Ilmu Ulat sutera Jilid 25

Jilid 25

Dalam waktu yang bersamaan, tiga sosok tubuh manusia melayang jatuh dari atas. Tiga sosok mayat.

Kepala Cian-bin-hud yang gundul hampir terbelah menjadi dua bagian. Pakaian Cukek Ming penuh dengan bercak darah.

Entah berapa banyak jarum beracun yang menusuk tubuhnya. Sedangkan dada Teng-cu retak parah bahkan lubang di tengahnya menganga mengerikan.

Kongsun Hong marah sekali. Baru saja dia hendak menerjang ke arah Fu Giok-su, Tok-ku Bu-ti sudah melarangnya.

“Pertarungan hari ini merupakan penyelesaian utang piutang antara Bu-ti-bun dan Bu-tong-pay yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Mengapa ada orang luar yang ikut campur dalam urusan ini?” tanya Tok-ku Bu-ti setenang mungkin.

“Apakah Buncu tidak melihat bahwa mereka bukan mati hari ini?” Fu Giok-su malah berbalik mengajukan pertanyaan.

“Ditilik dari ucapanmu, orang-orang yang kau undang itu, hari ini tidak akan turun tangan mencampuri urusan kita?”

“Itu sih harus ditanyakan sendiri pada orangnya!” tampang Fu Giok-su sengaja dibuat seperti merasa serbasalah. “Mereka adalah angkatan cianpwe bagiku. Ada pepatah yang mengatakan, yang muda harus menurut apa yang dikatakan oleh yang tua!”

“Bagus! Pepatah yang bagus sekali!” mata Tok-ku Bu-ti beralih kepada Kongsun Hong. Seakan ada sesuatu yang disembunyikan dalam sinar matanya.

Fu Giok-su rupanya dapat sorot matanya tadi.

“Pangcu juga tidak perlu memberi isyarat kepada Kongsun Hong untuk mencari bantuan. Dua ratus tujuh orang anggota Bu-ti-bun yang melakukan perjalanan secara diam-diam mengiringi Tok-ku Pangcu, tidak ada satu pun yang masih hidup!” katanya tiba-tiba.

Kongsun Hong terkejut. Wajah Tok-ku Bu-ti berubah hebat. “Sungguh telengas caramu turun tangan!”

Fu Giok-su meremas tangannya sambil tersenyum lebar. “Nyali kecil bukan laki-laki sejati, tidak keji tidak bisa menonjolkan diri!”

“Bagus!” seru Tok-ku Bu-ti sekali lagi. “Hidup-matinya para murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay, pasti kau juga tidak peduli sama sekali!”

Senyum Fu Giok-su semakin lebar. “Hari ini tidak mati, kelak toh harus mati juga. Dengan demikian, mati sekarang saja juga tidak menjadi persoalan bukan?”

Tok-ku Bu-ti tertawa sumbang. “Tampaknya, hari ini aku juga jangan mengharapkan sebuah pertarungan yang adil!”

“Pada permulaannya, rasanya masih adil.”

Mata Tok-ku Bu-ti menyapu ke sekeliling. “Para sahabat yang menyembunyikan diri Kalian sudah boleh keluar sekarang!” Baru saja ucapannya selesai, dari balik sebuah batu karang yang besar terlihat Thian-ti berjalan keluar dengan tersenyum- senyum.

“Tok-ku Bu-ti, dua puluh tahun saja tidak bertemu, tidak tersangka kau sudah berubah tua begitu banyak!” sindirnya ketus.

Sinar mata Tok-ku Bu-ti tajam sekali.

“Mungkin karena kau setiap hari menyumpahi aku di dalam telaga dingin belakang Bu-tong-san selama hampir dua puluh tahun,” sindiran Tok-ku Bu-ti tidak kalah sinis.

Wajah Thian-ti langsung berubah kelam. Pada saat itu, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek juga muncul serentak. Mereka mengambil posisi masing-masing dan mengurung Tok-ku Bu-ti serta Kongsun Hong.

Penampilan Tok-ku Bu-ti masih adem ayem. “Tokoh Siau-yau- kok muncul sekaligus. Seandainya aku Tok-ku Bu-ti sampai kalah, rasanya bangga juga.”

“Sebetulnya sejak semula kau sudah tahu asal usul Giok-su. Pada saat itu juga kau sudah harus berpikir bahwa kami pasti akan muncul juga.”

“Sayangnya aku tidak berpikir akan hal itu,” sahut Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. “Aku selamanya ini tidak pernah memerhatikan manusia-manusia yang selama puluhan tahun hanya bisa bersembunyi di lubang tikus!” Thian-ti mendengus marah. “Sungguh mulut yang tajam. Mengagumkan! Mengagumkan!”

Tok-ku Bu-ti mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak- bahak. “Kalau hendak maju, sekarang juga kalian boleh maju semuanya!”

“Untuk sementara Giok-su sendiri saja sudah cukup.” “Berapa cucu yang kau miliki?” tanya Tok-ku Bu-ti tiba-tiba. “Cuma satu ini!”

“Kau tidak takut keturunanmu putus sampai di sini?”

Thian-ti tertawa lebar. “Giok-su toh tidak melatih ilmu Mit-kip- sin-kang. Tubuhnya juga sehat sekali. Mengapa takut putus turunan?”

Pada saat itu juga, Tok-ku Bu-ti seakan merasa ada sebatang jarum besar yang menusuk ulu hatinya. Wajahnya menjadi kelam seketika. Melihat keadaan itu, Thian-ti bangga sekali.

Dia tertawa terbahak-bahak.

“Menurut pendapat Sun-ji, kita sudahi saja pembicaraan ini sampai di sini. Kalau diteruskan, tentu kita dianggap tak adil,” tukas Fu Giok-su.

Tok-ku Bu-ti tertawa dingin beberapa kali. Fu Giok-su maju dua tindak. Toya di tangannya digetarkan. Terlihat kilauan berbunga-bunga. Bayangannya bagai beratus-ratus.

“Silakan Tok-ku Buncu memberi pelajaran!” kata Fu Giok-su sambil menjura sekali lagi.

“Bagus sekali!” kata Tok-ku Bu-ti. Tongkat kepala naganya dientakkan, kemudian dikibaskan ke depan. Jurus yang satu ini tampaknya tidak mengandung perubahan, tetapi kekuatannya seperti geledek yang bergemuruh memecahkan keheningan bumi.

Fu Giok-su tidak menangkis serangan itu. Dia menggeser tubuhnya. Toya di tangannya ditarik. Terlihatlah toya tersebut terbelah menjadi dua bagian dengan seutas rantai di tengahnya sebagai penyambung. Fu Giok-su menyabetkan ujung toya ke arah tenggorokan Tok-ku Bu-ti. Dengan susah payah laki-laki itu berhasil menghindarinya. Tongkat kepala naganya berputar ke sekeliling. Fu Giok-su mencelat mundur. Begitu ada kesempatan, dia mendesak maju lagi. Dia melakukan penyerangan dengan gencar. Tempat yang diincar selalu tenggorokan Tok-ku Bu-ti.

Bayangan tubuh Tok-ku Bu-ti berkelebat seperti anak panah yang dibidik dari kiri dan kanan. Kadang-kadang sebelah telapak tangannya menghantam.

“Bu-tong-liok-kiat sudah pernah aku lihat bahkan rasakan beberapa kali. Tapi tidak ada satu pun yang memainkannya dengan cara sekeji dirimu,” kata Tok-ku Bu-ti dingin.

“Sayangnya masih tidak sanggup melukai Tok-ku Pangcu!” sahut Fu Giok-su sambil mengubah gerakannya. Coa-tiau- cap-sa-sut segera dikerahkan. Coa-tiau-cap-sa-sut ini tidak pernah diwariskan kepada siapa pun. Tok-ku Bu-ti juga belum pernah melihatnya. Untuk sesaat dia tidak bisa menentukan gerakan Fu Giok-su, dia malah terdesak sejauh tiga depa. “Apakah yang kau mainkan ini juga ilmu Bu-tong-pay?” tanya Tok-ku Bu-ti penasaran.

“Terus terang saja, yang satu ini memang ilmu pusaka Bu- tong-pay yang tidak pernah diwariskan kepada siapa pun. Namanya Coa-tiau-cap-sa-sut!” sambil menjawab, Fu Giok-su tidak berhenti bergerak.

Sekarang dia menggunakan jurus Coa-hua-liong-hui (Ular Berubah Menjadi Naga Terbang). Tubuhnya mencelat ke udara dan berputaran beberapa kali. Benar-benar seperti seekor naga sakti yang sedang terbang di langit. Sepasang telapak tangannya tiba-tiba dikatupkan. Sambil melayang dia mencengkeram tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti. Begitu kuatnya tarikan itu sehingga tubuh Tok-ku Bu-ti ikut tergetar.

Thian-ti mengambil kesempatan itu baik-baik. Sepasang telapak tangannya meluncur mengancam kedua pundak Tok- ku Bu-ti. Laki-laki itu terpaksa melepas tongkat kepala naganya. Sementara itu Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek menerjang dari empat arah yang berlawanan.

“Manusia rendah!” bentak Kongsun Hong murka. Tubuhnya meluncur. Sepasang jit-guat-lun di tangannya melayang maju.

Siapa tahu baru saja dia menemukan titik lowong untuk menerjang masuk, sebelah kaki Tok-ku Bu-ti sudah tiba di hadapannya dan menendang Kongsun Hong sampai terpental jauh. Kongsun Hong tentu saja tidak menyangka sama sekali.

“Cepat pergi!” bentak Tok-ku Bu-ti dengan suara lantang. “Suhu ” panggil Kongsun Hong sambil maju lagi dua

langkah.

“Kalau kau tidak pergi, aku yang pertama-tama akan membunuhmu!” teriak Tok-ku Bu-ti marah.

Suaranya tajam sekali. Kata-katanya baru selesai, Fu Giok-su sudah menerjang ke arah Kongsun Hong. Tok-ku Bu-ti segera menghantam telapak tangannya ke depan untuk mengadang Fu Giok-su. Tapi begitu dia bergerak, Hujan, Angin, dan Geledek segera bergerak juga. Posisi mereka tetap dalam keadaan mengepung Tok-ku Bu-ti.

Setelah terkena tendangan tadi, Kongsun Hong sudah mengerti maksud Tok-ku Bu-ti. Dia tahu kalau dia masih berada di sana, bukan saja tidak dapat memberi bantuan apa- apa malah membuat perhatian Tok-ku Bu-ti terpencar. Dia juga tahu bahwa kali ini Tok-ku Bu-ti akan mengerahkan segenap kekuatannya untuk bertarung. Dia tidak berani berdiam lama-lama di tempat itu. Dengan panik dia menghambur ke bawah gunung.

Tok-ku Bu-ti menyambut serangan Hujan, Kilat, Angin, dan Geledek dengan gencar. Diam-diam dia memerhatikan bahwa Kongsun Hong sudah agak jauh. Dia sendiri berusaha melepaskan diri dari kepungan keempat orang itu. Tetapi pada saat itu juga, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek sudah memencarkan diri. Posisi mereka berubah. Barisan Hujan, Angin, Kilat, Geledek segera dikerahkan.

Keempat orang itu berlatih keras selama bertahun-tahun. Tujuannya memang untuk menghadapi Tok-ku Bu-ti. Begitu barisan itu mulai bergerak, bayangan mereka bagaikan pelangi yang tidak henti bergerak. Tok-ku Bu-ti terkejut sekali. Cepat dia menoleh ke arah kanan di mana terletak bagian im- yang. Hanya di situ ada kekosongan yang dapat dijadikan jalan keluar baginya. Namun dua bagian itu langsung diisi oleh Fu Giok-su dan Thian-ti. Hilangnya kesempatan Tok-ku Bu-ti untuk menerobos barisan tersebut.

Tetapi Tok-ku Bu-ti memang tidak berlebihan apabila disebut manusia yang cerdas. Setelah menerjang beberapa kali tanpa hasil, dia mulai melihat titik kelemahan barisan tersebut. Dia segera menerobos bagian itu, tapi terpaksa terdesak kembali karena serangan Fu Giok-su dan Thian-ti.

Tiba-tiba terlihat segumpal asap merah meluncur dari kaki bukit ke atas langit. Tok-ku Bu-ti mendengus dingin. “Siapa lagi yang kalian undang untuk membantu mengalahkan aku? Suruh naik saja sekalian!” katanya kesal.

Thian-ti tertawa cengar-cengir. “Dugaanmu kali ini salah. Asap tadi merupakan isyarat bahwa murid Go-bi-pay dan Bu-tong- pay sudah menyerbu ke Bu-ti-bun,” sahutnya menjelaskan.

Wajah Tok-ku Bu-ti semakin berubah. Dia menghimpun hawa murninya dan mengerahkan Mit-kip-sin-kang. Berturut-turut dia melancarkan empat belas kali serangan. Pada saat itu juga Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek memutar tubuhnya secepat kilat. Gerakan mereka seperti gasing mainan anak- anak. Namun deru angin yang ditimbulkan oleh tubuh mereka ibarat badai yang menggulung. Seluruh serangan Tok-ku Bu-ti berhasil ditolak.

Melihat serangannya yang gencar masih juga tidak membawa hasil, hati Tok-ku Bu-ti mulai tergetar. Seakan ada batu berat menekan di atas kepalanya. Untuk sesaat dia hanya menggeser kakinya ke kiri dan kanan. Otaknya masih bekerja keras mencari akal menerobos barisan tersebut.

Mengetahui keadaannya yang mulai kewalahan Thian-ti tertawa terbahak-bahak. “Tok-ku Bu-ti, hari ini Kuan-jit-hong akan menjadi tanah pemakamanmu.”

“Belum tentu!” sahut Tok-ku Bu-ti sambil bergerak mundur satu langkah kemudian menghimpun hawa murninya kembali.

Tubuh Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek bergerak serentak. Kembali mereka berputaran seperti sebelumnya kemudian mendadak berhenti. Keempatnya langsung menerjang ke arah Tok-ku Bu-ti. Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, golok Geledek, serta pedang Kilat, semuanya dikerahkan dalam waktu bersamaan.

Tok-ku Bu-ti meraung keras. Kibasan lengan baju Angin terhajar robek oleh hantaman telapak tangannya. Jarum beracun Hujan terkena angin tepukannya dan melenceng melewati samping pundaknya. Telapaknya menghantam terus dengan gencar. Kembali pedang Kilat terhajar olehnya sehingga terpental keluar dari barisan. Keadaan Geledek yang lebih mengenaskan. Golok dan orangnya melayang sejauh dua depa.

Fu Giok-su sama sekali tidak menyangka akan terjadi hal demikian. Namun dia bergerak cepat. Selagi tenaga hantaman pertama tadi sudah hampir habis dan Tok-ku Bu-ti belum sempat mengerahkan tenaga baru, dia langsung menyerangnya dengan salah satu jurus Coa-tiau-cap-sa-sut. Anak muda itu mengerahkan segenap tenaganya menahan hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti. Sedangkan Thian-ti juga langsung menggunakan kesempatan itu menghajar belakang punggung Tok-ku Bu-ti dengan sepasang telapak tangannya.

Terdengar suara “Hoakkk! Hoakkk!” dua kali. Tok-ku Bu-ti memuntahkan darah segar dua kali berturut-turut. Tubuhnya terpental dengan gerakan melayang langsung meluncur ke dalam jurang. Para lawannya segera menghambur ke tepi jurang. Terlihat tubuh Tok-ku Bu-ti semakin mengecil kemudian menghilang dalam kabut yang berselimut.

Tanpa dapat menahan diri lagi, Thian-ti mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak. Hujan, Angin, Kilat, Geledek, dan Fu Giok-su saling pandang sekilas. Mereka juga ikut tertawa keras-keras. Tok-ku Bu-ti sudah berhasil dilenyapkan. Orang lainnya tidak dipandang sebelah mata lagi oleh mereka. Tampaknya kerja keras mereka selama puluhan tahun untuk menguasai dunia persilatan tidak lama lagi akan menjadi kenyataan

*****

Kantor pusat Bu-ti-bun pada saat ini sudah tenang kembali. Yang mati atau yang terluka tidak terhitung. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Para murid Go-bi dan Bu-tong sedang berbenah diri. Mereka juga menghitung jumlah-jumlah yang terluka atau terbunuh. Sebetulnya yang terluka juga sudah boleh dihitung sebagai orang mati. Luka yang mereka alami demikian parah sehingga kesempatan hidup mungkin satu persen pun tidak ada. Meskipun Bu-ti-bun sudah menduga para murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay akan datang menyerbu dan mereka sudah mengadakan persiapan sebelumnya, namun mereka sama sekali tidak menyangka kalau pihak lawan benar-benar licik.

Pertempuran mereka lebih-lebih dari pecah perang.

Pertama-tama Hek-pai-siang-mo dikalahkan oleh Kuan Tiong- liu dengan tiga jurus terakhir Lok-jit-kiam-hoat. Walaupun Yi Pei-sa memohon pengampunan bagi kedua bekas suhunya itu, Kuan Tiong-liu tetap turun tangan keji terhadap mereka.

Dengan kematian Hek-pai-siang-mo, para anggota Bu-ti-bun seperti ular tanpa kepala. Mereka menjadi kalang kabut dan kocar-kacir. Sampai senja menjelang pada hari yang sama, semua sudah tersapu bersih.

Pada saat itu, Fu Giok-su baru kembali. Dia hanya seorang diri. Tangannya mendekap di depan dada. Seakan terhuyung- huyung. Langkah kakinya juga tampak berat, seolah-olah telah terluka parah. Melihat keadaannya, Kuan Tiong-liu sudah mempunyai perhitungan tersendiri. Sambil maju menyambut, tenaganya disalurkan ke telapak tangan.

“Kali ini benar-benar menyusahkan Fu-heng ” katanya

sambil mengulurkan tangan dengan gerakan cepat. Dia bermaksud mencengkeram urat nadi di pundak Fu Giok-su.

Tetapi cengkeramannya gagal mengenai sasaran. Kuan Tiong-liu langsung terpana. Fu Giok-su malah tertawa lebar.

“Kuan-heng begitu bertemu langsung turun tangan keji, apakah tidak terlalu cepat mengambil tindakan?” tanyanya tenang. Pada saat itu Kuan Tiong-liu baru merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Dia mundur satu langkah. “Ternyata Fu- heng sama sekali tidak terluka!” katanya gugup.

“Aku hanya ingin menguji ketulusan hati Kuan-heng, bagus sekali ...!”

“Apanya yang bagus?” tanya Kuan Tiong-liu penasaran.

“Kuan-heng tidak tulus, aku terlebih-lebih harus berbuat kejam. Apakah tidak bagus jadinya?” Fu Giok-su menyeringai menyeramkan.

Tanpa sadar tubuh Kuan Tiong-liu bergetar.

“Ilmu Mit-kip-sin-kang milik Tok-ku Bu-ti hebat sekali. Sungguh tidak ternyana Fu-heng bisa mengalahkannya,” katanya tidak habis pikir.

“Hanya mengandalkan beberapa jurus cakar monyet Siaute, mana mungkin bisa mengalahkannya?”

“Kalau begitu ” tanpa terasa alis Kuan Tiong-liu berkerut

seketika.

“Kuan-heng juga termasuk manusia yang cerdas. Tentu dapat menduga apa yang telah terjadi.”

“Apakah Fu-heng telah mengundang beberapa tokoh terkemuka untuk memberi bantuan? Mengapa aku tidak mendengar Fu-heng mengungkit masalah ini?” “Orang pintar hanya berbicara tiga patah kata. Sama sekali tidak boleh membuka rahasia hati. Pepatah ini, Siaute yakin Kuan-heng sudah pernah mendengar bukan?”

Kuan Tiong-liu mendengus dingin.

“Mengapa tidak mengundang orang itu keluar agar Siaute dapat berkenalan?”

“Orangnya sudah keluar ” yang menjawab tentu saja Thian-

ti.

Di belakangnya menyusul Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek. Mereka mengambil posisi di seluruh ruangan. Para murid Bu- tong berseru kaget mendengar kemunculan si makhluk tua. Wajah Gi-song dan Cang-song langsung berubah hebat.

“Giok-su, mengapa kau mengundang makhluk tua itu ke sini?” bentak Gi-song marah.

Fu Giok-su mendelikkan matanya lebar-lebar. Cang-song langsung menyurut dua langkah. Gi-song tetap membusungkan dadanya. Kuan Tiong-liu tertawa lebar. “Tentu saja untuk membalas dendam,” katanya.

“Terkurung dalam telaga dingin selama dua puluh tahun bukan hal yang menyenangkan!” sahut Thian-ti sambil menganggukkan kepalanya beberapa kali. “Tentu saja dendam ini harus diperhitungkan baik-baik!”

Wajah para murid Bu-tong-pay tidak ada satu pun yang tidak berubah. “Sekarang, satu-satunya jalan adalah menggabungkan diri membina kekuatan. Dengan demikian setidaknya masih ada kemungkinan hidup,” kata Kuan Tiong-liu cepat.

Suara bising segera terdengar. Para murid Bu-tong maupun Go-bi-pay menghunus senjata masing-masing. Mata Fu Giok- su menyapu ke sekeliling.

“Kalian salah lagi. Sekarang merupakan waktunya kita saling membutuhkan. Bagaimana mungkin aku akan membunuh kalian. Pokoknya yang menurut yang hidup, yang membangkang ”

“Selama ini ternyata kau berkomplot dengan para penjahat itu. Sungguh memalukan nama Bu-tong-pay!” teriak Gi-song marah.

Fu Giok-su menggelengkan kepalanya. “Selama ini Susiok selalu menganggap diri sendiri paling pintar. Ternyata sampai sekarang masih belum mengerti juga ”

“Mengerti apa?” Gi-song tertegun. Kemudian mendadak dia berteriak. “Apakah kau memang segolongan dengan mereka dan sejak semula sudah mengincar Bu-tong-pay?”

Fu Giok-su menganggukkan kepalanya dengan tenang. “Akhirnya pikiran Susiok terbuka juga.”

“Kalau begitu, tentunya Wan Fei-yang hanya terkena fitnahan dan menjadi kambing hitam bagimu. Sebetulnya kaulah yang membunuh Ciangbun-suheng!”

“Tidak salah    ” Fu Giok-su dengan berani mengaku terus terang.

“Kematian Yan-suheng dan Wan-ji ...!” suara Gi-song langsung bergetar.

“Tentu saja aku juga yang merencanakan semua siasat keji itu

....” mata Fu Giok-su setengah menerawang.

Gi-song marah sekali. Tangannya mengepal erat-erat. “Mengapa kau harus berbuat demikian?” tanyanya dengan mata hampir melotot keluar.

Thian-ti maju ke depan dan menjawab pertanyaan itu, “Karena dia adalah cucuku!”

Mendengar ucapannya, sampai-sampai Kuan Tiong-liu ikut terperanjat. Wajah para murid Bu-tong-pay berubah hebat. Mereka menatap Fu Giok-su dengan penuh kebencian dan kemarahan.

Kuan Tiong-liu segera menggunakan kesempatan itu baik- baik. “Baik dan jahat tidak mungkin berdiri bersama. Mari kita serang orang-orang ini dan balas dendam untuk Ci-siong Tojin!” teriaknya lantang.

Dua orang murid Bu-tong-pay yang adatnya berangasan langsung menerjang ke depan. Keduanya langsung disambut oleh hantaman telapak tangan Thian-ti dan Fu Giok-su.

Sekejap mata mereka terpental kembali, mulut mereka memuntahkan darah segar, nyawa mereka pun melayang seketika.

“Para murid yang masih setia padaku menepi ke bawah tembok sebelah kiri. Yang membangkang tetap di tempat!” teriak Fu Giok-su dengan wajah angker.

Para hadirin langsung gempar. Sebagian besar yang takut mati langsung berjalan berdesak-desakan ke arah bawah tembok sebelah kiri. Mereka tidak berani mendongakkan wajahnya memandang rekan yang lain. Cang-song juga ikut- ikutan menuju ke sebelah kiri. Tangannya menarik ujung baju Gi-song. Tapi pegangannya disentak oleh saudara seperguruannya itu. Dia menuding Fu Giok-su dengan mata mengandung kebencian yang dalam, “Murid murtad!”

Fu Giok-su tertawa dingin. “Kau habisi nyawamu sendiri atau aku yang harus turun tangan?” tanyanya sinis.

Gi-song seperti tidak mendengar kata-katanya. Dia membalikkan tubuhnya ke arah gunung Bu-tong-san dan menjatuhkan diri berlutut.

“Para leluhur Bu-tong-pay, sejak masuk ke dalam perguruan ini, Gi-song selalu membanggakan diri sendiri dan tinggi hati. Tidak pernah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bahkan Gi-song pernah menyumpahi Wan Fei- yang, yang sebetulnya tidak berdosa. Selama dia berada di Bu-tong-san, Gi-song juga tidak jarang mencari masalah dengannya dan menghukumnya dengan cara yang semena- mena. Sekarang Gi-song menyesal namun sudah terlambat. Satu-satunya jalan menebus kesalahan ini hanya mati. Harap para leluhur memberkati Bu-tong-pay. Jangan sampai hancur begini saja. Juga memberkati Wan Fei-yang agar panjang umur dan dapat kembali ke Bu-tong dengan selamat!” Selesai berkata, dia langsung mencabut pedangnya dan menggorok leher sendiri. Para murid Bu-tong yang mengambil keputusan mengikuti Fu Giok-su merasa malu sekali. Kepala mereka tertunduk dalam- dalam. Air mata mengalir dengan deras. Sayangnya mereka tidak mempunyai keberanian seperti Gi-song.

Sedangkan sisa dua puluh orang yang masih berdiri di tempat sangat terpukul hati mereka. Setelah meraung keras mereka menerjang keluar. Kuan Tiong-liu dan Yi Pei-sa juga langsung menerjang. Tangan kedua orang ini saling bergenggaman.

Kibasan lengan baju Angin, jarum beracun Hujan, golok Geledek, pedang Kilat bergerak serentak. Sepasang tinju Thian-ti bergerak serentak. Sepasang tinju Thian-ti bergerak tanpa mengenal kata kasihan. Sedangkan toya Fu Giok-su berkelebat cepat bagai ular berbisa yang siap mematuk mangsanya!

Keenam orang ini adalah tokoh nomor satu di dunia persilatan pada zaman ini. Tentu saja kedudukan mereka sudah di atas angin. Melihat gerakan keenam orang ini, Kuan Tiong-liu sadar sulit menerjang keluar. Dia saling lirik sekilas dengan Yi Pei-sa. Akhirnya kedua orang itu menganggukkan kepala dan menyerang Fu Giok-su serentak.

Darah segar bercipratan ke mana-mana. Kelebatan tubuh manusia bagai bayangan-bayangan setan yang menari-nari. Suara jeritan histeris berkumandang menyayat hati. Satu demi satu mayat roboh dan jatuh menghadap Kuan Tiong-liu. Dia dan Yi Pei-sa menggerakkan pedangnya dengan gencar.

Namun tetap tidak berhasil melukai Fu Giok-su. Ketika mereka merasa suasana di sekitar telah berubah menjadi hening, mereka baru sadar bahwa di dalam ruangan itu hanya tersisa mereka berdua yang masih hidup. Thian-ti, Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek sudah mengepung mereka berdua dari segala penjuru.

Fu Giok-su mundur dua langkah. Dia tertawa lebar. “Aku rasa kita tidak perlu melanjutkan pertarungan lagi!” katanya sinis.

Kuan Tiong-liu menyarungkan pedangnya kembali. Dia menoleh kepada Yi Pei-sa. Gadis itu menyusupkan kepalanya ke dalam pelukan Kuan Tiong-liu.

“Ke mana pun kau pergi, aku akan ikut. Jangan tinggalkan aku seorang diri!” kata gadis itu tenang.

Kuan Tiong-liu menganggukkan kepalanya. “Jangan khawatir

.... Aku akan membawamu serta.” Dia mengerling kepada Fu Giok-su, “Seandainya kami di bawah serangan toyamu, bagi kami hal itu malah merupakan suatu penghinaan!”

“Apa pun yang kau katakan aku tidak peduli!” sahut Fu Giok- su datar.

“Karena kau sama sekali bukan manusia lagi, tapi binatang!” baru saja ucapannya selesai, pedang di tangannya langsung menikam belakang punggung Yi Pei-sa dan dia sendiri segera mengentakkan tubuhnya ke belakang dan pedang itu pun menembus jantungnya.

Satu pedang dua nyawa. Dengan bibir tersenyum Yi Pei-sa mengembuskan napas terakhir dalam pelukan Kuan Tiong-liu. Pada saat itu juga nyawa Kuan Tiong-liu juga melayang.

Mereka mati berpelukan.

Ujung mata Fu Giok-su bergetar sekejap. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya. Tidak ada orang yang tahu bagaimana perasaan hatinya. Tidak seorang pun.

Tepat pada saat itu, para murid Siau-yau-kok sudah berhamburan keluar dari tempat persembunyian mereka. Rupanya mereka telah mempersiapkan diri sejak tadi dan menjaga-jaga seandainya terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Obor-obor menyala dengan terang.

Suara sorakan memekakkan telinga. Mereka menari-nari di atas mayat-mayat yang bergelimpangan.

*****

Di sebuah jalan daerah yang terpencil, sebuah kereta kuda yang sudah tua melaju perlahan. Orang yang menjalankan kereta dan kuda yang menarik di depannya sama-sama tua. Sampai gigi pun sudah hampir ompong semuanya.

Di dalam kabin kereta Sen Man-cing dan Guat Ngo duduk berdampingan. Di belakang mereka tergeletak Wan Fei-yang yang sudah hampir mirip mayat hidup. Seluruh tubuhnya dilapisi sarang laba-laba yang mengepulkan uap dingin. Tentu saja bukan sarang laba-laba betulan. Hanya tampaknya seperti seekor serangga yang terperangkap dalam sarang laba-laba.

Selama ini Sen Man-cing terus memerhatikan perubahan yang terjadi pada diri Wan Fei-yang. Dia sudah mengerti apa sebenarnya yang terjadi. Dia juga sadar bahwa pada saat ini Wan Fei-yang tidak boleh menerima sedikit pun getaran atau guncangan batin. Oleh karena itu, ketika dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, dia langsung mengajak Guat Ngo memapah Wan Fei-yang keluar dari jalan rahasia.

Kepergian mereka untung saja tepat pada waktunya. Baru mereka meninggalkan tempat itu tidak beberapa lama, Liong- hong-kek juga sudah diserbu oleh orang-orang Go-bi-pay dan Bu-tong-pay.

Jalan rahasia itu bukan terletak di dalam Liong-hong-kek. Kalau para anggota Bu-ti-bun tidak sedang pontang-panting menghadapi musuh, tentu mereka juga tidak demikian mudah melarikan diri dari tempat tersebut. Selama beberapa puluh tahun ini, baru kali pertama Sen Man-cing meninggalkan Bu-ti- bun. Dapat dibayangkan perasaan asingnya terhadap dunia luar.

*****

Sementara itu, di pondok peninggalan Hay-liong Lojin, Fu Hiong-kun, dan Tok-ku Hong duduk berhadapan dengan saling membisu. Di belakang mereka ada sebuah makam baru. Di sanalah Yan Cong-tian dikuburkan.

Kejadian itu berlangsung tujuh hari yang lalu. Tiba-tiba Fu Hiong-kun melihat keadaan Yan Cong-tian yang mencurigakan. Dia segera memeriksa. Ternyata napas orang tua itu sudah berhenti. Biar dilihat dari sudut mana pun, Yan Cong-tian sudah tidak menampakkan gejala orang hidup.

Akhirnya dengan perasaan sedih, Fu Hiong-kun terpaksa mengubur Yan Cong-tian. Dia sendiri tetap menetap di tempat itu, dengan harapan bahwa pada suatu hari Wan Fei-yang akan pulang ke sana. Lagi pula dia memang tidak mempunyai tempat tinggal lagi. Dia sadar bagaimana kakeknya membencinya sekarang. Sedangkan melihat perubahan Fu Giok-su, abangnya itu juga tidak mungkin memaafkannya. Pokok persoalannya adalah dia sendiri yang sudah tidak sanggup hidup bersama-sama orang-orang jahat itu.

Wan Fei-yang tidak kembali, malah Tok-ku Hong yang datang ke sana. Fu Hiong-kun merasa di luar dugaan. Apalagi setelah mendengar cerita Tok-ku Hong tentang kehadiran Wan Fei- yang yang mengacau di hari pernikahan gadis itu, Fu Hiong- kun semakin tertekan. Tapi dia adalah seorang gadis berjiwa besar. Dia tidak membenci Wan Fei-yang.

Dia hanya menarik napas panjang. Dia juga tidak cemburu ataupun marah terhadap Tok-ku Hong. Menghadapi seorang gadis yang baik hati dan lembut seperti Fu Hiong-kun, bagaimana mungkin Tok-ku Hong tidak dapat melenyapkan rasa salah pahamnya dulu? Meskipun mulutnya tidak berkata apa-apa, tapi hatinya sudah mengambil keputusan untuk membagi cinta kasih Wan Fei-yang separuhnya untuk Fu Hiong-kun.

Setiap kali mengungkit nama Wan Fei-yang, hati kedua gadis itu menjadi khawatir kembali. Sampai saat ini Wan Fei-yang masih belum pulang ke tempat ini, ke mana perginya pemuda itu? Apakah lukanya terlalu parah sehingga tidak dapat mempertahankan lagi dalam perjalanan?

Teringat akan hal-hal yang buruk, hati keduanya menjadi semakin cemas dan takut. Akhirnya Fu Hiong-kun membimbing gadis itu ke depan makam Yan Cong-tian. Dia bermaksud melupakan sejenak urusan Wan Fei-yang.

Baru saja Tok-ku Hong bermaksud menjatuhkan diri berlutut, tiba-tiba dia merasa tanah yang dipijaknya bergetar. Fu Hiong- kun juga merasakannya. Matanya terbelalak. Tanpa sadar dia menjerit ngeri. Apalagi ketika kuburan itu retak dan terpecah belah lalu tanah berhamburan ke mana-mana disusul dengan suara pecahnya peti mati. Fu Hiong-kun sampai menggigil ketakutan.

“Hong-cici, apa sebenarnya yang terjadi?” tanyanya gugup.

“Mayat hidup ...!” dia sendiri yang mengucapkan kata-kata itu, tapi wajahnya sendiri pula yang berubah menghijau.

Sekali lagi terdengar suara gemuruh yang memekakkan telinga, bagai terjadi gempa bumi yang dahsyat. Kuburan itu merekah lebar dan sesosok tubuh menerjang keluar dari dalamnya!

Wajahnya merah padam, di antara siulan panjang, tubuhnya berjungkir balik dua kali kemudian melayang turun di hadapan Fu Hiong-kun dan Tok-ku Hong. Wajah kedua gadis itu berubah beberapa kali. Mereka mundur beberapa langkah.

Tanpa sadar tangan keduanya bergenggam erat. Mata mereka terbelalak. Mulut terbuka lebar. Yan Cong-tian tertawa terbahak-bahak.

“Anak bodoh! Apa yang kalian takutkan?” tanyanya tenang.

Fu Hiong-kun tersadar. Sukmanya yang tadi baru melayang sekarang kembali lagi. Dengan heran dia memandang Yan Cong-tian lekat-lekat. “Locianpwe ... kau ...?”

Wajah Yan Cong-tian berseri-seri. Dia tertawa terbahak-bahak sekali lagi. “Tiga puluh tahun berlatih dengan susah payah tanpa hasil. Siapa sangka setelah mengalami berbagai penderitaan, ternyata hari ini aku berhasil menguasai Tian-can-kiat!”

“Tian-can-sinkang?” Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun tertegun serentak.

“Ilmu ini merupakan pusaka Bu-tong-pay selain Bu-tong-liok- kiat. Karena Suhu dibokong musuh dan mati pada saat itu juga, beliau belum sempat mengatakan kunci ilmu Tian-can- sinkang ini. Itulah sebabnya aku tidak pernah berhasil melatih ilmu ini. Sampai sekarang aku baru tahu kunci rahasia tersebut,” sahut Yan Cong-tian serius.

Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun mendengarkan dengan termangu-mangu.

“Tian-can-sinkang adalah sebuah ilmu yang luar biasa. Memang harus mengalami luka parah dulu, di ambang kematian lalu hidup lagi, baru memahami sim-hoat yang luar biasa ini. Dengan kata lain, harus orang yang paham sekali sim-hoat ini dan bahkan seorang yang ilmu silatnya hampir musnah baru bisa mendapatkan tenaga Tian-can-sinkang. Kalian tahu bagaimana seekor ulat sutra menjadi dewasa.

Bukankah berasal dari kepompong yang beralih perlahan- lahan dari tidak berdaya menjadi ulat sutra yang berguna? Kurang lebih seperti itulah prosesnya. Sedangkan aku mempelajari dengan membabi buta. Selalu menganggap ada sesuatu yang kurang dalam latihanku sendiri. Tidak tahunya makin dilatih makin runyam. Hampir saja jiwa melayang di tangan Fu Giok-su!”

“Maksud Locianpwe, harus memusnahkan ilmu sendiri dan berlatih kembali dari awal baru bisa berhasil?” tanya Fu Hiong- kun.

“Tidak salah! Persis seperti seekor ulat sutra bukan? Di mana kepompongnya harus terkelupas dulu baru bisa jadi ulat.

Pemecahan sederhana ini ternyata sempat membuat aku pusing selama dua puluh tahunan,” Yan Cong-tian menarik napas dalam-dalam. “Meskipun tempo hari aku meminum obat yang dibawakan oleh Fei-yang, tapi hatiku sendiri sudah putus asa. Mengingat usiaku yang sudah tua, seandainya urat nadi ini bisa tersambung lagi, aku juga tidak banyak kegunaannya lagi. Aku ingin bunuh diri dengan cara menutup jalan pernapasanku. Tidak tahunya, tiba-tiba pikiran ini menjadi kosong melompong. Napas pun benar-benar terhenti. Namun sebetulnya otak ini masih bekerja. Aku dapat mendengar suara apa pun di sekitar, hanya saja tidak dapat memberikan reaksi. Aku bahkan tahu ketika Fu-kouwnio mengubur diriku.”

Fu Hiong-kun tertawa getir. “Aku masih mengira Locianpwe benar-benar telah berpulang.”

“Memang reaksi yang diperlihatkan persis dengan orang yang sudah mati. Dan tenaga dalam yang kulatih selama ini pun musnah seketika, tetapi tenaga Tian-can-sinkang justru mulai terbangkit. Semakin lama bertambah kuat.”

“Kami memberi selamat kepada Locianpwe!” kata Tok-ku Hong dan Fu Hiong-kun serentak sambil menjura.

Yan Cong-tian tersenyum. Tiba-tiba dia berdiri. Seakan ada sesuatu yang teringat dalam ingatannya. “Di mana Wan Fei- yang? Panggil dia kemari! Aku ingin mewariskan rahasia Tian- can-sinkang. Dengan gabungan tenaga kami berdua, selain membasmi murid murtad, nama besar Bu-tong-pay juga dapat dibangkitkan kembali!”

Mendengar ucapan Yan Cong-tian, kedua gadis itu langsung menundukkan kepalanya sambil menarik napas panjang.

Mereka terpaksa menceritakan segalanya. Untung saja sifat Yan Cong-tian sudah jauh berubah. Kalau sifatnya masih seperti dulu, pasti Tok-ku Hong menjadi sasaran marahnya. Tapi sekarang dia hanya menatap langit sembari menggumam seorang diri. Entah apa yang digumamkannya, wajahnya saja yang berubah kelam seketika.

*****

Pada waktu yang hampir bersamaan, benda-benda berwarna putih yang melapisi kulit tubuh Wan Fei-yang tiba-tiba terkelupas. Melihat keadaan itu, Guat Ngo menjerit terkejut. Sen Man-cing buru-buru mendekati, setelah tahu apa yang terjadi, dia malah tertawa lebar. Akhirnya Wan Fei-yang membuka mata. Sinarnya begitu tajam menusuk.

“Selamat! Kau telah berhasil menguasai Tian-can-sinkang!” kata Sen Man-cing segera.

“Apa?” Wan Fei-yang langsung terpaku mendengar ucapannya.

“Beberapa tahun yang silam, suhumu terluka parah. Dia kutolong seperti kau sekarang ini. Setelah tahu bahwa aku berasal dari keluarga Sen yang terkenal dalam latihan lwekangnya, juga karena selama itu dia tidak pernah dapat mengungkapkan rahasia Tian-can-sinkang, maka dia menyebutkan teori ilmu itu kepadaku dengan harapan suatu hari nanti aku akan berhasil memecahkan rahasia yang terkandung di dalamnya. Selama belasan tahun ini aku tetap tidak menghasilkan apa-apa. Demi menolong dirimu, aku terpaksa menyalurkan tenaga dalam ke seluruh tubuhmu.

Ternyata sekali disalurkan, tenaga dalam itu seperti tersedot. Mengalir dengan deras dan kuat tak terkendalikan. Bahkan aku tidak dapat menarik tanganku kembali. Pada saat itulah aku sadar apa yang telah terjadi.”

“Hujin, aku masih belum mengerti!”

Sen Man-cing menghela napas perlahan. “Mahkota kebesaran disimpan selama bertahun-tahun, pakaian kerajaan dikenakan orang lain ”

Pikiran Wan Fei-yang langsung tergerak mendengar syair itu. “Maksud Hujin, meskipun Hujin sendiri yang melatih ilmu Tian- can-sinkang, namun hasilnya tak pernah ada. Malah setelah tenaga dalam Hujin disalurkan ke tubuh Cayhe, barulah ilmu itu berkembang?” 

Sen Man-cing menganggukkan kepalanya sambil menarik napas panjang. “Pada dasarnya, ulat sutra memang harus melalui proses yang lain baru dapat menjadi bahan pakaian. Kalau didiamkan saja, tentu tidak ada manfaatnya. Orang yang memproses ulat itu hanya disebut pemberi jasa.”

“Kongcu, setelah Hujin menyalurkan tenaga Tian-can-sinkang kepadamu, tenaga dalamnya sendiri malah menjadi musnah,” tukas Guat Ngo.

Mendengar keterangan itu, dengan panik Wan Fei-yang menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. “Budi Hujin yang sedalam lautan tidak akan pernah Wan Fei-yang lupakan seumur hidup!” katanya dengan nada terharu.

Sen Man-cing segera memapah Wan Fei-yang bangkit. “Kongcu tidak perlu berterima kasih kepadaku. Semua ini merupakan takdir. Lagi pula tenaga dalamku tidak sampai musnah, masih tersisa sedikit untuk sekadar berjaga diri.”

Wan Fei-yang terdiam mendengar ucapannya. Tiba-tiba dia mengedarkan pandangannya. Dia baru sadar bahwa saat itu dia bukan di kamar Sen Man-cing lagi. “Tempat apa ini?” tanyanya bingung.

“Rumah seorang petani. Kita sudah jauh dari Bu-ti-bun. Seharusnya keadaan kita sudah aman sekarang,” sahut Guat Ngo.

“Apakah telah terjadi sesuatu di markas Bu-ti-bun?”

Sen Man-cing menggelengkan kepalanya seraya menghela napas.

“Bu-ti-bun sudah diserbu oleh gabungan murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay. Kita justru menggunakan kesempatan ketika terjadi keributan itu untuk membawa engkau meninggalkan tempat tersebut,” kembali Guat Ngo yang menjawab pertanyaan Wan Fei-yang.

“Oh?” Hal ini benar-benar di luar dugaan Wan Fei-yang. “Mengapa Go-bi-pay bisa bergabung dengan Bu-tong-pay? Bukankah partai itu sudah dibasmi habis-habisan oleh Tok-ku Bu-ti?” Guat Ngo mengangkat bahunya. “Entah bagaimana persoalannya. Setelah Go-bi-pay dan Bu-tong-pay menyerang Bu-ti-bun sampai hancur lebur, mereka juga diserang lagi oleh pihak yang menamakan diri mereka orang-orang Siau-yau- kok,” sahut gadis itu menjelaskan. 

Mendengar keterangan tersebut, wajah Wan Fei-yang berubah hebat. Pada saat itu juga dia teringat akan Fu Giok- su. Tinjunya mengepal erat-erat. “Pasti dia! Tidak salah lagi, pasti dia yang mengatur segalanya!” teriaknya marah.

“Siapa?” tanya Sen Man-cing penasaran.

“Fu Giok-su!” sahut Wan Fei-yang dengan hati bagai ditikam pisau tajam. “Ciangbunjin Bu-tong-pay generasi sekarang. Dia juga cucu dari ketua Siau-yau-kok, Thian-ti.”

Sen Man-cing menarik napas panjang. “Ambisi orang ini terlalu besar sehingga sampai hati melakukan apa saja.”

“Oh ya, Hujin Apa rencanamu sekarang?” tanya Wan Fei-

yang.

“Aku berharap dapat menemukan Hong-ji secepatnya!” “Dia apa yang terjadi dengannya?”

“Pada saat kau melarikan diri ke Liong-hong-kek, dia juga menggunakan kesempatan itu lari dari Bu-ti-bun. Tampaknya dia sedang mencari engkau ”

“Kalau begitu, rasanya dia pasti ke tempat Yan-supek.” “Di mana? Bisakah kau menunjukkan tempatnya kepadaku?” tanya Sen Man-cing penuh semangat.

“Sekarang juga Cayhe akan mengantar Hujin ke sana.”

“Terima kasih atas kesudian Kongcu,” sahut Sen Man-cing sambil membungkukkan tubuhnya.

“Hujin jangan begitu Cayhe tidak berani menerima

penghormatan seperti ini!” kata Wan Fei-yang sambil cepat- cepat menggeser tubuhnya.

Ketika Sen Man-cing diajak oleh Wan Fei-yang ke tempat tinggal almarhum Hay-liong Lojin, Yan Cong-tian sedang mempersiapkan diri untuk kembali ke Bu-tong-san dan membereskan masalah di sana. Pertemuan antara Wan Fei- yang dan Yan Cong-tian sangat mengharukan. Apalagi setelah mengetahui bahwa mereka sama-sama telah berhasil menguasai Tian-can-sinkang.

Pertemuan antara Sen Man-cing dan putrinya Tok-ku Hong juga menyentuh hati mereka. Yan Cong-tian diberi tahu bahwa Wan Fei-yang berhasil menguasai Tian-can-sinkang atas bantuan Sen Man-cing. Selain gembira, dia juga curiga.

Mengapa Ci-siong bisa mengajarkan teori Tian-can-sinkang kepada orang luar? Semakin dipikirkan, dia semakin tidak mengerti. Tapi dia tidak menanyakannya. Hanya dalam hatinya dia terus bertanya-tanya, apa sebetulnya hubungan Ci-siong dengan Sen-hujin ini? Setelah mengalami berbagai kejadian yang menggetarkan hati, sifatnya memang sudah jauh berubah. Yang lalu biarlah berlalu.

Masalah pertama yang harus diselesaikan tentu saja urusan Siau-yau-kok. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk mendatangi markas Bu-ti-bun yang sudah diduduki orang Siau-yau-kok sekarang.

Sudah pasti Wan Fei-yang langsung menyetujui. Tok-ku Hong mengkhawatirkan keadaan Tok-ku Bu-ti. Dia ingin ikut serta. Hanya Fu Hiong-kun yang serbasalah. Akhirnya mengambil keputusan untuk tetap tinggal dan menjaga Sen Man-cing.

Yan Cong-tian dan Wan Fei-yang tentu saja memaklumi perasaan hati Fu Hiong-kun. Yang dihadapi sebagai lawan adalah abang dan kakeknya sendiri. Dia memang tidak menyetujui tindak-tanduk mereka, namun dia juga tidak sampai hati melihat mereka dibasmi di depan matanya. Tok-ku Hong juga mengerti. Dia merasa gadis itu jauh lebih baik daripada dirinya, tetapi nasibnya juga jauh lebih patut dikasihani. Dia segera menarik Wan Fei-yang ke samping, dan menasihati Wan Fei-yang agar menghibur Fu Hiong-kun.

Gadis itu melihat semuanya dengan jelas.

Dia mengerti apa yang mereka maksudkan. Dia hanya berpesan kepada Wan Fei-yang, “Laki-laki sejati mempunyai pilihan sendiri. Ada yang tidak boleh dilakukan, tapi ada juga beberapa hal yang memang harus dilaksanakan.

Tenangkanlah hatimu. Lakukanlah apa yang kau anggap semestinya. Aku hanya memohon agar kau mengampuni jiwa Yaya dan Giok-su Koko. Selebihnya, hukuman apa pun yang akan kau jatuhkan kepada mereka, aku tidak akan menghalangi.”

Dengan sorot mata penuh pengertian, Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya.

***** Cahaya api tidak terlalu terang. Keheningan mencekam dalam ruangan batu. Wajah Tok-ku Bu-ti lebih kelam lagi. Ruangan batu itu terpencil dalam sebuah sumur tua. Lumut dan rerumputan liar memenuhi tempat tersebut. Kalau dibilang tempat itu tempat yang misterius, memang benar. Oleh karena itu, meskipun jaraknya tidak jauh dari markas Bu-ti-bun, tetapi para anggota Siau-yau-kok yang setiap hari meronda dan menggeledah sekitar tempat itu, tetap tidak pernah menemukannya.

Ruangan batu ini dibangun oleh Pangcu Bu-ti-bun generasi sebelumnya, Sia-hou Tian-cong. Maksudnya adalah untuk tempat menyembunyikan diri bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ternyata Sia-hou Tian-cong tidak pernah menggunakannya, malah muridnya Tok-ku Bu-ti yang memakainya sebagai tempat menyembunyikan diri. Tentu saja Tok-ku Bu-ti merasa tertekan dan kesepian.

Sebelum terjun ke dalam jurang ketika dikeroyok oleh Thian-ti, Hujan, Angin, Kilat, Geledek, dan Fu Giok-su, dia sudah memperhitungkan semuanya dengan matang. Tok-ku Bu-ti bukan baru kali pertama ini bertarung di atas Giok-hong-teng. Selama tiga puluhan tahun dia selalu mengadu kekuatan dengan Ci-siong Tojin di tempat yang sama. Dilihat dari kelicikan manusia itu, tidak mungkin dia tidak memerhatikan daerah sekitarnya dengan saksama. Dia sudah mengenal situasi tempat itu bagai mengenali telapak tangannya sendiri. Oleh karena itu, sepintar-pintarnya Thian-ti dan kawan-kawan, mereka tidak menduga kalau Tok-ku Bu-ti sengaja menjatuhkan diri ke dalam jurang.

Oleh karena itu, bukan saja dia tidak mati di dalam jurang yang dasarnya penuh batu-batu karang, malah dalam saat yang genting dia langsung menangkap sebatang akar liar yang kuat dan sudah tua sekali. Dengan akar itulah dia merayap turun perlahan-lahan. Dengan mengandalkan ilmu silatnya yang tinggi, melakukan semua hal itu tentu bukan hal yang sulit.

Meskipun lukanya cukup parah, tapi dia telah berlatih lwekang selama puluhan tahun. Dengan lwekangnya itu pula, dia dapat menahan lukanya untuk sementara. Setelah mempertimbangkan sejenak, dia mengambil keputusan untuk mengendap-endap kembali ke atas Giok-hong-teng. Dia tidak berani turun gunung melalui tempat yang didatanginya. Pasti masih banyak anggota Siau-yau-kok yang masih berkeliaran di tempat itu. Fu Giok-su adalah manusia yang cerdas.

Sebelum melihat dengan mata kepala sendiri mayat Tok-ku Bu-ti, dia tentu belum yakin kalau orang itu benar-benar sudah mati. Tok-ku Bu-ti, dia tentu belum yakin kedua orang itu benar-benar mati. Tok-ku Bu-ti mencari tempat persembunyian yang strategis dan di sana dia menghimpun hawa murninya untuk menyembuhkan luka yang dideritanya.

Di tempat itu dia menginap satu malam, keesokan paginya, Kongsun Hong sudah datang kembali. Dia mencari Tok-ku Bu- ti di seluruh tempat itu. Setelah yakin keadaan sudah aman, barulah Tok-ku Bu-ti muncul dari tempat persembunyiannya dan bertemu dengan Kongsun Hong.

Dalam seumur hidupnya, baru kali pertama ini Tok-ku Bu-ti terpaksa bersembunyi dari musuhnya, bahkan menggunakan akal licik untuk menghindarkan diri dari pertarungan. Dia memang belum pernah mengalami kekalahan sejak ditantang oleh siapa pun. Kongsun Hong yang melihat keadaannya ikut merasa sedih dan tertekan. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengadakan perjalanan pada malam hari dan kembali ke daerah sekitar Bu-ti-bun.

Meskipun apa yang telah terjadi pada markas mereka sudah dapat diduganya, namun melihat kenyataan bahwa Bu-ti-bun telah beralih tangan dan para anggota Siau-yau-kok keluar masuk dengan seenaknya, Tok-ku Bu-ti tetap hampir muntah darah karena kesalnya. Tetapi dia tetap mempertahankan kesabarannya.

Hari-hari selanjutnya terpaksa dilewati dalam ruangan batu tersebut. Luka yang diderita Tok-ku Bu-ti hampir sembuh secara keseluruhan. Kongsun Hong selalu melayaninya.

Kadang-kadang dia keluar dari tempat persembunyian itu lalu menyamar dan menuju kota untuk mencari berita. Apa yang didengarnya semua merupakan kabar buruk, tapi dia menyimpannya dalam hati. Sampai hari ini baru dia mengatakannya kepada Tok-ku Bu-ti.

“Bu-ti-bun benar-benar sudah hancur lebur. Anggota para cabang-cabang sebagian besar sudah melarikan diri, ada juga yang bertekuk lutut di bawah panji Siau-yau-kok.”

Mendengar kabar tersebut, Tok-ku Bu-ti malah tertawa terbahak-bahak. “Apa yang pernah dikatakan Ci-siong di atas Giok-hong-teng memang tidak salah. Bu-ti-bun merupakan sarang burung-burung liar. Kalau pohonnya tumbang, burungnya pun pasti beterbangan ke mana-mana!” dia merandek sejenak, tiba-tiba dikibaskannya tangannya, “Kau kunci aku dari luar!”

“Suhu ” Kongsun merasa bimbang. “Kenapa? Kau takut aku akan bunuh diri? Anak bodoh! Mati pun aku tidak akan merem kalau sakit hati ini belum terbalas. Kali ini kau harus melatih ilmu Mit-kip-sin-kang sampai berhasil!” sahut Tok-ku Bu-ti yang mengerti keraguan hati muridnya.

−Ci-siong Tojin sudah mati. Bu-ti-bun telah diambil alih oleh Siau-yau-kok. Sen Man-cing pasti tidak peduli akan keadaannya−

Apa lagi yang dapat membuat Tok-ku Bu-ti memencarkan perhatiannya?

*****

Setengah bulan telah berlalu.

Hampir tengah malam, Kongsun Hong baru bersiap-siap menggetar sehelai tikar di depan pintu. Biasanya dia memang tidur di sana seraya menjaga. Tiba-tiba didengarnya suara yang aneh. Dengan terkejut dia menolehkan kepalanya. Sekali lagi terdengar suara. Kali ini seperti gemuruh gempa bumi, kemudian terlihat pintu batu di mana Tok-ku Bu-ti berada mulai retak. Kongsun Hong meloncat sejauh-jauhnya. Pintu batu tersebut pun hancur seperti terkena ledakan dahsyat, pecahannya berhamburan ke mana-mana. Untung saja Kongsun Hong sudah sempat menghindar.

Batu-batu kecil masih berjatuhan, tubuh Tok-ku Bu-ti melayang pada waktu yang bersamaan dalam jarak tiga cun dari atas tanah. Kedua kakinya tegak lurus. Dari keluar dari ruangan tadi sampai berdiri di atas tanah, posisinya masih sama. Tubuhnya tegak kukuh laksana Gunung Thay-san. Bajunya malah melambai-lambai tertiup angin. Setelah beberapa saat baru normal kembali.

Sekali lihat saja Kongsun Hong sudah tahu apa yang telah terjadi. Cepat-cepat dia maju ke depan dan menjatuhkan diri bertekuk lutut di hadapan Tok-ku Bu-ti. “Tecu memberi selamat kepada Suhu atas keberhasilannya!”

“Akhirnya dapat juga aku mencapai tingkat kesembilan. Mengenai tingkat kesepuluh, rasanya tidak usah diharapkan lagi. Usiaku sudah lanjut, tiada waktu untuk melatih lebih lanjut.” Meskipun mulut Tok-ku Bu-ti berkata demikian, namun dia tetap tidak dapat menyembunyikan perasaannya yang masih tetap berharap.

“Suhu, setelah berhasil melatih Mit-kip-sin-kang tingkat kesembilan, apakah kau sudah dapat mengalahkan semua musuhmu seperti sebelumnya?” tanya Kongsun Hong penasaran.

Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. “Seandainya bertarung dengan cara duel satu lawan satu, tidak ada satu pun dari orang Siau-yau-kok dapat mengalahkan aku. Tapi seandainya mereka menggunakan cara gabungan seperti tempo hari, mungkin aku dapat mengalahkan mereka perlahan-lahan dan satu demi satu, tetapi aku sendiri mungkin akan mengalami luka yang cukup parah,” Tok-ku Bu-ti berhenti sejenak. “Kalau memang ingin mengalahkan mereka seperti sebelumnya, rasanya kita harus menggunakan sedikit muslihat.”

“Tampaknya Suhu sudah mempunyai perhitungan yang matang dalam hati,” kata Kongsun Hong.

Tok-ku Bu-ti hanya tertawa. Sebetulnya sebelum menutup diri melatih ilmu, dia memang sudah memperhitungkan segalanya dengan matang.

*****

Tiga hari berlalu lagi.

Tok-ku Bu-ti dan Kongsun Hong di depan pintu gerbang markas Bu-ti-bun yang sekarang sudah menjadi kantor cabang Siau-yau-kok. Hari masih pagi sekali. Matahari baru saja terbit.

Semua anggota Siau-yau-kok yang menjaga di depan pintu gerbang sangat terkejut. Sejak hari belum terang sudah ada yang datang melaporkan kabar ini. Namun melihat sendiri kenyataan itu, mau tidak mau mereka panik juga. Pintu gerbang segera ditutup rapat-rapat. Namun sekali hantam saja Tok-ku Bu-ti sudah berhasil membukanya kembali. Beberapa anggota yang menjaga tepat di depan pintu sampai terpental ke belakang dan jatuh pingsan seketika. Ada lagi tiga orang yang langsung memuntahkan darah segar serta jatuh dengan nyawa melayang.

Tok-ku Bu-ti melangkah masuk ke dalam dengan tenang. Para anggota Siau-yau-kok menjadi kalang kabut. Tepat pada saat itu juga, Fu Giok-su berjalan keluar. Di kiri-kanannya mengawal Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek. Mereka mengambil posisi berdampingan. Fu Giok-su segera membungkukkan tubuhnya. Wajahnya tidak menampilkan perasaan apa pun. “Rupanya Tok-ku Buncu yang bertandang. Tok-ku Buncu benar-benar berusia panjang. Mengapa tidak menyuruh orang memberitahukan terlebih dahulu, agar kami dapat menyambut dengan baik?”

Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. “Masa pulang ke kandang sendiri juga harus memberi laporan? Bukankah lucu kedengarannya?”

“Pada dasarnya tempat ini memang milik Tok-ku Buncu. Tapi, seandainya sekarang kita mengembalikan lagi kepada Buncu, sedangkan Buncu hanya berdua dengan muridnya, apakah tidak merasa tempat ini terlalu besar? Kami rasa sebaiknya tetap biarkan kami saja yang menggunakannya,” sahut Fu Giok-su tenang.

“Tidak perlu banyak bicara! Panggil kakekmu keluar menemuiku!” bentak Tok-ku Bu-ti garang. “Cepat!”

“Aku sudah datang!” sahut Thian-ti yang sedang berjalan keluar dari ruangan dalam. “Tok-ku Bu-ti, kali ini kau dapat terlepas dari kematian. Seharusnya kau melarikan diri ke ujung dunia agar tidak kepergok lagi oleh kami. Kalau bisa cari tempat yang terpencil untuk melewati hari tua dengan tenang. Mengapa masih datang mencari kesulitan untuk diri sendiri?”

“Mengapa aku harus datang kemari, kalian tentunya lebih paham!”

“Paham sih paham, tapi sebagai orang tua yang sudah banyak pengalaman seperti engkau, semestinya menyadari bahwa dengan mengandalkan kekuatan Tok-ku Buncu dan muridmu itu, berani datang kemari benar-benar di luar dugaan siapa pun!”

“Omong kosong!” Tok-ku Bu-ti tertawa dingin.

“Tentunya kau sudah memperhitungkan segalanya dengan matang baru berani datang kemari. Aku rasa ilmu Mit-kip-sin- kang-mu pasti sudah naik satu tingkat lagi.”

Tampaknya Tok-ku Bu-ti penasaran melihat ketajaman pandangan Thian-ti. “Siapa yang ingin maju duluan?”

Thian-ti memangku kedua tangannya sambil menatap langit. “Meskipun ilmu Mit-kip-sin-kang adalah ilmu yang sulit dipelajari dan hebat sekali, sayangnya tangan saudara hanya ada dua.”

“Empat!” teriak Kongsun Hong yang sejak tadi diam saja.

Thian-ti tertawa terbahak-bahak. Hujan yang berdiri di sampingnya juga ikut-ikutan tertawa terkekeh. “Apakah Kongsun-tongcu demikian jengkelnya akibat ulah Wan Fei- yang sehingga sekarang juga mulai berlatih Mit-kip-sin-kang?” sindir wanita itu.

Saking marahnya, Kongsun Hong sampai tidak dapat berkata apa-apa. Dia berusaha menenangkan hatinya. “Apa yang kau bicarakan?” bentaknya kesal.

Hujan tetap tertawa terkekeh-kekeh. “Kalau tidak, mengapa cara bicaramu demikian sombong?”

Kongsun Hong merasa dadanya hampir meledak. “Meskipun ada empat tangan, rasanya masih juga kekurangan,” tukas Thian-ti.

“Kalau begitu, kalian masih juga ingin bergabung mengeroyok kami?” tanya Tok-ku Bu-ti.

“Ilmu silat Buncu terlalu tinggi. Kami terpaksa berbuat demikian!” Thian-ti mengibaskan tangannya. Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek segera memencarkan diri.

Mata Tok-ku Bu-ti menyapu kepada orang itu satu per satu. “Barisan Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek, Siaute sudah pernah mengenalnya!”

Baru saja ucapannya selesai, jarum beracun Hujan sudah berhamburan ke arahnya. Sepasang telapak tangan Tok-ku Bu-ti satu tertutup dan satunya lagi terbentang. Segulungan angin kencang menderu-deru. Hantaman sebelah telapak tangannya menolak kembali jarum beracun yang disambitkan oleh Hujan. Golok Geledek menyusul tiba. Tok-ku Bu-ti memutar badannya sambil menghantam ke depan. Tubuh Geledek serta goloknya terpental ke tempat semula.

Angin mengibaskan lengan bajunya ke arah Kongsun Hong, tapi dengan mudah dapat dihindarkan oleh Kongsun Hong. Sementara itu pedang kilat merangsek Tok-ku Bu-ti, dari udara pedangnya menukik turun. Tapi masih ada jarak kurang lebih satu cun baru dapat mengenai orang tua itu. Tok-ku Bu-ti menggeser tubuhnya, jari tangannya langsung terulur dan terdengarlah suara, “ting!” pedang Kilat pun tertutuk oleh jari tangannya sehingga serangannya menyamping. “Berubah!” teriak Thian-ti dalam waktu yang bersamaan.

Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek mengiakan serentak. Posisi mereka berubah. Tubuh mereka saling bergerak. Tubuh Tok- ku Bu-ti sendiri langsung berkelebat seperti bayangan.

Sepasang telapak tangannya membentang ke depan. Begitu terulur, terasa adanya angin kencang yang menderu-deru.

Dengan mengandalkan barisan Hujan, Angin, Geledek, dan Kilat yang perubahannya begitu cepat, sebetulnya dengan mudah mereka dapat menolak tenaga hantaman Tok-ku Bu-ti yang mengandung tenaga dalam kuat sehingga tidak berpengaruh. Tapi hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti kali ini tidak sama lagi dengan sebelumnya. Kekuatannya sungguh mengejutkan. Tampaknya kekuatan orang tua itu sudah berubah dua kali lipat dari pertarungan di atas Kuan-jit-hong tempo hari.

Sebelumnya tenaga Tok-ku Bu-ti tidak jauh berbeda dengan tokoh nomor satu umumnya. Hanya lebih kuat sedikit saja. Begitu telapak tangannya menghantam, seperti ombak besar yang menggulung di tengah lautan. Dengan gabungan tenaga Angin, Hujan, Kilat, dan Geledek yang telah membentuk barisan dan dengan senjata masing-masing yang khas, tidak sulit bagi mereka untuk mendesak Tok-ku Bu-ti sehingga kewalahan.

Sekarang tenaga hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti bukan main dahsyatnya. Tanah di mana mereka berpijak seakan bergetar. Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek terus bergerak menyerang, namun bukan saja berhasil mendesak Tok-ku Bu-ti, malah mereka sendiri yang sampai kewalahan dan mulai terdesak. Dalam waktu yang bersamaan tubuh Tok-ku Bu-ti berputar. Semakin lama semakin cepat. Sekaligus dia menghantam sebanyak empat puluh sembilan kali berturut-turut. Dengan mengadu kekerasan dia membuat barisan itu terpecah belah dan akhirnya keempat orang itu terpaksa merapat menjadi satu.

Thian-ti yang dari tadi menyaksikan jalannya pertarungan mulai melihat keadaan mereka yang kurang menguntungkan. Dia melirik Fu Giok-su sekilas. Tubuh keduanya langsung melesat secepat kilat menerjang ke depan. Dua pasang telapak tangan segera menghantam serta menyambut datangnya telapak tangan Tok-ku Bu-ti.

Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak. Dia langsung mencelat mundur ke samping Kongsun Hong. Thian-ti dan Fu Giok-su segera mengambil posisi di kiri dan kanan keempat anak buah mereka. Wajah mereka tampak kelam. Bagi orang yang sudah ahli, sekali benturan tenaga saja sudah dapat diperkirakan tinggi-rendahnya kekuatan lawan. Mereka sudah dapat melihat dengan jelas, bahwa ilmu Tok-ku Bu-ti memang sudah maju satu tingkat lagi.

Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek lebih mengerti lagi. Itulah sebabnya wajah keempat orang itu juga jauh lebih tidak sedap dipandang. Thian-ti memandang Tok-ku Bu-ti dari atas kepala sampai ke ujung kaki.

“Tampaknya kekalahan juga bukan sesuatu yang tidak menguntungkan!” sindirnya tajam.

Tok-ku Bu-ti hanya mendehem satu kali. Sepasang telapak tangannya dirangkapkan. Dia menepuk satu kali. Telapaknya berpisah kembali. Tampaknya seakan hendak menerjang tapi tubuhnya masih bergerak mundur. Tiba-tiba tangan Kongsun Hong sudah menggenggam dua buah tabung. Dalam waktu yang bersamaan, Tok-ku Bu-ti juga sudah mengibaskan sebuah tabung yang isinya penuh dengan jarum beracun!

Jarum Beracun Tujuh Bocah Ajaib! Tempo hari di lembah sempit, Tok-ku Bu-ti juga menggunakan senjata rahasia yang serupa untuk menghadapi Ci-hu-kim-hoan Lu Ci. Meskipun salah sasaran, namun kehebatannya sudah terbukti.

Sekarang dengan seorang diri Tok-ku Bu-ti menghadapi empat lawan. Dia sudah berhasil menghancurkan barisan Hujan, Angin, Kilat, dan Geledek. Dari awal dia tidak pernah terdesak oleh lawan-lawannya. Justru dalam keadaan di atas angin, tiba-tiba dia menggunakan jarum beracun, tentu saja hal ini sama sekali di luar dugaan Thian-ti dan kawan- kawannya. Tentu saja semua ini juga sudah direncanakannya matang-matang.

Mata Thian-ti sangat awas. Lagi pula dia sudah berpengalaman dalam menghadapi kelicikan dunia Kangouw. Begitu Tok-ku Bu-ti bergerak mundur tadi, dia sudah dapat merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Tanpa berpikir panjang lagi, dia langsung melesat mundur. “Mundur!” teriaknya kepada rekan yang lain.

Gerakan Fu Giok-su juga tidak lambat. Tubuhnya langsung mencelat ke udara. Dikerahkannya Hui-hun-cong dari Bu-tong- liok-kiat yang sudah terkenal kehebatannya. Tubuhnya masih melayang di udara ketika jarum beracun yang disebarkan oleh Tok-ku Bu-ti meluncur lewat di bawah kakinya dan tidak mengenai sasaran.

Angin memang mengandalkan ketinggian ginkangnya sehingga namanya terkenal. Setelah mendengar teriakan Thian-ti, baru dia mencelat mundur, namun dia berhasil juga menghindari serangan jarum beracun Tok-ku Bu-ti. Di lain pihak Hujan memang memperdalam ilmu senjata rahasia.

Pengetahuannya tentang senjata rahasia sudah pasti di atas orang lainnya. Ketika melihat tabung yang tergenggam di tangan Kongsun Hong, dia langsung dapat menerka senjata rahasia jenis apa yang ada di dalam tabung tersebut.

Berbarengan dengan teriakan mundur Thian-ti tadi, dia langsung menggelindingkan tubuhnya di atas tanah. Beberapa batang jarum beracun mengenai lengan bajunya yang longgar. Tanpa terasa keringat dingin menetes di keningnya.

Kilat melesat mundur. Dalam waktu bersamaan, pedangnya sudah direntangkan. Reaksinya sudah cukup cepat namun masih kalah sedikit dengan kecepatan jarum beracun yang disambitkan Tok-ku Bu-ti. Dalam seketika, entah berapa banyak jarum beracun yang sudah mengenai beberapa bagian tubuhnya. Dia meraung murka. Tubuhnya mencelat ke udara, pedangnya menusuk dengan kecepatan tinggi mengancam Tok-ku Bu-ti.

Meskipun serangan itu sangat cepat, namun Tok-ku Bu-ti memandang sebelah mata. Tubuhnya bergerak menyambut ke depan. Dengan mudah dia berhasil menghindari serangan itu. Sepasang telapak tangannya berbareng menghantam gagang pedang di tangan Kilat. Karena getarannya yang kuat, pedang itu sampai terputus menjadi beberapa bagian dan jatuh berserakan di atas tanah. Ternyata dia tidak menyerang manusianya. Tubuh Kilat yang sedang melayang di udara tiba- tiba menukik turun dan terjatuh di atas tanah dengan suara keras. Dari ketujuh lubang pancaindranya mengalir darah. Wajah orang itu sendiri sudah berubah menjadi keungu- unguan.

Geledek juga roboh pada saat yang bersamaan. Dia terkulai di depan kaki Tok-ku Bu-ti dengan sebilah pisau kecil menancap di tenggorokan. Setelah diperhatikan dengan saksama, ternyata yang tertancap di tenggorokan Geledek bukan pisau kecil melainkan putusan ujung pedang Kilat. Tentu saja Tok-ku Bu-ti yang melemparkan kutungan ujung pisau tersebut.

Seandainya Tok-ku Bu-ti tidak melemparkan kutungan pisau itu, Geledek juga tidak akan luput dari kematian. Tapi takdir memang sudah menentukan demikian. Tepat pada saat tubuh Kilat terkulai di atas tanah, dia langsung menerjang Tok-ku

Bu-ti. Secara refleks orang tua itu menyambut kutungan pedang yang terhantam oleh telapak tangannya tadi lalu menyambitkannya ke tenggorokan Geledek, sementara itu tangan kirinya menyebarkan jarum beracun.

Tampang Geledek sungguh menyeramkan. Seluruh wajahnya penuh oleh titik jarum beracun dan langsung berubah warna persis seperti Kilat. Darah yang mengalir kehitam-hitaman, kulit wajahnya juga langsung mengeriput.

Tubuh Tok-ku Bu-ti tidak henti bergerak. Dia berkelebat dengan tabung berisi jarum beracun serta mengejar Hujan dan Thian-ti. Pada saat itu, Fu Giok-su sedang melayang turun, melihat keadaan yang tidak menguntungkan, dia segera menggelindingkan badannya di atas tanah dan dengan panik lari ke dalam. Keempat orang itu bagai binatang yang sebentar lagi akan dijagal. Tidak ada satu pun yang berminat tetap di tempat. Untung saja terjangan Geledek serta Kilat tadi sempat mengadang Tok-ku Bu-ti beberapa detik, dengan demikian mereka mempunyai kesempatan untuk melarikan diri.

Tok-ku Bu-ti masih terus mengejar. Mereka sudah memasuki ruangan Tiong-gi-tong, Fu Giok-su menyelinap ke balik sebuah pembatas ruangan yang terbuat dari kain berbingkai dan di atasnya terdapat lukisan yang indah. Thian-ti kelimpungan sejenak, kemudian dia menyusup ke balik bangku panjang yang bagian tempat duduknya ditutupi kulit harimau yang tebal. Hujan menimpukkan sejumlah jarum beracun lalu menyelinap ke balik tiang penyangga ruangan. Angin berkelebat melesat ke balik ruangan dan menembus koridor panjang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar