Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 355

Buku 355

“Sikapmu memang sangat menarik, Ki Kapat Argajalu. Seakan-akan terpercik dari kata-katamu kebenaran yang bersih dari segala cacat. Mungkin kau dapat mengelabuhi anak-anak muda Pudak Lawang. Bahkan Ki Demang Pudak Lawang. Tetapi tidak aku, Ki Kapat.”

“Tentu kau akan berpegang pada kata-kata ayahmu, Pandan Wangi. Tetapi itu tidak apa. Bahkan itu adalah sikap yang wajar sekali. Tetapi kau akan menyesal, bahwa Ki Demang Pudak Lawang mampu melihat tembus, sehingga ia dapat menilai kebenaran yang sejati di atas Tanah Perdikan ini.”

“Apapun yang kau katakan, Ki Kapat Argajalu, sama sekali tidak akan singgah di hatiku. Aku memang mendengar kata-katamu. Tetapi aku yakini bahwa kau berbohong. Karena itu, berilah kesempatan kami bertemu dengan Ki Demang Pudak Lawang. Biarlah Ki Demang Pudak Lawang pergi ke padukuhan Jati Anyar ini. Sebaiknya kami berbicara dari hati ke hati di antara para pemimpin di Tanah Perdikan.”

“Seperti ayahmu, seperti pamanmu dan seperti Prastawa sepupumu, hatimu juga sekeras batu hitam, Pandan Wangi. Tetapi baiklah. Kita akan melihat apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini. Semua cantrik dari perguruanku, sebuah perguruan yang besar, bahkan juga para cantrik dari perguruan-perguruan sahabatku, telah berkumpul di Pudak Lawang. Tanah Perdikan Menoreh akan segera digulung oleh arus gelombang yang dahsyat. Tidak hanya Jati Anyar, tetapi sampai ke padukuhan induk.”

“Ki Kapat Argajalu. Aku dan suamiku ada di sini sekarang. Kami-lah yang akan mempertahankan Tanah Perdikan ini, bersama dengan saudara-saudara kami yang juga sudah berada di sini.”

“Itulah kelemahanmu, Pandan Wangi. Kau sangat tergantung kepada orang-orang asing. Kepada orang Jati Anom, kepada orang Mataram, kepada orang Sangkal Putung, dan kepada orang mana lagi, yang semuanya sama sekali tidak berakar di bumi ini.”

“Kau sendiri Ki Kapat Argajalu? Selebihnya orang-orangmu. Pengikutmu yang kau sebut para cantrik itu?”

Wajah Ki Kapat menjadi tegang. Sebelum ia menjawab, Pandan Wangi pun berkata lebih lanjut, “Orang-orangmu, pengikutmu yang kau sebut para cantrik itu, juga bukan orang Tanah Perdikan. Mereka adalah orang-orang yang lebih asing bagi Tanah Perdikan ini. Berbeda dengan orang Jati Anom, orang Banyu Asri dan orang Sangkal Putung itu. Mereka telah memberikan banyak sekali jasa bagi Tanah Perdikan ini. Bahkan yang kau sebut orang Sangkal Putung itu adalah suamiku, yang telah memberikan seorang anak laki-laki kepadaku.”

“Cukup!” bentak Ki Kapat Argajalu, “Sebenarnya aku masih tetap akan menganggapmu sebagai kemenakanku. Aku adalah uwakmu, Pandan Wangi. Tetapi sikapmu sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang kemenakan.”

“Bukan Mbokayu Pandan Wangi yang tidak bersikap sebagai seorang kemenakan,” sahut Prastawa, “apakah Uwa Kapat Argajalu bersikap sebagai seorang uwak?”

“Cukup, Ayah. Sudah cukup,” Soma hampir berteriak. “Ayah terlalu sabar menghadapi orang-orang Tanah Perdikan yang besar kepala. Mereka merasa diri mereka mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, karena mereka adalah para pemimpin sebuah Tanah Perdikan yang sah dan diakui oleh Mataram, sementara kita hanyalah pemimpin sebuah perguruan. Tetapi setelah kita takar isinya, manakah yang lebih baik, sebuah Tanah Perdikan atau sebuah perguruan, barulah mereka akan menyesal.”

“Kita sudah tidak perlu berbicara lagi, Ayah. Persoalannya sudah jelas. Kita akan datang untuk menghancurkan Jati Anyar selagi para pemimpin Tanah Perdikan berkumpul di sini,” sambung Tumpak.

“Ya. Sekarang sudah jelas bagiku,” sahut Ki Kapat Argajalu, “semula aku masih mempertimbangkan kemungkinan yang lebih baik daripada perang. Karena di dalam perang itu yang ada hanyalah dendam dan kebencian, yang bahkan akan mengendap di hati kita untuk waktu yang sangat lama. Tetapi agaknya kesombongan orang-orang Tanah Perdikan telah menutup kemungkinan itu.”

“Siapakah yang menutup kemungkinan itu?” berkata Ki Gede. “Jika kau beri kesempatan kami berbicara dengan Ki Demang Pudak Lawang, maka persoalannya tidak akan berkepanjangan.”

“Satu tipu muslihat apa lagi yang akan kau lakukan?” desis Ki Kapat Argajalu.

“Sudahlah, Ayah,” berkata Soma, “jangan hiraukan lagi.”

“Baik, Ki Gede. Kami minta diri. Kami-lah yang besok akan datang ke Jati Anyar untuk memusnahkan semua orang yang berada di padukuhan ini. Jika kalian memang tangguh tanggon, jangan melarikan diri dan mengungsi keluar dari padukuhan ini.”

Ki Gede tidak menjawab. Dipandanginya Ki Kapat Argajalu, Soma, Tumpak dan orang-orangnya meninggalkan gerbang padukuhan Jati Anyar dengan wajah yang membayangkan kemarahan. Sebelum mereka sampai ke sebatang pohon besar yang ditebang dan menyilang jalan, maka beberapa orang yang menyertai Ki Kapat Argajalu telah mendahuluinya. Mereka pun segera berloncatan turun dari kuda-kuda mereka, demikian mereka sampai ke batang pohon yang menyilang.

Ternyata mereka ingin memamerkan kekuatan tenaga mereka. Beberapa orang itu pun kemudian mengangkat batang pohon yang tumbang itu dan mendorongnya menepi.

Dengan demikian, maka Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak tidak perlu turun ke parit dan berkuda menyusuri parit beberapa puluh langkah menghindari sebatang pohon yang menyilang itu. Namun demikian mereka lewat, maka beberapa orang itu telah mendorong batang pohon yang roboh itu kembali menyilang jalan.

Orang-orang yang masih berdiri di pintu gerbang padukuhan Jati Anyar melihat pameran kekuatan itu.

(ada halaman yang hilang)

Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak bukan saja mendapat laporan tentang keberadaan prajurit Mataram itu. Tetapi mereka telah melihat langsung pertanda dari prajurit Mataram itu. Mereka telah melihat rontek dan umbul-umbul serta kelebet yang terikat pada tunggul lambang pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Lurah atas persetujuan para pemimpin Tanah Perdikan sengaja menunjukkan ciri-ciri keprajuritan Mataram, agar Ki Kapat Argajalu menimbang ulang. Apakah mereka benar-benar akan memusuhi Tanah Perdikan Menoreh, yang juga berarti memusuhi Mataram.

“Mudah-mudahan kehadiran prajurit Mataram dengan segala macam lambang dan ciri-cirinya akan dapat mencegah pertempuran yang akan terjadi,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu. Namun rasa-rasanya para pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan ingin agar keberadaan prajurit Mataram itu disamarkan, untuk menjebak para pengikut Ki Kapat Argajalu.

“Kami masih berpikir untuk setidak-tidaknya memaksa Ki Kapat Argajalu untuk berpikir ulang. Syukur jika dengan keberadaan para prajurit Mataram, dapat mencegahnya memulai peperangan,” berkata Ki Lurah.

Namun ternyata bahwa Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak tidak menghiraukan lagi keberadaan prajurit Mataram di Jati Anyar. Bahkan mereka sudah memperhitungkan, bahwa pasukan Mataram itu tentu akan dibawa oleh Agung Sedayu. Yang tidak mereka duga adalah bahwa para prajurit Mataram itu hadir sebagai prajurit dari Pasukan Khusus dengan segala macam pertanda dan ciri-cirinya.

“Ki Lurah mencoba menakut-nakuti kita, Ayah,” berkata Soma.

“Ya,” Ki Kapat Argajalu mengangguk. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Kapat Argajalu harus benar-benar mempersiapkan diri menghadapi keberadaan prajurit dari Pasukan Khusus di Jati Anyar itu. Namun Soma dan Tumpak berkeras, mereka akan menyerang Jati Anyar esok pagi.

“Persiapan kita akan berbeda,” berkata Ki Kapat Argajalu.

“Ya. Kita siapkan sekelompok cantrik dengan senjata pedang dan perisai. Mereka akan menjadi ujung dari serangan kita. Mereka langsung menghadapi serangan anak panah dan lembing.”

“Bagaimanapun juga, kita akan sampai pada satu garis serangan yang berat menjelang dinding padukuhan Jati Anyar,” berkata Ki Kapat Argajalu. “Karena itu, segala macam persiapan harus mendapat perhatian dengan saksama. Tidak boleh ada peralatan yang kurang, justru setelah terjadi pertempuran.”

Sebenarnyalah Soma dan Tumpak mempunyai kesempatan cukup untuk mempersiapkan diri. Pasukan Ki Kapat Argajalu tidak lagi mempersiapkan diri mereka untuk mempertahankan padukuhan mereka, tetapi mereka justru akan menyerang padukuhan Jati Anyar.

Dalam pada itu, Soma dan Tumpak telah mempersiapkan pasukan mereka dalam tiga kesatuan. Mereka akan datang bersama-sama, yang akan merupakan bayangan sebuah gelar. Namun demikian mereka mendekati padukuhan Jati Anyar, maka mereka akan terpecah menjadi tiga. Satu kesatuan yang disebut pasukan induk akan menyerang dari arah depan, menghadap langsung pintu gerbang padukuhan Jati Anyar. Satu kesatuan akan menjadi sayap kiri, yang akan melingkar dan menyerang lambung kiri padukuhan Jati Anyar, sedang satu lagi akan menyerang dari lambung kanan. Beberapa orang Putut telah dipercaya untuk memimpin kesatuan-kesatuan itu. Sedangkan Ki Kapat Argajalu, Soma, Tumpak dan putut-putut terpilih akan berada di pasukan induk.

“Kita akan menghadapi beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan ini. Karena itu, kita akan mengerahkan semua kekuatan yang ada pada kita, meskipun mungkin itu tidak perlu. Tetapi kita tidak mau terkecoh lagi oleh kelicikan orang-orang Tanah Perdikan. Lebih baik kita membanjiri mereka seperti prahara untuk menenggelamkan dan membenamkan mereka ke dalam lumpur, daripada kita harus mengulanginya lagi esok pagi. Dengan kekuatan penuh, hari ini, sebelum matahari menjadi merah di sisi barat langit, Jati Anyar harus sudah kita lumatkan,” berkata Ki Kapat Argajalu.

Tiga orang putut bersaudara, yang disegani oleh kawan-kawannya, akan menyertai Soma dan Tumpak. Sedangkan dua orang putut kembar, akan menyertai Ki Kapat Argajalu. Pahing Tua dan Pahing Nom adalah dua raksasa kembar yang memiliki ilmu yang tinggi. Tubuh mereka yang tinggi dan besar itu melampaui kewajaran rata-rata laki-laki di Tanah Perdikan. Sedangkan tiga orang bersaudara yang akan menyertai Soma dan Tumpak adalah putut yang memiliki kelebihan dari beberapa orang kawannya. Mereka memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dalam pertempuran, mereka selalu bekerja sama, menggilas lawan-lawan mereka.

Orang tua mereka yang sama sekali tidak bermimpi bahwa anak mereka akan menjadi murid Ki Kapat Argajalu yang diragukan kebersihannya itu, telah memberikan nama yang baik kepada anak-anak mereka. Nama sebagai ungkapan keinginan orang tuanya bagi anaknya itu di masa depan. Yang tertua bernama Pangestu, yang kedua bernama Werdi, sedangkan yang bungsu bernama Berkah. Tetapi ketika mereka dewasa, maka nama-nama mereka sama sekali tidak tercermin dalam kehidupan mereka.

Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak setelah melihat kesiapan pasukannya, merasa yakin bahwa mereka akan dapat dengan cepat menyelesaikan lawan-lawan mereka. Apalagi Ki Kapat Argajalu sendiri terlalu yakin akan kemampuannya. Meskipun ia sudah mendengar tentang kebesaran nama Ki Lurah Agung Sedayu, namun Ki Kapat Argajalu yang setiap hari bergulat dengan ilmunya di perguruannya, merasa yakin bahwa ia memiliki kelebihan dari Ki Lurah Agung Sedayu itu.

“Agung Sedayu adalah orang lurah prajurit. Ia terikat pada tugas-tugasnya, sehingga kesempatan baginya untuk mengembangkan ilmunya tidak cukup luas,” berkata Ki Kapat Argajalu di dalam hatinya.

Karena itu, maka Ki Kapat Argajalu itu sudah bertekad untuk menghadapi orang terbaik di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Lurah Agung Sedayu. Selain dirinya sendiri, Ki Kapat Argajalu juga menyakini kelebihan Soma, Tumpak dan beberapa orang putut yang menyertainya. Bahakan beberapa orang pemimpin perguruan yang lebih kecil, yang dapat dibujuknya untuk ikut serta merebut Tanah Perdikan Menoreh.

Hari itu, segala persiapan telah diselesaikan dengan baik. Besok, saat fajar menyingsing, Ki Kapat Argajalu yang tidak dapat sekedar menunggu serangan dari orang-orang Tanah Perdikan itu, akan menyerang padukuhan Jati Anyar. Sebuah padukuhan yang terhitung besar, yang berbatasan dengan Kademangan Pudak Lawang.

Ki Demang Pudak Lawang pun sibuk pula mempersiapkan bukan saja anak muda Pudak Lawang yang telah menyatakan diri menjadi Pengawal Tanah Perdikan, tetapi hampir semua laki-laki yang masih kuat mengangkat senjata telah dipersiapkan pula. Ki Demang Pudak Lawang yakin bahwa Tanah Perdikan Menoreh juga melakukan hal yang sama. Namun Ki Demang Pudak Lawang merasa bahwa selama ini Pudak Lawang adalah kademangan terkuat di Tanah Perdikan Menoreh.

Para pemimpin Pasukan Pengawal telah mendapat beberapa penjelasan langsung dari Ki Kapat Argajalu. Mereka mendapat petunjuk serta ketentuan-ketentuan yang harus mereka lakukan esok, agar mereka dapat bekerja sama dengan baik dengan segala unsur yang ada dalam pasukan yang akan dipimpin langsung oleh Ki Kapat Argajalu itu.

Ketika hari memasuki saat senja, maka semua rencana telah masak. Semua unsur di dalam pasukan Ki Kapat Argajalu telah tahu pasti apa yang harus mereka lakukan esok pagi. Sekelompok cantrik akan menjadi ujung serangan. Mereka dipersiapkan untuk melawan senjata lontar dari jarak jauh. Anak panah, lembing dan mungkin juga bandil.

Namun setelah mereka menguak serangan-serangan jarak jauh itu, maka pasukan yang sesungguhnya akan memecahkan pintu gerbang padukuhan Jati Anyar. Dengan perubahan arah serangan itu, maka padukuhan Jati Anyar harus benar-benar dikosongkan.

Ki Gede telah minta Ki Bekel Jati Anyar menilik seluruh padukuhan. Semua perempuan, anak-anak dan orang-orang tua yang masih berada di padukuhan, harus meninggalkan padukuhan itu lewat senja, sehingga Pasukan Pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan yang sudah berada di padukuhan Jati Anyar, dapat mengatur pertahanan sebaik-baiknya.

Seperti yang sudah diperhitungkan oleh Ki Kapat Argajalu, Ki Lurah Agung Sedayu menempatkan sekelompok prajurit bersenjata busur dan anak panah. Sekelompok anak muda dari Pasukan Pengawal Tanah Perdikan telah mempersiapkan lembing.

Tetapi Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Pasukan Khusus yang bersenjata busur dan anak panah tidak saja mereka yang berada di belakang dinding padukuhan serta di belakang pintu gerbang, yang berjaga-jaga jika pintu gerbang nanti dipecahkan. Tetapi pasukan yang bersenjata busur dan anak panah itu tersebar dimana-mana di dalam padukuhan Jati Anyar. Di setiap tikungan simpang tiga dan simpang empat. Bahkan di halaman-halaman yang luas. Yang lain akan menempatkan dirinya di dahan pohon-pohon besar yang tumbuh di pinggir-pinggir jalan. Dengan demikian, maka kelompok-kelompok kecil dari Pasukan Pengawal Tanah Perdikan serta prajurit dari Pasukan Khusus itu akan tersebar dimana-mana, di dalam padukuhan Jati Anyar.

Para Pengawal Tanah Perdikan merasa lebih mengenal medannya daripada para pengikut Ki Kapat Argajalu. Mungkin anak-anak muda dari Kademangan Pudak Lawang juga mengenali medannya sebagai para Pengawal Tanah Perdikan. Namun jumlah mereka tentu tidak sebanyak para pengikut Ki Kapat Argajalu.

Lewat senja, maka segala sesuatunya telah dipersiapkan. Jika esok pagi pasukan yang dipimpin oleh Ki Kapat Argajalu akan menyerang, padukuhan Jati Anyar telah siap untuk menyongsong mereka. Tetapi jika Ki Kapat Argajalu menunda serangannya, maka semua unsur yang ada di padukuhan Jati Anyar tidak akan menjadi sangat kecewa sebagaimana Ki Kapat Argajalu.

Para pemimpin Tanah Perdikan di Jati Anyar justru berharap bahwa Ki Kapat Argajalu akan berpikir ulang, sehingga ia belum akan segera menggerakkan pasukannya. Namun seandainya pasukannya itu bergerak, maka Jati Anyar sudah siap menerimanya.

Malam itu para prajurit dari Pasukan Khusus serta para Pengawal Tanah Perdikan yang berada di Jati Anyar masih sempat beristirahat, sebagaimana para pengikut Ki Kapat Argajalu serta anak-anak muda Pudak Lawang, selain mereka yang bertugas.

Malam terasa demikian sepi di bulak yang memisahkan kedua padukuhan yang memuat pasukan dari dua belah pihak yang saling bermusuhan. Tanaman padi yang tumbuh subur, kunang-kunang yang nampak gemerlapan di tengah-tengah bulak, suara katak yang saling bersahutan menurut irama yang runtut.

Dua orang prajurit dari Pasukan Khusus serta dua orang anak muda Pengawal Tanah Perdikan yang berjaga-jaga di pintu gerbang padukuhan Jati Anyar memandangi kesepian itu dengan jantung yang berdebaran.

Kemungkinan terbesar, besok Ki Kapat Argajalu akan membawa pasukannya menyerang Jati Anyar. Pasukan itu akan bergerak seperti banjir lahar yang mengalir di lereng Gunung. Melindas semua rintangan yang menghadang di jalannya. Jika itu terjadi, maka besok pagi, tanaman yang subur itu akan dilumatkan oleh kaki para pengikut Ki Kapat Argajalu, serta Pengawal Tanah Perdikan yang berasal dari Pudak Lawang.

“Pamanku tinggal di Pudak Lawang,” desis salah seorang Pengawal Tanah Perdikan.

Salah seorang prajurit dari Pasukan Khusus itu pun menyahut, “Aku berasal dari Pudak Lawang.”

“Kau?” bertanya Pengawal Tanah Perdikan itu, “Kenapa kita belum saling mengenal sebelumnya?”

“Sejak kecil aku berada di Srandakan.”

“Di seberang Kali Praga?”

“Ya. Ibuku berasal dari Srandakan. Tetapi ayahku berasal dari Pudak Lawang. Orang tuaku sempat tinggal di Pudak Lawang sebentar setelah menikah. Namun karena kakek dan nenek dari pihak ibuku di Srandakan sudah meninggal, sementara ibuku adalah pewaris satu-satunya, maka Ayah dan Ibu telah pindah ke Srandakan. Itu terjadi dua puluh lima tahun yang lalu, ketika aku baru berumur dua tahun.”

“Siapakah sekarang yang masih tinggal di Pudak Lawang?”

“Tidak ada. Kakakku juga sudah pindah dari Pudak Lawang. Bibiku sekarang justru berada di padukuhan induk Tanah Perdikan. Sepupu ayahku masih ada di Pudak Lawang. Tetapi hubungan kami tidak akrab.”

Pengawal Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Dalam pada itu, pengawal Tanah Perdikan yang seorang lagi berkata, “Aku tidak mempunyai keluarga di Pudak Lawang. Tetapi banyak di antara kami yang mempunyai sanak kadang di kademangan itu. Mungkin sekali besok mereka akan bertemu. Tetapi di medan perang.”

“Ketamakan Ki Demang Pudak Lawang telah mendorong sesama rakyat Tanah Perdikan Menoreh saling bermusuhan. Hal seperti ini pernah terjadi. Luka yang ditinggalkan akan menganga untuk waktu yang lama. Sekarang, peristiwa pahit itu terjadi lagi setelah kehadiran Ki Kapat Argajalu.”

Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan itu terdiam. Namun terbayang di angan-angan mereka pertempuran yang sengit di antara sanak kadang sendiri. Anak-anak muda Kademangan Pudak Lawang pada umumnya sudah saling mengenal dengan anak-anak muda dari kademangan yang lain di dalam lingkungan Tanah Perdikan itu. Namun tiba-tiba mereka akan bertemu di medan pertempuran dengan senjata di tangan.

Tetapi Ki Kapat Argajalu dan para pengikutnya sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka masih menghasut dan menumbuhkan sikap bermusuhan, sehingga sebagian terbesar anak-anak muda dan bahkan setiap laki-laki yang masih kokoh, dengan penuh kebencian terhadap tatanan pemerintahan di Tanah Perdikan Menoreh, berniat turun ke medan pertempuran, langsung di bawah pimpinan Ki Demang Pudak Lawang sendiri.

Malam pun semakin lama menjadi semakin dalam. Dinginnya malam menjadi semakin terasa. Dua orang prajurit Tanah Perdikan telah menggantikan petugas yang terdahulu di pintu gerbang padukuhan Jati Anyar.

Beberapa saat kemudian, terdengar kokok ayam jantan yang saling bersahutan. Mereka sama sekali tidak menghiraukan ketegangan yang mencekam padukuhan mereka. Seperti kemarin malam, kemarin lusa dan malam-malam sebelumnya, ayam jantan itu selalu berkokok pada wayah yang selalu sama.

Dalam pada itu, menjelang dini hari, maka para petugas dapur pun telah bangun. Mereka telah menyalakan api untuk menyiapkan makan pagi bagi para prajurit serta para pengawal Tanah Perdikan. Baru beberapa saat kemudian, para prajurit dan para pengawal pun mulai bangun dan berbenah diri. Ada yang pergi ke pakiwan. Tetapi ada yang hanya mencuci mukanya saja.

Di padukuhan di seberang bulak, pasukan Ki Kapat Argajalu pun telah bersiap-siap pula. Ki Kapat Argajalu merencanakan untuk bergerak sebelum matahari terbit.

“Jangan disilaukan oleh cahaya matahari pagi,” berkata Ki Kapat Argajalu, “mungkin kita datang terlalu pagi. Tetapi akan lebih baik jika kita sudah berada di dalam padukuhan saat matahari naik.”

Dalam pada itu, Soma, Tumpak serta para pulut telah mendapat pesan-pesan khusus dari Ki Kapat Argajalu. Jika mereka harus bertempur di jalan-jalan sempit, di halaman-halaman yang disekat-sekat oleh dinding dan pagar, serta di antara rumah-rumah penduduk, maka mereka harus berada di dalam kelompok-kelompok kecil.

“Jangan ada yang terpisah atau sengaja menyombongkan diri bergerak seorang diri. Kita tahu bahwa lawan kita adalah orang-orang yang sudah dipersiapkan dengan baik oleh Ki Gede. Bahkan diantara mereka terdapat para prajurit dari Pasukan Khusus. Nah, biasanya para prajurit tidak mengandalkan kemampuan mereka secara pribadi. Mereka terbiasa bertempur dalam gelar atau dalam kelompok-kelompok yang sudah mapan. Karena itu, kalian pun harus berada di dalam kelompok-kelompok.”

Karena itulah, maka para cantrik serta para pengawal dari Pudak Lawang telah mengikat dalam kelompok-kelompok mereka. Para pemimpin kelompok pun telah memerintahkan kepada mereka, agar mereka tidak terpecah dalam keadaan apapun.

Ketika langit menjadi kemerah-merahan, maka Ki Kapat Argajalu pun telah memerintahkan untuk memukul bende sebagai isyarat bagi pasukannya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya, sesuai dengan tatanan yang sudah direncanakan.

“Kenapa tidak dengan isyarat yang lain saja?” bertanya Soma, “Atau perintah lewat para pemimpin kelompok? Bende itu akan didengar pula oleh para pengawas dari Jati Anyar, yang mungkin berada di bulak itu.”

“Tidak apa-apa. Kita memang akan datang ke Jati Anyar dengan menunjukkan dada kita. Kita tidak akan memasuki Jati Anyar seperti pencuri yang memasuki rumah korbannya,” jawab Ki Kapat Argajalu.

Soma tidak bertanya lagi. Sementara itu suara bende pun telah mengumandang di seluruh padukuhan.

Sebenarnyalah dua orang pengawas dari Jati Anyar yang berada di sebuah gubug di bulak yang memisahkan kedua padukuhan itu mendengar suara bende itu. Bahkan lamat-lamat dari Jati Anyar suara bende itu pun terdengar pula. Ketika Ki Lurah Agung Sedayu mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, maka suara bende itu menjadi jelas di telinganya.

“Nampaknya mereka benar-benar akan menyerang pagi ini,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Semuanya sudah siap,” jawab Glagah Putih.

“Keberadaan para prajurit di sini tidak mengendorkan keinginan Ki Kapat Argajalu untuk berperang.”

“Mereka merasa terlalu kuat, Kakang.”

Ki Lurah mengangguk-angguk kecil.

Dalam pada itu, untuk menanggapi serangan Ki Kapat Argajalu, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu pun segera berkumpul. Ki Gede Menoreh sendiri yang memimpin pertemuan itu.

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Ki Gede, “nampaknya Ki Kapat Argajalu benar-benar akan menyerang hari ini. Karena itu, kita harus mempersiapkan diri untuk mempertahankan padukuhan ini. Kita harus mengusir mereka keluar jika mereka berhasil memasuki padukuhan ini.”

Semua yang berkumpul mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara itu Ki Gede pun berkata selanjutnya, “Ki Lurah sudah mengatur pertahanan atas padukuhan ini sebaik-baiknya. Kita semuanya akan melaksanakannya. Kita memang meyakini bahwa Ki Kapat Argajalu adalah orang yang berilmu tinggi. Kita akan menyerahkannya kepada Ki Lurah. Kita tidak mau tergelincir sekedar untuk memenuhi gejolak perasaan kita.”

Tidak ada yang menyahut. Ki Jayaraga pun hanya berdiam diri saja, meskipun sebenarnya ada hasrat untuk dapat bertemu dengan orang yang bernama Kapat Argajalu itu. Tetapi bagi kepentingan yang lebih besar, maka orang yang paling tepat untuk menghadapi Ki Kapat Argajalu adalah Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Ki Lurah Agung Sedayu telah minta agar Ki Gede dan Ki Argajaya tetap berada di banjar padukuhan, untuk mengendalikan pertempuran di seluruh padukuhan itu. Sekelompok prajurit pilihan serta sekelompok pengawal terbaik akan berada di padukuhan itu pula. Beberapa orang penghubung akan hilir mudik di halaman banjar itu.

Dalam pada itu, telah terdengar pula suara bende untuk kedua kalinya. Ki Lurah pun segera minta semuanya berada di tempat mereka masing-masing. Pertahanan yang disusun oleh Ki Lurah tidak mengutamakan mencegah agar pasukan Kapat Argajalu tidak memasuki padukuhan Jati Anyar. Namun pertahanan Pasukan Pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus akan tersebar di seluruh padukuhan. Karena itu, darimanapun musuh akan memasuki padukuhan Jati Anyar, maka mereka akan membentur pertahanan yang bukan saja berlapis, tetapi merata di setiap jengkal tanah.

Meskipun demikian, namun para pemimpin Tanah Perdikan itu telah mempersiapkan diri untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi yang akan memasuki padukuhan Jati Anyar.

Ketika cahaya fajar mulai nampak kemerah-merahan di langit, maka dari padukuhan di hadapan padukuhan Jati Anyar itu telah terdengar suara bende untuk ketiga kalinya.

Ki Lurah Agung Seday upun kemudian telah memerintahkan segala unsur yang ada di dalam pasukannya untuk bersiap. Agaknya Ki Kapat Argajalu tidak menunggu matahari terbit. Mereka ingin menembus pertahanan Jati Anyar justru sebelum mereka disilaukan oleh cahaya matahari pagi.

Sebenarnyalah, dalam keremangan fajar, pasukan Ki Kapat Argajalu mulai bergerak. Pasukannya keluar dari pintu gerbang padukuhan seperti seekor ular naga yang keluar dari sarangnya. Dua orang pengawas dari Jati Anyar segera melihat pasukan yang menjalar di jalan bulak yang menuju ke Jati Anyar. Karena itu, maka keduanya pun segera berlari untuk memberikan laporan kepada para pemimpin di Jati Anyar Tetapi ketika kedua orang pengawas itu sampai di Jati Anyar, maka segala sesuatunya sudah siap.

Dalam pada itu, pasukan Ki Kapat Argajalu itu masih bergerak terus. Beberapa orang tiba-tiba saja berlari-larian mendahului pasukan itu. Ternyata mereka adalah orang-orang yang telah memamerkan kekuatan mereka kemarin. Beberapa orang itu pun kemudian mendorong batang yang melintang jalan itu menepi, sehingga pasukan yang akan lewat tidak akan terganggu karenanya.

Beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan melihat pula pameran kekuatan itu. Meskipun mereka tidak mengabaikannya, namun pameran kekuatan itu tidak begitu menarik perhatian mereka.

Semakin lama pasukan Ki Kapat Argajalu itu pun menjadi semakin dekat. Namun beberapa puluh patok dari pintu gerbang, pasukan itu berhenti. Beberapa orang, di antara mereka adalah Ki Kapat Argajalu, Soma, Tumpak, Pahing Tua dan Pahing Nom, serta ketiga orang bersaudara, Pangestu, Werdi dan Berkah, diiringi oleh orang-orang yang telah memamerkan kekuatan mereka menyingkirkan batang pohon yang rebah dan melintang di tengah jalan itu.

Ki Gede, Ki Argajaya, Rara Wulan dan Glagah Putih telah berdiri di pintu gerbang padukuhan Jati Anyar, yang masih terbuka untuk menerima kedatangan Ki Kapat Argajalu.

“Ki Gede,” berkata Ki Kapat, “kesempatan ini adalah kesempatan yang terakhir. Jika Ki Gede ingin menghindari pertumpahan darah, maka kami minta agar Ki Gede menyerahkan kekuasaan Tanah Perdikan Menoreh. Kami masih tetap berdiri pada niat kami semula. Kami minta Ki Gede menetapkan Prastawa sebagai pengganti Ki Gede memimpin Tanah Perdikan ini.”

“Kakang Kapat Argajalu. Aku hormati kepedulian Kakang terhadap Tanah Perdikan ini. Tetapi agaknya Kakang terlalu dalam mencampuri urusan kami. Sayang, jalan yang Kakang tempuh keliru. Bahkan Prastawa sendiri menolak campur tangan Kakang. Karena itu, Kakang, selagi belum terlanjur, bawa pasukan Kakang kembali. Kemudian tinggalkan Tanah Perdikan ini. Biarlah kami menyelesaikan persoalan kami sendiri tanpa pertumpahan darah. Aku masih tetap ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Demang. Kenapa Ki Demang tidak hadir di sini? Kami akan menyentuh hatinya dan menyadarkannya akan jalan sesat yang telah ditempuhnya.”

“Persetan dengan Ki Demang di Pudak Lawang. Sekarang, aku ingin ketegasan Ki Gede. Ki Gede menyerahkan kekuasaan Ki Gede atau tidak?”

“Pertanyaan itu sudah kau ketahui jawabnya.”

Wajah Ki Kapat Argajalu menjadi merah. Namun ia masih juga menjawab, “Aku ingin mendengar jawaban dari mulut Ki Gede sendiri, agar aku menjadi pasti.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Dalam keadaan yang gawat itu, Ki Gede masih sempat membayangkan, pada saat Ki Kapat Argajalu itu datang untuk pertama kalinya ke rumahnya dengan sikapnya yang ramah dan manis. Wajah yang cerah serta kata-katanya yang merendah. Tiba-tiba saja sekarang Ki Kapat Argajalu itu telah berubah menjadi hantu yang galak dan buas.

Tiba-tiba kebencian Ki Gede itu bagaikan meledak. Dengan geram Ki Gede itu berkata, “Kapat Argajalu, enyahlah dari hadapanku. Jika kau tidak segara pergi, maka kau akan dicincang di sini oleh orang-orangku. Berlindunglah ke dalam pasukanmu dan berteriaklah dari antara mereka, bahwa kau adalah seorang yang memiliki ilmu tidak ada duanya di Tanah ini.”

“Alangkah sombongnya kau, Ki Gede. Baik. Aku akan kembali ke pasukanku. Tetapi aku akan segera datang lagi untuk menghancurkan padukuhan Jati Anyar ini. Jika nanti kau melarikan diri, maka kau akan aku buru sampai ke dasar neraka sekalipun.”

Ki Gede tidak menjawab lagi. Dipandanginya saja Ki Kapat Argajalu dan orang-orang yang menyertainya itu meninggalkan pintu gerbang padukuhan Jati Anyar.

Sejenak kemudian, demikian Ki Kapat Argajalu pergi, maka pintu gerbang padukuhan Jati Anyar pun segera ditutup. Ki Gede dan Ki Argajaya segera dipersilahkan pergi ke banjar. Sementara para pemimpin yang lain pun segera mempersiapkan diri.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, maka di banjar padukuhan itu telah ditempatkan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus, serta sekelompok Pengawal Tanah Perdikan yang terbaik.

Dalam pada itu, dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya, maka Ki Kapat Argajalu pun segera memberikah perintah kepada pasukannya untuk bergerak. Pada saat itu pula, pasukan Ki Kapat Argajalu telah terpecah. Pasukan induknya, yang merupakan pasukan terbesar dan terkuat, langsung menuju ke pintu gerbang. Sedangkan dua pasukan yang lain, pasukan yang lebih kecil, akan melingkar padukuhan itu dan menyerang dari arah lambung kanan dan lambung kiri.

Dari belakang dinding padukuhan Jati Anyar, para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus melihat bahwa pasukan Ki Kapat Argajalu itu terpecah menjadi tiga. Namun Agung Sedayu dengan ilmunya Sapta Pandulu melihat bahwa Ki Kapat Argajalu dan orang-orang yang terpilih masih tetap berada di pasukan induk, yang langsung menuju pintu gerbang.

Untuk menanggapi gerak pasukan Ki Kapat Argajalu, maka Ki Lurah pun segera memerintahkan dua orang penghubung untuk pergi ke lambung kiri pertahanan di padukuhan Jati Anyar, serta dua orang ke lambung kanan.

“Beritahukan, bahwa ada kelompok-kelompok khusus yang akan menyerang lambung. Ingatkan mereka bahwa pertahanan kita tidak diberatkan pada lapis pertama, tetapi pada setiap jengkal tanah di padukuhan Jati Anyar. Meskipun demikian, hambat sejauh mungkin, agar mereka tidak segera memasuki dinding padukuhan.”

Perintah itu pun segera disampaikan kepada para pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di lambung, serta para pemimpin Pengawal Tanah Perdikan.

“Pasukan itu tidak telalu besar,” berkata para penghubung itu kepada para pemimpin prajurit dan Pengawal Tanah Perdikan yang bertahan di lambung kanan dan kiri, “serangan mereka tetap dititikberatkan pada pintu gerbang padukuhan.”

Demikianlah, maka pasukan yang berada di lambung itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka yang bersenjata busur dan anak panah pun segera bersiap untuk menyambut kedatangan pasukan yang akan menyerang lambung itu.

Dalam pada itu, pasukan induk yang dipimpin oleh Ki Kapat Argajalu itu pun sudah mendekati pintu gerbang. Mereka telah membuat persiapan sebaik-baiknya. Mereka telah menyiapkan sebuah balok yang besar dan berat untuk menghentak pintu gerbang, dan kemudian mematahkan selaraknya atau memecahkan daun pintunya.

Beberapa orang yang memiliki kekuatan yang melampaui kebanyakan orang telah memanggul balok kayu yang besar itu. Mereka bukan orang-orang yang telah memamerkan kekuatan mereka dengan memindahkan pohon yang roboh dan melintang di jalan itu.

Para prajurit serta pengawal Tanah Perdikan tidak tergesa-gesa menyambut mereka. Dibiarkannya orang-orang itu mendekat. Dibiarkannya beberapa orang membuat ancang-ancang untuk memecahkan pintu gerbang itu.

Baru ketika beberapa orang yang memanggul balok itu berlari, sekelompok prajurit dengan busur dan anak panah telah muncul di balik dinding.

Mereka adalah prajurit-prajurit terlatih. Karena itu, maka anak panah mereka pun tidak sekedar berterbangan tanpa arah. Orang-orang yang memanggul balok yang besar itu terkejut. Para cantrik yang membawa perisai yang sudah dipersiapkan untuk melindungi mereka, nampaknya agak lengah karena mereka tidak segera mendapatkan perlawanan, sehingga tanggapan mereka atas serangan yang tiba-tiba itu agak terlambat.

Beberapa anak panah telah langsung menikam sasaran. Ketika beberapa orang roboh pada saat mereka berlari, maka keseimbangan pun tidak dapat dipertahankan. Orang-orang yang memanggul balok yang besar itu pun tiba-tiba saja telah terhuyung-huyung. Akhirnya, sebelum balok itu menyentuh pintu gerbang, maka beberapa orang yang tersisa itu pun telah roboh pula. Balok itu menjadi terlalu berat bagi mereka.

Soma menjadi sangat marah. Iapun segera berterik-teriak memerintahkan agar yang tersisa itu segera bangkit. Iapun segera memerintahkan beberapa orang yang lain untuk menggantikan mereka yang terbaring dengan anak panah tertancap di tubuh mereka. Tetapi tidak semuanya dapat bangkit. Yang tertindih balok itu di dadanya, nafasnya seakan-akan telah terputus.

Tumpak pun marah-marah pula kepada para cantrik yang harus melindungi mereka yang mengusung balok yang besar itu. Mereka menjadi lengah, sehingga beberapa orang di antara mereka yang mengusung balok itu telah terkena anak panah. Namun sejenak kemudian, beberapa orang telah mengerumuni balok itu lagi. Sambil berteriak keras-keras, mereka menghentakkan tenaga mereka untuk mengangkat balok itu.

Sejenak kemudian balok itu pun telah terangkat lagi. Beberapa orang yang bertubuh tinggi besar, yang mengangkat balok-balok itu, segera bergeser mundur untuk mengambil ancang-ancang. Tumpak-lah yang berteriak memberikan aba-aba kepada orang-orang yang memanggul balok itu.

Demikianlah, dengan ancang-ancang yang cukup, maka orang-orang itu pun telah membenturkan balok itu ke pintu gerbang padukuhan. Ketika terjadi sekali benturan, maka pintu gerbang itu masih belum terbuka. Tetapi selarak pintu gerbang itu sudah mulai menjadi retak.

Dengan demikian, maka para cantrik itu pun sekali lagi mengambil ancang-ancang. Sekali lagi Tumpak meneriakkan aba-aba. Sekali lagi orang-orang yang mengusung balok itu berlari untuk membenturkan baloknya ke pintu gerbang.

Dalam pada itu, para prajurit yang berada di belakang pintu gerbang pun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya. Mereka sadari sepenuhnya, jika terjadi benturan sekali lagi, maka selarak pintu itu akan patah dan pintu itu pun akan terbuka

Karena itu, maka mereka akan menyambut para cantrik yang akan memasuki pintu gerbang yang terbuka itu seperti banjir bandang. Namun ternyata para cantrik itu tidak hanya berusaha memasuki padukuhan Jati Anyar lewat pintu gerbang. Beberapa orang telah berusaha memanjat dinding dengan tangga-tangga bambu.

Sementara itu, sekelompok di antara mereka telah menyerang lambung kiri pertahanan Jati Anyar, sedangkan sekelompok yang lain menyerang lambung kanan. Tetapi dengan tenangnya para prajurit dan pasukan Tanah Perdikan itu pun menunggu. Setiap orang yang berusaha memasuki padukuhan dengan memanjat dinding, akan menjadi sasaran anak panah para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan itu. Demikian mereka muncul, maka anak panah pun segera terlepas dari busurnya. Bahkan kadang-kadang dua atau tiga anak panah sekaligus.

Sementara itu, mereka yang berhasil lolos dan meloncat memasuki padukuhan, maka ujung tombak pun telah menanti mereka.

Ketika balok yang besar itu sekali lagi menghentak pintu gerbang padukuhan, maka seperti yang sudah diperhitungkan, maka selarak pintu itu pun patah.

Para cantrik mengalir berdesakan memasuki padukuhan lewat pintu gerbang. Namun dengan demikian, mereka tidak banyak dapat berbuat ketika anak panah menghujani mereka. Mereka yang berperisai berusaha melindungi diri mereka dengan perisainya. Sambil memutar pedangnya mereka mendesak maju. Sementara itu Soma dan Tumpak berteriak-teriak memberi aba-aba kepada cantrik yang berada di belakang, yang mendesak maju tanpa perhitungan.

“Jangan berdesakan!” teriak Soma, “Beri kesempatan kawan-kawan kalian yang berada di depan memberi perlawanan.”

Teriakan-teriakan Soma dan Tumpak itu pun telah diulang oleh para pemimpin kelompok. Sementara itu, Ki Kapat Argajalu telah meletakkan orang-orangnya yang terpilih di paling depan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki tubuh yang melebihi orang kebanyakan, serta mereka yang mempunyai kekuatan dan tenaga yang sangat besar.

Namun mereka bukanlah orang-orang yang kebal, seperti dikatakan oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Ujung tombak para prajurit dan para pengawal Tanah Perdikan mampu mengoyakkan perut mereka.

Pertempuran segera berkobar dimana-mana. Para pengikut Ki Kapat yang telah berada di dalam padukuhan Jati Anyar itu pun segera berlari-lari memencar. Mereka berusaha menerobos pertahanan lapis pertama. Sementara itu, kawan-kawan mereka yang menyerang dari lambung pun sudah semakin banyak yang berhasil memasuki padukuhan, meskipun mereka harus memberikan pengorbanan yang besar.

Tetapi perhitungan para cantrik itu ternyata tidak sepenuhnya tepat. Setelah mereka berhasil menerobos pertahanan di lapis pertama, mereka mengira akan dapat lebih bebas memasuki padukuhan dan menduduki banjar dan rumah Ki Bekel Jati Anyar. Tetapi ternyata yang terjadi adalah lain sekali. Meskipun mereka sudah berhasil menerobos pertahanan di lapis pertama, namun ketika mereka berlari-larian di jalan utama, maka demikian mereka sampai di tikungan, sekelompok prajurit dan pengawal Tanah Perdikan muncul dari balik dinding halaman, di tikungan tepat di hadapan mereka.

Para cantrik itu terkejut. Tetapi mereka tidak dapat bergerak lebih cepat dari anak panah yang meluncur dari busurnya. Beberapa orang pun terguling di tanah. Yang lain sempat mempergunakan senjata untuk menangkis anak panah yang datang menghujani mereka. Pemimpin sekelompok cantrik itu pun segera berteriak memberikan aba-aba. Mereka justru harus dengan cepat menyerang orang-orang yang berada di belakang dinding halaman itu.

Namun demikian mereka meloncat berlari, maka dari sebelah-menyebelah jalan berloncatan para pengawal Tanah Perdikan yang sudah siap dengan senjata di tangan.

Para cantrik itu berteriak marah. Mereka pun segera menghentakkan kemampuan mereka melawan para pengawal Tanah Perdikan serta beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus, yang berada di Jati Anyar.

Namun benturan yang mengejutkan para cantrik itu ternyata sangat menguntungkan bagi para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit.

Di sisi lain, ketika sekelompok Pengawal Tanah Perdikan dari Kademangan Pudak Lawang berusaha untuk menyusup lebih dalam lagi, mereka telah berada di antara sekelompok Pengawal Tanah Perdikan di Jati Anyar yang berada di pepohonan, siap meluncurkan anak panah.

Namun pemimpin kelompok yang duduk di sebuah dahan yang besar yang menyilang di atas jalan itu tertegun. Ia ternyata tidak mampu membuka mulutnya untuk meneriakkan aba-aba. Ia tidak sampai hati untuk melontarkan anak panah mereka kepada anak-anak muda Tanah Perdikan itu sendiri. Para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di antara mereka menunggu perintah itu. Tetapi perintah itu tidak kunjung terdengar.

Namun para prajurit itu tidak membiarkan mereka menerobos pertahanan itu langsung menuju ke banjar. Karena itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera berloncatan menyerang mereka, tanpa didahului dengan serangan anak panah dari para pengawal Tanah Perdikan yang berada di pepohonan.

“Tidak bisa,” desis pemimpin kelompok yang berada di dahan yang menyilang jalan, “tidak bisa. Aku tidak bisa membunuh mereka di sini.”

Namun pertempuran telah terjadi. Para prajurit dai Pasukan Khusus ternyata tidak dipengaruhi oleh sentuhan perasaan yang mendalam sebagaimana para pengawal Tanah Perdikan.

Ternyata tidak hanya pemimpin kelompok itu saja yang menjadi ragu-ragu. Tetapi kawan-kawannya pun menjadi ragu-ragu pula.

Namun dengan demikian, anak-anak muda Pudak Lawang itu harus bertempur melawan para prajurit dari Pasukan Khusus. Dengan jumlah yang besar, maka anak-anak muda itu pun mampu mendesak para prajurit dari Pasukan Khusus itu.

Para prajurit itu merasa heran, bahwa anak-anak muda yang seharusnya bertempur bersama mereka masih saja tidak berbuat apa-apa, sehingga pemimpin dari Pasukan Khusus yang terdesak itu berteriak, “Apakah kalian akan berpihak kepada mereka? Jika itu pilihan kalian, biarlah kami menentukan sikap.”

Pemimpin kelompok dari Pengawal Tanah Perdikan di Jati Anyar itu seperti tersadar dari mimpi buruknya. Ia melihat satu dua orang prajurit telah terluka. Sementara para pengawal masih saja bertengger tanpa berbuat apa-apa.

“Apa kami harus melaporkannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu, agar kami mendapat perintah khusus?” teriak pemimpin kelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu.

Tiba-tiba saja pemimpin kelompok pengawal itu berteriak, “Tidak! Kami akan segera melibatkan diri. Sesaat kami masih dicengkam oleh perasaan kami.”

Suara itu sangat menarik perhatian. Para pengawal dari Pudak Lawang itu tidak sempat mengangkat kepala mereka dan memperhatikan dahan-dahan pepohonan. Namun ketika mereka mendengar. suara itu, maka mereka pun segera mengangkat wajah mereka.

Anak-anak muda itu sempat terkejut. Mereka melihat di setiap dahan, seorang anak muda yang bertengger di atasnya dengan busur dan anak panah. Namun tidak sebuah anak panahpun yang terlepas.

Yang dilakukan oleh para pengawal itu pun kemudian berloncatan turun. Mereka merasa lebih baik bersikap jantan. Berhadapan langsung dengan senjata di tangan. Sementara itu pemimpin sekelompok prajurit itu pun berteriak, “Kawan-kawan kami telah terluka! Dan kalian masih saja seperti anak-anak cengeng.”

“Baik, baik. Kami akan memperbaiki kesalahan kami.”

Para pengawal Tanah Perdikan yang berada di Jati Anyar itu pun mulai menyerang anak-anak muda dari Pudak Lawang, betapapun mereka merasa ragu.

Tetapi para pengawal itu terkejut. Anak-anak muda dari Pudak Lawang yang sudah mereka kenal dengan baik itu menyerang mereka tanpa ragu-ragu. Dengan menjulurkan pedangnya, seorang di antara mereka berteriak, “Penjilat! Kau kira kau akan mendapat kedudukan bebahu padukuhan, jika kau mengekor kepada anak Sangkal Putung itu?”

Tetapi teriakan itu menyadarkan mereka, bahwa mereka benar-benar telah berhadapan dengan musuh. Sebenarnyalah anak-anak muda Pudak Lawang yang telah dituangi racun di telinga mereka, tidak menanah diri lagi. Mereka menyerang dengan garangnya meskipun lawannya sudah mereka kenal sebelumnya dalam hidup mereka sehari-hari.

Dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan yang berada di Jati Anyar itu pun segera menempatkan diri mereka dalam pertempuran yang menjadi semakin kalut. Mereka seakan-akan telah memejamkan mata mereka, dengan siapa mereka berhadapan. Sementara itu anak-anak muda Pudak Lawang pun bertempur membabi buta.

Sebenarnyalah bahwa anak-anak muda Pudak Lawang termasuk Pengawal Tanah Perdikan yang baik, dibandingkan dengan anak-anak muda dari lingkungan yang lain. Namun di hadapan mereka tidak hanya ada para pengawal Tanah Perdikan. Tetapi mereka juga berhadapan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit.

Sementara itu, para pengikut Ki Kapat Argajalu bertempur seperti orang-orang mabuk. Mereka mengamuk dengan garangnya. Senjata mereka berputar seperti baling-baling. Sebagian terbesar dari mereka sempat bersorak-sorak memekakkan telinga.

Namun berhadapan dengan para cantrik itu, para pengawal Tanah Perdikan tidak merasa ragu sama sekali. Meskipun para cantrik itu mengamuk seperti orang yang kehilangan akal, namun para pengawal dengan beraninya berusaha menahan mereka.

Sementara itu, dari tempat-tempat yang tersembunyi, masih saja meluncur anak panah yang mematuk para pengikut Ki Kapat Argajalu. Ternyata gaya pertahanan para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus di Jati Anyar, di luar dugaan Ki Kapat Argajalu. Mereka tidak mengira bahwa para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus itu akan bertahan di setiap jengkal tanah.

Mereka tidak menempatkan pertahanan mereka untuk berusaha mencegah pasukan Ki Kapat itu memasuki padukuhan. Tetapi demikian mereka berada di padukuhan, rasanya mereka berada di dalam jebakan-jebakan yang sulit untuk dihindari.

Meskipun demikian, di belakang pintu gerbang yang telah terbuka, masih terjadi pertempuran yang sengit. Sebagian dari pasukan induk Ki Kapat Argajalu masih tertahan, meskipun sebagian yang lain telah berhasil menguak pertahanan dan menerobos memasuki padukuhan, namun segera terlibat pertempuran dengan para prajurit dan pengawal yang bertahan di mana-mana.

Ki Kapat Argajalu dan para pemimpin yang lain masih bertempur di belakang pintu gerbang itu. Demikian pula para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Tumpak yang memimpin sekelompok cantrik terpilih, perhatiannya tiba-tiba saja tertarik kepada seorang perempuan yang bertempur dengan garangnya. Tumpak pun segera mengenal perempuan itu. Rara Wulan.

Karena itu, seolah-olah di luar sadarnya, iapun telah membawa sekelompok cantrik untuk menguak pertempuran itu. Sehingga sejenak kemudian, Tumpak pun telah berdiri tidak jauh dari Rara Wulan yang sedang bertempur dengan tangkasnya.

“Bukan main,” berkata Tumpak dengan lantang, “ternyata kau benar-benar seorang perempuan yang luar biasa.”

Rara Wulan berpaling. Dilihatnya salah seorang anak laki-laki Ki Kapat Argajalu berdiri memandanginya sambil tersenyum-senyum.

“Kau mau apa?” bertanya Rara Wulan yang meloncat meninggalkan lawannya. Namun beberapa orang Pengawal Tanah Perdikan telah mengambil alih mereka.

“Kakakku pernah mengagumimu,” berkata Tumpak.

“Dimana kakakmu itu? Biar kami berbicara dengan kemampuan olah kanuragan di medan ini.”

“Untuk apa kau mencari Kakang Soma?”

“Ia pernah menyakiti hatiku. Jika ia mau datang menemuiku, di sini kami akan mempunyai banyak kesempatan untuk menyelesaikan persoalan kami.”

Tetapi sambil tersenyum serta melangkah maju, Tumpak pun berkata, “Kau tidak usah mencari Kakang Soma. Kakang Soma berminat untuk membunuh Agung Sedayu di pertempuran ini. Biarlah ia melakukannya. Sementara itu, persoalannya dengan kau, aku-lah yang akan mengambil alih.”

“Baik,” berkata Rara Wulan. “Bersiaplah. Kita akan membuat perhitungan sampai akhir.”

“Apa maksudmu?”

“Kita akan berperang tanding, meskipun kita berada di medan. Kau atau aku.”

Tumpak tertawa. Katanya, “Jangan, Rara Wulan. Kau terlalu cantik untuk mati muda. Karena itu, sebaiknya kita membuat janji lebih dahulu sebelum kita bertempur.”

“Baik. Kita membuat janji. Salah seorang di antara kita akan mati.”

“Tidak. Bukan itu. Sudah aku katakan, aku tidak bermaksud membunuhmu. Seandainya Kakang Soma yang datang kepadamu di medan ini, maka iapun tidak akan membunuhmu.”

“Terserah kepadamu. Tetapi aku akan membunuhmu. Bukan saja karena kau sudah mengacaukan Tanah Perdikan ini, membujuk Ki Demang Pudak Lawang untuk memberontak, meracuni anak-anak mudanya. Tapi kau dan kakakmu sudah menyinggung harga diriku.”

Tumpak tertawa semakin keras. Katanya, “Jangan mudah tersinggung. Tetapi seperti Kakang Soma, akupun senang terhadap perempuan yang garang seperti kau, Rara Wulan.”

“Bersiaplah. Kita akan segera bertempur,” geram Rara Wulan.

Tumpak masih akan berbicara lagi. Tetapi Rara Wulan pun segera meloncat menyerangnya.

Tumpak terkejut. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan akan segera menyerangnya. Bahkan dengan gerak yang sangat cepat. Dengan tergesa-gesa Tumpak mengelak. Dengan memiringkan tubuhnya ia bergeser selangkah.

Tetapi Tumpak ternyata terlambat. Serangan Rara Wulan masih juga mengenai lengannya, sehingga Tumpak itu pun tergetar surut.

“Setan betina,” geram Tumpak, “kau mampu menyentuh tubuhku. Tetapi itu bukan karena kelebihanmu. Semata-mata karena aku menjadi lengah. Jika kau bukan seorang perempuan cantik, maka kau tidak akan pernah dapat menyentuhku.”

“Aku pernah mendengar lebih dari seratus orang mengatakan bahwa kekalahannya itu bukan karena mereka tidak mampu, tetapi semata-mata karena kelengahan mereka. Dan kau adalah seorang di antara mereka yang berlindung di balik alasan yang usang itu.”

“Ternyata kau perempuan yang sombong sekali. Tetapi jangan takut bahwa aku akan melukaimu. Apalagi di wajahmu yang cantik itu. Aku masih memerlukannya. Kakang Soma pun akan menjadi sangat marah jika wajahmu itu tergores ujung senjata, meskipun hanya seujung duri.”

Yang tidak diduga oleh Tumpak itu pun terjadi lagi. Rara Wulan tidak hanya menyerang Tumpak dengan tangannya, namun tiba-tiba Rara Wulan itu seakan-akan telah meluncur seperti lembing. Kedua kakinya terjulur lurus menyamping, langsung menghantam dada Tumpak yang masih akan berbicara lagi.

Tumpak itu benar-benar terlempar beberapa langkah surut. Ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka Tumpak itu pun telah terbanting jatuh terlentang.

Hampir saja kepalanya terinjak oleh anak-anak muda yang terlibat dalam pertempuran sengit. Namun Tumpak itu pun segera meloncat bangkit sambil berteriak nyaring, “Perempuan iblis! Kau membuat kesabaranku sampai ke batas.”

“Jangan hanya berbicara saja, Tumpak. Kita berada di medan perang. Jika kau masih berbicara saja, maka aku akan menyumbat mulutmu dengan tumitku.”

Darah Tumpak tersirap. Apalagi ketika ia menarik nafas panjang. Terasa dadanya menjadi nyeri.

“Aku tidak boleh membiarkannya merasa dirinya lebih baik dari aku,” berkata Tumpak dalam hatinya.

Karena itu, maka Tumpak benar-benar bersiap. Ia tidak dapat lagi meremehkan lawannya, meskipun ia seorang perempuan. Tumpak pun bergeser selangkah maju. Sementara itu, Rara Wulan pun telah bersiap menyerangnya pula.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ternyata Tumpak harus menghadapi kenyataan, bahwa perempuan cantik itu adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi sekali. Meskipun ia pernah mendengar bahwa Rara Wulan itu berilmu tinggi, tetapi ia tidak menyangka bahwa tatarannya adalah setinggi yang dihadapinya sekarang.

Dengan demikian maka Tumpakpun harus meningkatkan ilmunya semakin lama semakin tinggi. Namun ilmu Rara Wulan pun meningkat semakin tinggi pula. Karena itulah, maka Tumpak pun kemudian tidak dapat lagi meremehkan lawannya itu.

Pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dengan garangnya. Tumpak yang merasa dirinya seorang yang berilmu sangat tinggi, yang sudah bermimpi untuk mempermainkan lawannya yang cantik itu, ternyata yang terjadi adalah justru sebuah mimpi yang buruk.

Dalam pada itu, pertempuran di belakang pintu gerbang itu pun merambat semakin meluas. Ki Kapat Argajalu yang sejak semula ingin membunuh Ki Lurah Agung Sedayu, berusaha untuk dapat menemuinya di medan pertempuran itu. Karena itu, Ki Kapat Argajalu telah menghindari lawan-lawannya yang ditemuinya di pertempuran itu.

Sementara itu, para pemimpin Tanah Perdikan pun tidak pula berniat untuk menghadapi Ki Kapat Argajalu. Ki Gede sendiri sudah mengatakan, bahwa untuk menghindari akibat yang buruk yang dapat terjadi, maka sebaiknya Ki Lurah sendiri-lah yang menghadapi Ki Kapat Argajalu.

Karena itulah, maka Ki Lurah Agung Sedayu sejak awal telah bersiap untuk menghadapi Ki Kapat Argajalu, yang sudah sering memamerkan kelebihannya kepada orang-orang Tanah Perdikan. Bahkan untuk beberapa saat Prastawa sempat terlena oleh tataran ilmunya yang sangat tinggi itu.

Sambil menunggu dan bahkan mungkin akan dapat menarik perhatian Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Kapat Argajalu sengaja telah menghancurkan para prajurit dari Pasukan Khusus serta para pengawal Tanah Perdikan yang berani mendekatinya. Ketika sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus menyerangnya, maka beberapa saat kemudian, seorang demi seorang telah terlempar dari arena pertempuran.

Bahkan dengan tanpa kesan apapun yang tergores di wajahnya, Ki Kapat Argajalu telah membunuh lawan-lawannya.

Seperti yang diharapkan, maka tingkah lakunya yang buas di medan itu telah memanggil Ki Lurah Agung Sedayu. Dua orang yang hampir datang bersamaan menghampirinya. Seorang Ki Lurah Agung Sedayu, dan seorang yang lain justru membuat Ki Kapat Argajalu menjadi berdebar-debar.

Tetapi ketika orang itu melihat Agung Sedayu datang mendekati Ki Kapat Argajalu, orang itu pun segera beranjak pergi.

Ki Lurah Agung Sedayu tertegun sejenak. Ia sempat memandangi orang itu menghilang dalam hiruk-pikuknya pertempuran.

“Ki Jayaraga,” desis Ki Lurah Agung Sedayu. Ki Lurah Agung Sedayu pun melihat, bahwa kehadiran Ki Jayaraga nampaknya menarik perhatian Ki Kapat Argajalu.

“Kau kenal orang itu, Ki Kapat?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu yang melangkah mendekat.

“Tidak,” jawab Ki Kapat Argajalu.

“Ki Jayaraga pernah berkata kepadaku, bahwa ia merasa sudah pernah bertemu dengan Ki Kapat.”

“Itu urusannya, bukan urusanku. Mungkin saja ia pernah mengenal orang yang mirip dengan aku. Atau mungkin saja ia ingin berbangga karena ia telah mengenal aku. Seorang pemimpin padepokan dan sekaligus seorang guru yang sangat dihormati oleh para pemimpin padepokan yang lain.”

“Ki Jayaraga memang mengatakan seperti itu.”

“He?”

“Ketika ia melihatmu, ia mengatakan bahwa rasa-rasanya ia pernah mengenalmu. Seorang pemimpin besar dan sekaligus seorang guru yang sangat dihormati.”

Ki Kapat Argajalu mengerutkan dahinya. Iapun kemudian berkata, “Orang itu tidak berbohong. Sekarang, ketika aku berniat memperjuangkan keadilan di Tanah Perdikan ini, maka beberapa orang pemimpin padepokan dan sekaligus guru perguruan yang memiliki banyak sekali murid, telah menyatakan diri untuk membantuku. Tidak karena apa-apa. Hanya karena mereka menghormati aku dan kebesaran namaku.”

“Aku percaya, Ki Kapat.”

“Nah, sekarang kau, yang namamu sengaja dibesar-besarkan oleh orang-orang Tanah Perdikan dan oleh orang-orang Mataram, datang menemuiku di medan. Apakah kau mengira bahwa kau akan dapat mengalahkan aku?”

“Kalah atau menang bukan persoalan bagiku. Bukankah itu wajar sekali, bahwa dalam pertempuran itu dapat saja seorang kalah atau menang?”

“Persetan kau, Ki Lurah. Bersiaplah untuk mati. Kebesaran namamu hari ini akan dikubur bersama jasadmu.”

“Ki Kapat Argajalu, Kenapa kau sekarang berubah menjadi sangat kasar? Menurut keterangan yang aku dengar, ketika kau datang ke Tanah Perdikan ini, kau adalah orang yang sangat rendah hati. Kau seorang yang mengetrapkan unggah-ungguh dengan sebaik-baiknya. Kau hormati Ki Gede, bahkan berlebihan, sehingga untuk bermalam di rumahnya saja kau merasa tidak berhak. Tetapi sekarang kau justru seperti orang sabrangan yang tidak mengenal sopan santun. Seperti tokoh-tokoh raksasa di dalam pewayangan.”

Ki Kapat Argajalu justru tertawa. Katanya, “Ambillah contoh yang paling buruk dari dunia pewayangan. Aku tidak berkeberatan, karena hal itu tidak akan merubah akhir dari pertempuran ini. Juga akhir dari pertempuran di antara kita berdua. Kau akan mati, dan beberapa saat kemudian namamu akan dilupakan orang. Jangan bermimpi bahwa kau memiliki tenaga seperti Bima, kesaktian seperti Arjuna, dan kewaskitaan seperti Kresna. Bahkan memiliki Kembang Cangkok Wijaya Kusuma yang dapat membuatmu hidup lagi, meskipun kau mati sehari tujuh kali.”

“Tidak,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “aku tidak bermimpi memiliki kelebihan seperti itu. Aku hanya bermimpi menjadi seorang peronda yang mengejar pencuri ayam di kandang milik tetangga. Menangkapnya dan membawanya menghadap Ki Demang di Pudak Lawang.”

Wajah Ki Kapat Argajalu menjadi merah. Katanya, “Kesombonganmu menyentuh langit. Bersiaplah.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Ia sadar sepenuhnya bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berilmu tinggi. Seorang yang sangat yakin akan kemampuan dirinya, dan yang pernah didengarnya telah memamerkan kelebihannya itu kepada orang-orang Pudak Lawang.

Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, Soma dengan sekelompok cantrik telah berusaha untuk mengoyak pertahanan pasukan Tanah Perdikan di belakang pintu gerbang itu. Meskipun ada beberapa kelompok pengikutnya yang sudah berhasil menerobos dan langsung menusuk ke dalam padukuhan Jati Anyar, namun Soma masih saja berusaha menghancurkan pertahanan yang kuat di belakang pintu gerbang itu.

Soma pun mempunyai keinginan ganda. Ia ingin bertemu dan membunuh Glagah Putih, kemudian bertemu dan membunuh Swandaru. Bahkan Soma menjadi sedemikian yakin akan kemampuannya, sehingga ia ingin dapat bertemu dengan kedua-duanya sekaligus. Ia ingin membunuh Glagah Putih bersamaan dengan membunuh Swandaru. Dengan demikian namanya akan menjadi semakin terangkat dan ditakuti. Orang-orang Tanah Perdikan untuk selanjutnya tidak akan ada yang berani menentangnya. Prastawa yang akan diangkatnya menjadi Kepala Tanah Perdikan, akan selalu tunduk dan menyembah telapak kakinya.

Namun yang kemudian dijumpainya hanyalah Glagah Putih seorang diri.

“Dimana Swandaru, anak Sangkal Putung itu?” geram Soma.

“Kau ingin menantangnya berperang tanding?”

“Tidak. Aku ingin membunuh kalian bersama-sama, sehingga namaku akan menjadi semakin dihormati.”

Darah Glagah Putih yang masih terhitung muda itu terasa bagaikan mendidih. Namun ia masih berusaha menahan diri. Dengan lantang iapun berkata, “Soma. Jangan sebut nama Kakang Swandaru. Kau akan diremasnya menjadi debu. Sekarang yang ada di hadapanmu adalah aku. Jika kau dapat membunuhku, maka kau akan berhadapan dengan Kakang Swandaru.”

“Jangan terlalu sombong, Glagah Putih. Tetapi jika kau ingin cepat mati, marilah. Aku akan membantumu. Tetapi imbalannya, jandamu akan aku bawa pulang ke rumahku.”

Kemarahan Glagah Putih tidak tertahan lagi. Karena itu, maka ia tidak menjawab lagi. Iapun segera bergeser dan siap untuk bertempur menghadapi orang yang diyakini berilmu tinggi itu.

Sejenak kemudian, maka pertempuran di antara keduanya pun segera berkobar. Keduanya masih terhitung muda. Dan keduanya pun memiliki bekal ilmu yang tinggi.

Dalam pada itu, Prastawa yang turun di medan, tiba-tiba saja teringat akan Ki Demang Pudak Lawang. Seorang yang dikenalnya dengan baik, namun yang kemudian memperlakukannya dengan kasar. Menudingnya berkhianat, dan tuduhan-tuduhan lainnya yang sangat menyakitkan hati.

“Aku akan mencarinya,” desis Prastawa.

Dengan beberapa orang pengawal Tanah Perdikan, maka Prastawa pun seakan-akan telah menguak medan. Ketika ia melihat Ki Demang Pudak Lawang, maka iapun segera mendekatinya di bawah perlindungan beberapa orang pengawal.

“Kita bertemu lagi, Ki Demang,” sapa Prastawa,

“Bagus,” Demang Pudak Lawang itu hampir berteriak, “aku memang berharap dapat bertemu dengan kau, Prastawa. Malam itu kau melarikan diri dengan cara yang sangat licik. Sesuai dengan hatimu yang rapuh, maka kau sama sekali tidak mempunyai harga diri lagi. Meskipun demikian, setelah kami menghancurkan pasukan Tanah Perdikan, maka kau akan diangkat menjadi Kepala Tanah Perdikan. Tetapi bebanmu akan menjadi sangat berat, Prastawa. Karena kau harus memanggul kami di atas pundakmu. Kau akan menjadi kuda beban yang harus menurut ke arah mana kendalimu ditarik. Kau tidak lagi dapat menentukan kehendakmu sendiri. Kau bukan lagi orang merdeka.”

“Jika pemberontakanmu berhasil, Ki Demang, bukan hanya aku yang akan menjadi kuda beban. Tetapi juga kau. Kau akan mengalami nasib yang sama. Kau tidak akan dapat melawannya, karena Uwa Kapat Argajalu serta kedua orang anak laki-Iakinya itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun berkata, “Tidak. Mereka tidak akan memperlakukan aku seperti itu. Aku mempunyai kekuatan cukup untuk melawan mereka yang menganggapku sebagai kuda beban.”

Tetapi Prastawa tertawa sambil berkata, “Apa yang akan kau pergunakan untuk melawan mereka? Aku sekarang masih berada di bawah perlindungan orang-orang berilmu tinggi. Aku masih berpengharapan untuk dapat mengusir mereka keluar dari Tanah Perdikan ini. Tetapi kau? Kau akan terjepit oleh dua kekuatan yang keduanya tidak akan dapat kau lawan.”

Namun Prastawa terkejut ketika seseorang telah tertawa pula. Seorang yang bertubuh tinggi kekar, berkumis lebat yang berwarna kelabu karena sebagian sudah mulai memutih. Mengenakan pakaian lengkap dengan keris di punggungnya. Baju lurik berwarna coklat bergaris merah. Kain panjang lurik hijau lumut. Ikat kepala kemerah-merahan.

Sambil melangkah mendekat orang itu bertanya, “Jadi orang inikah yang kau sebut pengkhianat itu, Demange?”

“Ya, Guru.”

Orang itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada tinggi iapun berkata, “Kau keliru, Prastawa. Tidak ada yang akan mengusik Demang Pudak Lawang. Kau kira tidak ada kekuatan yang akan dapat mendukungnya? Mungkin aku tidak memiliki ilmu setinggi Ki Kapat Argajalu. Tetapi aku juga tidak sendiri. Dalam keadaan yang gawat, aku dapat saja memanggil sahabat-sahabatku untuk melibatkan dirinya melawan siapa saja. Termasuk Ki Kapat Argajalu dan kedua orang anaknya, dan bahkan perguruannya, jika ia akan memperlakukan Demange Pudak Lawang semau-maunya. Sementara itu, para pengawal Kademangan Pudak Lawang cukup kuat pula mendukung kedudukannya itu.”

Wajah Prastawa menjadi tegang. Sementara orang itu berkata, “Namaku Ki Pujalana. Seorang pertapa di lambung Gunung Sumbing. Tetapi aku tidak sendiri. Setiap hari berdatangan berpuluh orang untuk minta berkah. Orang-orang itu akan merasa tetap terikat dengan kebaikan hatiku, sehingga mereka akan mendukung apa saja yang akan aku lakukan. Mereka justru lebih setia dari seorang murid terhadap gurunya, karena berkah yang aku berikan kepada mereka terasa langsung meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga mereka. Bahkan orang-orang berilmu tinggi pun datang kepadaku untuk mohon berkah agar mereka berhasil.”

“Berhasil apa?” terdengar seseorang bertanya.

Ketika mereka berpaling, dilihatnya seorang yang bertubuh agak gemuk melangkah mendekat Prastawa.

“Kakang Swandaru,” desis Prastawa.

“Selamat bertemu lagi, Ki Demang Pudak Lawang,” sapa Swandaru sambil tersenyum.

Wajah Ki Demang menjadi tegang sekali. Namun orang yang disebutnya guru itu masih saja tersenyum-senyum.

Dengan nada berat orang yang disebut guru oleh Ki Demang Pudak Lawang itu pun bertanya, “Jadi inikah orang yang bernama Swandaru, pendatang dari Sangkal Putung itu?”

“Ya,” Swandaru sendiri-lah yang menyahut, “kita belum pernah berkenalan. Kau siapa sebenarnya? Apakah seperti yang kau katakan, bahwa kau sekedar seorang pertapa dari Gunung Sumbing?”

“Kau merendahkan derajad seorang pertapa?”

“Bukan maksudku. Aku menghormati seorang pertapa, sepanjang tujuannya ikut memayu hayuning bawana menurut caranya, yang tentu berbeda dengan cara seorang ksatria.”

“Aku adalah seorang yang memayu hayuning bawana dengan caraku. Sudah aku katakan, barangkali kau juga mendengarnya, bahwa setiap hari puluhan orang datang kepadaku untuk minta berkah. Ada yang memohon sakitnya aku sembuhkan. Ada yang ingin mendapat banyak rejeki. Ada yang ingin mendapatkah jodoh, mendapat suami atau istri. Ada yang ingin mohon syarat untuk menolak bala. Kadigdayan dan kesaktian. Menghancurkan musuh, dan aji pengasihan. Pendeknya macam-macam keinginan.”

“Kau belum menjawab pertanyaanku. Jika orang-orang berilmu tinggi datang kepadamu untuk mohon berkah agar mereka berhasil, maksudmu berhasil apa?”

“Macam-macam, seperti yang aku sebutkan. Jika seorang yang berilmu tinggi menginginkan seorang perempuan untuk menjadi istrinya, tetapi perempuan itu tidak mau, nah, mereka datang kepadaku. Jika seorang berilmu tinggi ingin mempunyai anak, saatnya mereka datang padaku.”

“Jika mereka ingin menambah kadigdayan dan kesaktian?”

“Aku beri mereka jimat yang dapat memacu tingkat kemampuan mereka.”

“Jika demikian, kau adalah orang yang tidak ada duanya.”

“Ya. Aku adalah seorang yang tidak ada duanya.”

Namun tiba-tiba Prastawa menyela, “Tapi kau mengaku bahwa ilmumu tidak setinggi ilmu Uwa Kapat Argajalu.”

Wajah orang itu menegang. Sementara itu sambil tertawa Swandaru berkata, “Ki Pujalana. Bukankah jika aku tidak salah dengar, namamu Pujalana?”

“Ya.”

“Baiklah, Ki Pujalana. Jika kau memang dapat memberi berkah, aku ingin mohon berkah kepadamu.”

“Berkah apa?”

“Supaya aku dapat mengalahkanmu di pertempuran ini. Biarlah Adi Prastawa berurusan dengan Ki Demang Pudak Lawang. Kita akan membuat perhitungan sendiri.”

“Bagus,” Ki Pujalana itu menyingsingkan kain panjangnya. “Swandaru. Aku akan membunuhmu. Kau tidak akan dapat menjadi penghalang lagi”

“Penghalang apa?”

“Prastawa itu akan menjadi Kepala Tanah Perdikan. Tetapi hatinya harus dibekukan lebih dahulu. Ia tidak lebih dari golek yang tidak berjiwa. Muridku Demang Pudak Lawang-lah yang sebenarnya akan memerintah Tanah Perdikan ini. Jangan takut bahwa kau akan. dilupakan orang. Demange Pudak Lawang akan membuat nisan di kuburmu dengan batu pualam terbaik. Membuat cungkup dari kayu jati bersirap perunggu.” Ki Pujalana itu pun kemudian tertawa berkepanjangan.

Tetapi orang itu terkejut ketika Swandaru pun justru tertawa. Ia mengharap Swandaru itu akan menjadi marah dan penalarannya menjadi kabur. Tetapi orang yang agak gemuk itu justru ikut tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” tiba-tiba saja Ki Pujalana itu membentak.

“Kau juga tertawa,” sahut Swandaru.

“Aku mentertawakan kegagalanmu dan keberhasilan muridku.”

“Aku mentertawakan gurauanmu.”

“Aku tidak bergurau.”

“Jika begitu, kau bermimpi, justru di saat di sekitarmu terjadi pertempuran.”

“Setan kau, Swandaru. Bersiaplah untuk mati.”

“Aku sudah bersiap untuk bertempur sejak aku mendekatimu.”

“Demange,” geram Ki Pujalana itu kemudian, “tangkap Prastawa hidup-hidup. Biarlah wadagnya menjadi kepala Tanah Perdikan. Kita akan membunuh penalaran, akal dan budinya kelak perlahan-lahan. Jangan takut kepada Kapat Argajalu. Jika ia ingkar, aku dan sahabat-sahabatku akan membereskannya.”

Swandaru tidak merasa perlu menjawab. Iapun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Semakin lama menjadi semakin sengit. Sedangkan Prastawa pun telah berhadapan dengan Ki Demang Pudak Lawang.

Dengan demikian, maka pertempuran di belakang pintu gerbang itu pun menjadi semakin seru. Sementara itu beberapa kelompok pengikut Ki Kapat Argajalu sudah menerobos masuk semakin dalam di padukuhan Jati Anyar. Bukan saja mereka yang memasuki padukuhan itu dari pintu gerbang yang pecah itu, tetapi juga mereka yang menyerang dari lambung kanan dan kiri.

Lewat seorang penghubung, Swandaru telah minta agar Pandan Wangi pergi saja ke banjar untuk melindungi Ki Gede dan Ki Argajaya.

Ternyata Pandan Wangi telah mengajak Sekar Mirah untuk pergi ke banjar. Sebelum meninggalkan medan, Sekar Mirah sempat menemui Ki Jayaraga yang bertempur di antara para pengawal Tanah Perdikan.

“Ki Jayaraga. Aku dan Mbokayu Pandan Wangi akan pergi ke banjar. Tolong bayangi Rara Wulan.”

Ki Jayaraga yang kemudian memisahkan diri dari sekelompok prajurit itu menjawab, “Baik, Nyi.”

Meskipun Sekar Mirah dan Ki Jayaraga meyakini bahwa Rara Wulan yang masih terhitung muda itu sudah memiliki ilmu yang tinggi, tetapi kemudaannya kadang-kadang membuatnya tergesa-gesa mengambil sikap.

Sementara itu, Empu Wisanata dan anak perempuannya telah terlibat pula dalam pertempuran yang sengit. Namun dengan tidak disadarinya, anak perempuan Empu Wisanata itu bertempur tidak terlalu jauh dari Rara Wulan.

Ki Jayaraga yang juga berada di lingkaran pertempuran tidak jauh dari Rara Wulan, sempat berbicara dengan Empu Wisanata, “Nyi Lurah berada di banjar bersama Pandan Wangi, untuk melindungi Ki Gede dan Ki Argajaya. Nyi Lurah berpesan kepadaku untuk membayangi Rara Wulan yang bertempur melawan Tumpak, salah seorang yang mengaku anak Ki Kapat Argajalu. Seorang yang diyakini mempunyai ilmu yang sangat tinggi.”

“Tetapi Rara Wulan cukup meyakinkan.”

“Ya. Setelah ia menguasai Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.”

Namun dalam pada itu, keduanya sempat melihat tiga orang yang berilmu tinggi, bertempur tidak terlalu jauh dari Tumpak. Tetapi agaknya mereka tidak akan melibatkan diri. Dari luar arena pertempuran itu seorang dari ketiganya berkata, “Kakang Soma minta aku dan kedua orang saudaraku berada di sini.”

“Kakang Soma yakin akan dirinya?”

“Ya. Kakang Soma sudah siap membunuh Glagah Putih dan membawa jandanya pulang.”

“Gila kau!” teriak Rara Wulan, “Aku akan membunuhmu nanti.”

Tumpak sempat meloncat mengambil jarak. Sambil tertawa, iapun berkata, “Jika kakang Soma bertempur melawan Glagah putih, biarlah ia membawa Glagah Putih. Jika aku yang berhasil menangkap perempuan ini, maka biarlah aku yang membawanya.”

Gurauan itu sangat menyinggung perasaan Rara Wulan. Karena itu, maka Rara Wulan pun telah meningkatkan serangannya.

Tumpak memang agak terkejut. Tetapi ia justru merasa senang dapat mengganggu perasaan Rara Wulan. Ia yakin, bahwa gejolak perasaannya itu akan dapat mempengaruhi tatanan geraknya. Karena itu maka Tumpak itu pun berkata lebih lanjut, “Pangestu, katakan kepada Kakang Soma, bahwa aku akan membawa perempuan ini pulang. Kakang Soma jangan merasa iri akan keberhasilanku.”

Rara Wulan tidak dapat menahan kemarahannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia telah melenting dengan kecepatan yang semakin tinggi. Demikian tiba-tiba dan bahkan di luar dugaan Tumpak, kaki Rara Wulan itu telah menyentuh bahunya.

Tumpak terdorong beberapa langkah surut. Namun Rara Wulan tidak membiarkannya. Sekali lagi ia meloncat sambil berputar. Kakinya terayun dengan derasnya.

Tumpak benar-benar terpelanting jatuh ketika kaki Rara Wulan menyambar keningnya.

Namun Rara Wulan terhalang ketika ia siap memburu lawannya. Pangestu tiba-tiba saja telah menyerangnya. Rara Wulan masih sempat menghindarinya. Bahkan kemudian telah menyerangnya pula. Tangannya terjulur lurus mengarah ke dadanya. Ketika Pangestu bergeser ke samping, maka Rara Wulan pun menggeliat. Tiba-tiba saja kakinya menyambar lambung.

Pangestu mengaduh tertahan. Ia terdorong beberapa langkah surut.

Tetapi Rara Wulan tidak sempat menyerangnya lagi, karena Tumpak telah bangkit dan bergeser beberapa langkah mendekatinya. Wajah Tumpak menjadi merah padam. Giginya gemeretak, sedangkan jantungnya serasa telah membara. Serangan Rara Wulan yang datang beruntun itu telah mempermalukannya di hadapan Pangestu, dan bahkan mungkin ada orang lain pula yang sempat menyaksikannya. Mungkin Werdi dan mungkin pula Berkah, atau malahan kedua-duanya.

“Pangestu,” geram Tumpak, “tinggalkan perempuan itu. Biarlah aku menyelesaikannya. Aku akan mengikatnya dan menyeretnya sepanjang jalan. Perempuan itu akan menjadi pangewan-ewan dan dipermalukan di hadapan banyak orang. Banyak cara untuk mempermalukan perempuan. Bahkan menghinakannya di tempat terbuka.”

Pangestu yang sudah bersiap pula, bergeser mundur.

Sementara itu, Rara Wulan telah bersiap sepenuhnya. Ia tahu bahwa Tumpak menjadi sangat marah. Tetapi ia pun sangat marah pula karena menjadi bahan gurauan itu.

“Bersiaplah, perempuan binal. Jika kau menjadi keras kepala, aku tidak akan memaafkanmu. Aku dapat memperlakukan kau di luar dugaanmu. Aku akan mempertanggungjawabkan di hadapan Kakang Soma. Ia akan dapat mengerti jika aku menjelaskan persoalannya.”

Rara Wulan menggeram. Hatinya menjadi sangat sakit atas sikap dan anggapan Tumpak atas dirinya. Karena itu, Rara Wulan itu pun telah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia akan membinasakan orang yang bernama Tumpak itu.

Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat dalam pertempuran lagi. Pangestu masih berdiri termangu-mangu. Beberapa orang cantrik bertempur dengan sengitnya di sekitarnya melawan para pengawal Tanah Perdikan.

Namun tiba-tiba saja seorang tua telah menggamit Pangestu, sehingga Pangestu itu pun terkejut. Orang itu ternyata sempat mendekatinya tanpa dihalangi oleh para cantrik yang ada di sekitarnya.

Sebelum Pangestu bertanya, maka orang tua itu telah bertanya lebih dahulu, “Kau terkejut?”

“Ya,” jawab Pangestu, “kau siapa?”

“Namaku Jayaraga.”

“Kau mau apa?

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Pertanyaanmu aneh, Ki Sanak. Kita berada di medan perang.”

“Bagus. Aku mengerti maksudmu. Bersiaplah.”

“Namamu siapa, Ki Sanak? Aku sudah menyebutkan namaku.”

“Namaku Pangestu.”

“Pangestu? Nama yang baik. Tetapi kenapa kau berada di pihak pemberontak?”

“Pemberontak itu menurut pengertianmu karena kau seorang penjilat. Kami tidak memberontak. Kami sedang menegakkan kebenaran di Tanah Perdikan ini.”

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Kau aneh. Tetapi itu bukan salahmu. Kalian sudah diracuni oleh Ki Kapat Argajalu sehingga penglihatan kalian sudah menjadi kabur.”

“Jangan mengigau, kakek tua. Menyingkirlah dari medan. Nikmati umurmu yang tinggal sedikit itu. Jangan kau sia-siakan umurmu yang tersisa di medan pertempuran ini.”

“Aku sudah tua. Aku memang akan menjadi semakin akrab dengan maut. Kau-lah yang masih muda. Minggirlah. Tinggalkan keluarga Kapat Argajalu. Kau tentu akan mendapatkan jalan kehidupan yang lebih baik.”

Pangestu memandang Ki Jayaraga dengan tajamnya. Kemudian iapun menggeram, “Baiklah, kakek tua. Jika kau tidak mau mendengarkan nasehatku, bersiaplah. Aku akan membunuhmu. Jangan menyesali nasibmu, karena kita berada di medan perang.”

Ki Jayaraga bergeser mundur. Katanya, “Baik. Lawanlah aku. Jangan ganggu Tumpak bertempur melawan Rara Wulan.”

“Aku memang tidak akan mengganggunya.”

“Tetapi kau sudah mencampurinya.”

“Tetapi kemudian tidak lagi.”

Ki Jayaraga pun kemudian segera bersiap. Sementara itu Pangestu pun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Namun dengan bergeser selangkah sambil memiringkan tubuhnya, Ki Jayaraga telah terhindar dari serangan itu. Bahkan ketika Pangestu dengan cepat berputar sambil mengayunkan kakinya, maka kaki Pangestu telah membentur telapak kaki Ki Jayaraga.

Hampir saja Pangestu kehilangan keseimbangannya. Untunglah Ki Jayaraga tidak memburunya. Agaknya Ki Jayaraga sengaja membiarkan Pangestu memperbaiki keadaannya sehingga ia mampu berdiri tegak kembali. Namun dengan demikian jantung Pangestu menjadi panas. Ditingkatkannya ilmunya semakin tinggi.

Namun Ki Jayaraga telah meningkatkan ilmunya pula. Bukan saja sekedar mengimbangi, tetapi dalam waktu yang pendek, Pangestu telah mengalami kesulitan. Serangan-serangannya tidak pernah menyentuh sasaran. Namun beberapa kali orang tua itu telah mampu mengenainya.

Pangestu itu pun mengumpat kasar. Namun umpatan-umpatannya itu tidak menolongnya. Ketika tangan Ki Jayaraga terjulur lurus mengenai dadanya, maka Pangestu bukan saja terdorong surut, tetapi Pangestu justru telah jatuh terpelanting.

Ketika Pangestu bangkit, maka terdengar isyarat terlontar dari mulutnya. Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja dua orang telah berdiri di sebelah-menyebelah Pangestu.

“Siapakah kalian?” bertanya Ki Jayaraga yang bergeser selangkah surut.

“Kami tiga orang bersaudara,” jawab Pangestu, “adikku bernama Werdi dan Berkah.”

“Nama-nama yang baik. Nama-nama yang mengandung harapan dari orang tua kalian ketika mereka memberi kalian nama. Tetapi apa yang kalian dapatkan kemudian? Tentu tidak sejalan dengan kekudangan orang tua kalian.”

“Persetan dengan nama-nama kami. Kami bukan orang-orang cengeng yang meratapi nama-nama kami. Bersiaplah, kakek tua. Kami akan melumatkanmu.”

“Bagus,” sahut Ki Jayaraga, “kalian akan bertempur bertiga. Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Kalian akan kami lumatkan di sini, Kek,” desis Werdi.

“Jangan sesali saat-saat yang paling buruk dalam hidupmu. Kau akan mati di tangan kami. Ketahuilah, bahwa kami bukan orang-orang yang baik hati, yang melimpahkan belas kasihan kepada orang yang ketakutan di saat menjelang kematiannya. Kami akan merasa sangat puas jika kami sempat melihat kau menjadi sangat ketakutan di saat-saat matimu,” sambung Berkah.

“Tetapi dengan berkah yang kau limpahkan, aku akan tetap hidup. Aku tidak akan mengalami ketakutan sama sekali.”

“Orang tua gila. Kau jangan mencoba meluluhkan hati kami dengan gurauanmu yang kasar itu,” sahut Werdi, “dengan mempermainkan nama kami, maka kau akan menjadi semakin sengsara di saat-saat terakhirmu.”

“Aku tidak mempermainkan nama siapa-siapa. Aku justru menghormati nama kalian yang diberikan oleh orang tua kalian. Kalian sendiri-lah yang telah mempermainkan nama kalian.”

Ketiga orang bersaudara itu pun menjadi sangat marah. Dengan serta merta, mereka pun segera menyerang bersama-sama.

Pertempuran antara Ki Jayaraga melawan tiga orang bersaudara itu pun menjadi semakin sengit. Ketiga-tiganya adalah orang berilmu tinggi. Mereka menyerang susul-menyusul seperti ombak di lautan yang membentur batu karang di tebing.

Namun Ki Jayaraga adalah batu karang itu. Meskipun ombak datang beruntun menghantam tanpa henti, tetapi Ki Jayaraga sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Ki Jayaraga memang harus berloncatan mengimbangi gerak ketiga orang lawannya. Tetapi bukan karena terdesak.

Sementara itu pertempuran berlangsung dimana-mana. Ketika dua orang yang mendampingi Ki Kapat Argajalu berkeliaran di dekat arena pertempuran antara Ki Kapat Argajalu melawan Ki Lurah Agung Sedayu, seseorang telah menghentikan mereka.

“Jangan ganggu keduanya,” berkata orang itu. Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Dengan lantang seorang di antara mereka bertanya, “Kau siapa?”

“Orang memanggilku Wisanata. Empu Wisanata.”

“O, jadi kau seorang Empu? Menurut pengertianku, seorang Empu adalah seorang yang memiliki keterampilan dan pengetahuan yang tinggi tentang sesuatu hal. Apakah kau seorang Empu pembuat keris, atau seorang Empu yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang lain?”

“Bukan. Aku tidak tahu apa-apa. Aku sendiri tidak tahu, kenapa orang memanggilku Empu.”

“Baiklah jika kau ingin merendah. Tetapi keberadaanmu di medan ini akan sangat kau sesali.”

“Kenapa?”

“Kau tentu belum mengenal kami, sehingga kau berani menghadapi kami berdua.”

“Kalian siapa?”

“Namaku Pahing Tua. Ini adikku, Pahing Nom.”

“Kalian tentu saudara kembar.”

“Ya. Kami memang saudara kembar. Karena itu, kami mampu bekerja sama dengan baik. Seolah-olah kami berdua mempunyai satu otak, yang dapat mengatur segala kegiatan tubuh kami berdua.”

“Siapapun kalian, aku akan tetap memperingatkan agar kalian tidak mengganggu Ki Kapat Argajalu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kami memang tidak akan mengganggu. Apalagi sekarang. Kami sudah mendapat mainan sendiri.”

“Maksudmu?”

“Kau tentu ingin menjajagi ilmu kami berdua. Kami sama sekali tidak berkeberatan.”

“Terima kasih. Aku memang sedang mencari kawan bermain yang memadai. Dari tadi aku berputar-putar. Yang ada hanyalah kelinci-kelinci. Nah, sekarang aku bertemu dengan dua ekor kucing yang agaknya cukup garang.”

Pahing Tua dengan serta-merta memotong, “Jangan terlalu sombong, Wisanata. Jika kau tidak dapat mengendalikan kata-katamu, aku akan memotong lidahmu.”

Empu Wisanata tertawa. Katanya, “Maaf. Aku terbiasa berbicara sekenanya. Jika itu menyinggung perasaanmu, baiklah. Aku tidak akan mengulanginya lagi.”

“Sekarang kau tinggal memilih. Menyingkir dari hadapan kami, atau mati di pertempuran ini.”

“Aku tidak memilih keduanya. Aku memilih bertempur melawan kalian, meskipun aku harus bertempur melawan dua orang.”

“Kau memang sombong. Baiklah, bersiaplah. Aku akan menghancurkan kesombonganmu.”

Empu Wisanata tidak menjawab lagi. Iapun kemudian bergeser surut, mencari celah-celah di medan pertempuran itu. Pahing Tua dan Pahing Nom pun segera mengambil jarak. Keduanya akan menghadapi Empu Wisanata dari arah yang berbeda.

Sejenak kemudian, kedua orang saudara kembar itu pun mulai meloncat menyerang. Pahing Tua menyerang ke arah dada, sementara Pahing Enom menyerang lambung.

Tetapi Empu Wisanata mampu menghindar, sehingga serangan keduanya sama sekali tidak menyentuhnya. Namun dengan demikian, maka keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Pada mulanya, Pahing Tua dan Pahing Nom menganggap bahwa lawannya tidak akan terlalu sulit untuk dilumpuhkan. Namun semakin lama ternyata Empu Wisanata yang tua itu seakan-akan menjadi semakin tangkas. Ia mampu bergerak semakin cepat, sehingga Pahing Tua dan Pahing Nom harus segera menyesuaikan dirinya. Mereka pun harus meningkatkan kemampuan mereka, agar mereka tidak terdesak oleh ketangkasan Empu Wisanata.

Dalam pada itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah telah berada di halaman banjar. Keduanya bersama para prajurit dan para pengawal Tanah Perdikan yang bertugas di banjar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Mereka sadar bahwa kelompok-kelompok para cantrik dan pengawal dari Pudak Lawang telah menyusup ke dalam padukuhan. Mereka dapat saja tiba-tiba muncul di tikungan di sebelah banjar itu.

Ki Gede sendiri serta Ki Argajaya masih duduk di pringgitan banjar. Namun kedua-duanya telah menggenggam tombak pendek di tangan mereka. Meskipun mereka sudah tua, tetapi mereka tidak akan membiarkan seseorang menusuk jantung mereka tanpa perlawanan sama sekali.

Pertempuran menjadi semakin sengit dimana-mana. Anak-anak muda Pudak Lawang benar-benar telah diracuni oleh Ki Kapat Argajalu, sehingga mereka tidak mengekang diri lagi. Mereka bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka bersama dengan para murid Ki Kapat Argajalu.

Sementara itu, Kayun yang merasa dirinya pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan itu telah bertempur dengan garangnya. Ia ingin menunjukkan kepada para pengawal yang lain, bahkan kepada para cantrik dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Kapat Argajalu, bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Jika semula ia ditetapkan menjadi pemimpin Pengawal Tanah Perdikan di Pudak Lawang, maka kini ia merasa bahwa ia adalah pemimpin Pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnyalah bahwa Kayun memang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Karena itu, maka ia dapat menengadahkan dadanya, menunjukkan kelebihannya itu di pertempuran. Tetapi tiba-tiba langkahnya terhenti. Seorang perempuan telah berdiri di hadapannya.

“Nyi Dwani,” desis Kayun.

“Kau mengamuk seperti seekor harimau terluka, Kayun.”

“Kau bukan orang Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sudah beberapa lama kau tinggal di sini. Karena itu, minggirlah. Jika kau tidak melibatkan dirimu, maka kau tidak akan diusik.”

“Ayahku juga sudah bertempur, Kayun. Aku tidak mempunyai pilihan lain. Meskipun aku bukan orang Tanah Perdikan Menoreh, tetapi sekarang aku sudah menumpang hidup disini. Aku telah meneguk airnya jika aku haus. Aku telah makan hasil bumi Tanah Perdikan ini pula jika aku lapar. Karena itu, maka aku merasa wajib untuk ikut menyelamatkan Tanah Perdikan ini.”

“Jika kau ingin menyelamatkan Tanah Perdikan ini, maka sebaiknya kau berpihak kepadaku. Kepada Ki Kapat Argajalu, karena Ki Kapat Argajalu sedang memperjuangkan keadilan di Tanah Perdikan ini.”

“Kayun. Meskipun aku tidak pernah bersangkut paut dengan pemerintahan di Tanah Perdikan ini, tetapi aku mengerti apa yang telah terjadi. Aku mendengar bukan saja dari Ayah dan Ki Jayaraga. Tetapi banyak orang yang menceritakan, betapa kotornya permainan Ki Kapat Argajalu, Soma dan Tumpak. Karena itu, jika masih ada kesempatan mendengarkan bagimu, pelajarilah sekali lagi, apakah langkah yang kau ambil itu sudah benar.”

“Sudah benar. Langkah yang aku ambil sudah benar. Karena itu, minggirlah. Aku akan menyelesaikan tugasku. Aku akan menyapu bersih para penjilat dari Tanah Perdikan Menoreh itu.”

“Jangan berkata begitu. Tetapi jika kau sebut aku penjilat karena aku berpihak kepada Ki Gede, aku tidak berkeberatan.”

“Sekali lagi aku memperingatkanmu. Kau bukan orang Tanah Perdikan Menoreh. Kau tidak berkepentingan dengan pertentangan antar keluarga ini. Karena itu pergilah, agar kau tidak menjadi korban sia-sia.”

“Aku sudah bertekad menjadi penjilat, Kayun. Bahkan aku ingin menasehatkanmu, kendalikan para Pengawal Tanah Perdikan ini, khususnya dari Kademangan Pudak Lawang.”

“Cukup. Kau tidak berhak memberikan peringatan itu kepadaku. Kau masih mempunyai kesempatan memilih. Mati atau minggir.”

“Aku tidak mau minggir. Tetapi aku juga tidak mau mati. Itulah sebabnya aku akan melindungi diriku sendiri.”

Kayun tidak berbicara lagi. Iapun segera meloncat menyerang Nyi Dwani. Dengan pedangnya yang besar, Kayun menebas ke arah dada.

Tetapi Nyi Dwani juga sudah memegang sebilah pedang pula. Karena itu, maka dengan tangkasnya Nyi Dwani membentur ayunan pedang Kayun dengan pedangnya.

Satu benturan yang keras telah terjadi. Adalah di luar dugaan, bahwa benturan itu telah membuat telapak tangan Kayun menjadi pedih. Hampir saja pedangnya terlempar dari tangannya. Untunglah bahwa ia masih sempat mempertahankannya meskipun tangannya terasa sangat pedih.

Kayun meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu, Nyi Dwani tidak memburunya. Sambil berdiri tegak, Nyi Dwani itu pun berkata, “Kayun. Pikirkan masak-masak. Apakah kita akan bertempur, atau kau akan mencoba mengendalikan kawan-kawanmu.”

“Persetan. Aku akan terpaksa membunuhmu.”

Kayun pun telah meloncat menyerang lagi. Tetapi Nyi Dwani memiliki kemampuan ilmu yang tidak dapat ditandingi oleh Kayun. Karena itu, dalam beberapa saat saja Kayun telah terdesak. Segores luka telah menyilang di lengannya, sehingga bajunya yang koyak menjadi basah oleh darah.

Kayun pun kemudian tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Nyi Dwani memiliki ilmu yang lebih tinggi dari ilmunya. Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat memanggil seorang kawan untuk bertempur bersamanya.

Yang datang adalah seorang murid Ki Kapat Argajalu yang memang bertugas mendampinginya. Ketika Kayun memberi isyarat bahwa ia menghadapi lawan yang sulit diatasi, maka murid Kapat Argajalu itu pun datang mendekatinya.

“Lawanmu seorang perempuan?” bertanya murid Ki Kapat Argajalu.

“Ya. Perempuan iblis.”

“Kau minta aku membantumu?”

“Ya.”

Murid Ki Kapat Argajalu itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Minggirlah, Kayun Anak-anak Pudak Lawang memang tidak dapat diandalkan. Mereka merasa dirinya berilmu tinggi. Tetapi pada saatnya ia berada di medan, maka akan nampak betapa lemahnya mereka.”

“Jangan terlalu sombong,” geram Kayun, “kau belum mencoba kemampuan perempuan ini.”

“Nah, sekarang carilah lawan yang lain. Biarlah aku menyelesaikan perempuan ini.”

Sebelum Kayun menjawab, murid Ki Kapat Argajalu itu sudah melangkah mendekati Nyi Dwani sambil berkata, “Jangan terlalu berbesar hati kau dapat mengalahkan anak itu. Ia bukan saudara seperguruanku. Kayun adalah Pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Aku mengenalnya meskipun tidak akrab.”

“O. Tetapi kau belum mengenal aku.”

“Kau siapa?”

“Namaku Ketapang. Aku lahir di bawah pohon ketapang, karena sebatang pohon ketapang raksasa tumbuh lekat di dinding rumahku.”

“Kau akan mengambil alih tempat Kayun?” bertanya Nyi Dwani.

“Kau mulai merasa cemas karenanya?”

“Tidak. Justru karena kau bukan orang Tanah Perdikan ini, maka aku akan merasa lebih bebas untuk berbuat apa saja terhadapmu.”

“Apa yang dapat kau lakukan?”

“Kita berada di medan. Kau tahu, apa yang dapat kita lakukan di medan pertempuran.”

“Baik. Baik, bersiaplah.”

“Ternyata kau seorang yang baik hati. Kau sempat memberi peringatan kepada lawanmu untuk bersiap.”

Ketapang mengerutkan dahinya. Perempuan itu sama sekali tidak nampak menjadi gentar menghadapinya. Bahkan Ketapang itu harus bergeser surut, ketika Nyi Dwani itu mulai meloncat menyerangnya.

Sejenak kemudian, maka Nyi Dwani itu pun sudah terlibat dalam pertempuran melawan Ketapang. Sementara Kayun masih berdiri termangu-mangu. Ia ingin melihat, apakah Ketapang itu benar-benar akan dapat mengalahkan perempuan yang bernama Dwani itu.

Demikian keduanya terlibat dalam pertempuran, maka Ketapang pun segera menyadari, bahwa Nyi Dwani memang seorang perempuan yang berilmu tinggi.

Meskipun Kayun telah menempatkan diri berseberangan dengan Nyi Dwani, namun rasa-rasanya Nyi Dwani masih ingin membantunya, menunjukkan kepada Ketapang bahwa dugaannya tentang para Pengawal Tanah Perdikan itu salah. Para Pengawal Tanah Perdikan tidak lebih buruk dari para cantrik Ki Kapat Argajalu, kecuali orang-orang pilihan. Bahkan para Pengawal Tanah Perdikan juga tidak lebih buruk dari orang yang bernama Ketapang itu.

Karena itu, maka Nyi Dwani pun dengan cepat meningkatkan ilmunya. Serangan-serangannya datang seperti badai melanda pepohonan di lereng pegunungan. Ketapang bahkan kemudian terkejut. Serangan-serangan Nyi Dwani sulit dihindari. Bahkan beberapa saat kemudian, maka serangan kaki Nyi Dwani telah mengenai dada Ketapang, sehingga Ketapang itu pun terlempar jatuh.

Nyi Dwani tidak memburunya. Dibiarkannya Ketapang berusaha bangkit. Namun agaknya tulang punggungnya serasa akan patah. Adalah di luar sadarnya, bahwa iapun kemudian berpegangan tangan yang dijulurkan kepadanya, sehingga iapun bangkit berdiri dengan nafas terengah-engah.

“Bagaimana?” terdengar seseorang bertanya.

Barulah Ketapang menyadari, bahwa yang menjulurkan tangannya, menariknya berdiri dan bertanya tentang keadaannya itu adalah Kayun.

“Iblis betina,” geram Ketapang

“Apakah sekarang kau setuju kita melawannya berdua?”

Sebelum Ketapang menjawab, terdengar Nyi Dwani tertawa. Katanya, “Nah, apa bedanya murid-murid Ki Kapat Argajalu dengan para Pengawal Tanah Perdikan, meskipun Kayun termasuk Pengawal yang memberontak?”

“Aku tidak memberontak,” sahut Kayun.

“Apapun namanya, tetapi kau sudah melawan kekuasaan Ki Gede Menoreh. Kekuasaan yang sah di Tanah Perdikan ini.”

“Persetan,” geram Kayun. “Marilah. Kita selesaikan perempuan iblis ini.”

Ketapang tidak lagi dapat menyombongkan diri. Ternyata ia juga tidak mampu mengalahkan seorang perempuan yang berdiri di pihak Ki Gede Menoreh itu.

Dengan demikian, maka Nyi Dwani kemudian harus menghadapi dua orang lawan. Seorang pemimpin Pengawal Tanah Perdikan di Pudak Lawang yang telah memberontak, dan yang seorang mengaku sebagai seorang cantrik dari Ki Kapat Argajalu.

Namun dengan bekal ilmu yang dimiliki. Nyi Dwani sama sekali tidak menjadi gentar menghadapi keduanya. Karena itu, maka sejenak kemudian Nyi Dwanip un telah berloncatan bertempur melawan dua orang musuhnya.

Sementara itu, para cantrik dan para Pengawal Tanah Perdikan di Pudak Lawang yang telah berada di bawah pengaruh Ki Kapat Argajalu yang berhasil menyusup di antara para pengawal dan prajurit telah mendekati banjar padukuhan.

Mereka tidak memperhitungkan korban yang berjatuhan. Agaknya para murid Ki Kapat Argajalu adalah orang-orang yang sudah ditempa untuk melakukan segala perintah gurunya tanpa ragu-ragu. Tetapi juga tanpa berpikir panjang untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.

Sementara itu, bagaimanapun juga, para pengawal Tanah Perdikan yang tetap setia kepada Ki Gede Menoreh kadang-kadang masih dibayangi keragu-raguan untuk melukai, apalagi membunuh, para pengawal Tanah Perdikan dari Pudak Lawang yang berpihak kepada Ki Kapat Argajalu.

Keragu-raguan itulah yang telah memberikan peluang bagi para pengawal Tanah Perdikan dari Pudak Lawang untuk menerobos semakin jauh ke jantung padukuhan Jati Anyar. Sementara itu para murid Ki Kapat Argajalu mengikut saja di belakang mereka.

Meskipun demikian, korban yang telah jatuh membuat para pengawal yang setia kepada Ki Gede serta para prajurit dari Pasukan Khusus justru merasa gelisah. Rasa-rasanya mereka telah membunuh atau melukai anak-anak muda Pudak Lawang serta para murid Ki Kapat Argajalu itu terlalu banyak.

Namun mereka masih saja mengalir tanpa terbendung. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu tentu tidak dapat membiarkan saja mereka bergerak langsung ke banjar, meskipun mereka tahu bahwa di banjar telah disiapkan pasukan yang justru terpilih.

Dengan demikian, maka pertempuran telah terjadi dimana-mana. Para cantrik serta para pengawal dari Pudak Lawang yang memasuki padukuhan Jati Anyar dari arah samping, sudah menjadi semakin dekat dengan banjar padukuhan.

“Mereka menjadi gila,” berkata seorang pengawal yang setia kepada Ki Gede.

“Ya. Tetapi kita tidak dapat membiarkan mereka pergi ke banjar.”

“Aku sudah tidak tahan lagi,” berkata yang lain, “aku telah membunuh dan melukai beberapa orang. Aku telah mematahkan busurku. Aku juga akan melemparkan pedangku. Aku tidak mau bertempur lagi.”

“Itu tidak mungkin,” pemimpin kelompoknya yang mendengar langsung menyahut, “jika kau tidak mau bertempur, setidak-tidaknya melindungi dirimu sendiri, maka kau akan mati.”

“Tetapi aku sudah tidak dapat membunuh lagi.”

“Aku hargai sikapmu. Tetapi kau tidak perlu membinasakan dirimu sendiri.”

Pengawal itu merenungi kata-kata pemimpin kelompoknya. Ia memang tidak perlu membinasakan dirinya sendiri.

Memang telah terjadi di mana-mana di padukuhan itu, bahwa para pengawal yang setia kepada Ki Gede Menoreh, yang menunggu lawan mereka di tikungan-tikungan dengan busur dan anak panah, tidak segera melepaskan anak panah mereka pada kesempatan terbaik. Jika wajah-wajah yang bergerak di depan mereka adalah wajah-wajah yang pernah dikenal dan bahkan pernah berlatih bersama, dan ada di antara mereka yang pernah bermain bersama sejak masa remajanya, maka anak panah itu rasa-rasanya telah terkait dengan jari-jarinya, sehingga tidak sempat meluncur pada saat yang tepat.

Yang terjadi kemudian, justru para pengawal dari Pudak Lawang itulah yang menyergap mereka, disertai para pengikut Ki Kapat Argajalu. Sebenarnyalah bahwa pasukan pengawal Pudak Lawang serta para murid Ki Kapat Argajalu telah berhasil menyusup sampai ke halaman di depan banjar. Para pengawal dari Pudak Lawang ternyata mampu mencari jalan menerobos kebun dan halaman, di sela-sela rumpun bambu dan gerumbul-gerumbul tanaman perdu dan empon-empon, langsung menuju ke banjar.

Tetapi demikian mereka turun ke jalan dari halaman di depan banjar, mereka langsung dihadapi oleh pasukan yang berada di banjar. Baik para pengawal Tanah Perdikan maupun para prajurit dari Pasukan Khusus, tidak mempunyai pertimbangan terlalu panjang. Mereka mempunyai tugas yang amat berat. Mereka harus menjaga agar Pasukan Pengawal dari Pudak Lawang dan para murid Ki Kapat Argajalu tidak sempat memasuki halaman banjar.

Pertempuran yang sengit pun telah terjadi di sekitar banjar padukuhan. Para pengikut Ki Kapat Argajalu berusaha untuk melingkari dinding halaman banjar. Namun dimana-mana mereka telah menjumpai Pasukan Pengawal Tanah Perdikan serta prajurit dari Pasukan Khusus.

Di pringgitan, Ki Gede sendiri serta Ki Argajaya sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak setangkas pada saat mereka masih muda, tetapi mereka masih tetap mampu mempermainkan tombak-tombak mereka. Tetapi para pengawal dan para prajurit tidak akan membiarkan seorangpun di antara lawan menyentuh Ki Gede dan Ki Argajaya.

Dalam pada itu, selain mereka yang turun ke jalan serta bertempur di sekitar banjar, maka beberapa orang pengawal serta prajurit tetap berada di halaman. Mereka menjaga jika ada satu dua orang di antara lawan yang berhasil meloncati dinding halaman banjar itu.

Pertempuran yang paling sengit telah terjadi di jalan, di depan banjar. Ternyata jumlah pengikut Ki Kapat Argajalu cukup banyak, sehingga para pengawal dan prajurit harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun dari jumlah yang banyak itu, ada pula di antara mereka yang berhasil meloncati dinding halaman samping banjar padukuhan Jati Anyar.

Dengan demikian, maka pertempuran telah memasuki halaman banjar padukuhan Jati Anyar.

Ki Gede dan Ki Argajaya tidak dapat tetap duduk-duduk saja di pringgitan. Mereka pun segera bangkit berdiri. Tetapi ketika mereka akan beranjak dari tempatnya, Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun keluar dari ruang dalam.

“Silahkan Ayah tetap di pringgitan bersama Paman. Silahkan duduk. Biarlah aku dan Sekar Mirah turun ke halaman. Sementara itu, para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus juga sudah berjaga-jaga.”

“Tetapi aku tidak dapat berdiam diri di sini, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi tersenyum sambil berkata, “Biarlah kami mencoba mengatasinya, Ayah.”

Ki Gede tidak menjawab. Sementara itu Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun segera melangkah melintasi pendapa dan turun ke halaman banjar.

Di halaman, telah terjadi pertempuran. Beberapa orang murid Ki Kapat Argajalu telah berada di halaman. Seorang putut yang berwajah seram berhasil melintasi para pengawal yang berada di halaman samping, langsung menuju ke tangga pendapa. Namun langkahnya terhenti ketika ia tertahan oleh seorang perempuan.

“Minggir. Aku ingin menangkap Ki Gede dan Ki Argajaya, yang tentu ada di banjar ini.”

“Mereka ada di pringgitan,” jawab Pandan Wangi.

“Jangan halangi aku.”

“Aku memang bertugas disini. Karena itu, aku akan menghalangimu.”

“Kau siapa?”

“Namaku Pandan Wangi.”

“O. Jadi kau-lah yang bernama Pandan Wangi. Kau-lah yang merasa berhak memerintah Tanah Perdikan ini. Kau atau suamimu.”

“Ya. Aku memang berhak mewarisi kedudukan ayahku. Aku atau suamiku.”

“Tetapi suamimu bukan orang Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi aku orang Tanah Perdikan ini.”

“Persetan. Mana suamimu? Aku ingin membunuhnya,”

“Aku mewakilinya.”

“Kau seorang perempuan.”

“Kenapa dengan seorang perempuan?.

“Baiklah. Jika kau sudah bertekad untuk bertempur.”

“Jika aku sudah di medan, itu artinya aku sudah siap untuk bertempur.”

“Bagus. Jika kau menghalangi aku, meskipun kau seorang perempuan, namun kau harus disingkirkan.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi Pandan Wangi itu justru melangkah maju.

Putut itu pun segera mempersiapkan dirinya. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Pandan Wangi dengan kakinya. Tetapi Pandan Wangi sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya Karena itu, maka dengan tangkasnya iapun telah mengelak dari serangan itu. Bahkan ia masih sempat bertanya, “Siapakah namamu, Ki Sanak?”

“Aku Putut Dumadi. Putut terpercaya dari semua putut murid Ki Kapat Argajalu.”

“Semua murid Uwa Kapat Argajalu mengaku putut yang terpercaya.”

“Kau tidak percaya?”

“Tidak.”

Serangan Putut Dumadi pun kemudian datang seperti badai. Dikerahkannya kemampuannya agar ia dapat dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu. Ia ingin menunjukkan bahwa ia memang seorang putut yang terpercaya. Selain itu, ia ingin segera mendahului semua orang, menangkap Ki Gede dan Ki Argajaya.

Tetapi perempuan yang bernama Pandan Wangi itu mampu mengimbanginya Bahkan setelah putut itu sampai ke puncak ilmunya, maka pertahanan Pandan Wangi sama sekali tidak tergetar.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

Dengan demikian maka Pandan Wangi harus bertempur melawan dua orang murid Ki Kapat Argajalu. Bahkan seorang di antaranya mengaku sebagai seorang putut.

Di sisi lain, Sekar Mirah pun telah bertempur pula. Sekar Mirah yang berada di antara pengawal Tanah Perdikan itu benar-benar telah mengacaukan murid-murid Ki Kapat Argajalu. Beberapa orang yang bertempur melawannya, setiap kali harus berloncatan surut dan bahkan bercerai-berai. Sebelum mereka sempat berhimpun kembali, maka para pengawal Tanah Perdikan atau para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah menyerang mereka.

Dengan demikian maka korban di halaman banjar itu semakin lama menjadi semakin banyak. Hampir semua yang berhasil meloncat memasuki halaman banjar, tidak akan pernah dapat keluar lagi. Tetapi seperti yang sering dipesankan oleh Ki Lurah Agung Sedayu serta para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, bahwa perang bukanlah arena pembantaian. Di dalam perang seseorang tidak boleh kehilangan kemanusiaannya.

Karena itu, maka para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit yang berada di halaman banjar, berusaha untuk tidak membunuh lebih banyak lagi. Mereka berusaha untuk mempengaruhi lawan-lawan mereka agar menyerah. Namun jika terpaksa terjadi pertempuran di antara mereka, maka para pengawal Tanah Perdikan serta para prajurit dari Pasukan Khusus akan berusaha menghentikan perlawanan lawan-lawan mereka tanpa membunuhnya.

Meskipun demikian, yang terjadi kadang-kadang berbeda dengan niat para pengawal dan para prajurit. Dalam keadaan terpaksa, maka mereka tidak dapat menghindari pembunuhan yang masih saja terjadi.

Dalam pada itu, Putut Dumadi yang bertempur melawan Pandan Wangi bersama seorang cantrik, ternyata tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Semakin lama mereka menjadi semakin terdesak. Meskipun Putut Dumadi memberikan isyarat beberapa kali kepada para cantrik, namun tidak seorang cantrikpun yang sempat datang membantunya, karena mereka sudah menghadapi lawan mereka masing-masing. Bahkan mereka pun semakin mengalami kesulitan menghadapi para pengawal Tanah Perdikan.

“Menyerahlah,” berkata Pandan Wangi kepada Putut Dumadi, “kau tidak akan di gantung di Tanah Perdikan ini.”

“Persetan kau, perempuan iblis. Aku harus membunuhmu.”

Putut Dumadi dan seorang cantrik itu telah menghentakkan kemampuan mereka. Putut Dumadi yang bersenjata pedang yang panjang, sedang cantrik yang membantunya bersenjata bindi, berusaha untuk menekan Pandan Wangi dari dua arah.

Namun dengan sepasang pedang di kedua tangannya, Pandan Wangi mampu membendung serangan-serangan itu. Bahkan kemudian Putut Dumadi itu harus berloncatan surut ketika terasa ujung pedang Pandan Wangi, justru yang berada di tangan kirinya, menggapai pundaknya.

Putut Dumadi itu menggeretakkan giginya. Dengan lantang iapun berteriak kepada kawannya, “Kita bunuh perempuan itu! Jangan ragu-ragu!”

Cantrik itu pun segera meloncat. Bindinya terayun dengan derasnya mengarah ke ubun-ubun Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi sempat menghindar. Sambil bergeser ke samping, Pandan Wangi pun merendah.

Namun demikian bindi itu terayun lewat di atas ubun-ubunnya, maka Pandan Wangi pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya, langsung menusuk dada lawannya menyentuh jantung.

Cantrik itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian orang itu pun terhuyung-huyung dan jatuh terlentang.

Pandan Wangi tidak sempat memperhatikan lawannya yang kemudian terbaring diam itu, karena Putut Dumadi menyerangnnya sambil berteriak mengerikan.

Pandan Wangi memang agak terkejut. Bukan karena ujung pedang Putut Dumadi yang terjulur ke arah lambungnya, tetapi justru karena teriakannya yang keras sekali itu. Meskipun demikian, Pandan Wangi masih sempat menangkis serangan Putut Dumadi itu ke samping. Namun bersamaan dengan itu, maka pedang di tangan kanannya telah terayun mendatar.

Sekali lagi Putut Dumadi berteriak keras sekali. Ujung pedang Pandan Wangi telah mengoyak dadanya. Putut Dumadi itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Ia masih bertahan beberapa saat. Namun Putut itu pun segera rebah di tanah. Darah mengalir dari luka di dadanya.

Pandan Wangi berdiri termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya beberapa orang pengawal dari Pudak Lawang telah digiring oleh para pengawal Tanah Perdikan ke serambi gandok. Mereka telah menyerah dan meletakkan senjata-senjata mereka.

Pandan Wangi itu menarik nafas panjang. Ia melihat Sekar Mirah berdiri saja di halaman, di bawah sebatang pohon jambu air. Pertempuran di halaman itu sudah mereda.

Namun Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyadari, jika gelombang-gelombang serangan berikutnya datang, maka mungkin masih ada lagi para pengikut Ki Kapat Argajalu yang akan berusaha memasuki halaman itu.

Ternyata bahwa pertahanan berlapis yang ada di setiap jengkal tanah di padukuhan Jati Anyar, telah mampu menahan gerak maju para pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu, yang disebutnya sebagai murid-muridnya itu. Mereka tertahan di setiap jengkal tanah, sehingga dengan demikian maka mereka tidak dapat serentak menyerang banjar padukuhan.

Yang berhasil menyusup pertahanan yang berlapis itu datang gelombang demi gelombang. Tetapi gelombang-gelombang kecil itu tidak mampu mengguncang pertahanan di sekitar banjar itu. Bahkan banjar itu seakan-akan merupakan muara bagi para pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu, karena demikian mereka sampai di banjar, maka mereka pun seakan-akan telah hilang ditelan lautan yang luas tanpa tepi, serta tidak dapat dijajagi kedalamannya.

Namun hal itu masih belum juga disadari oleh para pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu. Kelompok-kelompok pengawal dari Pudak Lawang serta para cantrik masih saja mengalir menuju ke banjar, karena mereka yakini bahwa para pemimpin Tanah Perdikan itu berada di banjar. Tetapi di sepanjang jalur aliran itu, maka sebagian dari kelompok-kelompok itu tidak pernah sampai ke banjar, sedang kelompok-kelompok yang lain harus meninggalkan sebagian orang-orangnya yang jatuh menjadi korban.

Namun yang lain, yang kemudian mencapai banjar pun tidak mampu berbuat apa-apa. Mereka harus menghadapi kenyataan, bahwa mereka harus menyerah, terluka parah atau bahkan mati.

Namun para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit yang mempertahankan padukuhan Jati Anyar itu juga ada yang harus menjadi korban. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan dan beberapa orang prajurit telah gugur dan terluka.

Darah yang telah membasahi bumi Tanah Perdikan bagaikan membuat jantung para pengawal Tanah Perdikan bagaikan membara. Kawan-kawan mereka bermain dan berkelakar di gardu-gardu peronda, harus terbaring diam dengan luka yang menganga di dadanya.

Semakin tinggi matahari, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ketika keringat telah membasahi tubuh-tubuh mereka yang sedang bertempur itu, bahkan yang telah bercampur dengan darah, membuat mereka yang terlibat dalam pertempuran itu menjadi semakin garang.

Mimpi Soma dan Tumpak untuk menghancurkan Jati Anyar sebelum matahari mencapai puncaknya, sama sekali tidak terjadi. Bahkan ketika matahari melewati puncaknya, pertempuran di belakang gerbang itu sekan-akan tidak bergeser. Sementara mereka yang berhasil menerobos pertahanan di lapis pertama, harus meninggalkan beberapa orang di setiap tikungan, simpang tiga dan simpang empat. Kemudian larut, demikian mereka memasuki halaman banjar. Yang menyerah akan tetap hidup. Namun yang bertempur dengan keras kepala akan mati atau terluka parah.

Dalam pada itu, Prastawa masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Demang Pudak Lawang. Keduanya yang sebelumnya pernah nampak akrab, telah dipisahkan oleh nafsu dan ketamakan. Mimpi-mimpi indah Ki Demang telah membuatnya lupa akan beban yang diembannya sebagai seorang Demang.

Karena itu, maka Ki Demang Pudak Lawang itu telah kehilangan kendali dirinya. Bahkan Ki Demang itu tidak sempat memperhitungkan, seandainya ia dapat membunuh Prastawa, maka ia akan kehilangan alat untuk menegakkan kuasanya di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu Prastawa telah mengerahkan kemampuannya pula. Sebagai seorang pemimpin Pengawal Tanah Perdikan, maka Prastawa memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi Ki Demang Pudak Lawang.

Tetapi Ki Demang yang bertempur tidak jauh dari gurunya itu merasa dirinya mempunyai sandaran yang teguh. Karena itu, maka Ki Demang pun telah bertempur dengan menghentakkan kemampuannya. Ki Demang juga ingin menunjukkan kepada gurunya, bahwa ia bukan sekedar anak bawang dalam pusaran angin di Tanah Perdikan itu.

Namun, gurunya ternyata sibuk sendiri menghadapi Swandaru, salah seorang murid utama dari Perguruan Orang Bercambuk. Ki Pujalana semula merasa beruntung dapat bertempur dengan Swandaru, sehingga ia akan dapat dengan bangga mengatakan kepada setiap orang bahwa ialah yang telah menjinakkan anak Demang Sangkal Putung itu. Bahkan mungkin sekali ia harus membunuhnya, dan menunjukkan mayat orang Sangkal Putung itu kepada pengikutnya dan pengikut Ki Kapat Argajalu. Dengan demikian, maka ia akan dapat menjadi pahlawan bagi mereka yang ingin merebut kekuasaan atas Tanah Perdikan dari orang Sangkal Putung itu.

Tetapi setelah Ki Pujalana yang terlalu yakin akan kemampuannya itu sempat bertempur melawan Swandaru, maka Ki Pujalana pun harus mengakui bahwa Swandaru adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi sejak Swandaru melihat kenyataan bahwa kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu yang dianggapnya terlalu rendah itu ternyata justru jauh di atas kemampuannya, maka Swandaru pun atas persetujuan Agung Sedayu telah bertekun pada kitab yang ditinggalkan oleh gurunya. Dengan demikian, maka pertempuran di antara Swandaru dan Ki Pujalana itu pun menjadi semakin sengit.

Ki Demang Pudak Lawang yang bertempur melawan Prastawa tidak terlalu jauh dari gurunya, yakin pula bahwa Swandaru itu akan segera dihancurkan oleh gurunya, Ki Pujalana. Setelah itu, maka Ki Pujalana akan merambah seluruh arena pertempuran. Gurunya itu akan menunjukkan kepada setiap orang, bahwa Ki Pujalana adalah juga seorang yang berilmu tinggi.

Tetapi Ki Demang Pudak Lawang itu telah bertanya-tanya pula di dalam hatinya, kenapa gurunya tidak segera mengakhiri pertempuran. Kenapa gurunya tidak segera menghentikan perlawanan Swandaru, orang Sangkal Putung itu. Bahkan membunuhnya, sehingga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang setia kepada Ki Gede akan kuncup hatinya. Orang yang kelak akan menggantikan kedudukan Ki Gede itu sudah mati.

Namun orang Sangkal Putung itu masih bertempur dengan garangnya. Ki Demang tidak sempat mengamati saat-saat gurunya terdesak dan bahkan harus berloncatan mengambil jarak. Ki Demang Pudak Lawang itu tidak sempat melihat, beberapa kali gurunya terdorong dan bahkan terhuyung-huyung ketika serangan Swandaru mengenai tubuhnya.

Sementara itu, Ki Demang Pudak Lawang harus mengakui bahwa Prastawa, pemimpin Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu, tidak mudah dikalahkannya. Meskipun Ki Demang itu menghentakkan kemampuannya, namun ia tidak segera dapat mengalahkan Prastawa.

Dalam pada itu, Ki Pujalana benar-benar mengalami kesulitan menghadapi Swandaru. Meskipun sekali dua kali serangannya dapat menerobos pertahanan Swandaru, namun justru serangan-serangan Swandaru-lah yang lebih banyak dapat mengenainya, sehingga di tubuhnya nampak lebam-lebam kebiru-biruan. Bahkan juga di wajahnya.

Ketika kaki Swandaru terayun mendatar mengenai bibirnya, maka darah pun telah menitik dari bibirnya yang pecah.

Ki Pujalana pun harus menyadari, bahwa orang Sangkal Putung itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi Ki Pujalana tidak begitu saja menyerah. Ketika ia menjadi semakin terdesak, maka Ki Pujalana pun telah menarik pedangnya yang panjang. Daun pedangnya itu nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari sehingga menyilaukan.

“Jangan menyesali nasib burukmu, orang Sangkal Putung. Tanah Perdikan tidak akan dapat kau kuasai. Bahkan Tanah Perdikan ini bagimu tidak lebih dari tanah pekuburan, karena kau akan mati dan dikubur di sini.”

“Aku atau kau, Ki Pujalana.”

“Aku adalah seorang yang menguasai ilmu pedang dengan sempurna. Tidak ada orang yang memiliki kemampuan bermain pedang seperti aku. Karena itu, dengan senjata apapun kau tidak akan dapat mengalahkan ilmu pedangku.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Ia menyadari bahwa Ki Pujalana tentu memiliki beberapa kelebihan dengan ilmu pedangnya. Karena itu, maka sebelum terlambat, Swandaru pun telah mengurai cambuknya pula. Senjata terpercaya dari Perguruan Orang Bercambuk.

“Itukah senjatamu, Swandaru?” bertanya Ki Pujalana.

“Ya.”

“Pantas. Kau tentu seorang gembala di masa kecilmu. Kau sering bermain-main dengan cambuk di saat-saat kau menggembalakan kerbau. Kebiasaan itu sekarang kau bawa ke medan ini.”

“Aku tidak ingkar, Ki Pujalana. Aku memang seorang gembala di masa anak-anakku. Bahkan sampai aku menginjak remaja, aku masih sering menggembalakan kambing, lembu dan kerbau. Namun setelah aku dewasa, aku telah mendapat tugas dari ayahku, Demang Sangkal Putung, untuk menggembalakan anak-anak muda di Sangkal Putung. Karena itu, aku memerlukan cambuk yang agak berbeda dengan cambuk saat aku menggembalakan kambing, lembu dan kerbau. Cambukku sekarang seperti yang kau lihat ini.”

Ki Pujalana tertawa. Katanya, “Kau kira cambukmu itu mempunyai arti menghadapi pedangku? Pedangku sangat tajam. Dengan sekali sentuh, cambukmu ia akan terpangkas.”

“Kita akan melihat, apakah yang kau katakan itu benar, atau hanya sebuah bualan yang tidak ada harganya sama sekali.”

“Baik. Kita akan melihatnya. Pedangku ini dapat memangkas kapuk randu yang dihembuskan dan menyentuh tajamnya Tetapi pedangku ini juga dapat mematahkan tongkat baja yang betapapun kerasnya.”

“Bagus sekali. Tetapi jika yang kau katakan itu benar. Karena aku melihat di sorot matamu, bahwa kau adalah seorang pembual.”

Ki Pujalana tidak menjawab lagi. Tetapi pedangnya telah berputar dengan cepat. Kilatan-kilatan pantulan cahaya matahari telah ikut berputar pula, membias ke lingkaran pertempuran di sekitarnya. Dengan tangkasnya pula Ki Pujalana pun kemudian telah menyerang Swandaru.

Namun Ki Pujalana sempat terkejut ketika ia mendengar ledakan cambuk Swandaru yang seakan-akan mampu memecahkan selaput telinga.

Namun Ki Pujalana itu pun tertawa. Katanya, “Kau benar-benar tidak lebih dari seorang gembala di padang rumput.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi cambuknya berputar pula. Ledakan-ledakannya memang memekakkan telinga. Mereka yang bertempur di sekitarnya menjadi gelisah karenanya.

Dalam pada itu, serangan-serangan pedang Ki Pujalana pun menjadi semakin cepat. Namun Ki Pujalana tidak mampu bergerak terlalu dekat. Pertahanan cambuk Swandaru nampaknya terlalu rapat.

Karena itu, maka Ki Pujalana itu berniat untuk menebas juntai cambuk Swandaru. Ketika Swandaru mengayunkan cambuknya, maka dengan serta-merta Ki Pujalana telah dengan sengaja membenturnya. Ia yakin, bahwa dengan demikian ia akan mampu memangkas juntai cambuk lawannya itu.

Tetapi justru Ki Pujalana yang terkejut. Bahkan hampir saja pedangnya terhisap oleh ujung cambuk Swandaru. Untunglah Ki Pujalana masih mampu mempertahankannya meskipun tangannya menjadi pedih.

“Gila gembala ini,” berkata Ki Pujalana di dalam hatinya. Namun Ki Pujalana sekali lagi harus mengakui, bahwa sulit baginya untuk menembus pertahanan Swandaru.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain bagi Ki Pujalana. Ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu. Apalagi ketika ia sempat melihat sekilas, Ki Demang Pudak Lawang mulai terdesak.

Dengan demikian, maka Ki Pujalana pun segera sampai ke puncak kemampuannya. Ia harus mengerahkan ilmu pamungkasnya untuk menyelesaikan orang Sangkal Putung itu.

Ki Pujalana pun kemudian telah memusatkan nalar budinya. Disilangkannya pedangnya di depan dadanya. Dirabanya dengan tangan kirinya, kemudian diangkatnya pedang itu dan dilekatkannya di dahinya.

Swandaru melihat sikap orang itu. Ia sudah mengira bahwa orang itu tentu telah sampai ke ilmu puncaknya. Sehingga karena itu, maka Swandaru pun segera menyesuaikan dirinya.

Sejenak kemudian, maka pedang Ki Pujalana itu pun seakan-akan telah berubah warnanya. Tidak lagi putih berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Tetapi daun pedang itu menjadi kemerah-merahan, seakan-akan pedang itu telah membara. Swandaru pun menyadari, bahwa ia harus menjadi semakin berhati-hati.

Ketika sejenak kemudian pedang itu berputar, maka seolah-olah tubuh Ki Pujalana itu berada dalam gumpalan bara yang kemerah-merahan. Bahkan terasa oleh Swandaru, bahwa udara di sekitar arena itu pun telah menjadi panas.

Swandaru harus segera mengambil sikap. Jika udara di sekitar tubuh Ki Pujalana itu menjadi semakin panas, maka Swandaru tentu tidak dapat mendekatinya. Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka Swandaru pun segera bersiap untuk menyerang.

Ketika ia menghentakkan cambuknya, maka cambuk itu tidak lagi meledak memekakkan telinga. Cambuk itu bahkan seolah-olah tidak bersuara lagi. Tetapi justru karena itu, maka Ki Pujalana pun terkejut.

Dengan demikian iapun semakin menyadari, bahwa yang dihadapi itu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Swandaru itu tidak hanya mampu meledakkan cambuknya sehingga suaranya bagaikan mengoyak selaput telinga, tetapi Swandaru itu sanggup menghentakkan cambuknya dengan kemampuan ilmunya, sehingga getarannya langsung menusuk ke dalam dada.

Karena itulah, maka Ki Pujalana yang semula memastikan akan segera dapat menghentikan perlawanan Swandaru, mulai menjadi cemas.

Sebenarnyalah bahwa dalam pertempuran selanjutnya, Ki Pujalana harus mengakui bahwa ilmu Swandaru itu adalah ilmu yang pilih tanding. Ilmu cambuk yang belum pernah ditemuinya sepanjang petualangannya di dunia olah kanuragan.

Pertempuran antara Ki Pujalana dengan Swandaru itu pun telah sampai pada tingkat yang menentukan. Pedang Ki Pujalana yang membara itu bergerak semakin cepat. Bahkan menjadi semakin ganas. Sekali-sekali pedang itu menebas, kemudian terayun menyambar ke arah kepala. Kemudian terjulur lurus mengarah jantung.

Bahkan pedang yang seakan-akan membara itu benar-benar telah menebarkan udara panas di sekitarnya. Namun Swandaru pun bergerak semakin cepat pula. Meskipun udara di sekitar tubuh Ki Pujalana menjadi semakin panas, namun sekali-sekali Swandaru meloncat dengan kecepatan yang tinggi, menyambar lawannya dengan ujung cambuknya. Tetapi Ki Pujalana pun bergerak dengan cepat pula, sehingga ia masih mampu menghindari ujung cambuk Swandaru.

Tetapi Ki Pujalana memang belum mengenal watak senjata orang Sangkal Putung itu. Karena itu, ketika ujung cambuk itu terjulur lurus mengarah ke dadanya, Ki Pujalana terkejut. Ia tidak mengira bahwa juntai cambuk Swandaru itu mampu menusuk seperti ujung tombak. Karena itu, ketika ia melihat juntai cambuk itu terjulur ke arahnya, maka Ki Pujalana pun berusaha untuk menghindarinya. Namun Ki Pujalana sedikit terlambat, sehingga ujung juntai cambuk itu sempat mengenai lengannya.

Ki Pujalana meloncat surut. Lengannya memang telah terkoyak oleh ujung juntai cambuk Swandaru.

“Gila,” geram Ki Pujalana, “ujung cambuk itu melukai lenganku.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi dihentakkannya cambuknya sendal pancing.

Sekali lagi Ki Pujalana terkejut. Dengan serta-merta Ki Pujalana berusaha meloncat menghindar. Tetapi ujung cambuk itu masih menyentuh pahanya. Bukan hanya kainnya yang koyak, tetapi paha Ki Pujalana pun terkoyak pula.

Ki Pujalana itu pun mengumpat sejadi-jadinya. Dengan mengerahkan sisa tenaganya ia mencoba menyerang dengan pedangnya yang membara. Dengan demikian maka udara panas di sekitar tubuh Ki Pujalana itu menjadi semakin panas.

Keringat telah membasahi seluruh tubuh dan pakaian Swandaru. la mencoba melindungi dirinya dari udara panas itu. Namun rasa-rasanya panas itu telah menembus ke bagian dalam dadanya.

Karena itu, maka Swandaru pun menjadi semakin garang. Jika ia terlambat menghentikan perlawanan Ki Pujalana, maka Swandaru menyadari bahwa ia sendiri-lah yang akan kehabisan tenaga, meskipun seandainya ia masih mampu menghindari serangan-serangan Ki Pujalana. Namun justru serangan-serangannya tidak akan mampu lagi menghentikan lawannya.

Karena itu, selagi udara panas di sekitar tubuh lawannya belum sempat membuat darahnya mendidih, maka Swandaru pun segera menghentakkan ilmu cambuknya. Dengan demikian, maka cambuk Swandaru pun berputar semakin cepat. Hentakan-hentakannya tidak lagi memecahkan selaput telinga. Tetapi bagi Ki Punjalana, getar hentakan cambuk Swandaru telah menggetarkan jantungnya.

Sebenarnyalah, kecepatan gerak Swandaru pun menjadi semakin meningkat. Ketika ujung pedang yang membara itu terjulur lurus mengarah ke dadanya, maka Swandaru bergeser selangkah ke samping. Bersamaan dengan itu, maka dengan dilambari oleh kekuatan tenaga dalamnya serta penguasaan atas ilmu cambuk dari Perguruan Orang Bercambuk, maka Swandaru telah menghentakkan cambuknya sendal pancing.

Ki Pujalana masih berusaha untuk mengelak. Dengan meloncat tinggi-tinggi serta sekali berputar di udara, Ki Pujalana menghindar dari sentuhan ujung cambuk Swandaru. Tetapi demikian kakinya menyentuh tanah, maka sekali lagi cambuk itu menghentak sendal pancing. Tidak ada kesempatan untuk mengelak. Ujung cambuk Swandaru itu sempat menyentuh lambungnya.

Akibatnya memang buruk sekali. Lambung Ki Pujalana itu pun terkoyak, seakan-akan telah terkoyak oleh tajamnya pedang. Ki Pujalana menggeliat. Namun kemudian iapun terhuyung-huyung. Akhirnya Ki Pujalana itu terjatuh pada lututnya.

Dipandanginya Swandaru dengan sepasang matanya yang bagaikan menyala. Namun mata itu pun kemudian menjadi semakin redup.

“Kau memang seorang yang berilmu tinggi, Swandaru. Kau pantas menjadi Kepala Tanah Perdikan ini.”

Swandaru berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipeganginya hulu cambuknya dengan tangan kanannya, sedangkan ujungnya dengan tangan kirinya.

“Aku mengucapkan selamat kepadamu, Swandaru.”

Ki Pujalana itu pun kemudian jatuh menelungkup, dan untuk selanjutnya tidak pernah bergerak-gerak lagi.

Kematian Ki Pujalana sangat mengejutkan, Ki Demang Pudak Lawang pun seakan tidak percaya bahwa gurunya telah terbunuh.

Namun para pengawal dan prajurit yang bertempur di sekitar Swandaru telah bersorak gemuruh, menyoraki kematian Ki Pujalana.

Sementara itu, Ki Demang di Pudak Lawang pun sudah menjadi semakin terdesak. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa kemampuan Prastawa tidak dapat diimbanginya. Sementara itu, gurunya telah terbunuh oleh Swandaru. Ki Demang Pudak Lawang juga tidak sempat mendekati tubuh gurunya yang sudah tidak bernafas lagi itu, sehingga sekali-sekali ia hanya dapat melihat dari kejauhan. Itu pun hanya sesaat-sesaat yang pendek.

Namun dalam pada itu, Prastawa telah semakin menekan Ki Demang Pudak Lawang. Bahkan segores-segores kecil, tubuh Ki Demang sudah terluka. Pakaiannya terkoyak serta bernoda darah.

Ki Demang Pudak Lawang tidak mempunyai sandaran lagi. Ternyata orang yang dibanggakan akan dapat mendukungnya, telah dibunuh oleh orang yang akan dibunuhnya.

Ki Demang Pudak Lawang tidak mengira bahwa gurunya akan dapat dikalahkan oleh anak Demang Sangkal Putung itu. Padahal Ki Demang Pudak Lawang justru berharap, bahwa Ki Pujalana pada saat terakhir dapat mengimbangi Ki Kapat Argajalu.

Dalam keadaan yang paling gawat, Ki Demang Pudak Lawang tidak mempunyai pilihan. Ia tidak lagi menghiraukan harga dirinya. Yang penting baginya, ia masih dapat tetap hidup. Jika ia masih tetap hidup, maka ia akan dapat mencari akal untuk menggapai keinginannya.

Karena itu, ketika pertempuran di sekitarnya berlangsung dengan sengitnya, maka tiba-tiba saja Ki Demang Pudak Lawang itu berloncatan surut untuk mengambil jarak.

Prastawa mengira bahwa Ki Demang itu sedang membuat ancang-ancang bagi ilmu puncaknya. Karena itu maka Prastawa pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Namun di luar dugaan, tiba-tiba saja Ki Demang Pudak Lawang itu meloncat justru ke belakang garis pertempuran. Ki Demang itu berlari di antara para pengawal Tanah Perdikan dan para pengikut Ki Kapat Argajalu.

Prastawa terkejut. Tetapi ketika ia akan mengejarnya, pintu yang semula seolah-olah terbuka, telah menutup kembali. Prastawa tidak dapat mengejar Ki Demang Pudak Lawang.

Ia tidak akan dengan mudah menerobos menyusup ke belakang garis pertempuran, di antara para pengawal Pudak Lawang dan para Pengikut Ki Kapat Argajalu.

Dalam pada itu, Swandaru yang kemudian dikerumuni oleh sekelompok pengawal Kademangan Pudak Lawang dan para pengikut Ki Kapat Argajalu, tidak dapat pula mengejar Ki Demang Pudak Lawang, karena seolah-olah jalan sudah tertutup. Swandaru memang agak terlambat menyadari bahwa Ki Demang Pudak Lawang melarikan diri.

“Jangan licik, Ki Demang! Jangan lari!” teriak Prastawa.

Tetapi Ki Demang Pudak Lawang sama sekali tidak menghiraukannya.

Sebenarnyalah Ki Demang telah hilang dari medan. Demikian ia tiba di belakang garis pertempuran, maka dua orang putut telah menyongsongnya.

“Kenapa Ki Demang?” bertanya seorang di antara mereka.

“Aku tidak mau ditangkap oleh Prastawa.”

Putut yang lain pun bertanya, “Jadi kau melarikan diri ?”

“Aku tidak mau di tangkap Prastawa. Aku tahu akibatnya. Karena itu aku berusaha meloloskan diri.”

“Kau melarikan diri ?”

“Sudah aku katakan. Aku tidak mau ditangkap.”

“Kau melarikan diri setelah gurumu terbunuh di pertempuran oleh Swandaru.”

“Sudah aku katakan, aku tidak melarikan diri. Aku hanya menghindar agar aku tidak tertangkap.”

“Kenapa tidak kau bunuh saja Prastawa ?”

“Sepeninggal Guru, Swandaru tentu akan membantu Prastawa.”

“Kenapa tidak kau bunuh Prastawa sebelum Swandaru membunuh gurumu?”

Ki Demang Pudak Lawang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia harus berkata jujur, “Aku tidak mampu.”

“Tidak. Bukan karena kau tidak mampu. Tetapi karena kau pengecut.”

“Tidak. Aku sudah berusaha. Tetapi aku tidak dapat mengalahkan Prastawa.”

“Kau tahu akibat sikap pengecutmu itu, Ki Demang ?”

“Akibat apa ?”

“Semua anak-anak muda dan para pengawal dari Pudak Lawang semuanya akan menjadi pengecut. Jika mereka sadari bahwa Demangnya sudah melarikan diri, maka semuanya akan melarikan diri. Karena itu, maka sebaiknya kau bersembunyi saja.”

“Maksudmu ?”

“Biarlah kau tidak menjadi teladan buruk. Jika mereka tidak melihatmu, maka mereka akan mengira bahwa kau sedang bertempur di tempat lain, kecuali mereka yang langsung melihat kau lari seperti seekor ayam aduan yang kalah.”

“Aku akan bertempur.”

“Kau tidak akan menguntungkan lagi. Kehadiranmu di medan hanya akan menimbulkan ketakutan dan kecemasan bagi orang-orangmu. Karena itu, lebih baik kau bersembunyi saja.”

“Bersembunyi dimana ?”

“Ikutlah kami.”

Ki Demang Pudak Lawang tidak dapat membantah lagi. Iapun kemudian harus mengikuti kedua orang putut itu untuk bersembunyi.

Sementara itu, di seluruh medan, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Namun para pengawal dari Pudak Lawang serta para pengikut Ki Kapat Argajalu semakin lama menjadi semakin menyusut. Lebih cepat dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit dari Pasukan Khusus. Sekelompok-sekelompok di antara mereka yang berhasil memasuki halaman banjar, akhirnya lenyap seperti ditelan bumi. Mereka tidak pernah dapat keluar lagi. Yang tidak terbunuh, telah menyerahkan diri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar