Jilid 4
Tiba disebuah gang keduanya dicegat empat orang pengemis besabuk hitam, dari sabuk yang dikenakan, mereka dari hek- kin-kaipang
“hehehe…hehehe…alangkah ranumnya pipimu cantik, kulitmu luar biasa halus dan mulus.” ujar seorang dari pengemis dengan wajah nyengir, tiga rekannya tertawa sambil mencolek bao-bo
“pergi kalian ! jangan ganggu kami “ teriak Yo-hujin “hahaha..hahaha jika marah sunguh makin cantik membuat
abang tidak tahan ingin mencium.” sahut pengemis itu sambil memonyongkan mulutnya mengejar muka yo-hujin.
“tolooong…toloonggg…auph….” teriak Bao-bo namun sebuah tangan kotor memeluk dan menutup mulutnya
“kita bawa kebelakang !” ujar pengemis itu pada dua rekannya, sementara yang tertua dari mereka sedang menegejar yo-hujin yang lari keluar gang “tolong….to…egh…” sura minta tolong yo-hujin langsung terhenti karena sebuah totokan membuat ia kaku dan bisu “hehehe…cantik….mari kita memadu cinta, akan kepersembahkan nikmat semalam suntuk padamu, hehehe..hahaha..agh…” ujar pengemis dengan nada birahi, dan tertawa senang, namun suara tawanya tercekik, karena
sebuah kerikil menghantam jalan darahnya, sehingga ia kaku dan bisu dengan mulut menganga
Seorang pemuda rupawan melangkah mendekat, ternyata Han- hung-fei yang saat memasuki kota dan melihat kejadian ketika melewati gang sunyi itu, melihat tindakan tidak senonoh empat orang pengemis, dengan sambitan empat kerikil membuat empat pengemis itu mematung, dan lucunya dua pengemis yang sedang menggotong Bao-bo mematung bersamaan Bao- bo meronta sehingga dua pengemis itu jatuh mencium tanah, yang satu mulutya pecaah dan yang satu keningnya benjol,
bao-bo melepaskan diri dan berlari mendekati Yo-hujin yang sudah dapat bergerak
“terimaksih in-kong atas pertolongannya.” ujar Yo-hujin “sama-sama kouwnio, sekarang pulanglah, biar empat
pengemis ini saya yang urus.” sahut Han-hung-fei. Yo-hujin dan bao-bo segera meninggalkan dengan berlari meninggalkan gang dan langsung menuju rumah, Han-hung-fei juga ternyata meninggalkan empat pengemis itu, han-hung-fei pergi kesebuah penginapan dan menyewa kamar, setelah mandi dan berganti pakaian Han-hung-fei makan malam.
Setelah makan malam Han-hung-fei pergi lagi ke gang dimana empat pengemis mematung, ternyata empat pengemis itu sedang di gotong pengemis yang lain dan meninggalkan gang itu, han-hung-fei mengikuti dari belakang, pengemis itu keluar pintu gerbang kota, dan satu jam perjalanan mereka sampai disebuah bangunan roboh, lalu disebuah dinding yang masih utuh pada bagian rumah itu, dan ada lingkaran besar ditengah dinding laksana ukiran dinding, seorang pengemis menarik sebuah tuas, tiba-tiba ukiran berbentuk lingkaran itu bergerak kesamping, para pengemis memasuki pintu berbentuk bulatan.
Han-hung-fei dengan gerakan laksana kelelawar menerobos pintu masuk
“heh..egh..” seorang pengemis yang hendak menutup pintu rahasia itu terkejut, namun mulutnya langsung diam karena han-hung-fei sudah menotoknya dengan kecepatan kilat, lalu Han-hung-fei menuruni tangga tanah dan memasuki lorong yang panjang, didepannya para pengemis tidak menyadari
keberadaannya, kemudian para pengemis sampai pada sebuah ruangan bawah tanah yang megah dan luas
“ada apa dengan mereka sute !?” tanya pengemis yang merupakan tangan kanan pimpinan
“kami tidak tahu ji-twako, kami menemukan mereka sudah tertotok, dan kami tidak bisa memunahkan totokan mereka, jadi kami bawa kesini.” jawab seorang pengemis, lalu pengemis yang dipanggil ji-twako mendekati empat orang anak buahnya yang kaku dan bisu, tekan sana, pukul ini, tetap saja empat anak buahnya tidak lepas dari totokan
“aneh…totokan apa ini ?” keluh ji-twako, kemudian ia masuk kedalam sebuah ruangan dimana seorang lelaki bermata satu sedang dilayani empat wanita cantik, pangcu ini adalah tok- gan-kai
“maaf pangcu ! ada hal penting yang ingin saya sampaikan.” “hmh…mengganggu saja, ada apa !?” “empat anak buah kita tertotok, dan kami tidak bisa memunahkannya.”
“urusan sekecil itu kalian tidak becus, tunggu aku diluar !” bentak tok-gan-kai, ji-twako segera meninggalkan ruangan dan tok-gan-kai memmakai kembali bajunya
“hehehe..tunggu sebentar sayang….aku akan segera kembali.” ujar tok-gan-kai dengan senyumnya yang tidak menarik, empat wanita itu senyum malu-malu.
Tok-gan-kai mencoba memunahkan totokan, namun sampai ia keringatan totokan tidak punah
“hmh…sepertinya totokan ini akan punah sendiri.” ujarnya sambil mengelus jenggotnya yang jarang
“dimana kalian temukan mereka ?”
“di tengah pasar di gang ke lima.” Jawab pengemis yang tadi melapor pada ji-twako
“it dan sam kemana ?” tanya tok-gan-kai
“keduanya sedang beroperasi sebelah timur kota.” Jawab ji- twako
“sudah….angkat mereka ini !” perintah tok-gan-kai, saat empat orang pengemis itu diangkat it-twako dan sam-twako muncul “ada apa pangcu ?” tanya it-twako
“empat anak buah kita ditotok dengan totokan yang aneh, apa kalian tidak melihat orang baru yang mencurigakan ?”
“tidak pangcu, yang kami lihat tadi siang hanya lam-sian ?” jawab it-twako
“apakah lam-sian yang menotok empat anak buah kita ?” “tidak mungkin pangcu.” sela sam-twako
“kenapa kamu demikian yakin ?”
“karena disamping kemunculan lam-sian, cianpwe lam-sin-pek juga muncul dan bertemu dengan lam-sian.” “hmh…bisa jadi ia menotok empat anak buah kita sebelum bertemu dengan cianpwe lam-sin-pek.” sela ji-twako “tidak, karena cianpwe dan lam-sin-pek sama-sama meninggalkan kota siang itu juga, dan saya yakin lam-sian
sudah tewas ditangan cianpwe sesuai amanat pertemuan kita kemarin, sementara empat anak buah kita, masih kami jumpai saat berangkat ketimur kota.” sahut it-twako.
“hehe..hahaha….ternyata pengemis ini hanya kedok, pantas anak buahnya suka berlaku sewenang-wenang.” sela suara, dan Han-hung-fei muncul, semua pengemis membentuk barisan siaga
“sialan..siapa kamu anak muda !?” tanya tok-gan-kai dengan nada terkejut, karena tidak menyangka bahwa ada orang lain diruangan rahasia mereka tanpa diketahui
“aku adalah han-hung-fei.” sahut Han-hung-fei tenang “apa maksudmu masuk kemari !?”
“aku ingin mengetahui wajah asli kalian, ternyata pengemis dengan segudang kekayaan, muka memelas didepan orang, muka garang dibalik belakang.”
“tutup mulutmu anak muda, apa kamu mau cari mampus !? ancam tok-gan-kai
“hahaha..hahaha… siapa yang akan mampus mari kita lihat.” tantang Han-hung-fei
“serang…” teriak Tok-gan-kai, lalu sepuluh orang pengemis dipimpin sam-twako menerjang Hung-fei, Han-hung-fei bergerak cepat dengan jurus pertama dari ilmu “bun-sian-pat- hoat” yang bernama jurus “ci-lou-bun-sian” (dewa sastra menunjuk jalan, dalam sepuluh gebrakan empat orang terjungkal dengan muka dan leher memar menghijau bekas tusukan telunjuk han-hung-fei yang luar biasa. “gunakan “hek-kin-tin” (barisan sabuk hitam) empat belas orang lalu maju sambil melepas sabuk yang terikat dipinggang mereka, lalu menyerang dengan formasi barisan yang kuat, “ctar..ctar..ctar…” suara kibasan sabuk terdengar susul menyusul, kemudian saling bergantian barisan itu menyerang han-hung-fei yang ada dalam lingkaran, han-hung-fei bergerak gesit menghindari kebutan sabuk, setelah membaca keadaan han-hung-fei keluarkan jurus kelima dari ilmu tangan kosongnya yang bernama “in-touw-so-bun-sian” (dewa sastra menenun mega), Han-hung-fei bergerak laksana ketitiran menagkap dua sabuk pengemis dan menghentaknya lembut, namun luar biasanya sabuk ditangan pengemis lepas, dan dengan unik ujung sabuk seperti ukar hidup mengikat tangan pengemis tanpa terduga, dan dua ujung sabuk ditangannya diikatkan satu sama lain, semua berlaku dengan kecepatan luar biasa, sehingga dalam sepuluh gebrakan, barisan itu sudah tumbang, empat belas pengemis jatuh terikat tidak berdaya menjadi tiga tumpukan laksana tiga tandan kelapa.
To-gan-kai dan tiga orang tangan kanannya maju berbareng mengeroyok han-hung-fei, han-hung-fei dengan tenang menghadapi empat orang pentolan pengemis itu, kali ini ia mengeluarkan jurus ke enam yang bernama “bun-sian-sin-lie” (tarian sakti dewa sastra) gerakan yang gemulai, tapi setiap gerakan yang dimainkan membuat empat orang pentolan itu merasakan hawa getaran luar biasa, sehingga sebelum pukulan mereka mengenai tubuh han-hung-fei tangan atau kaki mereka kesemutan, untungnya han-hung-fei masih ingin main- main dengan mereka hingga tiga puluh jurus.
Pada jurus berikutnya Han-hung-fei melompat keudara dan berputar dua kali, llau kemudian kakinya yang menekuk laksana pesenam lantai tiba-tiba mengejar dan “buk…buk…dug…dug… “ dua pukulan beruntun mengenai ji- twako dan dua tendangan beruntun mengenai sam-twako, keduanya terpental melambrak dinding batu, dan jatuh terduduk kebawah dengan mulut dan hidung berdarah, bagi tok-gan-kai dan it-twako tidak sempat terkejut dua serangan susulan sudah mengintai mereka, tok-gan-kai melempar diri dengan berguling, namun jumpalitan han-hung-fei tepat menginjak punggungnya “krek…heghh…hughhh..” punggung tok-gan-kai patah, kemudian tubuh tok-gan-kai dijadikan landasan untuk berjumpalitan kebelakang menyerang kepala it-twako, it-twako tidak sempat mengelak karena luar biasa cepatnya ujung sepatu han-hung-fei menghantam ubun-ubunya “duk….aghh….buk…” kepala it-twako remuk, dan menewaskannya seketika, dan kemudian tubuhnya terlempar kedepan karena tendangan kaki kedua han-hung-fei yang menghantam punggungnya.
Empat pentolan itu tewas mengenaskan, semua pengemis langsung berlutut minta ampun
“ampun taihap….jangan bunuh kami.” Ujar mereka memelas. “aku tidak akan membunuh kalian, dan aku ingin lihat apakah yang kalian lakukan tanpa pimpinan, selamat tinggal.” sahut Han-hung-fei dan kemudian ia meninggalkan dan keluar dan meninggalkan tempat rahasia pengemis.
Enam puluh pengemis mendekati empat pimpinan mereka, dengan wajah pucat sebagian besar dari mereka berhamburan meninggalkan markas, mereka merasa ngeri membayangkan kehebatan pemuda yang telah menewaskan pangcu sekaligus tiga tangan kanannya, dan juga merinding dengan akhir perkataan Han-hung-fei bahwa pendekar itu ingin melihat apa yang mereka lakukan tanpa pemimpin, artinya pendekar itu masih memberikan kesempatan pada mereka karena kesalahan masih ditimpakan pada pimpinan.
Hek-kin-kaipang terpecah dua, sebagian besar melarikan diri dan kemungkinan besar akan keluar dari partai, namun masih ada dua puluh orang yang tersisa yang masih menyimpan dendam pada Han-hung-fei, dua puluh orang itu meninggalkan kota khangshi setelah menguburkan empat pimpinan mereka dan menggabungkan diri dengan partai pengemis rekan sealiran mereka.
Mo-sha-tung-kai selaku pimpinan lo-i-kaipang yang berkedudukan di Hopei tepatnya disebelah selatan kota, sore itu mo-sha-tung-kai sedang duduk dikursi kebesarannya mendengar laporan dari empat pimpinan operasi, setelah mendengar laporan seorang anak buahnya datang melapor “maaf pangcu, dua puluh dari anggota Hek-kin-kaipang datang hendak menemui pangcu.”
“ada apa kenapa mereka datang kesini ?”
“kurang tahu pangcu, sepertinya telah terjadi sesuatu yang hebat.”
“baiklah, mari kita temui mereka.” ujar Mo-sha-tung-kai
“ada apa kalian datang menghadap kami ?” “pangcu ! hek-kin-kaipang telah tamat.” “heh..apa maksudmu !?”
“pangcu tok-gan-kai sudah tewas bersama sam-wi twako, kesatuan kami jadi pecah, sebagian besar keluar dari partai.” “apa yang telah terjadi ?”
“markas kami didatangi seorang pemuda yang tidak kami kenal, ilmunya sangat luar biasa, pangcu bersama tiga twako tewas ditangannya.”
“hmh….kalau begitu harus segera di usut dan kita balaskan kematian tok-gan-kai.”
“apa yang harus kita lakukan pangcu ?” tanya “Lam-sia” (tembok selatan)
“hari ini juga Lam-sia menemui Lo-kui di barat dan Tung-sia menemui ang-bin-pak-kai di utara, sampaikan hal mengenai tok-gan-kai, dan katakan saya menunggu mereka di lokyang.” ujar mo-sha-tung-kai, lalu dua pembantu utamanya segera berangkat.
Disebuah rumah panggung dipinggir kota lokyang tiga pangcu kaipang dan enam anggota utama bertemu
“kematian tok-gan-kai merupakan pukulan terhadap partai kita, banyaknya anggota hek-kin-kaipang yang keluar merupakan hal yang tidak bisa dipandang spele.” ujar mo-sha-tung-kai “menurutmu siapa yang melakukan ini ? tanya ang-bin-pak-kai “saya yakin bahwa yang melakukan ini adalah orang yang sama dengan yang menewaskan hai-kwi-kiam.” sahut lo-kui “apa ? hai-kwi-kiam tewas ?” sela kedua pangcu
“benar, hai-kwi-kiam tewas enam bulan yang lalu, dan dari cerita anak buahnya bahwa yang membunuh hai-kwi-kiam adalah seorang muda, dan yang mendatangi markas tok-gan- kai juga seorang pemuda.” jawab lo-kui
“lalu siapakah orang muda ini ?” tanya mo-sha-tung-kai “sudah pasti pendekar yang baru muncul.” sahut lo-kui “apa maksudmu bun-liong-taihap (pendekar naga sastra) ?”
“benar, julukan ini sangat hangat dibicarakan di selatan, bahkan katanya sudah ketemu dengan cianpwe lam-sin-pek, tapi benar tidaknya belum dapat dipastikan, kecuali kalau kita mendengar dari cianpwe sendiri. “kalau begitu secepatnya kita mencari pendekar ini untuk membalas kematian dua rekan kita.” ujar ang-bin-pak-kai “sekarang dimana kita dapat bun-liong-taihap ?”
“sebaiknya kita kembali ke hopei, karena saya yakin pendekar muda ini ada diwilayah timur ini.”
“baik…jika bertemu kita bertiga akan menghabisi nyawanya.” sela mo-sha-tung-kai, lalu pertemuan itu bubar, ketiga pangcu meninggalkan kota lokyang menuju kemarkas mo-sha-tung-kai di hopei
Han-hung-fei memasuki kota Wuhan, disebuah likoan ia istirahat dan makan, para tamu datang dan pergi, para pelayan hilir mudik melayani tamu, dua orang lelaki setengah tua memasuki likoan dan memesan makanan,
“Lu-piauw, ceritamu di jalan tadi sungguh membuat aku penasaran, memang julukan bun-liong-taihap pertama saya dengar di kota Guiyang, namun saya takjub dengan ceritamu bahwa Lam-sian diselamatkan olehnya dari lam-sin-pek.” “aku juga pertama mendengarnya ragu, betapa pemuda pendekar itu mengalahkan Lam-sin-pek yang begitu kosen, namun aku harus percaya, karena aku bertemu langsung dengan Lam-sian, dan menanyakan kebenaran peristiwa itu, dan jawaban lam-sian memang benar ia selamat berkat kemuculan pendekar muda yang sakti itu, bahkan lam-sian- cianpwe berkata bahwa tidak lama lagi dunia persilatan akan geger dengan kemunculan pendekar sakti itu.
“apa lam-sian cianpwe menggambarkan ciri pendekar muda itu
? tanya tung-kim-pang
“ya, katanya orang muda berumur dua puluhan lebih, dan dipunggungnya tersampir pedang dengan gagang naga dari emas.” “pemuda yang bergelar bun-liong-taihap itu pastilah telah mendapatkan rahasia bun-liong-sian-kiam.”
“sudah barang tentu demikianlah tung-kim-pang, malah kalau saya menduga pemuda itu dulunya adalah anak kecil yang berada dirumah Gao-tong enam belas tahun yang lalu, saat kita mengincar tempat itu.”
“sangat boleh jadi lu-piuaw, hmh…kalau sudah jodoh demikianlah memang adanya, yang sengaja mencari tidak mendapatkan sementara yang tidak mencari malah mendapatkan.” ujar tung-kim-pang
“eh…coba lihat pemuda yang duduk dua meja disamping kita.” bisik Lu-piauw, tung-kim-pang melirik Han-hung-fei yang sedang menikmati makannya
“saya yakin itulah orangnya.” bisik tung-kim-pang
“bukankah sebaiknya kita sapa dan berkenalan lebih dalam ?” ujar Lu-piauw
“‟hmh…saya rasa itu ide yang bagus, marilah !” sahut Tung- kim-pang, keduanya bangkit dan melangkah mendekati Han- hung-fei
“maaf taihap, anda tentunya adalah bun-liong-taihap ?” sapa Lu-piauw
“hehehe…jiwi-cianpwe saya baru mendengar julukan itu akhir- akhir ini, dan saya tidak tahu siapakah maksudnya.” sahut Han- hung-fei
“melihat gagang pedangmu yang berbentuk naga, pastinya engkau yang dimaksud dengan julukan itu anak muda.” “bagaimana cianpwe demikian yakin ?”
“karena cianpwe lam-sian menyampaikan ciri yang tepat pada diri taihap
“ah….Lam-sian cianpwe terlalu memuji dan membesar- besarkannya.”
“hahaha..hahaha..kenalkan taihap, saya adalah Lu-piauw.” “dan saya adalah tung-kim-pang.”
“mari silahkanlah duduk jiwi-cianpwe, nama saya adalah Han- hung-fei.”
“terimakasih han-taihap, dan apa yang kami dengar sebulan terakhir ini membuat kami sedikit bergairah.” ujar tung-kim-pang
“apa maksud tung-kim-pang cianpwe ?”
“tentang tewasnya tok-gan-kai di markasnya di kota khangshi, dan tentunya taihaplah yang telah membungkam pangcu sesat itu bukan ?”
“ah…berita memang sungguh cepat tersebarnya.” sahut Han- hung-fei
“saya bertemu dengan anak-anak buahnya yang melarikan diri dan menyebarkan berita tersebut, walaupun katanya mereka tidak mengenal taihap, namun gagang pedang taihap sudah menunjukkan identitas taihap.
“tung-kim-pang terlalu memuji dan membesar-besarkan.” “hahaha….sungguh pertemuan ini sangat membuat saya bahagia, untuk itu taihap saya ingin bersulang dengan taihap.” ujar Tung-kim-pang, lalu dengan mereguk secangkir arak mereka bersulang
“oh-ya taihap, hanya untuk menuntaskan rasa penasaran, tentunya kita dulu pernah bertemu.” sela Lu-piauw “maksud Lu-cianpwe ?
“ya …tentunya kita pernah bertemu di rumah Gao-tong, saat itu kami memperebutkan patung naga dan taihap masih anak- anak.”
“ah..itu apakah jiwi cianpwe dua diantaranya ?” “hahaha…benar taihap, kami dua diantaranya.” sahut Lu-piauw “tujuan taihap mau kemanakah ?” tanya Tung-kim-pang “aku tidak punya tujuan jiwi cianpwe .”
“taihap, kalau taihap berada dikota nanjing, singgahlah ditempatku.” ujar tung-kim-pang
“baiklah tung-kim-pang cianpwe, jika seandainya aku lewat Nanjing, akan aku usahakan singgah ditempat cianpwe.” “dan kalau juga lewat kota Kaifeng, besar harapanku taihap juga singgah ditempatku.” sela Lu-piauw.”
“baiklah cianpwe, akan saya usahakan.”
“baiklah bun-liong-taihap, kami permisi dulu, semoga lain kali kita bersua lagi.” ujar tung-kim-pang, han-hung-fei mengangguk sambil tersenyum, keduanyapun keluar setelah membayar makanan dikasir.
Han-hung-fei juga hendak meninggalkan likoan
“makanan taihap telah dibayar oleh kedua teman taihap tadi.” “ooh..begitu, terimakasih lopek.” sahut Han-hung-fei dan segera meninggalkan likoan untuk melanjutkan perjalanan menuju kota hopei, dan seminggu kemudian Han-hung-fei melihat serombongan piauwsu sedang bertempur melawan gerombolan perampok,
“hentikan pertempuran !” teriak Han-hung-fe, sontak perkelahian itu berhenti, kedua pihak melihat han-hung-fei, dan ketika mata mereka melihat gagang pedang yang berkilau, para perampok undur dengan wajah pucat
“sial ternyata bun-liong-taihap, lari….!” gerutu pimpinan rampok dan berteriak untuk menyuruh anak buahnya melarikan diri. “terimakasih bun-liong-taihap, berkat kemunculan taihap, kami dapat selamat.” ujar pimpinan piuawkiok
“kalian ini piuwakiok darimana ?” tanya Han-hung-fei “saya adalah Jiang-hui, kami piuawkiok “see-ang-tiauw” (rajawali merah dari barat) “ooh.., bagaimana dengan rekan-rekanmu jiang-twako ?” “memang banyak yang terluka taihap, namun sesampai di Wuhan kami akan istirahat dan mengobati yang luka.” “baiklah kalau begitu jiang-twako, saya permisi dulu.” “baik taihap, dan sekali lagi terimaksih.”
“ah-twako jangan terlalu sungkan.” sahut Han-hung-fei, kemudian han-hung-fei meninggalkan rombongan piuawkiok.
Han-hung-fei memasuki Kota hopei, beberapa pengemis berbaju butut yang melihat kehadiranya terkejut, dan merasa takut ketika melihat gagang pedang berbentuk naga tersembul berkilau dibalik punggung han-hung-fei, mereka segera menyingkir dan sembunyi, pesan berantai antara sesama pengemis menyebar, sehingga sampai kepada see-sia dan tung-sia yang memegang komando, karena pimpinan mereka mo-sha-tung-kai dan dua rekan mereka pergi ke lokyang untuk bertemu dengan pimpinan partai pengemis lain.
“kita ikuti dan intai apa yang mau diperbuat bun-liong-taihap di- kota ini.” ujar pak-sia
“dan juga kalian harus hati-hati, jangan sampai bentrok dengannya.” sela tung-sia, para pengemis menganguk dan kembali ketengah kota, Han-hung-fei mendekati kerumuanan orang yang sedang menonton atraksi pesilat jalanan, suara tambur kecil dipukul bertalu-talu
“mari…saudara-saudara semua, saksikan atraksi silat dari kami.” seru lelaki setengah baya sambil memukul tambur, lalu seorang gadis cantik bertari silat ditengah lingkaran orang- orang yang menonton, gerakan perempuan itu begitu luwes, setelah selesai bertari silat para penonton pun bertepuk tangan, dan beberapa orang memberikan sumbangan, kemudian gadis cantik itupun bertukar tempat dengan lelaki separuh baya “sekarang atraksi kami yang kedua, adalah atraksi memukul batu, lihat batu itu adalah batu gunung yang atos, dan ayah saya akan memukulnya hingga hancur.” Seru sigadis yang ternyata mereka adalah ayah dan anak, lalu si ayah memasang kuda-kuda, tangannya yang kekar bersiap memukul batu bulat sebesar kepala orang dewasa, nafasnya diatur sedemikian rupa
“haiiit…prok….” si ayah berteriak sambil memukul dan nyata batu itu hancur terbelah tiga, suara tepuk tangan pun terdengar seiring mulut penonton yang memuji, sumbangan pun kembali keluar
Tiba-tiba para penonton bubar dan melarikan diri ternyata serombongan polisi sedang berpatroli, ayah dan anak itu segera mengemasi barang dan menyingkir, namun terlambat rombongan polisi itu sudah berada di hadapan mereka “tangkap pemberontak !” teriak kapten polisi
“kami bukan pemberontak, kami hanya orang biasa yang mencari sesuap nasi.” sahut si ayah
“jangan membangkang kalua tidak mau mati ditempat !” ancam kapten polisi, dua orang polisi hendak menangkap namun ayah dan anak itu melawan, kedua polisi terjengkang ketanah karena dipukul ayah dan anak tersebut
“sialan….bunuh keduanya !” teriak kapten polisi, lalu para polisi itu pun menyerang dan mengeroyok ayah dan anak, ayah dan anak itu berusaha melawan.
Beberapa orang polisi sempat juga mencium tanah akibat perlawanan ayah dan anak itu, hal itu membuat kapten marah, dan langsung turun tangan meringkus keduanya, sang kapten ternyata kuat dan gesit, perlawanan ayah dan anak itu hanya sampai dua puluh jurus, siayah sudah mendapat dua kali pukulan yang menyebabkan mulutnya berdarah, sementara sigadis juga telah terlempar akibat sebuah tendangan, dan untungnya gadis itu terlempar kearah Han-hung-fei yang berdiri di depan sebuah likoan, sigadis berusaha mendarat dengan kedua kakinya, namun walaupun berhasil tubuhnya masih terpapar kebelakang dan punggungnya ditahan oleh Han-hung- fei, sesaat keduanya saling menatap.
Han-hung-fei mengibaskan tangannya, dan serangkum debu melesak kearah kapten polisi yang sedang mendesak ayah sigadis
“agh…” serangkum debu itu menghantam belakang kepala kapten polisi dan langsung si kapten berhenti dari serangannya dan memegang kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri, debu yang mengenainya laksana bunga api yang membakar syaraf dikepalanya, dia meraung-raung sambil memegangi kepalanya, anak buahnya bingung karena tidak tahu apa yang terjadi pada sang kapten
“Ma-ciangbu !...Ma-ciangbu…!” panggil anak buahnya, namun ma-ciangbu tidak menjawab karena rasa sakit yang dideritanya, ayah sigadis menyingkir dan mendekati anak gadisnya yang berdiri disamping seorang pemuda
“siapa yang telah membokong saya !?” teriak Ma-ciangbu dengan muka merah karena marah kepada orang-orang yang berada disekitar tempat itu, Ma-ciangbu melihat ayah dan anak itu berdiri disamping pemuda pendekar melangkah lebar kearah mereka
“Han-hung-fei pura-pura menggosok telapak tangannya, dan sisa debu ditangannya menjadi tanah lengket, dan merotar tanpa diketahui karena cepatnya “adouwhhh..auuuh….” teriak ma-ciangbu sambil mengangkat sebelah kakinya, kaki itu serasa disengat bunga api yang panas, ma-ciang-bu melompat-lompat sambil mengelus-elus tungkai kakinya, dua kali kejadian memalukan itu membuat Ma- ciangbu ciut nyalinya, lalu tanpa bicara, dan menggerutu panjang pendek dia meninggalkan tempat itu dan diikuti oleh anak buahnya.
Kejadian ganjil itu membuat orang-orang heboh “kapten polisi itu kenapa ayah ?” tanya sigadis heran
“ada yang telah menolong kita sian-ji.” Jawab ayahnya
“aneh sekali ma-ciangbu itu, teriak kesakitan sendiri.” sela Han- hung-fei, siayah memperhatikan Han-hung-fei
“taihap…kamu yang telah membatu kami bukan ?”
“ah ..paman bercanda, saya tidak berbuat apa-apa.” sahut Han- hung-fei sambil masuk kelikoan untuk makan, si ayah terdiam bingung dan matanya mencari-cari siapa gerangan yang telah menolong mereka.
Malamnya ayah dan anak itu menginap disebuah wisma kecil dan murah
“ayah yakin pemuda itu yang telah membantu kita.” ujarnya kepada anaknya
“saya tadi hanya ditahannya ketika hendak jatuh ayah.” “ah…aku ingat…aih…pasti pemuda itu adalah bun-liong-taihap, gagang pedangnya tadi ayah lihat.” seru si ayah
“siapa maksud ayah ?” tanya putrinya heran
“pemuda tadi, adalah Bun-liong-taihap, dia adalah pendekar yang baru muncul tapi telah membuat gempar wilayah selatan dan timur.” “brak…” pintu kamar hancur ditendang dari luar, empat orang polisi masuk dengan paksa
“bunuh pemberontak !” teriak mereka sambil mengayun tombak dan pedang, ayah dan anak itu terkejut dan segera berkelit, namun kamar yang sempit itu terus dimasuki oleh polisi, si ayah langsung memeluk anaknya dan membiarkan tubuhnya dibacok “crak…trang..trang…trang…brak…” sebuah kilatan cahaya hijau membersit, tujuh orang polisi yang hendak membantai ayah dan anak itu terlempar melabrak dinding dalam keadaan bersimbah darah yang muncrat dari urat leher mereka yang putus, si ayah dan anak yang hampir tewas itu merasa tubuh mereka di pondong dan melayang keatas, namun siayah sudah pingsan sebelum tahu siapa yang menolongnya.
Gadis hanya diam setelah menatap wajah penolongnya, tidak lama kemudian mereka sampai di atas atap sebuah likoan,
Han-hung-fei meletakkan si ayah diranjang, dan sigadis dengan wajah pucat dan air mata berderai menggugah ayahnya “ayah…ayah…” teriaknya
“ayahmu hanya pingsan siocia, tunggulah disini, aku akan menanya pelayan untuk mencari tabib.” ujar Han-hung-fei “terimakasih in-kong..” sahut sigadis disela-sela tangisnya, Han- hung-fei tanpa menyahut keluar dari kamar untuk minta tolong pelayan mendatangkan tabib.
Berselang dua jam seorang tabib di antar pelayan kekamarnya “siapa yang sakit ?” tanya si tabib
“terimaksih shinse telah sudi datang malam-malam begini, silhkan masuk sinse !” ujar Han-hung-fei, lalu tabib masuk dan langsung memeriksa ayah sigadis yang luka, dengan cekatan si tabib membubuhi obat luar pada luka dan membalutnya, lalu memsukkan sebuah pel kemulut pasien, dan mendorongnya sengan air
“sudah…ayah nona hanya luka luar, dan sebentar lagi akan siuman.” ujar si tabib menghibur sigadis
“ini resep, besok pagi belilah ke toko obat.” sahut sigadis, lalu tabib itu pun keluar kamar
“In-kong..terimakasih telah membantu dan menyelamatkan kami ayah dan anak.”
“sudahlah siocia, sekarang kamu juga istirahatlah.” sahut Han- hung-fei, lalu ia duduk disebuah kursi sambil bersandar, sigadis pun duduk di hadapannya
“in-kong saya adalah Liu-sian dan ayah saya Liu-gan, siapakah nama in-kong ?”
“saya Han-hung-fei, kenapa kalian disebut pemerintah sebagai pemberontak ?”
“saya juga tidak tahu in-kong, kami tidak pernah berbuat salah pada pemerintah.” jawab liu-sian
“sudah jangan dipikirkan lagi, sebaiknya kita istirahat.” ujar Han- hung-fei, lalu menyandarkan kembali punggungnya disandaran kursi, keadaan pun sunyi dan hening, keduanya tertidur sambil duduk.
Keesokan harinya Liu-gan bangun, gerakan liu-gan membuat bun-liong-taihap terbangun
“kamu sudah bangun paman !” sapa Han-hung-fei, mendengara suara itu Liu-sian terbangun dan segera berdiri
“ayah..bagimana keadaanmu ?” tanya Liu-sian
“terimaksih pada taihap yang telah menolong kami.” ujar Liu- gan
“sama-sama paman, dan paman jangan terlalu sungkan.” sahut Han-hung-fei
“oh-ya saya tinggal sebentar keluar untuk menemui pelayan, dan siocia kalau mau mandi pelayan bisa mempersiapkannya.” “terimakasih in-kong dan saya akan cuci muka saja.” sahut Liu- sian.
Han-hung-fei meminta pelayan untuk menyiapkan air untuk mandi dan menyuruh pelayan mengantar makanan untuk tiga orang kekamarnya, setelah Han-hung-fei mandi dan mengganti baju, ia kembali masuk kekamarnya, didalam kamar, liu-sian yang telah mencuciu muka merasa nyaman dan wajahnya yang cantik cerah kembali, makanan juga sudah terhidang di atas meja
“kenapa liu-siocia dan paman belum mnakan ?” “kami menunggu in-kong.” sahut Liu-sian
“liu-siocia jangan panggil aku in-kong, panggil saja namaku han-hung-fei.” ujar Han-hung-fei, liu-sian mengangguk “sekarang marilah kita makan.” ujar Han-hung-fei, lalu liu-sian mengambilna nasi dan lauk untuk ayahnya, dan kemudian merekapaun makan bersama.
“apa rencana paman selanjutnya ?” tanya Hung-fei setelah selesai makan
“sepertinya kami harus secepatnya meninggalkan kota ini, karena sangat bisa jadi para polisi akan terus mengincar kami” sahut Liu-gan
“hmh..kenapa mereka menuduh paman pemberontak ?” “saya juga tidak tahu taihap, hanya saya dengar bahwa ada gerakan untuk menggulingkan rezim yang sekarang, dan
gerakan itu dipimpin oleh Liu-xuan, keluarga kaisar dinasti Han yang dikudeta oleh Wang-mang tiga belas tahun yang silam.” “apakah karena paman she-liu sehingga mereka sangat ingin membunuh paman ?”
“hmh…boleh jadi karena hal itu taihap.” desah Liu-gan “bagaimana kita akan keluar dari kota ini ayah sementara ayah belum pulih.” sela Liu-sian dengan nada sedih
“saya kira paman dan liu-siocia tinggal saja di likoan ini sampai paman sembuh.
“tapi taihap mereka akan mengetahui kami disini dan akan datang menciduk dan membunuh kami.” sahut Liu-gan “paman tenang saja, biar urusan polisi ini aku yang tangani, dan saya akan tetap disini sampai paman sembuh dan saya
akan melanjutkan perjalanan setelah paman dan liu-sicia keluar dari kota ini.”
“kami tentunya sudah sangat merepotkan taihap.” ujar Liu-gan “tidak apa-apa paman, sekali lagi paman tidak usah sungkan.” “terimaksih taihap.” sela Liu-sian
“baiklah, sekarang mana resep yang diberikan sinse, aku akan keluar untuk membelinya.” ujar Han-hung-fei, Liu-sian memberikan resep yang ditulis sinse semalam, Han-hung-fei keluar untuk membeli obat.
tidak lama kemudian Han-hung-fei datang kembali dan memberikan obat yang dibelinya
“paman dan liu-siocia tetap dikamar ini, dan saya sudah sewa satu kamar lagi disebelah, ujar han-hung-fei sambil mengemasi buntalannya, dia mencari-cari baju yang dipakainya semalam “baju fei-koko yang kotor itu sudah saya cuci, biarlah nanti
setelah kering dan dilipat saya antar kekamar sebelah.” ujar Liu-sian
“ohh, baiklah, aku kekamar sebelah paman !” ujar Han-hung-fei dan keluar kamar.
“pendekar itu amat baik dan sopan ayah.” ujar Liu-sian “benar sekali Sian-ji, entah bagaimana kita akan membalasnya.” sahut Liu-gan sambil merenung, Liu-sian juga terdiam dan merenungkan Han-hung-fei, hatinya dari sejak beradu pandang dengan han-hung-fei sudah tertarik, dan main suka dan sayang setelah peristiwa yang mereka alami, semua tata bicara dan perlakuan han-hung-fei pada mereka membuat Liu-sian takluk dan salut sekaligus cinta, karena hatinya merasa aman disamping han-hung-fei, hatinya bergetar setiap han- hung-fei menatapnya, sehingga ketika ia mencuci pakaian han- hung-fei timbul bayangan yang indah yang membuat mukanya bersemu merah.
Pada malam ketiga Liu-gan dalam perawatan, dan keadaannya sudah hampir pulih, Liu-sian membawa pakaian Han-hung-fei dan mengetuk kamar Han-hung-fei
“siapa ?” tanya han-hung-fei dari dalam
“saya fei-ko..” sahut Liu-sian, Hung-fei mmebuka kamar “ada apa liu-siocia.” tanya Han-hung-fei kikuk
“fei-ko, bolehkah aku masuk ?”
“oh..ya..silahkan Liu-siocia.” hawab Hung-fei dengan sikap makin kikuk karena malu, Liu-sian tersenyum sambil masuk kedalam kamar
“duduklah liu-siocia.” ujar Han-hung-fei
“fei-koko membuat saya risih dan sungkan.” “eh..kenapa demikian liu-siocia ?”
“cobalah bayangkan in-kong, saya sudah memanggilnya fei- koko, tapi dia tetap saja memanggilku liu-siocia, bagaimana menurut in-kong ?”
“ah..ini..aduh… hmh….ya…” Han-hung-fei merasa tersudut.
“in-kong….kami telah banyak mendapatkan pertolongan dari in- kong, dan saya ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar- besarnya sekalian mengantarkan baju in-kong.” “Liu-siocia janganlah berkata begitu, sehingga membuat aku malu.”
“maaf in-kong kalau aku membuat in-kong merasa begitu.”
“ah.aduh bukan begitu maksudnya.” sahut han-hung-fei dengan keringat dingin yang tiba-tiba muncul, han-hung-fei merasa kewalahan, ternyata menghadapi wanita dia masih kalah telak dan tidak berdaya, kearifannya selama dua hari ini karena adanya liu-gan disamping liu-sian, namun malam ini ia berhadapan langsung dengan wajah cantik Liu-sian dan dalam kondisi berduaan, Han-hung-fei yang masih hijau menghadapi wanita ini bingung seratus porsen.
Liu-sian yang melihat betapa pendekar itu demikian kikuk dan salah tingkahnya menjadi kasihan
“baiklah in-kong aku akan pergi !” ujar Liu-san tiba-tiba
“eh..kenapa ?” spontan Han-hung-fei bertanya namun mukanya kembali merah, hatinya berdegup dengan kedatangan Liu-sian, terbit sedikit rasa senang melihat liu-sian berduaan dengannya, namun ia tidak mengerti rasa malu yang mendera hatinya, sehingga ia bersikap kukuk yang luar biasa nyatanya.
“apakah in-kong ingin aku tetap disini ?” tanya Liu-sian, makin bingung Han-hung-fei. Tidak tahu harus menjawab apa, Liu- sian tersenyum melihat Han-hung-fei yang kebingungan, dan senyuman itu mmebuat hati han-hung-fei melonjak, darahnya tersirap kekepala sehingga membuat kepalanya pening dan aliran darahnya yang serba cepat membuat badanya lemas dan berkeringat.
Han-hung-fei bertelekan disandaran kursi, wajahnya pucat “in-kong..apakah kamu sakit ?” tanya Liu-sian sembari mendekati Hung-fei, aroma kewanitaan Liu-sian merebak menghantam penciuman Han-hung-fei, sehingga membuat degupan jantungnya makin mmebuat kepalanya pening dan keringat dikeningnya makin nyata, melihat keringat itu, liu-sian melap dengan ujung lengan bajunya, tangannya ditangkap Hung-fei dan tubuhnya menggigil.
“aduh kamu kenapa in-kong ?” tanya Liu-sian cemas sambil mendekap bahu Hung-fei untuk memapahnya keranjang, dan tak pelak lagi aroma liu-sian semakin membuat sesak nafas han-hung-fei, terlebih sentuhan itu laksana setrum yang membeotot urat syarafnya, ketika keduanya terbaring, hembusan nafas liu-sian menerpa wajah han-hung-fei, nikmatnya amat luar biasa dirasakan Han-hung-fei, posisi itu agak lama karena kedua mata itu saling bertaut, tubuh liu-san memberikan respon atas tatapan yang membuatnya bergetar, sehingga nafasnya sesak dan mengendus wajah tampan dibawah wajahnya, Han-hun-fei yang sedang terlena dengan rasa nikmat semakin terangsang karena endusan nafas itu semakin menebar aroma kewanitaan Liu-sian,
Liu-sian merasa tubuhnya melemah sehingga wajahnya semakin menunduk dan Hidung Liu-sian yang indah menyentuh pipi han-hung-fei, Han-hung-fei merasa tubuh lembut itu hangat, dan sebuah ciuman dari Liu-sian memulai membakar hasrat keduanya, han-hung-fei yang tidak mengerti terlelap dalam ciuman-ciuman yang membuatnya ketagihan, aroma Liu- sian semakin membuat dia tidak terkendali, mereka terjebak pada pilinan birahi, desahan nafas menandakan keinginan lebih, sehingga Han-hung-fei terus menuruti hasrat yang bergolak, saat han-hung-fei merasakan ketelanjangan Liu-sian birahi itu makin membakar, gejolak itu makin membadai, Liu- sian yang menyadari apa yang terjadi mandah saja dan bahkan menuntun penuntasan yang diharapkannya, terlebih Han-hung- fei, Liu-sian karena cintanya buta, Han-hung-fei karena ketidak tahuannya buta, sanggama itu pun berlangsung sampai pagi.
Ketika bangun dari kelelahan yang melelapkan, Han-hung-fei bingung tap sekaligus bahagia, terlebih ketika melihat wajah cantik Liu-sian yang masih tidur dengan seulas senyum, dan dia terkejut ketika merasa dirinya telanjang dibawah selimut “liu-siocia ?” jeritnya ketakutan, Liu-sian bangun
“ada apa fei-ko ?” tanyanya lembut dengan senyumnya yang menawan
“hmh…liu-sian apakah yang telah berlaku antara kita ?” tanya han-hung-fei meragu dan bingung
“kita telah melakukan apa yang dilakukan suami istri fei-ko.” “tapi kita bukan suami istri.” sahut Han-hung-fei merasa bersalah
“benar…tapi aku sudah menganggap kita telah menjadi suami istri, nanti akan kukatakan kepada ayah supaya hubungan kita diresmikan, kita akan menikah fei-ko
“aduh…liu-sian aku belum siap untuk itu, perjalananku masih panjang.” sahut han-hung-fei bingung dan merasa menyesal. “fei-koko, aku bisa menyertaimu dalam setiap perjalananmu, sebagai istri yang mencintaimu aku akan mendampingimu.” ujar Liu-sian
“apa ? kamu mencintaiku liu-sian ?” tanya Han-hung-fei bingung
“benar fei-ko, aku mencibtaimu sejak pandangan pertama saat engkau menahan punggungku supaya jangan jatuh.”
“cinta ? aku tidak mengerti apa itu cinta.”
“hi..hi… fei-ko cinta itu rasa kertarikan pada lawan jenis sehingga menerbitkan rasa suka, sayang, dan rasa nyaman didekat orang yang dicintai.” sahut Liu-sian, han-hung-fei menjenguk hatinya, “apakah ia tertarik pada liu-sian, benar ia tertarik, apakah menimbulkan rasa suka ? benar ia suka, apakah menerbitkan rasa sayang ? eh tidak tapi kasihan karena apa yang dialami oleh gadis ini, rasa nyaman ?
tidak…malah rasa bersalah dan sesal.” pikirnya.
Han-hung-fei terdiam lama sekali, dia tidak tahu apa yang mesti dilakukan, Liu-sian yang melihat han-hung-fei diam dan raut wajah yang penuh sesal itu nyata sebagaimana nyatanya rasa kikuk yang pertama sekali ditunjukkan, liu-sian menghela nafas dan tersenyum
“berpakainlah fei-ko !” ujarnya sambil turun dari ranjang, ketelanjangannya yang dipertontonkan semakin membuat hati hung-fei merasa bersalah, raut wajah itu tidak lepas dari lirikan liu-sian, Liu-sian memakai bajunya, demikian juga Han-hung- fei, tapi wajah itu tetap dalam menunjukkan kebingungan.
“Fei-ko, ini hanya rahasia kita, biarlah hanya kita saja yang tahu, Fei-ko tidak usah cemas, dan lanjutkanlah perjalanan setelah kami sampai diluar kota,”
“apakah demikian yang harus kita lakukan ?” tanya han-hung- fei
:”benar in-kong, dan setelah ini kita akan berpisah , entah apakah masih ada jodoh kita bertemu, jadi in—kong bolehkah saya meminta sesuatu ?”
“apakah yang hendak kau minta Liu-sian ? “
“in-kong berikanlah sesuatu benda pada saya, apa saja pun itu.”
“untuk apa benda itu ?” tanya Hung-fei penasaran
“in-kong peristiwa semalam rahasia kita berdua, dan benda yang kuminta itu rahasia saya saja, maukah in-kong memberikan sesuatu pada saya ?” “baiklah aku akan memberikan kalung ini padamu.” ujar Hung- fei menariki kalung dari lehernya, rantainya terbuat dari besi putih, dan bandulannya berbentuk bulat serta ditengahnya bertuliskan “Han”
“kalung ini dulu diberikan ibuku dulu, dan hanya ini yang aku punya sejak kecil.”
“ini sudah lebih dari cukup in-kong, terimakasih semuanya in- kong.” sahut Liu-sian, kemudian ia kembali kekamarnya “kamu darimana Sian-ji ?” tanya ayahnya heran “ayah…bukankah kita akan berangkat pagi ini ?”
“benar apakah kamu sudah menemui bun-liong-taihap ?” “sudah ayah, dan mungkin sebentar lagi in-kong akan keluar dari kamarnya.” jawab Liu-sian, dan tidak lama Han-hung-fei muncul, sengan buntalannya
“taihap kami hendak meninggalkan kota, dan terimakasih semua yang telah taihap lakukan pada kami.”
“baiklah paman, marilah kita turun.” sahut Han-hung-fei, lalu Han-hung-fei, lalu ketiganya turun dari lantai dua, Han-hung-fei membayar sewa kamar, dia bicara lama dengan pemilik likoan, pemilik likoan manggut-manggut sambil tersenyum, lalu seorang pelayan dipanggil dan disuruh, pelayan itu segera keluar, lalu Hung-fei meninggalkan pemilik likoan
Di halaman likoan dua ekor kuda disiapkan oleh pelayan yang keluar tadi
“paman, kuda ini baru saya beli, untuk perjalanan paman.” “aduh taihap sungguh kami malu menerima semua kebaikan ini.”
“tidak paman, tolong jangan ditolak, karena kuda ini sangat dibutuhkan oleh paman dan Liu-sian untuk segera keluar dari kota ini.” ujar Hung-fei, lalu dengan rasa terimaksih Liu-gan dan Liu-sian menaiki kuda, dan memacunya menuju gerbang kota sebelah timur, dilepas pandangan han-hung-fei, saat mereka diluar gerbang, tiba-tiba
“jaga diri paman, juga kamu Liu-sian, semoga lain hari kita dapat bertemu lagi.” ujar han-hung-fei dari atas gapura gerbang, Liu-sian melambai dan tiba-tiba ia sesugukan menangis, perpisahan ini sangat membuat hatinya teriris, dia maklum cintanya bertepuk sebelah tangan, kejadian yang menghangatkan hatinya akan menjadikan kenangan tidak terlupakan, kepolosan Han-hung-fei membuat dia maklum dan menyiapkan mental dalam menghadapi hidupnya kedepan. biarlah cintanya tidak ia miliki, kepolosan pemuda yang dicintainya membuat ia berlapang dada menerima kenyataan.
Han-hung-fei meninggalkan kota hopei menuju kota Lokyang, selama perjalanan ini Han-hung-fei mencoba merenung kejadian antara dirinya dengan Liu-sian, kembali rasa bersalahnya muncul, dia bingung kenapa desakan dan getaran hatinya membuat dia lupa keadaan, dan kenapa kenikmatan yang ia rasakan namun setelah selesai hatinya merasa menyesal dan bersalah, kenapa dia tidak seperi Liu-sian yang demikian kelihatan bahagia setelah melakukannya, apa yang menyebabkan hatinya merasa menyesal dan bersalah, semua pertanyaan itu berkutat dalam benaknya.
Han-hung-fei berhenti disebuah sungai dalam sebuah hutan, panas terik hari itu membuat dia merasa gerah, sungai yang mengalir jernih menawarkan kesejukan yang tidak akan ditolak, Han-hung-fei membuka baju dan dia mandi sepuas-puasnya, kesejukan air sungai membuat rasa lelahnya hilang, tiba-tiba ia mendengar suara langkah, Han-hung-fei segera berenang ke balik sebuah batu, seorang wanita cantik cantik muncul dari belukar hutan, dari perawakannya wanita itu adalah ahli silat, karena pedang yang tersampir dipinggangnya, han-hung-fei terkejut ketika melihat wanita itu membuka seluruh bajunya, dengan telanjang ia masuk kedalam sungai yang jernih, Han- hung-fei merasakan degupan jantungnya yang kencang, aliran darahnya berubah cepat.
Han-hung-fei menutup matanya, dan getaran itu sedikit turun, namun matanya yang terpejam itu jelas membayangkan lekuk tubuh wanita telanjang didepannya, kembali nafasnya memburu karena getaran hatinya yang kembali mengguncang, akhirnya han-hung-fei membuka kembali matanya dan melihat batu didepannya dan buih air yang putih didepannya, sesaat getaran hatinya hilang, namun ada keinginan kuat untuk melihat wanita telanjang itu, perang batin pun terjadi, sepertinya daya menolak keinginan itu menang, sehingga Han-hung-fei mematung ditempat, dia dapat mengalihkan suara keinginan itu dengan mendengarkan suara air yang mengalir dan buih air yang putih disekitarnya menjadi fokus pandangannya.
“heh..kamu siapa !? kurangajar kamu mengintai akau yang sedang mandi ya ?!” teriak wanita itu sambil menutup bagian dada dan bagian bawahnya yang telanjang dalam air, han- hung-fei terkejut dan kelabakan, karena tidak menduga wanita itu akan berenang kearah dia sembunyi, Han-hung-fei langsung membelakangi wanita itu
“ma..maaf…..aku yang duluan mandi disini, karena ada orang maka aku sembunyi disini.” sahut Han-hung-fei “sialan….berarti kamu telah lama melihat aku yah !?” bentak gadis itu marah dan malu
“ti..tidak, aku tidak melihatmu.” bantah Hung-fei “bohong, pasti engkau telah memandangiku !”
“sungguh nona, aku tidak memandangimu.” bantah Hung-fei, wanita yang melihat hung-fei dari sejak kepergok sudah reflek membelakanginya, dan dari jawabannya yang terbata-bata dan panik, menunjukkan bahwa pemuda ini bukan lelaki hidung belang atau mata keranjang yang perayu.
Gadis itu merasa geli sendiri melihat han-hung-fei yang nampak terpojok dan takut, gadis itu tersenyum karena ide dibenaknya semakin nakal, sekilas tadi ia melihat pemuda didepannya sangat tampan, ototnya demikian kekar dibalut kulit yang putih, lekuk punggung han-hung-fei ditatapnya, dan dia mendekat, gerakan waniat yang mendekat itu membuat Hung-fei bingung setengah mati, hatinya berguncang, dan mukanya terasa panas, tubuhnya merasa merinding, ketika merasa riak air menggoyang tubuhnya menandakan gadis itu memang benar- benar mendekatinya.
“hihi..hihi…kamu kenapa terus membelakangi saya ?”
“nona keluarlah dari air dan berpakaianlah, setelah itu pergilah karena aku juga mau berpakaian.” ujar Han-hung-fei “balikkanlah badanmu dan coba pandang aku !” ujar gadis itu, darah han-hung-fei kembali tersirap, ajakan itu membuat perang batin yang tadi dimenangkan akal sehatnya,
“kenapa kamu masih membelakangi saya, apa kemu tidak ingin melihatku ?” goda gadis itu , Han-hung-fei makin menggigil, perang batin yang terjadi semakin sengit, dan Han-hung-fei tetap mematung membelakangi gadis yang demikian dekat di belakangnya.
Han-hung-fei terkejut laksana disengat listrik, ketika tiba-tiba tangan gadis itu menyentuh pinggulnya, pertahanannya ambrol, darahnya tersirap dan nafasnya memburu, dan habislah han- hung-fei dalam ketidak berdayaannya saat wajah gadis itu mulur di atas bahunya, sehingga wajah cantik itu menempel dipipinya, punggungnya merasakan kelunakan yang membuat birahinya meledak, dengan nafas yang semakin memburu, serentetan dengan birahinya yang meletus yang memuncratkan lahar hasrat panas dan membakar, gadis itu tersenyum merasakan panasnya ciuman-ciuman yang mendarat diwajahnya, gadis itu dengan erotis mengimbangi keganasan Han-hung-fei yang sudak terbakar dan tidak terkendali, bagai api dan minyak kedua tubuh telanjang dalam air bergerak berpilin, sesaat sanggama itu berkutat dalam air, Han-hung-fei mengangkat tubuh indah gadis itu dan menyandarkan dibatu, Han-hung-fei menekan tubuh hangat itu sambil berdiri.
Gadis itu juga makin binal dengan jeritannya yang menggemaskan, penuntasan itu terasa kurang nyaman, lalu gadis itu menarik hung-fei ketepi sungai dan dengan sikap manja dan senyum menggoda mengangkat kedua kakinya, bahasa tubuhnya demikian kuat memerintah han-hung-fei untuk menuntaskan segala desakan, Han-hung-fei menindih dengan segenap birahinya, berpacu mendaki menikmati setiap gesekan dan pilinan tubuh yang kian menegang, dan akhirnya puncak ketuntasan itu sampai, seluruh urat syaraf Han-hung-fei menegang dan kemudian kendur seiring hempasan nafasnya yang bertalu-talu, tubuhnya lemas terbaring diatas tubuh hangat gadis itu.
Gadis itu dengan senyum mencium wajah han-hung-fei dengan rasa puas, seiring nafas Han-hung-fei mulai normal, rasa sesal dan rasa salah menyergap hatinya, Han-hung-fei segera berdiri dan berlari keseberang dan memakai pakaiannya, hatinya marah pada dirinya, sesal tidak terperikan membuat ia merasa hina, dan tiba-tiba “Lam-sian-cianpwe… ! aku terpedaya
plak..plak…pla…plak…plak…plak….” Han-hung-fei menyeru Lam-sian karena teringat nasihatnya, dan tangannya menampar mukanya bertubi-tubi
Gadis itu sudah berpakaian dan sedang mengeringkan rambutnya yang basah terkejut mendengar suara tamparan itu, dan main heran ketika melihat sikap pemuda itu
“apa yang kamu lakukan !?” tanya wanita itu dan bingung melihat muka han-hung-fei yang memar matang dan darah mengucur dari mulut dan hidungnya, Han-hung-fei tidak memperdulikan wanita itu tetap menampar mukanya bertubi- tubi hingga mukanya bersimbah darah
“sudah…gila …kamu kenapa !? kenapa kamu memukul mukamu sendiri !?”
“pergi kamu dan tinggalkan aku sendiri !” sahut Han-hung-fei “hihi..hihi…pemuda tolol, tidak semudah itu, kamu adalah milik saya, dan kamu harus ikut saya.”
“apa maksudmu nona ?”
“kita telah mengadakan hubungan suami istri, maka kamu harus menikah denganku.”
“aku tidak siap untuk itu.” sahut Han-hung-fei
“heh…kenapa , apa kamu tidak mencintaiku, kurang apa diriku
?”
“aku tidak mencintaimu, dan kamu memang cantik tiada cacat.”
“kenapa kamu tidak mencintaiku ? apa kamu sudah punya gadis lain ?”
“aku tidak tahu kenapa aku tidak mencintaimu, dan aku tidak punya gadis lain.”
“hihi..hihi… tidak masalah, cinta bisa saja datang setelah menikah, jadi marilah ikut saya, hik..hik… hendak menikah tapi calon suamiku beluk aku tahu, siapakah namamu koko ?” sahut gadis itu, han-hung-pei terdiam ketika mendengar perkataan gadis itu bahwa cibta bisa datang setelah menikah
“benarkah demikian bahwa cinta bisa datang setelah menikah
?”
“benar sayang, lalu siapakah namamu koko ?” “namaku Han-hung-fei.”
“hik..hik…hik… Fei-ko namaku Yan-hui.” ujar gadis itu yang ternyata Yan-hui murid kedua dari pek-mou-hek-kwi salah seorang datuk dunia persilatan.
“cepat kamu cuci mukamu yang berlepotan darah itu !” perintah Yan-hui, Han-hung-fei mencuci mukanya, mulutnya meringis karena mukanya yang memar matang sangat nyeri saat disentuh air, Yan-hui memperhatikan gerak-gerik han-hung-fei dengan heran karena sikap bodoh yang ditunjukkan han-hung- fei, dan saat Han-hung-fei mengambil buntalannya, dan kelihatanlah pedang dibawahnya, Yan-hui terkejut melihat gagang pedang berbentuk naga, dengan kilauan emas, ciri pemuda didepannya ini sesuai dengan musuh mereka yang baru muncul,
“apakah pemuda ini adalah Bun-liong-taihap?” pikirnya, sesaat dia berdiam dan berpikir, kemudian dia tersenyum sendiri.
Yan-siocia, apakah sudah pasti bahwa setelah kita menikah aku akan dapat mencintaimu ?”
“pasti karena aku akan melayani dan mencintaimu sepenuh hati, kita akan seia sekata dan akan menjadi pasangan serasi nan sakti yang akan menguasai jagad persilatan” sahut Yan-hui “apa maksudmu menguasai jagad persilatan !?”
“kamu tentunya Bun-liong-taihap bukan ?” “benar, lalu apa hubungan cinta dengan penguasaan jagad persilatan ?”
“hik..hik… karena kamu seorang ahli silat dan aku juga ahli silat, karena aku adalah murid datuk persilatan pek-mou-hek- kwi, jadi kalau kita berpasangan kita akan menjadi pasangan yang tidak terkalahkan.”
“aku tidak melihat hubungan antara cinta dengan penguasaan jagad persilatan.”
“tolol, kalau kita sudah jadi pasangan maka jalan menggapai ketenaran akan mudah, dan kamu akan tenar karena keberadaanku, sehingga kamu akan mencintaiku.”
“aku tidak ingin ketenaran, lalu bagaimana aku dapat mencintaimu kalau aku tidak ingin tenar ?”
“sudahlah kamu gablek banget sih !” sahut Yan-hui jengkel “aku tidak akan menikahimu sebelum aku yakin bahwa aku dapat mencintaimu setelah menikah.”
“hmh…eh..hung-fei kamu sebenarnya mencintaiku, karena kamu begitu bergairah menyetubuhiku.” ujar yan-hui “tidak, itu bukan cinta, karena aku menyesal dan merasa
bersalah setelah melakukannya, bukankah cinta seharusnya aku merasa nyaman dan bahagia setelah melakukannya ?” sahut Han-hung-fei membayangkan senyuman Liu-sian yang begitu jelas menggambarkan kebahagiaannya setelah melakukannya.
“cih…kamu ini cerewet amat, han-hung-fei bagiamanapun kamu harus bertanggung jawab karena telah menyetubuhiku.” “kenapa ? kenapa aku harus bertanggung jawab ?”
“goblok, karena engkau menyetubuhiku aku bisa jadi hamil, kalau kamu tidak menikahiku itu artinya kau telah membuat aku malu melahirkan tanpa ayah, lelaki macam apa kamu ini !?” sahut Yan-hui, mendengar jawaban itu Han-hung-fei terdiam, dan lalu menyadari dan mendapat jawaban dari kebingungannya selama sebulan ini, sekarang Han-hung-fei tahu kenapa ia menyesal dan merasa bersalah melakukannya, jawabannya ternyata, karena ia melakukan tidak berdasar cinta, dan rasa bersalah muncul karena perbuatannya itu memang salah karena telah membuat malu dan derita pada wanita yang sama-sama melakukan dengannya.
“han-hung-fei kenapa kamu diam saja, apa kamu tidak ingin bertanggung jawab !?”
“memang aku bodoh sekali.”
“eh..kenapa kamu berkata demikian ?”
“aku terpaksa menikahimu sementara aku tahu bahwa aku tidak siap untuk itu, itu artinya aku tidak akan pernah bahagia dan aku akan menderita selamanya, karena aku tidak cinta padamu”
“itu resikomu, kenapa kamu menyetubuhiku kalau kamu tidak mencintaiku.”
“tidak, aku menyetubuhimu karena ada sebuah desakan yang membuat darahku tersirap dan nafasku sesak, aku tidak tahu apa namanya itu.”
“hik..hik…nanti kalau kita sudah menikah kamu boleh berkali- kali menyalurkan desakan itu padaku.” sahut Yan-hui
“tapi aku tidak akan melakukannya lagi.”
“eh..kenapa ?” tanya Yan-hui heran dan muka merah “karena sekarang aku benci melakukannya denganmu.” “hah…sialan, kamu tidak boleh berbuat itu padaku.”
“kenapa tidak boleh, aku akan merasa bersalah jika melakukan hal yang kubenci.”
“kamu tetap harus melakukannya denganku, karena aku adalah istrimu yang wajib kau nafkahi hasrat batinnya.”
“ooh..Thian… malangnya diri yang tidak tahu diri ini, binasalah sudah diriku, hidupku tidak hanya tidak bahagia, bahkan akan terus dihantui rasa bersalah.” keluh Han-hung-fei dengan raut wajah sedih dan sesal
Sesaat Yan-hui yang menghadapi kepolosan Han-hung-fei merasa buntu, namun kemudian hatinya yang hitam pekat penuh tipu daya itu merasa anteng, karena tujuannya adalah untuk menguasai musuh ini dalam pelukan birahinya. “sudalah..mari kita pergi sekarang !” ujar Yan-hui
“kita mau kemana ?”
“kita akan ke lokyang untuk menikah.”
“hmh..baiklah, mari kita berangkat.” sahut Han-hung-fei.
Dua hari kemudian mereka melewati sebuah lembah dan serombongan kuda yang dipacu kencang datang dari arah depan mereka, setelah dekat rombongan itu mendadak berhenti ketika melihat Yan-hui dan gagang pedang dibalik punggung Han-hung-fei, mereka adalah tiga pangcu kaipang yang berunding di lokyang
“lao-chit…! sungguh tidak diduga kita bertemu disini.” ujar Mo- sha-tung-kai
“ah…ternyata sam-wi kaipang-pangcu, kalian dari mana ? “kami dari lokyang, dan bukankah pemuda ini adalah orang yang kami duga ?”
“kami memutuskan untuk membunuh bun-liong-taihap untuk membalaskan kematian hai-kwi-kiam dan tok-gan-kai.” sahut Mo-sha-tung-kai, lalu ketiga pancu itu turun
“karena lo-chit sudah mengalahkannya dan menawannya, jadi sebaiknya kita bunuh saja dia untuk balaskan dendam kita.” sela Ang-bin-pak-kai, mereka salah sangka mengira muka memar dimuka Han-hung-fei adalah hasil perbuatan dari yan- hui yang mereka tahu kesaktiannya, Yan-hui hendak membantah namun didahului Han-hung-fei
“majulah kalian, jika ingin balas dendam !” tantang Han-hung- fei, ketiga pangcu hendak menyerang
“tunggu dulu, kalian jangan membunuhnya, karena ia adalah calon suamiku.”
“eh..apa maksud lao-chit ?” tanya Lo-kui
“kalian tidak usah sungkan, akan kuhadapi kalian jika sebagai pertanggung jawaban karena membunuh pengemis jahat.” sela Han-hung-fei menantang, ketiga pangcu itu meragu
“bagaimana ini lao-chit. kita tidak bisa membiarkannya hidup, karena ia adalah duri dalam aliran kita.” ujar Mo-sha-tung-kai “aku sudah siap majulah !”
“kamu diam han-hung-fei !” bentak yan-hui karena kesal melihat han-hung-fei yang hendak cari mati, sementara ia mau menjelaskan idenya kepada tiga pangcu.
“perempuan jahat, belum lagi aku jadi suamimu, kamu sudah menjadikan aku jadi budakmu.” bentak Han-hung-fei marah, Yan-hui terkejut melihat sinar amarah di mata Han-hung-fei.
“bodoh…! aku hendak menyelamatkanmu dari kematian, karena kamu tidak akan mampu melawan tiga pangcu, sam-wi pangcu bunuhlah dia sebal aku jadinya.” ujar”Yan-hui “hahaha..hahaha…. yan-hui rasanya engkau telah menipuku, untunglah belum terlambat.”
“Bun-liong-taihap mampuslah kamu !” bentak Yan-hui dan menyerang dengan pukulan saktinya, lalu disusul dengan serangan tiga pangcu, Han-hung-fei bergerak gesit menghindar dengan bersalto keudara, setelah mendarat kuda-kuda jurus Pai-hud-bun-sian di formasikan dengan begitu indah dan lalu mennyerang dengan sebuah luncuran kilat, gerakan ujung dua jemari lengan yang merapat laksana patokan naga, dan putaran kedua siku yang membentuk segi tiga laksana hentakan sayap naga, belumlagi tendangan dan sapuan kaki laksana kibasa ekor naga, empat lawannya dengan gigih menghadapi jurus ke tujuh dari bun-sian-pat-hoat yang luar biasa, mereaka mampu menghindar dari serangan-serangan hun-fei, hingga puluhan jurus, sambil terus melakukan serangan-serangan gencar.
Han-hung-fei meningkat daya serangan dari jurusnya, tubuhnya berputar cepat sehingga membentuk putaran angin putting beliung, kali ini tiga pangcu kalang kabut.
“buk..buk…agh…” lo-kui mendapat jotosan siku sekali dan tendangan pada perut, dengan wajah merah karena menahan rasa nyeri pada bibirnya yang berdarah dan rasa mual pada perutnya, lo-kui bangkit dan menyerang kembali, Yan-hui tidak menduga akan sehebat ini pemuda polos yang dikacanginya selama dua hari ini, lalu Yan-hui dengan jurus pamungkasnya memukul kisuran puting beliung
“dhuar…” dua kekuatan bertemu, gerakan putaran han-hung-fei berhenti sementara yan-hui terlempar tiga tombak sambil memuntahkan darah, dan kesempatan itu digunakan tiga pangcu mengayun senjata
“srat…” sebuah sabetan dari ang-bin-pak-kai mengenai paha han-hung-fei, dan dua senjata lain dapat dihindarkan.
Yan-hui kembali menyerang dengan kegesitan luar biasa karena termotivasi akan keberhasilan rekannya melukai Han- hung-fei
“plak..plak… tuk..tuk…bugh…tuk…hegh..hoak…” dua siku han- hung-fei menagkis dua pukulan yan-hui, yana-hui merasakan tangannya sangat nyeri karena kesemutan, dua senjata dari pangcu dijotos ujung jari Han-hung-fei, namun sebuah tendangan dari Mo-sha-tung-kai menghantam punggungnya, Han-hung-fei melsat kedepan dan kedua telapak tangannya yang menyatu menyodok telak dada lo-kui, Lo-kui tersedak dan muntah darah.
Han-hung-fei dengan indah menutup jurusnya dengan indah mengesankan walaupun nafasnya sedikit memburu akibat tendangan dipunggungnya, Han-hung-fei membuka jurus barunya, jurus kedelapan dari bun-sian-pat-hoat yang bernama “mingling-xie-bun-sian” (dewa sastra menulis titah) jurus ini sangat luar biasa, gerakannya gesit dan rumit, telunjuk jari seperti mouwpit yang menulis diudara, posisi kuda-kuda membentuk pat-kwa (delapan segi), perubahan gerakan sangat cekatan mengikuti kata-kata yang ditulis, jika gerakan menyerang bagian atas lawan, maka kata yang tertulis adalah “thian” (langit) dan berbagai nama benda angkasa lainnya, seperti “jit” (matahari) “goat” (bulan) “hong” (angin) dan lain-lain, dan jika menyerang bagian bawah maka kata yang tertulis adalah “tee” (bumi) dan aneka kata benda lainnya, jika menyerang samping kanan maka kata yang tertulis adah “hauw” (bakti) dan kata-kata yang berkaitan dengannya, dan jika menyerang samping kiri maka kata yang tertulis adalah
“wei” (rasa) dan kata-kata yang berkaitan dengannya.
Karena jurus ini sangat cepat dengan perubahannya, dan luar biasa akurat, empat lawannya bingung dan kelabakan, bahkan dalam dua puluh jurus empat lawannya jatuh bangun tanpa diduga dihantam totolan telunjuk, rasa ditusuk paku panas rasanya bekas totolan itu karena hawa sakti dikeluarkan, apakah sampai demikian saja daya serang jurus tersebut? mungkin, jika kata yang ditulis sesuatu yang lembut, namun sial bagi mo-sha-tung-kai dan Lo-kui, ketika tubuh mo-sha-tung-kai kena totolan telunjuk Han-hung-fei, Han-hung-fei menulis kata “pek” (petir)
“crok..crokk..auhggg…..crok..crok…aghhh….” kening dan bawah mata mo-sha-tung-kai tembus berlobang, darah memancur bersama otaknya, Lo-kui yang berada disamping kanan han-hung-fei mendapat totolan “Kok” (Negara), leher dan bahu Lo-kui tembus, darah bersimbah dari leher yang berlobang, kedua pangcu itu mati seketika.
Yan-hui dan ang-bin-pak-kai terheyak dengan nyali ciut, serangan Han-hung-fei dengan cepat menyerang keduanya, pada jurus kesepuluh keduanya menghindar dengan bergulingan, namun serangan kali ini luar biasa kuat dan gesit, membuat ang-bin-pak-kai tersudut, “buk…prok..agh…adouwhh…” perut dan pangkal pahanya
tembus, serangan yang mengenainya adalah “san” (gunung), ang-bin-pak-kai menjerit setinggi langit merasakan sakitnya hawa panas yang membakar dan mengguncang isi perutnya yang bocor, demikian juga hawa panas yang mengelir pada kakinya, tidak lama setelah menggelepar, ang-bin-pak-kai tewas, kini yang tersisa hanya Yan-hui beserta enam anak buah tiga pangcu,
“cepat Bantu aku !” teriak Yan-hui, dengan meragu dan nyali ciut mereka menerjang Han-hung-fei, Han-hung-fei dengan kuda-kudanya yang luas dan kaya langkah, mengurung mendesak enam pengemis dalam lima gebrakan “crok…crokk…tuk..tuk…” empat pengemis ambruk tewas dengan luka tembus pada kening mereka, dua pengemis segera melompat dan ambil langkah seribu menyelamatkan diri, dan seraangan berikutnya mengarah pada Yan-hui, Yan-hui yang tepat berada disamping kanan Han-hung-fei mendapat serangan dari kata “bo” (ibu), dan kelembutan itu memberi peluang pada yan-hui untuk mematahkan serangan dan melompat menjauh, dan kemudian melarikan diri.
Yan-hui dengan tubuh lemah melarikan diri dari hadapan Bun- liong-taihap, lukanya memang hanya karena benturan sin-kang dengan han-hung-fei, tapi tetap saja tergolong parah karena dia sempat muntah darah, Han-hung-fei tidak mengejar Yan-hui yang lari kearah berlawanan kota lokyang, setelah istirahat sejenak Han-hung-fei melanjutkan perjalananya sambil memikirkan perbedaan typical Liu-sian dan Yan-hui, semakin terasalah hatinya bersalah pada Liu-sian.
“bagaimanakah Liu-sian menjalani hidupnya, terlebih jika ia hamil ?” pikir Han-hung-fei, pikirannya semakin kalut membayangkan kesalahnnya pada Liu-sian.
Perguruan Kunlun-pai berdiri megah di lereng pegunungan kunlunsan, para murid dengan tekun berlatih dibawah tiga orang suhu mereka, Kunlun-pai diketuai “Khu-gin-tao yang sudah berumur enam puluh tahun dan dibantu tiga sutenya bao-yang berumur lima puluh tujuh tahun dan dikenal dengan julukan “kunlun-kiam” (pedang kunlun), can-po berumur lima puluh dua tahun dengan julukan “kunlun-taihap” (pendekar kunlun) dan Cu-sian berumur lima puluh tahun yang berjulukan “sin-kun” (si kepalan sakti), ketiganya demikian telaten melatih murid-mirid yang berjumlah lebih seratus orang.
Sementara dikaki pegunungan kun-lun dua orang dengan gerakan gesit menaiki gunung menuju kunlun-pai, dua orang itu adalah Wan-lin dengan gelar lao-si beserta ang-bin-kui, sebegaimana mandat pertemuan mereka dikota chang-an, Wan-lin dan Ang-bin-kui diserahkan tugas untuk menyatroni kunlun-pai, enam bulan setelah kembali ke pek-kok dari pertemuan Chang-an
“lin-ji, karena kita masing-masing mempunyai tugas, maka berangkatlah kamu ke kunlunsan, buat suhumu bangga karena kamu adalah Lao-si.”
“baik suhu, tecu akan berangkat besok.”
“dan ingat sebelum ke kunlun-san pergilah ke “ang-san” (bukit merah) dikota kunming untuk menemui ang-bin-kui.” ujar Lam- sin-pek, Wan-lin mengangguk.
Keesokan harinya Wan-lin berangkat, dia menuruni pek-kok dengan hati gembira, karena baru kali ini ia berkelana sendirian, sebagai lao-si ia merasa sudah mandiri dan akan mengembil keputusan sendiri, terlebih urusan yang akan ditanganinya sepenuhnya ada pada kendalinya walaupun nantinya ia akan bersama Ang-bin-kui, seorang senior dari aliran mereka, Wan-lin dengan berlari cepat menuruni pek-kok, luar biasa gin-kang yang dimiliki Wan-lin, terlebih ia kerahkan dengan hati gembira.
Dua bulan kemudian Wan-lin sampai dikota Chongqing, kota dimana ia lahir, kota itu membuat ia teringat masa kecilnya, teringat ayah ibunya yang tewas karena ulah rezim yang zalim, teringat adiknya yang entah bagaimana nasibnya, dan juga membayang dalam benaknya anak laki-laki yang selalu menjaga mereka, Han-hung-fei bagaimana dan dimanakah ia sekarang ? bayangan itu membuat haru biru hatinya, Wan-lin hanya tiga hari berada dikota kelahirannya, dan ia pun melanjutkan perjalanan. Disebuah sumber air didalam hutan Wan-lin beristirahat sambil makan daging bakar, wajahnya yang cantik dengan kulit putih demikian segar dikeremangan hutan, matanya mendelik ketika mendengar langkah yang banyak mengarah ketempatnya, ternyata dua puluh gerombolan lelaki kasar
“hehehe..hehehe ternyata diwilayah kita muncul bidadari cantik, hai bidadari cantik dihutan sendirian apa tidak takut ?” ujar seorang dari mereka yang bermuka burik dan hidung pesek, lidahnya menjulur membasahi bibirnya
“sim-twako…untungmu memang besar, disamping dapat jarahan besar bertemu pula dengan gadis cantik, hahaha..hahaha..”
“kalian diam, jangan membuat takut bidadariku yang cantik !” bentaknya sambil melangkah mendekati Wan-lin dengan senyum nyengir kuda
“kamu mau apa ?” tanya Wan-lin dengan sorot mata tajam “hehehe..hehehe…kakanda datang untuk membelai dan membuatmu nyaman sayang ?”
“kalian ini gerombolan rampok, sebutkan apa nama gerombolan kalian !”
“hahaha..hahaha kamu luar biasa sekali cantik ! demikian tenang, kamu sangat cocok jika menjadi istriku.” “plak…adouh….” sihidung pesek menjerit karena tidak menduga mendapat tamparan
“sekali lagi aku tanya kalian, apa nama gerombolan kalian, kalau tidak kamu jawab. aku tidak lagi segan-segan membunuh kalian “ ancam Wan-lin dengan sorot mata tajam.
Gerombolan itu terkejut melihat twako mereka meringis sambil mengelus pipi yang sudah merah dan bibir tebalnya pecah berdarah “kenapa kami harus memberitahumu apa nama gerombolan kami ?” sela lelaki besar dan kekar, matanya putih sebelah “sialan…mampuslah kalian ! duk…buk..des…des…plak…” sekali lompat lima kali kibasan tangan Wan-lin telah membuat ambruk lima perampok dengan nyawa melayang, karena bekas pukulan itu meninggalkan tanda merah kehitaman laksana terbakar, para perampok undur dengan wajah pucat
“ampun..ampunnn sianli, kami menyerah…” ujar mereka sambil berlutut
“cih..kalian ini membuat saya jengkel, cepat katakan siapa kalian !?” bentak Wan-lin
“kami adalah rampok “kui-houw” jawab mereka “kui-houw.. apa ini hutan harimau ?”
“benar sianli, ampunilah kami.” sahut mereka dengan wajah memelas
“sudah kalau begitu, kalian cepat pergi dari hadapanku, dan katakana pada ketua kalian “kui-san-ok” lima rekanmu mati karena tidak mengenal menjawab pertanyaan Lao-si.”
“baik lao-si, kami akan pergi.” sahut mereka lalu pergi sambil membawa lima jasad rekan mereka.
Didalam hutan sebelah timur markas dari kui-houw adalah sebuah goa yang sangat besar dan luas, goa itu memiliki kamar-kamar dari dinding batu, gerombolan perampok dengan lima jenazah sampai dmulut goa, mereka segera masuk, rekan- rekan mereka yang berlalu lalang datang mengerumuni mereka “ada apa ? apa yang terjadi dengan mereka A-pok ?”
“kami naas hari ini bertemu dengan seorang wanita sakti.” “apa wanita itu yang membunuh mereka berlima ?” “benar toan-twako.”
“ada apa ini, kenapa kalian ribut ?” tanya seorang pemuda tampan yang keluar dari kamarnya dengan pakaian setengah telanjang, pemuda itu sedang bermesraan dengan tiga wanita dikamarnya, karena merasa terganggu, ia pun keluar
“lima rekan kita tewas oleh seorang wanita kongcu ?” “eh…kenapa dan dimana kejadiannya ?”
“dihutan sebelah barat dekat sumber air.” Jawab a-pok “sudah kalian kubur dan dua orang dari kalian ikut saya
menemui ayah.” ujar pemuda itu, lalu dua orang ikut dengannya sementara yang lain menguburkan lima rekan mereka. “ayah…wilayah kita dimasuki seorang wanita, dan telah membunuh lima anggota kita.” jar pemuda itu pada Kui-san-ok “badebah…ceritakan detailnya bagaimana kejadiannya !” perintah kui-san-ok sambil memukul pegangan kurisnya yang indah dan megah
“pangcu, lewat hutan sebelah barat setelah merampok sebuah piauwkiok yang lewat, dan kami bertemu dengan seorang wanita cantik, lalu sim-twako mencoba mendekati dan merayunya.”
“lalu apa yang terjadi ?”
“lalu dia marah dan membunuh lima orang kita hanya sekali gebrakan.”
“hmh….bangsat mau macam-macam dengan kui-san-ok.” sumpah kui-san-ok makin marah
“tapi pangcu, sepertinya wanita itu kenal dengan pangcu.” “heh…kenal ? apa dia sebut namanya ?”
“tidak pangcu, tapi saat dia menyuruh kami pergi dia menyuruh kami menyampaikan pesannya pada pangcu.”
“apa pesan itu ?” tanya kui-san-ok penasaran
“wanita itu berpesan pada pangcu bahwa lima rekan kita mati karena tidak menjawab pertanyaan Lao-si.”
“hah…apa memangnya pertanyaannya ?” tanya Kui-san-ok terkejut “wanita memang bertanya pada kami tentang nama gerombolan kita.”
“lalu apa jawab kalian !?” bentak kui-san-ok, membuat a-pok dan putranya terkejut, a-pok jadi ketakutan melihat wajah pimpinannya, sehingga ia lama terdiam
“cepat jawab goblok…apa jawaban kalian pada lao-si
“ka..kami tidak menjawabnya, lalu dia tanya sekali lagi dan kami juga tidak menjawab sehingga ia marah dan membunuh lima rekan kita
“mampuslah kalian…prak..prak…” a-pok dan seorang temannya ambruk tewas dengan kepala pecah dihantam pukulan kui-san-ok yang marah.
“ayah…kenapa ayah membunuh anak buah kita. ?” tanya anaknya penasaran
“mereka pantas mati telah mengabaikan Lao-si.” “siapa lao-si itu ayah ?”
“sudah sekarang kamu pergi kehutan sebelah barat, dan sampaikan pada lao-si untuk mampir ditempat kita, sekalian panggil a-jun dan a-kao untuk menghadapku, malam ini kita akan menjamu lao-si.” ujar Kui-san-ok
:baiklah ayah, saya akan ganti pakaian dan segera kesana.” jawab anaknya