Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 344

Buku 344

“Ya, Ki Demang.”

“Aku ingin berbicara dengan orang yang menginap di penginapan ini, yang istri dan anaknya baru saja diculik orang.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Ia menjadi agak ragu-ragu untuk menjawab. Namun Ki Demang pun membentaknya, “Di bilik yang mana orang itu menginap, he?”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, “Sebaiknya Ki Demang bertemu dengan pemilik penginapan ini.”

“Dimana pemiliknya sekarang? Bukankah pemiliknya Ki Rejaprana?”

“Ya, Ki Demang.”

“Katakan kepada Ki Rejaprana, bahwa aku akan bertemu.”

“Silahkan naik ke pendapa, Ki Demang.”

Ki Demang pun kemudian telah naik ke pendapa dan duduk di pringgitan sambil menunggu pemilik penginapan itu.

Sejenak kemudian, Ki Rejaprana telah menemui Ki Demang dan kedua orang bebahu yang datang mencarinya.

“Ki Rejaprana,” berkata Ki Demang dengan serta-merta, “aku mencari orang yang menginap di penginapan ini. Orang yang pagi tadi diculik oleh beberapa orang yang tidak dikenal di pasar.”

“Kenapa dengan orang itu, Ki Demang?” bertanya Ki Rejaprana.

“Tolong panggil orang itu.”

“Apakah mereka telah melakukan kesalahan? Justru mereka yang mengalami penculikan?”

“Nanti kau akan tahu,” jawab Ki Demang.

Ki Rejaprana tidak dapat mengelak. Karena itu iapun telah memerintahkan seorang petugas untuk memanggil Ki Citra Jati.

Tetapi sebelum orang itu sampai ke pondok kecil yang letaknya di bagian belakang dari penginapan itu, Ki Citra Jati telah datang mendekati pendapa. Agaknya Ki Citra Jati sudah mendekat dan berdiri di sebelah dinding samping pringgitan

“Aku di sini Ki Demang,” sahut Ki Citra Jati sambil naik ke pendapa.

Ki Demang terkejut. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Ki Citra Jati melangkah mendekatinya dan kemudian duduk di sebelah pemilik penginapan itu.

“Ki Demang mencari aku?”

“Ya. Bukankah kau tadi yang datang melaporkan bahwa istri dan anakmu perempuan telah diculik orang?”

Ki Citra Jati mengangguk. Dengan nada suara yang berat ia pun menjawab, “Ya. Aku yang tadi datang ke rumah Ki Demang, melaporkan bahwa istri dan anak perempuanku telah diculik orang.

“Lalu, apakah yang kau lakukan?”

“Aku mendatangi rumah itu.”

“Kenapa kau tidak kembali? Bukankah kau berjanji bahwa kau akan kembali jika sekiranya Ki Jagabaya telah kembali darI tugasnya.”

“Semuanya sudah dapat diatasi. Karena itu, aku tidak kembali ke rumah Ki Demang. Dengan demikian, maka aku tidak perlu mengganggu tugas Ki Demang dan Ki Jagabaya serta para bebahu yang lain.”

“Tetapi kau bertindak sendiri. Kau hakimi sendiri orang yang telah menculik istri dan anakmu.”

“Anakku sekedar membela diri, karena ancaman tindak kekerasan dari orang-orang yang menculiknya.”

“Apapun alasannya, kau sudah menghakimi sendiri orang yang kau tuduh menculik istri dan anakmu. Kau telah membunuh orang itu.”

“Tidak. Aku maupun anakku tidak membunuh orang yang telah menculik istri dan anakku. Kedua orang perempuan yang menculik istri dan anakku itu masih tetap hidup. Jika mereka belum pergi, mereka akan dapat menjadi saksi, Karena mereka masih hidup.”

“Maksudku, kau, istri dan anak-anakmu telah membunuh.”

“Anak perempuanku telah membunuh orang yang akan membawanya dengan paksa ke Kepuh.”

“Apapun alasannya, tetapi kalian telah membunuh orang yang kami anggap penting. Raden Kuda Sembada.”

“Apa pentingnya Raden Kuda Sembada?” bertanya Ki Citra Jati.

“Raden Kuda Sembada adalah seorang pemimpin sejati. Ia bekerja keras membantu kami bagi ketenangan Kademangan Wirasari.”

“Apapun yang pernah dilakukannya, tetapi pada saat itu ia berusaha memaksa membawa anakku ke Kepuh dengan mengikat tangan dan kakinya ke tiang-tiang pedati. Nah, bukankah sudah sewajarnya jika anakku menolak?”

“Apakah menolak untuk dibawa ke Kepuh sama artinya dengan membunuh?”

“Raden Kuda Sembada berusaha memaksa, dan bahkan jika anakku tetap menolak, ia akan membunuhnya. Anakku hanya membela diri. Ia sama sekali tidak merencanakan untuk membunuh.”

“Anakmu perempuan dapat membunuh Raden Kuda Sembada?”

“Ya. Ia membela dirinya. Namun Raden Kuda Sembada tenyata terlalu lemah bagi anak perempuanku, sehingga tanpa disengaja Raden Kuda Sembada telah terbunuh.”

“Omong kosong. Raden Kuda Sembada adalah seorang yang berilmu tinggi. Kalian berempat tentu telah berbuat curang dan bersama-sama dengan licik telah membunuhnya.”

“Tidak, Ki Demang. Anakku perempuan-lah yang telah membunuhnya. Tetapi tidak dengan disengaja. Pembunuhan itu terjadi karena salah Raden Kuda Sembada sendiri.”

“Jangan membual. Sudah aku katakan, bahwa Raden Kuda Sembada adalah orang yang berilmu tinggi. Jika kalian tidak maju bersama-sama, bahkan dengan rencana yang matang, kalian tidak akan dapat mengalahkannya. Apalagi Raden Kuda Sembada tidak sendiri.”

“Ki Demang. Aku mengatakan apa yang sebenarnya telah terjadi. Kedua orang perempuan yang menculik istri dan anakku akan dapat menjadi saksi.”

“Mungkin mereka akan mengatakan sebagaimana kau harapkan karena beberapa alasan. Mungkin orang itu telah kau beri uang. Mungkin kau ancam, atau kemungkinan-kemungkinan lain, sehingga mereka telah memberikan kesaksian sebagaimana kau kehendaki.”

“Jadi, bagaimana kami harus membuktikan bahwa kami tidak bersalah?”

“Jika kau datang kembali ke rumahku serta bersama-sama dengan Ki Jagabaya, dan bahkan mungkin aku sendiri datang untuk membebaskan anak dan istrimu, mungkin tidak akan ada prasangka buruk terhadap kalian.”

“Aku tidak dapat menunggu lagi. Jika kau terlambat, maka anakku sudah hilang dibawa Kuda Sembada.”

“Jika ia dapat mengalahkan Raden Kuda Sembada, kenapa kau mencemaskannya?”

“Kuda Sembada tidak sendiri. Kau ketahui itu, Ki Demang. Karena itu kami datang untuk memisahkan Kuda Sembada dari orang-orangnya, agar Kuda Sembada bertempur seorang melawan seorang dengan anak perempuanku.”

“Semuanya itu tidak masuk akal. Omong kosong.”

“Lalu, apa yang harus kami lakukan, Ki Demang?”

“Aku akan menguji kemampuan anakmu. Jika ia dapat mengalahkan Ki Jagabaya, aku percaya, bahwa anakmu dapat mengalahkan Raden Kuda Sembada. Tetapi jika tidak, maka kau telah berbohong. Kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu di Kademangan Wirasari.”

“Maksudmu, anakku harus bertempur melawan Ki Jagabaya?”

“Ya.”

“Anakku sedang terluka. Pisau belati kecil telah menembus pundaknya. Ia sedang berbaring sekarang.”

Ki Demang itu membelalakkan matanya. Kemudian iapun berkata, “Nah, bukankah kau berbohong? Anakmu perempuan tidak mampu berbuat apa-apa. Kalian berempat-lah yang telah merencanakan untuk menjebak Raden Kuda Sembada.”

“Apakah tidak ada jalan lain kecuali anakku perempuan itu harus bertarung melawan Ki Jagabaya?”

“Tidak ada.”

“Ki Demang. Pertarungan yang akan berlangsung tentu tidak adil, karena seorang di antaranya sedang terluka. Bagaimana kalau anakku laki-laki menggantikan anakku perempuan untuk melawan Ki Jagabaya?”

“Tidak,” geram Ki Demang, “yang kau sebut membunuh Raden Kuda Sembada adalah anakmu perempuan. Karena itu, anakmu perempuan-lah yang harus membuktikan, bahwa ia lebih baik dari Raden Kuda Sembada.”

“Jika itu satu-satunya jalan, baiklah. Aku minta waktu lima hari. Setelah sepekan anakku tentu sudah sembuh. Nah anakku akan melayani Ki Jagabaya, jika Ki Jagabaya hanya mau bertarung melawan perempuan.”

“Tutup mulutmu, setan!” geram Ki Jagabaya, “Kau telah menghina aku.”

“Tidak. Aku tidak menghina siapa-siapa. Aku hanya mengatakan apa yang telah dikatakan oleh Ki Demang. Ki Jagabaya mau bertanding melawan anakku yang perempuan, tetapi tidak bersedia melawan anakku laki-laki.”

“Jika persoalannya tidak ada hubungannya dengan pembuktian, maka aku akan bertempur melawan siapa saja. Aku adalah Jagabaya Wirasari. Tidak seorangpun dapat merendahkan aku.”

“Jika demikian, seperti kataku tadi, aku minta waktu sepekan. Dalam sepekan anakku perempuan tentu sudah sembuh, dan akan sanggup bertempur dengan Ki Jagabaya Wirasari.”

Ki Jagabaya itu menghentakkan tangannya. Katanya, “Tetapi aku tidak mau dihinakan seperti ini Sekarang aku tantang anakmu laki-laki untuk berkelahi. Tetapi persoalanmu tidak akan selesai di sini. Lima hari lagi, aku akan bertempur melawan anakmu perempuan, dalam hubungannya dengan pembunuhan yang telah kau lakukan.”

“Kenapa Ki Jagabaya dan Ki Demang menempuh jalan yang rumit sekali? Jika Ki Demang dan Ki Jagabaya memanggil kedua orang perempuan yang telah menculik istri dan anakku, maka sebenarnya segala sesuatunya akan menjadi jelas.”

“Sudah aku katakan, kau adalah orang yang licik. Sudah dapat menjebak Raden Kuda Sembada. Dengan demikian kau tentu sudah mempersiapkan segala sesuatunya, dalam hubungannya dengan jebakan yang kau pasang itu.”

“Kenapa kau berprasangka buruk, Ki Demang?”

“Yang kau lakukan memberikan tanda-tanda buruk. Jika anakmu mampu mengalahkan Raden Kuda Sembada, kenapa ia membiarkan dirinya diculik dan dibawa kedua orang perempuan itu?”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Jika saja Nyi Citra Jati dan Rara Wulan menolak, maka mereka tentu dapat melepaskan dirinya dari tangan kedua orang penculiknya. Tetapi keduanya tidak melakukannya.

Namun Ki Jagabaya-lah yang kemudian berkata, “Sekarang, aku akan membuktikan, bahwa aku tidak hanya berani melawan perempuan. Aku akan melawan anakmu laki-laki. Tetapi sepekan lagi aku harus membuktikan, apakah anakmu perempuan benar-benar dapat mengalahkan Raden Kuda Sembada.”

“Baik,” jawab Ki Citra Jati, “aku akan memanggil anakku laki-laki.”

“Kemana kau akan memanggil anakmu?”

“Anakku ada di pondok kecil, di bagian belakang penginapan ini.”

“Kita akan pergi ke sana,” sahut Ki Demang.

Ki Demang dan kedua orang bebahu itu pun segera beranjak dari tempatnya. Kepada pemilik penginapan itu iapun berkata, “Jaga, jangan ada orang yang mengikuti kami dan menonton permainan kami, agar mereka tidak memberikan penilaian menurut selera mereka.”

“Baik, Ki Demang,” jawab pemilik penginapan itu.

Demikianlah, maka Ki Demang dan kedua orang bebahunya bersama Ki Citra Jati telah pergi ke bagian belakang penginapan itu. Sementara itu, pemilik penginapan itu telah mengerahkan para petugasnya untuk menjaga, agar tidak seorangpun yang pergi ke halaman belakang penginapan itu untuk melihat pertarungan yang akan dilakukan oleh Ki Jagabaya melawan anak laki-laki orang yang telah menemui Ki Demang dan kedua orang bebahunya itu.

Kedatangan mereka tidak mengejutkan Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan. Seorang anak muda yang bertugas di penginapan itu telah lebih dahulu datang untuk menyampaikan pembicaraan antara Ki Citra Jati dengan Ki Demang Wirasari. Namun mereka tidak tahu pasti, apakah yang akan terjadi karena kedatangan Ki Demang dan kedua orang bebahunya.

Karena itu, maka dengan singkat Ki Citra Jati pun telah memberitahukan kepada Glagah Putih keinginan Ki Jagabaya untuk bertanding melawannya. Sedang sepekan lagi, Ki Jagabaya akan bertanding dengan Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Jika hal itu tidak dapat dihindari lagi, apa boleh buat.”

Ki Jagabaya yang mendengar kata-kata Glagah Putih itu pun menyahut, “Ayahmu telah menghina aku. Ayahmu mengatakan bahwa aku hanya berani menantang seorang perempuan. Tetapi hal itu perlu aku lakukan untuk membuktikan, apakah perempuan itu benar-benar mampu membunuh Raden Kuda Sembada.”

“Memang ia yang telah membunuh Kuda Sembada. Bukan maksudnya untuk membunuh, tetapi Kuda Sembada tidak memberikan pilihan. Ia telah melukai adikku dengan pisau belatinya yang dihamburkannya seperti hujan.”

“Sekarang, bersiaplah. Aku akan menunjukkan bahwa aku tidak hanya berani melawan seorang perempuan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun iapun kemudian telah melangkah ke tengah-tengah halaman belakang di depan pondok kecil itu. Sementara itu Ki Jagabaya pun telah berdiri di hadapannya pula.

Namun tiba-tiba saja Ki Citra Jati bertanya, “Sebelum pertandingan ini dimulai, apakah aku boleh bertanya?”

“Apa yang akan kau tanyakan?”

“Aku akan bertanya kepada Ki Demang. Apakah di sini ada sekelompok kekuatan yang dapat diupah untuk menyelesaikan persoalan?”

“Apa maksudmu?”

“Ketika aku meninggalkan rumah Ki Demang, bebahu yang satu ini telah menghentikan aku. Menurut bebahu ini, jika aku tidak dapat menunggu Ki Jagabaya, maka aku dapat menghubungi sekelompok orang yang akan dapat membantuku. Tetapi aku harus membayar mereka sebagai upahnya.”

Wajah Ki Demang menegang sejenak. Namun kemudian iapun menyahut, “Itu hanya salah satu jalan keluar.”

“Apakah orang-orang itu punya hak untuk melakukan pekerjaannya? Maksudku, Ki Demang sudah memberikan ijin kepada mereka untuk berbuat demikian?”

Ki Demang tidak segera menjawab. Dipandanginya Ki Citra Jati dengan tajamnya.

“Apa maksud pertanyaanmu, Ki Sanak?” geram Ki Demang itu kemudian.

“Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki Demang. Aku hanya bertanya. Aku pun ingin bertanya, apakah Ki Demang juga mengijinkan seseorang atau sekelompok orang untuk melakukan tindak kekerasan yang lain untuk mendapatkan upah?”

“Cukup!” bentak Ki Demang, “Sekarang kita selesaikan persoalan kita. Ki Jagabaya akan bertanding dengan anakmu-laki-laki, karena kau menantangnya.”

“Jika aku yang disebut sebagai penantang, baiklah. Tetapi bukankah tantangan ini Ki Demang terima dengan baik?”

“Ya. Aku terima tantanganmu dengan baik, meskipun yang akan bertanding adalah Ki Jagabaya melawan anakmu laki-laki.”

“Jika tantangan ini sudah Ki Demang terima dengan baik, maka apapun yang terjadi, kami tidak akan dapat dianggap bersalah.”

“Ya. Jika di luar sadarnya Ki Jagabaya telah membunuh, maka ia tidak dapat dianggap bersalah atau menyalahgunakan wewenangnya, sebagaimana orang yang kemarin malam dicekiknya. Ternyata orang itu mati. Tetapi Ki Jagabaya tidak bersalah.”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Glagah Putih, seakan-akan ia ingin memperingatkan, bahwa Ki Jagabaya kemarin telah membunuh seseorang dengan tanpa kesan apapun juga.

Glagah Putih menyadari pula kemungkinan itu. Ki Jagabaya ternyata seorang yang dapat berbuat apa saja, yang bahkan kadang-kadang di luar dugaan.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih dan Ki Jagabaya sudah berdiri berhadapan. Ketika Ki Citra Jati sempat memperhatikan wajah Ki Jagabaya, maka seakan-akan ia melihat pancaran hatinya yang kelam.

“Ia bukan seorang Jagabaya yang baik sesuai dengan tugasnya,” berkata Ki Citra Jati itu di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah berhadapan dengan Ki Jagabaya. Matanya nampak merah oleh kemarahan yang menyala di dalam dadanya.

“Kau yang baru kemarin sore hilang pupuk lempuyangmu, sudah berani melawan aku,” geram Ki Jagabaya.

“Sebenarnya perkelahian ini tidak perlu,” jawab Glagah Putih.

“Persetan. Ayahmu telah menghinaku. Sekarang kau-lah yang akan menjadi korban.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi segala kemungkinan. Baginya, Ki Jagabaya adalah orang yang sangat berbahaya. Tidak kalah berbahayanya dengan Raden Kuda Sembada sendiri.

Sejenak kemudian, Ki Jagabaya itu mulai bergeser. Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah bergeser pula.

Ternyata Ki Jagabaya tidak ingin memperpanjang waktu Tiba-tiba saja Ki Jagabaya itu pun meloncat dengan cepatnya. Kedua tangannya terjulur lurus, langsung menjangkau ke arah leher Glagah Putih.

“Gila, Ki Jagabaya ini,” berkata Glagah Putih di dalam batinya, “ia langsung ingin menyelesaikan pertempuran ini. Agaknya Ki Jagabaya itu benar-benar ingin mencekik leherku.”

Namun justru karena itu, maka Glagah Putih tidak mengelak. Dibiarkannya tangan Ki Jagabaya itu menjangkau lehernya, setelah Glagah Putih mengamati jari-jarinya. Tidak ada yang berbahaya pada jari-jari Ki Jagabaya. Tidak ada kuku baja. Bahkan kukunya sendiri tidak dibiarkannya tumbuh panjang. Karena itu, maka sentuhan jari-jari Ki Jagabaya itu tidak akan berakibat parah bagi Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah memusatkan perhatiannya kedada Ki Jagabaya. Glagah Putih tidak mempergunakan Aji Sigar Bumi. Tidak pula mempergunakan ajinya yang lain. Namun dengan kekuatan tenaganya yang besar, Glagah Putih menunggu Ki Jagabaya yang menjangkau lehernya itu bergerak semakin dekat.

Ki Jagabaya yang melihat Glagah Putih tidak berusaha menghindar, menjadi semakin bernafsu. Ia akan menunjukkan, bahwa pada serangannya yang pertama ia sudah dapat melumpuhkan lawannya yang sombong itu. Jika karena sentuhan jari-jarinya lawannya itu mati, itu adalah salahnya sendiri. Ki Jagabaya tidak akan menyesalinya, meskipun lawannya masih muda. Iapun akan berkata, salahnya sendiri. Sebagaimana orang yang dibunuhnya semalam.

Namun dalam pada itu, demikian jari-jarinya menyentuh leher Glagah Putih, maka Glagah Putih itu justru seakan akan bergerak menyongsongnya. Bersamaan dengan itu, telapak tangan Glagah Putih pun dengan derasnya telah menghantam dada Ki Jagabaya.

Meskipun tidak dilambari dengan kekuatan puncaknya, namun hentakan telapak tangan Glagah Putih itu seakan akan telah merontokkan tulang-tulang iganya. Bahkan seisi dadanya.

Terdengar Ki Jagabaya itu berteriak kesakitan. Ia terdorong beberapa langkah surut. Kemudian jatuh terguling di tanah.

Ki Demang serta bebahu yang menyertainya terkejut. Ki Jagabaya menurut pendapat mereka adalah seorang yang berilmu tinggi. Namun pada sentuhan tangan lawannya yang pertama, Ki Jagabaya sudah terpelanting jatuh.

Ki Jagabaya memang berusaha untuk bangkit. Tetapi ketika ia berhasil untuk berdiri dengan kedua kakinya, tiba-tiba saja iapun telah terhuyung-huyung pula dan jatuh terduduk.

“Kenapa kau Ki Jagabaya?”

Ki Jagabaya akan menjawab. Tetapi darah telah mengalir dari sela-sela bibirnya. Wajah Ki Demang menjadi merah. Luka Ki Jagabaya bukan hanya main-main. Luka di dalam dadanya itu tentu parah.

“Ki Jagabaya,” berkata Glagah Putih, “aku tidak akan menambah parah lukamu, agar lima hari lagi kau dapat bertanding melawan adikku perempuan. Tetapi tangan adikku lebih berat dari tanganku, sehingga dengan tangannya ia berhasil membunuh Kuda Sembada yang telah menghamburkan senjata rahasianya.”

Ki Jagabaya yang masih duduk di tanah itu mengumpat perlahan. Namun kemudian kedua telapak tangannya menekan dadanya yang terasa nyeri sekali.

“Ki Demang. Sekarang apa lagi?” bertanya Glagah Putih kepada Ki Demang, “Apakah kita akan menunggu lima hari lagi, atau Ki Demang mempunyai cara lain? Tetapi ingat, Ki Demang. Jika kami masih harus menunggu lima hari lagi, maka Ki Demang yang harus membayar penginapan kami selama lima hari. Bahkan kami tidak hanya akan tinggal di pondok kecil ini saja. Jika sudah kosong, besok kami akan pindah ke gandok sebelah kiri. Meskipun uang sewanya jauh lebih tinggi, aku tidak peduli, karena Ki Demang-lah yang akan membayar.”

“Persetan dengan kau,” geram Ki Demang.

“Jadi bagaimana? Jika kami harus menunggu di sini, serta Ki Demang yang akan membayar uang sewanya, maka lima hari lagi itu akan menjadi batas kemungkinan Ki Jagabaya dapat melihat cahaya matahari. Jika Ki Jagabaya harus bertanding melawan adikku perempuan, maka itu akan berarti akhir dari hidupnya. Karena itu, aku harap Ki Jagabaya dapat memanfaatkan waktu yang tinggal lima hari bagi hidupnya ini sebaik-baiknya. Mungkin menitipkan istri dan anak-anaknya, atau menjual rumah dan halamannya, karena yang diperlukan Ki Jabagaya hanyalah sesobek tanah di kuburan.”

“Kau terlalu sombong, anak muda. Sepantasnya mulutmu itu dikoyakkan.”

“Bersiaplah Ki Demang, jika kau akan mengoyakkan mulutku.”

Wajah Ki Demang menjadi merah. Tetapi iapun berkata, “Aku seorang Demang. Tugasku banyak sekali, sehingga aku tidak dapat terikat berurusan dengan kalian.” Lalu iapun berpaling kepada bebahu yang seorang lagi itu, “Bawa Ki Jagabaya pulang.”

“Apakah kau tidak merasa aku tantang, sebagaimana kau menganggap ayahku menantang Ki Jagabaya untuk berkelahi melawan aku?”

“Persetan kau, anak iblis,” geram Ki Demang sambil melangkah meninggalkan tempat itu.

Tidak ada orang yang menyaksikan pertempuran itu dengan jelas, karena tidak seorangpun boleh mendekat. Tetapi ada juga satu dua orang yang sempat mengintip dari kejauhan. Meskipun tidak begitu jelas, tetapi mereka melihat bagaimana mudahnya anak muda itu menjatuhkan Ki Jagabaya, yang terkenal di seluruh Kademangan Wirasari itu.

“Apakah mataku mulai rabun?” desis orang yang melihat perkelahian itu ketika ia duduk di serambi depan penginapan itu.

“Mungkin kau benar. Aku melihat Ki Jagabaya yang agaknya telah terluka dalam. Aku melihat darah di bibirnya.”

Orang yang sempat mengintip perkelahian itu pun berkata pula, “Jika benar apa yang aku lihat, maka orang yang bermalam di pondok kecil itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Ki Jagabaya baginya tidak lebih dari sebatang kayu, yang dengan mudahnya dibantingnya ke tanah.”

“Selama ini, kapanpun aku pergi ke Wirasari, setiap orang selalu mengatakan betapa tingginya ilmu Ki Jagabaya. Selain membicarakan tentang ilmunya yang tinggi, maka Ki Jagabaya adalah seorang yang keras, dan bahkan seorang yang pertimbangan nalarnya terlalu pendek. Berapa orang yang sudah dibunuhnya. Tidak mustahil bahwa ada di antara mereka orang-orang yang sama sekali tidak bersalah.”

“Tetapi kali ini, Ki Jagabaya terbentur kekuatan ilmu yang tidak teratasi. Untunglah bahwa lawannya itu bukan seorang pembunuh, sehingga Ki Jagabaya itu tidak dibunuhnya.”

“Ya. Jika saja lawannya itu seorang yang memiliki watak seperti Ki Jagabaya, maka Ki Jagabaya itu tidak akan pernah melihat Wirasari lagi.”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi pembicaraan mereka pun terhenti.

Sementara itu, pemilik penginapan itu telah berada di pondok kecil, “Yang baru saja terjadi akan menjadi buah bibir orang-orang Wirasari.”

“Maaf, Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak dapat membiarkan leherku dicekik oleh Ki Jagabaya.”

“Ki Sanak tidak bersalah.”

“Tetapi apakah hal ini akan mempengaruhi penginapan ini? Maksudku, apakah orang-orang akan menghindari penginapan ini selelah terjadi peristiwa tadi?”

“Aku kira tidak, Ki Sanak. Semua orang di Wirasari, atau mereka yang sering pergi ke Wirasari, mengenal siapakah Ki Jagabaya itu. Siapa pula Ki Demang. Memang seorang Demang dan Jagabaya serta bebahu yang lain di Wirasari, harus seorang yang dapat bertindak tegas dan berilmu tinggi. Tetapi seharusnya mereka tidak perlu terlalu banyak membunuh, kecuali dalam keadaan terpaksa. Tetapi menurut pendengaranku, Ki Demang dan Ki Jagabaya agak sulit menghadapi seorang yang disebut-sebut sebagai seorang yang mempunyai pengaruh yang kuat di lingkungannya.”

“Siapa?”

“Seseorang yang mempunyai hubungan dengan perguruan Kedung Jati.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

Sejenak kemudian, maka pemilik penginapan itu pun telah meninggalkan pondok kecil. Ia telah memerintahkan orang-orangnya untuk tetap berjaga-jaga. Yang seharusnya beristirahat pun telah diperintahkannya untuk tetap berada di penginapan.

“Apakah yang mungkin terjadi?” bertanya salah seorang petugas di penginapan itu.

“Kita tidak tahu, apakah Ki Demang dan Ki Jagabaya mau menerima keadaan itu. Mereka seakan-akan telah dipermalukan oleh orang-orang yang menginap di pondok kecil itu. Orang-orang di seluruh Wirasari akan menceritakan apa yang telah terjadi di penginapan ini.”

“Jika terjadi sekelompok orang yang diperintahkan oleh Ki Demang untuk menindak orang-orang itu, apakah kita akan ikut campur?”

“Tidak. Kita tidak akan ikut campur. Tetapi jika dalam keadaan yang rumit itu ada orang yang berusaha memanfaatkan keadaan, maka kita perlu menyelamatkan penginapan kita.”

Para petugas itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud pemilik penginapan itu. Mungkin saja sekelompok orang akan memanfaatkan keadaan dengan merampok orang-orang yang menginap di penginapan itu, pada saat sekelompok orang yang diperintahkan oleh Ki Demang berusaha menindak orang-orang yang menginap di pondok kecil itu.

Bahkan mungkin orang-orang yang mendapat perintah Demang itu telah membawa serta kawan-kawanya untuk melakukan kejahatan, bersamaan dengan saat mereka menjalankan perintah Ki Demang.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun memperhitungkan kemungkinan itu. Apalagi mereka sudah pernah mendapat tawaran dari salah seorang bebahu agar mempergunakan orang-orang upahan untuk menyelamatkan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan yang mereka laporkan telah diculik orang.

“Mereka akan dapat mempergunakan orang-orang upahan itu,” berkata Ki Citra Jati.

“Apakah kita harus menghindar, Ayah? Agaknya masih ada waktu. Sementara itu, agaknya Rara Wulan yang sudah menjadi berangsur baik dapat juga berjalan meninggalkan penginapan ini.”

Tetapi Ki Citra Jati menggeleng. Katanya, “Kita sudah terlanjur basah. Kita tidak akan pergi. Aku berharap bahwa esok pagi keadaan Rara Wulan sudah menjadi semakin baik. Jika mereka benar-benar akan bertindak dengan mempergunakan orang-orang upahan, maka agaknya besok mereka baru akan datang.”

“Atau mungkin malam nanti, Ayah,” sahut Glagah Putih.

Ki Citra Jati menggeleng. Katanya, “Menurut perhitunganku, mereka akan datang di siang hari. Mereka ingin banyak orang yang melihat, bagaimana mereka mempermalukan kita di sini.”

“Apakah yang harus kita lakukan?”

“Kita tidak mau dipermalukan. Karena itu pula kita tidak akan lari.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Kesannya memang berbeda. Lari dan menghindar. Tetapi Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ki Citra Jati sudah mengatakan, bahwa ia tidak akan lari.

Dalam pada itu, keadaan Rara Wulan memang berangsur baik. Lebih cepat dari yang diduganya. Selain obat yang ditaburkan, maka Rara Wulan juga mendapat pengobatan yang harus diminumnya untuk dapat mengembalikan tenaganya lebih cepat.

“Rara,” berkata Glagah Putih ketika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berada di luar, “jika orang-orang itu datang, apakah keadaanmu sudah memungkinkan untuk setidak-tidaknya melindungi dirimu sendiri?”

“Mudah-mudahan, Kakang. Obat Ki Citra Jati ternyata tidak kalah manjurnya dari obat-obat yang pernah dibuat oleh Kakang Agung Sedayu, berdasarkan pengetahuan dari Kiai Gringsing.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kakang Agung Sedayu memang belum memiliki kemampuan pengobatan setingkat dengan Kiai Gringsing. Tetapi nampaknya Kakang Agung Sedayu berusaha dengan sungguh-sungguh.”

Rara Wulan yang sudah duduk di bibir amben itu pun kemudian bangkit berdiri. Parlahan-lahan ia menapak dan berjalan hilir mudik. “Penyembuhannya berlangsung demikian cepatnya, lebih cepat dari dugaanku,” berkata Rara Wulan kemudian.

Glagah Putih tersenyum. Ia melihat keadaan Rara Wulan yang sudah menjadi jauh lebih baik.

“Masih ada waktu untuk semalam. Mudah-mudahan kekuatanmu sudah pulih kembali, meskipun lukamu belum sembuh benar.”

“Luka ini tidak akan mengganggu, Kakang, meskipun masih belum sembuh.”

“Aku sependapat dengan Ki Citra Jati. Ki Demang Wirasari tentu tidak akan menerima begitu saja kekalahan Ki Jagabaya.”

“Jika mereka akan datang kembali, biarlah mereka datang. Bahkan seandainya nanti malam sekalipun. Aku tentu sudah pulih kembali.”

“Syukurlah, Rara. Meskipun demikian, sekarang pergunakan waktumu untuk beristirahat sebaik-baiknya, agar pada saatnya tenagamu kau pergunakan, tenagamu benar-benar sudah utuh kembali.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Iapun kemudian telah berbaring kembali, sementara Glagah Putih pun melangkah keluar biliknya. Dilihatnya Ki Citra Jati duduk di atas lincak bambu panjang di halaman belakang penginapan itu. Nampaknya mereka pun sedang membicarakan persoalan yang sedang mereka hadapi.

Ketika mereka melihat Glagah Putih keluar dari biliknya, maka Ki Citra Jati pun memanggilnya untuk duduk bersamanya di lincak bambu panjang itu.

“Bagaimana keadaan Rara Wulan?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Keadaan sudah berlangsung baik, Ibu,” jawab Glagah Putih.

“Syukurlah. Tetapi jika besok orang-orang Ki Demang itu datang, bukankah tenaga Rara Wulan sudah menjadi bertambah baik lagi?”

“Ya, Ibu. Nampaknya tenaganya sudah hampir pulih kembali, meskipun lukanya masih belum sembuh.”

“Aku sedang membicarakannya dengan ayahmu. Apakah Rara Wulan saja yang harus kita jauhkan, sementara kita tetap berada di sini?”

“Tidak, Ibu,” jawab Glagah Putih, “aku sudah bertanya kepadanya, apakah ia sudah mampu melindungi dirinya sendiri?”

“Apakah jawabnya?”

“Menurut Rara Wulan, ia akan mampu melindungi dirinya sendiri. Mungkin lukanya akan dapat berdarah lagi. Tetapi daya tahannya akan dapat mengatasinya, sementara obat dari Ayah sudah dapat memulihkan tenaganya.”

“Ia masih akan mengalami tiga kali pengobatan. Petang ini. nanti tengah malam dan esok pagi-pagi. Jika mereka belum datang wayah pasar temawon, Rara Wulan sudah dapat berobat sekali lagi. Obat yang dioleskan serta obat yang harus diminumnya,” berkata Ki Citra Jati.

“Ya, Ayah,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “mudah-mudahan Rara Wulan benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

Ketika seorang menyalakan oncor di regol samping halaman belakang penginapan, maka mereka bertiga pun masuk ke bilik mereka yang juga sudah menjadi terang, karena seorang petugas telah meletakkan lampu minyak di ajug-ajug. Sementara itu Rara Wulan sudah bersiap-siap untuk pergi ke pakiwan.

Malam itu, Ki Citra Jati dan Glagah Putih bergantian berjaga-jaga di dalam bilik mereka. Sementara itu, beberapa kali terdengar langkah petugas penginapan yang bertugas mengelilingi halaman penginapan itu. Lebih sering dari malam-malam yang lain, karena kebetulan di penginapan itu sedang ada persoalan.

Bahkan yang bertugas berkeliling tidak hanya seorang saja, tetapi dua orang. Sekali-sekali terdengar bercakap-cakap, namun kemudian suara mereka hilang ketika mereka melangkah menjauh.

Namun tidak seperti yang diperhitungkan oleh Ki Citra Jati bahwa Ki Demang dan orang-orangnya akan datang esok siang agar banyak orang yang melihat keluarga Ki Citra Jati itu dipermalukan. Tetapi malam itu, penginapan itu telah menjadi gempar. Sekelompok orang telah datang untuk mencari Ki Citra Jati dan keluarganya.

Tetapi yang tidak pernah terlintas di kepala Ki Citra Jati dan keluarganya telah terjadi pula. Glagah Putih yang kebetulan sedang mendapat giliran untuk berjaga-jaga, mendengar langkah-langkah yang tergesa-gesa ke pintu pondok kecilnya. Kemudian perlahan-lahan pintu bilik itu telah diketuk dari luar.

Namun ternyata ketukan pintu itu telah membangunkan semua orang yang tidur di dalam bilik itu.

“Siapa?” bertanya Glagah Putih.

“Aku. Petugas di penginapan ini.”

Glagah Putih kemudian memberi isyarat kepada yang lain, bahwa ia membuka pintu itu. Ki Citra Jati pun kemudian bangkit pula dan berdiri tidak terlalu jauh dari pintu. Ketika pintu terbuka, maka yang berdiri di luar adalah dua orang petugas penginapan itu. 

“Ada apa?” bertanya Glagah Putih.

“Seorang bebahu telah diutus Ki Demang untuk menemui para petugas di penginapan ini,” berkata seorang dari mereka.

“Apakah Ki Demang dan kawan-kawannya akan datang untuk menebus kekalahan Ki Jagabaya?”

“Tidak. Justru sebaliknya.”

“Apa maksudmu, Ki Sanak?”

“Bebahu itu telah membawa pesan dari Ki Demang agar kalian berhati-hati.”

“He?” Glagah Putih terkejut.

“Sekelompok orang telah datang kepada Ki Demang untuk mengurus kematian Raden Kuda Sembada. Mereka memaksa Ki Demang untuk berbicara, siapakah yang telah membunuhnya. Ki Demang tidak mempunyai kesempatan untuk ingkar, karena Ki Demang memang sudah mendapat laporan tentang kematian Raden Kuda Sembada. Karena itu, Ki Demang terpaksa menunjukkan dimana kalian menginap. Jika Ki Demang tidak mau mengatakannya, maka Ki Demang akan mendapat bencana.”

“Dimana bebahu itu sekarang?”

“Ia segera meninggalkan penginapan ini. Ia tidak mau terlibat. Karena itu maka sebelum kawan-kawan Raden Kuda Sembada itu datang, ia lebih dahulu pergi.”

Ki Citra Jati pun melangkah mendekat sambil bertanya, “Kalian mengenal bebahu itu?”

“Kami mengenalnya.”

“Apakah kalian kenal orang-orang yang sering bekerja sama dengan Ki Demang dan Ki Jagabaya?”

“Ada di antaranya yang kami kenal.”

“Apakah mereka memang orang-orang upahan untuk melakukan kekerasan?”

“Ya.”

“Tolong, anak-anak muda. Jika orang-orang yang dikatakan oleh Ki Demang itu benar-benar datang, amati mereka, apakah mereka bukan orang-orang upahan Ki Demang sendiri. Kalian tidak usah melibatkan diri, karena persoalan ini adalah persoalan kami. Jika kalian terlibat, maka tanpa kami, kalian akan tetap berada di dalam ancaman mereka. Yang penting bagi kami, kami tidak senang diadu domba oleh Ki Demang dengan kawan-kawan Kuda Sembada.”

“Baik. Aku akan mencoba mengamati mereka tanpa melibatkan diri dalam perkelahian. Meskipun sebenarnya kami berkewajiban melakukannya, karena kerusuhan itu terjadi di penginapan kami.”

“Terima kasih. Namun jika mereka benar-benar kawan-kawan Kuda Sembada dari Perguruan Kedung Jati, maka sulit bagi kalian untuk melawan mereka.”

Kedua orang petugas dari penginapan itu mengangguk-angguk. Mereka tahu pasti, bahwa keluarga yang bermalam di pondok kecil itu adalah keluarga yang berilmu tinggi.

Sejenak kemudian, maka kedua orang petugas itu pun meninggalkan pintu pondok kecil itu dan kembali ke serambi gandok.

“Jika benar pesan yang dibawa itu, maka kita akan menghadapi kelompok yang tentu lebih berat dari orang-orang yang digerakkan oleh Ki Demang itu,” desis Ki Citra Jati.

“Tetapi kenapa Ki Demang memerlukan memerintahkan seseorang untuk menghubungi kita?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Inilah Wirasari, yang diselimuti rahasia yang sulit untuk dijelaskan. Bahkan agaknya orang-orang Wirasari sendiri tidak dapat mengerti isi perut kademangannya ini.”

Nyi Citra Jati menarik nafas panjang.

Sementara itu, Ki Citra Jati pun berkata kepada Rara Wulan, “Kau masih sempat mengobati lukamu dan minum obatmu lagi, Rara Wulan.”

“Ya, Ayah,” jawab Rara Wulan.

Ki Citra Jati pun kemudian telah menyiapkan obat untuk Rara Wulan sambil berkata, “Glagah Putih. Masih ada kesempatan untuk mengobati luka-luka istrimu.”

Glagah Putih pun kemudian mengobati luka Rara Wulan dan kemudian menaburkan serbuk obat ke dalam air putih yang sudah dimasak. Setelah diaduknya, maka Glagah Putih itu pun berkata, “Minumlah, Rara.”

Rara Wulan pun meneguk obat itu sampai habis, seperti yang selalu dilakukannya. Seperti biasanya, setelah minum obat itu, maka tubuhnya menjadi semakin segar. Rasa-rasanya tenaganya pun menjadi pulih kembali.

“Tetapi lukamu belum sembuh Rara,” berkata Glagah Putih.

“Luka itu tidak terasa mengganggu, Kakang,” jawab Rara Wulan.

“Tetapi kau tidak dapat mengabaikannya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Demikianlah, keempat orang itu tidak lagi berbaring di amben yang besar itu. Tetapi mereka duduk menunggu apa yang akan terjadi.

“Sebaiknya kau berbaring saja Wulan,” berkata Ki Citra Jati kepada Rara Wulan, “simpan tenagamu baik-baik. Pada saatnya kau akan memerlukannya.”

Tetapi Rara Wulan tersenyum sambil berkata, “Apakah ada bedanya? Aku sekarang duduk bersandar dinding. Bukankah tidak berbeda dengan jika aku berbaring?”

“Ada bedanya. Tetapi memang tidak terlalu banyak. Peredaran darahmu.”

“Tetapi rasa-rasanya aku menjadi lebih tenang jika aku duduk meskipun bersandar dinding, Ayah.”

“Baiklah, memang tidak banyak bedanya.”

Namun pembicaraan mereka pun terhenti. Mereka mendengar langkah kaki beberapa orang mendekati pintu pondok kecil itu. Kemudian terdengar suara ketukan.

“Siapa?” bertanya Ki Citra Jati.

“Masih ada orang yang terjaga di bilik ini,” terdengar suara seseorang di luar pintu.

“Buka pintunya,” terdengar pula suara yang lain.

“Siapakah kalian?” bertanya Ki Citra Jati.

“Buka pintunya. Nanti kalian akan mengetahuinya.”

“Sebut nama salah seorang dari kalian, apakah aku sudah mengenalnya,” sahut Ki Citra Jati.

“Itu tidak perlu. Buka saja pintunya.”

“Tidak. Sebelum salah seorang dari kalian menyebut nama. Meskipun aku tahu bahwa kalian tentu akan menyebut sembarang nama. Bahkan mungkin nama orang yang sudah kalian bunuh.”

“Persetan dengan kau. Jika kau tidak mau membuka pintunya, maka aku akan merusaknya.”

“Pintu itu bukan pintuku. Jika kau ingin merusaknya, lakukan. Tetapi kau akan menambah lawan, karena para petugas penginapan ini akan marah pula kepada kalian.”

“Anak iblis. Buka pintunya!”

“Sebut sebuah nama.”

“Namaku Macan Larapan.”

“Nama yang bagus.”

“Buka pintunya.”

Ki Citra Jati pun melangkah ke pintu. Namun ia memberi isyarat kepada keluarganya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan. Demikian pintu terbuka, maka empat orang telah memasuki bilik itu, sementara Ki Citra Jati pun melangkah surut.

“Jadi inikah seluruh keluargamu yang dikagumi orang itu?”

“Kenapa dikagumi?” bertanya Ki Citra Jati.

“Salah seorang dari kalian telah membunuh Raden Kuda Sembada. Seorang yang berilmu tinggi.”

“Apakah kalian mempunyai hubungan dengan Raden Kuda Sembada itu?”

“Aku adalah adiknya,” seorang yang bertubuh raksasa melangkah ke depan. “Aku berjanji untuk membunuh orang yang telah membunuh kakakku itu.”

“Kami membunuhnya bersama-sama. Kami bertempur dalam satu kebulatan. Karena itu, jika kau bertanya siapakah yang telah membunuh Kuda Sembada, maka jawabnya adalah, kami berempat.”

“Jangan macam-macam,” sahut orang bertubuh raksasa itu. “Kau kira tidak ada saksi yang dapat bercerita, siapakah yang telah membunuh kakakku itu?”

“Lalu kau mau apa?”

“Aku akan membunuhnya.”

“Kakakmu Kuda Sembada itu pun tidak mampu mengalahkannya. Apalagi kau.”

“Kau kira seorang adik tidak akan dapat melampaui kakaknya dalam olah kanuragan? Secara wadag sudah dapat kau lihat, bahwa aku jauh lebih besar dari kakakku.”

“Kau bukan adiknya.”

“Aku adiknya. Kau tentu dapat melihat beberapa persamaan antara aku dan kakakku.”

“Baiklah. Siapakah kau, aku tidak peduli. Tetapi kalian harus mengetahui latar belakang dari pembunuhan yang telah kami lakukan.”

“Tentu hanya omong kosong. Namun apapun alasannya, kalian memang harus mati.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Nampaknya memang sulit untuk berbicara dengan orang-orang itu. Pada saat mereka datang, otaknya sudah dipenuhi oleh nafsu untuk membunuh, sehingga pembicaraan-pembicaraan tidak akan ada gunanya lagi.

Meskipun demikian Ki Citra Jati itu pun masih juga bertanya, “Ki Sanak. Apakah masih ada kemungkinan kita mencari jalan penyelesaian tanpa saling membunuh?”

“Tidak,” jawab orang bertubuh raksasa yang mengaku adik Kuda Sembada, “hanya ada satu kemungkinan. Kalian semuanya akan mati.”

“Apakah kalian tidak takut akan diburu oleh Ki Demang dan Ki Jagabaya serta para bebahu?”

“Apakah aku harus takut kepada tikus-tikus kecil itu? Kami telah datang untuk menemuinya. Semula Ki Demang memang ingin menyembunyikan kalian dengan berpura-pura tidak mengenal kalian. Tetapi nampaknya Ki Demang masih lebih menyayangi nyawanya daripada kewajibannya. Sehingga Ki Demang akhirnya menunjukkan, kemana aku harus mencari pembunuh kakakku itu.”

“Bagus. Jika demikian, maka biarlah tidak kepalang tanggung. Kami sudah membunuh kakaknya. Sekarang kami akan membunuh adiknya dan siapapun yang mencoba membantunya.”

“Kau terlalu sombong. Kalian memang berhasil membunuh Raden Kuda Sembada. Tetapi aku bukan Kuda Sembada. Selebihnya, kami membawa beberapa orang kawan berilmu tinggi. Kalian tidak akan dapat lepas lagi dari tangan kami.”

Ki Citra Jati pun termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Rara Wulan yang berdiri di dekat amben yang besar itu. Namun nampaknya Rara Wulan sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, orang yang bertubuh raksasa itu pun berkata, “Jika keberanian kalian sesuai dengan besarnya mulut kalian, maka aku tunggu kalian di luar bilik ini, karena kami akan dapat merusak seluruh ruangan ini.”

“Baik. Kami akan segera keluar ruangan. Tunggulah kami di luar.”

“Kalian tidak akan pernah dapat melarikan diri dari tangan kami.”

“Kami tidak akan melarikan diri.”

Orang-orang itu pun kemudian segera keluar dari bilik yang disebut pondok kecil itu. Ki Citra Jati mengetahui bahwa di luar memang sudah menunggu beberapa orang, selain mereka yang telah memasuki bilik itu.

Namun sebelum mereka keluar, Ki Citra Jati itu masih sempat berkata kepada Rara Wulan, “Aku lihat lukamu, Wulan.”

Sambil mengangguk-angguk Ki Citra Jati pun berkata, “Kelihatannya lukamu sudah berangsur baik. Mudah-mudahan lukamu tidak mengganggumu, Wulan. Agaknya lawan kita ini cukup berat.”

“Cepat,” terdengar suara dari luar pondok kecil itu. “Jika kalian mencoba untuk berbuat curang, maka nasib kalian akan menjadi bertambah buruk.”

Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Iapun kemudian berkata, “Marilah kita keluar. Jika terpaksa, maka kita akan mempergunakan segenap kemampuan yang kita miliki. Termasuk ilmu puncak kita masing-masing.”

“Ya, Ayah,” desis Glagah Putih.

Demikianlah, Ki Citra Jati pun melangkah keluar pintu biliknya, diikuti oleh Nyi Citra Jati. Kemudian Glagah Putih, dan yang terakhir Rara Wulan. Keempatnya segera berdiri berjajar menghadap kepada beberapa orang, yang di antara mereka adalah yang telah memasuki pondok kecil itu. Selebihnya ada satu dua orang berdiri agak jauh dari pintu itu.

“Apakah kalian akan melawan kami atau kalian akan menyerah saja, sehingga kalian tidak akan merasa tersiksa di saat-saat terakhir dari hidup kalian?”

“Pertanyaan yang bodoh,” desis Ki Citra Jati, “coba, apakah jawab kalian jika aku pun mengajukan pertanyaan serupa.”

“Tetapi kedudukan kita berbeda. Kami dapat bertanya seperti itu, karena kalian tidak mempunyai kesempatan apapun. Kami adalah orang-orang dari perguruan terbesar yang pernah ada di Tanah ini.”

“Seperti Kuda Sembada, kalian mengaku orang-orang dari Perguruan Kedung Jati?”

“Apakah Kakang Kuda Sembada berkata demikian?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.

“Ya. Kuda Sembada mengaku anggota Perguruan Kedung Jati.”

“Ya. Kami adalah orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

“Kenapa setiap kali ada saja orang yang mengaku anggota Perguruan Kedung Jati? Apakah untungnya kalian mengaku anggota perguruan itu, he?”

“Untung atau rugi, aku adalah anggota, sebagaimana kakakku, Kuda Sembada.”

“Jika demikian, maka kalian termasuk orang-orang yang harus dibersihkan itu. Aku adalah utusan Ki Saba Lintang. Aku mendapat tugas untuk memotong dahan-dahan yang tidak berarti lagi. Bahkan hanya akan mengotori nama perguruan saja,” sahut Glagah Putih.

Wajah orang yang bertubuh raksasa dan mengaku adik Kuda Sembada itu menegang. Dalam gapaian cahaya oncor yang lemah, nampak kegelisahan melintas di dadanya.

“Kau jangan mengigau,” raksasa itu menggeram, “apa yang kau ketahui tentang Perguruan Kedung Jati?”

“Ki Saba Lintang belum lama ini berada di Wirasari. Kau tentu tahu. Ki Saba Lintang bertemu pula dengan Kuda Sembada. Tetapi Kuda Sembada membuatnya kecewa. Kuda Sembada terlalu terpengaruh oleh wajah-wajah cantik, sehingga karena itu maka mudah sekali rahasia yang harus disimpannya meluncur di luar sadarnya lewat bibirnya, jika ia berhadapan dengan perempuan cantik.”

“Omong kosong.”

“Wara Sasi telah membuktikan. Rahasia yang paling dalam dari Ki Saba Lintang telah terucapkan kepada Wara Sasi, yang mendapat tugas untuk menjajagi kesetiaan Kuda Sembada.”

“Rahasia yang mana?”

“Aku tidak gila seperti Kuda Sembada sehingga aku mengatakannya kepadamu.”

“Bohong!” orang bertubuh raksasa itu berteriak. Ia mencoba mengusir keragu-raguan yang mulai menyelinap di hatinya.

Sementara itu, kawan-kawannya pun sempat menjadi ragu-ragu sejenak. Namun orang yang nampaknya menjadi pemimpin mereka dan yang menyebut namanya Macan Larapan itu berkata, “Jangan hiraukan igauan mereka. Kita akan membunuh mereka. Seandainya ia benar benar utusan Ki Saba Lintang, maka mereka adalah utusan yang tidak berguna, karena mereka dapat kita singkirkan. Kematian mereka akan menghilangkan segala jejak. Bukankah kita berniat membalas dendam atas kematian Kakang Kuda Sembada?”

“Apakah kau juga adiknya?”

“Persetan. Tetapi kami mempunyai ikatan lebih dari ikatan saudara kandung.”

“Menurutmu, kalian adalah saudara seperguruan dengan Kuda Sembada?”

“Siapapun kami, bersiaplah untuk mati. Jika benar kalian utusan Ki Saba Lintang, maka nasib kalian ternyata buruk sekali. Kalian akan mati di tangan orang-orang yang seharusnya kau bersihkan. Seberapapun tinggi ilmu kalian, tetapi kalian tidak akan mampu melawan kami yang jumlahnya dua kali lipat dari jumlah kalian.”

Glagah Putih tidak berbicara lagi. Tetapi iapun mulai bergeser dan berdiri dekat di sisi Rara Wulan sambil berdesis, “Kita bertempur berpasangan.”

“Bagaimana dengan Ayah dan Ibu?”

“Mereka akan menyesuaikan diri.”

Rara Wulan pun telah mempersiapkan diri pula. Meskipun Rara Wulan mempunyai kepercayaan diri dan keyakinannya bahwa lukanya tidak akan mengganggunya, tetapi keberadaan Glagah Putih di sisinya membuatnya semakin tenang.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun segera tanggap akan sikap Glagah Putih. Karena itu, maka mereka berdua pun juga mengambil jarak dan bersiap untuk menghadapi lawan yang jumlahnya berlipat.

“Kami bukan kecoak-kecoak seperti mereka yang kebetulan bersama Kakang Kuda Sembada. Mereka adalah tukang pedati, pekatik dan orang-orang dungu yang ingin mendapat kehormatan disebut murid dari Perguruan Kedung Jati.”

Tidak ada yang menyahut. Glagah Putih dan Rara Wulan seakan-akan tidak mendengarnya. Demikian pula Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang dipimpin oleh seorang yang menyebut dirinya Macan Larapan itu telah bersiap pula. Jumlah mereka tidak hanya dua kali lipat. Tetapi mereka semuanya berjumlah sepuluh orang.

Namun dua orang di antara mereka tidak langsung turun ke arena. Nampaknya mereka bertugas mengamati keadaan. Mereka mengawasi halaman di sekitar arena itu.

“Jika petugas di penginapan ini turut campur, bunuh saja mereka,” geram orang yang menyebut dirinya Macan Larapan.

Demikianlah, sejenak kemudian salah seorang yang berhadapan dengan Nyi Citra Jati mulai meloncat menyerang, disusul oleh seorang kawannya. Namun Nyi Citra Jati pun dengan cepat mengelak, dan bahkan Nyi Citra Jati pun mulai membuka serangan pula.

Dengan demikian, maka pertempuran mulai membakar halaman belakang penginapan itu. Di dalam cahaya yang remang-remang, beberapa orang telah berloncatan saling menyerang.

Rara Wulan yang masih bergerak dengan hati-hati, semakin lama menjadi semakin yakin bahwa luka-lukanya tidak akan mengganggunya. Karena itu, maka iapun bergerak semakin lama semakin cepat.

“Hemat tenagamu, Rara,” desis Glagah Putih, “berhati-hati dengan lukamu.”

“Lukaku tidak terasa apa-apa, Kakang.”

“Meskipun demikian, jangan lakukan yang tidak perlu.”

Rara Wulan tidak menyahut. Namun ia mengerti maksud suaminya. Apalagi ketika Rara Wulan melihat bahwa Glagah Putih berloncatan mengitarinya. Ia seakan-akan berada di segala tempat di sekitar Rara Wulan. Sehingga dengan demikian, maka Rara Wulan memang tidak perlu terlalu banyak bergerak.

Namun justru Rara Wulan-lah yang menjadi cemas, bahwa Glagah Putih harus mengerahkan tenaganya untuk dapat bergerak demikian cepatnya, sehingga dengan demikian maka tenaganya menjadi cepat menyusut. Karena itu, maka Rara Wulan pun berkata pula, “Kau pun harus menghemat tenaga, Kakang.”

“Aku baru melakukan pemanasan,” jawab Glagah Putih.

Empat orang lawan Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berdiri di empat penjuru. Mereka mulai menyerang dengan cepatnya. Beruntun. Namun kadang-kadang bersama-sama.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan yang bertempur berpasangan itu pun telah menjadi mapan. Meskipun Rara Wulan harus menghemat tenaganya dan menjaga agar lukanya tidak dikenai serangan lawan, namun pasangan kedua orang suami istri itu mampu menyusun pertahanannya yang sangat rapat.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh orang yang menyebut dirinya bernama Macan Larapan itu, mereka bukan orang-orang yang bobotnya sama dengan para pengiring Raden Kuda Sembada. Orang-orang yang berilmu tinggi.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun mulai merasakan, betapa lawan-lawan mereka mampu bergerak cepat. Mereka mempunyai kekuatan yang besar serta kemampuan ilmu yang cukup.

Karena itu, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun harus berhati-hati. Jika mereka menjadi lengah, maka serangan-serangan lawan mereka yang berbahaya itu akan dapat menyusup pertahanan mereka.

Orang yang bertubuh raksasa itu berada di antara empat orang yang bertempur melawan Glagah Putih dan Rara Wulan. Ia tahu bahwa pembunuh Kuda Sembada adalah seorang perempuan muda. Karena itu, maka orang itu memastikan bahwa perempuan yang bertempur berpasangan itulah yang telah membunuh Kuda Sembada. Karena itu, maka serangan-serangannya pun lebih banyak diarahkan kepada Rara Wulan daripada kepada Glagah Putih.

Tetapi Rara Wulan dan Glagah Putih yang bertempur berpasangan itu kadang-kadang mampu membingungkan lawan mereka. Tiba-tiba saja keduanya bertukar tempat. Demikian cepatnya, sehingga lawan-lawan mereka terlambat menyadarinya.

Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Para petugas penginapan itu tidak berani ikut campur dalam pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi itu. Ada di antara para petugas penginapan itu yang mengawasi dari kejauhan, sebagaimana pesan Ki Citra Jati. Tetapi para petugas itu tidak melihat seorang pun di antara mereka orang-orang yang sering bekerja sama dengan Ki Demang Wirasari.

“Mereka semuanya benar-benar orang yang asing,” bisik seorang petugas penginapan itu kepada kawannya.

Kawannya meletakkan jari-jarinya di mulutnya untuk memberi isyarat agar kawannya itu diam. Ia melihat dua orang yang tidak terlibat dalam pertempuran itu, yang agaknya sedangkan mengawasi keadaa di sekitar arena.

Petugas itu pun terdiam. Tetapi jantungnya menjadi semakin tegang.

Pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin sengit. Orang bertubuh raksasa yang mengaku adik Kuda Sembada itu memang merasa terganggu dengan unsur-unsur gerak yang dilihatnya mencuat dalam tatanan gerak kedua orang lawannya. Glagah Putih dengan sengaja pada setiap kesempatan memperlihatkan unsur-unsur gerak dengan ciri-ciri khusus Perguruan Kedung Jati. Demikian pula Rara Wulan, yang dengan sengaja memamerkan unsur-unsur gerak serupa pula.

Orang bertubuh raksasa dan kawan-kawannya itu pun segera mengenali unsur-unsur gerak itu, meskipun tidak seutuhnya. Tetapi mereka mulai menduga-duga, apakah benar mereka utusan khusus Ki Saba Lintang.

Macan Larapan yang bertempur melawan Ki Citra Jati bersama keempat orang kawannya, sempat juga mengenali ilmu yang khusus mempunyai ciri Perguruan Kedung Jati pada kedua orang laki-laki dan perempuan yang bertempur berpasangan itu. Meskipun Macan Larapan tidak menemukan unsur-unsur itu pada Ki Citra Jati, namun ia mulai berpikir pula.

“Apakah mereka tidak sekedar membual?” pertanyaan itu mulai mengganggu perasaan Macan Larapan.

Namun dengan demikian Macan Larapan justru membuat kesimpulan, bahwa keempat orang-orang itu benar-benar harus dimusnahkan. Jika mereka benar-benar utusan khusus Ki Saba Lintang, maka persoalannya akan menjadi lain.

“Kuda Sembada memang gila,” berkata Macan Larapan di dalam hatinya.

Tetapi hubungannya bersama kawan-kawannya secara khusus dengan Raden Kuda Sembada mendesak mereka untuk menuntut balas kematiannya. Dengan demikian maka orang yang menyebut dirinya Macan Larapan itu telah menghentakkan kemampuannya. Keempat orang itu harus mati, dan cerita tentang utusan khusus Ki Saba Lintang itu akan berhenti sampai malam itu. Ki Saba Lintang tidak akan dapat mencari, siapakah yang telah membunuh utusan khususnya itu.

Dengan demikian, maka orang-orang yang menuntut balas kematian Raden Kuda Sembada itu tidak lagi mengendalikan dirinya. Mereka benar-benar ingin membunuh keempat orang itu, apakah mereka benar-benar utusan khusus Ki Saba Lintang atau bukan. Bahkan seandainya benar, maka keempatnya harus diyakini mati malam itu juga, untuk menghilangkan jejak. Para petugas penginapan dan Ki Demang Wirasari tidak akan dapat berbicara tentang mereka. Apalagi mengenali mereka serta ciri-ciri mereka.

Tetapi ternyata keempat orang yang mengaku utusan khusus Ki Saba Lintang itu tidak mudah mereka tundukkan. Mereka telah menunjukkan ilmu mereka yang sangat tinggi. Meskipun masing-masing harus berhadapan dengan dua orang yang ilmunya meyakinkan, namun mereka masih saja mampu mengimbanginya.

Dalam pada itu, orang yang bertubuh raksasa itu masih saja selalu berusaha untuk menyerang Rara Wulan. Namun serangan-serangannya masih belum mengenai sasarannya. Setiap kali Rara Wulan dengan cepatnya mampu mengelak dan bahkan berganti menyerang.

Dengan demikian, maka orang bertubuh raksasa itu menjadi semakin marah. Ia ingin segera dapat membalaskan dendam orang yang disebutnya sebagai kakaknya itu.

Ketika orang bertubuh raksasa itu menjadi tidak sabar lagi, maka iapun berkata kepada ketiga orang kawannya, “Tahan laki-laki itu. Aku sendiri akan mengakhiri perlawanan perempuan ini. Tentu perempuan ini yang telah membunuh Kakang Kuda Sembada.”

Ketiga orang kawannya pun segera tanggap. Karena itu, maka mereka bertiga pun memusatkan serangan-serangan mereka terhadap Glagah Putih.

Ternyata Glagah Putih harus mengerahkan kemampuannya untuk melawan tiga orang berilmu tinggi. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan justru mengambil keputusan untuk mengambil jarak di antara mereka.

“Kakang, biarlah aku hadapi orang itu seorang melawan seorang. Tetapi berhati-hatilah jika kau harus melawan tiga orang. Bertahanlah, mudah-mudahan aku dapat menyelesaikan lawanku lebih cepat, sehingga aku dapat bergabung lagi bersamamu.”

“Kau juga harus berhati-hati, Rara Wulan. Tetapi jika ternyata seorang yang lain bergabung dengan raksasa itu, kita pun akan bergabung kembali.”

“Ya, Kakang.”

“Ingat, hemat tenagamu.”

“Kau juga, kakang.”

Demikianlah, Rara Wulan yang merasa dirinya menjadi sasaran serangan-serangan orang bertubuh raksasa itu justru berniat menghadapinya seorang lawan seorang.

Namun orang bertubuh raksasa itu menjadi heran. Sebelum ketiga orang kawannya berhasil memaksa Glagah Putih untuk bergeser terpisah dari Rara Wulan, perempuan itu sendiri-lah yang dengan sengaja meloncat mengambil jarak.

“Perempuan yang sombong,” geram orang bertubuh raksasa itu. “Ingat, kau akan mati. Yang lain pun akan mati. Tetapi untuk membalas kematian Kakang Kuda Sembada, maka aku ingin membunuhmu dengan tanganku.”

“Jika demikian, aku akan mematahkan tanganmu lebih dahulu, agar kau tidak lagi dapat membunuhku dengan tanganmu,” sahut Rara Wulan.

“Persetan, iblis betina,” geram orang bertubuh raksasa itu, “agaknya kau memang mampu membunuh Kakang Kuda Sembada. Tetapi bukan karena ilmumu pinunjul. Tetapi Kakang Kuda Sembada tentu menjadi lengah atau karena sebab-sebab lain.”

“Apapun sebabnya, tetapi Kuda Sembada sudah mati. Salah satu tugas kami sudah berhasil. Kedatangan kalian adalah satu keuntungan besar bagi kami, yang mendapat tugas untuk memotong dahan-dahan kering serta benalu, agar Perguruan Kedung Jati menjadi bersih.”

“Omong kosong,” geram orang bertubuh raksasa, “siapapun kau, kau yang telah membunuh Kakang Kuda Sembada harus mati.”

Rara Wulan tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia melenting. Kakinya terayun menyambar ke arah dada. Tetapi orang bertubuh raksasa itu masih sempat bergeser menghidar, sehingga serangan Rara Wulan tidak mengenainya.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling menyerang dengan garangnya. Tangan mereka bergerak dengan cepat. Sekali-sekali terjulur, terayun mendatar dan kadang-kadang menerkam ke arah leher.

Ketika keduanya bertempur seorang melawan seorang, maka Rara Wulan dengan sengaja telah menunjukkan.bahwa ia benar-benar menguasai ilmu dengan ciri-ciri khusus dari Perguruan Kedung Jati.

“Siapakah sebenarnya perempuan ini?” bertanya orang bertubuh raksasa itu di dalam hatinya.

Sementara itu, pengenalan Rara Wulan atas ilmu kanuragan dengan ciri-ciri khusus dari Perguruan Kedung Jati, ternyata dapat membantunya. Rara Wulan dapat mengenali kekuatan dan kelemahan-kelemahannya. Demikian pula ilmu yang dimiliki oleh orang bertubuh raksasa itu. Meskipun orang itu sudah sampai pada tataran tertinggi, namun orang itu tidak mampu untuk dengan segera menundukkan Rara Wulan. Bahkan Rara Wulan itu seakan-akan mampu membaca, apa yang akan dilakukannya. Memotongnya dan kemudian mematahkannya. 

“Iblis betina,” geramnya, “apakah benar ia orang dari Perguruan Kedung Jati dan menjadi utusan khusus Ki Saba Lintang sebagaimana dikatakannya?”

Orang bertubuh raksasa itu pun telah meningkatkan ilmunya. Ia bergerak semakin cepat. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Rara Wulan pun harus bergerak semakin cepat pula. Dengan menunjukkan beberapa ciri ilmu Kedung Jati, Rara Wulan dapat membuat lawannya menjadi semakin ragu-ragu.

Sementara itu, orang bertubuh raksasa itu sendiri sulit untuk dapat menduga-duga tatanan gerak Rara Wulan. Ia tidak selalu berpegang pada ciri Perguruan Kedung Jati. Jika orang bertubuh raksasa itu mulai berusaha untuk mengikuti unsur-unsur gerak Rara Wulan yang bersumber dari Perguruan Kedung Jati, maka Rara Wulan telah mengacaukannya. Rara Wulan tidak hanya berpijak pada satu jalur perguruan.

Setiap kali, jika Rara Wulan berlatih bersama Agung Sedayu atau Glagah Putih, maka keduanya berusaha untuk membahas kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam ilmu yang diwarisinya dari Perguruan Kedung Jati melalui Sekar Mirah.

Sekar Mirah sendiri, Agung Sedayu dan Glagah Putih, bahkan sekali-sekali Ki Jayaraga, telah berusaha membantunya, menutup kelemahan-kelemahan itu dengan unsur-unsur yang disadapnya dari jalur perguruan lain.

Agaknya itulah yang tidak dilakukan oleh orang bertubuh raksasa itu. Meskipun tataran ilmunya di dalam Perguruan Kedung Jati tidak kalah dari Kuda Sembada, namun berhadapan dengan Rara Wulan, sebagaimana Kuda Sembada, iapun mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, Glagah Putih harus bekerja keras untuk menghadapi ketiga orang lawannya yang berilmu tinggi. Beberapa kali Glagah Putih harus berloncatan untuk mengambil jarak. Ketiga orang lawannya mampu bekerja sama dengan baik untuk menekannya dan menggiringnya ke sudut halaman.

Sedangkan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun harus bertempur dengan mengerahkan kemampuan mereka. Agaknya lawan-lawan mereka tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali membunuh.

“Kami harus menghilangkan jejak. Tidak boleh ada yang hidup di antara kalian,” geram orang yang mengaku bernama Macan Larapan.

“Ya,” geram Ki Citra Jati, “tidak boleh ada yang hidup di antara kalian.”

“Bukan kami, tetapi kalian yang akan mati.”

“Bukan kami yang akan mati. Tetapi kami akan membunuh kalian. Kami akan membawa bukti apapun yang kami dapatkan dan kalian, untuk pimpinan Perguruan Kedung Jati.”

“Persetan dengan igauanmu itu.”

Ki Citra Jati tidak menjawab. Tetapi serangannya menjadi semakin cepat, sehingga kedua lawannya justru berloncatan surut. Namun Ki Citra Jati tidak melepaskan setiap kesempatan. Dengan tangkasnya Ki Citra Jati pun memburu mereka dengan cepatnya.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Nyi Citra Jati pun sangat sulit untuk dikuasai oleh kedua orang lawannya. Setiap kali lawannya mencoba mengurungnya dari arah yang berbeda dan mencoba menekannya ke dinding halaman, maka setiap kali Nyi Citra Jati pun mampu melepaskan diri. Bahkan serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan sekali-sekali mampu menyentuh tubuh lawan-lawannya.

“Kau akan menyesali kesombonganmu,” desis seorang lawannya.

Nyi Citra Jati tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya menjadi semakin cepat.

Dalam pada itu, Rara Wulan sempat melihat Glagah Putih yang terdesak. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan kemampuannya untuk berusaha menundukkan lawannya yang bertubuh raksasa itu. Tetapi ternyata orang itu pun telah mengerahkan puncak kemampuannya pula. Bahkan dalam keadaan yang sulit, orang bertubuh raksasa itu telah menarik kerisnya.

Rara Wulan terkejut melihat keris orang itu. Keris yang lurus itu seakan-akan bagaikan menyala. Cahayanya nampak kemerah-merahan dalam keremangan cahaya oncor di kejauhan.

“Jangan menyesali nasibmu,” berkata orang bertubuh raksasa itu, “kerisku bernama Kiai Tekuk. Jika keris ini sudah keluar dari wrangkanya, maka tentu akan ada jiwa yang melayang.”

Jantung Rara Wulan tergetar juga melihat keris itu. Meskipun demikian iapun menjawab, “Ya. Kali ini, jiwamu sendiri yang akan melayang.”

“Persetan dengan celotehmu. Bersiaplah untuk mati. Kau tidak mempunyai kesempatan lagi.”

Rara Wulan berdiri tegak dengan debar jantung yang semakin cepat. Bahkan ketika di luar sadarnya ia meraba lukanya, maka terasa cairan hangat mengembun dari lukanya itu.

“Lukaku berdarah lagi,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun segera menyadari bahwa ia harus segera menyelesaikan pertempuran itu. Bukan saja karena ia harus segera membantu Glagah Pulih, tetapi ia harus melindungi lukanya yang berdarah lagi itu.

Sejenak kemudian, maka lawannya yang bersenjata keris yang bagaikan menyala kemerah-merahan itu telah meloncat menyerangnya. Tangannya bergerak dengan cepatnya, sehingga seakan-akan udara di sekitar tubuhnya itu pun telah membara.

Rara Wulan meloncat mengambil jarak. Namun lawannya tidak membiarkannya. Dipergunakannya kesempatan sebaik-baiknya. Dengan loncatan panjang orang itu pun telah memburu Rara Wulan dengan kerisnya yang berputaran.

Rara Wulan seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk menyerang. Sulit baginya untuk menembus perisai bara api yang merah di seputar tubuh orang bertubuh raksasa itu.

“Ini bukan saja kemampuan ilmu Kedung Jati,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya, “tetapi keris orang itu memang keris yang baik. Pamornya mampu memantulkan cahaya oncor yang lemah itu, justru bagaikan bara yang menyala.”

Rara Wulan masih berusaha untuk mencari celah-celah putaran senjata lawannya. Namun agaknya Rara Wulan mengalami kesulitan. Sementara itu, lawannya berusaha untuk menekan Rara Wulan sampai melekat dinding halaman, sebagaimana dilakukan oleh lawan-lawan Glagah Putih.

Dengan demikian, maka Rara Wulan tidak mempunyai pilihan lain kecuali menyelesaikan lawannya dengan ilmu puncaknya. Ilmu yang diwarisinya dari ibu angkatnya. Aji Pacar Wutah Puspa Riconce.

Demikianlah, ketika punggung Rara Wulan menyentuh dinding halaman, maka ia mendengar lawannya itu tertawa sambil berkata, “Kau tidak akan dapat lari lagi, iblis betina. Dendam dan sakit hati Kakang Kuda Sembada akan terbalaskan. Tengadahkan wajahmu. Pandanglah bintang-bintang untuk yang terakhir kalinya. Kemudian tundukkan kepalamu, sebut nama bapa ibumu. Kau akan mati di penginapan ini. Jika kau benar utusan khusus Ki Saba Lintang, maka Ki Saba Lintang akan menemukan empat sosok mayat orang-orangnya yang terpercaya.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi kesempatan itu dipergunakannya untuk memusatkan nalar budinya, membangunkan ilmu puncaknya, Aji Pacar Wutah.

Orang bertubuh raksasa itu tertawa berkepanjangan sambil berdiri dengan kaki renggang. Kerisnya berputaran di tangan kanannya.

“Bersiaplah, sekarang saatnya kau mati.”

Ternyata bahwa kawan-kawannya pun berusaha untuk dapat melihat apa yang akan terjadi dengan perempuan yang telah membunuh Raden Kuda Sembada itu. Ia tidak dapat lagi bergeser, karena punggungnya melekat dinding.

Dalam pada itu, Glagah Putih, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun seakan-akan dengan sengaja memberikan kesempatan kepada lawan-lawan mereka untuk menyaksikan, apa yang akan terjadi.

Pada saat itu Rara Wulan tidak lagi mampu bergeser surut, sementara lawannya yang bersenjata keris itu terus mendesaknya. Putaran keris yang kemerah-merahan itu seakan-akan tidak memberikan celah bagi Rara Wulan untuk menghindarkan diri. Rara Wulan pun menyadari keadaannya, sementara darahnya mulai menitik dari lukanya yang masih belum sembuh benar itu. Sementara itu, sebenarnyalah bahwa Rara Wulan pun telah siap untuk melontarkan ilmu puncaknya.

“Sekarang, anak manis!” teriak orang bertubuh raksasa itu.

Namun ketika raksasa itu siap untuk meloncat, Rara Wulan mengayunkan telapak tangannya yang menghadap ke arah lawannya itu bergerak, sambil menghentak. Seleret sinar putih yang seakan-akan berangkai meluncur dari telapak tangan Rara Wulan. Demikian cepat dan tiba-tiba.

Orang yang bertubuh raksasa itu terkejut. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan menghindar. Pada saat ia meloncat sambil mengayunkan kerisnya, maka jaraknya menjadi dekat sekali.

Nyi Citra Jati yang melihat tatanan gerak Rara Wulan dalam puncak kemampuannya, di luar sadarnya berdesis, “Kemampuan anak itu menjadi semakin matang.”

Dalam pada itu, ketika sinar yang seakan-akan berangkai meluncur dari tangan Rara Wulan itu membentur tubuh raksasa itu, maka tubuh yang tinggi besar itu telah terpelanting, terlempar beberapa langkah surut. Keris yang membara itu terlempar dari tangannya dan jatuh beberapa langkah dari tubuhnya, yang terbanting seperti sebatang pohon yang roboh.

Terdengar teriakan yang tertahan. Kemudian desah kesakitan. Namun kemudian terdiam. Tubuh raksasa itu pun hanya menggeliat. Namun kemudian tidak bergerak sama sekali.

Rara Wulan sendiri bersandar pada dinding halaman. Terasa lukanya bagaikan tertusuk duri. Namun kemudian bagaikan dihisap kuat-kuat, sehingga Rara Wulan pun harus mengerahkan daya tahannya untuk melawan pedih yang menyengat lukanya itu.

Tubuh Rara Wulan pun terasa menjadi sangat letih. Ternyata tenaga dan kekuatannya belum benar-benar pulih utuh seperti sediakala, sebagaimana lukanya yang kemudian ternyata telah berdarah kembali.

Bahkan Rara Wulan itu pun kemudian terduduk bersandar dinding.

Kegelisahan telah melonjak di dada Glagah Putih. Bahkan jantung Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati pun tergetar pula. Mereka menyadari, bahwa Rara Wulan yang ternyata masih belum pulih seutuhnya itu, tenaganya bagaikan terkuras pada saat ia memusatkan nalar budinya untuk melepaskan kekuatan Aji Pacar Wutahnya.

Glagah Putih menjadi sangat gelisah. Namun justru karena itu, maka Glagah Putih berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran. Ia harus segera dapat mengalahkan ketiga orang lawannya. Tetapi ketiga orang lawannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Ketika mereka melihat kenyataan yang terjadi, maka seorang di antara mereka pun berkata, “Kami tidak berkeberatan seorang kawan kami mati. Tetapi perempuan yang telah membunuh Raden Kuda Sembada itu pun akan mati. Kalian semuanya juga akan mati.”

Glagah Putih tidak dapat menahan diri lagi. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mempersiapkan dirinya, memusatkan nalar budinya untuk melepaskan salah satu kemampuan puncaknya yang disadapnya dari Ki Jayaraga. Aji Sigar Bumi.

Karena itu, ketika seorang di antara ketiga orang lawannya itu berbicara, Glagah Putih justru mendapat kesempatan. Dengan serta-merta Glagah Putih meloncat menyerang orang yang sedang berbicara itu. Demikian tiba-tiba, sehingga orang itu tidak sempat mengelak, sementara kedua orang kawannya tidak dapat mencegahnya pula.

Tetapi orang itu seakan-akan tidak merasa terkejut melihat serangan Glagah Putih. Ia masih sempat menyelesaikan kata-katanya. Baru kemudian ia menarik satu kakinya ke belakang, merendah sedikit pada lututnya, serta menyilangkan tangannya untuk menangkis serangan Glagah Putih. Tetapi orang itu tidak menyadari, bahwa di dalam ayunan tangan Glagah Putih itu telah dipusatkan kekuatan Aji Sigar Bumi yang dahsyat itu.

Ketika benturan terjadi, maka terdengar orang itu berteriak keras-keras. Umpatan kasar terdengar dari mulutnya, demikian tubuhnya terlempar beberapa langkah surut. Namun tubuh itu pun kemudian terbanting jatuh. Teriakan orang itu pun segera terdiam. Bahkan tidak terdengar lagi desah nafasnya.

Isi dada orang itu bagaikan terbakar. Kekuatan ilmu Glagah Putih itu tidak mampu diredamnya hanya dengan daya tahannya, betapapun tingginya. Kedua orang kawannya terkejut.

Tetapi Glagah Putih yang sangat marah karena keadaan Rara Wulan itu tidak sempat berpikir panjang. Demikian kedua orang lawannya itu bersiap untuk menyerangnya, maka Glagah Putih pun telah berdiri tegak menghadap mereka. Satu kakinya melangkah sedikit ke depan. Kedua tangannya terjulur dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah seorang dari kedua orang lawannya.

Kedua orang lawannya terkejut melihat sikap itu. Tetapi mereka terlambat untuk bersikap. Sebelum mereka dapat berbuat sesuatu, seleret sinar telah meluncur dari telapak tangan Glagah Putih, mengarah kepada lawannya itu.

Pada saat yang bersamaan, lawannya yang seorang lagi telah meloncat menyerang Glagah Putih dari arah samping. Serangan yang cukup cepat itu memang tidak dapat dihindari oleh Glagah Putih yang sedang melepaskan ilmu puncaknya pula.

Ketika kaki orang itu mengenai pundak Glagah Putih, maka Glagah Putih terlempar beberapa langkah surut. Ia terbanting jatuh. Namun Glagah Putih justru berguling beberapa kali, kemudian dengan cepat meloncat bangkit.

Tetapi serangan lawannya itu pun ternyata telah terlambat. Lontaran ilmu Glagah Putih telah meluncur menyerang salah seorang dari kedua lawannya.Meskipun orang itu berusaha untuk mengelak, tetapi seleret sinar yang lepas dari telapak tangan Glagah Putih itu telah menyambar bagian kiri dadanya.

Orang itu mengaduh tertahan. Namun kemudian tubuhnya terdorong beberapa langkah surut. Sesaat tubuh itu terhuyung. Namun tubuh itu pun akhirnya jatuh terguling di tanah.

Glagah Putih yang telah berdiri tegak di atas kedua kakinya itu pun segera bersiap menghadapi lawannya yang seorang lagi. Berturut-turut ia telah mengerahkan segenap kekuatan bahkan tenaga dalamnya untuk melepaskan ilmunya. Nafas Glagah Putih itu pun menjadi terengah-engah. Tetapi ia sudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dua kematian yang beruntun itu telah menggetarkan jantung orang yang menyebut dirinya Macan Larapan itu serta kawan-kawannya. Mereka telah kehilangan tiga orang berturut-turut. Seorang terbunuh oleh Rara Wulan, sedang dua yang lain mati di tangan Glagah Putih.

Dalam pada itu, maka Macan Larapan pun tiba-tiba telah berteriak, “Tangkap perempuan yang sudah tidak berdaya itu! Kalian berdua tidak perlu lagi mengawasi keadaan.”

Kedua orang yang belum terlibat dalam pertempuran itu pun seperti orang yang terbangun dari mimpi. Untuk beberapa lama mereka bagaikan membeku melihat kawan-kawannya yang terbunuh beruntun. Namun perintah Macan Larapan itu telah membangunkan mereka.

Karena itu, maka kedua orang itu pun segera mempersiapkan diri untuk terjun ke medan pertempuran.

Namun perintah itu sangat mengejutkan Glagah Putih. Rara Wulan tentu tidak akan dapat berbuat banyak dalam keadaannya. Bahkan sulit baginya untuk melindungi dirinya sendiri. Glagah Putih tidak sempat terlalu banyak membuat pertimbangan. Tiba-tiba saja ia meloncat mengambil jarak dari lawannya yang tinggal seorang.

Sementara itu, kedua orang yang semula mengawasi keadaan telah meloncat ke arah Rara Wulan. Jika mereka dapat menguasai perempuan itu, maka mereka akan dapat memaksa ketiga orang yang lain untuk menghentikan perlawanan. Perempuan yang duduk bersila melekat dinding itu akan dapat menjadi taruhan.

Namun yang terjadi adalah di luar perhitungan orang yang menyebut namanya Macan Larapan itu. Ketika salah seorang dari kedua orang itu sudah menjadi semakin dekat dengan Rara Wulan, maka tiba-tiba saja seleret sinar sekali lagi memancar dari tangan Glagah Putih, yang telah meloncat mengambil jarak dari lawannya serta justru mendekati Rara Wulan.

Terdengar orang itu berteriak nyaring. Tubuhnya terpental membentur dinding halaman. Demikian kerasnya, sehingga segala sesuatunya telah berakhir baginya.

Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, lawan Glagah Putih yang garang telah menyerang Glagah Putih pula. Kakinya yang terjulur lurus menghantam punggung Glagah Putih, sehingga Glagah Putih itu pun jatuh terjerembab. Wajahnya tersuruk menimpa serumpun tanaman perdu petamanan di halaman pondok kecil itu.

Dengan cepat Glagah Putih melenting berdiri. Namun sekali lagi lawannya meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar mengenai kening Glagah Putih. Demikian kerasnya, sehingga Glagah Putih itu sekali lagi terpelanting.

Namun demikian Glagah Putih jatuh di tanah, maka iapun segera berguling mengambil jarak. Ketika lawannya memburunya, Glagah Putih sempat meloncat bangkit. Terasa pedih menyengat di wajah Glagah Putih. Agaknya ranting-ranting perdu sempat menggores pipinya sehingga terluka.

Dalam pada itu, seorang lagi dari kedua orang yang berlari ke arah Rara Wulan telah menjadi demikian dekatnya. Namun di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Rara Wulan masih mampu bangkit berdiri. Rara Wulan masih dapat bergeser menghindar ketika orang itu menerkamnya.

Orang itu mengumpat kasar ketika kedua tangannya yang menerkam ke arah leher Rara Wulan itu luput. Namun demikian ia berbalik, maka dengan mengerahkan sisa tenaganya Rara Wulan masih sempat mengayunkan kakinya, menghantam dada orang itu.

Orang itu pun terdorong beberapa langkah surut. Dadanya bagaikan dihimpit oleh sebongkah batu yang besar. Namun Rara Wulan sendiri telah tergetar, sehingga tubuhnya tersandar pada dinding halaman.

Orang yang menerkamnya, yang dadanya menjadi sesak oleh serangan kaki Rara Wulan, berdiri dengan kaki yang agak goyah. Dicobanya untuk mengatur pernafasannya sedikit demi sedikit, Nafasnya pun mulai menjadi mapan.

Rara Wulan masih berdiri bersandar di dinding. Keadaan wadagnya tidak memungkinkannya untuk melepaskan Aji Pacar Wutah. Jika ia memaksakannya, maka ia sendiri akan mengalami kesulitan. Yang dapat dilakukannya hanyalah mempergunakan sisa-sisa tenaganya. Setidak-tidaknya sekedar untuk melindungi diri.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun tidak dapat membiarkan Rara Wulan mengalami petaka. Karena itu, maka hampir berbareng mereka telah melepaskan ilmu puncak mereka untuk menghentikan kedua orang lawan masing-masing.

Sementara itu, orang yang tidak berhasil menerkam Rara Wulan dan bahkan dadanya telah dikenai serangan kaki Rara Wulan dengan sisa-sisa tenaganya, telah berhasil mengendalikan nafasnya. Perlahan-lahan nafasnya mulai teratur kembali.

“Kau sudah tidak berdaya,” geram orang itu sambil bergeser mendekati Rara Wulan, “kau masih mencoba menyerangku. Maka kau tidak akan dapat mempertahankan keseimbanganmu lagi. Kau akan kehabisan tenaga dan jatuh terguling. Begitu mudahnya aku akan dapat menguasaimu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia harus melawan, apapun yang akan terjadi. Namun sebelum orang itu meloncat menyerang, maka Glagah Putih telah melangkah mendekatinya sambil berkata, “Kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi, Ki Sanak.”

Orang itu itu bergeser selangkah. Di dalam keremangan cahaya oncor di kejauhan, ia melihat kawannya yang terakhir melawan orang yang mendekatinya itu, sudah terbaring di tanah.

“Kau sudah kehabisan kawan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia masih melihat seorang kawannya yang bertempur melawan laki-laki yang sudah menginjak hari-hari tuanya, sedangkan seorang lagi melawan perempuan yang juga sudah mulai menjadi tua.

Namun hanya sekejap, karena kedua orang kawannya itu memanfaatkan saat-saat terakhir untuk melarikan diri. Sementara kawan-kawannya yang lain sudah tidak berdaya. Bahkan mungkin mereka telah terbunuh.

Orang itu berdiri membeku. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

“Menyerahlah,” berkata Glagah Putih, “kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi.”

Orang itu masih tetap berdiri tegak tanpa mengucapkan sepatah katapun. Namun seperti yang dikatakan oleh orang yang melangkah mendekatinya itu, bahwa ia sudah kehabisan kawan. Tujuh orang terbaring diam. Entah sudah mati atau pingsan, atau masih hidup tetapi sudah tidak berdaya lagi.

“Menyerahlah,” berkata Glagah Putih sekali lagi, “aku beri kesempatan kau melihat keadaan kawan-kawanmu. Mungkin kau akan segera dapat mengambil kesimpulan, apa yang harus kau lakukan.”

Orang itu masih terdiam. Dua orang kawannya yang terakhir sudah melarikan diri pada saat perhatian lawannya tertuju kepada pasangan mereka bertempur. Mereka tidak membantu kawannya yang terdesak, tetapi mereka mempergunakan kesempatan untuk melarikan diri. Orang itu memang merasa kecewa terhadap kawan-kawannya itu. Mereka telah dengan sengaja mengorbankan kawan sendiri untuk mendapat kesempatan meninggalkan arena.

“Apakah aku harus mengorbankan nyawaku bagi mereka, yang ternyata adalah pengecut yang licik?” bertanya orang itu kepada dirinya sendiri di dalam hatinya.

“Dengar. Ini kesempatanmu yang terakhir. Lihat kawan-kawanmu, apakah mereka masih hidup atau sudah mati. Kemudian, apakah kau akan membunuh diri atau tidak.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekati kawannya yang terlempar membentur dinding halaman.

Ternyata nafasnya telah benar-benar terhenti. Demikian pula kawannya yang seorang. Yang seorang lagi, dan yang seorang lagi. Mereka yang dikenai puncak kemampuan dari keempat orang yang tinggal di pondok kecil itu, bagian dalam tubuhnya seakan-akan telah menjadi hangus.

Sementara orang itu melihat kawan-kawannya yang terbaring, diawasi oleh Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, Glagah Putih telah memapah Rara Wulan ke biliknya.

“Aku akan membawanya masuk, Ayah dan Ibu. Tolong, jangan biarkan orang itu pergi.”

“Baik, Ngger,” jawab Ki Citra Jati.

Glagah Putih pun kemudian membaringkan Rara Wulan di pembaringan. Tubuh Rara Wulan menjadi sangat lemah. Darah masih saja menitik dari lukanya yang masih belum sembuh benar.

“Aku obati lukamu untuk sementara, Rara,” berkata Glagah Putih sambil mengambil obat dari atas geledeg. Obat yang sehari-hari dipergunakan oleh Ki Citra Jati untuk mengobati luka di pundak Rara Wulan itu.

Namun tiba-tiba saja mereka terkejut. Mereka mendengar teriakan seseorang di halaman pondok kecil di bagian belakang penginapan itu.

“Rara Wulan,” berkata Glagah Putih, “kau berbaring saja di sini. Jangan bangkit. Aku tidak akan jauh dari pintu.”

Rara Wulan mengangguk.

Glagah Putih pun melihat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berjongkok di sebelah-menyebelah sesosok tubuh.

Orang yang masih tersisa. Sebuah pisau belati tertancap di dadanya.

“Apa yang terjadi?” bertanya Glagah Putih.

“Kedua orang yang tersisa berusaha membunuh kawannya yang menyerah ini. Mereka melemparkan pisau itu dari atas dinding halaman. Seorang sempat melemparkan pisaunya.”

“Kami telah menyelesaikan orang terakhir dari sepuluh orang yang datang.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia melihat seorang yang terbaring melekat dinding di bawah bayangan sebatang pohon yang rindang. Iapun melihat segerumbul daun pohon itu menjadi layu seakan-akan tersentuh api. Agaknya Ki Citra Jati telah menyerang orang itu pada saat ia berdiri di atas dinding, di belakang rimbunnya dedaunan, untuk melemparkan pisau ke dada kawannya yang menyerah.

“Yang seorang lagi jatuh keluar pagar,” desis Nyi Citra Jati.

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia mendengar orang yang terbaring itu merintih. Agaknya orang itu masih hidup.

“Aku obati lukamu,” berkata Ki Citra Jati.

“Tidak ada gunanya, Ki Sanak,” jawab orang itu, “tetapi aku tidak mau menerima kenyataan ini. Kawan-kawanku tidak berusaha membebaskan aku, tetapi justru membunuh aku untuk menghilangkan jejak.”

“Kedua kawanmu itu pun telah terbunuh.”

“Tetapi aku masih mendendam. Aku belum ingin mati.”

“Karena itu, aku obati lukamu.”

“Terlambat, Ki Sanak.”

“Aku akan mencobanya.”

“Tidak usah, Ki Sanak.”

“Apa yang akan kau lakukan sekarang dengan dendammu itu?”

“Aku minta tolong, sampaikan kepada Ki Saba Lintang bahwa Macan Larapan telah berkhianat,” desah orang itu terengah-engah. “Ia telah melakukan banyak kejahatan untuk kepentingan dirinya sendiri, sebagaimana Kuda Sembada.”

“Tetapi Macan Larapan sudah mati.”

“Masih ada kelompoknya, yang akan melanjutkan pengkhianatannya itu.”

Nyi Citra Jati pun menyahut, “Jika kau belum ingin mati, biarlah kami berusaha.”

“Tidak ada gunanya. Aku belum ingin mati, tetapi aku akan mati. Karena itu, aku mendendam Macan Larapan.”

“Apakah namanya memang Macan Larapan atau sekedar terloncat dari bibirnya saja?”

“Namanya memang Macan Larapan,” desis orang itu.

“Katakan, Ki Sanak. Apa yang ingin kau sampaikan kepada Ki Saba Lintang?” desis Glagah Putih.

Orang itu menjadi terengah-engah. Dengan suara yang bergetar dan tersendat iapun berkata, “Ia telah berkhianat. Ia telah mencemarkan nama baik Perguruan Kedung Jati.”

“Aku bertugas untuk memotong dahan-dahan yang menyimpang benalu.”

“Sebut nama Dandang Pamotan.”

“Aku belum pernah mendengar nama itu. Ki Saba Lintang tidak pernah menyebutnya.”

“Ia termasuk dalam kelompok Macan Larapan.”

“Siapa lagi?”

“Kalau kau bertemu dengan Dandang Pamotan, kau akan bertemu dengan beberapa orang lain.”

“Baik. Aku akan berhubungan dengan Ki Saba Lintang. Tetapi aku sudah lama melakukan tugas yang diperintahkannya kepadaku. Sejak Ki Saba Lintang meninggalkan Wirasari. Ia melihat betapa kotornya nama Perguruan Kedung Jati di sini. Karena itu aku bertugas untuk membersihkannya. Aku diperintahkannya untuk menunggu Ki Saba Lintang di Wirasari. Tetapi jika keadaan memaksa, dapatkah kau menunjukkan, di mana Ki Saba Lintang berada di saat terakhir?”

“Ia berada di sekitar Pucang Kerep.”

“Pucang Kerep di sebelah barat Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya. Ki Saba Lintang ingin mendapatkan pasangan dari tongkat baja putihnya.”

“Sudah beberapa kali dicoba. Aku ikut dalam pasukannya ketika Ki Saba Lintang menyerang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tidak berhasil.”

Nafas orang itu pun menjadi tersengal-sengal. Tetapi ia masih ingin berbicara. Betapapun susahnya, namun terdengar kata-katanya, “Cari Ki Saba Lintang. Dendamku kepada kawan-kawanku yang aku anggap senasib sepenanggungan.”

“Baik, Ki Sanak.”

“Aku juga berpesan, bahwa kami belum sempat menemui Ki Lambung Jimat.”

“Aku akan melakukannya. Siapakah Ki Lambung Jimat?”

“Kau belum mengenal Ki Lambung Jimat? Ia seorang yang dekat dengan Ki Saba Lintang.”

“Tentu belum lama. Mungkin sejak ia berada di Wirasari. Sementara itu, aku sudah ditugaskannya untuk mencari dahan-dahan yang mengandung benalu. Aku pun tidak pernah bertugas sebagai penghubung sebagaimana kalian.”

Nafas orang itu semakin sendat. Kata-katanya menjadi semakin tidak jelas. Tetapi ia masih berusaha untuk berbicara, “Ia tidak ada di Wirasari. Tetapi ia berada di Sela.”

“Baik. Aku akan mencarinya ke Sela.”

“Setelah itu, cepat hubungi Ki Saba Lintang. Mungkin tenaga kalian diperlukan. Ki Saba Lintang sedang mengumpulkan orang-orang berilmu tinggi.”

“Untuk apa?”

Nafas orang itu tiba-tiba terputus. Namun tiba-tiba tubuhnya menghentak. Nafasnya mengalir lagi meskipun tersengal-sengal.

“Ayah, bagaimana dengan orang ini?” bertanya Glagah Putih yang merasa iba melihat keadaannya. Agaknya orang itu benar-benar tidak ikhlas untuk mati. Dendamnya masih saja menyumbat pelepasan nyawanya.

“Bantulah Ki Saba Lintang untuk merebut pasangan tongkat baja putihnya. Ia akan memasuki Tanah Perdikan Menoreh hanya dengan beberapa orang berilmu tinggi, langsung ke rumah perempuan yang memegang tongkat baja putih itu.”

“Baik, baik, Ki Sanak.”

“Temui Ki Lambung Jimat. Bunuh saja Dandang Pamotan.”

“Baik, Ki Sanak. Aku akan melakukannya. Tetapi siapa namamu, Ki Sanak?”

“Namaku Carang Wregu.”

Demikian orang itu mengucapkan namanya, maka nafasnya pun bagaikan menghentak-hentak di dadanya.

“Ayah, tolonglah orang ini.”

Ki Citra Jati pun menjadi sangat gelisah. Kemudian katanya, “Aku tidak mengerti apa yang harus aku lakukan, tetapi ambil obat di atas geledeg itu. Tentu bukan serbuk obat untuk luka, tetapi cairan itu, Jika ketahanan tubuhnya dapat dibantu, mungkin ia dapat bertahan.”

Glagah Putih pun segera bangkit berdiri dan berlari ke biliknya.

Rara Wulan yang terkejut hampir saja bangkit. Tetapi dengan cepat Glagah Putih berkata, “Jangan bergerak, Rara. Aku hanya mengambil cairan itu untuk mengobati seseorang yang terluka di dadanya. Mungkin pisau belati yang tertancap di dadanya itu menyentuh jantungnya.”

Glagah Putih tidak menunggu jawaban Rara Wulan. Setelah Rara Wulan berbaring kembali, maka Glagah Putih pun segera menyambar obat yang sudah dicairkan dengan air masak. Obat itu juga yang diberikan kepada Rara Wulan untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, sehingga tidak menjadi terlalu lemah. Bahkan Rara Wulan sendiri merasa sekan-akan tenaganya telah pulih kembali.

Ketika ia sampai di halaman, ternyata orang yang menyebut namanya Carang Wregu itu sudah meninggal.

“Terlambat,” desis Glagah Putih.

“Aku pun tidak yakin, bahwa obat itu akan berarti baginya. Saat-saat terakhir dari seseorang memang berada di luar kemampuan siapapun juga untuk mencegahnya. Namun Carang Wregu telah memaksa diri pada kesempatannya yang terakhir itu, menyatakan gejolak perasaannya. Tetapi sebagian dari kata-katanya sudah lepas kendali, sehingga ia telah menyebutkan satu rahasia yang besar tentang keberadaan Ki Saba Lintang.”

“Ya. Nampaknya yang dikatakannya seakan-akan sebuah igauan. Tetapi dasarnya adalah kenyataan yang diketahuinya”

“Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati kemudian, “nampaknya Ki Saba Lintang berniat untuk mengambil apa yang dikatakan oleh Carang Wregu sebagai pasangan tongkat baja putihnya itu.”

“Ya, Ayah. Satu bahaya yang mungkin akan menerkam keluarga Kakang Agung Sedayu.”

“Glagah Putih,” Nyi Citra Jati pun telah menanggapinya pula, “kami tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Tetapi nampaknya memang ada bahaya besar yang perlu diketahui oleh keluargamu itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun mereka tidak dapat berbicara lebih lanjut tentang persoalan pasangan tongkat baja putih itu, karena beberapa orang petugas penginapan itu telah memasuki halaman pondok kecil itu, setelah mereka yakin bahwa pertempuran telah selesai.

“Mereka telah terbunuh,” desis pemilik penginapan yang dengan cemas mengikuti perkembangan keadaan.

“Bukan niat kami membunuh. Kami tidak mempunyai pilihan lain.”

“Kami mengerti.”

“Kami minta maaf bahwa kehadiran kami di penginapan ini mungkin akan membuat kesulitan bagi kelangsungan penginapan ini sendiri.”

“Tidak. Tidak apa-apa. Persoalan yang terjadi adalah di luar batas-batas kewenangan kami. Apalagi kalian mampu mengatasi keadaan. Seandainya tidak, sehingga kalian-lah yang menjadi korban, mungkin sekali pengaruhnya akan besar bagi kelangsungan hidup penginapan ini.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara pemilik penginapan itu berkata selanjutnya, “Kematian mereka yang menginap di penginapan ini, akan meninggalkan kesan yang mencemaskan bagi mereka yang ingin menginap di sini.”

“Syukurlah jika peristiwa yang terjadi ini tidak akan menimbulkan masalah bagi penginapan ini.”

“Tidak. Aku yakin, tidak. Bahkan cerita tentang orang-orang berilmu tinggi yang pernah menginap di pondok kecil ini akan membuat bilik yang tidak bersekat itu mendapat banyak perhatian.”

Ki Citra Jati tersenyum. Namun iapun kemudian berkata, “Ada sekitar sepuluh orang yang terbunuh. Bagaimana aku dapat menguburkan mereka?”

“Jangan cemaskan mayat-mayat itu. Aku akan mengerahkan orang-orangku, dan aku akan dapat minta bantuan orang-orang di sekitar penginapan ini. Sekarang, jika kalian ingin beristirahat, beristirahatlah. Biarlah kami yang mengurus orang-orang yang terbunuh ini.”

“Ada satu sosok di luar dinding halaman ini,” berkata Nyi Citra Jati.

“Baik. Kami akan menyelesaikan mereka. Biarlah para petugas memanggil orang-orang di sekitar penginapan yang sudah terbiasa kami minta bantuannya untuk banyak hal.”

“Terima kasih. Kami mengucapkan terima kasih.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun kemudian memasuki pondok kecil. Mereka pun segera merawat Rara Wulan yang masih terbaring. Sementara itu Glagah Putih melibatkan diri bersama para petugas di penginapan itu, mengumpulkan beberapa orang yang telah terbunuh di dalam pertempuran itu.

Namun dengan demikian, semalam suntuk mereka tidak memejamkan mata. Bahkan orang-orang yang menginap di penginapan itu tidak dapat tidur. Meskipun mereka tidak terlibat, dan bahkan pertempuran itu terjadi di bagian belakang penginapan sehingga seakan-akan terjadi di tempat yang terpisah, namun ketegangan telah mencengkam jantung mereka.

Ketika fajar menyingsing, maka persiapan penguburan pun telah dilakukan. Beberapa orang yang terbiasa diupah untuk berbagai keperluan telah sibuk, dan bahkan yang lain telah sibuk pula di kuburan untuk menggali lubang bagi mereka yang terbunuh.

Sebelum matahari terbit, Ki Demang dan Ki Jagabaya telah berada di penginapan itu pula. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun segera menemui mereka. Dengan nada dalam Ki Citra Jati pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih atas peringatan Ki Demang akan kehadiran orang-orang yang bermaksud jahat itu.”

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kami minta maaf atas sikap dan kekasaran kami. Ki Jagabaya sangat berterima kasih bahwa ia masih sempat melihat matahari terbit di hari berikutnya. Bahkan ternyata ia sudah dapat sampai di sini pula sekarang.”

Ki Citra Jati tersenyum. Sementara Nyi Citra Jati pun berkata, “Kami-lah yang harus minta maaf.”

“Tidak, Nyi. Kami mengaku bersalah.”

“Tetapi Ki Demang sudah memberikan peringatan kepada kami akan kehadiran orang-orang yang dipimpin Macan Larapan, dan mengaku dari Perguruan Kedung Jati.”

“Ya. Ketika mereka datang kepadaku, baru aku sadari setelah aku mengamati perbedaan sikap kalian dengan orang-orang yang menurut keterangan mereka adalah saudara seperguruan, dan bahkan ada di antara mereka saudara kandung Raden Kuda Sembada. Perbedaan sikap itu meyakinkan aku, bahwa kalian bukan orang yang pantas diperas dan dimusuhi.”

“Terima kasih, Ki Demang.”

“Yang dapat kami lakukan adalah sekedar membantu kalian dengan cara yang sangat sederhana. Terus-terang, kami tidak berani melibatkan diri melawan orang-orang dari Perguruan Kedung Jati.”

“Mereka sekarang tidak akan mengganggu Ki Demang lagi.”

“Ya. Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang mengganggu Kademangan Wirasari.”

“Ya. Mudah-mudahan Ki Demang pun menemukan cara yang lebih baik untuk memerintah kademangan yang besar dan ramai ini.”

Ki Demang mengerutkan dahinya. Ketika ia berpaling kepada Ki Jagabaya yang sebelah matanya masih nampak kebiru-biruan itu, Ki Jagabaya mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti maksud kalian.”

“Tidak ada pemerasan. Tidak ada fitnah, dan tidak ada pemanfaatan atas kesulitan orang lain bagi kepentingan diri sendiri,” berkata Nyi Citra Jati.

“Ya, Nyi,” suara Ki Demang bernada rendah, “kami mengakui kekhilafan yang selama ini kami lakukan.”

“Tetapi apa yang Ki Demang dan Ki Jagabaya lakukan pada saat terakhir, sudah menunjukkan perubahan sikap Ki Demang dan Ki Jagabaya menanggapi keadaan yang timbul di Wirasari.”

“Mudah-mudahan kami tidak lagi tergoda oleh kebutuhan-kebutuhan lahiriah yang berlebihan, sehingga kami justru telah terjerumus ke dalam laku yang menyimpang dari tugas-tugas kami yang sebenarnya.”

“Sebenarnya itu tergantung pada ketahanan jiwani Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu. Godaan itu dapat datang kapan saja. Tetapi jika Ki demang dan para bebahu tetap pada landasan sikap yang mapan, maka godaan-godaan itu tidak akan berarti apa-apa.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.

Hari itu Ki Demang, Ki Jagabaya, dan bahkan kemudian menyusul beberapa bebahu Kademangan Wirasari, ikut sibuk di penginapan itu. Mereka menunggui upacara penguburan sepuluh sosok mayat yang terbunuh dalam pertempuran semalam di halaman belakang penginapan itu.

Lewat tengah hari, maka kesibukan itu baru selesai. Kesepuluh sosok mayat orang-orang yang mengaku murid-murid dari Perguruan Kedung Jati itu telah dikuburkan di kuburan tua di luar padukuhan induk Kademangan Wirasari.

Ki Demang, Ki Jagabaya dan para bebahu kemudian telah minta diri. Bahkan Ki Jagabaya masih saja berulang kali minta maaf kepada Ki Citra Jati sekeluarga.

Di sore hari, setelah semua pergi ke pakiwan untuk mandi dan berbenah diri, maka pemilik penginapan itu memerlukan berbincang beberapa saat dengan Ki Citra Jati. Namun kemudian pemilik penginapan itu pun kembali kepada kesibukannya bersama para petugas di penginapan itu.

Menjelang senja, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah dapat bangkit dari pembaringan karena darahnya yang sudah mampat lagi, duduk di lincak panjang di halaman pondok kecil tempat mereka menginap.

Sudah tidak nampak lagi bekas-bekas pertempuran semalam. Ceceran darah telah dibersihkan. Pohon-pohon perdu pun telah dibenahi. Daun-daun di pepohonan yang layu dan kering seperti tersulut api telah dipotong.

“Keterangan orang yang bernama Carang Wregu itu sangat menarik perhatian, Ayah,” berkata Glagah Putih kemudian.

Rara Wulan pun sudah mendengar pula dari Glagah Putih, apa yang dikatakan oleh orang yang mengaku bernama Carang Wregu, yang dibunuh oleh kawan-kawannya sendiri untuk menghilangkan jejak. Namun orang itu ternyata masih sempat memberikan keterangan di saat-saat terakhirnya.

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya Ki Saba Lintang sedang menyusun kekuatan, Glagah Putih.”

“Ya, Ayah. Kakang Agung Sedayu harus segera mengetahuinya. Jika tiba-tiba tanpa disadari rumah Kakang Agung Sedayu disergap, maka keadaannya akan sangat gawat.”

“Jadi, apa rencanamu untuk mengatasinya, Glagah Putih?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kakang Agung Sedayu harus segera mengetahui, bahwa Ki Saba lintang akan datang untuk mengambil tongkat baja putih Mbokayu Sekar Mirah.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Sayang sekali, orang yang mengaku bernama Carang Wregu itu harus mati. Nampaknya ia banyak mengetahui rencana Ki Saba Lintang.”

“Mungkin ia bukan orang yang penting, Ayah. Tetapi orang itu bersama-sama dengan beberapa kawannya merupakan penghubung yang banyak mengenal orang-orang penting di lingkungannya. Orang itu bersama-sama dengan kelompoknya harus menghubungi Ki Lambung Jimat. Agaknya Ki Lambung Jimat adalah salah seorang yang akan diajak oleh Ki Saba Lintang untuk mengambil pasangan dari tongkat baja putih itu.”

“Jika demikian,” sahut Nyi Citra Jati, “kau masih mempunyai waktu. Agaknya Ki Saba Lintang akan menunggu kehadiran Ki Lambung Jimat.”

“Ayah dan Ibu,” berkata Glagah Putih, “jika demikian, maka secepatnya aku harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin aku memerlukan waktu tiga atau empat hari perjalanan. Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”

“Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “kau adalah anakku. Istrimu juga anakku. Karena itu, aku merasa ikut menjadi gelisah, bahwa keluargamu yang kau tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh akan mengalami tekanan yang tentu cukup berat. Ki Saba Lintang tentu akan mempersiapkannya dengan sebaik-baiknya.”

“Serangan di rumah kami sudah pernah terjadi, Ayah. Tetapi waktu itu kami dapat mempertahankan diri.”

“Serangan terhadap Tanah Perdikan Menoreh maksudmu?”

“Bukan. Serangan langsung oleh beberapa orang berilmu tinggi terhadap rumah Kakang Agung Sedayu. Tetapi mereka gagal. Cara lain pun pernah ditempuh. Juga pernah ditempuh serangan atas Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi semuanya telah gagal. Seharusnya Ki Saba Lintang mau belajar dari pengalamannya.”

“Ya. Ia tentu belajar dari pengalamannya. Kegagalan-kegagalan itu tidak akan pernah dilupakannya.”

“Tetapi Ki Saba Lintang masih akan mencoba lagi.”

“Ia tidak akan berhenti berusaha, Ngger. Ia akan selalu mencoba sampai akhir hayatnya. Ia akan berhenti jika ia terbunuh di peperangan atau mati karena sebab lain.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

“Glagah Putih. Aku akan bertanya kepada ibumu, apakah ia juga akan bertamu ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ayah,” desis Glagah Putih.

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Aku baru akan bertanya kepada ayahmu, apakah ayahmu ingin melihat-lihat keadaan Mataram sepeninggal Kanjeng Panembahan Senapati. Kemudian singgah di Tanah Perdikan Menoreh. Atau sebaliknya, melihat-lihat Tanah Perdikan Menoreh, kemudian singgah di Mataram.”

Ki Citra Jati pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, kau dengar kata-kata ibumu?”

“Tetapi perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh adalah perjalanan yang panjang.”

“Kami adalah petualang yang menjelajahi gunung dan ngarai.”

“Tetapi bagaimana dengan adik-adik yang kita tinggalkan di padepokan?”

“Kita akan singgah di padepokan untuk minta diri kepada adik-adikmu. Biarlah adik-adikmu berada di padepokan untuk sementara. Di padepokan segala sesuatunya akan terpelihara. Mereka tidak akan diganggu oleh kakaknya, Srini. Sementara itu, latihan-latihan mereka pun akan dapat berjalan dengan teratur. Mereka akan dibantu oleh suasana yang memungkinkan.”

Glagah Putih tidak dapat menolak uluran tangan ayah dan ibu angkatnya itu. Apalagi mereka telah dengan ikhlas meningkatkan ilmu mereka. Bahkan Rara Wulan pun telah mewarisi ilmu Nyi Citra Jati yang sangat tinggi.

Sambil memandang Rara Wulan, Glagah Putih pun bertanya, “Bagaimana pendapatmu, Rara?”

“Aku menurut saja apa yang Kakang katakan.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Kami tentu akan sangat berterima kasih. Tetapi apakah dengan demikian kami tidak sangat merepotkan Ayah dan Ibu?”

“Aku ingin berkenalan dengan keluargamu yang sebenarnya, Ngger.”

“Jika ayah dan ibu menghendaki, kami justru akan sangat berterima kasih.”

Nyi Citra Jati pun kemudian berkata, “Dengan demikian, maka di hari tua ini kami masih merasa ada artinya bagi sesama. Tanpa berbuat apa-apa, kami merasa bahwa hari-hari kami pun seakan-akan sudah berhenti.”

“Baiklah, Ayah dan Ibu. Jika demikian, maka kita akan segera berangkat ke Tanah Perdikan. Bukankah kita tidak perlu benar-benar mencari orang yang bernama Lambung Jimat?”

“Tidak usah, Ngger. Kecuali jika Ki Saba Lintang tidak sabar menunggu kedatangannya atau membatalkan niatnya untuk menghubunginya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Sebenarnya aku merasa heran, bahwa Ki Saba Lintang mempunyai hubungan dengan sekian banyak orang berilmu tinggi. Tetapi nampaknya ia tidak mampu menyusun sebuah rencana yang matang sehingga usahanya dapat berhasil.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Mungkin Ki Saba Lintang memang tidak mampu menyusun rencana yang baik. Ia tidak mempunyai wibawa yang cukup untuk menentukan langkah mereka orang-orang berilmu tinggi, setelah mereka bergabung. Tetapi mungkin Ki Saba Lintang memang tidak ingin terlalu banyak orang yang sekaligus terlibat dalam setiap langkahnya. Semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin banyak pula orang yang akan menuntut untuk ikut menikmati hasilnya.”

“Ya, Ayah. Tetapi bukankah hasil terakhir dari usaha Ki Saba Lintang itu adalah sebatang tongkat?”

“Tongkat itu adalah lambang dari kekuasaan, Glagah Putih. Jika mereka berhasil mendapatkan tongkat itu, maka persoalannya tidak akan begitu saja selesai. Persoalan berikutnya yang timbul adalah, siapakah yang akan memiliki tongkat itu. Nah, semakin banyak orang yang terlibat, maka semakin keras benturan yang akan terjadi di antara mereka.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati pun berkata, “Kedudukan akan mempunyai akibat kekuasaan, Ngger. Sedangkan kekuasaan akan mempunyai akibat yang sangat luas. Karena itu, maka banyak orang yang mati-matian mengejar kedudukan untuk mendapatkan kekuasaan.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi Citra Jati melanjutkannya, “Tentu saja kekuasaan dalam arti yang muram, karena ada kekuasaan yang pengejawantahannya berbeda.”

“Ya, Ibu.”

“Ada kekuasaan yang menindas mereka yang dikuasai. Tetapi ada kekuasaan yang mengabdi kepada mereka yang dikuasai.”

“Ya, Ibu.”

“Nah, kita tentu dapat membaca. Jika kawan-kawan Ki Saba Lintang nanti akan berebut kedudukan, maka jenis kekuasaan manakah yang mereka inginkan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya, Ibu.”

Sementara itu Rara Wulan pun mendengarkan pembicaraan itu dengan sungguh-sungguh.

Demikianlah, maka akhirnya mereka sepakat untuk berangkat meninggalkan Wirasari esok pagi. Malam nanti mereka masih sempat untuk minta diri kepada pemilik penginapan itu, serta Ki Demang Wirasari serta para bebahu.

Ketika mereka menemui Ki Demang Wirasari di rumahnya, maka Ki Citra Jati dan keluarganya itu disambut dengan akrab. Mereka pun telah diperkenalkan pula dengan Nyi Demang, yang agaknya tidak banyak mengetahui tugas-tugas suaminya. Agaknya Nyi Demang pun tidak tahu bahwa selama ini suaminya telah melakukan tugasnya tidak menurut garis-garis yang benar.

Pada saat-saat terakhir dari pertemuan mereka, maka sekali lagi Ki Demang minta maaf atas segala kesalahan yang pernah dilakukannya. Namun bagi Nyi Demang, pernyataan itu hanya sekedar merupakan basa basi saja.

Malam itu juga Ki Citra Jati sekeluarga telah menemui pemilik penginapan untuk minta diri. Esok pagi-pagi mereka akan meninggalkan Wirasari.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya pemilik penginapan itu.

“Meneruskan perjalanan,” jawab Ki Citra Jati.

“Kemana?”

“Kami akan pergi ke Jipang.”

“Ke Jipang? Untuk apa? Apakah kalian sedang mengemban tugas yang penting dari seseorang?”

“Tidak,” berkata Ki Citra Jati, “kami akan menengok saudara kami yang tinggal di Jipang.”

Pemilik penginapan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian sampai ke tujuan dengan selamat. Pada saatnya kalian pun akan pulang dengan selamat pula.”

“Terima kasih. Kami pun ingin mengucapkan terima kasih, bahwa kami sudah mendapat tempat yang baik di penginapan ini. Bukan hanya tempat, tetapi juga pelayanan yang baik.”

“Hanya sekedar apa adanya, Ki Sanak.”

Ketika Ki Citra Jati membayar sewa bilik yang mereka pergunakan, maka pemilik penginapan itu mengembalikan separuhnya sambil berkata, “Biarlah separuh saja. Aku kira sudah lebih dari cukup. Pelayanan kami tentu tidak memuaskan. Dalam keadaan yang sulit, kami tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Memang bukan kewajiban kalian. Kalian telah memberikan tempat. Kami harus membayar sewanya sebagaimana seharusnya.”

“Separuh dari uang sewa itu mungkin tidak berarti apa-apa bagi Ki Sanak sekeluarga. Tetapi itu sekedar ujud penghormatan kami. Ki Sanak sekeluarga adalah orang-orang yang berilmu tinggi, yang seingatku, belum ada seseorang yang setingkat dengan Ki Sanak yang menginap di penginapan ini. Kesediaan Ki Sanak menginap di penginapanku ini sudah merupakan satu kehormatan yang besar bagiku. Karena itu, kami ingin juga memberikan penghormatan kepada Ki Sanak sekeluarga, meskipun barangkali tidak seimbang sama sekali.”

Ki Citra Jati tidak dapat menolak. Sambil mengucapkan terima kasih, Ki Citra Jati terpaksa menerima kembali separuh dari sewa bilik yang telah mereka pergunakan selama mereka berada di Wirasari.

Ki Citra Jati dan keluarganya pun kemudian telah minta diri pula. Besok mereka akan berangkat pagi-pagi sekali meninggalkan penginapan itu.

“Mungkin besok kami tidak sempat minta diri.”

Malam itu, Ki Citra Jati dan keluarganya telah berbenah diri. Keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik. Untuk menempuh perjalanan, meskipun perjalanan yang panjang, tidak akan ada masalah lagi. Apalagi di sepanjang jalan ia masih dapat minum obat dari Ki Citra Jati, yang ikut dalam perjalanan itu pula.

Di dini hari menjelang hari berikutnya, Ki Citra Jati dan keluarganya sudah siap untuk meninggalkan Wirasari. Sebelum fajar, Ki Citra Jati telah menemui orang-orang yang malam itu bertugas di penginapan untuk minta diri.

“Selamat jalan bagi semuanya,” berkata para petugas itu.

“Selamat tinggal,” keluarga Ki Citra Jati itu hampir berbareng menjawab.

“Kami tidak akan pernah mendapat tamu orang-orang yang berilmu tinggi seperti Ki Sanak sekeluarga,” berkata salah seorang di antara para petugas itu.

“Tentu ada. Besok atau lusa,” jawab Ki Citra Jati.

Para petugas itu mengantar mereka sampai ke regol halaman penginapan. Bahkan satu dua orang yang sedang menginap ikut melepas mereka, sementara langit pun menjadi semakin terang oleh cahaya kemerah-merahan di ujung timur.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan Wirasari pada saat Wirasari masih muram. Bahkan lintang panjer isuk masih nampak cahayanya yang gemerlapan di sisi barat daya.

Namun satu dua mereka telah berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar. Beberapa orang perempuan dengan membawa obor blarak yang masih menyala, menggendong bakul di punggungnya berisi hasil kebun yang akan mereka jual ke pasar.

Masih juga terdengar seorang perempuan yang menggendong kayu bakar di punggungnya untuk di jual di pasar, berdendang di sepanjang jalan untuk melupakan dinginnya udara pagi yang menggigit.

“Mereka bekerja keras untuk dapat makan,” berkata Nyi Citra Jati.

“Makan untuk hari ini saja,” sahut Ki Citra Jati, “untuk esok pagi, mereka masih harus berusaha mendapatkannya di kebun. Mungkin beberapa pelepah daun pisang. Mungkin beberapa ikat kacang panjang, atau beberapa butir kelapa.”

“Tetapi apa yang mereka dapatkan di kebun, dapat juga didapatkan oleh banyak orang di kebun mereka.”

“Meskipun demikian, ada saja yang membelinya. Ada seorang tengkulak yang mengumpulkan berbagai macam hasil kebun. Sayuran, ubi-ubian, kelapa, bahkan daun pisang dan lembar-lembar daun jati, untuk membungkus bumbu masak atau reramuan jamu.”

“Tetapi ada di antara mereka yang pergi ke pasar tidak membawa dagangan apa-apa. Tetapi juga tidak berbelanja,” sahut Rara Wulan.

“Untuk apa? Untuk melakukan kejahatan?”

“Juga tidak. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai apa-apa, tetapi mereka harus mencari makan bagi keluarganya. Mereka pergi ke pasar untuk menjual tenaganya. Membantu orang yang sedang berbelanja untuk membawa barang-barang dan bahan-bahan pangan yang dibelinya.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak mempunyai peluang lain. Di musim mengerjakan sawah atau di musim menuai padi, mereka menghambur ke sawah. Tetapi pada musim sepi dari kerja di sawah, mereka menjual tenaga di pasar.”

“Meskipun mereka melarat, tetapi mereka bukan orang-orang yang malas. Mereka bekerja keras tanpa mengenal waktu. Pagi, siang, sore dan bahkan malam hari,” sahut Rara Wulan.

“Ya. Biasanya orang menganggap bahwa orang-orang yang hidupnya melarat adalah orang-orang yang malas dan segan bekerja. Tetapi sebenarnyalah bahwa kadang-kadang kesempatan yang masih belum mereka dapatkan, meskipun mereka sudah bekerja keras.”

“Banyak orang-orang malas yang kaya raya,” sahut Ki Citra Jati, “mereka yang mendapat warisan tanah yang luas, kadang-kadang lebih banyak tidur di rumah, memelihara burung sebagai klangenan, pesiar, makan berlebihan dan kesenangan-kesenangan yang lain.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Rara Wulan mengerutkan keningnya. Namun mereka harus melihat kenyataan itu.

Ketika mereka kemudian keluar dari gerbang Kademangan Wirasari, maka mereka memasuki bulak persawahan yang panjang. Sementara itu, langit pun menjadi semakin terang. Matahari sudah bangkit dari balik pegunungan. Cahayanya yang cerah memancar di atas daun padi yang mengalun disentuh angin pagi yang lembut. Butir-butir embun yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi, masih nampak bergayutan di ujung dedaunan dan di rerumputan yang segar.

“Segarnya berjalan pagi hari,” desis Nyi Citra Jati tiba-tiba.

“Ya,” jawab Ki Citra Jati, “tetapi bukankah kita sudah sering berjalan di pagi hari, selain di malam hari atau diteriknya sinar matahari?”

Nyi Citra Jati tertawa. Katanya, “Kita memang pernah berjalan dekat atau jauh, pagi, siang, sore atau malam hari. Tetapi kadang-kadang kita tidak dapat menikmati perjalanan kita karena beberapa sebab. Sekarang, kita sempat merasakan betapa segarnya angin pagi. Sinar matahari yang pertama mengusik dedaunan yang berembun.”

Ki Citra Jati pun tertawa. Demikian pula Glagah Putih dan Rara Wulan.

Demikianlah, mereka berjalan mengikuti jalan panjang yang berkelok. Namun mereka dapat berjalan lebih cepat dari saat mereka berangkat dari padepokan. Mereka mengenakan pakaian sebagaimana orang yang bepergian. Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak mengenakan pakaian sebagaimana seorang perempuan.

Dengan demikian, maka perjalanan mereka pun menjadi lebih rancak. Orang-orang yang bertemu dengan mereka langsung mendapat kesan khusus terhadap keempat orang itu, sehingga mereka lebih baik tidak membuat persoalan dengan mereka. Tetapi di samping orang-orang yang merasa lebih baik tidak menyentuh mereka berempat, ada saja orang yang justru merasa tersinggung dengan kehadiran mereka dalam pakaian yang khusus itu.

“Sombongnya orang-orang itu,” berkata seorang yang berkumis lebat. Satu dua lembar di antara kumisnya telah terdapat uban yang putih. Demikian pula di rambutnya. Tetapi orang itu nampak begitu kokohnya seperti sebuah bukit batu karang yang tidak akan pernah lapuk oleh hujan dan panas.

“Daerah ini adalah daerah perburuanku. Aku tidak mau ada orang lain yang membusungkan dadanya di sini.”

“Siapakah mereka?” bertanya seorang kawannya.

“Aku belum pernah melihat mereka. Dua orang di antara mereka masih muda.”

“Kita akan memaksa mereka mengakui keunggulan kita di daerah ini. Mereka tidak boleh berburu di sini. Jika mereka sekedar lewat, mereka harus minta ijin kepada kita.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, ketika Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan masuk ke dalam sebuah kedai, maka beberapa orang telah berdiri di depan kedai. Seorang di antara mereka adalah orang yang berkumis lebat itu.

Ketika pemilik kedai itu melihat lebih dari lima orang berkeliaran di depan kedainya, maka jantungnya pun segera menjadi berdebar-debar. Ia kenal benar, siapa orang yang berkumis lebat itu.

“Apalagi yang akan diperbuatnya?” bertanya pemilik kedai itu kepada pelayan yang membantunya.

“Entahlah. Seharusnya mereka tidak mengganggu orang-orang yang singgah di kedai ini. Bukankah kita sudah memberikan upeti kepada mereka setiap pekan? Seharusnya mereka justru ikut menjaga agar mereka yang masuk kedalam kedai ini merasa tenang dan nyaman.” 

“Nanti aku akan berbicara dengan mereka.”

Namun pemilik kedai itu tidak mempunyai kesempatan. Sebelum sempat berbicara, orang berkumis lebat itu telah berdiri di pintu lainnya sambil berkata, “Maaf, Kang Irareja. Aku tahu bahwa seharusnya aku tidak mengganggu tamu-tamumu. Tetapi sekali ini aku tidak dapat menahan diri. Jika orang itu tidak terlalu sombong dan besar kepala, aku memang tidak ingin mengganggunya.”

Orang-orang yang sudah berada di dalam kedai itu terkejut. Mereka tidak segera tahu siapakah yang dimaksud. Tetapi setelah mereka sempat mengikuti pandang mata orang berkumis lebat itu, maka mereka pun dapat menduga bahwa yang dimaksud oleh orang berkumis lebat itu adalah empat orang yang duduk di sudut kedai itu.

“Mereka memang sombong,” desis seorang yang berbaju lurik hitam.

“Mungkin mereka tidak bermaksud apa-apa. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian yang selalu dikenakannya sehari-hari. Pakaian itu sama sekali tidak menyinggung perasaan siapapun di tempat tinggal mereka.”

“Tetapi tidak dipakai untuk berkeliaran seperti mereka berempat. Terutama kedua orang perempuan itu.”

“Ya. Rasa-rasanya kedua orang perempuan itu menantang siapapun yang ditemuinya di perjalanan mereka.”

Dalam pada itu, Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, “Ada apa lagi dengan orang yang berdiri di pintu itu.”

“Agaknya kata-katanya memang ditujukan kepada kita,” desis Nyi Citra Jati.

“Nampaknya memang begitu. Pakaian yang kita kenakan agaknya tidak berkenan di hatinya.”

“Bagaimana dengan lukamu, Rara?” desis Glagah Putih. “Kemarin lukamu berdarah lagi ketika Macan Larapan datang ke penginapan.”

“Segala sesuatunya sudah teratasi, Kakang. Mudah-mudahan aku tidak perlu mengerahkan puncak ilmuku sehingga akan dapat berpengaruh atas daya tahan, tenaga serta lukaku itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu berkata pula, “Agaknya orang-orang itu mengira, bahwa di sepanjang jalan yang akan dilaluinya tidak ada orang yang mampu mengimbangi kemampuan mereka. Mereka mengira bahwa mereka adalah orang-orang sakti yang tidak terkalahkan di dunia ini.”

“Sudahlah,” berkata pemilik kedai itu, “lapangkan dadamu. Biarlah orang lain berbuat sesuka hati mereka asal mereka tidak mengganggu.”

“Jelas mereka mengganggu, Kang. Mereka sudah menyinggung harga diriku sebagai orang yang paling ditakuti di daerah ini.”

“Mereka tidak akan menetap di daerah ini.”

“Tetapi mereka lewat di daerah ini. Kang Irareja, maaf bahwa aku tidak dapat membiarkannya. Aku tidak akan mengganggu pembeli-pembelimu yang lain, kecuali orang yang sangat sombong ini.”

“Biarkan saja mereka dengan kesombongannya.”

“Tidak, Kang. Aku tidak dapat membiarkannya. Orang itu akan berurusan dengan aku. Ia harus minta maaf. Kedua perempuan itu tidak boleh mengenakan pakaian seperti itu. Aku menjadi muak dan darahku menjadi panas. Jika mereka menolak, maka akulah yang akan mengganti pakaiannya dengan paksa.”

Pemilik kedai itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang berkumis tebal itu melangkah memasuki kedainya.

“Kita tidak akan dapat tinggal diam,” berkata Ki Citra Jati.

“Biarlah aku melayani, Ayah. Jika mungkin, aku akan berbicara dengan baik. Jika tidak, apa boleh buat.”

“Hati-hatilah, Glagah Putih,” pesan Nyi Citra Jati. Namun Rara Wulan pun berdesis pula, “Hati-hatilah, Kakang.”

Glagah Putih tidak menjawab. Orang berkumis tebal itu berhenti dua langkah dari tempat duduk Ki Citra Jati berempat.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “kalian adalah orang-orang yang paling sombong yang pernah lewat di daerah ini.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kedua orang perempuan yang bersamamu mengenakan pakaian yang sangat memuakkan. Aku tahu, bahwa orang-orang perempuan yang merasa dirinya berilmu mengenakan pakaian seperti itu. Dengan demikian maka kedua orang perempuan yang bersamamu itu merasa diri mereka berilmu tinggi.”

“Tidak, Ki Sanak. Bukan begitu. Kedua orang perempuan ini adalah ibu serta istriku. Mereka mengenakan pakaian seperti itu agar mereka dapat bergerak lebih leluasa. Kami sedang menempuh perjalanan yang sangat panjang.”

“Kalian akan pergi kemana?”

“Kami akan pergi ke Mataram.”

“Mataram?”

“Ya.”

Orang berkumis lebat itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja iapun membentak, “Omong kosong! Kau mencoba membuat cerita yang sangat menarik untuk menggertak kami.”

“Kenapa menggertak Ki Sanak? Apa anehnya dan bagi kalian apa pengaruhnya, jika kami berkata bahwa kami akan pergi ke Mataram? Semua orang dapat saja pergi ke Mataram.”

“Mataram adalah pusat pemerintahan di Tanah ini. Dengan menyebut Mataram, kau akan merasa dirimu orang penting.”

“Tidak. Aku memang bukan apa-apa. Di Mataram kami akan mengunjungi saudara kami. Tidak ada maksudku untuk mempengaruhimu dengan menyebut nama Mataram.”

“Persetan. Tetapi aku telah tersinggung dengan kehadiranmu. Terutama karena kedua orang perempuan itu. Karena itu maka kalian semuanya harus minta maaf kepadaku. Kedua orang perempuan itu harus berganti dengan pakaian perempuan kebanyakan.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku pernah melewati jalan ini. Kami juga mengenakan pakaian seperti ini. Ibu dan istriku juga mengenakan pakaian yang dipakainya sekarang. Tetapi kami tidak menemui hambatan apa-apa.”

“Saat itu tentu aku kebetulan tidak sedang melihat kalian lewat. Jika aku melihat kalian lewat, maka pada saat itu kami sudah mengambil tindakan. Nah, sekarang tidak usah banyak bicara. Kedua orang perempuan itu harus berganti pakaian.”

“Kami tidak mempunyai pakaian lain.”

“Kau memperbodoh kami pula. Pakaian yang dikenakannya itu dapat diubah cara memakainya sehingga pakaian khususnya tidak nampak. Setidak-tidaknya tidak semata-mata seperti cara mengenakannya sekarang. Kain panjangnya dapat diurai dan dikenakan dengan baik.”

“Sudahlah, Ki sanak. Biarkan kami lewat. Jika aku harus minta maaf, atas nama keluargaku, aku minta maaf. Tetapi jangan paksa ibu dan istriku merubah cara mereka berpakaian. Kami masih harus berjalan jauh. Bahkan kami harus menginap di perjalanan.”

“Lakukan saja apa yang aku katakan, agar aku tidak harus memaksa mereka. Jika kedua orang perempuan itu berkeberatan, maka akulah yang akan mengganti cara mereka berpakaian dengan paksa.”

“Kau aneh, Ki Sanak.”

“Tidak ada yang aneh. Sekarang, bawa kedua orang perempuan itu ke pakiwan di belakang kedai ini. Jangan menjawab lagi. Atau aku akan menampar mulutmu sampai berdarah.”

Tetapi Glagah Putih masih juga menjawab, “Tidak, Ki sanak. Mereka tidak akan melakukannya.”

Ternyata seperti yang dikatakannya, maka orang itu telah mengayunkan tangannya untuk menampar mulut Glagah Putih.

Glagah Putih tidak membiarkan mulutnya ditampar. Karena itu, maka iapun telah mengayunkan tangannya pula. Dengan sisi telapak tangannya, Glagah Putih telah membentur pergelangan tangan orang berkumis lebat itu.

Terasa pergelangan tangan orang itu telah disengat oleh rasa sakit yang sangat, sehingga orang berkumis lebat itu mengaduh kesakitan. Di luar sadarnya orang itu mundur selangkah. Sementara Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa.

“Aku bunuh kau,” geram orang itu.

Glagah Putih memandang wajahnya yang menjadi merah oleh kemarahan yang menyala di dalam dadanya.

“Keluarlah. Jika kau menantang aku berkelahi, kita akan berkelahi di halaman, agar menjadi tontonan orang banyak,” berkata Glagah Putih.

“Biarlah mereka melihat, bagaimana aku membunuhmu dan membantaimu di hadapan mereka. Bagaimana aku mematahkan tangan dan kakimu tanpa mempergunakan senjata.”

Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan. Tiba-tiba saja iapun berdiri. Didorongnya orang berkumis lebat itu dengan kerasnya ke arah pintu.

Orang itu tidak mengira bahwa ia akan diperlakukan seperti itu. Hampir saja ia jatuh terlentang. Namun ia segera dapat menguasai dirinya.

Sementara itu Glagah Putih pun mendesaknya sambil berkata, “Aku tidak mau merusakkan perabot di kedai ini. Aku ingin berkelahi di luar. Aku akan menunjukkan kepada orang banyak, bahwa kau tidak perlu ditakuti.”

“Anak iblis,” geram orang itu. Tetapi karena Glagah Putih mendesaknya terus, bahkan mendorongnya, maka orang itu akhirnya keluar dari kedai, disusul oleh Glagah Putih.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak tinggal diam di tempat duduknya. Mereka tahu bahwa orang berkumis lebat itu juga tidak sendiri. Karena itu, maka mereka pun bangkit pula dan berjalan ke pintu dan turun ke halaman.

“Bersiaplah,” justru Glagah Putih-lah yang menggeram.

Orang itu tidak sempat berkata sepatah katapun. Glagah Putih tiba-tiba saja telah menyerang dengan kakinya. Meskipun serangan itu masih belum bersungguh-sungguh, tetapi orang berkumis lebat itu terkejut, sehingga iapun segera berloncatan mengambil jarak.

Glagah Putih tidak memburunya. Ia memberi kesempatan kepada orang berkumis lebat itu untuk mempersiapkan dirinya lebih mapan.

“Kau licik. Kau menyerang sebelum aku bersiap.”

“Karena itu, aku beri kesempatan kau bersiap. Aku beri kesempatan kau memandang langit, gunung, pepohonan dan kedai itu. Jika kau berkeras untuk memaksakan kehendakmu, maka kau tidak akan pernah melihat langit lagi.”

Jantung orang itu memang tergetar. Sikap Glagah Putih memang sangat meyakinkan. Apa yang dikatakannya itu agaknya akan sanggup pula dilakukannya.

Tetapi orang berkumis lebat itu merasa dirinya terlalu kuat. Ia tidak pernah menjumpai orang yang berani menentangnya. Jika ada juga yang berani mencoba melawannya, maka orang itu akan segera dibuatnya jera. Bahkan orang berkumis lebat itu pernah membunuh orang yang menantangnya, justru karena orang itu tidak dapat dikalahkannya dengari segera.

“Kau terlalu sombong orang muda,” geram orang berkumis tebal itu. “Jangan menyesal bahwa kau benar-benar akan mati.”

“Cepat, bersiaplah. Jangan berbicara apa-apa lagi.”

Orang itu masih akan menjawab, tetapi Glagah Putih sudah meloncat menyerangnya. Orang itu sempat meloncat menghindar. Bahkan orang berkumis lebat itu telah mencoba berganti menyerang.

Tetapi ayunan kakinya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan pada saat ia bertumpu pada satu kakinya, Glagah Putih meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar menyambar dada orang itu.

Orang itu benar-benar terkejut. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak, sehingga kaki Glagah Putih benar-benar telah menghantam dadanya. Orang itu mengaduh tertahan, namun tubuhnya terlempar selangkah surut. Sejenak kemudian, orang berkumis lebat itu telah kehilangan keseimbangan, sehingga iapun terhuyung-huyung dan jatuh terlentang di tanah.

Orang itu memang dengan cepat melenting bangkit. Namun demikian ia berdiri, maka sekali lagi kaki Glagah Putih terjulur lurus mengenai dadanya.

Orang itu benar-benar terlempar dengan kerasnya dan terbanting jatuh di tanah. Orang berkumis lebat itu menyeringai menahan sakit. Tulang punggungnya rasa-rasanya bagaikan hendak patah. Karena itu, maka orang itu tidak dapat dengan serta merta bangkit berdiri untuk menghadapi Glagah Putih.

Glagah Putih berdiri tegak beberapa langkah dari orang yang tertatih-tatih bangkit berdiri itu.

“Nah,” berkata Glagah Putih, “apakah kau masih ingin memaksa ibu dan istriku untuk berganti pakaian, atau mengenakan pakaiannya dengan cara yang lain?”

Orang berkumis lebat yang telah bangkit berdiri itu memandang Glagah Putih dengan mata yang bagaikan menyala. Tiba-tiba saja ia berkata kepada kawan-kawannya, “Tangkap orang itu hidup-hidup. Aku ingin memberinya sedikit peringatan.”

Kawan-kawannya pun segera menebar.

Sementara itu, orang berkumis lebat itu pun telah berpaling kepada Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan sambil berkata, “Jangan ikut campur, agar kalian tidak mengalami nasib seperti anak yang sombong ini.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak menyahut. Namun mereka pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat lebih dari lima orang mengepung Glagah Putih.

Glagah Putih yang berdiri di dalam lingkaran kepungan kawan-kawan orang berkumis lebat itu pun menggeram. “Baik. Jika aku harus bertempur melawan kalian semuanya, maka bukan salahku jika ada di antara kalian yang akan terbunuh. Aku bukan seorang pembunuh. Tetapi aku harus menyelamatkan diri dari kemungkinan terburuk yang dapat terjadi atas diriku. Jika aku tertangkap hidup-hidup, maka aku tentu akan mengalami perlakuan yang sangat buruk dari kalian.”

Jantung orang-orang yang mengepung Glagah Putih itu pun tergetar pula. Sementara itu Glagah Putih pun berkata selanjutnya, “Marilah. Siapa yang akan mati lebih dahulu.”

Tidak seorang pun yang segera meloncat menyerang. Agaknya mereka menjadi ragu-ragu. Mereka telah menyaksikan, apa yang dilakukan oleh Glagah Putih terhadap orang berkumis lebat itu. Orang yang dianggap memiliki kemampuan yang tidak terkalahkan di daerah itu, sehingga ia dapat memeras para pemilik kedai yang ada di sekitarnya. Bahkan orang-orang yang terhitung berkecukupan pun harus membayar upeti pula kepadanya, agar keluarganya tidak diganggu.

“Cepat!” teriak orang berkumis lebat itu, “Sapa yang tidak mau melakukan perintahku, akan aku bantai di sini.”

Namun mereka berpaling serentak ketika mereka mendengar suara orang tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya orang berkumis lebat itu kepada Ki Citra Jati, yang mentertawakan sikap orang-orang yang mengepung Glagah Putih itu.

“Yang mereka kepung hanya seorang. Tetapi nampaknya orang-orangmu menjadi ragu-ragu.”

“Persetan dengan kau, kakek tua! Jika kau turut campur maka kau dan kedua orang perempuan itu akan kami bantai di sini.”

“Jangankan kami bertiga, melawan seorang di antara kami pun kalian merasa ragu.”

“Setan kau,” geram orang berkumis lebat itu. Namun iapun segera berteriak, “Segera selesaikan anak itu! Tangkap hidup-hidup! Kemudian kita akan berurusan dengan setan tua itu.”

Ki Citra Jati tidak menyahut. Ia ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh orang berkumis lebat itu bersama-sama dengan orang-orangnya terhadap Glagah Putih.

Orang-orang yang mengepung Glagah Putih itu tidak sempat berpikir lagi. Orang berkumis lebat itu tiba-tiba telah mendorong seorang di antara mereka.

Orang yang didorongnya itu hampir saja menabrak Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih bergeser sedikit ke samping, sehingga orang itu justru meluncur terus dan membentur kawannya sendiri yang berdiri berseberangan.

Namun dengan demikian, maka kawan-kawannya yang lain pun segera berloncatan pula menyerang Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapi mereka. Karena itu, maka iapun segera melenting. Tubuhnya berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar