Kembalinya Ilmu Ulat Sutera Jilid 09

Jilid 09

Ternyata diam-diam Tong Ling menyerangnya, tidak disangka walaupun Beng To sedang bicara dengan Pei-pei reaksinya begitu cepat dan lincah, tapi dia tetap tidak putus harapan, 3 buah senjata rahasia yang ada di tangan satunya sekali lagi dilemparkannya.

Mata Beng To tampak berputar, 3 senjata rahasia sudah berputar keluar, tapi bukan melesat kearah Tong Ling melainkan ke arah dinding di sebelah kiri. Tapi 3 butir senjata rahasia Tong Ling tetap terbawa berputar terbang ke arah sana dan menancap ke dalam dinding.

Ini benar-benar seperti sihir, sebenarnya Tong Ling tahu tenaga dalam Beng To akan maju setahap, tapi dia sama sekali tidak menyangka akan maju seperti ini, karena itu dia terkejut.

Beng To tertawa:

“Aku tidak berniat jahat kepadamu, untuk apa kau melakukan hal seperti tadi kepadaku?”

Ucapan Tong Ling belum keluar, Beng To sudah berkata lagi:

“Dulu senjata rahasia dari Tong-bun tidak membuatku merasa terancam, apalagi sekarang! Apakah kau sudah lupa hal-hal yang terjadi di Tong-bun?”

“Menyedot tenaga dalam milik orang lain ke tubuhmu, apakah kau tidak merasa malu?”

“Aku anggota Mo-kauw, tentu tidak akan merasa malu!” jawab Beng To dengan santai.

Tong Ling terpaku, Beng To berkata lagi:

“Aku tidak akan melukaimu, jadi kau bisa tenang, sebab aku belum pernah melihat gadis secantik dan semanis dirimu!”

Tong Ling merasa merinding dan bersamaan waktu Tong Ling mulai merasakan keanehan dari diri Beng To.

Beng To dengan bernafsu melihat tubuh Tong Ling dari atas sampai ke bawah, lalu dari bawah ke atas lagi. Semua tempat dilihatnya walaupun Tong Ling tidak berpengalaman dan tidak mengerti, tapi dia merasakan niat Beng To yang tidak baik.

“Sejak bertemu denganmu malam itu, aku tidak bisa melupakanmu, dan terus terpikir mencari waktu untuk ke Tong-bun lagi untuk menemuimu!” sambil bicara Beng To mendekatinya, nada bicaranya aneh, seperti sedang bermimpi dan mengigau.

Tong Ling terus melangkah mundur, dia jadi mengerti apa yang akan terjadi, ketakutan mulai menghantuinya, dia marah:

“Kau orang sesat, mau apa sekarang!” “Aku ingin kau tinggal di daerah Biauw!” “Tidak...” jawab Tong Ling singkat.

“Aku tahu untuk membuatmu tinggal di daerah Biauw hanya dengan satu cara!” dengan serius Beng To berkata lagi, “aku akan memper-istrimu!”

Dengan terkejut Tong Ling menatap Beng To, dia sama sekali tidak menyangka kalau Beng To akan berkata seperti itu.

Beng To berkata lagi:

“Menurut aturan suku Biauw, pertama kau harus orang Biauw, tapi aku tidak peduli...”

“Tapi aku peduli!” teriak Tong Ling.

“Kau khawatir orang tuaku akan marah kalau aku menikahimu? Aku tidak peduli pada mereka!”

Mendengar kata-katanya, rasa marah Tong Ling bertambah besar:

“Aku hanya mempunyai seorang kakek, tapi dia sudah meninggal karenamu!”

Beng To seperti tidak merasa bersalah:

“Kelak aku akan mengurusmu dengan baik, biar kakekmu di alam sana bisa merasa tenang!”

“Kau sembarangan bicara!” “Apakah kau tidak menyukaiku?” “Tidak perlu dibahas!” “Ilmu silatku sangat tinggi, sekarang sudah menjadi nomor satu du dunia ini!” Beng To membusungkan dadanya. “Ilmu lweekangmu hasil mencuri dari Wan Fei-yang. Ilmu silat hebat pun tidak menjadi kebanggaan, maka tidak perlu

di besar-besarkan!”

“Di dunia ini siapa yang tahu rahasia ini?”

“Aku tahu! Bukankah itu sudah cukup!” Tong Ling berkata dengan sikap meremehkan, “kau adalah siluman sesat, kau masih bisa hidup berapa lama lagi... ingat di luar langit sana masih ada langit yang lebih tinggi lagi!”

Beng To menggelengkan kepala:

“Kelak, kalau kau sudah melihatku berjaya, secara otomatis kau akan lupa...”

“Kau bisa lihat!” Beng To tertawa tergelak-gelak lagi. “Ambil keputusan biarkan aku pergi dari sini!” kata Tong

Ling.

“Tinggallah di sampingku, kau akan melihat seperti apa aku dengan jelas!”

Tong Ling tertawa dingin, 3 buah senjata rahasia sudah dilemparkan ke wajah Beng To, tangan

Beng To terangkat menyambut, senjata itu, dengan tenang dan tanpa ragu-ragu berkata:

“Ilmu senjata rahasiamu sudah mencapai taraf tinggi tapi semua itu tidak membuatku merasa terancam!”

Tong Ling melemparkan lagi senjata rahasianya, Beng To tertawa:

“Apa yang telah kuputuskan tidak akan berubah, orang seperti diriku...”

“Aku benci!” teriak Tong Ling menyela.

“Tapi kau bisa menyesuaikan diri!” Beng To terdengar sangat percaya diri. “Walau bagaimanapun di mataku kau adalah orang picik!” Tong Ling tertawa dingin, “mungkin kau adalah orang Biauw dan tidak mengerti bahasa Han apa yang disebut picik, karena itu kau bisa merasa bangga!”

Alis Beng To tampak berkerut:

“Aku tahu artinya tapi aku tidak menganggap kata- katamu!”

Tong Ling menggelengkan kepaka:

“Orang seperti dirimu tidak banyak, tapi begitu tahu kau adalah orang Biauw, aku tidak merasa aneh!”

“Suku bangsa Han selalu menghina suku Biauw, tidak disangka kau juga orang seperti itu!”

“Karena kau adalah orang Biauw jenis seperti itu!” “Seperti apa!”

“Paling tidak tahu malu dan paling picik!”

“Apakah kau tahu di mataku kau seperti apa?” kata Tong Ling lagi.

“Seperti apa?” Beng To tahu pasti jawaban-nya bukan kata-kata yang enak didengar, tapi dia tetap penasaran.

“Binatang!” Tong Ling tidak ragu-ragu menjawabnya. Beng To terpaku, sepasang matanya menjadi terang,

tidak diragukan lagi dia mulai marah.

“Kau tahu pasti apa artinya binatang, kalau binatang di mana pun tetap binatang, maka sampai kapan pun aku tidak akan memandangmu!” kata Tong Ling dengan marah.

Dengan bengong Beng To menatapnya, lama baru bertanya:

“Seharusnya kau tidak berkata seperti itu, paling sedikit kau harus berpikir dulu, mungkin saat sedang berpikir, kau masih memiliki kesempatan untuk melarikan diri!” Tong Ling berpikir, semua kata-kata Beng To masuk akal juga, dia berpikir lagi, rasa dingin muncul dari hatinya. Dia melihat Beng To lagi, akhirnya dia menatap mata Beng To yang dipenuhi dengan nafsu birahi dan terlihat sifat binatangnya, dia membentak:

“Kau...”

“Aku adalah binatang, jadi apa yang akan kulakukan tidak aneh!”

Tong Ling mundur selangkah, tiba-tiba dia bersiul, sejumlah senjata rahasia dilemparkan ke arah Beng To, tubuhnya pun menggulung, melewati bagian atas kepala Beng To, kemudian dia berlari ke arah pintu rahasia, kedua tangan Beng To tampak berputar, dengan tenang menyambut senjata rahasia, tapi tubuhnya bergerak bersamaan, dia mengejar Tong Ling dari belakang.

Tong Ling berhenti di depan pintu rahasia dan menarik pintu itu lalu berlari keluar.

Kali ini Beng To tidak melemparkan senjata rahasia tapi dia cepat-cepat berlari ke depan pintu rahasia dan menahan pintu rahasia itu dengan tangannya.

Tong Ling sudah melemparkan senjata rahasia nya, Beng To bersembunyi di balik pintu, dengan cara seperti itu dia bisa terhindar dari serangan senjata rahasia.

Pei-pei segera datang ke sana, baru saja dia mencengkeram tangan Beng To, Beng To sudah mengibaskan tangannya, Pei-pei melayang dan terjatuh kembali di sisi Wan Fei-yang.

Wan Fei-yang melihatnya, dia berniat memapah Pei-pei tapi tidak ada tenaga, tubuhnya lemas dan langsung ambruk. Pei-pei bangun lagi dan sekali lagi berlari ke arah pintu rahasia itu, tapi Beng To sudah keluar dari pintu itu dan menutupnya kembali. Dia mencengkeram pegangan pintu, dari celah dia memencet gagang pintu.

Beng To tahu pegangan pintu itu sudah rusak tapi dia tetap bisa selamanya membendung Pei-pei di dalam ruang rahasia, tentu saja dia tidak ber-maksud seperti itu. Dia hanya tidak ingin Pei-pei mengganggu dan merusak hubungannya dengan Tong Ling.

Jika Pei-pei berniat membuka pintu itu dia harus menghabiskan waktu sekitar 2-3 jam, baginya waktu itu cukup untuk mengejar Tong Ling.

Pei-pei mendengar suara pegangan pintu ditekuk, walaupun tidak bisa melihat apa yang Beng To lakukan di balik sana, tapi dia bisa menebak apa yang terjadi.

Dia tahu apa yang diinginkan Beng To, dia juga tahu bahwa sifat Tong Ling yang keras, kelak apa yang akan terjadi?

Terpikir akan masalah ini, Pei-pei merasa cemas dan hanya bisa menangis.

Semakin cemas semakin tidak tahu bagaimana mengatasi masalah ini maka dia terus menggerak-gerakkan dan menggedor-gedor pintu itu, tentu saja semua itu tidak ada gunanya.

Kemudian dengan kepalan tangannya yang kecil dia memukul-mukul pintu, tapi tetap saja tidak ada gunanyna.

Wan Fei-yang tampak telungkup di bawah, dengan sulit dia berusaha membalikkan tubuh, dia melihat Pei-pei seperti itu, dia menarik nafas di dalam hati, dia sadar apa yang akan terjadi, tapi dia benar-benar tidak bisa berbuat apa pun.

Pei-pei tidak sengaja melihat ke arahnya, kemudian dengan cepat berlari ke sisi Wan Fei-yang, sambil meneteskan air mata dia berkata: “Wan-toako, apa yang harus kulakukan sekarang?” Wan Fei-yang menggelengkan kepala:

“Tong Ling bersifat keras, itu sudah pasti...” Nafas Wan Fei-yang terengah-engah:

“Walaupun kau pergi ke sana, kau tetap tidak akan bisa berbuat apa-apa.”

Kata-katanya belum selesai, rasa sakit membuat daging di seluruh tubuhnya menjadi kram, air mata dan keringat dingin terus mengali, dia berguling-guling di bawah, suara gulingannya seperti mengganggu induk serangga itu maka induk serangga itu terus bergerak-gerak di dalam tubuhnya.

Pei-pei memeluk Wan Fei-yang sambil menangis berkata: “Wan-toako, jangan bicara lagi, semua... semua gara-

gara diriku...”

Wan Fei-yang tidak bicara lagi boleh dikatakan tidak ada reaksi apa pun, tubuhnya kaku, Pei-pei segera melihat Wan Fei-yang, terlihat kedua mata Wan Fei-yang terpejam, dia pingsan.

Dia mencoba meletakkan tangannya di depan hidung Wan Fei-yang, nafasnya terasa sangat lemah, tubuhnya pun dingin. Kalau bukan karena masih ada sedikit nafas, siapa pun pasti akan mengira kalau dia sudah meninggal. Kedua tangan Pei-pei mencengkeram Wan Fei-yang dan terus memanggil-manggil, tapi Wan Fei-yang sudah seperti orang mati.

Pei-pei berusaha menenangkan diri, sepa-sang matanya tampak terang seperti batu, sorot matanya melihat Wan Fei- yang, dia putus asa dan tidak bisa berbuat apa-apa.

0-0-0 Perasaan Tong Ling tidak berbeda jauh dengan Pei-pei. Di belakangnya adalah dinding, di kiri dan kanan tidak ada jalan, tidak seorang pun yang bisa membantunya, jaraknya dengan Beng To tidak ada 10 depa, Beng To masih terus mendekatinya.

Tong Ling adalah seorang gadis yang teliti, sewaktu masuk kemari dia dibawa oleh Pei-pei, karena itu dia tidak memperhatikan keadaan sekeliling, sewaktu akan masuk Pei-pei sudah menggambar sebuah peta dengan sangat jelas, sekarang dia kehilangan arah, dia masuk ke jalan buntu.

Sebenarnya Beng To mengejar Tong Ling dengan buru- buru, membuat Tong Ling tidak bisa berhenti untuk melihat arah dan jalan.

Sekalipun dia mempunyai waktu, tapi Beng To sangat hafal dengan situasi di sana, dan dia menguasai ilmu sangat tinggi, Tong Ling tetap tidak akan lolos dari tangan Beng To.

Sepanjang jalan terdengar Beng To selalu tertawa, sekarang tawanya semakin terdengar, saat jarak mereka tinggal 7 langkah lagi dia pun berhenti. Kedua tangan Tong Ling penuh dengan senjata rahasia, dia melotot melihat Beng To dan siap melemparkan senjatanya.

Walaupun senjata-senjata itu sama sekali tidak bisa membuat Beng To merasa terancam, tapi ini adalah satu- satunya harapannya.

Setelah Beng To melihatnya, dia tertawa lagi:

“Kalau aku menjadi dirimu, aku tidak akan menaruh harapan pada senjata rahasia ini!”

“Kalau kau mendekat lagi, senjata rahasiaku...”

“Senjata rahasiamu sudah beberapa kali membuktikan tidak bisa membuatku merasa terancam, kau adalah gadis pintar, mengapa selalu melakukan hal yang tidak berguna dan berulang-ulang?”

Tong Ling tertawa dingin:

“Senjata rahasia ini hanya tidak berguna untukmu saja!” “Di sini hanya ada aku saja!”

“Benar, hanya ada kau seorang saja, tapi kau hanya seekor binatang!”

Kedua alis Beng To tampak berkerut:

“Apakah kau ingin dengan senjata rahasia itu menghadapiku seorang diri?”

“Dulu di Tong-bun, kau juga berjalan melalui jalan kematian!”

“Itu bukan jalan kematian!” kata Beng To tertawa, “dengan kemampuan ilmu silatku, di dunia ini tidak ada jalan kematian bagiku!”

“Aku tidak tahu jelas, aku hanya tahu ada jalan kematian, jalan itu pasti jalan kematian!”

Beng To mengangguk:

“Seseorang kalau akan berjalan menuju jalan kematian, itu memang ada, aku pun tidak terkecuali.”

“Kau masih muda, mengapa tidak menyayangi nyawamu sendiri?”

Tong Ling belum menjawab, Beng To sudah bertanya lagi:

“Apa yang tidak baik dariku? Apakah aku kalah dari Wan Fei-yang?”

Tong Ling tertawa:

“Tentu saja kau kalah, kau tanyakan kepada Pei-pei maka jawabannya pasti akan sama!”

“MaNa mungkin dibandingkan dengan jawaban Pei-pei, dia mempunyai hubungan yang akrab dengan Wan Fei- yang,” tiba-tiba Beng To bertanya, “apakah kau juga mempunyai hubungan yang akrab dengan Wan Fei-yang?”

“Jangan sembarangan bicara!” wajah Tong Ling menjadi merah.

“Untung saja tidak ada!” Beng To menghembuskan nafas lega, “aku mengira Wan Fei-yang mempunyai jimat apa sehingga semua perempuan menyukainya...”

“Hanya orang picik dan tidak tahu malu dan pikirannya selalu kotor,” tangan Tong Ling terayun semua senjata rahasia dilemparkan keluar.

Tangan Beng To kiri dan kanan terulur untuk menyambut senjata rahasia itu:

“Akhirnya kau menganggap aku manusia juga.”

“Di dunia ini tidak ada orang seperti dirimu, dimarahi picik dan tidak tahu malu tapi kau masih bisa tertawa dan malah merasa bangga!”

“Ku kira kau akan mengerti isi hatiku!”

Tiba-tiba Tong Ling teringat sesuatu, wajahnya menjadi merah lagi, tangan terayun, senjata rahasia dilemparkan lagi. Beng To membentak, kemudian kedua tangannya bergerak secara horisontal, semua senjata rahasia berganti arah, seperti bertemu dengan batu magnet yang sangat besar, semua masuk ke tangan Beng To, Tong Ling melihatnya, perasaan kecewanya bertambah lagi, tapi kedua

tangannya tetap memegang senjata rahasia.

Kedua tangan Beng To dibalik, senjata rahasia yang tadi disambutnya dilemparkan kembali ke arah Tong Ling, teknik perubahanya walau tidak seperti Tong Ling tapi tenaganya stabil, kecepatan tiap senjata rahasia sama, hanya dari arah sudut yang berbeda. Senjata rahasia di tangan Tong Ling dilempar kan sangat tepat menuju senjata rahasia yang datang, sebutir pun tidak meleset.

Karena setiap kali senjata rahasia yang dilemparkan jumlah selalu sama, maka tidak ada yang meleset, terlihat kalau penglihatannya sangat tajam, caranya pun sangat tepat.

Kalau dia tidak mempunyai penglihatan atau cara yang tepat, dia tidak akan berani melemparkan senjata rahasia yang datang menyerangnya. Kalau bukan karena latihan yang ketat, dia tidak akan berani menghadapi Beng To. Dia sangat mengenal senjata rahasia, maka suara senjata rahasia yang menyerangnya terdengar oleh telinganya dan sadar dia telah tertipu.

Waktu itu Beng To sudah seperti seekor burung besar terbang melewati senjata rahasia dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas, dia menyerang Tong Ling, dia sudah tahu kelemahan Tong Ling. Dia juga memperhitungkan reaksi Tong Ling maka dia menyerang di saat yang tepat.

Orang itu benar-benar mempunyai otak encer dan berbakat, Sat Kao mempunyai mata sangat lihai, dia tidak salah memilih penerusnya.

Dengan cepat kedua tangan Tong Ling sudah mencengkeram senjata rahasia lagi, reaksinya boleh dikatakan sangat cepat tapi jika dibandingkan dengan Beng To, gerakan Tong Ling masih lambat sedikit.

Dia melempar jatuh satu per satu senjata rahasia yang dilemparkan Beng To, butuh waktu dan pikiran maka reaksi Tong Ling bisa terlambat sedikit itulah alasannya.

Ingin menggunakan waktu begitu singkat juga tidak mudah, kalau tidak mempunyai tenaga dalam  dan tenaga yang kuat, walaupun waktu bisa dikuasai dengan tepat, dia akan sulit mendarat di depan Tong Ling untuk mencengkeram tangan Tong Ling.

Tong Ling berteriak, kemudian menundukkan kepala, 3 panah sudah dilepaskan dari arah bajunya, tiga panah itu datang tiba-tiba, tapi Beng To sudah turun dengan posisi kaki di bawah, ke tiga panah itu meleset meninggalkannya, begitu Beng To sudah berpijak ke tanah, seringainya semakin terlihat jarak wajahnya dengan wajah Tong Ling tidak lebih dari 1 kaki.

“Lepaskan tanganku...” Tong Ling meronta. Beng To tertawa dan menggelengkan kepala: “Mana mungkin aku melepaskanmu!” “Dengan cara licik itu bukan...”

“Bukankah tadi kau mengatakan kalau aku adalah orang picik?”

“Jatuh ke tangan orang picik mungkin bisa dinasihati dengan bahasa manusia, tapi jatuh ke tangan binatang, apa yang kau katakan tidak aku mengerti!” setelah itu Beng To mendekatkan bibir-nya.

Kepala Tong Ling terus bergerak dari kiri ke kanan, dia berteriak:

“Binatang! Binatang...”

Beng To tidak marah, dia malah tertawa, dia memegang tubuh Tong Ling dan memutarnya, tubuhnya menekan dinding yang ada di belakangnya, Beng To tertawa senang dan membentak, dinding di belakangnya segera berlubang berbentuk seperti tubuh manusia.

Di balik dinding itu ternyata ada sebuah kamar rahasia lainnya, sepertinya itu adalah sebuah kamar tidur. Karena di tengah kamar itu ada sebuah ranjang yang terbuat dari batu. Beng To mencengkeram kedua tangan Tong Ling kemudian mengangkat tubuh Tong Ling masuk melalui lubang berbentuk manusia itu.

Tong Ling merasa kedua tangannya dipasang borgol, dengan cara apa pun meronta dia tidak bisa terlepas dari cengkeraman Beng To. Dia ingin menggunakan tenaga dalamnya yang bernama 'Cian-kin-jiu' (Berat seribu kati), dengan kedua kaki berpijak ke tanah, tapi sama sekali tidak bisa dilakukan. Sekalipun bisa tetapi tetap tidak bisa terlepas dari cengkeraman Beng To.

Melihat ranjang batu itu Tong Ling menjadi ketakutan luar biasa, rasa itu terus menyerang hatinya, dia berteriak histeris.

Beng To tertawa senang:

“Percuma saja berteriak, jika Pei-pei ingin membuka pintu rahasia itu, harus membutuhkan waktu 2-3 jam, jika dia berhasil keluar pun dia tidak sanggup menghalangiku, lebih baik kau bekerja sama denganku, paling sedikit itu akan membuat kita senang!”

“Binatang...” Tong Ling berteriak.

“Kalau kau hanya bisa marah-marah, lebih baik hentikan dulu, ini sama sekali tidak berguna!” Beng To mengangkat Tong Ling tinggi-tinggi dan berjalan menuju ranjang itu, mata Tong Ling berlinangan air mata, sekarang dia benar-benar tidak mempunyai cara untuk melepaskan diri lagi. Dia sudah putus asa.

Setelah menotok nadi di kedua tangan Tong Ling, Beng To baru meletakkan Tong Ling di atas ranjang dan menarik nafas: “Menotok nadi di kedua tanganmu membuat masalah menjadi tidak enak, tapi sepasang tangan-mu terlalu lihai dan kau masih mengancam akan bunuh diri!”

“Aku bisa melakukannya!”

“Setelah kau menjadi istriku, aku percaya kau akan berubah pikiran!” Beng To segera membuka ikat pinggang Tong Ling.

“Kau berani...” teriak Tong Ling.

“Di dunia ini tidak ada yang tidak berani kulakukan!” kedua tangannya mulai membuka kancing baju Tong Ling.

Tong Ling tidak bisa melawan lagi, air matanya memenuhi wajahnya.

Beng To melihat itu dia malah bertambah senang, sifat binatang yang sudah menempel pada dirinya segera meledak, dia tertawa terbahak-bahak, kemudian menyobek baju bagian dada Tong Ling.

“Hentikan...” tiba-tiba Tong Ling berteriak, teriakannya hampir membuat tenggorokannya sobek.

Beng To terpaku, suara tawanya segera berhenti: “Akhirnya kau mau bekerja sama juga!”

Tong Ling menatapnya, bola matanya dilumuri dengan kebencian, pertama kalinya Beng To melihat sorot mata seperti itu dan mengerti isi hati Tong Ling dia pun tertawa:

“Kau yang memaksaku bertindak seperti ini!”

Tong Ling tidak bersuara, sewaktu Beng To akan bergerak lagi, tiba-tiba dia mendengar suara aneh keluar dari mulut Tong Ling, Beng To segera teringat sesuatu, dia menekan mulut Tong Ling.

Beberapa titik terang keluar dari mulut Tong Ling, reaksi Beng To sangat cepat. Tangannya yang menekan mulut Tong Ling segera diangkat, semua kelebatan sinar itu melesat ke tangannya, dia melepaskan tangannya dan melihatnya, di sana tertancap 6 titik benda berbentuk segi delapan berwarna biru kehijauan.

“Senjata rahasia yang sangat beracun!” dia mengencangkan telapaknya, 6 titik benda berwarna biru kehijauan itu segera melayang ke arah dinding dan menghilang.

Dari 6 lubang bekas 6 titik itu terlihat keluar darah, berwarna hijau keunguan, tapi segera berubah menjadi merah, kemudian luka itu pun tertutup dan menghilang.

Luka kecil memang merupakan hal penting untuk disembuhkan tapi kekuatan otot dan daging Beng To benar- benar hebat.

“Tidak ada gunanya...” Beng To menggeleng kan kepala, “racun apa yang bisa dibandingkan dengan racun laba-laba beroman manusia yang diberi makan serangga atau ulat beracun?”

Meminjam kekuatan laba-laba beroman manusia, dia telah menguasai ilmu lweekang Mo-kauw, kecuali racun yang lebih hebat dari racun laba-laba itu, Racun apapun tidak akan mempan kepadanya, walaupun ada racun seganas racun laba-laba efeknya pun tidak akan terlalu besar, tidak diragukan lagi Beng To mempunyai kekuatan untuk menyesuaikan semua racun.

Tong Ling tidak menjawab, dia hanya bisa melotot, kebenciannya begitu pekat seperti akan membeku.

Wajah cantik itu terlihat menjadi merah, membuatnya bertambah menarik, tapi tawa Beng To segera menghilang, dia mengulurkan tangannya untuk membuka mulut Tong Ling, di dalam mulut sudah berubah warna menjadi ungu kehitaman. Senjata rahasia yang ada di dalam mulut Tong Ling tidak diragukan lagi segera dilepaskan keluar, karena Beng To menekan mulutnya maka senjata itu keluar dari mulutnya.

Racun itu tidak berefek bagi Beng To, tapi bagi Tong Ling bisa membuatnya mati, setelah melepaskan senjata rahasia itu dia bisa mengakhiri hidupnya.

Dalam kesulitan seperti ini Tong Ling hanya bisa mati, sebelum melepaskan senjata rahasia dari mulutnya Tong Ling pasti sudah memikirkan dalam-dalam hal ini, kalau tidak dengan sifatnya yang keras dia tidak akan menunggu sampai sekarang.

Terakhir dia lebih memilih mati, Beng To melihat wajahnya berubah dari merah menjadi ungu. Otot di sudut mulut Beng To terus bergerak-gerak, tiba-tiba dia bertanya:

“Apakah benar aku tidak sebaik Wan Fei-yang?” Tentu saja Tong Ling tidak bisa menjawab lagi.

“Baiklah, mulai saat ini dan seterusnya aku akan melihat apakah dia lebih melihat Wan Fei-yang atau aku yang lebih banyak!” akhirnya Beng To berdiri, dia bersiul panjang, dan berlari ke arah lubang dinding yang berbentuk manusia itu.

Dia tidak keluar melalui lubang itu tapi dinding yang menghalangi jalannya.

Dinding hancur berantakan karena tubrukan yang sangat hebat ini, benar-benar menggetarkan langit juga membuat bumi bergoncang.

Dia keluar dari lorong bawah tanah dan terus berjalan, apa yang menghalangi di depan matanya semua hancur lebur, termasuk pintu lorong.

Sejak lahir kemudian dididik oleh Sat Kao, sifatnya menjadi ekstrim dan keras. Dia senang melalui jalan pintas, berlatih ilmu silat pun seperti itu, begitu pula dengan hal lainnya. Yang pasti kali ini dia pun akan menggunakan jalan pintas, sederhana dan cepat agar dia bisa terkenal di dunia persilatan Tionggoan.

Di dalam hatinya dia pun menganggap hanya dengan cara demikian baru bisa dengan cepat menggantikan posisi Wan Fei-yang menjadi orang nomor satu di dunia persilatan. Jalan pintas berarti menggunakan segala cara. Bagi dunia persilatan Tionggoan, kepergian Beng To dari daerah Biauw

merupakan bencana besar.

Dinding hancur, bumi bergetar, tapi Pei-pei tidak peduli, dia hanya mengawasi Wan Fei-yang.

Nafas Wan Fei-yang memang melemah, dia pun tidak sadarkan diri, wajahnya sangat pucat.

Semua ini berada dalam perkiraan Pei-pei, yang dia perhatikan adalah perubahan di bibir Wan Fei-yang.

Bibir Wan Fei-yang sepucat kertas, entah sejak kapan bibirnya mulai gemetar, Pei-pei tampak bengong, dia tidak memperhatikannya, sewaktu dia lebih meneliti, bibir Wan Fei-yang telah terbuka kemudia tertutup, saat dari membuka dan menutup selalu ada asap yang keluar dari mulutnya, membuat orang merasa dingin, seperti pedang dingin yang menusuk tulang. Hal ini membuat pikiran Pei-pei kembali normal.

Akhirnya Pei-pei bisa memperhatikan induk serangga yang bertubuh transparan sedang bergerak gerak di dalam mulut Wan Fei-yang.

Asalkan dia bisa membuat induk serangga itu keluar, Wan Fei-yang pasti bisa terselamatkan. Mengingat Wan Fei- yang bisa tertolong Pei-pei mulai merasa senang, mengenai Wan Fei-yang jika bisa diselamatkan akan menjadi apa, Pei- pei sama sekali tidak memikirkannya. Sat Kao dan Beng To pernah memberitahu kepadanya, induk serangga itu tidak akan melukai nyawa Wan Fei-yang, tapi untuk bicara pun Wan Fei-yang sudah tidak sanggup, bukankah dia sudah menjadi seperti mayat hidup? Apa yang dimaksud dengan hidup dan apa yang dimaksud dengan kesenangan di dalam kehidupan ini?

Apalagi sekarang Wan Fei-yang terlihat begitu lemah, apakah dia bisa bertahan dari siksaan induk serangga itu?

Induk serangga itu sepertinya merasakan perubahan fisik Wan Fei-yang dan itu tidak membuatnya tenang, maka dia pun terus bergerak-gerak.

Pikiran Pei-pei sekarang menjadi lamban, setelah lama baru terpikir, kulit kerangnya bisa digunakan untuk mengusir serangga, maka dia pun terburu-buru mengeluarkan dan segera meniupnya.

Di kamar rahasia kecil itu suara kerang yang ditiup Pei- pei terdengar sangat sedih, keadaan hati Pei-pei saat itu memang seperti itu.

Waktu itu mulut Wan Fei-yang sudah terbuka dengan jelas, Pei-pei melihat induk serangga itu berbaring di atas lidah Wan Fei-yang, tapi masih bergerak-gerak, Pei-pei benar-benar merasa senang, dia bertambah kencang meniup kulit kerang itu, dia berharap induk serangga itu bisa terpancing keluar.

Induk serangga itu setiap saat seperti bisa meloncat keluar dari mulut Wan Fei-yang, tapi sampai Pei-pei hampir kehabisan nafas meniup, induk serangga itu masih tetap bercokol di dalam mulut Wan Fei-yang, sepertinya serang menikmati alunan musik kulit kerang yang ditiup Pei-pei.

Pei-pei tidak tahan lagi, dia mengeluarkan tangannya ingin menangkap induk serangga itu. Induk serangga itu seperti tidak merasakannya, tapi sewaktu tangan Pei-pei mendekati bibir Wan Fei-yang, serangga itu malah mundur dan masuk lagi ke dalam tenggorokan Wan Fei-yang.

Pei-pei dengan cepat menarik tangannya, induk serangga itu masih berada di dalam tubuh Wan Fei-yang, itu merepotkan, dengan terpaksa Pei-pei meniup kulit kerangnya lagi, induk serangga itu kembali ke tempat tadi. Pei-pei melihatnya, air mata Pei-pei terus menetes. Alunan musik yang keluar dari kulit kerang itu terdengar bertambah sedih.

Setelah pikiran Pei-pei agak tenang. Suara alunan dari kulit kerang itu dari nada tinggi turun menjadi rendah, dari pelan hingga berhenti karena Pei-pei tidak ada tenaga untuk meniupnya lagi.

Di dalam ruangan itu tidak bisa melihat matahari atau rembulan, maka dia tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu, sebenarnya sudah melewati waktu yang sangat panjang. Dia sudah tidak mempunyai tenaga lagi, maka dia berhenti meniup kulit kerangnya.

Tenggorokan Pei-pei terasa kering juga sakit. Serta ada perasaan seperti akan terbelah, tapi kulit kerang itu masih di depan mulutnya, lama baru diletakannya, mata yang tadinya bersinar putus asa mulai keluar cahaya harapan.

Akhirnya dia mendapatkan sebuah cara.

Satu-satunya cara yang terpikir olehnya dan bisa dia lakukan adalah meletakkan kulit kerang di bawah, kemudian memeluk Wan Fei-yang, dia mendekati bibirnya ke bibir Wan Fei-yang. Waktu itu di sekeliling bibirnya tiba-tiba keluar banyak ulat. Begitu mulut Pei-pei dibuka, ulat ulat itu segera merayap masuk ke dalam mulut Wan Fei-yang.

Sat Kao memberi makan induk serangga itu ulat dan serangga lainnya. Sekarang induk serangga itu memang tidak membutuhkannya, tapi masih tertarik terhadap serangga- serangga lain dan ulat-ulat, mungkin dia mau keluar karenanya, kalau induk serangga itu senang hidup di dalam tubuh manusia, tubuh Pei-pei menjadi sebuah daya tarik, seseorang yang senang memelihara ulat-ulat dan serangga- serangga, lebih cocok buat induk serangga itu dibandingkan dengan orang yang tidak pernah memelihara serangga.

Kalau bukan karena terjadi perubahan fisik pada diri Wan Fei-yang, sehingga membuat induk serangga itu merasa tidak nyaman, dia tidak akan merayap keluar, semua terjadi karena perubahan keadaan, sebenarnya Pei-pei harus berpikir akan hal itu tapi karena pikiran Pei-pei sangat kacau dan bingung, semua tidak terpikir olehnya.

Memang ini bukan cara yang baik, tenaga dalam Wan Fei-yang sudah tersedot habis oleh Beng To, dia tidak seperti orang biasa, sekarang dia seperti orang lumpuh, sedangkan Pei-pei masih dalam keadaan normal dan sehat, jika induk serangga itu masuk ke dalam tubuhnya, akan membuatnya jadi tidak normal dan tidak sehat. Bagi Wan Fei-yang ini bukan hal baik, bukan membebaskannya dari induk dari serangga tapi hanya mengalihkannya.

Pei-pei tidak peduli akan hal ini, asalkan Wan Fei-yang bisa hidup nyaman, ditukar dengan nyawanya pun dia tidak peduli. Di dunia ini banyak hal tidak masuk akal, seseorang jika ingin melakukan sesuatu dia tidak akan memikirkan jauh- jauh masalah ini.

Jika setiap orang setiap hal yang masuk akal, maka di dunia ini tidak akan ada perasaan dan semua orang tidak akan diatur oleh perasaan.

Akhirnya bibir Pei-pei dan bibir Wan Fei-yang menempel menjadi satu, ini bukan pertama kalinya mereka berciuman, dulu mereka berciuman dilakukan dengan penuh kegembiraan, sekarang Wan Fei-yang telah kehilangan perasaannya, sedang-kan pikiran Pei-pei sedang sangat sedih.

Dia mulai merasakan induk serangga itu bergerak-gerak di mulutnya. Dia juga merasakan ketakutan dari serangga dan ulat-ulatnya, maka dia merasa tegang sekaligus senang.

Ulat-ulat dan serangga-serangga itu mulai merasakan keberadaan induk serangga, mereka mulai merasa ada bahaya.

Yang pasti induk serangga itu tertarik pada serangga dan ulat-ulat itu, dia siap bergerak, dia adalah induk serangga ulat-ulat itu bukan tandingannya, karena kekuatan mereka berbeda jauh. Maka ulat-ulat dan serangga-serangga itu hanya menunggu dibunuh atau dimakan.

Pei-pei merasakan kesedihan dan rasa terpaksa dari ulat- ulatnya.

Dia tidak peduli dengan waktu yang berlalu lama, dia sudah ada persiapan di dalam hatinya dan mengambil keputusan untuk menunggu.

Dia selalu bersabar.

Setelah beberapa berlalu dia tidak bisa memperkirakan waktu juga tidak dapat menghitungnya, sampai akhirnya dia merasa bibirnya mati rasa, ulat-ulat dan serangga- serangga itu masih terus bergerak gerak. Perasaannya sudah hilang.

Dia sudah terbiasa maka begitu induk serangga itu mulai masuk ke dalam mulutnya, dia segera merasakannya.

Sebenarnya induk serangga itu berupa segumpal rasa dingin, maka tidak sulit dirasakan tapi tidak mudah untuk ditahan.

Pei-pei sadar dia harus bertahan, maka dia tidak berani bergerak, dari luar tubuh dan bagian dalam tubuhnya dia berusaha agar tidak sampai mengejutkan induk serangga itu, kalau tidak semuanya akan gagal total.

Dia merasakan induk serangga itu sedang menyedot sari- sari dari ulat dan serangga-serangganya, dia juga merasakan induk serangga itu semakin masuk dan masuk ke dalam tubuhnya.

Kemudian dia mulai menghitung seberapa dalam induk serangga itu masuk ke dalam tubuhnya, dia tetap berhati- hati mengatur perubahan pikiran dan beban pikirannya, bisa dikatakan ini adalah hal terberat dalam hidupnya.

Induk serangga itu masih berjalan-jalan di dalam mulutnya, kemudian mulai masuk sedikit demi sedikit, tapi mundur kembali ke tempatnya tadi. Sepertinya dia sangat berhati-hati dan terus mencari tahu, akhirnya Pei-pei kehilangan posisi induk serangga itu.

Tapi sewaktu induk serangga itu masuk, dia bisa merasakannya lagi.

Mulut dan bibirnya dikatupkan dengan rapat.

Gerakan Pei-pei sangat cepat, tapi induk serangga itu belum masuk, bolak-baliknya induk serangga membuat Pei- pei merasa bersalah. Sewaktu bibirnya ditutup, induk serangga itu dengan cepat mundur, Pei-pei bisa merasakannya, maka secara reflek dia mengatupkan giginya, kemudian Pei-pei merasakan giginya dengan tepat menggigit tubuh induk serangga itu, dia juga merasakan induk serangga itu meluncur melewati sela-sela giginya.

Reflek dia mengetatkan giginya bibirnya ditutup dengan rapat, wajahnya dengan cepat digeser. Rasa kaku di mulutnya mulai terasa, dia membuka mulutnya, dan tercium bau harum seperti wangi madu, dia juga melihat beberapa tetes cairan berwarna hijau tampak berkilau yang muncrat keluar dari mulutnya.

Tapi dia malah merasa senang, karena dia sudah mengambil keputusan mengorbankan segala-galanya. Beberapa tetes cairan berwarna hijau muncrat ke bawah dan segera merembes masuk ke dalam papan batu yang ada di bawah.

Pei-pei melihat itu hatinya terasa dingin sekaligus benci, dia segera merasa cairan itu melewati sela giginya dan masuk ke dalam daging, kulit, dada, dan bagian tubuh lainnya.

Dia mengira ini semua hanya perasaannya, dia menyeka dahinya, dia melihat cairan hijau lagi, cairan itu segera menghilang dari tangannya, bukan menguap melainkan masuk ke dalam tubuh-nya.

Dia mulai merasa daging di seluruh tubuh serta syaraf- syarafnya kalah perang, lalu cairan itu menetes keluar dari tangannya.

Pei-pei melihat semua itu dengan jelas, dan itu bukan perasaan! Melainkan kenyataan sebenarnya, ketakutan mulai menyerangnya, apa yang dikatakan Beng To muncul di benaknya, dia tertawa kecut, kemudian menoleh melihat Wan Fei-yang, dia merasa senang dan mulai merasa daging di kepalanya mati rasa, tapi dia masih berusaha menggeser tubuhnya.

Akhirnya dia bisa melihat wajah Wan Fei-yang, wajah Wan Fei-yang begitu jelas terlihat, tapi hanya sebentar, kemudian pandangannya menjadi buram.

“Wan-toako...” dia berteriak di dalam hati. Ini adalah reaksi terakhirnya lalu dia roboh dan tidak bangun lagi.

Mata Pei-pei tampak melotot, bola matanya berubah menjadi seperti bola es sebelum meninggal terlihat sinar kesedihan terkumpul di sana.

Wan Fei-yang melihat kesedihan dan rasa senangnya, setelah induk serangga itu keluar dari mulutnya, dia mulai sadar, keadaan yang tadinya terlihat buram sekarang menjadi terang dan jelas. Akhirnya dia bisa melihat perasaan Pei-pei yang terakhir kepadanya. 

Dia tidak mendengar teriakan di dalam hati Pei-pei, tapi dia bisa merasakan kesedihan yang luar biasa dari Pei-pei, sayang dia tidak bisa berbuat apa-apa.

Kalau dia bisa melarang Pei-pei melakukan semua itu dia akan melakukannya tapi dia sendiri tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya.

“Pei-pei...” Wan Fei-yang tetap tidak bertenaga, Pei-pei tidak bereaksi, kalau dia masih punya perasaan, tentu akan senang.

Wan Fei-yang mulai mengerti, dia ingin menggeser tubuhnya untuk memeluk Pei-pei, tapi tubuhnya terasa lemas dan tidak bertenaga. Bukan hanya kaki dan tangannya, jarinya pun tidak sanggup bergerak. BAB 11

Sekarang suaranya sudah bisa keluar, tubuhnya mulai terasa nyaman, dia bisa memastikan induk serangga itu sudah meninggalkan tubuhnya.

Di sini selain Pei-pei, siapa lagi yang bisa membantu dia mengeluarkan induk serangga itu, dia tidak tahu dengan cara apa Pei-pei mengeluarkan induk serangga dan mengganti dengan nyawanya.

Masalah ini muncul karena Pei-pei yang memulai, yang menyelesaikannya juga Pei-pei, tidak tampak ada yang salah, terlihat seperti iseng.

Di dunia ini yang terjadi karena keisengan sangat banyak. Masalah seperti ini terjadi karena banyak alasan.

Wan Fei-yang berkali-kali mencoba bangun tapi dia belum punya tenaga, terpaksa dia berdiam menenangkan diri, setelah hatinya terasa tenang, dia mulai merasakan tenaga yang hilang mulai terkumpul kembali.

Ternyata sisa tenaga yang ada sudah tidak terlalu banyak, ketika Tong Ling dan Pei-pei datang menolong dan mengganggu, Beng To sedang menyedot tenaga dalamnya, saat itu penyedotannya sudah mencapai tahap terakhir, tenaga dalam yang tersisa sudah tidak menarik lagi bagi laba-laba itu, maka dia bisa merasakan masih punya sedikit tenaga dalam.

Dia sangat tahu siapa Tong Ling, kenapa dia datang dia juga bisa menduganya?

Kalau bukan karena ingin menolongnya, Tong Ling tidak akan mau kembali kemari. Ketika itu pikirannya terus bergejolak, dia berusaha mengumpulkan kembali sisa tenaga yang masih ada, tapi induk serangga yang masih ada di dalam tubuhnya menjadi halangan besar, apalagi pikiran yang bergejolak semakin membuatnya sedih, tentu saja pikiran ini membuat dia bertambah tidak tenang, sekarang setelah tidak ada yang menghalanginya, dia bisa berpikir tenang sehingga dia mulai bisa mengumpulkan sisa tenaganya

Saat ini perasaan yang ada adalah perasaan yang sangat jauh, dia sadar lukanya akan sembuh.

Dia memiliki perasaan hidup kembali.

Dia juga sadar bahwa Thian-can-sin-kang yang telah dilatihnya sekali lagi mengeluarkan reaksi yang kuat, dan dia akan masuk pada tahap hibemasi (Tidur panjang di musim dingin).

Kali ini entah butuh waktu berapa lama? Dia tidak tahu dan tidak ada waktu untuk menciptakan kepompong. Kalau tidak bisa menciptakan kepompong, apakah dia akan dilukai sehingga akan mati? Kali ini dia sangat peduli tapi dia tidak punya kekuatan, karena untuk bergerak pun dia tidak bisa. Apalagi meninggalkan tempat ini, mencari tempat aman untuk bersembunyi.

Rasa lemas semakin terasa, bukan hanya tubuhnya yang terkuras tenaga dalamnya, semangatnya pun tidak ada, akhirnya dia hanya bisa memejamkan mata, tidak mau melihat Pei-pei supaya bisa menghilangkan bayangan dari benaknya.

Pikirannya kosong, begitu pun dengan otaknya.

Karena tenaga dalamnya sudah disedot maka semua gerakannya menjadi lamban, kulitnya kehilangan cahaya seperti daun layu. Tapi lambat laun kulitnya mulai terlihat bercahaya lagi, seperti ada minyak yang keluar dari dagingnya.

Perubahan ini tidak terlalu kentara.

Ulat sutra sudah mengeluarkan seratnya membuat kepompong, sampai keluar lagi dari dalam kepompong membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Bila terjadi perubahan Thian-can-sin-kang di dalam tubuh, manusia membutuhkan waktu cukup lama, dulu Wan Fei-yang pernah mengalaminya.

Kali ini mungkin waktunya bisa lebih pendek, karena sudah ada jalan karena bukan pertama kali, tapi seberapa pendek waktunya Wan Fei-yang tidak tahu.

Yang pasti hal ini tidak bisa diatur Wan Fei-yang sendiri.

Saat hibernasi pikirannya akan kosong, dia tidak akan bisa menghalangi kalau Beng To datang dan bertindak.

Ulat sutera mulai berubah lagi! Apakah bisa melawan ilmu lweekang aliran Mo-kauw yang Beng To cangkokkan ke dalam tubuhnya? Tidak ada yang tahu, orang-orang persilatan pun tidak ada yang mengetahui masalah ini.

Hanya kalau bencana sudah datang baru akan membuat mereka tahu bahwa Wan Fei-yang telah tewas pada saat bencana ini datang. Dulu mereka telah salah paham kepada Wan Fei-yang, sekarang mereka akan tahu, semua itu ulah Beng To.

Tapi mereka tidak akan bisa membendung Beng To.

Yang akan terkena masalah ini pertama kali adalah Kiam- sianseng (Tuan Kiam) dari Hoa-san-pai.

Beng To tidak akan secara diam-diam masuk ke Hoa-san. Sekarang keadaaannya sudah tidak seperti dulu lagi, dia cukup percaya diri, dia tidak akan mau melakukan perbuatan secara sembunyi-sembunyi lagi, Dia pun tidak akan datang sendirian, dia akan membawa sekelompok orang yang bertubuh tegap dari suku Biauw. Di mata orang-orangnya dia bukan lagi seorang 'manusia' melainkan seorang 'dewa'.

Mo-kauw dengan ilmu sesat yang dikatakan hampir ajaib, di mata orang-orang, punya anggapan yang berbeda- beda.

Ilmu silat Beng To bagi orang awam seperti mereka seperti sebuah ilmu sihir, bisa dikatakan ajaib. Orang-orang suku Biauw belum pernah melihatnya, mereka percaya dia akan membuat mereka berjaya di Tionggoan apalagi dia adalah pangeran mereka, dari dulu mereka sangat percaya, menjunjung tinggi dan mencintai pangeran mereka.

Mereka mempersiapkan sebuah selendang yang disulam dengan sangat indah, mereka mengangkat Beng To dengan selendang ini.

Baju mereka pun disulam dengan benang berwarna- warni dan tampak bercahaya. Semua ini seperti yang diinginkan Beng To.

Sekelompok orang itu datang berbondong-bondong ke Hoa-san, murid-murid Hoa-san yang menjaga Hoa-san sudah melapor, murid-murid lainnya dengan cepat berkumpul di depan Ceng-kong mereka dibagi menjadi dua baris.

Hoa-san-pai adalah perkumpulan terkenal, orang yang datang berniat tidak baik tapi masih ada kesopanan. Setelah menanyakan maksud mereka, murid yang menjaga gunung selain memberi kabar kepada murid-murid lainnya yang di atas gunung, semua menunggu di sana, tidak ada seorang pun yang membawa rombongan itu ke depan Ceng-kong.

Kiam-sianseng sudah menunggu di sana, melihat kedatangan orang-orang Biauw bersama Beng To, hatinya tetap saja bergetar. Dia tidak pernah pergi ke daerah Biauw juga belum pernah mendengar ada pesilat tangguh dari suku Biauw yang bernama Beng To. Tapi dia sama sekali tidak merasa curiga bahwa lawannya adalah seorang pangeran.

Kalau dia bukan seorang pangeran sulit bisa memperlihatkan keangkeran seperti ini. Walaupun uku Biauw tahu sehebat apa pun identitas seseorang, tetap tidak berpengaruh di Tionggoan, jadi tidak perlu memalsukan identitasnya.

Dalam ingatan Kiam-sianseng, Hoa-san-pai belum pernah berermusuhan dengan orang-orang Biauw, pangeran dari suku Biauw ini menantang Hoa-san-pai, apa tujuannya?

Kiam-sianseng tidak mengerti dia juga tidak terburu-buru ingin bertanya, cara lawan datang seperti ini akan memberi penjelasan kepadanya.

Suara ribut sudah berhenti, sikap orang-orang suku Biauw terlihat cerah dan bersemangat, dari bola matanya terlihat mereka penuh dengan rasa percaya diri.

Murid-murid Hoa-san saling berbisik, sampai akhirnya Beng To membuka suara:

“Kiam-sianseng...” sorot mata Beng To meng awasi Kiam- sianseng, suaranya tidak begitu besar, tapi masuk ke telinga setiap orang di sana.

“Ilmu lweekang teman sungguh hebat!”

Kiam-sianseng mengira Beng To sedang memamerkan tenaga dalamnya, dan dia harus mengakui lweekang Beng To memang sangat kuat.

“Bukan teman!” sanggah Beng To.

“Kalau begitu kalian adalah musuh?” Kiam-sianseng tertawa. “Bukan musuh juga!” Beng To menjawab dengan serius, “asal kau mau tunduk kepadaku, maka hubungan kita adalah tuan dan pesuruh!”

“Selain itu?” tanya Kiam-sianseng sambil tertawa. “Tidak ada!” Beng To tidak perlu berpikir jauh.

“Yang menurut akan hidup, yang melawan akan mati?” kata Kiam-sianseng.

Beng To dengan senang mengangguk:

“Benar, yang menurut kepadaku akan hidup yang membangkang harus mati...”

Katanya lagi:

“Aku tidak mengerti budaya Tionggoan, kata-kata tegas membuatku lebih sensitif dan lebih mudah menerima.”

“Tapi sayang, di sini bukan wilayah suku Biauw, kau tidak perlu berkata seperti itu!”

“Walaupun di sini bukan wilayah Biauw tapi aku harus mengatakan kata-kata ini!”

“Berarti kali ini kau datang kemari bukan dengan ilmu silat mencari kawan dan tidak akan berdiskusi tentang ilmu silat, melainkan ingin menaklukkan Hoa-san-pai?”

“Ini harus melihat dulu, apakah kalian akan patuh atau tidak!”

“Kalau kami tidak patuh?”

“Terpaksa aku harus membunuh kalian!” kata Beng To tidak terlihat bercanda.

“Sekarang aku curiga kau bukan orang dari Biauw!” “Apa maksudmu?” tanya Beng To aneh.

“Hanya orang gila yang bisa berkata demikian dan orang seperti kalian terlihat seperti orang gila!”

Kata-kata Kiam-sianseng membuat murid-murid Hoa- san-pai yang ada di sana tertawa keras. Orang-orang Biauw yang datang tidak semua mengerti bahasa Han, yang mengerti langsung memberikan reaksi, yang tidak mengerti setelah mendengar murid-murid Hoa- san tertawa dan melihat reaksi dari teman-temannya, mereka bisa langsung menebak apa yang dikatakan Kiam- sianseng, terlihat mereka marah besar.

Beng To malah terlihat sangat tenang, dengan pelan dia berkata:

“Kata-katamu tidak ada kebaikannya untuk Hoa-san- pai!”

Tentu saja Kiam-sianseng mengerti maksud Beng To, dalam hati dia mulai merasa tidak nyaman, dia adalah orang yang sangat berhati-hati dan tahu aturan, otaknya bisa berpikir cepat dan encer, maka dari dulu dia selalu diundang oleh semua perkumpulan untuk menunjukkan jalan kepada Bu-tong-pai, tapi sekarang dia malah berkata seperti itu.

Dia segera tahu apa alasannya, karena itu adalah pikiran semua orang, dia menganggap suku Biauw adalah suku terbelakang, tidak ada sesuatu yang bisa mereka lakukan.

Kalau merasa tidak yakin apakah mereka akan berani datang ke Hoa-san? Terpikirkan hal ini Kiam-sianseng jadi bertambah khawatir.

Kata-kata yang sudah terucap keluar seperti air yang tersiram keluar, dengan terpaksa dia berkata: Belum tentu ada kejelekannya!”

“Yang menurut padaku akan hidup yang membangkang harus mati!” Beng To berulang kali mengatakannya, dia baru mempelajari kedua kalimat ini.

“Anak muda...” Kiam-sianseng mengerutkan alis, “kau terlalu sombong!”

Beng To bereaksi lebih gila lagi: “Kalian mau bertarung secara keroyokan atau satu per satu!”

Dua pemuda yang ada di sisi Kiam-sianseng segera mencabut pedang mereka, dan berbarengan berkata:

“Kami datang untuk meminta petunjuk!”

Usia mereka sama, wajah mereka pun mirip, mereka bukan hanya bersaudara kandung juga bersaudara kembar. Mereka adalah murid Hoa-san-pai yang berhasil melatih ilmu 'Cai-tiap-siang-hui' (Sepasang kupu-kupu pelangi terbang).

Cai-tiap-siang-hui adalah ilmu pedang Hoa-san-pai yang paling sulit dipelajari, untuk mempelajari ilmu pedang ini harus ada dua orang yang secara bersama-sama memainkan ilmu ini, selain itu salah seorang harus memegang pedang dengan tangan kiri dan seorang lagi dengan tangan kanan, tenaga dalamnya harus sama tinggi baru bisa dipadukan dengan tepat, sehingga perubahan jurusnya menjadi sangat dahsyat.

Mencari dua orang dengan tenaga dalam yang sama tinggi tidak sulit tapi menggunakan pedang dengan tangan kiri dan kanan secara bersamaan itu sangat sulit, kebetulan dua saudara kembar ini adalah pasangan kembar sejak lahir, yang satu terbiasa menggunakan tangan kiri sedangkan yang satu lagi terbiasa menggunakan tangan kanan, mereka bermarga Hiang, di Hoa-san-pai nama mereka adalah Hiang Co (kiri) dan Hiang Yu (kanan), sedangkan nama asli mereka sudah terlupa-kan.

Cai-tiap-siang-hui sebenarnya bisa dipelajari oleh satu orang, menggunakan tangan kiri dan kanan memegang pedang, tapi orang itu harus bisa membagi perhatiannya menjadi 2, kalau tidak, maka jurus yang keluar tidak akan sempurna, tidak sehebat kalau dijalankan oleh dua orang. Semenjak menemukan dua saudara kembar ini, Kiam- sianseng seperti mendapatkan benda mustika, dia mendidik mereka dengan teliti, akhir-nya dua bersaudara Hiang berhasil menguasai ilmu Cai-tiap-siang-hui dan bisa menjalankan dengan sempurna.

Di depan orang-orang Kiam-sianseng selalu memuji dua bersaudara Hiang ini, karena jika dua bersaudara ini bergabung, di Hoa-san-pai tidak ada seorang pun yang sanggup mengalahkan mereka sampai-sampai dia sendiri pun tidak terkecuali.

Apakah benar, tidak ada seorang pun yang tahu, tapi saat dua bersaudara Hiang ini maju dan melihat sikap Kiam- sianseng yang tenang, tampak dia sangat percaya pada dua bersaudara kembar ini.

Kiam-sianseng tersenyum dan mengangguk:

“Orang yang datang dari jauh adalah tamu, jika bertarung paling sedikit harus ada rasa sungkan, jangan biarkan tamunya merasa tidak enak!”

Kata-kata ini seperti memvonis bahwa Beng To akan kalah oleh dua bersaudara Hiang dan dia ingin dua bersaudara ini jangan membunuh Beng To.

“Tenanglah, Suhu!” dua bersaudara itu sama-sama menjawab.

Katanya kalau saudara kembar tentu mempunyai hati dan perasaan yang sama, dua saudara Hiang ini pun tidak terkecuali, bila mereka bicara selalu bersamaan, mereka segera memberi hormat kepada Beng To:

“Murid Hoa-san-pai Hiang Co dan Hiang Yu memberi hormat!”

“Apakah hanya kalian berdua?” tanya Beng To. Hiang Co dan Hiang Yu menjawab: “Menghadapi satu orang kami melawan berdua, menghadapi 100 orang pun kami tetap berdua!”

Beng To tertawa, lalu membalas:

“Kalian menyerang dengan berapa orang pun aku tetap sendiri!”

Hiang Co dan Hiang Yu saling berpandangan, lalu mereka tertawa dingin:

“Cabut pedang...” yang satu menggunakan tangan kiri, yang satu menggunakan tangan kanan, masing-masing mencabut pedangnya.

“Aku tidak perlu pedang!” Beng To menunjukkan kedua tangannya.

Hiang Co dan Hiang Yu sudah mencabut pedang mereka, saat itu juga Beng To meloncat beberapa depa ke atas, kemudian bersalto di tengah udara sebanyak beberapa kali, gerakannya indah dan kecepatannya bisa menyaingi seekor burung.

Murid-murid Hoa-san-pai melihat semua itu, hati mereka mencelos dan bergetar, wajah Kiam-sianseng memang tidak terjadi perubahan tapi di dalam hati dia pun tergetar.

Orang-orang suku Biauw terus bersorak, ilmu silat Beng To di mata mereka begitu hebat.

Beng To memang sengaja memamerkan ilmu silatnya di depan orang-orangnya, dia hanya mempe ragakan secara asal-asalan, tapi sudah cukup membuat orang-orangnya merasa kagum. Sekarang menghadapi pesilat tangguh Tionggoan dia harus berusaha lebih keras.

Dia turun tepat di hadapan Hiang Co dan Hiang Yu.

Hiang Co dan Hiang Yu segera mengguna-kan sepasang pedang mereka menunjuk kepadanya, Beng To memutar tubuhnya: “Kalau kalian masih terus seperti itu, aku akan mengaku kalah!”

Hiang Co tertawa dingin:

“Kita bukan sedang bermain topeng monyet, untuk apa meloncat ke sana-kemari?”

“Kalau Tuan tertarik, Tuan boleh terus mem- peragakannya, murid-murid Hoa-san tidak akan pelit memberikan uang kecil, kalau peragaan Tuan berhasil mungkin Tuan bisa mendapatkan banyak uang untuk dibawa pulang!” kata Hiang Yu.

Beng To menggelengkan kepala:

“Kalian orang-orang Tionggoan bila membicarakan seseorang selalu menggunakan keahlian untuk menghina, yang tua seperti itu, yang muda pun tidak berbeda!”

“Kami dua bersaudara ingin melihat ilmu silatmu yang sebenarnya!” pedang Hiang Co segera menyerang Beng To.

Hiang Yu pun bersama-sama menyerang Beng To, dengan kecepatan tinggi sepasang pedang bersama-sama menyerang Beng To, yang satu dari kiri yang satu lagi dari kanan, perubahan tubuh mereka juga cepat dan rumit, sepasang pedang mengeluarkan kelebatan hawa dingin, mengurung Beng To dari dalam, jurus yang di lancarkan seperti jurus kosong, tapi dalam kekosongan seperti ada isi!

Melihat dan merasakan kelebatan hawa dingin itu saja sudah membuat mata menjadi silau, bagaimana bisa membedakan mana yang kosong dan mana yang isi!

Tapi bagi Beng To hal ini tidak membuatnya kesulitan! Begitu kedua tangannya dikebutkan ke arah cahaya itu maka cahaya itu menghilang, kecepatan kedua pedang jadi menurun, seperti tertarik oleh sesuatu, ilmu pedang mereka seperti terhambat. Dari kelebatan pedang yang menyilaukan lalu terlihat bayangan pedang, dan gerakan pedang jadi terlihat jelas.

Terakhir di tubuh pedang terlihat menempel banyak benang seperti serat sutera juga seperti sarang laba-laba, karena benang itu terus mengikuti gerakan ke dua bersaudara maka gerakan mereka pun menjadi terhambat dan lambat

Dua saudara kembar ini merasa aneh, saat mereka bersiap-siap ingin membabat putus benang itu, ke dua tangan Beng To sudah menekan sepasang pedangnya.

Ini adalah hal yang tidak mungkin terjadi, tapi Beng To bisa melakukannya, Hiang Co dan Hiang Yu benar-benar terkejut, mereka segera mengerahkan tenaga dalamnya dan menyalurkan ke batang pedang. Mereka siap membalikkan pedang dan menyapu Beng To, tapi tenaga dalam yang disalurkan seperti air sungai mengalir dan bermuara di laut dan tertelan gelombang laut. Tenaga dalam mereka tidak bisa terkumpul di batang pedang malah seperti dihisap oleh tenaga tidak terlihat.

Wajah mereka segera berubah dari merah menjadi putih lalu hijau. Timbul keringat sebesar biji jagung, nafas mereka pun jadi memburu.

Hiang Yu tertawa kecut, Hiang Co pun mempunyai perasaan seperti itu, dia merasa di pegangan pedang ada sesuatu yang membuat tangannya menempel terus dan tidak bisa lepas.

Hiang Co pun pasti demikian, karena itu dia tidak berteriak.

Mata jeli Kiam-sianseng melihat semua itu, dia melihat pedang mereka penuh oleh serat seperti benang sutera atau sarang laba-laba, wajahnya segera berubah, dia segera berteriak:

“Berhenti...”

Hiang Co tertawa kecut, jelas mereka tidak bisa memilih, waktu itupun mereka merasa pedang mereka bisa bergerak lagi, maka pedang mereka segera menusuk ke depan!

Tapi Beng To sudah tidak berada di depan mereka, posisi Hiang Co dan Hiang Yu jadi saling berhadapan, pedang mereka saling menusuk ke arah mereka sendiri.

Waktu itu mereka melihat Beng To melepaskan kedua tangannya, kemudian mundur, mereka juga melihat sikap menghina dari mata Beng To.

Yang pasti mereka tahu apa yang bakal terjadi dan apa akibatnya. Tapi mereka sudah tidak bisa menguasai diri.

Kiam-sianseng tidak sempat menghalangi, reaksinya hanya bisa membuat kedua alisnya terangkat.

Memang hanya itu yang bisa dilakukan, sebab sekejap pedang Hiang Co dan Hiang Yu sudah menusuk ke masing- masing jantungnya.

Pedang masuk sampai ke ujung pegangan, tubuh mereka secara bersamaan roboh. Di mata mereka ada sekilas rasa malu dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Murid-murid Hoa-san berteriak terkejut, mereka segera mencabut pedangnya, kedua tangan

Kiam-sianseng terulur, dia membentak murid-murid Hoa- san supaya tenang, lalu melihat Beng To:

“Tuan ternyata murid Bu-tong Bai!” Beng To tertawa dingin, katanya:

“Apakah Bu-tong-pai pantas punya murid seperti diriku?” “Apa hubunganmu dengan Wan Fei-yang?” “Dia sudah mengalahkanku, tapi sekarang aku bisa memecahkan jurus Thian-can-sin-kang nya dan sekarang dia sudah menjadi cacat!”

Kiam-sianseng tertawa dingin:

“Jadi kau diam-diam telah belajar Thian-can-sin-kang miliknya!”

“Tidak juga!” Beng To menatap langit, “kali ini aku datang ke Tionggoan karena misi penting, aku ingin membuat kalian mengerti bahwa Thian-can-sin-kang bukan milik Bu-tong-pai, tapi milik Mo-kauw, mereka telah mencuri ilmu lweekang Mo-kauw, lalu menambahkannya dengan ilmu mereka sendiri!”

“Oh ya?” Kiam-sianseng terpaku, baginya ini merupakan sebuah rahasia.

“Kali ini murid-murid dari Mo-kauw bukan hanya akan mengambil kembali ilmu lweekang yang telah dicuri, juga masih ingin memberitahu orang-orang Tionggoan bahwa ilmu silat Mo-kauw tiada tandingannya!”

Kiam-sianseng baru mengerti:

“jadi kau murid dari Mo-kauw, sudah beberapa kali Mo- kauw ingin menguasai Tionggoan tapi selalu gagal, kali ini kalian ingin menggunakan cara licik apalagi?”

Beng To balik bertanya:

“Tadi di depan mata kalian semua, aku telah membunuh dua pesilat tangguh Hoa-san, apakah aku memakai cara licik?”

Kedua alis Kiam-sianseng terangkat:

“Kelihatannya kami telah salah paham pada Wan Fei- yang, dulu yang membunuh mereka adalah...” “Benar, semua itu aku yang melakukannya, tapi kalau kalian mengira aku ingin memindahkan malapetaka itu kepada orang lain, itu salah besar!”

“Mengapa waktu itu kau tidak datang secara terang- terangan? Tapi sekarang...”

“Nanti kau akan mengerti sendiri, apakah kau sudah melihat ilmu silatku dengan jelas?”

“Ilmu siluman dan iblis bukan ilmu yang bersih, dan itu bukan kemampuan!”

“Sampai sekarang dunia persilatan Tiong-goan tetap saja bersikap seperti ini, pantas kalian tidak maju-maju, malah mundur!”

“Apakah kau mengira kami harus belajar kepada Mo- kauw... seperti Bu-tong-pai?”

“Walau bagaimanapun Thian-can-sin-kang adalah ilmu dari Mo-kauw yang telah dirobah, tidak merusak aturan langit, memang belajar mencuri itu tidak benar, tapi semangat istimewa ini memang baik dan tidak salah!”

Kali ini Beng To berkata dengan sungguh-sungguh.

“Bu-tong-pai telah banyak mendapat kebaikan tapi mereka malah merahasiakannya...”

“Itulah keburukan dunia persilatan Tionggoan, tidak mau saling menukar ilmu, mengambil kelebihan orang lain, memperbaiki kekurangan sendiri,” Beng To menggoyangkan kepalanya.

Kiam-sianseng menyambung:

“Benar, seperti Thian-can-sin-kang, kalau bisa diajarkan kepada khalayak ramai dan lebih banyak orang yang mempelajarinya, akan bertambah pesilat seperti Wan Fei- yang, kita tidak perlu takut kepada siluman dan iblis yang datang menyerang Tionggoan...” “Bukan hanya Thian-can-sin-kang, Bahkan ilmu pedang dari Hoa-san-pai...”

Kiam-sianseng segera memotong:

“Ilmu pedang Hoa-san-pai adalah inti sari dari ilmu silat yang didapat hasil jerih payah selama beberapa generasi dari pemimpin Hoa-san-pai, mana mungkin disebarluaskan!”

Begitu kata-katanya terucap keluar, Kiam-sianseng melihat sikap mencemooh Beng To, dia segera mengerti dan berkata:

“Ilmu kami tidak seperti Thian-can-sin-kang, yang didapatkan tanpa melalui kerja keras dan tidak perlu memikirkan generasi atas yang telah bersusah payah menciptakannya!”

Kata Beng To sambil tertawa:

“Kata-kata guruku memang tidak salah, dunia persilatan Tionggoan selama ratusan tahun tetap seperti ini, tidak ada kemajuan sedikit pun, benar-benar tidak ada obat untuk menyembuh-kannya!”

“Siapa gurumu?” “Sat Kao...”

Beng To menarik senyumannya, perubahan ini membuktikan dia menghormati gurunya, Sat Kao.

“Aku tidak pernah mendengar nama ini, apakah dia adalah anggota Mo-kauw?”

“Orang-orang dunia persilatan Tionggoan akan segera tahu siapa dia dan tahu kalau aku adalah muridnya!”

“Apakah kau mengira kau bisa bertahan di Tionggoan?” Dengan santai Beng To menjawab:

“Di dunia persilatan Tionggoan banyak orang seperti dirimu, ingin bertahan di Tionggoan bukan hal sulit bagiku!”

“Kau benar-benar sombong, anak muda...” “Aku selalu bersikap terang-terangan dan langsung, begitu Hoa-san-pai musnah, orang-orang persilatan Tionggoan akan mengenal siapa aku!”

“Siapa yang menyuruhmu memilih Hoa-san-pai menjadi target pertama?” rasa curiga Kiam-sianseng mulai timbul.

“Aku membuat undian untuk menentukan, Hoa-san-pai menjadi sasaran nomor satu, berarti nasib kalian sudah berada di ujung tanduk!”

“Kurang ajar!” Kiam-sianseng tampak marah.

“Hal yang lebih kurang ajar telah kulakukan!” Beng To menatap mayat Hiang Co dan Hiang Yu, “ini adalah kesempatan terakhir bagi Hoa-san-pai...”

Pedang Kiam-sianseng sudah dikeluarkan dari sarungnya, dia memotong kata-kata Beng To, murid-murid Hoa-san-pai semua berkumpul.

“Tidak ada perintahku, siapa pun tidak boleh menyerang!” Kiam-sianseng memutar tubuhnya, dia membentak murid-murid Hoa-san-pai.

“Kalau mereka tunduk kepadaku, aku tidak akan membuat mereka kesulitan.”

Murid-murid Hoa-san-pai menjadi gaduh, mereka kebanyakan anak muda, robohnya dua saudara kembar Hiang Co dan Hiang Yu, tidak membuat mereka takut.

Begitu pedang Kiam-sianseng dikeluarkan, dan melarang mereka bergerak, sorot mata mereka terlihat mereka mempercayai Kiam-sianseng.

Kiam-sianseng sudah malang melintang di dunia persilatan cukup lama, dia selalu bersikap kokoh tidak pernah terjatuh, di Hoa-san-pai tingkatannya adakah yang tertua. Sebenarnya sampai di mana kemampuan ilmu silatnya tidak ada seorang pun yang tahu, tapi di mata orang-orang Hoa-san-pai walaupun dia bukan nomor satu di dunia ini, tapi posisinya sudah mendekati posisi itu.

Dia sendiri pun sebenarnya tidak tahu jelas, tapi dia sangat percaya diri, kalau tidak, biasanya sikapnya tidak akan begitu mendewakan.

Dia sangat mengerti Hoa-san-pai sangat mem butuhkannya, jadi kalau tidak percaya diri dia tidak akan berkelana di dunia persilatan.

Memang dia tidak tahu siapa yang bisa mengalahkannya, tapi dia tidak menaruh curiga kalau di dunia persilatan ini ada pesilat tangguh seperti Beng To, dia juga pernah terpikir ada jebakan dan cara licik yang dipasang, kalau tidak berhati- hati akan membuatnya hancur.

Tidak apa-apa kalau dia sampai roboh, tapi Hoa-san-pai akan hancur karenanya. Apakah dia begitu penting bagi Hoa- san-pai? Dia tidak berani dan tidak begitu yakin. Tapi dia sangat tahu, di antara anggota Hoa-san-pai tidak ada yang seperti dirinya, kalau tidak dari awal dia tidak akan diserahi beban seperti ini.

Saat terjadi peristiwa Wan Fei-yang membunuh orang walau tidak ada hubungannya dengan Hoa-san-pai tapi semua perkumpulan datang ke Bu-tong-pai untuk menanyainya, waktu itu dia diundang untuk menegakan keadilan.

Dia terpilih menjadi ketua kelompok, dan itu sangat mengikuti aturan, juga hal yang sangat dia sukai. Walaupun ada Tong Ling yang tidak berpengalaman dan selalu merintanginya, tapi dia bisa mengurus semua dengan tepat dan tidak mengecewa kan semua orang. Apakah Wan Fei-yang adalah korban karena kesalahan orang lain? Dia sama sekali tidak peduli asalkan masalahnya cepat selesai dan tidak sampai menimbulkan pertumpahan darah. Semua tidak perlu dia yang bertindak.

Bila masalah tidak berjalan sesuai dengan keinginannya, dia tidak akan merasa semua ini di luar dugaannya, karena berdasarkan pengalamannya hal yang terjadi jika bisa sesuai dengan harapan sangat minim, hanya saja dia tidak menyangka kalau dulu yang membunuh para pesilat tangguh bukan Wan Fei-yang. Sekarang pembunuh sebenarnya baru muncul dan mencarinya ke Hoa-san-pai.

Dulu Beng To memang secara tidak sengaja memindahkan malapetaka itu kepada Wan Fei-yang tapi dia masih merasa sedikit khawatir, maka dia tidak berani menampilkan diri secara terang-terangan, sekarang dalam hati dia sudah punya rencana, kalau kata-katanya benar, Wan Fei-yang sudah kalah di tangannya, setinggi apa ilmu silatnya?

Kiam-sianseng tidak mengenal Wan Fei-yang tapi dia tahu Bu-ti-bun, Tokko Bu-ti.

Tokko Bu-ti telah tiga kali mengalahkan ketua Bu-tong- pai, Ci-siong Tojin. Bu-ti-bun di bawah pimpinannya sangat berjaya dan bisa menguasai seluruh Tionggoan, tapi akhirnya kalah di tangan Thian-can-sin-kang milik Wan Fei-yang.

Setelah Wan Fei-yang tidak menyepi, pesilat berbakat yang muncul sekarang-sekarang ini adalah Beng To. Dengan cara apa dia bisa mengalahkan Wan Fei-yang tidak ada seorang pun yang tahu. Tapi kemunculannya sekarang pasti ada yang membuat orang menjadi takut kepadanya.

Melihat cara dia mengalahkan Hiang Co dan Hiang Yu, rasa percaya diri Kiam-sianseng mulai goyah. Kemampuan ilmu silat Hiang Co dan Hiang Yu sangat diketahui oleh Kiam- sianseng, seperti tahu bentuk tangan dan jari tangannya sendiri.

Tapi pertarungan ini tidak bisa dihindari lagi. Beng To melihat pedang Kiam-sianseng: “Kau harus menjelaskan dulu!”

“Tenanglah, bila kau roboh, aku tidak akan membiarkan muridku merepotkan orang yang kau bawa!”

Beng To tertawa, karena tawanya bajunya tampak berkibar membuat orang yang melihatnya merasa hati mereka bergetar.

Kiam-sianseng membentak, untuk menutupi tawa Beng To, tapi dia malah bergetar, maka pedang segera digerakan, akhirnya suara pedangnya bisa menutup tawa Beng To.

Begitu tawa Beng To berhenti, tubuhnya segera maju, tangannya ikut bergerak, sambil berkata:

“Lihat pukulan...”

Kiam-sianseng mendorong pedangnya membabat tangan Beng To, tapi baru saja di tengah jalan dia merasa ada gelombang kuat datang melanda, lalu melilit ke arah pedangnya, dia membentak, tenaga dalamnya dikerahkan menahan gelombang yang datang dan melilit pedangnya ke samping, dia tetap meneruskan membabat, telapak tangan Beng To.

Pedang bergerak dengan cepat, keras, juga ganas!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar