Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 379

Buku 379

Ketika seorang pengawal Senapati yang sudah semakin terdesak itu mencoba untuk menghentikannya, maka sekali lagi Glagah Putih menunjukkan pertanda yang dibawanya dari Mataram.

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya pengawal yang sudah terluka bahkan cukup parah itu.

“Serahkan Senapati tertinggi dari Demak itu kepadaku.”

“Ia seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Kau lihat bahwa Senapati tertinggi dari Pajang itu mengalami kesulitan. Bahkan gelar ini pun sudah hampir pecah karenanya.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia tidak mau kehilangan waktu yang sangat berharga itu. Karena itu maka ia pun segera meloncat ke samping Senapati tertinggi Pajang yang sudah tidak berdaya. Tepat pada waktunya, Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya menangkis ayunan pedang Senapati tertinggi Demak, yang hampir saja membelah dada Senapati Pajang.

“Setan alas! Siapakah kau yang berani menggangguku? Apakah kau juga ingin membunuh diri, atau membiarkan kematianmu sebagai tumbal bagi Senapati Pajang yang sudah tidak berdaya itu?”

Glagah Putih pun memperlihatkan pertanda yang dibawanya sambil berkata, “Aku telah mengemban tugas untuk memerintahkan kepadamu agar menarik pasukanmu.”

“Perintah siapa?”

“Kau lihat pertanda ini? Pertanda yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka atas nama Kanjeng Sultan Hanyakrawati.”

Senapati Demak itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Jangan turut campur. Orang-orang Pajang-lah yang telah menyerang kami lebih dahulu.”

“Kita akan membicarakannya nanti. Tetapi tarik pasukanmu, agar pertempuran ini berhenti.”

Senapati dari Demak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang berwajah garang berteriak, “Persetan dengan Mataram!”

“Kalian akan melawan Mataram?”

“Kau dan orang-orang Pajang tentu akan menjebak kami. Jika kami menghentikan pasukan kami dan apalagi menarik mundur, maka mereka akan menerjang kami dengan buasnya, sehingga akhirnya kami-lah yang akan menjadi korban.”

“Aku juga akan menghentikan pasukan Pajang. Pertempuran ini akan berhenti sampai di sini.”

“Aku tidak peduli!” teriak orang berwajah garang, “Bunuh saja orang Mataram itu.”

“Kau siapa?” bertanya Glagah Putih, “Kau tidak mengenakan pakaian serta ciri-ciri prajurit Demak.”

“Aku Senapati yang memimpin pasukan dari Perguruan Kedung Jati.”

“Gila! Kau-lah yang tidak berhak ikut campur. Biarlah Senapati pasukan Demak mengambil keputusan.”

Namun agaknya Senapati dari Demak itu pun sudah terpengaruh pula oleh sikap orang berwajah garang itu. Karena itu maka Senapati Demak itu justru berteriak, “Hancurkan pasukan Pajang! Jangan sia-siakan kesempatan ini. Bunuh semua orang yang ada di dalam gelar Cakra Byuha, yang sudah kita jepit dengan sayap-sayap gelar Garuda Nglayang!”

Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Selesaikan orang yang mengaku Senapati dari Perguruan Kedung Jati itu.”

“Baik, Kakang.”

“Aku akan berbicara lagi dengan Senapati dari Demak ini.”

“Tidak ada yang harus dibicarakan.”

“Apakah kau sadari, bahwa jika kau tidak tunduk kepada perintah Mataram serta atas namanya, berarti bahwa kau telah memberontak?”

“Kalian tidak berhak memerintah kami.”

“Demak adalah bagian dari keutuhan Mataram. Karena itu maka Demak, termasuk segala jajaran yang berada di bawahnya, harus tunduk kepada Mataram.”

“Cukup! Sekarang kau akan mati. Kau telah mengganggu langkah terakhirku untuk membunuh Senapati Pajang yang tidak lebih dari seekor tikus kecil.”

Glagah Putih pun segera bersiap. Tetapi ia masih menggeram, “Kau sadari bahwa hukuman bagi seorang pemberontak adalah hukuman mati?”

“Aku tidak mengakui wewenang Mataram untuk menghukum seorang perwira prajurit Demak.”

“Aku tidak memerlukan pengakuanmu. Jika kau berkeras menolak perintahku, maka aku-lah yang akan membunuhmu.”

Senapati Demak itu menjadi sangat marah. Ia pun segera meloncat menyerang Glagah Putih.

Sambil meloncat menghindar, Glagah Putih pun berkata kepada Senapati Pajang, “Selamatkan gelarmu! Jika kau harus mundur, kau dan prajurit-prajuritmu harus tetap berada dalam gelar.”

Senapati dari Pajang itu menyadari bahwa jika gelar pasukannya pecah, maka korban akan semakin bertambah banyak. Karena itu, dalam keadaan luka, Senapati Pajang itu berusaha untuk meneriakkan aba-aba agar gelar pasukannya tetap utuh.

Sementara itu Rara Wulan telah berhadapan dengan orang yang berwajah garang, yang mengaku Senapati pasukan dari Perguruan Kedung Jati.

“Apakah kau benar murid Perguruan Kedung Jati?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Aku adalah murid terpercaya dari Perguruan Kedung Jati, yang ditugaskan untuk mendampingi pasukan dari Demak.”

“Siapa namamu?”

“Buat apa kau tanyakan namaku?”

“Aku adalah murid terbaik dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi aku masih tetap berdiri pada jalur jalan lurus yang diletakkan oleh para pimpinan Perguruan Kedung Jati. Sekarang, apalagi di bawah pimpinan Saba Lintang, Perguruan Kedung Jati telah keluar dari garis perjuangan yang diletakkan sejak semula.”

“Jangan membual. Jika kau benar murid dari Perguruan Kedung Jati, katakan siapa gurumu.”

“Sekar Mirah. Sedangkan Mbokayu Sekar Mirah adalah murid Ki Sumangkar. Karena itu maka aku telah menguasai ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati.”

“Omong kosong.”

“Sekarang kita buktikan. Sedangkan jika benar kau memang murid dari Perguruan Kedung Jati, maka aku memang sedang dalam tugas membabat dahan dan ranting-ranting dari Perguruan Kedung Jati yang keluar dari nilai-nilai watak dan sifatnya.”

“Semua itu omong kosong. Sekarang bersiaplah untuk mati. Apalagi kau seorang perempuan. Betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan mampu mengimbangi ilmuku.”

Demikianlah, Rara Wulan pun telah menapak ke dalam lingkaran pertempuran melawan orang berwajah garang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati, bahkan Senapati pasukan dari Kedung Jati yang berada di arena pertempuran itu.

Dalam pada itu, kesempatan Senapati Pajang untuk berada di antara prajurit-prajuritnya memang dapat mempengaruhi keadaan, sehingga pasukan Pajang masih tetap mampu bertahan dalam keutuhan gelar perangnya. Namun pasukan Pajang itu masih saja mengalami kesulitan untuk bertahan. Perlahan-lahan pasukan Pajang dalam gelar Cakra Byuha itu terdesak surut.

Namun mati-matian Senapati Pajang yang terluka itu harus berjuang keras untuk mempertahankan gelarnya. Senapati Pajang itu sendiri telah berada di sayap kiri pasukannya yang mengalami tekanan terberat. Kemudian Senapati pengapitnya, yang semula bertempur melawan orang yang mengaku Senapati pasukan dari Perguruan Kedung Jati itu, berada di sayap kanan. Keduanya sudah terluka, tetapi keduanya telah melupakan luka-luka di tubuh mereka. Dengan sisa-sisa tenaganya, mereka berusaha mempertahankan agar gelar Cakra Byuha itu tidak pecah.

Sementara itu Rara Wulan masih bertempur dengan orang yang mengaku murid terpercaya dari Perguruan Kedung Jati itu. Dengan garangnya orang itu menyerang Rara Wulan dan berniat untuk menghentikan perlawanannya dalam waktu singkat. Selanjutnya, Senapati dari Perguruan Kedung Jati itu ingin segera memecah gelar Cakra Byuha dari pasukan Pajang dan menghancurkan para prajurit Pajang sampai lumat.

Tetapi ternyata perempuan itu telah menghalanginya. Dengan tangkasnya pula Rara Wulan melawan orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu dengan ilmu yang menunjukkan ciri-ciri dari aliran ilmu Perguruan Kedung Jati.

Orang itu mulai menjadi bimbang. Ia sudah mendengar nama besar Ki Sumangkar, yang merupakan salah seorang pemimpin terbaik dari Perguruan Kedung Jati. Namun sejak itu pula telah nampak warna-warna jernih dan buram yang terdapat dalam Perguruan Kedung Jati.

Pertempuran di antara kedua orang yang sama-sama menunjukkan ciri-ciri aliran Perguruan Kedung Jati itu berlangsung dengan sengitnya. Tetapi Rara Wulan telah menempa dirinya dengan laku yang luar biasa, sehingga bobot ilmunya, meskipun ia masih berusaha untuk tetap dikenal sebagai murid Perguruan Kedung jati, menjadi semakin menyulitkan lawannya.

“Menyerahlah,” berkata Rara Wulan, “aku harus mengadilimu. Kau telah keluar dari jalan yang sebenarnya harus ditempuh oleh murid-murid Perguruan Kedung Jati.”

“Omong kosong! Aku mengemban tugas-tugas yang diberikan oleh pimpinan tertinggi dari Perguruan Kedung Jati. Aku mengemban tugas dari Ki Saba Lintang.”

“Kalau benar kata-katamu, bukan hanya kau yang harus diadili, Ki Saba Lintang pun juga harus diadili.”

“Gila! Kau sudah meremehkan nama pemimpin tertinggi dari Perguruan Kedung Jati.”

“Ki Saba Lintang-lah yang telah merusak citra dari Perguruan Kedung Jati. Seharusnya Perguruan Kedung Jati menyinarkan cahaya yang dapat membantu menerangi kegelapan di sekitarnya. Sekarang justru sebaliknya, Ki Saba Lintang telah menyebarkan kegelapan itu sendiri.”

“Persetan kau, perempuan celaka!”

Keduanya pun telah terlibat lagi dalam pertempuran yang semakin sengit. Ketika orang yang mengaku murid terpercaya dari Perguruan Kedung Jati itu menyerang Rara Wulan dengan goloknya yang besar, yang diputarnya seperti baling-baling, maka Rara Wulan pun telah mempergunakan selendangnya.

Lawannya itu pun segera menjadi bingung. Ternyata tenaga dalam Rara Wulan itu sangat besar. Meskipun ujudnya Rara Wulan adalah seorang perempuan, namun orang itu harus mengakui bahwa ia semakin lama menjadi semakin terdesak. Rara Wulan memutar selendangnya dengan cepat, sehingga seakan-akan tubuhnya telah dilapisi dengan kabut tipis namun yang tidak tertembus oleh senjata lawannya.

Bahkan ketika ujung selendang itu menyentuh kulit lawannya, maka segores luka telah menganga. Seakan-akan kulitnya itu telah tergores oleh pedang yang tajamnya tujuh kali tajam pisau pencukur.

Orang itu berteriak marah. Dihentakkannya ilmunya dengan segenap sisa kekuatan dan kemampuan yang ada padanya. Namun ternyata ilmu perempuan itu beberapa lapis lebih tinggi. Rara Wulan dengan cepat telah mendesak orang itu, sehingga orang itu menjadi semakin sulit untuk menghadapinya.

Meskipun demikian Rara Wulan tidak menjadi lengah. Jika orang itu benar-benar murid kepercayaan dari Perguruan Kedung Jati, maka tiba-tiba saja orang itu akan dapat melontarkan ilmu pamungkasnya. Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak melihat tanda-tanda bahwa orang itu akan melontarkan ilmu andalan Perguruan Kedung Jati.

Dengan demikian maka pertarungan itu pun semakin menjadi berat sebelah. Orang yang mengaku Senapati dari Perguruan Kedung Jati itu menjadi semakin tidak berdaya.

Keadaan itu ternyata sangat mempengaruhi gairah murid-murid Perguruan Kedung Jati yang dipimpinnya. Dalam keadaan yang sangat terjepit, maka Senapati dari Perguruan Kedung Jati itu pun telah memberikan isyarat agar saudara-saudara seperguruannya datang membantunya.

Meskipun dua orang murid Perguruan Kedung Jati yang lain telah bergabung dengan Senapatinya itu, namun mereka masih saja tidak mampu menahan Rara Wulan. Apalagi orang yang mengaku Senapati itu lukanya menjadi semakin parah. Selendang Rara Wulan yang menghentak dadanya bagaikan telah menghentikan nafasnya.

Ketika beberapa orang lagi berniat untuk bergabung dengan orang yang mengaku kepercayaan Perguruan Kedung Jati itu, maka prajurit-prajurit Pajang pun telah berusaha menghalanginya.

Sementara itu Senapati dari Perguruan Kedung Jati serta kedua orang saudara seperguruannya itu pun menjadi semakin terdesak. Rara Wulan memang menjadi semakin bersungguh-sungguh. Apalagi ketika kedua orang murid Kedung Jati itu telah bergabung.

Namun Rara Wulan pun kemudian meyakini bahwa para murid Saba Lintang itu belum benar-benar menguasai ilmu Perguruan Kedung Jati sampai tuntas. Karena itu maka sekali lagi Rara Wulan berkata, “Ini kesempatanmu terakhir untuk menyerah.”

“Persetan! Sebentar lagi gelar Cakra Byuha itu akan pecah. Kami akan segera menumpas para prajurit Pajang.”

Jawaban murid Perguruan Kedung Jati itu ternyata telah memperingatkan Rara Wulan bahwa ia harus segera menyelesaikan lawannya. Ia berpacu dengan waktu. Jika gelar para prajurit Pajang itu lebih dahulu pecah, maka pengaruh keberadaannya di medan tidak akan begitu besar. Bahkan mungkin ia sendiri akan mengalami kesulitan.

Karena itu maka Rara Wulan pun segera menghentakkan ilmunya. Selendangnya bergerak semakin cepat. Ketika orang yang mengaku kepercayaan Ki Saba Lintang itu mencoba meloncat sambil menjulurkan goloknya ke arah dada Rara Wulan, maka ujung selendang Rara Wulan pun telah menebas dengan cepat. Ketika ujung selendang itu menggores dada lawannya, maka dada itu pun telah menganga oleh luka.

Orang yang mengaku kepercayaan Saba Lintang itu berteriak keras sekali. Tetapi justru saat ia menghentakkan sisa kekuatannya untuk berteriak, maka darah bagaikan ditumpahkan dari luka-lukanya itu. Sejenak kemudian orang itu pun terpelanting jatuh, dan tubuhnya pun kemudian telah terbaring di tanah.

Kedua orang saudara seperguruannya telah menyerang Rara Wulan dari dua arah. Tetapi selendangnya yang berputar telah menyambar keduanya, sehingga keduanya terlempar jatuh terbaring. Punggung mereka pun rasa-rasanya bagaikan menjadi patah.

Prajurit Pajang yang melihat Senapati para murid Perguruan Kedung Jati itu terkapar, mereka pun segera berteriak, didahului oleh pemimpin kelompok prajurit yang berada di wajah gelar Cakra Byuha itu. Pemimpin kelompok itu menyadari bahwa sorak prajurit-prajuritnya akan sangat berpengaruh terhadap gejolak jiwani para prajurit yang sedang bertempur itu.

Demikian pemimpin kelompok itu bersorak, maka prajurit-prajuritnya pun bersorak pula. Sorak para prajurit itu benar-benar menggetarkan medan. Beberapa orang saudara seperguruan Senapati kepercayaan Ki Saba Lintang itu pun berusaha untuk merebut tubuhnya yang sudah tidak bernafas lagi.

Sementara itu, kematiannya telah menguncupkan keberanian saudara-saudara seperguruannya. Apalagi Rara Wulan masih saja bertempur dengan garangnya di antara para prajurit Pajang yang mempergunakan saat kematian Senapati itu dengan sebaik-baiknya.

Pemimpin kelompok prajurit Pajang itu nampaknya menguasai tugasnya bukan saja dalam mengatur gelar, tetapi juga mengerti bagaimana memanfaatkan saat-saat yang dapat mempengaruhi pertempuran itu dari beberapa sisi. Karena itu maka ia masih saja berteriak-teriak, untuk memancing agar prajuritnya yang sudah hampir kehilangan harapan itu dapat bangkit kembali.

Sebenarnyalah bahwa terjadi gejolak di induk pasukan Demak dalam gelar Garuda Nglayang itu. Sementara itu, Senapati Demak yang memimpin gelarnya justru menjadi semakin terdesak oleh Glagah Putih.

Sambil memberikan tekanan kewadagan, Glagah Putih masih sempat menunjukkan pertanda yang diterimanya dari Mataram sambil berkata lantang, “Terakhir aku memperingatkanmu! Tarik pasukanmu! Aku berjanji untuk menghentikan pasukan dari Pajang. Jika tidak, maka aku menganggapmu sebagai pemberontak. Dan karena itu aku datang untuk menjatuhkan hukuman mati kepadamu!”

Senapati pasukan Demak itu menggeram marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar bahwa orang yang membawa pertanda dari Mataram itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Meskipun demikian, pemimpin prajurit Demak itu, tidak mau menyerahkan dirinya. Ia masih saja bertempur dengan garangnya.

Namun keseimbangan pertempuran itu sudah berubah. Sayap-sayap gelar Garuda Nglayangnya tidak lagi terasa menjepit lambung gelar Cakra Byuha pasukan Pajang. Keberadaan Senapati Pajang di lambung gelarnya memang sangat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Senapati lain yang semula memimpin lambung gelar Cakra Byuha itu pun bertempur seperti harimau yang terluka.

Bersama dengan Senapati seluruh pasukan Pajang, meskipun sudah terluka, ia sempat mendesak Senapati Demak yang memimpin sayap gelarnya. Demikian pula pada lambung yang lain. Senapati yang semula bertempur melawan kepercayaan Ki Saba Lintang itu telah menggetarkan pertempuran di lambung gelarnya.

Bagaimanapun juga, pengaruh seorang Senapati dalam perang gelar sangat besar bagi prajurit-prajuritnya. Senapati Demak yang terdesak itu pun sangat mempengaruhi medan. Apalagi ketika tubuhnya mulai dilukai ikat pinggang Glagah Putih, maka perlawanannya menjadi semakin surut.

Meskipun demikian, kemarahan yang tidak terkendali masih saja membakar jantungnya. Ia menganggap bahwa kedatangan orang Mataram itu telah mengacaukan bayangan kemenangan yang sudah ada di depan hidungnya. Karena itu maka orang Mataram itu harus dibunuhnya. Namun tidak mudah bagi Senapati Demak itu untuk mengalahkan Glagah Putih. Bahkan semakin lama Senapati Demak itu semakin terdesak.

Dalam keadaan yang sangat sulit, maka Senapati Demak itu tidak mau menunda-nunda akhir dari pertempuran itu. Ia harus segera menghentikan perlawanan orang Mataram itu. Meskipun semakin lama ia menjadi semakin terdesak, namun ia tidak yakin bahwa orang Mataram itu akan mampu menahan aji pamungkasnya.

Karena itu, ketika Senapati Demak itu tidak mempunyai kesempatan lagi dalam pertempuran itu, maka ia pun segera meloncat surut untuk mengambil ancang-ancang.

Beberapa orang prajuritnya yang terdesak tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Senapatinya itu. Karena itu maka mereka pun segera menempatkan diri. Demikian orang Mataram itu dikenai aji pamungkas dan terlempar jatuh, maka mereka pun akan bersorak dan sekaligus menyerang orang-orang Pajang seperti banjir bandang. Orang-orang Pajang itu tentu akan kehilangan segala harapan ,sehingga mereka akan dengan mudah dapat dilumatkan.

Sementara itu Glagah Putih yang melihat lawannya mengambil ancang-ancang, tahu pasti bahwa Senapati Demak itu akan menyerangnya dengan aji pamungkasnya. Karena itulah maka Glagah Putih tidak mau kehilangan kesempatan. Ia tidak tahu seberapa tinggi tataran kekuatan aji pamungkas Senapati dari Demak itu.

Karena itu, demikian orang itu melepaskan aji pamungkasnya, yang berujud bagaikan gumpalan lidah api yang menjulur dan kemudian terbang ke arah Glagah Putih, maka Glagah Putih pun telah melepaskan aji pamungkasnya pula. Seleret sinar meluncur dari telapak tangan Glagah Putih, membentur gumpalan lidah api yang dilepaskan oleh Senapati Demak itu.

Sebuah benturan yang menggetarkan telah terjadi. Namun tingkat kemampuan Senapati dari Demak itu masih beberapa lapis di bawah kemampuan Glagah Putih. Karena itu, ketika benturan itu terjadi, Glagah Putih memang tergetar, tetapi ia tidak terdorong surut. Sementara itu Senapati Demak itu telah terlempar beberapa langkah. Tubuhnya terbanting di tanah.

Ternyata Senapati Demak itu tidak lagi sempat menggeliat. Demikian benturan itu terjadi, maka seluruh isi dadanya bagaikan menjadi lumat. Tulang-tulang iganya bagaikan berpatahan.

Yang kemudian bersorak adalah para prajurit Pajang, Gelora sorak mereka bagaikan mengguncang bumi tempat mereka berpijak.

Kematian Senapati Demak bagaikan tubuh yang telah kehilangan tulang-tulangnya. Gelora jiwa pasukannya untuk bertempur dan menghancurkan prajurit Pajang, bagaikan terbang dihembus angin prahara. Beberapa orang prajurit Demak segera berusaha menyingkirkan tubuh Senapatinya dan membawanya ke belakang garis pertempuran. Tetapi prajurit Pajang tidak melewatkan kesempatan itu. Satu saat yang sangat menentukan tidak boleh dilewatkan.

Karena itu, yang kemudian bersorak tidak hanya prajurit Pajang yang ada di bagian depan gelar Cakra Byuha yang hampir saja pecah itu, tetapi semua prajurit Pajang pun telah bersorak, meskipun mereka yang berada di belakang masih belum tahu. apa yang telah terjadi.

Namun sejenak kemudian seorang penghubung telah menyampaikan berita itu ke bagian belakang gelar Cakra Byuha, yang telah melibatkan diri bertempur bersama-sama para prajurit Pajang yang berada di lambung.

Kematian dua orang Senapati yang menjadi kebanggaan para prajurit Demak itu telah membuat seluruh pasukannya menjadi sangat gelisah. Apalagi mereka yang berada di induk pasukan itu tidak ada yang mampu untuk menahan Glagah Putih dan Rara Wulan, yang bertempur bersama-sama para prajurit dari Pajang.

Akhirnya, bukan gelar Cakra Byuha dari Pajang yang pecah, tetapi gelar Garuda Nglayang dari Demak-lah yang kemudian terdesak surut. Namun para pemimpin kelompok prajurit Demak serta mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati itu berusaha sekuat tenaga agar mereka bergerak mundur dalam gelarnya yang masih utuh. Baru ketika mereka sudah hampir sampai di padukuhan, gelar Garuda Nglayang itu pun telah terpecah.

Tetapi para prajurit itu pun dengan cepat menyelinap ke dalam padukuhan yang terdekat. Sementara itu Glagah Putih telah meneriakkan aba-aba agar pasukan Pajang tidak mengejar mereka. Baik dalam gelar Cakra Byuha, atau dalam gelar yang lain seperti gelar Glatik Neba, untuk memburu para prajurit Demak yang bagaikan hilang di padukuhan.

Para Senapati dan pemimpin kelompok prajurit Pajang dengan susah payah telah menahan pasukan mereka agar tidak memasuki padukuhan, karena mereka tidak mengenal medannya sebaik para prajurit Demak yang telah menyusup ke dalamnya. Dengan demikian pasukan Pajang yang masih dalam tatanan gelar Cakra Byuha itu berhenti di hadapan padukuhan yang masih termasuk dalam lingkungan Kademangan Sima itu.

Senapati Pajang yang memimpin pasukan Pajang itu pun kemudian telah menemui Glagah Putih. Dengan lantang ia pun berkata, “Kenapa kita tidak langsung memasuki Kademangan Sima? Bukankah pasukan Demak itu sudah kehilangan kemampuannya untuk melawan pasukan kami?”

“Kalian tidak akan mungkin dapat memasuki Sima dalam keadaan yang memungkinkan kalian untuk menguasai Sima,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa?”

“Kau sadari bahwa pasukanmu sebenarnya sudah sangat parah? Hanya karena gertakan terakhir dengan terbunuhnya kedua orang Senapati tertinggi dari Demak dan Perguruan Kedung Jati itu sajalah, kalian dapat mendesak gelar pasukan Demak.”

“Tidak. Jika kita sempat memburu mereka, maka kita akan menghancurkan mereka di Kademangan Sima.”

“Pasukanmu tidak akan mampu melakukannya. Lihat kenyataan itu. Kau sendiri sudah terluka, bahkan agak parah. Demikian pula senapati pendampingmu. Bahkan para prajurit Demak tentu lebih mengenali medan daripada kalian. Gelar Garuda Nglayang itu tentu akan mereka tinggalkan. Yang akan terjadi adalah perang brubuh. Apakah kalian siap bertempur dalam perang brubuh di medan yang lebih banyak dikenal oleh musuh-musuh kalian?”

“Prajurit Pajang adalah prajurit yang terlatih. Tidak kalah tanggon dengan prajurit Mataram.”

“Aku tahu. Tetapi kenapa kalian tidak mau melihat kenyataan yang baru saja terjadi dengan pasukanmu? Sekarang aku nasehatkan kau menarik pasukanmu mundur ke perkemahan. Sementara itu matahari sudah semakin rendah. Jika kalian nekad memasuki Sima, seandainya kalian dapat menduduki satu pedukuhan yang berada di hadapan kita, namun setelah matahari terbenam, maka kalian akan dilumatkan.”

“Ternyata kau justru menghalangi tugas kami.”

“Baik, baik. Jika demikian, bawa pasukanmu memasuki neraka yang ada di hadapanmu itu.” Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Marilah kita pergi. Aku tidak sampai hati melihat para prajurit Pajang ini esok pagi tidak lagi memiliki kepalanya masing-masing, karena semalaman mereka akan dibantai oleh prajurit Demak yang lebih menguasai medannya.”

“Kalian akan kemana? Kalian akan meninggalkan tugas kalian begitu saja?”

“Tugas apa?”

“Bukankah kalian prajurit dari Mataram? Kalian seharusnya ikut berjuang bersama kami untuk menindas pemberontakan Demak, mumpung masih belum berkembang semakin besar.”

“Aku memang petugas dari Mataram, tetapi aku mempunyai tugasku sendiri bersama istriku. Jika aku melibatkan diri di pertempuran ini, karena aku berniat untuk melerainya jika mungkin. Karena hal itu tidak mungkin aku lakukan, maka aku justru menempatkan diri bersama pasukan Pajang, karena aku tahu bahwa Demak mulai meninggalkan ikatan persatuannya dengan Mataram.”

“Kemudian sekarang kau akan meninggalkan kami?”

“Saranku, kembalilah ke kemah.”

Senapati Pajang itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun memberi isyarat kepada pasukannya untuk kembali ke perkemahan.

Dalam gerak surut itu, pasukan Pajang sempat mencari korban pertempuran yang baru saja berlangsung. Yang terbunuh dan yang terluka parah. Sementara langit pun menjadi semakin muram.

Ketika malam turun, para prajurit Pajang itu telah menyalakan api di tengah-tengah perkemahannya, sementara di dapur asap pun telah mengepul pula.

Sementara itu beberapa orang tabib yang ada dalam pasukan Pajang itu telah bekerja keras untuk mengobati orang-orang yang terluka.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menemui Senapati Pajang yang terluka itu. Ada beberapa hal yang akan disampaikannya kepada Senapati Pajang itu.

“Sebaiknya kau bawa pasukanmu kembali ke Pajang sebelum fajar besok dengan diam-diam,” berkata Glagah Putih.

“Kenapa? Kau ini sebenarnya mau apa? Apakah kau ingin agar tugas yang aku emban ini gagal?”

“Tidak. Tetapi kau harus mengerti bahwa Demak akan dapat mengerahkan pasukan dua kali lipat dari pasukannya hari ini. Pasukan Demak dan pasukan Perguruan Kedung Jati telah mempersiapkan Sima dengan baik. Demak mempunyai sepasukan Wiratani yang terlatih dan yang jumlahnya banyak sekali. Sebelum kalian datang, anak-anak muda Sima, bahkan semua laki-laki yang masih kuat, telah dilatih perang-perangan sepekan dua kali, sehingga mereka telah mempunyai kesiagaan kewadagan yang kuat. Sementara mereka melakukan latihan-latihan kewadagan, maka jiwa mereka pun setiap kali selalu diracuni dengan janji-janji yang membuat mereka kehilangan kepribadian mereka.”

“Kami tidak akan gentar menghadapi pasukan yang tidak disiapkan dengan baik. Jumlah orang tidak banyak berpengaruh terhadap kekuatan sebuah pasukan yang kokoh, seperti pasukan Pajang sekarang ini.”

“Jangan meremehkan kekuatan pasukan Demak di Sima. Jika kalian minta bantuan pasukan ke Pajang, maka kalian sudah terlambat. Besok saat fajar menyingsing, mereka sudah ada di sekitar perkemahan ini.”

Tetapi Senapati Pajang yang terluka itu menggeleng sambil berkata, “Aku tidak akan pergi. Aku akan menghancurkan mereka. Apakah mereka yang datang kemari, atau aku yang akan datang ke Kademangan Sima.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Rara Wulan-lah yang bertanya, “Jadi, apakah rencanamu besok?”

“Besok aku akan mempersiapkan pasukanku sebaik-baiknya. Tetapi besok aku tidak akan menyerang. Aku akan bertahan di perkemahan ini jika mereka menyerang. Jika benar seperti yang kau katakan, bahwa pada saat fajar menyingsing mereka sudah ada di sekitar perkemahan ini, maka kita akan menghancurkan mereka dengan gelar Jurang Grawah.”

“Aku nasehatkan sekali lagi, tinggalkan perkemahan ini.”

“Jangan halangi aku. Aku berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan aku dan gelarku hari ini. Tetapi kau tidak berhak menghentikan aku.”

“Ganjaran apa yang kau harapkan, sehingga kau kehilangan perhitunganmu sebagai seorang Senapati? Mungkin kau mendapat keterangan yang keliru tentang Sima. Tetapi apa yang terjadi hari ini seharusnya merupakan peringatan bagimu.”

“Terima kasih atas kepedulianmu Tetapi kau justru telah menyinggung perasaanku, seakan-akan aku adalah pemburu ganjaran, sehingga aku menjadi mata gelap.”

“Aku minta maaf,” sahut Glagah Putih. Lalu katanya, “Tetapi pertimbangkan pendapatku.”

“Aku sudah mempertimbangkannya.”

“Dan kau tetap pada pendirianmu?”

“Ya.”

“Jika demikian, terserah kepadamu. Kau-lah Senapati pasukan Pajang di Sima. Sehingga karena itu maka kau-lah yang bertanggung jawab. Segala sesuatunya terserah kepadamu.” Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Rara, marilah kita pergi. Kita tidak berguna lagi di sini.”

“Sebenarnya aku minta kalian tetap tinggal.”

“Kalau kau dengarkan pendapatku, aku akan tetap bersama kalian dalam perjalananmu kembali ke Pajang malam ini.”

“Maaf, Ki Sanak. Aku tidak akan mengingkari tugasku sebagai seorang Senapati.”

“Bukan mengingkari. Tetapi seorang Senapati juga mempertanggungjawabkan nyawa setiap prajurit yang ada di dalam pasukannya. Tidak seorangpun di antara mereka yang pantas untuk mati dengan sia-sia. Jika nyawa itu dapat diselamatkan, maka nyawa itu harus diselamatkan.”

“Aku bukan seorang pengecut, Ki Sanak.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata kepada Rara Wulan, “Marilah. Sebaiknya kita pergi.”

Rara Wulan pun bangkit pula. Ketika ia siap untuk meninggalkan tempat itu, ia pun masih mencoba untuk memperingatkan Senapati Pajang itu. “Kirimlah petugas sandi ke Sima. Lihat, apa yang dilakukan oleh para prajurit Demak dengan pasukannya, serta usaha mereka untuk mengumpulkan para Wiratani. Mungkin sekarang sudah ditabuh isyarat suara kentongan untuk mengumpulkan para Wiratani itu, tetapi suara kentongan itu tidak terdengar dari perkemahan ini. Namun jika kau kirim orang yang terpercaya, maka mereka akan dapat memberikan laporan kepadamu.”

“Terima kasih atas peringatan ini, Nyi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan perkemahan para prajurit Pajang itu. Keduanya merasa sangat kecewa terhadap sikap Senapati Pajang, yang menurut pendapat Glagah Putih dan Rara Wulan terlalu sombong, sehingga tidak sempat melihat kenyataan yang dihadapinya.

“Senapati itu memerlukan peringatan,” desis Glagah Putih.

“Tetapi sebenarnya aku tidak sampai hati meninggalkan perkemahan itu,” sahut Rara Wulan.

“Apa boleh buat. Senapati yang keras kepala itu sama sekali tidak mendengarkan pendapat orang lain. Tetapi mudah-mudahan kemampuan serta jumlah orang-orang Sima yang sudah terpengaruh oleh Demak tidak sebanyak yang kita bayangkan.”

“Tetapi prajurit Demak dan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati akan mengerahkan mereka, seperti memaksa sekelompok itik keluar dari kandangnya untuk dibawa ke tempat penggembalaan di parit-parit sebelah padukuhan.”

“Ya. Dan itu sangat mencemaskan.”

Sebenarnyalah malam itu Senapati Pajang telah mengirimkan beberapa orang petugas sandi untuk melihat keadaan di Sima Menjelang tengah malam, mereka yang telah kembali memberikan laporan yang bersamaan.

“Di seluruh Sima telah terdengar suara kentongan dengan irama yang khusus. Tiga kali, tiga ganda. Terus-menerus tidak henti-hentinya. Di bulak yang baru panen di sebelah padukuhan induk telah berkumpul orang yang jumlahnya tidak terhitung. Mereka adalah anak-anak muda dan laki-laki yang masih kokoh dari seluruh Kademangan Sima, dan bahkan dari kademangan-kademangan di sekitarnya. Agaknya mereka telah menjalani latihan yang cukup. Mereka pun mengenakan pakaian yang seragam dengan senjata yang memadai. Bukan berjenis-jenis senjata seadanya. Meskipun tidak setangkas prajurit, namun nampaknya mereka pernah mendapatkan latihan-latihan yang cukup,” berkata seorang petugas sandi yang berhasil mendekati tempat orang-orang Sima itu berkumpul.

Senapati Pajang itu tidak dapat mengabaikan laporan-laporan yang diterimanya itu. Ia harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Diam-diam Senapati Pajang itu mulai mengakui kebenaran pendapat orang Mataram yang telah menyelamatkan nyawanya dan bahkan gelar pasukannya, yang juga berarti menyelamatkan banyak nyawa.

Ketika dua orang yang meronda di luar perkemahan kembali, maka keduanya juga melaporkan bahwa mereka telah mendengar suara kentongan lamat-lamat di seluruh Kademangan Sima, dan bahkan di kademangan-kademangan di sekitarnya. Senapati tertinggi Pajang yang sudah terluka itu pun segera memanggil para senapati yang membantunya, untuk membicarakan langkah-langkah yang akan mereka ambil.

“Kita harus segera mengambil keputusan. Waktu semakin mendesak,” berkata Senapati itu. Namun akhirnya para senapati itu mengambil keputusan untuk meninggalkan perkemahan.

“Kita sama sekali bukan pengecut,” berkata seorang senapati yang bertugas memimpin pasukan Pajang yang berada di lambung. “Tetapi jika kita tetap akan memberikan perlawanan menghadapi musuh yang jumlahnya berlipat ganda, maka itu berarti bahwa kita membiarkan prajurit-prajurit kita mati dengan sia-sia. Padahal jika mereka masih tetap hidup, pada kesempatan lain mereka akan dapat memberikan arti yang lebih besar lagi bagi perjuangan ini.”

“Baiklah,” berkata Senapati tertinggi pasukan Pajang itu, “kita memang tidak boleh mengingkari kenyataan.”

Maka Senapati tertinggi itu pun kemudian telah mengeluarkan perintah agar pasukan Pajang itu bersiap untuk meninggalkan perkemahan.

“Biarlah api tetap menyala. Biarlah dapur tetap mengepul. Yang harus kita bawa adalah para prajurit yang gugur serta mereka yang terluka parah. Jangan ada yang tertinggal. Semua harus tetap berada dalam barisan.”

Prajurit Pajang itu pun segera melaksanakan perintah. Sebenarnyalah para prajurit Pajang dapat mengerti kenapa mereka harus menarik diri. Meskipun ada pula di antara mereka yang menjadi kecewa karena mereka merasa sudah berada di mulut Kademangan Sima. Namun para pemimpin kelompok pun segera menjelaskan apa yang sebenarnya mereka hadapi.

“Yang kita hadapi adalah bengawan yang banjir. Kita tidak akan mampu melawan arusnya. Jumlah prajurit Demak dan para Wira Tani dari Sima tidak dapat dihitung. Bahkan seandainya mereka berlari-lari saja di perkemahan ini tanpa membawa senjata, maka kita semuanya akan mati terinjak-injak. Apalagi mereka adalah orang-orang yang sudah terlatih, di samping prajurit Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Namun ada saja di antara para prajurit, bahwa rasa-rasanya mereka tidak rela untuk pulang dari medan dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Yang gugur sudah jelas akan dianggap sebagai seorang pahlawan. Yang terluka pun akan dihormati. Tetapi mereka yang pulang sambil menunduk dengan senjata yang berada di dalam sarungnya, tidak akan berani menatap wajah-wajah mereka yang menyambutnya di pinggir jalan. Mereka tidak akan dapat menjawab jika ada yang bertanya, “Apakah Sima sudah kau rebut?” Sima telah terlepas dari tangan mereka.

“Biarlah para Senapati mempertanggungjawabkannya di hadapan rakyat dan para pemimpin di Pajang,” berkata para pemimpin kelompok, “bukankah kita tinggal menjalankan perintah?”

Demikianlah, sejenak kemudian pasukan Pajang itu pun sudah bersiap untuk meninggalkan perkemahan mereka. Semua panji-panji, kelebet dan umbul-umbul telah digulung. Tetapi mereka membiarkan api di tengah tengah perkemahan tetap menyala. Bahkan beberapa orang telah menambah menaburkan kayu-kayu kering ke dalam api. Demikian pula perapian di dapur, masih saja tetap mengepul.

Para petugas sandi dari Demak yang kemudian datang mengawasi keadaan, masih tetap menganggap bahwa prajurit Pajang masih tetap berada di perkemahan. Api di tengah-tengah perkemahan itu masih tetap menyala dan asap di dapur tetap mengepul.

Di dalam gelapnya malam, pasukan Pajang itu bagaikan ular raksasa yang merayap perlahan-lahan. Tidak ada obor yang terpasang. Pasukan itu berjalan di dalam gelapnya malam, yang terasa semakin pekat jika mereka memasuki padukuhan-padukuhan yang sudah tertidur lelap.

Sampai menjelang dini, pasukan Demak masih belum tahu bahwa perkemahan prajurit Pajang itu sudah kosong. Baru ketika mereka melihat lewat para petugas sandi bahwa api di perkemahan itu mulai mengecil dan bahkan hampir padam, tanpa ditambah kayu-kayu kering lagi, mereka mulai menjadi curiga. Dua orang petugas sandi pun kemudian sepakat untuk merayap lebih dekat lagi.

“Hati-hati. Orang Pajang itu licik. Mungkin mereka sedang membuat jebakan.”

Namun semakin dekat dengan perkemahan, maka mereka menjadi semakin curiga. Perkemahan itu nampak sepi seperti kuburan.

“Tidak ada orang. Tidak ada rontek, umbul-umbul dan panji-panji,” desis yang seorang. Tetapi kawannya menyahut, “Justru karena itu kita harus sangat berhati-hati. Ini tentu cara licik yang dipergunakan oleh orang-orang Pajang untuk menjebak kita.”

“Lihat, api hampir padam. Tidak ada apa-apa.”

Meskipun demikian, kawannya masih juga sangat berhati-hati, bahkan menjadi semakin curiga melihat keadaan perkemahan orang-orang Pajang.

Namun akhirnya mereka merayap semakin dekat. Mereka pun berusaha berputar mengelilingi perkemahan itu. Namun mereka tidak menemukan apa-apa selain api yang sudah akan padam serta asap yang masih mengepul. Bahkan akhirnya keduanya pun menjadi semakin dekat dan justru memasuki perkemahan yang memang telah kosong itu.

“Kosong. Perkemahan ini memang sudah kosong,” berkata yang seorang lagi.

“Ya. Kita sudah tidak mendapatkan apa-apa lagi selain beberapa barang yang ketinggalan. Agaknya mereka pergi dengan tergesa-gesa.”

“Tentu belum terlalu jauh.”

“Marilah segera kita laporkan kepada Senapati tertinggi. Maksudnya yang memangku tugas Senapati itu, sepeninggal Senapati tertinggi pasukan gabungan kita.”

Keduanya pun kemudian dengan tergesa-gesa kembali ke Sima.

Sementara itu di bulak sawah di sebelah padukuhan induk Sima, yang padinya sudah dipanen, anak-anak muda dan bahkan laki-laki Sima dan sekitarnya yang masih kokoh, telah dikumpulkan. Mereka siap dengan senjata mereka masing-masing. Senjata yang sudah sejak sebelumnya dibagi di antara mereka oleh para prajurit Demak. Bahkan senjata-senjata itu sudah pula mereka pergunakan untuk latihan-latihan.

Selain anak-anak muda dan semua laki-laki yang masih kokoh, yang sebagian besar adalah para petani dan disebut pasukan Wiratani itu, mereka didampingi oleh para prajurit Demak dan murid-murid dari Perguruan Kedung Jati yang benar-benar sudah terlatih dengan baik.

Namun selagi seorang Senapati yang mengemban tugas Senapati Tertinggi sepeninggal Senapati Tertinggi yang sebenarnya, yang telah terbunuh di pertempuran, mengatur dan membicarakan rancangan serangan yang akan mereka lakukan atas perkemahan para prajurit Pajang, maka dua orang pengamat yang telah menemukan perkemahan orang Pajang itu kosong, telah datang untuk memberikan laporan.

“Kenapa kosong?” bertanya Senapati itu.

“Kami tidak tahu. Tetapi kenyataan itu yang kami temui.”

“Mungkin itu merupakan salah satu tipuan orang-orang Pajang untuk menjebak kita.”

“Mungkin sekali,” sahut seorang senapati yang bertugas di sayap kanan.

“Pada saat kita menyerang perkemahan itu, maka pasukan Pajang yang sudah tidak ada di perkemahan itu akan langsung menyerang padukuhan induk Kademangan Sima dan mendudukinya.”

“Kita memang harus berhati-hati menghadapi akal-akal licik orang-orang Pajang,” sahut senapati yang lain.

Karena itu, maka yang menjadi Senapati Pengganti itu pun kemudian memutuskan, “Kita tidak akan menyerang besok saat fajar menyingsing. Malam ini justru kita akan mengatur pertahanan atas Kademangan Sima dengan sebaik-baiknya. Mungkin orang-orang Pajang itulah yang justru akan datang menyerang. Baru besok kita akan meyakinkan keadaan. Kita akan mengambil sikap segera setelah kita mengetahui keadaan yang sebenarnya. Sekarang, kita sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk mencari keberadaan mereka. Tetapi kita memperhitungkan bahwa besok pagi-pagi sekali mereka akan datang seperti siluman, sebelum matahari terbit.”

“Kita tidak usah menunggu lagi. Sekarang kita harus mulai mengatur pertahanan itu. Mungkin mereka tidak menunggu dini hari.”

“Baik. Sekarang kita persiapkan pertahanan di sekitar padukuhan induk. Sementara kita akan mengirimkan kelompok-kelompok prajurit dan para Wiratani ke padukuhan-padukuhan kecil di sekitar padukuhan induk. Jika terjadi sesuatu, misalnya ternyata pasukan Pajang datang menyerang, maka kita semuanya dimanapun kita bertugas, harus membunyikan isyarat, agar kita masing-masing dapat segera mengambil sikap.”

Demikianlah, pada saat itu juga Senapati Pengganti itu telah mengatur tugas. Beberapa kelompok telah ditugaskan untuk pergi ke padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk. Sementara itu pasukan Demak dan para murid dari Perguruan Kedung Jati telah dipersiapkan untuk dapat bergerak cepat kemana saja. Mereka berada di banjar kademangan, di rumah Ki Demang serta para bebahu yang lain. Namun segala sesuatunya sudah diatur dengan sebaik-baiknya, jika pada saatnya pasukan itu harus bergerak.

Dalam pada itu, pasukan Pajang yang kembali ke Pajang telah menjadi semakin jauh dari Sima. Mereka telah membawa kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka.

Senapati Pajang yang terluka itu menjadi berdebar-debar ketika ia melihat dua sosok orang yang berdiri di tengah jalan yang akan dilalui oleh pasukannya. Ternyata keduanya adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Selamat malam,” sapa Glagah Putih kepada Senapati Pajang yang berjalan di paling depan.

Senapati itu pun segera mengenali mereka berdua. Dengan nada berat Senapati itu pun menjawab, “Selamat malam.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjalan bersama mereka ke arah Pajang.

“Akhirnya kami telah melakukan sebagaimana kalian pesankan,” berkata Senapati yang telah terluka itu.

“Syukurlah,” sahut Glagah Putih, “sebenarnyalah kami berdua sangat mencemaskan keadaan seluruh pasukan. Kami memang tidak sampai hati untuk pergi terlalu jauh meninggalkan kalian.”

“Sepeninggal kalian, aku telah mengirim petugas sandi untuk melihat keadaan di Kademangan Sima. Ternyata benar seperti yang kalian katakan, bahwa di Sima telah bersiaga pasukan Wiratani yang tidak terhitung jumlahnya.”

“Kau akan sangat mengalami kesulitan menghadapi mereka,” berkata Glagah Putih. “Mungkin pasukanmu memiliki ketrampilan jauh lebih tinggi dari para petani yang terpaksa turun ke medan pertempuran itu, entah apapun alasannya. Jika kalian memaksa diri untuk bertahan, maka korban akan tidak dapat dihitung lagi. Mungkin dengan kelebihan para prajurit Pajang, kalian akan dapat bertahan beberapa lama. Namun dalam pertempuran yang terjadi maka prajurit-prajuritmu akan membantai para petani itu, sementara para prajurit Pajang pun akan berguguran.”

“Kau benar. Karena pertimbangan itulah, maka kami akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri, kembali ke Pajang.”

“Pajang harus membuat persiapan-persiapan yang lebih matang untuk menghadapi Demak, yang telah dengan tanpa ragu-ragu mengerahkan para Wiratani untuk maju ke medan pertempuran.”

Senapati yang terluka itu mengangguk-angguk.

“Kalian harus menemukan cara terbaik untuk menghindari korban yang terlalu banyak di kedua belah pihak. Prajurit-prajurit kalian sendiri, serta para petani yang akan menjadi lawan-lawan kalian.”

“Ya. Aku akan memberikan laporan terperinci.”

“Baiklah. Kami pun akan segera pergi ke Mataram, agar Mataram dapat mengambil langkah-langkah terbaik. Jika mungkin, Mataram tidak usah berperang melawan Demak. Apalagi yang memimpin Kadipaten Demak adalah saudara tua Kanjeng Sultan di Mataram.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika terpaksa harus dilakukan kekerasan, maka Pajang akan siap untuk bertempur bersama para prajurit Mataram, melawan Demak yang telah bekerja sama dengan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

“Mudah-mudahan akan dapat dilakukan sekaligus. Penyelesaian dengan Demak dan dengan Perguruan Kedung Jati itu.”

Senapati Pajang itu pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, iring-iringan pasukan Pajang itu pun semakin lama menjadi semakin mendekati Pajang.

Sebenarnya Senapati yang memimpin pasukan itu ingin agar mereka sampai di Pajang sebelum fajar. Karena itu, setiap kali ia memerintahkan agar pasukannya berjalan semakin cepat. Tetapi karena mereka membawa kawan-kawan mereka yang gugur serta yang terluka, maka kadang-kadang mereka masing-masing harus memperlambat perjalanan mereka sejenak.

Demikianlah, ketika langit menjadi merah oleh percikan cahaya matahari pagi, iring-iringan pasukan yang kembali dari Sima itu pun memasuki pintu gerbang Pajang. Namun demikian pasukan itu mendekati pintu gerbang, mereka sudah tidak lagi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan, yang telah memisahkan diri. Mereka akan langsung menuju ke Mataram untuk menyampaikan hasil perjalanan mereka untuk melacak para pengikut Ki Saba Lintang. Namun yang mereka dapatkan justru lebih dari pelacakan terhadap para pengikut Ki Saba Lintang itu.

Sementara pasukan Pajang itu memasuki pintu gerbang Pajang, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah menempuh perjalanan ke barat, menuju ke Mataram. Ternyata ketahanan tubuh keduanya memang sangat tinggi. Setelah menjalani laku serta latihan-latihan yang panjang, maka keduanya memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari para prajurit Pajang.

Demikian para prajurit Pajang itu sampai di Pajang, setelah diterima oleh Senapati yang berkewajiban, serta mereka telah diijinkan memasuki barak mereka, mereka pun langsung mencari tempat untuk beristirahat. Mereka merasa sangat letih setelah kemarin mereka bertempur dalam gelar hampir sehari penuh. Kemudian sambil kembali ke perkemahan, mereka harus mencari dan kemudian membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka parah. Ketika mereka sampai di perkemahan, mereka rasa-rasanya masih belum sempat beristirahat. Apalagi para petugas sandi yang harus pergi ke Sima untuk melihat perkembangan keadaan, sementara yang lain harus meronda, berjaga-jaga, serta ada pula yang bertugas di dapur.

Pada saat-saat mereka beristirahat itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih menempuh perjalanan ke Mataram. Namun mereka masih nampak segar. Langkah-langkah mereka masih tetap tegar. Namun ketika kemudian matahari memanjat naik, maka mereka memang merasa haus dan lapar.

“Kita berhenti sejenak, Rara.”

“Di pasar atau di kedai?” bertanya Rara Wulan.

“Di kedai saja. Kita mempunyai beberapa pilihan yang akan kita pesan.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan singgah di kedai. Tetapi seandainya kita berhenti di pasar, tentu juga akan terdapat banyak pilihan.”

“Tetapi agak lebih tenang di kedai, yang tidak berjejalan. Kita pilih kedai yang sepi, yang sedang tidak banyak pembelinya.”

Keduanya pun kemudian singgah di sebuah kedai yang memang agak lebih sepi dibandingkan dengan kedai-kedai yang lain, yang berjajar berseberangan jalan dengan sebuah pasar yang terhitung ramai. Meskipun kedai itu terhitung sepi, tetapi ada juga beberapa orang yang sudah duduk di dalamnya.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mengambil tempat di sudut kedai itu. Seorang pelayan mendekatinya dan menanyakan apakah yang akan mereka pesan.

“Ada dawet cendol?” bertanya Glagah Putih.

“Ada, Ki Sanak.”

“Kami minta dua mangkuk dawet cendol dan dua mangkuk nasi rawon. Aku lihat ada nasi rawon di sini.”

“Ada, Ki Sanak. Kami menyediakan rawon iga-iga sapi.”

“Bagus. Beri kami dua mangkuk.”

Ketika pelayan itu pergi, Rara Wulan berdesis, “Kakang minta yang aneh-aneh.”

“Tentu nikmat sekali. Rawon iga-iga. Tentu bukan tulang iganya, tetapi daging di tulang iga.”

Rara Wulan pun tersenyum.

Sambil menunggu maka keduanya mendengarkan apa yang dibicarakan orang-orang yang ada di kedai itu. Apakah mereka juga berbicara tentang perang di Sima yang baru terjadi kemarin.

Tetapi agaknya berita tentang perang di Sima masih belum mengalir ke Selatan. Mereka masih belum berbicara tentang hubungan antara Demak dan Pajang serta Mataram. Mereka masih saja berbicara tentang keadaan kehidupan mereka sehari-hari.

“Berita tentang perang itu belum sampai kemari. Atau mungkin orang-orang di sini masih tidak peduli akan suasana yang semakin panas di Utara.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Nampaknya mereka masih belum menghiraukan apa yang terjadi di sebelah Utara. Namun pada suatu saat, jika kekacauan itu mengalir ke Selatan, mereka akan terkejut.”

“Pada saatnya mereka akan mengetahuinya,” desis Glagah Putih, “apalagi Demak dan para pengikut Ki Saba Lintang itu tentu tidak akan begitu saja pergi ke Selatan. Pertempuran di Sima itu akan membuat mereka lebih memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Ternyata bahwa Pajang juga sudah mempersiapkan dirinya dengan baik. Bahkan di Sima pasukan Pajang mampu mengimbangi pasukan Demak yang bergabung dengan para pengikut Ki Saba Lintang, meskipun Pajang harus mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Bahkan hampir saja pasukan Pajang itu mengalami kesulitan yang menentukan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Untuk beberapa saat, Demak tentu akan berhenti bergerak. Tetapi itu bukan berarti bahwa mereka tidak akan bergerak lagi ke Selatan. Demak tentu hanya menunda sesaat untuk membenahi kekuatannya. Bahkan mungkin Demak akan melindas Pajang lebih dahulu, sebelum mereka akan pergi ke Mataram.”

“Memang mungkin. Tetapi Pajang tentu tidak akan mudah di tembus.”

“Jika Demak mengerahkan semua laki-laki dan membawanya ke Pajang, sementara Pajang tidak sempat melakukannya, maka Pajang tentu tidak akan mampu menahan arus banjir bandang dari Utara itu. Demak, terutama Ki Saba Lintang, tidak akan peduli berapa banyak korban yang akan jatuh. Yang penting mereka dapat mendesak Mataram atau sayap-sayap kekuatannya.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu seorang pelayan telah menghidangkan pesanan Glagah Putih bagi mereka berdua.

“Nah, Kakang tentu akan sering datang kemari.”

Glagah Putih tersenyum. Rawon iga-iga sapi itu memang sangat menarik baginya.

Ketika mereka sedang makan, beberapa orang yang nampaknya pedagang-pedagang dari pasar di seberang memasuki kedai itu. Mereka pun kemudian duduk di tengah-tengah kedai. Seorang di antara mereka berteriak kepada seorang pelayan, “Kami minta nasi cething! Lauknya apa saja yang terbaik, bawa kemari.”

“Baik, Ki Sanak.”

“Minumnya apa saja yang ada.”

“Dawet?”

“Ya.”

Demikian pelayan itu mempersiapkan pesanan mereka, maka seorang di antara mereka berkata, “Bukankah peristiwa di Sima itu akan sangat merugikan bagi kita?”

“Ya. Sima merupakan salah satu jalur perdagangan kain yang baik. Dengan perang yang terjadi di Sima, maka satu jalurku terputus.”

“Aku juga akan banyak kehilangan,” desis yang lain, “aku sudah terlanjur menanam modal yang cukup besar di Sima bagi perdagangan hasil bumi. Tetapi perang itu tentu akan menghancurkan segala-galanya. Perang itu akan dapat menjadi alasan orang-orang Sima ingkar janji.”

Seorang yang lain pun menyahut, “Kenapa harus terjadi perang yang dapat merusak sendi-sendi kehidupan? Para pemimpin Demak dan Pajang itu tentu saling berebut pengaruh.”

“Di samping berebut pengaruh, mereka tentu juga berebut daerah basah. Sima, meskipun tidak terlalu besar, akan dapat menjanjikan berbagai macam pemenuhan kebutuhan bagi para pemimpin Demak maupun Pajang. Tanpa menghiraukan kebutuhan orang lain, mereka berebut dengan cara yang kasar sekali. Perang.”

“Ya. Mereka tentu mengatas-namakan kepentingan kadipaten mereka masing-masing.”

Tetapi seorang yang lain di antara mereka agaknya mempunyai tanggapan yang berbeda. Dengan nada berat orang itu berkata, “Tetapi kebutuhan seseorang tentu bukan hanya kepentingan kebendaan. Mereka tentu juga mempunyai kepentingan harga diri dan jangkauan kepentingan yang lebih jauh dari sekedar mencari tempat yang basah dalam pengertian rejeki.”

“Lalu apa? Kekuasaan? Bukankah merebut kekuasaan bagi seorang pemimpin juga berarti berebut kesempatan untuk mendapatkan rejeki banyak?”

“Tetapi tentu tidak semua orang berbuat seperti itu. Mungkin Pajang merasa berkewajiban untuk membendung arus orang-orang Demak yang mengalir ke Selatan. Menurut pendengaranku, Demak bergerak ke Selatan untuk menguasai tahta Mataram, karena Kanjeng Adipati Demak itu darahnya lebih tua dari yang bertahta di Mataram sekarang.”

“Apa artinya kekuasaan jika tidak sejalan dengan kemukten bagi seorang pemimpin? Dengan berkuasa, mereka akan mendapat kesempatan untuk berbuat apa saja.”

“Tetapi itu tentu bukan seorang pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik akan berbuat lain. Dengan kekuasaan, mereka akan meluruskan tatanan dan paugeran bagi kepentingan rakyat banyak.”

“Kau tentu tahu bahwa itu hanya omong kosong. Mungkin mereka memang berpura-pura membela kepentingan orang banyak. Tetapi sebenarnya mereka hanya melindungi kepentingannya sendiri. Kepentingan keluarganya dan sanak kadangnya.”

“Jika seseorang sudah tidak mempunyai kepercayaan lagi, maka memang sulit untuk menempatkan diri. Semua usaha akan banyak terhambat. Para pemimpin yang dengan gigih memperjuangkan kepentingan rakyatnya, justru dihambat oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh tetapi yang sudah kehilangan kepercayaan kepada orang lain. Justru karena ketakutannya kehilangan kesempatan untuk menimba rejeki sebanyak-banyaknya di kalangan rakyat itu sendiri.”

“Kau sendiri bagaimana? Apakah peristiwa yang terjadi di Sima itu tidak merugikan dirimu serta usahamu?”

“Aku pribadi memang sangat dirugikan. Aku juga tidak menghendaki ada perang. Semua orang yang waras tentu membenci perang. Tetapi perang itu masih saja terjadi. Namun perang tidak selalu terjadi karena kedua belah pihak berebut pengaruh, berebut kekuasaan yang akan dapat disalahgunakan untuk kepentingan sendiri atau golongannya.”

“Maksudmu?”

“Perang dapat terjadi karena dua keyakinan yang berbeda yang sama-sama dipertahankan. Tetapi memang ada perang yang terjadi karena seseorang yang menginginkan kekuasaan yang akan dapat dipergunakan untuk kepentingan diri sendiri. Sedangkan pihak yang lain, justru ingin meredam keinginan seperti itu.”

“Terserah saja kepada penilaianmu. Setiap orang mempunyai penilaian sendiri terhadap perang. Tetapi secara umum perang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Mengganggu usaha seseorang.”

“Mungkin kau kehilangan pasarmu di daerah Sima dan sekitarnya. Dengan demikian keuntunganmu akan berkurang, sehingga pernyataanmu menentang perang itu pun sama seperti orang-orang yang berperang dan berebut rejeki. Tetapi menentang perang seharusnya berpijak pada pijakan yang lebih adil. Karena perang dapat juga terjadi karena satu pihak di antaranya justru berusaha mencegah tindak sewenang-wenang.”

“Entahlah. Tetapi yang terjadi di Sima itu sangat merugikan aku dan kita semuanya. Mungkin kau dapat mengikhlaskannya, karena kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain. Tetapi aku tetap saja menyesali kerugianku di Sima.”

Kawannya yang berbeda sikap itu pun terdiam. Apalagi ketika kemudian pelayan kedai itu mulai menghidangkan minuman dan makan bagi mereka. Nasi cething dengan berbagai macam lauk-pauknya.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja makan dan minum sambil mendengarkan pembicaraan itu. Agaknya berita tentang perang di Sima itu baru saja sampai di telinga para pedagang yang sering pergi ke Sima, atau bahkan yang sudah menanamkan uangnya di Sima. Namun perang di Sima itu tidak terjadi dengan tiba-tiba saja. Di Sima sudah beberapa lama menyelenggarakan latihan-latihan keprajuritan. Sementara itu prajurit Pajang pun telah berkemah pula di sebelah Sima sebelum perang itu terjadi.

Namun agaknya orang tidak mengira bahwa yang terjadi adalah perang yang sebenarnya. Perang yang telah mengerahkan prajurit segelar sepapan. Bahkan kemudian dengan perang yang telah terjadi itu, Sima seolah-olah telah menjadi daerah tertutup di bawah kekuasaan Demak. Satu daerah kekuasaan Demak yang berada jauh di arah Selatan.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah selesai makan dan minum itu pun segera minta diri kepada pelayan di kedai itu, sambil membayar makan dan minum bagi mereka berdua. Keduanya pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka ke Mataram.

“Ternyata ada pedagang yang memberikan tanggapan tidak jujur terhadap perang yang terjadi di Sima itu, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Ada di antara mereka yang mementingkan diri sendiri. Tetapi yang lain mempunyai tanggapan yang lain terhadap perang itu.”

“Ada yang menolak perang hanya karena kepentingan diri sendiri. Ada yang membenci perang bukan karena orang itu memikirkan rakyat kecil yang menjadi korban, tetapi yang mereka pikirkan adalah uang mereka yang sudah terlanjur tertanam di daerah yang terjadi perang itu.”

“Tetapi mereka yang mendapat keuntungan karena perang, justru akan selalu berharap perang itu terjadi.”

“Ya. Mereka yang memasok berbagai jenis senjata kepada pihak-pihak yang berperang. Bahkan apa yang mereka sebut pusaka dan sipat kandel, sehingga mereka yang memilikinya menjadi kebal dan tidak dapat dikenai senjata jenis apapun juga.”

“Bagi mereka yang memburu harta, apapun yang terjadi sama sekali tidak mereka pedulikan. Bahkan sesamanya yang saling membunuh pun tidak menggetarkan jantung mereka, asal mereka mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Baru jika kepentingannya sendiri tersinggung, maka ia akan berdoa agar perang itu berhenti.”

“Ya. Mereka tidak sempat memperhatikan kepentingan yang lebih besar. Keselamatan persatuan di negeri ini. Tegaknya tatanan dan paugeran, bahkan keadilan.”

Keduanya pun terdiam sesaat. Namun Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Tetapi sebagaimana kita lihat, ada yang bersikap lain. Ada juga yang mempunyai wawasan yang lebih luas dari keuntungan semata-mata.”

“Ya. Sikap semacam itu pantas kita hargai.”

Keduanya pun berjalan semakin cepat. Matahari yang sudah berada di puncak, panasnya terasa telah menusuk ubun-ubun.

“Jika kita melewati orang yang berjualan caping bambu, aku akan membeli, Kakang.”

“Kenapa? Kau kepanasan?”

“Bukan karena kepanasan. Biar kulit wajahku tidak menjadi terlalu hitam.”

Glagah Putih tertawa tertahan. Katanya, “Sejak kapan kau memikirkan kulit wajahmu agar tidak terlalu hitam?”

“Sejak kita berniat kembali ke Mataram,” jawab Rara Wulan sambil tersenyum pula.

“Kenapa?”

“Biar Ki Patih Mandaraka tidak menjadi cemas melihat wajahku yang terbakar sinar matahari.”

Glagah Putih pun tertawa semakin keras.

Sementara itu keduanya pun berjalan terus menuju ke Mataram. Tetapi mereka sepakat untuk singgah di Jati Anom, dan bahkan jika waktunya memungkinkan, mereka akan dapat singgah di Sangkal Putung. Kecuali jika kakak sepupunya atau ayahnya bersedia untuk mengirimkan utusan ke Sangkal Putung, untuk memberitahu tentang perkembangan keadaan yang terjadi di Sima, dan bahkan kemungkinan prajurit Demak bergeser lagi ke Selatan untuk menguasai Pajang. Meskipun untuk menyerang Pajang, Demak masih harus berpikir berulang kali.

Sedikit lewat tengah hari, mereka pun telah mengambil jalan pintas. Mereka mengikuti jalan yang lebih sempit, tetapi akan lebih dekat jaraknya untuk mencapai Jati Anom.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak langsung pergi ke barak prajurit Mataram di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara, tetapi mereka lebih dahulu singgah di padepokan kecil di Jati Anom, peninggalan Kiai Gringsing yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura.

Demikian mereka sampai di regol padepokan kecil itu, Rara Wulan sempat berkata, “Kita tidak perlu membeli caping bambu. Di padepokan itu tentu terdapat banyak caping bambu.”

Glagah Putih pun tersenyum pula sambil mengangguk, “Ya. Nanti kita membawa sepuluh caping bambu.”

Ketika Rara Wulan bergeser mendekatinya, Glagah Putih justru menjauh sambil berdesis, “Sst, kau lihat cantrik yang sedang sibuk membelah kayu itu?”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun mereka berdua pun kemudian melangkah memasuki regol padepokan kecil itu.

Cantrik yang sedang membelah kayu bakar dan kemudian menjemurnya di halaman itu terkejut melihat Glagah Putih dan Rara Wulan tiba-tiba saja sudah berada di halaman.

“Kakang, Mbokayu,” desis cantrik itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tersenyum pula. Dengan nada dalam Glagah Putih pun bertanya, “Apakah Ayah ada?”

“Ada, Kakang. Marilah, silahkan naik.”

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah duduk di pringgitan, ditemui oleh Ki Widura yang wajahnya nampak gembira menerima kedatangan anak dan menantunya.

“Syukurlah bahwa kalian selamat selama menjalankan tugas yang berat itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah menceritakan perjalanannya itu mengangguk hormat. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, “Yang Maha Agung melindungi perjalanan kami, Ayah.”

“Sekarang, apa yang akan kalian lakukan?”

“Aku akan bertemu dengan Kakang Untara. Dalam keadaan yang gawat, mungkin Kakang Untara akan menerima perintah khusus. Mungkin Pajang memerlukan bantuan. Atau mungkin justru Demak akan langsung menuju ke Mataram.”

“Apakah Demak demikian kuatnya, sehingga Demak akan benar-benar berani menghadapi Mataram?”

“Demak memang merasa sangat kuat, Ayah. Didukung oleh Perguruan Kedung Jati, serta semua laki-laki bukan saja penghuni daerah di sebelah utara Gunung Kendeng, tetapi bahkan sudah mengalir ke Selatan. Semua laki-laki, bukan hanya anak-anak mudanya, tetapi juga setiap laki-laki yang dianggap masih kuat, telah dikerahkan dalam tugas keprajuritan.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat membayangkan jika arus banjir bandang itu melanda daerah di sebelah selatan Sima. Termasuk Pajang atau Banyudana, langsung lewat Jati Anom ke Gondang, dan kemudian ke Taji dan Prambanan.

“Kau memang harus bertemu dengan kakangmu Untara. Sebelum Untara resmi mendapat perintah dari Mataram, ada baiknya Untara mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

“Aku juga akan memberitahu Kakang Untara, para pengawal Kademangan Sangkal Putung akan sangat membantu. Jumlah mereka tentu masih tetap besar seperti dahulu. Bahkan pasukan Pengawal Kademangan Sangkal Putung, menurut penglihatanku, jauh lebih baik dari pasukan yang dapat dihimpun oleh Demak dari sebelah-menyebelah Pegunungan Kendeng itu.”

“Kau juga akan pergi ke Sangkal Putung?”

“Ya. Kecuali jika ada yang dapat diutus untuk menyampaikan kabar ini ke Sangkal Putung.”

“Kau sudah terlanjur menempuh perjalanan jauh, Glagah Putih. Sebaiknya kau sendiri-lah yang menyampaikan kabar ini kepada kakangmu Swandaru. Ia akan mempunyai tanggapan yang lain, jika yang datang ke Sangkal Putung bukan kalian berdua.”

“Baik, Ayah. Aku akan segera menemui Kakang Untara, selanjutnya akan pergi ke Sangkal Putung.”

“Kau dapat bermalam di Sangkal Putung. Besok pagi-pagi kau meneruskan perjalananmu ke Mataram.”

“Ya, Ayah. Sebaiknya aku pergi menemui Kakang Untara.”

“Tetapi duduklah lebih dahulu, kau perlu beristirahat. Minum dan barangkali makan. Baru kemudian kau menemui kakangmu Untara.”

“Aku sudah makan di jalan, Ayah.

“Tetapi belum di sini.”

Glagah Putih pun tersenyum. Sambil berpaling kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Kita akan beristirahat sebentar di sini sambil menunggu nasi masak.”

Rara Wulan pun tertawa. Demikian pula Ki Widura.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan sempat pergi ke pakiwan bergantian. Terasa tubuh mereka pun menjadi segar. Demikian mereka selesai berbenah diri, maka makan dan minuman pun telah dihidangkan.

Sambil makan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat bercerita lebih terperinci lagi tentang apa yang dilihatnya di Sima waktu mereka berangkat, kemudian di Demak, dan Sima di saat mereka kembali dari Demak. Bahkan mereka sempat ikut bertempur bersama pasukan Pajang yang nampaknya tergesa-gesa menyerang Sima dengan bekal pengamatan yang sangat kurang. Sehingga hampir saja pasukan Pajang itu terjebak dalam kesulitan sehingga akan menelan banyak korban. Untunglah bahwa keadaan yang sangat pahit itu dapat dihindari.

Demikianlah, setelah makan, minum, serta beristirahat sejenak, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri untuk menemui Untara di baraknya.

“Nanti dari barak Kakang Untara, aku akan singgah lagi kemari sebentar, Ayah. Aku akan pergi ke Sangkal Putung, dan seperti Ayah katakan, aku akan bermalam di Sangkal Putung. Besok aku akan langsung pergi ke Mataram.”

“Baiklah. Tetapi kau tentu letih sekali. Kau belum beristirahat sejak kemarin, setelah kau bertempur bersama prajurit Pajang.”

“Nanti malam aku akan tidur nyenyak.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu untuk pergi menemui Untara di baraknya.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mengejutkan Untara pula. Karena itu maka Untara pun langsung menemuinya.

“Kau membawa perintah?” bertanya Untara.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bercerita dengan singkat tentang perjalanannya ke Demak, serta kegagalan Pajang untuk mengambil alih Sima dari tangan orang-orang Demak.

Ki Tumenggung Untara pun segera tanggap akan maksud Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah, aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya sambil menunggu perintah dari Mataram.”

“Aku juga akan pergi ke Sangkal Putung untuk menghubungi Kakang Swandaru.”

“Bagus. Kau memang perlu memberitahukan kepadanya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berada di barak Untara terlalu lama. Mereka tidak datang berkunjung sebagai seorang adik yang datang ke rumah kakak sepupunya, tetapi mereka datang sebagai seorang petugas sandi menemui seorang Senapati, untuk menyampaikan satu berita penting dalam tugas keprajuritan. Untara pun menyadari akan hal itu. Karena itu ketika adik sepupunya itu minta diri, maka ia tidak menahannya lagi.

“Kalian akan langsung pergi ke Sangkal Putung?”

“Ya, Kakang. Tetapi aku masih akan singgah di padepokan sebentar.”

“Sebaiknya Paman Widura juga mempersiapkan diri. Memang ada kemungkinan orang-orang Demak itu bergerak lewat daerah ini, justru untuk menghindari Pajang Tetapi dapat juga terjadi bahwa mereka justru akan menguasai Pajang lebih dahulu. Karena itu kita semuanya sebaiknya mempersiapkan diri, termasuk Adi Swandaru di Sangkal Putung.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meninggalkan barak keprajuritan Mataram di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara. Glagah Putih dan Rara Wulan memang singgah sebentar di padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu. Namun keduanya pun segera minta diri lagi untuk pergi ke Sangkal Putung.

“Kami akan langsung pergi ke Mataram, Ayah,” berkata Glagah Putih.

“Baiklah. Tetapi berhati-hatilah. Jika benar Demak akan bergerak terus ke Selatan, mereka tentu sudah mengirimkan petugas-petugas sandinya.”

“Ya, Ayah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan Jati Anom. Sementara matahari pun telah menjadi muram. Langit di arah barat sudah menjadi merah menjelang senja. Perjalanan ke Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Tetapi ketika malam turun, mereka masih berada di perjalanan.

“Kakang Agung Sedayu di waktu remajanya adalah seorang penakut,” berkata Glagah Putih, “ketika Kakang Agung Sedayu terpaksa sekali pergi ke Sangkal Putung sendiri di malam hari, maka Kakang Agung Sedayu hampir pingsan karena ketakutan. Di pinggir jalan menuju ke Sangkal Putung terdapat sebatang pohon randu alas raksasa. Bekas dahan yang telah lama sekali patah, membuat bundaran seperti mata, sehingga pohon randu alas itu dianggap dihuni oleh gendruwo bermata satu.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Tetapi akhirnya Kakang Agung Sedayu dapat mengatasi perasaan takut itu.”

“Ya. Sekarang Kakang Agung Sedayu tentu sudah tidak merasa takut lagi lewat di bawah randu alas tempat tinggal gendruwo bermata satu itu. Jika Kakang Agung Sedayu masih juga ketakutan, apalagi pada saat Kakang Agung Sedayu membawa pasukannya, maka pasukannya tentu akan bubar bercerai berai.”

Keduanya pun tertawa.

Menjelang wayah sepi bocah, keduanya pun telah sampai ke Sangkal Putung. Mereka berdua langsung memasuki regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung. Seorang pembantu di rumah Ki Demang yang melihat dua orang laki-laki dan perempuan memasuki regol halaman setelah wayah sepi bocah, segera menemuinya dan bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua, dan siapakah yang kalian cari?”

“Kami ingin bertemu dengan Kakang Swandaru.”

“Siapakah kalian?”

“Namaku Glagah Putih, dan ini istriku, Rara Wulan.”

“Baiklah. Silakan duduk. Aku akan memberitahukan kedatangan kalian kepada Ki Swandaru yang sedang berada di serambi belakang.”

“Bukankah Kakang Swandaru belum tidur?”

“Belum. Ki Swandaru masih duduk-duduk di serambi bersama Nyi Swandaru.”

Keduanya pun kemudian dipersilakan naik ke pendapa dan menunggu di pringgitan, sementara orang itu pergi ke belakang lewat pintu seketheng.

Swandaru dan istrinya memang terkejut ketika seseorang memberitahukan kepada mereka bahwa dua orang suami istri datang untuk mencarinya.

“Kau tanyakan namanya?”

“Namanya Glagah Putih,” jawab orang itu.

“Glagah Putih. Jadi Adi Glagah Putih suami istri datang kemari?”

Swandaru dan istrinya pun dengan tergesa-gesa segera pergi ke pringgitan.

Sebenarnyalah bahwa yang telah menunggu di pringgitan adalah Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Selamat malam Kakang dan Mbokayu,” berkata Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng, ketika Swandaru dan Pandan Wangi keluar dari pintu pringgitan.

“Selamat malam Adi berdua,” keduanya pun menjawab hampir berbareng pula.

Kedua pihak pun kemudian telah saling mempertanyakan keselamatan masing-masing. Baru kemudian Swandaru bertanya, “Kedatangan Adi berdua malam-malam begini memang agak mengejutkan. Barangkali ada keperluan yang penting, atau Adi berdua sekedar datang berkunjung ke kademangan kami ini?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berkata, “Kakang, memang ada sedikit kepentingan sehingga malam-malam aku singgah di Sangkal Putung.”

Swandaru dan Pandan Wangi mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian, “sebelum kami menyampaikan kepentingan kami, maka kami ingin menyampaikan permohonan kepada Kakang berdua.”

“Permohonan apa?” bertanya Swandaru dengan kerut di kening.

“Kami mohon ijin, bahwa malam ini kami akan bermalam di Sangkal Putung.”

“He?” dahi Swandaru berkerut. Namun kemudian ia pun tertawa lepas. Pandan Wangi pun tertawa pula.

“Jangankan malam ini, Adi,” jawab Swandaru, “bahkan seandainya Adi Glagah Putih akan tinggal di sini, kami tentu tidak akan berkeberatan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa pula.

“Terima kasih, Kakang,” desis Glagah Putih.

“Nah, barangkali Adi kemudian dapat menceritakan kepentingan Adi seterusnya, selain untuk minta ijin bermalam di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja tertawa. Baru kemudian Glagah Putih pun menceritakan perjalanannya ke Demak lewat Sima, kemudian perjalanan mereka pulang juga lewat Sima. Glagah Putih pun menceritakan keterlibatannya bertempur bersama pasukan Pajang yang agaknya dengan agak tergesa-gesa datang ke Sima, sehingga Pajang tidak mempunyai keterangan yang cukup lengkap tentang perkembangan di Sima. Bahkan hampir saja pasukan Pajang dapat dikoyakkan oleh pasukan Demak yang bergabung bersama pasukan dari Perguruan Kedung Jati. Bahkan mereka telah mengerahkan Wiratani yang jumlahnya banyak sekali untuk menghantam pasukan Pajang.

“Untunglah bahwa Senapati Pajang yang semula keras kepala, akhirnya dapat melihat kenyataan yang dihadapinya, sehingga pasukannya tidak dihancurkan oleh prajurit Demak. Bahkan bersama-sama dengan Perguruan Kedung Jati. Jika itu yang terjadi, maka korban tentu tidak akan dapat dihitung lagi. Prajurit Pajang tentu akan dihancurkan tapis tanpa tilas.”

Swandaru dan Pandan Wangi itu pun berpandangan sejenak. Dengan nada berat Swandaru pun kemudian berkata, “Terima kasih atas pemberitahuanmu, Adi. Bukankah dengan demikian kami pun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya? Kemenangan Demak atas Pajang di Sima itu akan membuat para prajurit dari Demak itu menjadi semakin yakin akan kemampuan mereka. Karena itu mereka tentu tidak akan menghentikan gerak mereka ke Selatan. Meskipun kita tidak tahu yang manakah yang akan mereka datangi lebih dahulu, Pajang, atau justru menghindari Pajang dan langsung ke Mataram. Jika mereka menghindari Pajang, maka mungkin sekali mereka akan melewati jalur di sekitar tempat tinggal kita. Mungkin Sangkal Putung, mungkin Jati Anom atau daerah-daerah di sekitarnya.”

“Ya, Kakang. Kakang Untara pun akan segera bersiap-siap pula. Bahkan mungkin Kakang Untara akan memikirkan kemungkinan untuk menyelenggarakan pertahanan bersama. Namun tentu saja Kakang Untara akan mengirimkan petugas-petugas sandinya lebih dahulu, untuk mengetahui apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh prajurit Demak di Sima, yang aku yakin dalam satu dua hari ini kekuatan Demak di Sima itu tentu sudah semakin bertambah.”

“Baik, Adi. Aku akan membuat hubungan dengan Kakang Untara.”

“Mungkin juga Ayah. Meskipun padepokan itu kecil, namun ada beberapa orang berilmu yang ada di dalamnya. Mungkin padepokan kecil itu akan dapat membantu, jika terpaksa Kakang Swandaru dan Kakang Untara mengadakan perlawanan.”

“Ya. Aku tahu bahwa padepokan kecil itu menyimpan tenaga yang sangat besar.”

Untuk beberapa saat mereka masih berbincang-bincang di pringgitan. Beberapa saat kemudian seorang pembantu di rumah Ki Demang itu telah menghidangkan minuman hangat dan bahkan dengan beberapa potong makanan.

Baru kemudian Swandaru pun berkata, “Adi berdua, kami akan mempersilahkan Adi berdua nanti beristirahat di gandok sebelah kanan. Namun sebelumnya mungkin Adi masih akan pergi ke pakiwan, dan setelah itu kami akan mempersilahkan Adi berdua makan malam. Sebenarnya kami telah makan malam sebelum Adi berdua datang. Tetapi nanti kami akan menemani Adi berdua makan.”

“Terima kasih, Kakang.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah dibawa ke gandok sebelah kanan. Sebuah bilik yang cukup luas dan bersih telah disiapkan bagi mereka berdua. Bergantian keduanya pun kemudian telah pergi ke pakiwan. Baru kemudian mereka duduk di ruang dalam untuk makan malam.

Sambil makan, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat bercerita lebih terperinci tentang kekuatan prajurit Demak, orang-orang dari Perguruan Kedung Jati, serta para Wiratani yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

“Meskipun demikian, aku tetap saja menganggap sikap Kanjeng Adipati Demak itu aneh. Kanjeng Adipati Demak yang sebelumnya juga berada di Mataram itu tentu tahu kekuatan Mataram yang sesungguhnya. Bagaimana mungkin Kanjeng Adipati Demak berani melawan Mataram?”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Meskipun aku tidak melihat sendiri, tetapi keterangan Adi Glagah Putih dan Rara Wulan dapat memberi gambaran yang jelas tentang keadaan terakhir menyangkut hubungan Demak dan Mataram. Jika Kanjeng Adipati Demak melakukan sebagaimana dilakukannya sekarang, mungkin Kanjeng Adipati telah diracuni oleh pendapat orang-orang yang berpengaruh di Demak.”

“Ya, Kakang. Antara lain Kanjeng Adipati berada di bawah pengaruh Ki Tumenggung Gending dan Ki Tumenggung Panjer. Bahkan mungkin masih ada orang-orang lain yang mempengaruhinya dan memberikan gambaran yang salah tentang keadaan yang sebenarnya di Demak dan Mataram. Yang pengaruhnya tidak dapat diabaikan adalah pengaruh Ki Saba Lintang. Agaknya Ki Saba Lintang telah bekerja sama dengan para Tumenggung yang mempunyai kepentingan pribadi jika terjadi benturan antara Mataram dan Demak. Bahkan mungkin pula orang-orang yang telah mempengaruhinya itu memberikan keterangan yang salah tentang sikap para Adipati di daerah Timur, seakan-akan para Adipati itu akan bergerak serentak jika Demak bergerak.”

“Agaknya memang demikian, Adi Glagah Putih. Tetapi bagaimana pun juga, pemberitahuan Adi Glagah Putih itu akan sangat berarti bagi kami di Sangkal Putung. Kami akan dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi kemungkinan apapun juga. Jika pasukan Demak yang kuat itu akan menuju ke Mataram dan membuat pijakan kekuatan dengan menaklukkan Pajang, maka kita di sini harus benar-benar menyusun kekuatan. Mungkin kami harus bekerja sama dengan Kakang Untara, dengan Paman Widura dan kekuatan-kekuatan lain yang ada di sekitar daerah ini. Tetapi tentu itu belum cukup.”

“Pasukan Mataram akan bergerak dengan cepat, Kakang. Setidak-tidaknya pasukan berkuda akan dapat bergerak lebih dahulu. Tetapi bahwa Demak masih ada di Sima sekarang, sementara itu Demak masih harus memperhitungkan kekuatan Pajang yang ternyata cukup besar, maka kita masih mempunyai waktu untuk menyusun diri. Mungkin Mataram sempat memberikan perintah dan petunjuk-petunjuk ke Sangkal Putung dan daerah di sekitarnya. Untunglah bahwa di Sangkal Putung sudah tersusun pasukan pengawal sejak semula, sehingga kita tidak usah membentuknya dan melakukan latihan-latihan lagi.”

“Tetapi mungkin kademangan-kademangan di sekitar Sangkal Putung masih harus dibangunkan lagi, Adi. Tetapi itu tidak akan terlalu lama. Tentu lebih lama untuk menyusun pasukan Wiratani sebagaimana dilakukan oleh Demak di Gunung Kendeng dan bahkan di Sima.” 

Glagah Putih pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, pembicaraan mereka pun masih berkepanjangan. Bahkan setelah mangkuk-mangkuk nasi dan mangkuk-mangkuk yang dipergunakan untuk makan malam itu sudah disingkirkan, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berbincang dengan Swandaru dan Pandan Wangi.

Namun setelah malam menjadi semakin larut, Swandaru pun berkata, “Adi berdua, silahkan Adi berdua beristirahat. Adi berdua tentu letih. Apalagi besok adi berdua akan melanjutkan perjalanan ke Mataram. Karena itu maka silahkan ke bilik di gandok.”

“Terima kasih, Kakang. Kami justru mulai merasa letih setelah kami duduk beristirahat, mandi dan makan. Mudah-mudahan besok kami tidak menjadi malas untuk melanjutkan perjalanan.”

“Untuk mempercepat perjalanan Adi, serta mengurangi rasa letih, Adi berdua dapat mempergunakan kuda-kuda kami.”

“Terima kasih, Kakang. Mungkin kuda-kuda itu diperlukan di sini.”

“Masih ada yang lain.”

“Terima kasih. Biarlah kami berjalan kaki saja esok pagi.”

Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan dapat tidur nyenyak. Mereka tahu bahwa ada beberapa anak muda yang meronda di gardu di depan rumah Ki Demang Sangkal Putung. Apalagi menurut Swandaru, Sangkal Putung sampai hari itu masih aman-aman saja.

“Kita tidak usah berjaga-jaga bergantian. Anak-anak muda di gardu itu akan meronda sampai pagi,” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia hanya tersenyum saja sambil membaringkan tubuhnya di sebuah amben yang cukup besar bagi mereka berdua.

Sebelum matahari terbit, keduanya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan. Keduanya sudah mandi dan berbenah diri.

Namun ternyata bahwa Swandaru dan Pandan Wangi pun telah bangun pula. Ketika kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri, maka Pandan Wangi pun sempat mempersilahkan keduanya untuk minum minuman hangat lebih dahulu. Dalam pada itu, Ki Demang yang sudah menjadi semakin tua sempat menemui Glagah Putih dan Rara Wulan sebentar, menjelang keberangkatan mereka ke Mataram.

Demikianlah, menjelang matahari terbit Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka tidak lagi akan singgah dimanapun. Mereka akan langsung pergi ke Mataram melalui jalan yang biasa ditempuh oleh orang-orang yang bepergian ke Mataram.

Jalan itu pun sudah menjadi ramai meskipun hari masih pagi. Sudah banyak orang yang turun ke jalan. Ada yang pergi ke pasar, tetapi ada pula yang nampaknya akan menempuh perjalanan jauh sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan.

Meskipun jarak antara Sangkal Putung sampai ke Mataram cukup jauh, tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah menempuh perjalanan dari Demak, merasa bahwa mereka sudah hampir sampai ke tujuan. Apalagi jalan yang dilewatinya adalah jalan yang sudah sering kali dilewati. Mereka akan melewati Gondang, kemudian Taji, Prambanan, dan melewati jalan yang meskipun sudah terhitung ramai tetapi masih saja dianggap gawat. Jalan yang melewati Alas Tambak Baya.

Tetapi di siang hari, orang tidak lagi merasa segan untuk melewati jalan itu, karena pada masa-masa terakhir hampir tidak pernah terjadi tindak kejahatan yang dilakukan siang hari. Glagah Putih dan Rara Wulan berharap, jika tidak terjadi hambatan di perjalanan, mereka akan sampai di Mataram pada sore hari. Mereka akan dapat langsung menghadap Ki Patih Mandaraka.

Ketika keduanya meninggalkan Sangkal Putung, matahari masih belum memancarkan sinarnya. Namun kemudian cahayanya pun mulai menyentuh mega-mega di langit. Kemudian turun mengusap ujung pepohonan.

Masih terdengar kicau burung liar yang hinggap di pepohonan yang tinggi. Sementara sekelompok burung bangau terbang dalam tatanan yang rapi menuju ke barat. Glagah Putih dan Rara Wulan pun nampak segar pula di cerahnya pagi hari. Apalagi mereka telah sempat minum minuman hangat sebelum mereka meninggalkan rumah Ki Demang di Sangkal Putung.

Menjelang tengah hari, keduanya telah menempuh perjalanan yang jauh. Mereka telah melewati lebih dari separuh perjalanan. Sementara langit pun menjudi semakin panas oleh cahaya matahari yang hampir mencapai puncaknya.

Sebelum mereka sampai di Alas Tambak Baya, maka keduanya pun sempat singgah di sebuah kedai yang tidak terlalu besar. Tetapi kedai itu terhitung ramai. Agaknya orang-orang yang menempuh perjalanan untuk memasuki Alas Tambak Baya sebagian telah berhenti di kedai itu pula.

Di senja hari, di kedai itu terdapat beberapa orang yang siap mengantar orang-orang yang akan melewati Alas Tambak Baya di malam hari. Tetapi siang hari, orang-orang yang lewat Alas Tambak Baya tidak memerlukan pengantar lagi, karena jalan yang menerobos Alas Tambak Baya itu sudah menjadi semakin ramai.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang lebih senang duduk di sudut jika mereka singgah di kedai, ternyata sudah tidak lagi mendapat tempat yang kosong di sudut. Karena itu maka mereka pun telah duduk hampir di tengah-tengah. Di sebuah lincak panjang, yang di ujungnya telah duduk seorang laki-laki separuh baya. Rambutnya sudah nampak berwarna dua. Demikian pula kumisnya yang lebat menyilang di bawah hidungnya. Tetapi tubuhnya masih nampak kekar dan sikapnyapun masih tetap tegar.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah kehabisan tempat itu berniat duduk di sebelahnya, maka orang itu pun bergeser. Dengan ramah ia pun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk.

Demikian keduanya duduk, maka orang itu pun bertanya, “Kalian akan pergi ke mana, Ki Sanak?”

“Kami akan pergi ke Mataram,” jawab Glagah Putih.

“Kalian datang dari mana?”

“Kami dari Sangkal Putung.”

“Apakah kalian tinggal di Sangkal Putung?”

“Tidak. Kami tinggal di Jati Anom. Tetapi seorang saudara kami tinggal di Sangkal Putung.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Orang itu pun segera sibuk menikmati minuman dan makanan yang dipesannya.

Namun dalam pada itu, selagi orang-orang yang berada di kedai itu sedang makan dan minum, tiba-tiba saja dua orang laki-laki yang nampak garang memasuki kedai itu. Untuk beberapa saat mereka mengamati tempat duduk yang sudah penuh itu. Yang masih kosong adalah tempat duduk yang terselip-selip di antara orang-orang yang telah lebih dahulu duduk di kedai itu.

Dengan garang seorang di antara mereka pun berteriak kepada pemilik kedai, “He! Dimana aku harus duduk?”

“Maaf, Ki Sanak,” sahut pemilik kedai itu, “tempat kami memang sangat terbatas.”

“Setan kau! Kenapa kedaimu tidak kau perluas?”

“Biasanya tempat duduk di kedai ini tidak sampai penuh seperti ini, Ki Sanak.”

“Suruh dua orang di antara mereka pergi!”

Wajah pemilik kedai itu menjadi tegang. Dengan gelisah ia pun menjawab, “Mana mungkin aku mengusir orang-orang yang sedang membeli makan dan minuman di kedai ini, Ki sanak.”

“Aku tidak peduli.”

“Semuanya tentu belum selesai. Jika sudah selesai, maka mereka akan dengan sendirinya meninggalkan kedai ini.”

“Usir dua orang pembeli di kedaimu! Kau dengar?” orang yang lain itu pun berteriak.

Seorang yang duduk tidak jauh dari kedua orang yang berdiri di depan pintu itu berkata, “Baik. Baik, Ki Sanak. Silahkan, aku sudah selesai.”

Orang itu pun kemudian bangkit berdiri. Ia menggamit kawannya yang juga segera berdiri. Sekali lagi orang yang berdiri itu pun berkata, “Silahkan, Ki Sanak.”

Tetapi seorang di antara mereka itu pun menggeram sambil melangkah mendekati pemilik kedai yang sedang sibuk, “Tidak mau mendengar perintahku, he?”

“Ki Sanak, dua orang itu sudah selesai makan dan minum. Silahkan duduk.”

“Tetapi mereka pergi atas kehendak mereka sendiri. Seandainya mereka tidak pergi, maka kalian sangat meremehkan aku. Kalian tidak mendengarkan perintahku untuk mengusir dua orang pembeli.”

“Aku sudah melakukannya. Dua orang itu sudah bangkit berdiri dan mempersilahkan kalian duduk.”

“Tutup mulutmu! Aku tidak berbicara tentang kedua orang yang berdiri atas kemauan mereka sendiri. Aku ingin mengatakan bahwa kau telah sangat meremehkan kami, sehingga kau tidak mau melakukan perintah kami.”

“Aku tidak tahu maksud Ki Sanak berdua. Ki Sanak berdua ingin dua tempat duduk. Dan dua tempat duduk itu sudah disediakan. Silahkan.”

“Cukup! Aku tidak berbicara tentang tempat duduk. Tetapi aku mau kau melakukan segala perintahku, kau dengar?”

Pemilik kedai itu terdiam. Seorang dari kedua orang itu pun membentak, “Sekarang, suruh orang-orang yang membeli makan dan minum di kedaimu ini pergi. Semuanya! Kau dengar?”

“Bukankah itu tidak mungkin, Ki Sanak? Mereka sedang makan dan minum. Bahkan ada yang baru saja kami layani, sehingga mereka baru mulai makan dan minum. Bagaimana mungkin aku minta mereka pergi?”

“Aku tidak peduli. Dengar perintahku! Sebentar lagi aku akan menerima tiga orang tamu. Kau harus melayani tiga orang tamuku itu dengan sangat baik. Karena itu sekali lagi aku perintahkan, kosongkan kedai ini sekarang juga!”

“Tidak mungkin,” jawab pemilik kedai itu.

“Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika sampai sepuluh hitungan kedaimu belum kosong, maka aku-lah yang akan mengusir mereka.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi sangat tegang. Sementara itu seorang di antara kedua orang itu mulai menghitung, “Satu..”

Tetapi pemilik kedai itu memotongnya, “Kau tidak usah menghitung sampai sepuluh. Sekarang kau mau apa? Aku tidak akan mengusir mereka. Aku justru akan mengusir kalian berdua.”

Kedua orang itu pun terkejut. Apalagi ketika pemilik kedai itu pun kemudian bertolak pinggang sambil melangkah mendekat.

“Kau berani melawan kami berdua?”

“Sebenarnya aku tidak ingin berselisih dengan siapapun. Aku mencari makan dengan membuka kedai ini. Sejak bertahun-tahun aku berusaha untuk mengikat langganan-langgananku agar mereka tidak pergi meninggalkan kedaiku. Bahkan jika mungkin aku berusaha mendapatkan langganan baru. Tiba-tiba saja kalian berdua datang untuk merusak usahaku yang sudah bertahun-tahun itu.”

“Diam! Diam! Aku sobek mulutmu nanti.”

Tetapi pemilik kedai itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia justru berteriak sambil menunjuk pintu kedainya, “Keluar dari kedai ini! Atau aku akan melemparkan kalian seperti melempar kucing sakit-sakitan.”

Kedua orang yang berwajah garang itu menjadi sangat marah. Seorang di antaranya demikian marahnya sehingga kata-katanya terasa tidak lagi runtut, “Kau berani melawan kami berdua, he? Kau kira aku ini siapa? Kau kira kau ini siapa?”

“Persetan dengan kalian berdua. Pergi!”

Seorang di antaranya hampir saja mengayunkan tangannya. Tetapi pemilik kedai itu pun berkata, “Jika kalian ingin berkelahi, mari, turun ke halaman.”

Pemilik kedai itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera melangkah keluar kedainya dan turun ke halaman. Sementara itu ia masih sempat berpesan kepada pelayannya, “Layani yang lain dengan sebaik-baiknya. Siapkan pesanan mereka. Biar aku menghajar kedua orang yang tidak tahu aturan ini.”

Kedua orang berwajah garang itu benar-benar merasa terhina. Karena itu, demikian keduanya turun di halaman, maka seorang pun berkata, “Bersiaplah! Aku akan melumatkanmu.”

“Kalau kau melumatkan aku, tidak akan ada yang dapat melayani tamu-tamu yang kau katakan akan datang itu.”

Kedua orang berwajah garang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang berkata, “Aku tidak peduli. Aku ingin tubuhmu menjadi salah satu anak tangga di pintu kedaimu itu.”

Dengan garang pula orang itu menyerang. Tangannya terayun mendatar mengarah ke kening pemilik kedai itu.

Namun ternyata dengan tangkas pemilik kedai itu menghindar, bahkan dengan tangkas pula kakinya terjulur lurus. Orang yang menampar keningnya tetapi luput itu sama sekali tidak mengira bahwa pemilik kedai itu dengan serta-merta telah membalas menyerangnya. Karena itu maka ia pun justru terdorong beberapa langkah surut, ketika kaki pemilik kedai itu mengenai lambungnya.

Orang yang terdorong surut itu mengumpat kasar. Kawannya dengan tiba-tiba telah meloncat menerkam dada pemilik kedai itu. Namun pemilik kedai itu masih sempat pula mengelak.

Demikianlah, beberapa saat kemudian pemilik kedai itu telah bertempur dengan sengitnya melawan dua orang berwajah garang yang berlaku semena-mena di kedainya itu. Beberapa orang yang berada di kedai itu pun tidak lagi dapat duduk tenang. Mereka pun telah keluar dari kedai itu. Mereka tidak ingin tersangkut dalam persoalan yang tidak di mengertinya itu. Yang belum membayar makan dan minumannya, telah menitipkan uang kepada pelayan kedai itu sebelum mereka menyingkir.

Meskipun demikian, orang-orang itu tidak menyingkir terlalu jauh. Mereka masih ingin melihat apa yang akan terjadi kemudian dengan pemilik kedai itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah keluar dari kedai itu pula. Tetapi mereka tidak pergi terlalu jauh. Mereka berdiri di sudut kedai itu untuk menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak mengira bahwa ternyata pemilik kedai itu pun memiliki ilmu yang memadai. Meskipun ia harus bertempur melawan dua orang yang ujudnya sangat garang, namun ternyata bahwa ia mampu mengimbangi kedua orang lawannya itu. Bahkan semakin lama semakin nampak betapa kedua orang yang garang itu menjadi semakin terdesak.

Kedua orang yang berwajah garang itu pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Tetapi pemilik kedai itu setiap kali mampu mendesak mereka. Serangan-serangannya semakin sering mengenai sasarannya, sehingga kedua orang itu beberapa kali terdorong surut.

Meskipun sekali-sekali pemilik kedai itu dapat juga dikenai oleh kedua orang yang garang itu, namun ternyata bahwa pemilik kedai itu semakin lama semakin menguasai arena pertempuran.

Ketika seorang di antara kedua orang itu terlempar dan jatuh di tanah, maka seorang yang lain telah meloncat dengan kaki terjulur. Tetapi pemilik kedai itu justru mampu menangkap pergelangan kaki lawannya dan sekaligus memilinnya.

Terdengar orang itu berteriak kesakitan. Untunglah bahwa kawannya yang terpelanting itu sudah sempat bangkit dan langsung menyerang punggung pemilik kedai itu.

Hentakan yang keras telah melemparkan pemilik kedai itu, sehingga ia pun jatuh berguling di tanah. Untunglah bahwa ia dengan cepat menguasai tubuhnya sehingga ia tidak jatuh terjerembab.

Namun dengan demikian, maka pergelangan kaki lawannya justru telah terlepas.

Kedua orang yang garang yang tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa pemilik kedai itu sulit ditundukkan, justru telah menarik senjata mereka. Kedua-duanya membawa sebilah golok yang besar dan berat.

Pemilik kedai yang melihat kedua lawannya telah menggenggam senjata, segera berteriak, “Pedangku! Cepat!”

Pelayan kedai itu pun tanggap akan keadaan. Ia pun segera berlari mengambil pedang yang disangkutkan di dinding kedai itu. Kemudian pelayan itu pun meloncat ke arena untuk menyerahkan pedang itu kepada pemilik kedai itu.

“Bagus,” berkata pemilik kedai itu, “aku juga pernah berlatih ilmu pedang.”

Kedua orang berwajah garang itu tidak menunggu lebih lama lagi. Keduanya pun segera meloncat menyerang bersamaan dari arah yang berbeda.

Namun pemilik kedai itu pun bergerak dengan tangkas pula, sehingga serangan keduanya tidak sempat menggoresnya.

Pertempuran bersenjata itu pun menjadi semakin sengit. Ternyata pemilik kedai itu pun memiliki ilmu pedang yang memadai untuk melawan dua golok di tangan lawan-lawannya.

Bahkan yang pertama-tama terluka adalah salah seorang dari orang berwajah garang itu. Sebuah goresan telah melukai pundaknya. Namun pemilik kedai itu pun telah tergores pula lengannya oleh golok lawannya.

Demikianlah, pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Goresan demi goresan telah melukai ketiga orang yang sedang bertempur itu. Meskipun demikian, pemilik kedai itu masih saja menunjukkan perlawanan yang sangat menyulitkan kedua orang lawannya. Bahkan lambat laun kedua orang yang garang itu seakan-akan menjadi kebingungan, karena apapun yang mereka lakukan, mereka tidak dapat segera menguasai lawannya. Bahkan darah telah membasahi pakaian mereka, sebagaimana pakaian pemilik kedai itu pun telah basah oleh darahnya pula.

Namun orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan menjadi semakin berdebar-debar, ketika mereka melihat tiga orang berkuda yang mendekati halaman kedai itu.

Ketiga orang berkuda itu telah mempercepat lari kuda mereka, demikian mereka melihat perkelahian di depan sebuah kedai yang dijanjikan untuk menerima kedatangan mereka.

Demikian ketiga orang berkuda itu berhenti di halaman, maka seorang di antara mereka pun berteriak, “Berhenti! Ada apa? Kenapa kalian berkelahi?”

Salah seorang dari kedua orang yang garang itu pun menjawab di sela-sela nafasnya yang terengah-engah, “Pemilik kedai ini telah meremehkan kami, Raden. Itu berarti bahwa mereka telah meremehkan Raden pula.”

“Apa yang telah dilakukannya?”

Orang berwajah garang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata sambil memandangi pemilik kedai itu dengan tajamnya, “Orang ini telah menolak mengosongkan kedainya. Ia tidak mau mendengar perintahku, meskipun aku sudah mengatakan bahwa aku akan menerima tiga orang tamu terhormat.”

“Jadi kau minta pemilik kedai ini mengusir orang-orang yang sedang membeli makan dan minum di kedainya?”

“Ya. Bukankah Raden memerintahkan untuk menyiapkan tempat bagi Raden bertiga? Kemudian mungkin masih ada yang akan menyusul lagi?”

Ketiga orang berkuda itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka bertanya, “Jadi kau sudah membuat semacam wara-wara, bahwa kami akan datang dan akan mengadakan pembicaraan di sini?”

“Tidak, Raden. Tidak.”

Namun pemilik kedai itu pun menyahut, “Sadar atau tidak sadar, namun demikianlah yang tersirat dari sikap dan kata-katanya. Tetapi siapakah Raden ini sebenarnya?”

“Bodoh kau!” bentak orang berwajah garang itu, “Raden Suwasa adalah seorang yang sangat penting. Kedudukannya sangat tinggi. Jika kau tahu, maka kau tentu akan pingsan karenanya.”

“Tanah ini adalah Tanah Mataram. Apakah Raden ini juga seorang pemimpin dari Mataram?”

“Mataram akan segera dikubur,” geram salah seorang yang berwajah garang itu.

Namun tiba-tiba saja tangan orang yang disebut Raden Suwasa itu telah menyambar mulutnya, sehingga orang yang berwajah garang yang tubuhnya sudah dilukai oleh pemilik kedai itu terkejut sekali. Orang itu terdorong beberapa langkah surut.

“Raden?” orang itu menjadi keheranan.

“Kalian memang orang-orang dungu! Sekarang, ikut kami!”

“Kemana?”

“Ada sesuatu yang ingin aku beritahukan kepada kalian berdua,” berkata orang yang disebut Raden Suwasa itu.

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun Raden Suwasa itu membentak mereka, “Ikut kami!”

Keduanya tidak sempat bertanya lagi. Keduanya pun segera berlari-lari di belakang ketiga orang berkuda yang melarikan kudanya tidak begitu kencang, agar orang-orang yang berlari-lari kecil itu tidak harus mengerahkan tenaganya terlalu banyak. Akhirnya mereka pun hilang dari penglihatan orang-orang yang berada di sekitar kedai itu.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun memperhatikan peristiwa itu dengan sungguh-sungguh. Demikian orang-orang itu pergi, maka Glagah Putih pun berdesah, “Kedua orang yang berwajah garang yang tidak mampu mengalahkan pemilik kedai itu nampaknya dua orang yang sangat menarik perhatian. Mereka dianggap oleh ketiga orang berkuda itu sebagai orang-orang dungu.”

“Ya. Mereka memang orang-orang dungu,” sahut Rara Wulan, “agaknya orang yang disebut Raden Suwasa itu seorang petugas sandi. Tetapi kedua orang berwajah garang itu tidak tahu bagaimana mereka harus menyambut dan memperlakukan petugas sandi. Agaknya Raden Suwasa itu seorang petugas sandi dari Demak.”

“Kita harus mencari kedua orang itu. Jika kita dapat menemukan mereka, mungkin kita dapat menelusuri jaringan petugas sandi dari Demak atau dari Perguruan Kedung Jati.”

“Kemana kita akan mencari mereka?”

“Apakah kau siap untuk melangkah ke lintasan berbahaya hari ini?”

“Bukankah kita sudah siap sejak kita berangkat?”

“Maksudku, jika kita mencoba menelusuri jejak ketiga ekor kuda itu, maka kita sengaja memasuki daerah berbahaya.”

“Aku siap, Kakang.

“Baiklah. Marilah kita mencoba mencari jejak kaki ketiga ekor kuda itu, Kita akan mengikuti kemana saja jejak itu pergi.”

“Kalau jejak itu menuju ke sarang petugas sandi dari Demak di sekitar tempat ini? Bukankah dengan demikian kita terjebak, sehingga mudah bagi mereka untuk menangkap kita dan kemudian memperlakukan kita tidak selayaknya?”

“Itulah maksud pertanyaanku. Apakah kita sudah siap jika kita masuk ke dalam jebakan mereka?”

“Apa boleh buat. Jika kita benar-benar terperosok ke dalam jebakan mereka, maka kita akan mengerahkan segenap kemampuan kita. Bukankah begitu, Kakang?”

“Ya. Kita tidak mempunyai pilihan lagi.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian berusaha untuk menemukan jejak kaki kuda yang terbaru. Keduanya pun kemudian mengikuti jejak itu. Selain jejak kaki kuda, juga jejak kedua orang garang yang mengikuti jejak ketiga ekor kuda itu.

Beberapa lama mereka menelusuri jejak itu. Di sebuah tikungan, kuda-kuda itu telah berbelok mengikuti sebuah lorong sempit yang panjang.

“Mungkin kita akan berjalan jauh, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Mungkin. Tetapi kedua orang berwajah garang itu juga hanya berjalan kaki. Mudah-mudahan perjalanan yang mereka tempuh tidak terlalu jauh.”

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itup un terkejut ketika mereka melihat dua sosok mayat yang terbaring di jalan sempit itu. Glagah Putih dan Rara Wulan pun cepat-cepat mendekati kedua sosok mayat itu. Namun Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Hati-hati, Rara. Aku mendapat firasat kurang baik. Agaknya kita sedang diawasi.”

“Ya, Kakang. Tentu ada yang melihat kita mengikuti jejak orang-orang berkuda itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berjongkok di sisi mayat yang terbaring di tengah jalan kecil itu.

“Dua orang yang berada di kedai itu. Yang membunuh tentu orang yang disebut Raden Suwasa, yang tadi nampak sangat kecewa terhadap sikap kedua orang yang justru terlalu menghormatinya. Tetapi kedua orang itu memang dungu, sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka menyikapi para petugas sandi. Bahkan agaknya kedua orang itu justru berbangga bahwa mereka mengenal para petugas sandi dari Demak.”

“Mereka tentu dari Demak, atau orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Salah seorang di antara kedua orang ini mengatakan bahwa Mataram sudah akan dikubur.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu sejenak. Namun telinga mereka yang sangat tajam, apalagi jika mereka mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, mendengar desir lembut di belakang gerumbul-gerumbul perdu di sekitar mereka.

Karena itu Glagah Putih pun memberikan isyarat kepada Rara Wulan, yang agaknya juga sudah menduga bahwa ada beberapa orang sedang merayap mendekat.

Sebenarnyalah ketika terdengar aba-aba dari belakang rumpun perdu, beberapa orang telah bangkit berdiri. Mereka berada di segala arah, mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kita memang tidak mempunyai pilihan, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Jika mereka bertindak kasar, maka apa boleh buat.”

Demikianlah, seorang di antara mereka yang mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun bertanya, “Siapakah kalian?”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bangkit berdiri. Orang yang disebut Raden Suwasa itu pun ada pula di antara mereka.”

Sekali lagi orang yang rambutnya sudah mulai memutih, yang berdiri di sebelah Raden Suwasa itu pun bertanya, “Siapakah kalian?”

“Kami orang dari Jati Anom. Kami sedang mencari dua orang paman kami yang sudah lama pergi, sampai sekarang belum kembali.”

“Jadi kenapa kau mengikuti kami?”

“Kami mengira bahwa salah seorang dari kedua orang yang tadi mengikuti kalian adalah pamanku. Kami mencoba menelusuri jejak mereka. Tetapi kami menemukan mereka berdua terbaring di sini.”

“Apakah benar bahwa salah seorang dari kedua orang itu pamanmu?”

“Ternyata bukan, Ki Sanak. Kedua-duanya bukan pamanku. Karena itu aku tidak berkepentingan dengan mereka.”

“Sekarang kalian mau apa?” bertanya orang yang disebut Raden Suwasa

“Tidak apa-apa. Kami akan pergi.”

“Kalian tinggalkan kedua sosok mayat itu begitu saja?”

“Jadi, apa yang harus kami lakukan?”

“Begitu enaknya kalian membunuh orang lalu kau tinggalkan begitu saja.”

“Membunuh? Raden mengatakan bahwa kami telah membunuh keduanya?”

“Ya. Jika bukan kalian, lalu siapa? Yang ada di sini hanya kalian berdua.”

“Kami menemukan sosok mayat ini sudah terbaring di sini, Raden. Seandainya kami datang sebelum mereka mati, apakah kami mampu membunuh mereka berdua? Mereka adalah orang-orang yang nampaknya garang.”

“Tetapi mereka sudah terluka saat mereka berkelahi dengan pemilik kedai itu. Luka mereka tentu parah. Agaknya keduanya beristirahat di sini ketika kalian datang dan membunuh keduanya yang sudah tidak berdaya.”

“Bukankah keduanya tadi ikut bersama Raden? Mereka berlari-lari kecil mengikuti kuda Raden.”

“Aku tinggalkan mereka di simpang tiga. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan mereka, justru karena mereka terlalu parah dan tidak mampu lagi mengikuti kuda-kuda kami.”

“Tetapi kenapa tiba-tiba saja Raden sekarang berada di sini? Bukankah Raden dengan sengaja menunggu kami, karena Raden atau orang-orang Raden melihat kami menelusuri jejak kaki kuda Raden yang masuk ke lorong ini? Tetapi ternyata Raden sudah membunuh kedua orang ini, dan Raden pun ternyata menunggu kami berdua. Tentu tidak sekedar mencari kambing hitam, siapakah yang telah membunuh kedua orang ini. Karena Raden dapat meninggalkan mereka tanpa dapat diketemukan oleh siapapun. Jika Raden menjebak kami, maka tentu Raden mempunyai maksud yang lain.”

Raden Suwasa itu tersenyum. katanya, “Dugaanku benar. Kalian bukan orang-orang dungu yang sedang mencari paman kalian di daerah ini. Tetapi kalian tentu berkepentingan justru karena kedunguan kedua orang itu.”

“Berkepentingan apa maksud Raden?”

“Kenapa kalian mengikuti kami? Jangan katakan bahwa kalian sedang mencari paman kalian, karena kebohongan itu tidak berarti sama sekali.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku hanya berbohong kepada orang-orang yang suka berbohong dan memfitnah.”

“Apa maksudnya?”

“Bukankah kau juga berbohong dan bahkan memfitnah, jika kau menuduh aku telah membunuh kedua orang ini? Jangan katakan bahwa kau tidak tahu menahu tentang kematian mereka, karena kebohongan itu tidak akan berarti sama sekali.”

“Gila! Kalian adalah orang-orang gila. Nah, sekarang kalian mau apa?”

“Kami akan pergi dari tempat ini.”

“Cukup! Aku ingin mengoyak mulutmu itu.”

“Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kami pun akan melakukan apa yang ingin kami lakukan.”

Orang yang disebut Raden Suwasa itu menjadi sangat marah. Dengan lantang ia pun berkata, “Tangkap kedua orang ini! Aku ingin mereka tertangkap hidup-hidup. Aku ingin mereka mengatakan siapakah mereka sebenarnya.”

“Kalau itu yang kau inginkan, kau tidak perlu menangkapku. Aku akan mengatakan kepadamu, bahwa aku adalah petugas sandi dari Mataram. Aku bekerja untuk Mataram. Aku-lah yang justru akan menangkapmu, terutama orang yang bernama Raden Suwasa ini. Aku ingin mendengar keteranganmu, apakah kau petugas sandi dari Demak atau dari Perguruan Kedung Jati.”

“Karena kalian berdua akan menjadi tawanan kami, maka kami akan berterus terang, karena kalian tentu sudah menduganya. Kami adalah petugas sandi dari Demak. Tetapi aku sendiri adalah murid dari Perguruan Kedung Jati. Nah, sekarang kalian mengerti dengan siapa kalian berhadapan.”

“Bagus. Kau pun akan berhadapan dengan murid dari Perguruan Kedung Jati. Namun yang akan kau hadapi adalah murid dari Perguruan Kedung Jati yang sejati. Bukan murid Perguruan Kedung Jati yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Ia adalah pemimpin palsu, yang akan menjerumuskan Perguruan Kedung Jati ke dalam bencana dan kehancuran.”

Raden Suwasa itupun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menggeram, “Kau telah memfitnah. Bukan kami yang telah memfitnah, tetapi kau.”

“Jika kau katakan bahwa kami telah membunuh kedua orang ini, apakah itu bukan fitnah? Sedangkan kelakuanmu memang tidak mencerminkan sikap dan sifat murid Perguruan Kedung Jati yang sejati. Karena itu maka murid Perguruan Kedung Jati yang sejati akan menangkapmu, hidup atau mati.”

“Persetan. Siapakah murid Perguruan Kedung Jati yang kau maksud?”

“Istriku telah mengemban tugas dari Perguruan Kedung Jati yang sejati. Ia harus membersihkan orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati, yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Mereka adalah orang-orang yang justru telah mencemarkan nama baik Perguruan Kedung Jati yang sejati.”

Raden Suwasa termangu-mangu sejenak. Ia pernah mendengar dari Demak, bahwa ada orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati yang justru memburu orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.

“Apakah perempuan inikah yang dimaksud?” bertanya Raden Suwasa itu di dalam hatinya.

Namun Raden Suwasa itu pun kemudian berkata kepada orang-orang yang bersamanya mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan, “Selesaikan mereka. Seperti perintahku tadi, tangkap mereka hidup-hidup. Aku ingin mendengarkan pengakuannya yang sebenarnya.”

Demikianlah, maka beberapa orang yang mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun mulai bergerak. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Rara Wulan pun telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga ia pun kemudian telah mengenakan pakaian khususnya.

Raden Suwasa pun menjadi berdebar-debar. Menilik kesiapan perempuan itu, maka ia tentu seorang yang berilmu tinggi.”

“Apakah benar ia mengemban tugas dari perguruan yang disebutnya Perguruan Kedung Jati yang sejati?” bertanya Raden Suwasa di dalam hatinya.

Namun siapapun mereka, maka Raden Suwasa pun yakin bahwa orang-orangnya akan segera dapat menangkap kedua orang itu. Apalagi di antara mereka terdapat Ki Jayengwira. Seorang diri Ki Jayengwira tentu akan dapat menangkap kedua orang yang mengaku petugas dari Mataram. Kedua orang yang masih sangat muda itu tentu masih belum memiliki pengalaman yang cukup dibanding dengan pengalaman Ki Jayengwira.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berdiri saling membelakangi. Keduanya sudah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Jika perlu, kita akan sampai ke puncak ilmu kita.”

“Ya, Kakang. Tetapi sebelumnya aku ingin memperlihatkan bahwa aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Hati-hati, Rara. Nampaknya orang ubanan ini memiliki ilmu yang tinggi. Biarlah aku menghadapinya, agar kau mempunyai kesempatan untuk menunjukkan aliran ilmu Kedung Jati.”

Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Baik, Kakang. Tetapi di samping orang itu masih ada beberapa orang yang lain.”

“Mudah-mudahan mereka bukan orang-orang andalan yang berilmu sangat tinggi.”

Dalam pada itu, orang yang ubanan itu pun melangkah mendekati Glagah Putih dan Rara Wulan. Wajahnya memang tidak nampak seram sebagaimana kedua orang yang terbaring di jalan itu. Tetapi wajah itu nampak menyakitkan hati. Senyum di sudut bibirnya membayangkan sikapnya yang sangat meremehkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Menyerah sajalah,” berkata orang itu, “tidak ada gunanya kalian memberikan perlawanan. Jika kalian merasa mampu melawan kami, maka kalian benar-benar sudah kehilangan kiblat. Otak kalian sudah terbalik, sehingga kalian tidak dapat melihat kenyataan.”

“Kenyataan apa yang telah aku lihat?” bertanya Glagah Putih.

“Kenyataan tentang diriku, tentang kawan-kawanku dan tentang Raden Suwasa. Meskipun kau mampu terbang seperti elang atau menyambar-nyambar di rerumputan seperti sikatan, tetapi kau akan menelungkup di tanah. Punggungmu akan menjadi alas tempat Raden Suwasa itu berdiri. Kakinya tidak akan beranjak dari tubuhmu sebelum kau mengatakan siapakah kalian sebenarnya, sehingga kalian telah memberanikan diri mengikuti jejak kami.”

“Aku kira kalian tidak tuli,” sahut Glagah Putih, “sudah aku katakan bahwa aku adalah petugas sandi dari Mataram.”

“Petugas sandi dari Mataram tidak akan sedungu kalian berdua. Mereka tentu dapat menempatkan dirinya, karena mereka mengemban tugas yang sangat penting. Sedangkan kalian justru berbangga bercerita kepada semua orang bahwa kalian adalah petugas sandi dari Mataram. Bukankah itu satu tindakan bodoh?”

“Kalian-lah yang berbangga dengan mengatakan bahwa kalian adalah petugas sandi dari Demak. Bahkan orang yang kau sebut Raden Suwasa itu mengaku murid Pergururuan Kedung Jati.”

“Kedua orang gila ini sudah membocorkannya. Karena itu mereka pantas mati.”

Namun dalam pada itu Raden Suwasa pun berteriak, “Cepat, tangkap keduanya! Kita tidak mempunyai banyak waktu.”

“Baik, Raden,” sahut Ki Jayengwira.

Ki Jayengwira itu pun kemudian melangkah maju. Glagah Putih sengaja menempatkan diri di hadapannya, sementara Rara Wulan berdiri di belakangnya menghadap ke arah yang berlawanan. Ki Jayengwira itu pun dapat melihat bahwa kedua orang laki-laki dan perempuan itu nampaknya akan mampu bertempur dalam kerja sama yang sangat rapi.

“Bersiaplah untuk mati,” geram Ki Jayengwira.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Jayengwira itu pun telah bergeser mendekati Glagah Putih, sementara yang lain pun telah bergerak pula. Dengan geram Ki Jayengwira itu pun kemudian meloncat menyerang Glagah Putih dengan kakinya. Tetapi Glagah Putih yang sudah siap menghadapinya itu pun segera bergeser mengelak dengan cepat.

Sementara Ki Jayengwira menyerang Glagah Putih, maka dua orang di antara mereka yang mengepung Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berloncatan menyerang Rara Wulan dari arah yang berbeda. Namun dengan tangkasnya Rara Wulan menghindari serangan itu. Bahkan yang tidak diduga oleh orang-orang yang mengepungnya, dengan serta-merta Rara Wulan pun telah berloncatan, menyerang mereka seperti badai.

Seorang di antara mereka tidak sempat berbuat apa-apa ketika kaki Rara Wulan terjulur mengenai lambungnya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian ia pun jatuh terduduk di tanah. Sedangkan seorang yang lain dengan susah payah berloncatan surut menghindari tangan Rara Wulan yang terayun mendatar ke arah dadanya. Tetapi orang itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari garis serangan Rara Wulan, karena tangan Rara Wulan masih mengenai pundaknya.

Dengan demikian maka pertempuran pun segera berkobar dengan sengitnya. Kedua belah pihak ingin segera menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Namun ketika pertempuran itu berlangsung beberapa saat, Raden Suwasa benar-benar menjadi berdebar-debar. Ia melihat perempuan yang bertempur bersama laki-laki yang masih terhitung muda itu benar-benar mengetrapkan ilmu dari aliran Kedung Jati. Bahkan ilmunya nampak bersih dan semakin lama semakin rumit.

“Apakah benar seperti yang dikatakannya, bahwa perempuan itu murid Perguruan Kedung Jati yang sejati?”

Pertanyaan itu semakin mengganggu perasaan Raden Suwasa. Semakin cermat Raden Suwasa mengamatinya, maka semakin jelas bahwa perempuan itu memiliki ilmu Perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi.

Sementara itu Glagah Putih yang sering berlatih bersama Rara Wulan pun mengenal unsur-unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati. Karena itu maka di setiap kesempatan Glagah Putih pun dengan sengaja telah menunjukkan unsur-unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati itu.

“Gila,” geram Raden Suwasa, “keduanya ternyata memiliki ilmu sangat tinggi, sehingga Ki Jayengwira itu tidak akan mampu menandinginya.”

Tetapi Ki Jayengwira tidak sendiri. Ki Jayengwira bertempur bersama beberapa orang kawannya, sehingga Raden Suwasa itu masih berpengharapan bahwa bersama-sama beberapa orang, Ki Jayengwira akan dapat menguasai kedua orang itu.

Pertempuran pun kemudian menjadi semakin sengit. Ki Jayengwira bersama tiga orang kawannya telah bertempur melawan Glagah Putih. Sementara itu tiga orang yang lain bertempur melawan Rara Wulan, sehingga masing-masing akan bertempur sendiri-sendiri. Agaknya usaha mereka itu pun berhasil. Tiga orang di antara mereka mencoba menghentak Rara Wulan, sedang yang lain menekan Glagah Putih ke arah yang berbeda.

Sebenarnyalah bahwa bagi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak mempunyai banyak pengaruh apabila mereka bertempur berpasangan atau mereka harus bertempur terpisah yang satu dengan yang lain. Masing-masing dengan penuh percaya diri akan menghadapi lawan mereka dengan cara apapun juga.

Ki Jayengwira dengan ketiga orang kawannya itu pun berusaha dengan segenap kemampuan mereka untuk menguasai Glagah Putih, Mereka menyerang dari arah yang berbeda-beda. Susul menyusul dengan cepat.

Namun Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat dari mereka. Glagah Putih berloncatan dengan sigapnya. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah terlempar dari arena. Tubuhnya terbanting jatuh di tanah. Demikian kerasnya, sehingga orang itu menyeringai kesakitan.

Ia pun berusaha segera bangkit. Kedua tangannya menekan pinggangnya yang bagaikan menjadi patah.

“Gila orang ini. Iblis manakah yang telah menurunkan ilmu itu kepadanya?” geram orang itu. Namun sejenak kemudian, meskipun pinggangnya masih terasa sakit, ia pun kembali memasuki arena pertempuran.

Tetapi demikian ia tampil lagi, maka seorang kawannya yang menjulurkan tangannya ke arah dada Glagah Putih sama sekali tidak menyentuh sasarannya. Bahkan Glagah Putih dengan cepat menangkap tangan itu. Sambil memutar tubuhnya, Glagah Putih menarik tangan orang itu lewat di atas pundaknya. Orang itu pun terangkat. Sekali tubuhnya melingkar di udara, kemudian dengan derasnya terbanting di tanah.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Tetapi Ki Jayengwira dengan cepat menyerang Glagah Putih, sehingga Glagah Putih harus meloncat menghindar. Sementara orang yang terbanting di tanah itu berusaha untuk dapat bangkit dan duduk di tanah. Wajah orang itu masih menunjukkan, betapa ia merasakan kesakitan. Bahkan hampir saja ia tidak dapat lagi bangkit berdiri.

Ki Jayengwira yang merasa dirinya orang terbaik di antara kawan-kawannya, telah berusaha menunjukkan bobot kemampuannya. Dengan garangnya ia menyerang. Jari-jarinya yang mengembang dengan kuku-kuku bajanya, sangat membahayakan bagi lawan-lawannya. Jika jari-jarinya yang mengembang itu sempat menyentuh wajah lawannya, maka wajah itu pun akan mendapatkan empat goresan yang tajam, sehingga dagingnya akan terkoyak. Matanya akan dapat menjadi cacat atau bibirnya tersayat, atau telinganya terlepas.

Tetapi jari-jari Ki Jayengwira dengan kuku-kuku bajanya itu masih belum berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Bahkan ketika Ki Jayengwira itu meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi sambil menjulurkan tangannya dengan jari-jari terbuka menerkam wajah Glagah Putih, maka Glagah Putih pun justru telah menjatuhkan dirinya. Kakinya yang bergerak dengan cepat telah mengenai perut Ki Jayengwira. Demikian keras sehingga orang itu telah terlempar ke udara, terputar sekali, kemudian terbanting di tanah pada punggungnya.

Terdengar orang yang sudah ubanan itu mengaduh. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Namun demikian tertatih-tatih ia berdiri, Glagah Putih meluncur seperti anak panah. Kakinya terjulur dengan derasnya. Tanpa dapat dibendung lagi, maka kedua kaki Glagah Putih itu telah menghantam dada Ki Jayengwira.

Sekali lagi Ki Jayengwira itu terdorong surut. Tubuhnya terbanting jatuh dengan derasnya. Dadanya yang dikenai kedua kaki Glagah Putih itu bagaikan dihentak oleh sebongkah batu hitam. Sekali lagi Ki Jayengwira itu mengaduh. Namun darah pun telah mengalir dari sela-sela bibirnya. Agaknya Ki Jayengwira itu pun mengalami luka yang sangat parah.

Ketiga orang kawannya serentak menyerang Glagah Putih. Mereka bermaksud memberi kesempatan kepada Ki Jayengwira untuk berusaha memperbaiki keadaannya yang gawat. Bahkan ketiga orang kawan Jayengwira itu pun telah menggenggam senjata di tangan mereka, sehingga karena itu maka tiga batang senjata telah terjulur ke tubuh Glagah Putih.

Glagah Putih dengan tangkasnya berloncatan. Ketiga pucuk senjata itu sama sekali tidak ada yang dapat menyentuhnya.

Ki Jayengwira pun berusaha untuk bangkit. Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang meleleh dari sela-sela bibirnya. Kemarahan yang tidak tertanggungkan telah membuat jantungnya hampir meledak. Karena itu, dengan nafas yang terengah-engah ia pun berteriak, “Bunuh orang itu!”

Ki Jayengwira tidak peduli lagi kepada perintah Raden Suwasa untuk menangkap Glagah Putih hidup-hidup. Tentu sulit, bahkan hampir tidak mungkin bagi Ki Jayengwira dan ketiga orang kawannya untuk menangkap laki-laki itu hidup-hidup.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Jayengwira dan ketiga orang kawannya itu pun kemudian telah mengayun-ayunkan senjata mereka dengan cepat. Bergantian senjata-senjata itu terjulur, menebas, mematuk dari segala arah.

Namun keempat orang itu pun terkejut pula ketika tiba-tiba saja senjata-senjata mereka yang mereka andalkan itu membentur ikat pinggang orang yang mengaku sebagai petugas sandi dari Mataram itu.

“Benar-benar ilmu iblis,” geram Ki Jayengwira.

Sebenarnyalah senjata-senjata itu seakan-akan tidak berdaya melawan ikat pinggang di tangan laki-laki yang masih terhitung muda itu. Setiap kali senjata-senjata mereka membentur ikat pinggang itu, maka rasa-rasanya senjata mereka itu telah membentur lempeng baja yang tebal.

Sementara itu orang-orang yang bertempur melawan Rara Wulan pun telah mengalami kesulitan pula. Ketika kemudian mereka mempergunakan senjata-senjata mereka, maka Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya pula.

Mula-mula lawan-lawannya tidak mengerti apa yang akan dilakukan oleh Rara Wulan dengan selendangnya. Namun kemudian mereka sadari bahwa selendang itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Bahkan selendang itu dapat mematuk seperti ujung bindi bertangkai panjang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar