Ilmu Ulat sutera Jilid 20

Jilid 20

Kuan Tiong-liu tidak menunjukkan sikap gentar sedikit pun. Dia malah tertawa lebar. “Kalian tidak perlu sok gagah di hadapanku. Siapa orangnya yang kalian undang untuk menghadapiku, suruh keluar saja sekalian!”

Seraut wajah tua Peng Ti-houw sampai merah padam mendengar sindiran tersebut. Sebuah suara yang nyaring memecahkan keheningan seketika. “Bukankah aku sudah keluar?” kata orang itu sambil tertawa terbahak-bahak.

Ucapannya selesai, orangnya benar-benar muncul. Dia adalah seorang hwesio. Laksana seekor burung yang melayang turun dari atas sebatang pohon.

“Rupanya Cian-bin-hud dari Bu-ti-bun!” Kuan Tiong-liu tertawa dingin. Tiba-tiba sesosok bayangan menukik turun lagi dari atas sebatang pohon yang lain. Model orang yang satu ini aneh sekali. Meskipun dia seorang laki-laki tapi alisnya digambar dan lagaknya seperti kaum wanita. Siapa lagi kalau bukan Kiu- bwe-hu dari Bu-ti-bun juga.

Mata Kuan Tiong-liu mengerling sekilas. Dia tertawa dingin. “Kedua Hu-hoat besar dari Bu-ti-bun muncul dalam waktu yang bersamaan, tujuannya pasti untuk mencari aku!”

Cian-bin-hud tertawa terbahak-bahak. “Utang darah cabang tiga belas kami masih belum diperhitungkan dengan jelas!”

Kuan Tiong-liu mendongakkan kepalanya dan ikut tertawa terbahak-bahak. “Utang nyawa para murid Go-bi-pay yang dibantai habis-habisan masih belum diganti tuntas!” sahutnya.

“Bagus! Manusia she Kuan memang mempunyai nyali!” wajah Cian-bin-hud masih dipenuhi senyuman.

Yi Pei-sa yang menyusul keluar belakangan memerhatikan sejak tadi. “Kuan-toako, bagaimana ilmu kedua orang ini?” tanyanya dengan suara lirih.

Belum sempat Kuan Tiong-liu menjawab sinar mata Cian-bin- hud sudah beralih kepada Yi Pei-sa. Matanya membelalak, kemudian dia tertawa terkekeh-kekeh. Namun bagi Yi Pei-sa tawanya itu lebih mirip seringai seekor serigala.

“Lihat! Betapa cantiknya budak perempuan ini!” dia berhenti sebentar, kemudian menolehkan kepalanya berpesan, “Nanti kalau kalian turun tangan, jangan keras-keras. Tinggalkan hidup-hidup agar dapat melayani Hudya.”

Para hadirin menganggukkan kepalanya dan tersenyum penuh pengertian. Yi Pei-sa sendiri merasa malu sekaligus marah. Cepat-cepat dia menaikkan cadarnya yang diturunkan tadi malam.

“Kuan-toako, kali ini kita tidak boleh menaruh belas kasihan lagi kepada mereka. Satu pun jangan dibiarkan hidup!” katanya garang.

Kuan Tiong-liu mengerutkan keningnya. “Pengaruh Bu-ti-bun besar sekali. Orang mereka banyak juga banyak terdiri dari orang-orang kuat. Tampaknya mereka sudah mempersiapkan segalanya sebelum mencari kemari. Kalau kita mengadu kekuatan dengan kekerasan, mungkin yang rugi diri kita sendiri.”

“Maksud Kuan-toako ”

“Lebih baik kita menghindar untuk sementara.” Kuan Tiong-liu menyentuh bahu Yi Pei-sa dengan lembut. “Kau pergi dulu, aku akan menyusul belakangan.”

Meskipun Cian-bin-hud tidak dapat mendengar jelas pembicaraan mereka, tapi dari mimik wajah kedua orang itu, dia sudah dapat menduga sebagian. Dia langsung tertawa terkekeh-kekeh, “Mau kabur? Tidak begitu mudah! Maju!” teriaknya lantang sambil melesat mendahului.

Kiu-bwe-hu dan Empat Harimau dari Keluarga Peng juga tidak mau ketinggalan. “Jalan!” seru Kuan Tiong-liu sambil mengulurkan tangannya mencengkeram baju Yi Pei-sa dan menyeretnya melayang ke atas genting. Tubuhnya bergerak dengan gesit. Dia mendorong gadis itu agar cepat-cepat pergi.

“Kuan-toako, kalau hendak pergi, kita harus bersama-sama,” kata Yi Pei-sa panik.

“Tidak tersangka gadis Tibet juga tidak berbeda dengan gadis Tionggoan. Suka bertele-tele. Kadang-kadang malah jadi merepotkan kita,” pikir Kuan Tiong-liu dalam hati. Tentu saja dia tidak mengutarakannya secara terang-terangan di hadapan gadis itu.

Kuan Tiong-liu terpaksa menganggukkan kepalanya. Dia tahu percuma memaksakan kehendak terhadap gadis seperti Yi Pei-sa. Ditariknya tangan gadis itu lalu melesat pergi secepat terbang.

Cian-bin-hud yang memerhatikan dari bawah segera mengibaskan tangannya memberi isyarat kepada yang lain. Kiu-bwe-hu dan keempat harimau dari keluarga Peng segera mengambil jalan memutar dan mengepung di sekitar. Cian- bin-hud langsung menutul kakinya dan mencelat ke atas genting kuil untuk mengejar. Dalam waktu sekejap saja, bayangan Yi Pei-sa dan Kuan Tiong-liu sudah menghilang entah ke mana.

*****

Hamparan rumput melambai-lambai di bawah kaki Kuan Tiong-liu dan Yi Pei-sa melesat seperti anak panah meluncur ke depan. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) Yi Pei- sa tidak di bawah Kuan Tiong-liu. Kenyataan ini malah menguntungkan anak muda itu.

Cian-bin-hud dan Kiu-bwe-hu sudah mengejar dengan ketat. Jarak mereka sekitar sepuluh depa lebih. Keempat saudara dari keluarga Peng terlebih-lebih tidak usah dikatakan lagi. Dibandingkan mereka semua, ilmu keempat harimau ini paling rendah. Tentu saja semakin lama mereka semakin ketinggalan jauh.

Yi Pei-sa masih berlari terus di samping Kuan Tiong-liu. Tiba- tiba dia mengeluarkan sebuah tabung bambu kecil panjang dari balik pakaiannya. Dia menempelkan alat itu di bibir dan terdengarlah suara siulan yang aneh.

Kuan Tiong-liu tidak menanyakan apa-apa. Dia sudah tahu bahwa alat semacam itu biasanya merupakan kode untuk memanggil rekan. Tapi dia tidak tahu siapa yang dipanggil oleh Yi Pei-sa.

Mungkinkah Hek-pai-siang-mo sudah berada di Tionggoan dan sekarang tidak seberapa jauh dari tempat mereka?

Meskipun Kuan Tiong-liu berpikir demikian, tapi gerak kakinya tidak diperlambat sama sekali, bahkan dia melesat secepat anak panah.

Napas Yi Pei-sa mulai tersengal-sengal. Sebetulnya dia mulai tidak sanggup mengimbangi, namun untung saja tangannya ditarik oleh Kuan Tiong-liu sehingga dia tidak akan ketinggalan di belakang. Setelah berlari lagi beberapa depa, mereka memasuki sebuah jalan kecil. Otomatis langkah kaki mereka diperlambat. Tepat pada saat itu juga, dari arah sebelah kiri terdengar sahutan suara yang persis dengan siulan alat Yi Pei-sa tadi. Wajah gadis itu berseri-seri seketika. “Ambil arah barat!” serunya sambil mendahului berlari ke arah barat.

Setelah melalui sebuah padang rumput, mereka sampai di daerah yang berbukit-bukit. Bukit itu tinggi dan berkelok-kelok. Di bawah bukit ada sebuah gua. Suara siulan yang timbul dari batang bambu serupa suling justru berasal dari gua ini.

*****

Ketika Cian-bin-hud dan Kiu-bwe-hu sampai di daerah berbukit itu, bayangan Yi Pei-sa dan Kuan Tiong-liu sudah tidak terlihat lagi. Tetapi terdengar suara siulan yang berasal dari sebuah gua di kaki bukit tersebut.

Mata Kiu-bwe-hu mengedar ke sekeliling. Kemudian dia tertawa dingin. “Pasti mereka menyelinap ke dalam gua itu,” katanya.

Cian-bin-hud mengangguk setuju. “Menurut keterangan keempat harimau dari keluarga Peng, ilmu silat gadis itu lumayan juga. Sedangkan keadaan dalam gua mungkin sempit. Seandainya mereka bekerja sama dengan baik, takutnya bukan saja keadaan kita tidak menguntungkan, bisa- bisa kita yang dibokong oleh mereka berdua,” sahutnya.

“Tidak salah. Tapi akal mereka melarikan diri ke dalam gua juga kurang cemerlang,” Kiu-bwe-hu tertawa seram. “Kalau kita berjaga terus di depan gua, aku yakin mereka akhirnya harus keluar juga!” “Ada jalan lain yang lebih bagus daripada hanya duduk menunggu.” Cian-bin-hud meraba-raba dagunya sambil tertawa terkekeh-kekeh. “Kita tunggu dulu kedatangan empat harimau dari keluarga Peng setelah itu baru kita boleh mengambil tindakan.”

“Jalan apa yang kau maksudkan?”

Cian-bin-hud hanya menjawab satu patah kata saja. “Api!” Wajah Kiu-bwe-hu berseri-seri seketika.

*****

Begitu keempat harimau dari keluarga Peng, Cian-bin-hud langsung memerintahkan mereka mengumpulkan ranting- ranting kering dari daerah sekitar yang tandus. Setelah berhasil mendapatkan ranting kering dalam jumlah yang cukup banyak, mereka meletakkannya di depan gua dan segera menyalakannya.

Suara siulan masih terdengar terus. Kayu kering segera terbakar dan dilalap oleh api. Asap mulai mengepul tinggi. Dengan mengandalkan angin yang bertiup dari timur, asap itu terembus ke dalam gua.

Suara siulan terhenti seketika. Suara batuk-batuk menggantikannya. Cian-bin-hud, Kiu-bwe-hu, dan keempat saudara dari keluarga Peng tidak dapat menahan rasa hatinya. Mereka tertawa terbahak-bahak.

Suara tawa Cian-bin-hud yang paling keras. “Aku ingin lihat berapa lama kalian dapat bertahan!” Suara tawanya mulai sirap, ketika terlihat asap yang memenuhi gua mulai menipis dan tiba-tiba berbalik mengembus ke arah mereka. Hati mereka tergetar serentak. Rasa terkejut masih belum lenyap ketika satu demi satu ranting kering yang masih menyala itu melayang ke arah mereka.

Perasaan Cian-bin-hud tergetar tidak kepalang. Toyanya segera diayunkan dan menangkis ranting-ranting kering yang seakan menari-nari mengejek mereka. Pecut di tangan Kiu- bwe-hu juga segera digerakkan dengan gencar, persis seperti gerakan sehelai selendang seorang gadis yang sedang menari-nari.

Ilmu keempat harimau dari keluarga Peng jauh lebih rendah. Dalam sekejap mata rambut dan pakaian mereka sudah terbakar. Mereka menjerit-jerit histeris. Asap semakin menipis. Dari dalam gua keluar dua sosok manusia yang warna kulitnya berbeda. Yang satu hitam pekat, sedangkan yang lainnya putih pucat. Yang putih tampak terang sekali. Sebab seakan pakaian yang dikenakannya berwarna putih, rambut dan jenggotnya juga sudah memutih semua. Kulit tubuh dan wajahnya demikian putih seperti selembar kertas layaknya. 

Sedangkan yang hitam, semuanya serbahitam. Pakaiannya hitam, rambut dan jenggotnya juga hitam. Bahkan kulit seluruh tubuhnya hitam pekat. Cian-bin-hud dan Kiu-bwe-hu yang melihat kemunculan kedua orang itu langsung berubah hebat wajah keduanya. Apalagi keempat harimau dari keluarga Peng. Api yang membakar rambut serta pakaian mereka sudah padam. Wajah mereka coreng-moreng seperti kena arang. Namun tetap tidak dapat menyembunyikan kepucatannya.

“Hek-pai-siang-mo!” seru Cian-bin-hud tanpa sadar.

Kiu-bwe-hu yang licik segera memamerkan seulas senyum ramah. “Entah kapan kedua Cianpwe datang ke daerah Tionggoan?”

Hek-pai-siang-mo tidak memedulikannya. Mereka mendongakkan kepala menatap langit, seolah tidak memandang sebelah mata pun terhadap orang-orang itu. Kedua orang ini bernama Pek-mo-cian dan Hek-mo-cian. Nama mereka sudah lama menggetarkan dunia Kangouw. Selamanya mereka selalu bergabung dalam menghadapi lawan. Ilmu silat mereka tinggi sekali. Adat mereka juga aneh. Mereka sudah terkenal sebagai manusia-manusia yang susah dihadapi. Tujuh atau delapan tahun yang lalu sudah pernah datang ke daerah Tionggoan dan menimbulkan keonaran.

Kemudian entah dikalahkan oleh siapa, akhirnya mereka kabur pulang tanpa kabar berita. “Para perampok itu benar- benar kejam,” kata orang tua itu kembali. Cian-bin-hud dan Kiu-bwe-hu juga sudah lama berkecimpung di dunia Kangouw, tentu saja mereka tahu sampai di mana kelihaian Hek-pai- siang-mo. Sedangkan keempat harimau dari keluarga Peng pernah menetap di Tibet beberapa waktu. Kesan mereka terhadap kedua iblis itu sudah pasti lebih dalam lagi.

Yi Pei-sa dan Kuan Tiong-liu beriringan keluar dari dalam gua. Tangan Yi Pei-sa segera menunjuk ke arah empat saudara dari keluarga Peng. “Mereka adalah empat harimau dari keluarga Peng. Karena ingin merebut kembali Sa-mo-ce-sing, maka mereka sengaja mengundang kedua orang Hu-hoat dari Bu-ti-bun,” katanya menjelaskan. Hek-pai-siang-mo saling melirik sekilas. Kemudian sinar mata mereka beralih ke arah Cian-bin-hud kemudian Kiu-bwe-hu.

“Tujuan kami hanya budak Kuan Tiong-liu itu.” Cian-bin-hud buru-buru memberi tahu.

Pek-mo-cian tertawa dingin. “Kenyataannya kalian juga mengincar murid kami,” sahutnya serius.

Kiu-bwe-hu segera mengembangkan seulas senyuman. “Kami benar-benar mempunyai mata tapi tidak mengenal gunung Thay-san. Kalau kami tahu gadis itu adalah murid kesayangan kedua Cianpwe, meskipun nyawa kami ada sembilan juga tidak berani kami mengganggunya.” 

Hek-mo-cian tertawa terkekeh-kekeh. “Budak seperti engkau ini ternyata pandai mengambil hati,” katanya.

“Baik. Kalian boleh pergi. Tinggalkan empat ekor harimau jadi- jadian ini,” tukas Pek-mo-cian. Wajah keempat harimau dari keluarga Peng langsung berubah hebat. Peng Ti-houw segera menghampiri Cian-bin-hud dan Kiu-bwe-hu. “Liong-wi ”

“Su-wi ” Kiu-bwe-hu berbalik menyapa, kemudian menghela

napas. Setelah itu dia melanjutkan ucapannya. “Bukannya kami tidak mau membantu. Tapi kalian benar-benar tidak tahu diri berani membenturkan kepala kepada kedua Cianpwe ini.”

“Jadi orang harus mengerti mengukur kekuatan sendiri, kalau tidak pasti tak akan bertahan lama hidup di dunia Kangouw,” kata Cian-bin-hud seperti sedang memberi wejangan kepada keempat harimau dari keluarga Peng. Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan mencelat mundur.

Kiu-bwe-hu bergerak mundur dan tidak kalah cepat dari Cian- bin-hud. Wajah keempat harimau dari keluarga Peng semakin pucat. Mereka membalikkan tubuh serentak dan bermaksud mengambil langkah seribu. Siapa sangka baru saja kaki mereka bergerak sedikit, dua sosok bayangan melintas. Hek- pai-siang-mo melayang turun di hadapan keempat harimau dari keluarga Peng dan menutup jalan pergi mereka.

Peng Ti-houw langsung mengambil keputusan. Dengan nekat dia mendahului mengayunkan goloknya menerjang ke arah Hek-mo-cian yang mengadang di depannya. Tubuhnya meluncur ke samping. Meskipun gerakannya sudah cukup cepat, tapi mana mungkin dapat dibandingkan dengan Hek- mo-cian yang sudah menggemparkan dunia Kangouw dalam jangka waktu berpuluh tahun. Gerakan tubuh orang itu demikian ringan seakan hanya menggeser perlahan. Tapi hasilnya justru mengejutkan. Ketika tubuhnya berkelebat untuk pertama kali, golok di tangan Peng Ti-houw langsung terlepas. Kemudian tubuhnya bergerak. Ia menghantam golok tersebut sampai terpental jauh. Sedangkan kelebatan tubuhnya yang terakhir, kedua telapak tangan iblis hitam itu langsung menghajar telak dada Peng Ti-houw.

Sebetulnya, kalau ditilik dari ilmu silat Peng Ti-houw, tidak sepatutnya dia demikian tidak becus. Tapi karena hatinya sudah tergetar dan berpikir bagaimana caranya agar dapat melarikan diri, maka sisa tenaga dan kepandaiannya hanya tinggal enam bagian.

Begitu telapak tangan Hek-mo-cian berhasil menghantam dadanya, tubuh Peng Ti-houw bukannya terpental jauh malah terpaku di tempat. Seluruh tubuhnya langsung bergetar hebat. Butiran keringat mengalir deras dari celah pori-porinya kemudian membeku menjadi es. Setelah beberapa saat tubuh Peng Ti-houw jatuh dalam posisi tegak lurus persis seperti mayat yang telah dibekukan berhari-hari.

Sebelah tangan Hek-mo-cian yang lainnya segera mencengkeram batok kepala Peng-cia-go-houw yang satunya lagi. Dengan sekali gerakan saja, orang itu langsung terkulai di atas tanah. Sedangkan di pihak lain, Pek-mo-cian sudah berhasil mengantarkan dua nyawa Peng-cia-go-houw yang tersisa ke alam baka. Cara kematian mereka tidak berbeda dengan kedua saudaranya yang sudah mendahului.

Kuan Tiong-liu yang sejak tadi menyaksikan perbuatan mereka, diam-diam merasa gembira. Matanya bersinar terang. Gaya ilmu kelembutan im seperti yang dikuasai oleh Hek-pai- siang-mo baru pertama kali ini disaksikannya. Seandainya dia ingin menguasai jurus Lok-jit-kiam-hoat dengan baik, maka terlebih dahulu dia harus melatih ilmu tenaga dalam dengan kelembutan im tersebut. Sekarang dia sudah dapat memastikan bahwa tenaga dalam yang kelembutan im seperti yang dikuasai oleh Hek-pai-siang-mo itulah tujuannya.

Tapi bagaimana caranya mendapatkan kepercayaan dari kedua iblis tersebut agar mereka bersedia menurunkan ilmu yang satu itu? Kuan Tiong-liu terus memeras otak.

Dengan sekaligus Hek-pai-siang-mo berhasil membunuh keempat saudara dari keluarga Peng. Sikap mereka masih seperti sebelumnya, seakan belum terjadi apa pun sejak tadi. Yi Pei-sa hampir tidak sempat melihat cara turun tangan kedua suhunya yang demikian keji. Tapi dia tidak berani mengatakan apa-apa.

Hek-pai-siang-mo segera berjalan menuju mulut gua. Yi Pei- sa cepat-cepat mendorong tubuh Kuan Tiong-liu agar mengikutinya. Kuan Tiong-liu tersadar dan langsung melangkahkan kakinya. Tapi baru berjalan beberapa tindak, Hek-mo-cian sudah menolehkan kepalanya dan menatap Kuan Tiong-liu dengan pandangan dingin. “Untuk apa kau ikut ke sini?” tanyanya sinis.

Kuan Tiong-liu tertegun seketika.

“Toasuhu, dia ingin pergi ke Tibet. Aku sudah berjanji mengantarkannya ke sana,” sahut Yi Pei-sa cepat.

“Kami sekarang bukan kembali ke Tibet. Cepat suruh dia pergi dari sini!” kata Hek-mo-cian dengan nada kurang sabar.

Ternyata Yi Pei-sa juga tergolong gadis yang keras kepala. “Aku sudah telanjur mengabulkannya. Mana boleh mengingkari begitu saja?” Hek-mo-cian mendelik ke arah Yi Pei-sa. Belum sempat hawa marahnya meluap, Pek-mo-cian yang ada di sampingnya sudah menukas, “Lotoa, biar bocah itu ikut saja dengan kita.” Kemudian dia mengedipkan matanya sebagai isyarat. Tentu saja Hek-mo-cian mengerti. Dia mendengus dingin lalu meneruskan langkah kakinya.

Yi Pei-sa baru bisa menghela napas lega. Dengan mengembangkan seulas senyuman manis dia melirik ke arah Kuan Tiong-liu. Anak muda itu ikut tertawa, tapi tawa yang diperlihatkannya justru tawa getir. Sejak berkecimpung di dunia Kangouw, mana pernah dia memandang sebelah mata pun terhadap orang lain. Sekarang ia justru dihina sedemikian rupa.

*****

Setelah berjalan jauh di depan dan Kuan Tiong-liu serta Yi Pei-sa ada dalam jarak kurang lebih sepuluh depa di belakang, Hek-mo-cian tidak dapat menahan rasa ingin

tahunya lagi. “Loji, buat apa kau memberi muka kepada budak itu?”

Pek-mo-cian tertawa lebar. “Budak ini tampaknya akan menggunakan kekuatan kita untuk menghadapi Bu-ti-bun. Dia boleh cerdas, kita kan juga bukan orang bodoh.”

“Tapi kau malah membiarkan dia ikut ”

“Kita toh sudah cukup lama tidak datang ke daerah Tionggoan. Banyak jalan yang sudah berubah. Ada dia yang menemani kita, kan banyak juga manfaatnya,” sahut Pek-mo- cian.

Hek-mo-cian tidak berkata apa-apa, tapi keningnya langsung berkerut semakin dalam.

“Lagi pula ilmu silat kita jauh lebih tinggi daripadanya. Kalau dia menunjukkan sikap yang mencurigakan, kita bunuh saja, kan beres?” kata Pek-mo-cian selanjutnya.

Hek-mo-cian menganggukkan kepalanya berulang kali. Di ujung bibirnya mulai tersembul seulas senyuman. Sedangkan Cian-bin-hud dan Kiu-bwe-hu yang sudah meninggalkan tempat itu sejak tadi, baru bisa menghela napas lega setelah mengetahui bahwa mereka tidak dikejar oleh Hek-pai-siang- mo. Meskipun demikian mereka tidak berani berlama-lama di tempat itu.

Keduanya melanjutkan perjalanan secepat mungkin untuk kembali ke kantor pusat. Melihat mereka sambil kembali dengan tangan hampa, Tok-ku Bu-ti segera dapat menduga bahwa pasti telah terjadi sesuatu yang di luar dugaan.

Mendengar Hek-pai-siang-mo sudah berada di daerah Tionggoan, diam-diam hatinya terkejut.

*****

Walaupun dia tidak dapat memastikan sampai di mana tingginya ilmu Hek-pai-siang-mo, tapi dia tahu keduanya adalah tokoh kelas satu di Tibet. Tempo dulu mereka pernah menggemparkan daerah Tionggoan.

Sekarang mereka tiba-tiba muncul kembali. Kalau dikatakan kemunculan mereka hanya demi menemukan kembali Sa-mo- ce-sing dan membuat perhitungan dengan kelima saudara dari keluarga Peng, rasanya sulit diterima akal sehat.

Dan Tok-ku Bu-ti terlebih-lebih tidak percaya. Mereka pasti mempunyai rencana tertentu. Dia segera memanggil Tok-ku Hong untuk mengerahkan orang-orangnya dan menyelidiki tujuan Hek-pai-siang-mo sampai jelas.

Tok-ku Hong segera mengiakan. Dia kembali ke ruang depan dan menurunkan perintah kepada para bawahannya. Selain itu, dia juga mengutus salah seorang kepercayaannya untuk mencari jejak Wan Fei-yang. Apabila sudah ditemukan, orang itu harus segera memberi laporan kepadanya. Tampaknya sampai sekarang Tok-ku Hong masih juga tidak dapat melupakan Wan Fei-yang.

*****

Pada saat itu, Wan Fei-yang sudah bisa menggerakkan anggota tubuhnya dan berjalan agak lancar. Hanya tenaga dalamnya saja yang telah buyar dan ilmu silatnya punah. Meskipun semua jurus-jurusnya dia masih ingat dengan baik, tapi dia tidak mempunyai tenaga untuk memainkannya lagi.

Wan Fei-yang masih terus berusaha mengumpulkan hawa murninya, namun setiap kali dia mencobanya, rasa nyeri di dadanya hampir tidak tertahankan. Dadanya sesak dan hampir-hampir dia tidak dapat bernapas. Kalau sudah demikian, kadang-kadang rasa putus asa menyelinap juga dalam hati Wan Fei-yang.

Tentu saja Lu Wang tidak mengetahui persoalannya. Orang tua itu hanya sering menganjurkan agar dia beristirahat dengan tenang dan jangan terlalu banyak pikiran. Terhadap orang tua yang baik hati ini, Wan Fei-yang merasa terharu sekali. Seandainya tidak ada Lu Wang, kemungkinan dia memang tidak akan mati, tapi tubuhnya juga tidak akan pulih secepat itu. Dia hanya berharap agar orang tua itu mendapat berkah dari Thian supaya usianya panjang dan hidup dalam ketenangan. Dia sama sekali tidak menyangka bahwa bencana sudah di depan mata.

*****

Pagi hari yang dingin dan gerimis. Wan Fei-yang berjalan mondar-mandir sejenak di taman bunga. Tak terasa punggungnya telah dibasahi percikan hujan. Dia melangkah ke dalam ruangan sebagaimana biasanya untuk mengucapkan selamat pagi kepada Lu Wang.

Ketika dia melangkah ke dalam ruangan, Lu Wang sedang bertegur sapa dengan seorang laki-laki berusia setengah baya berwajah angker dan dengan jenggot panjang menjuntai di bawah dagunya. Kalau ditilik dari pakaiannya, orang itu pasti seorang pejabat pemerintahan.

Dari sinar matanya Wan Fei-yang segera tahu bahwa lwekang orang itu sangat tinggi. Tapi yang paling menarik perhatian justru senjata yang dibawanya. Senjatanya berbentuk serenceng gelang yang mana satunya besar dan sembilan sisanya kecil-kecil. Cahayanya berkilauan. Yang besar kurang lebih setebal ibu jari dan ukurannya mungkin sama dengan ukuran pinggang manusia dewasa. Sedangkan yang kecil- kecil paling-paling sebesar telapak tangan.

Laki-laki berusia setengah baya itu tidak memerhatikan Wan Fei-yang. Dia memang sempat melirik sekilas ke arah anak muda itu. Tapi karena gerak langkah kaki Wan Fei-yang demikian kaku, matanya tidak bersinar dan wajahnya pucat, dia tidak menganggap Wan Fei-yang seperti orang yang mengerti ilmu silat.

“Fei-yang, kebetulan sekali,” tiba-tiba Lu Wang menggapaikan tangannya ke arah Wan Fei-yang. “Mari Lohu perkenalkan. Ini adalah Lu Ci, Lu-tayjin yang menjabat sebagai komandan pasukan daerah utara.”

Wan Fei-yang tersenyum dan menjura dalam-dalam. “Lu-tayjin sudah banyak berbuat jasa bagi pemerintahan sekarang. Tempo dulu, dengan mengandalkan senjatanya Ci- bu-kim-hoan, dia pernah menggetarkan dua sungai besar utara dan selatan. Ilmu silatnya sudah tergolong tokoh nomor satu di dunia Kangouw,” kata Lu Wang selanjutnya.

“Lu-heng paling bisa bergurau,” sahut Lu Ci sambil tersenyum datar. “Kongcu ini ialah ”

“Dia adalah cucu luar seorang sahabat baikku,” kata Lu Wang menjelaskan.

“Oh ” tampaknya Lu Ci tidak begitu tertarik dengan riwayat

Wan Fei-yang.

Wan Fei-yang juga tidak berminat banyak bicara. Setelah mengucapkan selamat pagi kepada Lu Wang, dia segera mengundurkan diri. Lu Wang menunggu sejenak sampai Wan Fei-yang meninggalkan tempat itu lalu mengalihkan pokok pembicaraan.

“Kedatangan Lu-heng kali ini pasti menyandang tugas mahapenting,” katanya.

“Kalau tidak begitu, kita dua sahabat lama ini juga entah kapan baru bisa bertemu.”

“Hanya saja Lu-heng terpaksa bercapai diri lagi.”

“Demi sesuap nasi dan tugas negara, mau tidak mau kita harus menjalankannya juga. Kadang-kadang aku ingin belajar seperti Lu-heng yang memilih pensiun dan hidup dalam ketenangan.” “Memerlukan tekad yang kuat untuk memilih jalan seperti aku ini,” Lu Wang tersenyum sambil mengelus jenggotnya. “Menurut apa yang kulihat, Lu-heng masih menikmati kehidupan seperti yang terpapar di depan mata ini.”

Lu Ci tertawa terbahak-bahak. Dia tidak menyahut. “Tujuan Lu-heng kali ini ” tanya Lu Wang sekali lagi.

“Terus terang saja, kedatanganku ini karena tugas dari Raja Nepal sekaligus untuk menyelidiki sebuah kasus yang pelik,” sahut Lu Ci.

“Kalau sampai Lu-heng yang turun tangan tentu tugas yang diberikan oleh Raja Nepal itu penting sekali. Tapi urusan apa yang harus dilakukan di Tionggoan?”

“Sebetulnya Raja Nepal meminta aku mengambil bunga soat- lian (teratai salju). Menurut cerita, soat-lian itu tumbuh di daerah Ping-san yang dingin. Adanya di bawah permukaan sungai yang telah membeku menjadi es dan sudah terendam di sana selama ribuan tahun. Sejak beberapa generasi yang lalu belum pernah ada orang yang berhasil menemukannya. Untuk memetik soat-lian ini saja, entah telah berapa ratus nyawa yang dikorbankan.”

“Apa sebetulnya khasiat soat-lian yang terdapat di gunung es ini?”

“Menurut kabar burung, orang yang memakan soat-lian ini akan berusia panjang dan jauh dari penyakit. Sedangkan bagi orang yang berlatih ilmu silat dapat menambah kekuatan tenaga dalamnya beberapa kali lipat. Seperti orang yang sudah berlatih lwekang selama puluhan tahun. Oleh karena itu dua pihak aliran putih dan hitam dari berbagai penjuru dunia telah berkumpul di daerah Tionggoan untuk mendapat soat- lian tersebut.”

“Mengapa mereka harus menunggu sampai sekarang kalau sudah mendengar ceritanya sejak dulu?” tanya Lu Wang penasaran.

“Pertama, karena mereka masih belum yakin cerita ini benar. Kedua, karena soat-lian itu memang harus menunggu sampai seribu tahun baru dapat berkhasiat penuh.”

“Kalau memang demikian, tidak heran Lu-heng sampai harus turun tangan sendiri,” kata Lu Wang dengan penuh perhatian. “Harap Lu-heng berhati-hati sepanjang perjalanan.”

Lu Ci tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana sikap aku, masa Lu-heng masih belum paham?”

“Selama ini Lu-heng memang selalu berhati-hati dan penuh perhitungan. Jarang sampai rahasia terbocor. Tapi orang- orang dunia Kangouw itu, muslihat apa pun berani mereka gunakan untuk mencapai tujuannya ”

“Ucapan Lu-heng ini pasti akan Siaute ingat baik-baik,” sahut Lu Ci.

Lu Wang merenung sejenak. “Mengenai kasus yang Lu-heng katakan pelik itu?”

Lu Ci tertawa terbahak-bahak. “Lu-heng toh orang cerdas. Tentu sudah dapat mengira kasus apa yang Siaute maksudkan.”

“Tepat seperti dugaanku,” Lu Wang menarik napas perlahan. “Benar-benar telah terjadi peristiwa di tempat Cen Lik.”

“Kalau tidak ingin ada yang tahu, jangan berbuat.”

“Hubungan Lu-heng dengan Cen Lik cukup dalam, kasus ini malah jatuh ke tangan Lu-heng,” Lu Wang menarik napas sekali lagi.

“Tugas raja mana mungkin ditolak,” sahut Lu Ci ikut-ikutan tarik napas.

“Menurut kabar, ilmu silat yang dikuasai Cen Lik cukup tinggi juga.”

“Siapa orang ini, Siaute yakin pasti lebih jelas dari pada Lu- heng,” sahut Lu Ci dengan nada sedikit pahit.

Lu Wang langsung terdiam.

*****

Usia Cen Lik dan Lu Ci hampir sebaya. Wajahnya malah lebih berwibawa dari pada Lu Ci. Terhadap tujuan kedatangan Lu Ci, justru dia tidak tahu sama sekali. Juga tidak mengambil tindakan pencegahan apa-apa.

Kedua orang itu duduk di atas kursi di ruang utama. Wajah mereka penuh senyum. Setelah beramah tamah beberapa saat, Lu Ci masih tidak memperlihatkan maksud kedatangannya. Cen Lik sendiri tentu saja tidak curiga. Dia hanya mengira Lu Ci mendapat tugas luar karena tujuannya memang melewati daerah maka sebagai teman dia sekalian singgah. Dia mengundurkan diri dari tugas sembilan yang lalu. Tapi apabila mengungkit kegagahan di masa dinas, suaranya masih terdengar bangga. Terhadap Lu Ci, dia pun sangat kagum dan menaruh rasa hormat yang dalam. Selain itu terselip juga sedikit rasa iri di dalam hatinya.

“Menurut kabar, selama setengah tahun ini Lu-heng telah membuat jasa besar berupa merebut kemenangan sebanyak tiga kali berturut-turut. Benar-benar suatu hal yang menggembirakan dan patut diberikan ucapan selamat,” ucapan Cen Lik ini hanya manis di bibir saja, padahal hatinya semakin kecut karena dipenuhi rasa iri.

“Kalau bukan karena Cen-heng mengundurkan diri, pasti Siaute tidak dapat berbuat apa-apa,” jawaban Lu Ci masih tetap merendahkan diri.

Cen Lik agak terkesan mendengar kata-katanya. Dia menarik napas panjang.

“Ucapan Lu-heng terlalu berat. Padahal Siaute masih sering merindukan masa-masa di mana kita sering berkumpul, bersenda gurau dan bernyanyi riang.”

“Oh?” Lu Ci hanya tertawa-tawa.

“Susah sekali mendapat kesempatan kunjungan Lu-heng seperti sekarang. Mengapa kita tidak menggunakan kesempatan ini dan minum sampai puas?” Lu Ci tersenyum simpul.

“Baik. Tapi biar Siaute menjalankan tugas dulu.” Cen Lik tertegun. Wajah Lu Ci berubah serius.

“Kaisar menurunkan surat rahasia yang harus aku bacakan di hadapan Cen-heng,” ucapannya selesai, tubuhnya langsung berdiri tegak. Tangannya mengibas menimbulkan angin kencang. “Cen Lik, terima firman!” katanya dengan nada berwibawa.

Cen Lik termangu-mangu sesaat. Tapi dia segera berdiri lalu bertekuk lutut. “Hamba Cen Lik menerima firman. Kaisar panjang umur!”

Empat orang perwira berpakaian wol segera maju ke depan. Dua orang di antaranya mempersembahkan sebuah kotak persegi ke hadapan Lu Ci. Firman Kaisar yang disebut-sebut tadi bukan disimpan dalam kotak tersebut, tapi di balik pakaian Lu Ci.

Lu Ci mengeluarkan firman tersebut dan membukanya lebar- lebar.

“—Berkat perlindungan Thian yang Mahakuasa, Kaisar sekarang telah berhasil menggagalkan pemberontakan yang telah direncanakan oleh bekas congkoan Cen Lik yang mana menghasut Bu Cun serta kawan-kawan untuk menggulingkan Kaisar. Semuanya sudah diselidiki dengan bukti yang kuat.— Mengingat jasa yang pernah dibuat oleh tertuduh maka istri, selir maupun seluruh keturunan tidak dijatuhi hukuman mati. Cen Lik harus membunuh diri sendiri sebelum matahari terbenam. Sekian Firman dari Kaisar!” Lu Ci membacanya dengan suara tegas dan lantang.

Sewaktu mendengarkan, wajah Cen Lik semakin berubah. Seluruh tubuhnya menggigil tidak henti. Sikap Lu Ci serius dan angker. Setelah selesai membaca, dia menepuk kotak persegi yang diasongkan oleh kedua pengawal tadi dan memasukkan firman tersebut lalu menyodorkannya kepada Cen Lik.

Wajah Cen Lik berubah semakin pucat. Dia langsung berdiri dan mundur setengah langkah. “Tidak begitu mudah!” sahutnya dengan suara lantang.

“Pengkhianat bernyali besar, berani membangkang terhadap firman kaisar!” bentak kedua wisu berpakaian wol yang menerjang maju serentak. Mereka mengulurkan tangan dan menahan Cen Lik.

Kaki Cen Lik mundur lagi satu langkah. Sepasang lengannya dikibaskan, cengkeraman tangan kedua wisu itu terlepas seketika. Empat jurus serangan dikerahkan secara berturut- turut. Kedua wisu tadi terdesak mundur. Tepat pada saat itu juga, tubuh Lu Ci melesat maju. Sepasang tinjunya secepat kilat menghantam dada Cen Lik.

Cen Lik mencelat mundur dengan cepat. Belakang punggungnya sudah membentur dengan sebatang pohon. Gerakan tubuhnya menjadi kacau. Sepasang tangannya mengerahkan berbagai jurus dengan kalang kabut. Ternyata Lu Ci sudah memperhitungkan dengan matang semua gerakan yang akan dilakukan oleh Cen Lik. Tiba-tiba sepasang tinjunya membuka. Telapak tangannya yang sebelah menghantam dan yang sebelah lagi mencengkeram lengan kiri Cen Lik. Dada Cen Lik tergetar oleh hantaman telapak tangan itu. Belum lagi sempat berdiri tegak, lengannya yang sebelah lagi sudah tercengkeram pula. Tubuhnya bergetar. Kemudian terdengar suara keretakan tulang yang hancur. Rasa sakit hampir tidak tertahankan. Sepasang lengan Cen Lik telah diremas hancur oleh Lu Ci.

Wajah Cen Lik pucat pasi. Mulutnya terus merintih. Sepasang telapak tangan Lu Ci bagai ular berbisa melorot turun. Kaki Lu Ci menendang selangkangan laki-laki itu. Tanpa dapat dipertahankan lagi, Cen Lik jatuh bertekuk lutut di atas tanah.

“Lu Ci, kau benar-benar keji!” beberapa kata umpatan itu selesai dikeluarkan, Lu Ci sudah menekan kedua pipinya. Seorang wisu segera menghampiri dan menyodorkan sebutir pil berwarna merah kepada Lu Ci.

Pil berwarna merah itu adalah racun ganas yang disediakan untuk Cen Lik menghabisi nyawanya sendiri. Sebelah tangan Lu Ci bergerak cepat. Tahu-tahu bagian belakang kepala Cen Lik sudah ditarik oleh tangannya, dan dalam waktu yang bersamaan dia menyusupkan pil berwarna merah tadi ke dalam mulut Cen Lik.

Cen Lik berusaha memuntahkannya, tapi Lu Ci langsung memijit hidungnya. Sebelah tangannya yang tadi menarik rambut kepala segera berpindah di tenggorokannya. Tanpa dapat berbuat apa-apa lagi, pil merah itu tertelan oleh Cen Lik seketika.

Lu Ci melepaskan sepasang tangannya. Dia mundur ke tempatnya semula dan duduk dengan wajah tersenyum. Cen Lik masih berusaha bangkit berdiri. Rona wajahnya sudah mulai berubah gelap. Matanya mendelik ke arah Lu Ci. Baru saja dia berniat mengeluarkan caci maki, tapi daerah sekitar mulutnya sudah bebal dan kaku. Sepatah kata pun tidak sanggup diucapkannya lagi. Tubuhnya bergulingan di tanah. Pipinya membengkak, matanya berubah warna menjadi ungu. Dalam sekejap mata Cen Lik mati dengan darah mengalir dari ke tujuh lubang pancaindranya.

Dua orang tukang kebun yang bekerja di gedung keluarga Cen berdiri termangu-mangu dengan wajah pucat pasi. Tubuh mereka menggigil ketakutan. Lu Ci malah duduk tenang seakan tidak terjadi peristiwa apa pun. Padahal hubungannya dengan Cen Lik selama ini cukup akrab. Hal ini membuktikan bahwa hati orang ini benar-benar telengas dan keji.

*****

Perjalanan Ci-bu-kim-hoan Lu Ci beserta keempat pengawalnya sudah berada di bawah pengawasan pihak Bu- ti-bun dalam jangka waktu yang cukup lama. Ternyata kabar yang diperoleh Lu Ci memang merupakan kenyataan. soat- lian yang diinginkan oleh Raja Nepal memang telah menjadi incaran golongan hitam maupun putih.

Raja Nepal bersahabat baik dengan Kaisar Cao yang sekarang. Karena hubungan baik itulah, Raja Nepal meminta bantuan dari kaisar untuk mengutus salah seorang perwira kepercayaannya untuk mengambil soat-lian di tempat yang dijanjikan, sedangkan tugas memetik soat-lian tersebut ditangani oleh anak buahnya sendiri.

Dengan mengandalkan berita yang dapat diselidiki dengan mudah oleh para anggotanya, tentu Tok-ku Bu-ti sudah tahu sejak semula. Mereka juga berhasil menyelidiki bahwa Lu Ci yang bertugas mengambil soat-lian dan mengawalnya sampai negara Nepal. Mereka mencari tahu kapan dan di mana soat- lian itu akan diserahkan oleh para tentara Nepal yang ditugaskan memetik soat-lian itu. Tentu saja pihak Bu-ti-bun tidak berani terang-terangan berhadapan dengan tentara kerajaan Nepal. Tindak tanduk mereka sangat waspada dan berhati-hati. Yang mendapat tugas mengumpulkan berita adalah Tok-ku Hong, putrinya sendiri.

Baru saja Lu Ci meninggalkan gedung keluarga Cen, laporan sudah sampai di kantor cabang Bu-ti-bun setempat.

“Tujuan Lu Ci mendatangi rumah Cen Lik bukan untuk meminta bantuan rekannya melindungi soat-lian. Dia malah menerima tugas dari kaisar untuk membunuh orang itu dengan racun. Tadinya Cen Lik sendiri yang diharuskan bunuh diri dengan meminum racun tersebut, rupanya orang itu menolak, terpaksa Lu Ci turun tangan dan mencekoknya,” demikian laporan yang diberikan petugas penyelidik dari Bu-ti- bun.

“Membunuh Cen Lik dengan racun?” Tok-ku Hong membelalakkan matanya dengan wajah kebingungan.

Anggota Bu-ti-bun itu menganggukkan kepalanya.

“Sekarang keadaan dalam gedung keluarga Cen kacau-balau. Banyak pelayan dan pengawal yang melarikan diri dengan kocar-kacir.”

“Benar-benar bodoh sekali. Seandainya Lu Ci menerima perintah untuk menghabisi seluruh keluarga Cen, mana mungkin mereka sempat melarikan diri lagi,” Tok-ku Hong mendengus dingin. Kemudian dia bertanya, “Bagaimana dengan keadaan Lu Wang? Untuk apa Lu Ci pergi mencarinya?”

“Menurut sumber yang dapat dipercaya, ketika Lu Ci dan Lu Wang berbincang-bincang di dalam kamar pribadi orang tua itu, hanya ada satu orang yang pernah masuk ke dalam.

Orang itu adalah cucu luar seorang sahabat lama Lu Wang. Seorang anak muda she Wan.”

“Siapa namanya?” tanya Tok-ku Hong tanpa sadar. “Ini ... budak kurang jelas.”

“Apakah dia mengerti ilmu silat?” desak Tok-ku Hong kembali. “Dia adalah seorang pelajar yang lemah lembut.”

Tok-ku Hong menarik napas panjang. “Kalian cepat ringkus dia dan bawa kemari. Aku akan menanyakannya sampai jelas!”

Mendengar anak muda itu juga she Wan, dia segera teringat akan Wan Fei-yang, tapi setelah ditanyakan, rasanya bukan. Dari bahan yang berhasil mereka selidiki tentang riwayat Wan Fei-yang, tidak ditemukan hubungan antara anak muda itu dengan Lu Wang. Kedua orang itu dari kalangan berbeda.

Tampaknya tidak mungkin saling mengenal atau ada hubungan famili.

Memangnya orang yang she Wan di kolong langit ini hanya Wan Fei-yang. Tanpa sadar Tok-ku Hong tertawa getir. Gadis itu justru tidak berpikir bahwa kadang-kadang banyak hal di dunia ini demikian kebetulan. Dan pelajar she Wan yang lemah lembut itu memang Wan Fei-yang yang dipikirkannya setiap saat.

*****

Meskipun Wan Fei-yang hampir tidak pernah keluar rumah, tapi apabila anggota Bu-ti-bun ingin menyelundup ke dalam gedung keluarga Lu, mudahnya seperti membalikkan telapak tangan. Apabila mereka ingin meringkus seorang pelajar yang demikian lemah seperti Wan Fei-yang, juga merupakan hal yang sama mudahnya.

Wan Fei-yang tidak punya tenaga sama sekali untuk melawan. Anggota Bu-ti-bun yang diutus untuk meringkusnya tidak mengenal Wan Fei-yang sama sekali. Dan mereka juga mengganti dandanan mereka serta menyamar menjadi orang biasa. Tentu saja Wan Fei-yang juga tidak mengenali mereka. Baru setelah mereka membawanya ke kantor cabang Bu-ti- bun, dia baru sadar siapa adanya orang-orang itu.

Dia mengira Tok-ku Bu-ti mengingkari ucapannya sendiri dan selama ini mencarinya untuk dibunuh. Akhirnya mereka berhasil mengetahui jejaknya dan langsung menyelinap ke dalam rumah Lu Wang. Baru saja dia ingin membuka mulut dan memaki-maki, tubuhnya sudah didorong sehingga jatuh bergabrukan di atas lantai.

Tok-ku Hong duduk di atas undakan tanah di mana tersedia sebuah kursi besar. Melihat Wan Fei-yang menggelinding di atas tanah, dia langsung merasa tidak asing. “Apa yang kalian inginkan?” tanyanya sambil berusaha merangkak bangun.

Mendengar suara itu, tubuh Tok-ku Hong langsung bergetar. “Siau Yang!” panggilnya tanpa sadar.

Wan Fei-yang terpaku seketika. Dua pasang mata saling bertemu. Tok-ku Hong segera memalingkan wajahnya. Wan Fei-yang juga langsung memperdengarkan dengusan dingin.

“Rupanya Tok-ku Siocia!” dia merandek sejenak, kemudian tertawa dingin, “Sejak mula aku sudah menduga kalau kalian tidak akan melepaskanku begitu saja. Mau bunuh, silakan turun tangan!”

“Wan Fei-yang, kau benar-benar tidak takut mati!” baru beberapa patah kata yang diucapkan oleh Tok-ku Hong, para anggota Bu-ti-bun yang hadir di dalam ruangan itu langsung tertegun. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa pelajar lemah yang mereka ringkus itu ternyata Wan Fei-yang murid murtad Bu-tong-pay yang pernah menyelundup ke dalam kantor pusat Bu-ti-bun dan akhirnya terluka parah oleh serangan Mit-kip-sin-kang milik Tok-ku Bu-ti.

“Kalau aku mengeluh sedikit saja, anggaplah aku bukan laki- laki sejati!” kata Wan Fei-yang sambil membusungkan dadanya.

Tok-ku Hong mengerutkan keningnya. Dia berdiri dari kursi dan berjalan turun dengan perlahan. Kemudian dia mengibaskan tangannya. “Kalian semua keluar!”

Para anggota Bu-ti-bun tidak ada yang berani membantah. Mereka segera mengundurkan diri. Tok-ku Hong berjalan mengitari Wan Fei-yang satu kali. Dia tertawa dingin, “Kau adalah laki-laki sejati !”

Wan Fei-yang mengangkat wajahnya dan menatap gadis itu lekat-lekat.

“Kau memandang sebelah mata kepada orang-orang Bu-ti- bun, bukan?” tanya Tok-ku Hong sekali lagi.

Wan Fei-yang hanya tertawa terkekeh-kekeh. Tok-ku Hong berhenti di hadapannya. Matanya mendelik kepada anak muda itu.

“Jangan lupa, kau juga pernah menjadi anggota Bu-ti-bun!” dia merandek sejenak, kemudian melanjutkan dengan suara tajam, “Kalau kau benar-benar seorang lelaki sejati, tentu tidak akan menggunakan berbagai akal licik dan memperalat aku supaya dapat masuk menjadi anggota Bu-ti-bun. Meskipun kami bukan orang baik-baik, tapi tidak ada yang selicik kau menggunakan perasaan orang lain untuk mewujudkan tujuan sendiri!”

Mendengar makian itu Wan Fei-yang sampai termangu- mangu.

“Jawab! Mengapa kau tidak menjawab?” bentak Tok-ku Hong kembali.

“Aku ” perasaan Wan Fei-yang galau, tapi dia mengeraskan

hatinya, “Aku toh tidak pernah mencelakaimu.”

“Apakah harus sampai tubuhku hancur dan nyawaku melayang kau baru merasa bersalah?” Wan Fei-yang menggelengkan kepalanya.

“Tidak salah. Aku memang pernah mendustaimu. Tapi dua kali aku menolong nyawamu, aku benar-benar melakukannya dengan tulus. Sama sekali tidak ”

“Tidak usah banyak bicara! Sekarang aku ingin bertanya kepadamu. Apa sebetulnya tujuanmu menyelinap menjadi anggota Bu-ti-bun?” tanya Tok-ku Hong dengan suara keras.

“Aku hanya ingin mencari seseorang,” sahut Wan Fei-yang. “Siapa?” bentak Tok-ku Hong kembali.

“Sekarang ini aku masih belum bisa mengatakannya.” “Siapa sebetulnya orang itu?”

“Seandainya aku bisa memberi tahu kepadamu, hari itu juga aku sudah mengatakannya di hadapan ayahmu!”

“Kau berdusta!” wajah Tok-ku Hong merah padam. Tangannya menggenggam gagang golok.

“Percaya atau tidak, terserah. Apa yang aku katakan memang kenyataan,” sahut Wan Fei-yang seraya menarik napas panjang. “Kalau kau memang merasa harus membunuh aku, silakan turun tangan.”

Tok-ku Hong tidak menghunus goloknya. Dia bahkan tidak mengatakan apa-apa. Wan Fei-yang memandangnya dengan termangu-mangu. Dia juga berdiam diri. Entah berapa lama sudah berlalu.

“Kau pernah menolong aku dua kali. Kalau aku membunuhmu sekarang, bukankah aku menjadi manusia yang melupakan budi?” kembali dia menghentikan kata-katanya. Dia seperti sedang merenungkan sesuatu. Beberapa saat kemudian baru dia melanjutkan kata-katanya, “Sekarang aku akan melepaskan dirimu. Kelak apabila kita bertemu lagi, maka di antara kita sudah tidak ada utang piutang lagi.”

Wan Fei-yang tertawa getir.

“Oh ya ... bagaimana kau bisa berada dalam rumah Lu Wang?” tanya Tok-ku Hong. Nada suaranya sudah berubah lembut.

“Aku terluka parah dan jatuh pingsan di depan pintu gedung keluarga Lu. Kalau bukan berkat pertolongan Lu-loya, mungkin aku tidak bisa hidup sampai hari ini,” sahut Wan Fei- yang terus terang.

“Mengapa ada yang mengatakan bahwa kau adalah cucu luar sahabat lamanya?”

“Hal itu baru diketahui belakangan. Gwakongku dulu pernah menjabat sebagai kepala pengawal di daerah Bu Ciu.

Ternyata dia memang sahabat baik Lu-loya.” “Demikian kebetulan?”

Wan Fei-yang tertawa getir. “Kabar yang didapat oleh anggota Bu-ti-bun kalian juga hebat sekali.”

“Kami mengutus orang menyelinap ke dalam keluarga Lu dan meringkus pelajar she Wan adalah karena ingin menyelidiki suatu persoalan. Kami sama sekali tidak tahu bahwa kaulah yang dimaksudkan oleh anggota kami.”

Wan Fei-yang merasa heran sekali. “Apa yang ingin kalian selidiki?” tanyanya penasaran.

“Tujuan Ci-bu-kim-hoan ke rumah Lu Wang.”

“Oh Dia merupakan teman lama Lu-loya. Kali ini

kedatangannya hanya sekadar singgah saja,” Wan Fei-yang menyahut lalu bertanya lagi, “Apakah kalian ada dendam dengan Ci-bu-kim-hoan Lu Ci itu?”

“Kalau dikatakan kau juga tidak akan mengerti. Lebih baik jangan banyak ikut campur urusan orang lain,” mata Tok-ku Hong mengerling sekilas. “Biar aku antar kau pulang.”

“Kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan dan sekarang kan ingin menanyakannya langsung kepada Lu-loya bukan?”

“Sejak kapan otakmu menjadi demikian encer!” mata Tok-ku Hong langsung mendelik kepada Wan Fei-yang. “Nanti kalau aku bertanya apa-apa, lebih baik kau jangan ikut campur.”

Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya dengan wajah ketolol-tololan. Kadang-kadang dia seperti berubah bodoh di hadapan gadis itu. Dia sama sekali tidak sanggup mengemukakan pendapat apa-apa.

*****

Ketika Tok-ku Hong keluar dari gedung keluarga Lu, matahari sudah hampir terbenam. Wan Fei-yang mengantarkan sampai di depan pintu.

“Sekarang mestinya kau sudah percaya bahwa aku tidak mendustaimu,” kata Wan Fei-yang.

“Siapa suruh sebelumnya kau selalu berdusta!” mulut Tok-ku Hong berkata demikian, tapi nada suaranya sudah tidak mengandung kemarahan. “Lu-loya adalah orang tua yang baik hati. Lebih baik kau jangan mempunyai maksud yang tidak- tidak.”

“Mana mungkin?” Wan Fei-yang tertawa getir.

Seorang anggota Bu-ti-bun berlari menghampiri dengan napas tersengal-sengal. Dia berhenti di depan Tok-ku Hong, kemudian menjura dalam-dalam.

“Buncu ada perintah, harap Toasiocia segera kembali ke kantor pusat. Ada urusan penting yang akan dirundingkan,” lapor anggota Bu-ti-bun itu.

“Kau berangkat dulu, aku akan menyusul sebentar lagi,” kata Tok-ku Hong kemudian merenung.

Sampai anggota Bu-ti-bun itu pergi dari hadapan mata, Tok-ku Hong baru menolehkan wajahnya ke arah Wan Fei-yang. Ada tersirat rasa bersalah di mata gadis itu. “Baik-baiklah kau beristirahat di rumah Lu-loya. Kalau urusan di sana sudah selesai, aku akan datang menjengukmu lagi,” katanya tersipu-sipu.

Wan Fei-yang menganggukkan kepalanya tanpa bersuara. Dia juga tidak bertanya urusan apa sampai Tok-ku Bu-ti memanggilnya pulang, karena dia sama sekali tidak melupakan bahwa ilmu silatnya sudah punah. Dan dalam dunia Kangouw sudah tidak ada tempat baginya untuk memijakkan kaki.

*****

Senja hari. Saat itu merupakan senja hari pada hari kelima. Seratus tiga puluh enam ekor kuda bersama penunggangnya mengiringi dua buah kereta besar. Rombongan itu melintasi jalan pegunungan.

Ci-bu-kim-hoan beserta keempat pengawalnya sudah berdiri menanti di ujung sana. Di dalam kereta yang pertama duduk utusan dari Raja Nepal. Sedangkan di antara seratus tiga puluh enam penunggang kuda itu, dua puluh empat di antaranya memakai pakaian kaum persilatan. Dandanan mereka merupakan kaum persilatan yang biasa dikenakan di daerah Nepal. Sedangkan sisanya sudah pasti tentara kerajaan setempat yang bertugas mengawal mereka. Kepala pengawal yang mendapat tugas tersebut bernama Su Cong.

Melihat Ci-bu-kim-hoan sudah menunggu di sana, Su Cong cepat-cepat turun dari kudanya dan menghampiri. “Lu-tayjin pasti sudah menunggu cukup lama.” “Baru saja sampai ” sahut Lu Ci yang juga menyongsong ke

depan menyambut kepala pasukan tersebut.

Sambil bercakap-cakap kedua orang itu menghampiri kereta kuda. Pintu kereta segera terbuka. Dari kedua kereta itu keluar dua orang utusan Raja Nepal. Yang belakang tentu yang menjadi wakil. Dandanan mereka sangat istimewa, jauh berbeda dengan dandanan orang Tionggoan. Wajah mereka juga tidak sama dengan orang Tionggoan umumnya. Yang keluar dari kereta depan dan usianya lebih lanjut memeluk sebuah kotak persegi yang indah. Demikian hati-hatinya seakan takut kotak itu terjatuh dan isinya akan hancur.

Lu Ci segera menjura dalam-dalam. “Jenderal Pasukan Pakaian Perak dari wilayah utara, Lu Ci menyambut kedatangan utusan Raja Nepal.”

“Terima kasih atas kerja sama Lu-tayjin,” sahut orang yang lebih tua. “Dengar-dengar Lu-tayjin adalah tokoh kelas satu dalam pemerintahan sekarang. Setelah bertemu, ternyata kabar ini memang benar.”

Bahasa yang digunakannya adalah bahasa Han. Meskipun tidak lancar sekali, tapi tidak sulit ditangkap artinya.

Perkataannya merupakan basa-basi belaka, tapi sangat bermanfaat. Hati Lu Ci merasa bangga mendapat pujian itu.

“Kuisu terlalu sungkan,” sahutnya sambil menjura sekali lagi.

“Tugas Punsu sangat berat. Aku berharap dapat kembali secepatnya ke Nepal. Sekarang tugas sudah dapat diselesaikan dengan baik. Tentu aku tidak perlu khawatir lagi. Perjalanan kembali ke Nepal juga tidak perlu berputar-putar lagi.”

“Tentu saja,” sahut Lu Ci dengan wajah penuh senyum. Suaranya juga yakin sekali. “Setelah melintasi jalan ini, anak buah Komandan Su Cong juga sudah boleh kembali ke markasnya.”

“Apakah jalanan ini tidak mudah dilalui?” “Tidak begitu mudah.”

“Berapa lama waktu yang kita perlukan untuk keluar dari wilayah ini?”

“Lima hari ” wajah Lu Ci tetap tersenyum. Sedangkan kedua

orang utusan Raja Nepal tersebut sama sekali tidak bisa mengembangkan seulas pun senyuman.

“Tapi Kuisu berdua tidak usah khawatir. Sepanjang perjalanan kami sudah menyiapkan semuanya dengan baik,” kata Lu Ci selanjutnya.

“Semoga demikian.”

“Untuk memudahkan pelayanan, aku yang rendah memberanikan diri meminta kedua Kuisu duduk dalam satu kereta saja.”

“Boleh juga. Dengan demikian sepanjang perjalanan kita bisa mengobrol panjang lebar sehingga tidak terasa membosankan,” utusan dari Nepal itu juga bukan jenis manusia yang banyak tuntutannya. Dia mengikuti saja apa yang dianggap baik oleh Lu Ci. “Kalau begitu malam ini kita berkemah sini saja.” “Di tempat ini?”

“Tidak ada tempat lain yang lebih sesuai dari sini,” kata-kata Lu Ci seakan mengandung maksud tertentu. Dia langsung memerintahkan menyalakan api unggun dan menanak nasi.

“Bukankah Lu-tayjin tadi mengatakan bahwa kita akan berkemah di sini? Apakah Siaute perlu mendirikan kemahnya sekarang?” tanya Su Cong.

“Maksudku berkemah di langit terbuka,” sahut Lu Ci tersenyum simpul. “Toh kedua Kuisu bisa beristirahat di dalam kereta.”

Su Cong mempersiapkan segalanya. Kemudian dia menghampiri Lu Ci. Tanpa dapat menahan rasa ingin tahunya, dia bertanya dengan suara berbisik, “Apakah Lu-tayjin menemukan sesuatu yang mencurigakan sepanjang perjalanan tadi?”

Lu Ci tersenyum simpul. “Tidak perlu khawatir. Untuk sementara mereka tidak berani mengambil tindakan apa-apa,” katanya.

“Mereka?”

“Orang-orang yang mengincar soat-lian.” “Apa yang mereka tunggu?” “Mereka menunggu kesempatan dan tempat yang tepat.”

*****

Ini memang bukan tempat yang tepat untuk melakukan gerakan apa-apa. Oleh karena itu, para anggota Bu-ti-bun hanya mengawasi dari kejauhan. Mereka berada di atas gunung. Jumlah mereka juga banyak. Tok-ku Hong, Kongsun Hong, Cian-bin-hud, Kiu-bwe-hu, dan tongcu bagian luar dan dalam. Hanya Tok-ku Bu-ti yang tidak terlihat.

Meskipun Tok-ku Bu-ti tidak muncul, tapi dia selalu berhubungan dengan mereka. Oleh karena itu juga, Kongsun Hong yang biasanya paling tidak sabaran juga hanya duduk termenung menanti perintah.

“Menurut pendapatku, kita menggunakan kesempatan ketika kuda dan orang-orang mereka sedang keletihan. Pada malam hari nanti kita serang mereka, siapa tahu ” ini merupakan

ketiga kalinya Kongsun Hong memberi saran yang serupa.

Tok-ku Hong merasa tidak sabar mendengar ocehannya. “Buat apa diulangi terus kata-kata itu?”

Kongsun Hong menatap Tok-ku Hong sekilas. Mulutnya terdiam seketika. Cian-bin-hud yang berada di samping tertawa lebar.

“Buncu tidak mengizinkan kita mengambil tindakan di sini, pasti ada sesuatu yang diragukannya.”

Kongsun Hong meraba dagunya sendiri. Dia tertawa dingin. “Hanya seorang Ci-bu-kim-hoan, apanya yang harus ditakuti?” “Dia bisa menjabat kedudukan Jenderal Pasukan Pakaian Perak, tentu ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan orang biasa. Tetapi, kalau hanya orang itu saja, tentu tidak sulit dihadapi. Pokok persoalannya justru selain kita masih Hek- pai-siang-mo dan pihak lain yang mengincar soat-lian tersebut. Seandainya kita sampai bergebrak dengan Lu Ci, tentu mereka akan memancing di air keruh dan meraih keuntungan besar.”

Mata Kiu-bwe-hu mengerling tajam. “Kedatangan Hek-pai- siang-mo kali ini ke Tionggoan pasti untuk mendapatkan soat- lian tersebut,” katanya.

Menurut sumber yang dapat dipercaya, arah mereka juga menuju ke tempat ini. Kalau bukan untuk mengincar soat-lian, apa lagi?” sahut Cian-bin-hud.

“Entah mereka sudah sampai atau belum?”

*****

Sejak tadi Hek-pai-siang-mo sudah tiba. Mereka malah bersembunyi di tempat yang tidak seberapa jauh dari kerumunan anggota Bu-ti-bun. Gerak-gerik para anggota Bu- ti-bun selama ini selalu di bawah pengawasan mereka.

Jangkrik mengirik di depan, burung kenari menunggu di belakang. Hati mereka semakin lama semakin senang. Asal para anggota Bu-ti-bun itu bergerak, mereka tinggal menunggu kesempatan baik lalu menculik kedua utusan Raja Nepal tersebut. Tentu saja Kuan Tiong-liu dan Yi Pei-sa juga ikut bersama mereka. Sepanjang perjalanan, meskipun mereka membutuhkan Kuan Tiong-liu sebagai penunjuk jalan, tapi mulut mereka sama sekali tidak sungkan-sungkan mengeluarkan kata-kata yang pedas.

Kuan Tiong-liu tidak menyimpan dalam hati. Dia sudah mengalami berbagai cobaan pahit. Sikapnya jauh lebih sabar dan wataknya berubah menjadi pendiam. Biar bagaimana menyakitkannya pun kata-kata yang dilontarkan Hek-pai- siang-mo, dia tidak pernah menunjukkan kemarahan di hadapan mereka. Sepanjang perjalanan justru dia yang bertugas melayani kebutuhan kedua iblis dari Tibet itu.

Yi Pei-sa sebetulnya tidak sampai hati melihat keadaan Kuan Tiong-liu. Berkali-kali dia membela anak muda itu di hadapan kedua suhunya. Perasaan hati mereka pun semakin lama semakin dalam.

*****

Jangkrik mengirik di depan. Burung kenari menunggu di belakang. Ternyata di belakang burung kenari juga sudah menanti seorang pemburu. Hal itu sama sekali di luar dugaan Hek-pai-siang-mo.

Di atas gunung yang berliku-liku tidak seberapa jauh dari mereka, telah berkumpul segerombolan manusia. Yang mengepalai rombongan ini ialah Thian-ti. Selain itu, Hujan, Angin, Geledek, Kilat, Manusia Tanpa Wajah juga sudah berkumpul. Bahkan Fu Hiong-kun juga tidak ketinggalan.

Mereka mendapat kabar dari tabib Cai Hua-to yang sudah diancam akan dibongkar rahasianya berzina dengan selir Cian-bin-hud, lalu dipaksa menjadi mata-mata Siau-yau-kok. Thian-ti bertekad mendapatkan soat-lian dengan cara apa pun. Hujan pernah mengatakan bahwa soat-lian dapat membuat orang awet muda bahkan bisa menambah tenaga dalam seperti hasil latihan selama berpuluh tahun. Hal belakangan itulah yang menarik perhatian Geledek, Kilat maupun Angin. Tentu saja Fu Hiong-kun paling paham khasiat soat-lian bila dibandingkan yang lainnya. Minatnya juga besar sekali untuk mendapat benda langka tersebut. Meskipun tujuannya bukan untuk diri sendiri, namun dia ingin mencampurnya menjadi racikan obat untuk menolong sesama umat manusia. Dia juga tidak menutupi rahasia hatinya.

Tekadnya mendapatkan soat-lian malah menjadi bahan tertawaan anggota Siau-yau-kok lainnya.

Mereka memang terdiri dari dua jenis manusia yang berbeda. Sekarang para jago Siau-yau-kok sudah berkumpul semua. Tentu saja mereka sudah bertekad untuk mendapat soat-lian dari Ping-san itu.

*****

Meskipun Lu Ci tahu ada beberapa orang yang mengawasi mereka di sekitar tempat itu, tapi dia sama sekali tidak menduga bahwa kekuatan orang-orang yang datang jauh lebih besar daripadanya, bahkan mereka termasuk jago-jago dunia Kangouw yang paling sulit dihadapi.

Rombongan mana pun yang bergerak duluan, seandainya mereka dapat mempertahankan soat-lian, tetap tidak dapat menghindarkan diri dari luka parah atau kematian, dan tentu saja tidak sanggup lagi menghadapi gelombang kedua yang akan menggunakan kesempatan meraih keuntungan.

Memang dia juga termasuk orang dunia Kangouw, tapi dia sudah lama bertugas di dalam istana. Mengenai seluk-beluk dunia Kangouw pengetahuannya tidak seluas dulu lagi. Lagi pula dia selalu membanggakan ilmu silatnya yang tinggi dan selalu memandang sebelah mata terhadap orang lain. Inilah penyebab utama kekalahannya kelak.

Sudah pasti Siau-yau-kok tidak akan turun tangan terlebih dahulu. Sedangkan Hek-pai-siang-mo juga menanti kesempatan untuk mengail di air keruh. Rombongan pertama yang akan turun tangan duluan, kemungkinan besar anggota Bu-ti-bun.

Wi-tian-wei-toa, Ju-jit-pang-tiong. Kalau ditilik dari kekuatan Bu-ti-bun sekarang semestinya tidak ada lagi hal yang perlu mereka ragukan.

*****

Pagi hari kedua, kereta dan kuda mulai bergerak. Keempat pengawal Lu Ci mengajak dua puluh tentara berkuda membuka jalan di depan, sisanya mengawal di belakang kereta. Lu Ci sendiri sudah duduk di dalam kereta yang satunya.

Bentuk kedua kereta itu tidak ada perbedaannya sama sekali. Para jago negara Nepal yang datang bersama kedua utusan itu mengiringi dari dua sisi. Kalau dilihat dari luarnya saja tentu sulit memastikan kereta mana yang membawa kedua utusan itu. Lu Ci yang cerdik sudah memikirkan kemungkinan itu. Tujuan orang-orang yang mengincar soat-lian pasti kedua utusan tersebut. Apabila mereka masih duduk masing-masing dalam sebuah kereta, salah satunya pasti akan menjadi korban. Sekarang mereka tentu harus mempertimbangkan baik-baik kereta mana yang akan diserangnya.

*****

Lewat tengah hari, rombongan itu sudah memasuki jalan setapak sebuah hutan yang rimbun. Jalan setapak itu kecil. Di kedua sisi terdapat pohon-pohon yang tinggi. Begitu rapatnya sehingga hampir tidak bercelah.

Situasi keadaan seperti ini, paling sesuai untuk melakukan penyerangan. Tanpa perlu diperingatkan oleh Lu Ci, seluruh rombongan itu sudah waspada dan meningkatkan pengawalan.

Jalanan itu hanya pas-pasan dilewati kereta kuda. Para jago Nepal yang tadi mengiringi di kedua sisi terpaksa mengambil jalan memutar dan mengikuti dari belakang tentara berkuda untuk sementara. Rombongan itu berjalan perlahan. Tiba-tiba terdengar suara gemeresik dari hutan sebelah kiri. Seorang manusia berpakaian hitam melesat keluar dari rimbunan pepohonan bagai sebatang anak panah. Orang itu meluncur ke arah kereta yang ada di depan.

Tubuhnya menukik tegak lurus, seperti anak panah yang dibidikkan oleh seseorang. Dia menerobos lewat jendela sebelah kanan langsung menembus keluar lewat jendela sebelah kiri kemudian melesat ke dalam hutan yang terletak di sebelah kanan. Suara gemerencing tirai yang terbuat dari kulit kerang yang mana menghiasi jendela kereta masih terdengar. Sekelebat terlihat tangan manusia berpakaian hitam itu menggenggam sebuah kotak yang indah. Kotak itu justru berisi soat-lian yang langka. Kedua utusan Nepal itu menyembulkan kepalanya lewat jendela dengan gaya panik. Wajah mereka menyiratkan rasa ketakutan yang dalam. Para tentara kerajaan langsung menyerbu mengikuti arah manusia berpakaian hitam.

Ginkang manusia berpakaian hitam itu memang tinggi sekali. Tanpa ginkang setinggi itu, tentu dia tidak akan mendapatkan kotak berisi soat-lian dengan cara demikian mudah. Dia meluncur ke dalam hutan. Tubuhnya melesat ke udara. Pada saat itu juga Lu Ci sudah menyusul tiba. Dia langsung menghantamkan sepasang telapak tangannya.

Manusia berpakaian hitam itu sama sekali tidak menduga. Wajahnya sudah hancur terhantam telapak tangan Lu Ci sebelum rasa terkejutnya sirna. Tubuhnya terkulai dan jatuh di atas tanah. Lu Ci tidak menunggu sampai tubuhnya jatuh ke bawah, dia segera mengulurkan tangannya menyambut kotak berisi soat-lian yang melayang turun.

Lu Ci melirik pun tidak pada mayat orang itu. Dia berjalan dengan langkah lebar keluar dari hutan. Pada waktu itu, para tentara kerajaan baru menyerbu datang. Melihat keberhasilan Lu Ci, mereka bersorak gembira. Lu Ci sendiri hanya tertawa datar. Dia menghampiri kereta kuda dan menyodorkan kotak berisi soat-lian kepada kedua utusan Nepal itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar