Ilmu Ulat sutera Jilid 30

Jilid 30

Yo Hong berlutut di hadapan mayat Yan Cong Tian sekian lama. Kemudian dia berdiri perlahan-lahan. Matanya berputar ke seluruh ruangan tersebut. Tiba-tiba dia bertanya.

"Apa artinya Tian Sat?" Pertanyaan itu tidak ditujukan kepada seseorang secara khusus. Dengan kata lain, dia bertanya kepada siapa saja yang dapat menjawab pertanyaannya itu.

"Sebuah organisasi yang menyediakan pembunuh bayaran." Tentu saja hanya Fu Hiong Kun yang dapat menjawab pertanyaannya.

Yo Hong tertegun. "Maksudmu, ada seseorang yang mengeluarkan uang menyewa organisasi ini untuk membunuh Yan Supek?"

Fu Hiong Kun menganggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatan kata pun.

"Siapa orang itu?" tanya Yo Hong sambil mendelikkan matanya kepada Fu Hiong Kun, seakan gadis itu pasti sudah tahu siapa orangnya.

“Mungkinkah Giok Su koko?" Kata-kata ini sudah sampai di ujung lidah Fu Hiong Kun namun dia tidak sanggup mengeluarkannya.

"Mungkinkah Tok-ku Bu-ti?" tanya Yo Hong tiba-tiba.

Dia hanya sembarangan menduga. Siapa nyana terkaannya langsung tepat. Fu Hiong Kun mengangkat bahunya sambil menarik nafas panjang. "Di mana letak markas Tian Sat?" tanya Yo Hong kembali.

Fu Hiong Kun menggelengkan kepalanya. "Aku hanya tahu bahwa di dunia ini ada organisasi bernama demikian."

Sepasang tinju Yo Hong mengepal erat-erat. "Biar bagaimana pun, kita harus menyelidiki markas mereka dan berusaha menemukan pemimpin mereka. Tanyakan kepadanya siapa yang mengeluarkan uang meminta mereka membunuh Yan Supek. Dengan demikian kita baru bisa membalaskan dendam ini." katanya dengan wajah merah padam.

Para murid Bu tong yang lain langsung menyetujui usulnya. Fu Hiong Kun menarik nafas panjang. "Kalau menurutku, lebih baik kita penuhi dulu permintaan Gihu yaitu mencari Wan Toako agar kembali ke sini dan mengambil anak Wan Ji cici.

Meskipun Wan Toako sedang sedih dan berduka, namun biar bagaimana pun dia adalah orang Bu-tong-pai. Tentu Wan Toako tidak akan mendiamkan masalah ini begitu saja."

Yo Hong tertawa getir. "Justru malah Wan Ji tadi belum sempat aku selesaikan, kau sudah mencegah aku agar jangan berbicara lagi."

Fu Hiong Kun menjadi terpana mendengar kata-katanya. "Ada apa lagi? Bukankah kau sudah menceritakan semuanya tadi?"

"Belum semuanya. Memang aku sudah menemukan jejak Wan Ji dan anaknya. Wan Ji meninggal tidak lama setelah melahirkan bayi itu. Sepasang suami istri tua di mana Wan Ji menumpang mengasuh bayi itu dengan sepenuh kasih sayang. Tetapi pada suatu hari datang seorang anak muda yang rupanya sedang dikejar-kejar oleh seorang tosu. Dia mengancam kedua suami istri agar tidak mengatakan bahwa dia bersembunyi di dalam rumah tersebut, apabila tidak, bayi yang digendongnya itu akan dibunuh. Ternyata benar-benar ada seorang tosu yang mengetuk pintu dan menanyakan tentang anak muda tadi. Pasangan suami istri itu pun terpaksa berbohong, namun rupanya bayi yang ada dalam gendongan si anak muda terkejut melihat orang asing yang menggendongnya. Supaya bayi itu jangan sampai mengeluarkan tangisan, anak muda itu mendekap mulutnya. Siapa tahu hidung bayi itu ikut tertekan sehingga tidak dapat bernafas dan langsung mati."

Wajah Fu Hiong Kun berubah hebat. "Jadi ... anak itu juga mati?"

Yo Hong menganggukkan kepalanya dengan wajah sendu. "Satu hal lagi yang mengherankan. Ketika anak muda itu mendengar bahwa ibu sang bayi bernama Wan Ji, dia langsung seperti terpukul. Kemudian dia membawa mayat bayi itu dan menghambur keluar dari rumah pasangan istri tersebut."

Tanpa terasa air mata Fu Hiong Kun langsung mengalir dengan deras.

"Giok Su koko ... Betapa banyak dosa yang telah kau perbuat. Akhirnya kau menerima hukuman yang lebih menyakitkan."

"Ternyata Fu kouwnio juga mempunyai dugaan yang sama bahwa anak muda itu adalah Fu Giok Su."

Fu Hiong Kun menganggukkan kepalanya dengan lemas. "Tosu yang diceritakan oleh pasangan suami istri itu pasti Gihu adanya."

Yo Hong tidak sampai hati melihat kesedihan gadis itu yang melandanya bertubi-tubi. "Fu kouwnio, ke mana kita harus mencari Wan Fei Yang sekarang?" tanyanya mengalihkan pikiran gadis itu.

"Wan Toako adalah seorang manusia yang mujur. Dia mengatakan bahwa dia akan pergi ke luar perbatasan, tentu dia benar-benar menuju ke sana. Kerahkan murid Bu-tong-pai sebanyak-banyaknya untuk mencari. Sepanjang perjalanan jangan lupa siarkan berita tentang kematian Gihu. Seandainya kita tidak berhasil menemukan dia, apabila dia mendengar kabar berita ini, tentu dia akan segera kembali untuk melihat benar tidaknya," sahut Fu Hiong Kun.

Yo Hong menganggukkan kepalanya berkali-kali. "Asal Wan Toako sudah kembali, segala persoalan pasti akan mudah diatasi," kata Fu Hiong Kun selanjutnya.

"Ilmu silatnya memang jauh di atas kami semua," sahut Yo Hong.

Sekali lagi Fu Hiong Kun menarik nafas panjang. Yo Hong menatapnya dengan pandangan iba. "Tampaknya Fu kouwnio mempunyai banyak masalah yang terpendam dalam hati."

Fu Hiong Kun tidak menyahut. "Apakah Fu kouwnio sudah menemukan sesuatu?" tanya Yo Hong kembali.

Fu Hiong Kun merasa bimbang sejenak. Namun akhirnya dia mengeluarkan juga apa yang tersimpan dalam hatinya. "Aku sedang berpikir, mungkinkah peristiwa ini didalangi oleh abangku."

"Fu Giok Su?" Wajah Yo Hong agak berubah mendengar kata- katanya. "Mengapa Fu kouwnio! tiba-tiba mempunyai pikiran demikian?"

Fu Hiong Kun tertawa sumbang. "Giok Su koko dan Tok-ku Bu-ti pada dasarnya memang merupakan orang satu golongan. Apa yang dapat dilakukan oleh Tok-ku Bu-ti, pasti sanggup juga dilakukan olehnya. Kemungkinan dia menganggap Yan Cong Tian Gihu yang menyebabkan kematian anaknya sehingga dia merasa benci serta ingin membunuhnya. Lagipula dia memang tahu bahwa juga adanya organisasi seperti Tian Sat ini."

Yo Hong tidak berkata apa-apa. Angin berhembus kencang. Tiba-tiba terdengar suara tik ... tik ... tik ... Hujan mulai turun kembali. Hujan dan angin saling menyapa. Membasahi bumi dan mencekam perasaan. Mereka semua merasakan serangkum kesepian yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Apakah, kejayaan Bu-tong-pai benar-benar harus berakhir pada generasi ini?

* * *

Senja hari ... Hujan belum juga berhenti. Di sepanjang jalan menggenang air dan tanah kotor. Hujan kali ini sudah turun selama tiga kentungan. Pek-ka-cik yang biasanya ramai oleh lalu lalang para penduduk ataupun tamu-tamu yang singgah menjadi hening.

Di jalanan masih ada dua tiga orang yang sedang berjalan. Namun langkah kaki mereka tampaknya tergesa-gesa. Siapa pun tidak ingin berlambat-lambat berjalan di bawah hujan yang lebat seperti itu. Mereka pun segan menoleh ke arah orang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran Tok-ku Bu-ti tetap tidak menarik perhatian siapa-siapa.

Pakaian yang dikenakan Tok-ku Bu-ti masih sama dengan sebelumnya. Hanya topi pandannya yang tidak dikenakan lagi. Di tangannya tergenggam sebatang payung yang terbuat dari kertas minyak. Langkah kakinya tidak terlalu cepat. Dengan santai dia menuju toko keluarga Tio yang menjual peti mati.

Hari ini merupakan hari ketiga puluh setelah kematian Yan Cong Tian.

* * *

Di depan toko keluarga Tio tergantung sebuah lentera. Lentera tersebut berwarna putih. Di bawah cahayanya yang remang-remang, toko itu tampaknya lebih menyeramkan dari sebelumnya. Pintunya masih juga tertutup rapat. Tok-ku Bu-ti mengulurkan tangannya mendorong pintu tersebut. Dia melangkah masuk dengan tenang. Tidak terlihat bayangan seorang pun di sana. Dia merapatkan kembali pintu toko itu. Setelah itu dia duduk di atas sebuah bangku panjang yang terbuat dari papan.

"Aku sudah datang!" katanya seperti kepada dirinya sendiri.

"Selamat datang ... " Terdengar sahutan dari balik sebuah peti mati. Kemudian muncullah si bungkuk yang menyambutnya tempo hari. Tangannya membawa sebuah lentera.

Penampilannya tidak berbeda ketika pertama kali Tok-ku Bu-ti melihatnya. Mata Tok-ku Bu-ti memandang ke sekeliling kemudian berhenti pada wajah si bungkuk.

"Ternyata kalian memang tidak membuat aku kecewa."

Si bungkuk tertawa datar. "Di sini kami sebetulnya telah menyediakan sebuah peti mati bagi Yan Cong Tian.

Sayangnya meskipun anggota kami itu berhasil membunuh Yan Cong Tian, tapi tidak ada satu pun yang berhasil membawa pulang mayatnya. Bahkan mereka pun semua sudah menjadi mayat."

"Tidak ada satu pun dari mereka yang hidup?" tanya Tok-ku Bu-ti entah benar-benar keluar dari hati yang tulus atau sekedar menyindir.

"Tidak ada ... " Si bungkuk mengaku terus terang. "Tapi bagaimana pun mereka berhasil menyelesaikan tugas dengan baik."

Wajah Tok-ku Bu-ti berubah serius. "Ternyata Tian Sat bukan sekedar nama kosong. Aku benar-benar tidak dapat membayangkan, bagaimana kalian bisa menggebah para tukang yang asli dan menyusup ke sana sebagai tukang- tukang palsu. Namun pekerjaan mereka memperbaiki bangunan rupanya boleh juga sehingga selama itu tidak pernah menimbulkan kecurigaan anak murid Bu-tong-pai."

Si bungkuk tertawa dingin. "Kau tahu semuanya?" "Aku juga tahu mereka menyembunyikan senjata-senjata mereka dalam kotak di mana tersimpan peralatan pertukangan. Ada juga yang menyelipkannya di celah-celah tiang bangunan. Aku juga tahu jala-jala yang disediakan untuk memerangkap Yan Cong Tian adalah jenis jala yang istimewa. Dapat dikembangkan dan dapat ditariki kembali sesuka hati kalian."

"Tidak mudah menemukan rahasia mereka. Lebih sulit lagi dapat menemukan rahasia mereka tanpa diketahui oleh mereka sendiri." Suara si bungkuk semakin dingin.

"Aku tidak bermaksud buruk. Tadinya aku mengira kalau-kalau mereka akan gagal dan aku bisa mengulurkan sedikit bantuan," sahut Tok-ku Bu-ti dengan nada ikhlas.

Si bungkuk tersenyum mengejek. "Oh ya? Tampaknya kau masih meragukan cara bekerja pihak kami. Kau tidak percaya kami sanggup membunuh Yan Cong Tian!"

Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Sekarang aku sudah percaya sepenuhnya!"

Si bungkuk menggelengkan kepalanya. "Untung saja pada dasarnya kau memang orang yang kaya. Kalau tidak, aku sungguh menyayangkan caramu membuang-buang waktu seperti sekarang dan bukannya pergi mencari sumbangan demi melunasi apa yang kaujanjikan."

Tok-ku Bu-ti hanya tersenyum mendengar pernyataan itu.

"Letakkan uang yang kaujanjikan di atas meja pembayaran. Setelah itu kau sudah boleh meninggalkan tempat ini," pesan si bungkuk selanjutnya.

"Uang sejumlah sepuluh laksa tail bukan nilai yang sedikit. Meskipun setiap barang ada harganya, namun cara kalian mencari uang juga suatu hal yang mudah," kata Tok-ku Bu-ti santai.

Si bungkuk mendelik ke arah Tok-ku Bu-ti dengan pandangan dingin.

"Jumlah sepuluh laksa tail aku sendiri yang menawarkan. Seandainya ada, dengan senang hati aku akan menyerahkannya kepada kalian," kata Tok-ku Bu-ti selanjutnya.

Wajah si bungkuk langsung berubah. "Kau tidak punya?" tanyanya kurang percaya ...

"Oleh karena itulah aku ingin mengatakan? maaf yang sebesar-besarnya!"

Si bungkuk menggelengkan kepalanya. "Langganan seperti dirimu ini, sudah terlalu lama kami tidak menjumpai."

"Berapa lama?"

Si bungkuk menghitung-hitung dengan jari tangannya. "Tujuh tahun delapan bulan!"

"Kau masih mengingatnya dengan jelas."

"Karena aku sendiri yang turun tangan menghabisinya. Sampai-sampai aku memerlukan waktu selama tiga kentungan baru berhasil memasukkannya ke dalam peti mati. Pekerjaan yang melelahkan seperti itu sebetulnya tidak ingin kami ulangi lagi."

"Oh?" Tok-ku Bu-ti agak tertegun mendengarnya.

"Ketika dibawa pulang kemari, tubuhnya terbagi dalam tujuh puluh dua potong. Kalau tidak sampai tiga kentungan, mana mungkin bisa menyusun kembali tubuhnya secara utuh di dalam peti?" Si bungkuk menjelaskan dengan bibir tersenyum pahit.

"Tampaknya isi hatimu tidak terlalu busuk."

"Bagaimana pun membunuh orang dengan cara demikian bisa mengakibatkan hukum karma. Aku hanya meringankan dosaku sendiri dengan membiarkan mayatnya utuh kembali."

Tok-ku Bu-ti tertawa sumbang. "Entah dengan cara apa kalian akan membereskan diriku?" Tok-ku Bu-ti balik bertanya dengan wajah tenang.

"Kau tidak dapat disamakan dengan orang yang tidak bayar hutang tempo dulu itu!"

"Apanya yang tidak sama?"

"Orang-orang itu memang benar-benar tidak sanggup bayar. Mereka terpaksa menyembunyikan diri, sedangkan kau tidak." Si bungkuk menarik nafas panjang. "Orang berusaha apa pun tujuannya untuk mencari rejeki, bukan mencari permusuhan atau kemarahan. Seandainya tiga puluh hari masih tidak cukup bagimu untuk melunasi hutang tersebut. Kami dapat memberimu waktu tambahan sebanyak lima belas hari lagi!"

Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. “Tidak bisa!" ...

"Setiap masalah harus dilihat dari riwayat orangnya sendiri. Sedangkan kami tahu jelas bahwa Bu-ti-bun bukan sebuah partai yang tidak mempunyai uang."

"Sejak pertama kali aku masuk ke Pek-ka-cik, kalian sudah tahu siapa aku adanya!"

"Meskipun dandanan Tok-ku Buncu lain dengan biasanya. Bentuk tubuh dan penampilan tetap tidak berubah. Walaupun Bu-ti-bun sudah tinggal namanya saja, namun meskipun Tok- ku Buncu berdiri di sudut mana pun, tetap seperti seekor ayam jago yang perkasa, sekali lihat saja sudah dapat dikenali.

Apalagi kami yang menjalankan usaha seperti ini, tentu kami harus lebih tajam dari orang lain!"

"Oh ya?"

"Kalau kau bukan Tok-ku Bu-ti, masa demikian mudah kami menerima transaksi ini!" Si bungkuk tertawa terkekeh-kekeh. "Selama ini kepercayaan yang diberikan oleh Tok-ku Buncu kepada setiap orang masih dapat dipegang teguh."

"Sayang Tok-ku Bu-ti sekarang bukan Buncu sebuah partai besar lagi." Tok-ku Bu-ti menarik nafas panjang. "Lagipula Tok-ku Buncu yang sebelumnya, selalu ada orang yang mengurus bagian keuangannya. Dia hanya menerima bersih tanpa repot-repot turun tangan. Sayangnya sejak digempur oleh pihak Siau Yau kok, Tok-ku Buncu yang satu ini sudah jatuh miskin sehingga benar-benar melarat."

Si bungkuk hanya mendengarkan. Dia tidak menukas ucapan Tok-ku Bu-ti.

"Tapi Tok-ku Buncu yang satu ini teringat bahwa di berbagai cabangnya yang tersebar di mana-mana masih terdapat banyak uang simpanan, oleh karena itu Tok-ku Buncu ini tidak memandang sebelah mata terhadap uang senilai sepuluh laksa tail. Dia mengira, asal dia mendatangi cabangnya yang tersebar di mana saja, uang itu akan mudah didapatkan olehnya."

Si bungkuk mulai tertarik akan ceritanya. "Lalu, bagaimana hasilnya?"

"Ternyata para anggota yang dianggap setia oleh Tok-ku Buncu ini sudah menggunakan kesempatan untuk memencarkan diri ke seluruh penjuru dunia. Semua cabang yang didatanginya selalu hanya tinggal sebuah gedung yang kosong." Sekali lagi Tok-ku Bu-ti menarik nafas panjang.

Si bungkuk ikut-ikutan menarik nafas dalam-dalam. "Aku ikut merasa iba terhadap nasib ilmu yang dimilki Tok-ku Buncu itu.

"Dengan mengandalkan ilmu yang di miliki Tok-ku Buncu ini ingin merampok uang senilai sepuluh laksa tail sebetulnya bukan hal yang sulit. Namun setidaknya dia pernah mempunyai kedudukan tinggi dan nama yang menggetarkan dunia kangouw. Kalau meminta dia melakukan perbuatan rendah seperti mencuri atau merampok rumah orang, rasanya Tok-ku Buncu ini masih belum sanggup melakukannya."

"Benar-benar harus disayangkan!"

Perlahan-lahan Tok-ku Bu-ti melipat payungnya kemudian meletakkannya di samping kursinya. Matanya beralih lagi kepada si bungkuk. "Oleh sebab itu, dia terpaksa datang ke mari dan berharap Tian Sat dapat memberikan jalan keluar baginya."

"Saudara dapat mengeluarkan semua kata-kata ini, tentunya sudah mempunyai jalan keluar yang baik."

Tok-ku Bu-ti melepaskan kain hitam yang mengikat di dagunya. "Jalan keluar memang sudah terpikirkan. Entah Tian Sat dapat menerimanya atau tidak?"

"Mengapa tidak diuraikan agar kita dapat membahasnya bersama-sama?"

"Mungkin aku bisa membantu Tian Sat membereskan beberapa orang yang diminta oleh para pelanggannya," sahut Tok-ku Bu-ti sepatah demi sepatah.

Si bungkuk tertawa lebar. "Orang yang tidak dapat kau bereskan saja, harus meminta bantuan Tian Sat untuk membereskannya. Lalu masih ada siapa lagi yang dapat kau bereskan untuk Tian Sat? Bukankah usulmu ini aneh kedengarannya?"

Tok-ku Bu-ti langsung tertegun mendengar pernyataan itu.

"Orang yang berilmu tinggi, bukan berarti hanya mengerti bagaimana caranya membunuh orang. Pekerjaan seperti kami ini harus mempunyai keahlian tersendiri, tidak hanya memerlukan ketinggian ilmu silat atau kecerdasan otak saja. Kau bisa menemukan markas organisasi ini, tentunya kau juga harus mengerti peraturan yang telah kami tentukan."

"Mengerti sih mengerti, tapi aku merasa kalian tetap memerlukan tenaga tambahan."

"Dugaanmu belum tentu benar bukan?"

"Apakah ilmu silat yang aku miliki ini tidak bernilai sepuluh laksa tail?" tanya Tok-ku Bu-ti penasaran.

"Hal ini tidak ada sangkut pautnya dengan senilai atau tidaknya ilmu silat yang kau kuasai. Tapi motto yang sudah terpatri dalam organisasi Tian Sat. Seandainya setiap langganan yang kami temui mempunyai niat sepertimu, maka sudah sejak lama Tian Sat tidak berdiri di dunia ini. Apa pula yang harus kami makan untuk melewati hari? Ilmu silat saja?"

Tok-ku Bu-ti terdiam mendengar kata-kata itu.

"Tok-ku Buncu adalah seorang yang pernah menggetarkan dunia persilatan dengan partai Bu-ti-bun, tentu kau mengerti apa yang aku maksudkan. Seandainya sejak dulu Bu-ti-bun mempunyai pendirian seperti Tok-ku Buncu sekarang, aku tidak heran mengapa Bu-ti-bun bisa hancur hari ini," kata si bungkuk selanjutnya.

Tok-ku Bu-ti hanya mendengus dingin. "Lagipula dengan kedudukan seperti yang pernah Tok-ku Buncu jabat, mungkinkah menerima perintah orang lain dalam jangka waktu yang panjang? Tentunya Tok-ku Buncu sendiri mengerti sekali bisa atau tidaknya."

Tok-ku Bu-ti menarik nafas dalam-dalam. "Kalau begitu, maksud Saudara ... "

"Seandainya kau tidak dapat membayar hutangmu dengan uang, maka kami meminta kau membayarnya dengan nyawamu."

Tok-ku Bu-ti tertawa datar. "Bukankah dengan demikian kalian malah rugi sebanyak dua kali?"

"Demi nama baik organisasi yang telah kami pupuk selama ini, kami tidak dapat mempertimbangkan lebih jauh lagi!" kata si bungkuk dengan nada serius.

"Kau bisa mengambil keputusan?" tanya Tok-ku Bu-ti tiba-tiba.

“Hal ini tidak lebih penting daripada membunuh Yan Cong Tian!" sahut si bungkuk.

Kemudian dia meniup lentera di tangannya hingga padam. Seluruh ruangan itu menjadi gelap gulita seketika. Tepat pada saat itu juga, sebilah pedang yang panjang tiba-tiba terhunus keluar dan meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti. Tubuh Tok-ku Bu-ti berkelebat. Sepasang tinjunya dikerahkan. Tiba-tiba meja kasir yang ada di hadapannya terjungkir balik.

Pembunuh yang bersembunyi di balik meja kasir langsung melesat keluar. Tubuhnya menggelinding di atara meja kasir yang pecah berantakan. Tangannya bergerak. Pecahan meja bagai bilahan pisau kecil meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti.

Namun hantaman Tok-ku Bu-ti lebih cepat lagi. Pecahan kayu dari meja terpental kembali dan menusuk beberapa bagian tubuh pembunuh tersebut. Orang itu bahkan tidak sempat mengeluarkan suara jeritan. Nyawanya melayang seketika.

Tok-ku Bu-ti menarik tangannya kembali. Dengan tenang dia duduk kembali di kursinya semula. Seakan tidak pernah terjadi apa pun. Dalam sekejap mata saja, si bungkuk sudah menghilang di balik peti mati yang terdapat di ujung ruangan.

Meskipun ruangan di dalam itu sangat gelap, tapi tidak berarti orang tidak dapat melihat apa-apa. Cahaya lentera dari luar menyorot remang-remang ke dalam ruangan. Walaupun cahayanya redup sekali, namun sudah lebih dari cukup bagi penglihatan Tok-ku Bu-ti yang tajam.

Sinar mata Tok-ku Bu-ti terpusat pada arah di mana si bungkuk menyelinap tadi. Bibirnya tersenyum mengejek. "Apakah gebrakan tadi dapat membuat kalian berubah pikiran?"

"Tidak bisa!" Suara si bungkuk terpancar dari balik peti mati di ujung ruangan. Tampaknya pendirian orang yang satu ini kukuh sekali.

Tubuh Tok-ku Bu-ti kembali berkelebat. Dia menerjang ke sumber suara si bungkuk. Tiba-tiba tutup peti mati yang berjajar di dalam ruangan terbuka serentak, satu per satu melayang ke arah Tok-ku Bu-ti. Dari dalam peti juga melesat keluar beberapa orang manusia berpakaian hitam. Dandanan mereka persis seperti para pembunuh yang menyergap Yan Cong Tian tempo hari. Tampaknya Tian Sat benar-benar sudah memperhitungkan segalanya dengan matang.

Para manusia berpakaian hitam itu menerjang dengan tangan masing-masing menggenggam sebatang pedang. Mereka segera mengambil posisi mengurung Tok-ku Bu-ti. Tiba-tiba sepasang lengannya berputar, di belakang punggung seakan tumbuh sepasang sayap. Tubuhnya yang sedang menerjang ke depan tiba-tiba berjungkir balik ke belakang. Tutup peti mati meluncur di bawah kakinya dan saling bertabrakan satu sama lain.

"Brak! Brak!" Suaranya benar-benar memekakkan telinga. Dapat dibayangkan tutup peti mati berjumlah puluhan berbenturan seperti saling menyapa.

Manusia-manusia berpakaian hitam yang tadi melesat keluar dari dalam peti mati juga sangat lincah gerakannya. Reaksi mereka pun tidak lambat. Tubuh mereka yang tengah melayang di udara langsung terjungkir balik dengan kaki menutuldi atas tutup peti mat. Dengan demikian, tubuh mereka mendapat kekuatan kembali untuk meluncur kembali menerjang ke arat Tok-ku Bu-ti.

Sementara tiga orang manusia berpakaian hitam menerjang ke arahnya. Tubuh mereka belum lagi sampai, tangan mereka telah mengibaskan serangkum senjata rahasia. Dalam kegelapan terlihat senjata rahasia yang bentuknya kecil-kecil itu memancarkan cahaya berwarna kebiruan. Hal ini menandakan bahwa senjata rahasia tersebut telah ditaburi racun-racun yang keji.

Tangan Tok-ku Bu-ti bergerak. Topi pandan yang terletak di atas kursi di mana dia duduk tadi langsung disambarnya dan digunakan sebagai perisai. Senjata-senjata rahasia yang sedang meluncur ke arahnya terkibas rontok. Setelah itu dia melemparkan topi pandannya dengan kekuatan penuh.

“Sing!” terdengarlah suara desingan topi pandannya yang meluncur dengan cepat. Salah seorang manusia berpakaian hitam langsung menjadi korban. Topi pandan yang disambitkan oleh Tok-ku Bu-ti tepat menancap di tenggorokannya. Darah muncrat bagai air pancuran. Setelah terhuyung-huyung dua kali, orang tersebut rubuh dengan leher menganga lebar. Dapat dibayangkan kehebatan tenaga dalam Tok-ku Bu-ti. Hanya dengan sebuah topi pandan saja dia sanggup melukai leher lawannya sampai putus nyawanya. Tangan Tok-ku Bu-ti tidak berhenti. Sebatang pedang yang sedang meluncur ke arahnya langsung dijepit di antara kedua telapak tangan. Orang yang memegang pedang tersebut tidak dapat melawan kekuatan tenaga Tok-ku Bu-ti, tubuhnya berputaran kemudian terlempar keluar. Sialnya tubuh itu tepat melayang ke arah sebatang pedang lain yangsedang meluncur tiba. Tidak ayal lagi tubuh itu tertembus dari depan sampai belakang.

Rekan manusia berpakaian hitam itu yang sedang menerjang ke raha Tok-ku Bu-ti melihat tubuh kawannya sendiri meluncur ke arahnya. Mati-matian dia berusaha menarik kembali pedangnya, namun tetap kalah cepat. Tubuh rekannya itu tetap saja menembus pedangnya dan mati tanpa sempat menjerit lagi. Bahkan dirinya sendiri ikut terpental karena dorongan tenaga Tok-ku Bu-ti yang kuat.

Tangan Tok-ku Bu-ti bergerak kembali. Pergelangannya memutar dan mencengkeram sebatang pedang yang sedang meluncur datang. Dia melemparkannya ke atas dan menyambut kembali di bagian gagangnya. Tangannya tidak berhenti bergerak, dia langsung menusukkan pedang tersebut dua kali berturut-turut.

Sinar pedang memijar. Dua orang manusia berpakaian hitam yang sedang menerjang ke arahnya berusaha menghindar. Namun salah seorang tertebas di bagian pinggangnya, tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Darah muncrat seperti air mancur. Pemandangan yang sungguh mengerikan. Orang satunya lagi begitu terkejut sehingga hampir terperosok ke depan.

Pedang yang berhasil direbutnya adalah pedang biasa. Tapi karena tenaga Tok-ku Bu-ti kuat sekali, dia bisa menebas salah satu manusia berpakaian hitam itu sehingga terputus menjadi dua bagian. Apalagi kalau yang yang digunakannya adalah sebatang pedang pusaka, kehebatannya sungguh tidak terbayangkan. Dengan mengandalkan tenaga dalam yang dimiliki Tok-ku Bu-ti sekarang, sebatang kayu pun bisa berubah menjadi setajam pedang.

Sekali bergerak Tok-ku Bu-ti sudah membunuh dua orang manusia perpakaian hitam. Tiba-tiba pedang di tangannya disambitkan ke depan dengan kekuatan penuh. Dua orang manusia berpakaian hitam yang sedang menerjang ke arahnya memandang dengan mata terbelalak. Yang bagian depan tertembus dadanya dan yang di belakang tidak keburu menghindar. Ujung pedang yang menembus lewat dada temannya langsung menancap di tenggorokannya.

Sambilannya penuh dengan perhitungan yang tepat. Sekali gerak dua korban jatuh. Wajah para manusia berpakaian hitam iti berubah seketika. Gerakan mereka pun menjadi terhenti. Tok-ku Bu-ti tidak menyerang mereka. Dia berlaku seperti tidak terjadi apa-apa. Dengan perlahan dia melangkahkan kakinya menuju pintu toko tersebut dan keluar dengan tenang, dan merapatkan pintunya kembali. Pada dasarnya dia memang tidak ingin membunuh orang-orang itu apabila mereka tidak menyerangnya terlebih dahulu. Dia juga hanya ingin menunjukkan sedikit kekuatannya kepada Tian Sat yang telah menolak uluran tangannya.

Sesaat kemudian keadaan di dalam ruangan baru menjadi gempar. Mereka seperti baru tersadar bahwa Tok-ku Bu-ti telah meninggalkan tempat itu. Dengan panik mereka menimpukkan berbagai senjata rahasia. Namun pintu sudah keburu dirapatkan kembali, akibatnya senjata-senjata yang berjumlah ratusan itu hanya menancap di pintu besar tersebut.

Dua orang manusia berpakaian hitam langsung menerjang keluar. Mereka menyambitkan pedangnya ke punggung Tok- ku Bu-ti.

Tetapi punggung orang itu seperti tumbuh mata saja. Dengan menggeser sedikit tubuhnya, kedua batang pedang yang tajam tadi meluncur lewat di samping pinggangnya. Kemudian dengan gerakan cepat dia membalikkan tubuh dan menghantam. Kedua orang manusia berpakaian hitam itu langsung terpental kembali ke dalam ruangan serta jatuh gedebrukan menghantam peti mati yang berjejer.

Pintu toko itu telah terbuka lebar. Ratusan anak panah dibidikkan oleh manusia-manusia berpakaian hitam ke arah Tok-ku Bu-ti yang masih melangkah dengan tenang.

Sementara itu suara jeritan kedua orang yang tadi terpental kembali ke dalam ruangan baru berkumandang.

Tok-ku Bu-ti menghentakkan kakinya melesat secepat angin yang menghembus ke depan. Tiga puluhan manusia berpakaian hitam yang berjaga di seberang jalan sudah bersiap siaga sejak tadi. Namun gerakan mereka kalah cepat. Tidak ada satu pun yang berhasil menghadang kepergian Tok- ku Bu-ti.

Sambil melesat ke depan, sepasang telapak tangan Tok-ku Bu-ti menghantam ke kanan dan kiri. Sebagian besar dari manusia berpakaian hitam yang sedang bersiap siaga itu langsung terdorong oleh tenaganya yang kuat sehingga melayang jauh, bahkan ada yang melayang ke atas genting. Suara jeritan ngeri berkumandang di mana-mana.

Tok-ku Bu-ti menepuk-nepuk pakaiannya. Matanya berpaling ke arah toko keluarga Tio yang berada di seberang. Kebetulan tatapan matanya bertemu pandang dengan sinar mata si bungkuk yang baru berjalan keluar dari dalam toko itu.

Wajah si bungkuk hijau membesi. Matanya mendelik ke arah Tok-ku Bu-ti. Bibirnya mencibir. "Tok-ku Buncu memang tidak malu disebut pendekar kelas satu zaman ini!" sindirnya tajam.

Tok-ku Bu-ti melambaikan tangannya dengan gontai. "Meskipun ilmu Yan Cong Tian jauh lebih tinggi di atasku, tapi dia merupakan murid yang ditetaskan oleh sebuah partai beraliran lurus, apalagi dia jarang berkelana di dunia kangouw. Untuk membunuhnya, hal yang paling penting adalah menangkap titik kelemahannya. Sama sekali bukan hal yang sulit. Terutama bagi orang yang tidak pernah dijumpainya!"

"Tok-ku Buncu memang orang yang berpengalaman di dunia kangouw. Cara apa yang belum pernah dilihat oleh Tok-ku Buncu. Untuk membunuh seorang manusia licik seperti Tok-ku Buncu memang bukan hal yang mudah," sabut si bungkuk sambil tertawa dingin. Dia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan kembali sepatah demi sepatah. "Namun, biar bagaimana sulitnya, Tok-ku Buncu yang satu ini tetap harus dibunuh!"

Hati Tok-ku Bu-ti agak tergetar. Namun dia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya. "Mungkin kita harus duduk kembali berhadapan dan merundingkan sekali lagi masalah ini." katanya dengan hati berharap.

Si bungkuk ternyata tetap menggelengkan kepalanya. "Sekarang, seandainya kau sanggup mengeluarkan uang sebanyak sepuluh laksa tail, tetap tidak berarti lagi bagi kami!"

Tok-ku Bu-ti terdiam mendengar ucapannya.

"Mungkin kau bisa meloloskan diri untuk hari ini, tapi belum tentu kau dapat menyelamatkan dirimu besok atau hari-hari selanjutnya. Orang yang mengenal organisasi kami pasti tahu bahwa selama ini kesabaran kami sangat besar sekali. Kami tidak mengenal kata putus asa dalam mencari orang yang berhutang kepada kami. Sekarang hutangmu sudah semakin bertumpuk. Bukan hanya jumlah uang sebesar sepuluh laksa tail, tapi puluhan jiwa anggota kami yang terbuang sia-sia di tanganmu!" kata si Bungkuk sambil membalikkan tubuhnya.

Tanpa menoleh lagi dia langsung masuk ke dalam toko tersebut. Perlahan-lahan pintu dirapatkan kembali olehnya.

Orang-orang yang terlempar ke atas genting semuanya sudah bubar. Tidak ada lagi satu pun manusia berpakaian hitam yang masih berkeliaran di sekitar tempat itu. Tok-ku Bu-ti tidak memperdulikan mereka. Dia mendongakkan kepalanya menatap ke atas langit.

Malam sudah mulai merayap. Entah kapan hujan akan berhenti. Angin masih juga bertiup kencang. Tok-ku Bu-ti termenung sejenak. Diedarkannya pandangannya. Di sepanjang jalan tidak terlihat bayangan seorang pun. Semua pintu rumah penduduk tertutup rapat. Mungkin mereka enggan keluar rumah atau tidak ingin mendapatkan kesulitan setelah terjadinya keramaian tadi.

* * *

Kesunyian mencekam. Berapa banyak bahaya yang tersembunyi dalam kesunyian yang mencekam ini? Tok-ku

Bu-ti tidak tahu. Namun dia sekarang sudah menyadari bahwa seluruh Pek-ka-cik ini merupakan desa yang terorganisir oleh Tian Sat.

Setelah merenung sejenak lagi, Tok-ku Bu-ti baru meneruskan langkah kakinya. Dia mengambil arah menuju luar desa tersebut. Angin yang menghembus melambai-lambaikan pakaiannya. Dedaunan yang tumbuh menjalar di sepanjang tembok di kedua sisi jalan juga menimbulkan suara berdesir- desir karena tiupan angin tersebut. Baru berjalan sejauh tiga depa, tiba-tiba dia menghentikan langkah kakinya, kemudian tubuhnya mendadak melesat ke depan seperti sebatang anak panah yang meluncur.

Dalam waktu yang bersamaan, sebuah jala yang besar melayang turun dari udara. Tapi sebelum jala itu mendarat di atas tanah, tubuh Tok-ku Bu-ti sudah melesat keluar dari jaringan jala tersebut. Gerakan tubuhnya tidak berhenti. Dia melesat lagi sejauh tiga depa. Setelah itu baru dia berhenti.

Tok-ku Bu-ti melihat sekelilingnya. Dia berhenti di depan rumah seorang penduduk. Dengan mengehntakkan kakinya ia melayang ke atas genting rumah itu. Ratusan anak panah meluncur ke arahnya. Tok-ku Bu-ti tahu panah-panah itu dibidikkan dari tembok tinggi di seberang rumah di mana dia bersembunyi. Dengan cepat dia menggelinding. Tubuhnya merapat di atas ge ting rumah tersebut. Ratusan anak panah tadi lewat di atas kepalanya dengan suara mendesing-desing.

Menunggu sampai panah-panah itu habis dibidikkan, barulah tubuh Tok0ku Bu-ti mencelat lagi. Dia langsung melesat di atas tembok rumah yang berjajar itu. Ketika melewati sebatang pohon yang rimbun, matanya menangkap sebatang bambu kecil yang runcing meluncur pesat mengancam dadanya.

Tubuh Tok-ku Bu-ti memutar setengah membungkuk, jari tangannya terangkat.

"Crep!" Bambu runcing tadi terselip di antara dua jari telunjuk dan tengahnya kemudian terputus menjadi dua bagian. Tubuh orang yang menyambitkan bambu runcing tadi terpental seketika oleh hantaman Tok-ku Bu-ti yang menyerang secara tiba-tiba.

Ternyata dia adalah peramal buta yang pernah disinggahi oleh Tok-ku Bu-ti ketika meminta petunjuk untuk menemukan markas Tian Sat. pakaiannya masih yang tempo hari juga.

Tangan kanannya masih memegang tabung bambu. Rupanya benda yang disambitkan tadi adalah kayu panjang yang biasa dikocokkannya di dalam tabung sebagai alat untuk meramal.

Sinar mata Tok-ku Bu-ti memandanginya denagn tajam. “Apakah kau datang untuk meramal nasibku?”

Si buta menggelengkan kepalanya. ”Nasibmu tidak perlu diramal lagi!" sahutnya tenang.

"Mengapa?" "Umurmu tidak akan panjang!"

Tok-ku Bu-ti tertawa dingin, "Aku juga sudah belajar ilmu meramal."

"Oh ya?" Wajah si Buta tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

"Maukah kau apabila aku meramalkan nasibmu?" tanya Tok- ku Bu-ti.

“Bagaimana menurut penglihatanmu?"

"Umurmu bahkan lebih pendek daripada umurku!" bentak Tok- ku Bu-ti sambil menghentakkan kakinya mencelat ke atas.

Dalam waktu yang bersamaan, tangan kiri si buta mengibas. Puluhan batang kayu panjang langsung disambitkan keluar. Semuanya mengarah ke sepasang mata Tok-ku Bu-ti. Namun dengan gerakan santai Tok-ku Bu-ti menggeser kepalanya.

Puluhan batang kayu tersebut melintas di samping pipinya. Sekali tangan si buta digerakkan dengan cepat, serangkum hawa dingin langsung menerpa. Ternyata yang disambitkan kali ini merupakan tiga puluh enam batang jarum beracun. Sementara itu, tangan kirinya sekali lagi mengibaskan batangan kayu panjang ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti. Tidak usah diragukan lagi, si buta ini pasti seorang ahli senjata rahasia.

Sayang sekali lawan yang dihadapinya adalah Tok-ku Bu-ti. Manusia yang licik ini seakan sudah dapat menduga apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di atas. Dengan demikian ketiga puluh enam batang jarum beracun itu pun melesat dari sasarannya. Kakinya langsung dihentakkan dan menutul kembali di atas tembok. Tepat pada saat itu si Buta melesat ke arahnya dari tembok ujung. Dengan kecepatan kilat Tok-ku Bu-ti menendangkan kakinya ke arah kepala si Buta yang sedang meluncur tiba. Terdengar suara.

"Prak!" Yang menggiriskan hati. Kepala si Buta hancur seketika oleh tendangan kakinya itu, otaknya berceceran di mana-mana.

Tubuh Tok-ku Bu-ti melayang turun dengan tenang. Dia tertawa lebar. "Ternyata ilmu ra-malanku lebih hebat durimu."

Tanpa menunda waktu lagi, dia langsung menghentakkan kakinya sekali lagi dan melesat ke depan. Untuk meninggalkan Pek-ka-cik masih harus menempuh perjalanan kurang lebih setengah kentungan. Tok-ku Bu-ti sadar bahaya sekarang mengancamnya di mana-mana. Mau tidak mau dia harus meningkatkan kewaspadaannya. Tampaknya mulai saat itu, hari-hari tenang tidak akan pernah dirasakannya lagi.

Kakinya meloncat dari satu tembok rumah ke tembok rumah lainnya. Sekejap saja dia sudah mencapai setengah perjalanan. Dua kali lagi kakinya meloncat, mendadak tembok yang diinjaknya pecah berhamburan. Tubuhnya melorot turun. Namun Tok-ku Bu-ti tidak panik, dia berjungkir balik dengan cepat dan mencelat lagi di udara. Pada saat itulah dia melihat tanah di bawahnya penuh dengan pisau-pisau tajam, se¬dangkan tembok yang digunakannya sebagai landasan sudah hancur semua. Tubuhnya tidak mungkin mencelat terus di udara. Sekarang di atas kepalanya sudah melayang turun sehelai jala besar. Otaknya tidak sempat berpikir lama-lama, dia lantas mengambil keputusan untuk menem¬puh bahaya. Kakinya dibiarkan memberat dan melayang turun.

Sesampainya di bawah, dia langsung menutul di atas sebatang pedang dan mencelat lagi ke atas dengan kedua telapak ta¬ngan menghantam ke arah jala. Dalam sekejap mata terlihat jala itu terkoyak dan memperlihat¬kan sebuah lubang yang besar. Tubuh Tok-ku Bu-ti langsung menerobos melalui celah tersebut dan melayang keluar.

Tepat pada saat itu, di tangan kirinya telah bertambah sebilah pedang pendek yang ca¬hayanya berkilauan pertanda tajam sekali. Ru¬panya sambil menghantam, tangan yang satunya juga membantu mengoyak jala tersebut sehingga terkoyak. Namun semua itu tidak ada gunanya apabila reaksi Tok-ku Bu-ti kurang sigap dalam menanggapi bahaya yang dihadapinya.

Baru saja dia melesat pergi, di tempat yang sama kembali melayang dua lembar jala besar persis seperti yang pertama. Seandainya dia masih ada di bawah jala tadi, dia tidak berani membayangkan kemungkinan yang akan terjadi. Kakinya tidak berhenti berlari. Dia terus menerjang ke arah depan. Sekali- kali dia menolehkan kepalanya. Tidak terlihat adanya orang yang mengejar. Juga tidak ada suara teriakan dari belakang. Tok-ku Bu-ti tetap berlari sejauh beberapa depa baru menghentikan kakinya.

Sekali lagi dia menolehkan kepalanya ke belakang. Pek-ka-cik seperti sebuah kota mati. Di jalan raya tidak terlihat seorang pun. Juga tidak ada penerangan sama sekali. Keadaan gelap gulita dan menyeramkan!

Wajah Tok-ku Bu-ti pucat pasi. Sekarang dia baru benar-benar mengerti kata takut! Meskipun ilmu orang-orang yang menghadangnya tidak terlalu tinggi, namun mereka terdiri dari anggota yang dinamakan pasukan berani mati. Kesetiaan seperti itu benar-benar mengerikan. Belum lagi kekompakan mereka dalam menghadapi lawan.

Tok-ku Bu-ti yakin di dunia kangouw ini tidak ada satu partai pun yang dapat menyamai organisasi ini. Hal inilah yang benar-benar menggetarkan nyali Tok-ku Bu-ti.

Apalagi ketekatan mereka apabila sudah memutuskan suatu hal juga di luar dugaan Tok-ku Bu-ti. Sebagai seorang tokoh yang berilmu demikian tinggi seperti dirinya, dalam organisasi Tian Sat ia seakan tidak ada harganya. Tok-ku Bu-ti sungguh tidak mengerti. Padahal sejak semula dia memang sudah merencanakan semuanya dengan baik. Tanpa adanya uang sebagaimana perjanjian yang mana harus dibayarkan, tadinya Tok-ku Bu-ti menganggap dapat membayarnya dengan tenaga yang dia tawarkan. Tidak disangka kalau Tian Sat akan menolaknya. Apa sebabnya? Apakah karena Tian Sat tidak berani menggunakan tenaganya atau Tian Sat sama sekali tidak membutuhkan tenaga orang sepertinya?

Tok-ku Bu-ti benar-benar lidak tahu. Hanya satu hal yang disadarinya sekarang. Saat ini dia menjadi sasaran yang harus dibunuh oleh Tian Sat! Namun dia juga tidak perduli. Semuanya sudah terlanjur seperti ini, tidak ada lagi hal yang patut dikenangkan baginya. Tok-ku Bu-ti tidak takut lagi menghadapi kematian. Dia hanya tidak ingin mati konyol.

Kehidupan manusia memang selalu ada pasang surutnya. Hanya saja sebelum semua ini terjadi, keadaan Tok-ku Bu-ti melambung terlalu tinggi. Apabila seseorang sudah mencapai kehidupan yang demikian tinggi lalu tiba-tiba terjatuh ke bawah, pasti ia akan mendapatkan pukulan yang hebat sekali. Pukulan semacam ini belum tentu dapat diterima oleh setiap orang. Bahkan manusia hebat seperti Tok-ku Bu-ti pun tidak sanggup menerimanya.

Dari apa yang diperbuatnya sekarang, caranya membalas dendam, tampaknya kepercayaan Tok-ku Bu-ti terhadap dirinya sendiri sudah surut sebagian. Namun apakah orang- orang akan mengerti mengapa dia sampai mengambil tindakan demikian. Pukulan batin yang berat membuat pikirannya menjadi kacau. Dia tidak bisa mempertimbangkan lagi akibat apa yang akan diterimanya apabila dia menggunakan jasa Tian Sat.

Tok-ku Bu-ti memang telah kehilangan segalanya. Murid yang paling disayanginya, anak dan istrinya, keperkasaannya sebagai seorang Buncu, bahkan kehilangan harga dirinya sendiri. Dia tidak menyadari bahwa dirinyalah yang mengakibatkan semua ini. Bukan Sen Man Cing, bukan Wan Fei Yang, bukan pula Yan Cong Tian. Bahkan bukan pula Ci Siong to jin yang sudah mendahuluinya.

Pada dasarnya, sejak Bu-ti-bun dikuasai oleh pihak Thian-ti, dia sudah kehilangan tempat tinggalnya. Sekarang bertambah satu lagi persoalan yang membuat semuanya semakin kacau. Dia tidak tahu harus kemana. Perjalanan di hadapannya seperti hamparan kabut.

* * *

Tengah hari ...

Tok-ku Bu-ti berjalan di sebuah jalan raya pada sebuah kota yang lainnya. Dia sudah jauh meninggalkan Pek-ka-cik. Dia yakin kota yang satu ini bukan terdiri dari anggota Tian Sat sebagaimana desa Pek-ka-cik. Setiap orang yang berlalu lalang di sepanjang jalan tampaknya biasa-biasa saja. Sikap mereka terlihat wajar.

Seorang laki-laki berusia setengah baya berjalan dari arah depan. Punggungnya membawa sebatang pedang panjang. Tanpa sadar Tok-ku Bu-ti mengawasinya. Dia mengingatkan dirinya untuk berhati-hati terhadap segala kemungkinan, tapi laki-laki setengah baya itu bahkan tidak melirik sekilas pun ke arah Tok-ku Bu-ti. Dengan langkah lebar dia melewati Tok-ku Bu-ti.

Dia melangkah dengan tenang. Penampilan wajahnya juga tidak mencurigakan. Sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang sedang mengincar Tok-ku Bu-ti. Namun baru saja dia lewat di samping Tok-ku Bu-ti beberapa tindak, orang yang sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan tersebut tiba- tiba menghunus pedangnya dan menusuk ke arah Tok-ku Bu- ti.

Pedang yang digunakannya berbentuk pipih. Panjangnya hanya satu setengah cun. Sama sekali bukan pedang yang disandangnya di punggung. Dia menyembunyikannya di dalam lengan bajunya yang longgar. Oleh karena itulah Tok- ku Bu-ti cukup terkejut melihat serangannya yang mendadak itu. Sejak tadi dia memperhatikan pedang di punggung orang itu, dia tidak mengira masih ada senjata yang lain disembunyikan. Ketika tangan orang itu bergerak, tubuhnya langsung membalik dan menerjang ke arah Tok-ku Bu-ti.

Untung saja Tok-ku Bu-ti sudah meningkatkan kewaspadaannya. Reaksinya menghadapi serangan itu cukup cepat. Tubuhnya langsung berkelebat. Pedang itu meluncur datang serta sempat mengoyak lengan bajunya. Tok-ku Bu-ti tidak berhenti. Tubuhnya membalik dan telapak tangannya menghantam pada waktu yang bersamaan.

Tubuh orang itu terhuyung-huyung beberapa detik kemudian terpental ke belakang oleh hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti. Dalam waktu yang bersamaan, dua belas batang panah kecil-kecil meluncur ke arah Tok-ku Bu-ti. Ternyata panah- panah itu meluncur dari sebuah kurungan ayam yang ada di sudut jalan. Si pedagang ayam itu langsung muncul dari balik kurungan tersebut. Tangannya menggenggam sebatang pedang panjang. Tanpa menunda waktu lagi dia langsung menerjang ke arah Tok-ku Bu-ti.

Sekali lagi Tok-ku Bu-ti bergeser ke samping. Delapan batang anak panah yang meluncur ke arahnya mencapai sasaran yang kosong.

Tangan Tok-ku Bu-ti mengibas secepat kilat. Sisa empat batang lagi anak panah yang juga sedang meluncur ke arahnya langsung terdorong oleh kibasan lengan baju Tok-ku Bu-ti sehingga berbalik ke arah tuannya sendiri. Kecepatannya ternyata tidak di bawah sambitan si pedagang tadi.

Pada saat itu, si pedagang dengan tangan menggenggam pedang sedang menerjang ke arah Tok-ku Bu-ti. Melihat anak panah yang dilemparkannya tiba-tiba berbalik arah menyerangnya, dia terkejut sekali. Bagaimana pun dia berusaha menghentikan gerakannya, namun tetap saja terlambat satu tindak. Keempat batang anak panah tadi langsung menancap di dadanya. Tubuhnya yang sedang menerjang ke depan langsung jatuh terkulai di atas tanah. Orang itu mengeluarkan suara jeritan yang mengerikan.

Tubuhnya menggelepar-gelepar seperti seekor ayam yang disembelih. Hal ini pasti disebabkan oleh anak panah yang rupanya telah dilumuri racun keji. Sejenak kemudian nyawanya pun melayang.

Pada saat itu, orang-orang di sekitar tempat itu baru menyadari apa yang telah terjadi.

Keadaan langsung menjadi gempar. Mereka berlarian secara serabutan. Bahkan ada yang saling menabrak. Tok-ku Bu-ti memperhatikan sejenak. Dia masih berdiri di tempatnya semula. Beberapa saat kemudian, dia. baru meneruskan kembali langkah kakinya seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal dalam hatinya ia sudah mulai tidak tenang.

Angin menghembus melalui celah lengan bajunya yang terkoyak. Serangkum hawa dingin menyusup di dadanya. Meskipun dia tidak terluka sama sekali, namun dia seperti masih merasakan ketajaman pedang yang digunakan untuk menyerangnya itu.

* * *

Senja hari ...

Tok-ku Bu-ti sampai di depan sebuah kuil tempat sembahyang penduduk sekitar. Sepanjang perjalanannya sampai ke tempat ini, dia sudah diserang lagi sebanyak tiga kali. Pertama kalinya dalam perjalanan. Tiba-tiba sebatang, pohon yang besar tumbang dan seorang manusia berpakaian hitam meluncur ke arahnya dengan kecepatan seperti angin. Tangannya yang menggenggam sebatang batang pedang langsung ditusukkan ke arah Tok-ku Bu-ti. Untung saja dia cukup gesit menghindarkan diri. Kalau tidak, saat ini dadanya pasti sudah berlubang karena tikaman orang itu. Setelah itu, di sebuah rumah makan. Belum lagi dia mengangkat cawannya untuk meminum arak yang dipesannya. Berpuluh-puluh jarum berbisa telah disambitkan kepadanya. Untung saja dia sempat memperhatikan sinar mata pelayan rumah makan itu yang mencurigakan. Kalau tidak, sekarang dia sudah terkapar dengan tubuh membiru.

Setengah kentungan sebelumnya, ketika dia berjalan melewati sebuah jembatan, tiba-tiba jembatan kayu itu ambruk. Di bawahnya telah menanti sebuah jala besar yang penuh dengan pisau-pisau kecil. Sekali lagi dia berhasil menyelamatkan dirinya.

Meskipun tidak cedera sedikit pun, namun hatinya telah tergetar. Semangat hidupnya bagai diacak-acak. Pikirannya tidak sempat beristirahat sekejap pun. Tidak usah diragukan lagi, semua kejadian yang ditemuinya atau yang masih menantinya merupakan cara pembalasan dendam organasasi Tian Sat.

* * *

Suara pembacaan doa masih berkumandang Tok-ku Bu-ti melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan pendopo. Mendengar suara suara para hwesio yang sedang bersembahyang hatinya baru bisa tenang sedikit.

Kuil yang satu ini tidak terlalu besar. Ruan gan pendoponya juga hanya berukuran sedang tampaknya belum berapa lama didirikan. Keadaan tembok dan lantainya masih bagus. Usia para hwesio yang sedang membaca ayat suci juga masih relatif muda. Mereka mengikuti pembacaan doa yang dilakukan oleh tiga orang hwesio berusia lanjut yang bersimpuh di bagian depan.

Tok-ku Bu-ti melangkah dengan perlahan. Dia tidak ingin mengejutkan mereka dengan kedatangannya. Dia duduk di atas sehelai tikar di ujung ruangan. Tiga orang hwesio tua yang ada didepan tidak menunjukkan reaksi apa apa. Para hwesio yang muda hanya melihatnya sejenak dengan pandangan heran. Setelah itu mereka melanjutkan kembali pembacaan doanya.

Asap dupa mengepul-kepul. Suara pembacaan ayat suci semakin nyaring. Semakin lama didengarkan, semangat Tok- ku Bu-ti seperti semakin terbangkit. Sedangkan ketukan pada bokhi setiap kali menggedor sanubari Tok-ku Bu-ti.

Mata Tok-ku Bu-ti terpejam. Dia duduk tidak bergerak. Pikirannya mulai melayang. Hampir sama keadaannya seperti apa yang terjadi di Go-bi-san ketika It-im taisu berusaha menyadarkannya dan mengajaknya memasuki pintu Buddha.

Sayangnya tidak lama kemudian pembacaan ayat suci itu pun berhenti. Tok-ku Bu-ti masih duduk dengan mata terpejam.

Dalam waktu tidak berapa lama saja, wajahnya sudah tampak jauh lebih tua dari sebelumnya. Keadaannya saat itu lebih mirip seorang pendeta tua yang sedang merenungi kesalahannya.

Tiga orang hwesio tua yang tadi bersila di depan sekarang bangkit berdiri dan melangkah perlahan mendekatinya.

Mereka mengucapkan nama Buddha. Salah seorang di antaranya segera menghampiri Tok-ku Bu-ti menyapanya: "Sicu ini. "

Tiba-tiba Tok-ku Bu-ti membuka matany lebar-lebar. "Taisu bertiga, mengapa masih belum turun tangan?" tiba-tiba dia bertanya.

Tiga orang hwesio itu tertegun. "Mohon tanya apa arti ucapan Sicu ini?" tanya hwesio yang di tengah.

Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. "Kalian bertiga mungkin berniat menjadi murid Buddha, maka dari itu dandanan kalian persis sekali. Sayangnya kalian melakukan suatu kesalahan.

Tiga orang hwesio itu hanya memandang Tok-ku Bu-ti dengan tatapan heran. Mereka tidak berkata apa-apa. Tok-ku Bu-ti segera menjelaskan apa maksudnya. "Seharusny kalian tidak boleh mengetuk bokhi tersebut dengan demikian rahasia kalian belum tentu bocor. Sebuah bokhi yang berisi senjata rahasia apabila diketuk, tentu suaranya akan memendam.

Tidak bersih dan nyaring sebagaimana biasanya.

Tiga orang hwesio itu tampaknya tida mengerti apa yang dikatakan Tok-ku Bu-ti. Salah seorang yang berdiri di bagian kiri menggelengkan kepalanya berkali-kali.

"Tampaknya Sicu sudah salah paham terhadap kami.” Sepasang tangannya dirangkapkan. Tubuhnya membungkuk. Tiba-tiba terlihat beberapa carik sinar berkelebatan dari jubah pendetanya yang longgar.

“Sing! Sing!” terdengar dua kali desingan. Tubuh Tok-ku Bu-ti mencelat ke udara. Dua batang pisau terbang meluncur lewat di bawah kakinya dan jatuh berdenting di atas lantai. Dua orang hwesio lainnya langsung mencelat mundur. Masing- masing tangan mereka bergerak. Bokhi yang diketuk-ketukkan tadi sudah berada dalam genggaman tangan mereka.

Tubuh Tok-ku Bu-ti melesat bagai roh gentayangan yang penasaran. Sepasang jari tangannya langsung mengulur ke depan dan mencengkeram bahu kedua orang hwesio tadi. Dia meraung keras, tenaganya langsung dikerahkan.

Terdengarlah suara tulang yang remuk diiringi jeritan ngeri.

Tangannya mengundur langsung merebut bokhi di tangan keduanya. Serangkum senjata rahasia segera meluncur menancap di tubuh kedua hwesio tersebut. Dapat dibayangkan bagaimana penderitaan yang mereka alami. Sudah bahu dicengkeram sampai hancur, selurul tubuh tertancap puluhan senjata rahasia beracun pula. Sebagian dari senjata rahasia itu meluncur lagi dan menancap di bagian tubuh tujuh hwesio lainnya. Tubuh mereka terkulai ke atas lantai seketika. Wajah mereka semuanya membiru. Kulit mereka pun berkeriput tanda betapa kejinya racun yang dilumurkan di atas senjata-senjata rahasia tersebut.

Tok-ku Bu-ti cepat-cepat mengangkat tubuh hwesio tua tadi. Dia menggunakan tubuhnya sebagai senjata untuk menghadapi dua hwesio lainnya. Sinar pedang memijar.

Setiap serangan kedua hwesio itu pasti luput dari sasaran. Malah rekan mereka yang sudah menjadi mayat semakin terkoyak-koyak tubuhnya tergores pedang mereka. Tangan Tok-ku Bu-ti tinggal sebelah yang masih kosong. Dengan tangan itu pula dia menggunakannya sebagai senjata. Dengan kecepatan seperti kilat, jari tangannya menotok ke arah tenggorokan salah seorang hwesio.

"Crep!" Darah mengucur dengan deras. Dalam waktu yang bersamaan tubuh hwesio itu pun terjatuh di atas lantai dengan nyawa melayang.

Suara jeritan ngeri berkumandang di mana-mana. Kuil yang merupakan tempat suci itu sekarang menjadi ajang pembunuhan. Tangan Tok-ku Bu-ti ditarik kembali. Tubuhnya berbalik dan menerjang ke arah hwesio yang satunya. Mata hwesio tua itu menyorotkan mata mengerikan. Pada saat itu, rasa takut sudah memenuhi hatinya. Serangannya sudah berhenti. Dia malah berdiri termangu-mangu menatap Tok-ku Bu-ti. Dengan gerakan secepat angin, Tok-ku Bu-ti merebut pedang di tangannya serta langsung menebas batang leher hwesio tersebut. Batok kepalanya menggelinding di atas lantai seperti sebutir bola. Sungguh pemandangan yang menggidikkan hati.

Para hwesio muda lainnya yang melihat situasi di dalam ruangan itu tidak ada satu pun yang tidak berubah wajahnya. Untuk sesaat mereka juga tertegun. Kemudian menjerit histeris dan lari kocar-kacir. Tok-ku Bu-ti justru yang termangu-mangu sekarang. Tadinya dia mengira semua hwesio muda itu adalah anggota Tian Sat. Kalau ditilik dari ketakutan mereka sekarang, rasanya bukan. Tapi dia tetap menerjang ke arah mereka.

Tok-ku Bu-ti merasa semuanya sudah terlanjur.

Para hwesio muda itu tidak menunggu sampai Tok-ku Bu-ti mendekati mereka. Tangan mereka mengibas. Serangkum demi serangkum senjata rahasia meluncur dari lengan baju mereka. Terdengar suara desingan yang gemuruh.

Tok-ku Bu-ti terkesiap. Untung saja dia sudah mempunyai pikiran untuk tidak melepaskan para hwesio tersebut.

Sepasang telapak tangannya segera dihantamkan ke depan. Senjata rahasia yang meluncur ke arahnya semua terpental balik. Beberapa di antaranya malah menancap di tubuh para hwesio muda itu. Sekali lagi jeritan ngeri memecahkan kesunyian. Tok-ku Bu-ti tidak berhenti bergerak. Tubuhnya melesat ke udara dan sepasang telapak tangannya kembali dihantamkan. Tiga orang lagi hwesio muda yang rubuh bermandikan darah. Dada mereka tergetar sehingga darah segar muncrat dari mulut mereka. Nyawa mereka pun melayang seketika.

Hati Tok-ku Bu-ti sudah dipenuhi hawa pembunuhan. Dia terus mengejar sisa hwesio muda yang masih hidup. Satu per satu diburunya kemudian telapak tangannya menghantam ke sana sini. Dalam sekejap mata tidak ada satu pun dari para hwesio itu yang masih bernafas.

Akhirnya gerakan tubuh Tok-ku Bu-ti terhenti. Dia memandang ke sekitarnya dengan seksama. Setelah yakin tidak ada lagi manusia yang hidup di dalam ruangan itu kecuali sendirinya, dia mendongakkan kepala dan tertawa terbahakbahak.

Suara tawanya sama sekali tidak mengandung sedikit pun kegembiraan, malah terselip nada hatinya yang sunyi dan tidak berteman. Baru kali ini Tok-ku Bu-ti merasakan betapa sendirinya ia di dunia ini. Tidak ada lagi orang yang menantikan kepulangannya, tidak ada lagi orang yang mengkhawatirkan nasibnya. Wajah Tok-ku Hong pun terlintas di benaknya. Segurat rasa sakit seakan mengiris-iris hatinya yang memang sudah terluka.

Kemudian dia menarik nafas panjang. Selama ini dia tidak berani memandang remeh, organisasi yang menamakan dirinya Tian Sat ini, tapi kehebatan dan kekuatan organisasi ini benar-benar di luar dugaannya. Masih banyakkah bahaya yang akan ditemuinya sepanjang perjalanan hidupnya? Tok-ku Bu-ti tidak berani memastikan. Hanya satu hal yang disadarinya. Bagaimana pun dia tidak bisa terus-terusan seperti ini. Sudah berapa hari dia tidak dapat tidur nyenyak.

Bahaya mengintilnya di mana-mana. Bahkan untuk makan saja pun dia tidak tenang. Di manapun dia makan, pasti akan ada kemungkinan bahwa rumah makan yang disinggahinya telah disuap oleh organisasi Tian Sat. Suatu hari pasti akan tiba saat apesnya. Pada waktu itu dia sendiri tidak yakin dapat melolos kan diri dari maut.

Tok-ku Bu-ti sadar begini terus bukan jalan yang baik. Kalau dia ingin hidup tenang maka di harus mencabut rumput sampai ke akar-akarnya. Dia harus berhasil menemukan kepala organisas ini dan membasmi seluruh anggota mereka sampai tuntas. Kalau tidak, tentunya hanya dengan kematiannya saja, kejaran Tian Sat terhadap dirinya baru dapat dihentikan.

Tetapi, dengan mengandalkan kekuatanny seorang, apabila ingin menghancurkan organisai Tian Sat ini, benar-benar bagai bermimpi di siang hari. Boleh dikatakan, saat ini baginya hanya ada satu jalan, yaitu kematian.

* * * Meskipun Bu-ti-bun sudah tinggal namanya saja, tapi setidaknya Tok-ku Bu-ti pernah berdiri sebagai seorang Buncu yang disegani orang banyak. Partai Bu-ti-bun pernah menggetarkan dunia kangouw sebagai perguruan terbesar di jaman keemasannya.

Seandainya dia memang harus mati, dia tetap ingin mati sebagai seorang pendekar besar. Kalau dia sampai mati terbunuh oleh anggota organisasi seperti Tian Sat, bukan saja kematiannya tidak gemilang, malah dia akan menjadi bahan tertawaan meskipun tubuhnya telah terkubur di dalam tanah. Bukankah ada pepatah yang mengatakan, "Harimau mati meninggalkan kulitnya, gajah mati meninggalkan gadingnya, maka manusia mati meninggalkan namanya."

Setidaknya dia harus mati dengan nama yang dikenang dalam sejarah. Ketika gelak tawanya terhenti, dalam benak Tok-ku Bu-ti sudah terlintas sebuah rencana.

* * *

Senja jari ...

Angin bertiup semilir. Daun-daun beterbangan di atas tanah. Orang yang lalu-lalang di jalan raya melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa. Angin bertiup semakin kencang. Tamu- tamu yang singgah di rumah makan sudah mulai penuh.

Mereka pasti enggan berjalan di bawah tiupan angin yang kencang itu.

Rumah makan di sudut jalan itu tidak terlalu besar. Arak yang disajikan juga lumayan mutunya. Bakpao dan sajian kecil lainnya yang dihidangkan di atas meja juga cukup membangkitkan selera. Hal ini membuktikan bahwa tukang masak yang memegang peranan di rumah makan itu mempunyai ilmu masak yang lumayan. Rupanya pemilik rumah makan itulah yang merangkap sebagai tukang masak. Bukan hanya makanan kecilnya saja, hidangan utama yang lainnya juga lezat sekali. Tidak heran usahanya selalu laris sepanjang tahun.

Para tamu yang datang ke rumah makan itu selalu membawa teman-temannya. Hanya satu orang yang merupakan kekecualian. Dia duduk di sudut ruangan dengan punggung membelakangi pintu masuk. Pakaiannya terbuat dari kain kasar berwarna biru langit. Kepalanya menunduk rendah- rendah dan menikmati hidangan yang disajikan di hadapannya.

Dia hanya memesan beberapa butir bakpao, sekendi arak lama. Dengan tenang dia menikmati makanannya tanpa memperdulikan orang-orang yang memenuhi sekitarnya. Kalau dilihat dari punggungnya, sama sekali tidak ada yang menarik dari orang ini. Tapi tetap saja ada dua orang tamu yang memperhatikannya sejak dia masuk ke dalam rumah makan tersebut.

Dua orang itu merupakan laki-laki setengah baya. Mereka mengenakan pakaian piauwsu. Mereka masuk ke dalam rumah makan itu setelah orang yang mengenakan pakaian biru melangkah masuk. Hal ini membuktikan bahwa mereka sudah mengikutinya dari kejauhan. Tentu saja tujuan mereka bukan sekedar makan dan minum. Meskipun mereka memesan beberapa macam hidangan, tapi yang masuk ke dalam perut mereka justru terlalu sedikit.

Tiba-tiba orang yang duduk di bagian kiri tertawa terbahak- bahak. "Sun heng, tidak dinyana kita akan bertemu di tempat ini. Kali ini boleh atau tidak akulah yang mentraktir!"

"Siapa yang traktir kan sama saja!" rekannya ikut tertawa. Setelah berdiam sejenak, tiba-tiba dia bertanya. "Oh ya, Li heng, apakah sepanjang perjalanan menuju ke tempat ini kau ada mendengar berita-berita yang hangat?"

"Tentu saja ada. Malah orang-orang sedang ramai membicarakannya. Siau Yau kok telah berhasil membasmi Bu-ti-bun ... "

"Itu sih aku juga sudah mendengarnya. Malahan menurut kabar yang tersiar, Fu Giok Su yang menjabat sebagai Ciang bun jin Bu-tong-pai, ternyata adalah cucu ketua Siau Yau kok yang merupakan aliran sesat itu."

"Tidak salah ... "

"Aih ... nasib Bu-tong-pai memang mengenaskan. Bermacam- macam musibah melanda partai itu. Belum lama Ci Siong tojin meninggal, tahu-tahu murid yang diterimanya adalah cucu musuhnya sendiri."

"Apa tidak? Malah seseorang yang bernama Wan Fei Yang yang menjadi kambing hitam sehingga dikejar-kejar oleh semua pihak. Oh ya ... apakah Li heng sudah mendengar bahwa Wan Fei Yang itu ternyata anak hasil hubungan gelap antara Ci Siong tojin dengan piau moaynya?"

Tubuh orang yang mengenakan pakaian berwarna biru itu agak bergetar mendengar pembicaraan mereka.

"Tentu saja sudah ... Hm, tidak disangka seorang Ciang bun jin sebuah partai besar dapat melakukan perbuatan seperti itu," sahut orang yang dipanggil Li heng.

"Hal ini juga tidak dapat kita menyalahkan diri Ci Siong tojin. Peristiwa itu terjadi ketika dia belum menyucikan diri menjadi Tosu. Manusia kau tidak dapat terlepas dari jerat asmara. Dia sendiri juga tidak menyangka akhirnya akan terlahir seorang anak bernama Wan Fei Yang."

"Aikh ... semua ini memang sudah takdir Thian yang kuasa. Yang harus disalahkan malah sebetulnya nasib Bu-tong-pai yang memang mengenaskan ... " "Untung saja ada seorang Wan Fei Yang. Apalagi Yan Cong Tian juga kabarnya berhasil melatih ilmu Tian can sinkang, dengan demikian kemungkinan besar nama Bu-tong-pai dapat bangkit kembali."

"Namun Wan Fei Yang dalam keadaan tragis. Dia mencintai seorang gadis yang ternyata adik kandungnya sendiri ...

Untung saja isteri Tok-ku Bu-ti sempat datang mencegah terjadinya bencana yang lebih hebat."

"Betul ... Dengan kabar mereka kakak beradik memang hampir melakukan perbuatan terkutuk itu, untung saja wanita itu keburu datang. Benar-benar sesuatu yang dikatakan keberuntungan di dalan kemalangan," kata si laki-laki she Sun. Dia menarik nafas panjang. "Dalam keadaan murka, katanya Wan Fei Yang menyerang Tok-ku Bu-ti habis habisan.

Kemudian dia berhasil dihalangi oleh muridnya yang bernama Kongsun Hong. Kasihan orang itu mengorbankan dirinya demi seorang guru yang tidak patut dibela. Setelah itu menurut kabar Wan Fei Yang pergi entah kemana."

Orang she Li ikut-ikutan menarik nafas panjang. "Lebih baik kalau dia tidak pergi."

"Kenapa?"

"Peristiwa ini terjadi baru-baru ini saja, tidak heran kalau Li heng belum mendengar beritanya.”

"Apa sebetulnya yang telah terjadi?"

"Setelah Wan Fei Yang pergi, Yan Cong Tian membakar musnah bekas markas Bu-ti-bun. Setelah itu mereka kembali ke Bu-tong-san. Di sana dia mencari tukang untuk memperbaiki beberapa ruangan yang rusak akibat bentrokan dengan Thian-ti dan kawan-kawan tempo hari. Siapa sangka dia malah ... " Orang she Sun itu entah sengaja atau tidak menghentikan perkataannya sehingga membuat orang yang mendengarkan jadi penasaran.

Beberapa tamu yang sejak tadi sudah ikut mendengarkan semakin mempertajam telinga mereka. Sedangkan kawannya yang she Li segera mendesaknya: "Bagaimana?"

"Tidak tahunya ketika Yan Cong Tian memeriksa cara kerja tukang-tukang itu, dia kena dibokong. Ternyata tukang-tukang itu semuanya palsu. Entah siapa mereka, tapi yang pasti Yan Cong Tian mati secara mengenaskan di tangan mereka ... "

Tepat pada saat itu orang yang mengenaskan pakaian biru bergetar hebat. "Tidak mungkin!" teriaknya tanpa sadar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar