Nagabumi Eps 194: Menuju Shangri-La

Eps 194: Menuju Shangri-La

AKU tidak mempunyai pilihan lain se lain memenuhi tuntutan Mahaguru Kupu-kupu untuk mencuri Kitab I lmu Silat Kupu-kupu Hitam nun jauh di Shangri-La sana, karena Yan Zi Si Walet maupun Elang Merah telah dijadikannya sandera.

"TEMPAT itu memang sangat jauh dari sini, itulah yang membuat diriku tetap saja terlambat menghambat pembantaian yang dikau lakukan terhadap murid-muridku, dan kini dikaulah yang harus menanggungnya, supaya setidak- tidaknya dikau alami perasaan semacam itu, yakni perasaan membiarkan seseorang yang telah memberikan hidupnya kepadamu tewas teraniaya begitu saja tanpa bisa menolongnya. Saat aku berkelebat secepat kilat air mataku tumpah membayangkan nasib murid-muridku sampai a ir mata itu membeku di pipiku ketika me lewati gunung-gunung sa lju, hanya untuk pecah berhamburan kemudian sebab panas yang timbul dari gesekan. Kini rasakanlah betapa kedua perempuan ini hidup dan matinya tergantung dari dirimu saja, wahai Pendekar Tanpa Nama, yang jika tidak berhasil dikau penuhi tuntutanku, maka bolehlah dikau menganggap bahwa dikaulah yang membunuh mereka berdua!"

Tentu saja ini siasat yang cukup licik, yang mungkin saja timbul dari dendam, tetapi kurasakan padanya terdapat sesuatu yang disembunyikan.

"Daku tidak bisa memberi dikau waktu lebih lama dari tiga puluh hari," kata Mahaguru Kupu-kupu itu, "jika pada hari ketiga puluh dikau belum datang membawa Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam, mungkin dikau tidak perlu datang seterusnya. Pada hari ketig apuluh itu kutunggu dikau sampai senja tiba. Begitu matahari tenggelam di balik gunung, saat itulah ular-ular yang mengikatnya sekarang akan melibat dengan begitu eratnya, sambil merembeskan racun ke dalam pori-pori kulitnya, dan jika sudah begitu maka tiada satu kekuasaan akan bisa menolongnya lagi. Mantraku telah menguncinya seperti itu, dan hanya jika dirimu muncul akan kurapal mantra pembuka kuncinya.

"Jadi pergilah Pendekar Tanpa Nama, dan segeralah kembali!"

Aku melesat tanpa menunggangi kudaku, karena setelah kuminta agar belitan ular pada mulut Elang Merah dibuka sebentar untuk menanyakan jalan, dikatakan bahwa jika mengandalkan kuda belum tentu aku akan dapat kembali lagi dalam empat bulan. Shangri-La memang jauh sekali. Seperti dijelaskan Elang Merah, aku tidak perlu turun melewati Y uxi ke utara lagi, melainkan berbelok saja melewati puncak-puncak Pegunungan Hengduan, jadi ke barat menuju Baoshan, lantas menyusuri Sungai Nu ke utara melewati Lluku, Lushui, Chenggah, Fugong, dan Gongshan, untuk berakhir di Gunung Gaoligong.

Dari sini terdapat semacam batu loncatan untuk mencapai Shangri-La, yakni melalui setidak-tidaknya tiga puncak gunung batu, yang sebetulnya telah secara berdampingan dan memanjang dibentuk oleh tiga sungai, yakni Sungai Nu, Sungai Lancang, dan Sungai Jinsha, menjadi tiga puncak yang tinggi masing-masingnya mencapai 10.000 kaki. Di sini, aku harus melenting-lenting dari satu puncak ke puncak lain dari barat ke timur melalui daerah bersalju di Gunung Salju Ba ima- Melli, dan barulah turun ke selatan menuju Kuil Kupu-kupu Hitam di Shangri-La yang terletak di bawah di antara Gunung Merah, Danau Bita, Gunung Salju Haba, dan Gunung Qianhu.

Bukan hanya jarak saja yang diperhitungkan Elang Merah, melainkan juga segala halangan di jalan, berangkat maupun kembalinya, terutama bahwa mengambil Kitab I lmu Silat Kupu-kupu Hitam dari tangan yang menguasainya, yakni Mahaguru Kupu-kupu tentu tidaklah menjadi mudah. Adapun jika berhasil, aku tidak perlu kembali ke tempat yang kutinggalkan ini, karena Mahaguru Kupu-kupu mengatakan bahwa dirinya akan mengirimkan pesan, ke manakah kiranya kitab itu harus kuantar.

"Karena daku tidak mungkin menunggu dikau selama tiga puluh bersama kedua perempuan ini," katanya lagi.

"Jadi di mana?" tanyaku waktu itu. Mahaguru Kupu-kupu hanya tersenyum.

"Berangkatlah segera Pendekar Tanpa Nama," katanya pula, "tiga puluh hari tersebut dimulai hari ini!" Aku melirik kedua perempuan kawan seperjalananku itu sebentar, dan tahu betapa aku akan tersiksa oleh rasa bersalah selamanya jika tidak bisa membebaskan mereka. Keduanya jelas terdidik sebagai seorang pendekar, dan karena itu ketika belitan ular di mulutnya direnggangkan sementara agar bisa berbicara kepadaku, Elang Merah bahkan berkata, "Jangan pedulikan diriku! Bunuh saja jahanam licik ini! Daku tidak takut mati!" Sementara Yan Zi tampak mengangguk- angguk menyetujuinya pula. Namun bertemu tatapan kedua pasang mata cerlang cemerlang seperti itu, yang betapapun mengingatkan kepada suara tawa ceria yang telah mengisi kesunyian gunung-gunung batu selama ini, kutahu betapa diriku memang tidak punya pilihan lain.

Mahaguru Kupu-kupu sebetulnya juga menuntut satu hal lagi.

"Jika dikau berhasil membawa Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam, wahai Pendekar Tanpa Nama, daku baru akan membebaskan kedua perempuan dengan satu syarat lagi."

ITU dikatakan sebelum mempersilakan diriku berangkat. "Syarat apakah itu Yang Mulia Mahaguru Kupu-kupu?"

Dengan cara menyebut namanya yang seperti itu, dengan tekanan nada yang tentunya tidak dapat diperdengarkan di sini, sebenarnya itu berarti aku sudah tidak menghargainya lagi.

"Bahwa dikau harus bertarung denganku dahulu, seminggu sejak dikau serahkan kitab itu kepadaku," katanya, "kalah maupun menang, mati maupun hidup, keduanya pasti daku bebaskan."

"Dan sebelum kita bertarung, keduanya masih berada di tangan Yang Mulia Mahaguru?"

Kuingat lagi saat itu pun ia hanya tersenyum. Ia memang tak perlu mengatakan itu. Dalam hati aku sudah berjanji akan membunuhnya meskipun ia tidak menantangku bertarung dan membebaskan keduanya. Apalagi jika terjadi sesuatu pada diri mereka.

Janganlah khawatir Mahaguru Kupu-kupu, aku menjawab dalam hati, meskipun dikau menggunakan waktu seminggu untuk menamatkan Kitab Ilmu Silat Kupu-kupu Hitam, aku akan tetap membunuhmu!

(Oo-dwkz-oO)

NAMUN kini bukanlah Mahaguru Kupu-kupu yang akan kuhadapi, melainkan Mahaguru Kupu-kupu Hitam. Namun jangankan berhadapan dengan kitab atau Mahaguru Kupu- kupu Hitam, karena menemukan Shangri-La itu sendiri, bagi orang asing seperti diriku, adalah juga suatu persoalan.

Memang benar, Elang Merah telah memberikan urutan nama-nama tempat yang tidak bisa lebih tepat lagi, karena semua wilayah itu telah dikenalnya, sebagai pendekar asal Tibet yang selalu mengembara ke mana-mana. Betapapun, Elang Merah juga mengetahui betapa perjalanan melalui darat amatlah sulit dan beratnya, sehingga tampaklah mustahil untuk berangkat berkuda ke Shangri-La melalui puncak- puncak gunung bersa lju dan kembali ke tempat yang belum ditentukan sekarang itu dalam tiga puluh hari. Maka Elang Merah pun menyebutkan terdapatnya suatu keadaan alam yang mungkin saja dapat kupertimbangkan sebagai semacam jalan pintas.

Itulah kenyataan bahwa terbentuknya Tiga Sungai Sejajar tadi oleh gerusan angin mus im menjadikan terdapatnya puncak-puncak tebing menjulang ke langit antara 10.000 sampai 16.000 kaki. Begitu tingginya sehingga perbedaan cuaca dari bawah ke atas bisa sangat jauh, dari sekadar dingin seperti di gunung sampai membekukan tulang seperti di puncak bersalju. Barulah aku sadar, Elang Merah dapat menceritakannya dengan jelas karena wilayah itu berada di tepi wilayah Kerajaan Tibet, dekat dengan tempat para bhiksu melaksanakan upacara mengitari kaki Gunung Kawagebo sebagai bagian dari kaki Hima laya.

Begitulah para bhiksu Tibet dengan jubahnya yang merah menganggap Shangri-La sebagai perwujudan Shambala, sebuah surga di dunia tempat tidak terdapat perang, tidak ada penderitaan, tempat orang-orang hidup dengan damai dan serasi, dalam dhyana dan latihan diri yang keras. Dalam kitab- kitab Buddha disebutkan betapa Shambala itu berada di balik Hima laya di bawah suatu gunung kristal yang penghuninya tak terpengaruh godaan apa pun dari dunia di luarnya. Mengapakah pula kini terdapat orang seperti Mahaguru Kupu- kupu Hitam yang telah membunuh begitu banyak orang itu di sana?

Aku melesat dan melesat, berkelebat semakin cepat. Kukira Elang Merah, dengan segala petunjuknya untuk menemukan Shangri-La, memang tidak bermaksud menganjurkan diriku menuju ke tempat yang terpencil itu melalui segala jalan sempit dengan mengikuti sungai, maupun berkelak-kelok melalui gunung-gunung batu yang serba tinggi dan curam. Melainkan justru melalui angin, angin musim itu, yang telah membuat celah-celah di atas Tiga Sungai Sejajar sebagai dinding-dinding batu tinggi menjulang. Aku akan bisa tiba dengan segera ke puncak-puncak gunung batu yang memisahkan T iga Sungai Sejajar itu melalui jalan angin!

Barulah kusadari betapa Elang Merah memang tak mungkin tidak mengenal wilayah itu, sebagai perempuan pendekar Elang Merah yang dari puncak di ketinggian tinggal melenting dan membentangkan tangannya, seperti elang membentangkan sayapnya melayang dalam diam, dengan keterarahan tujuan yang dihela pemusatan batin dan pikiran.

KEMAMPUAN melayang dari puncak ke puncak di ketinggian dalam berbagai perjalanan, membuat Elang Merah pun sempat memperingatkan diriku akan terdapatnya pula para penyamun terbang, yang berasal dari berbagai suku kecil di wilayah yang bagaikan tak bertuan, yang membuat setiap suku ingin berkuasa di wilayahnya masing-masing, bahkan pada gilirannya tidak jarang jika kemudian saling menyerang.

''Berhati-hatilah dalam perjalanan di udara, duhai Pendekar Tanpa Nama,'' ujar Elang Merah penuh rasa khawatir, ''sering terjadi pertempuran di udara antara pasukan terbang berbagai suku di s itu, dan pertarungannya berlangsung amat kejam.''

Di luar orang-orang Tibet, juga tinggal di sana suku-suku Y i, Han, Naxi, dan Lisu. Disebutkan karena alam Tiga Sungai Sejajar memang sangat berat, maka suku-suku yang hidup di sekitarnya memang telah mengembangkan keterampilan yang luar biasa dalam perjalanan melalui udara. Bukan sekadar betapa untuk menyeberang dari puncak gunung batu yang satu ke puncak gunung batu yang lain digunakan hanya sepotong tali, tetapi dengan semacam roda pada tali itu yang dibebani tali-temali juga untuk membawa orang, keledai, bayi, maupun barang-barang yang diseberangkan, sementara nun jauh di bawahnya dari puncak ke puncak terdengar tiga sungai mengaum; melainkan juga bahwa mereka ciptakan sejumlah alat terbang, yang sedikit banyak bisa membawa setiap orang yang mampu mengendalikannya untuk meluncur, melayang, bahkan berselancar, semuanya seperti terbang, dari tempat satu ke tempat lain di wilayah Tiga Sungai Sejajar. Wilayah yang harus kulalui jika ingin sampai ke Shangri-La secepatnya.

Penduduk wilayah itu, bahkan juga kanak-kanak, sudah biasa terlihat berdiri di tepi jurang, lantas meloncat seperti mau bunuh diri, padahal tidak, karena mereka sebetulnya meloncat untuk me lakukan perjalanan di udara. Setelah meloncat, kaki yang semula di bawah itu akan naik ke belakang sementara tubuh bagian atas merendah sampai seluruh tubuhnya mendatar, lantas melayang maju ke depan, karena ternyata tubuh manusia yang melayang itu sebetulnya tengkurap pada suatu pentangan kulit yang dapat dikendalikan ke arah mana pun, selama daya dorong angin kencang yang selalu bertiup di Tiga Sungai Sejajar itu digunakan dengan baik.

Namun di antara penduduk yang melayang dari kampung ke kampung, yang di berbagai celah puncak-puncak menjulang itu bertebaran seperti sarang burung walet, terdapat juga yang mengenakan perangkat seperti sayap, yang bukannya mengepak, melainkan bagaikan membentang, sementara kedua tangan yang bebas dapat mengerjakan sesuatu yang lain, seperti memanah atau melemparkan tombak. Diriwayatkan suatu ketika sepasukan penyerbu mengitari sebuah kampung yang rumah-rumahnya menempel dan bertebaran seperti sarang burung walet di sekeliling puncak tiang menjulang itu. Sembari terbang berputar-putar mengitari puncak gunung batu, para penyerbu melepaskan anak-anak panah berapi yang segera membuat rumah-rumah itu menyala. Para penyerbu bersayap itu lantas melemparkan pula tombaknya kepada mereka yang berlarian di jalan-jalan sempit atau bergelantungan dari ke tali, sampai penduduknya nyaris musnah.

Pada saat itulah pasukan penjaga keamanan kampung yang gagah berani berloncatan dari tempat-tempat tersembunyi, langsung mendarat pada punggung para penyerbu itu, untuk langsung menggorok dan menikamnya, sehingga ketika para manusia terbang itu menjadi oleng dan meluncur jatuh ke bawah, yang berada di punggungnya pun tentu ikut me layang jatuh, bahkan seperti sengaja melekat erat untuk memastikan betapa para penyerbu itu betul-betul telah perlaya. Diceritakan bagaimana darah dari para penyerbu yang digorok dan ditikam itu menggerojok jatuh ke bawah seperti air keluar dari mulut makara. Dengan latar belakang seperti itu, tentulah hanya soal waktu untuk sampai kepada cerita munculnya para penyamun terbang, yang dari atas bisa menyambar seperti elang. Para penyamun terbang ini bahkan cukup kejam untuk menyambar jiwa maupun barang orang-orang awam yang sedang susah payah menyeberang di atas sungai dengan bergantung hanya pada tali.

Aku melesat dengan Jurus Naga Berlari di Atas Langit, dan meski belum sampai ke wilayah Tiga Sungai Sejajar, segala cerita yang telanjur kudengar, ada atau tidak dalam kenyataan, muncul dalam bayanganku dengan sangat amat terlalu jelas. Orang-orang yang berselancar di udara dengan pentangan kulit binatang itu m isalnya, ternyata sudah tidak lagi tengkurap di atasnya, melainkan justru berdiri di atas pentangan kulit, yang telah menjadi semakin sempit dengan tonjolan pengendali di bawahnya. Para peselancar udara pergi dari kampung satu ke kampung lain antarpuncak gunung batu sambil menggunakan pentangan kulit itu, padahal mereka sungguh-sungguh awam!

SAY AP-SAY APNYA pun telah semakin sempurna, sehingga tidak lagi tampak sebagai alat atau perlengkapan terbang, melainkan nyaris seperti bagian tubuh manusia, yakni seperti manusia terbang itu sendiri. Tentu saja aku lantas teringat kepada Pangeran Kelelawar dalam pertempuran di bawah Puncak Tiga Rembulan di Tanah Khmer. Barangkali dialah manusia terbang pertama yang kusaksikan melenting-lenting di udara tanpa pernah menyentuh tanah sama sekali, karena dari pergelangan tangan sampai pinggangnya tumbuh selaput kulit yang membuatnya mampu bergerak di udara seperti kelelewar. Namun jika Pangeran Kelelawar adalah seorang pendekar, yang mendapatkan kemampuannya dari pendalaman ilmu s ilat dan samadhi bergantung dengan kepala di bawah seperti kelelawar, maka suku-suku yang bermukim di sekitar Tiga Sungai Sejajar ini adalah orang-orang awam sahaja, tetapi yang menggunakan otaknya untuk mengatasi lingkungan alam yang sangat keras. Apakah jadinya jika kemudian orang-orang awam ini juga belajar ilmu s ilat? Aku melaju dalam angin, mula-mula memang seperti berlari di atas langit, tetapi kemudian meluncur seperti ikan lumba- lumba, karena hanya angin yang dapat kuandalkan bagaikan suatu aliran sungai bagi pergerakan ikan. Puncak-puncak gunung, dinding-dinding tebing, hutan, lembah, serta jurang yang dalam berkelebat ke belakang seperti bayangan dan hanya bayangan karena tiada lain yang lebih bayangan daripada bayangan, yang sesungguhnyalah, setidaknya, merupakan bayangan dari kenyataan!

Tentu aku telah bergerak amat sangat cepat, bahkan lebih cepat dari cepat, tetapi justru karena mengira akan terlalu cepat sampai ke Sungai T iga Sejajar, aku pun turun ke bawah, ke arah Sungai Nu, dan kembali berlari di atas sungai yang kini meruapkan kabut yang amat tipis di permukaannya, sekadar menghindari pertemuan dengan para manusia terbang, dan kekhawatiranku itu pun ternyata terbukti.

Begitu aku turun di atasku kulihat melesat dua sosok bersayap. Mengepak seperti burung raksasa, lantas menghilang, tetapi sempat kudengar mereka bercakap-cakap. Aku tidak mengerti sepatah kata pun kata-kata mereka! Mungkinkah mereka ini para penyamun terbang? Namun tidakkah jika penyamun tentunya mencegat dan menyambarku, dan bukannya aku mengintai mereka dari dalam kabut tanpa terlihat seperti ini?

Kabut di atas sungai ini se lalu bergerak seperti gumpalan asap, sementara di tepi sungai segala ranting dan dahan dise laputi air membeku yang disebut es. Segala pemandangan memutih, tetapi gema suara sungai bagaikan mengaum dipantulkan dinding-dinding batu.

Mendadak kurasakan desiran!

Satu, dua, tiga, berpuluh-puluh desiran anak panah melesat ke arahku! Aku pun melenting ke atas dan panah-panah itu tidak mengenai apa pun. Aku melenting sampai berada di atas kabut, dan tidak turun kembali sebelum memastikan betapa aku tidak melihat apa pun kecuali segala tanaman di tepi sungai yang dise limuti air membeku yang disebut es itu. Jadi mereka tentunya berada di dalam kabut, maka ketika turun aku hinggap dan berdiam di atas batu. Kabut di atas sungai itu masih dan terus menerus mengalir seperti sungai, membuat diriku serasa melayang. Kucelupkan tanganku ke dalam air di bawahku dan segera kutarik kembali karena sangat amat dingin!

Aku diam dan menanti. Mereka tadi mungkin saja memanahku hanya karena melihat sesuatu yang bergerak. Jika aku diam saja, tentunya mereka tidak akan melihat apa pun, bahkan dirikulah yang kuharap akan bisa melihat mereka. Pepatah tua Negeri Atap Langit menyatakan:

bencana datang dari mulut bukan ke dalamnya

Barangkali itu bisa berlaku sekarang, bahwa jika aku diam saja, tidak bergerak dan tidak mengeluarkan suara, maka diriku akan selamat

Aku masih terus menanti di dalam kabut yang masih terus mengalir itu, dan tiba-tiba saja merasakan betapa sendiri diriku di sini.

Di tengah suatu wilayah asing dalam ancaman bahaya, tanpa seorang pun yang mengenal tetapi mengancam jiwaku dengan puluhan anak panah yang dimaksudkan merajamku, membuat diriku semakin merasa terasing.

Hanya gema pantulan sungai menemani keterasinganku. Sampai di depanku mendadak berkelebat seseorang yang mengendap dan melompat dari batu ke batu.

Aku terkesiap. Ia tidak melihatku yang berada di atas batu! (Oo-dwkz-oO)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar