Pendekar Lengan Buntung Jilid 01

Jilid 01

Gunung Tiang-pek-san tengah diselimuti salju putih laksana tebaran kapas memutih bersih memancarkan sinar perak, tatkala matahari pagi membersitkan sinarnya hangat kemerah-merahan.

Udara pagi di puncak gunung itu sangat dingin sekali, meskipun matahari pagi sudah mulai mencairkan bungkahan-bungkahan salju yang bergumpal laksana permata yang dalam kristal tata warna yang indah sekali. Pantulan sinar matahari membersit merah jingga membayang dalam gumpalan salju yang menipis menutupi pepohonan dan rumput-rumput hijau menghampar di tanah.

Suasana demikian sunyi mati. Hanya sekali-sekali terdengar suara air terjun di sebelah barat menumpahkan air yang tak kunjung henti dan menerbitkan irama lagu di lembah sunyi. Amat tenang dan damai sekali suasana di tempat ini.

Jauh di sebelah sana terhampar sawah ladang menghijau dan di kaki bukit ini berduyun-duyun para petani telah mulai pergi ke sawahnya dan menyibukkan diri menggarap tanah pegunungan yang amat subur untuk ditanami. Mereka bernyanyi-nyanyi riang menyaingi kicau burung yang beterbangan meninggalkan sarangnya.

Embun menurun lambat dari puncak Tiang-pek-san. Salju mulai mencair merupakan tetesan air dingin membasahi pepohonan dan rerumputan menghijau segar. Serombongan burung belibis beterbangan di angkasa ketika suasana yang sunyi mati itu dipecahkan suara mendesing keras. Suara senjata beradu, disusul dengan suara nyaring dari seorang gadis remaja.

“Tiang suheng, mengapa sih kau keras kepala?”

“Sumoay!” terdengar orang yang dipanggil Tiang suheng oleh si gadis tadi, “Aku harus pergi, harap kau tidak menghalang-halangiku, kelak kita akan bertemu kembali.”

Sekali menggerakkan tubuhnya orang muda itu meloncat jauh dan berlari dengan amat cepatnya. Akan tetapi sekali si gadis mencelat iapun sudah berkelebat mengejar dan sebentar ia pula si gadis telah berdiri di depannya.

Segelintir air mata si gadis meleleh lewat ke dua pipinya. Dan tangannya yang kecil dan halus itu menghapus. Lalu memandang lagi ke arah suhengnya.

“Tiang suheng, jangan….. kau pergi……. jangan kau mengantarkan jiwa sia-sia,” terdengar suara si gadis itu terisak. Matanya basah oleh genangan-genangan air yang hendak pecah.

Terharu juga hati si pemuda yang dipanggil Tiang suheng oleh si gadis tadi. Ia melangkah maju dan memegang ke dua bahu si gadis.

“Sumoay, harap kau tidak menguatirkan keadaanku. Aku bisa menjaga diri. Biar bagaimanapun lihay seperti setan sekalipun aku tetap akan mencari musuh-musuh yang telah menghancurkan Tiang-pek-pay dan yang telah membunuh suhu. Aku akan mengadu nyawa dengan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay, dan Te-thian Lomo........!”

“Suheng kau gila, mana kau dapat menandingi mereka?”

“Biarlah sumoay, matipun tidak mengapa untuk demi bakti kepada Tiang-pek-pay dan arwah suhu yang masih penasaran ini!” Suara pemuda itu terdengar bersemangat. Dadanya yang bidang agak terangkat ke atas. Matanya bersinar-sinar.

“Suheng, kau ini sok pandai! Terlalu tekebur! Apa kau kira kau dapat menandingi mereka itu? Jangan tekebur suheng, kepandaian kita masih jauh untuk menuntut balas!”

“Sumoay…… apakah kita harus berpeluk tangan saja?”

“Bukan begitu suheng. Tentu saja kita harus menuntut balas, akan tetapi, sekarang ini belum waktunya. Kita harus tunggu susiok dari Hong-san dan belajar kepadanya.”

“Maaf sumoay, aku tak mau menanti susiok. Biarlah kalian tinggal menanti susiok dan belajar daripadanya. Kelak kita akan betemu lagi......!” berkata begitu pemuda itu membalikkan tubuhnya dan hendak berjalan. Akan tetapi, baru beberapa tindak ia melangkah tahu-tahu di belakangnya terdengar suara nyaring.

“Hahaha! Tiang Le…… kau memang besar kepala. Tidak bisa dibilangin sekali. Biarlah aku mengujimu…… sekiranya kau dapat menahan pedangku ini, boleh kau pergi meninggalkan Tiang-pek-pay!”

“Siiing!” terdengar suara pedang ditarik dari sarungnya. Terkejut sekali Tiang Le melihat bahwa di belakangnya mendatangi It-suheng dan jie-suheng. Dan orang yang berkata tadi adalah It-suhengnya yang bernama Liok Kong In, yang sudah berdiri di depannya dengan pedang terhunus.

“Liok Suheng…….!”

“Bagus Tiang Le. Setelah Tiang-pek-pay mengalami kehancuran, lantas kau hendak mabur?” tegur Liok Kong In, murid pertama dari Tiang-pek-pay.

“Liok suheng……, aku harus pergi.......”

“Pergi?” Liok Kong In mengerenyitkan keningnya.

“Betul suheng, aku harus pergi menuntut balas kematian suhu!”

“Tolol! Apa kau kira sudah cukup pandai dapat menandingi Bong Bong Siangjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo itu?”

“Aku tahu bahwa kepandaianku masih dangkal suheng, akan tetapi....... biarlah aku hendak mengadu nyawa dengan mereka!”

“Setan! Daripada kau mampus di tangan musuh lebih baik pedangku ini yang mencabut nyawamu. Tiang Le bersiaplah!” Pedang di tangan Liok Kong In berputar di atas kepala. Suara angin berdesing saking kuatnya putaran pedang itu.

“Suheng….. Liok Suheng….. aku…… aku tak ingin berkelahi….. biarkanlah aku pergi….. ahh!” Tiang Le gugup sekali melihat suhengnya yang pertama ini sudah menggerak-gerakan pedangnya.

“Lihat pedang!” Pedang di tangan Liok Kong In berkelebat menyambar leher Tiang Le.

Terkejut bukan main melihat betapa suhengnya ini benar-benar menyerangnya dengan jurus-jurus silat yang kuat dan ganas. Segera saja Tiang Le yang merasa segan untuk mengangkat pedang melawan suhengnya yang pertama ini, dengan mengandalkan kelincahan tubuhnya ia sudah mengelak ke sana ke mari menghindarkan sambaran-sambaran pedang Kong In yang bertubi-tubi menyerangnya.

Sementara itu, si gadis, yang mula-mula mencegat Tiang Le menjadi pucat wajahnya melihat betapa It-suhengnya benar-benar menyerang Tiang Le. Dengan gerakan cepat ia sudah menarik pedangnya dan menyerbu ke tengah arena pertempuran. Pedangnya menangkis pedang Kong In. Sehingga saking kuatnya dua orang muda ini mengadu pedang membuat sinar pedang berkeredepan muncrat laksana bunga api. Melihat betapa sumoaynya menahan pedangnya Liok Kong In menjadi panas hatinya.

“Sumoay, kau gila!”

“It-suheng, Kaulah yang gila dan sinting. Mengapa kau menyerang Tiang suheng?”

“Hemm, jadi kau hendak membelanya sumoay?”

“Bukan aku membelanya tapi aku tidak….... tidak suka melihat saudara seperguruan baku hantam seperti itu.”

“Dia keras kepala, patut dihajar, minggirlah!”

“Tidak suheng, tidak boleh kau menyerang!”

“Kau, apa hubunganmu dengannya?” Liok Kong In bertanya heran. Sementara hatinya jadi panas bukan main. Entah mengapa dia tak senang sumoaynya ini membela Tiang Le.

Tentu saja mudah diduga. Ia menaruh hati kepada sumoaynya yang bernama Lie Bwe Hwa, memang. Betul, Liok Kong In ini secara diam-diam telah menaruh hati kepada Bwe Hwa. Oleh sebab itulah tadi ketika ia melihat betapa Bwe Hwa menahan Tiang Le dan dilihatnya betapa intim hubungan keduanya, darah di dada Kong In hendak meledak rasanya. Ia sendiri sampai heran, kenapa ia menjadi marah kepada sutenya ini?

“Hwa-sumoay, kau…… jangan kau mencampuri urusanku…….!” Kembali Liok Kong In maju hendak menyerang Tiang Le. Akan tetapi tiba-tiba jie-suheng yang bernama Song Cie Lay telah maju menengahi.

“Sudahlah suheng……. tidak perlu dibuat ribut besar. Biarlah kalau Tiang Le sute hendak pergi meninggalkan Tiang-pek-pay, kita tak boleh menghalanginya…… mungkin dalam perantauannya itu Tiang Le sute akan mendapatkan pengalaman dan memperdalam ilmu silatnya……,” berkata Song Cie Lay.

Memang Song Cie Lay ini berwatak halus dan tidak seperti Liok Kong In yang berangasan dan sering panas hati. Diam-diam Tiang Le merasa berterima kasih kepada jie-suhengnya ini. Ia menoleh kepada Song Cie Lay dan tersenyum. Mengangguk kepada Lie Bwe Hwa, lalu tanpa bercakap apa-apa lagi ia telah berlari cepat menuruni pegunungan Tiang-pek-san.

Tiang Le berlari amat cepat sekali. Sengaja ia tidak memperlambat perjalanannya karena sesungguhnya ia tidak ingin kalau It-suheng nya yang berangasan itu mencegahnya lagi. Apabila ia sudah sampai di lereng bukit barulah ia memperlambat jalannya.

Pemandangan alam di sekitar pegunungan Tiang-pek-san ini indah sekali. Tidak lagi dipenuhi oleh salju yang dingin seperti di puncak. Di lereng ini banyak sekali pohon-pohon menghijau, sungai-sungai yang jernih dan air pancuran yang mengalirkan airnya yang tak kunjung habis. Di sini ini, betapa senang dan damainya. Pada jalan yang kecil ini, ia berjalan perlahan. Pandangan matanya terarah jauh ke muka.

Dari kejauhan terdengar suara kerbau menguak memecah kesunyian. Dan lagu seruling yang dimainkan anak gembala membuat Tiang Le menoleh ke samping kirinya. Ia melihat anak kecil yang asyik sekali menyuling sambil duduk di punggung kerbau yang berjalan lambat-lambat sambil merumput. Senang sekali hati si kerbau akan rumput-rumput yang gemuk di bawah kakinya. Sebentar-sebentar ia mengangkat kepalanya dan menguak. Tertunduk lagi. Merumput lagi.

Memang suasana di lereng bukit ini sangat indah sekali pemandangannya. Diam-diam Tiang Le mengagumi akan keindahan alam ini. Diam-diam ia memperhatikan si anak gembala menyuling. Diam-diam ia juga menyenangi suara kerbau menguak.

Memang sesungguhnyalah bahwa semuanya ini tidak berada di puncak. Di puncak hanya ada salju-salju yang bengumpal-gumpal. Tidak ada di sana kerbau merumput, atau kerbau meluku. Oleh karenanya tiada pernah terdengar suara kerbau menguak, apalagi suara seruling anak gembala. Tak ada!

Tiang Le termenung.

Tiang Le duduk di pinggir jalan kecil pada sebuah batu yang menonjol. Tiba-tiba namanya dipanggil seseorang. Suara itu merdu sekali. Suara seorang gadis.

“Tiang suheng…….!”

“Sian Hwa……!”

Tiang Le melihat bahwa yang memanggil namanya tadi adalah sumoaynya yang kedua, Liem Sian Hwa.

Gadis itu berjalan menghampirinya. Senyumnya yang cerah menghias sepasang bibirnya yang merah berkilat ditimpah cahaya matahari. Mata Liem Sian Hwa bersinar memandang Tiang Le.

“Tiang suheng, aku turut denganmu!”

“Sian Hwa…… mengapa kau ke mari?” tanya Tiang Le.

“Aku mau ikut kau suheng,” sahut Sian Hwa.

“Jangan Sian Hwa-moay, jangan kau ikut denganku.” Ah, Tiang Le mengeluh. Benar-benar sulit ia meninggalkan Tiang-pek-san ini. Baru saja ia tadi dihalang-halangi oleh suhengnya Liok Kong In dan Bwe Hwa. Sekarang datangnya lagi sumoaynya, Sian Hwa. Benar-benar membuat ia geleng-geleng kepalanya.

“Suheng aku mendengar dari suci Bwe Hwa katanya kau telah turun gunung hendak mencari musuh-musuh suhu, makanya aku cepat-cepat mengejarmu. Untung kau belum jauh dan aku dapat mengejarmu. Eh suheng yang baik hati bolehkah sumoaymu ikut denganmu?”

Tiang Le menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ia memandang sumoaynya. Menatap tajam.

“Sian Hwa-moay janganlah kau menghalang-halangiku!” suara Tiang Le perlahan. Ia sebenarnya tidak tega menyakiti hati Sian Hwa. Entah mengapa dengan Sian Hwa hatinya lemah. Dan sesungguhnya ada kegirangan hati waktu mendengar Sian Hwa hendak ikut dengannya, ada dirasakan kehangatan itu waktu gadis ini muncul di depannya. Tetapi tentu saja ia menyadari tak mungkin gadis ini ikut dengannya. Ia tahu benar bahwa jie-suhengnya yang bernama Song Cie Lay itu diam-diam mencintai Sian Hwa dan ia tidak boleh menyakiti hati jie-suheng.

Tak boleh.

Tiang Lee menggelengkan kepala.

Sian Hwa menghampiri, menyentuh lengan suhengnya. “Seeer!” darah di tubuh Tiang Le berdesir mengeluarkan gejolak hati, waktu lengannya disentuh tangan halus Sian Hwa. Gila! Tiang Le berteriak dalam hati. Tak boleh terjadi. Tak boleh terjadi! Tak boleh. Tak boleh aku berperasaan dengan sumoay!

'Tiang suheng, aku ikut ya?” Sian Hwa merajuk.

“Jangan sumoay!”

“Mengapa suheng?” kini Sian Hwa menatap Tiang Le.

Tiang Le melihat tatapan sinar mata gadis begitu sayu dan lembut, dan apabila setetes air bening itu melonjak antara kedua pipi si gadis. Ingin sekali ia mengangkat tangan ini dan menggerai-gerai menghapusi lembut pipi-pipi yang basah itu.

“'Sumoay…... jangan kau memberatkan hatiku. Jangan kau menangis...... ah,” Tiang Le mengeluh. Hatinya merenyuh. Ingin sekali saat itu ia menghibur sumoaynya ini. Memeluknya erat-erat. Dan mengatakan: jangan kau menangis sayang....... jangan membuat hatiku susah.

Akan tetapi Tiang Le berkata:

“Pulanglah sumoay…... kembalilah ke puncak. Tentu suheng-suheng akan mencari-carimu!”

Sian Hwa menggelengkan kepalanya. Sementara air matanya bertambah bersari-sari bertambah lembab tatapan mata itu, bertambah basah……

“Tidak!”

“Sumoay!”

“Tiang suheng aku tak mau kembali ke puncak, kalau kau pergi aku juga harus turut bersamamu.”

“Sian Hwa-moay jangan memberatkan perjalananku…...., jangan membuat hatiku bimbang.”

“Tiang Le! Apakah aku ikut denganmu lantas memberatkan kakimu? Apakah aku minta digendong? Aku bisa jalan sendiri aku punya kaki!” Kini Sian Hwa membanting-bantingkan kakinya. Air matanya bertambah bercucuran.

“Celaka!” teriak Tiang Lee, kalau sumoaynya ini berbuat demikian susahlah untuk mencegahnya. Ia tahu sumoaynya ini keras hati. Apalagi kekerasan hatinya disertai air mata, mampus ia. Mana Tiang Le tega untuk membiarkan sumoaynya berbuat demikian. Ia pusing tak tega melihat wanita menangis. Paling takut! Tiang Le, kau lemah hati!

“Sumoay…... sudahlah, jangan begitu. Baiklah kalau kau masih bertekad untuk mengikutiku. Bolehlah! Tapi ingat Sian Hwa-moay, mengikutiku....... tidak sama tinggal di puncak. Kau akan mengalami banyak kesusahan dan kesengsaraan, Hwa-moay,” berkata Tiang Le, memegang kedua bahu Sian Hwa.

Tiba-tiba Sian Hwa tersenyum. Manis sekali senyum gadis itu di antara deraian air mata yang masih melencah-lencah lincah. Terkesiap juga Tiang Le. Aneh memang sumoaynya ini, sebentar marah-marah dan menangis, sebentar tersenyum dan tertawa.

“Terima kasih Tiang koko,” Ia tidak menyebut Tiang suheng lagi. Akan tetapi sebutan barusan betapa mesranya terucap dari ke dua belahan bibirnya Sian Hwa dan Tiang Le menyadari ini. Tanpa berkata apa-apa lagi ia menarik tangan Sian Hwa seraya berkata: “Hayo kita berangkat sekarang!”

Maka kedua orang itu berjalanlah perlahan dan lambat-lambat menyusuri tepian jalan kecil di lereng gunung. Indah sekali pemandangan ini dirasakan oleh Tiang Le. Segala yang dilihatnya itu sekalian alam ini menyambutnya dengan senyum berseri-seri.

Mega mendung di puncak menurun lambat. Sementara matahari di atas kepala mulai tersapu awan hitam yang menutupi. Seekor kerbau berlalu menyilang di depannya. Menguak panjang membawa seorang anak gembala yang tadi meniup suling.

Burung-burung di atas berterbangan rendah.

Tiang Le berjalan di samping kiri Sian Hwa.

“Sian Hwa-moay kita harus mempercepat...... Lekaslah, sebentar lagi tentu hujan akan turun.” Tiang Le menyangga tangan si gadis. Sian Hwa mempererat pegangan tangan itu.

“Hayolah Tiang koko, kita mencari tempat berteduh,” sahut Sian Hwa menyentak tangan itu.

Tiang Le menoleh.

Ingin sekali ia bertanya, Sumoay, mengapa kau menyebut Tiang koko (kanda Tiang) mengapa tidak Tiang suheng? Akan tentu saja Tiang Le tak sempat menanyakan itu karena titik hujan sudah terasa jatuh menimpah mukanya.

Di atas awan hitam sedang memberat hendak jatuh.

“Sian Hwa-moay..... sudah mulai hujan cepatlah!” seru Tiang Le dan ke duanya berlarian di pematang persawahan itu. Hujan tiba-tiba menderas. Kilat dan guntur menggelegar.

Kini ke dua-duanya menjadi basah kuyup. Tempat berlindung tidak ada di tengah-tengah pesawahan yang luas itu. Sementara hujan semakin menggila. Menghempas tubuh ke dua orang muda yang tengah berlari-lari mencari tempat untuk berteduh. Di sebelah depan nampak kabut putih bergulung-gulung, petir menyambar tiga kali mengejutkan Sian Hwa.

“Koko…….!”

“Hwa-moay…....” Tiang Le memeluk tubuh sumoaynya yang telah basah kuyup. Kasihan sekali hatinya melihat sumoaynya sudah menggigil kedinginan. Wajahnya biru.

Sebuah petir menyambar lagi berkeredep menerangi alam yang tertutup kabut. Di antara keredepan kilat itu, Tiang Le berteriak girang “Hwa-moay...... di sana itu ada sebuah pondok, hayo kita ke sana!”

Tiang Le menarik tangan Sian Hwa. Benar saja ada seratus meter mereka berjalan di depan itu, di tengah, pematang sawah, sebuah pondok tua terdapat di situ. Berkereot hendak rubuh pondok itu dipermainkan angin kencang yang bertiup membawa deraian air hujan.

Tanpa memperdulikan keadaan pondok yang hampir rubuh itu Tiang Le dan Sian Hwa memasuki ke dalam. Setelah Tiang Le meneliti, legalah hatinya karena pondok itu cukup tahan dari serangan angin dan tak mungkin rubuh. Di dalamnya cukup lega. Berukuran empat persegi dan di sana terdapat sebuah dipan kayu dan banyak jerami terdapat di kolong dipan itu.

Kini, di sini ini mereka terhindar dari serangan angin dan hujan yang menggila bagai dicurahkan dari langit. Melihat Sian Hwa menggigil pucat, segera Tiang Le mengambil seunggukan jerami kering dan sebentar pula pondok itu sudah menyala api unggun yang menjilat di tengah-tengah ruangan pondok. Merasa hawa panas dan segera Sian Hwa mendekati api unggun itu. Tiang Le tertawa sambil mengusap tetesan air hujan yang meleleh di pipinya dan menggeraikan rambutnya yang basah.

“Hwa-moay……. inilah kesengsaraan pertama. Senangkah kau?”

Di antara cuaca yang diterangi cahaya api unggun yang menjilat-jilat terhembus angin, Sian Hwa tersenyum. Manis sekali senyum itu.

“Tiang Le koko....... denganmu, aku begitu pasrah. Janganlah hujan lebat seperti ini, biarpun api neraka yang membakar tubuhku, asalkan beserta dengan engkau, aku akan bahagia sekali Tiang koko,” suara si gadis itu tergetar menandakan suatu perasaan hati yang menggejolak.

Tiang Le terkesiap. Betulkah itu perkataan yang keluar dari bibir Sian Hwa? Oh alangkah indahnya menyentuh-nyentuh liang hati yang kosong ini. Sudah lama ia mendambakan kata seperti itu yang keluar dari mulut sumoaynya. Sudah lama sekali. Tapi baru sekarang ini sumoaynya mengutarakan secara blak-blakan.

Dirasakan ada sesuatu perasaan hangat di hati Tiang Le. Bukan perasaan hangat yang memancar dari api unggun di depannya itu. Melainkan perasaan hangat yang membawa bahagia waktu gadis di depannya itu berkata: “Tiang Le koko....... dengan aku begitu, jangankan hujan lebat seperti ini, biarpun api neraka yang membakar tubuhku, asalkan beserta dengan engkau, aku akan bahagia sekali, Tiang Koko!”

“Sumoay, Hwa moay-moay mengapa begitu, mengapa di dekatku engkau bahagia?” tanpa sadar Tiang Le bertanya begitu. Ingin sekali ia mendengar perkataan indah seperti tadi. Ingin sekali. Lama ia menanti.

“Koko, sejak pertama kali kau datang di puncak Tiang-pek itu. hatiku sudah terpaut denganmu, aku mencintaimu koko!”

“Moay-moay (adinda)……!”

“Koko, aku tahu bahwa kaupun mencintaiku, pandanganmu itu yang mengatakannya kepadaku, sikap-sikapmu yang aneh itulah yang membuat aku yakin bahwa kau cinta kepadaku koko. Katakanlah bahwa kau cinta padaku…… legakanlah hatiku, koko!” hampir saja suara Sian Hwa menangis saking tak dapat ia mengendalikan perasaan hati. Matanya begitu sayu memandang Tiang Le.

Sebuah kilat menyambar berkeredep menerangi wajah sayu itu. Tiang Le meletakkan jarinya di atas pipi yang basah. Tanpa disadari kedua tangannya itu merangkul Sian Hwa. Dan bagaikan ada tenaga magnit yang kuat luar biasa, tangan si gadis membalas pelukan Tiang Le. Ke dua-duanya kini saling berangkulan.

Hujan bertambah menggila.

Langit di atas begitu muram. Diberati oleh awan-awan hitam berkejaran menutupi alam ini. Suara angin dan hujan meningkah menyaingi guntur yang menggelegar hendak memecah bumi. Sesosok tubuh manusia menggigil di luar pondok itu. Tubuh seorang gadis remaja yang tengah basah kuyup ditimpa butir-butir hujan yang merupakan peluru-peluru yang menimpah kepala dan tubuh gadis itu. Tubuhnya menggigil.

Bukan menggigil karena dinginnya hujan. Akan tetapi ia menggigil melihat pemandangan di dalam pondok itu. Pamandangan yang membuat hatinya membara.

Lama gadis itu berdiri di luar pondok itu mematung, sementara matanya bercucuran menjadi satu dengan air hujan yang menimpahi wajahnya.

Kemudian dengan bentakan keras ia menerjang maju dengan pedang yang sudah terhunus di tangan. Pedang itu menggigil. Meluncur dengan amat cepatnya menyambar tubuh Tiang Le dan Sian Hwa yang tengah tenggelam dalam gelombang asmara yang mengombang-ambing!

“Siiing!” Bagaikan disengat ular berbisa, tubuh Tiang Le mencelat ke atas membobolkan atap pondok dan ke dua-duanya itu terguling di tanah yang menggenang air.

Begitu Tiang Le membalikkan tubuh dan berdiri, ia menjadi terkesiap. Kaget, melihat sumoaynya yang pertama itu sudah menerjangnya lagi dengan gerakan-gerakan jurus ilmu pedang yang dahsyat.

“Bwe Hwa tahan!” bentak Tiang Le mencelat ke kiri menghindarkan sambaran pedang yang amat kuat itu. Air hujan memercik tersambar pedang di tangan Bwe Hwa. Dada si gadis turun naik saking hebatnya, kawah apa itu hendak meletus dikungkungi api cemburu yang membuta.

“Tiang Le, kau..... manusia binatang! Bilang mau mencari musuh, tidak tahunya kau menggoda sumoay di sini. Kau memang berhati palsu!” Pedang di tangan Bwe Hwa menyambar lagi. Hebat sekali sambaran dari jurus-jurus Tiang-pek-kiam-hoat ciptaan gurunya ini. Akan tetapi menghadapi Tiang Le yang sudah mengenal baik akan ilmu pedang itu, dengan mudah saja ia mengelak, dengan menonjolkan tubuhnya ke belakang, mata pedang itu lewat di depan dadanya. Dan sekali tangan Tiang Le bergerak, siku Bwe Hwa telah tertotok dan menjadi lumpuh seketika itu juga.

Melihat ini Sian Hwa menghampiri sucinya.

“Suci…….!”

Bwe Hwa mendengus marah. Matanya berapi memandang Sian Hwa dan Tiang Le. Dadanya cemburu.

“Sian Hwa, bagus sekali perbuatanmu. Jie-suheng Song Cie Lay menanti-nantimu dan mencari setengah mati, sedangkan kau disini enak-enakan berpacaran dengan sam-suheng, ah......... kepingin aku tahu bagaimana sikap jie-suheng melihat engkau berpelukan seperti itu dengan sam-suheng. Benar-benar perempuan rendah, tak tahu malu.”

“Suci....... apa maksudmu, mengapa kau berkata begitu?” tanya Sian Hwa pucat wajahnya.

“Hi hi hik…... apa kau berlagak pilon Sian Hwa? Apa aku tidak tahu kalau jie-suheng itu mencintaimu? Kepingin sekali aku melihat jie-suheng mengamuk melihat pacarnya berbuat serong terhadap laki-laki lain!”

“Bwe Hwa!” Tiang Le membentak.

“Hmm! Tiang Le, kau juga sama berhati palsu, mampuslah kau!” kali ini Tiang Le menjadi terkejut sekali, mengapa dalam sekejap saja totokannya tadi pada siku Bwe Hwa telah terbebas. Tak dapat berpikir lama-lama ia karena pedang di tangan Bwe Hwa sudah mengamuk dengan sengit menyerang Tiang Le.

“Suci, jangan kau berkelahi suci!” berkali-kali Sian Hwa menjerit-jerit memisahkan ke dua orang suheng dan sucinya itu. Angin bertiup sangat kencang sekali dibarengi suara petir yang masih berkeredepan di angkasa gelap.

Limapuluh jurus sudah Tiang Le melayani sumoaynya ini. Tak mau ia mengangkat pedang, ia mengelak terus ke kiri ke kanan mundur ke belakang. Sepuluh meter di belakangnya itu mengalir deras sebuah sungai yang meluap airnya.

Melihat Tiang Le mundur-mundur dan tidak balas menyerang, bertambah panas hati Bwe Hwa. Pedangnya dengan sengit menyambar-nyambar berkeredep mencari sasaran di tubuh Tiang Le.

Heran sekali. Mengapa ia begitu sengit sekarang terhadap suheng ini? Tak tahu ia, kini api cemburu telah membuat ia mata gelap. Pikiran sehatnya telah lenyap terselubung oleh pemandangan yang barusan menusuk-nusuk hatinya. Pemandangan di mana Tiang Le dan Sian Hwa berpelukan.

“Keparat? Keluarkan pedangmu! Lawanlah aku, jangan mengelak begitu,” Bwe Hwa membentak. Memainkan pedangnya dengan sengit.

“Bwe Hwa sumoay....... aku tidak ingin berkelahi. Sudahlah hentikan!”

“Keparat! Manusia sombong, apa kau kira aku tidak dapat mengalahkanmu? Lihat pedang!”

“Singgg!”

“Suci…..!” Sian Hwa menerjang ke tengah-tengah dan menangkis pedang Bwe Hwa. Bertambah panas hatinya, ia mendelik memandang sumoaynya.

“Sian Hwa……. kau hendak membela dia?”

“Jangan kau menyerang dia suci…... sudahlah jangan bertempur.......!” suara Sian Hwa memohon. Ia memandang sucinya dengan air mata basah.

“Sian Hwa….. apa…... apakah kau….. mencintai Tiang Le?” tiba-tiba Bwe Hwa bertanya. Matanya tajam menusuk. Seakan-akan hendak menembus jantung hati sumoaynya.

Sian Hwa tertegun sekali melihat sucinya yang mengajukan pertanyaan yang aneh kedengarannya ini. Ia terdiam. Tertunduk.

“Katakanlah Sian Hwa, jujurlah kepadaku. Apakah kau mencintai Tiang Le?” sekali lagi Bwe Hwa bertanya.

Tentu saja melihat bahwa sucinya ini berbicara dengan serius, maka Sian Hwa juga hendak menunjukkan keseriusan itu. Meskipun hatinya tak enak untuk berterus terang di depan sucinya ini. Ia tahu betul. Ia tahu betul. Bahwa sucinya ini mencintai Tiang Le, tak heran kalau barusan sucinya ini ngamuk dan kalap oleh karena di dalam pondok tadi ia dan Tiang Le berpelukan. Sebetulnya tak tega ia menyakiti hati sucinya. Akan tetapi ia juga mencintai Tiang Le, mencintai sam-suhengnya itu.

Maka katanya:

“Betul suci…… aku….. mencintai Tiang Le……..”

Berkilat mata Bwe Hwa. Sebuah belati menghujam ulu hatinya. Teramat perih dan pilu. Ia memandang tajam ke arah sumoaynya dan melihat betapa mata Sian Hwa menjadi basah. Lulu hatinya. Ia tersenyum pahit.

“Bagus Sian Hwa..... mudah-mudahan kau bahagia dengan dia.....” berkata demikian Bwe Hwa menghampiri Tiang Le dan memeluknya. Terasa dadanya menjadi hangat oleh deraian air mata si gadis yang basah menembus baju di bagian dada.

Suara Bwe Hwa terisak.

“Tiang suheng…… maafkanlah aku!”

Tiang Le memeluk. Membalas pelukan Bwe Hwa. Legalah hatinya bahwa Bwe Hwa tidak kalap. Ia menarik napas panjang. Matanya terpejam. Setitik matanya membasah.

“Sumoay….... akulah yang harus minta maaf kepadamu…….!”

Sebuah petir menyambar. Berkeredep di udara. Dan Tiang Le kaget setengah mati. Sebuah sinar perak menyambar lehernya. Tak keburu ia menangkis, dalam keadaaan kegugupannya itu, ia lalu miringkan lehernya.

“Cep! cep! Srattt!” Tiga kali ujung pedang itu membabat pundak kanan Tiang Le, darah merah mengucur deras dari lengan yang sudah buntung sebatas pundak. Sebuah tangan manusia menggeletak di kaki kanan Tiang Le.

Dan Tiang Le terhuyung mundur dua tindak. Mundur ke belakang. Matanya membelalak memandang Bwe Hwa. Rasa sakit yang berdenyut-denyut pada lengan kanannya membuat kepalanya berputar-putar, ia manjerit lirih. Dan roboh pingsan.

“Suci…… kau....... kau gila!” Sian Hwa membentak, menerjang dengan pedangnya, membacok dengan gerak tipu Batu Gunung Menimpah Jurang. Bacokan ini hebat sakali dan demikian tepatnya, sehingga tak mungkin dielakan lagi. Terpaksa Bwe Hwa menangkis dengan pedangnya yang berlumur darah merah.

“Trang……!” bunga-bunga api berpijar dan Sian Hwa merasa tangannya bergetar hebat.

“Suci…… kau terlalu….. kau begitu tega membuntungi lengan suheng secara pengecut. Biarlah aku mengadu nyawa denganmu!” suara Sian Hwa bergelombang saking marahnya. Air hujan menghempas wajahnya yang sudah membara.

Di antara renyaian air hujan itu, Bwe Hwa tertawa.

“Sumoay...... kau tahu, sam-suheng amat angkuh dan sombong, dia selalu tidak mau melayani pedangku. Nah, sekarang puaslah hatiku. Aku bisa menaklukkannya. Membuntungi lengan kanannya. Kepingin aku tahu, setelah lengannya buntung, apakah dia bisa menarik pedang?”

“Kau sudah gila....... kau sudah gila, kumampusi kau!” Kini Sian Hwa menerjang maju. Matanya berapi-api memandang sucinya. Pedangnya bergetar-getar. Mendesing-desing menebas butir-butir air hujan yang masih merenyai. Suara pedang berkali beradu, mengeluarkan sinar perak dan kadang-kadang disertai dengan makian dari Sian Hwa yang sudah panas hati.

“Kumampusi kau....... perempuan berhati iblis. Rebahlah!” Dengan seruan ini Sian Hwa kembali menyerang dengan pedangnya dan kali ini ia menggerakkan pedangnya secara luar biasa, ilmu pedang Tiang-pek-kiam-sut yang sudah mahir di tangan gadis ini. Akan tetapi menghadapi sucinya, yang juga mahir dengan jurus-jurus ilmu pedang tersebut, dengan mudahnya saja ia melayani amukan Sian Hwa.

“Bagus Sian Hwa....... kau hendak membalas kebuntungan lengan kekasihmu. Boleh, boleh! Asal kau bisa merobohkan aku!”

“Kau manusia kuntilanak, ku penggal lehermu, kucincang lenganmu.......?” Sian Hwa memekik-mekik kalap.

Hujan masih turun.

Ke dua orang gadis yang tengah bertempur itu tak menghiraukan lagi air sungai yang sudah meluap. Tak menghiraukan lagi akan air sungai yang sudah menyerbu ke duanya, membanjiri ke dua kaki sebatas betis si gadis. Air di bawah betis menggelombang-gelombang. Rumput-rumput dan sawah-sawah yang menghijau sudah terlanda banjir.

Udara gelap sekali.

Pada saat itu berkelebat dua sosok bayangan. Langsung menyerbu ke dua gadis yang tengah bertempur. Terdengar suara pedang beradu keras dan disertai bentakan-bentakan mengguntur dari Liok Kong In, yang memang berwatak berangasan itu.

“Sian Hwa…... kau sudah gila, mengapa kau menyerang Hwa-moay dengan kalap begitu?” tegur Liok Kong In.

“Bwe Hwa....... kau, kenapa bertempur dengan Sian Hwa moay?” Song Cie Lay juga bertanya.

Anehnya, Kong In tidak menegur Bwe Hwa tapi ia menegur Sian Hwa sedangkan Song Cie Lay menegur Bwe Hwa. Memang aneh di antara ke empat orang muda ini. Sebetulnya Liok Kong In mencintai Bwe Hwa sedangkan Song Cie Lay menaruh hati kepada Sian Hwa. Akan tetapi anehnya, di hati kedua gadis itu malah lebih condong kepada Tiang Le?

“It-suheng, suci ini sudah gila. Masa ia membuntungi lengan suheng Tiang Le…….” berkata Sian Hwa kepada Liok Kong In, matanya melirik di mana tadi tubuh Tiang Le menggeletak. Akan tetapi betapa terkejutnya Sian Hwa melihat bahwa tempat yang di mana tadi tubuh Tiang Le menggeletak kini telah mulai digenangi air sebatas betisnya.

Dan di situ tidak nampak Tiang Le. Wajah gadis itu menjadi pucat sekali.

“Celaka……!” hanya perkataan itu yang ke luar dari mulut Sian Hwa. Wajahnya pucat seperti mayat.

Air hujan menempas wajah yang pucat itu.

“Kenapa Sian-moay…... apa yang terjadi dengan Tiang Le?” Song Cie Lay bertanya heran, menatap gadis di depannya itu. Nampak di wajah Sian Hwa bayang-bayang kecemasan meliputi hatinya. Tiba-tiba ia membentak kepada Bwe Hwa.

“Suci……, gara-gara engkaulah sam-suheng lenyap, mungkin hanyut terbawa air sungai itu. Kau memang terlalu suci!” suara Sian Hwa tenggelam dalam isaknya. Bergerak cepat menusukan pedangnya ke arah Bwe Hwa.

“Sian Hwa…… tahan!” Kong In membentak.

“Jangan berkelahi, Sian Hwa.......” berkata pula Song Cie Lay.

Kedua gadis perkasa ini sama memandang.

Tiba-tiba mata Bwe Hwa mengalir segelintir air mata. Pandangannya telah menatap Sian Hwa. Suaranya perlahan sekali waktu ia berkata:

“Sian Hwa....... kita sama....... sama bersalah, maafkanlah aku kalau engkau kehilangan Tiang Le……” sekali berkelebat tubuh Bwe Hwa sudah mencelat jauh dan berlari dengan amat cepatnya.

Liok Kong In pucat wajahnya.

“Sian Hwa……. apa sebenarnya yang terjadi?”

“It-suheng, Bwe Hwa…… telah membuntungi lengan Tiang Le….. lihat....... darah Tiang Le…..” Sian Hwa menunjuk, tampak di sebelah sana darah merah menggenang di atas air membanjir.

“Ahhh……” Liok Kong In mengeluh. Dan sekali ia berkelebat, pemuda itu sudah mengejar Bwe Hwa.

“Sian-moay……,” Song Cie Lay menegur Sian Hwa yang masih termangu menatap darah yang mengambang di situ. Pandangannya menyusuri sepanjang sungai yang tengah meluap itu.

“Mungkinkah Tiang Le hanyut terbawa air sungai ini?” Sian Hwa mengeluh perlahan. Air matanya bercucuran lewat ke dua pipinya yang sudah basah oleh air hujan. Rambutnya berderai kuyup basah. Wajahnya pucat sekali.

Hujan turun meranyai.

Song Cie Lay melangkah. Mendekati Sumoaynya dan berkata: “Hwa-moay…… marilah kita kembali ke puncak.........”

Dengan pandangan basah Sian Hwa menggelengkan kepalanya. Hatinya tengah merenyuh kala itu. Seperti langit yang tengah menangis mencucurkan ait matanya berderai-derai.

“Jie-suheng…… aku tak akan kembali ke puncak, aku harus meninggalkan Tiang-pek-san, aku harus mencari Tiang Le…..” Tak tahu ia bahwa perkataannya barusan itu menikam ulu hatinya Song Cie Lay.

Pemuda itu terperanjat.

“Sumoay…….!”

“Jie-suheng....... kita harus berpisah, aku…... aku harus turun gunung….. dan kau….. kau….. kau kembalilah ke puncak menanti susiok,” kata Sian Hwa dengan perlahan. Ia menatap ke langit yang mendung, kemudian beralih ke air sungai yang bergelombang. Memandang sayu.

“Aku tak akan kembali ke puncak, aku harus mendampingimu…..!!” Song Cie Lay berkata, menatap sayu si gadis.

Terkejut sekali Sian Hwa.

Ia menoleh.

“Tidak suheng….. tidak boleh kau ikut bersamaku, aku harus mencari Tiang Le dan setelah itu aku akan mencari musuh-musuh dari suhu kita……”

“Aku akan membantumu, Sumoay?”

“Jangan suheng.......”

“Sumoay.......”

“Suheng!”

Dua tatapan mata saling beradu. “Yang satu memandang dengan pandangan sayu dan penuh cinta kasih dan yang satu lagi, mata Sian Hwa menatap penuh permohonan.

Lama keduanya seperti itu.

“Sumoay…... apakah....... kau mencinta Tiang Le?” Song Cie Lay, bertanya. Sebuah pertanyaan yang menyentuh di hati gadis itu.

Angin dingin bersepoi basah.

Sian Hwa menarik napas dalam.

“Suheng....... aku memang benar mencintai Tiang Le, mencintai dengan seluruh jiwa raga. Harap kau maafkanlah aku…..,” suara Sian Hwa terisak. Tak tahan ia lebih lama di situ dan dengan sekali berkelebat Song Cie Lay sudah kehilangan gadis sumoaynya itu.

Bersamaan dengan perginya Sian Hwa.

Song Cie Lay merenung seorang diri di situ. Hatinya pilu bukan main melihat kenyataan ini. Kini menjadi kenyataanlah sudah bahwa apa yang ia kuatirkan menjadi bukti. Tadinya ia hanya menduga-duga saja.

Akan tetapi bayangan itu sudah menjadi nyata. Seperti apa yang dia kuatirkan terbukti sudah. Sian Hwa mencintai Tiang Le, oh, tiada kepedihan lain hati itu selain kehilangan seorang kekasih. Segala impian-impian muluk menjadi pudar sudah, seperti pudarnya awan hitam yang telah terbawa angin di atasnya.

“Sian Hwa……” Song Cie Lay mengeluh panjang menyebutkan nama seorang gadis yang barusan saja meninggalkan dirinya. Lalu dengan langkah-langkah gontai ia berjalan.

Berjalan amat perlahan. Suara-suara air di kakinya mengericak. Setitik dua air hujan menerpa-nerpa wajahnya yang kuyup.

Ia berjalan menuju ke puncak.

Amat perlahan langkahnya. Amat perlahan. Entah kapan ia sampai di puncak Tiang-pek-san itu. Kalau tadi ia menuruni puncak itu dengan ilmu lari cepat bersama suhengnya Liok Kong In, kini tak mau ia cepat-cepat sampai ke puncak.

Tak mau ia memperdulikan keadaan di sekelilingnya yang penuh kabut tebal menghalangi jalan. Udara lembab dan basah. Tak perduli ia akan pakaiannya yang basah kuyup, tak perduli rambutnya acak-acakan seperti setan kesiangan. Tak perduli akan semuanya!

Hanya hati itu yang menjerit-jerit.

Hati yang merenyuh.

Pandangannya nanar ke depan. Sekelumit bayangan wajah yang selama ini merajai impiannya membayang di depan. Wajah Sian Hwa. Dan hati itu menangis. Dan hati itu mengungkapkan sebuah senyum yang teramat pahit. Dan jiwa yang kosong itu berteriak, “dia tidak mencintaiku…… dia tidak mencintaiku……!”

Tak tertahankan hati yang merenyuh itu, maka menangislah Song Cie Lay. Menangis sekuat-kuatnya, tak ada yang mendengar dan tidak ada yang memperdulikan. Oleh sebab itulah, dia menangis, sebentar kemudian tertawa, menangis lagi.

Ah Cie Lay, kasihan kau!!

Memang itulah yang terbaik. Dengan menangis orang akan kehilangan sebagian dari penderitaan. Dengan menangis sedikit kepedihan hati itu dapat dilupakan!

Pegunungan Tiang-pek-san penuh dengan puncak-puncak yang tertutup salju, dan di mana-mana terdapat gumpalan-gumpalan es. Melalui daerah ini orang harus berhati-hati. Hampir saja Cie Lay menemui bencana ketika dia meliwati sebuah sungai es yang lebar. Permukaan sungai itu nampak mengkilap laksana tebaran perak, yang mencerminkan langit membiru di atas. Cie Lay berjalan perlahan, ia tak memperdulikan dingin yang luar biasa menyelusup, dia tidak memperdulikan tubuhnya yang sebagian menjadi kaku karena hawa dingin yang luar biasa menyerangnya!!

Ketika ia hampir sampai di puncak Tiang-pek-san yang tertinggi dari pegunungan Tiang-pek-san, dari jauh ia melihat seorang berpakaian putih tengah berjalan dengan perlahan-lahan, dan ia dibantu dengan tongkatnya yang panjang.

“Apakah yang berjalan itu susiok dari Hong-san?” pikir Cie Lay dan mempercepat langkah kakinya.

Setelah ia dekat dengan kakek itu, Cie Lay melihat seorang kakek yang sudah tua sekali. Rambutnya telah putih, tipis dan jarang, tertutup kain pembungkus rambut yang dibungkusnya pada kepala menutupi ke dua telinga untuk mencegah serangan angin dan hawa dingin. Muka kakek itu sudah penuh keriput berkulit putih dan hanya sepasang matanya saja yang memperlihatkan kehidupan, karena matanya masih tajam berpengaruh.

Jenggot dan kumisnya tergantung ke bawah seakan-akan tidak bertenaga lagi, seperti juga tubuh yang kurus dan lemah. Benar-benar seorang yang sudah lanjut usianya dan jalannyapun sudah kerepotan kalau tak dibantu tongkatnya.

Dengan gerakan yang amat tenang, kakek itu menoleh dan menatap wajah Song Cie Lay, untuk beberapa lama tidak segera menegur karena ia amat teliti dan tidak mau sembarangan membuka suara sebelum yakin mengenali betul siapakah adanya anak muda di depannya ini.

“Orang muda...... kau siapakah?” terdengar kakek itu menegur. Suaranya halus dan teratur susun kata-katanya. Pandangan matanya menatap tajam.

Cie Lay terkejut sekali melihat pandangan mata yang menusuk itu.

“Locianpwe….. boanpwe (saya yang rendah) adalah murid kedua dari suhu Swie It Tianglo yang telah binasa di tangan Bong Bong Sianjin, Sianli Ku-koay dan Te-thian Lomo. Tak tahu apakah locianpwe susiok dari Hong-san?”

Song Cie Lay maju memberi homat dengan sopan sekali. Ia tahu bahwa orang ini, bukan kakek biasa….. tatapan mata tadi sangat tajam dan menyembunyikan kekuatan sin-kang yang telah mencapai tingkat tinggi, maka ia menduga, tentu orang tua inilah susioknya.

Dan benar saja seperti dugaannya.

Kakek itu benar dari Hong-san.

“He he he…… tepat sekali dugaanmu orang muda, aku yang tua bangka ini memang dari Hong-san. Siapa kira kalau di Tiang-pek-pay ini sunyi mati. Ke mana yang lain, dan siapa namamu?”

“Teecu Song Cie Lay…... maafkan, semua murid-murid sudah binasa, hanya tinggal teecu dan ke empat murid yang masih hidup……”

“Mana saudara-saudaramu yang lain, baru saja aku ke Tiang-pek-pay...... tiada seorangpun yang menyambutku!” suara si kakek terdengar tenang.

“Susiok, ke empat suheng dan sumoay…… barangkali telah turun gunung…..” suara Cie Lay perlahan sekali. Dan ini tak lepas dari pandangan si kakek dari Hong-san.

“Namamu Song Cie Lay bukan? Nah, ceritakanlah mengapa ke empat murid Swie It Tianglo turun gunung dan ceritakan pula kejadian-kejadian di sini….. aii….. tidak disangka siang-siang Swie It telah menemui ajalnya…..,” berkata begitu si kakek dari Hong-san berjalan menuju puncak. Cie Lay mengikuti di belakang.

Diam-diam ia merasa kagum sekali melibat langkah-langkah yang demikian ringan dari si kakek. Nampak kaki yang tua kurus kering itu seakan-akan melayang-layang tak menginjak tanah, hanya jubah pakaiannya itulah yang berjuntaian menyentuh tanah.

Kagum hati Cie Lay. Kakek ini amat tua sekali, tentu umurnya tidak jauh dari tujuhpuluh tahun, ia itulah adik seperguruan dari Swie It Tianglo, meskipun ia hanya sute dari Swie It Tianglo akan tetapi kepandaian kakek ini jauh di atas Swie It Tianglo, suhengnya, tentu saja kakek pertama ini yang tinggal di puncak Hong-san, selalu melatih diri dan di tempat yang sunyi itu, di puncak Hong-san ia telah menciptakan sebuah ilmu silat yang hebat luar biasa yang bernama ilmu silat Hong-san-cap-ji-liong-sin-kun-hoat (duabelas pukulan naga sakti dari gunung Hong-san).

Sejak muda kakek yang bernama Seng Thian Taysu ini gemar sekali bertapa. Dan selalu mengasingkan diri di puncak-puncak pegunungan yang sepi dan jauh terasing dari dunia ramai. Hal ini sudah wajar karena pada masa itu, ilmu silat tinggi kebanyakan dimiliki oleh para pertapa, dan pendeta suci.

Ilmu silat yang tinggi selalu berdekatan dengan ilmu kebathinan, maka tentu saja semakin tinggi orang itu memiliki ilmu bathin, semakin kuat pula tenaga bathin yang tersembunyi di dalamnya, bersumber menjadi tenaga sin-kang yang luar biasa. Tentu saja karena Seng Thian Taysu sebagai pertapa maka tiada lain pekerjaannya memperdalam tenaga kebathinan dan juga memperdalam ilmu silatnya. Maka sekarang, Seng Thian Taysu jauh berbeda dari sepuluh tahun yang lalu.

Sebenarnya ia tidak hendak turun gunung, akan tetapi mendengar betapa suhengnya binasa di tangan musuh-musuh jahat dan semua anak murid Tiang-pek-pay binasa, maka dengan hati penasaran Seng Thian Taysu ini beranjang ke sana sini. Di sini inilah sekarang dia mendengarkan cerita dari seorang murid kedua dari Swie It Tianglo, orang-orang satu-satunya yang masih berada di puncak Tiang-pek-san.

◄Y►

2

Seperti juga gunung-gunung besar lainnya, pegunungan Tiang-pek-san ini menjadi perhatian para orang gagah di dunia kang-ouw. Bukan saja pegunungan ini terkenal dengan puncak-puncaknya yang amat tinggi menjulang dan selalu tertutup salju, akan tetapi yang menarik perhatian dunia kang-ouw adalah berdirinya sebuah partai persilatan yang bernama Tiang-pek-pay.

Seperti halnya partai-partai Hoa-san-pay, Kun-lun-pay, Go-bie-pay, Bu-tong-pay dan banyak lagi partai-partai persilatan lainnya. Tiang-pek-pay ini berdiri pada lima tahun yang lalu setelah diadakannya perebutan gelar pendekar nomor satu di puncak Tiang-pek-san ini.

Pada saat itu Swie It Tianglo yang kebetulan mengikuti sayembara perebutan gelar pendekar nomor satu menjadi tertarik hatinya dan tergerak melihat pemandangan yang indah dan bersih di puncak yang selalu bersalju. Maka setelah perebutan gelar itu, meskipun ia sendiri tidak dapat mencapai sebutan pendekar nomor satu akan tetapi ia lantas saja berhasrat mendirikan sebuah partai di puncak ini. Maka tak lama kemudian dunia persilatan dikejutkan oleh berdirinya partai Tiang-pek-san yang dikuasai oleh Swie It Tianglo.

Ada seratus lebih anak murid Tiang-pek-pay dalam waktu yang singkat. Mereka itu kebanyakan terdiri dari para Locianpwe (orang tua gagah) yang menggabungkan diri ke dalamnya. Tentu saja karena nama Swie It Tianglo sudah terkenal di dalam dunia persilatan, maka banyak orang gagah yang mendukung berdirinya partai tersebut.

Di antaranya yang menggabungkan diri adalah tiga orang gagah dari daerah sungai Huang-ho masing-masing bernama Swi Seng-thian, Wi-wi Taysu, dan seorang kakek aneh dari Bu-tong-pay yang bernama Bu-tong-koay Lojin It Swi Jin. Tiga orang gagah itu terkenal di daerah Huang-ho sebagai Huang-ho-sam-enghiong dan juga terdapat pula seorang kakek tua dari Tay-san yang bernama Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Dan banyak lagi dari dunia kang-ouw yang menggabungkan diri mendukung kekuatan partai Tiang-pek-pay ini.

Di antara murid-murid kaum tua, Swie It Tianglo juga mengambil lima orang murid, dua orang wanita dan tiga pria. Mereka itu adalah Liok Kong In sebagai murid pertama, Song Cie Lay sebagai murid kedua, dan Sung Tiang Le adalah sebagai murid ketiga dan keempat seorang wanita Lie Bwe Hwa dan yang kelima adalah Lim Sian Hwa.

Akan tetapi di antara ke lima orang murid Swie It Tianglo itu, yang paling menonjol adalah Sung Tiang Le. Bukan saja pemuda ini berparas cakap seperti Poa An, akan tetapi di samping wajahnya yang cakap itu, ia mempunyai hati yang lembut, selembut bulu domba. Dan kata-katanya halus, tidak seperti Liok Kong In yang kasar dan berangasan yang selalu ingin menang sendiri. Dan anehnya, Tiang Le ini paling disenangi oleh dua orang gadis sumoaynya, Lie Bwe Hwa dan Lie Sian Hwa.

Seakan-akan dua orang gadis itu berlomba-lomba hendak menarik perhatian Tiang Le. Dan selalu hendak mendekatinya apabila kesempatan itu ada. Tiang Le bukan tidak tahu ini. Ia tidak buta. Ia tahu betul bahwa dengan diam-diam dua orang sumoaynya ini menaruh hati kepadanya, justru itu ia selalu menjahui diri dari dua orang gadis ini. Meskipun ada dirasakan di hatinya lebih condong kepada Sian Hwa. Tetapi ia tak boleh membabi buta. Ia tahu betul bahwa suhengnya yang kedua Song Cie Lay sangat mencintai Sian Hwa. Ia tahu ini dari tatapan mata suhengnya terhadap gadis sumoaynya, yang bernama Sian Hwa itu.

Ia tak mau menyakiti hati Jie-suhengnya yang selalu bersikap ramah kepadanya. Oleh karena itu ia selalu menjauhkan diri dari Sian Hwa dan juga Bwe Hwa yang hendak dijodohkan oleh suhunya buat Liok Kong In

“Aku tak boleh merusak kebahagiaan Suhengku! Tak boleh!” demikian pikir Tiang Le. Menekan perasaan hatinya, apabila ia bertemu pandang dengan Sian Hwa dan Bwe Hwa.

Pada suatu pagi di puncak Tiang-pek-san, seperti biasanya ia berlima langsung dilatih oleh gurunya Swie It Tianglo. Tempat latihan itu, di sebuah tanah datar yang luas dan rata. Menjurus ke belakang terbentang sebuah jurang yang amat curam. Indah sekali pemandangan di sini. Di tempat inilah ia melatih murid-muridnya. Seperti biasanya apabila dia selesai memberi petunjuk-petunjuk kepada murid-muridnya, ia meninggalkan ke lima orang muridnya itu yang masih terus berlatih, ia masuk ke dalam.

Akan tetapi betapa terkejutnya hati orang tua itu, melihat sepucuk surat telah terletak di meja. Di kamarnya. Dengan terheran, ia membaca surat itu. Terkejutlah ia apabila pandangan matanya terbentur kepada huruf-huruf yang tertulis di kertas itu.

Ia membaca lagi.

Swie It
Lama sudah kita tidak bertemu,
sepuluh tahun sudah berlalu…..,
ingatkah kau kepadaku?
Bong Bong Siangjin ingin bertemu,
menagih hutang, sepuluh tahun yang lalu.

Demikian singkat surat itu. Akan tetapi, Swie It Tianglo yang sudah berpengalaman dapat memahami isinya. Teringatlah ia sekarang bahwa sepuluh tahun yang lalu ia pernah membunuh murid Bong Bong Sianjin. Inilah hebat, kalau Bong Bong Sianjin sudah mengirimkan surat seperti ini.

Ini merupakan tantangan yang berat. Ia mengenal baik siapa itu Bong Bong Sianjin, kakek dari puncak Thang-la di bukit harimau. Masih bersaudara seperguruan dengan Bu Beng Sianjin. Terkejutlah ia. Ia menyadari bahwa kepandaiannya belum dapat menandingi Bong Bong Sianjin!

“Celaka!” Swie It Tianglo mengeluh. Diam-diam ia memutar. Bukan ia takut kepada Bong Bong Sianjin. Baginya sendiri tidak pernah mengenal rasa takut. Akan tetapi, sebagai ketua Tiang-pek-pay ia merasa bertanggung jawab terhadap seratus lima orang muridnya. Tak mau urusan pribadinya ini membawa korban jiwa bagi murid-muridnya yang tak tahu apa-apa. Apalagi ia merasa sayang kepada lima orang muridnya yang masih muda-muda ini! Tak boleh mereka disangkutkan dengan urusan pribadiku!

Swie It Tianglo berlalu meninggalkan kamarnya. Ia menuju kamar sebelah di mana Tay-san-sin-kiam-hiap telah menantinya,

“Swie It pangcu,” tegur Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung melihat kedatangan pangcunya. Begitu dilihatnya wajah Swie It Tianglo muram dan seakan-akan ada sesuatu yang mengganjal hatinya, maka Kwee Lung menegurnya.

“Pangcu (ketua) ada apakah gerangan yang pangcu pikirkan?” tanya Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.

Swie It Tianglo memberikan surat itu kepada sahabatnya ini.

Kwee Lung menerima dan membacanya, “Ahhh....... Bong Bong Siangjin…..?” tanya Kwee Lung.

“Justru itulah yang merisaukan hatiku Lung-te. Aku tak ingin karena urusan pribadiku ini akan menyeret-nyeret nyawa anak murid Tiang-pek-pay. Ini tak boleh?”

“Kita, tunggu saja Bong Bong Siangjin, pangcu, mengapa mesti ditakuti?” Kwee Lung berkata gagah.

Swie It tersenyum.

“Bagiku tidak mengenal arti takut Lung-te, tapi apakah kau tidak memikirkan ke seratus anak muridku dan ke lima orang muda itu? Ketahuilah Lung-te, kepandaian Bong Bong Sianjin begitu hebat. Aku sendiri tak mampu menandinginya...... aaah, akan hancurlah Tiang-pek-pay.”

“Pangcu, jangan kuatir…… aku mempertaruhkan nyawa untuk Tiang-pek-pay!” teriak Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.

Swie It Tianglo menggeleng-gelengkan kepalanya,

“Tidak, tak boleh ke lima muridku menghadapi musuh-musuhku, eh Lung-te kau kesinilah,” maka ketua Tiang-pek-pay itu berbisik perlahan di dekat telinga Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Nampak Kwee Lung menganggukkan kepalanya.

“Baik pangcu......” katanya.

“Nah, Kwee Lung-te kau segeralah....... aku akan menghubungi ke lima muridku,” berkata Swie It Tianglo meninggalkan Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung.

Di ruang belakang Swie It Tianglo berkata kepada murid-muridnya.

“Kalian pergilah ke lembah Merpati, di lereng pegunungan Tiang-pek-san kira-kira limapuluh lie dari sini terdapat sebuah pohon yang bernama Ang-to, buah ang-to itu besar sekali khasiatnya muridku. Ratusan orang kang-ouw berani mempertaruhkan nyawanya untuk mendapatkan buah yang hanya terdapat di sepanjang lereng pegunungan Tiang-pek-san, yaitu sebuah lembah yang bernama Lembah Merpati, dan pohonnya hanya berbuah setiap lima tahun sekali. Kau mau tahu kehebatannya?” Swie It Tianglo menghentikan perkataannya, menatap ke lima orang muridnya berganti-ganti.

“Khasiatnya bagaimana suhu?” tanya Sian Hwa merasa tertarik akan cerita suhunya yang aneh itu. Kong In dan Cie Lay, serta Bwe Hwa juga menanti uraian suhunya lebih lanjut.

Hanya Tiang Le yang mengerutkan kening, seakan-akan tengah memikirkan hal buah ang-to yang aneh itu. Sepanjang menurut pendengarannya buah ang-to itu tidak terdapat di lembah merpati, melainkan di puncak Hoa-san. Tapi mengapa suhunya mengatakan di Lembah Merpati. Mungkinkah di sana terdapat buah ajaib itu?

Ia termenung. Sementara gurunya melanjutkan ceritanya:

“Buah itu khasiatnya besar sekali. Bukan saja Ang-to (buah merah) ini dapat merupakan jim-som yang mukjijat sebagai tonikum yang baik untuk kesehatan tubuh, akan tetapi juga Ang-to ini berkhasiat untuk menyembuhkan luka-luka yang parah, dapat dengan segera menghilangkan racun yang menjalar di tubuh, dan terutama sekali apabila orang makan buah itu, tenaga lweekangnya akan berlipat ganda dan gin-kangnya bertambah ringan, tidak kalah orang melatih diri selama duapuluh tahun. Nah, oleh karena itu muridku, aku merasa buah ang-to itu banyak sekali faedahnya untuk perkembangan tubuh kalian, maka hari ini kuperintahkan sekarang juga kalian turun meninggalkan puncak dan carilah buah itu di lembah merpati, mengerti kau?”

Ke lima orang anak muda itu termenung.

“Suhu..... sungguhkah buah ang-to itu berada di sana?” tanya Tiang Le. Memang Tiang Le ini sangat hati-hati sekali mengambil tindakan sesuatu. Dan yang membuat hatinya meragu adalah perkataan gurunya ini bergetar, seakan menyembunyikan perasaan sesuatu yang tidak terungkapkan.

Diam-diam Swie It Tianglo kagum sekali kepada muridnya yang ketiga ini. Ia tersenyum dan berkata:

“Ada tidaknya itu harus dicari Tiang Le, seperti rejeki ini. Semua manusia hidup telah dikurniahkan rejeki secukupnya oleh Thian yang baik hati. Namun rejeki itu tidak akan turun dari langit jika tidak dicari. Dunia ini penuh dengan kekayaan alam yang berlimpah dan itu telah diciptakan oleh Thian untuk kehidupan manusia.

“Namun, di samping itu, si manusia juga harus menggarap, harus mencari sumber-sumber kekayaan alam yang bermanfaat untuk kehidupan manusia. Manusia hidup harus berusaha, harus mencari, menggarap ah……. muridku, kekayaan alam ini tiada batasnya? Amat melimpah ruahh..... namun celakalah bagi si pemalas! Ia akan kehilangan rejeki itu, ia akan tertinggal oleh keganasan waktu yang mengganas, nah..... kau..... pergilah........!”

“Suhu……” Sian Hwa memandang gurunya.

“Ada apa Sian Hwa?” tanya gurunya.

“Apakah tidak cukup kalau kami bertiga saja pergi dan suheng atau suci tinggal di sini menjagai suhu?”

Terkesiap Swie It Tianglo, ia menatap tajam ke arah muridnya yang satu ini, apakah mengetahui rencananya? Belum sempat ia bertanya, Bwe Hwa sudah berkata ketus:

“Tidak. Kalau kalian pergi, aku juga harus ikut!!”

Swie It Tianglo menarik napas lega.

Dia mengangguk.

“Benarlah Sian Hwa ini sebagai ujian bagi kalian berlima. Siapa paling dulu orangnya yang mendapatkan buah itu, aku akan menghadiahkan pedangku ini kepadanya. Pedang Ang-hong-kiam ini sebagai lambang pimpinan Tiang-pek-pay! Nah kalian pergilah....... Carilah Ang-to itu,” berkata demikian Swie It Tianglo bangkit berdiri dan masuk ke dalam.

Tak mau kalau murid-muridnya bertanya-tanya lagi. Semakin lekas muridnya itu pergi, semakin baik. Apabila sampai di kamarnya diam-diam ia membuka jendela angin dan memandang ke belakang.

Dilihatnya ke lima orang muridnya tidak ada di situ lagi. Legalah hatinya. Akan tetapi di samping itu, ketegangan menyelimuti dirinya.

Nanti malam Bong Bong Sianjin datang dan ia harus menghadapinya. Lebih baik mati seperti harimau dari pada menyerah kalah seperti babi!

Nanti malam ia harus mempertaruhkan nyawanya!

Tangannya merabah pedang Ang-hong-kiam. Diletakan pedang itu di atas meja. Ia melirik melemparkan pandang melalui cela-cela jendela. Di luar senja sudah mengambang.

Sebentar lagi malam akan tiba.

◄Y►

Pada malam hari itu, sebuah bayangan yang amat gesit melompat-lompat di atas genteng-genteng tebal dari komplek bangunan Tiang-pek-pay yang megah. Bukan seorang, bayang-bayang berkekebat gesit itu lebih dari seorang. Tiga bayangan manusia, sampai di depan pintu gerbang Tiang-pek-pay, ke tiga orang itu berhenti. Memandang ke sekeliling, sunyi dan mati, hanya suara binatang gunung dari kejauhan itu mengisi keheningan malam.

Tiba-tiba pintu gerbang Tiang-pek-pay terbuka.

Swie It Tianglo menyambut tamu malamnya itu dengan senyum lebar dan di belakangnya, nampak Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung dan beberapa orang tua murid Tiang-pek-pay.

“Ha ha ha, kiranya Bong Bong Sianjin yang berkunjung ke pondokku yang jelek ini. Entah ada urusan apakah malam berkunjung ke tempat ini?” Datang-datang Swie It Tianglo menegur tamunya.

“Ha ha ha! Entah yang mana yang bernama Swie It Tianglo, ketua Tiang-pek-pay?” terdengar seorang dari ke tiga tamu malam itu berkata dengan pandang mata menyelidik.

“Akulah pangcu dari Tiang-pek-pay, Bong Bong Sianjin,” Swie It Tianglo maju ke depan. Ia sudah bersiap siaga untuk menghadapi tamunya ini.

“He he he, bagus kalau begitu. Jadi engkau itulah yang bernama Swie It Tianglo yang telah membunuh muridku? Bagus bersiaplah kau untuk menjumpai muridku di akherat!” berkata demikian Bong Bong Sianjin menggerakkan tangan kanannya dan angin dingin berpusing menyambar tubuh Swie It Tianglo dengan gerakan cepat laksana kilat. Tentu saja Swie It Tianglo sudah memaklumi akan kehebatan lawannya ini, maka begitu angin dingin menyambar dadanya. segera ia menggerak tangannya mendorong ke depan.

“Desss!” Dua tenaga dahsyat saling bertemu. Swie It Tianglo menggigil tubuhnya dan muntah darah segar. Sedangkan Bong Bong Sianjin bergoyang-goyang saja seperti tangkai bunga tertiup angin.

“Hahaha! Ketua Tiang-pek-pay cuma segitu saja isinya. Hehehe gentong-gentong kosong yang nyaring.......” Bong Bong Sianjin mengejek. Maju ke depan. Tangannya siap hendak memukul ketua Tiang-pek-pay yang telah terluka di bagian dadanya. Hebat memang kakek dari bukit harimau ini. Sekali gebuk saja Swie It Tianglo muntahkan darah! Akan tetapi tentu saja ia tidak mundur sampai di sini. Dengan menggeram keras ia menerjang Bong Bong Sianjin dengan nekad.

“Pangcu......!” jeritan Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang mencegah pangcunya yang bertindak nekad. Akan tetapi terlambat. Serangan Swie It Tianglo disambut oleh ke dua tangan terbuka dari Bong Bong Sianjin. Terdengar suara keras: “Krek!” hancurlahlah tulang-tulang Swie It Tianglo. Hebat bukan main pukulan maut itu, hingga Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung membelalak matanya. Pukulan apa itu?

Perlahan-lahan tubuh Swie It Tianglo roboh menggeletak di tanah. Napasnya sudah putus. Mukanya hitam dan darah kehitaman mengalir dari mulut. Ke dua tulang belakangnya berserakan. Inilah hebat. Bagaimana mungkin ketua Tiang-pek-pay roboh dalam dua gebrakan saja?

Tidak terpikir lebih lanjut. Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung sudah menerjang maju. Kemudian ia disambut oleh dua orang teman Bong Bong Sianjin. Orang-orang setengah tua itu, yang berpakaian seperti orang Tibet adalah Te-thian Lomo dan yang satu lagi adalah nenek-nenek sakti yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai Sianli Ku-koay. Kedua orang inilah yang melayani Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung. Tentu saja menghadapi kedua orang ini, sebentar saja Kwee Lung sudah terdesak hebat.

Sementara itu Bong Bong Sianjin memasuki ruangan dalam. Lima orang murid Tiang-pek-pay maju dengan pedang di tangan. Akan tetapi begitu Bong Bong Sianjin mengibaskan lengan jubahnya, pedang-pedang itu terlempar di udara. Dan sebentar kemudian terdengar jeritan mengerikan dari ke lima orang kakek Tiang-pek-pay itu. Kepala mereka pecah dan otak berhamburan tersambar angin pukulan dari ujung jubah Bong Bong Sianjin. Hanya sebentar suara itu, kemudian senyap lagi.

Dengan langkah-langkah lebar, Bong Bong Sianjin memasuki ruangan tengah. Sebuah papan nama yang bertuliskan Tiang-pek-pay hancur berantakan dipukul dari bawah oleh kakek sakti ini. Tiba-tiba tangannya menggebrak tiang tembok dan runtuhlah gedung tengah itu mengeluarkan debu yang berhamburan. Tidak sampai di situ saja, ia terus melangkah memasuki ruang belakang.

“Seerr….. seeerr!” Puluhan batang anak panah menyambar tubuh Bong Bong Sianjin. Kakek ini tersenyum mengejek dan sekali tangannya bergerak, ke duapuluh batang anak panah itu telah berada dalam genggamannya. Hebat. Dan lebih hebat lagi waktu tangan itu bergerak. Terdengar jerit manusia di atas.

Jeritan yang panjang menghantar kematian orang-orang yang tersambar anak panahnya sendiri menembus leher. Berkelonjotanlah tubuh-tubuh itu. Dan tak lama kemudian, ke duapuluh orang yang melakukan serangan gelap tadi sudah menggeletak tanpa nyawa.

Sekali tangan kiri Bong Bong Sianjin bergerak, sebuah kepala manusia yang tengah kelengar hancur berantakan dihantamkan kepada tembok dinding. Kemudian darah membanjiri dari kepala manusia yang hancur berantakan itu. Bong Bong Sianjin mengambil sebuah pit dan mencelupkan pada genangan darah itu dan menulislah ia pada tembok putih bersih.

Kemudian ia ke luar meninggalkan tempat itu. Matanya mencari-cari kalau ada manusia hidup yang terdapat di sini. Memang ia hendak memusnahkan seluruh Tiang-pek-pay ini. Akan tetapi tidak didapatinya manusia hidup lagi. Dengan tersenyum puas ia meninggalkan gedung Tiang-pek-pay.

Di luar Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay tengah menanti. Di bawah kaki mereka menggeletak tubuh Tay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang sudah tak bernyawa lagi dengan dada tertembus pedang.

Kemudian sekali berkelebat ke tiga bayangan itu sudah lenyap dari puncak Tiang-pek-san.

Angin dingin berhembus perlahan.

Bulan purnama di atas tertutup mega.

Sementara suasana di puncak itu demikian sunyi dan mati.

Apabila pada pagi-pagi hari itu ke lima orang muda mendaki puncak Tiang-pek-san, betapa terkejutnya hati mereka melihat tiada seorang pun, yang nampak pada puncak itu. Tidak seperti biasanya. Biasanya apabila orang hendak sampai ke puncak selalu kakek dari Tiang-pek-pay ini menjaganya dua atau tiga orang. Akan tetapi kenapa sekarang demikian sunyi mati?

Dengan perasaan tidak enak ke limanya berlari cepat mendaki puncak. Dan apakah yang dilihatnya? Pertama-tama ia melihat mayat suhunya menggeletak di muka gerbang itu, wajah menghitam hangus dan tulang-tulang berantakan. Tidak jauh dari mayat suhunya, nampak mayat Thay-san-sin-kiam-hiap Kwee Lung yang dikenalnya dan beberapa kakek Tiang-pek-pay lainnya.

Bagaikan terbang Tiang Le meloncat tinggi dan terus saja memasuki pintu gerbang itu dan menuju gedung Tiang-pak-pay. Ruang tengah gedung sebagian ambruk. Mayat sepuluh kakek Tiang-pek-pay nampak menggeletak dengan leher tertembus anak panah. Tidak jauh dari situ ia melihat sebuah tulisan memakai tinta darah manusia yang berbunyi,

“Bong Bong Sianjin, Te-thian Lomo dan Sianli Ku-koay menuntut balas!!

“Keparat!!” Tiang Le menggertak giginya. Dadanya berombak turun naik. Dan dengan sekali berkelebat dia sudah memasuki kamar suhunya. Sebuah surat suhunya tergeletak di atas meja.

Tiang Le membaca surat peninggalan suhunya itu.

“Sebelum susiok Seng Thian Taysu berkunjung, ke lima muridku tidak boleh meninggalkan puncak!!!”

Hanya itu yang ditulis gurunya.

Tahulah Tiang Le bahwa sengaja memang gurunya menyingkirkan mereka berlima agar terhindar dari bencana ini. Surat gurunya itu hancur dalam genggaman Tiang Le.

◄Y►

“Demikianlah susiok, hanya teecu berlima yang masih selamat. Dan sejak itu kami menantikan kedatangan susiok. Akan tetapi siapa baru saja tadi pagi ke empat murid suhu yang lain telah meninggalkan puncak,” demikian Song Cie Lay mengakhiri ceritanya. Wajahnya muram. Keningnya dikerutkan.

Tentu saja ia tidak menceritakan tragedi cinta segitiga kepada susioknya ini. Akan tetapi melihat wajahnya yang muram dan sayu, pandangan Seng Thian Taysu yang tajam telah dapat menerka apa yang terkandung di hati orang muda itu.

“Cie Lay karena kau satu-satunya murid Swie It yang masih berada di Tiang-pek-san ini, maka biarlah aku menyediakan waktu untuk melatihmu. Mudah-mudahan saja kelak di kemudian hari engkau dapat mengangkat kembali nama Tiang-pek-pay yang sudah hancur berantakan ini....... Sekarang engkau kuangkat menjadi muridku Cie Lay, bergiatlah kau berlatih!”

Mendengar perkataan susioknya ini, keruan saja Cie Lay menjadi girang hatinya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan susioknya.

“Terimakasih atas budi baik susiok, teecu berjanji untuk mentaati pesan-pesan susiok dan mohon petunjukmu......” berkata Cie Lay. Masih berlutut ia di depan orang tua sakti dari Hong-san.

Seng Thian Taysu menggerakkan ujung jubahnya dan keruan saja tubuh Cie Lay yang tengah berlutut itu terangkat naik. Cie Lay mengerahkan lweekang dan menekan ke bawah. Nampak tubuhnya tergantung di udara dalam keadaan berlutut. Hebat sekali tenaga sin-kang kakek dari Hong-san ini. Hanya dengan ujung jubahnya saja ia mampu mengangkat tubuh anak muda itu. Padahal Cie Lay sudah mengerahkan lweekangnya menekan. Namun semakin ia mengerahkan tenaga, semakin kuat tarikan dari atas.

Seng Thian Taysu tertawa terbahak-bahak.

“Haa….. haa orang muda, lweekangmu cukup baik. Tubuhmu penuh hawa murni. Bangkitlah kau!!!” Dengan sekali sentak saja tubuh Cie Lay melayang tinggi ke udara bagaikan ada suatu tenaga yang amat dahsyat melemparkannya dari bawah. Dengan cepat dia mengerahkan gin-kangnya dan berpok-say tiga kali, sesaat itu pula ia sudah berdiri di depan Seng Thian Taysu.

“Lweekangmu boleh juga Cie Lay, akan tetapi daya tahan ditubuhmu belum sempurna benar. Sekarang kau turutkan gerakanku,” sehabis berkata demikian, tahu-tahu kakek itu berjungkir balik berdiri dengan kepala di bawah kaki di atas. Berdiri tegak.

“Cie Lay, turuti aku begini!!” kata Seng Thian Taysu.

Cie Lay jongkok, menjungkirkan tubuhnya dengan kepala di bawah. Akan tetapi belum lagi ia sempat berdiri dan mengangkat kaki ke atas, dirasakannya kepalanya pening bukan main. Belum dua menit ia berdiri jungkir balik seperti itu, ia sudah roboh lagi dan sejuta bintang berputar-putar di atas kepalanya. Ia segera mengerahkan hawa murni ditubuhnya mengusir rasa pening.

“Hee…… hee belum biasa….. belum biasa….. hayo Cie Lay coba lagi, terus sampai kau dapat berdiri sepertiku ini, dan apabila engkau sudah biasa, jalanpun enak saja. Nah!!! kau lihat aku!”

Ke dua tangan Seng Thian Taysu menekan tanah, kepalanya agak terangkat sedikit dan dengan kekuatan ke dua tangan itu berjalanlah ia berputar-putar. Tentu saja untuk melakukan ini harus punya tenaga lweekang yang sempurna dan gin-kang yang tinggi untuk mengimbangi tubuh.

Cie Lay mencoba lagi menurut seperti yang diberikan susioknya. Akan tetapi berkali ia mencoba, selalu saja ia terguling roboh. Dan kepalanya berdenyut-denyut keras. Keluhnya dalam hati. Celaka rupanya susioknya ini orang aneh. Melatih lwekangnya dengan cara seperti itu.

Biasanya suhunya hanya mengajarkan latihan-latihan siulan (bersemedhi) saja sambil bersila dan mengatur pernapasan di tempat terbuka. Tetapi sekarang susioknya ini mengajarkan yang aneh-aneh. Berdiri berjungkir balik itu dengan kepala di bawah, kaki di atas memang tidak mudah. Apalagi belum biasa betapa cepatnya rasa pening itu menyerang kepalanya. Napasnya sesak.

Tentu saja Cie Lay tidak mengutarakan keluhannya ini. Ia memang anak cerdik dan berkeras hati. Kalau susioknya demikian sakti dengan berlatih secara ini, mengapa iapun tidak dapat?

Maka dicobanya lagi. Dicobanya lagi.

Terguling lagi.

Roboh lagi.

Seng Thian Taysu tertawa melihat muridnya yang pantang menyerah ini. Ia tahu bahwa untuk taraf permulaan, tak mungkin orang berlatih terus saja dengan kepala di bawah kaki di atas dan seharusnya memerlukan pertolongan pertama. Maka melihat bahwa muridnya ini memang berbakat dan keras hati, Diam-diam Seng Thian Taysu girang hatinya.

Dengan sekali enjotan ke dua tangannya pada tanah, tubuhnya membal ke atas. Dan berdiri. Menghampiri Cie Lay.

“Bukan begitu caranya, bukan begitu. Hayo kau ikutlah aku!” kata Seng Thian Taysu menghampiri sebatang pohon besar.

“Kau naiklah ke atas!” perintahnya.

Tanpa bertanya-tanya lagi, Cie Lay memanjat pohon itu. Sebetulnya ia bisa saja dengan gin-kangnya mencelat ke atas akan tetapi tak mau ia menonjolkan kepandaiannya yang tak berarti. Maka dengan memanjat seperti seekor monyet sampailah ia di sebuah cabang pohon yang paling tinggi berdiri.

Tiba-tiba tangan kiri Seng Thian Taysu bergerak berkelebat menyambar ke dua kaki Cie Lay dan membelit. Ternyata yang dilontarkannya tadi adalah sebuah sutera merah. Dan sutera merah itu sudah membelit ke dua kaki Cie Lay dengan amat kuatnya.

Seng Thian Taysu tersenyum.

“Nah, Cie Lay sekarang bergantunglah di situ dengan ke dua kaki di atas!” perintah susioknya dan diturut oleh anak muda ini dengan patuh dan percaya kepada susioknya yang sakti.

Dan sejak hari itu, Cie lay diikat ke dua kakinya dan kemudian ikatan itu digantungkan pada cabang pohon sehingga dia tergantung seperti seekor kalong.

“Dengan latihan begini, pernapasanmu selalu akan mengumpul di paru-parumu. Perutmu akan selalu kempis kosong. Pusatkan hawa murni di perut dan perlahan-lahan tariklah napas. Jangan hiraukan siksaan dari peredaran darah yang secara membalik ini, akan terasa tak enak dan memusingkan kepalamu. Kulihat engkau sudah pandai menggunakan hawa tian-tan (perut), nah salurkanlah hawa murni itu dan tutuplah hawa di bagian kepala supaya sedikit demi sedikit engkau tiada merasa pusing lagi. Nah kau perbuatlah itu seterusnya, di pagi hari yang terbuka itu lebih baik lagi! Biarlah hawa dingin itu akan menggembleng tubuhmu, lama kelamaan tenaga Im (dingin) akan berpusat di perut. Dan inilah tenaga Im-kang yang hebat luar biasa. Tekunlah kau berlatih Cie Lay…....!

Demikianlah dapat dibayangkan betapa sengsaranya Cie Lay karena harus berlatih secara ini. Beberapa kali ia pingsan dalam keadaan tergantung. Dan hebatnya, apabila matahari belum naik tinggi, susioknya itu belum mau membuka tali sutera yang melibat kakinya. Sehingga seringkali ia harus menghadapi tantangan sinar matahari yang mengganas membakar tubuhnya. Dan perutnya terasa lapar dan perih. Sementara tangannya yang terjuntai ke bawah itu sudah dingin dan kaku, namun susioknya tak bagitu memperhatikan. Seakan-akan ia sengaja melatih anak muda ini dalam hal kesengsaraan jasmani dan gemblengan mental.

Dan anehnya, Cie Lay tak pernah mengeluh. Dan tak pernah minta untuk dilepaskan tali yang mengikat kedua kakinya.

Akhirnya beberapa bulan sudah, ia telah dapat melakukan siulan (semadhi) seperti ini. Tidak lagi bergantung di atas cabang pohon dengan ke dua kaki terikat, malah sekarang ia sudah dapat berlatih di atas tanah seperti susioknya. Berdiri dengan ke dua kaki terpentang ke atas dan kepala di tanah.

Tidak terasa lagi kepeningan yang dulu selalu menghantui kepalanya. Sekarang malah dirasakannya bertambah segar dan sehat apabila ia telah melakukan siulan secara itu. Dan saking asyiknya ia, kadang-kadang terlupa makan dan minum. Sampai tiga hari tiga malam! Diserang angin dan salju. Dibakar ganasnya matahari di siang hari.

Kini tubuhnya terasa ringan dan pikirannya terang.

Dan ia telah mendapatkan kepandaian yang istimewa.

Setelah itu, barulah Seng Thian Taysu menggembleng muridnya ini dengan ilmu silat ciptaannya di puncak Hong-san. Tidak lagi ia berada di puncak Tiang-pek-san, karena setelah berbulan-bulan berada di Tiang-pek-san itu, ia merasa rindu dengan puncak Hong-san.

Oleb sebab itu, di puncak Hong-san inilah sekarang Cie Lay menerima gemblengan ilmu silat Hong-sun-cap-jie-liong-sin-kiam-hoat yang hebat luar biasa.

Sejak itu puncak Tiang-pek-san dilupakan orang!

◄Y►
3

Kita tinggalkan dulu Song Cie Lay yang tengah digembleng oleh susioknya Seng Thian Taysu di puncak pegunungan Hong-san dan marilah sekarang kita mengikuti pengalaman Sung Tiang Le yang buntung lengan kanannya karena ditebas oleh pedang Bwe Hwa. Tentu saja karena ia tidak mengira akan serangan Bwe Hwa yang tiba-tiba itu, maka tanpa dapat dielakkan lagi tangan kanannya telah buntung sebatas pundak.

Rasa terkejut dan heran membuat ia tak merasakan lagi akan lengannya yang buntung itu. Matanya terbelalak memandang Bwe Hwa. Kemudian bersamaan rasa nyeri yang menusuk-nusuk di bagian pundaknya, bersamaan itu dirasakannya pula kepalanya berdenyut-denyut amat keras sekali. Ia terhuyung-huyung, sementara hujan menyirami tubuhnya yang semakin kuyup. Darah merah menggenang di bawah kakinya. Tak tahu lagi ia apa yang terjadi selanjutnya Karena ia telah pingsan tak ingat suatu apa lagi!

Tak tahu Tiang Le kalau pada saat itu, ke dua sumoaynya bertempur mati-matian. Ia tidak tahu kalau Sian Hwa telah mengamuk ganas menerjang Bwe Hwa dengan sambaran-sambaran pedangnya.

Dan apabila kedua gadis remaja itu tengah mengadu nyawa, tak tahu ia kalau perlahan banjir yang menyerbu dari sungai itu mulai mengangkat tubuhnya, membawanya ke arus yang amat deras sekali.

Tubuh itu sebentar timbul dan sebentar tenggelam dipermainkan oleh air sungai yang kecoklat-coklatan menggelombang tinggi dan menurun lagi menghempaskan tubuh yang belum sadar. Sementara hujan bertambah menggila.

Petir di atas berkeredepan laksana lidah api yang hendak membumi hanguskan dunia ini. Dan guntur yang cerewet itu tak henti-hentinya menggelegar mengejutkan makhluk-makhluk di bumi ini. Banjir telah nampak mulai meluap dari sungai itu melanda segala apa di sawah, menggulung sawah-sawah yang menghijau, menghanyutkan batang-batang pohon dan ranting-ranting yang berserakan.

Apabila langit di atas mulai cerah, dan gerimis pun merenyai merupakan tangisan yang tak kunjung henti dari riak gelombang. Mengalir tenang. Menghanyutkan sesosok tubuh yang tiada jua sadar akan apa yang terjadi pada dirinya. Air yang mengalir tenang, angin yang sudah meninggalkan riuhan yang mengganas dan hanya sisa-sisa hembusan yang menyejukan dan di atas itu langit semula berair dan suram buram menakutkan perlahan-lahan mulai sirna berganti dengan latar belakang kebiruan yang amat cerah dan bersih.

Sebuah perahu meluncur perlahan, di dalamnya terdengar suara merdu nyaring bersih mendendangkan sebuah lagu. Merdu sekali lagu, mengalun, mengeriak di antara luncuran perahu melaju terbawa air deras. Sementara angin berembus sejuk membawa suara nyaring merdu di kesayupan angin-angin menyepoi basah.

Suara itu merdu sekali.

Suara seorang gadis.

Terdengar gadis itu mendendang lagi, dan tangannya yang kecil dan halus mengelepak-ngelepakan dayungnya pada air mengeriak laju.

“Angin pun resah...
matahari kedinginan.
sudah itu, sunyi!
Ini terjadi di lembah merpati
di suatu pagi,
ketika asap-asap salju menguap tinggi,
Sepasang kekasih memadu janji,
di sini sendiri
ditinggalkan kenangan mati?”

Selesai ia mendendang, dilihatnya langit di atasnya cerah membiru. Segumpalan awan putih menyeruak lambat-lambat menggantikan awan hitam yang mulai sirna.

Melihat wajahnya, gadis itu tidak lebih tujuhbelas tahun usianya. Masih remaja, ia sendirian di perahu yang kecil itu. Pakaiannya sederhana berwarna kembang-kembang, rambutnya digelung ke atas, diberi pita kupu-kupu merah. Manis sekali gadis ini. Matanya yang bulat ia bekelit-kelit menikmati pemandangan alam sehabis hujan tadi. Menyapu permukaan air sungai yang berwarna kecoklat-coklatan itu. Dan terbelalak mata, apabila didekatnya di pinggir perahu mengapung sebuah tubuh yang tengah tidak sadarkan diri. Rasa terkejut dan herannya, membuat si gadis cepat-cepat mencongkelkan ujung dayungnya membalikkan tubuh itu.

Dan minta ampun!!

Itu tubuh seorang pemuda.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar