Kembalinya Si Manuisa Rendah (Sai Jin Lu) Jilid 1

Jilid 1

“Cuit…! Cuit….!” cecuitan camar terdengar riuh sambil melintas diatas permukaan laut yang menggulung ombak menuju pantai, angin yang berhembus tenang menuju daratan menyeruak rerimbunan hutan seiring deburan ombak yang menghempas bebatuan pantai, pesona alam yang menakjubkan dan membuat hati sejuk dan teduh, terlebih pesona alam itu dinikmati dari atas sebuah batu karang yang menjulang tingi, serasa diri berada diawang menikmati birunya laut, lembutnya belain angin yang berhembus, indahnya nyanyian camar, riuhnya deburan ombak.

Hal itulah yang dirasakan oleh seorang gadis berumur sembilan belas tahun yang sedang duduk diatas batu karang ditepi pantai, perempuan itu luar biasa cantik, matanya luar biasa indah cemerlang, hidungnya yang mancung, pipinya yang ranum serta bibir yang merah basah merekah, dia adalah Kwee-kim-in, sumoi dari Im-yang-sin-taihap Kwaa-han-bu

Sejak keduanya bertemu lima tahun yang lalu, mereka telah diikat kedekatan kekeluargaan, seiring tugas yang mereka jalankan, maka selama empat tahun perjalanan mereka, dan setahun keberadaan keduanya di pulau kura-kura, telah menimbulkan aneka perasaan diantara keduanya.

Awalnya rasa sayang yang timbul adalah rasa sayang persaudaraan, terlebih umur keduanya bertaut delapan tahun, namun ketika keduanya menyusuri wilayah barat yang merupakan wilayah terakhir penyisiran mereka akan keberadaan hek-te, pada hati keduanya muncul perasaan lain

Suatu hari keduanya sedang beristirahat disebuah sumber air, dalam hutan sebelah utara kota Hopei, sebagaimana biasa Kwee-kim-in yang sudah berumur delapan belas tahun mempersiapkan makanan berupa binatang buruan untuk mereka makan, Kwee-kim-in sangat telaten melayani suhengnya, setiap apa yang dilakukan yang berhubungan dengan suhengnya, selalu dijalankan dengan penuh semangat, kharisma suhengnya, membuat ia tunduk lahir batin, sebaliknya Kwaa-han-bu merasakan kenyamanan tiada tara disamping sumoinya ini, sekali sumoinya tidak memasakkan sesuatu untuknya, Kwaa-han-bu merasa ada yang tidak pas, sekali tidak melihat keceriaan sumoinya, rasanya ada yang hilang.

Hari itu Kwee-kim-in memasak panggang ikan air tawar yang berhasil ditangkap oleh Kwaa-han-bu dialiran sungai itu, aroma daging gurih demikian membetik selera apalagi ditambah bauk nasi yang hangat dan harum, Kwee-kim-in mengisi mangkok dengan nasi, beserta daging ikan panggang yang lembut, lalu Kwee- kim-in hidangkkan diantara mereka

“marilah suheng kita makan!” ujar Kwee-kim-in, dengan senyum ceria Kwaa-han-bu menyambut ajakan itu, wajah itu serasa tidak sabar ingin menikmati masakan sumuionya yang pasti sangat enak, sebagaimana sudah biasa di rasakannya.

Kwaa-han-bu demikian lahap menikmati makanannya, disamping Kwee-kim-in yang dengan lembut mengunyah makanannya, Kwaa-han-bu merasakan makanannya ini luar biasa nikmat, seiring matanya yang hangat menikmati wajah sumoinya yang cantik yang duduk disampingnya.

Setelah keduanya selesai makan, Kwee-kim-in mencuci mangkok nasi di pinggir sungai, semua gerakannya demikian indah dan memikat dimata Kwaa-han-bu, degupan jantung Kwaa-han-bu semakin bertalu-talu ketika melihat, ikat rambut Kwee-kim-in lepas, spontan Kwee-kim-in meletakkan mangkok yang dicucinya, dan berdiri menghadap Kwaa-han-bu, kemudian Kwee-kim-in mengangkat kedua tangannya untuk mengikat rambutnya yang terlepas, gerakan erotis sumoinya yang berwajah bidadari yang tubuhnya sedang mekar dengan lekukan-lekukan yang indah, pemandangan sekilas itu itu membuat jantung Kwaa-han-bu menggelepar sayang dan mesra. Kwee-kim-in   duduk   dengan   senyum   lembut    menatap    wajah    suhengnya    yang    tampan “suheng, apakah pulau kura-kura masih jauh?”

“tidak lagi sumoi, kira-kira kurang dari dua bulan kita akan sampai dikota Kaifeng.” jawab Kwaa-han-bu “apakah kamu merasa lelah dalam perjalanan ini sumoi?”

“tidak suheng, didekatmu aku tidak akan merasa pernah lelah.” jawaban Kwee-kim-in membuat mereka saling pandang, wajah Kwee-kim-in berubah merona merah, sebenarnya pernyataan itu sering diungkapkan oleh Kwee-kim-in sejak mereka memulai perjalanan dari kota Peng-bun, namun saat itu umur Kwee-kim-in masih empat belas, lima belas tahun, dan kali ini saat usianya delapan belas tahun, pernyataan itu terdengar lain ditelinga keduanya.

“suheng kenapa engkau memandangku seperti itu, tatapan suheng membuat aku gemetar dan meremang saking malunya,”

“sumoi…” bisik Kwaa-han-bu sambil meraih jemari Kwee-kim-in, Kwee-kim-in sontak lemah lunglai, Kwaa- han-bu memegang kedua pundak Kwee-kim-in, dan menarik kepelukannya, Kwee-kim-in merasakan pelukan itu demikian hangat penuh getaran.

Kwaa-han-bu menundukkan kepala mengecup mata Kwee-kim-in, hati kwee-kim-in menggelepar hangat, lalu bibir Kwaa-han-bu melumat bibir Kwee-kim-in, Kwee-kim merasakan dirinya melayang merasakan gigitan kecil dan menyimpan sejuta geli yang menghentak seluruh pembulu darahnya.

Kwaa-han-bu melepas lumatan panjang, dan keduanya terhempas lemas dengan nafas memburu “suheng…uu..uuu, suheng.” bisik Kwee-kim-in lirih diringin sedu sedan yang menyesak dadanya sehingga ia menangis lemas dipelukan suhengnya

“In-moi, aku cinta padamu.” bisik Kwaa-han-bu mesra, mebuat Kwee-kim-in semakin haru dan sayang

“Bu-ko, aku..aku merasakan bahagia yang tidak terlukiskan, perlakuanmu hari ini membuat aku melayang nikmat tidak terperikan, aku juga sayang padamu Bu-ko.” sahut Kwee-kim-in.

Setelah keduanya tenang dari amukan badai asmara yang melanda

“Bu-ko, keinginanku demikian besar selalu berada disisimu, apakah begini yang dirasakan oleh cici-Tan- sian-li?”

“kemungkinan besar demikian jugalah In-moi.”

“hmh..alangkah perih hatinya ketika ia engkau tinggalkan koko.”

“In-moi, kadang cinta membutuhkan pengorbanan, kadang cinta butuh pengujian.”

“Koko, jika keperihan Li-cici merupakan pengorbanan, tentu pengorbanannya tidak akan sis-sia kan koko, janganlah koko biarkan Li-cici mengalami keperihan yang lama.”

“tentu In-moi, setelah mengambil langkah dengan keadaan kita, maka tentu kita akan berkunjung lagi kedesa Kang-hu.”

“maksud koko, bagaimana?”

“setelah engkau menyempurnakan ilmu turunan kita, maka kita akan menikah In-moi.”

“koko, aku bahagia mendengarnya,” sahut Kwee-kim-in sambil mempererat pelukannya pada Kwaa-han-bu. “marilah kita lanjutkan perjalanan kita!” ujar Kwaa-han-bu, kemudian merekapun berdiri dan berkelabat dari tempat itu

Dua bulan kemudian merekapun sampai di kota Kaifeng, keduanya memasuki sebuah likoan, pemilik likoan dengan ramah menyambut Im-yang-sin-taihap “she-taihap yang budiman, selamat bertemu kembali.” “selamat berjumpa paman.”

“pelayan she-taihap segera dilayani!” seru pemilik likoan pada pelayan, seorang pelayan menjura ramah “twako, pesanan kami hanya nasi dan lauk pauknya serta teh hangat.”

“baik she-taihap.” sahut pelayan dan berbalik menuju dapur “silahkan taihap, dan maaf saya tinggal dulu.”

“oh ya tidak apa paman, silahkan.” sahut Kwaa-han-bu

Para tamu mengangguk dengan senyum ramah menatap Im-yang-sin-taihap “Bu-ko, apakah mereka semua ini koko kenal?”

“kenal nama atau kenal wajah tentu tentu tidak In-moi, tapi penduduk kaifeng kenal belaka pada keluarga kita di pulau kura-kura, terlebih pulau leluhur kita kita itu termasuk wilayah kota Kaifeng.” jawab Kwaa-han- bu, Kwee-kim-in manggut-manggut

Saat makanan telah dihidang keduanya pun makan, sekitar satu jam kemudian setelah keduanya selesai makan, dua orang petugas pemerintah memasuki likoan dan mendekati meja Kwaa-han-bu

“selamat berjumpa she-taihap.” “selamat berjumpa jiwi-sicu.”

“she-taihap, kami pengawal Kao-kungcu, membawa pesan untuk disampaikan pada she-taihap. “pesan apakah itu ciangkun?”

“dengan harapan besar Kao-taijin mengundang she-taihap singgah di kediaman Kao-taijin.”

“hmh..baiklah ciangkun, marilah kita menemui Kao-kungcu.” sahut Kwaa-han-bu, pemilik likoan datang mendekat.

“paman, berapakah harga makanan kami?”

“tidak usah dibayar she-taihap, saya ikhlas dan terimakasih, bahwa she-taihap sudah berkunjung ke likoan saya.”

“waduh, kami jadi serba salah ini paman.” “tidak, taihap, janganlah merasa sungkan.”

“baiklah paman, terimakasih atas semuanya, dan kami pamit dulu karena Kao-kungcu memanggil kami.” “ya… silahkan taihap, semoga taihap panjang umur dan selalu dalam keadaan sehat.” sahut pemilik likoan

She-taihap pun meninggalkan likoan dan mengikuti dua ciangkun ketempat Kao-kungcu “selamat bertemu kembali she-taihap.” sapa Kao-taijin

“selamat bertemu taijin yang mulia.”

“saya sangat senang dengan kembalinya taihap dari perjalanan panjang menyusuri Tionggoan, dan sangat bersyukur bahwa she-taihap dalam keadaan sehat dan baik.”

“berkat doa taijin, Thian melimpahkan berkah pada kami.”

“oh-ya she-taihap yang budiman, apakah she-taihap akan kembali ke pulau kura-kura?” “benar sekali paman, istana pulau kura-kura sudah hampir sembilan tahun saya tinggalkan, tentu keadaannya tidak terurus.”

“oh ya kenalkan taijin, ini sumoi saya, namanya adalah Kwee-kim-in, putri dari paman Kwee-thian yang dulu berkediaman di Sinyang wilayah timur.” ujar Kwaa-han-bu memperkenalkan Kwee-kim-in, Kwee-kim-in menjura hormat

“selamat bertemu she-taihap, senang bertemu dengan she-taihap.” ujar Kao-taijin.” “demikian juga saya taijin yang baik.” sahut Kwee-kim-in

“lalu apakah rencana she-taihap selanjutnya?”

“rencana kami akan menetap kembali di pulau kura-kura, taijin.” “hmh…jika demikian, sungguh amat baik she-taihap.”

“kalau begitu jalur kepulau kura-kura akan kembali beroperasi, bukankah demikian she-taihap?”

“benar sekali taijin, dan tentunya banyak hal yang harus kami tata ulang setelah pat-hong-heng-te passif selama ini.”

“benar sekali she-taihap, dan jika perlu bantuan, janganlah sungkan berbagi dengan kami, dan sedaya yang ada pada kami, selagi dapat membantu, maka akan kami bantu.”

“terimaksih taijin atas budi baik dan kepeduliannya pada kami.”

“baiklah she-taihap, karena hari sudah sore, sebaiknya she-taihap menginap disini, dan besok kalau she- taihap hendak ke pulau kura-kura berangkatlah.”

“terimaksih taijin, bahwa kami disambut demikian baiknya, dan besok kalau tidak aral melintang kami akan berlayar ke pulau kura-kura.”

Malam itu she-taihap menginap dirumah Kao-taijin, dan keesokan harinya she-taihap meninggalkan kota Kaifeng hendak ke pulau kura-kura, di tepi pantai sapaan ramah para pelayan menyambut she-taihap yang hendak berlayar ke pulau kura-kura, sebuah perahu dibeli she-taihap atas arahan Kao-taijin.

Di tengah laut kedua she-taihap mendayung perahu dengan santai sambil menikmati pemandangan laut “Bu-ko, apa sajakah yang ada di pulau kura-kura, dan bagaimana seorang kungcu demikian peduli dengan pulau leluhur kita itu.”

“In-moi, pulau kura-kura bagian dari kota Kaifeng, dan terlebih sejak dahulu pulau itu merupakan pugaran dari masyarakat kaifeng khususnya dan dunia kangowu umumnya.”

“apa sajakah yang telah dibuat rimba persilatan terhadap pulau kura-kura?”

“Pulau itu dulunya adalah pulau kosong, setelah kongcouw kita Kim-khong-taihap mendiami pulau itu, dan beliau berstatus sebagai bengcu, maka pulau itu dibangunkan istana yang megah, pesanggrahan, balai pertemuan, dan bukoan pat-hong-heng-te, bangunan-bangunan itu terwujud dari hasil jerih payah liok-lim.”

“rasanya tidak sabar ingin menyaksikan dari dekat keadaan pulau itu Bu-ko.” sahut Kwee-kim-in

“dua hari lagi kita akan sampai In-moi jika kita berlayar santai seperti ini, tapi kalau mau besok pagi kita sudah sampai.”

“kalau begitu marilah kita percepat laju perahu kita Bu-ko.”

“hmh… kalau begitu marilah In-moi.” sahut Kwaa-han-bu, lalu dengan sekali hentakan dayung perahu melejit luar biasa dipermukaan laut. Besok paginya she-taihap sampai di bibir pantai pulau kura-kura, Kwaa-han-bu mengikatkan perahu di tiang pelantaran, dan lalu keduanya memasuki pulau, Kwee-kim-in terpana ketika melihat istana yang demikian besar dan megah, setelah seharian melihat-lihat keadaan bangunan, keesokan harinya Kwee-kim-in diajak Kwaa-han-bu untuk memasuki pekuburan penghuni pulau kura-kura, dengan takzim keduanya bersimpuh di makam Kim-khong-taihap.

Sejak itu keduanya tinggal di istana pulau kura-kura, Kwee-kim-in dengan ketekunan melatih pelajaran ilmu silatnya dibawah bimbingan suhengnya, dua bulan kemudian ketika keduanya sedang berlatih ilmu silat bagian terakhir yakni Im-yang-pat-sin-im-hoat, tiba-tiba muncul tiga orang lelaki berumur empat puluh tahun, Kwaa-han-bu dan Kwee-kim-in menghentikan latihan dan dengan senyum ramah menyambut ketiga lelaki tersebut

“selamat bertemu sam-sicu.” sapa Kwaa-han-bu

“selamat bertemu Im-yang-sin-taihap, saya adalah Sim-couw-peng, dan ini Kam-song, dan yang ini Lauw- kun, kami bertiga adalah pat-hong-heng-te di wilayah utara.”

“syukur pada Thian, bahwa ternyata selain dari kami berdua masih ada para susiok yang selamat, marilah kita masuk kedalam sam-suheng!” sahut Kwaa-han-bu dengan wajah berseri-seri, merekapun memasuki istana.

“sam-suheng, apa yang telah kalian alami selama ini?”

“sutit, saat kedatangan Pah-sim-sai-jin di kediaman suhu, kami bertiga tidak berada ditempat.”

“sudah merupakan suratan dan ketetapan Thian sam-suheng, lalu bagaimana sam-suheng tiba-tiba muncul disini?”

“perjalanan sute ketika memasuki utara setelah menundukan hek-te wilayah selatan dan timur, sudah kami ketahui, dan kami menunggu sute di Yinchuan, tapi sampai empat bulan kabar tentang sute tiba-tiba hilang, akhirnya kami putuskan untuk berjalan kewilayah timur dan berharap bertemu dengan sute, namun hingga kami sampai di Sinyang, kami tidak menemui sute, lalu kami terus keselatan, ketika kami sampai di Han- zhong, kami mendengar Pak-kek-hek-te telah bubar, dan kami merasa yakin bahwa itu hasil usaha sute.”

“Lalu bagaimana selanjutnya Peng-suheng?” tanya Kwaa-han-bu

“setelah pikir punya pikir, kami bertiga sepakat menunggu sute di Paoteng, karena kami yakin, sute akan menyusuri wilayah barat dan akan kembali keselatan, dan sebulan yang lalu kami dengar bahwa sute sudah berada di pulau kura-kura, jadi kami langsung menuju kemari.”

“terimaksih suheng, dengan keberadaan suheng, kami merasa tidak sepi seperti ini.”

“sute, bagaimanakah sebenarnya keadaan pulau kura-kura saat didatangi oleh Pah-sim-sai-jin?” tanya Kam-song

“suheng, saya adalah Kwaa-han-bu.”

“artinya sute anak dari susiok Kwaa-san-lun dan cucu buyut dari kong-bocouw Kwee-hong-in.” sela Lauw- kun

“benar sekali kun-suheng, dan sumoi ini adalah Kwee-kim-in putri dari Kwee-thian-susiok yang berada di sinyang.” sahut Kwaa-han-bu, ketiganya manggut-manggut

“selanjutnya bagaimana sute dengan kedatangan Pah-sim-sai-jin ke pulau kura-kura.?” tanya Kam-song

“saat pertama Pah-sim-sai-jin datang, dia ditundukkan kong-bo-couw Kwee-hong-in, dan dibuang kelaut, dan ketika kedatangannya yang kedua, dia berhasil membinasakan keluarga kita, yang saat itu saya sedang berada dan tertidur di pekuburan.”

“sungguh Thian maha pemurah, sehingga sute dapat selamat saat   itu.” Sahut Sim-couw-peng “benar peng-suheng, dan sejak itu saya mendalami ilmu disini selama delapan tahun, kemudian setelah itu saya keluar dan mengadakan penyusuran dan pembersihan hek-te di   wilayah   Tionggoan. “syukurlah bahwa usaha sute telah berhasil melenyapkan Pah-sim-sai-jin.” sahut Kam-song.

“lenyap dalam arti tewas tidak song-suheng, karena Pah-sim-sai-jin manusia ganjil, dia memang melarikan diri dengan lukan yang amat parah, tapi dari keganjilan dirinya cendrung aku merasa dia akan berulah lagi.”

“oh..demikiankan sute?” sela ketiganya hampir bersamaan “benar suheng.”

“kalau begitu apa rencana sute selanjutnya?” tanya Sim-couw-peng

“alangkah baiknya jika sam-suheng juga tinggal disini, sehingga kita lebih banyak ide dan pemikiran tentang apa dan bagaimana kita lakukan dengan pulau kura-kura.” sela Kwee-kim-in.

“pemikiran yang tepat menurut saya sam-suheng apa yang dikatakan In-sumoi.” sahut Kwaa-han-bu “demikian juga bagus sute, namun kami juga punya keluarga di Yinchuan.”

“hmh.. jika demikian suheng, bagaimana kalau sam-suheng kembali ke Yinchuan untuk memboyong soso dan para sutit kesini.” ujar Kwaa-han-bu, ketiganya saling pandang

“baiklah sute, dan kiranya bukan kita saja dari pat-hong-heng-te yang masih selamat.”

“jika hal itu benar suheng, alangkah baiknya jika para suheng itu menggabungkan diri ke sini, sehingga she- taihap dapat berkumpul disini.” sela Kwee-kim-in

“saya juga sependapat suheng, bagaimana menurut sam-suheng?” sahut Kwaa-han-bu

“baiklah jika demikian sute dan sumoi, besok kami akan kembali ke wilayah utara, dan jika bertemu dengan saudara-saudara yang lain, pesan jiwi sute akan kami sampaikan.”

“dan juga suheng jika sudah sampai di utara, tolong juga suheng menemui bibi Tan-cui-sian ibu dari In- sumoi di kota Peng-bun, dan sampaikan pesan kami, bahwa kami meminta supaya bibi ikut rombongan sam-suheng pindah ke pulau kura-kura.” ujar Kwaa-han-bu. 

“baik sute, harapan sute dan sumoi akan kami subo di Peng-bun.” sahut Lauw-kun “terimakasih kun-suheng.” ujar Kwaa-han-bu.

Keesokan harinya berangkatlah Sim-couw-peng dan dua rekannya ke utara, mereka mengadakan perjalanan cepat, ketiganya menempuh perjalanan dari wilayah timur ke utara, sementara Kwee-kim-in melanjutkan latihannya menyempurnakan”Im-yang-pat-sin-im-hoat”

Sepuluh bulan kemudian ilmu tersebut pun telah sempurna dikuasai oleh Kwee-kim-in.

“In-moi, tinggallah disini untuk beberapa hari, karena saya akan ke Kaifeng mencari beberapa orang untuk kita minta jasa tenaganya mengurus istana, baik untuk memasak maupun untuk bersih-bersih.”

“baiklah Bu-ko, dan segeralah kembali.” sahut Kwee-kim-in manja, Kwaa-han-bu meraih tubuh Kwee-kim-in mesra dan memeluknya saying

“hanya beberapa hari In-moi.” bisik Kwaa-han-bu sambil mengecup bibir kekasihnya, sesaat mereka terseret dalam pelukan birahi, sehingga mereka saling pilin, lumat dan remas, kemesraan itu demikian membakar, namun keduanya adalah manusia dari turunan unggulan, yang tidak terjebak pada pelanggaran batas susila.

Keesokan harinya Kwaa-han-bu menaiki perahu dan melaju melejit kekota Kaifeng, dilepas Kwee-kim-in dari pantai, setelah Kwaa-han-bu tidak lagi kelihatan, Kwee-kim-in menelusuri pantai yang landai, sehingga sampailah ia kesebuah batu karang yang menjulang, dengan gerakan ringan dan indah Kwee-kim-in melompat keatas batu karang, dia duduk menghadap ke laut lepas menikmati panorama laut yang indah.

Ketika hari sudah sore Kwee-kim-in turun dari batu karang, dan kembali ke istana pulau kura-kura, segera Kwee-kim-in menuju air terjun dan mandi dikubangan air yang jernih, sungguh keberadaannya di kubangan air terjun kala sore itu demikian menakjubkan, laksana bidadari yang turun dari kayangan di tempat yang indah dan sunyi, setelah puas mandi, Kwee-kim-in kembali kedalam istana untuk memasak makanan, bayangan wajah suhengnya yang tampan menggoda benaknya, sehingga dengan senyum terkulum ia menepis bayangan itu.

Dikota Kaifeng Kwaa-han-bu makan malam disebuah likoan, setelah makan Kwaa-han-bu mendekati pemilik likoan

“paman, aku ingin minta pertolongan paman.”

“oh..ada apakah she-taihap, apa yang bisa saya bantu?”

“begini paman, kami butuh tenaga untuk mengurus istana pulau kura-kura, kira-kira dimanakah saya dapatkan orang-orang yang saya butuhkan paman?”

“oh.. hal itu dapat kita usahakan besok taihap, saya akan minta bantuan A-kek untuk mencari orang-orang yang dibutuhkan she-taihap, kira-kira berapa orang yang dibutuhkan taihap?”

“kiira-kira lima belas orang paman, sepuluh orang wanita dan lima orang laki-laki.” “hmh..baiklah taihap, besok akan kita usahakan.”

“terimakasih paman, atas bantuannya, dan sekarang saya akan istirahat.” ujar Kwaa-han-bu, lalu ia meninggalkan pemilik likoan dan masuk kekamar untuk istirahat.

Keesokan harinya, pemilik likoan menyuruh A-kek untuk mencari orang-orang yang dibutuhkan oleh she- taihap, dan sore harinya lima orang itu pun didapatkan, sdehingga keesokan harinya Kwaa-han-bu memboyong lima belas pekerja ke pulau kura-kura, sesampai di pulau kura-kura Kwee-kim-in menyambut kedatangan Kwaa-han-bu dengan rombongan dengan pandangan berbinar, karena selama tiga hari sendirian di dalam istana yang besar dan megah, sekarang kekasihnya sudah kembali hatinya sudah senang, ditambah istana akan ramai oleh keberadaan para pekerja.

“bagaimana kabarmu In-moi?” tanya Kwaa-han-bu dengan senyum lembut “aku baik-baik saja Bu-ko.” jawab Kwee-kim-in dengan muka berseri-seri

“sekarang In-moi bawalah sepuluh bibi ini dan tentukanlah tugas yang akan mereka lakukan, sementara aku akan berkeliling dengan lima paman ini.”

“baik Bu-ko, marilah bibi semua, kita kedalam.” sahut Kwee-kim-in, kemudian merekapan masuk kedalam sementara Kwaa-han-bu membawa kelima laki-laki berumur empat puluh tahun berkeliling kebagian-bagian bangunan di dalam pulau itu.

Tiga pat-hong hengte mengadakan perjalanan cepat, sehingga empat bulan kemudian mereka sudah sampai di kota Sinyang, ketiganya memasuki likoan yang cukup ramai oleh pengunjung

“Peng-suheng, menurutmu apakah saudara-saudara kita di Sinyang ini masih ada yang tersisa?” tanya Kam-song

“kemungkinan itu ada song-sute, walaupun kecil kita selidiki saja sampai dua hari, kalau tidak ada kita akan lanjutkan perjalanan ke utara.” jawab Sim-couw-peng, sementara disamping mereka dua pedagang sedang bercakap-cakap dengan serius

”Wan-twako, sebaiknya kita menemui Li-taihap dan meminta bantuanya untuk meminta pertanggung jawaban Tung-to-piauwkiok (golok timur) atas keculasan mereka terhadap barang titipan kita.”

“apakah Li-taihap dapat kita andalkan Tio-te, masalahnya pangcu piuawkiok itu memiliki kesaktian yang tidak rendah.”

“setahuku Wan-twako, Li-taihap adalah bekas Pat-hong-heng-te, jadi kiranya, kita dapat mengandalkan bantuannya.”

“hmh.. jika demikian baiklah Tio-te, dimana bisa kita jumpai Li-taihap?” “di sebelah utara kota, jadi mari kita bergegas kesana.” Jawab she-Tio, kemudian merekapun segera membayar pesanan, dan keluar dari likoan, Sim-couw-peng dan dua rekannya pun mengikuti dua pedagang tersebut.

disebuah rumah yang sederhana kedua pedagang itu berhenti, ketika mereka mengetuk pintu seorang laki- laki berumur empat puluh tahun membuka pintu.

“selamat berjumpa Li-taihap.” sapa she-Tio. “selamat berjumpa jiwi-sicu, ada apakah gerangan?”

“begini taihap, kami ingin menyampaikan sesuatu pada taihap, dan kami harap taihap dapat membantu kami.” jawab she-Tio.

“ooh, silahkan masuk jiwi-sicu, maaf tempat seadanya saja.”

“ah.. tidak apa-apa taihap.” sahut she-Tio, kemudian keduanya masuk kedalam, ketika ketiganya duduk, Li- taihap bertanya.

“apakah sicu Cuma berdua, ataukan masih ada yang lain?” “kami hanya berdua taihap?” jawab she-tio

Sim-couw-peng dan kedua rekannya saling pandang, lalu ketiganya melompat kedepan pintu “kami juga hendak menemui Li-taihap.” seru Sim-couw-peng, Li-taihap berdiri dan membuka pintu “maaf jika kedatangan kami membuat Li-taihap tidak nyaman.”

“hmh.. siapakah sam-sicu?” tanya Li-taihap

“kami hendak mencari saudara kami Pat-hong-heng-te.” jawab Sim-couw-peng, mendengar jawaban itu Li- taihap terkejut dan lalu menjura

“silahkan masuk sam-sicu, mari kita bicara didalam.” ujar Li-taihap, setelah ketiganya masuk, dua pedagang itu terkejut

“bukankah tadi sam-sicu bersama kami di likoan?”

“benar jiwi sicu, dan maaf kami mengikuti jiwi sicu hingga sampai disini, karena kami mendengar tentang Pat-hong-heng-te.” jawab Sim-couw-peng

“lanjutkanlah dulu pembicaraan dengan jiwi sicu Li-taihap, setelah itu baru kita bicara.” Ujar Sim-couw-peng “hmh… jiwi sicu, sampaikanlah apa yang hendak disampaikan?” sela Li-taihap kepada kedua pedagang

“Li-taihap, saya adala Tio-sin dan rekan saya ini adalah Wan-keng, kami berdua mengalami masalah yang tidak sehat.”

“apakah itu sin-sicu?”

“dua minggu yang lalu kami menitipkan barang kepada Tung-to-piuauwkiok, berupa kain yang hendak di kirim ke kota Changchung, tetapi sampai disana, teman kami yang menerima jumlah kain tidak sesuai dengan yang kami titipkan, jadi kami minta pertanggung jawaban piuawkiok tersebut, namun kami tidak ditanggapi oleh pangcu piauwkiok tersebut.”

“lalu apa yang bisa saya bantu jiwi-sicu?” tanya Li-taihap

“jika dapat, tolonglah kami taihap untuk menyelesaikan urusan dengan piauwkiok tersebut.” “baiklah jiwi-sicu, besok pagi aku akan jiwi sicu akan menemui para piauwsu.”

“terimaksih taihap, kalau begitu besok kami akan datang lagi menemui taihap.” “baiklah jiwi-sicu.” sahut Li-taihap, kemudian dua pedagang itu pamit.

Kemudian empat orang itu saling pandang

“Li-taihap, saya adalah Sim-couw-peng, dua sute saya ini adalah Kam-song dan Lauw-kun, kami adalah murid pat-hong-heng-te wilayah utara.”

“saya adalah Li-wan-fu, satu hal yang menyenangkan bahwa tiga saudaraku pat-hong-heng-te berkunjung ditempatku yang buruk ini.”

“demikian juga kami Fu-suheng.” sahut Sim-couw-peng

“selain dari kunjungan yang menyenangkan ini, apakah ada yang lain Peng-sute?”

“Fu-suheng, kami memang sedang mencari saudara-saudara kita yang masih hidup, selain suheng, apakah masih ada saudara kita di wilayah timur ini yang hidup”

“masih ada sute, ada empat orang lagi saudara kita.”

“kalau demikian Fu-suheng, dimanakah mereka, dan dapatkah kita berkumpul?”

“tentu sute, mereka juga di kota sinyang ini, marilah kita ketempat Kui-suheng tidak jauh dari sini, hanya dua blok dari perumahan ini.” jawab Li-wan-fu

Empat pat-hong-heng-te pun bergegas menuju rumah Coa-ban-kui.

“Kui-suheng!” seru Li-wan-fu sesampai didepan rumah, seorang lelaki berumur empat puluh lima keluar “Fu-sute, ternyata kamu, masuklah!” sahut Coa-ban-kui, lalu merekapun masuk kedalam rumah

“ada apakah Fu-sute?” tanya Coa-ban-kui

“salam hormat kami pat-hong-heng-te wilayah utara kepada Kui-suheng.” sela Sim-couw-peng “hmh.. sam-sute pat-hong-heng-te.”

“benar suheng, saya adalah Sim-couw-peng “saya adalah Kam-song”

“saya adalah Lauw-kun”

“hahhaha..hahha syukur pada Thian ternyata masih ada saudara kami dari utara yang hidup.” Sahut Coa- ban-kui dengan wajah berseri-seri,”

“Kui-suheng, saya akan memanggil Lou-bhong sute, Wan-gak-sute, Cu-kang-sute, supaya datang kesini.” sela Li-wan-fu

“baiklah sute, segeralah panggil mereka.” sahut Coa-ban-kui.

Satu jam kemudian delapan pat-hong-heng-te berkumpul, pertemuan itu demikian mengharukan dan menggembirakan

“nah kita sudah berkumpul Peng-sute, apa yang hendak sute sampaikan?” tanya Li-wan-fu

“Kui-suheng, Fu-suheng dan sute sekalian, sebenarnya usaha mencari sisa murid pat-hong-heng-te ini atas suruhan Kwaa-sute Im-yang-sin-taihap di pulau kura-kura.”

“oh-ya, apakah sam-sute sudah bertemu dengan She-taihap Im-yang-sin-taihap?” sela Coa-ban-kui “benar Kui-suheng, kami menemui Kwaa-sute di pulau kura-kura setelah perjalanannya yang menumpas tirani Pah-sim-sai-jin di seluruh Tionggoan, bahkan kami juga telah bertemu dengan sumoi kita Kwee-kim-in putri dari supek Kwee-thian” “hah… putri suhu Kwee-thian?” seru kelima pat-hong-heng-te wilayah timur, kelimanya saling pandang “ada apakah suheng?” tanya Sim-couw-peng

“kami tidak tahu dengan nama tersebut sebagai putri dari suhu Kwee-thian, Peng-sute.” jawab Coa-ban-kui

“hmh… hal itu memang jelas Kui-suheng, karena ibu dari sumoi adalah orang utara, yang bernama Tan-cui- sian.” ujar Sim-couw-peng, kelima saudaranya manggut-manggut.

“hmh… teruskan ceritamu Peng-sute, apalagi arahan dari Kwaa-sute Im-yang-sin-taihap.”

“Kwaa-sute mengharapkan kita semua yang masih tersisa beserta keluarga untuk pindah ke pulau kura- kura, bagaimana menurut Kui-suheng?”

“harapan she-taihap sama halnya perintah suhu kita, tentu kita akan menyetujuinya Peng-sute.” jawab Coa- ban-kui

“benar, kita harus taat dengan arahan itu.” sela Li-wan-fu, semuanya mengangguk

“Jika demikian, kami akan bersegera kembali ke utara untuk memboyong keluarga kami, dan juga Kwaa- sute dan Kwee-sumoi mengharapkan supaya kita juga membawa sekalian subo Tan-cui-sian dari kota Peng-bun.”

“baiklah Peng-sute, berangkatlah kalian, dan kami akan menunggu kalian disini, dan kita akan berangkat bersama ke pulau kura-kura.” sahut Coa-ban-kui

Keesokan harinya Sim-couw-peng bersama dua sutenya berangkat ke utara, sementara Li-wan-fu dan Cu- kang mendatangi Tung-to-piauwkiok beserta dua pedagang, menjelang siang empat orang itu sampai ke tempat piuwkiok, lima orang piauwsu mendekati mereka

“he she-Wan dan kamu she-Tio, apalagi maksud kedatangan kalian!?” bentak salah seorang piauwsu

“kami meminta pertanggung jawaban piauwkiok tentang ke beradaan kiriman kami yang kurang.” Jawab Wan-keng

“kalian ini tidak jera, apakah urusan kedua orang ini datang kesini.” ujar piauwsu itu dengan marah sambil melototkan mata pada Li-wan-fu dan Cu-kang

“ketelengasan dan keculasan kalian yang menyebabkan kami mendatangi kalian, kalian telah berbuat aniaya pada kedua saudara ini, jadi saya minta supaya kalian bertanggung jawab atas perkara yang menimpa dua saudara ini.” sahut Li-wan-fu

“haha.hahha…, apakah kalian punya nyali menghadapi kami!?” cela piauwsu sambil tertawa dan di iringin ketawa rekan-rekannya.

“jika kalian tidak dapat diajak kompromi, maka kalian akan merasakan akibatnya.” tantang Cu-kang “setan alas, berani muka mulut besar di depan kami!” bentak piauwsu sambil menerjang Cu-kang

“plak…buk..aghhkk..” piauwsu yang menerjang, terpelanting dan ambruk ketanah dengan muka bengkak ditampar Cu-kang, dan perutnya berguncang hebat kena pukulan Cu-kang, piauwsu itu pingsan seketika, empat rekannya terbelalak, dan segera menerjang Cu-kang, Cu-kang dengan gesit menyambut serangan empat orang itu, dalam dua gebrakan empat piauwsu itu terpelanting dan tidak mampu bangkit lagi.

Dua puluh orang piauwsu segera muncul mengurung dua pat-hong-heng-te, Toan-gun pangcu keluar

“ada apa ini, bangsat, apa kalian punya nyawa rangkap sehingga berani macam-macam dengan saya!” teriak Toan-gun sambil menyerang dengan cepat,

Li-wan-fu dengan sigap melompat menyambut serangan Toan-gun, sementara dua puluh anak buahnya menyerang Cu-kang, pertempuran yang ramai pun berlangsung, dua puluh piauwsu berusaha mengganyang Cu-kang, namun piauwsu ini bukanlah tandingan Cu-kang, dengan kelincahannya dua puluh orang itu dibuat bingung, mereka pening dan nanar mengikuti gerakan Cu-kang yang merubuhkan mereka satu persatu.

Toan-gun merasa ciut nyalinya setelah dalam sepuluh jurus usaha untuk merubuhkan lawannya tidak berhasi, bahkan dirinya terkesan lawan lunak bagi lawannya, Li-wan-fu, sampai dua puluh jurus masih posisi mengelak, dan ketika memasuki jurus dua puluh satu, Li-wan-fu merubah gerakan bertahan dengan gerakan serangan yang dahsyat bertubi-tubi,”im-yang-jiu-lie-pat” yang memiliki gerakan tangan yang kaya, membuat Toan-gun kelabakan dan kalang kabut, hingga dalam lima jurus, setelah Li-wan-fu menyerang, Toan-hun terjungkal muntah darah, karena perutnya dikenai cakaran dan dadanya kena pukulan Li-wan-fu.

“sekarang pangcu, ganti rugilah kerugian dari dua saudara pedagang itu, jika tidak kamu akan mendapat celaka yang parah.”

“b,,ba,,baik…aku aku akan mengganti rugi.” sahut Toan-gun terbata-bata, kemudian Toan-gun bergegas kedalam dan mengambil kain yang yang mereka ambil, kemudian menyerahkan kembali pada Tio-sin dan rekannya sembari meminta maaf.

“baik sekarang urusan sudah selesai, dan saya harap piauwsu yang anda pimpin tidak mengulangi perbuatan tidak baik ini.” ujar Li-wan-fu

“baik taihap, saya tidak akan mengulangi lagi.” sahut Toan-gun, setelah itu Li-wan-fu meninggalkan markas piauwsu.

Sim-couw-peng dan kedua sutenya memasuki kota Peng-bun dan mencari kediaman subo mereka Tan-cui- san, tidak sulit bagi ketiganya mencari kediaman tersebut, mereka memasuki halaman sebuah rumah yang sederhana, seorang wanita berumur empat puluh tahun sedang menjemur pakaian, dia menatap ketiga orang yang memasuki halaman rumahnya

“siapakah kalian, dan ada apa maksud datang kemari?”

“maaf kouwnio, kami mencari ibu bernama Tan-cui-sian, apakah ini tempat kediamannya kouwnio?” tanya Sim-couw-peng

“benar, saya sendiri Tan-cui-sian, siapakah kalian?” sahut Tan-cui-sian, setelah mendengar jawaban itu ketiganya menjura, karena dihadapan mereka ini adalah subo mereka walaupun umurnya sepantaran dengan mereka, bahkan Sim-couw-peng lebih tua satu tahun.

“Sobo, terimalah hormat tecu, kami adalah pat-hong-heng-te wilayah utara.” “oh..silahkan masuk!” sahut Tan-cui-sian, kemudian ketiganya masuk kedalam rumah “ada apakah sehingga kalian datang menemuiku?”

“subo, saya bernama Sim-couw-peng, dan dua sute saya ini adalah Kam-song dan Lauw-kun, dan kedatangan kami membawa pesan dari sumoi Kwee-Kim-in.”

“oh, kalian bertemu dengan putriku, bagaimanakah keadaannya, dan apakah pesannya?” sela Tan-sui-sian

“benar subo, dan kedaan sumoi sehat dan baik-baik saja, sumoi sekarang berada bersama sute Im-yang- sin-taihap Kwaa-han-bu, dan keduanya berada di pulau kura-kura.”

“hmh..lalu apakah pesan dari sumoi kalian?”

“sumoi dan sute memesankan supaya subo ikut kami pindah ke pulau kura-kura.” “hmh.. apakah kalian juga diminta pindah kesana?”

“benar subo, tapi kami harus ke kota sinyang dulu untuk membawa keluarga kami yang ada disana.” “jika demikian peng-ji, aku akan ikut kalian.” “baiklah subo, jadi kami akan segera ke Yinchuan, dan ketika mengadakan perjalanan, kami akan singgah kesini untuk membawa subo sekalian.”

“demikian juga bagus Peng-ji, dan aku akan siap saat kalian singga kesini.”

“baiklah subo, kami permisi dulu.” ujar Sim-couw-peng, kemudian merekapun meninggalkan Tan-cui-sian.

Sebulan kemudian ketiga Pat-hong-heng-te sampai dikota Yinchuan, merekapun segera berkemas, dalam jangka seminggu merekapun berangkat dengan membawa keluarga mereka, mereka berjumlah tiga belas orang yang mnengadakan perjalanan, perjalanan mereka dilakukan secepat mungkin, sehingga Tan-cui- sian tidak terlalu lama menunggu, setelah bertemu dengan Tan-cui-sian, hanya sehari mereka di Peng-bun, kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju ke wilayah timur, dimana lima saudara mereka menunggu.

Ketika mereka sampai disebuah hutan sebelah barat kota Sinyang, segerombolan perampok menghadang mereka, pimpinan rampok adalah Bu-cin bekas murid utama Pah-sim-sai-jin

“tinggalkan barang kalian dan semua wanita!” bentak Bu-cin

“mari kita hajar perampok-perampok ini sute!” teriak Sim-couw-peng, ketiganya dengan sigap menerjang dua puluh lima perampok

“buk..buk..buk..” dalam segebrakan tiga perampok sudah terlempar kena pukulan ketiga pat-hong-heng-te

“sialan! ayo ganyang ketiganya!” teriak Bu-cin sambil menerjang Kam-song yang berada didekatnya, pertempuran kembali berlanjut, anak buah bucin bagaikan tahu lunak ditangan Sim-couw-peng dan Lauw- kun, sementara Kam-song yang menghadapi Bu-cin mendapat sedikit perlawanan seru, namun Bu-cin bukanlah lawan Kam-somg, Kam-song masih jauh diatas Bu-cin, hanya dalam lima puluh jurus Bu-cin sudah dibuat kalang kabu, ilmu Im-yang-jie-lie-pat demikian akurat membobol pertahanan Bu-cin, sehingga pada satu kesempatan tendangan Kam-song menghantam kepala Bu-cin dan tidak ayal Bu-cin terlempar ambruk ketanah dengan kepala pecah, seketika nyawa Bu-cin melayang, dari dua puluh lima orang perampok hanya empat yang masih hidup dan itupun dengan luka yang parah.

Rombongan Sim-couw-peng kembali melanjutkan perjalanan, dan tiga hari kemudian mereka memasuki kota Sinyang dan mereka menuju kediaman Coa-ban-kui

“sam-sute ternyata sudah sampai, istirahatlah dulu, sambil kami berkemas-kemas.”

“baiklah suheng, dan ini subo kita Tan-cui-sian juga ikut bersama kami.” sahut Sim-couw-peng, Coa-ban-kui menjura hormat pada subo mereka, setelah membicarakan keadaan perjalanan, empat orang pat-hong- heng-te yang lain sudah datang bersama keluarga mereka.

Keesokan harinya, rombongan pat-hong-heng-te yang berjumlah tiga puluh lima berangkat menuju pulau kura-kura, iring-iringan itu menjadi perhatian para penduduk dimana kota mereka lalui, suatu hari mereka memasuki likoan di kota Hanzhong, rombongan yang berjumlah besar itu memenuhi likoan

“sepertinya sicu dan rombongan dalam satu perjalanan pindah?” tanya pemilik likoan dengan nada heran pada Lauw-kun yang hendak memesan makanan

“bebar sicu, kami rombongan pat-hong-heng-te.”

“oh… hendak kemanakan tujuannya kalau boleh tahu!?” “kami hendak ke pulau kura-kura.”

“apakah pulau-kura-kura akan kembali seperti dulu?” “setidaknya mungkin akan seperti dulu.”

“wah, kalau begitu sungguh melegakan, karena pulau-kura-kura akan menjadi pusat kekauatan liok-lim.” “doakan saja sicu, semoga keadaan liok-lim akan kembali baik.”

“ya..ya, sicu benar.” sahut pemilik likoan, setelah memasan makanan, Lauw-kun kembali duduk.

Setelah mereka selesai makan, rombongan pat-hong-heng-te hendak melanjutkan perjalanan, namun hendak keluar pintu gerbang kota sepasukan tentara kerajaan datang menjumpai mereka

“cuwi semua diperintahkan oleh kungcu untuk menghadap!”

“ada apakah ciangkun, kami ini sudah hendak keluar kota dan melanjutkan perjalanan.” sahut Coa-ban-kui. “hal apa, saya tidak tahu.”

“baiklah ciangkun, Fu-sute, Peng-sute! marilah kita menghadap kungcu, sementara sute yang lain melanjutkan perjalanan.”

“baik suheng.” jawab Kam-song dan yang lain-lain

“tidak begitu kalian semua mesti menghadap pada kungcu!” sela pimpinan pasukan dengan nada keras, hal ini membuat rombongan pat-hong-heng-te heran

“ciangkun…! kenapa demikian, jelaskan pada kami, jika tidak maka kami akan abaikan apapun dari kungcu anda.” sahut Coa-ban-kui

“sudah saya katakan, hal apa saya tidak tahu, kalian semua harus menghadap kungcu sekarang juga, kalau tidak kami akan menangkap dan memaksa kalian”

“hmh… ada yang tidak beres kalau begini, Gak-sute, Kun-sute bawalah rombpngan kita, dan setelah membereskan masalah ini, kami akan menyusul!” ujar Coa-ban-kui

“baik suheng.” sahut Lou-bhong, rombongan hendak keluar gerbang kota

“tunggu! tidak ada yang boleh keluar!” teriak ciangkun, namun rombongan itu tidak memperdulikan, sementara enam pat-hong-heng-te sudah siaga menghadang jika muncul serangan, ciangkun melayang menyerang Pat-hong-heng-te, Coa-ban-kui dengan cekatan menyambut serangan, sementara lima pat- hong-heng-te dikurung pasukan yang berjumlah tiga puluh orang

Bagi enam pat-hong-heng-te, pasukan yang mencegat mereka ini bukan apa-apa

“sute! mereka ini hanya menjalankan perintah, jadi jangan sampai ada yang tewas, setelah ini kita akan selidiki hal yang janggal ini.” teriak Coa-ban-kui, kelima sutenya menahan diri untuk tidak menewaskan pengeroyok yang laksana laron memburu api.

Ciangkun hanya mampu bertahan dalam tiga puluh jurus, dan tubuhnya segera terjungkal menghantam gapura hingga pingsan setelah dua pukulan keras dari Coa-ban-kui menghantam dadanya, sementara anak buahnya sudah tergeletak meringis kesakitan, tinggal dua orang lagi yang berdiri dengan wajah pucat ketakutan

“Fu-sute, Peng-sute, mari kita selidiki hal ini kerumah kungcu! sentara sam-sute menyusul rombongan, lanjutkan saja perjalanan, setidaknya besok kami sudah dapat mengetahui apa yang terjadi, sehingga kami dapat meninggalkan kota.” ujar Coa-ban-kui

“baik suheng, kami akan berangkat.” sahut Cu-kang, kemudian tiga dari pat-hong-heng-te meninggalkan kota menyusul rombongan yang telah berangkat

Coa-ban-kui dan kedua sutenya menunggu sampai malam untuk menyelidiki hal apa terjadi dengan kungcu kota Hanzhong, setelah malam tiba, tiga bayangan pat-hong-heng-te sudah berada diatas atap kediaman kungcu, ketiganya berpencar menyelidiki keadaan

Di ruang tengah Wan-kungcu sedang marah-marah didepan kepala pasukan yang tadi mencegat rombongan pat-hong-heng-te “habislah nyawa kedua anakku dibuat”Hui-bouw-sam” (tiga harimau terbang)” keluh Wan-kungcu, selagi Wan-kungcu mengeluh ketakutan, tiba-tiba tiga orang muncul

:bagaimana she-wan, apakah kamu sudah menawan rombongan pat-hong-heng-te?” tanya lelaki kekar dan tampan berumur tiga puluh lima tahun, dia adalah murid utama Pah-sim-sai-jin yang bernama Louw-kin demikian juga dengan kedua orang rekannya yang bernama Cia-lung dan Khu-tong

“maaf tai-ong, kami sudah laksanakan, namun pasukanku tidak mampu menundukkan rombongan tersebut.” jawab Wan-kungcu gemetar

“goblok dan tidak becus! kamu lebih memilih kedua anakmu jadi permainan daripada mengerahkan seluruh kekuatan pasukanmu menundukkan pat-hong-heng-te.” bentak Lou-kin

“kembalikanlah anakku tai-ong, aku memilki harta, ambillah!” pinta Wan-kungcu

“hahaha..hahaha…apa kamu kira aku kesini mau tawar menawar, ketahuilah! jika kamu tidak berhasil, jangankan anakmu yang sudah ditangan kami, harta dan nyawamu akan saya ambil.” ancam Hui-bouw, Wan-kungcu makin pucat pias.

Keberadaan perampok gunung Hui-bouw dan anak buahnya sudah dua tahun menjadi benalu dikota Han- zhong, Wan-kungcu menjadi boneka bagi Hui-bouw-sam dalam mengumpulkan harta, awalnya kota Hanzhong sering terjadi pencurian harta benda, Wan-kungcu sebagai pemimpin kota berusaha sekuat kemampuan untuk memburu para pencuri yang beraksi di kotanya, namun sampai lima bulan pasukannya selalu gagal dan terbentur dengan seratus anggota rampok yang rata-rata berkepandaian lumayan.

HIngga suatu malam para pencuri memasuki kediaman Wan-kungcu, pasukan pemerintah berusaha melawan, namun mereka tidak berdaya sehingga Wan-kungcu dan pasukan terpaksa bertekuk lutut

“taijin goblok! kamu tidak tahu berurusan dengan siapa, sehingga berani mencoba menantang kami.” bentak Cia-lung, semua tertunduk ketakutan didepan Hui-bouw

“jika kamu masih sayang nyawa, maka kamu harus tunduk pada aturanku.”

“baiklah tai-ong, kami sudah tidak berdaya, dan kami akan menurut kehendak tai-ong.” sahut Wan-kungcu.

“bagus…, jadi mulai saat ini, kamu tidak boleh mengerahkan pasukanmu menghalangi pekerjaan kami mencuri harta benda para penduduk, mengerti!?”

“mengerti tai-ong.” sahut Wan-kungcu

“sekali engkau menunjukan gerakan yang menantang kami maka kamu akan bunuh!” ancam Cia-lung, Wan- kungcu menganguk-angguk

Sejak saat itu apapun kejadian yang berhubungan dengan operasi tai-ong di kota Hanzhong, Wan-kungcu tidak mau tahu, sehingga aksi tai-ong semakin merajalela, sehinga pada satu ketika Hui-bouw dan anak buahnya mendengar rombongan pat-hong-hen-te yang hendak pindah ke pulau kura-kura

“twako…apa yang akan kita lakukan dengan rombongan pat-hong-heng-te jika sampai ke Hanzhong?” tanya Khu-tong

“kita harus cegat mereka dan bunuh semuanya!” jawab Lou-kin

“apakah kita akan mampu menundukkan mereka? dan saya dengar bahwa bekas pat-hong-heng-te itu masih ada delapan orang.” Sela Cia-lung

“mungkin kalau kita berhadapan langsung, kita akan kesulitan untuk menundukkan mereka, namun aku punya ide untuk memperdaya mereka.” sahut Lou-kin

“bagaimanakah idenya Kin-twako?” tanya Cia-lung

“kita mamfaatkan kedekatan pat-hong-heng-te dengan kungcu, kita suruh kungcu mencegat mereka dan menangkap rombongan, setelah rombongan di penjara, maka dengan mudah kita membunuhi mereka.” jawab Lou-kin, kedua sutenya menyetujui ide tersebut, lalu ketiganya mendatangi kediaman Wan-kungcu

Wan-kungcu yang menyambut ketiganya dengan ramah dan menjilat “ada apakah tai-ong, apa yang bisa saya Bantu?”

“she-Wan, sebuah rombongan akan memasuki kota Hanzhong beberapa hari lagi, jadi kamu dan pasukanmu cegat dan tangkap mereka, lalu masukkan kepenjara.” ujar Lou-kin

“siapakah rombongan itu tai-ong?”

“mereka adalah pat-hong-heng-te, dan kami tahu bahwa pat-hong-heng-te sangat taat pada pemerintah, jadi gunakan kedudukanmu dan kedekatanmu untuk menangkap mereka!”

“tapi tai-ong mereka adalah orang-orang berkepandaian, dan mereka juga orang-orang yang baik.”

“sialan berani membantah, kami tidak mau tahu, pokoknya kamu harus berhasil memenjarakan mereka, dan sebagai jaminannya dua anak gadismu akan kami tahan.” bentak Lou-kin, kemudian dua sute Lou-kin bergerak masuk kedalam untuk meringkus dua anak gadis Wan-kungcu, tidak berapa lama dua anak gadis sudah dipanggul Khu-tong dalam kedaan lemas

“nah..kamu lihat she-Wan, jika kamu tidak berhasil, maka kedua anakmu akan kami permainkan dan kami bunuh!” ancam Lou-kin, Wan-kungcu pucat tidak berdaya, sementara Wan-hujin yang berlari-lari dari dalam menangisi anaknya yang diringkus manusia-manusia bejat

“kami pergi, dan kami akan datang lagi melihat hasil usahamu!” ujar Lou-kin, dan ketiganya berkelabat cepat meninggalkan kediaman Wan-kungcu

Wan-kungcu segera mengumpulkan seratus tentaranya, dan memilih tiga puluh orang yang memiliki kepandaian lumayan untuk melakukan tugas itu

“kalian tahu bahwa tugas ini amat sulit, Pat-hong-heng-te mungkin akan menuruti permitaanku datang kesini, jadi kalian siasatilah sehingga mereka dapat kita tangkap.” ujar Wan-kungcu

“taijin mereka itu adalah rombongan, lalu apakah hanya pat-hong-heng-te yang kita tawan atau ikut dengan keluarga mereka?” tanya lelaki kekar pimpinan pasukan

“pat-hong-heng-te dan keluarganya.” jawab Wan-kungcu

“baiklah kalau begitu taijin, sedapatnya akan kami usahakan menangkap mereka.” ujar ciangkun

Ketika mereka mencegat rombongan Pat-hong-heng-te ternyata ajakan itu hanya dipenuhi enam orang, dan hal itu tidak sesuai dengan rencana, sehingga terjadi pertempuran dengan pihak Pat-hong-heng-te, dan sebagaimana didepan enam orang Pat-hong-heng-te melumpuhkan mereka.

“Tong-sute dan Lung-sute, segera geladah rumah ini, ambil semua harta she-Wan ini!” teriak Lou-kin, Cia- lung dan Khu-tong bergerak, namun dua puluh pengawal menerjang menghalangi, terjadi pertempuran yang ramai di ruang tengah itu

“bunuh semua!” teriak Lou-kin sambil melepaskan pukulan sakti kea rah Wan-kungcu

“dhuarrrr..” pukulan sakti yang dilepas Lou-kin buyar karena serangkum hawa pukulan dari samping, dan Coa-ban-kui sudah muncul ditengah pertempuran

“ternyata para bandit tidak tahu diri yang memamfaatkan kelemahan orang.” ujar Coa-ban-kui sambil menyerang Lou-kin, Lou-kin dengan sigap melawan, baru dua gebrakan LI-wan-fu dan Sim-couw-peng muncul menyerang Khu-tong dan Cia-lung, para pengawal yang masih bertahan mundur memberikan ruang pada tiga pertempuran segit yang berlangsung.

“buk..” sebuah pukulan keras menghantam dada Lou-kin, sehingga ia terlempar dan melabrak lemari hingga hancur “sialan… kubunuh kau!” teriaknya bangkit dan langsung menyerang dengan nekat, namun kali ini tai-ong mati kutu, yang mereka hadapi adalah murid gembelengan she-taihap yang sudah pasti lebih hebat dari mereka, dalam empat puluh jurus ketiga tai-ong sudah jatuh bangun di desak ketiga pat-hong-heng-te, muka mereka sudah memar dan bengkak, ketiga pat-hong-heng-te tidak menurunkan tangan keras, sehingga mereka jatuh dalam dua tiga pukulan, namun pukulan-pukulan tenaga luar.

Benar-benar ketiga tai-ong dipermainkan ketiga pat-hong-heng-te, karena nyerinya rasa sakit disekujur tubuh mereka, akhirnya ketiganya hendak melarikan diri, namun mana bisa mereka melarikan diri dari tangan ketiga pat-hong-heng-te yang mempermainkan mereka seperti kucing mempermainkan tikus, tiga pukulan berkekuatan sin-kang telak mengenai tubuh ketiganya, sehingga mereka ambruk tewas dengan isi dada remuk

Coa-ban-kui memandang Wan-kungcu

“karena keterpaksaan inikah taijin berlaku tidak lumrah ini!?”

“benar taihap, kami tidak berdaya, dan dua anak gadisku sedang mereka tawan.” sahut Wan-kungcu menghiba

“baik, Peng-sute, pergilah kemarkas perampok ini, bawa dua pengawal sebagai penunjuk jalan!” ujar Coa- ban-kui

“baik suheng, mari tunjukkan dimana markas perampok ini.” sahut Sim-couw-peng sambil mengajak dua orang sebagai penunjuk jalan

Setelah Sim-couw-peng pergi, Wan-kungcu memerintahkan agar mayat ketiga tai-ong di kuburkan dan membereskan ruang tengah

“marilah taihap, kita keruang perpustakaan dan bicara dengan nyaman.” ujar Wan-kungcu, ketiganya pun meninggalkan ruangan menuju ruang perpustakaan

“terimakasih taihap, dan maafkan akan ketidak berdayaan kami, sehingga membuat taihap dan rombongan merasa terganggu.”

“tidak masalah taijin, kami maklum dengan kedaan taijin.” sahut Coa-ban-kui “siapakah para perampok ini taijin?” sela Li-wan-fu

“mereka adalah bekas hek-te, tiga pimpinan tadi adalah murid utama Pah-sim-sai-jin.” jawab Wan-kungcu “sudah berapa lama mereka berbuat zalim di kota ini?”

“mereka sudah dua tahun beroperasi dikota ini, mereka mencuri harta benda para penduduk, dan kami juga dipaksa untuk mendiamkan keadaan.”

“hmh… syukurlah taijin, bahwa kemelut yang dialami kota ini sudah berakhir, jadi laksanakanlah tugas taijin sebagaimana biasanya.” sela Coa-ban-kui, Wan-taijin mengangguk.

Sementara itu di markas Hui-bouw, seratus anggota sedang senyap di kelarutan malam, tiga buah bayangan mengendap-endap mencari dua putri Wan-kungcu yang bernama Wan-eng dan Wan-bi, keduanya terduduk disudut ruangan dalam keadaan terikat, sementara di diluar ruangan empar orang sedang main kartu dan enam orang sudah tertidur

“kalau si kungcu tidak berhasil, dua anak gadisnya akan jadi permainan.”

“dan kalau berhasil, apakah tai-ong akan melewatkan bunga-bunga yang sedang mekar itu?” “aku tidak tahu.” jawab rekannya

“hmh… sayang kalau dilewatkan, dua gadis itu denok banget.” sela yang lain “heh…aku ada ide!” seru yang lain “apa idemu itu A-cong?”

“bagaimana kalau kita bermain-main dengan keduanya didalam, meremas-remas dan menciuminya pun jadilah, kita sudah merasakan aromanya sebelum jatuh kepelukan twako.”

“hmh..boleh juga tuh, ayoklah kita kedalam, dua orang untuk satu gadis.” sela rekannya, kemudian keempat orang itu masuk kedalam ruangan

Dua gadis itu terperanjat dan muka mereka pucat, dua orang menarik Wan-eng

“tidaak…lepaskan aku..lepaskan…” teriak Wan-eng, kemudian dua orang menghampiri Wan-bi, Wan-bi meringkuk ketakutan, namun sebelum tubuh Wan-bi ditarik, tiba-tiba Sim-couw-peng muncul

“hentikan perbuatan kalian yang tidak senonoh!” teriak Sim-couw-peng, keempat orang itu terkesiap dan langsung berdiri

“bangsat, siapa kamu!?” bentak mereka bersamaan

“kalian tidak perlu tahu, sekarang rasakan hajaranku!” sahut Sim-couw-peng

Keempat orang itu menyambut serangan Sim-couw-peng, dalam empat gebrakan, keempat orang itu sudah mengeloso lemas ditotok Sim-couw-peng, kemudian Sim-couw-peng melepaskan kedua putri kungcu

“terimakasih in-kong, kami berdua adik beradik telah diselamatkan dari malapetaka yang mengerikan.” ujar Wan-bi

“ya, bersyukurlah pada Thian soicia, dan sekarang mari kita pulang, karena Wan-taijin mengharapkan kembalinya kalian.” sahut Sim-couw-peng, kemudian ke tiganya keluar dam dihalaman markas, mereka bertemu dengan dua pengawal Wan-kungcu, yang sudah selesai membuat empat titik api untuk membakar markas Hui-bouw, dalam waktu yang tidak lama api pun berkobar, anak buah Hui-bouw pun kalang kabut, berusaha untuk memadamkan api, namun usaha mereka tidak berhasil karena api terlanjur sudah amat besar.

Sementara itu di markas Hui-bouw, seratus anggota sedang senyap di kelarutan malam, tiga buah bayangan mengendap-endap mencari dua putri Wan-kungcu yang bernama Wan-eng dan Wan-bi, keduanya terduduk disudut ruangan dalam keadaan terikat, sementara di diluar ruangan empar orang sedang main kartu dan enam orang sudah tertidur

“kalau si kungcu tidak berhasil, dua anak gadisnya akan jadi permainan.”

“dan kalau berhasil, apakah tai-ong akan melewatkan bunga-bunga yang sedang mekar itu?” “aku tidak tahu.” jawab rekannya

“hmh… sayang kalau dilewatkan, dua gadis itu denok banget.” sela yang lain “heh…aku ada ide!” seru yang lain

“apa idemu itu A-cong?”

“bagaimana kalau kita bermain-main dengan keduanya didalam, meremas-remas dan menciuminya pun jadilah, kita sudah merasakan aromanya sebelum jatuh kepelukan twako.”

“hmh..boleh juga tuh, ayoklah kita kedalam, dua orang untuk satu gadis.” sela rekannya, kemudian keempat orang itu masuk kedalam ruangan

Dua gadis itu terperanjat dan muka mereka pucat, dua orang menarik Wan-eng “tidaak…lepaskan aku..lepaskan…” teriak Wan-eng, kemudian dua orang menghampiri Wan-bi, Wan-bi meringkuk ketakutan, namun sebelum tubuh Wan-bi ditarik, tiba-tiba Sim-couw-peng muncul

“hentikan perbuatan kalian yang tidak senonoh!” teriak Sim-couw-peng, keempat orang itu terkesiap dan langsung berdiri

“bangsat, siapa kamu!?” bentak mereka bersamaan

“kalian tidak perlu tahu, sekarang rasakan hajaranku!” sahut Sim-couw-peng

Keempat orang itu menyambut serangan Sim-couw-peng, dalam empat gebrakan, keempat orang itu sudah mengeloso lemas ditotok Sim-couw-peng, kemudian Sim-couw-peng melepaskan kedua putri kungcu

“terimakasih in-kong, kami berdua adik beradik telah diselamatkan dari malapetaka yang mengerikan.” ujar Wan-bi

“ya, bersyukurlah pada Thian soicia, dan sekarang mari kita pulang, karena Wan-taijin mengharapkan kembalinya kalian.” sahut Sim-couw-peng, kemudian ke tiganya keluar dam dihalaman markas, mereka bertemu dengan dua pengawal Wan-kungcu, yang sudah selesai membuat empat titik api untuk membakar markas Hui-bouw, dalam waktu yang tidak lama api pun berkobar, anak buah Hui-bouw pun kalang kabut, berusaha untuk memadamkan api, namun usaha mereka tidak berhasil karena api terlanjur sudah amat besar.

Keesokan harinya Sim-couw-peng sampai kembali ke rumah kungcu saat matahari sudah tinggi, alangkah gembiranya    Wan-kungcu    melihat    dua    anak    gadisnya    selamat,    terlebih    Wan-hujin “terimakasih atas bantuan pat-hong-heng-te menyelesaikan kemelut yang selama ini menimpa kami.” ujar Wan-kungcu

“terimakasih kembali Wan-taijin, jadi karena keadaan sudah baik, maka kami akan segera pamit untuk menyusul rombongan kami yang telah berangkat duluan.” sahut Coa-ban-kui

“baiklah taihap, dan bawalah delapan kuda pilihan, untuk membantu perjalanan rombongan.” ujar Wan- kungcu

“terimakasih taijin.” sahut Coa-ban-kui, ketiga pat-hong-heng-te pun meninggalkan kota Hanzhong dengan membawa delapan kuda yang kuat.

Tiga bulan kemudian rombongan pat-hong-heng-te memasuki kota Kaifeng, dan mereka tidak kesulitan untuk mendapatkan perahu untuk menyeberangkan mereka, karena sebulan yang lalu setelah Kwaa-han-bu membawa lima tenaga pekerja ke pulau kura-kura, maka jalur penyeberangan dari pulau kura-kura ke kota Kaifeng sudah beroperasi kembali.

Setelah rombongan sampai ke pulau kura-kura, mereka disambut Kwaa-han-bu dan Kwee-kim-in, Kwee- kim-in mengucurkan air matanya karena bahagianya bertemu dengan ibunya tercinta Tan-cui-sian, kemudian rombongan diajak masuk kedalam istana, pertemuan dan perkenalan yang ramah serta mengharukan.

Setelah makan malam semua penghuni istana berkumpul diruang tengah, semua pembantu juga Kwaa- han-bu ikutkan dalam pertemuan itu

“bagaimana perjalanan para suheng, adakah hambatan?” tanya Kwaa-han-bu

“perjalanan boleh dikatakan lancar sute, walaupun dibeberapa tempat menghadapi beberapa hambatan dari bekas murid Pah-sim-sai-jin.” Jawab Coa-ban-kui.

“para saudaraku semua, malam ini saya sangat merasa bahagia dengan berkumpulnya kita di sini, ditempat leluhur kita turunan Kim-khong-taihap baik ikatan darah maupun ikatan perguruan, kita ini dikenal sebagai sebutan she-taihap, dan predikat ini merupakan tanggung jawab besar yang kita wariskan dari leluhur kita, dan semoga tetap dapat kita emban sampai kapanpun.” “benar sekali Bu-sute, dan kami juga demikian, kami merasa bersyukur kepada Thian, walaupun yang tersisa dari Pat-hong-heng-te hanyalah kita, kami semua menyambut ajakan sute untuk berkumpul disini, sebagai tanda keberadaan pat-hong-heng-te.”

“benar apa yang Kui-suheng katakan, dan disamping itu juga, saya ingi para suheng ikut andil dalam memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.”

“tentunya Bu-sute telah mencanangkan satu rencana sehingga muncul ide mengumpulkan pat-hong-te di pulau ini, bukan?” sela Sim-couw-peng

“benar Peng-suheng, jadi untuk itu pada malam ini saya akan menyampaikan canangan saya kepada para suheng.”

“apakah pemikiran itu sute?” sela Li-wan-fu

“begini Fu-suheng dan para suheng sekalian, karena tugas mengawal keamanan dan kebaikan di seantoro Tionggoan adalah amanah hidup kita, maka menurut pemikiran saya keberadaan Pat-hong-heng-te kita hidupkan lagi, walaupun tidak sebesar pada masa dahulu, tapi yang pasti akan tetap jadi batu penjuru kebaikan liok-lim.”

“saya setuju dengan pemikiran Bu-sute, terlebih fasilitas di pulau ini memang di bangun untuk hal tersebut.” sahut Cu-kang

“benar saya juga setuju sute, namun bagaimanakah gambaran sute sehingga mengatakan walaupun tidak sebesar dulu?” sela Lauw-kun

“para suheng semua, Pat-hong-heng-te dulunya memiliki murid yang meliputi seluruh wilayah Tionggoan, namun sekarang menurut saya setidaknya pulau kura-kura memiliki murid yang berasal dari wilayah selatan, demikianlah pemikiran saya suheng.”

“hmh… pada awalnya tentu demikianlah sute, tapi menurut saya sebaiknya tidak menutup pintu untuk para murid dari wilayah lain.” sahut Kam-song

“benar Song-suheng, jika memang kearah itu dapat berkembang, kenapa tidak, tentu akan diwujudkan.” sahut Kwaa-han-bu

“kita semua sudah sepakat untuk membentuk kembali pat-hong-heng-te-bukoan, lalu ada lagikah hal ingin sute sampaikan?” tanya Coa-ban-kui, Kwaa-han-bu terdiam agak lama

“sute, janganlah sungkan, kami ini walaupun suheng, tapi kami akan bertindak sesuai dengan yang terbaik menurutmu.” sela Wan-gak

“hal yang lain suheng, bahwa Pat-hong-heng-te akan dibina oleh pat-suheng.”

“kenapa demikian Bu-sute, kamu adalah yang mewarisi langsung ilmu-ilmu dari sukong-couw Kim-khong- taihap, bukankah kamu yang lebih berhak dalam tampuk kuawsu pat-hong-henh-te?” sela Lou-bhong

“hal itu memang benar Bhong-suheng, bahwa saya yang mewarisi langsung dan juga sudah berbagi dengan In-sumoi, tapi walaupun demikian, menurut saya tampuk kauwsu akan tetap dipegang oleh pat- suheng, karena yang termuda diantara kita adalah saya, bahu tidak mungkin melampaui kepala, walau bagaimanapun kokohnya bahu itu, dan juga saya masih akan berkelana untuk cepat tanggap akan sepak terjang Pah-sim-sai-jin, yang menurut pemikiran saya masih hidup.” sahut Kwaa-han-bu, kedelapan suhengnya saling memandang

“hmh…untuk kauwsu lapangan dan harian, tentu dapat kami perkenankan, apa yang sute canangkan, tapi sute akan tetap menjadi taisu dari pat-hong-heng-te-bukoan.” sahut Coa-ban-kui

“benar, seperti itulah yang tepat Bu-sute.” sela Sim-couw-peng, kemudian yang lain-lain pun membenarkan

“jika demikian suheng, jadilah itu hal yang kita sepakati, memang saya tidak akan mengalpakan hal itu, dan juga saya akan menambah ilmu khas pat-hong-heng-te.” “satu pemikiran yang baik Bu-sute, dan kami sadar dan yakin bahwa hanya sute yang dapat melakukannya.” sahut LI-wan-fu, yang lain pun mengangguk

“malam ini juga aku ingin menyampaikan, terutama kepada subo, saya hendak melamar In-sumoi menjadi istri saya.” ujar Kwaa-han-bu sambil menatap Tan-cui-sian, Tan-cui-sian tersenyum dengan wajah berseri- seri, sementara Kwee-kim-in merasa jengah dan malu, serta merta dia pun bangkit dan meninggalkan ruang pertemuan, Wan-hwa istri Coa-ban-kui dan Ma-liu-bi istri Sim-couw-peng berdiri mengikuti Kwee-kim-in sambil tersenyum

“Bu-ji, dari awal engkau membawa adikmu dari Peng-bun, restu apa pun yang kamu minta telah ku ihklaskan, namun karena engkau minta jawaban, maka yang akan menjawab permintaanmu, disini ada suheng kalian yang tertua Coa-ban-kui, tanyakanlah padanya.” sahut Tan-cui-sian, semuanya tersenyum dan hal ini membuat Kwaa-han-bu merasa kikuk, kedelapan suhengnya menatapnya dalam-dalam, Kwaa- han-bu makin tersudut dan keringatnya mengalir

“Kui-suheng, ternyata Subo menyerahkan jawaban pada suheng, dengan ini aku menyampaikan bahwa aku melamar In-sumoi untuk menjadi istriku.”

“hmh…. Bu-sute, tidak ada yang janggal dalam ikatan ini, dan juga tidak ada yang tidak merasa senang dan bahagia, maka saya tidak melihat celah untuk menolak, lamaranmu adikku kami terima.” “kionghi..kionghi… Bu-sute..” sahut mereka yang hadir sambil tersenyum dan tertawa senang.

Sebulan kemudian Kwaa-han-bu dan Kwee-kim-in pun dinikahkan, pesta pun diadakan, tiga kungcu Kai- feng turut hadir pada pesta itu demikian juga para hartawan, dan tidak ketinggalan para beberapa penduduk kaifeng terutama para nelayan dan pengangkut jasa angkutan perahu menyempatkan hadir pada pesta bahagia itu. Kwaa-hanbu berumur dua puluh delapan tahun sementara Kwee-kim-in dua puluh tahun

Indah dan nikmatnya bulan madu direguk bersama kedua mempelai, hari-hari demikian indah dan romantis, perhelatan cinta bertabur gairah tidak kunjung padam menghiasi malam-malam yang keduanya lalui. Kedelapan suheng mereka juga tidak pernah mengganggu mereka melewati masa-masa indah itu, hanya kadang Kwee-kim-in merasa geli-geli nikmat digoda delapan sosonya disetiap kesempatan mereka berkumpul.

“Krikkk….krikkk….huuukk..huuk….” suara binatang malam sahut menyahut di kedalam hutan yang lebat, hutan itu sangat angker, pohonnya besar-besar dan rimbun, belukar hutan yang rapat menunjukkan betapa hutan itu tidak pernah dijamah manusia, hutan yang berada disebelah barat kota Yuguan itu di namakan oleh penduduk dengan hutan hantu, dan malam itu ternyata sebuah bayangan melompat-lompat dengan sangat payah memasuki hutan, tubuh orang itu bersimbah darah, namun tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya, dia terus melompat-lompat masuk jauh kedalam hutan

Disebuah kayu yang besar, tubuhnya yang bersimbah darah menggeloso, kemudian badannya tidak bergerak, wajahnya yang burik menambah angkernya orang itu, matanya terpejam, apakah orang itu sudah mati? ternyata tidak, karena helaan nafasnya masih terdengar, semakin lama-lama helaan itu semakin tenang, dada itu bergerak perlahan seiring tarikan dan hembusan nafasnya

Pagi harinya tubuh itu masih tetap seperti itu menggeloso tidak bergerak, darah dari lukanya sudah mengering, dia adalah Pah-sim-sai-jin yang melarikan diri akibat tidak mampu mengalahkan Im-yang-sin- taihap, tubuhnya banyak yang robek, pembulu darah banyak yang sudah hancur, bahkan seluruh persendiannya sudah patah-patah dan remuk, namun tubuh yang sudah ambrol dan bonyok itu masih di isi nyawa kehidupan

Sampai tiga-hari tiga malam Pah-sim-sai-jin menggeloso tidak bergerak di bawah kayu yang besar itu, dan pada pagi hari keempat Pah-sim-sai-jin membuka matanya, dan alangkah luar biasanya, luka ditubuhnya sudah hilang, pembuluh darahnya kembali normal, bahkan tulang-tulangnya sudah menyatu kembali.

Pah-sim-sai-jin duduk dan menghirup udara pagi yang sejuk bercampur aroma basahnya tanah dan bunga- bunga botan, Pah-sim-sai-jin melihat sekelilingnya, sejenak ia membayangkan perjalanan hidupnya, umurnya sekarang sudah empat puluh tujuh tahun, misi hidupnya selalu terbentur dengan keberadaan she- taihap, she-taihap adalah musuh bebuyutannya, dan tidak hanya itu bahkan suhunya sendiri adalah musuh bebuyutan dari akar perguruan she-taihap. Pah-sim-sai-jin menarik nafas dalam-dalam, pikirannya mantap untuk meningkatkan kepandaiannya untuk dapat mengatasi musuhnya, kemudia dia bangkit dan mulai bergerak memainkan seluruh ilmu yang dimilikinya, sejak dari ilmu tangan kosong sampai ilmu pedang, dan bahkan ilmu pamungkasnya yang luar biasa yakni Hek-hoat-bo.

Pah-sim-sai-jin memainkan seluruh jurusnya hingga sampai menjelang sore, setelah malam merambat pikirannya membayangkan seluruh pertempuran terakhir yang ia alami dengan Im-yang-sin-taihap, pendekar itu mampu memisahkan raga sehingga ilmu hek-hoat-bo yang dimilikinya jadi mentah, Pah-sim- sai-jin merenung memikirkan bagaimana mengatasi ilmu musuhnya yang luar biasa, dia tetap akan jadi pecundang kalau tidak dapat mengatasi ilmu tersebut walaupun tubuhnya memiliki keganjilan.

Akhirnya Pah-sim-sai-jin memutuskan untuk meningkatkan ilmu sihirnya, karena itu satu-satunya yang dapat mengimbangi ilmu pemisah raga dari Im-yang-sin-taihap, lalu Pah-sim-sai-jin berkelabat dan keluar dari hutan, dia terus belari dengan kecepatan tinggi, Pah-sim-sai-jin melintasi lembah dan gunung, karena jalan yang dipilih memang jalan yang sunyi dan menghindari pemukiman penduduk, karena dia yakin Im- yang-sin-taihap akan berusaha menemukannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar