Pembunuh Gelap Jilid 05

Jilid 05

Empat orang berbaju hitam mengendong tubuh sipendekar kita, kini mulai dimasukan kedalam lubang. Dua orang berdiri dikanan dan kirinya, seorang dengan pisau terhunus, siap mendodet kulitnya, dan seorang lagi siap didepan dengan memegang botol obat pengering.

Laki2 berkerudung menghampiri lubang maut, ia tertawa kejam. “Lu tayhiap," katanya. “kini aku harus mempunahkan seluruh kepandaianmu dahulu. Setelah itu, segera kubebaskan totokan yang mengekang kebebasanmu. Maka sesudah seluruh tubuhmu tidak berkulit, kau dapat lompat bebas."

Lu Ie Lam tidak berdaya. Kecuali menantikan maut yang segera merengut jiwanya, apa yang dapat dilakukan olehnya?

Ia harus menyesalkan dirinya yang bekerja terlalu ceroboh, sehingga kena masuk kedalam perangkap orang.

Laki2 berkerudung hitam itu datang semakin dekat.

Tiba2 Lu Ie Lam memancarkan cahaya sinar mata yang terang, menatap tajam sipemimpin rombongan orang berbaju hitam, dan mengajukan permintaan: “Kini sudah waktunya kau membuka tutup kerudung mukamu."

Laki2 berkerudung itu menggoyangkan kepala. “Tidak asing bagimu."

“Siapa? Sebutkan namamu!"

“Ha ha...." Laki2 berkerudung hitam tertawa besar. “Nanti, setelah tubuhmu kehilangan kulit pembungkus dan berhasil lompat keluar dari lubang maut ini, segera kuberi tahu."

“Sudah terlambat." Berkata Lu Ie Lam.

“Belum." berkata laki2 berkerudung hitam itu. “Kau tidak mungkin mati segera. Cukup kuat untuk menerima keteranganku."

“Yang kuartikan dengan kata2 'Sudah terlambat' bukanlah kematianku. Tetapi cara2 kerja kalian. Seharusnya, kau membeset kulitku dahulu, kemudian baru kawan itu." Lu Ie Lam menuding mayat laki2 berewok yang sudah tiada kulit.

Laki2 berkerudung hitam tertegun. “Apa bedanya?" ia tidak mengerti.

“Perbedaan ini besar artinya." Berkata Lu Ie Lam. “Kau tidak percaya? Tengoklah ke belakang."

Hati laki2   berkerudung   itu   kaget,   ia   menoleh   kearah belakangnya. Disaat inilah, pinggangnya kena pukul.... Bok....

Tubuhnya terpental jauh, tidak tahan ia menerima pukulan itu.

Hebat kekuatan pemimpin rombongan orang berbaju hitam itu, pukulan tadi tidak berhasil mematikannya. Terlihat ia berjumpalitan di tengah udara, melayang semakin tinggi, arah tujuannya pohon yang digantungi kulit manusia yang telah menjadi korban pertama, tangannya menyambar kulit siberewok tadi. Dengan ujung kaki, ia menutul pohon, maka melesatlah tubuhnya kearah jauh, kemudian melarikan diri. Lenyap ditempat gelap.

Empat orang berkerudung hitam disekitar Lu Ie Lam menyaksikan bagaimana pemimpin mereka dipukul orang, melarikan diri tanpa memberi perlawanan, mudah diduga betapa hebat orang yang baru datang. Segera mereka berteriak mengambil arah2 yang tidak sama, berpencar melarikan diri.

Lu Ie Lam bebas dari ancaman kematian. “Buk.... Buk.... Buk ”

“Aduh. "

”Auw. "

“Aya "

Tiga dari empat orang berbaju hitam itu kena pukulan. Mereka berteriak sebentar. Tetapi kekuatan mereka tidak dapat disamakan dengan sikerudung hitam, tubuh mereka ngusruk jatuh, melayanglah jiwa mereka.

Lu Ie Lam mengeluarkan suara teriakan. “Saudara Can, jangan dibunuh semua. Kita membutuhkan keterangan mereka."

Teriakan inipun terlambat, tiga orang itu telah jatuh mati, hanya seorang yang berhasil melarikan diri. Tetapi tidak jauh, tiba2 dirinya tersedot kebelakang, jatuh dibawah kakinya seorang berbaju hijau.

Orang berbaju hijau adalah orang yang memukul sikerudung hitam, mematikan tiga anak buahnya. Kini berhasil menarik dan menawan orang ini. Siapakah orang berbaju hijau yang menolong Lu Ie Lam dari lubang kematian?

Orang ini adalah seorang tua yang mempunyai potongan badan besar, mukanya hitam seperti pantat kuali, sikapnya kaku dan keren. Dia adalah orang yang telah melepaskan jabatan Duta Nomor

4 dari Barisan Istimewa Berbaju Kuning Su-hay-tong-sim-beng, si Hakim Hitam Can Ceng Lun, guru Ie Lip Tiong yang menghukum mati murid sendiri.

Terlihat Can Ceng Lun mendupak orang berbaju hitam yang berada dibawah kakinya, menotok jalan darah manusia terkutuk ini. Kemudian mengangkat Lu Ie Lam keluar dari lubang kematian.

Totokan yang mengekang kebebasan Lu Ie Lam belum bebas, ia menggelendot ditubuh Can Ceng Lun tidak bertenaga, tertawa menyeringai. “Saudara Can, kedatanganmu tepat pada waktunya. Hampir saja jiwaku melayang."

Can Ceng Lun adalah tokoh silat yang tidak banyak bicara, apa lagi setelah kejadian perkara Ie Lip Tiong, semakin sulit untuk menyuruhnya menggerakkan mulut. Ia memayang tubuh Lu Ie Lam yang disenderkan disebuah batu, membantu memakaikan pakaian.

“Aku sedang melewati jalan pegunungan ini, tiba2 terdengar suara jeritan ngeri, mengikuti arah datangnya suara, aku menemukan jenazah dan aku menemukan jenazah yang tidak berkulit itu ” Dan Can Ceng Lun menutup ceritanya begitu saja.

Kejadian berikutnya ia maklum bahwa Lu Ie Lam tidak perlu. Keterangan ini sudah dianggap cukup maka si Hakim Hitam itu tidak memberi keterangan lainnya.

“Dia sudah mati?" Lu Ie Lam mengajukan pertanyaan

Can Ceng Lun menganggukkan kepala, “Siapakah kawan itu?" Karena kulit tubuh dan muka telah dibeset bersih, Hakim Hitam tidak dapat mengenal wajah asli sang korban.

“Seorang berewok yang tidak kuketahui namanya” Lu Ie Lam memberi keterangan “Menurut keterangan laki2 berkerudung hitam yang melarikan diri itu, sikorban tidak berkepandaian tinggi, tetapi mereka membutuhkan kulit tubuh dan wajahnya”

Can Ceng Lun menatap wajah Lu Ie Lam “Tentunya telah lama kau ditotok mereka. Sampai kini berhasilkah membebaskan diri?"

Lu Ie Lam menyeringai “Ilmu totokan sangat istimewa. Telah kujajal sampai beberapa kali, tetapi tidak berhasil”

“Hm... ilmu totokan dari aliran manakah sehebat itu?”

“Dikatakan totokan istimewa. Bila dibiarkan dan diam saja, dua jam kemudian peredaran jalan darah akan bebas sendiri”

Si Hakim Hitam Can Ceng Lun terdiam, beberapa saat kemudian, ia bergumam, “Hanya dua macam ilmu totokan istimewa yang beredar didalam rimba persilatan. Satu ialah ilmu totokan Nie Wie Kong dari pulau Bola Api, yang lain ialah totokan Ngo-kiat Sin-mo Auw-yang Hui”

“Betul" Berkata Lu Ie Lam. “Sebelum berhasil menggembleng dirinya menjadi seorang terpandai tanpa tandingan Nie Wie Kong berjanji tidak meninggalkan pulau Bola Apinya, sedangkan Ngo-kiat Sin-mo Auw-yang Hui telah binasa, ilmu silatnya telah dipunahkan tidak ada ahli waris. Dua murid yang ditetapkan hanya menyaksikan ilmu Seni Lukis dan ilmu catur. Mereka dilarang mempelajari ilmu silat. Kecuali anak murid dua orang ini, tidak ada tokoh ketiga."

Mereka tidak berhasil menemukan asal usul laki- berkerudung hitam tadi, entah anak murid Ngo kiat Sin-mo Auw-yang Hui atau anak murid Nie Wie Kong dari pulau Bola Api.

“Bagaimana keadaan diri saudara Lu?" Beberapa saat kemudian, Can Ceng Lun mengajukan pertanyaan ini.

“Kecuali kaki tidak dapat bergerak, tidak terasa sesuatu yang aneh." Lu Ie Lam memberi jawaban.

“Bagaimana saudara Lu bisa barada ditempat ini?" Bertanya lagi si Hakim Hitam Can Ceng Lun.

Lu Ie Lam menceritakan bagaimana ia dapat mencuri dengar percakapan dua orang dirumah makan, dikota Siang-yang, karena perangkap mereka dipasang bagus, ia tertipu dan berhasil dijaring jala urat sapinya sikerudung hitam.

“Dua orang itu ternyata komplotan mereka." Lu Ie Lam mengakhiri ceritanya dan menunjuk kearah seorang berbaju hitam yang telah ditotok oleh Can Ceng Lun.

Si Hakim Hitam menarik leher baju orang itu, setelah membebaskan totokannya, ia menggeram: “Hei, kenalkah siapa yang sedang kau hadapi?"

Orang berbaju hitam itu menunjukkan rasa takutnya, dengan gemetaran ia berkata: “Kau siorang tua adalah Hakim Hitam Can Ceng Lun."

“Bagus." Can Ceng Lun mengeluarkan suara dari hidung. “Kau kenal siapa diriku. Kini katakanlah, siapa majikanmu dan dengan alasan apa membeset kulit manusia?"

Orang berbaju hitam itu kenal siapa orang tua berbaju hijau yang berada dihadapannya, tentu kenal baik sifat2 si Hakim Hitam. Wajahnya menjadi pucat, tubuhnya lemas lunglai.

“Can tayhiap, kuminta agar kau dapat membunuhku segera." Ia memohon.

“Kata2 ini tidak seharusnya keluar dari mulutmu."

“Bet... betul.... Bukan aku tidak takut mati.... Tetapi   tetapi aku

tidak mengharapkan keluargaku turut mati konyol."

“Majikanmu menggunakan jiwa keluargamu sebagai jaminan supaja kau menutup rahasia?"

“Betul. Mereka akan disiksa sehingga mati."

“Suatu bukti, betapa kejam orang yang kau pilih sebagai junjungan itu, mengapa kau suka bekerja padanya?"

“jiwaku telah dibeli dengan 1.000 tail perak." “Dengan jaminan seluruh keluarga?" “Betul."

“Belum lama berselang kusaksikan cara2 memegang pisaumu dan membeset kulit orang tadi tanpa ragu2, tentunya kau telah melakukan pekerjaan ini lebih dari satu kali?"

“Hamba tidak berani melanggar perintah majikan."

“Bila kau bersedia menyebut nama majikanmu, kita dapat meringankan hukuman yang dijatuhkan kepadamu."

“Setelah itu, hamba dan seluruh jiwa keluarga hambapun mati juga." Berkata orang berbaju hitam itu. “Maka, tolonglah Can tayhiap membunuh segera."

“Baik. Meramkan kedua matamu." Orang tersebut semakin takut.

“Mengapa harus memeramkan mata?" Ia bertanya gemetaran. “Meramkanlah matamu." Can Ceng Lun membentak.

Orang berbaju hitam itu tidak berani membantah, ia memeramkan kedua matanya.

Can Ceng Lun menurunkan telapak tangannya tepat diubun-ubun orang, maka orang berbaju hitam itu menggetar sebentar, kemudian tubuhnya jatuh menggeletak, ia mati cepat,

Lu Ie Lam benci kepada orang berbaju hitam itu, hampir saja kulitnya dibesei-beset olehnya. Kini disaksikan ia telah mati. Tidak ada yang harus diusut lagi.

“Orang ini mati terlalu enak." berkata si Duta Nonor 8 kita.

Can Ceng Lun tidak bicara. Ia memayang tubuh bekas kawan sejawat itu berkata: “Mari, kita segera meninggalkan tempat ini."

Sebelum mereka mengangkat kaki dari tempat kejadian, tiba2 terdengar suara orang: “Eh, saudara Keng disini ada sesosok mayat."

“Aaaaah.... Kulit   sekujur   badannya   telah   diambil   orang." terdengar suara orang yang dipanggil saudara Keng itu. “Sungguh kejam."

“Tokoh silat aliran manakah yang melakukannya?" “Kulihat jatuh dari tempat itu, maka kita tengok."

Dua bayangan melayang naik dan tiba ditempat hadapan Lu Ie Lam dan Can Ceng Lun. Dua orang yang baru datang adalah seorang gemuk, seorang kurus, umur mereka berada diatas 50 tahunan. Hidungnya melengkung, bengkok kejam, matanya celilatan, biasa kita menyebutnya sebagai mata bajingan, tentu bukan manusia baik2.

Can Ceng Lun telah dapat mendengar kata2 percakapan dua Orang ini, bila ia mau, dengan mudah dapat menggendong Lu Ie Lam, meninggalkan tempat kediadian. Tetapi sifat2nya tidak lepas dari seorang 'Hakim' kukuh sekali. Diketahui bukan mereka yang melakukan pembesetan kulit manusia, tidak perlu takut berhadapan dengan orang. Maka ia tidak lari dan diam menunggu kedatangan kakek gemuk dan kurus itu.

Kakek gemuk dan kurus telah berhadap-hadapan dengan Lu Ie Lam dan Can Ceng Lun, rasa terkejutnya tidak terhingga, tetapi hanya didalam sekejap mata saja. Mereka berkepandaian sangat tinggi, kecuali para tokoh setengah dewa dan tokoh2 jahat setengah iblis, siapapun tidak ditakutinya.

Sikakek gemuk tertawa cekikikan, memandang kawannya berkata: “Saudara Eng, bila mataku tidak lamur, dua orang ini adalah Duta Nomor 4, si Hakim Hitam Can Ceng Lun dan Duta Nomor 8, si Pendekar Penggembara Lu Ie Lam."

Kakek kurus yang dipanggil saudara Eng itu berdehem. “Betul....

Betul...." Ia membenarkan dugaan kawannya. “Dua belas Duta Istimewa Berbaju Kuning dari kesatuan Su-hay-tong-sim beng adalah tokoh2 silat kelas satu. Tidak mudah untuk bertemu dengan mereka, apalagi mendapat pelajaran ilmu silat. Kita telah bersua, sudah selayaknya bila memberi hormat." Betul2 mereka membungkukkan setengah badan, tanda penghormatan.

Can Ceng Lun membalas hormat itu, dengan dingin berkata: “Aku telah melepaskan jabatan Duta Istimewa Berbaju Kuning, jangan kalian terlalu banyak penghormatan."

Kakek gemuk tertawa, kedua matanya yang sipit hampir merapat menjadi satu garis panjang.

“Meninggalkan baju kuning dan mengerjakan pembesetan kulit manusia, memang luar biasa." Ia langsung menuduh dua orang itu sebagai pembunuh si-laki2 berewok yang sudah tidak ada kulit pembungkus tubuh.

Can Ceng Lun mempunyai kesabaran bagus, matanya menatap tajam2 dan bertanya: “Tuan mempunyai pengalaman luas, maka sekali lihat sudah tahu ada terjadi penjagalan manusia. Bahkan lebih dari itu, yang lebih hebat lagi ialah mengetahui siapa yang melakukan pembunuhan2 ditempat ini. Bagaimanakah nama panggilan tuan yang mulia?"

“Ingin tahu namaku?" Berkata sikakek gemuk. “Sangat mudah sekali. Ingat2lah, tokoh2 silat pada 50 tahun yang sudah silam. Tentu kau dapat menduga segera."

Wajah Lu Ie Lam berubah. “Kalian Iblis Gemuk dan Iblis Kurus?" ia mengeluarkan dugaannya.

Dugaannya ternyata tepat, mereka adalah tokoh jahat yang pernah mengacau dunia persilatan pada 30 tahun yang lalu. Entah bagaimana masih hidup didalam dunia dan menampilkan diri kembali. Yang gemuk adalah Iblis Gemuk Keng Lie dan satunya ialah si Iblis Kurus Eng Hian.

Iblis Gemuk Keng Lie tertawa. “Tepat." Ia memberikan jawaban. “Kaki Lu tayhiap tidak bebas bergerak?"

“Ia mengalami Co-hwe-jip-mo, tetapi tidak hebat." Hakim Hitam Can Ceng Lun menyela, “Didalam sekejap mata, iapun dapat sembuh lagi." Co-hwe-jip-mo berarti sesat melatih ilmu, masuk kedalam neraka. Istilah ini biasa digunakan didalam ilmu silat. Siapa yang salah melatih diri, maka Peredaran darahnya sesaat kelain tempat.

“Hebat... Hebat...” Iblis Gemuk Keng Lie berkata. “Kalian berdua melatih diri sambil menikmati pembesetan kulit manusia? Sungguh luar biasa Sungguh luar biasa."

Tuduhan pembesetan kulit manusia itu tetap dijatuhkan kepada Lu Ie Lam dan Can Ceng Lun.

Memang 'bukti nyata' ini dapat diatur dengan satu rencana bagus. Dengan mudah dapat 'menangkap basah'.

“Kalian melihat bahwa kami membunuh dan membeset kulit manusia?" Can Ceug Lun mengajukan pertanyaan.

Iblis Gemuk Keng Lie menghentikan tertawanya, seolah-olah menujukkan rasa terkejut. “Bukan kalian yang membeset kulit, membunuh orang?" Pertanyaannya disertai dengan rasa tidak percaya.

“Betul." Can Ceng Lun membenarkan.

“Dapatkah kau memberi tahu, tokoh aliran manakah yang mempunyai hobby kesukaan membeset kulit manusia?" Iblis Gemuk Keng Lie mengajukan pertanyaan.

“Seorang laki2 berkerudung hitam dengan warna pakaian warna hitam." Berkata Can Ceng Lun singkat.

“Hanya keterangan seperti ini yang dapat kau berikan?" “Betul. Keteranganku hanya seperti ini"

Iblis Gemuk Keng Lie tidak henti2nya mengeluarkan suara dari hidung: “Hm.... Hm....” Kemudian memandang kawannya berkata: “Saudara Eng, nama Iblis Gemuk dan Kurus tidak terlalu bagus. Kini kita muncul didalam dunia persilatan untuk kedua kalinya. Nama ini harus kita perbaiki, berilah bukti kepada kawan2 kita ini, bahwa kitapun bersedia membela keadilan dan kebenaran."' “Bagus." Berkata si Iblis Kurus Eng Hian. “Saudara Keng ingin membekuk mereka, menyerahkan kepada Su-hay-tong-sim-beng, memberi tahu perbuatan2 terkutuk yang telah dilakukan olehnya?"

“Tepat." Berkata si Iblis Gemuk Keng Lie. “Ingin kutegur Hong- lay Sian-ong tokoh silat yang dikatakan orang setengah dewa itu, mengapa membiarkan dua Duta Istimewa Berbaju Kuningnya melakukan pembesetan kulit manusia?"

“Rencana bagus." Berkata Iblis Kurus Eng Hian. “Mari kita bekuk dan ringkus dahulu."

Dua orang telah mengeluarkan senjata mereka yang berupa pedang2 pusaka, terbukti dari sinarnya yang sangat bercahaya, dari kiri dan kanan, Keng Lie dan Eng Hian mendekati si Hakim Hitam Can Cen Lun.

Ternyata, setelah mengetahui bahaya apa yang mengancam dan terbentang dihadapan mereka, Can Ceng Lun telah mendudukkan Lu Ie Lam sedangkan ia sendiri telah siap menghadapi dua Iblis itu.

Semakin lama, dua pedang itu semakin dekat.

Can Ceng Lun mengeluarkan suara dingin: “Tiga puluh tahun yang lalu, siapakah yang tidak gentar untuk menghadapi Iblis Gemuk Keng Lie dan Iblis Kurus Eng Hian. Tetapi belum pernah mereka menghadapi seorang berbareng. Kini kalian muncul untuk kedua kalinya, mengapa merubah sistim bertempur lama?"

“Hm... Hm... Suatu bukti betapa tinggi penghormatan kita kepada si Hakim Hitam Can Ceng Lun. Kukira kau sudah menjadi takut dan gentar?"

“Tidak. Kini aku teringat suatu persoalan." Berkata Can Ceng Lun. “Kulihat kalian menginginkan yang mati, tetapi bukan yang hidup."

Keng Lie dan Eng Hian tidak dapat mengerti kata2 Can Ceng Lun, pedang mereka telah bergerak cepat, menusuk kearah dua jalan darah kematiannya.

Bila ada seorang tokoh tua yang menyaksikan pertandingan ini, tentu dapat dilihat bahwa tidak lebih dari 100 jurus, Can Ceng Lun pasti mati dibawah tusukan2 pedang Keng Lie dan Eng Hian.

Ternyata, sepasang iblis aneh itu adalah tokoh silat tua yang satu jaman dengan Ngo-kiat Sin-mo Auwyang Hui. Sepintas lalu, umurnya seperti belum sampai 60, tetapi umur pastinya diatas sembilan puluhan. Ilmu kepandaiannya hanya terpaut sedikit dibawah Ngo-kiat Sin-mo Auw-yang Hui dan Hong-Ing Sian-ong. Suatu hari telah dikalahkan oleh seorang tokoh setengah dewa dan dipaksa mengeram didalam lembah sunyi. Mana tahu, ia dapat menampilkan diri ditempai ini, tentu saja, Dua belas Duta Istimewa Berbaju Kuning Su-hay tong-sim-heng bukan tandingannya. Termasuk si Hakim Hitam Can Ceng Lun.

Bila tidak terjadi keanehan atau keajaiban, pasti jiwa Can Ceng Lun melayang dibawah pedang2 mereka.

Si Hakim Hitam Can Ceng Lun maklum akan hal tadi. Tetapi ia masih memberikan perlawanannya kepada dua iblis itu.

“Kuharap saja kalian tidak menyesal." Menyingkir dari serangan mereka, Can Ceng Lun berkata.

Iblis Gemuk Keng Lie dan iblis Kurus Eng Hian menarik pedang. “Hei, apa yang kau ucapkan tadi?" Berbareng mereka bertanya.

“Sepasang pedang dari Iblis Gemuk dan Kurus telah ditenggelamkan didasar Telaga Pedang. Apakah yang berada ditangan kalian?" Can Ceng Lun menatap dua iblis itu.

Wajah Keng Leng dan Eng Hian berubah pucat. “Kau.     "

“Dua puluh tahun tidak berjumpa dengan kalian, tentunya telah berhasil meyakinkan ilmu kepandaian hebat yang baru. Tetapi seharusnya kalian tidak melupakan janji ditahun itu, pikirlah masak2, agar tidak menyesal."

Wajah si Iblis Gemuk Keng Lie ber-ubah2, ia sangat terkejut dengan kata2 tadi, terlihat juga rasa takutnya. Beberapa lama perubahan wajah itu berlangsung, akhirnya ia membuka suara, kali ini agak lunak: “Waktu itu kau juga turut serta?"

“Bila aku turut serta, tadi aku tidak perlu menanyakan namamu." “Dia hanya mendengar cerita orang saja." berkata Iblis kurus Eng

Hian “mana mungkin turut serta. Bila ia berani    "

“Eng Hian." tiba2 Can Ceng Lun membentak, “tulup mulut."

Si Iblis Kurus Eng Hian berhasil digertak, ia mundur selangkah.

Tetapi ia tidak puas.

“Pertunjukkanlah satu macam cara itu, kita segera angkat kaki meninggalkan tempat ini." Ucapannya agak mengandung permohonan.

Can Ceng Lun menjadi tidak sabaran. “Kukira, kalian telah melupakan janji itu." ia berkata dingin

“Kita tidak lupa," Berkata Iblis gemuk Keng Lie. “Harapanku ialah agar kita tidak tertipu. Bila kau dapat mempertunjukkan satu macam saja, kita orang tidak akan turut campur perkara lagi,"

Can Ceng Lun berkata sungguh2: “Tiga jurus Pukulan Geledek bukan ilmu sembarangan, sekali lepas pasti mencelakai orang. Bila kalian ingin menyaksikan, boleh saja. Hanya kerugian ini harus dipikul sendiri”

Kedua kaki si Hakim Hitam dipentang lebar berbentuk letter L besar, badannya dimiringkan kesamping, telapak tangan kiri ditujukan kalau seolah-olah mau menyanggah langit, tangan kanan diratakan sehingga pundak arah tujuannya ialah kedepan, sikut ditekuk, gerakan ini adalah suatu tanda ingin melontarkan pukulan hebat.

Iblis gemuk Keng Lie dan Iblis kurus Eng Hian menjadi pucat, mulut mereka berteriak, tubuhnya dibalikkan dan melarikan diri cepat. Didalam sekejap mata, tidak terlihat bayangan-bayangan dua iblis ini.

Kejadian itu turut disaksikan oleh Lu Ie Lam, Pendekar Pengembara ini heran, tidak mengarti, bagaimana dua tokoh jahat itu dapat dilarikan oleh beberapa gerakan tangan?

Setelah bayangan2 dua iblis itu lenyap tidak terlihat, tanpa bicara sama sekali, secepat kilat si Hakim Hitam Can Ceng Lun menyambar tubuh Lu Ie Lam, memilih tempat gelap, iapun meninggalkan tempat tadi cepat.

Lari sehingga 5 pal, baru Can Ceng Lun meletakan tubuh kawannya mereka memilih tempat yang agak aman, menempatkan diri.

Can Ceng Lun memandang kelangit, bulan sabit tertampak di- sela2 pohon, la mengeluarkan suara keluhan panjang dan berkata: “Sudah pukui 4, bila keterangan laki- berkerudung hitam itu betul. Satu jam lagi, saudara Lu bebas dari totokan istimewa."

Lu Ie Lam memandang wajah kawannya dia bertanya: “Saudara Can, bagaimanakah kejadian tadi terjadi? Sungguh2 membuat aku tidak mengerti."

Can Ceng Lun tersenyum. “Saudara Lu merasa heran, bukan?" ia balik bertanya.

‘Betul. Apakah janji dua iblis itu? Mengapa mereka takut kepada Pukulan Geledekmu?" Duta Nomor 8, Lui Ie Lam agak bingung.

“Bolehkan aku tidak menjawab pertanyaan ini?" Berkata Can Ceng Lun yang tidak ingin menceritakan kejadian lama

“Tentu saja boleh." Lu Ie Lam tertawa. “Aku tidak memaksa kesulitanmu."

“Saudara Lu turun gunung tentu dengan suatu tugas penting, apakah tugas itu?" Bertanya Can Ceng Lun.

Lu Ie Lam menghela napas panjang. “Tidak lama, setelah Ie Lip Tiong menjalani hukuman, seorang 'Kuda cepat' Bu-tong-pay datang membawa berita tentang munculnya pemuda misterius berkerudung hitam. Dua pelindung hukum Bu-tong-pay dibunuh olehnya "

“Aku tahu." Potong Can Ceng Lun. “Su-hay-tong-sim-beng salah memberi putusan." “Gerakan pemuda berkerudung hitam itu terlalu gesit, tidak mudah dicari jejaknya. Aku pernah bertemu muka dengan si Pedang Penakluk Kang-ouw, It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw, tidak kusangsikan akan keakhliannya didalam bidang ini. Maka aku ditugaskan meminta bantuannya. Kini sedang berada didalam perjalanan menuju kekota Tiang-an."

“Hm.... It-kiain-tin-bu-lim Wie Tauw?" Can Ceng Lun mengeluarkan suara dari hidung. “Dapatkah ia inenyelesaikan perkara ini?"

“Kupastikan ia dapat mengetahui siapa pemuda berkerudung hitam itu?" Berkata Lu Ie Lam. “Setidak-tidaknya dapat menyelidiki dan memberi tahu, dimana tempat sarangnya komplotan pemuda berkerudung hitam itu."

“Kau terlalu percaya kepada It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw," “Perkara yang telah diterima olehnya belum pernah mengalami

kegagalan." Berkata Lu Ie Lam. “Seperti penangkapan Ie Lip Tiong, bila tidak ada tokoh ajaib ini, kukira belum tentu dapat menemui dimana ia menyembunyikan diri."

Teringat perkara Ie Lip Tiong, Si Pendekar Penggembara Lu Ie Lam malu kepada diri sendiri. Bila bukan dirinya yang meminta bantuan perusahaan Boan-chio Piauw-kiok, bila bukan dirinya yang membawa ke Su-hay-tong-sim-beng. Pemuda itu tidak akan binasa. Ia menghela napas.

Can Ceng Lun menghadapi sang kawan, tanpa banyak bicara. “Saudara Can, aku tidak mengarti, mengapa kau telah

mengambil langkah itu?" Inilah suara Lu Ie Lam yang mengajukan pertanyaan kepada si Hakim Hitam.

Can Ceng Lun tertawa. “Tentang jabatan Duta Nomor 4, didalam Barisan Istimewa Berbaju Kuning Su-hay-tong-sim-beng?” Ia tertawa.

Lu Ie Lam menganggukkan kepala. “Permintaan saudara Can yang ingin membunuh Ie Lip Tiong, sudah sangat aneh dan tidak mudah dimengerti. Disusul dengan peletakan jabatan mendadak, lebih membingungkan orang. Bolehkah saudara Can memberi sedikit penjelasan?"

“Apa yang ingin kau ketahui sudah kukatakan di itu waktu." Berkata Can Ceng Lun.

“Su-hay-tong-sim-beng sedang membutuhkan tenaga, tetapi saudara Can pergi begitu saja, berapa banyak kerugian yang kita harus derita?"

“Kuharap saudara Lu tidak menyebut soal ini lagi." Berkata Can Ceng Lun.

“Baiklah. Siawte berterima kasih. Bantuan saudara Can telah mengembalikan jiwa siawte yang sudah berada dipintu akherat. Biar bagaimana, siawte pasti mengingat budi ini. Bila saudara Can ada kepentingan lain, silahkan mengurus segera."

Can Ceng Lun menggeleng-gelengkan kepala. “Aku akan menunggu sehingga totokan yang mengekangmu itu bebas sama sekali." Ia berkata.

“Terlalu menyusahkan saja."

“Sudahlah. Sebelum kau dapat bergerak, aku tidak akan pergi." Lu Ie Lam tidak bicara lagi, ia memejamkan kedua matanya,

mengatur peredaran jalan darah dengan tenang.

Can Ceng Lun menjaga disamping bekas kawan sejawat itu.

Awan melayang perlahan, menembus rembulan dan achirnya pecah menjadi beberapa bagian.

Satu jam kemudian....

Menyelang subuh. Dari jauh, terdengar suara ayam jago yang mulai berkokok. Lu Ie Lam belum berhasil membebaskan totokkan orang berbaju dan berkerudung hitam itu. “Hebat, entah ilmu kepandaian apa yang digunakan olehnya." Ia mengoceh perlahan.

“Bagaimana keadaannya?" Berkata Can Ceng Lun. “Agak mendingan." Berkata Lu Ie Lam. “Sebentar lagi, hari akan terang."

“Betul. Siawte kira, totokan itu akan bebas sendiri."

“Setelah saudara Lu kembali kegunung Lu-san, bila bertemu dengan bengcu, kukira boleh mengajukan pertanyaan kepadanya. Ilmu totokkan aliran manakah yang sehebat ini? Dengan ilmu dan pengetahuan bengcu yang luas, pasti ia dapat memberikan jawaban."

“Betul." Berkata Lu Ie Lam. “Bila saudara Can tidak keberatan,. siawte ingin bertanya kepadanya, tentang asal usul tiga jurus pukulan geledek itu”

Can Ceng Lun tertawa panjang. “Saudara Lu memang tidak boleh melihat kawan senang. Suka menyelidiki semua rahasia orang."

Lu Ie Lam segera merasakan saluran darah yang bebas, tangannya dapat digerakkan, totokan yang mengekang dirinya telah bebas.

"Haa haa...." ia berteriak girang. “Siaotee tidak mempunyai maksud jahat."

“Aku tidak dapat melarangmu." Can Ceng Lun berkata.

Setelah disaksikan Lu Ie Lam dapat bergerak bebas. Can Ceng Lun merangkapkan kedua tangannya, ia meminta diri.

“Kau telah bebas. Selamat bertemu lagi."

Tubuh si Hakim Hitam melesat, meninggalkan Lu Ie Lam “Kemana saudara Can pergi?" Lu Ie Lam mengajukan

pertanyaan.

“Tidak akan mengganggu ketenangan dunia," Berkata Can Ceng Lun tanpa menoleh ke belakang. “Jangan khawatir."

Lu Ie Lam memandang bayangan kawan yang telah lenyap itu. Ia menghela napas panjang. Sungguh disayangkan, mengapa ia meletakkan jabatan Duta Istimewa Berbaju Kuning Su-hay-tong- sim-beng?

Jawaban ini akan diketahui dikemudian hari.

Singkatnya cerita, Lu Ie Lam melanjutkan perjalanan kearah kota Tiang-an.

Kota Tiang-an.....

Pada suatu hari, dipintu perusahaan Boan-chio Piauw-kiok dikota Tiang-an kedatangan seorang pengemis tua. Pengemis ini memperhatikan pintu perusahaan si It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw.

Boan-chio Piauw-kiok berdiri megah, tidak ada sesuatu jarg dapat menggangu perusahaan yang aneh ini.

Terlihat pengemis tua itu masuk kedalam pintu perusahaan Boan- chio Piauw-kiok.

Dua pengawal perusahaan maju menghampiri, mereka memberi hormat dan mengajukan pertanyaan, apa maksud kunyungan sipengemis ke-perusahaan mereka?

Pengemis tua membalas hormat, ia membuka suara: “Tuan Wie Tauw ada dirumah?"

Dua pegawai itu memperhatikan sang tetamu. Mungkinkah seorang pengemis sanggup membayar jasa upah yang mereka tetapkan?

“Ada urusan apakah ingin mencari beliau?" Mereka mengajukan pertanyaan.

“Aku ada membawa surat titipan orang yang harus disampaikan kepada pemimpin kalian pribadi." Demikian pengemis tua itu berkata.

Dua pegawai perusahaan saling pandang.

Sipengemis betul2 mengeluarkan sepucuk surat, kemudian diserahkan kepada dua orang tersebut. Dua orang Wie Tauw memeriksa surat, mereka harus percaya keterangan tamu aneh itu:

“Kau tunggu disini," Berkata mereka.

Seorang membawa surat masuk kedalam. Seorang lagi tetap mengawasi pengemis yang mereka curigai itu.

Tidak lama, terlihat It-kiam-tiu-bu-lim Wie Tauw tampil di muka pintu, la memberi hormat kepada pengemis itu.

“Wie Tauw tidak tahu kedatangan Cianpwee," ia berkata, “maafkan penyambutan mereka yang kurang sempurna."

Sang pengemis membalas hormat Wie Tauw dengan rangkapan tangan. “Cong-piauw-tauw terlalu merendah diri."

“Silahkan masuk kedalam." Wie Tauw membungkukkan setengah badan.

Sipengemis mengayun kaki dan masuk kedalam pekarangan Boan-chio Piauw-kiok.

Dua pegawai perusahaan saling pandang, mengarti mengapa pemimpin perusahaan berlaku hormat kepada seorang pengemis? Beruntung mereka tidak berlaku kurang ajar kepada pengemis itu. Bila tidak, mungkin kedudukan mereka copot dari perusahaan.

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw langsung mengajak pengemis itu masuk kedalam ruang tamu. Disana, ia menyilahkan sitamu duduk. Setelah menyuruh orang menyediakan air minum, baru Wie Tauw tertawa. “Lu tatsu mengapa menggunakan pakaian itu?" It-kiam-tin- bu-lim Wie Tauw mengajukan pertanyaan.

Pengemit tua itu terkejut, kemudian ia tertawa terbahak2. “Ha ha ha... Cong-piauw-tauw lihay!" Topi pengemisnya dibuang, rambutnya ditarik, maka setelah penyamarannya terbuka, terlihatlah wajah si Pendekar Pengembara Lu Ie Lam, Duta Nomor 8 dari Su- hay-tong-sim-beng itu. Pengemis itu adalah Lu Ie Lam!

“Lu tatsu mengapa menyamar menjadi seorang pengemis?" Wie Tauw mengulang pertanyaannya. “Aku ingin memberi tugas baru." Berkata Lu Ie Lam. “Bagus. Tugas apa itu?"

“Tugas berat. Kukira sama saja dengan mendorong perusahaan Boan-chio Piaw-kiok kedalam lembah kehancuran."

“Lembah kehancuran?"   Wie   Tauw   mengulang.   “Hebat!....

Hebat!   Tugas apakah yang dimaksudkan?"

Lu Ie Lam memandang kearah kanan dan kiri ruangan itu, ia bertanya: “Mo piauwsu sudah kembali?"

“Sudah." Wie Tauw menganggukkan kepala.

“Dimanakah kini ia berada?" Lu Ie Lam belum puas dengan jawaban yang diterima.

“Ada sesuatu yang akan diurus, kini tidak berada didalam perusahaan."

“Bilakah ia kembali?"

“Setelah menerima uang sebanyak 7.000 tail perak itu, segera balik kembali keperusahaan dahulu." Wie Tauw ternyata adalah seorang yang sangat sabar.

“Cong-piauw-tauw belum mendapat kabar itu?" Lu Ie Lam menatap wajah pemimpin perusahan aneh itu tajam2.

“Kabar tentang apa?" Wie Tauw ber-pura? bodoh.

“Kematian Ie Lip Tiong." Setelah mengucapkan kata2 ini, wajah Lu Ie Lam ditundukkan kebawah. Ia merasa menyesal sekali telah menangkap pemuda berbakat bagus tersebut.

SIAPA IT-KIAM-TIN-BU-LIM WIE TAUW?

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw mengusap janggutnya, seolah-olah tidak mempunyai sangkut paut dengan Ie Lip Tiong. “Bila tidak sanggup mengeluarkan fakta yang dapat membuktikan bahwa pemuda berkerudung hitam itu bukan jelmaannya, sudah tentu tidak ada orang yang percaya. Mana mungkin tidak mati?" Inilah ucapan yang keluar dari Wie Tauw.

Lu Ie Lam menghela napas, katanya: “Pokok persoalan telah menjadi jelas. Ada sesuatu komplotan yang memfitnah Ie Lip Tiong. Su-hay-tong-sim-beng telah mengetahui hal ini, kita salah membunuh orang."

Wie Tauw masih mengelus-elus janggut. “Setelah Ie Lip Tiong mati, Su-hay-tong-sim-beng mendapat berita bahwa pemuda misterius itu muncul dan membunuh orang lagi?" Ia mengajukan pertanyaan.

“Betul. Dua pelindung hukum Bu-tong-pay, Kho-chui dan Kho- hwee telah menjadi korban yang berikutnya. Sayang berita ini datang terlambat tiba diatas gunung Lu-san, setelah kepala Lu Ie Lam jatuh ditanah, putus sama sekali. Hanya beberapa menit saja dari kejadian itu,"

“Sungguh sayang sekali." Berkata Wie Tauw.

“Akulah yang membawanya kegunung Lu-san." Berkata Lu Ie Lam.

“Lu tatsu hanya menerima perintah atasan, bukan?" berkata Wie Tauw menatap wajah Duta Nomor 8 itu.

“Bila aku tidak menangkap Ie Lip Tiong, tentu ia tidak mati penasaran seperti itu." Berkata Lu Ie Lam penuh penyesalan.

“Aku belum mengerti maksud kunjungan Lu tatsu ini?" Berkata Wie Tauw.

“Mengingat ilmu kepandaian, dan bakat2 kepintaran yang Cong- piauw-tauw miliki, kedudukan yang terbagus ialah menghadiahkan gelaran Duta Nomor 13 dari Barisan Istimewa Berbaju Kuning Su- hay-tong-sim-beng," berkata Lu Ie Lam. “Sayang Cong-piauw-tauw tidak memandang mata kepada jabatan ini. Setelah mendapat persetujuan bengcu kami, Su-hay-tong-sim-beng bersedia menghadiahkan 20.000 tail perak sebagai uang jasa untuk menangkap pemuda berkerudung hitam yang misterius itu."

Wie Tauw tidak segera memberikan jawaban, sebaliknya menatap wajah Lu Ie Lam dahulu. Demikian sehingga berselang lama, baru ia bicara: “Maafkan bila aku terlalu lancang, diantara 12 Duta Istimewa Berbaju Kuning itu, tidak satukah yang berdaya untuk menghadapi seorang pemuda berkerudung hitam?"

Wajah Lu Ie Lam menjadi merah, ia malu atas kemampuan para Duta Isttmewa Berbaju Kuning yang mengalami kegagalan.

“Tinggi rendahnya ilmu seseorang tidak akan menentukan kehidupan," ia berkata, “seperti apa yang cong-piauw-tauw telah maklum, Su-hay-tong-sim-beng meminta bantuan Boan-chio Piauw- kiok bukan disebabkan kalah kekuatan, tetapi menggunakan kepandaian cong-piauw-tauw yang pandai mengatasi tokoh2 golongan hitam. Didalam hal inilah yang menjadi kekurangan 12 Duta Istimewa Berbaju Kuning."

Wie Tauw menganggukkan kepala. “Apa yang Lu taysu kemukakan memang masuk diakal. Didalam catatan tokoh2 rimba persilatan tidak ada keterangan tentang pemuda berkerudung hitam itu. Tetapi, biar bagaimana, aku akan berusaha mencarinya. Menggunakan kekuasaan Boan-chio Piauw-kiok, mungkin ada lebih mudah dari 12 Duta Istimewa Berbaju Kuning yang mengerjakannya."

“Cong-piauw-tauw bersedia menerima tugas ini?" Lu Ie Lam menjadi girang.

“Maksud tujuan pemuda misterius berkerudung hitam itu ialah memfitnah Ie Lip Tiong Gerak geriknya sangat hati2, tentunya tidak mudah untuk menemukannya. Terus terung, aku belum mempunyai pegangan yang kuat."

“Tentu. Bila Boan-chio Piauw-kiok gagal menemukan pemuda berkerudung hitam itu, kami Su-hay-tong-sim-beng tidak akan menyalahkan Orang." “Sebetulnya, apa yang Boan-chio Piauw-kiok terima, belum pernah mengalami kegagalan. Hanya kali ini agak sulit, harapanku ialah agar Lu taysu dapat memberi waktu yang agak panjang.

“Oh, tentu. Satu setengah tahunpun tidak menjadi soal." “Nah, tentang hadiah upah jasa, kukira. "

“Kuharap cong-piauw-tauw jangan terlalu menggorok orang." Lu Ie Lam memotong pembicaraan orang.

Wie Tauw terhenti meneruskan kata2nya, ia melengak sebentar. Kemudian tertawa terbahak-bahak. “Lu tatsu," ia berkata, “kau memang pelit sekali."

“Bukan pelit." Berkata Lu Ie Lam. “Sebagai seorang langganan, tentunya wajib meminta potongan, bukan?"

“Ha ha..." Wie Tauw tertawa. “Kali ini Boan-chio Piauw-kiok berlaku sosial. Tidak berhasil menangkap pemuda berkerudung hitam itu, kami tidak menerima uang Su-hay-tong-sim beng. Andai kata berhasil menangkap dirinya, kamipun tidak meminta upah jasa."

“Bukan maksudku sayang mengeluarkan uang hadiah itu. Cong- piauw-tauw tentunya salah paham. Maksudku ialah. "

Wie Tauw mongulap ulapkan tangan, katanya: “Dengarlah dahulu, kata2ku belum selesai."

“Cong-piauw-tauw tidak bersedia menerima upah jasa, Apa pula yang dikehendaki?"

“Yang kuhendaki ialah kedudukan Duta Istimewa Berbaju Kuning yang ke-13 itu."

Lu Ie Lam belum mengerti, tidak terasa ia berteriak: “Dahulu, Cong-piauw-tauw menolak tawaran Duta Nomor 13. Mengapa sekarang mengubah pendapat lama?"

“Waktu itu, aku tidak tertarik dengan kedudukkan Duta Nomor 13 karena keuangan yang Boan-chio Piauw-kiok dapat belum cukup banyak. Kini kukira sudah saatnya untuk menerima."

Lu Ie Lam sangat girang, ia membungkukkan setengah badan, memberi hormat. “Bengcu dan semua kawan Su-hay-tong-sim-beng pasti bergembira mendapat berita ini, maka aku Lu Ie Lam mewakili mereka mengucapkan terima kasih kepadamu. Selamat berjuang didalam pergerakkan Su-hay tong-sim-beng."

Wie Tauw membalas hormat orang. “Jangan terburu buru." Ia berkata.

Lu Ie Lam memandang pemimpin perusahaan aneh Boan-chio Piauw-kiok itu.

“Usul Duta Nomor 13 keluar dari mulut Lu Tatsu, dan Wie Tauw tidak keberatan." Wie Tauw memberi keterangan. “Tetapi Su-hay- tong-sim-beng belum memberi pengesahan."

“Pengesahan segera dilaksanakan dikemudian hari. Hal ini boleh menyusul."

“Wie Touw meminta suatu kelonggaran." “Katakanlah."

“Wie Tauw bersedia mengabdikan diri didalam Su-hay-tong-sim- beng, menjabat Duta Istimewa Nomor 13 dengan syarat tidak melepaskan perusahaan Boan-chio Piauw-kiok. Hal ini meminta kebebasan bergerak yang tidak terikat."

“Kukira tidak menjadi soal."

“Dan harapan Wie Tauw ialah tentang adanya Duta Istimewa Berbaju Kuning Nomor 13 dapat dirahasiakan."

“Mengapa harus dirahasiakan?"

“Kecuali Bengcu, 12 duta istimewa Berbaju Kuning lainnya, lebih baik tidak ada orang yang tahu tentang bertambahnya seorang Duta lstimewa Berbaju Kuning lagi."

“Aku tidak mengarti." “Setelah mengenakan pakaian kuning Duta Istimewa, kita tidak bebas melakukan sesuatu. Orang segera mengetahui siapa yang berada didekatnya dan tidak bebas bicara."

“Oooo.... Memang betul. Sebelum aku mengenakan pakaian Kuning Duta Istimewa, segala sesuatu dapat kuselesaikan cepat. Tetapi belakangan... aku sering mengalami kegagalan”

“Dimanakah letak kesalahan ini?” “Dahulu, kukira nasibku yang tidak baik."

“Karena orang tahu kau adalah Duta Istimewa Su-hay-tong-sim- beng."

“Betul. Maka orang yang mau kutangkap segera melarikan diri." “Agar pemuda berkerudung hitam itu tidak melarikan diri atau

menjauhkan diri dariku, hal ini penting sekali."

“Apa yang cong-piauw-tauw kemukakan se-sungguhnya tepat sekali." Lu Ie Lam tunduk dan takluk betul2.

“Demikianlah pembicaraan kita." Berkata Wie Tauw. “Setelah Lu tatsu kembali kegunung Lu-san. Di hadapan orang banyak harus segera menyatakan bahwa Boan-chio Piauw-kiok menolak tawaran. Kemudian sampaikan kepada bengcu tentang apa yang telah kita rundingkan. Tidak perduli bengcu setuju atau tidak, mulai esok hari, aku segera mencari jejak pemuda misterius berkerudung hitam itu. Tentang Duta Istimewa Nomor 13 boleh kita rundingkan belakangan."

Lu Ie Lam berkata: “Aku tidak keberatan. Untuk memudahkan jalannya penyelidikkan, aku akan memberi beberapa keterangan"

“Kukira Lu tatsu telah menemukan sesuatu kejadian." Berkata It- kiam-tin-bu-lim Wie Tauw.

“Eh, mengapa kau tahu?" Lu Ie Lam heran

“Ilmu kepandaian dan kepintaran Lu tatsu berada diatas orang, biasanya bekerja tanpa menyembunyikan diri. Hari ini menyamar menjadi seorang pengemis, bila tidak menghadapi sesuatu yang aneh, tentu tidak akan berbuat demikian”.

Sekali lagi, Lu Ie Lam harus menyerah. Kepintaran Wie Tauw jauh berada diatas dirinya. “Cong-piauw-tauw, kau hebat." ia mengeluarkan pujian.

Wie Tauw mengambil catatan tokoh2 ternama didalam rimba persilatan 'Bu-lim-beng-jin-lok' dihadapinya buku ini bersama sama sang tamu.

“Lu tatsu boleh mulai bercerita, kejadian apa yang telah menimpa dan mengganggu perjalanan. Kita bersama-sama memeriksa buku ini."

Lu Ie Lam meninggalkan perusahaan   Boan-chio Piauw-kiok dan kembali kegunung Lu-san. Wie Tauw membikin segala persiapan.

Tujuh hari kemudian.......

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw meninggalkan kota Tiang-an, menuju kearah gunung Siong-san, pusat markas Siao-liem-pay.

Hari masih pagi, pemandangan digereja Siao lim-sie masih sepi, Wie Tauw telah tiba didepan pintu gereja itu.

Siao-lim-sie adalah kelenteng yang terbesar untuk daerah Tiong- goan. Letaknya diatas puncak Siao-sek-hong, kitab2 berharga dan arca2 peninggalan jaman kuno tersimpan didalam kelenteng ini.

Biarpun tidak sedikit partay2 dan golongan2 ilmu silat yang mengembang biak disana, mengingat bagaimana Tat-mo Couw-su memasukkan agama dan ilmu silat kedaerah Tiong-goan untuk pertama kalinya, Siao-lim-pay adalah partay yang pertama-tama mendirikan gereja disini.

Kini, Siao-Iim-pay telah mengundurkan diri dari kepemimpinan partay silat, hal ini disebab ikan kemunduran2 yang dicapai oleh anak murid itu. Tapi nama Siao-Iim-pay masih disegani dan tidak dapat disangkal akan kekuatan partay itu. Wie Tauw maklum akan keadaan yang telah kita uraikan diatas, ia harus berhati-hati.

Waktu adalah menjelang musim panas, beruntung pohon2 cemara yang ditanam disekitar gereja Siao-lim-sie sangat banyak, tinggi menjulang ke langit. Hawa tidak dirasakan sangat panas.

Memperhatikan keadaan markas besar partay tua itu, keadaan Wie Tauw menjadi gentar, terlihat 18 hwesio berjubah kuning terbaris rapi, 'Delapan Belas Lo Han' Siao-Iim-pay yang ternama.

'Delapan belas Lo Han' dari gereja Siao-lim sie terkenal akan kegagahan mereka, keistimewaannya ialah, bila kedelapan belas orang ini bekerja sama, maka mereka dapat membendung kekuatan ribuan orang.

'Delapan belas Lo Han' khusus untuk menghadapi tokoh2 silat kuat yang akan mengacau Siao lim-pay.

Kini 'Delapan belas Lo Han’ berdiri didepan pintu membikin penyambutan, bila bukan mendapat kunjungan musuh kuat, tentunya mendapat kunjungan seseorang yang sangat terhormat. Siapakah yang ditunggu oleh Siao-lim-pay? It-kiam-tin-bu-lim Wie Touw berpakaian sebagai orang biasa, orang yang sedang berziarah kegereja Siao-lim-sie. Maka ia maju dengan langkah yang tenang, ia memandang pemandangan indah dipuncak gunung Siao-sek liong.

Semakin lama, jarak diantara 18 Lo Han dan Wie Touw semakin dekat.

Tiba2 muncul seorang hwesio berjubah abu2. ia lari mendekati sang tetamu.

“Sicu ingin mengadakan sembahyang?" Ia mengajukan pertanyaan.

“Betul." Wie Tauw menganggukkan kepala.

"Sangat menyesal. Hari ini ada tamu agung ber kunjungan." “Ada rapat?" “Bukan. Nyonya anggauta dewan Cia hujin beserta putrinya membikin kunjungan”

"Aaaaa......" Wie Touw berteriak, “Cia hujin adalah putri perdana menteri kita, nyonya Cia Sio Su, sorang anggauta dewan yang paling kesohor itu."

Hwesio berjubah abu2 itu merangkapkan kedua tangannya ia tersenyum tidak memberi jawaban. Seolah olah berkata: Kau kenal dengan nyonya itu tentu tahu bagaimana harus membawa diri

It-kiam-tiu bu-lim Wie Tauw tentu mengerti bagaimana harus menyingkirkan diri dari kunjungan tamu agung itu. Apa mau, maksud kunjungannya kegereja Siio-lim-sie dengan maksud2 tujuan tertentu, ia tidak mau pergi begitu saja.

“Sayang...." ia berkata. “Jauh2 aku berkunjung kemari, tiba- disaat yang tidak kebetulan."

“Harapan kami ialah agar sicu dapat menghindarinya" “Harus bagaimanakah dapat menghindari diri?" “Maukah sicu ikut pinceng?"

“Boleh juga."

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw mengikuti di belakang padri berjubah abu2 itu, masuk kedalam kelenteng Siao-lim-sie.

Padri berjubah abu-abu mengajaknya kearah barisan kamar2 yang khusus untuk para pengunjung menginap, ditunjuknya salah satu kawan dan berkata: “Sicu boleh menginap ditempat ini."

Wio Tauw setuju.

Hwesio berjuba abu2 itu meninggalkan kamar, diujung lorong barisan kawan2 tadi ia memanggil perlahan: “U-beng. "

Seorang hwesio pelajan lari datang. “Susiok ada perinlah lain?" Ia memberi penyahutan.

Hwesio berjubah abu2 menunjuk kearah kamar Wie Tauw dan berkata: “Tamu kita itu baru tiba, baik2lah melayani segala kebutuhannya”

“Baik." U-beng, demikian nama hwesio pelayan ini memberikan kesanggupan.

“Bawa air minum dahulu. Tentunya ia lelah." “Baik." U-beng menerima perintah dan lari pergi.

“Tunggu dulu." Seolah-olah lupa memberi pesan, hwesio berjubah abu2 itu memanggil.

U-beng menghentikan langkahnya, ia balik kembali. “Susiok memanggil?" Ia bertanya.

“Betul." Berkata hwesio berjubah abu2. Kemudian dengan suara yang sangat perlahan, ia mengajukan pertanyaan. “Kau masih ingat pesan ketua partay?"

“Teecu tidak berani melupakan." Berkata U-beng dengan hormat. “Berhati-hati kepada setiap tamu baru, apalagi gerak-gerik yang

mencurigakan."

“Teecu akan memperhatikan pesan ini."

“Dan kulihat, tamu kita itu mempunyai latihan ilmu silat."

“Teecu paham akan maksud susiok. Teecu tidak akan meninggalkannya."

“Nah, pergilah."

U-beng pergi kebelakang, menyiapkan segala kebutuhan sang tetamu.

Hwesio berjubah abu2 itu adalah susiok U-beng ia pergi kedepan, turut menyambut kedatangan Cia hujin.

Percakapan dua hwesio tadi dikeluarkan dengan suara pelahan, tetapi bagi Wie Tnuw yang berkepandaian tinggi, tidak sulit mengikuti percakapannya. ia tahu apa yang mereka bicarakan di ujung lorong kamar bagian penerimaan tamu itu. It-kiam-iin-bu-lim Wie Tauw tertawa didalam hati: “Para hwesio Siao-lim sie memang cerdik. Tetapi hwesio berjubah abu2 itu terlalu mengagulkan diri sendiri. Sudah tahu aku pandai silat, masih tidak pergi jauh. Paling sedikit belasan tombak, baru aku tidak dapat mengikuti percakapan itu."

Tiba2 Wie Tauw dikejutkan oleh bunyi lonceng: “Teng.... Teng....

Teng "

Suara ini bergema jauh, berkumandang disekitar daerah itu.

Wie Tauw segera menduga akan kedatangan Cia hujin. Ia tidak puas atas penyambutan yang ber-lebih2an seperti itu, itulah salah satu cara untuk menjilat orang berpangkat.

Terlihat pintu kamarnya teebukti. U Beng Hwesio masuk kedalam kamar, ditangan hwesio itu membawa nampan dengan air minum.

“Sicu silahkan minum." Berkata U-beng meletakkan nampan itu diatas meja.

“Terima kasih. Tamu agung sudah tiba?"

“Betul. Iring2annya luar biasa. 4 gadis pelayan mengikuti ibu dan anak itu. Dibelakang mereka ada tiga puluh pengawal dan seorang kepala keamanan yang berbadan besar."

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw mengkerutkan keningnya. “Berziarah dan sembayang didalam kelenteng harus membawa sekian banyak orang?" Ia mengajukan pertanyaan.

“Mereka adalah putri dan cucu luar perdana menteri, suami Cia hujin adalah Cia Sie Su yang terkenal, seorang anggauta dewan yang berani. Bila sampai terjadi sesuatu, kerajaan tentu gempar."

“Hm. Cia hujin itu hanya wanita biasa. Aku pernah melihatnya."

“Sicu membual bukan pada tempatnya."

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw tertawa terbahak-bahak. “Sungguh!

Aku pernah melihatnya satu kali."

U-beng tentu tidak percaya. Hanya sebagai seorang pelayan yang baik dan pandai melayani tamu2, ia tidak mendebat.

Wie Tauw tiba2 mengajukan pertanyaan: “Lamakah mereka berziarah kesini?"

“Belum tentu. Kukira dua atau tiga hari."

Wie Tauw membelalakkan mata. “Maka aku harus 'Istirahat’ disini tiga hari?" Ia mengajukan protes.

Seperti apa yang Wie Tauw sudah maklum pada waktu sebelumnya, Cia hujin itu tidak boleh diganggu sama sekali. Ia wajib menyingkirkan diri, menghindari pertemuan muka. Apa mau orang menginap sampat tiga hari. Didalam hal ini, berarti, ia harus turut istirahat didalam kamar selama tiga hari juga.

It-kiam-tin-bu-Iim Wie Tauw keberatan.

U-beng memberi petunjuk jalan keluar untuk mengatasi kesulitan kalau bosan didalam kamar, katanya, “Mereka pasti sembahyang. Setelah itu, ketua partay kami akan mengajak mereka menyaksikan seluruh pemandangan gunung. Waktu itu, bila sicu mau, aku akan mengantar keruang sembahyang untuk memasang hio."

“Kau ternyata pandai melayani tamu." “Sicu tidak bermalam disini?"

“Boleh juga. Ada baiknya istirahat satu malam. Biar esok hari aku pulang."

Mengetahui bahwa sang tamu ingin bermalam, tentu sedekah yang didapat dari tamu ini akan lebih banyak. U-beng melayani dengan lebih rapi.

“Aku ditugaskan untuk melayani para tamu, bila sicu perlu, boleh panggil disembarang waktu. Namaku U-beng." Demikian ia memberi penyeiasan.

“Sebelumnya aku menghaturkan banyak2 terima kasih." Mereka bercakap-cakap lama, maka Wie Tauw tidak kesepian. Diruang depan, ketua partay Siao-Iim-pay telah menyambut kedatangan Cia hujin beserta putri, setelah mengajak mereka sembahyang, untuk lebih memperkenalkan keadaan puncak Siao- sek-san, tamu2 agung itu diajak keliling gunung.

U-beng paham akan cara2 penyambutan partay golongannya. Mengetahui bahwa mereka tiada didalam kelenteng Siao-lim-sie, ia pun mengajak Wie Tauw keruang sembahyang.

“Sicu, mari kita keluar." Ia berkata.

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw berkunjung ke Siao-Iim-pay dengan maksud tujuan tertentu. Ia bangkit dari tempat duduknya dan keluar kamar.

U-beng mengajak sang tamu keruang Tay-hiong-po-tian, tempat sembahyang.

Disini U-beng menyalakan hio, kemudian di berikan kepada Wie Tauw.

Wie Tauw menyambuti hio yang telah di sundut itu, sebagaimana layaknya orang yang berziarah kegereja Siao-lim-sie, ia melakukan tata cara sembayangan itu.

Selesai sembayang, Wie Tauw berjalan keluar.

Waktu itu, dilapangan telah ramai dengan orang2 yang mengiringi Cia hujin ibu dan anak. Mereka ber-cakap2 dengan suara keras.

Dua tandu besar dan 4 tandu kecil ngejogrok disana, itulah tandu yang digunakan Cia hujin, sang putri dan keempat dayang pelayannya.

Tidak jauh dari 4 tandu usungan itu tertambat seekor kuda putih, inilah kuda tunggangan sang kepala pengawal.

Disekitar tandu2 itu berdiri rapi para serdadu, mereka adalah pengiring penjaga keamanan junjungan mereka.

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw mengayun langkahnya kearah tandu2 usungan itu. U-beng yang selalu mengintil dibelakang sang tamu, tentu saja mengetahui apa yang Wie Tauw lakukan. Melihat tamunya mendekati tandu2 itu, ia sangat kaget. Cepat lari menyusul dan memberi peringatan: “Sicu, tandu berhias itu tidak bagus untuk di lihat. Mari kuajak kau kelain tempat."

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw mempercepat langkahnya dan sudah berada didepan tandu2 itu.

Dua serdadu dengan tombak ditangan menghadang jalan orang, mereka membentak: “Mau apa? Pergi!"

Seolah-olah orang yang tuli atau budek, Wie Tauw tidak menyingkir dari bentakan mereka. Setapak demi setapak, ia masih maju mendekati.

Wajah dua serdadu itu berubah. “Hei, kau tidak dengar?" Mereka membentak lebih keras.

Tandu yang menjadi arah tujuan Wie Tauw adalah tandu yang terbesar, terhias dengan bagus dan rapi, itulah tandu usungan nona Cia Sie Su.

U-beng semakin gugup, ia menarik lengan baju Wie Tauw seraja berteriak: “Jangan kasana, itulah tandu putri perdana menteri."

Wie Tauw mengibaskan pegangan U-beng. Ia menunyuk kearah tandu2 itu dan berkata: “Tandu2 ini sangat bagus sekali. Bila dapat duduk didalam, tentu sangat menyenangkan."

Para pengusung tandu yang berkerumun disana saling memberi isyarat mata, dengan serentak mereka maju mengurung Wie Tauw.

Seorang penggotong tandu yang agak tua maju mewakili kawan2nya. “Loheng," Ia memberi peringatan. “Tandu2 ini tidak dapat diganggu."

“Aku ingin melihat."

“Lihatlah dari tempat yang agak jauh." “Aku ingin melihat isi tandu." “Tidak ada yang patut diperhatikan. Dilarang melihat." “Mengapa dilarang?"

“Tandu2 ini adaiah tandu yang digunakan oleh nona Cia dan putrinya. Hwesio itu toh sudah memberi tahu kepadamu?"

“Sekarang mereka tidak berada didalam tandu bukan?" Wie Tauw membandel.

Penggotong tandu tua itu tertawa kering, ia berkata: “Sekalipun kosong juga dilarang melihat."

“Bila aku melongok masuk?"

“Kami semua bertanggung jawab. Kami tidak berani melanggar peraturan yang sudah ditetapkan."

Wie Tauw berpakaian sebagai seorang sastrawan, ia membawakan sikapnya yang seperti pelajar bandel, seorang yang tidak takut kepada kekerasan.

“Eh, kalian ingin memukul orang?" Ia berkata.

Pemimpin rombongan tukang gotong tandu itu mengeluarkan suara dingin: “Kau tidak memperdulikan kesulitan kami, kami tidak memperdulikanmu pula."

U-beng yang melihat suasana panas itu, segera menarik tangan sang tamu. “Mari kuajak kau kelain tempat."

Wie Tauw melepaskan pegangan U-beng Hwesio, dengan langkah2 yang aneh, berhasil melepaskan diri dari para tukang gotong tandu itu, mulutnya berteriak-teriak: “Hwesio, lepaskan peganganmu. Aku tidak percaya, seorang nyonya anggauta dewan berani berlaku kurang ajar membiarkan tukang2 tandu gotongnya memukuli orang. Suatu hari, bila aku Wie Tiong Beng lulus ujian dan menduduki tempat penting, aku "

Terdengar suara-suara yang menggeletar dan ternyata tukang- tukang tandu itu menertawai sikap Wie Tauw.

U-beng tidak akan membiarkan bentrokan itu terus terjadi, ia menangkap tangan Wie Tauw dengan susah payah, ia berhasil mengajak sang tamu meninggalkan tempat itu.

“Kau ini sungguh keterlaluan," Berkata U-beng Hwe-sio dengan suara perlahan, “mereka adalah orang2 anak perdana menteri, mana boleh bersitegang dengannya?"

“Hm.... Bila bangkit amarahku, naik sidang pengadilan tidak takut."

Wie Tauw telah berhasil menyelidiki semua tukang2 gotong itu, ia puas, membiarkan dirinya ditarik oleh U-beng Hwe-sio, ia pergi.

U-beng mengajak si Pedang Penunduk Rimba Persilatan, It-kiam- tin-bu-lim Wie Tauw ketempat-tempat bersejarah, tidak sedikit peninggalan sejarah yang berada ditempat itu.

Sambil menunjuk kepada sebuah pohon, U-beng memberi keterangan: “Inilah pohon yang pernah menerima pangkat kelima."

“Hebat. Pohon ini besar sekali. Tentunya sudah berumur lebih dari 2.000 tahun?"

“Betul. Umur yang pasti tidak diketahui. Tetapi apa yang tercatat pada sejarah, ia menerima hadiah pangkat pada ahala Ceng, itu kerajaan yang pernah jaya pada 2.000 tahun yang lalu." U-beng Hwe-sio adalah petugas yang dikhususkan bagian penerimaan tamu, tentu pandai memberi keterangan.

“Sebatang pohon biasa menerima anugerah raja, maka derajat pohon ini meningkat cepat. Kukira hanya pohon inilah yang mendapat penghargaan seorang raja."

“Maka kami menamakan pohon dewa." “Pohon yang bersejarah."

“Mari kita melihat lihat tempat yang pernah digunakan oleh raja2 untuk   bersembahyang.” U-beng Hwe-sio mengajak sang tamu kelain tempat.

“Apakah nyonya anggauta dewan itu juga akan berkunjung ketempat ini?" Wie Tauw mengajukan pertanyaan.

“Belum. Kudengar mereka ingin melihat lihat ruangan Tat-mo Couw-su. Ketua kami sedang mengajak ketempat itu."

“Kepala keamanan dan ketiga puluh pengiringnya juga turut serta?" Wie Tauw bertanya.

“Betul."

“Hm.... Kalian tidak boleh kalah derajat. Seharusnya unjuk gigi juga."

“Delapan belas Lo Han kami turut serta."

Nama besarnya 18 Lo Han pernah menggemparkan rimba persilatan, mereka adalah inti kekuatan Siao-lim-pay. Wie Tauw pernah dengar nama itu.

“Kudengar semua anak murid Siao-lim-pay berkepandaian sangat tinggi, betulkah keterangan ini?" Wie Tauw mengajukan pertanyaan.

“Hanya latihan2 biasa, untuk menguatkan badan." U-beng Hwa- sio merendahkan diri.

Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, kini telah tiba dipinggir tembok.

Tiba2 terlihat seorang hwesio tua berjubah hitam lari ditempat itu, wajahnya berubah.

“Menyingkir!... Menyingkir!" Ia berkata agak gugup. “Lekas kalian menyingkir pergi!"

“Ada apa?" U-beng Hwe-sio tidak mengerti, maka ia mengajukan pertanyaan.

“Mereka telah datang." Berkata hwesio tua berjubah hitam itu. “Siapa yang datang?"

Wajah hwesio berjubah hitam itu ditekuk masam. “Kecuali mereka, siapa lagi yang mempunyai derajat seperti ini?" Ia membentak. “Nyonya anggauta dewan beserta iring2annya itu telah berada dipintu belakang, lekas kau ajak tamu ini menyingkir kelain tempat."

U-beng Hw-sio segera menarik tangan Wie Tauw, maksudnya untuk diajak pergi.

“Tolonglah aku, mari kita kelain tempat. Aku bisa kena marah." U-beng memohon. Ia tahu, tamu ini berani melawan para tukang gotong tandu, siapa tahu nanti mencari onar lagi?

Didalam hati, Wie Tauw tertawa geli. “Baiklah. Aku segera turut dibelakangmu." Ia berkata. “Tidak mau aku menyusahkanmu."

U-beng Hwe-sio sangat girang, cepat ia mengajak sang tamu kembali keruang lain. Sampai disana, napasnya telah menjadi tersengal sengal.

“Luar biasa." ia mengeluh, “baru nyonya anggauta sidang, putri perdana mentri yang datang, kami sudah menjadi sibuk seperti ini. Bila tuan anggauta, simantu menteri yang datang, entah bagaimana repotnya?"

“Betul." Berkata Wie Tauw. “Tidak perduli dia sudah menjadi nyonya anggauta sidang, tidak perduli ia putri perdana mentri, tetap seorang wanita. Apakah kepandaiannya?"

“Menurut apa yang kudengar, nyonya ini sangat tekun mempelajari ilmu2 kepandaian Budha maka partay kami wajib menjunjung tinggi."

“Mungkinkah ia datang dengan niatan meminta pelajaran2 ilmu Budha?" Wie Tauw tertawa dingin.

“Belum tentu."

“Akupun suka akan keagamaan, bolahkah meminta pelajaran ketua kalian?" Si Pedang Penakluk Rima Persilatan, It-kiam-tin-bu- lim Wie Tauw menatap tajam hwe-sio pengantar itu.

“Soal ini harus meminta persetujuan Goat susiok." Berkata U- beng Hwe-sio. “Orang yang mengenakan jubah abu2 tadi?" Bertanya Wie Tauw. “Betul. Bila sicu bertemu dengannya, boleh mengajukan hal tadi."

Dua orang bercakap cakap tentang kejadian2 lainnya. Disaat inilah masuk seorang hwe-sio kecil, wajahnya menunjukkan rasa ketakutan. Didekati U-beng Hwe-sio dan berkata dengan suara gemetar: “Celaka! Sungguh celaka."

“Apa yang telah terjadi?"

“Sicu inikah yang belum lama pergi kelapangan melihat-lihat tandu gotong nyonya anggauta sidang?" Ia menunjuk kearah Wie Tauw.

“Betul." Berkata U-beng Hwesio. “Apa yang terjadi?"

“Disanalah letak gara2. Nyonya anggauta sidang dapat tahu apa yang sicu itu katakan. Katanya, sicu ini menghina dirinya. Ia marah besar, ia ingin bertemu dengan sicu ini."

“Hei...." U-beng Hwesio membentak. “Sicu ini tidak memaki dirinya."

“Dua tukang gotong tandu itu yang mengadu, dikatakan bahwa sicu ini tidak memandang mata kepada majikannya. Apa kepandaian seorang wanita?"

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw bangkit dari tempat duduknya, ia berkata: “Dimana nyonya putri perdana mentri itu ber ada, biar aku menemuinya."

“Diruang Ceng-sim. Ia menantikan kedatangan sicu." Berkata Hwesio itu.

“Harap taysu ajak aku kesana." Berkati Wie Tauw.

Maka si Pedang Penakluk Rimba Persilatan Wie Tauw diajak ketempat ruang Ceng-sim untuk menghadap nyonya putri perdana mentri itu,

Dipintu berdiri dua serdadu kerajaan, sikap mereka sangat menyeramkan. Wie Tauw langsung memasuki ruangan itu.

Terlihat ketua partay Siao-lim-pay It-siu Siang-jin duduk mengawani nyonya anggauta sidang itu, berdiri dibelakang sang nyonya adalah seorang laki2 berbadan tegap, dia adalah kepala keamanan, pemimpin rombongan serdadu. Dilain bagian berdiri juga seorang gadis cantik, tentunya putri nyonya anggauta sidang, cucu perdana mentri.

It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw menghadap nyonya agung itu.

Sang nyonya balas menatap, sinar matanya berwibawa, sayang agak liar.

It-su Siang-jin sudah berumur 70 tahun, duduk disamping sang nyonya itu. Sebelum Wie Tauw berjalan masuk, ia sedang memperbincangkan sesuatu, melihat kedatangan tamu ini, ia menghentikan percakapan.

Akhirnya nyonya agung itu yang memecah kesunyian: “Siapa namamu?" Ia bertanya kepada orang yang berada didepannya.

Wie Tauw tidak segera menjawab. Ia menoleh kanan dan kiri sebentar, baru berkata, “Kukira tempat ini bukan istana kerajaan. Sudah sepatutnya bila aku mendapat tempat duduk dahulu."

It-su Siang-jin adalah ketua partay Siao-lim-pay, segera ia memberi perintah kepada seorang hwesio yang tidak jauh darinya: “U-ciok, beri tempat duduk kepada sicu itu."

U-ciok Hwesio adalah generasi muda yang setingkat dengan U- beng Hwesio. Mendapat perintah tadi, segera ia membawakan bangku untuk Wie Tauw duduk.

Setelah mengucapkan terima kasih, Wie Tauw duduk ditempai itu.

“Kami Wie Tiong Beng," ia memperkenalkan diri. “ada kepentingan apakah, sehingga nyonya mengutus orang memanggil?"

Dilihat dari wajah nyonya agung itu, ia sangat    mendongkol sekali.   Hanya   ia    tidak segera melepaskan kemarahan itu, dengan membawakan sikap agung, ia berkata: “Orangku mengatakan bahwa kau tidak memandang mata kepadaku. Betulkah pernah terjadi hal seperti ini?"

“Kami menganggap tidak ada keistimewaannya bagi seorang nyonya anggauta sidang." Berkata Wie Tauw dengan suara lantang.

Wajah It-su Sang-jin berubah. “O-mie-to-hud," ia memuja Budha. “Nyonya anggota sidang ini sangat murah hati. Jangan sicu mengeluarkan kata2 yang tidak enak didengar."

Mengalihkan pandangannya, Wie Tauw memandang It-su Siang- jin. “Jangan khawatir," ia berkata, “aku adalah tamumu. Diapun tamu. Berapa banyak sedekah yang dapat dikeluarkan olehnya. aku dapat mengganti kerugian ini."

Kata2 Wie Tauw terang2 sangat kurang ajar sekali. It-siu Siang- jin turut dibuat marah. Hanya segera ia menekan kemarahan ini, biar bagaimana, sebagai seorang ketua partay yang disegani, ia wajib menjaga kewibawaannya. “Ngg.....” Ia berdehem. “Bila sicu tidak membutuhkan lolap turut bicara, lolap tidak ikut campur perkara kalian."

Mengikuti lagu suara orang, Wie Tauw turut mengeluarkan suara dari hidung: “Ngg. "

Kemudian memandang nyonya putri perdana menteri itu, ia berkata: “Cia hujin ingin mengajukan pertanyaan lain?"

-oo0dw0oo-
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar