Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 342

Buku 342

“Tentu saja aku tidak dapat melimpahkan ilmuku hanya dengan meraba ubun-ubun kalian berdua. Karena itu, supaya hidupku berbekas, aku minta sudilah kalian berdua mempelajari ilmuku, yang mudah-mudahan dapat melengkapi ilmu kalian berdua.”

“Darimanakah sumber ilmu Ki Ageng Puspakajang?”

“Aku mempelajarinya dari berbagai perguruan. Meramunya dan kemudian memeras inti sarinya. Jika yang kau tanyakan apakah ilmuku itu putih atau hitam, itu tergantung kepada manusia yang memilikinya. Aku yakin, ilmu itu di tanganmu akan menjadi ilmu yang berarti bagi orang banyak. Justru pengabdian yang belum pernah aku lakukan dengan ilmuku itu. Semoga jika ilmuku kau pergunakan untuk mengabdi kepada sesama serta memuliakan nama-Nya, akan dapat sedikit memberikan arti pada hidupku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Bagaimana caraku mempelajari ilmu Ki Ageng?”

“Pada ikat pinggangku yang rangkap, terdapat beberapa lembar rontal. Tetapi aku pesankan, jika kau tidak memerlukannya, hancurkan saja rontal itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang yang lebar itu. Namun Glagah Putih masih saja merasa ragu akan ketulusan hati Ki Ageng Puspakajang. Glagah Putih masih belum dapat mengkesampingkan kecurigaannya terhadap orang yang baru saja bertempur melawannya itu.

Namun dengan suaranya yang semakin lemah Ki Ageng Puspakajang itu berkata, “Glagah Putih. Mungkin aku seorang yang licik, yang banyak melakukan kejahatan. Tetapi menjelang kematian, aku ingin berkata jujur. Ambillah ikat pinggangku. Di dalamnya terdapat sebuah rontal yang akan berarti bagi banyak orang jika rontal itu ada di tanganmu. Tetapi sekali lagi aku pesankan, jika kau tidak memerlukannya, rontal itu harus kau hancurkan. Rontal itu tidak boleh jatuh ke tangan seseorang seperti aku. Apalagi seseorang seperti Pandunungan. Kau mengerti?”

“Aku mengerti, Ki Ageng.”

“Ambil ikat pinggangku. Kau dapat membawanya pulang. Lihat isinya. Kau akan mendapatkan beberapa petunjuk yang akan membuka kemungkinan bagimu untuk melengkapi ilmu yang sudah kau miliki.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara suara Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin lemah, “Glagah Putih. Aku dapat dipercaya pada saat terakhir dari hidupku.”

Glagah Putih bergeser mendekat. Suara Ki Ageng Puspakajang semakin tidak terdengar, “Salamku buat istrimu. Ia akan menjadi seorang perempuan yang tidak ada duanya.”

Suara Ki Ageng Puspakajang itu menjadi semakin perlahan. Sekilas nampak senyum di bibirnya. Kemudian matanya pun tertutup, serta nafasnya pun terputus. Ki Ageng Puspakajang itu pun meninggal.

Ki Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Kami bertumpu kepadanya. Kami yakin ia akan dapat menyelesaikan rencana kami, mengambil padepokan ini. Tetapi Ki Ageng telah terbunuh oleh anak-anak.”

“Sekarang, apa yang akan kau lakukan?”

“Bukankah aku sudah menyerah sejak tadi?”

“Bagaimana dengan yang lain?”

Ki Wiratama termangu-mangu sejenak. Sementara itu nampaknya para cantrik telah menguasai keadaan. Padmini, Pamekas. Setiti dan Baruni telah berada di sisi Mlaya Werdi.

Sementara itu, para pengikut Pandunungan seluruhnya telah meletakkan senjata mereka.

Ternyata Ki Sura Alap-Alap nampaknya menjadi semakin parah. Seorang cantriknya telah berusaha untuk mengobatinya. Tetapi agaknya tidak akan berhasil.

Keadaan Ki Mandira Wilis masih lebih baik dari keadaan Ki Sura Alap-Alap. Agaknya masih ada harapan bagi Ki Mandira Wilis jika ia mendapat perawatan yang baik.

Demikianlah, keadaan sudah benar-benar dapat dikuasai. Meskipun demikian, ada juga korban yang jatuh di antara para cantrik.

Menjelang senja, maka para cantrik telah mengumpulkan mereka yang telah terbunuh di peperangan. Mereka juga telah menempatkan mereka yang terluka. Selain itu, para pengikut Pandunungan yang menyerah telah ditempatkan di satu barak yang khusus dengan penjagaan yang kuat.

Di hadapan para sesepuh, Glagah Putih yang sudah melepas ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang itu berniat untuk membukanya.

“Aku mohon para sesepuh menjadi saksi.”

Orang-orang tua itu mengangguk-angguk. Namun Ki Wasesa pun berkata, “Hati-hati, Glagah Putih. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya ada di antara dua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, “Baik, Paman. Tetapi agaknya pada saat terakhir, Ki Ageng Puspakajang dapat dipercaya.”

Ki Wiratama-lah yang menyahut, “Mungkin ia termasuk pada sisi yang gelap dari kehidupan. Tetapi ia bukan orang yang licik dan pengecut. Aku kira ia dapat dipercaya.”

Glagah Putih pun kemudian mulai melepas janget yang mengikat kedua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang. Seperti pesan Ki Wasesa, Glagah Putih membukanya dengan sangat berhati-hati.

Namun ketika Glagah Putih memisahkan kedua lapis ikat pinggang itu, di dalamnya memang terdapat beberapa helai rontal. Goresan-goresan hurufnya lembut. Namun dapat dibaca dengan jelas. Ada beberapa lukisan terdapat pada lembar-lembar rontal itu. Nampaknya pada rontal itu tertulis dan terlukis sebagaimana dikatakan oleh Ki Ageng Puspakajang, petunjuk-petunjuk yang akan dapat membuka kemungkinan bagi Glagah Putih untuk melengkapi ilmu yang sudah dimilikinya.

“Panggraitanmu tajam, Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “Ki Ageng Puspakajang memang dapat dipercaya pada saat-saat terakhirnya. Seperti yang dikatakan oleh Wiratama, ia bukan orang yang licik dan pengecut.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati pun berkata pula, “Kau dapat memanfaatkannya, Glagah Putih. Kau akan dapat memenuhi harapan Ki Ageng Puspakajang, bahwa ditanganmu, rontal itu akan berarti bagi orang banyak.”

“Kau dapat mengganti ikat pinggangmu dengan ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang.”

Namun Glagah Putih menggeleng, “Sayang sekali.”

Nyi Citra Jati mengerutkan dahinya. Dengan nada berat iapun bertanya, “Kenapa, Glagah Putih? Apakah kau tidak mau berada di bawah bayangan Ki Ageng Puspakajang karena ikat pinggangnya?”

Glagah Putih menggeleng pula. Katanya, “Tidak, Ibu. Tetapi ikat pinggangku adalah ikat pinggang yang khusus. Aku tidak akan melepaskannya. Ikat pinggang ini pemberian seseorang yang sangat aku hormati.”

Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, terserah saja kepadamu. Atau mungkin Rara Wulan dapat mengenakannya?”

“Aku?” bertanya Rara Wulan, “Apakah aku pantas mengenakan ikat pinggang yang lebar itu? Ikat pinggang itu adalah ikat pinggang seorang laki-laki.”

“Kau juga mengenakan ikat pinggang, Rara Wulan.”

“Tetapi ikat pinggangku tidak selebar itu.”

“Bukankah pakaianmu juga seperti pakaian laki-laki. Jika kau mengenakan ikat pinggang laki-laki, apa salahnya?”

Rara Wulan tertawa. Dipandanginya Glagah Putih yang juga tertawa.

“Kau menertawakan aku, Kakang? Aku belum mengenakan ikat pinggang itu.”

“Cobalah.”

Rara Wulan termangu-mangu. Sementara itu, Glagah Putih telah memasang lagi janget kulit untuk mengikat kedua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang.

“Cobalah,” berkata Ki Citra Jati.

Rara Wulan pun akhirnya menerima ikat pinggang itu.

“Ikat pinggang itu memakai timang seperti kamus,” berkata Glagah Putih.

Ketika Rara Wulan mengenakan ikat pinggang itu, orang-orang yang menyaksikannya tertawa. Memang nampak janggal. Tetapi Nyi Citra Jati berkata, “Tetapi kau justru pantas mengenakannya, Rara Wulan. Kau tidak perlu lagi mengenakan stagen di bawah ikat pinggangmu.”

“Tetapi kalau aku mengenakan pakaian seorang perempuan?”

“Ikat pinggang itu memang harus kau letakkan. Tentu disimpan dengan baik.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia memang nampak ragu-ragu. Tetapi justru kemudaannya-lah yang kemudian menentukan. Meskipun Rara Wulan sudah memiliki kematangan ilmu, tetapi sebagai seorang yang masih muda, ada juga keinginannya untuk berbeda dengan orang lain.

Karena itu, maka akhirnya Rara Wulan itu pun berkata, “Aku mau pakai ikat pinggang itu. Tetapi aku sadar, bahwa jika ada orang yang ingin memiliki rontal yang ada di dalamnya, orang itu harus membawa aku serta.”

Yang mendengar kelakar Rara Wulan itu tertawa. Glagah Putih pun tertawa. Meskipun demikian, ia melihat kedalaman kata-kata Rara Wulan itu. Glagah Putih sadar, bahwa Rara Wulan pun akan mengatakan bahwa seseorang dapat membawanya serta atau membunuhnya untuk mendapatkan ikat pinggang itu.

Karena itu, maka iapun berkata, “Kau pakai ikat pinggang itu jika kau berjalan bersamaku, Rara. Jika kita harus menyelesaikan tugas yang berbeda, maka kita akan menyimpan ikat pinggang itu di tempat yang paling aman.”

Bara Wulan tersenyum. Tetapi iapun menangkap janji Glagah Putih, bahwa ia akan melindunginya.

Demikianlah, maka semalam suntuk padepokan itu tidak tidur. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati minta anak-anaknya beristirahat setelah mereka mandi.

“Bagaimana dengan mereka yang terbunuh itu, Ibu?” bedanya Padmini.

“Besok mereka akan dimakamkan meskipun dengan upacara yang sederhana. Besok pagi-pagi, semuanya akan sudah siap.”

“Apakah mereka akan dikubur di kuburan yang sama? Maksudku para cantrik padepokan ini serta para pengikut Pandunungan?”

“Ya. Meskipun letaknya akan dipisahkan.”

Padmini mengangguk-angguk.

Malam itu, ternyata Ki Sura Alap-Alap tidak sempat diselamatkan. Iapun meninggal setelah mengalami pengobatan serta segala usaha untuk menyelamatkan nyawanya. Namun jika saat itu sudah tiba, maka tidak seorangpun akan dapat menundanya.

Berbeda dengan Ki Sura Alap-Alap, Ki Mandira Wilis agaknya justru menjadi lebih baik. Dengan obat-obatan yang ada di padepokan itu, maka penderitaannya karena luka di tubuhnya serta luka di dalam, menjadi semakin ringan.

Sementara itu, meskipun Padmini, Setiti dan Baruni masuk ke dalam biliknya, namun mereka tidak dapat tidur. Baruni mencoba membaringkan tubuhnya. Tetapi nampaknya sama sekali tidak terpejam. Apalagi Setiti ribut saja dengan nyamuk yang berterbangan di telinganya.

Sementara itu, Pemekas berada di antara para cantrik yang berjaga-jaga di sekitar barak yang dipergunakan untuk menahan para pengikut Pandunungan. Meskipun mereka telah meletakkan senjata, tetapi mereka tetap merupakan orang-orang yang berbahaya. Mereka dapat berbuat sesuatu di luar dugaan.

Di dini hari, Rara Wulan masuk ke dalam bilik adik-adiknya. Namun demikian ia masuk, Setiti pun langsung bertanya, “Mbokayu? Ada yang lain pada mbokayu.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya, “Apakah ada yang lain?”

“Ada yang berbeda pada Mbokayu.”

“Apa?”

Padmini dan Baruni pun memperhatikan Rara Wulan pula. Seperti Setiti, mereka pun melihat ada yang lain pada Rara Wulan.

Sambil tertawa, Padmini pun kemudian berkata, “Mbokayu memakai ikat pinggang yang lebar itu justru di luar baju Mbokayu. Bukankah Mbokayu tidak pernah mengenakannya dengan cara seperti itu? Biasanya Mbokayu mengenakan ikat pinggang di bawah baju mbokayu. Tetapi apakah ikat pinggang itu juga yang sering Mbokayu kenakan?”

Rara Wulan pun tertawa. Namun Rara Wulan itu pun kemudian berkata, “Beristirahatlah. Kalian tentu letih.”

“Mbokayu sendiri?”

“Nanti aku akan segera menyusul.”

“Kenapa nanti?”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Sudahlah, tidurlah. Masih ada waktu. Aku akan pergi ke pakiwan dahulu.”

Padmini, Setiti dan Baruni pun kemudian berbaring setelah Rara Wulan melangkah keluar dari bilik itu untuk pergi ke pakiwan. Tetapi Rara Wulan tidak segera kembali ke dalam bilik itu lagi. Tetapi bersama-sama dengan Glagah Putih mereka berada di pendapa bangunan induk padepokan itu.

“Alangkah bodohnya aku,” berkata Mlaya Werdi yang menjadi semakin baik.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Sebelum pertempuran terjadi, aku mencemaskan Adi berdua. Ternyata kemampuan Adi berdua tidak terjangkau oleh penalaranku. Adi berdua sanggup mengalahkan Ki Ageng Puspakajang.”

“Tangan Yang Maha Agung-lah yang menentukannya. Kami hanya dapat mengucap syukur.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Katanya, “Kita semua mengucap syukur, bahwa padepokan ini telah diselamatkan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sementara itu, ketika fajar mulai membayang, para cantrik pun mulai menjadi sibuk untuk menyelenggarakan upacara penguburan. Beberapa orang tawanan telah diminta untuk membantu menggali lubang di tanah pekuburan.

Pada saat matahari mendekati puncak langit, maka segala sesuatunya sudah dapat diselesaikan. Para cantrik pun kemudian mengalihkan kesibukan mereka dengan memperbaiki dan mengatur kembali padepokan mereka yang menjadi porak-poranda. Tanaman-tanaman yang terinjak-injak. Pintu gerbang padepokan yang rusak, serta kerusakan kerusakan yang lain.

Sementara itu, beberapa orang masih juga berada di dalam barak sebagai tawanan, yang dijaga dengan kuat oleh para cantrik. Beberapa orang masih harus dirawat. Bukan saja para cantrik, tetapi juga di antara mereka yang datang menyerang padepokan itu, termasuk Ki Mandira Wilis.

Namun keberadaan Ki Mandira Wilis dan Ki Wiratama di padepokan itu, ternyata agak memudahkan penyelesaian bagi para tawanan. Mlaya Werdi atas persetujuan para sesepuh berniat menyerahkan para tawanan itu kepada mereka berdua.

“Bawa mereka kemana saja menurut kemauan Paman berdua,” berkata Mlaya Werdi kepada mereka.

Ki Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi aku tidak akan dapat menjamin, apakah mereka tidak akan mendendam kalian untuk seterusnya. Apalagi para pengikut Ki Ageng Puspakajang.”

“Ada berapa orang pengikut Ki Ageng Puspakajang?” bertanya Glagah Putih.

“Hanya sedikit,” jawab Ki Wiratama, “mudah-mudahan mereka tidak akan mengganggu padepokan ini untuk selanjutnya.”

“Kami akan berjaga-jaga menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk seperti itu, Paman Wiratama.”

“Jadi kalian percaya kepada kami berdua?”

“Ya. Kami percaya. Mudah-mudahan Paman memang dapat dipercaya.”

Ki Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku berhutang kepada kalian. Seharusnya aku sudah mati.”

“Ya. Seharusnya aku pun sudah mati. Meskipun aku memang sudah menjadi setengah mati, tetapi kini keadaanku berangsur menjadi baik,” berkata Ki Mandira Wilis.

“Jika kalian masih berjantung, maka kalian tentu akan tahu menempatkan diri,” berkata Ki Citra Jati.

“Sekarang aku mengerti, apa yang sebaiknya aku lakukan. Tetapi pengaruh keadaan dan suasana kadang-kadang dapat merubah keyakinan seseorang.”

“Tetapi orang-orang yang berpijak pada alas sikap yang kuat, tidak akan melakukannya.”

“Kau benar, Kakang,” desis Ki Wiratama, “kami akan berusaha untuk tidak melakukan kesalahan lagi.”

“Ajari pengikut Pandunungan itu untuk juga tidak melakukan kesalahan.”

“Baik, Kakang.”

Namun Ki Mandira Wilis itu pun berkata, “Tetapi jangan usir aku sekarang.”

Mlaya Werdi tertawa. Katanya, “Paman masih dalam keadaan yang terhitung parah. Paman masih akan berada di sini beberapa hari. Demikian pula Paman Wiratama dan para tawanan. Mudah-mudahan dalam beberapa hari ini, Paman Wiratama dapat berbicara dengan mereka serba sedikit, agar mereka mulai menyadari keadaan mereka.”

“Terima kasih, Ngger,” Ki Mandira Wilis mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun masih minta diri pula kepada Mlaya Werdi untuk tetap berada di padepokan itu untuk beberapa lama.

“Silahkan, Paman dan Bibi. Silahkan. Bahkan aku-lah yang akan minta Paman dan Bibi untuk tetap berada di sini, setidak-tidaknya sampai kami melepas Paman Wiratama dan Paman Mandira Wilis serta para tawanan.”

“Terima kasih, Ngger. Aku dan anak-anak akan menjadi beban di sini.”

“Sama sekali tidak, Paman. Jika Paman dan Bibi serta adik-adik tidak berada di padepokan ini pada saat Pandunungan datang, mungkin keadaannya sudah berbeda. Kami tidak akan mampu membendung arus yang begitu kuat. Paman Wiratama, Paman Mandira Wilis, dan bahkan Ki Ageng Puspakajang.”

“Kami hanya merupakan bagian saja dari perjuanganmu, Mlaya Werdi. Perjuangan seluruh isi padepokan ini.”

“Tetapi kemampuan kami sangat terbatas, Paman.”

Dengan demikian, maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak tergesa-gesa meninggalkan padepokan itu. Bahkan rasa-rasanya mereka dan anak-anak mereka menjadi kerasan. Suasananya yang sejuk dan tenang. Sementara itu, Srini tidak akan dapat mengganggu mereka.

Padmini, Setiti dan Baruni pun telah menyatu dengan beberapa orang mentrik yang ada di padepokan itu. Mereka setiap hari bekerja bersama para mentrik dan berlatih bersama mereka pula, kecuali dalam latihan-latihan khusus. Terutama bagi Padmini dan Pamekas, yang telah dipersiapkan untuk mewarisi pula Aji Pacar Wutah Puspo Rinonce, sebagaimana telah diwarisi oleh Rara Wulan.

Tetapi Setiti dan Baruni pun selalu mendapat penilikan khusus pula dari Nyi Citra Jati, sehingga ilmu mereka pun selalu meningkat.

Dalam pada itu, dalam waktu-waktu luang, Glagah Putih dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk melihat-lihat isi rontal yang ada di antara dua lapis ikat pinggang Ki Ageng Puspakajang, yang dipakai oleh Rara Wulan. Mereka mulai memperhatikan guratan pada lontar itu.

“Mungkin akan berarti bagi kita, Rara,” berkata Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka memang melihat petunjuk-petunjuk yang sangat berarti. Namun sudah tentu mereka harus memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi di dalam diri mereka. Petunjuk-petunjuk laku yang terdapat di dalam rontal itu harus dipelajari lebih dahulu dengan seksama, agar tidak terjadi hal-hal yang justru merugikan bagi tubuh mereka.

Berbeda dengan Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni yang kerasan di padepokan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan mulai teringat kembali akan tugas mereka untuk menemukan tongkat baja putih yang berada di tangan Ki Saba Lintang. Karena itu, maka pada saat mereka duduk di pendapa bangunan induk padepokan itu bersama Mlaya Werdi dan para sesepuh, Glagah Putih menyampaikan maksudnya untuk meninggalkan padepokan itu.

“He?” Mlaya Werdi terkejut, “Kalian akan kemana? Bukankah Paman dan Bibi Citra Jati masih akan tinggal untuk sementara di sini?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Agaknya kami sudah lebih dewasa dari adik-adik kami. Sudah selayaknya jika kami mencari pengalaman yang lebih luas. Melihat-lihat dunia ini dari berbagai sisi.”

“Lalu, apakah kalian akan meninggalkan Paman dan Bibi?”

“Untuk sementara. Pada saatnya kami akan pulang.”

“Pulang kemana?” bertanya Mlaya Werdi, “Kemari?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berganti-ganti.

Ki Citra Jati itu pun kemudian menjawab, “Mudah-mudahan Srini tidak merobohkan rumah kami.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan melihat rumah kita itu, Ayah.”

“Jangan dalam waktu dekat ini, Glagah Putih.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menjawab, Ki Citra Jati itu pun bertanya, “Atau kau masih ingin pergi ke Wirasari? Aku akan mengantarmu. Biarlah Rara Wulan berada di sini.”

“Aku ikut, Ayah,” potong Rara Wulan. “Bukankah aku tidak akan menjadi momongan?”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Ya. Kau memang tidak akan menjadi momongan.”

“Untuk apa kalian pergi ke Wirasari?” bertanya Ki Wasesa.

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak, Namun karena di antara mereka tidak ada Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis, Ki Citra Jati itu pun berkata, “Kami ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang. Tetapi menurut beberapa orang, Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari.”

Ki Wasesa mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya, “Untuk apa kalian ingin bertemu dengan Ki Saba Lintang di Wirasari?”

“Kami mempunyai sedikit kepentingan, Paman,” jawab Glagah Putih.

“Jika kalian tahu bahwa Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari, kenapa kalian akan pergi ke Wirasari?”

“Sekedar untuk meyakinkan, Paman,” jawab Glagah Putih.

Ki Wasesa mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Mlaya Werdi pun berkata, “Mungkin Paman Wiratama atau Paman Mandira Wilis pernah mendengar nama Ki Saba Lintang, atau bahkan pernah mengenal orangnya.”

“Sudahlah. Aku masih belum dapat mempercayai Wiratama dan Mandira Wilis sepenuhnya.”

“Biarlah aku saja yang bertanya, Paman,” berkata Mlaya Werdi, “seakan-akan aku-lah yang berkepentingan dengan Ki Saba Lintang.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika saja ia dapat memberikan sedikit keterangan.”

Sebenarnyalah ketika kemudian Ki Wiratama ikut duduk bersama mereka, Mlaya Werdi-lah yang bertanya, “Paman Wiratama. Apakah Paman mengenal seseorang yang bernama Ki Saba Lintang?”

Dahi Ki Wiratama itu berkerut. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa dengan Ki Saba Lintang?”

“Paman mengenalnya?”

Ki Wiratama termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun menjawab, “Ya. Aku mengenal orang yang bernama Ki Saba Lintang.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya pula, “Apakah Ki Saba Lintang masih berada di Wirasari?”

Ki Wiratama memandang Mlaya Werdi dengan tajamnya. Dengan nada tinggi iapun bertanya, “Apakah kau mempunyai hubungan dengan Ki Saba Lintang?”

“Paman berkeberatan untuk menjawab pertanyaanku?”

Ki Wiratama menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa berhutang budi kepada isi padepokan itu, karena ia masih dibiarkan tetap hidup. Karena itu, maka iapun menjawab, “Tidak, Mlaya Werdi. Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari. Ia sudah agak lama pergi.”

“Paman mengenalnya dengan baik?” bertanya Mlaya Werdi kemudian.

“Ki Saba Lintang memang pernah menghubungi aku dan pamanmu Mandira Wilis. Meskipun telah beberapa kali gagal, namun Ki Saba Lintang masih tidak berputus-asa. Ia masih menginginkan pasangan tongkat baja putihnya, untuk memperkuat kedudukannya sebagai pemimpin perguruan yang bakal dibangunkannya. Perguruan Kedung Jati.”

“Dimana pasangan tongkat baja putihnya itu, Paman?” bertanya Mlaya Werdi.

“Menurut Ki Saba Lintang, pasangan tongkat baja putihnya itu berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tanah Perdikan Menoreh?” ulang Mlaya Werdi.

“Ya. Memang agak jauh. Tetapi Ki Saba Lintang masih berniat untuk mengambilnya. Ia pernah menempuh beberapa cara. Bahkan dengan kekerasan. Tetapi orang-orangnya telah dihancurkan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ki Saba Lintang masih belum jera?” bertanya Mlaya Werdi.

“Ya. Ia tidak pernah mundur dari langkah yang telah diyakininya. Ia sekarang sedang mempersiapkan sebuah kekuatan baru untuk mengambil tongkat baja putih itu.”

“Untuk itukah Paman telah dihubungi?”

“Ya.”

“Paman menyatakan kesediaan Paman?”

“Aku belum menjawab dengan tegas. Ketika kemudian Pandunungan datang kepadaku, maka perhatianku tertuju kepada padepokan ini. Meskipun demikian, aku tidak memutuskan hubungan dengan Ki Saba Lintang.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk.

“Nah, apa keperluanmu dengan Ki Saba Lintang, Mlaya Werdi? Jika kau ingin bekerja sama dengan orang itu, kau harus berpikir sepuluh kali lagi. Ia seorang yang licik. Seorang yang banyak mempunyai akal, tetapi akalnya dipergunakan untuk mengakali orang lain.”

“Kenapa Paman memikirkan kemungkinan untuk bekerja bersamanya?”

“Aku juga orang yang licik. Seperti pamanmu Mandira Wilis juga orang yang licik. Seperti Ki Saba Lintang, aku dan pamanmu Mandira Wilis juga merasa banyak mempunyai akal. Karena itu, maka jika kami bekerja sama dengan Ki Saba Lintang, maka yang akan terjadi adalah siapa memperalat siapa.”

“Jika aku akan memusuhi Ki Saba Lintang?”

“Jika kau mempunyai kesempatan, hindari saja. Ia mempunyai banyak kawan. Tetapi kawan-kawannya juga orang-orang yang licik. Kau masih akan merasa lebih hormat kepada Pandunungan daripada kepada Ki Saba Lintang.”

“Apakah Ki Saba Lintang juga mempunyai hubungan dengan Ki Puspakajang?”

“Ia mengagumi Ki Ageng Puspakajang. Tetapi hubungan mereka masih belum terlalu akrab. Mereka masih belum saling mempercayai, sehingga belum ada saling ketergantungan.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata Ki Saba Lintang sangat menarik untuk dikenal.”

“Berhati-hatilah. Jangan bermain api. Kau akan dapat hangus karenanya.”

“Baiklah, Wiratama,” berkata Ki Citra Jati, “jika demikian, jangan pernah sebut nama kami di hadapan Ki Saba Lintang. Jangan sebut nama Mlaya Werdi. Jangan pernah sebut nama Glagah Putih, Rara Wulan, Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni. Jangan sebut nama Srini, dan jangan pernah sempat berbicara tentang kami dengan Ki Saba Lintang, jika pada suatu saat kau bertemu lagi dengan orang itu. Kau dapat menyebut namaku, istriku atau kita yang tua-tua ini. Tetapi jangan sebut seorangpun di antara anak-anak kami.”

“Kenapa?”

“Kalau kau hormati kesempatan hidup yang aku berikan kepadamu, jangan pernah menyebutnya. Itu saja. Kau paham?”

“Aku paham tentang tidak menyebut nama-nama mereka. Tetapi aku tidak paham, apakah sebabnya.”

“Kau tidak usah mengetahui sebabnya.”

“Baiklah. Aku berjanji.”

“Nah. Jika kau tahu, dimana Ki Saba Lintang itu sekarang?”

“Menurut keterangan yang aku dengar, dari Wirasari Ki Saba Lintang akan pergi ke sisi selatan Pagunungan Kendeng. Entah apa yang akan dilakukannya. Tetapi mungkin pula ia pergi lebih ke selatan. Namun menurut pendengaranku, ia akan kembali ke Wirasari. Tetapi aku tidak tahu, kapan ia akan berada di Wirasari lagi.”

“Adi Wiratama,” berkata Ki Citra Jati, “jika aku minta bantuanmu, apakah kau bersedia?”

“Bantuan apa?”

“Jika Ki Saba Lintang itu berada di Wirasari, tolong, katakan kepada kami.”

“Tetapi jangan dorong aku untuk terlibat ke dalam permusuhan dengan Ki Saba Lintang. Jika itu yang terjadi, aku belum siap.”

“Tidak. Aku hanya ingin kau mengatakan kepada kami bahwa Ki Saba Lintang berada di Wirasari lagi. Seterusnya kau tidak akan terlibat.”

“Tetapi sekali lagi aku peringatkan, terutama Mlaya Werdi. Jangan memusuhi Ki Saba Lintang. Padepokan ini akan digilasnya. Meskipun ia pernah, gagal menggulung sebuah Tanah Perdikan, tetapi bukan berarti bahwa ia lemah. Tanah Perdikan itulah yang terlalu kuat.”

“Paman tidak terlibat pada saat Ki Saba Lintang memusuhi Tanah Perdikan itu?”

Ki Wiratama menggeleng. Katanya, “Aku belum berhubungan dengan Ki Saba Lintang. Baru kemudian, setelah kawan-kawannya yang berilmu tinggi hanya namanya saja yang sempat meninggalkan Tanah Perdikan, sedangkan tubuhnya harus berkubur di situ, Ki Saba Lintang mencari kawan-kawan yang lain.”

Tiba-tiba saja Glagah Putih pun bertanya, “Seandainya, Ki Saba Lintang sekali lagi akan pergi ke Tanah Perdikan itu, apakah Paman Wiratama juga akan pergi?”

“Aku harus membuat perhitungan yang cermat untung ruginya, Ngger. Aku tidak dapat mengatakan apakah aku bersedia atau tidak. Tetapi aku tidak akan pernah melupakan bahwa Ki Saba Lintang pernah gagal di Tanah Perdikan itu.”

Glagah Putih mengangguk-anggak. Namun Ki Citra Jatil-ah yang sekali lagi memperingatkan, “Baiklah, Adi Wiratama. Tetapi jangan kau lupakan pesanku. Jangan pernah berbicara tentang anak-anak kami. Tentang nama-nama mereka dan tentang apa yang pernah mereka lakukan. Jangan ceritakan tentang anak-anak kita yang telah membunuh Ki Ageng Puspakajang. Jangan ceritakan pertentangan yang terjadi antara Pandunungan dan Mlaya Werdi. Biarlah ia tidak mengetahui apa yang pernah terjadi, dan apa yang telah diperbuat oleh anak-anak kita itu.”

“Baik. Meskipun aku tidak mengerti alasannya.”

“Katakan pula kepada Mandira Wilis. Jika kalian berdua melanggar janji kalian, maka berarti kalian telah membuka permusuhan yang sesungguhnya dengan kami.”

“Tidak. Aku sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan kalian.”

“Terima kasih, Paman,” sahut Mlaya Werdi.

Dengan demikian, maka pembicaraan mereka pun segera bergeser. Mereka tidak lagi berbicara tentang Ki Saba Lintang, yang masih tetap menginginkan tongkat baja putih yang sebuah lagi, yang berada di tangan Sekar Mirah. Bahkan nampaknya apapun yang terjadi, Ki Saba Lintang tidak akan melangkah surut.

Pada kesempatan yang terpisah, maka Ki Citra Jati pun bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah tidak sebaiknya kita menunggu? Aku yakin bahwa pada suatu hari nanti, Ki Saba Lintang akan kembali ke Wirasari. Agaknya Ki Saba Lintang sedang menyusun kekuatan untuk merebut tongkat baja putih yang satu lagi, yang masih berada di Tanah Perdikan itu.”

“Tetapi jika itu yang akan dilakukan, Ayah, bukankah sebaiknya aku menunggu di Tanah Perdikan?”

“Semuanya masih belum pasti. Mungkin kita dapat mendengar rencana mereka jika kita dapat bekerja sama dengan Adi Wiratama dan Mandira Wilis.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun mengangguk sambil berkata, “Kita dapat mencobanya, Ayah. Tetapi kita akan menunggu sampai waktu yang tidak dapat diperhitungkan. Kita akan tergantung sekali kepada Ki Saba Lintang.”

“Bukankah kita memang mencari Ki Saba Lintang?”

“Bukankah lebih baik kita bergerak daripada sekedar menunggu tanpa berbuat apa-apa?”

“Aku mengerti. Tetapi bukankah kau ingin pergi ke Wirasari untuk melihat-lihat keadaan?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil mengangguk iapun berkata, “Ya, Ayah. Kami memang ingin melihat keadaan Wirasari.”

“Baiklah. Kita akan pergi ke Wirasari.”

“Biarlah aku juga pergi, Kakang,” berkata Nyi Citra Jati tiba-tiba. “Aku jadi iri kepada Rara Wulan. Jika ia boleh ikut, aku pun boleh ikut pula.”

Ki Citra Jati tertawa.

Nyi Citra Jati pun tertawa pula sambil berkata, “Biarlah kita titipkan anak-anak kita di sini. Aku kira Adi Wasesa tidak akan segera pergi, sehingga Srini tidak akan mengganggu adik-adiknya di sini.”

Ki Citra Jati pun mengangguk sambil menjawab, sementara senyumnya masih tersangkut di bibirnya, “Baiklah, Nyi. Kita akan pergi ke Wirasari.”

“Tetapi aku berpendapat bahwa kita tidak harus segera berangkat, Kakang. Biarlah Wiratama dan Mandira Wilis lebih dahulu meninggalkan padepokan ini.”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Aku sependapat dengan ibumu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bagaimanapun juga kita masih belum dapat mempercayai mereka sepenuhnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada berat Glagah Putih pun kemudian berdesis, “Tetapi kapan mereka akan pergi?”

“Aku kira tidak akan lama lagi. Mandira Wilis sudah menjadi semakin baik meskipun belum pulih. Mereka akan pergi sambil membawa para pengikut Pandunungan yang ditawan di padepokan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun akhirnya keduanya pun mengangguk. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, “Baiklah, Ayah. Aku dan Rara Wulan akan menunggu sampai Paman Wiratama dan Paman Mandira Wilis meninggalkan padepokan ini.”

“Bagus,” desis Ki Citra Jati, “besok dengan tidak langsung aku akan bertanya, kapan mereka pergi.”

“Tetapi jangan timbul kesan, bahwa Kakang mengusirnya, Kita juga orang menumpang di sini.”

“Tentu,” jawab Ki Citra Jati sambil tersenyum.

Tetapi Ki Citra Jati tidak perlu bertanya tentang kepergian Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis. Mereka berdua-lah yang minta diri untuk meninggalkan padepokan itu.

“Tolong, Paman. Hubungi kami jika Paman mengetahui kabar tentang Ki Saba Lintang,” pesan Mlaya Werdi.

“Baik, Mlaya Werdi. Aku akan mengamatinya. Jika orang itu mengubungi aku lagi, aku akan memberitahukan kepadamu. Tentu saja tidak setahu Ki Saba Lintang itu sendiri.”

Demikianlah, hari berikutnya, Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis pun telah minta diri kepada seisi padepokan itu. Kepada para cantrik, mereka mengucapkan terima kasih serta minta maaf atas kekhilafan mereka, sehingga harus jatuh korban dari antara para cantrik.

“Kami akan mengingat-ingat peristiwa ini untuk seterusnya,” berkata Ki Wiratama.

Mlaya Werdi, para sesepuh dan seisi padepokan itu telah melepas mereka meninggalkan padepokan. Sebuah iring-iringan orang yang tidak bersenjata. Ada di antara mereka yang nampaknya menyesali perbuatannya. Tetapi ada di antara mereka yang memancarkan dendam pada sorot matanya.

Tetapi Mlaya Werdi tidak menghiraukannya. Ia masih percaya bahwa betapapun dalamnya, namun di setiap jantung masih terdapat peletik cahaya kebenaran. Seandainya peletik itu justru padam, Mlaya Werdi tidak takut menghadapi dendam di hati orang-orang yang tidak tahu diri itu.

Sepeninggal mereka, maka kesibukan di padepokan itu pun menjadi jauh berkurang. Para cantrik dan mentrik tidak lagi terlalu sibuk melayani para tawanan. Selain menjaga agar mereka tidak berbuat hal-hal di luar dugaan, mereka pun tidak perlu lagi menyediakan makan bagi mereka.

“Kita harus menyediakan makan dua kali lipat,” berkata seorang mentrik.

“Sekarang tidak lagi,” sahut kawannya, “beras kita tidak akan secepat itu berkurang.”

“Bukankah masih cukup sampai panen mendatang?”

“Masih. Jika kurang, kita mempunyai persediaan jagung.”

Para mentrik itu mengangguk-angguk.

Sementara itu, Glagah Putih telah mengingatkan Ki Citra Jati, bahwa mereka pun akan segera minta diri untuk melihat-lihat keadaan Wirasari.

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Begitu ingin kalian pergi ke Wirasari. Baiklah. Besok kita pergi ke Wirasari. Bukankah sudah tidak ada beban lagi yang harus kita usung?”

“Masih ada, Kakang,” sahut Nyi Citra Jati, “kita masih harus memikirkan Srini. Mudah-mudahan ia dapat kembali.”

“Ya. Aku tidak bermaksud melupakannya. Tetapi kita memerlukan waktu serta tahapan-tahapan yang mungkin panjang.”

Nyi Citra Jati mengangguk. Bagaimanapun juga ia adalah seorang ibu.

Demikianlah, maka ketika Mlaya Werdi dan para sesepuh duduk di pringgitan lewat senja, Ki Citra Jati pun menyampaikan niatnya untuk pergi ke Wirasari.

“Paman jadi pergi ke Wirasari?” bertanya Mlaya Werdi.

“Biar anak-anak itu menjadi puas setelah mereka melihat sendiri Wirasari.”

“Wirasari menyimpan berbagai macam kemungkinan,” berkata Ki Wasesa. “Kademangan yang besar dan terhitung ramai itu mempunyai seribu wajah. Wajah-wajah yang asli, tetapi juga wajah-wajah yang mengenakan berbagai macam topeng. Topeng Panji yang tampan, topeng Kirana yang cantik, tetapi juga topeng Bethara Kala dan Durga yang mengerikan.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Ya. Itulah yang harus kita waspadai.”

“Paman juga akan mengenakan topeng?” bertanya Mlaya Werdi

Ki Citra Jati tertawa. Ia berpaling kepada Nyi Citra Jati sambil bertanya, “Apakah kita juga akan mengenakan topeng?”

Nyi Citra Jati pun tertawa pula. Katanya, “Ya. Topeng dari wajah-wajah orang kesrakat.”

Ki Wasesa pun tertawa pula. Namun iapun bertanya, “Bukankah Kakang Citra Jati sudah mengenal Wirasari?”

“Ya. Sebagian dari wajahnya dapat aku kenali. Tetapi topeng-topeng yang dapat berganti sehari tujuh kali itu-lah yang agak menyulitkan.”

“Kakang dan Mbokayu memang harus berhati-hati.”

Nyi Citra Jati sambil tertawa berkata, “Aku akan berhati-hati, Adi Wasesa. Jika aku bertemu dengan orang setampan Panji, aku akan bertanya kepadanya, apakah yang nampak tampan itu memang wajahnya sendiri atau hanya sekedar topengnya saja.”

“Wajahku-lah yang setampan wajah Panji, tanpa mengenakan topeng,” sahut Ki Citra Jati.

Suara tertawa pun terdengar berkepanjangan di pringgitan.

“Apa yang mereka bicarakan?” desis Baruni yang duduk di serambi baraknya bersama Setiti.

“Maksudmu, apa yang mereka tertawakan?”

“Ya.”

“Orang-orang tua pun dapat juga berkelakar seperti anak-anak. Mereka tentu berbicara tentang Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis.”

Keduanya pun terdiam. Suara tertawa di pringgitan pun terdiam pula.

Sementara itu, malam yang turun pun menjadi semakin gelap. Pembicaraan di pringgitan itu pun kemudian berakhir ketika Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati minta diri kembali ke barak yang disediakan bagi mereka sekeluarga.

Namun Ki Citra Jati masih juga sempat bertanya, “Bukankah kau tidak akan pergi kemana-mana, Adi Wasesa?”

Ki Wasesa menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan pergi kemana-mana. Setidak-tidaknya dalam waktu dekat ini.”

“Aku titipkan anak-anakku yang kecil-kecil. Glagah Putih dan Rara Wulan akan ikut bersamaku esok.”

Malam itu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati memberikan banyak pesan kepada anak-anaknya. Terutama Padmini dan Pamekas.

“Jangan lupa mempersiapkan diri kalian dengan baik. Kalian sedang aku persiapkan untuk mewarisi Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce,” pesan Nyi Citra Jati.

“Ya, Ibu,” jawab Padmini dan Pamekas hampir berbareng.

Namun tiba-tiba saja Baruni bertanya, “Apakah Ayah juga akan mewariskan Aji Pacar Wutah itu?”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Bukankah sama saja? Jika kalian nanti mewarisinya dari ibumu, maka aku tidak perlu mewariskannya kepadamu.”

Nyi Citra Jati-lah yang kemudian memberikan penjelasan, “Ayah dapat saja mewariskannya kepada kalian, tetapi Ayah tidak begitu telaten. Pewarisan dengan cara yang keras dan menghentak-hentak, akan berpengaruh terhadap pewarisnya. Mungkin ayahmu menganggap bahwa aku lebih telaten, sehingga alurnya dapat runtut sekali. Dengan demikian laku yang harus dijalaninya pun runtut pula.”

Baruni mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati pun berkata selanjutnya, “Selain Aji Pacar Wutah, ayahmu memiliki ilmu yang lain, yang dalam keadaan yang gawat lebih dapat diandalkan. Sehingga karena itu sentuhan Aji Pacar Wutahnya menjadi sedikit longgar, meskipun bukan berarti tidak berguna lagi.”

Baruni mengangguk-angguk.

Sambil mengusap kepalanya, Ki Citra Jati berkata, “Bertekunlah. Pada saatnya kalian akan memiliki ilmu yang dapat kalian banggakan.”

Baruni mengangguk, sementara Nyi Citra Jati pun berkata, “Setelah kakakmu Padmini dan Pamekas, maka akan datang giliranmu, Baruni, bersama kakakmu Setiti. Karena itu, sejak sekarang kalian harus sudah bekerja keras. Selama aku dan ayahmu pergi, kakakmu Padmini dan Pamekas akan membimbingmu dan kakakmu Setiti.”

“Ya, Ibu,” jawab Baruni.

Kepada Padmini Nyi Citra Jati pun berkata, “Kakakmu Mlaya Werdi sudah mengijinkan kalian mempergunakan salah satu sanggarnya. Soalnya hanya pembagian waktu dengan para cantrik dari padepokan ini.”

“Ya, Ibu,” jawab Padmini.

Sementara Ki Citra Jati pun kemudian berkata, “Selama Ayah dan Ibu pergi, di samping latihan-latihan yang teratur, bantu para cantrik. Mungkin di sawah, mungkin di dapur, atau dimana saja kalian dapat membantu mereka.”

“Ya, Ayah,” anak-anak Ki Citra Jati itu mengangguk.

Di keesokan harinya, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih serta Rara Wulan telah bersiap. Nyi Citra Jati dan Rara Wulan mengenakan pakaian wajar seorang perempuan. Meskipun demikian, Rara Wulan mengenakan ikat pinggangnya yang lebar peninggalan Ki Ageng Puspakajang, di bawah bajunya. Namun Rara Wulan hanya mengenakan stagen yang pendek saja.

Pada saat meninggalkan padepokan, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi merasa perlu membawa pedangnya. Disimpannya pedangnya di barak di padepokan itu. Agaknya kesan tentang pedang di lambung sejalan dengan kekerasan dan permusuhan.

Mlaya-Werdi, Ki Wasesa,, anak-anak Ki Citra Jati dan beberapa orang cantrik melepas mereka sampai ke regol halaman padepokan. Di wajah Setiti dan Baruni membayang keinginan mereka untuk ikut bersama ayah dan Ibunya. Tetapi mereka tidak mengatakannya.

Sejenak kemudian, keempat orang itu sudah menjadi semakin jauh dengan padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil, melewati bulak sawah yang luas, yang digarap oleh para cantrik atas ijin Ki Demang yang membawahi daerah itu. Ki Demang yang terdahulu memberikan ijin membuka hutan untuk mendirikan sebuah padepokan serta lingkungan pendukungnya. Sawah, ladang, pategalan, kolam, serta padang perdu di pinggir hutan untuk menggembalakan ternak.

Karena Nyi Citra Jati dan Rara Wulan mengenakan kain panjang serta baju sebagaimana kebanyakan perempuan, maka mereka tidak dapat berjalan lebih cepat.

“Seperti putri keraton,” desis Ki Citra Jati.

“Aku sudah mencoba berjalan seperti macan yang lapar,” sahut Nyi Citra Jati.

“Kenapa dengan macan kelaparan?”

“Puteri kraton jika berjalan pinggangnya melenggok seperti macan luwe.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Kalian adalah orang-orang pegunungan. Pegunungan Kendeng dan Pegunungan Menoreh. Berjalan saja seperti perempuan-perempuan pegunungan berjalan ke sawah atau membawa hasil bumi ke pasar.”

Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tertawa. Dengan nada tinggi Rara Wulan pun berkata, “Aku terbiasa mengenakan pakaian seperti ini di Tanah Perdikan Menoreh. Sehari-hari aku tidak mengenakan pakaian khususku.”

“Nah, kau dengar, Kakang?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya kemudian, “Bukankah ini sebagian dari topeng yang sedang kita kenakan? Kita poles ujud kewadagan kita dengan topeng yang berkesan lembut.”

“Sekali-kali boleh juga. Bukan begitu, Wulan?”

“Ya, Ibu,” sahut Rara Wulan sambil tersenyum.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ke jalan yang lebih ramai. Perjalanan ke Wirasari memang perjalanan yang panjang. Namun kaki-kaki mereka adalah kaki-kaki yang terlatih, sehingga jarak bukan lagi merupakan masalah bagi mereka. Demikian pula panasnya matahari serta keringnya tenggorokan.

Karena itu, mereka berempat berjalan saja di jalan yang panjang tanpa berhenti, meskipun matahari sudah berada di puncak langit.

Meskipun demikian Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Bukankah kita tidak sedang menjalani laku? Ada baiknya kita berhenti sejenak di sebuah kedai untuk minum dan makan.”

Pada saat matahari sudah mulai menuruni sisi langit di sebelah barat, mereka baru menjumpai sebuah pasar yang sudah sepi. Namun masih ada beberapa kesibukan. Beberapa pedati berderet di depan pasar. Agaknya beberapa orang saudagar sedang menaikkan barang-barang yang dibelinya di pasar itu sebagai barang dagangan. Antara lain kelapa dan gula kelapa. Ada juga sedikit kain tenun serta beberapa jenis kerajinan bambu. Tenong bambu, bakul, cething dan beberapa jenis alat-alat dapur yang lain. Juga nampak beberapa ikat kelapa pandan dan mendong.

“Kita singgah sebentar,” berkata Nyi Citra Jati.

Yang lain ternyata tidak berkeberatan. Mereka berempat masuk ke dalam sebuah kedai yang sudah berisi beberapa orang. Mereka sedang sibuk menikmati makan dan minum mereka masing-masing, sehingga mereka tidak menghiraukan keempat orang yang sedang masuk dan kemudian duduk di sudut kedai itu, pada sebuah lincak bambu yang panjang.

Seorang pelayan dengan keramahan yang dibuat-buat membungkuk-bungkuk menanyakan kepada Citra Jati, apa yang ingin dipesannya.

“Minum, Ki Sanak. Nasi dan lauk pauknya.”

“Baik, baik. Akan segera kami siapkan.”

Tetapi seorang laki-laki yang berwajah garang dengan kumis yang tebal, yang duduk bersama-sama dengan lima orang laki-laki yang juga nampak garang, memanggil pelayan itu, “He, kau. Kemari.”

Pelayan itu dengan tergesa-gesa mendekat sambil membungkuk-bungkuk, “Pesan apa lagi, Ki Sanak?”

“Katakan kepada pemilik kedai ini. Aku akan membayar besok sekaligus, di hari pasaran mendatang.”

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Tetapi bukankah pasaran yang lalu, Ki Sanak mengatakan akan membayar pada hari pasaran sekarang ini sekaligus?”

“Tutup mulutmu, cucurut jelek. Kau tinggal mengatakan kepada pemilik kedai ini. Atau kau mau kepalamu retak?”

“Tidak, tidak. Jangan!”

“Cepat!”

Namun sebelum pelayan yang nampaknya ketakutan itu beranjak, seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah berdiri di dekatnya sambil berkata, “Jangan begitu, Ki Sanak. Modal kami hanya pas-pasan saja. Jika kalian tidak membayar sampai dua hari pasaran berturut-turut, maka kami akan mengalami kesulitan. Padahal penghasilan kami yang sedikit, kami pergunakan untuk makan kami sekeluarga, termasuk adikku laki-laki yang membantuku melayani para tamu ini.”

“Diam kau!” bentak orang berkumis lebat itu, “Kau dengar bahwa aku sekarang sedang tidak mempunyai uang?”

“Tetapi Ki Sanak sempat membeli dagangan dua pedati penuh.”

“Orang dungu, Uangku sudah habis aku belanjakan. Karena itu, aku sudah tidak mempunyai uang sekarang. Besok pasaran aku tentu datang lagi kemari. Apakah kau tidak percaya kepadaku?”

“Bukan tidak percaya, Ki Sanak. Tetapi kami sangat membutuhkan uang untuk dapat membuka kedaiku esok pagi.”

“Persetan dengan kau! Sekali lagi aku katakan, aku tidak mempunyai uang sekarang. Kau mau apa?”

Adalah di luar dugaan, bahwa pemilik kedai itu pun berkata, “Aku akan menurunkan beberapa potong kain tenun dari pedatimu. Aku akan menjualnya, agar aku dapat membuka kedaku esok pagi.”

“Kau gila! Kau kira aku akan membiarkan kalian mengambil kain tenunku?”

“Aku tidak akan melakukannya jika kau membayar harga makan dan minum bagi kalian semuanya, sekaligus dengan hari pasaran yang lalu.”

Orang berkumis lebat itu tidak menghiraukannya. Iapun kemudian bangkit berdiri sambil berkata, “Marilah kita tinggalkan kedai celaka ini.” Lalu kepada pemilik kedai itu ia berkata, “Jika kau tidak mau aku bayar besok hari pasaran mendatang, maka aku malahan tidak akan membayarmu.”

Pemilik kedai itu tidak menjawab. Tetapi ketika keenam orang itu keluar dari kedainya, ia menyusul di belakangnya. Orang yang berjalan di paling belakang tertahan, karena pemilik kedai itu memegangi baju di punggungnya.

“Lepaskan!” teriak orang itu. Kawan-kawannya pun berhenti pula. Wajah-wajah mereka menjadi tegang.

“Aku peringatkan, jangan ganggu kami. Atau kami tidak akan membayarmu sama sekali.”

“Aku tidak akan melepaskan kalian pergi.”

“Kau mau apa?” bentak seorang yang bertubuh tinggi kekar. “Jangan membuat aku marah.”

Tetapi pemilik kedai itu menjawab, “Kalian-lah yang telah membuat kami marah.”

“Aku tampar mulutmu.”

“Aku tidak akan membiarkan kau melakukannya.”

Orang yang bertubuh tinggi kekar itu justru menjadi heran. Pemilik kedai yang tinggi kekurus-kurusan itu sama sekali tidak menunjukkan ketakutan. Bahkan pelayan kedai itu pun berdiri pula di sampingnya. Di sisi lain, seorang laki-laki yang sudah ubanan melangkah mendekat, dan seorang anak muda yang bertubuh kokoh, muncul dari sudut kedai itu.

“Kalian akan melawan?” bertanya orang berkumis lebat.

“Kami hanya menuntut hak kami. Tidak lebih,” sahut pemilik kedai itu.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan memperhatikan peristiwa itu dengan debar di dada mereka. Ternyata pemilik kedai serta pelayannya, yang ternyata adalah adiknya itu, sama sekali tidak menjadi takut.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keadaan menjadi semakin tegang. Enam orang yang nampak garang itu berhadapan dengan empat orang pemilik serta pelayan kedai itu.

“Aku peringatkan sekali lagi,” berkata orang yang berkumis lebat, “jangan paksa kami membayar hari ini.”

“Kami akan mengambil beberapa potong kain tenun di pedati itu.”

“Setan kau! Nampaknya kau memang tidak tahu diri. Kau kira aku ini siapa he?”

Orang-orang berwajah garang, yang nampaknya para pedagang yang membeli dagangan di pasar itu dan menjualnya di tempat lain, bersama orang-orangnya itu menjadi sangat marah. Seorang yang bertubuh tinggi tegap menggeram, “Jika kalian tidak mau berhenti berceloteh, aku bungkam mulut kalian.”

“Jangan semena-mena Ki Sanak. Jika Ki Sanak makan dan tidak mau membayar, itu sama saja dengan merampok. Aku tidak mau dirampok.”

Ki Citra Jati, istrinya, Glagah Putih dan Rara Wulan menyaksikan perselisihan itu dengan jantung yang berdebaran. Beberapa orang yang berada di kedai itu pun menjadi tegang. Seorang yang nampaknya berhati lembut berkata kepada seorang kawannya, “Katakan kepada pemilik kedai itu. Sudahlah. Ikhlaskan saja. Biarlah kita yang membayarnya.”

“Aku tidak berani,” jawab kawannya.

“Bukankah dengan demikian kita akan mencegah kemungkinan buruk? Pemilik kedai itu kecil dan kurus. Kawannya juga kecil. Seorang lagi sudah tua. Sedangkan yang tidak mau membayar itu orang-orang bertubuh tegap dan berwajah garang.”

“Orang-orang itu akan dapat tersinggung. Mereka tentu tidak membiarkan kita merendahkan mereka dengan kesediaan membayar hutangnya itu.”

“Jadi bagaimana mencegah pertengkaran itu? Sebaiknya pemilik kedai itu mengalah saja daripada nanti ia disakiti.”

“Tetapi belum tentu niat baik kita ditanggapi dengan baik.”

Orang yang berhati lembut itu bangkit dan berkata, “Biarlah aku yang mengatakannya.”

“Tunggu,” kawannya memegangi tangannya, “jangan tergesa-gesa.”

Orang itu memang tertahan. Sementara itu seorang laki-laki tua keluar dari kedai itu mendekati pemilik kedai itu sambil berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Berapa hutang mereka kepadamu? Biarlah aku yang membayarnya.”

Tetapi jawaban pemilik kedai itu mengejutkan, “Terima kasih, Paman. Tetapi ini bukan soal belas kasihan. Mungkin Paman merasa kasihan, bahwa esok mungkin aku tidak akan dapat berjualan karena uangku tidak cukup. Tetapi persoalannya bukan sekedar itu saja. Jika sekarang Paman membayarnya, maka mereka tentu akan datang lagi dan mengulangi merampok daganganku yang tidak seberapa itu. Karena itu, orang itu harus dipaksa untuk membayar dengan uang atau dengan barang-barang yang banyak dimilikinya dalam pedati itu.”

Sementara itu orang berkumis lebat itu pun berkata pula kepada orang tua yang bersedia untuk membayar itu, “Kakek tua. Jangan ikut campur. Jangan pula menghina kami dan mengira kami tidak akan dapat membayar apa yang telah kami makan. Tetapi pemilik kedai itu memang orang yang sangat kikir. Di kedai yang lain aku terbiasa untuk makan dua tiga pasaran dan membayarnya sekaligus. Karena itu, jangan membuang uangmu dengan sia-sia, karena kami bukan orang-orang kelaparan yang merampok sesuap nasi.”

“Nah, kau lihat,” desis kawan orang yang berhati lembut, “bukankah tidak setiap niat yang baik itu ditanggapi dengan baik?”

Orang itu mengangguk. Sambil duduk kembali iapun berkata, “Ya. Ternyata kau benar.”

Orang tua yang bersedia membayar itu pun kemudian meninggalkan pemilik kedai yang marah itu. Sementara itu beberapa orang telah mengerumuninya.

“Nah, sekarang kalian mau membayar atau tidak?” bentak pemilik kedai itu.

“Tidak sekarang,” jawab orang berkumis lebat itu.

Adalah di luar dugaan, bahwa pemilik kedai itu pun kemudian berkata lantang kepada anak muda yang bertubuh tegap, “Ambil enam helai kain tenun terbaik! Tidak lebih dan tidak kurang.”

“Gila!” geram orang yang bertubuh tinggi kekar. “Kau tantang kami, he?”

“Aku tidak menantang siapa-siapa. Aku hanya sekedar menuntut diperlakukan dengan wajar. Itu saja.”

Dalam pada itu, anak muda yang bertubuh tegap itu telah melangkah ke arah pedati yang berhenti di depan pasar. Namun seorang dari enam orang itu telah meloncat menyerangnya. Kakinya terayun mengarah ke lambungnya.

Namun anak muda itu tidak membiarkan kaki orang itu mengenai lambungnya. Dengan sigap iapun meloncat sambil berputar. Namun tiba-tiba saja kakinya terayun mendatar, mengenai dada orang yang menyerangnya itu.

Orang yang tidak mengira akan mendapat serangan itu terkejut. Namun ia terlambat untuk mengelak, sehingga kaki anak muda itu membentur dadanya, sehingga orang itu terhuyung-huyung dan jatuh terlentang.

Serangan itu merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya untuk menyerang pemilik kedai, pembantunya dan orang tua yang berdiri tidak jauh dari mereka. Namun pemilik kedai, adiknya dan orang tua itu tidak membiarkan serangan-serangan itu mengenai tubuhnya. Karena itu, maka mereka pun telah berloncatan menghindar. Dan bahkan dengan cepat mereka pun menyerang pula.

Pertempuran pun segera terjadi. Enam orang yang berwajah garang, bertubuh kekar dan bertingkah laku kasar, melawan empat orang yang menilik bentuk tubuhnya sama sekali tidak seimbang dengan lawan-lawan mereka.

Tetapi yang terjadi adalah jauh di luar dugaan. Ternyata orang-orang yang garang itu tidak dapat menguasai pemilik kedai yang tinggi kekurus-kurusan itu bersama seorang adik laki-lakmya, seorang laki-laki yang sudah terhitung tua dan seorang anak muda yang bertubuh kokoh.

Dalam waktu yang terhitung pendek, keenam orang itu pun sudah jatuh bangun dengan luka-luka memar di tubuhnya. Bahkan orang yang berkumis tebal itu bibirnya telah pecah dan sebuah giginya tanggal, sehingga dari mulutnya mengalir darah. Sementara itu, seorang yang bertubuh tinggi kekar itu telah berbatuk-batuk. Nafasnya menjadi sesak serta dadanya bagaikan dihimpit oleh segumpal batu padas. Empat orang yang lain pun tidak berdaya menghadapi orang-orang yang tidak diperhitungkannya.

“Nah,” berkata pemilik kedai itu, “sekarang kalian mau membayar hutang kalian, atau kami mengambil enam helai kain tenun terbaik dari pedatimu?”

“Jangan, jangan ambil kain tenunku.”

“Dan kau tetap tidak mau membayar sekarang?”

“Ya, ya. Aku akan membayarnya.”

Ternyata orang-orang yang berwajah garang itu masih mempunyai uang. Orang yang berkumis tebal itulah yang kemudian membayar bagi mereka berenam, serta melunasi hutang mereka pada hari pasaran yang lewat.

“Pergilah,” geram pemilik kedai itu. “Sekarang terbukti, siapakah di antara kita yang sangat kikir. Kalian atau kami.”

Orang-orang itu tidak menjawab. Namun dengan tubuh yang kesakitan mereka meninggalkan kedai itu, diikuti oleh berpasang-pasang mata yang menyaksikan perkelahian itu.

“Kita belum sampai ke Wirasari,” berkata Ki Citra Jati kepada Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan, “tetapi kita sudah melihat wajah-wajah yang mengenakan kedok itu. Atau memang mata kita-lah yang sudah menjadi rabun. Bukankah yang kita lihat itu sulit dimengerti oleh penalaran kita, bahwa keempat orang itu akan menang melawan enam orang yang menakutkan itu?”

“Ya,” Nyi Citra Jati mengangguk, “tetapi bukankah sering kita lihat peristiwa-peristiwa yang mengejutkan seperti itu? Kau terkejut atau tidak, bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan dapat mengalahkan Ki Ageng Puspakajang?”

“Ya. Aku terkejut sekali.”

“Ah, Ayah dan Ibu bisa saja menggoda,” desah Rara Wulan.

“Tidak. Aku tidak menggoda. Aku ingin mengatakan bahwa kemungkinan-kemungkinan yang tidak diduga dapat saja terjadi.”

Rara Wulan menundukkan kepalanya. Namun sambil tertawa Ki Citra Jati pun berkata, “Nah, nanti di Wirasari kita akan sering menjumpai persoalan-persoalan di luar dugaan itu terjadi. Tetapi jika kita tidak melibatkan diri, maka kita pun akan terhindar dari persoalan-persoalan yang tidak kita inginkan.”

“Mudah-mudahan,” desis Nyi Citra Jati.

“Kenapa mudah-mudahan?” bertanya Ki Citra Jati.

“Meskipun kita sudah berhati-hati dan sama sekali tidak berniat mencampuri persoalan orang lain, kadang-kadang orang lain-lah yang mencampuri persoalan kita.”

Ki Citra Jati tertawa. Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa pula.

Dalam pada itu, pemilik kedai itu sudah masuk kembali ke dalam kedainya. Dengan mengangguk hormat iapun berkata, “Maaf, Ki sanak. Bukan maksudku memamerkan kemampuanku. Tetapi aku memang berniat membuat orang-orang itu jera. Mereka memang sering berhutang kepada pemilik-pemilik kedai yang lain. Tetapi para pemilik kedai itu tidak berani menghentikan mereka, sehingga hari ini aku mengambil keputusan untuk melakukannya.”

Seorang yang duduk bersama dua orang kawannya menyahut, “Bagus. Juga merupakan satu peringatan bagi orang lain yang akan melakukan hal yang sama.”

“Tetapi aku yakin, tidak ada orang yang dengan sengaja menolak untuk membayar seperti orang-orang itu.”

“Ya. Aku kira memang tidak ada orang yang dengan sengaja merampok dagangan orang seperti mereka.”

“Nah, sekarang silahkan menikmati makan dan minum Ki Sanak sebaik-baiknya. Semuanya sudah selesai.”

Ki Citra Jati pun kemudian mempersilahkan Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan makan dan minum pesanan mereka yang sudah dihidangkan. “Mumpung masih ada waktu untuk melanjutkan perjalanan.”

Tetapi matahari sudah menjadi semakin rendah.

“Kita tidak usah tergesa-gesa,” berkata Nyi Citra Jati, “kita dapat saja bermalam di banjar pedukuhan. Ki Bekel atau penunggu banjar itu tentu tidak akan berkeberatan memberi tempat kepada kita.”

“Ya. Kita dapat bermalam di mana saja.”

“Tetapi aku dan Rara Wulan tidak pantas tidur di sembarang tempat.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Putri keraton memang tidak pantas tidur di sembarang tempat. Apalagi di banjar padukuhan.”

“Jadi di mana?”

“Di cabang sebatang pohon yang besar di pinggir hutan.”

Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa pula.

Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka telah selesai. Setelah membayar harga minuman dan makanan, mereka pun segera minta diri dan kedai itu.

“Marilah, kita melanjutkan perjalanan. Mudah-mudahan kita masih mencapai sebuah padukuhan induk kademangan di depan kita,” berkata Ki Citra Jati.

“Tidak perlu sebuah padukuhan induk. Padukuhan kecil pun tidak ada bedanya.”

“Baiklah. Marilah.”

Mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka, mengikuti jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Beberapa orang masih nampak berjalan di jalan itu. Namun semakin lama jalan itu pun menjadi semakin lengang, sejalan dengan bergesernya matahari menjadi semakin rendah. Bahkan orang-orang yang pergi ke sawah pun telah membersihkan cangkul dan parang mereka. Membersihkan tangan dan kaki di air parit yang jernih, yang mengalir di pinggiran jalan itu.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Nyi Citra Jati pun berkata, “Agaknya padukuhan di hadapan kita itu adalah padukuhan yang cukup besar. Kita bermalam di banjar padukuhan itu. Mudah-mudahan tidak ada persoalan.”

“Ya,” jawab Ki Citra Jati. Namun iapun berkata, “Jika kita berjalan terus, kita akan sampai di Wirasari sebelum tengah malam.”

“Tetapi biarlah kita beristirahat di banjar padukuhan itu. Kecuali jika penunggu banjar atau Ki Bekel padukuhan itu tidak mengijinkannya.”

Ki Citra Jati mengangguk.

Demikianlah, menjelang senja, mereka memasuki sebuah padukuhan yang agak besar. Bukan padukuhan induk, tetapi padukuhan itu terhitung cukup banyak dihuni orang.

Keempat orang itu pun berjalan menyusuri jalan utama di padukuhan itu. Mereka yakin, bahwa banjar padukuhannya berada di pinggir jalan utama itu.

Sebenarnyalah bahwa akhirnya mereka sampai di sebuah simpang empat di tengah-tengah padukuhan itu. Di sebelah kiri jalan menjelang simpang empat itu terdapat sebuah banjar.

Berempat Ki Citra Jati memasuki banjar padukuhan itu, menemui penunggu banjar untuk minta ijin bermalam.

Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Siapakah kalian berempat? Nampak kalian akan bepergian jauh.”

“Kami akan pergi ke Wirasari, Ki Sanak.”

“Ke Wirasari? Siapakah yang akan kalian kunjungi?”

“Kami akan mengunjungi saudara kami yang tinggal di Wirasari.”

“Siapakah namanya?”

“Namanya Darmareja.”

“Darmareja yang tinggal di sebelah pasar Wirasari?”

“Ya, Ki Sanak.”

“Punya dua orang anak laki-laki?”

“Ya, Ki Sanak. Namanya Mitra dan Jimin.”

“Tepat. Anaknya bernama Mitra dan Jimin. Jadi kau kenal dengan Darmareja. Ia kawanku di masa kanak-kanak, namun kemudian kami berpisah. Aku tinggal di sini, Darmareja tinggal di Wirasari. Tetapi kami sering bertemu.”

“Aku masih mempunyai pertautan darah, Ki Sanak.”

“Nah, jika besok kau bertemu dengan Darmareja, sampaikan salamku kepadanya. Ia orang baik. Lugu dan terbuka.”

“Baiklah, Ki Sanak. Besok aku akan mengatakannya, bahwa aku malam ini bermalam di banjarmu.”

“Ini bukan banjarku. Aku hanya sekedar penunggu banjar.”

“Jadi kami diperkenankan untuk menginap?”

“Tentu, tentu. Apalagi kalian masih mempunyai pertautan darah dengan Darmareja, meskipun barangkali sudah tidak terlalu dekat.”

“Ya, Ki Sanak.”

Malam itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan bermalam di banjar padukuhan itu. Lewat senja, bergantian mereka mandi di pakiwan banjar. Glagah Putih harus menimba air mengisi jambangan di pakiwan banjar itu.

“Banjar ini terpelihara dengan baik,” berkata Nyi Citra Jati, “pakiwannya nampak bersih dan terawat. Air sumurnya juga jernih.”

“Ya, alangkah segarnya mandi,” sahut Ki Citra Jati.

Ternyata penunggu banjar itu memang orang baik. Istrinya telah sibuk di dapur. Menjelang wayah sepi bocah, mereka yang menginap di banjar itu pun dipersilahkan untuk minum minuman hangat serta makan malam.

“Seadanya, Ki Sanak,” berkata penunggu banjar itu.

Ki Citra Jati dan keluarganya yang bermalam di banjar itu tidak menolak. Bukan saja karena mereka memang lapar, tetapi jika mereka menolak, maka mereka akan dapat menyinggung perasaan pemilik banjar yang telah dengan susah payah menyediakan makan malam mereka.

“Terima kasih. Kami sekeluarga mengucapkan terima kasih,” berkata Ki Citra Jati, ketika mereka duduk di ruang dalam rumah penunggu banjar itu. Rumahnya yang tidak terlalu besar itu berdiri di belakang banjar. Selain mengerjakan sawahnya yang tidak begitu luas, penunggu banjar itu juga mendapat pelungguh tanah dari padukuhan sebagai penghasilannya karena tugasnya menunggui, membersihkan dan memelihara banjar itu. Di belakang rumahnya terdapat tanah pekarangan yang sebenarnya bagian dari tanah pekarangan banjar padukuhan itu. Namun penunggu banjar itu dibenarkan untuk menanaminya dan memetik hasilnya.

Pada saat Ki Citra Jati dan keluarganya makan, maka di pendapa banjar telah berdatangan beberapa orang anak muda yang akan meronda. Seorang di antara mereka telah memukul kentongan untuk memanggil kawan-kawannya yang belum datang. Namun suara kentongan itu agaknya telah menarik perhatian penunggu banjar itu.

Ki Citra Jati yang melihat kerut di dahi penunggu banjar itu hampir di luar sadarnya bertanya, “Ada apa, Ki Sanak? Apakah suara kentongan itu merupakan isyarat tentang sesuatu?”

“Tidak. Itu hanya isyarat untuk memanggil mereka yang belum datang. Tetapi juga memanggil anak-anak muda yang seharusnya tidak bertugas ronda malam ini. Hari apa sekarang ini?”

“Tumpak, Ki Sanak. Tumpak manis.”

“Nah, dugaanku benar.”

“Ada apa?”

“Yang bertugas ronda malam ini adalah Gandar. Anak muda yang keras kepala dan sombong. Tetapi sayangnya ia memiliki ilmu yang tinggi. Jika ia mendapat giliran ronda, ia tentu membunyikan kentongan dengan irama dara muluk, namun dengan isyarat khusus.”

“Maksudnya?”

“Ia memanggil kawan-kawannya. Anak-anak muda yang sudah terpercik pengaruhnya dan seakan-akan menjadi pengikutnya. Sebentar lagi kawan-kawannya akan datang.”

“Mereka ikut meronda di banjar ini?”

“Jika hanya ikut meronda saja, tidak ada masalah. Tetapi Gandar selalu berhubungan dengan tuak. Mabuk, judi dan kadang-kadang tingkah laku yang kurang pantas.”

“Apakah Ki Bekel akan membiarkannya?”

“Orang tuanya mempunyai pengaruh yang kuat tidak saja di padukuhan ini, tetapi juga di kademangan.”

“Apakah orang tuanya tidak melarangnya?”

“Anak itu sangat dimanjakan oleh orang tuanya.”

“Siapakah orang tuanya, dan kenapa ia mempunyai pengaruh yang sangat kuat?”

“Orang tuanya seorang pedagang kaya. Ia mempergunakan uangnya untuk menyusun pengaruhnya di kademangan ini. Baginya, tidak ada yang luput dari tangannya jika ia menginginkannya. Justru karena uangnya itulah.”

“Apakah dengan demikian bukan berarti justru menjerumuskan anaknya sendiri ke dalam malapetaka?”

“Seharusnya ia tahu. Tetapi orang tuanya nampaknya membiarkan saja anaknya dengan tingkah lakunya itu. Bahkan jika ada orang yang berani menghalanginya, maka ia akan berhadapan dengan uangnya.”

“Dengan uangnya?”

“Ya. Pedagang kaya itu mengupah beberapa orang yang berilmu untuk melindungi dirinya dan keluarganya serta segala kesenangannya. Termasuk kesenangan anak laki-lakinya itu.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, maka lebih baik kita tidak berhubungan saja dengan mereka.”

“Ya,” sahut penunggu banjar itu, “sebaiknya kalian berada di sini saja.”

“Terima kasih,” Ki Citra Jati itu pun mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun bertanya, “Apakah semua anak muda telah terkena pengaruhnya?”

“Tidak,” jawab penunggu banjar itu, “tetapi mereka yang tidak terkena pengaruhnya lebih baik menepi. Mereka tidak berani berbuat apa-apa, karena orang-orang upahan pedagang kaya itu tidak segan-segan menyakiti orang. Bahkan kadang kadang mereka melukai orang-orang yang tidak disenangi.”

“Jadi pedagang itu seakan-akan telah menyusun kekuasaannya di kademangan ini. Kekuasaan yang dilandasi dengan kekuatan.”

“Ya, begitulah. Sementara orang-orang lain lebih senang hidup dalam ketenangan, tanpa ada keributan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Ki Citra Jati pun berkata, “Kalian tidak usah keluar lagi.”

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih.

Ketika mereka selesai makan malam dan membersihkan amben besar yang mereka pergunakan untuk makan bersama, maka penunggu banjar itu pun berkata, “Beristirahatlah.”

Ki Citra Jati-lah yang menjawab, “Terima kasih. Sebentar lagi kami akan segera beristirahat.”

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan memang berniat untuk segera beristirahat jika mereka sudah duduk-duduk sejenak setelah makan.

“Sebaiknya kalian memang tidak keluar lagi dari rumah ini. Aku akan pergi ke banjar sebentar melayani para peronda itu. Terutama anak pedagang yang banyak tingkah itu.”

“Silahkan, Ki Sanak.”

Penunggu banjar itu pun kemudian keluar lewat pintu belakang. Istrinya-lah yang menemui Ki Citra Jati sekeluarga itu. Namun kemudian istri penunggu banjar itu pun mempersilahkan keempat orang yang bermalam itu untuk beristirahat, sementara ia sendiri telah masuk ke dalam biliknya pula.

Setelah duduk-duduk sebentar, maka Ki Citra Jati sekeluarga itu pun segera berbaring di amben besar itu. Mereka tahu, bahwa tidak ada tempat lain kecuali di amben besar itu. Namun bagi mereka, kesempatan bermalam di rumah penunggu banjar itu sudah merupakan kesempatan yang sangat baik.

“Tidurlah,” berkata Ki Citra Jati, “nanti di dini hari aku akan membangunkan Glagah Putih.”

“Baik, Ayah,” jawab Glagah Putih.

Namun ternyata mereka tidak segera dapat tidur. Banjar padukuhan itu semakin malam menjadi semakin ramai. Beberapa orang telah berdatangan. Mereka berkelakar, bergurau dan kadang-kadang tertawa serentak. Sedangkan yang lain berteriak-teriak tidak menentu. Apalagi setelah menjadi larut malam. Agaknya sudah mulai ada yang mabuk tuak.

Rara Wulan setiap kali dengan gelisah memutar tubuhnya. Miring ke kiri. Kemudian miring ke kanan. Tetapi suara-suara yang berisik di pendapa banjar itu di telinganya terdengar semakin keras.

Ternyata bukan hanya Rara Wulan yang tidak segera dapat tidur. Tetapi Nyi Citra Jati pun telah menutupi telinganya dengan selendangnya.

“Ribut benar anak-anak itu,” desah Nyi Citra Jati, “bahkan demikian kerasnya. Bukankah jarak tempat ini dengan pendapa banjar itu agak panjang?”

“Mereka berteriak-teriak, Ibu,” desis Rara Wulan.

Nyi Citra Jati justru tertawa. Katanya, “Kau juga belum tidur?”

“Belum, Ibu.”

“Inilah akibatnya jika putri keraton tidak pantas tidur di pategalan atau di hutan perdu, atau di cabang sebatang pohon di pinggir hutan.”

Mereka pun tertawa tertahan.

Namun dalam pada itu, keempat orang itu pun terkejut. Mereka mendengar penunggu banjar itu berkata, “Jangan, Ngger. Mereka yang bermalam di rumahku adalah saudara-saudaraku.”

“Aku tahu. Kau sudah mengatakannya beberapa kali.”

“Jangan ganggu mereka.”

“Aku tidak akan mengganggu mereka, dungu! Aku hanya ingin melihat. Seorang kawanku mengatakan, bahwa dua di antara empat orang itu adalah perempuan.”

“Ya. Tetapi biarlah mereka tidur.”

“Aku akan masuk. Suruh istrimu membuka pintu.”

“Jangan. Jangan ganggu mereka. Biarlah mereka beritirahat di ruang dalam.”

Tetapi nampaknya seseorang tidak ingin mengurungkan niatnya. Karena itu, maka iapun mengetuk pintu sambil berkata, “Buka pintunya.”

Tidak terdengar jawaban. Karena itu, orang yang mengetuk pintu itu mengetuk semakin keras.

“Jika tidak ada yang membuka pintu ini, maka pintu ini akan aku pecahkan.”

“Jangan,” masih terdengar suara penunggu banjar. Namun terdengar orang itu mengaduh tertahan. Nampaknya orang yang mengetuk pintu itu mulai menyakiti.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Mereka telah bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Istri penunggu banjar itupun telah bangun pula. Iapun berdiri di depan biliknya dengan ragu-ragu. Apakah ia akan membuka pintu atau tidak.

Namun Ki Citra Jati pun kemudian memberi isyarat, agar perempuan itu membuka pintunya.

“Tidak ada gunanya untuk bertahan,” desis Ki Citra Jati.

Sejenak kemudian, maka perempuan itu telah membuka selarak pintu depan rumahnya, sehingga sejenak kemudian pintu itu pun terbuka.

“Nah,” berkata anak muda anak pedagang kaya itu, “ternyata kau bijaksana, Nyi.”

Isteri penunggu banjar itu tidak menjawab. Namun iapun melangkah beberapa langkah surut.

Anak muda itu pun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam rumah penunggu banjar yang tidak begitu besar itu. Penunggu banjar itu sendiri tidak berdaya untuk mencegahnya.

Sambil bertolak pinggang Gandar, anak seorang pedagang kaya yang memiliki pengaruh yang besar di kademangan itu, memandang Ki Citra Jati dan keluarganya seorang demi seorang. Akhirnya pandangan matanya terhenti pada Rara Wulan sambil bertanya, “He, siapa namamu?”

Rara Wulan memandang orang itu dengan tajamnya. Baru kemudian iapun menjawab, “Namaku Wara Sasi.”

“Wara Sasi. Nama yang manis sekali. Nah, Wara Sasi. Marilah, ikut kami ke pendapa banjar. Kita dapat bergembira bersama kawan-kawan.”

Jawaban Rara Wulan sangat mengejutkan. Bahkan Gandar pun terkejut pula. Katanya, “Nah, aku sudah bermimpi untuk dapat ikut bergembira bersama anak-anak muda. He, bukankah mereka anak-anak muda sebaya dengan kau? Tampan-tampan? Kaya dan menyenangkan?”

Gandar justru terdiam sejenak. Sementara itu Rara Wulan telah meloncat berdiri. Ditarik-tariknya tangan Gandar sambil berkata, “Mari. Bukankah kau punya tuak? Mulutmu berbau tuak. Sudah beberapa lama aku tidak minum tuak.”

Gandar bergeser surut, dipandanginya Rara Wulan dengan tajamnya. Namun kemudian iapun berkata, “Persetan dengan kau, perempuan gila.”

Gandar tidak berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba saja ia melangkah keluar dari ruang dalam. Beberapa kawannya pun telah mengikutinya pula. Sejenak kemudian, Rara Wulan pun melangkah ke pintu dan menutup serta menyelarak pintu itu rapat-rapat.

Demikian suara-suara langkah anak-anak muda itu hilang, maka orang-orang yang berada di ruangan itu tertawa tertahan.

“Ternyata kau membuat mereka ketakutan,” desis Nyi Citra Jati.

“Tetapi sampai sekarang, jantungku masih berdebar-debar.”

“Kenapa?”

“Jangan-jangan Kakang Glagah Putih marah.”

Tetapi Glagah Putih juga tertawa. Katanya, “Daripada kita harus berkelahi.”

“Cara yang tidak terpikirkan,” desis istri penunggu banjar itu.

Demikianlah, maka keempat orang yang bermalam di rumah penunggu banjar itu dapat berbaring lagi. Mereka masih mendengar umpatan-umpatan kasar di pendapa.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih itu pun berkata, “Aku ingin melihat, apa yang mereka lakukan. Aku akan keluar lewat pintu butulan. Jangan beritahu istri penunggu banjar ini.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak mencegahnya. Namun Rara Wulan-lah yang berkata, “Aku ikut.”

“Berhati-hatilah,” pesan Nyi Citra Jati.

Keduanya pun kemudian keluar dari rumah penunggu banjar itu lewat pintu butulan. Dengan hati-hati mereka melingkari rumah itu, dan dengan bersembunyi di balik pepohonan perdu, mereka menyaksikan apa yang telah terjadi di pendapa.

Glagah Rutih dan Rara Wulan menggeleng-gelengkan kepala. Hampir semua orang yang berada di pendapa itu menjadi mabuk. Beberapa orang sempat muntah-muntah, yang lain terbaring di pendapa seperti orang yang sedang pingsan.

“Jadi inikah yang mereka lakukan?” desis Glagah Putih.

“Para bebahu tidak dapat menghentikan mereka. Penyakit ini semakin lama akan menjadi semakin menjalar. Anak-anak muda yang sekarang belum tersentuh bau tuak, lambat laun akan terbenam pula ke dalamnya.”

“Apakah kita akan menghentikannya?”

“Mungkin malam ini kita dapat menghentikan mereka Tetapi bagaimana dengan esok atau lusa atau sepekan lagi?”

“Ya.”

Keduanya pun terdiam. Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan. Yang perlu adalah mencari jalan untuk menghentikan mereka bukan hanya untuk sesaat.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun akhirnya telah kembali masuk ke ruang dalam rumah penunggu banjar itu lewat pintu butulan. Kepada Ki Citra dan Nyi Citra Jati, keduanya telah menceritakan apa yang telah mereka lihat.

“Kalian benar. Tidak ada gunanya untuk menghentikan mereka hanya untuk hari ini. Jika di kademangan ini tidak ada orang yang berjualan dan apalagi membuat tuak, maka akan sangat membantu usaha untuk melawan sikap dan tingkah laku seperti yang terjadi di pendapa itu,” berkata Ki Citra Jati.

“Bagaimana dengan Ki Demang?” bertanya Rara Wulan.

“Dalam hal ini jangan harapkan. Mereka tidak dapat dihentikan hanya dengan kata-kata, bujukan atau ancaman. Tetapi dengan cara sebagaimana mereka lakukan.”

“Bagaimana cara mereka?”

“Mereka dibayangi oleh kekuatan, kekerasan dan uang.”

Orang yang herada di ruang dalam itu termangu-mangu sejenak. Kademangan itu harus mempersiapkan kekuatan yang mampu mengimbangi orang-orang yang bergelut dengan tuak dan minuman sebangsanya.

“Memang tidak hanya untuk sehari,” desis Nyi Citra Jati.

Ki Citra Jati pun kemudian berkata, “Kita tidak dapat berbuat apa-apa sekarang. Entahlah kelak jika kita kembali dari Wirasari. Mungkin kita mempunyai waktu untuk bertemu dengan Ki Demang dan para bebahu.”

Yang lain mengangguk-angguk.

“Sudahlah,” berkata Ki Citra Jati, “beristirahatlah. Masih ada waktu sedikit.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah berbaring lagi.

Tetapi mereka sama sekali tidak memejamkan matanya. Tingkah laku anak-anak muda di pendapa banjar serta suara hiruk pikuk yang masih terdengar itu ternyata sangat menggelisahkan mereka.

Namun sejenak kemudian, penunggu banjar itu telah masuk pula lewat pintu belakang. Orang itu berdiri termangu-mangu sejenak ketika mereka melihat keempat orang yang bermalam itu sudah berbaring lagi.

Namun Glagah Putih-lah yang kemudian bangkit dan duduk, di bibir amben itu.

“Maafkan aku Ki Sanak,” berkata penunggu banjar itu, “ternyata aku tidak dapat memberikan tempat yang baik bagi kalian.”

“Tidak apa-apa. Bukankah tidak terjadi apa-apa?” sahut Glagah Putih.

“Tetapi apakah aku boleh bertanya?” berkata penunggu banjar itu dengan ragu.

“Tentang apa?”

“Tentang sikap perempuan muda itu. Apakah sikap itu dilakukannya dengan serta merta? Maksudku, ia memang ingin berbuat seperti itu, atau ada maksud-maksud lain?”

“Maaf, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih, “perempuan itu adalah istriku. Sudah tentu ia tidak ingin melakukan sebagaimana yang dikatakan. Ia hanya ingin menyelamatkan diri. Bukankah akhirnya anak muda itu tidak mengganggunya? Agaknya mereka lebih senang mengganggu perempuan yang akan merasa tersiksa mengalaminya. Tersiksa lahir dan batinnya. Mereka tidak senang jika perempuan yang akan mereka korbankan bagi kebiadaban mereka, tidak mengalami penderitaan batin. Apalagi jika perempuan itu justru menghendakinya.” 

Ternyata kemudian Rara Wulan, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati bangkit pula. Dengan nada rendah Rara Wulan pun berkata, “Aku minta maaf atas kelakuanku. Memang mungkin akan dapat menimbulkan salah paham. Tetapi sebenarnyalah aku hanya ingin melepaskan diri dari tangan mereka.”

“Aku mengerti, Ngger. Sudahlah. Beristirahatlah. Masih ada sisa waktu sedikit. Sebentar lagi, anak-anak di pendapa itu tentu akan pulang. Yang mabuk akan diseret oleh teman-temannya dan dilemparkannya ke halaman rumahnya. Tidak akan ada yang terkejut. Setiap giliran Gandar meronda, maka akan terjadi hal seperti itu.”

“Tidak ada yang berusaha mencegahnya?”

“Tidak ada. Ki Demang dan para bebahu pun tidak.”

“Apakah mereka yang mempunyai anak laki-laki sebaya dengan Gandar tidak merasa cemas?”

“Seisi padukuhan ini, bahkan seisi kademangan ini, merasa cemas. Tetapi siapa yang dapat mengekang tingkah laku Gandar?”

Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak dapat berkata apa-apa.

“Silahkan memanfaatkan sisa waktu yang pendek. Aku akan kembali ke pendapa.”

Sejenak kemudian, penunggu banjar itu sudah kembali ke pendapa. Namun pendapa itu sudah menjadi semakin sepi.

“Aku akan pulang!” tiba-tiba saja Gandar berteriak.

Yang lain ikut saja menyahut, “Kita akan pulang.”

“Bangunkan mereka yang tidur. Yang tidak mau bangun, seret saja ke rumah mereka masing-masing.”

Gandar tidak menunggu. Terhuyung-huyung ia melangkah menuruni tangga pendapa banjar sambil berkata, “Bunyikan kentongan, agar orang-orang padukuhan tahu bahwa kita sudah meronda malam ini. Tetapi kita tidak sempat meronda berkeliling.”

Seorang di antara anak muda itu memang pergi ke sudut pendapa banjar. Diraihnya pemukul kentongan itu. Sejenak kemudian, maka suara kentongan pun telah mengumandang.

Anak muda itu bermaksud membunyikan kentongan dengan irama dara muluk. Tetapi karena ia masih setengah mabuk, maka irama kentongan itu pun menjadi tidak menentu.

Orang-orang yang kebetulan terjaga dan mendengar suara kentongan itu, segera memaklumi, bahwa yang bertugas ronda di banjar adalah Gandar dan kawan-kawannya, yang bahkan tidak sedang bertugas ronda sekalipun.

Sejenak kemudian, maka pendapa banjar itu menjadi sepi. Tetapi juga menjadi sangat kotor. Tuak yang tumpah, daun pembungkus makanan, kulit kacang dan berbagai macam sampah yang lain.

Penunggu banjar itu berdiri termangu-mangu. Semua itu adalah tugasnya esok pagi.

Sementara itu, malam pun merayap melintasi dini. Penunggu banjar itu tidak lagi kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia hanya mempunyai kesempatan sedikit untuk tidur sampai fajar menyingsing.

Karena itu, maka penunggu banjar itu pun kemudian telah membaringkan dirinya di pringgitan banjar, di atas tikar pandan yang masih digelar. Tetapi karena letih serta keterlambatannya tidur, maka penunggu banjar itu tidak terbangun menjelang fajar.

Istrinya yang berada di rumahnya tidak begitu menghiraukannya. Ketika fajar menyingsing, istrinya langsung pergi ke dapur. Ia menduga, bahwa seperti biasanya suaminya telah bangun dan membersihkan halaman banjar.

Bahkan istri pemilik banjar itu tidak memperhatikan, apa pula yang dilakukan oleh orang-orang yang bermalam di rumahnya, karena ia tidak ingin terlambat menyediakan minuman hangat sebelum tamu-tamunya meninggalkan rumahnya.

Beberapa saat kemudian, istri penunggu banjar itu mendengar derit senggot timba serta debur air di pakiwan. Nampaknya orang-orang yang bermalam di rumahnya itu sedang mandi, sementara yang lain mengisi jambangan.

Ketika matahari terbit, maka minuman pun telah dihidangkan. Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mandi dan bahkan siap untuk berangkat.

Tetapi mereka belum melihat penunggu banjar itu.

“Dimana orang ini?” bertanya istrinya.

Iapun segera keluar dari rumahnya untuk mencari suaminya.

Perempuan itu mengusap dadanya ketika ia melihat suaminya masih tidur mendengkur di pringgitan banjar.

“Kang, Kakang. Matahari telah terbit Dan kau masih juga tidur di situ.”

Penunggu banjar itu terkejut. Dengan serta merta iapun segera bangkit. “Aku kesiangan,” desisnya.

“Kau tertidur lagi.”

“Aku memang belum bangun sejak aku tertidur di dini hari.”

“Tetapi kau sudah membersihkan banjar. Bahkan halamannya. Bukankah biasanya jika Gandar yang meronda, banjar ini menjadi sangat kotor?”

“Ya. Pendapa dan halaman banjar ini menjadi sangat kotor. Aku harus segera membersihkannya. Nanti jika Ki Bekel datang dan melihat banjar ini sangat kotor, ia tentu akan marah.”

“Tetapi banjar ini sudah bersih, Kang.”

Penunggu banjar itu mengusap matanya. Pendapa, pringgitan dan bahkan halaman banjar itu sudah nampak bersih.

“Apakah aku bermimpi?”

“Mimpi apa, Kang?”

“Aku belum membersihkan banjar ini. Aku tertidur ketika banjar ini masih kotor dan penuh dengan sampah yang berserakan.”

“Tetapi sebagaimana kau lihat, semuanya sudah bersih sekarang.”

Tiba-tiba saja penunggu banjar itu bertanya, “Dimana tamu-tamu kita itu sekarang?”

“Di rumah, Kang. Mereka sudah siap untuk berangkat Aku juga sudah menghidangkan minuman hangat serta ketela pohon rebus legen. Kami tinggal menunggu kau, Kang.”

Penunggu banjar itu pun segera membenahi pakaiannya. Iapun kemudian melangkah sambil berkata, “Tentu mereka yang telah membersihkan banjar ini. Apakah kau tidak melihatnya?”

“Begitu bangun, aku langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman dan ketela pohon rebus legen itu, agar dapat dihidangkan sebelum mereka berangkat.”

Tanpa mencuci muka lebih dahulu, penunggu banjar itu langsung masuk ke ruang dalam rumahnya. Seperti yang dikatakan oleh istrinya, mereka sudah siap untuk berangkat, sementara minuman hangat serta ketela pohon yang direbus dengan legen sudah terhidang di hadapan mereka.

“Maaf, Ki Sanak. Aku terlambat bangun.”

Ki Citra Jati tersenyum sambil menyahut, “Kami juga bangun agak kesiangan.”

“Tetapi tentu kalian yang telah membersihkan banjar ini. Semalam pendapa, pringgitan dan halaman depan penuh dengan sampah. Ketika aku bangun, semuanya sudah bersih.”

Nyi Citra Jati-lah yang menjawab sambil tertawa, “Anak-anak yang melakukannya.”

“Terima kasih. Seharusnya aku tidak membiarkan kalian melakukannya, karena kalian adalah tamu-tamuku di sini. Tetapi aku tidak melihat kalian melakukannya.”

“Tidak apa-apa. Kami juga melakukannya di rumah,” jawab Glagah Putih.

“Ketika aku bangun dan melihat langit sudah terang, aku menjadi sangat cemas. Kadang-kadang Ki Bekel muncul di pagi hari. Ia memang sering mengantar istrinya pergi ke pasar kecil di ujung padukuhan untuk berbelanja. Istrinya lebih senang belanja pagi-pagi sekali selagi sayuran masih nampak segar. Kalau Ki Bekel melihat banjar ini kotor, maka ia akan marah-marah. Ia tidak peduli siapa yang mengotorinya. Yang ia tahu, membersihkan banjar adalah tugasku.”

KI Citra Jati pun kemudian berkata, “Kau sangat baik terhadap kami, sehingga apa artinya jika kami membantu membersihkan banjar ini.”

“Terima kasih. Sebenarnyalah sekali-sekali aku ingin beristirahat tidak membersihkan banjar ini. Jemu rasanya setiap hari membawa sapu lidi bertangkai berkeliling. Sapu ijuk di pendapa. Kemudian mengisi jambangan. Hari ini aku dapat bangun siang tanpa menyentuh sapu lidi dan sapu ijuk.”

Orang-orang yang mendengarnya tertawa. Agaknya penunggu banjar itu merasa jenuh akan tugasnya. Setiap hari sapu lidi, sapu ijuk, senggol timba. Tetapi semua itu memang tugasnya, sehingga ia tidak dapat mengelak.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun minta diri. Mereka akan melanjutkan perjalanan mereka ke Wirasari.

Ketika matahari mulai memanjat langit, maka Ki Citra Jati dan keluarganya telah menyusuri jalan yang semakin ramai menuju ke Wirasari. Sebuah kademangan yang terhitung ramai, karena Wirasari merupakan tempat persinggahan para pedagang yang akan pergi menuju atau dari berbagi tempat. Di Wirasari pula terdapat beberapa tempat yang dapat membeli dan menjual berbagai macam barang.

Agaknya Wirasari memang sebuah tempat yang menjadi tempat tujuan banyak orang. Ada sebuah pasar yang besar dan ramai di Wirasari. Tidak hanya di hari pasaran, tetapi setiap hari pasar itu ramai di kunjungi orang. Di sebelah pasar itu terdapat pasar hewan. Beberapa kedai menjual dan membeli hasil bumi, barang-barang kerajinan tangan dan perhiasan.

Bahkan pasar itu rasa-rasanya tidak hanya ramai di pagi hari sampai sore. Bahkan menjelang senja, pasar itu masih saja ramai, meskipun tidak seramai pagi hari. Jika senja turun, maka beberapa orang yang berjualan makan dan minuman di pasar itu mulai memasang lampu minyak. Beberapa orang justru berada di pasar itu setelah gelap. Sekedar duduk-duduk sambil minum minuman hangat serta makanan yang masih panas.

Namun di pasar itu pula terdapat orang-orang yang bermata elang, berwajah ganda dan bahkan bertopeng rangkap. Di pasar itu pula berkeliaran orang-orang yang menawarkan tempat-tempat untuk menghisap candu. Orang-orang yang berkeliaran di pasar itu pula yang mengenal tempat-tempat maksiat dan tempat judi. Tempat untuk menyabung ayam serta tempat-tempat untuk bertaruh lainnya.

Sebelum mereka memasuki Wirasari menjelang tengah hari, Ki Citra Jati yang telah beberapa kali pergi ke Wirasari telah memperingatkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Berhati-hatilah,” berkata Ki Citra Jati.

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.

“Aku juga baru dua kali pergi ke Wirasari, Ngger,” berkata Nyi Citra Jati, “tetapi rasa-rasanya aku sudah muak melihat sampah yang berserakan di tempat itu. Tetapi di tempat itu pula bertebaran batu-batu permata, meskipun kadang-kadang masih terbalut oleh lumpur.”

“Apa yang kau maksud?” justru Ki Citra Jati-lah yang bertanya.

“Di Wirasari masih banyak juga orang-orang yang lugu dan jujur. Orang-orang yang tidak disentuh oleh kehidupan yang kotor dan bernoda ketamakan dan keangkuhan.”

“Ya. Kau benar, Nyi. Tetapi bagi orang asing seperti kita, akan sangat sulit untuk membedakan, yang manakah yang benar-benar jujur dan yang manakah yang berpura-pura jujur, lugu dan bodoh. Tetapi sebenarnya ia adalah orang yang cerdik dan licik.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya mengangguk-angguk saja. Namun mereka mulai membayangkan, seperti apa kiranya kademangan yang disebut Kademangan Wirasari itu.

“Nah,” berkata Ki Citra Jati, “kita akan pergi ke rumah Ki Darmareja. Rumahnya di sebelah pasar Wirasari. Nah, aku berani meyakinkan kalian jika Ki Darmareja adalah orang yang sebenarnya lugu dan jujur. Ia bukan seorang dari lingkungan olah kanuragan. Ia mempunyai dua orang anak, sebagaimana pernah aku bicarakan dengan penunggu banjar itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

“Dari rumahnya kita akan dapat memperhatikan keadaan pasar Wirasari. Namun kita memang harus berhati-hati. Jika kita ingin mengambil langkah-langkah tertentu, jangan kaitkan Ki Darmareja, karena ia memang seorang yang hidupnya jauh dari benturan kekerasan.”

“Kakang,” berkata Nyi Citra Jati, “jika demikian, sebaiknya kita tidak tinggal di rumah Ki Darmareja. Bukankah di Wirasari terdapat beberapa buah penginapan, terutama di dekat pasar?”

“Memang itu akan lebih baik. Tetapi apakah itu pantas bagimu dan Rara Wulan? Sementara itu, Ki Darmareja tentu akan kecewa jika ia tahu kita tidak bermalam di rumahnya.”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit dicari penginapan yang bersih di sekitar pasar. Bersih dalam arti seluas-luasnya.

Di samping itu Nyi Citra Jati juga tidak yakin, apakah keberadaan mereka di Wirasari benar-benar tidak akan di sentuh oleh persoalan-persoalan yang akan memaksa mereka terlibat dalam benturan ilmu serta kemampuan, mengingat keadaan Wirasari serta kepentingan kehadiran mereka yang berhubungan dengan Ki Saba Lintang. Sementara itu, mereka tidak ingin meninggalkan masalah yang akan dapat mengganggu ketenangan hidup Ki Darmareja, yang tidak pernah bersentuhan dengan kekerasan.

Ketika hal itu dikemukakan Nyi Citra Jati, maka Ki Citra Jati pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah. Aku akan berterus terang dengan Ki Darmareja, bahwa jika kita bermalam di rumahnya, maka kita akan dapat mengundang masalah bagi keluarganya.”

Namun Ki Citra Jati itu pun kemudian bertanya sekali lagi, “Tetapi apakah kau dan Rara Wulan akan pantas berada di penginapan di sekitar pasar Wirasari itu?”

“Kakang,” jawab Nyi Citra Jati, “jika di Wirasari banyak orang memakai topeng, bahkan rangkap, biarlah sekali ini kita memakai topeng dan wajah-wajah yang buram, sehingga kita pantas berada di penginapan itu.”

“Tetapi kau dan Rara Wulan mengenakan pakaian seperti itu.”

“Justru kami berdua memakai pakaian seperti ini.”

“Baiklah,” berkata Ki Citra Jati, “meskipun demikian, kita akan tetap berusaha untuk menjauhi persoalan-persoalan yang akan dapat menyeret kita ke dalam perselisihan.”

“Tentu, Kakang,” jawab Nyi Citra Jati. Lalu katanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Nah, kau dengar pendapat ayahmu?”

“Ya, Ibu.”

“Wulan. Kita berdua-lah yang harus lebih berhati-hati dari ayah dan suamimu.”

“Ya, Ibu,” jawab Rara Wulan.

Demikianlah, mereka sepakat untuk tidak bermalam di rumah Ki Darmareja, justru untuk menghindarkan Ki Darmareja dari kemungkinan buruk. Ketika Ki Citra Jati pergi sendiri ke Wirasari, ia bermalam di rumah Ki Darmareja. Tetapi waktu itu ia sendiri saja, dan tidak banyak kemungkinan menimbulkan masalah.

Karena itu, maka ketika mereka memasuki padukuhan induk kademangan Wirasari, mereka tidak langsung menuju ke rumah Ki Darmareja. Tetapi mereka langsung pergi ke pasar.

Meskipun mereka sampai di pasar Wirasari sudah mendekati tengah hari, namun pasar Wirasari masih tetap ramai. Pasar yang terhitung besar itu masih dipenuhi orang yang berjual beli segala macam kebutuhan.

Tetapi Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tidak ingin melihat-lihat keadaan pasar itu. Mereka ingin mendapat lebih dahulu penginapan yang terbaik yang mungkin mereka dapatkan. Baru kemudian mereka akan melihat isi pasar Wirasari yang memang terhitung besar itu.

Untuk mendapatkan keterangan tentang penginapan yang mereka inginkan, maka Ki Citra Jati telah mengajak mereka memasuki sebuah kedai yang cukup besar dibanding dengan yang lain.

(ada halaman yang hilang)

Ketika Nyi Citra Jati mengangkat mangkuknya untuk menghirup minuman, iapun tertegun. Tiba-tiba saja mereka mendengar suara gamelan.

“Orang-orang yang ngamen. Mereka kadang-kadang berhenti di sebelah simpang empat, di tempat yang agak luas itu untuk beber. Mereka adalah penari-penari janggrung.”

“Seorang atau dua orang akan mengedarkan tampah untuk menampung uang pemberian mereka yang menontonnya,” sahut Glagah Putih.

“Ya. Tetapi janggrung itu dapat ditanggap. Dipanggil untuk menari di tempat-tempat yang dikehendaki oleh orang yang memanggilnya. Beberapa orang dapat ikut menari dengan menyerahkan uang kepada penarinya. Dalam arena tari janggrung sering terjadi keributan-keributan yang tidak diinginkan, karena biasanya ada kaitannya antara menari bersama penari janggrung dengan tuak. Kadang-kadang juga timbul keributan karena berebut kesempatan untuk menari bersama para penari.”

Dalam pada itu, suara gamelan pun menjadi semakin ramai. Iramanya menjadi semakin cepat dan menggeletik. Terdengar beberapa orang penari mengalunkan tembang dengan nada-nada tinggi.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja sibuk dengan minuman dan makan mereka. Sementara itu keempat orang yang berwajah garang itu pun cepat-cepat menyelesaikan makan dan minum mereka.

Rara Wulan memandangi keempat orang itu dengan kerut di dahi. Namun Ki Citra Jati pun berdesis, “Mereka tentu tidak akan melakukannya sebagaimana dilakukan oleh beberapa orang kemarin. Mereka tentu akan membayar minuman dan makanan yang telah mereka pesan.”

Sebenarnyalah seorang di antara mereka bertepuk memanggil pelayan kedai itu. Setelah menghitung sejenak, maka orang itu pun kemudian membayar harga makanan dan minuman mereka.

“Nampaknya kalian tergesa-gesa,” bertanya pelayan kedai itu.

“Aku akan melihat rombongan siapa yang beber di sebelah pasar itu.”

“Rombongan Ki Pahing.”

“He? Ki Pahing?”

Orang itu berpaling kepada kawan-kawannya. Katanya, “Apakah kalian akan melihat rombongan Ki Pahing?”

Seorang kawannya menggeleng, Katanya, “Aku akan pergi ke Ngaglik saja.”

“Ada apa?”

“Wak Kerta memanggil. Entah, apa keperluannya.”

Tetapi seorang kawannya berkata, “Aku akan melihat rombongan Ki Pahing sepeninggal Prenik. Mungkin sekarang sudah ada gantinya, sehingga rombongan itu menjadi hidup lagi.”

“Mari. Aku juga akan lewat tempat mereka beber.”

Sejenak kemudian keempat orang itu pun telah keluar dari kedai itu. Namun seorang di antara mereka telah memisahkan diri untuk pergi ke Ngaglik. Sedangkan yang lain agaknya akan melihat rombongan janggrung yang agaknya dipimpin oleh orang yang bernama Ki Pahing itu.

Sepeninggal keempat orang itu, telah memasuki kedai itu dua orang perempuan dan empat orang laki-laki. Dua di antara laki-laki itu adalah suami kedua orang perempuan itu. Keenam orang itu duduk tidak terlalu jauh dari Ki Citra Jati dan keluarganya.

Dari pembicaraan mereka berenam, Ki Jitra Jati dan keluarganya itu dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka pun akan menginap pula di Wirasari.

Ketika seorang pelayan mendekati mereka, salah seorang dari kedua orang perempuan itu sempat bertanya, “Ki Sanak. Apakah di sekitar tempat ini terdapat penginapan yang baik? Maksudku penginapan yang bersih?”

Pelayan tu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Ada, Nyi. Tetapi aku tidak tahu apakah tempat itu dapat disebut bersih.”

Perempuan itu memandang pelayan itu dengan kerut di dahi. Kemudian iapun bertanya pula, “Dimana letak penginapan itu?”

“Jalan ini terus saja beberapa puluh langkah. Penginapan itu letaknya di sebelah simpang empat. Halamannya luas. Tentu ada beberapa buah pedati yang berhenti di halaman. Pedagang-pedagang dari jauh bermalam di tempat itu. Menurut pengertianku, penginapan itu lebih baik dari beberapa penginapan yang terdapat di sekitar pasar itu.”

“Baiklah. Nanti kami akan melihat ke sana.”

“Di sana juga ada perempuan yang sering menginap. Pedagang-pedagang yang kadang-kadang berdua dengan istrinya, atau orang-orang yang bepergian jauh, sering menginap di penginapan itu.”

“Terima kasih.”

“Apakah Ki Sanak semuanya baru kali ini pergi ke Wirasari?”

“Ya. Kami baru kali ini berkunjung ke Wirasari. Kami akan mengunjungi seorang saudara kami. Tetapi kami belum tahu dimana letak rumahnya. Karena itu, kami harus mencari penginapan, sementara kami mencari rumah saudara kami itu,” jawab salah seorang dari keempat laki-laki itu.

“Apakah begitu sulit mencari saudara Ki Sanak itu, sehingga harus mencari penginapan lebih dahulu?”

“Kami sama sekali tidak mempunyai ancar-ancar tentang tempat tinggal saudara kami itu. Kami hanya tahu namanya. Ia tinggal di Wirasari. Hanya itu.”

“Siapa namanya?”

“Ki Pugut.”

Pelayan itu termangu-mangu sejenak. Seorang dari kedua orang perempuan itu bertanya, “Kau pernah mendengarnya?”

Pelayan itu menggeleng. Namun pelayan itu harus segera meninggalkan keenam orang itu, karena pemilik kedai itu memanggilnya. Ada beberapa pesanan yang sudah siap disampaikan kepada pemesannya.

Sepeninggal pelayan itu, seorang dari kedua orang perempuan itu berkata, “Apa boleh buat. Mungkin penginapan itu tidak begitu bersih. Tetapi kita harus menemukan rumah Kakang Pugut yang katanya sedang sakit itu.”

“Ya. Nanti kita akan melihat-lihat. Mungkin ada beberapa penginapan.”

“Tetapi jangan penginapan di sekitar pasar ini. Dari luar kita sudah dapat melihat halaman yang kotor. Bekas roda pedati. Becek. Agaknya mereka yang mencuci pedati begitu saja dilakukan di halaman itu. Kotoran lembu.”

“Baik, baik. Kita akan melihat-lihat nanti. Wirasari yang terletak di persimpangan jalan perdagangan ini merupakan sebuah kademangan yang ramai. Tentu ada sebuah penginapan yang baik.”

“Tetapi kita justru mengalami kesulitan untuk menginap di Wirasari yang ramai ini. Di kademangan lain, kita tidak mendapat masalah untuk menginap. Kita datang saja ke banjar, menemui penunggu banjar atau Ki Bekel, atau bahkan Ki Demang sendiri, mohon diperkenankan menginap di banjar.”

“Keadaan Wirasari memang berbeda.”

Orang-orang itu pun kemudian terdiam sejenak.

Dengan demikian, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan justru tidak berbicara tentang penginapan lagi. Tetapi agaknya mereka pun telah mendapat keterangan pula tentang penginapan, meskipun mereka tidak bertanya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Ki Citra Jati dan keluarganya yang telah selesai dengan minuman dan makannya, telah minta diri setelah membayarnya.

“Nah, marilah kita pergi ke simpang empat itu untuk melihat, apakah kita dapat menginap di penginapan itu.”

“Orang-orang yang tadi berada di kedai itu tentu terkejut jika mereka melihat kita berada di penginapan itu, justru mendahului mereka. Karena mau tidak mau mereka pun melihat kita pula di kedai itu.”

Rara Wulan sambil tersenyum berkata, “Apalagi jika penginapan itu cukup baik, bersih, tetapi kemudian sudah penuh setelah kita masuk ke dalamnya. Mereka akan dapat marah kepada kita.”

“Kenapa marah?” sahut Nyi Citra Jati, “Bukankah kita tidak merebut tempat yang sudah mereka pesan?”

Ki Citra Jati pun tertawa. Katanya, “Pokoknya kita datang lebih dahulu.”

Sebenarnyalah mereka berempat pun langsung menuju ke penginapan yang disebut oleh pelayan kedai itu. Penginapan yang berada di simpang empat, halamannya luas dan terdapat beberapa buah pedati.

Ketika mereka sampai di simpang empat, mereka memang melihat penginapan itu. Memang lebih bersih dari penginapan yang ada di sekitar pasar. Agaknya pemilik penginapan itu memberikan tempat khusus untuk mencuci dan membersihkan pedati, sehingga halaman penginapan itu tidak berkesan becek dan kotor. Lembu-lembu pun agaknya diikat di belakang penginapan itu.

“Agaknya ada sungai di belakang penginapan itu, sehingga segala sesuatunya dapat langsung dilakukan di sungai itu. Memandikan lembu, membersihkan pedati dan keperluan-keperluan lain.”

Ny Citra Jati mengangguk-angguk. Dari simpang empat mereka memang dapat melihat jalan menuruni tebing yang landai. Sebuah sungai yang tidak mempergunakan jembatan mengalir di belakang penginapan itu. Memang tidak begitu besar, tetapi cukup untuk beberapa keperluan. Sehingga dengan demikian maka penginapan itu pun menjadi nampak lebih bersih dari penginapan-penginapan yang ada di sekitar pasar.

“Kita akan mencoba melihat keadaan di dalam penginapan itu,” berkata Ki Citra Jati.

Keempat orang itu pun kemudian memasuki regol halaman penginapan yang luas itu. Namun halaman itu kelihatan sejuk. Ada beberapa batang pohon besar yang tumbuh di halaman. Dua batang pohon gayam tua berdiri di sudut halaman. Sebatang pohon jambu air yang buahnya lebat sekali. Dua batang pohon sawo yang berada di sebelah-menyebelah pendapa penginapan itu.

Seorang anak muda yang duduk di serambi gandok bangunan itu pun bergegas menyongsong Ki Citra Jati yang berdiri termangu-mangu di halaman.

“Apakah aku dapat membantu, Paman?” bertanya anak muda itu.

“Apakah rumah ini sebuah penginapan?”

“Ya, Paman.”

“Apakah kami masih mendapat tempat untuk menginap?”

“Masih ada sebuah pondok kecil yang menghadap ke belakang, Paman. Jika Paman menghendaki, pondok kecil itu dapat disewa.”

“Kami berempat.”

“Jika Paman mau seadanya, tempat itu dapat dipergunakan untuk berempat. Pondok itu justru terpisah dari bangunan induk ini.”

“Bangunan induk ini sudah penuh?”

“Sudah, Paman. Semua ruang di gandok dan semua senthong di ruang dalam sudah terisi. Satu-satunya tempat yang tersisa adalah pondok kecil yang justru terpisah itu.”

“Apakah kami dapat melihat?”

“Silahkan, Paman. Marilah. Aku antar Paman melihat pondok kecil itu.”

Ki Citra Jati pun kemudian memberi isyarat kepada Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan untuk ikut bersama-sama ke belakang bangunan induk penginapan yang terhitung besar itu.

Seperti yang dikatakan oleh anak muda itu, di belakang bangunan induk itu terdapat sebuah pondok kecil. Pondok yang hanya terdiri dari sebuah ruangan. Tanpa sekat dan tanpa ruang yang lain. Sebuah amben yang agak besar terdapat di ruangan itu. Sebuah geledeg, ajug-ajug dan seikat lidi untuk membersihkan amben yang agak besar, yang sudah digelari tikar pandan yang putih bersih. Kemudian sebuah sapu ijuk terletak di sudut ruangan itu. Sapu ijuk untuk membersihkan lantai.

“Bagaimana, Paman? Apakah Paman dapat mempergunakan ruangan ini?”

Ki Citra Jati berpaling kepada Nyi Citra Jati. Agaknya Nyi Citra Jati tidak berkeberatan. Karena itu, maka iapun mengangguk, “Baiklah, Ki Sanak. Kami akan menginap di sini.”

“Baiklah, Paman. Pakiwan berada di belakang pondok itu. Di sebelah ada jalan menurun, langsung ke sungi. Itu adalah satu-satunya gangguan atas pondok ini. Setiap kali ada pedati yang lewat, hilir mudik untuk dicuci di sungai sambil memandikan lembunya. Agaknya itu lebih baik daripada pedati itu dicuci di halaman yang tentu akan menjadi becek.”

“Benar, anak muda.”

“Kandang lembu terletak agak jauh di sebelah pagar bambu itu, di sebelah kebun kelapa. Paman tidak perlu cemas, bahwa dari pondok ini akan tercium bau yang tidak sedap.”

“Aku mengerti.”

“Di depan penginapan ini tersedia sebuah kedai nasi. Jika Paman, Bibi dan Ki Sanak yang lain akan makan, kapan pun waktunya, kecuali setelah lewat wayah sepi wong, masih dapat dilayani di kedai itu.”

“Terima kasih, anak muda.”

“Nah, silahkan beristirahat dengan tenang. Biasanya di penginapan ini tidak teijadi peristiwa-peristiwa yang tidak dikehendaki.”

“Terima kasih.”

Anak muda itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Satu-satunya ruangan yang ada pada tempat yang disebut pondok kecil itu.

“Apa boleh buat,” berkata Nyi Citra Jati, “namun nampaknya ruangan ini terpelihara dan bersih.”

“Demikian kita membuka pintu, kita melihat kebun yang rendah. Di belakang dinding itu terdapat sebuah sungai. Di sebelah terdapat jalan yang menuruni tebing landai ke tepian.”

“Aku senang menginap di sini,” desis Rara Wulan.

“Tetapi di sini hanya ada satu amben yang besar.”

“Rasa-rasanya seperti menginap di banjar padukuhan itu.”

“Ya. Tetapi agaknya di sini suasananya lebih tenang. Pondok kecil ini terpisah dari bangunan induk yang dipergunakan untuk penginapan itu.”

Glagah Putih pun menyela pula, “Kita tidak akan terganggu oleh keributan yang timbul dari anak-anak muda yang mabuk itu.”

Ketika kemudian Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati duduk di amben bambu yang cukup besar itu, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat-lihat halaman sempit di depan pondok kecil itu. Sebuah jalan setapak berbatu-batu, menurun menuju ke kebun yang rendah di bagian belakang penginapan itu. Ketika mereka beijalan mengikuti jalan di sebelah, mereka keluar dari pintu pada dinding di kebun belakang itu, langsung turun ke sungai.

Pada saat-saat seperti itu, sungai itu nampak sepi. Tidak ada yang sedang mencuci pedati atau memandikan lembu. Di seberang nampak dua orang yang melintas sambil mengiring dua ekor kambing yang mereka gembalakan.

Namun di arah udik beberapa puluh tonggak, mereka melihat beberapa anak sedang mandi dengan gembiranya.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan mencelupkan kaki mereka, terasa sejuknya air yang mengalir di sungai yang tidak begitu besar itu. Rasa-rasanya mereka pun ingin mandi seperti anak-anak yang sedang mandi sambil bergurau dengan gembiranya itu.

Namun beberapa saat kemudian, Rara Wulan pun berkata, “Marilah. Nanti Ayah dan Ibu mencari.”

Ketika mereka kemudian memanjat jalan setapak dari kebun yang rendah naik ke halaman sempit pondok kecil itu, mereka terkejut. Mereka mendengar suara orang yang sedang bertengkar.

Mereka pun bergegas naik. Demikian mereka sampai di halaman sempit pondok kecil itu, mereka melihat enam orang yang tadi berada di kedai itu sedang marah.

“Kami tidak tahu bahwa kalian juga akan bermalam di sini,” berkata anak muda yang melayani para tamu. “Karena mereka datang lebih dahulu, maka kami serahkan satu-satunya tempat yang ada kepada mereka.”

“Kau sengaja mendahului kami,” berkata salah seorang laki-laki itu sambil menunjuk ke wajah Ki Citra Jati yang berdiri termangu-mangu. “Kau tentu mendengar pembicaraan kami dengan pelayan kedai itu.”

“Tetapi kami kira masih ada beberapa tempat di sini,” jawab Ki Citra Jati, “ternyata tempatnya tinggal pondok kecil ini. Kami menjadi tidak yakin bahwa kalian akan bersedia menginap di sini. Karena itu, kami telah menyatakan din untuk menyewa tempat ini.” 

“Soalnya bukan tempat ini sesuai atau tidak bagi kami. Tetapi bahwa kalian telah dengan sengaja mendahului kami itulah yang telah menyinggung perasaan kami.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Citra Jati, “jika Ki Sanak berenam memang memerlukan tempat ini, maka kami akan dengan senang hati meninggalkannya. Kami berempat akan mencari tempat lain.”

“Tidak. Tidak mungkin kami berenam tinggal di tempat yang tidak ada sekatnya ini.”

“Jika demikian, lalu apa keberatan kalian jika aku menyewa tempat ini?”

“Seharusnya kalian tidak datang mendahului kami. Setelah kami menyatakan bahwa kami tidak dapat mempergunakan tempat ini, barulah kalian menyatakan untuk menyewanya, sehingga kalian tidak menyinggung perasaan kami.”

“Kami minta maaf, Ki Sanak.”

Namun tiba-tiba saja salah seorang dari kedua orang perempuan itu memandang Rara Wulan dengan tajamnya. Kemudian membentaknya, “Kau mau berkata apa, he? Kau tidak mau kami perlakukan seperti ini?”

“Tidak, Bibi. Maaf.”

“Kau panggil aku Bibi ? Apakah kau tidak membuka matamu dan memandang wajahku? Kau kira umur kita terpaut banyak?”

“O, maksudku, bukan Bibi. Tetapi, tetapi…”

“Kau tidak usah menyebutku dengan sebutan apapun.”

Rara Wulan terdiam. Sementara perempuan yang seorang lagi bertanya, “Apa hubunganmu dengan kedua orang ini, he?”

“Aku adalah anaknya. Mereka adalah ayah dan ibuku.”

“Kau?” bertanya orang itu kepada Glagah Putih.

“Aku juga anaknya.”

“Jadi perempuan itu adikmu?”

“Bukan. Perempuan itu adalah istriku.”

“He? Jika kalian berdua anak mereka, bagaimana mungkin kalian suami istri?”

“Maksudku, aku adalah menantunya,” jawab Glagah Putih.

“Orang-orang dungu. Tetapi jangan mencoba-coba menyinggung perasaan kami lagi.” Lalu perempuan itu berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Kita tidak dapat bermalam di tempat yang terbuka seperti itu.”

Tanpa berpaling keenam orang itu pun segera meninggalkan pondok kecil itu. Anak muda yang melayani para tamu itu pun berkata kepada Ki Citra Jati, “Aku minta maaf, Paman. Ternyata baru saja Paman memasuki penginapan kami, Paman sudah menemui masalah.”

“Tidak apa-apa, Ngger. Bukankah hanya sekedar salah paham?”

“Bukan salah paham, Paman. Tetapi mereka adalah orang-orang yang tinggi hati. Mereka merasa lebih berhak untuk menentukan. Baru kemudian orang lain.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Tetapi persoalannya sudah selesai.”

“Mudah-mudahan, Paman. Mudah-mudahan mereka tidak mengungkit persoalan-persoalan baru. Tetapi kami mempunyai kewajiban untuk menjaga bukan saja kebersihan dan ketertiban, tetapi juga keamanan bagi mereka yang menginap di penginapan ini. Ada petugas-petugas khusus yang menjaga keamanan orang-orang yang menginap. Meskipun sewanya agak mahal, tetapi dengan jaminan keamanan, maka orang-orang yang menginap di penginapan ini akan merasa tenang.”

“Ya. Justru ketenangan itulah yang sangat kami perlukan. Uang dapat dicari, tetapi jika jiwa kami yang terancam?”

“Nah, silahkan beristirahat dengan tenang, Paman. Jika timbul persoalan, akan kami coba untuk mengatasinya.”

Sejenak kemudian, maka anak muda yang bertugas di penginapan itu pun meninggalkan Ki Citra Jati dan keluarganya, yang segera masuk ke penginapan yang disebutnya pondok kecil itu. Mereka duduk berempat di amben bambu yang diatasnya di gelar tikar pandan yang putih dan nampak bersih.

Sambil tertawa tertahan Ki Citra Jati pun berkata, “Ternyata yang dikatakan Rara Wulan terjadi. Mereka datang untuk bermalam di tempat ini, tetapi kita telah mendahuluinya.”

“Ya. Tetapi pada dasarnya mereka tidak mau menginap di tempat ini. Di ruangan yang tanpa sekat seperti ini.”

“Tetapi mereka tetap tersinggung, bahwa kita datang mandahului mereka.”

“Mudah-mudahan persoalannya benar-benar selesai.”

“Nah,” berkata Ki Citra Jati kemudian, “sebaiknya kalian tinggal di sini. Biarlah aku dan Glagah Putih pergi ke rumah Ki Darmareja.”

“Kenapa tidak besok? Menjelang senja nanti kita dapat berjalan-jalan melihat suasana Kademangan Wirasari yang terhitung ramai ini. Mungkin pasar Wirasari juga ramai menjelang senja.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, “Baiklah. Besok saja aku pergi menemui Ki Darmareja.”

“Nah, sekarang siapa yang akan mandi lebih dahulu?”

“Biarlah aku mandi lebih dahulu,” berkata Rara Wulan.

Sementara Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih-lah yang mengisi jambangan di pakiwan itu. Setelah Glagah Putih sendiri mandi, iapun mengisi pula jambangan itu sampai penuh.

Sementara itu, di jalan menurun di sebelah, tiga buah pedati lewat turun ke sungai untuk dicuci. Lembunya pun akan dimandikan pula.

Dari pondok kecil yang terpisah itu, Ki Citra Jati dan keluarganya tidak dapat mengetahui siapa saja yang menginap di bangunan induk penginapan yang cukup besar itu.

Namun setelah mereka mandi dan berbenah diri, kemudian keluar dan turun di halaman, maka mereka baru dapat melihat sebagian dari orang-orang yang menginap itu, duduk-duduk di serambi dan di pendapa bangunan induk penginapan itu.

Nampaknya mereka memang orang-orang yang berkecukupan. Mungkin para pedagang, mungkin orang-orang yang bepergian, atau orang yang sedang mencari sanak-kadangnya, seperti keenam orang yang marah itu. Mereka mencari seorang keluarganya yang sedang sakit di Wirasari, tanpa mengetahui ancar-ancarnya sama sekali.

“Kasihan mereka itu,” desis Ki Citra Jati.

“Siapa?”

“Orang-orang yang mencari penginapan itu.”

“Kenapa?”

“Mereka mencari saudaranya yang sakit. Sementara itu, kita telah mendahuluinya mengisi satu-satunya ruangan kosong di penginapan ini.”

“Bukankah mereka memang tidak mau mempergunakan ruangan itu, Kakang?”

“Ya,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka berempat pun keluar dari regol halaman penginapan itu. Anak muda yang bertugas sudah berganti. Juga masih muda. Juga ramah seperti anak muda yang terdahulu.

“Kau bertugas sendirian saja, Ngger?” bertanya Ki Citra Jati.

“Tidak, Paman, kami bertiga. Yang dua sedang sibuk membersihkan ruang tengah. Nampaknya ada beberapa orang pedagang yang akan mengadakan pembicaraan khusus malam nanti. Mereka meminjam ruang tengah untuk mengadakan pertemuan itu.”

“Di ruang tengah? Tidak di pringgitan?”

“Mereka memilih ruang tengah.”

“Udaranya tentu panas sekali. Berbeda dengan pringgitan.”

“Tetapi mereka memerlukan sebuah ruangan yang tertutup.”

“O,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

“Paman akan pergi kemana?” bertanya anak muda itu.

“Jalan-jalan, Ngger. Kami tidak terlalu sering pergi ke Wirasari.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang perlahan saja ia berkata, “Hati-hatilah, Paman. Tetapi jika Paman, Bibi dan Ki Sanak yang lain tidak melakukan, agaknya juga tidak ada apa-apa. Sebaiknya hindari pertengkaran, karena akibatnya akan dapat sangat buruk.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baik, anak muda. Aku akan berhati-hati. Kami tidak akan berbuat apa-apa kecuali melihat-lihat keadaan di Wirasari. Bukanlah di sore hari pasar Wirasari juga ramai?”

“Ya. Sampai larut malam. Di malam hari banyak orang membeli makanan dan minuman hangat di pasar itu. Segala macam masakan dan makanan ada di dalamnya. Apa saja yang Paman inginkan.”

Ki Citra Jati tersenyum sambil menepuk bahu anak muda itu, “Kami hanya ingin berjalan-jalan.”

Letak pasar memang tidak begitu jauh. Di sekitar pasar itu terdapat beberapa penginapan, sehingga pasar itu tetap saja ramai di sore bahkan sampai di malam hari.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan menyusuri jalan induk Kademangan Wirasari. Di pinggir jalan itu terdapat banyak orang berjualan.

Semakin dekat dengan pasar, semakin banyak pula orang yang menggelar dagangannya. Ada yang berjualan kain tenun, ada yang berjualan barang-barang kerajinan serta pertanian, tetapi ada juga yang berjualan senjata. Bahkan di dekat regol, seorang yang bertubuh raksasa dan berwajah garang meletakkan beberapa buah keris bersama wrangkanya. Agaknya keris itu juga dijualnya di samping beberapa jenis bebatuan, akar-akaran dan bahkan beberapa benda aneh lainnya.

Sementara itu, di dalam pasar justru hampir dipenuhi oleh orang-orang yang berjualan minuman dan makanan panas di malam hari. Jika di siang hari amben di penuhi orang berjualan reramuan obat-obatan dan empon-empon, maka di malam hari tempat itu menjadi orang berjualan serabi kocor.

Ki Citra Jati dan keluarganya tidak singgah masuk ke dalam pasar. Tetapi mereka berjalan saja di jalan di depan pasar. Beberapa puluh langkah dari seberang pintu gerbang, terdapat sederet kedai yang juga dibuka di malam hari. Tetapi pengunjungnya tidak seramai di siang hari.

Sementara itu, malam pun menjadi semakin gelap. Lampu minyak serta oncor jarak menyala di mana-mana.

Namun ketika mereka sampai di sebuah tikungan, mereka tertegun. Mereka melihat beberapa orang menyibak. Namun kemudian berjalan lagi justru menjauhi tempat itu.

“Ayah,” desis Glagah Putih, “dua orang berkelahi.”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Katanya, “Tidak ada orang yang memisahkan mereka. Apakah di lingkungan seperti ini tidak ada petugas dari kademangan untuk menjaga ketenangan? Mungkin Ki Jagabaya atau orang-orang yang ditugaskan?”

Keempat orang itu berhenti melangkah. Sementara itu, orang-orang lain yang berada di tempat itu, seakan-akan tidak menghiraukannya. Orang-orang yang berjualan di sekitarnya, menyingkirkan dagangan mereka. Menyingkir dua tiga langkah, kemudian duduk di antara mereka.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih serta Rara Wulan termangu-mangu di tempatnya. Tetapi seorang anak muda menghampirinya. Anak muda yang bertugas di penginapan pada saat mereka datang.

“Aku sedang tidak bertugas sekarang,” berkata anak muda itu, “tetapi aku mohon, jangan berhenti menonton. Berjalan sajalah. Jauhi tempat ini.”

“Tetapi salah seorang di antara mereka dapat terbunuh.”

“Tidak ada bedanya, siapapun yang akan mati. Kedua-duanya, jika kita berpihak kepada lawan, maka kita akan mendapat kesulitan. Apalagi jika yang menuduh itu adalah pihak yang menang. Biasanya yang kalah akan terbunuh di tempat perkelahian itu terjadi.”

Ki Citra Jati menarik nafas panjang. Namun kemudian iapun memberi isyarat kepada keluarganya untuk berjalan terus, namun menjauhi arena perkelahian itu.

Anak muda yang bertugas di penginapan pada saat Ki Citra Jati dan keluarganya itu datang ke penginapan, masih menyertai mereka. Sambil melangkah menjauh, anak muda itu pun berkata, “Jika kedua orang yang merasa paling berkuasa bertemu, biasanya memang terjadi perkelahian. Nanti petugas keamanan pasar ini, mungkin bersama Ki Jagabaya, akan datang menyeret mayat seorang di antaranya dan menguburkannya.”

“Kenapa mereka tidak berusaha untuk melerai?”

“Semakin banyak orang yang tebunuh, akan semakin ringan-lah tugas mereka. Karena itu, maka seandainya mereka melihat, perkelahian itu akan dibiarkan saja. Petugas yang melihat itu justru akan menyelinap menjauh dan bersembunyi. Jika seorang di antara mereka sudah mati, maka petugas itu pun datang. Membentak-bentak orang yang menang serta mengancamnya. Namun orang itu tidak ditangkap, apalagi dihukum.”

“Apakah para petugas keamanan di pasar ini mempunyai wibawa terhadap para penjahat?”

“Sebenarnya ada. Ki Demang dan Ki Jagabaya adalah orang yang berilmu tinggi. Tetapi menghadapi keributan yang hampir setiap kejap terjadi, Ki Jagabaya kadang-kadang pura-pura saja tidak tahu.”

Ki Citra Jati menarik nafas panjang.

Ketika mereka lewat lagi di depan pasar, maka tiba-tiba saja Ki Citra Jati berkata, “Apakah kita akan melihat isi pasar itu yang jauh berbeda di siang hari dan di malam hari? Mungkin kita akan melihat sesuatu yang belum pernah kita lihat sebelumnya.”

“Hanya orang berjualan minuman, makan dan makanan.”

“Marilah, kita lihat saja,” ajak Ki Citra Jati.

Anak muda itu termangu-mangu sejanak. Namun ia kemudian tidak menolak. Bersama Ki Citra Jati dan keluarganya, mereka masuk ke dalam pasar yang nampak cukup ramai. Di sana-sini nampak lampu berkedipan.

“Marilah kita minum,” ajak Ki Citra Jati.

Mereka pun kemudian duduk di sebuah lincak bambu yang panjang, menghadap seorang penjual berbagai macam makanan.

“Di siang hari tempat ini menjadi tempat berjualan kain,” berkata anak muda itu.

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Besok pagi kami ingin melihat pasar ini dalam ujudnya yang lain.”

Sejenak kemudian, maka mereka masing-masing telah memesan minuman. Kemudian mereka pun telah memungut makanan yang tersedia di beberapa buah tenong yang terbuka.

“Jenang alot ini melebat di langit-langit mulutku, Kakang,” desis Rara Wulan.

Nyi Citra Jati yang mendengar tertawa. Katanya, “Justru itulah kekhususannya.”

Glagah Putih yang tersenyum menjawab, “Makan yang lain. Nanti jenang alot itu akan ikut tertelan.”

Rara Wulan pun tertawa pula.

Dalam pada itu, anak muda yang menyertai mereka itu pun berkata dengan ragu, “Sebenarnya ada pesan yang ingin aku sampaikan, Paman. Karena itu, aku mencari Paman di sini.”

“Pesan apa?”

“Pelayanan ini kami berikan kepada yang menginap di penginapan kami.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk.

“Kami mohon Paman berhati-hati terhadap enam orang yang kemarin marah-marah itu. Mereka ternyata mendapat penginapan yang kurang memadai menurut selera mereka.”

“Mereka masih marah karena kami mendahului mereka?”

“Yang penting bukan itu. Kawan kami di penginapan itu memberitahukan kepada kami, sengaja atau tidak sengaja, bahwa sekelompok orang yang menginap di penginapannya telah berhubungan dengan kelompok yang dipimpin oleh Raden Kuda Sembada.”

“Siapakah Raden Kuda Sembada itu?” bertanya Ki Citra Jati.

“Seorang yang mempunyai jaringan yang luas, bukan saja di Wirasari, tetapi juga di sekitarnya. Pengaruhnya cukup besar, sehingga perlu diwaspadai. Ki Kuda Sembada bukan setataran dengan kedua orang yang tadi berkelahi berebut ladang pemerasan. Tetapi Kuda Sembada menempatkan dirinya pada jajaran orang-orang penting dari kalangan mereka yang mempunyai jaringan luas. Ketika di Kademangan ini hadir seorang besar yang disebut Ki Saba Lintang, maka salah seorang yang berhubungan dengan orang itu adalah Ki Kuda Sembada.”

“Ki Saba Lintang,” desis Glagah Putih.

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Nampaknya perempuan tua penjual itu tidak menghiraukan pembicaraan mereka. Tetapi karena ada orang lain yang ikut duduk dan memesan minuman, maka pembicaraan merekapun terhenti.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar