Legenda Pendekar Ulat Sutera Jilid 09

Jilid 09

Liu Kun dengan cepat menculik kaisar dan pergi melalui jalan rahasia.

Waktu mereka datang ke kamar kaisar, Pak-to mengetahuinya. Tapi mereka tidak berpesan dulu saat pergi, maka Pak-to mengira mereka masih berada di kamar. Begitu Su Yan-hong dan lain-lain hendak masuk ke kamar kaisar, Pak-to masih melawan. Walaupun dia mempunyai ilmu silat yang tinggi, tapi Lam-touw juga tidak kalah.

Su Yan-hong dan lain-lain mengira kaisar masih berada di kamar. Setelah membereskan Pak-to dan lain-lain, mereka baru mengetahui kaisar sudah dipaksa Liu Kun memakai baju rakyat biasa dan dibawa pergi. Mereka segera berpencar untuk mencari.

Lu Tan dan Siau Cu mencari dalam satu kelompok. Mereka berdualah yang mendapat kabar bahwa Liu Kun sudah naik kereta pergi ke arah barat.

Mereka terus mengejar ke arah dan barat dan terus bertanya. Setelah keluar kota sejauh 10 li, terlihat dua ekor kuda ditinggalkan di sisi jalan. Kuda sudah mati karena kelelahan menarik kereta. Mereka mengejar lagi. Sampai di tepi sungai, akhirnya mereka melihat Hongpo bersaudara sedang melindungi Liu Kun. Kaisar berada di dalam penguasaan mereka. Mereka sedang siap-siap naik ke atas perahu kecil.

Kalau bukan karena beberapa kotak perhiasa-an, Liu Kun sudah naik ke atas perahu dan pergi jauh mengikuti arus air.

Beberapa kotak perhiasaan itu membuat Hong po bersaudara harus bolak-balik, sehingga keberang-katan mereka tertunda.

Siau Cu sangat pintar, dia masuk ke dalam air dan melubangi dasar perahu agar Liu Kun tidak bisa pergi.

Hongpo bersaudara tidak sempat menghadang. Sampai sekarang mereka siap melawan. Mereka berharap dapat membunuh Siau Cu dan Lu Tan, baru kemudian mencari jalan keluar.

Melihat Liu Kun, kemarahan Lu Tan terbakar. Dia ingin segera membunuh Liu Kun, maka dengan sekuat tenaga dia menyerang. Siau Cu tidak seperti Lu Tan, sifatnya memang baik dan licin, dia selalu mencari kesempatan baik.

Bila Hongpo bersaudara hanya menghadapi Lu Tan satu lawan satu, sepertinya tidak menjadi masalah bagi mereka. Tapi ditambah dengan seorang Siau Cu yang memukul ke sana kemari, membuat mereka kalang kabut.

Bukan hal yang mudah bagi Siau Cu dan Lu Tan untuk membunuh Hongpo bersaudara. Tapi jika sudah merobohkan salah satu dari Hongpo bersaudara, baru kemudian bergabung menyerang yang satunya lagi, itu akan lebih ringan bagi mereka.

Liu Kun yang melihat mereka terlihat semakin takut, tapi dia tetap tidak mau menyerah. Sebuah pisau belati di tangannya dia taruh di leher kaisar, dia membentak dengan ancaman:

“Siapa yang berani bergerak, aku akan bunuh kaisar!”

Siau Cu dan Lu Tan terpaku. Liu Kun melihat Lu Tan, dia membentak:

“Ayahmu berkali-kali melawanku. Kau putranya juga sama seperti dia. Apakah kau ingin mati?”

“Kau benar-benar tidak tahu diri! Kematian mu sudah di depan mata, masih begitu tidak tahu diri!”

“Kaisar berada di tanganku. Jika dia terluka, apakah kalian mau bertanggung jawab?” Liu Kun marah.

Lu Tan marah, dia ingin menyerang, tapi baru mengangkat kakinya, dia menurunkannya kembali. Siau Cu tidak punya cara lain lagi, tapi mulut tetap harus berbicara:

“Baik, aku mau lihat kau bisa bertahan berapa lama. Kita berdua bisa datang kemari, orang lain juga akan bisa kemari. Tapi selain Hongpo bersaudara, kau sudah tidak punya anak buah lagi.”

Lu Tan menyambung:

“In Thian-houw dan Tiang-seng sudah mati oleh pedang Siau Sam Kongcu! Apakah orang-orang Pek-lian-kau bisa datang menyelamatkanmu?”

Liu Kun coba-coba bertanya:

“Bagaimana dengan Thian-te-siang-kun?” “Mereka kalah oleh Tiong Toa-sianseng dan An-lek-hou, dan hanya bisa menyelamatkan nyawa sendiri. Apalagi 5 utusan lampion, mana berani mereka banyak bicara!” kata Siau Cu sambil tertawa.

Walaupun Liu Kun sudah memperkirakan keadaan seperti itu, tapi setelah mendengar sendiri kenyataannya dia benar-benar putus asa. Dalam ketegangan, keringat dingin terus menetes.

“Lebih baik kau menyerahkan diri! Mungkin kalau kaisar senang, dia akan menghapus kesalahanmu yang besar ini!”

Liu Kun melihat kaisar tapi wajah kaisar tanpa ekspresi, dia seperti tidak mendengar.

“Tapi walaupun hukuman mati bisa dibebaskan, hukuman hidup tetap harus dilaksanakan!” kata Siau Cu.

“Diam!” Liu Kun membentak:

“Kalau kau berkata omong kosong lagi.. Siau Cu menggelengkan kepala:

“Coba lihat dirimu, keringat memenuhi kepala, kaki dan tanganmu bergetar, sampai pisau belati juga terlihat seperti akan lepas!” Siau Cu melempar-lempar pisau, gerakannya begitu ringan dan lincah.

“Lemparkan pisaumu!” bentak Liu Kun.

“Apakah aku harus melemparkan pisau ini?” tanya Siau Cu tertawa.

“Cepat!” Liu Kun mengencangkan dua tangan. Kaisar mengeluarkan suara. Dia juga tergopoh-gopoh.

Siau Cu segera melemparkan pisau ke kejauhan. Dengan dingin Liu Kun berkata:

“Hitung-hitung kau tahu diri!” Dia lalu membentak pada Lu Tan, “Pedangmu!”

Lu Tan melihat Siau Cu. Dia juga melemparkan pedang ke tempat jauh. Liu Kun merasa lega. Dengan tangan yang memegang pisau belati dia mem bersihkan keringat di dahi. Dalam hatinya berpikir, Lu Tan dan Siau Cu tidak bersenjata, maka mereka tidak akan berbahaya dan tidak bisa meng-ancam dia.

Pada waktu itu sebuah senjata terbang keluar dari lengan baju Siau Cu dan dengan cepat senjata memukul pergelangan tangan Liu Kun. Terdengar suara tulang remuk. Lengan kanan Liu Kun memang tidak patah, tapi pisau belati di tangannya terlepas dan terbang jauh.

Lu Tan dan Siau Cu bekerja sama dengan baik. Lu Tan segera meloncat ke depan Liu Kun, menceng-kram pergelangan kirinya dan menarik Liu Kun jauh-jauh dari kaisar. Kemudian dia juga memukul dan menendang Liu Kun.

Siau Cu melihatnya, segera menarik Lu Tan:

“Jika kau memukul dia sampai mati, itu justru akan memudahkan dia!”

Akhirnya Lu Tan bisa tenang. Melihat Liu Kun roboh, kaki yang baru diangkat Lu Tan di-turun-kan lagi.

106-106-106

Terdengar suara kuda berlari.

Kaisar ketakutan dan bersembunyi di belakang Siau Cu dan Lu Tan. Mata Siau Cu lebih tajam, dia segera berteriak senang:

“Hou-ya datang!”

107-107-107

Selain Su Yan-hong, Tiong Toa-sianseng dan Siau Sam Kongcu, masih ada Ling-ong, Su-ki-sat-jiu dan pasukan-pasukannya.

Terlihat senyum di wajah kaisar, dia melihat kepada Liu Kun: “Kau juga bisa seperti ini!”

Tiba-tiba Liu Kun merangkak bangun. Sambil menangis dan menyembah:

“Hamba pantas mati! Harap baginda me maafkan hamba!” “Kau juga tahu pantas mati!” kaisar tertawa. “Hamba pantas mati. Semua ini disuruh Ling-ong. Hamba hanya mengikuti perintah dia!” tiba-tiba Liu Kun berteriak.

“Oh?” kaisar melihat Ling-ong.

“Maafkan kami baginda, kami telat datang!” Ling-ong berlutut, “kekuatan Liu Kun sangat kuat di ibukota. Beberapa kali aku dicegat olehnya ketika mau membawa pasukan datang ke utara. Demi kelan caran datang ke ibukota untuk menemui baginda, terpaksa aku pura-pura mendekati dia...”

“Baik, aku mengerti!” kaisar tertawa kepada Liu Kun, “sekarang sudah telat untuk menggunakan cara licik itu!”

Liu Kun melihat Ling-ong dengan sorot mata membenci. Ling- ong hanya tersenyum.

Kaisar juga tersenyum, tapi tidak ada yang melihat sebelum tertawa, tampak sedikit keraguan di matanya.

108-108-108

Kekalahan Liu Kun membuat pejabat-pejabat terus memberikan surat kepada kaisar, menyatakan 30 kesalahan Liu Kun. Kaisar tidak mempunyai waktu untuk memeriksa siapa yang salah dan siapa yang benar. Dia menyuruh pengawalnya untuk menyerahkan Liu Kun ke pengadilan istana.

Perkara digelar pada siang hari. Hakim adalah pejabat tinggi. Liu Kun tertawa:

“Sesuai perkiraanku!”

Liu Kun tahu dia tidak akan bisa lolos dari kematian, maka semua masalah dipaparkannya. Semua orang yang mendengar perkataannya merasa heran dan bingung.

“Ternyata adalah kalian!” Liu Kun melihat mereka, “kalian bisa mencapai jabatan yang begitu tinggi, siapa yang mendukung kalian?”

Semua orang terpaku.

“Baiklah, aku berada di sini, sekarang siapa yang menghakimi aku? Kau atau kau?” Semua orang yang ditunjuknya menundukkan kepala. Liu Kun bertambah galak dan tertawa:

“Semua pejabat di kerajaan diangkat olehku, siapa yang berhak menghakimi aku?”

“Aku yang bertanya kepadamu!” Su Yan-hong masuk. Kali ini Liu Kun yang bingung.

Tanya Su Yan-hong:

“Aku tidak ada hubungan apa-apa denganmu, aku punya hak untuk menghakimimu!”

Liu Kun diam. Kata Su Yan-hong lagi:

“Sebenarnya tidak perlu banyak bertanya!” Dia membuka sebuah kain:

“Lihatlah apa maksud baginda.”

Sorot mata Liu Kun melihat kepada kain itu. Wajahnya pucat, dia terjatuh pingsan.

Tuduhan kesalahan dia ada 30. Jika setiap kesalahan harus ditanyakan, maka menghabiskan banyak waktu. Kaisar tidak sabar, dia hanya menulis enam buah huruf dan memberikannya kepada Su Yan-hong.

“Bo-hu-couw, Leng-ce-ci!” (Tidak ada ampun, segera hukum mati) Tidak perlu banyak bicara dan perintah hukuman sudah diturunkan. Maka ddak perlu diadili. Setelah membaca kain perintah yang diturunkan, Liu Kun benar-benar gemetar.

109-109-109

Ada beberapa jenis hukuman mati, dari yang ringan sampai dengan yang berat. Yang paling ringan adalah dihukum gantung di dalam penjara. Yang ke dua adalah hukuman penggal kepala. Ketiga adalah Siau-souw. Hukuman penggal kepala dan Siau-souw sama- sama dilakukan dengan cara me-menggal kepala. Perbedaannya pada hukuman penggal kepala, keluarga diijinkan untuk mengambil mayatnya, kemudian kepala akan dijahit kembali oleh tukang kulit. Jadi boleh dikatakan mayatnya masih utuh. Yang paling berat adalah Leng-ce-ci. Biasanya orang-orang menyebutnya dicincang atau dipotong. Pada hukuman Ling-ce-ci ini, daging pada tubuh akan dipotong selembar demi selembar. Bila algojonya disuap sebelum menjalankan eksekusi, nadi penting akan ditusuk dulu, maka yang dikelupas sudah menjadi mayat dan tidak akan merasa sakit.

Liu Kun melakukan pelanggaran pidana yang berat. Algojo di bagian hukum tidak berani disuap juga tidak berani macam-macam. Apalagi waktu pelaksanaan Ling-ce-ci, semua orang pasti keluar untuk melihat. Disaksikan oleh begitu banyak pasang mata, mana mungkin algojo berani berbuat macam-macam.

Liu Kun suka menangis. Sekarang dia ketakutan dan sama sekali tidak berani menangis lagi. Setengah ditarik setengah dipapah, dia diantar ke lapangan eksekusi. Rambutnya diikat di sebuah ring yang dipasang pada sebuah tiang.

Algojo membuka sebuah jala yang terbuat dari tali. Dia menjala tubuh Liu Kun di mana tubuh atas dibuka bersama tiang. Tali ditarik dengan kencang, maka daging Liu Kun menekan keluar dari lubang- lubang jala.

Waktu eksekusi menurut aturan adalah jam 1, tidak boleh lebih awal juga tidak boleh lambat. Tidak boleh lebih awal karena surat kaisar yang membatalkan hukuman bisa datang tiba-tiba. Kalau dipenggal lebih awal, orang mati tidak bisa hidup kembali. Bila terjadi begitu, pejabat yang bertanggung jawab melaksanakan tugas eksekusi akan dihukum berat.

Maka saat petasan siang berbunyi, eksekusi dimulai. Selain Liu Kun, keluarganya yang berjumlah 15 orang semuanya harus dipenggal. Semua yang dieksekusi di lapangan harus berlutut menghadap ke utara. Ada yang masih berharap ada orang naik kuda datang mengantarkan surat kaisar untuk membebaskan hukuman mati, dan hukuman diganti dengan dikirim ke perbatasan menjadi prajurit penjaga perbatasan. Hal seperti ini bukan tidak pernah terjadi. Tapi bagi orang-orang yang membenci Liu Kun, mereka benar-benar merasa was-was, khawatir tiba-tiba ada perubahan.

Waktu eksekusi sudah dekat. Tiba-tiba dari dinding istana benar ada seekor kuda berlari cepat men-datangi. Hal ini membuat semua orang terpaku. Sampai pejabat yang bertanggung jawab mengeksekusi juga menunggu. Begitu pengawal istana datang dan turun dari kuda, dia mengeluarkan sepucuk surat. Semua orang baru tenang.

Surat yang diantar bukan surat pembatalan eksekusi, melainkan suart untuk menjalankan eksekusi, semua orang bersorak.

Perintah diturunkan. Keluarga Liu Kun dipenggal dulu. 15 kepala tergeletak di tanah. Hal ini dimaksudkan agar Liu Kun melihat kemadan keluarganya, membuat hati dia sakit.

Terakhir Hbalah giliran Liu Kun. Pertama, algojo mengelupas kelopak mata, kemudian dua tangan. Menyelesaikan itu membutuhkan waktu setengah jam. Terakhir memenggal kepala Liu Kun. Semua ditaruh di dalam baskom dan diantar ke pejabat yang bertanggung jawab untuk mengeksekusi.

Kemudian dilanjutkan dengan acara jual algojo. Tiga tail untuk selembar daging Liu Kun segera laris. Walaupun orang-orang yang dulu per-nah disiksa Liu Kun ribut akan memakan dagingnya, tapi setelah daging dibeli, mereka memberikannya untuk dimakan anjing atau diinjak-injak sebagai pelampiasan. Orang yang benar- benar memakan daging nya sangat sedikit.

110-110-110

Thian-te-siang-kun kembali ke tempat Liu Kun. Mereka tidak muncul di lapagan eksekusi. Bagi mereka Liu Kun sudah tidak berharga. Gagal membunuh Kang Pin dan kalah oleh pedang Su Yan-hong dan Tiong Toa-siansengn, mereka malu kembali ke Liu Kun untuk melapor. Mereka juga sekalian memanggil kembali 5 utusan lampion untuk melihat situasi dan membuat rencana lain. Setelah berita kegagalan Liu Kun tersebar, mereka siap keluar dari ibukota. Ini adalah hari terakhir mereka berada di ibukota.

Jin-kun tiba-tiba datang. Ini membuat Thian-te-siang-kun terkejut. Jika ada pemberitahuan, mereka bisa berunding dulu. Setidaknya hati masih ada persiapan. Tapi sekarang ini mereka hanya bisa terkejut.

Jin-kun memakai baju berwarna perak yang menjadi tanda seragam Sam-kun. Hanya saja kepalanya ditutup oleh kantong perak dan hanya tampak sepasang mata.

Thian-te-siang-kun sama sekali tidak mencurigai Jin-kun. Sebenarnya dengan berpenampilan seperti itu Jin-kun baru bisa datang mencari.

“Sam-kun akhirnya berkumpul kembali!” kata Thian-kun sambil melihat ekspresi Jin-kun.

“Masih Sam-kun?” Jin-kun balik bertanya.

“Waktu itu Kaucu mengadakan rapat akbar. Seharusnya kau hadir!” kata Te-kun.

“Apakah kalian adalah ketua Pek-lian-kau sekarang?” tanya Jin- kun.

“Apakah ada yang menolak? Apakah kau menolak?” tanya Te- kun tertawa.

“Aku? Mana mungkin aku ddak setuju!” “Kalau begitu kali ini kau datang...”

“Hanya ingin tahu rencana kalian selanjutnya.”

“Berarti apa yang kita lakukan dulu, kau mengetahuinya?” “Tidak semua!” Nada suara Jin-kun berubah menjadi tua dan

penuh wibawa.

Thian-te-siang-kun merasa terkejut dan kele-pasan berkata: “Ternyata adalah kau...” Mereka melihat kantong berwarna

perak yang membungkus kepala Jin-kun. “Tahu atau tidak tahu sebenarnya tidak ada bedanya bagi kalian!”

“Kami kira siapa yang tahu begitu jelas tentang Pek-lian-kau, ternyata adalah kau yang selalu mengganggu dari dalam!”

“Kalian berdua selalu ingin mengetahui dunia persilatan, bukankah keterlaluan?”

“Apakah kau bisa?”

“Bisa atau tidak, sekarang ini terlalu awal untuk kita bicarakan!”

“Walaupun kau memiliki niat ingin menguasai dunia persilatan, kau tidak perlu membocorkan rahasia Pek-kut-mo-kang kepada orang lain.”

“Dari mana aku tahu rahasia Pek-kut-mo-kang?” Jin-kun balik bertanya.

Thian-te-siang-kun terpaku. Kemudian Jin-kun bertanya:

“Pek-kut-mo-kang bukan apa-apa. Di atas langit masih ada langit, di luar orang masih ada orang...”

“Kita dua bersaudara pasti bisa menguasai dunia persilatan!” kata Thian-kun.

“Benar!”

“Kalau kau mau bersama kami...” Te-kun menyela.

“Dia tidak akan mau! Lebih baik kita melihat kemampuan diri masing-masing. Kita coba lihat nanti!” kata Thian-kun.

“Aku pergi dulu!” Jin-kun membalikkan tubuh.

Thian-te-siang-kun tidak menghadang. Wajah mereka sangat serius, pikiran juga menjadi berat.

111-111-111

Tadinya Siau Cu sangat santai, tapi begitu masuk ke Ci-cu-wan, hatinya langsung merasa berat.

Ci-cu-wan sangat sepi, tidak ada orang. Sampai di ruangan dalam pun tidak ada orang. Ruangan sangat rapi dan bersih, semua barang ditutup dengan kain. Pintu diketuk tapi tidak ada orang yang membuka. Siau Cu merasa aneh, tapi dia tetap mencari alasan untuk menjelaskan kepada dirinya. Sekarang dia mulai tidak tahan dan mulai tidak tenang. Di ruangan tamu tidak ada orang, dia segera ke kamar Lamkiong Bing-cu.

Pintu ditutup tapi tidak dikunci. Beberapa kali Siau Cu memanggil Bing-cu, tapi tidak ada reaksi, maka Siau Cu membuka pintu dan masuk.

Bing-cu tidak ada di kamar, tapi ada sepucuk surat. Terlihat dia sangat mengenal sifat Siau Cu dan tahu Siau Cu akan datang kemari.

Surat memberitahu bahwa Lo-taikun ingin kembali ke Kanglam. Dia tidak bisa tinggal sendiri di sini dan berharap bisa bertemu di lain waktu.

Setelah Siau Cu membaca surat ini, dia terpaku, hatinya menjadi bimbang tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa.

112-112-112

Lamkiong Po dari keluarga Lamkiong muncul di An-lek-hu. Dia mengantar undangan ke tangan Tiong Toa-sianseng, setelah berbicara beberapa kata, dia tergesa-gesa pergi.

Melihat dia pergi, Tiong Toa-sianseng menarik nafas: “30 tahun cepat berlalu!”

“Cianpwee, kenapa?” tanya Fu Hiong-kun aneh.

“apakah keluarga Lamkiong mengundangmu ke Pek-hoa-couw untuk bertanding ilmu pedang?” Lam-touw menyela.

“Di dalam benak Kai-heng masih ada bayangan akan hal ini?” kata Tiong Toa-sianseng.

“30 tahun yang lalu, keluarga Lamkiong ingin mengenal semua pendekar di dunia persilatan maka mereka membuat pesta besar di Pek-hoa-couw. Di pesta itu semua pendekar dan ksatria harus mengeluarkan jurus-jurus andalannya dan saling bertarung secara persahabatan. Mereka saling memuji dan berhenti di batas tertentu. Lo-taikun melihat semua orang dengan senang dan tertarik, maka dia menentu kan rapat seperti itu akan diselenggarakan setiap 10 tahun. Setiap 10 tahun, bulan 8 tanggal 8, mengundang semua pesilat pedang ke Pek-hoa-couw. Aku sudah tiga kali berturut-turut mengikuti pesta, maka aku selalu ingat!”

“Kalau tujuan semua orang hanya saling belajar, itu bukan hai yang bagus!”

“Apakah Cianpwee juga ingin pergi ke Kang-lam?” tanya Fu Hiong-kun.

“Di sini hidup selalu tegang, jalan-jalan ke Kanglam adalah hal yang menyenangkan!” Tiong Toa-sianseng tersenyum.

“Kalau menyenangkan, untuk apa menunggu lagi? Aku Lam- touw pergi dulu!” Lam-touw segera pergi.

“Cianpwee!” Fu Hiong-kun ingin mengejar tapi Tiong Toa- sianseng menghadang:

“Dari awal dia sudah mengambil keputusan, hanya baru sekarang pamitan kepada kita!”

“Bagaimana dengan Siau Cu?”

“Dia tidak akan meninggalkan Siau Cu, Sekarang di mana Siau Cu?”

“Keluarga Lamkiong!” Fu Hiong-kun tertawa.

Tiong Toa-sianseng seperti tahu mengapa Siau Cu pergi ke keluarga Lamkiong, dia tersenyum:

“Anak muda memang berani. Aku hanya berharap dia sempat bertemu, kalau tidak sempat dia jangan terlalu kecewa!”

“Mungkin dia tidak akan!”

^ “Menurutku memang seperti itu. Dia tidak seperti

Lu Tan!”

“Lu Tan juga baik!” Su Yan-hong menyela, “dia hanya ingin kaisar mengembalikan nama baik ayahnya, dia tidak mau menerima pemberian kaisar!” “Aku juga mengagumi ini!” kata Tiong Toa-sianseng, “tapi selain tidak mau tanda jasa dan kekayaan, dia juga sangat kecewa dan ingin pergi ke Bu-tong-san untuk menjadi pendeta. Itu keterlaluan!”

“Mungkin bukan kecewa...” kata Fu Hiong- kun.

“Anak muda harus hidup dengan semangat, tidak cocok menjadi hweesio atau pendeta!” kata Tiong Toa-sianseng sambil menggelengkan kepala.

“Apakah dia sudah pulang?” tanya Su Yan- hong.

“Dia pergi ke Ling-ong-hu untuk berpamitan pada Tiang-Iek Kuncu!” kata Fu Hiong-kun.

“Aku mengira dia akan tinggal 2-3 hari di sini!” Su Yan-hong menarik nafas, “kelihatannya gara-gara Liu Kun baru ada kesempatan berkumpul!”

Dia melihat Fu Hiong-kun. Hatinya bertambah berat, dia ingin mengatakan sesuatu tapi kata-kata tidak keluar.

Fu Hiong-kun memang belum pamit kepadanya, tapi Su Yan- hong memperkirakan dia juga tidak akan berlama-lama di sini.

113-113-113

Waktu Siau Cu pulang, malam sudah larut. Begitu mengetahui Lam-touw sudah pergi, dia terus berjalan bolak-balik. Sampai dia membaca surat yang ditinggalkan Lam-touw baru dia kembali bergembira.

Surat Lam-touw ditinggal di meja kamar. Hanya beberapa kalimat, mengatakan gurunya ada perlu tergesa-gesa pergi ke Kanglam. Dia ingin Siau Cu mengikuti tanda yang dia tingggalkan dan akan berkumpul bersama nanti.

Siau Cu tahu Bing-cu kembali ke Kanglam, dia sudah berniat ke Kanglam. Sekarang adalah kesempatan baik, mana mungkin dia tidak senang. Setelah berpamitan kepada Su Yan-hong, malam itu juga pergi ke Kanglam.

Di hari kedua Tiong Toa-sianseng baru mendengar hal ini dari mulut Su Yan-hong. Dia menggelengkan kepala dan tertawa kecut: “Guru dan murid sama-sama bersifat terburu-buru, sekali berkata pergi langsung pergi. Orang yang tidak mengenal mereka akan mengira sudah terjadi sesuatu!”

“Kao-cianpwee memang terlihat tidak serius, tapi dia begitu tiba- tiba pergi ke Kanglam seperti ada masalah yang dia ingin segera bereskan!” kata Tiong Toa-sianseng.

“Apakah guru juga ingin segera meninggalkan ibukota?” “Ibukota bukan tempat kita bisa merasa nyaman!”

“Kalau begitu kapan guru pergi?' “Semakin cepat semakin bagus!”

“Murid berharap bisa ikut juga!”

“Kau sudah menjadi pejabat penting di kerajaan, mana bisa...” “Besok    pagi    aku    akan    bertemu    dengan    kaisar    dan

mengembalikan kekuasaan pasukan kepadanya. Aku berharap

kaisar bisa mengerti hatiku dan tidak menghalangi aku!” “Kau sudah berpikir matang...”

“Seperti kata guru, ibukota bukan tempat bagi orang seperti kita untuk bisa merasa nyaman.”

“Apakah kau kira kaisar akan mengijinkan kau pergi?”

“Semua sudah beres, murid menyerahkan kembali kekuasaan pasukan. Kaisar pasti menunggu-nunggu!”

“Kau benar-benar bisa menunda?” “Kalau bisa lebih baik kita tunda!”

“Baiklah! Sebelum pergi ke Pek-hoa-couw, guru akan pergi ke Lu-san bertemu Ih (tabib), Tok (racun), Yok (obat), Say-gwa-sam- sian (3 dewa dari luar dunia).

“Teman sudah berpuluh-puluh tahun pergi ke Lu-san, sudah lama berjanji untuk mengunjungi mereka!”

“Sam-wi Cianpwee sudah lama terkenal. Kalau Tecu bisa bertemu, ini adalah hal yang menggembirakan dalam hidupku!”

“Kalau begitu, bila kaisar melepaskanmu, kita segera berangkat!” Su Yan-hong setuju.

114-114-114

Kaisar ingin mencari Su Yan-hong, kebetulan Su Yan-hong datang. Dia benar-benar senang dan menarik nafas:

“Satu gelombang baru diratakan, gelombang lain sudah datang lagi!”

“Apakah sisa kekuatan Liu Kun masih belum bersih dan mereka bergerak lagi?”

“Bukan, masalahnya adalah Ling-ong!”

“Ling-ong setia kepada kaisar dan negara, mengapa baginda mengkhawatirkan dia?”

“Apakah kau lupa, ketika Liu Kun tertangkap, dia menuduh Ling- ong yang menyuruh dia...”

“Waktu itu bukankah Ling-ong sudah menjelaskannya? Kalau memang benar, dia tidak akan datang membantu. Mungkin sampai sekarang juga kita belum selesai!”

“Tapi aku selalu merasa Ling-ong memang ingin memberontak! Mungkin kau tidak tahu setelah Liu Kun ditumpas, dia pernah datang mencariku. Dia meminta ijin untuk menambah pasukan dan memungut pajak-pajak, dia juga tidak mau berada di bawah kekuasaan kerajaan!”

“Kata-katanya ini bukankah syarat yang bagin da setujui sebelum menumpas Liu Kun?”

Kaisar terpaku:

“Waktu itu aku terpaksa. Jika membiarkan dia seperti itu, bukankah seperti memelihara seekor harimau?”

Su Yan-hong tidak mengeluarkan suara. Kaisar berkata lagi: “Nenek moyang Ling-ong adalah putra ke-17 yang bernama Cu

Koan.   Cu   Koan   pernah   memberontak   kemudian   kedudukan

pangeran dihapus menjadi rakyat biasa. Sekarang mungkin Ling- ong akan mengikuti jejak nenek moyangnya!” “Maksud kaisar adalah...”

“Aku ingin menahan dia di kota agar dia tidak bisa memberontak! Sedangkan di bagian Kang-lam, biar kau yang mengurusnya!”

“Hamba?” Su Yan-hong merasa aneh.

''Tidak ada orang yang lebih cocok darimu. Apakah kau tidak setuju?”

“Hamba selalu terbiasa hidup bebas dan tenang. Sekarang hamba datang untuk menyerahkan kembali kekuasaan pasukan yang pernah baginda berikan, hamba ingin mengikuti guru berkelana di dunia persilatan!”

“Apa?” kaisar seakan tidak mempercayai pendengarannya, “Kali ini Ling-ong sudah membuat jasa yang besar. Terhadap ini baginda tidak perlu khawatir!”

“Tapi tetap harus berjaga-jaga!”

Kaisar baru selesai berkata, Thio Gong masuk tergesa-gesa dan berteriak:

“Baginda! Baginda!”

“Ada apa?” Walaupun kaisar tidak tahu apa yang terjadi, tapi melihat Thio Gong, hatinya tidak tenang.

Thio Gong melihat Su Yan-hong. Kata kaisar:

“An-lek-hou bukan orang luar, katakanlah ada apa!” “Tentang Ling-ong...”

“Ada apa dengan dia?”

“Dia sudah pergi malam-malam!”

“Aku benar-benar ceroboh. Aku tidak menyangka dia akan melakukan ini!”

“Menurut hamba, dia pasti kembali ke Kang- lam!”

“Kemana pun sama saja!” Lengan baju kaisar melayang, “sudahlah!” “Apakah harus dikejar?” tanya Thio Gong.

“Kejar? Siapa yang menyuruh untuk mengejar? Kau kira dia tidak membuat pengaturan di sepanjang jalan?” Kaisar menggelengkan kepala, “sekarang ini tidak ada hal yang bisa beijalan lancar!” Kemudian dia melihat Su Yan-hong, “betulkah kau ingin menyerahkan kembali kekuatan pasukan?”

“Betul!” Su Yan-hong berkata dengan serius.

“Di kerajaan semua orang ingin menjadi komandan pasukan, tapi kau malah tidak peduli!”

“Aku bukan seorang komandan pasukan, kemarin ini hanya terpaksa!”

“Tidak ada kau di sisiku, aku merasa tidak tenang. Apalagi sekarang Ling-ong...”

“Hamba punya ide...”

“Katakan!” kaisar melihat Su Yan-hong.

“Tarik kembali Ong-souw-jin ke Lam-kiang. Biar dia yang mengawasi Ling-ong. Itu seharusnya bisa dia lakukan!”

“Betul!” kata kaisar.

“Hamba sudah mengambil keputusan ingin pergi, harap baginda memberi ijin!”

“Kapan rencanamu pergi?”

“Setelah beres, langsung berangkat!”

< jaia “Berarti kita tidak akan bertemu selama beberapa lama!” lalu Kaisar berpesan kepada Thio Gong, “cepat siap-siap!”

Thio Gong keluar, tiba-tiba mata kaisar berputar dan bertanya: “Bagaimana dengan Fu Hiong-kun?”

“Aku belum bertanya kepada dia...” “Bagaimana dengan gadis ini?”

“Baik sekali!” ini adalah kata-kata yang keluar dari dalam hati. “Apakah kau siap menikah lagi?” “Baginda benar-benar bisa bercanda. Aku sudah terbiasa hidup tidak terkekang!” Yang pasti itu bukan kata-kata dari dalam hati Su Yan-hong.

“Oh?” tiba-tiba kaisar tertawa aneh, “kalau kau tidak punya maksud terhadapnya, aku sudah tenang!”

“Maksud baginda...”

“Di dalam istana memang banyak perempuan cantik, tapi tidak ada bedanya. Seperti jika setiap hari makan enak, lama-lama juga bosan. Fu Hiong-kun adalah gadis cantik dari dunia persilatan, mempunyai daya tarik yang berbeda. Apakah dia masih di rumah mu?”

Hati Su Yan-hong merasa berat. Dia ingin mengatakan Fu Hiong- kun tidak ada, tapi kaisar sudah berpesan kepada Thio Gong:

“Turunkan perintah ke An-lek-hu, suruh Fu Hiong-kun masuk istana!”

Su Yan-hong ingin menghadang tapi tidak sempat lagi. Sebenarnya dia juga tidak tahu bagaimana cara menghadang perintah ini.

Yang pasti minum arak juga terasa tidak nyaman, terpaksa Su Yan-hong pura-pura tidak bisa minum banyak. Entah karena kaisar rindu Fu Hiong-kun, dia membiarkan Su Yan-hong pulang.

Di sepanjang jalan hati Su Yan-hong berdebar-debar. Dia sangat berharap Fu Hiong-kun tidak bertemu Thio Gong. Dia juga berharap bisa bertemu mereka di jalan, agar bisa menyuruh Thio Gong pergi dan membawa Fu Hiong-kun pergi.

Fu Hiong-kun gadis seperti apa, Su Yan-hong sangat tahu. Di hadapan kaisar dia tidak akan tunduk. Akibatnya tidak terbayangkan.

Ide kaisar atas Fu Hiong-kun benar-benar di luar dugaan Su Yan- hong. Ide ini juga membuat dia ingin tertawa. Dia mengira setelah melewati peristiwa Liu Kun, kaisar akan berubah. Tapi ternyata baru selesai masalah Liu Kun, sifat kaisar sudah kambuh lagi. Maka terhadap pilihannya untuk mengundurkan diri, dia sama sekali tidak menyesal, dan malah merasa beruntung.

Sampai di An-lek-hu, dia tidak bertemu Thio Gong maupun Fu Hiong-kun. Dia tidak tenang, dia takut Thio Gong sudah menjemput Fu Hiong-kun dan pergi melalui jalan lain. Sampai melihat Thio Gong masih menunggu di dalam ruangan tamu, dia baru tenang.

Setelah bertanya, dia baru tahu Fu Hiong-kun membawa Ih-lan keluar bermain. Su Yan-hong baru menarik nafas lega. Dia cepat- cepat mencari alasan untuk ke belakang rumah, ketika bertemu dengan Tiong Toa-sianseng, dia menjelaskan hal ini.

Mendengar kaisar menginginkan Fu Hiong-kun masuk ke kamar cinta, Tiong Toa-sianseng terkejut dan marah. Dia segera pergi melalui pintu belakang untuk mencegat Fu Hiong-kun. Kesabaran Thio Gong memang luar biasa. Tapi yang membawa Ih-lan pulang adalah Tiong Toa-sianseng. Thio Gong dengan tergesa-gesa menyambut:

“Mengapa Nona Fu tidak kelihatan?”

“Nona Fu ada perlu, dia sudah keluar kota!” “Katanya dia tidak akan pergi!” kata Ih-lan. “Tapi mengapa sekarang dia pergi?”

Ih-lan menggelengkan kepala. Thio Gong men coba bertanya: “Dia pergi dari arah mana?”

“Pintu An-teng!”

Thio Gong segera berpesan kepada 8 kasim yang menyertai kedatangannya ke An-lek-hu:

“Cepat kita kejar!” Dia juga berpamitan pada Su Yan-hong. Setelah mereka pergi jauh, Ih-lan tertawa. Su Yan-hong segera membentak:

“Lan-lan!”

Tiong Toa-sianseng ikut tertawa dan menyela:

“Lan-lan benar-benar pintar dan lincah. Dia juga pintar berpura- pura. Hanya dia yang bisa membuat Thio Gong percaya!”

“Mana Hiong-kun...” tanya Su Yan-hong cemas.

“Ada di sini...” Fu Hiong-kun keluar dari sekat, “Hou-ya, aku sudah membuatmu khawatir!” Hati Su Yan-hong benar-benar tenang.

115-115-115

Thio Gong mengejar dari jalan keluar An-teng-bun sejauh tiga li, tetapi mereka tidak melihat Fu Hiong-kun. Dia juga tidak mendapat kabar Fu Hiong-kun. akhirnya terpaksa kembali ke kaisar untuk melapor.

Setelah kaisar mendengar laporan Thio Gong, dia hanya tertawa: “Ayah adalah harimau, anak  juga bukan  anak  anjing. Ih-lan

benar-benar pintar dan lincah!”

Thio Gong segera mengerti:

“Hamba segera pergi ke An-lek-hu untuk melihat lagi!”

“Tidak perlu! An-lek-hu begitu tegang. Kelihatannya dia memang menyukai Fu Hiong-kun. Aku tidak mau karena seorang perempuan, membuat dia tidak suka kepadaku!”

“Oh?” Thio Gong pura-pura tidak mengerti.

“Karena aku masih punya banyak hal yang memerlukan bantuannya. Sulit mendapatkan orang yang berbakat seperti dia. Mana mungkin semba-rangan dilepaskan dan diperalat?” Tawa kaisar bertambah besar.

Thio Gong diam-diam melihat kaisar. Dia merasa bergetar dingin.

116-116-116 Setelah Ih-lan sudah tertidur, Fu Hiong-kun baru keluar dari kamarnya. Su Yan-hong masih berdiri di kebun. Ketika melihat Fu Hiong-kun keluar, dia baru berbicara:

“Besok kita akan pergi ke Kanglam!” “Aku mau pulang ke Heng-san!”

“Apakah kau tidak suka bersama dengan kami?” Fu Hiong-kun menggelengkan kepala:

“Aku masih ada urusan penting yang harus kulakukan!” Su Yan-hong mengeluh:

“Apapun yang terjadi, kau harus mengingat kami adalah teman!” Fu Hiong-kun mengangguk:

“Kemana pun sama saja, hanya harus ingat memperhatikan Lan- lan. Jangan biarkan dia terkejut lagi!”

“Aku akan berhati-hati! Tapi kalau kau pergi, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kusampaikan pada dia!”

“Kau belum tahu, dia adalah anak yang kuat!” Su Yan-hong terpaku. Kata Fu Hiong-kun kemudian:

“Aku akan kembali ke kamar untuk bersiap-siap dulu!” Su Yan-hong masih terpaku di sana.

Ih-lan sebenarnya berada di balik pintu. Melihat Fu Hiong-kun akan pergi, dia meneteskan air mata.

117-117-117

Sebemarnya kepergian Lam-touw ke Kanglam adalah untuk mengikuti Kiang Hong-sim. Dia mempunyai kecurigaaan terhadap perempuan ini. Meminta maaf kepada Lo-taikun adalah cara Lam- touw agar Kiang Hong-sim bisa mengurangi kewaspadaan, sehingga Lam-touw bisa mencari celah-celahnya.

Keluarga Lamkiong tinggal di penginapan In-lay. Dia segera datang ke sana. Walaupun beberapa hari ini tidak mendapatkan hasil, tapi tidak merasa kecewa. Begitu melihat ada kesempatan, dia terlihat sangat senang. Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim berada di garis yang sama. Hal ini benar-benar di luar dugaan Lam-touw.

Dia melihat Kiang Hong-sim keluar dari kamar. Tidak disangka Kiang Hong-sim bertemu dengan Cia Soh-ciu di kebun.

Sebatang pipa kecil dan panjang tampak di tangannya, makin ditarik makin panjang, panjangnya melebihi daun dan ranting, mengulur ke arah berdirinya Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim.

Waktu Lam-touw mencuri dengar, ada juga orang lain yang melakukannya. Siapa yang mengikuti siapa, hanya mereka berdua yang tahu.

Cia Soh-ciu dan Kiang Hong-sim sepertinya tidak mengetahui Lam-touw sedang mencuri dengar pembicaraan mereka.

“Apakah orang itu sudah dihubungi?” Yang sedang berbicara adalah Cia Soh-ciu. Itu adalah kalimat pertama yang Lam-touw dengar.

Kiang Hong-sim menjawab dengan sangat jelas:

“Sudah! Satu jam kemudian kita akan bertemu di hutan dekat penginapan!”

“Apakah membutuhkanku untuk turut ke sana?”

“Tidak perlu. Hanya hal ini jangan beritahu orang lain!” Setelah itu Kiang Hong-sim segera pergi.

Sebenarnya ada masalah apa? karena ingin tahu, Lam-touw harus mengikuti Kiang Hong-sim.

118-118-118

Hutan itu dipenuhi pohon-pohon besar. Kiang Hong-sim baru saja sampai di depan hutan, seorang yang berbaju hitam dan bertutup wajah muncul seperti hantu gentayangan.

Lam-touw membuntuti Kiang Hong-sim sampai ke sini. Dia bersembunyi di balik semak-semak. Waktu ingin memasang pipa panjang, orang berbaju hitam berbisik kepada Kiang Hong-sim. Kiang Hong-sim terus mengangguk, kemudian dia berlari kembali melalui jalan ketika dia datang tadi. Orang berbaju hitam setelah melihat Kiang Hong-sim sudah pergi jauh, baru membalikkan tubuh berjalan pergi. Jalannya tidak cepat. Ini sangat cocok dengan keinginan Lam-touw, dia terus mengikuti orang itu.

Sesampainya di tengah hutan, orang berbaju hitam pelan-pelan membalikkan tubuh dan berkata:

“Kau benar-benar berani!”

Sebelum dia membalikkan tubuh, Lam-touw sudah berputar ke balik sebuah pohon. Dia terkejut.

“Cepat keluar!” Orang berbaju hitam menunjuk tempat persembunyian Lam-touw di balik pohon.

Lam-touw terpaksa keluar karena keberadaannya sudah diketahui oleh lawan.

“Apakah kau tahu siapa aku?” tanya orang berbaju hitam. “Suaramu seperti pemah aku dengar!” Lam-touw tertawa.

Orang berbaju hitam melayangkan tangan, menyalakan api unggun.

Melihat api unggun itu Lam-touw baru sadar lawan sudah mempunyai persiapan, sekarang dia tahu dia sudah masuk perangkap. Tapi dia tetap tertawa.

“Lo-heng adalah...”

Orang berbaju hitam segera membuka penutup wajah. Ternyata dia adalah Lo-taikun dari leluarga Lamkiong.

“Kau?” Bermimpi pun Lam-touw juga tidak akan menyangkanya.

Kata Lo-taikun dengan dingin:

“Kau terus menerus mengikuti orang-orang keluarga Lamkiong, mencari tahu tentang keluarga Lamkiong, apa tujuanmu?”

“Lo-taikun sudah salah paham!” Lam-touw tetap tertawa, “Pencuri hanya tidak sengaja lewat dan kebetulan bertemu dengan anda!” “Sampai sekarang kau masih ingin membela diri?” Lo-taikun melayangkan lengan baju.

Cia Soh-ciu dan Tong Goat-go meloncat turun dari pohon besar. Kiang Hong-sim juga muncul dari semak-semak tidak jauh di belakang Lam-touw.

“Kalian bertiga juga ikut meramaikan?” kata Lam-touw.

Wajah mereka bertiga tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Wajah Lo-taikun ditekuk, dia tertawa dingin:

“Kita tidak ingin bermusuhan dengan teman dunia persilatan, tapi teman tidak mau melepaskan kami dan selalu berseberangan dengan kami!”

“Aduh...Lo-taikun salah, aku. ”

“Kau hanya mencari tahu, keluarga Lamkiong sudah ada lima orang janda, apakah kau masih belum puas?”

Hati Lam-touw bergetar:

“Sepertinya kita ada kesalahpahaman ”

“Bukankah sudah sangat jelas?” Lo-taikun mengambil tongkat kepala naga yang menancap di belakang pohon.

“Laki-laki yang baik tidak mau bertarung dengan perempuan!” kata Lam-touw pada dirinya.

“Kau benar-benar meremehkan perempuan!” Tongkat kepala naga sudah berada di tangan Lo-taikun, dia menarik nafas.

“Pantas mati, aku salah bicara lagi!” Lam-touw menggampar wajah sendiri, “mengapa tidak berkata laki-laki yang baik tidak mau dirugikan?”

“Kau mau pergi?”

“Seharusnya aku tidak mengatakan apa yang kupikirkan, benar- benar pantas mati!” Dia menggampar dirinya sendiri lalu bersalto ke belakang.

Kiang Hong-sim tidak mau kehilangan kesempatan ini. Sepasang pedang sudah dia keluarkan, kemudian menendang. Di ujung sepatunya terpasang sebuah pisau tajam. Jika tertendang olehnya, pasti akan terluka parah.

Pedang lemas Tong Goat-go turut datang menyerang. Cia Soh- riu menyerang dengan lengan ke arah kepala Lam-touw.

Dengan tenang Lam-touw menghindar, tapi dia terpaksa harus turun. Tiga perempuan ini segera datang menyerang. Jurus-jurus mereka sangat ganas dan berbahaya, mereka seperti mempunyai dendam besar dengan Lam-touw.

Lam-touw sangat berpengalaman. Hanya beberapa jurus dia sudah bisa merasakannya. Dia juga merasa aneh. Dia mengira ada sesuatu yang sudah membuat mereka salah paham, tapi sulit baginya untuk menjelaskan sulit dan tidak terlihat ada kesempatan.

Dengan ilmu silatnya, menghadapi tiga perem puan ini sebenarnya bukan hal yang sulit, hanya dia tidak tega membunuh. Maka bertarung dengan mereka menjadi sangat sulit.

Dia juga tahu untuk jangan bertarung lama-lama, bila ada kesempatan harus kabur. Lo-taikun selalu melihat dari pinggir. Begitu melihat Lam-touw meloncat ke sebuah pohon besar, Lo- taikun segera datang menghantam dengan tongkat kepala naga. Yang dia hantam bukan tubuh Lam-touw, melainkan ranting kayu.

Pukulan ini di luar dugaan Lam-touw. Tubuhnya turun tergetar oleh pukulan pada ranting itu. Reaksi Lam-touw sangat cepat dan lincah, dia segera meloncat ke atas.

Lo-taikun meminjam tenaga pohon jatuh untuk meloncat ke atas. Dia kembali menghantam dengan tongkatnya, saat itu Lam- touw sedang berada di atas. Arah pukulan tongkat sangat aneh. Lo- taikun memukul kaki kiri Lam-touw.

Terdengar suara tulang patah. Lutut kanan Lam-touw hancur.

Dia menahan untuk tidak berteriak kesakitan.

Tongkat Lo-taikun belum berubah. Ekor tongkat menusuk ke lutut kiri Lam-touw. Terdengar lagi suara tulang patah. Akhirnya Lam-touw terpelanting ke bawah. “Ilmu yang bagus!” Dia berusaha merangkak bangun. Tongkat Lo-taikun sudah berada di depannya.

“Ilmu yang bagus!” Tubuhnya segera bersalto ke belakang.

Tapi tongkat lebih cepat datang menyapu ke dadanya, membuat tubuh Lam-touw sekali lagi terlempar sejauh beberapa depa, menabrak pohon dan terjatuh lagi.

Lam-touw muntah darah. Tangan kiri menarik kantong kulit yang di pinggang. Tangan kanan segera masuk.

“Hati-hati senjata rahasia!” teriak Tong Goat-go. dia benar-benar adalah anggota keluarga Tong-bun. Yang pertama dia ingat adalah senjata rahasia.

Tapi yang Lam-touw keluarkan adalah seekor merpati abu-abu.

Burung itu segera terbang.

Lo-taikun berempat terpaku. Waktu mereka ingin mencegat, merpati itu sudah menghilang dalam kegelapan.

“Aku ingin tahu siapa yang bisa datang menyelamatkanmu!” kata Lo-taikun.

Lam-touw muntah darah lagi, dia tertawa:

“Aku hanya ingin mengabarkan, tidak berani berharap ada yang datang menyelamatkan!”

“Mengabarkan kepada siapa?”

“Bila kau bisa mengejar ke sana, kau akan tahu!”

“Sampai mati juga mulutmu masih tidak mau kalah!” Tongkat Lo-taikun mengantar ke depan dada Lam-touw.

Dada Lam-touw segera cekung ke dalam, dia mengalami pendarahan yang parah, akhirnya dia tewas. Seumur hidup Lam- touw sangat hati-hati dan berpengalaman, tapi kali ini dia tidak melihat adanya perangkap sehingga nyawa pun melayang.

Tong Goat-go dan Cia Soh-ciu tidak tega melihatnya. Lo-taikun menarik kembali tongkat kepala naga dan menarik nafas: “Dia sampai tidak melepas kita janda-janda. Jika kita tidak kejam, nyawa kita akan melayang!”

“Memangnya keluarga Lamkiong masih ada berapa nyawa lagi?”

“Maka kita harus membunuh terlebih dulu agar mereka tidak menganggap remeh keluarga Lamkiong!” kata Kiang Hong-sim dengan marah.

“Belum waktunya!” Lo-taikun menggelengkan kepala. Kapan baru tiba waktunya? Sebenarnya apa yang terjadi?

119-119-119

Ketika Siau Cu muncul di penginapan In-lai, hari sudah larut.

Tubuhnya tidak lelah, yang lelah adalah hatinya.

Baru memasuki penginapan, dia segera dicegat pelayan: “Ada apa kau masuk?”

“Apakah ini bukan penginapan?” Pelayan melihat Siau Cu:

“Apakah kau datang untuk mengemis?”

Siau Cu baru melihat dirinya, tubuhnya terlihat kumal. Dia mengeluarkan satu tail perak:

“Apakah ini belum cukup untuk aku tinggal satu malam?”

Mata pelayan langsung menjadi terang, tapi kemudian dia menggelengkan kepala:

“Kau bisa membayar berapa pun percuma, karena penginapan ini sudah diborong dan tidak boleh ada tamu lain!”

“Kau sengaja mempersulit aku?” Karena emosi, Siau Cu segera marah dan mencengkram dada baju pelayan.

“Memang begitu kenyataannya!” kata pelayan.

“Ada masalah apa?” Lamkiong Po keluar. Melihat Siau Cu, dia terpaku dan berteriak, “ternyata adalah kau!”

Siau Cu juga merasa aneh. Baru mau bertanya, pelayan itu ribut lagi: “Lamkiong Kongcu, anda datang tepat waktu! Orang ini tidak percaya bahwa penginapan Im-lai sudah dipesan semua. Dia tetap ingin menginap di sini...”

“Tuan ini adalah teman keluarga Lamkiong!” kata Lamkiong Po. Dia tertawa pada Siau Cu, “mari kita masuk dan mengobrol di dalam...”

Pelayan masih bengong. Siau Cu juga tidak mempersulitnya. Siau Cu segera mengikuti Lamkiong Po masuk.

120-120-120

Cia Soh-ciu, Tong Goat-go, Bwe Au-siang, Tiong Bok-lan, Bing- cu berada di ruangan tamu penginapan. Melihat Siau Cu, semua orang terkejut. Dari Siau Cu mereka tahu Lam-touw terbunuh, hal ini terlebih membuat mereka terkejut.

Cia Soh-ciu dan Tong Goat-go yang sudah tahu masalah ini pura- pura tidak tahu. Bing-cu yang pertama berbicara:

“Lam-touw Cianpwee berilmu tinggi dan berpengalaman, orang yang membunuh dia pasti adalah seorang pesilat tangguh!”

“Siapapun dia, kecuali kalau aku tidak bertemu, kalau tidak aku akan bertarung mati-matian dengan dia!” Siau Cu marah.

“Di dalam hatimu apakah ada orang yang kau curigai?” tanya Cia Soh-ciu.

“Tidak ada!”

“Apakah ada tanda-tanda yang ditinggal?” tanya Lamkiong Po.

Siau Cu menggelengkan kepala. Dari kantong kulit pinggang mengeluarkan burung merpati:

“Hanya merpati ini yang menuntun aku mencari. Aku percaya hanya dia yang tahu wajah asli pembunuh!”

Cia Soh-ciu dan Tong Goat-go melihat burung merpati itu. Mendengar lagi kata Siau Cu, hati mereka bergetar dan mereka saling pandang. Burung merpati itu entah benar mengenal Tong Goat-go dan Cia Soh-ciu, matanya terus berputar-putar dan terus mengeluarkan suara:

“Ku...ku...”

Cia Soh-ciu dan Tong Goat-go merasa seperti dilihat terus oleh burung merpati itu tapi mereka masih bisa berpura-pura seperti tidak terjadi sesuatu. Tong Goat-go membalikkan kepala, tidak berani melihat burung merpati itu.

Reaksi Cia Soh-ciu sangat cepat. Dia sengaja maju dua langkah untuk menutupi Tong Goat-go dan berkata:

“Tapi sayang burung merpati tidak bisa berbicara bahasa manusia dan manusia juga tidak mengerti bahasa burung!”

Siau Cu menarik nafas:

“Guruku paling sayang merpati ini. Aku membawanya juga tidak ada guna, aku akan melepas kan burung ini. Biarlah dia bebas terbang ke mana pun. Ada waktu dia bisa terbang ke depan kuburan guru untuk menemani guru!”

“Ide bagus!” kata Cia Soh-ciu, karena melihat burung merpati ini membuat dia merasa tidak nyaman.

Tangan Siau Cu diangkat melepaskan burung merpati, burung merpati segera terbang keluar melewati Cia Soh-ciu dan Tong Goat- go.

Cia Soh-ciu baru tenang dan bertanya:

“Apa rencanamu sekarang?”

“Waktu di ibukota, guru dan Tiong Toa-sianseng sangat akrab, mungkin aku bisa mencari tahu tentang guru dari Tiong Toa- sianseng. Informasi ini mungkin bisa sedikit membantu dalam mencari pembunuh guru!” mata Siau Cu memancarkan sorotan berharap, “Kapan kau berangkat?” tanya Bing-cu.

“Semakin cepat semakin bagus!” Siau Cu berdiri, “hanya ada satu penginarpan di daerah sini...” “Hari sudah larut, lebih baik kau bermalam di sini! Besok baru pergi!” kata Bing-cu.

Siau Cu belum menjawab, Bing-cu segera bertanya: “Bagaimana pendapat paman ke empat?”

Lamkiong Po seperti sedang memikirkan sesuatu. Dia tidak berbicara dari tadi. Setelah mendengar pertanyaan Bing-cu, dia seperti tersadar dan baru menjawab:

“Baiklah!”

“Aku takut menganggu kalian!” kata Siau Cu. Lamkiong Po mencegat:

“Aku kira kau tidak perlu sungkan! Kita adalah orang dunia persilatan, tidak perlu sungkan. Bila kita mendapatkan informasi, kita akan mem-beritahu kepadamu!”

121-121-121

Memang Lamkiong Po berkata begitu, tapi dia tidak melakukannya. Setelah bertemu Siau Cu, dia segera menemui Lo- taikun.

Cia Soh-ciu sedang berada di sana. Melihat Lamkiong Po masuk, dia seperti tahu Lamkiong Po ingin berbicara dengan Lo-taikun, maka dia mencari alasan untuk pergi.

Lo-taikun melihat Lamkiong Po:

“Katanya kau menyetujui Siau Cu tinggal di penginapan ini?” “Hanya satu malam!”

“Katanya gurunya terbunuh?”

“Betul, aku berjanji akan membantu dia mencari pembunuhnya!”

“Oh?” Lo-taikun tertawa, “beberapa hari ini melakukan hal demi keluarga Lamkiong, kau pasti lelah. Ibumu sudah tua, setelah rapat Pek-hoa-couw selesai, aku harus pensiun dan urusan keluarga Lamkiong akan kuserahkan kepadamu!” “Ananda tidak berpengalaman, mempunyai niat dalam banyak hal tapi tidak sanggup melakukan!” Lamkiong Po mengeluh.

“Apa yang kau katakan?”

“Beberapa tahun ini, Ananda tetap tidak berhasil mencari musuh keluarga Lamkiong!”

“Pasti akan ditemukan!”

“Ananda tidak berguna, harus membuat ibu terus membunuh orang yang tidak bersalah!” Lamkiong Po terlihat sedikit emosi.

“Maksud...” Lo-taikun terpaku. “Lam-touw!” kata Lamkiong Po.

“Kau kira Lam-touw dibunuh olehku?” “Ananda hanya menebak!”

Lo-taikun tertawa:

“Mempunyai putra yang cerdik dan tajam otaknya, seharusnya aku senang!”

Lamkiong Po bengong melihat Lo-taikun.

“Betul! Akulah yang membunuh Lam-touw. Walaupun aku sedikit emosi, tapi orang ini sudah beberapa kali masuk ke keluarga Lamkiong. Terlihat dia mempunyai maksud lain. Sebenarnya dia pantas mati!”

“Tapi..”

“Kau terlalu baik! dunia persilatan sangat ^ kejam, kadang- kadang kita tidak berbuat kesalahan tapi orang lain akan mencari kesempatan!”

Lamkiong Po menundukkan kepala:

“Sudahlah! Ibu berjanji kepadamu tidak akan banyak membunuh lagi!”

“Ananda juga demi keluarga Lamkiong...”

“Aku mengerti! Apakah kau yang menyuruh Siau Cu tinggal di sini?” Hati Lamkiong Po bergetar. Dia berkata:

“Ibu...”

Tangan Lo-taikun memukul, Cia Soh-ciu segera masuk. “Turunkan perintahku, tidak ada yang boleh membuat Siau Cu

repot!”

Setelah Cia Soh-ciu pergi, Lo-taikun baru bertanya kepada Lamkiong Po:

“Apakah kau merasa puas?”

“Terima kasih ibu!” Hati Lamkiong Po menjadi tenang.

122-122-122

Siau Cu tidak berada di kamar. Begitu masuk, dia sudah dipanggil Bing-cu diam-diam. Setelah berpisah di ibukota, dia mengira akan lama baru bisa bertemu Bing-cu, tapi siapa tahu mereka begitu cepat sudah bertemu lagi. Kalau bukan karena kematian Lam-touw, tidak diragukan lagi dia akan sangat senang.

Bing-cu sangat mengerti pikiran Siau Cu, tapi dia tetap bertanya: “Bila bertemu dengan orang yang membunuh gurumu, apa yang

akan kau lakukan?”

“Membunuh dia, membalas dendam guru!” “Setelah itu apa yang akan kau lakukan?”

“Berkelana di dunia persilatan dan menjadikan dunia persilatan sebagai rumahku!”

“Apakah tidak ada hal yang lain?”

“Berlatih ilmu silat yang baik agar bisa berhasil di dunia persilatan!”

“Tidak ada yang lain lagi?”

Siau Cu tidak memperhatikan, dia menggelengkan kepala. Dia masih ingin mengatakan sesuatu tapi Bing-cu sudah membalikkan tubuh. Dia adalah orang yang cerdik, dia segera mengerti dan berkata: “Bila ada waktu, aku pasti datang menengokmu!”

Bing-cu membalikkan tubuh lagi dan melihat Siau Cu, sambil mengeluh:

“Apakah kau tidak berpikir tidak baik kita terus bertemu seperti ini?”

“Kalau begitu harus bagaimana?”

“Lebih baik kau menjadi murid ibuku, bukankah kau bisa terus tinggal di keluarga Lamkiong? Ibu selalu menyayangi aku, dia pasti akan setuju!”

“Tentang ini, sementara aku masih belum bisa...” “Mengapa? Apakah kau tidak suka bersama denganku?”

“Sejujurnya, aku masih punya satu masalah yang belum diselesaikan!”

“Tentang apa?”

“Aku belum bisa menjelaskan sekarang!”

“Kalau kau mau bohong, kau harus bisa mencari alasan yang lebih baik!” Bing-cu membalikkan tubuh.

“Sebenarnya ini adalah ketika guru menggantungkan Bi-giok- leng dari Pek-lian-kau ke leher burung merpati untuk diberikan kepadaku. Ini pasti ada sebabnya!” Siau Cu mengeluarkan Bi-giok- leng, “coba kau lihat!”

Begitu melihat Bi-giok-leng, Bing-cu segera merasa barang ini bukan barang sembarangan. Dia tidak tahu itu adalah Bi-giok-leng dari Pek-lian-kau. Dia juga tidak melihat ada kegunaan apa, tapi dia percaya apa yang dikatakan Siau Cu.

“Kalau kau benar-benar ada penting, selesaikanlah dulu!” Bing- cu adalah orang yang pengertian. Siau Cu menarik nafas lega. Dia menaruh kembali Bi-giok-leng di dada. Karena terus memperhatikan Bing-cu, dia tidak melihat Kiang Hong-sim bersembunyi di balik semak-semak untuk melihat dan mencuri dengar. Melihat lempengan Bi-giok-leng, mata Kiang Hong-sim menjadi besar. Terlihat dia ingin keluar untuk merebutnya, tapi akhirnya tidak dia lakukan.

123-123-123

Selain Kiang Hong-sim, masih ada Tiong Bok-lan yang tahu Siau Cu dan Bing-cu bertemu. Setelah kembali ke kamar, Tiong Bok-lan duduk di ranjang menunggu Bing-cu datang.

“Bibi ke lima, Bing-cu merasa aneh!” “Tutup pintu dahulu baru berbicara!”

Bing-cu menutup pintu dan berjalan ke depan Tiong Bok-lan.

Baru Tiong Bok-lan bertanya: “Tadi kau ke mana?”

“Hanya keluar untuk jalan-jalan!” Bing-cu menjawab dengan malu-malu.

“Bing-cu, apa aku juga tidak kau per-cayai?”

“Aku mencari Siau Cu!” akhirnya Bing-cu berkata jujur, “Kita hanya...”

“Tidak perlu menjelaskan pada bibi ke lima, aku juga pernah muda, mana mungkin tidak mengerti hatimu! Tapi harap kau jangan mengulangi lagi kesalahan yang sudah dibuat!”

Tiba-tiba Bing-cu berkata:

“Siau Cu adalah orang baik!”

“Tapi keluarga kalian tidak setara, boleh dikatakan terlalu jauh.

Aku kira Lo-taikun akan menentang!”

“Apakah bertemu dengan berbicara dengannya juga tidak boleh?”

“Sebagai perempuan, akan selalu mendapat rugi!” “Kalau begitu apa yang harus aku lakukan?”

“Kalau bisa kau menghindar, kalau terpaksa, harus melihat takdir Thian!” “Waktu kau mencari Siau Cu tadi, apakah ada yang melihat?” “Seharusnya tidak ada!”

“Kelak harus lebih berhati-hati lagi. Kalau aku tahu tidak menjadi masalah, tapi bila dia tahu...”

“Dia itu siapa?”

Tiong Bok-lan tidak memberitahu siapa, hanya berkata:

“Yang penting kau ingat, di keluarga keluarga Lamkiong ada begitu banyak orang, belum tentu semuanya orang baik!”

Bing-cu tidak menjawab. Mungkin karena dia mengira Tiong Bok-lan adalah orang yang keras kepala, mungkin juga karena dia sudah tahu.

Malam ini adalah malam yang paling sulit dilewati oleh Bing-cu.

Dengan susah melewati malam, hari baru terang.

Pagi-pagi Siau Cu sudah pamitan dengan Lamkiong Po. Walaupun Bing-cu sempat mengantar Siau Cu, tapi karena ada Lamkiong Po maka dia tidak berkata apa-apa. Tapi dari pancaran matanya sudah terlihat dia berat hati ditinggal Siau Cu.

Lamkiong Po tidak menahan dia. Terhadap Siau Cu dia merasa bersalah. Walaupun dia sudah tahu siapa yang membunuh Lam- touw, tapi dia tidak bisa mengatakan. Apakah kelak Siau Cu akan mengetahui pembunuh gurunya adalah keluarga Lamkiong? Apakah pada waktu itu akan ada perubahan? Itu bukan sesuatu yang bisa dia hadang.

Siau Cu tidak tahu setelah berpisah dengan Bing-cu semalam, dia banyak mengalami peristiwa aneh. Dia terus membalikkan kepala melihat Bing-cu. Walaupun merasa bingung tapi hatinya tetap terasa manis.

124-124-124

Karena tidak enak hati, maka Siau Cu berjalan tidak cepat. Sampai siang hari dia sudah jauh dari penginapan In-lai. Dia mulai merasa aneh, waktu mau beristirahat, dia mendengar suara aneh di pinggir jalan. Dia bisa tahu suara apa itu dan ketika melihat, ada seseorang yang sedang mengipas-ngipas di bawah pohon. Orang itu adalah utusan lampion biru, Lan Ting-ji. Itu benar-benar di luar dugaannya.

Dia segera meloncat berdiri. Di belakang segera ada yang membaca:

“O-mi-to-hud!”

Dia melihat ke belakang. Utusan lampion kuning Bu-sim sedang berdiri di belakangnya. Kemu dian ada suara orang tertawa dari atas pohon. Waktu Siau Cu melihat ke atas, utusan lampion merah duduk di atas pohon.

Sorot mata Siau Cu terus mencari. Lan Ting-ji melihat dia dan berkata:

“Tenanglah, yang datang hanya kami bertiga, apakah belum cukup?”

“Apakah kalian ingin membalaskan dendam Liu Kun?” Lan Ting-ji menggelengkan kepala:

“Liu Kun sudah mati. Orang mati tidak bisa hidup kembali, untuk apa kita melakukan hal yang tidak berguna?”

“Kami masing-masing demi atasan baru membuat permusuhan. Sekarang keadaan sudah tenang maka dendam sudah ikut menghilang!”

“Bukankah tadi kalian ingin memberitahu kepadaku bahwa kalian hanya kebetulan lewat di jalan dan bukan sengaja menunggu aku di sini?”

“Sebenarnya tidak begitu! Di sini tidak ada meja atau kursi.

Sekarang kau ada di sini maka kita bereskan di sini!”

“Kita tidak ada dendam, hanya ingin meminjam sesuatu darimu!” kata Bu-sim.

“Barang apa?” Siau Cu tidak terpikir. “Bi-giok-leng! Barang ini tidak ada gunanya untukmu. Kita sudah saling mengenal, lebih baik kau berikan kepada kami!”

“Bi-giok-leng?” tangan Siau Cu tidak sengaja memegang kantong kulit di pinggang, “siapa yang memberitahu kalian Bi-giok-leng ada di tanganku?”

“Asal kau mengaku Bi-giok-leng di tanganmu, siapa yang memberitahu itu sama saja!” utusan lampion merah tertawa.

“Kalian yang membunuh guruku?”

“Pek-lian-kau berani melakukan pasti berani mengakui! Tapi sayang itu bukan kami!” kata Bu-sim.

“Kalian pasti tahu sedikit banyak!”

“Tapi sayang kami tidak tahu. Bi-giok-leng di tanganmu tidak ada gunanya, mengapa tidak berikan kepada kami?” kata Lan Ting- ji.

“Bila kalian mau bertarung, sekarang boleh dimulai!”

“Suseng, apakah..,” utusan lampion merah tertawa, “Arak yang terhormat biasanya tidak ada orang yang suka meminumnya!”

Lan Ting-ji menggelengkan kepala:

“Ini persetujuan dari hweesio!”

Tiba-tiba Bu-sim mengangkat tongkat dan menyapunya ke pinggang Siau Cu. Suara baru terdengar, tongkat dan orang sudah sampai.

Siau Cu lebih cepat. Tongkat belum sampai, tubuhnya sudah seperti panah melesat keluar. Tongkat mengenai pohon tempat Siau Cu berdiri tadi, pohon pun patah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar