Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 372

Buku 372

“Aku tidak menantang, Ki Sanak. Kami hanya menolak untuk digeledah.”

Tetapi yang tertua di antara laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu pun menyela, “Kenapa kau keberatan? Kami sama sekali tidak berkeberatan. Biarkan mereka menggeledah kita. Dengan demikian, maka persoalannya akan cepat selesai, sehingga kita akan dapat melanjutkan perjalanan.”

“Tetapi menggeledah kita itu berarti merendahkan harga diri kita. Meskipun kita tidak membawa apa-apa, tetapi dengan membiarkan mereka menggeledah kita, maka kita sudah menundukkan kepala kita di bawah kaki mereka.”

“Ki Sanak,” berkata laki-laki tertua itu, “ayahku sedang sakit. Kau jangan menambah beban persoalan kami.”

“Tetapi kita harus mempertahankan harga diri kita.”

“Jika demikian, terserah kepada kalian berdua. Jangan melihatkan kami berempat. Kehadiran Ki Sanak berdua ternyata hanya akan mempersulit keadaan.” Orang itu pun kemudian berkata kepada orang-orang yang menghentikan mereka itu, “Geledahlah kami berempat. Kami tidak keberatan. Kedua orang ini bukan keluarga kami. Kami hanya secara kebetulan berjalan bersama-sama.”

“Siapa saja yang kau sebut berempat itu?”

Orang itu pun kemudian minta kepada keluarganya untuk memisahkan diri dari Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, “Maaf, Ki Sanak, bukan maksud kami untuk tidak saling menolong, tetapi kami ingin persoalan ini segera selesai, agar kami dapat segera melanjutkan perjalanan.”

Glagah Putih itu pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku mengerti, Ki Sanak. Karena itu maka silahkan. Lakukanlah yang terbaik bagi Ki Sanak. Tetapi kami berdua tidak akan mengizinkan orang-orang itu menggeledah kami.”

Pemimpin dari para penyamun itu menjadi marah. Dengan geram ia pun berkata, “Kau sangat sombong, Ki Sanak. Kau hanya berdua dengan seorang perempuan. Kau mau apa? Jika kau menolak untuk digeledah, maka kami akan mempergunakan kekerasan. Penolakanmu bagi kami adalah satu isyarat bahwa kau berdua tentu membawa barang-barang berharga.”

“Ya,” jawab Rara Wulan, di luar dugaan para penyamun dan bahkan empat orang yang akan pergi ke Cupu Watu. “Kami membawa uang dan perhiasan. Karena itu kami berdua menolak digeledah. Jika kalian menggeledah kami, maka kalian akan menemukan beberapa kampil uang yang kami bawa, serta perhiasan yang aku kenakan.”

“Iblis betina, kau. Kenapa kau berkata seperti itu?”

“Kalau kami sudah berani membawa uang beberapa kampil, serta mengenakan perhiasan yang mahal harganya, lewat di sebelah hutan Tambak Baya, tentu kami pun siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, minggirlah. Jangan ganggu kami. Atau kami akan memaksa kalian berlutut di hadapan kami.”

Kemarahan pemimpin penyamun itu telah membakar ubun-ubunnya. Dengan geram ia pun berkata, “Biarlah keempat orang itu melanjutkan perjalanannya. Tetapi yang dua orang ini akan menjadi makanan kita malam ini.”

“Jangan mencari perkara, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku peringatkan kalian sekali lagi.”

“Persetan,” geram pemimpin penyamun itu, “ambil uang dan perhiasannya. Jika mereka menolak, bunuh mereka berdua.”

“Mbokayu!” perempuan yang akan pergi ke Cupu Walu itu menjerit tertahan. “Jangan sakiti perempuan itu.”

“Kau tidak usah turut campur, atau kau pun akan aku perlakukan seperti perempuan yang seorang itu.”

“Sudahlah, Jah. Marilah kita meneruskan perjalanan.”

Namun perempuan itu masih saja berteriak, “Ajak Mbokayu itu pergi.”

“Kita mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, Jah. Jika kita terkait dengan mereka, maka kita pun akan mengalami kesulitan. Sementara itu Ayah menunggu dalam keadaan yang tidak menguntungkan.”

“Pergi! Cepat pergi!” teriak penyamun itu.

Laki-laki yang tertua di antara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu pun segera menarik tangan adik perempuannya, sambil membentak, “Kita harus segera pergi!”

Perempuan itu tidak dapat mengelak lagi. Sementara itu terdengar Rara Wulan berkata, “Pergilah. Nanti sebentar lagi kami akan segera menyusul, setelah kami menyelesaikan kelima orang cecurut kecil ini.”

Kata-kata Rara Wulan memang mengejutkan. Bahkan perempuan yang ketakutan itu pun terkejut pula. Begitu berani perempuan yang berjalan berdua itu menyebut lima orang laki-laki garang itu sebagai cecurut.

Tetapi sikap Rara Wulan itu merupakan peringatan bagi kelima orang penyamun itu. Perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan, sehingga ia berani berkata sedemikian sombongnya.

“Siapakah sebenarnya kalian berdua?” bertanya pemimpin penyamun itu.

“Kami orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Kami akan pergi ke Jati Anom. Jika Ki Sanak mau mendengarkan, minggirlah. Tetapi jika Ki Sanak tetap saja mau berbuat jahat, maka kami akan dapai berbuat jauh lebih kasar dari apa yang akan kalian lakukan.”

“Persetan,” geram pemimpin penyamun itu. “Ambil apa yang dapat kita ambil dari mereka. Jika mereka melawan, habisi saja mereka.”

Keempat kawannya pun segera bersiap. Mereka mulai berpencar serta mempersiapkan diri untuk segera menyerang. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bersiap pula.

Sementara itu keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu telah melanjutkan perjalanan mereka. Tetapi perempuan yang pergi bersama mereka itu sekali-sekali masih berpaling. Perempuan itu sempat melihat dalam keremangan, para penyamun itu mulai menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kalian jangan menyesal kalau tubuh kalian akan terkapar di jalan ini. Mungkin binatang buas dari hutan Tambak Baya itu akan datang mencabik-cabik tubuh kalian. Atau besok akan diketemukan oleh orang-orang yang lewat di jalan ini.”

Tetapi kata-kata orang itu patah. Tiba-tiba saja kaki Glagah Putih telah bersarang di mulutnya.

Orang itu pun terpelanting jatuh menimpa seorang kawannya. Terdengar orang yang tertimpa kawannya itu mengumpat kasar. Kedua-duanya jatuh bergulir di tanah berdebu.

Orang yang tertimpa kawannya itu pun segera meloncat bangkit. Sedang yang seorang lagi masih harus menyeringai menahan sakit. Rasa-rasanya tulang rahangnya telah menjadi retak.

Dalam pada itu, dua orang di antara mereka pun bersama-sama telah menyerang Rara Wulan. Tetapi dengan loncatan yang ringan, Rara Wulan telah melenting menghindar. Bahkan kemudian Rara Wulan-lah yang menyerang seorang di antara mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian yang sengit di antara mereka. Kelima orang itu segera mengerahkan segala kemampuan mereka. Tetapi ternyata mereka telah membentur kekuatan yang berada jauh di atas jangkauan mereka.

Dalam pada itu, keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu berjalan semakin cepat. Mereka hanya berpikir untuk semakin menjauhi orang-orang yang sedang berkelahi itu.

Setelah berhasil menguasai kedua orang laki-laki dan perempuan itu, maka mungkin sekali kelima orang penyamun itu akan mengejar mereka. Mungkin bukan uang dan harta yang mereka kehendaki, tetapi karena salah satu dari mereka adalah seorang perempuan, maka kemungkinan buruk dapat terjadi pada perempuan itu.

Namun keempat orang itu terkejut, ketika tanpa disadari perempuan yang ada di antara mereka berempat itu berpaling.

Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang berkelahi melawan lima orang penyamun itu telah berada di belakang mereka.

“Mbokayu?” desis pesempuan itu di luar sadarnya. Bahkan perempuan itu pun tiba-tiba saja berhenti. “Kau baik-baik saja?”

“Aku tidak apa-apa,” jawab Rara Wulan sambil tertawa.

“Tetapi, bagaimana dengan para penyamun itu?”

“Mereka tidak akan mengejar kita lagi. Kami telah membuat mereka tidak berdaya. Bukan hanya malam ini, tetapi untuk selanjutnya mereka tidak akan dapat menyamun lagi. Kami telah membuat mereka tidak berdaya untuk selanjutnya.”

“Mereka telah mati?”

“Tidak. Kami tidak membunuh mereka. Mereka memang terluka, tetapi luka-luka mereka akan sembuh. Tetapi mereka sudah tidak akan mampu lagi menyamun.”

Ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu, menjadi berdebar-debar. Mereka merasa bersalah bahwa mereka tidak membantu kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Karena itu, maka orang tertua di antara mereka pun berkata dengan suara bergetar, “Maafkan kami, Ki Sanak. Kami telah melakukan kesalahan yang besar dengan meninggalkan Ki Sanak berdua dalam keadaan yang sulit.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Dengan nada datar Glagah Pulih berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Aku mengerti. Kalian memang tidak pernah terlibat dalam perselisihan sehingga harus mempergunakan kekerasan.”

“Dari mana kau mengetahuinya?” bertanya seorang di antara ketiga orang laki-laki yang akan pergi ke Cupu Watu itu.

“Cara kalian memegang senjata. Kalian memang membawa senjata, tetapi kalian tidak terbiasa mempergunakannya.”

“Tetapi seharusnya kami membantu kalian berdua. Bukan sebaliknya malah menyalahkan kalian berdua.”

“Sudahlah. Marilah kita berjalan terus. Bukankah waktu kalian tidak terlalu banyak?”

Orang-orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu tidak menjawab. Meskipun mereka segera melanjutkan perjalanan, namun terasa bahwa mereka masih saja ragu-ragu.

Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan-lah yang kemudian berjalan di depan.

Dalam kegelapan malam, keenam orang itu pun berjalan terus. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melewati Alas Tambak Raya yang lebat dan garang itu.

Keenam orang itu masih berjalan beberapa lama. Mereka melewati bulak-bulak panjang. Namun kemudian mereka pun melewati pula padukuhan-padukuhan.

Keempat orang yang akan pergi ke Cupu Watu itu masih juga bertanya-tanya di dalam hati, siapakah kedua orang laki-laki dan perempuan itu sebenarnya. Apakah mereka benar-benar orang baik-baik, atau mereka sebenarnya menyimpan satu kepentingan bagi mereka berempat.

Namun akhirnya mereka pun menjadi semakin dekat dengan Cupu Watu.

Di tengah malam, mereka berenam pun telah memasuki regol padukuhan Cupu Watu. Padukuhan yang menjadi tujuan ketiga orang laki-laki dan seorang perempuan itu.

“Ki Sanak,” berkata yang tertua di antara keempat orang itu, “kami sudah sampai di Cupu Watu. Jika Ki Sanak berkenan, aku persilahkan Ki Sanak singgah sebentar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Glagah Putih-lah yang kemudian menjawab, “Baiklah, Ki Sanak. Kami akan singgah sebentar.”

“Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak berdua. Tetapi rumah ayahku tidak lebih besar dari sebuah gubug yang sudah mulai rapuh.”

“Itu bukan soal, Ki Sanak,” jawab Glagah Putih.

Mereka pun kemudian berhenti di depan sebuah regol halaman yang tidak begitu luas.

“Inilah rumah ayahku itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk sambil bertanya, “Dengan siapa ayah kalian itu tinggal?”

“Bersama Ibu. Aku tinggal di gubug sebelah.”

Agaknya laki-laki itu telah diminta oleh ibunya menjemput adik perempuannya yang tinggal di seberang Alas Mentaok.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah berada di halaman. Perlahan-lahan laki-laki yang tertua itu mengetuk pintu rumah yang nampaknya memang sederhana.

“Siapa?” terdengar suara perempuan.

“Aku, Nyi.”

“Kakang?”

“Ya.”

Sejenak kemudian terdengar langkah tergesa-gesa menuju ke pintu.

“Itu istriku, Ki Sanak,” berkata laki-laki tertua itu.

Pintu pun kemudian terbuka. Laki-laki tertua itu dengan serta-merta bertanya, “Bagaimana dengan Ayah?”

“Belum ada perubahan, Kang.”

Perempuan yang baru datang itu telah berlari masuk ke ruang dalam. “Ayah!” terdengar perempuan itu menjerit tertahan.

“Jangan menangis, Nduk. Ayahmu akan menjadi sangat gelisah.”

“Biyung, apakah Ayah akan sembuh?”

“Kita berdoa saja, Nduk.”

“Apakah Ayah tidak diobati?”

Perempuan itu terdiam. Namun terdengar suara perempuan yang lain, “Kami sudah tidak mempunyai apa-apa lagi untuk membiayai pengobatan Ayah, Jah. Kambing kami sudah kami jual. Sebenarnya kami sepakat untuk menjual sawah kami yang hanya sesobek kecil itu. Tetapi sawah itu masih berada di tangan orang. Kami sudah menggadaikannya sebulan yang lalu, ketika Ayah baru mulai sakit.”

“Jadi Ayah tidak mendapat pengobatan lagi?”

“Satu-satunya yang kita punya adalah halaman sempit serta rumah ini. Jika ini dijual pula, lalu Ayah tinggal dimana? Gubug kami di sebelah pun harus diusung pergi pula. Tetapi kemana?”

Pembicaran mereka berhenti. Orang-orang yang baru datang lewat Alas Tambak Baya itu pun telah berada di ruang dalam. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.

Mereka duduk di sebuah tikar yang terbentang. Di ruang dalam itu terdapat sebuah amben bambu. Di amben bambu itulah orang yang sedang sakit itu terbaring.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun duduk pula bersama keluarga mereka yang menunggui orang yang sedang sakit itu. Perempuan yang ikut melintasi Alas Tambak Baya itu berlutut sambil menangis di sisi ayahnya yang nampak sangat kurus.

“Bagaimana keadaan Ayah sekarang?” bertanya perempuan itu.

“Semua anggota badanku terasa sakit, Jah.”

“Jadi selama ini Ayah tidak diobati?”

“Biyungmu-lah yang meramu obat untukku.”

Perempuan itu pun berpaling kepada ibunya sambil bertanya, “Oh, apa yang Biyung berikan kepada Ayah?”

“Yang dapat aku ketemukan di kebun kita sendiri, Jah. Seorang tetangga memberitahu, agar ayahmu diobati dengan ketela gantung grandel. Akarnya, sedikit batangnya, kulit batangnya, daun, tangkai daun, bunga dan buahnya.”

“Ibu telah membuatnya?”

“Ya, Nduk. Setiap hari aku membuatnya, sehingga bagian-bagian ketela gantung grandel di belakang rumah sudah hampir habis.”

“Dan keadaan Ayah tidak berubah?”

“Tidak, Nduk. Sakit ayahmu tidak berkurang.”

“Sebenarnya Ayah itu sakit apa, Biyung?”

“Aku tidak tahu, Jah. Orang-orang menyebutnya sakit panastis. Panas dan atis. Kadang-kadang ayahmu merasa bagaikan dipanggang di atas api. Tetapi kadang-kadang ayahmu merasa seperti direndam di dalam banyu wayu sewindu yang dingin sekali, sehingga ayahmu menggigil.”

“O,” perempuan itu terisak.

“Sudahlah, Jah. Jangan menangis,” suara ayahnya terdengar perlahan dan sendat. “Ayah sudah ikhlas meninggalkan kalian semuanya. Kalian harus hidup rukun sepeninggal Ayah. Jaga Biyung kalian baik-baik.”

“Kakang, jangan berkata begitu,” suara istrinya terdengar parau. Sedangkan anaknya yang tertua pun berdesis, “Kita masih harus berusaha, Ayah.”

“Tidak akan ada gunanya lagi, Ngger.”

“Yang Maha Agung Yang Pengasih akan memberi jalan kepada kita, Ayah. Apapun caranya. Untuk sementara biarlah Biyung membuat reramuan dari bagian-bagian batang ketela gantung grandel. Meskipun reramuan itu sangat sederhana, tetapi jika reramuan itu dipergunakan oleh Yang Maha Agung untuk menyembuhkan Ayah, maka Ayah akan sembuh.”

Orang tua yang sakit itu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Anaknya yang tertua itu pun kemudian berkata, “Biarlah Ayah tidur. Menurut seorang kawanku, istirahat adalah bagian dari pengobatan.”

Orang tua itu mengangguk.

Sejenak kemudian, anak yang tertua itu telah duduk bersama Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu, perempuan yang ikut melintasi Alas Tambak Baya itu pergi ke dapur untuk merebus air.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata kepada anak yang tertua itu, “Ki Sanak. Aku tidak mengerti sama sekali tentang ilmu pengobatan. Tetapi seseorang pernah memberitahukan kepadaku, bahwa sakit panastis itu dapat diobati dengan buah munggur, daunnya dan sedikit bunganya. Bagian-bagian dari pohon munggur itu dijemur sampai kering. Kemudian dibuat butiran-butiran kecil. Reramuan itu dapat ditelan pagi, siang dan sore hari.”

Namun Glagah Putih itu pun terdiam ketika Rara Wulan menggamitnya sambil berdesis, “Kau yakin? Apakah tidak justru terjadi sebaliknya?”

Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Katanya, “Bukankah seseorang pernah mengatakan kepada kita tentang buah munggur itu, beserta daunnya yang muda.”

Tetapi Rara Wulan pun berkata, “Tetapi sebaiknya kalian cari saja tabib yang baik. Bukan sekedar seorang dukun yang hanya pandai berbicara menyombongkan diri, kemudian minta imbalan yang banyak. Minta syarat-syarat yang tidak masuk akal. Sebaiknya kalian menghubungi tabib yang mengerti benar ilmu obat-obatan.”

“Tetapi, Ki Sanak,” berkata anak yang tertua itu, “Ki Sanak telah mendengar sendiri, bahwa untuk minta seorang tabib yang pandai mengobati ayahku, maka harus tersedia biaya yang cukup.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Nampaknya keduanya mempunyai gagasan yang sama. Meskipun agak ragu, Glagah Putih itu pun berdesis, “Bukankah kita mempunyai bekal untuk membiayai tugas yang kita emban? Sekarang kita menghadapi tugas kemanusiaan.”

“Aku sependapat, Kakang. Justru aku akan mengatakannya.”

“Baiklah,” berkata Glagah Putih kemudian, “kami akan mencoba membantu Ki Sanak sekeluarga.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih pun telah mengambil beberapa keping uang dari kampilnya.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih sambil memberikan beberapa keping uang perak, “tidak seberapa. Tetapi mudah-mudahan akan dapat sedikit membantu. Mudah-mudahan seorang tabib yang baik akan bersedia mengobati ayah Ki Sanak itu, dengan imbalan beberapa keping uang perak. Tetapi ingat, tabib yang baik. Jangan sembarang orang yang mengaku mampu mengobatinya.”

Orang itu justru menjadi bingung. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.

“Terimalah, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih.

“Apakah aku tidak sedang bermimpi?” desis orang itu. Bahkan saudara-saudaranya pun saling berpandangan.

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “bukankah keping-keping itu uang perak?”

“Ya.”

“Menurut pengertianku, uang itu nilainya banyak sekali. Jika uang itu Ki Sanak berikan kepadaku, lalu apa yang Ki Sanak kehendaki? Kami sudah tidak punya apa-apa.”

“Kami tidak menghendaki apa-apa. Kami hanya ingin ayah Ki Sanak itu mendapatkan pertolongan. Tentu ada tabib yang benar-benar pandai yang dapat mengobati sakit ayah Ki Sanak itu.”

“Tetapi uang ini ?”

“Ki Sanak, aku mendapat bekal untuk menjalankan tugasku. Bagiku, membantu pengobatan ayah Ki Sanak itu nilainya tidak kalah dengan tugasku yang lain, yang harus aku laksanakan itu.”

“Siapakah sebenarnya Ki Sanak berdua?”

“Kami memang orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang sedang mengemban satu tugas. Hanya itu yang dapat aku katakan kepada Ki Sanak.”

“Tetapi bukankah uang itu seharusnya kalian pergunakan untuk melaksanakan tugas itu?”

“Sudah aku katakan, membantu usaha pengobatan bagi ayah Ki Sanak nilainya tidak kalah dengan tugas lain yang aku emban. Karena itu, aku tidak bersalah jika mempergunakan uang itu sedikit untuk pengobatan ayah Ki Sanak.”

“Kami benar-benar salah menilai kalian berdua, Ki Sanak. Seharusnya kami tidak meninggalkan kalian berdua di Alas Tambak Baya. Kami seharusnya berbuat sesuatu, meskipun ternyata tanpa bantuan kami, kalian tidak mengalami kesulitan apa-apa.”

“Tidak, Ki Sanak. Kalian sudah melakukan sesuatu yang benar. Jika kalian ikut dalam perselisihan itu, pekerjaanku akan menjadi semakin berat, karena kami juga harus melindungi kalian.”

Orang itu menarik nafas panjang.

“Nah, jangan berpikiran macam-macam. Ambil uang itu, dan pergunakan sebaik-baiknya untuk penyembuhan ayah Ki Sanak.”

“Lihat,” berkata orang itu kepada saudara-saudaranya, “betapa murah hati kedua orang yang sebelumnya belum pernah kita kenal ini.”

“Sudahlah,” Glagah Putih itu pun kemudian berpaling kepada Rara Wulan, “sebaiknya kita meneruskan perjalanan kita.”

“Marilah, Kakang.” jawab Rara Wulan.

“Nanti dulu,” berkata orang itu, “Ki Sanak berdua belum minum. Adikku sedang membuat minuman hangat bagi kita.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Tetapi mereka tidak ingin membuat keluarga itu menjadi kecewa. Karena itu maka mereka pun menunggu sejenak, sehingga akhirnya minuman hangat itu pun dihidangkan oleh perempuan yang ikut menyeberangi Alas Tambak Baya itu.

Minuman hangat itu memang membuat Glagah Putih dan Rara Wulan merasa segar. Namun setelah mereka menghabiskan minuman mereka, maka mereka pun benar-benar minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

“Kenapa kalian berdua tidak bermalam saja di sini?” bertanya anak yang tertua di antara mereka.

“Terima kasih, Ki Sanak. Perjalanan kami masih jauh.”

“Baiklah, Ki Sanak. Jika Ki Sanak berdua menginap di sini, kami juga tidak dapat memberikan tempat yang pantas.”

“Bukan itu masalahnya. Tetapi kami memang ingin segera sampai ke Jati Anom.”

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak dapat dicegah. Keduanya pun kemudian minta diri kepada seluruh keluarga. Tetapi agaknya orang yang sakit itu sedang tidur; sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan tidak minta diri kepadanya.

“Sampaikan saja kepada ayah kalian. Semoga lekas sembuh.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab anak yang tertua itu.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan perjalanan mereka.

“Mudah-mudahan ada seorang tabib yang dapat mengobatinya,” desis Rara Wulan.

“Tentu ada. Masalahnya hanyalah karena mereka sudah tidak mempunyai uang sama sekali. Mungkin ada seorang tabib yang mau menolong tanpa minta imbalan apa-apa. Tetapi justru karena mereka tidak mempunyai apa-apa, maka sebelumnya mereka sudah merasa segan. Sedangkan tabib itu akan dengan senang hati menolongnya tanpa imbalan, jika diminta. Karena mungkin tabib itu tidak tahu, bahwa ada orang sakit yang memerlukan pertolongannya.”

“Ya,” Rara Wulan mengangguk-angguk, “orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, kadang-kadang merasa dirinya dijauhi oleh orang lain, meskipun sebenarnya tidak demikian. Mereka merasa diri mereka rendah dan tidak berharga sama sekali. Sedangkan sebenarnya orang lain tidak menganggapnya demikian. Meskipun memang ada orang yang disebut kadang konang, orang yang hanya mau bersahabat dan berkumpul dengan orang-orang dari tataran yang tinggi, serta tidak mau berkenalan dan apalagi bergaul dengan orang-orang dari tataran yang lebih rendah.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sementara itu, dari Cupu Watu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan ke arah timur. Perjalanan yang ditempuh masih sangat jauh, dibandingkan dengan padukuhan Cupu Watu. Tetapi Jati Anom barulah langkah pertama dari pengembaraannya.

Ketika di langit nampak bintang Panjer Esuk di arah timur, yang cahayanya melampaui terangnya bintang-bintang yang lain, maka keduanya pun sepakat untuk berhenti di sebuah gubug di tengah sawah.

“Tidurlah,” berkata Glagah Putih kepada Rara Wulan, “masih ada waktu sedikit.”

Rara Wulan memang berbaring di gubug itu, tetapi Rara Wulan tidak dapat tidur. Bahkan ia pun kemudian berkata, “Aku hanya ingin beristirahat, Kakang, tetapi aku tidak merasa mengantuk. Kakang sajalah yang tidur. Meskipun aku berbaring, tetapi mataku tidak mau terpejam.”

“Aku juga tidak mengantuk. Aku bahkan merasa lebih enak duduk bersandar tiang ini.”

Rara Wulan tidak berkata apa-apa lagi. Tetapi matanya benar-benar tidak mau terpejam. Setiap kali bayangan orang yang sakit itu timbul di angan-angannya. Rara Wulan membayangkan, bahwa nyawa seseorang tidak dapat ditolong lagi hanya karena ia sudah tidak mempunyai apa-apa untuk biaya pengobatan.

“Bagaimana mungkin nyawa itu harus dikorbankan, sedang di sisi lain seseorang dapat menghamburkan uang tanpa batas untuk menyelenggarakan keramaian, dalam upacara yang tidak harus diselenggarakan kecuali sekedar mencari kepuasan? Kalau saja aku dapat lepas dari keterbatasanku, aku akan membiayai pengobatan semua orang sakit yang tidak mampu lagi membiayai pengobatannya.”

Rara Wulan itu pun tiba-tiba saja berdesah.

“Ada apa Rara?” bertanya Glagah Putih.

“Kalau saja aku menjadi seorang Ratu,” desis Rara Wulan.

“Ratu? Kenapa kalau kau menjadi seorang Ratu?”

“Ah, aku telah bermimpi meskipun aku tidak tidur.”

“Mimpi apa?”

“Aku dapat mengulurkan tangan kepada setiap orang yang membutuhkan. Terutama untuk menyelamatkan jiwa seseorang.”

“Menyelamatkan jiwa?”

“Bukan mempertahankan nyawa seseorang. Itu tentu tergantung kepada Yang Maha Agung. Tetapi membantu setiap usaha penyembuhan bagi orang-orang yang sakit, yang tidak mempunyai kemampuan untuk mendapatkan pengobatan. Meskipun akhirnya tergantung kepada yang Maha Agung, bukankah berusaha itu dibenarkan?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang wajib berusaha.”

Namun dalam pada itu, keduanya pun terdiam. Mereka mendengar desir langkah kaki seseorang berjalan di pematang menuju ke gubug kecil itu.

Rara Wulan pun kemudian bangkit dan duduk di gubug itu.

Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, melangkah menyusuri pematang menuju ke gubug itu. Di pundaknya dipanggulnya sebuah cangkul. Agaknya orang itu sedang menelusuri air, karena ia mendapat giliran air di dini hari.

Namun orang itu terkejut ketika Glagah Putih dan Rara Wulan pun meloncat turun dari gubug kecil itu. Keduanya pun mengangguk hormat. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Selamat malam, Ki Sanak.”

Orang itu berhenti. Wajahnya menjadi tegang. Dalam keremangan malam ia melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih terhitung muda berada di gubugnya.

“Kalian siapa, he?”

“Kami adalah pengembara, Ki Sanak. Perempuan ini adalah istriku.”

“Apa yang kalian lakukan di gubugku, he?”

“Kami kelelahan dalam perjalanan kami, Ki Sanak. Kami menumpang beristirahat sejenak sampai fajar.”

“Bohong! Kau pergunakan gubugku untuk berbuat gila, he? Iblis manakah yang telah menyusup di kepalamu, sehingga kalian telah mengotori gubug dan sawahku? Sawahku akan menjadi sangar dan cengkar, sehingga pada masa-masa mendatang hasilnya akan menyusut dengan tajam.”

“Ki Sanak, kami berdua adalah suami istri. Kami berdua sedang menempuh perjalanan dalam satu pengembaraan. Tujuan kami yang pertama adalah Jati Anom.”

“Omong kosong. Kalian harus menebus kesalahan kalian. Yang dapat meruwat tanahku hanyalah darah kalian, atau salah seorang dari kalian. Jika darah kalian atau seorang dari kalian menitik di sawahku, maka sawahku akan bersih dari noda yang telah kau taburkan.”

“Ki Sanak, kami hanya beristirahat. Kami sangat letih.”

“Omong kosong. Sekarang, berikan satu jarimu. Aku akan memotongnya, dan membiarkan darahnya menetes di sawahku. Baru sawahku akan menjadi suci kembali.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Sementara orang itu telah menarik sebilah parang kecil yang diselipkan di punggungnya.

“Jangan mencoba untuk melawan. Jika kau melawan, maka aku akan membunuh kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Orang itu menurut penglihatan Glagah Putih dan Rara Wulan adalah seorang petani yang lugu. Seorang petani yang mempercayai, jika tanahnya ternoda maka hasilnya pun akan turun dengan tajamnya.

Karena itu maka Glagah Putih pun kemudian berkata. “Ki Sanak, kenapa harus jariku?”

“Jadi apamu? Lehermu?”

“Yang penting bahwa darahku terpercik di sawahmu. Meskipun aku tidak merasa telah mengotori sawahmu, tetapi jika kau menuntut darahku memercik di sawahmu, akan aku lakukan. Tetapi tidak perlu memotong jariku.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Berikan parangmu itu, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Untuk apa?”

“Biarkan aku sendiri yang menitikkan darahku di sawahmu itu.”

“Kau jangan menganggapku terlalu bodoh. Kau tentu akan mempergunakan parangku itu untuk melawan aku.”

“Tidak. Aku tidak akan berani melakukannya. Aku akan melakukan sebagaimana kau kehendaki. Tetapi tidak usah memotong jari.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diberikannya parangnya kepada Glagah Putih. Tetapi demikian ia melepaskan parangnya, maka ia pun segera menggenggam doran cangkulnya.

Tetapi Glagah Putih memang tidak ingin menyerangnya. Disingsingkannya lengan bajunya, kemudian dengan parang itu dilukainya tangannya, di antara pergelangannya dan sikunya bagian dalam.

Parang itu pun kemudian telah menggores kulitnya, sehingga luka pun telah menganga.

“Kakang,” Rara Wulan tertegun melihat Glagah Putih melukai lengannya sendiri.

“Beri aku serbuk obat lukamu, Rara,” berkata Glagah Putih kemudian.

Dengan tergesa-gesa Rara Wulan telah mengambil sebuah bumbung kecil di kantong bajunya di bagian dalam.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, yang dari luka di tangannya itu mengalir darah, “lihat. Darahku telah menetes di sawahmu. Jika kau anggap aku telah menodai sawahmu, meskipun sebenarnya sama sekali tidak aku lakukan, maka aku telah memberikan ketenangan batin padamu. Kau tidak usah merasa cemas bahwa hasil sawahmu akan menyusut tajam.”

Orang itu berdiri bagaikan membeku di pematang sawahnya. Namun ia telah melihat darah yang mengalir dari luka di tangan Glagah Putih telah menetes di sawahnya.

“Nah, Ki Sanak. Apakah kau sudah puas?”

Orang itu tidak segera menjawab. Ia justru berdiri saja termangu-mangu.

“Jawab, Ki Sanak. Apakah kau sudah puas?”

“Ya, ya. Kau telah mensucikan sawahku lagi.”

“Sawahmu tidak pernah ternoda,” sahut Glagah Putih. Ia pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “taburkan sedikit serbuk obat itu di lukaku,”

Rara Wulan pun segera melakukannya. Ditaburkannya serbuk obat di luka Glagah Putih yang telah mengalirkan darah itu.

Terasa panas bagaikan menyengat luka itu. Namun hanya sekejap. Kemudian perasaan pedih dan panas itu pun segera hilang. Sementara itu, darah pun segera menjadi pampat. Ketika Glagah Putih membersihkan serbuk di tangannya itu, maka lukanya pun tidak lagi mengeluarkan darah.

Petani itu masih berdiri tegak di tempatnya. Ia terkejut ketika Glagah Putih kemudian berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Kami akan pergi. Sebentar lagi fajar akan menyingsing. Kami harus melanjutkan perjalanan kami.”

Glagah Putih pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Marilah. Kita sudah cukup lama beristirahat di gubug ini. Agaknya pemilik gubug ini tidak rela memberikan sekedar tempat untuk beristirahat kepada para pengembara sebagaimana kita berdua.”

“Tidak. Tidak, Ki Sanak,“ tiba-tiba saja orang itu menyahut. “Bukannya aku tidak mau memberikan tempat persinggahan bagi orang yang kelelahan di perjalanan, tetapi aku telah menjadi salah mengerti tentang keadaan Ki Sanak berdua.”

“Tidak apa-apa, Ki Sanak, Ki sanak sudah dapat menjadi tenang kembali. Kami berdua minta diri.”

“Aku rninta maaf, Ki Sanak.”

“Tidak ada yang harus dimaafkan. Kau sudah termakan oleh kepercayaanmu, sehingga kau tidak lagi dapat mengurai persoalan-persoalan yang kau hadapi dengan sewajarnya.”

“Baik, baik. Aku tidak akan mengelak. Sekarang, bahkan aku ingin minta Ki Sanak berdua singgah di rumahku.”

“Terima kasih. Tetapi kami harus segera melanjutkan perjalanan. Kami masih harus menempuh jarak yang jauh bagi tujuan pertama kami, Jati Anom.”

“Apakah Ki Sanak berasal dari Jati Anom?”

“Ya,” jawab Glagah Putih. Ia berharap orang itu tidak bertanya lebih banyak lagi.

“Ki Sanak, aku minta Ki Sanak sudi singgah di rumahku. Aku minta maaf atas tuduhanku. Aku sekarang percaya, bahwa sawahku tidak ternoda.”

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tetap pada niatnya untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom.

Karena itu maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Aku minta maaf. Kami akan melanjutkan perjalanan kami yang masih panjang.”

Demikianlah, keduanya pun meninggalkan petani yang berdiri termangu-mangu. Ditimangnya parang kecilnya yang telah diserahkan kembali oleh Glagah Putih kepadanya. Parang yang sudah bernoda darah, meskipun hanya seleret kecil.

Namun betapa punpetani itu menyesali kekasarannya, kedua orang yang mengaku suami istri itu sudah berjalan semakin jauh.

Petani itu menarik nafas panjang. Baru kemudian ia teringat air yang harus dialirkannya ke sawahnya, karena ia memang mendapat giliran hari itu di dini hari.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan gubug itu semakin jauh. Dengan nada datar Rara Wulan pun berkata, “Kakang terpaksa melukai tangan Kakang.”

“Aku tidak punya pilihan lain. Daripada harus mengorbankan jariku.”

“Kakang, misalnya. Hanya misalnya. Kakang menolak, apa yang kira-kira akan dilakukan?”

“Orang itu benar-benar akan marah.”

“Lalu kita paksa orang itu duduk diam di gubugnya, dengan menyentuh beberapa simpul syaraf di bahunya. Baru setelah kita jauh, orang itu akan terlepas sendiri dari kebekuannya.”

“Orang itu akan kehilangan waktu untuk mengairi sawahnya. Karena gilirannya di dini hari, maka baru besok menjelang fajar ia dapat mengairi sawahnya. Padinya yang sedang bunting itu, jika terlambat mengairinya, akan dapat menimbulkan masalah. Akhirnya hasil sawah orang itu kemudian memang akan menurun tajam. Petani itu akan semakin yakin, bahwa sawahnya telah menjadi sangar.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia bertanya, “Selain itu, maka orang itu akan selalu dibayangi oleh kecemasan, bahwa untuk selanjutnya sawahnya tidak akan menghasilkan.”

“Ya. Karena itulah maka lebih baik mengorbankan darahku beberapa titik. Bukankah tidak berpengaruh apa-apa padaku? Kecuali sekejap disengat pedih saat kau taburkan serbuk obat pemampat darah itu.”

Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

Ketika mereka kemudian sampai di Kali Opak, maka keduanya pun sempat mencuci mukanya. Di musim kemarau, air di Kali Opak tidak begitu deras, sehingga dapat diseberangi tanpa harus mempergunakan rakit.

Sementara itu, langit pun sudah menjadi terang. Beberapa orang telah nampak berjalan beriring. Beberapa orang perempuan menggendong dagangannya, sementara beberapa orang lak-laki memikul kayu bakar atau hasil kebun mereka. Agaknya mereka akan pergi ke pasar yang tidak jauh lagi di sebelah timur Kali Opak.

Setelah berbenah diri sekedarnya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun melanjutkan perjalanan mereka pula. Mereka berjalan beriringan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar.

“Jika kita tidak berhenti di Cupu Watu dan di gubug itu, kita tentu sudah sampai di Gondang. Bahkan sudah melewatinya.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Bukankah kita perlu beristirahat?”

Rara Wulan mengangguk. Meskipun demikian ia pun menyahut. “Tetapi Kakang justru harus melukai tangan Kakang.”

Glagah Putih tersenyum sambil menyahut, “Tetapi dengan demikian, bukankah kita tidak lagi mengantuk?”

“Aku memang tidak mengantuk.”

“Ya. Kau tidak mengantuk. Tetapi kau sedang bermimpi, meskipun kau tidak tidur.”

Rara Wulan pun mengerutkan dahinya. Namun ia pun tersenyum pula.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melewati sebuah pasar yang ramai. Meskipun matahari baru terbit, tetapi rasa-rasanya pasar itu sudah mulai penuh dengan orang-orang berjualan dan yang akan berbelanja.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah duduk di sudut pasar itu. Mereka duduk di sebuah lincak bambu yang panjang, di depan seorang penjual nasi serta wedang sere yang hangat.

“Semalaman kita tidak tidur. Minuman hangat dan nasi megana itu akan membuat kita menjadi segar kembali,” berkata Glagah Putih.

Keduanya pun tidak lagi menghiraukan orang-orang yang semakin berdesakan di pasar itu. Semakin tinggi matahari, maka semakin banyak orang yang datang ke pasar untuk berbelanja.

Glagah Putih dan Rara Wulan bergeser ketika dua orang laki-laki yang tinggi tegap duduk pula di lincak itu, serta membeli nasi megana dan wedang sere dengan gula kelapa.

Setiap kali orang yang duduk di sebelah Rara Wulan itu berpaling dan memperhatikannya. Bahkan kemudian orang itu mulai tersenyum-senyum.

Tetapi Rara Wulan sama sekali tidak menghiraukannya. Perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada nasi megana dan minuman hangatnya.

Namun akhirnya perhatian Rara Wulan mulai tertarik kepada kedua orang itu, ketika mereka mulai berbicara.

“Tempat ini tidak menguntungkan,” berkata yang seorang.

Seorang yang lain pun menyahut, “Apanya yang tidak menguntungkan?”

“Kali Opak merupakan benteng yang sangat kokoh bagi Mataram. Mungkin ada kekuatan gaib yang terdapat di Kali Opak itu, seakan-akan merupakan pelindung bagi Mataram.”

“Pelindung bagaimana?”

“Ketika Pajang berniat menyerang Mataram, maka serangan itu telah tertahan di Kali Opak. Pasukan Pajang yang kuat itu harus kembali ke Pajang. Bahkan Kanjeng Sultan Hadiwijaya telah terjatuh dari gajahnya, sehingga terluka parah.”

“Sultan Hadiwijaya memang sudah sakit sebelum berangkat perang.”

“Ya. Tetapi pasukannya yang kuat telah digulung oleh banjir bandang Kali Opak. Bukan hanya banjir air, tetapi banjir batu yang tertumpahkan dari Gunung Merapi.”

“Ya.”

“Kau kira cerita itu mempunyai arti yang wantah?”

“Maksudmu?”

“Kau kira yang terjadi benar-benar seperti cerita itu?”

“Aku tidak tahu,” jawab kawannya. “Mungkin benar kata orang, bahwa sebenarnya Kali Opak tidak banjir air, apalagi batu. Tetapi kekuatan yang sangat besar telah menghentikan pasukan Pajang di Kali Opak.”

“Nah, kemudian apa yang terjadi dengan pasukan Adipati Pragola dari Pati? Pasukannya sangat kuat. Seluruh kekuatan di sebelah utara Gunung Kendeng telah dihimpunnya. Ketika pasukan yang tidak terhitung kekuatannya itu mengalir ke Mataram, maka pasukan Pati itu telah terhenti di Kali Opak. Akhirnya pasukan Pati itu harus terpukul mundur saat menyeberang Kali Opak, oleh pasukan Mataram yang lebih kecil, yang dihimpun dengan tergesa-gesa.”

“Jadi, bagaimana menurut pendapatmu?”

“Jika kita akan membangun landasan, sebaiknya justru di sebelah barat Kali Opak di sebelah timur, dan di sebelah timur Kali Praga di sebelah barat. Jika kita membangun landasan kekuatan di sebelah barat Kali Praga, maka pasukan itu harus menghadapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu. Kita harus ingat pengalaman buruk kita, bahwa pasukan kita pernah dihancurkan oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Itu dahulu,” jawab yang lain, “tetapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Kekuatan kita sudah berlipat lima belas. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak akan mampu lagi berbuat apa-apa di hadapan kita.”

“Tetapi bagaimanapun juga, kita harus mengusulkan agar pemusatan kekuatan harus dilakukan di sebelah barat Kali Opak dan di sebelah timur Kali Praga.”

Namun tiba-tiba kawannya berdesis, “Sst, nanti saja kita bicara lagi. Sekarang marilah kita makan dan minum. Aku ada kerja yang lain, yang tidak kalah mengasyikkan daripada berbicara tentang landasan kekuatan itu.”

“Apa?”

Orang itu tersenyum. Namun orang itu memberi isyarat kepada kawannya, bahwa di sebelahnya duduk seorang perempuan.

“Aku sudah melihat sejak tadi.”

“Sst,” orang itu berdesis.

“Aku peringatkan, agar kau tidak membiarkan gejolak perasaanmu memperburuk keadaan.”

“Kenapa harus memperburuk keadaan?”

“Jika kau terlibat dalam persoalan yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan kita, maka kau akan merusak kesempatan kita, meskipun kita telah berada di sini.”

“Merusak apa? Tidak akan ada persoalan apa-apa. Percayalah, segalanya akan berlangsung lancar-lancar saja.”

“Kau memang gila. Tetapi pada suatu saat, kau akan mengalami kesulitan karena tingkahmu itu.”

Orang itu tertawa.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Justru karena ia memperhatikan pembicaraan orang itu, maka ia pun tahu apa yang akan dilakukan oleh orang yang duduk di sebelahnya.

Namun dalam pada itu, meskipun ia tidak mendengar seluruh pembicaraan kedua orang itu, tetapi Rara Wulan dapat mengerti apakah yang mereka maksudkan.

Meskipun keduanya tidak menyebutkan dengan jelas, tetapi Rara Wulan pun mengerti bahwa mereka tentu orang-orang yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati.

Tetapi Rara Wulan masih tetap berdiam diri. Tetapi ia tidak lagi memusatkan perhatiannya kepada nasi dan minuman hangatnya. Tetapi Rara Wulan justru hanya berpura-pura saja tidak menghiraukan keadaan di sekelilingnya dan hanya memperhatikan makan dan minumnya.

Orang yang duduk di sampingnya itu mulai memperhatikannya lagi. Setiap kali orang itu berpaling bahkan sambil tersenyum. Sekali-kali orang itu menyentuh Rara Wulan dengan sikunya.

Jika Rara Wulan bergeser sedikit menjauhinya, maka orang itu bergeser pula mendekat. Bahkan kemudian orang itu telah bertanya kepada Rara Wulan, “Kau sendiri saja, Nini?”

Rara Wulan pura-pura tidak mendengar, sehingga orang itu mengulanginya, “Kau sendiri saja, Nini?”

Rara Wulan seakan-akan masih belum mendengarnya. Karena itu, maka orang itu pun bertanya lagi, “Apakah kau hanya sendiri saja, he?”

Rara Wulan pun berpaling karena orang itu menggamitnya.

“Kau bertanya kepadaku?”

“Ya.”

“O, maaf. Aku kira yang kau panggil Nini itu seorang gadis kecil.”

“Aku berbicara dengan kau.”

“Kenapa kau panggil aku Nini? Panggil aku Bibi, atau setidak-tidaknya panggil aku Mbokayu. Anakku sudah hampir sebesar kau ini.”

“Gila. Aku sudah hampir ubanan,” sahut orang itu

“O, kau sudah hampir ubanan? Tetapi kenapa kau masih saja sibuk memperhatikan perempuan?”

“Perempuan gila. Sekarang jawab pertanyaanku. Apakah kau sendiri?”

“Aku bersama suamiku. Yang duduk di sebelahku ini adalah suamiku.”

“Ya, Ki Sanak,” Glagah Putih menyahut sambil tersenyum-senyum, “aku suaminya.”

“Kenapa kau diam saja sejak aku bertanya kepada istrimu?”

“Maaf, Ki Sanak. Aku tidak mengerti bahwa kau berbicara dengan istriku.”

Tiba-tiba saja Rara Wulan membentak, “Diam kau! Kau tidak usah turut campur.”

“Tidak, tidak, Nyi,” jawab Glagah Putih.

“Kau bentak-bentak suamimu?” bertanya laki-laki yang duduk di sebelah Rara Wulan.

“Laki-laki tidak tahu diri. Makan dan minum sajalah. Jangan hiraukan aku.”

“Ya, Ya, Nyi. Aku sudah makan.”

“Apakah kau sudah kenyang?”

“Sudah, Nyi.”

“Baik. Duduk sajalah yang baik.”

Laki-laki yang duduk di sebelah Rara Wulan itu tertawa. Ia pun kemudian bertanya, “Kenapa dengan suamimu itu?”

“Ia hanya tahu makan dan minum. Ia akan melakukan apa saja yang aku perintahkan.”

“Bagus,” laki-laki itu tertawa. Lalu bertanya, “Sekarang kau mau kemana?”

“Kemana saja. Aku memang sering berada di sini.”

“He?”

Ketika Rara Wulan tersenyum, laki-laki itu menggamit kawannya, “Aku mau pergi. Ikut apa tidak?”

“Kau mau pergi kemana?”

“Jangan bertanya. Jika kau mau ikut, ikut sajalah. Jika tidak, tunggu aku di sini.”

“Tunggu di sini sampai kapan?”

“Sampai sore.”

“Gila. Aku ikut saja. Bukankah kau akan membawa perempuan ini? Tetapi berhati-hatilah.”

Orang itu tertawa. Dilemparkannya beberapa keping uang kepada penjual nasi itu sambil bertanya, “Kurang? Aku bayar semuanya yang kami makan dan minum berempat.”

“Terlalu banyak, Ki Sanak. Tunggu, ada uang kembalinya.”

“Ambil saja.”

“He?“ penjual itu menjadi keheranan.

“Ambil kembalinya.”

“Terima kasih. Terima kasih, Ki Sanak.”

Orang itu pun kemudian meninggalkan tempat itu bersama Rara Wulan dan kawannya. Sementara itu Rara Wulan pun berkata kepada Glagah Putih, “Ikuti aku.”

“Kenapa ia harus ikut?” bertanya laki-laki itu.

“Biar saja. Jika kau memerlukan sesuatu, aku dapat menyuruhnya mencarikannya. Aku pun tidak mau ia melarikan diri dariku. Aku masih memerlukannya. Jarang ada laki-laki sebaik suamiku.”

Laki-laki itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Jika kau menganggapnya laki-laki yang sangat baik, sehingga kau masih sangat memerlukannya. Tetapi bukankah ia tidak akan mengganggu?”

“Tidak. Ia tidak akan mengganggu.”

Ketiga orang itu pun segera berdesakan dengan orang-orang yang ada di pasar itu, menuju ke pintu gerbang. Sementara Glagah Putih mengikutinya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih mendengar pula percakapan kedua laki-laki itu. Seperti Rara Wulan, Glagah Putih pun dapat menduga bahwa kedua orang itu tentu orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati.

Karena itu maka ia tanggap akan maksud Rara Wulan, sehingga Glagah Putih pun mencoba menyesuaikan dirinya dengan sikap Rara Wulan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya pun telah keluar dari pintu gerbang pasar. Sejenak laki-laki yang mengajak Rara Wulan itu menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Ikut aku. Kita pergi ke bukit itu.”

“Bukit mana?”

“Bukit di sebelah selatan itu.”

“Ke hutan di perbukitan itu?”

“Ya.”

Tetapi kawannya berkata, “Kau gila. Kenapa orang itu kau bawa ke sana?”

Orang itu pun berdesis perlahan, “Mereka tidak akan pernah keluar lagi. Perempuan ini akan menjadi penghuni sarang kita.”

Tetapi yang lain menyahut perlahan, “Keberadaannya di sarang kita akan dapat menimbulkan persoalan. Sepuluh orang yang ada di sarang kita itu akan dapat bertengkar karena keberadaannya.”

“Tidak seorangpun yang akan berani melawan aku.”

“Kau memang sudah gila.”

Tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “Apa yang kalian bicarakan?”

“Tidak apa-apa,” jawab orang yang mengajak Rara Wulan itu. Lalu katanya, “Marilah. Aku punya rumah di belakang perbukitan itu. Kau akan aku ajak melihat-lihat rumahku.”

“Kau tinggal di hutan di sebelah bukit itu?”

“Tentu tidak. Aku tinggal di sebelah hutan itu. Di pinggir jalan setapak yang naik ke atas bukit itu. Ada sebuah candi yang sebagian sudah runtuh di atas bukit itu.”

Namun Rara Wulan pun dengan ragu-ragu menjawab, “Sebaiknya aku tidak ikut pergi ke hutan itu. Aku takut.”

“Apa yang kau takutkan?”

“Macan, atau binatang buas yang lain.”

“Ada aku. Jangan takut.”

Rara Wulan pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Ikut aku. Jangan bertanya, dan apalagi membantah.”

“Baik, baik, Nyi.”

Rara Wulan pun kemudian berjalan bersama kedua orang yang baru saja dikenalnya itu. Namun Rara Wulan dan bahkan juga Glagah Putih menduga, bahwa di sarang mereka tinggal sekitar sepuluh orang. Mereka adalah orang-orang yang mendapat tugas untuk mengamati keadaan. Menilai tempat yang akan mereka pergunakan sebagai landasan kekuatan pasukan dari mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati.

Rara Wulan sebenarnya memang agak ragu. Sepuluh orang harus mereka hadapi berdua. Rara Wulan dan Glagah Putih belum tahu, seberapa tinggi kemampuan dari kesepuluh orang itu.

Tetapi bahwa Glagah Putih tidak mencegahnya, agaknya Glagah Putih pun mempunyai perhitungan yang sama dengan Rara Wulan, bahwa mereka berdua akan sanggup menghadapi sepuluh orang yang berada di sarang mereka. Setidak-tidaknya dua orang itu akan dapat mereka hentikan di perjalanan menuju ke sarang mereka.

Sementara matahari menjadi semakin tinggi, maka dua orang yang akan membawa Rara Wulan ke sarang mereka itu pun berjalan semakin cepat. Sementara Glagah Putih berjalan di belakang mereka. Kadang-kadang Glagah Putih agak tertinggal, tetapi kemudian dengan berlari-lari kecil menyusul mereka.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu pun berkata, “Nyi, aku sudah lelah. Jangan terlalu cepat.”

Rara Wulan pun kemudian berhenti. Ia tahu bahwa Glagah Putih telah memberikan isyarat kepadanya.

Ketika Rara Wulan memperhatikan keadaan di sekitarnya, maka Rara Wulan pun menyadari bahwa mereka telah berada di tempat yang sepi. Sebuah hutan yang tidak begitu lebat menyelimuti lereng perbukitan itu. Baru kemudian sebelah bukit itu, terdapat sebuah hutan yang nampaknya masih garang.

“Kenapa berhenti? Kita sudah dekat dengan rumahku yang aku katakan itu.”

“Suamiku sudah lelah,” sahut Rara Wulan.

“Persetan dengan laki-laki cengeng itu.”

Rara Wulan pun kemudian bertanya, “Apakah tulang-tulang kakimu sudah retak, sehingga kau tidak mampu berjalan lagi?”

“Kita berhenti sebentar, Nyi. Aku lelah. Aku haus.”

“Kau baru saja makan dan minum di pasar itu.”

Glagah Putih pun kemudian duduk di tanggul parit di pinggir jalan, sambil berkata, “Tunggu dulu, Nyi. Aku akan beristirahat.”

“Jangan hiraukan suamimu. Kita berjalan terus.”

“Nanti dulu, Ki Sanak. Aku tidak dapat meninggalkannya sendiri di sini. Di tempat yang sepi, dekat hutan lereng pegunungan. Nanti ia akan menangis ketakutan.”

“Jangan pedulikan. Apapun yang akan terjadi padanya, biarlah terjadi.”

“Jangan. Sayang sekali jika aku harus kehilangan laki-laki itu. Sulit untuk mencari laki-laki seperti suamiku.”

“Aku akan mencari seratus laki-laki seperti itu.”

“Belum tentu jika kami akan sesuai. Biarlah aku menunggunya sampai ia bangkit dan bersedia berjalan lagi.”

“Gila! Aku akan membunuhnya. Jika orang itu mati, maka kau tidak perlu lagi menghiraukannya. Kau akan tinggal di rumahku untuk seterusnya.”

“Jangan bunuh orang itu. Aku masih memerlukannya.”

“Bangkit dan berjalan! Atau aku membunuhmu!” bentak laki-laki yang berniat membawa Rara Wulan itu.

“Aku akan beristirahat dahulu, Ki Sanak,” jawab Glagah Putih yang masih duduk di tanggul di bawah sebatang pohon sengon.

Orang yang berniat membawa Rara Wulan itu tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil mengayunkan tangannya. Kelima jari-jarinya yang mengembang itu terarah ke punggung Glagah Putih.

Glagah Putih sadar bahwa serangan kelima jari-jari yang terbuka itu sangat berbahaya. Kelima jari-jari itu akan dapat menghujam ke punggungnya, sehingga ia tidak akan pernah dapat bangkit lagi dari tempat duduknya.

Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa cepat atau lambat orang itu tentu akan membunuhnya pula.

Karena itu maka Glagah Putih tidak akan membiarkan punggungnya berlubang lima. Ketika tangan itu terayun, maka dengan tangkasnya Glagah Putih pun bangkit, langsung melenting menghindari serangan orang itu.

Orang itu pun menjadi terkejut sekali. Ia tidak mengira sama sekali bahwa laki-laki yang dianggapnya cengeng itu mampu melenting demikian cepatnya, melampaui kecepatan ayunan tangannya.

“Gila,” geram orang itu, “siapakah sebenarnya kau?”

Glagah Putih yang telah berdiri beberapa langkah dari tanggul parit itu pun menjawab, “Aku suami perempuan itu. Bukankah sudah aku katakan?”

“Persetan. Aku tidak peduli siapakah kau. Tetapi kau akan mati, dan perempuan ini aku akan bawa ke sarangku.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Bertanyalah kepadanya. Jika perempuan itu mau pergi bersamamu ke sarangmu, bawalah.”

Ketika orang itu berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun tertawa pula. Katanya, “Tetapi biarlah suamiku ikut. Aku masih memerlukannya.”

“Anak iblis, kalian berdua. Apa maumu sebenarnya?”

“Bukankah kau yang membawaku kemari? Seharusnya aku-lah yang bertanya kepadamu, apa maumu.”

Orang itu menggeram. Kawannya pun berkata, “Aku sudah memperingatkanmu, bahwa pada suatu saat kau akan mengalami kesulitan dengan kesenanganmu memburu perempuan.”

“Tetapi aku tidak menyesal. Aku akan membunuh laki-laki itu, dan membawa perempuan itu ke sarang. Ia tidak akan dapat mengelak lagi. Bahkan karena tingkahnya, aku akan melemparkannya kepada kawan-kawan kita. Apapun yang terjadi dengan perempuan itu, adalah akibat dari ulahnya sendiri.”

“Jangan membuat keributan di sarang kita. Selama ini tidak ada masalah di sarang kita. Tetapi jika kau bawa perempuan ini, maka akibatnya akan dapat membuat sarang kita berhamburan. Mungkin akan timbul perkelahian. Bahkan mungkin dapat membawa korban jiwa.”

“Tidak. Aku-lah yang akan mengaturnya. Yang akan terjadi di sarang kita, harus merupakan hukuman bagi perempuan ini.”

Kawannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terserah kepadamu. Sekarang bunuh laki-laki itu. Nampaknya laki-laki itu pun telah dengan sengaja mengelabui kita. Mungkin dengan sengaja pula ia berusaha menjebak kita dengan maksud tertentu.”

“Baik. Jaga agar perempuan itu tidak sempat melarikan diri. Aku akan membunuh laki-laki ini lebih dahulu. Nampaknya ia belum tahu dengan siapa ia berhadapan.”

“Cepat, lakukan.”

Laki-laki yang akan membawa Rara Wulan ke sarangnya itu pun melangkah mendekati Glagah Putih sambil menggeram, “Kau masih terlalu muda untuk mati. Tetapi tingkah serta kesombonganmu sendiri itulah yang akan membunuhmu.”

“Kenapa kau akan membunuhku?” bertanya Glagah Putih.

“Pertanyaan yang bodoh. Atau kau menganggapku sangat bodoh, sehingga kau lontarkan pertanyaan itu?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Baiklah. Lakukan apa yang akan kau lakukan, kalau kau mampu. Tetapi aku tentu akan mempertahankan diriku. Bahkan jika perlu, aku-lah yang akan membunuhmu. Dan jika kawanmu itu ikut campur, maka aku pun akan membunuh kalian berdua.”

“Setan alas! Kau kira kau ini siapa, sehingga kau dengan sombong sekali mengancam kami berdua? Kau tentu belum tahu, dengan siapa kau berhadapan.”

“Aku memang belum tahu, siapakah kau dan siapakah kawanmu itu.”

“Aku adalah Makantar. Aku juga-lah yang disebut sebagai Alap-Alap Kali Wedi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku jadi ingat nama yang pernah disebut-sebut oleh saudaraku. Alap-alap Jalatunda. Apakah kau masih mempunyai hubungan darah dengan Alap-Alap Jalatunda?”

“Persetan. Aku tidak mengenal Alap-Alap Jalatunda.”

“Tentu kau tidak mengenalnya. Alap-Alap Jalatunda namanya terkenal pada saat Perguruan Kedung Jati sedang dalam kejayaannya.”

“Apa? Pada saat Perguruan Kedung Jati dalam kejayaannya?”

“Ya. Alap-Alap Jalatunda adalah seorang senapati di bawah kepemimpinan Macan Kepatihan. Saat Jipang runtuh, Macan Kepatihan telah bergerak ke Selatan, justru mendekati Pajang, dan mencoba membangun kekuatan di sekitar Sangkal Putung. Satu lingkungan yang subur. Tetapi Macan Kepatihan telah gagal, karena kekuatannya telah membentur kekuatan senapati besar dari Pajang yang bernama Untara.”

“Dari mana kau mendengar dongeng ngayawara itu?”

“Bukan dongeng ngayawara. Aku mendengar dari para pelakunya, yang telah menghancurkan sisa-sisa terakhir para pemimpin dari Perguruan Kedung Jati pada waktu itu, kecuali seorang.”

“Siapakah yang seorang itu?”

“Ki Sumangkar. Ia adalah kakek guru istriku itu. Karena itu, maka istriku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Orang yang berniat membawa Rara Wulan itu pun berkata, “Omong kosong. Ternyata kalian adalah pembual-pembual yang memuakkan.”

“Kami bukan pembual,” sahut Rara Wulan. “Nah, siapakah di antara kalian yang mengenal aliran Kedung Jati dalam olah kanuragan?”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara itu Rara Wulan pun berkata selanjutnya, “Jika ada di antara kalian yang mengenal aliran Kedung Jati yang sebenarnya, akan dapat melihat, apakah aku memiliki warisan ilmu dari Perguruan itu atau tidak. Sekarang memang banyak orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati, tetapi mereka sebenarnya bukan murid-murid dari Perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Bahkan sekarang ada orang yang mengaku pemimpin dari Perguruan Kedung Jati dan mencoba menghimpun orang-orang yang tidak mempunyai sikap pribadi, untuk bergabung dengan Perguruan Kedung Jati. Mereka terdiri para murid dari perguruan-perguruan kecil, yang gagap menghadapi perkembangan ilmu kanuragan sekarang ini.”

“Apa yang kau maksud dengan perguruan-perguruan kecil?” bertanya orang yang berniat membawa Rara Wulan.

“Perguruan-perguruan kecil. Mereka beramai-ramai bergabung dengan sekelompok orang yang menyebut dirinya murid-murid sejati dari Perguruan Kedung Jati. Mungkin karena bujukan, harapan-harapan, atau karena ancaman, sehingga mereka menjadi ketakutan.”

“Bohong!” bentak kawannya. “Aku mengenal unsur-unsur dari aliran Perguruan Kedung Jati. Jika benar perempuan itu murid dari Perguruan Kedung Jati, maka aku menantangnya agar ia dapat menunjukkannya.”

“Baik,” berkata Rara Wulan, “aku akan menunjukkan kepadamu, bahwa aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Keduanya pun kemudian telah bersiap. Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang kemudian dikenakannya adalah pakaian khususnya.

Glagah Putih dan orang yang menyebut dirinya Alap-Alap Kali Wedi itu justru menunda pertarungan mereka. Agaknya mereka ingin menyaksikan apa yang akan terjadi pada Rara Wulan dan orang yang mengaku mengenal unsur-unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati itu.

Demikianlah, maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran. Keduanya bergerak semakin lama semakin cepat.

Rara Wulan dengan sengaja telah mempergunakan khusus unsur-unsur gerak yang diwarisinya dari Sekar Mirah. Ilmu yang temurun dari Ki Sumangkar, salah seorang pemimpin dari Perguruan Kedung Jati.

Kawan orang yang mengaku bergelar Alap-Alap Kali Wedi itu benar-benar terkejut. Rara Wulan telah mempergunakan unsur-unsur gerak aliran Perguruan Kedung Jati dengan tataran yang tinggi.

Ketika ia mendesak lawannya, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Nah, kau yakin bahwa aku adalah murid dari Perguruan Kedung Jati?”

“Kau telah mencuri unsur-unsur gerak dari aliran Perguruan Kedung Jati,” geram orang itu.

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Apa yang dapat aku curi dari orang-orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati? Kau misalnya. Kau masih seperti pemula yang baru mulai berguru di Padepokan Kedung Jati.”

“Anak iblis, kau.”

“Aku akui bahwa kau pun telah mempergunakan unsur-unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati. Tetapi ternyata kau masih belum menguasai dasar ilmu Perguruan Kedung Jati sepenuhnya. Dasarnya saja belum, lalu apa yang kau andalkan, he?”

Orang itu menghentakkan ilmunya. Tetapi ilmunya yang bersumber dari Perguruan Kedung Jati memang masih terlalu rendah.

Ketika Rara Wulan mendesaknya, maka Rara Wulan pun segera melihat bahwa unsur-unsur yang kemudian muncul adalah sama sekali bukan unsur-unsur gerak dari Perguruan Kedung Jati.

“Nah, sekarang kau akan membuka dirimu. Kau akan hadir dengan kenyataan tentang aliran yang kau kuasai.”

“Persetan dengan aliran Perguruan Kedung Jati. Aku memang tidak mempunyai hubungan dengan Perguruan Kedung Jati.”

“Persetan kau, perempuan iblis!” geram orang yang berniat membawa Rara Wulan dan bergelar Alap-Alap Kali Wedi, “Kami berdua akan membunuh kalian berdua.”

“Kau akan ikut dalam permainan ini?” bertanya Glagah Putih.

“Aku akan membunuhmu, kawanku itu akan membunuh perempuan iblis itu.”

“Marilah, Alap-Alap Kali Wedi. Aku pun sudah siap untuk terjun dalam permainan yang agaknya akan sangat mengasyikkan ini.”

“Persetan dengan kesombonganmu. Bersiaplah untuk mati!”

Orang itu pun segera meloncat menyerang Glagah Putih. Sementara Rara Wulan masih bertempur melawan yang seorang lagi, yang akhirnya tidak lagi terikat kepada ilmu aliran Perguruan Kedung Jati.

Namun Rara Wulan pun harus menjadi lebih berhati hati menghadapi lawannya yang menjadi lebih berbahaya itu.

Dengan demikian, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang menyebut dirinya bergelar Alap-Alap Kali Wedi itu berusaha untuk segera menunjukkan kelebihannya. Karena itu maka ia pun dengan cepat meningkatkan ilmunya.

Tetapi yang dihadapi adalah Glagah Putih, yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ilmu yang pernah disadapnya dari berbagai perguruan yang mampu dikuasainya dengan matang.

Karena itu, meskipun Alap-Alap Kali Wedi itu semakin meningkatkan ilmunya, namun ia masih saja membentur kemampuan Glagah Putih yang selalu mampu mengimbanginya.

Sementara itu, Rara Wulan yang bertempur dengan kawan Alap-Alap Kali Wedi itu pun masih saja memamerkan kemampuannya menguasai ilmu dari aliran Perguruan Kedung Jati pada tataran yang sangat tinggi.

Tetapi lawannya sudah melepaskan diri dari ikatan ilmu Perguruan Kedung Jati. Sehingga ia pun semakin lama menjadi semakin keras dan bahkan kasar.

Meskipun demikian, Rara Wulan sama sekali tidak dapat dikuasainya. Bahkan semakin lama orang itu pun menjadi semakin terdesak. Serangan-serangan Rara Wulan menjadi semakin sering menembus pertahanannya, menyentuh tubuhnya.

“Iblis betina,” geram orang itu, “kau jangan berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecilmu. Aku benar-benar akan membunuhmu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi sambil tersenyum ia pun segera berloncatan menyerang.

Dalam keadaan yang semakin sulit, karena serangan-serangan Rara Wulan yang semakin menyakitinya, maka orang itu pun segera menarik pedangnya.

“Aku akan segera mengakhiri kesombonganmu. Aku akan melumatkan tubuhmu.”

Rara Wulan bergeser surut. Dengan tajamnya dipandanginya pedang di tangan lawannya itu. Pedang yang besar dan panjang. Daun pedangnya yang putih berkilau memantulkan cahaya matahari.

“Tidak ada pedang setajam pedangku,” geram orang itu.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Pedangmu memang pedang pilihan.”

“Sentuhan tajam pedangku mampu memotong lenganmu.”

“Aku akan menjaga diri, agar tajam pedangmu tidak menyentuh tubuhku.”

“Persetan kau, iblis betina. Jangan menyesali nasibmu yang buruk. Kau akan mati di sini.”

Dengan garangnya orang itu pun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya. Namun Rara Wulan pun dengan tangkas pula menghindarinya. Tubuhnya dengan ringannya seakan-akan terayun dibawa angin.

Namun Rara Wulan tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya yang datang seperti prahara. Pedangnya menusuk bertubi-tubi, kemudian terayun mendatar menebas ke arah lehernya.

Karena itu maka sejenak kemudian, Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya.

“Apa yang kau lakukan?” bertanya lawannya dengan wajah yang tegang.

Rara Wulan pun kemudian berdiri tegak sambil memegangi kedua ujung selendangnya dengan kedua tangannya.

“Apa yang akan kau lakukan dengan selendangmu?” bertanya lawannya.

“Aku tidak akan menari di sini,” jawab Rara Wulan. “Selendangku inilah senjataku.”

“Gila. Kau jangan meremehkan pedangku. Kapuk randu pun akan terpotong jika dihembus ke tajam pedangku, apalagi selendangmu. Dalam sekejap aku akan memotong selendangmu menjadi potongan-potongan kecil yang akan berhamburan dihembus angin.”

“Aku tidak akan merelakan selendangku kau potong dengan pedangmu.”

“Persetan. Ternyata waktumu memang sudah sampai.”

Orang itu pun tidak lagi menunda-nunda serangannya. Dengan garangnya ia memutar pedangnya, semakin lama menjadi semakin cepat. Kakinya berloncatan dengan mantap, seirama dengan ayunan pedangnya.

Tetapi Rara Wulan bergerak lebih cepat lagi. Tubuhnya seakan-akan sama sekali tidak berbobot lagi. Loncatan-loncatannya menjadi semakin panjang, sedangkan tubuhnya itu kadang-kadang bagaikan mengambang.

Sementara itu selendangnya pun berputaran. Kadang-kadang ujung-ujungnya seakan-akan melambai, namun tiba-tiba saja ujung selendang itu pun mematuk seperti kepala seekor ular.

Ternyata lawannya segera mengalami kesulitan menghadapi selendang Rara Wulan. Ketika ujung selendang itu mematuk dan mengenai dadanya, maka orang itu terlempar beberapa langkah surut. Patukan ujung selendang itu rasa-rasanya bagaikan hentakan segumpal batu panas. Tulang-tulangnya terasa nyeri sekali.

Orang itu bahkan tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia pun kemudian jatuh berguling di tanah.

Orang itu berniat segera bangkit berdiri. Tetapi ia harus menyeringai menahan sakit di bagian dalam dadanya.

Namun Rara Wulan tidak memanfaatkan kesempatan itu. Ia justru berdiri saja sambil tersenyum menyaksikan orang yang tertatih-tatih berdiri itu.

Orang yang kesakitan itu pun kemudian menuding Rara Wulan dengan pedangnya sambil menggeram, “Kemampuanmu mempergunakan selendang sebagai senjata itu bukan kau warisi dari Perguruan Kedung Jati.”

“Ternyata pengenalanmu atas ilmu Kedung Jati baru pada dasarnya saja. Kau belum mengetahui beberapa jenis ilmu menggunakan berbagai macam senjata, pada tataran ilmu yang tinggi pada Perguruan Kedung Jati, Itulah sebabnya, kau tidak tahu bahwa beberapa orang murid perempuan terbaik dari Perguruan Kedung Jati menguasai ilmu ini.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia menjadi ragu, apakah yang dikatakan perempuan itu benar atau sekedar membodohinya saja.

Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Glagah Putih pun harus melihat kenyataan pula. Orang yang menyebut dirinya Alap-Alap Kali Wedi itu merasa tidak akan mampu mengimbangi ilmu lawannya yang masih terhitung muda itu.

Terngiang kembali peringatan yang diberikan oleh kawannya, bahwa pada suatu saat ia akan mengalami kesulitan dengan perhatiannya yang berlebihan terhadap perempuan.

Sebenarnyalah bahwa ia telah mengalaminya. Perempuan yang ditemuinya di pasar itu merupakan tusukan duri yang langsung mengenai jantungnya.

Karena itu maka orang itu tidak akan mampu berlahan lebih lama lagi. Jika ia memaksa diri untuk bertempur terus, maka ia akan benar-benar mati seperti yang dikatakan oleh lawannya.

Dengan demikian, maka orang itu pun telah memilih untuk menghindar dari pertarungan itu.

Ketika ia melihat kawannya juga berada dalam kesulitan, maka orang itu pun segera memberikan isyarat untuk menyingkir dari arena pertarungan itu.

Demikian terdengar suitan nyaring, maka lawan Rara Wulan itu pun segera meloncat berlari menuju ke perbukitan berbatu padas. Demikian pula orang yang mengaku Alap-Alap Kali Wedi itu. Ia pun segera berlari menjauhi Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih terkejut melihat sikap Rara Wulan yang berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya, menyentuh simpul-simpul syarafnya di bahunya.

“Rara!” teriak Glagah Putih.

Tetapi terlambat. Rara Wulan telah menjulurkan tangannya, sehingga seleret sinar meluncur dari ujung-ujung jarinya yang terjulur.

Glagah Putih menjadi tegang. Ia mengira bahwa kemarahan Rara Wulan tidak terkendali lagi, sehingga ia berniat melumatkan lawannya yang telah merendahkan martabatnya sebagai seorang perempuan.

Tetapi ternyata Rara Wulan tidak membidik lawannya. Serangannya meluncur setapak di atas kepala orang yang berlari memanjat lereng bukit berbatu padas itu.

Ketika serangan Rara Wulan itu membentur tebing, maka terdengar sebuah ledakan seperti suara guruh di langit. Batu-batu padas pun pecah berhamburan meluncur dari tebing perbukitan itu.

Kedua orang yang sedang berlari memanjat tebing itu terkejut bukan buatan. Sementara itu mereka tidak mempunyi waktu untuk berbuat sesuatu. Batu-batu padas itu meluncur, menghanyutkan mereka kembali turun dari tebing. Bahkan sebagian dari tubuh mereka pun telah tertimbun oleh batu-batu padas yang runtuh itu.

Terdengar Rara Wulan tertawa. Sementara Glagah Putih menarik nafas panjang.

“Aku kira kau menjadi mata gelap, Rara.”

Rara Wulan itu pun kemudian melangkah mendekati kedua orang yang sedang berusaha membebaskan dirinya dari timbunan reruntuhan yang menimbun kaki mereka.

Glagah Putih-lah yang mendekati mereka, dan bahkan membantu mereka keluar dari timbunan reruntuhan batu-batu padas itu.

“Nah,” berkata Rara Wulan, “kau sudah melihat lengkap, dari dasarnya sampai ke puncaknya. Itulah ilmu yang bersumber dari aliran Perguruan Kedung Jati yang sebenarnya. Aku tahu bahwa sekarang ada orang yang sekedar main-main dengan nama Perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka akan segera disapu bersih oleh murid-murid Kedung Jati yang sebenarnya, yang telah memahami peristiwa demi peristiwa yang terjadi di Jipang, Pajang dan kemudian Mataram. Jika kemudian Perguruan Kedung Jati akan bangkit lagi, maka tentu akan terjadi perubahan arah dan sasaran perjuangannya. Aku tidak menyalahkan apa yang telah dilakukan oleh para pemimpin terdahulu, karena Ki Patih Mantahun itu memang Pepatih dari Kadipaten Jipang. Demikian pula Macan Kepatihan. Tetapi yang dilakukan oleh orang yang mengaku pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang sekarang ternyata hanya mengada-ada saja.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Namun wajah mereka menjadi sangat tegang.

“Pergilah,” berkata Rara Wulan kemudian. “Cepat pergilah, sebelum aku berubah pikiran.”

Kedua orang itu pun nampak menjadi ragu-ragu. Jika mereka pergi, maka punggungnya akan dapat menjadi sasaran bidik perempuan yang garang itu.

Namun Glagah Putih seakan-akan dapat membaca pikiran kedua orang itu, sehingga karena itu maka ia pun berkata, “Ki Sanak, pergilah. Istriku tidak akan menyerang kalian dari belakang. Jika ia ingin membunuh kalian, maka ia dapat menyerang dari arah manapun, sehingga tidak perlu membohongi kalian agar dapat menyerang kalian dari belakang.”

Kedua orang itu masih termangu-mangu sejenak. Baru kemudian sadar sepenuhnya akan keadaan mereka, ketika Rara Wulan berkata lantang, “Cepat pergi! Atau kalian masih akan menantang kami lagi?”

Dengan tergesa-gesa keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka pun kemudian berjalan di atas reruntuhan tebing berbatu padas. Beberapa saat kemudian mereka pun turun ke jalan setapak yang melintasi salah satu puncak perbukitan itu dan turun ke seberang, sehingga beberapa saat kemudian keduanya sudah menghilang di balik salah satu bukit di deretan perbukitan yang memanjang ke timur itu.

Demikian mereka hilang, maka Glagah Putih pun berkata, “Aku sudah cemas bahwa kau tidak dapat meredam kemarahanmu.”

“Aku hanya ingin membuat cerita di antara orang-orang yang mengaku murid Perguruan Kedung Jati itu. Biarlah mereka bercerita yang satu kepada yang lain, bahwa apa yang mereka saksikan dari para pemimpin yang mengaku murid-murid Perguruan Kedung Jati itu masih ada yang setidak-tidaknya mengimbangi, yang juga mengaku bersumber dari Perguruan Kedung Jati.”

Glagah Putih pun tertawa pula. Katanya, “Nampaknya kau sangat asyik dengan permainanmu itu.”

“Ya. Ceritanya tentu akan sangat menarik bagi orang orang yang mengaku murid dari Perguruan Kedung Jati. Mereka pun tentu akan membayangkan, jika salah seorang muridnya saja dapat berbuat seperti itu, lalu bagaimana dengan seorang perempuan yang memegang tongkat pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.”

“Aku mengerti.”

“Nah, sekarang kita pergi ke mana?”

“Kita akan meneruskan perjalanan kita ke Jati Anom.”

Rara Wulan nampak termangu-mangu, sehingga Glagah Putih pun bertanya, “Agaknya masih ada yang kau pikirkan?”

“Sebenarnya aku ingin melihat sarang orang-orang itu.”

“Apakah itu perlu?”

“Baiklah. Kita melanjutkan perjalanan saja ke Jati Anom.”

“Kita akan singgah di barak Kakang Untara. Kita akan memberi tahukan kepadanya tentang beberapa orang yang nampaknya sedang mengamati daerah Prambanan untuk menjadi landasan kekuatan Ki Saba Lintang.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia pun bergumam, “Setelah peristiwa ini, agaknya mereka akan berpikir ulang untuk mengadakan pemusatan kekuatan di Prambanan sebagai kekuatan yang berada di sisi timur Mataram. Di sebelah timur maupun di sebelah barat Kali Opak.”

“Ya. Meskipun demikian, sebaiknya Kakang Untara mengetahuinya. Meskipun mungkin Kakang Untara tidak menggerakkan pasukannya, setidak-tidaknya ia dapat mengirimkan petugas-petugas sandinya. Bahkan mungkin sudah ada orang lain yang mempunyai tugas pengamanan di daerah ini. Kakang Untara tentu akan menghubungi mereka.”

Keduanya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom. Mereka harus berjalan kembali menjauhi perbukitan itu, turun ke jalan yang lebih ramai menuju, ke arah timur. Mereka berharap bahwa di sore hari mereka sudah akan sampai ke Jati Anom.

Ternyata di perjalanan selanjutnya mereka tidak mengalami hambatan lagi. Ketika matahari turun, maka mereka pun sudah menjadi semakin dekat. Lewat jalan pintas, maka jaraknya menjadi terasa semakin dekat, meskipun kadang-kadang mereka harus melintas di jalan-jalan setapak yang rumit. Kadang-kadang memanjat tebing, kemudian menuruni jurang yang curam.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berpengalaman menempuh pengembaraan, maka jalan yang sulit itu tidak menjadi masalah bagi mereka.

Dengan demikian ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di jalan di luar padukuhan Banyu Asri.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan mengetahui bahwa Ki Widura tentu tidak berada di Banyu Asri, tetapi berada di sebuah padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing. Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak berhenti di Banyu Asri.

Namun karena perjalanan mereka akan lewat dekat di barak pasukan yang dipimpin Ki Untara, maka mereka akan singgah lebih dahulu di rumah Ki Untara.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan di rumah Ki Untara itu memang agak mengejutkan. Ki Untara yang sudah berada di rumah segera menemui mereka bersama Nyi Untara.

“Bukankah kalian baik-baik saja?” bertanya Ki Untara. “Bagaimana dengan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Kami dan keluarga yang kami tinggalkan baik-baik saja, Kakang. Bukankah Kakang, Mbokayu dan seluruh keluarga juga baik-baik saja?”

Ki Untara mengangguk-angguk sambil menjawab, “Kami juga baik-baik saja, Glagah Putih.”

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian, “kali ini aku hanya sekedar singgah. Aku harus mengembara lagi mengemban kewajiban. Kali ini aku membawa beban tugas dari Ki Patih Mandaraka yang sedang sakit, serta Kanjeng Pangeran Purbaya.”

“Masih dalam hubungannya dengan tongkat baja putih itu?”

“Ya, Kakang, meskipun dengan cara yang agak berbeda.”

Glagah Putih pun kemudian telah menceritakan kepada Ki Untara tugas yang sedang diembannya.

Ki Untara dan Nyi Untara mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Demikian Glagah Putih selesai, maka Ki Untara pun berkata, “Tugasmu cukup berat, Glagah Putih.”

“Tetapi tugas ini lebih jelas bagi kami, Kakang. Sebelumnya kami telah gagal mengemban perintah untuk membawa tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang, ke Mataram.”

“Tetapi kau tidak dapat dianggap bersalah, Glagah Putih,” sahut Ki Untara, “siapa pun yang mengemban tugas itu, kecil sekali kemungkinannya untuk dapat berhasil. Tugas yang sekarang kau lakukan memang lebih nyata di hadapan kalian, sehingga bagi kalian tugas itu tentu akan terasa lebih mungkin kalian lakukan. Tetapi aku berpesan kepadamu, berhati-hatilah. Kalian jangan terlalu percaya akan kemampuan kalian yang tinggi, karena di muka bumi ini, termasuk bumi Mataram, bertebaran orang-orang berilmu tinggi. Yang tinggi masih ada yang lebih tinggi lagi.”

“Ya, Kakang.”

“Hindari persoalan-persoalan yang tidak perlu dan tidak ada hubungannya dengan tugasmu itu.”

“Ya, Kakang.”

Pembicaraan mereka pun terputus ketika seorang pembantu di rumah Ki Untara itu menghidangkan minuman hangat serta beberapa potong makanan.

Dalam kesempatan itu, Glagah Putih pun sempat pula melaporkan peristiwa yang terjadi di Prambanan, di sebelah timur Kali Opak.

“Nampaknya mereka sedang menjajagi kemungkinan pemusatan kekuatan di Prambanan untuk menusuk Mataram dari arah timur. Tetapi mereka menyadari bahwa Kali Opak merupakan benteng yang sangat kokoh bagi Mataram. Karena itu agaknya mereka akan membangun landasan itu di sebelah barat Kali Opak.

“Nampaknya mereka akan membangun landasan sebagaimana pernah dilakukan oleh Macan Kepatihan di Sangkal Pulung,” sahut Ki Untara.

“Segala sesuatunya terserah kepada Kakang Untara.”

“Baiklah. Aku akan berhubungan dengan Ki Rangga Wirabaya di Kademangan Taji. Ki Rangga berada di Taji dengan pasukannya, yang meskipun tidak begitu banyak, tetapi cukup memadai. Jika ia mengalami kesulitan, ia tentu akan menghubungi aku di sini.”

“Silahkan, Kakang. Mudah-mudahan segala sesuatunya akan dapat diatasi.”

“Terima kasih atas keteranganmu, Glagah Putih.”

Dalam pada itu, Nyi Untara pun kemudian menyela, “Silahkan, Adi berdua. Mumpung minuman masih hangat.”

“Terima kasih, Mbokayu.”

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tidak terlalu lama berada di rumah Ki Untara. Mereka pun kemudian minta diri untuk pergi ke padepokan, menemui Ki Widura.

“Paman sehat-sehat saja, Glagah Putih,” berkata Ki Untara, “baru kemarin aku singgah di padepokannya. Paman telah memperluas padepokan itu dengan beberapa bangunan lagi. Semakin lama semakin banyak anak-anak muda yang ingin tinggal di padepokan itu. Namun Paman memperhatikan anak-anak muda yang berasal dari padukuhan-padukuhan yang berdekatan saja, meskipun juga melalui penyaringan dengan pendadaran. Bukan saja keutuhan tubuh, ketajaman panggraita, kekuatan, ketrampilan wadag, tetapi juga ketangkasan berpikir, kecerdasan dan kesegaran gagasan-gagasannya. Dengan demikian murid-murid Paman yang meski terhitung sedikit, tetapi mereka benar-benar anak-anak muda pilihan. Sementara itu murid-murid yang terhitung sudah tuntas ada pula yang segan meninggalkan padepokan itu. Mereka lebih senang tinggal di padepokan. Tetapi mereka menguntungkan pula bagi Paman, karena mereka dapat membantu Paman memberikan latihan-latihan kepada adik-adik seperguruan mereka.”

“Syukurlah jika padepokan itu dapat berkembang, Kakang.”

“Sebagai seorang bekas prajurit, maka Paman adalah seorang pemimpin perguruan yang baik, yang mengetrapkan tatanan dan paugeran dengan mantap.”

Cerita Ki Untara itu justru membuat Glagah Putih dan Rara Wulan semakin ingin segera melihat perkembangan padepokan kecil peninggalan Kiai Gringsing itu.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri.

“Kenapa tergesa-gesa, Adi?” bertanya Nyi Untara, “Bukankah kalian tidak dibatasi waktu yang sempit, sehingga kalian dapat menginap disini b arang satu dua hari?”

“Terima kasih, Mbokayu,” jawab Glagah Putih, “rasa-rasanya aku ingin segera melihat padepokan kecil itu.”

Ki Untara dan Nyi Untara tidak dapat menahan mereka lebih lama lagi.

Karena itu maka sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan rumah Ki Untara. Namun demikian mereka turun ke halaman, mereka melihat seorang remaja yang melarikan seekor kuda keluar dari regol halaman. Demikian tangkasnya sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti sejenak sambil mengaguminya.

“Tole memang nakal sekali, Adi,” berkata Nyi Untara.

“Seharusnya ia ikut menemui pamannya,” sahut Ki Untara.

“Ia akan menjadi seorang anak muda pilihan,” desis Rara Wulan.

“Ia agak malas, Adi,” berkata Nyi Untara, “tetapi ia memang gemar bermain-main dengan kuda.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, “Pada suatu saat aku ingin bertemu dan mengenal anak itu lebih jauh.”

“Ia memang memerlukan seseorang yang dapat menemaninya secara khusus.”

“Kakang sendiri?”

“Tidak lama lagi aku akan mengundurkan diri dari lingkungan keprajuritan, karena umurku yang sudah semakin tua. Mudah-mudahan aku dapat menjadi teman yang baik bagi anakku yang nakal itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah keluar pula dari regol halaman rumah Ki Untara dan turun ke jalan. Ki Untara dan istrinya melepas mereka sampai keluar regol.

Demikianlah. keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka ke padepokan kecil di Jati Anom itu.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan telah disambut dengan ceria oleh Ki Widura serta beberapa orang cantrik yang telah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya pun kemudian dipersilahkan duduk di pringgitan bangunan utama padepokan di Jati Anom itu.

“Aku menjadi seperti tamu saja, Ayah,” desis Glagah Putih.

“Kalian berdua memang tamu di padepokan ini,” sahut Ki Widura.

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun tertawa.

“Sudah agak lama kau tidak kemari,” berkata Ki Widura.

“Ya, Ayah. Kami belum lama pulang dari pengembaraan kami.”

“Sekarang kau agaknya mempunyai waktu luang untuk tinggal di padepokan ini.”

“Tidak, Ayah. Kami sekarang justru sedang berangkat.”

“Berangkat? Kalian akan pergi kemana lagi?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kami akan melanjutkan tugas yang belum dapat kami selesaikan. Namun bentuknya agak berbeda.”

Ki Widura pun mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menanyakan tugas yang akan diemban oleh Glagah Putih dan istrinya, Ki Widura sempat mempertanyakan keadaan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh.

“Semuanya baik-baik saja, Ayah.”

“Syukurlah. Sebenarnya sekali-kali aku juga ingin mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi rasa-rasanya aku sulit mencari waktu untuk meninggalkan padepokan kecil ini.”

“Bukankah padepokan ini tidak dibayangi oleh sikap permusuhan dari pihak manapun juga?”

“Tidak, Glagah Putih. Sampai saat ini keadaan padepokanku ini tenang-tenang saja. Sebagaimana saat Kiai Gringsing masih ada di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Dalam pada itu, seorang cantrik telah menghidangkan minuman dan makanan bagi Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Minumlah,” berkata Ki Widura.

“Baik, Ayah. Tetapi kami baru saja minum di rumah Kakang Untara.”

“Kau sudah singgah di rumah kakangmu Untara?”

“Ya, Ayah. Ada sesuatu yang aku sampaikan kepada Kakang Untara.”

“Apa saja? Ada hubungan dengan tugasmu?”

Glagah Putih mengangguk kecil.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun meneguk minuman hangatnya pula. Kemudian Glagah Putih pun telah menceritakan tentang tugas yang diembannya, serta perjumpaannya dengan orang-orang yang sedang mengamati keadaan di Prambanan.

“Agaknya mereka adalah orang-orang yang mengaku murid-murid Perguruan Kedung Jati itu, Ayah.”

Ki Widura menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Kami memang sedang memikirkan usaha orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu. Kami sudah mendengar, bahwa Perguruan Kedung Jati sedang menghimpun kekuatan. Mereka telah berusaha untuk mendapatkan pengikut yang jumlahnya tidak terbatas. Beberapa padepokan dan bahkan gerombolan telah dihirup ke dalam lingkungannya.”

“Apakah ada orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu datang kemari?”

“Belum. Sampai saat ini belum. Aku tidak tahu apakah mereka tahu bahwa aku adalah ayahmu, paman dari Untara di Jati Anom dan Agung Sedayu di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Mungkin mereka sudah tahu. Jika demikian, Paman harus berhati-hati. Ada di antara mereka yang berada di Prambanan.”

Ki Widura itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Jika aku menghadapi persoalan yang besar, maka aku akan menghubungi Angger Untara. Aku kira orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu harus berpikir dua kali untuk mengganggu padepokan ini. Meskipun padepokan ini kecil, tetapi kami tidak begitu jauh dari satu kesatuan prajurit yang kuat.”

“Syukurlah,” berkata Glagah Putih, “tadi Kakang Untara juga mengatakan bahwa ia baru saja mengunjungi Paman di sini.”

“Ya. Kemarin Untara sempat datang kemari melihat-lihat keadaan padepokan ini.”

“Menurut Kakang Untara, terdapat beberapa bangunan baru di padepokan ini, Ayah.”

Ki Qidura tersenyum. Katanya, “Ya, ada beberapa bangunan baru. Beberapa orang cantrik berada di barak yang terlalu sempit, sehingga bagi mereka perlu dibuat barak-barak baru. Aku juga memperluas sanggar terbuka. Ada beberapa orang cantrik baru yang memerlukan penanganan yang khusus.”

“Nampaknya Ayah memang harus melakukannya sejalan dengan pemekaran padepokan ini.”

“Tetapi tentu saja dengan sangat terbatas. Aku harus tetap menyesuaikan dengan pendukung yang ada bagi padepokan ini. Meskipun aku sudah mendapat izin dari Ki Demang untuk membuka lingkungan baru di padang perdu sebelah utara itu, tetapi sampai hari ini kami masih belum sempat memanfaatkannya. Kami masih mengamati lingkungan itu. Kami pun masih harus menjajagi kemungkinan dari mana kami mengangkat air serta membuat parit untuk mengairi tanah itu.”

“Pada suatu saat Ayah akan mendapatkannya.”

“Ya, mudah-mudahan. Tetapi gambaran untuk itu sudah semakin nampak.”

“Semoga, Ayah. Dengan demikian maka padepokan ini akan menjadi semakin berkembang, meskipun dalam keterbatasan.”

Setelah berbincang beberapa lama, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mendapat kesempatan untuk melihat-lihat isi padepokan Ki Widura yang memang sudah berkembang. Keduanya pun sepakat bahwa mereka akan berada di padepokan itu satu dua hari, sebelum mereka mulai dengan pengembaraan mereka.

Selama di padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat melihat lingkungan yang mendukung keberadaan padepokan itu. Sudah beberapa kali ia melihat sawah dan pategalan. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk melihat padang perdu yang oleh Ki Demang telah diserahkan kepada Ki Widura untuk memperluas lingkungan pendukung padepokan kecilnya.

Dua orang murid yang sudah cukup lama berada di padepokan itu, serta telah mengenal dengan baik Glagah Putih dan Rara Wulan, menemani mereka melihat-lihat lingkungan sekitar padepokan itu, termasuk padang perdu serta sungai yang mengalir tidak jauh dari padang perdu itu.

“Air dari sungai inilah yang akan diangkat oleh Ki Widura,” berkata salah seorang dari kedua orang murid itu.

“Ya, agaknya memang mungkin sekali. Tetapi diperlukan kerja yang berat untuk membuat bendungan,” sahut Glagah Putih.

“Ada rumpun-rumpun bambu di padang perdu itu,” berkata Rara Wulan, “sehingga akan dapat dibuat banyak sekali brunjung, yang tinggal mengisi bebatuan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Memang tinggal mengisi bebatuan, tetapi bebatuan itu harus dikumpulkan. Meskipun di sungai ini banyak batu, tetapi diperlukan tenaga yang besar untuk mengumpulkan batu-batu itu dan memasukkannya ke dalam brunjung. Jika perlu, batu-batu yang besar itu harus dipecah lebih dahulu sebelum dimasukkan ke dalam brunjung.”

Rara Wulan pun tersenyum pula. Katanya, “Ya. Batu-batu itu tidak mau berkumpul sendiri.”

Yang lain pun tertawa pula.

Namun menurut pendapat mereka, bendungan itu memang mungkin untuk dibuat di atas tikungan sungai itu. Sementara itu, parit-parit pun dapat digali sementara bendungan di buat.

Tetapi untuk melakukannya, memang diperlukan kerja yang besar. Kerja keras dan memerlukan waktu yang cukup lama. Sementara itu jumlah penghuni padepokan itu sangat terbatas.

Tetapi Glagah Putih pun berkata kepada kedua orang murid padepokan itu, “Apakah Ayah tidak berhubungan dengan penghuni padukuhan di sebelah bulak itu? Jika air terangkat, maka dapat dibuat parit induk yang melintasi sawah dan pategalan padepokan, langsung mengalir di bulak persawahan milik penghuni padukuhan di sebelah timur bulak itu.”

“Maksud Kakang, sebagian airnya dipergunakan untuk mengairi sawah di bulak sebelah?”

“Ya.”

“Sudah ada parit yang mengalirkan air ke bulak itu.”

“Tetapi agaknya airnya kurang mencukupi. Jika ditambah dengan air yang naik dari sungai itu, maka bulak itu tidak akan kekurangan air meskipun di musim kering sekalipun.”

Kedua orang murid padepokan itu mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berkata, “Dengan demikian kita dapat bekerja sama dengan orang-orang padukuhan itu.”

Rara Wulan-lah yang kemudian menyahut, “Aku kira orang-orang dari padukuhan itu pun akan merasa senang pula. Mungkin di lingkungan mereka masih terdapat sawah tadah udan. Jika air dari sungai itu naik, maka sawah itu akan dapat ditanami padi sepanjang tahun.”

“Ya,” seorang di antara kedua orang murid padepokan itu menyahut, “setahun akan dapat panen dua kali.”

Seorang yang lain pun berkata, “Jika Kakang dapat berbicara dengan Ki Widura, kami berdua bersedia untuk menghubungi Ki Bekel di padukuhan sebelah bulak itu. Kami sudah mengenal Ki Bekel dengan baik. Apalagi Ki Bekel di padukuhan itu masih terhitung muda, sehingga masih banyak yang ingin dilakukannya bagi padukuhannya.”

“Baik. Biarlah nanti aku berbicara dengan Ayah.”

Keduanya pun kemudian telah turun pula ke sungai, serta menyusuri sungai itu naik sampai ke dekat hutan yang lebat itu.

“Jangan melewati kedung di lekuk sungai itu,” berkata seorang di antara kedua orang murid yang menyertainya itu.

“Kenapa?”

“Di kedung itu terdapat beberapa ekor buaya. Sedangkan di tebingnya, di antara gerumbul-gerumbul yang tumbuh di sela-sela batu padas itu, terdapat banyak sekali ular.”

“Ular?”

“Ya. Bahkan di goa yang terdapat di sebelah tikungan, yang dari dalamnya mengalir sungai yang tumpah ke dalam sungai ini, merupakan sarang ular yang jumlahnya tidak dapat dihitung. Menurut kepercayaan orang, di goa itu selain terdapat ribuan ular berbisa, terdapat pula seekor raja ular. Di kepalanya dikenakan mahkota, serta mengenakan jamang dan sumping yang berkilauan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Rara Wulan bertanya, “Apakah ada orang yang pernah sampai ke goa itu?”

“Entahlah, tetapi sekarang tidak ada orang yang berani mencobanya memasuki goa itu.”

“Goa sarang ular,” desis Rara Wulan.

“Ya. Goa susuhing sarpa,” desis Glagah Putih pula.

Tetapi keduanya pun kemudian hanya mengangguk-angguk saja. Namun Rara Wulan pun bertanya, “Apakah buaya atau ular-ular berbisa itu tidak sering turun mengikuti arus sungai ini?”

“Satu dua saja yang pernah terjadi.”

“Jika demikian, apabila kita akan membuat bendungan, kita harus berhati-hati terhadap ular berbisa. Kita tidak terlalu cemas terhadap buaya, yang agaknya akan lebih senang tinggal di kedung yang nampaknya cukup dalam itu daripada menyusuri sungai yang lebih dangkal.”

“Ya. Tetapi orang-orang juga pernah menceritakan bahwa pernah terjadi perkelahian antara seekor ular raksasa melawan seekor buaya yang besar. Perkelahian antara hidup dan mati.”

“Tentu merupakan perkelahian yang mengerikan.”

“Ya. Tetapi ternyata bahwa setia kawan di antara buaya-buaya itu lebih tinggi daripada ular. Karena itu perkelahian di tepi kedung itu pun telah mengundang beberapa ekor buaya yang lain untuk naik ke tepian berpasir. Ular raksasa itu akhirnya dikeroyok oleh beberapa ekor buaya buas yang besar-besar, sehingga akhirnya ular itu pun tidak mampu lagi mempertahankan hidupnya. Ular itu telah diseret oleh beberapa ekor buaya ke dalam kedung. Namun seekor buaya yang pertama kali bertarung melawan ular raksasa itu ternyata juga tewas.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka juga pernah mendengar cerita seperti itu di tempat yang lain. Agaknya ular-ular raksasa itu merupakan musuh bebuyutan dari buaya-buaya yang buas, yang tinggal di kedung-kedung yang dalam.

“Apakah yang menjadi mangsa buaya-buaya itu?” bertanya Rara Wulan.

“Buaya-buaya itu menunggu di tepian. Mereka membenamkan diri di antara selangkrah dan kayu-kayu lapuk yang mengambang. Jika beberapa ekor binatang di hutan itu haus di terik panasnya siang hari, maka buaya-buaya itu berusaha untuk menangkap mereka. Dengan cepat buaya itu menerkam seekor kijang. Sebelum kijang itu menyadari apa yang terjadi, maka kakinya telah berada di mulut buaya sehingga tidak mampu lagi melepaskan diri. Kijang yang malang itu pun kemudian diseret masuk ke dalam kedung itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang pernah menjalani laku tapa ngidang, hidup di dalam hutan sebagaimana binatang-binatang hutan itu, menarik nafas panjang.

Hutan rimba adalah medan pergulatan dari putaran kehidupan. Yang lemah akan menjadi mangsa yang kuat tanpa ampun.

Tetapi apa yang pernah dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dalam pengembaraannya, maka lingkungan kehidupan manusia pun tidak ubahnya dengan rimba raya yang paling garang. Ternyata manusia pun banyak yang berperi laku seperti penghuni rimba raya itu. Yang lemah menjadi mangsa yang kuat, tanpa ampun.

Namun agaknya masih ada juga manusia yang mau mendengarkan suara nuraninya. Manusia yang masih menyadari kemanusiaannya. Tetapi jumlahnya semakin lama menjadi semakin menyusut. Yang lebih banyak adalah justru mereka yang dengan senang hati menirukan laku penghuni rimba raya, yang menganggap yang lemah itu sah-sah saja menjadi mangsa yang lebih kuat.

Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka pun telah beringsut dari tempatnya. Sambil berjalan Glagah Putih pun berkata, “Jika dibuat bendungan, maka di atas bendungan itu pun akan terjadi genangan air yang cukup luas seperti sebuah kedung. Nah, jika ada anak buaya yang tersesat, maka bendungan itu akan dapat juga menjadi sarang buaya.”

Kedua orang cantrik itu pun mengangguk-angguk.

“Harus dibuat susukan induk yang cukup dalam, sehingga pada saat-saat tertentu gejliknya dapat dibuat untuk mengalirkan air di bendungan itu, sehingga air di bendungan itu menjadi hampir kering. Jika setiap kali dilakukan, maka tidak seekor buayapun yang sempat tumbuh dan menjadi besar di bendungan. Itulah bedanya. Kedung itu tidak akan dapat dikeringkan airnya, kecuali dapat disudet dan dialirkan ke sungai lain.”

“Itu akan makan tenaga yang sangat besar,” sahut Rara Wulan.

“Tenaga dan waktu.”

Ternyata kedua orang cantrik itu menjadi sangat tertarik kepada gagasan Glagah Putih dan Rara Wulan. Orang-orang dari padukuhan yang juga akan mendapat aliran air tentu bersedia membantu menaikkan air dari sungai itu, untuk mengairi padang perdu yang akan dibuka menjadi tanah persawahan.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat meninggalkan gagasan itu. Mereka tidak akan sempat ikut menyusun dan melaksanakan, seandainya gagasan itu akan diwujudkan.

Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan diri untuk mulai menempuh perjalanan yang panjang. Besok pagi-pagi keduanya akan berangkat melakukan pengembaraan, mengemban tugas yang dibebankan di pundak mereka. Beban tugas yang cukup berat.

Ketika malam turun maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun duduk di pringgitan bangunan induk padepokan kecil itu bersama Ki Widura. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menyatakan niatnya untuk berangkat besok pagi-pagi sekali.

“Kenapa begitu tergesa-gesa? Kau dapat beristirahat di sini barang sepekan, baru kau berangkat melakukan tugasmu itu. Mungkin kau masih akan bertemu lagi dengan kakangmu Untara, atau dengan kakangmu Swandaru di Sangkal Putung.”

“Tidak, Ayah,” jawab Glagah Putih, “aku sudah tidak akan menemui Kakang Untara lagi sebelum aku berangkat. Ketika aku singgah, aku sudah sekaligus minta diri. Sementara itu aku pun masih belum berniat singgah di Sangkal Putung untuk bertemu dengan Kakang Swandaru. Mungkin pada kesempatan lain.”

“Baiklah, Glagah Putih dan Rara Wulan, hati-hatilah di perjalanan. Kalian sudah bukan anak-anak lagi, yang hanya menuruti keinginan saja. Tetapi segala sesuatunya harus diperhitungkan masak-masak.”

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih.

Ki Widura masih memberikan beberapa pesan lagi kepada anak dan menantunya. Namun ketika malam sudah menjadi semakin larut, Ki Widura itu pun kemudian berkata, “Beristirahatlah. Besok kalian akan berangkat pagi-pagi sekali.”

Keduanya pun kemudian pergi ke bilik mereka. Keduanya pun segera berbaring. Mereka harus menyimpan tenaga mereka baik-baik karena besok harus mulai dengan perjalanan mereka.

Sebenarnyalah, selagi langit masih hitam, keduanya sudah bangun. Bergantian mereka pergi ke pakiwan. Kemudian mereka pun berbenah diri. Mereka telah mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang panjang. Tidak hanya sehari dua hari, tetapi berhari-hari.

Sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah siap untuk berangkat.

Ki Widura dan para cantrik pun ternyata telah berbenah diri pula. Sebelum berangkat, Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat minum minuman hangat serta makan nasi yang masih mengepul, dengan pepes udang dan sayur lembayung.

Ketika kemudian mereka meninggalkan padepokan itu, maka Ki Widura dan para cantrik pun telah melepas mereka sampai di pintu gerbang padepokan.

Ki Widura yang masih saja berdiri di pinggir jalan itu menarik nafas panjang. Ia masih saja memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan menempuh perjalanan yang sangat panjang. Bahkan dalam mengemban tugasnya, mereka harus mempertaruhkan apa saja yang ada pada mereka, termasuk nyawanya.

“Semoga Yang Maha Agung membimbing perjalanan mereka,” gumam Ki Widura yang hanya didengarnya sendiri.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun melangkahkan kakinya di dinginnya udara pagi. Kabut yang keputih-putihan masih nampak mengaburkan pandangan. Titik-titik embun yang bergayutan di dedaunan satu-satu menetes di atas rerumputan.

Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah terus menembus kabut, sehingga beberapa puluh langkah dari pintu gerbang padepokan, keduanya sudah terlihat kabur.

Namun baru ketika keduanya hilang di tikungan, Ki Widura pun melangkah masuk ke pintu gerbang padukuhan diiringi beberapa orang cantriknya.

“Mereka akan berjalan amat jauh,” desis Ki Widura, “mereka akan dapat menambah pengalaman mereka untuk bekal hidup mereka kelak, atau segala sesuatunya akan terhenti.”

Jantung Ki Widura tergetar. Ia membayangkan bahaya yang akan ditempuh oleh kedua orang suami istri itu. Dua orang suami istri yang masih belum mempunyai keturunan.

Terbayang pula di angan-angan Ki Widura, kemanakannya Agung Sedayu, ternyata tidak dapat menghasilkan keturunan. Mereka suami istri adalah orang-orang berilmu tinggi. Tetapi sebagai sepasang suami istri, mereka memang kurang berhasil. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyerahkan segala-galanya kepada kehendak Yang Maha Agung, namun setiap kali terkesan betapa Sekar Mirah merasakan hidupnya menjadi sepi. Apalagi jika Agung Sedayu sedang menjalankan tugasnya sehingga tidak pulang. Karena itulah, jika ada kesempatan serta tidak menjadi hambatan, Sekar Mirah lebih senang ikut suaminya mengemban tugas.

“Mudah-mudahan Glagah Putih dan Rara Wulan tidak seperti Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Semisal tanaman, keduanya adalah tanaman yang subur. Daunnya lebat melindungi daerah sekitarnya dari terik sinar matahari. Tetapi pohon yang daunnya lebat itu, serta yang melindungi lingkungan di sekitar dari terik sinar matahari itu, ternyata tidak pernah dapat berbuah.”

Tetapi Ki Widura belum dapat berterus terang kepada anaknya itu. Apalagi pada saat anaknya sudah siap melangkah mengemban tugas.

Meskipun demikian, Ki Widura tidak putus-putusnya berdoa agar pada suatu saat yang tidak terlalu lama, ia mendapat anugrah seorang cucu. Laki-laki atau perempuan sama saja baginya. Cucu itu kelak akan melanjutkan nama keluarganya.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah di suramnya kabut pagi. Semakin lama kabut pun menjadi semakin tipis. Pandangan mata pun semakin lama dapat menjadi semakin jauh.

Di kejauhan masih terdengar burung-burung liar bernyanyi menyambut datangnya pagi. Sementara angin semilir lembut mengayun dedaunan, yang melempar titik-titik embun yang bergayutan.

Ketika mereka memasuki jalan pedesaan, maka mereka pun mulai bertemu dengan orang-orang yang pergi ke pasar. Ada yang membawa hasil kebunnya untuk dijual, tetapi ada pula yang menggendong bakul kosong untuk pergi berbelanja.

Matahari pun mulai memancarkan sinarnya menerangi langit yang cerah. Kabut pun bagaikan tirai yang terangkat semakin tinggi, sehingga udara pun menjadi terang dan jernih.

Terasa betapa segarnya pagi hari yang cerah. Ketika sinar matahari jatuh di genangan air yang mengairi kotak-kotak sawah, nampak kilauan pantulan sinarnya yang kemerah-merahan.

Glagah Putih melangkah perlahan-lahan, seakan-akan mereka berdua sedang berjalan di terangnya bulan purnama. Tidak terkesan sama sekali bahwa keduanya sedang mengemban perintah yang berat untuk dilaksanakan.

“Kakang,” bertanya Rara Wulan, “kita akan mengambil jalan yang mana?”

“Kita akan berjalan lewat ngarai saja.”

“Tetapi bukankah kita tidak dapat menghindari jalan-jalan perbukitan dan bahkan bukit-bukit kapur serta batu-batu padas?”

“Ya. Akhirnya kita memang harus menyusuri pebukitan kapur. Tetapi sebelumnya kita dapat memilih jalan ngarai.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah keduanya pun menuruni jalan di kaki Gunung Merapi. Mereka pun kemudian mengambil jalan di ngarai yang datar, sebelum mereka pada saatnya juga akan menyusuri jalan di perbukitan kapur.

Keduanya berjalan tidak terlalu cepat. Keduanya memang tidak tergesa-gesa. Tidak ada batasan waktu yang diberikan kepada mereka, justru karena tugas mereka sangat berat.

Ketika matahari sampai di puncaknya, maka keduanya telah berada di jalan bulak yang panjang. Di kejauhan nampak hutan rimba yang lebat membujur ke utara, dipisahkan oleh padang perdu yang terhitung luas. Padang perdu yang ditumbuhi oleh rumpun-rumpun batang ilalang. Satu dua pepohonan yang besar dan beberapa gerombol rumpun bambu cendani.

Tetapi di sisi lain, nampak beberapa padukuhan yang terhitung besar berada di tengah-tengah lautan hijau tanaman di sawah.

Keduanya pun berjalan terus. Panas matahari semakin lama semakin terasa membakar kulit. Ketika matahari sedikit melewati puncak, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti di sebuah pasar kecil yang sudah menjadi semakin sepi.

Tetapi di pasar yang sudah semakin sepi itu masih terdapat seorang penjual dawet cendol.

“Kita dapat berhenti untuk minum, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Kita dapat berhenti sebentar.”

Keduanya pun kemudian duduk di sebuah lincak panjang di depan penjual dawet itu.

“Dua mangkuk, Kang,” pesan Glagah Putih.

Penjual dawet itu pun segera meramu dawet dua mangkuk. Satu mangkuk buat Glagah Putih dan satu lagi buat Rara Wulan.

“Segarnya,” desis Rara Wulan.

“Semangkuk lagi,” desis Glagah Putih, setelah dawetnya yang semangkuk habis.

Penjual dawet itu mengangguk sambil menjawab, “Baik, Ki Sanak. Satu atau dua?”

“Satu saja,” sahut Rara Wulan, “aku sudah cukup.”

Glagah Putih tersenyum. Ia minta tambah lagi bukan saja karena ia merasa sangat haus di teriknya matahari sedikit lewat puncaknya, tetapi dawet itu memang terasa sangat segar.

Sementara Glagah Putih minum dawetnya, Rara Wulan sempat bertanya, “Pasar ini namanya pasar apa, Kang?”

Penjual dawet itu mengerutkan dahinya. Orang itu justru bertanya, “Kalian bukan orang dari daerah ini?”

“Bukan, Kang.”

“Jadi kalian berasal dari mana?”

“Rumah kami di Banyu Asri, Kang.”

“Banyu Asri?”

“Ya. Dekat Jati Anom.”

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Rara Wulan pun berkata, “Kau belum menjawab pertanyaanku. Pasar ini apa namanya, Kang? Atau barangkali nama padukuhan ini?”

“Wunut, Nyi. Pasar ini adalah pasar Wunut, yang terletak di padukuhan Wunut.”

“Wunut?” ulang Rara Wulan.

“Ya, Nyi. Kalian berdua akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke Banyudana. kang. Jika masih ada waktu, kami akan pergi ke Sima.”

“Kalian menempuh perjalanan jauh. Mungkin kalian akan kemalaman di jalan jika kalian pergi ke Sima. Tetapi jaraknya tentu tidak jauh lagi. Mungkin jika kalian memaksa diri, di wayah sepi bocah kalian sudah akan sampai di Sima. Sampai di Sima, kalian parami kaki kalian dengan butir-butir nasi yang dilumatkan dengan sedikit garam.”

“Kenapa?”

“Kalian tentu akan merasa lelah sekali. Param butir-butir nasi dengan garam akan segera mengendorkan syaraf-syaraf kaki yang menjadi tegang, setelah menempuh perjalanan jauh.”

“Kami tidak tergesa-gesa, Kang. Jika kami kemalaman di jalan, kami dapat minta izin untuk bermalam di banjar.”

“Sekarang tidak semua banjar boleh dipergunakan untuk menginap.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Agaknya keadaan menjadi tidak begitu tenang sekarang ini. Sering sekali terjadi perampokan di rumah-rumah penduduk padukuhan, sehingga mereka menjadi sangat curiga dengan orang-orang yang belum pernah mereka kenal.”

“Perampokan?”

“Ya, Perampokan. Namun kadang-kadang juga perbuatan lain yang membuat jantung berhenti berdetak.”

“Itu terjadi di Sima dan sekitarnya, atau di sini?”

“Peristiwa seperti itu bertebaran di mana-mana. Di Wunut, di Banyudana, tetapi tentu juga di Sima.”

“Kau baru saja berkunjung ke Sima?”

“Tidak, Ki Sanak, aku hanya menduga-duga. Tetapi jika kau bertanya tentang Banyudana, maka aku akan dapat menjawab dengan tegas, ya. Aku baru tiga pekan yang lalu pergi ke Banyudana. Di malam hari Banyudana menjadi sepi seperti kuburan. Orang-orang tidak berani keluar rumah jika tidak ada kepentingan yang sangat mendesak.”

“Apakah orang-orang Banyudana tidak berani bertindak terhadap para perampok itu?”

“Para perampok itu jumlahnya banyak sekali. Pernah terjadi sekelompok perampok yang merampok rumah Demang Banyudana itu terdiri dari dua puluh orang lebih. Mereka bersenjata bermacam-macam. Ada yang membawa pedang, tombak, kapak, bindi, trisula, canggah dan lain-lainnya. Ketika terdengar kentongan dengan irama titir, maka rakyat Banyudana berlari-larian keluar rumah. Namun setelah mereka melihat para perampok bersenjata yang jumlahnya lebih dari dua puluh orang, maka mereka pun tidak berani berbuat apa-apa.”

“Sekelompok perampok yang terdiri dari dua puluh orang lebih itu tentu gerombolan perampok yang sangat besar.”

“Ya, tentu saja.”

“Apakah nama pemimpin perampok itu pernah didengar di daerah ini?”

“Tidak. Tidak ada yang tahu siapakah nama pemimpin perampok itu.”

Glagah Putih pun kemudian meletakkan mangkuknya setelah dawetnya habis. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Apakah tidak pernah ada usaha untuk mencari dan menangkap para perampok itu? Mungkin dari para prajurit, atau dari para pengawal beberapa kademangan yang bergabung menjadi satu?”

Penjual dawet itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada yang pernah berbuat sesuatu terhadap para perampok itu, sehingga rasa-rasanya mereka dapat berbuat sekehendak hati mereka.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya pula, “Apakah perampokan itu sangat sering terjadi?”

“Tidak, tidak terlalu sering. Tetapi tanpa diduga-duga sebelumnya, sekelompok perampok itu datang begitu saja di sebuah padukuhan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi mereka tidak bertanya lebih jauh.

Demikianlah, maka Rara Wulan pun membayar harga dawet cendol yang telah mereka minum, sambil minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

“Hati-hatilah di jalan,” pesan penjual dawet itu.

“Baik, Ki Sanak, kami akan berhati-hati.”

“Semoga kalian tidak berpapasan dengan orang-orang yang berniat jahat.”

“Terima kasih atas kepedulian Ki Sanak.”

Di teriknya panas matahari, Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan perjalanan menuju ke Banyudana.

“Kakang,” bertanya Rara Wulan kemudian, “siapakah menurut dugaan Kakang pemimpin dari gerombolan perampok yang besar itu? Apakah mungkin ada hubungannya dengan kematian Ki Wiratuhu, sehingga anak buahnya telah melakukan kegiatan menurut kehendak mereka sendiri dan bahkan tidak terkendali? Atau bahkan mungkin para pengikut Singa Mantep?”

“Sulit untuk diduga, Rara Wulan. Bahkan mungkin orang lain sama sekali.”

“Tetapi gerombolan yang terdiri dari dua puluh orang lebih, bukanlah segerombolan perampok. Tetapi sudah dapat disebut gerombolan pemberontak.”

“Ternyata masih belum ada tindakan apa-apa yang dapat diambil.”

“Agaknya kerusuhan yang terjadi di daerah ini masih belum lama mulai. Mungkin sesudah Ki Wiratuhu terbunuh, atau ditandai dengan kematian Raden Mahambara dan Raden Panengah.”

“Sulit untuk diduga. Atau mungkin justru dilakukan oleh murid-murid dari Perguruan Kedung Jati. Dahulu kita pernah menjumpai kelompok-kelompok yang merampok untuk mengumpulkan dana bagi’ sebuah perjuangan. Pengumpulan dana yang memang dilakukan oleh mereka yang mengaku para murid dari Perguruan Kedung Jati.”

“Apakah cara itu telah dilakukannya lagi?”

“Entahlah.”

Keduanya pun terdiam. Untuk beberapa saat mereka berjalan sambil berdiam diri. Mereka agaknya sedang menduga-duga, apakah perampokan-perampokan yang sering terjadi itu benar-benar dilakukan oleh segerombolan perampok atau ada tujuan lain di belakangnya.

Ketika matahari semakin turun di sisi barat, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berhenti pula di sebuah kedai kecil. Mereka memesan bukan hanya minuman, tetapi mereka juga memesan nasi langgi, karena perut mereka sudah merasa lapar.

Di kedai kecil itu sudah duduk beberapa orang yang juga sedang minum dan makan.

Dari pembicaraan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan pun mendapat kesan bahwa daerah di sekitar mereka seringkali terjadi perampokan. Bahkan kadang-kadang justru telah jatuh korban.

“Syukurlah , bahwa para murid dari Perguruan Kedung Jati segera datang ke daerah ini. Jika tidak, maka keadaan akan menjadi semakin buruk. Keresahan akan merebak kemana-mana.”

Rara Wulan pun menggamit Glagah Putih. Sementara Glagah Putih hanya mengangguk kecil.

Namun keduanya sempat memperhatikan orang yang mengucapkannya. Seorang yang sudah separuh baya, yang rambut, kumis dan janggutnya yang tipis sudah mulai ditumbuhi uban.

“Ya,” sahut yang lain, “mudah-mudahan para murid dari Perguruan Kedung Jati itu tidak segera pergi meninggalkan lingkungan ini. Tanpa mereka, daerah ini akan menjadi lahan yang subur bagi para perampok itu.”

“Ya,” sambung yang lain lagi, “ketika kita sudah menjadi semakin ketakutan, cemas dan tidak berpengharapan, tidak ada seorang prajurit pun yang datang untuk melindungi kita. Untunglah bahwa ada perguruan yang besar yang telah melakukannya.”

Sementara mereka berbicara tentang murid-murid Perguruan Kedung Jati, seorang yang lebih tua lagi berkata, “Perguruan Kedung Jati bukan perguruan yang baru lahir kemarin sore. Sebelum perang besar Jipang melawan Pajang, Perguruan Kedung Jati sudah berdiri. Bahkan para pemimpin Perguruan Kedung Jati adalah para pemimpin dari Kadipaten Jipang. Tetapi setelah Jipang dikalahkan oleh Pajang, maka nama Perguruan Kedung Jati menjadi tidak pernah terdengar. Namun akhir-akhir ini nama itu telah mencuat kembali. Mula-mula di lingkungan-lingkungan kecil, dan bahkan ada kesan tertutup. Namun semakin lama menjadi semakin terbuka dan berkembang di negeri ini. Daerah pengaruhnya sudah meluas dari pesisir utara sampai pesisir selatan. Dari ujung cakrawala di sisi barat sampai ujung cakrawala di sisi timur.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh. Terasa jantung mereka berdebaran semakin cepat.

Dalam pembicaraan mereka yang sudah berada di kedai itu, rasa-rasanya kehadiran murid-murid dari Perguruan Kedung Jati telah mendapat sambutan yang sangat baik dari rakyat yang merasa mendapat perlindungan.

Rara Wulan yang mendengarkan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh, telah menggamit Glagah Putih sambil bertanya, “Apa pendapatmu, Kakang?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya perlahan, “Kita dengarkan pendapat mereka. Mungkin kita akan mendapatkan bahan bagi tugas kita.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Karena itulah maka mereka berdua pun semakin bersungguh-sungguh mendengarkan pembicaraan orang-orang yang berada di kedai itu.

Seorang yang bertubuh gemuk yang duduk sambil mengangkat satu kakinya bersilang di atas kakinya yang lain, bangkit berdiri sambil berkata, “Dalam waktu dekat, kerusuhan-kerusuhan itu tentu sudah dapat diatasi.”

“Ya, mudah-mudahan,” sahut yang lain, yang kemudian juga bangkit dari tempat duduknya.

Keduanya pun kemudian, telah membayar harga makanan dan minuman yang telah mereka minum dan mereka makan. Sambil keluar dari kedai itu, yang gemuk pun berkata, “Besok lusa kita akan merayakan merti desa. Mudah-mudahan sehari-semalam ini kita tidak diganggu oleh kerusuhan-kerusuhan itu lagi.”

“Ya,” kawannya yang juga meninggalkan kedai itu mengangguk. Namun mereka pun berpisah. Mereka menuju ke tempat yang berbeda.

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu mangu. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun keduanya itu masih belum mengatakan apa-apa.

Beberapa saat kemudian, seorang yang berwajah riang telah memasuki kedai itu. Agaknya ia memang seorang yang senang bercanda, sehingga ia mengenali semua orang dengan akrab.

Bahkan ketika orang itu duduk tidak jauh dari Glagah Putih dan Rara Wulan, orang itu pun sempat menyapanya, “Sudah lama, Ki Sanak?”

Glagah Putih yang tidak mengira bahwa ia akan disapa, menjadi sedikit gagap. Dengan tergesa-gesa ia menyahut, “Ya, ya, Ki Sanak. Kami baik-baik saja.”

“Syukurlah,” sahut orang itu.

“Bagaimana dengan Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Baik, Ki Sanak. Aku dalam keadaan baik. Demikian pula saudaraku ini semua. Semuanya baik-baik saja. Bahkan yang kurus itu keadaannya juga baik-baik saja, yang perutnya buncit itu pun baik-baik pula. Begitu bukan, Ki Sanak?”

Orang-orang yang sudah ada di kedai itu, yang telah mengenal orang itu dengan baik, hanya tersenyum-senyum saja.

“Mari, Ki Sanak. Kalian pesan apa?”

Seorang yang berkumis lebat pun menyahut, “Aku sudah makan dan minum sampai kenyang. Sekarang kau sajalah yang makan dan minum.”

“Jika kau ingin memesan makan dan minuman, pesanlah. Aku yang akan membayarnya.”

“Sudah aku katakan, aku sudah kenyang. Temanku inilah yang masih belum memesan apa-apa. Jika kau ingin membayarnya, minta saja ia memesan makan dan minum.”

Orang yang berwajah riang itu mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Perutnya sebesar karung beras. Meskipun aku jual kerbauku, tidak akan cukup untuk membayar makanan dan minuman baginya.”

Orang yang perutnya buncit, bertubuh tinggi besar dan berkumis dan berjanggut lebat itu pun bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati orang yang berwajah cerah itu.

Orang yang berwajah cerah itu menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berdiri sambil mengangkat tangannya kedua-duanya ke depan, “Tunggu, tunggu. Aku hanya bergurau saja. Kau tidak boleh marah. Aku tidak bersungguh-sungguh.”

Tetapi orang berperut buncit dan bertubuh raksasa itu melangkah terus.

“Jangan. Jangan marah. Jangan.”

Orang itu tidak menjawab. Ia melangkah terus. Orang berwajah ceria itu tiba-tiba menjadi pucat.

“Aku minta ampun. Aku hanya bercanda.”

Tetapi orang bertubuh raksasa itu berjalan terus. Bahkan ia tidak berhenti ketika ia melewati orang berwajah cerah, namun yang kemudian menjadi pucat itu.

Sejenak suasana menjadi tegang. Namun ketika orang bertubuh raksasa itu sudah lewat, maka hampir serentak terdengar tawa meledak. Ternyata orang bertubuh raksasa itu sama sekali tidak menegurnya. Ia hanya lewat saja tanpa berpaling.

Tetapi orang bertubuh raksasa itu pun tersenyum pula.

Orang yang berwajah cerah namun yang telah menjadi pucat itu menarik nafas panjang. Gumamnya, “Gila juga orang itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa pula. Bahkan agaknya Glagah Putih mendapat kesempatan untuk bertanya, “Siapa orang itu, Ki Sanak?”

Nafas orang itu masih terengah-engah. Namun ia pun kemudian menjawab, “Setra Pojok.”

“Apakah Ki Sanak mengira orang itu marah?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Aku belum sangat mengenalnya. Ternyata ia suka bercanda pula.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih pun kemudian bertanya, “Apakah orang itu baru di sini?”

“Bukan orang itu yang baru di tempat ini, tetapi aku. Aku tinggal di sini belum terlalu lama. Baru sekitar tiga empat bulan.”

“O.”

“Ki Sanak sendiri?” bertanya orang itu.

“Aku hanya orang lewat, Ki Sanak. Kami adalah pengembara.”

“Pengembara? Jadi kalian ini mau kemana?”

“Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti.”

“Maksudku, dari sini Ki Sanak akan menuju kemana?”

“Kami akan berjalan saja ke utara. Lewat Banyudana, Sima dan terus ke utara.”

“Sudah sore. Sekarang Ki Sanak sedang memasuki daerah Banyudana. Pada saat malam turun, Ki Sanak tentu masih belum sampai ke Sima.”

“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku dapat bermalam dimana saja. Sebagai pengembara, maka kami harus siap memasuki satu lingkungan yang bagaimanapun keadaannya.”

“Mungkin Ki Sanak berdua dapat melawan keganasan malam. Dingin, panas, lembabnya angin atau hujan. Tetapi Ki Sanak tidak akan dapat melawan ganasnya para perampok.”

Orang itu berpaling ketika seorang tamu yang lain bertanya, “Kau berbicara tentang perampok?”

“Aku hanya sekadar bercerita. Ki Sanak berdua ini adalah pengembara. Aku kasihan jika mereka sama sekali tidak mengenali lingkungan ini.”

“Biasanya apa saja kau pergunakan sebagai bahan kelakar. Sekarang kau nampaknya bersungguh-sungguh.”

“Aku berbicara kepada orang asing di sini. Tetapi meskipun kalian ini misalnya orang asing, aku tetap saja tidak mau memberikan keterangan apa-apa. Biar saja tubuh kalian disayat-sayat dengan pisau belati oleh para perampok.”

“Jangan menyebut gerombolan itu semaumu. Perutmu sendiri nanti malam akan dikoyakkan.”

“Itu tidak mungkin. Lihat, kulit perutku dibuat dari baja.”

“Gila,” geram yang lain, “jangan ikuti bicaranya yang tidak keruan itu. Kau pun dapat menjadi gila pula.”

Beberapa orang pun tertawa. Ada pula yang tersenyum-senyum. Namun orang itu masih saja meneruskan bicaranya, “Bermalam saja di rumahku.”

“Terima kasih, Ki Sanak.”

“Kalian keberatan?”

“Bukan keberatan, tetapi dengan demikian kami akan menyalahi kebiasaan para pengembara. Mereka akan bermalam dimana mereka berhenti setelah malam turun.”

“Tentu saja,” jawab orang yang berwajah riang itu, “para pengembara itu tentu akan bermalam di mana mereka berhenti, karena mereka tidak akan dapat bermalam sambil berjalan.”

Seorang yang masih terhitung muda bangkit dari tempat duduknya sambil bergumam, “Cah edan.”

Orang yang masih terhitung muda itu pun langsung menemui pemilik kedai itu dan membayar harga minuman dan makanannya.

“He, biarlah aku yang membayar,” berkata orang yang berwajah riang itu.

“Benar?” bertanya orang yang akan pergi itu.

“Tetapi tidak sekarang. Aku tidak ingin membuatmu kecewa. Kau sudah mengeluarkan uang dari slepenmu. Kalau tidak kau pergunakan, kau akan tidak dapat tidur semalam suntuk.”

“Aku sumbat mulutmu dengan bonggol jagung.”

Orang itu tertawa. Namun orang itu pun terdiam ketika Glagah Putih pun bertanya, “Siapa nama Ki Sanak?”

“He?”

“Siapa nama Ki Sanak?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Namaku Wiraraja.”

Tiba-tiba saja orang-orang yang masih berada di kedai itu pun tertawa.

Seorang di antara mereka berkata, “Namanya Mogol.”

“He,” tiba-tiba orang itu bangkit berdiri, “jangan menyinggung harga diriku. Namaku memang Wiraraja.”

Orang-orang di kedai itu pun masih saja tertawa.

Namun akhirnya orang itu seakan-akan terkulai lemah sambil berkata, “Tidak ada orang yang percaya bahwa namaku memang Wiraraja.” Tetapi tiba-tiba ia pun bertanya, “Nah, sekarang sebut namamu.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Jangan tertawakan namaku. Namaku buruk.”

“Sebut namamu yang jelek itu.”

“Namaku Surenggan.”

“Siapa?”

“Surenggan.”

“He, nama yang aneh. Aku belum pernah dengar nama seburuk itu.” Ia pun berhenti sejenak, lalu bertanya pula, “Perempuan ini?”

“Perempuan ini adalah istriku. Tentu saja ia disebut Nyi Surenggan.”

Laki-laki yang mengaku bernama Wiraraja itu pun tiba-tiba tertawa. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “He, Ki Surenggan. Apakah namamu ada hubungannya dengan kata Rengga? Seandainya ada, bagaimana nalarnya orang tuamu menyebutmu Surenggan?”

“Entahlah, Ki Wiraraja. Aku tidak tahu.”

Namun yang menyahut adalah orang lain, “Namanya Mogol, bukan Wiraraja.”

“Jangan hiraukan. Yakinkan dirimu bahwa namaku adalah Wiraraja.”

Orang-orang yang ada di kedai itu pun tertawa pula.

Namun dalam pada itu, orang yang berwajah riang itu pun berkata, “Nah, bermalam saja di rumahku. Aku tinggal sendiri. Hanya dengan seorang kemenakanku laki-laki. Besok kalian dapat melanjutkan perjalanan.”

“Dimana rumah Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Nah, itu adalah sebutan yang lebih baik daripada menyebutnya Wiraraja. Agaknya ia memang bermimpi bernama Wiraraja.”

“Diamlah,” berkata orang itu, “aku sedang membujuknya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih bertanya sekali lagi, “Dimana rumah Ki Sanak?”

“Di belakang banjar padukuhan. Rumahku kecil saja. Halamannya pun sempit. Tetapi cukup kau pakai gobag sodor berdua dengan istrimu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Namun keduanya hampir berbareng menggeleng. Sementara Glagah Putih menjawab, “Terima kasih, Ki Sanak. Mungkin lain kali.”

“Jadi kau benar-benar akan meneruskan perjalanan? Lihat, matahari sudah menjadi sangat rendah. Sebentar lagi senja akan turun. Langit menjadi gelap, dan kau masih berada di bulak panjang. Sirna masih jauh, Ki Surenggan.”

Rara Wula- lah yang menyahut, “Berjalan di malam hari ada untungnya, Ki Sanak. Tidak panas terbakar oleh cahaya matahari.”

Orang itu pun mengangguk-angguk, “Baiklah jika kalian berkeberatan.”

“Kami mengucapkan terima kasih,” berkata Glagah Putih kemudian.

Orang itu masih saja mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia pun berkata, “He, mana minumanku?”

“Kau belum memesan apa-apa, Ki Wiraraja,” sahut pemilik kedai sambil tertawa.

“Sudah, aku sudah memesannya. Kau-lah yang tuli.”

“Jadi kau sudah memesannya?”

“Sudah. Kau dengar?”

“Baik, baik. Tetapi apa? Ternyata aku lebih suka menontonmu daripada mendengarkan pesananmu.”

“Gila. Jika demikian kau-lah yang harus membayar.”

Pemilik kedai itu tertawa.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang sudah cukup lama beristirahat serta telah menjadi kenyang dan tidak haus lagi, telah bangkit berdiri sambil berkata, “Kami minta diri, Ki Wiraraja. Mudah-mudahan tetangga-tetangga Ki Wiraraja segera yakin bahwa namamu memang Wiraraja.”

“Baik, baik, Ki Sanak. Doakan saja agar mereka segera menginsyafinya.”

“Kau benar-benar gila, Mogol,” desis seorang yang bertubuh kurus.

Rara Wulan pun kemudian telah bangkit berdiri pula. Ia pun kemudian minta diri, bukan saja kepada orang yang berwajah ceria dan mengaku Wiraraja itu, tetapi Rara Wulan dan kemudian juga Glagah Putih minta diri kepada orang-orang yang masih berada di kedai itu.

Namun ketika Glagah Putih dan Rara Wulan beringsut, orang yang mengaku Wiraraja itu pun berkata, “Kalian tidak cukup hanya minta diri saja, Ki Surenggan.”

“Jadi?”

“Kalian juga harus bayar harga makan dan minum kalian.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum. Keduanya pun kemudian pergi menemui pemilik warung dan membayar harga makanan dan minumannya.

“Jadi orang itu orang baru?” desis Glagah Putih perlahan.

“Ya. Tetapi ia orang yang sangat ramah, sehingga dalam waktu yang singkat ia sudah mengenal orang bukan saja sepadukuhan, tetapi orang-orang sekademangan. Di pasar itu ia mengenal setiap orang. Penjual nasi, penjual dawet, penjual kain, pande besi dan bahkan penjual kreneng. Orang-orang yang jarang pergi ke pasar pun dikenalnya pula. Tetapi ia orang baik. Ia mau menolong orang-orang yang bawaannya terlalu berat. Mula-mula dikira ia mencari upah, tetapi ternyata tidak.”

Tiba-tiba saja orang yang berwajah riang itu berteriak, “He, kalian tentu membicarakan aku. Wiraraja yang namanya dikenal dari pesisir Lor sampai pesisir Kidul.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya tertawa saja. Namun kemudian keduanya minta diri kepada pemilik kedai itu.

“Orang itu terlalu baik, Rara. Ia menarik untuk diperhatikan.”

“Ya. Ia mempunyai watak yang berbeda. Banyak orang yang ramah dan suka bercanda. Tetapi orang ini agak berlebihan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi apakah kita akan terikat di tempat ini untuk waktu yang tidak terbatas?”

“Tidak, Kakang. Tetapi kita dapat berada di tempat ini barang dua tiga hari.”

“Jika demikian, bukankah kita lebih baik menerima undangannya untuk bermalam di rumahnya?”

“Kita dapat saja bermalam dimana-mana. Jika kita bermalam di rumahnya, maka perbuatan orang itu akan dikendalikannya. Meskipun aku tidak berprasangka buruk, tetapi segala kemungkinan dapat terjadi.”

“Jadi?”

“Kita mencari tempat untuk bersembunyi di siang hari. Atau dapat saja kita berada di tempat yang agak jauh menjelang matahari terbit. Kemudian datang kembali setelah lewat wayah sepi wong.”

“Ya. Aku tahu maksudmu. Pokoknya kita akan mengawasi orang itu di malam hari.”

Rara Wulan tersenyum.

Demikianlah, kedua orang itu pun kemudian telah meninggalkan gerbang padukuhan. Di depan gerbang padukuhan, Glagah Putih dan Rara Wulan berpapasan dengan dua orang yang memasuki pintu gerbang itu. Kedua orang itu agaknya menarik perhatian pula bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun mereka sama sekali tidak menyapa.

Sementara itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di simpang empat di tengah-tengah bulak, keduanya pun bertemu pula dengan dua orang yang agaknya berjalan hilir mudik saja di simpang empat itu.

“Daerah ini memang menyimpan rahasia, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Karena itu, aku menjadi semakin mantap untuk mengawasi lingkungan ini.”

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin rendah menjelang senja, keduanya sudah menjadi semakin jauh. Panggraita mereka mengatakan bahwa mereka sudah keluar dari lingkungan pengawasan orang-orang yang mengandung rahasia itu.

Sejenak kemudian malam pun segera turun menyelimuti lembah dan ngarai. Embun pun perlahan-lahan turun membasahi dedaunan.

“Kita berhenti di sini saja, kakang,” berkata Rara Wulan.

“Baiklah,” sahut Glagah Putih, “aku kira perjalanan kita sudah agak jauh dari Banyudana. Malam nanti kita akan merayap kembali ke Banyudana untuk melihat, apa yang akan dilakukan oleh orang yang bercanda agak berlebihan itu.”

Keduanya pun kemudian mencari tempat yang baik untuk beristirahat. Tempat yang tidak terlalu terbuka, tetapi juga tidak terlalu terlindung.

Perlahan-lahan malam pun menukik semakin dalam. Suara jangkrik terdengar bersahutan dengan suara belalang yang berderik di rerumputan.

“Malam terasa sunyi sekali,” berkata Rara Wulan.

“Bukankah malam-malam di padang biasanya juga terasa sepi?”

“Ya Tetapi penggraitaku berkata lain, Kakang.”

“Aku juga merasakan getaran yang agak lain di jantungku.”

“Kakang. Apakah benar bahwa kita tadi mendengar di kedai bahwa besok lusa akan ada merti desa?”

“Rasa-rasanya aku juga mendengar rerasan itu. Kenapa?”

“Orang-orang berharap bahwa malam nanti tidak terjadi perampokan. Besok orang-orang tentu akan berbelanja untuk kepentingan merti desa itu. Di rumah Ki Bekel tentu sudah tersedia uang secukupnya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar