Ilmu Ulat sutera Jilid 14

Jilid 14

“Sekarang malah sudah hari ketiga,” Sam can menunjukkan tiga jari tangannya. “Saat itu aku malah mengira kau sudah mati. Tapi Cu jin mengatakan bahwa kau masih bisa tertolong.”

“Di mana orang tua itu sekarang?”

“Di sini!” Terdengar sahutan dan disusul orangnya yang melangkah ke dalam.

Rambutnya sudah putih semua. Wajahnya penuh keriput. Warna kulitnya hitam tapi berkilauan. Seperti baru saja diolesi minyak. Dia memalingkan wajahnya. Tapi tidak ada kesan garang pada dirinya.

“Boanpwe Wan Fei Yang memberi hormat kepada Hai Liong lo jin locianpwe,” kata Wan Fei Yang sambil berusaha berdiri.

Siapa tahu baru saja kakinya menginjak tanah, rasa sakit kembali menyerang dan jatuh terkulai. Dengan susah payah dia berusaha bangkit. Perlahan-lahan dia berhasil juga. Namun dia merasakan perutnya keroncongan. Pasti dia sudah kelaparan karena pingsan sekian lam.

“Terima kasih? Apa terima kasih saja sudah cukup?” bentak Hai liong lo jin sambil mendengus dingin. Tiba-tiba dia maju dan mencengkeram akaian Wan Fei Yang. Tubuh anak muda itu tergetar dan dihempaskan ke atas balai-balai.

Getaran itu membuat Wan Fei Yang kesakitan. Wajahnya meringis. Melihat keadaannya, Hai liong lo jin menjadi panik. Dia cepat-cepat menghampiri dan memapah Wan Fei Yang. “Bagaimana? Sakit tidak?”

Wan Fei Yang menganggukkan kepalanya.

“Ini karena ulahmu sendiri!” kata Hai liong lo jin ketus dan memalingkan wajahnya.

“Ulah apa?” tanya Wan Fei Yang tidak mengerti. “Ulah apa?” teriak orang tua itu.

“Mengapa kau tidak terluka bulan kemarin atau bulan depan saja? Mengapa justru terluka di saat aku bermaksud menangkap kura-kura laut untuk dijadikan obat? Untuk menolongmu, terpaksa aku membiarkan kura-kura laut itu melarikan diri. Apakah kau tahu ? Kura-kura laut itu belum tentu ketemu lagi dalam seratus tahun. Telurnya lebih-lebih dapat menjadi obat yang mujarab. Aku sudah mencarinya selama sepuluh tahun. Baru ketemu, eh…. Dikacaukan oleh kedatanganmu. Mana aku sudah menyiapkan semua racikan obat untuk campurannya. Sekarang semuanya menjadi sia- sia.”

“Boanpwe tahu salah,” kata Wan Fei Yang sambil menjura dalam-dalam.

“Masih lumayan. Tidak menemukan kura-kura laut, bertemu dengan kura-kura sepertimu juga bolehlah.”

Sekian lama Wan Fei Yang mendengar kata-kata orang tua itu, semakin tidak tahu dia harus marah atau tertawa.

“Kau tidak usah sedih. Aku sudah memafkanmu,” kata Hai liong lo jin selanjutnya.

“Terima kasih, Locianpwe,” sahut Wan Fei Yang sambil tertawa getir.

Hai liong lo jin menepuk tangannya beberapa kali. “Sam cun, mengapa kau termangu-mangu di situ? Cepat ambilkan makanan! Aku tidak mau melihat bocah ini mati kelaparan di sini!”

Sam cun mengiakan dengan tergesa-gesa. Langkah kakinya yang pendek seakan berjalan sambil berloncat-loncatan.

* * *

`Wan Fei Yang sekaligus menghabiskan enam mangkok bubur. Perasaanya jauh lebih segar setelah makan. Tiba-tiba dia merasa tubuhnya lebih sekali. Sebentar saja, dia sudah pulas dalam mimpi.

Entah berapa lama sudah berlalu, Wan Fei Yang terbangun oleh suara bentakan. “Berapa kali harus aku katakan bahwa aku tidak akan mengajarkan? Tidak akan!”

* * *

“Susiok. Tecu selamanya belum pernah memohon apa-apa kepadamu. Hanya kali ini saja!”

Wan Fei Yang merasa tidak asing dengan suara itu. Entah di mana dia pernah mendengarnya.

“Tidak!”

Tanpa sadar Wan Fei Yang turun dari balai-balai dan berjalan menuju pintu. Dia mendorong pintu tersebut lalu melangkah perlahan ke depan. Pada bagian luar kamar terdapat sebuah koridor panjang yang kiri kanannya dibatasi dengan pagar rotan. Kurang lebih tiga depa di ujung sana ada sebuah ruangan kecil. Hai liong lo jin berdiri memangku tangan di undakan batu. Wajahnya tampak kurang senang.

Di bawah undakan batu berlutut tiga orang. Yang di tengah- tengah ternyata Kuan Tiong Liu dari Go Bi pai. Di sebelah kirinya berlutut si bocah pembawa pedang, Jit Po. Sedangkan di sebelah kananya ialah si bocah pembawa harpa, Liok An. Dia tetap berpakaian putih. Kali ini dia tidak memperdulikan tanah kotor di mana dia berlutut. Dapat dipastikan bahwa dia mempunyai niat tertentu sehingga rela berlutut di atas tanah yang kotor itu.

Wan Fei Yang yang melihat anak muda tersebut dari balik pintu, segera menyurutkan kepalanya kembali. Untung saja Kuan Tiong Liu belum sempat melihatnya. Dia masih menatap Hai liong lo jin dengan pandangan memohon.

“Susiok, Go bipai sedang dalam keadaan kritis, hanya Tecu yang masih bisa diandalkan untuk membangkitkannya kembali. Susuiok, meskipun kau tidak menghagai Tecu, tapi kau harus mementingkan kepentingan Go bi pai. Kau harus mengajarkan tiga jurus terakhir dari Lok jit kiam hoat!” ratap anak muda itu dengan wajah sendu.

Meskipun wajahnya tampak sendu dan sinar matanya memohon, tapi nada suaranya masih angkuh seperti biasa. Dan dari kata-katanya tadi, dapat dipastikan bahwa Hai liong lo jin adalah angkatan tua dari Go bi pai. Dia juga satu- satunya orang yang mengerti tiga jurus terakhir dari Lok jit kiam hoat yang merupakan ilmu pedang pusaka dari partai tersebut. Kalau tidak, tak mungkin Kuan Tiong Liu mau bersusah payah memohon kepadanya.

Liong gi kiam hoat dari Bu Tong pai dan Lok jit kiam hoat dari Go bi pai memang sangat terkenal dan namanya menggetarkan dunia kangouw. Kuan Tiong Liu yang pernah dikalahkan Ci Siong to jin baru sadar, seandainya dia tidak mempelajari tiga jurus terakhir dari Lok jit kiam hoat, dia masih belum bisa menonjolkan diri dalam dunia kanguw.

Apalagi dia juga pernah dikalahkan oleh Wan Fei Yuang di kaki gunung Bu Tong. Semua ini membuatnya bertekad harus mendapatkan tiga jurus terakhir Lok jit kiam hoat itu. Itulah sebabnya dia bisa sampai ke tempat Hai liong lo jin.

Hai liong lo jin adlaah suheng dari It im yang sudah menjadi Ciang bun jin Go bi pai generasi sekarnag. Namun karena adatnya yang aneh dan angin-anginan juga bila melakukan sesuatu selalu mengikuti kata hatinya sendiri, maka dia tidak cocok dengan sutenya. Dia juga tidak memperdulikan nasihat It im taisu, ketika terjadi pertengkaran untuk terakhir kalinya, dia nekad meninggalkan Go bi san. Kemudian tinggal menyepi di pinggir pantai ini.

Pengetahuannya luas. Ilmu silatnya juga lebih tinggi dari It im taisu. Namun ilmu pengobatannya lebih tinggi lagi. Wan Fei Yang yang terseret aliran air dan dapat berjumpa dengan orang tua ini, dapat dikatakan sebagai keberuntungannya.

Tapi dia juga tidak mengira dunia ini begini sempit sehingg dapat bertemu dengan Kuan Tiong Liu di tempat ini.

Kesan yang diberikan Kuan Tion Liu kepada diri Hai liong lo jin tampaknya kurang baik.

“Tidak! Aku bilang tidak, tidak!” teriak orang tua itu dengan suara memekakkan telinga.

Kuan Tiong Liu benar-benar tidak mengerti.

“Kenapa? Apa alasanmu? Kesabarannya mulai habis, tapi dia berusaha menahan diri.

“Karena aku tidak ingin mencelakaimu,” teriak orang tua itu kemudian tertawa terbahak-bahak.

“Tidak ingin mencelakai aku?” Kuan Tiong Liu semakin penasaran.

“Lok jit kiam hoat harus dikombinasikan dengan im dan yang. Ada hawa murni im yang mempengaruhi lweekang baru dapat dikombinasikan dengan arus tenaga yang. Arus tenaga yang dalam dirimu memang sudah memadai, namun hawa murni im belum cukup. Seandainya tidak ada bantuan dari luar dan arus tenaga yang berlebihan, aku khawatir tiga jurus terakhir Lok jit kiam hoat itu belum mencapai kesempurnaan, namun nyawamu sudah melayang,” kata Hai liong lo jin menjelaskan.

“Tecu tetap ingin belajar meskipun taruhannya nyawa Tecu!” sahut Kuan Tiong Liu dengan tegas dan nekad.

Hai liong lo jin tertawa dingin.

“Kalau begitu, berlutut terus saja kau di situ!” katanya sambil membalikkan tubuh meninggalkan tempat itu.

Wan Fei Yang cepat-cepat merapatkan pintu penghubung tersebut kembali. Kuan Tiong Liu tidak bergerak. Sinar matanya menjadi dingin. Jit Po dan Liok An menemani di samping kiri dan kanan. Kepala mereka tertunduk, sepatah katapun tidak berani mereka ucapkan.

* * *

Tampaknya kekerasan hati Hai liong lo jin tak usah diragukan lagi. Setelah menutup pintu, dia langsung melangkahkan kakinya ke dalam. Sam cun menyelinap keluar dari kolong meja. “Suhu, mere… mereka berlutut… di luar…”

“Untuk apa kau perdulikan?” bentak Hai liong lo jin, kemudian dia tertawa dingin. “Apa kau kira kesabaran bocah itu bisa bertahan lama? Aku rasa paling banter dia berlutut selama menyalanya satu batang hio!”

Sam cun tidak berani berkata apa-apa lagi. “Cepat tidur!” teriak Hai liong lo jin kembali.

Sam cun tergesa-gesa meninggalkan koridor panjang itu dengan kepala tertunduk. Terhadap majikannya yang satu ini, tampaknya Sam cun takut setengah mati.

* * *

Malam itu Wan Fei Yang tidur dengan pulas. Obat yang diminumnya memang mengandung khasiat yang dapat menenangkan diri dan dapat tidur dengan nyenyak.

Ketika dia terjaga, hari sudah terang. Di sekitarnya sunyi sekali. Demikian juga di liar. Tidak terdengar suara sedikit pun. Di ruangan tamu tidak terlihat seorang pun. Jangan kata Hai liong lo jin, Sam cun pun tidak kelihatan.

Pintu masih tertutup rapat. Wan Fei Yang mengulurkan tangannya dan mendorong pintu tersebut. Masalah mengenai Kuan Tiong Liu yang berlutut di luar tidak disimpannya dalam hati. Ketika pintu sudah terbuka, dia baru teringat kembali…

Tepat pada saat itu, suara Kuan Tiong Liu langsung menyusup ke telinganya.

“Susiok!”

Bersama Jit Po dan Liok An, dia masih juga berlutut di tempat yang sama. Wan Fei Yang segera terpana. Kuan Tiong Liu juga tertegun. Dalam waktu yang bersamaan, dia baru tersadar bahwa yang mendorong pintu tadi bukan Hai liong lo jin.

“Wan Fei Yang…!” teriaknya dengan nada aneh.

“Kuan.. Kuan tayhiap…” Wan Fei Yang tidak sempat lagi mengundurkan diri. Dia terpaksa menenangkan hatinya dan memanggil anak muda itu.

Sikapnya yang lugu masih terlihat jelas. Meskipun ilmu silatnya sudah demikian tinggi, tapi kebiasaannya menghormati semua orang masih belum berubah. Kuan Tiong Liu langsung bangkit dan berdiri tegak. Matanya mendelik ke arah Wan Fei Yang.

“Mengapa kau bisa ada di sini? Bilang!”

“Aku…” Wan Fei Yang benar-banr tidak tahu harus mulai menceritakan dari mana.

Kuan Tiong Liu juga tidak memberikan kesempatan. Dia tertawa dingin beberapa kali. “Pantas Susiok begitu sentimen kepadaku! Rupanya kau yang menggosok-gosok sehingga dia tidak bersedia mengajarkan tiga jurus terakhir dari Lok jit kiam hoat!”

“Kuan tayhiap, kau jangan salah paham…”

“Salah paham?” Kuan Tiong Liu mengulurkan tangannya. “Pedang!”

Jit Po cepat-cepat bangkit dan menyodorkan pedang ke tangan tuan mudanya. Kuan Tiong Liu langsuyng menghunus pedang itu dan melesat ke depan menerjang Wan Fei Yang. Tentu saja Wan Fei Yang kelabakan setengah mati.

Di tembok ruangan tergantung sebilah pedang. Sejak tadi Wan Fei Yang sudah melihatnya. Dengan gerakan kilat dia menghambur ke arah pedang itu. Baru saja dia berhasil menyentuh gaganngnya, pedang Kuan Tiong Liu sudah menerjang tiba.

Wan Fei Yang mencabut pedang itu dengan panik. “Trang!”

Dua perang saling berbenturan. Kuan Tiong Liu tentu tidak sudi mengalah begitu saja. Dia menarik pedang tersebut dan menikam ke arah Wan Fei Yang kembali sebanyak tujuh belas kali berturut-turut.

Luka Wan Fei Yang belum sembuh. Dia terdesak mundur beberapa langkah. Dia memang tidak berniat bertarung dengan pemuda itu. Apalagi setelah tahu hubungannya dengan Hai liong lo jin. Untung saja Kuan Tiong Liu juga baru berlutut semalam suntut. Kaki tangannnya masih pegal. Semua itu membuat gerakannya agak kaku.

Setelah menyerang berkali-kali berturut-turut, tiba-tiba dia berhenti. Pemuda itu memperhatikan Wan Fei Yang sejenak kemudian tertawa dingin. “Tampaknya luka yang kau derita tidak ringan juga!”

Belum sempat Wan Fei Yang menjawab, Kuan Tiong Liu sudah meneruskan perkatannya: :Kalau tidak salah Susiok sudah meninggalkan rumah sejak pagi tadi. Kali ini tidak akan ada orang yang menolongmu lagi!”

Setelah mendengus dingin satu kali, dia menerjang lagi ke depan. Wan Fei Yang menyambut beberapa kali serangannya. Dia sudah terdesak sampai ke luar rumah. Kuan Tiong Liu menikam pedangnya ke depan. Dia tidak memberi kesempatan kepada Wan Fei Yang untuk kabur.

Wan Fei Yang bergulingan di tanah. Baru saja dia berhasil menghindarkan sebuah serangan, pinggangnya meluik, belum sempat bangkit berdiri, lukanya terasa nyario, dia jatuh terduduk kembali. Namun pedang Kuan Tiong Liu sudah mengancamnya, terpaksa dia bergulingan dan menghindari serangan yang satu itu.

Wan Fei Yang sudah terdesak jauh. Di belakangnya terdapat sebatang pohon. Dia tidak bisa bergeser lebih jauh lagi, kepalanya mulai pusing. Tepat pada saat itu, Kuan Tiong Liu berteriak lantang dan menikamkan pedangnya lurus ke depan. Dengan panik Wan Fei Yang menundukkan kepalanya.

Pedang Kuan Tiong Liu meluncur lurus menusuk batnag pohon di belakangnya. Anak muda itu tampak kesal sekali. Sudah terang lawan di hadapannya tidak berdaya lagi, tapi beberapa kali serangannya masih bisa dihindarkan. Sekali lagi dia meraung murka dan menyerang kembali. Wan Fei Yang menggertakkan giginya.

“Tranggg! Tranggg!”

Pedang ditangannya diangkat ke atas dan disapukan ke kiri dan kenan secara kalang kabut. Tapi tampaknya keberuntungan masih terus berada di dekatnya. Meskipun dia menangkis dengan gaya kelabakan, semua serangan Kuan Tiong Lkiu berhasil dihindarinya. Nafas anak muda itu sudah tersengal-sengal.

Tubuh Kuan Tiong Liu mencelat ke udara. Pedangnya berputar menimbulkan cahaya seperti pelangi. Sekitar tempat itu dipenuhi hawa pedang yang tebal. Tampaknya tidak mudah bagi Wan Fei Yang untuk menghindarkan diri dari serangan yang satu ini. Sebentar lagi dia pasti akan mati atau paling tidak terluka parah. Sedangkan cahaya yang berpijar tadi tiba- tiba berubah menjadi garis lurus. Tubuhnya menerjang ke depan.

Wan Fei Yang dapat melihat dengan jelas, matanya terbelalak. Pada saat yang tepat, tubuh Hai liong lo jin melayang bagai seekor naga sakti. Tangan kanannya terulur dan telapaknya menghantam pangkal lengan Kuan Tiong Liu sehingga serangannya meleset.

Kuan Tiong Liu segera dapat menduga apa yang telah terjadi. Untung saja hantaman telapak tangan Hai liong lo jin tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya. Kalau tidak, lengannya itu apsti sudah hancur. Kakinya menutul tanah dan melesat lagi lalu berjungkir balik dua kali di udara dan melesat lagi berjungkir balik dua kali di udara sebelum melayang turun.

“Susiok!” sapanya lalu menjatuhkan diri berlutut di atas tanah.

Jit Po dan Liok An yang ada di ujung sana ikut menjatuhkan diri dan berlutut. Hai liong lo jin sudah berdiri menghadang di depan Wan Fei Yang. Orang tua itu tertawa dingin. “Aku tidak berani menerima panggilan Susiokmu. Aku juga tidak merasa punya keponakan yang suka mengincar kesempatan ketika orang sedang terluka,” katanya ketus.

Kuan Tiong Liu terpana. “Susiok, kau….”

“Untung saja aku keburu datang. Tapi malah mengacaukan rencanamu yang bagus, bukan?” Hai liong lo jin masih juga tertawadingin. “Orang seperti aku ini paling benci melihat manusia yang suka mencarti kesempatan ketika lawannya sedang terluka. Meskipun kau mempunyai dendam sedalam lautan dengannya, kau jug harus menunggu sampai kesehatannya puluh dulu, baru boleh mengadakan perhitungan. Itu baru tindakan enghiong ho han (Laki-laki jati).

“Tapi…”

“Jangan membantah lagi. Tindakanmu ini pokoknya tidak adil! Menghadapi orang licik sepertimu, bagaimana aku bisa mengajarkan tiga jurus terakhir Lok jit kiam hoat dengan hati lega?” “Susiok!” Kuan Tiong Liu panik sekali. Dia menghampiri dengan kedua kaki tetap berlutut.

Orang tua itu tidak memperdulikan. Dia sudah mendekati Wan Fei Yang. “Bagaimana dengan engkau? Banyakkah luka yang kau alami?” tanyanya penuh perhatian.

Wan Fei Yang menggelengkan kepalanya. “Aku tidak apa- apa,” sahutnya dengan menahan rasa sakitnya. Dia malah membusungkan dadanya.

“Terang-terangan sedang kesakitan setengah mati, masih berlagak tidak apa-apa!” Hai liong lo jin menepuk tempat luka Wan Fei Yang. “Buat apa kau menganggap dirimu sendiri gagah.”

Mendapat tepukan tepat di atas lukanya, Wan Fei Yang segera menekuk pinggangnya dan menjerit kesakitan. Sam cun memutar keluar dari balik sebatang pohon, dia tergopoh- gopoh mendekati Wan Fei Yang dan mengulurkan tangan untuk memapahnya. Hai liong lo jin melirik Sam cun sekilas.

“Untuk apa kau memapahnya? Kalau memang bermaksud menolong, cepat pulang dan buatkan obat untuknya!” bentak orang tua itu.

Sam cun melepaskan tangannya kembali dan lari terbirit=birit kembali ke rumah. Mata Kuan Tiong Liu melotot heran.

“Susiok!” panggilnya sekali lagi.

“Tidak usah bicara!” tukas Hai liong lo jin. “Pokoknya aku tidak akan mengajarkan tiga jurus terakhir Lok jit kiam hoat!” “Sutit (murid keponakan) hanya ada sedikit masalah mengenai dunia kanouw, dan mengharapkan petunjuk dari susiok,” kata Kuan Tiong Liu.

“Oh?” Hai liong lo jin menoleh kepadanya. “Siasat apa lagi yang sedang kau pikirkan?”

“Dalam dunia kanouw, partai mana saja yang paling disegani?”

“Tentu saja Bu Tong, Go bi, Siau lim!” “Kalau begitu Bu ti bun…”

“Sebuah perguruan sesat, mana mungkin disegani orang bulim dan dapat dibandingkan dengan ketiga partai tadi?”

“Apa yang Susiok katakan memang benar.” Kuan Tiong Liu menuding kepada Wan Fei Yang. “Apakah Susiok tahu kalau dia merupakan anak murid Bu ti bun?”

“Apa?” Hai liong lo jin terkejut sekali. Tangannya segera terulur dan mencengkeram baju Wan Fei Yang.

“Aku orang Bu tong pai!” sahut Wan Fei Yang gugup setengah mati.

Kening orang itu berkerut seketika. “Kalau melihat dari caramu bergerak tadi, jurus yang kau gunakan memang dari Bu tong pai.”

“Tapi hari itu di Bu tong san, terang-terangan aku sudah berhasil mendesak putri tunggal Tok ku Bu ti, Tok ku Hong dan murid pertamanya Kongsun Hong, bahkan hampir berhasil membunuh mereka, karena campur tangannya bocah ini, mereka jadi tertolong!” kata Kuan Tiong Liu melaporkan.

Cengkeraman tangan orang tua itu dipererat lagi. “Benarkah ada kejadian seperti itu?”

Wan Fei Yang tertawa getir.

“Aku sendiri tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya.”

Hai liong lo jin mengendurkan cengkeramannya lalu menghempaskan tubuh Wan Fei Yang ke atas tanah. Melihat semua itu, Kuan Tiong Liu menyunggingkan senyuman bangga. Mata Hai liong lo jin yang tajam tiba-tiba beralih kepadanya.

“Pada saat itu, tidak usah diragukan lagi, kau tentunya juga mengincar kesempatan ketika dua orang itu terluka,” sindirnya.

Kuan Tiong Liu tertegun. Senyumnya hilang seketika. “Aku….”

“Bu tong pai dapat menghasilkan murid yang bersedia menolong siapa saja yang memerlukannya, tanpa pandang siapa pun orangnya, hal ini patut dikagumi. Tapi murid Go bi pai hanya bisa menggunakan kesempatan ketika lawannnya sedang terluka, benar-benar hal yang memalukan!” Hai liong lo jin menarik nafas panjang. “Tidak heran Bu ti bun dapat maju sedemikian pesat.”

Wajah Kuan Tiong Liu merah padam. Wajahnya tertunduk. Hai liong lo jin mengalihkan pandangannya dan mendelik ke arah Wan Fei Yang. “Kau tahu aku paling benci orang-orang Bu ti bun. Mengapa kau masih mau menolong mereka?”

Wan Fei Yang tertegun.

“Pertama, karena mereka sedang terluka parah. Sama sekali tidak sanggup memberikan perlawanan. Kedua, waktu itu aku toh masih belum mengenal locianpwe, bagaimana aku bisa tahu kalau kau orang tua begitu membenci mereka?” tanyanya keheranan.

Hai liong lo jin merenung sejana, kemudian dia menganggukkan kepalanya. “Apa yang kau katakan ada benarnya.”

“Aku bukan anggota Bu ti bun. Aku menolong mereka juga atas perintah Suhu. Aku hanya menjalankan tugas.

Hai liong lo jin mendelik sekali lagi kepada Wan Fei Yang. “Aku percaya,” katanya.

Wan Fei Yang berbalik menjadi heran. “Kau percaya?” “Karena kau memang orang yang pantas dipercaya!” “Aku hanya seorang bu beng siau cut di Bu tong pai…”

“Dalam pandangank, siapa orangnya yang bukan bu beng siau cut?”

Kuan Tiong Liu dapat melihat keadaan yang tidak menguntungkan dirinya. “Susiok, orang Bu ti bun ini…!”

“Dia bukan orang Bu ti bun,” sahut Hai liong lo jin tenang. “Tapi orang ini…”

“Aku puas sekali dengan penjelasannya. Sekarang giliranmu untuk menjelaskan mengapa kau selalu mengincar kesempatan ketika orang sedang terluka? Tidakkah kau sadar bahwa dengan berbuat demikian, sama saja kau menjatuhkan nama baik Go bi pai?”

“Pada saat itu aku hanya berpikir untuk membasmi kejahatan. Sama sekali tidak teringat masalah ini,” Kuan Tiong Liu menundukkan kepalanya. Matanya mengerling kesana kemari. Tiba-tiba dia menarik nafas panjang.

“Mengapa kau menarik nafas panjang?” tanya orang tua itu tiba-tiba.

“Aku lebih-lebih tidak menyangka bahwa aku tidak mampu menandingin seorang bu beng siau cut dari Bu tong pai,” sahutnya sambil menarik nafas panjang sekali lagi.

Kening orang tua itu berkerut.

“Liong gi kiam hoat dari Bu tong pai dan Lok jit kiam hoat dari Go bi pai disebut Suang kiat di dunia bulim. Tapi meskipun aku telah menggunakan Lok jit kiam hoat, aku masih bisa dikalahkan seorang bu beng siau cut dari Bu tong pai. Mungkinkah Lok jit kiam hoat hanya besar namanya saja tapi isinya kosong?”

“Omong kosong!” bentak orang tua itu dengan wajah kelam. “Dulu ketika diadakan pertandingan pedang di Oey san, Ci Siong sendiri mengakui bahwa Lok jit kiam hoat dari Go bi pai tidak di bawah Liang gi kiam hoat dari Bu tong pai. Sedangkan dia yang seorang bu beng siau cut dari Bu tong pai pun tidak berhasil kau kalahkan, hal ini karena…”

“Karena aku masih belum mempelajari tiga jurus terakhir dari Lok jit kiam hoat!” tukas Kuan Tiong Liu cepat. “Susiok, maka dari itu kau harus menurunkan ilmu itu kepadaku!”

“Ini…”

“Juga hanya dengan cara itu, nama baik Go bi pai bisa dipulihkan kembali!” kata Kuan Tiong Liu tanpa memberikan kesempatan kepada Susioknya untuk menukas panjang lebar.

Hai liong lo jin berpikir sejanak. Hatinya mulai tergerak, akhirnya dia menganggukkan kepalanya.

“Baik. Aku akan menurunkan tiga jurus terakhir dari Lot jit kiam hoat. Setelah itu,” matanya beralih kepada Wan Fei Yang. “Tunggu sampai luka bu beng siau cut dari Bu tong pai ini sembuh, baru diadakan pertarungan yang adil sekali lagi. Lihat apakah Bu tong pai lebih unggul atau Go bi pai lebih unggul.”

Baru Wan Fei Yang bermaksud mengatakan sesuatu, Kuan Tiong Liu sudah menyembah dengan membentur kepalanya di atas tanah sebanyak tiga kali. “Terima kasih atas kebaikan budi Susiok!” katanya. Hai liong lo jin tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Wan Fei Yang cepat-cepat maju ke depan dan menjura dalam-dalam. “Budi kebaikan Locianpwe menolong boanpwe tidak akan terlupakan sampai kapanpun juga. Boanpwe tidak berani mengganggu lebih lama…”

“Apa? Mau lari? Tidak begitu mudah!” Hai liong lo jin mengibaskan tangannya.

“Kau harus tetap di sini sampai luka-lukamu sembuh!” “Maksud baik Locianpwe…”

“Aku hanya ingin kau berduel dengan jujur menghadapi Kuan Tiong Liu, untuk membuktikan mana yang lebih hebat antara Bu tong pai dan Go bi pai!”

Wan Fei Yang terpaku di tempat. Melihat keadaannya, Kuan Tiong Liu tertawa dingin dalam hati. Namun bibirnya memberi perintah: “Jit Po, Liok An, kalian harus jaga Wan kongcu baik- baik!”

Jit Po, Liok An mengiyakan serentak. Mereka langsung menghampiri Wan Fei Yang dan berdiri di kiri kanannya. Sam cun yang melihat keadaan itu, merasa tidak senang. Dia juga berjalan mendekati Wan Fei Yang dan menghadang di depan Jit Po dan Liok An.

“Cukup aku sendiri yang mengurus Wan kongcu, kalian tidak diperlukan!” katanya.

Jit Po dan Liok An mengerling Sam cun sekilas. Mereka tidak memperdulikannya. Sam cun malah menoleh kepada Hai liong lo jin. Orang tua itu juga tidak memperlihatkan sikap apa-apa. Dia menggapai tangannyua kepada Kuan Tiong Liu.

“Ikut aku!”

Semangat Kuan Tiong Liu terbangun seketika. Dia langsung menghambur mengikuti Hai liong lo jin. Wan Fei Yang menatap kepergian kedua orang itu. Dia tersenyum pahit. Sam cun maju dan menarik tangannya.

“Kita juga pergi,” ajaknya.

Mereka kembali ke dalam rumah. Jit Po dan Liok An mengikuti dari belakang. Mereka sangat setia kepada Kuan Tiong Liu.

Sejak saat itu pula, di mana pun Wan Fei Yang berada, mereka pasti mengiringi di belakang.

Wan Fei Yang segera menyadari, kedua orang ini bukan saja tidak selucu Sam cun, malah menyebalkan. Dia sama sekali tidak mempunyai minat untuk berduel dengan Kuan Tiong Liu, karena walaupun menang atau kalah, keduanya juga tidak menguntungkan dirinya. Oleh karena itu juga, tiba-tiba dia berpikir untuk kaburdari tempat itu.

Jit Po dan Liok An lebih menjaga ketat Wan Fei Yang pada malam hari. Mereka bahkan tidur di depan pintu kamar anak muda itu.

* * * Tiga hari sudah berlalu, luka Wan Fei yang sudah hampir pulih. Dia tidak merasa sakit lagi kalau menggerakkan kaki tangannya.

Lautan tidak berombak. Hari itu indah dan cerah. Suasana tenang. Langit bahai tiada batasnya. Wan Fei Yang melangkahkan kakinya di pesisir pantai. Semangatnya menyala-nyala. Sam cun menemani Wan Fei Yang di sampingnya. Tinggi badannya hanya mencapai pinggang anak muda itu. Kedua kakinya pendek kecil. Apabila Wan Fei Yang berjalan satu langkah, maka dia harus bertindak tiga langkah baru dapat menyamainya.

Terhadap Wan Fei Yang, kesannya sangat baik. Dia malah menaggil anak muda itu Siau fei saja. “Siau fei, kau lihat kedua bocah Jit Po dan Liok An itu, mereka persis hantu gentayangan yang mengikuti kita sepanjang hari. Kemana pun kota berada, mereka pasti mengikuti dari belakang,” katanya.

“Sungguh tidak mudah apabila ingin melepaskan diri dari kedua bocah tersebut.”

“Apakah kau sungguh-sungguh tidak ingin bertarung dengan bocah Kuan Tiong Liu itu?” tanya Sam cun hati-hati.

“Tidak. Meskipun aku dapat mengalahkan majikanmu pasti akan sedih sekali.”

“Cu jin selamanya memang selalu ingin menang.” “Justru itu.”

“Tapi Lok jit kim hoat dari Go bi pai tiada duanya di dunia ini. Kalau dia sudah berhasil mempelajarinya, kemungkinan besar dia akan mengalahkanmu.”

“Lebih baik begitu.”

“Bocah Kuan Tiong Liu itu sangat tinggi hati. Apabila kau sampai dikalahkan olehnya, kemungkinan dia akan turun tangan jahat.”

“Kan ada cu jinmu yang menyaksikan dari samping. Seandainya dia berhasil mengalahkan aku, dia juga tidak akan berani berbuat apa-apa.”

“Kau tidak boleh dikalahkan olehnya,” kata Sam cun sambil membalikkan tubuhnya menghadap Wan Fei Yang. “Aku hanya mempunyai engkau seorang teman. Bagaimana pun aku akan berusaha sekuat kemampuan untuk membantumu meloloskan diri dari tempat ini.”

Wan Fei Yang terpana. Dia terharu mendengar kata-kata Sam cun. “Eh, Apakah kau mempunyai akal yang baik?” tanyanya penuh semangat.

Sam cun menganggukkan kepalanya. “Kita pulang dulu.”

Dia membalikkan tubuh kembali dan berjalan ke arah yang mereka datang sebelumnya.

Wan Fei Yang terpaksa mengikuti. Jit Po dan Liok An segera menyusul dari belakang.

* * * Setelah kembali ke kamar, Wan Fei Yang langsung mengunci pintu. Sam cun tidak ikut masuk ke dalam. Dia memutar satu kali kemudian menghilang entah kemana. Jit Po dan Liok An tidak memperdulikan Sam cun. Mereka duduk di depan pintu kamar Wan Fei Yang. Satu di sebelah kiri, satu lagi di sebelah kanan.

“Kau lihat si kerdil itu memutar kembali ke tempat ini tadi. Entah permainan setan apa yang sedang direncanakannya?” tanya Jit Po yang kecurigaannya mulai bangkit.

Liok An mengangkat bahunya. “Lalu mengapa bocah ini juga tiba-tiba kembali ke kamar?” tanya Jit Po kembali.

“Mungkin lukanya tiba-tiba terasa sakit sehingga dia pulang ke kamar untuk beristirahat,” sahut Liok An.

“Aku tetap merasa ada yang tidak beres terutama si kerdil itu.”

“Apa yang bisa dilakukan paku payung itu? Sudah… tidak usah dipikirkan.”

“Takutnya dia akan membantu Wan Fei Yang melarikan diri. Daerah sekitar sini, bagaimana pun dia lebih jelas daripada kita.”

“Aku yakin dia tidak mempunyai nyali sebesar itu.” “Apa ini?” Jit Po tiba-tiba terpana.

Segumpal asap yang tipis dan berwarna merah tiba-tiba berhembus keluar dari balik gerombolan pohon menuju ke arah Jit Po dan Liok An. Belum sempat Liok An menyahut, asap merah itu telah menyelimuti mereka berdua. Jit Po seakan baru sadar apa yang telah terjadi.

“Celaka!” katanya. Dia baru bermaksud membuka mulut untuk berteriak ketika tubuhnya terkulai ke tanah. Di sampingnya Liok An juga menyusul jatuh.

Dari balik gerombolan pohon dan bunga-bungaan terdengar suara tertawa cekikikan. Seseorang keluar dari tempat itu. Siapa lagi kalau bukan Sam cun. Tangannya menggenggam sebuah tabung bambu berbentuk kecil panjang. Mirip seruling yang biasa digunakan untuk menyenandungkan irama.

Wajahnya berseri-seri.

“Lihat lain kali apakah kalian masih berani meremehkan aku, Sam cun?”

Tabung bambu itu diselipkannya pada ikat pinggang. Dia melangkah ke depan. Pintu kamar segera terbuka. Wan Fei Yang menyembulkan kepalanya. Kemudian dia memijit hidungnya sendiri lalu melesat ke hadapan Sam cun.

Sam cun cepat-cepat menarik tangan Wan Fei Yang dan berlari menuju bagian belakang kamar. Baru berjalan beberapa langkah, Wan Fei Yang menghentikan langkah kakinya.

“Sam cun, obat apa yang kau gunakan tadi?” tanyanya tiba- tiba.

“Jangan khawatir. Bukan racun. Mereka hanya tidak sadarkan diri untuk beberapa saat,” sahut Sam cun dengan bangga.

“Aku sudah mengikuti Cu jin sekian lama, sedikit-sedikit sih mengerti juga cara menggunakan obat-obatan.” Sam cun semakin bangga. Dia mengeluarkan tabung bambu tadi. “Obat ini bernama Pua jit hiong (harum setengah hari). Begitu terhirup, orang itu akan pingsan selama setengah hari.”

Pada saat itu, mereka sudah smapai di ruangan utama. Wan Fei Yang yang menarik pintu tersebut, tapi dia tertegun seketika. Demikian pula dengan Sam cu. Mulutnya terbuka lebar dan matanya terbelalak.

Hai liong lo jin berdiri di depan pintu dengan berkacak pinggang.

“Masih berusaha untuk melarikan diri?” Hai liong lo jin menggelengkan kepalanya.

“Dengan susah payah aku menurunkan tiga jurus terakhir dari Lot jik kiam hoat kepada Kuan Tiong Li, apabila kau pergi, siapa yang harus bertanding dengannya?”

Wan Fei Yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Ilmu silat boanpwe masih jauh dari sempurna. Mana mungkin boanpwe sanggup mempetahankan diri dari Lot jit kiam hoat yang sudah terkenal itu? Boanpwe takut, jangan-jangan akan terluka semakin parah,” sahutnya merendahkan diri.

”Jangan banyak bicara. Biar aku buktikan dengan mata kepala sendiri. Masuk!” Wan Fei Yang terpaksa mengundurkan diri. Mata Hai liong lo jin beralih kepada Sam cun yang masih memegang tabung bambu di tangannya. Wajahnya berubah kelam seketika. “Pua jit hiong. Apakah kau yang membuat kedua bocah itu pingsan?”

Sam cun terpaksa menganggukkan kepalanya.

“Berani-beraninya kau menggunakan obat milikku untuk melakukan hal semacam ini?” bentak Hai liong lo jin marah.

“wan Fei Yang menghentikan langkah kakinya tatkala mendengar bentakan tersebut. Sam cun ketakutan setengah mati. Tubuhnya gemetar. Dia bersembungi di balik tubuh Wan Fei Yang. “Kau kira aku tidak menghukummu dengan cara yang sama. Aku akan menggunakan Ban nian cui (obat mabuk selaksa tahun) untuk menghadapimu. Biar kau mabuk selaksa tahun.”

“Cu jin, ampuni aku kali ini,” ratap Sam cun dengan wajah panik.

Baru saja Wan Fei Yang bermaksud membuka mulut untuk memohon pengampunan bagi Sam cun, orang tua itu sudah tertawa terbahak-bahak. Dan Sam cun pun menghela nafas lega. Suara tawa Hai liong lo jin sirap beberapa detik kemudian. Dia mendelik ke pada Sam cun. “Mulai sekarang, kau harus menjaga sahabat baikmu ini baik-baik. Kalau sampai dia melarikan diri, maka akan kupatahkan sepasang kakimu.”

Sam cun terkejut setengah mati mendengar kata-katanya. Dia slaing pandang dengan Wan Fei Yang. “Paling lama setengah bulan Buan Tiong Liu sudah bisa menguasai tiga jurus terakhir Lok jit kiam hoat. Buat apa panik?” Hai liong lo jin menatap Wan Fei Yang sambil menggelengkan kepalanya. Kemudian dia tertawa terbahak- bahak dan meninggalkan tempat itu. 

Wan Fei Yang hanya dapat tertawa getir.

* * *

Bu tong pai dalam keadaan goncang. Dari Bu ti bun malah tidak terdengar berita apa pun yang mengejutkan. Sejak berdirinya perguruan itu, baru kali ini orang-orang mereka begitu tenang dan tidak menimbulkan kekacauan di dunia kangouw. Hal ini disebabkan oleh peristiwa yang terjadi secara beruntun sementara Tokku Bu ti masih menutup diri berlatih ilmu.

Sebelum menutup diri, Tokku Bu ti sudah menyebarkan panji telapak darah dan berpesan bahwa siapun anggotanya tidak boleh membuat keributan di luar selama dia masih belum keluar dari ruangan di mana dia berlatih ilmu. Tentu saja tidak ada orang yang berani melanggar perintah tersebut.

Oleh karena itu juga, keadaan dalam dunia kangouw menjadi tenang kembali. Tentu saja mereka tahu, ketenangan seperti ini hanya untuk sementara. Persis seperti sebelum terjadi hujan badai. Sementara itu aula tempat latihan dalam perguruan Bu ti bun malah tidak pernah tenang. Apalagi sejak Tokku Hong kembali ke rumah. Di tempat latihan itu sekarang bertambah sebuah barisan Pak tou jit sing ceng. Barisan ini sama seperti barisan di Bu tong san, tapi juh lebih kaku dan tidak banyak perubahan.

Apa sebabnya? Karena barisan ini dibuat hanya berdasarkan ingatan Kongsun Hong dan Tok ku Hong saja. Mereka hanya mengira-ngira. Padahal pada saat mereka benar-benar terkurung oleh Pak tou jit sing ceng tempo hari, kepala mereka sudah pusing tujuh keliling diserang dari kiri kanan.

Bagaimana mereka dapat melihatnya dengan jelas?

Bagi mereka sendiri, latihan ini benar-benar menguji mental. Mereka bertekad mencari kelemahan barisan tersebut.

Sebetulnya ini merupakan ide Tok ku Hong, tapi Kongsun Hong sudah pasti tidak berani membantah. Dengan demikian terbentuklah barisan Jit sing ceng kiam yang kacau balau di Bu ti bun.

Yang membentuk barisan tentu saja para anggota Bu ti bun. Sampai sekarang sudah berganti sebanyak dua ratus tujuh puluh tiga kali. Dan orang yang terluka sudah sebanyak empat ratus lima puluh enam orang. Sampai saat itu juga, Kongsun Hong dan Tok ku Hong dapat menerobos keluar dari barisan tiruan tersebut dengan mudah.

* * *

Jit goat lun di tangan Kongsun Hong berputar menyapu angkasa. Sepasang golok Tok ku Hong tidak memandang bulu. Cahaya pedang berpijaran. Tujuh batang pedang meluncur ke depan. Tujuh orang anggota Bu ti bun mengikuti gerakan Jit sing ceng seperti yang digambarkan oleh Tok ku Hong dan Kongsun Hong. Posisi mereka berubah-rubah.

Sebatang pedang tiba-tiba menyerang ke arah mereka berdua.

Gerakan mereka cepat sekali. Langkah kaki dan sapuan senjata di tangan juga sangat hidup. Tampaknya tidak berbeda dengan jit sing kiam ceng yang asli. Tapi sayangnya persis pepatah, yang kosong nyaring bunyinya. Hanya gayanya saja yang hebat, tapi sebetulnya tidak berisi. Setelah terdengar suara benturan hebat yang memekakkan telinga, akhirnya Tok ku Hong keluar dari barisan tersebut.

Mata Tok ku Hong menyorotkan sinar kemarahan. Sepasang goloknya diangkat ke atas.

“Apa yang kukatakan tadi? Apabila aku masih sanggup menerobos keluar sebelum jurus kedua puluh lima, maka kalian semua harus mati!” bentaknya lantang.

Wajah ketujuh anggota Bu ti bun itu berubah pucat seketika. Salah seorang dari mereka langsung menjatuhkan diri dan meratap…

“Tapi, Toa siocia… kau sudah menggunakan dua puluh tujuh jurus…”

Tok ku Hong tertegun.

“Pokoknya barisan ini masih jauh kalau dibandingkan dengan jit sing kiam ceng yang asli dari Bu tong pai!”

Kongsun Hong segera maju ke depan satu langkah. “Sumoay…”

“Tidak perlu berlatih lagi!” Tok ku Hong melemparkan sepasang goloknya ke atas lantai. Dia membalikkan tubuh dan menghambur meninggalkan tempat itu.

Kongsun Hong tergesa-gesa mengejarnya. Sampai di halaman luar, dia baru berhasil menyusul Tok ku Hong. “Sumoay, kalau Jit sing kiam ceng dari Bu tong pai demikian mudah diterobos, mana mungkin disebut barisan nomor satu di dunia?” kata Kongsun Hong.

“Maksudmu, selama hidup ini aku tidak akan bisa memecahkan barisan itu?” tanya Tok ku Hong sambil mendelikkan matanya lebar-lebar.

“Toh tidak lama lagi Suhu sudah dapat menyelesaikan latihannya. Untuk apa kita harus takut lagi terhadap barisan itu?”

“Aku ingin memecahkannya sendiri!”

“Mungkin Suhu mempunyai rumus memecahkan barisan itu. Dengan demikian niatmu akan terkabul. Berbeda dengan aku yang meninggalkan pedang di atas Bu tong san. Benar-benar habis sudah harapanku untuk mengambil kembali pedang tersebut,” kata Kongsun Hong.

“Ci Siong tojin sudah mati. Apa kau harus menemuinya di neraka?”

Tok ku Hong mendengus dingin. “Biar bagaimana pun, aku akan meminta Tia-tia menemani aku naik ke Bu tong san dan mencuci kekesalanku dengan darah para muridnya!”

Tiba-tiba seorang pelayan berlari-lari mendatangni dan berhenti di depan sebatnag pohon.

“Toa siocia…” panggilnya.

“Ada apa?” tanya Tok ku Hong dengan nada dingin.

“Harap Toa siocia kemari sebentar, ada sedikit urusan…”

“Katakan saja… Buat apa plintat-plintut seperti setan gentayangan saja!” bentak Tok ku Hong kesal.

Pelayan itu mengerling sekilas ke arah Kongsun Hong. “Tapi… tapi urusan ini menyangkut Liong hong kek….”

Wajah Tok ku Hong berubah seketika. Dia menghampiri pelayan itu. “Apa yang terjadi di sana?”

“Setiap hari bermuram durja, sudah beberapa hari tidak mau makan apa-apa. Kalau begitu terus, budak takut.. Siocia…”

“Mengapa bisa begitu?”

“Siocia, lebih baik kau ke sana dan menasihati…”

“Selamanya Tia melarang aku ke sana. Beberapa kali aku menyelinap ke sana, tampaknya Tia sudah tahu. Sekarang sengaja dia suruh orang menjaga dengan ketat. Kalau tidak ada lencana emas milik Tia, siapa pun dilarang masuk.” “Coba Siocia pikirkan lagi, apakah masih ada cara yang lain. Kalau tidak….”

“Tidak usah dibicarakan lagi!” Wajah Tok ku Hong semakin kelam.

Kongsun Hong yang memperhatikan dari samping, tidak dapat menahan diriny lagi. Dia segera mendekati Tok ku Hong. “Sumoay… apa yang telah terjadi?”

Pikiran Tok ku Hong segera tergerak.

“Suheng… Sebelum Tia menutup diri, apakah dia menyuruh kau menjaga aku baik-baik? Tidak boleh ada sesuatu pun yang terjadi denganku?” tanyanya hati-hati.

“Tidak salah!”

“Seandainya ada orang yang berani menganggu aku?”

“Seandainya ada yang berani mengganggu seujung rambutmu saja, dia harus tanyakan dulu pada kepalan tanganku ini!” Kongsun Hong membusungkan dadanya. Gayanya gagah sekali.

“Tentu saja sekarang belum ada orang yang berani mengganggu aku. Tapi ada satu persoalan yang tidak dapat kuselesaikan.”

“Masalah apa? Serahkan saja kepadaku!” Dada Kongsun Hong semakin membusung. “Sekarang aku ingin melakukan suatu pekerjaan yang sangat berbahaya,” kata Tok ku Hong kembali.

Kongsun Hong tidak habis pikir. “Aku akan ikut denganmu!”

“Benar?” Senyum Tok ku Hong merekah seketika. Wajahnya tampak semakin cantik.

Kongsun Hong hanya memperhatikan kecantikan wajah gadis itu, dia sama sekali tidak memperdulikan hal lainnya.

Kepalanya mengangguk terus menerus. “Pokoknya kau tidak boleh menyesal.”

“Laki-laki sejati tidak akan menjilat ludahnya kembali!” sahut Kongsun Hong tegas.

Wajah Tok ku Hong menjadi serius. “Aku akan pergi ke Liong hong kek.”

Kongsun Hong terkejut sekali. “Apa? Suhu sudah berpesan…” “Apakah aku tidak boleh mengunjungi ibuku sendiri?”

“Ini… ini…”

“Sekarang kau menyesal dan tidak bersedia menemani aku?” “Aku…” Keringat dingin membasahi kening Kongsun Hong.

“Sudahlah… Kau tidak mau menemaniku tidak apa-apa. Aku akan pergi sendiri. Aku tidak percaya Tia akan mengapa- apakan diriku,” kata Tok ku Hong sambil melangkah pergi.

Kongsun Hong segera mengejarnya. “Sumoay, kau benar- benar mau ke sana?”

“Kau kira aku sama sepertimu, sudah berjanji tiba-tiba tidak jadi?”

Wajah Kongsun Hong merah padam. Dia menggertakkan giginya erat-erat.

“Baik! Aku juga pergi. Aku akan melindungimu.”

Tok ku Hong membalikkan tubuhnya dan tersenyum. “Kalau begitu, malam ini kentungan ketiga, kau tunggulah aku di luar Liong hong kek.”

“Kau harus berhati-hati!” kata Kongsun Hong. “Seharusnya kita berdua yang harus berhati-hati!”

Hati Kongsun Hong gembira sekali. Segala resiko tidak dipikirkan lagi olehnya.

* * *

Tinggi tembok kurang lebih empat depa. Ci Siong to jin telah mempelajari ‘hui hun cong’ dengan sempurna. Untuk memanjati tembok setinggi itu tidak jadi masalah baginya.

Berbeda dengan Tok ku Hong. Gadis itu tentu tidak dapat memanjat tembok itu dengan demikian mudah. Tapi akhirnya dia bisa juga melakukannya.

Tok ku Hong adalah seorang gadis yang keras hatinya. Sesuatu yang ingin dicapainya akan diusahakannya terus sampai berhasil. Dia bukan jenis manusia yang mudah menyerah begitu saja.

Malam ini rembulan masih memancarkan cahaya yang dingin. Tok ku Hong berdiri membelakangi cahaya rembulan. Sejenak kemudian dia berjalan melewati kolam yang di atasnya mengapung bunga teratai. Dia menuju gedung kecil tersebut.

* * *

Cahaya rembulan menyorot masuk ke dalam kamar. Sinar lentera berpadu dengan cahaya rembulan. Redup-redup bagai gulungan asap. Remang-remang bagai gumpalan kabut.

Wanita yang duduk sendirian di depan jendela persisi seperti rembulan di balik gulungan asap seperti bunga tertutup kabut. Begitu sunyi menyendiri, begitu mengenaskan.

Usianya tidak muda lagi. Pad abagian kening dan di sekitar mata sudah tampak kerutan, tapi kecantikannya masih belum pudar. Kalau diperhatikan dengan seksama, dapat terlihat bahwa ada kemiripan antara wajahnya dengan wajah Tok ku Hong.

Di atas meja tergeletak sehelai lukisan. Lukisan itu sudah terbuka dan terpapar di hadapannya. Gambar dalam lukisan itu merupakan seorang laki-laki berpakaian tosu dan usianya masih cukup muda. Tidak diragukan lagi bahwa yang terlukis dalam gambar itu adalah Ci Siong tojin semasa muda.

Mata wanita setengah baya itu menatap orang dalam lukisan itu lekat-lekat. Sinar matanya sayu dan sendu. Di pipinya masih terlihat mengembang air. Tiga kali berturut-turut Ci Siong to jin selalu menjumpai wanita ini sebelum mengadakan pertarungan dengan Tok ku Bu ti. Tapi tempo hari dia tega membiarkan Ci Siong to jin berdiri di luar jendela sepanjang malam.

Apakah dia sekarang menyesal? Untuk apa berjumpa seandainya perjumpaan itu membuat hati keduanya lebih sakit lagi? Bukankah lebih baik tidak usah bertemu sama sekali?

Akhirnya dia memang mengeraskan hati untuk tidak bertemu dengan Ci Siong to jin. Dalam hatinya, wajah Ci Siong to jin masih seperti dalam lukisan itu. Dalam kenyataannya apakah demikian, dia samak sekali tidak perduli. Memang banyak hal dalam dunia ini yang tidak diperdulikannya lagi.

* * *

Tiba-tiba terdengar suar aketukan pintu. Wanit asetengah baya itu bagai tersadar dari mimpi. Dia terkejut sekali.

“Siapa?” tanyanya lirih. “Aku.” Suara Tok ku Hong.

Wanita cantik berusia setengah baya itu mengerlingkan matanya. Cepat-cepat dia menggulung kembali lukisan di atas meja dan memasukkannya ke dalam laci. “Pintu kamar tidak dikunci. Masuk saja,” katanya.

Segera terdengar suara pintu didorong. Tok ku Hong melangkah ke dalam.

“Ibu…!”

Wanita cantik itu cepat-cepat menghampiri. “Hong ji, bagaimana kau bisa kemari?”

Tok ku Hong meletakkan keranjang yang dibawanya ke atas meja. Dia memeluk wanita setengah baya itu erat-erat. “Ibu, Hong ji tidak berbakti. Sampai sekarang Hong ji baru datang menjenguk ibu.”

Wanita setengah baya itu memapah Tok ku Hong duduk di samping meja. “Kau kurus sekali,” katanya.

“Bukankah ibu lebih kurus lagi?”

“Bukankah ayahmu sudah menurunkan perintah bahwa siapapun tidka boleh datang kemari?”

“Kalau aku memang mau datang, siapa yang bisa menghalangi?”

“Bagaimana kalau ayahmu mengetahuinya?”

“Dia tidak akan tahu. Suheng juga tidak mungkin mengatakannya.

“Suheng? Maksudmu anak Hong?” “Kali ini dia yang mengalihkan para penjaga sehingga aku bisa menyelinap ke sini.” Tiba-tiba sebuah perasaan menyusup di hati gadis itu. “Ibu, tadi kau menangis?”

Wanita setengah baya itu cepat-cepat mengusap bekas air mata dengan lengan bajunya.

“Ada apa?” desak Tok ku Hong.

“Menangisi seorang teman yang baru meninggal.” “Siapa orang itu?”

“Ibu katakan kau juga tidak kenal,” Air matanya mengalir lagi.

“Ibu, beberapa hari kau tidak makan apa-apa. Sebetulnya apa yang terjadi?”

“Ibu hanya sedang tidak nafsu makan.”

“Apakah masakannya kurang enak, aku akan menyuruh orang bagian dapur lebih berhati-hati…”

“Hong ji…” Wanita cantik itu menarik nafas panjang. “Kau sudah banyak menderita.”

“Menderita?” tanya Tok ku Hong tidak mengerti. “Aku sama sekali tidak menderita. Apa yang aku inginkan selalu dikabulkan oleh Tia. Hanya satu, yaitu menjenguk Ibu. Aku benar-benar tidak habis pikir, mengapa kalian harus berpisah dan seperti orang asing saja?” “Berulangkali ibu sudah mengatakan kepadamu. Jangan lagi mengungkit persoalan ini.” Wajah wanita tua itu menjadi semakin kelam.

Melihat kesedihan wanita itu, Tok ku Hong cepat-cepat mengalihkan bahan pembicaraan.

“Ibu, aku membawakan sedikit bubur untukmu.” Dia segera mengeluarkan mangkok dan sumpit dari keranjang yang dibawanya tadi. Setelah itu dia juga mengeluarkan sebuah panci berisi bubur. Disendokkannya bubur itu semangkuk penuh kemudian disodorkan ke hadapan ibunya.

Wanita setengah baya itu menerima mangkuk itu dan mencobanya sedikit. Dia tersenyum-senyum.

“Kau yang masak bubur ini?” tanyanya lembut. “Kok Ibu bisa tahu?”

“Kecuali kau, siapa lagi yang masak bubur yang demikian tidak enak?”

“Ibu…” panggil Tok ku Hong seraya merajuk.

“Oh ya…. Bagaimana pelajaran silatmu akhir-akhir ini?” “Rasanya lebih baik dari sebelumnya.”

“Usiamu juga tidak muda agi. Apakah kau sudah mempunyai…?”

“Ibu! Mulai lagi…” “Bagaimana orang yang di luar itu terhadapmu?”

“Lumayan. Kadang-kadang menurut saja seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Kadang-kadang takut setengah mati kalau aku marah sedikit saja. Tidak berguna!

“Lihat! Kau begini galak, siapa yang tidak takut terhadapmu?”

Tok ku Hong hanya tersenyum sebagai jawabannya. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang kemudian disusul kumandangnya suara Kongsun Hong.

“Sumoay… waktunya sudah hampir habis.”

“Kalau kau takut mati, pergi saja kau duluan,” sahut Tok ku Hong dingin.

Wanita setengah baya itu tersenyum manis. “Suruh dia masuk ke dalam.”

Tok ku Hong merenung sejenak.

“Suheng, Ibu menyuruh kau masuk ke dalam!”

“Aku….” Nada suara Kongsun Hong terdengar bimbang. “Lebih baik aku tunggu di luar saja.”

“Benar-benar tidak berguna!” bentak Tok ku Hong sambil mendengus dingin. Kemudian dia berjalan menuju pintu kamar danmenariknya. “Kalau disuruh masuk, cepat masuk!” Kongsun Hong tidak berani membantah. Terpaksa dia mengeraskan hatinya dan melangkah ke dalam. Sampai di hadapan wanita setengah baya itu dia menjura dalam-dalam. “Subo…!”

“Kau sudah tinggi sekali,” kata wanita itu sambil menarik nafas panjang. “Hong ji, hari sudah larut, lebih baik kau kembali sekarang.”

“Ibu…” Tampaknya Tok ku Hong masih berat meninggalkan tempat itu.

“Kalau kau sampai kepergok para penjaga, lain kali kau datang lagi kemari, tentu akan lebih banyak kesulitan.”

Tok ku Hong terpaksa melangkahkan kakinya dengan hati kecewa.

“Hong ji…!” panggil wanita setengah baya itu. “Ibu, apalagi yang hendak kau sampaikan!” “Ingat! Lain kali jangan terlalu keras kepala!”

Tok ku Hong menganggukkan kepalanya. Bersama-sama Kongsun Hong, dia mengundurkan diri. Wanita setengah baya itu memperhatikan sampai pintui kamar tertutup kembali. Dia menarik nafas panjang. Setelah tertegun sejenak, dia mengeluarkan lagi lukisan yang disimpannya dalam laci tadi. Matanya menatap gambar Ci Siong to jin di dalam lukisan.

Lama kelamaan air matanya menetes lagi. * * *

Yang mengalir pada diri Tok ku Bu ti bukan air mata, tapi keringat. Pakaiannya sudah basah semua. Di hadapannya ada sebuah tungku api yang sedang berkobar-kobar. Sinar matanya lebih terang dari kobaran api.

Di dalam ruangan yang luas itu hanya terdengar letukan api dalam tungku. Tok ku Bu ti merangkapkan sepasang tanyannya di depan dada. Dia duduk bersila di atas sebuah batu berbentuk bundar dan pipih. Berkali-kali dia mengedarkan hawa murninya ke seluruh tubuh.

Hatinya tidak tenang sejak tadi. Banyak persoalan yang ingin dilupakannya kini justru berkecamuk dalam benaknya.

Bayangan seorang gadis yang cantik jelita melintas dalam hatinya. Dialah Sen Man Cing. Gadis itu merupakan teman mainnya sejak kecil. Akhirnya mereka dapat merangkap menjadi suami istri.

Lilin merah belum padam. Air mata Sen Man Cing masih membasahi bantal. Namun Tok ku Bu ti merasa dirinya bagai orang yang sudah mati.

Latihan Mit kip sin kang mencapai tingkat enam, berarti kesempatan untuk mempunyai anak pun tidak ada lagi. Inilah kenyataan, Tok ku Bu ti terpaksa menerimanya.

Sekarang menyesal pun tiada guna lagi. Semuanya sudah terlanjur. Latihan Mit kip sin kang memang menghancurkan harapannya sebagai laki-laki. Dia tidak bis amenjalankan kewajibannya lagi, lalu bagaimana mungkin punya anak. Tidak ada obat untuk menyembuhkan keterlanjuran yang satu ini.

Wajah Tok ku Bu ti menyiratkan penderitaan yang dalam. Dia sudah mulai melupakan persoalan yang satu ini. Tapi tiba-tiba ingatan itu bagai sebatang paku yang menusuk dirinya perlahan-lahan.

* * *

Kepala mengenakan mahkota. Berpakaian tosu. Dia adalah Ci Siong to jin.

Bagaimana Sen Man Cing bisa bersama-sama dengan Ci Siong?

Perut Sen Man Cing semakin hari semakin besar! Anak siapa itu? Anak Siapa?

Selamat Suhu, tutup diri kurang dari lima tahun saja sudah berhasil melatih ilmu Mit kip sin kang sampai tingkat keenam.

Seorang bocah berusia sepuluh tahun. Dialah Kongsun Hong yang memberi selamat kepadaku. Masih ada lagi seorang bocah perempuan berusia kruang dari empat tahun. Dia adlaah Hong ji.

Tia! Mereka mengatakan kau adalah ayahku. Aku bukan ayahmu! Aku bukan ayahmu! Kabut menyelimuti malam yang dingin. Gedung kecil itu dirayapi kesunyian.

Liong hong kek, itulah Liong hong kek!

Sen Man Cing dan Ci Siong berpelukan mengucapkan kata perpisahan.

Mereka masih berat satu sama lainnya.

Seseorang berdiri di antara gerombolan bunga. Pakaiannya sudah basah kuyup oleh embun pagi. Siapa dia?

Akulah orangnya! Akulah orangnya!

* * *

Semua kenangan itu berputaran di pelupuk matanya. Semua itu merupakan penderitaan. Penderitaan itu bagaikan ribuan jarum yang menusuk-nusuk hatinya, seakan menyusup sampai ke sukma Tok ku Bu ti.

Keingat bagai sumber air yang mengalir tidak hentinya. Matanya yang terpejam membuka kembali. Tiba-tiba dia membuak mulutnya dan mengeluarkan jeritan yang menyeramkan dan menyayat hati. Malam surah larut. Fajar tidak lama lagi akan menyingsing.

Kecuali para penjaga, seluruh penghuni Bu ti bun sedang lelap dalam mimpi. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara teriakan yang mengerikan tadi. Semuanya terbangun seketka. Para penjaga berhamburan dengan panik. Beramai-ramai mereka berlari ke arah asal suara, yaitu tempat menutup diri Tok ku Bu ti. Suara jeritan masih berkumandang. Sekali lagi, dua kali, terus menerus.

* * *

Setelah menjerit berulang kali, akhirnya Tok ku Bu ti bangkit berdiri. Sepasang telapak tangannya diulurkan ke depan.

Segulung angin yang menderu-deru menyelimuti ruangan itu. “Blesss!” Kobaran Api dalam tungku padam seketika.

* * *

Suara jeritan histeris tidak terdengar lagi. Diganti dengan derita pintu yang terbuka.

“Krek! Krek! Krek!”

Pintu ruangan di man Tok ku Bu ti menutup diri selama dua tahun tertarik naik perlahan-lahan. Ketua Bu ti bun itu berdiri di belakang pintu baru tersebut. Para murid Bu ti bun yang menunggu di luar pintu sejak mendengar jeritan histeris tadi langsung menjatuhkan diri berlutut.

“Wi tian wei toa, ju jit fang tiong!” teriak mereka serentak.

Kongsun Hong, Cian bin hud dan Tok Ku Hong bergegas maju menyambut. Baru kemudian beberapa langkah, mereka menghentikan kakinya. Dalam bayangan mereka, Tok ku Bu ti pasti akan melatih ilmu Mit kip sin kangnya sampai tingkat sembilan atau tingkat sepuluh baru kelaur dari ruangan tersebut, tentunya laki-laki itu semakin gagah dan perkasa.

Suara teriakan sudah sirap. Tapi Tok ku Bu ti yang baru keluar dari ruangan di mana dia menutup diri selama ini terlihat lesu dan lelah sekali. Wajahnya kuyu, lebih kurus daripada sebelum menutup diri. Juga tampangnya berubah jauh lebih tua. Tok ku Hong, Cian bin hud dan Kongsun Hong memandangnya dengan terbelalak.

Tok ku Bu ti tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengedarkan pandangannya dan menatap seluruh anggota Bu ti bun dengan datar. Kemudian dia berjalan menuju ruangan utama.

Tok ku Hong tidak dapat menahan dirinya lagi. “Tia…!” panggilnya sendu.

Mendengar suara itu, langkah kaki Tok ku Bu ti terhenti. Dia tidak menoleh tapi hanya mengibaskan tangannya. “Satu kentungan lagi kita berkumpul di ruangan pertemuan,” katanya datar. * * *

Lilin yang belum lama dinyalakan kini hanya tinggal separuhnya saja. Saat itu dua kentungan sudah berlalu sejak Tok ku Bu ti keluar dari ruangan di mana dia menutup diri.

Sekarang dia masih duduk di kursi tinggi di tengah-tengah ruangan dan mendengarkan laporan dari anak buahnya.

Di atas meja yang terletak di sampingnya terdapat beberapa macam makan kecil juga sebuah teko the lengkap dengan cangkirnya. Dia mendengarkan laporan dengan mata setengah terpejam. Kadang-kadang dia mengangkat cangkir the dan minum satu dua teguk. Kadang kala dia juga mengambil makanan kecil dan menyuapkannya ke dalam mulut. Terkadang alisnya berkerut, terkadang wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Tidak mudah menerka apa yang tersimpan dalam hati orang ini.

Bibirnya juga ada kalangan mengembangkan senyuman, namun tiba-tiba dia menarik nafas panjang danmenggelengkan kepalanya berkali-kali. Setelah keluar dari ruangan di mana dia menutup diri tadi, dia sempat kembali ke kamar untuk membasuh diri dan mengganti pakaian.

Kemudian dia beritirahat sejenak. Sekarang tampak Tok ku Bu ti bagai dua orang yang berlainan dengan sebelumnya.

Di dalam ruangan pertemuan itu telah berkumpul lima orang Tongcu dari bagian dalam dan luar. Dua orang hu hoat juga hadir di sana. Selain itu masiha da beberapa pelayan yang bertugas mengantarkan minuman dan makanan. Mereka berdiri di samping menunggu perintah. Bernafas pun tidak berani kuat-kuat.

Para hadirin juga hampir tidak menyentuh minuman dan makanan yang disediakan. Selain menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi selama Tok ku Bu ti menutup diri, hal lainnya tidak berani mereka ungkit sama sekali. Tok ku Hong pun hanya memperlihatkan sikap diam dan menundukkan kepala, hal mana belum pernah terlihat sebelumnya. Apalagi Kongsun Hong. Dia lebih-lebih tidak berani bergerak sama sekali.

Sampai Kongsun Hong menyelesaikan laporannya, Tok ku Bu ti baru menghela nafas berkali-kali. Dia mengangkat cangkirnya dan meminum beberaa teguk. Para hadirin lainnya juga mengangkat cangkir masing-masing dan mengikuti tindakan ketua mereka. Orang-orang itu seakan ingin meredakan ketegangan yang berlangsung dengan membasahi tenggorokan mereka.

Tok ku Bu ti meletakkan cangkirnya di atas meja kemudian mengambil sebatang pit lalu menulis beberapa huruf di atas sehelai kertas. Setelah agak lama dia baru membuka suara.

“Kalian semua mengira bocah bernama Wan Fei Yang itu yang membunuh Ci Siong to jin?”

Tanpa ragu lagi mereka semua menganggukkan kepalanya. Melihat semua itu, Tok ku Bu ti menggelengkan kepalanya sambil menarik nafas panjang. Dia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan ke tengah ruangan.

“Han ciang tiau siu yang merupakan hu hoat dari perguruan kita mati di bawah tangan ‘hujan’ yang merupakan kelompok Angin, Kilat, Geledek dan Hujan dari Pit lok cik. Padahal waktu itu, Hujan sedang mengadakan pertemuan dengan Manusia tanpa wajah. Toko obat itu sudah dapat dipastikan merupakan tempat rahasia di mana mereka mengadakan pertemuan.

Wanita yang mengamar sebagai ibu Fu Giok Sujuga terdiri dari oprang-orang mereka. Dari hal ini, kita dapat membuktikan bahwa Fu Giok Su adalah orang dari Siau yau kok yang merupakan pelarian anggota Pit lok cik.

Terbunuhnya seluruh keluarga bocah itu hanya sebuah tipuan saja. Tujuannya tentu untuk mendapat kepercayaan CI Siong to jin agar dia dibawa ke Bu tong san dan mencuri ilmu Bu tong liok kiat, sekaligus mencari kesempatan untuk membebaskan Thian ti yang terkurung dalam telaga dingin,” kata Tok ku Bu ti sambil mendongakkan kepalanya ke atas.

Para hadirin menganggukkan kepalanya serentak.

“Menurut berita yang berhasil diselidiki orang-orang kita,” kata Tok ku Bu ti selanjutnya. “Wan Fei Yang justru dibawa oleh Ci Siong to jin ke Bu tong san sejak kecil. Sejak itu dia bekerja serabutan di sana. Sanggup atau tidaknya dia membunuh Ci Siong to jin adalah persoalan lain. Yang jadi masalah, seandainya Pit lok cik sudah menyusupkan orang ini ke Bu tong san, maka mereka tidak perlu sekian tahun baru memasukkan seorang Fu Giok SU lagi ke sana. Setelah peristiwa beruntun terjadi dan rahasia Wan Fei Yang terbongkar, Fu Giok Su juga tidak turun tangan membantu.

Kalau dugaanku tidak salah, terbunuhnya Ci Siong to jin dan kemudian Wan Fei Yang yang dituduh, semuanya merupakan akal licik Fu Giok Su.” 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar