Pelenyap Sukma Jilid 1

Jilid 01

Di antara beberapa kota besar yang terdapat di daerah Selatan, adalah kota Han Yang yang terbilang paling penting. Sebelah Timur dari kota ini terdapat kota Bu Ciang, di sebelah Utaranya ada kota Han Kauw. Tiga kota yang berdekat-dekatan Ietaknya ini, dahulu merupakan kota-kota strategis yang sering menjadi rebutan para penguasa perang dari jaman peralihan. Ratusan rumah makan terkenal dibangun di dalam kota Han Yang belum pernah sehari tampak kosong. Salah satu yang terbesar adalah rumah makan Hian-kok-lauw.

Ada beberapa sebab yang menjadikan rumah makan Hian-kok- lauw ini terkenal . Dengan daya tarik Lebih lezat dan lebih Istimewa, rumah makan ini telah meletakkan dirinya dalam kedudukan rumah makan intelek kelas satu. Hanya para pembesar atau hartawan beruang yang dapat mengicipi keistimewaan dalam rumah makan tersebut.

Jumlah orang2 yang dapat merasakan masakan Rumah Makan Hian-kok-lauw asli adalah sangat terbatas. Mengingat adanya persaingan dari banyak rumah makan, belum tentu semua pembesar negeri atau pelancong luar kota makan di rumah makan itu. Untuk mengimbangi kepincangan ini, pengurus rumah makan Hian-kok-lauw spesial menyediakan bangunan2 tempat yang terpisah, Dua ruangan khusus disediakan untuk kaum berada yang mempunyai kantong padat, tempatnya istimewa, adalah suatu bangunan bertingkat, letaknya di bagian atas, loteng tingkat kesatu dan loteng tingkat kedua. Disitu, sambil menikmati kelezatan dan keistimewaan makanan Hian-kok-lauw, para pengunjung dapat menikmati sebagian keindahan dan kota Han Yang. Kelas ini sangat mewah, dan diperlengkapi dengan alat yang serba luks. Sedang untuk umum, Hian-kok-lauw menyediakan makanan laris Bakmi Ikan dengan harga yang lebih ringan. Para tamu disini hanya diberi kesempatan untuk duduk d tingkat paling bawah.

Hati itu, seorang pemuda tampak berkunjung di rumah makan Hian-kok-lauw, langsung naik ke atas loteng tingkat kedua. Seperti apa yang kita sudah kemukakan semula, loteng kesatu dan kedua khusus untuk orang2 berada. Adapun anak muda ini berani naik ke bagian atas tentu mempunyai kantong yang penuh dan tebal, disertai dengan lembaran-lembaran bernilai.

Nama si pemuda Ie Lip Tiong, dia seorang jago silat yang mempunyai kepandaian tinggi, dari roman mukanya tampak kecerdikannya, datangnya ke rumah makan Hian-kok-lauw sudah tentu dengan maksud tujuan tertentu. Dia memilih tempat dan duduk di atas sebuah kursi empuk.

Seorang pelayan rumah ketika melihat kehadiran pemuda tersebut lalu datang menghampirinya. Pelayan ini berpakaian dinas, bersih dan rapi. Dia menyodorkan daftar menu makanan.

Ie Lip Tiong memandang sang pelayan dengan penuh perhatian, lalu tanyanya :

“Makanan apa yang menjadi kebanggaan Hian-kok-lauw ?” “Bakmi ikan istimewa, panggang bebek istimewa, Bistik saos

kacang polong, Babi sawit, Telor kodok, kuah sarang burung, dan

banyak lagi rupa2 makanan lainnya” Si pelayan menyebut beberapa nama makanan yang terkenal mahal.

Ie Lip Tiong berulang kali menganggukkan kepala, dan lalu memesan beberapa  macam.

Si pelayan segera mengundurkan diri, hendak menyiapkan pesanan sang tamu.

Dari gerak langkah kaki pelayan tersebut Ie Lip Tiong tahu, bahwa si pelayan itu tentunya mempunyai ilmu kepandaian silat istimewa.

Itu sudah lazim. Pada jaman2 yang teramat kacau seseorang waajib melatih ilmu silat. Juga tak ada larangan yang tidak membolehkan seorang pelayan rumah makan melatih ilmu silat, tapi yang lebih menarik disini, ilmu silat yang dimiliki si pelayan tadi bukanlah ilmu silat kampungan. Seandainya orang ini hendak mengangkat diri, setidak tldaknya dia masih dapat mengepalai satu regu pasukan berkuda. Ilmu silatnya bukanlah ilmu silat biasa. Maka Ie Lip Tiong mengeluarkan tertawa dingin. Pelayan rumah makan Hian-kok-lauw itu tidak sadar bahwa dirinya sudah menjadi incaran orang, ia tampak masih sibuk menyiapkan makanan.

Ie Lip Tiong meneruskan penyelidikannya.

Pada pilar bangunan itu terdapat tulisan yang berbunyi sebagai berikut:

Khusus untuk para tamu yang hendak menikmati hidangan istimewa.

Pada tangga loteng terdapat lain tulisan, begini kira kira bunyinya:

Tamu yang hanya memesan bakmi kering dilarang menaiki tangga ini.

Itulah perbedaan kelas yang terlalu menyolok mata. Ruang bawah disediakan untuk tamu tamu biasa dengan makanan bakmi kering yarg murah, loteng pertama dan kedua khusus untuk orang2 yang punya duit.

Ie Lip Tiong menduga tepat, dia sudah berada di tempat tujuan.

Bertepatan pada saat mata Ie Lip Tiong menatap papan yang bertulisan ‘Tamu yang hanya memesan bakmi kering dilararg menaiki tangga ini', seorang tua dengan pakaiannya yang teramat dekil, tampak muncul di tangga loteng. Begitu mesum dan kotor orang segera mempunyai prasangka kepada manusia melarat. Dia naik dengan cepat, begitu cepat, sehingga membarengi langkahnya, dia sudah berada di atas loteng kedua.

Seorang pelayan lain segera menghadang pengemis itu, dengan suaranya yang sangat kasar, pelayan itu membentak :

“Hei, tempat ini bukan disediakan untuk pengemis. Lekas turun

!”

Orang yang seperti jembel itu tampak pendelikan matanya. Dari

saku bajunya yang kumal, dia mengeluarkan lempengan uang emas, dilempar ke depan pelayan yang menegurnya sambil membentak : “Pentang matamu biar lebar ! Kau kira tuan besarmu tidak punya duit buat bayar rekening makananmu disini ?!”

Mata uang mengenai pipi si pelayan. Seperti juga pelayan yang pertama, pelayan yang memberi service kepada Ie Lip Tiong dan mendapat perhatian pemuda itu, pelayan kedua yang mencegat bapak raja gembel itupun memiliki kepandaian silat lumayan dia hendak mengegos tapi tidak berhasil, hampir2 dia terjengkang ke belakang lantaran kerasnya sambitan pengemis misterius itu. Sambil memegangi pipinya yang terasa amat sakit, dia berteriak :

“Aaaaaa . . . . Kau hendak mengacau di rumah makan Hian-kok- lauw ?”

Cepat sekali, pelayan yang melayani Ie Lip Tiong menampilkan diri. Menyaksikan kejadian itu, dia merendengi kawannya, membuat suatu persiapan tempur. Lebih dahulu, dia memperhatikan kawannya dan bertanya kepada sang kawan.

“Eh, Lauw Lauw, kau kenapa ?”

Pelayan yang dipanggil Lauw Lauw menuding dengan jari tangannya.

“Dia . . . . dia . . .”

Sang tamu yang berpakaian kotor memotong pembicaraan Lauw Lauw :

“Huh, berani dia menghina orang ? Menganggap aku orang apa ?

Kau kira aku tidak kuat bayar rekening makananmu ?!”

Pelayan ini bernama Lauw Sam, bersama-sama dengan Lauw Lauw, menjadi pelayan rumah makan Hian-kok-lauw. Sudah belasan tahun mereka mengabdikan diri di bidang pe rumah makanan, mereka tahu, mereka paham dan mereka mengerti, bagaimana harus menghadapi aneka macam orang karena mereka biasa menghadapi orang banyak.

Orang tua yang seperti pengemis itu mempunyai pelipis yang dalam, itulah tanda dari jago silat kelas satu. Bukan manusia yang boleh sembarang dihina. Karena kelengahan Lauw Lauw, pipinya mematang biru, bengkak segera.

Lauw Sam segera membungkukkan badan, memberi hormat dan bertanya :

“Maaf. Lauw Lauw kurang berpengalaman. Makanan apa yang tuan hendak pesan ? Silahkan duduk.”

Orang tua itu berkoar lagi dengan suaranya yang keras : “Satu piring bakmi yang kering !”

Kerut2 di wajah Lauw Lauw dan Lam Sam tampak semakin nyata.

Bukan ini yang diartikan bakmi kering. Bakmi kering khusus untuk kaum tidak beruang , duduknya di bawah loteng. Bukan disini. Berdiam beberapa detik, Lauw Sam yang lebih pandai berbicara berkata :

“Sangat menyesal. Kami kira, tuan harus duduk di bagian bawah.”

Orang tua yang seperti pengemis itu membesarkan bola matanya, dengan geram membentak :

“Eh, begitu sentimen kepadaku ?”

Dengan gagah, Lauw Sam menunjuk peraturan di pintu loteng tingkat kesatu dan loteng tingkat dua

“Silahkan tuan baca dulu petunjuk itu.”

Orang tua yang seperti jembel memandang tulisan dengan bunyi ‘Tamu yang memesan bakmi kering dilarang menaiki tangga ini', kedua alisnya lalu tampak dikerutkan.

“Eh, siapa yang bikin aturan seperti ini ?”

Dengan hormat yang dibuat-buat, Lauw Sam lekas berkata : “Setiap rumah makan mempunyai peraturan dan tata tertib. Dan

inilah peraturan rumah makan kami.” Orang tua berpakaian kotor itu menganggukkan kepalanya. Dia tidak bicara memungut mata uang yang digunakan buat menampar pipi Lauw Lauw tadi, dan segera membalikkan badan, meninggalkan tangga loteng.

lnsiden itu berakhir tanpa terjadi sesuatu hal ikutan lainnya.

Di kala orang tua yang seperti jembel menggunakan mata uang menampar Lauw Lauw, hati Ie Lip Tiong sudah girang bukan main. Dia semula menduga, tentunya segera akan terjadi suatu keramaian. Tapi sekarang, pudarlah harapannya. Si pengemis tua begitu tahu diri, lantas ngeloyor turun dari atas bangunan rumah makan Hian-kok-lauw.

Disini terdapat sedikit pelajaran baru untuk Ie Lip Tiong, bagaimana harus menghadapi penghinaan-penghinaan yang datangnya dari luar; Si tamu dekil menerima dua macam penghinaan yang berlainan. Lauw Lauw menghina dia sebagai kaum jembel yang tidak beruang, mengusir dia dari loteng rumah makan. Inilah suatu penghinaan kecil, tapi tidak tahu aturan. Sebagai hukuman, orang tua kotor itu telah memberi hajaran berupa satu tamparan dengan menggunakan uang. Lain penghinaan yang datangnya dari Lauw Sam berupa penghinaan lebih besar. Lauw Sam melarang dia makan bakmie kering di atas loteng, inipun penghinaan juga. Tapi adanya peraturan rumah makan yang melarang tamu makan bakmie kering di atas loteng, telah memberi jaminan kuat kepada Lauw Sam. Tanggung jawab lepas dari si pelayan. Si pengemis tua tidak memukul atau menegur Lauw Sam. Dia menerima penghinaan itu. Penghinaan itu datangnya dari pemilik rumah makan. Dia harus langsung berhubungan dengan orang bersangkutan. Di dalam hal ini, ialah si pemilik atau pengurus rumah makan yang terlalu.

Orang tua yang turun dari loteng tadi mempunyai kecerdasan otak yang cukup sempurna. Ie Lip Tiong ada niatan untuk mengajaknya bersantap bersama sama, niatan mana segera dibatalkan, manakala teringat akan tugasnya yang maha penting.

Demikian bayangan pengemis tua itupun lantas lenyap dari permukaan loteng.

Makanan yang dipesan oleh Ie Lip Tiong juga sudah tersedia, Lauw Sam pula yang membawakan makanan itu.

Selesai meletakkan piring mangkuk di atas meja, Lauw Sam lantas hendak mengundurkan diri lagi. Saat itulah Ie Lip Tiong menegurnya dengan suara perlahan :

“Eh, boleh aku bertanya ?”

“Ada apa ?” tanya Lauw Sam sambil menghentikan langkahnya. “Kalian tidak memperbolehkan orang duduk di atas loteng tingkat

atas tanpa makanan khusus yang mahal, melarang orang memesan barang santapan biasa, kukira itu tidak baik. Suatu peraturan dengan sistem perbedaan manusia, sistim kasta. Tidakkah itu akan mengganggu kelancaran usaha kalian?”

Lauw Sam menggoyangkan kepala, lalu memberi keterangan. “Rumah makan kami adalah rumah makan kelas satu. Di kota

Han Yang ini, rumah makan kami telah mendapat kedudukan paling baik. Setiap orang yang pernah memasuki rumah makan kami, tentu akan di puji2 sebagai hartawan kaya raya. Pokoknya orang akan memberi penilaian lain kepada setiap tamu yang keluar dari rumah makan Hian-kok-lauw. Karena rumah makan Hian-kok-lauwnya sendiri sudah menjadi lambang kejayaan bagi warga kota Han Yang. Untuk menjadikan seseorang sebagai hartawan, atau orang yang dijunjung tinggi, banyak sekali yang memasuki rumah makan kami dengan kantong kosong. Untuk mencegah terjadinya pencampur gaulan kantong penuh yang asli dan kantong penuh yang palsu, rumah makan kami mengeluarkan peraturan ini.

Hanya khusus untuk kaum berada yang dapat menikmati loteng tingkat satu dan loteng tingkat dua. Bagi mereka, cukup puas memakan bakmi kering di ruang bawah saja.”

Ie Lip Tiong menganggukkan kepalanya. “Sangat masuk diakal” katanya. Lauw Sam bertanya lagi : “Tuan masih membutuhkan makanan lain ?”

“Untuk sementara cukup dulu,” kata Ie Lip Tiong. “Eh     orang

tua yang tadi balik lagi.”

Lauw Sam menoleh ke arah tangga loteng, dan betul saja, orang tua yang sangat kotor seperti jembel itu balik kembali. Tidak seperti tadi, sekarang langkahnya diayun begitu tenang setapak demi setapak bagai sedang menghitungi tangga loteng yang cukup banyak, tapi nyatanya dengan cepat dia sudah berada di atas loteng tingkat pertama.

Lauw Sam yang pernah mengusir orang itu kini dia balik lagi, dengan sikap gagah lantas menghadangnya; seraya membentak keras :

“Hei, sudah kukatakan. Orang yang cuma memesan bakmi kering dilarang menaiki tangga ini. Masihkah kau tidak mengerti kata peraturan rumah makan kami ?”

Orang itu mengayun tangannya. plok . . . terdengar suara yang garing dia menggaplok pipi si Lauw Sam.

“Aaaa......” Lauw Sam berteriak. “Berani kau pukul orang ?”

“Mengapa tidak ?” Orang itu membawakan sikapnya yang galak. “Sebagai seorang pelayan, kau wajib berlaku hormat. Tamu adalah raja, seorang langganan wajib diberi pelayanan. Dan untuk kekurangan ajaranmu ini, kau harus mendapat tamparan.”

Lauw Sam hendak menempur orang ini, tapi merasa segan kalau mengingat betapa hebat ketangkasan yang sudah diperlihatkan orang tua itu kepadanya tadi. Belum tentu dia dapat menjatuhkan orang itu. Maka dengan rasa penasaran yarg tidak terhingga, dia cuma bisa berteriak :

“Kau memesan bakmi kering. menurut peraturan, hanya boleh duduk di ruang bawah. Aku cukup baik sudah memberi tahukan adanya peraturan ini dan menyuruh kau turun juga dengan baik baik ada kesalahan apa yang telah kuperbuat ?”

Orang tua itu tampak menghardiknya :

“Apa kau tahu, kalau aku hendak memesan bakmi kering !”

Lauw Sam lebih penasaran lagi. Dia berteriak dengan semakin keras suaranya:

“Barusan, kau ada memesan bakmi kering , bukan ?”

“Tadi, memang. Tapi itu waktu aku datang pertama kali. Aku tadi memang pernah meminta makanan bakmi kering. Tapi sekarang tidak. Aku baru datang, belum pesan apapun” Tanpa menunggu debatan Lauw Sam, orang tua ini sudah menggeser sebuah kursi dan menggabrukkan pantatnya di kursi itu keras sekali.

Dia menggebrak meja, dengan lagak pembesar negeri yang sangat galak berteriak:

“Mana pelayan yang mendapat tugas menyiapkan menu makanan ?”

Lauw Sam tidak bergerak dari tempatnya, dengan tidak kalah angkuhnya, dia berteriak:

“Sebutkan, santapan apa yang kau mau ?”

Lauw Sam adalah pelayan rumah makan kelas satu, kedudukannya dan cara2 berpakaiannya tidak kalah dari pedagang eceran. Karena itu, dia berani bertindak sewenang wenang. Tentu saja, berwenang untuk mengusir para tamunya yang tidak beruang.

Orang tua itu tampak semakin marah, menggebrak meja lebih keras.

“Kepada seorang tamu kau harus berlaku hormat ? Gunakanlah kakimu, lekas kemari !”

Lauw Sam masih ragu2, haruskah dia menantang tamu jembel yang aneh ini? Mengusir atau melayaninya ? Seorang laki-laki kurus kering menampilkan diri, dan segera nemberi perintah:

“Lauw Sam, turuti kemauan semua tamu kita !”

Adapun laki laki kurus kering ini, adalah kasir dari rumah makan Hian-kok-lauw, entah sejak kapan, tahu2 dia sudah berada di loteng tingkat kedua dari rumah makan itu.

Lauw Sam seperti mendapat firman raja, tidak berani membangkang perintah ini dengan membungkukkan badan menghampiri tamu anehnya.

“Tuan hendak memesan apa ?” tanyanya dengan laku hormat sekali.

Orang tua yang seperti jembel memonyongkan mulut.

“Coba kau sebut dulu beberapa rupa makanan dari rumah makan kalian yang paling mahal.”

Lauw Sam segera mengoceh panjang,

“Makanan kami terkenal dengan Bistik saos kacang polong, babi sawit, telor kodok, kuah sarang burung. ”

“Setiap macamnya satu porsi !” potong orarg tua itu. “Dan harus cepat !”

“Baik”

“Jangan lupa, tambah dua kati arak simpanan !” berkata lagi tamu itu.

Tanpa berani berayal lagi Lauw Sam cepat2 menjalankan perintah.

Sampai disini, keramaian berakhir. Kasir rumah makan juga sudah meninggalkan tempat kejadian.

Ie Lip Tiong tenang2 saja meneruskan makannya.

Tontonan keramaian berakhir pada babak pertama. Di kala kasir rumah makan Hian-kok-lauw hendak turun dari loteng atas. Tiba2, terdengar suara hiruk pikuk, datangnya dari bangunan bawah. Itu adalah suara orang ribut2. Tidak sedikit jumlah orang yang datang terbukti dari suaranya yang seper ti gelombang pasang.

Terdengar suara seorang pelayan yang membentak orang2 itu : “Hei, kalian jangan naik ke loteng atas.”

Teriakan ini tidak berhasil menekan kegaduhan suara orang banyak.

“Mengapa ?” terdengar seorang, mencoba melawan. “Kami ada membawa uang.” berteriak seorang yang lain.

“Jangan tidak pandang kami kaum pengemis, heh !” suara ini kedengaran geram sekali;

“Pukul saja !”

Bercampur baur terdengar suara orang banyak, pelayan rumah makan Hian-kok-lauw merasa kewalahan buat membendung arus manusia ini, mereka hanya mampu berteriak-teriak.

“Loteng tingkat kesatu dan loteng tingkat kedua cuma buat tamu2 yang hendak memesan hidangan istimewa, tidak disediakan untuk kalian ! Kalau kalian hendak memesan bakmi kering, duduklah di bagian bawah,”

Para pengacau itu semakin gaduh terdengar suaranya.

“Siapa bilang kami mau makan bakmi kering ?” teriak seorang. “Kami hendak memesan makanan2 istimewa !” Berteriak seorang

lainnya.

“Lekaslah kita naik ke atas !” “Hayo, serbu !”

Terdengar derap langkah kaki yang ramai, pedulu-dulu mereka menaiki tangga loteng, di tengah jalan mereka bersampokan dengan si kasir rumah makan Hian-kok-lauw.

“Berhenti !” hardik si kasir dengan suara keras. Tapi tidak berhasil, dia malah lantas jatuh terguling maka dengan begitu, sebentar saja penuhlah loteng tingkat kesatu dan kedua dengan puluhan orang. Mereka terdiri dari kaum pengemis yang berpakaian compang camping dan sangat kotor.

Beberapa orang tamu yang sedang menikmati kelezatan makanan Hian-kok lauw, menyaksikan datangnya rombongan kaum pengemis ini, tahu bahwa segera akan terjadi kekacauan yang lebih hebat, maka buru2 pada angkat kaki meninggalkan rumah makan itu.

Di dalam sekejap mata tamu2 sudah bersih dari ruangan rumah makan. Hian-kok-lauw, hanya tinggal Ie Lip Tiong dan orang tua berpakaian dekil yang masih tetap duduk di tempatnya dengan tenang2 saja.

Puluhan kaum pengemis menarik kursi dan meja, dengan suara yang gaduh, mereka menggebrak2 meja sambil memanggil2 pelayan.

“Hei, mana pelayan rumah makan ?!” “Mana menu makanan !”

“Bistik komplit yang istimewa !”

“Hayo mana pelayanan Hian-kok-lauw yang terkenal memuaskan itu ?”

Para pelayan rumah makan saling pandang belasan kaum pengemis adalah anggota Kay pang yang tidak boleh diganggu gugat. Entah dengan alasan apa, hari ini mendadak mereka mengacau rumah makan Hian-kok-lauw.

Kasir Hian-kok-lauw bangun berdiri, dihadapinya kaum pengemis itu dan berteriak :

“Siapa yang mengepalai rombongan ini ? Hayo lekas keluar !” Kaum pengemis itu berteriak2 :

“Kami datang buat mengicipi makanan Hian-kok-lauw, bukan hendak mengadakan pemilihan umum. Tidak ada yang menjadi kepala disini !”

Kasir tersebut menjengek perlahan, lalu katanya :

“Untuk mengacau di sesuatu tempat, hendaknya kalian buka dulu mata kalian biar lebar: Hian-kok-Iauw bukan tempat pelepas kemarahan. Bukan tempat yang cocok buat kalian mengacau, tahu ? Hayo segera turun semua.”

Seorang pengemis tua yang rupanya menjadi kepala rombongan ini, lalu menampilkan diri.

“Eh,” Katanya. “Sejak kapan adanya peraturan baru yang tidak memperbolehkan orang duduk di kursi Hian-kok-lauw ?”

Kasir itu menatap tajam pengemis tua yang baru berkata tadi. “Heh, heh, ...” “Jadi rupanya kau yang mengepalai rombongan ini

? Katakanlah, apa maksud tujuan kalian ?”

“Kami hendak menikmati lezatnya santapan istimewa dari rumah makan Hian-kok-lauw, lain tidak !” berkata pengemis tua itu.

“Bah ! Tentunya ada orang yang memberi petunjuk di belakang kalian. Katakanlah, siapa dia ?” Si kasir Hian-kok-lauw membentak semakin nyaring suaranya.

Si pengemis tua mengeluarkan uang perak. diperlihatkannya kepada kasir itu seraya katanya :

“Inilah yang memberi petunjuk kepada kami untuk datang ke rumah makan Hian-kok-lauw. Kau sudah tahu?”

Kasir itu marah besar. Dia berteriak keras :

“Pergi ! Enyah! Semua enyahlah lekas dari tempat ini ! Hari ini Hian-kok-lauw tidak menjual makanan.”

“Eh, kalau begitu kalian terlalu tidak pandang mata kepada kami kaum pengemis !”

Kekuatan yang berada di belakang rumah makan Hian-kok-lauw juga berupa suatu kekuatan yang besar. Adanya pengacauan kaum pengemis itu membangkitkan hawa amarah si kasir, segera dia mengeluarkan tantangan :

“Kami tidak takut kepada kaummu !”

Belasan pengemis yang berada di tempat itu segera bangkit dari tempat duduk mereka, suatu tantangan untuk kaum pengemis. Mereka sudah bersiap-siap hendak merusak rumah makan ini.

Tiba tiba......

Orang tua kumal menggapaikan tangannya ke arah para pelayan

: “Eh, mana makanan yang kupesan ?”

Pelayan itu sedianya sudah mau membawa makanan yang telah siap dimasak itu, tapi adanya kekacauan dengan sendirinya telah menangguhkan pengiriman. Tentu saja dia tidak tahu bahwa orang tua berpakaian kumal inilah yang menjadi biang kerok. Mendapat teguran tadi, segera lari, tentu saja dengan menyertai makanan yang sudah dipesan.

Si kasir berkata, bahwa hari itu, Hian-kok-lauw tidak menyediakan makanan, dan di depan mata mereka, pelayan rumah makan lari terburu2 dengan makanan yang masih mengepulkan asap. Lagi2 terjadi kegaduhan, mereka bersorak sorai ramai sekali.

“H a a a . . . . Pembohong besar      Lihat, apa itu yang tersedia

di atas piring kalau bukan makanan ? Berani kau mengatakan Hian- kok-lauw tidak menjual makanan ?”

“Betul. Pukul saja si krempeng ini !” “Hajar. ”

Terdengar suara pring pring prang prang, meja kursi diterbalikkan piring dan mangkuk beterbangan. Keadaan seluruh isi Hian-kok-lauw menjadi kacau.

Beberapa diantaranya malah sudah hendak menerjang si kasir kurus kering itu. Tiba2 melesat satu bayangan, gesit sekali datangnya orang ini, dalam sekejap disitu telah bertambah seorang berpakaian mewah, potongan badannya tinggi besar, dia menghadang di depan kasir rumah makan, menghadapi pengemis2 itu, dengan merangkapkan kedua tangannya lebih dulu memberi hormat kepada semua pengemis itu.

“Segala sesuatu dapat diselesaikan secara damai, jangan kalian mengambil sesuatu tindakan yang terlalu lancang “

Rangkapan kedua tangan laki2 tinggi besar ini memberi tekanan yang hebat membuat beberapa orang pengemis jatuh terjungkang. Itulah tekanan suatu tenaga dalam tingkat tinggi !

Adanya demontrasi orang ini tentu saja lantas mengejutkan semua pengacau, para pengemis diam tidak berkutik. Keadaan di ruangan itu sementara dapat ditenangkan kembali.

Maka laki2 tinggi besar tadi memandang kasirnya :

“Apa sebetulnya yang telah terjadi ?” Dia mengajukan pertanyaan.

Sang kasir lantas menceritakan sebab musabab dari terjadinya huru hara disitu, dia bercerita dengan tangannya bergerak gerak pada akhirnya dia mendekatkan mulutnya, ke telinga orang berpakaian mewah itu, mengucapkan beberapa kata perlahan, matanya mengerling ke arah orang tua berpakaian dekil yang duduk tidak jauh dari Ie Lip Tiong, Dapatlah dikira kira, tentunya sang kasir sedang memberi pengaduan tentang adanya si pakaian dekil kepadanya.

Laki2 tinggi besar dengan pakaian mewah adalah pengurus rumah makan Hian-kok-lauw. Namanya Pak Gendut Lauw Can Cun. Memiliki ilmu kepandaian tinggi, secara tak langsung, dia adalah pemimpin perkumpulannya untuk cabang kota Han Yang.

Menerima laporan kasirnya, Lauw Can Cun tampak segera menganggukkan kepala tanda mengerti, apa yang menyebabkan sampai terjadinya keonaran. Dengan wajah yang membuat suatu senyuman palsu, Lauw Can Cun berkata kepada rombongan pengemis :

“Kepada semua saudara pengemis di kota ini, aku Lauw Can Cun memperkenalkan diri, sebagai pengurus rumah makan Hian-kok- lauw. Aku wajib menjaga ketenangan dan keamanan rumah makan. Langkah kalian yang merusak dan menerjang meja dan kursi tidak dapat dibenarkan. Barusan aku ada sesuatu urusan, jadi terpaksa tidak bisa berada di dalam perusahaan untuk sementara. Atas kelancangan dan kekurang ajaran para pembantuku, dengan ini aku Lauw Can Cun meminta maaf. Sungguh menyesal, sampai terjadi bentrokan yang seperti ini. Sebagai hari perkenalan, Hian-kok-lauw memberi kesempatan kepada kawan kawan pengemis untuk mendapat servis istimewa. Hari ini, Hian-kok-lauw khusus hendak melayani kawan2 dari kaum pengemis. Silahkan, silahkan, silahkan memilh makan. Kami tidak memungut rekening. Hari ini, Hian-kok- lauw terbuka untuk umum bebas makan dan gratis.

Adapun maksud dan tujuan kaum pengemis sampai terjadinya huru hara di rumah makan Hian-kok-lauw ini ialah karena hendak makan dan minum gratis. Dengan sendirinya, janji Lauw Can Cun yang mengatakan tidak akan memungut bayaran segera masuk ke dalam lubuk hati mereka.

Tentu saja rombongan itu diam bungkam.

Malu untuk meneruskan keonaran. Masing masing mengatur tempat duduk, membenarkan letak duduknya meja kursi yang sudah terbalik balik tadi.

Beberapa pelayan maju menyodorkan menu makanan.

Terjadi lagi sedikit kegaduhan, mereka pada berebutan memilih makanan makanan yang seumur mereka belum pernah mengecapnya.

Pengemis tua yang mengepalai rombongan ini meneriaki kawan kawannya:

“Jangan berisik. Tidak perlu memusingkan diri. Tolong saja sediakan makanan yang sama dengan tuan itu.”

Dia menunjuk makanan yang ada di meja orang tua berpakaian dekil.

Maka, di dalam waktu yang amat singkat pelayan pelayan sudah membawakan makanan khas Hian-kok-lauw.

Untuk manusia biasapun belum tentu dapat menikmati masakan2 Hian-kok-lauw. Apalagi kaum pengemis gelandangan yang hidupnya sengsara, mengimpipun mereka belum pernah dapat membayangkan, kalau hari ini bakal mendapat banyak makanan lezat dengan gratis lagi, maka mereka melahap setiap makanan dengan rakus sekali.

Menyaksikan kerakusan mereka, Lauw Can Cun hanya tersenyum geli. Dia malah memberi perintah kepada pelayannya untuk lekas menyediakan arak, sementara itu ia diam diam sudah mendekati Ie Lip Tiong, mengajak si pemuda bercakap cakap.

“Saudara ini rupanya agak merasa terganggu bukan ?” Katanya, “Maaf, disini aku meminta maaf. Mari kita menenggak arak perkenalan.” Ternyata Lauw Can Cun mulai menaruh curiga, dengan cara ini, dia hendak membuktikan betul tidaknya Ie Lip Tiong merupakan salah seorang dari komplotan pengacau rumah makan.

Ie Lip Tiong telah membikin persiapan, dia membawakan gerak gerik seorang yang sudah hampir mabuk, menerima tawaran toas itu dia segera menyambutnya dengan kata2,

“Bagus. Arak bagus. Kuterima baik salam arak perkenalan.” Dia mengangkat tinggi cawan araknya.

Lauw Can Cun memegang keras cawan dengan cepat membentur cawan Ie Lip Tiong.

“Mari kita keringkan secawan arak ini !” Dia berkata. Benturan tadi disertai dengan tenaga dalamnya.

Berbareng dengan datangnya cawan orang itu, Ie Lip Tiong dapat merasakan adanya benturan tenaga yang teramat kuat, bagaikan dipukul oleh benda ratusan kati, tubuhnya terjengkang roboh.

“A a a a y a. . . . ,” Hanya kata2 ini saja yang dapat keluar dari mulutnya,

“Ha, ha . . .” Lauw Can Cun tertawa. Dia meraih tubuh Ie Lip Tiong yang hampir menyentuh tanah dengan gerakan cepat. Tuan ini sudah mabuk rupanya !”

Dengan sangat hati-hati, dia mendudukkan le Lip Tiong. Dia selesai membikin percobaan, anak muda ini ternyata tidak berkepandaian menurut dugaanya. Inilah putusannya yang salah.

Ie Lip Tiong bersyukur kapada kecerdasan otaknya yang dapat bertindak cepat. Dia berhasil melepaskan diri dari kecurigaan Lauw Can Cun. Disamping rasa girangnya, Ie Lip Tiong juga terkejut atas tenaga dalam yang dimiliki oleh Lauw Can Cun, kekuatan si pemilik rumah makan Hian-kok-lauw ini jauh berada di atas 10 jago Sang- leng The chung. Bukan makanan empuk baginya.

Ie Lip Tiong meragukan keselamatannya orang tua berpakaian kumal, dapatkah meloloskan diri dari kekejaman Lauw Can Cun.

Seperti menguji kekuatan Ie Lip Tiong-Lauw Can Cun mendekati si orang tua dekil mengacungkan cawan arak dan berkata:

“Maaf. . Maaf. .” Karena keterlambatanku, para pelayan yang tidak mempunyai mata itu melanggar kehormatanmu. Dengan ini aku Lauw Can Cun mengucapkan maaf.”

Orang tua dekil mempeletek sebelah matanya dengan menunjukkan sikapnya yang tidak memandang mata, dia berkata :

“Apa ? Hendak mengadu cawan ?”

Mengangkat cawan araknya, orang tua itu membentur cawan Lauw Can Cun.

Tiingggggg.......

Terjadi sedikit keanehan, kedua cawan itu tidak pecah. Tapi hasil dari benturan kedua tenaga raksasa membuat tubuh Lauw Can Cun yang tinggi besar melayang ke atas ruangan rumah makan, langsung meluncur ke belakang, cepat sekali, tubuh itu membentur tembok bangunan.

Lauw Can Cun tidak berhasil menekan kekuatan orang tua berpakaian dekil, dia terlempar jatuh, tanpa mempunyai kekuatan untuk bangun kembali.

Para pengemis bertepuk tangan, mereka memuji kekuatan jagonya.

Ie Lip Tiong yang terkejut, dia tidak dapat menduga asal usul orang tua berpa kaian dekil, tapi yang jelas, bukanlah jago dari kaum pengemis.

Di saat itu, orang tua berpakaian dekil sudah meletakkan cawan, dia memainkan sumpitnya diputar begitu rupa, tiba2 slep, tampak gerakannya bagai sedang menjepit di tengah udara yang tidak ada apa2nya, terarah dan ditujukan ke tempat Lauw Can Cun terjatuh. Dengan geram dia membentak :

“Bangun !”

Lagi2 terjadi keanehan. Begitu patuh Lauw Can Cun kepada perintah itu, tubuh nya lantas terlihat lompat bangun. Mengikuti perputaran sepasang sumpit si orang tua berpakaian dekil, dari jauh, tubuh besar itu juga terputar putar di tengah udara, lalu perlahan lahan melayang layang dengan ringan, seolah olah benda kapas saja.

Kepandaian yang sangat menakjupkan !

Tepuk sorak para pengemis yang barusan terdengar riuh mendadak terhenti, Terpesona mereka agaknya.

Demikianpun keadaan Ie Lip Tiong, hampir dia tidak percaya kepada kenyataan yang terbentang di depan matanya. Wajahnya berubah menjadi pucat. Inilah ilmu kepandaian hebat, tidak mungkin dia dapat memadainya. Ilmu kepandaian si orang tua dekil masih jauh berada di atas dirinya. Manakala orang tua berpakaian dekil itu menjatuhkan Lauw Can Cun, Ie Lip Tiong segera coba mengingat ingat nama-nama para ketua partai yang ada. Dia rnenduga kepada salah satu dari ketua partai. Tentu saja, mengingat ilmu kepandaian yang begitu hebat, kedudukan orang tua ini dengan sendirinya bukan biasa lagi. Tentunya merupakan salah satu orang dari sekian banyak ketua partai yang sudah mengasingkan diri.

Sebelum menemukan jawaban, lagi2 Ie Lip Tiong dikejutkan olehnya. Tidaklah disangka sama sekali, bahwa orang tua ini memiliki ilmu kepandaian yang begitu hebat. Dia dapat menggunakan sepasang sumpit, menarik tubuh orang yang terpisah jauh. Tidak satupun dari para ketua partai yang memiliki ilmu kepandaian seperti dia. Dan Dua Belas Duta Istimewa Berbaju Kuning pun bukan pula tandingannya.

Mungkinkah salah satu dari Dua Belas Raja Silat Sesat?

Ie Lip Tiong masih memikirkan asal usul si orang tua berpakaian kumal itu, tiba2 tampak orang tersebut menggerakkan sepasang sumpitnya, digoyangkannyai sebentar dan menunjuk ke arah dimana Ie Lip Tiong sedang duduk, ini berarti bahwa dia hendak melemparkan tubuh Lauw Can Cun ke tempat meja Ie Lip Tiong.

Betul saja, tubuh Lauw Can Cun yang berputar di udara itu diam sejenak dan berhenti, kemudian meluncur ke arah pemuda she Ie yang masih tenang2 duduk.

Mudah diterka, apa yang menjadikan tujuan orang tua berpakaian dekil itu. Dia rupanya hendak mengetahui dasar ilmu kepandaian Ie Lip Tiong. Adanya pemuda she Ie yang tidak mau menyingkir dari tempat keributan besar tentu saja telah menarik perhatiannya.

Adanya penyerbuan puluhan pengemis yang memenuhi ruangan loteng tingkat kesatu dan tingkat kedua dari rumah makan Hian- kok-lauw telah mengejutkan semua orang. Semua yang ada di atas loteng segera menyingkir jauh2 hanya Ie Lip Tiong sendiri yang masih duduk terus, malah menyaksikan keramaian hingga selesai. Tentu saja menarik perhatian orang tua dekil itu. dan sekarang dia hendak menguji kepandaian si pemuda.

Tubuh Lauw Can Cun melayang dengan cepat, lebih cepat lagi adalah gerakan Ie Lip Tiong yang membuang dirinya ke lantai rumah makan. Tidak lupa ia mengeluarkan jeritan ngeri,

“Aaaaa . . . “

Buummm .... Tubuh Lauw Can Cun yang gemuk itu jatuh di atas meja Ie Lip Tiong, merusak semua piring mangkuk, mematahkan kaki meja kemudian jatuh di lantai.

Orang tua berpakaian dekil mengeluarkan suara seram, lalu tampak dia mengeluarkan sebuah panji kecil berwarna hitam, pada panji itu ada terlukis seekor naga dengan kedua mata yang tumbuh di sebelah kiri kepala.

“Siapa yang tidak kenal dengan panji kebesaranku ?” Dia bergeram lagi.

Ie Lip Tiong belum menyantelkan dirinya dengan Co Khu Liong. Dia terkejut di dalam hati. Tapi tidak perlu khawatir akan keselamatan dirinya.

Berbeda dengan Ie Lip Tiong, keadaan Lauw Can Cun sesungguhnya sangatlah mengenaskan. Dia merayap bangun, memben tur-benturkan kepalanya pada lantai rumah makan, dengan suara gemetar  lalu berkata :

“Maafkan Lauw Can Cun yang tidak mempunyai mata, sehingga tidak mengenali Co Khu Liong cianpwe yang mulia. Dengan ini Lauw Can Cun menerima salah.

Si Raja Bajingan Co Khu Liong mengeluarkan suara dingin :

“Kau belum pernah bertemu dengan aku, tentu saja tidak kenal kepadaku. Mana bisa kau dipersalahkan ? Kau tidak salah.”

“Terima kasih . . . . Terima kasih . .” Lagi2 Lauw Can Cun membentur benturkan kepalanya kepada lantai. Wajah si Raja Bajingan Co Khu Liong semakin keren.

“Lauw Can Cun.” Dia langsung memanggil nama si pengurus rumah makan Hian-kok-lauw.

“Berani kau menyalah gunakan kekuasaan yang diserahkan kepadamu ?”

Sekali lagi wajah Lauw Can Cun berubah menjadi pucat. Dengan sujut dia tetap berusaha hendak membela diri.

“Lauw Can Cun mengurus Hian-kok-lauw dengan sungguh2 malah sekarang sudah menjadi rumah makan ini sebagai rumah makan terbesar di kota Han Yang, belum pernah Lauw Can Cun menyalah gunakan kekuasaan yang dipercayakan. Bila ada sesuatu kesalahan, Lauw Can Cun bersedia menerima hukuman.”

“Huh !” Co Khu Liong berdengus. Menunjuk ke arah merek bertulisan. Tamu yang hanya memesan bakmi kering dilarang menaiki tangga loteng ini. “Peraturan ini bukankah dibuat juga olehmu ?”

Lauw Can Cun tidak berani membantah dalam hal ini, dia membenarkan pertanyaan itu.

“Ya, tapi hal ini boanpwe terpaksa melakukannya demi untuk menjaga kepentingan perusahaan, tidak sedikit dari para bergajul2 di kota Han Yang yang ”

“Aku tahu,” potong Co Khu Liong. “tak perlu kau memberi keterangan yang panjang lebar. Ringkasnya, kau hendak menambah penghasilan Hian-kok-lauw, bukan ?”

“Inilah yang menjadi tujuan utama Lauw Can Cun.”

“Bagus.” Co Khu Liong memuji “Kau pandai mengurus perusahaan. Berapa banyak keuntungan yang sudah kau kumpulkan

?”

“Untuk tahun ini saja, Lauw Can Cun sudah berhasil mengumpulkan keuntungan sebanyak ratusan ribu tail perak, semua sudah dibukukan atas nama majikan yang ada pada Rumah Keuangan Kim tauw san Ciam Chung,”

Rumah Keuangan di jaman dahulu mempunyai fungsi yang sama dengan Bank pada jaman sekarang.   Rumah Keuangan Kim tauw san Ciam Chung boleh diartikan sama dengan Bank Kim tauw san Ciam Chung.

Co Khu Liong mengeluarkan suara dari hidung, lalu katanya lagi : “Dan, kau pribadi juga tentunya sudah berhasil menggaruk

sabagian, bukan ?”

Badan Lauw Can Cun gemetaran.

“Tidak . . . Tidak . . . Lauw Can Cun mana berani . . . .” Dia membela diri. “Semua sudah dibukukan, Co locianpwe boleh saja periksa pembukuan Hian-kok-lauw.”

Co Khu Liong masih tidak mau percaya. Dia menoleh ke arah Ie Lip Tiong.

“Hei. anak muda ....?” Panggilnya dengan nada keren. Tentunya kau tahu, berapa yang baru kau bayar atas rekening makananmu ?”

Ie Lip Tiong membungkukkan badan. “Delapan tail perak.” jawabnya.

Co Khu Liong berdengus keras, menoleh ke arah Lauw Can Cun.

Dengan dingin dia mengadakan teguran:

“Berapakah harganya yang telah ditetapkan oleh majikanmu untuk makanan2 seperti itu ?”

Wajah Lauw Can Cun mendadak pucat pasi, dengan badan yang menggigil keras, dia menjawab :

“Seharusnya empat tail perak. Tapi mengingat adanya       “

“Aku tidak mau tahu semua persoalan lain !” bentak Co Khu Liong “Pendeknya jawablah secara terus terang, berapa banyak uang hasil korupsi yang sudah kau gelapkan ?”

Lauw Can Cun mendapat ujian yang terberat. Dia belum mempunyai rencana lain untuk mengelakkan pertanyaan ini.

“Hmm,” Co Khu Liong berdehem: “Di depanku, ada lebih baik kalau kau berterus terang saja !”

“Cianpwe telah melakukan perjalanan jauh, tentunya sudah lelah.” Lauw Can Cun coba mengalihkan persoalan. “Mari istirahat dulu, biarlah disana saja boanpwe akan ceritakan angka-angka yang cianpwe kira perlu diketahui.”

Co Khu Liong mengeluarkan suara dari hidung ;

“Hmm ....... Disinipun sama saja. Sebab sudah ada kabar selentingan mengenai kecurangan yang kau perbuat, maka majikanmu mengutus aku suruh menyelidiki kemari. Dan seperti apa yang diberitahukan orang, betul saja kau ada main di dalam rumah makan Hian-kok-lauw ini. Kukira tidak perlu aku harus mengecek penbukuanmu lagi. Hayo, bersiap-siaplah ikut aku pergi.”

Kemana meraka akan pergi ? Inilah yang diharapkan Ie Lip Tiong, oleh sebab itu ia memasang kuping lebih tajam.

Co Khu Liong membebaskan orang tawanannya, dia membentak Lauw Can Cun.

“Lekas bersiap-siap, sebentar lagi kau harus meninggalkan kota Han Yang !”

Kemudian, menghadapi rombongan pengemis, orang tua berpakaian dekil itu memberi perintah :

“Nah, sekarang kalian boleh tunggu aku di tempat yang sudah kujanjikan.”

Rombongan pengemis itu seperti setan kelaparan, adanya keramaian dan semua demonstrasi barusan tidak mengganggu jalannya perpaduan gigi mereka, sementara telinga mereka bekerja mengikuti acara cerita. mulut merekapun tanpa berhenti terus dikerjakan mengganyang habis semua makanan makanan yang tersedia di atas meja.

Itu waktu, sebagian besar dari para pengemis itu sudah kenyang makan. Mendengar teriakan sang Raja Bajingan, berderet mereka angkat kaki, meninggalkan rumah makan Hian-kok-lauw, Hingga dalam sekejap mata, tempat itu telah menjadi sunyi sepi. Beberapa orang yang berada disana tidak berani bernapas keras keras.

Waktu tiba giliran Ie Lip Tiong harus meninggalkan rumah makan itu, dia memanggil pelayan dan berteriak;

“Pelayan mana perhitunganku?”

Tidak satu pelayanpun yang berani menerima uang si pemuda. Semua mata ditujukan kepada Co Khu Liong dan Lauw Can Cun dengan bergantian, tentu saja mereka ragu ragu. Berapa yang harus mereka terima dari tangan Ie Lip Tiong? Tidak ada yang berani maju, mengingat selisih perbedaan harga yang ditetapkan oleh perusahaan dan harga patokan yang ditetapkan oleh Lauw Can Cun yang terlalu besar.

Si Raja Bajingan Co Khu Liong tertawa, dia mengeluarkan putusan :

“Tidak usah terima uangnya. Biar aku yang mentraktir.” Ie Lip Tiong lekas2 mengucapkan terima kasih, katanya : “Merepotkan cianpwe saja”

Dia memberi hormat dan hendak meninggalkan tempat itu.

Tubuh Co Khu Liong bergerak, tiba2 saja sudah berada di samping Ie Lip Tiong dengan merendengkan jalannya dengan pemuda itu si Raja Bajingan berkata :

“Boleh kita bicara sebentar ?”

Ie Lip Tiong tidak berani menolak permintaannya kali ini. “Cianpwe ada petunjuk apa untukku ?” sambil berkata dia

menganggukkan kepala.

“Mari kau ikut aku.” ajak Co Khu Liong dan lantas menyeret tangan Ie Lip Tiong. Mengetahui bahwa selisih ilmu kepandaiannya yang tidak mungkin dapat memadai si Raja Bajingan, Ie Lip Tiong harus mencari jalan lain. Dia membiarkan dirinya digandeng oleh orang tua itu.

Co Khu Liong menyeret Ie Lip Tiong meninggalkan rumah makan, melalui lorong lorong jalan yang sepi, mereka menuju ke arah luar kota. Beberapa kuburan tampak di kedua sisi jalan, kini mulailah mereka memasuki daerah kuburan.

Ie Lip Tiong mendapat firasat buruk, dia hendak melepaskan diri dari kekangan orang tua itu, tapi tidak ada jalannya. Cengkeraman Co Khu Liong begitu keras, kewaspadaan orang itu begitu tinggi, ilmu kepandaian silatnya juga luar biasa sekali. Suatu hal yang amat mustahil, bila dia dapat melarikan diri dari samping si Raja Bajingan.

“Cianpwe hendak membawa boanpwe kemana ?” tanya Ie Lip Tiong.

“Maukah kau mengerjakan sesuatu ?” balas tanya Co Khu Liong. “Mengerjakan sesuatu ? Apa maksud ucapan cianpwe ini ?” Ie Lip

Tiong belum mengerti akan maksud tujuan orang dari sebab itu ia

bertanya demikian.

“Ng ! Dan kau akan segera dapat menarik beberapa rupa keuntungan darinya “

“Apa yang harus boanpwe lakukan ?”

“Mudah sekali. Tapi harus menggunakan kepintaran otakmu. Hei anak muda, tahukah kau siapa aku ini sebetulnya ?”

“Cianpwe adalah kawan baik dari rnajikan pengurus rumah makan Hian-kok-lauw yang bernama Lauw Can Cun tadi. Bukankah begitu ?”

“Namaku Co Khu Liong” Si Raja Bajingan memperkenalkan diri, “Pernah dengarkah kau nama ini ?”

“Aaaaaaa , . . . “ Co Khu Liong cianpwe ? jadi cianpwe adalah salah seorang dari dua belas Raja Silat Sesat yang ternama itu ?” “Heeee . . . heee . . . hee       “ Co Khu Liong tertawa. Kau tidak

takut kepadaku ?”

“Mengapa harus takut ?” sahut Ie Lip Tiong. “Boanpwe tidak melakukan sesuatu kesaLahan apapun !”

“Bagus ! Sudah kau saksikan tadi, bukan? Bagaimana ketakutannya Lauw Can Cun begitu tahu siapa aku. Tidak berani dia berkutik sedikitpun. Apa kau tidak merasa heran ?”

“Sebelumnya, boanpwe memang agak bingung. Tapi kemudian, setelah mengetahui hubungan cianpwe sebagai kawan majikannya. Rasa heran itu lenyap begitu saja dengan sendirinya !”

“Ilmu kepandaian Lauw Can Cun sangat tinggi, kau tentu dapat membuktikan sendiri.”

“Tapi mana mungkin dapat memadai ilmu kepandaian cianpwe ?” “Hm, ilmu kepandaian sebegitupun sudah cukup dapat merajai

rimba persilatan.”

“Boanpwe mulai ketarik.”

“Terus terang kukatakan kepadamu, bahwa majikan Lauw Can Cun berkepandaian lebih tinggi berlipat lipat dari aku. Dia ada memiliki banyak cabang perusahaan misalnya perkebunan teh, persewaan kuda, Rumah Keuangan, Rumah Makan dan macam macam lagi cabang2 perusahaan lainnya. Pangurus2 dari perusahaan2 itu tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kulihat, kau berkepandaian cukup lumayan, maukah kucalonkan untuk memimpin salah satu anak cabang perusahaannya ?”

“Sangat menarik sekali” Berkata Ie Lip Tiong “Begitu besar kekuatannya, seperti kekuatan partai ternama saja.”

“Kekuasaannya lebih besar dari setiap partai yang ada dewasa ini,” Berkata Co Khu Liong.

“Lebih besar dari partai yang ada sekarang ? Kalau begitu tentunya merupakan partai baru. Apakah nama partai itu?” “Pernah dengar nama partai Raja Gunung ?” Ie Lip Tiong menggoyangkan kepala.

“Nah, untuk memasuki partai, kau wajib melakukan sesuatu.”

“Apa yang harus boanpwe lakukan?” Ber tanya Ie Lip Tiong. Dia sudah menduga kepada sesuatu yang buruk.

“Nah itu dia mereka datang.” Berkata Co Khu Liong. “Tunggu ! akan kuselesaikan dahulu satu urusanku ini.”

Disana sudah berbaris rombongan pengemis yang tadi mengacau di rumah makan Hian-kok-lauw. Mereka berjajar rapi di depan sebuah makam yang megah. Itulah makam seorang pemimpin yang sudah lama dilupakan orang.

“Aaaaa . . . . . Ie Lip Tiong berteriak kaget. “Kau memberi perintah kepada mereka untuk menunggu disini?”

“Betul.” Co Khu Liong menganggukkan kepalanya. “Aku hendak memberi persen atau serupa hadiah kepada mereka.”

“Dan memaksa mereka agar tidak menguwarkan cerita yang terjadi di rumah makan Hian-kok-lauw barusan?”

“Nah, kaupun memiliki kecerdasan otak yang lumayan juga.” Co Khu Liong memuji “Bagaimanakah pendapatmu untuk menyelesaikan perkara ini?”

“Satu persatu, mereka disuruh bersumpah, agar tidak membocorkan rahasia.”

“Hmmm. . . , keenakan!” Co Khu Liong mengeluarkan suara dari hidung.

Di saat itu, dia sudah menghadapi rombongan pengemis tadi.

Rombongan pengemis itu melihat adanya sang pencipta keonaran yang mempunyai banyak uang, tentu saja sangat menggirangkan hati mereka. Serentak mereka bersorak.

Raja Bajingan Co Khu Liong berdiri di hadapan mereka, dengan disunggingkan senyuman buatan, dia angkat bicara :

“Jumlah kalian 38 orang. Tidak satukah yang ketinggalan ?” Pengemis tua yang mengepalai rombongan itu menampilkan diri,

dia buru2 menjawab:

“Betul. Tidak satupun yang ketinggalan.”

“Bagus. Kini aku hendak memberi persen dan kalian harus berjanji tidak akan membocorkan apa yang sudah terjadi barusan.”

Dengan hormat, pengemis tua memberikan janjinya :

“Kami berjanji, tidak akan menceritakan kejadian di atas loteng rumah makan Hian-kok-lauw barusan. Siapa yang melanggar janji ini biarlah dia mati disambar geledek.”

“Bagus !” Co Khu Liong berkata. “Silahkan kalian berbaris rapi, agar lebih mudah aku membagi-bagikan hadiah.”

Rombongan pengemis itu berbaris rapi, membuat setengah lingkaran di depan makam bagus seorang pemimpin yang telah dilupakan orang.

Co Khu Liong mulai menghitung jumlah pengemis itu, tiba2 dia menunjukkan rasa herannya yang jelas.

“Eh”, serunya, “kenapa jadi lebih seorang? Berapakah jumlah kalian yang datang ke rumah makan Hian-kok-lauw tadi ?”

“Tiga puluh delapan orang.” Berkata si pengemis tua.

“Tapi sekarang disini ada tiga puluh sembilan orang,” kata Co Khu Liong dalam rupa heran.

Si pergemis tua yang mengepalai rombongan pengemis melepaskan diri dari barisan, dia muai menghitung jumlah anak buahnya. Dan seperti apa yang dikatakan oleh Co Khu Liong disitu benar saja telah bertambah seorang. Bilamana mereka datang ke rumah makan Hian-kok-Iauw berjumlah tiga puluh delapan orang, kini jumlah itu meningkat menjadi tiga puluh sembilan orang. Kemarahan pengemis tua itu naik memuncak, dia membentak :

“Hei. siapa yang tidak ikut gerakan tadi harus bersifat jantan, lekaslah tinggalkan tempat ini !”

Tidak satupun dari tiga puluh delapan pengemis yang berbaris disitu yang mau melepaskan diri dari barisannya.

Si pengemis tua bergeram lagi :

“Kurang ajar ! Ee, coba kalian bantu aku, periksa siapa yang baru menyelundup masuk ?”

Mereka hanya saling pandang, cara inipun tidak berhasil memisahkan si penyelundup.

Si pengemis tua berjingkrak2, 38 pengemis yang berbaris, beserta dirinya menjadi 39 orang. Adanya tambahan seorang ini akan menghilangkan sedikit rejeki mereka. Bagaimana dia tidak marah benar?

Co Khu Liong lantas maju.

“Sudahlah.” Dia berkata “Tidak menjadi soal. Tiga puluh sembilan orang ? Bagus-Akan kuberi hadiah yang merata, tanpa seorangpun yang menerima lebih sedikit. Kelebihan seorang inipun akan kuberi hadiah juga, sebab yang kukhawatirkan cuma kalau sampai kurang seorang saja, sebab bisa bikin berabe aku. Nah, lekaslah sekarang kalian berbaris lagi !”

Si pengemis tua balik ke dalam barisannya.

Raja Bajingan Co Khu Liong juga sudah lantas merogoh sakunya. Tampak dia menggenggam sesuatu, dan tiba2, begitu cepat sekali, dia menyebarkan benda dalam genggamannya, hingga hanya terlihat sinar berkeredep2, dibarengi jeritan ketiga puluh sembilan orang itu, tidak satupun yang luput dan kekejaman tangannya. Pada bagian ulu hati mereka kemudian terlihat ada tertancap sebatang jarum perak. Semua pengemis itu jatuh bergelimpangan dalam waktu yang bersamaan.

Suatu pembunuhan massal ! “Aaaaa ” Ie Lip Tiong berteriak.

“Kau membunuh mereka ?”

Tubuh Ie Lip Tiong melesat, dia hendak melarikan diri.

Gerakan Ie Lip Tiong sudah cukup cepat tapi gerakan Co Khu Liong lebih cepat lagi. Begitu gerakan susulan ini melesat, dengan mudah, dia sudah berhasil dapat mencengkeram tangan si pemuda.

“Jangan lari.” Dia mengancam.

“Aku . . . . Aku . . . . Aaaaa . . . .” Tiba2 tubuh Ie Lip Tiong menjadi lemas, seolah-olah orang kena bokongan serangan gelap. Derap napasnyapun lantas terhenti.

Raja Bajingan Co Khu Liong mengadakan pembunuhan massal. Dia menutup 39 jiwa para pengemis dengan jarum peraknya yang berbisa. Setelah itu, Ie Lip Tiong melarikan diri. Dia marah; hanya satu kali lompatan, dia berhasil menangkap kembali. Tapi sangat disayangkan, di kala itu, entah mengapa, napas si pemuda mendadak terhenti, tubuhnya lemas, tentu saja ada apa-apa yang tidak beres.

Co Khu Liong dengan cepat melemparkan tubuh Ie Lip Tiong. Di tempat ini sesungguhnya terdapat banyak gangguan, tapi dia tidak dapat melihat jelas, dari mana datangnya penyerangan gelap yang merenggut jiwa orang tawanannya, Karena itu, dia melejitkan diri, lompat melesat tinggi sekali, sesampai di atas dia segera mememeriksa keadaan de sekitar daerah kuburan itu, tapi tidak seorangpun yang tampak ! Heran !

Saat itulah tiba2 terdengar Co Khu Liong mengeluarkan seruan tertahan, satu gumpalan pasir tampak melayang ke arahnya, datangnya dari bawah. Diamati debu dan pasir yang berterbangan itu, terdapat juga dengungan senjata rahasia, 6 buah hui-to atau golok terbang lantas mengancam jalan darah di tubuh Co Khu Liong.

Co Khu Liong diserang orang secara menggelap.

Sebagai salah seorang dari 12 Raja Silat Sesat, Co Khu Liong berkepandaian sangat tinggi. Di dalam keadaan yang seperti itu, dia belum dapat membedakan, senjata macam apa sebetulnya yang dipakai untuk menyerang dirinya. Kekuatan tangannya memang hebat, huit ! Dia memukul pasir dan sen jata2 rahasia yang menyerang dirinya.

Datangnya serangan gelap begitu cepat, 6 batang hui to terpecah dalam 6 jurusan. Co Khu Liong berhasil menahan serangan gumpalan pasir dan 5 batang golok terbang, tapi dia tidak dapat mengelakkan sebilah yang datangnya paling belakangan, begitulah plep ! Pantatnya telah dijadikan sarang pisau terbang itu.

Co Khu Liong menggeram lagi dan meletik tinggi, lebih hebat dari

!engkungan udang yang terbang dari dalam air, menjauhi tempat berbahaya itu.

Mencari suatu tempat yang agak aman, Co Khu Liong meletakkan kakinya. Dia membikin pemeriksaan.

“Hei!” Dia berteriak. Dan kini dia dapat melihat jelas siapa yang telah membokong dirinya tadi, itulah bukan lain dari pada perbuatan anak muda yang baru saja dia tangkap le Lip Tiong, “Kau ? !. ”

“Ha, ha, ha, ha. ” Ie Lip Tiong tertawa “Kau kena kutipu !”

Ternyata, mengetahui sulit untuk melepaskan dirinya dari kekangan raja silat itu, Ie Lip Tiong menggunakan tipu daya. Seolah2 mendapat serangan gelap, dia berteriak dan menutup pernapasannya membawakan sikap seperti orang sudah mati, dia menggelejot pada tubuh orang. Dan dia berhasil, Co Khu Liong melepaskan pegangannya. Di saat itu, dia meraup pasir, menyerang si Raja Bajingan. Tidak lupa, dia juga mengirim 6 bilah pisau terbang.

Salah satu dari hui-to itu berhasil bersarang di bagian bebokong orang. “Hmmm . . . Hmmm       ” Co Khu Liong merasa ditipu mentah2

“Tidak kusangka, ilmu kepandaianmu setinggi ini.”

“Atas pujian Co Khu Liong cianpwe, aku mengucapkan banyak terima kasih.” Ie Lip Tiong yang ingin mencari jalan untuk melepaskan diri dari si raja silat ini, sekali lagi harus memutar otak cepat.

“Sebutkan namamu !” Co Khu Liong membentak keras. “Ha, ha, ha, ha ”

“Tidak kusangka, kau telah mengintil lama. Tentunya sebelum dari rumah makan Hian kok lauw, bukan ?”

“Tidak perlu kusangkal.”

“Bagus. Masih ada orang yang berani menantang aku ?”

“Selalu siap sedia.” sahut Ie Lip Tiong yang rupanya sudah jadi besar kepala karena telah berhasil membokong tokoh silat yang biasanya didewa-dewakan ini.

Co Khu Liong menengadahkan kepala, mengeluarkan pekikan panjang yang agak mirip dengan suara lolongan serigala, tubuhnya lalu tampak meluncur ke atas, dari sana dia merentangkan sepasang tangannya, dengan sepuluh jari yang seperti cakar setan, menerkam Ie Lip Tiong. Begitu galak lakunya dia, tak ubahnya seperti iblis yang hendak menerkam mangsanya.

Menyaksikan stand lawan demikian bagus, Ie Lip Tiong jadi agak gentar juga. Ternyata, hui to terbang yang nancap di tubuh orang tua itu tidak mengganggu kelancaran geraknya,

Pemuda ini bergerak cepat, menggeser kaki, dengan tipu Kauw Cu Tauw-tho atau Kera Kecil Mencuri Buah Tho, menyerang pinggang Co Khu Liong.

Sebagai salah satu dari 12 Raja Silat Sesat Co Khu Liong kebal kepada totokan biasa. Ia membiarkan saja pinggangnya di arah lawan, masih meneruskan usahanya yang hendak mengkeremas anak muda itu. Ie Lip Tiong segera mengetahui akan adanya Kabut Hijau It-bok Cin Khie yang mengitari bagian bagian tubuh Co Khu Liong, dia tahu juga tidak mungkin akan berhasil, dan itu waktu, bila membiarkan dirinya jatuh ke tangan musuh, pasti tidak akan ada obatnya untuk menolong diri.

Langkah terbaik untuk rentetan cara menghadapi Co Khu Liong adalah melarikan diri!

Cepat sekali, Ie Lip Tiong menarik tangan yang sudah terjulur keluar, dibetotnya ke samping, menarik berat badannya, begitulah dia berganti posisi, melayang lagi, meluncur kaki, dia ngiprit pergi.

Co Khu Liong menubruk tempat kosong, menyaksikan larinya sang lawan, dia mengeluarkan gerengan. Cepat sekali, diapun mengejarnya.

“Monyet kecil, kemana hendak kau lari!” sambil mengancam dia terus membayangi arah perginya si pemuda.

Mereka berada di daerah kuburan, menggunakan pelindung2 itu, Ie Lip Tiong main petak.

“Jangan takut.” Si pemuda mengejek. “Aku tidak akan lari.” “Berhenti kau!” bentak Co Khu Liong.

“Bila kau berhasil menyandak, tentu aku akan segera berhenti.” Ie Lip Tiong tanpa mengurangi kecepatan geraknya terus lari bagaikan terbang.

Berulang kali Co Khu Liong menerkam lawan itu, tapi tidak berhasil. Ie Lip Tiong terlalu gesit. Menerkam lagi. Lolos juga, hampir dia menarik baju anak muda itu. Karena menahan rasa kemarahannya yang dipermainkan, Co Khu Liong tidak berhasil menguasai dirinya. Karena itu, dia menemukan kegagalan.

Dua orang berlari larian di sekitar daerah kuburan itu. Sering juga Ie Lip Tiong menyembunyikan diri, Co Khu Liong harus memakan waktu lama menemukannya.

Luka di paha juga mengganggu gerakan Co Khu Liong, darah mulai mengetel jatuh. Dia terlalu banyak mengeluarkan tenaga, maka memperbesar luka itu.

“Monyet kecil,” Co Khu Liong berteriak lagi. “Berani kau diam disitu ?”

“Mengapa tidak ?” Betul-betul Ie Lip Tiong berhenti. Co Khu Liong girang dia lompat terbang.

Ie Lip Tiong menggeser dirinya ke samping, lagi2 lari jauh ke belakang.

Co Khu Liong terjingkrak jingkrak. “Hei, takut kepadaku ?

Mengapa melarikan diri ?” Dia berteriak.

“Disinilah letak keunggulanku, mengapa tidak boleh lari ?” Ie Lip Tiong menggoda semakin riang. Dia lari lagi. “Lari itu memang !”

“Keunggulan kentutmu.” Co Khu Liong meneruskan pengejarannya.

“Aha,” Ie Lip Tiong tertawa,“Tidak ada hui-to yang bersarang di pantatku, maka mudah untuk mengeluarkan kentut. Tidak seperti dirimu, masih dapatkah kau mengeluarkan hawa busuk di perut ?”

Perut Co Khu Liong dirasakan mau meledak, dia memiliki ilmu kepandaian yang jauh di atas lawan itu, tapi begitu sulit untuk menangkapnya, inilah yang menyebabkan dia marah sekali. Berulang kali dia menggeram, menubruk si pemuda.

Mereka berputar di sekitar makam itu. Berputar lagi dua kali, Ie Lip Tiong tertawa:

“Ha, ha,.........Betul . . . . . Berputar lagi belasan kalipun sudah cukup.”

Menangkap kata kata Ie Lip Tiong seperti itu, wajah Co Khu Liong berubah. Dia menghentikan pengejarannya dia membentak :

“Monyet kecil, kau menggunakan hui to beracun ?” Ie Lip Tiong menggoyang goyangkan kepalanya, “Jangan takut.” Dia berkata. “Tidak ada racun pada golok terbangku”

Co Khu Liong bergelar Raja Bajingan tentu saja mempunyai aneka tipu bajingan yang serba komplit. Sering kali menggunakan tipu-tipu yang jahat mencelakakan orang, Hari ini dia agak lengah, sehingga dihajar oleh hui to Ie Lip Tiong, hui to masih bersarang di pahanya. Segera terbayang golok terbang yang mengandung racun. Semakin tegas keterangan lawan yang menyatakan tidak mengandung racun, semakin tebal pula kepercayaannya, bahwa golok terbang itu sudah ditaburi racun.

Kejadian ini dihubungkan dengan kenyataan, tidak mungkin Ie Lip Tiong dapat menandingi ilmu kepandaiannya, mengapa dia tidak melarikan diri ? Apakah yang ditunggu oleh si monyet kecil itu, bila bukan menunggu bekerjanya racun yang sudah menyertai golok terbang bersarang di paha ?

Aha- kepercayaan Co Khu Liong semakin tebal. Untuk menolong diri sendiri dari gangguan racun musuh. Dia menghentikan pengejarannya, membalikkan badan dan lari pulang ke arah kota:

Dia meninggalkan Ie Lip Tiong.

Ie Lip Tiong mengeluarkan elahan napas panjang, dia berhasil menggunakan tipu itu mengusir lawannya. Menunggu sampai bayangan Co Khu Liong jauh betul, baru dia meninggalkan tempat pembunuhan massal itu.

Raja Bajingan Co Khu Liong telah kembali di kota Han Yang, cepat2 dia membubuhi luka di pahanya dengan obat anti racun. Memeriksa sebentar golok terbang itu, betul2 tidak ada yang membahayakan. Di dalam hati, dia mengutuk Ie Lip Tiong habis habisan.

Lauw Can Cun sudah menunggu di kamar bukunya, komplit dengan semua catatan-catatan keuangan rumah makan Hian-kok- lauw.

Co Khu   Liong   mendatangi   pengurus   rumah   makan   itu. Tangannya menarik alat hitung, sambil mencocokkan catatan2 yang telah tersedia, dia mulai membikin pemeriksaan.

Itu waktu, Ie Lip Tiong juga kembali ke rumah makan Hian kok lauw. Dia tahu pasti, rumah makan inipun termasuk salah satu cabang perusahaan dari si Raja Gunung, dia tidak dapat melepas prakasa2 yang ada.

Mengintip dari suatu tempat yang agak jauh, Ie Lip Tiong dapat mengikuti semua gerak gerik Co Khu Liong.

Itu waktu, Co Khu Liong sedang memusatkan semua perhatiannya kepada catatan2 pembukuan rumah makan Hian-kok- lauw.

Dia tidak tahu, bahwa sepasang mata yang tajam terus menerus mengikutinya.

Suara alat penghitung berketak ketuk cepat. Ternyata, bukan saja pandai bermain silat, Co Khu Liong juga pandai menggunakan alat pencari uang itu. Gemelitiknya biji biji alat hitung begitu nyaring sekali, seolah mengetuk hati Lauw Can Cun yang mendampingi si petugas pemeri ksa pajak.

Semakin lama, gerakan tangan Co Khu Liong semakin cepat, sedari tadi, karena adanya luka yang terdapat di paha, dia tidak duduk di kursi yang disediakan untuknya, berdiripun tidak mengganggu kelancaran kerjanya.

Dengan sikapnya yang sangat hormat, Lauw Can Cun berkata : “Co Khu Liong Cianpwe, tentunya kau lelah sekali, kursi sudah

tersedia di belakangmu.”

“Aku tidak suka duduk.” Berkata Co Khu Liong dingin. Dia meneruskan hitungannya.

“Cianpwe tidak minum ?” Berkata lagi Lauw Can Cun. “Air itu sudah mulai menjadi dingin.”

Co Khu Liong melirik ke arah gelas di samping sisinya, dan menoleh ke arah Lauw Can Cun, dengan adem dia berkata : “lnilah tawaranmu yang ketiga kalinya, agar aku mau meminum air ini. Mungkinkah air obat yang mengandung racun ?”

“Oh . . . Bukan . . . bukan . . .” Badan Lauw Can Cun gemetaran. “Siapakah yang berani meracuni cianpwe. Inilah air khusus kusediakan kepada cianpwe, suatu tanda kehormatan dan patuhku kepadamu.”

“Bagus. Kau sangat berbakti.” Berkata Co Khu Liong “Tunggulah sampai aku selesai membikin perhitungan ini.”

“Baik . . . Baik . . . Baik        ”

Terdengar lagi suara kletak kletiknya alat hitung itu. Jari2 Co Khu Liong memain dengan lincahnya, begitu cepat sekali, dia membalik balik lembaran catatan, tanpa menggunakan tangan yang menghitung angka-angka pembukuan. Di dalam sekejap mata, dia sudah selesai mencocokkan pembukuan rumah makan Hian-kok- lauw.

Menutup buku itu, memeriksa angka yang tercatat pada alat penghitung, Co Khu Liong memandang ke arah Lauw Can Cun.

“Keuntungan bersih rumah makan berjumlah 578.381 tail perak. Tapi perhitunganku mencatat angka yang berada di atas 1.200.000 tail perak. Dimanakah selisih angka yang ada ini ?” Co Khu Liong mengadakan teguran.

Geleduk .   .   .   Lauw Can Cun menjatuhkan dirinya, dia meminta pengampunan, membentur benturkan kepalanya sampai ke lantai.

Co Khu Liong tertawa dingin. “Kau sudah mengakui kesalahanmu?” Dia bertanya.

“Boanpwe telah melakukan kesalahan besar, Harap pengampunan cianpwe”

“Bangun !” Co Khu Liong memberi perintah.

Lauw Can Cun tidak berani membangkang perintah itu, dia bangun kembali dengan badan yang masih gemetaran, seolah-olah orang baru direndam di dalam air yang dingin sekali.

“Katakan,” Bentak lagi Co Khu Liong, “Dimana kau simpan uang yang sudah kau korupsi ?”

Lauw Can Cun mengeluarkan uang kertas, diserahkan kepada Co Khu Liong dan berkata :

“Hanya ini yang dapat kupersembahkan kepada cianpwe.”

Fungsi uang kertas di masa itu tidaklah jauh bedanya dengan cheque pada jaman sekarang. Kertas yang diberikan oleh Lauw Can Cun kepada Co Khu Liong adalah uang kertas dari Rumah Keuangan Kim sam tauw Ciam-chung.

Co Khu Liong memeriksa uang kertas dari Rumah Keuangan Kim san tauw Ciam-chung itu, angka yang tertulis adalah tiga ratus ribu tail perak.

“Hm ...” terdengar suara dengusannya yang tidak sedap didengar. “Hanya angka seperti inikah yang hendak menolong selembar jiwamu ?”

Dari kata2 ini, sudah terbukti bahwa Co Khu Liong bersedia menerima uang sogokan. Hanya jumlah uang itu masih belum dapat memuaskan dirinya.

Atas ketidak puasannya Co Khu Liong kepada angka 300.000 tail perak tentu mengejutkan Lauw Can Cun. Tapi, pengurus rumah makan Hian kok lauw boleh menjadi girang. Atas kesediaan tokoh setengah dewa itu yang dapat disogok dengan uang. Cepat Cepat dia merogoh saku lagi mengeluarkan lain lembaran uang kertas dari Rumah Keuangan Kim tauw san Ciam-chung. Diserahkan lagi kepada orang tua berpakaian dekil itu.

“Kecuali dua lembar uang kertas Kim tauw san Ciam-Chung ini, boanpwe tidak mempunyai lain simpanan lagi.”. Dia berkata dengan setengah menangis.

Co Khu Liong menerima uang kertas itu, meriksa angkanya dan lagi2 tulisan dengan jumlah 300.000 tail  perak. Wajahnya agak ramah sedikit, menyimpan dua lembar uang kertas tadi dan berkatalah ia sambil tertawa :

“Tidak ada simpanan lain ?”

“Sungguh mati.” Lauw Can Cun mengangkat sumpah. “Boanpwe tidak mempunyai simpanan lain lagi selain itu semua.”

“Hee, hee, hee, hee, . . . . Kau menyimpan 600.000 tail perak di Rumah Keuangan Kim tauw san Ciam chung, berapa banyakkah bunga yang kau makan dari Rumah Keuangan ini? Dimana uang- uang tersebut ?”

“Cianpwe, “ Lauw Can Cun meratap. “Ketahuilah, bahwa boanpwe dan keluarga harus memakan nasi. Uang itu digunakan untuk menutup ketekoran sehari-hari.”

“Heeee, hee, hee,        Baiklah.”

Co Khu Liong menganggukkan kepala. “Akupun tidak tega untuk menguras semua hartamu. Biarlah, kau boleh bebas menggunakan semua uang itu !”

Lauw Can Cun menjadi girang.

“Cianpwe bersedia menyimpan rahasia ini sehingga tidak diketahui oleh Bapak Raja Gunung?”

“Legakanlah hatimu.” Berkata Co Khu Liong “Kecuali memuji kegesitanmu di dalam mengurus Hian kok lauw, aku tidak nanti akan menyebut soal keuangan rumah makan.”

Lauw Can menjatuhkan dirinya, berulang kali dia mengucapkan terima kasih.

“Bangun !” Perintah Co Khu Liong. “Lekas kau persiapkan semua perbekalan, ambil uang yang ada padamu dan lekas bikin persiapan untuk kita pulang ke markas.”

“Aaaa      ” Lauw Can Cun berteriak.

“Jangan takut. Inilah perintah si Raja Gunung.” Berkata Co Khu Liong. “Markas kita membutuhkan uang kontan. Usaha kita untuk menghancurkan Su hay tong sim-beng mengalami kegagalan.” “Aaaaa “

“Hal ini bukan berarti hendak ditutup rumah makan Hian kok lauw untuk selamanya, Co Khu Liong memberi keterangan selanjutnya, tapi untuk memberi laporan, kau harus turut aku pulang ke markas, tentu saja dengan membawa uang hasil keuntungan. Tugasku untuk mengawal, bukan buat mengambil alih kekuasaanmu. Kau yang menyerahkan uang2 itu kepadanya. Dan untuk sementara, Hian kok lauw boleh diserahkan kepada pembantumu.

Tiada alasan bagi Lauw Can Cun untuk menolak perintah ini. Meninggalkan Hian kok lauw berarti meninggalkan sumber rejekinya, ini sama pula artinya buang kesempatannya untuk mengeduk keuntungan sebesar besarnya. Tapi apa daya, ini suatu perintah ! Dan sebagai seorang anggauta partai yang taat kepada perintah, dia tidak dapat menolak.

“Eh, kau mempunyal kenalan piauw kiok ?” Tiba2 Co Khu Liong mengajukan pertanyaan.

Piauw kiok berarti perusahaan pengangkutan. Fungsinya perusahaan pengangkutan atau piauw kiok ini sama saja dengan pengawal keamanan. Di jaman the forces of low, kekuasaan berarti peraturan, siapa yang berkuasa, dialah yang berwenang untuk menentukan sesuatu. Rampok dan begal berkeliaran di gunung- gunung, para pembesar negeri yang pandainya hanya memeras rakyat jelata, tidak mempunyai itu kemampuan untuk menumpas mereka. Maka perusahaan piauw kiok itu sangat dibutuhkan sekali. Para piauwsu atau jago jago pengawal perusahaan itu adalah pelindung keamanan jiwa dan harta, bagi mereka yang berani membayar jumlah2 tertentu.

Co Khu Liong menanyakan perusahaan pengawal keamanan itu. “Boanpwe kenal kepada Sun hong Piauw-kiok, Lauw Can Cun

memperkenalkan nama salah satu perusahaan pengangkutan di

kota Han Yang. “Bagus, Lekas kau panggil kasirmu ! Kulihat dia boleh juga diserahkan tugas memelihara rumah makan. Beritahu kepadanya, bahwa kau harus pulang ke markas dan segala tugas harus dipegang dengan baik. Kemudian, segera kau pergi ke Rumah Keuangan Kim tauw san Ciam Chung, minta dari Rumah Keuangan itu uang kontan, besok pagi2 kita berangkat.”

Lauw Can Cun ragu2.

“Mengambil semua uang kontan ? . . . “ Dia memandang orang tua yang sudah menguras uang simpanannya. “Kim tauw san ciam chung bukan Rumah Keuangan kecil. Tapi untuk menyediakan uang kontan sebanyak itu, dalam kelonggaran waktu satu malam, kukira agak sulit.”

“Yarg hendak kuambil hanya 500.000 tail perak milik perusahaan,” Berkata co Kha Lio,ig. “Bukan 1.100.000 tail perak.”

“Uang 600.000 tail perak yang cianpwe miliki itu tidak hendak diambil sekalian ?” Liaw Can Cun masih sayang kepada 600.000 yang sedang diobligasikan kepada Rumah Keuangan Kim tauw-san Ciam chung.

“Tidak !” Sahut Co Khu Liong tegas. “Uangku itu masih hendak kubungakan kepada Rumah Keuangan.”

Sedikit banyak, otak dari kedua orang itu masih mempunyai persamaan persamaannya. Uang adalah benda yang menjadi kejaran utama.

“Baiklah,” Akhirnya berkata Lauw Can Cun, “Segera akan boanpwe hubungi Sun hong Piauw kiok.”

“Kau tahu, bagaimana kau harus berbicara kepada pengusaha piauw kiok itu ?” tanya Co Khu Liong.

“Tentu tidak menyebut nama markas besar kita” sahut Lauw Can Cun. “Dimanakah kita harus menaruh uang uang itu ?”

“Katakan saja kota Su shia di propinsi Wan Tiong.” “Baiklah kalau begitu.” “Nah, kau boleh segera mengatur sesuatu yang ada hubungannya dengan keberangkatan kita.”

“Cianpwe      ”

“Ng Ada usul lain ?”

“Boanpwe kira, tidak baikkah kita mengawal saja uang itu dengan tenaga kita sendiri?”

“Jumlah uang tidak sedikit, memakan tempat yang sangat menyolok mata, berap banyakkah orangmu yang dapat mengadakan pengawalan ?” tanya Co Khu Liong.

“Pegawai Hian-kok-lauw berjumlah belasan orang, ilmu kepandaian mereka boleh juga diandalkan. Mereka boleh dipercaya, khusus mendapat didikan boanpwe.” Lauw Can Cun memberi keterangan.

“Si Raja Gunung tidak memberi perintah harus ditutup rumah makan Hian-kok-Lauw. Berani kau membubarkan diri?”

Lauw Can Cun tidak mengemukakan usul lain. Betul betul dia takluk kepada si Raja Bajingan ini.

“Nah, pergilah selesaikan tugasmu.” Berkata Co Khu Liong akhirnya, menampak Lauw Can Cun dibuat bungkam oleh kata katanya.

Lauw Can Cun memberi hormat, dia meminta diri, membalikkan badan siap meninggalkan si Raja Bajingan.

“Tunggu dulu!” Tiba tiba Co Khu Liong memanggilnya kembali. “Cianpwe ada perintah lain?” Lauw Can Cun harus taat kepada

perintahnya, sebab orang tua ini adalah pengawal khusus yang

dipercayakan oleh si Raja Gunung.

“Kau sudah membikin penjagaan di sekitar Rumah Makan Hian- kok-lauw ini?''

“Tidak.” Lauw Can Cun menjawab dengan terus terang. “Sampai dengan saat ini. Orang2 belum ada yang tahu hubungan Rumah makan Hian kok lauw dengan partai Raja Gunung. Maka itu kami tidak mengadakan penjagaan khusus, yang mana malah mungkin akan menarik perhatian orang kepada keadaan kita.”

“Bagus. Tapi hari ini terjadi pengecualian. Lekas beri perintah kepada beberapa orangmu yang dapat dipercaya, mereka harus segera meronda. Beri laporan kilat bila menemukan sesuatu yang dicurigai.”

“Baik.”

“Kukira, malam ini kita bakal mendapat kunjungan musuh.” “Kunjungan musuh ?” Lauw Can Cun, agak heran. “Dari mana

bisa mendadak datang musuh yang cianpwe maksudkan itu ?”

Co Khu Liong malu menyebut kejadian di makam pemimpin yang sudah lama dilupakan orang, teringat kejadian itu, pahanya juga mendidih kumat sakitnya. Dengan mengulapkan tangan dia membentak :

“Jangan banyak tanya ikutilah apa yang kuperintahkan !”

Lauw Can Cun tidak mengajukan pertanyaan lain, dia buru2 meminta diri dan lantas keluar dari kamar itu.

Mendahului gerakan Lauw Can Cun, satu bayangan melesat dari wuwungan rumah, orang ini bukan lain daripada Ie Lip Tiong adanya.

Di kala Lauw Can Cun memberi perintah kepada orang2nya untuk membikin penjagaan, bayangan Ie Lip Tiong sudah jauh dari rumah makan itu.

Langsung Ie Lip Tiong mendatangi perusahaan pengantar Sun hong Piauw kiok.

Sun hong Piaiw kiok adalah perusahaan pengangkutan yang cukup ternama, pemimpin perusahaannya adalah anak murid Oey- san-pay. Di kala ayah Ie Lip Tiong menjabat ketua partai tersebut, perusahaan ini mendapat kemajuan pesat, itulah jaman kejayaan Sun-hong Piauw kiok Terjadinya drama pertengkaran 5 partai besar dan Oey san pay mengakibatkan binasanya ayah Ie Lip Tiong, disusul dengan putusan Su hay tong sin beng yang memecat keanggautaan Oey- san-pay. Runtuhlah keja yaan Oey-san-pay. Sedari saat itu. Ie Lip Tiong hidup menyembunyikan diri mengganti nama, mengubah wajah, menetap di kota Tiang An. Terjelmalah tokoh ajaib dari perusahaan Boan chiu Piauw kiok, si Pedang Yang Menaklukkan Rimba Persilatan It kiam tin bu-lim Wie Tauw.

Demikian kisah ringkas dari Ie Lip Tiong si pemuda yang sejak pertama membuka cerita ini, sampai terakhir dia berhasil mencuci diri dari fitnahan Pembunuh Gelap.

Si Pembunuh Gelap adalah Su khong Eng dari partai Raja Gunung.

Demikian jatuh bangun partai Oey san pay.

Sun hong Piauw-kiok yang berada di bawah pimpinan Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian mengikuti gelombang pasang itu, dia adalah murid Oey-san-pay, perusahaannya jaya manakala Oey san pay jaya, dia pun runtuh tatkala Oey san pay mengalami kehancurannya.

Di saat itu, Ie Lip Tiong mendatangi rumah si Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian, seorang pegawai tampak sedang melenggut ngantuk di depan pintu perusahaannya.

Ie Lip Tiong mendekati orang itu dan mengajukan pertanyaannya

:

“Cong-piauw-tauw kalian, Pendekar cambuk Gunung Leng San

Pian ada di rumah?”

“Ada.” Orang itu tersentak bangun dari Iamunannya “Ada urusan apa tuan dengan Cong piauw tauw kami ?”

“Tolong beritahukan kedatanganku kepadanya.” “Bagaimana sebutan tuan yang mulia ?”

“Katakan saja, bahwa It kiam-tin bu-lim Wie Tauw dari kota Tiang An hendak bertemu muka dengannya.”

“Oh,        “ Orang itu terlompat bangun “Tuankah yarg bernama

It kiam tin bu-lim Wie Tauw?”

Di kala Ie Lip Tiong menggunakan nama It kiam tin bu lim Wie Tauw, nama ini telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Tak seorangpun yang tidak pernah mendengar ceritanya, termasuk juga orang ini. Tentu sa ja dia terkejut, ternyata tokoh yang digembar- gemborkan orang itupun hanya manusia belaka.

“Tolong beritahu lekas kedatanganku kepada majikan kalian” Berkata Ie Lip Tiong alias It-kiam-tin-bu-lim Wie Tauw.

Orang itu segera lari masuk, memberi tahu tentang kedatangan tokoh ajaib dari kota Tiang-an itu:

Tidak lama, seorang tua berwajah hitam keluar dari ruangan dalam. Inilah Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian. Langsung orang ini menghampiri Ie Lip Tiong, setelah memberi hormat lalu berkata :

“Aku adalah pemimpin perusahaan Sun-hong Piauw kiok Leng San Pian. Bagaimanakah panggilan nama tuan yang mulia ?”

“Aku It-kiam tin bu-lim Wie Tauw.” Sahut Ie Lip Tiong cepat. “Dapatkah tuan membuktikan bahwa tuan betul2 adalah yang

bernama It kiam tin-bu-lim Wie Tauw?” Leng San Pian belum

pernah bersua dengan tokoh ajaib ini, maka pertama2 dia mengajukan pertanyaan seperti tadi.

Itu waktu, Ie Lip Tiong masih berada di dalam penyamaran, maka Leng San Pian tidak mengetahui bahwa dirinya sedang berhadapan dengan sang ketua muda.

Ie Lip Tiong tertawa.

“Pernah dengar tentang keistimewaan Boan chiu Piauw kiok ?” Dia menatap wajah Leng San Pian.

Perusahaan Boan-chiu   Piauw-kiok di kota Tiang An adalah perusahaan yang pernah menggemparkan dunia. Perusahaan itu berada di bawah pimpinan Ie Lip Tiong.

“Boan chlu Piauw-kok dapat memecahkan segala macam perkara yang sulit2 dan ajaib.” Berkata si Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian. “Dan tuan sebagai pemimpin perusahaan luar biasa itu, tentunya mempunyai keistimewaan yang luar biasa pula; Dapatkah tuan menyebut asal usul kami ?”

Mendapat pertanyaan lain, mungkin Ie Lip Tiong dapat dipersulit. Tapi untuk menjawab pertanyaan di atas, dia hanya tertawa besar.

“Ha, ha, ha, ha . . . .” Katanya. “Kau bernama Leng San Pian, dengan nama gelar Pendekar cambuk Gunung, Kau adalah murid kedua dari Perdekar Bintang cemerlang Lam Thian To. Kau mempunyai seorang suheng yang bernama Mo Jiak Pin, dengan gelar kependekaran Tangan Pengejar Maut. Kau mendapat didikan langsung di atas gunung Oey-san. Setelah menamatkan pelajaran, kau turun gunung dan kawin dengan seorang gadis yang bernama Sim Sie. Satu tahun kemudian, kalian melahirkan putra yang pertama, lalu naik ke atas gunung Oey-san dan memohon restu ketua pemimpin partai Oey-san-pay. Di saat itu, ketua Oey-san-pay di jabat oleh Ie Im Yang Ketua partai Ie Im Yang memberi nama kepada putramu itu. Nama yang diberikan olehnya adalah Leng Su Hong, 'Su Hong’ berarti 'Kekal dan abadi untuk seluruh jaman', itulah nama putramu. Dan dengan doa restu itu, kau membuka perusahaan Sun hong Piauw kiok di kota Han Yang demikian riwayat hidupmu, yang dapat kau pertahankan sehingga saat ini. Betulkah begitu ?”

Semakin lama, mulut Leng San Pian terbuka semakin lebar. Nama cemerlang dari si tokoh ajaib It-kiam tin bu lim Wie Tauw betul2 dapat dibuktikan. Sekarang dia tidak meragukan lagi bahwa dia betul2 sedang berhadapan dengan Pendel»r Penakluk rimba Persilatan, It kiam tin Bu lim Wie Tauw.

Tentu saja Ie Lip Tiong dapat bercerita dengan panjang lebar, karena dia adalah ketua muda dari partai Oey san pay. Untuk menghidupkan kembali partai tersebut, dia mempunyai buku catatan tentang semua anak murid dari partainya.

Tentang Pendekar Bintang cemerlang Lam Thian To yang menjadi guru Leng San Pian, tokoh ini hampir berkorban di markas besar Su hay tong sim beng di gunung Lu san. Itu waktu Ie Lip Tiong harus menjalani hukuman pancung kepala, dia dituduh sebagai pembunuh gelap. Lima partai besar tidak becus membekuk si Pembunuh Gelap yang asli. Mereka menjatuhkan putusannya yang salah. Ie Lip Tiong diberi 'merek' Pembunuh Gelap. Karena itu wajib dihukum mati. Beruntung datang laporan yang mewartakan masih adanya kejadian2 pembubuhan gelap di beberapa tempat itu waktu Ie Lip Tiong sudah kehilangan kepalanya, tentu saja kepala orang lain.

Bukan kepala Ie Lip Tiong yang asli. Atas kelihaian guru Ie Lip Tiong, jago ini sudah diasingkan ke lain tempat. Itulah kesalahan Gabungan Persatuan Su-hay tong sim-heng. Pendekar Bintang Cemerlang yaitu guru Leng San Bian beserta tiga anggauta Oey-san- pay lainnya mendapat kebebasan. Pendekar Bintang cemerlang Lam Thian To benci kepada masyarakat yang berlaku tidak adil, dia mengasingkan diri di tempat sepin dan akhirnya mati mereras.

Adapun tentang Pendekar Tangan Pengejar Maut Mo Jiak Pin. Yakni saudara seperguruan yang lebih tua dari Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian, setelah ayah Ie Lip Tiong Ie Im Yang binasa, pernah mengikuti sang ketua muda. Dia membantu usaha Boan-chiu Piauw kiok di kota Tiang An. Tentang jago itu, Ie Lip Tiong tahu lebih jelas lagi. Mo Jiak Pin mendapat tugas untuk mengumpulkan anak buah Oey san pay yang berceceran, siap membangun, dan memperkuat Oey-san-pay dalam bentuk baru, Oey san pay yang lebih kuat dan lebih jaya dari Oey-san-pay terdahulu.

Dan mengenai putra Leng San Pian yang diberi nama Leng Su Hong. Waktu itu Ie Lip Tiong sedang mendampingi ayahnya. Di hadapan Ie Lip Tiong lah Ie Im Yang memberi doa restu itu. Tentu saja si jago muda masih ingat benar peristiwanya.

Rasa takutnya Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian segera memuncak. seolah berhadapan dengan hantu jejadian yang mati penasaran, dengan bulu tengkuk bangun gemerinding dia berteriak

:

“Kau . . . Kau . . . siapa ?”

“Sudah kukatakan, bahwa aku adalah It kiam-tin bu-lim Wie Tauw dari kota Tiang An”

“Toch tidak mungkin mengetahui semua riwayat hidupku dengan begitu jelas, dan begitu terperinci.''

“Jadi kau sudah lupa kepada keajaiban Boan-chiu Piauw kiok ?” “Ak. . aku . . . akuuu . . .” Hampir Leng San Pian tidak dapat

bicara lagi.

“Boleh aku masuk ke dalam ?” Ie Lip Tiong memandang orang itu.

Leng San Pian masih dirundung oleh rasa bingung yang tidak terhingga, dicampur rasa takut kepada keajaiban itu. Lupalah dia menjawab pertanyaan sang ketua muda.

Mendekati orang itu, Ie Lip Tiong berkata :

“Aku Ie Lip Tiong.”

Leng Tiang Hong semakin takut, sukmanya hampir saja copot dari raganya. Ingin rasanya dia melarikan diri, tapi tak kuasa, juga sudah keburu ditarik tangannya oleh Ie Lip Tiong.

“Jangan takut, aku belum mati.” Berkata si pemuda.

Seperti apa yang sudah terjadi. Ie Lip Tiong diberitakan sudah mati di bawah pancungan golok algojo Duta Istimewa Berbaju Kuning Nomor Empat Cang Ceng Lun, dan peristiwanya terjadi di atas gunung Lu san, di markas besar Gerakan Gabungan Su hay tong sim beng. Tentu saja orang tidak tahu, bahwa orang yang mati itu adalah pengganti tubuh Ie Lip Tiong.

“Kau . . . . . Kau . . . . .” Leng San Pian seolah olah sedang mengenang kembali wajah sang ketua muda, “Kau belum mati ?” Ie Lip Tiong merusak wajah penyamarannya, dengan cepat berkata:

“Nah, perhatikanlah betul2. Belum lupa sekali bukan kau denganku ?”

“Aaaaaa . . . Kau      ”

“Jangan sebut namaku!” kata Ie Lip Tiong lekas. “Kita bicara di ruang dalam.”

Pendekar cambuk Gunung Leng San Pian terlompat girang, segera dia berteriak :

“Su Hok, lekas tutup pintu! Siapa saja yang menanyakan aku, bilang aku sedang berpergian atau tidak ada. Mengerti ?”

Su Hok adalah nama dari pegawai penja ga pintu itu.

“Hamba mengerti.” Dan Su Hok segera menjalankan perintah majikannya,

Leng San Pian mengajak Ie Lip Tiong memasuki kamarnya, disini Ie Lip Tiong mencuci muka, mengembalikan wajah aslinya.

“Kongcu,” Berteriak Leng San Pian girang. “Bersyukur aku kepada Tuhan, ternyata kau masih diberkahi umur panjang.”

Ie Lip Tioog tertawa. Diceritakannya bagaimana kejadian pemasungan Ie Lip Tiong palsu itu dapat terjadi di atas gunung Lu san, sehingga dia bisa bebas dari bahaya.

“Bersyukur aku kepada Tuhan !” bergumam lagi Leng San Pian “Akhirnya partai kita masih mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali.”

“Dengar baik2 pesanku,” kata Ie Lip Tiong. “Sebentar lagi akan kedatangan tuan pengurus rumah makan Hian kok lauw, dia hendak mengantar barang berharga keluar daerah, itulah berupa uang perak semua. Dia membutuhkan pengawalan, dia akan datang untuk meminta bantuanmu jangan kau tolak permintaannya sekali ini.” Lagi2 Leng San Pian tertegun. “Dari mana kongcu tahu bakal terjadi semua itu ?”

“Lekas kau beritahu kepada Su Hok,” kata Ie Lip Tiong menyimpang dari pertanyaan Leng San Pian, “supaya jangan sampai mengganggu kelancaran kerjanya. Setelah itu nanti akan kuberitahu lagi awal dari ceritaku tadi,”

Leng San Pian segera lari keluar, memberi pesan kepada sang pegawai, dan dia masuk kembali ke dalam dengan lekas.

Ie Lip Tiong menceritakan adanya keramaian di atas rumah makan Hian kok lauw, dan terakhir bakal adanya pengiriman uang uang kontan dengan jumlah besar.

“Bagaimana ?” Ie Lip Tiong mengakhiri ceritanya. “Bersediakah kau menerima tugas sekali ini ?”

“Harus kuterima.” Sahut Leng San Pian cepat.

“Kongcu hendak menyamar menjadi seorang piauwsu Sun hong Piauw kiok ?”

“Tentu saja!” Ie Lip Tiong lantas menganggukkan kepalanya, “Yang penting, karena adanya kejadian ini, mau tidak mau perusahaan Sun hong Piauw kiokmu ini di kemudian hari terpaksa harus ditutup. Relakah kau mengorbankan perusahaanmu ?”

“Untuk itu bagiku tidak menjadi soal.” Leng San Pian menepuk dada. “Perusahaan yang seperti ini sudah tidak ada artinya lagi. Sedari Oey san pay dikeluarkan dari keanggautaan Gabungan Kesatuan Su hay tong sim-beng, hanya dalam tempo tiga bulan, beruntun terjadi pembegalan-pembegalan, dan mulai saat itulah, jarang ada langganan yang mau meminta bantuan Sun hong Piauw- kiok.”

“Keadaan perusahaanmu akhir-akhir ini tentu sangat mengenaskan.” kata Ie Lip Tiong.

“Lebih dari pada itu. Satu bulan lagi berlangsung seperti ini, tanpa adanya penerimaan order baru, perusahaan Sun hong Piauw kiok pasti akan gulung tikar.”

“Bagus. Putusanku semakin bulat kalau begitu kita harus ganyang uang itu.”

“Apa ? !” Leng San Pian berteriak.

“Jangan kau kaget. Co Khu Liong dan Lauw Can Cun itu mendapatkan uang itu bukan secara halal. Itulah uang dari partai Raja gunung. Pernah kau dengar tentang nama partai Raja Gunung

? Suatu partai jahat, partai yang mengerjakan usaha pembesetan kulit manusia, dikeringkan dan digunakan lagi untuk memalsukan orang. Usahanya sangat luas, termasuk usaha perkebunan teh, pabrik2 besar, persewaan kuda dan buku2; rumah makan dan rumah keuangan, judi2 resmi dan judi2 liar, tidak satupun dari usaha2 itu yang lepas dari incarannya. Memang sangat luar biasa. Bila disalurkan ke arah yang benar, partai ini sebentar saja pasti jaya. Sayang langkah2 dari partai Raja Gunung menyimpang dari ajaran Tuhan. Semua orang2nya lebih mementingkan kantong sendiri, menjayakan bangsa dewek, tanpa mau tahu kesukaran bangsa2 lain. Melakukan perbuatan2 yang terkutuk. Kita wajib membasmi nya. Sebab kalau kita biarkan uang itu jatuh ke dalam tangan mereka, berarti secara tak langsung kita telah membantu usaha komplotan durjana itu”

Leng San Pian masih belum dapat diberi pengertian, dia masih agak sulit dibujuk.

“Dengar,” Berkata lagi Ie Lip Tiong. “Memang bukan kejadian yang patut dibanggakan untuk melakukan perampokan itu. Sulit diterima bagi seorang usahawan yang dipaksa menjadi garong di lereng gunung. Tapi kau harus ingat, kita tidak dapat ber peluk tangan begitu saja. Diam dan membiarkan mereka merajalela, atau segera menumpasnya. Cuma itu dua pilihan yang bisa kita ambil.”

“Baiklah kalau begitu.” Pendekar cambuk Gunung akhirnya mengambil juga ketegasannya, kita boleh kerjakan menurut rencana tadi !”

“Sudah kau perhitungkan untung ruginya langkah ini ?” “Tidak ada sesuatu yaag perlu disayangkan oleh Sun-hong Piauw kiok. yang kusayangkan adalah kau, seorang calon ketua partai akhirnya terpaksa harus melakukan suatu penggarongan. Hal ini dapat mengganggu nama baik seluruh anggauta Oey san-pay secara tak langsung.”

“Jangan takut. Gerakan Gabungan Kesatuan Su hay-tong-sim- beng berada di belakang kita.”

“Hahh      ”

“Partai Raja Gunung adalah musuh utama semua umat golongan kesatria. Sebagai perintis kebebasan dan kemakmuran. Su-hay tong-sim beng tidak akan membiarkan anggauta-anggauta Partai Raja Gunung melakukan aksi2 yang bersifat merugikan lain orang. Dengan atau tanpa cara, kita harus memusnahkannya.” Kemudian diceritakan pula oleh Ie Lip Tiong tentang kedudukan dirinya sebagai Duta Istimewa Berbaju Kuning Nomor Tiga Belas. Setelah berhasil menangkap si Pembunuh Gelap Su khong Eng setelah berhasil mengubrak abrik cabang perusahaan partai Raja Gunung, setelah berhasil membekuk dedengkot partai Raja Gunung Ai Tong Cun, setelah berhasil menyelamatkan jiwa bengcu Su hay tong sim- beng, setelah mendapat persetujuan semua partai yang ada dalam markas besar gerakan besar itu, secara resmi, Ie Lip Tiong lalu diangkat menjadi Duta Istimewa Berbaju Kuning Nomor Tiga Belas.

Usaha Ie Lip Tiong yang hendak menumpas gerakan tukang beset kulit manusia inipun, adalah dasar atas instruksi Su hay tong sim-beng pula.

Setelah mendengar semuanya, Leng San Pian tidak ragu2 lagi untuk melakukan perampokan uang komplotan jahat itu.

“Kongcu tahu, berapa banyakkah uang yang mereka hendak percayakan kepada Sun-hong Piauw kiok ?” tanya Leng San Pian minta keterangan lagi.

“Lima ratus ribu tail perak.” “Huah ! Begitu banyak ?” Usaha partai Raja Gunung bukan hanya rumah makan saja. Kukira komplotan itu sedang membutuhkan banyak uang. Menarik uang Hian kok-lauw berarti menarik keuntungan dari semua usaha mereka, besar kemungkinannya, jumlah itu dapat ditambah.”

“Bagaimanakah kita harus merampas jumlah uang sebesar itu ?” “Tujuan mereka adalah kota Su shia di propinsi Wan tiong, itulah

tempat penerimaan mereka. Kukira, kita harus merampas di tengah jalan. Daerah mana yang paling mudah dan cocok untuk melakukan perampasan itu?”

“Ng.....” Berpikir sebentar, Leng San Pian lalu berkata “Tempat yang paling cocok adalah gunung Wan-San.”

“Bagus. Kita mengambil alih semua uang uang itu di gunung Wan san.” Ie Lip Tiong segera memberi putusan.

“Di pihak musuh ada seorang bajingan Co Khu Liong, dengan tenaga kita beberapa orang ini,mungkinkah dapat mengalahkannya?” Leng San Pian mengutarakan kekuatirannya,

“Soal ini boleh kau serahkan sepenuhnya kepadaku.” kata Ie Lip Tiong. “Sudah kurencanakan untuk meminta bantuan tenaga. Segera kusurati Su-hay tong sim beng agar mereka segera mengirim beberapa Duta Istimewa Berbaju Kuning.

Barisan Duta Istimewa Berbaju Kuning adalah inti kekuatan Su- hay tong-sim-beng jumlah mereka 13 orang. Setiap orang memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi, setiap orang mempunyai kecerdasan otak yang melebihi manusia biasa. Ie Lip Tiong hanyalah merupakan salah satu di antaranya.

Dengan adanya bantuan Su-hay tong sim-beng, mungkinkah Co Khu Liong tidak dapat ditaklukkan?

Di saat itu, terlihat Su Hok berlari masuk pegawai itu memberikan laporannya:

“Lauw Can Cun dari Rumah Makan Hian kok-lauw minta bertemu.” Ie Lip Tiong segera bangkit berdiri, dan lekas2 berkata ;

“Nah. Kau temuilah dia. Aku harus lekas membuat surat ke Su hay tong sim beng.”

“Suruh dia masuk” perintah Leng San Pian. “Suruh tunggu di ruang tamu.”

Su Hok menjalankan perintah itu, dan segera meminta diri, lalu dengan lekas meninggalkan kamar sang majikan.

Leng San Pian mengundang pegawai lain menyuruh orang itu melayani Ie Lip Tiong, menyediakan alat tulis untuk membuat surat.

Dia berpakaian rapi dan keluar untuk menemui tamu.

Lauw Can Cun telah duduk dan menunggu di ruang tamu. Melihat tuan rumah menampilkan diri, dia segera bangkit dari tempat duduknya, dan memberi hormat sebagai mana layaknya tamu berlaku kepada tuan rumah.

Leng San Pian membalas hormat itu.

“Selamat datang ..... Selamat datang.” Dia tertawa. Mereka tinggal di dalam satu kota. Pernah juga terjalin rasa persahabatan.

Masing2 lantas mengambil tempat duduk, “Aku datang dengan sesuatu urusan.” Berkata Bapak Gendut Lauw Can Cun.

“Tidak mudah mengundang kau datang mengunjungi perusahaanku.” kata Leng San Pian dengan kelakarnya, “Ada urusan penting apakah kiranya gerangan ?”

“Cong piauw tauw lama tidak berkunjung ke rumah makan Hian kok lauw.” menimpali Lauw Can Cun. “Mungkin sudah bosan juga dengan masakan kami, ya ? Apa ada celanya masakan kami ?”

“Ha, ha, ha . . . . Masakan Rumah Makan Hian kok lauw adalah masakan2 pilihan kelas satu, siapa yang berani mencela ? Bukan aku tidak mau mengunjungi rumah makanmu, tapi sesungguhnya, kantongku tidak kuat buat sering2 menaiki tangga loteng Hian kok lauw.”  “Haaa, haa, ha . . . . . . Seorang pemimpin perusahaan bisa mengucapkan kata2 seperti ini, apakah takut disodori bon pinjaman

?”

Leng San Pian menyengir.

“Benda apakah yang hendak dibon orang ? Kesatu tidak ada uang, kedua tidak ada harta kekayaan. Hendak meminjam meja dan kursi, ha, ha, Boleh saja, boleh saja !”

Dengan sikap sungguh2, Lauw Can Cun lalu berkata :

“Ach, mengapa Cong piauw tauw mengucapkan kata2 seperti itu

?”

“Terus terang kukatakan,” Berkata Leng San Pian. “Satu bulan

lagi, bila masih belum ada langganan yang datang kemari, aku ada niatan untuk menutup saja perusahaan ini.”

“Ouw begitu? Kalau begitu kedatanganku tepat pada waktunya. Aku mau menolong perusahaanmu dari kebangkrutan” Berkata Lauw Can Cun,

Leng San Pian membawakan sikapya yang seperti terkejut, dia berpura2 belum tahu.

“Maksudmu ?” Dia mementang mata lebar lebar “Apakah kau hendak mempercayakan sesuatu kepada Sun hong Piauw kiok ?”

“Begitulah kira2.”

“Barang apakah yang hendak dipercayakan kepada perusahaan kami itu ?”

--oo0dw0oo--
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar