Kembalinya Si Manuisa Rendah (Sai Jin Lu) Jilid 8 TAMAT

Jilid 8 (Tamat)

“Kim-moi, tugas menyelamatkan para pendekar akibat pengaruh pah-sim-sai-jin lebih utama ketimbang menerima resiko kematian yang diakibatkan berani babi, dan juga kita masih punya Yo-seng yang harus kita bimbing.”

“maafkan aku koko, aku demikian terburu nafsu dalam menghadapi masalah.” “tidak mengapa Kim-moi, mendiskusikan masalah merupakan hal yang bagus.” “tapi aku sedikit bernada emosi mengkritikmu Hun-ko.”

“hahaha..haha…, kamu adalah istriku, gejolak perasaan sangat ikut terlibat, dan aku memaklumi itu Kim- moi”

“hmh… Hun-ko sayang….” desah Liu-kim sambil memeluk erat suaminya, Lui-kim berinisiatif menciumi dan melumat mesra suaminya, desahannya membangkitkan birahi, malam itu berlalu dengan hentakan kasih mesra yang bergejolak, Lui-kim dengan sepenuh cinta dan kemesraan mengajak suaminya berpacu meraih puncak kenikmatan, seakan ia ingin menebus rasa sesalnya yang cemburu pada suaminya yang bijak ini.

Dua malam Lui-kim selalu membawa suaminya pada permainan asmara yang menggebu, dan Hun-ko mandah dan maklum menyambut istrinya dengan rasa cinta dan kemesraan yang tidak kalah hangatnya, sehingga membuat Lui-kim terasa nyaman dan bahagia.

Keesokan harinya ketika mereka turun untuk makan siang, dan para tamu sudah banyak yang sedang makan, para pelayan hilir mudik melayani, ketika mereka menuruni tangga disudut ruangan makan, seorang wanita cantik dengan mahkota dikepalanya, perempuan itu jadi bahan perhatian karena keanggunannya yang luar biasa, dia laksana permaisuri kerajaan, dia adalah Kwee-kim-in

“Kwee-lihap, ternyata anda sudah sampai disini.” sapa Lui-kim

“oh…ternyata siang-taihap menginap disini, apa kalian juga hendak makan?”

“benar…, pelayan hidangakan makanan untuk kami.” sahut Lui-kim, dan keduanya duduk semeja dengan she-taihap. “bagaimana keadaanmu Kwee-lihap?” tanya Lui-kim “syukurlah, siang-taihap telah mengikuti pesanku.”

“sepertinya Kwee-lihap sudah tahu apa yang akan terjadi bila bertempur dengan Pah-sim-sai-jin.”

“benar Kim-cici, karena itu kali kedua saya menghadapi Pah-sim-sai-jin, dan pada pertempuran pertama, untunglah ada Wan-cianpwe, sehingga saya selamat, dan berkat dia aku dapat mengetahui keadaan pada kali kedua.”

“kali pertama bagaimana ceritanya Kwee-lihap?”

“kali pertama ketika pah-sim-sai-jin pingsan, suheng dan Wan-cianpwe segera membawa saya, dan saya normal dalam sehari karena pengobatan Wan-cianpwe.”

“jadi artinya tanpa pengobatan kwee-lihap akan normal dalam tiga hari.” Sela Yo-hun “benar Yo-taihap, makanya aku berpesan demikian saat itu.”

“kenapa Kwee-lihap dalam pesan itu masih berharap kami temui, apakah itu artinya Kwee-lihap berharap mengadakan perjalanan bersama?” tanya Yo-hun

“benar Yo-taihap, karena saya yakin perjalanan kita ini berbareng dengan pah-sim-sai-jin, dengan kita bertiga hal-hal yang tidak diingini dapat kita atasi.”

“saya juga punya pemikiran seperti itu she-taihap.”

“tentu perjalanan kita kali ini amat berbahaya sekali.” sela Lui-kim

“benar sekali Kim-cici, jika kita tidak bersama, tapi kalau kita masih bersama sedikit banyaknya kita akan dapat atasi.”

“maksudnya bagaimana she-taihap.” tanya lui-kim

“maksudnya jika saya sendiri dan berhadapan dengan pah-sim-sai-jin dipastikan saya akan binasa, demikian pula jika siang-taihap tanpa keberadan saya akan binasa jika berhadapan dengan pah-sim-sai-jin, tapi jika kita bersama, kita masih dapat selamat sebagaimana kejadian kemarin.”

“lalu bagaimana selanjutnya, she-taihap?” tanya Lui-kim “kita akan melanjutkan perjalanan setelah ini.”

“bukankah sebaiknya besok saja she-taihap, karena she-taihap mungkin masih lelah, dan juga pah-sim-sai- jin juga berada dikota ini.”

“ooh..dia berada dimana?”

“dia berada di rumah Tan-wangwe dan menguasai keluarga itu dengan hipnotisnya, tapi itu dua hari yang lalu.”

“sekarang apakah dia masih disana?”

“kami kurang tahu juga, apakah kita perlu menyelidiki kesana?”

“tidak perlu menurut saya, dan baiklah kita berangakat besok.” sahut Kwee-kim-in.

Keesokan harinya ketiga pendekar itu meninggalkan likoan dan keluar kota dari gerbang sebelah timur, perjalanan dilakukan dengan cepat, ilmu lari cepat ketiga pendekar itu sudah pada tingkat tinggi masa itu, mereka istirahat hanya untuk makan. “Jim-kok” lembah yang indah dengan pemandangan bunga kanoka yang terhampar, ditengah lembah sebuah bangunan megah berdiri, empat orang pelayan separuh baya sedang melayani seorang perempuan berwajah buruk yang duduk ditaman dibelakang rumah, perempuan itu memaki gaun berwarna putih, bagian lengan kirinya buntung, dan kaki kirinya juga buntung.

Perempuan itu memberi isyarat pada empat pembantunya, perempuan itu adalah Can-hang-bi, perempuan yang dulunya cantik namun telah berubah sangat jelek oleh kesadisan saudara seperguruannya setahun lebih yang lalu, dalam bangunan megah itu ada empat pelayan perempuan, dan tiga orang lelaki suami dari tiga pelayan, dua anak laki-laki remaja, serta seorang anak perempuan berumur lima tahun, suami tiga pelayan itu bekerja menggarap tanah milik can-hang-bi di lembah itu.

Ketiga suami pelayan itu adalah Tang-beng, Kam-teng dan Yo-meng, ketiganya berumur empat puluh sampai empat puluh lima tahun, saat sore hari ketiga lelaki paruh menghentikan pekerjaan mereka dan berkemas hendak pulang.

“sudahlah A-meng, kita cepat pulang supaya jangan kemalaman sampai dirumah.” Seru Kam-teng

“baik Kam-twako, sebentar saya bersihkan diri dulu.” sahut Yo-meng dan segera mencuci tangan dan kakinya, setelah itu dengan memanggul cangkul mereka mendaki jalan setapak menuju jalan besar.

Ketika ketiganya sampai kejalan besar, mereka melihat ada dua orang laki-laki dan perempuan sedang istirahat dipinggir hutan, Kedua orang itu adalah Kwaa-han-bu dan istrinya Kao-hong-li

“sicu apakah kalian hendak pulang?”

“benar sicu, kalian ini apakah akan melewatkan malam di hutan ini?” sahut Tang-beng “rencananya demikianlah sicu, dimanakah kalian tinggal? bukankah didepan tidak ada kampung?” “benar sicu, kami tinggal di lembah ini, dan didepan sana kami tinggal.”

“hmh…bukankah ini namanya Jim-kok?” “benar sicu, sepertinya sicu tahu tempat ini.”

“beberapa tahun yang silam saya pernah kesini, tepatnya markas penjahat dulu, lalu kalian tinggal dimana?” “soal markas penjahat kami tidak tahu.”

“bukankah sebaiknya sicu dan nyonya menginap ditempat kami?” “apakah tidak merepotkan, sicu?” sahut Kao-hong-li

“nona besar kami sangat baik, tentu akan menerima kalian.” sela Kam-teng “baiklah, sebelumnya kami ucapkan terimakasih.” sahut Kwaa-han-bu

“kalau begitu marilah sicu, kita bergegas supaya jangan kemalaman.” ujar Tang-beng, lalu merekapun melanjutkan perjalanan.

Saat malam tiba, merekapun sampai di tempat bangunan megah milik Can-hang-bi

“A-meng, pergilah laporkan pada nona besar bahwa kita kedatangan tamu, silahkan duduk dulu tuan.” ujar Tang-beng, A-meng segera mamasuki ruang utama untuk menemui Can-hang-bi

Can-hang-bi sedang berada dikamarnya, sementara istrinya dan tiga orang wanita lain sedang menyiapkan makan malam diatas meja, lalu ia mendekati istrinya

“Ting-moi, nona besar dimana?”

“eh…kamu sudah pulang, nona ada dikamarnya, memangnya ada apa?” “saya hendak melaporkan bahwa kami membawa dua orang yang kemalaman kesini.”

“sudah, biar aku saja yang menyampaikannya, pergilah bersihkan diri dang anti baju.” ujar istrinya, lalu Yo- meng pun keluar menuju bagunan belakang untuk membersihkan diri

“bagaimana, apakah nona besar sudah tahu?” sela Tang-beng yang sedang mengguyur badannya dengan air

“istri saya yang akan melaporkannya.” sahut Yo-meng sambil membuka baju.

Cu-ting-ting memasuki kamar Can-hang-bi

“nona besar, makanan sudah siap, marilah kita makan!”

“baik.” sahut Can-hang-bi sambil bangkit dari ranjangnya, Cu-ting-ting dengan sigap memberikan tongkat pada Can-hang-bi dan memapahnya keluar kamar, dan mendudukkan dikursi.

“nona besar, Meng-koko dan dua twako membawa dua orang yang kemalaman ketempat kita.” “bawalah mereka kesini, supaya keduanya makan bersama-sama kita.” sahut Can-hang-bi “baik nona besar.” jawab Cu-ting-ting, lalu pergi keruang tamu.

“tuan! nona kami mengajak kedalam untuk makan malam.” ujar Cu-ting-ting dengan ramah.

“hmh… baiklah dan terimakasih.” sahut Kwaa-han-bu dengan senyum ramah, lalu keduanya masuk kedalam ruangan makan.

Kwaa-han-bu memasuki ruang makan, Can-hang-bi terperangah sesaat ketika melihat tamunya, lelaki yang tidak pernah ia lupakan, lelaki yang telah menghiasi rasa sepinya selama ini, Kwaa-han-bu juga sedikit banyaknya bergetar melihat nona besar yang baik hati itu.

“silahkan taihap dan lihap duduk, dan marilah kita makan bersama.” Ujar Can-hang-bi dengan suara gemetar dan berdenging sumbang, bahkan tidak jelas pengucapannya karena bibirnya yang robek dan hidungnya yang sompal, awalnya Can-hang-bi tidak bisa bicara, namun seiring waktu Can-hang-bi berlatih bicara, dan hasilnya cukup lumayan, walaupun seperti dulu lagi.

Setelah semua penghuni rumah lengkap, merekapun makan, Can-hang-bi dengan tatapan mesra sesekali melihat wajah tampan kekasihnya yang dirindukan, semakin tidak lalu rasanya menyantap makanannya, karena debaran hatinya yang bergolak hebat,

“apakah masakannya ada yang kurang?” tanya pelayan tertua

“ah..tidak Ma-pek-bo, hanya sanya badan saya kurang enak.” sahut Can-hang-bi menunduk, karena Kwaa- han-bu menatapnya.

“Can-lihap salam berjumpa kembali, ternyata Thian masih mempertemukan kita.”

“aku amat bersyukur she-taihap, ternyata yang datang ini adalah kamu.” sahut Can-hang-bi semakin menunduk

“apakah lihap ini Can-hang-bi murid dari Pah-sim-sai-jin?” “bekas murid lihap, dan juga hal itu sudah lama berlalu.”

“demikian juga denganku Can-lihap, aku ini juga bekas murid in-kok-sianli-sam.”

“oh..ternyata demikian, bukankah in-kok-sianli-sam memiliki tiga murid, dan siapakah nama lihap?” “aku Kao-hong-li, dan juga dua saudaraku berada dekat dengan she-taihap.” “maksudnya, bahwa she-taihap adalah suamimu?” “benar Can-lihap.”

“kionghi..kionghi saya ucapkan Kao-cici.”

“terimakasih can-lihap, lalu bagaimana, apa yang terjadi dengan Can-lihap?” “hmh…marilah kita ke ruang tengah, dan Ma-pekbo, sediakan teh dan kopi untuk kami.”

“baik nona besar.” Sahut Ma-pek-bo, Cu-ting-ting dan seorang pelayan yang lain memapah Can-hang-bi keruang tengah.

Setelah teh dan kopi dihidangkan, Can-hang-bi menyeruput tehnya sambil menatap kedua tamunya “apa yang kualami adalah akibat dari masa laluku.”

“bagaimana dan siapa yang melakukan Can-lihap?”

“she-taihap, sebagaimana pada pertemuan kita dulu, aku tetap berdiam disini dan tidak pernah berkelana lagi, namun ternyata suatu saat saudara seperguruanku Ma-tin-bouw menemukan tempat ini, dan mengajak aku kembali pada prilaku masa lalu, ajakan itu saya tolak, dan membuat dia marah sehingga kami bertempur, dan aku tidak dapat menandinginya, lalu mereka meninggalkan aku setelah membuat cacat seperti ini.”

“hmh…kasihan sekali kamu Can-moi.” “aku rela dengan keadaanku Kao-cici.”

“hmh…bagaimana bisa, Can-moi dapat melakukan hal seperti itu?” tanya Kao-hong-li heran”

“bagi orang kebanyakan mungkin ini sulit dilupakan, namun hatiku terlalu damai dengan apa yang membayangiku selama ini.”

“tentu bayangan itu memiliki rasa yang luar biasa.” gumam Kao-hong-li

“benar dan rasa nyaman itu mengendapkan seluruh apa yang saya alami ini, oh ya bagaimana Kao-cici dan she-taihap sampai kemari, hal apakah yang sedang dilakukan?”

“kami dalam perjalanan ke kota Bao, hal ini sehubungan dengan munculnya Pah-sim-sai-jin.” sahut Kao- hong-li

“lalu ada apa di kota Bao, sehingga tujuan kalian kesana?”

“kami berjanji dengan Ui-hai-liong-siang, Wan-yokong untuk bertemu disana, karena ditempat itu beberapa orang pendekar kami tahan untuk diobati.”

“ada apa dengan para pendekar itu?”

“ini semua akibat ulah Pah-sim-sai-jin, dia menghipnotis rattusan pendekar untuk menjadi bonekanya berbuat kejahatan.”

“kalau dia mampu menguasai ratusan orang dengan ilmunya, tentunya hal itu merupakan kesaktian yang luar biasa.”

“benar, dan kita lagi berusaha untuk menyelamatkan para pendekar itu.” “apakah she-taihap akan mampu mengatasinya?”

“kita berusaha sedaya upaya Can-lihap, semoga saja Thian dapat memberikan jalan bagi kita, untuk dapat melenyapkan lawan yang alot ini.” “baiklah, she-taihap dan Kao-cici mungkin sudah lelah, beristirahatlah!” ujar Can-hang-bi, lalu merekapun istirahat.

Kwaa-han-bu dan Kao-hong-li sudah seminggu berada di tempat Can-hang-bi, Kao-hong-li dan Can-hang-bi sangat akrab, terlebih mereka satu latar belakang dulunya, dan dari Kao-hong-li mengetahui keadaan Kwaa-han-bu, dan Kao-hong-li juga merasakan bahwa ada hubungan batin antara Can-hang-bi dengan suaminya, sebagaimana yang mereka alami sebelumnya, hal ini membuat Kao-hong-li semakin sayang pada Can-hang-bi.

“Mungkin tidak lama lagi akan tiba giliranmu Can-moi, sebagaimana kami telah mendapat giliran.” “mungkin saja Kao-cici, tapi saya tidak tahu apakah she-taihap setuju.”

“tentunya she-taihap setuju, Bu-ko pastinya juga mencintaimu.”

“aku yakin dengan itu, namun yang saya maksud adalah, jikalah memang she-taihap akan menikahiku, sudah merupakan nikmat tidak terperi saya rasakan.”

“lalu apa masalahnya Can-moi?”

“menikah dan melahirkan anak she-taihap puncak dari seluruh kebahagianku, tapi aku tidak mampu menyertainya sebagimana kalian menyertainya.”

“apakah kalian membicarakan aku Kao-moi?”

“kami memiliki sesuatu yang sama, maka kami membicarakannya Bu-ko, oh ya saya kedapur dulu untuk membantu Ma-pek-bo.” sahut Kao-hong-li, lalu meninggalkan suaminya beserta Can-hang-bi.

“she-taihap duduklah!” pinta Can-hang-bi, Kwaa-han-bu duduk persis didepan Can-hang-bi.

“Can-lihap, selama seminggu kami disini, kita pasti merasakan hal yang sama, dimana rasa jalinan yang terbina dulunya semakin hangat dan menerbitkan bahagia.”

“she-taihap, tulusnya hati yang taihap berikan menjadi pelipur lara selama ini, semakin tidak terperikan rasa hati ini merasakan tatapanmu yang lembut panuh cinta padaku, taihap lanjutkanlah, aku akan mendengarkan.”

“Can-hang-bi, aliran sungai itu demikian jernih menyejukkan, aromanya juga demikian mewangi menerpa relung batinku, satu kebahagian bagiku jika seandainya aliran ini menjadi pemandangan dan penyejuk hati dalam kehidupanku.”

“taihapku yang budiman, nikmatilah aliran sungai ini semasih berada disini, dan bahkan jika ada celah lain sehingga mempunyai anak sungai alangkah baiknya, aliran sungai ini akan tetap disini, walaupun rasanya ingin seperti yang taihap harapkan, aku dapat membayangkan betapa sangat indah dan nyaman.”

“sebenarnya tidak ada yang janggal dari harapanku kepadamu Can-moi, namun keputusan kekasih yang suci patut untuk dihormati, kiranya Thian memberikan waktu yang lama bagiku untuk dapat berlama-lama ditempat ini.”

“taihapku sayang, jarak antara Kunleng dan Bao bagimu bukanlah perjalanan panjang, sekali dua kali engakau datang telah menjadikan aku orang paling bahagia didunia ini.”

“baiklah sayang, marilah kita bicarakan dengan kerabat disini.” ujar Kwaa-han-bu sambil meraih tubuh Can- hang-bi, dengan hangat Kwaa-han-bu menggendong Can-hang-bi yang gemetar karena degupan hatinya yang makin kencang, wajahnya yang jelek cacat bersemu merah.

Setelah makan malam penghuni rumah itu pun berkumpul, lalu merekapun membicarakan rencana pernikahan Kwaa-han-bu dan Can-hang-bi, Kao-hong-li sangat bahagia melihat Can-hang-bi, ucapan selamat dibisikkan penuh nada menggoda disaat mereka berdua, Can-hang-bi menangis bahagia dipelukan Kao-hong-li, hati yang seia-sekata dan rasa kebersamaan demikian kentara diantara keduanya, terlebih diketahui Kao-hong-li sudah hamil tiga bulan, membuat Can-hang-bi tidak dapat melukiskan rasa bahagia karena dia dapat membayangkan betapa luar biasanya merasakan keturunan suami tercinta, keturunan she-taihap hidup dalam dirinya.

Seminggu kemudian pesta pernikahanpun dilaksanakan, seorang biarawan dibawa dari kelenteng dipinggir kota Bao sebagai pelaksana pernikahan, dan bebrapa kenalan Tang-beng, Kam-teng dan Yo-meng diundang, pesta yang sederhana tapi tidaklah mengurangi rasa bahagia hati kedua mempelai, terlebih saat Can-hang-bi dibawa Kwaa-han-bu ke ranjang pengantin, tidak terlukiskan rasa bahagia can-hang-bi.

Ditengah cacat fisik yang mengharukan, Can-hang-bi melayani suaminya dengan sepenuh daya dan hati, dan bagi Kwaa-han-bu tidak kurang sedikitpun gairahnya dan curahan cintanya berpacu menapaki birahi cinta bersama Can-hang-bi, berulangkali keduanya terhempas dari puncak kenikmatan yang nyaman dan melelapkan.

Selama seminggu Kwaa-han-bu dan Can-hang-bi memadu kasih diranjang pengantin, dan setelah itu, Kao- hong-li pun mendapat giliran, kedua istri yang berbeda fisik itu demikian akur melayani suami mereka, selama dua bulan itu ternyata harapan Can-hang-bi tembus, dia mulai muntah-muntah menandakan ada perubahan pada tubuhnya.

Enam bulan berikutnya, Kao-hong-li pun melahirkan putra bagi suaminya, dengan rasa suka cita semua penghuni jim-kok menyambut kelahiran putra she-taihap, Can-hang-bi yang usia kandungannya sudah menginjak enam bulan, tidak kuasa menangis bahagia menyambut putra Kao-hong-li dan suaminya, Kwaa- han-bu memberi nama pada anaknya Kwaa-kun-bao.

Setelah dua minggu kelahiran Kwaa-kun-bao, Kwaa-han-bu, Kao-hong-li dan Can-hang-bi berkumpul diruang tengah,

“Kao-moi, dan Can-moi, kota Bao tidak jauh dari lembah ini, namun Kwee-moi dan para suheng tidak akan tahu kita berada disini, jadi sebaiknya dalam beberapa hari ini saya akan menunggu mereka didalam kota.”

“jika demikian baik menurut Bu-ko, saya manut saja.” sahut Kao-hong-li

“demikian juga saya Bu-ko, berangkatlah, dan tunggulah Kwee-moi didalam kota, dan jika sudah sampai segeralah bawa kesini, aku sangat rindu kepadanya, terbayang bagaimana wajah cantiknya yang luar biasa saat pertama bertemu dilembah ini, tidak sabar rasanya melihat wajah Kwee-moi yang bungsu dalam kelahiran namun sulung dalam keturunan.” sela Can-hang-bi.

Keesokan harinya Kwaa-han-bu berangkat ke kota Bao, Kwaa-han-bu dengan langkah santai sambil menikmati keindahan lembah, dan baru dua jam ia berjalan, didepannya nampak gumpalan debu membumbung diangkasa, dan suara gemuruh lari kuda terdengar sangat jelas, serombongan orang muncul dengan memacu kuda yang berlari kencang, Kwaa-han-bu menepi kepinggir jalan dan duduk diatas tonjolan akar pohon dan menunggu rombongan berkuda itu lewat, matanya yang awas memperhatikan para penunggang yang lewat didepannya.

Setelah rombongan itu lewat, Kwaa-han-bu kembali melanjutkan perjalanan, namun sesaat ia berdiri dengan kening berkerinyit untuk mengingat sesuatu

“hmh…orang paling depan seperti pernah bertemu, hmh…diaman yah…. ah…bukankah orang itu adalah yang menawan saya, aih dia adalah Ma-tin-bouw.” pikir Kwaa-han-bu, dan spontan Kwaa-han-bu terbang kebelakang mengejar rombongan yang laksana pacuan kuda.

“tunggu dan berhenti kalian!” seru Kwaa-han-bu yang tiba-tiba muncul didepan rombongan kuda, karena teriakan dan munculnya yang tiba-tiba, kuda-kuda itu terkejut dan spontan berhenti dengan mengangkat kaki depan tinggi-tinggi.

“badebah sialan, mau mampus ya!?” bentak pimpinan rombongan yang memang benar adalah Ma-tin-bouw yang tangannya buntung.

Ma-tin-bouw dengan mata berkilat marah memelototi Kwaa-han-bu, namun ketika beradu pandang dengan Kwaa-han-bu nyalinya langsung ciut.

“Ma-tin-bouw kalian hendak kemana?” “tidak ada urusan denganmu.”

“Ma-tin-bouw…!” teriak Kwaa-han-bouw, Ma-tin-bouw langsung terjungkal dari atas kuda, anak buahnya juga tidak luput dari akibat teriakan itu.

“katakan apa tujuanmu sebenarnya!”

“sa..saya…hendak mengambil alih Jim-kok dari sumoi saya.”

“tidak boleh, sumoimu sudah kau tinggal cacat, lalu kamu hendak pula mengambil tempat kediamannya, sungguh kamu tidak berhati.”

“she-taihap, kami sadar tidak akan dapat memenangkan kamu, namun ini adalah urusan antara saya dengan sumoi saya, tidak boleh orang lain ikut campur.”

“itu adalah bentuk penindasan yang tidak boleh dibiarkan walaupun ururusan dalam kedua pihak, terlebih sekarang, saya bukan pihak luar dipihak sumoimu.”

“apa maksudmu she-taihap?”

“Ma-tin-bouw, sumoimu Can-hang-bi adalah istri saya, apakah kamu masih mau melanjutkan niatmu!?”

“hahaha..hahaha… wanita berwajah jelek lagi cacat itu sekarang adalah istrimu, hahaha..hahaha, sungguh luar biasa, memang kamu lelaki buta she-taihap.”

“penilaianmu berlandaskan nafsu, jadi jangan banyak bicara didepanku, dan saya ingatkan untuk enyah dari lembah ini.”

“baiklah, namun saya akan mengambil sebagian lembah untuk jadi markas.”

“markas kalian untuk berbuat zalim pada orang, apakah kamu tidak mengerti ucapan saya!?” “jangan berlebihan she-taihap, aku tidak mengganggu istrimu.”

“apakah karena tidak mengganggu istriku maka kalian boleh menyusun kekuatan untuk bertindak sewenang-wenang, merampok milik orang lain, Ma-tin-bouw sekali lagi kamu banyak tingkah aku tidak akan memberikan peluang lagi, sekarang enyah dan jangan saya pernah dengar lagi urusan tentang kalian!” ujar Kwaa-han-bu tegas, Ma-tin-bouw tersudut dan terdiam, mau melanpiaskan marah, tidak berani, mau undur juga merasa terhina.

“kenapa belum pergi, apa saya harus menghajarmu!?” bentak Kwaa-han-bu, sebagian besar dari rombongannya sudah undur dan bahkan sudah melarikan diri menuju arah kota Bao

“baiklah, hari ini saya kalah jauh dari anda, dan suatu saat nanti saya akan balas penghinaan ini.”

“jangan pernah berpikir untuk itu, sebab sekali lagi saya berjumpa denganmu dengan sepak terjang seperti ini saya akan sangat keras menghentikanmu.” sahut Kwaa-han-bu, Ma-tin-bouw segera mundur dan melarikan diri, tujuh sisa anggotanya juga menyusul.

Menjelang malam mereka sampai kembali kekota Bao

“hari ini kita dihina, baiklah mari kita berjanji bahwa kita akan berburu ilmu kemana saja, dan akan keluar kembali kedunia persilatan setelah dari kita mempunyai kesaktian untuk menundukkan Im-yang-sin-taihap.”

“baik..mari kita berpencar dan lima belas tahun kemudian kita akan berkumpul dikota Bao.” sela rekannya yang lain, lalu merekapun berpencar untuk berkelana melanglanglang dunia.

Sudah tiga hari Kwaa-han-bu berada dikota Bao, namun istrinya dan para suhengnya belum datang, kerinduan pada istrinya Kwee-kim-in demikian menggebu-gebu, sehingga Kwaa-han-bu memutuskan untuk meninggalkan kota Bao setidaknya menuju kota Sinyang, perjalananpun dilakukan dengan cepat. Kota Gao-ming sebelah timur gunung Thaisan, sedang mengadakan pesta tahunan, permainan baronsai dan pawai patung dewa tanah dan dewa rezeki diarak disepenjang jalan, para warga begitu antusias menonton keramaian, jalanan tumpah oleh padanya warga yang menonton, bunyi-bunyian terdengar gegap gempita, likoan juga meraup untung yang banyak karena tamu yang datang silih berganti untuk makan atau sekedar minum.

“tiga orang pendatang baru memasuki sebuah likoan, ketiganya nampak demikian kumal karena perjalanan yang jauh, ketiganya adalah Ui-hai-liong-siang dan Kwee-kim-in

“ada kamar untuk menginap?” tanya Yo-hun “ada tuan, mau berapa kamar?”

“kami mau sewa dua kamar.”

“baik A-tok antar tamu ke kamar!” ujar pemilik likoan pada pelayannya, pelayannya datang dan mempersilahkan tiga tamunya untuk naik keruang atas, U-hai-liong-siang dan istrinya memasuki kamar dan Kwee-kim-in kamar lainnya.

“lopek…tolong sediakan air untuk mandi!” ujar Kwee-kim-in, pelayan itupun pergi untuk melakukan perintahnya, setelah mandi dan berganti pakaian Kwee-kim-in merasa segar, lalu ia turun untuk menikmati keramaian kota yang sedang pesta, menjelang sore Kwee-kim-in kembali ketempat penginapan, dan bertemu Ui-hai-liong-siang di beranda ruang atas.

“dari melihat keramaian Kwee-lihap?”

“benar siangkoan-cici, pestanya sangat meriah.”

“oh-ya aku kekamar dulu, dan apakah setelah malam kita akan makan?”

“benar she-taihap, saat malam saja kita makan.” sahut Yo-hun, Kwee-kim-in berbalik meninggalkan Ui-hai- liong-siang melangkah memasuki kamarnya.

Keesokan harinya sebuah rumah bordir yang tergolong mewah dua gang dari penginapan tempat Ui-hai- liong-siang terjadi huru hara, beberapa wanita penghibur dan tamunya kedapatan telah tewas dikamarnya, banya para warga yang lalu lalang berkerumun didepan rumah bordir, pemilik rumah hiburan itu she In, dipanggil In-loya, beberapa orang polisi mendatangi tempat itu untuk mengusut perkara.

“bagaimana awalnya, coba ceritakan yang jelas!” perintah kepala polisi pada dua orang petugas jaga. “malam itu sebagaimana biasa para tamu memasuki kamar, dan kamipun berjaga dipintu gerbang.” “apakah tidak ada orang yang mencurigakan?”

“hmh… dan menjelang tengah malam seorang lelaki tua berumur kira-kira enam puluh tahun datang dan hendak memesan kamar.”

“kenapa kamu curiuga padanya?”

“karena orang itu wajahnya sangat menakutkan.” “benar, wajah orang itu penuh bopeng.” Sela kawannya “lalu apa selanjutnya yang terjadi?”

“lalu terjadilah apa yang kita lihat pagi ini.”

Yo-hun yang ada disekitar kerumunan orang ikut mendengar percakapan polisi dengan dua penjaga, dan mendengar wajah bopeng, Yo-hun yakin masalah ini adalah ulah Pah-sim-sai-jin, kemudian tiba-tiba sebuah bentakan terdengar “kalian semua berlutut..!” sebuah bentakan terdengar mengaung, kontan semua orang berlutut kecuali Yo- hun.

Yo-hun yang melihat Pah-sim-sai-jin ada diatas sebuah atap bangunan mengerahkan tenaga untuk mempertahankan diri dari pengaruh hipnotis Pah-sim-sai-jin, selama lima menit Yo-hun masih sanggup bertahan, dan untungnya sebuah pukulan sakti datang dari arah samping, Kwee-kim-in muncul dan menyelamatkan Yo-hun pada detik-detik terakhir.

Pukulan im-yang-sian-hoat membuat pah-sim-sai-jin terlempar dua meter sehingga ilmu hipnotisnya buyar mempengaruhi Yo-hun yang diujung tanduk, Kwee-kim-in menyerang cepat dengan menggunakan im-yang- sian-sin-lie mengurung pah-sim-sai-jin yang baru mendarat di tanah, pertempuran tinggat tinggi dan luarbiasa seru terjadi, Pah-sim-sai-jin babak belur di sebat ujung sabuk Kwee-kim-in.

“pah-sim-sai-jin mari kita lanjutkan di pintu gerbang sebelah timur!” seru Kwee-kim-in sambil menghilang dari tengah pertempuran, Yo-hun yang sudah menguasai dirinya langsung menuju penginapan mendapatkan istrinya, kemudian mereka berdua menuju gerbang kota sebelah timur.

Kwee-kim-in tidak lama menunggu bayangan Pah-sim-sai-jin sudah muncul dengan serangkaian serangan Hek-hoat-bo, dua tenaga dahsyat berdentum membuat tempat itu bergetar hebat, mereka bertempur sambil berlari, hal ini adalah trik Kwee-kim-in untuk menghalangi Pah-sim-sai-jin menggunakan ilmu hitamnya, dan nampaknya trik itu berhasil, Kwee-kim-in terus mencecar tubuh Pah-sim-sai-jin bergerak sehingga Pah-sim- sai-jin tidak punya kesempatan untuk menggunakan ilmu hitamnya.

Ui-hai-liong-siang selalu mengikuti pertempuran tersebut dengan sikap waspada dan siap untuk menolong Kwee-kim-in, sampai setengah hari pertempuran seru dan gencar itu berlangsung, dan ternyata pertempuran sambil lari itu mengarah pada sebuah jurang, Kwee-kim-in dengan terus mencecar lawan, Paha-sim-sai-jin sudah kalang kabut terdesak, namun desakan yang tidak akan pernah menyudutkannya karena sifat pertempuran yang jauh, dan Kwee-kim-in hanya mampu sebatas itu, karena amat berbahaya bertempur jarak dekat dengan Pah-sim-sai-jin yang mengeluarkan bau apek.

Namun kali ini tubuh Pah-sim-sai-jin laksana mainan di ujung sabuk Kwee-kim-in yang begitu cekatan dan luarbiasa gesit memainkan ilmu Im-yang-sian-sin-lie-pat, daya tahan she-taihap ini tidak diragukan lagi dan merupakan ilmu warisan leluhur yang amat langka,”siulian-tian-liong berbareng dasar delapan langkah garuda, tubuh pah-sim-sai-jin laksana laying-layang dipermainkan Kwee-kim-in.

Ui-hai-liong-siang yang menonton amat takjub menikmati permaianan puncak she-taihap yang kosen itu, suatu ketika Pah-sim-sai-jin melompat jauh untuk mengambil kesempatan menggunakan ilmu pamungkasnya, namun ujung sabuk lebih cepat mengejar dan menyebat tubuhnya hingga terjungkal, lalu disusul belitan yang melemparkannya kesana kemari.”

Pah-sim-sai-jin terlempar dan ambruk disamping sebuah batu, dengan sisa tenaga, Pah-sim-sai-jin melemparkan batu sebesar kerbau itu ke arah Kwee-kim-in sekaligus melempar pedangnya yang meluncur cepat, dua benda itu tidak dapat tidak menghalangi gerak sabuk, batu besar itu hancur disebat ujung sabuk, dan pedangpun mental menancap disebuah pohon.

Dalam waktu yang tidak berapa lama itu, Pah-sim-sai-jin sudah cukup untuk mengeluarkan ilmu hitamnya “rebahlah kamu!”

“tidak..” “rebah….kataku!”

“tidak…!” pertempuran sahut-sahutan ini pun berlangsung, dan dipastikan Kwee-kim-in akan kalah, Ui-hai- liong-siang sudah siaga didekat Kwee-kim-in.

Pertempuran unik itu masih berlangsung seru, dan tiba-tiba “Pah-sim-sai-jin…!”

“aghkkk…hoakhhh…” pah-sim-sai-jin tiba-tiba terjungkal memuntahkan darah, dengan cepat ia menoleh ke arah suara yang memanggilnya, ternyata Im-yang-sin-taihap sudah berdiri dihadapannya.” “Im-yang-sin-taihap..!” serunya cemas

“Bu-ko..!” berbareng Kwee-kim-in juga memanggil suaminya, sambil berlari mendekati “Kwee-moi apakah kamu baik-baik saja!?”

“aku baik-baik saja Bu-ko

“sialan… rasakan pembalasanku!” teriak Pah-sim-sai-jin sambil menerkam, Kwaa-han-bu melemparkan istrinya sehingga menjauh sambil menengkis pukulan Hek-hoat-bo dari Pah-sim-sai-jin.

Baru kali ini Pah-sim-sai-jin bersentuhan kulit dengan Im-yang-sin-taihap, dan Pah-sim-sai-jin merasa gembira, karena sudah dipastikan Im-yang-sin-taihap akan bersin, namun alangkah terkejutnya ia ketika merasakan seluruh tenaga Hek-hoat-bo menghantam rongga dadanya dan bau apek tubuhnya mempengaruhi syaraf dikepalanya sehingga membuat mual dan dengan tubuh melayang Pah-sim-sai-jin muntah cairan berwarna hijau, dua batang pohon besar tumbang dilabrak tubuh Pah-sim-sai-jin, berkali-kali cairan hijau itu dimuntahkan sehingga membuat matanya basah dan melotot hendak keluar, keringatnya mengalir dan cairan keringat itu juga berwarna hijau.

Kali ini Pah-sim-sai-jin akan tammat, ternyata hek-hoat-bo yang dikerahkannya beradu dengan”Wei-si-sin- siulian” ilmu baru Im-yang-sin-taihap, tenaga sakti itu telah membalik seluruh aspek ilmu pah-sim-sai-jin, dan akibatnya seluruh organ dalam Pah-sim-sai-jin seperti diremas, Pah-sim-sai-jin masih menggelepar laksana ayam disembelih sambil terus mengeluarkan cairan, Pah-sim-sai-jin sudah tidak menyadari keadaan, ternyata ilmu hitamnya juga membalik menguasai dirinya, karena setelah bermandikan muntah bercairan hijau kepalanya mengeluarkan asap merah darah.

Semua itu tidak luput dari perhatian Ui-hai-liong-siang dan Kwee-kim-in, Kwaa-han-bu masih berdiri tenang melihat efek pukulannya pada korban didepannya, terakhir Pah-sim-sai-jin melenguh seperti lembu dan kemudian bersin dan tidak lama kemudian tubuhnya membeku laksana kaca dan meledak berkeping- keping.

Tammatlah riwayat momok yang alot dan menggemparkan ini, Kwaa-han-bu melangkah mendekati Kwee- kim-in

“syukurlah kamu tidak apa-apa sumoi sayang.” ujar Kwaa-han-bu sambil memeluk mesra istrinya, yang hampir dua tahun tidak bertemu.

“bagaimana kabar kalian Ui-hai-siang-liong?” sapa Kwaa-han-bu

“kami dalam keadaan baik-baik saja she-taihap, sungguh mencengangkan akhir kehidupan Pah-sim-sai-jin.” sahut Yo-hun masih terpana dengan kejadian didepannya.

“dimanakah Cia-cici, Bu-ko!?”

“Cia-moi sudah mendahului kita Kwee-moi, dan madumu Kao-hong-li dan Can-han-bi saya tinggal di Jim- kok.”

“Cia-cici meninggal, bagaimana kejadiannya Bu-ko?”

“mari kita duduk, dan saya akan menceritakannya.” sahut Kwaa-han-bu, lalu dua pasang pendekar itu duduk agak jauh dari bekas ledakan tubuh pah-sim-sai-jin.

“kami ditawan oleh Ma-tin-bouw dan dibawa kemarkasnya di rimba babi, saat kami diikat terjadi bencana alam, dimana bangunan tempat kami dikurung ambrol longsor kedalam jurang, saya dan Kao-hong-li selamat sementara Cia-moi dipanggil Thian.”

“ah…sungguh naas apa yang dialami Cia-cici.” ujar Kwee-kim-in lirih dengan isak tangis yang pilu

“Kwee-moi, semua sudah digariskan, kita hanya mampu menerima jika berhadapan dengan kemauan Thian.” “benar Kwee-lihap, larut dalam kesedihan bukanlah hal yang tepat menghadapi takdir Thian.” sela Yo-hun, Siangkoan lui-kim memeluk tubuh Kwee-kim-in sambil menghibur hatinya.

“bagaimana perjalanan kalian Yo-twako.”

“kami berhasil mendapatkan empedu ular belang di pulau neraka, dan juga Wan-cianpwe berhasil mendapatkan jamur linzi di Tibet, hanya sanya Wan-ciampwe juga tewas ketika menghadapi Hehat-kui-sam dan Pah-sim-sai-jin.”

“lalu siapa saja Kwee-moi dari suheng yang menyertaimu?” “sim-suheng, Li-suheng, Lauw-suheng, dan Kam-suheng.” “lalu dimana mereka?”

“empat suheng juga tewas dalam menunaikan tugas kita ini.” “hmh….semoga Thian menberikan hal-hal yang baik kepada mereka.”

“baiklah, sekarang marilah kita ke kota Bao, untuk melihat keadaan para pendekar.” ujar Yo-hun

“baiklah, marilah kita berangkat.” sahut Kwaa-han-bu, lalu merekapun meninggalkan tempat itu, dua pasang suami istri melakukan perjalanan luar biasa cepat, hingga dalam waktu tiga minggu mereka sudah sampai di kota Bao.

Yo-hun mengajak she-taihap ketempat kungcu, empat penjaga mendekat “ada keperluan apa hingga datang kemari!?”

“kami ingin bertemu dengan Kungcu, urusan sepuluh pendekar yang ditahan disini dua tahun yang silam.” “ooh, apakah kami berhadapan dengan Ui-hai-liong-siang!?”

“benar sicu, kamilah Ui-hai-liong-siang.”

“kalau begitu marilah taihap, sebentar saya akan laporkan pada taijin.”

Sim-tai-jin pun datang menemui mereka diruang tengah

“marilah kita langsung ke tempat tahanan taihap!” ujar sim-tai-jin, lalu merekapun memasuki tempat tahanan, sepuluh pendekar yang ditahan seperti orang melamun.

“hmh…mata mereka nampaknya berobah taihap.” ujar kepala penjara.” “maksudmu bagaimana sicu?” tanya Yo-hun

“biasanya mata mereka tidak sanggup kami tantang, karena kilat menyeramkan, namun sekarang tatapan mata itu kosong dan tidak bercahaya.”

“ini mungkin efek yang ditimbulkan setelah kematian Pah-sim-sai-jin.”

“jadi pada dasarnya mereka telah lepas dari pengaruh Pah-sim-sai-jin, begitukah she-taihap!?” sela Yo-hun. “benar Yo-twako, mereka sudah lepas dan hanya mereka tetap hilang ingatan.”

“kalau begitu apa yang harus kita perbuat?”

“sebaiknya keluarkan mereka dulu untuk kita periksa.” sahut Kwaa-han-bu, lalu sepuluh orang itu pun dikeluarkan. “ternyata Gak-hu juga disini.” gumam Kwaa-han-bu setelah melihat Cia-peng ayah istrinya Cia-sian-li, Kwaa-han-bu mendekati Cia-peng, memriksa urat nadin, mata dan meraba kepala.

“urat syaraf mereka dikuasai hawa Im” ujar Kwaa-han-bu, mungkin dengan jamur LInzi kita akan dapat menyembuhkannya, karena jamur linzi menyimpan hawa yang.” Ujar Kwaa-han-bu, Yo-hun membuka buntalan dan mengambil jamur linzi dari kotak

“inilah jamur linzi yang didapat Wan-cianpwe.” ujar Yo-hun menunjukkan jamur linzi “jamur ini kita godok dengan air dingin.” sahut Kwaa-han-bu

“cepat ambilkan sepoci besar air.” perintah sim-taijin pada pengawalnya, pengawal pun segera mengambil sepoci besar air, lalu memberikan pada Kwaa-han-bu, dan ketika dibuka tutupnya oleh Kwaa-han-bu air itu sudah berubah dingin bahkan sedikit membatu, pengawal itu terkesiap melihat air yang tadinya air biasa sudah berubah menjadi bongkahan es.

Kwaa-han-bu memasukkan jamu kedalam poci air, dan dalam sekejap air itu mendidih bahkan beruap, dan uap air itu ditampung sehingga berubah kembali menjaadi air biasa, dan setengah gelas uap air itu diperoleh, Kwaa-han-bu meminumkan pada mertuanya Cia-peng, Cia-peng tiba-tiba pingsan, dan setengah jam kemudian Cia-peng sadar dengan perasaan heran

“Bu-ji..kamukah itu, dimanakah kita ini?” tanya Cia-peng, orang semua terkejut gembira melihat Cia-peng telah pulih

“syukurlah gak-hu, gak-hu telah pulih kembali.” sahut Kwaa-han-bu, Kwee-kim-in memapah Cia-peng dan mengajaknya keluar dari kerumunan orang

“paman aku adalah Kwee-kim-in.”

“ya aku ingat, kamu adalah sumoi dari Kwaa-han-bu.”

“benar paman, sekarang paman duduklah yang nyaman disini, kita menunggu pendekar yang lain dipulihkan oleh Bu-ko.” ujar Kwee-kim-in, Cia-peng mengangguk sambil melihat kerumunan orang didepannya yang menyaksikan pengobatan.

Hampir dua jam pengobatan itu berjalan, dan sepuluh pendekar itupun pulih semua, alangkah bahagia rasa hati mereka setelah mendengar kenyataan bahwa mereka telah dijadikan boneka oleh Pah-sim-sai-jin dan dapat diselamatkan, malam harinya mereka menginap dikediaman sim-taijin.

Kwaa-han-bu dan Kwee-kim-in yang disediakan sebuah kamar, menumpahkan segala kerinduan dan cinta berbalut gejolak birahi, Kwee-kim-in menikmati tiap gerakan suaminya yang membelai dan meremasnya, hangatnya pelukan suaminya serta panasnya birahi yang tersulut direlung sukmanya berpilin erat seiring dekapan suaminya yang perkasa.

Keesokan harinya semua para poendekar pulang ketempatnya masing-masing. “gak-hu, apakah tidak sebaiknya gak-hu ikut saya ke kun-leng!?”

“tidak apalah Bu-ji, aku kembali saja ke Kun-lun, entah bagaimana keadaan istriku sekarang, terlebih setelah mengetahui kepergian anak kami, kami harus saling menguatkan.”

“baiklah kalau begitu Gak-hu, sesekali aku akan mengunjungi gak-hu ke Kun-lun.” ujar Kwaa-han-bu, lalu Cia-peng pun meninggalkan kota Bao.

Kemudian dua pasang pendekar itu melanjutkan perjalanan ke Jim-kok, sesampai di Jim-kok, pertemuan haru terjadi, kabar meninggalnya Cia-sian-li, begitu membuat ketiga istri Im-yang-sin-taihap saling bertangisan, terlebih Kao-hong-li yang dapat menceritakan dengan jelas akhir kehidupan Cia-sian-li, dan hal itu membuat Siangkoan-lui-kim takjub, entah bagaimana hubungan batin istri-istri she-taihap ini, pikirnya didalam hati. Dan disamping itu ia terenyuh dan takjub melihat Can-hang-bi yang cacat dapat menjadi bagian dari keluarga Im-yang-sin-taihap yang mutlak ketampanannya yang mengagumkan. Can-hang-bi dan kedua madunya laksana langit dan bumi perbedaannya, namun jika melihat akurnya mereka, seakan tidak ada mmeiliki perbedaan, kecuali orang luar yang memandangnya, seminggu kemudian Can-hang-bi melahirkan anak lelaki yang montok, Can-hang-bi merasakan bahagia yang tidak bertepi, Kao-hong-li dan Kwee-kim-in menyambut suka cita, dan bergantian menggendong putra Can-han-bi yang diberi nama Kwaa-yun-peng.

Keesokan harinya Ui-hai-liong-siang mengadakan mengajak bicara Kwaa-han-bu “she-taihap, dari awal kamu telah mempunyai keinginan kepadamu.”

“katakanlah Yo-twako, apa yang dapat saya lakukan untuk kalian.”

“she-taihap, ketika Yo-seng lahir, satu keingginan saya pada anak saya itu untuk belajar dengan she-taihap, kiranya she-taihap dapat memperkenankan harapan kami tersebut.”

“oh, tentu kepercayaan Yo-twako dan soso merupakan penghargaan luarbiasa bagi saya dengan memberikan tulang yang amat baik sepert Yo-seng, aku akan berusaha sebaik mungkin Yo-twako.”

“ah..sungguh kami merasa bahagia akan kesudian she-taihap.” sela Siangkoan-lui-kim. “dan mungkin kami akan lebih dulu berangkat ke kunleng untuk menjumpai anak kami.”

“demikian juga baik Yo-twako, dan kami akan menyusul beberapa hari lagi.” sahut Kwaa-han-bu.

Ui-hai-liong-siang siangnya berangkat mendahului she-taihap kekota Kun-leng di selatan, sementara Kwaa- han-bu masih menikmati hari-hari ceria bersama keluarganya di-jim-ok, Kwaa-kun-bao dan Kwaa-yun-peng jadi kejora mata bagi ayahnya mendapatkan curahan sayang, begitu juga dengan ketiga ibu mereka tidak kalah limpahan kasihnya.

Dengan demikian berakhirlah kisah Sai-jin-lu, semoga bermamfaat disamping bacaan yang menghibur. Batam, 23 Oktober 2012

Dan tentunya kisah ini akan berlanjut, dimana keturunan Im-yang-sin-taihap akan ambil peranan dalam menapaki dunia kangowu yang penuh dengan dilema dan bahaya. Untuk kisah selanjutnya Insya Allah kita akan bertemu dalam judul

“KWI-SIAN-PAT” (DELAPAN DEWA IBLIS) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar