Legenda Pendekar Ulat Sutera Jilid 14

Jilid 14

Karena tidak enak hati setelah tiba di kamar Siau Cu tidak bersemangat. Tadinya Lu Tan ingin membicarakan tentang Siau Sam Kongcu dan Tiong Toa-sianseng. Tapi Lu Tan tidak membicarakannya, malah bertanya:

“Ada apa denganmu?” “Anak perempuan sulit dimengerti. Tapi tidak apa-apa, nanti kalau dia sudah tenang, dia akan tahu kalau dia salah dan tidak akan marah lagi!” Siau Cu mulai tertawa lagi dan bertanya, “besok kau akan bertarung dengan Coat-suthay, kau harus memperlihatkan kelihaianmu!”

“Ilmu silatku seperti apa, kau sudah tahu sangat jelas! Dan Coat- suthay tidak hanya berilmu tinggi, dia juga mempunyai pedang tajam yang bisa menepis besi seperti tahu!”

“Kau juga bisa mendapatkan pedang seperti itu.” “Aku harus mencarinya ke mana?”

“Kau tidak perlu khawatir mengenai ini. Aku yang akan bertanggung jawab untuk masalah ini!” Sesuai sifat Siau Cu, dia tidak akan berbohong, dia hanya ingin membuat Lu Tan tenang.

Lu Tan sangat berterima kasih kepada Siau Cu. Ada atau tidaknya pedang pusaka, pertarungan esok hari dia sama sekali tidak peduli. Mempunyai teman seperti Siau Cu saja sudah membuatnya merasa puas.

148-148-148

Malam sudah berlalu. Perundingan ilmu pedang dimulai lagi. Hari ini langit Pek-hoa-couw terang, tapi suasana perundingan lebih buruk dari kemarin.

Begitu Tiong Toa-sianseng dan Siau Sam Kongcu mendekat walaupun pedang masih berada di sarung masing-masing tapi aura membunuh mereka sudah terasa sampai di sudut mata.

“Lihat mereka, seperti akan melakukan pertarungan hidup dan mati!” Sampai Su Ceng-cau pun bisa melihatnya.

“Semoga tidak terjadi apa-apa!” Kata Su Yan- hong.

Pedang akhirnya dikeluarkan dari sarung. Begitu jurus dikeluarkan langsung jurus ganas. Siau Sam Kongcu terus menyerang. Terlihat kalau dia ingin dengan waktu singkat menyelesaikan semuanya dan ingin menepis Tiong Toa-sianseng hingga roboh. Itu adalah keinginannya. Begitu Thian-liong-kiam milik Tiong Toa-sianseng diperagakan, ilmunya sangat lengkap. Begitu melihat Siau Sam Kongcu, dia marah tapi masih bisa menenangkan diri. Tubuh dan langkah-langkah kakinya tidak kacau.

Siau Sam Kongcu memang masih muda. Sema kin bertarung dia semakin berani. Tenaganya seperti air sungai mengalir deras terus menggulung datang. Tiong Toa-sianseng seperti tiang yang berdiri tegak dalam hempasan aliran sungai, berdiri dengan kokoh dan tidak bergerak.

Berturut-turut jurus Thian-long dikeluarkan. Dalam setiap serangannya terlihat ada gerakan bertahan, saat bertahan ada saat menyerang. Setiap kali saat diulang akan menimbulkan kekuatan yang semakin besar juga semakin padat, membuat serangan Siau Sam Kongcu terhalang di luar.

Serangan Siau Sam Kongcu yang tadinya cepat menjadi pelan. Sewaktu tenaga lamanya akan habis dan tenaga barunya belum menyambung, terlihatlah lowongan. Pedang Tiong Toa-sianseng segera masuk dan menyerang ke arah tenggorokan Siau Sam Kongcu.

Serangan ini kecepatannya di luar dugaan, Siau Sam Kongcu, ingin menghindar tapi sudah tidak sempat lagi. Terlihat pedang akan menusuk tenggorokannya tapi tiba-tiba menyenggol dan menepis pundak kiri Siau Sam Kongcu. Walaupun menusuk masuk hingga ke dalam kulitnya tidak mencapai 1 inchi tapi tenaga dalam yang mengaliri pedang menggetarkan organ dalamnya. Siau Sam Kongcu mundur 3 kaki. Darah seperti air muncrat.

Dia tertawa sedih:

“Thian-liong-kiam-hoat dari Kun-lun benar-benar tidak percuma!”

Tiong Toa-sianseng tertawa dingin:

“Sebenarnya jurus tadi bisa mencabut nyawamu, tapi tujuanku hanyalah ingin memberimu pelajaran bukan untuk membunuhmu!” “Aku akan selalu ingat pelajaran yang kau berikan tadi!” Siau Sam Kongcu segera berbalik dan pergi.

Tidak ada seorang pun yang menghalanginya. Tiong Bok-lan menundukkan kepalanya. Lo-taikun sangat senang tapi yang paling senang adalah Cu Kun-cau.

“Babak kedua Coat-suthay dari Heng-san-pai, akan berhadapan dengan Lu Tan dari Bu-tong!” Cu Kun-cau segera mengumumkan dengan suara senang.

Coat-suthay keluar. Cu Kun-cau diam-diam mundur. Dia mengejar dari belakang Siau Sam Kongcu.

Siau Cu membawa sebuah pedang ke depan Lu Tan: “Peganglah pedang ini, kau pasti akan lebih tenang!”

Lu Tan melihatnya. Pedang itu adalah Liong-im-kiam milik Su Yan-hong.

Saat sorot mata Su Yan-hong menatapnya, dia mengangguk sambil tersenyum. Walaupun tidak berkata apa-apa tapi perhatian dan pemberian semangat terpancar keluar dari matanya.

Dalam hati terharu. Dia mencabut pedangnya:

“Murid Bu-tong Lu Tan, berharap Lo-cian-pwee memberi petunjuk!”

Coat-suthay melihat Liong-im-kiam itu. Dia tertawa dingin: “Pedang yang bagus harus digunakan oleh pesilat baik baru bisa

menghasilkan kekuatan dahsyat!”

“Boanpwee pasti akan berusaha!” Lu Tan tetap bicara dengan hormat.

Coat-suthay tidak membenci Lu Tan. Tapi sifatnya fanatik begitu terpikir ilmu silat yang dikuasai Lu Tan sama sekali belum pantas menggunakan pedang pusaka itu. Dalam hati segera merasa tidak enak. Mulutnya segera berkata:

“Rapat ilmu pedang di Pek-hoa-couw menyangkut nama baik sebuah perkumpulan. Apakah Bu-tong-pai benar-benar tidak ada penerus lain dan terpaksa mengirimkan orang yang tidak bernama datang kemari untuk mempermalukan perkumpulan mereka sendiri?”

Walaupun Lu Tan tahu seperti apa sifat Coat-suthay, tapi ucapan Coat-suthay tadi membuatnya marah, dia tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memegang pedang dan menggeser kakinya ke sekeliling Coat-suthay.

Coat-suthay terlihat seperti tidak peduli. Dia hanya menatap Lu Tan dengan dingin.

149-149-149

Cu Ceng-cau mengejarnya sampai ke sisi danau dan menemukan Siau Sam Kongcu di sana.

“Untuk apa kau mengejarku sampai ke sini?” Siau Sam Kongcu menoleh dan menatap Cu Ceng-cau dengan dingin. Di bawah pundak baju kirinya penuh dengan darah.

“Aku akan membalut lukamu!” “Tidak perlu!”

“Lukamu separah apa?”

“Tidak berat. Seharusnya pedangnya menusuk hingga ke dalam tenggorokanku agar aku tidak perlu hidup di dunia ini lagi untuk menahan kesedihan!”

Su Ceng-cau merasa sedih. Dia ingin menghibur tapi Siau Sam Kongcu sudah mengayunkan tangan:

“Lebih baik kau kembali ke sana!” “Aku tidak tenang..

“Aku hanya mengalami luka luar, tidak apa-apa!” Siau Sam Kongcu melompat ke atas sebuah sampan dan mendayung pergi!

“Guru, jaga dirimu baik-baik!” Su Ceng-cau terpaksa melambaikan tangannya.

Siau Sam Kongcu tertawa sedih. Dia mendayung dengan cepat. Su Ceng-cau menggelengkan kepala dan membalikkan tubuh, tapi di sudut matanya dia melihat ada sebuah sampan kecil muncul dari bawah pohon Yang-liu, ada yang mendayung ke arah Siau Sam Kongcu.

Orang yang ada di atas sampan itu adalah La-cai.

Su Ceng-cau tidak lupa pada hweesio itu. Setelah berpikir, dia segera kembali.

150-150-150

Akhirnya pedang Lu Tan menyerang. Liong-im-kiam yang ada di tangan dengan tenang diperagakan. Ilmu pedang Bu-tong-pai sangat bagus. Walaupun belum sempurna menguasainya tapi begitu digunakan tetap terlihat bagus.

Pedang semakin mendekat. Pedang Coat-suthay baru dikeluarkan dari sarung. Sambil mencairkan serangan Lu Tan dia memberitahu celah-celah dari ilmu pedang Lu Tan. Dari jurus pertama saja sudah membuat Lu Tan tertekan.

Tapi dalam hati Lu Tan sangat mengerti apa 1 yang dikatakan Coat-suthay adalah benar. Maka begitu selesai bertarung, dia mendapat banyak kebaikan. Tapi bersamaan waktu dia juga merasa malu di hadapan banyak orang.

Dia ingin Coat-suthay dalam beberapa jurus mengalahkan dia. Tapi Coat-suthay tidak bermaksud seperti itu dia juga tidak sanggup memaksa Coat-suthay melakukannya.

Ini sangat menyedihkan.

Benarkah Bu-tong-pai menjadi lemah hingga sampai pada tahap seperti itu? Sewaktu berpamitan dengan ketua perkumpulan Bu- tong dan berangkat menuju Pek-hoa-couw, Lu Tan menyimpan rasa curiga. Sampai sekarang dia harus mengakui kalau ini adalah kenyataan sebenarnya.

Teringat pada Wan Fei-yang, dia segera bersemangat lagi. Semua pikiran kacaunya dibuang ke pinggir. Apa yang pernah dia pelajari dia peragakan sekarang. Walaupun sampai kalah dia harus sekuat tenaga berusaha dan tidak mempermalukan Bu-tong-pai. Dia percaya jika Wan Fei-yang kembali lagi ke dunia persilatan dia pasti akan merasa lega.

Apa yang dia peragakan bagi Coat-suthay tidak ada bedanya. Dia tetap melayaninya dengan tenang.

Sampai jurus pedang Lu Tan selesai diperagakan, Coat-suthay baru menyerang. Pedang masuk melalui celah. Tenaga dalam disalurkan ke pedang. Coat-suthay segera menggetarkannya, Lu Tan berguling ke bawah. Sebenarnya tenaga Lu Tan sudah terkuras habis.

Lo-taikun dari Keluarga Lamkiong seperti takut kalau Coat- suthay akan menyerang Lu Tan lagi. Dia meninggalkan tempatnya dan meloncat ke depan Lu Tan. Dengan tongkat kepala naganya dia menghadang:

“Siapa yang kalah atau menang sudah terlihat, harap Suthay berhenti sampai di sini saja!”

Memang Coat-suthay sudah memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Dia tertawa dingin:

“Menghadapi angkatan muda seperti dia setelah diberi pelajaran, siapa yang tega melukainya?”

Lo-taikun mundur. Lu Tan meloncat berdiri. Dia memegang pedangnya, ingin mengucapkan beberapa kalimat sungkan tapi Coat-suthay sudah tertawa dingin:

“Dulu Pendeta Kouw Bok terkenal karena ilmu pedang ini dan dianggap sebagai salah satu ilmu andalan dari 6 ilmu andalan Bu- tong-pai, ter-1 nyata hanya seperti ini!”

“Itu karena Boanpwee tidak belajar dengan benar...”

“Tetap saja sama! Apakah kalau Kouw Bok . Totiang bisa hidup kembali bisa mengalahkanku?”

“Orang mati tidak bisa hidup kembali...”

“Apakah di Bu-tong-pai masih ada pesilat , tangguh?”

“Jika Wan Fei-yang di sini, pertarungan bisa diulang kembali!” Lu Tan berkata dengan yakin. “Wan Fei-yang?” kata Coat-suthay tertawa dingin, “benar-benar payah! Sebentar menjadi pengkhianat Bu-tong-pai, sebentar dianggap murid paling berbakat dari Bu-tong-pai! Kalau menikah itu lebih membuat orang ingin tertawa!”

“Kau tahu apa?” Lu Tan marah.

“Semua orang dunia persilatan tahu hal ini, apakah itu bukan kenyataan sebenarnya?”

“Di sini kita hanya membahas ilmu silat...”

“Bila pesilat tidak bermoral dalam bidang ilmu silat, untuk apa membicarakan ilmu silat lagi? Bu-tong-pai sudah tenggelam seperti sekarang ini, seharusnya kalian instropeksi diri. Ceng Siong sangat suka perempuan jadi sekarang putra-putrinya seperti ini, mendapat karma.”

Kemarahan Lu Tan membuat tubuhnya terus bergetar. Lo-taikun segera menyela:

“Suthay, kita harus bisa memaafkan orang. Kau sudah menang dari Lu Tan, untuk apa lidahmu terus bergerak menggali kehidupan pribadi orang lain?”

“Apakah kau tidak suka dengan apa yang kukatakan?” Coat- suthay terus melihat Lo-taikun.

“Gosip di dunia persilatan belum tentu bisa dipercaya...” ucap Lo-taikun.

Dipotong oleh Coat-suthay:

“Ada pepatah, tidak ada angin pasti tidak akan ada gelombang. Keburukan Bu-tong-pai apakah gossip yang dibuatkan orang dunia persilatan? Semua keburukan Bu-tong-pai itu walaupun mereka ada waktu belum tentu berani mengungkapkannya!”

“Apa pun yang terjadi itu adalah masalah Bu-tong-pai, tidak ada hubungannya sedikit pun dengan Heng-san-pai!” Lu Tan menyela.

“Maksudmu, aku terlalu mengurusi masalah orang lain?” kata Coat-suthay menggelengkan kepa la, “aku hanya sedih melihat Kouw Bok Totiang, sampai pada generasi Bu-tong-pai sekarang ini, orang yang berbakat tidak ada. Murid yang dikirim kemari pun tidak berguna!”

“Apa katamu?” Dengan pedangnya Lu Tan menunjuk Coat- suthay.

“Kau harus sopan!” Lo-taikun menekan pedang Lu Tan dengan tongkatnya.

Lu Tan tidak bisa menarik pedangnya dari tekanan tongkat Lo- taikun. Dia membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat. Lo- taikun tidak menghalanginya, dia hanya menggelengkan kepala.

151-151-151

Sampan sudah mendarat tapi Siau Sam Kongcu tetap duduk di atas sampan. Sampan La-cai juga sudah mendarat. Dia juga masih duduk di dalam sampan, tidak bergerak.

“Apakah Tuan orang Keluarga Lamkiong?” Tanya Siau Sam Kongcu.

“Bukan!” Jawab La-cai dengan santai.

Siau Sam Kongcu menolehkan kepalanya dan melihat. Dia merasa aneh dan bertanya:

“Apakah Siau-ongya yang menyuruhmu kemari?” La-cai tertawa:

“Walaupun aku sudah sangat berhati-hati, tapi kau tetap bisa melihatku datang dari Jepang!”

“Siau-ongya menyuruh membunuhku?”

“Kau harus dibunuh!” La-cai membawa tongkatnya dan berdiri dengan pelan.

Siau Sam Kongcu mengangguk:

“Aku mengerti...”

“Kau mengerti atau tidak, sama saja!” Tangan La-cai melayang, ada asap dan kabut meledak di udara, menyebar hingga ke wajah Siau Sam Kongcu. Siau Sam Kongcu segera mengambil keputusan, dia meloncat ke darat. Asap dan kabut dengan cepat menyebar ke mana-mana. La-cai tiba-tiba keluar dari sampan. Tongkatnya menusuk tenggorokan Siau Sam Kongcu.

, Pedang patah Siau Sam Kongcu tetap dipegang. Dia mengayunkan tangan menahannya. La-cai membalikkan tubuhnya dan masuk ke dalam kabut lalu menghilang.

Tapi hanya sebentar La-cai sudah keluar lagi dari arah lain. Tongkatnya memukul punggung Siau Sam Kongcu. Walaupun Siau Sam Kongcu tidak menduganya tapi dia masih bisa mengayunkan pedangnya untuk menyambut. Saat dia akan membalas, La-cai sudah menghilang lagi di dalam kabut dan asap.

Kali ini dia mendengar dengan benar, tapi suara baju yang terbawa angin terus terdengar dari dalam kabut suara baju terus terdengar dari segala penjuru. Kemudian suara tongkat memukul udara terdengar. Yang pasti dua suara itu keluar tidak secara bersamaan.

Dia tidak tahu dengan cara apa La-cai membuat banyak suara, tapi dia tahu bahwa La-cai ingin memecahkan konsentrasinya agar mudah menyerang nya.

Sekarang di mana La-cai berada? Siau Sam Kongcu tidak bisa membedakannya lagi. Sepasang telinganya sudah tidak bisa berfungsi. Mata hanya bisa melihat asap dan kabut yang menggulung.

Itu hanya berlangsung sebentar tapi dia seperti sudah sangat lama merasakannya dan bingung. Sampai tongkat La-cai memukul tubuhnya membuatnya terkejut dan tersadar.

Tongkat tanpa suara itu tiba-tiba memukul. Begitu Siau Sam Kongcu merasakan dan ingin menghindar, tongkat itu sudah mengenai punggungnya. Walaupun dia sudah mengatur nafas untuk melindungi tubuhnya agar bisa mencairkan sebagian tenaga yang berada di tongkat itu, tapi dia tetap merasa kalau organ dalam tubuhnya terus bergolak. Tubuhnya juga terus condong ke depan dia hampir terjatuh. Tongkat masih datang untuk memukul sebanyak 3 kali. Semua ditahan dengan pedang patahnya. Walaupun terlihat repot tapi masih bisa disambut.

Sekali lagi La-cai muncul dari dalam asap dan kabut. Tubuhnya penuh dengan asap, dia mengayunkan tongkatnya untuk mengejar.

Sambil menahan Siau Sam Kongcu tenis mundur. Sampai dia mundur dan keluar dari kungkungan asap, sudah 3 kali tubuhnya terkena pukulan tongkat. Tubuh, langkah kakinya, dan jurus-jurus pedangnya mulai kacau.

Tepisan Tiong Toa-sianseng memang tidak mengenai nadi penting tapi tetap saja mengganggu. Lalu bertemu dengan pembunuh seperti La-cai, baru pertama kali dialaminya, dia sangat sulit menghadapinya.

La-cai memang ingin membunuh Siau Sam Kongcu. Mulutnya dibuka, asap dan kabut tiba-tiba keluar dari dalam mulutnya dan menyembur ke wajah Siau Sam Kongcu. Awalnya Siau Sam Kongcu terpaku kemudian dengan cepat membalikkan tubuh dan menyerang keluar dengan telapaknya agar asap dan kabut itu bisa berpencar. Tapi tongkat La-cai sudah memukul nadi di pergelangan tangan kanannya yang sedang memegang pedang.

Terpaksa dia melepaskan pedangnya. La-cai tertawa. Tongkatnya menyapu pedang patah itu dan menyerang lagi. Tiba- tiba ujung tongkatnya mengeluarkan sebuah golok tajam.

Ini benar-benar di luar dugaan, baru saja telapak Siau Sam Kongcu ingin menyambut serangan tongkat yang datang. Begitu melihat kalau di tongkat itu tersimpan golok tajam, dia segera menghindar. Membuat tangan kanannya tergores dan mengeluarkan darah.

La-cai masih terus menyerang. Setelah 36 kali menyerang, di tubuh Siau Sam Kongcu sudah ada 4 goresan kemudian menyapu dan membuat Siau Sam Kongcu terjatuh, lalu menusuk dadanya.

Siau Sam Kongcu tidak bisa menghindar lagi. Dengan telapak tangan kirinya dia menyambut, telapak tangan kanan siap menyerang. Dia siap mengorbankan tangan kirinya untuk melawan La-cai.

La-cai melihat keinginan Siau Sam Kongcu. Tongkatnya tidak berhenti menyerang. Dia percaya dengan membacok putus tangan kiri Siau Sam Kongcu, baru mencabut nyawanya.

Waktu itu ada sebuah batu terbang menghampirinya dan memukul golok yang ada di ujung tongkat. La-cai mendengar suara angin, dia bisa mengira-ngira kecepatan batu itu dan tenaganya.

Tongkat tergetar ke samping. La-cai segera menendang tenggorokan Siau Sam Kongcu. Dengan kedua telapaknya Siau Sam Kongcu menahan dan membalikkan tubuh lalu meloncat berdiri, tongkat La-cai masih datang untuk menusuknya. Tapi pedang Su Yan-hong sudah datang. Pedang menahan tongkat La-cai.

Su Ceng-cau bergerak dengan cepat. Dia meloncat mengambil pedang patah Siau Sam Kongcu, menahannya di depan Siau Sam Kongcu, karena pedang sudah diambil oleh Su Yan-hong.

Walaupun pedang itu tidak sebagus pedang biasa, tapi tongkat La-cai juga bukan Ceng-hong- kiam yang biasa dipakai Coat-suthay. Begitu ilmu silat Thian-liong-kiam-hoat digunakan, La-cai sulit maju selangkah pun. Kalau tidak ada Su Ceng-cau yang datang menahan dengan pedang patah, ingin menyerang Siau Sam Kongcu sudah tidak ada kesempatan lagi.

Siau Sam Kongcu bisa melihat semuanya. Dia mengambil pedang patahnya dari tangan Su Ceng-cau dan siap mencegat La-cai.

Setelah menyerang dengan tongkat dan golok, La-cai tetap tidak bisa memaksa Su Yan-hong mundur. Dia sadar telah bertemu dengan lawan kuat. Tempat ini masih merupakan wilayah keluarga Lam-kiong, bila dia masih terus bertarung, bagi keluarga Lamkiong tidak akan ada kebaikannya, dia segera mundur. Ada asap dan kabut meledak lagi di bawah kakinya.

Su Yan-hong melihat La-cai tidak berhasil, dia tidak mengejarnya. Dia diam menunggu hingga asap dan kabut menyebar. Benar saja La-cai sudah tidak terlihat lagi. “Mengapa tidak menangkap orang tua itu?” Tanya Su Ceng-cau. “Bila dia ingin meninggalkan tempat ini, dia mempunyai banyak

cara jadi bukan hal yang mudah menangkapnya!”

“Siau-heng...”

“Tidak apa-apa! Thian-liong-kiam-hoat dari Kun-lun-pai tidak sia-sia dipelajari. Tadi kalah dari gurumu membuatku kagum dari dalam hati!”

“Kita kembali dulu ke keluarga Lamkiong!” “Mengapa Hou-ya masih bicara seperti ini?” Su Yan-hong tertawa. Su Ceng-cau menyela: “Guru, lukamu...”

“Tidak apa-apa! Guru adalah orang berpengalaman di dunia persilatan masa tidak sanggup meng urus diri sendiri?”

Su Ceng-cau tahu seperti apa sifat Siau Sam Kongcu. Dia tidak banyak berkata lagi:

“Kalau begitu, apa rencana Guru di kemudian hari?”

“Thian sudah menentukan jalan, seumur hidup aku harus menyendiri dan tinggal di mana saja!” Siau Sam Kongcu menarik nafas.

“Bisa berkelana di dunia persilatan bukan hal buruk. Kalau ada kesempatan aku pun...”

Siau Sam Kongcu memotong kata-katanya sambil tertawa: “Hou-ya adalah pejabat kerajaan, mana boleh hidup seperti

rakyat biasa.”

“Guru, benarkah kau akan pergi?”

“Bila harus pergi aku tetap harus pergi!” Siau Sam Kongcu tertawa.

Su Yan-hong menatap Su Ceng-cau:

“Masing-masing mempunyai cita-cita, hanya gurumu ini masih terluka dan berjalan pun tidak leluasa...” Siau Sam Kongcu tertawa:

“Hidup atau mati adalah nasib. Hari ini aku tidak mati, ke depannya pasti akan hidup lebih baik. Hanya saja orang-orang Jepang itu sudah masuk Tionggoan, pasti mereka mempunyai maksud tertentu. Kelak Hou-ya harus lebih berhati-hati!”

Su Yan-hong terdiam. Walaupun Siau Sam Kongcu tidak menjelaskannya, tapi dari ucapannya tadi dia sudah tahu.

Hari kedua, perundingan ilmu pedang di Pek-hoa-couw lebih buruk dari hari pertama. Tiong Toa-sianseng melukai Siau Sam Kongcu. Coat-suthay menghina Lu Tan dan perkumpulan Bu-tong- pai.

Kun-lun dan Hoa-san-pai mungkin tidak akan saling dendam tapi Bu-tong dan Heng-san-pai pasti akan ada permusuhan.

Coat-suthay seperti tidak peduli. Fu Hiong-kun merasa tidak enak hati. Dia berhubungan baik dengan Bu-tong-pai. Bu-tong dan Heng-san adalah perkumpulan lurus dan terkenal, kalau harus saling bunuh, itu bukan hal yang baik.

Tapi semua sudah terjadi seperti ini, dia sudah tidak bisa menghalanginya lagi. Sikap Coat-suthay terhadap Lu Tan benar- benar di luar dugaannya.

Fu Hiong-kun berpikir seperti ini, yang pasti tidak bisa membohongi Coat-suthay. Setelah selesai makan malam, dia baru bertanya:

“Apakah kau tidak suka dengan sikapku pada Lu Tan?”

“Tecu tidak berani!” Fu Hiong-kun hanya bisa menjawab seperti itu.

“Apakah kau anggap aku sudah keterlaluan?” Fu Hiong-kun memberanikan diri menjawab: “Apakah Supek-bo tidak merasa keterlaluan?”

“Kalau tidak melakukan dengan sikap seperti itu kapan murid Bu-tong bisa giat dan bersemangat? Hatimu terlalu lemah!” “Tecu...”

“Semua sudah berlalu, kau datang kemari untuk apa? Sekarang ada hal yang harus kau lakukan!”

“Katakan, Supek-bo!”

“Kau cari Lamkiong Po, Tanyakan kepada dia hal yang akan dia lakukan seperti apa.”

“Hal apa?”

“Aku hanya ingin dia melakukan satu hal. Kesempatan hari ini jarang terjadi, seharusnya dia sudah melakukannya!”

Fu Hiong-kun juga berharap seperti itu.

152-152-152

Lamkiong Po duduk dengan termangu di kamarnya. Dia tidak terkejut dengan kedatangan Fu Hiong-kun. Setelah tahu maksud kedatangannya, dia berpikir sejenak baru menjawab:

“Semua hal mulai terbentuk tapi belum bisa dipastikan!” “Apakah setelah pasti baru bisa kau ceritakan?”

“Tentu saja akan lebih baik seperti itu. Sampai kan kepada Sutliay, malam ini pukul 3 dini hari bertemu denganku di belakang kebun.”

Fu Hiong-kun melihat Lamkiong Po dengan aneh. “Sekarang aku tidak tahu apa yang harus kukatakan!”

153-153-153

Saat waktu yang bersamaan Lo-taikun sedang marah kepada Kiang Hong-sim:

“Aku sudah berpesan, kau harus berhati-hati! Ada yang menguntitmu ke Siau-hun-lo (Penjara melebur roh), kau masih tidak tahu?”

“Mengapa ada orang yang menguntitku? Bukankah semua peserta sudah pergi ke Pek-hoa-couw, tidak ada yang berada di keluarga Lamkiong?” “Kau lupa pada seseorang!”

“Lamkiong Po!” kata Kiang Hong-sim segera terngat, “tapi kakinya kan sudah terluka oleh pedang Coat-suthay, gerakannya tidak leluasa!”

“Kau orang berpengalaman di dunia persilatan, apakah kau tidak melihat lukanya tidak berat?” Lo-taikun menarik nafas.

Sebenarnya Lo-taikun sendiri sebelum mendapat kabar ini, dia pun tidak bisa melihatnya. Kalau tidak, dia pasti sudah berpesan harus berhati-hati.

“Maksud Tai-kun, dia dan Coat-suthay bersekongkol...” “Mungkin saja! Untung sewaktu dia meninggalkan tempat,

diketahui oleh si tua Ciu-ci Lojin, kalau tidak, rahasia akan tersebar

kita akan gagal total!”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Bunuh sekalian Coat-suthay juga jangan dilepas!” Jawab Lo- taikun dengan wajah dipenuhi aura membunuh.

Terlihat Kiang Hong-sim mengalami kesulitan. Ilmu silat Coat- suthay seperti apa dia sangat tahu. Lo-taikun pintar membaca pikiran. Dia tertawa dingin:

“Hari ini Coat-suthay di depan banyak orang menyingkap keburukan Bu-tong-pai dan Lu Tan ingin membunuhnya. Kau bisa memperaiatnya!”

“Lu Tan?” Kang Hong-sim tertawa kecut.

Dalam pikiran Kiang Hong-sim, pengalaman dan ilmu silat Lu Tan tidak cukup memadai. Walaupun bisa diperalat tidak akan ada gunanya bagi Coat-suthay.

Lo-taikun seperti tahu apa yang dipikirkan. Dia tertawa dingin: “Walaupun orang itu ilmu silatnya terbatas, asalkan kita bisa

memperalatnya, dia akan menjadi satu-satunya orang yang bisa

membunuh Coat-suthay!” “Apakah Lo-taikun sudah.. Lo-taikun mengangguk, dia menyuruh Kiang Hong-sim mendekat dan membisikkan rencana yang dia sudah atur.

Di dalam hanya ada mereka berdua tapi dia tetap berbisik.

Terlihat Lo-taikun memang orang yang sangat berhati-hati.

Kiang Hong-sim segera mencari Lu Tan.

Lu Tan mengurung diri di kamarnya. Coat-suthay menghina Bu- tong-pai, mana mungkin dalam waktu singkat dia bisa melupakannya.

Semua orang mengerti isi hatinya, tapi entah harus mengatakan apa kepadanya. Setelah menghibur dia dengan beberapa kata, mereka membubarkan diri.

Lu Tan sangat berharap dia bisa tenang, tapi sampai saat ini masih belum bisa.

Kedatangan Kiang Hong-sim tentu saja membuatnya terkejut. Dia tidak senang dengan orang ini. Tapi kedatangannya membuat dia terpaksa harus melayani. Apalagi kalimat pertama adalah:

“Lo-taikun menyuruhku kemari untuk menengokmu!” “Lo-taikun benar-benar perhatian padaku!”

“Dengan posisi Coat-suthay, dia benar-benar keterlaluan!” “Semua sudah berlalu, tidak perlu berkata apa-apa lagi!”

“Baik, kita tidak perlu mengungkit-ungkitnya lagi, tapi mengapa Ceng-hong-kiam yang tajam itu di tanganmu tidak ada gunanya?”

“Karena aku memakai pedang Hou-ya. Pedang itu adalah pemberian baginda kepada Hou-ya, namanya Liong-im-kiam. Pedang itu dipinjamkan Hou-ya kepadaku!”

“Ternyata itu pedang pemberian Hou-ya, pasti bukan barang biasa. Apakah aku bisa melihatnya?”

Lu Tan tidak menaruh curiga. Pedang segera dicabut. Di bawah terpaan cahaya lampu, ujung pedang terlihat seperti air. Sekali melihat saja sudah tahu kalau itu adalah pedang pusaka.

Sambil melihat pedang, Kiang Hong-sim memuji: “Pedang yang bagus!” Ibu jari tangan kirinya segera memegang punggung pedang dan jarinya meraba pedang hingga ke ujung pedang dan menyentil sekali.

Ujung pedang mengeluarkan suara TING! Kiang Hong-sim mendengarnya dengan seksama baru memuji:

“Pedang bagus!” lalu mengembalikan pada Lu Tan.

Punggung pedang sampai ke ujung pedang tempat di mana Kiang Hong-sim memegang sudah terbersit warna hijau yang sangat tipis, tapi Lu Tan tidak melihatnya, memang sulit terlihat jelas.

Lu Tan mengembalikan pedang itu ke dalam sarungnya dan bertanya:

“Apakah ada hal lainnya?”

“Tidak! Menang atau kalah adalah hal yang biasa!” Jawab Kiang Hong-sim tertawa.

“Aku mengerti!” Lu Tan acuh.

Akhirnya Kiang Hong-sim meninggalkan tempat. Begitu membuka pintu dan keluar dari kamar dia bertemu dengan Siau Cu. Kiang Hong-sim tertawa, Siau Cu terpaksa balas tertawa. Setelah Kiang Hong-sim sudah berjalan cukup jauh, Siau Cu segera masuk ke kamar Lu Tan.

“Untuk apa perempuan itu ke sini?” Tanya Siau Cu sambil melihat Lu Tan dari atas hingga ke bawah. Sepertinya dia takut kalau Lu Tan diapa-apakan oleh Kiang Hong-sim.

“Lo-taikun menyuruhnya datang dan menanyakan keadaanku!” Siau Cu menghembuskan nafas:

“Sedang apa kau? Apakah masih ingat masalah yang terjadi tadi pagi?”

“Apakah aku bisa melupakan begitu cepat?”

“Kalau terjadi padaku, aku pun tidak bisa melupakannya. Bila ada kesempatan, aku harus memberi pelajaran kepada dia!” “Tapi sayang, teknik dan ilmu silat kita tidak bisa menandingia!” “Kita lihat besok!”

“Maksudmu, Tiong-cianpwee!”

“Menurutku, Tiong-cianpwee pasti sanggup mengalahkannya. Begitu berhasil mengalahkannya, dengan sifat Coat-suthay, cukup membuatnya sedih!” Siau Cu melihat Liong-im-kiam:

“pedang ini harus dikembalikan pada Hou-ya. Besok saat bertarung Tiong-cianpwee pasti akan menggunakan pedang ini!”

“Kau masih memanggilnya Tiong-cianpwee?”

“Aku harus memanggilnya guru. Oh tidak! Harus memanggilnya ayah angkat!”

Setelah itu Siau Cu bersalto keluar, hanya sekejap sudah menghilang. Lu Tan menarik nafas.

Dia merasa nasib Siau Cu lebih baik darinya. Datang ke keluarga Lamkiong tidak hanya mendapatkan guru yang baik masih mendapatkan seorang kekasih yang cantik.

Saat dia akan menutup pintu, seseorang muncul di hadapannya. “Kau?” Dia sama sekali tidak menyangka kalau orang itu adalah

Su Ceng-cau.

“Hal yang terjadi tadi pagi, aku sudah mengetahuinya. Apa pun yang dikatakan oleh Coat-suthay, jangan dianggap serius, akan membuatmu sakit hati. Jaga dirimu baik-baik!”

Walaupun Lu Tan tidak setuju dengan ucapan Su Ceng-cau, tapi melihat dia begitu memperhatikannya, hatinya merasa hangat.

Su Ceng-cau menggelengkan kepala:

“Penandingan ilmu pedang seperti ini tidak akan ada kebaikannya, malah keburukan terlihat di mana-mana!”

“Bagaimana dengan gurumu?”

“Aku rasa dia tidak akan muncul lagi!” Su Ceng-cau merasa sedih.

“Apakah dia...” Lu Tan terkejut. “Lukanya tidak apa-apa, hanya saja dia akan terus berkelana! Guru pergi jauh, kau mau menjadi pendeta, ke depannya kalian tidak akan bisa menemaniku lagi!”

Lu Tan terdiam, dalam hatinya terjadi pertentangan, entah apa yang harus dia katakan sekarang.

Su Ceng-cau tidak bucara apa-apa lagi, dia segera membalikkan tubuh dan meninggalkan kamar. Lu Tan ingin mengejarnya tapi pada akhirnya tidak jadi.

Tiong Toa-sianseng tidak enak hati. Su Yan-hong di sisinya tidak tahu harus berkata apa. Saat Siau Cu mengembalikan Liong-im- kiam, dia melihat Tiong Toa-sianseng seperti itu, dia tidak berani banyak bicara dan diam-diam keluar.

Entah sudah berapa lama Tiong Toa-sianseng baru menarik nafas dan berkata pada dirinya sendiri:

“Dalam hatinya Bok-lan pasti membenciku. Mungkin aku sudah keterlaluan tapi aku adalah ayahnya. Aku percaya mereka bersih, tapi apa gunanya? Orang lain tidak akan berpikir seperti itu!”

Su Yan-hong terharu:

“Tecu tidak bisa melihatnya tapi merasa kalau Siau Sam Kongcu bukan orang seperti itu. Apalagi dia sudah pergi, Guru harus menunda masalah ini dan bersiap untuk pertarungan esok.”

Tiong Toa-sianseng menggelengkan kepala:

“Selama dua hari ini hati semua orang tidak enak, besok pun tidak terkecuali!”

Su Yan-hong berkata dengan khawatir:

“Ucapan Coat-suthay terkadang terlalu berat, harap Guru jangan menyimpannya di dalam hati!”

“Kalau yang dia katakan adalah kenyataan, biarkan dia bicara seperti itu. Orang yang percaya kepada Budha tidak akan sembarangan bicara!” Kata Tiong Toa-sianseng.

Su Yan-hong mengangguk. Sorot mata Tiong Toa-sianseng menerawang ke depan. Dia teringat pada Tiong Bok-lan lagi. Pastinya pikiran Tiong Bok-lan sedang tidak enak. Dia sama sekali tidak punya tempat untuk berbagi perasaan. Kebetulan Su Ceng-cau datang. Dia merasa senang, apalagi dia bisa men- dapatkan berita mengenai Siau Sam Kongcu dari mulut Su Ceng- cau.

Su Ceng-cau menutup pintu lalu melihat Tiong Bok-lan.

Sikapnya terlihat aneh tapi dia tidak berkata apa-apa.

Tiong Bok-lan menunggu. Akhirnya bertanya: “Bagaimana dengan keadaan gurumu?”

“Untuk apa kau bertanya tentang guruku? Dia hidup atau mati pun ada hubungan apa denganmu?”

“Apakah terjadi musibah padanya?”

“Bukan hal besar. Dia terluka oleh pedang ayahmu dan hampir dibunuh oleh hweesio Jepang!”

“Bagaimana keadaannya sekarang?”

“Lukanya bertambah berat, tapi tidak akan membuatnya mati.

Untung aku dan kakak sepupu datang tepat pada waktunya!” “Aku yang bersalah!” Air mata Tiong Bok-lan menetes lagi.

“Kau yang mencelakainya? Semalam ada apa kau mencarinya?”' “Tidak ada apa-apa...”

“Pasti ada! Katakan sejujurnya, kalau tidak, aku tidak akan melepaskanmu!”

Akhirnya Tiong Bok-lan menjawab:

“Aku hanya memintanya jangan melukai ayahku!” “Sepertinya ayahmu sudah salah paham pada kalian!”

“Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Beritahu aku di mana gurumu sekarang? Aku ingin bertemu dengannya sekali lagi...”

“Menurutku, dia belum tentu mau bertemu denganmu!” “Apa pun yang terjadi, aku harus bertemu dengannya!” “Baiklah! Aku' akan beritahu padamu!” “Di mana dia?”

“Dia sudah mengambil keputusan untuk berkelana terus, mungkin kita tidak akan pernah menjumpainya lagi!” Su Ceng-cau segera berlari keluar.

Tiong Bok-lan duduk dengan sedih. Air matanya mengalir.

Tidak lama kemudian dia berdiri dan berjalan mendekati meja kemudian mengambil kertas dan koas.

Air matanya sudah mengering. Dia bertekad harus pergi dan mengambil keputusan meninggalkan surat, meninggalkan keluarga Lamkiong untuk mencari Siau Sam Kongcu sekalipun berada di ujung langit dan di penjuru laut!

***

Surat diantar oleh pelayan dan sampai di tang an Tiong Toa- sianseng. Tiong Toa-sianseng belum tidur. Sewaktu dia membaca surat itu, wajahnya segera berubah dan menggebrak meja.

Surat dirobek, meja hancur berantakan. Pelayan ketakutan hingga gemetar, hampir terjatuh.

“Perempuan jalang!” kata Tiong Toa-sianseng marah.

Su Yan-hong berada di kamar sebelah. Dia terkejut dan segera datang ke sana untuk melihat keadaan yang terjadi. Dia segera berpesan kepada pelayan agar keluar dan kembali ke tempatnya.

Setelah pelayan itu pergi, Su Yan-hong menarik nafas: “Maafkan Tecu...”

“Di antara kita tidak ada yang perlu dibicarakan, Bok-lan sudah pergi!”

“Pergi?” Su Yan-hong terkejut. “Siau Sam! Siau Sam!” Kata Tiong Toa-sianseng, “di antara kita tidak ada dendam, mengapa kau harus mencelakaiku?”

“Apakah Bok-lan mencari Siau Sam? Orang yang saling cinta pada akhirnya akan menikah...”

“Apa yang kau katakan barusan?” Tiong Toa-sianseng melotot. “Maafkan Tecu...”

“Apakah kau anggap mereka tidak bersalah?” “Jika Suhu bertanya, Tecu harus terus terang!” “Baiklah, aku ingin dengar pendapatmu!”

“Keluarga Lamkiong kaya raya, wibawa Lo-taikun sangat terkenal di dunia persilatan, yang melayani Sumoi sangat banyak, dia masih begitu muda. Puluhan tahun kemudian bagaimana cara dia melewatinya?”

“Memang seperti itu. Aku selalu sedih melihat Bok-lan tapi itu namanya nasib...”

“Nasib bisa menguasai manusia tapi manusia bisa memutar balikkan nasib itu. Sumoi mempunyai keberanian, suhu harus memberinya kesempatan!”

“Orang lain akan bicara apa?”

“Siapa yang tidak pernah dijelekkan orang lain? Untuk apa Suhu menyimpannya dalam hati?”

“Apa pun yang terjadi, seharusnya dia berunding dulu denganku!” Tiong Toa-sianseng masih marah.

“Mana mungkin Sumoi berani melakukannya? Jika dia berani bicara kepada Suhu, apakah Suhu akan menyetujuinya?”

Tiong Toa-sianseng terdiam. Kata Su Yan-hong lagi:

“Lo-taikun pasti akan cepat mendapatkan kabar, Bok-lan pasti memberitahu mereka!”

“Dia datang!” Kata Tiong Toa-sianseng. Suara orang berjalan terdengar. Tiong Toa-sianseng tidak salah duga. L'o-taikun pun menerima surat yang diantar pelayan. Dia membawa Cia Soh-ciu, menemui Tiong Toa-sianseng.

Setelah menyapa Lo-taikun segera bertanya:

“Hou-ya belum istirahat?” Maksudnya adalah menyuruh Su Yan- hong keluar dari kamar.

Setelah Su Yan-hong keluar, tanya Lo-taikun: “Apakah Tiong Toa-sianseng sudah tahu?”

Tiong Toa-sianseng mengangguk tanpa bicara sepatah kata pun.

Kata Lo-taikun:

“Hal ini terjadi sangat tiba-tiba, ingin menghalangi pun tidak sempat. Harap Tiong Toa-sianseng memaafkan kami!”

“Bok-lan yang bersalah!”

“Jangan berkata seperti itu. Aturan keluarga Lamkiong tidak ketat, kami harus bertanggung jawab! Sebenarnya Bok-lan masih muda, menyuruhnya tinggal di keluarga Lamkiong pun tidak baik. Tapi tidak bisa membiarkan dia meninggalkan keluarga Lamkiong dan menikah!”

“Maksud Lo-taikun...”

“Aku tidak apa-apa, hal ini sudah terjadi asalkan jangan sampai tersebar keluar...”

“Tapi lambat laun...”

“Benar, kita berusaha saja, bisa berapa lama ya berapa lama!” Lo-taikun seperti sudah pasrah.

“Untung Lo-taikun pengertian. Kami ayah dan anak sangat berterima kasih karenanya!” Ucapan ini keluar dengan nada pasrah.

154-154-154

Su Yan-hong tidak kembali ke kamarnya. Dia bertemu dengan Liu Hui-su dan Cia Ceng-hong. Itu bukan kebetulan, mereka diperintah Cu Kun-cau untuk mengundang Su Yan-hong. Su Yan-hong tahu Cu Kun-cau pasti mempunyai tujuan tapi dia tidak bisa menebaknya jadi dia mengambil keputusan berjalan ke sana.

Disuguhkan arak oleh pelayan termasuk Cia Ceng-hong dan Liu Hui-su. Su Yan-hong bertanya:

“Ke mana Ceng-cau?” Cu Kun-cau tertawa:

“Masalah orang dewasa, anak kecil tidak akan mengerti. Malam ini kita berdua berkumpul, tidak ter masuk dia, silakan!” Dia mengangkat cangkirnya.

Setelah minum 3 cangkir arak, Cu Kun-cau baru buka suara: “Dengan nama, ilmu silat dan sastramu, seharusnya kau bisa

terus naik jabatan!”

“Aku tidak berniat mencari nama dan jasa. Setelah jadi An-lek- hou, aku sudah merasa sangat puas!” Ini adalah ucapan yang sungguh-sungguh.

“Pertentangan dengan Liu Kun, kau yang paling banyak mengeluarkan tenaga. Jika membahas soal jasa, kau menjadi nomor satu. Tapi baginda sama sekali tidak melakukan tindakan apa pun!”

“Itu ideku, sampai posisi komandan pasukan pun kuserahkan kembali!”

“Hanya jabatan sebagai komandan, kau tidak akan menaruhnya di hati, bagaimana jika menjadi perdana menteri?” Cu Kun-cau menggelengkan kepala lagi, “apakah posisi sebagai perdana menteri masih rendah juga?”

“Apakah bisa tinggi lagi jabatannya?”

“Mengapa tidak? Apakah kau benar-benar tidak mengerti?” Cu Kun-cau tertawa.

Su Yan-hong segera marah:

“Kau sendiri yang ingin mengungkapkannya atau menyinggung paman?” Cu Kun-cau segera berhenti dan menutupi wajahnya:

“Coba lihat aku, setelah mabuk langsung sem-barangan bicara!” “Untung kau bicara padaku, kalau tidak, bisa minum lebih baik

jangan minum!” Su Yan-hong berdiri dan keluar.

Setelah Su Yan-hong pergi, mata Cu Kun-cau memancarkan sorot benci, dia benar-benar menyesal mengundang Su Yan-hong.

Siapa itu Su Yan-hong? Seharusnya dia tahu dan tidak perlu mencari tahu.

Kepergiannya Tiong Bok-lan sudah diketahui orang-orang keluarga Lamkiong. Selain Beng-cu, yang paling merasa terharu adalah Bwe Au-siang.

Yang datang memberitahu adalah Kiang Hong-sim, ditambah komentar tentang hal ini.

“Lihat dia, biasa terlihat lugu, siapa yang tahu dia orang seperti itu. Jika tersebar luas, maka nama keluarga Lamkiong...”

Lamkiong Po yang berdiri di sisi mendengar itu. Akhirnya dia memotong:

“Orangnya sudah pergi, tidak perlu dibicarakan lagi!”

“Apakah Lo-taikun sudah tahu tentang hal ini?” Tanya Bwe Au- siang.

“Aku mendengar darinya!”

“Apakah sudah menyuruh orang mengejar nya?”

“Tidak, hanya bertemu dengan Tiong Toa-sianseng. Semua sepakat jangan sampai tersebar keluar!” Jelas Kiang Hong-sim.

“Aku melihat hati Tiong Toa-sianseng bergejolak. Dia tidak kembali ke kamar untuk beristirahat malah pergi seorang diri ke Ciu-ci-tong.”

Hati Lamkiong Po bergerak tapi pura-pura seperti tidak terjadi apa-apa. Kiang Hong-sim melihat nya dan berkata:

“Aku pamit dulu!” Dari tadi Lamkiong Po berharap dia cepat pergi dari sana. Bwe Au-siang tidak bermaksud menyuruhnya terus di sana.

Sesampainya di depan pintu, Kiang Hong-sim membalikkan tubuh:

“Ingat, jangan katakan kepada siapa pun!”

Setelah dia menjauh, Lamkiong Po baru tertawa dingin: “Selain dia siapa lagi yang akan sembarangan bicara?” Bwe Au-siang menarik nafas:

“Sebenarnya Bok-lan sangat senang membaca dan tahu aturan, mengapa melakukan semua ini?”

“Aku malah merasa kasihan padanya!” Kata Lamkiong Po. Bwe Au-siang menatap dengan aneh.

“Sewaktu dia menikah dengan adik kelima, sebenarnya dia sudah mempunyai kekasih. Hanya saja ini perintah dari ayahnya, dia tidak berani membantahnya!”

“Tapi pada akhirnya dia mau menikah. Sekarang dia menjadi janda dari keluarga Lamkiong...”

“Janda pun manusia. Sebagai orang tua seharusnya memikirkan kebahagiaan putra-putrinya. Apa lagi orang yang menikah masuk keluarga Lamkiong kebanyakan menjadi janda...”

Bwe Au-siang menutup mulut Lamkiong Po: “Kau tidak boleh berkata seperti itu!”

Lamkiong Po dengan hati yang bergejolak menyingkirkan tangan Bwe Au-siang:

“Ini bukti nyata, generasi atas pun seperti itu sampai generasi kami pun begitu.”

Bwe Au-siang menarik nafas:

“Apakah dalam waktu dekat ini mengalami hal yang tidak enak hati? Mengapa setiap kali hatimu selalu bergejolak?” Lamkiong Po mengangguk. Akhirnya dia bisa tenang. Bwe Au- siang terus bertanya:

“Apa yang terjadi?”

“Belum bisa dipastikan tapi dalam waktu dekat ini pasti akan ada jawabannya. Nanti aku akan memberitahumu. Berharap nasib keluarga Lamkiong akan berubah dan ada penerusnya!”

“Aku lihat sekarang sudah mulai berubah!” Bwe Au-siang berkata dengan sikap malu.

Lamkiong Po merasa aneh. Bwe Au-siang berkata lagi: “Aku sudah punya...”

“Punya? Punya apa?” Lamkiong Po merasa aneh, dia terus bertanya. Tiba-tiba dia teringat sesuatu dan berteriak:

“Benarkah kau hamil?”

“Jangan ribut!” Bwe Au-siang menutup mulut Lamkiong Po lagi.

Lamkiong Po memeluknya dengan senang dengan tegang berkata:

“Ini sangat baik! Kau harus berhati-hati, jangan berlatih silat lagi!”

“Jangan terlalu tegang!”

“Aku benar-benar tegang!” Lamkiong Po memeluk Bwe Au-siang semakin erat.

Baru saja Lama Bwe Au-siang bisa terlepas dari pelukan Lamkiong Po. Sambil terengah-engah berkata:

“Aku sudah buatkan sup ginseng untukmu!” “Kau saja yang minum!”

“Kau menyuruhku menjaga diri, kau sendiri pun harus menjaga diri. Aku akan ke dapur dulu, jika sudah matang aku akan membawanya kemari.”

“Kau boleh menyuruh pembantu mengerjakannya. Jangan terlalu lelah!” Bwe Au-siang mengangguk, dia keluar dari kamar. Tawa Lamkiong Po segera membeku, dengan cepat dia berjalan ke depan meja, buru-buru menulis sepucuk surat lalu melipatnya dan menyimpannya di bawah bantal. Dia mengambil pedang, membuka jendela dan melihat ke sekeliling tidak ada siapa pun dan dia meloncat pergi!

Lamkiong Po meninggalkan kamar. Kiang Hong-sim pun sama. Tapi dia ingin mencari surat yang ditulis Lamkiong Po, itu bukan hal yang sulit karena dia selalu berada di luar kamar mengawasi gerak-gerik Lamkiong Po.

Lamkiong Po tidak tahu akan hal ini. Jika tidak, beban hatinya pasti akan lebih berat lagi.

Setelah ada pengalaman, ingin masuk Siau-hun-lo (penjara) di bawah Ciu-ci-tong bagi Lamkiong Po bukan hal yang sulit.

Siang hari dia melihat Kiang Hong-sim masuk dan keluar dari sana, gara-gara ada Ciu-ci Lojin dan waktunya sempit, dia tidak bisa masuk.

Sekarang Ciu-ci Lojin sudah kembali ke kamar yang letaknya di samping untuk tidur. Di Ciu-ci-tong tidak ada orang lain. Lamkiong Po melihat dengan teliti keadaan kemudian membuka pintu rahasia, masuk melalui jalan rahasia itu.

Jalan rahasia yang ada di bawah tanah itu sangat terang benderang tapi di Siau-hun-lo gelap. Lamkiong Po mendengar dengan seksama tidak ada yang bisa dia temukan.

Apakah Lo-taikun sudah pergi? Dia menunggu sebentar, akhirnya baru masuk. Di dalam kegelapan, dia mencari jalan dengan meraba, mengenai tirai mutiara. Diam-diam dia menyibakkan ke sisi dan maju.

Waktu itu pintu batu Siau-hun-lo tertutup.

Lamkiong Po terkejut, dia menoleh, dia lihat hanya kegelapan, sampai arah pun tidak terlihat lagi. Tapi itu hanya berlangsung sebentar, tiba-tiba lampu yang ada di penjara menyala. Lamkiong Po melihat ke arah lampu, tirai mutiara berlapis-lapis. Mutiara-mutiaranya tembus pandang dan berkilau.

Terdengar suara Lo-taikun:

“Akhirnya kau datang juga!”

Hati Lamkiong Po bergetar. Kata Lo-taikun lagi: “Kalau tidak bisa bersembunyi lagi, lebih baik kemari!”

Terpaksa Lamkiong Po berjalan ke sana melalui tirai mutiara.

Lo-taikun duduk di kursi di antara 4 peti mati. Sikapnya terlihat sangat tenang.

4 tutup peti itu sudah dibuka. Tampak 4 orang gadis sedang memejamkan mata, masing-masing terbaring di dalam peti mati. Wajah mereka mengeluarkan warna merah muda. Di bawah cahaya lampu terlihat sangat menarik.

Lo-taikun melihat Lamkiong Po dengan teliti:

“Tadi pagi kau tidak mempunyai kesempatan untuk masuk diam-diam, sekarang kau boleh melihat semuanya dengan jelas dan teliti!”

Lamkiong Po mengelilingi 4 peti mati itu. Dia menggelengkan kepala:

“Putramu tidak mengerti!”

“Tujuanmu kemari adalah mencari tahu satu hal!” “Bukan satu hal saja tapi beberapa hal!”

“Tidak ada bedanya!” Lamkiong Po baru mengerti:

“Ucapan ibu benar. Asal satu hal kau tahu jelas, yang lainnya juga akan menjadi jelas!”

“Sekarang bukankah sudah jelas semuanya?” “Hanya sedikit!” “Bagaimana kalau sampai di sini saja?”

“Putramu ingin kalau perkara ini tuntas sam pai pada a kilirnya!” Lo-taikun menggelengkan kepala:

“Lebih baik kau lepas tangan. Hidupmu hanya beberapa puluh tahun saja untuk apa harus begitu serius menjalaninya?”

“Yang menginginkannya adalah ananda sampai kan juga kepada ibu kata-kata ini!”

“Kita mempunyai perbedaan!”

“Ibu dan anak hatinya sama, seharusnya tidak ada perbedaan yang mencolok!”

“Apa yang kulakukan semua itu demi menjaga nama baik dan kedudukan keluarga Lam-kiong di dunia persilatan!” Suara Lo- taikun tetap terdengar begitu baik dan tenang.

“Itu memang berbeda. Tujuan putramu hanya ingin mengembalikan nama dan kedudukan nenek moyang keluarga Lamkiong yang susah payah diperoleh.”

“Aku tidak akan melepaskan begitu saja, bagaimana denganmu sendiri?”

“Putramu seperti Ibu!”

“Aku pasti akan berhasil!” Kata Lo-taikun dengan penuh rasa percaya diri.

Lamkiong Po terpaksa berkata:

“Aku juga!”

“Ada kemenangan pasti akan ada kegagalan. Kembalilah ke tempatmu, kau masih memiliki jalan hidup!” Kata Lo-taikun.

“Orang-orang keluarga Lamkiong tidak akan berjalan baik!” “Baik, kau patut disebut orang keluarga Lamkiong. Aku akan

membantumu   mencapai   tujuanmu!”   Lo-taikun   mengeluarkan

peluit dan meniupnya.

Empat gadis yang berbaring di dalam peti mati segera membuka mata mereka. Sama-sama berdiri. “Kalahkan dulu Bwe (Mawar), Lan (Anggrek), Ju (krisan), dan Tiok (bambu). Ada kesempatan melihat karya terbaikku Hen-lo- sat!” Lo-taikun meniup peluit lagi.

Empat orang gadis itu segera menyerang Lamkiong Po. Setiap kali menyerang mereka selalu menyerang ke tempat-tempat penting. Lamkiong Po melihat empat gadis itu bukan orang sederhana deng an cepat dia memegang pedang dengan tangan kanan nya. Kakinya juga mulai menendang. Dia berharap bisa dengan cepat menyelesaikan pertarungan ini.

Tapi begitu bertarung, dia terkejut dan semakin bertarung semakin membuat hatinya dingin. Karena saat kepalan, pedang, dan kaki memukul dan mengenai keempat gadis ini, mereka sama sekali tidak bereaksi apa-apa. Sampai-sampai alis mereka pun tidak dikerutkan. Bila terkena tendangan mereka akan roboh tapi segera meloncat berdiri lagi. Tenaga mereka tiada habisnya malah semakin kuat.

Dari posisi di atas angin akhirnya Lamkiong Po jadi berada di bawah angin, dari menyerang hanya bisa bertahan.

“Po-ji, apakah cukup sampai di sini saja?” “Tidak!” Jawab Lamkiong Po. Dia menyerang lagi.

Tapi serangannya selalu digagalkan oleh ke empat gadis itu. Empat gadis itu menyerang gila-gilaan. Akhirnya menepis dia hingga terjatuh.

Suara peluit terdengar lagi, empat gadis itu mundur sambil menyimpan pedang mereka. Tubuh Lamkiong Po sudah penuh dengan darah. Dia merangkak bangun. Tongkat Lo-taikun sudah berada di depan mata. Sewaktu dia mengangkat kepala, yang dia lihat adalah sepasang mata yang tidak dikenalnya dan sangat kejam. Hatinya bergetar lagi.

“Empat pembunuh itu saja kau tidak sanggup melayani, masih ingin mengatakan apa lagi?” Nada bicara Lo-taikun mulai terdengar kejam.

“Mereka benar-benar bukan manusia...” “Betul. Bisa dikatakan mereka jenis antara manusia dan setan, seperti kau sekarang ini!”

Lo-taikun menarik nafas:

“Sayang, sayang sekali, keluarga Lamkiong sampai sekarang ini harus tidak punya keturunan!”

Hati Lamkiong Po bergerak:

“Siapa kau sebenarnya?” Lo-taikun tertawa:

“Akhirnya kau menaruh curiga juga!”

“Harimau ganas tapi tidak akan memakan anaknya! Siapa kau sebenarnya?”

“Bagimu siapa aku, tetap tidak ada bedanya!”

Lamkiong Po tidak bertanya lagi, dia meloncat tinggi dan mengayunkan pedang menepis Lo-taikun. Dia sadar kalau dia tidak akan bisa lolos dari Lo-taikun, hanya ingin mencoba melawan untuk terakhir kalinya.

Tongkat kepala naga Lo-taikun melayang. Menyapu Lamkiong Po beserta pedangnya kemudian memukul punggung Lamkiong Po. Lamkiong Po menjerit memilukan. Kemudian dari 7 indra Lamkiong Po keluar darah. Dia roboh dan langsung tewas, tapi sepasang matanya membuka dengan lebar. Dia mati tidak menutup mata.

Lo-taikun hanya tertawa.

Harimau galak tapi tidak akan memakan anak nya. Dia bukan Lo-taikun asli, siapakah dia sebenarnya?

Kiang Hong-sim sudah menunggu di pintu rahasia. Tanya Lo- taikun:

“Ada masalah apalagi?”

“Sepertinya dia tidak bicara dulu kepada Au-siang, kalau tidak, dia tidak akan meninggalkan surat itu!” Kiang Hong-sim berkata dengan senang. “Apa Au-siang sudah membaca suratnya?” “Surat itu kuambil dulu!”

Lo-taikun membaca surat itu dan tertawa:

“Kau memang pintar dan lincah. Aku tidak salah memilih orang!”

Dipuji Lo-taikun, Kiang Hong-sim senang:

“Untung Au-siang belum membacanya, kalau tidak, akan bertambah repot!”

“Berarti kau sudah menolong nyawanya!” Kata Lo-taikun sambil tertawa.

“Apakah kita bisa mengambil kesempatan ini menuliskan sepucuk surat palsu untuk memindahkan musibah kepada orang lain?”

“Pasti bisa!”

“Tapi tulisannya harus mirip, kalau tidak, semuanya malah akan jadi berantakan. Akan merepot kan Anda lagi!”

“Hanya masalah kecil, tidak apa-apa!” Lo-taikun tertawa sombong.

Bakat dan kemampuan orang ini benar-benar banyak.

Pukul 3 dini hari sudah lewat. Coat-suthay terus berjalan mondar-mandir menunggu. Dia memang bukan orang yang sabar, apalagi malam ini entah mengapa hatinya merasa gundah!

“Apakah sudah terjadi sesuatu?” Begitu terpikir akan hal itu, Coat-suthay segera berlari keluar menuju tempat perjanjian.

Bwe Au-siang yang ada di dalam kamar duduk dan berdiri tidak tenang. Sewaktu dia membawa sup ginseng, Lamkiong Po sudah tidak ada di sana. Dia mengira Lamkiong Po berjalan-jalan di luar dan akan segera kembali tapi setelah ditunggu sampai sekarang ini, tetap tidak terlihat jejaknya.

Hatinya tidak enak, saat dia sedang bingung, dari luar terdengar suara Coat-suthay memanggil: “Tuan Lamkiong!”

“Siapa?” Bwe Au-siang membuka pintu. Begitu melihat Coat- suthay, wajahnya berubah marah.

“Di mana Lamkiong Po?” Tanya Coat-suthay.

“Ada apa kau mencari dia?” Bwe Au-siang balik bertanya.

“Dia mengajakku bertemu pukul 3 subuh ada masalah yang ingin dia sampaikan kepadaku. Tapi sampai sekarang dia belum datang, jadi aku kemari!”

“Ada masalah apa yang ingin disampaikan dia kepadamu?” “Aku adalah nikoh dan tidak akan berbohong!”

“Tadinya dia ada, tapi saat aku mengambil sup ginseng untuknya dan kembali ke sini dia sudah tidak ada...”

“Kapan itu terjadinya?” “Sebelum pukul 3 subuh...”

“Sudah 1 jam lebih, ke mana dia? Jangan sampai musibah muncul!”

“Musibah?”

“Aku benar-benar khawatir jadinya!”

“Terima kasih dengan pedang kau telah melukainya, aku tidak akan percaya pada kata-katamu!” Bwe Au-siang segera menutup pintu.

Coat-suthay ingin mendobrak pintu hingga hancur, tangannya sudah diangkat tapi diturunkan kembali, dia menghentakkan kaki dan lari keluar.

Bwe Au-siang membuka pintu kamar lagi. Sebenarnya dia sedang marah tapi dia tidak percaya kepada Coat-suthay dan tidak mau bertanya kepadanya. Dia keluar mencari Lo-taikun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar