Warisan Berdarah Jilid 2

Jilid 2

“bagaimana kamu berpikir aku akan memberikan pedangku pada anak yang tiba-tiba ada ini?” “fei-ko…!” terdengar suara panggilan Khu-lian-kim, Han-fei lun tercekat pucat

“eh…ada tamu rupanya….., apakah masih lama Fei-ko?” “ada apa Kim-moi?”

“makan siang sudah di hidang, marilah kita makan.” “ya, duluanlah Kim-moi, aku akan menyusul.”

“bawalah suamimu hujin, kami sudah selesai.” sela Li-cing dengan nada ketus sambil berdiri dan melangkah keluar, mendengar nada ketus itu Khu-lian-kim menjadi heran dan melihat ke arah suaminya, dan saat itu ia melihat wajah suaminya sedikit berubah

“ada apa ini koko?”

“tidak ada apa-apa kim-moi, marilah kita makan!” sahut Han-hung-fei sambil melangkah keluar kantor, Khu-lian-kim mengikuti suaminya dengan rasa heran menggelayut dalam benaknya, di ruang makan Liu- sian dan kedua anaknya menyambut, lalu merekapun makan siang, Han-hung-fei tidak dapat menikmati makannya, karena pikirannya tersita dengan kemunculan Li-cing dan anak yang dibawanya, hal ini tidak luput dari perhatian kedua istrinya.

“ada apa koko, kenapa makanmu nampak tak berselera?” tanya Liu-sian “ah…tidak apa-apa sian-moi, mungkin karena kecapean.”

“ayah, nanti malam ada pasar malam, nanti malam saya boleh keluar ya, yah?”

“hmh….ya, boleh, tapi pulang jangan sampai larut malam.” Jawab Han-hung-fei, dan Han-bi-goat mengangguk.

Pada malamnya Han-hung-fei tidak bisa tidur, dia gelisah, pikirannya mumet memikirkan Li-cing yang pergi dengan menyisakan kejanggalan

“kamu gelisah koko, kenapa?” tanya Liu-san dengan nada lembut

“hmh…aku merasa gerah, tidurlah sian-moi, aku sebentar ketaman belakang untuk cari angin. “sebaiknya koko aku temani.” ujar Liu-sian sembari duduk

“tidak usah Sian-moi, aku hanya sebentar, tidurlah!” “benar koko, koko tidak kenapa-napa kan?”

“ya, aku baik-baik saja, tidurlah!” sahut Han-hung-fei, dan melangkah keluar kamar. Di ruang taman ternyata Khu-lian-kim sedang duduk yang berkebetulan melihat Han-hung-fei “kamu belum tidur Kim-moi?” tanya Han-hung-fei sekenanya

“belum fei-ko, dan koko bagaimana, apakah masih memikirkan wanita tadi siang?” “kenapa engkau menduga demikian Kim-moi?”

“hmh…aku melihat perubahan yang jelas pada koko setelah kedatangan wanita itu, siapakah dia Fei-ko?” “ah…..dia itu anteknya enam datuk, sudahlah kita tidak usah membahasnya.”

“koko, wanita itu pergi dengan hati kesal, dan sepertinya dia sangat dekat dengan koko.”

“aku sudah bilang, kita tidak perlu membahasnya!” sahut Han-hung-fei dengan suara agak tinggi, Khu-lian- kim tercenung dengan nada suara suaminya yang agak tinggi itu

“hmh..baiklah, jika koko tidak ingin membahasnya, aku akan masuk kedalam dan berusaha tidur.” ujar Khu-lian-kim dan segera meninggalkan suaminya, matanya berkaca-kaca, karena hatinya sedikit terluka mendengar nada suara suaminya yang tidak biasa itu, ketika memasuki ruang tengah, ia berpapasan dengan Liu-sian yang hendak melihat keadaan Han-hung-fei

“kim-moi, ada apa, kenapa kamu menangis?” tanya Liu-sian heran “aku tidak apa-apa sian-cici.”

“tapi kamu menangis, kamu tentunya dari taman bersama Fe-ko, apakah kalian bertengkar kim-moi?” “ah…kami tidak bertengkar sian-cici, tapi koko seperti menyembunyikan sesuatu.”

“jangan berburuk sangka pada suami kita Kim-moi.”

“aku bukannya berburuk sangka Sian-cici, tapi sejak koko siang tadi bertemu seorang wanita yang menggendong anak, sikapnya berubah, makan tidak selera, dan sekarang dia gelisah, bagaimana pendapatmu sian-cici?”

“oh, demikiankah kim-moi?”

“benar cici, dan wanita itu adalah antek-antek dari enam datuk, dan saat koko kutanya tentang wanita itu, koko tidak mau membahasnya”

“sudahlah kim-moi, besok saja kita sama tanyakan pada koko, kita tidur saja.” “bukankah sian-cici mau ketaman?”

“tidak usah, karena yang jelas koko sepertinya ingin sendiri.” jawab Liu-sian arif, lalu keduanya memasuki kamar masing-masing.

Keesokan harinya Han-hung-fei duduk diruang tengah bersama kedua istrinya

“fei-ko, maaf jika sikap kami istri-istrimu melampaui, hal ini karena hati kami tidak tenang melihat koko gelisah, bolehkah kami mengetahui sebabnya?” tanya Liu-sian lembut

“hmh…aku hanya kecapean sian-moi.”

“syukurlah kalau memang demikian, dan kami juga akan merasa tenang, tadinya kami kira karena musuh yang mendatangi koko kemarin siang.”

“dia bukan musuhku, Liu-sian, kalian jangan mengungkit-ungkit hal ini lagi!.” ujar Han-hung fei tajam, Liu- sian dan Khu-lian-kim saling pandang. “baiklah Fei-ko, kami tidak akan mengungkitnya lagi.” sahut Liu-sian lembut, lalu Han-hung-fei berdiri dan meninggalkan kedua istrinya

“aku sudah banyak menerima hal yang mengejutkan dari kekelaman masa lalu, tapi yang membuat aku iba dengan diriku adalah kediaman yang disembunyikan.” sela Khu-lian-kim tegas dengan wajah menunduk, sesaat Han-hung-fei berhenti dan menatap Khu-lian-kim, kemudian ia melanjutkan langkahnya dan masuk kedalam kantornya.

“sudahlah kim-moi, suami kita sudah mengatakan tidak mau membahasnya, dan kita harus tunduk dengan itu.”

“sian-cici, cici mungkin bisa berbesar hati dengan kediaman ini, tapi aku tidak bisa.” ujar Khu-lian-kim dengan nada gemas

“kim-moi, saat ini memaksa suami untuk berbicara terus terang, bukanlah yang terbaik, malah akan memperkeruh keadaan, sabarlah! tentu ada saatnya fei-ko siap untuk menceritakannya pada kita.”

“hmh….siap? fei-ko tidak akan pernah siap, dia akan terus bersembunyi hingga batinyya mengalami puncak tekanan.”

“benar apa yang engkau katakan kim-moi, lalu apakah kita akan terus mencak-mencak sehingga menambah tekanan batin pada suami kita? sudah tahu suami kita begitu, lalu kita bebani lagi dengan memaksanya, bukankah akan lebih berbahaya?”

“lalu apakah salah istri menuntut keterus terangan dari suami?”

“tidak salah kim-moi, hanya penempatan waktunya yang salah, saat ini tidak tepat, tapi beberapa hari kedepan mungkin tepat

“ah…aku tidak melihat kemungkinan itu, apalagi sudah dibilang, jangan mengungkit-ungkitnya.” “itu hanya saat ini, karena pikiran fei-ko lagi mumet.”

“sian-cici, jangan merasa lebih tahu dengan fei-koko ketimbang saya, saya sudah delapan belas tahun bersama koko, sementara cici baru dua tahun.” ujar Khu-lian-kim ketus.

“kim-moi, aku salah jika merasa lebih tahu tentang koko dari padamu, yang pasti benar adalah, kamu lebih tahu dari saya, tapi aku hanya berbicara bagaimana sikap yang tepat menghadapi kemelut yang dihadapi suami kita.”

“dan itu bukan sikap yang tepat.” sahut khu-lian-kim sambil berdiri dan meninggalkan Liu-sian yang tercenung melihat sikap madunya.

Sejak saat itu, hubungan kedua madu itu pun retak, Khu-lian-kim menjaga jarak dengan madunya, sindiran-sindiriannya sangat pedas, tapi bagi ibu sang bengcu ini tetap tegar dan tidak merasa sakit hati, awalnya Khu-lian-kim yang menjauh, tapi enam bulan kemudian Han-bi-goat yang berumur hampir delapan belas tahun ikut juga menjauh dan malah tidak jarang berkata kasar padanya.

Suatu malam, setelah Han-hung-fei bercinta dengan Liu-sian, Liu-sian bermanja di atas dada suaminya “fei-ko sayang, saya merasa khawatir sekali.”

“apa yang kamu khawatirkan sian-moi, saying?”

“saya khawatir, jika koko mengalami hal yang sama dengan dua tahun yang lalu.” “kenapa kamu katakana demikian sian-moi?”

“jujur fei-ko, kediaman fei-ko tentang perempuan yang datang enam bulan kemarin, membuat saya terus memikirkannya, tentunya koko juga demikian, jadi karena disimpan sendiri akan bisa menekan batin koko, ibarat api dalam sekam, tapi semoga saja koko tidak mengalami puncak tekanan sehingga mengalami hal yang saya khawatirkan.”

“hmh…sian-moi perempuan itu hanya memperolok-olokku.” “maksud fei-ko memperolok bagimana?”

“dia mengatakan bahwa putra yang ia bawa adalah anakku, dan aku harus mewariskan pedangku pada anak itu, anak itu hanyalah helah, tujuan sebenarnya adalah untuk mengambil “bun-liong-sian-kiam”

“jika dia berani mengagulkan anak yang ia bawa, tentunya telah terjadi sesuatu antara fei-ko dengan dia.”

“hmh…memang demikianlah sian-moi, aku memang khilaf oleh tekanan bagaimana ilmuku digunakan ketiga anakku untuk berbuat semaunya, Li-cing membuatku nyaman saat itu, hingga saya lalai dan melakukan hal itu dengannya.

“saya dengar dari kim-moi, wanita itu anteknya enam datuk.”

“iya, dan wanita seperti itu, tidak lekang dari mengobral cinta, dan itu di akuinya didepanku.” “jadi koko tidak mempercayai perkataan wanita itu?”

“tentulah sian-moi, bagaimana bisa dipegang omongan orang seperti itu.” “bolehkah aku memberikan pendapat koko?”

“apa itu, katakanlah sian-moi.”

“jika dia mengagulkan anak didepan koko, dan seiring itu pula ia mengakui bahwa dia bukan perempuan baik-baik, bukankah itu mengherankan koko?”

“tanpa dia katakan pun, belangnya itu jelas seperti buku terbuka.”

“benar koko, tapi dia tidak datang lagi, kalau dia benar menurutkan kemauan sendiri, dia akan memamfaatkan segala cara, mengambil peluang apa saja untuk tujuannya. dia akan terus merongrong koko dengan kedustaannya, tapi kenyataan dia pergi dan melupakan tujuannya begitu saja, menurut koko apa gunanya ia mengagulkan anak yang ia bawa?”

“entahlah sian-moi, untuk apa dipikirkan, marilah kita tidur!”

“baiklah koko.” sahut Liu-sian sambil memeluk erat suaminya dan memjamkan mata.

Tiga bulan kemudian, Liu-sian mengalami perubahan badan, dia hamil anak keduanya, kenyataan ini membuat Khu-lian-kim makin benci dengan Liu-sian, ketidak tahuan Han-hung-fei dengan keadaan dua istrinya, mebuat Khu-lian-kim semakin menjadi-jadi, hingga suatu ketika, saat umur kandungan Liu-sian lima bulan, Liu-sian sedang didapur

“apa makan nanti malam pek-bo!?” tanya Han-bi-goat “ikan mujahir goreng tauco, sayur cap-cai.”

“hmh…kalian ini tahunya ikan saja, bosan makan ikan terus!” bentak han-bi-goat “goat-ji..tidak sepatutnya kau bicara begitu.” tegur Liu-sian

“jangan ikut campur urusanku, dan aku tidak butuh komentar macam-macam!” sahut bi-goat ketus. “bi-goat, aku ini orangtua, jagalah nada bicaramu, nak!”

“emang nada bicaraku kenapa! sebelum merasa tersinggung, tahu diri sedikit kenapa?” “apa maksudmu goat-ji!? janganlah melampaui batas!” “dirumah ini posisi ibuku yang tertinggi, jadi jangan sok belagu mengajari cara bersikap, jangan sok belagu baik dan lemah lembut, bermuka-muka di depan pelayan.”

“kamu diselimuti kebencian tanpa alasan, nak.”

“halah..aku benci padamu karena engkau membela perempuan mesum dihadapan ibuku.” “aku tidak pernah membela wanita yang kamu maksud.”

“ah…alas an saia, memang posisimu dan wanita itu sama didepan ayahku.”

“plak….buk…heghk…brak” Liu-sian melayangkan tangan hendak menampar mulut bi-goat yang sudah keterlaluan, namun bagi bi-goat yang seorang gemblengan, dengan mudah menangkap tangan Liu-sian dan naasnya sebuah pukulan dilancarkan ke dada sebagai balasan, Liu-sian terjengkang kebelakang dan melabrak meja.

Nafas Liu-sian sesak, dadanya terasa sakit, darah mengalir dari sudut bibirnya, dua pelayan terkejut dan segera menghampiri Liu-sian

“kalian jangan ikut campur, dan jangan coba-coba bermulut panjang kemana-mana!” ancam bi-goat sambil meninggalkan dapur.

“bagaimana Hujin, apakah luka hujin parah?” tanya pelayan

“hmh…sudahlah pek-bo, tolong papah aku kedalam kamar.” pinta Liu-sian. pek-bo membantu Liu-sian berdiri dan memapahnya masuk kedalam kamar.

Saat malam tiba, Han-hung-fei mendatangi kamar Liu-sian dengan muka sedikit tegang

“sian-moi…! Kamu jangan terlalu ringan tangan pada goat-ji, dia itu sudah dewasa, bagaimana bisa kamu menamparnya didepan pelayan.”

“demikiankah yang diceritakan goat-ji pada koko?” “benar, kamu tadi menamparnya kan!?”

“niatku memang ingin menamparnya karena keterlaluan, tapi aku lupa bahwa dia adalah anak yang mewarisi ilmu koko.”

“maksudmu bi-goat melawanmu dengan menangkis tamparanmu?” tanya Han-hung-fei, Liu-sian mengangguk

“kamu bagaimana sih sian-moi, kamu sendiri yang membuat bi-goat melawanmu, karena sikapmu yang tidak melihat tempat, mau main pukul saja.”

“hmh…sudahlah fei-ko, jika koko sudah punya penilaian sendiri, mungkin sayalah yang salah.”

“sudah kalau begitu, malam ini saya bersama Kim-moi.” ujar Han-hung-fei sambil meninggalkan kamar Liu- sian.

Sejak hari itu Liu-sian mengalami sakit pada rongga dadanya, namun dia berusaha menutupinya didepan keluarganya, tapi walaupun demikian sindirin dan kata-kata pedas dari khu-lian-kim dan han-bi-goat terus berlontaran, namun hanya disimpan dalam hatinya, tidak pernah di adukan pada suaminya, dan saat anaknya yang ternyata perempuan lahir, kondisi penyakit yang menyesak dadanya makin parah, sehingga ia tidak dapat bangkit dari ranjangnya, Han-hung-fei mengusahakan pengobatan, namun obatpun tidak mengurangi penyakit yang dideritanya.

Suatu malam, Han-hung-fei berada dikamar Liu-sian

“fei-ko! tolonglah panggil kesini anakku Fei-lun, aku rindu padanya.” “kamu jangan banyak pikiran sian-moi, supaya kamu cepat sembuh, nanti jika kamu sembuh, kita akan ke kaifeng menemui Lun-ji.”

“tolonglah fei-ko, aku ingin anakku menemuiku, mungkin penyakit ini akan membawa aku pada kematian.” “hus…kamu jangan berkata seperti itu sian-moi.”

“aku tidak tahu fei-ko, uhuk…uhuk….a…aku rindu pada anakku,mantuku, cucu-cucuku oh…tolonglah panggilkan dia!” ujar Liu-sian sambil batuk darah.

“bai..baiklah….hari ini juga aku akan suruh Toan-beng ke kaifeng.” ujar Han-hung-fei, sambil mengusap darah dari mulut istrinya, kemudian setelah itu ia keluar dan menyuruh Toan-beng berangkat ke kaifeng, setelah itu Han-hung-fei masuk keruang tengah, dimana Khu-lian-kim sedang menyulam

“bagaimana keadaan sian-cici?”

“hmh, nampaknya semakin parah, dan dia hendak bertemu dengan Lun-ji, dan saya sudah menyuruh Toan-beng berangkat ke kaifeng.”

“hmh..baiklah, marilah kita makan, fei-ko!” ujar Khu-lian-kim, keduanyapun masuk keruang makan.

Hari itu piuawsu han-piuwkiok sibuk melayani tamu, dua rombongan sudah berangkat, dan ada tiga rombongan lagi yang akan di berangkatkan, dan menjelang malam barulah semua rombongan berangkat, satu jam setelah keberangkatan rombongan terakhir diberangkatkan, keluarga bengcu tiba didepan rumah Han-hung-fei, Han-hung-fei yang masih berada dikantor segera keluar, Han-fei-lun dan keluarganya menjura hormat dihadapan Han-fei-lun

“syukurlah kalian sudah sampai Lun-ji.”

“benar ayah, bagaimana keadaan ayah dan keluarga semua?” “ayah baik-baik saja, mari masuk dan tengoklah dulu ibumu!”

“baik ayah, mari sian-moi.” sahut Han-fei-lun sambil meraih lengan istrinya dan mengajak anak istrinya masuk kedalam rumah.

Liu-sian yang kurus kering, wajah pucat dan mata cekung menatap kemunculan anak dan mantunya,

“fei-ji..oh anakku kamu sudah datang, uuuuu..uuuuu….” tangisnya pun pecah, Han-fei-lun mendekati ibunya dan memeluknya sayang, dia kecup mata yang kuyu dan basah air mata itu

“kuatkan hatimu ibu….aku merasakan betapa sakitnya tubuhmu ibu.” bisik Han-fei-lun sambil mengecup dan mengusap wajah ibunya, Yang-sian tidak kuasa menahan tangis, melihat luarbiasa besarnya rasa sayang suaminya pada ibu mertuanya itu.

Dan luar biasa memang, akibat dari perlakuan Han-fei-lun pada ibunya, dari pelukan, kecupan dan usapan pada wajahnya, serta bisikan rasa sayang yang tidak terlukiskan itu, membuat Liu-sian mendapat kekuatan penuh, setelah tangisnya tinggal isakan

“dudukkan ibu anakku!” ujar Liu-sian, Han-fei-lun mendudukkan ibunya, dan luar biasa, Liu-sian mampu duduk sempurna, walhal sudah dua bulan ia tidak mampu melakukannya, hingga ia selama itu terbaring saja.

“sian-ji..! mantuku yang baik, kesinilah!” ujar Liu-sian sambil mengngkat kedua tangannya. Yang-sian mendekat dan meraih tangan ibu mertuanya. Liu-sian menarik tangan menantunya dan memeluk sembari menciuminya, kemudian Liu-sian memeluk kedua cucunya

“pek-bo, berikan Hui-ji digendong mantuku!”

“baik hujin…” sahut pek-bo dan memberikan bayi mungil itu kepada Yang-sian, Yang-sian menerima dan mengecup pipi adikya, lalu Han-fei-lun mendekati istrinya dan mengelus pipi adiknya “siapa nama adikku ini ibu?” “namanya Han-sian-hui, Lun-ji.”

Liu-sian merasa sehat denga kedatangan anak dan mantunya, sehingga timbul rasa laparnya, hingga ia minta diambilkan makanan, Han-fei-lun menyuapi ibunya dengan bubur, Liu-sian dengan lahap menghabiskan bubur yang disuapkan putranya, setelah kenyang, liu-sian mengantuk

“lun-ji, kalian temuilah kim-moi, biarkan ibu tidur.”

“baiklah ibu.” sahut Han-fei-lun sambil mengusap kepala ibunya dan berdiri, lalu mengajak anak dan istrinya keluar untuk menemui madu ibunya.

Ramah tamah pun berlangsung di ruang tengah, pembicaraan berlangsung akrab sampai larut malam, lalu kemudian merekapun masuk kekamar untuk istirahat,

“sian-moi, kalian tidurlah dikamar ini, anak-anak dan hui-moi, biar saya istirahat dikamar ibu saja.” “baiklah lun-ko.” sahut Yang-sian, lalu Han-fei-lun keluar kamar dan masuk kekamar ibunya, ibunya masih tertidur, wajahnya yang kuyu nampak berseri, seulas senyum menghias dibibirnya yang kering dan pecah- pecah.

Han-fei-lun tidak lekang menatap wajah ibunya yang menurut cerita ayahnya sakit setelah melahirkan adiknya, tiba-tiba Liu-sian perlahan membuka matanya, bibirnya tersenyum melihat wajah anaknya, Liu- sian melambaikan tangannya dan disambut putranya dengan lembut

“apa yang ibu rasakan,?” tanya Han-fei-lun lembut penuh perhatian “ibu merasa semakin baik dan sehat, apakah mantu sudah tidur?” “sudah ibu, dan Hui-moi juga tidur bersamanya.”

“tentunya kamu merasa penat dan lelah setelah berjalan jauh Lun-ji.”

“penatku sudah hilang dan lelahku sudah sirna setelah memeluk dan mengecup ibu, istirahatlah kembali ibu.” sahut Han-fei-lun sambil mengelus sayang rambut ibunya yang sebagian kecil sudah memutih, Liu- sian kembali memejamkan matanya dan sebentar saja ia pun terlena dengan hati nyaman.

Tiga hari kemudian, saat Liu-sian duduk ditaman belakang sedang menyusui anaknya, dan ditemani oleh menantunya, tiba-tiba Liu-sian terbatuk, nafasnya sesak. Dengan tanggap Liu-sian mengambil sian-hui dari gendongan ibu mertuanya/

“kenapa ibu, oh…ibu muntah darah, Lun-ko…! ” mendengar panggilan itu, Han-fei-lun dan ayahnya segera berlari ke taman belakang

“Lun-ko, gak-hu, ibu tiba-tiba batuk.” ujar Yang-sian cemas, Han-hung-fei segera menggendong istrinya ke dalam kamar

“Lun-ji…oh anakku….! teriak Liu-sian lemah

“iya bu…aku disini.” sahut Han-fei-lun sambil memeluk kepala ibunya dan memletakkannya dipangkuannya, nafas Liu-sian makin sesak, matanya nanar menahan sakit

“Fei-ko….aku akan pergi koko, a…aku menulis sebuah surat dilaci lemari, to…..tolong perkenanku permintaanku itu, dan k.. kau juga kim-moi, a…aku minta m..hmh,,,maaf atas segala kesalahan, lun- ji..hhh..hmhhh anakku…hui-ji….” Yang-sian segera mendekat “dekatkan padaku menantu a..aku.” ujar Liu- sian makin lemah, Yang-siang mendekatkan Sian-hui, Liu-sian dengan air mata berderai mencium kedua pipi putrinya

“anakku fei-lun….hmh….hui-ji..i..ibu..hmh……hhhhh….” Liu-sian menghembuskan nafas terakhir, didekat kedua anaknya, Yang-siang menangis sesugukan, demikian juga dengan Han-fei-lun. Di luar dua puluh piauwsu menghentikan pekerjaan mereka, satu jam kemudian altar duka pun disiapkan para piauwsu, dan meninggalnya han-hujin membuat para tetangga mendatangi rumah Han-hung-fei untuk melayat dan mengungkapkan rasa belasungkawa, sampai malam para tamu yang hendak melayat datang silih berganti, jasad Liu-sian disemayamkan selama dua hari, dan kemudian dimakamkan di pemakaman umum.

Sehari setelah pemakaman, Han-hung-fei mengambil surat yang dipesankan istrinya dari dalam laci lemari

Fei-ko yang tercinta dan Lun-ji belahan sukmaku

Rasanya waktuku telah dekat, oleh karenanya aku menulis surat yang berisi wasiatku pada kalian berdua, tentang hui-ji. Fei-ko, permintaanku ini memang janggal, tetapi tolonglah perkenankan wasiatku ini yang berupa permintaan terakhirku padamu.

Fei-ko, suamiku yang baik, anak kita Han-sian-hui, izinkan ia dalam asuhan kakaknya Han-fei-lun, jangan cari apa sebab dan alasannya, karena dengan demikianlah arwahku akan tenang di alam sana.

Lun-ji kejora mataku yang kusayang, jaga dan peliharalah adikmu dengan baik, kalian adalah dua kejora mataku, dari buah benih cinta yang tak terbatas, tiada kelegaan dari akhir hidup ini, kecuali engkau anakku Han-sian-hui hidup dibawah naungan kakakmu Han-fei-lun.

LIU-SIAN

“apa yang ditulis ibu, ayah?” tanya Han-fei-lun dengan hati penasaran, Han-hung-fei menyerahkan surat itu pada anaknya, Han-fei-lun menerima dan membaca isi surat wasiat dari ibunya, kemudian menyerahkan kembali pada ayahnya, han-hung-fei menyerahkannya pada khu-lian-kim untuk dibaca

“tentunya ayah akan mengabulkan permintaan ibu ini, bukan?”

“hmh…..mau bagaimana lagi, ibumu meminta demikian, maka berlakulah seperti apa yang dikatakan ibumu.”

“terimakasih ayah, semoga aku tidak mengecewakan ayah dalam mengemban amanah terakhir ibu ini.” “lalu bagaimana rencanamu Lun-ji, kapan engkau akan membawa adikmu ke kaifeng?”

“anak hanya akan mengikuti ketetapan dari ayah.” “bagaimana menurutmu Kim-moi?”

“ini adalah wasiat sian-cici, dan tidak baik jika kita menundanya.”

“hmh….baiklah, tinggallah disini tiga hari lagi, setelah itu kalian boleh berangkat kembali kekaifeng.” “baiklah ayah, kami akan tinggal tiga hari lagi.” sahut Han-fei-lun

Tiga hari kemudian, Han-fei-lun membawa keluarganya pulang kembali kekaifeng “lun-ko, saya merasa ada sesuatu yang janggal dirumah gak-hu.”

“kejanggalan apa maksudmu, sian-moi?”

“aku merasa janggal, melihat bibi Khu-lian-kim terkesan tidak perduli dengan kematian gak-bo.” “tidak baik berprasangka buruk sian-moi, bisa saja karena bibi Khu lelah merawat ibu yang sakit.” “demikiankah menurut Lun-ko?”

“ya, demikianlah sian-moi, dan berhentilah memikirkan kejanggalan, supaya jangan terseret pada dugaan- dugaan lain.” “baiklah Lun-ko.” sahut Yang-sian, sementara itu didalam gerobak Han-liang-jin dan Han-bwee-hoa menjaga bibi kecil mereka.

Dua minggu kemudian mereka memasuki kota lokyang, Han-fei-lun dan keluarganya memasuki sebuah likoan untuk makan dan istirahat, diseberang meja mereka, duduk seorang wanita berumur sambil menyuapi anaknya yang masih berumur tiga tahun, wanita itu sesaat menatap lekat pada wajah Han-fei- lun

“bukankah sicu adalah siauw-taihap?” sapa wanita itu

“benar li-hap, hmh….ternyata “siang-mou-bi-kwi”! apa kabar toanio?”

“saya baik-baik saja “siauw-taihap” dan darimanakah taihap beserta keluarga?” “kami dari kota Bicu, toanio.”

“oo, tentunya dari rumah “bun-liong-taihap.”

“tepat dugaan toanio, dan bagimana dengan toanio sendiri, darimana dan hendak kemana dan siapakah anak yang tampan ini?”

“hmh….saya juga dari kota Bicu dan hendak berencana kekota Yinchan.” “dari kota Bicu? kalau boleh tahu ada urusan apa toanio di kota Bicu?” “hanya mengunjungi teman taihap.”

“lalu anak ini, apakah calon murid toanio?”

“hehehe…lebih dari itu taihap, karena ini adalah putra saya sendiri.” “ooh…begitu rupanya.” Han-fei-lun manggut-manggut.

Seorang lelaki tua berumur enam puluh tahun memasuki likoan, matanya yang berwarna merah menatap tajam para pengunjung yang sedang bersantap, orang-orang yang kebetulan bersilang pandang dengan kakek ini langsung menunduk, karena tiba-tiba matanya terasa perih, sehingga ada empat lima tamu yang meringis terkejut

“siapa yang mengenal “bun-liong-taihap” angkat tangan!” teriaknya sehingga membuat likoan itu bergetar, Han-fei-lun menoleh dan dua pandangan mata beradu, berkutat saling adu sin-kang, Yang-sian maupun Li-cing juga melihat bola mata yang merah itu, namun keduanya tidak terpengaruh, karena mata itu sedang fokus untuk menekan sin-kang “siauw-taihap”

Tubuh kekek tua itu bergetar, demikian juga “siauw-taihap”, keringat keduanya mengucur deras, ruangan makan itu tegang dan mencekam, baik siauw-taihap dan si kakek sama-sama terjebak, karena sin-kang keduanya seimbang, sehingga pertarungan adu sin-kang itu sangat berbahaya bagi keduanya, siapa saja diantara keduanya mencoba mengendurkan tenaga, maka akan berakibat fatal, yakni kedua bola mata itu akan pecah, dan tidak hanya sampai disitu, jika titik letupan mata itu keluar dari pupil maka akan berakibat kegilaan.

“apa yang terjadi li-taihap?” tanya Yang-sian cemas melihat muka suaminya yang berkeringat dan pucat pias

“sepertinya sin-kang keduanya seimbang, dan fatal jika salah satu mereka mencoba mundur.” “lalu apa yang harus kita lakukan?”

“siauw-taihap dan loncianpwe, kalian berdua tentu tidak mau menerima resiko, maka sebaiknya pada hitungan yang ketiga, jika kalian setuju gerakkanlah jempol tangan kalian!” ujar Li-cing, si kakek dan “sianw-taihap sama-sama menggerakkan jempol tangan “baik..! pada hitungan ke tiga……, satuu…..duaa…..tigaa” teriak Li-cing, dan bersamaan keduanya menutup mata, sambil memejamkan mata, keduanya segera mengatur nafas, hingga setengah jam

“siapakah kamu anak muda? apakah kamu “bun-liong-taihap”?” tanya si kakek masih sambil memejamkan mata

“bukan, loncianpwe.”

“apakah tingkatanmu dibawah “bun-liong-taihap”?” “benar loncianpwe.” sahut Han-fei-lun

“sialan…..!” umpat si kakek, lalu dia berbalik dan berkelabat meninggalkan likoan.

Han-fei-lun membuka matanya dan melihat orang-orang disekitarnya menatapnya dengan rasa tegang “bagaimana keadaanmu Lun-ko?”

“aku..baik-baik saja sian-moi, sungguh luar biasa sin-kang kakek itu.” “dan sepertinya ia mencari gak-hu, lun-ko.”

“benar sian-moi, hmh….siapakah gerangan kekek itu?”

“dia pasti ingin membalaskan dendam pada “bun-liong-taihap,” sela Li-cing “bisa jadi demikianlah li-taihap.”

“baiklah “siauw-taihap” saya permisi, karena hendak melanjutkan perjalanan.”

“oh..ya silahkan li-taihap, semoga sampai selamat ketujuan.” sahut Han-fei-lun, Li-cing keluar dari likoan, sementara Han-fei-lun dan keluarga memesan kamar untuk menginap, mereka dibawa seorang pelayan naik ketingkat atas dan memasuki dua kamar yang bersebelahan.

Li-cing berlari cepat meninggalkan kota lokyang, dan saat senja tiba, dia sampai disebuah desa kecil, malam itu ia menumpang disebuah rumah penduduk, lalu keesokan harinya ia melanjutkan perjalanan, larinya yang luar biasa cepat melintasi hutan dan lembah, tebing curam tidak jadi halangan bagi senior hek-to ini, dan saat matahari sudah condong kearah barat, ia berhenti disebuah sungai ditengah hutan, dia menurunkan anaknya Han-bun-liong

“liong-ji, sekarang kita mandi dulu nak, ya?” ujar Li-cing dengan senyum sambil membuka baju anaknya, kemudian ibu dan anak itu masuk kedalam sungai yang jernih dan sejuk, Han-bun-liong yang berumur tiga tahun tertawa-tawa menepuk-nepuk air, dan kadang tawanya yang jernih berpadu dengan suara gemericik air yang mengalir mecah kelengangan dalam hutan itu.

Setengah jam kemudian, ibu dan anak itu keluar dari air, Li-cing mengeringkan badan putranya, lalu memakaian baju ganti, setelah itu, Li-cing mengeringkan badannya, dan berganti pakaian, ketika ia sedang menyanggul rambutnya yang sudah dua warna itu

“hah….!” dia terkejut dan langsung membuang muka membelakangi lelaki tua yang duduk dibalik semak, matanya perih luar biasa saat beradu pandang dengan lelaki tua dibalik semak

“apakah yang cianpwe lakukan di situ!?”

“hehehe…..aku tadi sedang mencari binatang buruan, dan aku tertarik dengan tawa kalian, dan hmhhh…. tubuhmu sangat indah, walaupun kamu sudah berumur, siapakah kamu toanio?”

“hihihi….mata cianpwe tidak hanya berbahaya, tapi juga suka ceriwis dan jelalatan.” “hehehe….pemandangan tadi luar biasa indah, sayang untuk dilewatkan.” “sudahlah cianpwe, pergilah dari situ.” ujar Li-cing sambil menunduk meraih putranya “hahaha….kenapa aku harus pergi toanio, sementara aku masih ingin mengenalmu.” “apakah cianpwe ingin berkenalan denganku?”

“tentulah toanio, wajahmu sangat cantik, dan tubuhmu sangat indah menggairahkan.”

“hihihi….cianpwe ternyata buaya juga, tapi bagaimana kita berkenalan, sementara aku tidak bisa melihat wajahmu cianpwe.”

“bukankah engkau telah melihat wajahku saat di likoan toanio?”

“hihihi…benar, tapi sangat janggal jika kita berbicara dengan membelakangimu.”

“baik….berbaliklah, aku akan memejamkan mataku.” ujar kakek itu sambil memejamkan matanya, lalu Li- cing membalikkan badan dan melihat wajah tua yang agak kekuning-kuningan itu, keriput di wajah itu belum seberapa, dan garis ketampanan masa muda kakek ini masih tampak, hanya pada bagian leher sudah nampak kerut ketuaannya.

“hihihi…aku sudah melihatmu cianpwe.”

“hahahaha….ini kelinci buruanku, bagaimana kalau kita bakar dan makan bersama.” “baiklah cianpwe, duduklah! aku akan menguliti dan membakarnya.”

“baik, serahkanlah anak kecil itu, biar aku gendong.” “hihihi..baik cianpwe, ini adalah putraku.” “oh….begitukah, baik siapakah namanya? “namanya bun-liong, dan aku Li-cing.”

“hmh……kalau aku Tan-kui.” ujar kakek itu sambil melangkah ke belakang dan duduk dibawah sebuah pohon.

Li-cing segera menguliti kelinci dan membersihkannya, lalu kemudian membakarnya “darimanakah asalmu cianpwe?” tanya Li-cing sambil meletakkan kelinci diatas bara api “hehehe….panggil aku Kui-ko, aku dari Hehat, dan kamu darimanakah cing-moi?” “hihihi….. aku yinchang Kui-ko.”

“hmh…..tentunya kamu wanita dari kalangan lioklim, dan bahkan dari alirah hek-to.” “hmh…bagaimana kui-ko menduga demikian?”

“kamu wanita dengan segudang ilmu, dan juga kamu tidak risih dengan pertemuan kita ini.” “hmh….dugaan kui-ko memang benar, dan sepertinya kui-ko baru muncul di dunia persilatan, bukan?” “benar sekali cing-moi, dan kamu tentunya orang terkenal di lioklim, apakah julukanmu cing-moi?”

“aku di juluki orang “siang-mou-bi-kwi” tapi tidak setenar enam datuk yang merupakan pimpinan hek-to.” “enam datuk itu adalah angkatanku, dan salah satunya adalah suhengku.”

“yang mana diantara enam datuk yang menjadi suheng dari Kui-ko?” “datuk yang berjulukan “lam-sin-pek” “oh…. ternyata “lam-sin-pek” cianpwe.”

“kalau kamu adalah bagian dari hirarki enam datuk, tentu kamu tahu persis apa yang terjadi dengan enam pimpinanmu, bukan? cobalah ceritakan padaku cing-moi!”

“tapi sebelumnya apa yang kui-ko dengar tentang enam datuk?”

“aku hanya mendengar bahwa suhengku mati ditangan “bun-liong-taihap” “hmh…jadi karena itukah kui-ko mencari “bun-liong-taihap”?”

“benar cing-moi, aku mencarinya untuk membalas dendam, apakah kamu tahu dimana tempatnya?” “aku tahu diaman “bun-liong-taihap” tinggal, tapi “lam-sin-pek” tidak tewas di tangan “bun-liong-taihap.” “jadi suhengku tewas ditangan siapakah, cing-moi?”

“lam-sin-pek cianpwe tewas ditangan “siauw-taihap” “siauw-taihap”, hmh…..siapa dan dimanakah dia?”

“kui-ko sudah bertemu dengannya di likoan dua hari yang lalu.” “eh…pemuda beradu pandang denganku?”

“benar kui-ko, dia alah yang telah menewaskan empat datuk hek-to.” “coba ceritakan bagaimana detailnya, cing-moi!”

“dulu aliran hek-to sangat kuat dan solid dibawah naungan enam datuk, panji hekto berkibar tanpa ada hambatan dan tantangan, namun saat kemunculan “bun-liong-taihap” adalah sedikit tantangan.”

“apa maksudnya sedikit tantangan, cing-moi?”

“keberadaan “bun-liong-taihap” sebenarnya tidak demikian menakutkan hek-to, karena “bun-liong-taihap” tidak sepenuhnya menentang panji hek-to, dia itu orang yang tidak tetap pendiriannya.”

“kenapa bisa demikian cing-moi?”

“karena tiga lao melahirkan anak-anak “bun-liong-taihap” “tiga lao, siapa pula mereka itu?”

“kui-ko, hirarki hek-to terdiri dari beberapa tingkatan, yang pertama enam datuk sebagai puncak pimpinan, dibawah mereka ada delapan lao, dan tiga daripadanya adalah wanita, dibawah lao ada “sam-cu” yaitu tiga anak dari lao , kemudian dibawahnya ada “si-ki” (empat panji) yang menguasai tiap wilayah, dan saya memegang wilayah bagian selatan.”

“selanjutnya bagaimana cing-moi?”

“nah….anak tiga lao ini menjadi bumerang sendiri bagi “bun-liong-taihap” sehingga dia bungkam sendiri tentang urusan hek-to.”

“hmh….lalu selanjutnya apa yang terjadi?”

“tantangan yang nyata dan bahkan menggilas panji hek-to adalah pendekar muda yang kui-ko temui di likoan, dia itu adalah anak dari “bun-liong-taihap” dari perempuan lain, dia itu bengcu dari pek-to, dan ilmunya sangat luar biasa sakti, tiga datuk tewas ditanganya, walhal saat itu ia dikeroyok tiga datuk, tiga lao dan tiga sam-cu.” “hmh….binal juga kalau begitu “bun-liong-taihap”

“hihihi….benar kui-ko, dan dikalangan hek-to, panggilan “bun-liong-taihap” adalah “yaoyan-taihap” “hahahaa….heheheh….hmh….jadi musuh yang sebenarnya adalah bengcu muda itu.”

“benar kui-ko, tapi saya lihat, sin-kang kui-ko dan “siauw-taihap” seimbang.” “benar sekali cing-moi, tapi kenapa kamu dan dia kelihatan akrab?”

“itu hanya pertemuan yang kebetulan, pada dua orang yang pernah bertemu dalam suasana damai.” “maksudnya bagaimana cing-moi?”

“saya bertemu dengan dia pertama kalinya saat dia hendak membawa ayahnya “bun-liong-taihap” yang gila.”

“gila!? gila bagaimana cing-moi?”

“iya, gila, “bun-liong-taihap” gila setelah membunuh ketiga lao yang melahirkan anak-anaknya, dan saya ketika itu sudah di izinkan sam-cu untuk membawa dan menjaga “bun-liong-taihap”

“heh…kamu hendak menjaga si “yaoyan”?”

“hihihi…benar kui-ko, dan anak yang kamu pangku itu adalah anaknya si “yaoyan” “hahaha..hahaha….luar biasa berminyak si yaoyan itu.” tawa Tan-kui.

“sudah matang kui-ko, marilah kita makan!” ujar Li-cing, lalu keduanya makan dengan lahap “lalu apa rencanamu dengan anakmu ini cing-moi, apakah kamu akan berbuat seperti tiga lao?” “awalnya tidak ada ide pemikiran untuk berbuat seperti tiga lao.”

“apa maksudmu awalnya tidak ad aide?”

“hihihi…..tidak ada ide, karena tidak punya ilmu yang di agulkan didepan si “yaoyan”, tapi setelah bertemu dengan kui-ko, aku punya harapan untuk meruntuhkan kesombongan si “yaoyan”

“apakah engkau menginginkan anakmu ini jadi muridku, begitukah maksudmu cing-moi?” “hihihihi…benar kui-ko, tentunya kui-ko tidak keberatan kan?

“tentu aku tidak keberatan, asal kau juga berada disampingku.” “hihihi….apa kamu masih kuat kui-ko?”

“hahaha..hahaha, sebaiknya mari kita coba cing-moi.” ujar Tan-kui, sambil meraih lengan Li-cing dan meraihnya kepelukan, lalu meremas

“hisss….auw…hihihi….ah…..sabar, liong-ji belum tidur.” teriak Li-cing geli karena remasan nakal Tan-kui.

“di sebelah sana, saya lihat ada pondok pemburu, mari kita kesana untuk melewatkan malam.” ujar Tan- kui sambil berdiri sambil meraih han-bun-liong, dan berkelabat dari tempat itu, Li-cing segera menyusul Tan-kui, tidak berapa lama mereka sampai disebuah pondok yang hanya berupa balai-balai

“tidurkanlah anakmu di atas balai-balai ini cing-moi!”

“baik, tunggulah sebentar!” sahut Li-cing, lalu dia rebahan dan mengelus kepala anaknya supaya cepat tidur, Tan-kui menyalakan api yang besar untuk mengusir hawa dingin dan nyamuk, sampai sekian lama, bun-liong belum juga tidur.

Tan-kui tidak sabaran, sehingga ia ikut rebah dibelakang Li-cing, dengan nakal ia meremas pinggul Li-cing. “apa yang kamu lakukan kui-ko?”

“hmh….aku tidak tahan menunggu lagi.” bisik Tan-kui dengan nafas menderu dan tanganya menyingkap pakaian dan menarik celana Li-cing.

“hmh…pelan-pelan saja kui-ko…” bisik Li-cing mulai terangsang oleh belaian Tan-kui, tan-kui dengan nafas memburu, menekan pinggulnya yang telanjang ke pinggul Li-cing, dan mengayunnya dengan lembut, nafas keduanya makin sesak, semakin lama permainan itu makin panas, Tan-kui mengangkat sebelah kaki Li-cing dan bergerak seiring nafasnya yang makin memburu, Li-cing semakin blingsatan, birahinya menggelepar, tubuhnya bergetar menikmati tekanan dan gesekan yang melelapkan.

“hmh….kui-ko, kita kebawah sayang!” desis Li-cing dengan desahan nafas menderu, Tan-kui segera bangkit dan keduanya turun kebawah balai-balai, lalu percintaan panas itu pun berlangsung makin liar, panas dan melelapkan, semalam suntuk pergumulan panas itu berlangsung, hingga keduanya lemas saat terang tanah.

“bagaimana cing-moi!?”

“hihihi…tak kusangka, kui-ko masih hebat dan kuat, hmh….apakah kamu puas kui-ko sayang?”

“sangat puas cing-moi, kamu sungguh luar biasa, hanya sayang aku tak dapat menatap wajahmu yang saat mendesah dan mengerang ” puji Tan-kui sambil terus mengelus dan meremas lembut tubuh telanjang Li-cing.

“hihihihi……kalau dari belakang tentu kui-ko sangat menikmatinya, kan?”

“benar, melihat hentakan tubuhmu membuat aku gemas tidak kepalang, hehehe…hehehe..” “apakah kui-ko tidak bisa mengendalikan kekuatan mata itu?”

“mataku tidak dimulai dari pengerahan sin-kang cing-moi, tapi memang naturnya begitu sebagaimana warna merah itu sendiri.”

“jadi ketika beradu pandang dengan “siauw-taihap”, kenapa tubuh kui-ko bergetar?”

“hmh…memang saat menghadapi tatapan mata anak muda itu, sin-kangku otomatis bergerak, karena mata anak muda itu mampu menahan tatapanku.”

“ilmu apakah namanya itu kui-ko?”

“namanya “pek-gan-pok” (sambaran mata petir)”

“ceritakanlah kui-ko, bagaimana koko, bisa menjadi luar biasa seperti ini!”

“hmh…sejak umur dua puluh lima tahun, saya berpisah dengan suheng, kami bersama hanya dua tahun setelah turun gunung, saya terus berkelana ketepi perbatasan Mongolia, dan akhirnya sampai di Yining, disana saya mendapatkan ilmu yang sekarang saya kuasai, selama dua puluh tahun baru saya menguasai ilmu-ilmu yang saya pelajari, kemudian saya berkelana lagi, hingga masuk jauh kedaerah mongol, selama dua puluh tahun malang melintang didaerah mongol, akhirnya saya kembali ke hehat, dan mendengar kabar bahwa suhengku telah tewas ditangan “bung-liong-taihap”

Saat matahari terbit, Tan-kui dan Li-cing serta putranya, kembali kesungai untuk mandi, setengah jam kemudian, mereka selesai mandi

“bagaimana menurutmu cing-moi, benarkah perkataan “siauw-taihap” bahwa tingkatannya berada di bawah si “yaoyan”?” “tentulah tidak, kui-ko, kalau mau dicari orang tersakti saat ini, tiada lain “siaw-taihap” lah orangnya.” “kenapa engkau begitu yakin?”

“karena menurut hitungan dua dari sam-cu akan dapat mengalahkan “bun-liong-taihap”

“oh, begitukah, lalu apakah menurutmu, dalam ilmu silat, aku akan seimbang dengan “siauw-taihap”?” “kalau itu, aku tidak bisa memberikan penilaian, kui-ko.”

“hmh..baiklah, marilah kita lanjutkan perjalanan!” “kemanakah kita hendak pergi Kui-ko?”

“kita kekota chang-an saja.”

“apakah kita akan menetap disana?”

“hmh…mungkin, disebelah utara kota, ada sebuah lembah yang bagus untuk mendidik putramu.” “baiklah kui-ko, tapi sebelum kita ke Chang-an, kita terlebih dahulu ke lota Bicu!”

“untuk apa kita ke kota Bicu.”

“saya ingin supaya kui-ko mempecundangi “yaoyan-taihap” dan mengambil pedangnya untuk dimiliki bun- liong”

“hmh…kalau begitu, marilah kita kesana!” sahut Tan-kui, lalu dengan gerakan kilat, keduanya meninggalkan hutan, selama perjalanan menuju kota Bi-cu, jalinan asmara dua dedengkot hek-to itu makin hangat dan klop, walaupun umur keduanya selisih jauh selama dua dua tahun.

Han-hung-fei, sebagaimana biasa bekerja dikantornya untuk menyelesaikan administrasi dengan para pelanggan

“yaoyan taihap” keluarlah kamu!” teriak suara sangat keras penuh kekuatan sin-kang, sehingga membuat beberapa piauwsu bergetar, mereka segera menoleh pada kakek yang tiba-tiba muncul didepan piauwkiok mereka, namun naa saat bertemu pandang dengan tan-kui, mereka menjerit sambil menutup mata, dan beberapa orang menjerit kesakitan sambil menutup mata, mereka yang menjerit yang sontak mengerahkan sin-kang, namun tidak mampu bertahan, sehingga mata mereka pecah meletup.

“siapa kamu orang tua!” teriak Han-hung-fei dengan, namun saat beradu pandang dengan Tan-kui, keduanya langsung terlibat pertarungan adu sin-kang yang sengit, tak ayal bagi Han-hung-fei, sin-kangnya masih dibawah tingkat tan-kui yang kosen ini

“pluk…” dua bola mata Han-hung-fei pecah

“heaaat…” teriak han-hung-fei menyerang dengan “minling-xie-bun-sian” (dewa sastra menulis titah), namun Tan-kui berkelit dan mencoba membalas dengan tidak kalah dahsyatnya, Han-hung-fei yang hanya mengandalkan pendengarannya, menangkis dan mengelak.

Pertempuran bergerak mencapai seratus jurus, walaupun jurus han-hung-fei merupakan ilmu luar biasa, tapi karena sin-kangnya masih dibawah Tan-kui, membuat Han-hung-fei sulit mendesak lawan, dan naasnya, kehebatan ilmu itu tidak maksimal, karena hanya mengandalkan pendengaran, kelemahan ini membuat Han-hung-fei terdesak hebat

“ayah… ini pedang ayah.” teriak Han-bi-goat, sambil melempar pedang pusaka Han-hung-fei, Han-hung-fei dengan pendengarannya meraih pedang dan langsung menyerang dengan ilmu pedangnya yang luar biasa.

Sampai lima puluh jurus Tan-kui dibuat bingung dan kelabakan, hanya berkat gin-kangnya yang luar biasa hingga ia sulit untuk dilukai, pada saat serangan han-hung-fei luput, dengan  gerakan kilat, tan-kui melncarkan pukulan sakti, dan reflek han-hung-fei menahan dengan pukulan sin-kang, tapi ia kalah kuat hingga sesaat kuda-kudanya bergetar, dan dengan kecepatan luar biasa,

“plak..agh…” sebuah pukulan telak menghantam lengan, dan dalam sekejap, pedang Han-hung-fei berpindah tangan

“hehehehe…”yaoyan” nyawamu kali ini diampuni, dan cukuplah pengajaran yang kau dapatkan, hahahaha..hahaha…..selamat tinggal.” ujar Tan-kui sambil berkelabat

“katakan kamu siapa!?” teriak Han-hung-fei

“hahaha..hahaha..camkan olehmu “yaoyan” yang mempecundangimu adalah “ang-gan-kwi” (iblis mata merah) hahaha…hahaha…..” sahut Tan-kui

“ayah….bagaimana denganmu!?” tanya Han-bi-goat sambil mendekati ayahnya yang duduk tercenung “bagaimana dengan ayahmu goat-ji?” tanya Khu-lian-kim yang segera keluar

“ayah mengalami kebutaan ibu.” sahut Han-bi-goat sedih, Han-hung-fei tertunduk dengan hati sedih dan hampa

“bawa ayah kedalam goat-ji?” ujar Han-hung-fei sambil berdiri, bi-goat langsung memegang tangan ayahnya dan membawa kedalam, han-hung-fei di dudukkan di ruang tengah dengan dua rongga mata yang sudah terburai, khu-lian-kim segera menyuruh seorang pegawainya yang masih sehat untuk memanggil tabib.

“siapakah lawanmu itu fei-ko?” tanya Khu-lian-kim

“dan kenapa ia memanggi ayah dengan panggilan seperti itu?” sela bi-goat

“aku tidak mengenalnya, kim-moi, dan soal panggilan itu, tidak usah dibahas goat-ji.” Jawab Han-hung-fei, bi-goat terdiam dengan hati penasaran.

Tan-kui memasuki likoan dimana Li-cing dan putranya menunggu

“hihihi…..sepertinya engkau berhasil mengambil pedangnya kui-ko.” ujar Li-cing dengan menunduk

“benar cing-moi, dan bukan hanya pedangnya yang aku ambil, bahkan aku tinggalkan dia dalam keadaan tidak memeiliki mata, hehehe…hahaha…..”

“oh…demikiankah kui-ko!?”

“benar, hmh…apakah kamu tidak merasa senang, cing-moi?”

“hihihi……soal pedangnya aku sudah puas, hanya tentang kebutaannya, sedikit banyaknya aku hanya iba.”

“sudahlah kalau begitu, mari kita tinggalkan kota ini!”

“baik..marilah kui-ko.” sahut Li-cing, lalu merekapun keluar dari likoan dan meninggalkan kota Bicu. “bagaimana menurutmu kui-ko?”

“apa yang bagaimana cing-moi?”

“tentang ilmu silat si yaoyan setelah menghadapinya.”

“hmh…ilmu silatnya luar biasa hebat dan kuat, untungnya sin-kang dan gin-kang ku berada jauh di atasnya, lalu apakah “siauw-taihap” mewarisi ilmu ayahnya?”

“tidak, “siauw-taihap” tidak mewarisi ilmu si yaoyan.” “Kenapa bisa begitu, cing-moi?”

“karena “siauw-taihap” sama dengan sam-cu, sama-sama tidak dikenal si yaoyan, kecuali setelah dewasa.”

“tapi ilmu silat dan ilmu pedangnya sangat tinggi.”

“benar kui-ko, tapi ilmu itu bisa kui-ko wariskan pada putraku, sehingga lengkaplah warisan ayahnya dimiliki oleh putraku.”

“apa maksudmu, aku mewariskan ilmu si yaoyan pada anakmu.” tanya Tan-kui heran

“hal itu bisa saja kui-ko, karena kitab ilmu silat dan ilmu pedang si yaoyan ada pada sam-cu, jadi kita harus memintanya pada sam-cu.”

“sam-cu ini berada dimana?”

“terakhir yang saya tahu, mereka ada di Chang-an.”

“oo, kalau begitu kebetulan, karena kita juga akan tinggal di luar kota itu.”

“benar kui-ko, dan aku mengharapkan kui-ko berusaha mendapatkan buku itu dari sam-cu.” ujar Li-cing dengan sikap manja.

“hehehe..hehehe..tentu sayang, kamu percayakan saja padaku, terlebih sam-cu ini merupakan orang sendiri.”

“terimakasih koko, hmh..alangkah luar biasa nantinya putraku, dengan pedang pusaka ini, sekaligus menguasai juga ilmu silat dan pedangnya, lalu ditambah dengan ilmu koko, hihihihi…..putraku akan menjadi orang nomor satu di dunia ini.” ujar Li-cing dengan senyum merekah membayangkan masa depan putranya.

Dua minggu kemudian, sampailah Kui-ko, disebuah lembah yang indah di utara kota chang-an, lembah itu dikenal dengan nama “hwa-kok” (lembah kembang), tempat itu memang asri dan sejuk, aromanya selalu harum karena di lereng lembah tumbuh beraneka macam bunga dengan warna-warni yang banyak, dan dilembah itu terdapat sebuah bangunan tua yang dulunya tempat peristirahatan seorang menteri dari dinasti dihuang.

“bagaimana menurutmu cing-moi?”

“luar biasa, dan tempat ini memenuhi seleraku, tepatlah jika kita tinggal disini kui-ko.”

“bagus kalau begitu, marilah kita benahi, dan setelah selesai kita akan menemui sam-cu didalam kota.” ujar Tan-kui, lalu keduanyapun membenahi dan membersihkan bangunan tua itu.

Setelah dua minggu, pekerjaan mereka pun selesai, dan rumah itu kembali menjadi bersih dan tertata rapi, catnya yang baru demikian cerah, Li-cing sangat cekatan dalam menyulap rumah itu, dua puluh pekerja dia bawa ketempat itu, hingga dalam dua minggu selesai, bahkan dua menjelang selesai, lima orang pelayan yang terddiri dari dua laki-laki dan tiga orang perempuan sudah dia bawa ke tempatnya, dan dari kesibukannya selama dua minggu itu, yang kadang harus masuk kota chang-an, ia pun mengetahui bahwa sam-cu tidak ada lagi di kota itu.

Seminggu kemudian, seusai keduanya becinta, dengan manja Li-cing dipeluk Tan-kui dari belakang “kui-ko, sepertinya kita harus mengadakan perjalanan jauh ke Huangsan.”

“kenapa kita karus ke Huangsan cing-moi?” “karena sam-cu tidak berada lagi di dalam kota.” “lalu apakah ketiganya berada di Huangsan?” “benar kui-ko, karena central hek-to berada disana, dan tentunya sam-cu kembali kesana.” “baiklah cing-moi saying, kapan kita akan berangkat kesana?”

“sebaiknya besok saja kita berangkat, bagaimana koko?”

“baiklah saying, besok kita akan ke huangsan.” sahut Tan-kui sambil mencium tengkuk Li-cing, sehingga membuat Li-cing tertawa kegelian.

Keesokan harinya, sepasang kekasih ini meninggalkan “hwa-kok” dan kali ini perjalanan mereka dilakukan berdua saja, karena Han-bun-liong sudah ada pelayan yang menjaganya, dan perjalanan dilakukan dengan cepat, sehingga sebulan kemudian, mereka memasuki kota huangsan yang sepi

“eh…kenapa kota ini sepi?” gumam Tan-kui

“hihihi…saya yakin ini ulah dari sam-cu, marilah kita menuju tempat kediaman sam-cu!” sahut Li-cing, lalu mereka menuju kediaman sam-cu

“kalian ini siapa, augh….?” tanya tiga orang penjaga, namun kecele, saat menatap mata Tan-ku, ketiganya menunduk sambil menutup mata

“katakan pada sam-cu, bahwa “siang-mou-bi-kwi” hendak bertemu.” “sam-cu tidak ada toanio, yang ada hanya ong-taijin.”

“it-cu, juga tidak apa-apa.” ujar Li-cing

“hahaha..hahaha….kamukah itu “siang-mou-bi-kwi” teriak suara dari dalam

“benar it-cu, dan saya membawa cianpwe, sute dari lam-sin-pek cianpwe, dan tolong jangan beradu pandang dengan beliau.” sahut Li-cing sambil melangkah memasuki rumah megah itu.

Kwi-ong yang sedang duduk diruang tengah menatap kedua tamunya, dan untungnya Tan-kui berjalan sambil menunduk, setelah keduanya duduk, dengan manja LI-cing mengambil sapu tangannya

“kui-ko..sebaiknya kamu menutup matamu dengan sapu tanganku ini.”

“tidak apa-apa cing-moi, biar aku memejamkan mata saja sambil berbicara dengan ong-ji.” “apakah berbahaya jika beradu pandang dengan cianpwe?”

“benar sekali it-cu.” sahut Li-cing “wah…sunguh luar biasa kalau begitu.”

“katanya kalian bertiga ong-ji, lalu dimana yang lain?” sela Tan-kui “maaf cianpwe, dengan siapakah saya ini berhadapan?”

“aku tan-kui, dan aku adalah susiok-mu, karena kamu adalah murid dari suhengku lam-sin-pek.”

“oh..ternyata demikian kiranya susiok, hmh…dan memang benar awalnya kami bertiga, namun sudah lima tahun lebih kami berpisah dan mencari jalan masing-masing.”

“apa maksudmu mencari jalan masing-masing.”

“hek-to sudah pudar dan redup, sementara batu sandungan kami adalah merupakan saudara se ayah kami yang sakti.”

“apa maksudmu “siauw-taihap”?” “hehehe…benar sekali susiok, ternyata siang-mou-bi-kwi sudah banyak bercerita pada susiok.” “apakah tidak ada kabar berita dua saudaramu ong-ji?”

“sampai sekarang, saya belum mendengar kabar berita ok-liang dan sai-ku, lalu apakah maksud kunjungan ini susiok?”

“disamping ingin lebih mengenal kalian bertiga sebagai pewaris enam datuk, ada hal yang penting yang ingin kuminta pada kalian.”

“apakah itu susiok?” tanya kwi-ong sambil menatap Li-cing yang duduk disamping Tan-kui

“saya tertarik dengan ilmunya si yaoyan yang luar biasa, dan kalian sebagai anak-anaknya telah meawrisi ilmunya, dan bahkan kata cing-moi, bahwa kitab si yaoyan kalian yang pegang.”

“untuk apa kitab itu bagi susiok yang sudah memiliki ilmu yang tinggi?”

“ilmu itu hendak kuajarkan pada muridku, yang juga merupakan saudaramu.” “saudaraku? saudaraku yang mana maksud susiok?”

“aku melahirkan anak dari ayahmu it-cu.” sela Li-cing “oh….begitukah, dimana anak itu sekarang?”

“kami tinggalkan di “hwa-kok” disebelah utara kota chang-an.” “apakah susiok juga tinggal disana?”

“benar ong-ji, dan tentunya kamu tahu, hubungan apa antara saya dan cing-moi?” “hehehe..tentu susiok, lalu siapakah nama saudara saya itu?”

“namanya Han-bun-liong.” jawab Li-cing “apakah ayah tahu dengan keberadaannya?”

“aku sudah menjumpainya di kota bicu, dan mengatakan padanya, dan it-cu tentu mengertikan bagaimana pengecutnya bun-liong-taihap”

“apa maksudmu ayah kami pengecut, bi-kwi?”

“it-cu perlu ketahui, bahwa hanya untuk supaya kalian tidak diketahui boleh istrinya, maka ia dapat dimamfaatkan tiga lao.”

“jadi artinya, ayah mengusir kalian?”

“benar it-cu, dia sangat ketakutan dan marah pada saya.”

“nah…bagaimana dengan warisan si “yaoyan” tentunya kamu dan bun-liong sama posisi dalam hal ini.” sela Tan-kui

“benar memang sama, tapi kami bertiga sudah mengadakan pibu, siapa yang berhak memiliki kitab itu.” “bagus kalau begitu, siapa yang memenangkan pibu itu?”

“sai-ku yang memenangkan pibu itu.” jawab kwi-ong “benarkah it-cu?” sela Li-cing

“apa kamu mau berkata, bahwa aku bohong bi-kwi?” “jaga nada suaramu ong-ji, cing-moi bertanya demikian hanya untuk memastikan, karena sai-ku adalah yang termuda diantara kalian.”

“heh…kamu orang tua jangan memandang remeh padaku!” tantang kwi-ong, namun ketika tatapanya melihat bola mata yang merah darah itu, sontak dia mengerahkan sin-kang, tapi hanya sepuluh menit, kwi- ong menjerit setinggi langit, karena kedua bola matanya pecah berkecai.

“maafkan aku susiok!” teriak kwi-ong sambil menutup wajahnya

“aku tidak akan membunuhmu kwi-ong, asal kamu memberikan kitab itu sekarang juga.”

“b..baik su-siok, marilah ikut denganku ke ruang pustaka.” sahut Kwi-ong, lalu ketiganya masuk ke ruang pustaka.

Kwi-ong menekan sebiah tombol dibalik lemari, dan seketika lemari itu berbalik membentuk pintu masuk kedalam ruangan rahasia, dan didalam ruangan itu, menekan sebuah tonjolan di balik sebuah lukisan, lalu lantai ruangan itu bergetar, dan setelah itu sebuah keramik lantai itu bergerak naik dan dibawahnya terdapat peti besi

“ambil peti itu bi-kwi!” ujar kwi-ong

“biar aku saja!” sela Tan-kui, lalu melangkah, tan-kwi berjongkok dan hendak meraih peti itu, tiga jarum kecil meluncur ke arahnya, namun

“phuuuhh…..” Tan-kui meniup mulutnya, dan tiga jarum itu jatuh kelantai, lalu ia mengambil kitab tebal itu, dan sesaat membolak baliknya”

“baik, kwi-ong kitab ini sekarang adalah milik dari Han-bun-liong, dan jika kalian mampu untuk mengambilnya datanglah ke “hwa-kok” ujar Tan-kwi

“apakah susiok langsung pergi?”

“tidak, besok kami beru pergi, sekarang suruh anak buahmu memanggil tabib untuk mengobati matamu, setelah itu saya akan mengajarkan sesuatu padamu” sahut Tan-kui lalu ketiganya meninggalkan ruangan rahasia dan kembali ke ruang tengah.

Malam itu Tan-kui mengajarkan sebuah siulian kepada Kwi-ong, selama dua jam Tan-kui menuntunnya, barulah kwi-ong dapat sempurna.

“latih siulian ini selama tiga minggu, maka daya tangkap pendengaranmu akan bertambah.” ujar Tan-kui

“baik dan terimakasih susiok?” sahut kwi-ong, dibalik hati kecilnya terhunjab penyesalan akan keteledorannya menantang susioknya.

Keesokan harinya, Tan-kui dan Li-cing meninggalkan kota huangsan. dan seminggu kemudian, “siauw- taihap” muncul didepan rumah Kwi-ong

“anda siapa dan mau apa datang kemar!” tanya seorang penjaga “aku Fei-lun dan hendak bertemu dengan Kwi-ong.”

“majikan kami tidak bisa menerima tamu.” “kapan dia bisa ditemui?”

“saya tidak tahu, karena sudah seminggu, ong-taijin tidak berada dirumah”

“baik kalau begitu, aku akan tinggal disini, dan kamu cepat kumpulkan semua tukang pukul kwi-ong.” “apa hakmu berbuat demikian!?” “kamu tidak perlu tahu, lakukan saja sebelum aku melukai kalian?”

“bangsat…!” teriak penjaga sembari melompat, Fei-lun mengibaskan tangannya, dan kontan tubuh penjaga itu terlempar dan melabrak atap pos jaga hingga jebol, dia meringis karena tulang iganya patah.

Lima penjaga yang lain datang menyerbu, namun mereka ambruk tidak berdaya, lalu tiga orang lain muncul, namun mereka ragu untuk menyerang setelah melihat enam teman mereka tergeletak tidak berdaya.

“kalian cepat panggil semua kawan-kawan kalian!” bentak Han-fei-lun, seorang dari mereka segera pergi untuk memanggil kawan-kawannya, tidak lama kemudian lima puluh orang berkumpul dan sepuluh dari mereka kelihatan masih lemah akibat pertemuan dengan Tan-kui.

“apakah ini sudah semua!?”

“untuk yang bertugas di rumah ini sudah semua taihap.” “maksudmu masih ada yang lain dan berada diluar!?”

“benar taihap, kami semua ada dua ratus orang, dan sisa dari ini bertugas menangani lapangan.” “mereka itu yang bertugas langsung memeras warga kota ini!?”

“benar taihap dan mereka tidak tinggal disini.” “dimana mereka tinggal?”

“mereka berpencar di tempat wilayah kota.”

“baik kalau begitu, kalian segera tinggalkan tempat ini, dan juga jangan lupa kalian sampaikan pada sisa teman kalian yang lain di empat wilayah kota, untuk berhenti dari pekerjaan mereka, kalian semua dipecat.”

“lalu bagaimana dengan ong-tai-jin!?” sela seorang dari mereka

“ong-taijin, adalah urusan saya, pergilah kalian, dan jangan coba-coba kembali kesini!” sahut Han-fei-lun, lima puluh orang itu segera meninggalkan kediaman kwi-ong, Han-fei-lun masuk kedalam rumah, dan seorang pelayan yang sedang mengintip dari dalam berdiri dengan muka pucat

“lopek, tolong ambilkan minum dan juga persiapkan kamar untukku!” “ba..baik tuan.” sahut pelayan itu, dan tujuh istri kwi-ong muncul dari dalam “apakah kalian istri-istri kwi-ong!?”

“benar, dan kamu siapa, kenapa seenaknya saja menyuruh ini dan itu dirumah kami?”

“aku adalah saudara tua dari suami kalian, dan mulai sekarang aku akan berada disini sampai kwi-ong keluar dari kamarnya.”

“apa yang hendak twako lakukan pada suami kami?”

“aku hendak menghentikan kebrutalannya yang telah merenggut kehidupan kota ini.” “berapa orang semuanya penghuni rumah ini?”

“kami tujuh istrinya, dua puluh selir dan anak-anak kami, serta sepuluh pelayan wanita, dan lima pelayan laki-laki.”

“katanya kwi-ong sudah seminggu tidak berada di sisni, kemanakah dia?” “dia berada di paviliun sebelah selatan.” “apa yang dilakukannya disana?”

“persisnya kami tidak tahu, ong-ko kesana sejak sorang kakek bersama wanita meninggalkan rumah ini?” “apa kalian kenal kakek dan wanita itu?”

“kami tidak kenal, hanya kakek itu sangat hebat, sehingga membuat buta mata suami kami, hanya dengan beradu pandang” jawab istri kwi-ong, Han-fei-lun langsung teringat kakek yang dijumpainya di lokyang.

“baik kalau begitu, apa kalian tahu dimana suami kalian menyimpan kwi-ong mengumpulkan hasil jarahannya?”

“apa yang hendak twako lakukan dengan harta itu?”

“itu harta rampasan dan mesti dikembalikan kepada warga.” “tapi warga kota sudah banyak yang mengungsi.”

“benar, tapi kan masih banyak petani yang diperbudak.”

“baik, tapi bagaimana dengan kami?” sela seorang istrinya, dan bahkan semua selirnya ribut dengan cemas

“apa maksud kalian mempertanyakan hal itu?”

“twako..! jika harta itu habis, lalu bagaimana kami akan jatuh miskin.” Jawab istri kwi-ong “ohh…saya akan mencoba bijak dalam menghitungnya, sekarang dimana harta itu?” “hmh…ada di kamar belakang.”

“baik mari kita kesana dan melihatnya!” ujar Han-fei-lun sambil berdiri, lalu mereka menuju kamar belakang Dibagian belakang rumah itu selain dapur terdapat dua kamar besar, dengan sekali remas gembok yang mengunci pintu kamar hancur dan pintu pun terbuka, didalamnya ada penuh dengan benda-benda cantik hasil dari sitaan dari warga kota, dan juga empat peti besar berisi emas permata dan kepingan uang emas, lalu di kamar kedua terdapat tumpukan beras dan jagung yang menggunung.

“lopek berlima pergilah ke tempat para petani, dan sampaikan kepada mereka supaya datang kesini, dan juga supaya mengirimkan pesan berantai kepada petani lainya menyampaikan perintah ini, katakana pada mereka bahwa semua hasil pertanian dan tanah yang dirampas akan dikembalikan.”

“baik tuan, segera kami berangkat!” sahut lima pelayan serempak, lalu kelimanya segera keluar untuk melakukan yang diperintah Han-fei-lun.

Pada sore harinya ada ratusan petani yang berkumpul dihalaman rumah kwi-ong

“saudara-saudara sekalian, aku adalah Han-fei-lun, akan mengembalikan apa yang telah dirampas dari kalian, dan pertama-tama yang saya ingin tahu, kalian ini apakah dari semua desa disekitar kota ini?”

“tidak taijin, masih ada lima desa lagi yang belum datang.” Jawab seorang petani paruh baya. “baiklah, siapa nama tweako!?”

“saya bernama Tio-kam, taijin.”

“baik, twako Tio-kam akan mewakili semua para petani menjawab saya.”

“baik taijin, saya bersedia menjawan pertanyaan taijin.” sahut Tio-kam dengan penuh semangat. “berapa desa semua yang tertimpa tirani kwi-ong, twako?” “ada dua puluh lima desa taijin.” sahut Tio-kam
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar