itu sama sekali bukan orang gila yang menggelandang di sepanjang jalan. Tetapi orang itu adalah salah seorang petugas sandi yang akan menegaskan isyarat yang pernah diberikannya.

Orang yang ujudnya seperti orang gila itu pun kemudian menyongsong orang-orang berkuda yang akan memasuki mulut jembatan. Bahkan sambil mengacung-acungkan sebuah golok yang besar, orang itu berteriak, “Pergi! Pergi! Jangan ganggu rumahku.”

Ki Tumenggung Derpayuda pun menarik kekang kudanya sebelum memasuki jembatan, karena orang yang seperti orang gila itu berdiri di tengah-tengah mulut jembatan. Ki Tumenggung Derpayuda pun segera meloncat turun. Demikian pula keempat orang yang bersamanya pergi ke Demak.

“Inikah jembatan yang dimaksud?” bertanya Ki Tumenggung.

“Ya,” jawab orang itu, “di sekitar tempat ini terdapat banyak prajurit Demak. Bahkan di seberang sungai. Mereka akan segera berdatangan. Untunglah Ki Tumenggung sempat kami hubungi sehingga tidak terjebak ke tengah-tengah jembatan itu.”

“Baiklah. Aku akan menunggu mereka datang. Tetapi dimana pasukan Mataram?”

Orang yang berpenampilan seperti orang gila itu pun menjawab, “Mereka berada tepat di belakang pasukan Demak. Tetapi mereka memerlukan waktu sesaat untuk terjun ke arena.”

Ki Tumenggung Derpayuda itu pun mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, beberapa orang pengawas dari Demak telah menggeretakkan giginya, melihat orang gila itu tiba-tiba saja sudah berada di jembatan.

“Dari mana orang itu datang?” bertanya seorang lurah prajurit dari Demak.

“Entahlah. Mungkin dari balik pohon yang rebah itu.”

“Kenapa mereka yang berada di seberang tidak mencegah orang gila itu memasuki jembatan?”

“Agaknya mereka menganggap orang gila itu tidak akan mengganggu.”

“Tetapi orang itu telah menghentikan Ki Tumenggung Derpayuda, sehingga kelima orang itu tidak memasuki jembatan. Jika mereka memasuki jembatan itu, maka mereka akan terjebak. Sehingga mereka tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan kita.”

Keduanya terdiam ketika tiba-tiba saja seorang merunduk ke samping mereka sambil berkata, “Siapakah orang itu?”

“Orang gila.”

“Kalian-lah yang gila. Orang itu tentu petugas sandi dari Mataram yang berusaha menyelamatkan Ki Tumenggung Derpayuda.”

“He?” para pengawas itu terkejut.

“Tidak ada gunanya lagi menunggu. Kelima orang itu tentu tidak akan memasuki jembatan itu. Orang yang kau sangka gila itu tentu sudah memberikan beberapa peringatan.”

“Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Tidak ada gunanya menunggu. Ki Tumenggung Gending memutuskan untuk segera bergerak.”

“Ki Tumenggung Gending sendiri akan terjun ke arena?”

“Ya. Juga Ki Tumenggung Panjer. Selain mereka, maka akan turun pula beberapa orang berilmu tinggi dari lingkungan Perguruan Kedung Jati.”

“Jadi siapa saja?”

“Ada beberapa orang Tumenggung terbaik dari Demak, di samping Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Ada beberapa orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati. Betapapun tingginya ilmu dari kelima orang itu, mereka tidak akan mampu bertahan sesilir bawang.”

“Dimana para Tumenggung itu sekarang?”

“Mereka telah bergerak. Mereka akan segera muncul di sebelah jembatan. Mereka akan membuat kejutan. Baru kemudian kita akan mengerahkan para prajurit untuk mengepung kelima orang itu, agar mereka tidak dapat melarikan diri lagi.”

“Apakah kita tidak akan menggiringnya masuk ke dalam jembatan?”

“Tentu akan dicoba. Tetapi mereka adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga sulit untuk dapat menggiring mereka.”

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh prajurit itu, maka tiba-tiba saja dari balik gerumbul-gerumbul liar di pinggir jalan serta dari balik tanggul sungai itu, telah bermunculan beberapa orang. Mereka langsung melangkah mendekati Ki Tumenggung Derpayuda dan keempat kawannya, serta seorang prajurit sandi yang berpenampilan seperti orang gila itu.

Ki Tumenggung Derpayuda sebenarnya tidak terkejut. Tetapi para utusan dari Mataram itu telah memberikan kesan, seakan-akan mereka telah terkejut melihat kehadiran beberapa orang itu.

Sementara itu langit pun sudah menjadi cerah. Matahari sudah memanjai naik melewati kaki langit.

“Selamat pagi, Ki Tumenggung Derpayuda,” sapa Ki Tumenggung Gending, “selamat pagi pula para Tumenggung dari Mataram, serta Raden Yudatengara yang telah berkhianat terhadap Demak.”

“Selamat pagi, Ki Tumenggung Gending,” sahut Ki Tumenggung Derpayuda, “sepagi ini Ki Tumenggung dan beberapa orang yang lain telah berada di tempat ini.”

“Kami belum sempat memberikan penghormatan kepada Ki Tumenggung kemarin. Sebagai utusan dari Mataram, maka Ki Tumenggung memang pantas mendapat penghormatan. Sekarang, pagi ini, kami memerlukan untuk menunggu Ki Tumenggung di sini. Kami akan memberikan penghormatan terakhir kepada Ki Tumenggung.”

“Penghormatan terakhir?” bertanya Ki Tumenggung Derpayuda dengan nada bimbang.

“Ya. Penghormatan terakhir, sebelum Ki Tumenggung Derpayuda serta utusan yang lain meninggalkan Demak.”

“Terima kasih. Tetapi apa artinya batang pohon yang menyilang di mulut jembatan itu?”

“Semalam di sini ada hujan angin yang besar. Ada prahara dan angin puting beliung. Karena itu maka ada pohon yang rebah.”

Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda itu pun tertawa. Katanya, “Aku merasa diperlakukan seperti waktu aku masih kanak-kanak. Tetapi baiklah, aku percaya bahwa semalam ada hujan angin yang deras. Ada prahara dan ada angin puting beliung. Selain pohon itu, apa lagi yang roboh, Ki Tumenggung?”

“Mungkin di padukuhan itu ada beberapa rumah yang roboh. Mungkin pepohonan dan pintu gerbang padukuhan.”

“Aku ikut berprihatin. Mudah-mudahan prahara itu tidak akan terjadi lagi di sini. Biarlah lain kali prahara dan angin puting beliung itu mengangkat rumah Ki Tumenggung Gending.”

Wajah Ki Tumenggung Gending menjadi tegang. Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda yang memang berusaha mengulur waktu berkata, “Jangan marah, Ki Tumenggung. Aku hanya bergurau. Nampaknya Ki Tumenggung jarang sekali bercanda. Jangan terlalu tegang menantang kehidupan ini, Ki Tumenggung. Nanti Ki Tumenggung akan cepat menjadi tua.”

Namun Ki Tumenggung Gending memang tidak terbiasa bercanda. Dengan nada berat ia pun berkata, “Seharusnya kau berdoa saja, Ki Tumenggung Derpayuda. Hadapilah saat-saat terakhirmu dengan bersungguh-sungguh. Kau tidak akan dapat tertawa jika kau tahu apa yang akan terjadi padamu.”

“Apa yang akan terjadi? Bukankah aku telah menerima penghormatan dari para pemimpin di Demak?”

“Maaf, Ki Tumenggung Derpayuda. Kedatanganmu di Demak ternyata tidak disukai oleh para pemimpin Demak. Kanjeng Adipati Demak pun tidak menyukainya. Karena itu maka Kanjeng Adipati di Demak telah memerintahkan aku, Ki Tumenggung Panjer, beberapa orang Tumenggung yang lain, bahkan para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati, untuk menghentikan perjalanan Ki Tumenggung.”

“Menghentikan perjalananku? Untuk apa?”

“Sebaiknya Ki Tumenggung tidak usah meninggalkan Demak.”

“O. Jadi kalian akan menghilangkan jejak keberadaanku di Demak. Begitu?”

“Kau cerdas, Ki Tumenggung.”

“Tetapi tidak ada gunanya. Seorang petugas sandi tahu bahwa aku sudah berada di Demak. Karena itu, jika aku tidak kembali hari ini, maka Mataram akan mengambil langkah-langkah penyelamatan. Aku diutus oleh Kanjeng Sinuhun di Mataram. Karena itu maka Kanjeng Sinuhun pun akan menjamin keselamatanku. Karena itu, kalian tidak akan dapat menghilangkan jejakku di Demak ini.”

“Mimpi yang bagus, Ki Tumenggung. Meskipun demikian, seandainya Kanjeng Sinuhun di. Mataram tahu bahwa kami telah menangkap dan bahkan melenyapkan Ki Tumenggung, kami tidak akan berkeberatan. Pada dasarnya kami sudah siap untuk menghadapi Mataram. Bahkan sebagian dari pasukan kami sudah bergerak ke Selatan.”

“Jadi Demak memang sudah siap untuk memberontak?”

“Ya.”

“Bagus. Aku akan menyampaikannya kepada Kanjeng Panembahan Hanyakrawati, bahwa Demak memang sudah siap untuk memberontak.”

“Kau tidak akan pernah dapat menyampaikan kabar buruk itu, Ki Tumenggung.”

“Kenapa?”

“Sudah aku katakan, kami akan melenyapkan jejak keberadaan Ki Tumenggung di Demak. Kami sama sekali tidak berkeberatan jika hal ini diketahui oleh Mataram.”

“Ki Tumenggung, kami hanyalah utusan. Kalian tidak dapat berbuat demikian terhadap utusan Kanjeng Sinuhun.”

“Tatanan itu sudah usang, Ki Tumenggung Derpayuda. Tatanan yang berlaku sekarang di Demak adalah, utusan dari Mataram harus ditangkap dan dipancung di Alun-Alun. Nah, aku akan menuruti tatanan yang dibuat dan berlaku di Demak.”

Ki Tumenggung Derpayuda menarik nafas panjang. Ia berharap bahwa pasukan Mataram sudah bergerak mendekat. Tetapi prajurit Demak pun masih belum muncul dari balik persembunyiannya.

Namun Ki Tumenggung Derpayuda tidak perlu menunggu terlalu lama. Dengan geram Ki Tumenggung Gending itu pun berkata, “Ki Tumenggung Derpayuda, Ki Tumenggung tidak usah terlalu banyak berbicara. Lebih baik Ki Tumenggung segera menyerah, karena perlawanan yang Ki Tumenggung berikan akan sia-sia.”

“Ki Tumenggung Gending, kami adalah prajurit. Ki Tumenggung juga prajurit. Ki Tumenggung Gending tentu tahu bahwa kami tidak akan menyerah, apapun yang terjadi.”

“Orang-orang Mataram memang sombong. Apa yang dapat kau andalkan, sehingga kalian tidak mau menyerah?”

“Tidak ada, selain kesetiaan kami terhadap tugas kami.”

“Baik. Jika demikian, bersiaplah untuk mati.”

Ki Tumenggung Gending itu pun kemudian telah memberikan isyarat, sehingga sejenak kemudian pasukan Demak yang bersembunyi di sebelah-menyebelah jalan pun telah berloncatan keluar. Bahkan mereka yang berada di ujung jembatan yang lain, dari belakang pohon yang tumbang. Sebenarnyalah mereka akan menjebak utusan dari Mataram itu, tetapi utusan dari Mataram itu tidak mau memasuki jembatan.

Ki Tumenggung Derpayuda termangu mangu sejenak. Ia masih harus berusaha mengulur waktu untuk memberi kesempatan prajurit Mataram bersiap untuk meloncat ke arena.

“Ki Tumenggung Gending,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda, “jadi inilah tingkat keberanian para prajurit Demak. Untuk menangkap lima orang, Demak sudah mengerahkan prajurit segelar sepapan.”

“Kami tahu bahwa orang-orang Mataram adalah orang-orang yang licik dan pengecut. Karena itu, aku memerlukan banyak orang untuk mengepung tempat ini, agar kalian tidak dapat melarikan diri dari arena.”

“Baik. Kami tidak akan melarikan diri. Tetapi untuk membuktikan kejantanan prajurit Mataram, aku akan menantang Ki Tumenggung Gending untuk berperang tanding. Jika aku kalah, maka kami berlima akan menyerah.”

Wajah Ki Tumenggung Gending itu pun menjadi tegang. Dipandanginya Ki Tumenggung Derpayuda dengan tajamnya.

Sementara Ki Tumenggung Derpayuda itu bahkan tersenyum sambil berkata, “Jika aku kalah, maka kami akan membiarkan kepala kami dipancung di alun-alun. Tetapi jika Ki Tumenggung kalah, dan bahkan mati dalam perang tanding itu, maka orang-orang Demak harus membiarkan kami pulang ke Mataram tanpa diganggu lagi.”

Suasana menjadi semakin tegang. Telah terjadi gejolak di dada Ki Tumenggung Gending. Sebagai seorang prajurit maka tantangan itu tidak seharusnya dielakkan. Jika ia menolak, maka namanya pun akan tercemar. Tetapi jika ia menerima tantangan itu, maka ada kemungkinan kelima orang itu luput dari tangan prajurit Demak.

Dalam ketegangan itu, seseorang telah menyibak yang lain. Seorang yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Rambutnya yang sudah memutih tergerai di bawah ikat kepalanya.

“Ki Tumenggung Derpayuda,” berkata orang itu, “aku adalah Wreksa Aking. Aku salah seorang murid dari Perguruan Kedung Jati. Agaknya tantanganmu itu membuat telingaku menjadi merah. Karena itu maka aku akan minta ijin kepada Ki Tumenggung Gending untuk melayani tantanganmu itu.”

Ki Tumenggung Derpayuda termangu-mangu sejenak. Sambil memandang Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Derpayuda pun berkata, “Jangan menghina seorang Tumenggung, Wreksa Aking. Apakah kau sadari bahwa sikapmu itu telah meremehkan Ki Tumenggung Gending, seolah-olah Ki Tumenggung Gending tidak akan berani melayani tantanganku, dan membiarkanmu mengambil alih?”

“Persetan, Ki Tumenggung Derpayuda,” geram Wreksa Aking, “ternyata lidahmu bercabang seperti lidah ular. Kau berusaha meracuni hubungan kami. Kau berusaha untuk mengadu domba antara kami. Tetapi kau tidak akan berhasil. Jika kau takut melawan aku dalam perang tanding, katakan saja. Jangan menyangkut nama Ki Tumenggung Gending.”

“Aku tidak takut kepadamu, Wreksa Aking. Nanti setelah aku membunuh Ki Tumenggung Gending dalam perang tanding, untuk membuktikan apakah benar seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung Gending bahwa prajurit Mataram itu licik dan pengecut, maka aku akan melayanimu. Aku akan membunuhmu sebelum aku kembali ke Mataram.”

“Cukup!” teriak Ki Tumenggung Panjer, “Aku tidak peduli siapakah yang licik dan pengecut. Sekarang marilah orang-orang Mataram ini kita tangkap. Kita bawa ke Alun-Alun untuk dipancung.”

Orang-orang yang dicekam oleh ketegangan itu seakan-akan telah terbangun dari mimpi buruk. Ki Tumenggung Gending itu pun kemudian tanpa menghiraukan tantangan Ki Tumenggung Derpayuda segera memberi aba-aba, “Tangkap mereka! Hidup atau mati.”

Tetapi Ki Tumenggung Derpayuda itu pun berkata lantang, “Jadi inikah cara Ki Tumenggung Gending berperang tanding?”

“Persetan dengan perang tanding!” teriak Ki Tumenggung Panjer.

Wreksa Aking itu pun tiba tiba saja tertawa. Katanya, “Serahkan Ki Tumenggung Derpayuda ini kepadaku.”

Ki Tumenggung Derpayuda pun segera mempersiapkan diri. Demikian pula empat orang yang menyertainya menghadap Kanjeng Adipati Demak. Namun Raden Yudatengara masih berteriak nyaring, “Aku yakin bahwa apa yang kalian lakukan ini di luar pengetahuan Kanjeng Adipati Demak, karena Kanjeng Adipati Demak bukan orang orang licik seperti kalian. Seandainya Kanjeng Adipati Demak benar benar berniat memberontak, maka ia akan melakukannya dengan cara seorang ksatria. Tidak seperti segerombolan penyamun sebagaimana kalian lakukan sekarang ini.”

“Diam kau, pengkhianat!” bentak Ki Tumenggung Panjer. “Seharusnya kau sudah mati beberapa hari yang lalu. Tetapi agaknya nyawamu memang liat, sehingga baru sekarang kau akan mati. Jika kami tidak dapat menangkapmu hidup-hidup, maka kau akan mati di sini. Tubuhmu akan dilemparkan ke dasar sungai itu, agar menjadi makanan burung-burung pemakan bangkai.”

Raden Yudatengara tertawa. Ia masih mencoba mengulur waktu. Tetapi sebenarnyalah menurut perhitungannya, pasukan Mataram tentu sudah siap.

“Kita akan melihat, siapakah yang akan mati.”

Dalam pada itu, maka para prajurit Demak serta sekelompok orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Wreksa Aking itu pun mulai bergerak. Sebagian dari mereka berusaha mengepung tempat itu. Tetapi mereka membiarkan mulut jembatan itu terbuka. Mereka masih berniat untuk menggiring utusan dari Mataram itu untuk masuk ke dalam jembatan.

Namun yang terjadi kemudian benar-benar di luar perhitungan Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Panjer serta Wreksa Aking. Pada saat prajurit Demak dan mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati itu bergerak, terdengar orang yang berpenampilan seperti orang gila itu bersuit nyaring. Dengan meletakkan dua jarinya di antara bibirnya, maka udara di sekitar jembatan itu pun bagaikan tergetar.

Dalam pada itu, para prajurit Mataram memang sudah berhasil merayap mendekati arena dari dua arah. Untuk memancing perhatian para prajurit Demak yang sudah siap menerkam Ki Tumenggung Derpayuda, maka prajurit Mataram itu pun tiba-tiba telah bersorak gemuruh.

Sorak prajurit Mataram yang tiba-tiba saja terdengar itu memang sangat mengejutkan para prajurit Demak. Mereka yang sudah menyergap Ki Tumenggung Derpayuda serta keempat orang utusan yang lain, terhenti sejenak. Ketika mereka memandang berkeliling, maka mereka melihat prajurit Mataram yang berlari-larian dari dua arah.

“Anak iblis, orang-orang Mataram,” geram Ki Tumenggung Gending, “seperti kataku, mereka adalah orang-orang yang sangat licik dan pengecut.”

“Jika kau gentar melihat mereka, bawa orang-orangmu pergi, Ki Tumenggung Gending,” berkata Ki Tumenggung Derpayuda. Tetapi Ki Tumenggung Gending itu pun berteriak, “Bunuh semua orang Mataram!”

Pertempuran pun tidak dapat dielakkan Iagi. Beberapa orang prajurit Mataram langsung menusuk ke dalam kepungan. Sebelum para prajurit Demak menyadari apa yang terjadi, maka beberapa orang prajurit Mataram itu sudah berada di dekat mulut jembatan, menyatu dengan kelima orang utusan dari Mataram yang menghadap Kanjeng Adipati di Demak.

Sementara itu pertempuran pun telah berkobar. Prajurit Mataram pun langsung menyerang para prajurit Demak serta sekelompok orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Wreksa Aking yang juga terkejut melihat kedatangan prajurit Mataram yang tiba-tiba saja itu, ternyata harus berhadapan dengan seorang perempuan.

“Apakah kau sudah gila, bahwa kau berani berdiri di hadapanku?” geram Ki Wreksa Aking.

Perempuan muda itu tersenyum. Katanya, “Kau siapa, Kakek? Agaknya kau sudah terlalu tua untuk hadir di pertempuran seperti ini. Meskipun pertempuran ini bukan perang gelar yang besar, tetapi di sini berdiri beberapa orang yang berilmu tinggi.”

“Minggirlah!” bentak Ki Wreksa Aking, “Aku ingin membunuh Ki Tumenggung Derpayuda.”

“Ki Tumenggung Derpayuda sedang bertempur melawan Ki Tumenggung Gending. Jangan cari yang tidak ada di hadapanmu. Kau telah berhadapan dengan aku sekarang.”

“Kau akan menyesali kesombonganmu. Kau tidak kenal aku.”

“Yang jelas, kau bukan prajurit Demak. Kau tidak berpakaian seperti seorang prajurit.”

“Aku adalah kepercayaan Ki Saba Lintang, pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.”

“He? Jadi kau salah seorang dari Perguruan Kedung Jati? Apakah kau tidak terlalu tua mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati? Siapakah gurumu pada saat kau berguru pada Perguruan Kedung Jati?”

“Persetan kau, perempuan muda. Aku adalah Ki Wreksa Aking. Aku adalah kepercayaan Ki Saba Lintang, yang sekarang telah menyatakan diri mendukung Kanjeng Adipati Demak yang akan mengambil alih tahta. Kanjeng Pangeran Puger adalah orang yang lebih berhak duduk di atas tahta daripada Panembahan Hanyakrawati, karena Kanjeng Pangeran Puger adalah saudara tua Panembahan Hanyakrawati.”

“Sudahlah, jangan bicarakan tentang tahta. Kau tahu apa? Segala sesuatunya harus berjalan sesuai dengan tatanan dan paugeran yang berlaku di Mataram.”

“Sekali lagi aku peringatkan, pergilah! Kau masih terlalu muda untuk mati.”

Perempuan muda itu tersenyum. Namun katanya, “Aku telah turun ke arena. Karena itu aku tidak akan pergi.”

“Baik. Tetapi sebelum kau mati, sebut namamu.”

“Namaku Rara Wulan. Aku adalah pewaris yang sah atas ilmu dari aliran Kedung Jati.”

“Aliran Kedung Jati? Apakah kau sudah gila?”

“Kita akan melihat, siapakah di antara kita yang lebih menguasai ilmu dari aliran Kedung Jati.”

Orang tua yang menyebut dirinya Wreksa Aking itu pun segera meloncat menyerang. Sejak semula, unsur-unsur geraknya menunjukkan bahwa ilmunya memang bersumber pada ilmu dari Perguruan Kedung Jati.

Rara Wulan pun bergeser surut. Dengan saksama ia memperhatikan unsur-unsur gerak orang tua itu. Ternyata orang tua itu memang menguasai ilmu dari Perguruan Kedung Jati.

Namun orang tua itu pun terkejut pula. Lawannya, perempuan muda yang bernama Rara Wulan itu pun benar-benar menguasai ilmu dari Perguruan Kedung Jati.

“Bagaimana mungkin kau menguasai unsur unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati?” geram Wreksa Aking.

“Aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati yang sejati. Kau tahu bahwa Saba Lintang bukan pemimpin yang sebenarnya dari Kedung Jati. Karena itu maka apa yang dilakukannya pun tidak sepatutnya dilakukan. Jika pada masa Pangeran Arya Penangsang menyatakan diri melawan Pajang, sementara para pemimpin Perguruan Kedung Jati berpihak kepadanya, sikap itu masih dapat di mengerti. Perbedaan sikap dapat saja terjadi antara Jipang dan Pajang dengan kebenarannya masing-masing. Tetapi hubungan antara Demak dan Mataram jauh berbeda. Yang dilakukan oleh Saba Lintang sekarang semata-mata dilandasi oleh kepentingannya sendiri. Kepentingan pribadi. Sementara itu para muridnya telah dijadikan alat saja baginya.”

Wreksa Aking itu pun kemudian berteriak, “Diam kau, perempuan iblis! Jika kau tidak mau menyingkir dari hadapanku, jangan salahkan aku jika mayatmu akan terkapar di mulut jembatan ini.”

“Kita sudah mulai, Wreksa Aking. Kita akan melanjutkannya sampai tuntas.”

Wajah Wreksa Aking menjadi merah. Sambil menggeram ia pun kemudian meloncat menerkam dengan garangnya.

Tetapi Rara Wulan pun sudah siap menghadapinya. Ia pun segera meloncat menghindar. Ketika kemudian ia menyerang, maka Rara Wulan itu pun telah mempergunakan unsur unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati.

Wreksa Aking masih saja heran. Tetapi ia tidak mau terpengaruh oleh ilmu perempuan muda itu. Karena itu maka serangan-seranganya pun menjadi semakin garang

Sementara itu, pertempuran di ujung jembatan itu semakin menjadi sengit. Prajurit Demak yang terlibat memang lebih banyak dari prajurit Mataram. Tetapi para pemimpin prajurit dari Mataram adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.

Beberapa orang Tumenggung dari Demak pun telah terlibat dalam pertempuran melawan utusan dari Mataram yang semula akan dijebaknya di jembatan. Ki Tumenggung Gending benar-benar harus berhadapan dengan Ki Tumenggung Derpayuda. Sedangkan Ki Tumenggung Panjer telah berhadapan dengan Ki Tumenggung Jayayuda.

Ternyata bahwa Ki Tumenggung Derpayuda dan para Tumenggung dari Mataram itu tidak hanya pandai sesumbar. Ketika mereka mulai terlibat dalam pertempuran, maka para Tumenggung dari Demak itu pun segera menyadari bahwa orang-orang yang diutus oleh Panembahan Hanyakrawati itu adalah orang-orang pilihan.

Tetapi di samping para Tumenggung dari Demak, maka beberapa orang berilmu tinggi dari Perguruan Kedung Jati telah melibatkan diri pula. Selain Wreksa Aking, maka seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan telah berdiri di medan pula. Orang yang bermata cekung itu pun kemudian telah berhadapan dengan Sekar Mirah, yang telah menuntaskan laku untuk menguasai puncak ilmu dari aliran Kedung Jati yang justru telah dilengkapi dengan unsur-unsur dari perguruan lain, namun yang telah luluh menyatu. Sehingga dengan demikian maka ilmu puncak yang dikuasai oleh Sekar Mirah itu menjadi lebih lengkap.

Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan dan bermata cekung itu dengan geram berkata, “Apakah Mataram telah kehabisan laki-laki, sehingga mengirimkan seorang perempuan untuk turun ke medan pertempuran ini?”

“Kau siapa, Ki Sanak?” Sekar Mirah justru bertanya, “Kau tidak mengenakan pakaian keprajuritan Demak.”

“Aku memang bukan prajurit Demak.”

“Kenapa kau berada di antara mereka ?”

“Aku adalah salah seorang kepercayaan Ki Saba Lintang. Aku berada di sini bersama Ki Wreksa Aking. Siapapun yang berani mencoba menghadapi kami para murid dari Perguruan Kedung Jati, maka ia tentu akan dimusnahkan. Kami memiliki kemampuan lebih besar dari prajurit Demak sendiri.”

“Kau hanya berdua?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Jangan menjadi ketakutan jika aku beritahukan bahwa kami berada di sini bersama sekelompok murid dari Perguruan Kedung Jati. Mereka-lah yang akan memusnahkan para prajurit Mataram, yang agaknya sedang dalam tugas sandi karena mereka tidak mengenakan pakaian keprajuritan.”

“Jika kau murid dari Perguruan Kedung Jati, maka kau sekarang harus menyatakan kesetiaanmu kepada pimpinan Perguruan Kedung Jati yang sejati.”

“Apa maksudmu?”

“Aku-lah pemimpin Perguruan Kedung Jati yang sejati, bukan Saba Lintang. Saba Lintang telah mengacaukan tatanan dan paugeran yang ada dalam Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah kau sedang mengigau?”

Sekar Mirah pun kemudian telah mencabut tongkat baja putihnya, yang disarungkannya pada sarung kulit yang dibuatnya khusus dan digantungkannya di punggungnya.

Orang itu terkejut. Tongkat baja putih itu sama seperti tongkat baja putih yang dimiliki oleh Ki Saba Lintang.

Bahkan ketika Sekar Mirah mengangkat tongkat baja putihnya, maka Rara Wulan pun sempat berkata kepada Wreksa Aking, “Nah, kau lihat itu, Kek? Mbokayuku itulah pemimpin Perguruan Kedung Jati yang sejati.”

Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan dan bermata cekung itu berdiri termangu-mangu. Tongkat Baja putih itu tidak saja menggetarkan jantung orang bertubuh tinggi itu, tetapi sekelompok orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati yang sempat melihat tongkat baja putih itu pun menjadi berdebar-debar pula.

Namun orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu pun kemudian berkata, “Jadi tongkat inikah pasangan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang?”

“Ya. Saba Lintang telah mencuri tongkat baja putih itu dan mengaku dirinya sebagai pewaris Perguruan Kedung Jati,” sahut Sekar Mirah.

Orang bertubuh tinggi itu pun menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Nyi, Ki Saba Lintang justru telah memerintahkan untuk merampas tongkat baja putih itu.”

Sekar Mirah pun termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian bertanya, “Merampas dari siapa? Merampas dari tanganku?”

“Ki Saba Lintang hanya memerintahkan untuk merampas tongkat baja putih yang satu lagi, pasangan tongkat baja putih Ki Saba Lintang, yang berada di tangan seorang perempuan. Nah, sekarang ternyata tongkat baja putih itu ada di tanganmu. Karena itu maka aku harus merampasnya.”

“Ki Sanak,” berkata Sekar Mirah kemudian, “jika kau memang sudah lama berada di lingkungan Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, kau tentu tahu kegagalan-kegagalan yang pernah dialami oleh Ki Saba Lintang. Mulai dari serangan-serangannya yang licik yang tidak hanya dilakukan sekali saja ke Tanah Perdikan Menoreh, sampai ke segala macam fitnah dan tipuan-tipuannya yang licik atas Kakang Swandaru di Sangkal Putung, jerat yang dipasangnya untuk menyurukkan Kakang Swandaru ke dalam api perlawanan terhadap Mataram, sampai ke tantangannya berperang tanding, tidak pernah berhasil. Sekarang Ki Saba Lintang justru telah bekerja sama dengan Kanjeng Adipati di Demak, yang pada saat Kanjeng Pangeran Puger itu dalam perjalanan ke Demak dari Mataram justru telah diganggunya.”

Orang bertubuh tinggi itu pun mendengarkannya dengan saksama. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku tahu itu, Nyi. Sebagian aku memang terlibat di dalamnya. Tetapi waktu itu segala sesuatunya belum mapan di Perguruan Kedung Jati. Sekarang kami sudah siap untuk melakukan kerja yang lebih baik.”

“Sudah ada berapa puluh orang berilmu tinggi yang telah dikorbankan oleh Ki Saba Lintang. Yang aku kagumi, bahwa Ki Saba Lintang itu mampu menghubungi dan membujuk orang-orang berilmu tinggi untuk bergabung dengan perguruan yang dipimpinnya dengan cara yang tidak sah itu. Meskipun kemudian orang-orang itu hanya sekedar ditaburkan untuk menjadi tumbal di peperangan-peperangan yang disulutnya.”

“Cukup, Nyi. Kau tidak dapat mengatakan seperti itu. Kami, orang-orang yang berada di tubuh Perguruan Kedung Jati, adalah orang-orang yang mempunyai ikatan keyakinan yang sama. Cita cita yang sama serta cara yang sama pula untuk memperjuangkannya.”

“Jika demikian, baiklah. Adalah kewajibanku untuk membersihkan Perguruan Kedung Jati yang telah dikotori oleh sikap Ki Saba Lintang.”

Orang bertubuh tinggi, bermata cekung itu tidak menunggu lebih lama lagi. Di tangannya telah tergenggam tombak bermata dua.

“Baiklah,” berkata Sekar Mirah, “jangan sesali nasibmu. Kau termasuk salah seorang berilmu tinggi yang ditaburkan sebagai tumbal di medan-medan perang yang telah dibuka oleh orang-orang yang mengaku pemimpin dari Perguruan Kedung Jati. Orang-orang yang telah dibakar oleh nafsu ketamakan yang tidak terkendali.”

Demikianlah, sejenak kemudian orang bertubuh tinggi itu menjulurkan canggahnya sambil berkata lantang, “Serahkan tongkat itu kepadaku! Atau aku akan membunuhmu dan melemparkan mayatmu ke sungai itu.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Dengan cepat ditepisnya canggah bermata dua itu. Demikian cepat, tiba-tiba dan dengan tenaga yang kuat, jauh di luar dugaan orang bertubuh tinggi itu, sehingga hampir saja tombak bermata dua itu terlepas dari tangannya.

Untunglah bahwa orang bertubuh tinggi itu cukup tangkas, sehingga ia masih mampu meloncat surut untuk mengambil jarak sambil mempertahankan canggahnya. Sekar Mirah tidak segera memburunya. Ia masih memberi kesempatan orang bertubuh kurus itu untuk mempersiapkan dirinya kembali.

Baru sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertarungan yang sengit itu. Orang bertubuh tinggi dan bermata cekung itu sekali-sekali sempat juga menunjukkan unsur-unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati.

Namun Sekar Mirah pun segera berkata lantang, “Landasan ilmumu bukan landasan ilmu dari Perguruan Kedung Jati. Seperti yang aku katakan, kau adalah salah seorang yang oleh Ki Saba Lintang dengan sengaja dikorbankan untuk kepentingannya. Jika tidak demikian, maka kau-lah yang ingin memanfaatkan Perguruan Kedung Jati untuk menopang melakukan kejahatan tanpa meninggalkan jejak kaki.”

“Persetan kau, perempuan iblis!” geram orang itu.

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tongkat baja putihnya pun segera berputar. Benturan-benturan pun segera terjadi antara tongkat baja putih Sekar Mirah dengan tombak bermata dua di tangan orang yang bertubuh tinggi dan bermata cekung itu.

Dalam pada itu, dimana-mana telah terjadi pertempuran. Para prajurit Demak dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati yang semula mengepung kelima utusan dari Mataram itu, harus mengerahkan kemampuan mereka bertempur melawan para prajurit Mataram. Meskipun jumlah para prajurit Mataram itu lebih sedikit, tetapi mereka adalah prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus. Tanpa pakaian keprajuritan pun, mereka tetap saja menjadi alap-alap di medan perang.

Di tengah-tengah arena pertempuran itu, Ki Tumenggung Derpayuda sedang bertempur dengan Ki Tumenggung Gending. Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Karena itu maka mereka yang bertempur di sekitarnya itu pun seakan-akan telah menyibak dan memberikan tempat yang lebih luas bagi kedua orang Tumenggung yang sedang marah itu. Sedangkan para Tumenggung yang lain pun telah bertempur dengan sengitnya. Raden Yudatengara pun telah terlibat dalam pertempuran antara hidup dan mati.

Sementara itu para prajurit Demak harus mengakui kelebihan para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu. Dengan jumlah yang lebih kecil, para prajurit Mataram itu semakin lama semakin menguasai medan. Apalagi ketika Ki Tumenggung Derpayuda mulai mendesak Ki Tumenggung Gending, sementara Ki Tumenggung Panjer pun telah menghadapi seorang yang berilmu tinggi, Ki Tumenggung Jayayuda.

Karena itulah maka keseimbangan pertempuran itu pun menjadi semakin jelas. Apalagi Ki Lurah Agung Sedayu sendiri serta Glagah Putih masih tetap berada di antara para prajurit Mataram.

Dalam pada itu, ketika Rara Wulan mulai mendesak Wreksa Aking, sedangkan Sekar Mirah pun semakin menguasai lawannya yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu, maka mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati menjadi cemas. Namun mereka yang sedang bertempur itu tidak menyadari bahwa dua orang sedang mengawasi pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar.

“Gila orang-orang Mataram,” geram yang seorang di antara mereka. Seorang yang rambutnya sudah berwarna dua, namun tubuhnya masih tetap kokoh. Sedangkan seorang kawannya yang juga sudah separuh baya, berdiri sambil termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Di dalam pasukan Mataram itu terdapat seorang perempuan yang ternyata memiliki tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putihnya Ki Saba Lintang.”

“Ya. Menilik unsur-unsurnya, ia benar-benar telah menguasai ilmu Perguruan Kedung Jati sampai tuntas.”

“Masih ada seorang perempuan yang lain yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Perempuan itu pun menunjukkan ciri-ciri Perguruan Kedung Jati.”

“Kita tidak dapat tinggal diam. Kita harus membantu orang-orang dari Perguruan Kedung Jati dan para prajurit Demak. Bahkan kali ini kita akan mendapat kesempatan untuk merampas tongkat baja putih, pasangan tongkat baja putih milik Ki Saba Lintang. Siapa yang dapat merampas tongkat baja putih itu, ia akan ditetapkan menjadi orang kedua dalam Perguruan Kedung Jati yang besar, yang sebentar lagi akan menguasai Mataram lewat tangan Kanjeng Adipati di Demak.”

“Lakukan, Kakang. Kau harus berhasil. Meskipun perempuan itu berilmu sangat tinggi, tetapi aku masih yakin bahwa kau akan dapat mengatasinya. Jika Kakang mengalami kesulitan, biarlah si mata cekung itu membantu Kakang.”

Orang itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan panggil aku Naga Tengara kalau aku tidak berhasil mengambil tongkat baja putih itu dari tangan perempuan yang berilmu tinggi itu. Aku akan menangkapnya hidup-hidup dan membawanya kepada Ki Saba Lintang dan Kanjeng Adipati Demak. Aku akan menagih janji, bahwa siapa yang dapat merampas tongkat baja putih akan menjadi orang kedua di Perguruan Kedung Jati. Setelah itu aku akan memerlukan waktu tiga sampai lima tahun untuk menyingkirkan Saba Lintang. Jika aku dapat menyingkirkan Saba Lintang, maka kau pun akan tahu arti kekuasaan yang ada di tanganku. Kanjeng Adipati Demak tidak akan dapat berbuat apa apa lagi selain menuruti kemauanku.”

“Lima tahun adalah waktu yang panjang.”

“Mungkin Tetapi tidak akan terhitung panjang untuk mencapai gegayuhan yang tinggi.”

Kawan orang yang menyebut dirinya Naga Tengara itu pun mengangguk-angguk.

“Sura Gora,” berkata Naga Tengara itu, “kau pun harus masuk ke dalam arena pertempuran itu pula. Jaga perempuan yang seorang lagi, yang juga mempunyai ciri ciri unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati. Perempuan itu jangan sampai mengganggu usahaku mengambil tongkat baja putih itu.”

“Baik, Kakang.”

“Sebaiknya kita masuk ke arena sekarang. Nampaknya orang-orang Mataram mulai mendesak pasukan Demak. Mumpung keseimbangannya masih belum begitu goyah. Kita akan merebut tongkat baja putih itu. Setelah itu, aku tidak peduli apa yang akan terjadi. Mungkin para prajurit Demak mampu bertahan dan mengusir orang-orang Mataram. Tetapi mungkin justru orang-orang Demak yang akan disapu bersih oleh prajurit Mataram, menilik kemampuan para prajurit Mataram yang rata-rata lebih tinggi dari para prajurit Demak. Untunglah bahwa prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati jumlahnya lebih banyak.”

“Marilah, Kakang. Kita akan mendekati Ki Wreksa Aking dan si mata cekung itu.”

Keduanya pun kemudian bergerak menuruni tanggul dan meniti pematang, mendekati arena pertempuran. Sejenak mereka mengamati medan dengan saksama. Mereka melihat di antara mereka yang bertempur itu, Sekar Mirah dengan tongkat baja putihnya, bertempur melawan orang bermata cekung dan bersenjata tombak bermata dua.

Namun orang yang bertubuh tinggi dengan tombak bermata dua di tangannya itu pun menjadi semakin terdesak. Naga Tengara itu pun kemudian berdesis, “Sekarang. Masuklah ke medan. Aku akan menemui perempuan bertongkat baja putih itu.”

Sura Gora pun kemudian telah memasuki arena pertempuran. Dengan garangnya ia menyibak para prajurit yang bertempur, untuk mendekati Rara Wulan yang masih bertempur melawan Wreksa Aking dengan sengitnya.

Sementara itu, Naga Tengara pun telah menerobos memasuki medan pula. Naga Tengara itu pun langsung mendekati pertarungan antara Sekar Mirah melawan orang yang bermata cekung itu. Dengan lantang ia pun berkata kepada orang bermata cekung itu, “Serahkan perempuan itu kepadaku!”

Orang bermata cekung itu meloncat mengambil jarak. Ketika ia berpaling dan melihat Naga Tengara, maka ia pun terkejut.

“Kakang Naga Tengara ada di sini?”

“Ya. Bukankah aku berada dimana-mana?”

“Apa yang Kakang maui sekarang?”

“Perempuan ini. Aku harus mengambil tongkat baja putih yang telah dicurinya dari Perguruan Kedung Jati itu.”

“Aku akan mengambilnya.”

Tetapi Naga Tengara itu pun tertawa. Katanya, “Kau tidak akan mampu melakukannya. Karena itu minggirlah. Masih banyak yang harus kau kerjakan. Biarlah aku yang mengurus tongkat baja putih itu.”

Sekar Mirah pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Siapa kau, Ki Sanak?”

“Aku Naga Tengara. Aku adalah orang kedua di Perguruan Kedung Jati. Karena itu, aku-lah yang seharusnya memegang tongkat baja putih yang sekarang berada di tanganmu. Sudah lama aku berniat mencarimu. Beruntunglah aku bahwa di sini kita dapat bertemu, sehingga aku akan dapat mengambil tongkat baja putih itu dari tanganmu.”

Tetapi orang bermata cekung itu justru menyahut, “Siapa yang mengatakan bahwa kau adalah orang kedua di Perguruan Kedung Jati yang besar ini? Aku dan Wreksa Aking yang kali ini mendapat kepercayaan untuk menghancurkan orang-orang Mataram. Kebetulan di antara mereka terdapat perempuan yang membawa tongkat baja putih ini.”

“Kau masih mempunyai kesempatan untuk mencabut kata-katamu. Jika kau tidak mengakui bahwa aku orang kedua di Perguruan Kedung Jati, maka kau akan mengalami nasib buruk. Kau tentu akan terusir dari Perguruan Kedung Jati, sehingga kau akan berkeliaran lagi seperti beberapa tahun yang lalu, sebelum kau mendapat belas kasihan dan diberi kesempatan untuk menjadi anggota keluarga besar Perguruan Kedung Jati, meskipun landasan ilmumu bukan ilmu dari Perguruan Kedung Jati.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Sebenarnya ia tidak takut kepada orang yang bernama Naga Tengara itu, meskipun ia tahu bahwa Naga Tengara adalah orang yang disegani. Tetapi ia merasa lebih baik tidak bertengkar dengan orang itu, apalagi pada saat Perguruan Kedung Jati memerlukan kekuatan untuk menghadapi lawan. Karena itu maka orang bermata cekung itu pun kemudian berkata, “Terserah kepadamu. Jika kau merasa orang kedua di Perguruan Kedung jati, ambil tongkat baja putih itu dari tangannya, kalau kau mampu.”

Orang bermata cekung itu pun kemudian bergeser meninggalkan Sekar Mirah. Sementara itu orang yang bernama Naga Tengara itu segera menggantikan tempatnya.

“Nampaknya kau sangat yakin akan kemampuanmu,” berkata Sekar Mirah kepada lawan barunya.

“Tentu. Karena itu, sebaiknya kau menyerah saja. Jika kau serahkan tongkat baja putih itu kepadaku, aku berjanji untuk membebaskan kau dan orang-orang yang kau kehendaki, keluar dari jebakan ini. Karena tanpa pertolonganku maka para prajurit Mataram, termasuk orang-orang yang bersama mereka, tidak akan dapat meninggalkan tempat ini bersama unsur kewadagan mereka. Orang-orang Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati akan menumpas kalian. Orang bermata cekung yang bebas dan yang kemudian akan bertempur di antara para prajurit, akan dapat menebas para prajurit Mataram seperti menebas batang ilalang. Demikian pula Wreksa Aking atau Sura Gora.”

“Apa benar begitu?”

“Kau akan membuktikannya nanti. Tetapi jika kau bersedia menyerahkan tongkat baja putih itu, maka aku akan menyelamatkanmu bersama orang-orang yang kau kehendaki.”

“Buat apa kau berniat mengambil tongkat baja putih ini? Tongkat ini adalah pertanda kepemimpinan di Perguruan Kedung Jati. Aku-lah pemimpin Perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Sementara Saba Lintang telah berhasil mencuri tongkat yang satu lagi, yang merupakan pasangan dari tongkatku ini.”

Naga Tengara tertawa. Katanya, “Kau pandai mengada-ada.”

“Sekarang, jika kau memang ingin memiliki tongkat baja putih ini, ambillah dari tanganku, jika kau mampu.”

“Ternyata kau terlalu sombong. Tetapi nanti kau akan menyesali kesombonganmu itu.”

Sekar Mirah surut setapak ketika ia melihat orang itu menarik goloknya yang besar sambil berkata, “Sebenarnya aku tidak ingin membunuh perempuan yang tidak berdaya, meskipun di medan perang.”

Terasa telinga Sekar Mirah menjadi panas. Tetapi ia tidak ingin terseret oleh arus perasaannya. Ia harus tetap dalam keseimbangan sikap.

Dengan nada datar Sekar Mirah itu pun berkata, “Naga Tengara. Ternyata kau adalah orang yang sangat sombong. Tetapi baiklah, kita akan menakar ilmu di medan ini. Siapakah yang ilmunya lebih matang di antara kita. Tetapi mengingat bahwa kau adalah orang kedua di Perguruan Kedung Jati, sedangkan aku adalah orang pertama, maka kau tentu tidak akan mampu mengalahkan aku.”

“Persetan! Bersiaplah, kita akan bertempur sampai tuntas.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi Sekar Mirah menduga bahwa orang yang menyebut dirinya Naga Tengara itu agaknya memiliki ilmu yang lebih haik dari orang yang bermata cekung itu.

Sebenarnyalah, demikian senjata mereka mulai beradu, Sekar Mirah pun merasakan bahwa kekuatan Naga Tengara memang lebih besar. Meskipun demikian, Naga Tengara yang bersenjata golok yang besar itu tidak menggetarkan jantung Sekar Mirah.

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Namun Naga Tengara itu menjadi berdebar-debar ketika ia menyadari betapa tangkasnya Sekar Mirah. Perempuan itu mampu bergerak sangat cepat. Tongkat baja putihnya terayun-ayun mengerikan.

Sementara itu Rara Wulan pun bertempur dengan garangnya pula. Orang yang bernama Sura Gora itu ternyata lebih malas dari Naga Tengara. Ia tidak minta Wreksa Aking meninggalkan Rara Wulan, tetapi ia ingin bergabung, agar ia tidak harus mengerahkan tenaganya untuk mengalahkan perempuan yang berilmu tinggi itu.

“Wreksa Aking,” berkata Sura Gora.

Wreksa Aking memang agak terkejut. Sambil meloncat mengambil jarak, ia pun berdesis, “Sura Gora.”

“Aku ingin bergabung bersamamu menangkap perempuan itu. Jika Kakang Naga Tengara ingin merampas tongkat baja putih itu, maka aku justru ingin menangkap perempuan itu.”

“Kau kira aku tidak dapat menyelesaikannya sendiri?” teriak Wreksa Aking, meskipun ia sudah mulai terdesak.

“Kau pun tentu akan dapat menangkapnya sendiri. Tetapi rasa-rasanya aku baru malas. Lebih baik kita bekerja sama. Nanti setelah kita menangkapnya, kita akan menyelesaikan para prajurit Mataram yang keras kepala.”

“Kau bertempur saja melawan para prajurit. Biarlah aku selesaikan perempuan ini.”

“Aku ikut kau saja.”

Wreksa Aking termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan yang bergeser mengambil jarak dari keduanya berkata, “Sebaiknya kalian berdua bertempur berpasangan. Satu-satu kalian tidak akan dapat mengalahkan aku.”

“Omong kosong,” geram Sura Gora, “kau kira kau ini siapa? Seberapapun tinggi ilmu seorang perempuan, ia tidak akan dapat melampaui ilmuku. Tetapi kali ini aku sedang malas mengerahkan kemampuanku. Karena itu, aku ingin dapat bertempur seenaknya saja. Jika kami berdua, maka sambil menguap kami pun akan dapat menangkapmu hidup-hidup.”

“Bagus. Aku ingin melihat bagaimana kau dapat bertempur sambil menguap.”

Sebenarnyalah bahwa Wreksa Aking yang sudah mulai terdesak itu pun berkata, “Terserah sajalah kepadamu.”

Namun kedatangan Sura Gora itu suatu kebetulan baginya. Dengan demikian maka Wreksa Aking akan dapat menyembunyikan kemungkinan buruk yang dapat terjadi padanya. Jika ia kemudian ternyata kalah melawan perempuan itu, maka harga dirinya akan menjadi korban pula.

Sura Gora itu pun kemudian telah bergabung dengan Wreksa Aking. Sambil meloncat menyerang, Sura Gora itu pun berkata, “Tugasku hanya mencegah perempuan ini mengganggu rencana Naga Tengara mengambil tongkat baja putih itu.”

Sejenak kemudian, Rara Wulan pun harus berloncatan lebih cepat lagi menghadapi kedua orang yang berilmu tinggi itu.

Namun ternyata bahwa Sura Gora tidak dapat bertempur dengan bermalas-malas. Ternyata perempuan yang masih terhitung muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sekali-sekali perempuan itu melepaskan ciri-ciri Perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi. Namun tiba-tiba saja unsur-unsur geraknya tidak dapat dikenali. Kedua orang lawannya bahkan mengira bahwa unsur-unsur gerak yang sangat rumit itu juga merupakan puncak-puncak tataran ilmu dari Perguruan Kedung Jati.

Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan mampu membuat kedua orang lawannya harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi pula. Demikian mereka terdesak, maka mereka pun merasa bahwa harga diri mereka mulai tersinggung.

Sura Gora yang ingin hanya sekedar bertempur sambil bermalas-malas, ternyata telah tergetar beberapa langkah surut ketika kaki Rara Wulan menghantam dadanya. Bahkan kemudian jari-jari Rara Wulan pun telah menyentuh lehernya, tepat di bawah telinganya. Untunglah bahwa sentuhan itu kemudian sempat ditepisnya, sehingga sentuhan jari-jari itu tidak langsung mempengaruhi syarafnya. Sambil meraba dadanya Sura Gora itu pun berdesis, “Perempuan iblis. Darimana kau pelajari ilmu iblismu ini, he?”

“Jangan menghina Perguruan Kedung Jati. Aku warisi ilmu ini dari Perguruan Kedung Jati. Jika ilmu ini kau sebut ilmu iblis, maka kawanmu ini juga memiliki ilmu iblis, meskipun masih pada tataran yang rendah. Agaknya kawanmu yang bernama Wreksa Aking ini terlalu malas untuk menjalani laku, sehingga seumurnya ia masih belum mampu menguasai ilmu Perguruan Kedung Jati pada tataran yang terendah. Atau mungkin tidak ada orang yang cukup tinggi ilmunya untuk membimbing murid-murid Perguruan Kedung Jati, sehingga mereka yang baru menguasai dasar-dasar ilmunya saja sudah harus membantu Saba Lintang menjadi pelatih di padepokanmu yang mengaku salah satu padepokan dari perguruan besar yang bernama Perguruan Kedung Jati itu.”

“Tutup mulutmu, perempuan gila!” geram Wreksa Aking, “Jangan terlalu sombong. Sebentar lagi kau akan mati.”

“Bagaimana mungkin kau akan membunuhku? Ilmumu masih baru pada landasannya saja, sama sekali belum berkembang. Sementara itu kawanmu yang seorang, yang ingin bertempur sambil menguap itu pun benar-benar hanya bermalas-malasan saja. Dengan demikian, apa yang akan kalian pakai bekal untuk mengalahkan aku?”

Kedua orang lawan Rara Wulan itu menggeram. Mereka benar-benar merasa direndahkan oleh perempuan yang masih terhitung muda itu. Karena itu maka keduanya pun segera menghentakkan ilmu mereka.

Hentakan ilmu mereka itu memang terasa oleh Rara Wulan. Bagaimanapun juga, dua orang lawannya adalah orang yang berilmu tinggi. Mereka adalah andalan dan kepercayaan Ki Saba Lintang. Karena itu maka Wreksa Aking telah diterjunkan untuk bersama-sama dengan prajurit Demak menyingkirkan kelima orang utusan dari Mataram. Namun ternyata bahwa utusan dari Mataram itu tidak hanya lima orang itu saja.

Tetapi selagi kedua orang itu berusaha menekan Rara Wulan dari arah yang berbeda, maka keduanya mulai merasa terganggu. Mereka merasakan patukan-patukan di tubuh mereka. Mula-mula patukan-patukan itu hanya terasa mengganggu. Tetapi kemudian patukan-patukan itu terasa sakit.

Sura Gora-lah yang kemudian meloncat mengambil jarak sambil berteriak, “Pengecut! Siapakah yang telah dengan licik mengganggu kami? Kenapa tidak mendekat saja kemari, agar kami dapat dengan cepat membunuhmu.”

Seseorang memang muncul dari antara kedua pasukan yang sedang bertempur. Orang itu adalah Glagah Putih.

“Senang mengganggu kalian bertempur,” berkata Glagah Putih.

Wajah Sura Gora menjadi merah. Sementara itu Wreksa Aking menggeram, “Kau siapa, he?”

“Aku? Kenapa kau bertanya? Tentu saja aku salah seorang prajuti Mataram yang bertugas untuk melindungi kelima orang utusan Mataram. Kami memang sedang dalam tugas sandi. Jika orang-orang Demak dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati tidak licik dan mencegat kelima orang utusan dari Mataram, kami diperintahkan untuk tidak mengganggu siapa-siapa. Tetapi karena orang-orang Demak dan orang-orang Perguruan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mulai mengganggu, maka kami pun harus melindungi kelima orang utusan itu.”

“Persetan kau, orang-orang Mataram. Sekarang kau mau apa? Jika kau ingin cepat mati, marilah, aku akan membantumu.”

“Sombongnya kau. Sedangkan kalian berdua saja tidak dapat mengalahkan seorang perempuan. Jika salah seorang di antara kalian akan meninggalkan perempuan itu dan akan menempatkan diri untuk melawanku, maka kalian berdua akan lebih cepat mati. Karena itu, bertempur sajalah berpasangan. Aku akan mencari lawan lain. Mungkin dengari demikian umur kalian akan dapat sedikit diperpanjang. Mungkin sesilir bawang, atau mungkin sepenginang.”

Sura Gora tidak dapat menahan diri. Tiba-tiba saja ia meninggalkan Rara Wulan dan meloncat menyerang Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Karena itu maka Glagah Putih justru meloncat surut untuk mengambil jarak. Sora Gora tidak melepaskannya. Bahkan yang kemudian terjulur adalah pedangnya yang panjang.

Ternyata Sura Gora adalah seorang yang menguasai ilmu pedang dengan baik. Karena itu maka pedangnya pun segera bergerak dengan cepat. Sekali-sekali pedang itu menebas mendatar Kemudian terayun mengarah ke ubun-ubun. Namun kemudian mematuk dengan cepat sekali, seperti patukan seekor ular ke arah jantung.

Tetapi lawannya adalah seorang yang mampu bergerak dengan cepat sekali. Bahkan Glagah Putihpun kemudian telah mengurai ikat pinggang kulitnya, sehingga dengan demikian maka tubuhnya pun telah terlindungi dengan putaran ikat pinggangnya itu.

Betapapun Sura Gora berusaha dengan gerakan-gerakan ilmu pedangnya yang cepat dan kuat, namun serangan-serangannya tidak pernah berhasil menembus tirai yang seolah-olah telah dibentangkan di seputar tubuh Glagah Putih. Keringat Sura Gora bagaikan telah diperas dari tubuhnya. Ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun ternyata bahwa ilmu pedangnya masih berada di bawah tataran ilmu Glagah Putih. Karena itu, betapapun ia mengerahkan kemampuannya, namun pedangnya itu seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi lawannya.

Sebenarnyalah bahwa semakin lama para prajurit dari Demak serta mereka yang merasa dirinya murid dari Perguruan Kedung Jati, semakin terdesak. Jumlah mereka yang lebih banyak ternyata tidak mampu untuk menguasai medan. Para prajurit Mataram, meskipun lebih sedikit, tetapi mereka adalah prajurit dari Pasukan Khusus yang memiliki beberapa kelebihan.

Dalam pada itu, orang yang bermata cekung yang telah meninggalkan Sekar Mirah karena kedatangan Naga Tengara, tiba-tiba saja telah berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu. Pada saat orang bermata cekung itu mulai berusaha menebas para prajurit Mataram, maka langkahnya pun telah terhenti.

“Apa yang akan kau lakukan, Ki Sanak?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kau siapa? Apakah kau mempunyai nyawa rangkap, sehingga kau berani berdiri di hadapanku?”

“Sombongnya kau, Ki Sanak. Tetapi lihatlah bahwa kawan-kawanmu semakin terdesak. Para prajurit Demak yang semula jumlahnya lebih banyak, sekarang mereka sudah menjadi semakin menyusut. Jika kau bukan prajurit Demak, tetapi mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati, kau pun harus melihat bahwa kawan-kawanmu sudah banyak yang terluka dan tidak dapat lagi tampil di pertempuran. Mudah-mudahan mereka tidak terbunuh. Tetapi seandainya ada di antara mereka yang terbunuh, maka akibat itu harus kalian perhitungkan sejak semula. Tetapi agaknya para prajurit Demak serta mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati itu tidak mengira bahwa mereka, termasuk kau, akan berhadapan dengan sekelompok prajurit Mataram yang bertugas melindungi kelima utusan dari Mataram itu.”

“Persetan dengan kalian. Tetapi sebelum aku membunuhmu, katakan, kau siapa?”

“Aku adalah lurah prajurit Mataram yang bertanggung-jawab atas keberhasilan tugas kami, melindungi para utusan dari Mataram itu. Namaku Agung Sedayu.”

“Jadi kau lurah prajurit dari Pasukan Khusus yang bertugas di Tanah Perdikan Menoreh itu?”

“Dari mana kau tahu bahwa aku bertugas di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Beberapa orang menyebut namamu. Para murid dari Perguruan Kedung Jati ada yang pernah terlibat dalam pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Pokoknya, nama Agung Sedayu itu sudah pernah aku dengar. Nah, sekarang kebetulan aku bertemu dengan orangnya. Maka jika aku dapat membunuhmu, namaku akan segera menjadi terkenal seperti namamu.”

“Sebaiknya kau bawa kawan-kawanmu pergi. Kesempatanmu sangat kecil. Demikian pula para prajurit Demak itu.”

“Ternyata bukan aku yang sombong, tetapi kau. Agaknya kau telah mabuk oleh kebesaran namamu sendiri. Tetapi kali ini kau telah bertemu dengan aku, sehingga kau akan menyadari bahwa namamu yang besar itu bagiku tidak berarti apa-apa.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau sudah mengalami kesulitan melawan perempuan yang bertongkat baja putih itu.”

“Siapa bilang? Jika saja aku tidak diminta untuk meninggalkannya, maka perempuan itu tentu sudah mati. Tongkat baja putih itu tentu sudah berada di tanganku.”

“Kau masih sempat meracau. Bersiaplah, kita tidak mempunyai banyak waktu. Tetapi aku beri kau kesempatan jika kau ingin melarikan diri. Bahkan aku berpesan, sampaikan kepada Ki Saba Lintang bahwa kekuatan Kedung Jati yang sebenarnya akan segera melindasnya.”

“Kau berani meremehkan pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati.”

“Perempuan itulah pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati. Perempuan itu pula yang akan membersihkan nama Perguruan Kedung Jati dari para penumpang gelap, yang memanfaatkan keadaan yang berkembang sekarang ini untuk kepentingan diri sendiri. Jika Saba Lintang menganggap bahwa orang-orang yang menumpangi keadaan ini pada suatu saat akan dapat dibersihkan, maka Saba Lintang keliru. Saba Lintang-lah yang akhirnya akan tersisih.”

“Cukup! Bersiaplah untuk mati, Ki Lurah.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia telah memberi isyarat kepada seorang lurah prajurit bawahannya untuk mengamati dan memimpin pasukannya, karena Ki Lurah Agung Sedayu sendiri akan terlibat dalam pertarungan melawan orang bermata cekung itu.

Ternyata orang bermata cekung itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera meloncat menyerang Ki Lurah Agung Sedayu. Senjatanya pun bergerak dengan cepat pula, mematuk ke arah leher.

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu mampu bergerak lebih cepat dari ujung senjata orang bermata cekung itu. Karena itu maka ujung senjatanya sama sekali tidak menyentuh tubuh Ki Lurah. Sementara Ki Lurah sendiri nampaknya masih enggan mempergunakan senjatanya, karena Ki Lurah itu tahu di antara para prajuritnya juga membawa sebilah pedang di lambungnya.

Bahwa Ki Lurah itu tidak mempergunakan senjatanya, telah membuat orang bermata cekung itu menjadi semakin marah. Ia merasa lurah prajurit Mataram itu sangat meremehkannya. Karena itu maka orang bermata cekung itu pun segera menghentakkan segenap kemampuannya. Senjatanya pun kemudian berputar seperti baling-baling. Tetapi berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu, orang bermata cekung itu benar-benar mengalami kesulitan. Senjatanya sama sekali tidak mampu menyentuh pakaian lawannya, apalagi tubuhnya.

Sementara itu, meskipun tidak bersenjata, tetapi setiap kali tangan dan kaki Ki Lurah Agung Sedayu mampu menggapai sasarannya. Orang bermata cekung itu terlempar beberapa langkah ketika kaki Ki Lurah Agung Sedayu mengenai dadanya. Bahkan kemudian tangan Ki Lurah yang terayun mendatar sempat menerpa wajah orang bermata cekung itu, sehingga tubuhnya terhuyung-huyung beberapa saat. Tetapi akhirnya ia gagal menjaga keseimbangannya, sehingga ia pun jatuh terguling di tanah.

Sementara itu, Naga Tengara yang berniat merampas tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah pun segera mengalami kesulitan. Tongkat baja putih Sekar Mirah itu berputar dengan cepatnya. Berlandaskan ilmu dengan ciri-ciri aliran Perguruan Kedung Jati yang rumit, Sekar Mirah terus mendesak lawannya yang justru hanya mengenal ciri-ciri Perguruan Kedung Jati sepotong-potong. Bahkan kadang-kadang tidak luluh dengan landasan ilmunya sendiri.

Di tempat lain, Sura Gora pun menjadi semakin terdesak. Ketika jantungnya dibakar oleh kemarahan yang memuncak, maka dengan serta merta ia telah menyerang Glagah Putih. Namun ternyata bahwa serangan-serangannya itu telah membentur kemampuan yang sangat tinggi.

Sementara itu, Wreksa Aking telah menjadi semakin terdesak. Ia berharap Sura Gora dapat membantunya meskipun orang itu bertempur dengan malasnya. Tetapi setelah Sura Gora itu meninggalkannya dan dengan marah langsung menghadapi Glagah Putih, maka Wreksa Aking itu kembali mengalami kesulitan. Perempuan yang masih terhitung muda itu semakin lama seakan-akan justru menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya, mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang paling lemah.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Gending, Ki Tumenggung Panjer dan para pemimpin prajurit Demak yang lain pun telah mengalami kesulitan pula. Mereka sejak semula tidak memperhitungkan bahwa kelima orang utusan dari Mataram itu berada di bawah perlindungan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang telah berada di Demak dalam tugas sandi.

Meskipun prajurit Demak yang disertai oleh para murid dari Perguruan Kedung Jati itu jumlahnya semula lebih banyak, tetapi kemampuan para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram itu mampu menguasai medan. Jumlah prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati itu pun rasa-rasanya demikian cepatnya menyusut, sehingga akhirnya mereka benar-benar mengalami kesulitan yang semakin lama menjadi semakin sulit diatasi.

Agaknya para Tumenggung dari Demak serta para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati menyadari, bahwa bukan mereka yang berhasil menjebak utusan dari Mataram itu. Tetapi justru mereka-lah yang telah terjebak. Karena itu, mereka tidak mempunyai pilihan lain daripada berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin diselamatkan. Jika pertempuran itu berlangsung semakin lama, maka keadaan para prajurit Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati akan menjadi semakin parah.

Karena itu maka Ki Tumenggung Gending, yang memegang kendali seluruh kekuatan dari Demak dan Perguruan Kedung Jati itu pun segera memberikan isyarat untuk meninggalkan medan.

Sesaat pertempuran itu seakan-akan telah terguncang. Para prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati sengaja membuat gejolak, sebelum mereka dengan cepat bergerak mundur. Para pemimpin mereka pun segera melepaskan lawan-lawan mereka. Para prajurit serta para murid dari Perguruan Kedung Jati telah menempatkan diri menjadi perisai pemimpin-pemimpin mereka, sebelum mereka sendiri tercerai-berai.

Ki Lurah Agung Sedayu yang menangkap gelagat itu, segera meneriakkan aba-aba, “Biarkan mereka! Tetapi cegah mereka kembali ke kuda-kuda mereka. Kita memerlukan kuda-kuda mereka itu.”

Para prajurit Mataram memang memburu mereka. Tetapi para prajurit Mataram tidak memburu para prajurit Demak serta para murid Perguruan Kedung Jati. Dua orang petugas sandi telah memimpin para prajurit itu menguasai pategalan tempat para prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati menempatkan kuda mereka.

Mereka pun segera melumpuhkan para petugas yang menjaga kuda-kuda itu. Selebihnya, para prajurit Mataram pun telah menguasai kuda-kuda para prajurit dari pasukan berkuda Demak, yang digerakkan dengan cepat untuk menjebak kelima orang utusan dari Mataram. Namun justru mereka sendiri-lah yang terjebak.

Dengan demikian, maka para prajurit Mataram pun telah menguasai kuda-kuda tunggangan para prajurit berkuda Demak, yang jumlahnya cukup banyak. Ki Lurah Agung Sedayu pun segera memerintahkan mempergunakan kuda-kuda itu. Yang terluka parah sehingga tidak dapat berkuda sendiri, akan berkuda bersama seorang prajurit yang akan menjaganya. Sedangkan mereka yang gugur di pertempuran akan dibawa pulang ke Mataram.

Demikianlah, setelah diamati dengan baik jumlahnya, para prajurit Mataram dalam tugas sandi itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan mempergunakan kuda para prajurit dari pasukan berkuda Demak itu.

Tidak satu pun prajurit Mataram yang tertinggal. Sementara itu semua kuda pun telah dipergunakan. Ada beberapa ekor kuda yang dibawa tanpa penunggangnya. Kuda-kuda itu akan menjadi kuda cadangan, jika ada di antara kuda-kuda yang membawa dua orang penumpang menjadi kelelahan.

Demikianlah, mereka yang terluka parah, mereka yang gugur dan semua prajurit Mataram pun telah berada di iring-iringan yang berjalan agak lamban menuju ke Mataram.

“Sebaiknya kita turun ke jalan simpang, Ki Tumenggung,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kepada Ki Tumenggung Derpayuda.

“Maksud Ki Lurah?”

“Jika orang-orang Demak berusaha menyusul kita, maka mereka tidak akan segera menemukan kita.”

“Tetapi di antara mereka tentu ada pencari jejak yang akan dapat mengikuti jejak perjalanan kita. Apalagi pasukan kita sekarang merupakan iring-iringan prajurit berkuda.”

“Di simpang tiga kita akan berusaha untuk menghapus jejak, sehingga jika benar orang-orang Demak berusaha menyusul kita, ada kemungkinan mereka memilih jalan yang salah.”

“Baiklah. Tetapi jika mereka mengenali jejak kita dan menyusul iring-iringan ini?”

“Apa boleh buat. Kita akan melawan.”

“Tetapi menurut perhitungan Ki Lurah, apakah mereka akan menyusul setelah mencari bantuan ke Demak?”

“Kemungkinannya kecil sekali, Ki Tumenggung. Selain mereka harus mempersiapkan pasukan yang baru, serta menyiapkan kuda lebih banyak lagi, mereka pun tentu merasa sudah kehilangan banyak sekali waktu Apalagi mereka ketahui bahwa kita pun sekarang berkuda, sehingga perjalanan kita menjadi lebih cepat pula.”

“Ya. Tetapi aku juga mengerti bahwa kita harus berhati-hati.”

Demikianlah, iring-iringan para prajurit Mataram yang telah menemukan sekelompok kuda dari pasukan berkuda Demak, berjalan cepat melintasi bulak-bulak panjang. Namun sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah pula.

Ketika matahari terbenam, maka pasukan Mataram itu pun telah berhenti di sebuah halaman banjar padukuhan. Padukuhan yang terhitung besar. Dengan terpaksa sekali, Ki Lurah Agung Sedayu pun menemui Ki Bekel padukuhan itu, untuk minta agar Ki Bekel menyediakan makan bagi para prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas sandi itu.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak tahu apakah Ki Bekel itu merasa ikhlas atau tidak. Tetapi menilik sikapnya, Ki Bekel itu tidak merasa berkeberatan untuk menyediakan makan bagi para prajurit Mataram yang sedang dalam tugas sandi itu.

Malam itu prajurit Mataram dalam tugas sandi ke Demak itu pun bermalam di sebuah padukuhan. Menjelang wayah sepi wong, beberapa orang perempuan yang diminta bantuannya telah menghidangkan makan malam bagi para prajurit itu. Bahkan beberapa orang bebahu ikut pula makan bersama mereka.

Tetapi sebagai seorang yang pernah mengamati keadaan di sepanjang jalur antara Mataram ke Demak lewat sisi barat maupun lewat sisi timur, Glagah Putih telah memperingatkan Ki Lurah Agung Sedayu bahwa di sepanjang jalur yang mereka lewati, para prajurit Demak serta mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati telah mengadakan latihan bagi anak-anak muda dan setiap laki-laki yang masih mampu turun ke medan pertempuran.

“Aku tidak tahu, apakah padukuhan ini juga telah diambah oleh para prajurit Demak serta mereka yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Baiklah. Aku akan menugaskan para prajurit untuk berhati-hati.”

Sebenarnyalah Ki Lurah Agung Sedayu pun telah menugaskan beberapa orang prajurit untuk mengamati suasana di padukuhan itu. Dengan diam-diam beberapa orang prajurit telah pergi ke mulut jalan utama padukuhan itu. Sedangkan yang lain mengamati gerak anak-anak muda, antara lain di gardu-gardu.

Tetapi nampaknya tidak ada gerakan yang mencurigakan. Anak-anak muda yang meronda, duduk-duduk saja di gardu-gardu. Sedangkan rumah-rumah penduduk pun nampaknya tetap saja menutup pintu seperti biasanya.

Hingga pagi hari, ternyata tidak ada gerakan-gerakan yang harus dicurigai. Karena itu, pada saatnya para prajurit Mataram pun segera mempersiapkan diri, untuk melanjutkan perjalanan. Mereka berharap bahwa di sore hari mereka sudah akan sampai di Mataram.

Demikianlah, sebelum matahari naik, pasukan Mataram itu pun telah meninggalkan padukuhan itu. Ki Lurah Agung Sedayu serta Ki Tumenggung Derpayuda telah mengucapkan terima kasih kepada Ki Bekel, para bebahu serta seluruh rakyat padukuhan itu.

“Maaf, Ki Bekel. Kami sempat cemas bahwa padukuhan ini telah berada di bawah pengaruh para prajurit Demak serta para murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Sebenarnya kami memang sudah dibayangi oleh kekuasaan Demak dan Perguruan Kedung Jati. Kami harus menyelenggarakan latihan sepekan dua kali bagi semua anak muda dan laki-laki yang masih kuat untuk terjun ke medan perang.”

“Apakah para pelatih itu ada di sini sekarang?”

“Kebetulan mereka baru dipanggil ke Demak. Sebenarnyalah bahwa kami sama sekali tidak mendukung kemauan para prajurit Demak itu. Tetapi kami tidak berdaya untuk menolaknya.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia masih juga bertanya, “Apakah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu juga dipanggil ke Demak?”

“Sejak kedatangan para prajurit Mataram, agaknya mereka telah menyingkir.”

“Jika kami pergi, apakah mereka tidak akan menyalahkan kalian, karena kalian telah membantu para prajurit Mataram?”

“Kami akan berpura-pura tidak tahu atas apa yang kami lakukan. Apalagi orang-orang Perguruan Kedung Jati serta para prajurit Demak itu sedang membutuhkan tenaga dan bahan makanan dari kami. Mereka akan tetap bersikap lunak kepada kami.”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya. Terima kasih atas kesediaan kalian membantu kami.”

Demikianlah, maka sekelompok prajurit Mataram yang melindungi lima orang utusan yang telah menghadap Kanjeng Adipati Demak itu pun telah melanjutkan perjalanan ke Mataram.

Namun meskipun mereka berkuda, tetapi mereka tidak dapat melarikan kuda mereka secepat-cepatnya, karena ada di antara mereka yang harus membantu kawan-kawan mereka yang terluka parah, sehingga mereka berdua berada di satu punggung kuda. Bahkan di antara mereka yang gugur, telah dibawa di punggung kuda pula.

Namun perjalanan para prajurit Mataram itu untuk selanjutnya tidak mendapat banyak hambatan. Mereka memang harus berhenti di perjalanan untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat, serta minum dan makan rerumputan segar di tanggul sungai yang airnya bening. Tetapi para prajurit yang sudah terlatih berada di berbagai macam medan, tidak merasa kelaparan.

Ternyata para prajurit itu sampai di Mataram agak lebih cepat dari perhitungan mereka. Menjelang sore hari, para prajurit itu sudah berada di Mataram, sebelum mereka kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata Ki Patih Mandaraka telah mengambil keputusan untuk memakamkan para prajurit dari Pasukan Khusus yang gugur itu di Mataram. Mereka tidak usah dibawa ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Mereka harus segera dimakamkan,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Hari itu, menjelang senja, atas persetujuan Ki Patih Mandaraka serta Kanjeng Pangeran Purbaya, maka para prajurit yang gugur itu pun telah diselenggarakan upacara pemakaman mereka.

Di malam harinya, para prajurit dari Pasukan Khusus yang baraknya berada di Tanah Perdikan Menoreh itu bermalam di Mataram. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah dipanggil untuk langsung menghadap Panembahan Hanyakrawati serta Pangeran Purbaya dan Ki Patih Mandaraka, bersama dengan kelima orang utusan ke Demak untuk menghadap Kanjeng Adipati.

Dari kelima orang utusan yang dipimpin oleh Ki Tumanggung Derpayuda itu, Panembahan Hanyakrawati mendengar laporan tentang sikap Kanjeng Adipati di Demak.

Demikian laporan kelima orang utusan itu selesai, yang dilengkapi oleh Ki Lurah Agung Sedayu tentang jebakan yang dipasang oleh para prajurit Demak, maka Panembahan Hanyakrawati itu pun menarik nafas panjang. Sambil mengusap dadanya Panembahan Hanyakrawati itu pun berkata, “Kenapa harus terjadi seperti ini? Kenapa Kakangmas Pangeran Puger dapat demikian mudahnya dibujuk oleh orang-orang yang mempunyai pamrih pribadi untuk melawan Mataram, sehingga harus terjadi permusuhan di antara saudara sendiri? Sebenarnya aku berpengharapan bahwa keberadaan Kakangmas Pangeran Puger di Demak itu akan dapat menimbulkan keutuhan yang lebih erat bagi kesatuan Mataram.”

Yang hadir dalam pertemuan itu pun hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Mereka pun sangat menyesal apa yang telah terjadi di Demak.

“Hamba sudah mencoba untuk memperingatkan sejak dini, Panembahan,” berkata Raden Yudatengara. “Tetapi suara hamba kalah lantang dari suara Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Sehingga Kanjeng Adipati lebih condong kepada pendapat mereka, yang ternyata telah meracuni sikap Kanjeng Adipati. Bahkan aku sendiri hampir saja menjadi korban, jika saja hamba tidak ditolong oleh suami istri itu.”

Panembahan Hanyakrawati itu pun menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana pendapat Kakangmas Pangeran Purbaya serta Eyang Patih Mandaraka?”

“Dimas,” berkata Pangeran Purbaya, “Pangeran Puger adalah saudara kita berdua. Meskipun demikian, Pangeran Puger sudah menyatakan dengan tegas bahwa Demak telah siap melawan Mataram. Karena itutidak ada jalan lain kecuali memadamkan pemberontakan itu.”

“Aku sependapat, Panembahan,” sahut Ki Patih Mandaraka, “tetapi ada baiknya jika Panembahan sendiri bersedia turun di medan. Mudah-mudahan keberadaan Panembahan di medan akan dapat melunakkan hati Wayah Pangeran Puger.”

“Mungkin, Ki Patih,” sahut Raden Yudatengara, “tetapi jika Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer masih ada, maka penalaran Kanjeng Pangeran Puger masih akan tetap kabur.”

“Sayang, kami tidak dapat menyelesaikan mereka berdua,” desis Ki Tumenggung Derpayuda.

Panembahan Hanyakrawati itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Eyang. Persoalannya sekarang sudah jelas. Meskipun sumber gagasan untuk memberontak itu bukan dari Kakangmas Pangeran Puger itu sendiri, tetapi bahwa akhirnya Kakangmas Pangeran Puger telah terseret ke dalam arus itu, maka kita dapat menganggap bahwa Kakangmas Pangeran Puger itu tetap bersalah. Aku sependapat dengan Eyang, bahwa aku sendiri akan turun ke medan perang. Aku ingin mempengaruhi penalaran dan perasaan Kakangmas Pangeran Puger. Semoga keberadaanku di medan perang itu akan dapat sedikit melunakkan hati Kakangmas Pangeran Puger, bukan justru sebaliknya. Aku sama sekali tidak bermaksud menantang Kakangmas Pangeran Puger dengan langsung terjun ke medan perang. Tetapi jika Kakangmas Pangeran Puger sempat mengingat bahwa aku adalah adiknya, mudah-mudahan hatinya akan dapat menjadi lebih dingin.”

Dengan demikian maka Panembahan Hanyakrawati pun telah mengambil keputusan untuk memimpin pasukan Mataram sebagai Senapati Agung. Panembahan Hanyakrawati akan memimpin pasukannya menyongsong pasukan Demak yang tentu akan segera bergerak ke Selatan.

“Kita akan menyiapkan pasukan dalam waktu yang singkat,” berkata Panembahan Hanyakrawati, “aku beri kesempatan Ki Lurah Agung Sedayu dan pasukannya kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi dalam waktu sepekan, pasukannya harus sudah siap. Tidak hanya yang sekarang pergi ke Demak, tetapi semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan, kecuali sekelompok prajurit yang akan tetap bertugas di barak. Aku ijinkan Nyi Lurah, Glagah Putih dan istrinya ikut dalam Pasukan Khusus. Tetapi mereka pun harus mengenakan kelengkapan prajurit serta berada di dalam pasukan.”

“Terima kasih, Panembahan. Hamba akan melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.”

“Setiap pasukan akan membawa pertanda kebesarannya masing-masing. Aku juga akan membawa pasukan berkuda yang berada di Ganjur, pasukan yang ada di Kotaraja. Tetapi Mataram tidak boleh dikosongkan. Aku akan minta pasukan pengawal beberapa kademangan di sekitar Kotaraja untuk ditempatkan di Kota bersama beberapa kelompok prajurit. Jika ada di antara orang-orang yang mengaku dari Perguruan Kedung Jati itu dengan licik justru menusuk langsung Kotaraja pada saat pasukan Mataram menyongsong pasukan Demak, maka mereka akan mengalami perlawanan yang akan mengusir mereka keluar dari pintu gerbang.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu di keesokan harinya telah membawa pasukannya kembali ke Tanah Perdikan. Panembahan Hanyakrawati telah mengijinkan prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu membawa kuda-kuda yang telah mereka rampas dari Demak.

“Dalam waktu sepekan, kalian akan datang lagi kemari. Kalian dapat membawa kuda-kuda itu untuk melengkapi kebutuhan pasukanmu di Menoreh.”

“Terima kasih, Panembahan,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

Hari itu Ki Lurah Agung Sedayu telah kembali ke baraknya dengan membawa beberapa orang prajuritnya yang terluka. Yang sangat parah telah ditinggalkannya di Mataram untuk mendapat perawatan dari para tabib terbaik. Yang lain telah ikut bersama para prajurit pulang ke barak.

Di barak, mereka pun mendapat perawatan yang baik pula. Bahkan mereka mendapat obat-obatan langsung dari Ki Lurah Agung Sedayu, yang dengan tekun mempelajari ilmu obat-obatan yang diturunkan oleh Kiai Gringsing.

Namun para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan itu pun harus mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya dalam waktu sepekan. Mereka akan terlibat dalam perang yang besar melawan Demak, yang mendapat dukungan dari orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.

Namun pada hari yang kedua menjelang waktu sepekan yang disediakan, telah datang perintah dari Mataram bahwa Ki Lurah Agung Sedayu diperintahkan untuk membawa serta sekelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Kenapa?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu kepada petugas yang menyampaikan perintah itu.

“Menurut laporan dari prajurit sandi, pasukan Demak telah mengerahkan kekuatan dari daerah di sekitarnya. Bahkan murid-murid dari Perguruan Kedung Jati pun jumlahnya sangat besar. Demak pun telah menghimpun rakyat di sekitar Gunung Kendeng, bahkan dari banyak kademangan. Sehingga pasukan Demak itu bagaikan samodra rob. Karena itu maka Mataram pun harus membawa prajurit dalam jumlah yang memadai. Bahkan Mataram pun telah memerintahkan Ki Tumenggung Untara untuk menghubungi Kademangan Sangkal Putung dan sekitarnya, untuk minta agar mereka mengirimkan sebagian dari para pengawal kademangan yang sudah terlatih, untuk bersama-sama pergi menyongsong pasukan Demak yang sudah bergerak ke Selatan.”

“Baik. Aku akan segera menghubungi Ki Gede,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

“Pasukan yang ada di Ganjur dan Piyungan juga akan datang bersama pasukan pengawal kademangan di sekitarnya yang sudah mengalami latihan keprajuritan, sehingga mereka tidak akan demikian saja diumpankan di peperangan. Rakyat di sekitar Gunung Kendeng juga sudah mendapat latihan-latihan dari para prajurit Demak serta mereka yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Sementara petugas itu berkata lebih lanjut, “Panembahan juga sudah memerintahkan pasukan Pajang untuk tidak bergerak sendiri. Pasukan Pajang akan menyatukan diri dengan pasukan dari Mataram, sehingga kemudian bersama-sama menyongsong pasukan Demak yang jumlahnya sangat besar itu.”

“Baiklah. Pada hari yang telah ditentukan itu, pasukanku bersama pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh sudah akan berada di Mataram.”

Demikianlah, hari itu juga Ki Lurah Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menghadap Ki Gede Menoreh untuk menyampaikan perintah Panembahan Hanyakrawati.

“Baiklah,” berkata Ki Gede Menoreh yang sudah menjadi semakin tua, “tentu aku sendiri sudah tidak dapat ikut dalam pasukan itu. Aku sudah terlalu tua untuk turun ke medan. Biarlah Prastawa memimpin para pengawal Tanah Perdikan.”

“Terima kasih, Ki Gede. Meskipun demikian, Tanah Perdikan ini tidak boleh dikosongkan. Aku telah minta Ki Jayaraga untuk menemani Ki Gede serta Ki Argajaya yang ditinggalkan di Tanah Perdikan ini. Aku pun mempunyai seorang anak muda yang pantas diketengahkan, yang sehari-hari tinggal bersamaku. Sukra.”

“Terima kasih, Ki Lurah.”

“Selain mereka, maka sebagian prajuritku akan tetap tinggal untuk menjaga barak. Tetapi jika diperlukan, mereka dapat dihubungi. Aku sudah memerintahkan kepada mereka agar mereka selalu siap untuk membantu Ki Gede.”

“Terima kasih, Ki Lurah. Mudah-mudahan tidak akan terjadi apa-apa di sini. Bukankah semua kekuatan, termasuk kekuatan orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati itu, telah dikerahkan untuk menghadapi Mataram?”

Ki Gede pun kemudian telah memanggil Prastawa untuk mendengar langsung perintah Panembahan Hanyakrawati lewat Ki Lurah Agung Sedayu.

“Aku akan mengerahkan semua pengawal Tanah Perdikan ini, Ki Lurah,” berkata Prastawa.

“Jangan semuanya. Tinggalkan sepertiga dari pasukan pengawalmu itu. Biarlah mereka tetap berada di Tanah Perdikan. Ki Jayaraga juga akan tetap tinggal untuk menemani Ki Gede dan Ki Argajaya.”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Ki Jayaraga akan menjadi lawan yang tangguh untuk bermain macanan atau bas-basan.”

Yang mendengar canda itu pun tertawa pula.

Demikianlah, Prastawa pun telah bergerak dengan cepat. Ia harus mempersiapkan dua per tiga dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dalam waktu dua hari saja.

Tetapi ia pun harus mempersiapkan sepertiga yang lain untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi di Tanah Perdikan. Jika Tanah Perdikan kosong sama sekali, maka ada kemungkinan gerombolan penjahat akan memanfaatkan keadaan itu.

Ternyata pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh benar-benar mempunyai ketrampilan seorang prajurit. Demikian mereka mendengar perintah itu, maka mereka pun segera mempersiapkan diri. Mereka telah memeriksa senjata-senjata mereka. Yang masih kotor pun segera dicuci. Sementara Prastawa telah minta beberapa orang untuk mempersiapkan umbul-umbul, rontek, kelebet serta tunggul-tunggulnya, ciri kebesaran Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Para pengawal masih sempat pula untuk sekadar mengadakan latihan, bagaimana mereka menempatkan diri dalam gelar, jika perang yang besar itu akan mempergunakan gelar perang yang lengkap. Mereka telah siap pula untuk turun ke gelanggang seandainya mereka akan terjebak dalam perang brubuh. Kemampuan mereka seorang demi seorang sempat pula diuji di antara para pengawal itu sendiri.

Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah membantu Prastawa mempersiapkan pasukan pengawal Tanah Perdikan itu. Tetapi atas perintah Panembahan Hanyakrawati, maka mereka bertiga pun harus mengenakan pakaian keprajuritan serta berada di dalam pasukan.

Karena itu maka kepemimpinan pasukan pengawal itu benar-benar telah diserahkan kepada Prastawa serta beberapa orang pemimpin kelompok yang sudah terlatih dengan baik. Namun Prastawa pun cukup berpengalaman untuk memimpin pasukan pengawalnya. Karena itu maka Ki Lurah Agung Sedayu tidak mencemaskannya lagi.

Dalam pada itu, persiapan-persiapan telah dilakukan di berbagai tempat yang lain. Di Ganjur, pasukan pengawal kademangan yang sudah sering berlatih bersama pasukan berkuda Mataram yang berada di Ganjur, telah dipersiapkan pula. Demikian pula pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun mereka pun telah pernah mendapatkan latihan-latihan keprajuritan yang memadai.

Yang mempunyai kemampuan setara dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh adalah pasukan pengawal dari Sangkal Putung. Mereka adalah pasukan yang benar-benar terlatih dan berpengalaman. Ki Tumenggung Untara yang telah menyampaikan perintah Panembahan Hanyakrawati kepada Swandaru, sempat melihat persiapan-persiapan dan para pengawai. Ternyata Ki Untara itu pun berdesis, “Mereka memiliki kemampuan prajurit Mataram.”

Swandaru dan Pandan Wangi sendiri akan memimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan itu. Tetapi agaknya Untara telah menemui pamannya, Ki Widura.

“Paman, lingkungan ini akan menjadi sepi. Para prajurit akan pergi menyongsong pasukan Demak. Demikian pula pasukan pengawal Sangkal Putung. Meskipun tentu saja Swandaru pun tentu akan meninggalkan sekelompok pengawal, namun aku mohon Paman serta para cantrik siap membantu jika terjadi sesuatu di Jati Anom dan Kademangan Sangkal Putung.”

“Baiklah, Untara, aku akan mempersiapkan diri untuk membantu mereka. Aku minta isyarat kentongan dapat dimanfaatkan. Aku akan mempersiapkan kuda-kuda yang ada di padepokan kecil ini, yang setiap saat dapat kami pergunakan.”

“Beberapa ekor kuda dari barakku akan aku titipkan pula di sini, Paman. Mungkin kami hanya memerlukan beberapa ekor saja, karena seluruh pasukan yang akan menyongsong pasukan Demak adalah pasukan yang akan berjalan darat. Mungkin hanya para Senapati saja yang akan naik kuda.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya akan terjadi perang besar antara Mataram dan Demak. Perang antara dua orang saudara sediri.”

“Seharusnya perang seperti ini tidak terjadi, Paman. Tetapi agaknya ada orang-orang yang dengan sengaja menyulut api di atas jerami kering.”

“Tetapi hati Kanjeng Adipati Demak pun agaknya lentur sekali, sehingga mudah terombang-ambing oleh hasutan-hasutan yang bahkan tidak masuk akal sekalipun.”

“Ya. Ternyata akibatnya adalah buruk sekali. Mungkin orang-orang yang mengaku penerus Perguruan Kedung Jati, yang sebenarnya tidak lebih dari orang-orang yang mencari keuntungan bagi diri sendiri, telah mempersiapkan rencana yang sangat licik.”

Dengan demikian maka Ki Tumenggung Untara pun telah menitipkan keluarganya kepada Ki Widura pula, agar pada waktu-waktu tertentu cantriknya sempat mengunjungi keluarganya yang tinggal tidak jauh dari padepokan kecil itu.

Demikianlah, maka pada saat yang sudah ditentukan, pasukan Mataram telah berkumpul di Kotaraja. Mereka berada di tempat-tempat penampungan yang kadang-kadang terlalu berdesakan. Beberapa kelompok prajurit yang bertugas mempersiapkan makan dan minum pun menjadi sangat sibuk. Tetapi kelompok-kelompok istri para prajurit sempat membantu mereka yang bekerja di dapur.

Namun para pemimpin prajurit yang bertugas di dapur itu telah memperingatkan bahwa bantuan itu tidak akan mereka dapatkan kelak di perjalanan, dan bahkan mungkin di perkemahan.

Pada hari yang ditentukan, telah diselenggarakan upacara pemberangkatan pasukan Mataram. Sebuah pasukan yang besar yang berkumpul di alun-alun, serta meluap sampai di jalan-jalan di sekitarnya.

Sejenak kemudian, iring-iringan yang panjang telah meninggalkan Kotaraja. Seperti seekor ular raksasa yang merayap berkelok-kelok menyusuri jalan yang sangat panjang.

Pada setiap kesatuan telah ditengarai dengan pertanda kebesaran masing-masing. Demikian pula pada pasukan pengawal dari kademangan-kademangan serta Tanah Perdikan Menoreh. Di paling depan pada setiap kesatuan, sekelompok di antara mereka adalah pasukan pembawa bendera serta pertanda-pertanda kebesaran yang lain. Rontek, umbul-umbul, kelebet serta tunggul-tunggul yang menggunakan lambang beraneka. Ada lambang binatang, benda-benda alam, bahkan beberapa jenis bunga.

Suara sangkakala dan genderang pun bersahut-sahutan dari satu kesatuan dengan kesatuan yang lain. Para Senapati dari setiap kesatuan berada di sebelah pasukan mereka dengan duduk di atas punggung kuda. Bahkan para Senapati pengapit pun duduk di atas punggung kuda pula.

Meskipun demikian, ada beberapa orang Senapati yang lebih senang berada di antara prajurit-prajuritnya. Kudanya dituntun oleh salah seorang prajuritnya, berjalan di belakangnya.

Di paling depan dari pasukan Mataram adalah sekelompok prajurit berkuda pilihan. Mereka membawa bermacam-macam pertanda kebesaran pasukan Mataram. Di belakangnya, sekelompok pasukan berkuda pula. Di belakang pasukan berkuda terdapat sekelompok pasukan khusus Pengawal Raja, pasukan terbaik yang ada di Mataram, di bawah pimpinan para Senapati yang terbaik pula. Mereka berjalan kaki dengan memanggul tombak pendek di bahunya. Sedangkan di lambungnya tergantung pedang yang terbuat dari baja pilihan. Para Senapatinya berada di sebelah pasukan khusus pilihan itu, di atas punggung kuda. Baru di belakangnya, Panembahan Hanyakrawati diiringi dua orang Pangeran yang akan menjadi Senapati Pengapit, bersama Pangeran Purbaya. Sedangkan Ki Patih Mandaraka, meskipun sudah semakin tua, tetapi ia ikut pula di antara mereka. Ki Patih berniat jika mungkin untuk meredakan permusuhan antara Kanjeng Pangeran Puger dan Panembahan Hanyakrawati.

Keberadaan Ki Patih Mandaraka yang tua itu didasari oleh satu keprihatinan, bahwa telah timbul permusuhan antara dua orang saudara berebut kekuasaan, meskipun sebenarnya sudah ada tatanan dan paugeran yang mengaturnya.

Demikianlah, maka pasukan itu pun merayap terus. Dengan cepat pasukan itu bergerak maju. Di samping pasukan yang bergerak langsung dari Mataram, maka pasukan Pajang pun telah bersiap pula. Pajang telah mempersiapkan pasukannya yang terbaik.

Tetapi karena para petugas sandi dari Pajang melihat jumlah pasukan Demak yang sangat besar, maka Pajang pun telah menghimpun kekuatan pula dari luar lingkungan keprajuritan. Pajang pun telah memerintahkan anak anak muda dan laki-laki yang masih kokoh untuk ikut dalam pasukannya untuk pergi menyongsong pasukan Demak.

Persiapan yang dilakukan oleh Pajang sebenarnya agak lebih panjang dari Mataram. Sejak Pajang baru mundur dari Sima, maka Pajang pun telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Meskipun waktunya terlalu singkat, namun Pajang masih sempat memberikan latihan keprajuritan kepada anak-anak mudanya serta setiap laki-laki yang masih dianggap pantas untuk maju ke medan perang.

Tetapi para pemimpin Pajang pun tidak memaksa agar setiap orang ikut dalam pasukannya. Ketika seorang Senapati berdiri di hadapan anak-anak muda di sebuah kademangan, Senapati itu pun berkata, “Siapa yang menyatakan diri untuk bersedia ikut dalam pasukan Pajang yang akan menghadapi pasukan Demak, aku minta berdiri di sisi sebelah kiri halaman itu. Hanya mereka yang berani. Tidak ada paksaan. Yang tidak bersedia dan tidak berani, harap berdiri di sisi sebelah kanan.”

Ternyata anak-anak muda Pajang serta setiap laki-laki yang masih kuat untuk terjun ke medan perang, memiliki keberanian serta kesetiaan yang tinggi. Hampir semua orang telah bergeser ke sebelah kiri. Sedangkan mereka yang berdiri di sebelah kanan adalah mereka yang sakit-sakitan serta cacat di tubuhnya.

“Terima kasih,” berkata Senapati itu, “yang tidak dapat ikut menyongsong pasukan Demak jangan merasa dirinya kecil. Masih ada lapangan lain yang lebih sesuai bagi kalian untuk mengabdi.”

Demikianlah, para Senapati pun telah mendatangi hampir setiap kademangan. Agak berbeda dengan yang terjadi di Mataram. Para Senapati Mataram menunjuk beberapa kademangan yang sudah memiliki landasan kemampuan keprajuritan. Tetapi Pajang telah menawarkan kepada setiap orang yang pantas maju ke medan perang. Baru kemudian dalam waktu yang singkat, mereka telah diberi petunjuk oleh para prajurit, bagaimana mereka harus bersikap di peperangan. Mereka pun mulai diperkenalkan dengan gelar perang, serta penggunaan senjata dengan cara yang terbaik.

“Para prajurit akan berbaur dengan kalian,” berkata para Senapati yang kemudian memimpin kelompok-kelompok anak-anak muda itu. Namun agar tidak memancing lawan-lawan mereka untuk membidik anak-anak muda yang bukan prajurit itu, karena mereka tentu dianggap lemah, maka anak-anak muda itu pun akan mengenakan pakaian keprajuritan.

Karena waktunya terlalu sempit, maka mereka yang sempat membuat pakaian baru dengan ciri-ciri sebagaimana pakaian para prajurit, dibenarkan untuk membuatnya meskipun dengan pertanda yang agak berbeda dengan prajurit yang sebenarnya, namun yang hanya diketahui oleh para prajurit serta anak-anak muda itu sendiri. Sedangkan mereka yang tidak sempat akan dipinjami oleh para prajurit Pajang, yang masing-masing mempunyai pakaian keprajuritan tidak hanya sepengadeg. Kemudian pada pakaian itu telah dilekatkan ciri-ciri khusus yang bersifat rahasia itu.

Ketika kemudian datang perintah dari Mataram agar Pajang mempersiapkan prajuritnya, maka Pajang pun telah selesai berbenah diri. Pasukan Pajang pun ternyata cukup besar, meskipun seperti pasukan Mataram dan juga pasukan Demak, bahwa sebagian dari mereka bukan prajurit yang sebenarnya.

Namun Pajang pun sempat menghimpun beberapa perguruan untuk bergabung dengan mereka. Perguruan-perguruan yang pada umumnya setiap orang di dalamnya memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari orang kebanyakan, telah ditaburkan di antara anak anak muda yang bukan prajurit yang sebenarnya itu.

Meskipun demikian, dalam waktu yang terhitung singkat itu Pajang sempat menyusun jajaran keprajuritannya dengan baik. Ikatan-ikatan kesatuan pada setiap pasukan tersusun dengan teratur, sehingga jalur hubungan di setiap tingkat dapat berlangsung dengan wajar.

Pada hari-hari yang sudah ditentukan, maka pasukan Pajang pun telah siap. Mereka akan menggabungkan diri dengan pasukan Mataram, sehingga jumlah pasukan dari Mataram itu akan cukup memadai untuk menghadapi pasukan Demak.

Namun sebenarnyalah pasukan Demak adalah pasukan yang sangat besar. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer itu pun mampu menggerakkan pasukan yang cukup besar, yang mereka himpun dari satu lingkaran di sekitar Perbukitan Kapur Utara.

Di samping pasukan yang telah terhimpun itu, mereka yang menyebut diri mereka murid-murid dari Perguruan Kedung Jati pun telah berkumpul. Mereka datang dari berbagai daerah bukan saja di sekitar Demak, tetapi mereka pun datang dari tempat-tempat yang jauh. Dengan demikian, maka dua pasukan yang besar telah siap untuk bertemu di medan pertempuran.

Dalam pada itu, meskipun perlahan tetapi pasukan Demak itu tetap bergerak ke selatan. Kanjeng Adipati Demak sendiri memimpin pasukannya. Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer merupakan Senapati-Senapati Pengapit yang terpercaya.

Beberapa orang Senapati pilihan memimpin kesatuan-kesatuan yang dibanggakan oleh Kanjeng Adipati. Sedangkan mereka yang mengaku para murid dari perguruan terbesar, Kedung Jati, berada di antara mereka. Ki Saba Lintang sendiri memimpin pasukan dari Perguruan Kedung Jati yang besar itu, dibantu oleh beberapa orang berilmu tinggi. Wreksa Aking yang lolos dalam pertempuran pada saat Demak menjebak lima orang utusan dari Mataram, berada pula dalam pasukan itu.

Sementara itu, Naga Tengara dan Sura Gora telah memimpin pasukannya masing-masing. Ketika ia terlibat dalam pertempuran pada saat Tumenggung Gending dan Tumenggung Panjer mencegat Tumenggung Derpayuda, seharusnya ia tidak ditugaskan untuk terjun. Ia pun sebenarnya hanya ingin mengamati apa yang terjadi di pertempuran itu. Tetapi ketika ia melihat tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah, maka Naga Tengara itu pun telah didorong oleh nafsunya segera melibatkan diri dalam pertempuran itu. Namun ternyata ia pun tidak mampu berbuat apa-apa.

Selain mereka, masih ada beberapa orang berilmu tinggi yang ada di dalam pasukan Ki Saba Lintang. Agaknya Ki Saba Lintang memang mengerahkan semua kekuatan yang ada padanya. Agaknya ia tidak mau gagal. Ia ingin ikut memenangkan pertempuran itu, sehingga Demak akan berkuasa. Pimpinan pemerintahan akan berpindah dari Mataram ke Demak. Dari Pangeran ke-sepuluh ke tangan Pangeran ke-dua, meskipun Pangeran ke-dua itu lahir dari seorang selir.

Di pihak yang lain, Panembahan Hanyakrawati memimpin pasukannya untuk bergerak ke utara. Setelah bergabung dengan pasukan Pajang, maka pasukan Mataram menjadi pasukan yang sangat besar. Pasukan yang cukup kuat untuk menghadapi Demak yang seakan-akan telah mengerahkan semua manusia yang tinggal di lingkungannya.

Untuk menghindari agar tidak terulang lagi sebagaimana yang pernah terjadi, bahwa pasukan dari Pati yang menyerbu ke Mataram pada masa pemerintahan Kanjeng Panembahan Senapati berhasil menyusup ke selatan sampai ke Prambanan, maka pasukan Mataram harus bergerak lebih ke utara lagi sebelum pasukan Demak semakin mendesak ke selatan, apalagi sampai ke Prambanan.

Gerakan pasukan Mataram itu pun sudah diketahui pula oleh para pemimpin di Demak. Para petugas sandi dari Demak juga sudah melihat bahwa Mataram dan Pajang pun telah mengerahkan pasukan yang sangat besar untuk menghadapi pasukan Demak.

Namun karena itu maka Demak tidak lagi memecah pasukannya. Yang terserak di beberapa kademangan telah ditarik, justru bersama-sama anak-anak muda dan semua laki-laki yang masih kuat untuk turun ke peperangan. Ketika petugas sandi Mataram menyusup sampai ke Sima, maka agaknya Sima pun telah dikosongkan. Pasukan Demak yang ada di Sima telah ditarik ke induk pasukannya. Namun induk pasukannya-lah yang bergerak semakin ke selatan.

Namun justru karena itu, maka kemudian pasukan Mataram yang besar itulah yang kemudian berhenti di Sima.

Rasa-rasanya Sima tidak kuat lagi menyangga beban pasukan Mataram. Namun justru karena Sima telah kosong, maka pasukan Mataram pun dapat berada dimana-mana. Sepeninggal prajurit Demak dan orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati, maka rakyat Sima sendiri telah pergi mengungsi. Sementara anak-anak muda dan semua orang laki-laki yang masih kokoh telah dihirup ke dalam pasukan Demak.

Karena itulah maka keluarganya menjadi ketakutan, bahwa para prajurit Mataram akan menumpahkan dendamnya kepada mereka karena mereka ikut dianggap bersalah.

Dengan demikian maka pasukan Mataram menemukan rumah se-kademangan yang kosong, beberapa banjar padukuhan, rumah para bebahu kademangan dan padukuhan-padukuhan. Barak-barak dan penginapan penginapan dari berbagai tingkat yang sudah kosong pula. Penginapan-penginapan di dekat-dekat pasar yang terdiri dari barak-barak memanjang yang tanpa disekat, serta penginapan-penginapan yang lebih baik dengan bilik-bilik yang semula tentu terawat dengan rapi.

Karena itulah maka pasukan Mataram dan Pajang justru menganggap bahwa Sima akan dapat menjadi perkemahan pasukan yang baik, sebelum mereka bergerak lebih ke utara melewati Pegunungan Kendeng.

Sementara itu pasukan Demak masih berada di sebelah selatan Pegunungan Ungaran. Daerah di sekitar Kedung Jati dan melebar ke timur sampai ke Jung Wangi telah dipergunakan untuk perkemahan pasukan Demak yang telah siap bergerak semakin ke selatan. Tetapi karena pasukan Mataram telah berada di Sima, maka Demak pun harus menjadi semakin berhati-hati.

Namun dalam pada itu, sebelum kedua pasukan itu sempat bertemu dan berhadap-hadapan dalam gelar, maka Ki Patih Mandaraka telah menghadap Panembahan Hanyakrawati.

“Wayah Panembahan,” berkata Ki Patih Mandaraka, “aku mohon izin untuk menemui Kanjeng Adipati Demak.”

Kanjeng Panembahan Hanyakrawati terkejut. Dengan serta merta ia pun bertanya, “Untuk apa, Eyang,”

“Keberadaanku di dalam pasukan Mataram ini memang mengandung satu keprihatinan. Aku ingin mencoba untuk meredakan gejolak perasaan Kanjeng Pangeran Puger. Bukankah sejak berangkat dari Mataram aku sudah pernah menyinggungnya?”

Panembahan Hanyakrawati menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Eyang, terima kasih atas niat baik Eyang Mandaraka. Tetapi aku masih saja mencemaskan keselamatan Eyang. Ketika Ki Tumenggung Derpayuda dan beberapa orang yang lain aku utus pergi ke Demak, maka Kakangmas Adipati di Demak sampai hati untuk mencelakai utusan yang seharusnya dijamin keselamatannya.”

“Tetapi aku kira Wayah Pangeran Puger tidak akan memperlakukan aku seperti itu.”

“Kangmas Pangeran Puger tentu tidak akan berbuat demikian, Eyang. Tetapi orang-orang yang ada di sekitarnya adalah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Orang-orang yang tidak menghormati pangeran tentang utusan yang harus mendapat perlindungan dan bahkan harus dihormati.”

“Tetapi aku yakin bahwa aku tidak akan diperlakukan buruk, Wayah. Aku yakin akan hal itu. Aku hanya memerlukan dua orang saja yang aku harap dapat menyertai aku pergi menemui Kanjeng Pangeran Puger.”

Agaknya Ki Patih Mandaraka sudah bulat tekadnya untuk menemui Kanjeng Pangeran Puger, terdorong oleh keprihatinannya sebagai orang tua melibat cucu-cucunya bertengkar.

Dengan demikian maka Panembahan Hanyakrawati pun tidak dapat mencegahnya lagi. Bahkan Panembahan Hanyakrawati itu pun menawarkan sepasukan Pengawal Raja untuk mengawal Ki Patih Mandaraka.

“Tidak, Wayah. Aku hanya akan membawa dua orang saja, yang akan bersamaku menghadap Wayah Pangeran Puger.”

“Siapakah yang akan pergi menemui Kakangmas Pangeran Puger bersama Eyang?”

“Aku tidak akan menolak siapapun yang akan Wayah perintahkan pergi menyertaiku menemui Wayah Pangeran Puger.”

Panembahan Hanyakrawati termangu mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah, Eyang. Eyang akan pergi menemui Kakangmas Pangeran Puger bersama Paman Pangeran Singasari dan Adimas Pangeran Puger, yang baru saja aku tetapkan kedudukannya.”

Ki Patih Mandaraka mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Aku senang jika Wayah Panembahan memerintahkan Angger Pangeran Singasari pergi bersamaku menemui Wayah Pangeran Puger. Tetapi aku mohon agar yang menyertaiku jangan Wayah Pangeran Puger muda. Pengaruhnya tentu akan kurang baik, bahkan mungkin akan dapat menyinggung perasaan Wayah Pangeran Puger. Dengan demikian, seandainya aku dapat melunakkan hatinya, maka Wayah Pangeran Puger itu merasa sudah tidak ada lagi tempat baginya di Mataram, karena gelar yang dipergunakan telah diserahkan kepada Raden Mas Tembaga, sehingga yang kemudian bergelar Pangeran Puger di Mataram adalah Raden Mas Tembaga.”

Panembahan Hanyakrawati mengangguk-angguk. Ia memang merasa agak tergesa-gesa menyerahkan gelar Pangeran Puger kepada adiknya, Raden Mas Tembaga. Tetapi perasaannya waktu itu juga didorong oleh kekecewaannya terhadap sikap Pangeran Puger, Pangeran ke-dua. 

“Eyang,” berkata Panembahan Hanyakrawati kemudian, “kalau begitu, silahkan Eyang pergi bersama Adimas Pangeran Demang Tanpa Nangkil.”

“Baiklah, Wayah. Aku akan menghadap Wayah Pangeran Puger sepuh, Pangeran ke-dua, bersama Angger Pangeran Singasari serta Wayah Raden Mas Kedawung, yang bergelar Pangeran Demang Tanpa Nangkil.”

Demikianlah, maka Ki Patih Mandaraka yang tua itu meninggalkan perkemahan pasukan Mataram menuju ke perkemahan pasukan Demak, disertai dua orang Pangeran dari Mataram.

Jalan menuju ke perbukitan tempat pasukan Demak berkemah adalah satu jalur memanjang dari barat ke timur, bagaikan jalan di kuburan tua. Sepi. Tidak ada orang yang lewat. Rumah-rumah di sebelah-menyebelah jalan pun tidak lagi berpenghuni. Semuanya telah pergi mengungsi. Mereka tahu benar betapa garangnya para prajurit di peperangan. Yang kalah akan mendendam kepada setiap orang yang ditemuinya, tanpa menghiraukan apakah orang itu terlibat atau tidak. Sedangkan yang menang akan menjarah apapun yang ditemuinya di sekitar medan pertempuran. Semua harta benda yang berharga akan dirampas dan menjadi milik para prajurit yang memenangkan perang. Karena itu maka orang-orang yang merasa berada di garis perang, merasa lebih baik pergi mengungsi. Jika keadaan sudah reda, serta gejolak perasaan para prajurit sudah menjadi dingin, maka mereka akan kembali ke kampung halaman mereka.

Para pengawas di perkemahan pasukan Demak terkejut melihat tiga orang berkuda melewati jalan yang lengang menuju ke perkemahan mereka.

“Hanya tiga orang,” desis seorang pengawas.

“Mungkin utusan Sinuhun di Mataram untuk menemui Kanjeng Adipati Demak.”

“Apakah Mataram akan menawarkan perdamaian?”

“Kita akan menemui mereka. Kita akan bertanya, siapakah mereka dan apakah keperluan mereka.”

Beberapa orang pengawaspun kemudian telah berloncatan ke jalan yang akan dilalui oleh Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari, serta Raden Mas Kedawung yang bergelar Pangeran Demang Tanpa Nangkil.

Ki Patih Mandaraka pun segera menarik kekang kudanya, sehingga kudanya pun segera berhenti. Demikian pula kedua orang Pangeran yang menyertainya.

“Kau siapa, Ki Sanak?” bertanya pemimpin pengawas yang menghentikan Ki Patih Mandaraka.

Ki Patih Mandaraka tidak ingin terlalu banyak bicara. Ia pun segera menjawab, “Aku Ki Patih Mandaraka dari Mataram. Kedua orang yang menyertaiku adalah Pangeran Singasari serta Pangeran Demang Tanpa Nangkil.”

Para pengawas yang menghentikan ketiga orang itu memang agak terkejut. Mereka pun segera bergeser surut sambil mengangguk hormat. Pemimpin pengawas itu pun berkata, “Kami mohon maaf, karena kami tidak tahu dengan siapa kami berhadapan.”

“Baiklah. Sekarang antar kami menghadap Kanjeng Pangeran Puger.”

Pemimpin pengawas itu pun ragu-ragu sejenak. Sementara Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Kau jangan ragu-ragu. Aku tidak akan berbuat curang. Kami hanya bertiga.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-angguk kecil.

“Aku hanya ingin berbicara dengan Kanjeng Pangeran Puger.”

Pemimpin pengawas itu pun kemudian memerintahkan lima orang prajuritnya untuk mengantar Ki Patih Mandaraka ke gardu pengawas dan menyerahkannya kepada lurah prajurit yang bertugas.

“Silahkan, Ki Patih. Kami tidak dapat meninggalkan tempat ini, karena kami bertugas di sini.”

“Baik. Kalian memang harus menjalankan tugas kalian dengan sebaik-baiknya.”

Demikianlah, Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil telah diantar ke gardu pengawasan. Dua orang prajurit berjalan di depan, tiga orang yang lain berjalan di belakang.

Di gardu pengawas, kedatangan Ki Patih Mandaraka untuk menemui Kanjeng Adipati Demak juga menimbulkan keragu-raguan. Namun akhirnya Ki Lurah akan menyerahkan ketiga orang itu kepada Senapati yang bertanggung jawab di induk pasukan Demak.

“Ada pesan yang harus aku sampaikan kepada Wayah Adipati di Demak,” berkata Ki Patih Mandaraka kepada Senapati yang bertugas di induk pasukan itu. “Bukankah kalian dapat mempertimbangkan dengan nalar, apa yang dapat kami lakukan hanya bertiga? Kami hanya akan berbicara beberapa saat saja.”

Ternyata Senapati itu tidak dapat menentang wibawa Ki Patih Mandaraka. Senapati itu pun kemudian memerintahkan dua orang prajuritnya untuk menghubungi Narpacundaka Kanjeng Adipati di Demak.

“Siapakah mereka?” bertanya Narpacundaka itu.

“Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil.”

“Ki Patih Mandaraka?” Narpacundaka itu terkejut.

“Ya.”

“Ki Patih Mandaraka tentu sudah sangat tua. Apakah ia masih dapat menempuh perjalanan sejauh ini?”

“Orang itu memang sudah tua. Tetapi ia masih nampak tegar.”

Narpacundaka itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Suruh mereka kembali. Aku tidak percaya bahwa Ki Patih Mandaraka akan pergi sendiri ke Demak. Apalagi bertiga mendahului pasukan dan ingin bertemu dengan Kanjeng Adipati.”

“Jadi?”

“Suruh mereka pergi. Katakan bahwa Kanjeng Adipati tidak dapat ditemui oleh siapapun. Kanjeng Adipati baru memimpin sidang para pemimpin dan para Senapati Demak serta para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati.”

“Baik,” jawab prajurit itu sambil mengangguk hormat.

Namun ketika mereka beringsut, terdengar seseorang bertanya, “Siapa yang akan menemui aku?”

Narpacundaka itu terkejut. Ia pun segera berpaling sambil mengangguk hormat, “Tidak ada. Kanjeng.”

“Jangan berbohong. Aku mendengar prajurit itu mengatakan bahwa ada yang akan menemuiku.”

“Seorang Demang, Kanjeng. Orang yang tidak cukup berharga untuk menghadap Kanjeng Adipati.”

Tetapi Kanjeng Adipati itu pun berkata, “Panggil orang itu. Bawa ia menghadap aku.”

“Baik, Kanjeng,” jawab Narpacundaka itu. Tetapi Kanjeng Adipati itu pun segera menyahut, “Bukan kau, tetapi prajurit itu. Bawa orang yang ingin menghadap aku itu kemari. Jika yang kau bawa bukan mereka, maka kepalamu akan aku penggal di hadapan kawan-kawanmu.”

Prajurit-prajurit itu pun menjadi ketakutan. Karena itu maka mereka telah mempersilahkan Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil untuk menghadap. Namun secepat itu pula, Narpacundaka itu telah memerintahkan seorang prajurit untuk memanggil Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer.

“Keduanya harus segera datang.”

“Baik,” jawab prajurit itu.

Ketika Ki Patih Mandaraka, Pangeran Singasari dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil menghadap, maka Kanjeng Adipati Demak ternyata tidak dapat menahan gejolak perasaannya.

Dengan sendat Kanjeng Adipati Demak itu pun menyapa, “Eyang, Paman dan Adimas Kedawung, aku mengucapkan selamat datang di perkemahan ini.”

“Kami baik-baik saja, Wayah. Bagaimana dengan Wayah sekeluarga?”

“Kami semuanya baik-baik saja, Eyang.”

“Aku sudah rindu kepada keluarga Wayah di Demak. Karena itu aku memaksa untuk menemui Wayah kali ini. Angger Pangeran Singasari dan Wayah Kedawung aku minta menemani aku datang ke perkemahan ini. Sayang bahwa yang aku temui di sini hanya Wayah sendiri.”

“Eyang, tentu saja aku tidak dapat membawa keluarga ke medan perang.”

“Jika saja perang ini tidak terjadi, Wayah.”

Jantung Pangeran Puger terasa bergetar semakin cepat. Pertanyaan itu pun tiba-tiba telah muncul di hatinya, “Kenapa perang ini harus terjadi?”

“Wayah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “jika saja masih ada jalan untuk mengurungkan perang besar ini. Aku membayangkan bahwa dalam perang besar ini, berpuluh-puluh jiwa akan melayang. Namun aku juga membayangkan, bagaimana Wayah Pangeran Puger sangat mengasihi Wayah Panembahan Hanyakrawati semasa Panembahan masih kecil. Sebagai Pangeran Kedua, Pangeran Puger berselisih beberapa tahun dengan Wayah Panembahan Hanyakrawati sebagai Pangeran Kesepuluh.”

Pangeran Puger itu pun termangu-mangu sejenak. Kenangannya sempat terbang ke masa kanak-kanaknya, selagi para pangeran kecil itu masih bermain di pertamanan yang sama, meskipun mereka lahir dari ibu berbeda. Para pangeran itu sempat bermain dan bercanda bersama. Meskipun sekali-sekali para pangeran kecil itu bertengkar, namun mereka pun berbaik kembali. Di bangsal dalam, mereka bersama-sama berlatih menari. Sedangkan di masa remaja mereka pun bermain kuda bersama di ara-ara dekat Ganjur.

Sejenak suasana menjadi hening. Ki Patih Mandaraka membiarkan Kanjeng Pangeran Puger bermain dengan angan-angannya mengenang masa kecilnya. Tetapi keheningan itup un segera tersentak. Ki Tumenggung Gending-lah yang lebih dahulu memasuki ruangan.

“Jadi Ki Patih Mandaraka sendiri-lah yang sekarang datang menemui Kanjeng Adipati?” suara Ki Tumenggung Gending menghentak ruangan.

Pangeran Singasari dan Pangeran Demang Tanpa Nangkil terkejut. Tetapi Ki Patih Mandaraka sendiri justru seakan-akan tidak mendengarnya. Ki Patih yang tua itu sama sekali tidak berpaling. Bahkan Ki Patih itu pun kemudian berkata, “Wayah, itulah sebabnya aku datang menemui Wayah. Apakah aku akan sampai hati menyaksikan Wayah bertengkar dengan adik sendiri. ”

“Kenapa Ki Patih menyesalinya?” bertanya Ki Tumenggung Gending, “Justru karena Pangeran Adipati Anom itu berani melawan kakak sendiri, maka Ki Patih harus memperingatkannya. Ki Patih harus mengatakan kepadanya, bahwa yang berhak atas tahta Mataram adalah Kanjeng Pangeran Puger.”

Tetapi Ki Patih Mandaraka sama sekali tidak mendengarkannya. Ki Patih itu masih saja berkata, “Wayah Pangeran. Apakah Wayah tidak berusaha untuk mencari cara penyelesaian yang terbaik, jika terjadi perbedaan pendapat antara sesama saudara sendiri?”

“Tidak ada jalan terbaik kecuali perang, Ki Patih,” geram Ki Tumenggung Gending.

“Wayah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “sebenarnyalah bahwa Wayah Panembahan Hanyakrawati masih membuka pintu bagi Wayah Pangeran Puger untuk membicarakan persoalan-persoalan yang menyangkut perbedaan pendapat antara dua orang saudara. Mungkin Pangeran menganggap bahwa uluran tangan Wayah Panembahan Hanyakrawati dengan memberikan limpahan kekuasaan Mataram kepada Kanjeng Pangeran Puger di Demak ini keliru. Mungkin Kanjeng Pangeran Puger melihat ada kebenaran lain yang lebih mendasar dari apa yang terjadi sekarang. Mungkin Wayah Panembahan Hanyakrawati telah mengesampingkan tatanan, paugeran dan apalagi keadilan.”

“Jelas! Itu jelas,” sahut Ki Tumenggung Gending. Tetapi ketika ia masih akan berbicara lagi, tiba-tiba saja Kanjeng Adipati Demak itu pun membentak hampir berteriak, “Diam! Diam kau, Ki Tumenggung Gending!”

Ki Tumenggung Gending terkejut sekali. Kanjeng Adipati Demak tidak pernah membentaknya demikian garang. Bahkan ketika Ki Tumenggung itu akan berbicara lagi, Kanjeng Adipati itu pun menggeram, “Jika kau masih berbicara lagi, aku persilakan kau keluar.”

Peringatan itu adalah peringatan yang paling keras yang pernah diterimanya. Namun dalam pada itu, selagi Ki Tumenggung Gending mempertimbangkan keadaan, maka Ki Tumenggung Panjer pun memasuki ruangan itu. Tetapi Ki Tumenggung Panjer bersikap lebih sopan dari Ki Tumenggung Gending.

Setelah duduk, sambil mengangguk hormat Ki Tumenggung Panjer pun berkata, “Ampun Ki Patih, Pangeran Singasari dan Raden Mas Kedawung. Hamba mohon ampun, karena hamba tidak tahu bahwa Ki Patih dan kedua orang Pangeran ini berada di sini.”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas panjang. Katanya, “Kau masih sempat mengenali aku, Ki Tumenggung Panjer?”

“Tentu, Ki Patih. Hamba pernah menghadap ke Mataram pada waktu Pasowanan. Di dalam Pasowanan itu ada Ki Patih Mandaraka, ada Pangeran Singasari, dan ada pula Raden Mas Kedawung. Hamba tidak akan pernah lupa, Ki Patih.”

“Terima kasih, bahwa kau masih tetap mengenali kami. Jika demikian, kau tentu masih Ki Tumenggung Panjer yang dahulu.”

“Tentu, Ki Patih. Hamba masih Tumenggung Panjer yang dahulu. Kenapa?”

“Apakah benar begitu?”

“Ya.”

“Jika demikian, apa yang telah terjadi di Demak? Apa yang telah terjadi atas Wayah Pangeran Puger? Apa pula yang telah terjadi atas Ki Tumenggung Gending?”

“Tidak terjadi apa-apa, Ki Patih. Semuanya masih tetap seperti dahulu.”

“Lalu pasukan yang digelar memanjang di sebelah selatan Pegunungan Ungaran itu?”

“Itu merupakan usaha Kanjeng Adipati agar Mataram tetap tidak berubah. Agar Mataram tetap berpihak pada kebenaran dan keadilan. Yang seharusnya menerima tahta, biarlah menerima tahta. Karena itu adalah haknya.”

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Kau benar, Ki Tumenggung Panjer. Kalau begitu aku mengucapkan terima kasih atas sikapmu itu. Nah, sekarang katakan kepada Wayah Pangeran Puger sebagaimana kau katakan itu. Kau tentu memahami tatanan dan paugeran, sehingga kau dapat berbicara tentang kebenaran dan keadilan.”

“Tatanan dan paugeran itu disusun dalam satu masa tertentu yang berlaku sesuai dengan masanya. Jika waktu itu bergerak, gejolak dan kemauan rakyat pun bergejolak, maka tatanan dan paugeran itu harus menyesuaikan dirinya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar