Nagabumi Eps 198: Sesosok Bayangan dari Angkasa

Eps 198: Sesosok Bayangan dari Angkasa

Para penyamun terbang ini mungkin tidak berbicara dalam bahasa Negeri Atap Langit, tetapi ilm u perang Sun Tzu tentu merupakan satu-satunya ilmu perang yang barangkali saja dalam bentuk kitab terjemahan bahasa Tibet beredar di wilayah ini. Sun Tzu menulis kitab Seni Perang pada Masa Musim Semi dan Musim Gugur, setidaknya 1200 tahun sebelum masa Wangsa Tang sekarang ini. Tidak aneh jika para panglima pasukan tentara Kerajaan T ibet sebagai musuh bebuyutan Negeri Atap Langit merasa wajib menguasainya pula dari kitab terjemahan berbahasa Tibet, dan dari sini hanya soal waktu untuk mencapai pedalaman, untuk dibaca atau dibacakan kepada setiap orang yang merasa berkepentingan menguasai siasat atau seni perang.

Demikianlah para penyamunterbang ini tidak maju menyerang meski telah melakukan kepungan. Golok Karat mengambil kesempatan ini untuk berbicara dalam bahasa Tibet. Aku yang telah diajarinya berbahasa Tibet sepanjang perjalanan tentu susah payah berusaha menangkap perbincangannya, tetapi dapat juga kuperkirakan maksudnya.

''Kami bukan pedagang yang membawa banyak barang berharga,'' katanya, ''tidak ada gunanya merampok kami yang miskin ini.''

Kepala penyamun yang hampir seluruh tubuh dan kepalanya tertutup bulu tebal itu mendengus, matanya menatap dengan tajam.

''Oh, kami tentu saja bisa membedakan antara pedagang kaya dan pengembara miskin gelandangan seperti kalian,'' katanya.

''Jadi apalagi yang mesti membuat kalian mesti menahan kami di sini,'' tukas Golok Karat, ''teman-teman kalian mati dengan adil, mereka menyerang kami dan kami harus membela diri.''

Kepala penyamun itu meludah.

''Hmhh! Bahasa pendekar! Kami penyamun, tidak peduli dengan keadilan mana pun...''

''Jadi kenapa kalian menyerang kami yang tidak berurusan dengan kalian?'' ''Tidak berurusan dengan kami? Apa yang kalian kerjakan di wilayah ini?''

Golok Karat menghela napas.

''Apa yang kalian curigai dari kami? Kami bermaksud mencari Mahaguru Kupu-Kupu Hitam.''

HAMPIR serentak para penyamun ini mengangkat senjatanya, seperti siap untuk bertarung kembali.

''Mencari Mahaguru Kupu-kupu Hitam? Untuk apa?'' Golok Karat cepat sekali menjawab dengan mantap. ''Kami datang dari jauh untuk belajar ilmu s ilat.''

Mendadak kepala penyamun untuk menunjuk kami dengan goloknya.

''Penyusup! Tangkap mereka!''

Aku belum tahu apa yang akan mereka lakukan ketika suatu jala yang liat tiba-tiba saja sudah menangkupi kami. Mereka sudah biasa melakukan penangkapan dengan jala seperti ini rupanya. Dengan tarikan serentak, kami seperti sudah terkurung dalam karung.

''Belajar silat kalian bilang? Mahaguru Kupu-kupu Hitam tidak pernah menerima murid. Siapa pun yang mengaku ingin menjadi murid selama ini, pada akhirnya selalu mencuri kitab dan mati digantung.''

Golok Karat mengayunkan goloknya berusaha membedah jala liat ini, tetapi jangankan terbedah, tergores pun tidak sama sekali. Tidak ada lagi yang dapat kulakukan dengan masih berpura-pura menjadi seorang awam seperti sekarang.

''Kami benar-benar ingin berguru!'' Golok Karat berteriak dengan marah dari dalam jala, ''Siapa kalian yang ikut mencampuri urusan kami?'' ''Mencampuri? Semua hal yang berhubungan dengan Mahaguru Kupu-kupu Hitam adalah urusan kami! Kalian akan kami tawan dan hadapkan kepada Mahaguru Kupu-kupu Hitam! Janganlah menyesal bahwa pikiran mencuri Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam itu pernah berada di kepala kalian!''

Siapakah orang-orang ini? Jika mereka memang para penyamun terbang seperti mereka akui sendiri, dan Mahaguru Kupu-kupu Hitam memang tidak pernah menerima murid, apakah hubungan di antara mereka? Aku hanya teringat cerita Mahaguru Kupu-kupu tentang adik seperguruan yang juga adik kandungnya itu, bahwa tanpa Pengantar dan Cara Membaca Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam maka ilmu silat yang dipelajarinya langsung dari Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam akan memberikan pengaruh buruk. Dalam hal Mahaguru Kupu-kupu Hitam, menurut kakaknya itu, ia menjadi kejam sekali, yang menjadikan pembunuhan sebagai kesenangan, dan bukan kesepakatan terhormat dalam pertarungan antara para pendekar.

Mungkinkah pengaruh buruk itu adalah menjadi semacam pelindung dari para penyamun? Bukanlah cerita baru jika seseorang yang semula menjadikan penguasaan ilmu silat sebagai tujuan hidupnya, kemudian juga tergoda untuk menikmati kesenangan memiliki harta benda, kekuasaan, dan wanita...

Mereka sedang berusaha meringkus dan mengangkut diri kami seperti babi hutan tangkapan, ketika dalam keadaan terkapar, di antara lubang-lubang tali temali jala, kulihat dari angkasa sesosok bayangan meluncur di atas bentangan kulit selancar ke arah kami.

Bayangan ini berkelebat sebagaimana layaknya pendekar silat. Sepuluh orang terpental seketika, ke udara maupun menggelinding ke bawah terguling-guling di atas salju menuruni tebing untuk akhirnya melayang ke jurang, dengan luka sayatan pedang di dada maupun pukulan ke dada yang membuat korbannya memuntahkan darah.

Pertarungan berlangsung cepat diiringi teriakan-teriakan, mungkin makian, berbahasa Tibet yang tidak kumengerti. Pedangnya berkelebat cepat berkilat-kilat dalam cahaya matahari membuat lawan-lawannya kebingungan apakah yang berkilat menyambar itu pantulan cahaya dari pedang ataukah pedang itu sendiri, dan tentu saja kesadaran akan terlambat dalam pertarungan dengan gerak berkelebat serba cepat, amat sangat cepat, bagaikan tiada lagi yang bisa lebih cepat, sehingga barangkali baru akan tiba hanya ketika nyawanya lepas dan melihat tubuhnya ambruk ke atas salju sambil menyemburkan darah.

Sepuluh orang lagi tewas dan kini tinggal sepuluh orang lagi mengepungnya. Sekarang terlihat jelas sosok yang tiba dari angkasa dengan alat se lancar angin yang terbuat dari bentangan kulit itu. Tentu saja aku dan Golok Karat terkejut.

''Lihat! Anak pemilik kedai!''

Memang, dialah anak perempuan pemilik kedai itu! Baru kuperhatikan betapa busananya memang ringkas seperti pesilat. Rambutnya seperti dipotong dengan tutup batok di atas kepalanya, bagaikan tirai melambai-lambai menutupi dahi. Mereka saling bertukar kata dengan cepat, sehingga dengan pengetahuan bahasa Tibet yang masih amat sedikit aku tidak bisa mengikutinya sama sekali.

"IA mengusir mereka," kata Golok Karat, "bahkan mengancam akan membunuhnya jika melihat mereka masih berkeliaran lagi."

Perempuan pendekar itu masih sangat remaja, tapi kulihat nyalinya besar sekali. Ia tampak memainkan pedangnya dalam suatu jurus yang indah, untuk berhenti dalam suatu kuda- kuda yang menunjukkan betapa dirinya siap untuk bertarung kembali. Namun para penyamun yang sudah penuh dengan luka pada tubuhnya itu, tampaknya justru menghindari pertarungan sampai mati. Seperti juga telah diakui sendiri, tentang kehormatan para pendekar mereka tidak peduli.

Mereka lantas melangkah pergi tanpa bisa terbang lagi. Alat dan perlengkapan mereka sebagian telah rusak dalam pertarungan, dan karena mereka tidak menguasai ilmu meringankan tubuh maka perlengkapan terbang mereka tidak dapat digunakan berboncengan.

Ia mengarahkan pedangnya ke arah jala yang meringkus kami dan seketika terpotong-potonglah jala itu terkulai ke samping. Kami berdua bangkit dan menjura. Golok Karat yang berbicara dengan bahasa Tibet bukan sebagai bahasa ibu, masih bisa kuikuti kata-katanya.

"Kami berdua pengembara lata mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Puan Pendekar yang mulia atas terselamatkannya nyawa," ujar Golok Karat, "sudilah kiranya memberikan kepada kami sekadar kehormatan untuk mengenal nama. Kami yang bodoh juga mohon maaf karena telah menjadi buta dan tidak mampu mengenali pelayan kedai sebagai pendekar perkasa."

Bahasa Tibet yang dikuasai Golok Karat sebenarnya tidak sebaik yang kupikir, mungkin itulah yang membuat perempuan pendekar remaja itu merasa lebih baik berbicara dalam bahasa Negeri Atap Langit saja!

Jadi ia sebetulnya mengerti! Begitu juga tentunya pemilik kedai yang menjadi ayahnya itu! Bukankah di kedainya waktu itu, ketika aku berbicara kepadanya dalam bahasa Negeri Atap Langit, ayahnya itu bersikap seperti tidak mengerti, sehingga Golok Karat yang menyampaikan maksudku dalam bahasa Tibet?

"Ah, Paman! Janganlah terlalu berlebihan! Sudah semestinya kita sesama manusia saling tolong menolong!" Perempuan pendekar itu seperti masih berumur 19 tahun. Namun aku mengingatkan diriku sendiri bahwa di pelosok seperti ini seseorang terpaksa menjadi dewasa lebih cepat dari seharusnya.

"Daku mendengar dari pemilik kedai itu...," katanya.

Berarti pemilik kedai itu bukan ayahnya! Aku mulai menangkap sesuatu yang sebetulnya telah menjadi firasatku.

"...bahwa kalian adalah pengembara yang bermaksud mempelajari ilmu silat dari Mahaguru Kupu-kupu Hitam, dan kami tahu betapa jalan ke sana sangatlah berbahaya. Bukan saja karena keadaan alamnya yang kadang-kadang menjadi sangat berat, tetapi juga karena kami tahu para penyamun terbang berkeliaran di s itu."

Tentu saja ia belum mengatakan semuanya. Namun betapa tiada terduga segenap perbincangan yang akan kudengar berikutnya.

"... tetapi sebetulnya daku ingin menyampaikan hal lain."

Golok Karat kembali menjura sembari menunduk dalam. "Dan apakah kiranya itu wahai perempuan pendekar yang

perkasa?"

Perempuan muda remaja itu tertawa.

"Sudahilah basa-basi ini Golok Karat," katanya, "daku biasa dipanggil Pedang Kilat."

Golok Karat mengangkat kepalanya dengan tersentak, matanya memandang dengan terpesona.

"Jadi Puan kiranya Pedang Kilat yang sangat tersohor itu! Alangkah beruntungnya nasib kami! Dise lamatkan dan bertemu muka dengan pendekar ternama pula!"

Kiranya nama itu memang sesuai dengan gerakan pedangnya yang begitu cepat seperti kilat. Namun bagiku yang lebih mengagumkan justru kemampuannya untuk menyembunyikan kependekarannya itu. Ketika perempuan muda ini berpura-pura menjadi anak pemilik kedai yang melayani kami, aku sama sekali tidak membaca gerakan apa pun yang menunjukkan dirinya berkemampuan sebagai Pedang Kilat.

Dalam dunia para pendekar, tempat para petarung selalu mencari lawan agar dapat mati dalam kesempurnaan itu, sebuah gerakan yang menunjukkan seseorang berilmu sangat tinggi, meskipun ia menutupinya, sudah lebih dari cukup membuat seseorang beralasan untuk langsung menyerangnya! Maka bagi seorang pendekar yang menghindar atau mengundurkan diri dari dunia persilatan, menyamar dalam dunia pekerjaan orang-orang awam saja belum cukup, karena tanpa mampu menutupi gerakannya yang serba terlatih dari pembacaan tajam, itu hanya mengundang tantangan, atau lebih buruk lagi serangan takterduga yang bukan takmungkin akan membunuhnya!

Semakin tinggi tingkat ilmu silat seseorang, semakin mampu ia menutupinya; tetapi tentu saja semakin tinggi ilmu silat seseorang maka semakin mampu pula ia menyingkap ketinggian ilm u silat seseorang yang disembunyikannya. Demikianlah dalam dunia para pendekar, pertarungan telah berlangsung jauh sebelum para petarung memasuki gelanggang pertarungan. Setiap langkah kaki dan set iap gerakan tangan bagi orang berilmu adalah kitab terbuka yang sangat jelas aksaranya.

Jadi kukira Pedang Kilat berilmu silat sangat tinggi, sehingga diriku takdapat menyingkap penyamarannya, tetapi masalahnya apakah Pedang Kilat mengetahui penyamaranku?

Namun kini Pedang Kilat menatap tajam kepadaku, meski ia berbicara kepada Golok Karat. "Dengarkanlah baik-baik tentang apa yang akan daku katakan ini," ujarnya tegas, "pikirkanlah kembali niat kalian berguru kepada Mahaguru Kupu-kupu Hitam itu."

Golok Karat tertegun. Aku yang sebenarnya tidak bermaksud menjadi murid, tetapi mencuri Kitab I lmu Silat Kupu-kupu Hitam, bersikap diam dan menunggu.

"Dan kenapakah kiranya itu, Puan pendekar?"

"Tindakkah dikau ketahui Golok Karat, bahwa Mahaguru Kupu-kupu Hitam itu sangat kejam, dan membunuh hanya demi kesenangan membunuh itu sendiri?"

"Daku memang pernah mendengarnya wahai Pendekar Pedang Kilat," sahut Golok Karat, "tetapi dalam dunia persilatan, kabar angin banyak sekali beredar, dan dalam hal berguru, sebaiknya kabar seperti itu tidaklah terlalu perlu diperhatikan lebih dulu."

"Itu memang benar Golok Karat, seorang murid rela melakukan apapun demi mendapatkan ilmu dari gurunya, tetapi ingatlah betapa tidak akan ada asap jika tidak ada api," kata Pedang Kilat dengan senyum tersembunyi.

Senyum tersembunyi! Aku melihatnya! Apakah perempuan pendekar yang disebut Pedang Kilat ini hanya menguji?

"Betapapun Mahaguru Kupu-kupu Hitam itu belum terkalahkan, wahai Pedang Kilat," kata Golok Karat yang lugu itu menunjukkan tekadnya, "dan kepada yang tiada terkalahkan itulah daku ingin belajar ilmu silat, di samping ingin kupelajari pula filsafat Zhuangzi."

Golok Karat telah menunjukkan dengan tepat, bahwa hanya pendekar yang menguasai Jurus Impian Kupu-kupu akan menguasai pula filsafat Zhuangzi, yang mempertanyakan apakah dirinya Kupu-kupu yang bermimpi sebagai Zhuangzi ataukah Zhuangzi yang bermimpi sebagai Kupu-kupu, dengan baik. Artinya tidak terbantah lagi betapa ia harus mencari Mahaguru Kupu-kupu Hitam yang memiliki Kitab I lmu Silat Kupu-kupu Hitam, dan bukan Mahaguru Kupu-kupu yang meskipun telah mendirikan Perguruan Kupu-kupu sebetulnya belum menamatkan seluruh isi kitab ilmu silat tersebut.

Namun Mahaguru Kupu-kupu Hitam telah mempelajarinya tanpa Pengantar dan Cara Membaca Kitab Ilmu Silat Kupu- kupu Hitam. Menurut Mahaguru Kupu-kupu, inilah yang membuat jalan pembelajarannya tersesat, dan bukannya menjadi cendekia sebagai pendekar, melainkan menjadi pembunuh kejam.

Alangkah sulitnya mencapai kesempurnaan!

Kukira Golok Karat tidak mengetahui latar belakang cerita itu dan kukira Pedang Kilat juga tidak, tetapi justru yang menjadi pengetahuan Pedang Kilat inilah yang sekarang menjadi masalah.

"Terserahlah kepadamu jika ingin mencari kematian, wahai Golok Karat," ujar Pedang Kilat, yang dengan pedangnya tiba- tiba menuding diriku, "tetapi kawanmu yang mengaku tidak mempunyai nama ini harus bertarung melawanku!"

Golok Karat sangat terperanjat, diriku meskipun seperti telah berfirasat pun tetap juga terperanjat. Jika aku tidak dapat menyingkapkan samarannya sebagai orang awam, sementara dirinya dapat mengungkap samaranku, tidakkah itu berarti ilm u silat perempuan pendekar berusia 19 tahun ini lebih tinggi dariku? Bagiku itu agak aneh, karena meskipun ia, seperti namanya sebagai Pedang Kilat, mampu bergerak secepat kilat, aku mampu bergerak lebih cepat dari kilat.

"Ia telah berusaha mengelabui kita semua!" Pedang Kilat berkata dengan geram.

"Apa maksud Puan?"

Golok Karat ternganga sambil melihat diriku. Betapa ia tidak akan terkejut, jika selama ini mungkin saja ia merasa telah menjadi pemandu dan pelindung diriku, di daerah yang tentunya memang sangat asing bagiku?

''DAKU mengikuti kalian,'' ujar Pedang Kilat, ''sebenarnya untuk melindungi kalian dari ancaman bahaya penyamun terbang, sambil memperingatkan tentang apa yang akan kalian hadapi jika tetap bersemangat untuk mencari Mahaguru Kupu-kupu Hitam. Namun rupanya aku telah membuang tenaga sia-sia!''

''Dan kenapakah itu Puan?''

''Golok Karat, tidakkah dikau tahu betapa nyawamu telah berkali-kali dise lamatkan oleh orang asing tanpa nama tetapi berilmu sangat tinggi ini?''

Golok Karat   semakin   ternganga,   menoleh   kepadaku.

Pedang Kilat terus berbicara.

''Setiap kali pedang karat dikau itu membabat seorang penyamun, sebetulnya selalu ada senjata penyamun lain yang siap membabatmu pula, tetapi mereka selalu luput dan dikau mengira dirimu se lalu beruntung bukan? Ada yang luput, ada yang mendadak pedangnya terpental, ada yang mendadak terpeleset ke arah golokmu yang berayun, dan ada pula yang mendadak tidak bergerak ketika meluncur dari atas. Tidakkah itu sebetulnya mencurigakan?''

Golok Karat menatapku dengan pandangan tidak percaya. ''Sebetulnya ia berusaha keras untuk tetap tampak bodoh

dan segala sesuatunya berjalan seperti biasa,'' Pedang Kilat masih mengambung, ''tetapi serangan para penyamun terbang bukanlah sekadar serangan biasa.''

Aku harus berpikir cepat, tetapi ini sama sekali bukan soal yang mudah. Semula sangat pentinglah bagiku mendapat jalan masuk ke lingkaran dalam Mahaguru Kupu-kupu Hitam untuk mendekatkan diriku kepada kitab yang harus kucuri itu, tetapi kini terbuka kemungkinan Golok Karat memahami diriku sebagai orang yang akan memanfaatkannya. Artinya jalan terbaik adalah tetap berpura-pura bodoh.

''Daku sama sekali tidak mengerti...''

Golok Karat seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

''Dikau memang tidak mungkin mengetahuinya, Golok Karat, karena ia sangat pandai berpura-pura, padahal kecepatannya bergerak bukan saja lebih cepat dari pikiran, melainkan lebih cepat dari cepat, bagaimana mungkin dikau, dengan tingkat ilmu silat yang masih mengandalkan tenaga kasar itu, akan bisa mengerti? Kita semua telah dikelabuinya, wahai Golok Karat!''

Akhirnya Golok Karat menatapku.

''Benarkah wahai saudaraku yang tiada bernama, tolong katakanlah yang sejujurnya.''

Kami telah berjalan bersama selama sepuluh hari menghadapi keganasan alam bersama. Bukan hanya suhu dingin luar biasa di atas gunung seperti ini, yang terutama tentulah menjadi masalah bagiku, melainkan juga serangan binatang buas, longsoran salju, dan terakhir kali serbuan penyamun terbang, telah kami hadapi atas nama kehendak mencari guru yang sama bersama-sama. Maka bukan hanya suratan nasib sebagai dua pengembara yang disatukan jalannya, melainkan kesamaan cita-cita mempelajari ilmu silat yang sama itulah yang semestinya menyatukan kami lebih dari saudara.

Ia tidak layak mengalami kekecewaan begitu rupa. Aku pun menggeleng.

''Daku tidak memiliki kemampuan semacam itu Golok Karat, dikau pun tahu itu,'' kataku, ''daku tidak mengerti apa yang dikatakan Puan Pendekar ini!'' Pedang Kilat mendadak berkelebat, meski aku mampu melihatnya sebagai gerak yang sangat lambat. Betapapun aku bersyukur, karena bukan di kedai itulah Pedang Kilat mampu menyingkap penyamaranku, ketika aku tidak mampu mengungkap penyamarannya, melainkan dalam pertarungan melawan para penyamun terbang itu.

Benarkah yang dikatakan Pedang Kilat, bahwa diriku secara tersembunyi telah membantu, bahkan menyelamatkan nyawa Golok Karat, dan ketika itulah Pedang Kilat dapat membaca gerakanku?

Sebetulnya tidak, ketika kami bertarung melawan para penyamun terbang itu, bukan saja Pedang Kilat takterlihat, dan bahkan takmungkin mengikuti kami tanpa kuketahui, mengingat ilmu silatnya yang tidak akan lebih tinggi dari ilmu silatku; tetapi juga aku tidak pernah memainkan ilmu silat lebih tinggi dari ilmu silat Golok Karat, yakni ilmu silat tanpa tenaga dalam. Namun memang jangan terlalu cepat menilai rendah ilmu silat dengan tenaga kasar, karena dengan tiadanya tenaga dalam maupun ilmu meringankan tubuh yang membuat seseorang seolah-olah dengan mudahnya dapat berkelebat secepat kilat, maka mereka yang berilmu silat dengan tenaga kasar dituntut untuk membuat penalarannya jauh lebih berdaya.

Meskipun tenaga dalam dapat melipat gandakan daya tenaga seseorang, tanpa siasat terbaik maka kelebihan daya itu tiada akan ada gunanya sama sekali, karena memang adalah akal dan tiada lain se lain akal yang telah membuat siput dan kura-kura mengalahkan kijang dan kelinci dalam lomba lari bukan? Itulah sebetulnya yang kulakukan ketika menghadapi serangan bertubi-tubi para penyamun terbang dengan ilmu silat setingkat yang dimiliki Golok Karat.

SIASAT yang tepat betapapun telah dapat mengunggulkan pihak yang tampaknya lemah terhadap pihak yang berlebihan daya. Sementara itu, kemampuan Golok Karat sendiri, meski tidak bertenaga dalam, sama sekali tidaklah rendah. Jadi tanpa tenaga dalam pula dengan tongkat dahan pohon siong dapat kuisi set iap kekosongan yang diberikan jurus-jurus Golok Karat, sehingga bukan saja pertahanan kami tidak dapat ditembus, tetapi bahkan ternyata mampu membalas dan melumpuhkan para penyamun terbang itu pula. Laozi berkata:

pendekar yang terampil melakukan serangan penentuan dan berhenti

ia tidak melanjutkan serangan untuk menunjukkan keunggulan

ia akan menyerang, tetapi menjaga agar tidak sombong

atas keberhasilannya

ia menyerang sebagai kebutuhan bukan kehendak menjadi unggul

Di sanalah memang kata kuncinya, penentuan dan kebutuhan, sehingga pertahanan dan serangan kami menjadi serba menentukan dan penuh dengan ketepatan. Golok Karat dengan tenaga kasarnya yang besar, dan jurus-jurus ilmu pedangnya yang sederhana, justru dengan begitu melaksanakan hanya yang dibutuhkan saja, dengan gerakan yang menentukan. Aku hanya tinggal menyesuaikan diri sahaja. Agaknya keterpukauan atas keunggulan pihak yang dianggap lemah itu, membuat Pedang Kilat mendapat pembenaran atas kecurigaannya yang lain.

Aku teringat ungkapan wajahnya ketika berbicara dengan pemilik kedai, yang semula kukira ayahnya itu, setelah Golok Karat menjelaskan dalam bahasa Tibet bahwa diriku adalah seorang pengembara tanpa nama yang berasal dari Ho-ling. Waktu itu karena tidak mengetahui sama sekali bahasa T ibet, aku tidak dapat menduga makna pandangan mereka. Aku memang memikirkan sesuatu, setelah Golok Karat menceritakan percakapannya dengan pemilik kedai yang bertanya tentang diriku, tetapi baru dapat melanjutkan apa yang menyeruak dalam kepala setelah Pedang Kilat menyatakan kecurigaan atas ilmu silatku.

Kabar angin dari dunia persilatan beredar dari kedai ke kedai karena dihubungkan oleh para pengembara, dan tidaklah mustahil jika kabar tentang munculnya seorang pendekar asing yang tidak memiliki nama dan telah menerbangkan banyak sekali nyawa sepanjang jalur dari Thang Long sampai ke Celah Dinding Berlian, sampai pula ke tempat ini. Mungkin juga mereka telah mendengarnya dalam pengembaraan mereka sendiri. Ini berarti kemungkinan besar Pedang Kilat mengira diriku adalah diriku! Dengan dugaan seperti itu, melihat kami berdua takjuga bisa dikalahkan oleh para penyamun terbang, apalagi dengan cara yang mangkus dan sangkil seperti itu, hanyalah membenarkan dugaannya!

Ia berkelebat sambil berteriak.

"Akuilah bahwa dirimu adalah Pendekar Tanpa Nama!"

Pedang jian berkilat itu ujungnya terarah langsung ke tenggorokanku! Jika aku tetap berpura-pura dalam penyamaranku, ujung pedang itu akan segera menembusnya!

(Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar