Warisan Berdarah Jilid 6

Jilid 6

“cara yang pertama “ang-gan-kwi” akan menggodok mata kekuatan untuk menewaskan siauw-taihap, dan ini akan memakan waktu hingga lima tahun, dan sementara waktu berjalan, saya dan tiga rekan lainnya akan membentuk kantong-kantong untuk mempermainkan “siauw-taihap” sehingga ia sibuk yang akan melelahkan mentalnya.” sahut hek-kai, semua hadirin hening menunggu uraian hek-kai selanjutnya

“setelah pertemuan ini, kalian akan mengetahui pusat hek-to diempat wilayah, dan bagi hadirin yang tinggal diwilayah tersebut untuk langsung mengadakan pertemuan membicarakan rencana bersama seorang dari kami, jadi langsung saja saya sampaikan saja, saya jadi datuk diwilayah utara, “hek-sha-mo” di wilayah barat, “coa-hiat-kwibo di timur, sementara “koai-kok-lohap diwilayah selatan, silahkan semua membuat kelompok menurut wilayah masing-masing” ujar hek-kai, lalu para hadirin mengambil tempat sehinga mereka menjadi empat kelompok.

Sementara itu “ang-gan-kwi membawa murid dan dua keponakannya kedalam bangunan

“liang-ji dan ong-ji, selama lima tahun ini, kalian harus giat untuk mempelajari gin-kang dan sin-kang, dan kalian bertiga adalah mata kekuatan hek-to untuk menewaskan siuaw-taihap.”

“baiklah susiok, kami akan berusaha dengan giat.” sahut keduanya sambil menjura. “jadi saya putuskan saya dan cing-moi akan akan tinggal di lembah ini bersama kalian.” “demikian juga baik susiok.” sahut kwi-ong.

Lembah merak kembali sepi setelah selama seminggu suasananya ramai, kantong-kantong kekuatan di empat wilayah telah ditetapkan sekaligus rencana dan strateginya, kantong kekuatan diwilayah selatan berada di kota kangshi, untuk wilayah utara di kota hehat, di kota lijiang untuk wilayah barat, dan di kota jengzhou untuk wilayah timur, tionggoan akan geger tidak lama lagi, kalangan pek-to akan terkejut dengan gebrakan hek-to yang luar biasa ini.

Kota kaifeng dibanjiri para pendekar yang hendak memenuhi undangan bengcu atas resepsi pernikahan putranya han-liang-jin dengan cucu wakil bengcu yap-hui-hong, sebagaimana di awal diceritakan bahwa jalinan asmara singkat antara han-liang-jin dan yap-hui-hong telah diikat oleh yap-kun dengan pernikahan di yinchuan, setelah sebulan menikmati bulan madu di yinchuan, mereka berangkat ke kaifeng.

Perjalanan dua sejoli itu dilakukan dengan santai, keduanya banyak singgah ditempat-tempat yang indah, pasangan ini dikota mana mereka lewat jadi buah bibir dan decak kagum dari orang-orang yang melihatnya, betapa tidak lelakinya tampan bersahaja, wanitanya luar biasa jelita, apalagi orang kenal betul dengan cucu wakil bengcu ini, julukannya “kim-sim-sin-sianli” sudah dua tahun jadi buah bibir, terlebih setelah mereka tahu pasangan yang menjadi suami pendekar wanita itu adalah putra bengcu yang julukannya tenar dibarat dengan sebutan “sin-san-taihap” semakin kagumlah mereka pada pasangan hebat dan luar biasa ini.

Enam bulan kemudian sampailah mereka kekota Kaifeng, keduanya disambut oleh Han-fei-lun dengan gembira. “selamat bagi kalian berdua anakku!” sapa Han-hujin sambil memeluk mantunya, memang keluarga Han telah mengetahui dengan ikatan yang disahkan oleh “kim-san-sin-siucai” karena Yap-kun setelah kedua sejoli bersetuju menikah, maka ia mengutus dua orang pendekar ke kota kaifeng untuk menyampaikan berita tersebut kepada bengcu, dan bengcu beserta istri gembira mendengar kabar tersebut, dan mereka sangat menyetujui tindakan yang dilakukan Yap-kun dan merestui pernikahan dilakukan di Yinchuan.

“maafkan jika anak telah mendahului restu ayah dan ibu.”

“hahaha…tidak anakku, restu kami telah engkau dapatkan setelah melangkah keluar dari rumah ini, apapun tindakanmu diluar sana kami yakin semuanya adalah baik, dan karenanya tidak ada ganjalan dalam hati kami anakku.”

“terimakasih ayah, ibu yang sudah mempercayai sepenuhnya tindakan anak.”

“dan sekarang anakku, dan engkau juga mantuku, dua minggu lagi resepsi pernikahan kalian akan digelar.” ujar Han-fei-lun dengan mata berbinar bahagia melihat anak dan mantunya.

Demikianlah dan pada hari yang telah ditetapkan para undangan pun berdatangan, tidak kurang dari lima ratus pendekar kalangan pek-to yang datang, ditambah lagi para warga kota dan kota-kota terdekat, sehingga tamu hampir mencapai seribu orang, kedua pengantin di sanding di pelaminan, luar biasa sedap dipandang pasangan tersebut, ditengah kemeriahan yang semarak itu, hanya satu yang mengganjal hati bengcu, yakni tidak datangnya ayahnya Han-hung-fei, padahal dia sendiri yang datang kekota bicu untuk menyampaikan pada ayahnya.

Ketika itu ayahnya menjawab akan berusaha datang, sehingga hatinya merasa lega, tapi kenyataannya tiba masanya, ayah dan ibu tirinya tidak datang, atau han-bu-jit yang merupakan tulang punggung keluarga di kota bicu, itupun tidak datang, apakah yang menyebabkan han-tua ini tidak datang? marilah kita lihat kesana, dan mundur sesaat.

Han-hung-fei yang sudah berumur enam puluh lima tahun dikunjungi oleh Han-fei-lun, kedatangan putra sulungnya ini membuat hatinya gembira dan bahagia

“kedatanganmu yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan membuat hati ayah senang lun-ji, bagaimanakah kabar adikmu dan keluarga di kaifeng?”

“adik dan semua keluarga baik dan sehat ayah.”

“syukurlah jika demikian, lalu ada apa nak hingga kamu datang kesini?”

“begini ayah dan bibi serta jit-te, pada hari ketujuh bulan depan saya akan mengadakan resepsi pernikahan cucu ayah Han-liang-jin, jadi saya mohon kiranya ayah dan bibi beserta jit-te datang ke kaifeng.”

“hehehe…kabar yang amat menggembirakan yang kamu sampaikan itu lun-ji, ayah dan bibimu akan kesana, bukankah demikian kim-moi?”

“benar jika tidak aral melintang kami akan datang lun-ji.” “kalau begitu, hati saya lega dan bahagia ayah, bibi.” “heheh..darimanakah cucu mantuku itu lun-ji?”

“cucu mantu ayah dari utara tepatnya dari kota yinchuan, cucunya “kim-san-sin-siucai” “oh…bukankah dia itu wakilmu, lun-ji?”

“benar ayah, dan beliau telah menikahkan jin-ji dan mantu di yinchuan, sehingga dikaifeng hanyalah resepsinya.”

“oo, begitu, wah tentunya akan banyak tamu yang datang.” “kemungkinannya demikianlah ayah, jadi ayah pun datanglah.”

“bai..baik anakku, aku akan datang.” sahut Han-hung-fei senyum, mimiknya demikian senang, walaupun tidak terpancar dari matanya yang hanya tinggal dua rongga hitam.

Keesokan harinya Han-liang-jin meninggalkan kota bicu untuk kembali kekota kaifeng, dan pada waktu makan malam, han-bu-jit berkata

“benarkah ayah akan kekota kaifeng?”

“apa maksudmu jit-ji?” tanya hung-fei heran

“dia itu anak macam apa ayah!? sejak mambawa adiknya dari sini, ia tidak pernah menjenguk ayah sekalipun?”

“jit-ji, benar bahwa lun-ji tidak pernah datang, tapi ia sering menanyakan kabar dan keadaan kita lewat surat-suratnya yang dibawakan piauwasu.”

“surat saja tidak cukup ayah, jika dia itu merasa benar anak ayah, setidanya ia beberapa kali datang menjenguk ayah.”

“saudaramu itu bengcu anakku, tentunya ia sangat sibuk melayani para pendekar yang silih berganti datang untuk menyambanginya, dan disamping itu juga muridnya banyak yang butuh perhatian dan binaan, terlebih perguruannya tidak hanya membina keterampilan fisik, tapi juga keterampilan pikir dan jiwa.”

“ayah terlalu membelanya, dan saya tidak setuju jika ayah pergi ke kaifeng.” “benar fei-ko.” sela han-hujin

“eh…bagaimana pula engkau berkata demikian, kim-moi?”

“aku merasa bahwa selama ini ia tidak menjengukmu, karena ia sakit hati dengan kita yang kelihatannya tidak mengurus ibunya.”

“betul ibu, dan ibunya juga telah memutuskan bahwa anaknya tidak berhubungan dengan kita, sehingga ia menyuruh fei-lun mengasuh adiknya.”

“kalian ini terlalu mengada-ada!” bentak hung-fei

“sudahlah ayah, aku tidak mau berdebat, yang jelas aku tidak setuju ayah ke kaifeng.” sahut bu-jit sambil meninggalkan ruangan makan, han-hung-fei tidak bisa berbuat apa, kecuali hanya merenung, seminggu kemudian seorang piuawsu mengantarkan surat yang dia bawa dari kota shijajuang, dimana putranya Han- bu-seng tinggal, han-bu-jit membuka surat dan membacanya

semoga ayah, ibu dan semua keluarga di bicu dalam keadaan sehat semua, demikian juga saya dan keluarga.

ayah, ibu, anak mengharap supaya ayah dan ibu datang ke shijajuang, karena anak sudah rindu, dan juga mantu ayah beberapa bulan lagi akan melahirkan anak kami yang kedua.

Demikian ayah, kami menungu kedatangan ayah dan ibu.

“oh..kita harus kesana fei-ko, dan menyambangi mantu kita yang akan melahirkan.” ujar han-hujin dengan wajah gembira.

“benar ayah, dan besok ayah dan ibu akan berangkat, sehingga cepat sampai kesana.” sela bu-jit “lalu bagaimana dengan undangan fei-lun?” “koko ini gimana, anak sendiri sudah mengharap kedatangan kita, apa kita tidak akan memperkenankannya?” sahut han-hujin dengan nada ketus

“kim-moi, fei-lun juga anakku.” bantah han-hung-fei

“benar, dia anakmu dan bukan anakku, aku mau kita ke shijajuang, bukan kekaifeng!” tandas han-hujin dengan mata berkilat

“ayah, sudahlah! sebaiknya ayah dan ibu berkemas.” sela han-bu-jit, han-hung-fei terdiam tak berdaya.

Keesokan harinya berangkatlah Han-hung-fei dan han-hujin dengan dikawal Han-piuawkiok menuju kota shijajuang, hung-fei tidak lagi memikirkan undangan fei-lun, karena bagaimanapun perjalanan ini untuk memenuhi keinginan putra bungsunya dengan istrinya khu-lian-kim, hatinya yang semula tidak enak mengabaikan undangan Han-fei-lun semakin tawar.

Pesta pernikahan putra bengcu berlangsung semalam suntuk, para undangan disuguhkan dengan hiburan tarian dan penampilan drama dari pemain teater yang menampilkan yang berjudul “sastrawti dari negeri tayli” sebuah cerita cinta dua sastrawan dari dua daerah yang berbeda, dan sama belajar dikota tayli, dua sastrawan itu sangat akrab, salah satu dari sastrawan itu ternyata adalah perempuan cantik yang menyamar, hal itu dilakukan karena pandangan pada masa itu, wanita tidak layak untuk belajar, didesanya semua perempuan bekerja diladang atau mengurus dapur dan kasur jika sudah berumah tangga, tradisi feodal itu tidak menyurutkan niat wanita untuk menimba ilmu, dan dengan afiknya ia merubah riasan mukanya sehingga ia berhasil belajar di kotanya, wanita itu berhasil gemilang karena otaknya memang cerdas dan wawasannya luas, sehingga gurunya merekomendasikannya supaya melanjutkan pelajaran kekota Tayli, dan dikota tayli ia berkenalan dengan seorang sastrawan tampan dari kota lain, keduanya sama-sama cerdas, dan mereka sering bersama baik ketika menulis syair atau bermain musik. akhirnya ketika sastrawan yang menyamar itu mengajak temannya berkunjung kedesanya, dalam perjalanan panjang itu terbukalah rahasia wanita itu, dan sejak itu timbul rasa sungkan diantara keduanya, namun mereka yang mengadakan perjalanan bersama, lama kelamaan timbul kertetarikan antara dua lawan jenis, akhirnya cinta pun di ikrararkan disebuah bukit, dan cerita perjalanan keduanya bukanlah hal yang mudah, tapi penuh dengan tantangan, namun dengan kekuatan cinta mereka saling bahu membahu mengatasinya, hujan panas yang dilalui kadang membuat mereka sakit-sakitan, binatang buas yang mengancam, penjahat culas yang mengintai, semua itu mereka hadapi dengan gigih, hingga akhirnya mereka sampai kedesa tujuan dan mengecap kebahagian rumah tangga, dan bahkan keduanya menyulap desa yang dulunya miskin menjadi desa makmur dengan mencetuskan ide irigasi persawahan, manajemen perangkat desa yang solid, dan membuka kerjasama dagang dengan penduduk kota disekitar desa.

Para undangan demikian asik mengikuti jalan cerita yang dikemas dengan baik oleh kru drama, sehingga tak disadarai malam sudah sangat larut, dengan rasa puas dan senang para tamu istirahat, dan sebagian besar warga kota pulang kerumah masing-masing, dan kedua mempelai juga masuk kekamar pengantin untu rehat dalam perlukan hangat dua hati yang mencinta.

Dua tahun setelah resepsi pernikahan han-liang-jin, kota kaifeng kembali dibanjiri oleh para pendekar, hal ini dikarenakan sejak setahun yang lalu banyaknya terjadi kesewenang-wenangan di berbagai kota, perampokan-perampokan marak terjadi, sehingga banyak piuawkiok yang bangkrut, dan tidak hanya itu, pembunuhan para pendekar dan kauwsu merebak, oleh karena itu bengcu menyebarkan undangan untuk melakukan pertemuan di hutan lutung putih sebelah utara kota kaifeng.

Di sebuah lapangan luas para pendekar berkumpul, bengcu sudah duduk bersama beberapa cianpwe termasuk yap-kun, enam puluh pendekar membentuk setengah lingkaran dengan berbaris tiga, diantara para pendekar ada juga beberapa pendekar wanita, merka duduk di sebelah kanan para cianpwe, saat pertemuan hendak dibuka, maka bengcu dan wakil bengcu mengambil tempat agak ketengah lingkaran.

“para cianpwe yang terhormat, dan hadirin sicu hohan semua, saya ucapkan selamat datang dan ucapan terimaksih atas kehadiran para hohan pada pertemuan kita kali ini, sebagaimana dalam undangan kami, bahwa pertemuan ini akan membahas tentang keadaan yang terjadi akhir-akhir ini, dan untuk lebih detailnya saya ingin para hohan menceritakan apa yang dialami atau analisa kesimpulan dari setiap kejadian supaya menyampaikan kepada kami, dan untuk kita bicarakan bersama.” ujar Han-fei-lun. “bengcu yang mulia, saya Tan-kiang ingin menyampaikan pendapat tentang kejadian akhir-akhir ini.” sela seorang lelaki berumur lima puluh tahun, dipunggungnya tersampir pedang bergagang kepala burung dan beronce warna kuning.

“silahkan tan-taihap, kami siap mendengarkan!” sahut bengcu

“dari maraknya kejadian yang menyebar diberbagai kota, dan tidak hanya dalam satu wilayah seperti diselatan ini, bahkan juga merebak diwilayah lain seperti di wilayah barat, ini merupakan indikasi terselubung dari sebuah rencana yang terorganisir.”

“benar apa yang dikatakan oleh tan-taihap tersebut bengcu, karena hal serupa juga terjadi diwilayah utara dimana kota-kota diperas oleh tuan tanah, dan hartawan, para pendekar dan kauwsu kedapatan tewas disatroni orang-orang misterius. demikian pula para piauwkiok terancam gulung tikar.”

“hmh…apakah keadaan menimpa juga diwilayah timur?” sela bengcu

“benar bengcu, kasus-kasus yang digambarkan oleh Yang-taihap persis dengan yang terjadi di wilayah timur.” sela seorang pendekar wanita.

“jika demikian halnya, ini memang rencana yang terorganisir, dan harus ditangani dengan cermat dan kekuatan penuh.” sela Yap-kun

“benar sekali yap-cianpwe, dan kira-kira ada tidak diantara kita yang mengetahui ini ulah sindikat atau nama perkumpulannya?”

“menurut pendapat saya, semua ini tidak jauh dari makar para pentolan hek-to.”

“adakah dari kita yang pernah mendengar orang yang menamakan dirinya “thian-tin” setahun terakhir ini?” tanya Fei-lun, semua hadirin terdiam

“saya tidak mendengarnya bengcu, apakah memang ada nama itu?” jawab Yap-kun

“orang-orang yang menamakan diri dengan thian-tin pernah mendatangi saya tiga tahun yang lalu, tapi setelah itu saya tidak pernah mendengarnya lagi.”

“apa maksudnya thian-tin ini mendatangi bengcu?” tanya cia-kong-taisu, ciangbujin dari butong-pai

“mereka sepertinya hendak membinasakan saya taisu, dan saat itu sebelas dari mereka tewas, dan empat orang luka yang saya sarankan supaya berobat ke pada shinse yang berada diselatan kota kaifeng.”

“bengcu yang mulia, jika thian-tin ini memang ada tiga tahun yang lalu, maka saya dapat menemukan benang merah yang berhubungan.”

“maksud Yo-taihap bagaimana?”

“saya pernah mendengar dua tahun yang lalu kalangan hek-to mengadakan pertemuan di lembah merak kota tianjin, kemungkinan yang melatar belakngi pertemuan itu karena gagalnya thian-tin untuk mencelakakan bengcu.”

“hmh…bisa jadi apa yang dikatakan oleh Yo-taihap itu bengcu.” sela cia-kong-taisu

“jika demikian, kita sudah memiliki gambaran bahwa makar yang terjadi adalah ulah hek-to, yang hendak membangkitkan kembali panji mereka setelah redup dengan tewas enam datuk ditangan bengcu, dan polanya jelas bagi kita bahwa target utama mereka adalah bengcu kita yang mulia, lalu bagaimana pendapat bengcu, apa yang harus kita lakukan?”

“Yap-cianpwe dan para hohan semua, dari gambaran yang disampaikan Yap-cianpwe, besar kemungkinan demikianlah adanya, jadi untuk mengatasi ini, kita harus mengerahkan kekuatan dan kerjasama.”

“apa langkah yang akan kita ambil bengcu?” sela Yo-taihap “langkah yang pertama, jika ini memang merebak diseluruh wilayah, maka saya ingin tahu dikota-kota mana tirani hekto ini bermula, adakah yang bisa memberikan jawaban”

“untuk wilayah selatan, tirani bermula dari kota wuhan, bengcu.” jawab tio-taihap “dan untuk wilayah barat, bermula dari kota lamhong.” sela tan-taihap

“dan dikota jengzhou untuk wilayah timur, dan kota taiyuan untuk wilayah utara.” sela Yo-taihap “baik jika demikian, kita akan menjalankan dua rencana untuk menanggulangi keadaan ini.” “apa sajakah itu bengcu?” tanya cia-kong-taisu

“rencana pertama misi penyelidikan pusat kekuatan hek-to, dan yang kedua misi pemberantasan pelaku tirani diberbagai kota.”

“kami siap mendengarkan bengcu, apa yang harus kami lakukan?” sela Yang-taihap

“untuk menjalankan misi pertama, keluarga saya yang akan melaksanakanya, dan untuk misi kedua, kumpulkanlah teman-teman diwilayah masing-masing, dan ketika utusan saya datang kesana, mulailah kalian bekerja bahu membahu membersihkan tirani di kota-kota tersebut.”

“baik bengcu, apakah bengcu sendiri yang menetapkan kota untuk tempat berkumpul itu?” sahut tan-taihap “tidak, tapi para hohan yang berasal dari wilayah bersangkutan, dan saya ingin tahun empat kota tersebut.” “untuk daerah barat, dikota chongqing.” sela sela Li-taihap

“bagaimana dengan utara dan wilayah lainnya?” tanya bencu, sesaat para pendekar saling bicara, kemudian

“kota shanghai untuk wilayah timur.” sela Gak-taihap “kota yinchuan untuk wilayah utara.” sahut Ma-taihap “kota nanchao untuk wilayah selatan.: sahut Yang-taihap

“baik, jika demikian, dua hari lagi utusan saya akan berangkat kekota-kota tersebut, semoga thian membantu kita dalam mengatasi kemelut dunia persilatan ini.” ujar bengcu, para hadirin pun mengangguk hikmat.

Kemudian mereka membicarakan hal-hal yang dikira perlu, mereka saling bercengkrama sambil makan dan minum, dan setelah itu pertemuan itupun bubar dan para hohan kembali ketempat masing-masing, Bengcu dan Yap-taihap kembali ke dalam kota, sesampai dirumah, bengcu memerintah seorang muridnya untuk mengumpukan murid-muridnya yang sudah menammat pelajaran dan tinggal di kota kaifeng dan hopak.

Keesokan harinya para murid itu pun datang menghadap suhu mereka, umur mereka antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima, selama kurang lebih dua puluh lima tahun, “sin-siucai-bukoan sudah menammatkan ratusan murid yang menyebar di seluruh wilayah selatan, dan yang jumlah murid yang menghadap bengcu hari itu sebanyak enam belas orang

“kami datang memenuhi panggilan suhu, dan siap mendengarkan.” ujar Lu-tan dengan hormat, enam belas murid itu berlutut dihadapan Han-fei-lun dan Yap-kun

“ana-anaku, aku ingin memberikan tugas pada kalian sehubungan dengan makar yang terjadi di rimba persilatan, jadi untuk menanggulangi keadaan ini, saya memerintahkan empat dari masing-masing kalian untuk berangkat kekota-kota yang akan saya sebutkan, dan disana para taihap dan hohan yang tinggal disana sedang menunggu kalian.”

“kami akan siap dan mengemban tugas dari suhu dengan sepenuh hati.” sahut lu-tan “baik, kamu bagilah tan-ji, saudara-saudaramu untuk berangkat kekota nancao, chongqing, yinchuan dan shanghai, dan jika kalian sudah sampai ditujuan, segeralah susun strategi pembersihan diberbagai kota yang mengalami penindasan, jenis kejahatan apapun yang membuat trauma warga, kalian tanggulangilah bersama dengan para hohan disana.”

“baik suhu, kami akan laksanakan, dan kapankah kami akan berangkat?”

“berangkatlah besok dan doa saya menyertai kalian semua.” sahut bengcu, lalu enam belas murid itu sama-sama berdiri dan menjura kepada bengcu, kemudian Lu-tan membawa saudaranya ke lianbutia untuk berbagi tugas.

Keesokan harinya enam belas sastrawan jebolan “sin-siucai-bukoan” meninggalkan kota kaifeng menuju kota yang telah ditetapkan, sementara bengcu dan Yap-kun dan keluarga bengcu berkumpul diruang keluarga.

“Jin-ji besok berangkatlah kekota lamhong untuk menyelidiki pusat kekuatan hek-to di wilayah barat.” “baik ayah, anak akan melakukannya.”

“dan kamu mantu, cucuku han-bao-san titipkanlah pada kami, dan berangkatlah bersama cianpwe ke kota taiyuan untuk melakukan hal yang sama.”

“baik gak-hu, anak akan melaksanakannya.” sahut Yap-hui-hong dengan takjim

“dan hoa-ji, berangkatlah kekota jengzhou untuk menyelidiki pusat kekuatan hek-to diwilayah timur.”

“anak siap melakukan perintah ayah.” sahut Han-bwee-hoa yang sudah berumur dua puluh dua tahun, lalu Han-fei-lun menatap adiknya yang Han-sian-hui yang sudah berumur delapan belas tahun, wajanya yang cantik seiras ayahnya Han-hung-fei yang tampan.

“kekota manakah aku akan pergi menyelidiki kekuatan hek-to koko?” tanya Han-sian-hui “hui-moi, mulailah dari kota Wuhan, dan berhati-hatilah dengan tugasmu adikku.”

“baik koko, dengan sepenuh hati aku akan lakukan dan akan selalu ingat pesan koko.” sahut sian-hui mantap.

Keesokan harinya Han-liang-jin dan bibinya han-sian-hui berangkat meninggalkan kota kaifeng, dan keesokan harinya Han-bwee-hoa meninggalkan kota kaifeng, dan dua hari kemudian Yap-kun dan cucunya Yap-hui-hong meninggalkan kota kaifeng, dan seminggu kemudian teryata bengcu juga meninggalkan kota kaifeng, tujuannya adalah kota tianjin.

Kota shanghai merupakan kota pelabuhan yang sangat ramai, siang itu disebuah hutan dipinggir pantaidua puluh pendekar sedang berkumpul, diantara mereka ada empat sastrawan, pakaian mereka terkesan seragam, walaupun warna pakaian itu tidak sama, karena bentuk sama yakni, baju panjang hingga sampai ke mata kaki, dan dari atas pinggang dua sisi terbelah dengan renda dengan motif dua warna, celana mereka sama dengan warna dengan pakaian mereka, empat sastrawan itu kelihatan gagah dan lebut, rambut mereka yang dikuncir kuda dan sehelai sal tersampir dibahu mereka, sal itu sama berwarna hitam, dengan lukisan burung merak dari benang warna emas, sehingga menambah gagahnya empat sastrawan itu

Empat sastrawan itu adalah murid dan “siauw-taihap” bengcu dunia persilatan, yang tertua berumur dua puluh delapan tahun, bernama Cu-hai-bun, memakai pakaian warna hitam, yang kedua dan ketiga berumur dua puluh enam tahun bernama Cia-hung dengan pakain warna putih, dan suma-kun berpakaian warna biru, dan yang keempat khu-wei-lun berumur dua puluh enam dengan pakaian warna kuning.

Enam belas orang lainnya adalah para pendekar wilayah timur yang memang menanti kedatangan empat utusan bengcu.

“baiklah rekan-rekan taihap semua, karena empat murid bengcu sudah ada ditengah-tengah kita, sebaiknya kita lansung membicarakan startegi pembersihan yang akan kita laksanakan.” ujar gak-taihap membuka pertemuan

“ada enam kota di wilayah ini yang terpuruk akibat penindasan, yakni jengzhou, jinan, liangyuan, qingdao, yentai dan shanghai sendiri, jadi bagaimana menurut pendapat si-ci-si (empat utusan)?”

“untuk lebih maksimalnya tugas kita, maka sebaiknya kita terbagi menjadi tiga bagian, bagian pertama menghentikan keganasan para hartawan dan tuan tanah yang memeras warga dienam kota tersebut, bagian yang kedua menghentikan sepak terjang perampok yang berada dihutan, bukit atau gua diluar kota, dan yang ketiga mengusut pelaku pembunuhan para pendekar dan kuwsu.” ujar Cu-hai-bun

“lalu bagaimana pembagiannya dengan jumlah kita yang ada dua puluh?” tanya bu-taihap

“disetiap kota terdiri dari lima orang diantara kita, dengan rincian dua orang mengurus tuan tanah, dua orang menyisir sarang perampok dan satu orang mengusut pembunuhan para pendekar.”

“jadi kita bekerja empat kota sekaligus, begitukah Cu-taihap?” sela gak-taihap

“benar gak-taihap, saya dan empat rekan yang lain akan membersihkan kota shanghai, dan saya pada bagian pengusutan misteri pembunuhan, demikian juga dengan tiga sute saya, masing-masing dengan empat rekan lainnya di tiga kota lainya.”

“baik kalau begitu, si-ci-si akan mengerjakan bagian pengusutan, dan empat taihap lainya bagian penyisiran diluar kota dan penaggulangan dalam kota.” ujar Gak-taihap, lalu setelah setengah jam berembuk, maka merekapun bubar dan berpencar menuju kota-kota yang disepakati.

Cu-hai-bun dan dua pendekar lainnya can-taihap dan bao-taihap memasuki kota shanghai, sementara dua yang lain memulai penyisiran dari arah pantai dan daerah dipinggir kota, tiga pendekar itu memasuki likoan, yang dipadati banyak pekerja yang sedang makan, setelah selesai makan, cu-hai-bun memisahkan diri dan mendatangi kim-to bukoan (perguruan golok emas) dan sementara dua pendekar mendatangi kediaman phang wangwe dan tiga hartawan lainnya.

Kauwsu perguruan ini bernama Li-kang dan setahun yang lalu kauwsu kedapatan tewas dibelakang rumahnya, perguruan itu seprtinya tidak aktif lagi, karena ketika cu-hai-bun datang tidak ada seorang muridpun yang latihan, dia hanya disambut seorang tukang kebun tua

“siapakah kongcu, ada apa datang kemari?”

“saya cu-hai-bun seorang pengelana, dan saya dengar Li-kauwsu tewas setahun yang lalu, kalau boleh tahu lopek, apakah yang terjadi saat itu?”

“marilah kita duduk kongcu, supaya enak kita bicara.” ujar orang tua itu sambil mengajak cu-hai-bun disebuah bangku dipinggir pagar perguruan.

“setahun yang lalu, kauwsu kedapatan tewas di halaman belakang, tewasnya sangat mengenaskan karena kepala kauwsu pecah dan otaknya terburai.”

“apakah Li-kauwsu memiliki musuh atau saingan?”

“musuh saya tidak tahu kongcu, tapi saingan dalam usaha perguruan ini ada, tapi tidak mungkin mereka yang melakukannya, karena tiga orang kauwsu itu juga tewas beberapa hari sesudah kauwsu tewas, bahkan satu diantaranya lebih duluan sehari daripada kauwsu.”

“hmh…lalu apakah lopek melihat jasad Li-kauwsu yang tewas?”

“aku melihatnya kongcu, karena aku yang pertama sekali menemukannya pagi itu.” “bagaimana posisi mayat Li-kauwsu saat pertama lopek lihat?”

“mayatnya tergeletak telungkup dipinggir kolam hingga kepalanya terjuntai kedalam kolam.” “apakah ada sesuatu ditubuh Li-kauwsu entah bekas pukulan atau jarum beracun?” “sepertinya bekas pukulan banyak, dan soal jarum, kata sinse yang memeriksa tubuh kauwsu, dia mendapatkan sebuah jarum dilambung kauwsu.”

“apakah sinse itu masih berada dikota ini, lopek?” “sinse itu ada tiga blok dari sini, ia dipanggil he-sinse.” “baiklah lopek, terimaksih atas informasinya.”

“ya..ya dan kalau boleh tahu apakah kongcu penyelidik dari kota raja?”

“tidak lopek, saya adalah utusan bengcu untuk mengusut pembunuhan misteri ini.”

“oo, jadi siauw-taihap ternyata perduli juga dengan kasus seperti ini, walhal beliau itu jauh diselatan.”

“tentunya ini erat kaitannya dengan makar hek-to, jadi bengcu tak dapat tidak harus bertindak.” sahut cu- hai-bun, tukang kebun itu mangut-manggut.

Cu-hai-bun mendatangi rumah He-sinse yang tidak jauh dari rumah Li-kauwsu, seorang pegawai he- kauwsu yang sedang menggiling obat menatapnya

“kongcu mau membeli obat?” sapa pegawai itu

“bukan sucu, aku hendak bertemu dengan sinse, beliau adakah?”

“oh, sebentar saya akan kedalam.” sahut pegawai itu sambil menutup tempat penggilingannya dengan sebuah nampan dan keluar dari toko, ia masuk kedalam rumah induk, dan tak lama ia keluar bersama lelaki tua berumur enam puluh tahun.

“ada apakah kongcu, apa yang dapat saya bantu? tanya he-sinse

“maaf sebelumnya sinse, karena telah merepotkan, saya adalah cu-hai-bun” “ah tidak kongcu, ada apakah?”

“begini sinse, saya dengar dari tukang kebun Li-kauwsu, bahwa sinse yang memeriksa jasad Li-kauwsu.” “benar kongcu, lalu ada apakah sehingga kongcu menanyakan hal tersebut?”

“saya ingin tahun jarum apakah yang menancap dilambung Li-kauwsu?”

“ooh itu, jarumnya berupa jarum penyulam yang amat halus sepanjang tiga dim.” “apakah hanya satu harum, dan apakah mengandung racun, sinse?”

“yang menancap saat itu ada tiga jarum, dan jelas amat beracun.” “oh, apakah sinse mengetahui jenis racunnya?”

“sejenis racun ular hijau, kongcu.” “dimanakah ular hijau ini banyak didapatkan?”

“setahu saya ular hijau banyak didapatkan di wilayah barat, ada apakah sehingga kongcu bertanya sedetail itu?”

“saya hendak mengusut pembunuhan yang menimpa para kauwsu sinse?” “ooo, jadi kongcu ini penyelidik dari kota raja?”

“bukan sinse, tapi saya utusan bengcu.” “bengcu? bengcu “siauw-taihap maksud kongcu?”

“benar sinse, karena jika dicermati pembunuhan ini berkaitan dengan usaha makar hek-to yang menyebar tirani diberbagai kota.”

“oh…begitukah kongcu?”

“benar sinse, lalu apakah bekas pukulan yang di terima Li-kauwsu juga beracun?”

“tidak….bekas pukulan tidak beracun, tapi diatas pukulan ada guratan kuku yang sangat beracun.”

“oh begitu, jadi besar kemungkinan lawan yang membunuh Li-kauwsu seorang berkuku panjang?” he- sinse mengangguk

“lalu apakah sinse tahu jenis racunnya?”

“saya tidak tahu persis kongcu, hanya kalau melihat bekas guratan itu mengeluarkan bau, saya cendrung jemari itu di rendam dengan sesuatu yang mudah menginfeksi luka.”

“baik dan terimakasih sinse, informasi sinse sangat berharga dan saya sangat berterimakasih, saya permisi dulu”

“baik, dan sama-sama kongcu.” sahut he-sinse.

Setelah dua minggu berada di kota shanghai, lima pendekar berkumpul kembali di sebuah likoan yang sudah disepakati.

“bagaimana dengan penyisiran jiwi-taihap?” tanya cu-hai-bun

“kami telah membersihkan sarang perampok di dua tempat, walaupun Lu-taihap terluka dibahunya.” Jawab Yan-taihap

“seberapa parahkah lukamu Lu-taihap?”

“tidak seberapa parah cu-taihap, hanya luka sabetan pedang, dan juga sudah diobati.” sahut Lu-taihap

“dan mengenai tiga hartawan, kami sudah bereskan, dan memaksa mereka untuk mengembalikan pungutan.”

“itulah yang saya dengar beberapa hari ini can-taihap, berita itu tersebar dan menjadi bahan cerita orang dilikoan.”

“lalu bagaimana dengan penyelidikan cu-taihap?” “ada sedikit petunjuk yang saya dapatkan bao-taihap.”

“apa petunjuk yang sedikit itu cu-taihap?” sela can-taihap

“orang yang membunuh para kauwsu adalah seorang yang ahli dengan racun, senjata jarumnya mengandung racu ular hijau, dan kukunya juga amat beracun, adakah para taihap mempunyai gambaran siapa dari hek-to yang memiliki jarum beracun?”

“setahu saya ada dua orang, yakni “siang-mou-bi-kwi” (iblis cantik berambut harum) dan “eng-lim-bi-moli” (setan cantik hutan bayangan)” sahut Yan-taihap.

“eng-lim-bi-moli, saya tidak yakin menewaskan Li-taihap, karena ilmunya masih kalah dengan Li-taihap.” sela Lu-taihap

“lalu bagaimana dengan “siang-mou-bi-kwi?” tanya Cu-hai-bun “kalau “siang-mou-bi-kwi” mungkin karena dia adalah salah satu pentolan dimasa jayanya para lao.” sahut Lu-taihap.

“apakah siang-mou-bi-kwi ini mempunyai kuku panjang?”

“tidak, siang-mou-bi-kwi tidak berkuku panjang.” sela Yan-taihap tegas.

“hmh..baiklah, sebaiknya besok kita menuju kota qingdao.” ujar Cu-hai-bun, empat rekannya mengangguk, dan merekapun istirahat.

Seorang wanita cantik memasuki likoan dikota jengzhou, bajunya berwarna putih dan sal berwarna hitam tersampir dibahunya, dia adalah Han-bwee-hoa, putri sang bengcu, mata para tamu tidak mau melewatkan pemandangan indah ini, namun ketika mata mereka beradu pandang dengan bwee-hoa, cepat-cepat mereka menundukan kepala, tapi dua orang mendekatinya saat bwee-hoa memasan makanan

“hai cantik, apakah nona sendirian?” tanya lelaki berkulit hitam dan berowok lebat, senyumnya memuakkan dipandangan bwee-hoa

“sebaiknya saudara menjaga kelakuan, itu lebih baik.” sahut bwee-hoa tenang

“hahaha..hehehe…duhai merdu nian suaramu suramu nona, membuat nyaman hati ini.” ujar lelaki bermata juling dan bermuka pucat, ia mengusap usap dadanya sambil tersenyum.

Keduanya duduk didepan bwee-hoa dan menatap lekat pada wajah dan tubuh bwee-hoa

“apa maksud kalian dengan sikap tidak senonoh ini?” tanya bwee hoa masih dengan sikap yang tenang “luar biasa sekali sikapmu nona, kamu pantas jadi istriku, hehehe..hahaha” ujar siberowok, tiba-tiba bwee- hoa berdiri

“sepertinya kalian mau dihajar adat, mari kita keluar jiwi sicu!” ujar bwee-hoa sambil melangkah keluar likoan, orang semua terpana dengan ketenangan nona yang luar biasa cantik ini, si berowok dan si juling saling pandang dan keduanya berdiri menatap keluar, dimana bwee-hoa berdiri menanti mereka.

“heheh..hahaha..apakah nona akan mengajak kami bermain-main sebentar dan setelah itu kita masuk kedalam ka…plak….augh?” siberowok terguling sambil menjerit semua gusi gerahamnya kiri kanan sompal dan semua giginya tanggal, si juling terkejut, namun sebelum dia berbuat apa-apa

“plak…auguuuh….” Sijuling juga mengalami hal yang sama, keduanya berguling di tanah, sementara bwee-hoa kembali kedalam likoan dan memakan pesanannya dengan tenang.

Dua lelaki itu menatap bwee-hoa dari luar dengan mata berkilat marah, namun mereka tidak berani menyerang kedalam, keduanya lalu pergi dengan cepat, dan satu jam kemudian saat Bwee-hoa memesan kamar pada kasir, dua puluh orang mengurung likoan itu, seorang lelaki bertubuh besar yang menjadi pimpinan hendak masuk, namun bwee-hoa sambil jalan mengibaskan tangannya dan serangkum hawa menerpa lelaki itu, dengan sigap ia bersalto kebelakang, setelah mendara ringan di atas tanah, pimpinan itu terkesima sambil menatap bwee-hoa yang sudah berada didepannya

“apakah sicu pimpinan orang-orang ini!?”

“sialan! ringkus wanita ini!” teriak sang pimpinan, dua puluh orang langsung menyerang.

Bwee-hoa dengan ringan melenting keudara, dan dengan gerakan ringan ia membagi tendangan dan pukulan kemuka pengeroyoknya.

“duk…buk..duk…buk…” dengan gesit dan ringan bwee hoa berlompatan diatas kepala mereka, sampai sejauh itu kaki bwee-hoa belum menginjakkan kakinya ke tanah, dia enak saja menginjaki kepala orang- orang itu, sudah ada sepuluh yang tumbang dengan ringis kesakitan karena hidung yang patah atau mulut yang pecah, atau mata yang lebam bengkak.

Wajah pimpinan rombongan itu jadi pucat ketakutan, kepalanya sudah dua kali diinjak bwee-hoa, namun bwee-hoa sepertinya tidak hendak menumbangkannya, sementara anak buahnya jadi bulan-bulanan wanita yang seenaknya berlompat kesana kemari, para tamu tak bisa tidak ketawa dan kemudian berdecak kagum melihat demontrasi yang luar biasa itu.

Akhirnya dua puluh orang itu termasuk siberowok dan si juling terkapar meraung-raung kesakitan dan

“buk…hegh..” serangan itu berakhir dengan tendangan secepat kilat pada dada sang pimpinan, bwee-hoa pun mendarat ringan diatas tanah, ia melangkah mendekati sang pimpinan yang tergeletak yang muntah darah

Tentunya kalian ini memiliki orang yang diandalakan sehingga berbuat seenaknya disini, bukan!?” tanya bwee-hoa

“kamu akan merasakan pembalasan kami, datanglah kehutan sebelah utara, jika kamu punya nyali.” tantang sang pimpinan dengan geram

“kalau begitu pergilah kalian dan tunggu nanti sore aku akan kesana.” sahut bwee-hoa sambil melangkah dan kembali masuk kedalam likoan, dan seorang pelayan segera membawanya naik ketingkat atas dan menunjukkan kamarnya, sang pimpinan berusaha berdiri

“mari kita kembali!” teriaknya sambil menyeret langkahnya, dua puluh orang itu mencoba berdiri, namun lima dari mereka limbung dan sempoyongan, teryata pusing kepala mereka belum hilang, dan hal itu membuat para tamu tertawa

“kalian kenapa lagi!?” bentak pimpinan kesal melihat mereka jadi bahan tertawaan orang-orang, ingin rasanya ia melabrak para tamu itu, namun wanita yang mempecundangi mereka berada di likoan itu.

“aduh twako, kepalaku sangat pening, semuanya masih berputar-putar.” Keluh mereka

“kalian Bantu mereka berdiri!” perintahnya pada anak buahnya, lima orang segera membantu mereka berdiri, dan merekapun segera berlalu dari tempat itu.

Sore hari itu sangat cerah, dari gerbang utara kota jengzhou keluar wanita cantik bwee-hoa, wajahnya yang anggun demikian segar, langkahnya mantap sambil mempermainkan kipasnya yang bergagang batu kemala hitam, namun baru saja dia melewati jalan dipinggir hutan, lima puluh orang sudah mengurungnya, dan tujuh lelaki dengan gerakan gesit melayang dan berdiri dua tombak dihadapanya.

“sebutkan siapa namamu sebelum nyawamu kami cabut!” gertak lelaki paling tua berumur lima puluh tahun, mata kananya berwarna putih dan sebuah hauwce terselip dibibirnya yang hitam, enam orang lainnya juga berwajah sangar dan menyeramkan

“kalian inikah hek-to yang hendak unjuk gigi menyebar tirani di berbagai kota?”

“hehehe,…hahaa jika sudah tahu kenapa tidak berlutut, mungkin kami bisa mempertimbangkan melihat wajahmu yang rupawan dan tubuhmu yang aduhai itu.” sahut lelaki berhauwce itu.

“kalian teralalu mengumbar bacot yang tidak berguna, jadi mulut comberan itu harus dibungkam.” ujar bwee-hoa dan segera bergerak dan memulai serangan dengan bersalto diudara, tubuhnya meluncur luar biasa cepat ke arah tujuh orang itu, tujuh orang itu terkejut, karena

“plak…buk..” dua orang dari mereka terjungkal tanpa bersambat kena tamparan dan pukulan bwee-hoa, lima orang lainnya melakukan serangan balasan, pertempuran pun berlangsung seru, namun ketujuh orang itu kalang kabut menerima serangan yang dilancarkan bwee-hoa dengan kipasnya yang luar biasa.

Ilmu “kwi-hut-san-sian” (dewa kipas penakluk iblis) yang dimainkan bwee-hoa membuat mereka sibuk luar biasa, dan ketika memasuki jurus ke tiga puluh, kembali dua orang dari mereka ambruk di totol gagang kipas, tujuh orang itu sudah berusaha keras untuk mengurung rapat wanita cantik ini, namun mereka kalah cepat dan kegesitan bwee-hoa membuat mata mereka perih dan nanar sehinga dua dari mereka harus tumbang untuk tidak bangkit lagi.

Melihat dua temannya tewas, lima orang itu mempergencar serangan mereka, namun usaha yang sia-sia, karena mereka terlalu lambat bagi wanita kosen ini, sepuluh jurus kemudian mereka kembali terdesak hebat, sehingga mereka terdesak kearah hutan, dan kesempatan itu mereka gunakan untuk menggiring bwee-hoa kedalam, dan seorang dari mereka tidak sempat karena daun kipas telah merobek urat nadi dilehernya, darah membanjiri bajunya, tubuhnya menggelepar seperti ayam disembelih dan akhirnya diam tewas kehabisan darah.

Empat orang terus melakukan perlawanan, dan didalam hutan ini yang dikira akan bisa membatasi bwee- hoa, namun ternyata tidak, serangan bwee-hoa tidak terbentur dengan ajang yang banyak ditumbuhi pohon, sebab saat mereka memafaatkan pohon dari kejaran bwee-hoa, pohon itu malah jadi ancaman karena dengan mudahnya tumbang dikibas sin-kang wanita kosen ini, mereka panik dan kelimpungan menghadapi lawan hebat ini

“kalian cepat ringkus wanita ini!” teriak lelaki berhauwce sambil melompat menjauh, namun naas dia menabrak pohon dan saat yang bersamaa bwee-hoa yang sudah berada didepannya melancarkan kibasan kipasnya dan “bret..” jakun dilehernya terbelah suaranya melenguh seperti sapi disembelih, ia ambruk ketanah menimpa akar pohon yang mencuat dari tanah, tak pelak tubuhnya bagian belakang kena sate.

Lima puluh orang menebar jala, namun apalah arti jala yang dilemparkan dengan tenaga dan kecepatan jauh dibawah bwee-hoa, tubuh bwee-hoa laksana burung kepinis terbang dari satu pohon kepohon yang lain, lima puluh orang itu capek sendiri dan melonggo ke atas, dan mereka terkejut ketika bayangan kilat bwee-hoa mengarah kepada mereka, dalam sekejap lima orang terjungkal, yang lain segera ambil langkah seribu, termasuk tiga orang lawan bwee-hoa, namun tak pelak sebuah bayangan gesit menampar kepala tiga orang itu dan seorang lelaki tampan berpakaian kuning dan juga dan memakai sal seperti bwee-hoa berdiri dihadapan mereka yang merasakan pening luar biasa.

“Lun-suheng..” seru bwee-hoa dengan senyum lembut

“benar hoa-sumoi, apakah kamu baik-baik saja?” sahut khu-wei-lun dengan mata berbinar lembut dan senyum merekah

“aku baik-baik saja lun-suheng.” sahut bwee-hoa sambil mendekati tiga orang yang tergeletak dengan keadaan pusing tujuh keliling.

Sebagimana kita ketahui bahwa Khu-wei-lun berpencar dengan tiga saudaranya untuk mengadakan pembersihan, khu-wei-lun dan empat rekannya mamasuki kota jengzhou dari gerbang timur, lalu dua rekannya memisahkan diri untuk keluar dari gerbang timur untuk memulai penyisiran, dan dua lainnya juga memisahkan diri untuk mendatangi para hartawan, khu-wei-lun memasuki likoan tempat bwee-hoa menginap, dan saat ia sedang bersantap ia mendengar pembicraan dua orang pelayan

“twako! kamu kenapa melamun?” “ah..kamu mengejutkan saja, A-kin”

“hahaha…habis twako sejak tadi melamun, nanti jika ketahuan loya, bisa dipecat loh.” “hmh…..kira-kira dapat tidak lihap itu mengatasi gerombolan yang mencegkram kota ini?” “oo, jadi kiranya twako memikirkan lihap bersal hitam itu.”

“benar A-kin, aku tidak bisa membayangkan jika ia kalah dan dipermainkan orang-orang kasar itu.”

“tapi menurutku twako, lihap itu tidak akan kalah, tadi saja dua puluh orang dipermainkan begitu lucu, hehehe..hahaha, kalau aku ingat bagaimana dua puluh orang tunggang langgang aku kadang ketawa sendiri.”

“twako…!” panggil khu-wei-lun pada dua pelayan itu, A-kin segera dating “makannya sudah selesai kongcu!?”

“benar twako, dan saya tadi mendengar wanita bersal hitam, dimanakah wanita itu twako!?” “eh…oh..wanita itu, ia memakai sal yang sama dengan kongcu.” “dimanakah dia sekarang twako?”

“dia pergi ke arah utara untuk memenuhi tantangan penjahat.” “oh..apakah ia menginap disini?”

“benar kongcu, ia tadi siang memesan kamar, dan beberapa jam yang lalu ia keluar menuju gerbang utara.”

“kalau begitu, tolong dipersiapkan satu kamar untuk saya, sebentar saya akan ke gerbang utara.” ujar khu- wei-lun, lalu ia segera meninggalkan likoan, sesampau diluar gerbang dan ia berlari cepat, dan sebentar saja ia sudah melihat sumoinya sedang mendesak empat lawannya ke arah hutan, dan dia menonton pertarungan dalam hutan, dan saat sumoinya menyerang kebawah dan lima puluh orang itu berbalik hendak melarikan diri, khu-wei-lun langsung juga bergerak melumpuhkan tiga lawan sumoinya.

“sekarang katakan siapa lagi yang kalian agulkan sehingga berani berbuat kacau diberbagai kota.” tanya bwee-hoa

“itu bukan urusanmu, dan kalian tidak akan mendapatkan apapun dari kami.” sahut lelaki paruh baya berwajah burik

“begitukah menurutmu!?” sela wei-lun sambil menarik lelaki itu berdiri dan simuka burik meringis menahan sakit, muka berkedut memerah menahan sakit akibat cengkraman pada bahunya, sendi tangannya serasa mau copot dan nyerinya bukan main, mulutnya menganga saking sakitnya

“sebaiknya kamu katakan daripada derita nyeri yang kau rasakan berhenti.” ancam wei-lun, dua temannya disergap rasa takut melihat temannya meliuk kesakitan, siburik masih gigih untuk diam, lalu wei-lun menjepit putting didada siburik

“adohhhhh…aaam..ampunn….” jerit siburik mecah kesunyian hutan yang sudah diselimuti sang raja malam

“apa kamu akan mengatakan siapa pimpinan makar yang terjadi akhir-akhir ini?”

“aaa..aduhhh hhh iya…akan aku katakan.” ringis siburik, air matanya mengalir karena sakitnya puting dadanya yang dijepit wei-lun

“sekarang bicaralah!” perintah wei-lun sambil melepas jepitannya, namun bahu si burik masih dipegangnya “pimpinan kami “coa-hiat-kwi-bo”

“dimana sekarang coa-hiat-kwi-bo?“

“berada dibukit setelah hutan ini.” sahutnya dan bahunya dilepas wei-lun dan diapun menggeloso kebawah “apakah kita langsung kesana suheng?”

“besok sajalah kita kesana, dan hari pun sudah malam, kita kembali saja ke dalam kota.” jawab wei-lun.

“kalian masih hidup untuk mengurus jenajah teman kalian, mari suheng!” ujar bwee-hoa dan berkelabat dari tempat itu, wei-lun pun menyusul sumoinya.

Setengah jam kemudian mereka telah sampai di likoan, lalu mereka makan malam bersama, “suheng, apakah suheng telah memesan kamar?”

“sudah sumoi, dan setelah makan malam ini aku akan masuk dan membersihkan diri, setelah itu kalau sumoi tidak kelelahan aku akan berada di beranda atas.”

“hihihi….tentulah suheng, aku ingin bercakap-cakap dengan suheng, dan aku duluan suheng.” sahut bwee-hoa dengan senyum lembut, lalu ia meninggalkan wei-lun, dan wei-lun sendiri menuju meja kasir untuk mengetahui kamarnya, seorang pelayan mengantar wei-lun kekamarnya.

Setelah mandi dan berganti pakaian, wei-lun keluar dari kamarnya menuju beranda atas, bulan saat itu cerah dihiasi bulan separuh dan taburan bintang diangkasa, tidak lama bwee-hoa pun muncul dan duduk disebelah kiri wei-lun, wajahnya yang segar kelihatan makin cantik, aroma ganda harum yang dipakainya halus menebar hawa disekitarnya, nyaman terasa saat menghirupnya.

“apakah suhu yang menyuruh sumoi kemari?”

“benar suheng, sehari setelah para suheng berangkat, saya dan jin-ko, bahkan bibi diperintahkan ayah untuk berangkat.”

“apakah suheng pernah mendengar coa-hiat-kwibo ini?”

“tidak pernah sumoi, saya sama halnya dengan sumoi, tidak pernah keluar wilayah, jadi tidak begitu banyak mengenal tokoh-tokoh lioklim.”

“tapi suheng sudah menyelesaikan pelajaran enam tahun yang lalu.” “benar sumoi, dan baru kali ini saya keluar dari wilayah selatan.” “lalu apa saja kegiatan suheng di kota Hopak?”

“sibuk membantu ayah mengurus piuawkiok.”

“eh suheng, kenapa belum menikah, apa tidak ada gadis di kota hopak? Hihihi….” Wei-lun tersedak sesaat dan mukanya bersemu merah mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, matanya melirik sumoinya yang tertawa sambil menutup mulutnya dengan kipas, sebenarnya hati wei-lun hatinya sudah terpaut lama dengan bwee-hoa, sejak bwee-hoa berumur enam belas tahun, namun itu hanya disimpannya dalam hati, terlebih saat itu ia sudah diakhir pendidikannya, dan kembali kekampung halamannya di kota hopak.

Hari-hari wei-lun hidup dengan bayangan sumoinya ini, selama enam tahun itu memang sudah ada tiga kali ayah ibunya menyarankan ia untuk berumah tangga, namun hatinya sudah kadong terbetot oleh sumoinya, dan ironisnya ia hanya memendam dilubuk hatinya, mengherankan memang sastrawan yang tampan ini, sehingga memendam saja rasa cintanya, pernah memang hasratnya ini hendak diutarakan pada saat pernikahan Han-liang-jin dua tahun yang lalu, tapi keberaniannya tidak cukup disebabkan setelah dua tahun tidak bertemu dengan sumoinya, dia takut dianggap lancang. Dan hatinya meragu apakah sumoinya ini masih ingat kepadanya, karena hal itu bisa jadi karena murid sin-siucai datang dan pergi, semua murid pasti mengenal bwee-hoa, tapi tidak ada jaminan bwee-hoa akan mengenal murid- murid.

Saat ia mendengar pembicaraan dua pelayan, hatinya bergetar, entah kenapa hatinya sudah memastikan bahwa perempuan yang dibicarakan adalah sumoinya yang menghias hari-harinya selama ini, terlebih setelah melihat kenyataan bahwa benar bwee-hoa, hatinya makin berdebar, sukmanya bergetar hangat, lalu kenyataan bahwa sumoinya mengenal dirinya terbukti bwee-hoa sendiri yang menyerunya, tak terperikan kenyamanan yang dirasakannya, bunga harapan langsung mekar dalam jiwanya, tapi memang ia adalah pemuda gembelengan yang sarat ilmu dan hikmat yang dalam, sehingga ia bisa bersikap tenang dihadapan somoi yang mengguncang hatinya ini.

Dan apa boleh buat, dengan tidak sengaja bwee-hoa menyentil jalinan asmara yang berpilin ini dengan pertanyaan kenapa ia belum menikah, sehingga ketenangannya jebol wajahnya langsung bersemu merah

“mungkin jodohku belum datang, atau taqdirku yang memang digariskan tidak menikah.”

“hihi..suheng kok kedengarannya putus asa, apakah suheng tidak menyadari bahwa betapa tampannya dirimu suheng, hihihihi….” meletup rasanya kepundan jiwa wei-lun mendengar ungkapan yang terus terang itu, walaupun disampaikan dalam seloroh, namun yang jelas sumoinya telah menilai dirinya, dan itu luar biasa mengejutkan dan mendebarkan.

“hehehee….selorohanmu sumoi membuat aku jadi malu.” “eh..aku serius loh suheng, suheng benar-benar tampan.” sahut bwee-hoa dengan bola mata sedikit dilebarkan untuk meyakinkan, wei-lun terpana sesaat melihat bola mata yang bening melelapkan itu, “duh alangkah cantiknya wajahmu sumoi” gumam hatinya bergetar 

“mungkin benar apa yang sumoi katakan bahwa aku terkesan putus asa.” “apakah memang suheng putus asa? kalau iya kenapa, suheng?”

“kamu ingat tidak sumoi, pelajaran dari suhu tentang syair pungguk merindukan bulan?” mendengar jawaban itu, bwee-hoa tercenung, dan tiba-tiba wei-lun bersyair

“Bulan… indahmu nian tidak dingkari sinarmu syahdu menyelimuti bumi pungguk mengkukur puji tiada henti namun jauh nian hendak menggapai bulan hanya senyum tidak menyadari betapa pungguk semalaman mematuki mendekam sesaat tak nyaman lalu berdiri kukuri…kukuri….duhai datanglah kemari”

“suheng, apakah gadis yang kau rindukan itu tidak menyadari?”

“saat itu mungkin ia tidak menyadari, tapi salahku sendiri, karena menutup peluang karena tidak berani.” “kenapa kamu merasa takut suheng?”

“karena saat bunga cintaku tumbuh, aku harus berpisah denganya sehingga tidak sempat mempersembahkan padanya, terpendamlah akhirnya, namun cinta memang gila, ia tetap tumbuh memakan sari jiwaku, tumbuh subur direlung batinku.”

“tapi sumoi, aku tidak mau lagi terkesan putus asa, karena betapapun bunga cinta ini akan coba kupersembahkan, entah itu berterima atau tidak, yang jelas sekam ini tidak membakar dan mencelakakan diri sendiri.”

“benar itu lun-suheng, siapalah tahu bunga itu menempati lahan dihati gadis itu, kalau boleh tahu siapakah gadis itu suheng?”

“hehehe…ah…sumoi ini makin membuat aku risih saja.”

“hihihi….baiklah suheng yang romantis, jika sudah ada tekad yang tertanam, aku akan doakan semoga hasrat cinta suheng kesampaian.”

“doamu sangat kuharapkan hoa-sumoi.”

“baiklah suheng, aku hendak istirahat dulu, lalu besok kapan kita ke sarang coa-hiat-kwibo?” “sebaiknya setelah sarapan pagi kita kesana.”

“baik..aku duluan suheng.” bwee-hoa berdiri dan meninggalkan wei-lun yang menatap sayang dan cinta padanya.

Malam itu wei-lun tidak dapat tidur, wajah bwee-hoa menari-nari dipelupuk matanya, rasa yang selama ini terpendam, seakan mendapat celah sehingga pikirannya penuh dengan dugaan-dugaan hangat yang mendebarkan, mengukur kelayakan dirinya, cara tepat untuk menyampaikannya, sikap bagaimana nantinya setelah semuanya terucap, semuanya itu bergelayut dalam pikiran Khu-wei-lun, sampai jauh larut malam barulah ia tertidur setelah lelah diamuk gelombang badai cintanya.

Keesokan harinya saudara seperguruan itu menuju bukit dimana coa-hiat-kwibo bermarkas, dan menjelang siang sampailah keduanya disebuah bangunan besar yang terbuat dari kayu, namun sepertinya mereka terlambat, karena tempat itu sudah kosong ditinggalkan penghuninya “sepertinya kita ditinggal lari suheng.”

“benar sumoi, dan sepertinya tadi malam mereka meninggalkan tempat ini.” “lalu bagaimana suheng, apa yang harus kita lakukan?”

“kita harus mengejar mereka sumoi, tapi sebaiknya kita kembali dulu ke likoan untuk mengambil buntalan, dan saya harus meninggalkan pesan pada empat rekan saya.”

“baiklah suheng, marilah kita kembali dan segera mengejar mereka.” sahut bwee-hoa, lalu dengan luar biasa cepat mereka berlari kembali ke kota jengzhou, sesampainya dilikoan mereka mengemasi buntalan pakaian, dan sebelum berangkat wei-lun menulis pesan dan menitipkan pada kasir supaya menyerahkan pada rekannya yang nantinya akan datang ketempat itu.

Tiga hari kemudian wei-lun dan bwee-hoa sampai disebuah bukit, keduanya mendengar suara pertempuran dari lereng bukit, lalu keduanya segera menuruni bukit, dilereng bukit itu seorang lelaki dengan gagahnya menghadapi dua puluh pengroyokan, dan tiga diantaranya adalah bekas lawan bwee- hoa, yakni si burik dan dua rekannya, ketiganya dengan ganas mendesak si pemuda, dua luka sabetan telah mengenai bahu dan paha pemuda itu, sebentar lagi ia akan ambruk mengenaskan, namun saat dua pedang mengarah kaki dan perut, kedudukan pemuda itu sudah buntu, dia memejamkan mata pasrah

“trang….trang….eh..ah….” dua pedang itu saling menghantam, dimana pedang yang hendak menembus perut melenceng menangkis pedang yang hendak membacok kaki sipemuda, keduanya terkejut, namun keduanya tidak sempat berpikir tubuh siburik melayang kearah mereka, sehingga ketiganya jatuh tunggang langgang.

Pada saat yang kritis itu, wei-lun melempar sebuah batu kepada pedang yang mengarah perut sehingga melenceng kebawah dan menagkis pedang temannya, sementara bwee-hoa memukul siburik yang sedang melompat dari jarak jauh, sehingga tubuh siburik melayang cepat menimpa kedua temannya, saat ketiganya mendongak ke atas wajah mereka langsung pucat, karena melihat mata wei-lun sedang menatap tajam pada mereka, dua puluh orang anak buahnya sudah siang-siang melarikan diri.

“kemana larinya coa-hiat-kwibo?” tanya wei-lun

“saya tidak tahu, karena kami segera meninggalkan markas dengan berpencar.” Jawab siburik “hendak kemana kalian melarikan diri?”

“kami tidak punya tujuan, yang penting kami harus melarikan diri.”

“kiramu aku tidak mengetahui bahwa rombongan kalian adalah bagian kecil dari sebuah gerakan besar yang meliputi empat wilayah, apa kamu harus saya paksa lagi!?” bentak wei-lun, mendengar itu makin ketar ketirlah hati ketiganya.

“cepat katakan sebelum kalian lebih menderita!” “a..ampunkan kami taihap, ka..kami ini hanya bawahan.”

“bawahan yang tentu ikut dalam setiap pengambilan keputusan bukan?”

“a..apa maksud taihap?” tanya si burik, hatinya tersudut, lelaki didepannya ini terlalu pintar untuk di ajak berdebat.

“kalian ini tentu tangan kanan atau tangan kiri coa-hiat-kwibo, dan sudah barang tentu kalian akan diberitahu dimana kalian akan bertemu, iya kan!?” siburik dan dua rekannya saling memandang, sementara pemuda yang terdesak itu sudah merasa tenang dan sesak nafasnya juga sudah normal kembali.

“terimakasih saya ucapkan pada siang-taihap (sepasang pendekar) yang telah menyelamatkan saya.” Ujarnya sambil merangkap kedua tangan “sudah sepatutnya taihap, kita tolong menolong, bagaimana dengan lukamu taihap?” sela bwee-hoa

“luka luar saja lihap, dengan obat luka nantinya akan sembuh.” Jawabnya sambil menunduk, kemudian memandang ketiga lawannya yang ditanyai wei-lun

“apakah kami akan dilepaskan jika kami mengaku?” sela teman siburik yang berkumis panjang dan berkulit hitam

“benar, jadi katakan detailnya bagaimana makar kalian ini bisa merebak.”

“baik kami akan mengaku, menurut perintah coa-hiat-kwibo, kami akan bertemu di shijajuang.” “siapa tujuan kalian kesana?”

“kami tidak tahu kenapa harus kesana taihap.”

“baiklah, sebelum kalian pergi, satu pertanyaan ini harus kalian jawab!” “apakah itu taihap?”

“siapa yang setara dengan coa-hiat-bo memimpin gerombolan ini di tiga wilayah yang lain?” sesaat mereka saling pandang dan kemudian menunduk

“apakah informasi itu lebih mahal dari keselamatan kalian!?” ancam wei-lun, mendengar itu berdiri bulu roma ketiganya.

“di wilayah utara dipimpin oleh “hek-kai” , di selatan di-pimpin oleh “Koi-kok-lohap” dan di barat dipimpin oleh “hek-sha-mo”

“baik, sekarang pergilah kalian sebelum aku berubah pikiran!” sahut wei-lun, tiga orang itu segera berdiri dan melarikan diri dengan cepat.

“siapakah namau sobat, dan bagaimana bisa bentrok dengan para penjahat itu?” tanya wei-lun ramah

“saya kao-ciang murid hoasan-pai yang sedang berkelana, tadi pagi aku lewat desa dibawah bukit, dan beberapa penduduk ternyata dijarah segerombolan perampok, lalu saya mengejar mereka hingga bertemu disini.”

“ooh, ternyata begitu, maafkan aku kao-taihap, aku terlalu buru-buru melepaskan tiga orang itu sehingga harta tersebut tidak dapat diambil kembali”

“hmh..mau bagaimana lagi taihap, sudah nasib penduduk kampung itu untuk tidak mendapatkan kembali harta mereka.”

“hmh….lalu adakah obat untuk luka taihap?” sela bwee-hoa “ada lihap, saya selalu membawa obat luka.”

“sebaiknya taihap kami bawa kembali kedesa dibawah bukit untuk menjalani pengobatan, bukankah begitu suheng?”

“benar sekali kao-taihap.”

“terimakasih taihap, lihap, dan kalau boleh tahu siapakah taihap dan lihap?” “saya adalah Khu-wei-lun, dan ini sumoi saya Han-bwee-hoa.”

“oh…she han, jadi saya sedang berhadapan dengan dua murid bengcu, dan lihap tentu putri “siauw- taihap” sahut kao-ciang dan segera merangkap kedua tangan untuk menjura. “ternyata kao-taihap sangat jeli dan tepat menduga, tapi janganlah berlebihan memandang kami.” sela bwee-hoa.

“marilah hoa-moi, kita antar kao-taihap kedesa untuk lebih tenang menjalani pengobatan lukanya, apakah kao-taihap sanggup berjalan?” kao-ciang mencoba melangkah dengan terpincang, wajahnya berkerinyit menahan sakit

“bukankah sebaiknya suheng membopong kao-taihap?”

“benar marilah kao-taihap.” ujar wei-lun dan dengan lembut ia membopong kao-ciang dan dengan cepat menuruni bikit.

Mereka memasuki desa saat malam, dan beberapa warga kampung yang mengenal kao-ciang segera menyambut dan mereka diterima bao-cungcu dirumahnya, wei-lun dengan cekatan membersihkan luka kao-ciang dan menaburkan obat luka yang dibawa kao-ciang

“sudahlah khu-taihap, kalian sudah begitu baik dan aku sudah begitu merepotkan” “ah kao-taihap jangan terlalu sungkan, dan kami tidak merasa direpotkan.” “apakah khu-taihap dan han-lihap akan pergi malam ini?” tanya kao-ciang “sebaiknya jiwi-taihap bermalam jugalah disini.” sela bao-cungcu.

“kalau tidak merepotkan bao-pek.” sahut Wei-lun “tentu tidak, tidak merepotkan taihap.”

“baiklah dan terimakasih bao-pek, dan saya akan menyampaikan hal ini kepada sumoi saya.” ujar wei-lun dan dia pun keluar kamar dan menemui bwee-hoa yang sedang duduk diruang tengah.

“bagaimana keadaan kao-taihap suheng?”

“lukanya sudah diobati dan dibalut, dan bao-pek, menyarankan kita untuk bermalam disini.” “apakah suheng menerimanya?”

“benar sumoi, besok siang kita akan melanjutkan pengejaran coa-hiat-kwibo.”

“baiklah jika sudah demikian suheng, aku ikut apa kata suheng saja” sahut bwee-hoa dengan seulas senyum, sehingga membuat hati wei-lun kebat-kebit.

Wei-lun tidur dikamar bersama kao-ciang, dan ketika ia membaringkan diri di dipan ia terkejut mendengar kao-ciang menginggau

“hoa-moi…mari kita temui suhu di hoasan……hmh…..” wei-lun menatap lekat wajah kao-ciang yang kelihatan nyaman dan gembira, seulas senyum menghias bibirnya

“cinta pada pandangan pertama.” gumam hati wei-lun, sesaat hatinya merasa gerah dengan apa yang didengarnya, namun setelah itu memjamkam matanya dengan tenang.

Keesokan harinya wei-lun sarapan bersama dengan kao-ciang “khu-taihap, nyenyakkah tidurmu semalam?”

“tentu kao taihap, bahkan lelap sangat, kenapa? apakah kao-taihap tidak nyenyak?” “aku nyenyak juga taihap, hmh…bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“eh…kenapa sungkan begitu kao-sicu? tanyakanlah apa yang hendak kao sicu tanya?” “ah…maaf sebelumnya, apakah han-siocia sudah punya tunangan atau kekasih?” tanya Kao-ciang dengan muka berubah merah karena jengah, apalagi setelah melihat wei-lun senyum kepadanya.

“saya sudah enam tahun berpisah dengan sumoi saya itu, dan baru beberapa hari kami bertemu lagi, apakah dia punya kekasih atau tunangan, sungguh aku tidak tahu persis kao-sicu.”

“oh..begitukah, khu-sicu?”

“benar kao-sicu, ada apakah sehingga kao-sicu menanyakan hal itu?”

“hmh…jujur aku akui khu-sicu, dan aku berani mengatakannya pada sicu, karena sicu adalah suhengnya, bahwa aku terpikat dengan han-siocia, bagaimana menurutmu khu-sicu?”

“cinta itu sesuatu yang indah dan bukan sesuatu hal yang salah, kao-sicu.”

“kira-kira bagaimana tanggapannya jika aku utarakan hal hatiku ini kepadanya, kita sebagai orang sudah berumur, berikanlah pendapatmu khu-sicu.”

“kalau soal bagaimana tanggapannya bagaimanalah aku tahu kao-sicu.” “benar, tapi kan khu-sicu sedikit banyaknya kenal dan tahu karakter han-siocia.”

“kalau dipandang dari karakter, jika ungkapan itu disampaikan padanya, saya cendrung sumoi akan menanggapi baik, karena sumoiku itu berwawasan luas.”

“benarkah dia tidak akan marah khu-sicu?”

“marah? jika disampaikan dengan baik, kenapa harus marah, kao-sicu?” “kapankah khu-sicu dan han-siocia berangkat?”

“nanti siang, kao-sicu, apakah sicu mau bicara dengan sumoiku?”

“bagaimana yah, pertemuan ini begitu singkat, tentu sangat tidak bermakna bagi han-siocia, tapi kalau tidak disampaikan aku akan terpapar penasaran”

“lalu bagaimana, apa yang hendak sicu lakukan?” “hendak kemanakah kalian pergi khu-sicu?”

“sebagaimana kao-taihap dengar, bahwa buruan kami menuju shijajuang, jadi kami hendak kesana.”

“hmh…setidaknya tiga hari aku harus istirahat penuh supaya luka ini bisa dibawa berjalan, bisakah khu- sicu menolongku?”

“pertolongan apa yang bisa saya berikan kao-sicu?”

“tiga hari dari sini khu-sicu akan sampai dikota bao, dapatkah sicu agak dua hari menginap disana, sehingga aku tiba disana dan ikut bersama kalian ke kota sihjajuang?”

“kami sedang mengejar coa-hiat-kwibo, kao-sicu, aku tidak tahu apakah sumoi akan setuju jika kami menunda sampai dua hari, atau begini saja, kao-sicu sampaikanlah dulu isi hati, jika memang ada harapan baru sampaikan niat tadi”

“hmh….demikian juga tepat, jadi sebelum makan siang aku akan coba bicara dengan hoa-moi.” Sahut kao- ciang sambil bersandar dan menghirup udara dalam-dalam dan menghempaskannya, seakan mempersiapkan batinnya, wei-lun keluar dari kamar sambil membawa mangkok bubur bekas makan mereka.

“suheng, bagaimana keadaan kao-taihap, kenapa kalian lama sekali sarapannya?” “hehehe….namanya makan orang sakit yang tentu lambatlah sumoi, tapi keadaan kao-taihap sudah lebih baikan.”

“berarti kita bisa meninggalkannya nanti siangkan suheng?”

“apakah sumoi tidak tenang jika meninggalkannya dalam parah umpamanya?” “hihihi…..apa maksud suheng?”

“maksud? rasanya tidak ada maksud.”

“hish….suheng mau berkilah rupanya, tentu mempertanyakan apa aku tidak tenang meninggalkannya dalam keadaan parah, hati suheng menyatakan bahwa aku sangat mencemaskannya bukan?”

“hehehe…benar, apa kamu mencemaskan kao-taihap sumoi?” “menurut suheng apakah aku kelihatan cemas?”

“melihat luarnya sepertinya tidak, tapi bagaimana aku tahu isi hati sumoi?” “apakah menurut suheng hatiku tidak sesuai dengan yang terlihat?”

“hatiku mengatakan hati sumoi seperti apa yang terlihat, tapi suhu mengatakan wanita adalah sosok yang sangat rapi dan dalam menyimpan perasaan, jadi aku tidak mampu memastikan”

“hihihi….jadi perlukah kujawab apakah aku mencemaskan kao-taihap atau tidak?” “tidak perlu lagi sumoi?”

“loh kenapa tidak perlu? Kan suheng belum tahu jawabannya?” “aku sudah tahu jawabannya?”

“oh ya, apa jawabannya, dan kenapa bisa tahu?”

“karena kata suhu, jika suatu pertanyaan sama dijawab dengan pertanyaan yang sama, maka jawabannya cendrung adalah jawabanmu pada pertanyaan itu, jadi jawabanku adalah tidak, tentu itu pulalah jawabanmu, iya kan sumoi?”

“hihihi…suheng..suheng..sedikit-dikit suhu…sedikit-dikit suhu.”

“murid haruslah ingat dan pegang ajaran suhunya, sebab kalau tidak bukankah bisa celaka?”

“ya..sudah ah… suheng pergilah mandi, biar mangkok itu aku yang bawa kedapur, sekalian aku mau bantu bao-hujin memasak.”

“baiklah sumoi.” sahut wei-lun sambil menyerahkan mangko ditangannya.

Setelah mencuci piring kotor dan memeotong-motong sayuran, bwee-hoa kembali kekamarnya, namun dia melihat kao-ciang dengan tertatih tatih keluar dari kamar

“eh…kanapa kao-taihap memaksakan diri keluar?”

“aku hendak duduk diluar han-siocia, didalam rasanya gerah.” jawab kao-ciang sambil senyum

“oo, begitu, mari kubantu taihap!” ujar bwee-hoa sambil memegang tangan kao-ciang, dan membawabya keberanda rumah, kao-ciang duduk menikmati sejuknya hembusan semilir angin yang menerpa wajah dan tubuhnya, bwee-hoa hendak beranjak

“han-siocia!?” seru kao-ciang dengan nada sedikit bergetar “ya, ada apa kao-taihap?”

“hehehe….sebaiknya janganlah aku dipanggil taihap, panggil saja namaku ciang-twako.” “hihihi..baiklah ciang-twako, ada apakah?”

“duduklah sebentar, ada yang hendak kusampaikan pada han-siocia?”

“hihihi…twako ini bagaimana, aku disuruh memanggil twako, tapi twako sendiri memanggil siocia, aku juga punya nama loh twako! hihihih…” meresap nikmat suara tawa merdu itu mengelus hati kao-ciang, sungguh wanita yang luar biasa, anggun, gagah dan luwes, sungguh wanita pilihan, pikir kao-ciang

“hehee….aku yang salah, hmh…apakah siang ini hoa-moi akan berangkat?”

“benar ciang-twako, kami harus segera ke shijajuang untuk meringkus coa-hiat-kwibo.”

“ingin juga rasanya aku menyertai kalian hoa-moi, seandainya lukaku di kakiku ini tidak nyeri.” “twako, janganlah memaksakan diri.”

“benar hoa-moi, tapi sebelum kita berpisah bolehkah aku menyampaikan sesuatu hoa-moi?” nada suara itu bergetar, dan sangat kentara pada pendengaran bwee-hoa, sehingga ia terheyak sesaat.

“apakah yang hendak ciang-twako sampaikan?”

“aku tidak bisa menahan rasa ini hoa-moi, sejak pertemuan kita di lereng bukit, hatiku terpikat dan luluh bergetar, sehingga terbawa kedalam mimpi, hoa-moi tolong jangan marah jika aku terus terang menyatakan bahwa aku mencintaimu.” ujar kao-ciang masih dengan nada bergetar, bwee-hoa menunduk mendengar ungkapan isi hati kao-ciang, kemudian ia mengangkat kepalanya dan menatap wajah kao- ciang yang menanti jawaban penuh harap

“twako, luar biasa memang badai cinta yang menerpamu, kuakui sikap twako memang sangat gagah dan penuh simpatik, wajah twako juga tiada kurang walaupun setitik, sungguh berbahagialah wanita yang mendampingimu twako, tapi terus terang kukatakan twako, janganlah twako kecewa, aku sangat menghargai perasaan twako, namun hatiku memiliki getaran lain, maafkanlah aku twako.” Kao-ciang terdiam seribu basa, hatinya berkecai remuk redam.

“apakah ada lelaki lain yang sudah mengisi hatimu hoa-moi?” tanya kao-ciang memastikan dengan hati mengambang

“demikianlah kao-twako.” “siapakah dia, kalau boleh tahu?”

“menurutku tidak perlulah twako mengetahuinya, karena akan menambah beban batin twako yang sudah berat dengan kenyataan saat ini.”

“hmh…..umurku sudah dua puluh enam tahun, mungkin sudah nasibku untuk tidak menikah.” keluh kao- ciang dan dadanya sesak dan matanya berkaca-kaca, kecewa menerbitkan rasa iba pada diri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar