Warisan Berdarah Jilid 5

Jilid 5

“bagaimana susiok, tentu suisok mau menewaskan “siauw-taihap” bukan?”

“perkara “siauw-taihap” tidak perlu kalian cemaskan, biar bengcu kalian yang akan mengurusnya.” “maksud loncianpwe bagaimana?” sela “ang-mou-kwi”

“unjukkan dulu gigi kita dengan adanya bencu hek-to, dengan demikian dua bengcu akan menentukan bengcu mana yang lebih gagah dan menguasai lioklim.”

Kapan pengsahan itu kita laksanakan cianpwe?” sela “in-sin-ciang”

“setahun lagi liong-ji akan menyempurnakan ilmu terakhirnya, maka saat itu ia akan menjadi bengcu kalian.”

“kalau begitu kita harus bekerja untuk menyebarkan berita penetapan ini.” sela kwi-sim-lo-tong”

“benar, kalian prakarsailah pertemuan akbar itu, dimana tempat terserah kalian menentukan.” sahut Tan- kui

“jika demikian, markas kita di tianjin sangat tepat untuk pengesahan itu.” sela “ban-pi-kwi”

“baiklah, jika demikian, kami akan ikut apa kata susiok, dan besok kami akan mulai bekerja” sela Ok-liang

“kalian tidak perlu buru-buru, sehingga besok harus berangkat, tinggallah disini selama tiga hari, dan kuharap kalian menguji calon bengcu kalian terlebih dahulu.”

“demikianpun jadilah susiok, walaupun kami sudah melihat liong-te mengalahkan sai-ku dengan telak, tapi kita butuh kepuasan dan keyakinan bahwa bengcu kita tidak akan kalah dengan “siauw-taihap”

“aku lihat kalian sangat gentar dengan “siauw-taihap” ini, demikian hebatkah dia?” sela bun-liong dengan nada sinis

“hehehe…..dia itu hanya seimbang denganku liong-ji, tapi dia akan kalah olehmu.” “bagaimana susiok yakin? apakah susiok pernah bertemu dengan “siauw-taihap”

“aku pernah menguji sin-kang dengannya dan kami seimbang, tapi menurut cing-moi, “siauw-taihap” tidak memiliki ilmu bun-liong-hoat dan bun-liong-kiam”

“hal itu memang benar, susiok, dan menurut susiok kelebihan yang dimiliki liong-te akan memastikan “siauw-taihap” kalah?”

“benar ong-ji, dan besok lihatlah, setelah kalian mengujinya, dan kalian yang telah mengetahui keadaan “siauw-taihap” akan dapat menilai sendirinya nanti.” sahut Tan-kui, semuanya mengangguk membenarkan, setelah sekian lama berbincang-bincang, merekapun keluar dari ruangan untuk istirahat. Keesokan harinya, di lianbutia sembilan “tee-tin” menguji Han-bun-liong dengan mengeroyoknya, luar biasa memang gembelengan “ang-gan-kwi” ini, bun-liong bergerak gesit laksana kilat, serta kokoh sangat kuat, dengan tangan kosong, dan hanya dalam tujuh puluh jurus tujuh dari pengoroyoknya jatuh berkelimpungan, hanya dengan dua saudaranya ia membutuhkan waktu yang agak lama, karena ketiganya memiliki ilmu yang sama, sehingga pertarungan sangat alot, namun sekali lagi sin-kang dan gin- kang calon bengcu ini mengatasi dua saudaranya, hingga lima puluh jurus kemudian, barulah ok-liang terpental dan kwi-ong terjajar hingga ambruk.

“luar biasa sekali liong-te!” puji kwi-ong dengan nafas senin kamis, tapi hatinya merasa bangga dengan kenyataan itu

“jadi bagaimana menurutmu ong-ko, apakah “siauw-taihap” masih melebihiku?” “tentunya kamu akan dapat mengalahkannya liong-te.”

“hmh….tapi benarkah “siauw-taihap” itu saudara bagi kita?”

“hehehe…tentunya ibumu lebih mengetahuinya liong-te, dan oleh karena itu, kamu harus menewaskan “siauw-taihap” karena ia adalah hal memalukan bagi she-han.”

“benar liong-te, karena ayah kita “Yaoyan-taihap” cendrung ke aliran kita.” sela ok-liang. “tapi sayang, sai-ku sepertinya mengikuti jejaknya.” sela Li-cing

“tidak usah kalian sesali, kita bukannya kekuarangan kekuatan untuk membereskan “siauw-taihap” dan menegakkan kembali panji hek-to.” sahut Tan-kui

“apakah liong-te akan mendapatkan ilmu pandangan dari susiok?” tanya ok-liang

“tidak, ilmu itu tidak akan ku ajarkan padanya, karena “ang-gan-kwi” hanya boleh satu di dunia ini, yaitu aku, tapi aku akan memberikan “sim-hun-gan-kong” (sinar mata perampas sukma), dan setahun kedepan, ilmu ini akan sempurna di kuasai liong-ji.”

“beasar benar peruntunganmu liong-te, kamu memiliki warisan ayah, dan juga susiok yang luar biasa.” puji ok-liang

“dan aku akan puas jika “siauw-taihap” telah mati ditanganku.”

“hahaha…..memang demikianlah harusnya liong-te.” sela kwi-ong, lalu mereka meninggalkan lianbutia, namun saat melewati pekarangan depan, mereka melihat pelayan rumah berbicara dengan seorang tamu lelaki muda, lelaki muda itu adalah Han-liu-tan putra Han-sai-ku, sebagaimana kita ketahui, Han-sai-ku berjanji akan pulang saat malam, namun sampai pagi ternyata Han-sai-ku tidak kembali

“ibu, saya harus pergi ke lembah kembang untuk mengetahui apa yang terjadi pada ayah.” ujar Han-ci-lan “aku juga ikut cici.” sela Han-liu-tan

“jangan, kamu harus bersama ibu disini.”

“tapi bagaimana kalau kamu mendapat celaka lan-ji.” sela ibunya cemas “ibu tidak usah cemas, bukankah penghuni lembah itu adalah susiok ayah?”

“iya, tapi susiok yang bagaimana? kamu tahu betapa orang-orang itu adalah aliran hitam, dan tidak biasanya ayahmu seperti ini.”

“lalu apa yang harus kita lakukan ibu?”

“ibu tidak tahu nak, ibu cemas dan bingung.”

“sudahlah ibu, kalua kita tidak kesana, bagaimana kita tahu keadaan ayah?” “cici, menurutku cici yang harus menjaga ibu disini, dan aku yang yang ke lembah kembang untuk menyusul ayah.” sela Han-liu-tan

“tapi bagaimana kalua kamu celaka nak?

“ibu, aku akan bisa menjaga diri, dan lagian kesana bukan untuk menyabung nyawa, tapi hanya untuk mengetahui keadan ayah.”

“ah…aku tidak tahu, hatiku merasa tidak enak dengan semua ini.”

“sudahlah ibu, kalau ibu cemas begini, kita akan buntu dalam menindak lanjuti keadaan ini, pergilah tan- te.” sela Ci-lan menguatkan hati ibunya.

“baik lan-cici, tapi jika sekiranya aku tidak balik sampai malam, maka berangkatlah cici dan ibu ke kaifeng, dan melaporkan keadaan ini kepada lun-pek.” ujar Liu-tan sambil keluar dari kamar.

Han-liu-tan dengan berlari cepat menuju lembah kembang, dan saat siang ia sudah sampai didepan kediaman Tan-kui

“siapa tamu kita itu A-pek!?” tanya Li-cing

“maaf toanio, saya adalah Han-liu-tan putra dari Han-sai-ku, dan saya kesini hendak menyusul ayah saya yang kemarin datang kesini.”

“biarkan anak itu menemani ayahnya disini.” sela Tan-kui, lalu pelayan itu membawa Han-liu-tan menemui ayahnya didalam sebuah gudang, alangkah terkejutnya Han-liu-tan melihat ayahnya terbaring pucat di atas dipan.

Han-sai-ku terkejut menatap kedatangan anaknya, dadanya sesak sehinga dia terbatuk-batuk “ke..kenapa kamu kesini tan-ji?” tanyanya lemah

“ooh…..ayah apa yang terjadi, kenapa ayah jadi seperti ini?”

“ah…ayah salah dengan datang kesini, hek-to memang tidak punya hati,, hmh…..bagaimana dengan ibu dan kakakmu, tan-ji.”

“ibu sangat mencemaskan ayah, apakah mereka yang melakukan ini kepada ayah?”

“hmh…benar tan-ji, ah…aku telah membuat kalian menderita anakku, bahkan kamu juga datang kesini dan menerima celaka.”

“tenaglah ayah, kita akan keluar dari sisni, aku akan membawa ayah.”

“tidak mungkin tan-ji, ayah sudah tapadaksa dan juga terluka parah, dan kamu kesini hanya untuk dikurung dengan ayah, huk..huk…” sahut Han-sai-ku disusul batuknya yang tiba-tiba karena sesak dalam dadanya, Han-liu-tan meraba lengan ayahnya dengan deraian air mata.

“ayah, kuatkanlah hatimu, tak mengapa aku dikurung disini bersama ayah, dan kita akan selamat ayah.” ujar Liu-tan dengan linangan air mata.

“terimakasih tan-ji, tapi ibumu akan berduka sekali dengan kehilanganmu.”

“ayah, aku bicara benar ayah, bertahan dan kuatkanlah diri ayah, lun-pek akan kesini untuk membebaskan kita.”

“hmh….demikiankah tan-ji.”

“benar ayah, ibu dan cici besok akan ke kaifeng, jika sampai nanti malam aku tidak pulang.”

“hmh….jika demikian semoga thian mengabulkan harapan kita.” sahut Sai-ku mencoba menenangkan hatinya, dan tidak lama seorang pelayan membawakan makan siang, tadi pagi pelayan itu yang menyuap Han-sai-ku, namun sekarang Han-liu-tan yang menyuapinya.

Keesokan harinya, Han-hujin dan putrinya berkemas, pagi-pagi sekali mereka sudah membedal kereta kudanya meninggalkan kota chang-an, han-hujin yang lembut tidak habis-habisnya menangisi suami dan putranya sejak malam putranya belum tiba, yakinlah keduanya bahwa telah terjadi hal yang tidak diinginkan menimpa keluarganya, sehingga pada pagi dinihari mereka sudah keluar dari penginapan.

Han-ci-lan dengan cekatan membalapkan kereta kuda, rasanya ia ingin cepat sampai kekaifeng, perjalanan mereka lancar tanpa ada aral melintang hingga kota lokyang, Han-ci-lan berhenti sebentar dikota lokyang untuk memebeli perbekalan, dan kemudian sore hari itu juga ia dan ibunya melanjutkan perjalanan, tiga hari kemudian sampailah mereka di pinggir sebuah hutan, jalanan mereka terhambat dengan munculnya gerombolan perampok

“minggir kalian!” bentak Han-ci-lan dengan mata berkilat marah

“hehehe,….nona cantik, kucing mana mau melewatkan ikan yang lewat didepan mata.” Sahut kepala perampok dengan senyum menyeringai, dan di iringi ketawa dua puluh anak buahnya.

Han-ci-lan memutar otak bagaimana caranya melindungi ibunya, jika ia sedang berhadapan dengan keroyokan para bajingan ini, ibunya akan dimamfaatkan untuk melumpuhkannya, pikir hati Han-ci-lan, sesaat pikirannya mendapatkan ide, lalu ia turun dari kereta kudanya

“sialan….rampok tidak tahu diri, siapa yang merasa jadi kepala rampok, hadapilah aku, jika aku kalah dalam sepuluh jurus, aku rela diapakan saja!” tantangnya dengan mata menyala.

“hehehe..benarkah manis, jika kamu kalah apa kamu akan melayaniku!?” sahut kepala rampok dengan senyum dan lidahnya keluar masuk membasahi bibirnya.

“apakah kamu yang jadi kepala rampok?”

“benar sayang, akulah yang mengepalai mereka.” “hmh…apakah kamu suka padaku tai-ong (kepala rampok)!?”

“hehehe..tentu manis, kamu demikian cantik, dan tubuhmu yang sedang mekar itu luar biasa mengiurkan.” “cukuplah pujianmu itu tai-ong, dan suruh anak buahmu menjauh supaya kita bebas berkenalan.” “oh….baik..baik ratuku, heh..kalian menjauh dulu, dan jangan mengintip.”

“hahaha..hahaha….twako, masa mengintip saja tidak boleh.” sahut mereka sambil menjauh.” “nah…manis kesinilah, aku sudah tidak tahan”

“his…..kamu ini goblok atau bagaimana, kamu harus kalahkan aku dalam sepuluh jurus baru aku mau kau peluk.”

“hehehe…bai..baik….terimalah seranganku!” ujar kepala rampok itu sambil melompat dan menubruk ke arah Han-ci-lan, Han-cilan berkelit dan membalas serangan dengan cepat, kepala rampok menangkis dan hendak menagkap tangan Ci-lan, namun ia kecele, karena lengan lentik itu telah diatarik dan digantikan dengan sebuah tendangan kearah lambungnya, si rampok berjumpalitan dan menerkam dari atas dengan dua tangan mencengkram.

Han-ci-lan berkelit dan kebelakang dan membangun serangan balasan dengan tendangan cepat, dan empat jurus sudah berlalu, pada jurus kelima Han-ci-lan mencoba tenaga si rampok, dan sebuah benturan tenaga terjadi, tangan Han-cilan bergetar, dan dua undur dua tindak, namun si rampok terlempar dua tombak, dan saat si kepala rampok terkejut, sebuah serangan kilat luar biasa dari rangkaian bun-liong-hoat menderu, kepala rampok berusaha berkelit, dua kali gebrakan ia berhasil, namun pada gebrakan ketiga, cengkraman kuat mematahkan sendi pundaknya, dan cengkraman lain meremukkan batok kepalanya, kepala rampok terkapar tewas. “heh! kalian keluarlah, dan kuburkan pimpinan kalian! serunya sambil membedal kereta kudanya, anak buah rampok berdatangan susul menyusul dari dalam hutan, hati mereka terkejut melihat pimpinan mereka telah terkapar tewas, dua orang dari mereka marah, namun sisanya merasa ngeri

“hayo…kita kejar perempuan itu!” seru dua orang yang marah, dan mereka melompat hendak mengejar, namun temannya tidak ada yang mengikuti, sehingga keduanya kembali

“kenapa kalian diam dan tidak bergerak!” tegur seorang dari keduanya

“kamu ini bagaimana, pimpinan kita tewas dengan batok kepala hancur, kiramu akan bisa mengalahkan perempuan itu.”

“kita kan banyak, jadi kenapa takut!?”

“kalau kamu tidak takut, kenapa kembali, pergilah cari mampus kesana!” cela yang lain “sudahlah kalau begitu, lalu apa yang kita lakukan?”

“ya elah, mayat twako kita kuburkan!”

“lah…kok kalian marah-marah padaku, akukan hanya menunjukkan kesetiaan pada pimpinan dan hendak membalas kematian twako.”

“setia pada pimpinan, jika pimpinan masih hidup goblok, ini pimpinan sudah mati hanya kurang sepuluh jurus, apa kamu nggak mikir kekuatanmu.”

“ah..sudahlah, mari kita kuburkan twako.” Sahutnya sambil mendekati mayat pimpinan mereka, Han-ci-lan sudah jauh meninggalkan hutan, hatinya lega bahwa anak buah rampok itu tidak mengejarnya, dan taktik menjatuhkan mental rampok dengan membunuh pimpinanya berhasil baik.

Tiga hari kemudian, Han-ci-lan memasuki kota kaifeng, ia segera menuju rumah Han-fei-lun, Han-sian-hui yang sedang berada dihalaman heran melihat kemunculan keponakannya ini, ci-lan dan ibunya segera turun,

“ada apa siang-cici, kemanakah ku-ko?”

“telah terjadi malapetaka menimpa ku-ko, hui-moi.”

“oh....mari…masuklah kedalam.” ajak sian-hui, lalu mereka masuk, Yang-sian menyambut keduanya dengan heran

“dimanakah ci-hu cici?” tanya bu-siang

“lun-ko sedang melayat orangtua seorang murid meninggal di belakang pasar.” “apa yang terjadi dengan ku-ko cici?” sela sian-hui

“setiba kami di kota chang-an, ku-ko pergi menemui susioknya yang berada di lembah kembang, tapi sampai malam ia tidak kembali, kami sangat cemas, lalu tan-ji pergi menyusul ayahnya kesana, namun ia juga tidak kembali, dan kami yakin telah terjadi hal yang tidak di inginkan menimpa ku-ko dan tan-ji.”

Menjelang sore, Han-fei-lun dan kedua anaknya tiba dirumah, dengan tangis sedu sedan Bu-siang bercerita dihadapan Han-fei-lun.

“hmh….tenagkan hatimu, soso-moi, tinggallah disini, hari ini juga saya akan ke chang-an.” ujar Han-fei-lun menghibur adik iparnya yang sesugukan, mendengar perkataan suaminya, Yang-sian segera mengemasi pakaian suaminya, dan hari itu juga berangkatlah Han-fei-lun.

Sang bengcu ini berkelabat cepat melintasi hutan, dalam perjalanan yang memang buru-buru ini, ia mengambil jalan pintas, masuk hutan keluar hutan, melompati jurang dan menuruni lembah, dan dalam jangka tiga hari ia sudah sampai dikota lokyang, sehari ia menginap dikota itu, lalu terus melanjutkan oerjalana, hinga seminggu kemudian, ia sudah sampai di lembah kembang, seorang tukang kebun mendekatinya

“anda siapa dan untuk apa datang kemari?”

“sicu, aku han-fei-lun hendak bertemu dengan majikanmu!”

“sebentar, aku akan melaporkan kedatangan anda.” sahut tukang kebun itu, berkebetulan ia berpapasan dengan Han-bun-liong

“kongcu ada seorang tamu bermarga Han hendak bertemu.” Han-bun-liong menatap kedepan dan kemudian ia melangkah dan mendekat

“kamu ini siapa, dan apa urusamnu datang kesini?”

“aku han-fei-lun, dan urusanku ingin mengetahui keadaan adiukku Han-sai-ku dan putranya yang datang kesini.”

“tidak ada Han-sai-ku disini, pergilah sebelum aku mengusirmu dengan paksa.”

“kamu kenapa berbohong, dan nada bicaramu menunjukan betapa kamu tidak ada sopan sedikitpun.” “bah…..ini rumahku dan aku bebas berbuat sesuka hatiku!”

“liong-ji! mundur kamu, biar aku yang menghadapinya!” sela suara, dan Tan-kui sudah berhadapan langsung dengan Han-fei-lun.

Han-fei-lin yang sudah melihat kakek yang pernah ditemuinya segera berpaling menatap ketempat lain. “cianpwe….aku ingin tahu apa yang terjadi dengan adikku Han-sai-ku.”

“hahahaa…..han-sai-ku sudah hampir mati, kamu hendak berbuat apa?” “aku harap cianpwe serahkan adikku kepadaku.”

“tidak bisa, aku mau lihat apa yang bisa kamu lakukan, hehehe..hehehe…”

“cianpwe sungguh terlalu memaksa, bersiaplah cianpwe! “ Han-fei-lun mengibaskan kipasnya dan menyerang kea rah dada, dan pertempuran sengit pun terjadi.

Han-bun-liong menyaksikan pertandingan itu bersama ibunya dari dalam rumah, dari ibunya tahulah ia bahwa tamu yang datang itu adalah bengcu, orang yang ditakuti oleh hek-to, bayangan Han-fei-lun banyak menyerang bagian dada kebawah, dia tidak pernah menatap mata Tan-kui, dan pertarungan tingkat tinggi itu benar-benar luar biasa, kesiuran hawa pukulan membombandir areal pertarungan, empat balai-balai yang ada dipekarangan luas itu hancur porak-poranda, seratus jurus telah berlalu, namun pertempuran itu belum dapat dipastikan siapa yang terdesak.

Kali ini baik “siauw-taihap” maupun “ang-gan-kwi” bertemu lawan sepadan, Fei-lun mengerahkan ilmu-ilmu dua suhunya, namun ilmu-ilmu Tan-kui juga tidak berada dibawah warisan dua cianpwe, bagi Tan-kui semua kepiawaian bengcu membuat dia berdecak kagum, barulah kali ini berhadapan lawan yang membuat dia harus mengerahkan seluruh kemampuan, dan ia juga harus takluk betapa “siauw-taihap” mampu melawannya dengan telanjang mata dan tanpa takut terjebak adu sin-kang beradu mata. sebagaimana kita ketahui jika keduanya beradu pandang, keduanya mengambil resiko kebutaan.

Dua ratus jurus sudah berlalu, dan malampun perlahan mernyelimuti siang, kali ini “siauw-taihap” membuka serangan dengan ilmu “bun-lie-hoat” dan bagi Tan-kui yang sudah merasa lelah karena umur, tidak kuasa mengimbangi keunikan tarian jurus yang perubahannya tidak terduga, dari setiap keluputan muncul serangan yang cepat dan kuat, dan pada jurus kelima puluh, Tan-kui sudah terdesak hebat, dan saat sebuah tendangan dapat dielakkannya, sebuah tendangan laksana capit kalajengking menghantam telak keningnya “dugh…..buk….” Tan-kui yang awalnya terjengkang kebelakang terjajar kesamping dengan jotosan siku Fei-lun yang menghantam lambungnya.

Pinggul Tan-kui yang tepos terhempas menghantam tanah laksana nagka jatuh, kepalanya pusing tujuh keliling dan lambungnya nyeri bukan main, ia segera bangun, namun tubuhnya limbung karena dia merasa tanah berputar, dan spontan ia memejamkan matanya, kelengahan pada detik itu, dimamfaatkan baik oleh “siauw-taihap”

“prok….crok…augh….” kedua mata “ang-gan-kwi” disendok kedua jari bengcu dalam rangkaian jurus ciptaannya “bun-sian-minling-ci” (jari titah dewa sastra), Tan-kui menjerit setinggi langit sambil menyerang panik dalam kebutaannya, namun semua serangannya yang dikerahkan dengan emosi rasa sakit dan kemarahan memuncak, tidak mengenai sasaran.

Han-fei-lun dengan tenang dan waspada berdiri menunggu gerakan Tan-kui selanjutnya yang sudah berdiri menguasai dirinya, dan tiba-tiba Bun-liong melompat dan menyerang Fei-lun, Tan-kui dengan pendengarannya yang tajam hendak melarang tapi terlambat

“liong-ji…bummm….” dua sing-kang luar biasa dahsyat berbentur membuat lembah itu bergetar, sehingga selaras bangunan kediaman Tan-kui, dua pilarnya ambrol dan membuat atap yang disangganya ambruk.

Han-fei-lun terlempar tiga tombak dan kakinya menggerus tanah sedalam lima dim, sementara Han-bun- liong terlempar laksana layangan putus dan ambruk menimpa atap bagian dapur bangunan, atap itu jebol dan tubuh bun-liong terhempas menimpa sebuah meja hinga hancur, Li-cing yang berlari kebelakang setelah mendengar atap jebol mendapatkan anaknya yang tergeletak pingsan, segera ia mengangkat anaknya dan membawanya kedalam kamar.

Tan-kui mengerahkan pendengarannya untuk mengetahui keadaan disekitarnya, tiga tombak disampingnya, Han fei-lun duduk dengan wajah pucat dan dari sudut bibirnya mengalir darah segar, dan ia sedang berusaha menormalkan jalan darahnya yang bergerak cepat, perlahan nafasnya yang sesak mulai normal, dan ia membuka matanya dan melihat Tan-kui yang berdiri sambil menggerakkan kepalanya, untunglah bagi “siauw-taihap” tan-kui meragu menyerangnya saat itu, sehingga detik-demi detik yang berlalu merupakan peluang baginya untuk memperbaiki keadaannya yang terpuruk.

“cianpwe kenapa berdiri saja!” tantang Fei-lun dengan nada keren menyembunyikan keadaannya, dan nada suara yang menunjukkan keadaan “siauw-taihap” yang masih kuat dan tegar itu membuat tan-kui terheyak beberapa saat, pikirannya berkecamuk antara kagum pada fei-lun dan gelisah karena tidak mengetahui keadaan muridnya, lalu ia berkata

“adikmu ada di gudang belakang, dan segera enyah dari sini!” Tan-kui segera masuk kedalam, bersamaan dengan itu Han-fei-lun bergerak dan menuju kebelakang dan mendapatkan gudang yang dimaksud.

“tok…tok…” ku-te….! Tan-ji …!?” serunya

“siapa…!? apakah lun-pek!?” sahut liu-tan dari dalam

“benar tan-ji, cepat kamu jebolah pintu gudang ini!” ujar Fei-lun sambil mundur menjauh, tidak menunggu lama, pintu itu dijebol liu-tan

“bagus….bagaimana dengan ayahmu tan-ji!?”

“ayah sangat lemah lun-pek.” jawab liu-tan, fei-lun menatap sai-ku yang lemah terbaring di atas dipan

“cepat gendong ayahmu, dan kita pergi dari sisni!” mendengar perintah uwaknya, liu-tan segera mengendong ayahnya, dan keluar dari gudang, lalu mereka segera meninggalkan lembah kembang.

Sementara itu didalam kamar bun-liong, bun-liong masih pingsan “bagaimana keadaannya cing-moi.” tanya tan-kui tiba didalam kamar

“liong-ji masih pingsan kui-ko.” Sahut Li-cing, tan-kui segera memeriksa keadaan muridnya, kemudian ia mendudukkan bun-liong “cing-moi tahan tubuhnya dari belakang!” li-cing segera duduk dibelakang anaknya dan menahan bahunya, tan-kui segera mengerahkan sin-kang untuk mengobati luka dalam bun-liong.

Satu jam penuh pengobatan itu berlangsung, tan-kui sudah basah denga keringat, perlahan bun-liong membuka matanya, ia sudah siuman, kemudian tan-kui menyudahi pengerahan sin-kangnya

“bagaimana rasa dadamu liong-ji?” tanya ibunya “hmh…masih nyeri ibu.” jawab bun-liong

“segera berikan obat pelancar darah, cing-moi!” perintah tan-kui, Li-cing segera keluar dan mengambil obat pelancar darah, setelah minum obat, keadan bun-liong agak baikan

“bagaimana orang tadi suhu!?”

“dia sudah pergi, liong-ji, saat ini yang terpenting adalah keselamatnmu, biarlah lain kali kamu jajal dia sampai mampus”

“ah…..dia itu sungguh luar biasa, suhu menderita buta, dan saya malah pingsan, sementara dia dengan anteng keluar dari sini.” keluh bun-liong

“jangan berkecil hati liong-ji, mulai sekarang kamu harus lebih giat mematangkan tenaga sin-kang mu, itu kefatalan yang kamu alami tadi, kamu terlalu gegabah menyerangnya yang dalam posisi tanggap dan siap setelah bertempur denganmu.”

“tapi diakan sudah kelelahan suhu setelah setengah hari lebih bertarung dengan suhu.”

“kamu salah liong-ji, sin-kang “siauw-taihap” boleh dikatakan dengan sin-kang kita sama, dengan sin-kang seperti itu, daya tempurnya luar biasa, dan pertarungan baru setengah hari, itu sama halnya ia pada puncak kekuatan dan kesigapan luar biasa, lalu kamu tiba seperti orang baru bangun tidur memukulnya, lain hal jika sudah sehari semalam ia bertempur, dan kamu datang, tentunya ia akan mengalami luka sangat parah.” Han-bun-liong terdiam mendengar penjabaran suhunya.

Han-fei-lun dan liu-tan memasuki kota chang-an saat malam sudah larut, mereka mencari penginapan yang masih buka, dan untungnya masih ada satu yang buka, mereka langsung memasan kamar dan beristirahat

“lun-ko, bagaimana keadaanmu?” tanya sai-ku lemah dan menatap wajah saudaranya yang masih pucat.

“aku tidak apa-apa ku-te, besok keadaanku akan normal kembali setelah mendapat istirahat yang cukup, jadi malam ini aku akan berisulian dan besok kita akan kembali kekaifeng.” sahut Fei-lun

Dan memang benar pada keesokan harinya Han-fei-lun sudah sehat dan wajahnya tidak pucat lagi, setelah mandi dan berganti pakaian mereka berangkat kekaifeng, dua ekor kuda dibeli Fei-lun, wajah han- sai-ku cerah setelah mandi dan berganti baju dengan baju saudaranya, ia bersandar didada fei-lun yang menunggang kudanya dengan cepat, kuda itu tidak merasa berat walaupun membawa dua orang dewasa, karena kelihatannya saja dua orang, tapi bebannya hanya tubuh lunglai Han-sai-ku.

“lun-ko, ceritakanlah bagaimana pertempuran dengan “ang-gan-kwi” “hmh..apakah kakek itu “ang-gan-kwi”?”

“benar lun-ko, dia juga susiok bagi kami, karena dia adalah sute dari suhu “Lam-sin-pek” “ilmunya memang sangat luar biasa dan ditopang dengan sin-kang dan gin-kang luarbiasa.” “tentunya lun-ko memenangkan pertempuran sehingga berhasil mengeluarkan kami.” 

“memang aku berhasil mengeluarkan dua matanya, namun yang membuat penasaran anak muda yang bersamanya juga memiliki sin-kang luar biasa.” “anak muda itu saudara kita juga lun-ko.” “oh ya, siapa ibunya?”

“ibunya adalah “siang-mou-bi-kwi, dan namanya adalah Han-bun-liong.” “hmh…siang-mou-bi-kwi?” gumam fei-lun terkejut

“kenapa lun-ko?”

“jika begitu aku pernah bertemu dengan bun-liong ini saat ia berumur dua tahun lebih, dan saat itu juga saya bertemu dengan “ang-gan-kwi” itu, hmh…saya tidak menyangka kalau siang-mou-bi-kwi merupakan ibu dari saudara kita”

“lalu bagaimana keadaan bun-liong setelah menghadapi lun-ko.”

“saya tidak tahu apa yang dia alami, karena ia terlempar sampai kebelakang dan tidak muncul lagi.” “dia itu akan menjadi saingan beratmu lun-ko.”

“kenapa kamu katakan demikian ku-te?”

“dia akan dinobatkan jadi bengcu hek-to, dan tujuan pertama dari kebangkitan hek-to adalah menewaskanmu lun-ko, dan saya dengar lun-ko telah menggagalkan misi thian-tin dan menewaskan beberapa anggotanya.”

“heh….bagaimana kamu tahu dengan ‘thian-tin” ini ku-te, memang benar beberapa bulan yang lalu aku ditantang oleh orang-orang yang menamakan dirinya “thian-tin”

“karena saat aku tiba di lembah kembang, datang pula anggota “thian-tin” ini ke sana.” “jadi “thian-tin” ini berhubungan dengan “ang-gan-kwi”, begitukah ku-te?”

“tidak lun-ko, “ang-gan-kwi” tidak tahu menahu dengan “thian-tin”, hanya karena mereka gagal, maka mereka menjumpai “ang-gan-kwi” untuk meminta bantuannya.”

“anggota “thian-tin” yang tersisa waktu itu ada empat orang yang sarankan berobat kepada tan-sinse.”

“sisa mereka bukan empat lun-ko, tapi sembilan orang lagi, dan dua diantaranya adalah dua saudara kita kwi-ong dan ok-loang”

“tapi aku tidak bertemu dengan kwi-ong, hmh…aku mengerti sekarang pola serangan yang mereka lakukan saat itu.”

“maksud lun-ko bagaimana?”

“pola mereka saat menyerangku terdiri dari lima orang pengeroyok dalam satu rombongan, dan saat itu tiga rombongan telah berhadapan denganku, dan rombongan keempat ini tidak sempat berhadapan denganku, karena aku dan jin-ji sudah meninggalkan tempat.”

“dan sebelas orang telah lun-ko tewaskan.”

“benar ku-te, dan bahkan jin-ji menguburkan mereka.”

“demikianlah cerita mereka saat itu, dan aku protes pada ong-ko tentang niat hendak mencelakakn lun-ko, dan kami bersitegang saat itu, dan aku berniat untuk meninggalkan pertemuan itu, namun “ang-gan-kwi” tidak memperbolehkan, sehingga saya harus berhadapan dengan bun-liong”

“apakah bun-liong yang membuat kamu tapa daksa ku-te?”

“benar lun-ko, aku sangat menyesal kenapa aku kesana, sehingga berakhir seperti ini.” “sudahlah ku-te, kamu yang tabah ya, menghadapi keadaanmu ini, tentu ada hikmah dibalik semua ini.” “bagaimanakah keadaan istri dan putriku lun-ko?”

“mereka baik-baik saja, kita bersyukur dengan kecerdasan putramu, situasi ini dapat kita atasi.” “kenapa lun-ko berkata demikian?”

“karena dari cerita moi-soso, awalnya lan-ji yang hendak kesana menyusulmu, namun tan-ji mungkin melihat resiko cicinya lebih besar jika kesana, hingga ia berinisiatif untuk pergi dan menyuruh moi-soso, dan lan-ji ke kaifeng, jika sampai malam ia belum kembali.”

“tan-ji memang menghiburkan akan kedangan lun-ko padaku, hingga aku merasa lebih tenang, dan harapanku tumbuh, bahwa kami akan selamat.”

“hal itu patut kita syukuri ku-te, karena thian telah membantu kita.”

“benar lun-ko, semoga saja siang-moi tabah menghadapi keadaanku ini.” ujar Sai-ku dengan mata yang berkaca-kaca.

Satu bulan kemudian mereka sampai di rumah Han-fei-lun, dengan tangis sedih Bu-siang menyambut suami dan anaknya, keadaan suaminya demikian menyayat hatinya, namun dengan bijak fei-lun menenagkan adik iparnya, bahwa segala keadan sudah merupakan garis hidup yang sudah ditentukan oleh thian yang serba maha, susah dan senang, sehat dan sakit, yang intinya “IM” dan “YANG” yang merupakan mahkota alam, adalah ujian yang harus dijalani oleh manusia, ini adalah fakta yang harus dihadapi, dan sikap menerima dan tidak akan mendapat nilai bagi status ke insanan manusia.

Status itu hanya dua yaitu bermartabat atau terlaknat, jika mampu menjalani ujian maka bermartabatlah manusianya karena ia jelas mampu mempertahankan jati dirinya, tapi jika sebaliknya maka akan terlaknatlah manusianya, karena jati dirinya akan hancur berkecai terjebak dengan angkara murka, mendengar uraian ci-hu nya Bu-siang semakin tabah dan kuat hatinya.

Han-sai-ku menjalani pengobatan di kaifeng selama dua bulan penuh, dan sebulan kemudian mereka berangkat untuk kembali kekota kun-ming dengan diantar oleh Han-liang-jin, ikutnya Han-liang-jin atas perintah Han-fei-lun, untuk meluaskan pengalaman bagi putra sulungnya yang sudah berumur dua puluh dua tahun itu, Han-sai-ku dan keluarganya semakin nyaman untuk menempuh perjalanan panjang itu.

Kota Guiyang hari itu sangat cerah, orang berlalu lalang dengan urusannya masing, bwee-hoa-likoan dipadati banyak tamu yang hendak istirahat dan makan siang, para pelayan sibuk melayani para tamu, tan-bouw selaku pimpinan sibuk perintah sana-sini kepada para pelayan, dan saat ia memandang keluar, sebuah kereta yang amat dikenalnya berhenti, kereta majikannya Han-wangwe , segera ia buru-buru keluar untuk menyambut

Han-liang-jin dan sepupunya liu-tan turun dari atas kereta “selamat bertemu kembali kongcu!” sapanya pada Han-liu-tan

“selamat bejumpa kembali tan-pek.” sahut Liu-tan, han-hujin dan putrinya juga turun, tan-bouw heran melihat majikannya Han-saiku digendong Liang-jin.

“selamat bertemu bouw-twako.” sapa Han-sai-ku

“selamat bertemu kembali Han-wangwe, oh..mari kita kedalam saja.” sahut Tan-bouw, lalu merekapun masuk dan beberapa tamu memperhatikan kedatangan rombongan yang demikian dihormati oleh pimpinan likoan.

Han-sai-ku didudukan diatas sebuah kursi. “bagaimana keadaan likoan bouw-twako!?”

“keadaan baik-baik saja wangwe. Sebentar saya akan menyuruh pelayan menghidangkan makan siang.” sahut Tan-bouw, lalu ia keluar, dan tidak berapa lama tiga orang pelayan datang membawakan makanan, dengan sigap mereka menghidangkannya di sebuah meja besar, keluarga Han pun makan, segala keperluan mereka dengan sigap dilaksanakan tiga orang pelayan itu.

“inilah usaha paman jin-ji, yang paman rintis dari kota kun-ming.” “ku-siok kelihatannya sangat berhasil dibidang usaha likoan ini.”

“benar, dan syukur bahwa saya berhasil membuka lima cabang di lima kota disekitar Kun-ming.” Dan baru saja mereka selesai makan sebuah kegaduhan terjadi di bagian depan.

“coba kalian tengok tan-ji apa yang terjadi!” liang-jin dan liu-tan segera menuju ruangan depan, seorang lelaki tinggi besar tergeletak di lantai sambil meringis, rongsokan meja berserakan disekitarnya, dan seorang lelaki lima puluh tahun bertubuh kecil dengan sombong berteriak

“siapa lagi yang ingin mendapat hajaranku!” tantangnya, laki-laki itu adalah “kwi-sim-lo-tong yang baru masuk kedalam likoan dan tiba laki-laki tinggi besar yang hendak menabraknya

“sialan…! Kamu punya mata tidak!?” bentaknya marah “maaf sicu….aku tidak sengaja.” sahut laki-laki itu

”eh, enak saja kamu minta maaf, kamu telah berani menghina “kwi-sim-lo-tong”, jadi kamu harus terima ganjarannya, lalu tiba-tiba laki-laki itu sudah terlempar ditendang oleh “kwi-sim-lo-tong” hingga melabrak meja hingga hancur, para tamu terkejut dan memandang tidak suka pada kelakuan “kwi-sim-lo-tong” karena pandangan yang mencibir itu, “kwi-sim-lo-tong” meneriakkan tantangan dan saat itu Liang-jin dan sepupunya keluar.

“ada apa ini lo-pek!?” tanya liang-jin pada Tan-bouw, sebelum tan-bouw menjawab

“heh..! sastrawan kesasar, apa kamu mau saya hajar!?” teriak lo-tong pada liang-jin, liang-jin melangkah mendekat

“lo-heng, kenapa membuat kacau hingga para tamu tidak nyaman?”

“sialan…sastrawan gablek!” bentak lo-tong dan tanganya segera melayang hendak memukul kepala liang- jin, tapi dia terkejut karena tamparannya meleset, dengan geram ia menyerang liang-jin, namun dengan sabar liang-jin berkelit tanpa berusaha membalas.

“hmh..ternyata berisi juga kamu kutu buku.” ujarnya sambil mempergencar serangannya, liang-jin menggiring lo-tong keluar dari likoan, dan sesampai dihalaman likoan, liang-jin berkelit dan memberikan balasan yang membuat lo-tong kelabakan, dan dalam empat puluh jurus, lo-tong harus rela menerima sebuh ketukan pada pelipisnya sehingga membuat ia pusing tujuh keliling, tubuhnya limbung dan pantatnya terhempas, ia jatuh terduduk

“itu anak “siauw-taihap” mari kita ringkus!” teriakan itu dikeluarkan “ma-bin-kwi” yang datang bersama “ban-pi-kwi” keduanya menyerang dengan gencar, namun yang diserang dengan tenang berkelit dan menghindar, sampai tiga puluh hurus dua orang “thian-tin” ini tidak dapat menyentuh Liang-jin yang bergerak lincah dan gesit, sepuluh jurus kemudian, liang-jin melakukan serangan balasan, dengan “kwi- hut-san-sian” (dewa kipas penakluk iblis) ia mendesak dua lawannya, dan dalam tujuh gebrakan serangan balasan dari liang-jin

“buk….tuk…” ma-bin-kwi terjungkal memuntahkan darah karena dadanya serasa ringsek menerima sebuah tendangan, sementara “ban-pi-kwi” tulang sikunya retak dijotos gagang kipas Liang-jin, nyerinya luar biasa hingga serasa menusuk jantung, wajahnya berkedut menahan nyeri, tiba-tiba lo-tong menubruknya dari belakang, namun sebelum tanggannya yang hendak menghantam kepala liang-ji

“buk..uhgh…” sebuah tendangan yang dimulai dengan kayang ketanah, dan kaki menyambut tubuh lo-tong yang melayang, dan tak pelak muka lo-tong jadi sasaran empuk. “kwi-sim-lo-tong ambruk dengan kepala kembali pusing dan pandangannya nanar, hidungnya yang patah mengeluarkan darah yang banyak, melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, ma-bin-kwi beserta dua rekannya meninggalkan tempat itu, keadaan kembali tenang, dan para tamu kembali duduk setelah puas menonton pertandingan hebat dihalaman likoan, dan diantara yang menonton itu tidak sedikit kalangan lioklim, mereka berdecak kagum melihat betapa mudahnya bagi pemuda sastrawan itu mengalahkan tiga tokoh ternama itu, mereka mengenal betul dua tokoh yang tiba-tiba menyerang liang-jin, karena “ma-bin-kwi” dan “ban-pi-kwi” dua tokoh menggiriskan di wilayah barat.

Tapi ternyata pemuda sastrawan itu berhasil membuat kedua tokoh itu ngacir melarikan diri setelah dikemplang sedemikian rupa, dari mulut mereka tersebar pujian akan kehebatan Liang-jin, dan sebuah julukan “sin-san-siucai” (sastrawan kipas sakti) beredar yang dikenakan pada Han-liang-jin.

Tiga hari kemudian, rombongan she-han melanjutkan perjalanan menuju kun-ming, dan dua minggu kemudian merekapun sampai kerumah, dengan keadaan Han-sai-ku, sejak itu likoan digantikan putranya Han-liu-tan yang sudah berumur hampir enam belas tahun, Han-liang-jin tinggal bersama pamannya hampir tiga bulan, selama itu baik-liu-tan maupun cicinya memamfaatkan peluang meningkatkan ilmu-ilmu mereka dengan berlatih dengan saudara misan mereka yang luar biasa itu.

Kota Lijiang hari itu sangat terik, namun kesibukan warga seakan tidak merasakannya, mereka tetap berlalu lalang hilir mudik mengerjakan urusan-urusannya, disebuah likoan banyak tamu yang sedang makan, didalamnya kelihatan Han-liang-jin sedang makan dengan tenang, tiga meja didepannya empat orang lelaki sedang makan sambil bicara dan ketawa-tawa, terlebih ketika seorang wanita dengan caping dikepalanya masuk kedalam likoan, dan saat ia duduk sambil membuka capingnya nampaklah wajah cantik luar biasa, wajahnya yang putih kelihatan sedikit merona merah dan dibasahi keringat, karena hawa panas saat itu, seorang pelayan datang mendekatinya

“lopek, sediakan makan dan lauknya serta sepoci minuman sari buah.” suaranya demikian merdu dan manja, sehingga terdengar enak ditelinga yang mendengarnya.

Pelayan itu mengangguk dan segera meninggalkannya untuk menyampaikan pesanan nona jelita itu “ji-te…! alangkah nyamannya terasa tempat ini, bunga yang datang demikian indah dipandang mata, dan aromanya demikian memabukkan.”

“hehee…twako, apa yang kamu katakan itu memang benar, sayanglah jika twako tidak segera memetik dan menciumnya.” sahut laki-laki yang dipanggil ji-te, lalu merekapun ketawa sambil melirik wanita yang sedang dilayani pelayan menghidangkan pesanannya.

“hehehe…hahaha….empat macan saja tertarik aromanya, tapi apalah daya empat macan jika seekor kumbang berada didekatnya.” sela seorang lelaki paruh baya yang tampan yang duduk dua meja disamping wanita jelita itu, empat orang itu menoleh dengan mata mendelik

“hahaha….kumbang boleh pasang aksi, harimau kumbang tidak akan jerih, demi setangkai kembang didepan mata.” sahut si twako

“hehehe….cobalah harimau mengaum , kumbang ingin melihat apa yang akan terjadi.” balas lelaki tampan paruh baya itu.

Empat orang itu dikenal dengan julukan “kwi-san-houw-si” (empat harimau dari gunung iblis), yang dipanggil twako memang berwajah tampan, hanya mata kananya memakai penutup, mereka berempat sangat ditakuti di wilayah barat, karena sepak terjang mereka yang sering merampok barang kawalan, karena merasa tertantang dengan lelaki tampan yang berjulukan “kwi-hongcu” (si kumbang iblis), maka ia mendekati wanita yang jadi persaingan mereka.

“nona, wajahmu cantik menawan…”

“cukuplah pujianmu tuan, aku tidak suka kamu mengoceh lagi!” potong wanita itu dengan tegas “hehehe….kamu tidak punya pilihan no……plak….auhg….” lelaki terpapar kesamping sangking kuatnya tenaga yang menampar pipinya, dia terkejut dan meringis kesakitan, entah kapan wanita itu bergerak, dua giginya tanggal sehingga mulutnya berdarah.

Si twako ini merasa marah dan terhina, seharusnya dari gerakan si nona yang luar biasa seharusnya ia tahu diri, namun rasa marahnya mengalahkan pikiran jernihnya lalu ia menyerang dengan dua cengkraman terbuka, kedua cengkraman itu langsung lunglai, karena dua sikunya remuk, dihantam sumpit yang dipegang si nona, kiut-miut muka si twako menahan nyeri yang menusuk jantung, tiga rekannya tercengang melihat twako mereka meringis kesakitan, lalu serempak mereka menyerang si nona

“tuk..tuk….tuk….” tiga tusukan sumpit mengenai pergelangan tangan ketiganya, tiga rekanan itu meringis kesakitan.

“enyahlah kalian sebelum aku berubah pikiran! bentak si nona, lalu dengan nyali mengkirit empat rekanan itu meninggalkan likoan

“luar biasa, sunguh kecepatan nona membuat takjub.” puji “kwi-hongcu”

“aku sedang makan dan tak ingin diganggu dengan celoteh yang lahir dari pikiranmu yang kotor

“hehehe..hahaha….mawar berduri makin membuat kumbang penasaran, hahaha…nona cantik siapakah namamu?”

“tuan….sekali lagi, jika mulutmu tidak diam, aku tak akan segan memecahkan mulutmu.”

“hahaha..hahaha…kamu bisa apa denganku sayang, jangan kamu samakan aku dengan empat harimau ompong itu, hup…” sebuah sumpit meluncur cepat ke arah mukanya, namun dengan sigap tangannya menjepit sumpit itu, lalu dengan senyum genit ia menjilati ujung sumpit bekas mulut wanita itu.

Wanita itu berdiri dan menyerang “kwi-hongcu”, orang-rang segera menyingkir, karena tempat itu sudah menjadi ajang pertempuran hebat, si pemilik kasir cemas dan panik melihat meja dan kursi pada hancur akibat pertempuran itu, “kwi-hongcu” terkejut bahwa wanita itu demikian luar biasa, hingga ia terdesak karena bertubi-tubinya serangan si nona, ia terus mundur hingga keluar likoan, dan setelah pertempuran berpindah keluar, barulah “kwi-hongcu” dapat mengembangkan permainannya, dia tidak mau kalah dari wanita yang menarik ini, maka ia kerahkan kemampuan yang dimiliki, namun wanita itu bukan orang sembarangan yang mudah dipermainkan.

Lima puluh jurus sudah berlangsung, pertarungan masih alot dan seimbang, wanita itu juga tidak menyangka bahwa sitampan ceriwis ini ternyata luar biasa, hingga pantas berjumawa dihadapannya, lalu ia menarik pedang dari punggungnya dan menyerang dengan luar biasa, “kwi-hongcu” juga menarik pedang dari punggungnya dan pertempuran senjata pun berlangsung seru dan menegangkan, kilauan pedang menyilaukan mata di timpa cahaya matahari.

Setelah berlalu empat puluh jurus, tiba-tiba pedang “kwi-hongcu” lepas entah bagaimana, sehingga “breett” ujung pedang si nona melukai bahunya, “kwi-hongcu” segera melompat menjauh untuk menghindari serangan susulan si nona, dia tidak tahu bagaimana pergelangan tangannya tiba-tiba kaku dan lemas, “kwi-hong-cu” tahu gelagat

“lain kali kita lanjutkan nona, “kwi-hongcu” tidak mau sudah sebelum tubuhmu yang lunak dan menggemaskan itu berada dalam pelukanku.” Ujarnya sambil berkelabat dari tempat itu.

Nona itu menerka-nerka apa yang terjadi sehingga pedang lawannya lepas, hatinya yakin bahwa ada yang telah menolongnya, lalu diapun kembali masuk kedalam likoan, apakah yang terjadi? benarlah mamang dugaan si nona bahwa ada yang membantunya, ketika mereka bertarung pedang dengan sengitnya, dan debu berterbangan karena hawa sin-kang mereka, Liang-jin menyentil jemarinya sehingga serangkum hawa mengarahkan debu itu menerpa pergelangan tangan “kwi-hongcu” yang kontan membuat tangannya kaku dan lemas.

Nona itu menyapu pandangan pada setiap tamu, mencari-cari siapakah gerangan yang membantunya, namun semua tamu memandangnya dengan terkesima, sehingga sulitlah baginya memilah diantara tamu mana yang kira-kira menonjol memiliki ilmu yang hebat

“aduh siocia..bagaimana ini, aku akan mengalami kerugian akibat kerusakan meja dan kursi.”

“maaf lo-pek, telah membuat kedai mu kacau balau, dan ini aku akan mengganti kerugianmu.” sahut nona itu sambil memberikan sekeping uang emas

“oh….terimakasih nona, ah…ini lebih dari cukup.” sahut pemilik likoan dengan wajah gembira. Nona itu pun segera meninggalkan likoan, dan tidak berapa lama liang-jin pun meninggalkan likoan, ia berjalan santai keluar dari gerbang utara kota, saat sore hari liang-jin sampai disebuah bukit, senja merah yang menghias membuat bukit itu redup kemarahan, lembah dibawahnya menjadi panorama alam yang luar biasa indahnya, angin semilir berhembus membuat nyaman dada liang-jin, dan tiba-tiba ia terkenang wajah si nona jelita, ia mengerjapkan mata untuk menghilangkan bayangan si nona yang tiba-tiba muncul, namun wajah itu sulit untuk dilupakan, hatinya berdebar dan wajah sinona makin kuat mengikat benaknya, dia pun hanyut dalam bayangan wajah indah yang menari dipelupuk matanya, Liang-jin berbaring dan bermalas-malasan dirermputan halus, akhirnya ia tertidur dan melewatkan malam di bukit itu.

Sebulan setelah meninggalkan Lijiang, han-liang-jin sampai disebuah hutan diluar kota xining, ia sedang mencari binatang buruan untuk mengganjal perut yang lapar, seekor ayam hutan menjadi targetnya, dengan sebuah batu kecil han-liang-jin merotar kearah ayam tersebut, ayam itu terkapar menggelapar, lalu dengan cepat Han-liang-jin menyembelihnya, kemudian ia turun ke sumber air untuk membersihkannya, dan telinganya yang tajam mendengar suara merdu sedang menyanyi.

“semaraknya kembang menghias laman aromanya wangi menyebar alam sekitar hati berdendang lagu syahdu kenangan lamunan cinta merebak sukmaku bergetar gemercik air sungai melintas bebatuan mengalir lepas mengayun buih keputihan batin berbisik duhai cinta taruna pujaan

hati ini malu entah pada siapakah gerangan”

Han-liang-jin melihat seorang wanita jelita sedang mandi sambil menyanyi, rambutnya yang panjang melekat diatas punggung dan bahu yang putih mulus, han-liang-jin seperti kena sihir melihat pemandangan menakjubkan di depannya, namun hanya sesaat, lalu ia sadar dan mengalihkan pandangan, dia memutar badan hendak meninggalkan tempat itu, dan berkebetulan seekor monyet melitas diatas Han-liang-jin sambil berteriak, perempuan itu melihat ke arah monyet dan menatap punggung Han-liang-jin

“heh….kamu , apa yang kamu lakukan di situ!” teriak perempuan itu, han-liang-jin berhenti mematung dan tidak berbalik

“maaf siocia, aku tidak bermaksud kurangajar, aku hendak membersihkan ayam buruanku kesini.” sahut Han-liang-jin sambil mengangkat ayam ditangannya.

“cih….kamu lelaki ceriwis, tunggu disana dan jangan berani melihat kesini!” bentak wanita itu, lalu segera ia keluar dari sungai dan memakai bajunya, kemudian dengan gerakan ringan ia mendatangi tempat han- liang-jin berdiri, dua mata saling bertatapan

“bangsat duh tampannya pemuda ini.” gumamnya dalam hati, mukanya bersemu merah saking malunya dengan teriakan batinnya, hati han-liang-jin bergetar, jantungnya menggelepar setelah melihat wajah jelita didepannya, wajah ini selalu menghias dibenaknya, wajah wanita yang ia lihat di lijiang sebulan yang lalu,

Han-liang-jin menenagkan debaran hatinya “maaf siocia, aku benar-benar tidak sengaja.”

“tidak sengaja melihatku. begitu!?” bentak wanita itu

“maafkan aku siocia, kalau aku tahu kamu ada disungai, pasti aku tidak akan ke sungai.” “aah..itu alas an saja, berapa lama kamu melihat aku.”

“aduh…aku tidak tahu siocia.”

“hah..berarti kamu sudah lama mengintaiku mandi, ih ceriwis kamu ya!?” seru wanita itu makin malu, dan wajahnya makin bersemu merah.

“ti..tidak siocia, aku hanya sesaat melihat dan terus berpaling.” jawab han-liang-jin makin gugup, dia malah keringatan di interogasi wanita aduhai di depannya ini. “kamu bohong!” sela perempuan itu dengan muka makin bersemu merah “ti..tidak siocia, aku tidak bohong, “ bantah liang-jin gugup

“kamu bohong, buktinya kamu gugup begitu.”

“aduh…..a..aku gugup karena hatiku berdebar kau pandangi seperti itu.” “his…berdebar? kenapa berdebar, apa mataku menakutkan!?”

“ti…tidak siocoa, matamu indah sekali. wajahmu sangat menawan, bibirmu luar biasa menarik.”

Mendengar ungakapan pemuda tampan dihadapannya, membuat hati wanita itu seperti di elus-elus, saat dia sadar dari hatinya yang melambung, mukanya makin merona merah cupu hidungnya yang mancung kembang kempis, matanya menatap lekat wajah tampan didepannya

“eh..bukankah kamu lelaki yang berada dilikoan dikota lijiang!?” “be..benar nona.”

“his…kamu ternyata perayu juga, kamu tidak hanya ceriwis tapi juga perayu wanita, kamu tidak obahnya seperti “kwi-hongcu” yang kurangajar itu.” cela wanita itu gemas dan marah

“aduh siocia, maafkanlah aku, aku mengatakan yang sejujurnya, aku tidak sengaja, dan  sudahilah ketegangan ini”

“tegang? kenapa kamu tegang, eh lututmu bergetar kenapa?” han-liang-jin tidak menjawab, debaran jantungnya makin bertalu-talu, darahnya tersirap membuat ia lemas, lalu dia duduk menentramkan hatinya yang menggelepar melihat wajah cantik yang berkemak kemik didepannya, dan dipandangan liang-jin, setiap kemikan diwajah itu, semakin menggugah hatinya yang terpana, mata, mulut, hidung, pipi dan dagu, semuanya demikian menarik dan sedap dipandang mata.

“eh…kenapa kamu duduk dan diam!?”

“aku lagi menenangkan diriku.” sahut Liang-jin dan tiba-tiba ia turun ke sungai, dan wanita itu heran “kau mau kemana?” tanya wanita itu dan mengikuti langkah Liang-jin

“aku mau membersihkan ayam ini, perutku sangat lapar siocia.” “tapi urusan kita belum seslesai.”

“aku siap menyelesaikan urusannya, katakanlah siocia.” sahut Liang-jin sambil membersihkan ayam ditepian sungai.

“siapa namamu?” tanya wanita itu tiba-tiba

“namaku Han-liang-jin, dan namamu siapakah nona?” “eh..kok kamu bertanya namaku?

“nona tidak adil, aku sudah memberi tahu namaku, masa nona tidak sudi memperkenalkan nama?” “kita bukan sedang berkenalan, kamu harus dihukum sebab keceriwisanmu tadi.”

“demikiankah? hmh…baik kalau begitu aku siap mendengarkan.” sahut liang-jin, “apa kamu akan menerima saja hukuman dariku?”

“hanya itu yang dapat kulakukan nona.” sahut Liang-jin sambil menyalakan batu api pada setumpukan ranting. “baik, ayam kamu bakar itu milikku, setelah matang aku yang akan memakannya, bagaimana!?”

“baiklah nona, duduklah di bawah pohon itu, setelah daging ini matang, akan kuberikan padamu.” sahut Liang-jin, makin takjub wanita itu dengan sikap liang-jin, hatinya sejak liang-jin duduk sudah yakin bahwa liang-jin tidak sengaja melihatnya, dan pemuda ini bukan orang tak bermoral seperti “kwi-hongcu”

“lalu kamu akan makan apa? bukankah kamu sangat lapar?”

“aku akan mencari buruan lain, mudah-mudahan tidak lama aku akan cepat menemukannya.”

Perempuan itu menatap lekat wajah tampan liang-jin dari tempat ia duduk, suasana hening dan sepi, hanya suara gemericik air dan kadang suara teriakan monyet yang terdengar

“ini nona makanlah, dan mungkin aku sudah diperbolehkan mencari buruan lain, bukan?”

“tidak usah, ini saja kita bagi dua.” ujar wanita itu sambil mengangsurkan sepotong daging, Liagg-jin menerimanya dan dengan lahap memakannya, keduanya makan daging ayam bakar yang harum dan lezat, tiba-tiba terdengar panggilan

“hong-ji! cepatlah kita akan lanjutkan perjalanan.”

“kakekku sudah memanggil, aku harus segera menyusulnya, dan terimakasih atas ayam bakarnya” ujar wanita itu, kemudian ia berdiri dan meninggalkan han-liang-jin dengan berlari cepat.

Siapakah wanita cantik jelita berumur sembilan belas tahun, yang telah menawan dan menyita benak setiap lelaki yang memandangnya

Wanita itu adalah Yap-hui-hong, dia adalah cucu dari Yap-kun atau “kim-san-sin-siucai” (sastrawan sakti kipas emas) yang kita kenal sebagai wakil bengcu pek-to, di utara Yap-hui-hong sangat dikenal dengan julukan “kim-sim-sin-sianli” (dewi sakti berhati emas), ketika itu mereka sedang mengunjungi putri “kim- san-sin-siucai” atau bibi dari Yap-hui-hong kekota lhasa di Tibet, setelah dua bulan berada di lhasa, Yap- kun duluan kembali kekota Yinchuan dimana cucu dan kakek itu tinggal, dan seminggu kemudian Yap-hui- hong meninggalkan kota lhasa menyusul kakeknya, yap-hui-hong dapat menyusul kakeknya di kota xining. Han-liang-jin masih duduk termenung di pinggir sungai, bayangan gadis yang menyita rasa dalam hatinya sudah pergi, hatinya kosong seakan jiwanya ikut terbawa gadis penuh pesona itu, dan tiba-tiba ia bernyanyi

Awan berarak laksana domba di padang bertumpuk serasi duhai sedap dipandang hati terlena cinta wajah kekasih terbayang malam jadi impian siang hari pun terkenang

Sesudah menyanyi timbul keinginan Han-liang-jin untuk mandi, ia pun segera turun ke dalam sungai, menyelam dan membersihkan diri, ia mandi sepuas-puasnya, setelah itu ia mengeringkan badan dan berganti pakaian, kemudian ia pun melanjutkan perjalanan, dengan langkah ringan liang-jin meninggalkan hutan yang akan menjadi sebuah tempat kenangan dalam kalbunya.

Disebuah hutan diluar kota lanzhou, Han-liang-jin sedang lahapnya memakan panggang buruannya, ia mendengar suara sebuah pertempuran, Han-liang-jin segera menuju ketempat dimana pertempuran itu berlangsung, seorang lelaki tua dan seorang perempuan yang menjadi kenangannya sejak dari lijiang bertarung melawan dua orang yang juga dikenalnya sebagai “thian-tin” dua orang itu adalah “pek-lek- ciang-kwi” dan “lui-kong-twi”, pada saat liang-jin datang, “kim-san-sin-siucai” terlempar akibat tendangan dari “lui-kong-twi” yang mengenai lambungnya, dan sebuah cengkraman dalam serangan susulan sedang mengancam ubun-ubun, kakek itu sudah payah di tengah posisi yang tersudut tersebut.

“agh….” teriak lui-kong-twi, serangkum hawa menerpa tubuhnya hingga dia terlempar kesamping dan serangannya gagal, dan tidak hanya itu, pek-lek-ciang-kwi” juga terpental saat mendesak hebat Yap-hui- hong, liang-jin sudah berdiri di tengah pertempuran dan matanya menatap tajam pada dua anggota thian- tin “bukankah kalian ini anggota “thian-tin”?” tanya liang-jin, lui-kong-twi dan pek-lek-ciang-kwi menatap lekat pada pemuda dihadapan mereka

“kamu ternyata “sin-san-siucai” “ sela lui-kong-twi dengan nada bergetar, ia tahu julukan ini hangat dibicarakan baru-baru ini, terlebih setelah keduanya ketemu dengan tiga rekannya yang habis dipecundangi Liang-jin.

“mari kita pergi saja, “lui-kong-twi.” teriak “pek-lek-ciang-kwi” sambil berkelabat dari tempat itu, lui-kong tak banyak cakap menyusul rekannya

“bagaimana kedaan cianpwe!?” tanya liang-jin mendekati “kim-san-sin-siucai”

“terimakasih anak muda atas bantuannya.” ujar kim-san-sin-siucai” sambil menahan nyeri dilambungnya.” “kembali kasih cianpwe.” sahut Liang-jin dengan senyum lembut

“kong-kong tidak kenapa-napa kan?” sela yap-hui-hong, hatinya tidak menentu dengan kehadiran liang-jin yang menolong mereka.

“aku tidak kenapa-napa hong-ji, istirahat sebentar nyeri dilambungku akan baikan.” “nona , baik saja bukan?” sela liang-jin

“eh..oh..ya aku baik-baik saja.” jawab hui-hong

“anak muda, siapakah kamu yang demikian ditakuti oleh dua dedengkot hek-to itu?” “saya Han-liang-jin cianpwe.”

“she-han? darimanakah asalmu taihap?” “aku dari kota kaifeng cianpwe.”

“dikaifeng tempat bengcu, apakah saya berhadapan dengan putranya?”

“benar cianpwe, bengcu adalah ayah saya.” mendengar jawaban liang-jin “kim-san-sin-kwi” segera memberi hormat

“ah...cianpwe janganlah sungkan, aku tak pantas.” Han-liang-jin segera ikut menunduk sambil memegang tangan “kim-sian-sin-siucai”

Yap-hui-hong yang melihat betapa kakeknya menghormat pada pemuda yang ternyata putranya bengcu, membuat hati yap-hui-hong malu, karena telah menyudutkan pemuda itu, mukanya pucat karena malu

“kamu kenapa hong-ji, beri hormat pada taihap, kok malah bengong, eh kamu pucat kenapa? apakah kamu terluka?”

“ah..oh..ti..tidak kong-kong.” Jawabnya makin gugup, lalu ia menjura dalam kepada han-liang-jin “maafkan aku…. taihap, a….aku tidak tahu.”

“ti..tidak…aku yang meminta maaf siocia.” mendengar maaf yang sepertinya tidak nyambung dengan suasana pertemuan itu membuat “yap-kun” heran, dia memperhatikan dua muda mudi yang kelihatan sama-sama kikuk, sastrawan tua yang banyak pengalaman ini langsung menangkap arti dari kejanggalan sikap itu

“hehehe…kalian ngobrollah sementara aku istirahat dibawah pohon itu.”

“ah..oh..kongkong kemana?” tanya hui-hong dengan wajah pucat, sementara wajah liang-jin memerah karena jengah, karena jelasnya kekakuan mereka dihadapan orang tua itu “sin-san-siucai….tolong jaga cucuku ini, sebelumnya ia tidak secemas dan setakut ini kutinggalkan, tapi hari ini aku hanya sekejap istirahat, bukannya pergi, pucatnya luar biasa, hehehe….”

“kong-kong..aduh….” hui-hong merasa malu dan jengah karena sikapnya amat jelas dibaca kakeknya, bahkan digoda sedemikian rupa, makin tak karuan rasa hatinya

Hati Han-liang-jin juga makin tak karuan, dia tidak tahu mau berkata dan berbuat apa, benar-benar keadaan yang menimpanya ini membuat dirinya amat bodoh.

“cianpwe sebaiknya aku permisi dulu.” “oh, begitukah taihap?

“eh..oh…hmh….iya.” sahut liang-jin merasa bingung dan bodoh

“antarlah taihap hong-ji.” ujar yap-kun dan berkelabat dari tempat itu, kedua muda-mudi itu saling bertatapan, hui-hong menunduk meremas jemarinya yang terasa dingin, agak lama keduanya terdiam

“nona? aku permisi dulu.”

“namaku Yap-hui-hong, taihap.” hui-hong tersedak tersadar bahwa jawabanya tidak nyambung, dia makin malu dan gugup, mukanya makin disembunyikan dalam ketundukanya

“kemanakah tujuan taihap?”

“sebaiknya kita duduk saja, eh…aduh maaf, a..aku hendak kembali ke kaifeng” sahutnya dengan rasa jengah dan tidak habis pikir dengan kedaan mereka.

“marilah duduk, dan kita bicara dengan tenang.” ujar liang-jin dan melangkah ke tempat yang rindang, hui- hong mandah saja mengikutinya dari belakang

“tinta tanpa pena bagaimana jelas menulisnya kata tanpa suara bagaimana jelas maknanya

hati berkata lidah tak bicara sesaklah dalam dada jiwa berteriak cinta kenapa malu menguraikannya”

senandung Yap-kun terdengar mengalun seiring hembusan angin semilir, dua muda-mudi itu saling melirik

“hong-moi…!?” sapa liang-jin seperti bisikan, hui-hong tidak menjawab namun matanya menatap liang-jin yang tertunduk, karena tidak terdengar jawaban, ia menoleh

“ada apakah koko?” tanya suara itu lembut terdengar manja, hati liang-jin terasa hangat nyaman luar biasa.

“a..aku tidak tahu ada apa dengan kita, kekeluan dan kebuntuan apa yang menyelimuti kita, sehingga kita berlaku lebih daripada orangtua yang sudah uzur dan pikun.”

“koko, sebenarnya aku sangat malu dan takut bertemu denganmu.” “kenapa hong-moi malu dan takut?”

“malu karena terlalu menyudutkanmu saat itu, dan takut hari ini, jika koko menceritakan hal itu pada kongkong.”

“dan aku sama hal juga denganmu hong-moi.” “kenapa demikian koko?”

“aku juga malu jika hong-moi mengungkit tentang kemunculanku saat itu, lalu takut jika hong-moi tetap membenciku.” “aku memang marah saat itu, namun untuk membencimu rasanya tidak sedikitpun terlintas dalam benakku, sikap dan kata-katamu malah membuat hatiku hangat dan berdebar.”

“aku juga tidak memungkiri betapa aku merasa mengambang setelah hong-moi meninggalkanku, ada sesuatu yang hilang dari diri ini, hingga jiwaku terperangkap dalam rasa sepi dan hambar.”

“demikiankah koko? dan aku juga merasakan hal yang sama, selama satu minggu ini, koko telah menyita kenyenyakan tidurku,

“menurutku, apa yang dinyanyikan cianpwe benar adanya, jadi daripada terjebak sengsara, dengarlah hong-moi, sejak dari lijiang wajahmu menjadi hiasan kalbuku, sesak rindu menyusup setelah hong-moi meninggalkanku di hutan itu, a..aku harus katakan padamu hong-moi, aku telah jatuh cinta padamu sejak menatapmu di likoan kota lijiang.” plong rasanya dada Han-liang-jin setelah mengungkapkan isi hatinya.

“koko… aku bohong jika mengatakan tidak bahagia mendengar ungkapan isi hatimu, sejak dari hutan itu, getaran tubuhmu saat itu telah jelas mengatakan padaku betapa engkau mencintaiku, terlebih ungkapanmu luar biasa syahdu ditelingaku, hatiku berdenyut menggelepar hangat, dan sikapmu yang simpatik serta kerelaan yang koko tunjukkan membuat hatiku bangga menerbitkan rasa sayang padamu, aku juga mencintaimu koko.”

Han-liang-jin merengkuh jemari lentik hui-hong dan mengajaknya berdiri

“mari kita temui cianpwe.” bisiknya sambil mengecup sayang jemari hui-hong, kemudian mereka melangkah kearah perginya Yap-kun, namun orang tua itu tidak ada, dan mereka hanya menemukan sebuah syair yang digurat dibatang pohon

Matahari bercahaya bulan bersinar Dua hati telah sekata janji terikrar taruna turunan orang terpelajar

ikat di yinchuan pesta kaifeng tersebar

“cianpwe telah memberi restu, tentu engkau bersediakan hong-moi?”

“kau akan menikahiku, kita akan menikah koko?” han-liang-jin mengangguk lembut

“oh..koko, aku merasa bahagia, oh…cintaku aku besedia.” bisik hui-hong dengan hati bahagia, lalu keduanya dengan hati berbunga-bunga segera meninggalkan tempat itu menuju kota Yincuan.

“kong-ciak-kok dibanjiri para lioklim kalangan hek-to, sembilan anggota thiian-tin sibuk menyambut para tamu, dan mempersilahkan para tamu memasuki tenda-tenda yang disediakan, wajah-wajah sangar hari itu berkumpul, sikap ugal-ugalan membuat para anak buah membuat tempat itu hiruh pikuk, berkumpulnya kalangan hek-to ini sehubungan akan digelarnya penetapan bengcu yang akan digelar besok, dan malam itu dimasing-masing tenda mereka pesta arak hingga larut malam.

Keesokan harinya, perhelatan itu pun digelar pada saat siang dilapangan luas yang telah didekorasi sedemikian rupa, para petinggi hek-to mengambil tempat di sisi kanan panggung, sementara para anak buah yang berjumlah ratusan itu duduk mengelilingi panggung, di bagian sisi kiri panggung seorang pemuda tampan dan gagah duduk dikursi yang indah, pemuda umur delapan belas tahun itu adalah Han- bun-liong, besertanya ada suhunya Tan-kui beserta istrinya “siang-mou-bi-kwi”, lalu ada sembilan thian-tin. Ang-mou-kwi maju ketengah panggung, suara tepuk tangan dan pekikan suara bergema seantoro lembah, ang-mou-kwi melambaikan tangan, sehingga suara kembali hening

“rekan-rekan hek-to dan para cianpwe yang berhadir, hari ini kita mengadakan momen penting dalam aliran kita, yakni penetapan bengcu yang akan menjadi pelindung dan pimpinan kita.”

“penetapan bengcu hek-to, tujuannya juga untuk menumbangkan bengcu pek-to, apakah bengcu tunggal kita yang tertera pada undangan akan dapat melakukannya?” sela suara dari tenda sebelah kanan, sura itu dikeluarkan seorang kakek kurus, wajahnya penuh totol hitam, pakaiannya kumal compang-camping, ia berjulukan “hek-kai” (pengemis hitam)

“hal itu akan diwujudkan oleh bengcu setelah beliau di sahkan, kai-cianpwe.” sahut ang-mou-kwi.” “hehehe…sepertinya amat lucu ang-mou, karena sejak dulu hek-to tidak pernah melakukan sesuatu tanpa bukti terlebih dahulu.”

“maksud cianpwe bagaimana?”

“saya dengar bahwa pek-to sangat kuat dibawah bengcu mereka “siauw-taihap” dan sampai hari ini kalangan kita mati kutu dengan keberadaannya, jika ada orang yang berani ingin menduduki posisi tinggi hek-to maka terlebih dahulu rintangan terbesar seperti “siauw-taihap” setidaknya dikalahkan dan bahkan bagus jika ditewaskan, bukan malah terbalik kita akui dulu baru lakukan”

“benar apa yang dikatakan “hek-kai” namun kali ini dengan adanya bengcu setidaknya menjadi tanda kebangkita aliran kita.” sela tan-kui”

“tidak bisa begitu sicu, karena sicu orang tertua dalam gebrakan ide bengcu ini, dan saya dengar anda adalah suhu dari bengcu tunggal, jadi saya mau tanya sicu, dapat tidak muridmu itu mengalahkan “siauw- taihap”?”

“saya yakin muridku akan dapat mengalahkanya.”

“hehehe…karena keyakinan sicu hingga menggelar pertemuan ini, dan kami diminta mengakui dengan modal keyakinan sicu, itu artinya sicu telah membawa hek-to menjadi pelamun atau pemimpi, daripada terjebak harapan-harapan lebih baik terpuruk sekalian, prinsipnya sicu, buktikanlah dulu baru minta pengakuan, karena dengan prinsip itulah kita dibesarkan dalam hek-to”

“bagaimana kalau “hek-kai” sendiri yang kami angkat jadi bengcu, setujukah anda?” ujar tan-kui sinis menahan marah

“hehehe….anda salah mengerti sicu, saya mendebat ini bukan karena saya ingin jadi bengcu, saya hanya meluruskan prinsip yang saya lihat sudah bergeser.”

“apakah anda merasa lebih memahami hek-to, dan orang-orang disini tidak?” potong tan-kui marah, suasana makin tegang

“jika pengesahan ini diakui, maka benar saya lebih paham hek-to daripada kalian semua.” Jawab “hek-kai“ tegas

“cuwi yang berhadir, golongan kita pola pikirnya sangat mudah, kalahkan saja “siauw-taihap” maka otomatis anda akan diakui jadi mercu suar, anda akan dielukan, disanjung dan dipuji, kata-kata anda jadi titah bagi seluruh hek-to, dimanapun para hek-to berada akan segera unjuk gigi dirimba persilatan, mereka akan bangga mengatakan bahwa meraka dibawah perlindungan anda sebagai pimpinan mereka, bukankah demikian selama ini?” ujar “hek-kai”

“betuuuul….” sahut para hadirin, orang-orang di tenda kiri saling bisik karena bingung

“jadi begini saja cuwi sekalian, karena kita sudah bekumpul hari ini, kita kembali membicarakan apa yang telah kami prakarsai empat tahun yang silam, dimana kami saat itu membentuk “thian-tin” untuk membunuh “siauw-taihap” namun kami akui, bahwa kami gagal melaksanakannya, jadi kami harap para cianpewe supaya urung rembug untuk menuntaskan misi tersebut.” sela “ma-bin-kwi”

“ceritakan bagaimana kalian gagal, sehinga kami para cianpwe dapat mengevaluasi dan memikirkan langkah yang harus diambil!” tanya “hek-kai” lantang

“tapi sebelumnya para cianpwe duduk ditengah panggung, sehingga para cianpwe lebih jelas dan dapat langsung berembug.” sahut “ma-bin-kwi”, lalu lima kursi di angkat ketengah panggung, lalu lima cianpwe yang rata-rata berumur tujuh puluh lebih berdiri dan duduk gagah ditengah panggung, satu diantaranya adalah kakek pendek berpakaian pertapa, ia dijuluki “koai-kok-lohap” (pertapa lembah siluman), lalu seorang nenek pemegang tongkat berkepala ular, nenek itu bertubuh bongkok, matanya sebelah kiri putih, lobang hidungnya sebelah kanan tertutup sehingga menambah angker wajahnya yang keriput, nenek itu dijuluki “coa-hiat-kwi-bo” (biang iblis goa ular), kemudian kakek berjubah hitam tinggi berpunuk, kepalanya bagian tengah botak, dan jenggotnya panjang sampai ke dada, ia dikenal dengan julukan “hek-sha-mo” (setan berjubah hitam), kemudian “hek-kai”dan “ang-gan-kwi”. “begini para cianpwe, “thian-tin” dibentuk empat tahun yang silam dengan jalan pibu, dan dari pibu itu tersaring dua puluh anggota yang berhasil, lalu dari kesepakatan bersama bahwa untuk menewaskan “siauw-taihap” akan dilakukan pengeroyokan, yang terdiri dari lima orang dalam satu kelompok, dan untuk memaksimalkan usaha, maka selama tiga tahun kami menciptakan formasi pengeroyokan, setelah itu kami pergi kekaifeng dan memberi surat tantangan pada “siauw-taihap”

“lalu apa yang terjadi?” sela “hek-sha-mo”

“pertarungan terjadi sesuai rencana, kelompok pertama berhadapan dengan “siauw-taihap, dan saya termasuk pada kelompok pertama itu, lebih dua jam pengeroyokan berlangsung, tapi akhirnya saya dan “in-sin-ciang” terluka parah sementara tiga dari kami tewas, lalu tidak berapa lama kelompok kedua muncul dan menyerang “siauw-taihap” namun kelompok ini juga gagal, empat darinya tewas, dan satu luka parah, lalu kelompok ketiga juga datang menyerang, tetap saja siuaw-taihap tidak bisa dikalahkan, sehingga empat lagi tewas dan satu terluka, dalam waktu yang lebih cepat.”

“terus bagaimana dengan kelompok ke empat?” sela “hek-kai”

“kelompok keempat datang, namun “siauw-taihap” sudah pergi setelah menguburkan sebelas jasad angota “thian-tin”, jadi demikianlah cianpwe, dan selanjutnya kami serahkan kembali pada cianpwe untuk menganalisa.” ujar “ma-bin-kwi” lalu ia kembali duduk

“baik sepanjang kami membicarakannya, para hadirin silahkan makan minum!” teriak “ang-gan-kwi” lalu lima cianpwe itu meningalkan panggung dan masuk kedalam bagunan untuk berembuk, para hadirin pun makan dan minum, suasana ramai karena hampir semua saling berbicara.

“bagaimana menurutmu “hek-sha-mo”?” tanya “Hek-kai”

“cara dan strategi thian-tin” sudah bagus dan kuat, tapi ternyata masih tidak cukup untuk mengalahkan “siauw-taihap” adakah diantara kita yang pernah berhadapan dengan “siauw-taihap”?” “hek-sha-mo” menatap empat rekannya, lalu “ang-gan-kwi” berkata

“saya pernah berhadapan dengannya, sin-kang dan gin-kangnya seimbang denganku, hanya ilmu silatnya saya akui lebih hebat dari ilmu saya, namun murid saya memiliki ilmu yang mungkin mengatasi ilmu “siauw-taihap” karena ilmunya adalah ilmunya “bun-liong-taihap”

“bagaimana ilmu “bun-liong-taihap” dapat dimiliki muridmu?” sela hek-kai

“kitab bun-liong, saya ambil dari saudaranya yang berjulukan iblis buta, salah satu dari thian-tin” “hmh….jika demikian iblis buta juga menguasai ilmu itu bukan?” sela koai-kok-lohap

“benar, bahkan saudaranya yang lain yang bergelar “pak-liong-sin” juga menguasainya. “jika demikian mereka bertiga saja mengeroyok “siauw-taihap” sela coa-hiat-kwibo “mereka tiga bersaudara dulu pernah mengeroyok “siauw-taihap” namun ketiganya kalah.” “artinya bukan ilmu bun-liong-taihap yang tertinggi.” sela hek-kai

“tidak demikian, kekalahan mereka karena tidak ditopang sin-kang dan gingkang yang seimbang dengan “siauw-taihap”, jika seandainya sin-kang dan gin-kang dua murid keponakan saya itu sama dengan muridku, maka siauw-taihap pasti tewas.”

“kalau keduanya keponakanmu, bukankah sebaiknya kamu ajarkan sin-kang dan gin-kangmu pada keduanya?” sela coa-hiat-kwibo

‘bisa saja, tapi akan memakan waktu yang lama, setidaknya lima tahun baru keduanya dapat sin-kang dan gin-kang yang sama dengan muridku.”

“waktu tidaklah jadi masalah, yang penting target bisa berhasil, jadi menurut saya, ajarilah kedua keponakanmu, sementara itu kami berempat akan membentuk kantong-kantong kekuatan kita, dengan tujuan menyibukkan “siauw-taihap” sela Hek-kai

“benar kata hek-kai, sebelum memukul roboh target, targetnya kita permainkan dulu.” sela hek-sha-mo” “baiklah jika kita sepakati demikian.” sahut Tan-kui

“nah…mari kita kembali keluar, dan sampaikanlah kepada semuanya hek-kai.” ujar coa-hiat-kwi-bo sambil berdiri, lalu merekapun keluar dan duduk kembali ditengah panggung, semua hadirin terdiam untuk memperhatikan lima cianpwe.

“para hadirin sekalian, kami lima cianpwe sudah melakukan urung rembuk dalam usaha menghabisi “siauw-taihap” yang merupakan momok bagi kita selama ini, dan kami memiliki dua cara yang akan dijalankan secara bersamaan, cara yang pertama akan dilaksanakan oleh “ang-gan-kwi” dan cara yang kedua akan dikerjakan oleh saya dan tiga rekan lainnya.”

“cara apa saja itu cianpwe?” tanya “pak-liong-sin”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar