Ilmu Ulat sutera Jilid 15

Jilid 15

Para hadirin mendengarkan keterangan tersebut sambil menganggukkan kepala mereka berkali-kali.

“Pandangan Suhu sungguh tinggi!” tanpa sadar Kongsun Hong memuji.

Tok ku Bu ti tertawa getir.

“Sekarang Fu Giok Su sudah menjabat sebagai Ciang bun jin Bu tong pai, dia pasti masih mengandung niat tertentu. Kita tidak perlu memperdulikan dia. Setelah Bu Tong tidak tertolong lagi, baru kita gunakan kesempatan itu untuk menyerbu ke sana dan ringkus bocah Fu Giok Su dan paksa dia beritahukan dimana letak Siau yau kok yang misterius itu.”

“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?” tukas Tok ku Hong.

“Kita serang dulu partai lainya. Pertama masuk menguatkan posisi kita. Kedua, agar musuh gentar terhadap kita.”

“Siau lim pai mempunyai murid yang banyak, partai itu juga dihormati orang-orang bulim, Tiam Cong pai dan Kun lun pai belum pernah ada permusuhan dengan pihak kita..”

“Menurut pendapatku, lebih baik kita serang dulu Go Bi pai,” kata Kongsun Hong memberikan pendapatnya. Tinjunya terkepal erat-erat.

Mendengar ucapan itu, Tok ku Hong segera teringat Kuan Tiong Liu yang banyak lagak dan menyebalkan. “Tia, aku juga mempunyai pendapat yang sama,” tukasnya segera. Tok ku Bu ti merenung sejenak.

“Masalah ini biar kupertimbangkan lebih dahulu.” Dia menoleh ke arah Cu kek ming yang mengepalai Pek hiong-tong (Ruangan gajah putih).” Laporkan penghasilan tahun belakang ini,” katanya.

“Lapor Pangcu.” Cu kek Ming menjura dalam-dalam.” Penghasilan tahun lalu, seluruhnya berjumlah sembilan ratus dua puluh tujuh ribu tiga ratus uang perak. Tapi karena pembantu kita banyak, dan kita membuka cabang baru lagi, maka sisanya tinggal tiga juta tiga ratus tujuh puluh empat uang perak.”

“Tidak begitu buruk…” kata Tok ku Bu ti sambil berjalan kembali ke tempat duduknya.

“Penghasilan toko, perlindungan, tanda tangan semuanya bertambah. Tapi kalau dibandingkan, bagian pembunuh bayaranlah yang menghasilkan uang paling banyak.”

Tok ku Bu ti mengambil daftar yang terletak di atas meja. Dia meneliti sejenak. “Teruskan…”

“Dengan membunuh gubernur Kwang-tung yang diminta oleh Liau Ling siang sing, kita dibayar seharga tiga juta uang perak. Sedangkan oleh Ki Lam Ong yang meminta membunuh pengawal-pengawal di Sang su, kita bayar seharga tujuh juta uang perak.” Tiba tiba Cu kek Ming tertawa lebar.

”Ada lagi.” Sen Tiong Seng yang berada di luar perbatasan meminta kita membunuh gubernur See ouw, tidak membuka harga delapan juta uang perak.’’

“Oh?” Kongsun Hong terpana. “Sang Su tujuh laksa uang perak, yang di See ouw delapan lakasa uang perak. Apa Sang su yang buka harga terlalu sedikit atau bagian See ouw yang begitu royal?”

“Hal ini dikarenakan Sen Tiong Seng sendiri memang turunan hartawan. Dia sendiri mempunyai usaha yang banyak, sehingga sanggup mengeluarkan uang sejumlah itu.” Cu kek Ming cepat-cepat menjelaskan.

“Terhadap manusia semacam ini kita memang harus membuka harga tinggi,” kata Tok ku Bu ti tersenyum datar.” Pokok kata, penghasilan Bu ti bun memang tidak kecil. Tapi cara Pek hiong tong menangani pembukuan, aku masih kecewa juga.”

Wajah Cu kek Ming berubah hebat. Belum sempat dia mengatakan apa-apa, Tok ku Bu ti sudah melanjutkan kata- katanya. “Bu ti bun kita mempunyai lima bagian di luar dan lima bagian dalam. Jumlah cabang keseluruhan ada seratus tiga puluh tujuh tempat. Jumlah anggota kurang lebih enam laksa orang. Dapat uang sejumlah itu apa gunanya?

Bagaimana kelak kita bias membentangkan sayap sampai samudra luar?”

Cu kek Ming menundukkan kepalanya dalam-dalam. Can Cian cin yang mengepalai bagian Hek Pao tong yang berdiri di samping nya segera tampil ke muka. “Hek Pao Tong telah mengadakan sebuah transaksi. Mungkin Buncu akan senang mendengarnya,” kata Can cian cin sambil menjura dalam-dalam.

Tok ku Bu ti mengalihkan pandanganya. “Coba katakan!” sahutnya dingin.

“Seorang pejabat yang mengepalai tiga propinsi hendak pindah rumah. Karena perjalanan jauh dan takut dihadang kaum perampok, maka meminta Yan Piauwsu yang menangani ekspedisi kita untuk mengantarkan harta bendanya.Semuanya sudah ditukar dengan uang emas.

Jumlahnya delapan belas juta uang emas. Hamba mendapat keterangan dari Tong Gin Hong-tong, maka hamba menugaskan tiga puluh ornag menyusul dengan cepat.

Sampai di propinsi Soa tang, hamba berhasil meracuni semua pengawal itu dan membawa pulang hasilnya.”

“Bagus! Bagus sekali!” seru Tok ku Bu ti sambil menoleh kepada Cu kek Ming. ”Apakah sudah menerimanya?”

“ Sudah, hamba juga sudah menghitungnya,” sahut Cu kek Ming cepat-cepat berdiri. “Jumlahnya hanya enam belas juta uang emas.”

“Kalau begitu, tentu berita tentang jumlahnya yang salah,” kata Can Cian cin panik.

“Sepanjang perjalanan hamba selalu berhati-hati. Tidak mungkin ada kehilangan. Lagi pula peti uang ems itu semua terkunci rapat. Sampai di sini baru dibuka.” Tok ku Bu ti mengangukkan kepalanya berkali-kali. Dia mengibaskan tanganya dan memberi tanda agar Can Cian Cin duduk kembali. Dia sendiri langsung berdiri. Matanya mengedar, “Selama bebeapa tahun ini kalian sudah bersusah payah segenap tenaga. Kelakuan aku pasti akan membalasnya dengan baik.”

Semua yang hadir segera berdiri dan mengucapkan terima kasih sambil menjura. Wajah Tok ku Bu ti berubah serius.

“Mengenai Murid Go Bi pai yang banyak lagak. Kuan Tiong Liu yang sudah membunuh habis seluruh anggota cabang ketiga belas kita, Hutang piutang ini pasti akan diperhitungkan, sampai jelas “

“Go Bi pai yang turun tangan terlebih dahulu kepada kita. Seandainya sekarang kita balas menyerang mereka, para partai lain tentu tidak berani banyak tanya,” kata Kongsun Hong.

“Tapi ilmu silat ketua Go Bi pai, It im taisu sangat tinggi. Apalagi ilmu pedangnya. Kabarnya tidak dibawah Ci Siong to jin.Lok jit kiam hoat dari Go Bi pai dan Liong gi kiam hoat dari Bu Tong memang sejajar namanya didunia kangouw,” tukas kepala Kim Liong tong, Teng cecu.

Konsun Hong tertawa dingin.

“Mana masuk hitungan kalau dibandingkan dengan Mit kip sin kang Buncu kita?”

Tok ku Bu ti tertawa lebar. “Tahu kekuatan sendiri dan tahu kekuatan musuh, pasti akan memenangkan pertarungan dimana pun. Dapat mengetahui dengan jelas sampaidi mana ilmu yang dimiliki lawan selalu menguntungkan kita sendiri. Tapi entah…” Can Cian cin cepat-cepat berdiri.

“Mengenai masalah ini, hamba tahu sedikit.”

Tok ku Bu ti tampaknya tertarik dengan keterangan tersbeut. “Aku tahu kau memang saling banyak tahu tentang ilmu silat berbagai aliran, apa yang kau ketahui,’ katanya.

“Selaku ciang bun jin dari Go Bi pai, memang ilmu pedang Lok jit kiam hoatnya sudah mencapai taraf yang cukup tinggi.

Selain itu jangan lupa ilmu Kim kang cap sa ciang (tiga belas jurus telapak baja)nya. Dia juga menguasai ilmu itu dengan baik. Dan satu lagi, yaitu ‘Jit cap ji lo hong mo cang hoat’ (Tujuh puluh dua langkah toya iblis gila)”.

Tok ku Bu ti, menganggukkan kepalanya berkali-kali.”Apa yang dikatakan Can Tongcu memang kenyataan. It im taisu sudah menguasai tiga macam ilmu pusaka Go Bi pai, pasti tidak dapat dibandingkan dengan orang biasa. Untung saja selama menutup diri, aku berhasil menciptakan sebuah ilmu baru yang kuberi nama “Bu ti it sut” (satu jurus tanpa tandingan).” Matanya berputar ke sekeliling dan berhenti pada Can cian cin.

Tongcu itu segera merasa ketajaman mata Tok ku Bu ti. Baru saja dia bermaksud mengundurkan diri. Tok ku Bu ti sudah melangkah ke hadapannya, tangannya menggapai.

“Mari!” Can cian cin terpaksa mengerakkan hatinya tampil ke depan. “Buncu harus berbelas kasihan dalam turun tangan.”

“Belum bertarung sudah meminta pengampunan, bagaimana kau bisa menonjolkan diri di dunia kangouw?” Tok ku Bu ti menarik nafas panjang.

Can cian Cin tampak serba salah. “Bagaimana mungkin hamba bisa menandingi Buncu?”

“Semua perhatikan baik-baik!” teriak Tok ku Bu ti. Tubuhnya melesat dan berputar. Sepasang tanganya dikembangkan ke depan, gerakannya berubah tiga kali berturut-turut.

Tiga perubahan gerakannya tidak istimewa. Kepalan tangan Can cian cin meninju ke depan dan menyambut tiga kali serangan telapak tangan Tok ku Bu ti.

“Plak! Plak! Plak!” Tok ku Bu ti menarik tangannya kembali, gerakannya tiba-tiba berubah. Perubahan ini benar-benar di luar dugaan. Sekali putar, tangan Can cian cin sudah mencengkeram olehnya.

Wajah Can cian Cin berubah hebat. “Bu ti it sut dari Buncu memang benar-benar hebat!” katanya memuji.

Cengkeraman Tok ku Bu ti tidak dilepaskan. Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. ”Ini bukan Bu ti it su!” Tawanya terhenti. Bibirnya tersenyum.

Senyum itu demikian kakunya. Matanya menyorotkan sinar tajam. Can Cian cin yang tanpa sengaja beradu pandang dengannya menggigil seketika. Tepat pada saat itu, dia menangkap gemeretuk suara tulang patah, dan serangkum rasa nyeri segera terasa di pergelangan tangannya!

Teryata pergelangan tangannya telah diremukkan oleh Tok ku Bu ti!

“Buncu!” panggil Can cian cin dengan suara bergetar. Wajahnya benar-benar berubah pucat.

“Ini juga bukan Bu ti it sut!” Tok ku bu ti menggelangkan kepalanya. Kakinya mundur satu langkah. Sebelah tanganya dilepaskan dari cengkeraman. Tangan yang satunya masih menarik pergelangan tangan Can cian Cin. Sedangkan tangan yang terlepas tadi menekan di dadanya. Tiba-tiba dia meraung dan menghentakkan tenaganya menarik dan mendorong.

Lengan Can cian cin terlepas dari sendirinya dan melayang keluar pintu. Sedangkan tangan yang tadi menekan dada laki- laki itu segera mendorong dengan sekuat tenaga. Tidak ayal lagi, tubuh Can cian cin segera menyusul kutungan lengannya yang sudah terlempar keluar terlebih dahulu.

Begitu kuatnya tenaga Tok ku Bu ti sehingga tubuh Can Cian Cin terlempar sejauh empat depa.

“Bluk!” Tubuh itu mendarat di tanah bagai seonggok sampah. Tok ku Bu ti menarik nafas panjang. Dia menarik sepasang tangannya kembali.

“Yang ini baru Bu ti it sut.”

Tidak ada satu pun dari para hadirin yang tidak terkejut. Mata mereka terbelalak, mulut terbuka lebar. Dengan termangu- mangu mereka memandang Tok ku Bu ti. Bahkan Tok ku Hong dan Kongsun Hong juga tidak berbeda.

Tok ku Bu ti duduk kembali di kursinya seakan tidak terjadi apa pun. Dia mengangkat cangkirnya dan meminum seteguk.”

“Can Cian Cin membujuk anggota cabang Wei hai. Dia ingin membentuk organisasi sendiri. Dia tidak tahu bahwa aku sudah lama memperhatikannya. Ini bukti-bukti surat yang dikirim oleh antek-anteknya.” Tok ku Bu tidak mengeluarkan setumpuk surat dari dalam sebuah amplop besar.

“Kalian tentu tahu kalau ketua cabang Wei hai adalah murid Go Bi pai. Itulah sebabnya Can Cian Cin tahu jelas ilmu yang dipelajari oleh It im taisu.”

Para hadirin merasa di luar dugaan.

“Salah seorang kepercayaan pejabat yang hendak pindah rumah itu memang komplotan Can Cian Cin maka dia jelas sekali tentang masalah ini. Itulah sebabnya tanpa membuka peti itu pun dia sudah tahu berapa jumlah uang emas yang ada dalam kereta. Sementara itu kekurangan dua juta dari jumlah yang seharusnya, tidak salah lagi mereka pasti telah membaginya rata.”

Cu kek Ming menarik nafas panjang. “Tahu orang, tahu wajah, tidak tahu hatinya. Pepatah ini memang tepat sekali. Budi Buncu demikian besar kepada Can cian Cin, tidak tersangka dia bisa melakukan hal demikian,” katanya.

“Besok kau bawa uang sejumlah lima ribu perak kepada keluarganya. Sekalian undang beberapa orang hwesio untuk menyembahyangi jenazahnya!” perintah Tok ku Bu ti. “Baik!” sahut Cu kek Ming sambil mengundurkan diri.

Tok ku Bu ti mengalihkan pandangannya kepada Tengcu. “Teng tongcu buatkan sepucuk surat yang sopan dan baik tata bahasanya. Utus orang dengan kuda tercepat dan antarakan ke Go Bi san. Beri batas waktu tujuh hari pada It im taisu untuk menyerahkan Kuan Tiong Liu. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mendatangi Go Bi san dan meringkus anak itu!” katanya memberi perintah.

Perkataannya diucapkan sepatah demi sepatah. Wajahnya menyiratkan kekejaman yang sulit dilukiskan. Sebelum menutup diri tentunya dia sudah menyiapkan berbagai rencana dengan tenang itu, dia dapat mengatur segalanya. Manusia semacam ini benar-benar keji dan menakutkan.

Rembulan mulai memudar. Cahayanya menyorot di luar jendela gendung kecil itu. Meskipun malam panjang belum berlalu, tapi pagi tidak lama lagi akan muncul.

Tangan memegang cawan, dalam cawan berisi arak. Tapi perasaannya bukan sedang menikmati arak. Saat ini Tok ku Bu ti duduk di tempat peristirahatan di taman belakang, Berhadapan dengan hanya Kongsun Hong seorang.

Minum arak seorang diri hampa rasanya. Tok ku Bu ti sengaja memilih Kongsun Hong untuk menemaninya. Bukan hanya sekedar menemani saja. Tapi karena dia mempercayai Kongsun Hong. Selama ini dia selalu mengangap Kongsun Hong sebagai anaknya sendiri.

Tiga cawan arak telah masuk ke dalam perut. Wajah Tok ku Bu ti agak murung.

“Tidak disangka hanya dalam waktu dua tahun saja, sudah terjadi berbagai peristiwa yang tidak terduga.”

“Peristiwa yang terjadi dua tahun belakangan ini memang terlalu banyak,” sahut Kongsun Hong.

“Masih lumayan hanya Han ciang tiau siu yang terbunuh dan juga para anggota cabang tiga belas. Selain itu semuanya biasa-biasa saja.”

“Kau orang tua sudah lupa aku dan Sumoay terkurung dalam barisan Jit sing kiam ceng satu hari satu malam. Meskipun tidak sampai mati tapi rasanya malu sekali. Sampai sekarang kalau ada yang mengungkit persoalan ini kembali, sumoay masih merasa penasaran,” sahut Kongsun Hong.

“Masalah ini tidak usah disimpan dalam hati. Pada suatu hari nanti aku pasti akan menemukan titik kelemahan barisan tesebut. Pada saat itu aku akan mengutus kau dan Hong ji naik sekali ke Bu tong san dan mencoba barisan itu. Kalian juga bisa melampiaskan kekesalan dengan membunuh mereka habis-habisan!” kata Tok ku Bu ti dengan keyakinan penuh.

Kongsun Hong gembira sekali. ”Kalau Sumoay mendengar kata-kata Suhu tadi,dia pasti akan senang sekali!”

Wajah Tok ku Bu ti berubah serius kembali. “Anak itu benar- benar terlalu kumanjakan.”

“Suhu, ada.. ada masalah yang aku tidak habis pikir.” “Masalah apa?”

“Ketika kami terkurung dalam barisan Jit sing kiam ceng, kamisudah pasti tidak dapat meloloskan diri lagi. Tapi tidak disangka sangka tua bangka Ci siong itu malah menurunkan perintah kepada para muridnya agar melepaskan kami turun gunung.”

Wajah Tok ku Bu ti semakin kelam.

“Mungkin dia merasa bersyukur karena selama mengalami kekalahan sebanyak tiga kali di tanganku, tidak pernah sekalipun aku mengancam akan membunuhnya. Maka dari itu dia berlagak berjiwa besar. Kemudian dia mengalihkan pokok pembicaraan. “Jangan bicara akan masalah ini lagi. Yang lain saja. Bagaimana sikap Hong ji belakangan ini?”

“Kecuali sifatnya yang cepat tersinggung, yang lainnya biasa saja.”

“Apakah ada sesuatu yang terjadi belakangan ini?”

“Cu jin di Liong hong kek beberapa hari yang lalu tidak mau makan apa-apa,” kata Kongsung Hong tanpa sadar.

“Tidak makan sampai sekarang? Tentu sudah hampir mati kelaparan,” kata Tok ku Bu ti agak khawatir.

“Suhu jangan cemas, kemarin sudah mulai mau makan lagi.” Belum lagi kata-katanya selesai, Tok ku Bu ti sudah berdiri dan menempeleng pipi Kongsun Hong. Anak muda itu tidak menghindar. Tamparan itu cukup keras. Kongsun Hong tertegun beberapa saat.

“Suhu, mengapa kau…?”

“Masih tanya?” Wajah Tok ku Bu ti merah padam karena marah.”Apa yang kupesankan kepadamu sebelum aku menutup diri. Mengapa nyalimu begitu besarsehingga berani membangkang?”

“Suhu, aku mana berani..”

“Masih berani membantah? Bilang! Siapa yang kau masukkan ke dalam Liong hong kek?” bentak Tok ku Bu ti dengan suara keras.

Kongsun Hong kembali tertegun. Dia tidak berani bersuara.

“Hong ji bukan? Bilang!” Hardikan Tok ku Bu ti semakin keras. Matanya mendelik lebar lebar kepada Kongsun Hong.

Tanpa sadar Kongsun Hong mundur dua langkah. Tok ku Bu ti malah mendesaknya.

“Bilang!”

Kongsun Hong terpaksa menganggukkan kepalanya. Tok ku Bu ti tertawa dingin. “Urusan apa pun tidak dapat mengelabui aku. Kalau wanita di Liong hong kek itu sampai tidak mau makan, hanya Hong ji yang sanggup membujuknya,” sindirnya tajam.

Kongsun Hong segera menjatuhkan diri ke lutut di atas tanah. Tok ku Bu ti tidak memperdulikannya. Matanya mengedar kemudian menatap sinar rembulan yang menyorot di sebelah barat. Lama dia terpaku dalam lamunan. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba tubuhnya melesat bagaikan segumpal asap yang melayang di atap tempat peristirahatan itu.

Cahaya penerangan sangat redup. Wajah dan tubunya semakin kurus. Angin sepoi-sepoi bertiup dari celah jendela. Tangan Sen Man cing sudah dingin sekali. Dia sama sekali tidak perduli. Tangannya masih menggenggam lukisan Ci Siong to jin, tapi matanya justru menerawang di kejauhan.

Matanya masih mengembang air. Tapi tidak mengalir turun. Entah sudah berapa lama dia duduk di sana. Dia tidak ingat waktu lagi. Dia juga tidak perduli keadaan dirinya sendiri.

Di luar Liong hong kek kesunyian merayap. Tubuh Tok ku Bu ti bagai seekor burung elang melayang turun tanpa menerbitkan suara sedikit pun. Meskipun dia berada di luar dan memperhatikan Sen Man Cing, tapi wanita itu seperti tidak mengetahui kehadirannya.

Sepasang tangan Tok ku Bu ti mengepal erat. Jari-jari tanganya sampai terlihat putih pucat. Sepasang matanya mendelik ke arah lukisan Ci Siong to jin. Seakan ada bara api yang sedang menyala di matanya. Dia menarik nafas dalam-dalam. Hawa amarah dalam dadanya hampir meledak. Tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya dan menerjang ke luar. Baru beberapa depa, dia menghentikan lagi langkah kakinya. Pada saat itu, wajahnya berkerut-kerut. Urat hijau menonjol di keningnya. Tiba-tiba dia menjerit histeris, membalikkan tubuh dan menerjang ke arah pintu Liong hong kek.

“Brak!” Pintu ruangan itu hancur seketika. Tok ku Bu ti menerjang ke dalam. Dengan kalap dia menyerbu ke arah Sen Man cing. Mendengar suara dobrakan pintu, Sen Man Cing terkejut sekali. Dia langsung bangkit beriri. Lima jari telapak tangan kanannya diulurkan. Hampir saja dia mengerahkan tenaga menyerang.

“Siapa?” bentaknya lantang.

Baru saja kata-katanya selesai, dan sudah melihat bahwa orang yang menerjang masuk adalah Tok ku Bu ti. Kelima jari tanganya terkulai kembali ke bawah.

“Brett!” Tok ku Bu ti merobek-robek gambar Ci Siong to jin. Dia masih belum puas. Kedua telapak tangannya dirangkapnya dan…..

“Bles!” Lukisan itu berubah menjadi hancuran kecil-kecil dan bau hangus.

Sen Man Cing menatapnya dengan dingin. Dia tidak bergerak, juga tidak mencegah, Wajah Tok ku Bu ti menyorotkan hawa amarah, Dia menginjak bekas hancuran lukisan tadi dengan telapak kakinya. Dia juga tidak berkata apa-apa. Setelah sekian lama berdiam diri, akhirnya Sen Man Cing yang lebih dulu membuka suara.

“Dua puluh tahun yang lalu, aku memang mera bersalah sekali terhadapmu. Tapi kau tidak pernah memberikan kesempatan kepadaku untuk menjelaskannya.” Suaranya dingin sekali.

Sama sekali tidak mengandung perasaan apa-apa. Tok ku Bu ti berdiam diri mendengarkan.

“Selama dua puluh tahun ini, sekilas pun kau tidak pernah melirik aku. Kau pisahkan aku dengan putriku. Aku tidak mencaci maki atau pun mengatakan apa-apa. Juga karena ini memang patut kuterima. Sampai malam ini kau datang kembali, aku kembali merasa bersalah terhadapmu. Kalau melihat ilmu silatmu yang sudah mencapai taraf demikian tinggi. Seharusnya kau tidak cepat menjadi tua, kuyu, pucat, hal ini membuktikan bahwa selama dua puluh tahun ini kau pun cukup menderita.”

Tok ku Bu ti masih tidak bersuara. Sen Man cing menatapnya lekat-lekat. Dia menggeleng kepalanya.

“Meskipun kau menyebut dirimu seorang pendekar, tapi kau berat melepaskan, juga sangsi menemuiku. Selama dua puluh tahun kau selalu bimbang,. Sampai malam ini kau baru berani melangkahkan kaki ke Liong hong kek.”

Sepasang tangan Tok ku Bu ti mengepal erat-erat. Kobaran kemarahan di matanya semakin membara. Tampaknya dia segera akan melayangkan tinjunya ke wajah Sen Man cing. Tapi akhirnya dia membalikkan tubuh dan menerjang keluar. Dari datang sampai pergi, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tapi kemarahan, penderitaan dalam hatinya sudah tersirat jelas. Sen Man Cing menatap bayangan punggung laki-laki itu sampai menghilang.air matanya mengalir juga.

Menetes di atas robekan lukisan Ci Siong to jin.

Setelah meninggalkan Liong hong kek, Tok ku Bu ti menghambur ke kamarnya sendiri Baru saja dia mendorong pintu, tampak Tok ku Hong sedang merapikan selimut yang berantakan di atas tempat tidur.

Mendengar suara dorongan pintu. Tok ku Hong segera menolehkan kepalanya. Melihat Tok ku Bu ti yang masuk, dia bergegas menghampiri. “Tia, ke mana kau sejak tadi?”

Tok ku Bu ti memandang Tok ku Hong yang demikian memperhatikan dirinya. Entah bagaimana perasaannya saat itu. Belum sempat dia menjawab, Tok ku Hong sudah menarik tangannya dan mendudukkannya di kursi. Dia membalikkan tubuh dan menuangkan secangkir teh.

Tok ku Bu ti hanya memandangi saja. Tok ku Hong sampai merasa heran. “Tia, mengapa kau hanya memandangi aku saja? Sejak tadi kau tidak mengucapkan sepatah kata pun. Tampaknya Tia sedang tidak senang.”

Hawa amarah Tok ku Bu ti meluap kembali.

“Sebetulnya siapa yang membuat Tia demikian marah?” Tanya Tok ku Hong kembali. Tiba-tiba Tok ku Bu ti berdiri. Dia menuding ke arah Tok ku Hong.

“Kau!”

Tok ku Hong tertegun.”Kesalahan apa yang telah aku lakukan?”

“Coba kau katakan, apakah kau pernah ke Liong hong kek?”

Kepala Tok ku Hong tertunduk sebentar. Dia tidak berkata apa-apa.

“Bilang! Mengapa kau tidak berani mengaku?” bentak Tok ku Bu ti.

“Mengapa tidak berani? Aku toh tidak melakukan kesalahan apa-apa.” Sifat keras kepala tok ku Hong bangkit kembali.

“Tidak melakukan kesalahan apa-apa?” teriak Tok ku Bu ti. “Tidak menurut apa yang aku katakan sudah termasuk sebuah kesalahan!”

“Dia adalah ibuku. Aku pergi menjenguknya, memangnya tidak boleh?”

“Dia tidak pantas menjadi ibumu!”

“Seorang ibu tetap ibu bagi anaknya. Kalau kau dengan dia tidak cocok, kau tetap tidak dapat memaksaku untuk tidak mengakuinya!” Tok ku Bu ti marah sekali. Tangannya melayangkan sebuah tamparan yang keras ke pipi gadis itu. Meskipun tenaganya tidak seberapa besar, namun tubuh Tok ku Hong sempat dibuat berputaran satu kali.

Tangan Tok ku Hong meraba pipinya yang sakit. Matanya mendelik marah kepada ayahnya. Tok ku Bu ti sendiri seperti baru tersadar apa yang telah dilakukannya tadi. Dia menatap sepasang tangannya sendiri. Tanpa sadar, kedua tangannya gemetar. Tok ku Hong merandek sejenak kemudian membalikkan tubuhnya dan menghambur keluar.

“Hong ji…! Panggil Tok ku Bu ti satu kali. Akhirnya dia menjatuhkan diri duduk di atas kursi.

Tok ku Hong masih memegangi pipinya. Dia langsung kembali ke kamarnya. Diambilnya pakaiannya lalu membungkusnya dengan sehelai kain dan kemudian menyandangnya di bahu, terus berlari ke luar.

Dua gadis pelayan yang selalu melayaninya memandang apa yang dia lakukan dengan termangu-mangu. Mereka tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh Tok ku Hong, tapi mereka juga tidak berani banyak bertanya.

Baru sampai di luar pintu, dia bertemu dengan Kongsun Hong. Melihat laki-laki itu, hawa amarahnya meluap lagi. Belum sempat dia membuka mulut memaki, Kongsun Hong sudah mendahului berkata,”Sumoay. Tadi aku kesalahan bicara.

Suhu langsung menangkap basah bahwa aku pernah memasukkanmu ke Liong hong kek.” “Bukan kau sengaja mengadu kepada Tia?” hanya Tok ku Hong dengan mata mendelik marah.

“Bukan.” Tiba-tiba Kongsun Hong seperti tersadar. “Apakah Suhu baru saja memarahimu?”

“Marah? Dia malah menampar pipiku. Ini baru pertama kali dilakukannya sejak aku kecil!”

Kongsun Hong tertegun di tempat. Dia juga tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Tok ku Hong sendiri juga tidak berkata apa-apa. Dia meneruskan langkah kakinya. Laki-laki itu baru sadar bahwa Tok ku Hong menyandang bungkusan di bahunya. Dengan tergesa-gesa dia berlari menyusul.

“Sumoay.. hendak ke mana kau?”

“ Kemana juga sama saja. Apakah aku harus bertanya dulu kepadamu?” Tok ku Hong tertawa dingin. Langkah kakinya tidak berhenti.

Kongsun Hong melesat ke depan menghalanginya. Tok ku Hong segera mengeluarkan sepasang goloknya. “Minggir! Kalau tidak aku akan menikammu dengan golok ini!” Bentak gadis itu.

Kongsun Hong malah membusungkan dadanya. “Kau tikam saja aku!”

“Menikammu?” Tok ku Hong segera mendapat akal. “Aku akan menikam diriku sendiri,” katanya sambil memutar golok ke arah lehernya sendiri.

Kongsung Hong terpana. Tok ku Hong tertawa dingin.

“Aku akan menggorok leherku sendiri atau paling tidak aku rela mencacatkan wajahku ini. Aku ingin tahu, bagiamana jawabanmu kalau ditanya oleh Tia?” kata Tok ku Hong selanjutnya.

“Sumoay, jangan menambah kesulitanku. Kalau kau pergi begitu saja. Aku tetap tidak dapat memberi jawaban kepada suhu.” Suara Kongsun Hong berubah lembut dan menatap.

“Lucu! Tia toh tidak menyuruhmu menjaga aku. Lagipula aku sudah begini besar. Kau juga tidak bisa menjaga aku terus menerus. Minggir? Sepasang golok Tok ku Hong semakin menempel di leher.

Kongsung Hong masih juga menghadang di depannya. Sepasang alis Tok Ku Hong bertaut ketat. ”Aku suruh kau minggir! Terlingamu tuli,” bentaknya dengan suara yang lebih keras.

Kongsun Hong dibentak sampai mundur beberapa langkah. Akhirnya dia minggir juga. Tok ku Hong juga tidak memperdulikannya. Sepasang goloknya ditarik kembali, kepala pun tidak berpaling. Dalam sekejap mata, dia sudah lenyap entah ke mana.

Kongsun Hong serba salah. Mengejar salah, tidak mengejar salah. Benar-benar dia tidak tahu mana baiknya. Berkali-kali kakinya sudah hendak dilangkahkan, tapi dia membatalkannya lagi. Akhirnya dia hanya bisa menarik nafas panajng. Tepat pada saat itu, Tok ku Buti berjalan menghampiri. Dia heran melihat tampang Kongsun Hong yang seperti orang tolol.

“Apa yang sedang kau lakukan/” “Sumoay.. Sumoay…”

“Apa yang terjadi dengan Hong ji?” desak Tok ku Bu ti. “Dia…. Pergi.” Wajah Kongsun Hong semakin kelam. ‘Pergi? Ke mana/”

Kongsun Hong menggelengkan kepalanya. Tok ku Bu ti memperhatikannya lekat-lekat. Kemudian dia ikut-ikutan menarik nafas. “Aku yang salah. Aku membuatnya marah.”

“Suhu, menurutmu….”

“Kalau marahnya sudah hilang, dia akan pulang sendiri. Mata Tok ku Bu ti bersinar tajam. “Lebih baik kau lihat apakah Teng cu sudah menyampaikan surat itu. Kalau sudah, cepat utus orang membawanya ke Go Bi pai!”

Kongsun Hong terpaksa mengiakan. Padahal dalam hatinya dia sangat mencemaskan keadaan sumoaynya. Tok ku Bu ti juga tidak berkata apa-apa lagi. Dia berjalan kembali ke kamarnya dengan berpangku tangan. Wajahnya sudah seperti biasa lagi. Tentang apa yang direncanakan dalam hati, tentu hanya dia sendiri yang tahu. Sepucuk surat yang sopan diantarkan oleh seorang laki-laki yang sopan pula. Tapi begitu mendengar bahwa surat itu berasal dari Tok ku Bu ti. Empat orang murid Go Bi pai yang menyambut pengantar suarat dari Bu ti bun langsung berubah wajahnya.

“Go Bi pai dan Bu ti bun belum pernah berhubungan. Tiba-tiba pihak Bu ti bun mengirim orang mengantarkan surat ke tempat tersebut., tentunya isi surat itu tidak mungkin sekedar basa- basi atau menyampaikan salam saja. Apalagi peristiwa Kuan Tiong Liu yang membunuh habis-habisan anggota Bu ti bun cabang tiga belas sudah diketahui oleh mereka.

Setelah menyerahkan surat tersebut, utusan Bu ti bun langsung berangkat lagi. Empat murid Go Bi pai tidak sempat memperdulikanya Mereka panik sekali, semuanya berhamburan menuju ruangan utama. Baru menaiki undakan batu, mereka sudah dihadang oleh sorang pendeta berusia setengah baya.

“Kalian sudah lupa tempat apa ini?” bentaknya keras.

Empat murid Go Bi pai itu segara membungkukkan tubuhnya dengan hormat.

“Ce Kong suheng, ada sepucuk suart yang harus segera disampaikan ke tangan ciang bun jin?” Sahut salah satu dari keemapt orang itu.

“Surat apa yang membuat kalian bagitu gugup?”

“Utusan Tok ku Bu ti dari Bu ti bun yang mengantarkannya.” “Tok ku Bu ti?” Kening Ce Kong langsung bertaut ketat, “Iblis tua ini masih saja suka menimbulkan masalah.”

“Ciang bun jin.”

“Dia orang tua sedang menyadarkan kepala perampok Li Jit yang menguasai tujuh propinsi perampok Li jit yang menguasai tujuh propinsi . Orang semacam itu masih mau bertobat benar-benar mengagumkan. Kita tak boleh mengusik mereka. Kalian tunggu sebentar di sini.” Ce Kong melirik sekilas ke dalam ruangan. Setelah itu dia juga berdiam diri.

Segumpal asap tebal melayang keluar dari dalam ruangan.

* * *

Asap putih memenuhi ruangan. Suara bacaan doa terdengar lantang. Sepasang alis It im taisu bagai awan putih.

Pakaiannya berwarna merah dengan sulaman berwarna keemasan di tepiannya. Wajahnya bersih dan suci. Persis seperti Buddha hidup. Membuat siapa pun yang memandangnya dapat merasakan kewibawaan orang ini.

Li Jit justru berlutut di hadapannya. Dia adalah bekas kepala perampok yang menguasai tujuh propinsi. Orang yang sudah dibunuhnya tidak terhitung lagi. Namun akhirnya dia berhasil disadarkan oleh It im taisu engan jalan Buddha. Li Jit malah bersedia menyucikan diri menjadi pendeta.

“Sabda Buddha tidak dapat diuraikan sekaligus…. Mendengar tanpa meresapi tak akan membawa hasil…. Tidak berkata, tidak mendengar, sama juga tiada hati….

Lebih baik menemukan sendiri penerangan Buddha lewat cermin diri…” It im taisu membalikkan tubuhnya perlahan- lahan.

Suara ketukan bokhi (ikan-ikanan dari kayu yang biasa diketuk-ketukkan sewaktu membaca doa) dan bacaan doa segera terhenti. Li Jit menyembah sebanyak tiga kali.

“Berbahagialah engkau yang dapat berpaling dari tepian. Lautan Buddha tiada batasnya.” It im taisu menggerakkan goloknya. “Tebasan golok memisahkan engkau dengan duniamu sebelumnya. Sejak sekarang kau sudah melangkah masuk pintu Buddha. Tidak melanglang buana dalam urusan duniawi terutama kejahatan. Sebagai guru aku memberimu gelar…. Bu Tek.”

“Terima kasih, Insu (Guru yang berbudi),” Li Jit yang sudah berganti nama Bu Tek menyembah lagi tiga kali.

Suara ketukan bokhi dan bacaan doa berkumandang kembali.

* * *

Agak lama juga mereka menunggu di luar. Akhirnya suara kumandang pembacaan doa dan ketukan bokhi berhenti juga. Ce Kong yang sejak tadi sudah panik sekali segera merebut surat Tok ku Bu ti dari tangan murid Go bi pai tadi dan menghambur ke dalam ruangan utama.

It im taisu terheran-heran melihat Ce Kong menghambur masuk dengan cara seperti itu. Sepasang alisnya terangkat tinggi. Ce Kong demikian gugup sehingga tidak dapat mengatakan apa-apa. Dia hanya menyodorkan surat ke tangan It im taisu. Ciang bun jin Go bi pai tersebut menerima surat itu dan membacanya sampai selesai. Kemudian dia menarik nafas panjang.

“Siancai, Siancai…. Go bi pai sudah tenang selama tiga puluh tahun, rasanya sejak sekarang akan datang lagi berbagai masalah.”

“Suhu…”

“Ce Kong, kau segera turunkan perintah dan utus beberapa orang untuk mencari Kuan Tiong Liu agar segera kembali ke Go bi san!” kata It im taisu.

“Suhu, Tok ku Bu ti…”

“Dia ingin memperhitungkan masalah cabang ketiga belasnya yang disapu bersih oleh Kuan Tiong Liu. Dia memberi batas waktu selama tujuh hari. Apabila dalam waktu tujuh hari kemudian kita tidak menyerahkan Kuan Tiong Liu, maka dia akan datang sendiri ke sini untuk meringkusnya.”

Ce Kong terkejut sekali. “Tentu Suhu tidak akan menyerahkan Kuan sute, bukan?” “Aku hanya ingin mengetahui dengan jelas kejadian ini.”

“Hanya tujuh hari, rasanya tidak mungkin menemukan Kuan sute dalam jangka waktu secepat itu.”

“Tujuh hari kemudian aku akan mengirim surat menolaknya. Sampai Tok ku Bu ti datang nanti, mungkin cukup waktu untuk mencari Kuan Tiong Liu kembali ke Go bi san.”

“Seandainya bukan Kuan sute yang bersalah…”

Wajah It im taisu berubah serius. “Aku pasti dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Pergilah!”

* * *

Pada saat itu, utusan Bu ti bun sudah sampai di kaki gunung. Dia menolehkan kepalanya dan memandang ke sekitar.

Setelah yakin tidak ada yang mengejarnya, dia membelokkan kudanya ke dalam sebuah hutan yang lebat.

Setelah melarikan kudanya kurang lebih setengah li, di hadapannya sekarang adalah sebidang tanah kosong yang sangat luas. Dia bersiul satu kali. Ternyata sudah banyak anak buah Bu ti bun yang bersembunyi di sekitar tempat itu. Tok ku Bu ti sendiri berdiri di depan sebuah kuburan tua. Wajahnya angker. Dadanya membusung. Lagaknya angkuh sekali. Di bagian kiri kanannya berdiri Cian bin hud, Cu kek Ming, Teng cu dan Kongsun Hong. Mereka tampaknya sedang merundingkan sesuatu. Melihat utusan tadi sudah kembali, pembicaraan pun berhenti untuk sementara.

Utusan itu segera menjatuhkan diri berlutut di hadapan Tok ku Bu ti.

“Apakah suratnya telah diantarkan?” tanya Tok ku Bu ti datar. “Hamba sudah menyelesaikan tugas.”

“Apakah mereka menyulitkan dirimu?”

“Tidak. Mereka juga tidak mengejar. Para murid o bi pai yang menerima surat tampaknya panik sekali.”

“Yakin mereka juga tidak mempunyai nyali sebesar itu untuk menganggu utusanku.”

Tok ku Bu ti mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak- bahak. “It im taisu pasti tidak menduga bahwa kita sudah berkumpul di kaki gunung ini. Tepat tujuh hari kemudian, kita menyerbu ke atas dan meminta orang. Kalau dia tidak menyerahkan Kuan Tiong Liu, bunuh bersih semuanya, jangan ada yang tersisa.”

“Suhu, mungkinkah mereka mencari bantuan?”

“Waktunya hanya tujuh hari, siapa yang bisa mereka mintakan bantuannya dalam jangka waktu sependek itu?”

“Rasanya mereka juga tidak berhasil menemukan Kuan Tiong Liu dalam jangka waktu tujuh hari.”

“Buat apa peduli begitu banyak? Ada atau tidak ada, tidak akan merubah keputusan kita.”

“Betul! Kita toh bertujuan membasmi Go bi pai, bukan hanya Kuan Tiong Liu seorang saja!” Kongsun Hong langsung mengerti maksud gurunya.

Kembali Tok ku Bu ti mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak.

* * *

Kuan Tiong Liu sama sekali tidak tahu bahwa bencana sudah berada di depan Go bi pai. Pada saat ini dia sedang berdiri berhadapan dengan Wan Fei Yang di pesisir pantai. Jit Po dan Liok An sedang merapikan leher baju Kuan Tiong Liu.

Sedangkan si kerdil Sam cun juga merapikan pakaian Wan Fei Yang.

Hai Liong lo jin duduk di atas sebuah batu berbentuk persegi. Dia mulai tidak sabar menunggu lebih lama. Dia menepuk tangannya berkali-kali.

“Cepat! Cepat!” serunya kesal. “Ini hanya pertarungan main-main. Bukan pertarungan hidup dan mati. Hanya boleh saling menyentuh saja. Siapa yang kalah dan siapa yang menang, aku orang tua akan memberikan keputusan yang adil.”

Kuan Tiong Liu menyahut datar. Gayanya penuh percaya diri. Beberapa hari belakangan ini dia berlatih dengan keras.

Sekarang dia sudah benar-benar menguasai tiga jurus terakhir dari Lok jit kiam hoat.

Wan Fei Yang masih tampak serba salah. Sampai saat ini dia masih mengharapkan Hai Liong lo jin akan membatalkan maksudnya. Tentu saja dia kecewa. Orang tua itu menepuk tangannya sekali lagi.

“Mulai!” teriak Hai Liong lo jin selaku wasit.

Kuan Tiong Liu segera memutar pedangnya menjadi dua buah rangkai bunga.

“Hunus pedangmu!” katanya kepada Wan Fei Yang.

Dengan tampang terpaksa Wan Fei Yang menghunus pedangnya.

“Lihat pedang!” teriak Kuan Tiong Liu sekali lagi. Tubuh dan pedangnya meluncur dalam waktu yang bersamaan. Baru setengah jalan, pedangnya sudah bergerak tujuh kali.

Wan Fei Yang menggerakkan kakinya dengan langkah ajaib Bu tong pai. Berturut-turut dia menghindari tujuh kali serangan Kuan Tiong Liu. Pedangnya meluncur dan menangkis serangan ke delapan pemuda itu.

Kuan Tiong Liu kembali memutar pedangnya, gerak tubuhnya segera berubah. Dia mencelat ke udara. Sejurus demi sejurus Lok jit kiam hoat dimainkannya dengan indah. Wan Fei Yang terpaksa mengerahkan Liong gi kiam hoat. Menyambut satu kali, dia belas menyerang satu kali juga. Dalam tusukan ketujuh puluh empat, dia berhasil menguasai keadaan. Tiga puluh enam jurus lagi Kuan Tiong Liu mulai terdesak.

Si kerdil Sam cun yang menyaksikan pertandingan ini tersenyum terus. Sedangkan wajah Jit Po dan Liok An semakin kelam. Hai Liong lo jin malah tidak menunjukkan perasaan apa-apa.

Setelah mundur tujuh langkah, Kuan Tiong Liu segera merubah posisinya, dia menangkis sembilan puluh tiga kali serangan Wan Fei Yang dengan cara membelakanginya. Akhirnya Wan Fei Yang terdesak kembali ke tempatnya semula. Kemudian dia masih terdesak mundur sebanyak tujuh langkah. Kedudukan masih seimbang untuk sementara.

Kali ini wajah Jit Po dan Liok An yang berseri-seri. Si kerdil Sam cun malah bersungut-sungut. Dia tidak bisa tersenyum lagi. Hanya Hai Liong lo jin yang masih seperti sebelumnya. Lama kelamaan bibirnya baru menyunggingkan seulas senyuman tipis. Tapi hanya sekejap sudah menghilang kembali. Matanya tajam seperti seekor elang dan memperhatikan jalannya pertarungan tanpa berkedip.

Hai liong lo jin menyaksikan jalannya pertarungan dengan seksama. Setiap perubahan gerak yang dilakukan kedua anak muda itu terlihat jelas olehnya. Pedang Kuan Tiong Liu semakin menyerang semakin gencar. Tiba-tiba berubah menjadi perlahan.

“Hati-hati!” teriaknya lantang.

Baru saja dia mengucapkan kata-katanya, tubuh dan pedang sudah berubah menjadi satu dan menimbulkan cahaya yang berkilauan meluncur ke arah Wan Fei Yang. Anak muda itu merubah gerakan kakinya dan bergulingan di atas pasir.

“Trang! Trang! Trang!” Entah berapa kali sudah dia menyambut serangan Kuan Tiong Liu. Gerakan kakinya semakin kacau. Tapi makin lama makin cepat. Tubuhnya diselimuti cahaya pedang tapi kakinya masih berdiri dengan kokoh.

Pedang Kuan Tiong Liu berubah lagi tiga kali berturut-turut. Tubuhnya melesat ke atas kemudian melayang turun kembali. Pedang di tangannya bagai bintang yang bertaburan di langit. Tiba-tiba tubuhnya menggeser dan menyatu dengan pedang lalu menerjang ke arah Wan Fei Yang. Anak muda itu mengangkat pedangnya dengan kelabakan. Tampaknya dia akan berhasil menghindarkan diri dari serangan itu, tapi masih juga terlambat tiga detik.

Pedang Kuan Tiong Liu terhenti di tenggorokan anak muda itu. Wan Fei Yang menarik nafas perlahan. Pedang di tangannya terkulai ke bawah. Kuan Tiong Liu tidak menusukkan pedangnya ke dalam tenggorokan Wan Fei Yang. Dia tertawa dingin.

“Kali itu kau tidak membunuh aku, kali ini aku juga melepaskan dirimu dari kematian. Apa yang aku hutang kepadamu sudah kulunasi hari ini, iya bukan?”

Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya. Kuan Tiong Liu menarik kembali pedang yang menempel di leher anak muda itu. “Tapi aku harus memperingatkan dirimu. Lain kali kalau kau bertemu lagi dengan aku, jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja!”

Wan Fei Yang tidak menyahut.

Kuan Tiong Liu memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Pada saat itu, Jit Po dan Liok An sudah berlarian mendatangi dan memegang lengan Kuan Tiong Liu dari kiri dan kanan.

Wajah mereka berseri-seri. Sam cun juga mendekati Wan Fei Yang. Wajahnya tampak kecewa.

Kuan Tiong Liu segera mengibaskan tangannya. “Manusia she Wan, kau sudah boleh pergi sekarang.”

Wan Fei Yang melirik Kuan Tiong Liu sekilas. Kemudian dia berjalan menghampiri Hai liong lo jin dan berlutut di depannya. Dia menyembah sebanyak tiga kali, kemudian berdiri. Hai liong lo jin memperhatikan Wan Fei yang lekat-lekat. Akhirnya dia menarik nafas panjang. “Kau…. Kau baik sekali.

Pergilah….”

Wan Fei Yang membalikkan tubuhnya. Dia menghampiri Sam cun kembali dan menepuk bahunya beberapa kali. Setelah itu dia meneruskan langkah kakinya tanpa menoleh lagi.

Kuan Tiong Liu memandangi punggung Wan Fei Yang yang terus melangkah sampai jauh. Dia menyerahkan epdangnya kepada Jit Po kemudian mendekati Hai liong lo jin. Hai liong lo jin masih duduk termenung. Kemudian dia menarik nafas panjang lagi. Kuan Tiong Liu memandangnya dengan heran.

“Susiok, mengapa kau menarik nafas panjang?” “Susiok kecewa sekali. Juga sedih.”

“Tidak heran kau orang tua menjadi sedih,” kata Kuan Tiong Liu pura-pura menaruh perhatian yang besar. “Kau orang tua memandang bocah Wan Fei Yang itu terlalu tinggi. Tidak tahunya dia begitu tidak berguna. Baru bergebrak beberapa jurus sudah dikalahkan oleh pedang Tecu.”

Hai liong lo jin mengerling ke arah Kuan Tiong Liu. “Kau yang membuat aku kecewa dan sedih!” katanya sambil tertawa dingin.

“Aku?” Kuan Tiong Liu tertegun. “Bukankah aku sudah mengalahkan bocah Wan Fei Yang itu?” tanyanya penasaran.

“Orang sengaja mengalah terhadapmu. Tidak malunya kai masih berani berbesar mulut!” Hai liong lo jin mendengus dingin.

Kuan Tiong Liu tidak percaya. “Mengalah terhadapku? Tidak ada alasannya untuk mengalah terhadapku!”

“Ini karena budinya luhur dan sama sekali tidak melupakan jasa orang lain.” Jai liong lo jin mengulurkan tangan menarik lengan baju Kuan Tiong Liu. “Lihat tiga lubang ini!” Kuang Tiong Liu menundukkan wajahnya dan melihat apa yang ditunjuk oleh Hai liong lo jin. Ternyata di pangkal lengan bajunya memang ada tiga lubang kecil. Dia terpaku seketika. Wajahnya berubah hebat.

Orang tua itu mendengus sekali lagi.

“Tiga kali tusukan pedang ini sebetulnya bisa melukai pergelangan tanganmu dan memaksamu melepaskan pedang, tapi dia tidak melakukannya.”

Kuan Tiong Liu masih penasaran. “Mengapa?”

“Untuk membalas budi pertolonganku kepadanya. Sayangnya kau masih tidak tahu, malah tidak malunya membanggakan diri. Bagaimana aku tidak kecewa? Bagaimana aku tidak sedih? Coba bilang!” bentak orang tua itu dengan wajah merah padam.

Hai liong lo jin begitu marah. Dia bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya meninggalkan tempat itu lalu kembali ke rumah. Sam cun mengikutinya dengan ketat. Kuan Tiong Liu masih berdiri termangu-mangu. Jit Po dan Liok An yang melihat keadaannya tidak berani mengatakan apa-apa.

Mereka hanya berdiri di samping tuan mudanya.

Tepat pada saat itu, dua orang murid Go bi pai berlarian mendatangi, melihat Kuan Tiong Liu, mereka mempercepat langkah kakinya dan berteriak memanggil.

“Kuan suheng! Kuan suheng!”

Kuan Tiong Liu masih berdiri terpaku. Kedua murid Go bi pai itu sudah berdiri di depannya dalam sekejap mata. “Kuan suheng, akhirnya kami berhasil menemukanmu. Suhu berpesan agar kau kembali ke Go bi san secepatnya!”

Kuan Tiong Liu menatap kedua orang itu engan heran. “Ada apa sebetulnya?”

“Kita bicarakan sambil jalan saja. Kita tidak mempunyai waktu lagi!”

“Mengapa tidak kau katakan sekarang saja?” tanya Kuan Tiong Liu penasaran.

“Pokoknya masalah ini penting sekali. Kami tidak mempunyai cukup waktu. Sedangkan kami sudah mencari Kuan suheng selama tiga hari tiga malam.”

Kuan Tiong Liu mengerutkan alisnya. Serangkum firasat buruk langsung menyelimuti hatinya.

* * *

Melintasi hutan yang lebat seakan tidak berbatas. Wan Fei Yang hanya tahu melangkah terus. Suara langkah kakinya dari dekat perlahan-lahan menjauh. Sam cun mengejarnya dari belakang. Mendengar suara langkah kaki berlari-lari, Wan Fei Yang menghentikan langkah kakinya dan menoleh. Dia tersenyum melihat Sam cun yang datang. Tidak lama kemudian Sam cun sudah sampai di depannya. Nafasnya tersengal-sengal. Wan Fei Yang menunggu sampai nafasnya reda dan tenang kembali.

“Apa yang terjadi denganmu?” tanyanya heran.

Sam cun mengeluarkan sebuah botol kecil dari balik sakunya. “Obat ini hadiah dari Cu jin untukmu,” sahutnya.

Wan Fei yang semakin tidak mengerti. “Aku tidak terluka.”

“Cu jin bilang tidak ada apa-apa yang patut dihadiahkan kepadamu. Maka dia menyuruh aku menyusulmu dan memberikan obat buatannya sendiri.”

“Ini…. “ Wan Fei Yang bermaksud menolak, tapi Sam cun malah menyusupkan botol obat itu ke dalam tangannya.

“Kau toh bukan tidak tahu bagaimana sifat Cu jin. Cepat terima!” katanya.

“Obat ini untuk menyembuhkan penyakit apa?” Wan Fei Yang malah berbalik bertanya.

“Di permukaan botol ada tulisannya, kau baca saja sendiri.” Kemudian Sam cun mengeluarkan lagi sebuah botol berwarna hijau dari selipan ikat pinggangnya. “Sebetulnya obat milikku ini lebih berharga. Khusus untuk menyembuhkan luka dalam.”

Sam cun menyelipkan botol itu ke tangan Wan Fei Yang. Kemudian dia membalikkan tubuhnya dan melangkah ke depan. Baru beberapa tindak dia berhenti dan menolehkan kepalanya. “Sebetulnya obat itu aku curi dari kamar Cu jin. Lain kali kalau kau bertemu dengan Cu jin, harap jangan mengatakan apa-apa,” katanya. Dia meneruskan langkahnya kembali.

Wan Fei Yang menatap punggungnya sampai menghilang di kejauhan. Hatinya terharu sekali. Setelah beberapa saat, dia baru meneruskan perjalanannya.

* * *

Tujuh hari sudah berlalu. Kuan Tiong Liu belum sampai di Go bi san. It im taisu tampaknya tidak panik. Dia memang tidak berniat menyerahkan Kuan Tiong Liu kepada Tok ku Bu ti.

Semua tetap seperti rencananya semula. Pagi-pagi sekali, dia memanggil hwesio terpandai dalam baca dan menulis. Hong hoat. Dia menerangkannya secara lisan. Hong hoat disuruh mengatur kata-katanya dan bersiap-siap mengantarkan ke Bu ti bun.

Siapa sangka, baru saja surat itu disampul rapi, bagian penerimaan tamu sudah melaporkan bahwa Tok ku Bu ti sudah sampai di Go bi san meminta mereka menyerahkan Kuan Tiong Liu. It im taisu terkejut sekali. Tapi segera dia menenangkan perasaannya.

“Bagus. Tepat tujuh hari… Silahkan dia masuk.” * * *

Suasana dalam ruangan utama sangat mencekam. Apakah karena Tok ku Bu ti masuk dengan membawa serombongan anak buahnya atau karena alasan yang lain. Hal ini mungkin tidak akan ditemukan jawabannya.

Para angkatan tua Go bi pai sudah berkumpul di ruangan tersebut. Meliaht kehadiran mereka, hati It im taisu menjadi terharu. Sejak dia menjabat sebagai Ciang bun jin, Go bi pai memang merosot terus. Dalam generasi muda hanya Kuan Tiong Liu yang dapat diandalkan dan berbakat. Yang lainnya biasa-biasa saja.

Apakah hal ini disebabkan oleh kewibawaan Go bi pai yang makin menurun? Meskipun It im taisu tidak berani memastikan, tapi dia terlalu memusatkan perhatian dalam pelajaran agama. Selama ini dia tidak bersungguh-sungguh mencari orang-orang pilihan untuk diajarkan ilmu silat dengan teliti. Mungkin hal ini juga merupakan salah satu alasan bagi kemerosotan Go bi pai.

Tok ku Bu ti sudah memberi batasan waktu selama tujuh hari. Pada hari terakhir dia langsung naik ke Go bi san meminta orang. Tentu dia sudah merencanakan semuanya dengan matang. Sedangkan apa maksud yang terkandung did alamnya, It im taisu tidak bisa menebaknya. Dia hanya dapat merasakan bahwa urusan ini tidak sepele. Sedikit saja dia membuat kesalahan, mungkin Go bi pai akan hancur hari ini juga. Oleh karena itu, meskipun penampilan wajahnya tenang sekali, namun hatinya sudah berdebar-debar sejak tadi.

Penampilan Tok ku Bu ti tetap sopan. Dia menunggu sampai It im taisu duduk di kursinya, baru dia mengajukan pertanyaan. “It im taisu, mana Kuan Tiong Liu?”

It it taisu tertawa datar. “Tidaka da di sini.”

Mata Tok ku Bu ti menatap It im taisu dengan tajam. “Aku lihat taisu memang tidak berniat menyerahkannya.”

It im taisu berusaha setenang mungkin. “Kalau Kuan Tiong Liu menyalahi Bu ti bun, Go bi pai tetap ada peraturan untuk menghukumnya.”

“Bagaimana dengan seratus lebih nyawa cabang ketiga belas Bu ti bun kami?”

“Awal peristiwa ini, Pinceng…”

“Tidak usah banyak bicara!” Nada Tok ku Bu ti melengking tinggi. “Cepat serahkan Kuan Tiong Liu!”

“Tok ku Sicu, Pinceng sudah mengatakan bahwa Kuang Tiong Liu tidak…”

“Baik. Kalau begitu, satu nyawa diganti dengan satu nyawa. Go bi pai harus membawar seratus tiga puluh enam jiwa anggota Bu ti bun!”

Bu Tek sejak tadi berdiri di samping. Mendengar kata-kata Tok ku Bu ti, dia tidak dapat menahan amarahnya lagi. Dia segera melesat ke depan. “Tok ku Bu ti! Kau jangan terlalu menghina!” teriaknya lantang.

Mendengar suara itu, Tok ku Bu ti mengalihkan pandangannya. Alisnya berkerut. “Rasanya aku pernah melihat suhu ini,” katanya.

Belum lagi Bu Tek menyahut, Cian bin hud sudah maju ke depan dan tertawa lebar. “Kepala perampok yang menguasai tujuh propinsi, Li Jit, tidak tersangka berdiam di sini dan mengganti pakaiannya dengan pakaian hwesio.”

Bu Tek merangkapnya sepasang telapak tangannya. “Omitohud!” ujarnya mengucap nama Buddha.

Cian bin hud mengibaskan tangannya.

“Di sini tidak ada urusanmu. Mengingat kita pernah saling mengenal, aku akan mengatakan kepada Buncu untuk mengampuni jiwamu kali ini saja.”

“Kalau memang teman satu aliran…”

“Li Jit sudah mati. Yang ada di hadapan kalian sekarang adalah murid Go bi pai, Bu Tek!” sahut Li Jit tenang.

“Bagus!” kata Tok ku Bu ti sambil mendengus dingin.

Cian bin hud tertawa terkekeh-kekeh. “Supanya kau bergelar Bu Tek. Kalau demikian aku akan meminta Bu Tek suhu ini pelajaran barang beberapa jurus.”

Bu Tek mulai marah. Pergelangan tangannya berputar. Goloknya sudah tergenggam di tangan. It im taisu cepat-cepat mencegah.

“Bu Tek, tidak boleh kurang sopan terhadap tamu!” Cian bin hud tertawa lebar.

“Kami lebih tidak sopan lagi!” Perkatannya selesai, sepasang gelang emasnya sudah berada dalam genggaman. Suaranya menderu-deru.

Bu Tek ikut tertawa. Tubuh dan golok meluncur dalam waktu yang ebrsamaan. Dalam sekejap mata, keduanya sudah bertarung dengan seru. Di tangan kanan Cian bun hud sudah bertambah sebatang ruyung. Gelang emasnya diselipkan di pinggang. Senjatanya itu tampak begitu berat, tapi dia dapat menggerakkannya dengan muda. Bayangan ruyung memenuhi ruangan. Suaranya bagai hujan badai menerpa.

Sebelum mencukur rambut menyucikan diri, Bu Tek pernah menjadi kepala perampok dan menguasai tujuh propinsi.

Tentu bukan sembarang orang yang dapat melakukan hal seperti itu. Dia pasti pernah melatih ilmu golok dalam waktu yang lama. Tapi kalau dibandingkan dengan Cian Bin hud, kepandaiannya masih terpaut sedikit.

Tepat pada jurus keseratus tiga puluh tujuh, ruyung di tangan Cian bin hud berhasil menghantam dada Bu Tek. Hantaman itu membuat tubuh Bu Tek terhuyung-huyung, kakinya mundur beberapa langkah, kemudian memuntahkan darah segar.

Akhirnya tubuhnya terkulai ke atas dan nyawanya pun melayang.

Wajah para murid Go bi pai menyorotkan kemarahan. Wajah It im taisu berubah kelam. Perlahan-lahan dia bangkit dari kursinya. Matanya menatap tajam ke arah Cian bin hud. “Mengapa murid Buddha bisa melakukan hal yang begini kejam?”

“Murid Buddha yang satu ini memang lain dariapda yang lain,” sahut Cian bun hud sambil tertawa terbahak-bahak.

It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Tok ku Bu ti. “Tampaknya Tok ku Sicu hari ini benar-benar tidak mau mengerti lagi.”

“It im taisu, kejadian sudah terlanjur seperti ini, tidak perlu bercapai hati lagi,” katanya datar.

“Sicu, bagaimana kalau kita bertaruh saja?”

“Bertaruh?” Tok ku Bu ti hampir tidak percaya dengan pendengarannya. “Apa yang ingin kau pertaruhkan?”

It im taisu mengalihkan pandangannya kepada Cian bin hud.

“Seandainya suhu ini sanggup menerima tiga jurus dariku, maka aku akan menyerahkan Kuan Tiong Liu. Go bi pai akan dibubarkan hari ini juga,” katanya.

“Bagaimana kalau dia tidak sanggup?” tanya Tok ku Bu ti kembali.

“Pinceng meminta Tok ku sicu mendengarkan seratus delapan kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihat dari pinceng,” kata It im taisu. “Aku bukan Li Jit!” sahut Tok ku Bu ti tenang. “Tok ku sicu tidak berani bertaruh?”

Belum lagi Tok ku Bu ti menyahut, Cian bin hud sudah menukas dari samping: “Buncu, biar hamba menerima tiga jurus darinya.”

Tok ku Bu ti mengangguk. Dia berpaling kembali kepada It Im taisu. “Bagaimana kalau aku sudah mendengarkan seratus delapan kali bunyi lonceng dan beberapa patah nasihatmu?” tanyanya kembali.

“Sicu ingin melakukan apa, kami pun tidak sanggup menghalangi.”

“Baik!” Tok ku Bu ti tertawa dingin.

Cian bin hud segera maju ke depan. Dia menghentakkan duyungnya di atas tanah. “Silahkan!”

It Im taisu segera bangkit dari tempat duduknya. Dia mengambil pedang yang terletak di samping lalu menutul kakinya dan berjungkir balik di udara. Dia melayang turun di hadapan Cian bin hud.

Ruyung Cian bin hud langsung digerakkan. Suaranya bagai angin topan yang melanda seluruh Go bisa san. Dengan keji dia menyerang ke arah It Im taisu. Pedang Ciang bun jin Go Bi pai itu bergerak perlahan. Tubuhnya tiba-tiba berkelebat dan melesat melakukan dua puluh tujuh perubahan. Satu jurus sudah berlalu, dua jurus. Sekarang jurus ketiga. Cahaya dingin berkelebat. Sarung pedang sudah menempel di lengan atas Cian bin hud dan apabila dia tadi menekannya dengan keras, pangkal lengan itu pasti sudah remuk.

“Terima kasih!” kata It Im taisu sambil menarik kembali sarung pedangnya dan mencelat mundur ke belakang.

Wajah Cian bin hud berubah hebat. Dia tertegun di tempatnya. Tok ku Bu ti tidak mengatakan apa-apa. Seakan tidak terjadi apa pun. “Di mana aku harus mendengarkan seratus delapan kali bunyi lonceng itu?” tanyanya tenang.

Pedang It Im taisu dimasukkan kembali ke dalam sarungnya. “Sicu, harap ikut aku ke ruangan pendopo.”

* * *

Ruangan pendopo dengan ruangan utama sama luasnya. Juga cukup menampung rombongan Tok ku Bu ti yang berjumlah sembilan puluh sembilan orang. Kecuali Tok ku Bu ti, sisa anggotanya yang berjumlah sembilan puluh delapan orang berpencar diri menjadi dua bagian dan berbaris di kiri kanan pintu ruangan pendopo.

Tok ku Bu ti dan It Im taisu duduk berhadapan di tengah- tengah ruangan. Jarak mereka tidak lebih dari satu depa. Di samping kanan It Im taisu terdapat sebuah lonceng besar yang terbuat dari kuningan, sedangkan tangan kirinya menggenggam serenceng tasbih. Wajahnya tersenyum dan penuh welas asih.

“It Im taisu, hati Tok ku Bu ti sekeras baja. Buat apa bercapai hati melakukan semua ini?” tanya Tok ku Bu ti yang sengaja menyindir dengan tajam.

“Sicu duduk saja di hadapanku. Dengan demikian kau dapat mendengar dengan jelas apa yang kukatakan.” Tangan It Im taisu mulai menghitung biji tasbih. “Orang yang mensucikan diri seperti aku ini hanya mempunyai sedikit keinginan untuk mengajak sesamanya bertobat. Tapi aku hanya seorang diri, berapa orangkah yang dapat kuajak menghadap pintu Buddha?”

Nafsu besar tenaga kurang, buat apa mencari susah untuk diri sendiri?”

“Namun kalau Pinceng bisa menasehati Tok ku sicu agar berpalingdari tepian dan kembali ke jalan yang benar.

Merubah hati yang hitam menjadi putih bersih, sama artinya aku telah menasehati berjuta oran. Hal ini patut dicoba.”

“Baik. Coba katakan saja…”

Tangan kanan It Im taisu digerakkan. Terdengar suara lonceng yang menggetarkan hati. “Buddha bersabda, lepaskan golok, ber….”

“Paling ke tepian, bukan? Terlalu cetek,” sindir Tok ku Bu ti.

“Baik. Kita bciarakan ynag agak dalam.” It Im menggerakkan lonceng kembali. Dua orang muridnya segera mengantarkan buku kitab suci. It Im mulai membacakan ayat suci, meskipun Tok ku Bu ti meminta agar dia membacakan ayat yang agak dalam maknanya, tapi bagi pendengarannya masih cetek juga. Suaara lonceng susul menyusul. Semangat Tok ku Bu ti tanpa sadar ikut terhanyut. Ditambah dengan kata-kata dari It Im taisu. Berbagai kenangan melintas di otaknya.

Dia ingat semasa mudanya dia juga sering melepas budi, menolong orang, pernah dijadikan kambing hitam, beberapa kali dihajar orang sampai pontang panting. Waktu itu dia masih juga merasakan adanya kegembiraan dalam hati.

Berpikir tentang itu, tanpa sadar bibirnya mengulum senyum. Tampaknya dia mulai terpengaruh.

It im taisu masih melanjutkan kata-katanya.

“Buddha paling benci pembunuhan dan perampokan. Sedangkan engkau, sengaja mendirikan Bu ti bun untuk melawan partai lurus. Anak buahmu membunuh, memperkosa kemudian masih merampok juga. Kau membiarkan semua itu. Tidak ada hal baik yang pernah dilakukan anak buahmu.”

Begitu mendengar kata memperkosa, tubuh Tok ku Bu ti langsung gemetar. Suara lonceng kembali terdengar. Disusul ucapan It Im taisu…. “Hari ini kau membiarkan anak buahmu memperkosa istri orang, kau anggap semua itu adalah suatu kebanggaan. Mungkin pada suatu hari nanti, orang lain yang akan memperkosa istrimu. Bagaimana perasaanmu saat itu?”

Kening Tok ku Bu ti mulai basah oleh keringat dingin. Dalam benaknya segera terlintas bayangan Ci Siong to jin dan Sen Man Cing yang duduk berdua dan bersenda gurau. Keringatnya mengucur semakin deras.

Meskipun para anggota Bu ti bun tidak mengerti mengapa It Im taisu mau melalahkan diri mengatakan semua itu, tapi kalau melihat tampang Tok ku Bu ti sekarang, mau tidak mau hati mereka menjadi tegang. Tok ku Bu ti sedang membelalakkan mata lebar-lebar.

It Im tahu Tok ku Bu ti sudah mulai terpengaruh. Dia tidak tahu persis apa yang mempengaruhinya. Dia masih juga mendesaknya dengan pertanyaan yang sama… “Coba bayangkan, apa yang akan kau lakukan bila semua ini terjadi padamu?”

“Aku… aku akan membunuh mereka. Membunuh mereka sampai tidak tersisa satu pun!” teriak Tok ku Bu ti tiba-tiba.

Kemudian laki-laki itu meraung murka. Dia menjadi kalap seketika. Mungkin saat itu dia membayangkan It Im taisu adalah Ci Siong to jin yang berzina dengan istrinya. Tubuhnya melesat secepat kilat. Kedua telapak tangannya menghantam dada It Im Taisu.

“Blam!” Dia masih belum puas juga. Diserangnya It Im taisu tanpa pikir panjang lagi.

“Blam! Blam! Blam!” Entah berapa kali sudah dia menghantam It Im taisu. Tubuh hwesio tua itu sudah hancur tidak karuan.

Akhirnya terlempar sejauh satu depa.

Seandainya It Im taisu tahu peristiwa tentang jalinan hubungan antara Ci Siong to jin dengan istri Tok ku Bu ti yang bernama Sen Man Cing, dia tentu tidak akan menggunakan kata-kata itu untuk membujuk Tok ku Bu ti. Sayangnya dia tidak tahu sama sekali. Sebenarnya Tok ku Bu ti memang sudah terpengaruh tapi mendengar kata-kata tentang memperkosa istri orang, hatinya terpukul seketika. Peristiwa yang berusaha dilupakannya selama ini terbayang kembali. Hawa amarahnya pun meluap seketika.

Tok ku Bu ti memandang sekejap mayat It Im taisu. Tinjunya terkepal erat.

“Anak-anak! Bunuh semua!” teriaknya lantang.

Para anggota Bu ti bun segera mengiakan. Mereka memang sudah menunggu perintah Tok ku Bu ti yang satu ini. Senjata masing-masing segera dikeluarkan. Serentak mereka menyerbu para murid Go Bi pai.

Tok ku Bu ti mendahului. Dia menerjang dan langsung menghantam siapa saja yang ada di hadapannya. Dalam waktu sekejap kedua telapak tangannya telah membunuh puluhan orang. Tongkat kepala naganya juga tidak mau ketinggalan. Darah segar bercipratan di mana-mana. Sungguh suatu pemandangan yang mengerikan. Bahkan lebih menyeramkan daripada ketika makhluk tua membunuh anak murid Bu Tong pai. Karena jumlah anak buah Tok ku Bu ti jauh lebih banyak, waktu yang diperlukan pun lebih singkar.

Cian bin hud mengikuti di belakangnya. Ruyungnya menyapu ke kiri dan kanan. Suara jeritan ngeri terdengar di mana-mana. Boleh dibilang para murid Go Bi pai sama sekali tidak sempat melakukan perlawanan.

Satu demi satu murid Go Bi pai roboh bermandikan darah. Dalam waktu tidak berapa lama mayat bergelimpangan di mana-mana. Darah mengalir bagai anak sungai.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar