Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 341

Buku 341

Ki Citra Jati beringsut setapak. Dipandanginya kedua orang yang datang bersama Pandunungan itu. Meskipun agak ragu, iapun bertanya, “Siapakah namamu, Ngger?”

Kawan Pandunungan yang disebutnya murid Wirapratama itu pun dengan congkak justru bertanya, “Kau bertanya kepadaku?”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, Ngger. Aku bertanya kepadamu, dan kepada angger satu lagi, murid Mandira Wilis.”

Murid Wirapratama itu pun menjawab, “Namaku Walesan. Aku murid utama Ki Wirapratama.”

Ki Citra Jati mengangguk-angguk. Sementara itu murid Mandira Wilis itu pun berkata, “Namaku Prasapa. Jika kau sudah mengenali guruku, maka kau pun akan mengenali aku. Bukan sekedar ujud kewadagan ini.”

“Ya, ya. Aku mengerti,” sahut Ki Citra Jati. “Dimana gurumu sekarang?”

“Kau akan datang menemuinya untuk menghidar dari kemarahannya?”

“Apa gurumu sedang marah?”

Prasapa itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya. Guruku, Paman Wirapratama dan Paman Sura Alap-Alap memang sedang marah.”

“Kenapa mereka marah?” desak Ki Citra Jati.

Prasapa menajadi gagap. Ia tidak mengira bahwa pertanyaan Ki Citra Jati menjadi berkepanjangan. Namun yang kemudian menjawab adalah Pandunungan, “Mereka marah karena sikap MIaya Werdi yang tidak tahu diri. Meskipun ia murid Paman Brajanata yang tertua, tetapi aku adalah kemenakan Paman Brajanata. Aku-lah yang berhak untuk menjadi pemimpin di padepokan ini. Bukan Mlaya Werdi. Bagi Paman Brajanata, Mlaya Werdi adalah orang lain. Tetapi aku bukan orang lain. Aku mempunyai pertautan darah. Tanah yang dipergunakan untuk mendirikan padepokan ini adalah tanah kakekku. Jadi aku adalah pemilik yang sah hak atas tanah ini. ”

“Pandunungan,” berkata Ki Citra Jati, “aku termasuk orang tua di padepokan ini. Aku tahu bahwa tanah ini dahulu adalah tanah milik kakek buyutmu. Tetapi tanah itu sudah diberikan kepada kami, kepada perguruan kami, untuk mendirikan sebuah padepokan. Bahkan disaksikan oleh beberapa orang, termasuk Ki Demang yang membawahi tanah ini. Tentu saja Ki Demang itu sekarang sudah tidak ada, tapi ia akan mengakui pula, bahwa tanah ini adalah tanah milik perguruan kita. Perguruanku dan perguruanmu.”

“Paman tidak dapat mendasarkan hak milik atas tanah ini kepada dongeng itu. Sekarang kita akan berdiri di atas kenyataan. Tanah ini milikku. Sedangkan alur kepemimpinannya pun seharusnya padaku.”

“Tetapi Kakang Brajanata telah menunjuk Mlaya Werdi untuk mewarisi kedudukannya. Pesan itu harus dijunjung tinggi.”

“Tentu ada yang mempengaruhi Guru pada waktu itu, sehingga akhirnya ia memberikan wewenang kepada Mlaya Werdi untuk menjadi pimpinan pada perguruan ini. Sekarang, sudah waktunya untuk meluruskan penyelewengan itu.”

“Pandunungan,” berkata Ki Citra Jati, “kita semua adalah saudara. Kita ditempa dan dimatangkan oleh perguruan ini. Jika terjadi perselihan, tentu akan meretakkan keutuhan keluarga besar kita.”

“Alasan ini agaknya selalu menjadi senjata untuk memaksakan kehendak kalian. Tetapi kami sudah tahu pasti, apa yang sebaiknya kami lakukan.”

“Apa yang akan kau lakukan, Pandunungan?”

“Paman Wirapratama, Paman Sura Alap-Alap, Paman Mandira Wilis, serta murid-murid mereka sudah ada di sekitar padepokan ini. Bukan hanya mereka. Tetapi sahabat-sahabat yang mendukung kebenaran yang akan kami perjuangkan.”

“Jadi kau sudah mengepung padepokan ini? Kau bawa orang lain untuk melibatkan diri dalam sengketa keluarga ini?”

“Mereka bukan orang lain.”

“Maksudku selain paman-pamanmu itu.”

“Ya. Mereka bukan orang lain. Eyang Puspakajang adalah seorang tua yang tahu benar apa yang telah terjadi di padepokan ini. Eyang Puspakajang tahu pasti, bahwa Mlaya Werdi tidak berhak untuk memimpin padepokan ini.”

“Puspakajang? Jadi kau bawa Ki Ageng Puspakajang itu kemari?”

“Ya, Paman Citra Jati. Mungkin nama itu membuat hati Paman berkerut. Tetapi Eyang Puspakajang adalah lambang dari keadilan.”

“Ngger, Ngger. Begitu jauh kau terjerumus ke dalam nafsu keduniawian, sehingga kau tidak lagi dapat melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.”

Pandunungan tertawa. Katannya, “Aku tahu, Paman tentu akan berkata seperti itu, sebagaimana Paman berbicara tentang keutuhan keluarga besar kita. Tetapi cara itu tidak dapat mengelabuhi aku lagi. Sekarang terserah kepada Mlaya Werdi, apakah ia akan menyerahkan kepemimpinan padepokan ini kepadaku atau tidak. Tetapi di sekeliling padepokanmu ini, beberapa orang berilmu tinggi sudah siap untuk menggulung sifat-sifat tamakmu.”

“Pandunungan,” berkata Mlaya Werdi dengan suara yang bergetar, “sekali lagi aku tantang kau berperang tanding.”

Pandunungan tertawa semakin keras. Katanya, “Kau tidak cukup berharga untuk aku layani dalam perang tanding, Kakang. Nah, sekarang kau tinggal memilih. Menyerahkan padepokan ini dengan baik-baik, atau aku harus menyingkirkanmu. Siapapun yang membantumu, akan ikut mengalami nasib buruk sebagaimana akan kau alami.”

“Kau-lah pengecut itu,” berkata Mlaya Werdi.

“Kau tidak mempunyai pilihan lain, Mlaya Werdi. Kau hanya mempunyai dua pilihan itu.”

“Pandunungan. Aku adalah pemimpin padepokan ini. Apapun yang akan terjadi, aku akan mempertahankannya.”

“Baik. Itu lebih baik bagiku. Aku akan segera dapat mengetahui, siapakah yang pantas ikut mukti  di padepokan ini, dan siapakah yang harus mati.”

“Jangan bermimpi untuk dapat menginjakkan kakimu di padepokan ini lagi, jika kau nanti sudah keluar dari pintu gerbang.”

Pandunungan pun segera bangkit berdiri sambil berkata, “Bersiaplah. Aku masih memberimu waktu sehari semalam. Jika besok pada saat matahari terbit kau belum menyatakan kesediaanmu menyerahkan padepokan ini, maka padepokan ini akan kami gilas dengan kekerasan. Kau dan orang-orang yang berpihak kepadamu akan mati. Dapat kau ketahui bahwa selain orang-orang berilmu tinggi seperti yang aku sebutkan, tiga orang sesepuh padepokan ini, maka telah hadir pula di sini Eyang Puspakajang.”

Mlaya Werdi menggeram. Tetapi iapun segara bangkit berdiri pula. Demikian juga Ki Wasesa dan Ki Citra Jati.

“Pandunungan,” berkata Ki Citra Jati, “kau pun masih mempunyai waktu sehari semalam. Jika hatimu sempat menjadi bening, kau masih mempunyai waktu untuk mengurungkan niatmu. Tetapi jika iblis itu tetap lekat di hatimu, maka esok adalah harimu yang paling gelap.”

Pandunungan memandang Ki Citra Jati dengan tajamnya. Dengan lantang iapun menjawab, “Paman. Seharusnya aku menghormati Paman dan Bibi. Juga Paman Wasesa. Tetapi karena kalian berada di pihak Mlaya Werdi, maka kalian pun akan aku anggap sebagai musuhku.”

“Kau akan menyesal, Pandunungan,” berkata Ki Wasesa, “siapapun yang menang, maka yang kalah adalah keluarga kita sendiri.”

“Paman, jika ada cuplak andeng-andeng, tetapi berada tidak pada tempatnya, maka tentu akan aku cukil dari tubuhku.”

“Hatimu sudah benar-benar menjadi gelap.”

“Paman dapat menyebut apa saja. Tetapi niatku tidak akan dapat dicegah lagi.”

“Jika demikian, baiklah,” desis Ki Citra Jati, “kau tidak memberikan pilihan kepada kami.”

“Aku memberikan dua pilihan kepada Mlaya Werdi.”

“Tidak,” sahut Mlaya Werdi, “kau hanya memberiku satu pilihan. Membunuhmu.”

Pandunungan menggeram. Namun kemudian iapun berkata, “Aku menunggu sampai esok sebelum matahari terbit. Demikian matahari terbit nampak muncul di cakarawala, maka segala sesuatunya sudah terlambat. Kau akan segera mendengar aba-aba untuk menyerang padepokan yang sekarang masih kau pimpin.”

“Aku akan menunggu,” sahut Mlaya Werdi.

Pandunungan dan kedua orang yang datang bersamanya itu pun segara meninggalkan padepokan itu. Namun nampaknya mereka dan orang-orangnya sudah mengepung padepokan itu. Karena itu, maka Mlaya Werdi pun memerintahkan agar tidak seorang pun keluar dari padepokan.

Waktu yang sehari-semalam itu dipergunakan oleh Mlaya Werdi untuk mempersiapkan para cantrik dari padepokan itu. Jumlahnya memang tidak begitu banyak. Sementara itu, para cantrik itu pun terdiri dari berbagai tataran. Ada yang sudah mencapai tataran yang cukup tinggi, tetapi ada beberapa di antara mereka adalah pemula.

“Kalian hanya mempunyai waktu sehari-semalam,” berkata Mlaya Werdi kepada para cantrik, “lakukan apa yang terbaik bagi kalian masing-masing. Malam nanti kalian dapat beristirahat secukupnya. Besok pada saat matahari terbit, Pandunungan dan orang-orangnya akan datang.”

Ki Wasesa-lah yang memerintahkan para cantrik itu untuk membuat panggungan-panggungan kecil di belakang dinding padepokan mereka, terutama di sebelah-menyebelah pintu gerbang padepokan.

“Pergunakan busur untuk melontarkan anak panah. Kalian akan dapat menghambat gerak maju lawan-lawan kalian. Bahkan mungkin akan dapat mengurangi jumlah mereka serba sedikit.”

Dalam pada itu, Glagah Putih dan anak-anak angkat Ki Citra Jati yang lain ikut sibuk mempersiapkan pertahanan bersama dengan para cantrik. Glagah Putih dan Pamekas ikut membuat penggungan-panggungan kecil di belakang dinding padepokan.

“Aku belum pernah melihat anak muda itu, Paman,” berkata Mlaya Werdi, “apakah itu juga anak Paman?”

“Ya. Itu juga anakku. Ia sudah beristri.”

“Istrinya?”

“Agaknya sedang di dapur sekarang, bersama bibimu.”

“Laki-laki itu atau istrinya, yang anak Paman Citra Jati?”

“Kedua-duanya. Eh, maksudku istrinya. Jadi laki-laki muda itu adalah menantuku.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah tidak berbahaya baginya berada di padepokan ini dalam keadaan yang gawat seperti sekarang?”

Ki Citra Jati mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menggeleng. Katanya, “Ia akan dapat membantumu serba sedikit. Bukankah semalam kau sepatah dua patah telah berbicara dengan anak itu?”

“Ya. Tetapi hatiku masih bergejolak, sehingga rasa-rasanya aku tidak tahu lagi, apa yang telah terjadi semalam, Paman. Aku benar-benar menjadi ketakutan jika Paman dan Bibi marah.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Kami tidak marah. Sejak semula kami sudah mengira bahwa sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.”

“Ya,” Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Paman, adalah wajar jika Paman dan Bibi hadir di padepokan ini, meskipun secara kebetulan. Tetapi bagaimana dengan adik-adikku itu? Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan mereka dalam kemelut yang terjadi di padepokan ini.”

“Mereka adalah anak-anakku, Miaya Werdi. Biarlah mereka ikut serta menegakkan wibawa perguruan ini. Perguruan yang pernah menempa ayah dan ibunya.”

“Aku mengucapkan terima kasih, Paman. Tetapi jika terjadi sesuatu atas diri mereka, aku akan merasa bersalah.”

“Kenapa kau harus merasa bersalah? Kita adalah keluarga yang besar. Seperti anggota badan, sentuhan ujung duri pada jari-jari kaki akan terasa sampai ke ubun-ubun.”

Mlaya Werdi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi iapun berkata, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Paman. Justru pada saat Paman sedang dibebani oleh persoalan dengan Srini, Paman harus terlibat pula dalam pertengkaran yang memalukan di padepokan ini.”

“Sudahlah, Mlaya Werdi. Yang harus kita lakukan sekarang adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya sambil berdoa, agar Yang Maha Agung selalu melindungi kita.”

“Ya, Paman. Tetapi aku ingin mempersilahkan Paman dan Bibi beristirahat. Biarlah para cantrik yang melakukannya.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Bukankah aku hanya melihat apa yang kalian lakukan?”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk.

“Nah, kerjakan apa yang akan kau kerjakan.”

Mlaya Werdi pun kemudian meninggalkan Ki Citra Jati untuk bekerja bersama-sama para cantrik, mempersiapkan pertahanan di padepokannya.

Ketika satu dua panggungan kecil di sebelah-menyebelah pintu gerbang itu sudah siap, maka Mlaya Werdi dan Ki Wasesa pun telah memanjat dan berdiri di atas panggungan bambu itu.

Namun mereka tidak melihat seseuatu di sekitar padepokan mereka. Mereka tidak melihat sekelompok orang-orang yang mengawasi padepokan mereka di pematang sawah garapan para cantrik, di sekitar padepokan. Mereka juga tidak melihat seorangpun di gubug yang terdapat tidak terlalu jauh dari pintu gerbang. Mereka juga tidak melihat seorangpun di jalan yang menuju pintu gerbang padepokan ilu.

Demikian pula ketika sebuah panggung bambu telah berdiri melekat dinding padepokan di sisi sebelah. Dari panggungan kecil itu, mereka yang memanjat juga tidak melihat apa-apa.

“Agaknya mereka baru akan mendekati padepokan ini malam nanti,” berkata Ki Wasesa kepada Mlaya Werdi.

“Ya, Paman. Mungkin malam nanti, atau bahkan menjelang fajar esok pagi.”

“Mungkin ini adalah salah satu cara Pandunungan itu mengosongkan padepokan ini. Ia memberi kesempatan kepada kita untuk pergi tanpa merasa terganggu atau terancam.”

“Sombongnya Pandunungan.”

“Ya. Pandunungan terlalu yakin akan kemampuan ketiga orang paman gurunya serta Eyang Puspakajang.”

“Agaknya setelah ketiga orang paman itu meninggalkan padepokan ini setelah mereka berselisih dengan Guru, mereka telah berguru pula kepada Ki Puspakajang.”

“Mungkin. Ki Puspakajang adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia mempunyai berbagai macam ilmu yang jarang ada bandingannya.”

“Ya. Agaknya Pandunungan memperhitungkan, bahwa Ki Puspakajang akan dapat menyelesaikan persoalan.”

“Tetapi Pandunungan sebelumnya tidak menduga bahwa pamanmu dan bibimu Citra Jati ada di sini.”

“Ya, Paman. Tetapi mungkin karena itu, Pandunungan telah mencari orang lain untuk memperkuat pasukannya.”

“Orang lain itu tentu akan mengoyak padepokan ini menjadi kepingan-kepingan kecil yang tidak berarti. Jika mereka ikut serta, mereka tentu mempunya maksud yang menguntungkan diri mereka sendiri.”

“Pandunungan mesti menjanjikan sesuatu kepada mereka. Mungkin sebagian isi padepokan ini. Atau mungkin mereka membuat perjanjian khusus yang menyangkut kehidupan orang banyak.”

“Pandunungan mamang gila.”

Ki Wasesa termangu-mangu sejenak. Namun mereka memang tidak melihat apa-apa di sekitar padepokan itu.

Beberapa saat Ki Wasesa dan Mlaya Werdi berada di atas panggungan bambu di belakang dinding padepokan itu. Justru karena mereka tidak melihat sesuatu, maka mereka merasa harus menjadi lebih berhati-hati.

Menjelang sore hari, maka Mlaya Werdi dan para cantrik di padepokan itu merasa sudah siap jika sesuatu terjadi. Mlaya Werdi memerintahkan kepada para cantrik untuk beristirahat sebaik-baiknya.

“Kecuali yang bertugas, kalian sebaiknya beristirat. Besok tenaga kalian akan sangat diperlukan. Pandunungan tentu tidak hanya sekedar mengancam. Tetapi ia akan datang bersama orang-orang yang mungkin akan sangat berbahaya bagi kita.”

Para cantrik itu pun setelah mandi, sebagian besar masih juga duduk berkelompok. Sebagian dari mereka memang nampak menjadi tegang. Terutama para cantrik pemula yang masih belum terlalu lama berada di padepokan itu.

“Jangan cemas,” para cantrik yang sudah lebih lama berada di padepokan itu mencoba menenangkan kegelisahan mereka. “Kita harus mengatur diri. Kita harus berbaur. Mudah-mudahan kami akan dapat membantu kalian.”

Para cantrik yang lebih muda mengangguk-angguk. Tetapi karena mereka masih belum berpengalaman sama sekali, sementara itu mereka baru menguasai dasar-dasar ilmu kanuragan, maka mereka memang menjadi tegang menghadapi serangan yang bakal datang esok pagi.

Sementara itu, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah mempersiapkan anak-anaknya pula. Terutama anak-anak mereka yang terkecil.

“Ingat, Baruni, jangan jauh dari mbokayumu Padmini. Dan kau, Setiti, kau sebaiknya bertempur berpasangan dengan kakakmu Pamekas.”

“Mbokayu Rara Wulan?” bertanya Baruni.

Ki Citra Jati tersenyum. Sementara Padmini pun berdesis, “Bukankah Mbokayu Rara Wulan juga harus bertempur berpasangan?”

Rara Wulan tertawa Katanya, “Aku sudah mempunyai pasangan sendiri, Baruni.”

Yang lain pun tertawa pula.

“Nah, sebaiknya nanti malam kalian beristirahat dengan baik. Aku, ibumu, kakangmu Glagah Putih dan mbokayumu Rara Wulan akan membantu para cantrik yang bertugas. Biarlah Mlaya Werdi dan pamanmu Wasesa dapat beristirahat.”

Anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu mengangguk-angguk. Mereka berempat akan berada di dalam barak itu. Agar mereka besok mendapatkan tenaga sepenuhnya, maka mereka memang harus beristirahat sebaik-baiknya.

Demikian malam turun, maka seisi padepokan itu pun berkumpul untuk makan malam. Kemudian, setelah berbincang-bincang sejenak, sementara Mlaya Werdi dan Ki Wasesa memberikan pesan-pesannya, maka para cantrik itu pun langsung diminta masuk ke dalam barak mereka masing-masing.

“Tidurlah dengan sebaik-baiknya, kecuali mereka yang bertugas.”

Para cantrik itu pun segera pergi ke bilik mereka masing-masing. Mereka berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya pula. Karena itu, maka mereka pun segera berbaring di pembaringan.

Namun ada pula di antara mereka yang tidak segera dapat memejamkan matanya. Mereka yang sama sekali belum pernah melihat pertempuran yang sesungguhnya. Yang mereka lihat selama ini adalah latihan-latihan, meskipun latihan-latihan yang cukup berat.

Di barak yang terpisah, anak-anak Ki Citra Jati ternyata telah membuat kesepakatan tersendiri. Padmini dan Pamekas akan berjaga-jaga berganti-ganti. Pamekas akan berjaga-jaga lebih dahulu sampai menjelang tengah malam. Baru kemudian Padmini akan dibangunkannya.

“Kapan aku dibangunkan?” bertanya Setiti.

“Besok pagi-pagi, menjelang fajar.”

Dalam pada itu, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di pendapa bersama Mlaya Werdi dan Ki Wasesa. Mlaya Werdi masih juga minta maaf kepada Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anaknya, karena telah melibatkan mereka dalam kesulitan.

“Aku justru bersyukur bahwa aku telah mendapat kesempatan untuk ikut menyelamatkan padepokan ini, Mlaya Werdi.”

“Seandainya kita tidak mampu mempertahankannya?”

“Aku berbangga bahwa aku dan keluargaku telah mendapat kesempatan ikut mempertahankannya, meskipun seandainya tidak berhasil. Namun kita mohon kepada Yang Maha Agung, bahwa padepokan ini akan dapat kita pertahankan.”

Mlaya Werdi menarik nafas panjang sambil berdesis, “Ya, Paman.”

Namun dalam pada itu, seorang cantrik telah datang menemui Mlaya Werdi dengan tergesa gesa, Katanya, “Kami telah melihat banyak obor di luar padepokan, Guru. Terutama di depan pintu gerbang padepokan kita.”

Mlaya Werdi mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi iapun bertanya, “Apakah ada tanda-tanda bahwa mereka akan menyerang di malam hari?”

“Kami belum dapat menarik kesimpulan, Guru.”

“Baiklah. Aku akan melihatnya.”

Mlaya Werdip un kemudian berkata kepada sesepuh padepokan itu, “Marilah, Paman dan Bibi. Kita akan melihat mereka.”

Mlaya Werdi, diiringi oleh Ki Wasesa, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan, segera pergi ke pintu gerbang. Mereka pun kemudian memanjat tangga pada panggungan-panggungan bambu di sebelah-menyebelah pintu gerbang padepokan.

Mereka memang melihat obor bertebaran. Di gelapnya malam, obor-obor itu bergerak-gerak seperti burung-burung api dan banaspati yang berterbangan.

Sambil mengangguk-angguk Ki Citra Jati berdesis, “Satu cara yang baik untuk menggertak padepokan ini.”

“Maksud Paman?” bertanya Mlaya Werdi.

“Bukankah dengan demikian, api obor yang bertebaran itu memberikan kesan kegarangan mereka? Mereka berharap bahwa kita membayangkan, di samping mereka yang membawa obor itu, masih terdapat banyak orang yang bersiap untuk menyerang padepokan ini esok.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kesan itulah agaknya yang ingin mereka timbulkan.”

“Tetapi jangan cemas. Jumlah mereka tidak sebanyak yang terkesan pada kehadiran mereka malam ini. Paman-pamanmu yang datang bersama Pandunungan juga bukan orang-orang yang tidak terkalahkan. Demikian pula Ki Puspakajang. Betapapun tinggi ilmunya, tetap ia tentu mempunyai kelemahan.”

“Ya, Paman.”

“Nampaknya mereka akan memusatkan serangan mereka pada pintu gerbang ini,” berkata Ki Wasesa.

“Ya, Paman,” sahut Mlaya Werdi, “nampaknya mereka sudah mempersiapkan alat-alat yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan pintu.”

“Kita harus mengatur pertahanan sebaik-baiknya di sekitar pintu gerbang ini.”

“Ya. Paman. Ada beberapa orang di antara para cantrik yang memiliki kemampuan lebih dari kawan-kawannya mempergunakan busur dan anak panah. Mereka besok akan hadir di panggungan ini untuk menghambat gerak maju para pengikut Pandunungan.”

“Anak-anakku akan dapat berada di panggungan ini bersama para cantrik itu,” berkata Ki Citra Jati.

“Terima kasih, Paman.”

Ki Wasesa pun kemudian berkata, “Biarlah para cantrik yang bertugas mengawasinya. Jika keadaan menjadi gawat, mereka harus segera memberitahukan kepadamu. Tetapi jika waktunya terlalu sempit dan sangat mendesak, biarlah mereka memukul kentongan sebagai isyarat dengan hitungan yang telah ditentukan. Tetapi itu adalah langkah yang terakhir, agar para cantrik tidak menjadi gugup.”

“Ya, Paman,” jawab Mlaya Werdi.

“Sekarang, kita akan beristirahat. Aku kira mereka tidak akan bergerak malam ini. Mereka hanya sekedar membuat kita gelisah.”

“Ya, Paman.”

Ki Wasesa itu pun kemudian bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati turun dan panggungan kecil. Mlaya Werdi masih memberikan beberapa pesan kepada para cantrik yang bertugas. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan menunggunya sampai selesai.

“Jangan terpancang kepada mereka yang membawa obor,” pesan Mlaya Werdi, “awasi pula di bagian samping dan belakang dinding padepokan ini. Mungkin mereka diam-diam berusaha memasuki padepokan ini dari arah lain, jika mereka berhasil memancing seluruh perhatian kita kepada mereka yang berada di arah pintu gerbang.”

“Ya, Guru,” jawab seorang cantrik yang tertua, yang memimpin saudara-saudara seperguruan yang bertugas malam itu.

Mlaya Werdi, Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian menuruni tangga panggungan bambu itu dan berjalan ke pendapa.

“Silahkan Adi berdua beristirahat,” berkata Mlaya Werdi.

“Terima kasih, Kakang. Kami akan menemani Kakang berjaga-jaga.”

“Aku juga segera akan beristirahat. Seperti yang dikatakan oleh Paman Wasesa, agaknya mereka tidak akan menyerang malam ini.”

“Ya, Kakang. Aku menunggu Ayah dan Ibu.”

“Sebenarnya aku tidak ingin melibatkan Adi berdua serta adik-adikku yang lain dalam persoalan ini. Tetapi kalian sudah terlanjur berada di dalam padepokan yang terkepung. Aku tidak tahu, apakah kalian dapat menyesuaikan diri dalam gejolak yang akan terjadi esok?”

“Kami akan berusaha, Kakang. Kami akan berbaur dengan para cantrik. Mudah-mudahan kami tidak justru memperberat tugas mereka karena keberadaan kami.”

“Kami sangat berterima kasih atas kesediaan Paman Citra Jati dan Bibi. Bahkan adik-adikku semuanya. Tetapi seharusnya kami tidak menyeret kalian ke dalam persoalan ini.”

“Seperti yang dikatakan Ayah dan Ibu, kami merasa bangga dapat bersama Kakang bertahan di sini.”

Mlaya Werdi menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Tidurlah. Masih ada waktu. Percayalah bahwa anak-anak akan berjaga-jaga dengan baik. Jika keadaan menjadi gawat, mereka akan segera memberikan isyarat.”

“Baiklah, Kakang,” jawab Glagah Putih, “kami akan kembali ke barak yang Kakang sediakan bagi kami.”

“Beristirahatlah dengan baik.”

“Tetapi Ayah dan Ibu?” desis Rara Wulan.

“Kalian tidak usah menunggu Paman dan Bibi. Mereka sudah lama tidak bertemu dengan Paman Wasesa. Mungkin mereka masih ingin berbincang-bincang.”

“Baiklah. Tolong Kakang sampaikan kepada Ayah dan Ibu, bahwa kami sudah mendahului.”

“Aku akan menyampaikannya. Paman, dan Bibi tentu juga tidak akan lama. Mereka pun perlu istirahat.”

“Kakang sendiri?”

“Ya, aku juga akan segera tidur barang sebentar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera kembali ke barak mereka. Ketika mereka mengetuk pintu perlahan-lahan, Pamekas masih belum tidur. Ia masih belum membangunkan Padmini.

“Silahkan Kakang dan Mbokayu tidur. Aku akan berjaga-jaga. Aku sudah berjanji membangunkan Mbokayu Padmini di tengah malam.”

“Bukankah sekarang sudah tengah malam?”

“Ya. Sebentar lagi aku akan membangunkannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun setelah mencuci kaki dan tangannya, telah berbaring di amben yang besar bersama dengan anak-anak Ki Citra Jati yang lain. Sementara Pamekas masih duduk bersandar dinding.

Ternyata Padmini bangun dengan sendirinya sebelum Pamekas membangunkannya. Ketika Padmini kemudian bangkit berdiri dan berjalan hilir mudik untuk menghilangkan kantuknya, maka Glagah Putih telah tertidur, sementara Rara Wulan justru bangkit dan duduk di tepi amben.

“Kau tidak tidur, Mbokayu?” bertanya Padmini.

“Ya. Sebentar lagi. Rasa-rasanya aku masih belum mengantuk.”

“Sudah lewat tengah malam.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia menjawab, “Sebentar lagi. Biarlah Kakang Glagah Putih tidur lebih dahulu.”

“Begitu cepat Kakang Glagah Putih tidur,” desis Padmini.

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Jika ia ingin tidur, begitu ia berbaring, maka iapun segera tertidur. Tetapi jika ia tidak berniat tidur, maka semalam suntuk matanya tidak terpejam.”

“Mbokayu sendiri?”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kadang-kadang aku tidak dapat tidur meskipun aku ingin.”

“Kakang Glagah Putih tidak pernah mengalami?”

“Tentu sekali-sekali ia pernah mengalami. Tetapi pada dasarnya Kakang Glagah Putih mudah dan cepat tertidur.”

Padmini mengangguk-angguk. Sementara itu Pamekas pun sudah lelap pula. Nafasnya terdengar mengalir dengan teratur.

Beberapa saat kemudian, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati telah datang pula. Mereka pun langsung masuk ke dalam biliknya sambil berpesan, “Usahakan agar kalian mendapat kesempatan beristirahat sebaik-baiknya.”

“Ya, Ayah,” jawab Rara Wulan dan Padmini hampir berbareng. Bahkan Padmini itu berkata pula, “Aku sudah tidur separuh malam. Tetapi Mbokayu Rara Wulan belum.”

“Tidurlah, Rara,” pesan Nyi Citra Jati.

“Ya, Ibu,” jawab Rara Wulan yang kemudian berbaring pula. “Kau sendiri, Padmini?”

“Tidak apa-apa, Mbokayu. Aku sudah cukup beristirahat.”

Ternyata Rara Wulan pun tidak terlalu lama berbaring. Iapun segera tertidur pula.

Di luar, para cantrik yang bertugas mengamati keadaan di luar padepokan di atas panggungan bambu yang telah mereka siapkan. Dua orang di panggungan sebelah-menyebelah regol. Dua orang di sisi kanan dan dua di sisi kiri. Dan empat orang di belakang.

Namun agaknya Pandunungan memang tidak akan menyerang malam itu juga. Bahkan setelah tengah malam, maka sebagian dari obor telah padam. Tinggal satu dua saja oncor yang masih menyala. Agaknya Pandunungan juga memerintahkan orang-orangnya beristirahat dengan baik.

Dalam pada itu, Mlaya Werdi dan Ki Wasesa pun sempat beristirahat pula. Seorang putut yang dianggap memiliki ilmu yang sudah memadai harus menggantikan tugas Mlaya Werdi, ketika Mlaya Werdi pergi ke biliknya.

“Kau sudah sempat beristirahat?”

“Sudah, Guru,” jawab Putut itu.

“Awasi adik-adikmu yang menggantikan mereka yang bertugas sekarang. Setelah kau jelaskan tugas mereka, kau dapat beristirahat lagi. Aku akan segera bangun.”

“Baik, Guru. Sekarang silahkan Guru beritirahat.”

Malam itu tidak terjadi sesuatu yang penting bagi padepokan yang dipimpin oleh Mlaya Werdi itu. Agaknya Pandunungan dan orang- orangnya juga sedang menghimpun kekuatan yang akan dicurahkan di hari berikutnya.

Pagi-pagi sekali, para cantrik yang bertugas di dapur sudah bangun dan menyiapkan makan bagi saudara-saudaranya. Jika pertempuran terjadi dalam waktu yang lama, maka kesempatan untuk makan dan minum menjadi semakin sedikit. Dengan demikian, maka sebelum pertempuran dimulai, maka para cantrik dan seisi padepokan itu harus sudah makan dan minum secukupnya.

Namun dalam pada itu, agaknya Pandunungan juga memperhitungkan kemungkinan seperti itu. Ternyata mereka pun telah mempersiapkannya pula di dini hari. Agak jauh dari padepokan, para cantrik yang bertugas melihat mereka menyalakan api untuk mempersiapkan makan bagi mereka yang berada di sekitar padepokan itu.

“Kakang Pandunungan telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk merebut padepokan ini,” berkata seorang cantrik yang telah terhitung lama berada di padepokan itu.

“Ya,” saudara seperguruannya yang lebih muda menyahut. “Tetapi aku masih belum mengenal Kakang Pandunungan dengan baik. Siapakah sebenarnya yang lebih tua? Kakang Pandunungan atau Guru Mlaya Werdi?”

“Guru lebih tua. Guru adalah murid Ki Brajanata yang tertua. Karena itu, Ki Brajanata pada saatnya telah menyerahkan pimpinan padepokan ini kepada Guru.”

“Kalau begitu, bukankah seharusnya kita menyebutnya Paman Pandunungan?”

“Ya. Tetapi aku sudah terbiasa memanggilnya kakang. Saudara-saudara kita yang sudah seumurku juga memanggilnya kakang. Akhirnya, semuanya memanggilnya kakang. Semula Kakang Pandunungan tidak pernah merasa berkeberatan. Menurut pendapatku, sebenarnya ia orang yang baik. Tetapi agaknya ada orang yang telah menggelitiknya, sehingga tiba-tiba saja ia datang untuk mengambil alih padepokan ini. Dengan demikian ia sudah berani menentang keputusan yang dibuat oleh Ki Brajanata. Itu berarti bahwa Kakang Pandunungan telah berkhianat.”

Cantrik yang lebih muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Sekarang ia datang bersama tiga orang sesepuh padepokan ini.”

“Mereka bukan sesepuh lagi. Agaknya mereka juga-lah yang telah membakar hati Kakang Pandunungan. Bahkan di antara mereka yang datang bersama Kakang Pandunungan adalah Ki Puspakajang.”

“Bukankah Puspakajang itu nama salah satu jenis ular sawah?”

“Ya. Ular jenis Puspakajang adalah ular yang dapat tumbuh menjadi sebesar batang pohon kelapa. Tetapi ular Puspakajang adalah ular yang tidak berbisa. Atau jika ada bisanya, bisanya tidak terlalu tajam.”

“Tetapi ular Puspakajang menghancurkan musuh-musuhnya atau mangsanya dengan kekuatan tubuhnya itu. Yang sempat dililitnya, tulang-tulangnya akan remuk berpatahan.”

“Agaknya Ki Puspakajang juga mengandalkan kekuatan dan tenaga dalamnya.”

“Atau sekedar tertarik pada nama yang manis didengar.”

Keduanya terdiam ketika keduanya melihat dalam keremangan, beberapa orang mendekati pintu gerbang.

“Hanya lima orang,” berkata cantrik yang muda.

Cantrik yang lebih tua, yang bertugas berjaga-jaga pada saat menjelang pagi itu pun berdiri di panggungan bambu dengan tegangnya. Ketika ia melihat kelima orang itu berhenti di depan pintu regol yang tertutup, cantrik itu pun bertanya dengan suara lantang, “Apakah yang kalian kehendaki?”

Kelima orang itu pun menengadahkan wajahnya. Seorang yang berdiri di paling depan pun menjawab, “Kami akan berbicara dengan Mlaya Werdi.”

“Apa yang akan kau bicarakan? Kenapa bukan Pandunungan sendiri yang datang?”

“Aku mengemban kuasanya.”

“Baik. Katakan. Aku mewakili Guru. Aku telah mendapat kepercayaan untuk mengambil segala keputusan jika perlu.”

“Aku perlu Mlaya Werdi.”

“Katakan kepada Pandunungan. Biarlah ia sendiri datang berbicara dengan Mlaya Werdi.”

“Jangan keras kepala. Aku sudah mendapat kuasanya.”

“Kau dengar, bahwa aku berhak mewakili Guru karena aku sudah mendapat wewenangnya. Tetapi jika Pandunungan sendiri datang, aku akan membangunkan Guru.”

“Mlaya Werdi sedang tidur?”

“Ya. Guru sedang tidur. Sejak sore Guru tidur.”

“Dalam ketegangan ini Mlaya Werdi dapat tidur?”

“Kenapa tidak? Bukankah yang terjadi hanya soal kecil saja, yang tidak perlu mendapat perhatiannya dengan sungguh-sungguh?”

“Sombongnya Mlaya Werdi. Ia akan menyesali sikapnya. Ia akan diseret ke depan kaki Kakang Pandunungan. Ia akan menangis dan mohon pengampunannya.”

“Mungkin sekarang Guru baru bermimpi mendaki pelangi bersama-sama para bidadari naik ke bulan.”

“Kau akan menyesali kesombonganmu, cantrik kecil. Aku ingin menangkapmu untuk dijadikan pengewan-ewan.”

“Sudahlah. Kembalilah. Aku hanya akan membangunkan Guru jika yang datang Pandunungan sendiri.”

“Persetan dengan Mlaya Werdi,” geram orang itu. “Jika kau memang berwenang mengambil keputusan, katakan, apakah kalian akan menyerah atau masih berniat untuk melawan? Sebaiknya jangan bersikap bodoh dengan mengorbankan para cantrik yang tidak bersalah.”

Cantrik yang sedang bertugas itu pun menjawab dengan lantang, “Satu pertanyaan yang bodoh. Seharusnya kau sudah tahu jawabnya.”

“Katakan, Kakang Pandunungan hanya memberi waktu sampai matahari terbit. Jika pada saat matahari terbit kalian belum menyatakan kesediaan kalian untuk meninggalkan padepokan ini, terutama Mlaya Werdi, maka padepokan ini akan menjadi karang abang. Kami akan meratakannya dengan tanah. Kemudian di atasnya akan kami bangun sebuah padepokan yang lebih pantas dari gubug-gubug rapuh ini.”

Cantrik yang berada di panggungan itu tertawa. Katanya, “Kau masih sempat membual. Bukankah kalian menjadi iri hati karena padepokan ini tumbuh mekar dan berkembang dengan cepat? Kakang Pandunungan merasa bahwa dirinya tidak akan mungkin dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh Guru, sehingga ia telah berkhianat kepada Kakek Guru, Ki Brajanata.”

“Setan kau. Bangunkah Mlaya Werdi!”

“Untuk apa? Biarlah ia beristirahat. Masalah yang kau bawa adalah masalah yang terlalu kecil untuk dibicarakan dengan Guru. Sekarang kembalilah. Katakan kepada Kakang Pandunungan, bahwa kami sudah siap. Jika Kakang Pandunungan mempunyai pertimbangan lain dan merasa perhitugannya keliru, silahkan meninggalkan padepokan ini. Kami tidak akan memburunya. Bahkan kami akan memaafkannya.”

“Aku akan mengoyak mulutmu!”

Cantrik itu tertawa. Cantrik yang lebih muda itu pun tertawa pula. Bahkan yang lain, yang mendengar percakapan itu pun tertawa pula.

“Setan kau!” orang yang berdiri di depan pintu itu berteriak. Rasanya darahnya telah mendidih di dalam jantungnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Terdengar orang itu mengumpat kasar. Namun kelima orang itu pun kemudian bergegas meninggalkan pintu gerbang padepokan.

Para cantrik yang ada di panggungan itu masih saja tertawa ketika kelima orang itu menjadi semakin jauh.

Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar suara di bawah panggungan itu, “Bagus. Kalian berhasil membuat mereka marah. Pandunungan pun tentu akan marah, sehingga otaknya menjadi keruh.”

Ketika mereka berpaling ke bawah, mereka melihat Mlaya Werdi berdiri di bawah panggungan kecil itu.

“Guru,” desis cantrik yang tertua itu, “maaf jika aku mendahului sikap Guru.”

“Kau sudah benar. Aku setuju dengan sikapmu. Biarlah Pandunungan menjadi marah.”

Cantrik yang tertua itu pun segera turun dari panggungan bambu sambil berkata, “Apakah perintah Guru?”

“Kita harus segera bersiap-siap. Jika otak Pandunungan benar benar menjadi keruh, maka ia akan segera memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang, meskipun matahari belum terbit.”

“Ya, Guru.”

“Tetapi semuanya harus makan dan minum secukupnya. Aku harap semuanya sudah tersedia di dapur.”

Cantrik itu tidak ingin membuat seisi padepokan itu menjadi gugup. Karena itu, maka cantrik itu tidak membunyikan isyarat dengan kentongan. Tetapi cantrik itu pergi dari satu barak ke barak yang lain.

Ternyata sebagian para cantrik memang sudah bangun. Namun mereka masih bermalas-rnalasan karena langit masih gelap.

Tetapi perintah Mlaya Werdi agar para cantrik itu bersiap, telah menggerakkan mereka serentak.

Ada di antara mereka yang berlarian ke pakiwan untuk mandi. Tetapi ada yang langsung berbenah diri sambil berkata, “Buat apa mandi? Di pertempuran debu akan berhamburan mengotori tubuhku.”

“Jika kau tidak lagi sempat mandi?”

“Airnya dapat kau pakai untuk mandi tujuh kali.”

“Kenapa tujuh kali?”

“Bukan hanya aku yang akan tidak sempat mandi.”

“Ah, aku tidak bermaksud berkata seperti itu.”

“Tidak apa-apa. Bukankah wajar bahwa peristiwa seperti itu dapat terjadi di pertempuran yang manapun juga?”

Kawannya itu terdiam. Namun cantrik itu pun kemudian berkata, “Yang penting sekarang, makan dahulu.”

Para cantrik itu pun kemudian menyempatkan diri untuk makan. Mereka duduk bertebaran di sekitar dapur di belakang bangunan induk padepokan itu.

Namun dalam pada itu, demikian mereka selesai makan, terdengar cantrik yang ada di panggungan di sebelah pintu gerbang itu pun berkata lantang, sehingga kawannya yang berada di belakang pintu gerbang mendengarnya, “Mereka mulai bergerak!”

Salah seorang cantrik yang berada di belakang pintu itu pun segera menyampaikan berita itu kepada semua penghuni padepokan.

Mlaya Werdi pun kemudian telah memerintahkan mereka berkumpul di halaman depan pendapa bangunan induk padepokan, kecuali yang bertugas mengawasi gerak mereka yang mendatangi padepokan itu.

“Keberadaan padepokan ini ada di tangan kalian. Jika kalian gagal mempertahankannya, maka padepokan ini akan lenyap dan akan berganti menjadi sarang serigala. Kalian-lah yang harus memikul beban yang diletakkan oleh Ki Brajanata di pundak kalian. Marilah kita berbuat sambil berdoa untuk padepokan ini.”

Pesan Mlaya Werdi memang hanya singkat. Tetapi rasa-rasanya pesan itu telah menghunjam masuk ke dalam jantung mereka.

Sejenak kemudian, maka Mlaya Werdi pun memerintahkan mereka untuk memeriksa semua perlengkapan yang akan mereka pergunakan. Terutama senjata mereka.

“Busur dan anak panah sudah tersedia di setiap panggungan itu, Guru,” berkata seorang cantrik yang mendapat tugas untuk mempersiapkannya.

“Baiklah. Sekarang, bersiaplah. Naiklah ke panggungan itu. Cegah mereka memanjat dinding padepokan. Ingat tempat kalian masing-masing, sebagaimana sudah direncanakan.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian para cantrik itu pun menghambur ke tempat yang sudah ditentukan bagi mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Mlaya Werdi sendiri segera bersiap untuk naik ke panggungan pula di sebelah kanan pintu gerbang. Namun ia masih juga bertanya kepada Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra, “Silahkan, Paman dan Bibi. Apapun yang akan Paman dan Bibi lakukan, aku mengucapkan beribu terima kasih. Aku akan naik ke panggungan bambu di sebelah kanan pintu gerbang.”

“Kami akan berada di panggungan yang sebelah kiri, Mlaya Werdi,” berkata Ki Wasesa.

“Silahkan, Paman.”

“Biarlah Glagah Putih dan Rara Wulan bersamamu, Mlaya Werdi. Sementara adik-adikmu yang lain akan bersamaku,” berkata Ki Citra Jati.

“Silahkan, Paman. Namun jangan bebani adik-adikku tugas yang terlampau berat.”

“Mereka akan bersama kami,” jawab Nyi Citra Jati.

“Adi Glagah Putih dan Rara Wulan sebaiknya juga berada bersama Paman dan Bibi.”

“Biarlah mereka menemanimu. Mereka akan dapat menyesuaikan dirinya.”

Mlaya Werdi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah.” Lalu katanya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “Marilah, Adi berdua. Kita naik ke panggungan di sebelah kanan.”

“Mari, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Kalian harus tetap berada di antara para cantrik. Jangan memisahkan diri. Jika mereka berhasil memecahkan pintu gerbang atau lewat manapun juga memasuki halaman padepokan ini, kalian harus tetap bertempur bersama para cantrik yang sudah aku tentukan Aku tidak ingin tamu-tamuku mengalami kesulitan karena persoalan yang timbul di sini.”

“Terima kasih, Kakang.”

Mereka bertiga pun kemudian telah naik ke panggungan bambu yang memanjang di sebelah kanan pintu gerbang yang tertutup dan diselarak dengan kayu yang tebal.

Meskipun demikian, Mlaya Werdi sudah menduga bahwa pintu gerbang itu tidak akan dapat menahan hentakan-hentakan yang tentu akan dilakukan oleh para pengikut Pandunungan. Agaknya mereka sudah mempersiapkan alat-alat yang memadai untuk itu.

Karena itu, maka Mlaya Werdi telah memerintahkan sekelompok cantrik itu bersiap-siap dengan busur dan anak panah di belakang pintu gerbang. Demikian pintu gerbang itu tidak mampu lagi bertahan dan terbuka, maka para cantrik itu harus segera menyerang mereka yang memasuki pintu gerbang itu dengan anak panah, untuk mengurangi jumlah lawan yang agaknya memang lebih banyak dari para cantrik yang berada di padepokan itu.

Demikian Mlaya Werdi berada di panggungan, maka iapun segera melihat, bahwa sebagian besar dari para pengikut Pandunungan berada di depan padepokan, menebar selebar dinding depan padepokan. Meskipun demikian, agaknya padepokan itu memang sudah dikepung, meskipun hanya ada kelompok-kelompok kecil saja yang berada di samping, apalagi di belakang padepokan. Mereka bertugas untuk mencegah agar tidak ada orang yang sempat melarikan diri dari padepokan. Terutama Mlaya Werdi.sendiri. Perintah Pandunungan kepada orang-orangnya, “Tangkap Mlaya Werdi, Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, hidup atau mati.”

Orang-orang berilmu tinggi yang berpihak kepada Pandunungan telah berjanji kepadanya, bahwa mereka tidak akan melepaskan Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Mereka telah beijanji kepada Pandunungan, bahwa mereka akan menangani para sesepuh yang berada di dalam padepokan itu.

Sementara itu, Ki Ageng Puspakajang pun berkata kepada Pandunungan, “Kau tidak perlu gelisah, Ngger. Orang-orang padepokan itu sengaja membuatmu marah. Nah, kau lihat akibatnya? Kau dengan tergesa-gesa memerintahkan orang-orangmu berangkat, karena jantungmu bagaikan disulut api mendengar laporan orangmu yang pergi ke padepokan itu. Untunglah bahwa segala sesuatunya telah terencana dengan baik, sehingga semuanya dapat berjalan lancar. Meskipun demikian, orang-orangmu makan dengan tergesa-gesa. Mereka menyuapi mulut mereka melampaui ukuran kewajaran, sehingga malahan ada yang tidak segera dapat menelannya. Mereka minum sambil berlari. Dan bahkan mungkin ada di antara orang-orangmu yang masih belum merasa kenyang.”

Pandunungan tidak menjawab. Ia baru merasakan betapa orang-orangnya masih belum mendapat kesempatan untuk membuat ancang-ancang. Tiba tiba saja, demikian ia mendengar laporan dari kepercayaannya yang datang ke padepokan, ia segera menjatuhkan perintah untuk berangkat, sehingga ada yang membenahi pakaiannya sambil bergerak di dalam kelompoknya.

Namun Ki Ageng Puspakajang itu pun berkata, “Tetapi kau belum terlambat memperbaiki kesalahanmu. Jangan dengan serta-merta memerintahkan orang-orangmu untuk menyerang. Biarlah mereka mempersiapkan diri serta alat-alat yang mereka perlukan sebaik-baiknya. Baru setelah kau yakin bahwa segala-galanya telah bersiap dengan baik, kau perintahkan orang-orangmu menyerang. Memecahkan pintu gerbang dan masuk ke dalamnya, menguasai seluruh padepokan.”

“Ya, Ki Ageng,” desis Pandunungan.

Dalam pada itu, Ki Wiratama pun berkata, “Kau masih mempunyai waktu untuk memberi kesempatan kepada orang-orangmu yang belum merasa cukup makan dan minum untuk melakukannya. Kau lihat, bahwa cahaya merah di langit baru mulai membayang. Masih ada waktu menunggu matahari terbit.”

“Apakah mereka harus kembali ke perkemahan?”

“Tidak perlu. Tetapi kau perintahkan dua orang pergi ke perkemahan. Biarlah para pekerja di dapur itu membawa nasi yang masih tersisa kemari.”

“Orang-orang di padepokan itu akan melihatnya?”

“Tunjukkan kepada mereka, bahwa kau pun tidak harus menghadapi padepokan itu dengan tegang. Biarlah orang-orangmu makan seenaknya. Bukankah segala sesuatunya tergantung kepadamu? Kau-lah yang akan menyerang mereka. Bukan mereka yang akan menyerangmu. Seperti mereka, kau harus menunjukkan bahwa kau menganggap isi padepokan itu tidak banyak berarti. Sambil bermain-main kau akan dapat melakukannya.”

“Jadi?”

“Biarlah orang-orangmu nampak tidak dicengkam dalam ketegangan.”

Pandunungan termangu-mangu. Namun Ki Sura Alap-Alap menambahkannya, “Padepokan itu tidak akan lari. Kita tidak sangat terikat pada saat matahari terbit, meskipun kita akan berusaha tidak terlalu lambat.”

“Aku setuju,” berkata Ki Mandira Wilis. “Kenapa harus menghadapi mereka dengan penuh ketegangan? Jika kau tidak dapat mengendalikan perasaanmu, maka itu merupakan salah satu kelemahanmu yang berbahaya.”

“Lakukan apa yang dikatakan oleh paman-pamanmu itu, Pandunungan,” berkata Ki Ageng Puspakajang.

Pandunungan menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun memerintahkan dua orang pengikutnya untuk kembali ke perkemahan mereka, yang sudah mereka tinggalkan dengan tergesa-gesa karena Pandunungan merasa sangat tersinggung oleh cantrik yang tidak mau memanggil Mlaya Werdi dan menganggap kekuatannya bukan apa-apa.

Beberapa saat kemudian, para pekerja di dapur benar-benar telah membawa beberapa bakul nasi dan lauk-pauk seadanya. Beberapa orang memang merasa masih belum cukup kenyang, sehingga mereka merasa perlu untuk makan lagi. Tetapi sebagian besar dari mereka sudah tidak memerlukannya lagi.

Mlaya Werdi dan mereka yang berada di padepokan memperhatikan gerak-gerik dan tingkah-laku para pengikut Pandunungan itu dengan heran. Kenapa mereka nampak begitu tergesa-gesa mendekati padepokan, namun kemudian mereka berhenti dan membiarkan beberapa orang di antara mereka untuk makan.

“Apa maksud mereka?” desis Mlaya Werdi.

Glagah Putih-lah yang menyahut, “Justru karena Pandunungan tergesa-gesa memerintahkan pasukannya berangkat, maka ada di antara mereka yang tidak sempat makan atau masih belum cukup banyak.”

“Tetapi mereka nampaknya sama sekali tidak berniat segera menyerang.”

“Agaknya Pandunungan baru sadar, bahwa ketergesa-gesaannya tidak menguntungkan. Atau mungkin orang-orang tua yang ada di dalam pasukannya telah mencegahnya memerintahkan menyerang sebelum matahari terbit.”

“Kenapa?”

“Hanya satu kemungkinan.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun kemudian ia melihat satu dua orang dari para pengikut Pandunungan itu berteriak, “He, Mlaya Werdi! Apakah kau sudah sempat makan? Jika belum, di sini masih terdapat banyak sisa makanan. Kemarilah. Makanlah di sini bersama kami. Kami tidak akan meracunimu.”

“Apa maksudnya?” Mlaya Werdi menjadi tegang.

Tetapi Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Mereka ingin membalas membuatmu marah.”

Sementara itu seorang lagi di antara mereka berteriak, “Mlaya Werdi! Kau harus makan sebanyak-banyaknya. Kesempatanmu kali ini adalah yang terakhir. Kau akan mati di pertempuran ini, sehingga kau tidak akan pernah dapat makan lagi.”

“Gila,” geram Mlaya Werdi.

Namun Glagah Putih berkata, “Jika Kakang menjadi marah, maka tidak akan ada bedanya antara kau dan Pandunungan.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Menunggu mereka menyerang. Biarkan saja mereka berbuat apa saja.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Sementara itu masih ada beberapa orang yang berteriak-teriak.

Beberapa orang cantrik menjadi tidak sabar melihat sikap beberapa orang yang berada di depan padepokan. Namun Ki Citra Jati telah menenangkan mereka. Katanya, “Bukankah kita tidak akan membuka pintu gerbang dan menyerang mereka? Karena itu, apa saja yang mereka lakukan, biarkan saja. Kita anggap sebagai tontonan yang menggelikan. Bukankah tingkah laku mereka tidak ubahnya tingkah laku badut-badut dalam pertunjukan tari topeng?”

Cantrik-cantrik itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, masih juga ada yang menghentak-hentakkan kakinya karena kemarahannya yang bergejolak di dalam dadanya.

Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Nah, jika kita tidak menanggapi sikap mereka, maka mereka akan menjadi jengkel sendiri. Lihat, mereka yang berteriak-teriak menjadi semakin lama semakin kasar.”

Mlaya Werdi mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian tersenyum.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin terang. Cahaya fajar menjadi semakin kekuning-kuningan. Pandunungan sendiri rasa-rasanya menjadi tidak sabar menunggu matahari terbit.

“Pandunungan,” berkata Ki Ageng Puspakajang, “kita mempunyai keuntungan karena pintu gerbang padepokan itu menghadap ke timur, meskipun bangunan induknya menghadap ke selatan.”

“Keuntungan apa, Eyang?”

“Pada saat matahari terbit, kita akan menyerang mereka dari arah depan padepokan. Sedangkan di arah lain, kita hanya menempatkan kelompok-kelompok kecil unuk mengawasi jika ada yang berusaha melarikan diri.”

Pandunungan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti, Eyang. Mlaya Werdi dan orang-orangnya akan menghadap ke arah matahari terbit.”

“Ya. Mereka akan menjadi silau. Bukankah itu satu keuntungan bagimu?”

“Ya, Eyang.”

“Jika kau tergesa-gesa menyerang sebelum matahari terbit, maka keuntungan karena tingkah laku alam itu tidak kau manfaatkan dengan baik. Kau dan orang-orang di belakang dinding padepokan itu berada dalam keadaan yang sama. Ketika kemudian matahari terbit dan mereka mulai menjadi silau, maka kau telah menderita banyak kerugian yang sebenarnya tidak perlu.”

Pandunungan mengangguk-angguk sambil menjawab perlahan, “Ya, Eyang.”

Sementara itu di atas panggungan, Glagah Putih berkata kepada Mlaya Werdi, “Kakang, sebentar lagi matahari akan terbit. Jika Pandunungan menyerang, maka mereka akan mempunyai keuntungan karena padepokan ini menghadap ke timur.”

Mlaya Werdi menganggak-angguk. Katanya, “Ya, Di. Pada saat-saat tenang dan damai, kami tidak pernah memikirkannya. Tetapi dalam keadaan seperti ini, maka agaknya arah pintu gerbang ini harus dipertimbangkan lagi. Agaknya kami agak terikat pada arah jalan beberapa puluh patok di depan padepokan ini.”

“Kita harus memperhitungkan arah matahari terbit.”

“Ya, Di.”

“Para cantrik harus berusaha membidikkan arah anak panah tidak tepat ke arah matahari terbit. Meskipun dengan demikian sasaran bidikan panah kita tidak mengarah kepada orang-orang yang tepat berada di depan kita.”

“Aku mengerti, Di,” sahut Mlaya Werdi.

Sebelum pertempuran itu mulai, maka Mlaya Werdi pun lelah menyampaikan perintah dan petunjuk-petunjuknya kepada para cantrik, untuk sedikit mengurangi silaunya cahaya matahari pagi.

Beberapa saat kemudian, mulai terdengar aba-aba di pasukan yang mengepung padepokan itu. Aba-aba itu pun menjadi isyarat pula bagi para cantrik untuk bersiap, karena lawan mereka mulai bergerak.

Para cantrik pun kemudian telah mempersiapkan senjata mereka. Yang mendapat tugas untuk menahan arus laju pasukan yang akan menyerang padepokan itu dengan busur dan anak panah, telah siap dengan busur mereka.

Anak-anak Ki Citra Jati pun teiah menggenggam busur di tangan.

“Mereka banyak belajar mempergunakan busur dan anak panah,” berkata Ki Citra Jati, “biarlah mereka mencoba membidik sasaran yang bergerak. Biasanya mereka mempergunakan sasaran yang diam, meskipun sekali-sekali mereka juga berlatih dengan orang-orangan yang diayun di pepohonan.”

“Hati-hati, Ngger,” pesan Ki Wasesa, “nampaknya di antara lawan juga ada yang akan melindungi kawan-kawan mereka dengan anak panah.”

“Ya, Paman. Kami akan berhati-hati,” Padmini-lah yang menyahut.

Di panggungan yang lain, Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata juga telah menggenggam busur. Seperti Ki Wasesa, Mlaya Werdi pun berpesan, “Hati-hatilah dengan anak panah lawan, Di.”

“Ya, Kakang. Kami akan berhati-hati.”

Meskipun kemampuan bidik Glagah Putih tidak setajam Agung Sedayu, namun Glagah Putih pun memiliki kelebihan. Demikian pula Rara Wulan, yang cukup lama berlatih mempergunakan busur dan anak panah.

Ketika cahaya langit menjadi semakin terang, maka pasukan Pandunungan telah benar-henar bersiap. Mereka tinggal menunggu matahari muncul dari balik cakrawala.

Angin terasa semilir menggerakkan dedaunan. Di kejauhan terdengar kicau burung menyongsong terbitnya matahari. Butir-butir embun di dedaunan pun masih nampak berkilauan memantulkan cahaya langit yang cerah.

Terdengar Pandunungan berteriak, menjatuhkan perintah kepada pasukannya untuk mulai bergerak berbareng dengan terbitnya matahari.

“Mereka telah memilih waktu yang tepat,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Kita harus pandai-pandai mencari kemungkinan di silaunya cahaya matahari pagi.”

Namun seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka mereka tidak membidik sasaran yang tepat berada di arah matahari. Mereka dapat sedikit menghindari silaunya cahaya matahari yang baru terbit itu.

Namun beberapa orang cantrik tidak lagi berusaha membidik. Mereka tahu bahwa sasarannya terhambur di hadapan mereka. Tanpa membidik pun mereka akan dapat mengenai salah seorang di antara mereka.

Beberapa orang yang langsung menuju ke pintu gerbang telah mengusung sebuah balok yang cukup besar. Dengan balok itu mereka akan memecahkan pintu gerbang padepokan.

“Mereka tentu akan dapat memecahkan pintu,” berkata Mlaya Werdi.

“Bukankah para cantrik sudah siap untuk menyambut mereka?”

“Ya. Kita yang sekarang berada di sini akan berusaha mengurangi jumlah mereka. Jumlah mereka memang lebih banyak dari jumlah para cantrik. Belum terhitung mereka yang berada’di sisi padepokan, dan barangkali di belakang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Diamatinya semua gerak para pengikut Pandunungan dengan saksama. Dengan derap yang mantap mereka bergerak maju. Agaknya mereka yakin, bahwa mereka  akan dapat merebut padepokan yang ditinggalkan oleh Ki Brajanata itu.

Ketika mereka mulai mendekati dinding padepokan, maka beberapa orang yang membawa perisai mulai menempatkan diri di paling depan. Mereka akan menangkis serangan-serangan anak panah yang sudah mereka perhitungkan sebelumnya.

Mlaya Werdi masih belum memberikan perintah untuk mulai menyerang. Namun demikian mereka memasuki jarak jangkau anak panah yang dilontarkan dari busurnya, maka Mlaya Werdi pun telah memerintahkan membunyikan bende.

Pandunungan agak terkejut mendengar suara itu. Sebelumnya, padepokan itu tidak pernah memperdengarkan suara bende untuk memberikan aba-aba atau perintah apapun.

Ternyata suara bende itu berpengaruh juga. Suara bende yang berkepanjangan itu telah membuat Pandunungan dan para pengikutnya menjadi berdebar-debar.

Tetapi Ki Ageng Puspakajang yang melihat ketegangan di wajah Pandunungan itu pun berkata, “Suara itu menggelisahkanmu?”

“Telingaku terganggu mendengar suara itu,” jawab Pandunungan.

“Ternyata Mlaya Werdi dan para cantrik di padepokan itu cukup cerdik memanfaatkan gejolak perasaan lawannya, dan setelah kau dibuat menjadi marah, sekarang jantungmu telah digelitik agar menjadi panas.”

Pandunungan tidak menjawab.

Namun perhatian Pandunungan memang beralih untuk sesaat. Suara bende itu sangat menjengkelkannya. Sementara itu ia tidak tahu pasti, aba-aba apa yang diberikan oleh Mlaya Werdi dengan bunyi bende itu.

Ternyata tidak ada satu pun yang dilakukan oleh para cantrik yang berada di panggungan, di belakang dinding padepokan. Bende itu sudah berbunyi beberapa lama, namun belum ada gerakan apa-apa yang mereka perbuat.

“Buat apa bende itu dibunyikan berkepanjangan?” bertanya Pandunungan kepada Ki Ageng Puspakajang.

“Mana aku tahu? Tetapi jangan hiraukan suara bende itu. Pusatkan perhatianmu pada sasaran. Kau telah dibantu oleh alam. Mereka benar-benar menjadi silau oleh cahaya matahari yang baru terbit itu.”

Pandunungan mengangguk-angguk. Ia mencoba untuk tidak mendengarkan suara bende yang berkepanjangan itu.

Namun ternyata sejenak kemudian suara bende itu berhenti. Sekali lagi Pandunungan terkejut. Demikian suara itu lenyap, maka dari balik dinding itu seakan-akan memancar anak panah dari busurnya.

“Gila, Mlaya Werdi,” geram Pandunungan, “ternyata perintah itu berlaku justru pada saat suara bende itu berhenti.”

Ki Ageng Puspakajang justru tertawa. Katanya, “Kakangmu itu mempunyai selera kelakar yang tinggi. Dalam keadaan yang menegangkan, ia masih sempal bergurau dengan aba-abanya.”

Pandunungan sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu bagi Ki Ageng Puspakajang sehingga orang tua itu tertawa berkepanjangan seperti suara bende itu.

Curahan anak panah dari busur-busurnya di atas panggungan itu memang mengejutkan. Ternyata anak panah yang meluncur pertama kali telah berhasil mematuk dada seorang pengikut Pandunungan yang lengah, karena perhatiannya masih saja tertuju kepada suara bende yang tiba-tiba berhenti itu.

Dengan geram maka Pandunungan pun berteriak, “Pecahkan pintu gerbang itu!”

Orang-orang yang mengusung balok kayu yang besar itu pun telah berlari-lari langsung menuju ke pintu gerbang. Mereka memanggul balok yang besar itu. Dengan hentakan yang keras, mereka berharap pintu gerbang itu pecah atau selaraknya patah, sehingga pintu itu pun terbuka.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera bergeser selangkah. Mereka mulai menarik busur mereka.

Ketika anak panah Glagah Putih dilepaskan, maka anak panah itu meluncur dengan derasnya. Suaranya berdesing seperti suara gasing.

Ternyata anak panah itu tepat mengenai dada seorang di antara mereka yang mengusung balok kayu itu. Terdengar orang itu berteriak. Tubuhnya terlempar dan jatuh berguling di tanah.

Orang yang berdiri di belakangnya hampir saja jatuh tertelungkup karena kakinya terantuk kawannya yang dikenai anak panah itu.

Belum lagi gema teriakan itu hilang, maka seorang lagi mengaduh tertahan. Sebuah anak panah yang dilontarkan oleh Rara Wulan telah mengenai pundaknya.

Pandunungan yang melihat kedua orangnya terkena anak panah itu berteriak marah. Diperintahkannya mereka yang membawa perisai untuk lebih berhati-hati.

“Lindungi mereka dengan baik!”

Empat orang yang membawa perisai dengan cepat berlari di sebelah-menyebelah beberapa orang yang mengusung balok kayu itu.

Namun dalam pada itu, anak panah pun meluncur semakin banyak. Bukan hanya anak panah Glagah Putih dan Rara Wulan, tetapi anak-anak Ki Citra Jati juga telah melontarkan anak panah mereka dari panggungan yang berbeda.

Namun para pengikut Pandunungan pun tangkas pula. Orang-orang baru segera berlari mengisi kekosongan di antara mereka yang mengusung balok kayu itu.

Ketika balok kayu itu menghantam pintu gerbang, maka seakan-akan seluruh padepokan itu bergetar. Namun hentakan pertama masih belum berhasil memecahkan pintu padepokan atau mematahkan selaraknya.

Karena itu, maka orang-orang yang memanggul balok kayu itu harus mundur untuk mengambil ancang-ancang. Sementara itu, anak panah pun meluncur semakin deras dari panggungan di balik dinding padepokan di sebelah-menyebelah pintu gerbang.

Di bentangan dinding padepokan yang menghadap ke timur itu, para cantrik masih terus melontarkan anak panah mereka. Sebagian dari mereka sama sekali tidak membidik. Mereka luncurkan anak panah mereka seakan-akan dengan mata terpejam, karena cahaya matahari yang silau.

Tetapi karena sasaran mereka menebar, maka ada juga anak panah itu yang mengena. Namun sebagian dari anak panah itu telah mengenai perisai dan langsung jatuh di tanah. Sementara itu para pengikut Pandunungan pun telah membalas serangan anak panah itu dengan anak panah pula. Mereka mempunyai kesempatan membidik lebih baik. Tetapi para cantrik berada di belakang dinding, sehingga sebagian besar tubuh mereka pun terlindung. Hanya mereka yang nasibnya sangat buruk sajalah yang dapat tersentuh oleh anak panah para pengikut Pandunungan.

Para pengikut Pandunungan itu pun berusaha untuk berlari lebih cepat, agar mereka segera mencapai dinding padepokan Ada di antara mereka yang membawa tali. Ada yang membawa tangga bambu yang akan mereka pergunakan untuk memanjat.

Demikianlah, mereka yang lebih dahulu mencapai dinding padepokan langsung melemparkan tali-tali yang ujungnya berjangkar. Jangkar-jangkar itu pun mengait bibir dinding padepokan. sehingga tali itu akan dapat dipergunakan untuk memanjat naik.

Tetapi para cantrik yang berada di panggungan telah bersiap dengan senjata mereka. Ketika mereka tidak mungkin lagi menyerang dengan anak panah, maka mereka mempergunakan tombak pendek atau pedang telanjang di tangan mereka.

Ternyata bahwa para pengikut Pandunungan itu sudah kehilangan beberapa orang kawan mereka sebelum mereka berhasil memasuki halaman padepokan.

Dalam pada itu, orang-orang yang memanggul balok kayu masih mencoba menghentak pintu gerbang dinding padepokan. Ketika balok kayu itu menghentak untuk kelima kalinya, maka selarak pintu gerbang padepokan itu mulai retak.

Seorang cantrik yang sudah berada di tataran yang tinggi, segera memimpin beberapa orang saudara seperguruanma, berlutut beberapa langkah di depan pintu gerbang yang hampir terbuka itu. Di tangan mereka tergenggam busur dengan anak panah yang sudah melekat. Sementara itu, di lambung mereka tergantung bumbung yang berisi beberapa anak panah pula.

Ketika terdengar hentakan sekali lagi pada pintu gerbang itu, maka selarak pintu itu benar-benar telah patah. Dengan penuh tenaga beberapa orang yang berada di luar telah mendorong pintu gerbang itu sehingga terbuka.

Namun demikian pintu gerbang itu terbuka, serta beberapa orang berdesakan masuk, maka anak panah pun telah meluncur dari busurnya. Beberapa orang cantrik yang berlutut pada satu barisan itu telah melepaskan anak panah mereka hampir serentak.

Terdengar teriakan-teriakan bagaikan mengoyak langit. Orang-orang yang berdesakan memasuki pintu gerbang itu berhenti. Beberapa orang berteriak kesakitan, tetapi yang lain berteriak karena kemarahan yang menghentak-hentak di dada mereka.

Beberapa orang memang jatuh tersungkur. Beberapa orang tergores lengannya. Bahkan ada yang tergores telinganya.

Para cantrik itu sempat meluncurkan anak panah berikutnya dan berikutnya. Tetapi para pengikut Pandunungan itu sudah bersiap untuk menghadapinya. Yang memegang perisai segera bergeser  ke depan. Yang lain menangkis dengan pedang atau dengan senjata-senjatanya yang lain.

Ketika para cantrik tidak sempat lagi memasang anak panah di busurnya, mereka pun segera melepaskan busur mereka dan segera menarik pedang yang mereka sarungkan di lambung.

Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Para cantrik harus menghadapi lawan mereka dengan senjata di tangan.

Beberapa orang pengikut Pandunungan yang berusaha memanjat dinding padepokan dan masih belum berhasil segera mengurungkan niatnya. Mereka pun segera berlari-lari ke pintu gerbang dan memasuki padepokan sambil mengacu-acukan senjata mereka.

Beberapa orang cantrik yang berada di panggungan pun segera berloncatan turun. Mereka pun segera melibatkan diri dalam pertempuran yang terjadi di halaman padepokan, namun kemudian seperti air, mengalir kemana-mana.

Mlaya Werdi masih berada di panggungan bersama Glagah Putih dan Rara Wulan serta beberapa orang cantrik.

“Apakah kita akan segera turun?” bertanya Glagah Putih.

Mlaya Werdi memang belum begitu mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan. Karena itu, maka katanya, “Apakah kalian berada saja di panggungan bersama beberapa orang cantrik, sampai aku memberikan isyarat?”

“Aku akan turun bersama Kakang.”

“Keadaannya tidak menguntungkan, Adi.”

“Tetapi kami sudah berniat untuk membantu Kakang Mlaya Werdi. Betapapun kecilnya bantuan kami.”

Mlaya Werdi menarik nafas panjang. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi biarlah para cantrik ini menyertai kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak menjawab.

Demikianlah, maka Mlaya Werdi pun segera turun dari panggungan. Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera turun pula diikuti oleh beberapa orang cantrik yang akan mengawal mereka memasuki gelanggang pertempuran.

Pertempuran semakin lama menjadi semakin menebar kemana-mana. Meskipun jumlah para pengikut Pandunungan sudah berkurang, tetapi jumlah mereka masih tetap lebih banyak dari jumlah para cantrik.

Dengan demikian para cantrik harus berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk dapat bertahan.

Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang berada di panggungan pun segera turun pula. Mereka tidak dapat sekedar menyaksikan pertempuran itu dari panggungan, sementara para cantrik harus mengerahkan kemampuan mereka.

Anak-anak Ki Citra Jati pun telah turun dari panggungan pula. Hampir berbisik Nyi Citra Jati pun berpesan kepada Padmini, “Ajak adikmu Pamekas untuk mengawasi Setiti dan Baruni. Jangan biarkan mereka berdua terjun di medan perang yang nampaknya ganas ini.”

“Ya, Ibu.”

“Nampaknya orang-orang yang dibawa oleh Pandunungan adalah orang-orang yang sulit untuk mengekang diri.”

“Ya, Ibu.”

“Kakangmu Glagah Putih dan mbokayumu Rara Wulan bersama dengan kakangmu Mlaya Werdi.”

“Ya, Ibu,” Padmini mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian maka anak-anak Ki Citra Jati itu pun telah terjun pula ke medan pertempuran bersama para cantrik. Tetapi seperti pesan Ny Citra Jati, Padmini dan Pamekas tidak melepaskan Setiti dan Baruni.

“Kalian tidak boleh berbuat sesuka hati kalian,” pesan Padmini, “kalian berdua harus selalu berada bersama aku dan kakangmu Pamekas.”

Setiti dan Baruni mengerti bahwa saudaranya tidak ingin membiarkan mereka mendapat kesulitan, sehingga karena itu maka keduanya pun tidak berniat meninggalkan kedua orang kakak angkatnya itu. Mereka pun menyadari bahwa pertempuran itu merupakan arena yang sangat berbahaya bagi mereka.

Namun kehadiran anak-anak angkat Ki Citra Jati bersama beberapa orang cantrik itu sempat mempengaruhi keadaan arena pertempuran. Apalagi ketika Ki Wasesa mulai terjun pula di arena.

Pandunungan yang ada di antara para pengikutnya bertempur dengan garang sekali. Para cantrik akan mengalami kesulitan untuk dapat mendekatinya. Satu dua cantrik telah terlempar dari arena ketika mereka mencoba mendekatinya.

Namun Pandunungan pun segera mendapat laporan, bahwa para pengikutnya mengalami kesulitan ketika mereka bertemu dengan Ki Wasesa.

“Paman Wasesa terjun langsung di medan pertempuran?”

Pengikutnya yang melaporkannya itu pun menjawab, “Ya, Ki Pandunungan. Ki Wasesa sendiri sudah berada di medan.”

“Bagaimana dengan Kakang Mlaya Werdi?”

“Agaknya Ki Mlaya Werdi berada di tempat lain. Aku tidak melihatnya.”

“Aku akan berbicara dengan Paman Vviratama, Paman Sura Alap-Alap, Paman Mandira Wilis dan Eyang Puspakajang.”

Pandunungan tidak menunggu lagi. Iapun bergerak mundur untuk menemui paman-pamannya dan Ki Ageng Puspakajang.

Mendengar laporan Pandunungan, Ki Wiratama tertawa. Katanya, “Kakang Wasesa memang seorang yang aneh. Ia masih saja senang bermain-main dengan anak-anak. Tetapi baiklah, aku akan menemuinya. Bagaimana dengan pamanmu Citra Jati dan bibimu Nyi Citra Jati?”

“Belum ada laporan, Paman.”

“Mungkin mereka menjadi cemas bahwa para cantrik padepokan ini akan segera dimusnahkan, sehingga mereka merasa perlu untuk segera terjun membantu para cantrik.”

“Aku akan mencari Kakang Mlaya Werdi,” berkata Pandunungan kemudian.

“Berhati-hatilah,” pesan Ki Mandira Wilis.

“Ya, Paman.”

“Sebelumnya, temui eyangmu Ki Ageng Puspakajang.”

“Eyang ada dimana, Paman?”

“Eyangmu masih ada di luar. Nampaknya eyangmu tidak tergesa-gesa. Ia baru melihat-lihat dinding padepokan ini.”

“Baik, Paman. Tolong, agar Paman Wasesa tidak menghabiskan orang-orangku.”

Ki Sura Alap-Alap tertawa. Katanya, “Pamanmu Wasesa bukan Bahu Reksa lingkungan ini yang mempunyai kuasa besar sekali. Aku akan menghadapinya dan membunuhnya.”

“Jika Citra Jati dan istrinya benar-benar ikut campur, ia akan menyesal. Kami akan menyelesaikannya. Pada saat kami bersama-sama berada di padepokan ini, Citra Jati suami istri memang orang-orang terbaik di padepokan ini. Tetapi mereka menjadi mabuk oleh kelebihan mereka, sehingga mereka tidak lagi merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Karena itu, aku yakin bahwa ilmuku sekarang lebih baik dari ilmu mereka,” berkata Ki Wiratama.

“Kami akan mengejutkan mereka,” berkata Ki Mandira Wilis.

“Baik, Paman. Aku akan menemui Eyang Puspakajang.”

“Ia tidak akan menemukan lawan yang akan dapat mengimbangi ilmunya, bahkan seandainya seisi padepokan ini bergabung bersama-sama.”

“Ya, Paman. Biarlah Mlaya Werdi menyesali kesombongannya itu. Aku-lah yang akan menghadapinya. Meskipun Kakang Mlaya Werdi adalah murid tertua Paman Brajanata, tetapi aku akan menyelesaikannya dengan cepat. Ia tidak tahu bahwa aku sudah meningkatkan ilmuku sejak aku bertemu dengan Eyang Puspakajang.”

“Pergilah.”

Pandunungan itu pun segera meninggalkan pamannya uniuk menemui Ki Ageng Puspakajang. Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Seperti yang dikatakan oleh paman-paman Pandunungan, Ki Ageng Puspakajang masih berada di luar pintu gerbang padepokan.

“Eyang,” desis Pandunungan.

Ki Ageng Puspakajang berpaling.

“Apa yarg sedang Eyang kerjakan?”

“Aku kagumi cara perguruanmu membuat dinding melingkari padepokan ini.”

“Apa yang Eyang kagumi?”

“Dinding ini kuat sekali. Meskipun hanya terbuat dari kayu, tetapi sulit untuk menembusnya.”

“Eyang,” berkata Pandunungan kemudian.

“Ada apa?”

“Perang telah berlangsung beberapa lama.”

“Aku sudah mengerti.”

“Semua orang sudah melibatkan diri.”

“Kau ingin aku terlibat langsung sekarang?”

“Aku hanya mohon Eyang menyaksikan pertempuran itu.”

Ki Ageng Puspakajang tersenyum. Katanya, “Kau memancingku untuk turun ke gelanggang.”

“Nampaknya Paman Wasesa, Paman Citra Jati dan Bibi Citra Jati juga sudah turun ke medan. Biarlah Mlaya Werdi aku hadapi. Aku ingin membuktikan bahwa aku lebih baik dari Mlaya Werdi.”

Ki Puspakajang itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Aku akan melihat medan.”

Pandunungan pun kemudian mengikuti Ki Ageng Puspakajang memasuki pintu gerbang padepokan yang terbuka lebar. Bahkan sudah tidak ada lagi seorangpun yang berada di luar, kecuali Ki Ageng Puspakajang dan Pandunungan.

Kemudian keduanya pun segera memasuki pintu gerbang pula. Sejenak Ki Ageng Puspakajang termangu-mangu.

“Dimana paman-pamanmu?”

“Di sisi utara.”

Ki Ageng Puspakajang mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya semua orang sudah melibatkan diri.”

Sebenarnyalah Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati sudah terlibat

Ki Wasesa yang melihat jumlah mereka yang menyerang padepokan itu lebih banyak dari para cantrik, tidak dapat tinggal diam. Ia tidak dapat membiarkan isi padepokan itu benar-benar dibinasakan oleh para pengikut Pandunungan. Karena itu, maka Ki Wasesa itu pun segera telah menceburkan diri ke api pertempuran.

Beberapa saat lamanya Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati masih berdiri termangu-mangu. Namun para pengikut Pandunungurtlah yang dalam kelompok-kelompok menyerang mereka.

Dengan demikian maka Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah bertempur pula melawan mereka.

Namun orang-orang yang telah menyerang Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun harus menghadapi kenyataan bahwa seakan-akan di sekitar kedua orang itu telah melingkar perisai yang sulit untuk dapat ditembus.

Namun sejenak kemudian Ki Wiratama, Ki Sura Alap-Alap dan Ki Mandira Wilis telah hadir pula di pertempuran.

“Wasesa,” berkata Ki Sura Alap-Alap, “tandangmu seperti seekor harimau yang terluka. Tetapi seharusnya kau malu kepada dirimu sendiri. Sasaranmu tidak lebih dari tikus-tikus kecil yang merubungmu.”

“Salah mereka,” jawab Ki Wasesa, “kenapa mereka mengganggu harimau yang sedang tidur.”

Ki Sura Alap-Alap tertawa. Katanya, “Kau masih dapat berbangga. Tetapi baiklah, sekarang aku ada di sini.”

“Kau mau apa, Sura Alap-Alap?”

“Aku datang untuk membunuhmu. Jangan menyesali dirimu jika kau akan mati di sini.”

“Tidak. Aku tidak akan menyesal seandainya aku akan mati di sini. Tetapi aku pun tidak akan menyesal jika aku harus membunuh di sini.”

“Siapakah yang akan kau bunuh?”

“Aku sudah membunuh. Lihat di sekitarmu. Ada beberapa orang yang terkapar karena mereka telah menyerangku. Sekarang, kau-lah yang datang. Sebentar lagi kau-lah yang akan terkapar seperti mereka.”

Ki Sura Alap-Alap itu tertawa. Katanya, “Kau aneh-aneh saja, Wasesa. Kau kira bahwa kau akan dapat mengalahkan aku?”

“Aku tidak hanya mengira, Sura Alap-Alap. Tetapi aku yakin bahwa aku akan dapat membunuhmu.”

Ki Sura Alap-Alap tertawa semakin keras. Katanya, “Kau masih juga sempat berkelakar. Baiklah, sekarang bersiaplah. Kita akan menguji diri, siapakah yang terbaik di antara kita. Kau yang melindungi Mlaya Werdi, yang telah dengan tamaknya menguasai padepokan ini. Sementara aku berusaha menegakkan kebenaran di atas perguruan kita. Atau bahkan mungkin justru kau dan Citra Jati serta istrinya itulah yang telah membujuk Mlaya Werdi untuk menguasai padepokan ini dengan cara yang tidak sah itu.”

“Kau dapat berbicara apa saja, Sura Alap-Alap. Tetapi bersiaplah untuk mati. Aku bukan orang yang mampu mengendalikan perasaan yang sedang bergejolak.”

Sura Alap-Alap pun segera bersiap. Sementara itu pertempuran pun berlangsung semakin lama semakin seru.

Dalam pada itu, Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis telah berhadapan pula dengan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Dengan nada tinggi Ki Wiratama pun berkata, “Citra Jati. Jika kau masih serba sedikit mempunyai sisa-sisa persaudaraan di antara kita, sebaiknya kau tidak melibatkan diri. Kau dan Nyi Citra Jati sebaiknya meninggalkan padepokan ini dan tidak kembali lagi.”

“Kami sudah berada di sini, Wiratama. Sudah tentu kami tidak dapat begitu saja pergi dan membiarkan Pandunungan berbuat kesalahan yang sangat besar. Sebaiknya kau juga harus ikut berusaha mencegahnya. Bukan sebaliknya, kau justru membantu Pandunungan itu melakukan kesalahan yang akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk itu.”

“Kau masih juga tercemar oleh racun yang ditaburkan oleh Wasesa itu?”

“Sama sekali tidak, Wiratama. Tetapi aku yakin akan apa yang aku lakukan di padepokan ini.”

“Sebenarnya aku kasihan kepada Nyi Citra Jati. Seharusnya Nyi Citra Jati tidak kau bawa ke neraka ini.”

“Bukan Kakang Citra Jati yang mengajakku, Wiratama. Tetapi aku sendiri memang sudah rindu untuk mengunjungi padepokan ini. Karena itu, seandainya aku tidak diajak oleh Kakang Citra Jati, aku pun akan datang kemari. Apalagi setelah aku tahu bahwa kalian datang untuk menghancurkan padepokan ini.”

“Ternyata suaramu masih juga setajam duri, Nyi Citra Jati,” sahut Mandira Wilis. “Ketika kau masih perawan, kau pernah digelari mawar liar di padang perdu. Kata-katamu tajam menusuk perasaan. Ternyata sampai sekarang kata-katamu masih juga setajam duri.”

“Ah. Terserah sajalah, apa yang akan kau katakan. Tetapi aku sekarang sudah berada di sini. Aku tidak akan dapat berbuat lain daripada  membantu Mlaya Werdi menyelamatkan padepokan ini.”

“Baik. Baik, Nyi. Kau tentu tidak akan dapat berbuat lain dari suamimu. Sayang pada waktu itu kau tidak menerima lamaranku. Jika saja kau menjadi istriku, kau sekarang akan berdiri di tempat yang benar. Karena seperti aku, kau akan berpihak kepada Pandunungan.”

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Kenapa kau waktu itu tidak mengatakannya kepadaku, bahwa kau ingin melamarku? Jika saja waktu itu kau katakan niatmu itu.”

“Kalau kukatakan niatku, apakah kau akan menanggapinya?”

“Ternyata kau pengecut sejak mudamu, Mandira Wilis.”

Ki Mandira Wilis itu menggeram. Katanya, “Kau menghinaku. Tidak seorangpun dapat merendahkan aku. Karena itu, jangan menyesal jika aku benar-benar akan membunuhmu.”

“Sejak tadi sudah kau katakan. Lakukanlah. Kau tidak usah mengekang dirimu.”

Mandira Wilis memang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera bersiap sambil berkata, “Bersiaplah untuk mati. Suamimu juga akan segera mati.”

Sambil tertawa Ki Citra Jati menyahut, “Jika aku mati, maka istriku akan menjadi janda, Mandira Wilis.”

“Persetan kau,” geram Ki Mandira Wilis.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati tertawa. Tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk berbicara lagi. Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis mulai bergeser, sehingga Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun harus segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun kemudian telah mengambil jarak. Agaknya Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis benar-benar sudah akan mulai.

Dalam pada itu, pertempuran di halaman padepokan itu menjadi semakin sengit. Para cantrik harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menghadapi para pengikut Pandunungan. Selain cantrik-cantriknya sendiri, maka pasukan Pandunungan itu juga terdiri dari beberapa orang yang dibawa oleh paman-pamannya.

Dalam pada itu, anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun telah melibatkan diri pula. Setiti dan Baruni harus mematuhi pesan ayah dan ibunya. Mereka tidak boleh terpisah jauh dari mhokayunya, Padmini, dan kakangnya, Pamekas. Keduanya yang sudah disiapkan untuk menerima warisan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu telah memiliki landasan ilmu yang tinggi.

Dengan demikian maka keempat anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu telah mencerai-beraikan sekelompok pengikut Pandunungan yang mengepung mereka.

Sementara itu, Pandunungan dan Ki Ageng Puspakajang yang telah berada di dalam halaman padepokan itu sempat memperhatikan keempat anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Dengan jantung yang bergejolak Pandunungan itu pun berteriak, “He, siapakah kalian yang dengan sombong ikut terjun dalam arena pertempuran di padepokan ini?”

“Kami adalah cantrik dari padepokan ini.”

“Bohong. Meskipun kalian menampakkan unsur-unsur dari perguruan ini, tetapi aku melihat banyak unsur-unsur yang tidak aku kenali.”

Yang menjawab adalah Padmini, “Itu adalah pertanda kepicikanmu, Kakang.”

“Setan! Siapa namamu ?”

“Kakang tentu lupa kepadaku. Aku Padmini, Kakang.”

“Persetan dengan nama itu.” Tiba-tiba saja Pandunungan itu berteriak kepada para pengikutnya, “Minggir kalian, tikus-tikus kecil! Biarlah aku selesaikan perempuan yang sombong ini.”

Namun ketika Pandunungan itu menyibak orang-orangnya dengan melangkah mendekati Padmini, terdengar suara, “Pandunungan. Tidak pantas kau bermain-main dengan kanak-kanak.”

Pandunungan itu berpaling. Dilihatnya Mlaya Werdi berdiri tegak dengan kaki merenggang.

“Kakang Mlaya Werdi.”

“Ya. Aku menunggu kesempatan ini. Kita akan menentukan, siapakah yang terbaik di antara kita.”

“Bagus, Kakang,” jawab Pandunungan. Iapun mengurungkan niatnya menghadapi Padmini. Tetapi ia melangkah mendekati Mlaya Werdi.

“Kau akan segera terkubur di sini, Mlaya Werdi. Nisanmu akan selalu memberikan peringatan seisi padepokan ini, siapa yang tamak dan berkhianat, nasibnya akan menjadi sangat buruk sebagaimana nasibmu.”

Mlaya Werdi tertawa. Katanya, “Baiklah. Padepokan ini akan menjadi saksi, siapakah di antara kita yang akan tetap hidup.”

Mlaya Werdi pun melangkah mendekat, sementara Pandunungan pun segera mempersiapkan dirinya.

“Hati-hatilah, Pandunungan,” pesan Ki Ageng Puspakajang, “di dalam pertempuran seperti ini, maka kita tidak perlu memilih lawan. Karena itu, maka aku akan membunuh siapa saja yang mendekatiku. Aku tidak peduli, apakah ia cantrik yang baru kemarin berada di padepokan ini, atau seorang putut yang sudah masak, atau jika ada tamu yang ikut campur.”

“Silahkan, Eyang Puspakajang.”

“Jangan menyesal jika seisi padepokan ini akan tumpas tapis sampai orang yang terakhir. Mungkin Citra Jati, mungkin istrinya. Mungkin siapapun juga.”

“Kau licik, Ki Puspakajang.”

“Licik? Kenapa?”

“Kau tidak pantas membunuh cantrik-cantrikku.”

“Jangan kau sesali. Ini adalah kemungkinan yang dapat terjadi di dalam sebuah peperangan. Salahmu, kenapa di antara pasukanmu tidak ada seorang yang berilmu tinggi setataran dengan aku.”

Mlaya Werdi menggeretakkan giginya. Dengan geram iapun berkata, “Seharusnya kau-lah yang menjunjung harga dirimu sendiri, sehingga kau tidak akan ditertawakan orang.”

Ki Ageng Puspakajang tertawa. Katanya, “Kau masih berbicara tentang harga diri di sebuah peperangan? Jadi apakah aku harus berdiri saja menonton, sementara orang-orangku harus bergulat dengan maut?”

“Kenapa kau tidak menghadapi paman-paman yang mempunyai ilmu setataran dengan kau?”

“Jika mereka sudah mempunyai lawan masing-masing?”

Wajah Mlaya Werdi bagaikan membara. Sementara itu pertempuran menjadi semakin seru dimana-mana. Para cantrik harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk menahan tekanan para pengikut Pandunungan.

Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni masih saja mendera lawan-lawan mereka, sementara Pandunungan tertahan oleh Mlaya Werdi. Namun sementara itu, Ki Ageng Puspakajang menjadi bagaikan hantu yang siap untuk menerkam mereka.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja sepasang suami istri melangkah mendekat. Dengan nada berat, terdengar suami itu berkata, “Ki Ageng Puspakajang. Namamu telah menebar sampai ke pesisir lor dan pesisir kidul. Ternyata aku mendapat kehormatan untuk dapat menemuimu sekarang.”

“Kau siapa?” batanya Ki Ageng Puspakajang.

“Namaku Glagah Putih. Perempuan ini adalah istriku, Rara Wulan.”

“Nama yang bagus. Nah, sekarang kalian mau apa?”

“Seperti yang Ki Ageng katakan, kita berada di peperangan. Siapa saja akan dapat menjadi musuh kita.”

“Jadi kau akan menempatkan dirimu berdua untuk melawanku?”

“Kita sudah bertemu di medan, Ki Ageng.”

“Adi Glagah Putih,” Mlaya Werdi menjadi sangat cemas sehingga getarnya terasa pada kata-katanya, “jangan.”

Ki Ageng Puspakajang tertawa. Katanya, “Nah, kau dengar? Betapa cemasnya Mlaya Werdi melihat sikapmu. Tetapi aku memaafkanmu, karena kau tidak tahu apa yang kau lakukan.”

“Aku sadari sepenuhnya apa yang akan aku lakukan.”

“Jangan, Adi Glagah Putih dan Adi Rara Wulan,” Mlaya Werdi masih mencoba untuk mencegahnya

Tetapi Glagah Putih sambil tersenyum berkata, “Kami tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin kami tidak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi.”

“Ya. Kau tidak akan pernah mendapat kesempatan seperti ini lagi,” sahut Ki Ageng Puspakajang, “karena kau dan istrimu akan segera mati. Tetapi aku berjanji bahwa kau tidak akan segera mati pada sentuhanku yang pertama. Aku akan memberikan sedikit pelajaran kepadamu serba sedikit, agar ilmumu sempat meningkat sebelum kau mati.”

Jawab Glagah Putih memang mengejutkan. Katanya, “Terima kasih atas perkenan Ki Ageng Puspakajang.”

Ki Ageng Puspakajang ternyata tersinggung oleh jawaban itu. Bahkan ia merasa seakan-akan Glagah Putih telah merendahkannya.

“Cah Bagus,” berkata Ki Ageng Puspakajang, “kau sama sekali bukan seorang pemberani yang akan mendapatkan gelar pahlawan. Tetapi kau tidak ubahnya anak kecil yang masih belum tahu bahwa api itu panas. Jika kau berani menggenggam api itu, bukan karena keberanianmu. Tetapi semata-mata karena kau tidak tahu bahwa api itu panas.”

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Ajari aku agar aku tahu bahwa api itu panas, Ki Ageng.”

Ki Ageng Puspakajang itu menggeram. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa kau adalah anak yang sombong. Kasihan istrimu. Ia cantik dan muda. Tetapi ia akan terseret ke dalam arus kesombonganmu, sehingga iapun akan mengalami kesulitan.”

Dalam pada itu, sekali lagi Mlaya Werdi masih mencoba menghentikan Glagah Putih dan Rara Wulan, “Jangan kau lanjutkan niatmu, Adi.”

“Aku sudah siap, Kakang.”

“Kakang Mlaya Werdi,” berkata Pandunungan, “kau tidak akan mendapat kesempatan lagi. Bersiaplah. Jangan campuri lagi persoalan yang dihadapi oleh kedua orang suami istri yang sombong itu. Semuanya adalah karena salahnya sendiri. Ia akan memetik buah dari tanamannya sendiri.”

Glagah Putih pun menyahut, “Silahkan, Kakang Mlaya Werdi. Biarlah aku belajar serba sedikit kepada Ki Ageng Puspakajang.”

Ki Ageng Puspakajang menjadi tidak sabar lagi. Katanya kepada Pandunungan, “Selesaikan musuhmu itu, Pandunungan. Biarlah aku urus kedua orang suami istri ini.”

Pandunungan tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera bergeser mendekati Mlaya Werdi sambil berkata, “Bersiaplah. Aku akan segera mulai. Aku tidak peduli apakah kau sudah bersiap atau belum.”

Mlaya Werdi tidak dapat berbuat lain. Ketika Pandunungan mulai bergerak, maka Mlaya Werdi pun melangkah beberapa langkah surut.

Bahkan sejenak kemudian Pandunungan benar-benar mulai menyerang Mlaya Werdi, sehingga mau tidak mau perhatian Mlaya Werdi itu pun harus tertuju kepadanya.

Ki Ageng Puspakajang yang melihat Mlaya Werdi mulai terlibat dalam pertempuran itu pun tersenyum. Katanya, “Nah. Yang sekarang belum mempunyai lawan adalah tinggal kalian berdua dan aku. Kalian berdua tidak lagi dapat mengharapkan bantuan dari siapapun juga.”

“Kami memang tidak mengharapkan bantuan dari siapapun juga. Karni berharap untuk dapat menyelesaikan tugas yang kami ambil di medan pertempuran ini.”

“Berhentilah berceloteh. Bersiaplah untuk mati.”

“Bukankah Ki Ageng Puspakajang berjanji untuk meningkatkan ilmu kami serba sedikit?”

Ki Ageng Puspakajang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun menggeram, “Kau memang orang-orang gila yang tidak tahu diri.”

Glagah Putih tersenyum pula sambil menjawab, “Sudahlah. Marilah kita mulai. Semua orang sudah terlibat dalam pertempuran. Kenapa kita masih juga berbicara saja?”

Ki Ageng Puspakajang itu menggeram. Baginya Glagah Putih adalah seorang laki-laki muda yang sangat sombong.

Sejenak kemudian, maka Ki Ageng Puspakajang itu pun telah bersiap. Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mengambil jarak pula

Ki Ageng Puspakajang menggeram melihat sikap Glagah Putih dan Rara Wulan yang demikian yakin akan dirinya. Keduanya tidak saling merapat untuk menghadapi lawannya, tetapi keduanya justru saling menjauh beberapa langkah.

Sejenak kemudian, terasa angin berdesis semakin keras. Kemudian sebuah hentakan angin terasa menyapu kedua orang yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Kedua kaki Glagah Putih dan kedua kaki Rara Wulan bagaikan menghunjam jauh ke dalam perut bumi. Angin yang kencang itu sama sekali tidak menggoyahkan kedua orang suami istri itu.

“Itulah agaknya kenapa kalian merasa bahwa kalian akan dapat mengimbangi kemampuanku.”

“Kita sudah cukup banyak berbicara,” sahut Glagah Putih.

Ki Ageng Puspakajang benar-benar telah tersinggung. Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang itu pun segera meloncat menyerang. Ia tidak lagi sekedar menjajagi kemampuan kedua orang suami istri itu. Tetapi serangannya mulai benar-benar terarah ke sasaran.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah benar-benar bersiap. Dengan tangkasnya mereka menghindari serangan Ki Puspakajang.

Namun serangan Ki Ageng Puspakajang itu pun segera meluncur seperti gelombang di lautan, datang susul-menyusul menghantam tebing.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan cukup tangkas untuk menghindari serangan-serangan itu. Bahkan keduanya pun telah mulai menyerang pula dari arah yang berbeda.

Ki Ageng Puspakajang menggeretakkan giginya. Serangan-serangannya yang datang susul-menyusul itu masih mampu dihindari oleh kedua orang suami istri itu. Bahkan serangan-serangan mereka yang datang bergantian itu tidak kalah berbahayanya dari serangan-serangan Ki Ageng Puspakajang itu sendiri.

Beberapa saat kemudian, Ki Ageng Puspakajang mulai meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak ingin bertempur berlarut-larut. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka ia harus dapat menyelesaikan lawannya dalam waktu yang singkat.

“Aku harus segera menghentikan perlawanan mereka,” berkata Ki Ageng Puspakajang di dalam hatinya. “Pandunungan dan paman-pamannya akan merasa heran jika aku memerlukan waktu yang terlalu lama untuk membunuh mereka berdua.”

Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang itu pun berusaha untuk dengan cepat menghabisi Glagah Putih dan Rara Wulan.

Tetapi ternyata bahwa Ki Ageng Puspakajang tidak segera berhasil. Ketika dengan yakin Ki Ageng Puspakajang menyerang dada Glagah Putih dengan jari-jari tangan terbuka, maka tangan Ki Ageng Puspakajang itu sama sekali tidak menyentuh tubuh Glagah Putih.

Namun terasa sambaran anginnya menghentak di dada Glagah Putih.

“Ternyata nyawamu cukup liat, Glagah Putih,” geram Ki Ageng Puspakajang.

Glagah Putih ternyata sempat juga menyahut, “Jadi ilmu inilah yang ingin Ki Ageng ajarkan kepada kami?”

“Persetan kau,” geram Ki Ageng Puspakajang. Serangan-serangannya pun menjadi semakin cepat. Ternyata kedua orang suami istri itu memiliki kemampuan di luar dugaan Ki Ageng Puspakajang, yang merasa dirinya tidak terkalahkan.

Karena itu, maka jantung Ki Ageng Puspakajang itu terasa menjadi semakin panas. Menurut perhitungan Ki Ageng Puspakajang, seharusnya ia sudah sejak lama menghabisi kedua lawannya yang masih muda itu. Tetapi ternyata serangan-serangannya bahkan masih belum berhasil menyentuh pakaian kedua orang lawannya.

Kemarahan Ki Ageng Puspakajang itu menjadi semakin menyala ketika Glagah Putih bertanya, “Terima kasih atas kesempatan ini, Ki Ageng. Jarang sekali seseorang demikian baiknya memberikan ilmunya kepada orang yang belum dikenalnya dengan baik.”

Ki Ageng Puspakajang menggeram. Iapun kemudian menyadari bahwa kedua orang suami istri itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Sehingga jika mereka menempatkan diri untuk melawannya, bukanlah sekedar satu sikap yang sombong. Tetapi keduanya memang mempunyai bekal yang memadai.

Namun karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang justru membenahi sikapnya. Ia tidak lagi merasa sekedar berhadapan dengan anak-anak yang tidak tahu diri. Tetapi ia harus menempatkan dirinya di hadapan dua orang yang berilmu tinggi.

Dengan demikian maka pertempuran di antara Ki Ageng Puspakajang melawan Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin sengit. Ki Ageng Puspakajang pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Namun Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meningkatkan ilmunya pula.

Dalam pada itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit dimana-mana. Para cantrik memang mengalami tekanan yang sangat berat. Namun Padmini, Pamekas, Setiti dan Baruni sanggup menyerap lawan semakin banyak.

Di samping mereka, beberapa orang cantrik yang sudah berada pada tataran yang tinggi, mampu pula membimbing adik-adiknya untuk melakukan gerakan-gerakan yang dapat membingungkan lawan. Mereka telah memanfaatkan ruang, bangunan dan tanaman-tanaman yang ada di halaman padepokan itu sebaik-baiknya.

Ki Wasesa masih juga bertempur melawan Ki Sura Alap-Alap. Mereka mempunyai landasan ilmu yang sama, sehingga mereka dapat saling menebak apa yang akan dilakukan oleh lawan. Namun ketika meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi, maka beberapa unsur gerak lawan tidak dapat dengan mudah dikenalinya lagi.

Sementara itu, Ki Wiratama bertempur dengan sengitnya melawan Ki Citra Jati, sedangkan Ki Mandira Wilis harus berhadapan dengan Nyi Citra Jati.

Namun Ki Mandira Wilis itu benar-benar tidak menyangka bahwa ilmu Nyi Citra Jati telah maju dengan pesatnya, sehingga Ki Mandira Wilis harus segera meningkatkan ilmu untuk mengimbangi kemampuan Nyi Citra Jati.

Tetapi semakin lama semakin terasa, bahwa Ki Mandira Wilis itu menjadi semakin lama semakin mengalami kesulitan.

Pandunungan yang marah, agaknya terlalu bernafsu untuk segera menghentikan perlawanan Mlaya Werdi. Namun dengan demikian, sejak awal Pandunungan telah membuat beberapa kesalahan.

Para cantrik padepokan itu agaknya harus bertempur tidak saja mempergunakan kemampuan dan ketrampilan dalam olah kanuragan. Tetapi mereka pun harus mempergunakan otaknya untuk mengatasi lawan yang lebih banyak.

Namun dengan cerdik, para cantrik berhasil setiap kali mengurangi jumlah lawan. Beberapa orang cantrik memancing agar sekelompok lawannya mengejar mereka di sela-sela bangunan yang ada di padepokan. Namun sekelompok cantrik yang lain dengan tiba-tiba menyergap dari celah-celah bangunan itu.

“Pengecut!” teriak seorang yang menjadi salah seorang pemimpin kelompok dari para pengikut Pandunungan. “Kalian tidak berani bertempur beradu dada. Kalian bertempur sambil berlari-lari seperti seekor ayam yang licik.”

Dari kejauhan terdengar seorang cantrik menjawab, “Kami tidak akan takut bertempur dengan cara yang jantan. Seorang melawan seorang. Tetapi kalian-lah yang licik. Kalian membawa kawan lebih banyak dari jumlah kami, para cantrik di padepokan ini.”

“Kita tidak sedang berperang tanding.”

“Karena itu, adalah sah jika kami melakukan dengan gaya kami sendiri.”

“Persetan kau!” teriak pemimpin kelompok dari para pengikut Pandunungan itu.

Dengan demikian, meskipun jumlah para pengikut Pandunungan lebih banyak, namun ternyata mereka tidak mampu segera menguasai medan. Bahkan seorang demi seorang terpelanting dari arena. Tiba-tiba saja sekelompok pengikut Pandunungan itu telah disergap oleh beberapa orang cantrik dari tempat yang tidak mereka duga. Bahkan dari balik pakiwan serta serumbung sumur.

Para pengikut Pandunungan itu menjadi semakin marah. Namun semakin mereka marah, maka kedudukan mereka pun menjadi semakin sulit. Mereka tidak sempat lagi mempergunakan nalar mereka.

Dengan demikian, maka lambat laun kedudukan para cantrik pun justru menjadi semakin baik. Jumlah para pengikut Pandunungan ternyata lebih cepat menyusut daripada para cantrik di padepokan, yang melawan mereka dengan akal yang cerdik. Sementara para pengikut Pandunungan hanya mengandalkan keberanian, kekerasan dan kekasaran mereka.

Sementara itu, Ki Sura Alap-Alap masih belum dapat menguasai lawannya. Meskipun Ki Wasesa juga sulit untuk mendesak Ki Sura Alap-Alap, tetapi ia masih mampu bertahan dalam keseimbangan.

Ki Wiratama-lah yang mulai terdesak. Ki Wiratama yang merasa ilmunya semakin meningkat justru setelah ia meninggalkan padepokan, ternyata harus membentur kenyataan, bahwa kemampuan Ki Citra Jati berada di atas dugaannya. Bahkan Ki Wiratama itu pun merasa semakin lama keadaannya menjadi semakin sulit.

Ketika ia mendapat kesempatan melihat keadaan Ki Mandira Wilis, yang bertempur melawan Nyi Citra Jati, jantungnya menjadi berdebar-debar. Ki Mandira Wilis pun harus mengerahkan kemampuannya untuk dapat tetap bertahan.

Ternyata Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis telah terjebak ke dalam kesulitan. Mereka terlalu percaya akan kemampuan diri, sehingga mereka telah salah menilai kemampuan lawan. Ketika mereka mendengar bahwa di padepokan itu selain Ki Wasesa juga terdapat Ki Citra Jati suami istri, mereka tidak berpikir untuk menambah kekuatan pasukannya dengan orang-orang berilmu tinggi. Apalagi dengan kehadiran Ki Ageng Puspakajang. Mereka menyangka bahwa kehadiran Ki Ageng Puspakajang akan dapat menyelesaikan semua kesulitan yang mungkin timbul.

Namun ternyata bahwa Ki Ageng Puspakajang sendiri terikat dalam pertempuran melawan anak-anak yang baru hilang pupuk lempuyangnya. Anak-anak yang baru kemarin meningkat dewasa.

Ki Sura Alap-Alap, Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis tidak segera dapat mempercayai kenyataan, bahwa Ki Ageng Puspakajang tidak segera dapat membunuh kedua lawannya yang masih sangat muda itu.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Ageng Puspakajang memang tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih dan Rara Wulan. Kedua orang suami istri yang masih sangat muda dibandingkan dengan Ki Ageng Puspakajang itu ternyata memiliki ketrampilan yang tinggi

Ki Ageng Puspakajang telah mengerahkan kemampuannya. Tubuhnya menjadi sangat ringan, seakan-akan tidak berbobot sama sekali. Bahkan tubuhnya seakan-akan melayang dihanyutkan oleh angin.

Namun dengan berpasangan, Glagah Putih dan Rara Wulan dapat saling mengisi. Seorang-seorang mereka memang tidak mungkin dapat mengimbangi Ki Ageng Puspakajang. Tetapi berdua mereka masih mempunyai kemungkinan.

“Jika saja ada Kakang Agung Sedayu,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Glagah Putih yakin, bahwa Agung Sedayu akan dapat menyelesaikan Ki Ageng Puspakajang.

Namun baik Glagah Putih maupun Rara Wulan yang sudah terlalu sering berlatih dengan Agung Sedayu, agaknya mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi Ki Ageng Puspakajang.

Apalagi setelah Rara Wulan menjalani laku untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce, maka yang semula masih samar telah menjadi jelas. Demikian pula ilmu yang disadapnya dari Sekar Mirah, dari Agung Sedayu, dan dari Glagah Putih sendiri, yang mengalir dari ilmu yang tinggi yang dimiliki oleh Ki Jayaraga. Dalam pertempuran yang sengit, maka yang masih berupa endapan di dasar kesadarannya tiba-tiba telah terungkap.

Dengan demikian, maka Rara Wulan itu pun telah menjadi seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi.

Ki Ageng Puspakajang semula tidak mempercayai kenyataan yang dihadapinya. Namun semakin lama menjadi semakin jelas di mata Ki Puspakajang, bahwa kedua orang suami istri itu benar-benar memiliki ilmu linuwih.

Nyi Citra Jati yang sekali-sekali sempat memperhatikan Rara Wulan, menjadi heran pula. Demikian Rara Wulan menjalani laku, maka yang terungkap adalah demikian banyaknya. Sehingga Nyi Citra Jati sendiri tidak tahu, apa saja yang tersimpan di dalam diri perempuan muda itu.

Ki Ageng Puspakajang ternyata benar-benar mengalami kesulitan. Ia tidak saja menjadi cemas, bahwa ilmunya yang tinggi itu tidak mampu mengatasi kebersamaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi Ki Ageng Puspakajang akan menjadi sangat malu kepada orang-orang yang sempat menyaksikan betapa ia tidak mampu mengatasi dua orang anak-anak itu.

Namun Ki Ageng Puspakajang masih belum benar-benar sampai ke aji pamungkasnya

“Jika aku tidak dapat menguasai mereka, apa boleh buat,” berkata Ki Ageng Puspakajang di dalam hatinya.

Dalam pada itu, keseimbangan pertempuran pun semakin lama menjadi semakin berubah. Para pengikut Pandunungan menjadi semakin sulit menghadapi para cantrik yang memanfaatkan tata letak padepokannya serta segala yang ada di halaman dan di kebun. Sementara itu, anak-anak Ki Citra Jati yang bertempur berkelompok itu benar-benar menyulitkan lawan-lawan mereka.

Ki Sura Alap-Alap masih mencoba untuk dapat mengatasi Ki Wasesa. Namun ketika Ki Sura Alap-alap menghentakkan ilmu pamungkasnya, juga sejenis ilmu Pacar Wutah, Ki Wasesa sama sekali tidak tergoyahkan.

Ki Wasesa membentur hembusan ilmu itu dengan ilmu sejenis, sehingga telah terjadi benturan yang menggetarkan seluruh padepokan.

Namun ternyata bahwa ilmu Ki Wasesa lebih matang dari ilmu lawannya. Meskipun Ki Wasesa juga menjadi goyah, namun Ki Sura Alap-Alap telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya telah terbanting jatuh dan berguling beberapa kali.

Dengan tangkasnya Ki Sura Alap-Alap meloncat bangkit. Namun ternyata bahwa ia telah terluka di bagian dalam tubuhnya. Karena itu, maka iapun terhuyung-huyung dan kembali jatuh terkulai di tanah.

Ki Wasesa berdiri tegak beberapa langkah dari tubuh lawannya yang menggeliat. Namun Ki Wasesa tidak melangkah mendekat. Dibiarkannya Ki Sura Alap-Alap terbaring sambil menahan nyeri.

Ki Wasesa juga membiarkan saja ketika dua orang pengikut Ki Sura Alap-Alap berlari mendekatinya dan mencoba menolong dengan membawanya menepi.

Ki Wasesa yang goyah itu juga merasakan dadanya menjadi sesak. Karena itu, maka untuk beberapa saat lamanya, Ki Wasesa itu masih berdiri saja di tempatnya sambil mengatur pernafasannya.

Namun kekalahan Ki Sura Alap-Alap telah membuat Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis menjadi gelisah. Sementara itu, mereka masih belum dapat menguasai lawan-lawan mereka. Bahkan kedudukan mereka semakin lama justru menjadi semakin sulit.

Harapan mereka pun kemudian tertumpu pada Ki Ageng Puspakajang. Mereka berharap bahwa Ki Ageng Puspakajang tidak terlalu lama mempermainkan lawan-lawannya dan segera mengakhirinya, sehingga Ki Ageng Puspakajang itu segera dapat membantu mengatasi beberapa orang yang berilmu tinggi di padepokan itu.

Namun Ki Wiratama dan Ki Mandira Wilis tidak menyadari, bahwa Ki Ageng Puspakajang mengalami kesulitan berhadapan dengan anak-anak.

Dalam pada itu, Mlaya Werdi pun ternyata memiliki kelebihan dari Pandunungan. Mlaya Werdi memang lebih tua dari Pandunungan. Bukan hanya umurnya, tetapi masa bergurunya pun Mlaya Werdi mulai lebih dahulu dari Pandunungan. Sehingga karena itu, maka ilmu yang dimiliki oleh Mlaya Werdi memang lebih baik dari Pandunungan.

Tetapi Pandunungan tidak segera menyadari kelebihan lawannya. Demikian besar kepercayaan Pandunungan akan kemampuan diri, sehingga Pandunungan tidak sempat menilai ilmu lawannya dengan baik.

Namun dalam pertempuran yang sengit, Pandunungan semakin lama justru menjadi semakin terdesak.

Ki Ageng Puspakajang pun melihat bahwa Ki Sura Alap-Alap sudah tidak berdaya lagi. Orang itu sudah dibawa oleh dua orang pengikutnya minggir dari arena. Namun agaknya Ki Wasesa memang tidak bernafsu untuk membunuhnya, sehingga karena itu maka dibiarkannya Ki Sura Alap-Alap yang terluka dalam itu dibawa menyingkir.

Karena itu. maka Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin gelisah. Ia merasa mendapat beban yang berat, justru karena Pandunungan terlalu percaya kepadanya bahwa ia akan dapat menyelesaikan kesulitan yang mungkin timbul di padepokan itu.

Tetapi di hadapan sepasang suami istri yang masih muda itu pun Ki Ageng Puspakajang sudah mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, Ki Wasesa yang sudah kehilangan lawannya, serta sudah berhasil memperbaiki keadaan di dalam dirinya itu pun mulai melangkah. Ia justru tertarik kepada arena pertempuran antara Ki Ageng Puspakajang melawan kedua orang suami istri yang masih muda itu.

“Luar biasa,” desis Ki Wasesa, “mereka masih sangat muda, tetapi mereka sudah menguasai ilmu yang sangat tinggi.”

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan masih mampu mengimbangi ilmu Ki Ageng Puspakajang. Meskipun tubuh Ki Ageng Puspakajang bagaikan tidak berbobot dan seakan-akan telah dihanyutkan angin berputaran memenuhi arena, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih mampu mengimbanginya. Mereka menyerang silih berganti dari arah yang berbeda-beda. Serangan-serangan mereka datang begitu cepat, namun begitu cepat pula mereka menarik diri. Jika Ki Ageng Puspakajang berniat untuk memburunya, maka yang lain pun dengan cepat pula meloncat menyerang.

Semakin lama pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin seru. Mereka sudah mulai menyentuh dan bahkan menyakiti tubuh lawan. Serangan-serangan Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengenai tubuh Ki Ageng Puspakajang, sementara serangan-serangan Ki Ageng Puspakajang sekali-sekali telah mengenai tubuh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Dari mana anak-anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mendapat warisan ilmunya yang jarang ada duanya itu?” bertanya Ki Wasesa di dalam hatinya.

Ki Wasesa sendiri dapat dengan mudah mengenali dasar ilmu Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati karena mereka saudara seperguruan. Tetapi ilmu yang terdapat pada anak dan menantu Ki Citra Jati itu berbeda. Ki Wasesa yakin, bahwa sumbernya memang berbeda.

Dalam pada itu, kedua orang suami istri yang masih muda itu telah membuat Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin gelisah. Beberapa kali serangan Glagah Putih sempat menguak pertahanannya. Bahkan serangan Rara Wulan pun sempat mengenai tubuhnya pula. Ketika Ki Ageng Puspakajang melenting sambil menjulurkan kakinya ke arah dada Glagah Putih, maka Rara Wulan justru menyerang lambungnya dari samping. Ki Ageng Puspakajang harus mengurungkan serangannya. Iapun menggeliat menghindari serangan Rara Wulan.

Namun bersamaan dengan itu, sambil menjatuhkan dirinya, Glagah Putih telah menyapu kakinya. Demikian cepatnya, sehingga Ki Ageng Puspakajang yang tubuhnya bagaikan tidak berbobot itu masih juga terlambat menghindar. Sapuan kaki Glagah Putih telah berhasil mengenai kakinya, sehingga Ki Ageng Puspakajang itu terjatuh. Namun Ki Ageng Puspakajang itu dengan cepat berguling mengambil jarak. Sekejap kemudian iapun telah melenting berdiri dan siap menghadapi kedua orang lawannya. Dengan demikian Rara Wulan yang telah siap menyerang harus mengurungkannya. karena kedudukan Ki Ageng Puspakajang yang meyakinkan.

Demikianlah, kedua belah pihak telah bersiap untuk memulai pertempuran yang semakin sengit.

Dalam pada itu, Ki Wiratama menjadi semakin sulit menghadapi Ki Citra Jati. Ia semakin sering berloncatan surut mengambil jarak. Kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Ki Citra Jati yang melihat keadaan lawannya, semakin tidak ingin cepat-cepat menghentikan perlawanannya. Ki Citra Jati justru membiarkan lawannya tetap bertempur dengan sengitnya. Ki Citra Jati sengaja membiarkan lawannya kehabisan tenaga. Karena itu, jika perlawanan Wiratama mengendor, maka Ki Citra Jati justru memancingnya untuk bertempur semakin keras.

Ki Wiratama menjadi sangat gelisah. Dalam kesulitan itu, Wiratama tidak berani menghentakkan ilmu pamungkasnya. Ia tahu bahwa kematangan ilmu Ki Citra Jati lebih tinggi dari kematangan ilmunya. Jika ia mencoba melepaskan ilmu pamungkasnya, maka Ki Citra Jati tentu akan melakukannya pula. Dan itu akan berarti kiamat baginya.

Yang dilakukan oleh Ki Wiratama adalah sekedar mencari celah-celah pada pertahanan Ki Citra Jati. Menurut Ki Wiratama, seseorang tentu akan melakukan kesalahan. Karena itu, Ki Wiratama hanya dapat menanti, bahwa pada suatu ketika Ki Citra Jati akan melakukan kesalahan.

Tetapi yang beberapa kali melakukan kesalahan adalah justru Ki Wiratama sendiri. Itulah sebabnya, maka serangan-serangan Ki Citra Jati menjadi semakin sering mengenai tubuhnya. Meskipun sekali-sekali serangan Ki Wiratama sempat menyusup di celah-celah pertahanan Ki Citra Jati, namun sentuhan-sentuhan itu tidak banyak berarti. Daya tahan tubuh Ki Citra Jati mampu mengatasi sentuhan serangan Ki Wiratama.

Sementara itu, Ki Mandira Wilis pun mengalami kesulitan melawan Nyi Citra Jati. Meskipun Nyi Citra Jati itu seorang perempuan, namun kemampuan ilmunya sulit untuk diatasinya. Setiap kali tenaga mereka berbenturan, Ki Mandira Wilis dapat berbangga bahwa tenaganya masih seimbang dengan tenaga Nyi Citra Jati. Namun ternyata Nyi Citra Jati mampu bergerak lebih cepat.

Namun berbeda dengan Ki Wiratama yang menyadari tataran ilmunya, Ki Mandira Wilis yang selalu terdesak karena kecepatan gerak Nyi Citra Jati, menjadi kehabisan kesabaran. Ia ingin pertempuran itu segera selesai, apapun yang terjadi.

Karena itu, maka Ki Mandira Wilis pun segera menggapai puncak ilmunya. Dengan meghentakkan segenap kemampuannya, Ki Mandira Wilis pun siap mempergunakan puncak ilmu yang disadapnya bersama Nyi Citra Jati. Pacar Wutah.

Namun pada saat pematangannya, ilmu dasar Pacar Wutah itu mendapatkan bentuk dan gaya yang berbeda-beda.

Ternyata Ki Mandira Wilis masih mempergunakan alat bantu untuk mengetrapkan ilmunya, yang oleh banyak orang disebut sebagai senjata rahasianya. Serbuk yang berwarna kehitam-hitaman. Serbuk pasir yang sangat lembut.

Dengan cepat Ki Mandira Wilis telah menggenggam serbuk pasir lembutnya. Dengan satu hembusan yang sangat kuat, maka serbuk pasir itu meluncur, memancar ke arah tubuh Nyi Citra Jati.

Namun bersamaan dengan itu, Nyi Citra Jati yang memahami unsur-unsur gerak lawannya karena mereka pernah berada dalam satu kandang, dengan cepat pula mengetrapkan ilmunya. Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat antara kedua ilmu yang tinggi itu. Namun ternyata bahwa Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce itu mampu mengatasi dan bahkan menerobos arus gumpalan pasir lembut yang menghambur ke arah tubuh Nyi Citra Jati.

Ki Mandira Wilis memang terkejut melihat kemampuan ilmu Nyi Citra Jati. Tetapi segala sesuatunya sudah terlambat. Ki Mandira Wilis tidak sempat menghindari getaran ilmu Nyi Citra Jati yang telah menggoyang udara, menghantam dadanya.

Ki Mandira Wilis itu terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya pun kemudian terbanting di tanah.

Ki Mandira Wilis memang berusaha untuk bangkit. Namun tenaganya sudah terkuras habis, sehingga Ki Mandira Wilis itu pun terkulai di tanah.

Nyi Citra Jati berdiri termangu-mangu. Bahunya terasa pedih. Ternyata ada juga serbuk pasir yang lembut yang mengenai pundaknya.

Perlahan-lahan Nyi Citra Jati melangkah mendekati Ki Mandira Wilis yang terbaring diam. Dua orang pengikutnya berlari mendekat. Tetapi ketika mereka melihat Nyi Citra Jati melangkah mendekati tubuh itu pula, maka kedua orang itu berhenti.

“Kenapa kalian berhenti?” bertanya Nyi Citra Jati.

Keduanya tidak menjawab. Tetapi nampak wajah mereka yang sangat tegang.

“Rawatlah Ki Mandira Wilis. Mudah-mudahan nyawanya dapat tertolong.”

Kedua orang itu masih tetap ragu-ragu. Namun Nyi Citra Jati berkata pula, “Mendekatlah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Jika mungkin, selamatkan nyawanya.”

Kedua orang yang masih saja ragu-ragu itu akhirnya mendekat juga. Nyi Citra Jati justru bergeser menjauh, agar kedua orang itu tidak merasa cemas mendekati tubuh Ki Mandira Wilis yang terbaring.

Namun terasa pedih di bahunya menjadi semakin menyengat.

Dalam pada itu, Ki Wiratama benar-benar telah kehabisan tenaga. Pada saat-saat Ki Citra Jati menyerangnya dengan cepat dan beruntun, Ki Wiratama harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya. Meskipun demikian, serangan-serangan Ki Citra Jati itu masih juga sering mengenainya.

Nafas Ki Wiratama pun semakin lama menjadi semakin terengah-engah karena kelelahan.

Tetapi Ki Wiratama tidak mau melepaskan ilmu pamungkasnya. Bukan saja tidak akan berguna, tetapi justru akan mempercepat kematiannya.

Ki Wiratama sempat melihat Ki Sura Alap-Alap dan Ki Mandira Wilis yang mengalami nasib yang sama. Keduanya mencoba membenturkan ilmu mereka dengan orang yang memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi. Hasilnya, mereka harus terbaring sambil menyeringai kesakitan.

Namun karena itu, maka Ki Wiratama harus bertempur terus. Nampaknya Ki Citra Jati juga tidak ingin menghancurkan pertahanan Ki Wiratama dengan aji pamungkasnya. Karena itu, maka Ki Citra Jati masih saja bertempur dengan Ki Wiratama yang nafasnya semakin tersendat di kerongkongan.

Namun akhirnya Ki Wiratama itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika terjadi benturan yang tidak terlalu keras, maka Ki Wiratama pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Ketika Ki Citra memburunya dan menyentuh dadanya dengan tiga ujung jarinya yang merapat, maka Ki Wiratama tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.

Ki Wiratama itu pun kemudian jatuh berguling di tanah.

Meskipun demikian, Ki Wiratama itu masih berusaha untuk segera bangkit.

“Wiratama,” berkata Ki Citra Jati, “manakah ilmu pamungkasmu? Bukankah kau sudah menyadap ilmu di padepokan ini sampai tuntas, sehingga kau sudah mewarisi ilmu yang akan dapat kau banggakan? Aji Pacar Wutah, yang harus kau kembangkan sendiri?”

“Apakah ada gunanya?” Ki Wiratama justru bertanya, “Ilmumu lebih matang dari ilmuku. Jika aku melontarkan Aji Pacar Wutah, maka kau akan melakukannya juga. Bukankah itu tidak ada artinya, selain mempercepat kematian? Nah, Citra Jati. Sekarang terserah kepadamu. Jika kau ingin membunuhku dengan Aji Pacar Wutahmu, lakukan. Aku tidak akan menyesal.”

“Kita sama-sama memilikinya, Ki Wiratama. Kenapa tidak dengan jalan membenturkan kemampuan puncak kita, untuk mengetahui siapakah yang terbaik di antara kita.”

“Sudah aku katakan, tidak ada gunanya. Jika kau bertanya siapakah yang terbaik di antara kita, jawabnya sudah jelas. Nah, sekarang kau tinggal melakukannya. Melepaskan Aji Pacar Wutah dan aku akan mati.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, marilah kita melihat saja, apa yang akan terjadi dengan Ki Puspakajang.”

“Maksudmu?”

“Kenapa kita harus bertempur terus, jika kita masing-masing sudah mengakui perbedaan tataran ilmu di antara kita? Aku bukan pembunuh. Karena itu, aku tidak akan membunuhmu. Kecuali jika kita bertempur terus sampai tuntas, pada tataran ilmu puncak kita.”

“Lalu?”

“Kita akan jadi penonton.”

Ki Wiratama masih saja ragu-ragu. Sementara itu, Nyi Citra Jati yang sudah kehilangan lawannya itu mendekat sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

“Citra Jati ternyata tidak berani melihat darah. Ia tidak mau membunuhku.”

“Kau sudah jemu hidup?”

“Aku tidak akan mengemis agar aku dikasihani dan dibiarkan hidup.”

“Tidak akan terlalu sulit,” berkata Nyi Citra Jati, “jika kau serang Kakang Citra Jati dengan ilmu puncakmu pula. Nah, kau tentu akan mati, atau setidak-tidaknya setengah mati.”

“Pekerjaan yang sia-sia. Sudah aku katakan, bunuhlah aku. Persoalan di antara kita akan segera selesai.”

Tetapi jawab Ki Citra Jati, “Sudahlah. Marilah kita lihat, apakah benar bahwa Ki Ageng Puspakajang itu mempunyai ilmu yang tidak terjangkau.”

“Kau gila, Citra Jati. Aku dapat merundukmu dari belakang dan membunuhmu pada saat kau lengah.”

“Aku percaya bahwa kau bukan demit yang berjiwa kerdii.”

Ki Citra Jati itu pun kemudian mengajak Nyi Citra Jati untuk bergeser, mendekati arena pertempuran antara Ki Ageng Puspakajang melawan Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya seakan-akan tidak menghiraukan lagi Ki Wiratama yang kelelahan.

“Tunggu,” berkata Ki Wiratama, “sekali lagi aku peringatkan. Meskipun tenagaku terkuras habis, namun aku masih mampu membunuh kalian berdua.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati berpaling. Namun mereka sama sekali tidak meghiraukan Ki Wiratama itu lagi.

Ki Wiratama berhenti sejenak. Nafasnya terengah-engah. Bahkan berdiri pun kakinya sudah mulai menjadi goyah. Terasa nyeri di beberapa bagian tubuhnya menjadi semakin menggigit.

Akhirnya Ki Wiratama menyadari bahwa dalam keadaan yang demikian, ia tidak akan mampu melepaskan ilmu puncaknya. Jika ia memaksa diri, maka ia benar-benar akan kehabisan tenaga, sementara itu ilmunya tidak akan dapat menyakiti Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Karena itu, maka Ki Wiratama itu pun akhirnya berusaha untuk melangkah dengan kaki gemetar, menyusul Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Sementara itu, pertempuran antara Mlaya Werdi melawan Pandunungan pun telah mencapai puncaknya. Pandunungan telah mengerahkan segenap kemampuannya. Namun ternyata ia sama sekali tidak dapat mengatasi Mlaya Werdi. Bahkan Pandunungan itu semakin lama justru semakin terdesak.

“Pandunungan,” berkata Mlaya Werdi kemudian, “kau sudah tidak mempunyai pilihan. Beberapa orang paman yang membantumu sudah tidak berdaya. Ternyata mereka tidak mampu mengatasi kemampuan saudara-saudara seperguruannya yang ada di padepokan ini, yang menuntut ilmu sampai tuntas. Sedang beberapa orang paman yang membantumu, yang tidak menyelesaikan masa bergurunya di sini, harus mengakui kekalahannya.”

“Persetan kau, Mlaya Werdi.”

“Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, Pandunungan, tetapi aku adalah murid yang lebih tua darimu. Karena itu, maka ilmuku pun tentu lebih matang dari ilmumu. Karena itu, mumpung belum terlanjur, aku minta kau hentikan niat gilamu itu.”

“Persetan kaum Mlaya Werdi. Bersiaplah untuk mati.”

Ketika Pandunungan kemudian mempersiapkan ilmu pamungkasnya, maka Mlaya Werdi pun berteriak, “Pandunungan, jangan!”

“Kau menjadi ketakutan, Mlaya Werdi? Semuanya sudah terlambat. Kau akan mati.”

“Tunggu.”

Pandunungan tidak mau lagi mendengarkannya. Tiba-tiba saja Pandunungan telah bersiap untuk menghembuskan ilmu puncaknya.

Mlaya Werdi tidak membiarkan dirinya dihempaskan oleh ilmu puncak yang sudah diwarisi oleh Pandunungan. Karena itu, maka iapun telah mempersiapkan diri untuk melawan serangan Pandunungan itu. Ia akan melawan dengan ilmu puncak yang sejenis, yang sama-sama mereka warisi dari perguruan mereka.

Ternyata Mlaya Werdi mempunyai banyak kelebihan dari Pandunungan. Pada saat Pandunungan melepaskan puncak ilmunya, Mlaya Werdi justru telah melepaskan kekuatan Aji Pacar Wutahnya.

Pandunungan terlambat sekejap. Namun Pandunungan berhasil membentur Aji Pacar Wutah yang dilontarkan Mlaya Werdi, sebelum Aji Pacar Wutah itu menghantam tubuhnya.

Meskipun demikian, tetapi kelebihan ilmu Mlaya Werdi sangat menentukan. Benturan ilmu keduanya terjadi beberapa jengkal saja dari tubuh Pandunungan. Sementara itu kekuatan ilmu Mlaya Werdi memang lebih besar dari kekuatan ilmu Pandunungan, meskipun keduanya dari jenis yang sama.

Karena itu, maka dalam benturan yang terjadi, getar kekuatan kedua ilmu itu menjadi tidak seimbang. Kekuatan ilmu Pandunungan bagaikan membentur dinding baja yang kuat sehingga memantul, dan bahkan didorong oleh kekuatan ilmu Mlaya Werdi.

Terdengar teriakan yang keras. Bahkan umpatan kasar dari mulut Pandunungan. Kemarahan, kebencian dan kekecewaan telah berbaur menjadi satu. Ketika kesakitan yang sangat menerpa dadanya, maka perasaan yang menghimpit dadanya itu pun telah terlontar tanpa dapat dikendalikan.

Namun sejenak kemudian, suara Pandunungan itu pun segera lenyap. Tubuhnya terpelanting dan terbanting di tanah. Sekali Pandunungan menggeliat. Namun kemudian ia tidak bergerak lagi untuk selamanya.

Sementara itu, Mlaya Werdi pun terguncang pula. Beberapa langkah ia terdorong surut. Hampir saja Mlaya Werdi tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Namun ternyata Mlaya Werdi masih tetap mampu berdiri, betapapun kakinya goyah.

Sejenak Mlaya Werdi berdiri termangu-mangu. Namun dadanya terasa betapa nyerinya.

Ki Wasesa, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang menunggui Glagah Putih dan Rara Wulan bertempur melawan Ki Puspakajang, sempat berlari-lari mendekatinya. Mereka pun kemudian membantu Mlaya Werdi melangkah menepi.

Namun Mlaya Werdi itu pun berdesis sambil menyeringai kesakitan, “Tinggalkan aku, Paman. Jangan biarkan Glagah Putih dan istrinya mengalami kesulitan. Bebaskan mereka dari keganasan Ki Puspakajang.”

“Mereka masih dapat bertahan, Mlaya Werdi.”

“Biarkan aku mengatur pernafasanku. Aku tidak apa-apa. Mungkin Adi Glagah Putih dan istrinya memerlukan Paman dan Bibi. Ki Ageng Puspakajang adalah orang yang sangat garang.”

Ki Wasesa-lah yang kemudian berkata, “Biarlah aku di sini, Kakang dan Mbokayu Citra Jati.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati merasa ragu. Ia melihat wajah Mlaya Werdi yang pucat. Keringatnya masih terus mengalir, namun tubuhnya terasa menjadi dingin.

“Kau perlu mendapat pengobatan segera, Mlaya Werdi,” berkata Nyi Citra Jati.

“Tidak, Bibi. Aku tidak apa-apa. Sebaiknya Paman Citra Jati dan Bibi Citra Jati melihat apa yang terjadi dengan Adi Glagah Putih dan istrinya. Mereka masih terlalu muda untuk berhadapan dengan Ki Ageng Puspakajang.”

Namun suara Mlaya Werdi yang terasa bergetar dan sekali-sekali terputus, menunjukkan betapa dadanya telah terluka.

Bahkan Mlaya Werdi tidak lagi dapat berkata bahwa ia tidak apa-apa, ketika darah mulai meleleh di sela-sela bibirnya.

“Kau terluka di dalam, Mlaya Werdi,” berkata Nyi Citra Jati.

“Biarlah Paman Wasesa berada di sini. Aku mohon Paman dan Bibi menunggui Adi Glagah Putih dan Rara Wulan.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menarik nafas panjang.

Dalam pada itu, demikian Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menyusul Ki Wasesa melihat keadaan Mlaya Werdi, Ki Puspakajang telah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Pada saat orang-orang tua itu tidak berada di sekitar arena, maka Ki Puspakajang ingin mengakhiri perlawanan Glagah Putih dan Rara Wulan, yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.

“Jika orang-orang tua itu ada di sekitar arena ini, mereka tentu akan ikut campur. Tetapi tanpa mereka, kedua anak ini tidak akan mampu melawan ilmu pamungkasku.”

Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang itu pun kemudian telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi.

Glagah Putih dari Rara Wulan mulai merasakan udara di arena itu menjadi semakin panas. Agaknya Ki Ageng Puspakajang telah mulai merayap ke ilmu pamungkasnya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun tidak mau terlambat. Sebelum ia dibakar oleh panasnya udara di arena pertempuran, maka Glagah Putih pun telah mencapai kemampuan puncaknya yang diwarisinya dari Ki Jayaraga, Aji Sigar Bumi.

Ketika udara menjadi semakin panas, maka serangan Glagah Putih pun telah mengejutkan Ki Ageng Puspakajang. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih akan melepaskan kemampuan ilmunya yang menggetarkan, yang disadapnya dari Ki Jayaraga.

Ki Ageng Puspakajang yang telah memiliki pengalaman yang sangat luas itu, penggraitanya menjadi sangat tajam. Karena itu, ketika ia melihat Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan tangannya mengarah ke dadanya, ia sudah mengira bahwa Glagah Putih telah melontarkan kemampuan puncaknya.

Karena itu, maka Ki Ageng Puspakajang tidak menangkisnya. Ia tidak mau membentur kekuatan ilmu puncak lawannya meskipun lawannya masih sangat muda, sebelum Ki Ageng Puspakajang sendiri bersiap.

Dengan sigapnya Ki Ageng Puspakajang itu mengelakkan serangan Glagah Putih. Namun dengan cepat Ki Ageng Puspakajang pun menggeliat. Dihentakkannya tangannya, kemudian tangannya itu pun terayun mendatar seperti sedang menaburkan benih padi di sawah.

Senjata rahasia itu sangat berbahaya bagi Glagah Putih dah Rara Wulan. Karena itu, maka keduanya pun segera menjatuhkan diri sambil berguling menjauh.

Tetapi Ki Ageng Puspakajang tidak menghentikan serangannya. Sekali lagi tangannya terayun mendatar. Debu yang berwarna kehitam-hitaman tertabur menebar, bagaikan memburu Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun kedua orang itu pun kemudian telah menebar. Keduanya menghindar ke arah yang berbeda.

Ki Ageng Puspakajang tersenyum. Dengan lantang iapun berkata, “Alangkah bodohnya kalian. Aku akan membunuh kalian seorang demi seorang, karena kalian tidak akan pernah dapat mendekati aku lagi.”

Glagah Putih merasakan panas di seputar tubuh Ki Ageng Puspakajang menjadi semakin tinggi. Ketika Glagah Putih bersiap menyerang dengan Aji Sigar Bumi, ia tidak lagi mendapat kesempatan untuk mendekat. Sementara itu, Ki Ageng Puspakajang telah bersiap untuk menyerangnya dengan senjata rahasianya. Seperti debu yang kehitam-hitaman, yang ditaburkan dengan tangannya. Namun agaknya ilmunya telah mengalir lewat telapak tangannya, sehingga senjata rahasia yang ditaburkannya menjadi sangat berbahaya.

Karena itu, Glagah Putih justru berloncatan menjauh. Tubuhnya berputar di udara ketika serangan Ki Ageng Puspakajang itu datang mengarah kepadanya.

Namun keadaan Glagah Putih menjadi sangat berbahaya. Demikian Glagah Putih berdiri tegak, maka Ki Ageng Puspakajang itu sudah siap menaburkan senjata rahasianya pula.

Tetapi Rara Wulan tidak membiarkan Ki Ageng Puspakajang itu menyerang Glagah Putih yang baru saja berdiri tegak, sehingga kesempatannya untuk menghindar akan sangat sempit.

Glagah Putih tanggap akan sikap Ki Ageng Puspakajang. Bahkan Ki Ageng Puspakajang itu masih sempat tertawa pada saat ia mempersiapkan serangannya, “Kau akan mati muda. Sayang sekali. Aku tidak melihat kesempatan hidup bagimu.”

Tanpa banyak pertimbangan lagi, maka Ki Ageng Puspakajang pun segera melontarkan debu yang berwarna kehitaman itu ke arah Glagah Putih. Ia yakin bahwa Glagah Putih tidak akan sempat menghindarinya, meskipun ia akan melenting tinggi-tinggi atau meloncat dan berguling sekalipun. Kemudian akan sampai pada gilirannya, Rara Wulan yang akan segera dibantai dengan senjata rahasianya itu pula.

Tetapi pada saat yang bersamaan, yang tidak diperhitungkan oleh Ki Ageng Puspakajang itu pun terjadi. Pada saat ia sedang ingin menikmati hasil serangan senjata rahasianya, Rara Wulan telah menyerangnya dengan ilmu yang baru saja dikuasainya, Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Hembusan kekuatan ilmu yang dahsyat telah menyerang Ki Ageng Puspakajang, justru pada saat ia tidak memperhitungkannya. Sementara itu, iapun telah dikejutkan pula dengan sikap Glagah Putih. Pada saat ia menaburkan serbuk yang berwarna kehitaman itu, Glagah Putih telah mengangkat tangannya, dengan telapak tangan menghadap ke arah tangan Ki Ageng Puspakajang yang terayun itu.

Seleret sinar memancar dari tangan Glagah Putih, meluncur cepat ke arah tangan Ki Ageng Puspakajang yang terayun untuk menaburkan senjata rahasianya itu.

Satu benturan yang keras telah terjadi sebelum serbuk yang berwarna kehitam-hitaman itu sempat menebar.

Terasa betapa ilmu yang tinggi yang dilontarkan oleh Glagah Putih itu menyengat tangan Ki Ageng Puspakajang. Namun sebelum ia menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, serangan Aji Pacar Wutah Puspa Rinonce yang dilontarkan oleh Rara Wulan telah mengenainya pula.

Ki Ageng Puspakajang telah terguncang dengan dahsyatnya. Sengatan dua ilmu yang tinggi dari arah yang berbeda justru pada saat yang tidak diduga sama sekali itu, telah menghimpit Ki Ageng Puspakajang. Tubuhnya melenting tinggi. Sebuah teriakan nyaring telah terdengar.

Kemarahan yang sangat telah membakar jantung Ki Ageng Puspakajang.

Sejenak kemudian, Ki Ageng Puspakajang itu jatuh terbanting di tanah. Sekali ia berguling, namun kemudian Ki Ageng Puspakajang itu pun bangkit berdiri.

Daya tahan tubuh Ki Ageng Puspakajang memang luar biasa. Pada saat tubuhnya dikenai serangan yang dahsyat, maka daya tahan tubuhnya itu pun dengan sendirinya bagaikan dibangunkan di seluruh tubuhnya, sehingga Ki Ageng Puspakajang terlindung karenanya.

Namun kekuatan ilmu yang dipancarkan oleh Glagah Putih dan Rara Wulan adalah ilmu yang tinggi. Karena itu, betapapun kuatnya daya tahan Ki Ageng Puspakajang, namun tubuh Ki Ageng Puspakajang itu pun terhuyung-huyung pula.

“Anak-anak iblis,” geram Ki Ageng Puspakajang, “ternyata kalian mempunyai bekal untuk kesombongan kalian, karena kalian berani menyerang aku dengan ilmu kalian yang tinggi. Sebentar lagi, kalian akan aku musnahkan dengan kekuatan ilmuku, Aji Gundala Geni.”

Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri tegak pada arah yang berbeda. Mereka tidak ingin terlambat. Meskipun Ki Ageng Puspakajang nampaknya sudah terluka di bagian dalam tubuhnya, tetapi agaknya ia masih tetap berbahaya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun segera memberi isyarat kepada Rara Wulan.

Sementara Ki Ageng Puspakajang yang menyesali kelengahannya, sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Mengatur pernafasannya dan memusatkan nalar budinya. Namun karena lukanya di bagian dalam tubuhnya, maka semuanya terasa berjalan sangat lamban.

Ketika Ki Ageng Puspakajang telah siap, maka Glagah Putih pun sekali lagi memberi isyarat kepada Rara Wulan. Maka hampir bersamaan mereka telah menyerang Ki Ageng Puspakajang dengan ilmu pamungkas mereka.

Ki Ageng Puspakajang memang sempat juga melontaikan ilmunya yang disebutnya Gundala Geni ke arah Glagah Putih. Namun karena lukanya di dalam tubuhnya, maka lontaran ilmunya itu tidak dapat mencapai puncak kekuatannya.

Sekali lagi terjadi benturan ilmu yang dilontarkan oleh Glagah Putih dan ilmu yang dilontarkan oleh Ki Ageng Puspakajang. Meskipun Ki Ageng Puspakajang itu sudah dalam keadaan lemah, namun Glagah Putih masih juga tergetar beberapa langkah surut. Tubuhnya menjadi gemetar. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya yang terasa panas.

Glagah Putih itu terhuyung-huyung. Ia masih mencoba mempertahankan keseimbangannya. Namun Glagah Putih itu pun kemudian jatuh terduduk.

Pada saat itulah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang sedang berusaha mengobati Mlaya Werdi, berlari-lari mendekati Glagah Putih.

Sementara itu Ki Ageng Puspakajang sendiri, yang pada dasarnya tubuhnya sudah lemah, tergetar juga surut. Namun kemudian serangan Rara Wulan pun telah mengguncangnya.

Ki Ageng Puspakajang yang perkasa dan berilmu sangat tinggi itu, namun yang sudah terluka di bagian dalam tubuhnya, ternyata tidak mampu lagi bertahan.

Ki Ageng Puspakajang itu terhuyung-huyung. Namun kemudian iapun jatuh berlutut. Ia mencoba bertahan beberapa saat. Namun akhirnya Ki Ageng Puspakajang itu pun jatuh terguling.

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun kemudian berlutut pula di sebelah Glagah Putih. Dengan cemas Nyi Citra Jati pun berkata, “Maaf, Ngger. Aku terlena sejenak. Perhatian kami sepenuhnya tertuju kepada Mlaya Werdi, sehingga kami melupakanmu sejenak. Aku tidak mengira, bahwa Ki Ageng Puspakajang akan melepaskan ilmu puncaknya secepat itu.”

Glagah Putih pun kemudian telah menepi dan duduk bersilang kaki. Telapak tangannya diletakkannya di atas lututnya. Dicobanya untuk memperbaiki keadaan di dalam tubuhnya dengan mengatur pernafasannya.

Rara Wulan pun telah berjongkok di hadapannya pula sambil bertanya dengan cemas, “Bagaimana keadaanmu, Kakang?”

“Tidak apa-apa, Rara. Biarlah aku mencoba memperbaiki keadaan di dalam diriku. Tolong, bantu aku.”

Rara Wulan pun segera duduk di hadapan Glagah Putih. Juga bersilang kaki. Diletakannya telapak tangannya pada telapak tangan Glagah Putih yang menengadah di atas lututnya.

Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Ki Wasesa dan Ki Wiratama yang juga ikut merubungnya, membiarkan Glagah Putih dibantu oleh Rara Wulan mengatur pernafasannya untuk memperbaiki keadaan di dalam dirinya, agar segala sesuatunya tersalur sewajarnya.

Tidak seorangpun yang mengganggunya. Mereka sadari, bahwa sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal bersama Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati, kedua suami istri itu sudah memiliki landasan ilmu yang mapan.

Yang kemudian justru meninggalkan Glagah Putih yang sedang mengatur pernafasannya adalah Ki Wasesa dan Ki Wiratama. Keduanya pun kemudian melangkah mendekati Ki Ageng Puspakajang yang terbaring diam. Namun ternyata Ki Ageng Puspakajang itu masih membuka matanya.

“Kau siapa?” terdengar suara Ki Ageng Puspakajang tersendat.

Yang menjawab adalah Ki Wasesa, “Aku Wasesa, Ki Ageng.”

“O,” nafas Ki Ageng Puspakajang pun menjadi terengeh-engah, “di mana suami istri yang berilmu tinggi itu?”

“Mereka menyingkir dan sedang berusaha memperbaiki tatanan tubuh mereka yang kau kacaukan dengan ilmumu.”

“Aku akan minta maaf kepada mereka. Katakan, aku ingin berbicara. Aku kagumi mereka yang masih muda, tetapi ilmunya sudah menggapai langit.”

“Aku tidak tahu, apakah mereka sudah selesai.”

“Aku hanya memerlukan waktu sebentar. Nyawaku sudah berada di ubun-ubun.”

Ki Wasesa itu pun kemudian menyampaikan permintaan Ki Ageng Puspakajang itu kepada Glagah Putih, yang masih duduk berhadapan dengan Rara Wulan.

Namun nampaknya keadaan Glagah Putih sudah berangsur baik. Karena itu, maka iapun menghentikan sikap dan lakunya. Dengan nada berat Glagah Putih itu pun berkata, “Kami akan menemuinya.”

Dibantu oleh Ki Citra Jati, Glagah Putih melangkah mendekati tubuh Ki Ageng Puspakajang yang terbaring. Di sebelahnya, Rara Wulan dibimbing oleh Nyi Citra Jati. Bagaimanapun juga mereka harus berhati-hati menghadapi Ki Ageng Puspakajang yang sudah dalam keadaan yang sulit itu.

“Ki Ageng,” berkata Ki Wasesa, “inilah mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan.”

Ki Ageng Puspakajang membuka matanya. Iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Aku kagumi kalian berdua, anak-anak. Berbahagialah ayah dan ibumu yang mempunyai anak-anak semuda kalian, tetapi sudah memiliki bekal ilmu yang tinggi.”

“Ki Ageng memuji kami,” desis Glagah Putih.

“Glagah Putih,” berkata Ki Ageng Puspakajang kemudian, “sebentar lagi, aku akan mati. Tetapi aku tidak ingin mati tanpa bekas. Selama ini aku belum sempat memiliki murid utama yang pantas untuk menerima warisan ilmu puncak yang aku miliki, di samping penggunaan beberapa jenis senjata rahasia,” suara Ki Ageng melemah.

“Maksud Ki Ageng?” bertanya Glagah Putih.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar