Raja Gunung Jilid 5

Jilid 05

"Rumah penginapan kami mendapat rejeki dari dua rombongan pedagang besar yang sudah memborong semua kamar-kamar keluarga." Berkata sang pelayan. "Mereka berpesta pora didalam kamar-kamar. Oh, hamba lupa, apa apa tuan juga menghendaki makanan?"

"Bawakan makanan biasa untuk siang." Ie Lip Ting menganggukkan kepala. Ia sedang membayangkan pedagang-pedagang besar yang memborong kamar-kamar rumah penginapan itu, apa bukan rombongan Su-hay-tong sim-beng?

Gesit laksana seekor kucing, jago muda kita ini sudah mendatangi salah satu kamar dari rombongan besar itu, ia mengetuk pintu perlahan.

"Siapa?" terdengar suara bentakan dari dalam.

Secepat suara bentakan, pintu kamar ngejemplang, disana muncul seorang berkumis melintang. Memandang wajah Ie Lip Tiong yang menggunakan wajah petani desa, alis sikumis melintang berkerut. "Mau apa?" bentaknya keras.

Ternyata jago muda kita menyamar sebagai seorang petani desa. Sesuatu yang wajar, kalau mengingat wajah Ie Lip Tiong sedang menggemparkan dibidang ilmu kepandaian silat dan kecerdikan otak, dimana ia berada disitulah kehancurannya partay Raja Gunung.

"Maaf." Cepat-cepat Ie Lip Tiong membungkukkan setengah badan, ia wajib meminta maaf kepada pedagang ini, ternyata bukan seperti apa yang diharapkan, pemborong kamar kamar besar bukan dari Su-hay-tong sim-beng. "Maaf, kukira, aku salah mengetok pintu."

"Mencari orang?" Tegur laki-laki berkumis melintang itu. "Siapa yang kau cari?"

"Aku mencari seorang kawan yang seharusnya menggunakan kamar ini."

"Siapa nama kawanmu itu?"

"Dia orang she Gouw. Mungkin berada di kamar sebelah." Ie Lip Tiong sambil menuju ke arah kamar lain.

"Hei," meneriaki orang itu. "Tunggu dulu." "Ada apa?"

"Kuberitahu kepadamu, kawan," berkata laki-laki berkumis melintang itu. "Dikamar-kamar barisan ini tidak ada orang she Gouw yang kau sebut sebagai kawanmu itu. Jangan sembarangan mengetuk pintu."

"Oh. Baik... baik... Mungkin dikamar barisan belakang." "Kamar barisan belakang juga tidak ada." Menegasi

orang itu.

"Eh, bagaimana tahu?"

"Kamar-kamar ini adalah penghuni kawan-kawan rombongan kami." Berkata sikumis.

"Oh..." Ie Lip Tiong pulang kamar.

Gedabrukk... Masih terdengar suara pintu sikumis yang ditutup keras-keras.

Tadi, sewaktu kamar dibuka, masih terdengar suara orang berbisik-bisik, itulah jago-jago rimba persilatan, bukan berarti apa yang dikatakan oleh sang pelayan, mana mungkin rombongan pedagang memiliki cahaya sinar matahari?

Jumlah kamar yang diborong empat belas buah, suatu angka yang tidak kecil. Rombongan dari aliran manakah mereka?

Dari sikap dan gerak gerik sikumis, sesuatu sudah menunjukkan tenaga dalamnya yang luar biasa, tentunya jago silat kelas tinggi. Jago silat dari manakah dia?

Mengapa bukan jago dari Su-hay-tong sim-beng ?

Disaat Ie Lip Tiong sedang melamun, pintu kamarnya terketuk. Menduga kepada pelayan yang membawakan makanan, dengan malas-malasan, sipemuda berkata : "Masuk."

Seorang pelayan masuk dengan makanan diatas nampan, makanan yang dipesan.

Begitu kebetulan, pelayan ini adalah pelayan yang pernah menjadikan insiden tubrukan itu.

Aaa...

Dia berteriak kaget, manakala mengenali wajah Ie Lip Tiong itu. Hampir saja makanan yang dibawa itu jatuh lepas.

Bermalas malasan Ie Lip Tiong bangkit dari pembaringannya, ia tersenyum berkata :

"Berhati-hati ya! Makanan yang jatuh bukan urusanku."

Pelayan ini memperlihatkan wajahnya yang penuh selidik, tergopoh-gopoh ia bertanya :

"Tuan... Tuan yang membentur diriku di depan rumah penginapan tadi?"

Dengan tertawa, Ie Lip Tiong berkata:

"Dunia yang sempit, bukan? Cepat sekali kita bertemu lagi. He, he..."

Pelayan tersebut meletakkan barang bawaannya dimeja, dengan membungkukkan badan, ia berkata :

"Maaf atas kekurang ajaranku tadi. Kuharap saja tuan tidak cepat marah."

"Aku tidak marah." berkata Ie  Lip Tiong. "Asal saja bungkusan beracunmu itu tidak ditabur didalam makanan."

Wajah sipelayan berubah. Cepat sekali ia bisa menenangkannya kembali. Tersenyum dan berkata:

"Oh... tuan pandai berhumor." Cepat-cepat ia meninggalkan kamar itu.

Dari perubahan-perubahan wajah pelayan tadi, Ie Lip Tiong menaruh banyak syak wasangka. Timbul kecurigaannya, mungkinkah betul betul bungkusan beracun?

Kalau begiut, ia sudah memasuki rumah penginapan gelap !

Rumah makan gelap didalam istilah rimba persilatan tidak bisa disamakan dengar arti Rumah Makan Gelap didalam ijin usaha yang belum bisa didapat. Kalau gelapnya didalam arti bidang usaha belum mendapat kartu ijin, Gelapnya istilah rimba persilatan berarti penggarongan dan pengambilan barang barang hak milik sang tamu yang berani mengambil kamar ditempat itu.

Karena adanya kecurigaan itu, Ie Lip Tiong tidak segera memakan barang yang sudah tersedia, dicobanya sedikit dan ia mendapat kenyataan kalau makanan untuknya tidak mengandung racun atau obat bius.

Disaat Ie Lip Tiong masih menikmati makanan- makanannya, seorang tua berwajah welas asih memasuki kamarnya.

"Selamat bertemu," berkata orang tua ini. "Eh, siapakah totiang ?"

"Lohu pemilik rumah penginapan."

"O... Selamat bertemu. Silahkan duduk. Tentunya lotiang ada sesuatu urusan ?"

"Jangan repot-repot. Kedatangan lohu hanya hendak mengetahui, bagaimana pendapat tuan tentang service rumah penginapan kami ? Pelayan memuaskan? Makanan enak, bukan?" "Cukup memuaskan. Makananpun enak."

"Terima kasih. Lohu harap, lain kali tuan bisa tetap menjadi salah satu langganan tetap kami."

Semakin lama, jalan orang tua itu semakin dekat, bagi Ie Lip Tiong yang tidak pernah lengah, selalu ia menjaga kewaspadaan tinggi maka, disaat jari pemilik rumah makan tersebut terangkat, ia memelintirkan ujung kakinya tentu saja kehilangan keseimbangan tubuh dan jatuh dari tempatnya. "Aduh!" Seolah olah salah kaki dan jatuh biasa.

Berbareng, terdengar suara pletak, kaki bangku patah menjadi dua potong.

"Eh, mengapa ?" berpura-pura tanya si pemilik rumah penginapan. "Aaa.... Bangku yang sudah tua mengapa ditaruh disini? Biar kupanggil pelayan untuk menggantinya. Akan kutegur mereka yang kurang perhatian."

Kemudian ia berjalan pergi.

Betul saja, tidak lama, seorang pelayan mengganti bangku yang sudah rusak.

"Apa bangku baru ?" pemuda kita mengejek.

"Kami jamin bangku yang tidak menjatuhkan orang." berkata pelayan itu sambil berjalan pergi.

Gejala-gejala dari sebuah penginapan gelap semakin cerah, bungkusan yang mencurigakan mungkin obat bius atau sebangsanya, pemilik rumah penginapan yang menjajal ilmu kepandaian dan lain-lainnya menyebabkan Ie Lip Tiong tidak bisa tidur.

Disamping persoalan itu, bayangan lain mengunjungi benak pikirannya, didalam hal rombongan kumis melintang, ia masih harus menancap otak keras-keras. Aaa.   Beberapa saat kemudian, Ie Lip Tiong mengeprak

kepala. Ia meletik bangun dan menuju kearah kamar rombongan yang dikatakan sebagai rombongan pedagang- pedagang itu.

Jarak itu tidak terlalu jauh, dalam sekejap mata, tujuanpun telah tiba.

Tanpa ragu-ragu ia mengetuk pintu.

Yang muncul masih si kumis melintang. "Apa lagi?" ia menggeram.

Memperhatikan beberapa saat Ie Lip Tiong tersenyum. "Siang koan tatsu," panggilnya perlahan.

"Kau. ? !"

"Berhati-hati kepada makanan di rumah penginapan ini.

Besar kemungkinan anak buah Partay Raja Gunung."

"Ha ha ha..." orang itu tertawa. Ia segera mengenali penyamaran Ie Lip Tiong.

Seperti apa yang Ie Lip Tiong duga, rombongan pedagang itu adalah rombongan dari Su-hay-tong sim-beng. Dan si kumis melintang adalah Siang koan Wie.

"Siang koan tatsu," berkata Ie Lip Tiong. "Berhati-hatilah kepada makanan."

"Beres." berkata duta istimewa berbaju kuning Su-hay- tong sim-beng yang ketujuh itu. "Mari masuk. Bengcu sudah menaruh curiga, termasuk juga dirimu."

Hampir sebagian besar dari jago Su-hay-tong sim-beng berada ditempat itu : Duta pertama Oe tie Pie seng, Duta kedua Koo Sam Ko, Duta ketiga Toan In Peng, Duta nomor tujuh Siang Koan Wie, Duta nomor delapan Lu Ie Lam, Duta nomor sepuluh Lam-hay San jin dan Duta nomor dua belas Gu In Gie. Mereka langsung berada dibawah pimpinan pangcu mereka, Hong-lay Sian-ong.

Disamping itu, turut pula empat Dewa Silat rimba persilatan lama, Bu Kiat, Bu Eng dan Bu Kun.

Didepan para dewa dewa silat rimba persilatan lama dan duta-duta berbaju kuning Su-hay-tong sim-beng itu, siapakah yang bisa main gila ? Praktek penginapan gelap yang bernama penginapan Kan pin itu pecah sama sekali. Ternyata rumah penginapan Ka pin adalah salah satu cabang usaha usaha Partay Raja Gunung, dengan tugas mengawasi para jago rimba persilatan yang tidak segaris dengan haluan mereka. Bungkusan jatuh yang dibawa si pelayan berisi obat bius kwalitet tinggi, tanpa sengaja membentur Ie Lip Tiong. Dan dasar nasib mereka yang apes, rencana itu gagal seratus persen.

Ie Lip Tiong memberi laporan tentang perjalanannya kepulau Bola api, ia gagal menarik kekuatan Nie Wie Kong, hanya karena penculikan cucu perempuan ketua Pulau Bola api itu. Raja Sesat Co Khu Liong telah mendahului misinya.

Bengcu Su-hay-tong sim-beng Hong-lay Sian-ong mengurut jenggot. "Usaha mereka lebih mudah membawa hasil. Itulah cara paksaan." Ia menghela napas.

Tidak lupa, dilaporkan pula kejadian di atas puncak gunung Kiu Lian-san, tertangkapnya Su-khong Eng berarti menambah keamanan rimba persilatan.

Hong-lay Sian-ong dengan kawan-kawan memuji kecerdikan duta istimewanya yang ketiga belas itu Ie Lip Tiong memang tidak mengecewakan mereka. Atas usulnya yang hendak menyamar sebagai Su-khong Eng dan hendak menyelundup masuk kedalam markas besar Partay Raja Gunung, rata-rata mendapat dukungan penuh. Hari itu juga Ie Lip Tiong memisahkan diri dari rombongan, menuju ketelaga Darah.

Tanggal dua puluh empat bulan satu...

Su-khong Eng ciplakan sudah berada ditepi Telaga Darah, kakinya pincang sebelah terpincang-pincang berusaha mendatangi sebuah perahu, tapi tidak sanggup, ia tidak sanggup mempertahankan kondisi badannya, ngusruk jatuh di pasir.

Seorang nelayan lompat keluar dari perahunya, membangunkan Su-khong Eng itu dan berteriak :

"Eh, kongcu menderita luka ?"

Su-khong Eng itu membiarkan dirinya dikerumuni untuk beberapa waktu, tentu saja dengan mata tertutup. Menghitung sudah waktunya angkat bicara, ia merentangkan kelopak mata perlahan-lahan memandang nelayan-nelayan itu dan membentak:

"Hai! Apa kalian sudah menjadi manusia-manusia garam

? Apa sudah tidak bisa bergerak semua? Lekas bantu naik keperahu!"

Nelayan-nelayan disekitar Telaga Darah sudah diungsikan kelain tempat, dan nelayan-nelayan itu adalah anak buah Partay Raja Gunung. Tergopoh-gopoh mereka menggendong Su-khong Eng, dibawa kesebuah perahu besar, langsung menuju ke gunung Lo kun san.

Gunung Lo kun san dikelilingi oleh air Telaga Darah, di sekitarnyapun banyak pulau-pulau kecil, Partay Raja Gunung memilih tempat strategis ini untuk dijadikan markasnya.

Su-khong Eng terbaring di pembaringan papan dari perahu yang membawanya, sesaat kemudian, ia memandang salah seorang kroco. "Selama beberapa hari belakangan ini, apa tidak terjadi sesuatu?" Ia bertanya.

"Tidak." jawab orang yang ditanya. "Keadaan tetap tenang seperti biasa."

"Co Khu Liong cianpwe sudah pulang?"

"Co Khu Liong pulang dengan membawa seorang anak perempuan."

"Dan nona Ai Ceng ?"

"Nona Ai Ceng ?" Anak buah itu tidak mengerti. "Apa yang kongcu maksudkan?"

"Ai Ceng tidak berada dimarkas ?" Bertanya Su-khong Eng.

"Oh! Sudah dua bulan ini nona Ai Ceng tidak pernah meninggalkan markas."

"Hmmm..." Su-khong Eng memeramkan matanya lagi.

Tidak seberapa lama, dengan dipepayang, Su-khong Eng meninggalkan perahu, mulai mendaki gunung Lo kun san.

Perjalanan pendakian gunung itu berliku-liku, banyak cabang jalan buntu, bagi mereka yang belum tahu, tidak mungkin bisa mencapai tempat tujuan itu.

Yang beruntung, dua anak buah partay Raja Gunung itu tidak salah jalan, mereka berhasil mencapai puncak. Disini berhadapan dengan sebuah bangunan benteng yang terbuat dari batu.

Didepan benteng batu itu, Su-khong Eng menengadahkan kepala, menyedot napasnya dalam-dalam dan berkata:

"Ohh... Akhirnya aku masih bisa kembali dengan jiwa hidup." "Bagaimana kongcu bisa menderita luka?" Bertanya salah seorang dari dua penuntunnya.

"Tidak perlu banyak." Hardik Su-khong Eng. "Bawa aku keruang Pek hauw tong!"

Ruang Pek hauw tong adalah ruang sidang merangkap ruang pertemuan dari perkumpulan Partay Raja Gunung. Su-khong Eng palsu kita bisa menyebut nama itu, karena Ie Lip Tiong pernah menjejakinya, walau sebagai seorang tawanan kesan itu waktu masih belum hilang.

Kembalinya Su-khong Eng yang sekarang ini sungguh kebetulan, karena itu waktu, ruang Pek hauw tong sedang penuh orang. Tampak Lo-san-cu yang mengenakan tutup kerudung hitam duduk dikursi kebesarannya, diapit oleh Ai- pek-cun empat saudara.

Dikedua baris duduk sebelas Dewa Sesat dari rimba persilatan lama.

Tokoh-tokoh itu seperti sedang merundingkan sesuatu yang sangat penting, melihat kehadiran Su-khong Eng, perdebatan terhenti.

Ai-pek-cun adalah orang pertama yang membuka suara. "Pertanyaan ini layak, mengingat pendidikannya sebagai seorang guru yang belum pernah gagal.”

Su-khong Eng meringis sakit, mengambil tempat duduknya dan berkata:

"Teecu ditipu mentah-mentah! Diatas puncak gunung Kiu Lian-san tidak pernah ada seorang tokoh silat yang bernama Pek-kut Sin-kun. Itulah issiu Ie Lip Tiong."

"Issiu Ie Lip Tiong?!" Lo-san-cu menggereng.

"Ya," Membenarkan Su-khong Eng. "Yang menjadi Pek- kut Sin-kun yaitu Ie Lip Tiong sendiri." "Bagaimana laporan Lauw Sam Kong?" Bertanya Lo- san-cu. "Begitu berani ia memberi laporan tanpa dicek terlebih dahulu?"

"Apa Lauw Sam Khong sudah kembali?" Bertanya Su- khong Eng.

Lo-san-cu menoleh kearah Ai-pek-cun.

"Apa Lauw Sam Kong sudah kembali?" Ia meminta jawaban.

"Belum." Ai-tong-cun menggelengkan kepala. "Sesudah mengirim laporan itu, ia tidak pernah hadir sama sekali."

"Mungkinkah Lauw Sam Kong berani berkhianat?" Bertanya Lo-san-cu.

"Duduk persoalannya berada dibawah permainan Ie Lip Tiong," menerangkan Su-khong Eng. "Tentunya Lauw Sam Kong dipaksa membuat berita yang seperti itu, agar memudahkan rencananya."

Dan Su-khong Eng meneruskan cerita karangan, bagaimana "Dia" tergaet oleh perangkap Ie Lip Tiong, sesudah berusaha dan "menerima" luka, dengan "susah payah", berhasil melarikan diri pulang dan berada ditempat ini.

Berulang kali Lo-san-cu pantul-pantul kepala, kemudian memandang Ai-tong-cun "Cari Lauw Sam Kong sampai ketemu, dan cekok batang lehernya sampai dapat." Ia memberi perintah kepada sang murid. Marahnya tidak kepalang, hanya karena laporan palsu Lauw Sam Kong, hampir dia kehilangan seorang cucu muridnya yang tersayang.

Ai-tong-cun mengiakan perintah itu dan mengundurkan diri dari persidangan. Lo-san-cu menoleh kearah Su-khong Eng yang berada ditempat itu, "Kau juga boleh istirahat." katanya.

Bersusah payah Su-khong Eng merayap bangun dari tempat duduknya, memberi hormat dan siap pulang kamar.

Menyaksikan keadaan sang murid yang seperti itu, Ai- pek-cun menghampirinya:

"Masih kuat jalan ?"

"Nggg..." Su-khong Eng memaksakan berangguk kepala, hal ini harus, mengingat kedua orang yang memayangnya masuk sudah tidak ada. Terpincang pincang ia meninggalkan ruang Pek hauw Tong.

Sampai diluar, Su-khong Eng memandang langit atas kepala. "Wah!" Dia mengeluh. "Dimana kamar sibocah Su- khong Eng itu?"

Sampai disini, kita terlalu banyak menyebut nama Su- khong Eng, tepatnya, kita harus menyebut Ie Lip Tiong kepada pelaku utama itu.

Ie Lip Tiong belum menemukan cara yang terbaik untuk pulang "kekamar"nya begitu pun ia tidak berani melamun terlalu lama di situ, langkahnya diayun, menuju ke paseban di sebelah kiri.

Pada tiga bulan yang lalu, Dewa Sesat Tho It Beng pernah menawan dirinya, dengan keadaan mata tertutup ia dibawa ke ruang Pek hauw tong, dan dari situ ke ruang penjara di bawah tanah. Kenangan lamanya digores balik, kini ia mengayun langkahnya ke arah penjara di bawah tanah.

Belok kanan sepuluh langkah, belok lagi dan dihitungnya sampai delapan puluh langkah, Ie Lip Tiong berjalan dengan mata dirapatkan. Seharusnya di tempat ini !

Ia membuka mata, dan jelas. Ia terpaku, karena ia tidak menemukan ruang tahanan itu.

Ie Lip Tiong menemukan dirinya berada di depan sebuah gardu pemandangan, dan mengelilingi gardu itu adalah taman pemandangan yang ditumbuhi macam-macam bunga dan tanaman.

Bukan gambaran ini yang diharapkan olehnya, ia kehilangan jejak penjara Partay Raja Gunung yang berada di bawah tanah itu.

Sebelum rasa bingungnya lenyap, Ie Lip Tiong masih sempat melihat adanya seorang anak buah yang sedang berjalan.

"Hei!" Ia memanggil dengan gapaian tangan.

Orang itu datang menghampiri seraya memberi hormat. "Kongcu hendak memberi tugas ?" tanyanya sambil membungkukkan badan.

"Kau dari ruangan penjara ?" balik tanya sang Su-khong Eng.

"Hamba tidak berani kesana tanpa perintah." jawab orang itu.

Hampir Ie Lip Tiong bersorak girang, jawaban ini memberitahu kalau ia tidak salah alamat.

"Kongcu hendak ke ruangan penjara ?" orang itu menawarkan jasa baiknya.

Su-khong Eng palsu menganggukkan kepala.

Laki-laki itu menuju ke gardu pemandangan dan mendorong pilar, maka pilar itu bergerak ke dalam, ternyata, penjara berada di bawah tempat ini. "Tunggu dulu!" teriak Ie Lip Tiong.

Laki-laki itu menarik tangannya kembali. Memandang sang cucu murid ketua partay yang agak aneh. "Kongcu tidak jadi pergi ?" tanyanya.

"Ya. aku tidak ingin pergi sekarang." Tentu saja, bagaimana Ie Lip Tiong bisa menolong cucu perempuan Nie Wie Kong mengingat waktu yang masih siang hari bolong? Ia tidak mau menempuh bahaya yang mengandung banyak resiko.

"Ya. Bantu aku pulang kamar," berkata Ie Lip Tiong. Laki-laki itu memasang pundak, membiarkan tangan Ie

Lip Tiong melingkar di tempat itu. Dipepayangnya dan

menuju ke salah sebuah ruangan yang berada di belakang ruang Pek hauw tong.

Ditengah perjalanan, Ie Lip Tiong mengajukan pertanyaan:

"Kau pernah berjumpa dengan ketua pulau Bola api yang bernama Nie Wie Kong itu ?"

"Pernah melihatnya sekali. Diwaktu hari kedatangannya, dia mencak dan menantang Lo-san-cu. Kalau tidak ada cucu perempuannya yang sudah ditangan kita, susah diramalkan kesudahan itu."

"Ilmu silatnya setanding dengan ketua Su-hay-tong sim- beng Hong-lay Sian-ong, kalau kita tidak menculik cucu perempuannya, mana bisa menundukkan Nie Wie Kong yang galak seperti macan?" berkata Ie Lip Tiong.

"Begitu hebat?! Bagaimana kalau dibandingkan dengan dua belas Raja Silat dari golongan kita?"

"Diadu satu lawan," kecuali Lo-san-cu. "Ia raja silat kita masih belum kuat untuk membikin perlawanan." "Sungguh luar biasa !"

"Kau tahu dimana sekarang dia berada ?" "Hamba tidak tahu."

Percakapan putus sampai disini, karena mereka sudah berada di depan pintu yang dituju. Dan laki-laki itupun menghentikan langkahnya.

"Eh," Ie Lip Tiong menjadi heran. "Mengapa diam?

Masuk terus !"

"Hamba boleh masuk kedalam?" Orang itu memperlihatkan wajah mendapat rejeki.

"Ya. Masuk terus."

Wajah laki-laki itu semakin cerah, girangnya bukan kepalang.

Demikian Ie Lip Tiong memasuki tempat kediaman Su- khong Eng, dari perubahan wajah pelayan tadi, tentunya sebuah tempat yang sangat menarik, tapi rasa kagetnya sijago muda tidak terkira, tatkala sudah memasuki pintu. Apa yang dilihatnya olehnya membuat alis berkerut, kecuali empat bangku dan meja mewah, tidak ada pintu kekamar lain. Dimana letak sesuatu yang menarik, sesuatu yang bisa memikat hati anak buah Partay Raja Gunung tadi ?

Kamar Su-khong Eng hanya terdiri dari ruangan penerima tamu? Tidak mungkin! Hmm! Dibawah ruangan yang sekecil ini pasti tersembunyi pemandangan luar biasa. Pemandangan apakah itu ?

Ia harus menemukan sebuah pintu rahasia tentu saja tidak mudah dicari. Dan sipelayan harus digebah pergi, agar tidak menimbulkan rasa curiganya. Betapa celaka, kalau seorang pelayan partay Raja Gunung mengatakan kepada kawan-kawannya, kalau sang kongcu bisa lupa membuka kamar sendiri?

Ie Lip Tiong bisa mengambil putusan cepat, ia segera memberi perintah:

"Rebahkan aku disana." Ia menudingkan tangan kearah bangku panjang.

"Kongcu... Kongcu tidak jadi masuk?" Sang pelayan jadi agak kecele.

"Tidak."

Apa boleh buat, orang itu mengundurkan diri.

Menunggu sampai orang dari partay Raja Gunung itu meninggalkan kamar, Ie Lip Tiong baru berani mengadakan pemeriksaan, dimana letak kunci rahasia ruang tidur dan ruang dalam Su-khong Eng, dan bagaimana ia harus memasuki daerah yang belum dikenal itu.

Banyak lukisan menghias dinding ruangan, lukisan- lukisan yang berlebihan ini menarik perhatian jago kita, kalau bukan seorang seniman yang gemar seni, tentu memasang dan menyembunyikan pesawat rahasia pembuka kamar diantara lukisan-lukisan itu.

Satu persatu, Ie Lip Tiong memeriksa lukisan-lukisan tersebut, ditelitinya dengan baik, kalau kalau ada penemuan yang bisa membawanya masuk kedalam. Beberapa kali pemeriksaan kemudian, ia mulai kecewa, dibalik lukisan lukisan itu tidak ada sesuatu yang luar biasa.

Disaat ia menurunkan gambar lukisan yang terakhir dari pintu masuk yang dibelakangi olehnya terdengar satu suara merdu:

"Eh, kongcu sudah pulang!" Cepat Ie Lip Tiong berbalik, ia berhadapan dengan seorang gadis pelayan yang berwajah cantik, tentunya pelayan Su-khong Eng yang biasa menyediakan segala kebutuhan kongcu partay Raja Gunung itu.

"Mencari apa dibalik lukisan-lukisan itu?" bertanya sang dayang.

"Menggebah kecoa." "Kecoa ?!"

"Ya! Bisa habis dimakan lukisan-lukisanku oleh kecoa itu, kalau dibiarkan saja." Ie Lip Tiong menggeser kakinya yang pedok.

"Eh, kaki kongcu..." Dayang itu berkerut alis.

"Terluka sedikit," Tukas Ie Lip Tiong. "Tolong pepayang aku masuk."

Dayang itu mengiyakan perintah, ia lompat kearah lampu gantung, dan menarik pegangannya. Terdengar bunyi yang berderet, sebagian lantay dari ruangan itu bergerak turun dengan perlahan. Ternyata pintu masuk berada dibawah! Dan kunci pesawat yang dirahasiakan berada pada pegangan lampu gantung! Sungguh tidak disangka.

Ie Lip Tiong mengucapkan syukur atas kedatangannya dayang ini, kalau tidak, bukankah tidak bisa memasuki "kamarnya sendiri" ? Segera ia lompat ke lantay yang mulai bergerak turun itu, di mana sang dayang sudah memayangnya.

Tidak lama "lift" itu sudah berada pada dasar, sang dayang memayang sang kongcu meninggalkan lantay bergerak itu, sesudah mereka berjalan "lift" bergerak naik lagi. Lagi-lagi Ie Lip Tiong dibuat terbelalak atas pemandangan yang dilihat, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah istana kristal yang serba mewah, semua terbuat dari kristal, kristal-kristal besar dan kecil, tebal dan tipis samar-samar bisa melihat keadaan dalam yang tembus kaca itu, samar-samar juga tidak terlihat karena bentuk- bentuk bola yang tidak sama sudut.

Kamarnya harus melalui tempat mewah ini ?

Tingkah lakunya menimbulkan rasa heran sang dayang. "Eh, kenapa ?" ia bertanya.

"Oh..." Ie Lip Tiong mengangkat dan memegangi kakinya sambil meringis. "Kakiku sakit lagi." Ia mengemukakan alasannya.

Disaat itu pula terdengar suara cekikikan yang berjalan datang, dari balik aneka macam kristal itu keluar dua orang gadis, mereka mengenakan pakaian yang tipis, hampir tembus sehingga bisa memperlihatkan warna daging dagingnya, mengenakan pakaian yang semacam ini, sama saja dengan tidak memakai pakaian.

Dua gadis yang tidak asing lagi, mereka adalah bunga bunga hiburan partay Raja Gunung, si Kuning Ciok hoa dan si Putih Bwee hoa.

"Kongcu, baru kembali ?" si Kuning Ciok hoa mengirim sebuah kerlingan merayu.

"Ngg..." Ie Lip Tiong menganggukkan kepala. "Apa yang sedang kalian tertawakan ?"

"Hi hi hi hi...." si Putih Bwee hoa masih tertawa. "Kita berhasil."

"Apa yang berhasil?" tanya Ie Lip Tiong, tentu saja dengan logat dan lagu suara Su-khong Eng. "Nie Wie Kong sudah masuk perangkap. Dia tergaet oleh bujuk rayu si Lan hoa."

"Nie Wie Kong juga berada di dalam istana ini ?" Ie Lip Tiong terkejut.

"Itulah perintah Lo-san-cu." Ciok hoa menerangkan. "Kongcu tidak tahu, kalau ketua pulau Bola api itu sudah berada disini ?"

"Aku baru sampai."

"Sam Chungcu tidak memberitahu tentang hal ini ?" "Kakiku terluka. Dia memerintahkan aku istirahat.

Belum sempat bercerita." "Masih sakit ?"

"Oh... Sakit sekali." Lagi-lagi Ie Lip Tiong meringis.

"Biar kupanggil cicie Bo tan." Sambil berbalik dan lari pergi, Bwee hoa berteriak-teriak: "Ci cie Bo tan! Cicie Bo tan! Kekasihmu sudah kembali."

Tidak lama, seorang nona manis yang berwajah seperti telur lari mendatangi, ia mengenakan selendang merah tipis yang dilibat-libatkan pada badannya, itulah pakaian dinas dari para bunga hidup dari Istana Kristal, merah sebagai lambang bunga hidup yang bernama Bo tan itu, gendak ganjen Su-khong Eng.

Seperti seekor macam kelaparan, si Merah Bo tan menubruk Su-khong eng, dipegangnya kuat-kuat, sambil mengeluarkan desisan dari mulut: "Oh, kokoku yang baik, kongcuku yang mulia, kau membuat aku kangen sekali."

Mendapat pelukan yang seperti itu, Ie Lip Tiong hampir jatuh pingsan. Satu penyambutan yang lebih dari hangat, itulah penyambutan yang panas, cukup untuk melebur hati dingin seorang pria. Menyaksikan berpelukannya dua insan itu, Bwee hoa, Ciok hoa dan si dayang yang membawa Ie Lip Tiong masuk ke dalam Istana Kristal meninggalkannya, membiarkan mereka bergumul lebih seru.

Betul saja, tangan Bo tan yang seperti ular terus menggerayang dan berkeliaran di seluruh pelosok Ie Lip Tiong, inilah caranya ia mendapat kasih sayang Su-khong Eng Bibir si Merah yang betul betul merah seperti paruh burung mengecupi semua muka si pemuda. 

Ie Lip Tiong gelagapan. "Lekas bawa aku ke kamar," katanya. "Kedua kakiku sudah hampir tidak tahan."

"Mau kugendong ?" bertanya Bo tan menawarkan jasa baiknya.

"Tidak usah." si pemuda menolak dan mengelak. "Eh ? ! Biasanya kau minta digendong?" "Gendonglah."

Bo tan menariknya perlahan, plek ! Dia menggendongnya di depan. Membiarkan kepala sang momongan terselip di antara kedua gundukan daging empuknya, karena itu waktu bagian depan kain penutup badan si Merah Bo tan sudah tersingkap, maka kedudukan Ie Lip Tiong seperti seorang bayi besar yang sedang menyusu. Demikian Bo tan membawanya pergi dengan langkahnya yang lenggak lenggok.

Ie Lip Tiong merasa agak "gelekep", bagaimana ia memperhatikan jalan, kalau-kalau buah gunung daging itu tidak disingkirkan? Kepalanya terangkat sedikit, ia memandang keatas.

"Hei !" Bo tan memukul pantat Ie Lip Tiong. "Siapa yang suruh kau angkat kepala?" "Aku... aku sesak napas."

"Bohong." Bo tan menjewer telinga "Su-khong Eng"nya. "Biasanya, kau tidak pernah sesak. Alasan!"

Cepat-cepat Ie Lip Tiong mengembalikan kedudukan kepalanya seperti yang semula, ia tidak berani berteriak lagi.

Si Merah Bo tan berjalan diantara kaca kristal dan bangunan-bangunan kristal itu, menikung kekanan kekiri, ratusan langkah kemudian. Ie Lip Tiong merasakan empuknya jok tempat tidur. Nah! Dia betul betul berada didalam kamarnya.

Sekali lagi ia bikin terbelalak kamar Su-khong Eng melebihi mewahnya kamar seorang pengantin, seluruh dinding terbuat dari kaca, kanan, kiri, atas dan bawah semua, terpasang kaca hias, maka didalam kamar itu terdapat puluhan bayangan Su-khong Eng dan bayangan Bo tan.

Sesudah meletakkan "sang bayi" dipembaringan, Bo tan melumasi seluruh badan Ie Lip Tiong, dia betul-betul wanita haus laki. Rakusnya tampak sekali.

Hari si pemuda dak, dik, duk memukul keras, didorongnya simahluk keranjingan sex dan berkata :

"Berilah aku kesempatan istirahat."

Bo tan menyeringai. "Hayo, ngaku !" Geramnya. "Berapa kali kau main diluaran ?"

"Oh, sungguh mati. Satu kalipun tidak." Ie Lip Tiong bela diri.

"Bohong !" "Sungguh !" "Kalau belum dipergunakan, mengapa tidak bersemangat?"

"Aku kehilangan banyak darah. Mana ada kekuatan lagi?"

Baru sekarang Bo tan teringat, kalau "Su-khong Eng"ya sedang menderita luka di kaki. "Oh, masih sakit?" Tanyanya penuh perhatian.

"Siapa bilang tidak sakit? Hampir aku tak kuat menahan lagi."

"Tidurlah baik baik. Biar aku ambilkan obat untukmu." "Sudah diohati."

"Dimana berobat?"

"Ditengah jalan. Kebetulan menemukan seorang tabib yang sedang berkelana."

"Tabib Kang ouw bisa apa?" berdengus Bo tan. "Biar kuobati sekali lagi."

"Obatnya sangat manjur. Luka yang kemarin masih bernanah, hari ini sudah tidak."

"Coba kulihat!"

"Jangan! Nanti kau bisa tidak mau makan." "Bagaimana sih terjadinya luka itu?"

"Aku ditipu Ie Lip Tiong. Dia menyamar menjadi "Pek- kut Sin-kun". ongkang-ongkang kaki menunggu kedatanganku digunung Kiu Lian-san. Tanpa kusadari terlebih dahulu, aku masuk perangkap, maka menderita luka luka..."

"Huh! Itulah balasannya. Siapa yang suruh kau merusak nama orang?" "Eh, kau kok berpihak kesana?" "Baru luka segini saja, sudah marah."

"Siapa bilang, luka segini saja ? Kau kira bisa sembuh

didalam waktu empat hari?"

"Asal tidak mengganggu permainan kita dibidang itu, aku tidak peduli."

"Siapa bilang tidak mengganggu? Darahku sudah hampir kering. Mengangkat tangan saja terasa gemetaran. Bagaimana bisa "main" lagi?"

"Hayo! Dicoba dahulu. Kalau betul-betul tak bisa berdiri, biar kuberi istirahat empat hari."

"Gila! Kau menghendaki aku mati kekeringan?"

"Heran! Kulihat sudah banyak perubahan, mungkinkah sudah bosan kepadaku?"

"Siapa bilang?"

"Kelakuanmu lain sama sekali."

"Aku letih, nih! aku butuh istirahat dan ketenangan." "Huh! Baiklah. Lain kali jangan kau merengek-rengek

meminta lagi, ya!" Sesudah itu, si Merah Bo tan menggabrukkan pintu, keluar dari kamar kaca hias itu.

Ie Lip Tiong mengeluarkan keluhan napas lega, hampir saja penyamarannya pecah oleh gendak Su-khong Eng. Kini ia terbaring, memandangi bayangan dirinya dikaca langit- langit. Su-khong Eng adalah manusia aneh nomor satu, hanya dia seorang mengurung dirinya didalam kurungan kaca-kaca semacam itu.

Teringat kepada Su-khong Eng, maka tugasnya yang paling penting adalah memeriksa keadaan isi kamar, ia meletik bangun, menggeledahi dan memahami tempat tersebut. Barang-barang apa saja yang memiliki didalam kamar, dia wajib tahu.

Terakhir, ia mengganti pakaian.

Tidak lama, Ai-pek-cun memasuki kamar itu. "Suhu." Ie Lip Tiong bersandiwara lagi. "Bagaimana keadaan lukamu?" Bertanya sang guru. "Sesudah ganti obat, kini agak baikan."

"Posisi kita semakin kurang menyenangkan. Sebuah markas hancur lagi. Cabang dikota Tek-hian, markas Ka pin dibakar orang.

"Aaa... Siapa yang membakar?"

"Belum ada laporan. Semua anak buah markas Ka pin sudah mati. Tidak seorang yang lolos dari tangan maut. Kalau bukan secara kebetulan ada anggota kita yang pergi ketempat itu. Sampai sekarangpun, mungkin kita belum tahu."

"Penyerbuan dari pihak Su-hay-tong sim-beng?"

"Kecuali dari pihak Su-hay-tong sim-beng, mungkinkah ada yang berani melakukan perbuatan itu?"

"Heran!" berkata Ie Lip Tiong. "Bagaimana mereka, kalau rumah makan Ka pin bekerja untuk kita?"

"Entahlah. Persoalan ini baru kurundingkan bersama sama sucoumu..."

"Bagaimana pendapat sucou?"

"Markas Ka pin adalah markas yang terdekat, hancurnya markas itu adalah suatu bukti, kalau musuh sudah mengendus tempat gunung Lo kun san yang kita duduki. Kecuali menambah mata-mata menyelidiki gerak gerik pihak Su-hay-tong sim-beng, sucoumu sudah membuat persiapan untuk meninggalkan tempat ini. Bila mana musuh menyerang datang, perintah mundur segera dijalankan.

"Mundur?"

"Ya! Mencari tempat dan posisi baru untuk menghancurkan mereka."

"Ohh..."

"Bagaimana pandanganmu atas terbongkarnya markas Ka pin?"

"Teecu belum pergi melihat. Belum bisa memberikan suatu penilaian. Tapi, begitu mudahkah Su-hay-tong sim- beng bisa mengetahui tempat kita disini?

"Kuharap saja tidak. Tapi musuh sudah tidak jauh. Kukira sucoumu tidak pernah salah. Persiapan mundurnya itu harus dilaksanakan."

Lo-san-cu memang manusia berbakat, dia sudah membuat persiapan yang paling sempurna. Ie Lip Tiong gagal untuk memberi bujukan, agar partay Raja Gunung tetap mengeram di puncak gunung Lo kun san.

Yang bisa memberi sedikit hiburan yalah, mereka akan mengundurkan diri, bilamana mengetahui datangnya serangan Su-hay-tong sim-beng. Kalau saja, kalau saja gerakan Su-hay-tong sim-beng bisa tidak diketahui mereka, bukankah masih ada kemungkinan sukses?

Hati Ie Lip Tiong berdoa, agar gerakan Su-hay-tong sim- beng bisa lepas dari pengintayan mata-mata partay Raja Gunung.

Sesudah Ai-pek-cun keluar dari kamarnya, Ie Lip Tiong mengambil putusan baru. Diketahui ketua pulau Bola api Nie Wie Kong sedang berada didalam Istana Kristal, ia harus menghubungi jago super sakti itu. Betul betul sudah tunduk kepada partay Raja Gunung, atau masih ada niatan berontak? Dari perjalanan Istana Kristal kekamarnya, ia digendong dan dibekap oleh daging daging Bo tan, belum mengetahui pasti tempat-tempat yang harus dilewati, maka, dengan menggunakan perkiraan perkiraan langkah seperti cara ia menemukan Telaga Darah sebagai markas partay Raja Gunung, Ie Lip Tiong balik kembali.

Istana Kristal selalu bercahaya dengan gemerlapannya cahaya pantulan-pantulan dari Kristal itu, untuk menyilaukan mata.

Bangunan-bangunan arsitek indah yang terbuat dari bahan-bahan kristal memisah-misah bagian itu, penerangan terpasang remang remang.

Dari sebelah kanan Ie Lip Tiong, terdengar suara desiran seorang wanita.

Pemuda kita menghentikan langkah dan melongok kearah itu.

Tiba tiba dinding kaca tergeser, dibarengi oleh satu suara bentakan:

"Siapa ?"

Ie Lip Tiong mundur kaget. Hampir ia samprok muka dengan orang itu, orang yang tidak asing baginya, itulah Dewa Sesat Co Khu Liong. "Maaf" katanya. "Boanpwee Su-khong Eng."

"Bedebah." bentak Co Khu Liong. “Berani kau mengintip diriku?"

"Boanpwee... Boanpwee hendak..." "Mencari kekasih Merahmu si Bo tan?" Potong Co Khu Liong.

"Be... Betul."

"Huh! Yang berada padaku bukan Merah Bo tan, pergi cari dilain tempat." Co Khu Liong tidak puas, karena usahanya terganggu.

"Baik... Baik..." Su-khong Eng mengundurkan diri. Hatinya memaki dan mengatakan si Dewa Sesat itu sebagai tua keladi!

Adanya gangguan tadi membuat Ie Lip Tiong sesat didalam Istana Kristal. Maksud tujuan yang utama adalah menemukan Nie Wie Kong, sebagai Su-khong Eng, ia bebas berkeliaran ditempat tersebut.

"Idih..." Tiba tiba terdengar jerit suara wanita. Ternyata sipemuda salah raba dan memasuki sebuah daerah praktek bunga-bunga Istana Kristal.

Ie Lip Tiong mendongakkan kepala, kecuali seorang wanita, disitupun terdapat seorang kakek tanpa pakaian. "Maaf. Maaf Boanpwe tidak tahu kalau Su to In kho cianpwe sedang istirahat ditempat ini." Ia membungkukkan setengah badan.

Su to In kho adalah nama salah satu dari dua belas Dewa Silat golongan sesat. Dibalik hiasan dinding kristal itu, si Dewa Sesat sedang indehoy bergairah.

Yang patut mendapat julukan "Raja Sex", kecuali Ngo kiat Sin mo Auw yang Hui almarhum, Su to In ko adalah tokoh nomor dua di bidang permainan tersebut. Sebagai salah seorang penganut dunia polos, ia menyemboyankan "sex bebas", terang-terangan sudah kepergok basah, dan ia masih meneruskan "permainannya" menoleh kearah sipemuda, cengar cengir dan berkata: "Su-khong Eng si Merah Bo tan sedang nyeleweng. Kau mau menangkap dia basah basah!"

"Bu... Bu... Bukan." Ie Lip Tiong mundur jauh jauh. "Maaf."

Gedubrakk... Segera Ie Lip Tiong menubruk sesuatu sebuah dinding "kamar praktek" roboh kebelakang dinding aling aling itupun terbuat dari badan kristal, kalau sampai jatuh mengenai tanah, tentunya hancur berantakan, hampir dia menyekap telinga untuk mendengar suara hancurnya kaca kaca itu.

Dinding kristal pemisah ruangan hanya doyong sedikit, kemudian tegak kembali. Sesuatu kekuatan sudah memperbaiki posisinya yang hampir jatuh. Berbareng, dari balik hiasan arsitek itu menongol sebuah kepala, itulah kepala seorang Dewa silat sesat yang bernama Lauw Lik Su.

"Ha ha ha..." Lauw Lik Su tertawa. Disingkapnya dinding pemisah, memperlihatkan seorang wanita yang sedang melingkar seperti ular. "Lihat!" Katanya. "Dia bukan si Merah Bo tan."

Yang sedang mengeloni Lauw Lik Su adalah seorang "bunga hidup" yang bernama Hwee hiang.

Berulang kali pula Ie Lip Tiong meminta maaf. Kini sifatnya semakin berhati hati, ia tidak berani sembarang melongok kearah adanya suara suara gemeresek atau suara desiran bunga hidup disekitar dekorasi dekorasi indah Istana Kristal itu.

Tapak demi tapak, berindap indap Ie Lip Tiong maju kedepan, mengelakkan semua gangguan. Lagaknya hampir seperti maling yang takut ketahuan.

Tiba tiba terdengar suara seorang yang merdu : "Kongcu, mengapa tangal tongol seperti kucing?"

Seorang "bunga hidup" menghampirinya. Ie Lip Tiong tak bisa menyebut nama gadis ii karena memang ia belum kenal semua bunga-bunga hidup partay Raja Gunung. Tiba tiba hatinya tergerak dan menggapaikan tangan.

"Kau kemari."

Bunga itu datang menghampiri sambil mengirim senyuman merajuk "Kongcu," ia berkata "Sebelumnya, hendak kunyatakan, kalau aku tidak berani mendapat omelan cicie Botan."

"Bawa aku kepada seorang pendatang baru yang bernama Nie Wie Kong itu." Sipemuda memberi perintah.

"Kongcu..." "Mengapa?"

"Toa chungcu pernah meninggalkan pesan. Jangan sekali kali mengganggu ketenangan si orang tua galak.”

"Takut apa. Semua tanggung jawab berada dipundakku, bukan? aku belum ada kesempatan menemuinya. Hendak melihat lihat saja."

"Baiklah." Bunga hidup itu berindap indap menuju kesuatu tempat. Disana ia meletakkan jari pada bibirnya. "Mereka disana." katanya perlahan.

"Apa... Apa mereka sedang..." Ie Lip Tiong bertanya. "Kongcu tengok saja sendiri." berkata bunga itu sambil

berjalan pergi.

Ie Lip Tiong memberanikan mendekati tempat itu, langkahnya perlahan sekali.

Tidak jauh dari tempat itu sudah terdengar suara Nie Wie Kong membentak! "Masuk! Jangan pelengak pelengok seperti seekor celepuk."

Ie Lip Tiong tidak mendengar adanya suara yang mendesis, memastikan kalau orang bukan sedang bekerja, mendapat panggilan langsung, maka ia memasuki arena daerah ruangan didalam.

Nie Wie Kong sedang ditemani seorang bunga istana bernama Lan hoa, sang bunga mengupasi kacang, di depan mereka terletak sebuah meja pendek, di atasnya terdapat beberapa makanan kecil, dan Lan hoa meletakkan kacang yang sudah dikupas.

Nie Wie Kong memperhatikan orang yang masuk, itulah seorang pemuda berwajah buruk, ia belum kenal, alisnya berkerut, menoleh dan memandang Lan hoa seraya ajukan pertanyaan:

"Siapakah orang ini?"

Lan Hoa-sangat pandai membawa diri, memasukkan kacang uang sudah dikupas kulitnya, dimasukkan kedalam mulut Nie Wie Kong sesudah itu baru memberikan jawabannya:

"Dia Su-khong Eng murid Su chungcu. Dan menjadi cucu murid kesayangan Lu-san cu kita."

"Hah!" Nie Wie Kong berdengus "Anak kemaren, mau apa ?"

Ie Lip Tiong memberi hormat. "Sudah lama mendengar nama harum cianpwee! kedatangan boanpwe khusus untuk menyampaikan hormat." Berkata si pemuda.

"Yah! Sekarang kau sudah memberi hormat. Kalau tidak ada urusan lain, lekas enyah dari depanku." Sikap ketua pulau Bola api itu sangat angkuh. Menunjuk kearah Lan hoa, Ie Lip Tiong berkata :

"Bagaimana dengan pelayanannya, apa toyu merasa puas ?"

Nie Wie Kong mendelikkan mata. Ia segan memberi jawaban.

"Dimisalkan tocu kurang penuju, boanpwee akan menyuruh lain orang menggantikannya." Berkata lagi Ie Lip Tiong.

"Aku bisa memilih sendiri." "Maksud boanpwee..."

"Cukup, Kau boleh pergi !" "Seharusnya..."

"Eh! Menentang kemauanku? Kukatakan, pergi! Dan enyah dari depanku, tahu ?"

"Kalau boanpwee tidak mau bagaimana?" "Berani menantang ?"

"Begitulah !"

"Hm... Mengandalkan kedudukanmu sebagai cucu murid Lo-sancu yang sangat disayang hendak bersitegang ?"

"Tocu harus mengerti kedudukan tocu sekarang ini." "Bedebah! Kau kira aku tidak berani melempar keluar ?"

"Boleh dicoba. Kalau sampai aku mati di depanmu, kau kira cucu perempuanmu itu masih bisa tetap utuh?"

Kemarahan Nie Wie Kong tidak bisa ditahan lagi, tangannya bergerak cepat, dan ia berhasil menguasai pergelangan tangan Su-khong Eng. "Kau tak akan mati di depanku." Geramnya. "Hayo, lekas bawa aku menghadap kakek gurumu."

Segala sesuatu berjalan seperti apa yang Ie Lip Tiong rencanakan, maka di kala Nie Wie Kong turun tangan, ia tidak berkelit. Kini ia hendak dijadikan sandera. Mulutnya sengaja berteriak-teriak.

"Eh... eh... mau apa? Lekas lepaskan."

"Dimana kini sucoumu berada?" tanya Nie Wie Kong. "Mari kita mengadakan pertukaran tawanan."

Lalu Nie Wie Kong menoleh ke arah Lan hoa dan memberi perintah:

"Hayo! Bawa aku keluar dari tempat ini."

Badan Lan hoa gemetaran. "Aku... aku tak berani." Ia menolak dan mundur kebelakang, maksudnya hendak melarikan diri.

Gerakan tangan Nie Wie Kong lebih cepat, dengan satu tangan tetap menjinjing Ie Lip Tiong, lain tangannya bergerak, satu kali tangkapan, ia berhasil menyeret Lan hoa ketempat asalnya. "Kau berani menantang ?" Ia mengancam. "Dengan satu kali pukulan, batok kepalamu akan remuk menjadi abu !"

"Betul... Betul hamba tidak berani," Berkata Lan hoa. Ia memandang Su-khong Eng, dan meminta putusannya.

"Apa kau sudah bersedia mati konyol?" Nie Wie Kong semakin mengancam.

"Aku... aku..." Lan hoa tidak meneruskan kata-katanya, tapi memandang kearah Ie Lip Tiong dengan mata meminta belas kasihan.

Ie Lip Tiong berpura-pura memikir lama, kemudian menganggukkan kepala berkata: "Bukan salahmu. Bawalah !"

Nie Wie Kong membebaskan Lan hoa. "Jangan mencoba main gila." Ia memberi ancaman.

Sambil menjinjing Su-khong Eng yang dijadikan barang sandera, Nie Wie Kong menyuruh Lan hoa berjalan di depan, dengan maksud mengadakan perundingan, meminta kebebasan cucu perempuannya, dan ia melepaskan si kongcu Partay Raja Gunung.

Berjalan tidak lama, tiba-tiba terjadi perubahan, banyak bayangan bayangan bergerak tanpa suara. Lima orang datang mengurung, mereka adalah dewa-dewa silat dari golongan sesat seperti Raja Bajingan Co Khu Liong, Raja Sex Su to Im kho, Raja Siluman Banci Bu Bee Beng, Raja Setan In Tay Si dan Raja Penyakit Lauw Lik Su.

Mendapat kurungan ini, wajah Nie Wie Kong berubah. Dengan sebelah tangan menyeret Ie Lip Tiong, ia tempelkan lain tangannya pada geger si pemuda. "Semua diam di tempat!" Ia beri ancaman. "Jika berani bergerak! Jiwa ini bocah adalah sasaran pertama!"

"Hmmm...!" Bu Bee Beng berdengus. "Tocu akan kehilangan kepercayaan."

"Suatu langkah yang kurang bijaksana," sambung Co Khu Liong.

"Semua tutup mulut!" Hardik Nie Wie Kong. "Ketahuilah, sebagai cucu murid kesayangan Lo-san-cu. Su- khong Eng ini sudah berada di tanganku, siapa yang bertanggung jawab bila sampai mengalami cidera?!"

"Huh!" Su to In kho menyindir. "Bukan caranya seperti ini." "Apa Lo-san-cu kalian rela, kalau jiwa cucu muridnya ditukar dengan jiwa cucu perempuanku?" berkata Nie Wie Kong.

"Dimisalkan Lo-san-cu kita bersedia melepaskan cucu perempuanmu, apa kau kira mudah meninggalkan Lo kun san?"

"Mengapa tidak?" Nie Wie Kong masih mencengkeram Ie Lip Tiong, "Aku harus disediakan perahu dan ditepikan di Telaga Darah. Disana baru kulepas."

In Tay Su berkata:

"Mungkinkah bisa terlaksana?"

"Apa harus menggunakan cara kekerasan?" Nie Wie Kong menantang. "Siapa yang hendak mencoba. Tapi jangan salahkan diriku, kalau si bocah Su-khong Eng ini mati terlebih dulu."

"Apa kau sudah tidak mau cucu perempuanmu?" Bu Bee Beng memberi peringatan.

Umum sudah mengetahui kalau Nie Wie Kong itu hanya memiliki seorang cucu perempuan, sayangnya tidak kepalang. Adanya sang ketua pulau Bola api di tempat itu dikarenakan cucu tersebut, Lo-san-cu mengutus Co Khu Liong menculiknya, terpaksa Nie Wie Kong mengabdikan diri disana.

Bu Bee Beng memberi peringatan, kalau cucu perempuan Nie Wie Kong masih berada di dalam genggaman tangannya.

Pertanyaan dan peringatan itu masuk kelubuk hati Nie Wie Kong, sebelumnya ia sudah merencanakan matang, biar bagaimanapun, ia tak berani membunuh Su-khong Eng, keselamatan sang cucu perempuan adalah pedoman hidupnya. Segala ancaman yang tercetus keluar tadi hanya berupa ancaman kosong. Dimisalkan Lo-san-cu tidak bersedia mengadakan pertukaran cucu-cucu itu. Iapun tidak berdaya.

Lima Dewa Sesat bisa menyelami isi hati Nie Wie Kong, demikianlah mereka bersitegang. Perlahan tapi pasti, kurungannya semakin sempit.

Menggunakan ketika tadi, Lan hoa sudah menyingkirkan diri, lari pergi.

Sekarang tinggal Nie Wie Kong dan Ie Lip Tiong, disamping Dewa Sesat yang sedang berusaha membebaskan "kongcu"nya.

Menyaksikan keadaan yang seperti itu, tangan kiri yang menempel digeger "Su kong Eng" diperkeras, demikian ia menggertak:

"Semua berhenti! Atau jiwanya kukorbankan terlebih dahulu."

Ie Lip Tiong merasakan adanya tekanan yang semakin keras itu, ia mengangakan mulut berteriak-teriak:

Hanya permainan biasa! Betapa sakitpun pukulan- pukulan yang dijatuhkan pada dirinya. Tidak ada alasan ia berteriak teriak seperti itu. Apalagi tekanan Nie Wie Kong hanya bersifat ancaman, bukan betul-betul hendak melukainya. Suara seakan sakit sipemuda sengaja dipertontonkan kepada Dewa Sesat saja.

Betul betul gerakan lima Dewa Sesat terhenti. Siapa yang harus bertanggung jawab, kalau sampai terjadi "Su-khong Eng" terbunuh mati? Mana mungkin mereka berani menjamin kemarahan Lo-san-cu? Bu Bee Beng berkerut alis. Gerakan kakinya sudah terhenti, kini giliran perang mulut. katanya :

"Nie Wie Kong dengar baik baik! Bukan keselamatan cucu perempuan saja yang harus dipikirkan. Apa kau kira, jiwamu bisa dipertahankan dari serangan kita berlima?"

Nie Wie Kong mendapat angin. "Ha ha ha ha..." Ia tertawa besar. "Boleh dicoba, bukan? Sebelumnya, sebelum kematianku dan kematian cucu perempuanku. Jiwa-jiwa kalian juga harus dipersembahkan.

Semua orang segan kepada adat Nie Wie Kong yang cukup keras, walau lima lawan satu, belum tentu mereka dapat menundukkan secara mudah, mengingat ilmu silat siketua pulau Bola api yang memang bisa menandingi Ngo kiat Sin mo Auw yang Hui almarhum. Sesudah ancaman itu berulang kali dikeluarkan, mereka harus ngalah sedikit.

"Baiklah." Akhirnya Bu Bee Beng berkata. "Lebih baik kau berbicara langsung dengan Lo-san-cu."

Iring-iringan itu menuju kearah ruangan Pek hauw tong.

Lo-san-cu sedang istirahat, menerima laporan kalau cucu muridnya ditawan Nie Wie Kong ia segera mengenakan pakaian kebesarannya itu, pakaian dan kerudung kepala warna hitam. Memasuki ruangan sidang Pek hauw tong dan berteriak.

"Nie Wie Kong, mengapa kau tidak berfoya-foya, mencari kesenangan di Istana Kristal ? Apa kerjamu menangkap Su-khong Eng."

"Mungkinkah Lo-san-cu perlu penjelasan lagi?" Berkata Nie Wie Kong

Lo-san-cu berkata : "Nie Wie Kong, percuma! Tidak guna kau menangkapnya!"

"Apa Lo-san-cu hendak menyerahkan mati hidupnya jiwa cucu muridmu kepadaku?"

"Tepat! Lebih baik kau kehilangan seorang cucu murid, dari pada harus kehilangan kekuasaan atas dirimu."

"Su-khong Eng!" Nie Wie Kong berkata kepada pemuda yang berada dibawah kekuasaannya. "Sudah dengar pernyataan kakek gurumu? Mengapa tidak meminta pertolongannya?"

Dimisalkan Su-khong Eng menjerit-jerit dan meminta pertolongan Lo-san-cu dengan kawan-kawan, bukankah tokoh yang bisa mengepalai sebelas raja-raja silat yang sudah bergelar dewa dewa sesat itu merobah pikiran.

Kenyataan Ie Lip Tiong tidak mengeluarkan suara. Ia menutup mulut merapatkan mata. Ia lebih yakin, tidak mungkin Nie Wie Kong berani membunuhnya. Karena itu tiada rasa kuatir sama sekali.

Menyaksikan sikap patriot sang cucu murid, Lo-san-cu merasa senang. Kini ia memanggil :

"Su-khong Eng!"

"Teecu siap mendengar petuah sucou!" Jawab Ie Lip Tiong.

"Masih ingat kepada janjimu sebelum kuterima menjadi cucu murid?" Bertanya lagi Lo-san-cu.

Hati Ie Lip Tiong tercekat, bagaimana ia tahu, kalau Su- khong Eng pernah mengucapkan janji apa, sebelum memasuki anggota Partay Raja Gunung? Pikirannya secepat itu bekerja, sebagai seorang cerdik segera ia memberi jawaban! "Teecu tidak pernah melupakan!"

"Nah!" Berkata Lo-san-cu. "Coba kau terangkan kepada Nie tocu."

"Harap sucou bisa tahu." berkata Ie Lip Tiong. "Teecu rela berkorban, demi kejayaan partay. Teecu akan menjadikan diri Teecu sebagai kambing domba yang dipersembahkan kepada Partay Raja Gunung!"

"Nah!" Berkata Lo-san-cu "Sudah dengar, bukan?" Kata- kata ini ditujukan kepada Nie Wie Kong.

"Bedebah! Lagi-lagi kau yang menang" Nie Wie Kong menggerutu. Ia melepaskan Su-khong Eng.

"Ha ha..." Lo-san-cu tertawa puas.

"Sebelumnya sudah kukatakan, tidak satu pun dari anak buahku yang bisa mengecewakan masih kurang yakin?"

"Baiklah. kuminta agar kau bisa membebaskan cucu perempuanku. aku berjanji tetap mengabdikan diri."

"Lebih baik kalau kau bekerja untuk beberapa waktu. Sesudah itu, kujamin kebebasan cucu perempuanmu itu." Berkata Lo-san-cu.

"Sebelum Yang jie bebas, bagaimana aku bisa bekerja tenang?" Berkata Nie Wie Kong. Yang jie adalah nama cucu perempuannya. "Bisa kah dibawa kesini ?"

"Terus terang, aku tidak percaya lagi." Lo-san-cu goyang kepala.

"Bagaimana aku bisa bekerja, kalau tidak mendapat kepercayaan ?"

"Perhatikanlah kesetiaannya tocu. Cucu tocu berada didalam keadaan terjamin."

"Tidak bisakah aku melihatnya sebentar?" Berpikir untuk beberapa saat, Lo-san-cu menganggukkan kepala "Baiklah." Ia berkata. Menoleh kearah pembantunya dan memberi perintah:

"Bawa anak perempuan itu kemari !"

Perintah ini bisa dijalankan segera, tidak lama, cucu perempuan sang ketua pulau Bola api yang bernama Yan jie itu sudah dibawa datang.

Yan jie hidup sebagai putri diatas pulau Bola api, Nie Wie Kong terlalu memanjainya, karena itu, ia malas belajar ilmu silat. Mengetahui kelemahan ini, Lo-san-cu mengutus Co Khu Liong, menculiknya, dijadikan sandera, memaksa Nie Wie Kong bekerja untuk pihaknya.

Tentu saja, hidup didalam penjara tidak bisa disamakan dengan keadaan diatas Bola api betapa sengsaranya putri manja itu, sulit dilukiskan dengan pena, menjumpai sang kakek, ia berteriak :

"Ya ya! Ya ya! Lekas tolong Yan jie, Yan jie tidak mau dikerangkeng lagi !"

Nie Wie Kong berhasil membuktikan, kalau sang cucu masih hidup seperti biasa, sesuatu yang sudah cukup menggirangkan, ia berteriak:

"Yan jie, baik-baiklah kau menjaga diri. Untuk sementara, baik-baik hidup bersama mereka."

"Tidak... Tidak," Yan jie berteriak "Yan jie tidak mau hidup dengan mereka. Yan jie mau bersama sama Ya ya saja. Yan jie tidak mau hidup didalam kerangkeng."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar