Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 345

Buku 345

Dua orang terlempar dari arena. Sementara itu orang yang didorong oleh kawannya yang berkumis lebat serta orang yang dilanggarnya, telah bersiap pula untuk menyerang.

Sejenak kemudian, pertempuran pun segera menjadi sengit. Glagah Putih sendiri harus bertempur melawan lebih dari lima orang.

Namun setiap kali orang-orang yang mengeroyoknya itu terpelanting dari arena, jatuh terlempar dengan kerasnya. Tetapi mereka pun segera bangkit lagi dan kembali menyerang Glagah Putih.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih tidak mengalami kesulitan. Tetapi Rara Wulan itu pun berkata kepada Nyi Citra Jati, “Ibu, apakah aku boleh bergabung dengan Kakang Glagah Putih?”

“Suamimu tidak memerlukan orang lain, Ngger.”

“Aku mengerti, Ibu. Tetapi nampaknya Kakang Glagah Putih menjadi sibuk pula.”

Nyi Citra Jati tersenyum. Ia mengerti bahwa Rara Wulan tidak sampai hati membiarkan Glagah Putih sibuk sendiri, meskipun tidak berbahaya baginya.

Namun sebelum Nyi Citra Jati menjawab, seseorang telah terlempar dari arena membentur sebatang pohon, sehingga orang itu mengerang kesakitan.

Sebelum orang itu dapat bangkit berdiri, seorang lagi telah terdorong beberapa langkah surut. Ia masih sempat mempertahankan keseimbangannya. Namun kemudian orang itu justru terjatuh pada lututnya. Kedua tangannya memegangi perutnya yang disengat oleh perasaan nyeri karena jari-jari Glagah Putih yang merapat sempat mengenai perutnya itu.

“Jika anak itu keras kepala, bunuh saja!” teriak orang berkumis lebat.

Tiba-tiba saja beberapa orang yang berada di sekitar Glagah Putih itu pun telah mencabut senjata mereka. Ada yang bersenjata pedang, ada yang bersenjata golok dan ada yang membawa parang yang besar.

Glagah Putih yang melihat senjata teracu kepadanya itu pun menjadi berdebar-debar. Untuk melawan orang-orang bersenjata itu, ia harus meningkatkan ilmunya. Dengan demikian, maka mungkin sekali ia akan membunuh beberapa di antara lawan-lawannya.

“Ibu,” desis Rara Wulan.

Nyi Citra Jati pun mengerti, Glagah Putih tentu akan menjadi sangat sibuk. Ia akan mengalami kesulitan karena senjata-senjata lawannya itu. Untuk mengatasinya, Glagah Putih mungkin harus benar-benar membunuh.

Namun sebelum Rara Wulan itu melangkah mendekati arena, maka tiba-tiba saja mereka telah mendengar suara rinding. Bukan Ki Citra Jati yang membunyikannya, tetapi Glagah Putih yang juga selalu membawa rinding kemana-mana di kantong bajunya.

Ternyata pengaruh suara rinding itu demikian kuatnya. Beberapa orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu tiba-tiba saja telah berloncatan menjauh. Mereka segera menyarungkan senjata mereka. Kemudian kedua tangannya telah menutup telinga mereka yang merasa bagaikan ditusuk duri.

Ternyata beberapa orang yang melihat pertempuran itu dari kejauhan terpengaruh juga oleh rinding itu. Tetapi karena mereka berdiri agak jauh, maka pengaruhnya tidak begitu tajam sebagaimana mereka yang berdiri hanya tiga empat langkah dari Glagah Putih. Bahkan orang yang berkumis tebal itu pun berteriak, “Gila kau, anak iblis! Hentikan suara itu. Hentikan!”

Tetapi Glagah Putih tidak menghentikannya. Ia masih bermain beberapa saat lamanya, sehingga orang-orang yang bertempur melawannya itu menjadi lemas karena telinga mereka bagaikan ditusuk-tusuk duri kemarung. Glagah Putih pun kemudian menghentikan permainannya.

“Marilah, kita tinggalkan mereka,” berkata Glagah Putih.

Nyi Citra Jati pun kemudian mendatangi pemilik kedai itu untuk membayar makanan dan minuman yang dipesannya bersama keluarganya.

“Kami akan pergi,” berkata Nyi Citra Jati, “jika rinding itu berbunyi lagi, lindungi telingamu dengan baik.”

Orang itu tidak menjawab. Namun demikian Nyi Citra Jati melangkah pergi, orang itu berdesis, “Terima kasih.”

Nyi Citra Jati berpaling. Namun iapun kemudian melangkah terus.

Dalam pada itu, orang-orang yang kesakitan itu masih menutup telinga mereka meskipun mereka tahu, bahwa Glagah Putih telah melepas rinding itu dari bibirnya.

“Ingat peristiwa ini,” berkata Glagah Putih, “kau tidak akan dapat memaksakan kehendakmu terhadap semua orang. Mungkin kau berhasil memaksa satu dua orang menuruti kemauanmu. Tetapi pada suatu ketika, kau akan menjumpai orang-orang yang tidak dapat kau paksa. Bahkan seandainya aku membunuhmu, tidak ada orang yang menyalahkan aku. Tetapi aku masih ingin memberimu kesempatan. Jika lain kali kau masih melakukannya, maka kau benar-benar akan mati. Jika bukan aku, maka tentu ada orang lain yang ilmunya bahkan lebih tinggi dari ilmuku, datang untuk mencekikmu sampai mati.”

Orang berkumis tebal itu sudah tidak menutup telinganya lagi.

“Kau dengar kata-kataku?” bertanya Glagah Putih. Orang itu diam saja.

“Kau dengar atau tidak?” bentak Glagah Putih. Orang itu masih tetap berdiam diri.

“Baik. Aku harus melubangi telingamu.”

Demikian Glagah Putih melekatkan rindingnya di bibirnya, maka orang itu berteriak, “Jangan, jangan!”

Glagah Putih mengurungkan niatnya untuk membunyikan rindingnya lagi. Namun ia bertanya, “Kau dengar kata-kataku?”

“Ya. Aku dengar, Ki Sanak.”

“Apa kataku?”

Orang itu termangu-mangu. Namun demikian Glagah Putih mengangkat rindingnya orang itu berkata, “Jangan, Ki Sanak. Aku mendengar kata-katamu.”

“Apa kataku?”

“Agar aku tidak mengulangi lagi perbuatan ini.”

“Kau berjanji?”

Orang itu tidak segera menjawab.

“Kau berjanji? Jika kau tidak mau berjanji, aku akan membunuhmu dengan suara rinding ini.”

“Jangan, jangan. Aku berjanji.”

“Baiklah. Kau harus belajar menghargai orang lain. Biarlah orang lain melakukan sesuai dengan kehendak mereka asal tidak mengganggu siapa-siapa. Tidak pula mengganggumu.”

Orang itu mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik, baik, Ki Sanak. Aku mengerti..”

“Kau pun tidak boleh mengganggu orang lain pula dengan cara apapun juga.”

Orang itu merenung sejenak. Namun iapun kemudian mengangguk pula sambil menjawab, “Ya. Aku mengerti.”

Glagah Putih pun kemudian melangkah pula meninggalkan orang berkumis lebat itu, bersama-sama dengan Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan.

“Ada baiknya orang itu mengganggu perjalanan kita,” berkata Ki Citra Jati.

“Kenapa?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Ada alasan untuk berbicara dengan mereka. Jikaa mereka tidak mengganggu kita, maka mana mungkin tiba-tiba saja kita berdiri di hadapannya dengan memberikan pesan-pesan yang tajam, sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih.”

Nyi Citra Jati pun tersenyum. Tetapi iapun berkata, “Tetapi jika kita yang menderita kekalahan?”

“Tentu tidak. Nah, bukankah kita tidak mengalami apa-apa? Sebaliknya kita dapat memberikan peringatan kepada mereka, terutama yang berkumis lebat itu.”

“Tetapi bagaimana sepeninggal kita?” bertanya Rara Wulan

“Untuk waktu yang dekat, mereka masih akan mengingat pesan ini. Tetapi lambat laun mereka memang akan melupakannya. Mudah-mudahan ada orang lain yang lewat dan memberikan peringatan pula kepada mereka. Atau kita yang kelak akan lewat lagi di jalan ini.”

Nyi Citra Jati pun menyahut, “Kapan-kapan.”

“Ya, kapan-kapan,” gumam Ki Citra Jati.

Demikianlah, mereka berempat melanjutkan perjalanan mereka. Ketika malam turun, maka mereka pun sempat menginap di sebuah banjar padukuhan. Ternyata penunggu banjar itu seorang yang baik, yang memperhatikan mereka berempat yang menginap di banjar yang ditunggunya. Bahkan penunggu banjar itu pun telah menyediakan makan bagi keempat orang itu di tengah malam.

Menjelang fajar, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi, untuk minta diri kepada anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Kedatangan mereka di padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi itu pun disambut dengan gembira. Bukan saja oleh anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, tetapi juga oleh para penghuni padepokan itu.

“Kami merasa gelisah, bahwa Ayah, Ibu serta Kakang berdua tidak segera pulang,” berkata Padmini.

“Bukankah aku hanya pergi beberapa hari, termasuk perjalanan yang harus aku tempuh bersama ibu dan kakangmu berdua?” sahut Ki Citra Jati.

Tetapi kegembiraan anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu tidak lama. Demikian pula Mlaya Werdi serta para penghuni padepokan itu. Meskipun dengan berat hati, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyatakan niatnya untuk pergi ke Mataram.

“Mataram?” bertanya Padmini.

“Bahkan sebelah barat Mataram,” jawab Ki Citra Jati, “tetapi aku dan ibumu tidak akan lama.”

“Bagaimana dengan Kakang Glagah Putih dan Mbokayu Rara Wulan?”

“Mereka akan melihat suasana. Mungkin mereka akan berada di sana lebih lama dari Ayah dan Ibu. Agaknya Ayah dan Ibu akan pulang lebih dahulu.”

“Apakah kami kali ini juga tidak boleh ikut?” bertanya Baruni.

“Jangan kali ini, Baruni. Aku berjanji bahwa lain kali kita akan menempuh perjalanan panjang. Tetapi kalian harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Karena itu, kalian aku titipkan di sini. Kakangmu Mlaya Werdi akan membantu kalian mempersiapkan diri.”

“Tetapi bukankah Ayah dan Ibu tidak akan segera berangkat?” bertanya Setiti.

Ki Citra Jati merasa ragu. Tetapi ketika ia memandang Glagah Putih dan Rara Wulan, maka mereka pun menyadari bahwa mereka harus segera sampai di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam kebimbangan itu, Ki Citra Jati pun bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana menurut pendapatmu jika kita berangkat esok lusa?”

“Esok lusa?” bertanya Setiti, “Kenapa begitu cepat?”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Setiti. Jika aku bertanya kepada kakangmu apakah kami dapat berangkat esok lusa, itu artinya tidak esok pagi. Sehingga esok lusa itu pun sudah bergeser mundur satu hari.”

“Apakah ada batasan waktu bagi Ayah, Ibu dan kakak berdua untuk sampai ke Mataram?” bertanya Pamekas.

“Memang tidak, Pamekas. Tetapi ada sesuatu yang sangat mendesak, sehingga semakin cepat kami tiba di Mataram, akan menjadi semakin baik ”

“Tetapi setelah perjalanan Paman berlangsung sekian lama, apakah satu dua hari itu akan berarti?” bertanya Mlaya Werdi.

“Ya, Yang sehari itu akan berarti.”

Mlaya Werdi pun segera menyadari, bahwa tentu ada yang benar-benar penting di Mataram. Sehingga waktu yang sehari dua hari itu dianggap penting, justru setelah mereka beberapa lama bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain.

“Agaknya di Wirasari mereka telah mendapat berita tentang sesuatu hal yang mereka anggap penting itu,” berkata Mlaya Werdi di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka Mlaya Werdi tidak akan menahannya lagi.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun harus mengalah. Mereka menunda keberangkatan mereka sehari, sehingga mereka bermalam di padepokan itu dua malam.

“Anak-anak ingin melepaskan rindu mereka,” berkata Nyi Citra Jati kepada Rara Wulan.

Rara Wulan pun mengerti. Katanya, “Ya, Ibu. Setelah Ibu dan Ayah tinggalkan beberapa lama.”

Namun keberangkatan mereka tidak dapat ditunda-tunda lagi. Setelah bermalam dua malam, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi itu.

“Selamat jalan Ayah, Ibu serta kakak berdua,” anak-anak angkat Ki Citra Jati itu pun melepaskan mereka yang pergi, di gerbang padepokan. Bukan hanya mereka saja yang berdiri di pintu gerbang, tetapi juga Mlaya Werdi dan beberapa orang penghuni padepokan yang lain.

“Kami akan segera kembali,” berkata Nyi Citra Jati.

Setiti masih saja melambaikan tangannya ketika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berpaling.

“Rindunya masih bergejolak di dadanya,” desis Ki Citra Jati, “benar-benar ingin ikut bersama kita.”

“Sayang. Perjalanan kita kali ini adalah perjalanan yang berat.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Ketika sekali lagi ia berpaling, dari kejauhan ia masih melihat anak-anak angkatnya berdiri di pintu gerbang.

Namun akhirnya Ki Citra Jati berempat itu pun telah berbelok di sebuah tikungan

“Apakah kita akan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, atau masih ada tempat persinggahan?” bertanya Ki Citra Jati.

“Kita akan langsung menuju ke Tanah Perdikan, Ayah.”

“Perjalanan yang panjang,” desis Nyi Citra Jati.

“Sedikitnya kita akan bermalam dua malam di perjalanan,” sahut Glagah Putih.

“Kalau tidak ada hambatan di perjalanan,” sambung Rara Wulan.

“Kita harus menghindari segala macam hambatan,” berkata Ki Citra Jati, “kita akan berjalan tanpa menghiraukan apapun yang terjadi di sepanjang jalan.”

“Kecuali jika ada orang yang tiba-tiba saja menyilang di depan perjalanan kita,” sahut Nyi Citra Jati.

“Ya. Sebagaimana orang berkumis lebat itu.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Dalam keadaan seperti sekarang ini, kita tidak akan main-main lagi. Apalagi jika kita sudah mulai letih, maka kita pun akan menjadi lebih garang lagi.”

Tetapi Nyi Citra Jati menggeleng. Katanya, “Tidak. Jika letih, aku justru menjadi lebih jinak.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Apakah kau pernah menjadi jinak?”

“Kenapa?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Ibumu terkenal sejak masih berada di perguruan. Hanya ada tiga atau empat murid perempuan di antara sekelompok murid utama. Nah, ibumu-lah yang paling sulit disentuh.”

“Beruntunglah Ayah, karena Ayah tidak hanya dapat menyentuhnya,” sahut Glagah Putih.

“Tetapi aku harus menempuh perjuangan yang sangat berat. Untuk mendapatkan ibumu, aku harus menjalani beberapa laku.”

“Jangan dengarkan. Ayahmu hanya membual saja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka mereka pun telah memasuki jalan yang sepi. Mereka tidak mengikuti jalan yang paling banyak dilewati orang. Sebagai pengembara, mereka tahu jalan-jalan manakah yang harus mereka tempuh untuk mendapatkan jarak yang terdekat, meskipun kadang-kadang mereka harus melalui medan yang sulit. Bahkan kadang-kadang mereka harus melalui jalan-jalan setapak di pinggir hutan.

Tetapi justru karena mereka memilih jalan yang tidak banyak dilalui orang, maka mereka pun tidak menemui persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka.

Namun ketika lewat tengah hari, saat perut mereka mulai lapar, mereka tidak segera menemukan sebuah kedai untuk singgah.

Tetapi mereka sudah terbiasa menjalani laku, sehingga mereka pun tidak terlalu sulit untuk menahan lapar. Sedangkan jika mereka menjadi sangat haus, maka mereka pun tidak terlalu sulit untuk mendapatkan air. Bahkan di dekat regol-regol halaman rumah yang sederhana pun banyak disediakan gentong atau kendi berisi air yang jernih, yang memang disediakan untuk minum bagi mereka yang kehausan di perjalanan.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka berempat pun mulai membicarakan dimana mereka akan menginap. Apakah di tempat terbuka atau di banjar padukuhan di padukuhan yang akan mereka lewati.

“Kita menginap di banjar padukuhan saja, Kakang,” berkata Nyi Citra Jati. “Kami, khususnya aku dan Rara Wulan, tidak akan kesulitan mencari tempat untuk mandi.”

“Bagaimana menurut pendapatmu, Glagah Putih?”

“Aku sependapat saja, Ayah.”

“Tetapi di banjar padukuhan ada kemungkinan kita bersentuhan dengan masalah.”

“Masalah apa, Ayah?” bertanya Rara Wulan.

“Di luar dugaan, dapat saja terjadi masalah. Seperti yang pernah kita alami, anak muda yang meronda adalah anak-anak muda yang sering mabuk tuak. Tetapi mungkin juga masalah-masalah lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan kita.”

“Kita akan berusaha untuk tidak bersinggungan dengan masalah-masalah seperti itu.”

“Jika saja kita dapat menghindari.”

Namun akhirnya mereka sepakat untuk bermalam di padukuhan yang akan mereka lalui.

“Kita akan minta ijin untuk bermalam di banjar padukuhan yang kecil saja, yang akan kita lewati setelah senja.”

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih.

Namun sampai menjelang senja, mereka benar-benar tidak menemukan sebuah kedai pun yang akan dapat menjadi tempat persinggahan untuk melepas lapar mereka.

Tetapi ketika mereka melewati sebuah gardu di ujung jalan sebuah padukuhan, mereka menemukan seorang tua penjual serabi di sebelah gardu itu.

“Kita beli saja serabi,” berkata Glagah Putih.

Namun beberapa puluh langkah dari gardu itu mereka melihat di dekat sebuah regol, seorang yang juga berjualan makanan di pinggir jalan.

“Apakah setiap hari nenek berjualan serabi di sini?” bertanya Rara Wulan.

Perempuan itu memandang Rara Wulan sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, “Tidak, Ngger, aku hanya berjualan di hari-hari yang ramai seperti malam ini.”

“Malam ini ada apa, Nek?” bertanya Rara Wulan pula

“Orang yang tinggal di rumah dekat simpang tiga yang kelihatan dari sini itu, malam nanti akan mengadakan perhelatan. Di rumah itu. malam nanti akan ada pertunjukkan tari topeng dari rombongan yang sudah sangat terkenal. Rombongan tari topeng dari Ngandong.”

“Dari Ngandong?” ulang Ki Citra Jati.

“Ya, dari Ngandong.”

“Aku sudah pernah mendengar, rombongan tari topeng dari Ngandong memang terkenal,” desis Ki Citra Jati. “Tetapi kenapa kau berjualan di sini, Nek? Tidak di dekat tempat pertunjukan itu?”

“Nanti. Jika pertunjukkan sudah mulai, aku akan pindah mendekat. Sekarang, tempat itu masih sepi. Justru di sini ada satu orang yang membeli.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

Setelah mereka menerima sebungkus serabi serta telah membayar harganya, maka mereka pun melanjutkan perjalanan mereka.

“Kita tidak akan berhenti di sini. Malam nanti akan ada pertunjukan. Dapat saja sesuatu terjadi di sini. Karena itu, maka kita akan meneruskan perjalanan. Kita akan menginap di padukuhan berikutnya.”

“Baik, Ayah,” sahut Glagah Putih, “aku sependapat. Kita tidak akan berhenti di sini.”

Ketika mereka lewat di depan rumah yang disebut akan menyelenggarakan pertunjukan wayang topeng itu, maka mereka sempat berhenti sejenak. Di halaman nampak beberapa orang masih sibuk menyelesaikan pemasangan tarub.

“Nampaknya mereka belum siap benar,” gumam Nyi Citra Jati.

“Ya. Seharusnya segala-galanya sudah siap. Tidak ada lagi kesibukan memasang tarub,” sahut Ki Citra Jati.

“Tetapi bukanlah tinggal bagian-bagian terakhir saja?” berkata Glagah Putih.

“Ya. Sebentar lagi semuanya sudah akan siap.”

“Agaknya upacara temu pengantin itu belum diselenggarakan malam ini. Agaknya malam ini baru malam midadareni.”

“Ya. Tari topeng ini diselenggarakan justru pada malam midadareni. Entah apa yang akan diselenggarakan besok, saat upacara temu.”

Keempat orang itu pun kemudian telah melanjutkan perjalanan. Tetapi seperti yang mereka sepakati, mereka tidak akan berhenti di padukuhan itu, meskipun ada juga keinginan untuk menonton tari topeng dari Ngandong yang terkenal. Namun mereka tidak ingin perjalanan mereka terganggu oleh sebab-sebab yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan mereka.

Ketika mereka melangkah menjauh, mereka melihat beberapa orang yang berjualan bertebaran di sepanjang jalan. Seperti perempuan tua di dekat gardu, mereka baru akan mendekati tempat pertunjukan jika persiapan pertunjukan telah selesai.

Sementara itu mereka melihat anak-anak yang mulai ramai bermain di jalan. Agaknya mereka akan pergi melihat tari topeng, yang merupakan tontonan yang jarang diselenggarakan.

Tetapi sebelum mereka sampai di tempat pertunjukan, anak-anak itu telah menghabiskan uang jajannya untuk membeli makanan yang dijajakan di sepanjang jalan menuju ke tempat pertunjukan.

“Begitu tari topeng itu dimulai, anak-anak itu sudah mengantuk. Mereka akan pulang dan tidur nyenyak. Uang mereka telah habis pula sebelum pertunjukan dimulai,” desis Nyi Citra Jati.

“Ya,” sahut Glagah Putih, “tetapi bukankah anak-anak di mana-mana sama saja?”

Nyi Citra Jati tertawa.

Sementara itu, lampu-lampu pun telah menyala. Sinarnya mencuat keluar dari celah-celah pintu yang belum tertutup rapat. Di satu dua regol halaman, oncor telah dinyalakan pula. Demikian pula di regol halaman rumah yang akan menyelenggarakan pertunjukkan itu. Bukan hanya di regol, tetapi di pendapa, oncor pun telah menyala, sehingga halaman itu menjadi terang-benderang.

Sementara itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari gerbang padukuhan itu. Di hadapan mereka terbentang bulak yang tidak terlalu luas. Di ujung bulak itu terdapat sebuah padukuhan pula.

“Kita bermalam di padukuhan itu. Nampaknya padukuhan itu tidak terlalu sibuk,” berkata Ki Citra Jati.

“Tetapi tentu banyak penghuninya yang datang ke padukuhan ini untuk menonton tari topeng,” sahut Nyi Citra Jati.

“Apa salahnya? Mereka menonton tari topeng, kami tidur nyenyak di banjar.”

“Ya. Justru padukuhan itu menjadi lebih sepi dari biasanya.”

Mereka berempat pun melanjutkan perjalanan mereka. Malam menjadi semakin gelap. Kunang-kunang pun mulai nampak berkedipan di ujung daun padi yang subur, yang terbentang dari tepi ke tepi seberang bulak itu. Sebagai pengembara mereka tidak mengalami kesulitan berjalan di kegelapan ujung malam. Apalagi di bulak yang terbuka, sehingga cahaya bintang-bintang di langit membuat malam itu tidak menjadi hitam pekat.

Bahkan kemudian mereka pun mulai berpapasan dengan kelompok-kelompok remaja yang akan pergi ke padukuhan sebelah untuk menonton tari topeng.

Kelompok-kelompok remaja itu nampaknya tertarik melihat mereka berempat berjalan justru berlawanan arah. Tetapi tidak ada di antara mereka yang bertanya.

“Semakin malam, kita akan berpapasan dengan semakin banyak orang,” berkata Ki Citra Jati.

“Kita mempunyai kepentingan yang berbeda,” sahut Nyi Citra Jati.

Sebenarnyalah, bahwa semakin malam semakin banyak anak-anak dan remaja yang berpapasan di jalan. Bahkan kemudian, anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua. Nampaknya tari topeng itu benar-benar telah menarik perhatian banyak orang dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya.

Ketika keempat orang itu sampai di gerbang padukuhan di seberang bulak, maka rasa-rasanya padukuhan itu menjadi sepi. Meskipun pada malam hari padukuhan-padukuhan juga terkesan sepi karena penghuninya sudah berada di dalam rumah masing-masing, namun karena mereka berempat mengetahui bahwa penghuni padukuhan itu bagaikan mengalir ke padukuhan sebelah, maka rumah-rumah yang terdapat di sebelah-menyebelah itu rasa-rasanya telah kosong, meskipun lampu di rumah itu menyala.

“Dimanakah letak banjar padukuhannya?” desis Ki Citra Jati.

“Biasanya letaknya di pinggir jalan induk, Ayah. Agaknya jalan yang kita lalui ini adalah jalan induk, sehingga banjar itu letaknya agaknya di pinggir jalan ini.”

Ki Citra Jati pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Biasanya memang demikian.”

Mereka tertegun ketika mereka melihat satu halaman yang luas. Sebuah bangunan joglo yang besar di antarai oleh satu wuwung berbentuk limasan, lalu bangunan joglo lagi dan limasan lagi, dua wuwung. Di sebelah kanan dan kiri terdapat gandok yang bagaikan sayap seekor burung yang sedang mengepak. Pintu seketheng yang diterangi oleh oncor di sebelah-menyebelah, memisahkan halaman depan rumah itu dengan longkangan di sayap kiri dan kanan.

“Inikah banjar itu?,” desis Nyi Citra Jati.

“Bukan. Ini rumah seseorang.”

“Begitu besarnya. Di padukuhan ini terdapat juga seorang yang kaya dengan rumahnya yang besar serta halamannya yang luas.”

“Ya. Tetapi yang tadi menyelenggarakan pertunjukan tari topeng juga berhalaman luas. Rumahnya juga besar, tidak terpaut banyak dengan rumah ini.”

“Tetapi agaknya rumah ini juga kosong. Isinya pergi kepadukuhan sebelah.”

“Tentu tidak. Mungkin remaja dan anak-anak muda. Tetapi pemilik rumah ini suami istri tentu tidak akan mau pergi menonton tari topeng di padukuhan sebelah. Kecuali jika mereka diundang untuk menghadiri malam midadareni.”

“Mungkin penghuni rumah ini diundang ke padukuhan sebelah.”

Pembicaraan mereka pun terhenti. Mereka melanjutkan langkah mereka menyusuri jalan utama padukuhan itu. Beberapa puluh tonggak kemudian, barulah mereka menemukan bangunan yang menurut pengamatan mereka adalah banjar padukuhan itu. Justru tidak sebesar rumah yang baru saja menarik perhatian mereka.

“Kita temui penunggu banjar itu. Biasanya mereka tinggal di belakang banjar,” berkata Ki Citra Jati.

“Biarlah Kakang pergi menemuinya bersama Glagah Putih. Aku dan Wulan menunggu di sini,” berkata Nyi Citra Jati.

“Baiklah.”

Bersama Glagah Putih, maka Ki Citra Jati pun pergi ke rumah yang sederhana di belakang banjar itu.

Ternyata yang mereka temui hanyalah istri penunggu banjar itu serta anaknya perempuan yang masih kanak-kanak. Agaknya istri penunggu banjar itu sedang berusaha menidurkan anak perempuannya itu. Ketika Ki Citra Jati mengetuk pintu rumah sederhana itu, maka perempuan itulah yang membukanya, sementara anak perempuannya yang sudah berbaring di pembaringan memanggil-manggilnya.

“Ibu, Ibu.”

“Sebentar, Ngger, ada tamu.”

“Maaf, Nyi, kalau kami telah mengejutkan anak itu.”

“Anak itu merengek terus. Kakaknya diantar ayahnya pergi ke padukuhan sebelah untuk menonton tari topeng.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

“Tetapi siapakah Ki Sanak ini? Apakah Ki Sanak mempunyai keperluan dengan ayahnya anak-anak?”

“Tidak, Nyi. Kami sedang menempuh perjalanan panjang. Kami kemalaman di jalan. Nyi, jika diperkenankan, kami ingin minta ijin untuk bermalam di banjar ini. Besok pagi-pagi kami akan melanjutkan perjalanan.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu iapun bertanya, “Kalian berdua?”

“Tidak Nyi. Kami berempat. Istriku dan istri anakku ini menunggu di regol.”

“Jadi Ki Sanak menempuh perjalanan bersama istri dan menantu perempuan Ki Sanak?”

“Ya, Nyi.”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Sementara anak perempuannya masih memanggilnya.

“Anak itu juga ingin menonton. Tetapi ia baru agak kurang sehat. Badannya agak panas dan sehari-harian tidak mau makan.”

“Sudah diobati, Nyi?”

“Sudah.”

“Syukurlah. Mudah-mudahan anak itu segera sembuh ”

“Ki Sanak,” berkata perempuan itu kemudian, “biasanya ayah anak-anak ini juga tidak berkeberatan jika ada seseorang yang kemalaman dalam perjalanan, minta ijin untuk bermalam di sini. Karena itu, aku kira ayahnya anak-anak itu juga tidak akan berkeberatan, jika Ki Sanak bermalam. Apalagi Ki Sanak berjalan bersama dua orang perempuan.”

“Terima kasih, Nyi. Jika Nyi tidak berkeberatan, maka biarlah aku memanggil istri dan menantuku itu.”

“Silahkan, Ki Sanak. Tetapi maaf, aku tidak dapat meninggalkan anakku. Jika ia sudah tidur, nanti aku pergi ke pendapa. Aku akan membersihkan bilik di serambi samping banjar itu.”

“Sudahlah, Nyi. Kami tidak usah merepotkan Nyi. Kami dapat tidur dimanapun.”

Ketika anak perempuan istri penunggu banjar itu memanggil-manggil lagi, maka Ki Citra Jati pun berkata, “Sudahlah, Nyi. Silakan. Biarlah kami duduk-duduk di pendapa banjar.”

“Maaf, Ki Sanak. Silahkan. Anak itu nakalnya bukan main.”

Sejenak kemudian, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah berada di pendapa banjar. Mereka duduk di sudut pringgitan sambil menanti penunggu banjar itu pulang.

“Penunggu banjar itu membawa anaknya yang masih menjelang remaja. Ia tentu tidak akan sampai tengah malam. Anak itu tentu sudah mengantuk. Jika sudah membeli jajan, ia akan segera mengajak pulang.”

“Jika justru ayahnya yang senang melihat tari topeng?”

“Keadaannya tentu akan berbeda,” Glagah Putih menyahut sambil tersenyum.

Namun yang kemudian muncul adalah istri penunggu banjar itu. Dibersihkannya bilik di serambi. Kemudian mempersilahkan keempat orang itu bermalam di bilik itu.

“Hanya sebuah banjar, Ki Sanak. Apa adanya.”

“Terima kasih, Nyi. Terima kasih. Ini sudah lebihh dari cukup bagi kami berempat.”

Setelah mencuci kaki di pakiwan, maka yang berbaring lebih dahulu adalah Nyi Citra Jati dan Rara Wulan. Nyi Citra Jati masih juga membantu Rara Wulan mengobati lukanya yang sudah menjadi semakin baik, sebelum mereka berbaring di amben yang besar yang terdapat di dalam bilik itu.

“Tidurlah,” berkata Ki Citra Jati kepada Glagah Putih, “nanti menjelang dini, aku akan membangunkanmu. Aku akan gantian tidur.”

“Baiklah, Ayah,” berkata Glagah Putih yang kemudian juga berbaring di amben yang besar itu.

Namun sebelum Glagah Putih sempat tidur, mereka mendengar langkah kaki di sebelah serambi banjar itu. Kemudian mereka pun mendengar suara orang yang sedang bercakap-cakap. Seorang di antaranya adalah anak-anak.

“Penunggu banjar itu sudah pulang,” desis Glagah Putih.

“Ya,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk, “anaknya tentu sudah mengantuk.”

Sejenak kemudian, mereka pun mendengar pintu rumah di belakang banjar itu diketuk orang. Setelah mereka mendengar derit pintu dibuka, mereka pun mendengar suara istri penunggu banjar itu bertanya, “Sudah pulang?”

“Tole sudah mengantuk. Setelah jajan beberapa macam makanan, ia mengajak pulang.”

“Tari topeng itu sudah dimulai?”

“Belum lama”

“Marilah ”

“Biarlah Tole mencuci kaki.”

Glagah Putih pun kemudian bangkit. Kepada Ki Citra Jati iapun bertanya, “Apakah kita akan menemuinya?”

“Ada juga baiknya, Glagah Putih. Marilah, kita temui penunggu banjar itu.”

Keduanya pun kemudian keluar dari bilik di serambi banjar itu. Setelah menutup pintunya, mereka pun turun ke halaman samping. Penunggu banjar yang baru saja mengantar anaknya ke pakiwan terkejut melihat mereka berdua. Namun Ki Citra Jati pun segera menjelaskannya, “Kami berempat, Ki Sanak. Kami mohon ijin untuk menginap di banjar ini.”

“O,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk.

Sementara itu istrinya telah muncul di pintu rumahnya sambil berkata, “Mereka berempat, Kakang. Dua pasang suami istri. Ayah dan ibu serta anak dan menantu.”

“O,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk.

“Kami ingin mengucapkan terima kasih.”

“Banjar itu terbuka bagi siapa saja yang memerlukan, Ki Sanak. Silahkan. Tetapi tentu saja hanya apa adanya. Kami pun tidak dapat berbuat banyak bagi Ki Sanak semuanya.”

“Terima kasih. Bahwa kami diijinkan bermalam di banjar ini, sudah merupakan satu keberuntungan bagi kami.”

Namun pembicaraan mereka pun terputus. Mereka mendengar langkah orang berlari-lari. Tidak hanya seorang, tetapi saling mengejar. Mereka pun kemudian telah memasuki halaman banjar.

“Kang! Kang Kimin!” terdengar seseorang berteriak.

“Ada apa?” bertanya penunggu banjar itu.

Orang yang berlari itu langsung menuju pintu rumahnya. Namun iapun tertegun ketika ia melihat Kimin dan dua orang yang tidak dikenalnya berdiri di depan pintu. Demikian pula ia melihat istri penunggu banjar itu berdiri di pintu.

“Ada apa?” bertanya penunggu banjar itu.

Orang itu tidak sempat menjawab. Dua orang yang berlari menyusulnya telah berdiri beberapa langkah di belakangnya. Orang itu pun segera melompat dan berdiri di sebelah penunggu banjar itu.

“Ada apa?” penunggu banjar itu masih bertanya.

“Orang itu, orang itu…” suaranya terputus, sementara kedua orang yang mengejarnya itu bergerak mendekat.

“Tutup mulutmu!” geram orang itu.

“Siapakah kalian?” bertanya penunggu banjar itu.

“Kau siapa?” bertanya orang itu.

“Aku penunggu banjar ini.”

Sambil menunjuk kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih orang itu pun bertanya, “Orang ini?”

“Mereka orang yang kemalaman dalam perjalanan dan menginap di banjar ini.”

“Aku minta kalian tidak ikut campur. Orang yang aku kejar ini tentu akan memukul kentongan. Tetapi jika kentongan di banjar ini berbunyi, maka kalian akan mati.”

“Kenapa?” bertanya penunggu banjar itu.

“Kau tidak usah bertanya. Tetapi ingat, jangan bunyikan kentongan.”

“Kenapa? Aku bertanya, kenapa dan ada apa?”

“Mereka perampok, Kakang,” berkata orang yang dikejar itu dengan suara gemetar.

“Gila kau,” geram orang bertubuh tinggi, “aku bunuh kau.”

Penunggu banjar itu pun menjadi sangat gelisah. Iapun berpaling kepada istrinya dan berkata, “Ajak anakmu masuk. Tutup pintunya.”

“Tidak ada gunanya,” geram perampok yang bertubuh lebih pendek, “jika kalian melanggar pesanku, aku bakar rumahmu bersama istri dan anakmu.”

Penunggu banjar itu masih tetap berdiam diri. Tetapi iapun merasa bahwa ia tidak dapat berbuat apa-apa. Istri dan anaknya yang ada di dalam rumah itu akan dapat menjadi korban.

“Semuanya masuk ke dalam rumah itu. Aku akan menyelaraknya dari luar. Aku akan menunggui kalian sehingga pekerjaan kawan-kawanku sudah selesai. Jika selama itu kalian berbuat macam-macam, maka sekali lagi aku peringatkan, aku akan membakar rumahmu.”

Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jadi kalian memanfaatkan saat-saat padukuhan ini sepi untuk merampok? Saat penghuni padukuhan ini sebagian sedang pergi menonton tontonan di padukuhan sebelah.”

“Ya,” jawab perampok itu, “sekarang masuklah. Cepat! Atau aku memaksa kalian dengan kekerasan?”

Penunggu banjar itu berpaling kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih sambil berkata, “Maaf, Ki Sanak. Yang terjadi ini adalah di luar kemampuanku untuk mengelak.”

“Aku tahu, Ki Sanak.”

“Cepat!” bentak perampok yang bertubuh tinggi, “Masuk ke rumah itu.”

Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata kepada Ki Citra Jati dan Glagah Putih, “Masuklah, Ki Sanak. Kita tidak mempunyai pilihan lain.”

“Tetapi istri dan menantuku berada di serambi.”

“Siapa?” bertanya perampok yang bertubuh pendek.

“Istri dan menantuku.”

“Bawa mereka kemari, cepat! Mereka pun harus masuk ke dalam rumah ini.”

Tetapi Ki Citra Jati dan Glagah Putih tidak segera bergerak.

“Cepat! Atau aku seret mereka kemari?”

“Nanti dulu, Ki Sanak,” berkata Ki Citra Jati, “sebaiknya biarkan mereka di sana. Mereka tidak akan berbuat apa-apa. Mereka hanya dua orang perempuan. Sedangkan yang seorang sudah tua. Mereka tidak akan berani bangkit dari pembaringan. Apalagi memukul kentongan.”

“Persetan. Bawa mereka kemari. Cepat!”

Namun Ki Citra Jati itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak usah Ki Sanak.”

“Kau menolak perintahku ini?”

“Maksudku, biarlah mereka berada di sana.”

“Tidak. Bawa mereka kemari.”

Namun yang menjawab kemudian adalah Glagah Putih setelah ia tanggap akan maksud Ki Citra Jati, “Tidak mau.”

“Tidak mau?”

“Ya. Tidak mau.”

Tiba-tiba saja tangan perampok yang bertubuh pendek itu terayun dengan derasnya mengarah ke wajah Glagah Putih.

Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan. Glagah Putih dengan cepat menangkap pergelangan tangan orang itu, kemudian memilinnya sehingga tubuh orang itu berputar dan membelakangi Glagah Putih sambil terbungkuk-bungkuk. Sebelum orang itu sempat berusaha membebaskan dirinya, sisi telapak tangan Glagah Putih telah menghantam tengkuknya sehingga orang itu jatuh terjerembab. Terdengar orang itu mengerang kesakitan. Namun ia tidak dapat segera bangkit berdiri.

Kawannya yang bertubuh tinggi, yang melihat bagaimana kawannya tidak berdaya sama sekali, dengan serta-merta meloncat untuk melarikan diri.

Tetapi kaki Ki Citra Jati tiba-tiba saja telah menyambar perutnya.

Orang itu pun terlempar beberapa meter dan terbanting jatuh. Iapun tidak dapat segera bangkit. Perutnya terasa sakit sekali dan bahkan menjadi mual. Nafasnya pun terasa menjadi sesak.

“Cari tali apapun,” berkata Glagah Putih kepada penunggu banjar itu.

“Untuk apa?”

“Kedua orang ini harus diikat. Kami ingin pergi ke rumah yang sedang dirampok itu.”

“Bunyikan kentongan,” berkata penunggu banjar itu kepada orang yang berlari dikejar oleh kedua orang perampok itu.

“Tidak usah,” cegah Glagah Putih, “suara kentongan akan mengacaukan pertunjukan di padukuhan sebelah. Jika orang di padukuhan sebelah ada yang mendengar dan kemudian menyahut dengan irama yang sama, maka pertunjukan itu akan menjadi kacau balau.”

“Tetapi bagaimana dengan para perampok itu?”

“Sudah aku katakan, kami akan pergi ke sana. Tunjukkan rumah yang sedang dirampok itu.”

Orang yang dikejar oleh kedua orang perampok itu termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih berkata, “Cari tali lebih dahulu.”

Penunggu banjar itu pun kemudian berlari masuk ke dalam rumahnya. Sejenak kemudian, iapun sudah berlari keluar lagi sambil membawa tali ijuk.

Sementara Glagah Putih mengikat kedua orang perampok itu pada sebatang pohon sawo, maka Ki Citra Jati telah memanggil Nyi Citra Jati dan Rara Wulan yang sudah duduk di bibir pembaringan. Namun mereka memang menunggu untuk mengetahui apa yang telah terjadi.

Sejenak kemudian, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan diantar oleh orang yang berlari-lari ke banjar, pergi ke rumah yang sedang dirampok itu. Sementara Ki Citra Jati minta agar penunggu banjar itu tetap berada di banjar menunggui keluarganya, serta kedua orang yang diikat pada pohon sawo itu.

“Dimana rumah itu?” bertanya Ki Citra Jati.

Orang yang berlari-lari ke banjar itu pun menjawab sambil menunjuk, “Di sana, Ki Sanak. Tetapi perampok itu jumlahnya banyak. Lebih dari sepuluh orang.”

“Kami akan mencoba. Antarkan kami.”

Orang itu nampak ragu. Tetapi Ki Citra Jati mendesaknya, “Marilah. Kita jangan terlambat.”

Keempat orang itu pun kemudian meninggalkan banjar itu, turun ke jalan dan berjalan ke rumah yang sedang dirampok.

Ternyata rumah itu adalah rumah yang besar yang mendapat perhatian Ki Citra Jati di saat mereka mencari banjar padukuhan itu.

Dalam pada itu, penunggu banjar itu pun menjadi ragu-ragu. Berbagai pertanyaan timbul di benaknya. Apakah keempat orang itu bukan justru kawan dari para perampok itu. Tetapi jika demikian, kenapa mereka telah mengikat dua orang di antara mereka di halaman banjar?

Untuk beberapa saat penunggu banjar itu termangu-mangu. Ketika istrinya menjenguk keluar, maka iapun berkata, “Masuklah, Nyi. Tutup pintunya.”

“Kau baik-baik saja, Kakang?”

“Ya. Aku baik-baik saja.”

“Apakah kau tidak masuk?”

“Biarlah aku di sini.”

Demikian perempuan itu masuk dan menutup pintu, seorang di antara para perampok yang terikat itu pun berkata, “Lepaskan kami. Kami akan membalas kebaikanmu.”

“Apa yang dapat kau lakukan? Jika aku melepasmu, maka kau akan mencekik aku.”

“Aku akan menyelamatkanmu. Kawan-kawanku tentu akan membantai keempat orang yang sombong itu. Apalagi dua di antara mereka hanyalah perempuan. Apa yang dapat mereka lakukan? Setelah membantai keempat orang itu, maka kawan-kawanku akan segera mencari kami berdua. Nah, jika kau lepaskan kami, maka kami akan melindungimu sekeluarga dari kemarahan kawan-kawan kami.”

“Tidak. Aku tidak dapat melepas ikatanmu. Keempat orang itulah yang berhak melepaskan ikatanmu.”

“Jika kau tidak mau melepaskan ikatan kami, kau akan menyesal,” berkata seorang lagi. “Jika kawan-kawanku datang, aku tidak akan melindungimu. Tanpa perlindungan kami, maka kalian akan dicincang menjadi sayatan-sayatan kecil.”

Orang itu memang menjadi ragu-ragu. Sementara orang yang diikat itu pun berkata, “Tetapi jika kau lepaskan kami, maka kami berjanji untuk menjamin keselamatanmu, istrimu dan anakmu.”

Jantung penunggu banjar itu terasa berdegupan di dalam dadanya. Keragu-raguan yang sangat telah mencengkam perasaannya.

“Marilah, Ki Sanak,” berkata salah seorang dari kedua orang perampok itu, “jangan korbankan nyawamu serta nyawa anak istrimu, sekedar untuk sebuah kebanggaan. Apa artinya kebanggaan, jika sebentar lagi nyawamu dan seluruh keluargamu akan kami tumpas.”

Penunggu banjar itu tidak menjawab. Ia masih saja berdiri termangu-mangu penuh keragu-raguan.

“Cepatlah,” desak perampok yang terikat itu, “jangan menunggu kawan-kawanku datang kemari.”

Namun akhirnya penunggu banjar itu pun berkata, “Diamlah. Aku tidak akan melepas ikatan itu. Aku akan membawa anak dan istriku pergi ”

“Setan kau,” geram perampok itu. “Jangan menyesal jika kawan-kawanku memenggal lehermu nanti.”

Penunggu banjar itu pun kemudian telah mengetuk pintu rumahnya serta memanggil nama istrinya. Demikian pintu itu dibuka, maka penunggu banjar itu pun berkata, “Nyi, pergilah bersama anak-anakmu. Agaknya keadaan menjadi tidak menentu.”

“Kakang sendiri?”

“Biarlah aku di sini. Aku dapat menjaga diriku sendiri.”

Perempuan itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Aku harus pergi kemana, Kang?”

“Pergilah ke rumah Ki Jagabaya. Jika Ki Jagabaya sedang berada di pedukuhan sebelah karena diundang dalam malam midodareni itu, pergilah ke rumah Ki Kebayan. Tetapi untuk sementara, jangan memukul kentongan. Jika Ki Jagabaya akan mempersiapkan orang-orang padukuhan, biarlah Ki Jagabaya mendatangi mereka dan mengetuk pintu rumah ke rumah.”

“Baik, Kang.”

Sejenak kemudian, maka istri penunggu banjar itu telah keluar dari rumahnya yang kecil dan sederhana itu, sambil mendukung anaknya yang kecil yang agaknya sudah tertidur, sambil menggandeng anaknya yang lebih besar.

“Gila kau,” geram perampok yang terikat itu, “aku akan mengejarnya sampai kemanapun.”

“Kau akan dipenjara untuk waktu yang lama. Jika kau keluar dari penjara, aku sudah bukan penunggu banjar lagi. Anakku sudah besar dan mampu berbuat sesuatu.”

“Setan kau. Jangan menyesali sikapmu ini.”

Penunggu banjar itu tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian pergi ke sudut banjar dan duduk di tangga bersandar dinding.

“Kau orang yang dungu. Harga nyawamu tidak seimbang dari penghasilanmu sebagai penunggu banjar ini.”

Tetapi penunggu banjar itu sudah memantapkan tekadnya untuk tidak melepaskan kedua orang perampok itu, apapun yang terjadi.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di rumah yang besar dengan halaman yang luas, bersama orang yang telah berlari ke banjar dan berniat memukul kentongan. Tetapi niat itu diurungkan karena Ki Citra Jati mencegahnya.

Ketika kelima orang itu masuk regol halaman rumah yang besar itu, suasananya justru sepi. Agaknya para perampok itu sedang berada di ruang dalam rumah yang besar itu.

“Tinggallah di sini,” berkata Ki Citra Jati kepada orang yang mengantarnya ke rumah itu. “Kami akan masuk ke dalamnya.”

“Hati-hatilah, Ki Sanak. Mereka terdiri dari banyak orang.”

“Ya. Kami akan berhati-hati.”

Orang yang mengantar Ki Citra Jati itu pun kemudian berhenti dan berdiri di balik bayang-bayang sebatang pohon sawo yang besar, sementara Ki Citra Jati dan ketiga orang keluarganya itu melangkah menuju ke pendapa.

Ketika mereka berempat naik, maka tiba-tiba saja dua orang melangkah dengan cepat mendekati mereka. Seorang di antara mereka pun bertanya dengan garang.,”Siapa kalian, he?”

“Kami orang lewat yang kemalaman, Ki Sanak. Kami ingin minta ijin untuk bermalam di sini. Apakah Ki Sanak pemilik rumah ini?”

“Rumah ini bukan penginapan, mengerti? Pergi. Cari tempat lain untuk menginap.”

“Aku sudah pergi ke banjar, Ki Sanak. Tetapi penunggu banjar itu menunjukkan kepada kami untuk bermalam di sini.”

“Di sini bukan penginapan. Pergi, atau aku halau kalian seperti menghalau seekor anjing.”

“Menurut penunggu banjar itu, orang yang bermalam di tempat ini akan mendapat perlakuan yang sangat baik. Kami akan mendapat makan malam dan bilik yang hangat di gandok.”

“Omong kosong. Pergi.”

“Tolong, Ki Sanak. Jika orang lain mendapat kesempatan untuk bermalam di sini dengan mendapat makan malam dan bilik yang hangat, kenapa kami tidak?”

“Persetan dengan dongeng itu. Pergi, atau aku dera kalian sampai pingsan.”

“Aku mohon Ki Sanak.”

“Pergi!”

“Aku mohon.”

Tiba-tiba saja pintu pringgitan rumah itu terbuka. Seorang yang berwajah garang menjenguk sambil bertanya, “Ada apa?”

“Ada orang-orang gila yang ingin menginap di sini.”

“Menginap?”

“Ya.”

“Lalu?”

“Aku suruh mereka pergi.”

“Jangan,” berkata orang berwajah garang itu. “Suruh mereka masuk ke ruang dalam. Ia baru boleh pergi setelah kami pergi,”

Dua orang yang mula-mula menyapa itu mengangguk-angguk. Dengan geram seorang di antara mereka pun berkata, “Masuk. Kau justru tidak boleh pergi.”

“Kenapa?”

“Jangan banyak bertanya. Sekarang kalian harus masuk.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun melangkah perlahan-lahan menuju ke pintu yang terbuka itu. Demikian mereka melangkah masuk, maka mereka pun segera melihat beberapa orang laki-laki yang kasar dan bahkan liar sudah berada di ruang dalam.

Seorang laki-laki, seorang perempuan dan tiga orang remaja duduk di tikar yang terbentang di tengah-tengah ruangan. Seorang gadis kecil di pangkuan perempuan itu terisak menahan tangisnya.

Wajah-wajah yang ketakutan itu memandang keempat orang yang masuk ke ruang dalam itu dengan kerut di kening.

“Duduk!” bentak seorang yang bertubuh tinggi, agak kurus dan berkepala botak.

Ki Citra Jati tidak segera duduk. Dipandanginya orang-orang yang ketakutan itu dengan seksama. Agaknya mereka adalah pemilik rumah itu bersama keluarganya.

“Duduk!” bentak orang bertubuh tinggi itu lebih keras lagi.

“Ki Sanak,” berkata Ki Citra Jati, “kami ingin minta ijin bermalam di sini.”

“Apakah kau tuli? Duduk!”

Ki Citra Jati beserta keluarganya itu pun kemudian duduk pula di tikar yang terbentang di ruang dalam itu.

“Kalian tidak boleh beranjak dari tempatmu,” geram orang bertubuh tinggi itu.

Ki Citra Jati tidak menjawab. Sementara itu, orang bertubuh tinggi itu pun kemudian berkata kepada pemilik rumah, “Bawa perhiasanmu yang lain kemari. Aku tidak percaya bahwa kalian hanya mempunyai beberapa potong perhiasan ini. Kalian harus membawa keris, timang dan perhiasan-perhiasan yang lain kemari dan menyerahkannya kepada kami. Jika kalian tidak melakukannya, maka anak-anak kalian akan menjadi korban.”

“Kami tidak mempunyai yang lain, Ki Sanak.”

Namun tiba-tiba saja tangan orang itu menyambar rambut anaknya yang sulung, sehingga anak itu menjerit. Laki-laki itu pun dengan gerak naluriah, bergeser mendekati anaknya. Namun ujung golok yang besar segera melekat di dadanya.

“Ambil perhiasanmu serta benda-benda berharga yang lain. Bawa kemari.”

“Sungguh, Ki Sanak. Aku tidak mempunyai yang lain.”

Diguncangnya rambut anaknya yang sulung sambil berkata, “Aku akan mematahkan leher anakmu.”

“Jangan! Ia tidak bersalah.”

“Ternyata kau lebih sayang kepada harta bendamu daripada kepada anakmu.”

“Tidak.”

“Jika tidak, ambil sekarang. Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika sampai hitungan ke sepuluh kau belum mengambil perhiasan dan harta bendamu yang kau sembunyikan, maka anakmu ini akan mati. Bahkan tidak hanya seorang. Tetapi aku akan membunuh semua anak-anakmu. Biar kau sempat menikmati kepedihan hatimu karena anak-anakmu mati.”

“Jangan! Jangan!”

Ujung golok laki-laki itu sudah melekat di leher anaknya yang sangat ketakutan. Tetapi anak itu sudah tidak dapat lagi menangis.

“Satu.”

“Ki Sanak, jangan lakukan itu.”

“Dua….”

Tiba-tiba saja ibunya menjerit, “Jangan sakiti anakku!”

Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja tetap menghitung, “Tiga….”

Perempuan itu menangis. Namun tangisnya tidak dapat menumbuhkan belas kasihan di hati perampok yang nampaknya sudah membeku itu.

“Empat….”

Tangis perempuan itu semakin menjadi-jadi, sementara perampok itu masih menghitung terus, “Lima….”

“Jangan menunggu sampai batas,” geram seorang yang bermata tajam seperti burung hantu dengan segores luka di pipinya.

“Enam….”

Orang yang bertubuh tinggi itu menjadi semakin geram. Ia mulai mengguncang lagi rambut anak yang sangat ketakutan itu.

“Tujuh…” nada suaranya semakin meninggi.

“Kakang! Kakang! Tolong anakmu, Kakang!” teriak perempuan itu.

Laki-laki itu pun kemudian berkata, “Baik, baik, Ki Sanak. Aku akan mengambil apa yang masih tersisa.”

Ketika laki-laki itu bangkit, orang yang bertubuh tinggi itu berkata kepada seorang pengikutnya, “Bantu orang itu membawa perhiasannya kemari.”

Laki-laki itu tertegun. Tetapi perampok yang mendapat perintah itu membentaknya, “Cepat! Aku tidak sesabar Ki Lurah.”

Laki-laki pemilik rumah itu tidak mempunyai pilihan. Iapun segera beranjak dari tempatnya, masuk ke senthong tengah, diikuti oleh seorang perampok yang berwajah garang sambil membawa bindi yang diacu-acukannya.

Pemilik rumah itu harus mengambil benda-benda berharga yang disimpannya di bagian bawah geledeg yang berada di senthongnya, di dalam sebuah peti yang ditindih dengan berbagai macam benda yang tidak berarti. Pakaian-pakaian kumuh, stagen dan kamus yang sudah tua. Timang yang terbuat dari tembaga, serta barang-barang lain yang tidak berharga.

Di ruang dalam, peti itu diserahkan kepada orang yang bertubuh tinggi, serta setelah dibuka dan dilihat isinya, maka orang bertubuh tinggi itu mengusap pipi anak sulung yang ketakutan itu sambil berkata, “Ternyata ayah dan ibumu cukup bijaksana, Ngger. Baiklah. Jangan takut lagi. Aku tidak apa-apa. Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku hanya mengancam karena ayah dan ibumu terlalu kikir.”

Pemimpin perampok itu pun kemudian memberikan isyarat kepada kawan-kawannya, “Marilah kita pergi.”

Beberapa orang laki-laki yang garang itu pun kemudian beranjak dari tempat mereka. Namun pemimpin perampok itu masih berpesan, “Jangan berbuat aneh-aneh. Jika kalian membunyikan isyarat, maka kami akan kembali. Kami akan benar-benar membunuh siapapun yang akan aku bunuh.”

Sejenak kemudian, maka para perampok itu sudah berada di pendapa. Setelah memperhatikan anak buahnya, maka perampok itu sempat bertanya, “Dimana Bandot dan Berok?”

“Mereka mengejar anak muda yang melarikan diri dari halaman rumah ini, Ki Lurah.”

“Kemana?”

“Kami tidak tahu.”

“Kenapa begitu lama?”

“Mungkin orang itu sempat bersembunyi.”

“Kita cari sambil keluar dari halaman rumah ini.”

“Baik, Ki Lurah.”

Namun sebelum mereka pergi, para perampok itu pun terkejut. Empat orang yang mencari penginapan itu telah berdiri di pendapa itu pula.

Pemimpin perampok itu termangu-mangu sejenak. Kehadiran empat orang itu di pendapa sempat membuat jantungnya berdebar-debar.

Ketika keempat orang itu melangkah semakin maju, pemimpin perampok itu pun bertanya, “Kau mau apa?”

“Ki Sanak,” berkata Ki Citra Jati, “aku biarkan kau merampok perhiasan itu dari pemiliknya. Sekarang perhiasan-perhiasan dan benda-benda berharga itu sudah menjadi milikmu. Nah, sekarang aku akan merampok benda-benda berharga itu dari tanganmu.”

“He?” pemimpin perampok itu tidak yakin akan pendengarannya. “Apa yang kau katakan?”

“Sudah sampai pada gilirannya aku merampokmu. Berikan benda-benda berharga itu kepadaku, atau aku akan membunuh semua anak buahmu. Aku tidak akan membunuh dan bahkan tidak akan menyakitimu, agar kau dapat menikmati kepedihan hatimu karena semua anak buahmu terbunuh.”

“Apakah kau sudah menjadi gila?”

“Tidak. Aku tidak gila. Aku masih waras. Karena itu, aku dapat menahan diri. Aku biarkan kau menyelesaikan tugasmu dengan baik. Sekarang giliranku untuk menyelesaikan tugasku dengan baik.”

“Jangan main-main, Ki Sanak. Waktuku sempit. Aku tidak sempat melayani kegilaanmu itu.”

“Sudah aku katakan, aku tidak gila. Istriku, anak dan menantuku juga tidak gila. Kami sudah bertahun-tahun melakukan kegiatan keluarga kami. Merampok. Barangkali itulah kelebihan kami dari kalian, bahwa kelompok kami terdiri dari orang-orang sekeluarga. Ayah, ibu, anak dan menantu.”

Wajah pemimpin perampok itu menjadi merah. Dengan geram iapun berkata, “Betapa sombongnya kalian. Kalian hanya berempat, tetapi kalian berani’menantang kami yang jumlahnya lipat tiga. Apakah itu berarti bahwa setiap orang di antara kalian berani melawan tiga orang dari antara kami?”

“Tentu. Bukankah kami masih dapat menghitung dengan baik?”

“Setan alas. Kalian benar-benar orang yang tidak tahu diri. Betapapun tinggi tingkat ilmu kalian, tetapi kalian belum tahu tataran kemampuan kami.”

“Kami sudah menjajaginya. Kami telah membunuh dua orang kawanmu yang kau cari itu. Dengan demikian kami dapat menjajagi kekuatan kalian.”

“Jadi kedua orang kawanku itu sudah kau bunuh?”

“Ya.”

“Sekarang gilirannya, kalian berempat akan mati di sini.”

Pemimpin perampok itu tidak menunggu jawaban Ki Citra Jati. Iapun segera mengangkat goloknya sambil berteriak, “Bunuh keempat orang gila ini.”

Ki Citra Jati tertawa. Iapun berkata lantang pula, “Ayo, anak-anak. Sudah waktunya kita bekerja keras. Kita merampok perampok.”

Nyi Citra Jati pun telah mengambil jarak pula. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun keduanya masih saja berniat untuk bertempur berpasangan, karena luka Rara Wulan masih belum sembuh sepenuhnya, meskipun sudah semakin baik.

Pemimpin segerombolan perampok itu menjadi sangat marah. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap Ki Citra Jati. Setelah bertahun-tahun ia berpetualang, tiba-tiba saja empat orang yang dua di antaranya perempuan, berusaha untuk merampok gerombolannya. Satu peristiwa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Sejenak kemudian, maka para perampok itu pun mulai menyerang. Perampok-perampok itu dengan garangnya telah langsung menyerang Ki Citra Jati. Goloknya yang besar itu pun berputaran sehingga menimbulkan desir angin serta gaung yang keras.

Namun baru saja pertempuran itu dimulai, Ki Citra Jati sudah berhasil merampas sebuah tongkat besi dari salah seorang lawannya, sehingga orang yang kehilangan tongkat besinya itu pun mengumpat kasar.

Tetapi orang itu masih membawa sepasang pisau belati panjang, sehingga tanpa tongkat besinya, iapun telah menggenggam sepasang pisau belatinya.

“Cari senjata apa adanya!” berkata Ki Citra Jati hampir berteriak.

Sebelum para perampok itu menyadari apa yang terjadi, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berhasil merebut senjata apa saja dari tangan lawan-lawannya.

Nyi Citra Jati telah berhasil merampas sebilah pedang. Rara Wulan telah menggenggam sebatang tombak pendek. Sedang Glagah Putih berhasil mendapatkan sebuah canggah bertangkai pendek.

Keberhasilan mereka merebut senjata telah memberikan isyarat kepada lawan-lawan mereka, bahwa keempat orang itu benar-benar orang-orang yang sangat berbahaya. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi, sehingga seakan-akan mereka dapat berbuat sekehendak mereka atas lawan-lawan mereka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran pun menjadi semakin sengit. Sementara itu, sebagaimana dibisikkan oleh Ki Citra Jati pada saat ia keluar pintu pringgitan kepada pemilik rumah itu, maka pintu pringgitan itu pun telah ditutup dan diselarak dari dalam

Namun sejenak kemudian, pemimpin perampok serta anak buahnya segera menyadari, bahwa keempat orang itu benar-benar orang yang berilmu tinggi.

Dengan senjata rampasan, Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur dengan garangnya, Keduanya bergerak dengan cepat di antara lawan-lawan mereka yang jumlahnya berlipat.

Para perampok itu sama sekali tidak menduga, bahwa perempuan muda yang disebut menantu dari sepasang suami istri itu, juga memiliki ilmu yang tinggi sebagaimana ibunya.

Dengan demikian, maka pasangan suami istri yang bertempur berpasangan itu membuat lawan-lawan mereka berdebaran.

Tetapi mereka adalah perampok-perampok yang sudah berpengalaman. Apalagi jumlah mereka jauh lebih banyak dari keempat orang yang akan merebut hasil rampokan mereka. Karena itu, maka para perampok itu masih tetap berkeyakinan bahwa mereka akan segera dapat mengalahkan mereka.

Pemimpin perampok yang terlibat dalam pertempuran melawan Ki Citra Jati itu telah menyerahkan peti kecilnya kepada seorang kepercayaannya. Orang yang bertubuh tinggi itu, bersama dengan dua orang pengikutnya, mencoba untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi ternyata mereka mengalami kesulitan. Ki Citra Jati dengan tongkat besinya berloncatan dengan tangkasnya. Orang tua yang sedang bertempur itu seolah-olah bukan lagi orang tua yang datang, minta ijin untuk menginap di rumah itu. Demikian pula perempuan-perempuan yang telah menyingsingkan kain panjangnya itu. Mereka tiba-tiba saja telah berubah menjadi orang-orang yang sangat garang.

Tongkat besi di tangan Ki Citra Jati telah bergerak berputaran dengan cepat. Benturan-benturan yang keras telah terjadi antara tongkat besi itu dengan senjata-senjata para perampok itu. Bunga api pun berloncatan memercik di sekitar arena.

Di sisi lain, Nyi Citra Jati harus bertempur melawan tiga orang pula. Pedangnya yang berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu minyak di pendapa rumah itu, terayun-ayun mengerikan. Orang yang semula memiliki pedang itu, rasa-rasanya tidak lagi mengenali bahwa pedang itu adalah pedangnya. Pedangnya yang terayun itu rasa-rasanya menjadi jauh lebih berbahaya daripada saat-saat pedang itu berada di tangannya.

Orang yang kehilangan pedang itu mengalami kesulitan untuk mendekat. Putaran pedang itu bagaikan kabut yang melingkari tubuh Nyi Citra Jati. Sementara itu senjata yang kemudian dipegangnya adalah lebih pendek dari pedangnya.

Dalam pada itu, pasangan yang disebutnya anak dan menantu itu pun tidak kalah garangnya pula. Ternyata beberapa saat kemudian, seorang di antara lawan mereka telah terlempar dari pendapa dan jatuh berguling di halaman samping.

Dengan serta merta orang itu pun bangkit. Tetapi tulang punggungnya terasa bagaikan telah retak, sehingga orang itu harus berdesah menahan sakit.

Sebelum orang itu sempat naik kembali ke pendapa, kaki Rara Wulan telah menghantam dada seorang yang bertubuh pendek dan berperut buncit. Terdengar orang itu mengaduh, sementara tubuhnya terdorong dengan derasnya menghantam tiang. Demikian kerasnya sehingga pendapa itu rasa-rasanya bagaikan diguncang gempa.

Orang itu hanya sempat menggeliat. Namun kemudian iapun menjadi pingsan.

Sementara itu, Glagah Putih justru menjadi ragu-ragu. Canggah bertangkai pendek di tangannya itu ternyata sangat berbahaya bagi lawan-lawannya. Ketika ia sempat mengayunkannya, maka tiga orang sekaligus berteriak kesakitan. Canggah bertangkai pendek itu telah menggores ketiga orang itu sekaligus. Meskipun lukanya tidak membahayakan hidupnya, namun darah sudah mulai menitik dari lukanya.

Namun dengan demikian, orang-orang yang terluka itu menjadi sangat marah. Mereka pun segera menghentakkan kemampuan mereka.

Tetapi mereka tertegun ketika seorang lagi di antara mereka yang terpelanting jatuh dari pendapa. Orang itu mengaduh kesakitan. Sementara itu orang yang pertama kali terlempar jatuh itu telah naik kembali ke pendapa. Tetapi ia masih saja merasa terganggu oleh perasaan sakit di punggungnya.

Sementara itu. orang-orang yang bertempur melawan seorang perempuan yang mereka anggap sudah tua. merasa yakin bahwa mereka akan segera menyelesaikan tugas mereka. Setelah itu mereka akan datang bergabung dan membantu kawan-kawan mereka.

Tetapi ternyata mereka dengan cepat telah terdesak. Perempuan tua itu mampu bergerak dan berloncatan dengan cepat, seperti seekor burung srigunting.

“Perempuan iblis,” geram seorang yang kulitnya bagaikan terbakar. Agaknya orang yang terlalu sering terpanggang oleh panasnya sinar matahari.

Dengan bersenjatakan sebuah kapak iapun berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran. Dengan lantang iapun berkata, “Jangan ragu-ragu! Kita bunuh perempuan yang kepanjingan iblis ini!”

Namun Nyi Citra Jati tertawa. Katanya, “Jangan mudah terseret oleh arus perasaanmu, Ngger. Apalagi dalam sebuah pertempuran Kegelisahan dan kecemasan yang tidak terkendali akan menjerumuskan kalian ke dalam kesulitan.”

“Persetan, nenek tua!” bentak seorang yang bertubuh kurus.

“Seharusnya kau makan lebih banyak, agar tubuhmu menjadi agak gemuk sedikit.”

“Aku bunuh kau, Nek!” sahut orang yang kurus itu.

Nyi Citra Jati tertawa. Suara tertawanya yang patah-patah itu pun terdengar mengguncang. Bahkan Rara Wulan justru meloncat surut mengambil jarak dari lawan-lawannya. Terasa tengkuknya meremang.

Glagah Putih pun menyusulnya sambil bertanya, “Ada apa, Rara Wulan?”

“Tidak apa-apa,” jawab Rara Wulan. Namun iapun kemudian berdesis, “Suara tertawa Ibu itu.”

Glagah Putih tersenyum. Namun iapun segera meloncat menghindari serangan seorang lawannya. Sebuah golok yang besar terayun dengan derasnya mengarah ke leher. Sambil merendah Glagah Putih menggerakkan canggahnya. Sepasang mata canggahnya telah menjepit golok lawannya. Ketika Glagah Putih kemudian memutar canggahnya, maka golok di tangan orang itu pun bagaikan direnggut dengan kerasnya.

Orang itu tidak berhasil mempertahankan golok yang kemudian jatuh beberapa langkah dari padanya. Justru hampir mengenai seorang yang bertubuh gemuk dan berwajah bulat.

Tetapi Glagah Putih tidak dapat mencegahnya ketika orang yang kehilangan goloknya itu dengan serta-merta meloncat menerkam goloknya yang terjatuh itu, karena Glagah Putih harus bergeser ke samping menghindari serangan seorang lawannya yang lain.

Namun demikian, orang yang sudah berhasil memungut goloknya itu harus mengaduh kesakitan. Ujung tombak pendek di tangan Rara Wulan telah mematuk lambungnya. Namun Wulan memang tidak berniat membunuhnya, sehingga luka di lambung orang itu tidak terlalu dalam. Meskipun demikian, dari luka itu telah mengalir darahnya yang hangat.

“Jika kau memaksa untuk bertempur terus, maka dari lukamu itu darah akan mengalir semakin banyak, karena setiap gerakan bagaikan memeras urat nadimu. Akhirnya darahmu akan habis dan kau akan mati lemas, karena tubuhmu menjadi kering.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menekan lukanya dengan telapak tangannya. Bahkan orang itu pun kemudian merangkak menepi dan duduk bersandar tiang.

Dengan demikian, lawan pun menjadi semakin menyusut. Lawan Ki Citra Jati pun tinggal dua orang lagi.

Dalam pada itu, pemimpin perampok yang menyadarinya, agaknya berusaha untuk mengambil jalan lain. Beberapa saat ia masih mencoba melawan. Namun kemudian iapun meloncat surut. Kepada kepercayaannya iapun berkata, “Berikan peti itu. Bunuh orang yang berusaha merebut peti ini.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian diserahkannya peti kecil yang berisi benda-benda berharga itu, sementara ia sendiri meloncat melibatkan diri dalam pertempuran melawan Ki Citra Jati. Pada saat itulah pemimpin perampok itu mencoba melarikan diri. Tanpa memberikan peringatan apa-apa kepada kawan-kawannya, ia meloncat turun ke halaman dan berlari ke arah pintu regol.

Namun langkahnya terhenti, Glagah Putih telah berdiri beberapa langkah di hadapannya. Ditinggalkannya Rara Wulan karena lawan yang harus dihadapinya tinggal dua orang, sementara Glagah Putih yakin bahwa Rara Wulan akan dapat mengatasinya.

“Minggir!” bentak pemimpin perampok itu.

“Jangan lari. Serahkan peti itu kepadaku. Jika kau tidak melakukannya, seperti yang dikatakan oleh ayahku, semua anak buahmu akan kami bunuh.”

“Bunuhlah!” teriak orang itu, “aku tidak akan memerlukan mereka lagi. Sekarang minggir, atau aku akan membunuhmu.”

“Serahkan peti itu.”

Pemimpin perampok itu tidak menyahut. Iapun segera meloncat sambil mengayunkan pedangnya yang digenggamnya di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengempit peti kecil yang berisi benda-benda berharga itu.

Tetapi ayunan pedangnya tidak menyentuh sasarannya. Dengan cepat Glagah Putih telah menyerangnya pula.

Pertempuran berlangsung tidak begitu lama. Sejenak kemudian Ki Citra Jati pun telah hadir pula sambil berkata, “Kau akan lari dan meninggalkan kawan-kawanmu yang terluka, begitu saja?”

“Persetan,” geram orang itu.

Serangan-serangannya pun menjadi semakin garang. Tetapi karena sebelah tangannya memegangi peti yang berisi benda-benda berharga, maka ia tidak dapat bertempur dengan leluasa.

Apalagi ketika Ki Citra Jati pun telah melibatkan diri pula. Ketika tongkat besi di tangan Ki Citra Jati itu terayun dan menghantam pahanya, maka pemimpin perampok itu pun telah terjatuh dan tidak dapat bangkit berdiri lagi. Ternyata tulang pahanya telah menjadi retak. Sementara itu, peti kecil itu pun telah terlepas dari tangannya dan jatuh beberapa langkah dari kakinya.

Pemimpin perampok itu berteriak kesakitan. Tetapi ia masih mencoba merangkak menggapai peti itu. Tetapi Glagah Putih bergerak lebih cepat, memungut peti kecil yang terlempar itu.

“Kembalikan! Kembalikan kepadaku!” teriak pemimpin perampok itu.

“Apa yang dikembalikan?” bertanya Glagah Putih.

Pemimpin perampok itu pun menjawab sambil menyeringai kesakitan, “Peti itu, peti itu.”

Tetapi Glagah Putih pun berkata, “Peti ini akan menjadi milik kami. Sebagaimana kalian merampok pemilik rumah ini sehingga ini menjadi milikmu, maka sekarang peti ini menjadi milik kami.”

“Tidak! Tidak!” teriaknya.

Namun Ki Citra Jati segera meletakkan tongkat besinya di pundaknya sambil berkata, “Tongkat ini tidak hanya dapat mematahkan tulang kakimu. Tetapi tongkat ini akan dapat mematahkan lehermu.”

Ketika Ki Citra Jati menggerakkan tongkat menyentuh leher orang itu, maka iapun berteriak, “Jangan! Jangan!”

“Baiklah,” berkata Ki Citra Jati, “aku tidak akan mematahkan lehermu, tetapi kau jangan berbuat aneh-aneh.”

Orang itu memandang Ki Citra Jati dengan sorot mata yang membayangkan kesakitan. Dalam pada itu, Ki Citra Jati pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Suruh orang yang berdiri di belakang pohon itu untuk memanggil Ki Demang. Aku akan menemui pemilik rumah ini.”

“Baik, Ayah,” sahut Glagah Putih.

Glagah Putih pun kemudian berlari menemui orang yang telah menunjukkan rumah yang sedang dirampok itu.

“Pergilah ke rumah Ki Demang. Panggil Ki Demang kemari.”

“Baik, Ki Sanak.”

“Katakan bahwa para perampok sudah tidak berdaya. Ki Demang tidak perlu membunyikan kentongan.”

Demikian orang itu berlari keluar regol halaman, maka Glagah Putih pun segera kembali kepada Ki Citra Jati.

“Awasi orang ini,” berkata Ki Citra Jati, “aku akan menemui pemilik rumah ini.”

“Baik, Ayah.”

Ki Citra Jati pun kemudian menuju ke pintu pringgitan. Diketuknya pintu itu sambil berkata, “Buka pintunya, Ki Sanak.”

Hening sejenak.

“Siapa?” bertanya pemilik rumah itu kemudian.

“Aku. Aku yang minta Ki Sanak menutup pintu pringgitan ini.”

Ketika pintu itu dibuka, pemilik rumah itu terkejut. Ia melihat para perampok itu terbaring berserakan di pendapa dan di halaman rumahnya. Yang terdengar adalah keluhan dan erang kesakitan.

“Ini peti perhiasanmu, Ki Sanak. Aku telah merampasnya kembali.”

Pemilik rumah itu merasa ragu-ragu menerimanya. Tetapi Ki Citra Jati berkata pula, “Terimalah. Lihat isinya, apakah masih utuh?”

Orang itu pun kemudian menerima peti itu. Dengan tangan gemetar ia membuka peti itu.

“Ya, Ki Sanak. Nampaknya isinya masih tetap utuh.”

“Simpanlah. Kami telah merampasnya kembali dari pada perampok itu.”

“Lalu bagaimana dengan mereka?”

“Mereka sudah tidak berdaya. Aku sudah minta seseorang memanggil Ki Demang. Ia akan segera datang. Tetapi menurut pendapatku, kalian tidak perlu membunyikan kentongan, agar tidak membuat banyak orang menjadi kebingungan dan ketakutan. Simpanlah. Tetapi kau harus segera menemui Ki Demang.”

“Baik, Ki Sanak.”

Pemilik rumah itu pun segera menyimpan perhiasannya. Namun sejenak kemudian ia sudah berada di pendapa rumahnya.

Sesaat kemudian, beberapa orang telah memasuki regol halaman rumahnya. Ki Demang dan beberapa orang yang telah dibangunkan pula oleh Ki Demang. Sementara itu, masih saja tetangga-tetangganya berdatangan. Agaknya orang-orang telah singgah, membangunkan dan mengajak tetangga-tetangganya untuk datang ke rumah yang sedang dirampok itu.

Ki Demang pun segera menemui pemilik rumah itu. Mereka terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh, Sementara itu, para perampok masih saja mengerang kesakitan. Bahkan ada di antara mereka yang terluka parah dan pingsan.

“Bagaimana mungkin kau melakukannya?” bertanya Ki Demang sambil menebarkan pandangan matanya.

“Itulah pemimpin perampok itu,” berkata pemilik rumah itu sambil menunjuk seorang yang terbaring di tanah sambil mengaduh kesakitan. Kakinya yang retak terasa semakin sakit. Sementara goresan-goresan luka di kulitnya telah menitikkan darah.

“Tetapi apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana mungkin kau dapat mengalahkan mereka semuanya?”

“Bukan aku,” jawab pemilik rumah itu.

“Siapa yang telah mengalahkan mereka?”

“Empat orang yang semula datang untuk minta ijin menginap. Mereka-lah yang telah merampas kembali peti perhiasan kami yang telah dirampas oleh para perampok itu.”

“Dimana mereka sekarang?”

Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. Dilihatnya semakin lama semakin banyak orang yang berdatangan. Tetapi ia tidak melihat lagi empat orang yang telah menolongnya. Pemilik rumah itu termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu iapun berkata, “Tadi ia masih berada di sini. Ketika Ki Demang datang, mereka masih berdiri di pendapa ini.”

“Apakah kau bermimpi?” bertanya Ki Demang.

“Tetapi para perampok yang tidak berdaya lagi itu bukan sekedar mimpi.”

“Apakah kau sudah diselamatkan oleh empat sosok gendruwo?”

“Ki Demang,” berkata orang yang telah menyusulnya, “keempat orang itu semula bermalam di banjar.”

“Kenapa ia datang kemari?”

Orang itu pun kemudian menceritakan bagaimana ia dikejar oleh dua orang perampok pada saat ia menyelinap dari rumah itu untuk berusaha membunyikan kentongan di banjar.

“Jadi ada dua orang perampok yang terikat di banjar?”

“Ya.”

Ki Demang mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Sulit dimengerti. Tetapi untunglah bahwa aku sudah pulang dari padukuhan sebelah. Aku mendapat undangan midadareni.”

“Aku juga mendapat undangan, Ki Demang. Tetapi aku tidak dapat datang karena kepalaku terasa pening dan badanku sedikit panas.”

“Tetapi orang itu bukan jin, Ki Demang,” berkata orang yang berlari ke banjar itu. Katanya selanjutnya, “Kaki mereka beranjak di tanah. Sikap mereka, kata-kata mereka sama sekali tidak memberikan kesan bahwa mereka bukan makhluk seperti kita.”

“Jin dapat menjelma menjadi orang yang utuh seperti kita.”

Namun seorang yang berbadan agak gemuk berkata, “Maksud Ki Demang, empat orang yang tadi berada di halaman rumah ini?”

“Ya.”

“Aku melihat empat orang yang keluar dari halaman rumah ini.”

“Kau tidak menegurnya?”

“Tidak, Ki Demang.”

“Seharusnya kau menegurnya dan bertanya kepadanya, siapakah mereka itu. Seandainya mereka termasuk anak buah perampok ini, maka mereka akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri.”

“Tetapi mereka berjalan dengan tenang. Jika mereka anak buah perampok yang merampok rumah ini, mereka tentu nampak gelisah atau tergesa-gesa.”

“Tetapi seharusnya mereka tidak pergi begitu saja. Setidaknya aku sempat mengucapkan terima kasih kepada mereka.”

Dalam pada itu, semakin lama semakin banyak orang yang datang ke rumah yang dirampok itu. Orang–orang yang pergi menonton tari topeng sebagian sudah kembali. Mereka yang mendengar bahwa telah terjadi perampokan segera pergi ke rumah itu.

Sementara itu, di luar padukuhan, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan, berjalan dengan cepat menjauh. Mereka sengaja meninggalkan rumah orang yang dirampok itu dengan diam-diam, setelah mereka yakin bahwa Ki Demang dan para bebahu sudah datang bersama beberapa orang. Apalagi para perampok itu sudah tidak berdaya.

“Kita tidak mau tertahan terlalu lama di padukuhan ini,” berkata Ki Citra Jati. “Jika kita harus menemui Ki Demang, maka belum tentu esok pagi kita dapat melanjutkan perjalanan. Kita harus memberikan keterangan tentang para perampok itu.”

“Ya, Ayah,” sahut Glagah Putih, “semakin cepat kita sampai ke tujuan, tentu semakin baik.”

“Kita sudah berjanji untuk tidak melibatkan diri serta mencampuri persoalan yang terjadi pada orang lain di sepanjang perjalanan,” berkata Nyi Citra Jati, “tetapi kita tentu tidak akan dapat tinggal diam jika terjadi peristiwa seperti ini.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “yang kita lakukan termasuk kewajiban kita bagi sesama.”

“Itulah sebabnya kita terpaksa terlibat,” sahut Ki Citra Jati, “tetapi jangan menyita waktu terlalu banyak. Karena itu, kita memilih untuk segera pergi.”

“Pemilik rumah itu tentu mencari kita,” desis Rara Wulan.

“Ya. Bahkan Ki Demang pun tentu mencari kita pula.”

“Apa boleh buat,” gumam Ki Citra Jati, seolah-olah ditunjukkan kepada diri sendiri.

Keempat orang itu pun berjalan semakin lama semakin jauh. Sementara itu malam pun telah memasuki dini hari.

“Apakah kita masih akan berhenti?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Nampaknya di depan kita itu terbentang sebuah padang perdu. Kita dapat beristirahat sampai fajar.”

Keempat orang itu pun berjalan terus. Seperti yang mereka duga, maka beberapa saat kemudian mereka pun memasuki sebuah padang perdu yang menyekat bulak persawahan dengan hutan yang membujur panjang.

“Kita beristirahat sebentar. Kita dapat duduk di bawah pohon itu. Mungkin kita akan dibasahi oleh titik-titik embun.”

“Seekor binatang buas dapat saja mendatangi kita menjelang fajar.”

“Binatang yang malang. Tetapi rasa-rasanya kita berada di jarak yang cukup jauh, sehingga binatang buas itu tidak akan mencium bau kehadiran kita.”

“Angin bertiup ke arah hutan itu.”

“Binatang buas itu tentu sudah kenyang.”

Yang mendengar jawaban Ki Citra Jati pun tertawa.

Sejenak kemudian, mereka berempat pun berhenti di bawah sebatang pohon yang besar. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun kemudian duduk di atas akar pohon yang besar itu, bersandar pada batangnya. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah duduk pada akarnya pula. Akar pohon yang menjalar panjang di atas tanah.

“Agaknya lebih hangat bermalam di banjar itu,” desis Nyi Citra Jati.

Ki Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa.

“Di banjar itu aku dapat berbaring di pembaringan,” sambung Rara Wulan.

“Di sini akar batang yang besar ini pun basah oleh embun,” sahut Nyi Citra Jati.

“Bukankah kita memilih duduk di sini, di bawah titik-titik embun, dari pada duduk di pringgitan rumah orang yang dirampok itu? Di sana kita akan mendapat minuman hangat. Sementara itu di dapur, para pembantu orang kaya itu sibuk menyiapkan makan pagi bagi kita. Menangkap seekor ayam atau beberapa butir telur, atau kedua-duanya.”

“Tidurlah. Mungkin mimpi kita akan sama. Nasi hangat, ingkung seekor ayam jantan yang tidak terlalu besar, telur dadar, pepes gurami.”

Keempat orang itu tertawa menyentak.

“Sst, jangan mengejutkan seekor harimau yang sedang tidur.”

Ternyata mereka tidak begitu lama duduk di bawah pohon itu. Ketika bayangan fajar mewarnai ujung langit, maka mereka pun segera bangkit dan melanjutkan perjalanan.

“Kita tentu akan melintasi sungai,” desis Ki Citra Jati.

Sementara itu, puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pun menjadi merah. Sinar matahari yang bangkit dari kaki langit, memancar menyiram puncak sepasang gunung yang berdiri berjajar itu. Gunung yang menjadi ancar-ancar perjalanan mereka.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, mereka sampai ke sebuah tebing yang rendah. Di bawah tebing itu mengalir sebatang sungai yang tidak begitu besar.

“Airnya jernih sekali,” desis Rara Wulan, “butir-butir pasir yang lembut di dasar sungai itu dapat dilihat dengan jelas. Bahkan kelompok-kelompok wader pari yang berenang menyongsong aliran sungai itu.”

“Tetapi kita tidak akan dapat menangkap ikan-ikan kecil itu,” desis Glagah Putih.

“Jika kita mempunyai irig, kita akan dapat menangkapnya.”

“Tetapi hanya satu dua.”

“Ya.”

Demikianlah, keempat orang itu sempat mencuci muka di sungai kecil itu. Membenahi pakaian, dan sejenak kemudian, mereka pun siap untuk melanjutkan perjalanan yang panjang.

Meskipun mereka semalam tidak tidur, tetapi mereka sudah terbiasa melakukan latihan-latihan yang berat. Bahkan menjalani laku tidak hanya sehari dua hari. Sehingga karena itu, maka mereka dapat melanjutkan perjalanan mereka tanpa merasa terganggu

Bahkan mereka pun sudah bertekad untuk tidak melibatkan diri ke dalam persoalan orang lain yang mereka temui di perjalanan. Kecuali yang sangat mendesak serta menyangkut keselamatan nyawa sesama.

Sehari itu, mereka benar-benar dapat menyingkir dari hambatan-hambatan. Ketika mereka berhenti di sebuah kedai, maka mereka benar-benar tidak menghiraukan orang-orang yang ada di sekitar mereka. Demikian mereka selesai makan dan minum, maka mereka telah sampai ke jalan yang sudah mereka kenal dengan baik, terutama Glagah Putih, meskipun ia jarang melewatinya. Jalan itu adalah jalan yang menuju ke Sangkal Putung.

Tetapi mereka bertekad untuk tidak singgah di Sangkal Putung. Tetapi mereka akan singgah di padepokan kecil dari Perguruan Orang Bercambuk, esok pagi.

Ketika malam turun, mereka masih belum mencapai padepokan kecil itu. Malam itu mereka bermalam di sebuah banjar padukuhan kecil. Banjarnya juga tidak terlalu besar. Penunggu banjar itu juga seorang yang hidupnya sehari untuk sehari.

Tetapi penunggu banjar itu ternyata seorang yang baik hati. Malam itu, penunggu banjar itu telah mencabut sebatang ketela pohon di kebun belakang banjar padukuhan itu, untuk direbus dan dihidangkan kepada keempat orang yang bermalam di banjar itu.

“Terima kasih, Ki Sanak,” berkata Ki Citra Jati. Apa yang diberikan oleh penunggu banjar itu, yang terhitung miskin, sangat berarti bagi keempat orang yang sedang dalam perjalanan. Apa yang diberikan itu, bagi penunggu banjar itu terhitung sangat berharga. Lebih berharga dari semangkuk nasi dengan telur dan daging bagi seorang yang berkecukupan, karena harga nasi, telur, dan daging itu bagi orang yang berkecukupan tidak berarti apa-apa.

Di keesokan harinya, ketika Ki Citra Jati sekeluarga minta diri, maka Nyi Citra Jati telah memberikan beberapa keping uang kepada anak penunggu banjar itu. Anak yang masih kecil, yang belum tahu arti uang beberapa keping itu.

Tetapi ibunya-lah yang terkejut. Uang beberapa keping itu baginya terlalu banyak untuk sebuah pemberian.

Karena itu, maka perempuan itu pun bertanya dengan suara bergetar, “Apakah Nyai tidak keliru? Nyai memberikan beberapa keping uang itu kepada anakku.”

“Tidak. Aku tidak keliru. Kau sangat baik kepada kami. Kau berikan kami makan pada saat kami merasa sangat lapar.”

“Tetapi yang kami suguhkan tidak lebih dari beberapa potong ketela pohon yang kami cabut di kebun belakang.”

“Beberapa potong ketela pohon itu artinya bagi seseorang yang lapar jauh lebih besar dari beberapa keping uang yang aku berikan kepada anakmu. Tetapi bukan maksud kami menghargai pemberianmu itu dengan uang. Seandainya aku mempunyai uang berlebih, belum tentu aku mendapatkan makan ketela yang beberapa potong itu malam tadi. Yang aku berikan kepada anakmu itu sekedar pernyataan terima kasih kami kepada keluargamu.”

Perempuan itu mencium tangan Nyi Citra Jati. Dengan nada dalam iapun berkata, “Kami sangat berterima kasih atas kemurahan hati Nyai serta keluarga Nyai.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian keempat orang itu pun telah meninggalkan banjar padukuhan yang tidak cukup besar itu. Tetapi yang agaknya cukup memadai bagi sebuah padukuhan yang sederhana.

Ketika matahari naik, keempat orang itu telah berada di sebuah bulak yang panjang.

“Kita menuju ke Jati Anom, Ayah,” berkata Glagah Putih kepada Ki Citra Jati.

“Jati Anom.”

“Ya. Ayah tinggal di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing yang disebut Orang Bercambuk, sehingga padepokan kecil itu juga kami sebut Padepokan Orang Bercambuk.”

“Jadi, semua orang di padepokan itu membawa cambuk?”

Yang mendengar pertanyaan itu tertawa.

Namun Ki Citra Jati itu pun kemudian berkata, “Aku sudah mendengar tentang Orang Bercambuk itu. Meskipun kami tidak menyebutnya demikian, tetapi perguruan kami mengenal seseorang yang bersenjata sehelai cambuk.”

“Orang itu telah meninggalkan sebuah padepokan kecil yang sekarang ditunggui oleh ayahku. Ayahku dahulu seorang prajurit. Namun kemudian ia memilih untuk hidup di padepokan kecil itu.”

“Kami akan senang sekali dapat berkenalan dengan ayahmu yang sebenarnya.”

“Terima kasih, Ayah,” sahut Glagah Putih.

Dalam pada itu, matahari pun memanjat langit semakin tinggi. Panasnya mulai terasa mengusik tubuh mereka. Keringat pun mulai mengembun dan membasahi pakaian mereka.

“Kalau kita mengambil jalan ke kiri di simpang empat tadi, bukankah kita akan sampai ke Sangkal Putung?”

“Ya. Jalan itu akan sampai ke Sangkal Putung,” jawab Glagah Putih.

Tetapi mereka mengambil jalan yang lurus, yang akan langsung sampai ke padepokan kecil yang terletak di sebelah timur Jati Anom itu. Semilir angin yang bertiup dari selatan membuat tubuh-tubuh yang kepanasan itu menjadi agak segar.

Namun bukan hanya mereka berempat sajalah yang berjemur di teriknya matahari. Beberapa orang yang bekerja di sawah pun telah berjemur pula, sementara kaki mereka berendam di dalam lumpur. Beberapa orang perempuan yang sedang matun mengenakan caping bambu yang lebar untuk melindungi kepala mereka dari panasnya cahaya matahari.

Baru lewat tengah hari, mereka memasuki jalan yang langsung menuju ke padepokan kecil dari perguruan yang kemudian disebut Perguruan Orang Bercambuk.

Ki Citra Jati pun kemudian bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Alangkah asrinya padepokan itu.”

“Ayah dan para cantrik tidak sempat memelihara padepokan itu sebaik-baiknya, Ayah. Tidak seperti padepokan yang dipimpin oleh Kakang Mlaya Werdi yang rajin dan tertata rapi. Bahkan kebun di belakangnya pun nampak seperti sebuah taman, dengan beberapa buah kolam yang dihiasi dengan ikan-ikan yang berwarna-warni.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Kau terlalu memuji, Glagah Putih. Padepokan itu sejak semula tatanannya memang kurang terpelihara. Orang-orang di padepokan itu perhatiannya hanya tertuju kepada olah kanuragan tanpa sempat memperhatikan lingkungannya, yang ternyata memegang peran yang penting bagi kehidupan sekelompok orang.”

“Para cantrik yang tinggal di padepokan kecil itu juga terlalu sibuk, Ayah. Selain harus berlatih dalam olah kanuragan, mereka harus bekerja bagi persediaan bahan pangan mereka serta kelengkapan yang lain. Di malam hari mereka harus mendengarkan petunjuk-petunjuk tentang kehidupan yang harus mereka jalani, serta mempelajari pengetahuan yang akan diperlukan di hari-hari mendatang. Terutama tentang tatanan hidup dalam lingkungan sesama, serta pengetahuan tentang pertanian, memelihara ternak, kolam ikan dan membaca serta menulis, meskipun tidak sedalam yang didapat oleh para cantrik di padepokan Kakang Mlaya Werdi.”

Nyi Citra Jati-lah yang menyahut, “Kami tentu akan kerasan tinggal di padepokan itu, Glagah Putih. Jangan-jangan kami segan melanjutkan perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa, sementara Ki Citra Jati pun berkata, “Di padepokan itu tidak diperlukan juru dang, karena para cantrik sudah pandai menanak nasi sendiri.”

Nyi Citra Jati pun tertawa berkepanjangan.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah sampai di pintu gerbang padepokan kecil dari perguruan yang disebut Perguruan Orang Bercambuk. Seperti yang dikatakan oleh Ki Citra Jati yang melihat dari luar pintu gerbang, bahwa padepokan itu memang nampak terpelihara rapi. Ketika ia memasuki pintu gerbang, maka Ki Citra Jati menjadi semakin yakin, bahwa isi padepokan itu mempunyai perhatian yang sangat tinggi terhadap lingkungannya.

Kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan di padepokan itu memang agak mengejutkan para cantrik. Mereka tahu bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan sedang menjalankan tugas yang dibebankan kepada mereka untuk mencari dan mendapatkan tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan dari sebuah perguruan besar yang disebut Perguruan Kedung Jati.

Perguruan yang semula mempunyai pengikut terbesar di Jipang. Bahkan ada di antara para pemimpin perguruan itu yang menjadi pemimpin pula di Jipang. Tetapi yang kemudian  perkembangannya menjadi lain. Ketika para pemimpin Jipang tidak lagi memegang pimpinan di perguruan itu, maka perguruan itu seakan-akan telah berubah haluan. Para pemimpin perguruan itu tidak lagi berpegang pada paugeran dari perguruan yang ingin mereka angkat kembali ke permukaan. Mereka justru hanya ingin menumpang pada kebesaran nama perguruan itu untuk kepentingan yang tidak jelas dari beberapa orang yang berkesempatan untuk menyatakan diri sebagai pemimpin perguruan itu.

Dalam pada itu, dua orang cantrik telah menyongsong kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedangkan seorang cantrik telah memberitahukan kehadiran mereka kepada Ki Widura, yang sedang berada di belakang bangunan utama padepokannya bersama beberapa orang cantrik yang sedang memperbaiki dinding serambi yang lapuk.

Dengan tergesa-gesa Ki Widura pun meninggalkan cantrik-cantriknya sambil berpesan, “Selesaikan kerja ini. Anakku datang kemari.”

Ketika Ki Widura keluar dari pintu pringgitan bangunan utama padepokan kecil itu, maka ia melihat Glagah Putih dan Rara Wulan naik ke pendapa bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan.

“Marilah Glagah Putih, Rara Wulan. Silahkan Ki Sanak berdua naik.”

Sejenak kemudian mereka telah duduk di pringgitan. Ki Widura pun kemudian mengucapkan selamat datang kepada anak dan menantunya serta kedua orang tamu yang datang bersama mereka.

“Kami semuanya selamat di perjalanan, Ayah,” sahut Glagah Putih,”bagaimana dengan Ayah dan seluruh isi padepokan ini?”

“Semuanya baik-baik saja, Glagah Putih.”

“Ayah,” berkata Glagah Putih kemudian. Iapun segera memperkenalkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati bukan saja sebagai ayah dan ibu angkat mereka, tetapi juga sebagai guru mereka.

“Aku mengucapkan terima kasih, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, yang telah mengangkat anak dan menantuku menjadi anak angkat. Bahkan lebih dari itu, keduanya telah mendapat bimbingan untuk dapat menguasai ilmu yang akan sangat berarti bagi masa depan mereka.”

“Kami bukan orang-orang berilmu tinggi,” berkata Ki Citra Jati, “kami hanya ingin menitipkan ilmu yang dengan susah payah kami pelajari, agar tidak menjadi punah. Anak kandung kami yang hanya seorang, ternyata telah memilih mewarisi ilmu yang dialirkan oleh cabang perguruan yang lain, sehingga justru karena itu ia tidak lagi dapat mewarisi ilmu kami. Sementara itu, aku melihat kelebihan pada Glagah Putih dan Rara Wulan, sehingga menurut pendapat kami akan dapat menjadi sarang untuk kemampuan kami yang tidak seberapa berarti itu. Dengan demikian sepeninggal kami berdua, ilmu kami masih akan tetap hidup di dalam diri Glagah Putih dan Rara Wulan, bersama-sama dengan cabang ilmu berbagai perguruan yang sudah ada lebih dahulu di dalam diri mereka.”

“Ilmu yang Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berikan, akan melengkapi perbendaharaan ilmu mereka. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih.”

“Selanjutnya, perkenankanlah kami berdua tetap ikut mengaku keduanya anak dan menantu kami.”

“Silahkan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Anak-anak itu tentu merasa semakin hangat jika mereka mempunyai orang tua rangkap, di samping mertua mereka.”

Perkenalan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dengan Ki Widura pun cepat menjadi akrab. Mereka merasa bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan merupakan perekat dari hubungan mereka.

Hari itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati beristirahat di padepokan kecil di Jati Anom itu. Sementara itu, Glagah Putih pun telah menceritakan perjalanannya sejak ia berangkat sampai ia kembali dan singgah di padepokan kecil itu.

“Menurut keterangan yang aku dengar itu, Ki Saba Lintang sedang bersiap-siap untuk mendatangi rumah Kakang Agung Sedayu.”

“Bukankah mereka pernah mencobanya dan ternyata mereka tidak berhasil?”

“Ya, Ayah.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Namun nampak di wajah Ki Widura bahwa ada sesuatu yang ingin diungkapkannya, meskipun agak ragu-ragu.

“Glagah Putih,” berkata Ki Widura, “sekarang sebaiknya kalian beristirahat saja lebih dahulu. Mungkin kau ingin menunjukkan kepada ayah dan ibu angkatmu, lingkungan yang terdapat di padepokan ini. Halaman depan, halaman samping, beberapa barak, kebun dengan kolam-kolam ikan, serta sebidang tanah untuk peternakan, selain sawah ladang kami yang terbentang sampai ke pinggir hutan. Tetapi kalian tentu tidak akan pergi keluar dinding padepokan, sehingga yang kalian lihat pun tentu hanya terbatas saja.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Meskipun kepalanya mengangguk, tetapi ia masih belum menjawab.

“Nanti malam aku ingin berbicara tentang usaha orang-orang dari Perguruan Kedung Jati itu.”

“Kenapa menunggu nanti malam, Ayah?” bertanya Glagah Putih.

Ki Widura tersenyum. Katanya, “Di malam hari kita akan berada di dalam suasana yang lebih tenang. Udara tidak terlalu panas, dan rasa-rasanya tugas-tugas kita yang lain untuk hari ini sudah kita selesaikan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Ayah.”

“Nah, ajak ayah dan ibu angkatmu beristirahat sambil melihat-lihat kolam ikan kami. Para cantrik agaknya berhasil memelihara ikan dan menternakkannya.”

Seperti yang dikatakan ayahnya, maka Glagah Putih pun telah mempersilahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk melihat-lihat lingkungan di padepokan itu, disertai oleh Rara Wulan. Ternyata mereka sangat tertarik kepada beberapa kolam ikan yang terdapat di bagian belakang dari padepokan itu.

“Sangat menyenangkan,” berkata Nyi Citra Jati, “kolam-kolam ini terpelihara sangat baik. Perputaran airnya sangat teratur, sementara penangkarannya pun dapat berlangsung dengan baik. Dengan memisahkan anak-anak ikan dengan ikan-ikan yang lebih besar, dapat memberikan kemungkinan hidup lebih banyak bagi bibit-bibit ikan itu.”

“Ya, Ibu,” sahut Glagah Putih, “ada beberapa orang cantrik yang mengkhususkan diri memelihara kolam-kolam ini serta isinya, sehingga hasilnya menjadi cukup baik.”

“Tidak hanya cukup baik. Tetapi sangat baik.”

“Rasa-rasanya aku ingin menangkap satu dua ekor.”

“Jika Ayah menginginkannya?” berkata Glagah Putih

“Tadi seorang cantrik sudah menangkap dua ekor gurami yang besar,” berkata Rara Wulan

Ki Citra Jati mengangguk-angguk sambil berdesis, “Nah, kesampaian juga keinginanku itu.”

“Tetapi apakah gurami itu akan diperuntukkan bagi kita?” sahut Nyi Citra Jati.

“He?”

Nyi Citra Jati tertawa. Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa pula. Demikian pula Ki Citra Jati.

Beberapa saat lamanya mereka berada di kebun padepokan kecil itu. Namun kemudian mereka pun telah kembali ke barak kecil yang diperuntukkan bagi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan juga akan berada di serambi samping barak kecil itu.

Ketika matahari terbenam, serta lampu-lampu minyak sudah menyala dimana-mana, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati dipersilahkan ke bangunan utama padepokan itu untuk makan malam bersama dengan Ki Widura, Glagah Putih dan Rara Wulan. Nyi Citra Jati sempat menggamit Ki Citra Jati ketika mereka melihat dua ekor gurami yang besar telah ikut dihidangkan pula di antara beberapa macam lauk yang lain.

“Ayah,” desis Rara Wulan sambil memandang wajah Ki Citra Jati. Ki Citra Jati yang tanggap itu pun tertawa pula.

Sejenak kemudian, mereka pun makan malam bersama-sama. Sambil makan Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Ki Widura banyak berbicara tentang lingkungan padepokan itu. Tentang kerja para cantrik disamping latihan-latihan olah kanuragan yang berat.

Demikianlah, setelah mereka selesai makan malam serta beristirahat sejenak, maka Ki Widura pun mempersilahkan mereka untuk duduk di pringgitan bangunan utama itu.

“Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan,” berkata Ki Widura, terutama ditujukan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Jika kami tidak dapat ikut dalam pembicaraan itu, biarlah kami berada di barak yang telah disediakan untuk kami,” berkata Ki Citra Jati.

“Tidak. Ki Citra Jati dan Nyi Citra dapat saja ikut dalam pembicaraan itu. Bukan satu hal yang perlu dirahasiakan di antara kita.”

“Terima kasih, Ki Widura,” desis Ki Citra Jati.

Sejenak kemudian, mereka berlima pun telah berada di pringgitan. Seorang cantrik telah menghidangkan minuman hangat pula bagi mereka yang duduk di pringgitan itu.

Baru sejenak kemudian Ki Widura pun berkata, “Glagah Putih. Aku ingin menanggapi ceritamu tentang orang-orang dari Perguruan Kedung jati yang dipimpin Ki Saba Lintang itu.”

Glagah Putih pun beringsut setapak. Sambil mengangguk iapun menyahut, “Ya, Ayah. Kami memang sangat mengharapkannya.”

“Mungkin kau akan terkejut mendengar kabar yang bagaikan tertiup angin. Sebentar saja telah menebar di sekitar Mataram. Aku mendengar dari seorang cantrik yang kebetulan pulang menengok orang tuanya yang tinggal di Cupu Watu.”

“Berita apa yang didengarnya, Ayah?”

“Kalau hal ini aku katakan kepadamu, Glagah Putih, bukan berarti bahwa aku mempercayainya.”

“Ya, Ayah.”

Terasa jantung Glagah Putih bagaikan berdetak semakin cepat. Ia mengerti, betapa ayahnya sangat berhati-hati untuk mengucapkan cerita yang didengarnya. Namun dengan demikian Glagah Putih pun menduga, bahwa cerita itu tentu sangat penting artinya bagi dirinya, dan barangkali juga bagi tugas yang diembannya dalam hubungannya dengan tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.

“Glagah Putih,” berkata Ki Widura selanjutnya, “menurut kabar yang tersebar di sekitar Mataram, kedua tongkat baja putih dari Perguruan Kedung Jati itu justru sudah menyatu. Pada saat kau mengembara untuk menemukan tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang, maka cerita yang kemudian tersebar itu mengatakan bahwa banyak orang yang telah melihat, dua orang laki-laki dan perempuan dengan berkuda putih berkeliaran di kaki Gunung Merapi. Kedua-duanya membawa tongkat baja putih, pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati. Parahnya, Glagah Putih, orang-orang itu telah menyebut perempuan yang membawa tongkat baja putih itu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu, yang namanya sendiri adalah Sekar Mirah. Sedang laki-laki itu adalah Ki Saba Lintang. Sekar Mirah ternyata telah terpikat oleh ujud kewadagan Ki Saba Lintang, yang wajahnya cemerlang bagaikan bintang. Sebenarnyalah di dalam diri Ki Saba Lintang telah menitis bintang yang disebut Lintang Rinonce, yang digambarkan sebagai sosok manusia yang ketampanannya tidak ada taranya. Sepadan dengan Arjuna dalam dunia pewayangan. Atau Kamajaya dari Alam Kadewatan, atau bagaikan Panji Asmarabangun dalam cerita Panji.”

Wajah Glagah Putih terasa menjadi panas mendengar cerita itu. Sementara itu, Rara Wulan yang tidak dapat menahan perasaannya lagi tiba-tiba saja memotong, “Aku tidak percaya, Ayah.”

“Ya. Akupun tidak percaya. Tetapi cerita itu semakin lama semakin meluas. Sebentar lagi, Angger Swandaru pun tentu akan segera mendengarnya. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Angger Swandaru jika ia mendengar cerita itu.”

“Ini fitnah, Ayah,” geram Glagah Putih.

“Ya. Tentu saja itu fitnah.”

“Apakah Mbokayu Sekar Mirah sendiri sudah mendengarnya?”

“Aku belum tahu, Glagah Putih. Aku belum sempat pergi ke Tanah Perdikan. Dongeng itu baru aku dengar tiga atau empat hari yang lalu, setelah cantrik itu kembali ke padepokan ini.”

“Jika demikian, kami harus segera sampai di Tanah Perdikan Menoreh, Ayah. Kami harus segera memberitahukan kepada Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah, agar mereka dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan.”

“Ya. Bukankah esok pagi kalian akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh? Kau dapat berbicara dengan kakangmu serta mbokayumu.”

“Kami akan berangkat malam ini, Ayah.”

“Kau tidak perlu berangkat malam ini, Glagah Putih. Bukankah bedanya tidak akan terlalu lama?”

“Tidak, Ayah. Jika Ayah menceritakan fitnah ini sore tadi, kami akan dapat berangkat lebih awal.”

“Bermalamlah di sini malam ini. Berangkatlah esok pagi-pagi sekali.”

“Tidak, Ayah. Aku akan berangkat malam ini.”

“Itulah yang aku cemaskan, Glagah Putih. Jika aku mengatakannya sore tadi, kau pun tentu akan segera berangkat pula. Karena aku ingin kau berada di sini agak lebih lama, maka baru sekarang aku menceritakannya, dengan harapan bahwa kau dapat menunda keberangkatanmu sampai esok pagi.”

“Ayah, bukankah tidak ada masalah di padepokan ini, sehingga kehadiranku di sini tidak terlalu penting? Tetapi kedatanganku di Tanah Perdikan Menoreh, mungkin akan dapat membawa perubahan terhadap keadaan yang akan sangat mengganggu ketenangan keluarga Kakang Agung Sedayu itu.”

Ki Widura menarik nafas panjang. Katanya, “Jika demikian, terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan minta Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk tetap berada di padepokan ini, setidak-tidaknya untuk malam ini.”

“Terima kasih, Ki Widura. Tentu masih ada waktu bagi kami berdua untuk datang pada kesempatan lain, jika Yang Maha Pencipta memberi kami umur panjang.”

“Apa boleh buat,” berkata Ki Widura, “aku tidak berani menahan Glagah Putih dan Rara Wulan. Jika terjadi sesuatu, aku akan dapat dianggap bersalah.”

“Bukan begitu, Ayah,” sahut Glagah Putih, “aku hanya ingin berbuat sesuatu sejauh dapat aku lakukan, sehingga aku tidak akan menyesalinya.”

“Baiklah. Pergilah. Kalian tidak perlu berjalan kaki sampai Tanah Perdikan Menoreh. Kalian dapat berkuda dari padepokan ini. Kami juga akan menyediakan kuda bagi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan agak ragu iapun bertanya, “Jika kami membawa empat ekor kuda dari padepokan ini, apakah kami tidak mengganggu kegiatan yang berlangsung di sini?”

“Tidak, Glagah Putih, kami tidak mempunyai banyak kegiatan. Sedangkan di padepokan ini masih ada beberapa ekor kuda.”

“Terima kasih, Ayah,” desis Glagah Putih.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berbenah diri. Mereka benar-benar akan berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh malam itu juga, bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Menjelang tengah malam, maka Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sudah siap untuk berangkat. Ki Widura dan beberapa orang cantrik melepas mereka di pintu gerbang.

“Hati-hatilah, Glagah Putih,” pesan Ki Widura.

“Ya, Ayah.”

“Jika kudamu letih, jangan paksa berlari terus. Sekali-sekali kau harus beristirahat. Seandainya bukan kau yang letih, kudamu-lah yang memerlukan beristirahat barang sejenak. Mungkin minum atau sedikit makan rumput yang tumbuh di tanggul-tanggul parit.”

“Ya, Ayah.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun sudah berada di punggung kuda mereka. Sebelum kuda mereka berlari meninggalkan regol padepokan, Glagah Putih masih berpesan, “Baktiku berdua buat Kakang Untara di Jati Anom, Ayah. Jika Ayah bertemu dengan Kakang Untara, tolong katakan bahwa aku tidak sempat singgah. Mungkin Ayah pun perlu menyampaikan fitnah itu kepada Kakang Untara. Juga jika Ayah bertemu dengan Kakang Swandaru. Aku tidak sempat singgah di Jati Anom, maupun di Sangkal Putung.”

“Baik. Glagah Putih. Mereka akan mengerti, kenapa kau tidak singgah.”

“Terima kasih, Ayah.”

Sejenak kemudian, maka empat ekor kuda telah berlari di jalan-jalan bulak yang panjang. Gelap malam tidak menjadi hambatan perjalanan mereka. Mereka sudah terbiasa melintasi kegelapan. Meskipun demikian, mereka tidak memacu kuda mereka terlalu kencang.

Meskipun mereka tidak akan singgah di Mataram, tetapi mereka mengambil jalan yang terbaik bagi perjalanan mereka, sehingga kuda-kuda mereka tidak mengalami kesulitan di perjalanan.

“Bukankah jalan ini jalan yang menuju ke Mataram?” bertanya Ki Citra Jati.

“Ya, Ayah. Kita akan mengambil jalan pintas setelah kita mendekati Kotaraja. Tetapi kita akan segera memasuki jalan utama, menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sebagai seorang pengembara, maka iapun pernah menjelajahi daerah yang dilaluinya itu. Iapun pernah, bahkan tidak hanya sekali, pergi untuk melihat-lihat Kotaraja. Iapun pernah menelusuri jalan menyeberangi Kali Praga, memasuki daerah Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati belum pernah tersangkut dengan persoalan-persoalan yang terjadi di Mataram dan di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, maka keduanya pun hanya sekedar lewat dan tidak mengenali daerah itu lebih ke kedalamannya.

Ketika keempat orang itu sampai di Kali Opak, maka mereka berempat pun bersepakat untuk beristirahat. Agaknya kuda-kuda mereka telah merasa letih.

Mereka pun membiarkan kuda mereka minum air sungai yang sejuk dan bening. Apalagi di malam hari. Sementara kuda mereka beristirahat, maka keempat orang itu pun duduk pula di atas batu-batu besar yang berserakan di Kali Opak. Meskipun batu-batu itu basah oleh embun, namun keempat orang itu tidak menghiraukannya.

“Malam ini terasa dingin,” desis Ki Citra Jati.

“Angin basah bertiup dari selatan,” sahut Nyi Citra Jati. “Embun pun sudah menitik membasahi bebatuan dan dedaunan. Jika kita tidak duduk di punggung kuda yang berlari, mungkin kita pun akan merasa malam ini lebih dingin lagi.”

Ki Citra Jati tidak menyahut. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bintang-bintang sudah bergerak dari tempatnya.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih yang gelisah pun berkata, “Apakah kita dapat segera melanjutkan perjalanan?”

“Marilah,” Nyi Citra Jati pun segera bangkit, “jika kita berhenti terlalu lama, mataku justru mulai mengantuk.”

Yang lain pun segera bangkit pula. Sementara Ki Citra Jati pun berkata, “Kuda-kuda itu sudah cukup beristirahat. Tetapi kita masih harus beristirahat lagi sebelum kita menyeberang Kali Praga.”

Perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh itu mereka tempuh tanpa hambatan yang berarti. Mereka berhenti hanya sekedar untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat. Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, maka mereka melihat matahari mulai naik. Tetapi sinarnya masih sangat lemah, sehingga masih belum terasa menjamah kulit mereka.

Di kejauhan terdengar suara burung liar yang berkicau dengan riang menyambut hari baru yang cerah. Sementara itu di tepian sudah ada beberapa orang yang siap untuk menyeberang pula. Ketika sebuah rakit dari seberang menepi, keempat orang itu masih belum mendapat tempat, apalagi mereka membawa empat ekor kuda.

Seorang yang memikul dua bakul besar dengan ramah berkata, “Maaf, Ki Sanak, aku mendahului.”

“Silahkan. Itu dari seberang telah meluncur sebuah rakit yang besar. Kami akan menumpang rakit itu.”

Orang yang memikul dua bakul yang besar itu pun segera naik. Tetapi matanya masih saja menatap Glagah Putih dan Rara Wulan, kemudian berganti menatap Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

“Tatapan mata orang itu terasa aneh,” desis Glagah Putih.

“Ya. Aku juga memperhatikannya,” sahut Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun rakit yang membawa orang itu pun mulai bergerak mengikuti arus Kali Praga. Namun kemudian rakit itu pun menjadi semakin ke tengah, melintas ke sisi barat.

Baru beberapa saat kemudian, sebuah rakit yang terhitung besar menepi. Penumpangnya pun segera turun ke tepian. Sementara itu, Glagah Putih, Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun naik ke atas rakit yang besar itu. Yang naik bersama mereka hanyalah dua orang perempuan yang membawa seikat stagen lurik dan seikat kain lurik.

Rakit itu tidak terlalu lama berhenti di sisi sebelah timur. Ketika rakit yang lain mulai bergerak ke timur, maka rakit yang terhitung besar dengan empat orang tukang satang itu pun mulai bergerak pula.

Ketika mereka berempat turun di tepian sebelah barat Kali Praga, Glagah Putih dan Rara Wulan masih melihat orang yang memikul sepasang bakul itu berdiri di tepian. Bahkan orang itu pun kemudian berjalan mendekatinya.

“Apakah aku boleh bertanya, Ki Sanak?” desis orang itu hampir berbisik kepada Glagah Putih.

“Apa yang akan kau tanyakan?”

“Siapakah di antara kalian yang disebut Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu, yang kemudian telah bergabung dengan Perguruan Kedung Jati?”

Terasa jantung Glagah Putih bagaikan tersentuh bara. Namun dengan sekuat tenaga Glagah Putih berusaha untuk menahan diri. Bahkan ketika Rara Wulan dengan serta merta melangkah maju, Glagah Putih sempat menahannya.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak berdiri terlalu dekat dengan mereka, sehingga keduanya tidak segera mengetahui apa yang dibicarakan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan dengan orang yang membawa dua bakul serta pikulan itu.

Betapapun panasnya dada Glagah Putih, namun ia sempat tersenyum. Glagah Putih itu pun justru bertanya, “Nah, siapakah menurut pendapatmu? Aku dan perempuan itu, atau orang tua itu dengan perempuan yang bersamanya. Siapakah yang lebih pantas dari kami memiliki tongkat baja putih sebagai lambang kepemimpinan Perguruan Kedung Jati?”

Orang itu merasa ragu. Di luar sadarnya iapun berkata, “Aku tidak dapat menebak. Tetapi menurut gambaranku, kedua orang tua itu tentu terlalu tua untuk disebut Ki Saba Lintang, titisan dari Lintang Rinonce yang bercahaya di waktu fajar.”

“Itu Lintang Panjer Rina,” potong Rara Wulan.”

“Tetapi menurut pendengaranku, Ki Saba Lintang itu bukan titisan Lintang Panjer Rina.”

“Jadi?”

“Apakah kau yang disebut Ki Saba Lintang, dan perempuan ini Nyi Lurah Agung Sedayu?”

“Jadi menurut pendapat Ki Sanak, aku pantas menjadi titisan Lintang Rinonce?”

“Menurut pendapatku, Ki Sanak ini masih terlalu muda.”

“Apakah aku masih nampak sangat muda?”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian iapun memandang Rara Wulan sambil berkata, “Aku meragukan Nyi Lurah Agung Sedayu itu.”

Glagah Putih tertawa. Dengan nada tinggi iapun bertanya, “Kenapa kau meragukannya?”

“Apakah Nyi Lurah masih semuda itu?”

“Ketika ia menikah dengan Ki Lurah, umurnya baru tiga belas tahun. Tetapi kemampuannya sudah berada di atas kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu. Pada umur tiga belas tahun, di bawah bimbingan gurunya yang disebut Ki Sumangkar, ia adalah seorang perempuan yang berilmu tinggi, yang pantas mewarisi tongkat baja putih itu. Namun akhirnya, Nyi Lurah itu telah kembali ke kandangnya. Nyi Lurah telah bergabung bersamaku. Kedua orang tua itu adalah penasehatku. Bukan saja tentang olah kanuragan, karena keduanya juga guruku, tetapi juga tentang cara-cara yang harus aku tempuh untuk membangkitkan kembali Perguruan Kedung Jati, yang sudah cukup lama terbengkalai.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun orang itu agak terkejut ketika Glagah Putih bertanya, “Darimana kau dengar bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu sudah bergabung dengan aku? Kenapa pula kau bertanya kepadaku, apakah aku yang disebut Ki Saba Lintang?”

“Aku adalah penjual berbagai jenis akar, batang dan daun untuk obat-obatan. Untuk daya tahan tubuh, kekebalan dan sebagainya. Aku juga berjualan bebatuan yang mengandung khasiat. Aku berkeliling dari pasar ke pasar, dari rumah ke rumah dan dari satu tempat ke tempat yang lain.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi karena hubunganmu sangat luas, maka kau telah mendengar dari salah seorang dari mereka, bahwa Nyi Lurah Sekar Mirah telah bergabung dengan Ki Saba Lintang?”

“Ya.”

“Tetapi darimana kau tahu, bahwa aku-lah Ki Saba Lintang itu, dan perempuan ini adalah Nyi Lurah Agung Sedayu?”

Orang itu tertawa pendek. Katanya, “Menurut ujud lahiriah, aku hanya seorang yang menjajakan daganganku dalam sepasang bakul yang aku pikul kesana-kemari. Tetapi ternyata aku mempunyai tanggapan jiwani yang sangat peka. Demikian aku melihat kalian berdua, maka jiwaku telah tergetar. Seakan-akan ada suara gaib yang berbisik di telingaku, bahwa aku telah bertemu dengan Ki Saba Lintang dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Sepasang titah linuwih, yang masing-masing memiliki tongkat baja putih pertanda kepemimpinan Perguruan Kedung Jati.”

“Ternyata bahwa kau mempunyai kelebihan dari kebanyakan orang. Ternyata panggraitamu sangat tajam. Kau mempunyai rabaan indra keenam yang tidak dimiliki oleh orang lain.”

“Ya. Justru karena pekerjaanku, maka aku sering menjalani laku prihatin. Aku sering berziarah ke tempat-tempat wingit. Ternyata laku yang aku jalani tidak sia-sia. Aku mempunyai rabaan indra keenam. Meskipun aku belum pernah melihat kalian, tetapi aku langsung dapat melihat bahwa kalian berdua adalah dua orang linuwih itu.”

“Terima kasih. Sekarang aku minta diri.”

“Kalian akan pergi kemana?”

“Ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Untuk apa? Apakah Nyi Lurah Agung Sedayu akan pulang dan meninggalkan Ki Saba Lintang?”

“Bagaimana menurut penglihatan indra keenammu?” Glagah Putih justru bertanya.

“Tidak. Ki Saba Lintang akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Menantangnya berperang tanding dan akhirnya membunuhnya.”

“Kau benar-benar mempunyai indra keenam. Penglihatanmu terang. Kau dapat melihat apa yang belum terjadi. Jadi, apakah aku akan berhasil?”

“Ya. Kau akan berhasil.”

“Bagus,” sahut Glagah Putih, “aku minta, pergilah ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau akan melihat bagaimana aku berperang tanding dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

Orang itu berpikir sejenak. Lalu katanya, “Aku ingin, Ki Sanak. Tetapi sayang, aku harus pergi ke Sumpiuh. Ada orang sakit yang harus aku obati. Tetapi jika aku selesai dengan pengobatan itu, aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Baik. Aku tunggu kau di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Meskipun aku tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Saba Lintang, tetapi aku tetap melihat apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu.”

“Ya. Indra keenammu akan melihat apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera memberi isyarat kepada Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati untuk melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang kemudian mendengarkan pembicaraan Glagah Putih dan orang yang memikul sepasang bakul itu, mengetahui maksud pembicaraan mereka. Karena itu, ketika mereka sudah berkuda meninggalkan orang yang memikul sepasang bakul itu, Ki Citra Jati pun berkata, “Kasihan orang itu.”

“Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya kepada orang itu, Kakang?” Rara Wulan justru bertanya.

“Aku tidak sampai hati merusak kebanggaannya. Ia merasa bahwa ia memiliki penglihatan batin yang sangat tajam.”

“Tetapi pengakuanmu bahwa kau adalah Ki Saba Lintang telah menyesatkannya.”

“Ya. Aku memang tidak seharusnya berbuat seperti itu. Tetapi jika ia tahu bahwa ia telah keliru, maka ia akan menjadi sangat kecewa.”

“Tetapi itu lebih baik. Ia segera mengetahui kesalahannya.”

“Ya. Sebaiknya aku memang berkata apa adanya, tetapi rasa-rasanya aku tidak sampai hati.”

“Kau harus melakukannya sejak awal,” berkata Ki Citra Jati, “ketika mula-mula ia menebak bahwa kau adalah Ki Saba Lintang, kau sengaja mengiyakannya, karena kau ingin memancing pendapatnya lebih lanjut. Tetapi setelah ia berkata lebih jauh, kau tidak sampai hati mengingkarinya dan mengatakan apa yang sebenarnya.”

“Ya, Ayah.”

“Meskipun kadar peristiwanya tidak sama, tetapi apa yang terjadi pada Kakang Swandaru juga karena Kakang Agung Sedayu tidak sampai hati untuk mengatakan yang sebenarnya, sehingga penilaian yang salah terhadap Kakang Agung Sedayu itu berkembang semakin jauh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika ia berniat pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, ia akan aku beritahu yang sebenarnya, betapapun pahit baginya. Tetapi itu adalah kebenaran yang harus diterimanya.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku kira ia akan benar-benar pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

Demikianlah, maka mereka berempat pun kemudian telah melarikan kuda mereka memasuki lingkungan tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan rasa-rasanya Glagah Putih menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin segera sampai di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun sebenarnyalah di sudut jantung Glagah Putih terselip pula kecemasan. Jika benar Sekar Mirah hilang dari Tanah Perdikan Menoreh, maka hancurlah keluarga kakak sepupunya itu.

Karena itu, maka di luar sadarnya kuda Glagah Putih pun berlari semakin lama semakin cepat. Namun setiap kali Rara Wulan memperingatkannya, maka Glagah Putihpun berusaha mengurangi kecepatannya.

“Di jalan-jalan menjadi semakin banyak orang, Kakang,” desis Rara Wulan setiap kali, “orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar. Orang-orang yang pergi ke sawah, dan mungkin juga satu dua orang yang bepergian serta menempuh perjalanan jauh seperti kita berempat.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Rara.”

Bahkan ketika mereka mulai memasuki padukuhan, satu dua anak muda yang berpapasan langsung dapat mengenali Glagah Putih dan Rara Wulan. Dengan demikian, maka mereka pun selalu bertanya, sudah agak lama keduanya tidak kelihatan di Tanah Perdikan.

Glagah Putih selalu mencoba tersenyum dan menjawab, meskipun hanya dengan kalimat-kalimat pendek. “Aku berada di Jati Anom.”

Anak-anak muda itu tidak sempat bertanya lebih banyak lagi. Glagah Putih memang nampak tergesa-gesa.

Sebenarnyalah ketika mereka memasuki pintu gerbang padukuhan induk Tanah Perdikan, rasa-rasanya Glagah Putih ingin meloncat langsung ke halaman rumahnya. Tetapi ia tidak dapat melarikan kudanya lebih cepat lagi, agar tidak terlalu banyak menarik perhatian. Karena semakin banyak orang yang melihat kehadiran mereka, maka akan semakin banyak pula orang yang bertanya-tanya tentang kepergian mereka.

Namun akhirnya mereka sampai pula ke regol halaman rumah Ki Lurah Agung Sedayu. Glagah Putih dengan serta merta meloncat turun dari kudanya, dan dengan tergesa-gesa menuntun kudanya memasuki regol halaman itu.

Di halaman, Glagah Putih melepaskan saja kudanya, sehingga Rara Wulan harus menangkap kendalinya dan menuntunnya ke samping pendapa. Mengikat pada patok-patok yang sudah disediakan. Demikian pula Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Sementara itu, Glagah Putih telah berlari memasuki pintu seketheng.

Di longkangan Glagah Putih tertegun. Rumah itu nampak sepi. Ia tidak melihat seorangpun. Ki Lurah atau Nyi Lurah, atau Ki Jayaraga, atau siapapun.

Namun tiba-tiba dari arah belakang dapur muncul Sukra, yang juga terkejut melihat Glagah Putih.

“Kakang Glagah Putih.”

Glagah Putih tidak sabar lagi untuk segera mengetahui apakah Sekar Mirah ada di rumah. Karena itu, maka dengan serta merta iapun bertanya, “Dimana Mbokayu Sekar Mirah?”

Sikap Sukra membuat Glagah Putih berdebar-debar. Sambil menggelengkan kepalanya Sukra pun menjawab, “Nyi Lurah tidak ada di rumah.”

“Tidak ada di rumah?”

“Sejak dua hari yang lalu.”

Jantung Glagah Putih terasa berdenyut semakin keras.

“Kemana?”

“Ke Mataram.”

“Kakang Agung Sedayu?”

“Ki Lurah juga pergi ke Mataram, mengantar Nyi Lurah. Nyi Lurah-lah yang terutama di panggil ke Mataram dua hari yang lalu. Ki Lurah hanya mengantarnya saja.”

“Ada apa Mbokayu Sekar Mirah dipanggil ke Mataram?”

Sukra menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu.”

Dada Glagah Putih masih berdebar-debar. Namun kemudian iapun bertanya, “Dimana Ki Jayaraga?”

“Ke sawah. Sejak pagi tadi.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Bukalah pintu pringgitan. Aku membawa dua orang tamu selain Rara Wulan.”

Glagah Putih pun kembali ke halaman lewat pintu seketheng, sementara Sukra pun masuk ke dalam rumah lewat pintu butulan untuk membuka pintu pringgitan.

Agaknya Rara Wulan pun ingin segera mengetahui tentang Sekar Mirah, sehingga karena itu maka iapun segera bertanya, “Bagaimana dengan Mbokayu Sekar Mirah?”

“Mbokayu Sekar Mirah pergi ke Mataram bersama Kakang Agung Sedayu.”

“Siapakah yang mengatakannya?”

“Sukra.”

“Untuk apa?”

“Sukra tidak tahu.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Sementara itu Glagah Putih pun mempersilahkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati naik ke pendapa. Demikian mereka duduk, maka pintu pringgitan pun telah terbuka.

Tetapi Rara Wulan tidak ikut duduk bersama mereka. Iapun langsung masuk ke ruang dalam untuk mempersiapkan minuman bagi kedua orang tua angkatnya, serta Glagah Putih.

“Bantu aku,” berkata Rara Wulan kepada Sukra.

Sukra tidak menjawab. Tetapi ia ikut pergi ke dapur. Iapun mengisi air ke dalam belanga tembaga, sementara Rara Wulan menyalakan api.

“Sukra,” berkata Rara Wulan setelah apinya menyala, “ceritakan, apa yang kau ketahui tentang Mbokayu Sekar Mirah?

“Tidak banyak,” jawab Sukra, “aku hanya tahu bahwa Nyi Lurah dipanggil ke Mataram. Kemudian Ki Lurah mengantarkannya. Aku tidak tahu ada persoalan apa sehingga Nyi Lurah harus pergi ke Mataram.”

“Bagaimana dengan Ki Jayaraga? Apakah Ki Jayaraga mengetahuinya?”

“Mungkin.”

“Baiklah. Pergilah menyusul Ki Jayaraga. Katakan bahwa aku dan Kakang Glagah Putih telah pulang.”

Sukra tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian meninggalkan dapur lewat pintu belakang.

Rara Wulan-lah yang kemudian sibuk sendiri di dapur. Disiapkannya beberapa buah mangkuk yang tersimpan rapi di dalam geledeg bambu. Agaknya Rara Wulan masih belum lupa letak perkakas dapur di rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Sejenak kemudian, minuman pun telah siap. Rara Wulan sendiri yang membawa minuman itu ke pringgitan.

“Dimana Sukra?” bertanya Glagah Putih.

“Menyusul Ki Jayaraga. Mungkin Ki Jayaraga mengetahui, kenapa Mbokayu Sekar Mirah dipanggil ke Mataram.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Citra Jati pun bertanya, “Siapakah Ki Jayaraga itu?”

“Seseorang yang sudah kami anggap keluarga sendiri. Ki Jayaraga adalah salah seorang guruku.”

“Menarik sekali. Dimana Ki Jayaraga sekarang?”

“Di sawah.”

“Di sawah?”

“Ya. Untuk mengisi waktunya, Ki Jayaraga rajin sekali pergi ke sawah. Beberapa kotak sawah digarapnya sendiri. Sejak membajak sampai membajak lagi.”

“Seorang yang sangat rajin. Berapakah usia Ki Jayaraga?”

“Seusia Ayah.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang tua memanggul cangkul di pundaknya memasuki regol halaman rumah Ki Lurah Agung Sedayu, diikuti oleh Sukra.

“Itulah Ki Jayaraga, Ayah,” berkata Glagah Putih sambil bangkit berdiri.

Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun bangkit berdiri pula. Demikian Ki Jayaraga naik ke pendapa, Glagah Putih mengangguk hormat, sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Kau sudah pulang, Glagah Putih.”

“Ya. Ki Jayaraga, aku pulang bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Keduanya telah mengangkat kami berdua sebagai anak mereka. Selebihnya, keduanya telah menurunkan ilmu terpenting kepada kami berdua.”

“Ah, ilmu yang tidak ada artinya apa-apa,” desis Ki Citra Jati.

“Mari, mari, silahkan duduk,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

Sejenak kemudian, mereka telah duduk di pringgitan. Sementara Sukra pun telah pergi ke dapur. Meskipun Sukra seorang laki-laki, tetapi ia cukup terampil karena ia sudah lama tinggal bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Karena itu, maka dengan cekatan Sukra pun telah mencuci beras dan menanak nasi. Bahkan Sukra pun kemudian telah memungut beberapa butir telur. Memetik sebuah ketela gantung muda dan beberapa lembar daun so di kebun.

Dalam pada itu, ternyata Rara Wulan tidak ingat lagi untuk menyiapkan makan bagi mereka. Ia dengan sungguh-sungguh mendengarkan cerita Ki Jayaraga tentang Nyi Lurah Sekar Mirah.

“Jadi para petugas di Mataram telah mendengar desas-desus tentang Mbokayu Sekar Mirah yang berpihak kepada Ki Saba Lintang itu?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Karena itu para pejabat di Mataram ingin membuktikannya. Mereka telah memanggil Nyi Lurah Agung Sedayu untuk pergi ke Mataram, menghadap langsung Ki Tumenggung Wiradilaga, atas perintah langsung dari Ki Patih Mandaraka dan Kanjeng Pangeran Purbaya.”

“Aku akan menyusul Kakang Agung Sedayu,” berkata Glagah Putih.

“Jangan, Glagah Putih,” sahut Ki Jayaraga, “kau jangan membuat persoalannya menjadi keruh.”

“Tidak. Aku justru ingin menjernihkan persoalannya. Bahwa Mbokayu Sekar Mirah telah berpihak pada Ki Saba Lintang adalah fitnah semata-mata. Maksudnya sudah jelas, untuk mencemarkan nama baik Mbokayu Sekar Mirah, justru karena Mbokayu Sekar Mirah tidak mau bergabung dengan Ki Saba Lintang dengan janji apapun juga.”

“Kakakmu Agung Sedayu tentu akan dapat membersihkan nama mbokayumu. Sampai sekarang kakakmu Agung Sedayu masih mendapat kepercayaan dari para pejabat di Mataram.”

“Tetapi kami berdua setidak-tidaknya dapat menjadi saksi, bahwa berita tentang bergabungnya Mbokayu Sekar Mirah pada Perguruan Kedung Jati itu benar-benar fitnah. Aku dan Rara Wulan mengalami langsung akibat dari fitnah itu.”

“Apa maksudmu, Glagah Putih?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menceritakan pertemuannya dengan seorang yang memikul sepasang bakul berisi bahan obat-obatan serta bebatuan yang dianggapnya berkhasiat.

Ki Jayaraga mendengarkan cerita Glagah Putih itu dengan bersungguh-sungguh.

“Memang menarik sekali, Glagah Putih,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “tetapi jika hari ini kau pergi ke Mataram, mungkin sekali kau akan berselisih jalan, karena kakakmu sudah dua hari berada di Mataram. Ia tentu tidak akan dapat berlama-lama meninggalkan tugasnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Sebaiknya kau menunggu. Jika sampai malam nanti kakakmu belum pulang, berarti ada masalah yang sangat penting yang harus dipecahkannya. Aku tidak berkeberatan jika besok kau pergi ke Mataram.”

“Baiklah,” sahut Glagah Putih kemudian, “aku akan menunggu sampai besok pagi.”

Hari itu rasa-rasanya menjadi sangat panjang. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengisi waktunya dengan berbincang-bincang bersama Ki Jayaraga. Sementara itu Glagah Putih telah melakukan apa saja yang dapat dikerjakan. Rara Wulan sibuk di dapur. Namun ketika ia melihat bahwa Sukra telah menanak nasi dan menyiapkan lauknya menurut kemampuannya, Rara Wulan itu pun berkata, “Ternyata kau terampil juga, Sukra. Terima kasih. Perhatianku sepenuhnya tertuju kepada Mbokayu Sekar Mirah, sehingga aku lupa bahwa harus dipersiapkan makan bagi tamu-tamu kita.”

Sukra tidak menjawab. Ia hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan pujian Rara Wulan.

Menjelang senja, ternyata yang dikatakan oleh Ki Jayaraga benar. Agung Sedayu telah pulang dari Mataram.

Agung Sedayu memang terkejut melihat orang yang belum pernah dikenalnya duduk di pringgitan rumahnya bersama Ki Jayaraga. Namun Glagah Putih yang menyongsongnya segera memperkenalkannya dengan kedua orang tua angkatnya. Bahkan sekaligus yang telah menurunkan warisan ilmu kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Terima kasih atas kebaikan hati Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati terhadap adikku berdua,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Yang kami lakukan tentu tidak berarti apa-apa. Kami hanya ingin menitipkan sedikit yang kami miliki agar tidak punah bersama kepergian kami kelak.”

“Tentu sangat berarti bagi adikku berdua,” sahut Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun berkata, “Kakang. Aku menunggu kedatangan Kakang dengan tegang. Aku segera ingin tahu, bagaimana dengan Mbokayu Sekar Mirah sekarang. Kenapa Kakang tidak pulang bersama Mbokayu Sekar Mirah.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada yang telah memfitnah mbokayumu, Glagah Putih.”

“Aku juga telah mendengarnya, Kakang. Justru dari Ayah Widura di padepokan.”

“Apa yang kau dengar?” bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih pun segera menceritakan, apa yang telah didengarnya tentang Sekar Mirah.

“Apa yang dikatakan Paman Widura itu benar, Glagah Putih. Kabar itu telah tersebar di sekitar Mataram, sehingga telah didengar oleh para pejabat di Mataram.”

“Apakah para pejabat itu mempercayainya?”

“Sebagian besar, mereka yang telah lama berhubungan dengan aku dan mbokayumu, tidak mempercayainya. Tetapi mereka harus meyakinkan orang-orang yang baru muncul kemudian di gelanggang pemerintahan Mataram, bahwa cerita itu sama sekali tidak benar.”

“Jika demikian, kenapa Mbokayu Sekar Mirah tidak pulang bersama Kakang?”

“Salah satu cara untuk meyakinkan mereka yang bimbang. Jika selama mbokayumu berada di Mataram, cerita tentang perempuan yang selalu bersama-sama dengan Ki Saba Lintang itu masih berlanjut, maka cerita itu adalah cerita bohong.”

“Apakah kesaksianku tidak cukup untuk menjelaskan fitnah itu, Kakang?”

“Ceritamu akan dapat membantu memberikan penjelasan. Tetapi mbokayumu sendiri setuju, bahwa untuk sementara ia berada di Mataram.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Kakang, jika Kakang tidak berkeberatan, biarlah kami, maksudku aku dan Rara Wulan, berusaha memburu perempuan yang mengaku Sekar Mirah itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Glagah Putih. Aku harus berbicara lebih dahulu dengan para pemimpin di Mataram. Selama ini Mataram telah menaburkan beberapa orang petugas sandi untuk menangkap kabar berikutnya tentang perempuan yang mengaku bernama Sekar Mirah, serta memiliki salah satu dari sepasang tongkat baja putih itu.”

“Tetapi dimana tongkat itu sekarang, Kakang?”

“Ada di tangan mbokayumu di Mataram. Bukankah mungkin saja orang membuat tiruan tongkat baja putih itu?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Dengan menunjukkan tongkat baja putih di tangan Mbokayu Sekar Mirah, apakah orang-orang Mataram yang bimbang itu masih juga belum dapat diyakinkan?”

“Mereka memang memerlukan waktu untuk dapat meyakininya, Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa ada satu dua orang pemimpin di Mataram yang benar-benar mencurigai mbokayumu.”

“Ia mengira bahwa Mbokayu Sekar Mirah benar-benar telah bergabung dengan Ki Saba Lintang? Jika demikian, siapakah perempuan yang datang bersama Kakang Agung Sedayu itu menurut mereka?”

“Ada di antara mereka yang menganggap bahwa perempuan yang datang bersamaku itu pula-lah perempuan yang kadang-kadang melakukan perjalanan di Mataram dan sekitarnya. Keduanya dengan sengaja memperlihatkan diri kepada rakyat Mataram untuk menarik perhatian mereka.”

“Gila. Itu pikiran gila. Jika benar terjadi demikian, apakah Kakang Agung Sedayu akan tetap berdiam diri? Bahkan bersedia mengantar perempuan itu ke Mataram?”

“Ada seribu penalaran di seribu kepala, Glagah Putih. Karena itu, untuk membersihkan namanya, mbokayumu bersedia berada di Mataram.”

“Tetapi perempuan yang bersama-sama dengan Ki Saba Lintang itu tentu bukan perempuan yang bodoh. Setidak-tidaknya atas gagasan Ki Saba Lintang. Demikian mereka mendengar Mbokayu Sekar Mirah berada di Mataram, maka mereka akan menghentikan kegiatan mereka.”

“Kemungkinan seperti itu sudah aku sampaikan. Tetapi orang-orang Mataram menganggap bahwa keberadaan mbokayumu di Mataram itu merupakan satu rahasia.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Kita harus berjaga-jaga, Kakang. Keberadaan Mbokayu Sekar Mirah di Mataram memang dirahasiakan. Tetapi siapa tahu, bahwa ada orang-orang Ki Saba Lintang yang berada di Mataram. Atau setidak-tidaknya orang yang berpihak kepadanya.”

“Kemungkinan itu juga sudah aku katakan. Tetapi orang-orang Mataram yakin, bahwa tidak ada di antara mereka yang mempunyai hubungan dengan Ki Saba Lintang.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar