Jilid 6
“dugaan cici memang benar, ini kelompok lain yang hendak melenyapkan kita.”
“siapa kelompok ini Jin-te ?”
“mereka dua orang wanita dan nama keduanya adalah Ma-bi- eng dan suma-hoa, dan sepertinya kelompok ini lebih dari dua, karena kedua wanita ini hanya alat untuk mendapatkan bahan peledak.”
“hmh…ini hari ketiga Jin-te, dan jika mereka melarikan diri pada malam meledakkan kediaman peng-te, bagi kita itu belum jauh, jadi sebaiknya bawalah pek-thouw untuk melacak keluar kota, dan bun-ji akan melacak didalam kota.” ujar Hoa-mei “baik cici, saya akan berangkat sekarang.” sahut Han-jin, setelah Hana-jin berangkat, Hoa-mei menyuruh Kwaa-yang-bun untuk melacak didalam kota, terutama tempat penginapan.
Enam hek-to setelah meledakkan kediaman Kwaa-yun-peng, mereka kembali kepenginapan.
“apakah kita akan langsung meninggalkan kota ?” tanya tung- mo-san
“tidak usah, kita dengar dulu bagaimana hasilnya.” sahut Lam- liong-sian, merekapun menunggu sampai pagi, paginya dipenginapan heboh membicarakan ledakan dikediaman she- taihap
“ada apa sicu ?” tanya lam-liong-sian pura-pura “rumah she-taihap diledakkan orang.”
“lalu bagaimana ?” tanya Lam-liong-sian
“tidak tahu, orang lagi berbondong-bondong kesana, aku juga hendak melihatnya.”
“aku ikutlah sicu, mari kita kesanan melihatnya.” sahut Lam- liong-sian.
Lam-liong-sian bersama tamu yang lain pergi ke lokasi, Lam- liong-sian sampai ditempat saat Kwaa-hang-bi membawa ayahnya ketempat lou-sinse
“bagaimana apa yang terjadi dengan she-taihap sicu ?” tanya Lam-liong-sian kepada orang yang terlebih dahulu datang “kata putrinya ayahnya masih hidup dan sekarang hendak dibawa ketempat lou-sinse.” ujar orang itu, lalu Lam-liong-sian mengikuti Bao-hui yang mengikuti Kwaa-hang-bi, di berhenti digang masuk areal perumahan Lou-sinse, dia tidak berani mendekat, takut diketahui Hang-bi, tidak lama ia menunggu, tiba-tiba Bao-hui muncul
“bagaimana keadaan she-taihap sicu ?”
“syukurlah ia selamat dan sekarang sedang diobati lou-sinse, eh anda siapa sicu ?”
“aku keluarga dari tetangga she-taihap yang rumahnya ikut diledakkan.”
“oh..bagaimana dengan keluargamu sicu ?”
“tidak ada yang selamat sicu.” sahut Lam-liong-sian
“ah kasihan sekali dan sungguh sadis orang yang melakukan peledakan itu, baiklah sicu aku lagi buru-buru hendak menemui kepala polisi.” ujar Bao-hui.
“baiklah sicu, semoga aparat cepat bertindak.” sahut Lam-liong- sian, lalu keduanya berpisah, Lam-liong-sian kembali kepenginapan
“sial kita gagal, she-taihap tidak mati.” keluh Lam-liong-sian gemas
“lalu apa yang akan kita lakukan ? tanya tung-mo-san “sebaiknya kita meninggalkan kota hari ini.” sela see-bi-kui “tidak, kita harus berusaha membunuh she-taihap, dimana dia sekarang ?” tanya thian-kui
“dia bersama putrinya di tempat seorang tabib.” sahut Lam- liong-sian
“bagus kalau begitu, ini kesempatan kita untuk membunuhnya. “tunggu dulu, kalau kita pergi sekarang, kita akan dicurigai, para polisi banyak yang berpatroli, nanti kita dicurigai.” sela Lam-liong-sian.
“jadi kapan kita akan bertindak ?” tanya Tee-kui
“nanti malam baru kita bertindak.” sahut lam-liong-sian, semuanya mengangguk, lalu siang itu mereka lewatkan sambil mendengar berita dari mulut para tamu, setelah makan malam mereka keluar menuju kediaman Lou-sinse, namun mereka tidak menduga, bahwa menjelang sore Kwaa-yun-peng sudah dibawa kerumah Bao-hui, mereka kembali kepenginapan “bagaimana sekarang lam-liong-sian ?” tanya see-bi-kui
“besok kita tanya pemilik likoan dimana kediaman saudara she- taihap itu, dan pagi itu juga kita bertindak.” sahut Lam-liong- sian.
Pagi-pagi sekali Lam-liong-sian menemui tan-wangwe “loya bagaimana kabar ledakan itu ?”
“saya dengar sudah diusut oleh polisi.” sahut tan-wangwe “kasihan sekali she-taihap ya loya, dimana ia tinggal jika rumah sudah luluh lantak seperti itu.”
“sementara mungkin ia akan dirumah kakak iparnya Bao-hui di selatan kota.”
“ohh..untunglah ternyata she-taihap masih ada saudara yang menampung.” Ujar Lam-liong-sian
“benar sicu, sicu mau pesan apa ?”
“oh iya, kami minta sarapan bubur loya.” jawab Lam-liong-sian, lalu meninggalkan tan-wangwe. Lima rekannya turun dan Lam-liong-sian telah duduk menunggu mereka
“setelah sarapan kita akan keselatan kota.” ujar Lam-liong-sian, tanpa menyahut lima rekannya menikmati sarapan bubur, setelah selesai mereka keluar, dan lam-liong-sian terkesiap berhenti demikian juga lima rekannya, karena mereka melihat Kwaa-han-jin lewat bersama Hoa-mei dan Kwaa-yang-bun
“ini tidak baik sebaiknya kita menyingkir dari sini.” ujar Lam- liong-sian, pagi itu juga mereka melarikan diri lewat gerbang timur.
Enam rekanan itu berlari cepat seakan dikejar setan, mereka istirahat setelah lewat siang disebuah hutan.
“apakah menurut kalian kita sudah aman ?” tanya see-bi-kui “tentu sudah, jadi mari kita cari hewan buruan untuk mengganjal perut.” sahut thian-kui
“menurut saya kita hanya istirahat dulu, nanti malam baru kita mengisi perut.” sela tung-mo-san
“saya sependapat dengan tung-mo-san.” ujar see-bi-kui, akhirnya mereka sepakat untuk hanya istirahat, lalu setelah itu mereka melanjutkan pelarian, kecepatan lari mereka tidak diturunkan, mereka seperti berlomba lari melintasi hutan dan lembah.
Malamnya mereka istirahat disebuh lembah dekat sebuah sungai, tung-mo-san dan tee-kui memburu binatang untuk pengganjal perut, see-bi-kui menyalakan api, tidak lama tee-kui dan tung-mo-san membawa seekor babi hutan, pak-giamlo- sianli menguliti babi hutan dan membersihkannya, setelah itu panggang babi guling pun di jerang diatas bara api.
“kreeekkk” sebuah teriakan datang dari atas, enam rekanan itu mendongak, dan mereka terperanjat ketika melihat Jin-sin- taihap sudah berdiri didepan mereka, Kwaa-han-jin yang mengitari luar kota shanghai hingga sore hari, namun tidak ada gerakan yang mencurigakan dibawah sana, akhirnya malam pun tiba, Han-jin memutuskan untuk kembali, baru saja Han-jin melintasi sebuah bukit, disebuah lembah ia melihat cahaya api, lalu Han-jin turun dan mendapatkan enam rekanan itu terkejut.
“ternyata kalian, selamat bersua kembali sicu.” sapa Han-jin “apa maksudmu datang kemari jin-sin-taihap ?” tanya lam-liong- sian
“mungkin aku sedang mencari kalian liok-sicu.”
“kenapa kamu mancari kami ?” sela pak-giamlo-sian-li, Han-jin menatap mata suma-hoa dan bergantian menatap wajah Ma-bi- eng
“bukankah kalian pacarnya si Gao-sang ?” tanya Han-jin, suma- hoa dan bi-eng saling pandang
“kami bukan pacarnya !” sahut keduanya serempak “hehehe..liok-sicu kalian luar biasa sadis telah meledakkan keluargaku di shanghai, kenapa bertindak sepengecut itu ?”
“taihap, apa saja boleh dilakukan untuk menggapai keinginan, itu satu kewajaran dalam rimba persilatan, seraaang..!”: sela Thian-eng sambil menyerang, tiga orang rekannya mengikuti perintah itu, namun tung-mo-san dan see-kui-bi ragu, sehingga keduanya berdiri saja
Kwaa-han-jin bergerak gesit, diantara deru serangan empat lawannya, ilmu im-yang-sian-sin-lie digerakkan oleh she-taihap dengan indah, sampai tujuh puluh jurus Han-jin belum memberikan perlawanan berarti, namun setelah itu, Han-jin mengeluarkan kipas hadiah dari suhengnya Yo-seng, dengan Im-yang-bun-sin-im-hoat ujung kipas itu digerakkan, gerakan melukis dan menulis kata-kata itu demikian indah dan kokoh, gerakannya yang rumit dan penuh gerakan-gerakan tidak terduga membuat empat lawannya kalang kabut
“see-bu-kui, apa lagi yang kamu tunggu, ayok maju !” teriak suma-hoa, lalu kedua rekannya bergerak dan ikut masuk dalam pertempuran, Han-jin bergerak cepat menyambut kedua orang terlemah diantara rekanan ini.
Baru dua puluh jurus see-kui-bi masuk
“tuk….” Gagang kipas han-jin sudah mengenai lambungnya, see-bi-kui merasa perutnya mual, hawa dingin menyetrum tubuhnya hingga menggigil, dia terpaksa berlutut Manahan nyeri dan rasa dingin, dan tidak lama kemudian
“wuut…tuk..auh,,auhh…panas…” sambaran kipas membuat tung-mo-san terperanjat dan disusul tiba-tiba gagang kipas mengetuk punggungnya, tung-mo-san muntah darah, tubuhnya merah saga menahan hawa panas yang menyetrum tubuhnya, ia menggelepar seperti cacing kepanasan sambil menjerit kepanasan. Empat lawannya makin ciut, namun untuk mundur mereka tidak punya kesempatan, akhirnya mereka nekat untuk bertarung mati-matian, dengan segala ilmu yang mereka miliki dikerahkan dengan sepenuh sing-kang yang ada, namun sampai ratusan jurus keadaan makin berbahaya bagi mereka, mereka sudah terdesak hebat, kurungan Im-yang-bun-sin-im-hoat membuat mereka bingung
“kita hantam dengan pukulan sakti !” teriak thian-kui, lalu empat tenaga pukulan luar biasa kuat dari empat penjuru menuju Han- jin
“dhuar…dhuar….” Dua ledakan keras membuat lembah itu bergetar, empat rekanan itu melayang laksana layangan putus, thian-kui melabrak pohon hingga tumbang, lam-liong-sian jatuh menimpa sebuah batu di tengah sungai, lam-liong-sian dan thian-kui langsung tewas seketika, suma-hoa dan tee-kui memuntahkan darah segar.
Tubuh suma-hoa pucat kedinginan, sementara tee-kui merah kepanasan, keduanya sama-sama diujung maut, sementara Han-jin berdiri dengan tenang, akhirnya suma-hoa diam tidak bergerak, karena ajalnya menyusul dua rekannya, sementara tee-kui masih menggelepar dengan darah yang terus muncrat laksana dipompa dari dalam, dan tidak lama setelah suma-hoa tewas tee-kui pun nyawanya terbang, see-bi-kui dan tung-mo- san menyaksikan semua itu dengan rasa takut dan ngeri disamping nyeri yang mereka derita
“kalian ini akan sembuh jika mendapatkan pengobatan yang tepat, tapi jika kalian aku obati aku kasihan pada kalian, tapi aku lebih kasihan jika kalian mati tanpa bisa memperbaiki diri.” ujar Han-jin, kemudia dia menotok punggung tung-mo-san dan menotok lambung bi-eng.
Tubuh keduanya hangat seketika, Han-jin kemudian bersuit, saat bayangan besar turun, Han-jin melenting dan naik ke atas rajawali, Han-jin sampai ke shanghai hampir pagi,kedatangannya disambut Hoa-mei yang tidak tidur menunggu adiknya
“bagaimana jin-te ? apa yang kamu dapatkan ?”
“aku sudah menemui mereka cici, dan kenekatan empat orang dari mereka telah berakhir pada kebinasaan, dan dua semoga dapat berubah dengan mengambil hikmah dari peristiwa yang mereka alami.”
“kalau begitu kamu istirahatlah Jin-te.”
“cici juga belum tidur, sebaiknya istirahat juga.”
“benar jin-te, cici juga akan tidur sebentar.” sahut Hoa-mei. Keduanya pun istirahat
Selama tiga hari pengadilan menggelar pengadilan untuk Richard, semua bukti di sita oleh pengadilan berupa ratusan peti bahan peledak, sehingga diputuskan menghukum mati Edmundo dan Richard de mundo, kemudian memberi ganti rugi pada she-taihap dan tiga rumah rumah lainnya, rumah she- taihap pun kembali dibangun, Kwaa-yun-peng sendiri, setelah seminggu luka bakarnya sudah mulai mengering, dan sebelah matanya sudah normal kembali. :”Peng-te, saya dan jin-te akan pergi ke lokyang untuk melihat situasi disana, serangan pada kita ini telah terencana oleh kelompok hek-to, saya yakin telah terjadi sesuatu pada liong-te sebagaimana yang terjadi pada saya dan kamu.” ujar Hoa-mei “baiklah cici, semoga saja liong-ko baik-baik saja, kapan cici dan jin-te berangkat ?”
“hari ini kami akan berangkat peng-te.” Jawab Hoa-mei
“jin-te jaga cici baik-baik dan lain kali berkunjunglah kesini, saya masih ingin berlama-lama denganmu.”
“baik peng-ko, lain kali saya akan mengunjungi peng-ko kembali.” sahut Kwaa-han-jin. Kemudian Hoa-mei dan Han-jin meninggalkan kota shanghai.
Sudah tiga hari lokyang diguyur hujan lebat, jalanan becek dan tergenang, para warga lebih memilih menghangatkan diri didalam rumah daripada keluar, menjelang sore hujan reda seperti kemarin, namun saat tengah malam hujan turun lagi, sore itu beberapa warga keluar untuk menyelesaikan urusannya, ditengah jalan berbecek dua orang kakek dan dua orang lelaki paruh baya melintasijalan menuju sebuah likoan, empat orang itu adalah kelompok ketiga dalam misi pelenyapan she-taihap, dua cianpwe adalah kwi-ban-ciang dan kwi-sian- hengcia, sementara dua lelaki paruh baya adalah koai-ma dan mo-miauw
“bur..bur….” koai-ma menggedor pintu penginapan, seorang pelayan membukakan pintu
“hari ini kami tidak menerima tamu.” ujar pelayan “kalau tidak menerima tamu, kami juga tidak sebagai tamu, melainkan pemilik penginapan ini, jadi kamu dan tuanmu cepat keluar dari sini.”
“maaf tuan, lo-ya sedang sakit.” ujar pelayan
“eh..tengik kamu sampaikan pada tuanmu, dia memilih keluar dari sini atau melayani kami.” sela kwi-ban-ciang
“b..b..baik cianpwe.” sahut pelayan dengan wajah pucat ketakutan, lalu ia menemui tuannya
“sim-loya, empat orang ada diluar dan memaksa masuk.” “sial..kamu usir dan katakana kita tidak menerima tamu.” “sudah saya katakan tuan, namun mereka katakan, kita pilih keluar dari sini atau tetap melayani mereka.”
“masa bodo. pergi usir mereka, aku makin pusing mendengarmu.”
“hehehe..hehehe sekalian saja kamu mampus ! plak…prak…” sela kwi-ban-ciang yang muncul tiba-tiba dan menampar kepala sim-loya hingga remuk, sim-loya tewas diiringi jerit histeris istri mudanya, rambut sim-hujin ditarik kwi-ban-ciang
“hehehe..lumayan cantik, ditengah hawa yang sejuk dan dingin begini, tentu enak kelonan sama perempuan muda,
hehehe.,.hehehe..” mendengar kata-kata kakek tua itu sim-hujin makin ketakutan.
Kwi-ban-ciang menendang mayat sim-loya sehingga menjebol pintu dan jatuh dilantai bawah, kemudian menarik sim-hujin keatas ranjang, sementara pelayan masih berlutut ketakutan sambil menundukkan kepala “eh,,,kamu kenapa masih disitu, mau nonton kami yah, enak saja kamu nonton tidak pake bayar, pergi sana..! siapkan makanan untuk kami..” bentak kwi-ban-ciang, pelayan itu keluar terbirit-birit
“eh pelayan cepat hidangkan arak untuk kami !” teriak mo- miauw
“b..b..baik tuan.” sahut pelayan berlari kedapur untuk menyiapkan arak, lalu dengan tubuh mengggil ia mengidangkan seguci arak dan tiga cangkir “makanan apa yang ada ?” tanya koai-ma
“hanya nasi dan goreng ayam sambal, tuan.” “goblok, cepat bawa kesini !” bentak koai-ma
“b..baik tuan.” Sahut pelayan dan segera berlari untuk mengambil makanan dan menghidangkan dimeja.
Kwi-ban-ciang turun dengan senyum cengegesan
“hengcia, ada yang enak dikamar, dan sangat hangat di tengah cuaca begini, kamu mau menghangatkan tubuh tidak ?”
“jelas mau dong ban-ciang.” sahut kei-san-hengcia dan segera naik keatas dan masuk kamar, Sim-hujin terpaksa melayani nafsu kwi-sian-hengcia, setelah merasa puas kwi-san-hengcia meninggalkan kamar, koai-ma langsung lari kekamar dan menuntaskan birahinya pada sim-hujin, demikian juga dengan mo-miauw.
“koai-ma pergi buang mayat ini jauh-jauh !” perintah kwi-ban- hengcia
“baik cianpwe !” sahut Koai-ma, lalu dia membungkus mayat sim-loya dengan tikar, dan membawanya keluar kota lokyang, setelah itu ia kembali dengan buru-buru karena hujan lebat turun lagi, sesampai di likoan bajunya sudah basa kuyup, segera ia ganti dengan pakaian sim-loya.
“hehehe…pas benar.” Pikirnya, lalu ia menatap sim-hujin yang meringkuk di bawah ranjang dengan wajah pucat “eh…bagaimana menurutmu, bukankah aku lebih gagah dari suamimu yang tua itu ? hehehe..hehehe..” ujar koai-ma, sim- hujin hanya diam dan memeluk lutut.
Koai-ma turun kelantai bawah
“koai-ma panggil pelayan dan si nyonya itu kemari !” ujar kwi- ban-ciang, koa-ma kembali naik keatas dan menyeret sim-hujin, sementara mo-miauw juga telah membawa pelayan dan mendudukkan didepan dua cianpwe, sim-hujin duduk disamping pelayan, keduanya sama-sama takut dan pucat pias “kalian kenal she-taihap yang ada di kota ini !?” tanya Kwi-san- hengcia
“ke..kenal loya.” sahut pelayan
“bagus siapa namamu ?” ujar kwi-ban-ciang “a..aku A-liok loya.”
“nah..A-liok kamu ceritakan tentang she-taihap dan keluarganya.”
“she-taihap termasuk orang penting di kota ini, karena mereka adalah orang baik dan terkenal kesaktiannya, she-taihap membuka toko obat di pusat kota, dan rumahnya berada sebelah timur kota.”
“berapa orang anaknya ?” tanya kwi-ban-ciang “anak she-taihap ada dua, kwaakgan-bao dan kwaa-tan-bouw “apakah kedua anaknya ada sekarang ?”
“sepertinya anaknya Tan-bouw yang ada, sementara yang sulung sudah lama tidak disini.”
“hmh…bagus kalau begitu, besok kamu pergi ke toko obat she- taihap, beli obat luka dan kamu minta tolong kepada salah seorang she-taihap supaya datang kesini, katakana bahwa rumah majikanmu diancam penjahat, dan penjahatnya akan datang besok siang kerumah majikanmu, mengerti !?” ujar kwi- san-hengcia
“me…mengerti loya.” sahut A-liok
“bagus, sekarang kamu pergilah kembali kedapur.” ujar kwi- ban-ciang, A-liok segere bangkit dan meninggalkan ruangan “dan kamu manis, dengan siapa kamu tidur malam ini ?” tanya kwi-ban-ciang
“hehehe…hahaha…hahaha…” suara tiga rekannya meledak “kita harus cabut undi, yang muncul pilihannya menang, dari dari kita memilih satu pilihan, saya genap.” sela kwi-san- hengcia sambil mengambil dadu diatas meja kasir
“saya juga genap.” Sela mo-miauw
“baik kami berdua ganjil.” ujar kwi-ban-ciang, lalu dadu pun dilempar, ternyata ganjil
“hahaha..hahaha kami menang ujar kwi-ban-ciang “kamu milih apa koai-ma ?” tanya kwi-ban-ciang
“aku milih ganjil cianpwe.” sahut koai-ma, lalu kwi-ban-ciang melempar dadu, dan ternyata ganjil
“hehehe..hahaha..mari manis malam ini kita akan tidur bersama.” ujar koai-ma sambil menarik sim-hujin yang sudah pasrah dan ketakutan.
Keesokan harinya A-liok mendatangi toko obat Kwaa-sin-liong,
A-sung seorang pegawai kwaa-sin-liong melayaninya “sicu cari obat apa ?” tanya A-sung
“aku mencari obat luka twako.”
“luka senjata tajam, luka terbakar atau luka pukulan ?” tanya A- sung
“luka kena senjata tajam twako.” sahut A-liok, A-sung menarik sebuah laci
“twako she-taihap belum datang ?” tanya A-liok “belum, mungkin sebentar lagi.” sahut A-sung
“ini harganya lima ketip sicu.” ujar A-sung, A-liok membayar, dan dia masih tetap berdiri didepan toko.
“apa lagi sicu ?” tanya A-sung heran
“aku hendak menunggu she-taihap, twako.” sahut A-liok
“ooh, kalau begitu masuklah kesini, dan sicu bisa duduk sambil menunggu.” ujar A-sung
“terimakasih twako.” sahut A-liok, lalu ia pun masuk dan duduk, agak sepemimum teh Tan-bouw datang
“kongcu sudah udah datang sicu.” ujar A-sung pada A-liok, A- liok bangkit dari duduknya
“ini obat yang di bawa ayah semalam, tolong paman A-sung pilah-pilah.” ujar Tan-bouw sambil menyerahkan buntalan yang ia bawa.
“baik kongcu, oh sicu ini mau ketemu dengan kongcu.” sahut A- sung
“oh-ya paman siapakah ?” tanya Tan-bouw “aku A-liok she-taihap.” jawab A-liok
“ada apa paman A-liok ? apa yang bisa saya Bantu ?”
“begini taihap, majikan saya diancam seseorang, dan dia akan datang lepas siang.”
“eh yang mengancam siapa paman ?”
“majikan saya tidak kenal, jadi majikan saya teringat she-taihap dan minta tolong supaya taihap datang ke tempat majikan saya.”
“dimana tempat majikan paman ?”
“majikan saya im-loya, pemilik likoan yang ada diselatan, kalau bisa kita sekarang kesana taihap.” ujar A-liok
“baiklah paman, mari kita ketempat majikan paman.” sahut Tan- bouw
“oh ya paman A-sung, jika ayah datang dan saya belum tiba, katakan saya ke likoan sim-loya disebelah selatan kota.” ujar Tan-bouw
:baik kongcu, hati-hati.” sahut A-sung.
A-liok dan Tan-bouw menuju likoan sim-loya diselatan kota, sesampai di likoan
“kenapa kalian tutup paman A-liok ?” tanya Tan-bouw
“sim-loya ketakutan, jadi menutup likoan.” jawab A-liok sambil membuka pintu likoan
“silahkan duduk taihap ! saya akan menemui loya.” ujar A-liok langsung segera kedapur “hehehe…hehehehe…hahaha….hahaha…..” she-taihap mari kuantar keneraka.” Sela suara dan tiba-tiba kwi-ban-ciang dan kwi-san-hengcia muncul, Tan-bouw sudah dari tadi mendengar gelagat tidak baik sudah siap dan waspada
“kalian ini siapa ?” tanya Tan-bouw
“baik kami saya adalah kwi-ban-ciang dan kwi-san-hengcia, puas ! dan sekarang mampuslah !” sahut kwi-ban-ciang, lalu kedua cianpwe itu menyerang tan-bouw, she-taihap dengan tenang menghadapi dua lawan kosen ini, benturan tenaga yang disatukan menekan sin-kang tan-bouw membuat tan-bouw bergetar.
Koai-ma dan mo-miauw muncul dan bergerak sambil menonton pertandingan, mereka siap dengan pukulan gelap yang mengintai tan-bouw, sesuai aba-aba dari kedua cianpwe, Tan- bouw mengerahkan im-yang-sian-sin-lie, gerakan luar biasa dan indah menyapu segala tekanan dua cianpwe, namun lama kelamaan, Tan-bouw makin merasa tertekan dengan serangan yang bertubi-tubi dari kedua lawannya yang luar biasa, baru menginjak juru keseratu Tan-bouw sudah meningkatkan daya serangnya untuk mengurangi tekanan dengan Im-yang-bun-sin- im-hoat, gerakan ini sedikit banyaknya mengurangi tekanan, terlebih suara gemerisik menawarkan benatakan-bentakan magis dari kwi-san-hengcia.
Pertempuran pun kian seru dan sudah pindah dari ruangan ketaman belakang likoan, serangan dan pukulan kedua iblis itu mengurung jurus melukis she-taihap, setiap serangan yang dilakukan patah ditengah jalan karena kecepatan rekanan iblis itu saling membantu mengancam dengan pukulan berbahaya, sehingga pada satu kesempatan
“tuk…buk…” ketukan pukulan im-yang-bun-sin-im-hoat mengenai lambung kwi-ban-ciang, lalu tan-bouw menerima pukulan kuat dari kwi-san-hengcia, kwi-ban-ciang merasa nyeri dan hawa dingin merasuki tubuhnya, namun hanya sebentar karena sin-kangnya masih dapat mengimbangi kekuatan hawa yang masuk.
pukulan sakti kwi-san-hengcia juga tidak mempengaruhi kehebatan dan kegesitan she-taihap berkat ilmu “siu-to-po-in” kedua cianpwe itu merasakan kejanggalan itu, lalu trik kedua mereka jalankan, mereka mendesak secara bersamaan, sehingga seat tan-bouw mundur, dan
“buk.dess..” dua pukulan tidak terduga menghantam punggungnya dan tidak bisa dielakkan Kwaa-tan-bouw, untungnya siu-to-po-in masih ampuh, dan Tan-bouw terpancing menyerang koai-ma dan mo-miaw, kedua orang ini langsung lari menjauh ementara dua pukulan telak dari kedua cianpwe menghantam pundak dan lambungnya, she-taihap masih prima dengan seabrek ilmu rahaia yang diwariskan padanya..
Waktu sudah sore, namun she-taihap masih alot dan kuat, walaupun beberapa pukulan sudah ia terima dari keempat lawannya, dua iblis mengerahkan seluruh kekuatannya untuk mempercepat daya serangan, tan-bouw sudah mengeluarkan ilmu im-yang-pat-sin-im-hoat, pukulan tingkat delapan sudah beradu membuat suara gemuruh pertempuran, dan satu saat “dhuar…..crak..crak…” suara ledakan dahsyat terdengar membuat likoan itu bergetar hebat, Tan-bouw bergetar sesaat dan tiba-tiba kedua tangannya putus dibacok koai-ma dan mo- miauw, pengaruh kekuatan ledakan yang luar biasa itu sudah di antisipasi sebelumya dengan menutup lobang telinga mereka dengan kapas, dan saat ledakan tersebar mereka menunggu saat tubuh she-taihap bergetar dan menyerang sehingga mereka berhasil membuntungi tangan she-taihap, tanpa bersambat dua iblis memyusulkan sebuah serangan ganda, berupa dua kekuatan pukulan yang disatukan “des..buk…cras…prok..” kaki tan-bouw menghantam paha kwi- an hengcia, namun dua kekuatan ganda terus menghantam lambung tan-bouw, pedang kwi-ban-ciang merobek bahu kanan tan-bouw dan hudtim kwi-sian-hengcia menghantam belakang kepala tan-bouw, biji hudtim itu jatuh berserakan.
Kwaa-tan-bouw terjerembab kedepan, koai-ma dan mo-miauw meluncur dengan ayunan pedang
“crak..crak…” pinggang tan-bouw robek besar dan lehernya juga robek besar, she-taihap yang masih berumur sembilan belas tahun ini menghembuskan nafa terakhir pada saat pergantian malam itu, kwi-san-hengcia langsung duduk untuk memulihkan kakinya yang tiba-tiba kejang, saat dia berdiri “bouw-ji..!” terdengar suara panggilan, dua iblis tanpa bersuara melarikan diri diikuti oleh koai-ma dan mo-miauw, mereka lari sekencang-kencangnya. Kwaa-sin-liong membuka pintu likoan, sim-loya…! Bouw-ji…!” panggil kwaa-sin-liong, kwaa-sin-liong menunggu dagangan hingga sore hari bersama A-sung, ketika malam tiba mereka menutup toko
“A-sung, bouw-ji kok belum pulang ?”
“tidak tahu juga loya, saya jadi cema.” Sahut A-sung “hmh..kamu pulanglah duluan, aku akan melihat bouw-ji
ditempat sim-loya.” ujar Kwaa-sin-liong, lalu sin-liong menuju likoan sim-loya, karena pintunya tertutup dia memanggil nama anaknya dan didengar oleh kedua iblis, sehingga mereka lari.
Kwaa-sin-liong terus masuk kedalam, dan akhirnya sampai ketaman belakang, melihat pakaian mayat yang tergeletak tengkurap kwaa-sin-liong memejamkan mata, air matanya bercucuran dan ia duduk disaamping maya anaknya yang bersimbah darah, Kwaa-sin-liong tertunduk mengerahkan kekuatan indra pendengarannya, dilikoan itu tidak ada orang selain mayat anaknya, A-liok dan sim-hujin ternyata sejak terjadi pertempuran ditaman belakang sudah melarikan diri lewat pintu depan.
Kwaa-sin-liong mengangkat mayat anaknya, ia keluar dari likoan sim-loya dan begerak cepat menuju rumahnya dikeremangan malam, sesampai di rumah istrinya dengan tangis pilu menangisi mayat anaknya, selama dua hari mayat Kwaa-tan-bouw disemayamkan, sementara empat rekanan sedang mengatur rencana dipinggir kota “setelah memulihkan tenaga selama dua hari kita akan kembali berusaha membunuh he-taihap.” ujar kwi-ban-ciang “bagaimana strateginya cianpwe ?” sela Mo-miauw
“sebaiknya kita kirim surat tantangan padanya untuk datang kesini.” sela kwi-san-hengcia
“cianpwe, dari pengalaman pertempuran kita dengan putranya, menurut saya kita harus menambah trik jebakan.” sela Mp- miauw
“trik jebakan bagaimana maksudmu ?” tanya kwi-san-hengcia “kalau kita mengundangnya kesini, maka pada arena pertarungan harus kita pasang beberapa jebakan.”
“jebakan apa yang ada dalam pikiranmu mo-miau?” sela kwi- ban-ciang
“kita buat beberapa lobang yang didalamnya kita pasang pasak bambu runcing.”
“baik kalau begitu, kalian kerjakan dan haru selesai dalam dua hari.” ujar kwi-ban-ciang.
Koai-ma dan mo-miauw kerja dengan cepat, enam lobang dengan kedalaman dua tombak selesai digali, lalu menancapkan beberapa bambu runcing didasar lobang, kemudian lobang itu ditutup dengan semak dan rerumputan hutan
“sudah selesai cianpwe, dan sekarang kita bisa mengundang she-taihap kesini, dan saat pertarungan berlangsung, dua cinpwe mendesak she-taihap sehingga tersudut kedalam jebakan, dan jika dia terjebak maka mudah bagi kita untuk membantainya dengan pukulan atau senjata, untuk memastikan kematiannya.” ujar mo-miauw
“kalau begitu pergilah kalian bawa surat ini dan berikan pada she-taihap.” ujar Kwi-ban-ciang, koai-ma dan mo-miauw berangkat kedalam kota.
Ketika mereka lewat rumah Kwaa-sin-liong mereka melemparkan surat dengan sebilah pisau dan menancap ditiang teras rumah Kwaa-sin-liong, A-sung yang masih menemani majikannya mendapatkan surat tantangan itu, lalu ia cepat laporkan pada Kwaa-sin-liong, Kwaa-sin-liong membaca surat
“she-taihap ! jika engkau mau memperhitungkan kematian putramu, datanglah ke hutan sebelah selatan !
Kwi-ban-ciang
“apakah liong-ko akan memenuhi tantangan ini ?” tanya Kwaa- hujin
“benar wei-moi, jadi tabah dan sabarlah.” sahut Kwaa-sin-liong “saya tidak khawatir liong-ko, tapi hati-hatilah, anakku tewas karena kecurangan.” sahut Kwaa-hujin
“ya..saya akan hati-hati.” Ujar Kwaa-sin-liong, lalu Kwaa-sin- liong menuju hutan sebelah selatan
“hahaha..hahaha…bagus ternyata kamu datang juga untuk menjemput kematian.”
“jangan sesumbar orang tua, untuk hal-hal yang bukan wewenangmu !” “hehehe..haha…. hengcia mari kita serang !” seru kwi-ban- ciang.
Pertempuran seru berlangsung dengan cepat, Kwaa-sin-liong langsung mengeluarkan ilmu Im-yang-bun-sin-im-hoat, Kwi- ban-ciang mengeluarkan dua jurus andalannya “liang-jiu-po” (pelukan tangan sukma) dan “liang-lo-kiam” (pedang pengacau sukma), sementara Kwi-san-hengcia dengan dua juru andalannya “jiangshi-lek-kun” (pukulan gaib mayat hidup) dan “jiangshi-Hudtim” (kebutan mayat hidup).
Kwaa-sin-liong dengan tenang dan gesit menghadapi dua iblis luar biasa ini, puluhan jurus telah berlalu, kedua iblis itu belum dapat mendesak Kwaa-sin-liong pada lobang jebakan, dua pukulan koai-ma dan mo-miauw belum pernah dapat kesempatan untuk memukul, dua ratus jurus berlalu keadaan masih imbang, dua iblis tidak kenal lelah, mereka yakin bahwa she-taihap sudah dalam tekanan yang kuat dari serangan mereka, sehingga dengan perpaduan dua pukulan mereka mencoba menguji she-taihap
“dhuar….” ledakan dahsyat membuat area itu bergetar
“buk…” pukulan koai-ma menghantam lambung Kwaa-sin-liong, namun tidak mempengaruhi Kwaa-sin-liong.
Mo-miauw jengkel karena jebakannya, sepertinya tiada guna, sehingga dia nekat menyerang, saat kedua cianpwe menghantam dua pukulan dahsyat, Kwaa-sin-liong menyambut pukulan “dhuar….” Untuk kesekian kalinya ledakan dua pukulan menggetarkan hutan,
“buk..” mo-miuaw memeluk tubuh kwa-sin-liong dan mendorong dengan kekuatan penuh, Kwaa-sin-liong masih tidak bergeming, namun saat dua pukulan dua iblis menghantam, kuda-kuda sin-liong bergeser dan tepat pada jebakan, Kwaa- sin-liong reflek menggerakkan badan namun karena tubuh mo- miauw yang mati kaku memeluknya menghalangi usaha Kwaa- sin-liong, dan malang tiga pukulan datang menghantam.
“dhuar…” tubuh Kwaa-sin-liong melesak kebawah, namun luar biasanya kwaa-sin-liong refelek memutar tubuh sehingga dia terhempas telungkup, dan mayat mo-miuaw jadi perisai dari tusukan bambu runcing, tubuh Kwaa-sin-liong selamat dari tusukan bambu, namun, tiga rekanan itu tidak mau sudah, dengan pukulan andalan masing-masing membombardir tubuh kwaa-sin-liong yang telungkup didalam lobang, ledakan dahsyat berkali terdengar membuat muncrat semburan tanah dari dalam, setelah lobang itu longsor dan menutupi lobang, koai-ma dan dua iblis meninggalkan hutan.
Hutan itu lengang, pertempuran luar biasa hanya menyisakan gelondongan pohon yang tumbang, malam pun merayap, sura burung hantu memecah keheningan malam, sementara di rumah she-taihap, kwaa-hujin gelisah, suami tercinta sampai tengah malam belum pulang, dia hanya bersama A-sung dan beberapa pelayan
“A-sung kita harus kehutan sebelah selatan kota.” ujar Kwaa- hujin
“baik hujin.” sahut A-sung dan segera membawa lampu, lalu mereka menaiki kereta kuda yang dikusuri sendiri oleh A-sung.
Asung menghentikan kereta di pinggir hutan
“loya…!” seru A-sung sekuat-kuatnya ke arah hutan, namun yang menjawab hanya gema suaranya, dengan tertatih-tatih keduanya masuk kedalam hutan, sehingga mereka sampai di temoat dimana banyak pohon yang tumbang
“liong-ko..! liong-ko….” “loya…..!”
hanya gema suara yang menjawab seruan itu
“liong-ko…!” kembali menyeru suaminya, hatinya sendu dan rasa iba muncul menyesakkan dadanya
“liong-ko…hiks..hiks…liong-ko…uuu..uuuu….uuuu…liong-ko kamu dimana !?” seru Kwaa-hujin dengan tangis pilu, malam kian larut dan angin berhembus kencang menerpa rerimbunan pohon, suara gemerisik pepohonan makin riuh, lalu hujan lebat pun turun diselingi tiupan angin kencang.
“hujin, marilah kita pulang, besok kita lanjutkan mencari loya.” ujar A-sung, KWaa-hujin berdiri dengan dibantu A-sung, suara isaknya masih terdengar tertelan suara derunya hujan, keduanya dengan basah kuyup keluar dari hutan, A-sung membantu majikannya masuk kedalam kereta, dengan cepat ia memutar arah kuda dan memacu kuda menuju kedalam kota, sesampai di rumah, dua pelayan wanita segera membantu Kwaa-hujin yang ternyata pingsan didalam kereta, mereka segera membawanya kekamar dan membuka baju kwaa-hujin dan mengeringkan tubuhnya, kemudian mereka mengganti pakaian yang baru dan kering, lalu menyelimutinya dengan selimut.
Tidak lama kemudian Kwaa-hujin bangkit dan bersin-bersin, lalu seorang pelayan memberikan obat untuk diminum kwaa-hujin, lalu kemudian Kwaa-hujin tertidur, malam pun terus merayap menyisir derunya hujan yang turun hingga pagi, susana dirumah she-taihap sunyi, taman halaman yang penuh aneka bunga bermekaran ditengah kesejukan pagi yang dingin, aromanya yang harum menyeruak saat angin berhembus.
Seorang pemuda memasuki halaman, dia adalah Kwaa-gan- bao yang baru pulang kerumahnya dari perjalanan panjang, kesunyian itu membuat hatinya heran, karena biasanya ayah dan ibunya sudah bangun dari sejak dini hari
“ayah…! Ibu….!” serunya sambil menaiki tangga, namun tidak ada jawaban
“ibu…! serunya sekali lagi sambil mengetuk pintu, tidak lama daun pintu terbuka, A-sung yang membuka pintu
“oh..kongcu sudah datang.” serunya sendu “paman A-sung ibu dimana ?”
“hujin ada dikamar, dan sedang sakit.” sahut A-sung
“oh…sakit ..!?” serunya terkejut, lalu Gan-bao langsung menuju kamar ibunya, dan membuka daun pintu “ibu ..!?” panggilnya, suara itu membangunkan Kwaa-huji dan menoleh yang datang, melihat anak sulungnya tangisnyapun pecah
“bao-ji..uuu..uuu..bao-ji…” serunya sambil merenggangkan tangan ke arah anaknya, Gan-bao langsung mendekati ibunya dan memeluknya lembut
“aku sudah datang bu, apakah yang terjadi ibu ?”
“hmh….bao-ji penjahat telah membunuh adikmu, ayahmu entah dimana sekarang.”
“ibu…bouw-te…tewas..” serunya ngambang terkejut, hatinya bergejolak, adiknya yang periang telah meninggalkan mereka, desakah rasa sedih menjulang dadanya sehingga memuntahkan deraian air mata bercampur isak.
“lalu ayah kemana, ibu ?” tanya Gan-bao setelah mengusap air matanya
“ayahmu pergi kehutan selatan memenuhi tantangan orang yang membunuh adikmu.” jawab ibunya
“ibu aku akan segera kesana.” ujar Gan-bao, kemudian ia dengan cepat keluar dari rumah dan berlari menembus dinginnya pagi yang basah menuju hutan sebelah selatan, Gan- bao berdiri tegak diantara reruntuhan pohon yang tumbang, ia tahu pertempuran terjadi ditempat itu
“ayah…” seru Gan-bao dengan lantang sehingga seluruh rerimbunan hutan bergema dan suara burung-burung sontak terdengar karena kaget, namun sampai tiga kali Gan-bao menyeru ayahnya, tidak ada jawaban. Gan-bao duduk di batang kayu yang tumbang sambil berpikir, seharusnya ayahnya sudah pulang, jika ayahnya menang dalam pertempuran itu, ayahnya tidak mungkin mengejar lawan yang melarikan diri, jika ayahnya terluka tidak mungkin tidak menyahut panggilannya yang menembus seluruh pedalaman hutan, hanya satu jawaban dari semua kejanggalan ini, yakni ayahnya kalah dan tewas dalam pertempuran, pikirnya, lalu Kwaa-gan-bao mengangkat dan melemparkan pepohonan yang tumbang laksana mematahkan dan melemparkan sebuah ranting.
Areal pertempuran itu pun bersih, bahkan dia menemukan tiga lobang yang dasrnya dipenuhi cagak bambu runcing, melihat keadaan tempat itu, Gan-bao mengitari arena dan menemukan dua lobang yang sama persis, dan melihat tata letak lobang yang melingkar matanya menatap satu-satu lobang, hingga sampai pada sebuah reruntuhan tanah yang liat, Gan-bao mendekari reruntuhan itu dan menginjaknya dan terasa lembut seperti tanah urukan, Gan-bao langsung menggali tanah dan dia dapatkan bekas lobang, dengan kekeuatan dan kecepatan luar biasa Gan-bao mengali, dan dalam sekejap dia mendapatkan tubuh terbungkus pakaian.
Kwaa-gan-bao membawa tubuh itu keatas dan hatinya tersedak melihat ayahnya yang dingin dan kaku terbujur, perut dan dada ayahnya penuh luka berlobang ditembus sesuatu, lalu Gan-bao menyentuh urat nadi ayahnya, dan hatinya menangis matanya melimpah air mata sesugukannya terdengar sambil mencium ayahnya, she-taihap Kwaa-sin-liong telah tewas dengan mengenaskan, Kwaa-gan-bao mengangkat tubuh ayahnya dan menuju sumber air, Gan-bao membersihkan tubuh ayahnya dari lumpur yang melekat.
Kwaa-gan-bao masuk kedalam kamarnya dengan diam-diam, ia mengeringkan tubuh ayahnya dan menyelimuti dengan selimutnya, setelah itu ia keluar dan menemui ibunya
“bao-ji kamu sudah pulang, apakah kamu menemukan ayahmu
?” tanya ibunya lemah
“ibu...Thian menetukan taqdir manusia, dan manusia tunduk pada taqdir itu, bouw-ji sudah meninggal sesuai taqdirnya, dan ayah juga demikian ibu.”
“oh….uuu..uuuu…liong-ko….” jerit ibunya
“bao-ji…dimanakah jasad ayahmu nak !” seru KWaa-hujin disela tangisnya.
“marilah ibu saya gendong, dan kita melihat jasad ayah.” ujar Gan-bao sambil merengkuh tubuh ibunya, lalu Gan-bao membawa ibunya kekamar, jerit histeris ibunya makin pilu ketika melihat wajah suaminya yang membiru kaku.
“ibu…ayah dan adik telah pergi, maka aku sangat membutuhkan ibu disisiku, demikian sebaliknya keberadaanku sangat ibu butuhkan, ibu mesti sabar dan tabah, sebagaimana ayah sering ajarkan pada kita.” sela Gan-bao, raungan tangis Kwaa-hujin mereda mendengar perkataan anaknya, dengan mengangkat kepala dari tubuh suamianya ia mengusap air matanya, “aku tidak boleh larut dalam musibah ini, aku adalah istri she- taihap, dan aku telah melahirkan dua she-taihap, tidak…aku harus kuat, aku akan tabah suamiku…aku akan sabar duhai sayang” pikirnya dengan limpahan air mata yang membanjir tanpa isak dan raungan.
A-sun dan dua pelayan berdiri dibelakang Gan-bao
“Bao-ji semayamkan ayahmu di altar ruang tengah, dan A-sung beri tanda kemalangan kita ini kepada para tetangga, dan dapatkan peti untuk loya” ujar Kwaa-hujin, A-sung langsung keluar dan memberi tanda musibah dan segera menuju tempat pembuat peti mati, para tetanggapun datang menjenguk kemalangan yang menimpa keluarga she-taihap, asap dupa binting mengepul diluar dan diatas meja altar, jasad she-taihap diletakkan didalam peti, dua she-taihap tewas dalam jangka empat hari, membuat kota lokyang menjadi sendu, sesendu mendung yang mulai mengarak saat sore itu.
Dua tamu datang memasuki halaman, Hoa-mei matanya berkaca-kaca mendapatkan rumah adiknya bertanda kemalangan
“Jin-siok…!” seru Gan-bao ketika melihat Han-jin masuk dan mendekat kemeja altar, Han-jin yang sudah melihat Gan-bao mendekatinya
“jin-siok ayah dan adikku sudah meninggal.” bisiknya dengan sendat tertahan
“bao-ji, jika Thian berkehendak, maka hanya kehendak itu yang akan terjadi.” sahut Han-jin memeluk keponakannya. “Wei-cici, saya dan mei-cici datang disaat musibah ini menimpa kita.” Tang-bi-wei menatap Han-jin yang baru dua minggu yang lalu berada bersama mereka, lalu menatap Hoa-mei, matanya berkaca-kaca, Hoa-mei memeluk adik iparnya, deraian air matapun bercucuran.
“mei-cici, liong-ko..”
“benar adikku, musibah ini memang beruntun menimpa kita, tidak cuma disini, di wuhan, dan di shanghai, cobaan datang menguji kita, kita mesti kuat adikku, sabar dan tabah dalam meghadapinya, tunduk dengan ketentuan yang, lapang dada dalam mengecap pahit getirnya musibah yang datang.” sahut Hoa-mei.
Sore itu di tengah mendung yang mengarak diangkasa, Kwaa- sin-liong dimakamkan, setelah pemakaman selesai, hujan rintik- rintik pun turun, para tetangga dan pelayatpun buru-buru meninggalkan pemakaman, Han-jin dan ketiga keluarganya kembali kerumah, kesunyian hati KWaa-hujin mencekik hatinya, namun ia harus telan dengan hati lapang, dia harus kuat untuk anak sulungnya.
Dua hari kemudian keluarga itu dan para pembantu berkumpul “wei-moi ceritakanlah bagaimana kejadian dari hal yang kita hadapi ini !” ujar Hoa-mei
“awalnya seorang she-sim pemilik likoan diselatan kota meminta bantuan bouw-ji untuk menghentikan ancaman dari seseorang, Bao-ji pergi kesanan, lalu liong-ko mendapatkannya malam itu sudah meninggal, dua hari setelah bouw-ji dimakamkan sebuah surat kami dapatkan atas nama kwi-ban- ciang menyatakan bahwa ia bertanggung jawab atas kematian Bouw-ji, lalu liong-ko memenuhi tantangan surat itu dan pergi ke hutan sebelah selatan, malamnya aku kesana bersama A- sung untuk mencari liong-ko namun tidak berhasil, lalu kami pulang, esoknya Bao-ji baru datang, dan segera hutan sebelah selatam dan menemukan ayahnya.” ujar Kwaa-hujin menutup ceritanya
“bagaimana ayahmu kamu temukan Bao-ji ?” tanya Hoa-mei “aku menemukan ayah tertimbun didalam sebuah lobang jebakan yang dipenuhi cagak bambu, melihat arena pertarungan, saya yakin ayah dikeroyok Kwi-ban-ciang berasama rekan-rekannya.” sahut Gan-bao
“hal itu benar bao-ji, apa kamu kenal dengan kwi-ban-ciang ?” “saya dan jin-siok pernah bertemu mereka di hutan kongciak, dan kwi-ban-ciang salah satu lawan yang sangat tangguh
ketika kami menghadapinya.” sahut Gan-bao
“jika Bao-ji pernah bertarung dengan kwi-ban-ciang, maka siapakah kawan-kawannya ?”
“saya yakin kwi-ban-ciang dibantu kwi-san-hengcia, kedua ini merupakan cianpwe dari hek-to yang getol menantang kita saat di hutan kongciak.” sahut Gan-bao
“bagaimana menrutmu Jin-te ?”
“saya akan segera mencari kwi-ban-ciang dan kwi-san- hengcia.”
“baik, kamu besok berangkat Jin-te, aku akan disini beberapa hari, dan jika engakau datang kesini dan aku tidak ada lagi, berarti aku sedang atau sudah berada di pulau kura-kura.” ujar Hoa-mei
“baiklah cici, besok saya akan berangkat.” sahut Han-jin.
Kwi-ban-ciang mengajak kedua rekannya menuju kota Huangsan, dimana ia selama ini bertempat tinggal, ketiganya menunggu hasil dari tugas kelompok lain, lalu menjelang pertemuan kedua di Guangdong, tiba-tiba dua orang wanita datang, dan keduanya adalah tok-lian dan ang-mou-kuibo. “eh..kenapa kalian hanya datang dua orang ?”
“misi membunuh she-taihap gagal, karena jin-sin-taihap tiba- tiba muncul.”
“apa kalian berhadapan dengan jin-sin-taihap ?”
“tidak, tapi kami bertemu dengan she-taihap yang lain, salah satu pemuda yang berada di hutan kongciak.
“lalu apa yang terjadi ?” tanya kwi-sian-hengcia
“kami hanya tinggal enam orang, karena tai-twi mati ditangan she-taihap yang di wuhan, dan dengan berenam ternyata kami masih kalah, sehingga empat orang dari kami tewas ditangan she-taihap
“sialan..! she-taihap..” sumpah Kwi-ban-ciang
“lalau bagaimana dengan kelompok kedua yang dipimpin oleh lam-liong-sian ?”
“kami belum mendengarnya cianpwe.”
“apakah mungkin mereka langsung ke tempat lam-liong-sian ?” sela Koai-ma
“mungkin jadi mereka langsung kesana.” sahut kwi-sian- hengcia
“kalau begitu kita kesana saja cianpwe.” sela ang-mou-kuibo. “baik, kalian istirahatlah dan besok kita akan ke Huangdong.” ujar
kwi-ban-ciang.
Keesokan harinya kwi-ban-ciang dan empat rekannya berangkat ke Guangdong, perjalanan dilakukan dengan cepat, sesampai di Guangdong mereka langsung menuju kediaman llam-liong-sian, namun ternyata mereka tidak lam-liong-sian tidak ada ditempat, lalu mereka menginap disebuah likoan. “bagaimana cianpwe, apa yang harus kita lakukan ? tanya Tok- lian
“jika dua hari lagi mereka tidak muncul, maka kita bicarakan rencana selanjutnya.” sahut kwi-ban-ciang, selama dua hari mereka menunggu namun lam-liong-sian dan kelompoknya tidak ada satupun yang muncul.
“bagaimana koai-ma ?‟ tanya kwi-ban-ciang
“saya sudah pergi kerumahnya dan Lam-liong belum juga datang,” sahuit koai-ma
“baik, kalau begitu, mari kita bicarakan rencana kita.” ujar Kwi- ban-ciang, lalu merekapun mengitari meja
“bagaimana menurutmu hengcia ?” tanya kwi-ban-ciang “melihat dari hasil yang kita raih pada rencana awal ini, tidak ada gunanya kita membicarakan rencana kedua.” sahut kwi- sian-hengcia
“jadi kalau begitu apa yang mau kita bicarakan ?” tanya kwi- ban-ciang
“kita membicarakan ketuntasan rencana yang pertama.” “maksudmu bagaimana hengcia
“dari tiga kelompok yang kita bentuk hanya kelompok kita yang berhasil membunuh she-taihap, dan dua kelompok gagal.”
“lalu apa kita akan menuntaskan bagian yang gagal ?” sela kwi- ban-ciang
“benar, kita harus tuntaskan bagian yang gagal, jadi kita ke shanghai dank e wuhan untuk melenyapkan she-taihap di dua tempat itu.” ujar kwi-san-hengcia.
“bagimana menurut kalian bertiga ?” tanya kwi-ban-ciang “saya setuju pendapat kwi-ban-ciang-cianpwe.” sela tok-lian “saya juga setuju menuntaskan pekerjaan yang terbengkalai.” sela koai-ma, ang-mo-kuibi mengangguk.
“baik mari kita tuntaskan, dan kita bicarakan strategi yang lebih matang untuk membunuh she-taihap.” ujar kwi-ban-ciang “cianpwe, strategi kami ketika menghadapi she-taihap empat orang berhadapan langsung dan dan tiga orang menyerang secara menggelap.”
“hal itu juga sudah dilakukan oleh koai-ma dan mo-miuaw, tapi cukup sulit juga untuk menghadapi she-taihap. sahut kwi-san- hengcia
“saya kira kali ini, seorang she-taihap akan mudah kita kalahkan.” ujar tok-lian
“kenapa engkau berpikir seperti itu ?” tanya kwi-ban-ciang “jika yang penyerang gelap melakukan dengan pukulan sakti. Menurut saya tidak berguna, karena she-taihap memiliki daya tahan yang tidak lumrah, jadi trik yang paling tepat jika penyerang gelap itu menyerang dengan senjata rahasia, itu lebih merepotkan she-taihap.” ujar tok-lian
“hahaha..hehehe… pemikiranmu hebat juga tok-lian, dan apa yang kamu katakan itu benar, bahwa kalau pukulan sakti, she- taihap tidak akan terpengaruh.” sela kwi-ban-ciang
“terus bagaimana formasi serangan yang tepat menurutmu tok- lian?” sela kwi-san-hengcia
“jika melihat formasi kami di wuhan rasanya lumayan, yakni empat dan tiga, hasil yang kami capai mutlak cianpwe, hanya gagal karena jin-sin-taihap, jadi coba cianpwe bayangkan jika cianpwe dibantu dua orang dari kita menghadapi langsung she- taihap, dan tiga orang pelempar senjata rahasia mengintai.”
“hahaha..hahaha..benar..benar sekali tok-lian, aku sudah dapat membayangkan hasilnya yang luarbiasa.” sela kwi-san-hengcia tertawa senang.
“kalau begitu, siapa menurutmu tiga pengintai yang kita butuhkan.” sela ang-mou-kwi
“yang kita butuhkan hanya dua orang lagi disamping saya sendiri, dan dalam hal ini saya merekomendasikan dua nama kepada cianpwe.”
“siapa dua orang itu tok-lian ?” sela kwi-ban-ciang
“yang pertama “shantung-tok-piauw” (pisau beracun dari shantung) dan kui-ting-lo-tong” (bocah tua paku siluman).” sahut tok-lian “dimana kita menemukan mereka ?” tanya ang-mou-kuibo
“kita harus ke shantung, karena merekan berdua ada dipropinsi tersebut.” sahut tok-lian.
“baiklah kalau begitu, kita akan ke shantung untuk menemui keduanya.”
“sebentar cianpwe, bagaimana menurut cianpwe ide dari mo- miauw, karena hasil pemikirannya kelompok kita berhasil baik.”
Sela koai-ma
“hal itu juga kita lakukan, jika keadaannya memungkinkan.” sahut kwi-san-hengcia, koai-ma mengannguk mengerti, llau mereka bubar dan beristirahat, keesokan harinya lima rekanan itu meninggalkan kota Guangdong, mereka menuju propinsi shantung.
Kota shantung termasuk kota besar dan padat penduduk, siang itu hawanya luar biasa panas, sehingga membuat gerah para pedagang jalanan, seorang pedagang buah berumur dua puluh lima tahun yang akrab disebut A-bing, setelah melayani beberapa orang pembeli, A-bing mengipas badannya yang kepanasan dengan topi bututnya, A-bing terkenal dikalangan orang-orang pasar karena ia memiliki istri berparas cantik, yang membuat iri para lelaki, terutama para hartawan hidung belang, sejak suami istri itu datang kekota shantung dua tahun yang lalu, pasangan ini sudah jadi buah bibir para hartawan, istrinya yang berparas cantik bernama He-yin dan akrab dipanggil yin- yin membuat gemes empot-empotan hati lelaki yang melihatnya. Setelah lewat siang He-yin berangkat kepasar membawa makanan untuk suaminya A-bing, beberapa lelaki pengangguran bersuit-suitan menggoda yin-yin yang sedang berjalan, demikian juga para pedagang yang lain tidak melewatkan kesempatan untuk cuci mata menatap wajah Yin- yin
“yin-moi, seharusnya kamu tidak datang!” tegur A-bing merasa risih dengan pandangan beberapa pedagang di sekitar tempat itu
“tapi bing-ko makan siangmu lupa kamu bawa karena buru-buru tadi pagi.” sahut yin-yin maklum dengan kerisihan suaminya, Yin-yin sudah lebih enam bulan tidak pernah lagi kepasar membantu suaminya, untuk menghindari godaan dan canda ceriwis para lelaki yang menatapnya, namun karena tadi pagi,
A-bing sudah berangkat kepasar sebelum matahari terbit, dan melupakan bekal makan siangnya.
A-bing membuka bekal makan siangnya, lalu dengan lahap ia makan karena memang sudah merasa lapar, tiba-tiba seorang lelaki paruh baya yang tampan dengan menunggang kuda yang berjalan congklang berhenti didepan dagangan A-bing, dan Yin- yin pun berdiri untuk melayani penunggang kuda tersebut, penunggang kuda itu salah seorang dari orang kaya di kota shantung, bahkan lelaki pamogaran ini, disamping orang kaya, juga seorang kalangan kangowu yang berhati bengis, dia adalah sim-wangwe, dan dikalangan lioklim dia disebut dengan shantung-tok-piauw. Shantung-tok-piauw baru pulang dari pengembaraannya yang sudah hampir tiga tahun, hari itu ia baru kembali kekotanya, dan berkebetulan ia melihat yin-yin yang sedang duduk melayani A-bing yang sedang makan, orang-orang yang tadi cuci mata melihat paras yin-yin cepat-cepat menyingkir, karena kemunculan shantung-tok-piauw, A-bing dan yin-yin yang tidak tahu siapa shantung-tok-piauw tenang-tenang saja, karena shantung berhenti didepan dagangan, Yin-yin berdiri dengan senyum ramah
“apa tuan mau membeli buah ?”
“buah apa saja yang kamu punya ?” tanya sim-wangwe sambil menatap tajam pada gundukan buah dada yin-yin, Yin-yin terperangah dan mukanya merah karena jengah dan risih merasakan pandangan yang begitu melekat pada dadanya.
Yin-yin segera menutup dadanya dengan kain pembungkus bekal makan suaminya yang berkebetulan ditangannya
“ada leci, melon, pisang dan semangka, tuan hendak beli yang mana ?” tanya Yin-yin
“hehehe..hahaha…apakah kalian orang baru dikota ini ?” “benar tuan, kami baru dua tahun disini.” Sela A-bing berdiri karena sudah menyelesaikan makannya, dan cepat menggantikan istrinya melayani Sim-wangwe
“hehehe..hahaha…buahmmu tidak menarik hatiku, namun buah yang ada dibelakangmu sangat mengiurkan.” ujar Sim-wangwe, A-bing tahu bahwa yang dimaksud pembeli ini adalah istrinya yang sedang mengemasi makannya dibelakang. “tuan ! jika memang tidak tertarik, tidakkah sebaiknya tuan pergi daripada berdiri dibawah panas terik matahari ?”
“bangsat tidak tahu diri, kamu kira kamu bicara dengan siapa !? hah..!” bentak Sim-wangwe
“memang kami tidak mengenal tuan, jadi maafkan saya dan tolong tinggalkanlah kami.”
“sialan…! tidak ada yang berani menantang perkataanku, apa kamu mau mampus !?”
“saya tidak mementang tuan, dan saya hanya minta tolong supaya meninggalkan kami.” sahut A-bing, tiba-tiba sim- wangwe menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda itu meringkik dan mengangkat kaki tinggi-tinggi dan menghantam meja dagangan A-bing hingga hancur, dan buah dagangannya berserakan.
A-bing mundur dan istrinya yin-yin dengan wajah cemas dan takut memegang pundak A-bing, A-bing melihat sekitarnya, dan orang-orang hanya menonton dari kejauahan
“kalau kamu mau hidup berikan wanita itu padaku !” “jangan tuan, dia adalah istriku.” bantah A-bing
“hehehe..hahaha….walaupun dia istrimu, kamu harus serahkan padaku.” ujar sim-wangwe, A-bing menarik lengan istrinya dan mengajaknya lari dari tempat itu, sambil tertawa sim-wangwe mengejar dengan kudanya, A-bing dan istrinya memasuki sebuah gang dan bersembunyi didalam sebuah bangunan yang hampir rubuh, Sim-wangwe memasuki gang terebut, dan dengan suara hentakan kaki kuda yang menelusuri jalan gang, membuat suami istri saling berpelukan dan meringkuk ditempat persembunyian, sim-wangwe memasuki bangunan tidak terpakai itu, meja-meja dan tiang yang malang melintang didalam bangunan di perhatikan dengan awas untuk menemukan suami istri itu
“hahaha..hahaha…aku tahu kalian ada didalam,jadi sebaiknya kalian keluar sebelum aku marah dan membunuh kalian.” ancam sim-wangwe sambil tertawa, A-bing dan Yin-yin tetap diam dan saling berpelukan, tiba-tiba sim-wangwe memukul atap rumah dengan pukulan sakti, sehingga membuat genteng rumah berjatuhan kebawa, suara jeritan kecil Yin-yin membuat sim-wangwe mengetahui keberadaan mereka, lalu dengan gesit sim-wangwe melompat kea rah suara, dan berdiri angker dia hadapan A-bing dan Yin-yin yang pucat ketakutan.
“tu…tu…tuan ! kami ini orang lemah, jadi tolong jangan berbuat aniaya pada kami.” pinta A-bing
“hehehe..hahhaa…segala sesuatu yang diinginkan shantung- tok-piauw harus didapatkan.” ujar sim-wangwe sambil mencengkram bahu Yin-yin dan menariknya dari pelukan A- bing,
“ti..tidak..! lepaskan aku, tolong lepaskan aku…!” jerit Yin-yin memelas dengan wajah pucat ketakutan
“tidak cantik…kamu demikian memepesona, aku tidak akan melepaskanmu, kamu harus menjadi penghuni rumahku yang megah, hahaha..hahaha…” sahut Sim-wangwe sambil memanggul tubuh Yin-yin dan melangkah keluar bangunan. A-bing nekat melompat dan mengejar sim-wangwe, dia berusaha memukul tubuh Sim-wangwe dari belakang, namun serangan itu luput, karena Sim-wangwe sudah terbang ke punggung kudanya, dan memacu kudanya, A-bing berlari mengejar, Sim-wangwe yang tahu ia dikejar tertawa-tawa, lari kudanya disengaja lambat dan berputar-putar di tengah pasar, orang-orang yang berada dipasar menyaksikan A-bing mengejar-ngejar Sim-wangwe yang tertawa sambil memanggul Yin-yin.
A-bing terduduk dengan nafas tersegal-segal dan mandi keringat di tengah sengatan terik matahari, Sim-wangwe berhenti sambil tertawa mencemooh pada A-bing
“kenapa berhenti, lari dan rebutlah istrimu, hahahha..hahaha…” “tuan tolonglah berbaik hati, kembalikanlah istriku.” pinta A-bing dengan memelas sedih
“hahaha..heehehe..hahaha..tidak akan kuserahkan, kamu bisa apa pemuda tolol !?” sahut Sim-wangwe, tiba-tiba seorang wanita cantik muncul dengan langkah tenang dan wibawa yang agung, pakaiannya yang ringkas menunjukkan ia seorang dari kalangan kangowu, dia adalah she-taihap Kwaa-hong yang hendak pulang kembali ke kekaifeng dan berkebetulan lewat kota shantung, Kwaa-hong yang baru masuk dari gerbang kota sebelah timur melihat kejadian dan mendengar percakapan keduanya
“sungguh tidak berbudi merebut istri orang dengan paksa dan mempermainkannya suaminya menjadi tontonan orang banyak, ini kelakuan rasa tekebur yang melewati takaran” tegur kwaa- hong, melihat wanita cantik dengan sabuk warna kuning keemasan yang tersampir di bahunya dan melingkar di lehernya yang jenjang, membuat hatinya kecut, apalagi ia pernah melihat Kwaa-hong di hutan konciak
apakah kamu she-taihap “kim-kin-sianli” (dewi bersabuk emas)
?”
“benar, apakah menurutmu aku tidak boleh ikut campur dengan yang terjadi dihadapanku ini ?” sahut Kwaa-hong, mendengar jawaban Kwaa-hong
“sudahlah ! aku kembalikan ia pada suaminya.” ujar Sim- wangwe sambil menurunkan Yin-yin dari kudanya, Yin-yin berlari sambil terisak mendapatkan suaminya,
Sim-wangwe hendak pergi meninggalkan tempat itu
“tunggu dulu ! saya ingin mendengar cerita saudara ini, tentang apa yang kamu lakukan.” sela Kwaa-hong.
“saya hanya mengambil istrinya dan sekarang istrinya sudah kukembalikan.” sahut Sim-wangwe
“melihat kelakuanmu yang manjadikan saudara ini menjadi tontonan orang banyak, apa hak mu sehingga menjadikan saudara ini jadi permainanmu ? apakah cukup mengembalikan istrinya dan kamu tidak meminta maaf pada mereka ?” sahut Kwaa-hong dengan sorotan matanya yang tajam, Sim-wangwe tertunduk dengan wajah pucat
“sicu, ceritakan padaku ! apa yang telah ia perbuat pada kalian
!” ujar Kwaa-hong “terimakasih lihap, cukuplah ia mengembalikan istriku dan tidak menggangu kami lagi.” sahut A-bing
“hmh…jadi menurutmu sicu, dia tidak harus minta maaf pada kalian ?” tanya Kwaa-hong
“tidak perlu lihap.” sahut A-bing menunduk
“boleh tahu alasannya ?” tanya Kwaa-hong, A-bing terkesiap mendengar pertanyaan yang dilontarkan Kwaa-hong “a..a…aku ti..tidak mau berurusan dengannya.”
“sicu tidak mau berururusan dengannya, tapi apakah ia sama tidak mau berurusan denganmu ? istrimu sangat cantik sicu, jika kamu merasa cukup, maka kita cukupkan.” ujar Kwaa-hong lembut, A-bing tertunduk dan menatap istrinya
“lihap a.aku mau ia minta maaf dan berjanji tidak akan menggangu kami lagi, dan mengganti rugi dagangan kami” sela Yin-yin
“kamu dengar itu sicu !?” ujar Kwaa-hong sambil menatap Sim- wangwe, Sim-wangwe mau marah tapi tidak berani, nyalinya sudah ciut, urusannya terjadi didepan she-taihap, Sim-wangwe akhirnya turun dari kudanya dan melangkah mendekati suami istri itu
“maafkan kelakuanku tadi dan aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi, dan saya akan mengganti rugi dagangan kalian.” ujar Sim-wangwe sambil memberikan dua tahil emas pada A-bing. A-bing termenung sambil menerima dua tahil emas yang lebih dari cukup sebagai ganti rugi dagangannya, orang yang tadinya menonton semua terperangah melihat hartawan bengis itu meminta maaf pada A-bing “terimakasih sicu, kamu ternyata bisa diajak berunding, dan orang banyakpun menyaksikan bahwa kamu meminta maaf pada sicu ini, dan urusan pun selesai sampai disini.” ujar Kwaa- hong, lalu Sim-wangwe segera meninggalkan tempat itu “terimakasih lihap, dengan kemunculan lihap yang luar biasa
telah menyelamatkan kami dari aniaya orang itu.” ujar Yin-yin “sudahlah nyonya, sekarang kembalilah ketempat kalian, dan hati-hatilah menjaga istrimu sicu.” sahut Kwaa-hong
“baik lihap kami permisi dan sekali lagi terimakasih.” ujar A- bing, lalu merekapn kembali ketempat dagangan dan mengemasi barang dagangan yang masih bagus, lalu kembali kerumah, Kwaa-hong menuju sebuah likoan untuk menginap semalam dikota Shantung.
Sim-wangwe dengan hati jengkel dan malu kembali kerumahnya, delapan selirnya yang hangat menyambutnya menjadi hambar rasanya karena gejolak amarah yang membakar hatinya, amarah ia itu tertelan sendiri karena mau bagaimana melampiaskan amarah pada she-taihap yang jelas ia tidak mampu menghadapinya, sehingga karena itu membuat sim-wangwe uring-uringan hingga tiga hari lamanya, pada malam keempat rumahnya kedatangan lima tamu
“siapakan kalian dan hendak apa kesini ?” tanya penjaga “sampaikan pada tuanmu, seorang kenalannya datang hendak berjumpa.” sahut Tok-lian, penajaga itupun masuk kedalam
“tuan ! ada lima orang tamu hendak bertemu.” “siapa mereka !?” tanya Sim-wangwe ketus “seorang dari mereka kenalan baik wangwe.” Sahut penjaga “heh..kenalanku !?” gumam Sim-wangwe sambil berdiri dan segera keluar
“eh..hahaha..hehehe..engkau rupanya bian-moi, eh…dua cianpwe juga ikut mari..silahkan masuk.” ujar Sim-wangwe, lalu kelima tamunya pun masuk
“hehehe,,hahaha,,angin apa yang membuatmu menemuiku Bian-moi dan bahkan dua cianpwe juga besertamu ?” tanya sim-wanngwe
“aku ada perlu denganmu kuang-ko, dan amat penting sekali.” sahut Tok-lian, yang nama sebenarnya adalah Lu-ci-bian
“hal apakah yang amat penting itu bian-moi ?”
“kenalkan dulu, ini cianpwe kwi-ban-ciang dan kwi-san-hengcia, lalu ini ang-mou-kuibo dan koai-ma.”
“ya dua cianpwe saya pernah lihat saat di hutan kongciak, lalu ada apakah cianpwe ?” sahut sim-kuang
“begini shantung-tok-piauw, kami membutuhkan keahlianmu dalam berpartispasi untuk membunuh she-taihap.” “membunub she-taihap ? maksudnya bagaimana cianpwe ?”
“kami punya misi untuk membunuh semua she-taihap, dua she- taihap di lokyang sudah berhasil kami bunuh.”
“oh..benarkah ? wah luar biasa kalau bisa dibunuh semua.” sela Sim-kuang
“makanya kami perlu kau ikut dalam misi ini kuang-ko.” sela Tok-lian
“tentu aku sangat bersedia ikut bian-moi, lalu bagaimana cianpwe ?” “baguslah kalau kamu ikut bergabung, dan kita akan ke shanghai menuntaskan kerjaan yang belum selesai, namun kita masih butuh seorang lagi.”
“butuh seorang lagi ?”
“benar kuang-ko, kita butuh kui-ting-lotong, apakah kuang-ko tahu dimana dia ?”
“si lotong biasanya berada di lembah sungai huangho.” jawab sim-kuang
“kita harus menjumpai dia, setelah itu kita akan beraksi.” Sela kwi-ban-ciang
“baiklah cianpwe, besok kita akan ke lembah huangho, dan sekarang marilah kita keruang makan, dan saya akan menjamu cianpwe dan teman-teman sekalian.” ujar Sim-kuang, lalu merekapun makan dan minum, Tok-lian dan shantung-tok- piauw mempunyai hubungan mesra mempunyai acara sendiri, dua cianpwe dilayani empat selir sim-kuang, ang-mou-kuibo dan koai-ma juga mengambil kamar untuk bercinta.
Keesokan harinya shantung-tok-piauw membawa kelima rekannya kelembah sungai huangho, sungai huangho yang membentang dari pegunungan kwen-lun di Tibet dan bermuara diteluk Tsii-li laut kuning, sungai ini mengalir melalui pegunungan utara cina, dan membentuk dataran indah dan subur, disebuah lembah yang bernama “ui-kok” (lembah kuning) dari sebuah pondok mengepul asap menandakan penguhuninya sedang beraktivitas didapaur rumah itu. Seorang lelaki tua bertubuh kate sedang mengaduk air dalam wajan besar, kumisnya yang tebal berwarna putih melambai- lambai sat ia meniup perapian untuk memperbesar nyala api, ia adalah tokoh kenamaan dalam dunia kangowu dari aliran hek- to, namanya adalah Lu-mou dan dikenal dengan julukan kui- ting-lotong, hari itu ia sedang merebus paku yang merupakan senjata andalannya yang luar biasa, paku yang direbus bersama daun beracun sudah berjalan tiga hari tiga malam, sekarang hari keempat, dan pagi itu dia kembali memperbesar api, lalu mengambil sebuah keranjang besar yang ternyata isinya adalah lima ekor ular beracun, dengan cekatan tangannya menangkap kepala ular dan memicit kepala ular, kemudian menancapkan taring ular pada sebuah cawan yang ditutup dengan kulit, bisa ular keluar mengalir kedalam cawan, setelah bisa kelima ekor ular itu dikeluarkan, Lu-mou memasukkan bisa ular kedalam wajan, lalu mengaduk sehingga air rebusan yang tadinya hijau, berubah jadi hitam pekat.
Lu-mo keluar dari pondoknya menuju desa huain, desa huaian tiga hari yang lalu menguburkan perempuan hamil yang tewas mendadak, kejadiannya seminggu yang lalu, Bao-can sebagaimana biasa menggarap dua petak sawah warisan orang tuanya, biasanya ia bersama Can-hui istrinya, namun saat hamil Can-hui berusia enam bulan, Can-hui tidak lagi menemani suaminya kesawah
“besok kita akan panen, jadi saya sudah minta bantuan pada pada A-gou dan A-sin untuk membantu saya memanen padi kita.” ujar Bao-can sambil baring diranjang “kalau begitu saya akan memasak makan siang untuk koko dan dua teman koko.” sela Can-hui dan baring disamping suaminya “benar hui-moi, dan masaklah yang istimewa.”
“kira-kira apa yang akan saya besok koko ?”
“kamu masaklah ayam goreng dan sayur capcai dan gulai kacang tauco.” sahut Bao-can, Can-hui mengangguk, lalu suami istri itupun tidur.
Keesokan harinya Bao-can berangkat kesawah dengan dua temannya A-gou dan A-sin, sementara Can-hui menemui tetangganya untuk membeli dua ekor ayam, Can-hui membuat masakan istimewa, sebagaimana pesan suaminya, pekerjaannya selesai menjelang siang, setelah Can-hui menyiapkan segalanya, lalu Can-hui berkemas untuk mengantarkan makan siang untuk suaminya, dengan langkah ringan can-hui meninggalkan rumah menuju areal persawahan dibalik hutan kira-kira satu li dari desanya.
Can-hui memasuki hutan dengan tidak menduga apa-apa, walaupun sudah dua bulan ia tidak melewati hutan itu, lalu tiba- tiba ia dikejutkan dengan munculnya seorang lelaki tua bertubuh kate, dia adalah Lu-mo
“hehehe…mau kemana nyonya ?” sapa Lu-mo
“ih…lopek mengejutkan saya saja.” teriak Can-hui, Can-hui tanpa menggubris melewati Lu-mo, Lu-mo dengan muka nyengir mengikutinya dari belakang
“eh-lopek, kenapa kamu mengikuti saya ?”
“hehehe…” Lu-mo hanya tertawa dan tidak menjawab, Can-hui jadi takut
“mungkin orang ini orang gila.” Pikirnya
“pergi kamu ! jangan mengikutiku !” bentaknya
“hehehe…” melihat tawa itu makin merinding bulu roma Can- hui, lalu ia berbalik dan berlari
“ihh..orang gila…setan…to…tuk..” Can-hui terkejut ketika si tubuh kate sudah berdiri dengan berkacak pinggang didepannya, lalu ia menjerit dan mau minta tolong, namun tiba- tiba tubuhnya lemas dan lidahnya kelu.
Can-hui dengan pandangan takut melihat Lu-mo yang tertawa sambil mondar mandir disampingnya, lalu tiba-tiba Lu-mou membuka bajunya sehingga telanjang didepan Can-hui, jantung Can-hui makin berdetak kencang karena saking takutnya “hehehe..hehehehe…manis….kamu nikmati yah
hehehe..hehehe…” ujar Lu-mo sambil mengelus-elus wajah Can-hui, can-hui menjerit namun tidak ada suara yang keluar, tubuhnya sudah diremas-remas oleh tangan kasar dan pendek Lu-mo, lalu mempreteli pakainnya, Can-hui makin lemas dan jantungnya makin kencang berdetak saking takutnya akan hal yang menimpa dirinya, tangan kasar Lu-mo mengangkat kakinya yang telanjang dan merejangnya dengan brutal, Lo- mou meremas-remas perut Can-hui yang hamil yang berpacu dengan birahi iblisnya, Can-hui tidak berdaya, rasa takutnya sekarang bercampur dengan rasa sakit dan nyeri pada perutnya. Lu-mo melakukannya hingga ia merasa puas, dan sadisnya Lu- mo baring diatas perut buncit Can-hui, rasa sakit dan nyeri yang luar biasa mendera urat syaraf Can-hui, terlebih saat Lu-mo bangkit dari baringnya dan duduk diatas perutnya serta bergoyang sambil meremas-remas dadanya dengan nyengir gemas, rasa sakit yang melebihi takaran fisiknya membuat
Can-hui mati dengan mulut menganga sesak dan mata yang berair karena pedih dan nyeri yang bersangatan.
“hehehe..hahaha…” Lu-mo meninggalkan mayat Can-hui yang mati mengenaskan sambil tertawa.
“hmh..sudah lewat siang begini kok istriku belum datang yah ?” gumam Bao-can sambil bangkit dan menatap ke arah hutan “mungkin kondisinya yang hamil tidak dapat mengantarkan makan siang kita twako.” sela A-sin
“ya setidaknya dia bisa minta Bantu pada tetangga.” sahut Ba- can tidak enak hati pada dua temannya.
“begini saja, twako kembalilah kerumah menjemput makan siang kita.” sela A-gou
“baiklah, tunggu dan istirahatlah kalian disini, aku akan cepat untuk membawa makan siang kita.” sahut Ba-can, lalu berjalan cepat meninggalkan kedua temannya.
Saat melewati hutan, Ba-can berlari, dan sebentar lagi akan sampai ke jalan raya, ia melihat tubuh yang terbujur, ditengah jalan setepak
“hui-moi…!” jeritnya histeris sambil memeluk istrinya, ia menangis meraung melihat istrinya yang sudah jadi mayat, bahkan Bao-can pingsan, Bao-can siuman karena wajahnya disiram air oleh A-gou
“oh..istriku…uu….uuuu istriku apa yang terjadi ? kenapa kamu mati hui-moi..!?” jeritnya
“sudahlah twako, mari kita bawa mayat cici, tidak baik kita berlama-lama disini, karena hari juga sudah mulai petang.” ujar A-sin, lalu ketiganya mengangkat mayat Can-hui keluar dari hutan dan dengan buru-buru mereka menuju perkampungan.
Warga terkejut dan datang melayat kerumah Bao-can, peristiwa mengenaskan itu memmbuat gempar warga huaian, kematian Can-hui merupakan misteri, karena tidak ada satu petunjukpun yang mereka dapatkan tentang kematian Can-hui, dua hari kemudian mereka menguburkan mayat Can-hui, Lu-mo dari kejauahan menyaksikan pemakaman itu sambil senyum aneh.
Tiga hari setelah pemakaman Lu-mo melintasi hutan, dan saat malam tiba ia sudah sampai di daerah pemakaman warga, dengan tangannya yang pendek kekar menggali makam Can- hui, mayat Can-hui sudah rusak dimakan ulat dan berlendir busuk, namun bau itu tidak menggangu Lu-mo, dengan anteng ia menggendong mayat Can-hui dan berlari dengan cepat meninggalkan pemakaman menuju kediamannya jauh dibalik hutan dilembah dimana ia berdiam.
Saat malam sudah larut Lu-mo sampai kerumahnya, ia meletakkan mayat Can-hui disebuah meja diruang dapurnya, lalu tanganya mengeruk perut Can-hui dan mengambil janin Can-hui, janin itu dimasukkan ke wajan yang menggelegak, lalu Lu-mo menusuk dua buah paku di telapak kaki mayat Can-hui, cairan hitam busuk keluar dari bekas tusukan paku, Lu-mo menampung cairan hitam dan memasukkannya kedalam wajan, kemudian diaduk beberapa lama.