Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 360

Buku 360

Terasa udara masih segar. Masih pula terdengar kicauan burung-burung liar di pepohonan yang tumbuh berjalan di pinggir jalan, yang di siang hari dapat menjadi pelindung dari teriknya panas matahari.

Tetapi di pagi hari, mereka justru merasa hangat berjalan di bawah sinarnya yang mulai menggatalkan kulit. Jalan yang mereka lalui memang bukan jalan utama yang ramai, meskipun sekali-sekali pedati yang membawa hasil bumi melintas.

Tetapi pagi itu, jalan itupun nampak sepi. Bahkan sawah-sawah pun sepi. Tidak ada petani yang turun ke sawah pagi itu, karena agaknya kerja di sawah memang sudah selesai.

Namun di jalan yang terasa sepi itu. Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Tiba-tiba seorang meloncat dari balik segerumbul pohon jarak kepyar dan berdiri sambil bertolak pinggang di tengah-tengah jalan.

Langkah Glagah Putih dan Rara Wulan terhenti. Selangkah Glagah Putih bergeser maju sambil berkata, “Ki Sanak mengejutkan kami.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku perlu berbicara dengan kalian berdua.”

“Tentang apa Ki Sanak?”

“Aku terasa heran terhadap kemampuan perempuan yang disebut Genduk Miyat itu, yang semalam telah ditontoni.”

Wajah Rara Wulan berkerut. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Kau siapa, Ki Sanak? Apa pula hubunganmu dengan peristiwa semalam?”

“Permainan kalian sangat rapi. Kalian telah menjebak Among Asmara, sehingga Among Asmara merasa sangat terhina.”

“Apakah kau mempunyai hubungan dengan Among Asmara?”

“Aku gurunya.”

“O,” Glagah Putih Mengangguk-angguk, “hatimu terluka oleh kekalahan Among Asmara?”

“Bukankah itu wajar? Kalian telah mempermalukan muridku. Kalian telah merendahkan muridku serendah-rendahnya, sehingga ia menjadi tidak berharga di mata kawan-kawannya dan pengikutnya.”

“Jika terjadi demikian, siapakah yang bersalah?”

“Aku tahu, muridku bersalah. Aku sudah pernah memperingatkannya. Aku pun masih akan memperingatkannya. Tetapi kalian telah mempermalukannya keterlaluan. Seharusnya kalian tidak mempermalukan muridku seperti itu.”

“Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia tidak direndahkan sampai serendah-rendahnya, maka ia tidak akan menjadi jera. Jika kau, gurunya, pernah menegurnya dan Among Asmara masih juga kembali ke sifat buruknya, apakah itu sudah sepantasnya? Apakah kau sebagai gurunya tidak merasa tersinggung dan direndahkan oleh muridmu sendiri? Lalu apakah tindakanmu terhadap muridmu itu?”

“Aku berharap agar Among Asmara menjadi jera. Jika ia masih mengulanginya, maka Among Asmara harus dihukum, la telah menyalahgunakan kemampuannya untuk tujuan yang buruk, yang justru akan memperburuk citra perguruannya.”

“Jadi, apa maksudmu sekarang? Bukankah yang aku lakukan sejalan dengan keinginanmu itu Ki Sanak?”

“Tetapi Among Asmara berada di dalam bingkai perguruanku. Aku gurunya, yang wenang mengajarinya atau menghukumnya. Bukan orang lain. Apalagi yang kau lakukan bukan sekedar menghukum Among Asmara, tetapi kau sudah merendahkan ilmunya. Kau sudah meremehkan perguruannya. Sedangkan pemimpin dari perguruan itu adalah aku.”

“Tetapi yang dilakukan Among Asmara justru di luar perguruannya. Ia sudah merugikan orang lain. Bahkan yang dilakukan adalah kesalahan yang mendasar sekali. Dengan paksa mengambil seorang perempuan untuk dijadikan istrinya Bukankah itu merupakan satu perbuatan yang sangat nista, justru dengan mengandalkan ilmunya? Ilmu yang diajarkan di perguruannya? Ilmu yang diajarkan oleh gurunya?”

“Tetapi perguruanku tidak mengajarkan sifat yang nampak pada kelakuan Among Asmara. Justru karena itu aku harus menghukumnya. Tetapi aku tidak mau ada orang lain yang memandang rendah pada perguruanku. Seolah ilmu yang aku ajarkan itu tidak berarti apa-apa, sehingga Among Asmara justru dipermainkan oleh seorang perempuan. Aku tidak akan merasa tersinggung seandainya kau hukum Among Asmara tanpa mempermainkannya. Yang aku lakukan bukan pelepasan dendam karena kekalahan muridku, tetapi karena harga diri perguruanku sudah kau remehkan. Kau anggap ilmu yang dimiliki oleh Among Asmara itu tidak berarti sama sekali, sehingga kau telah mengalahkannya dengan cara yang sangat menyakitkan. Kau biarkan Among Asmara kehabisan nafas sehingga tidak mampu berbuat apa-apa lagi.”

“Maaf Ki Sanak,” sahut Rara Wulan, “aku tidak bermaksud meremehkan ilmunya. Aku tidak bermaksud merendahkannya. Maksudku semata-mata untuk membuatnya jera.”

“Itu yang kau katakan kepadaku sekarang,” berkata orang itu, “tetapi aku tidak yakin, bahwa itulah yang kau lakukan semalam.”

“Ki Sanak. Itulah yang ingin aku lakukan.”

“Aku tidak mempercayaimu.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat memberikan penjelasan lebih banyak lagi. Aku tidak dapat memaksamu percaya.”

“Nah, sekarang aku datang untuk memperbaiki citra perguruan. Aku. ingin menunjukkan kepadamu, bahwa puncak ilmu di perguruanku tidak lebih rendah dari puncak ilmumu.”

“Jadi, apa maksudmu, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Aku ingin menakar ilmu dengan kalian. Siapapun yang akan bersedia membuat perbandingan ilmu itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah itu perlu, Ki Sanak?”

“Aku hanya ingin meyakinkan, bahwa perguruanku tidak seburuk yang kalian sangka.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Baiklah, Ki Sanak, jika itu yang kau kehendaki. Jika dengan demikian kau mendapat kepuasan dan merasa tidak direndahkan lagi.”

“Tetapi aku muak dengan kesombonganmu. Kau tidak perlu mengalah untuk mendapat pujian, bahwa kau adalah seorang yang baik hati, berbudi luhur, menghindari perselisihan dan puji-pujian cengeng yang lain, karena kau dapat memberikan kepuasan kepadaku. Jika itu kau lakukan, kau sama sekali bukan orang yang baik hati, orang yang berbudi luhur, berkorban untuk orang lain atau sebutan-sebutan yang lain. Karena jika kau mengalah, itu sebenarnya tidak lebih dari satu sikap sombong yang sangat berlebihan saja.”

“Baik.”

“Jika demikian, kita akan mencari tempat terbaik. Tidak di jalan ini.”

“Di mana?”

“Di tikungan sungai itu. Di sebelah pohon besar itu. Kita tidak akan merasa terganggu oleh siapapun, karena tempat itu jarang sekali dikunjungi orang.”

“Baiklah. Aku akan menuruti maumu.”

Orang itu pun kemudian melangkah mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan meloncati parit dan berjalan menyusuri pematang.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergerak mengikuti mereka. Namun Rara Wulan sempat berdesis, “Apakah orang itu tidak akan menjebak kita, Kakang? Ia merasa bahwa muridnya telah kita jebak semalam, sehingga ia pun membalas dengan menjebak kita.”

“Jika orang itu menjebak kita, kita akan mempergunakan segenap kemampuan kita untuk melindungi diri kita. Kita tidak mau menjadi pengewan-ewan, dipermalukan atau bahkan kita akan dibunuh beramai-ramai. Tetapi sebaiknya kita tidak berprasangka buruk.”

“Ya, Kakang.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berjalan di sepanjang pematang menuju ke sebatang pohon raksasa yang agaknya tumbuh di pinggir sungai.

Beberapa langkah di hadapan mereka, orang yang mengaku guru Among Asmara itu telah meloncat dari tanggul sungai, turun ke tepian yang berpasir dan berbatu-batu yang menebar di mana mana.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak di atas tanggul. Ditebarkannya pandangan mereka kemana-mana. Sepanjang tepian, dan bahkan ke sela-sela semak-semak di seberang sungai. Namun mereka tidak melihat seorangpun.

Orang yang mengaku guru Among Asmara, yang sudah berdiri di tepian itu, agaknya dapat membaca kecurigaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Katanya, “Jangan menganggap bahwa aku licik seperti kalian yang telah menjebak muridku. Aku tidak akan menjebakmu. Aku memang mengundang dua orang saudara seperguruanku, tetapi tidak untuk melibatkan diri. Mereka akan menjadi saksi, apakah ilmu dari perguruan kami sedemikian rendahnya, sehingga harus dihinakan oleh sepasang pengembara seperti kalian berdua.”

Tiba-tiba saja orang itu bertepuk tangan. Glagah Putih dan Rara Wulan memang agak terkejut ketika mereka melihat dua orang yang meluncur dari dahan pohon raksasa itu dan kemudian berdiri tegak di tepian.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan sama sekali tidak memperhatikan pohon raksasa itu. Mereka tidak mengira bahwa dua orang dengan susah payah memanjat pohon itu dan bersembunyi di balik rimbun daunnya yang kecil-kecil seperti daun preh.

“Nah, marilah. Turunlah. Kita seharusnya berkenalan lebih dahulu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian turun dari atas tanggul dengan hati-hati. Nampaknya tebing tanggul yang rendah itu memang agak licin.

“Kau lihat,” berkata guru Among Asmara kepada kedua orang yang datang kemudian, “bukankah mereka anak-anak yang sangat sombong? Kenapa mereka harus menuruni tanggul itu dengan hati-hati, bahkan berpegangan pohon-pohon perdu? Kenapa mereka tidak meloncat saja langsung ke tepian?”

Seorang di antara mereka menjawab, “Ya. Aku yakin sekarang. Keduanya memang sangat sombong. Ketika kau berbicara tentang kesombongan mereka, aku masih ragu-ragu untuk mempercayainya. Tetapi sekarang, aku sudah meyakininya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan memang tertegun sejenak mendengar pembicaraan yang dengan sengaja diucapkan dengan keras itu. Tetapi mereka tetap saja menuruni tebing itu sambil berpegangan batang-batang perdu yang tumbuh di tebing yang rendah itu.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berdiri di tepian. Rara Wulan masih menggendong peti kecil dengan selendangnya.

“Nah, di hadapan para saksi, kita akan mengukur kemampuan kita,” berkata guru Among Asmara itu. “Tetapi sebelumnya kami ingin memperkenalkan diri kami. Namaku Ki Narasembada. Saudara seperguruanku yang tinggi ini bernama Ki Tenaya Siji, dan yang satunya kurus kering itu kita sebut Ki Wreksa Aking.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat. Namun mereka juga agak heran, bahwa ternyata orang berilmu tinggi itu bertebaran di mana-mana. Dengan nada rendah Glagah Putih pun berkata, “Ki Narasembada tentu sudah tahu namaku. Namaku Wiguna, dan ini istriku. Namanya Miyat.”

Orang yang bertubuh tinggi itu pun menyahut, “Nama yang bagus. Kalian pantas mengenakan nama itu.”

“Sayang sekali, kalian terlalu sombong,” berkata orang yang bertubuh kurus.

“Kami sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Kami berbuat wajar-wajar saja menurut perasaan kami. Tetapi jika itu kalian anggap sebagai satu sikap yang sombong, terserah saja kepada kalian.”

“Kau sama sekali tidak berbuat dengan wajar,” sahut orang yang bertubuh kurus. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi semuanya itu terserah kepada kalian berdua. Kalau kalian merasa mapan dengan tingkah laku kalian, lakukan saja. Kami tidak berhak untuk merubahnya.”

“Aku setuju,” sahut Ki Narasembada, “yang penting sekarang adalah membuktikan bahwa kau tidak dapat menghina perguruan kami.”

“Bukankah yang dimaksud Ki Narasembada adalah aku, Kakang?” berkata Rara Wulan.

“Biarlah kali ini aku yang melayaninya.”

Rara Wulan tidak memaksa. Ia sadar bahwa Glagah Putih tidak dapat melepaskannya menghadapi orang yang nampaknya memang berbahaya itu. Ki Narasembada tentu memiliki kelebihan dalam segala hal dari muridnya, Among Asmara.

“Bagus,” berkata Ki Narasembada, “aku kira kalian masih juga akan menyombongkan diri dengan menghadapkan perempuan itu dalam pertarungan ini.”

“Jika itu yang kau kehendaki?” tiba-tiba saja Rara Wulan menyahut.

“Biarlah aku saja yang menghadapi Ki Narasembada.”

Ki Narasembada itu pun kemudian berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya sambil berkata, “Kalian akan menjadi saksi bahwa perguruan kita bukan perguruan tataran bawah. Bahwa perguruan kita memiliki landasan ilmu yang tinggi, sehingga tidak seharusnya dihinakan sebagaimana diperlakukan atas Among Asmara.”

“Baik, Kakang,” jawab Ki Tenaya Siji, “kami akan menjadi saksi bahwa perguruan kita adalah salah satu dari perguruan yang terbaik.”

Ki Narasembada itu pun kemudian berkata, “Bersiaplah, Wiguna. Kita akan segera mulai.”

Glagah Putih pun telah mempersiapkan dirinya pula. Kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Miyat, perhatikan apa yang akan terjadi di sini. Kau telah membuktikan bahwa Among Asmara bukan apa-apa bagimu. Sekarang aku juga akan membuktikan, bahwa perguruan yang dipimpin oleh Ki Narasembada tidak akan mendapat menyamai tataran perguruan kita. Apalagi jika Guru kita sendiri yang hadir di sini. Maka Ki Narasembada harus mengakui tujuh kali, bahwa perguruannya tidak dapat diperbandingkan dengan perguruan kita.”

“Persetan kau, orang yang sangat sombong. Kau akan kami permalukan di sini. Meskipun tidak di hadapan banyak orang, tetapi kau harus malu kepada dirimu sendiri. Bahkan aku berharap bahwa gurumu akan bersedia datang. Jika tidak hari ini. maka kapan saja ia akan datang, aku akan menerimanya dengan senang hati.”

“Apakah dengan demikian hanya kami-lah yang dapat disebut sangat sombong?”

“Cukup!”

Glagah Putih terdiam. Namun ia justru bergeser selangkah maju mendekati Ki Narasembada dengan tenangnya. Melihat sikap Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu, jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguaruannya pun terasa berdebar.

Sikap itu menunjukkan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Wiguna itu masih sangat muda di mata Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruannya. Karena itu, seberapapun tinggi ilmunya, namun pengalamannya tentu belum begitu luas. Wawasannya masih sangat terbatas, sehingga kemenangannya atas Among Asmara telah membuatnya semakin sombong. Sikapnya bukan karena keyakinannya serta percaya diri yang tinggi, tetapi semata-mata karena kesombongannya, sehingga sulit baginya untuk menghargai orang lain.

“Aku harus membuatnya jera. Ia harus mengakui bahwa di luar diri mereka berdua, terdapat ilmu yang lebih tinggi.”

Dalam pada itu, Glagah Putih justru menyesuaikan diri dengan anggapan Ki Narasembada. Sebagai seorang yang sangat sombong, maka Glagah Putih telah membuka serangannya.

Dengan derasnya Glagah Putih meloncat menyerang dengan kakinya. Namun serangan itu sama sekali tidak menyentuh lawannya. Ki Narasembada dengan gerak yang sangat sederhana telah menghindarinya.

Namun serangan Glagah Putih itu justru membuat Ki Narasembada menjadi ragu-ragu. Jika laki-laki muda itu memiliki ilmu setingkat saja dengan perempuan yang mengembara bersamanya itu, maka ia tidak akan meyerang dengan serangan yang sangat sederhana itu.

Karena itu, Ki Narasembada justru menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak segera membalas menyerang, tetapi diperhatikannya sikap laki-laki muda yang menyebut dirinya Wiguna itu dengan sungguh-sungguh.

Namun penggraita Glagah Putih pun cukup tajam pula. Ia pun segera merasakan sikap Ki Narasembada sebagai satu sikap yang sangat berhati-hati. Karena itu, ketika Glagah Putih pun kemudian menyerang pula, maka serangannya benar-benar menjadi sangat berbahaya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun segera meningkat menjadi semakin bersungguh-sungguh. Keduanya pun dengan cepat meningkatkan ilmu mereka. Ki Narasembada mengukur kemampuan Glagah Putih dengan kemampuan Rara Wulan yang telah dilihatnya dengan diam-diam, pada saat Rara Wulan mengalahkan Among Asmara. Namun Ki Narasembada sengaja tidak melibatkan diri untuk menjaga kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi. Bukan saja atas muridnya, tetapi juga atas dirinya sendiri. Selain atas dasar pertimbangan itu, Ki Narasembada pun membiarkan Among Asmara mendapat pelajaran dari kenyataan yang dihadapinya.

Beberapa saat kemudian, pertempuran di tepian itu menjadi semakin sengit. Ki Narasembada telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ia sadar sepenuhnya bahwa laki-laki yang masih muda itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi.

Namun Glagah Putih pun dengan cepat pula meningkatkan ilmunya pula.

Seperti Rara Wulan, maka Glagah Putih seakan-akan mendapat kesempatan untuk mengenali kemampuan ilmunya sendiri, setelah ia menjalani laku bersama-sama dengan istrinya di hutan yang lebat, di kaki Gunung Merapi.

Glagah Putih memang menemukan banyak hal yang terasa baru di dalam dirinya. Tenaganya yang semakin kuat, tubuhnya yang seakan-akan bertambah ringan, kecepatannya bergerak, serta yang kemudian dikenalinya pula daya tahannya yang semakin tinggi, serta tenaga dalamnya yang bertambah besar.

Glagah Putih pun berusaha mengenali pula kendali atas tenaga dan kemampuannya, sehingga Glagah Putih dapat mengaturnya sesuai dengan kehendaknya. Dengan demikian, maka kemampuan dan ilmunya benar-benar tunduk sepenuhnya atas kehendak dan kendali nalar budinya.

Dalam pada itu, pertempuran di tepian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Narasembada yang memang berilmu tinggi itu meningkatkan ilmunya pula semakin tinggi. Namun Glagah Putih masih saja mampu mengimbanginya.

Namun menghadapi Ki Narasembada, Glagah Putih tidak dapat memperlakukannya sebagaimana Rara Wulan memperlakukan Among Asmara. Ki Narasembada benar-benar seorang yang sangat berbahaya bagi Glagah Putih.

Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada memperhatikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Justru mereka yang tidak langsung berada di arena mampu melihat lebih tajam benturan ilmu yang semakin tinggi dari keduanya.

Kedua orang itu semakin lama menjadi semakin heran melihat betapa ringannya Glagah Putih yang dikenalnya bernama Wiguna itu berloncatan. Tubuhnya seakan-akan sama sekali tidak mempunyai bobot yang membebaninya. Selain keringanan tubuh Glagah Putih, maka keduanya juga melihat, betapa serangan-serangan Ki Narasembada yang mengenai tubuh Glagah Putih sama sekali tidak menggetarkannya. Bahkan ketika terjadi benturan kekuatan, maka yang tergeser surut adalah Ki Narasembada.

Sebenarnyalah Ki Narasembada sendiri mulai merasakan kelebihan Glagah Putih. Demikian cepatnya laki-laki muda itu bergerak, sehingga kadang-kadang Ki Narasembada tidak sempat mengimbanginya. Serangan-serangan Glagah Putih-lah yang lebih sering mengenainya. Bahkan semakin lama semakin menyakitinya. Ketika kaki Glagah Putih yang terayun mendatar bersamaan dengan tubuhnya yang berputar mengenai keningnya, maka terasa sesaat matanya menjadi kabur.

Namun ketika serangan yang sama untuk kedua kalinya menyambarnya, Ki Narasembada sempat menghindar dengan merendahkan diri. Bahkan dengan cepat kakinya menyapu kaki Glagah Putih yang kemudian menyentuh tanah.

Tetapi dengan kecepatan yang sangat tinggi, Glagah Putih sempat melenting. Dengan bertumpu pada kedua tangannya yang menapak di tanah, maka sekali Glagah Putih berputar di udara. Dengan lembutnya, kedua kakinya pun kemudian menapak di atas tanah.

Pada saat yang bersamaan, dengan menghentakkan kemampuannya, Ki Narasembada telah meloncat dengan menjulurkan kakinya mengarah ke punggung Glagah Putih yang membelakanginya.

Namun dengan kecepatan yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya, Glagah Putih telah berbalik sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya. Demikian kedua kaki Ki Narasembada membentur kedua tangannya yang bersilang, Glagah Putih telah menghentakkannya.

Benturan yang keras telah terjadi. Glagah Putih tergetar selangkah surut. Namun Ki Narasembada seakan-akan telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terbanting di pasir tepian. Hampir saja tubuhnya menimpa sebuah batu yang besar.

Ki Narasembada harus menahan sakit di punggungnya. Meskipun Ki Narasembada itu dengan cepat bangkit, namun terasa punggungnya menjadi sangat sakit. Seakan-akan tulang belakangnya telah menjadi retak.

Namun Ki Narasembada masih memiliki ilmu puncaknya. Karena itu, ketika ia telah berdiri tegak, maka ia pun berkata, “Kau memang luar biasa, Wiguna. Ilmumu ternyata lebih lengkap dari ilmuku.”

Glagah Putih tertegun. Namun ia pun kemudian menjawab, “Jangan menyanjung, Ki Narasembada. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu pamungkas yang sangat dahsyat. Ilmu itu masih belum begitu nampak jelas pada Among Asmara. Dan bahkan nampaknya ia masih agak merasa gagap mengetrapkannya. Tetapi kau tentu berbeda.”

“Ya. Aku menguasai kuasa panasnya api di dalam diriku. Aku akan dapat melontarkannya dan membakar tubuhmu menjadi abu. Jika kekuatan ini tidak nampak atau belum mampu dikuasai sepenuhnya oleh Among Asmara, maka aku, gurunya, tentu memiliki kelebihan daripada muridku itu.”

“Aku tahu, Ki Narasembada. Tetapi jika aku berani menghadapimu sekarang, aku tentu mempunyai ilmu andalan yang akan dapat meredam panas apimu itu. Jika ilmu kita berbenturan, maka aku tidak tahu apa yang akan terjadi, karena kita belum tahu ukuran kemampuan kita masing-masing. Sementara itu, bukankah semula kita tidak berniat benar-benar saling menghancurkan?”

“Apakah kau menjadi ketakutan?”

“Ya. Aku memang menjadi ketakutan kalau kau tidak mampu menahan deraan ilmuku. Seandainya ilmu kita berbenturan, maka ilmu yang lebih lemah akan memantul dan menyakiti diri sendiri, ditambah oleh dorongan ilmu yang lebih kuat.”

“Kau memang sombong sekali, Wiguna.”

“Tetapi aku tidak berniat menyombongkan diri.”

“Apapun yang terjadi. Kau tidak dapat terus-menerus menghina ilmu puncak dari perguruanku. Bahkan seandainya salah seorang di antara kita harus mati.”

“Kita dapat mencapai tujuan tanpa membahayakan jiwa kita masing-masing.”

“Apa yang harus kita lakukan, menurut gagasanmu?”

“Di sana ada tebing berbatu padas. Kita akan mempergunakannya sebagai sasaran serangan berlandaskan pada ilmu puncak kita masing-masing. Kita akan dapat menilai, ilmu siapakah yang lebih baik di antara kita.”

Ki Narasembada termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada kedua orang saudara seperguruannya, maka keduanya pun mengangguk hampir bersamaan. Agaknya keduanya sependapat dengan laki-laki muda yang dikenalnya bernama Wiguna itu.

“Baik,” berkata Ki Narasembada kemudian, “kita akan melepaskan serangan kita terhadap tebing di seberang sungai kecil ini. Berdasarkan hasilnya, maka yang kalah harus mengaku kalah. Jika kau kalah, Wiguna, kau harus mengerti bahwa kemampuan Among Asmara bukan ukuran tingkat kemampuan puncak perguruan kami.”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “jika aku kalah, aku akan mengakui kelebihan perguruan Ki Narasembada. Tetapi sebaliknya, Ki Narasembada juga harus mengakui kenyataan yang terjadi.”

Dengan kesepakatan itu, maka keduanya pun segera mempersiapkan diri. Mereka berdiri di tepi sungai kecil itu menghadap ke tebing berbatu padas di seberang.

“Silahkan.”

Ki Narasembada pun segera mempersiapkan diri. Ia mengarahkan serangannya kepada segerumbul pohon perdu yang tumbuh di tebing seberang yang berbatu padas.

Sejenak Ki Narasembada memusatkan nalar budinya untuk mempersiapkan ilmu puncaknya. Kedua orang saudara seperguruanya pun menjadi tegang pula. Di perguruan mereka, mereka mengakui bahwa Ki Narasembada adalah orang yang memiliki tingkat ilmu tertinggi, sehingga ia telah mewarisi kedudukan tertinggi di perguruannya.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Mereka tidak mengetahui sejauh manakah kemampuan ilmu puncak Ki Narasembada.

Sesaat kemudian, maka Ki Narasembada pun telah sampai pada puncak kemampuannya. Terdengar Ki Narasembada berteriak nyaring. Kedua tangannya terjulur ke depan, dengan telapak tangannya terbuka menghadap ke segerumbul semak yang berada di tebing berbatu padas di seberang.

Seleret sinar telah memancar dari kedua telapak tangan Ki Narasembada. Begitu cepatnya menyambar gerumbul liar di tebing seberang.

Tiba-tiba saja, lidah api seakan-akan telah menjilat gerumbul-gerumbul liar itu. Dalam sekejap gerumbul liar itu pun telah menjadi hangus. Sementara itu, tebing berbatu padas itu pun menjadi retak-retak, sehingga beberapa gumpal batu padas pun runtuh jatuh ke tepian berpasir.

Kedua orang saudara seperguruan Ki Narasembada menarik nafas panjang. Ki Narasembada memang orang yang terbaik di dalam olah kanuragan daripada yang lain. Ki Narasembada masih dapat membuktikan kelebihannya untuk menjaga harga diri perguruannya. Di seberang, bukan saja gerumbul liar itu menjadi hangus bagaikan dijilat lidah api yang panasnya melampaui panasnya bara kayu mlandingan.

Ki Narasembada pun kemudian menghela nafas panjang. Kemudian ia pun bergeser setapak surut sambil berkata, “Sekarang giliranmu, Wiguna. Aku ingin tahu apakah kau mampu melakukannya. Bahkan seandainya kau sentuh tebing itu dengan unsur kewadaganmu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku akan menyerangnya dari sini, Ki Narasembada. Aku juga tidak akan mempergunakan sentuhan kewadagan.”

“Bagus. Lakukan. Jika kau dapat melukai tebing itu lebih parah lagi, aku akan menundukkan kepalaku di hadapanmu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu. Diamatinya gerumbul perdu yang telah hangus menjadi arang. Daun-daunnya telah rontok menjadi debu.

Glagah Putih tidak mau gagal. Glagah Putih tidak ingin dipermalukan oleh Ki Narasembada. Karena itu, maka Glagah Putih telah memusatkan nalar budinya, menggugah ilmunya pada tataran tertinggi.

Sejenak Glagah Putih berdiri tegak. Dipandanginya tebing berbatu padas di seberang. Tetapi Glagah Putih tidak memiliki kemampuan sebagaimana Agung Sedayu, menyerang dengan sorot matanya yang memancarkan ilmunya.

Tetapi Glagah Putih tidak saja berlandaskan ilmu yang telah dimilikinya pada saat ia berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi setelah ia menjalani laku, maka segala-galanya telah menjadi semakin meningkat.

Karena itu, dalam tataran ilmunya yang semakin tinggi itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah menyentuh bagian atas dada kirinya dengan ujung jari tangan kanannya, serta menyentuh bagian atas dada kanannya dengan dua jari tangan kirinya, sehingga kedua tangannya bersilang. Kemudian dijulurkannya tangannya lurus ke depan. Tetapi telapak tangannya tidak lagi menghadap ke arah sasarannya. Kedua telapak tangannya yang terbuka justru menelungkup.

Ketegangan telah mencengkam tepian itu. Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya berdiri mematung. Jantung mereka menjadi berdebaran melihat sikap Glagah Putih. Bahkan ketika mereka melihat cahaya samar kebiruan pada saat jari-jari tangan Glagah Putih yang bersilang menyentuh bagian atas dadanya.

Bersamaan dengan terjulurnya tangan Glagah Putih, maka seakan-akan dari kesepuluh jari-jarinya telah meluncur butir-butir cahaya yang kebiru-biruan, sebagaimana nampak pada saat kedua tangan Glagah Putih bersilang dan menyentuh bagian atas dadanya itu.

Sesaat kemudian, terdengar gemuruh. Butir-butir cahaya yang meluncur dari jari-jari tangan Glagah Putih itu seakan-akan telah meledak dan meruntuhkan tebing berbatu padas di seberang sungai kecil itu.

Batu-batu padas yang pecah bukan saja berguguran, tetapi pecahan-pecahan batu padas itu terlempar ke segala arah dan berhamburan jatuh di tepian.

Jantung Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya itu pun terguncang. Mereka tidak mengira, bahwa kemampuan ilmu laki-laki yang masih terhitung muda itu demikian besarnya, sehingga sulit untuk dicari bandingnya.

Gerumbul-gerumbul liar yang tumbuh di tebing berbatu padas itu tidak saja menjadi hangus, tetapi tercerabut sampai ke akarnya dan lumat menjadi debu, yang kemudian diterbangkan angin.

Glagah Putih kemudian menelengkupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya. Sesaat kedua tangannya itu bergerak menurun, dan kemudian tergantung di sisi tubuhnya yang masih berdiri tegak.

Glagah Putih justru terkejut ketika Ki Narasembada, yang kemudian diikuti oleh kedua saudara seperguruannya, berdiri di hadapan Glagah Putih sambil membungkuk hormat.

Dengan nada berat Ki Narasembada pun berkata, “Aku harus mengakui dengan jujur, bahwa kau berada di tataran yang jauh lebih tinggi dari tataran ilmuku. Ilmu tertinggi di perguruanku.”

“Sudahlah.” Glagah Putih pun kemudian menggapai bahu Ki Narasembada sambil mengangkatnya. “Berdiri tegaklah. Tidak ada yang harus disanjung lagi.”

“Kami tidak dapat ingkar dari kenyataan yang kami hadapi.”

“Baiklah. Tetapi sudahlah. Lupakan saja semuanya yang telah terjadi.”

“Jika saja kau tidak mempunyai gagasan untuk membuat perbandingan ilmu dengan mempergunakan tebing di seberang sebagai sasaran, maka aku tentu sudah lumat oleh kemampuan ilmumu.”

“Sekali lagi aku katakan kepada Ki Narasembada dan kedua saudara seperguruanmu, bahwa aku sama sekali tidak berniat menyombongkan diri. Tetapi aku sekedar menyatakan kekecewaanku, bahwa salah seorang murid di perguruanmu, dan bahkan mungkin dengan satu dua saudara seperguruannya, telah menyalahgunakan kemampuan yang dimilikinya. Sementara itu, para pemimpin di perguruan itu gagal mencegahnya. Atau bahkan mungkin tidak bertindak apa-apa sama sekali.”

“Kami tidak akan ingkar, bahwa kami-lah yang harus bertanggung jawab,” sahut Ki Narasembada. “Kami akan menertibkan murid-murid kami dengan cara yang lebih baik lagi.”

“Hati-hatilah dengan Among Asmara. Jika ia mendendam terhadap Ki Bekel dan anaknya yang semalam ditontoni, Ki Narasembada-lah yang harus bertanggung jawab.”

“Ya. Aku akan bertanggung jawab.”

“Kenapa orang itu harus berganti nama? Bukankah namanya sendiri yang diterimanya dari orang tuanya sudah cukup baik?”

“Ya. Ia akan kembali kepada namanya sendiri.”

“Nah, apakah sekarang masih ada persoalan yang menggelitik Ki Narasembada? Mumpung aku masih ada di sini.”

“Aku akan mengucapkan terima kasih kepada Genduk Miyat yang telah dapat menahan diri terhadap muridku, Among Asmara.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Maksud Ki Narasembada?”

“Genduk Miyat tidak membunuhnya. Seandainya saat itu dilakukannya, aku tentu akan berusaha menyelamatkannya. Nah, keterlibatanku malam itu akan dapat membunuhku pula.”

“Tetapi bukankah perlakuan Miyat terhadap Among Asmara itu yang membuat Ki Narasembada menemui kami sekarang ini?”

“Karena ketidaktahuanku. Karena itu, aku minta maaf, sekaligus mengucapkan terima kasih.”

“Baiklah. Kita tidak akan mempersoalkannya lebih panjang lagi. Tetapi tolong, kendalikan Among Asmara.”

“Aku berjanji.”

“Terima kasih.”

Dengan demikian, maka Ki Narasembada dan kedua orang saudara seperguruannya pun minta diri. Ketika mereka akan meninggalkan tepian, Ki Narasembada berkata, “Aku persilahkan Ki Sanak berdua singgah di padepokan kecilku. Kami tinggal di pinggir sungai kecil ini, beberapa ratus patok ke arah udik. Sungai kecil ini akan melingkari sebuah gumuk kecil di kaki Gunung Merapi. Kami tinggal di gumuk kecil itu.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan pada kesempatan lain kami dapat singgah. Apakah Among Asmara juga berada di padepokan itu?”

“Tidak. Ia sudah tidak tinggal di padepokan. Tetapi ia tinggal di rumahnya.”

“Itulah sebabnya pengawasan Ki Narasembada tidak cukup ketat terhadap murid yang sudah terlanjur mewarisi ilmu yang cukup tinggi.”

“Itu salah kami. Kami akan memperbaiki kesalahan itu.”

Ketiga orang itu pun kemudian menaiki tebing di seberang, di sebelah tebing yang runtuh, dan berjalan menyusuri tanggul ke arah udik.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian justru duduk di sebuah batu yang besar, di bawah sebatang pohon yang rimbun yang tumbuh di tanggul sungai kecil itu.

“Ternyata mereka orang-orang yang jujur,” desis Glagah Putih.

“Ya,” sahut Rara Wulan. “Sikapnya wajar.”

“Agaknya Ki Narasembada benar-benar akan mengawasi muridnya, khususnya Among Asmara.”

“Ya. Aku bahkan yakin, bahwa Ki Narasembada akan memberikan peringatan yang keras terhadap Among Asmara dan saudara-saudara seperguruannya yang mendukung sikap dan tindakannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Rara. Permainanku hari ini justru menyadarkan kepadaku, bahwa aku dan tentu juga kau telah memikul tanggung jawab yang sangat berat.”

“Maksud Kakang?”

“Ilmu kita sudah meningkat semakin tinggi. Sementara itu, apakah kita yakin bahwa kita pada suatu saat tidak tergoda oleh kemampuan kita, sehingga kita benar-benar akan menjadi orang-orang yang sombong dan terjerumus ke dalam tingkah laku yang keluar dari jalan yang seharusnya?”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itulah sebabnya, Kakang, orang-orang tua selalu memberikan pesan agar kita tidak pernah terlepas dari kesadaran kita tentang diri kita sendiri.”

“Itulah yang sulit.”

“Kita harus berusaha, Kakang. Kita akan saling mengingatkan. Kita akan saling membantu dalam kelemahan jiwani yang memang mungkin datang mencengkam kita.”

“Kita memang harus berjuang dan memohon kepada Yang Maha Agung, sumber dari segala sumber Kuasa di segala ruang dan waktu. Semoga kurnia-Nya tetap berada dalam kendali-Nya. Sehingga kita, peraganya, tidak berjalan sendiri menurut kemauan kita semata-mata.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Pernyataan Glagah Putih adalah satu pengakuan akan kelemahan jiwa seseorang yang mudah tergoda oleh gebyar kehidupan keduniawian.

Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri, merenungi jalan kehidupan yang akan mereka lalui dengan bekal yang meyakinkan di dalam olah kanuragan.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun berkata, “Rara. Apakah kita perlu memberikan sebutan atas ilmu kanuragan yang kita sandang sekarang ini?”

“Nama?”

“Bukankah ilmuku dan ilmumu telah lebur? Kau tidak dapat lagi menyebut ilmumu dengan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce. Aku juga tidak akan dapat menyebut lagi Aji Sigar Bumi, serta ilmuku yang lain yang tidak mempunyai sebutan apa-apa. Meskipun kau masih tetap memiliki Aji Pacar Wutah yang masih dapat kau terapkan jika kau kehendaki, demikian pula aku, tetapi dalam puncak kemampuan kita, kita memerlukan sebutan yang pantas. Di dalam kitab itu tidak ada petunjuk apa-apa tentang sebutan atas ilmu yang tercantum di dalamnya. Bukan sekedar tulisan yang tidak berarti apa-apa. Tetapi setelah kita jalani laku, maka apa yang tertulis di dalam kitab itu telah ternyata dalam diri kita.”

“Kakang akan memberi sebutan pada puncak ilmu kita?”

“Kalau mungkin, apa salahnya?”

“Aku sependapat, Kakang.”

“Nah, sekarang kita akan mencari nama itu.”

Rara Wulan memandang Glagah Putih sekilas. Kemudian dipandanginya tebing berbatu padas yang berguguran.

Rara Wulan sendiri juga mampu melakukannya, meskipun mungkin masih selapis di bawah kemampuan Glagah Putih. Namun apa yang dapat dilakukan oleh Rara Wulan, telah melampaui kemampuan ilmunya Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

“Sebutan apa yang akan Kakang pergunakan?”

“Berbeda dengan sebutan ilmu yang pernah kita dengar. Kita tidak perlu mempergunakan sebutan yang mengesankan kekerasan. Bukankah ada sisi yang lembut dari ilmu yang telah kita warisi lewat kitab itu?”

“Ya, Kakang.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Kemudian ia pun merenungi beberapa kata yang pantas untuk menyebut ilmunya. Namun akhirnya Glagah Putih itu pun menggeleng sambil berdesis, “Aku tidak menemukan nama yang mapan untuk ilmu kita.”

“Jadi?”

“Bagaimana jika kita sebut saja dengan Aji Namaskara?”

“Aji Namaskara,” ulang Rara Wulan.

“Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Baik, Kakang. Ilmu itu akan selalu mengingatkan kita kepada Ki Namaskara. Orang yang langsung atau tidak langsung telah mewariskan ilmu itu kepada kita. Karena Ki Namaskara mewariskan ilmu itu tanpa nama, maka kita sebut saja Aji Namaskara. Seandainya nama itu masih terdengar agak janggal, semakin lama akan semakin terbiasa bagi telinga kita. Bukankah nama itu hanya akan disebut-sebut di antara kita saja?”

“Ya.”

“Nah, baiklah. Sejak sekarang kita sebut ilmu puncak kita itu dengan Aji Namaskara.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aji Namaskara.”

Keduanya pun kemudian sejenak termenung. Agaknya mereka sedang merenungi nama yang baru saja mereka ucapkan, untuk menyebut ilmu puncak yang mereka kuasai setelah menjalani laku yang berat di dalam hutan di kaki Gunung Merapi.

Namun beberapa saat kemudian, Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Sekarang kita akan melanjutkan perjalanan kita.”

“Marilah, Kakang,” sahut Rara Wulan sambil bangkit berdiri.

Keduanya pun kemudian meninggalkan tepian itu. Mereka menaiki tebing yang tidak terlalu tinggi. Mereka pun berjalan beberapa saat menyusuri tanggul.

“Kita akan kembali ke jalan yang kita lalui tadi,” berkata Glagah Putih.

“Ya, Kakang,” jawab Rara Wulan, sambil melangkahi parit yang membujur di sepanjang kotak-kotak sawah. Selanjutnya keduanya pun berjalan meniti pematang di antara tanaman yang nampak hijau.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melangkahi parit lagi dan turun ke jalan yang tadi mereka lewati.

Ternyata jalan yang mereka lewati memang jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang. Mereka tidak terlalu sering berpapasan dengan seseorang. Tidak pula ada orang yang jalan seiring dengan mereka.

“Jalan ini terasa terlalu sepi,” berkata Rara Wulan kemudian.

“Ya. Padahal di depan terdapat beberapa padukuhan yang cukup besar. Sawahnya pun nampak subur terbentang sampai ke batas hutan yang membujur di cakrawala.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Mungkin kerja di sawah telah selesai. Tanaman tumbuh dengan subur. Para petani tinggal menunggu padi yang telah bunting itu berbuah dan menjadi kuning. Kemudian memetiknya dan membawanya ke lumbung.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Pada saat padi bunting justru para petani menjadi tegang. Kadang-kadang jika nasib buruk, justru hama datang menyerang. Hama walang sangit dapat datang setiap saat menghisap biji yang masih agak cair, sehingga ketika padi itu berbuah, maka butir-butirnya telah kosong. Yang ada hanyalah kulitnya yang tegak mencuat dari batangnya. Namun padi yang kosong, yang nampaknya menengadah itu, sama sekali tidak memberikan apa apa kepada para petani yang menanam dan memelihara dengan tekun sebelumnya.

Namun jika nasib baik, maka padi itu akan menghasilkan buah yang berisi. Namun justru semakin berisi, maka buah padi itu akan nampak semakin merunduk. Buah padi yang merunduk itu adalah buah padi yang seolah-olah tahu membalas budi kepada para petani yang menanam dan memeliharanya dengan tekun.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan di jalan yang panjang menuju ke sebuah padukuhan yang terhitung besar.

Sementara itu, matahari telah mulai bergerak menurun. Sambil menengadahkan wajahnya Rara Wulan pun berkata, “Ternyata kita cukup lama berada di tepian.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk, “kita telah kehilangan banyak waktu. Jika saja kita berjalan terus, maka kita tentu sudah melampaui beberapa bulak panjang dan beberapa padukuhan.”

“Tetapi bukankah kita tidak berada dalam batasan waktu? Ternyata permainan Kakang di tepian ada juga artinya.”

“Maksudmu?”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Katanya, “Kita sempat memberi nama terhadap ilmu puncak kita.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk. “Selain itu kita pun semakin mengenali diri kita dan semakin mencemaskan ketahanan jiwa kita terhadap godaan duniawi.”

“Bukankah dengan demikian kita dapat lebih mengenali pula sisi-sisi kehidupan kita? Yang gelap, yang suram dan yang terang?”

“Ya. Satu dorongan untuk lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Ingat di setiap saat akan keberadaan-Nya dan Kuasa-Nya.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri.

Dalam pada itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Keduanya telah melintasi padukuhan yang cukup besar yang membujur sepanjang jalan yang mereka lalui. Mereka berjalan lewat di depan bangunan yang cukup besar. Banjar padukuhan itu.

Namun padukuhan itu tidak terlalu ramai. Halaman-halaman rumah yang luas menjadikan jarak antara tetangga menjadi jauh. Tanah yang tidak rata, gumuk-gumuk kecil yang ada di padukuhan itu agaknya telah membuat jarak antara seseorang dan orang yang lain.

“Gumuk-gumuk kecil itu dapat longsor jika hujan lebat turun,” desis Rara Wulan.

“Ya. Tetapi agaknya hal itu jarang sekali terjadi.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Di ujung padukuhan mereka berpapasan dengan beberapa orang anak yang pulang dari padang sambil menggiring kambing mereka. Anak-anak itu berpaling memandang Glagah Putih dan Rara Wulan dengan kerut di dahi. Mereka belum pernah melihat keduanya lewat jalan utama di padukuhan mereka. Tetapi mereka tidak bertanya apa-apa.

“Kambing mereka nampak gemuk-gemuk,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Tentu di sekitar ini terdapat padang rumput yang luas.”

“Atau padang perdu.”

“Mereka tidak akan menggembalakan kambing mereka ke padang perdu dekat dengan hutan itu. Di hutan itu tentu berkeliaran binatang buas.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Ketika mereka kemudian berjalan di tengah-tengah bulak berikutnya, maka matahari pun menjadi semakin rendah.

Cahaya matahari yang menjadi semakin lunak menebar di atas kotak-kotak sawah yang bertingkat, semakin lama semakin menurun. Di belakang mereka, puncak Gunung Merapi nampak kemerah-merahan. Beberapa lembar awan nampak mengambang di lambung gunung.

Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di sebuah banjar padukuhan. Ternyata orang-orang padukuhan itu sangat baik, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan diperlakukan sebagai seorang tamu.

Penunggu banjar itu telah menyediakan makan malam bagi keduanya. Bahkan di pagi hari, penunggu banjar itu sudah menyediakan ketela pohon yang direbus dengan legen kelapa.

Setelah mengucapkan terima kasih, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan padukuhan itu untuk meneruskan perjalanan mereka.

“Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih kepada penunggu banjar, “aku sekarang berada di padukuhan mana?”

“Ki Sanak berada di padukuhan Watu Palang. Jika Ki Sanak berjalan terus, maka Ki Sanak akan sampai ke padukuhan Tegal Reja. Kalau Ki Sanak berjalan terus ke barat, maka Ki Sanak akan sampai ke Kali Praga.”

“Kali Praga?” ulang Rara Wulan.

“Ya. Kali Praga. Ki Sanak akan menempuh perjalanan di dataran yang luas. Namun Ki Sanak masih akan menjumpai padang perdu, hutan dan rawa-rawa. Baru kemudian Ki Sanak akan sampai ke dekat satu lingkungan yang ditebari dengan bangunan-bangunan kuno berupa candi-candi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia belum pernah melewati padukuhan Tegal Reja. Ia pun belum pernah menjelajahi daerah yang menyimpan banyak peninggalan bangunan lama, meskipun mereka tahu tentang bangunan-bangunan kuno itu.

Tanah Perdikan Menoreh adalah dataran yang dibatasi oleh dinding yang berujud rangkaian panjang sebuah pegunungan yang disebut Pegunungan Menoreh di sisi barat. Pegunungan yang membujur ke utara, sampai ke tlatah yang akan dilewatinya jika mereka tidak sengaja berjalan melingkar.

“Terima kasih, Ki Sanak. Kami mohon diri.”

“Berhati-hatilah di perjalanan. Kalian akan menempuh daerah yang gawat. Meskipun daerah yang akan kalian lalui menjadi jalan pintas para pedagang, tetapi biasanya mereka melintas dalam rombongan yang cukup kuat. Mereka tidak mau terperosok ke dalam kesulitan karena sekelompok perampok yang menghadang mereka. Jika mereka melintas dalam kelompok yang agak besar, maka mereka akan dapat saling membantu melawan para perampok itu. Terlebih-lebih di sekitar penyeberangan di Kali Praga.”

“Penyeberangan yang bagaimana yang Ki Sanak maksudkan? Apakah di Kali Praga itu ada beberapa tukang satang dengan rakitnya menunggu orang-orang yang menyeberang?”

“Pada keadaan yang sewajarnya, tidak. Orang dapat menyeberang tanpa bantuan rakit dan tukang satang.”

Sekali lagi Glagah Putih dan Rara Wulan mengucapkan terima kasih sebelum mereka beranjak meninggalkan padukuhan itu. Ketika mereka keluar dari padukuhan Watu Palang, mereka masih melihat kabut yang tipis menebar di bulak yang panjang. Namun kabut itu perlahan-lahan terangkat oleh cahaya matahari yang baru terbit.

Jalan membujur panjang di hadapan mereka. Menusuk di antara kotak-kotak sawah yang luas. Di ujung jalan itu nampak sebuah padukuhan yang lamat-lamat mencuat dari balik kabut yang menipis. Namun di arah lain mereka melihat hutan yang agaknya masih lebat di ujung kaki Gunung Merapi.

“Kita akan pergi ke Tegal Reja,” berkata Glagah Putih.

“Apakah kita akan menyeberang?”

“Ya. Kita akan menyeberang Kali Praga. Tetapi kita tidak akan menuju ke selatan, agar kita tidak sampai di Tanah Perdikan kembali.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya kemudian, “Pada dasarnya Kali Praga dapat diseberangi.”

“Ya. Seperti yang dikatakan penunggu banjar di Watu Palang. Tetapi jika banjir, agaknya kita akan sulit menyeberang.”

“Kau lihat langit bersih, Kakang. Bukankah sekarang tidak sedang mangsa rendeng? Di musim hujan mungkin Kali Praga banjir hampir setiap hari.”

“Ya. Tetapi tentu tidak perlu hari ini. Mungkin esok atau bahkan lusa.”

“Kenapa harus esok atau bahkan lusa?”

“Mungkin ada yang menarik perhatian di sepanjang jalan. Tetapi bukankah jalan masih panjang?”

“Tetapi seperti dikatakan oleh penunggu banjar, kita harus berhati-hati, karena kita akan melalui jalan yang agaknya mempunyai banyak hambatan.”

“Ya. Meskipun demikian, jalan ini masih saja menjadi jalur perjalanan para pedagang yang akan menuju ke daerah barat. Agaknya cara mengatakannya terbalik, Rara. Bukan para pedagang itu memilih jalan yang meskipun banyak hambatannya. Tetapi justru karena jalan ini banyak dilalui para pedagang yang dianggap membawa banyak uang dan barang-barang berharga, maka daerah ini telah mengundang kelompok-kelompok orang yang berniat jahat. Mereka yang ingin memiliki banyak uang dan barang-barang berharga melalui jalan pintas.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Ya. Agaknya kau benar, Kakang. Sebelum para penjahat itu berdatangan, jalan ini tentu merupakan jalan yang aman dan terhitung dekat dengan tujuan para pedagang yang menuju ke barat itu. Sehingga mereka memilih melalui jalan ini. Namun lambat laun, jalan ini pun menjadi jalan yang berbahaya.”

“Tentu semula para pedagang itu lewat tanpa harus menunggu beberapa orang kawan. Mereka agaknya menyeberang jalan ini sendiri-sendiri atau berdua saja. Namun mereka kemudian menjadi sasaran kejahatan yang seakan-akan terpanggil untuk melakukannya di sini.”

“Ya. Dengan demikian maka para pedagang itupun mendapatkan akal. Mereka melintas bersama-sama, sehingga mereka akan dapat melawan jika sekelompok perampok menghentikan mereka.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Rara Wulan pun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak usah merasa cemas. Kita tidak mempunyai apa-apa, sehingga tidak ada seorang penjahat pun yang akan mengganggu kita.”

“Kita membawa uang,” desis Glagah Putih.

“Tidak seberapa, dibanding dengan benda-benda berharga yang dibawa oleh para pedagang.”

“Ada yang lebih berharga.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Ya. Kitab ini.”

Glagah Putih pun tiba-tiba berkata, “Bagaimana pendapatmu, jika kitab itu kita sembunyikan saja di tempat yang tidak akan pernah didatangi seseorang.”

“Dimana?”

“Di dalam goa misalnya. Goa yang tidak akan pernah menarik perhatian orang.”

“Kalau petinya rusak dan kitabnya pun kemudian rusak pula?”

“Bukankah kitab itu tidak boleh diketahui isinya oleh siapapun, kecuali kita?”

“Bagaimana jika kita musnahkan saja?”

“Kita masih belum tuntas. Rara. Kita belum menemukan Tuk Kawarna Susuhing Sarpa. Selain itu, masih ada lagi bagian-bagian dari laku yang harus kita selesaikan, meskipun tidak harus dengan serta-merta.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita masih harus menuntaskannya.”

“Bagaimana jika kitab itu tidak usah kita tempatkan dalam peti kecil itu?”

“Lalu?”

“Petinya saja yang kita sembunyikan.”

“Kalau rusak?”

“Tidak apa-apa.”

“Peti itu buatannya bagus sekali, Kakang. Aku sebenarnya senang pada bentuk dan ujudnya.”

“Jika demikian, biar saja kitab itu tersimpan di dalam peti itu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun kemudian Rara Wulan itu pun berkata, “Kakang. Sebaiknya kitab itu tidak ditempatkan lagi di dalam peti ini. Kakang membawa kitabnya, aku membawa petinya. Jika ada orang yang tertarik pada peti ini, maka kita tunjukkan bahwa peti itu kosong.”

“Kitab ini dapat rusak, mungkin karena keringat. Tetapi mungkin karena gerak tubuhku. Apalagi jika aku harus berloncatan dan bahkan berguling dan berputaran.”

“Kitab itu kita bungkus dengan kain. Kita dapat membeli kain di pasar yang akan kita lewati. Entah nanti, entah esok. Jika kitab itu ada di dalam peti ini, akan dapat terjadi salah paham. Apalagi jika kita akan melewati jalan yang mempunyai banyak hambatan. Mereka tentu akan mempertanyakan isi peti ini. Jika kita harus membukanya, maka kitab itu akan sangat menarik perhatian mereka. Tetapi jika peti itu kosong, maka mereka tidak akan mempersoalkannya lagi.”

“Tetapi mereka tentu masih juga akan bertanya, kenapa peti kosong itu kau bawa kemana-mana?”

“Peti itu semula berisi perhiasan peninggalan orang tua. Tetapi sudah dirampas orang sebelumnya.”

Glagah Putih tertawa. Tetapi ia pun berkata, “Baiklah. Jika kita sudah mempunyai sepotong kain, maka kitab kecil yang ada di dalam peti kecil itu akan kita bungkus, dan aku akan menyelipkannya di bawah bajuku. Tetapi aku harus mengenakan stagenku di luar bajuku, agar kitab itu tidak meluncur jatuh.”

“Kau pakai baju gondil. Kau bawa kitab itu di dalam baju gondilmu.”

Glagah Putih tertawa lebih panjang. Namun suara tertawanya berhenti. Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berpaling karena mereka mendengar derap kaki beberapa ekor kuda yang berlari di belakang mereka.

Beberapa saat kemudian, beberapa orang penunggang kuda melarikan kuda mereka mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan. Ada di antara mereka yang berpaling kepada kedua orang suami istri itu. Tetapi yang lain sama sekali tidak menghiraukannya

“Tentu mereka para pedagang dan saudagar yang diceritakan oleh penunggu banjar itu,” desis Rara Wulan.

“Ya. Sekelompok saudagar dan pedagang yang cukup kuat. Para pedagang dan saudagar yang berkeliling sampai ke tempat yang jauh, mereka tentu memiliki bekal kemampuan dan ilmu yang tinggi. Bahkan ada di antara mereka yang masih membawa satu dua orang pengawal yang kuat untuk melindunginya dari orang-orang yang berniat jahat. Jika mereka bergabung dalam satu kelompok yang agak besar, maka kelompok-kelompok penjahat pun akan berpikir ulang jika mereka berniat mencegat perjalanan para pedagang dan saudagar itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan cara yang demikian, maka para pedagang dan saudagar itu tidak akan diganggu di perjalanan. Baru setelah mereka sampai di tempat yang aman, mereka saling memisahkan diri.

Tetapi tempat yang aman itu pun pada suatu saat tentu akan menjadi tidak aman pula. Para penjahat, perampok dan penyamun yang mencium bahwa para pedagang dan saudagar itu telah berpisah dan menuju ke tujuan mereka masing-masing, maka mereka pun akan datang ke tempat itu.

Yang kemudian nampak di depan adalah debu yang dihamburkan oleh kaki kuda yang berlari. Iring-iringan orang berkuda itu pun kemudian segera hilang dari pandangan mata mereka.

Keduanya pun kemudian meneruskan perjalanan mereka. Jalan yang mereka lalui masih berada di bulak yang luas. Padukuhan yang ada di hadapan mereka masih berjarak beberapa ratus kotak.

“Akhirnya daerah ini akan menjadi daerah yang aman dengan sendirinya. Para perampok dan penyamun akhirnya akan pergi, karena tempat ini tidak lagi memberikan kemungkinan kepada mereka untuk merampas harta benda para pedagang dan saudagar yang lewat dalam kelompok-kelompok yang cukup besar. Meskipun sebenarnya para pedagang dan saudagar itu juga saling bersaing, tetapi di perjalanan yang gawat mereka saling membantu.”

Rara Wulan masih mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba mereka terkejut ketika mereka sampai di simpang empat di tengah-tengah bulak yang sepi itu. Beberapa orang bermunculan dari balik gerumbul perdu yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan yang menyilang jalan yang dilalui oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Berhenti,” berkata seorang di antara mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti.

“Ada apa kalian menghentikan perjalanan kami, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan berpura-pura tidak tahu.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku tidak berpura-pura. Tetapi aku benar-benar tidak tahu maksud kalian.”

“Baiklah,” berkata seorang yang lain, “aku tidak mau berbelit-belit Berikan apa saja yang kalian punya kepada kami.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk. “Jadi kalian ingin merampok?”

“Ya.”

“Kenapa tidak kau lakukan tadi ketika sekelompok orang berkuda lewat? Mereka adalah pedagang dan saudagar-saudagar yang tentu kaya. Mereka tentu membawa uang dan barang-barang berharga yang dapat kalian rampas dan kalian bawa ke sarang kalian.”

“Gila. Mereka terdiri dari banyak orang.”

Glagah Putih memandang para perampok itu seorang-seorang. Mereka memang hanya terdiri dari lima orang. Mereka tentu akan membuat pertimbangan ulang jika mereka akan merampok sekelompok pedagang dan saudagar berkuda yang baru saja lewat.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “kenapa kalian hanya berlima? Bukankah kalian tahu bahwa para pedagang dan saudagar yang lewat jalan ini tentu tidak hanya satu atau dua orang. Mereka tentu berkelompok, agar mereka dapat mempertahankan dirinya jika mereka bertemu dengan sekelompok perampok.”

Seorang di antara mereka menjawab dengan jujur, “Sebenarnya kami tidak hanya berlima Kami telah membuat kesepakatan dengan beberapa orang kawan kami yang lain. Tetapi agaknya mereka terlambat datang. Mereka tentu memperhitungkan bahwa jika ada sekelompok pedagang lewat, tentu tidak sepagi ini. Tetapi menurut dugaan kami, nanti tentu masih ada lagi sekelompok pedagang yang lewat. Mudah-mudahan kelompoknya lebih kecil dari kelompok yang besar yang baru saja lewat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tunggu saja kawan-kawanmu. Nanti kalian dapat menghentikan sekelompok pedagang yang akan lewat.”

“Tetapi kami tidak membiarkan kalian berdua lewat begitu saja tanpa menyerahkan uang dan barang-barang milik kalian.”

“Kami tidak mempunyai apa-apa,” jawab Glagah Putih, “kami adalah dua orang pengembara.”

“Pengembara?”

“Ya. Kami sedang menjalani laku. Kakekku meninggalkan warisan kepadaku pengetahuan tentang pengobatan dan penglihatan tembus ruang dan waktu. Tetapi aku harus menjalani laku. Kami harus mengembara tiga tahun tanpa pulang. Mendatangi tempat-tempat yang keramat dan mencari berbagai macam jenis tumbuh-tumbuhan.”

Para penyamun itu termangu-mangu sejenak. Namun Rara Wulan menjadi berdebar-debar ketika ada di antara mereka yang memandangi peti yang diemban dengan selendangnya.

“Apa yang kau bawa?” bertanya salah seorang di antara para penyamun itu kepada Rara Wulan.

“Bukan apa-apa,” jawab Rara Wulan.

“Berikan kepadaku,” geram penyamun itu.

Tetapi Glagah Putih-lah yang menjawab, “Yang dibawanya adalah sebuah peti yang berisi kitab. Laku yang kami jalani sekarang dasarnya adalah bunyi kitab itu.”

“Bohong. Kalian tentu membawa barang berharga di selendangnya itu.”

Glagah Putih pun kemudian mendekati Rara Wulan sambil berkata, “unjukkan kepadanya, bahwa yang ada di dalam gendonganmu itu adalah sebuah peti kecil yang berisi kitab yang menuntun laku yang sedang kita jalani sekarang.”

Rara Wulan menjadi agak ragu. Namun ia pun kemudian mengambil peti kecil itu dan membukanya. Yang ada di dalam peti kecil itu memang hanya sebuah kitab kecil.

“Nah, kau percaya sekarang, bahwa kami tidak mempunyai apa-apa kecuali kitab kecil itu? Jika kau tidak percaya, kau dapat membaca isinya serba sedikit, untuk meyakinkan kebenaran kata-kataku.”

“Tidak. Aku tidak perlu melihat isi kitab itu.”

“Bukankah kau harus yakin bahwa aku tidak berbohong ?”

Tiba-tiba saja orang itu membentak, “Aku tidak dapat membaca! Buat apa aku melihat isi kitabmu?”

“Jika demikian, biarlah kami lewat.”

“Tunggu,” berkata yang lain, “jika kau mengembara selama tiga tahun, kau tentu membawa bekal uang cukup banyak.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ki Sanak. Kami tidak sedang menempuh perjalanan untuk ngenggar-ngenggar penggalih, sehingga kami membawa banyak uang untuk bekal perjalanan. Tetapi kami sedang menjalani laku. Kami makan dan minum apa saja yang kami temui di perjalanan kami. Suatu kali kami mendapat perlakuan baik dari penghuni sebuah padukuhan. Kami mendapat suguhan makan dan minum. Namun pada kesempatan lain, kami menemukan pohon buah-buahan liar di pinggir-pinggir hutan. Sekali-kali kami melibatkan diri dalam kerja di sawah atau ikut sambatan atas ijin pemiliknya, maka kami akan mendapat uang serba sedikit. Setidak-tidaknya kami akan mendapat makan dan minum di hari itu.”

Para penyamun itu termangu-mangu. Namun agaknya mereka mempercayai keterangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, seorang di antara mereka yang agaknya mereka anggap sebagai pemimpin berkata, “Biarlah mereka pergi.”

Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Kenapa kita tidak minta perempuan itu singgah barang sebentar di sarang kita?”

“Tutup mulutmu. Kau selalu membuat kita semuanya kehilangan kabegjan. Kehilangan kesempatan untuk mendapat rejeki.”

Orang itu terdiam.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan meneruskan perjalanan kami. Perjalanan kami masih panjang. Kami baru menjalani laku ini selama setengah tahun.”

“Pergilah. Jangan lewat jalan ini lagi,” geram pemimpin sekelompok penyamun itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian beranjak meninggalkan tempat ini.

Namun sebelum mereka pergi, mereka melihat beberapa orang datang lewat jalan simpangan, menemui para penyamun yang sudah ada di bulak itu.

“Kau biarkan orang itu pergi?” bertanya seorang di antara mereka yang baru datang.

“Ya.”

“Kenapa ?”

“Mereka adalah pengembara yang sedang menjalani laku atas perintah guru mereka. Mereka tidak membawa apa-apa kecuali membawa kepala mereka.”

Orang yang baru datang itu mengangguk-angguk. Namun ternyata mereka tidak menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang berjalan terus dengan jantung yang berdebaran. Jika orang-orang yang baru datang itu bersikap lain, maka keduanya terpaksa mengambil sikap yang lain pula.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih mendengar seseorang berkata, “Kalian datang terlambat. Ada beberapa orang pedagang dan saudagar berkuda lewat.”

“Kalian tidak menghentikan mereka?”

“Mereka lewat dalam kelompok besar. Kami tidak ingin membunuh diri di sini.”

Agaknya mereka masih berbincang panjang. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi semakin jauh, tidak dapat mendengarkan lagi.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih berjalan menyusuri jalan yang sama. Beberapa kali mereka melewati padukuhan. Namun mereka masih juga melihat jejak kaki kuda di jalan yang dilewatinya. Karena itu, mereka pun tahu bahwa para pedagang dan saudagar itu melewati jalan yang mereka lewati itu pula.

Dalam pada itu, jalan yang mereka lewati semakin lama justru nampak menjadi semakin ramai. Beberapa jalur jalan bermuara di jalan yang mereka lewati itu.

“Kita menuju ke tempat yang agaknya lebih ramai dibandingkan tempat yang telah kita lewati.”

Glagah Putih mengangguk.

“Apakah kita sudah sampai di Tegal Reja?”

“Tentu belum,” jawab Glagah Putih, “tetapi jalan ini tentu menuju ke Tegal Reja.”

Rara Wulan pun mengangguk pula.

Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan yang agaknya cukup besar, maka mereka telah melewati sebuah pasar. Pasar yang cukup luas. Tatapi agaknya pasar itu telah mengalami masa surut. Pasar itu sudah tidak banyak dikunjungi orang. Apalagi hari sudah semakin siang.

“Di hari pasaran, mungkin pasar ini masih juga ramai,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi menilik bangunannya, serta sisi-sisi yang telah ditumbuhi rerumputan dan bahkan batang ilalang itu, pasar ini sudah menjadi jauh menyusut. Sebagian dari bangunan-bangunan yang ada di pasar ini tidak dipergunakan lagi. Tempat para pande besi bekerja di sudut pasar itu pun nampaknya tidak pernah lagi disentuh.”

Keduanya justru berhenti di depan pasar yang menjadi semakin lengang itu.

“Masih ada sebuah kedai yang buka,” berkata Glagah Putih, “kita dapat singgah sebentar.”

Rara Wulan mengangguk.

Ketika keduanya memasuki kedai yang masih terbuka pintunya itu, tidak seorang pun yang berada di dalamnya kecuali pemilik kedai itu. Agaknya dagangannya pun tidak terlalu banyak. Hanya sekedarnya saja. Tidak terdapat seorang pelayan pun di dalam kedai itu, sehingga segala sesuatunya cukup dilakukan oleh pemiliknya sendiri.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memesan minuman. Ketika mereka bertanya tentang makan yang tersedia di kedai itu, pemilik kedai itu menjawab, “Di sini hanya disediakan nasi tumpang, Ki Sanak.”

“Tidak ada yang lain?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak. Tidak banyak orang yang datang ke pasar ini sekarang. Bahkan semakin lama semakin menyusut.”

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Tidak banyak lagi pedagang dari tempat yang jauh datang ke pasar ini. Dahulu, pasar ini merupakan tempat pemberhentian para pedagang dari tempat-tempat yang jauh. Di sebelah pasar itu terdapat rumah yang besar, yang dipergunakan sebagai penginapan. Setiap hari halamannya yang luas terisi oleh beberapa buah pedati. Di sini para pedagang membawa dagangan yang kemudian diambil oleh para pedagang dari tempat yang berbeda. Mereka kadang-kadang saling menukar barang-barang dagangan mereka.”

“Apakah sekarang tidak lagi?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah.” Orang itu berhenti sejenak, lalu ia pun tiba-tiba bertanya, “Apakah Ki Sanak mau makan atau tidak? Yang ada hanya nasi tumpang.”

“Jika tidak ada yang lain, baiklah,” jawab Rara Wulan.

Pemilik kedai itu kemudian menyiapkan minuman dan nasi tumpang bagi kedua orang tamunya,

Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di amben yang panjang termangu-mangu memandang berkeliling. Kedai itu memang sederhana saja. Meskipun ruangannya cukup luas, tapi sebagian tidak lagi dipergunakan.

“Pada saatnya, kedai ini tentu sebuah kedai yang besar,” berkata Rata Wulan.

“Ya, menilik sisa-sisa perabot yang dipergunakannya sekarang. Tetapi sejalan dengan menyusutnya pasar di sebelah, maka kedai ini pun telah menyusut pula. Agaknya demikian pula kedai-kedai yang lain. Bahkan mungkin satu dua di antaranya sudah ditutup.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya pemilik kedai itu tidak mau menyebut penyebabnya meskipun jelas. Tentu karena tidak banyak lagi pedagang yang datang ke pasar itu. Sedang para pedagang itu tidak mau mengalami kesulitan dengan para perampok dan penyamun. Sehingga pasar ini pun kemudian tidak lebih dari pasar bagi orang-orang yang menjual hasil kebunnya. Mereka yang berbelanja pun hanyalah mereka yang memerlukan kebutuhan dapur sehari-hari.”

Pembicaraan mereka terhenti ketika dua orang laki-laki memasuki kedai itu dan duduk dekat Glagah Putih dan Rara Wulan. Ternyata keduanya adalah bebahu padukuhan itu. Pemilik kedai itu dengan serta-merta mendatangi keduanya sambil bertanya, “Minum, Ki Jagabaya? Ki Kamituwa?”

“Ya,” jawab orang yang disebut Ki Jagabaya.

“Makan?” bertanya pemilik kedai itu.

“Makan, Ki Kamituwa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Terima kasih. Aku sudah makan di rumah.”

“Tadi pagi?”

“Aku sarapan sudah agak siang.”

Ki Jagabaya itu pun kemudian menjawab pertanyaan pemilik kedai itu, “Tidak. Aku hanya akan minum. Apakah kau punya makanan?”

“Sudah habis, Ki Jagabaya.”

“Baiklah, beri saja kami minum.”

Pemilik kedai itu segera menyiapkan minuman bagi Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa

Dalam pada itu, kedua orang bebahu itu memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang sedang makan nasi tumpang.

Dengan nada ragu Ki Jagabaya bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Aku ingin bertanya, apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini? Rasa-rasanya aku belum pernah melihat Ki Sanak berdua.”

“Kami memang tidak tinggal di sekitar tempat ini, Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih.

“Ki Sanak tahu bahwa aku Jagabaya di kademangan ini?”

“Tadi, pemilik kedai itu menyebut Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa.”

“O,” Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu tertawa.

“Jika demikian, Ki Sanak ini tinggal dimana?” bertanya Ki Kamituwa.

“Kami berdua adalah suami istri yang tinggal di Banyu Asri, dekat Jati Anom.”

“Jati Anom? Begitu jauh. Lalu apa keperluan Ki Sanak sampai k-mari?”

“Kami sedang dalam pengembaraan, Ki Kamituwa. Kami meninggalkan kampung halaman kami, karena kami tidak dikehendaki lagi keberadaan kami di rumah oleh orang tua kami.”

“Maksud Ki Sanak?”

“Orang tuaku dan orang tua istriku tidak merestui pernikahan kami, sehingga kami terusir dari rumah mereka. Dari rumah orang tuaku dan dari rumah istriku. Karena itu, kami mengembara atas nasehat seorang tua yang pandai. Pengembaraan ini menjadi laku, menyongsong masa depan kami berdua.”

“Tetapi kenapa kalian lewat daerah kami yang terhitung daerah yang gawat ini.”

“Kami tidak tahu bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat, sehingga kami telah mengembara di lingkungan ini.”

“Darimana kau kemudian mengetahui bahwa daerah ini adalah daerah yang gawat?”

“Pemilik kedai ini memberitahukan kepadaku.”

“Tidak, Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa,” potong pemilik kedai itu, “aku hanya mengatakan bahwa dahulu banyak pedagang yang lewat dan berhenti di sini. Sekarang tidak lagi.”

Kedua orang bebahu itu mengangguk-angguk. Ki Jagabaya pun kemudian berkata, “Orang itu tentu tidak akan berani berkata terus terang. Banyak perampok dan penyamun di sekitar tempat ini. Kami para bebahu menjadi pusing memikirkannya. Kesejahteraan rakyat kami menjadi jauh menyusut. Pasar ini hampir mati. Jika semula rakyat kami dapat mengais rejeki sedikit di pasar ini, sekarang tidak lagi. Kedai-kedai pun tidak lagi banyak dikunjungi orang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jagabaya pun berkata, “Kami tidak dapat berbuat banyak. Para pedagang yang kemudian lewat dalam kelompok-kelompok yang besar, tidak banyak yang singgah di pasar ini. Mereka langsung pergi ke tempat-tempat yang lebih ramai dan jauh dari para perampok dan penyamun, karena lingkungannya yang lebih baik. Lingkungannya mempunyai kekuatan untuk melawan perampok dan penyamun.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mendengarkan saja. Mereka tidak tahu, bagaimana harus menanggapi keluhan Ki Jagabaya itu. Namun mereka dapat mengerti apa yang dikatakan oleh kedua bebahu itu.

“Tadi, sekelompok pedagang lewat. Tetapi mereka tidak mau lagi singgah di pasar ini. Apalagi bermalam di sini, seperti dahulu. Ketika aku persilahkan mereka singgah, mereka hanya mencibirkan bibir saja. Bahkan ada yang dengan terus terang berkata bahwa kademangan ini tidak mampu menjaga keamanan mereka.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Ki Jagabaya itu pun menarik nafas panjang. Di luar sadarnya ia pun berkata, “Sayang, bahwa Ki Demang tidak sekuat ayahnya dahulu. Jika Ki Demang seorang yang kuat seperti ayahnya, maka keadaan kademangan ini akan berbeda.”

Adalah di luar sadarnya pula ketika Glagah Putih itu pun berkata, “Bukankah Ki Jagabaya mempunyai wewenang untuk menangani persoalan yang menyangkut pengamanan para pedagang itu?”

Ki Jagabaya memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian ia pun berkata, “Ya. Tetapi bukankah kegiatanku harus mendapat dukungan sepenuhnya dari Ki Demang? Jika Ki Demang masih saja acuh tak acuh, bagaimana aku dapat melangkah lebih jauh?”

Glagah Putih terdiam. Ki Jagabaya itu pun menghirup minumannya lagi.

Namun tiba-tiba saja seorang anak muda berlari-lari ke kedai itu. Dengan nafas terengah-engah ia pun berkata, “Ki Jagabaya. Ki Kamituwa. Ada serombongan pedagang yang berada di banjar.”

“Kenapa?”

“Sebagian mereka terluka. Nampaknya mereka baru saja bertempur melawan para penyamun di bulak panjang. Apakah mereka sempat melarikan diri atau mereka berhasil mengusir para penyamun namun beberapa orang kawan mereka terluka ,aku tidak tahu.”

“Kejadian ini bukan kejadian yang pertama,” berkata Ki Jagabaya, “tetapi akibatnya sangat buruk bagi kademangan, khususnya padukuhan ini. Para penyamun itu datang ke padukuhan dan menakut-nakuti rakyat kami. Mereka menganggap bahwa kami telah bersalah memberikan perlindungan kepada para pedagang itu. Padahal sekelompok pedagang dalam jumlah yang agak besar itu mampu melindungi diri mereka sendiri.”

“Mereka menunggu Ki Jagabaya dan para bebahu,” berkata anak muda itu.

Tetapi Ki Jagabaya masih saja duduk di tempatnya. Katanya, “Para pedagang itu berpegang pada kepentingan mereka sendiri. Tadi, kelompok yang terdahulu, hanya mencibir bibirnya saja ketika aku minta untuk singgah. Sekarang dalam keadaan yang sulit, mereka ingin melibatkan kami.”

“Apakah setiap hari ada beberapa kelompok pedagang yang lewat?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Besok hari pasaran di pasar Tegal Reja. Besok lusa mereka akan berada di pasar Mertoyudan. Karena itu, hari ini ada beberapa kelompok pedagang yang lewat kademangan ini.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

“Bagaimana Ki Jagabaya ?” bertanya anak muda yang berlari-lari itu.

“Kau sudah memberikan laporan kepada Ki Demang?”

“Sudah, Ki Jagabaya.”

“Apa kata Ki Demang?”

“Aku diperintahkannya mencari Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya menarik nafas panjang. Ia pun kemudian bangkit berdiri dan berkata kepada Ki Kamituwa, “Marilah kita lihat. Tetapi jika para perampok dan penyamun itu mendendam kepada kita di sini, maka kita-lah yang akan mengalami kesulitan.”

“Kita dapat menjelaskannya, Ki Jagabaya, bahwa kita tidak dapat berbuat lain. Kita tidak dapat melawan sekelompok penyamun.”

Ki Jagabaya tidak menjawab. Dikeluarkannya uang dua keping, lalu diberikannya kepada pemilik kedai itu.

“Sudahlah, Ki Jagabaya. Hanya minuman.”

“Kau sudah kehilangan gula kelapa untuk membuat minuman itu.”

“Aku nderes sendiri, Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya tidak menjawab. Tetapi dua keping uang itu tetap saja ditinggalkannya di sebelah mangkuk minumannya.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah beranjak dari tempatnya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Ki Jagabaya, apakah aku diperkenankan melihat keadaan mereka di banjar?”

“Apa kepentinganmu?”

“Kami berdua mempunyai sedikit pengetahuan tentang obat-obatan-serta perawatan. Mungkin kami dapat membantu merawat mereka.”

“Kenapa kau bersusah payah melakukannya?”

“Mungkin… mungkin….” Glagah Putih tidak melanjutkannya.

“Mungkin kau akan mendapat upah? Begitu?”

Glagah Putih tidak menjawab.

“Terserah kepadamu. Jika kesulitan yang dialami oleh para pedagang itu dapat memberimu rejeki.”

“Bukan maksudku, Ki Jagabaya.”

“Baik. Baik, aku mengerti. Aku minta maaf.”

Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa itu pun segera meninggalkan kedai itu, meskipun dengan perasaan yang agak segan.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera membayar harga minuman dan makanannya pula. Atas ijin Ki Jagabaya, maka mereka pun akan pergi kebanjar padukuhan.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan sampai di banjar, dilihatnya Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa sedang berbicara dengan beberapa orang pedagang. Sementara itu para pedagang yang lain nampaknya sibuk merawat tiga orang kawan mereka yang terluka agak berat. Sedangkan beberapa orang kawan yang lain terluka ringan. Namun agaknya mereka yang terluka ringan itu tidak menghiraukan luka-luka mereka serta pakaian mereka yang terkoyak.

Sementara itu seorang di antara para pedagang yang berbicara dengan Ki Jagabaya itu berkata, “Aku minta Ki Jagabaya dapat mengerti.”

“Aku dapat mengerti, Ki Sanak.”

“Jika Ki Jagabaya dapat mengerti, kenapa Ki Jagabaya merasa berkeberatan untuk merawat tiga orang kawan kami yang terluka parah?”

“Kami tidak berkeberatan, Ki Sanak. Tetapi kami akan merasa sangat sulit untuk mempertanggungjawabkan mereka jika sekelompok perampok itu datang kemari. Jika mereka datang dengan niat buruk terhadap tiga orang kawan Ki Sanak yang terluka, apa yang dapat kami lakukan?”

“Apakah kalian sepadukuhan ini tidak dapat melawan sekelompok perampok?”

“Jadi kami harus bertempur melawan para perampok itu? Ki Sanak, Ki Sanak harus tahu bahwa kami tidak mempunyai kekuatan apa-apa. Tidak ada orang padukuhan ini yang mampu bertempur dengan ilmu kanuragan yang memadai. Bahkan aku dan para bebahu tidak memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi para perampok dan penyamun.”

“Tetapi kalian sepadukuhan jumlahnya tentu berlipat.”

“Bayangkan, Ki Sanak. Seandainya kami mengerahkan semua laki-laki sepadukuhan untuk melindungi tiga orang saudagar kaya yang terluka parah di padukuhan ini, apa yang terjadi? Berapa orang yang harus kami korbankan untuk kepentingan tiga orang saudagar kaya itu? Apakah kami orang orang miskin di padukuhan ini sudah sewajarnya mengorbankan nyawa kami untuk orang-orang kaya sebagaimana Ki Sanak dan para saudagar?”

“Jadi, dimana letaknya kebersamaan di antara kita untuk menentang kejahatan? Jika kalian tidak mau merawat tiga orang kawan kami, bahkan dengan imbalan yang cukup, itu berarti bahwa kalian tidak mempedulikan nasib sesama kalian.”

“Tetapi untuk melindungi tiga orang yang terluka parah itu, mungkin sekali kami harus mengorbankan nyawa lebih dari tiga orang.”

“Itu adalah akibat yang harus ditanggung dalam kebersamaan. Kita saling berkorban untuk sesama kita.”

“Kebersamaan yang manakah sebenarnya yang kalian maksud?”

“Jangan pura-pura tidak tahu, Ki Jagabaya. Kami sekarang memerlukan bantuan kalian untuk menyembunyikan kawan-kawan kami yang terluka.”

“Sudah aku katakan, kami akan melakukannya. Tetapi kami tidak bertanggungjawab jika para perampok itu kemudian menemukannya.”

“Nah, kebersamaan yang aku maksudkan adalah, bahwa kalian harus melindunginya.”

“Kami tidak dapat mengorbankan orang-orang kami untuk menyelamatkan kawan-kawan kalian.”

“Jadi kalian menolak untuk saling membantu?”

“Saling membantu yang mana? Jika kalian dalam kesulitan, maka kalian baru ingat kepada kami. Orang-orang miskin yang tinggal di padukuhan ini. Tetapi jika usaha kalian lancar-lancar saja, maka kalian sama sekali tidak mau memalingkan wajah kalian kepada kami. Tadi juga ada serombongan pedagang yang lewat, tetapi agaknya mereka luput dari pencegatan para penyamun. Ketika aku mempersilahkan mereka singgah di pasar atau berhenti sebentar, mereka justru mencibirkan bibir mereka. Mereka menjadi acuh tak acuh. Nah, sekarang keadaannya berbeda. Baru kalian berhenti dan menemui kami di sini. Berbicara dan minta bantuan kami.”

“Cukup. Aku tidak perlu sesorah itu. Kawan-kawanku terluka parah. Itu yang harus kita bicarakan.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Jagabaya, “aku menyarankan agar kawan-kawan Ki Sanak itu kalian titipkan di padukuhan yang agak jauh, sehingga para perampok itu tidak akan mencarinya ke sini.”

Tetapi seseorang di antara para pedagang itu berkata, “Persetan kau, Ki Jagabaya. Agaknya kau justru bekerja sama dengan para perampok dan penyamun itu.”

“Ki Sanak. Kenapa Ki Sanak menuduh kami seperti itu?”

“Jika kalian bukan bagian dari mereka, kalian tentu akan bersedia menyembunyikan dan melindungi kawan kami.”

Wajah Ki Jagabaya menjadi merah. Sementara itu pedagang yang lainnya berkata, “Ki Jagabaya. Tadi, dalam pertempuran dengan para perampok dan penyamun, kami dapat mengalahkan mereka. Mereka berlarian dengan meninggalkan satu atau dua orang terbunuh dan yang lain luka-luka parah. Jika kalian takut kepada para penyamun, apakah kalian tidak takut kepada kami? Kami dapat memaksa keinginan kami kepada Ki Jagabaya. Bahkan kami akan mengancam, bahwa kami dapat berbuat lebih buruk dari apa yang dapat dilakukan oleh para perampok dan penyamun, karena kami ternyata lebih kuat dari mereka.”

Jantung Ki Jagabaya bergetar semakin cepat. Katanya, “Tetapi mereka dapat mengajak kawan-kawan mereka yang lain untuk datang ke padukuhan ini.”

Seorang saudagar yang berpakaian bagus dengan bahan yang mahal, meskipun sudah menjadi kotor setelah bertempur melawan para perampok, menyahut, “Sembunyikan kawan kami yang terluka. Terserah caramu. Lindungi mereka. Cari tabib yang terpandai untuk mengobati mereka. Pada saat kami kembali lewat jalan ini, mereka harus sudah menjadi semakin baik. Jika terjadi sesuatu atas diri mereka, maka padukuhan ini akan kami hancurkan. Kau dengar itu, Ki Jagabaya? Jika perampok itu dapat mengajak kawan-kawannya, maka kami pun akan dapat mengajak kawan-kawan kami.”

Jantung Ki Jagabaya rasa-rasanya akan meledak. Tetapi disadarinya, bahwa ia tidak mempunyai kekuatan yang dapat mendukung jika ia menjadi marah. Mungkin Ki Jagabaya sendiri, mungkin Ki Kamituwa, memiliki kemampuan untuk berkelahi. Tetapi yang lain tidak. Sementara itu, sekelompok pedagang itu jumlahnya cukup banyak.

Namun dalam pada itu, terdengar seseorang berkata, “Itu tidak adil, Ki Sanak.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Mereka melihat seorang laki-laki muda berdiri di sebelah seorang perempuan yang juga masih muda.

Saudagar yang berpakaian mahal itu memandanginya dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Beberapa langkah ia bergeser mendekati Glagah Putih sambil menggeram, “Setan kau. Kenapa kau turut campur? Siapa kau he?”

“Namaku Wiguna. Ini istriku, Miyat.”

“Apa yang kau maksud tidak adil?”

“Kalian ternyata hanya mementingkan diri sendiri. Kalian tidak mengingat kesulitan yang bakal dialami oleh padukuhan ini jika kau memaksa meninggalkan kawan-kawanmu yang sakit. Apalagi dengan berbagai macam keharusan yang tidak masuk akal. Harus sembuh, harus selamat, harus … harus … apalagi. Jika para penyamun itu datang dan memasuki setiap rumah di padukuhan ini, yang bermaksud melindungi kawan-kawan Ki Sanak, akan mengalami bencana bagi diri mereka. Mayat akan berserakan di jalan-jalan. Kemudian beberapa hari lagi, kalian datang untuk mengambil kawan-kawan kalian. Tetapi karena kawan-kawan kalian telah mati, maka kalian akan menghancurkan padukuhan ini. Berapa orang lagi yang harus mati di tangan kalian?”

“Tutup mulutmu. Atau bahkan kau di kirim oleh para perampok itu untuk melihat keadaan di padukuhan ini?”

“Nalarmu sudah kusut, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih.

Wajah saudagar itu menjadi merah. Katanya, “Kau berani menyebut nalarku sudah kusut?”

“Ya. Karena kau menuduhku dikirim oleh para penyamun itu kemari.”

“Aku tidak peduli siapa kau. Tetapi karena kau sudah menghinaku, maka kau akan menyesal. Meskipun di sini ada seorang Jagabaya, tetapi aku sendiri akan menghukummu. Mengoyak mulutmu yang lancang itu, serta merontokkan gigimu.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku tadi juga berjalan melewati bulak panjang serta bertemu dengan sekelompok penyamun yang jumlahnya sekitar sepuluh atau sebelas orang. Tetapi mereka dapat diajak bicara. Mereka mencoba mengerti keadaan, sehingga mereka tidak mengganggu aku, dua orang suami istri yang mengembara.”

“Persetan dengan para penyamun. Mereka sudah kami hancurkan di bulak panjang itu.”

“Bukan itu masalahnya. Tetapi seharusnya penalaran kalian lebih panjang dari para penyamun itu.”

“Cukup. Kemarilah. Aku akan merontokkan gigimu sampai yang terakhir.”

Adalah mendebarkan jantung orang-orang yang mengerumuninya, ketika mereka melihat Glagah Putih itu melangkah dengan tenangnya mendekati saudagar yang garang itu. Dua langkah di hadapan saudagar yang nampaknya cukup kaya itu, Glagah Putih berhenti.

Tiba-tiba saja tanpa memberikan peringatan apapun juga, saudagar itu meloncat sambil mengayunkan serangannya langsung ke mulut Glagah Putih. Glagah Putih sendiri juga terkejut. Tetapi tubuhnya telah terlatih dengan matang. Karena itu, kakinya seakan-akan bergerak sendiri, bergeser ke samping sambil memiringkan tubuhnya.

Serangan saudagar itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Glagah Putih. Tangan saudara itu terjulur dengan jarak setebal daun dari wajahnya. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih pun telah menggerakkan tangannya. Kelima jarinya terbuka menusuk di bawah tulang-tulang rusuk saudagar yang marah itu.

Terdengar saudagar itu menjerit kesakitan. Bahkan tubuhnya pun telah terdorong beberapa langkah surut. Saudagar itu tidak berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya, sehingga karena itu maka ia pun segera terkapar di tanah.

Ketika saudagar itu tergesa-gesa mencoba bangkit berdiri, maka pinggangnya terasa sangat sakit. Tusukan jari-jari tangan Glagah Putih agaknya telah menimbulkan luka di dalam tubuh saudagar,atu.

Karena itu, saudagar itu tidak dapat lagi berdiri tegak. Tetapi bubuhnya menjadi agak terbongkok dan kesakitan. Seorang pedagang yang lain telah berteriak dengan lantangnya, “Kau telah menyakiti kawanku. Kau akan menyesali perbuatanmu itu!”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “yang terjadi justru yang tidak kita kehendaki. Kenapa justru kita yang bertengkar, sementara para perampok dan penyamun itu masih saja mengancam kita?”

“Kau adalah bagian dari mereka.”

“Dengar, Ki Sanak. Bukankah pendapat Ki Jagabaya itu baik dan patut dipertimbangkan? Bawa kawan-kawanmu yang terluka itu ke padukuhan yang agak jauh. Para perampok itu tentu tidak akan mencarinya sampai ke sana.”

“Persetan dengan pendapat Ki Jagabaya.”

“Ki Sanak. Jika kita berselisih dan bertengkar di sini, maka kalian tentu akan mengalami kesulitan di perjalanan. Seharusnya kalian menyimpan tenaga kalian sebaik-baiknya. Pada saat kalian menyeberangi Kali Praga, mungkin kalian akan bertemu dengan sekelompok perampok dan penyamun yang lain. Kalian harus bertempur lagi. Sementara itu, jika kalian harus berselisih dengan kami di sini, kalian akan kehilangan lagi beberapa orang kawan. Setidak-tidaknya beberapa orang kawanmu itu akan terluka seperti kawanmu yang akan kau titipkan itu.”

“Sombongnya kau, Wiguna. Jika kau tidak mau menyingkir, maka kau akan aku singkirkan.”

“Jangan menjadi terlalu tamak, Ki Sanak. Seharusnya jika kau lewat di padukuhan ini, kau justru harus membayar pajak perjalanan kalian. Setidak-tidaknya untuk memperbaiki jalan yang menjadi rusak oleh kaki-kaki kuda kalian. Bukan justru memeras dan memaksa orang-orang padukuhan ini melakukan pekerjaan di luar kemampuan mereka.”

“Cukup!” teriak pedagang yang lain.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Beberapa orang pedagang telah mengerumuninya. Kemarahan nampak membayang di wajah mereka. Bahkan seorang yang bertubuh tinggi menggeram, “Aku akan mengoyak mulutnya.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jadi kalian tidak mau mendengar kata-kataku?”

“Menyingkir, atau kami singkirkan. Kami akan menghancurkan kesombonganmu dan melemparkanmu ke selokan di pinggir bulak panjang itu.”

“Apa boleh buat. Jika kalian memaksa, kita akan berkelahi.”

Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa menjadi tegang. Sambil melangkah mendekati Glagah Putih ia pun berkata, “Sudahlah, Wiguna. Kau jangan terlibat dalam persoalan ini terlalu dalam. Bukankah kau masih melanjutkan pengembaraanmu? Biarlah kami mencoba mengatasi perkara ini. Jika terpaksa, kami akan mencoba untuk menyembunyikan kedua orang pedagang yang terluka itu, meskipun harus kami bawa ke padukuhan lain.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi kami tidak dapat membiarkan ketidakadilan ini terjadi. Para pedagang itu memang seharusnya mendapat perlindungan. Tetapi tidak dengan mengorbankan rakyat miskin di padukuhan ini. Sehari-hari mereka sudah mengenyam kesenangan. Apa yang mereka inginkan sekeluarga, dapat mereka adakan. Sedangkan rakyat padukuhan ini, meskipun ada juga seorang dua orang yang kaya, tetapi pada umumnya mereka harus bekerja keras untuk makan esok pagi. Bagaimana mungkin orang-orang kaya ini dengan tanpa merasa bersalah harus mengorbankan orang-orang miskin?”

“Sekali lagi aku peringatkan, pergi atau aku campakkan kau ke parit di bulak panjang itu. Jari-jari kami masih berbau darah para perampok itu Panasnya hati kami masih belum mereda. Sekarang kau bakar lagi kemarahan kami dengan tingkah lakumu yang gila itu.”

“Kalian yang harus pergi. Bawa kawanmu yang terluka parah. Besok, jika kalian lewat jalan ini lagi, kalian harus membayar pajak untuk memperbaiki jalan yang dirusakkan oleh tapak besi di kaki-kaki kuda kalian.”

Seorang pedagang tidak lagi dapat menahan diri. Ia pun dengan serta-merta telah menyerang Glagah Putih. Namun dengan gerak yang sederhana Glagah Putih mampu mengelakkannya. Bahkan dengan kuat Glagah Putih mendorong orang itu pada punggungnya, sehingga orang itu terpelanting menimpa seorang kawannya, sehingga kedua-duanya jatuh terguling.

Namun yang terjadi kemudian adalah perkelahian yang sengit. Beberapa orang pedagang telah berkelahi melawan Glagah Putih. Sedangkan beberapa orang yang lain masih sedang merawat kawannya yang terluka, yang terbaring di pendapa banjar.

Tetapi demikian perkelahian itu terjadi, maka mereka pun segera bangkit dan melangkah menuruni tangga pendapa.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun telah mengikat peti kecilnya dengan selendangnya, dan kemudian melilitkan selendang itu di tubuhnya seperti seorang yang sedang menggendong bayi dipunggungnya. Mengikat kedua ujung selendang di dadanya, dan siap untuk melibatkan diri jika diperlukan.

Sementara itu, Glagah Putih telah bertempur melawan beberapa orang pedagang yang marah. Mereka ingin menangkap Glagah Putih, membuatnya jera dan melemparkan keluar padukuhan.

Namun ternyata usaha mereka tidak terlalu mudah. Glagah Putih pun kemudian berloncatan seperti burung sikatan memburu belalang di rerumputan.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih benar-benar telah tersinggung oleh sikap para pedagang dan saudagar yang pada umumnya adalah orang-orang berada itu. Mereka sampai hati mencari keselamatan dengan menginjak ketenangan hidup rakyat kecil di pedesaan.

Karena itu, maka seperti para pedagang yang ingin membuat Glagah Putih menjadi jera, maka Glagah Putih pun ingin membuat mereka menjadi jera. Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Tubuhnya menjadi seringan kapas, sementara tenaganya menjadi semakin kuat, sekuat raksasa.

Kemampuan Glagah Putih memang sangat mengejutkan bagi para pedagang itu. Baru saja mereka bertempur melawan sekelompok penyamun di bulak panjang. Bahkan mereka berhasil mengalahkan para penyamun itu, sehingga para penyamun itu berlari tunggang-langgang dengan meninggalkan beberapa orang korban.

Sekarang, di banjar padukuhan ini, mereka hanya menghadapi seorang laki-laki yang masih terhitung muda. Namun rasa-rasanya mereka harus mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Kawan-kawan mereka yang belum terlibat langsung pun terkejut pula. Laki-laki muda itu berloncatan dengan garangnya. Sentuhan-sentuhan tangannya telah mendorong, dan bahkan melemparkan lawannya keluar dari arena.

“Gila,” geram seorang pedagang, “ilmu apakah yang dimiliki orang itu?”

Dengan demikian, maka para pedagang dan saudagar yang darahnya masih terasa panas setelah bertempur dengan para perampok itu, harus bertempur lagi menghadapi orang yang menyebut dirinya Wiguna.

Seorang yang terluka oleh goresan pedang di pundaknya berteriak, “Biarlah aku membunuhnya! Di bulak itu aku sudah membunuh seorang di antara para perampok itu.”

Ketika semua pedagang dan saudagar kecuali yang terluka parah itu mulai terjun ke arena, maka Rara Wulan tidak dapat tinggal diam. Ia tidak dapat membiarkan suaminya bertempur sendiri melawan para pedagang itu.

Tetapi peti kecil itu memang akan dapat mengganggunya. Karena itu, maka ia pun mendekati Ki Jagabaya sambil berdesis, “Ki Jagabaya. Titip peti kecil ini.”

“Apa isinya?”

“Nyawaku dan nyawa suamiku. Karena itu, jangan jatuh ke tangan siapapun juga. Demikian peti itu dibuka, aku dan suamiku akan mati.”

“Benar begitu?”

“Ya. Jika Ki Jagabaya ingin membunuh kami, bukalah peti itu. Di dalamnya juga terdapat bayi kami.”

“Kau masih juga sempat bercanda, Nyi.”

“Aku tidak bercanda, Ki Jagabaya. Karena itu, hati-hatilah.”

Ki Jagabaya menerima peti kecil itu dengan gemetar. Ia pun kemudian minta Ki Kamituwa berdiri di dekatnya untuk ikut menjaga peti itu.

“Trima ada di sini, Ki Jagabaya.”

“He?”

“Aku akan memanggilnya. Ia memiliki sedikit kemampuan untuk ikut menjaga peti kecil ini.”

Sejenak kemudian tiga orang anak muda berdiri di sekitar Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa untuk ikut menjaga peti kecil yang dititipkan oleh Rara Wulan. Untunglah para pedagang itu tidak memperhatikan peti kecil itu. Mereka lebih memperhatikan Rara Wulan yang menyingsingkan kain panjangnya, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya yang dipakainya di bawah kain panjangnya itu.

“Aku ikut, Kakang,” kata Rara Wulan kemudian.

Glagah Putih tidak mencegahnya. Lawannya memang cukup banyak. Jika ia harus bertempur sendiri, maka kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi di luar kendalinya.

Namun seorang saudagar yang bertubuh gemuk menggeram, “Perempuan gila. Kau kira kami sedang bermain jamuran?”

“Ya,” jawab Rara Wulan, “jamur balung pisah.”

“Setan betina kau,” geram saudagar itu sambil meloncat menyerang.

Ternyata keberadaan Rara Wulan di arena telah mengejutkan para pedagang itu pula. Bahkan mereka yang berdiri di luar arena pertempuran terkejut pula. Dengan loncatan-loncatannya yang cepat, maka dua orang lawannya telah terlempar dari arena. Seorang dapat dengan cepat bangkit berdiri, namun yang seorang masih harus menyeringai kesakitan, karena punggungnya menghantam tangga pendapa banjar.

Sebenarnyalah Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar telah mengacaukan perlawanan para pedagang dan saudagar yang baru saja mengalahkan sekelompok penyamun di bulak panjang.

Setiap kali seorang di antara mereka terpelanting dengan kerasnya. Sedangkan yang lain harus mengerahkan kemampuannya untuk mengelakkan serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan itu.

Tetapi dua orang laki-laki dan perempuan yang masih terhitung muda itu seakan-akan berada dimana-mana. Seakan-akan mereka menyerang dari segala arah. Sulit bagi para pedagang dan saudagar itu menghindar dari garis serangan mereka.

Beberapa saat kemudian maka pertempuran menjadi semakin sengit, para pedagang dan saudagar itu telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Namun kedua orang suami istri itu ternyata memiliki kemampuan yang jauh lebih tinggi dari mereka.

Seorang demi seorang para pedagang itu mengalami kesulitan. Mereka menjadi kesakitan serta tenaga mereka pun menjadi semakin lemah. Beberapa orang di antara mereka yang terpelanting jatuh, tidak segera dapat bangkit dan kembali memasuki arena.

Namun tiba-tiba seorang di antara para pedagang itu mencabut senjatanya. Sebuah pedang yang lurus, panjang dan yang tajamnya ganda.

“Kalian berdua harus pergi dari padukuhan ini, atau aku akan menyingkirkan kalian. Bahkan untuk selamanya.”

Ternyata kawan-kawannya pun telah ikut-ikutan pula mencabut senjata mereka.

Glagah Putih memberikan isyarat kepada Rara Wulan untuk meloncat surut mengambil jarak.

“Tunggu, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “jangan bermain-main dengan senjata kalian.”

“Jika kau menjadi ketakutan, pergi. Masih ada kesempatan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Kalian tahu, bahwa senjata adalah benda yang berbahaya.”

“Aku akan membunuhmu jika kau masih saja keras kepala.”

“Kalian harus menyadari, bahwa untuk melawan senjata kalian, maka kami pun akan bersenjata pula. Yang terjadi mungkin sekali di luar kendali. Dua orang kawanmu sudah terluka parah. Kalian sudah kebingungan untuk menitipkan mereka, bahkan dengan mengancam orang-orang kecil yang tidak tahu menahu persoalannya. Jika kalian sekarang bertempur dengan senjata, maka kawan-kawan kalian yang terluka akan segera bertambah.”

“Aku ingin menyuapi mulutmu dengan pedang,” geram seorang yang bertubuh gemuk itu, “dengan demikian maka mulutmu akan bertambah besar. Pantas bagi orang yang sangat sombong seperti kau.”

“Aku-lah yang sekedar memperingatkan kalian. Hentikan perlawanan kalian. Bawa pergi kawanmu yang terluka.”

Tetapi para pedagang itu tidak menghiraukannya. Mereka justru telah bergeser mengambil jarak.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menyadari, bahwa ujung-ujung senjata itu akan dapat mengoyakkan pakaian mereka. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih pun segera mengurai ikat pinggangnya, sedang Rara Wulan memegang selendangnya pada kedua ujungnya dengan kedua tangannya.

“Kami terpaksa mempergunakan senjata pula,” berkata Glagah Putih.

Sekali lagi para pedagang itu terkejut melihat apa yang disebut senjata oleh kedua orang itu. Sehelai ikat pinggang dan sehelai selendang.

Tetapi senjata-senjata yang mereka anggap aneh itu membuat jantung mereka berdebaran.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “sekali lagi aku peringatkan. Hentikan perlawanan kalian dan bawa kedua orang kawanmu itu pergi.”

Tetapi para pedagang itu tidak dapat menerima ancaman itu. Kemarahan dan harga diri yang berbaur membuat mereka sulit menghadapi kenyataan tentang kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Karena itu, maka orang yang bertubuh gemuk itu pun berteriak, “Berhati-hatilah. Jika kalian berdua mati, sama sekali bukan tanggung jawab kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab lagi. Mereka pun kemudian berloncatan mengambil jarak untuk mendapat kesempatan memutar senjata mereka.

Sejenak kemudian pertempuran telah berkobar lagi di halaman banjar. Bukan saja serangan tangan dan kaki yang terayun menyambar-nyambar. Tetapi berbagai macam senjata telah berputaran, terayun mendatar menebas dan menikam dengan garangnya.

Namun tidak seorang pun di antara para pedagang itu yang berhasil menggoreskan senjatanya. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun berloncatan di antara kilatan senjata lawan-lawan mereka.

Ki Jagabaya, Ki Kamituwa dan orang-orang yang semakin banyak berkerumun di banjar padukuhan itu menjadi semakin berdebar-debar, bahkan sekali-sekali jantung mereka rasanya telah berhenti berdetak. Mereka sangat mencemaskan kedua orang laki-laki dan perempuan yang dengan tangkasnya berloncatan di antara ayunan senjata itu.

Tetapi yang terjadi justru tidak segera dapat dimengerti, bukan saja oleh orang-orang yang berdiri di luar arena, tetapi juga oleh mereka yang sedang bertempur itu.

Ikat pinggang yang berada di tangan orang yang menyebut dirinya Wiguna itu, telah membentur senjata-senjata para pedagang itu sebagaimana sepotong besi baja. Bahkan beberapa orang di antara mereka telapak tangannya menjadi pedih, sehingga dengan susah payah mereka harus mempertahankan senjata mereka agar tidak terlepas dari tangan.

Meskipun demikian, apa yang mereka cemaskan itu terjadi. Tiba-tiba saja sebuah pedang terlempar dari genggaman. Kemudian disusul sebuah luwuk yang berwarna hitam kehijau-hijauan.

Belum lagi kedua orang yang kehilangan senjata itu sempat memungutnya, terdengar seseorang berteriak marah sekali.

Seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, dengan susah payah berusaha untuk bangkit berdiri. Adalah di luar kemampuannya untuk menghindar ketika selendang Rara Wulan membelit kakinya. Ketika selendang itu dihentakkan oleh Rara Wulan, maka orang itu pun terpelanting, jatuh dan terseret beberapa langkah.

Kemarahan bagaikan meledakkan jantungnya. Sambil berteriak orang itu bangkit berdiri. Tanpa berpikir panjang orang itu segera meloncat menyerang Rara Wulan dengan pedang terayun menebas ke arah leher.

Rara Wulan sempat merendah sehingga pedang itu terayun di atas kepalanya. Namun sekejap kemudian, selendang Rara Wulan telah memijit tangan orang itu. Ketika Rara Wulan menariknya sendal pancing, maka pedang itu bagaikan meloncat dari tangannya, melenting di udara.

Hampir saja pedang itu jatuh menimpa seorang kawannya. Untunglah orang itu sempat mengelak. Tetapi pemilik pedang itu tidak mempunyai banyak kesempatan. Sebelum ia dapat berbuat sesuatu, Rara Wulan telah menjulurkan selendangnya.

Hentakan yang keras sekali telah mengenai dada orang bertubuh tinggi itu. Dengan kerasnya ia terdorong beberapa langkah surut. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya lagi, orang itu pun terjatuh terlentang.

Ketika orang itu berusaha untuk bangkit, maka dadanya terasa menjadi sangat sakit dan nafasnya menjadi sesak. Karena itu, demikian ia mencoba untuk berdiri, maka ia pun telah terduduk kembali. Orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali duduk, dan berusaha untuk mengatur pernafasannya serta berusaha mengatasi rasa sakit di dadanya.

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung. Selendang Rara Wulan berputaran menyambar-nyambar. Setiap kali satu dua orang lawannya terlempar dari arena. Beberapa pucuk senjata pun terlepas dari tangan pemiliknya.

Dalam pada itu, lawan Glagah Putih pun menjadi semakin berkurang. Seorang bagaikan menjadi lumpuh ketika ikat pinggang Glagah Putih mengenai pahanya. Glagah Putih sengaja tidak mempergunakan ikat pinggangnya untuk mengoyak tubuh lawannya. Tetapi dipergunakannya sekedar untuk menyakiti mereka.

Beberapa saat kemudian, lawan-lawan Glagah Putih dan Rara Wulan pun semakin menyusut. Bahkan kemudian beberapa orang yang tersisa telah berloncatan menjauhinya.

“Katakan bahwa kalian menyerah!” teriak Glagah Putih. “Jika tidak, maka kami akan memperlakukan kalian lebih buruk lagi.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Beberapa orang di antara mereka telah kehilangan sejata mereka. Yang lain merasa bahwa tulang-tulang mereka pun bagaikan menjadi retak. Yang lain, wajahnya menjadi lebam kebiru-biruan. Sedangkan yang lain lagi menjadi timpang karena sentuhan ikat pinggang Glagah Putih pada pahanya. Sementara itu, ada yang merasa seolah-olah sendi di pergelangan tangan kakinya terlepas, sehingga pergelangannya menjadi sakit sekali. Bahkan agak membengkak.

“Jawab!”teriak Glagah Putih pula.

Namun agaknya harga diri para pedagang dan saudagar itu mencegah mereka untuk menyatakan diri menyerah.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata lantang kepada Rara Wulan yang berdiri beberapa langkah darinya, “Miyat. Ternyata mereka tidak mau menyerah. Karena itu, maka sekarang kita berhak untuk membunuh mereka. Bukan kita yang pertama-tama mempergunakan senjata Tetapi mereka.”

“Baik, Kakang,” jawab Rara Wulan tidak kalah lantangnya. “Kematian di antara mereka bukan salah kita. Kita sudah memberi kesempatan kepada mereka untuk menyerah. Tetapi mereka telah menolak.”

Ketika kemudian Rara Wulan memutar selendangnya, maka terdengar suara selendangnya bagaikan angin yang menderu.

“Tunggu! Tunggu!” teriak seorang di antara para pedagang itu, “Aku menyerah.”

Suasana pun menjadi sangat tegang. Pedagang yang bersenjata pedang itu telah melemparkan senjatanya di tanah.

Seorang yang lain, yang sudah tidak bersenjata pun kemudian berkata pula, “Aku juga menyerah. Aku sudah tidak bersenjata.”

Ternyata kawan-kawannya pun telah mengikutinya pula. Yang masih bersenjata telah melemparkan senjatanya.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berkata, “Ambil senjata–senjata kalian. Segera bersiap meninggalkan tempat ini. Bawa kawanmu yang dilukai oleh para perampok itu.”

“Baik. Baik, Wiguna. Kami akan segera pergi dengan membawa kawan-kawanku yang terluka.”

“Dengar, Ki Sanak. Bukannya kami tidak mau menolong sesama. Jika kami minta kalian pergi dengan membawa kawan-kawanmu yang terluka, justru kami mempunyai pertimbangan atas dasar kemanusiaan. Jika kawan kalian tetap di sini, maka para perampok itu tentu akan menemukannya. Sebaliknya, jika orang-orang pedesaan ini harus melindunginya, maka korbanya akan menjadi jauh lebih banyak. Dan itu sama kali tidak adil, bahwa orang-orang kecil dan miskin harus mengorbankan diri untuk kepentingan orang-orang kaya seperti kalian. Karena itu, bawa kawan-kawan kalian. Selamatkan mereka dari tangan para perampok itu.

Tetapi seorang di antara para pedagang itu berkata, “Bukankah kau memiliki kelebihan yang tidak tertandingi? Jika para perampok itu datang kemari, kau akan dapat menghalaunya.”

“Aku seorang pengembara,” jawab Glagah Putih, “sebentar lagi aku akan meneruskan pengembaraan kami. Kami tidak dapat terikat di satu tempat. karena kami memang sedang menjalani laku. Jika para perampok itu datang sepeninggalku, maka kawanmu yang terluka itu tidak akan tertolong lagi.”

Para pedagang itu pun mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka pun berkata, “Baiklah. Kami akan segera mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanan. Tetapi beberapa orang kawan kami justru mengalami kesakitan.”

“Aku sudah memperingatkannya. Untunglah bahwa tidak ada kawan kalian yang terbunuh.”

Para pedagang itu pun terdiam. Mereka pun segera berbenah diri untuk meneruskan perjalanan. Mereka harus menuruti pendapat orang yang menyebut dirinya bernama Wiguna itu. Namun sebagian dari mereka benar-benar dapat mengerti maksud Glagah Putih. Mereka pun membenarkan, bahwa tidak adil untuk mengorbankan orang-orang miskin bagi kepentingan mereka. Mereka memang tidak berhak mementingkan kepentingan mereka sendiri sehingga mereka tidak mempedulikan rakyat miskin yang akan dapat menjadi korban. Mati dalam kesia-siaan bagi kepentingan orang-orang kaya.

Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu pun sudah siap untuk meneruskan perjalanan. Namun keadaan mereka menjadi semakin sulit. Beberapa orang masih merasakan kesakitan. Tetapi mereka harus meninggalkan padukuhan itu dengan membawa kawan-kawan mereka yang terluka.

Beberapa saat kemudian, maka para pedagang itu sudah siap untuk meninggalkan banjar. Kawan-kawan mereka yang terluka telah mereka dudukkan di atas punggung kuda.

“Maaf, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kepada mereka yang terluka parah itu, “aku mencemaskan nasib kalian, jika kalian tetap berada di padukuhan ini. Padukuhan ini masih terlalu dekat dengan daerah perburuan para perampok itu. Jika kalian dibawa ke tempat yang lebih jauh, maka agaknya para perampok itu tidak akan mencarinya sampai ke sana Sementara itu kalian masih harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sebelum kalian menyeberang Kali Praga. Mungkin esok. Mungkin esok lusa. Mungkin kalian akan bertemu lagi dengan gerombolan penyamun yang lain.”

Seorang yang rambutnya sudah ubanan mewakili kawan-kawan mereka, minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Orang yang rambutnya ubanan itu sempat pula minta maaf atas sikap mereka yang kasar.

“Kami mengira bahwa kami dapat memerintahkan apa saja kepada orang-orang miskin, termasuk mengorbankan diri mereka. Pengalaman kami ini akan dapat membangunkan kami dari mimpi-mimpi kami itu.”

“Baiklah. Mudah-mudahan kalian tidak tertidur dan bermimpi lagi. Karena keadaan yang berubah akan dapat merubah sikap kalian. Jika kalian pulang ke rumah kalian, maka kehidupan kalian sehari-hari yang serba berlebihan akan dapat membangunkan mimpi-mimpi kalian lagi. Kalian akan merasa bahwa uang adalah segala-galanya. Bahkan dengan uang, kalian akan dapat membeli harga diri seseorang, dan lebih dari itu, nyawa seseorang.”

“Kami akan selalu mengingatnya.”

“Ingat, Ki Sanak. Kami berdua adalah pengembara. Jika kalian kembali kepada cara hidup kalian, maka kami berharap bahwa pengembaraan kami akan sampai juga ke rumah-rumah kalian. Meskipun rumah kalian dijaga oleh orang-orang upahan yang berilmu tinggi, namun kami akan menembus dinding halaman rumah kalian.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Tetapi ada juga di antara para pedagang itu yang tidak senang mendengar ancaman itu. Namun mereka menganggap bahwa orang yang menamakan diri Wiguna itu bersungguh-sungguh.

Demikianlah, maka sejenak kemudian iring-iringan itu pun meninggalkan banjar padukuhan. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri jalan bulak menuju ke padukuhan yang lebih jauh, untuk menitipkan kawan-kawan mereka yang terluka.

Tetapi sikap mereka pun memang telah berubah. Mereka tidak lagi memperlakukan orang-orang kecil di pedesaan sebagai budak-budak yang harus patuh tanpa syarat.

Di padukuhan yang mereka tinggalkan, Ki Jagabaya dan para bebahu yang kemudian berada di banjar, mengucapkan terima kasih kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil mengembalikan peti kecil yang dititipkan kepadanya, Ki Jagabaya berkata, “Aku tidak membuka peti itu.”

“Tentu,” jawab Rara Wulan, “jika Ki Jagabaya membukanya, maka nyawa kami sudah terbang. Bayi kami yang kami simpan di dalam nyapun sudah terbang pula.”

“Tetapi apakah sebenarnya isi peti itu?” bertanya Ki Jagabaya.

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Bukankah sudah aku beritahukan kepada Ki Jagabaya?”

“Dalam keadaan yang gawat itu pun Nyai masih sempat bercanda. Sementara itu, kecemasanku sudah membakar ubun-ubun.”

Glagah Putih tertawa pula. Katanya, “Isinya sangat berharga bagi kami berdua, sehingga istriku menyebutnya bahwa isinya adalah nyawa-nyawa kami.”

Ki Jagabaya itu pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Alangkah bodohnya aku ini. Aku mengira bahwa istrimu sekedar bercanda, atau kalau tidak, justru di dalam peti itu benar-benar terdapat nyawa kalian.”

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Nah, Ki Sanak. Sekarang kami pun akan minta diri. Mudah-mudahan sepeninggal kami tidak akan terjadi apa-apa di padukuhan ini. Jika para perampok itu datang, katakan bahwa kalian telah mengusir para pedagang itu.”

“Kenapa kalian berdua begitu tergesa-gesa? Kalian dapat tinggal di sini barang sepekan.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya. Kami masih harus menempuh perjalanan panjang.”

“Justru karena itu, bukankah kalian tidak terikat oleh waktu? Bukankah kalian tidak dibatasi, kapan kalian harus sampai di tempat tertentu?”

“Benar, Ki Jagabaya. Tetapi waktu menjadi sangat berharga bagiku.”

“Di mana malam nanti kalian akan bermalam?” bertanya Ki Jagabaya.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun sebelum ia menjawab, Ki Jagabaya pun berkata, “Bermalamlah di sini, setidaknya untuk malam ini saja. Jika para perampok itu datang, kami tidak menghadapinya sendiri.”

“Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Bukankah para pedagang yang terluka itu tidak ada di sini?”

“Meskipun demikian, rasa-rasanya hati kami akan lebih tentram jika kalian berada di sini. Syukur jika para perampok itu tidak datang kemari.”

“Jika mereka datang, tentu tidak malam ini. Mereka tentu masih sibuk merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan yang telah terbunuh. Selain itu, tentu mereka pun akan sulit mengumpulkan kawan-kawan mereka yang lain, yang sama tatarannya dengan kawan-kawan mereka yang telah dikalahkan oleh para pedagang itu.”

Tetapi Ki Jagabaya itu masih juga berkata, “Aku mengerti. Tetapi keberadaan kalian malam ini di sini, akan sangat berpengaruh terhadap ketentraman hati kami penghuni padukuhan ini.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia pun kemudian berpaling kepada Rara Wulan sambil berkata, “Apakah kita akan bermalam di sini?”

“Tidak apa-apa, Kakang. Perjalanan kita hanya akan tertunda tidak sampai sehari.”

“Baiklah,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya kepada Ki Jagabaya, “Kami akan menerima kesempatan yang Ki Jagabaya berikan untuk bermalam di padukuhan ini nanti malam.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Malam nanti kalian berdua akan kami persilahkan bermalam di rumahku saja.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya. Tetapi biarlah aku bermalam di banjar ini saja.”

“Di sini tidak ada yang akan melayani jika kalian haus dan apalagi lapar.”

“Tidak apa-apa, Ki Jagabaya. Bahwa kami mendapat tempat untuk bermalam, kami sudah merasa sangat berterima kasih.”

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun Ki Kamituwa pun berkata, “Biarlah aku yang nanti menyediakan minum dan makan bagi mereka berdua.”

“Jangan merepotkan, Ki Kamituwa. Kami hanya berdua. Kami tidak memerlukan pelayanan. Kami dapat merebus air sendiri di banjar ini. Mungkin di sini ada serba sedikit alat-alat dapur.”

“Itu tidak perlu, Ki Wiguna. Kami-lah yang minta kalian berdua bermalam.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Sementara itu, Ki Jagabaya pun telah memerintahkan penunggu banjar untuk membersihkan sebuah bilik di serambi belakang banjar itu.

Beberapa saat kemudian, setelah bilik bagi Glagah Putih dan Rara Wulan disiapkan, maka para bebahu serta beberapa orang yang masih berada di banjar pun meninggalkan banjar itu, pulang ke rumah mereka masing-masing. Namun orang se-padukuhan itu masih saja membicarakan kelebihan dua orang suami istri yang bermalam di banjar itu. Mereka berdua saja dapat mengalahkan sekelompok pedagang yang telah mengalahkan gerombolan penyamun yang akan merampok mereka di bulak panjang.

“Luar biasa. Yang terjadi di banjar itu tidak dapat masuk di akalku,” berkata seorang di antara mereka yang sempat menyaksikan pertempuran di banjar.

“Apalagi kita. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa pun nampaknya terheran-heran pula.”

“Jika gerombolan perampok itu malam ini datang ke padukuhan kita, maka mereka akan dihancurkan oleh kedua orang suami istri itu.”

“Tetapi menurut mereka, rasa-rasanya perampok itu tidak mungkin datang hari ini atau malam nanti. Mereka terlalu sibuk. Sedangkan untuk mengumpulkan orang-orang baru, mereka tentu memerlukan waktu.”

Kawannya pun mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

Malam itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mendapat penghormatan khusus. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa bersama beberapa orang bebahu yang lain telah datang ke banjar untuk sekedar berbincang. Sementara itu hidangan pun justru datang dari Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa.

Namun Ki Jagabaya tetap berhati-hati. Diperintahkannya beberapa orang anak muda untuk mengamati keadaan, jika saja ada segerombolan perampok yang datang.

Tetapi sampai jauh malam, tidak seorang pun datang ke padukuhan itu. Yang kemudian justru datang adalah Ki Demang dengan beberapa orang pengiringnya.

“Siapa yang bermalam di banjar ini?” bertanya Ki Demang.

“Dua orang suami istri yang telah membantu kita, Ki Demang.”

“Membantu apa?”

“Bukankah aku sudah memberikan laporan kepada Ki Demang lewat Ki Kebayan?”

“Laporan apa?”

“Ki Kebayan,” bertanya Ki Jagabaya kepada Ki Kebayan, yang kebetulan juga ada di banjar itu, “bukankah Ki Kebayan sudah lapor kepada Ki Demang?”

“Sudah. Aku sudah datang kepada Ki Demang sesaat menjelang senja. Ki Demang berkenan menerima aku sebentar. Laporanku memang belum tuntas. Tetapi Ki Demang waktu itu akan mempunyai keperluan lain, sehingga aku dimintanya meninggalkan rumah Ki Demang. Tetapi pokok-pokok persoalannya sudah aku laporkan.”

“Kau tidak mengatakan bahwa ada orang bermalam di banjar malam ini,” sahut Ki Demang.

“Memang belum sempat. Ki Demang cepat-cepat minta aku pergi pada waktu itu.”

“Persetan kau, Ki Kebayan,” geram Ki Demang. Lalu ia bertanya, “Nah, sekarang aku ingin berbicara dengan orang yang bermalam di banjar ini.”

“Kami berdua yang malam ini bermalam di banjar ini, Ki Demang,” sahut Glagah Putih.

“Kau-kah yang telah mengusir para pedagang itu?”

“Bukannya mengusir, Ki Demang. Tetapi aku sependapat dengan Ki Jagabaya. Jika mereka bermalam di sini, maka akibatnya akan buruk sekali bagi kademangan, khususnya padukuhan ini. Selain itu ada di antara para pedagang itu yang terluka. Jika yang terluka itu disembunyikannya di padukuhan ini, maka kemungkinan terbesar, orang-orang yang terluka itu dapat diketemukan. Ki Demang tentu tahu akibatnya jika orang yang terluka itu diketemukan oleh segerombolan perampok, yang tadi siang telah dikalahkan dan bahkan hampir saja dihancurkan oleh para pedagang itu.”

“Itu urusan kami. Bukan urusanmu.”

“Memang, Ki Demang. Itu urusan kita. Karena Ki Demang menyerahkan persoalannya kepadaku, maka aku-lah yang menanganinya. Kedua orang suami istri ini ternyata bersedia membantu aku,” sahut Ki Jagabaya.

“Tetapi keduanya telah mengacaukan hubungan kita dengan para pedagang itu.”

“Hubungan kita dengan mereka memang sudah tidak baik, Ki Demang. Mereka tidak pernah menghiraukan kita selama ini. Mereka hanya lewat saja meninggalkan debu yang dihamburkan di belakang kaki kuda mereka. Tetapi mereka tidak pernah menjadi sumber penghasilan bagi rakyat kita. Tetapi kita tidak pernah mengganggunya. Kita berbuat baik terhadap mereka. Tetapi jika kemudian mereka menitipkan orang-orang yang terluka, bahkan dengan ancaman bahwa kita harus melindungi orang-orang yang terluka, mm… maka kita harus berpikir dua tiga kali.”

“Kenapa? Apakah tidak pantas bagi kita untuk menolong sesama?”

“Bukannya kita tidak mau menolong sesama. Tetapi bukankah dengan demikian, para pedagang itu sudah menyurukkan kepala kami ke mulut srigala yang lapar? Sedangkan jika kami, setelah mengorbankan beberapa orang, masih juga tidak berhasil melindungi kawan-kawan saudagar itu yang terluka, maka kami akan menjadi tumpahan kesalahan. Mungkin mereka akan menghukum kami, sehingga kami harus mengorbankan lagi beberapa orang kami. Orang-orang miskin yang tidak tahu menahu persoalannya?”

“Kenapa hanya kalian? Bukankah aku Demang di sini?”

“Tetapi Ki Demang tidak memahami persoalannya. Kami-lah yang tahu benar, apa yang akan terjadi.”

“Kau sisihkan aku dari antara bebahu kademangan ini, justru aku adalah Demangnya?”

“Bukan tentang bebahu. Tetapi tentang siapa yang mengerti akan persoalan yang sedang dihadapi.”

“Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi. Tetapi aku tidak mau banjar ini menjadi seakan-akan penginapan. Apalagi bagi orang-orang yang mempunyai persoalan di kademangan ini.”

“Aku-lah yang minta mereka menginap,” sahut Ki Jagabaya. “Sebenarnya mereka sudah akan berangkat untuk melanjutkan perjalanan, tetapi aku menahan agar mereka bersedia bermalam semalam saja. Jika malam ini para perampok itu datang, maka kami tidak hanya akan menghadapinya sendiri.”

Ki Demang memandang Ki Jagabaya dengan tajamnya. Sementara Ki Kamituwa pun berkata, “Aku juga minta mereka bermalam malam ini di banjar.”

“Kalian telah berbuat menurut kehendak kalian sendiri, tanpa minta persetujuanku.”

“Ketika aku datang melapor ke rumah Ki Demang,” sahut Ki Kebayan, “sebenarnya aku juga ingin melaporkan tentang kedua orang suami istri yang akan menginap di banjar. Tetapi Ki Demang tidak memberi waktu kepadaku.”

“Kalian hanya dapat menyalahkan aku. Ingat, bahwa aku Demang di sini.”

Tetapi Ki Kebayan itu masih juga menjawab, “Kami tidak ingin menyalahkan Ki Demang. Tetapi kami sekedar mengatakan apa yang telah terjadi, dan apa yang telah Ki Demang lakukan.”

Ki Demang itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian berkata kepada kedua pengawalnya, “Marilah kita pergi.”

Tanpa mengatakan sesuatu lagi kepada para bebahu yang ada di banjar, maka Ki Demang pun kemudian meninggalkan tempat itu.

Para bebahu hanya dapat saling berpandangan. Namun, demikian Ki Demang itu hilang di balik pintu regol halaman banjar, maka Ki Jagabaya pun berdesis, “Aku semakin tidak mengerti kemauan Ki Demang.”

“Ya,” sahut Ki Kamituwa, “sikapnya semakin aneh.”

“Agaknya ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikapnya itu,” berkata Ki Kebayan.

Tetapi para bebahu itu tidak dapat menebak, apa sebenarnya yang tersembunyi di balik sikap Ki Demang. Kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, Ki Jagabaya pun berkata, “Kami mohon maaf atas sikap Ki Demang. Kami memang sulit untuk mengerti sikapnya. Agaknya ia ingin menyembunyikan kelemahannya.”

“Ya. Ki Demang adalah seorang yang lemah dan malas. Karena itu, agaknya Ki Demang ingin menunjukkan bahwa ia tetap berkuasa di kademangan ini,” sahut Ki Kebayan.

“Mungkin. Memang satu kemungkinan,” desis Ki Jagabaya. “Tetapi sudahlah. Jangan pikirkan lagi. Keberadaan Ki Wiguna berdua di banjar ini adalah atas tanggunganku. Jika Ki Demang masih ingin mempersoalkan lagi, biarlah aku yang mempertanggungjawabkan.”

“Terima kasih, Ki Jagabaya. Mudah-mudahan keberadaanku di sini tidak mempengaruhi, apalagi memperburuk, hubungan Ki Demang dengan para bebahu. Bukankah Ki Demang dan para bebahu masih akan selalu terikat dalam kerja sama yang panjang?”

Para bebahu itu mengangguk-angguk.

Malam itu ternyata para bebahu berada di banjar sampai lewat tengah malam. Ketika mereka meninggalkan banjar, beberapa orang anak muda masih tetap berada di banjar.

“Silahkan beristirahat, Ki Wiguna,” berkata seorang anak muda kepada Glagah Putih.

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian masuk ke dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka. Namun dalam keadaan yang masih terasa belum mapan itu, keduanya tidak tidur berbareng. Mereka telah membagi sisa malam itu untuk bergantian berjaga jaga.

“Aku tidur dahulu,” berkata Rara Wulan.

“Baiklah,” jawab Glagah Putih.

“Nanti, setelah ayam jantan berkokok untuk kedua kalinya, gantian Kakang yang berjaga-jaga.”

“Baiklah.” Tetapi dengan cepat Glagah Putih itu bertanya, “Bagaimana?”

“Sekarang aku tidur, nanti Kakang yang berjaga-jaga.”

“Marilah kita meneruskan perjalanan sekarang saja,” berkata Glagah Putih kemudian.

Rara Wulan tertawa tertahan sambil membaringkan tubuhnya di pembaringan bambu yang ada di bilik itu.

Glagah Putih pun tertawa pula sambil berdesis, “Setelah menjalani laku yang berat, ternyata kau juga bertambah pandai.”

Rara Wulan masih tertawa. Tetapi ia tidak menjawab.

Di dini hari, keduanya pun telah pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih menimba air untuk mengisi jambangan. Baru kemudian Glagah Putih pun mandi pula. Air yang dingin terasa menyegarkan tubuh mereka.

Sebelum matahari terbit, keduanya pun telah bersiap untuk meninggalkan padukuhan itu.

Ternyata para perampok benar-benar tidak datang semalam. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, mereka tentu tidak dapat mengumpulkan kawan-kawan baru dalam waktu yang dekat setelah mereka dikalahkan oleh sekelompok pedagang yang lewat, yang ternyata mempunyai kekuatan lebih besar dari kekuatan segerombolan perampok itu.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan minta diri kepada penunggu banjar itu, ternyata Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa telah datang pula ke banjar.

“Sepagi ini Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa harus sudah bangun,” berkata Glagah Putih.

“Aku sudah terbiasa bangun pagi,” jawab Ki Jagabaya. “Kami memang sudah menduga bahwa kalian berdua akan berangkat pagi-pagi sekali, sehingga kami pun harus berada di banjar sebelum matahari terbit.”

“Kami minta diri,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Sebenarnyalah kami ingin mencoba minta agar kalian tidak pergi hari ini.”

“Maaf, Ki Jagabaya,” jawab Glagah Putih, “kami harus mempergunakan waktu kami sebaik-baiknya, meskipun kami tidak dibatasi oleh waktu. Jika kami harus menunda-nunda perjalanan kami, maka laku yang harus kami jalani tidak akan dapat kami selesaikan seluruhnya.”

“Bukankah tidak ada batasan hari, bulan dan tahun, kapan laku yang harus kalian jalani itu selesai?”

“Kami tidak tahu, seberapa panjang waktu itu dikaruniakan kepada kami. Jika kami menyia-nyiakan waktu, dan tiba-tiba waktu yang dikaruniakan kepada kami itu diambil-Nya kembali, maka kami hanya akan dapat menyesalinya.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Jika Ki Wiguna berdua harus meninggalkan kademangan kami, maka sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Kami berharap bahwa pada kesempatan lain, kalian berdua dapat singgah lagi di kademangan ini.”

“Kami akan berusaha, Ki Jagabaya. Jika kami kembali dari pengembaraan kami, maka kami akan berusaha untuk singgah.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan banjar. Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa melepas Glagah Putih dan Rara Wulan sampai ke gerbang padukuhan.

Sejenak kemudian maka keduanya pun telah memasuki bulak panjang yang seakan-akan membentang sampai ke cakrawala. Pagi itu langit nampak bersih. Embun masih nampak bergayut di ujung dedaunan. Kicau burung-burung liar terdengar di pepohonan yang tumbuh di pinggir jalan.

Lamat-lamat di kejauhan nampak padukuhan yang seakan-akan mencuat dari hijaunya tanaman di sawah. Beberapa orang sudah nampak mulai menuruni sawah mereka untuk membersihkan rerumputan liar di sela-sela tanaman yang hijau.

Di perjalanan yang semakin jauh meninggalkan padukuhan itu, Rara Wulan pun bertanya, “Kakang. Kenapa sikap Ki Demang itu terasa aneh?”

“Satu di antara beberapa kemungkinan, sebagaimana dikatakan oleh Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa, bahwa Ki Demang yang lemah itu ingin menunjukkan kuasanya.”

“Tetapi bukankah akibatnya justru sebaliknya?”

“Ya. Tetapi ada kemungkinan lain.”

“Ki Demang itu berhubungan secara rahasia dengan para pedagang. Mungkin para pedagang itu telah menyuapnya.”

“Tetapi ia tidak berbuat apa-apa bagi para pedagang itu.”

“Setidak-tidaknya ia tidak mengusir para pedagang itu. Bukankah Ki Demang itu mengatakan bahwa dengan demikian hubungan mereka dengan para pedagang akan menjadi buruk?”

“Aku justru berpendapat lain,” berkata Glagah Putih, “Ki Demang telah membuat hubungan rahasia dengan para perampok. Ki Demang tidak berusaha membangun lingkungannya untuk mempertahankan haknya. Jika ia berniat untuk membiarkan para pedagang itu menitipkan kawan-kawan pedagang yang terluka, justru bagi kepentingan para perampok yang akan datang untuk membalas dendam.”

“Kenapa Kakang tidak mengatakan kemungkinan ini kepada Ki Jagabaya?”

“Bukankah kita tidak meyakini kebenarannya? Kita hanya menduga-duga. Mungkin benar, tetapi mungkin tidak.”

Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Jika kita menyatakan dugaan kita kepada Ki Jagabaya, namun ternyata bahwa dugaan kita salah, maka kita hanya akan menambah ketegangan yang terjadi di kademangan itu.”

Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

Tetapi langkah mereka pun terhenti ketika dari balik segerumbul perdu di simpang tiga, beberapa orang muncul, langsung berdiri di tengah jalan. Seorang di antara mereka adalah Ki Demang.

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut, sehingga terasa jantung mereka berdebaran.

“Apa lagi yang dimaui oleh Ki Demang,” desis Glagah Putih. Rara Wulan yang membawa peti kecilnya, mengikatnya dengan selendangnya erat-erat.

“Ki Sanak,” berkata Ki Demang yang melangkah mendekatinya, “aku tahu ilmumu sangat tinggi. Karena itu, aku tidak akan mengganggumu sekarang. Tetapi aku ingin memperingatkanmu, jangan mencampuri urusan orang lain. Jalan yang kau tempuh adalah jalan yang sangat rawan. Para perampok dan penyamun dapat muncul setiap saat dari sarangnya. Tiba-tiba saja mereka menyergap. Kalian berdua memang tidak akan merasa ketakutan karena ilmu kalian sangat tinggi. Tetapi sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam setiap benturan kekerasan yang terjadi. Karena jika kalian melibatkan diri, maka pada suatu ketika kalian akan bermusuhan dengan seluruh kekuatan para perampok dan penyamun di daerah ini, sampai di seberang Kali Praga.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Ki Demang. Kenapa Ki Demang memperingatkan aku agar aku tidak melibatkan diri? Bukankah itu kewajiban setiap orang untuk memberantas kejahatan menurut kemampuannya? Jika aku tidak mampu melakukannya, maka aku pun tidak akan melakukannya. Tetapi jika aku mampu, kenapa harus dicegah?”

“Seberapapun tinggi ilmu kalian berdua, tetapi kalian tidak akan dapat menghadapi seluruh kekuatan para perampok dan penyamun yang tersebar di daerah ini.”

“Mereka tidak akan menghimpun kekuatan bersama, Ki Demang. Ki Demang tentu mengetahui pula, bahwa sebenarnyalah mereka pun selalu bersaing. Mereka akan berebut ladang yang paling subur. Karena itu, maka mereka selalu terpecah-pecah seperti yang Ki Demang lihat sekarang ini. Bahkan bukan tidak mungkin terjadi pertarungan di antara mereka.”

“Memang hal itu dapat saja terjadi. Tetapi untuk menghadapi kekuatan dari luar, maka mereka akan dapat bersatu.”

“Jika mereka dapat bersatu, tentu sudah mereka lakukan Tetapi ternyata tidak. Mereka telah terbelah menjadi bagian-bagian kecil yang lemah.”

“Jangan meremehkan mereka, Ki Sanak.”

Glagah Putih memandang Ki Demang dengan tajamnya. Dengan nada berat Glagah Putih bertanya, “Apa hubungan Ki Demang dengan para perampok itu?”

Pertanyaan itu mengejutkan Ki Demang. Namun kemudian iapun menjawab, “Pertanyaan yang bodoh. Kau tentu sudah tahu jawabnya. Tentu aku tidak berhubungan sama sekali dengan para perampok itu.”

“Jadi bahwa Ki Demang memperingatkan agar aku jangan melibatkan diri melawan para perampok itu, hanya karena kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami berdua?”

“Ya. Kalian masih terlalu muda untuk dicincang oleh para perampok itu.”

“Terima kasih atas kepedulian Ki Demang terhadap keselamatan kami. Tetapi kami mempunyai pertimbangan tersendiri. Kapan kami tidak ikut campur, dan kapan kami harus terjun langsung melawan para perampok itu.”

“Ki Sanak. Kau harus tahu, bahwa gerombolan perampok dan penyamun bukannya hanya kelompok yang sudah dikalahkan oleh para pedagang yang tadi lewat. Tetapi masih ada gerombolan-gerombolan yang lain.”

“Aku tahu. Mereka itulah yang aku maksudkan saling bersaing. Yang satu menghancurkan yang lain.”

“Persetan kau, Ki Sanak. Terserah kepada kalian berdua. Jika nasib kalian menjadi sangat buruk, itu salah kalian sendiri.”

“Baik. Ki Demang. Kami akan menanggung akibat dari perbuatan kami berdua.”

“Jika demikian, terserah kepada kalian. Aku bermaksud baik. Tetapi jika kalian tidak mau mendengarkannya, maka di hari yang lain aku akan mendengar sepasang suami istri telah dibantai di tepian Kali Praga.”

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu Ki Demang pun memberikan isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk pergi.

“Tunggu, Ki Demang,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku-lah yang sekarang justru memperingatkan Ki Demang. Ki Demang seharusnya yang berdiri di tempat kami sekarang ini. Seharusnya Ki Demang-lah yang berbuat sesuatu di seluruh kademangan, untuk melawan para perampok itu.”

“Aku belum menjadi gila, Ki Sanak. Jika aku melakukannya, maka rakyatku akan dibantainya sampai orang terakhir.”

“Berapa jumlah laki-laki di kademanganmu? Kau, dan tentu Ki Jagabaya, memiliki kemampuan untuk melatih anak-anak muda dan bahkan semua laki-laki di kademanganmu.”

“Sudah aku katakan, bahwa jumlah gerombolan itu cukup banyak. Mereka akan dapat datang bersama-sama ke kademanganku.”

“Bukankah jumlah kademangan juga banyak? Kademangan-kademangan itu tentu akan bersedia saling membantu.”

“Memang mudah dikatakan. Tetapi sulit dan bahkan tidak mungkin dilaksanakan.”

“Ki Demang harus berani mencoba.”

“Aku datang dengan maksud baik. Aku memperingatkan kalian demi keselamatan kalian. Sekarang justru kau yang menggurui aku.”

“Bukan maksudku. Aku pun bermaksud baik.”

Ki Demang tidak menjawab lagi. Tetapi Ki demang itu pun justru memberi isyarat kepada pengawal-pengawalnya untuk meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Glagah Putih pun tidak berbicara apa-apa lagi. Dibiarkannya Ki Demang itu pergi. Tetapi dugaannya bahwa Ki demang itu justru mempunyai hubungan rahasia dengan para perampok dan penyamun itu pun menjadi semakin tebal.

“Agaknya dugaan Kakang benar,” desis Rara Wulan.

“Akibatnya akan buruk sekali bagi rakyat di kademangannya. Lambat laun, jalan perdagangan itu pun benar-benar akan tersumbat, jika para perampok dan penyamun mempunyai hubungan rahasia dengan para penguasa di kademangan-kademangan.”

“Apakah ada yang dapat kita lakukan?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Kita akan melihat lingkungan yang lain. Apakah suasananya sama dengan kademangan yang baru saja kita lewati.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi ada yang ingin aku bicarakan lagi, Kakang.”

“Apa?”

“Peti ini.”

“Kita tinggalkan saja petinya. Kita bawa kitabnya. Tentu akan lebih mudah.”

“Kita beli selendang di pasar yang dapat kita temui. Kita bungkus kitabnya, disembunyikan di bawah bajumu. Petinya dapat kita sembunyikan dimana saja.”

“Kenapa harus disembunyikan? Tinggal saja dimana-mana.”

“Sudah aku katakan. Aku senang peti itu. Ukirannya lembut sekali. Pada kesempatan lain, aku akan mencarinya.”

“Baiklah. Nanti kita cari tempat untuk menyembunyikan peti itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Mereka yakin bahwa mereka akan melewati sebuah pasar, besar atau kecil.

Sebenarnyalah sebelum tengah hari, keduanya memang sampai ke sebuah pasar. Pasar itu memang tidak terlalu besar. Tetapi ada orang yang menggelar dagangan kain dan selendang lurik di dalam pasar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun singgah di pasar itu. Mereka langsung menuju ke tempat penjualan kain lurik itu. Rara Wulan pun membeli selendang lurik berwarna gelap.

“Bagaimana kita harus membawanya?”

“Kita ikat kitab itu. Kemudian selendang itu kau lingkarkan di perutmu, di atas ikat pinggangmu. Bukankah tidak akan banyak mengganggu?”

“Tetapi tentu akan nampak menonjol pada bajuku.”

“Tidak seberapa. Kitab itu kau tempatkan di perutmu.”

“Aku akan nampak sebagai seorang berperut besar. Bagaimana kalau kau saja yang membawanya?”

“Aku akan kelihatan seperti orang yang sedang mengandung.”

Glagah Putih tersenyum.

Ketika kemudian mereka meninggalkan pasar itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita harus mencari jalan simpang. Kita akan pergi ke gumuk kecil itu.”

“Gumuk kecil itu tentu agak jauh dari tempat ini.”

“Ya. Kita memerlukan tempat terpencil untuk menyimpan petimu, dan mencoba-coba cara untuk membawa kitab itu.”

Rara Wulan pun mengangguk.

Sebenarnyalah mereka pun kemudian turun ke jalan simpang. Semakin lama semakin jauh, menuju ke sebuah gumuk kecil yang nampak kehijau-hijauan. Agaknya pada gumuk kecil itu terdapat hutan meskipun tidak begitu lebat.

Tetapi semakin dekat, Glagah Putih pun kemudian berkata, “Bukan hutan. Aku melihat banyak pohon nyiur yang nampaknya sengaja ditanam di kaki gumuk itu berkeliling.”

“Ya, Kakang. Tetapi gumuk itu terletak di seberang padang perdu yang jarang dilewati orang.”

“Ada jalan setapak menuju ke gumuk itu.”

“Ya.”

“Kita akan melihat apakah gumuk itu ada penghuninya.”

Keduanya pun kemudian sampai di batas tanah persawahan dengan padang perdu. Tetapi keduanya masih dapat mengikuti jalan setapak menuju ke gumuk itu. Sedang di belakang itu terdapat sebuah hutan yang memanjang.

Semakin dekat mereka dengan gumuk itu, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka melihat tanda-tanda bahwa gumuk itu berpenghuni.

Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di kaki gumuk itu, mereka bertemu dengan seseorang yang berjalan dengan memikul beberapa buah bumbung legen. Agaknya orang itu baru saja nderes beberapa batang pohon kelapa.

“Ki Sanak,” bertanya Glagah Putih, “apakah Ki Sanak tinggal di sekitar tempat ini?”

Orang yang memikul beberapa bumbung legen itu pun berhenti. Dipandanginya Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Kemudian nampak dengan sedikit ragu ia pun menjawab, “Ya. Aku tinggal di gumuk itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah ada orang lain yang tinggal di sana?”

“Ya. Ada beberapa keluarga yang tinggal di gumuk itu.”

Rara Wulan menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Jika demikian, biarlah kita melewati gumuk itu. Bukankah kita mencari tempat yang tidak pernah dijamah oleh tangan manusia?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar