Legenda Pendekar Ulat Sutera Jilid 01

Jilid 01

SU YAN-HONG bertiga baru meninggalkan rumah An-lek- hou (An-lek=tentram dan bahagia, Hou=bangsawan yang berkuasa). Ketika tandu Tiong Bok-lan sudah tiba.

Mendengar Ngo-hujin keluarga Lamkiong datang berkunjung, Tiong Toa-sianseng cepat-cepat mempersilahkan masuk ke dalam. Dia merasa tegang. Walaupun dia sering berkata kalau dia sudah bisa bebas dari aturan-aturan yang ada pada waktu itu, namun Tiong Bok-lan adalah putri kesayangan dia yang merupakan satu- satunya keluarga dia.

Dia sangat jarang berkunjung ke keluarga lamkiong. Selain sangat jauh dari rumahnya, juga sebenarnya dia menghindari berkunjung ke sana.

Setelah ayah dan anak bertemu, Tiong Toa-sianseng merasa senang dan juga sedih. Suaranya bergetar:

“Bok-lan, cepat bangun, biar ayah bisa melihat mu lebih jelas.”

Mata Tiong Bok-lan memerah. Dia segera mendekat dan berlutut kepada Tiong Toa-sianseng.

Tiong Toa-sianseng dengan cepat memapah sambil melihat nya, dan menggelengkan kepalanya:

“Kau terlihat lebih kurus!”

“Ayah juga, rambut dan jenggot ayah bertambah putih!” “Orang bila sudah tua akan seperti ini!” “Tapi ayali sebenarnya tidak terlihat tua!”

“Apakah hanya rambut dan jenggot saja yang bertambah putih? Kau selalu begitu menghibur ayah! Bagaimana kehidupanmu di sana?” tanya Tiong Toa-sianseng.

“Baik. Keluarga Lamkiong dari atas sampai bawah sangat baik kepadaku!”

Tiong Toa-sianseng menarik nafas:

“Beberapa tahun ini aku selalu sangsi apakah keputusanku ini benar? Mungkin kalau kau tidak masuk ke keluarga Lamkiong, hidupmu akan lebih bahagia.”

Air mata Tiong Bok-lan berlinang. Dia terdiam. Hal ini membuat hati Tiong Toa-sianseng sema-kin sedih:

“Marahlah kepada ayah!”

“Ayah tidak bersalah. Ayali melakukan ini demi kebahagiaan putrimu. Apalagi ilmu silat Kakak Sie sebenarnya tinggi, sastra juga dikuasainya dengan sangat baik. Sifat kami sangat mirip. Dia sangat melin dungiku. Hanya putrimu bernasib tidak baik...”

“Mungkin ini adalah kehendak Thian, ayah tidak bisa apa-apa.

Tapi kau masih muda, kehidupanmu kelak...” “Putrimu sudah terbiasa...”

“Hidup sendiri seperti itu mana mungkin bisa bahagia?” “Bukankah ayah juga hidup sendirian?”

“Ibumu sudah meninggal sepuluh tahun lebih, ayah sudah terbiasa!”

“Putrimu juga akan terbiasa!”

“Ayah berharap kau bisa terbiasa, tapi hidupmu masih panjang!” Tiong Toa-sianseng menarik nafas.

“Ayah tenanglah, putrimu bisa mengurus diri sendiri!” Raut wajah Tiong Bok-lan seperti sangat kuat. Terlihat sebelum datang kemari, dia sudah mengambil keputusan bulat. Dia segera mengalihkan pokok pembicaraan, “mana Suheng?” “Dia masuk ke dalam istana!”

Wajah Tiong Toa-sianseng terlihat penuh rasa khawatir. Ketika dia mau meneruskan pembicaraan, Tiong Bok-lan malah menutup pembicaraan:

“Mengenai masalah kerajaan, lebih baik putri mu jangan ikut campur!”

“Kau memang sangat mengerti!” kata Tiong Toa-sianseng.

1-1-1

Sesampainya di luar istana, Su Yan-hong bertiga sudah dicegat oleh pengawal bernama Hongpo Tiong dan Hongpo Ih. Mereka tidak merasa terkejut. Mata-mata Liu Kun memang berada di mana- mana.

Inilah tugas dua saudara ini. Semua hadiah yang akan dikirim kepada kaisar harus diperiksa oleh mereka. Tapi kata-kata mereka sangat sungkan dan sangat sopan.

Su Ceng-cau beberapa kali ingin marah tapi selalu dicegah oleh Su Yan-hong. Di depan Su Yan-hong, gadis ini sangat penurut.

Kue dalam dus disampaikan ke tangan Hongpo bersaudara. Katanya untuk dilihat. Tapi sewak tu dua saudara ini membalikkan tubuh, dengan cepat kue diperiksa dengan jarum perak. Bukan untuk memeriksa apakah ada racun tapi ingin tahu apakah di dalam kue tersimpan barang lain.

Mereka juga ingin melihat dus yang sangat bagus yang dibawa Siau Satn Kotigcu. Tapi Su Yan-hong segera melarang:

“Yang ini tidak boleh dilihat!”

Hal ini membuat Hongpo bersaudara tam-bah penasaran.

Mereka berkata:

“Hou-ya terlalu berlebihan!”

Tanya Su Yan-hong dengan dingin:

“Apakah kalian tahu barang di dalam dus adalah baju kebesaran pemberian Ong-ya kepada kaisar?” “Kami baru tahu sekarang!” Hongpo Ih masih bisa ter tawa. “Apakah baju kebesaran kaisar bisa dibuka sembarangan untuk

dilihat? Kalau tidak, kau akan bersalah dan sekeluargamu akan

dihukum penggal! Maka kalian harus pikir-pikir dulu!” Su Yan- hong.

Hongpo bersaudara saling pandang dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Saat itu ter dengar suara Liu Kun berkata:

“Ada apa? Ada apa?”

Su Yan-hong dan Siau Sam Kongcu terkejut. Kemun-culan Liu Kun lebih awal dari perkiraan mereka tapi Su Ceng-cau seperti tidak merasa tegang terhadap rahasia baju kebesaran kaisar ini. Karena dia masih kecil, tidak berpengalaman, dan juga tidak bisa bertindak menurut keadaan, maka dikhawatirkan hal ini akan terpuruk di tangannya!

Hongpo bersaudara merasa lenang dan kem bali menyambut. “Kalian benar-benar sangat lancang berani menghadang Hou-ya

masuk!”

Jelas Liu Kun sudah menguasai gerak-gerik Su Yan-hong bertiga. “Loya!”

“Cepat mundur!” Liu Kun membentak Hongpo bersaudara. Dia juga melihat Siau Sam, “Ini adai ala?”

“Aku Siau Sam!”

“Oh, Siau Sam Kongcu dari Hoa-san-pai!” Liu Kun tertawa dan berkata lagi, “Sudah lama kudengar bahwa di rumah Ling-ong banyak pesilat tangguh dan orang berbakat, benar-benar tidak salah!”

Su Ceng-cau melihat Liu Kun dan berkata:

“Aku harus memanggilmu dengan sebutan apa? Liu-congkoan atau Kiu-cian-swe (panggilan untuk kaisar adalah Ban- swe=sepuluh ribu tahun, Kiu-cian-swe=sembilan ribu tahun) “Apa saja!” Kata Liu Kun tertawa, melihat jelas dus mewah yang dibawa Siau Sam Kongcu katanya lagi, “hadiah apa ini?” “Ini adalah baju kebesaran kaisar yang di sulam di Soh-ciu, yang merupakan hadiah dari Ling-ong (Raja Ling) kepada kaisar!”

“Sulaman Soh-ciu memang sangat bagus dan terkenal. Ong-ya benar-benar memperhatikan kaisar. See Yan Tjin Djin barang yang begitu bagus ini apakah boleh aku melihat?” tanya Liu Kun.

“Bila Liu-congkoan ingin melihat, silakan!” Su Yan-hong merasa tidak bisa menghalangi lagi, dia sendiri yang membuka dus itu.

Liu Kun mendekat, matanya melihat dan tangannya juga menyentuh isi dus itu, sambil memuji:

“Benar-benar barang yang bagus! Kapan-kapan aku juga ingin menyulam bajuku di Soh-ciu!”

Dia sangat memperhatikan bagian leher dan ikat pinggangnya. Wajah Siau Sam Kongcu tidak menunjukkan ekspresi apapun, tapi sebenarnya ke dua tangannya sudah mengeluarkan keringat dingin.

Setelah dilihat dengan teliti, Liu Kun baru menutup dusnya.

Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu:

“Aku masih ada urusan lain, jadi tidak bisa menemani kalian masuk!”

“Kami tidak berani merepotkan Liu-congkoan!”

“Kalian berdua ikut aku!” Liu Kun berpesan kepada Hongpo bersaudara, yang terpaksa mengikutinya.

Su Yan-hong menghembuskan nafas panjang.

2-2-2

Setelah melewati koridor, Hongpo Ih segera melapor: “Di dalam kue tidak tersimpan sesuatu!”

“Baju kebesaran juga tidak ada? Apakah tersimpan di dalam hati? Aku ingin mencoba, apakah telinga Siau-te-lu peka atau tidak?”

Kata Hongpo Tiong:

“Mungkin mereka tidak ada tipuan!” “Terhadap mereka, aku tidak pernah tenang!” Liu Kun tertawa dingin, “suatu hari nanti mereka akan tahu kelihaianku!”

Nadanya sangat bengis, hingga Hongpo bersaudara merasa bergidik.

3-3-3

Yang melayani kaisar adalah Siau-te-lu. Ada beberapa selir yang kaisar sayangi dan salah satunya yang sedang melayani kaisar bernama Tltio Gong. Thio Gong adalah salah satu dari Pat-houw (8 harimau). Dia tidak selihai Liu Kun tapi pandai mengambil hati, maka kaisar sangat menyukainya.

Kaisar sedang beristirahat. Setelah mendengar laporan, kaisar baru duduk kembali, tapi tetap bermalas-malasan. Melihat Su Ceng- cau, dia segera menatapnya dengan sorot mata cabul, sehingga membuat Su Ceng-cau merasa tidak nyaman.

Walaupun Su Yan-hong tahu dia sedang pura-pura, tapi mengingat Ling-ong dan kaisar dulu adalah saudara kandung, dan kaisar dan Su Ceng-cau ada hubungan darah, dia merasa ingin tertawa. Dia memberitahu kaisar bahwa dia adalah Tiang-lek Kuncu.

Kaisar segera berteriak seperti baru sadar:

“Aku hampir tidak mengenal dia lagi. Beberapa tahun yang lalu, aku pernah ikut ayah ke Lam-kiang mengunjungi paman dan pernah bertemu denganmu, tapi waktu itu kau masih gadis kecil.”

“Ini adalah Siau Sam Kongcu dari Hoa-san-pai. dia adalah guru pedang keluarga raja, yang bertanggung jawab mengajari ilmu silat Ceng-cau.”

“Nama Siau Sam Kongcu sangat terkenal, benar-benar terlihat seperti seorang ksatria!”

Kaisar juga mengerti dan bisa memuji.

“Aku adalah rakyat biasa, kaisar terlalu memuji!” Siau Sam Kongcu seperti sangat terkejut.

Kaisar bertanya kepada Su Ceng-cau: “Kau jauh-jauh datang kemari membawa hadiah apa untukku?”

“Ayah sudah menyiapkan satu dus kue dan baju kebesaran bersulam naga untuk baginda!” Su Ceng-cau tidak tahu ada rahasia dalam hal ini, maka kata-katanya tidak mengisyaratkan suatu petunjuk khusus.

“Kue Lam-kiang yang enak...”

“Tapi lebih bagus sulaman Soh-ciu...” Kaisar segera mengerti. Dia berteriak:

“Ada barang yang begitu bagus, segera bawa kemari untuk aku coba.”

Kaisar adalah orang yang bertindak tergesa-gesa, maka Siau-te- Lu Tan Thio Gong tidak mencurigai apapun. Su Yan-hong segera membawa dus baju mendekat.

Kaisar segera masuk ke dalam. Siau-te-Lu Tan Thio Gong segera mengikuti dari belakang.

“Cukup An-lek-hou saja yang melayani aku!” Kaisar berhenti sebentar kemudian menoleh kepada mereka.

Thio Gong segera berhenti. Siau-te-lu terpaksa berhenti juga.

4-4-4

Begitu masuk ke dalam kamar, kaisar langsung bersikap serius. Ketika dia mau bertanya kepada Su Yan-hong, Su Yan-hong sudah tergesa-gesa menaruh dus dan membukanya, kemudian mengeluarkan baju kebesaran kaisar sambil melayangkan tangan memberi isyarat.

Kaisar mengerti, dia pura-pura tertawa:

“Kata orang-orang, sulaman Soh-ciu sangat bagus, benar-benar tidak salah!”

Waktu dia berbicara, Su Yan-hong dengan kukuh membuka lengan baju kanan, mengeluarkan setumpuk kertas setipis sayap serangga. Kertas itu tertulis penuh dengan huruf-huruf kecil. Setelah kaisar mengambil dan membacanya, dia terlihat sema kin gembira.

Su Yan-hong tidak berani membiarkan konsen trasinya terpecah. Dia tetap mendengarkan keadaan di luar. Walaupun di luar ada Siau Sam Kongcu dan Su Ceng-cau juga Thio Gong, tapi dia harus waspada bila Siau-te-lu men-cari alasan untuk masuk.

5-5-5

Mata Siau-te-lu sedang berputar-putar. Dia tidak punya alasan yang tepat untuk masuk. Ketika dia merasa serba sulit, tiba-tiba dia melihat Liu Kun sudah berada di depan pintu, dia sangat senang dan langsung maju untuk menyambut.

“Kiu-cian-swe juga kemari?” teriak Thio Gong cepat.

Liu Kun tidak menunggu laporan Siau-te-lu, dia sege-ra bertanya:

“Apakah baginda merasa baju kebesaran itu cocok? Apakah baginda menyukainya?”

Jawab Siau-te-lu:

“An-lek-hou sedang membantu baginda memakai baju itu!”

Belum lagi menyelesaikan kata-katanya, dia sudah terkena tamparan kemarahan Liu Kun:

“Kau benar-benar budak yang malas dan tidak berguna, sampai- sampai bisa melupakan tugasmu. Ini adalah pekerjaanmu. An-lek- hou adalah tamu, mengapa kau membiarkan dia menggantikanmu?”

“Perintah baginda, hamba tidak berani melawan!” Siau-te-lu berlutut.

“Benar-benar tidak ada aturan, sekali tidak diawasi langsung berontak!” Liu Kun dengan marah melihat Siau-te-lu, entah sedang marah kepada siapa, sambil marah dia juga masuk ke dalam kamar.

Tidak ada orang yang berani menghadang. Su Ceng-cau seperti ingin bertindak tapi ditahan oleh Siau Sam Kongcu. Dia tahu reaksi Su Yan-hong sangat tinggi. Dari teriakan Thio Gong memanggil “Kiu-cian-swe” tadi, dia harus sudah waspada dan masih cukup waktu untuk membereskan dokumennya.”

6-6-6

Su Yan-hong tidak mengecewakan Siau Sam Kongcu. Sebelum Liu Kun masuk, dia sudah menyim pan dokumen rahasia itu ke dalam tas kulit di tangan nya. Bagian penting sudah dibaca kaisar. Walaupun kaisar tidak mengingat semua pesan itu, tapi kelak Su Yan-hong akan memberitahunya.

Sebenarnya bagian yang harus kaisar ingat tidak terlalu banyak.

Su Yan-hong sebenarnya bisa mengirim dokumen rahasia ini dengan cara yang lebih aman, tapi dia tahu baginda sudah seperti burung yang terkejut. Jika dia tidak membaca surat itu sendiri, akan sulit menenangkan hatinya.

Hanya dengan bersikap tenang, semua masalah akan berjaLan- lancar.

Ketika Liu Kun masuk, baginda sudah selesai mema-kai baju, katanya sambil tertawa:

“Kau datang tepat pada waktunya, bagaimana deng-an baju kebesaranku?”

“Sangat bagus!”

Liu Kun melihat ke kiri juga ke kanan, kadang-kadang seperti tidak sengaja membantu baginda merapikan bajunya.

Akhirnya dia melihat bukaan jahitan di bagian lengan baju, tapi dia diam kemudian melihat ke bagian ikat ping-gang melihat dengan teliti.

Orang ini benar-benar licik dan lihai.

Tapi Su Yan-hong tidak melihat hal ini, dia malah menarik nafas lega.

Akhirnya kedua tangan Liu Kun berhenti, dia tertawa kepada Su Yan-hong:

“Hou-ya pasti merasa kesal hati!” “Bisa melayani baginda, itulah keberuntunganku!”

“Hal ini seharusnya dilakukan oleh Siau-te-lu. Hal kecil begitu pun tidak sanggup dia lakukan. Budak ini benar-benar membuatku kecewa!”Liu Kun mengangguk, katanya lagi, “kukira aku sudah tidak dibutuhkan lagi di sini.”

Kemudian berkata kepada kaisar:

“Kalau aku tidak pergi, mungkin anda akan marah.”

7-7-7

Sampai mengantarkan Tiong Bok-lan keluar dari Wisma An-lek- hou dan melihat tandu sudah jauh, Tiong Toa-sianseng masih tetap bengong berdiri di depan tangga. Dia merasakan satu perasaan yang menggantung.

Dia menarik nafas dan merasa dirinya sudah tua.

Pada waktu itu Fu Hiong-kun datang ke depan pintu wisma An- lek-hou. Awalnya Tiong Toa-sianseng tidak melihat. Begitu melihatnya, dia masih mengira Tiong Bok-lan kembali lagi dan kelepasan berkata:

“Kau...”

Tapi begitu kata “Kau” keluar, dia segera tersadar kembali. Fu Hiong-kun merasa aneh dan terus melihatnya:   , “Mohon bertanya, apakah Hou-ya ada di rumah?”

“Dia...? Dia tidak ada!” Tiong Toa-sianseng masih dalam kebingungan.

“Bagaimana dengan Tiong Toa-sianseng?”

Tiong Toa-sianseng merasa aneh. Dia melihat Fu Hiong-kun: “Gadis kecil, apakah kau mencariku?”

“Apakah kau Tiong Toa-sianseng?” Fu Hiong-kun me-rasa aneh.

“Aku adalah seorang tua, bukan tokoh yang terkenal, apakah ada orang yang ingin memalsukan diriku?” Tiong Toa-sianseng tertawa.

Dengan hormat Fu Hiong-kun berkata:

“Boanpwee adalah Fu Hiong-kun dari Heng-san-pai.” “Murid Ku-suthay?”

Fu Hiong-kun mengangguk, Tiong Toa-sianseng tersenyum, berkata:

“Pandangan dia benar-benar istimewa. Murid yang diterimanya sangat cekatan.” Tiong Toa-sianseng bertanya lagi, “apakah gurumu baik-baik saja?”

“Ku-subo sudah meninggal tiga bulan lalu!” Tawa Tiong Toa-sianseng segera membeku:

“Dia sudah pergi selama-lamanya, kukira aku yang akan pergi dulu daripada dia!”

Setelah menarik nafas, dia mempersilahkan Fu Hiong-kun masuk.

Ketika melewati kebun bunga, tampak Ih-lan sedang mengejar seekor kupu-kupu. Melihat Tiong Toa-sianseng, dia segera berteriak:

“Sukong, bantu aku menanggap kupu-kupu!”

Tapi kupu-kupu malah terbang ke arah Fu Hiong-kun, ketika tangan Fu Hiong-kun diangkat, kupu-kupu sudah berada di tangannya dan tidak bisa terbang lagi.

Ih-lan berhenti di depan Fu Hiong-kun. Matanya melotot dengan sorot aneh melihat Fu Hiong-kun.

“Apakah kau ingin menangkap kupu-kupu ini?” tanya Fu Hiong- kun kepadanya.

Ih-lan mengangguk, dia melihat kupu-kupu itu. “Ambillah!” Fu Hiong-kun memberikan kupu kupu itu.

“Terima kasih Ciri!” Dengan senang hati Ih-lan meng-ambil kupu-kupu itu. Tapi karena tidak hati-hati, kupu-kupu terbang lagi.

“Cici! Ciri!” Ih-lan menarik lengan baju Fu Hiong-kun, berteriak dengan cemas.

“Tidak apa-apa, kakak akan menangkap lagi kupu-kupu yang lebih besar untukmu!” “Sekarang ya! Sukong, Lan-Ian ingin Cici ini menangkap kupu- kupu!” » * Tiong Toa-sianseng tertawa pada Fu Hiong- kun:

«p “Apakah gurumu menitipkan barang kepada ku?”

Dari pinggangnya Fu Hiong-kun menurunkan sebuah kantong kain:

“Inilah barang yang dipesankan oleh mendiang Subo, pesannya harus sampai ke tangan Lo-cianpwee!”

“Kalau begitu kau main dulu dengan Ih-lan, nanti suruh dia membawamu masuk ke dalam!”

Dia juga berpesan kepada Lan-lan:

“Ingat, harus menurut apa yang dikatakan Cici!”

“Pasti!” Lan-lan segera menuntun Fu Hiong-kun sam-bil berlari, “Cici, kita ke sana!”

Dia terus berlari tapi tidak mengawasi ke depan maka terpeleset. Saat dia hampir jatuh, dengan cepat Fu Hiong-kun sudah memapahnya:

“Hati-hati Lan-lan!” Kata-katanya terdengar penuh perasaan.

Semua orang bisa melihat dia adalah seorang gadis yang baik hati. Tiong Toa-sianseng melihatnya dan terpikir akan Su Ceng-cau. Sifat Su Ceng-cau yang licik dan galak, dan sifat Fu Hiong-kun yang lembut, benar-benar menjadi perbandingan yang kontras.

Di dalam kantong kain ada sebuah kebutan dan sepucuk surat. Di surat tertulis jelas, kebutannya diberikan kepada keponakannya Fu Hiong-kun. Dia juga menitipkan Fu Hiong-kun kepada Tiong Toa-sianseng, berharap dia bisa mengurus dan memperhatikannya.

Memang Fu Hiong-kun pintar juga senang belajar, tapi pengalamannya di dunia persilatan sangat kurang. Apa-lagi hatinya baik, jika tidak berhati-hati, akibatnya tidak terbayangkan. Maka Ku-suthay benar-benar tidak tenang terhadap muridnya ini.

Dia juga mengatakan mengenai Su Yan-hong, dari muda istrinya sudah meninggal dan Ih-lan kurang terurus. Dia harus menikah lagi dan Fu Hiong-kun adalah gadis yang baik hati. Dia adalah calon istri Su Yan-hong yang sangat tepat. Ku-suthay 'bermaksud ingin menjodohkan mereka tapi apa boleh umurnya sudah berakhir, maka dia berharap Tiong Toa-sianseng bisa mencari kesempatan untuk men-jodohkan mereka.

Melihat surat ini, Tiong Toa-sianseng tambah terharu. Ku-suthay sebenarnya adalah orang yang penuh perasaan, tapi apa boleh buat keadaan membuat dia sedih dan murung seumur hidup.

Dia percaya Ku-suthay tidak akan salah menilai orang. Baru bertemu, kebaikan Fu Hiong-kun sudah terlihat dan Tiong Toa- sianseng sendiri juga mempunyai maksud yang sama. Dia berharap Su Yan-hong bisa mendapatkan perem-puan yang baik.

Masalah seperti sangat sederhana tapi tidak mudah dijalankan. Hal seperti ini buat Tiong Toa-sianseng adalah yang pertama kali dia temui.

Tapi tiba-tiba dia teringat putrinya sendiri. Dia mengeluh dan merasa terharu pula.

8-8-8

Sifat Ih-lan juga sangat baik hati. Kupu-kupu yang berada di tangan dilihatnya sebentar, kemudian dia tertawa dan melepaskannya lagi. Yang pasti Fu Hiong-kun terus membantu dia menangkap kupu-kupu dan tidak merasa kesal. Gadis sesabar dia memang tidak banyak.

Mereka berlarian di kebun bunga. Akhirnya Ih-lan merasa lelah dan duduk, lalu katanya:

“Cici, kita main yang lain?”

“Aku kira sudah waktunya kau harus pulang. Kalau tidak, ibumu akan merasa khawatir!”

“Dia tidak akan mengkhawatirkan aku!” Ih-lan menggelengkan kepala.

“Anak kecil tidak boleh berbohong!”

“Itu adalah benar. Dari kecil aku belum pernah bertemu ibuku!” Fu Hiong-kun terpaku. Ih-lan berkata lagi: “Aku pernah bertanya kepada ayah mengapa ibu tidak pernah datang menengokku, apakah dia tidak suka kepadaku?”

“Lalu apa kata ayah?”

“Katanya ibu sudah pergi ke tempat yang jauh. Jika aku sudah besar, dia akan datang menengokku. Sekarang aku sudah 8 tahun tapi dia tidak pernah datang juga. Dia benar-benar membenciku!”

Fu Hiong-kun sudah tahu apa yang terjadi. Dia menghibur: “Kau sangat pengertian, ibu tidak akan membencimu...”

“Itu pasti! Sebenarnya kalau dia tidak suka kepadaku, itu tidak apa-apa. Tapi dia harus pulang menengok ayali. Ayah selalu merindukan dia!”

Fu Hiong-kun mengelus-elus kepala Ih-lan:

“Salah Cici! Seharusnya jangan berbicara masa lah ini denganmu. Mari kita ke sana menangkap kupu-kupu lagi!”

“Ah, tidak mau!”

“Kalau begitu kita main apa?”

“Biarlah aku berpikir dulu!” Tapi tiba-tiba dia meloncat dan berteriak, “Ayah!”

Fu Hiong-kun berputar. Terlihat Su Yan-hong, Siau Sam Kongcu, dan Su Ceng-cau sedang berjalan mendatangi.

Melihat Fu Hiong-kun, perasaan Su Yan-hong di luar dugaan. Dia berjalan makin cepat. Su Ceng-cau juga berjalan mengikuti.

“Nona Fu, mengapa kau berada di sini?”

“Ketika Ku-subo menghembuskan nafas terakhir, dia berpesan kepadaku untuk memberikan kantong kain ini pada Tiong- cianpwee. Kalau Tiong-cianpwee tidak ada, aku akan memberikannya padamu!”

“Guru kebetulan sedang ada di sini!”

“Aku sudah bertemu dengannya dan kantong kain sudah kuserahkan kepadanya!” Su Yan-hong mengangguk. Dia ingin berkata sesuatu tapi Ih-lan datang memegang tangannya:

“Ayah, Cici ini suka kepada Lan-lan. Biarlah dia tinggal di sini menemani Lan-lan.”

Su Yan-hong belum berkata apa-apa, Su Ceng-cau sudah menyela:

“Aku juga suka kepadamu, kelak aku akan datang menemanimu setiap hari!” lalu menarik tangan Lan-lan.

“Aku tidak mau kau yang menemani!” Lan-lan tiba-tiba menghindar.

“Piauko coba lihat Lan-lan, dia takut bersamaku!” Su Ceng-cau bermanja-manja kepada Su Yan-hong.

“Kau selalu menakut-nakutinya, maka dia pasti takut kepadamu!” kata Su Yan-hong tertawa.

“Ayah, Lan-lan suka kepada Cici ini. Ayah suruh dia tinggal di sini!”

Su Yan-hong mengangguk. Dia bertanya: “Bagaimana pendapatmu, Nona Fu?”

“Piauko, biasanya bila aku mau menginap, kau selalu menolak. Tapi begitu marga Fu datang, kau menyuruh dia menginap!” teriak Su Ceng-cau, “aku akan memberitahu pada ayah!”

Dia segera pergi.

Su Yan-hong merasa malu dan ingin memanggilnya, tapi Siau Sam Kongcu menggoyangkan tangan sambil tersenyum. Dia segera mengikuti di belakang Su Ceng-cau.

Su Yan-hong menarik nafas dan berkata pada Fu Hiong-kun: “Piaumoi ini bila berbicara selalu semaunya. 'Harap kau jangan

marah!”

“Tidak!” dengan cepat Fu Hiong-kun berkata, “aku akan menengok Tiong-cianpwee dulu!”

“Guru berada di belakangmu!” Fu Hiong-kun menoleh. Benar saja, Tiong Toa-sianseng sedang berjalan mendatangi. Pertama-tama dia menanyakan:

“Apakah kau senang bermain, Lan-lan?”

“Aku senang! Sukong, aku ingin Fu-cici meng inap dulu di sini!” “Nona Fu jauh-jauh datang kemari, mana mungkin tidak

menginap?” Kata Tiong Toa-sianseng kepada Fu Hiong-kun.

“Boanpwee masih ada urusan lain, maka tidak bisa menginap!” kata Fu Hiong-kun.

“Nona Fu baru pertama kali datang ke ibu kota, tentunya masih tidak mengenal jalan!”

“Orang dunia persilatan sudah biasa! Apakah masih ada hal lain yang akan Cianpwee suruh Boanpwee kerjakan? Harap berpesan!”

“Tidak ada! Ku-suthay adalah Bibinya Yan-hong. Dia juga sudah berteman lama denganku. Harap kau jangan menganggap kami adalah orang lain!”

“Cianpwee berkata terlalu berat!” Fu Hiong-kun tersenyum lembut. “Tugas yang dipesan oleh mendiang guru sudah selesai, Boanpwee pamit!”

“Kau ingin pergi, kami tidak berani memaksa!” Kata Tiong Toa- sianseng.

Ih-lan menarik-narik Fu Hiong-kun:

“Cici, betulkah kau mau pergi...”

Fu Hiong-kun melihat Ih-lan seperti mau menangis. Dia jadi tidak tega dan berkata:

“Cici tidak berniat untuk meninggalkan ibu kota dengan cepat, bila ada waktu Cici akan datang mencarimu!”

“Cici berjanji ya!” Ih-lan berkata serius. “Janji!”

9-9-9

Sampai bayangan Fu Hiong-kun tidak terlihat lagi, barulah Su Yan-hong dan Ih-lan kembali. “Apakah Cici akan datang lagi?” kata Ih-lan.

“Kau suka kepada Cici ini?” Su Yan-hong balik bertanya. “Cici juga suka kepada Lan-lan!”

“Kalau begitu dia akan datang lagi mengunjungimu!” Su Yan- hong merasa aneh mengapa dia juga mengharapkan Fu Hiong-kun kembali.

10-10-10

Sekembalinya ke ruangan, Tiong Toa-sianseng baru bertanya: “Yan-hong, apakah kau tahu siapa guru Nona Fu?”

“Bibi...”

Tiong Toa-sianseng mengeluarkan kebutan: “Bibimu meninggalkan kebutan ini untukmu!”

“Kebutan ini pemberian ayah kepada bibi. Keluarga Su sangat sedikit, tidak disangka...”

“Hidup, tua, sakit,, mati tidak bisa dihindari. Bagi bibimu, itu adalah suatu pelepasan!” kata Tiong Toa-sianseng sambil mengeluarkan surat, “surat ini ditujukan kepadaku, tapi kau boleh melihatnya, kau akan tahu keinginan bibimu!”

Su Yan-hong dengan heran menerima surat dan membaca. Dia merasa bingung, semua ini di luar dugaannya.

“Bagaimana menurutmu tentang Nona Fu?” tanya Tiong Toa- sianseng.

“Bibi lebih mengerti dia!” “Yan-hong!”

“Guru, sekarang murid benar-benar tidak ada waktu untuk mengurus masalah pribadi!”

Tiong Toa-sianseng setuju tapi dia juga percaya jodoh diatur Thian, tidak bisa dipaksakan. Sebaliknya jika jodoh sudah datang, tidak ada orang yang bisa menahannya.

Sebenarnya Fu Hiong-kun pertama kali masuk ke ibukota. Dia tidak begitu mengenal jalan. Sepanjang jalan dia berjalan sendiri juga tidak merasa ada yang aneh. Sekarang tujuannya sudah tercapai, dia tidak merasa bingung, juga merasa sendirian.

Dia seorang gadis yang penuh perasaan. Dia berjalan tanpa tujuan, kemudian baru mulai merasa ada yang mengikuti dia. Awalnya dia mengira dia salah, tapi begitu berjalan lagi dia memas tikan yang mengikuti dia adalah seorang pendeta muda, sambil menguntit dia juga melihat ke kiri dan kanan, seperti takut ada orang yang meng-ikutinya.

Dia sangat aneh. Begitu melihat dia menoleh, pendeta muda malah melambaikan tangan kemudian masuk ke dalam sebuah gang kecil.

“Siapakah dia?” pikirnya sambil berjalan ke sana.

Pendeta muda menunggu dia di dalam gang. Melihat dia datang, segera dia memberi hormat: “Nona Fu!”

“Kau adalah...?” “Aku Lu Tan!”

Pendeta itu mengangkat kepala. Dia adalah putra pejabat Lu Kian.

Fu Hiong-kun tidak begitu mengingat nama Lu Tan tapi seperti pernah bertemu di mana. Setelah memutar otaknya, akhirnya dia teringat:

“Aku pernah bertemu dengannya di Bu-tong- san.”

“Aku adalah murid bukan pendeta Bu-tong-pai. Walau pun dia ikut pertarungan Bu-ti-bun, tapi tetap dipilih oleh paman guru Yan Cong-thian untuk menjadi muridnya. Waktu nona mencari Wan- toako ke sana, kita pernah bertemu. Hanya saat itu aku tidak berpenampilan seperti ini!”

Begitu menyinggung naga Wan Fei-yang, Fu Hiong-kun merasa sedih lagi. Dia dengan kebingungan berkata:

“Menjadi pendeta juga bagus!” Dia teringat lagi waktu di kuil dia berlutut tiga hari tiga malam memohon. Ku-suthay tetap tidak mengijinkan dia memotong rambut untuk menjadi seorang biksuni.

Tapi Lu Tan malah berkata:

“Aku berpenampilan seperti itu karena ingin menutup mata dan telinga orang!”

“Oh?” Fu Hiong-kun tidak merasa aneh, sebab dari gerak gerik Lu Tan, dia sudah melihat Lu Tan seperti orang yang sedang menghindari sesuatu.

“Apakah Liu Kun juga tidak melepaskanmu?”

“Kalau bukan Lam-touw Lo-cianpwee (Pencuri selatan) dan muridnya yang menyelamatkan, aku sudah mati di tangan Pak-to (Perampok utara) dan Hongpo bersaudara!”

“Dalam perjalanan menuju ibukota, aku mendengar ayahmu dicelakai oleh Liu Kun. Semua orang sedih mendengar hal ini. Hanya saja kekuatan Liu Kun terlalu besar. Kita hanya bisa diam- diam bercerita dan tidak berani menyebarkan kabar ini!”

“Dia sendiri mengaku dia adalah Kiu-cian-swe. Kaisar juga dikuasai oleh dia dan takut kepadanya, apalagi rakyat biasa.” kata Lu Tan marah.

Fu Hiong-kun juga melihat dia:

“Kau berpenampilan seperti ini dan tinggal di ibukota, apakah karena ingin mencari kesempatan untuk balas dendam?”

“Liu Kun selalu berada di dalam istana, di sebelah kiri dan kanannya selalu dilindungi oleh pesilat tinggi. Ingin membunuh dia bukanlah hal yang mudah, tapi bila ada sedikit kesempatan, aku tidak akan melepaskan dia. Tapi dunia terlalu besar, aku harus datang dan pergi ke mana?”

Fu Hiong-kun menghiburnya:

“Bila tuan menunggu untuk membalas dendam, tiga tahun juga tidak terasa. Kau bisa kembali ke Bu-tong-san dan berlatih ilmu silat, setelah lebih kuat baru mengatur rencana lagi!” “Bu-tong-pai terus menerus mendapat musibah. Wan-toako entah pergi ke mana. Walaupun ada keinginan seperti ini tapi aku tidak tahu harus belajar kepada siapa?”

Fu Hiong-kun juga sedih karena memang seperti itulah keadaan Bu-tong-pai.

“Wan-toako harus pulang!” Fu Hiong-kun ber kata sendiri. “Setelah di Koan-jit-hong bertarung dengan Tokko Bu-ti, dia tinggal di Siauw-lim-si selama tiga tahun. Sekarang masalah Siauw-lim-si sudah beres, maka sekarang saatnya dia kembali ke Bu-tong-pai!”

“Apakah Wan-toako berada di Siauw-lim-si?”

“Sekarang sudah tidak lagi!” Fu Hiong-kun menggelengkan kepala, “kelihatannya kau kurang tahu tentang berita-berita di dunia persilatan.”

Lu Tan mengangguk:

“Beberapa tahun ini aku selalu berada di sisi ayahku. Di ibukota memang jarang ada orang dunia persilatan. Orang-orang dari satu perkumpulan sangat sedikit dan jarang saling berkunjung!”

“Pantas saja sampai berita Wan-toako membantu Siauw-lim-si mengalahkan Put-lo-sin-sian (Dewa yang tidak pernah tua) dari Pek-lian-kau yang sangat menggegerkan dunia persilatan, kau juga tidak tahu!”

Lu Tan tertawa kecut:

“Kalau begitu di manakah aku bisa mencari Wan-toako?”

“Aku sendiri juga sedang mencari dia!” Fu Hiong-kun terlihat sedih.

Lu Tan pernah mendengar hal-hal tentang Wan Fei-yang dan Fu Hiong-kun. Melihat Fu Hiong-kun seperti itu, dia merasa terharu.

“Mungkin Wan-toako sudah kembali ke Bu-tong-san tapi sepanjang jalan aku tidak mendengar ada kabarnya!”

“Perkumpulan kami juga tidak mendengar kabarnya.” “Murid-murid Bu-tong-pai yang berada di ibu kota berjumlah berapa orang?”

“Tidak sampai 10 orang!”

“Walaupun tidak banyak tapi bagimu pasti ada kebaikan!” “Tapi mereka tidak tahu identitasku yang sebenarnya.” “Apakah kau khawatir akan menyusahkan mereka?”

Lu Tan menggelengkan kepala:

“Ini adalah dendam pribadi!”

“Kau salah!” Fu Hiong-kun dengan serius berkata, “Liu Kun mendatangkan malapetaka bagi negara dan rakyat. Dia sudah menjadi musuh semua orang. Demi menghindari bencana pada orang-orang yang tidak bersalah, teman-teman yang menjaga ke adilan dan kebenaran harus bersatu, sama-sama menghadapi orang ini!”

“Apakah kau menganggap hal ini harus begitu?”

“Semua teman yang menjaga keadilan bermaksud begitu, apakah kau menganggap hal ini salah?”

Lu Tan menggelengkan kepala, tertawa kecut:

“Aku bukan benar-benar orang dunia persilatan, tapi aku kira aku akan terbiasa dengan cepat!”

“Tapi sekarang kau sudah lebih mirip orang dunia persilatan!” Lu Tan tertawa.

“Aku harap bisa membantumu untuk masalah ini!” kata Fu Hiong-kun.

“Terima kasih Nona Fu!”

“Jangan sungkan! Sekarang kau mau ke mana?”

“Aku jalan-jalan dulu, mungkin bisa mendapatkan kabar yang lain. Tidak disangka bisa ber temu dengan Nona Fu! Apakah Nona Fu ada keperluan?” Fu Hiong-kun dari tadi sudah memperhatikan orang di sekeliling mereka. Orang-orang itu melihat mereka dengan sorot mata yang aneh. Seorang gadis berbicara lama dengan seorang pendeta di gang kecil, memang terasa aneh. Maka dia berkata:

“Sudah beres! Mari kita pergi dari sini!” Lu Tan mengangguk:

“Di mana Nona Fu tinggal?”

“Tadi pagi aku baru datang dan masuk kota!”

“Berarti Nona Fu belum ada tempat tinggal. Bagaimana kalau sementara ini Nona tinggal di Pek-wan-koan?”

Fu Hiong-kun berpikir sebentar, dan akhirnya mengangguk. Dia berharap bisa mengetahui keberadaan Wan Fei-yang dari murid Bu- tong-pai.

Kalau Wan Fei-yang muncul, sedikit banyak murid Bu-tong-pai akan mendapatkan kabar. Namun kemudian terpikir olehnya, Lu Tan sampai-sampai tidak mengetahui berita Wan Fei-yang yang sudah mengalahkan Put-lo-sin-sian, hal ini membuat Fu Hiong-kun tertawa kecut. Tapi di sisi lain ada perasaan mau pergi ke mana dan mulai dari mana sementara waktu sudah menghilang.

11-11-11

Di dalam hati Liu Kun, Lu Tan bukannya tidak penting, tapi karena orang yang harus dihadapinya terlalu banyak. Boleh dikatakan setiap hari pasti ada calon bara yang muncul, tapi dia tidak merasa pusing, malah menganggap itu adalah menye nangkan.

Beberapa hari ini yang membuat dia cemas adalah An-lek-hou dan Tiang-lek Kuncu yang membawa baju kebesaran kaisar titipan Ling-ong kepada baginda.

Rahasia apa yang tersimpan di lengan baju? Liu Kun tidak bisa menebak. Maka begitu terpikir akan hal ini, dia langsung tidak enak hati. Bila dia tidak suka, dia selalu mengomel. Maka begitu melihat ekspresi dia yang sedang kesal, Hongpo bersaudara yang selalu berada di sisinya segera merasakan dan selalu tidak berkomentar apa-apa.

Tapi setelah Hongpo Ih tahu penyebab kecemasan Liu Kun, dia ingin menonjolkan diri dan menunjukkan bahwa dia pintar juga cekatan, maka dia segera bertanya:

“Apakah Kiu-cian-swe teringat lagi akan baju kebesaran kaisar itu?”

Liu Kun menyahut. Hongpo Ih berkata lagi:

“Di dalam baju kebesaran pasti ada rahasiai” “Rahasia apa?” Liu Kun segera bertanya.

Hongpo Ih terpaku. Hongpo Tiong mengeluh di dalam hati. “Apakah ada berita khusus?” tanya Liu Kun.

“Pagi hari ini Ki Siang-su menjumpai Hoan-ta-hu untuk main catur...”

“Ini adalah masalah kecil...”

“Kata-kata Hoan-tai-hu tidak menaruh hormat kepada Kiu-cian- swe. Dia mengatakan Kiu-dan-swe sombong dan menguasai kerajaan!”

Liu Kun malah tertawa:

“Kutu buku seperti dia, apalagi sudah tua, tidak perlu dilayani!”

“Pejabat Tu-si-pui-ceng dan teman baiknya Liu Kian semalam mabuk arak. Mereka terus membicarakan Kiu-cian-swe. Laporan sudah diantar kemari, apakah Kiu-cian-swe ingin melihatnya?”

“Tidak perlu melihat. Aku sudah tahu apa isi laporan itu. Itu bukan pertama kalinya. Kapan-kapan cari waktu untuk menyingkirkan mereka!” Tiba-tiba Liu Kun tertawa dingin, “kapan dua Kaucu itu bisa masuk?”

“Malam ini jam satu akan masuk kota melalui pintu Cong-bun!” kata Hongpo Tiong sedikit tegang.

“Sangat baik!” Liu Kun senang, “Ini adalah hal yang paling penting, mengapa baru sekarang memberitahu padaku?” “Kabar baru sampai. Kita membuat kejutan agar Kiu-cian-swe senang!” Hongpo Tiong berkata dengan hormat.

Liu Kun tertawa:

“Mereka mau membantu kita, semua masalah akan beres!” Kemudian dia berkata lagi, “apakah barang yang mereka butuhkan sudah disiapkan?”

“Kiu-cian-swe tenang saja, semua sudah siap!” “Semua ini aku serahkan kepada kalian!” Kemudian dia segera berbaring di ranjang.

Malam hari. Dari pintu belakang kota Cong-bun, ada dua peti mati digotong masuk. Prajurit yang beijaga di pintu kota sudah diganti dengan orang-orang Liu Kun. Setelah mencocokkan kata- kata rahasia, Hongpo bersaudara segera menyuruh membuka pintu kota dan membiarkan peti mati masuk.

Delapan orang laki-laki yang menggotong peti mati terlihat seperti orang biasa. Baju kerja mereka tidak bercela, itu pasti sudah dipilih dengan teliti.

Di sepanjang jalan selalu ada orang-orang Liu Kun yang diam- diam melindungi dan mengawasi mereka. Bila ada orang yang dicurigai, langsung di cegat mereka.

Untuk menghindari perhatian orang, dua bersaudara Hongpo tidak berjalan bersamaan. Mereka berdua berjalan ke sisi.

Delapan orang laki-laki yang menggotong peti mati melewati jalan besar, gang kecil, dan akhirnya masuk ke toko Tiang-seng. Peti mati masuk ke kota Tiang-seng sangat wajar untuk menutup mata dan telinga orang. Memang itu adalah cara yang paling bagus.

Di dalam toko Tiang-seng ada sebuah terowongan rahasia untuk masuk ke kota Hu-hiang. Jalan rahasia ini tidak mudah dibuat dan kamar rahasia yang menyambung ke tempat rahasia di bawah sana' tidak sederhana.

Peti mati ditaruh di kamar rahasia itu. Delapan laki-laki tegap segera berlutut di sisi. Di dalam kamar sudah ada puluhan orang yang penampilannya berbeda-beda menunggu, mereka juga ikut berlutut.

Sebuah pintu rahasia terbuka. Hongpo bersaudara juga datang.

Mereka tidak berlutut tapi berdiri dengan tegak dan serius.

Penutup peti pelan-pelan meluncur membuka, tanpa suara terjatuh ke tanah. Dua orang laki-laki setengah baya duduk di peti mati. Mereka berbaju emas, wajahnya kering, tinggi dan kurus seperti mayat hidup. Dua orang ini adalah anak buah Put-lo-sin-sian dari Pek-lian-kau, Thian-kun (Langit yang terhormat) dan Te-kun (Bumi yang terhormat) dari Sam-kun. Sekarang orang dunia persilatan menjuluki mereka Eng-hai Siang-yauw (Sepasang iblis dari Eng-hai). Couw Put-sian dan Couiu Put-hwi, 2 bersaudara.

Mereka yang tadinya berbaju perak, sekarang sudah diganti menjadi baju emas. Wajah mereka masih seperti dulu, hanya kulit tubuh dan rambut yang sudah berubah. Rambut yang hitam menjadi putih keabuan. Di kulit tubuh yang putih terlihat muncul nadi-nadi darah. Mata yang tadinya bagian putih lebih banyak dari hitam, sekarang ada lingkaran darah yang memenuhi bola mata, membuat orang merasa mereka lebih mirip siluman.

“Bunga teratai bersih tidak terkena tanah, terang juga bersih. Buddha turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia!” murid- murid Pek-lian-kau terus berseru di dalam kamar rahasia.

“Kaucu panjang umur!”

Thian-te-siang-kun tertawa dan berdiri. Walau pun mereka belum menemukan Bi-giok-leng (Perintah giok hijau) untuk memimpin semua murid Pek-lian-kau, tapi di depan murid Pek- lian-kau yang mendukungnya, mereka sudah seperti menjadi ketua Pek-lian-kau yang tidak resmi.

“Kami Hongpo bersaudara menemui Ji-wi Kaucu!” Hongpo Tiong dan Hongpo Ih mendekat untuk memberi hormat.

“Kalian berdua tidak perlu sungkan!” Thian-kun melayangkan tangan, “apakah kalian dikirim oleh Kiu-cian-swe?” “Betul!” jawab Hongpo Ih, “di wisma Kiu-cian-swe sudah mengatur semuanya, hanya menunggu kedatangan Ji-wi Kaucu!”

“Kadang-kadang banyak masalah yang tidak leluasa kita lakukan di wisma Kiu-cian-swe!” Thian-kun tertawa, “apakah ada gerakan orang dunia persilatan di ibukota?”

“Tidak ada!”

“Apakah di antara mereka ada yang sulit dihadapi?”

“Mereka adalah Lo-taikun dari keluarga Lam-kiong, dan ketua Kun-lun-pai Tiong Toa-sianseng.” Hongpo Tiong tidak menyebut nama Lam-touw (Pencuri selatan). Walaupun ilmu mereka kalah dari Lam-touw tapi mereka selalu menganggap Lam-touw hanyalah sejenis Pak-to (Perampok utara), tidak bisa disamakan dengan Lo- taikun dan Tiong Toa-sianseng.

Thian-te-siang-kun saling pandang. Thian-kun berkata:

“Suruh Kiu-cian-swe tenang. Lo-taikun dan Tiong Toa-sianseng tidak perlu ditakuti. Kami dua bersaudara akan mengatasi mereka!”

Dia bertanya pada seorang anak buahnya:

“Apakah barangnya sudah siap?”

“Lapor kepada Ji-wi Kaucu! Semua sudah siap dan kapanpun bisa digunakan!”

“Baik!” Thian-kun tertawa. Suaranya membuat orang merasa takut.

“Sudah sampai waktunya!” Te-kun melayangkan tangan.

Dua murid Pek-lian-kau segera menekan tombol di dinding, terdengar suara CHA! CHA! Pintu rahasia segera terbuka. Kemudian ada suara dua anak kecil menangis.

Thian-te-siang-kun seperti hantu gentayangan melayang masuk ke dalam pintu rahasia dan pintu segera menutup.

Murid Pek-lian-kau tadi segera memberi hormat kepada Hongpo bersaudara:

“Silahkan kalian berdua!” Pintu yang dimasuki Thian-te-siang-kun tadi masih terbuka, Hongpo bersaudara tidak banyak bicara, mereka segera masuk.

Murid-murid Pek-lian-kau ikut masuk. Sewak tu pintu tertutup, terdengar suara anak berteriak memilukan dari ruangan rahasia.

Sekelompok murid Pek-lian-kau seperti tidak merasakan apa- apa. Tapi Hongpo bersaudara yang setelah mendengar suara itu malah bergetar seperti kedinginan.

Walaupun mereka adalah orang dunia hitam, juga tahu Thian- te-siang-kun sedang berlatih ilmu sesat, tapi begitu tahu bahan pokoknya adalah anak kecil, hati mereka tetap tidak nyaman!

***

Berita-berita diperoleh Liu Kun dengan sangat cepat. Bila dilihat dari luar, An-lek-hu Su Yan-hong, Tiong Toa-sianseng dan Ci-cu- wan keluarga Lam-kiong tidak melakukan tindakan yang merugikan Liu Kun.

Menanggapi An-lek-hu Su Yan-hong yang di temani Tiang-lek Kuncu mengantarkan baju kebesaran kepada kaisar, Ci-cu-wan tetap tenang. Kejadian ini tidak berbeda dengan dulu ketika Lo- taikun pernah masuk ke ibukota untuk bersembahyang.

Sebenarnya Ci-cu-wan memang tenang. Dari luar, semua orang tidak merasa ada yang tidak beres dan seperti sudah terbiasa. Terkecuali Kang Bing-cu. Tadinya dia siap berangkat ke ibukota untuk bersenang-senang tapi semua orang memilih untuk tinggal. Di Ci-cu-wan, kecuali Tiong Bok-lan yang pernah keluar sekali, yang lain tidak tertarik untuk keluar.

Keinginannya untuk keluar membuat Bing-cu segera teringat kepada Tiong Bok-lan. Dia juga biasanya lebih akrab dengannya.

Pagi-pagi dia sudah datang mencari Tiong Bok-lan. Tiong Bok-lan merasa aneh. Pada saat itu dia sedang melukis. Tiba-tiba Bing-cu masuk. Tiong Bok- lan ingin menyimpan lukisannya, tapi tidak sempat lagi.

Dia melukis bunga dan pohon, dan menulis dua kalimat puisi, tapi semua ini bisa melukiskan keadaan pikirannya. Maka dia takut Bing-cu mengetahui apa yang sedang dia pikirkan.

Memang Bing-cu punya mata yang tajam dan juga pikiran yang lincah, tapi dia sedang memikirkan hal lain.

“Bibi kelima, apakah kau merindukan paman kelima lagi?” Tiong Bok-lan menghembuskan nafas, matanya memerah: “Apakah kau datang mencariku?”

“Apakah hari ini bibi mau ke ibukota?” Bing-cu bertanya dengan suara kecil.

Tiong Bok-lan menggelengkan kepala. Bing-cu segera berkata lagi:

“Carilah satu alasan, Tai-kun akan mengijin-kan kita pergi ke ibukota!”

“Mengapa?” Tiong Bok-lan sedikit terkejut.

“Asal kau membuka mulut, Tai-kun pasti akan setuju denganmu!” Akhirnya Bing-cu menyampaikan isi hatinya, “Setiap hari tinggal di Ci-cu-wan, aku merasa bosan!”

“Jika Tai-kun tahu, dia akan marah padaku!”

“Kalau bibi tidak memberitahunya, mana mungkin dia bisa tahu?”

“Tapi bila dia bertanya, aku tetap akan mem-beritahu. Tapi hari ini aku masih...”

Bing-cu menyela:

“Aku benar-benar ingin ke kota untuk melihat lihat!”

Tapi Tiong Bok-lan tetap menggelengkan kepala. Bing-cu tahu sifatnya maka dia tidak berkata apa-apa lagi. Dia menghentakkan kaki, membalikkan tubuh keluar dari kamar. Tiong Bok-lan seperti ingin memanggilnya. Begitu berdiri, dia lalu duduk kembali lagi sambil menggelengkan kepala.

12-12-12

Keluar dari kamar Tiong Bok-lan, Bing-cu masih berlari berbelok-belok melalui kebun, hampir-hampir bertabrakan dengan Kiang Hong-sim yang baru keluar dari pintu.

Bing-cu masih berlari. Kiang Hong-sim berteriak: “Bing-cu, kau mau ke mana?”

“Tidak tahu!”

“Siapa yang membuatmu marah? Beritahukan kepadaku, biar aku marahi dia!”

“Aku sangat bosan tinggal di Ci-cu-wan. Aku meminta bibi kelima membawaku ke kota, tapi dia mengkhawatirkan ini dan itu. Kalau tidak memberi tahukan pada Tai-kun, kita pergi diam-diam dan pulang diam-diam, mana mungkin Tai-kun bisa tahu?”

“Kau mau ke kota? Kukira ada apa, ternyata hanya itu...” Kiang Hong-sim tertawa.

“Bagaimana kalau bibi kedua yang membawamu pergi?” “Betulkah?”

“Asal jangan kau bocorkan hal ini!” “Itu pasti!”

“Lihat dirimu, begitu cemas!” Kiang Hong-sim melihat ke sekeliling, kemudian menarik Bing-cu masuk ke dalam hutan bambu.

Di ujung hutan bambu ada sebuah dinding tinggi. Asal bisa melewati dinding ini, maka sudah berada di luar Ci-cu-wan. Dengan ilmu meringankan tubuh mereka, melewati dinding ini mudah seperti membalikkan telapak tangan.

13-13-13

Sim-sa-hai adalah tempat yang menarik. Sekali pun bagi orang yang sudah tinggal lama di ibu kota, tempat ini tetap menarik, apalagi bagi Bing-cu yang baru pertama datang. Di sepanjang jalan dia melihat ke kiri dan ke kanan. Begitu mendengar ada suara simbal dan dari Kiang Hong-sim dia mengetahui bahwa itu adalah tukang obat, dia bertambah senang dan ribut ingin ke sana untuk melihat-lihat keramaian.

Kiang Hong-sim tidak melarang, juga tidak ikut ke sana. Dia hanya berpesan kepada Bing-cu:

“Bila kau ingin ke sana, jangan pergi ke mana-mana, nanti aku akan ke sana mencarimu!”

“Bibi kedua mau ke mana?”

“Aku ingin membeli bedak dan pemoles bibir!”

“Bibi kedua begitu cantik, apakah masih mem butuhkan bedak dan pemoles bibir?”

“Anak kecil tahu apa?”

“Aku tidak tertarik dengan barang ini!” Bing-cu sudah lari ke dalam kerumunan orang.

Setelah dia pergi jauh, Kiang Hong-sim baru berjalan dengan sikap serius.

Dia berkata kepada Bing-cu kalau dia ingin membeli bedak, tapi sekarang dia malah berjalan ke sebuah toko kulit. Toko kulit ini adalah toko kulit Hu-hiang tempat Thian-te-siang-kun bersembunyi.

Pemilik toko adalah murid Pek-lian-kau. Melihat ada tamu yang datang, dia segera melayani. Tapi begitu melihat Kiang Hong-sim, dia terpaku.

Tangan kanan Kiang Hong-sim ditaruh di atas meja. Kelima jarinya bersatu seperti sekuntum bunga yang mekar. Begitu pemilik toko melihat tangannya, dia baru pelan-pelan membuka jarinya satu persatu. Jari yang pertama dibuka adalah jari tengah kemu dian diikuti oleh jari telunjuk, jari manis dan kelingking.

Telapak kiri pemilik toko berada di meja. Dia seperti tidak sengaja menutup kemudian membuka telapak tangannya tiga kali. Jari Kiang Hong-sim berubah dua kali, kemudian dia bertanya: “Lo-pan, apakah ada yang lebih bagus?”

“Ada! Masuklah ke dalam untuk melihat- lihat!”

Dia membawa Kiang Hong-sim masuk. Tawanya sangat licik dan aneh.

Sorot mata Kiang Hong-sim juga tampak seperti itu.

14-14-14

Siau Cu sangat rajin seperti biasanya. Sebelum Bing-cu datang menonton, dia sudah memasang jenggot dan rambut palsu berwarna putih keabuan. Wajahnya dilukis dengan cat berwarna. Dia sudah berubah menjadi seorang tua. Dia meniru gerakan Lam- touw, hanya tidak membawa Holou yang berisi arak. Tapi gerak mabuknya sudah sangat mirip, benar-benar mirip.

Semua orang yang melihat pertunjukan mereka adalah pelanggan lama. Gerakan lucu Siau Cu membuat semua orang tertawa terbahak-bahak.

Lam-touw tidak menyangka Siau Cu bisa meniru dia dengan begitu mirip, maka dia terus menghentakkan kaki. Keenam indranya seperti akan mengeluarkan asap. Dia marah, kemudian minum arak lagi.

Siau Cu tidak peduli. Setelah itu, dia lalu bermain sulap. Satu demi satu trik sulap dimainkan-nya, yang terakhir adalah 'Pa-pui- ki-tan (Telur ayam ada di mana). Terlihat kedua tangannya terus ber-gerak. ke kiri mencengkram, ke kanan juga, di atas kepala, hidung, telinga, bibir, mata, di semua tempat yang dicapai tangannya muncul telur ayam, dan diisi penuh ke dalam sebuah keranjang. Semua orang tahu itu hanya trik kecepatan tangan. Tapi semua orang kagum pada kecepatan tangannya, dan merasa heran di mana dia bisa menyimpan telur sebanyak itu?

Di akhir sulapnya, dia meminta sumbangan uang. Sambil membawa wadah mengelilingi lapangan, uang logam masuk ke wadahnya. Jumlahnya lumayan banyak. Lalu penonton perlahan- lahan bubar.

Ketika Siau Cu pertama kali melewati Bing-cu, Bing-cu sama sekali tidak ada reaksi. Dia hanya melihat sepasang tangan Siau Cu dengan aneh. Tapi Siau Cu tidak melayaninya. Setelah berkeliling satu putaran dan melihat Bing-cu masih berdiri di sana, maka wadah uangnya segera ditujukan ke Bing-cu.

Bing-cu melemparkan satu tail perak ke dalam wadah, yang mengeluarkan suara yang sangat keras.

Siau Cu segera berhenti. Dia merasa hal ini di luar dugaan, dia melihat Bing-cu melihat sekeliling, kemudian dia teringat Su Ceng- cau.

Umur Su Ceng-cau dan Bing-cu hampir sama tapi dia lebih royal. Tapi memang keadaannya berbeda. Waktu itu Su Ceng-cau memecahkan banyak piring juga mengusir banyak penonton. Kecuali Siau Sam Kongcu, pengawal, pembantu sampai berjumlah banyak.

Bing-cu terus menatap dengan diam. Penampilannya seperti orang yang mempunyai hubungan dengan kaisar. Di sekelilingnya tidak ada pengawal. Dia terlihat masih muda dan polos.

Siau Cu melihat Bing-cu. Dia menggelengkan kepala:

“Gadis kecil, tidak perlu memberi uang begitu banyak, beberapa uang kecil sudah cukup!”

“Paman, anggaplah uang itu untuk aku belajar pengetahuan!” Bing-cu berkata serius.

Siau Cu terpaku, sekarang dia baru memperhatikan, ternyata Bing-cu begitu cantik. Tapi dia tetap tidak tahan dan tertawa:

“Gadis kecil suka bercanda! Menjual obat, menjual teknik tidak ada harapan baik. Apa yang bisa kau pelajari?”

“Bukankah tadi semua orang sangat suka? Bila aku sudah belajar dan sulapku ditonton orang, bukankah mereka juga akan senang?” Bing-cu menarik lengan baju Siau Cu: “Paman, ajarilah aku sulap Pa-pui-ki-tan!” Siau Cu melihat tangan Bing-cu yang putih:

“Apakah kau benar-benar mau belajar?”

“Betul!” Bing-cu segera mengambil beberapa butir telur, “sebenarnya butir-butir telur ini tadi kau sembunyikan di mana?”

“Kau harus belajar memegang telur dulu, nanti baru belajar yang lain!”

Bing-cu mengambil sebutir telur dengan tangan kanan. Dia mempelajari cara Siau Cu memegang telur.

“Kalau begitu cara memegangnya, mana bisa kita bergerak? Lihat yang jelas, harus begini!” Siau Cu mengambil telur yang lain.

Bing-cu memperhatikan, juga belajar. Dia memang gadis pintar, tapi memegang telur dia kurang bisa. Dari beberapa sudut Siau Cu memperagakan caranya agar Bing-cu bisa melihat dengan jelas. Terakhir Siau Cu memegang tangannya:

“Waktu memegang telur, jari telunjuk dan jari tengah jangan terlalu kuat. Lihat! Harus begitu baru benar!”

Siau Cu hanya ingin Bing-cu bisa menguasai teknik Pa-pui-ki- tan, agar Bing-cu tidak membenci dia. Dia sama sekali tidak bermaksud kurang ajar. Bing-cu juga tidak merasakan apa-apa, tapi dari bela kang tiba-tiba ada tangan yang mencengkram dan menariknya. 

Dia menoleh, ternyata adalah Kiang Hong-sim, dia dengan marah melihat Siau Cu.

“Bibi kedua, apa yang terjadi?” tanya Bing-cu aneh.

Kiang Hong-sim melepaskan cengkramannya. Dia menggelengkan kepala:

“Kau masih gadis, mana boleh membiarkan seorang laki-laki memegang tanganmu?”

“Dia sudah tua...”

Siau Cu masih bingung di tempatnya. Dia ikut berkata: “Betul, kalau bukan karena aku hidup tidak mujur, cucuku juga sudah sebesar dia.”

Mata Kiang Hong-sim segera melihat tangan Siau Cu. Dia tertawa dan marah:

“Kau kurang ajar! Masih ingin membela diri!” Segera telapak Kiang Hong-sim sudah menyerang.

Angin pukulan sangat keras, yang pasti Siau Cu tidak mau dirugikan, dia cepat menghindar. Kiang Hong-sim terus menyerang berturut-turut sam pai 17 jurus. Siau Cu hanya menghindar. Yang pasti dia merasa malu. Dia berteriak:

“Laki-laki yang benar tidak akan bertarung dengan perempuan!” Tapi Kiang Hong-sim menyerang lagi. Siau Cu harus menundukkan kepala baru bisa menghindar. Tapi Kiang Hong-sim segera mengayunkan telapak menyerang matanya.

Siau Cu segera bersalto ke belakang untuk menghindari serangan ke matanya, tapi rambut palsu yang dipakainya sudah terbang sejauh 3 depa.

Siau Cu segera berguling ke bawah dan langsung meloncat bangun. Dia menepuk-nepuk kepala:

“Perempuan yang kejam! Untung reaksiku cepat, kalau tidak kepalaku akan berpindah!”

Kiang Hong-sim tidak mengejar. Dia tertawa dingin:

“Dari awal aku sudah curiga, mengapa tangan seorang tua begitu licin dan segar, benar saja tidak salah!”

Bing-cu melihat Siau Cu dengan bengong. Siau Cu menarik jenggot palsunya dan bertanya:

“Apa yang salah?”

“Tidak ada! Wah, pemuda yang tampan untuk apa kau harus berdandan seperti seorang tua? Kau benar-benar menusuk citra sendiri, kau benar-benar berdosa!”

Siau Cu mundur dua langkah: “Kalau kau terus menyerang, aku tidak akan sungkan membalas!”

“Mana mungkin aku berani tidak sopan bertarung dengan seorang guru?” kata Kiang Hong-sim.

“Guru?” Siau Cu terpaku.

“Bing-cu ingin belajar ilmu sulap kepadamu. Sulit mendapatkan guru yang menguasai ilmu sulap dengan baik, mana mungkin kita melewatkan ini dengan sia-sia? Bing-cu, bagaimana kalau kita sama-sama belajar ilmu Pa-pui-ki-tan?”

Bing-cu melihat Siau Cu, tanpa sengaja menarik sepasang tangannya ke belakang, wajahnya menjadi merah. Bing-cu benar- benar cantik, Siau Cu melihatnya dengan bengong.

Kiang Hong-sim melihat keadaan itu, dia tetap bertanya: “Adik! Bagaimana, berapa biayanya?”

“Uang tidak masalah, asalkan kalian suka!” Sorot mata Siau Cu tetap menatap wajah Bing-cu.

“Kapan bisa dimulai?” Kiang Hong-sim mendekat, “sekarang?” tangannya sudah mencengkram pundak Siau Cu.

Siau Cu seperti tidak sengaja menghindar, dia menjawab:

“Di sini banyak orang. Kalau teknik sudah dipelajari orang-orang ini, kelak aku akan kehilangan pelanggan. Besok jam 2 pagi kutunggu kalian di kuil di timur kota, bagaimana?”

Mata Kiang Hong-sim yang besar berputar-putar. Dia segera tertawa:

“Baik. Bing-cu, ingat waktu dan tempatnya!” Setelah itu, dia segera membawa Bing-cu meninggalkan tempat itu.

Siau Cu masih melihat bayangan punggung Bing-cu dengan bengong, sampai dia merasa ada sese orang mendekat. Dia adalah Lam-touw yang tertawa dengan misterius.

“Guru!” kata Siau Cu sambil menggelengkan kepala, “Pantas mati.” “Bicaramu harus jelas, yang pantas mati itu siapa?”

“Tentu saja aku! Aku selalu suka mengambil keputusan sendiri, tidak bertanya kepada guru terlebih dulu!”

“Tapi kali ini kau tidak membuat kesalahan!”

“Apakah guru juga setuju bila aku mengajari perempuan itu?” “Mungkin kau tidak sanggup mengajari perempuan itu!” “Ada guru, mana mungkin tidak bisa mengajar dia?”

“Bocah licik, sampai guru juga kau libatkan!” Lam-touw marah, kemudian dia minum arak.

“Mengenai hal yang sangat menyenangkan ini, mana mungkin guru tinggal diam?”

“Lebih baik dia datang sendiri. Gadis kecil itu jangan ikut di sisinya!” kata Lam-touw.

“Ikut juga tidak apa-apa, aku yang akan melayani dia!” Sorot mata Siau Cu melihat ke arah Bing-cu pergi tadi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar