Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 368

Buku 368

Setelah beberapa saat tidak ada gerakan apa-apa di antara para prajurit Mataram, maka Raden Panengah pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk beristirahat kembali. Namun mereka diperintahkan untuk tetap berada di tempat mereka masing-masing. Mereka tidak perlu berkumpul lagi di gubug-gubug yang telah mereka bangun di ujung hutan itu.

Tetapi justru karena itu, maka sebagian dari mereka tidak dapat tidur lagi. Bahkan mereka menjadi marah kepada diri sendiri. Seorang di antara mereka menggeram, “Licik orang-orang Mataram. Mereka berusaha untuk mempengaruhi kesiagaan kita. Bukan kesiagaan lahir, tetapi kesiagaan batin.”

“Kau berkata apa?” bertanya kawannya. “Apakah kau sekarang tiba-tiba menjadi arif?”

“Kenapa?”

“Aku menjadi cemas dengan kearifanmu yang tiba-tiba. Sedang sebentar lagi kita akan berada di peperangan.”

“Kau menduga bahwa aku sudah akan mati?”

“Bukan aku yang mengatakannya. Tetapi kau sendiri.”

“Ya. Siapapun yang mengatakannya. Tetapi aku tidak percaya dengan firasat seperti itu. Yang penting kita akan bertempur melawan orang-orang Mataram. Dari beberapa orang kawan di luar gerombolan ini aku sudah mendengar, bahwa sebenarnya pasukan Mataram itu adalah pasukan yang ringkih.”

“Kawanmu itu sedang mengigau, tentu.”

“Tidak. Ia sudah beberapa kali bertempur melawan prajurit Mataram.”

“Jika tidak sedang mengigau, kawanmu itu tentu sedang membual. Tetapi kedua-duanya menurut pendapatku tidak benar.”

“Yang benar?”

“Pasukan Mataram adalah pasukan yang kokoh. Kau dengar?”

“Aku dengar. Tetapi mulut yang mengucapkannya adalah mulut seorang pengecut.”

“Tutup mulutmu, atau aku akan menyumbatnya dengan hulu pedangku.”

“Kenapa kau tiba-tiba menjadi sangat garang?”

Kawannya menarik nafas panjang. Katanya, “Orang-orang Mataram yang licik itu membuat aku tersinggung.”

“Tumpahkan kemarahanmu kepada orang-orang Mataram itu.”

“Ya. Jauh-jauh mereka datang kemari, hanya untuk menyerahkan nyawa mereka.”

“Benar begitu?”

“Kau tidak yakin bahwa kita akan dapat melakukannya nanti, apabila mereka benar-benar menyerang kita?”

Kawannya tertawa. Katanya, “Kau sudah berubah sikap?”

“Tidak. Aku tetap menganggap pasukan Mataram adalah pasukan yang kokoh. Tetapi aku adalah seorang yang memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari para prajurit Mataram itu.”

“Kau memang seorang yang pandai mempermainkan lidahmu yang cabang.”

“Apa? Kau katakan lidahku bercabang?”

“Ya.”

“Terima kasih.”

Kawannya tertawa pula. Orang yang disebutnya lidahnya bercabang itu sama sekali tidak tertawa. Bahkan ia pun kemudian beringsut menjauhinya. Kawannya yang lain, yang mendengarkan pembicaraan itu pun tertawa pula. Katanya, “Aku tidak pernah melihat kalian berdua berbicara baik-baik. Kau selalu saja mengganggunya.”

Keduanya pun masih saja tertawa. Namun kemudian mereka pun membaringkan tubuh mereka. Sambil menguap seorang di antara mereka berkata, “Tetapi agaknya aku setuju. Orang-orang Mataram memang licik.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia mencoba memejamkan matanya meskipun malam sudah menjelang ke ujungnya.

Dalam pada itu, menjelang fajar Ki Lurah Agung Sedayu telah menyebar para penghubungnya untuk menyampaikan perintahnya. Pasukan Mataram akan menyerang sebelum matahari terbit. Agaknya semua pengikut Raden Mahambara telah berada di sarangnya.

Sementara pasukan Mataram bersiaga, orang-orang Prancak pun telah bersiaga pula. Mereka masih belum mendengar berita terakhir dari padang perdu di ujung hutan. Mereka tidak tahu, apakah pasukan Mataram akan menyerang hari itu atau pada hari yang lain. Tetapi tentu bukan di hari pertama mereka berada di padang perdu.

“Jika pasukan Mataram menyerang hari ini, kita harus bersiap sepenuhnya. Mungkin pasukan Mataram memerlukan bantuan. Tetapi mungkin orang-orang yang berada di sarang itu berlarian cerai-berai seperti semut merah yang disentuh sarangnya. Atau orang-orang Babadan yang mempunyai rencana gerakan sendiri,” berkata Ki Demang.

Sebenarnyalah setiap padukuhan di Kademangan Prancak yang berada di sebelah susukan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Hanya orang-orang dari Karang Lor yang menjadi bingung. Mereka tidak mempunyai sikap yang tegas, sehingga mereka tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Sementara itu, langit pun menjadi semakin terang. Fajar pun telah mengintip dari balik bukit. Cahaya kemerah-merahan mulai menyentuh bibit mega tipis yang mengambang di langit.

Titik-titik embun masih nampak bergayutan di ujung dedaunan. Sementara kicau burung-burung liar yang hinggap di dahan-dahan pepohonan hutan, terdengar bagaikan menyambut pagi yang cerah.

Sementara itu, Raden Mahambara dan para pemimpin gerombolan yang bersarang di ujung hutan itu pun sudah mempersiapkan diri pula menghadapi segala kemungkinan. Mereka pun menduga bahwa pasukan Mataram akan menyerang pagi itu, setelah semalam mereka mengganggu ketenangan para pengikut Raden Mahambara yang sedang beristirahat.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah membagi tugas. Beberapa orang pemimpin kelompok telah mendapat tugas untuk menutup setiap celah di bagian belakang sarang gerombolan itu. Sedang Ki Lurah Agung Sedayu akan menyerang dari depan. Di sayap kanan pasukannya, ia telah meletakkan seorang pemimpin kelompok yang terpilih, Ki Watu Kambang. Untuk mendampinginya, Ki Lurah meletakkan Glagah Putih dan Rara Wulan bersamanya. Sedangkan di sayap kiri, Agung Sedayu meletakkan dua orang pemimpin kelompok yang lain, yang memiliki kemampuan yang tinggi, Ki Saripan dan Ki Sura Rembang. Ki Lurah juga minta Ki Jayaraga ada di sayap, di antara kedua orang pemimpin kelompok itu.

“Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “sebenarnyalah aku ingin dapat bertemu dan berbicara dengan Raden Mahambara.”

“Baik, Ki Jayaraga. Jika benturan telah terjadi, kita akan dapat menempatkan diri kita masing-masing. Jika Ki Jayaraga dapat bergeser sedikit, mungkin sekali Ki Jayaraga akan dapat bertemu dengan Raden Mahambara.”

“Aku akan berusaha mencarinya. Jika Ki Lurah sempat menemuinya, perintahkan seorang penghubung untuk memanggil aku, agar aku dapat bertemu dan berbicara dengan iblis tua itu.”

“Baik, Ki Jayaraga.”

“Mudah-mudahan Ki Saripan dan Ki Sura Rembang akan dapat mengatasi pertempuran di sayap kiri.”

“Sekar Mirah akan dapat bergeser ke kiri untuk bergabung bersama Ki Saripan dan Ki Sura Rembang.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Nyi Lurah sekarang sudah bukan Nyi Lurah setahun yang lalu. Meskipun setapak-setapak, akhirnya Nyi Lurah yang tidak jemu-jemunya memanjat tangga dari satu gigi ke gigi berikutnya, dapat mencapai tatarannya yang sekarang.”

“Pencapaiannya itu tidak akan dapat dilakukan tanpa bimbingan Ki Jayaraga.”

“Bukankah aku tidak seberapa terlibat ke dalam peningkatan ilmunya?”

Ki Lurah Agung Sedayu tersenyum. Sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Yang mengagumkan bukannya pencapaian tataran tertinggi ilmunya itu. Tetapi bahwa Nyi Lurah tidak merasa dibatasi oleh umur untuk meningkatkan ilmunya.”

Dengan nada rendah Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menyahut, “Bukankah tidak ada batasnya sampai kapan seseorang mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmunya?”

Ki Jayaraga pun tersenyum.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “kita akan melihat apa yang akan terjadi di medan. Aku sudah menghubungi semua pemimpin kelompok dari pasukan ini, agar mereka menutup setiap celah yang mungkin akan dipergunakan oleh para pengikut Raden Mahambara untuk melarikan diri.”

“Kalau Raden Mahambara sendiri atau anak laki-lakinya yang melarikan diri, sulit bagi para prajurit untuk mencegahnya.”

“Kita-lah yang akan mencegahnya.”

“Ya. Kita-lah yang harus berusaha mencegahnya.”

Demikianlah, setelah semua penghubung yang diperintahkan untuk menghubungi para pemimpin kelompok telah kembali, maka Agung Sedayu pun mulai bersiap-siap untuk menyerang. Diperintahkannya seorang penghubung membunyikan bende untuk yang pertama kali.

Ternyata suara bende itu bergaung melingkar-lingkar, sehingga seolah-olah seisi hutan itu mendengarnya. Namun untuk menjaga agar isyarat itu sampai kepada semua kelompok, di samping suara bende itu, Agung Sedayu pun telah memerintahkan untuk melepaskan tiga ekor burung merpati yang telah disiapkan, dan memang menjadi rerangken dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu. Tiga ekor burung merpati yang telah dipasangi sendaren.

Dengan demikian, ketika ketiga ekor burung merpati itu terbang berputaran, maka suaranya pun telah bergaung di udara, sehingga terdengar dari tempat yang jauh.

Beberapa orang pengikut Raden Mahambara ada yang mencoba berusaha melontarkan anak panahnya, membidik ketiga ekor burung merpati yang terbang melingkar-lingkar itu. Tetapi tidak sebatang anak panah pun yang dapat menyentuhnya.

Dengan demikian, maka setiap prajurit di sekitar sarang gerombolan perampok itu pun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya. Semua senjata telah diperiksa, sehingga tidak ada yang mengecewakan mereka setelah mereka berada di medan pertempuran.

Beberapa saat kemudian, telah terdengar suara bende untuk kedua kalinya. Meskipun para penghubung tidak melepaskan burung merpati lagi, tetapi para prajurit yang berada di belakang sarang para perampok itu sudah memusatkan perhatian mereka, sehingga meskipun lamat-lamat, mereka dapat mendengar suara bende itu. Bende kedua memberi aba-aba bahwa semuanya harus sudah siap untuk bergerak.

Dalam pada itu, ternyata para pengikut Raden Mahambara juga dapat mengenali isyarat itu. Mereka tahu benar bahwa jika bende itu ditabuh untuk yang pertama kali, maka pasukan Mataram itu harus mempersiapkan diri. Jika bende itu ditabuh untuk kedua kalinya, maka pasukan Mataram itu sudah harus bersiap untuk menyerang. Pada saat bende ditabuh untuk yang ketiga kalinya, maka pasukan Mataram itu akan menyerang.

Karena itu, maka setelah bende ditabuh untuk yang kedua kalinya, maka para pengikut Raden Mahambara itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka menunggu bende ditabuh untuk ketiga kalinya, sehingga prajurit Mataram itu akan segera menyerang.

Tetapi setelah beberapa saat mereka menunggu, mereka tidak segera mendengar bende itu dipukul untuk ketiga kalinya. Para pengikut Ki Mahambara itu tidak segera mendengar bende para prajurit Mataram itu berbunyi, untuk mengisyaratkan agar pasukan Mataram itu bergerak.

Sebenarnyalah Ki Lurah Agung Sedayu telah memberikan perintah yang lain kepada para prajuritnya. Prajurit Mataram dari pasukan khusus yang memang mempunyai beberapa kekhususan selain kemampuannya yang dapat diandalkan, juga di setiap medan ada-ada saja yang terasa baru, sehingga tidak mudah dikenali oleh lawan.

Saat itu Ki Lurah Agung Sedayu memang tidak memerintahkan memukul bendenya untuk yang ketiga kalinya. Ki Lurah Agung Sedayu memang hanya memerintahkan memukul bendenya dua kali saja. Tetapi setiap prajurit dari pasukan khusus itu sudah tahu, bahwa perintah Ki Lurah, saat mereka akan menyerang segerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan itu adalah hitungan ke-lima belas setelah bende itu ditabuh untuk yang kedua kalinya.

Demikian penabuh bende itu berhenti menabuh bendenya, maka setiap prajurit dari pasukan khusus itu akan mulai menghitung dari angka satu sampai ke angka yang ke-lima belas.

Karena itu, para pengikut Raden Mahambara terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat pasukan Mataram itu sudah bergerak dengan cepatnya. Pada saat mereka menyadarinya, maka pasukan Mataram yang bergerak dalam gelar itu telah berada di depan hidung mereka.

Tidak banyak kesempatan bagi para pengikut Raden Mahambara. Kelompok-kelompok yang dipersiapkan dengan busur dan anak panah, banyak kehilangan waktu yang seharusnya dapat mereka pergunakan sebaik-baiknya.

Ketika mereka mulai menarik busurnya, maka para prajurit Mataram yang mempergunakan perisai di tangan kirinya sudah berlari-larian beberapa langkah saja di hadapan mereka. Demikian beberapa batang anak panah terlepas, maka mereka tidak lagi dapat mempergunakan busur dan anak panah mereka.

Demikianlah, maka benturan yang keras pun segera terjadi. Para pengikut Raden Mahambara merasa bahwa para prajurit itu demikian cepatnya menyergap mereka.

Seorang pengikut Raden Mahambara itu pun menggeram, “Setan orang-orang Mataram. Mereka tidak mempergunakan isyarat bende yang ditabuh untuk ketiga kalinya. Tahu-tahu mereka sudah berada di depan hidung.”

Tetapi seorang yang lain berteriak, “Licik orang-orang Mataram. Mereka sengaja menipu kita dengan tanpa isyarat suara bende yang ketiga kalinya.”

Namun apapun yang sudah dilakukan oleh para prajurit Mataram, pertempuran itu sudah berlangsung dengan sengitnya. Bahkan pasukan Mataram yang berada di belakang sarang Raden Mahambara itu pun telah bergerak maju pula. Tetapi mereka pun segera membentur kekuatan gerombolan perampok yang sudah disiapkan untuk menghadapi mereka.

Raden Panengah pun ternyata juga mengumpat-umpat. Ia juga merasa dikelabui oleh para prajurit Mataram yang tidak membunyikan bende mereka untuk yang ketiga kalinya, sehingga seakan-akan prajurit Mataram itu begitu tiba-tiba sudah berada di hadapan mereka pada jarak yang dekat.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka Raden Panengah pun segera terjun ke medan. Dengan kemampuannya yang tinggi Raden Panengah pun segera mendesak lawan-lawannya.

Tetapi para prajurit Mataram dari pasukan khusus itu bukan pula orang-orang yang lemah. Beberapa langkah mereka terdesak. Namun kemudian seperti gelombang mereka pun menghambur menyerang dalam kelompok-kelompok kecil. Tiga orang telah menempatkan dirinya menghadapi Raden Penengah.

Namun Raden Panengah memang seorang yang berilmu tinggi. Bahkan Raden Panengah yang berlandaskan ilmu yang tinggi itu bertempur dengan keras dan kasar, sehingga para prajurit yang bertempur dalam kelompok kecil untuk menghadapinya itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Di sisi lain, Ki Rimuk dan Nyi Rimuk telah turun bersama-sama di gelanggang. Mereka bertempur seperti sepasang srigala yang lapar. Menerkam ke kanan dan ke kiri.

Tetapi para prajurit dari pasukan khusus itu cukup terampil. Beberapa orang telah menempatkan diri di sekitar sepasang suami istri yang garang itu. Mereka menyerang dari segala penjuru dengan keterampilan seorang prajurit dari pasukan khusus.

Ternyata tidak semudah yang diduga oleh Ki Rimuk dan Nyi Rimuk. Para prajurit itu tidak selunak orang-orang padesaan yang berkumpul setelah mendengar suara kentong dengan irama titir, kemudian beramai-ramai mengeroyoknya. Dalam waktu yang pendek, maka orang-orang itu sudah terlempar dan jatuh terkapar malang melintang di sekitarnya. Tetapi tidak demikian dengan para prajurit dari pasukan khusus itu. Mereka tidak segera terlempar jatuh dan terbaring berserakan. Tetapi mereka berloncatan menyerang dari segenap arah. Kadang-kadang mengalir seperti gelombang. Namun kadang-kadang datang bersama-sama seperti arus banjir bandang.

“Gila orang-orang Mataram!” teriak Ki Rimuk.

“Kita akan membabat mereka seperti membabat ilalang!” sahut Nyi Rimuk.

Keduanya pun segera berloncatan dengan garangnya Sekali-sekali terdengar keduanya berteriak mengerikan, seperti teriakan hantu dari balik lubang kubur.

Yang menggetarkan jantung para prajurit Mataram adalah seorang yang berambut putih, berjenggot dan berkumis putih pula. Tangannya yang mengembang bagaikan sayap-sayap burung alap-alap yang melihat seekor burung merpati yang meluncur melintas di langit.

Tetapi para prajurit dari pasukan khusus itu tidak terlalu lama mencoba membatasi gerak orangtua itu. Tiba-tiba dari antara para prajurit Mataram telah menyibak seorang yang juga sudah tua. Rambutnya juga sudah ubanan, sebagaimana orang yang bertempur seperti burung alap-alap itu.

“Apakah kau sudah lupa kepadaku, Raden Mahambara?” terdengar orang tua itu menyapa.

Raden Mahambara yang sedang bertempur dengan garangnya itu meloncat surut. Dipandanginya orang yang datang mendekatinya itu.

Tiba-tiba saja Raden Mahambara itu tertawa. Katanya, “Kau, Ki Jayaraga? Aku tidak mengira bahwa kita akan bertemu di sini.”

“Ya Aku pun tidak mengira bahwa kau tidak lagi berkeliaran di pesisir utara, dan bahkan telah menganyam sarang di sini.”

“Aku masih tetap berkuasa di pesisir utara,” sahut Raden Mahambara. “Di sini anakku-lah yang sedang membangun kerajaannya. Tetapi ternyata di sini kehidupan dunia olah kanuragan terasa lebih keras. Apalagi para prajurit Mataram telah ikut campur pula.”

“Apakah di pesisir utara kau tidak mengalami benturan-benturan yang keras seperti di sini?”

“Ya. Dimana-mana benturan-benturan itu terjadi. Tetapi tidak sebesar di sini. Di sini kami harus memperhitungkan keberadaan gerombolan-gerombolan yang telah mengkaitkan dirinya dengan Perguruan Kedung Jati. Di samping itu, ternyata kami juga harus memperhitungkan kedunguan para senapati Mataram, yang bersedia bersusah-payah datang kemari.”

“Anakmu tidak akan mendapat kesempatan di sini.”

“Tetapi kenapa kau sekarang berada di antara para prajurit Mataram? Apakah kau memang menjadi prajurit di Mataram?”

Ki Jayaraga pun tertawa. Katanya, “Aku berada dimana-mana Raden. Aku ada di antara mereka yang ingin membersihkan bumi ini dari tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kepentingan orang banyak, sebagaimana kau lakukan bersama anakmu.”

“Kau masih juga terlalu sombong, Ki Jayaraga.”

“Mungkin. Tetapi sebaiknya kau sadari apa yang kau hadapi sekarang ini. Kau tidak akan mungkin mengatasi prajurit Mataram yang telah mengepung sarang anakmu ini. Prajurit Mataram yang datang kemari adalah prajurit dari Pasukan Khusus, yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu.”

Raden Mahambara pun tertawa pula berkepanjangan. Katanya, “Apa artinya Lurah prajurit bagiku? Seorang Rangga, dan bahkan seorang Tumenggung tidak akan dapat mengalahkan aku.”

“Lurah yang satu ini agak berbeda. Karena itu, maka Lurah yang satu ini diserahi untuk memimpin satu kesatuan dari Pasukan Khusus. Tetapi kau tidak perlu menghiraukan siapakah yang memimpin pasukan Mataram ini. Seharusnya kau memperhatikan orang yang sekarang berdiri di hadapanmu ini saja.”

“Ki Jayaraga. Kenapa kau masih saja selalu mencampuri urusan orang lain?”

“Sudah aku katakan. Aku ingin ikut membersihkan bumi ini dari orang-orang seperti kau dan anakmu. Karena itu, atas ijin Ki Lurah Agung Sedayu, kali ini aku datang untuk menghadapimu.”

“Apa sebenarnya yang kau cari dalam hidupmu? Jika kau mau minggir, apapun yang kau minta akan aku penuhi. Aku mempunyai apa saja yang dibutuhkan oleh seseorang yang dapat melihat keindahan hidup ini.”

“Justru aku-lah yang harus bertanya kepadamu. Apa yang sebenarnya kau cari? Jika kau mencari benda-benda keduniawian yang menurut katamu dibutuhkan oleh seseorang yang dapat melihat keindahan hidup ini, apa pula yang kau dapatkan? Kau sendiri hidup di dalam lingkungan yang sunyi. Kau dan anakmu membuat sarang di ujung hutan yang lebat, berkawan srigala dan binatang buas yang lain. Apa indahnya hidup di hutan seperti ini? Bukankah apa yang kau cari dengan mempertaruhkan nyawamu dan nyawa banyak orang itu tidak berarti apa-apa? Agak berbeda jika kau dapat memanfaatkan hasil kejahatanmu itu untuk kau nikmati. Hidup dalam keramaian yang mempesona. Makan, minum dan pakaian yang gemebyar. Rumah yang besar dan mewah, dilayani oleh puluhan pelayan yang siap melakukan tugas apapun yang kau perintahkan kepadanya. Tetapi lihat apa yang kau sandang sekarang. Pakaianmu kusut dan jelek. Tubuhmu kotor dan bahkan mungkin gatal-gatal. Makan tidak teratur, sehingga hanya jika kalian berhasil menangkap buruan, maka kalian dapat makan daging. Kalian hidup dalam sepi yang gelap di pinggir hutan. Lalu keindahan hidup yang manakah yang kau maksudkan?”

“Kau memang gila, Jayaraga. Kau tidak tahu bagaimana aku menikmati hidup dengan hasil jerih payahku. Aku mempunyai puluhan rumah. Aku mempunyai puluhan bahu sawah, ladang dan pategalan. Aku mempunyai puluhan ternak. Aku mempunyai apa saja, dan bahkan yang tidak dipunyai orang lain.”

“Alangkah pahitnya cara hidupmu, Raden. Jika kau mempunyai puluhan rumah, kenapa kau justru hidup di dalam gubug-gubug miring beratap ilalang? Jika hujan airnya ikut berteduh di dalam gubugmu itu. Jika kau mempunyai puluhan bahu sawah, kenapa kau harus merampas padi dari lumbung-lumbung padi di padukuhan-padukuhan? Jika kau punya segalanya, kenapa kau hidup di tataran terendah dari tataran kehidupan sesamamu?”

“Tutup mulutmu!” bentak Raden Mahambara. “Kau tidak tahu bahagianya keluargaku karena jerih payahku ini. Istriku memakai perhiasan emas, berlian dan batu-batu mulia yang lain. Bahkan mutiara yang paling baik. Anak-anakku perempuan juga mengenakan perhiasan di seluruh tubuhnya. Anakku laki-laki dapat terpenuhi apa saja yang diinginkan. Kuda yang paling tegar. Dan bahkan jauh lebih dari itu.”

“Bukankah anakmu ada di sini? Bukankah Raden Panengah telah mengikuti jejak ayahnya?”

“Hanya Panengah. Tetapi yang lain tidak.”

“Maksudmu saudara-saudara Raden Panengah dari ibu yang lain?”

Raden Mahambara itu pun tiba-tiba membentak, “Cukup! Sekarang pergilah. Atau kau akan mati di arena pertempuran ini. Mayatmu akan ditinggalkan di padang perdu ini, sehingga besok akan menjadi makanan binatang buas atau burung-burung dari jenis pemakan bangkai.”

“Jangan berkata begitu. Aku masih ingin hidup lebih lama lagi. Karena itu, kau sajalah yang mati. Jika kau mati, maka hidup keluargamu mungkin akan benar-benar bahagia. Mereka tidak lagi dibayangi tindak kejahatan yang kau lakukan. Jika istrimu mengenakan cincin di jari-jarinya, ia tidak harus selalu ingat kepada pemiliknya, yang barangkali telah kau bantai tanpa belas kasihan.”

“Diam! Diam kau, anak iblis! Bersiaplah untuk mati.”

“Sayang, Raden Mahambara. Aku tidak berisap untuk mati. Tetapi aku justru telah bersiap untuk membunuh.”

“Persetan kau. Siap atau tidak siap, namun kau akan mati terkapar di padang rumput ini. Kau kira para prajurit Mataram itu akan peduli dengan mayatmu?”

“Memang tidak, karena di padang perdu ini tidak akan ada mayatku.”

“Bersiaplah, Ki Jayaraga,” geram Raden Mahambara.

Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Di sekitarnya, pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit Mataram dari pasukan khusus yang dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu pun segera menunjukkan tataran kemampuan mereka. Baik dalam perang gelar, maupun kemampuan mereka seorang-seorang.

Para pengikut Raden Mahambara dan Raden Panengah harus mengakui kenyataan itu. Yang mereka hadapi bukan lagi domba-domba yang lemah, tetapi yang mereka hadapi adalah harimau-harimau yang garang.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga dan Raden Mahambara telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi.

Namun bagaimanapun juga, pengaruh benturan-benturan kekuatan di masa lalu masih saja mempengaruhi perasaan mereka. Dua kali keduanya pernah bertemu di arena pertempuran di daerah pesisir utara. Sekali orang yang menyebut dirinya Raden Mahambara itu melarikan diri. Sekali Ki Jayaraga telah berbaik hati membiarkannya hidup, meskipun Raden Mahambara justru mengancam bahwa pada suatu saat ia justru akan membunuh Ki Jayaraga.

Dibayangi oleh kenangan itu, maka ketika Raden Mahambara berhasil mendesak Ki Jayaraga sehingga Ki Jayaraga itu berloncatan beberapa langkah surut, ia pun tertawa sambil berkata, “Jayaraga. Waktu itu kau memang terlalu sombong. Kau tidak membunuhku untuk mendapatkan kepuasan batin, memanjakan kesombonganmu. Tetapi waktu itu aku sudah berkata kepadamu, jika kau tidak membunuhku, maka aku-lah yang akan membunuhmu.”

“Aku ingat itu, Raden Mahambara,” sahut Ki Jayaraga, “waktu itu kau tidak dapat mengalahkan aku. Sekarangpun kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Dengar, jika dua kali kau luput dari kematian pada saat kau berhadapan dengan aku, maka sekarang aku tidak akan membiarkanmu hidup. Aku sudah menjadi semakin yakin, bahwa kau sudah tidak mungkin berubah. Karena itu, untuk menghentikanmu, tidak ada jalan lain kecuali maut.”

Raden Mahambara itu tertawa. Namun kemudian ia pun meloncat menyerang seperti banjir bandang. Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap sepenuhnya. Apapun yang dilakukan oleh Raden Mahambara, telah siap dihadapinya. Karena itu, maka pertempuran yang sengit pun telah terjadi lagi di antara hiruk pikuk pertempuran.

Karena Ki Jayaraga bergeser ke paruh gelar, maka seperti yang sudah direncanakan, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah-lah yang kemudian bergeser ke sayap, menyatu dengan kedua orang pemimpin kelompoknya. Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berada di sayap yang lain.

Agung Sedayu tidak lagi merasa perlu untuk selalu meneriakkan aba-aba, karena ia yakin bahwa para prajuritnya di bawah pimpinan para pemimpin kelompok akan dapat menempatkan diri mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Raden Panengah yang terlalu yakin akan kemampuan ayahnya, tidak berniat untuk mendampinginya. Ia percaya bahwa dalam waktu yang singkat maka pasukan Mataram itu akan diporak-porandakan oleh ayahnya. Terutama pasukan yang berada di paruh gelarnya. Karena itu, maka Raden Panengah ingin melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan oleh ayahnya, di sayap gelar pasukan Mataram itu.

Dengan garangnya Raden Panengah pun telah berloncatan menyambar-nyambar. Bersama Raden Panengah, Kebo Angkat telah mengamuk pula bersama pasukannya yang terpilih.

Untuk beberapa saat prajurit Mataram itu pun agak tertahan. Orang-orang yang bertempur bersama Kebo Angkat serta Raden Panengah adalah para gegedug yang namanya sudah kawentar.

Tetapi para prajurit dari pasukan khusus itu sudah ditempa bukan saja oleh latihan-latihan yang sangat berat, tetapi mereka pun memiliki pengalaman yang luas pula. Karena itu, maka para pengikut Raden Panengah itu tidak membuat jantung mereka bergetar.

Raden Panengah sendiri memang harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Para pengikutnya telah mendapatkan pengalaman yang baru. Jika mereka terbiasa menghadapi orang-orang yang tidak berdaya, sehingga mereka seakan-akan tinggal membabat batang ilalang, kini mereka berhadapan dengan prajurit pilihan dari pasukan khusus yang matang.

Ternyata prajurit Mataram bukan sekumpulan orang bersenjata yang tidak mengerti mempergunakan senjatanya itu. Senjata di tangan prajurit-prajurit Mataram itu menjadi sangat berbahaya.

Raden Panengah yang sedang berusaha untuk memberikan jalan kepada orang-orangnya itu tertegun, ketika ia melihat seorang laki-laki yang tiba tiba sudah ada di hadapannya

“Kau siapa?” bertanya Raden Panengah.

“Namaku Agung Sedayu. Aku adalah Lurah prajurit yang memimpin para prajurit Mataram, yang mendapat perintah untuk menangkap para perampok yang bersarang di ujung hutan ini, serta yang telah mengacaukan pemerintahan di Kademangan Prancak.”

“Jangan bermimpi,” berkata Raden Panengah, “tidak ada kekuatan yang dapat menghalangi kami. Perguruan besar Kedung Jati pun tidak akan dapat menghentikan kami.”

“Perguruan Kedung Jati memang tidak akan mempedulikan kalian, karena bagi perguruan itu, kalian tidak lebih dari debu yang berhamburan di udara. Dengan sekali tiup, debu itu pun akan hanyut berserakan.”

Wajah Raden Panengah menjadi merah. Dengan geramnya ia pun berkata, “Kau telah menghina kami. Selama ini tidak ada orang yang berani melakukannya. Sedangkan menyebut nama kami pun mereka harus berpikir sepuluh kali.”

Tetapi jawab Agung Sedayu semakin membuat Raden Panengah itu menjadi marah. Katanya, “Aku telah datang kepadamu dengan pasukanku. Jangankan menyebut namamu, bahkan menghinamu. Sedangkan aku datang untuk menangkapmu.”

“Persetan. Aku akan mencincangmu.”

“Apapun yang kau katakan, tidak akan merubah keadaan. Tetapi kau belum menyebut namamu. Menurut sikapmu serta sikap kawan-kawanmu terhadapmu, maka kau termasuk salah seorang pemimpin dari gerombolan ini.”

“Aku-lah yang bergelar Raden Panengah, putra Ayahanda Raden Mahambara.”

“O. Jadi kau-lah yang bernama Raden Panengah.”

“Ya. Nah, apakah kau masih mempunyai keberanian untuk menghadapi aku?”

Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Kau terlalu percaya kepada dirimu sendiri.”

“Ya. Aku harus memiliki kepercayaan diri. Sebentar lagi kau akan mati di tanganku. Tetapi aku akan memberimu kesempatan melihat prajurit-prajuritmu diporak-porandakan oleh ayahku. Kau akan melihat mayat yang terbujur lintang di medan pertempuran ini. Apalagi jika ayahku menjadi marah karena kesombongan orang-orangmu, maka pada saatnya nanti orang-orangmu akan ditumpasnya sampai habis.”

“Kau tidak perlu membual. Ayahmu telah berhadapan dengan orang yang tentu sudah kau kenal, atau setidak-tidaknya kau dengar namanya.”

“Siapa?”

“Ki Jayaraga. Ki Jayaraga datang bersama prajurit Mataram.”

“Ki Jayaraga,” Raden Panengah itu bergumam. Namun kemudian ia pun berkata, “Kau-lah yang membual. Bagaimana mungkin Ki Jayaraga ada di antara para prajurit Mataram.”

“Kau ingin melihatnya? Aku akan memberimu kesempatan untuk melihat, apakah orang yang bertempur dengan ayahmu itu Ki Jayaraga yang sebenarnya, atau sekedar bayangannya.”

“Tidak perlu. Seperti aku mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap diriku sendiri, maka aku pun yakin bahwa tidak ada Ki Jayaraga di pertempuran ini.”

“Baik, baik. Katakan apa saja menurut pendapatmu. Sekarang, seperti yang aku katakan, ulurkan kedua tanganmu. Aku akan mengikatnya, dan aku akan membawamu ke Mataram.”

“Cukup! Kau akan segera mati.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Apalagi Raden Panengah pun segera meloncat menyerangnya dengan penuh kepercayaan diri. Raden Panengah yakin bahwa jika ia mendapat kesempatan bertempur seorang melawan seorang, maka ia tentu akan segera dapat mengalahkan pemimpin prajurit Mataram itu.

Tetapi setelah bertempur beberapa lama, ternyata Raden Panengah telah membentur kemampuan yang tidak diduga sebelumnya. Ternyata dengan tenangnya pemimpin prajurit Mataram itu tidak dapat langsung dikuasainya. Prajurit yang bernama Agung Sedayu itu mampu memberikan perlawanan yang berani kepada Raden Panengah.

Ketika Agung Sedayu itu meloncat surut menghindari serangan Raden Panengah yang datang membadai, Raden Panengah itu pun sempat berteriak, “Ternyata kau mampu memberikan perlawanan yang baik, Agung Sedayu. Aku justru senang menghadapimu. Sudah agak lama aku tidak bertemu dengan lawan yang mampu menitikkan keringatku. Semakin gigih kau memberikan perlawanan, maka aku akan menjadi semakin mendapat kepuasan menikmati kemenanganku.”

“Tetapi jika perlawanan itu kemudian justru memotong perlawananmu, dan bahkan mengalahkanmu?”

“Hanya malaikat yang turun dari langit yang dapat mengalahkan aku dan ayahku. Itulah sebabnya, maka alangkah bodohnya para prajurit Mataram yang telah datang kemari.”

“Tetapi yang terdengar jauh lebih besar dan kau dan ayahmu adalah Ki Saba Lintang dan orang-orangnya.”

“Persetan dengan Saba Lintang.”

“Namanya jauh lebih banyak dikenal dari namamu, Raden Panengah dan nama ayahmu, Raden Mahambara. Nama yang terkesan dibuat-buat. Bukankah nama-nama itu bukan nama kalian yang sebenarnya?”

Raden Panengah tidak menjawab. Namun ia pun telah meloncat menyerang seperti prahara. Kata-kata Agung Sedayu itu sangat menyakiti hatinya. Pertempuran pun segera berlangsung semakin sengit. Keduanya saling menyerang dengan garangnya. Masing-masing telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi.

Raden Panengah mengumpat kasar ketika serangan Agung Sedayu mengenai pundaknya. Kaki Agung Sedayu yang terjulur, mampu menerobos pertahanan Raden Panengah yang lengah.

Raden Panengah terdorong surut. Bahkan hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Namun Raden Panengah itu tidak jatuh terguling di tanah. Meskipun demikian, yang terjadi itu merupakan peringatan bagi Raden Panengah, bahwa lawannya bukan orang-orang padukuhan yang rapuh.

Karena itu, maka Raden Panengah pun menjadi semakin garang. Ditingkatkannya ilmunya semakin tinggi. Serangan-serangannya datang beruntun, mengalir tidak henti-hentinya. Raden Panengah tidak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyerang.

Namun lawannya adalah orang yang sangat tangguh. Ketika serangan-serangan Raden Panengah itu datang seperti prahara, maka Agung Sedayu pun telah meloncat tinggi di udara. Kemudian dengan sekali berputar, kakinya dengan lunak menyentuh tanah justru di belakang Raden Panengah.

Raden Panengah terkejut. Dengan cepat ia memutar tubuhnya menghadap kepada Agung Sedayu yang sudah berdiri di belakangnya. Namun demikian ia berputar, maka kaki Agung Sedayu itu sudah terjulur lurus menyamping mengenai dadanya.

Raden Panengah pun tidak sekedar terdorong surut. Tetapi Raden Panengah itu sudah terlempar beberapa langkah, dan bahkan terbanting jatuh di tanah yang berbatu padas.

Terdengar Raden Panengah itu mengaduh tertahan. Namun dengan cepat ia bangkit. Yang terdengar kemudian adalah umpatan-umpatan kasar dari mulutnya.

Agung Sedayu tidak memburunya. Seakan-akan ia memang memberi kesempatan kepada Raden Panengah untuk menilai kemampuan di antara mereka berdua.

Dalam pada itu, Sekar Mirah yang bertempur dengan kecepatan tinggi telah mendesak beberapa orang lawannya. Tiga orang gegedug yang garang, ternyata tidak dapat menguasainya. Perempuan itu berloncatan dengan cepatnya, seakan-akan kakinya tidak berjejak di tanah.

Tiga orang laki-laki yang garang, yang terbiasa melakukan kekerasan di mana-mana pada saat-saat mereka merampok atau menyamun, atau merampas tanpa ampun di pasar-pasar yang sedang temawon, mengalami kesulitan melawan seorang perempuan.

Seorang yang berkumis lebat melintang, yang mengenakan kalung yang terdiri dari untaian berbagai macam jimat dan benda-benda aneh yang dianggap bertuah, menjadi sangat heran melihat Sekar Mirah yang bertempur demikian garangnya. Perempuan yang sudah separuh baya itu sama sekali tidak mengalami kesulitan menghadapi tiga orang lawan. Bahkan orang berkumis lebat itu tidak pernah mendapat kesempatan menembus pertahanan Sekar Mirah.

Sementara itu kawannya, seorang yang terhitung pendek, dengan tubuh yang agak gemuk, telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi perempuan itu bertempur terlalu cepat. Serangan-serangannya yang lebih banyak ditujukan ke arah bagian-bagian tubuh yang lemah di bagian kepala dan wajah Sekar Mirah, sama sekali tidak mampu menyentuhnya.

Sedangkan seorang lagi, yang lebih banyak berusaha menyapu kaki Sekar Mirah pun tidak banyak mempengaruhi gerak Sekar Mirah, yang berloncatan dengan tangkasnya. Sehingga dengan demikian, maka ketiga orang itu-lah yang justru segera mengalami kesulitan. Selagi orang yang bertubuh pendek itu meloncat menyerang dengan menjulurkan tangannya mengarah ke pelipis, Sekar Mirah justru menyerang orang yang berkumis lebat, sambil menghindari serangan orang yang bertubuh pendek itu.

Serangan orang yang bertubuh pendek itu luput, sedangkan kawannya yang berkumis lebat telah terpelanting jatuh. Namun dalam pada itu, selagi ketiga orang yang bertempur melawan Sekar Mirah itu menjadi semakin terdesak, seorang yang berwajah garang telah menyibak mereka sambil berteriak kasar, “He, perempuan binal. Apa kerjamu disini?”

Sekar Mirah memandang orang yang berwajah garang itu. Ia melihat bekas segores luka di wajahnya. Ia pun melihat sinar mata orang itu bagaikan bara.

“Siapa kau?”

“Namaku Kebo Angkat. Aku adalah orang terbaik di lingkunganku. Karena itu, maka nasibmu yang malang telah membawamu kepadaku.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Laki-laki itu memang nampak garang. Suaranya pun menggelegar seperti guruh.

“Apakah kau lebih baik dari pemimpin gerombolan itu? Raden Panengah, apalagi Raden Mahambara?”

“Kecuali keduanya. Kecuali kedua orang itu, maka aku adalah orang terbaik. Karena itu, sia-sia kau berusaha melawan aku. Akhirnya kau akan mati juga. Karena itu, daripada kau mengalami kesulitan di saat terakhirmu, tundukkan saja kepalamu. Kau akan mati tanpa merasakan kesakitan dan pedih.”

“Jangan berkata begitu,” sahut Sekar Mirah, “kesombongan tidak akan banyak menolong. Mungkin kau dapat mempengaruhi keberanian lawan-lawanmu. Tetapi mungkin justru membuat lawanmu semakin marah.”

“Persetan kau, iblis perempuan. Apakah Mataram sudah kekurangan prajurit laki-laki, sehingga kau, seorang perempuan, telah diturunkan di medan pertempuran?”

“Di Mataram tidak ada bedanya laki-laki dan perempuan.”

“Sepantasnya perempuan itu berada dalam pingitan. Tidak boleh keluar regol halaman. Sedangkan kau berkeliaran dengan sepasukan prajurit laki-laki sampai di sini. Hanya perempuan-perempuan binal sajalah yang melakukannya.”

“Apakah dengan sikapmu serta kata-katamu yang kasar itu, kau berusaha menyembunyikan kecemasanmu?”

“Tidak. Tidak ada yang aku sembunyikan. Jika kau anggap sikapku dan kata-kataku kasar, itu sudah menjadi adat kebiasaanku.”

Sekar Mirah pun kemudian bergeser sambil berkata, “Nah, sekarang kau akan bertempur melawan seorang perempuan. Bersiaplah. Mungkin kau akan mendapatkan sebuah pengalaman baru.”

“Jangan mengharapkan belas kasihanku. Meskipun kau perempuan, tetapi karena kau sudah berani melawanku, maka aku benar-benar akan membunuhmu. Kau bukan perempuan yang pertama aku bunuh.”

“Kau sudah pernah membunuh perempuan?”

“Ya.”

“Apakah mereka juga bertempur seperti aku?”

“Tidak. Tetapi mereka mempertahankan harta benda mereka. Mereka tidak mau menunjukkan di mana harta benda mereka itu mereka simpan. Aku menganggap bahwa yang mereka lakukan itu adalah satu perlawanan. Karena itu, mereka pantas untuk dibunuh, sebagaimana aku akan membunuhmu.”

“Kalau begitu, kau adalah orang yang memang pantas dibunuh. Karena itu, bersiaplah untuk mati. Perempuan yang kau hadapi sekarang tidak akan membiarkan dirinya kau bunuh seperti beberapa orang perempuan itu. Tetapi perempuan yang sekarang kau hadapi inilah yang akan menghentikan semua perbuatanmu yang terkutuk itu.”

“Aku belum pernah bertemu perempuan yang sombong sekali sebagaimana kau sekarang ini.”

“Memang berbeda. Perempuan yang pernah kau temui adalah perempuan yang tidak siap untuk bertempur melawanmu. Tetapi sejak berangkat dari Mataram, aku sudah siap untuk bertempur antara hidup dan mati.”

Kebo Angkat tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian segera mempersiapkan diri. Ketika jari-jari tangannya nampak mengembang, serta Kebo Angkat itu siap menerkam seperti seekor harimau, Sekar Mirah sempat berkata, “Aku tidak melihat seekor kerbau sebagaimana kau namai dirimu sendiri. Tetapi aku melihat seekor kucing yang akan menerkam.”

“Persetan kau, iblis betina,” geram Kebo Angkat.

Kebo Angkat itu benar-benar menerkam. Kedua tangannya dengan jari-jarinya yang mengembang itu bergerak dengan cepat mengarah ke wajah Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah bergerak lebih cepat. Dengan tangkasnya Sekar Mirah mengelakkan serangan itu dengan meloncat surut. Tetapi Kebo Angkat tidak membiarkannya. Dengan kecepatan yang tinggi Kebo Angkat itu meloncat memburunya.

Namun Kebo Angkat itu terkejut. Sekar Mirah tiba-tiba saja telah meloncat ke samping, sementara itu tangannya bergerak mendatar menyambar kening. Kebo Angkat terkejut Tetapi ia masih mampu mengangkat tangannya menangkis serangan itu.

Tetapi pada saat tangan Sekar Mirah dan Kebo Angkat berbenturan, Sekar Mirah justru telah meloncat sambil berputar. Kakinya pun bergerak mendatar menyambar dada Kebo Angkat. Kebo Angkat terkejut. Tetapi kaki Sekar Mirah seakan-akan telah menghentikan pernafasannya.

Kebo Angkat itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Betapapun ia mencoba bertahan, namun ia tidak berhasil untuk mempertahankan keseimbangannya. Sehingga dengan demikian, maka Kebo Angkat itu pun telah terbanting jatuh.

Terdengar orang itu mengumpat. Dengan cepat ia pun melenting bangkit. Sekar Mirah sengaja tidak memburunya. Dibiarkannya saja Kebo Angkat itu meloncat berdiri. Dengan cepat pula Kebo Angkat itu pun segera mempersiapkan diri menghadapi lawannya.

Sekar Mirah pun bergeser perlahan mendekatinya sambil berkata, “Kau berhadapan dengan seorang perempuan, Kebo Angkat.”

“Persetan kau, iblis betina.”

“Jangan meremehkan perempuan. Jangan berbangga bahwa kau telah membunuh beberapa orang perempuan. Justru karena itu, maka akhir hidupmu pun berada di tangan seorang perempuan.”

“Omong kosong,” geram Kebo Angkat. Dengan garangnya Kebo Angkat itu pun segera meloncat menyerang seperti angin ribut.

Sementara itu, di sayap yang lain, Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang merasa dirinya tidak terkalahkan, tiba-tiba saja telah berhadapan dengan sepasang suami istri yang terhitung masih muda.

“He, kalian rayakan hari pernikahan kalian di medan pertempuran?” bertanya Nyi Rimuk.

“Kami sudah lama menikah,” jawab Rara Wulan.

“Kenapa kalian berdua hari ini berada di medan pertempuran yang berat ini? Meskipun pertempuran ini tidak melibatkan pasukan segelar sepapan, tetapi pertempuran ini adalah pertempuran antara hidup dan mati,” bertanya Nyi Rimuk pula.

Sementara itu Ki Rimuk pun bertanya pula, “Kalian tidak mengenakan pakaian keprajuritan. Jika kalian berdua bukan prajurit Mataram, untuk apa kalian ikut bersama mereka datang kemari, kemudian melibatkan diri dalam pertempuran ini?”

“Aku tertarik untuk melibatkan diri,” jawab Glagah Putih. “Sebelum pertempuran ini, kami sudah pernah bersentuhan dengan kawan-kawanmu yang berada di Babadan. Kami pernah bertemu dengan Ki Jagabaya Babadan. Bukankah Ki Jagabaya Babadan itu termasuk salah seorang penghuni sarang yang ada di ujung hutan ini?”

Ki Rimuk itu pun menggeram. Katanya, “Persetan dengan Jagabaya Babadan. Ternyata ia tidak mampu menjunjung tugas yang dibebankan kepadanya. Seharusnya Ki Jagabaya itu sudah dapat memaksa Demang Prancak menyerahkan jabatannya. Tetapi sampai hari ini, Demang Prancak masih tetap berkuasa.”

“Ia akan tetap berkuasa. Bekel Babadan itu-lah yang harus menyerah.”

“Itu tidak akan terjadi.”

“Memang. Menurut cerita yang kau susun, itu tidak akan terjadi. Tetapi ternyata bahwa jalur cerita yang kau susun tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, sehingga segala sesuatunya akan menjadi hambar.”

“Kau jangan membual di hadapanku. Kau tidak tahu apa-apa tentang persoalan yang terjadi di Prancak. Hubungan antara Prancak dan Babadan yang gawat, dan tentang banyak hal yang lain. Karena itu, kau tidak usah berbicara tentang Babadan.”

“Baik, baik. Aku tidak akan berbicara tentang Prancak dan Babadan. Yang ternyata kau hadapi sekarang adalah kekuatan prajurit Mataram.”

“Kami akan menghancurkannya.”

“Apapun yang terjadi, mimpi kalian untuk menguasai Kademangan Prancak tidak akan berhasil. Seandainya kali ini prajurit Mataram dapat kau patahkan, maka dalam sepekan, tempat ini akan menjadi lebur bagaikan dihanyutkan banjir bandang. Prajurit Mataram segelar sepapan akan datang kemari untuk menghancurkan kalian. Nah, pada saat itu pula persoalan Prancak akan diselesaikan oleh para pemimpin Mataram. Tentu saja dalam penyelesaian itu, tidak akan disinggung orang-orang yang berasal dari ujung hutan ini.”

“Cukup!” teriak Ki Rimuk, “Kau tidak usah membual. Sekarang sudah waktunya untuk membunuh kalian berdua.”

“Meskipun kami bukan prajurit, tetapi kami sudah sering berada di medan pertempuran bersama para prajurit. Karena itu, maka keberadaan kami di sini sekarang bukanlah satu peristiwa yang dapat membuat kami menjadi gugup.”

Ki Rimuk tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera memberi isyarat kepada istrinya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi dua orang suami istri, yang agaknya memang memiliki bekal yang kokoh untuk turun ke arena.

Sejenak kemudian, maka Ki Rimuk pun telah mulai menyerang Glagah Putih, sedangkan Nyi Rimuk meloncat sambil menjulurkan tangannya untuk menerkam Rara Wulan. Tetapi keduanya dengan tangkas mengelakkan serangan-serangan lawan. Bahkan dengan cepat pula Glagah Putih dan Rara Wulan telah membangun serangan.

Sejenak kemudian keempat orang itu sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Rara Wulan melawan Nyi Rimuk, sedangkan Glagah Putih bertempur melawan Ki Rimuk.

Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang merasa memiliki ilmu yang tidak terbatas, ternyata telah membentur ilmu kedua orang suami istri yang masih terhitung muda itu. Ki Rimuk yang merasa seorang gegedug brandal yang sangat ditakuti itu, merasa heran bahwa orang yang masih terhitung muda itu mampu mengimbanginya, sehingga ia mampu bertahan untuk beberapa puluh langkah.

Karena itu, maka Ki Rimuk yang sangat dihormati oleh para penghuni sarangnya itu segera meningkatkan ilmu lebih tinggi lagi. Ki Rimuk itu pun berharap agar segera dapat membunuh orang yang sombongnya bertimbun itu.

Tetapi ternyata bahwa lawannya juga telah meningkatkan ilmunya, sehingga Glagah Putih itu tetap saja mampu mengimbangi ilmu Ki Rimuk. Sementara itu Nyi Rimuk pun tidak menduga, bahwa perempuan yang masih terhitung muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula. Karena itu, maka Nyi Rimuk pun harus mengerahkan ilmunya untuk menghadapinya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah mematangkan dirinya dengan ilmu yang disadapnya dari kitab pemberian Ki Namaskara, serta menjalani segala macam laku yang dituntut untuk menempa diri itu, memiliki beberapa kelebihan dari Ki Rimuk dan Nyi Rimuk. Ketika kedua orang gegedug yang sangat dihormati oleh gerombolannya itu meningkatkan ilmunya lagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan justru semakin menunjukkan kelebihan mereka.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih yang mulai mendesaknya, “kau tidak mempunyai kesempatan lagi. Tetapi masih ada jalan bagimu agar kau dan perempuan itu tetap hidup. Jika kalian berdua menyerah, maka kalian tidak akan dihukum mati. Aku menjamin bahwa kalian tidak akan digantung di alun-alun.”

“Persetan dengan celotehmu itu. Kau jangan berbangga dengan kemenangan-kemenangan kecil yang kau peroleh di pertempuran ini. Kemenangan yang sebenarnya akan ditentukan pada akhir pertempuran ini. Siapakah yang tetap hidup, maka ia-lah yang akan disebut menang.”

“Haruskah di antara kita ada yang mati?”

“Jika tidak, bagaimana kita tahu siapakah yang menang dan siapakah yang kalah?”

“Jadi bagimu, kemenangan itu diukur dengan kematian lawan?”

“Ya. Tidak ada ukuran lain yang dapat ditrapkan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jika seorang sudah tidak berdaya?”

“Ia akan diinjak kepalanya sampai mati.”

“Baik. Kalau itu ukuranmu, maka aku akan memakai ukuran yang kau trapkan itu pula.”

Ki Rimuk tidak berbicara lagi. Ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Namun sementara itu, Glagah Putih pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dengan demikian, maka serangan-serangan Ki Rimuk yang datang kemudian tidak menggoyahkannya. Serangan-serangan Ki Rimuk yang bagaikan prahara itu telah membentur batu karang yang kokoh, yang tidak terguncang oleh prahara sebesar apapun.

Nyi Rimuk pun mengalami kesulitan untuk menyeruak pertahanan Rara Wulan yang sangat rapat. Bahkan serangan-serangan Rara Wulan-lah yang kemudian justru berhasil menyentuh sasarannya, sehingga sekali-sekali Nyi Rimuk itu tergetar surut.

Dalam pada itu, di seluruh arena, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Tidak hanya di bagian depan sarang Raden Mahambara. Tetapi di bagian belakang pun pertempuran berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dari pasukan khusus yang memiliki tataran ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas, semakin mendesak maju mendekati barak-barak di ujung hutan itu.

Dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuan, para pengikut Raden Mahambara mencoba mempertahankan sarang mereka. Sarang yang terdiri dari bangunan-bangunan yang sederhana. Sarang yang sekedar merupakan landasan, yang menurut rencana mereka akan segera meloncat ke Babadan. Bahkan seluruh Kademangan Prancak, apabila persoalan kedudukan Demang Prancak itu sudah diselesikan. Jika mereka berhasil menguasai seluruh Kademangan Prancak, maka mereka akan mempunyai landasan yang sangat kokoh. Apalagi dengan demikian, mereka pun akan segera berbaur dengan penghuni Kademangan Prancak itu sendiri.

Mungkin mereka memerlukan tiga atau empat padukuhan terpenting untuk menempatkan orang-orang mereka. Mungkin mereka akan mempergunakan banjar padukuhan. Mungkin mereka mempergunakan rumah-rumah penduduk, atau bahkan membangun rumah-rumah sendiri di antara rumah penduduk, karena halaman-halaman rumah di Prancak masih cukup luas.

Namun ternyata bahwa kekuatan dan kemampuan prajurit Mataram itu memang sulit dibendung. Meskipun perlahan-lahan namun pasti, para prajurit itu merambat maju mendekati jantung pertahanan para pengikut Raden Mahambara.

Raden Mahambara sendiri bertempur dengan garangnya. Setelah lama Raden Mahambara tidak bertemu dengan Ki Jayaraga, maka ia masih harus tetap mengakui bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Pada umurnya yang menjadi semakin tua, Ki Jayaraga masih tetap saja sulit untuk diatasi.

Ki Jayaraga sendiri harus mengerahkan kemampuannya pula untuk mengimbangi Raden Mahambara yang ilmunya menjadi semakin matang. Ki Jayaraga itu pun merasa beruntung bahwa di umurnya yang semakin tua, ia masih tetap bekerja keras, sehingga ketahanan tubuh serta tenaganya masih tetap terjaga. Setiap hari Ki Jayaraga berada di sawah. Dijemur panasnya matahari. Mengayunkan cangkul, serta berjalan menyusuri tanah berlumpur sampai ke lutut di belakang bajak atau garu, yang ditarik oleh dua ekor lembu.

Sedangkan setiap hari, Ki Jayaraga menyisihkan waktunya serba sedikit untuk berada di sanggar tertutup atau di sanggar terbuka. Jika ia tidak sempat melakukan di siang hari, maka di malam hari Ki Jayaraga berada di dalam sanggar. Di sanggar, Ki Jayaraga tidak harus berloncatan memelihara tubuhnya agar tetap liat dan mampu bergerak cepat. Tetapi kadang-kadang Ki Jayaraga duduk saja dengan memusatkan nalar budinya. Latihan-latihan, bahkan menemukan beberapa unsur yang baru, dapat dilakukannya justru pada saat ia duduk bersamadi.

Dengan demikian, maka Ki Jayaraga tidak menjadi bingung menghadapi Raden Mahambara yang kemampuannya sudah menjadi semakin meningkat. Dengan garang Raden Mahambara itu pun menggeram, “Iblis tua ini masih saja mampu mengimbangi ilmuku.”

Sebenarnyalah keduanya bertempur semakin seru. Keduanya saling menyerang dengan garangnya. Mereka berloncatan seakan-akan kaki mereka tidak menyentuh tanah. Sekali-sekali terjadi benturan-benturan yang semakin lama menjadi semakin keras. Sekali-sekali Ki Jayaraga tergetar surut. Namun di kesempatan lain, Raden Mahambara-lah yang terdorong beberapa langkah.

Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang telah ditempa dengan keras, masih juga harus mengagumi kemampuan Ki Jayaraga dan Raden Mahambara, yang kedua-duanya sudah menjadi semakin tua. Para prajurit yang pada umumnya masih terhitung muda itu lebih baik menghindari arena pertempuran di sebelah-menyebelah Ki Jayaraga dan Raden Mahambara.

Apalagi para pengikut Raden Mahambara. Mereka memang mengagumi Raden Mahambara sebagai seseorang yang tidak ada duanya. Namun ternyata orang dari Mataram yang juga sudah ubanan itu mampu mengimbangi kemampuannya yang sangat tinggi.

Apalagi ketika mereka menyadari bahwa Raden Panengah pun telah menemukan lawan yang tidak dapat dengan segera dikalahkannya. Bahkan sekali-sekali Raden Panengah itu justru terdesak sehingga harus berloncatan mengambil jarak.

Para pengikut Raden Mahambara itu harus menghadapi kenyataan tentang prajurit Mataram itu. Orang yang menilai bahwa prajurit Mataram itu sebenarnya ringkih, merasa membentur batu karang yang tidak tergoyahkan.

“Ternyata prajurit Mataram bukannya kekuatan yang rapuh seperti yang dikatakan orang,” desis orang itu. Bahkan orang itu merasa bahwa ia tidak mempunyai banyak kesempatan untuk menggerakkan senjatanya.

Kebo Angkat pun menjadi kebingungan menghadapi lawannya yang tidak terbiasa dihadapinya. Kebo Angkat memang pernah membunuh perempuan. Bahkan perempuan itu sama sekali tidak melawannya, dalam arti terjun dalam kancah pertempuran.

Tetapi perempuan yang dihadapinya saat itu adalah perempuan yang mampu memberikan perlawanan dalam arti yang sebenarnya. Perempuan itu telah turun ke medan untuk bertempur.

Kebo Angkat itupun menggeram. Semakin lama Kebo Angkat menjadi semakin terdesak, sehingga karena itu maka Kebo Angkat pun semakin meningkatkan ilmunya. Tetapi perempuan itu masih saja tetap mampu mengimbanginya.

Kebo Angkat pun kemudian tidak mau membiarkan perempuan itu selalu mendesaknya. Ia tidak ingin menjadi bahan tertawaan para pengikut Raden Mahambara yang lain, karena perempuan itu sudah mendesaknya semakin jauh.

Kebo Angkat pun kemudian telah menarik senjatanya. Sebuah golok yang besar dan panjang. Golok yang warnanya kehitam-hitaman dengan goresan-goresan yang berkilat-kilat.

“Bukan kebanyakan golok,” desis Sekar Mirah, “golok itu mempunyai pamor yang berkilat-kilat.”

Kebo Angkat yang memutar goloknya seperti memutar lidi itu pun berkata lantang, “Nah, apakah kau menjadi cemas melihat senjataku? Aku tidak dapat menghitung lagi, berapa puluh orang yang kepalanya telah terpenggal oleh golokku itu. Ketika aku masih muda, aku selalu menorehkan tanda di hulu golokku ini setiap aku membunuh seseorang. Tetapi akhirnya aku menjadi jemu setelah aku membunuh terlalu banyak orang, sehingga hulu golokku itu penuh dengan torehan-torehan.”

“Di antara korban golokmu itu tentu seorang perempuan.”

“Sudah aku katakan, tidak hanya seorang. Aku membunuh beberapa orang perempuan tanpa penyesalan. Tanpa getar di jantungku. Karena itu, aku akan membunuhmu dengan tanpa memejamkan mataku.”

“Kau sudah terlalu banyak membunuh. Di antara mereka adalah perempuan. Sekarang sudah tiba waktunya, bahwa kau akhirnya terbunuh oleh seorang perempuan.”

“Jangan hanya membual. Lakukanlah jika kau dapat melakukannya—.”

Sekar Mirah pun kemudian telah menggenggam senjatanya pula. Tongkat baja putih.

Kebo Angkat yang telah siap untuk meloncat sambil mengayunkan goloknya yang besar itu pun bergeser selangkah surut. Dengan wajah yang tegang ia pun bertanya, “Tongkat baja putih itu senjatamu?”

“Ya. Kenapa?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sekar Mirah menyadari bahwa orang itu sedang mengamati tengkoraknya. Karena itu, ia pun justru memutar tongkatnya perlahan-lahan, seakan-akan dengan sengaja memamerkan tongkat baja putihnya.

“Kau-lah sekarang yang menjadi cemas melihat senjataku. Kenapa dengan tongkat baja putih ini?”

“Bukankah tongkat yang di pangkalnya terdapat ujud tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan itu…..” orang itu tidak melanjutkan kata-katanya.

“Kenapa tidak kau selesaikan kalimatmu? Apakah kau ingin katakan bahwa tongkat baja putih ini adalah ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati?”

“Ya,” di luar sadarnya orang itu mengangguk.

“Kau benar. Tongkat ini adalah pertanda kepemimpinan bagi Perguruan Kedung Jati.”

“Kau dari Perguruan Kedung Jati?”

“Ya.”

Wajah Kebo Angkat menjadi tegang. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jika kau salah satu pemimpin Perguruan Kedung Jati, kenapa kau datang bersama prajurit Mataram?”

“Apa salahnya? Aku mempunyai kepentingan yang sama dengan prajurit Mataram sekarang ini.”

“Apa?”

“Menghentikan Raden Panengah yang telah mengganggu orang-orang Prancak. Aku, salah seorang dari dua orang pemimpin Perguruan Kedung Jati, adalah saudara sepupu Demang di Prancak.”

Wajah Kebo Angkat menjadi semakin tegang. Namun kemudian ia pun menggeram, “Aku tidak peduli. Apakah kau salah seorang pemimpin Perguruan Kedung Jati atau seorang prajurit Mataram, yang penting bagiku adalah membunuhmu. Kau dengar? Aku akan membunuhmu.”

“Apa yang dapat kau lakukan terhadap salah seorang pemimpin Perguruan Kedung Jati?”

“Lihat saja, golokku ini akan menghabisimu. Besok orang-orang Perguruan Kedung Jati akan kehilangan salah seorang pemimpinnya. Namaku pun akan segera dikenal oleh setiap orang di Mataram, karena aku telah berhasil membunuh salah seorang pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang sangat ditakuti.”

Sekar Mirah tertawa. Ia melihat kegelisahan di wajah Kebo Angkat. Agaknya nama Perguruan Kedung Jati mempunyai pengaruh pula atas orang itu.

Tetapi Kebo Angkat tidak mau larut ke dalam pengaruh nama besar Perguruan Kedung Jati. Karena itu, maka ia pun segera menghentakkan dirinya. Goloknya yang besar itu pun segera berputar menyambar-nyambar.

Serangan Kebo Angkat yang datang seperti badai itu telah mendesak Sekar Mirah selangkah surut. Namun sesaat kemudian Sekar Mirah pun telah menjadi mapan kembali.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin garang. Sementara para prajurit Mataram pun semakin mendesak lawan-lawan mereka pula. Para pengikut Raden Mahambara itu semakin lama semakin mengalami kesulitan.

Mereka yang terlalu yakin akan kemampuan diri, harus segera melihat kenyataan bahwa para prajurit Mataram itu sulit untuk dibendung. Mereka mampu bergerak seorang-seorang, bahkan menyusup di antara pasukan lawan. Tetapi mereka pun sangat berbahaya jika bergerak dalam gelar yang besar, atau yang kecil sekalipun. Mereka mampu bekerja sama dengan baik, sehingga seakan-akan mereka telah digerakkan oleh otak yang sama.

Di bagian belakang sarang para pengikut Raden Mahambara, para prajurit Mataram pun semakin bergerak maju. Mereka telah menutup setiap celah, sehingga sangat sulit bagi para pengikut Raden Mahambara seandainya ada di antara mereka yang ingin melarikan dirinya.

Dalam pada itu, Kebo Angkat semakin mengalami kesulitan. Goloknya yang besar setiap kali telah membentur tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Ternyata bahwa perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu benar-benar seorang perempuan yang sangat berbahaya.

Bagi Kebo Angkat, Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang menjadi salah seorang pemimpin di Perguruan Kedung Jati. Ternyata bahwa bukan hanya namanya sajalah yang menggetarkan jantung. Tetapi perempuan itu berilmu sangat tinggi.

Betapapun juga Kebo Angkat berusaha, namun goloknya yang besar itu tidak mampu menembus pertahanan tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Tongkat baja putih yang berputar di tangan Sekar Mirah itu bagaikan kabut baja yang menjadi perisai, melindungi seluruh tubuhnya.

Kebo Angkat yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu telah berusaha mencoba mengayunkan goloknya dilambari dengan segenap tenaganya, mengarah ke ubun-ubun Sekar Mirah. Namun ketika goloknya itu membentur tongkat baja putih lawannya, tangan Kebo Angkat itu tergetar. Sambil meloncat surut untuk mengambil jarak, Kebo Angkat memperbaiki genggaman tangannya atas goloknya yang besar, yang hampir saja terlepas. Telapak tangannya terasa pedih pada saat ia mempertahankan goloknya agar tidak terloncat jatuh.

Sekar Mirah tidak segera memburunya. Namun selangkah demi selangkah ia bergerak maju mendekati lawannya yang menjadi semakin gelisah.

“Menyerahlah,” berkata Sekar Mirah, “kalau kau menyerah, maka setidak-tidaknya hari ini kau tidak akan mati oleh seorang perempuan, meskipun kau pernah beberapa kali membunuh perempuan yang tidak berdaya.”

“Persetan kau, orang Perguruan Kedung Jati. Kau kira hanya orang-orang dari Perguruan Kedung Jati saja-lah yang berilmu tinggi? Dengan ilmu pamungkasku, maka kau tidak akan sempat bertahan sesilir bawang.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya, la sadar bahwa lawannya akan memasuki tataran tertinggi ilmunya. Namun Sekar Mirah pun sudah mematangkan ilmunya dengan bantuan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Meskipun Sekar Mirah sudah ditinggalkan oleh gurunya sejak lama, namun karena Sekar Mirah dengan tekun mengikuti petunjuk-petunjuk Agung Sedayu dan kemudian Ki Jayaraga, maka akhirnya Sekar Mirah pun mampu menggapai puncak ilmunya pula.

Karena itu, ketika ia melihat Kebo Angkat itu mengusap goloknya dengan telapak tangan kirinya yang bagaikan mengepulkan asap tipis, maka Sekar Mirah pun telah memusatkan nalar budinya pula untuk mengetrapkan ilmu puncaknya.

Sejenak kemudian Sekar Mirah yang sudah sampai pada puncak ilmunya itu melihat golok Kebo Angkat yang kehitam-hitaman itu menjadi bagaikan membara. Pamornya yang berkeredipan memancarkan sinar-sinar maut yang mendebarkan.

Tetapi tongkat baja putih Sekar Mirah pun bukan tongkat kebanyakan. Di tangan Sekar Mirah yang mendapat tongkat itu langsung dari gurunya, maka tongkat itu pun menjadi sangat berbahaya. Apalagi setelah Sekar Mirah mampu mencapai puncak ilmunya dengan bantuan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, yang seakan-akan justru telah mengisi setiap kelemahan yang terdapat pada puncak ilmu Sekar Mirah. Meskipun ilmu itu kemudian telah berbaur dengan unsur-unsur yang lain, namun Sekar Mirah, suaminya Ki Lurah Agung Sedayu, dan Ki Jayaraga, mampu membangun ilmu Sekar Mirah itu menjadi utuh dan bulat. Justru memiliki nilai lebih tinggi dari ilmu dari Perguruan Kedung Jati yang mumi. Dengan bekal itulah maka Sekar Mirah telah siap menghadapi Kebo Angkat, yang telah meningkatkan sampai ke ilmu puncaknya.

Golok di tangan Kebo Angkat yang kemudian mulai terayun-ayun itu memang sangat mengerikan. Tetapi kilatan kilatan cahaya yang seakan-akan memancar dari ujung tongkat baja putih Sekar Mirah pun sangat mendebarkan jantung lawannya. Namun ternyata bahwa golok Kebo Angkat itu bukannya sekedar menjadi berwarna bara. Tetapi kekuatan ilmu Kebo Angkat telah membuat udara yang mengalir karena ayunan golok itu pun menjadi panas.

Sekar Mirah setiap kali harus bergeser surut. Udara panas itu terasa menyambar-nyambar tubuhnya, seakan-akan semakin lama menjadi semakin panas. Kebo Angkat yang merasa akan segera memenangkan pertempuran itu pun berkata lantang, “Kau tidak akan dapat menghindari pepesten. Kau akan segera mati, perempuan binal. Ternyata bahwa cerita tentang Perguruan Kedung Jati adalah cerita ngayawara yang tidak berlandaskan pada kenyataan. Sekarang, kau yang mengaku salah seorang pemimpin dan Perguruan Kedung Jati dengan pertanda tongkat baja putih itu, ternyata tidak akan mampu berbuat banyak di hadapanku.”

Sekar Mirah merasa sangat tersinggung oleh kata-kata Kebo Angkat itu. Meskipun ia bukan sebenarnya salah seorang pemimpin dari Perguruan Kedung Jati, tetapi ia memang salah seorang murid dari Ki Sumangkar, salah seorang pemimpin dari Perguruan Kedung Jati yang memiliki pertanda kepemimpinan itu.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera mengerahkan segala ilmu dan kemampuannya.

Ujung tongkat baja putihnya tidak lagi sekedar berkilat-kilat, tetapi dari ujung tongkat baja putih itu seakan memancar sinar yang tajam menyilaukan. Sinar yang menusuk mata, sehingga untuk sesaat mata itu tidak dapat melihat apa-apa selain kehitaman.

Kebo Angkat terkejut ketika untuk pertama kalinya matanya tersentuh kilatan sinar yang memancar dari ujung tongkat baja putih itu. Rasa-rasanya bukan sekedar pantulan cahaya matahari. Tetapi tentu karena kekuatan ilmu, serta kemampuan perempuan yang mengaku salah seorang pemimpin dan Perguruan Kedung Jati itu.

Dengan demikian, maka pertahanan Kebo Angkat pun rasa-rasanya menjadi sangat terganggu. Setiap saat, jika kilatan cahaya dari ujung tongkat baja putih itu menyambar matanya, maka Kebo Angkat harus meloncat surut untuk mengambil jarak.

Namun Sekar Mirah pun tidak memberinya banyak kesempatan. Ketika panasnya udara yang mengalir karena ayunan golok itu melanda tubuhnya, maka Sekar Mirah pun berusaha meningkatkan daya tahan tubuhnya. Kebo Angkat yang silau itu memutar-mutar goloknya sejadi-jadinya untuk menimbulkan arus angin yang panas.

Namun Sekar Mirah yang berlindung pada daya tahan tubuhnya meskipun kulitnya masih saja terasa terbakar, melenting sambil memutar tongkat baja putihnya. Ketika kilatan cahayanya sempat menyentuh mata Kebo Angkat, maka Sekar Mirah tanpa menghiraukan panasnya udara yang bagaikan membakar tubuhnya, telah mengayunkan tongkat baja putihnya langsung mengarah ke kening Kebo Angkat.

Terdengar Kebo Angkat mengaduh tertahan. Ternyata kilatan cahaya yang meloncat dari ujung tongkat baja putih itu telah membuat mata Kebo Angkat bagaikan tertutup oleh selaput awan yang hitam sesaat. Namun ketika samar-samar ia mulai melihat kembali, tongkat baja putih itu sudah terayun mengarah ke keningnya.

Kebo Angkat terlambat menghindar atau menangkis serangan itu. Karena itu, maka tongkat baja putih Sekar Mirah itu telah menghantam keningnya. Mata Kebo Angkat menjadi berkunang-kunang. Ia tidak lagi dapat melihat keadaan di sekitarnya. Semuanya menjadi gelap.

Sejenak kemudian Kebo Angkat itu pun telah terbaring diam. Darah mengalir dari keningnya yang menjadi retak oleh hentakan tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah.

Beberapa orang pengikut Raden Mahambara yang melihat Kebo Angkat terpelanting dan jatuh terbanting di tanah sehingga kemudian tidak bangkit kembali, segera berlari-larian. Tiga orang berusaha mengangkat tubuh itu, sementara yang lain mencoba melindunginya.

Namun Sekar Mirah tidak memburunya. Para prajurit yang berlarian hendak mendekat dan mencegah para pengikut Raden Mahambara mengambil tubuh Kebo Angkat itu pun telah dicegahnya.

“Biarlah mereka membawa tubuh itu ke sarang mereka,” berkata Sekar Mirah.

Para prajurit dari pasukan khusus yang telah mengenal Nyi Lurah Agung Sedayu itu pun mematuhinya, sebagaimana mereka mematuhi perintah Ki Lurah itu sendiri. Bagi mereka, hampir tidak ada bedanya Ki Lurah atau Nyi Lurah Agung Sedayu. Meskipun tidak setataran dengan Ki Lurah, tetapi ilmu Nyi Lurah itu pun sangat tinggi. Melampaui ilmu para prajurit dari pasukan khusus itu.

Kematian Kebo Angkat itu pun segera di dengar oleh para pengikut Raden Mahambara. Beberapa orang di antara mereka sengaja memberikan laporan kepada Raden Mahambara yang sedang bertempur melawan Ki Jayaraga.

Ketika seorang penghubung mendekatinya, Raden Mahambara dengan sengaja meloncat surut.

“Ada apa?” bertanya Raden Mahambara setelah mengambil jarak dari lawannya.

Ki Jayaraga tidak meloncat memburunya. Dibiarkannya penghubung itu memberikan laporan kepada Raden Mahambara.

“Ki Kebo Angkat telah tewas,” berkata penghubung itu dengan bimbang.

Wajah Raden Mahambara menjadi merah. Dengan suara yang parau ia pun bertanya, “Kebo Angkat mati?”

“Ya.”

“Siapa yang membunuh?”

“Seorang perempuan.”

“Seorang perempuan?”

“Ya. Seorang perempuan bersenjata tongkat baja putih.”

“He?” Raden Mahambara menjadi tegang.

Tiba-tiba saja Ki Jayaraga pun berkata, “Namanya Sekar Mirah. Ia salah seorang dari dua orang pemimpin Perguruan Kedung Jati. Cirinya tongkat baja putihnya itu.”

“Jadi orang-orang Perguruan Kedung Jati ikut campur?”

“Jangan sesali nasibmu yang buruk. Seharusnya kau tidak membangun kekuatan di wilayah kekuasaan Perguruan Kedung Jati.”

“Persetan. Aku tidak mengakui wilayah kekuasaan Perguruan Kedung Jati.”

“Jika demikian, terima sajalah nasibmu yang buruk. Seorang kepercayaanmu, bukankah Kebo Angkat itu seorang kepercayaanmu? Mati di tangan perempuan yang bersenjata tongkat baja putih.”

“Iblis betina. He, perintahku, jaga jangan sampai perempuan itu lolos. Setelah aku membunuh orang tua ini, aku pun akan membunuh perempuan itu.”

“Kau tidak usah sesumbar. Kita lihat saja apa yang terjadi di medan.”

Raden Mahambara menggeram. Dengan garangnya maka ia pun mulai lagi menyerang Ki Jayaraga. Namun Ki Jayaraga pun sudah siap sepenuhnya, sehingga serangan Raden Mahambara itu berhasil dihindarinya.

Dalam pada itu, maka seluruh medan pun telah mendengar bahwa Kebo Angkat telah mati. Ki Rimuk dan Nyi Rimuk yang mendengar berita kematian Kebo Angkat itu pun menjadi sangat marah. Seperti Raden Mahambara, Ki Rimuk pun berteriak, “Jangan biarkan perempuan itu lepas dari tangan kita! Kepung dan jangan biarkan ia lari. Aku ingin menangkapnya dan menjadikannya pengewan-ewan.”

Tetapi Glagah Putih pun menyahut, “Sayang, bahwa kau-lah yang akan mati lebih dahulu.”

“Persetan dengan kau, anak demit. Aku akan segera membunuhmu. Kemudian membunuh perempuan itu.”

Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka mereka melihat Nyi Rimuk terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian meloncat mengambil jarak.

“Dengar perintahku terakhir. Menyerahlah. Jika peringatan terakhir ini tidak kau dengar, maka kau akan menyesali kebodohanmu.”

Tetapi Nyi Rimuk berteriak nyaring, “Tidak! Kau sangat meremehkan kemampuanku. Kau-lah yang akan menyesal. Kau yang akan terhisap oleh kekuatan ilmuku yang tidak ada bandingnya.”

Rara Wulan melangkah maju selangkah demi selangkah.

Dalam pada itu, Nyi Rimuk pun telah memusatkan nalar budinya. Ia menjadi sangat marah karena perempuan yang masih terhitung muda itu tidak segera dapat dikalahkannya. Bahkan perempuan muda itu selalu mendesaknya, sehingga tidak memberinya kesempatan untuk menyerang.

Rara Wulan tiba-tiba saja tertegun melihat sikap Nyi Rimuk yang berdiri tegak. Kedua telapak tangannya terkatup rapat rapat. Ketika Nyi Rimuk menggerakkan telapak tangan yang terkatup rapat itu, nampak asap putih yang mengepul. Namun asap itu pun kemudian bagaikan berputar seperti angin lesus.

Tetapi asap itu seakan-akan telah terhisap kembali oleh kedua telapak tangannya yang menakup. Bukan hanya asap putih itu saja. Namun udara di sekitarnya pun bagaikan berputar menggulung Rara Wulan di dalamnya. Terasa udara yang berputar itu bagaikan menghisapnya.

Rara Wulan mencoba untuk bertahan. Tetapi hisapan udara yang berputar itu terlalu kuat. Meskipun Rara Wulan tetap berusaha untuk bertahan dengan menekankan kakinya ke tanah, namun tubuhnya masih juga terhisap. Semakin lama semakin mendekati lawannya.

Rara Wulan tidak tahu, apa yang akan terjadi jika ia sudah berada di depan hidung Nyi Rimuk. Mungkin ada kelengkapan ilmu yang jarang ditemuinya itu, yang akan dapat membinasakannya.

Karena itu, maka Rara Wulan tidak ingin tubuhnya terhisap sampai ke depan hidung Nyi Rimuk. Ketika tubuhnya menjadi semakin dekat dengan lawannya, maka Rara Wulan pun segera menghentakkan tenaga dalamnya, meloncat melepaskan diri dari hisapan ilmu lawannya itu.

Ternyata Rara Wulan berhasil. Rara Wulan yang menghentakkan tubuhnya itu berhasil melenting tinggi-tinggi, berputar di udara, kemudian berdiri tegak di atas kedua kakinya.

Namun ia sudah melihat Nyi Rimuk telah siap untuk menghisapnya kembali. Bahkan Nyi Rimuk tentu akan menjadi lebih berhati-hati, sehingga sulit baginya untuk melenting keluar dari pusaran udara yang menghisapnya itu.

Karena itu, maka Rara Wulan tidak mempunyai cara lain untuk menghentikan lawannya yang ternyata juga memiliki ilmu pamungkas yang sangat berbahaya itu. Pada saat udara yang berputar itu mulai menjamah tubuh Rara Wulan, maka Rara Wulan pun telah melontarkan ilmu pamungkasnya pula. Aji Namaskara.

Kekuatan Aji Namaskara itu pun meluncur dengan dahsyatnya. Menghentak dan memecah kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Nyi Rimuk, sehingga udara yang berputar itu pun terkoyak berhamburan.

Nyi Rimuk terkejut sekali mengalami perlawanan yang demikian kerasnya. Benturan yang tidak diduganya itu telah mengurai kekuatan angin pusaran yang akan dapat menghisap lawannya tanpa dapat memberikan perlawanan. Tetapi perempuan itu bukan saja memberikan perlawanan atas angin pusarannya. Tetapi membenturnya dan memecahkannya.

Nyi Rimuk itu pun menggeram. Ia pun dengan cepat membangunkan kekuatan ilmunya kembali untuk menghisap Rara Wulan. Pada saat Rara Wulan terhisap, ia tidak akan dapat mengetrapkan ilmu pamungkasnya yang dahsyat itu.

Tetapi Rara Wulan justru telah mendahuluinya. Rara Wulan tidak saja meluncurkan kekuatan ilmunya untuk memecahkan kekuatan ilmu lawannya, tetapi Rara Wulan justru telah mengarahkan serangannya kepada orang yang meluncurkan ilmunya yang jarang ada duanya itu.

Karena itu, pada saat Nyi Rimuk siap melepas ilmunya, maka Rara Wulan pun telah mendahuluinya, meluncurkan Aji Namaskara. Akibatnya di luar dugaan. Serangan Rara Wulan itu telah menghantam tubuh Nyi Rimuk yang sudah siap melontarkan ilmunya.

Dua kekuatan ilmu yang tinggi telah berbenturan. Namun ternyata bahwa Aji Namaskara yang telah dijalani dengan berbagai laku itu sulit diimbangi.

Benturan itu telah melemparkan tubuh Nyi Rimuk beberapa langkah. Tubuh itu pun kemudian terbanting di tanah seperti sebatang dahan kayu yang patah dan runtuh di bumi.

Nyi Rimuk tidak sempat mengaduh. Hanya oleh daya tahannya yang tinggi sajalah, maka tubuhnya masih tetap utuh, tergolek tanpa bergerak-gerak sama sekali.

Ki Rimuk yang melihat istrinya terpelanting jatuh itu, berloncatan surut untuk mengambil jarak. Bahkan untuk sesaat ia tidak menghiraukan lawannya. Ki Rimuk itu pun meloncat lari ke tubuh isterinya yang tergolek diam. Beberapa orang pengikut Raden Mahambara pun telah berlari mendekatinya pula.

Glagah Putih tidak mengejarnya. Ia berdiri saja termangu-mangu di tempatnya. Sedangkan Rara Wulan pun masih juga berdiri tegak menghadap ke arah lawannya terbanting jatuh.

“Perempuan iblis,” geram Ki Rimuk, “kau bunuh istriku.”

Rara Wulan tidak segera menyahut. Nafasnya menjadi terengah-engah setelah berturut-turut ia melepaskan ilmunya yang dahsyat itu.

“Aku akan membunuhmu!” teriak Ki Rimuk sambil mempersiapkan diri.

Tetapi terdengar Glagah Putih menyahut, “Kita belum selesai, Ki Sanak. Kecuali jika kau menyerah. Kau tidak akan mengalami nasib seperti istrimu.”

“Bocah edan. Jadi aku harus membunuhmu dahulu, baru kemudian aku membunuh iblis betina itu?”

“Kenapa kau tidak mengambil kebijaksanaan yang terbaik, Ki Sanak? Kenapa kau tidak menyerah saja?”

Ki Rimuk tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia telah bersiap untuk meluncurkan ilmunya. Agaknya ia memiliki kesigapan yang lebih besar dari istrinya, sehingga dengan cepat Ki Rimuk telah siap melepaskan ilmunya. Udara pun segera berputar membelit Glagah Putih dan sekaligus menghisapnya.

Tetapi Glagah Putih yang memiliki pengalaman yang luas itu tidak lengah. Demikian ia merasakan sentuhan ilmu lawannya yang akan dapat menghisapnya, maka Glagah Putih pun telah melepaskan Aji Namaskara, langsung mengarah ke tubuh Ki Rimuk.

Namun kekuatan Aji Namaskara yang dilontarkan oleh Glagah Putih terhalang oleh kekuatan ilmu puncak Ki Rimuk, sehingga Aji Namaskara itu sedikit mengalami hambatan.

Meskipun demikian, Aji Namaskara itu telah membentur tubuh Ki Rimuk, sehingga tubuh itu pun terlempar pula sebagaimana tubuh Nyi Rimuk. Ki Rimuk pun tidak sempat berteriak. Demikian tubuhnya terbanting jatuh, maka ia pun telah kehilangan nyawanya.

Rara Wulan menyaksikan akhir dari pertempuran antara suaminya melawan Ki Rimuk itu dengan jantung yang berdebaran. Hampir saja Rara Wulan juga melepaskan kekuatan Aji Namaskara, jika Glagah Putih terlambat menanggapi serangan lawannya.

Kematian Ki Rimuk dan Nyi Rimuk telah mengguncang perasaan seluruh pengikut Raden Mahambara yang segera mendengar kabar kematian itu. Bahkan prajurit Mataram yang telah melihat Rara Wulan dan kemudian Glagah Putih itu membunuh lawannya, telah bersorak meneriakkan kabar kemenangan itu ke seluruh medan.

Raden Mahambara mulai menjadi gelisah. Orang-orang yang diandalkan telah terbunuh di peperangan. Yang tinggal kemudian hanyalah anaknya, Raden Panengah. Anak laki lakinya yang diharapkan akan dapat melestarikan kebesaran namanya.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sedang bertarung melawan Raden Mahambara itu pun sempat berkata, “Kau akan segera kehilangan segala-galanya, macan tua.”

“Persetan kau, Jayaraga. Aku akan segera membunuhmu. Kemudian membunuh orang-orang yang tidak tahu diri itu.”

“Bagaimana mungkin kau dapat membunuh mereka, Mahambara? Suami istri Glagah Putih dan Rara Wulan itu tidak akan dapat dikalahkan. Bahkan seandainya mereka hanya berdua saja.”

Wajah Mahambara menjadi tegang. Sedangkan Ki Jayaraga masih juga berkata, “Selain Glagah Putih dan Rara Wulan yang memiliki bertimbun ilmu di dalam dirinya, Ki Agung Sedayu, lurah prajurit dari Pasukan Khusus yang datang untuk menangkapmu itu juga seorang yang ilmunya tidak akan dapat ditandingi. Jangankan anakmu, sedangkan kau berdua dengan anakmu pun tidak akan dapat mengalahkannya.”

“Omong kosong kau, Jayaraga. Kau kira aku seorang pengecut yang dapat dengan mudah kau takut-takuti?”

“Aku tidak menakut-nakutimu, Raden Mahambara, tetapi kau sudah melihat bukti itu. Ki Rimuk dan Nyi Rimuk tidak berarti apa-apa bagi Glagah Putih dan Rara Wulan.”

“Cukup, Jayaraga. Bersiaplah. Aku akan membantaimu di sini. Kemudian orang-orang yang telah berani membunuh orang-orangku.”

“Apakah kau akan melawan suami istri yang telah membunuh kedua orang kepercayaanmu yang disebut bernama Ki Rimuk dan Nyi Rimuk? Apakah kau sudah siap melawan seorang perempuan yang menjadi salah seorang pemimpin dari Perguruan Kedung Jati, yang telah membunuh orang yang disebut bernama Kebo Angkat? Atau kau ingin melawan Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin dari Pasukan Khusus itu?”

“Persetan dengan mereka. Mereka tidak berarti apa-apa bagiku.”

“Baiklah. Tetapi sebelum kau menemui mereka seorang demi seorang, maka kita akan menyelesaikan persoalan kita lebih dahulu.”

Raden Mahambara pun menggeram. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat bagaikan hendak menerkam Ki Jayaraga dengan kukunya.

“Kau masih saja berpijak pada ilmu Siluman Macan Ireng-mu, yang sebenarnya sudah ketinggalan jaman itu,” berkata Ki Jayaraga sambil bergeser menghindar.

Kuku-kuku Raden Mahambara memang tidak menyentuh kulit Ki Jayaraga. Namun yang membuat Ki Jayaraga berdebaran adalah arus angin yang deras menyertai ayunan tangan Raden Mahambara.

Arus angin itu telah menampar tubuh Ki Jayaraga, sehingga terasa kulitnya yang tersentuh arus angin itu menjadi pedih.

“Salah satu bentuk ilmu Raden Mahambara,” berkata Ki Jayaraga di dalam hatinya.

Namun daya tahan tubuh Ki Jayaraga yang tinggi, ternyata mampu mengatasinya. Sehingga beberapa kali angin yang terayun bersama tangan Raden Mahambara itu masih belum dapat menghentikannya.

Sementara itu, Agung Sedayu masih bertempur melawan Raden Panengah, yang memiliki tataran ilmu yang hampir sama dengan ayahnya. Semua ilmu yang dimiliki oleh Raden Mahambara telah dituangkan sepenuhnya kepada anaknya, yang diharapkannya akan dapat menjadi penggantinya.

Bahkan Raden Panengah yang lebih muda dari Raden Mahambara itu memiliki gelora yang lebih dahsyat di dadanya. Namun pengalaman Raden Panengah masih belum seluas pengalaman ayahnya, Raden Mahambara.

Meskipun demikian, dengan penuh keyakinan Raden Panengah itu berniat menghabisi lawannya, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang datang ke sarangnya itu.

Tetapi ternyata pemimpin Pasukan Khusus yang bernama Ki Lurah Agung Sedayu itu adalah seorang yang ilmunya bagaikan menyentuh mega-mega di langit. Setelah bertempur beberapa lama, maka Raden Panengah tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan, bahwa ia berhadapan dengan seorang lurah prajurit yang memiliki ilmu yang jarang ada tandingnya.

Meskipun demikian, Raden Panengah masih tetap berpengharapan. Ia berharap ayahnya segera dapat membunuh lawannya. Kemudian datang membantunya membunuh lurah prajurit yang berilmu sangat tinggi itu.

Menurut anggapan Raden Panengah, maka tidak ada manusia yang dapat mengimbangi kemampuan ayahnya. Siapapun yang berdiri menjadi lawan ayahnya, tentu akan dibinasakannya dalam waktu yang pendek. Bahkan biasanya, Raden Panengah sendiri mampu juga melakukannya.

Tetapi lawannya yang seorang ini adalah lawan yang lain. Ternyata lurah prajurit itu justru mulai mendesaknya.

Ketika Agung Sedayu mengetahui beberapa orang pemimpin dari gerombolan perampok itu sudah terbunuh, maka ia pun berkata, “Ki Sanak. Kenapa kau tidak menyerah saja?”

“Iblis kau, Ki Lurah. Raden Panengah tidak akan pernah menyerah. Tidak seorangpun yang akan mampu mengalahkan aku.”

“Jangan takabur, Raden. Apakah Raden merasa bahwa Raden akan dapat mengalahkan aku?”

“Ya. Sebentar lagi aku akan berhasil membunuhmu.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sementara itu Raden Panengah telah menyerangnya pula dengan mengerahkan ilmu serta kemampuannya.

Namun sulit bagi Raden Panengah untuk menembus pertahanan Ki Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka Raden Panengah pun harus mulai merambah ke ilmu pamungkasnya. Ilmu simpanan yang jarang sekali dipergunakannya.

Namun lawannya adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi di dalam dirinya, sehingga ketika Raden Panengah mulai melepaskan ilmu pamungkasnya, maka Agung Sedayu pun telah bersiap pula.

Demikianlah, serangan-serangan Raden Panengah menjadi semakin cepat. Telapak tangan Raden Panengah yang terbuka, telah menjadi merah membara. Ketika serangan-serangan Raden Panengah yang luput dari sasarannya menyentuh dahan pepohonan, maka asap pun telah mengepul. Dedaunan yang kering bagaikan telah disentuh dengan obor minyak yang sedang menyala.

Tetapi sulit bagi Raden Panengah untuk menyentuh tubuh Agung Sedayu. Tangannya yang membara itu sangat sulit untuk dapat mengenai sasarannya. Untuk menghindari serangan-serangan Raden Panengah, Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmunya untuk meringankan tubuhnya, sehingga setiap kali Agung Sedayu seakan-akan telah hilang dari pandangan mata Raden Panengah. Namun tiba-tiba saja serangan Agung Sedayu itu telah mengenai tubuhnya, sehingga tubuhnya itu tergetar dan terdorong beberapa langkah.

Ternyata bahwa bukan saja tangan Raden Panengah itu membara, tetapi sentuhan angin yang bergerak karena ayunan tangan Raden Panengah pun menjadi panas, dan sentuhannya yang panas itu bagaikan goresan tajamnya welat wulung.

Namun ilmu Raden Panengah itu tidak mampu melukai dan menyakiti Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu terlambat menghindar, Raden Panengah yakin bahwa tangannya telah menyentuh sasarannya. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu itu seakan-akan tidak merasakan panas, pedih, atau bahkan sentuhan-sentuhan itu sama sekali tidak membekas di kulit Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ilmu iblis manakah yang telah kau sadap itu?” geram Raden Panengah.

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Raden Panengah pun akhirnya mengerti, bahwa ia berhadapan dengan seorang yang memiliki ilmu meringankan tubuhnya, serta ilmu kebal.

Namun Raden Panengah tidak segera berputus-asa. Dihentakkannya ilmu dan kemampuannya. Ia berharap meskipun Ki Lurah Agung Sedayu mengenakan ilmu kebal, namun kemampuan ilmunya akan dapat memecahkan ilmu kebal itu.

Tetapi ternyata Raden Panengah tidak mampu melakukannya. Justru serangan-serangan Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang lebih banyak mengenai tubuh Raden Panengah.

Sebenarnyalah Raden Panengah tidak dapat mengingkari kenyataan tentang orang yang disebut Ki Lurah Agung Sedayu itu. Bahkan Raden Panengah pun mendapat kesan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu belum berada dalam tataran ilmu puncaknya.

“Sulit untuk membunuhnya,” geram Raden Panengah, yang hanya dapat didengarnya sendiri.

Raden Panengah memang merasa sangat sulit untuk mendapat kesempatan menyarangkan serangannya ke tubuh Ki Lurah Agung Sedayu. Seandainya hal itu dapat dilakukannya, maka Agung Sedayu seakan-akan tidak merasakan kesakitan sama sekali. Serangan-serangan Raden Panengah yang dilambari dengan kekuatan ilmu yang tinggi itu, bagi Ki Agung Sedayu bagaikan sentuhan-sentuhan lunak yang tidak berbekas apa-apa.

Raden Panengah pun mulai menjadi gelisah. Ki Lurah Agung Sedayu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan berbagai macam ilmu telah dikuasainya.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu yang melihat kegelisahan di wajah Raden Panengah itu pun berkata, “Sudahlah, Raden. Kenapa Raden tidak menghentikan perlawanan? Kenapa Raden tidak saja membujuk ayahmu, agar ayahmu juga menghentikan perlawanannya? Beberapa orang pemimpin gerombolan telah mati. Para pengikutmu pun telah mengalami tekanan yang sangat berat. Korban telah berjatuhan. Sedangkan kalian sudah tidak berpengharapan lagi.”

“Kau terlalu sombong, Ki Lurah,” geram Raden Panengah, “kau akan segera menyesali kesombonganmu itu.”

“Bukan aku yang bakal menyesal. Tetapi kau, dan tentu juga ayahmu.”

“Persetan,” geram Raden Panengah.

Raden Panengah seakan-akan memang sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengatasi lawannya. Karena itu, maka ia pun ingin mempertaruhkan segala-galanya. Jika ia akan mati, biarlah ia mati. Tetapi jika ia berhasil, maka ia akan dapat menyelamatkan gerombolannya dari tangan para prajurit Mataram.

Karena itu, Raden Panengah pun segera meloncat surut. Dibentangkannya kedua tangannya. Kemudian dengan gerak yang cepat di depan dadanya, Raden Panengah membuat ancang-ancang. Namun kemudian Raden Panengah itu pun menghentakkan ilmu tertingginya ke arah Ki Lurah Agung Sedayu. Sinar yang kemerah-merahan meluncur dari telapak tangan Raden Panengah, ke arah jantung Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu yang memiliki banyak kelebihan itu pun lelah bersiap pula. Karena itu, ketika sinar yang kemerahan itu meluncur, maka Agung Sedayu yang berdiri tegak itu pun telah membentur serangan itu dengan ilmu puncaknya pula.

Sorot mata Agung Sedayu yang memancarkan ilmunya itu pun telah membentur serangan ilmu Raden Panengah. Benturan antara kedua ilmu yang jarang ada duanya itu telah mengguncang udara di medan pertempuran itu. Getarannya seakan-akan telah merambat ke segala arah. Pepohonan pun telah bergoyang. Dedaunan yang menguning pun jatuh berguguran. Dahan-dahan yang kering pun berpatahan dan runtuh jatuh di tanah.

Ternyata bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang jarang ada duanya. Ilmunya yang sangat tinggi itu telah membentur dan bahkan memantulkan serangan Raden Panengah. Sehingga dengan demikian, maka serangan Raden Panengah itu justru telah berbalik mengenai dirinya sendiri, didorong pula oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu.

Raden Panengah berteriak nyaring. Namun pantulan dari benturan ilmu itu bagaikan telah merontokkan isi dadanya. Raden Panengah terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian tubuhnya terpelanting dan jatuh menimpa sebatang pohon.

Hanya karena daya tahan tubuh serta kemampuan Raden Panengah yang sangat tinggi sajalah maka tubuhnya masih tetap utuh, meskipun tulangnya ada yang retak.

Namun Raden Panengah itu tidak sempat mengaduh. Demikian ia terbaring diam di tanah, maka nafasnya telah terputus pula. Raden Panengah itu pun telah terbunuh di medan pertempuran oleh pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Berita kematian Raden Panengah telah menggemparkan medan pertempuran. Beberapa orang berlari-larian ke arah tubuh Raden Panengah yang terbaring diam itu. Sebagian dari mereka segera mengangkat tubuh itu, sedangkan yang lain mencoba melindunginya.

Ternyata seperti Sekar Mirah, Agung Sedayu pun melarang agar para prajuritnya tidak memburu mereka yang sedang mengangkat tubuh Raden Panengah itu.

Dengan demikian, maka gerombolan perampok itu benar-benar telah kehilangan kekuatannya. Seperti wayang kulit yang kehilangan gapitnya. Tidak berdaya lagi.

Satu-satunya pemimpin dari gerombolan perampok itu kemudian tinggallah Raden Mahambara. Pemimpin tertinggi dari gerombolan perampok yang bersarang di ujung hutan itu. Yang sedang mempersiapkan sebuah kerajaan, dan akan mengarahkan kekuasaannya ke Selatan. 

Dalam pada itu, ketika Ki Jayaraga mendengar kematian Raden Panengah, anak laki-laki Raden Mahambara yang diharapkan akan dapat meneruskan kebesaran nama ayahnya di lingkungan dunia hitam itu, berkata lantang, “Raden Mahambara. Apa lagi yang kau harapkan dari perlawananmu ini? Orang-orang yang kau percaya memimpin gerombolanmu ini telah di tumpas oleh para prajurit serta musuh-musuhmu yang datang bersamaku. Karena itu, menyerahlah.”

“Persetan kau, Jayaraga. Kau kira aku siapa, sehingga aku mau merendahkan diriku menyerah kepadamu dan kepada prajurit Mataram?”

“Siapapun kau, Raden. Tetapi kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Kau telah kalah. Para pemimpin gerombolanmu telah mati. Orang-orangmu telah dihancurkan di segala arah medan ini. Sarangmu telah terkepung. Apakah kau ingin mati bersama semua pengikutmu sampai orang yang terakhir? Jika benar begitu, maka kau adalah seorang pembunuh yang paling kejam di muka bumi ini. Orang-orangmu dan para prajurit yang datang ke sarangmu yang menjadi korban akan mengutukmu, dan membuat api neraka menjadi semakin panas bagimu.”

“Persetan kau, Jayaraga. Aku akan membunuhmu, dan kemudian membunuh semua orang yang berani menjamah sarangku ini.”

“Raden Mahambara. Aku datang bersama para prajurit yang menjunjung kewajibannya. Sudah sepantasnya jika kau menyerah kepada mereka. Jika kau menentangnya, maka kesalahanmu akan menjadi berlipat. Kau bukan saja telah merampok, merampas dan menyamun. Tetapi kau telah memberontak pula.”

“Kau tidak perlu sesorah, Jayaraga. Lebih baik kau berdoa, karena sebentar lagi kau akan mati.”

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Namun ia sadar, bahwa orang seperti Raden Mahambara itu tentu tidak akan mau menyerah.

Karena itu, maka tentu tidak akan ada gunanya seandainya ia mencoba membujuknya. Yang dapat dilakukannya kemudian adalah bertempur sampai salah seorang di antara mereka itu mati.

Dalam pada itu, pertempuran di mana-mana telah memberikan pertanda bahwa para prajurit Mataram itu akan segera menguasai sarang perampok itu. Setapak demi setapak mereka pun bergerak maju, mendekati gubug-gubug barak bagi para perampok itu.

Para perampok juga sudah merasa bahwa mereka tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Tubuh para pemimpin mereka yang terbunuh telah mereka letakkan di bangunan utama sarang mereka di ujung hutan itu. Dengan mengenali tubuh para korban itu, maka para perampok itu mengetahui bahwa pemimpin mereka yang masih bertahan tinggallah Raden Mahambara.

Meskipun para pengikutnya menganggapnya orang yang berilmu sangat tinggi dan tidak terkalahkan, namun para pengikutnya itu pun memperhitungkan bahwa Raden Mahambara tidak akan mampu melawan orang-orang yang berdatangan ke sarang mereka bersama para prajurit Mataram.

Raden Mahambara itu tidak akan dapat menghadapi salah seorang pemimpin tertinggi Perguruan Kedung Jati yang membawa senjata ciri kepemimpinan Perguruan Kedung Jati itu. Lurah prajurit dari Pasukan Khusus Mataram. Suami istri yang telah membunuh Ki Rimuk dan Nyi Rimuk, dan seorang lagi yang sedang bertempur melawan Raden Mahambara itu sendiri. Apalagi jika mereka bersama-sama bergabung. Maka Raden Mahambara yang sakti mandraguna itu tidak akan banyak berarti.

Dalam pada itu, Raden Mahambara masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Jayaraga. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing, sehingga bergantian keduanya saling terdesak. Namun kemudian mereka pun berloncatan saling menyerang.

Berganti-ganti serangan mereka masing-masing berhasil menembus pertahanan lawan. Ki Jayaraga terlempar beberapa langkah ketika kaki Raden Mahambara tepat mengenai lambungnya. Namun Ki Jayaraga yang sudah ubanan itu dengan tangkasnya meloncat bangkit. Tetapi begitu ia tegak berdiri, Raden Mahambara telah meluncur dengan cepatnya. Kakinya terjulur menyamping.

Ki Jayaraga terkejut. Tetapi serangan itu datang demikian cepatnya, sehingga Ki Jayaraga tidak berhasil menghindar sepenuhnya. Kaki Raden Mahambara itu masih juga menyambar bahunya.

Tubuh Ki Jayaraga bagaikan diputar. Namun ketika Raden Mahambara melenting sambil memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya mendatar menyambar ke arah kening, Ki Jayaraga sempat merendah, sehingga kaki Raden Mahambara tidak menyentuh sasaran. Bahkan Ki Jayaraga dengan cepatnya meloncat sambil menebas dengan telapak tangannya yang terbuka, mengenai leher Raden Mahambara.

Raden Mahambara terdorong ke samping beberapa langkah. Ki Jayaraga-lah yang kemudian meloncat sambil mengayunkan kakinya bersama putaran tubuhnya. Dengan kerasnya kaki Ki Jayaraga itu menyambar wajah Raden Mahambara, sehingga Raden Mahambara itu terpelanting jatuh.

Demikianlah, pertempuran di antara kedua orang itu menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, maka tugas para prajurit Mataram pun hampir sampai pada akhirnya. Para perampok yang tersisa, berangsur-angsur mulai melihat kenyataan, sehingga mereka pun menyerah. Kepungan prajurit Mataram memang demikian rapatnya, sehingga tidak ada celah sama sekali untuk melarikan diri.

Akhirnya, yang tersisa dari pertempuran itu kemudian adalah pertempuran antara Ki Jayaraga melawan Raden Mahambara. Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan dengan jantung yang berdebaran menyaksikan pertempuran antara keduanya. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka segera melibatkan dirinya.

Ternyata Raden Mahambara benar-benar tidak mau menyerah. Meskipun ia mengetahui bahwa para pengikutnya sudah seluruhnya dikuasai oleh para prajurit Mataram, sedangkan orang-orang yang diandalkannya telah terbunuh di pertempuran itu, namun Raden Mahambara sama sekali tidak berniat menyerah.

“Marilah. Jika kalian ingin bertempur bersama-sama, lakukan. Aku tidak akan merasa gentar. Bagiku, jika kalian maju bersama, justru akan mempercepat pekerjaanku. Aku tidak harus membunuh kalian seorang demi seorang. Tetapi jika kalian maju bersama-sama, maka aku akan membunuh kalian sekaligus.”

“Kau masih saja bermimpi, Raden Mahambara. Bangunlah, dan lihat kenyataan yang kau hadapi,” sahut Ki Jayaraga.

“Persetan kau, Jayaraga. Kau-lah yang akan mati mendahului kawan-kawanmu.”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi ia pun sudah bersiap sepenuhnya untuk bertempur kembali.

Sejenak kemudian, pertempuran di antara keduanya pun sudah menyala kembali. Keduanya berloncatan dengan garangnya, saling menyerang. Benturan-benturan pun telah terjadi, sehingga sekali-sekali keduanya terlempar beberapa langkah surut.

Bagian-bagian tubuh mereka pun telah menjadi pedih dan nyeri. Tulang-tulang mereka rasa-rasanya sudah menjadi retak. Dengan demikian, maka tenaga dan kemampuan mereka berdua pun telah menyusut karenanya.

Agaknya Raden Mahambara yang tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia tinggal seorang diri, tidak mau memperpanjang waktu lagi. Apapun yang akan terjadi, biarlah segera terjadi.

Karena itu, maka Raden Mahambara pun segera meningkatkan ilmunya sampai ke puncak. Ia tidak lagi membuat berbagai macam pertimbangan. Ia harus melepaskan ilmu pamungkasnya untuk menghentikan perlawanan Ki Jayaraga. Karena itu, maka Raden Mahambara itu pun meloncat surut untuk mengambil jarak.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang telah mengalahkan Raden Panengah melihat Raden Mahambara itu telah membuat ancang-ancang sebagaimana dilakukan oleh Raden Panengah. Namun karena Raden Mahambara memiliki pengalaman yang lebih luas, maka agaknya ilmunya pun lebih matang dari anaknya, Raden Panengah.

Sebenarnyalah Agung Sedayu menjadi cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia melibatkan diri, mungkin Ki Jayaraga akan merasa tersinggung. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu hanyalah menahan nafasnya, sambil berdoa di dalam hatinya semoga Ki Jayaraga masih berada dalam perlindungan Yang Maha Agung.

Selain Agung Sedayu, maka Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi sangat tegang pula. Tetapi seperti Ki Lurah Agung Sedayu, mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak dapat melibatkan dirinya dalam pertempuran itu.

Para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di sekitar arena pertempuran itu pun menyadari, bahwa kedua orang tua itu sudah akan sampai ke puncak ilmu mereka. Karena itu, maka mereka pun segera bergeser menyibak. Mereka tidak boleh berada di garis serangan ilmu kedua orang tua itu.

Demikianlah, seperti yang dilihat oleh Ki Lurah Agung Sedayu, Raden Mahambara memang sudah membuat ancang-ancang. Karena ilmunya yang sudah matang, maka Raden Mahambara tidak memerlukan waktu lebih dari sekejap. Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Mahambara telah menghentakkan ilmu puncaknya.

Sinar yang berwarna kemerah-merahan pun telah meluncur dari telapak tangan Raden Mahambara. Demikian cepatnya, seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Namun Ki Jayaraga telah bersiap pula. Ketika sinar yang kemerah-merahan itu hampir mencapai tubuhnya, Ki Jayaraga nampaknya sengaja tidak menghindar. Tetapi dengan kemampuan puncak dari Aji Sigar Bumi, maka Ki Jayaraga sengaja membentur serangan Raden Mahambara.

Benturan yang terjadi itu telah menggetarkan udara di ujung hutan itu. Meskipun tidak kasat mata, tetapi seakan-akan telah terjadi ledakan yang dahsyat, sehingga seakan-akan padang perdu serta ujung hutan itu pun telah berguncang.

Ki Jayaraga tergetar surut selangkah. Tetapi kakinya bagaikan menghujam jauh ke dalam bumi, sehingga Ki Jayaraga itu masih tetap tegak.

Agaknya ilmu pamungkas Raden Mahambara yang dilepaskannya itu bagaikan membentur dinding baja yang tebalnya sedepa. Getar kekuatan ilmunya itu telah memantul, sehingga Raden Mahambara pun telah tergetar pula.

Tetapi Ki Jayaraga tidak berheti sampai sekian. Tiba-tiba saja Ki Jayaraga itu pun melenting tinggi. Tubuhnya sekali berputar di udara, kemudian demikian kakinya menyentuh tanah di hadapan Raden Mahambara, maka Ki Jayaraga itu pun telah mengayunkan tangannya, dilambari oleh puncak kemampuan Aji Sigar Bumi.

Ki Jayaraga telah mengetrapkan ilmu puncaknya langsung dengan sentuhan kewadagan, menghantam Raden Mahambara. Raden Mahambara terkejut, la tidak membayangkan Ki Jayaraga bergerak demikian cepatnya, apalagi setelah ia tergetar selangkah karena membentur aji pamungkasnya. Karena itu, maka Raden Mahambara tidak sempat mengelak. Yang dapat dilakukannya adalah menangkis serangan Ki Jayaraga itu dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya.

Tetapi yang terjadi ternyata tidak seperti yang dikehendaki Raden Mahambara. Daya tahan tubuhnya yang betapapun tingginya, ternyata tidak dapat melindungi dirinya dari kekuatan Aji Sigar Bumi.

Karena itu, maka pertahanan Raden Mahambara pun telah terguncang. Beberapa langkah ia terdorong surut. Namun kemudian, tubuhnya itu pun tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Raden Mahambara pun telah jatuh terguling di tanah.

Raden Mahambara masih berusaha untuk bangkit. Tetapi demikian ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, maka kepalanya itu pun telah terkulai kembali.

Beberapa orang pengikutnya yang sudah menyerah menyaksikan peristiwa itu dengan jantung yang bagaikan berhenti berdetak. Namun mereka pun menyaksikan lawan Raden Mahambara itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Bahkan Ki Jayaraga bagaikan telah kehilangan seluruh tenaganya. Hampir saja ia terjatuh. Namun Ki Lurah Agung Sedayu dengan cepat menangkapnya.

Ki Jayaraga menjadi sangat lemah. Ia sudah mengerahkan segala kemampuan yang ada padanya. Semua tenaga dalamnya telah ditumpahkannya, sehingga seakan-akan tidak ada yang tersisa lagi.

“Ki Jayaraga,” Ki Lurah Agung Sedayu pun berdesis.

Nafas Ki Jayaraga menjadi terengah-engah. Darah yang segar telah meleleh dari sela-sela bibirnya. Namun Ki Jayaraga itu pun berkata, “Yang Maha Agung masih melindungiku.”

Glagah Putih-lah yang kemudian memapah Ki Jayaraga untuk dibawa ke tempat yang terlindung oleh bayangan pohon yang rindang. Dengan hati-hati Ki Jayaraga pun dipersilahkannya duduk di bawah pohon itu, ditunggui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu dan Sekar Mirah dengan hati-hati mendekati tubuh Raden Mahambara yang terbaring diam. Namun nafasnya masih terdengar terengah-engah.

Ketika Ki Lurah dan Sekar Mirah berjongkok di sisinya, Raden Mahambara itu pun berdesis perlahan, “Kau siapa?”

Pandangan mata Raden Mahambara telah menjadi samar-samar.

“Aku Lurah Agung Sedayu. Aku-lah yang memimpin prajurit Mataram untuk datang kemari dan memasuki sarangmu.”

“Kau berhasil, Ki Lurah. Dari mana kau ketemukan Macan Kumbang dari hutan bakau itu?”

“Siapa?”

“Orang yang bernama Jayaraga itu digelari Macan Kumbang di pesisir utara. Seperti Macan Kumbang, maka tiba-tiba saja ia sudah hadir di satu tempat. Ia lebih senang mengenakan pakaian yang berwarna gelap atau hitam, seperti seekor macan kumbang. Langkahnya tidak terdengar. Warna bulunya yang hitam pekat itu membuat macan kumbang itu tidak nampak dalam kegelapan. Hanya dalam keadaan yang sangat khusus, seseorang dapat melihat cahaya matanya yang hijau.”

Namun dengan kata-kata yang hampir tidak terdengar Raden Mahambara itu pun berdesis, “Siapa yang telah mengalahkan aku?”

“Ki Jayaraga, Ki Sanak. Bukankah kau mengenalnya?”

“Dimana sekarang Ki Jayaraga itu?”

Ki Lurah Agung Sedayu berpaling, la masih melihat keadaan Ki Jayaraga yang lemah. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Ki Jayaraga sedang membenahi diri, Raden.”

“Bawa orang itu kemari. Aku tidak yakin bahwa orang itu berhasil mengalahkan aku. Tentu ada orang yang dengan curang membantunya, menyerang aku dengan diam-diam.”

“Tidak ada yang membantunya. Ki Jayaraga berjuang sendiri. Ia memang seorang yang berilmu sangat tinggi.”

“Aku telah menempa diri bertahun-tahun setelah Macan Ireng itu mengalahkan aku beberapa tahun yang lalu. Aku-lah yang seharusnya membunuhnya.”

“Sudahlah, jangan banyak bergerak. Aku akan berusaha membantu Raden Mahambara dengan sejenis obat yang mungkin dapat memperingan keadaan Raden, sebelum Raden mendapatkan obat yang sebenarnya.”

“Apa? Kau akan memberikan obat kepadaku? Kalian semuanya curang, licik dan tidak tahu malu. Kau tentu akan meracuni aku.”

“Kau harus melihat kepada dirimu sendiri, Raden. Jika aku ingin membunuhmu, kenapa aku harus berbuat curang dengan memberikan racun kepadamu? Jika kami ingin membunuh sekarang, maka aku tinggal memijit hidungmu dan menyumbat mulutmu. Maka kau akan mati dengan sendirinya. Jika aku akan memberikan obat yang dapat membantumu untuk sementara itu, karena kami ingin kau tetap hidup.”

“Persetan kau, lurah prajurit!” Raden Mahambara itu berteriak keras sekali. Tiba-tiba saja ia berusaha untuk bangkit. Namun demikian Raden Mahambara itu duduk dan mencoba berdiri, ia pun telah terjatuh lagi.

Dengan cepat Agung Sedayu menyambar tubuh yang roboh itu. Perlahan-lahan Ki Lurah Agung Sedayu membaringkan tubuh itu di tanah. Namun demikian tubuh itu menjelujur di bawah sebatang pohon, maka tarikan nafasnya pun telah berhenti.

Raden Mahambara pun telah meninggal pula.

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bangkit berdiri dan memberitahukan kepada para prajuritnya untuk merawat Raden Mahambara.

“Kumpulkan di antara mereka yang telah terbunuh di pertempuran ini.”

Pertempuran pun telah benar-benar berhenti. Para perampok itu pun telah menyerahkan diri. Mereka harus memberikan korban cukup banyak. Yang terluka banyak di antaranya parah, dan yang terbunuh di pertempuran yang sengit itu. Tidak ada kesempatan sama sekali bagi mereka untuk melarikan diri dari kepungan yang sangat rapat oleh para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Para prajurit dan orang-orang yang tertawan itu masih saja sibuk mengumpulkan para prajurit yang terluka dan yang gugur di pertempuran. Sementara itu para pengikut Raden Mahambara itu, dibawah pengawasan para prajurit, harus mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang terluka parah, serta yang terbunuh di medan pertempuran.

Para pengikut Raden Mahambara itu telah menjadi jauh menyusut. Meskipun mereka cukup berpengalaman, ternyata mereka terkejut juga menghadapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu, sehingga banyak di antara mereka yang tidak dapat menghindarkan diri dari ujung senjata para prajurit itu.

Ketika langit menjadi gelap, kesibukan di padang perdu di ujung hutan itu masih belum selesai. Beberapa buah obor pun telah dinyalakan dimana-mana. Baru sedikit lewat tengah malam, maka para prajurit dan para tawanan itu sempat beristirahat.

Di perkemahan para prajurit Mataram, perapian masih menyala terus. Mereka harus menyediakan makan bagi para prajurit dan bagi para tawanan.

Di hari berikutnya, maka para tawanan pun telah menguburkan kawan-kawan mereka yang terbunuh. Sementara itu, beberapa orang prajurit yang gugur telah dibawa ke padukuhan di seberang susukan, dan dimakamkan di kuburan yang berada di ujung padukuhan.

Empat orang prajurit harus ditinggalkan di makam itu. Sementara lebih dari tiga belas prajurit yang terluka. Tiga diantaranya sangat parah.

Hari itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah membawa pasukannya ke padukuhan induk Kademangan Prancak. Mereka membawa para tawanan dan ditempatkan di banjar padukuhan

Dengan demikian Ki Lurah Agung Sedayu telah berhasil menghancurkan sebuah gerombolan perampok yang mampu bertahan bertahun-tahun. Luput dari tangan-tangan kekuasaan di Jipang, Pajang dan Mataram. Mampu pula berada di celah-celah kuasa Perguruan Kedung Jati yang berusaha untuk bangkit kembali, dan bahkan menghimpun kekuatan untuk menandingi kekuatan di Mataram.

“Kami akan membawa mereka ke Mataram,” berkata Agung Sedayu kepada Ki Demang di Prancak.

“Silahkan, Ki Lurah.”

“Namun sebelum kami meninggalkan Prancak, maka kami ingin melihat penyelesaian yang tuntas di kademangan ini.”

“Terima kasih atas perhatian Ki Lurah. Mudah-mudahan Kademangan Prancak akan segera menjadi tenang kembali.”

“Malam nanti aku akan menemui Nyai Demang yang muda, serta anaknya laki-lakinya, yang kedudukan resminya adalah Bekel di Babadan.”

Ki Demang Prancak itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada yang berat Ki Demang itu pun berkata, “Terima kasih atas kepedulian Ki Lurah terhadap Kademangan Prancak. Selama ini kami memang selalu dibayangi oleh kecemasan, apakah kami akan berhasil mengatasi kesulitan yang kami hadapi karena keterlibatan para perampok yang bersarang di ujung hutan. Tetapi sekarang kami yakin, bahwa kami akan dapat menegakkan paugeran di kademangan ini, karena kekuatan perampok yang ada di ujung hutan itu sudah Ki Lurah patahkan.”

“Itu adalah kewajiban kami,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Jika Ki Lurah malam nanti akan pergi ke Babadan, apakah kami harus ikut serta?”

“Untuk sementara biarlah kami saja yang pergi. Kami akan merintis pembicaraan dengan Ki Bekel di Babadan. Baru kemudian, kalian dapat bertemu.”

“Baiklah, Ki Lurah. Kami akan patuh.”

“Kalian kelak akan memecahkan persoalan kalian. Segala sesuatunya tergantung kepada kalian, kepada tatanan yang berlaku di Prancak. Kami hanya sekedar menjadi saksi.”

“Segala sesuatunya akan berjalan dengan baik setelah para perampok itu dimusnahkan. Mereka-lah yang selama ini telah menghembuskan perpecahan di antara kami, orang-orang Prancak. Campur tangan mereka dilambari dengan kekuatan, akan sangat menentukan. Tatanan dan paugeran tidak akan dapat ditrapkan dengan wajar.”

“Mereka akan kami bawa ke Mataram, Ki Demang. Mereka akan diadili sesuai dengan beban dosa yang telah mereka lakukan. Bukan saja karena mereka perampok yang ganas, tetapi mereka telah menimbulkan perpecahan yang gawat di Kademangan Prancak ini.”

“Segala sesuatunya kami serahkan kepada kebijaksanaan Ki Lurah. namun apa yang telah Ki Lurah lakukan, telah menimbulkan harapan bahwa hari depan kademangan ini akan tetap cerah.”

Demikianlah, seperti yang sudah dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka ketika langit menjadi suram, maka Ki Lurah pun sudah bersiap-siap untuk pergi ke Babadan bersama dengan Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Lurah Agung Sedayu telah menitipkan Ki Jayaraga yang lemah karena luka-luka di tubuhnya, kepada Ki Demang.

Sementara itu, sekelompok prajurit Mataram yang ditempatkan di banjar kademangan, sebagian bertugas di rumah Ki Bekel, yang antara lain ikut menjaga Ki Jayaraga, yang harus berbaring di pembaringan karena luka-luka dalamnya.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu minta diri kepada Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu pun berpesan, “Hati-hatilah. Kau berhadapan dengan orang yang sangat licik. Nyai Demang yang muda itu adalah seorang perempuan yang mensahkan segala cara untuk mencapai tujuannya.”

“Baik, Ki Jayaraga. Kami akan berhati-hati.”

Menjelang senja, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah pergi ke Babadan. Sekelompok prajurit ikut bersama mereka. Namun mereka akan berhenti di luar padukuhan Babadan. Tetapi mereka harus tetap bersiaga. Mungkin masih ada beberapa orang perampok yang tetap berada di Babadan ketika terjadi pertempuran di ujung hutan.

“Agaknya Ki Jagabaya Babadan, yang sebenarnya juga salah seorang dari para perampok di ujung hutan itu, masih berada di Babadan,” berkata Glagah Putih.

“Agaknya Babadan masih belum benar-benar bersih,” sahut Ki Lurah Agung Sedayu.

Mendahului Ki Lurah Agung Sedayu, dua orang prajurit dengan pertanda keprajuritan telah mendahului pergi ke Babadan, untuk memberitahukan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang bertugas menghancurkan para perampok di ujung hutan, akan datang menemui Ki Bekel di Babadan.

Ki Bekel di Babadan itu menjadi sangat gelisah. Kedatangan Ki Lurah itu tentu bukannya sekedar kunjungan biasa. Tentu ada hubungannya dengan tugasnya, menghancurkan gerombolan perampok di ujung hutan, serta kemelut yang telah terjadi di Kademangan Prancak.

“Apakah Ki Lurah akan membawa pasukannya kemari?” bertanya ibu Ki Bekel di Babadan itu.

“Tidak, Ibu. Ki Lurah akan datang kemari bersama dengan tiga orang prajurit.”

“Berempat?”

“Ya, Ibu.”

“Siapkan kekuatan yang ada.”

“Untuk apa? Kekuatan di ujung hutan itu sudah dihancurkan. Ibu tahu, bahwa Paman Raden Panengah sudah terbunuh. Demikian pula Eyang Raden Mahambara. Lalu kekuatan yang mana lagi yang harus aku himpun?”

“Kekuatan yang tersisa di padukuhan Babadan. Sepasukan prajurit mempunyai kebiasaan buruk. Jika pemimpinnya sudah terbunuh, maka para prajuritnya tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Mereka akan segera ditarik dan kembali ke Mataram.”

“Apakah kita akan membunuh empat orang yang bakal datang kemari itu?”

“Ya. Bukankah yang akan datang itu Ki Lurah Agung Sedayu sendiri bersama tiga orang prajurit?”

“Ya. Apakah kita akan mengepungnya dan membunuhnya? Mereka tentu orang-orang berilmu tinggi, Ibu. Mungkin kita tidak akan dapat melakukannya.”

“Anak yang dungu,” sahut ibunya. “Para pemimpin prajurit, apalagi dari pasukan khusus, tentu orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Pamanmu Panengah dan Eyangmu Mahambara dapat mereka bunuh.”

“Jadi bagaimana? Aku tidak mengerti maksud Ibu.”

“Kita akan membunuh mereka. Kita harus membalas dendam atas kematian Raden Panengah dan Raden Mahambara. Maka kita pun akan membuat para prajurit menjadi ketakutan setelah pemimpin mereka mati.”

“Tetapi bagaimana caranya membunuh mereka? Menurut Ibu sendiri, mereka adalah orang-orang sakti yang tidak dapat dikalahkan.”

“Kita akan menerima dengan baik. Kita hormati mereka, dan kita pun harus menyatakan tunduk sepenuhnya kepada mereka. Tetapi kita akan meracuni mereka. Kita akan membunuh mereka dengan racun yang kita taburkan di minuman yang kita hidangkan kepada mereka.” 

“Apakah dengan demikian para prajuritnya tidak akan menjadi marah, dan menjadikan padukuhan ini menjadi karang abang?”

“Kita akan melawan mereka dengan kekuatan yang ada. Tanpa pemimpin mereka yang berilmu sangat tinggi, maka mereka tidak ubahnya seperti kita di sini. Di sini masih ada beberapa orang dari ujung hutan, yang akan dapat memimpin orang-orang Babadan menghadapi prajurit yang sudah kehilangan pemimpinnya itu.”

Ki Bekel merasa ragu-ragu. Tetapi Ki Jagabaya Babadan itu berkata, “Apa yang dikatakan oleh ibu Ki Bekel itu benar. Kita racun keempat orang pemimpin mereka yang datang. Kita siapkan kekuatan yang dapat kita himpun. Kita akan melawan mereka jika para prajurit itu marah dan datang menyerang. Tetapi kebiasaan sepasukan prajurit, jika pemimpinnya sudah terbunuh, maka mereka merasa tidak berdaya lagi.”

“Tetapi jika perhitungan kita itu keliru, dan para prajurit itu benar-benar membakar seluruh padukuhan ini?”

“Itu merupakan akibat buruk yang harus kita terima. Satu perjuangan itu mempunyai dua kemungkinan. Mukti atau mati. Kita harus berani menerima salah satu dari keduanya.”

Ki Bekel Babadan itu menarik nafas panjang.

“Nah, kau pun harus berani menerima salah satu kemungkinan itu. Jika kau gagal menguasai Prancak dan harus mati di tangan prajurit Mataram, apa boleh buat Kau tidak boleh lari dari kenyataan itu.”

“Baik, Ibu. Aku akan melakukannya. Tetapi bagaimana kita meracun para pemimpin prajurit itu?”

“Serahkan kepadaku.”

Ki Bekel itu mengangguk-angguk. Sementara Ki Jagabaya, yang sebelumnya adalah salah seorang dari para perampok yang bersarang di ujung hutan itu, berkata, “Aku akan menyiapkan kekuatan yang mungkin dihimpun.”

Sebenarnyalah Nyai Demang yang muda itu pun telah mempersiapkan racun yang akan ditaburkan di minuman tamu-tamunya. Sementara Ki Jagabaya telah menghimpun kekuatan yang ada di Babadan serta padukuhan sebelah, yang mempunyai pendirian yang sama dengan Babadan.

Para perampok yang tersisa di padukuhan-padukuhan itu pun telah dikumpulkannya seadanya. Menurut perhitungan Ki Jagabaya, sebagaimana perhitungan Nyai Demang yang muda, setelah para pemimpinnya terbunuh, maka para prajurit Mataram itu tidak akan berdaya lagi.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun masih berada dalam perjalanan. Namun ada sesuatu yang terasa kurang mapan di hati Ki Lurah. Menurut Ki Demang di Prancak, ibu tirinya itu adalah seorang perempuan yang sangat licik, yang mempunyai keinginan berkuasa dan bahkan mensahkan segala cara untuk mencapai maksudnya.

Ki Lurah pun telah memperhitungkan bahwa kematian Raden Panengah yang mempunyai hubungan khusus dengan Nyai Demang yang muda itu, akan dapat menumbuhkan dendam yang mendalam di hatinya. Bertimbun dengan nafsunya untuk berkuasa di Prancak. Keinginannya untuk menjadikan anaknya laki-laki menjadi Demang di Prancak, telah membuatnya menempuh banyak cara, bahkan yang nista sekalipun.

Ki Lurah Agung Sedayu pun tidak melupakan pesan Ki Jayaraga pada saat ia minta diri, agar Ki Lurah itu berhati-hati. Sebenarnyalah Ki Lurah itu pun menjadi sangat berhati-hati. Bahkan Ki Lurah pun mulai membayangkan sambutan yang akan diterimanya di padukuhan Babadan.

“Mereka akan menerima kita dengan setengah hati,” berkata Agung Sedayu kepada Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ya,” sahut Glagah Putih, “bahkan mungkin Nyai Demang yang muda itu tidak akan mau menemui kita.”

“Tidak apa-apa. Asal Ki Bekel dapat menemui kita. Jika Ki Bekel tidak mau menemui kita, kita akan mencarinya dan memaksanya. Jika perlu dengan kekerasan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Ketika mereka mendekati padukuhan Babadan, maka mereka telah meninggalkan sekelompok prajurit yang menyertai mereka. Berempat saja mereka meneruskan perjalanan, memasuki gerbang padukuhan Babadan.

Ketika mereka berempat sampai di rumah Ki Bekel, maka sambutan yang mereka terima ternyata di luar dugaan. Nyai Demang yang muda, anaknya yang berkedudukan sebagai Bekel di Babadan, serta para bebahu, telah turun ke halaman untuk menyongsong mereka.

Dengan sangat ramah mereka dipersilahkan untuk naik ke pendapa. Nyai Demang yang muda itu sendiri-lah yang telah mempersilahkan keempat orang itu naik.

“Terima kasih,” Ki Lurah Agung Sedayu pun mengangguk hormat. Demikian pula ketiga orang yang lain yang menyertainya.

Namun keramah-tamahan mereka justru terasa berlebihan. Justru karena itu, maka Ki Lurah Agung Sedayu selalu ingat kepada pesan Ki Jayaraga, agar ia menjadi sangat berhati-hati. Karena yang dihadapinya bukan lagi kemampuan dan ketrampilan olah kanuragan, tetapi mungkin mereka harus mempertimbangkan kelicikan dan kecurangan.

Beberapa saat kemudian, maka keempat orang itu sudah duduk di pringgitan rumah Ki Bekel yang terhitung besar dan baik. Agaknya Ki Bekel terhitung orang yang sangat berkecukupan.

“Apakah aku berhadapan dengan Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya Nyai Demang yang muda itu.

“Aku-lah yang disebut Agung Sedayu,” jawab Ki Lurah. “Perempuan ini adalah istriku, sedang kedua orang ini adalah saudara sepupuku dan istrinya.”

Nyai Demang yang muda itu pun mengangguk-angguk. Sambil tertawa-tawa ia pun memperkenalkan anak laki lakinya, Ki Bekel di Babadan. Kemudian diperkenalkannya juga para bebahu.

“Aku sendiri adalah ibu Ki Bekel di Babadan ini, Ki Lurah,” berkata Nyai Demang yang muda itu.

Ki Lurah Agung Sedayu itu pun mengangguk-angguk. Sementara Nyai Demang itu pun berkata, “Menurut utusan yang Ki Lurah kirim menjelang kedatangan Ki Lurah, Ki Lurah akan datang bersama tiga orang prajurit.”

“O. Jika demikian, penghubungku itu salah mengatakan pesan. Aku hanya berpesan bahwa aku akan datang bersama tiga orang. Aku tidak menyebut, bahwa tiga orang itu adalah prajurit Mataram.”

“Tidak ada bedanya,” sahut Nyai Demang.

“Nyai Demang,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu kemudian, “mungkin Nyai Demang dan Ki Bekel sudah mengetahui maksud kedatanganku kemari.”

“Ya, ya. Ki Lurah. Utusan Ki Lurah sudah menyinggungnya. Tetapi bukankah kita mempunyai banyak waktu? Aku sudah mempersiapkan hidangan yang dapat kami suguhkan bagi Ki Lurah, Nyi Lurah serta sepupu Ki Lurah dan istrinya. Karena itu, sebaiknya kita bicarakan persoalan itu nanti saja, sambil minum minuman hangat, serta barangkali makanan seadanya.”

Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, “Kedatangan kami jangan merepotkan Nyai Lurah serta keluarga di sini.”

“Tidak. Tidak, Ki Lurah. Kami sudah terbiasa menyambut tamu-tamu kami dengan hidangan seadanya.”

Nyai Demang itu pun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Silahkan duduk, Ki Lurah. Aku akan pergi ke dapur sebentar. Apa yang kami hidangkan, jangan membuat tamu-tamu kami kecewa.”

“Silahkan, Nyai. Silahkan.”

Namun demikian, ada sesuatu yang seakan-akan menyentuh-nyentuh dasar jantung Ki Lurah. Ki Lurah memang merasa agak heran terhadap sambutan yang rasa-rasanya berlebihan. Sementara itu Ki Bekel sendiri serta para bebahu justru lebih banyak berdiam diri.

Perasaan heran Ki Lurah itu pun kemudian justru menjadi perasaan curiga. Ki Lurah itu seakan-akan melihat apa yang sedang dilakukan oleh Nyai Demang itu di dapur. Ki Lurah itu seakan-akan melihat Nyai Demang itu menaburkan racun di minuman yang akan dihidangkan.

Diam-diam Ki Lurah mengambil butiran reramuan untuk penawar racun dari kantong bajunya di bagian dalam. Dengan diam-diam pula ia memberikan sebutir reramuan itu kepada Sekar Mirah sambil berdesis perlahan, “Telanlah.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun ia tidak bertanya lebih lanjut. Sementara Ki Lurah pun berbisik lagi, “Berikan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.”

Sekar Mirah menerima lagi dua butir reramuan obat itu. Dengan gerak yang tidak menarik perhatian, maka Sekar Mirah pun telah memberikannya pula kepada Glagah putih dan Rara Wulan. Mereka pun segera tanggap. Mereka yakin bahwa Ki Lurah Agung Sedayu telah berbuat yang terbaik bagi mereka.

Sejenak kemudian, maka hidangan pun segera disuguhkan oleh dua orang perempuan. Masing-masing membawa nampan berisi makanan. Sedangkan minuman untuk keempat orang tamu itu telah dibawa sendiri oleh Nyai Demang.

“Seadanya, Ki Lurah. Di desa kecil seperti Babadan ini, tentu tidak akan ada suguhan yang pantas sebagaimana di Mataram. Sebuah kota yang besar dan memiliki seribu macam gebyar yang pantas dikagumi.”

“Kami tidak tinggal di Mataram, Nyai.”

“Jadi?”

“Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Barak Pasukan Khusus yang aku pimpin ini berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“O,” Nyai Demang mengangguk-angguk. Namun kemudian perempuan yang lain telah membawa hidangan minuman hangat bagi orang-orang Babadan yang ikut menemui para tamu itu.

Baru kemudian, Nyai Demang dengan sangat ramah sambil tersenyum-senyum mempersilahkan keempat orang tamunya itu minum.

“Terima kasih, Nyai,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu, yang memberi isyarat agar ketiga orang yang menyertainya minum pula.

Sejenak kemudian, Ki Lurah Agung Sedayu, Nyi Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera meneguk minuman hangat itu.

“Silahkan, Ki Lurah,” Nyai Demang pun kemudian menyodorkan wajik serta jenang alot. “Aku membuatnya sendiri, Ki Lurah.”

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk.

Sementara itu Nyai Demang pun berkata, “Marilah, Ki Lurah. Silahkan minum, mumpung masih hangat.”

Ki Lurah Agung Sedayu kembali mengangkat mangkuknya dan menghirup beberapa teguk lagi. Demikian pula Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Keempat orang itu tidak membicarakan lebih dahulu apa yang akan mereka lakukan, seandainya di dalam minuman atau makanan yang dihidangkan itu mengandung racun atau sejenisnya.

Tetapi ketika mereka melihat sikap Ki Lurah Agung Sedayu, maka mereka pun segera tanggap pula. Mereka pun harus berbuat sebagaimana Ki Lurah Agung Sedayu.

Setelah minum beberapa teguk, serta makan makanan yang belum habis sepotong, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun menjadi seperti orang mabuk. Bahkan ia telah berusaha untuk bangkit berdiri sambil berkata, “Apa yang telah aku minum?”

“Kenapa, Ki Lurah? Kenapa?”

Ki Lurah masih berusaha menjawab, “Kalian berikan reramuan apa di dalam minuman yang kau suguhkan kepadaku, Nyai Demang? Mataku menjadi kabur, dan rasa-rasanya aku telah menelan api. Tenggorokanku serasa terbakar, dan darahku bagaikan mendidih.”

Nyai Demang masih juga bertanya, “Ada apa, Ki Lurah? Apa yang telah terjadi?”

“Aku-lah yang justru harus bertanya kepadamu. Apa yang telah kau lakukan terhadap kami?”

Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat mengenali sesuatu yang terasa asing di dalam minuman mereka. Ketajaman panggraita mereka sudah menduga, bahwa di dalam minuman mereka pun telah diberikan racun oleh Nyai Demang.

Ternyata mereka bertiga pun telah menirukan apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Mereka pun segera beringsut mencari sandaran. Glagah Putih pun segera bersandar tiang, sementara Rara Wulan dan Sekar Mirah pun bersandar dinding.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Nyai Demang yang melihat keadaan keempat tamunya itu pun tertawa berkepanjangan. Dengan lantang ia pun berkata, “Itulah pembalasanku! Kalian telah membuat kami sakit hati serta mendendam. Kalian telah menghancurkan lingkungan hidup di ujung hutan itu. Kalian telah membunuh orang-orang yang sangat kami butuhkan. Kalian telah membunuh Raden Panengah dan Raden Mahambara, di samping para pemimpin yang lain. Dengan demikian, maka kalian telah membunuh pula harapan anakku, Bekel Babadan, untuk mengambil alih pemerintahan di Kademangan Prancak. Nah, kematian yang sudah kalian taburkan itu harus kalian tuai pula. Kedua orang perempuan ini pun tentu ikut pula membunuh di ujung hutan. Jika tidak, maka mereka tentu tidak akan berada di sini sekarang.”

Agung Sedayu terduduk dengan lemahnya. Ia pun kemudian bersandar dinding seperti Sekar Mirah dan Rara Wulan.

“Tidak ada penawar yang dapat menawarkan racun yang aku taburkan di dalam minuman kalian. Kalian akan mati. Para prajurit Mataram yang kehilangan pemimpinnya tidak akan berani berbuat apa-apa lagi di Babadan.”

“Kau salah, Nyai,” suara Ki Lurah Agung Sedayu menjadi sangat dalam, “para prajurit itu akan datang dan menghancurkan padukuhan ini.”

“Omong kosong. Sekelompok prajurit akan kehilangan keberaniannya untuk berbuat sesuatu, jika pemimpinnya sudah terbunuh.”

“Itu menurut kemauanmu. Tetapi prajuritku tidak. Jika mereka tahu bahwa kami mengalami kesulitan di sini, maka mereka tentu akan datang kemari. Selain aku, masih ada seorang lurah prajurit yang memimpin pasukanku. Seorang lurah prajurit yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.”

“Kau sudah mulai mengigau menjelang saat kematianmu, Ki Lurah. Sebaiknya kalian berempat berdoa saja bagi diri kalian masing-masing, agar kalian mendapat jalan yang terang. Kalian tidak usah memikirkan apa-apa tentang dunia yang akan kalian tinggalkan ini. Kalian tidak usah memikirkan padukuhan Babadan serta Kademangan Prancak. Kalian tidak usah memikirkan dimana kalian akan dikuburkan. Kami berjanji, bahwa kami akan menguburkan mayat kalian sebagaimana seharusnya.”

Ki Lurah Agung Sedayu yang bersandar dinding itu masih menjawab, “Kau akan menyesal, Nyai Demang. Segala sesuatunya tidak berlangsung sebagaimana kau kehendaki.”

Nyai Demang itu tertawa berkepanjangan. Sementara itu Ki Bekel pun bertanya, “Bagaimana dengan mereka, ibu?”

“Mereka akan mati. Kau lihat, bahwa mereka sudah tidak berdaya lagi. Racun yang aku taburkan di minuman mereka adalah racun yang tidak terlawan oleh penawar yang manapun juga.”

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih menjawab, “Kematian seseorang berada di tangan Yang Maha Agung, Nyai. Kau tidak akan dapat menentukan kematian seseorang.”

“Tetapi yang aku katakan itu akan terbukti. Kalian akan mati karena racunku.”

“Meskipun racunmu sangat kuat, tetapi jika Yang Maha Agung masih menghendaki kami tetap hidup, maka racunmu tidak akan menghentikan detak jantung kami.”

Nyai Demang yang muda itu tertawa semakin keras. Bahkan Ki Bekel pun tertawa pula.

“Kau mulai menjadi putus asa,” berkata Nyai Demang. “Kau mencoba mencari sandaran. Tetapi itu tidak akan berarti apa-apa. Kau akan mati.”

Ki Bekel pun kemudian berkata lantang pula, “Kalian semuanya akan mati!”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun berdesis, dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Yang Maha Agung akan menyelamatkan kami dengan seribu macam cara yang sulit dimengerti oleh banyak orang.”

“Sudahlah,” potong Nyi Demang, “sekarang pergunakan waktumu yang tinggal sedikit itu untuk berdoa. Untuk mohon ampun, agar kau mendapat jalan terang di akhirat.”

“Aku memang selalu berdoa. Tidak saja dalam keadaan yang gawat, tetapi dalam segala keadaan. Dalam susah dan senang, dalam duka dan suka.”

“Cukup! Diamlah. Bersiaplah untuk menghadapi kematian. Kenapa kau masih saja mengigau seperti orang yang sedang kesurupan demit?”

“Aku tidak mengigau. Aku berkata dengan sadar. Jika Yang Maha Agung berkehendak lain, maka kau akan dipermalukan di hadapan banyak orang. Di hadapan kami, dan di hadapan orang-orangmu sendiri.”

“Diam! Diam! Matilah. Kau harus segera mati.”

Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu masih saja menjawab, “Sudah aku katakan. Bukan kau yang menentukan kematian sesamamu. Jika yang dikehendaki oleh Yang Maha Agung justru Nyai Demang, maka sekarang Nyai Demang pun akan dapat diambil-Nya.”

“Matilah! Seharusnya kau sudah mati. Kenapa kau masih juga belum mati?”

Nyai Demang, Ki Bekel dan para bebahu padukuhan Babadan yang ada di pringgitan itu pun menjadi tegang. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu serta tiga orang yang menyertainya itu masih belum mati. Bahkan yang dilakukan oleh Glagah Putih kemudian sangat mengejutkan mereka.

Glagah Putih yang duduk bersandar tiang itu pun tiba-tiba beringsut. Dipungutlah sepotong wajik, yang kemudian dimakannya sambil beringsut kembali bersandar tiang.

Wajah Nyai Demang menjadi merah. Apalagi ketika ia melihat Rara Wulan tersenyum melihat tingkah Glagah Putih.

Ki Bekel Babadan melihat kegagalan rencana ibunya membunuh keempat orang itu dengan racun. Ternyata Ki Lurah Agung Sedayu masih juga belum mati. Kedua orang perempuan yang menyertainya itu masih juga tersenyum-senyum. Bahkan seorang lagi justru telah makan sepotong wajik.

Hampir di luar sadarnya Ki Bekel itu pun bertanya kepada ibunya, “Ibu, apa yang terjadi dengan mereka?”

Wajah Nyai Demang pun terasa menjadi panas. Ternyata keempat orang itu tidak segera mati. Bahkan ternyata bahwa keempatnya agaknya tidak terpengaruh oleh racun yang ditaburkannya di minuman mereka.

“Kenapa kalian tidak mati, he? Racunku adalah racun yang paling ganas.”

Ki Lurah Agung Sedayu yang masih duduk bersandar dinding itu-lah yang menjawab, “Nyai Demang. Ternyata kau tidak mempunyai pengetahuan tentang racun. Seorang yang memiliki pengetahuan yang sangat tinggi tentang racun, gagal membunuhku dengan racunnya, karena Yang Maha Agung masih belum menghendaki kematianku. Sekarang Nyai Demang-lah yang mencoba membunuhku dengan racun.” Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Lalu katanya pula, “Racunmu tidak berarti apa-apa bagi kami, Nyai Demang.”

“Setan! Iblis laknat kau, Ki Lurah!” teriak Nyi Demang.

“Kau tidak usah mengumpat-umpat. Sikapmu itu tidak akan membantu menyelesaikan persoalan anakmu dengan Ki Demang di Prancak.”

“Tidak. Kami harus membunuhmu, Ki Lurah. Jika racunku gagal, maka orang-orangku-lah yang akan membunuhmu.”

Ki Lurah Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan memaksakan kehendakmu, Nyai Demang. Apapun yang kau lakukan tidak akan ada artinya. Kami berempat tidak akan menyerah jika kau ingin mempergunakan kekerasan. Bahkan mungkin benar-benar akan jatuh korban di antara orang-orangmu.”

Kemarahan Nyai Demang sudah tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja Nyai Demang itu telah berkata kepada seorang bebahu, “Panggil Ki Jagabaya. Apakah orang-orang yang siap untuk menangkap orang yang mengaku seorang lurah prajurit yang memimpin sekelompok prajurit Mataram ini sudah ada di padukuhan induk?”

“Jika sudah?” bertanya bebahu itu.

“Edan kau, Ki Kebayan. Buat apa kau menemui Ki Jagabaya, jika kau tidak tahu apakah yang harus mereka lakukan?”

“Ya, apa?”

“Kau seharusnya sudah tahu sejak semula. Katakan kepada Ki Jagabaya agar mereka datang ke banjar ini dengan semua peralatan perang yang dapat mereka bawa, serta semua orang yang berada di belakahg barisan kita.”

“Nyai Demang,” bertanya Ki Kebayan, “tetapi bukankah kita tidak akan pergi kemana-mana?”

“Kebayan dungu! Bodoh! Kita memang tidak akan pergi kemana-mana. Kita akan bertempur di sini.”

Ki Kebayan itu masih saja nampak ragu-ragu. Apakah cara yang akan ditempuh Nyai Demang itu akan berhasil.

Tetapi Ki Kebayan itu tidak berani berkata sebenarnya sesuai dengan pikirannya. Kebingungannya itu justru membuatnya seperti orang yang sangat bodoh di hadapan Nyai Demang.

Dalam keragu-raguan, ia mendengar Nyai Demang membentaknya, “Cepat! Apa lagi yang kau pikirkan?”

Ki Kebayan itu pun segera bangkit berdiri. Ia pun kemudian melangkah turun dari pendapa.

Tetapi ketika ia sudah hampir sampai di regol halaman, Ki Kebayan itu pun segera berbalik. Demikian ia berdiri di tangga pendapa, ia pun bertanya, “Ki Jagabaya sekarang berada di mana?”

“Kenapa kau menjadi sebodoh kerbau, Ki Kebayan? Cari di banjar, atau di mana saja dapat kau ketemukan.”

Ki Kebayan itu pun mengangguk. Kemudian ia pun segera melangkah ke regol halaman.

Demikian Ki Kebayan itu pergi, Ki Lurah Agung Sedayu berkata, “Nyai Demang. Seharusnya Nyai Demang tidak usah memaksa diri untuk menyelesaikan persoalan antara anak Nyai Demang yang sekarang sudah menjabat sebagai Bekel di Babadan, dengan kakaknya Ki Demang di Prancak, dengan cara ini.”

“Itu urusan kami. Ki Lurah tidak usah ikut campur.”

“Baik. Seandainya aku tidak ikut mencampuri persoalan Ki Bekel di Babadan dengan Ki Demang di Prancak, namun aku tetap mempunyai persoalan dengan Nyai Demang.”

“Persoalan apa?”

“Nyai Demang sudah mencoba meracuni aku serta tiga orang yang datang bersamaku. Dengan demikian, maka Nyai Demang sudah berusaha membunuh setidak-tidaknya empat orang. Bahkan seorang di antaranya adalah seorang prajurit, yang sedang mengemban tugas yang dibebankan oleh Mataram kepada prajurit itu.”

Wajah Nyai Demang menjadi semakin tegang. Namun Nyai Demang sudah terlanjur basah, sehingga rasa-rasanya sudah tidak ada lagi jalan kembali.

“Ki Lurah. Apapun yang akan kalian lakukan, namun kalian tidak akan sempat keluar dari halaman rumah ini .”

“Kau bermimpi, Nyai Demang. Jika sekarang aku keluar dari halaman rumah ini, siapakah yang akan dapat menghalangi? Ki Bekel dan beberapa orang bebahu ini?”

“Ya. Mereka akan menghalangi jalan keluar.”

“Apakah mereka mempunyai nyawa rangkap, sehingga mereka berani menghalangi kami?”

Nyai Demang menjadi bingung. Sementara itu Ki Bekel dan para bebahu itu pun menjadi sangat gelisah.

Namun kemudian dengan suara yang bergetar Nyai Demang itu pun berkata, “Sebentar lagi, Ki Jagabaya akan datang dengan pasukannya. Kalian berempat tidak akan dapat melepaskan diri dari tangannya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar