Ilmu Ulat sutera Jilid 24

Jilid 24

Tangan Kiu-bwe-hu bergerak. Dia telah menggenggam sebuah Panji Telapak Darah. “Perintah dari Pangcu, harap Siocia ikut aku pulang sekarang juga!”

“Kalau aku tidak bersedia?”

“Pangcu juga menurunkan perintah, kalau membangkang boleh dibunuh!”

Tok-ku Hong tertawa dingin. Goloknya langsung dicabut. “Kalau kau berani menghalangi aku, golokku ini juga tidak segan-segan membunuhmu!”

“Tampaknya aku tidak mempunyai pilihan lain. Maafkan kelancanganku!” Sekali lagi tangan Kiu-bwe-hu bergetar.

“Tar!” sebuah pecut panjang disentakkan ke depan.

Golok Tok-ku Hong segera berputar. Dua gulung sinar berkilauan menyelimuti tubuh Kiu-bwe-hu. Pecut panjang di tangan Kiu-bwe-hu tidak dapat dilontarkan dengan leluasa dalam ruangan yang sempit itu. Terdengar suara “crepp!” Ujung cambuk tertebas putus oleh golok Tok-ku Hong.

Pada saat yang bersamaan, dari bagian ujung pecut yang bekas ditebas oleh Tok-ku Hong tadi keluar seembusan asap merah. Tok-ku Hong sedang menerjang ke arahnya. Otomatis asap merah itu pun terhirup olehnya. Gadis itu terkejut sekali. Dia cepat-cepat mundur dan menutup pernapasannya. Namun bagaimanapun dia sudah sempat mengisap asap merah itu.

Kepalanya pening seketika. Tubuhnya terkulai ke tanah.

“Ilmu silat Toasiocia tidak diragukan lagi memang cukup tinggi. Tapi pengalaman dunia Kangouw sayangnya masih terlalu cetek!” Kiu-bwe-hu menyimpan kembali pecut panjangnya. Dia mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.

“Manusia rendah!” Tok-ku Hong menekan goloknya di atas tanah dan berusaha bangkit. Dia memaki-maki Kiu-bwe-hu secara serabutan. Rasa pening di kepalanya semakin lama semakin berat.

Kiu-bwe-hu menghampiri gadis itu perlahan-lahan. Tok-ku Hong mendelik kepadanya. “Bunuh saja aku!” teriaknya dengan penuh kebencian.

“Membunuhmu? Aku tidak sebodoh itu. Pendirian Pangcu tidak dapat dipastikan. Apabila dia menyesal, aku malah kena getahnya. Bisa-bisa aku mati tanpa kuburan,” Kiu-bwe-hu tertawa dingin. “Lebih baik aku bawa kau pulang saja. Ada Kongsun Hong yang membelamu. Lagi pula kau toh putri Pangcu. Pasti tidak akan mati.”

Hati Tok-ku Hong panik sekali. Otaknya segera bekerja mencari jalan keluar. “Lebih baik kau lepaskan saja aku. Kalau kau bawa aku kembali ke Bu-ti-bun, aku akan melaporkan kepada Pangcu bahwa kau telah berbuat tidak senonoh kepadaku. Sampai saat itu aku ingin tahu ada berapa lembar nyawa yang kau miliki!” Mendengar kata-kata itu, Kiu-bwe-hu langsung tertegun. Tok- ku Hong tertawa dingin.

“Pertimbangkanlah baik-baik!”

Bola mata Kiu-bwe-hu mengerling ke sekitar tempat itu.

“Seandainya aku melepaskan engkau begitu saja, lalu diketahui oleh Pangcu, sama saja akibatnya. Belum tentu jiwaku bisa dipertahankan. Rasanya lebih baik aku pulang dan melaporkan bahwa kau membangkang dan aku telah kesalahan tangan membunuhmu.”

“Kau berani membunuh aku?”

“Di sini hanya ada kita berdua. Dan orang mati sudah pasti tidak bisa berbicara!” Kiu-bwe-hu tertawa seram. Tiba-tiba dia mengulurkan tangan meraba pipi Tok-ku Hong sekilas. “Dengan kata lain, bagaimanapun aku memperlakukanmu sebelum kau mati, Bu-ti belum tentu bisa tahu.”

Bulu kuduk Tok-ku Hong merinding seketika, Kiu-bwe-hu membungkukkan tubuhnya dan tertawa cengar-cengir.

“Bisa bermesraan dengan nona secantik dirimu, mati pun aku rela!” Dia mengulurkan tangan melepas kancing pakaian Tok- ku Hong satu per satu. Gadis itu tidak mempunyai tenaga sedikit pun untuk melawan. Tanpa sadar air matanya mengalir turun.

Kiu-bwe-hu semakin senang. Dia tertawa terbahak-bahak. Tepat pada saat itu juga, suara angin terdengar mengembus. Segurat cahaya dingin menghantam belakang punggung Kiu- bwe-hu. Orang itu menjerit ngeri. Tubuhnya mencelat namun terjatuh lagi di depan Tok-ku Hong. Belakang punggungnya telah tertancap sebuah Jit-goat-lun.

Tok-ku Hong segera mengenali bahwa senjata itu adalah milik Kongsun Hong, dia langsung mendongakkan wajahnya.

Kongsun Hong berdiri tegak di depan pintu. Kemudian laki-laki itu melangkah ke dalam. Dibalikkannya mayat Kiu-bwe-hu dengan ujung kaki. Setelah itu dia menggeledah seluruh tubuh orang itu. Dari saku Kiu-bwe-hu dia mengambil sebuah botol giok kecil. Dibukanya tutup botol tersebut lalu diendusnya di depan hidung. Kakinya menendang mayat Kiu-bwe-hu sampai terpental ke dinding yang ada di halaman. Lalu menghampiri Tok-ku Hong. Dia membungkuk di depan gadis itu dan meraba pipinya.

“Apa yang kau inginkan?” bentak Tok-ku Hong tanpa sadar.

Kongsun Hong hanya memencet kedua belah pipinya agar mulutnya terbuka. Setelah itu dia memasukkan sebutir pil yang diambil dari botol giok kecil tadi dan memasukkannya ke mulut Tok-ku Hong.

Serangkum hawa segar langsung terasa di tenggorokan. Perasaan Tok-ku Hong juga jauh lebih nyaman. Saat itu dia baru menyadari bahwa Kongsun Hong memberinya obat penawar asap merah tadi. Dia merasa malu karena telah menduga yang bukan-bukan.

Kongsun Hong melempar botol giok di tangannya ke atas tanah. Dia membalikkan tubuh dan melangkah pergi. Tetapi Tok-ku Hong memanggilnya dengan gugup, “Apakah kau sudah mau pergi?” “Suhu kali ini benar-benar marah. Lain kali kau harus lebih berhati-hati!” nada suara Kongsun Hong berat sekali, tapi dia tidak menolehkan kepalanya.

“Sekarang kau toh sudah menemukan aku. Kau bisa menyeret aku pulang!”

“Kau kira aku sampai hati membawamu pulang lalu melihat kau mati di tangan Suhu!” Kongsun Hong mendorong pintu, kepalanya tetap tidak menoleh. Tubuhnya melesat lalu menerjang keluar.

*****

Dengan tertegun Tok-ku Hong memandang kepergian Kongsun Hong. Dia tidak dapat melukiskan bagaimana perasaannya saat itu. Setelah meninggalkan rumah tua itu, Tok-ku Hong meneruskan langkahnya tanpa tujuan.

Hatinya semakin tertekan. Dia tidak meragukan apa yang dikatakan oleh Kongsun Hong, dan dia juga mulai menyadari betapa dalam cinta kasih laki-laki itu kepadanya.

*****

Orang yang berlalu-lalang di jalan raya tidak banyak. Tapi setiap kali ada yang berpapasan dengannya, mereka pasti melihat Tok-ku Hong dengan tatapan aneh. Namun dia tidak peduli. Orang-orang itu juga tak acuh.

Hanya dua orang yang merupakan kekecualian. Kedua orang itu mendatangi dari arah yang berlawanan. Mereka sudah melewati Tok-ku Hong lalu mendadak menghentikan langkah kakinya. Mereka saling pandang sekilas. Kemudian kaki mengentak, tubuh melesat ke udara dan melayang turun di hadapan Tok-ku Hong.

Gadis itu terkejut. Dia memerhatikan kedua orang di depannya dengan saksama. “Hek-pai-siang-mo!” serunya tanpa sadar.

“Tok-ku-siocia, sudah lama tidak bertemu,” kata Pek-mo-cian sambil tertawa lebar.

Tangan Tok-ku Hong perlahan-lahan meraba gagang goloknya. Belum lagi dia mencabut senjatanya itu, Hek-mo- cian sudah menukas, “Apakah Tok-ku-siocia yakin dapat menandingi kami?” baru saja ucapannya selesai, tangan Hek- mo-cian sudah bergerak secepat kilat dan berhenti di atas bahu Tok-ku Hong.

Gadis itu merasa sepasang pundaknya kesemutan. Tanpa sadar kelima jarinya merenggang dari gagang pedang. Hek- pai-siang-mo mengambil sepasang golok Tok-ku Hong dan memutarnya beberapa kali. Mereka tertawa terkekeh-kekeh.

“Maafkan kelancangan kami.”

“Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Hek-pai-siang-mo yang merupakan jago kelas satu di Tibet adalah dua orang manusia yang rendah,” bentak Tok-ku Hong marah.

Hek-mo-cian tersenyum simpul.

“Kami tidak mempunyai maksud jahat. Kami hanya ingin membawa Tok-ku-siocia untuk ditukarkan dengan semacam benda.”

“Benda apa?” tanya Tok-ku Hong kebingungan. Sekali lagi Hek-mo-cian tertawa lebar.

“Soat-lian dari Ping-san!”

“Kami sudah menyelidiki sampai jelas. Tian-liong-siang-jin merebut soat-lian yang akhirnya jatuh ke tangan Tok-ku Bu-ti,” tukas Pek-mo-cian.

Tok-ku Hong menggelengkan kepalanya, “Kalian salah besar!”

Hek-mo-cian ikut-ikutan menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Soat-lian dari Ping-san itu mempunyai khasiat besar. Sedikit saja sudah cukup untuk menambah tenaga dalam atau memperpanjang umur. Kami juga tidak serakah. Hanya ingin meminta separuhnya saja. Tok-ku Bu-ti sendiri toh tidak perlu begitu banyak. Kami membawa putri kesayangannya dan menukar sedikit soat-lian, rasanya tidak keterlaluan.”

“Tujuan kami melewati perbatasan kali ini adalah untuk merebut soat-lian. Kalau belum berhasil, kami tidak akan kembali begitu saja!” tukas Pek-mo-cian kembali.

Mendengar ucapan kedua orang itu, Tok-ku Hong sadar percuma bicara banyak. Mereka bukan jenis manusia yang mudah diberi pengertian. Dengan mengandalkan ilmu silatnya, sudah pasti dia bukan tandingan Hek-pai-siang-mo. Akhirnya dia hanya dapat menarik napas panjang. Mata Hek-mo-cian beralih ke arah golok di tangannya. “Sepasang golok ini biar kami simpan sementara, bagaimana menurut pendapatmu?”

Tok-ku Hong tertawa. “Andai kata aku bilang tidak boleh, apa kalian akan mengembalikannya kepadaku?” sindir gadis itu.

“Kami tetap akan menyimpannya,” Hek-pai-siang-mo tertawa terbahak-bahak.

*****

Angin bertiup kencang. Tanah kuning menimbulkan debu yang beterbangan. Setelah melewati daerah bertanah kuning itu, dari kejauhan sudah tampak pintu gerbang Bu-ti-bun yang megah.

Hek-pai-siang-mo membawa Tok-ku Hong berjalan di atas tanah kuning ini. Tiba-tiba mereka menghentikan langkah kakinya. Pek-mo-cian memandang Hek-mo-cian sekilas.

“Anggota Bu-ti-bun banyak sekali. Kita memang tidak takut jumlahnya yang banyak, tapi sebaiknya kita menjaga segala kemungkinan. Aku rasa lebih baik kita tinggalkan saja dia di tempat ini.”

Hek-mo-cian menganggukkan kepalanya tanpa menyahut. Tiba-tiba tangannya terulur dan menutuk jalan darah Tok-ku Hong. Gadis itu terkulai di atas tanah. Hek-mo-cian menyeret Tok-ku Hong dan menyembunyikan di balik semak-semak.

Pek-mo-cian menggerakkan golok di tangannya. “Dengan membawa sepasang golok ini saja, sudah cukup membuktikan bahwa putri Tok-ku Bu-ti ada di tangan kita!” katanya dengan wajah berseri-seri.

*****

Di bawah cahaya matahari, sepasang golok itu memancarkan cahaya yang dingin. Tok-ku Bu-ti menerima pedang yang disodorkan ke hadapannya. Matanya memandang sepasang golok itu lekat-lekat. Sinar matanya lebih tajam dan lebih dingin dari cahaya yang dipancarkan golok tersebut.

“Ini memang senjata yang biasa digunakan Hong-ji. Aku sering mengajarkan bahwa golok ada, orangnya juga ada.

Tampaknya Hong-ji benar-benar sudah di bawah cengkeraman kalian berdua,” kata Tok-ku Bu-ti sambil tersenyum lebar.

“Asalkan Buncu memberikan separuh dari Ping-san soat-lian kepada kami, putri kesayangan Buncu ini pasti akan kembali dengan selamat!”

Tok-ku Bu-ti tertawa terbahak-bahak. “Baik!” Bawa Tian-liong- siang-jin kemari!”

Dua orang anggota Bu-ti-bun segera mengundurkan diri. Kongsun Hong juga keluar dari ruangan tersebut. Sejak tadi dia memerhatikan Hek-pai-siang-mo lekat-lekat. Kemudian sinar matanya terpusat pada tanah kuning di alas kaki kedua iblis hitam putih itu.

“Hek-pai-siang-mo tidak mungkin meninggalkan tawanannya terlalu jauh. Sedangkan di daerah sekitar sini hanya ada satu tempat yang tanahnya kuning.” Kongsun Hong mengambil keputusan untuk mencoba-coba keberuntungannya.

*****

“Soat-lian sudah dimakan oleh Wan Fei-yang,” jawaban Tian- liong-siang-jin mengejutkan Hek-pai-siang-mo. Tapi mereka tidak begitu heran.

“Kalian berdua sampai dikalahkan oleh Wan Fei-yang, apa sebabnya, sekarang kalian tentu sudah mengerti,” tukas Tok- ku Bu-ti sambil tersenyum lebar.

Hek-pai-siang-mo saling lirik sekilas. Keduanya menarik napas panjang. Seharusnya mereka sudah dapat menduga mengapa Wan Fei-yang yang usianya masih begitu muda dapat mengalahkan mereka berdua dalam sekejap mata.

“Kami dua saudara sudah salah paham terhadap Buncu. Untuk kesalahan ini, kami harap Buncu dapat memakluminya,” kata Hek-mo-cian.

“Hong-kouwnio sebentar lagi akan kembali dengan selamat. Kami dua saudara di sini juga memohon diri kepada Buncu,” tukas Pek cian.

“Tunggu dulu!” wajah Tok-ku Bu-ti serius. “Datang sesuka hati, pergi seenaknya. Kalian berdua tampaknya memandang sebelah mata terhadap Bu-ti-bun!”

“Sama sekali tidak ada maksud demikian,” sahut Hek-mo-cian. “Apa yang Buncu inginkan dari kami berdua?” “Aku hanya ingin bertaruh dengan kalian berdua,” kata Tok-ku Bu-ti tenang.

“Bertaruh? Bertaruh apa?”

“Bertaruh pertarungan silat. Lihat dalam seratus jurus apakah aku sanggup mengalahkan kalian berdua?”

Wajah Hek-pai-siang-mo berubah hebat.

“Selama ini aku sangat mengagumi ilmu silat kalian berdua. Apalagi sekarang Bu-ti-bun sedang membutuhkan tenaga. Seandainya kalian berdua bersedia membantu kejayaan Bu-ti

....”

“Maksud Buncu, apabila dalam seratus jurus kami berdua dikalahkan oleh Buncu, maka kami harus masuk menjadi anggota Bu-ti-bun dan mendengar perintah Buncu?”

“Kedudukan sebagai Wakil Buncu, rasanya tidak terlalu merendahkan derajat kalian berdua bukan?”

Hek-mo-cian tertawa datar. “Kami berdua sudah terbiasa dengan kehidupan liar. Hidup bebas tanpa ada yang mengatur. Kalau dapat demikian seterusnya sampai tua, merupakan suatu hal yang paling bagus.”

“Kalau begitu, kita harus lihat sampai di mana kemampuan kalian berdua!”

“Kami dua bersaudara sudah berada di tempat Bu-ti-bun, rasanya bagaimanapun kami harus bertaruh bukan?” Hek-mo- cian mengangkat matanya menatap langit-langit. “Meskipun sinkang Buncu sangat luar biasa, tapi dalam seratus jurus, kami dua saudara mungkin masih bisa menghadapinya.”

Tok-ku Bu-ti berdiri dari kursinya. Tongkat kepala naganya sudah siap di tangan. Dengan mengentakkan tongkat itu di tanah, dia berjalan turun dari undakan atas. Hek-pai-siang-mo menenangkan hati untuk siap siaga. Pertarungan seru sudah di depan mata. Sebentar lagi akan dimulai.

Tok-ku Bu-ti dengan tongkat kepala naga menghadapi dua lawan sekaligus. Langkahnya penuh percaya diri. Dia bertekad untuk mengalahkan Hek-pai-suang-mo. Di lembah sempit tempo hari, Hek-pai-siang-mo sudah dikalahkan satu kali oleh Tok-ku Bu-ti. Sekarang mereka berada di kandang lawan, dalam kedudukan mereka sudah lemah tiga bagian.

Dalam pertarungan kali ini, sebetulnya Hek-pai-siang-mo sudah setengah kalah. Masalahnya, apakah mereka sanggup menerima seratus jurus dari Tok-ku Bu-ti?

*****

Begitu meninggalkan kantor pusat, Kongsun Hong langsung menghambur ke daerah bertanah kuning. Setelah mencari dengan saksama, akhirnya dia berhasil menemukan Tok-ku Hong di balik semak-semak.

Dia melepaskan tutukan yang terdapat pada tubuh Tok-ku Hong, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia membalikkan tubuh langsung meninggalkan tempat itu. Gadis itu sendiri tidak tahu harus berkata apa. Dengan berat dia menyeret kakinya pergi dari sana. Ketika Kongsun Hong kembali ke kantor pusat, Tok-ku Bu-ti sudah bertarung sebanyak sembilan puluh tujuh jurus. Pada saat itu juga, dia berhasil membuat golok di tangan Hek-pai- siang-mo terlepas.

Hek-pai-siang-mo dikalahkan dengan hati ikhlas. Mereka mengakui keunggulan Tok-ku Bu-ti. Mereka langsung menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tok-ku Bu-ti. Setelah itu keduanya menuju daerah bertanah kuning untuk membawa Tok-ku Hong kembali. Tapi mereka terkejut sekali ketika tidak dapat menemukan gadis itu. Mereka cepat-cepat kembali ke Bu-ti-bun dan melaporkan kejadian tersebut dengan hati kecut kepada Tok-ku Bu-ti.

Ternyata Tok-ku Bu-ti tidak menyalahkan mereka.

“Selamanya nasib Hong-ji tidak terlalu buruk. Dia pasti dalam keadaan baik-baik. Urusan sekecil ini, kalian berdua tidak usah menyimpannya dalam hati,” dia hanya mengucapkan beberapa patah kata ini.

Setelah itu dia memerintahkan semua anggotanya keluar dari ruangan itu, kecuali muridnya sendiri, Kongsun Hong.

Anak muda itu merasa agak curiga. Matanya tidak berani menatap langsung wajah Tok-ku Bu-ti. Kepalanya tertunduk dalam-dalam.

Tok-ku Bu-ti melangkah perlahan menghampiri Kongsun Hong. Tiba-tiba dia menepuk bahu muridnya dengan lembut. “Benar-benar menyusahkan dirimu sampai-sampai kau harus lari bolak-balik,” katanya. Tubuh Kongsun tergetar. Dia menatap Tok-ku Bu-ti sekilas kemudian menjatuhkan diri berlutut di hadapannya. “Tecu bersedia menerima hukuman apa pun yang Suhu berikan,” sahutnya tenang.

Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. “Lagi-lagi terjerat dalam huruf ‘asmara.’ Terlalu lugu bahkan terlalu bodoh.” Dia meneruskan langkah kakinya keluar dari ruang tersebut.

Tinggallah Kongsun Hong sendiri di dalam ruangan dalam keadaan tetap berlutut.

*****

Matahari bersinar dengan terik. Angin kencang mengembuskan pasir. Akhirnya Tok-ku Hong tidak kuat lagi. Dia jatuh terkulai di pesisir pantai. Ombak besar mendebur- debur.

Sudah beberapa hari ini dia seperti orang yang tidak waras. Pertama-tama dia menyelinap ke atas Bu-tong-san. Namun dia tidak berhasil menemukan Wan Fei-yang. Dia balik kembali ke kota mencari ke rumah Lu Wang. Tapi anak muda itu juga tidak ada di sana. Dia teringat Wan Fei-yang pernah mengungkit persoalan Hai-liong Lojin kepadanya. Dia mengambil keputusan untuk berspekulasi.

Beberapa hari berturut-turut dia berlari terus. Makan tidak tetap, tidur tidak bisa nyenyak. Belum lagi sepanjang hari diterpa angin kencang dan debu tebal. Belum lagi dia mencapai tempat kediaman Hai-liong Lojin, tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Dia jatuh pingsan di tepi pantai. Entah berapa lama dia tidak sadarkan diri. Ketika kesadarannya mulai pulih, dia mendapatkan dirinya terbaring dalam sebuah kamar yang bersih. Dengan terkejut dia melompat bangun. Setelah merasakan bahwa dirinya tidak mengalami apa-apa, barulah hatinya menjadi tenang kembali.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang gadis manis masuk dengan membawa sebaskom air. Gadis itu adalah Fu Hiong- kun. Dia sama sekali tidak tahu siapa Tok-ku Hong. Hanya kebetulan saja dia menemukan gadis itu terkapar di pantai. Dia langsung mengangkatnya pulang tanpa berpikir panjang lagi.

“Kouwnio, akhirnya kau sadar juga,” sapa Fu Hiong-kun sambil meletakkan baskom berisi air hangat itu di atas meja dekat samping tempat tidur.

“Kau yang menolong aku?” Tok-ku Hong segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

Fu Hiong-kun menganggukkan kepalanya, “Iya Mengapa

kau bisa berjalan sampai ke tempat ini?”

“Aku tersesat di jalan,” sahut Tok-ku Hong yang merasa curiga terhadap Fu Hiong-kun.

Gadis itu tidak menyadarinya. “Bagaimana aku harus menyebutmu?”

Tok-ku mempertimbangkan sejenak. “Aku bernama Sangkuan Hong,” sahutnya kemudian. Fu Hiong-kun tetap tidak curiga sedikit pun. *****

Yan Cong-tian juga tidak menaruh kecurigaan terhadap Tok- ku Hong. Dia malah tidak menutupi asal-usul dirinya.

Mendengar cerita orang tua itu, diam-diam Tok-ku Hong terkejut setengah mati.

Setelah menetap beberapa hari di tempat itu, dia terus mendengarkan dengan saksama pembicaraan mereka. Dia tahu sebelumnya Wan Fei-yang ada bersama mereka. Dan sekarang anak muda itu sedang menuju negara Fu-sang untuk mencari obat untuk menyembuhkan Yan Cong-tian.

Setelah mengetahui bahwa Yan Cong-tian bermaksud menjodohkan Fu Hiong-kun dengan Wan Fei-yang, hatinya kacau dan sedih sekali. Rupanya diam-diam selama ini cinta kasihnya telah tumbuh terhadap anak muda itu. Tadinya dia merasa Wan Fei-yang juga mempunyai perasaan yang sama. Sekarang hatinya menjadi bimbang. Apakah dia telah salah tanggap atas sikap Wan Fei-yang selama ini?

Dia merasa iri terhadap Fu Hiong-kun. Tapi ia tidak menunjukkan perasaannya di depan mereka. Kelembutan dan kecantikan Fu Hiong-kun membuat hatinya semakin rendah diri. Perasaan Fu Hiong-kun terhadap Wan Fei-yang, dia juga tahu. Tapi dia tidak ingin putus asa begitu saja. Dia ingin menunggu Wan Fei-yang kembali dan menanyakannya dengan jelas.

Di bawah perawatan Fu Hiong-kun dan Yan Cong-tian, kesehatan Tok-ku Hong pulih dalam waktu yang singkat. Meskipun kedua orang itu tidak mencurigai asal-usulnya, namun melihat Tok-ku Hong selalu bermuram durja sepanjang hari, mereka merasa penasaran juga.

Beberapa hari berlalu lagi. Akhirnya Wan Fei-yang pulang dengan selamat dan membawakan obat yang dibutuhkan Yan Cong-tian. Dia tidak bertemu dengan Tok-ku Hong.

Diminumkannya obat tersebut kepada supeknya. Setelah mendengarkan cerita Fu Hiong-kun tentang gadis yang ditolongnya, semakin lama dia semakin curiga. Dengan tergesa-gesa dia menghambur ke kamar di mana Tok-ku Hong menginap.

Kamar itu sudah kosong. Tidak ada bayangan Tok-ku Hong. Tetapi Wan Fei-yang menemukan sebuah tusuk konde emas di atas bantal. Melihat tusuk konde itu, hati Wan Fei-yang tergetar. Dia keluar dari kamar sambil berteriak-teriak memanggil nama Tok-ku Hong.

Pada saat itu juga, Fu Hiong-kun baru tahu bahwa gadis yang ditolongnya ialah putri Tok-ku Bu-ti, Tok-ku Hong adanya.

Baru saja dia berniat mengejar keluar, mendadak terdengar suara ribut seperti ada benda berat yang terjatuh di kamar Yan Cong-tian. Dia terkejut sekali. Maksudnya mengejar Tok-ku Hong dibatalkan, dia menghambur ke kamar Yan Cong-tian.

Dia melihat tubuh orang tua itu kaku sekali. Dan suara tadi rupanya suara jatuhnya tubuh Yan Cong-tian ke atas tanah. Posisinya masih dalam keadaan duduk tegak. Dia sama sekali tidak bergerak. Meja yang ada di samping tempat tidur telah terbalik.

Di atas kepala Yan Cong-tian mengepul asap putih berupa uap. Fu Hiong-kun mengerti bahwa reaksi obat telah mulai bekerja. Yan Cong-tian sedang mengumpulkan hawa murninya menyembuhkan luka. Dia tidak berani mengganggu juga tidak berani meninggalkan tempat itu. Akhirnya dia mengambil keputusan untuk duduk di samping menjaga Yan Cong-tian.

*****

Setelah mengeluarkan surat tantangan, para murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay menyamar sebagai orang biasa dan menyelundup ke dalam Bu-ti-bun. Tentu saja hanya sebagian besar. Gerak-gerik mereka memang dirahasiakan serapat mungkin. Namun tetap saja berhasil diketahui oleh para penyelidik Bu-ti-bun.

Ketika mendengar laporan dari anggotanya tentang masalah ini, Tok-ku Bu-ti hanya tertawa dingin. Pada saat dia mendengarkan berita dari para bawahannya dari berbagai cabang itulah, Tok-ku Hong kembali ke rumah.

Begitu memasuki ruangan pendopo, Tok-ku Hong langsung menjatuhkan diri berlutut. Para hadirin terkesima melihat kelakuannya. Apalagi Kongsun Hong, hatinya tegang sekali. Tok-ku Bu-ti seperti tidak melihat kehadirannya.

“Teruskan!” katanya dengan suara berat.

Para penyelidik itu tidak berani membantah. Mereka meneruskan laporannya. Melihat keadaan itu, tanpa sadar air mata mengalir di pipi Tok-ku Hong. Akhirnya para penyelidik itu selesai juga memberikan laporannya. Tanpa dapat menahan perasaannya lagi, Tok-ku Hong memanggil, “Tia ”

Tok-ku Bu-ti sama sekali tidak menoleh ke arah Tok-ku Hong. “Panggil kepala penjaga pintu!” teriaknya dengan suara lantang.

Kim-liong Tongcu Cukek Ming cepat-cepat menurunkan perintah tersebut kepada bawahannya. Dua orang penjaga cepat-cepat masuk ke dalam.

“Kami sedang mengadakan rapat penting di dalam ruangan ini, mengapa kau membiarkan orang luar masuk ke sini?” bentaknya keras.

Kedua penjaga itu terkejut sekali. Hati Tok-ku Hong perih tidak terkirakan.

“Pek-houw Tongcu, menjaga keamanan dengan teledor. Hukuman apa yang harus dijatuhkan?” tanya Tok-ku Bu-ti kepada Kongsun Hong.

Kongsun Hong tertegun seketika. Tapi akhirnya dia menjawab juga, “Hukuman ringan tebas kedua kaki, hukuman yang berat, mati!”

“Bawa kedua orang itu keluar! Tebas kedua kakinya!” bentak Tok-ku Bu-ti sekali lagi.

Tidak ada seorang pun yang berani menghalangi. Tidak lama kemudian, dari luar pendopo jeritan ngeri berkumandang.

Wajah para hadirin berubah hebat. Pada saat itu, sinar mata Tok-ku Bu-ti baru beralih ke arah Tok-ku Hong. Kongsun Hong cepat-cepat maju ke depan dan berlutut di samping gadis itu.

“Tecu bersedia menggantikan Gin-hong Tongcu menerima hukuman mati!” katanya tanpa berpikir panjang. Tok-ku Bu-ti tertawa dingin.

“Bu-ti-bun tidak memiliki peraturan seperti itu.” Dia berhenti sejenak. “Bawa keluar Gin-hong Tongcu, ikat keempat anggota tubuhnya pada masing-masing leher kuda. Tarik sampai putus!”

Para hadirin terkejut setengah mati. Tok-ku Hong hanya mengalirkan air mata dengar wajah sendu. Dia tidak memohon pengampunan. Hu-hoat kiri dan kanan segera mengiakan.

Mereka maju ke depan. Kongsun Hong berdiri dengan panik. Kedua belah lengannya terbentang mengadang di depan mereka.

“Tunggu dulu ...!”

Tok-ku Bu-ti meluap marahnya.

“Kongsun Hong, apakah kau juga ingin ikut ikutan membangkang terhadapku?” bentaknya garang.

“Tecu tidak berani ” Kongsun Hong menjatuhkan diri

berlutut lagi. “Sejak zaman dahulu Bu-ti-bun ada sebuah peraturan. Tongcu baru pertama kali berbuat kesalahan, boleh digantikan oleh tongcu kedua dalam menerima hukuman berupa tujuh kali tebasan golok. Dengan demikian hukuman mati pun terhindarkan!” sahutnya lantang.

Wajah Tok-ku Bu-ti berubah kelam. “Kau bersedia menggantikan dia menerima tujuh kali tebasan golok?”

“Betul!” sahut Kongsun Hong tanpa berpikir dua kali. Pada saat itu, hati Tok-ku Hong merasa terharu sekali. Dia memalingkan kepalanya. “Suheng?” panggilnya.

Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. “Mengapa kau harus kembali ke sini?”

Kepala Tok-ku Hong tertunduk rendah-rendah. Dia juga tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Kongsun Hong tetap berlutut. “Silakan Buncu menurunkan perintah hukuman!”

Tok-ku Bu-ti memandang Kongsun Hong lekat-lekat. Dia menarik napas panjang. “Baik Tapi aku ingin Hong-ji

berjanji bahwa dia bersedia menikah denganmu!”

“Tecu merasa tidak pantas !” Kongsun Hong membenturkan

kepalanya di atas lantai.

“Aku bukan berbicara denganmu!” mata Tok-ku Bu-ti beralih kepada Tok-ku Hong. “Jawab! Apakah kau bersedia menikah dengan Kongsun Hong?”

Tok-ku Hong menoleh kepada Kongsun Hong. Dia ingat selama beberapa tahun ini entah telah berapa kali Kongsun Hong menempuh bahaya untuk membela dan menyelamatkannya. Budi laki-laki itu sudah tidak terkira banyaknya. Hatinya setia dan tulus. Meskipun Kongsun Hong sadar bahwa dia sendiri sama sekali tidak mencintainya.

Kemudian dia teringat Wan Fei-yang yang sudah memiliki Fu Hiong-kun. Gadis itu pernah menyelamatkannya pula. Sampai hatikah dia menghancurkan hati seorang gadis setelah dia sendiri tahu bagaimana rasanya patah hati? Wan Fei-yang sudah tidak mempunyai orang tua. Walinya sekarang adalah Yan Cong-tian. Padahal sementara itu secara terang-terangan orang tua itu sudah mengemukakan maksud hatinya untuk menjodohkan Fu Hiong-kun dengan Wan Fei-yang. Andai kata tidak pun, belum tentu Yan Cong-tian setuju Wan Fei-yang menikahi putri Tok-ku Bu-ti yang terkenal jahat dan keji. Dia mempertimbangkan semuanya berkali-kali. Tok-ku Bu-ti tidak memaksa Tok-ku Hong segera menjawab.

Baginya, apa pun jawaban Tok-ku Hong tidak menjadi persoalan. Bila gadis itu mengatakan tidak, Kongsun Hong tidak perlu menggantikan Tok-ku Hong menerima hukuman. Berarti nasib gadis itu memang harus mati hari ini. Apabila Tok-ku Hong mengiakan, lebih banyak lagi keuntungan yang dapat diraihnya. Niatnya mengangkat Kongsun Hong sebagai mantu terkabulkan. Selain itu dia bisa membuat Sen Man-cing semakin sedih dan kesal.

Senyumnya mengembang ketika Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya.

*****

Tujuh bacokan golok memenuhi seluruh tubuh Kongsun Hong. Dada, puncak, pinggang, punggung, semua mendapat bagian. Kongsun Hong mengertakkan giginya erat-erat menahan rasa sakit, akhirnya dia jatuh tidak sadarkan diri juga.

Tok-ku Hong tidak sampai hati melihatnya.

Sejak tadi dia sudah memalingkan wajahnya. Tabib Cai Hua- to sudah menunggu di sudut. Setelah hukuman berakhir, cepat-cepat dia menghampiri laki-laki itu dan memborehkan obat kim-cang-yok (obat penyembuh luka) yang paling mujarab.

“Bagaimana keadaannya?” tanya Tok-ku Bu-ti. Sebetulnya dia sangat menyayangi Kongsun Hong. Wajahnya menyiratkan perasaan khawatir.

“Mudah-mudahan pada hari pernikahan, luka-lukanya sudah sembuh semua,” sahut Cai Hua-to sembari tertawa getir.

Tok-ku Bu-ti menoleh ke arah Tok-ku Hong. “Kau lihat sendiri, Kongsun Hong demikian tulus mencintaimu. Dapat menikah dengan seorang laki-laki seperti dia, merupakan keberuntunganmu!”

Tok-ku Hong menundukkan kepalanya dalam-dalam. Keadaan sudah sampai taraf seperti ini, apalagi yang dapat dikatakan.

*****

Sen Man-cing juga tidak dapat berbuat apa-apa. Dugaan Tok- ku Bu-ti bahwa pernikahan antara Tok-ku Hong dengan Kongsun Hong akan membuatnya kesal dan sedih tidak sepenuhnya benar.

Ketulusan cinta Kongsun Hong sama sekali di luar dugaan nyonya itu. Dapat menikah dengan seorang laki-laki seperti itu, bukan suatu hal yang buruk. Tentu saja Tok-ku Bu-ti tidak menyangka Sen Man-cing dapat mempunyai pikiran demikian. Tok-ku Bu-ti lupa. Sebagai seorang ibu, kebahagiaan Tok-ku Hong adalah segalanya bagi Sen Man-cing. Lebih baik dicintai daripada mencintai, pikir nyonya itu dalam hatinya.

Lagi pula keputusan Tok-ku Bu-ti tidak dapat diganggu-gugat oleh siapa pun. Tidak ada orang yang bisa menghalangi apa saja yang ingin dilakukannya. Sedangkan kesan Sen Man-cing terhadap Kongsun Hong mulai bagus. Hanya satu hal yang selalu membuat nyonya itu sedih. Tok-ku Bu-ti tetap tidak memperbolehkan dia meninggalkan Liong-hong-kek.

*****

Rembulan bersinar terang. Angin bertiup sejuk. Hari itu memang hari baik. Lentera berjumlah ratusan dipasang di mana-mana. Seluruh Bu-ti-bun bagai sehelai lukisan putih. Suara gendang bertalu-talu. Kegembiraan terlihat di seluruh pelosok gedung tersebut.

Sepasang pengantin, Tok-ku Hong dan Kongsun Hong diantar ke hadapan Tok-ku Bu-ti. Melihat keadaan itu, senyum Tok-ku Bu-ti semakin lebar. Kepala Tok-ku Hong terpasang sebuah hong-koan, penutup kepala seperti mahkota yang dipakai pengantin zaman dahulu. Sehelai kain merah menutup wajahnya. Tidak terlihat bagaimana mimik wajahnya. Kalau Kongsun Hong sendiri tidak usah dikatakan lagi. Selain gembira, dia juga tegang sekali.

Mata Tok-ku Bu-ti beralih kepada wajah Kongsun Hong. “Kongsun-ji, bagaimana keadaan lukamu?” tanyanya dengan penuh perhatian.

“Terima kasih atas perhatian Buncu. Semua sudah sembuh.”

Mendengar ucapannya, para hadirin tertawa geli. Tok-ku Bu-ti juga tertawa lebar. “Bagaimana kau memanggilku tadi?”

Kongsun Hong tertegun. Dia mengganti panggilannya. “Suhu ....”

Sekali lagi para hadirin tertawa terbahak-bahak. Tok-ku Bu-ti menggelengkan kepalanya. “Sampai saat ini kau masih belum tahu bagaimana harus memanggil aku?”

Cian-bin-hud yang berdiri di sampingnya segera menjelaskan. “Kongsun Tongcu benar-benar lucu. Sekarang seharusnya kau memanggil Buncu dengan sebutan Yok-hu-tayjin (ayah mertua yang mulia).”

Wajah Kongsun Hong merah padam. “Yok-hu-tayjin ” panggilnya gugup.

“Nah, ini baru betul!” kata Tok-ku Bu-ti sambil mengelus jenggotnya. “Tujuh kali tebasan golok sebagai pengganti seorang istri. Kalau dipikirkan tidak terlalu merugikan juga.”

“Betul sekali ! Betul sekali!” sahut Kongsun Hong sambil

melirik ke arah Tok-ku Hong. Bibirnya tersenyum terus.

Tok-ku Bu-ti mengalihkan pandangannya ke arah Tok-ku Hong. “Hong-ji, kau sudah menjadi istri orang. Lain kali adatmu jangan terlalu keras lagi,” katanya menasihati.

Mak comblang yang menjadi perantara segera maju ke depan. “Waktunya sudah sampai,” katanya melaporkan.

*****

Seorang laki-laki yang memimpin upacara segera maju menggantikannya. “Harap sepasang pengantin berlu ” kata-katanya belum

selesai diucapkan, suara bentakan keras berkumandang dari luar.

“Tunggu dulu!”

Suara itu demikian lantang, para hadirin memalingkan kepalanya ke arah sumber suara. Para tamu yang tadinya berkerumun di pintu segera memencarkan diri. Wan Fei-yang melangkah masuk dengan sempoyongan. Tangannya menggenggam sebuah kendi arak.

Tubuh Tok-ku Hong tergetar. Dia maju selangkah kemudian berhenti.

“Wan Fei-yang, untuk apa kau datang kemari?” teriak Kongsun Hong marah.

Tok-ku Bu-ti tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Sinar matanya malah bertambah dingin menyeramkan. Tampaknya Wan Fei-yang benar-benar sudah mabuk. Dengan tubuh limbung dia menghampiri Tok-ku Hong.

“Aku aku datang untuk mengucapkan selamat kepada

Toasiocia dan Kongsun Tongcu. Selamat menempuh hidup baru ” dia menyodorkan kendi araknya ke hadapan

Kongsun Hong. “Kongsun Tongcu, Siaute memberi selamat kepadamu dengan secawan arak ini. Mudah-mudahan kau akan hidup bahagia dan saling mengasihi sampai ratusan tahun !”

Wajah Kongsun Hong berubah hebat. Dia mengibaskan kendi arak yang disodorkan oleh Wan Fei-yang.

“Oh, kau tidak sudi memberi muka kepadaku? Tidak apa-apa. Kau tidak sudi, pasti ada yang sudi ” Wan Fei-yang

membalikkan tubuhnya ke arah Tok-ku Hong. “Toasiocia ”

Tok-ku Hong tidak dapat menahan perasaannya lagi. Dia melepaskan mahkota di kepalanya. “Siau Yang ”

Dalam waktu yang bersamaan, Cian-bin-hud maju ke depan. “Sejak tadi sudah terlihat jelas bahwa kedatanganmu ini hanya untuk mengacau!” bentaknya dengan suara keras. Dia langsung mencengkeram Wan Fei-yang.

Telapak tangan Wan Fei-yang juga tidak kalah cepat menghantam ke depan sehingga Cian-bin-hud terdesak mundur tiga langkah.

“Kalian jangan coba-coba menghalangi pembicaraanku dengan Toasiocia!” Dia menoleh kembali kepada Tok-ku Hong. “Kau adalah putri Tok-ku Bu-ti. Sedangkan aku adalah murid murtad Bu-tong-pay. Tentu saja aku tidak pantas untukmu. Tapi aku benar-benar menyukaimu!”

Para hadirin yang mendengar kata-katanya menjadi kebingungan. Air mata Tok-ku Hong sudah mengembang.

“Kau memang keras kepala dan tidak pernah mau mengalah, aku tidak peduli. Salah siapa kau terlahir di tempat seperti ini. Aku mengalami luka parah karena hantaman ilmu Mit-kip-sin- kang ayahmu. Kalau bukan Fu-kouwnio yang menolong, mungkin aku hari ini sudah tidak ada di dunia ini. Tanpa bantuannya, Yan-supek juga tidak tertolong. Beberapa waktu yang lalu, aku pergi ke tempat yang jauh untuk mencari obat untuk luka Yan-supek. Dia juga yang merawat Yan-supek yang sudah kuanggap seperti orang tuaku sendiri. Coba kau bilang, apakah aku tidak sepantasnya berterima kasih atas jerih payah ini? Terhadap dirinya aku hanya terharu dan berterima kasih sekali. Dia telah kupandang sebagai adik kandungku sendiri. Tidak tersangka, kau malah salah paham atas kejadian kecil ini. Kau bahkan kembali ke Bu-ti-bun serta menuruti apa yang diperintahkan ayahmu yang kejahatan apa pun bisa dilakukan olehnya, dan menikah dengan Kongsun Hong!”

“Tutup mulutmu!” bentak Tok-ku Bu-ti akhirnya. Wan Fei-yang tertawa sumbang.

“Baik. Memang tidak ada kata-kata lagi yang harus kuucapkan!” Dia mendongakkan kepalanya dan meneguk habis arak dalam kendi yang dibawanya. “Sayangnya aku masih belum cukup puas meminum arak. Mana arak? Cepat bawakan arak untukku!” Wan Fei-yang berteriak-teriak seperti orang yang kurang waras.

Air mata Tok-ku Hong mengalir semakin deras. “Siau Yang

...!” panggilnya dengan suara meratap.

Tok-ku Hong bermaksud menghampiri Wan Fei-yang, tapi Cian-bin-hud, Teng Cu, Hek-pai-siang-mo sudah menerjang maju mengurung Wan Fei-yang.

“Minggir! Aku tidak berminat bertarung dengan kalian!” teriak Wan Fei-yang sambil membanting kendi araknya ke atas lantai. Hek-pai-siang-mo meraung murka. Keduanya menerjang ke depan. Dua pasang telapak tangan menghantam ke arah Wan Fei-yang. Tinju Cian-bin-hud juga sudah diluncurkan. Tubuh Wan Fei-yang berkelebat. Gerakannya berubah-ubah. Dalam keadaan mabuk, sepasang telapak tangannya menghantam ke depan dengan tenaga penuh. Dia mengerahkan Pik-lek- ciang. Hantamannya membuat orang-orang yang menyerbu terpental mundur. Tangannya menuding Tok-ku Bu-ti.

“Kau saja yang turun tangan!” tantangnya dengan suara lantang.

Tok-ku Bu-ti berdiri dari tempat duduknya.

“Malam ini aku akan memperhitungkan utang-piutang antara Bu-tong-pay dengan Bu-ti-bun!” teriak Wan Fei-yang kembali.

“Tampaknya kau sudah lupa bahwa kau adalah murid murtad bagi Bu-tong-pay!” sindir Tok-ku Bu-ti.

“Fu Giok-su barulah murid murtad Bu-tong-pay!”

Tok-ku Bu-ti tertawa dingin. “Bagaimanapun, pokoknya malam ini kau jangan harap dapat keluar dari Bu-ti-bun dalam keadaan hidup!” Mata Tok-ku Bu-ti menyorotkan kobaran api

“Aku memang tidak berharap dapat keluar dalam keadaan hidup!” sahut Wan Fei-yang sambil membusungkan dadanya.

“Pesta masih harus dilangsungkan. Kita bertarung di luar saja!” Wan Fei-yang tertawa terbahak-bahak. Kakinya dientakkan. Tubuhnya mencelat berjungkir balik dua kali kemudian menginjak di atas kepala seorang tamu lalu melesat keluar. Tok-ku Hong memandang dengan mulut terbuka. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Perasaannya pada saat itu kacau sekali.

*****

Di luar ruangan juga terpasang banyak lentera. Keadaan terang benderang. Tok-ku Bu-ti menghentikan langkah kakinya. Dia mengibaskan lengan bajunya satu kali.

“Sebelumnya aku pernah mengampunimu satu kali. Malam ini, jangan salahkan kalau aku turun tangan kejam!”

Perasaan mabuk Wan Fei-yang telah hilang beberapa bagian karena tertiup angin yang sejuk. Wajahnya berubah serius.

“Silakan!” teriaknya. Tubuhnya mencelat ke udara. Secara berturut-turut dia melancarkan empat belas kali serangan.

Tok-ku Bu-ti berdiri kukuh bagai gunung Thay-san. Penampilannya juga tenang sekali. Empat belas kali serangan Wan Fei-yang disambutnya dengan baik, tapi wajahnya mulai berubah. Kekuatan tenaga dalam Wan Fei-yang bukan saja sudah jauh melebihi sebelumnya, tapi benar-benar jauh di luar dugaannya.

“Soat-lian dari Ping-san benar-benar obat yang tidak ada duanya. Orang ini tidak boleh dibiarkan hidup lebih lama!” pikirnya dalam hati. Setelah mendapat pikiran itu, dengan diam-diam Tok-ku Bu-ti mengerahkan Mit-kip-sin-kangnya. Tiba-tiba tubuhnya bergerak. Telapak tangannya menghantam ke depan dengan cara keji. Ternyata Wan Fei-yang tidak terdesak mundur oleh angin hantaman telapak tangan Tok-ku Bu-ti. Tubuhnya melayang dan tangan kiri diputar. Tahu-tahu tangan Tok-ku Bu-ti telah memegang tongkat kepala naganya. Dia menerjang kembali ke arah Wan Fei-yang.

Pada saat itu pedang Wan Fei-yang juga sudah dihunus. Tubuhnya meluncur menerobos ke dalam cahaya tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti. Pertarungan berlangsung dengan seru. Tok-ku Bu-ti menyerang seratus kali berturut-turut. Tapi tidak sekali pun dia berhasil menahan Wan Fei-yang. Malahan anak muda itu mendesak terus ke arahnya. Wan Fei-yang mencelat ke tengah udara. Dia berjungkir balik. Pedangnya menukik tajam mengancam kepala Tok-ku Bu-ti.

Tok-ku Hong serbasalah. Dia juga mengkhawatirkan keselamatan ayahnya. “Hati-hati!” serunya tanpa sadar.

Tok-ku Bu-ti cepat-cepat menggeser langkah kakinya dan memiringkan kepalanya. Gelang emas pengikat rambutnya terpapas putus. Tapi mendengar teriakan Tok-ku Hong tadi, Wan Fei-yang malah berdiri terpana. Mata Tok-ku Bu-ti mengerling sekilas. Tongkat kepala naganya dikibaskan.

Pedang Wan Fei-yang langsung tertangkis. Telapak tangan kirinya dengan gerakan kilat menghantam ke depan.

Wan Fei-yang terkejut sekali. Dengan panik dia mengulurkan tangannya menyambut hantaman itu.

“Blammm!” tubuh terpental sejauh dua depa. Dia langsung memuntahkan segumpal arah segar. Serangan Tok-ku Bu-ti tadi tidak terduga sama sekali. Dengan Mit-kip-sin-kang sekali lagi dia berhasil melukai Wan Fei-yang. Anak muda itu berusaha bangkit. Tok-ku Bu-ti sudah menerjang lagi ke depan untuk menghantam Wan Fei-yang kedua kalinya. Tapi Tok-ku Hong sudah menghambur dan mengadang di depan Wan Fei-yang.

“Mundur!” bentak Tok-ku Bu-ti.

Belum sempat Tok-ku Hong berkata apa-apa, sebelah tangan Wan Fei-yang sudah menyentuh pundaknya. “Akhir ... nya aku

... dapat juga mati di sampingmu!” katanya dengan nada parau dan bibir menyunggingkan senyuman.

“Siau Yang, kau jangan berbuat bodoh!” sahut Tok-ku Hong dengan gugup. “Pokoknya aku tidak akan menikah dengan Kongsun Hong!”

Mata Wan Fei-yang bersinar terang. Air mata Tok-ku Hong semakin deras. “Kalau kau mati, kau kira aku juga sanggup hidup lebih lama lagi?”

“Rupanya kau juga menyukai aku!” teriak Wan Fei-yang gembira. Dia bahkan mirip orang yang kalap. Tidak peduli darah segar terus mengalir dari ujung bibirnya.

Tok-ku Hong menganggukkan kepalanya. “Cepat kau pergi!” katanya mengingatkan.

Wan Fei-yang juga ikut-ikutan menganggukkan kepalanya. Tok-ku Hong yang melihat dari ujung sana tidak tahu bagaimana perasaannya saat itu. Wajah Tok-ku Bu-ti hijau membesi. Dia mengibaskan lengan bajunya. Tok-ku Hong yang membungkuk di samping Wan Fei-yang terpelanting di atas tanah. Tok-ku Bu-ti mengulurkan telapak tangannya dan menghantam ke arah Wan Fei-yang.

Belum lagi hantaman itu mengenai sasarannya, tubuh Wan Fei-yang sudah melesat ke udara dan berjungkir ke atas tembok pekarangan.

“Kejar!” Tok-ku Bu-ti memberikan perintah dengan kalap.

Tubuh Wan Fei-yang berkelebat. Dia menyelinap ke balik gerombolan bunga. Bayangannya sudah menghilang dari pandangan. Meskipun luka dalamnya cukup parah, tapi ia pernah menelan soat-lian dari Ping-san, gerakan tubuhnya masih lincah. Apalagi Hui-hun-cong merupakan ilmu pusaka dari Bu-tong-liok-kiat. Kehebatannya dapat dibayangkan.

Gerombolan bunga tersebut hancur oleh hantaman tongkat kepala naga Tok-ku Bu-ti. Namun Wan Fei-yang sudah tidak terlihat.

“Bocah itu sudah terluka cukup parah. Dia tidak mungkin pergi jauh. Geledah!” Tok-ku Bu-ti menurunkan perintah kepada para anggotanya.

Beratus-ratus lentera dan obor segera menerangi sekitar tempat itu.

*****

Bicara memang mudah, tapi lain dengan kenyataannya. Sampai hari menjelang pagi, tetap saja mereka tidak dapat menemukan Wan Fei-yang. Yang membuat kemarahan Tok- ku Bu-ti hampir tidak terbendung adalah menghilangnya Tok- ku Hong yang menggunakan kesempatan ketika mereka semua sibuk mencari Wan Fei-yang.

Pasti budak perempuan itu yang secara diam-diam menunjukkan jalan dan menolong Wan Fei-yang melarikan diri dari tempat tersebut! Semakin dipikir, Tok-ku Bu-ti semakin marah. Tapi dia tidak tahu harus bagaimana lagi.

*****

Tok-ku Hong memang mempunyai niat mengajak Wan Fei- yang melarikan diri dari Bu-ti-bun. Oleh karena itu, dia menunggu di ujung lorong rahasia. Tetapi sampai matahari sudah tinggi, Wan Fei-yang tetap tidak muncul. Para anggota Bu-ti-bun juga belum kembali. 

Tidak disangka ginkangnya demikian tinggi. Tok-ku Hong terkejut membayangkannya. Tapi hatinya juga gembira. Yang mengkhawatirkan justru luka Wan Fei-yang yang cukup parah. Apakah dia dapat bertahan sepanjang perjalanan?

Tanpa pikir panjang lagi Tok-ku Hong segera menghambur ke depan. Tujuannya ialah tempat di mana Fu Hiong-kun dan Yan Cong-tian berada. Dia berharap dapat bertemu dengan Wan Fei-yang dalam perjalanan. Hanya di sanalah tempat tinggal Wan Fei-yang satu-satunya untuk sementara. Apalagi di sana ada Fu Hiong-kun yang ilmu pengobatannya sudah cukup tinggi. Anak muda itu pasti kembali ke sana. Karena alasan ini juga, Tok-ku Hong berlari siang malam tanpa mengenal lelah. *****

Wan Fei-yang sendiri juga bermaksud cepat-cepat kembali ke sana. Tapi dalam seketika, dia merasa bahwa luka yang dideritanya terlalu parah. Pasti dia tidak akan berhasil menerjang kepungan para anggota Bu-ti-bun.

Ketika masuk ke gedung Bu-ti-bun dalam keadaan mabuk. Dia sama sekali tidak berpikir untuk keluar dengan selamat.

Hatinya sudah terlalu kecewa membayangkan pernikahan Tok-ku Hong. Sekarang dia sudah mengerti isi hati gadis itu. Malah dia tidak berminat lagi untuk mati dengan cara konyol seperti apa yang akan dilakukannya tadi.

Dulu dia sudah pernah menyelundup dalam Bu-ti-bun dan menjadi anggotanya untuk jangka waktu yang cukup panjang. Terhadap keadaan sekitarnya dia juga pernah memerhatikan dengan saksama. Oleh karena itu, dia juga berhasil menyembunyikan diri tanpa diketahui oleh anggota Bu-ti-bun.

Sepanjang perjalanan, dia berkali-kali bersembunyi lalu mengendap-endap. Tanpa sadar dia sudah sampai di bawah tembok Liong-hong-kek. Saat itu juga dia sudah mengambil keputusan. Liong-hong-kek adalah daerah terlarang bagi seluruh anggota Bu-ti-bun. Pasti tempat itu juga merupakan sarang persembunyian yang aman. Tinggi tembok itu sekitar empat depa. Tidak mudah baginya untuk meloncat naik dengan luka separah itu. Wan Fei-yang tetap nekat dia mengambil napas dalam-dalam lalu mengentakkan kakinya. Di tengah udara dia berjungkir balik dan mencelat lagi ke atas.

Tubuhnya masih belum bisa mencapai atas tapi tangannya masih sempat berpegangan erat pada atas dinding. Dengan susah payah dia memanjat. Setelah itu tubuhnya meluncur ke bawah seperti selembar kertas yang tertiup angin. Kepalanya pusing tujuh keliling. Dia terjatuh di atas hamparan rumput.

Dengan nekat dia naik ke atas loteng. Setahap demi setahap dia merangkak. Setelah terkena hantaman Mit-kip-sin-kang, dia tidak sempat beristirahat sama sekali. Semestinya dia duduk bersila dan menghimpun hawa murninya. Tapi mana ada kesempatan baginya untuk melakukan semua itu.

Sedangkan untuk menyelamatkan diri saja masih menjadi persoalan. Tentu saja lukanya semakin parah.

Penerangan di atas loteng masih menyala.

Wan Fei-yang masih terus berusaha merangkak.

*****

Sen Man-cing belum tidur. Dia masih duduk di depan penerangan dengan termangu-mangu. Hari ini adalah hari baik bagi Tok-ku Hong. Dia sebagai seorang ibu hanya dapat duduk tertegun sambil mendoakan kebahagiaan putrinya dalam hati. Dalam keadaan seperti ini, bagaimana mungkin dia dapat tertidur pulas.

Sejak matahari tenggelam dia sudah duduk di sana. Sampai sekarang dia masih belum bangun juga. Dia merasa kesunyian menyelimuti hatinya. Namun perasaannya sudah kebal. Tepat pada saat itu, dia mendengar suara tarikan napas.

Tidak tepat kalau dikatakan tarikan napas. Bernapas dengan tersengal-sengal lebih tepat. Tapi siapa? Akhirnya wajah Sen Man-cing baru menunjukkan adanya perubahan. Tubuhnya berkelebat tanpa suara ke samping pintu. Kemudian dia mengulurkan tangannya menarik daun pintu tersebut. Wan Fei-yang dengan tubuhnya berlumuran darah langsung terkulai. Dia terjatuh di depan kaki Sen Man- cing.

Wanita setengah baya itu terkejut sekali. Dengan kecepatan gerakannya, dia masih tidak sempat memapah tubuh Wan Fei-yang. Namun akhirnya dia membungkukkan tubuhnya memapah anak muda itu. Pada saat itu juga, dia melihat belahan giok yang tergantung di leher Wan Fei-yang.

“Belahan giok ini merupakan hadiah kenang-kenangan atas cinta kasihku terhadap Ci-siong Tojin. Mengapa bisa berada pada anak muda ini? Apakah di antara mereka ada hubungan yang istimewa?” kata Sen Man-cing dalam hatinya.

*****

Setelah kentungan telah berlalu. Wan Fei-yang baru tersadar kembali. Guat Ngo juga baru datang. Dia melaporkan apa yang terjadi di ruangan pendopo. Tentu saja dia mengenali Wan Fei-yang. Menurut kabar yang didapatnya, inilah anak muda yang dicintai oleh Tok-ku Hong. Hal ini benar-benar di luar dugaan Sen Man-cing.

Namun nyonya itu belum lupa bahwa dialah murid murtad Bu- tong-pay yang dituduh membunuh Ci-siong Tojin.

¬¬Kalau diperhatikan, anak muda ini tidak mirip orang jahat. Apakah kabar yang didengarnya hanya fitnahan belaka? Atau ada kesalahpahaman di dalamnya? Oleh karena itu, begitu Wan Fei-yang sadarkan diri, dia langsung mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan, “Mengapa harus membunuh Ci-siong? Mengapa kau bisa melakukan hal sekeji itu?”

Wan Fei-yang sampai terbelalak diberondong seperti itu. Tapi sejenak kemudian dia memakluminya.

“Orang yang membunuh sebetulnya ciangbunjin yang sekarang, Fu Giok-su. Setelah mengetahui bahwa aku juga bisa ilmu silat bahkan Ci-siong Tojin sendiri yang mengajarkan, maka dia memfitnah aku. Masalah ini, Yan- supek sendiri sudah mengerti semuanya. Tidak lama lagi kami akan berangkat ke Bu-tong-san membereskan masalah ini,” sahutnya tenang.

Sen Man-cing memerhatikan Wan Fei-yang lekat-lekat.

“Bagaimana aku bisa tahu kalau kau tidak berbohong?” desaknya kembali.

Meskipun kecurigaannya masih ada, tapi nada suaranya sudah jauh lebih lunak. Wan Fei-yang merenung sejenak. “Maafkan kelancangan Boanpwe. Apakah Hujin bernama Sen Man-cing?”

Sen Man-cing menganggukkan kepalanya. Wan Fei-yang memperlihatkan belahan giok yang tergantung di lehernya. “Sebelum menutup mata, Suhu memberikan belahan giok ini kepada Boanpwe. Suhu juga berpesan agar aku mencari Hujin di Bu-ti-bun.” “Apa lagi yang dikatakannya?” tanya Man-cing dengan hati terharu.

“Tidak ada lagi,” Wan Fei-yang menundukkan kepalanya. Wajahnya berubah pucat. Dia membuka mulut dan memuntahkan segumpal darah segar. Tapi dia masih berusaha melanjutkan kata-katanya. “Ketika itu luka Suhu sudah parah sekali. Setelah mengucapkan beberapa patah kata, napasnya pun berhenti.” Ucapannya selesai, kembali dia memuntahkan darah segar.

Sen Man-cing mempertimbangkan sejenak. Akhirnya dia mengulurkan sepasang telapak tangannya di punggung Wan Fei-yang dan menyalurkan tenaga dalamnya. Wan Fei-yang tertegun.

“Hujin, kau ”

“Jangan banyak bicara! Kumpulkan hawa murni untuk menyembuhkan luka!” Sen Man-cing menyalurkan hawa murninya sendiri ke dalam tubuh Wan Fei-yang.

Anak muda itu menghela napas. Akhirnya dia mengalirkan hawa murni yang diterimanya ke seluruh peredaran darah dalam tubuhnya. Tepat pada saat itu, Sen Man-cing baru merasakan bahwa hawa murninya tidak dapat terkendalikan lagi. Seperti aliran sungai yang deras mengalir terus.

“Aneh,” gumamnya seorang diri. Pikirannya tergerak. Baru saja dia berniat menarik kembali telapak tangannya, namun sepasang telapak itu seperti diolesi lem dan tidak dapat tarik. Semakin dia memberontak, hawa murninya mengalir semakin cepat. Juga semakin deras. Sedangkan hawa murni tersebut di dalam tubuh Wan Fei-yang seakan-akan sedang berlomba saling mendahului. Segulung demi segulung saling susul-menyusul, bahkan menembus dua urat nadi terpenting dalam tubuhnya. Sedangkan wajah Sen Man-cing dari merah berubah menjadi putih. Begitu pucat menakutkan, seakan tidak ada setitik darah pun yang mengalir. Sebaliknya wajah Wan Fei-yang merah padam seperti kepiting rebus. Sampai-sampai dia sendiri merasa heran. Ternyata hawa murninya sendiri pada saat itu berubah menjadi sedemikian kuat dan deras.

Mungkinkah Sen-hujin ...?

Pikirannya baru tergerak, ketika mendadak dia merasakan urat nadi yang menentukan hidup matinya juga telah tertembus. Wan Fei-yang hanya merasakan kepalanya seperti hampir meledak, kemudian dia jatuh tidak sadarkan diri.

Sen Man-cing menggigil hebat. Dia terpental ke belakang dan terkulai di atas tanah. Guat Ngo yang menyaksikan keadaan tersebut terkejut setengah mati. Dengan panik dia maju ke depan memapah Sen Man-cing. “Hujin, apa yang terjadi?” tanyanya cemas.

“Ti ... tidak apa-apa ” suara Sen Man-cing sedemikian

lemah. Wajahnya pucat pasi. Saat itu juga dia merasakan tubuhnya lemas tak bertenaga. Dia menoleh kepada Wan Fei- yang. Anak muda itu persis seperti sebuah patung yang terbuat dari tanah liat. Bergerak pun tidak. Segumpal uap tipis mengepul dari tubuhnya. Dia seperti dikukus di atas dandang nasi dengan tungku api yang membara di bawahnya. Guat Ngo juga melihat apa yang terjadi pada anak muda tersebut. Dia merasa heran sekali. “Hujin, kenapa dia?”

Sen Man-cing seperti tidak menyadari. Matanya malah memerhatikan wajah Wan Fei-yang lekat-lekat. Tiba-tiba dia menyadari sesuatu, dengan nada sumbang dia tertawa terbahak-bahak. Suara tawa itu tampak begitu gembira tetapi juga mengenaskan.

“Dua puluh tahun sudah, ternyata begini kejadian yang sebenarnya,” gumamnya sambil terus tertawa.

Guat Ngo sama sekali tidak mengerti.

*****

Sehari demi sehari terus berlalu. Wan Fei-yang masih belum sadar juga. Di permukaan kulitnya mengumpul lapisan seperti sarang laba-laba. Makin hari makin menebal. Sampai pada hari ketujuh, wajah Wan Fei-yang sudah berubah putih seperti kapas. Lapisan yang mirip sarang laba-laba itu juga sudah memenuhi wajahnya.

“Hujin, mengapa dia masih belum sadar juga?” Guat Ngo tidak pernah lupa mengajukan pertanyaan ini setiap hari.

“Pada saatnya dia akan tersadar sendiri,” jawaban Sen Man- cing pun selalu sama.

“Apa lagi yang ditunggunya?” “Bangkit dari kematian.” *****

Pagi hari yang sama, di bawah tatapan para anggota Bu-ti- bun, Tok-ku Bu-ti keluar dari kantor pusat. Kongsun Hong mengikutinya dari belakang. Kali ini, Tok-ku Bu-ti hanya meminta dia melayaninya saja.

Surat tantangan dari Fu Giok-su sudah sampai. Tok-ku Bu-ti meninggalkan Bu-ti-bun, justru untuk memenuhi tantangan itu. Sambil berjalan, tidak lupa dia mengingatkan orang-orang kepercayaannya.

“Kepergianku ini adalah untuk memenuhi tantangan. Aku yakin baru aku sampai di sana, Kuan Tiong-liu pasti akan mengumpulkan murid Go-bi-pay dan Bu-tong-pay menyerbu ke tempat ini. Kalian harus lebih waspada dan berhati-hati!”

Setiap kali ada yang menyebut nama Kuan Tiong-liu, Hek-pai- siang-mo rasanya seperti hampir meledak.

“Pangcu berangkat saja dengan hati tenang. Mengenai Kuan Tiong-liu, kami pasti membuat dia bisa datang dengan hidup, keluar jadi mayat!” sahut Hek-mo-cian.

“Lagi pula murid-murid Go-bi-pay sudah hampir habis dibunuh oleh pihak kita. Sisanya paling-paling tidak seberapa. Tidak mungkin berpengaruh banyak. Sedangkan para jago Bu-tong rata-rata juga sudah dibunuh oleh Fu Giok-su. Sisanya tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” tukas Pek-mo-cian.

“Bicara memang mudah. Tapi toh tak ada salahnya kalau berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan!” “Kami pasti akan mengingat baik-baik. Mengenai pertarungan di atas Kuan-jit-hong, harap Pangcu juga menaruh perhatian!” kata Hek-pai-siang-mo serentak.

Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. “Kalau dilihat dari ilmu silat Fu Giok-su yang tidak seberapa itu tetapi berani menantang aku, seandainya bukan gila, pasti ada suatu rencana yang terselubung di dalamnya.”

“Itulah sebabnya Pangcu sudah memerintahkan Cian-bin-hud, Teng-cu, Cukek Ming jauh sebelumnya berkumpul di sana untuk mengawasi segala kemungkinan,” sahut Hek-mo-cian.

“Mereka sudah mengikuti aku sekian tahun. Meskipun ilmu silat mereka tidak tinggi namun pengalaman mereka sudah cukup untuk menghadapi musuh tangguh. Apalagi mereka juga membawa para penyelidik yang sudah ahli,” kata Tok-ku Bu-ti tersenyum lebar.

“Pangcu sendiri tidak mengharapkan apa-apa, kecuali kabar berita yang pasti.”

“Biasanya kalau kita mengetahui kedudukan lawan dan tipu muslihatnya, kita sudah pasti akan meraih kemenangan.”

Saat berbicara, mereka sudah melewati dua baris anggota Bu- ti-bun yang berjejer mengantarkan kepergian Tok-ku Bu-ti.

Kemudian dua orang anggota membawakan kuda tunggangan yang akan mereka tunggangi. Di bawah tatapan para murid Bu-ti-bun, Kongsun Hong dan Tok-ku Bu-ti melarikan kudanya meninggalkan tempat itu. Debu segera beterbangan memenuhi sekitar daerah tersebut. Sepanjang perjalanan selalu ada penyelidik Bu-ti-bun yang memberi laporan. Tapi apa yang mereka katakan semuanya sama. Mereka hanya melihat Fu Giok-su mengendarai kuda melintas dengan cepat. Dan dia hanya seorang diri.

Sesampainya mereka di kaki gunung, mereka memerhatikan kode-kode rahasia yang ditinggalkan oleh para penyelidik.

Semua menunjukkan keadaan aman. Tok-ku Bu-ti dan Kongsun Hong mengikat kuda mereka pada batang pohon yang besar, kemudian meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki. Sesampainya di Kuan-jit-hong, mereka tetap tidak menemukan apa pun yang mencurigakan. Hati Kongsun Hong menjadi tenang. Tetapi justru wajah Tok-ku Bu-ti yang berubah semakin kelam. Apa yang selalu dikatakan orang memang benar. Jahe yang tua lebih pedas rasanya. Tok-ku Bu-ti sudah malang melintang dunia Kangouw selama berpuluh tahun. Semakin tenang suasana yang dihadapinya, hatinya semakin curiga. Ketenangan seperti yang dilihatnya sekarang malah membuat hatinya makin tidak tenteram.

*****

Di atas bukit angin bertiup kencang. Fu Giok-su berdiri tegak berlawanan dengan tiupan angin. Pakaian dan rambutnya melambai-lambai. Sebatang toya yang terletak di sampingnya seakan sedang menyambut embusan angin. Yang terlihat hanya sebatang toya dan orangnya.

Tok-ku Bu-ti melangkah perlahan. Ketika jaraknya kurang dari tiga depa, Fu Giok-su baru membalikkan tubuhnya. Dia menjura dalam-dalam dengan wajah penuh senyuman. “Tok- ku Pangcu, sudah lama Siaute mengagumi nama besarmu!” Tok-ku Bu-ti tertawa datar. “Fu-ciangbunjin benar-benar seorang laki-laki yang sempurna!”

“Terima kasih,” mata Fu Giok-su beralih ke arah wajah Kongsun Hong. “Buncu terkenal sebagai manusia yang cerdik. Ternyata hari ini berani menempuh bahaya dengan tidak berpikir panjang.”

Tok-ku Bu-ti tertawa lebar. “Apa maksud ucapan Fu- ciangbunjin. ini?” tanyanya tenang.

“Dengan mengandalkan ilmu silat Siaute, tidak mungkin dapat menandingi Tok-ku Pangcu. Tapi aku berkeras menantangmu, bukankah kau segera dapat menduga bahwa ada hal yang tidak semestinya?”

“Memang sudah dalam dugaanku,” kata Tok-ku Bu-ti dengan wajah tidak menampilkan perasaan apa-apa.

“Itulah sebabnya, Tok-ku Pangcu memerintahkan Cian-bin- hud, Teng-cu, dan Cukek Ming untuk mempersiapkan diri jauh sebelumnya.”

Mendengar kata-kata itu, wajah Tok-ku Bu-ti mulai berubah. “Di mana mereka sekarang?” tanya Kongsun Hong.

“Di sini ” Fu Giok-su menepuk tangannya dua kali. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar