Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 339

Buku 339

Ki Wurcitra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Entahlah.”

Mata Nyi Citra Jati itu pun kemudian menjadi redup.

“Sudahlah. Silahkan beristirahat.”

Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pun kemudian dipersilahkan tidur di sentong sebelah kiri. Sementara Ki Wurcitra sendiri di sentong sebelah kanan. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan tidur di amben yang besar di ruang dalam.

“Maaf, Ngger. Tidak ada tempat yang lebih baik bagi kalian berdua.”

“Tempat ini sudah cukup baik bagi kami, Uwa,” sahut Glagah Putih.

Demikianlah, maka sejenak kemudian rumah itu menjadi sepi. Glagah Putih dan Rara Wulan berbaring menepi di sebuah amben bambu yang agak besar.

“Tidurlah,” bisik Glagah Putih.

“Bagaimana dengan Kakang?”

“Aku juga akan tidur. Tetapi biarlah nanti sebentar. Kita tidak tahu, apakah Srini akan kembali atau tidak. Kita tidak boleh menjadi lengah.”

“Baiklah, Kakang. Nanti biarlah gantian. Di dini hari, bangunkan aku, jika aku tidak terbangun sendiri.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun meskipun ia juga berbaring, tetapi matanya tidak terpejam. Sementara itu, Rara Wulan pun telah tertidur. Nafasnya mengalir dengan irama yang ajeg. Glagah Putih sendiri tetap bertahan untuk tidak tidur. Ia merasa berada di tempat yang berbahaya. Setiap saat, kesulitan akan dapat saja datang. Namun telinga Glagah Putih yang tajam juga mendengar setiap kali Ki Citra Jati berdesah. Agaknya Ki Citra Jati juga tidak tidur di dalam biliknya.

Malam pun kemudian berlalu dengan lamban. Suara derik belalang di kebun belakang terdengar semakin jelas. Sayap kelelawar yang mengepak di pohon sawo di sebelah rumah terdengar beruntun berurutan. Agaknya ada beberapa ekor kelelawar yang sedang mencari sawo yang sudah matang.

Sekali-sekali terdengar sawo terjatuh lepas dari genggaman seekor kelelawar.

Di dini hari, ternyata tanpa dibangunkan Rara Wulan telah terbangun sendiri. Sambil mengusap matanya ia pun berdesis, “Kau belum tidur Kakang?”

“Tidurlah,” desis Glagah Putih.

“Aku sudah tidur terlalu lama. Kau saja-lah yang tidur sekarang. Masih ada waktu sedikit, daripada sama sekali tidak tidur, Kakang.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Ia mendengar suara Ki Wurcitra batuk-batuk kecil.

Dengan demikian Glagah Putih pun mengetahui bahwa Ki Wurcitra sudah bangun pula. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih menjadi lebih tenang.

Glagah Putih memang sempat tidur sejenak. Namun ketika terdengar ayam jantan berkokok menjelang fajar, maka Glagah Putih pun telah terbangun.

Berdua bersama Rara Wulan keduanya pergi ke dapur. Menyalakan api dan merebus air untuk membuat wedang jahe. Rara Wulan sudah tahu, dimana jahe dan gula kelapanya disimpan, sehingga Rara Wulan pun tidak perlu menunggu Ki Wurcitra.

Demikian Rara Wulan meletakkan kendil tembaga di atas api, maka ia pun berpesan kepada Glagah Putih untuk menunggui agar apinya tidak padam.

“Aku akan mandi,” berkata Rara Wulan, “nanti gantian. Kau mandi, aku menyiapkan minum untuk Ki Wurcitra, Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.”

Demikianlah, ketika langit masih gelap, Rara Wulan pun pergi ke pakiwan untuk mandi. Sementara itu, setiap kali, Glagah Putih berdiri di pintu dapur, sambil mengawasi pakiwan yang berada di sebelah sumur.

Bagaimanapun juga, bahaya masih belum lewat. Mungkin saja dengan tiba-tiba Srini dan suaminya menyerang. Namun beberapa saat kemudian, Rara Wulan pun selesai mandi dan berlari-lari kecil ke dapur.

“Mandilah. Tetapi Kakang harus mengisi jambangan. Airnya hampir habis.”

Sejenak kemudian terdengar senggot timba berderit. Glagah Putih sibuk mengisi jambangan pakiwan sebelum mandi. Tetapi setelah mandi, maka Glagah Putih pun telah mengisi lagi jambangan di pakiwan itu sehingga penuh.

Setelah selesai mandi, maka Glagah Putih pun kembali ke dapur. Namun ketika ia masuk ke dapur, ia melihat Nyi Citra Jati sudah berada di dapur, berjongkok menunggui api agar tetap menyala, sementara Rara Wulan menyiapkan mangkuk-mangkuk untuk menuang minuman, yang akan dapat menghangatkan tubuh mereka di dinginnya pagi hari.

“Bibi sudah bangun,” desis Glagah Putih.

Namun terdengar Nyi Citra Jati menyahut, “Panggil aku Ibu.”

“O,” Glagah Putih tertegun. Lalu katanya, “Baik, Ibu.”

Nyi Citra Jati itu pun kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Aku akan menanak nasi.”

Rara Wulan itu pun menyahut, “Biarlah aku cuci berasnya, Ibu, Aku akan membawa minuman ini sebentar ke ruang dalam.”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Anak ini memang anak yang rajin. Tanggap dan cekatan. Ia akan dapat menjadi seorang murid yang sangat baik. Beruntunglah orang tuanya serta gurunya, yang telah mengasuhnya lebih dahulu.”

Namun Glagah Putih-lah yang kemudian berkata kepada Rara Wulan, “Biarlah aku membawa minuman itu ke dalam. Kau dapat mencuci beras dan menanaknya sekali.”

Ketika kemudian Glagah Putih membawa mangkuk-mangkuk minuman itu ke dalam dengan sebuah nampan kayu. maka Nyi Citra Jati pun berkata, “Wulan, kita akan makan pagi lebih dahulu sebelum berangkat.”

“Ya, Ibu,” desis Rara Wulan.

Dengan cekatan Rara Wulan pun kemudian mencuci beras dan kemudian menanaknya.

“Silahkan Ibu minum bersama Ayah dan Uwa Wurcitra,” berkata Glagah Putih yang telah meletakkan minuman panas di ruang dalam.

Nyi Citra Jati tersenyum. Katanya, “Biarlah aku di dapur saja, Glagah Putih.”

“Tetapi mangkuk minuman buat Ibu sudah aku bawa ke dalam. Ayah dan Uwa juga sudah duduk di ruang dalam.”

“Aku akan membuat lauknya. Biarlah Wulan menyiapkan nasinya.”

“Atau Ibu akan mandi?”

“Nanti sebentar, Glagah Putih.”

Glagah Putih tidak mendesaknya. Sementara itu Nyi Citra Jati pun telah mengambil beberapa butir telur ayam di dalam gledeg.

Ketika matahari terbit, Ki Wurcitra, Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati Glagah Putih dan Rara Wulan pun duduk di amben di ruang dalam. Mereka telah selesai makan pagi, sementara Ki Citra Jati telah minta diri pula kepada Ki Wurcitra.

“Apa boleh buat,” berkata Ki Wurcitra, “aku tidak dapat menahan kalian lebih lama lagi. Silahkan. Tetapi aku minta kalian sering datang kemari.”

“Ya,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk, “setelah kita sama-sama tua, maka kita pun merasa perlu untuk saling berkunjung. Tetapi bukan kami saja yang datang mengunjungimu. Aku juga berharap kau datang mengunjungi aku.”

“Tentu. Kapan-kapan aku akan datang ke rumahmu.”

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan halaman rumah Ki Wurcitra. Ki Wurcitra yang melepas tamunya di regol halaman itu kemudian telah duduk merenung di sebuah lincak panjang di serambi rumahnya.

“Sepinya,” desis Ki Wurcitra.

Sepeninggal istrinya. Ki Wurcitra memang merasa sangat kesepian. la tidak dapat memaksa salah seorang anaknya tinggal bersamanya, karena mereka sudah berkeluarga. Mereka tentu ingin mengembangkan hidup mereka sebagai keluarga yang mandiri. Tetapi sebaliknya, Ki Wurcitra pun tidak dapat tinggal bersama salah seorang anaknya. Ia tidak dapat meninggalkan rumah yang telah dihuninya sejak kanak-kanak. Apalagi setelah istrinya meninggal. Jika ia meninggalkan rumah itu, rasa-rasanya ia telah meninggalkan istrinya seorang diri. Ki Wurcitra menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Ki Citra Jati Nyi Citra Jati bersama Glagah Putih dan Rara Wulan telah berjalan semakin jauh. Mereka mulai memasuki bulak-bulak yang tanahnya terhitung kurang subur. Tanaman palawija yang daunnya kekuning-kuningan tidak dapat memberikan buah yang cukup.

“Keadaan ini sulit untuk diatasi,” berkata Ki Citra Jati, “kesulitan penghidupan di sini bukan karena kemalasan orang-orangnya. Tetapi alam di lingkungan ini memang kurang bersahabat dengan penghuninya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Tidak terlalu jauh dari jalan yang mereka lalui, memang nampak hutan belukar di atas bukit-bukit kecil yang berbatu padas berwarna keputih-putihan. Tetapi hutan pun nampak gersang dan kering.

“Lingkungan padukuhanku pun gersang seperti ini, Ngger” berkata Nyi Citra Jati, “beruntunglah bahwa ada sebagian dari tanah garapan kami yang lebih basah dari yang lain, meskipun hanya dapat ditanami di musim basah.”

“Tadah udan,” sambung Ki Citra Jati.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih mengangguk-angguk. Namun kemudian Glagah Putih pun bertanya, “Apakah tidak dapat dibuat bendungan untuk menaikkan air dari sungai?”

“Ada beberapa sungai disini, Ngger. Tetapi kau lihat daerah yang berbukit-bukit ini. Sulit untuk menyalurkan air. Apalagi di tanah yang letaknya agak tinggi. Sementara itu, tanahnya memang berbatu padas dan berkapur, sehingga menjadi tandus,” jawab Ki Citra Jati.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk angguk. Sementara itu Nyi Citra Jati pun berkata, “Tetapi tanah ini adalah tanah leluhur, Ngger.”

Glagah Putih mendengarkan keterangan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu dengan sungguh-sungguh. Dengan nada rendah ia pun menyahut, “Jadi, maksud Ayah, penghuni daerah ini tidak dapat meninggalkan daerahnya untuk mencari lingkungan baru yang lebih baik?”

“Ya,” Ki Citra Jati mengangguk-angguk, “rasa-rasanya kita sudah terikat dengan tanah yang gersang ini. Jika kita pergi, rasa-rasanya kita melarikan diri dari lingkungan kita.”

“Apakah mencari kemungkinan yang lebih baik itu dapat disebut melarikan diri dari kesulitan?”

“Tidak. Kami tahu bahwa kita sah saja mencari lingkungan baru yang lebih baik. Itu sama sekali tidak berarti melarikan diri. Justru dengan demikian kita adalah seseorang yang berani melihat kenyataan. Tetapi yang terasa berat, sebagaimana dikatakan oleh Ki Wurcitra, kenapa ia tidak dapat meninggalkan rumahnya, karena seakan-akan ia meninggalkan istrinya dalam kesendirian. Demikian pula kita, Ngger. Jika kita pergi, rasa-rasanya kita meninggalkan, ayah kita, ibu kita, sanak kadang kita yang sudah tidak ada itu, dalam kesendirian dan ketidak-berdayaan mereka.”

“Apakah kita harus terikat kepada perasaan yang tidak seimbang dengan penalaran itu, Ayah?”

“Itulah masalahnya. Penghuni daerah ini masih belum dapat mencari keseimbangan antara perasaan dan penalaran. Kami lebih senang bekerja keras serta dalam keadaan kekurangan tetapi berada di tanah warisan, daripada mencari kemungkinan baru di daerah asing, sehingga kami tidak lagi pada saat-saat tertentu mengunjungi dan mengenang orang-orang yang menjadi lantaran kehadiran kami, yang sudah tidak ada lagi dan terkubur di sekitar kampung halaman kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Ki Citra Jati berkata lebih lanjut, “Glagah Putih. Kau lihat orang-orang itu sedang mengisi sebuah lekuk di batu padas dengan tanah, agar lekuk itu dapat ditanami? Demikian pula yang dilakukan oleh orang lain. Jika sekali-sekali hujan deras turun dan menghanyutkan tanah di lekuk batu padas itu, maka pada kesempatan lain, mereka akan menambahkan lagi tanah di dalam lekuk itu. Dengan demikian, maka daerah yang tandus, kering dan keras ini, pada musim basah kelihatan sedikit hijau oleh tanaman-tanaman di lekuk batu padas yang telah diisi dengan tanah itu.”

“Satu perjuangan hidup yang berat,” desis Rara Wulan.

“Ya. Kekerasan alam yang kurang bersahabat itulah yang menjadikan penghuni daerah ini menjadi orang-orang yang ulet. Beberapa orang yang berani meninggalkan daerah ini, ternyata dapat berhasil mendapatkan kehidupan yang baik di rantau.”

“Jadi ada juga yang pergi mencari kehidupan di daerah lain, yang justru dapat berhasil?”

“Mula-mula hanya satu dua. Tetapi kemudian ada juga beberapa orang yang lain, yang kebanyakan adalah orang-orang mudanya. Kekerasan alam di daerah asalnya membekali mereka dengan kemauan kerja yang tinggi, ulet dan tidak kenal menyerah.”

“Mereka adalah pembuka-pembuka jalan bagi masa depan.”

“Ya. Mudah-mudahan jejak mereka diikuti oleh anak-anak muda yang lain. Tetapi sudah tentu bahwa tanah warisan ini tidak boleh menjadi kosong.”

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi dan memanjat sampai ke puncak langit, maka Ki Citra Jati pun berkata, “Padukuhan kami sudah tidak terlalu jauh lagi.”

“Ya, Ayah,” desis Glagah Putih.

Sementara itu, panasnya matahari seakan-akan telah memanggang tubuh. Mata mereka menjadi silau oleh cahaya matahari yang memantul.

“Kekerasan lingkungan ini juga melahirkan anak-anak yang tidak diharapkan,” berkata Nyi Citra Jati.

“Maksud Ibu?”

“Ada satu dua orang yang malas telah memilih jalan pintas untuk menghidupi keluarganya. Di samping kerja keras untuk menggarap tanah yang sedikit dan kering itu, mereka juga melakukan tindakan-tindakan yang kurang terpuji. Mereka sampai hati berusaha memiliki yang seharusnya bukan miliknya. Kadang kadang memakai kekerasan. Orang-orang yang lewat di jalan-jalan yang sepi telah mereka hampiri, dan memaksa mereka untuk menyerahkan apa saja yang mereka bawa.”

“Menyamun, maksud Ibu?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya. Terus terang aku katakan, bahwa jalan yang kita lewati ini adalah jalan yang rawan. Karena itu kau lihat, tidak ada orang yang berjalan lewat jalan ini jika tidak terpaksa, atau karena orang itu tidak tahu bahwa jalan ini sebaiknya tidak dilalui.”

“Tetapi kita memilih jalan ini.”

“Kita dapat saja memilih jalan lain, tetapi jaraknya menjadi berlipat. Sementara itu, kita tidak mempunyai apa-apa yang berharga yang dapat memancing tindak kejahatan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun Nyi Citra Jati itu pun berdesah ketika ia melihat seseorang di kejauhan yang berjalan dengan tergesa-gesa menghilang di balik bukit kecil.

“Ada apa, Ibu?”

“Mudah-mudahan tidak ada apa-apa, Ngger.”

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan melihat kerut di dahi Nyi Citra Jati. Ia masih saja memandangi arah orang yang menghilang di balik bukit itu.

Ki Citra Jati-lah yang kemudian berkata, “Mudah-mudahan mereka bukan orang-orang yang baru saja kita bicarakan. Anak-anak daerah ini yang tidak diharapkan lahir itu, Ngger.”

“Maksud Ayah, para penyamun itu?”

“Itulah yang dicemaskan oleh bibimu. Jika salah seorang dari mereka melihat orang lewat, meskipun semula mereka bekerja di sawah, mereka pun akan segera memanggil kawan-kawan mereka. ”

“Aku kasihan kepada mereka, Ngger,” desis Nyi Citra Jati kemudian, “kenapa otak mereka masih saja dikotori dengan niat yang jahat itu. Tetapi jangan salah paham, Glagah Putih dan Rara Wulan. Tidak semua orang yang tinggal di daerah ini melakukan perbuatan tercela itu. Justru sebagian besar dari rakyat di daerah ini menyesali perbuatan mereka. Tetapi tidak ada yang berani mencegahnya. Bahkan Ki Demang dan para bekel juga tidak berani. Sehingga dengan demikian, rakyat di daerah ini merasa sangat terganggu oleh kehadiran mereka.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk saja.

“Tetapi mudah-mudahan yang kita lihat bukanlah salah seorang di antara mereka.”

Adalah di luar sadarnya, bahwa mereka berjalan agak lebih cepat. Mereka menyusuri jalan bulak kering yang panjang. Di sebelah-menyebelah jalan terdapat gumuk-gumuk kecil. Tebing-tebing rendah dan lekuk-lekuk yang landai. Tidak terlalu jauh, masih nampak hutan yang nampak gersang dengan pepohonan yang daunnya berwarna kekuning-kuningan. Namun di sana-sini nampak pula gumuk-gumuk yang gundul, yang hanya ditumbuhi beberapa gerumbul perdu yang hanya mempunyai beberapa lembar daun.

Ketika mereka berempat berjalan di sebelah lekuk bukit kecil dan berbelok ke kiri, mereka pun tertegun. Tiba-tiba saja mereka melihat beberapa orang berdiri termangu-mangu di sebelah-menyebelah jalan.

“Begitu cepatnya mereka mendapatkan kawan,” desis Nyi Citra Jati.

“Sekitar sepuluh orang,” desis Ki Citra Jati, “mudah-mudahan di antara mereka ada yang sudah mengenal kita.”

“Kita bukan orang-orang terkenal, Kakang,” desis Nyi Citra Jati.

“Kalau saja.”

Orang-orang yang berdiri di sebelah-menyebelah jalan itu masih tidak beranjak dari tempat mereka. Mereka seakan-akan tidak menghiraukan keempat orang yang muncul dari balik tikungan dan berjalan ke arah mereka itu.

Keempat orang itu memang menjadi berdebar-debar. Orang-orang yang berdiri di sebelah-menyebelah jalan itu semuanya membawa senjata. Ada yang membawa palang. Ada yang membawa tombak pendek Ada yang membawa bindi, dan berbagai jenis senjata yang lain.

“Mereka adalah orang-orang yang aku maksud, Ngger,” berkata Nyi Citra Jati.

“Siapakah yang telah mempengaruhi mereka, Ibu? Bukankah pada dasarnya orang-orang di lingkungan ini bukan orang jahat?”

“Ya. Pada dasarnya orang-orang di daerah ini bukan orang jahat. Menurut cerita, kuburan tua di bawah randu alas yang tidak terlalu jauh dari padukuhan yang akan kita lewati nanti, adalah kuburan seorang gegedug yang melarikan diri setelah ia dikalahkan oleh seorang senapati dari Demak, di saat-saat terakhir kerajaan Demak. Nah, pengaruh buruk itulah yang dibawanya. Ilmunya yang tinggi serta pangewan-ewan yang dibuatnya, berhasil mempengaruhi beberapa orang yang jiwanya rapuh. Akhirnya di daerah ini lahir sebuah kelompok yang tercela itu.”

“Jadi gegedug itu sendiri sudah meninggal?”

Ya. Tetapi anaknya yang sulung masih ada. Dua orang cucunya juga terlibat. Selebihnya adalah orang-orang yang berada di bawah pegaruh buruk mereka. Mereka-lah yang dimaksud dengan anak-anak daerah ini yang tidak diharapkan lahir.”

“Mereka memang pantas dikasihani,” desis Glagah Putih.

“Ya. Mereka memang pantas dikasihani,” sahut Ki Citra Jati.

Nyi Citra Jati itu pun kemudian berdesis, “Kami sudah berpuluh tahun tinggal di padukuhan kami, tidak pernah menjumpai mereka seperti hari ini. Pada saat-saat kami dengan sengaja mencari mereka, mereka tidak menampakkan dirinya. Tetapi tiba-tiba sekarang kami harus berhadapan dengan mereka, justru pada saat kami tidak menginginkannya.”

“Nyi,” berkata Ki Citra Jati, “jika demikian, kenapa kita tidak memanfaatkan saja pertemuan ini?”

“Kita hanya berempat, Kakang. Jika kita mempunyai banyak kawan seperti pada saat kita sengaja mencari mereka, maka kita akan dapat mengatasi mereka dan menangkap mereka untuk dapat berbicara dengan mereka. Tetapi jika kita hanya berempat, aku cemas bahwa ada di antara kita yang terpaksa harus menghentikan perlawanan mereka di luar kendali.”

“Jika karena tidak ada pilihan, ada di antara mereka yang terbunuh, apa boleh buat, Nyi. Tentu bukan salah kita. Tetapi niat kita tidak membunuh mereka. Kita ingin berbicara dengan mereka.”

Nyi Citra Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka dapat diajak berbicara. Kita hanya dapat berharap, karena kita tidak membawa anak-anak kita untuk memaksa mereka tanpa harus jatuh korban. Tetapi berempat, kita berada dalam keadaan yang berbeda.”

Ki Citra Jati tidak menjawab lagi. Jarak mereka tinggal beberapa langkah. Sementara orang-orang itu nampaknya masih tidak peduli terhadap kehadiran Ki Citra Jati berempat.

Namun ketika keempat orang itu berada dua langkah saja dari orang-orang yang berdiri di sebelah-menyebelah jalan itu, seorang di antara mereka pun melangkah ke tengah-tengah jalan. Seorang yang bertubuh tinggi, berdada lebar dan berkumis tebal.

“Kalian akan pergi kemana, Ki Sanak?” bertanya orang bertubuh raksasa itu.

“Kau-kah anak gegedug yang terkenal, yang dikubur di kuburan tua

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

tetapi setiap orang yang lewat di jalan ini lurus membayar pajak.”

“Berapakah pajak yang harus kami bayar?” bertanya Ki Citra Jati.

“Tidak banyak, Ki Sanak. Pajak yang kalian bayar hanya sebesar semua uang dan harta benda yang kau bawa.”

“Baiklah, Ki Sanak,” jawab Ki Citra Jati, “aku akan menyerahkan semua uang dan harta yang kami bawa. Tetapi aku minta sedikit waktu untuk berbicara dengan kalian.”

“Berbicara?”

“Ya. Kita akan berbicara beberapa lama. Setelah itu, kalian dapat mengambil apa yang kalian kehendaki dari kami.”

“Kalian akan berbicara apa?”

“Berjanjilah bahwa kita akan berbicara sampai selesai. Kita tidak akan memutuskan di tengah jalan.”

“Cepat, berbicaralah.”

“Maksudku bukan begitu. Maksudku bukan sekedar aku berbicara panjang lebar. Tetapi marilah kita berbincang. Aku bertanya, kalian menjawab. Sebaliknya jika kalian ingin bertanya, maka kami akan menjawab.”

“Jika kalian ingin berbicara, berbicaralah. Jika kalian ingin bertanya, bertanyalah. Cepat! Kami tidak mempunyai banyak waktu.”

“Baiklah,” desis Ki Citra Jati. Lalu katanya, “Pertanyaanku pertama-tama kami tujukan kepada beberapa orang padukuhan Punjul yang ada di antara kalian.”

Orang bertubuh raksasa itu mengerutkan dahinya. Sementara Ki Citra Jati pun bertanya kepada orang-orang padukuhan Punjul, “Sanak dari padukuhan Punjul. Sejak kapan kalian terpengaruh untuk ikut serta dalam perbuatan yang terkutuk ini? Bukankah orang tua kalian, kakek dan nenek kalian, bukan keturunan penyamun dan perampok? Meskipun lingkungan kita, termasuk padukuhanku, padukuhan Karangwuni, adalah padukuhan yang kering dan tandus, tetapi kita bukan keturunan orang-orang jahat.”

“Cukup!” bentak orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu.

“Nanti dulu,” berkata Ki Citra Jati, “kami baru mulai. Masih ada beberapa pertanyaan yang akan kami lontarkan.”

“Tidak! Aku tidak senang mendengarkan pertanyaanmu.”

“Kenapa, Ki Sanak? Mungkin kau dan barangkali orang yang kau sebut kakang itu tidak mempunyai masalah apa-apa. Tetapi tidak demikian dengan orang-orang padukuhan Punjul.”

Orang bertubuh tinggi itu pun berteriak, “Diam kau, kakek tua!”

“Bukankah kita sudah sepakat? Kami akan membayar pajak yang akan kalian pungut. Tetapi kita akan berbincang sampai tuntas.”

“Tidak! Tidak ada kesempatan untuk berbincang. Sekarang serahkan semua yang kalian punya.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Sayang sekali, bahwa pada saat-saat terakhir padukuhan Punjul terkenal sebagai sarang penyamun dan perampok. Sejak gegedug yang dikubur di kuburan tua itu tinggal di padukuhan Punjul, maka Punjul sudah berubah.”

“Diam kau, kakek! Atau kami akan menyumbat mulutmu dengan landean tombak ini?”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Jadi kau menjadi ketakutan mendengar pertanyaanku kepada orang-orang padukuhan Punjul? Kau memang tinggal di Punjul sekarang, sebagai keturunan gegedug yang dikubur di kuburan tua itu. Tetapi kau bukan orang padukuhan Punjul.”

“Diam! Diam kau!” teriak orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu. “Sekarang berikan semua milik kalian!”

“Bukankah kau tadi yang mengatakan bahwa kami akan mendapat perlindungan?”

“Ya. Kami sudah melindungi kalian sehingga kalian sampai di sini dengan selamat. Sekarang, bayar pajak itu. Cepat!”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Sanak. Bukankah kalian melihat bahwa kedua orang anakku ini membawa pedang di lambungnya? Kau tentu dapat menduga, apa artinya.”

“Setan tua. Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa kedua orang anakmu itu akan melawan?”

“Ya. Buat apa ia membawa pedang di lambung, jika mereka tidak berusaha mempertahankan hak mereka?”

“Tidak ada gunanya, kakek tua. Apalagi kau sudah berjanji bahwa kau akan menyerahkan semua milik kalian yang kami kehendaki. Bahkan selain harta kalian, agaknya aku juga menginginkan anak perempuanmu.”

Tetapi orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu terkejut, ketika justru Rara Wulan menyahut, “Kau menginginkan aku?”

Justru karena itu, maka orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu termangu-mangu sesaat.

Kakaknya yang tertubuh raksasa itu-lah yang menggeram, “Aku bersungguh-sungguh sekarang. Sekarang serahkan harta benda yang kalian bawa!”

“Kalian-lah yang lelah melanggar perjanjian,” berkata Ki Citra Jati.

“Tidak ada perjanjian. Serahkan semua harta benda kalian. Sekarang!”

Tetapi Ki Citra Jati seperti tidak mendengarnya. la pun masih saja berbicara kepada orang-orang Punjul. “Nah, renungkan, saudara-saudaraku dari padukuhan Punjul. Apakah kalian akan membiarkan saja nama padukuhan kalian tercemar untuk seterusnya? Tidakkah ada usaha kalian untuk mengembalikan nama baik padukuhan Punjul seperti padukuhan-padukuhan lain? Seperti padukuhanku, Karangwuni misalnya.”

“Cukup!” orang yang bertubuh raksasa itu berteriak. Pedangnya yang besar itu pun segera tergetar di tangannya

“Belum, Ki Sanak. Belum cukup.”

Tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berteriak, “Kepung mereka! Jangan biarkan seorang pun di antara mereka yang lolos.”

Orang-orang yang semula berdiri di sebelah-menyebelah jalan itu pun dengan cepat bergerak. Mereka berlari-larian mengepung keempat orang yang melewati jalan yang sepi itu.

Namun sikap keempat orang itu telah memberikan peringatan kepada orang-orang yang mencegatnya itu, bahwa mereka bukan orang kebanyakan. Bahwa mereka sama sekali tidak menjadi ketakutan, merupakan pertanda bahwa keempat orang itu memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan mereka.

Karena itu, maka orang yang bertubuh raksasa itu pun telah memperingatkan kawan-kawannya, “Hati-hati dengan orang-orang yang sombong ini. Mereka merasa diri mereka memiliki ilmu yang tinggi, yang mampu mengatasi kita semuanya. Karena itu, kita harus membuktikan bahwa kita adalah sekelompok Ajag Gumuk Putih yang tidak terkalahkan. Siapa yang berani menentang kemauan kita, akan kita binasakan. Mereka akan berkubur di bawah batu-batu padas gumuk ini.”

Tetapi Ki Citra Jati justru tertawa. Katanya, “Jangan mencoba menakut-nakuti kami, Ki Sanak. Tetapi sekali lagi aku ingin memperingatkan, bahwa kita adalah tetangga dekat. Kami tinggal di Karangwuni, hanya sekitar satu setengah sampai dua ribu langkah dari sini. Jika kalian tidak percaya, kami ingin mempersilahkan kalian untuk singgah. Terutama saudara-saudara yang memang penghuni padukuhan Punjul sejak turun-temurun.”

“Diam!” teriak orang bertubuh raksasa itu, “Masih ada kesempatan sampai hitungan ke-sepuluh. Jika kalian tidak menyerahkan semua milik kalian, maka kalian akan mati.”

Ketika orang bertubuh raksasa itu mulai menghitung, tiba-tiba saja Rara Wulan berkata kepada orang yang berdiri agak jauh di belakangnya. “Mendekatlah, Ki Sanak. Nanti aku melarikan diri.”

Orang yang berdiri di belakang Rara Wulan itu justru terkejut. Ia tidak mengira bahwa Rara Wulan itu akan berkata seperti itu kepadanya.

Bahkan bukan hanya orang yang berdiri di belakang Rara Wulan itu saja. Tetapi semua orang yang mengepung keempat orang yang akan lewat itu. Bahkan orang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berteriak, “Kalian terlalu meremehkan kami. Kalian akan sangat menyesal. Kami akan memperlakukan kalian dengan cara yang paling buruk dari yang pernah kami lakukan terhadap orang-orang yang lewat di jalan ini.”

Namun Ki Citra Jati pun menyahut, “Jangan berkata begitu, Ki Sanak. Kau telah mengajari anakku, bagaimana ia harus berbuat terhadap kalian. Jika kau ingin memperlakukan kami dengan cara yang sangat buruk, maka anak-anakku akan berbuat yang sama atas kalian.”

Telinga orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu bagaikan tersentuh api. Sebagai anak dan sekaligus murid utama bersama kakaknya, dari seorang gegedug yang ditakuti, orang itu benar-benar merasa direndahkan. Karena itu, maka ia pun segera berteriak, “Cepat! Bunuh keempat orang itu tanpa ampun! Mereka sudah menghina kita semuanya dengan cara yang sangat menyakitkan hati.”

Namun Ki Citra Jati masih menyahut dengan nada suara tinggi, mengatasi suara anak gegedug itu. “Apakah kalian, orang-orang padukuhan Punjul juga akan ikut?”

“Persetan kau!” Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu tidak menunggu lagi. Ia pun segera menyerang Ki Citra Jati dengan tombak pendeknya.

“Tangkas juga orang ini,” desis Ki Citra Jati.

Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi besar itu telah meloncat menyerang Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih pun telah bersiap. Ketika pedang anak gegedug itu terayun, maka dengan tangkasnya Glagah Putih pun meloncat menghindar. Namun lawannya tidak sempat memburunya. Ketika orang itu siap untuk meloncat, justru Glagah Putih telah mendahuluinya, melenting sambil menjulurkan pedangnya ke arah lambung.

Orang itu terkejut. Tetapi ia masih sempat menangkis serangan Glagah Putih itu dengan menepis ke samping. Tetapi pedang Glagah Putih itu dengan cepat pula menggeliat menyambar ke arah dada. Hampir saja ujung pedang Glagah Putih itu meninggalkan goresan luka di dada lawannya yang bertubuh raksasa itu.

Tetapi orang itu sempat menarik tubuhnya ke belakang, sehingga ujung pedang Glagah Putih itu hanya sempat menyentuh bajunya saja.

Orang yang bertubuh tinggi besar itu segera meloncat mengambil jarak. Kecepatan gerak lawannya yang masih muda itu sangat mengejutkannya.

Glagah Putih tidak memburunya Tetapi ia sempat memperhatikan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan yang telah bersiap pula menghadapi lawan-lawan mereka. Justru mereka harus menghadapi lawan yang jauh lebih banyak.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak ingin membiarkannya. Mungkin tidak ada masalah bagi Nyi Citra Jati. Tetapi Rara Wulan akan dapat mengalami kesulitan menghadapi lawan yang demikian banyaknya.

Dengan cepat Glagah Putih pun segera menyerang lawannya, orang yang bertubuh tinggi dan besar itu. Pedangnya berputaran dengan cepat sekali di seputar tubuh lawannya. Orang yang bertubuh tinggi besar itu menggeram. Dihentakkannya tenaganya sambil mengayunkan pedangnya ke arah leher Glagah Putih.

Glagah Putih tidak meloncat menghindar. Tetapi Glagah Putih telah menangkis serangan itu.

Telah terjadi sebuah benturan yang keras. Orang bertubuh tinggi besar itu tidak mengira, bahwa kekuatan lawannya mampu mengimbangi kekuatannya. Bahkan ketika benturan itu terjadi, terasa tangannya bergetar dan telapak tangannya menjadi pedih.

Sementara itu, Glagah Putih telah meloncat menyerangnya dengan pedang terjulur. Demikian cepatnya sehingga orang bertubuh tinggi besar, anak gegedug yang dikubur di kuburan tua itu, tidak sempat mengelak. Meskipun ia berusaha menangkis serangan Glagah Putih, tetapi ujung pedang Glagah Putih masih sempat menggapai bahunya, sehingga sebuah luka telah menganga.

Orang yang bertubuh tinggi besar itu mengumpat kasar. Bahkan kemudian terdengar orang itu meneriakkan sebuah isyarat.

Glagah Putih sudah menduga, bahwa isyarat itu diberikan kepada kawan-kawannya. Agaknya ia telah minta satu atau dua kawannya untuk membantunya.

Sebenarnyalah dua orang di antara mereka yang bertempur melawan Nyi Citra Jati dan Rara Wulan pun telah berlari-lari bergabung dengan orang yang bertubuh tinggi besar. Sementara itu, ternyata orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu juga memberikan isyarat yang sama. Ia pun memerlukan dua orang kawan untuk bertempur melawan Ki Citra Jati.

Dengan demikian, keseimbangan pertempuran segera berubah. Nyi Citra Jati dan Rara Wulan tidak lagi harus bertempur dengan lawan yang terlalu banyak, sehingga dengan demikian mereka tidak lagi mengalami banyak kesulitan.

Pertempuran itu tidak berlangsung lama. Orang-orang yang mencoba menyamun itu telah terbentur pada satu kekuatan yang tidak mereka duga sebelumnya. Tanpa banyak kesulitan, maka Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati, Glagah Putih dan Rara Wulan segera menguasai lawan-lawan mereka.

Kecuali dua orang anak gegedug yang dikubur di kuburan tua itu, sekelompok penyamun itu sama sekati tidak mampu memberikan perlawanan yang berarti.

“Nah,” berkata Ki Citra Jati, “kalian harus melihat kenyataan ini. Kalian tidak akan dapat memaksa kami untuk membayar pajak. Apalagi dengan semua uang dan harta benda yang kami bawa. Sedangkan sekeping pun kami tidak akan memberikan.”

Namun anak gegedug yang bertubuh kekar itu masih berteriak, “Kami akan membunuh kalian berempat!”

“Jangan berpura-pura lagi. Aku melihat kecemasan di wajahmu,” sahut Glagah Putih.

“Anak setan kau!”

“Ia adalah anakku, dan aku bukan setan,” sahut Nyi Citra Jati.

Anak-anak gegedug itu menjadi sangat marah. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Orang tua dan anak muda yang disebut anaknya itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun yang mengejukan adalah suara Ki Citra Jati yang lantang. “Nah, sekarang kami akan terus-terang. Kami sengaja memancing kalian keluar dari sarang kalian. Kami tahu bahwa kalian mempunyai simpanan yang tidak terhitung jumlahnya, hasil dari kejahatan yang telah kalian lakukan. Jika kalian tidak mau menunjukkan dimana kalian menyimpan harta benda itu, maka kalian akan kami bunuh di sini.”

Suara Ki Citra Jati yang lantang itu seakan-akan telah menggetarkan udara. Bahkan batu-batu padas yang mereka pijak pun serasa bergetar pula.

“Cepat! Tunjukkan simpanan kalian, atau kalian akan mati.”

Ketika orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu membentak, maka tiba-tiba saja kaki Ki Citra Jati mengenai mulutnya.

Orang itu mengaduh tertahan. Ketika ia mundur mengambil jarak, Ki Citra tidak memburunya. Wajahnya tiba-tiba nampak menjadi garang. Suaranya pun menjadi kasar, “He, kau anak gegedug yang licik! Dimana kau simpan harta bendamu, he? Kami adalah keluarga Bandotan Gunung Karang. Kau tentu pernah mendengarnya. Kami-lah yang telah menyamun sekelompok prajurit yang dikirim untuk menyampaikan seperangkat bahan pakaian dan perhiasan bagi putri Sangga Langit yang akan diambil menantu oleh Kanjeng Bupati Wirapraja. Peristiwa yang menggemparkan bukan saja Pajang, tetapi juga Mataram. Kami pula-lah yang telah merampok rumah saudagar yang paling kaya di Grobogan. Nah, apa katamu sekarang, he? Kau tahu bahwa kami telah membunuh orang-orang yang tidak mau memenuhi keinginan kami. Bagi kami, kalian berdua dan orang-orang padukuhan Punjul hanya seperti beberapa ekor kecoak yang merayap di antara kaki kami. Tetapi sudah agak lama kami tidak mendapatkan kesempatan untuk merampok. Karena itu, maka kami telah memancing kalian keluar dari sarang kalian. Jelas? Kalian jangan membantah lagi.”

Wajah kedua orang anak gegedug yang dikubur di kuburan tua itu menjadi merah padam. Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu menggeram, “Kau tidak usah menakut-nakuti kami.”

Tetapi belum lagi ia mengucapkan kata terakhirnya, sebongkah karang yang teronggok tidak jauh dari tubuhnya bagaikan meledak. Orang itu memang terkejut sekali. Dengan serta-merta ia pun telah berusaha meloncat menjauh.

“Kalian jangan berbicara apa-apa lagi.”

Kedua orang anak gegedug itu pun berdiri dengan tegangnya Tetapi mereka tidak berkata apapun juga. Yang terjadi itu adalah satu permainan yang sangat berbahaya. Keduanya sadar, bahwa orang tua yang mengaku keluarga Bandotan Gunung Karang itu adalah orang yang berimu sangat tinggi.

“Nah, sekarang aku akan berbicara kepada orang-orang Punjul. Orang-orang yang tinggal di padukuhan Punjul.”

Kedua orang gegedug itu berdiri mematung. Sementara itu, orang orang dari padukuhan Punjul berdiri termangu-mangu.

“Aku tahu pasti, bahwa kalian adalah orang-orang padukuhan Punjul. Orang-orang di sekitar tempat ini mengerti, bahwa orang-orang padukuhan Punjul telah terpengaruh oleh kehadiran gegedug yang sudah mati itu. Tetapi pengaruh buruk itu masih saja disebarkan oleh anak-anaknya.” Ki Citra Jati berhenti sejenak, lalu, “Aku serahkan tugas ini kepada kalian. Ambil semua harta benda milik kedua gegedug ini. Kumpulkan di rumah Ki Bekel di Punjul. Aku tahu, bahwa Ki Bekel pun telah terlibat dalam perbuatan yang jahat itu. Kalian orang se-padukuhan tentu dapat menguasai hanya dua orang anak gegedug ini. Jika kalian tidak berhasil, maka padukuhan kalian akan menjadi abang.”

Orang-orang itu pun menjadi tegang. Kedua orang anak gegedug itu pun menjadi tegang pula. Dipandanginya orang-orang Punjul yang ada di sekitarnya. Seperti mereka berdua, orang-orang Punjul itu pun bersenjata.

“Dalam waktu tiga hari aku akan datang ke padukuhan Punjul. Katakan kepada Ki Bekel di Punjul.”

Kedua orang anak gegedug itu pun menjadi tegang. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka pun berkata, “Tidak ada yang berani menentang kami. Meskipun orang-orang se-padukuhan pun tidak akan berani berbuat apa-apa terhadap kami. Jika mereka mencobanya juga, maka mereka akan dibinasakan oleh pemimpin kami.”

“Siapakah pemimpinmu?” bertanya Ki Citra Jati.

“Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk. Tidak seorang pun yang akan dapat mengalahkan mereka.”

“Gunung Lamuk?” Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati mengulang hampir bersamaan.

“Ya.”

Wajah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menjadi tegang. Sementara itu anak gegedug yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu pun berkata, “Kalian terkejut mendengar nama itu?”

“Kau berbohong. Kau tentu tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk.”

“Kalian adalah anak-anak gegedug yang pekerjaannya memang merampok dan menyamun. Tetapi Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk tidak. Meskipun mereka juga berkeliaran di dunia kanuragan, tetapi mereka bukan perampok.”

“Mereka justru dari kelompok-kelompok perampok bukan saja di daerah ini, tetapi dimana-mana. Namanya mengumandang di sela-sela gunung dan perbukitan. Namanya bergetar di Pegunungan Kendeng, Gunung Lawu, Gunung Kukusan, Gunung Merapi dan Merbabu. Menggelepar di permukaan Rawa Pening, menyusuri sungai sampai ke pantai utara ”

Wajah Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati menjadi semakin tegang.

Tiba-tiba saja anak gegedug yang tinggi kekurus-kurusan itu tertawa. Ia masih berkata selanjutnya, “Kalian mungkin dapat lolos dari tangan kami sekarang. Tetapi kalian tidak akan dapat lolos dari tangan Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk.”

Namun suara tertawa itu patah ketika mereka mendengar Glagah Putih juga tertawa. Lebih keras dari suara tertawa anak gegedug itu.

Glagah Putih pun berkata di sela-sela suara tertawannya, “Jika kalian ini berbohong, sebaiknya pikir-pikir dahulu masak-masak, agar kebohongan kalian itu tidak segera diketahui.”

“Kami tidak berbohong,” sahut anak gegedug itu.

“Bagaimana mungkin kalian tidak bohong? Di daerah ini tidak ada kuasa yang lebih besar dan lebih tinggi dari kuasa perguruan Kedung Jati, dengan pertanda kepemimpinan yang dipegang oleh Ki Saba Lintang. Kuasanya meliputi daerah kuasa Demak, Kudus, Pati, Jipang, Grobogan, Purwodadi, Wirasari, bahkan mengalir ke selatan, di sela-sela kuasa Pajang dan Mataram. Nah, apa katamu tentang perguruan Kedung Jati?”

Kedua orang itu berpandangan sejenak. Keduanya nampak sangat gelisah. Namun anak gegedug bertubuh tinggi besar itu kemudian menjawab, “Ki Saba Lintang dengan perguruan Kedung Jati mempunyai arah perjuangannya sendiri. Mereka tidak menghiraukan kesibukan Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk. Hanya dalam keadaan yang terlalu khusus, Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk tunduk kepada perintah Ki Saba Lintang.”

“Jika demikian, katakan kepada pemimpinmu, Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk, bahwa kami adalah orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Seperti kata Ayah, dalam waktu tiga hari lagi, kami akan datang ke padukuhan Punjul untuk mengambil harta-benda yang pernah kau rampas dan kau simpan. Perguruan Kedung Jati pada saat ini sedang berada dalam puncak perjuangannya, sehingga membutuhkan dukungan biaya yang sangat besar.”

Kedua orang itu menjadi semakin tegang. Dengan sendat orang yang bertubuh tinggi besar itu berkata, “Tetapi… tetapi harta benda hasil rampokan kami memang tidak ada pada kami. Hampir semuanya sudah kami serahkan kepada Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk.”

“Katakan kepada mereka, bahwa perguruan Kedung Jati memerlukannya. Jika harta benda itu tidak tersedia tiga hari lagi, maka bukan hanya padukuhan Punjul yang akan menjadi karang abang, tetapi perguruan Kedung Jati akan menggerakkan semua kekuatannya di seluruh daerah Mataram, untuk menggilas para pengikut Ki Gunung Lamuk dan Nyi Gunung Lamuk.”

Kedua orang anak gegedug itu tidak menjawab lagi. Tetapi kegelisahan yang sangat telah membayang di wajah mereka. Namun tiba-tiba saja orang yang bertubuh tinggi besar itu berkata, “Tetapi pada hari-hari terakir, Ki Saba Lintang sudah tidak ada di Wirasari.”

Jantung Glagah Putih dan Rara Wulan berdesis.

Namun dengan cepat Glagah Putih berusaha menyembuyikan gejolak perasaannya itu. Katanya, “Apa yang kami kerjakan tidak tergantung kepada perintah Ki Saba Lintang. Kami dapat mengambil kebijaksanaan sendiri menurut pendapat kami. Tetapi jika kalian berbicara tentang Ki Saba Lintang yang pergi, maka Ki Saba Lintang sudah kembali lagi. Kami semalam bertemu dan berbicara panjang di Wirasari. ”

Anak gegedug itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Pergilah. Kerjakan apa yang kami perintahkan.”

Kedua orang anak gegedug serta beberapa orang yang datang bersama mereka untuk menyamun itu temangu-mangu. Rasa-rasanya persoalan mereka yang mereka hadapi adalah persoalan yang mengambang tanpa berjejak di bumi. Simpang-siur dan tidak pasti.

Tetapi bagaimanapun juga, keempat orang itu sudah menunjukkan kelebihan mereka. Mereka sudah menunjukkan tataran ilmu mereka yang tinggi. Lebih-lebih lagi orang tua yang mampu memecahkan sebongkah batu padas tanpa menyentuhnya.

Karena itu, betapapun pembicaraan mereka dengan keempat orang itu seperti pusaran angin yang tidak ada ujung pangkalnya, namun kedua orang anak gegedug itu berhadapan dengan kenyataan, bahwa mereka tidak dapat mengimbangi kemampuan keempat orang itu.

“Cepat!” bentak Glagah Putih, ketika orang-orang itu masih saja termangu-mangu, “Sebelum keinginan kami untuk membunuh kalian menggelegak sampai tenggorokan.”

Kedua orang anak gegedug itu melihat kesungguhan pada sikap Glagah Putih. Karena itu, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu.

Namun, demikian mereka pergi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu melihat Nyi Citra Jati mengusap matanya yang basah. Bahkan Nyi Citra Jati itu nampaknya mengalami kesulitan untuk menahan isaknya.

“Sudahlah, Nyi,” desis Ki Citra Jati.

“Kenapa Srini menjadi terlalu jauh tersesat, Kakang? Seandainya Srini itu mengembara dan melakukan kekerasan atas dasar satu sikap dan keyakinan, betapapun kasar dan buas tingkah lakunya, aku dapat mengerti, Kakang. Tetapi ternyata Srini dan suaminya tidak lebih dari seorang perampok yang ganas dan bengis.”

“Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan, Nyi. Apa boleh buat.”

“Tetapi akulah yang mengandung dan melahirkannya, Kakang.”

“Bukan salahmu kau mengandung dan melahirkan anak itu.”

Nyi Citra Jati masih mengusap matanya.

“Marilah. Kita melanjutkan perjalanan. Kita akan pulang.”

Nyi Citra Jati mengangguk.

Demikianlah, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri. Nyi Citra Jati setiap kali masih mengusap matanya. Jika ia terkenang kepada anaknya, maka matanya pun menjadi basah.

Namun ketika mereka sudah melewati sebuah padukuhan, Nyi Citra Jati sempat juga bertanya, “Kakang. Aku justru menjadi bingung terhadap cerita Kakang, tentang perampokan atas seorang utusan Kanjeng Bupati Wirapraja yang dikawal sepasukan prajurit, untuk menyampaikan seperangkat bahan pakaian dan perhiasan bagi putri Sangga Langit. Juga tentang perampokan atas seorang saudara yang paling kaya di Grobogan.”

“Kau tahu apa maksudku?”

“Aku tahu, Kakang. Tetapi kenapa harus membual cerita tentang perampokan? Tidak membuat cerita lain, tentang kepahlawanan barangkali?”

“Mereka adalah perampok-perampok, yang tentu mengagumi cerita-cerita tentang perampok-perampok ulung.”

“Mereka juga akan ketakutan mendengar cerita tentang para ksatria yang dapat menumpas para perampok.”

“Tetapi ternyata kita harus berkelahi.”

“Ya. Kita akhirnya harus berkelahi,” suara Nyi Citra Jati merendah. Namun kemudian suaranya meninggi, “Nah, agaknya cerita Glagah Putih lebih mengetuk jantung mereka. Cerita tentang kekuasaan Perguruan Kedung Jati. Namun nampaknya mereka benar-benar menjadi ketakutan.”

“Bukan karena nama Kedung Jati itu, Ibu. Tetapi tentu karena Ayah sudah memecahkan batu padas itu.”

“Kedua-duanya,” sahut Ki Citra Jati. Lalu katanya dengan nada rendah, “Tetapi akhirnya mereka tidak akan mempercayai semuanya. Yang mereka percayai adalah kenyataan bahwa mereka tidak dapat melawan kira berempat.”

“Tetapi ada kenyataan lain yang sangat pahit, Kakang,” suara Nyi Citra Jati menjadi semakin dalam.

“Sudahlah, Nyi. Jangan kau biarkan perasaanmu mencengkam jantungmu. Aku juga merasakan betapa sakitnya mempunyai seorang anak, apalagi perempuan, menjadi perampok dan bahkan katanya menjadi penjahat. Mungkin kemampuannya akan banyak dikagumi, tetapi justru dalam arti yang hitam. Kenapa Srini tidak mempergunakan kemampuannya untuk yang lemah? Namun semua itu kita serahkan saja kepada Yang Maha Agung. Kita mohon dengan sungguh-sungguh, agar anak kita itu mendapat sepletik sinar terang di dalam hatinya.”

Nyi Citra Jati mengangguk. Katanya, “Ya, Kakang. Kita akan berdoa. Aku akan minta anak-anak kita semua juga berdoa bagi Srini.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, mereka berjalan menyusuri jalan bulak yang kering. Di hadapan mereka terdapat sebuah padukuhan yang gersang.

“Di belakang padukuhan itu masih ada satu bulak lagi. Bulak yang panjang, kering dan keputih-putihan. Nah, di belakang bulak itulah letak padukuhan kami, Ngger,” berkata Ki Citra Jati.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Bukan karena jalan yang panas. Tetapi Rara Wulan membayangkan betapa keringnya kehidupan di daerah itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah melintasi satu padukuhan, yang juga seperti padukuhan-padukuhan yang lain terasa kering dan gersang. Mereka bertemu dengan dua orang kanak-kanak yang kurus telanjang, berjalan di jalan padukuhan.

Namun terasa perasaan mereka tersentuh juga, ketika mereka melihat di sebelah regol halaman rumah, terdapat gentong berisi air bersih. Di dekatnya tergantung sebuah siwur tempurung kelapa. Air di dalam gentong itu setiap hari tentu diganti dengan yang baru, karena air itu disediakan bagi mereka yang berjalan jauh dan merasa kehausan di perjalanan.

Demikian mereka keluar dari padukuhan itu, maka di hadapan mereka terbentang sebuah bulak yang panjang yang masih harus mereka seberangi.

Namun akhirnya mereka pun mendekati padukuhan di seberang bulak panjang itu. Sebuah padukuhan yang agak besar dibanding dengan padukuhan yang baru saja mereka lewati. Namun padukuhan yang agak besar itu juga padukuhan yang gersang.

“Di padukuhan itulah letak rumahku,” berkata Ki Citra Jati. Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada datar Glagah Putih berkata, “Sebuah banjar yang memanjang.”

“Ya. Sebuah banjar panjang. Rumahku terletak di ujung banjar panjang itu.”

Di luar sadar, mereka berempat pun berjalan semakin cepat. Rasa-rasanya mereka ingin segera sampai ke padukuhan itu.

Ketika mereka sampai di depan pintu gerbang padukuhan, rasa-rasanya panas matahari sudah tidak terasa lagi. Apalagi ketika mereka kemudian memasuki gerbang itu. Maka bayangan pepohonan telah membuat tubuh mereka menjadi sejuk. Meskipun pepohonan di padukuhan itu nampak berwarna kekuning-kuningan, namun daunnya tetap saja dapat melindungi mereka dari sengatan sinar matahari.

Beberapa saat kemudian mereka pun berjalan menyusuri jalan padukuhan. Ketika mereka bertemu dengan seorang perempuan yang menggendong anaknya yang kecil serta menuntun anaknya yang lebih besar, diikuti oleh dua anaknya yang lebih besar lagi, maka dengan ramahnya Nyi Citra Jatipun bertanya, “Dari mana, Adi?”

“Dari rumah Biyung. Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati nampaknya kini pulang dari sebuah perjalanan. Siapakah kedua orang itu?”

“Ya, Di. Kami baru saja dari rumah kakak perempuanku. Sudah lama kami tidak bertemu. Kedua orang muda itu adalah anak-anakku juga, Di.”

“He?”

“Kau belum pernah melihat, bukan? Mereka berada di rumah Mbokayu sejak kecil.”

Perempuan itu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Ya. Aku memang belum pernah melihat mereka.”

“Tetapi mungkin kau ingat bahwa ketika kami, maksudku aku dan Ki Citra Jati, masih muda, kami sering pergi untuk waktu yang agak lama. Kami kadang-kadang berada di rumah saudara-saudara kami yang tinggal agak jauh. Nah, Mbokayu yang tahu sifat kami, minta agar dua orang anakku ditinggal saja di rumah mereka untuk mereka pelihara. Nah, sekarang anak-anak ini sudah dewasa. Mereka ingin melihat rumah ayah dan ibunya. Namun mereka tidak akan menetap di rumahku. Pada satu ketika, mereka akan kembali ke rumah Mbokayuku.”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Sementara Nyi Citra Jati berkala kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, “la adalah tetangga kami yang baik.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk hormat.

“Berapa sebenarnya anak Nyi Citra Jati?” bertanya perempuan itu.

“Tiga belas, Adi.”

“Tiga belas? Wah. Yang aku tahu hanya lima orang.”

“Anak-anakku memang berpencar. Kalau anakmu semuanya enam, kan?”

“Enam itu yang tinggal bersamaku. Masih ada tiga di rumah mertuaku. Dan masih tiga orang yang meninggal.”

“Ya. Aku ingat saat kau kehilangan anak-anakmu. Jadi seandainya anak-anakmu hidup semua, jumlahnya ada dua belas.”

“Ya. Dua belas orang.”

“Aku masih kelebihan satu anak dari anak-anakmu.”

Perempuan itu tertawa. Namun ia masih bertanya, “Jadi Srini itu yang sulung, Nyi?”

“Tidak. Srini itu anakku nomor tiga. Masih ada seorang kakak laki-laki dan seorang kakak perempuan. Mereka juga tidak tinggal bersama kami sejak kanak-kanak.”

Perempuan itu tertawa. Katanya, “Repotnya mempunyai banyak anak, ya Nyi?”

Nyi Citra jati tertawa. Katanya, “Ya. Kita perempuan-lah yang repot sekali.”

“Ah, tentu bukan hanya perempuan,” sahut Ki Citra Jati, “laki-laki juga repot. Laki-laki harus bekerja sangat keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya yang besar.”

Perempuan itu masih saja tertawa. Sementara itu anaknya yang digandengnya berbisik-bisik kepada ibunya.

“Baik, baik.”

“Ada apa?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Ia mulai lapar.”

“O.”

Anak itu pun mulai menarik-narik ujung baju ibunya. Sambil tertawa ibunya berkata, “Nah, jika ia mula lapar, maka ia tidak menghiraukan apa-apa lagi.”

“Bukankah memang demikian sifat anak -anak?” berkata Nyi Citra Jati.

“Mari Nyi, singgah barang sebentar di rumahku.”

“Terima kasih, Adi. Lain kali saja.”

Perempuan itu pun kemudian meninggalkan Nyi Citra Jati sambil menggandeng anaknya, selain yang digendongnya. Dua orang yang lain mengikutinya di belakang.

Nyi Citra Jati pun kemudian berkata, “Marilah. Tinggal selangkah lagi.”

Demikianlah, akhirnya mereka memasuki regol rumah Ki Citra Jati. Rumahnya terletak di sebuah halaman yang luas. Di belakang rumah juga terdapat kebun yang cukup luas pula. Sehingga rumah Ki Citra Jati yang sebenarnya terhitung besar meskipun bukan rumah yang bagus dan mahal, nampak kecil saja di tengah-tengah halaman dan kebun yang luas.

Ketika mereka memasuki regol, dua orang gadis yang sudah menginjak dewasa berlari-lari menyongsong mereka.

“Kami sudah rindu sekali kepada Ayah dan Ibu,” berkata seorang di antara kedua orang gadis itu.

Nyi Citra Jati memeluk keduanya berganti-ganti. Sementara anak muda yang juga menyongsong mereka pun telah mencium tangan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati.

Kedua orang gadis itu mendekati Ki Citra Jati dengan kerut di dahi. Kemudian mereka berpaling kepada anak muda yang berdiri termangu mangu.

“Ada apa? Apakah sesuatu telah terjadi?”

Anak muda itu menundukkan kepalanya.

“Baiklah,” berkata Ki Citra Jati, “nanti kita berbicara tentang banyak hal. Sekarang, sebaiknya kalian berkenalan dengan kakang dan mbokayumu ini.”

Anak muda dan kedua orang gadis itu memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti. Sementara ilu Ki Citra Jati pun berkata, “Inilah kakang dan mbokyumu yang pernah aku ceritakan kepada kalian.”

Anak muda dan kedua orang gadis itu masih bertanya-tanya lewat sorot matanya.

“Apakah kalian sudah lupa?” bertanya Ki Citra Jati.

Anak muda itulah yang menjawab dengan ragu-ragu, “Ya. Ayah dan ibu memang pernah bercerita tentang Kakang dan Mbokayu, meskipun aku sudah lupa-lupa ingat. Tetapi gambaranku tentang Kakang dan Mbokayu berbeda sekali dengan kenyataan yang aku hadapi.”

“Apakah bedanya?”

Anak muda itu tersenyum. Namun ia pun kemudian mengangguk hormat sambil berkata, “Salam buat Kakang dan Mbokayu.”

Kedua orang gadis itu pun mengangguk hormat pula.

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum kepada mereka. Keduanya pun kemudian hampir bersama-sama berdesis, “Terima kasih, adik adikku.”

“Marilah. Aku ingin segera mendengar ceritamu,” berkata Nyi Citra Jati.

Mereka pun kemudian segera naik ke pendapa. Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati diiringi ketiga orang anak angkatnya itu pun langsung masuk ke ruang dalam, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di pendapa rumah Ki Citra Jati, meskipun bangunan yang dipergunakan sebagai pendapa itu tidak berbentuk joglo.

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, ketika mereka mendengar Nyi Citra Jati menjerit tertahan, “Kenapa kau Ngger, kenapa?”

“Mbokayu, Ibu.”

“Jadi Srini pulang?”

“Ya, Ibu. Tadi pagi Mbokayu Srini pulang.”

“Apa yang dilakukan?”

“Mbokayu datang langsung marah kepada kami. Kami tidak tahu kenapa. Ketika aku bertanya, Mbokayu langsung menyerang. Aku tidak dapat melindungi diriku sendiri. Untunglah bahwa aku tidak dibunuhnya meskipun pembunuhan itu hampir saja terjadi.”

“Apakah yang dikatakannya?”

“Mbokayu tidak berkata apa-apa. Ia langsung masuk rumah dan memecahi barang pecah-belah. Bahkan beberapa alat dapur telah dirusaknya.”

Anak muda yang menyongsong kedatangan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun menyambung, “Hampir saja Mbokayu Srini membakar rumah ini. Tetapi kami semuanya memohon agar niat itu diurungkan.”

Nyi Citra Jati itu pun tertunduk dengan lesu di amben panjang. Dari pelupuknya mulai mengalir air matanya, meleleh di pipi dan menitik di pangkuannya.

“Kenapa kau lakukan itu, Srini?”

Ki Citra Jati pun duduk di sebelahnya sambil berdesah. Sementara itu. anak angkatnya duduk mengerumuninya sambil termangu-mangu.

Dengan nada dalam Nyi Citra Jati pun berdesis, “Aku tidak mengira, bahwa ia telah tersesat sangat jauh. Lalu apakah yang dapat aku lakukan?”

“Sudahlah Nyi,” berkata Ki Citra Jati, “betapapun kita menyesalinya, tetapi itulah yang telah terjadi.”

“Apakah tidak ada jalan untuk menyelamatkannya, Kakang?” Nyi Citra Jati mengusap matanya. Dipandanginya seorang anak angkatnya yang wajahnya bengab. Sebelah matanya menjadi biru, bibirnya pecah, dan noda-noda darah kering di pakaiannya.

Gadis itu masih nampak kesakitan.

Nyi Citra Jati memandang anak-anak angkatnya berganti-ganti. Tidak seorangpun di antara mereka, bahkan seandainya mereka bergabung bersama-sama, dapat mengimbangi kemampuan Srini. Apalagi jika Srini datang bersama suaminya.

“Apakah Srini bersama suaminya ketika ia datang kemari?” bertanya Nyi Citra Jati.

“Ya, Ibu. Kakang pun marah-marah pula seperti Mbokayu Srini. Untunglah bahwa adik-adikku tidak melibatkan diri. Jika mereka melibatkan diri, maka tentu ada di antara kami yang terbunuh, atau bahkan rumah ini benar-benar telah dibakar bersama kami di dalamnya.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah Anggap saja Srini hilang dari keluarga kita.”

“Kakang,” suara Nyi Citra Jati menjadi serak, “bagaimanapun juga, ia adalah anak kita.”

“Aku tahu, Nyi. Aku tidak akan pernah dapat mengingkari kenyataan, bahwa Srini adalah anak kita. Tetapi ia tidak lagi berada di antara kita. Ia sudah pergi. Karena itu, agar kita tidak selalu dicekik kepedihan, maka kita harus dapat meletakkan persoalan ini sebagaimana kita meletakkan sebuah beban yang berat dari pundak kita. Srini telah pergi. Jika pada suatu saat kita berhasil menemukannya dan membawanya kembali ke dalam keluarga kita, maka kita menganggap bahwa Srini telah pulang.”

“Apakah kita dapat dengan hati yang ringan bersikap seperti itu?”

“Kita dipaksa oleh keadaan, Nyi. Apakah kita harus bersedih, menyesal dan menyalahkan diri sendiri sepanjang sisa hidup kita? Apakah kita selanjutnya akan membiarkan hidup kita terjerembab ke dalam kesia-siaan karena kita menangisi Srini?”

Nyi Citra Jati tidak menjawab.

“Sudahlah. Marilah kita menemui anak kita yang baru kali ini pulang.”

Nyi Citra Jati mengusap matanya. Kemudian diusapnya rambut anak gadisnya yang wajahnya menjadi memar, sambil berkata, “Beristirahatlah. Berbaringlah. Nanti aku buat obat bagi luka-luka memarmu, serta bibirmu yang pecah.”

“Aku tidak apa-apa, Ibu,” desis anak itu.

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Marilah, kita temui mbokayumu dan kakakmu yang berada di luar. Kau belum berkenalan dengan mereka. Biarlah adik-adikmu membuat minuman bagi mereka dan bagi Ayah dan Ibu.”

Gadis yang wajahnya memar itu pun kemudian mengikuti Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati ke pendapa, untuk memperkenalkan anak gadis yang wajahnya memar itu dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Srini telah pulang mendahului kita,” berkata Nyi Citra Jati.

Glagah Putih dan Rara Wulan yang mendengar pembicaraan di ruang dalam itu pun mengangguk.

“la menjadi sangat kecewa. Ditumpahkannya kemarahannya kepada adik-adiknya, terutama adiknya yang tertua ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan memandangi wajah gadis yang memar itu. Namun agaknya bukan hanya wajahnya yang memar. Tetapi juga bagian dalam dadanya tentu terasa sakit juga.

“Tidak ada yang dapat mencegahnya,” sambung Ki Citra Jati, “ilmu adik-adikmu masih belum setingkat ilmu yang dimiliki oleh Srini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya dapat mengangguk-angguk . Mereka berdua baru saja membenturkan ilmu mereka dengan Srini bersama suaminya.

“Tetapi selama aku dan ibumu ada di rumah, mungkin sekali Srini tidak akan datang. Srini tentu menyadari, bahwa kami tentu tidak akan berpihak kepada mereka.

Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum menjawab.

“Meskipun demikian, kita akan melihat. apakah yang akan dilakukan Srini selanjutnya.”

“Menurut katanya,” berkata gadis yang wajahnya memar, “Mbokayu Srini akan segera pulang lagi. Tetapi Mbokayu tidak menyebutkan, kapan.”

“Tetapi tidak akan segera, Ngger,” desis Nyi Citra Jati, “meskipun demikian, ada baiknya kita semuanya berhati-hati. Srini dapat berbuat sesuatu di luar dugaan dan di luar perhitungan kita. Tetapi semoga Srini tidak selalu membayangi kalian dan menakut-nakuti kalian dengan cara apapun juga.”

Gadis yang wajahnya memar itu pun menundukkan kepalanya.

Sejenak kemudian, maka anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun menghidangkan minuman hangat serta ketela rambat rebus yang masih hangat.

“Marilah, duduklah kalian di sini. Biarlah kalian lebih mengenal kakang dan mbokayumu yang baru pertama kali ini pulang.”

Anak muda dan kedua orang gadis yang menyongsong kedatangan Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu pun kemudian duduk pula bersama dengan ayah dan ibu angkat mereka. Mereka pun segera menyadari bahwa kedua orang yang disebut kakak dan mbokayu mereka itu, adalah anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati pula seperti mereka. Karena mereka tahu bahwa anak Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati itu hanyalah seorang saja, Srini.

“Glagah Putih dan Rara Wulan,” berkata Ki Citra Jati, “sebaiknya kau mengenal adik-adikmu lebih jauh. Yang tertua di antara mereka ini namanya Padmini. Adiknya, anak muda itu, bernama Pamekas. Adiknya lagi, yang rambutnya berombak, adalah Setiti. Sedang yang rambutnya lurus panjang itu namanya Baruni.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh . Mereka memandangi setiap orang yang disebut namanya, sambil mengangguk-angguk. Sementara itu yang disebut namanya hanya tersenyum-senyum sambil menunduk.

“Nah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Kalian telah berada di rumah kalian sendiri. Jangan segan-segan lagi berbuat apapun yang ingin kalian lakukan. Kita adalah satu keluarga,” berkata Nyi Citra Jati kemudian.

“Ya, Ibu,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng itu.

Padmini pun bertanya, “Ibu. Apakah keduanya itu kakak dan mbokayu kami, atau hanya salah seorang saja di antara mereka? Apakah keduanya itu anak ayah dan ibu, atau salah seorang di antara mereka itu menantu? Kamu belum tahu pasti, apakah keduanya suami istri atau bukan.”

Ki Citra jati tertawa. Bahkan Nyi Citra Jati sempat juga tersenyum, sebagaimana Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Ya. Aku lupa menyebutnya. Yang anakku adalah Rara Wulan. Karena itu, Glagah Putih adalah menantuku.”

“Jika demikian, maka Mbokayu Srini bukan anak Ibu yang ketiga, tetapi yang kedua.”

“Srini adalah anakku yang ketiga.”

“Jadi masih ada seorang lagi anak Ibu yang belum pernah pulang?”

“He?” Nyi Citra Jati mengerutkan dahinya. Lalu katanya, “Ah, terserah sajalah. Aku lupa mengingat-ingat urutan anak-anakku.”

Ki Citra Jati tertawa. Yang lain pun tersenyum pula. Sedangkan Pamekas pun berkata, “Salah Ayah dan Ibu. Kenapa Ayah dan Ibu mempunyai anak terlalu banyak.”

“Terlalu banyak?” ulang Nyi Citra Jati, “Ki Demang Saradan mempunyai delapan belas orang anak.”

“Tetapi dari tiga orang ibu,” sahut Setiti.

Nyi Citra Jati termangu-mangu. Namun ia pun kemudian tertawa. Yang lain pun tertawa pula, karena mereka masing-masing mengetahui bahwa anak Nyi Citra Jati yang sebenarnya hanya seorang saja.

Sejenak kemudian, Ki Citra Jati pun berkata, “Sekarang minumlah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Makanlah. Kalian masih diterima sebagai tamu. Namun kemudian kalian harus segera luluh dalam keluarga ini.”

“Ya, Ayah,” desis Glagah Putih, “untuk beberapa waktu kami akan berada di sini.”

“Jangan cemas bahwa kami menyimpan kalian di dalam bilik baja dan menyelaraknya dari luar.”

Glagah Putih tersenyum.

Demikianlah, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan minum dan makan ketela rambat rebus yang masih hangat, maka Ki Citra Jati pun berkata, “Tunjukkan, dimana kakak dan mbokayumu harus tidur nanti malam. Jangan iri, bahwa mereka berdua akan mendapatkan satu bilik yang khusus.”

Anak-anak angkat Ki Citra Jati itu tersenyum sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan berganti-ganti.

Demikianlah, sejak hari itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal bersama Ki Citra Jati, Nyi Citra Jati dan anak-anak angkatnya, yang sebenarnya lebih teapat disebut murid-muridnya. Dengan tekun mereka berlatih pagi, siang dan bahkan malam hari. Tetapi selain dalam olah kanuragan, mereka juga mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Mereka juga bekerja di kebun, di sawah dan di pategalan. Mereka harus bertarung melawan alam yang garang di daerah yang kering dan tandus. Namun beruntunglah, bahwa ada sebagian sawah Ki Citra Jati yang terletak di lingkungan yang basah.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan dengan cepat menyesuaikan diri. Di Tanah Perdikan Menoreh mereka juga sudah terbiasa bekerja di sawah bersama Ki Jayaraga. Meskipun Rara Wulan sebenarnya adalah seorang perempuan dari Kotaraja, tetapi ia sudah lama tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.

Selain tekun bekerja di sawah dan pategalan, Glagah Putih dan Rara Wulan juga rajin berlatih bersama anak-anak angkat Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati yang lain, meskipun sebenarnya tataran ilmu Glagah Putih dan Rara Wulan sudah lebih tinggi.

Namun seperti yang dikatakan oleh Nyi Citra Jati, maka Rara Wulan pun segera mendapat perhatian yang khusus dari Nyi Citra Jati.

Ketika Nyi Citra Jati dan anak-anaknya sedang berada di sanggar, ditunggui oleh Ki Citra Jati, maka Nyi Citra Jati itu pun berkata kepada anak-anak angkatnya, “Anak-anakku. Bukan maksud Ibu membeda-bedakan kalian. Kalian semua adalah anak-anakku, sehingga kalian semua mempunyai kedudukan yang sama bagiku. Tetapi di dalam kesamaan itu, ada juga perbedaannya. Rara Wulan ternyata memiliki tataran ilmu yang lebih tinggi dari kalian. Kalian tidak usah iri. Siapa yang tekun, pada suatu saat akan sampai juga pada tataran ilmu sebagaimana Rara Wulan, yang umurnya memang lebih tua dari kalian. Karena itu, maka sudah sewajarnya jika Rara Wulan mendapat kesempatan berlatih tersendiri. Sementara itu, kalian akan meneruskan latihan-latihan kalian seperti biasanya.”

Anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Mereka memang menyadari, bahwa landasan ilmu Rara Wulan lebih tinggi dari ilmu mereka. Karena itu, maka saudara-saudara angkat Rara Wulan itu pun dapat mengerti sepenuhnya keterangan ibu angkat mereka itu.

Bahkan mereka berharap bahwa kematangan ilmu Rara Wulan itu akan dapat melindungi mereka, jika anak kandung Nyi Citra Jati itu pulang dengan membawa dendam yang tidak dimengerti sebab-sebabnya itu.

Dengan demikian, maka Rara Wulan pun telah mendapat latihan-latihan khusus dari Nyi Citra Jati. Sementara itu anak-anaknya yang lain telah dibimbing oleh Ki Citra Jati.

Namun untuk mematangkan ilmu Rara Wulan, maka Nyi Citra Jati kadang-kadang telah minta Ki Citra Jati dan Glagah Putih untuk melakukan latihan-latihan khusus. Terutama Glagah Putih diperlukan, karena ia memiliki berbagai macam landasan pokok dari berbagai perguruan yang berbeda. Justru perbedaan-perbedaan itulah yang harus dipergunakan oleh Glagah Putih untuk memperluas cakupan ilmu yang dipelajari oleh Rara Wulan.

“Perjalanan kalian tidak akan terlambat jika tertunda tiga bulan saja,” berkala Nyi Citra Jati kepada Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Menurut orang-orang yang mencoba menyamun kita di perjalanan pulang itu, Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari,” berkata Ki Citra Jati.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Citra Jati pun berkata, “Apakah kau ingin meyakinkan, Glagah Putih?”

“Maksud Ayah?”

“Kita pergi ke Punjul. Bukankah kita sudah mengatakan kepada mereka, bahwa kita akan datang ke Punjul?”

Tetapi Nyi Citra Jati pun dengan cepat menyahut, “Tidak usah, Kakang. Jika kita pergi ke Punjul, maka pada saatnya kita akan bertemu dengan Srini dan suaminya. Bukankah anak-anak gegedug itu mengaku bahwa mereka berada di bawah pengaruh Ki Gunung Lamuk suami istri?”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah sebaiknya aku pergi ke Wirasari, Ayah?” bertanya Glagah Putih.

“Apakah Ki Saba Lintang sudah mengenalmu?”

“Menurut ingatanku, Ki Saba Lintang yang sudah beberapa kali pergi ke Tanah Perdikan Menoreh itu sudah mengenal aku.”

“Baiklah. Jika demikian, tinggallah di rumah ini.”

“Maksud Ki Citra Jati?”

“Biarlah aku pergi ke Wirasari. Aku akan mencari keterangan, apakah Ki Saba Lintang ada di sana.”

“Ayah, kami tidak ingin merepotkan Ayah. Biarlah aku saja pergi ke Wirasari, sementara Rara Wulan ada di sini.”

Ki Citra Jati tertawa. Katanya, “Jangan cemas. Aku mempunyai kawan yang tinggal di Wirasari. Mudah-mudahan orang itu dapat menolong. Setidak-tidaknya memberikan keterangan tentang Ki Saba Lintang.”

“Tetapi itu tidak pantas, Ayah. Justru Ayah yang menjadi sibuk, sementara tugas itu adalah tugasku.”

“Bukankah wajar jika seorang ayah berbuat sesuatu bagi anaknya?”

“Tetapi…”

“Sudahlah,” Ki Citra Jati memotong, “kau harus berada di dekat Rara Wulan. Ia akan segera berada di dalam satu keadaan yang rumit. Ibumu adalah seorang guru yang keras. Rara Wulan tentu memerlukan sandaran jiwani untuk mengatasi kesulitan-kesulitannya.”

Glagah Putih tidak dapat menolak lagi. Ternyata Nyi Citra Jati pun sependapat, bahwa Ki Citra Jati akan segera pergi ke Wirasari untuk mencari keterangan, apakah Ki Saba Lintang masih berada di Wirasari.

“Wirasari sudah tidak terlalu jauh lagi. Aku memerlukan waktu dua pekan. Mudah-mudahan aku mendapat keterangan tentang Ki Saba Lintang. Jika dalam waktu dua pekan itu aku tidak mendapatkan keterangan, maka aku akan pulang. Baru kemudian kita rencanakan lagi, apa yang akan kita lakukan kemudian.”

“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, Ayah. Seharusnya aku-lah yang pergi, bukan Ayah.”

Ki Citra Jati tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan aku tidak mengecewakanmu.”

Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Citra Jati pun telah meninggalkan rumahnya. Tidak seorangpun anak angkatnya diajaknya.

Pada saat Ki Citra Jati pergi, maka Ki Citra Jati telah minta Glagah Putih untuk mengamati adik-adik angkatnya terlatih.

“Ilmumu sudah berada pada satu tataran yang sulit diukur,” berkata Ki Citra Jati. “Selama aku pergi, aku titipkan adik-adikmu kepadamu. Kau dapat membantu mereka meningkatkan ilmunya, sementara itu Rara Wulan akan mendapat latihan-latihan khusus dari ibumu.”

“Aku akan melaksanakannya sejauh batas kemampuanku, Ayah.”

“Batas kemampuanmu jauh lebih tinggi dari yang diperlukan.”

“Ayah masih saja memuji.”

“Jangan menjadi silau oleh pujian. Tetapi yang aku katakan itu benar.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Dilepasnya Ki Citra Jati sampai di regol halaman rumahnya, bersama Nyi Citra Jati, Rara Wulan dan adik-adik angkatnya.

Sepeninggal Ki Citra Jati, maka Rara Wulan menjadi semakin tekun berlatih di sanggar bersama Nyi Citra Jati. Sementara itu, Glagah Putih pun melakukan apa yang dipesankan oleh Ki Citra Jati. la berusaha membantu adik-adik angkatnya berlatih untuk.meningkatkan ilmu mereka.

Dalam pada itu, Rara Wulan benar-benar telah ditempa bukan saja unsur kewadagannya, tetapi juga kedalaman ilmunya, serta unsur ketahanan jiwani. Dimanfaatkannya waktu yang pendek itu sebaik-baiknya untuk menjalani laku bersama Nyi Citra Jati.

Sentuhan-sentuhan ilmunya yang dilambari dengan tenaga dalam menjadi semakin tajam. Bahkan Rara Wulan mulai berlatih untuk menguasai dan menyerap kekuatan lingkungannya untuk kemudian dihempaskan kembali.

Rara Wulan mulai merambah pada penguasaan inti kekuatan serta melontarkannya ke sasaran tanpa sentuhan wadag. Glagah Putih yang pada saat-saat tertentu justru diminta oleh Nyi Citra Jati untuk menunggui saat-saat Rara Wulan menjalani laku, menjadi berdebar-debar. Namun melihat ketajaman penggraitanya, maka Rara Wulan tentu akan dapat menyelesaikan laku yang dijalaninya, dengan hasil seperti yang diharapkan oleh Nyi Citra Jati.

Tetapi saat-saat yang demikian bukannya tidak terarti sama sekali bagi Glagah Putih. Glagah Putih adalah anak muda yang ketajaman nalar budinya melampaui kebanyakan orang. Karena itu, maka pada saat-saat ia berada di dalam sanggar menunggui dan memberikan dukungan kekuatan jiwani kepada Rara Wulan, maka pengamatannya atas laku yang dijalani oleh Rara Wulan telah memperluas wawasan Glagah Putih. Ternyata Glagah Putih pun mampu menyerap bagi pengembangan ilmunya, yang sebelumnya memang sudah berlandaskan berbagai sumber.

Namun Glagah Putih sempat juga menjadi cemas menyaksikan laku yang sangat berat yang harus dilalui oleh Rara Wulan. Seperti dikatakan oleh Ki Citra Jati, maka Nyi Citra Jati adalah seorang guru yang sangat keras, dan berpegang pada inti permasalahan bagi setiap laku yang harus dijalani oleh Rara Wulan.

Ketika Nyi Citra Jati sudah menganggap bahwa landasan yang diletakannya, di antara landasan ilmu Rara Wulan yang sudah ada di dalam dirinya, sudah mapan, maka Nyi Citra Jati mulai merambah pada ilmu puncaknya. Pacar Wutah, yang disebutnya Pacar Wutah Puspa Rinonce, yang dibedakannya dengan Pacar Wutah Gundala Wereng.

Ternyata Pacar Wutah Puspa Rinonce tidak memerlukan serbuk besi sebagaimana Pacar Wutah Gundala Wereng. Serbuk besi dari Pacar Wutah Gundala Wereng dalam penggunaannya tidak ada bedanya dengan lontaran senjata rahasia dari jenis senjata yang lembut, sebagaimana serbuk besi.

Pada ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce, Nyi Citra Jati seakan-akan hanya menghembuskan udara ke arah lawannya. Namun landasan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce yang menyerap dan kemudian menghempaskan udara adalah pada inti kekuatan udara itu sendiri.

Glagah Putih sendiri tidak menjalani laku sebagaimana dijalani oleh Rara Wulan. Namun Glagah Putih mengerti, bagaimana ia harus membuka pintu penguasaan ilmu itu. Dengan demikian, jika Glagah Putih itu mendapat kesempatan, maka ia akan dapat melakukannya tanpa bantuan orang lain. Menjalani laku untuk menguasai ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce.

Meskipun demikian Glagah Putih mengerti, menjalani laku tanpa bantuan orang lain yang mampu memberikan tuntunan adalah sangat berbahaya.

Pada saat-saat Rara Wulan mulai menjalani laku yang sangat rumit itu, Ki Citra Jati ternyata sudah pulang. Ia memerlukan waktu lebih dari dua pekan sebagaimana dikatakannya pada saat ia berangkat. Tetapi Ki Citra Jati memerlukan waktu hampir tiga pekan.

Namun berita yang dibawa oleh Ki Citra Jati ternyata mengecewakan Glagah Putih.

“Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “aku sudah menghubungi orang-orang yang sudah aku kenal. Mereka membantu mencari keterangan tentang Ki Saba Lintang. Namun jawabnya tentu membuatmu kecewa. Ternyata Ki Saba Lintang sudah tidak berada di Wirasari lagi.”

“Jadi orang itu sudah pergi, Ayah?”

“Ya. Ki Saba Lintang memang berada di Wirasari beberapa waktu yang lalu. Tetapi tidak lama. Di Wirasari, ia telah bertemu dengan beberapa orang yang dianggapnya akan dapat membantu perjuangannya.”

“Apakah Ayah mendapat keterangan, siapa saja orang-orang yang telah dihubungi Ki Saba Lintang?”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Kelompok itu adalah sekelompok yang samar. Orang yang aku kenal hanya dapat berhubungan dengan orang yang berada pada tataran bawah dan kelompok itu, sehingga tidak banyak keterangan yang diperolehnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Jadi, aku harus memburunya kemana, Ayah?”

“Masih belum ada keterangan, Ngger. Tetapi dalam waktu dekat aku akan pergi lagi ke Wirasari. Mudah-mudahan aku mendapatkan keterangan lebih jauh tentang Ki Saba Lintang.”

“Apakah aku diperkenankan ikut, Ayah?”

“Kita lihat keadaan Rara Wulan. Jika ia sudah memasuki laku puncaknya, maka waktunya tidak akan lama lagi. Sebaiknya kau menunggunya. Mungkin kita dapat bersama-sama pergi.”

“Maksud Ayah dengan Rara Wulan?”

“Ya. Dengan Rara Wulan dan ibumu. Tetapi jika Rara Wulan masih belum memasuki laku puncaknya, maka aku akan pergi sendiri lagi. Kau harus tetap berada di sini sampai Rara Wulan selesai.”

“Jika Rara Wulan memerlukan waktu yang lama sekali?”

“Tidak. Tidak akan lama sekali. Bukankah waktumu tidak terbatas?”

“Memang tidak terbatas, Ayah. Tetapi ketidak-terbatasan itu bukan berarti tanpa batas.”

“Aku mengerti. Tetapi apa artinya waktu yang tiga bulan itu bagi usahamu yang panjang? Bahkan seandainya empat bulan atau lima bulan, dibandingkan dengan pengembaraanmu yang mungkin memerlukan waktu bertahun itu?”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Kesempatan yang jarang sekali dapat ditemui oleh Rara Wulan itu memang tidak sepatutnya dilewatkan. Jika kesempatan itu tidak dipergunakan sebaik-baiknya, maka Rara Wulan akan dapat menyesalinya.

Ki Citra Jati yang melihat kebimbangan di sorot mata Glagah Putih itu pun berkata, “Glagah Putih. Aku dan ibumu berjanji, bahwa kami berdua akan membantumu mencari tongkat baja putih itu. Bahkan mungkin tidak hanya kami berdua, tetapi kawan-kawanku pun akan bersedia membantumu. Karena sebenarnyalah kami tahu, bahwa tongkat baja putih itu akan dapat menjadi minyak yang menyiram api ketamakan yang membara di hati Ki Saba Lintang. Dengan demikian, maka sepanjang tongkat baja putih itu masih berada di tangan Ki Saba Lintang, maka masih akan timbul persoalan-persoalan yang dapat menjadi gawat. Bahkan bagi Mataram. Itulah sebabnya, maka tentu akan ada beberapa orang yang bersedia membantuku. Karena dengan diketemukannya tongkat baja putih itu akan dapat berarti menyusutnya kemungkinan buruk yang terjadi di tlatah Mataram.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih, Ayah.”

“Baiklah. Mudah-mudahan dengan demikian kau akan dapat menjadi tenang.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun getar di jantungnya memang menjadi sedikit mereda.

Nyi Citra Jati baru mendengar keterangan Ki Citra Jati itu menjelang malam. Ketika senja turun, maka Nyi Citra Jati dan Raia Wulan dapat beristirahat sejenak untuk bertemu dan mendengarkan cerita perjalanan Ki Citra Jati.

“Aku sudah berbicara dengan Glagah Putih,” berkata Ki Citra Jati, “ia akan menunggu sampai Rara Wulan selesai.”

Nyi Citra Jati menarik nafas panjang. Katanya, “Syukurlah. Nampaknya Rara Wulan akan dapat selesai lebih cepat dari waktu yang direncanakan. Landasan ilmunya sudah demikian kuatnya, sehingga aku tinggal mengisi celah-celahnya untuk dapat menjadi alas dari ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce.”

“Lakukanlah, Nyi. Aku berharap anakku perempuan yang satu ini benar-benar akan dapat menjadi kebanggaan kita. Kebanggaan keluarga kita.”

Sejak saat itu, maka Rara Wulan benar-benar telah tenggelam dalam laku yang semakin berat dan semakin rumit. Di bawah bimbingan seorang guru yang keras dan teguh pada kepastian laku, maka ternyata Rara Wulan menjadi semakin cepat mendapat kemajuan.

Dalam pada itu, untuk mengisi waktu di saat menunggu, maka Ki Citra Jati telah membuat kesibukan tersendiri bagi Glagah Putih. Di sela-sela saat-saat ia berlatih dengan anak-anaknya yang lain, maka Ki Citra Jati telah mengajari Glagah Putih bermain rinding.

“Kau akan dapat mengisi waktu senggangmu, Glagah Putih. Kau akan menjadi salah seorang di antara mereka yang pintar bermain rinding.”

Glagah Putih sama sekali tidak menolak, la senang belajar bermain rinding. Dicobanya melagukan kidung-kidung gembira. Namun kemudian juga kidung-kidung yang ngelangut. Tetapi juga gending-gending dolanan yang lincah seperti tupai yang meloncat-loncat dari cabang pohon yang satu ke cabang pohon yang lain.

Namun kemudian Ki Citra Jati tidak saja mengajari Glagah Putih bermain rinding di halaman samping. Ketika Glagah Putih mulai memahami beberapa lagu dalam berbagai macam irama, maka Ki Citra Jati pun berkata, “Marilah. Malam nanti kita berlatih bermain rinding di atas gumuk di bulak panjang yang kering itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian mengangguk hormat sambil menjawab, “Dengan senang hati, Ayah.”

Sebenarnyalah setelah malam turun, maka Ki Citra Jati dan Glagah Putih pun telah bersiap untuk pergi ke gumuk kecil di bulak panjang yang kering itu.

Ternyata dugaan Glagah Putih benar. Ki Citra Jati tidak sekedar mengajarinya bermain rinding dengan kidung baru. Tetapi Ki Citra Jati mulai menghubungkan permainan rindingnya dengan lontaran getaran tenaga dalamnya.

Ketika malam menjadi semakin dalam, Ki Citra Jati dan Glagah Putih duduk berhadapan di atas tanah berbatu padas yang berwarna keputih-putihan. Ki Citra Jati telah mulai menuntun Glagah Putih untuk menjalani laku yang khusus. Suara rindingnya tidak hanya sekedar enak didengar. Tetapi suara rinding itu akan dapat melontarkan getar yang berbeda-beda. Ki Citra Jati mulai menunjukkan, apa yang harus dilakukan oleh Glagah Putih jika ia ingin getar suara rindingnya berpengaruh langsung terhadap pendengaran.

Tenaga dalam serta mengatur pernafasannya adalah landasan dari ilmu yang akan diserapnya dari Ki Citra Jati itu.

Semalam suntuk keduanya duduk di atas gumuk berbatu padas dan berwarna keputih-putihan. Dengan tekun Glagah Putih memainkan rindingnya. Dilagukannya kidung dengan berbagai macam irama. Kadang-kadang terdengar keras menghentak-hentak. Kadang-kadang lembut ngelangut, seakan-akan beralun bergelombang seperti puncak-puncak gumuk kecil yang bertebaran.

Keduanya bahkan masih duduk berhadapan ketika langit menjadi cerah. Bahkan ketika matahari terbit, keduanya belum beranjak dari tempatnya.

Ketika matahari memanjat langit semakin tinggi, maka keringat pun mengalir dari kening Glagah Putih. Bahkan kemudian dari seluruh permukaan kulitnya. Bajunya menjadi basah, seolah-olah Glagah Putih telah kehujanan semalam suntuk.

Keduanya masih tetap duduk di tempatnya.

Untunglah bahwa mereka berada di tempat yang terpencil. Di tempat yang seakan-akan tidak pernah disentuh oleh seseorang. Bahkan dalam musim kering, seluruh bulak yang panjang itu tidak digarap.

Semakin tinggi matahari mengarungi langit, maka kedua orang itu justru menjadi semakin tekun. Sekali-kali mereka mengangkat dada mereka, dengan wajah menengadah mereka melontarkan nada-nada tinggi, seakan-akan ingin menggapai langit. Namun kemudian mereka pun menundukkan kepala mereka, sementara nada suara rinding pun merendah, menukik ke kedalaman.

Mereka duduk di atas gumuk itu sampai matahari terbenam lagi. Wajah bukit-bukit kecil yang keputih-putihan menyilaukan, nampak menjadi pudar. Malam yang gelap pun menyelimuti bulak kering yang luas itu.

Suara rinding Glagah Putih masih terdengar. Getaran yang terlontar semakin lama jusru menjadi semakin tajam. Ketika rinding Glagah Putih mengalunkan lagu yang bergelora menghentak dengan irama yang cepat, maka rasa-rasanya bulak yang luas itu telah tergetar pula. Gumuk-gumuk kecil bagaikan bergoyang, sedangkan satu dua pepohonan yang tumbuh di bulak kering itu seolah-olah telah diguncang angin prahara.

Di tengah malam, suara rinding itu pun menurun. Semakin lama semakin perlahan-lahan. Getarannya pun telah mereda pula.

Ketika Ki Citra Jati memberikan isyarat, Glagah Putih telah menghentikan permainannya.

“Aku sudah menduga,” berkata Ki Citra Jati.

“Apa yang Ayah duga?” bertanya Glagah Putih.

“Kau akan dapat dengan cepat menguasai ilmu yang sangat khusus ini. Kau telah mampu melontarkan getar suara rindingmu sehingga dapat mengguncang bukit.”

“Ayah.”

“Berdirilah,” berkata Ki Citra Jati sambil bangkit berdiri.

Glagah Putih pun bangkit berdiri. Hampir saja ia terjatuh kembali. Namun dengan sedikit terguncang, Glagah Putih akhirnya mampu mempertahankan keseimbangannya.

“Kau telah menjadi sangat letih, Glagah Putih.”

Glagah Putih mengangguk. Ia memang merasakan tubuhnya sangat letih.

“Marilah, kita pulang. Besok malam kita kembali lagi ke gumuk ini.”

Keduanya pun kemudian berjalan pulang. Tubuh Glagah Putih seakan-akan menjadi gontai. Namun ia tetap bertahan menyusuri jalan yang kadang-kadang menurun, kadang-kadang naik, pulang ke rumah ayah angkatnya.

Ketika di luar sadarnya ia mengusap bibirnya, maka terasa cairan yang hangat tersentuh oleh punggung telapak tangannya. Baru Glagah Putih sadar bahwa bibirnya pecah-pecah. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dari bibirnya yang pecah-pecah itu telah mengembun darah. Sehingga justru karena itu, maka bibirnya itu terasa menjadi sangat pedih.

Demikian keduanya sampai di rumah, maka Ki Citra Jati pun berkata, “Mandilah. Kemudian kita akan minum minuman hangat. Tetapi kita masih belum akan makan, sampai permainan kita tuntas.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia pun segera pergi ke pakiwan, sementara adik-adik angkatnya telah menyediakan minum baginya.

Setelah mandi dan berbenah diri, maka Glagah Putih pun duduk beberapa saat di serambi bersama Ki Citra Jati. Bersama mereka adalah adik angkat laki-laki Glagah Putih.

“Bagaimana dengan ibumu dan mbokayumu?” bertanya Ki Citra Jati.

“Mereka masih tetap berada di sanggar, Ayah,” jawab anak muda itu.

“Bukankah kau dan saudara-saudaramu tetap berlatih dengan baik?”

“Ya, Ayah. Kami berlatih menurut waktu yang sudah Ayah tetapkan, meskipun tanpa Ayah, tanpa Ibu dan tanpa Kakang Glagah Putih.”

“Besok jika kewajiban kakakmu sudah tuntas, maka aku dan kakakmu akan berlatih bersama kalian.”

“Ya, Ayah,” jawab anak muda itu.

Dalam pada itu, Ki Citra Jati pun berkata kepada Glagah Putih, “Tidurlah. Masih ada waktu sedikit.”

Glagah Putih memang merasa tubuhnya sangat letih dan lemah. Tetapi minuman hangat dengan gula kelapa membuat tubuhnya menjadi lebih segar.

Di dini hari Glagah Putih telah masuk ke dalam biliknya. Demikian ia berbaring, maka Glagah Putih itu pun telah terlelap.

Tetapi Glagah Putih tidak terlalu lama tidur. Menjelang fajar, Glagah Putih telah terbangun. Ketika ia pergi ke belakang, ia mendengar derit senggot timba. Agaknya adik angkatnya yang laki-laki telah lebih dahulu bangun dan menimba air untuk mengisi pakiwan.

Sementara itu, Glagah Putih masih belum melihat Rara Wulan dan Nyi Citra Jati. Agaknya mereka masih tetap berada di dalam sanggar.

Ketika bayangan fajar mulai naik, Glagah Putih telah selesai mandi, mengisi jambangan pakiwan sehingga penuh lagi, kemudian berbenah diri.

Ketika Glagah Putih turun ke halaman, ternyata adik angkatnya telah sibuk menyapu halaman depan.

Ketika Glagah Putih pergi ke halaman samping, maka Ki Citra Jati telah memanggilnya. Glagah Putih pun kemudian datang menemui Ki Citra Jati di serambi.

“Hari ini adalah hari untuk beristirahat bagimu, Glagah Putih. Karena itu kau harus mempergunakannya dengan baik. Tetapi seperti yang aku katakan semalam, kau masih belum makan hari ini. Nanti malam kita masih akan meneruskan permainan kita di gumuk itu.” 

“Ya, Ayah,” jawab Glagah Putih.

“Karena itu, kau tidak usah membantu mengerjakan apapun juga hari ini. Kau harus menghemat tenagamu, yang pasti akan diperas lagi malam nanti.”

“Ya, Ayah.”

“Nah, jika kau ingin pergi ke halaman atau ke kebun belakang, pergilah. Tetapi jangan bekerja apa-apa. Jika kau kehabisan tenaga, maka permainan kita tidak akan tuntas.”

“Ya, Ayah.”

Glagah Putih pun kemudian memang pergi ke halaman belakang. Tetapi sebagaimana pesan ayah angkatnya, Glagah Putih tidak berbuat apa-apa. Ia hanya duduk saja di atas lincak bambu, sambil mendengarkan kicau burung jalak di kurungan yang digantungkan di serambi belakang.

Tetapi Glagah Putih yang tidak terbiasa duduk diam itu pun justru menjadi gelisah. Karena itu, maka ia pun segera bangkit dan melangkah menuju ke halaman depan. Sejenak Glagah Putih berdiri di regol halaman. Namun kemudian ia pun turun ke jalan dan berjalan menyusuri jalan padukuhan.

Sejak berada di rumah Ki Citra Jati, maka sudah ada satu dua orang tetangga yang dikenalnya. Karena itu, ketika ia berjalan menyusuri jalan padukuhan, beberapa orang yang berpapasan mengangguk sambil tersenyum. Bahkan ada di antara mereka yang menyapanya. 

Terasa udara pagi yang segar bagaikan menyusup sampai ke tulang. Glagah Putih yang keluar dari regol padukuhan itu berjalan di jalan bulak yang luas.

Seorang tetangga Ki Citra Jati yang baru pulang dari menunggui air di sawahnya sejak dini, sempat menegur Glagah Putih, “Kemana pagi-pagi, Ngger?”

“Berjalan -jalan saja, Paman.”

“Sejak kapan adik perempuanmu pulang?”

“Adik perempuan?” bertanya Glagah Putih, “Yang mana? Aku mempunyai beberapa orang adik perempuan.”

“Srini.”

“Srini?” Glagah Putih terkejut.

Tetangga Ki Citra Jati itu mengerutkan dahinya. Namun Glagah Putih yang tanggap justru bertanya, “Kapan Paman bertemu Srini?”

“Baru saja. Tetapi aku tidak sempat bertanya. Aku hanya melihat Srini berjalan tergesa-gesa dengan seorang laki-laki.”

“Suaminya, Paman. Aku tidak tahu kalau Srini pergi. Aku kira ia berada di dapur atau di pakiwan.”

“Aku melihat Srini berdua.”

“Mungkin Srini akan ke pasar, Paman. Sudah agak lama ia tidak melihat pasar Wage. Mungkin mereka pergi sebelum aku bangun.”

“Mungkin. Keduanya lewat di jalan ini ketika wayah terang tanah.”

“Jika demikian, aku akan dapat menunggu oleh-olehnya nanti,” berkala Glagah Putih sambil tersenyum.

Orang itu pun kemudian meninggalkan Glagah Putih yang termangu-mangu. Namun sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun mengurungkan niatnya untuk berjalan-jalan ke tengah bulak. Ia pun segera kembali pulang. Agar ia tidak mendahului tetangga Ki Citra Jati, maka Glagah Putih memilih jalan pintas, menyusuri pematang.

Demikian ia sampai di rumahnya, maka Glagah Putih pun langsung menemui Ki Citra Jati.

“Ayah,” berkata Glagah Putih, “Srini semalam ada di sini.”

“Srini?”

“Ya.”

“Darimana kau tahu?”

Glagah Putih pun kemudian menceritakan bahwa seorang tetangga pagi-pagi tadi, melihat Srini dan suaminya berjalan lewat bulak panjang di sebelah padukuhan.

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa sebenarnya yang dimaui anak itu? Mungkin ia telah mendapat laporan dari orang-orang yang telah berusaha menyamun kita.”

“Orang-orang padukuhan Punjul?”

“Dua orang anak gegedug yang dikubur di kuburan tua itu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Mungkin Srini dan suaminya menjadi semakin marah.”

“Dibatalkannya niatnya pulang, setelah Srini mengetahui bahwa aku dan ibunya ada di rumah.”

“Siapakah yang memberitahukan kepadanya?”

“Atau bahkan Srini melihat kita pulang semalam.”

“Ya.”

“Anak itu ternyata berbahaya bagi saudara-saudara angkatnya. Srini menjadi semakin mendendam. Bahkan mungkin ia ingin benar-benar membakar rumah ini.”

“Apakah sudah tidak mungkin lagi Srini diajak berbicara, Ayah?”

“Ibumu tentu ingin untuk dapat berbicara dengan Srini. Tetapi Srini tidak pernah memberi kesempatan.”

“Ayah,” berkata Glagah Putih, “aku mencemaskan adik-adik, bahkan Ibu, jika nanti malam kita pergi ke gumuk. Ibu dan Rara Wulan sedang tekun berada di sanggar. Mungkin mereka tidak akan segera mengetahui, jika Srini datang dan langsung melepaskan dendamnya kepada adik-adik angkatnya. Bahkan mungkin ia benar-benar membakar rumah dan sanggar, selagi Ibu dan Rara Wulan berada di dalam.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti, Glagah Putih. Tetapi jika kita tidak segera menyelesaikannnya, maka laku yang harus kau jalani menjadi semakin berat. Kau masih belum boleh makan sebelum laku yang kau tempuh tuntas. Jika laku yang harus kau jalani tertunda, maka kau harus tetap menunggu sampai lakumu dapat kau selesaikan. Sementara itu dengan tingkat kemampuanmu, maka menurut perhitunganku kau akan dapat menyelesaikannya dalam waktu sehari semalam. Jika nanti malam kita mulai, maka besok malam kau akan selesai.”

“Tetapi apakah kita akan meninggalkan rumah ini?”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian bergumam seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Kita tidak mempunyai jalan lain, Glagah Putih.”

“Jika kita tinggalkan rumah ini, maka keadaannya akan menjadi sangat gawat.”

“Tetapi menurut perhitunganku, Srini tidak akan kembali dalam waktu singkat. Ia tentu tidak tahu, bahwa kita malam nanti akan pergi. Ia pun tentu tidak tahu, bahwa ibunya dan Rara Wulan berada di sanggar.”

“Tetapi mungkin justru sebaliknya, Ayah. Srini tahu bahwa kita berada di gumuk kecil itu. Tetapi ketika ia akan masuk ke halaman rumah ini, ia melihat kita pulang. Dengan demikian, maka Srini akan mengamati, apakah kita malam nanti pergi atau tidak.”

“Ya. Mungkin sekali, Glagah Putih.”

“Apakah tidak sebaiknya kita menunggu? Aku akan mencoba untuk menyelesaikan laku ini sebaik-baiknya, meskipun harus tertunda satu atau dua hari.”

“Laku yang harus kau jalani menjadi sangat berat.”

“Aku akan berusaha.”

Ki Citra Jati termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Kita lihat, apakah ibumu dan Rara Wulan sempat beristirahat barang satu hari.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Jika Ibu dan Rara Wulan sempat beristirahat barang sehari, apakah kita akan pergi ke atas bukit?”

“Ya. Jika Srini benar-benar datang, maka ibunya akan menemuinya dan mudah-mudahan akan dapat meredakan marahnya.”

Glagah Putih tidak menyahut lagi. Segala sesuatunya tergantung kepada keadaan.

Yang dapat dilakukan kemudian adalah menunggu. Jika saja Nyi Citra Jati keluar dari sanggar, maka Ki Citra Jati akan dapat berbicara kepadanya. Sementara itu sesuai dengan pesan Ki Citra Jati, maka Glagah Putih benar-benar harus menghemat tenaganya, karena ia masih harus menjalani laku yang berat.

Menjelang senja, ternyata Nyi Citra Jati keluar dari sanggar. Sendiri.

Ki Citra Jati pun segera menemuinya, dan berbicara langsung tentang kehadiran Srini di padukuhan itu.

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

“Aku dapat saja dalam waktu malam sehari esok berada di luar sanggar, Kakang. Tetapi Rara Wulan harus tetap berada di dalam sanggar. la hanya dapat keluar dari sanggar di setiap tengah malam, sampai laku yang harus dijalaninya tuntas.”

“Rara Wulan harus berada di dalam sanggar berapa hari lagi, Nyi. Aku tidak ingin mencampuri caramu menempa murid-muridmu, tetapi apakah laku yang harus dijalani Rara Wulan itu tidak terlalu berat?”

“Aku telah menguji kemampuan Rara Wulan lahir dan batin. Ia akan dapat menempuh laku kedua dari cara pewarisan ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Waktu akan menjadi lebih pendek, meskipun laku yang harus dijalani menjadi lebih berat.”

“Jadi Rara Wulan akan menguasai ilmu Pacar Wutah dalam waktu selapan?”

“Selapan lebih sepekan.”

Ki Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang. Bukankah kau juga melalui jalur kedua untuk menuntun Glagah Putih mewarisi kemampuan bermain rinding itu?”

“Ya. Tetapi laku yang harus dijalani tidak akan seberat laku yang harus dijalani untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Ilmu yang akan aku wariskan kepada Glagah Putih sebenarnya tidak akan banyak berarti baginya, karena ia sudah memiliki berbagai macam ilmu. la dapat melontarkan serangan pada sasaran yang berjarak dari unsur kewadagannya. lapun telah menguasai ilmu yang disadapnya dari Raden Rangga, seorang anak muda yang tidak dapat diukur ilmunya, putra Kanjeng Panembahan Senapati. Pada saat-saat yang luang, Glagah Putih dapat mengungkap bayangan ilmu Raden Rangga itu hingga terwujud sebagai ilmu yang utuh. Karena itu, maka permainan rinding itu bagi Glagah Putih benar-benar sebagai satu permainan saja, yang barangkali sekedar untuk melengkapi perbendaharaan ilmunya.”

“Tetapi ia sudah terlanjur mulai. Sebaiknya ia mengakhirinya sampai tuntas.”

“Ya.”

“Baiklah. Nanti tengah malam pergilah ke bukit. Aku akan membawa Rara Wulan keluar untuk beristirahat barang beberapa saat. Kemudian mengantar Rara Wulan masuk kembali ke dalam sampai tengah malam berikutnya. Itupun hanya menjemput dan kemudian membawa Rara Wulan kembali memasuki sanggar. Seterusnya aku akan berada di luar sanggar, sampai Kakang pulang.”

“Baiklah, Nyi. Aku akan berbicara dengan Glagah Putih.”

“Aku pun akan berbicara dengan Rara Wulan nanti.”

Sebenarnyalah, maka menjelang tengah malam, Nyi Citra Jati telah membawa Rara Wulan keluar sanggar untuk beristirahat serta menghirup udara segar. Sementara itu, Ki Citra Jati dan Glagah Putih telah berangkat meninggalkan rumahnya, kembali ke gumuk kecil yang terpencil itu.

Ketika Glagah Putih dan Ki Citra Jati duduk sambil menyilangkan kaki di atas bukit, serta meletakkan rinding di bibirnya, maka Nyi Citra Jati telah membawa Rara Wulan masuk kembali ke dalam sanggar. Setelah memberikan beberapa petunjuk laku, maka Nyi Citra Jati pun telah keluar lagi dari sanggar. Ia telah siap menemui Srini, jika Srini benar-benar datang.

Tetapi malam itu Srini tidak pulang.

Tetapi di hari berikutnya, pada saat matahari naik, Srini sudah berada di halaman rumah orang tuanya.

Dengan jantung yang berdebaran, Nyi Citra Jati turun ke halaman. Dengan lembut Nyi Citra Jati berkata, “Marilah, Srini. Aku sudah lama menunggu kau pulang.”

Srini memandang ibunya dengan wajah yang gelap. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Dimana keparat itu, Bu?”

“Jangan begitu, Srini. Bersikaplah sebagai seorang saudara. Aku telah mengajarmu untuk saling mengasihi dengan saudara-saudaramu. Bahkan saling menolong dalam kerukunan.”

“Semuanya hanyalah mimpi yang manis. Seharusnya Ibu mulai bangun dan memandang dunia ini sebagai satu kenyataan.”

“Kenyataan yang mana, Srini? Jika kita saling berbenturan atau saling mengasihi, itu bukankah kenyataan yang kita ciptakan sendiri?”

“Sudahlah, Ibu. Serahkan perempuan itu. Besok aku akan datang menjemput laki-laki yang sekarang pergi bersama Ayah ke atas bukit.”

Jantung Nyi Citra Jati terasa berdegup semakin cepat. Dengan suara yang berat Nyi Citra Jati berkata, “Jangan membuat hatiku menjadi semakin pedih, Srini. Aku rindukan kau. Tetapi sekarang kau datang bukan dengan kerinduan sebagaimana rinduku. Tetapi kau datang untuk menyakiti hatiku.”

“Ibu yang menyakiti hatiku. Ibu menolak dan bahkan membenci laki-laki yang aku cintai. Dengan demikian, apa arti cinta Ibu kepadaku?”

“Maafkan aku, Srini. Kau tentu tahu, karena aku tidak dapat menerima kehadiran laki-laki itu di dalam keluarga kita.”

“Alasan yang dibuat-buat. Ibu menganggap aku sebagai benda mati yang dapat Ibu perlakukan menurut selera Ibu sendiri. Tetapi aku manusia seperti Ibu, yang mempunyai nalar budi. Mempunyai penilaian sendiri sesuai dengan jiwaku. Ibu sama sekali tidak menghargai sikap dan nalar budiku.”

“Sama sekali bukan maksudku, Srini.”

“Sudahlah,” berkata Srini, “sekarang, dimana perempuan itu Ibu?”

“Jika yang kau maksud adalah kakak angkatmu, ia berada di dapur.”

“Berikan perempuan itu kepadaku sekarang.”

“Jangan memaksa, Srini. Jika kau memaksa, maka akhir dari pertemuan kita akan menjadi tidak baik. Sementara itu aku ingin kau pulang dan hidup dalam satu lingkungan keluarga, seperti saat-saat remajamu.”

“Cukup. Ibu jangan menunggu kesabaranku habis.”

“Jangan terlalu berani kepada orang tua, Srini. Itu tidak baik.”

“Jadi Ibu benar-benar akan mempertahankan perempuan itu?”

“Aku terpaksa mencegahmu, Srini. Karena menurut nuraniku, kau-lah yang telah mengambil langkah yang salah. Kau tahu sikap dan pendirianku sejak kau remaja. Aku tidak akan ingkar dari kata nuraniku.”

“Jadi Ibu ingin mengandalkan ilmu Pacar Wutah itu?”

“Aku tahu bahwa kau juga memiliki ilmu itu. Tetapi sayang sekali, bahwa ilmumu telah bergeser. Ketika aku menurunkan ilmu Pacar Wutah kepadamu lewat jalur pertama, kau belum selesai. Kau terlalu tergesa-gesa sehingga ilmumu justru menjadi tidak sempurna. Namun kemudian kau matangkan ilmumu lewat jalur yang salah. Aku tidak tahu, siapakah yang mewariskan ilmu itu kepadamu. Pacar Wutah Gundala Wereng.”

“Ibu kira Pacar Wutah Puspa Rinonce itu lebih baik dan lebih tinggi tingkatnya dari Pacar Wutah Gundala Wereng?”

“Soalnya bukan manakah yang lebih baik dan manakah yang lebih tinggi.”

“Baik, Ibu. Kedatanganku sekarang adalah sekedar untuk meyakinkan sikap Ibu, dan tentu juga sikap Ayah. Tetapi aku minta Ibu mengetahui, bahwa aku tidak akan berhenti berusaha. Besok Ayah akan pulang bersama-sama laki-laki jahanam yang Ibu anggap sebagai anak itu. Sementara itu, aku tidak akan menghentikan usahaku untuk mengambilnya. Bahkan jika Ibu berkeras, yang terancam jiwanya bukan hanya laki-laki dan perempuan itu. Tetapi semua penghuni rumah ini. Ayah, Ibu dan adik-adik angkatku, yang sekarang ada dan yang akan pulang di kesempatan lain.”

Nyi Citra Jati pun kemudian menjawab dengan suara yang bergetar, sebagaimana jantungnya bergetar. Katanya, “Srini. Kenapa kau keraskan hatimu seperti batu hitam? Sebelumnya kau adalah anak yang manis. Gadis yang lembut dan memahami hubungan kasih sayang dengan seluruh keluarga.”

“Sikap Ayah dan Ibu telah menempa jantungku menjadi sekeras batu hitam.”

“Kau harus mengerti, Srini. Betapa hatiku telah terpecah. Di satu sisi aku mengasihimu. Aku ingin melihat kau bahagia. Tetapi di sisi lain aku mengetahui, bahwa laki-laki yang kau dambakan itu adalah laki-laki yang hadir dari lingkungan yang hitam. Seandainya kau menemukan kebahagiaan dengan laki-laki itu, namun kebahagiaan itu hanyalah kebahagiaan semu semata-mata. Kebahagiaan lahiriah yang memang dapat memenuhi keinginan keduniawian.”

“Sudah berapa kali aku mendengar sesorah Ibu seperti itu. Sebagaimana juga Ayah selalu menggurui aku. Tetapi Ayah dan Ibu selalu berpijak kepada kepentingan Ayah dan Ibu sendiri. Ayah dan Ibu telah bersikap tidak adil. Ayah dan Ibu ingin aku mengerti perasaan Ayah dan Ibu, tetapi Ayah dan Ibu sama sekali tidak mau mengerti, bahkan sama sekali tidak menghiraukan perasaanku.”

“Srini.”

“Cukup, Ibu. Aku akan pergi. Aku tahu, aku tidak akan dapat menang melawan Ibu. Bahkan seandainya aku datang bersama suamiku, aku meragukan, apakah aku dapat mengalahkan Ibu dan anak-anak angkat Ibu itu. Terutama anak yang sedang Ibu lindungi. Tetapi hubungan kami luas, Ibu. Pada suatu saat, maka Ayah, Ibu, dan anak-anak angkat Ibu, terutama yang sedang Ayah dan Ibu lindungi itu, akan menyesal. Pada batas kesabaran kami, maka kami akan dapat berbuat di luar dugaan Ibu dan Ayah.”

Nyi Citra Jati masih akan menjawab. Tetapi rasa-rasanya lehernya telah tersumbat. Matanya menjadi panas, sementara jantungnya berdegup semakin cepat.

Srini pun kemudian berkata, “Aku akan pergi. Tetapi aku sudah mendapat keyakinan, bahwa Ibu lebih mengasihi orang-orang yang datang kemudian itu daripada anak kandungnya sendiri.”

“Tidak, Srini. Tidak.”

Tetapi Srini sudah tidak mau mendengarkannya lagi. Ia pun segera melangkah pergi keluar lewat regol halaman rumahnya.

Air mata yang hangat telah meleleh ke pipi Nyi Citra Jati. Anak-anak angkatnya yang melihat Srini pergi, dengan cepat mendekati ibu angkatnya sambil berkata, “Marilah, Ibu.”

Nyi Citra Jati pun kemudian masuk ke ruang dalam. Namun ia tidak mampu lagi menahan tangisnya. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya yang basah. Isaknya terasa menyesakkan dadanya.

“Sudahlah, Ibu. Mbokayu sudah pergi.”

Nyi Citra Jati tidak menyahut. Tetapi diusapnya rambut gadis itu sambil berdesis di sela-sela isaknya, “Ya, Ngger. Tetapi aku masih mengharap mbokayumu itu kembali.”

“Apakah ia harus kembali bersama Kakang Gunung Lamuk?”

“Itulah yang telah merusak keseimbangan perasaanku. Jika saja Srini tidak tergoda oleh laki-laki itu.”

“Sudahlah, Ibu. Mudah-mudahan pada suatu saat Mbokayu menyadari, bahwa jalan yang ditempuhnya adalah jalan yang sesat.”

Nyi Citra Jati mengangguk.

Sementara itu, anak angkatnya yang lain telah membawa minuman hangat. Diletakkannya minuman hangat di sebelah ibu angkatnya sambil berkata, “Minumlah, Ibu. Mumpung masih hangat.”

“Terima kasih, Ngger.”

Beberapa saat Nyi Citra Jati masih duduk di amben panjang. Anak-anak angkatnya masih mengerumuninya.

“Sudahlah, Ngger. Tinggalkan Ibu. Ibu tidak apa-apa. Kerjakan apa yang harus kalian kerjakan.”

“Apakah Ibu akan masuk ke sanggar?” bertanya salah seorang anak angkatnya.

“Tidak. Biarlah mbokayumu menjalani laku sendiri. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Nanti malam, di tengah malam, aku akan menjemputnya untuk beristirahat sebentar. Kemudian membawanya kembali masuk ke dalam. Tetapi aku pun harus segera keluar lagi. Aku masih mencemaskan mbokayumu Srini. Meskipun aku ingin Srini pulang, tetapi tidak dengan membawa dendam seperti tadi, atau seperti kemarin dulu.”

Anak-anak angkatnya mengangguk. Mereka pun kemudian meninggalkan Nyi Citra Jati, kembali ke kerja mereka masing-masing. Sementara itu, Nyi Citra Jati sendiri duduk merenungi keadaannya. Bahkan di luar sadarnya Nyi Citra Jati itu pun berdesis, “Kakang Citra Jati. Kenapa kita harus memikul beban ini?”

Tetapi Nyi Citra Jati itu pun kemudian mengusap matanya yang basah. Iapun segera pergi ke pakiwan untuk mencuci wajahnya.

Dalam pada itu, di atas bukit berbatu padas yang berwarna keputih-putihan, Glagah Putih dan Ki Citra Jati duduk di bawah teriknya sinar matahari yang mencapai puncaknya. Langit pun nampak bersih. Tidak selembar awan pun nampak menggantung.

Di atas balu padas yang bergelombang oleh puncak-puncak gumuk kecil, udara nampak bagaikan mengandung uap air yang mendidih.

Di bawah panas sinar matahari yang membara di langit, Glagah Putih masih saja bermain dengan rindingnya. Diikutinya semua petunjuk Ki Citra Jati. Lagu yang dilontarkannya kadang-kadang terasa menghentak-hentak. Namun kemudian luruh mengusap jantung. Tetapi sejenak kemudian menukik dengan cepat, sehingga seakan-akan merunduk menyusuri permukaan tanah. Suaranya memberat bagaikan beban yang tidak terpikulkan. Namun sekejap kemudian, nadanya melenting tinggi, menggelepar di panasnya sinar matahari, menggapai-gapai pijar yang merayap di wajah langit.

Waktu pun merangkak tanpa henti. Setiap kejapan mata. Setiap tarikan nafas. Waktu pun bergerak terus.

Dalam pada itu, di rumahnya, Nyi Citra Jati masih saja merasa cemas. Mungkin sekali Srini yang mendendam itu datang kembali bersama suaminya dan orang-orangnya. Mungkin mereka akan memperlakukan seisi rumah itu dengan liar, sehingga anak-anak angkatnya akan menjadi korban. Demikian pula Rara Wulan yang berada di dalam sanggar.

“Jika hal itu terjadi, Glagah Putih tentu tidak akan memaafkannya,” berkata Nyi Citra Jati di dalam hatinya. Karena itu, jika terpaksa, maka ia akan membawa Rara Wulan keluar. Memotong laku pada jalur kedua yang sedang dijalani oleh Rara Wulan. Sehingga pada kesempatan lain Rara Wulan terpaksa harus mengulanginya. Tetapi itu tentu lebih baik daripada Rara Wulan harus dihancurkan di dalam sanggar tanpa memberikan perlawanan, atau berusaha menyingkir dari malapetaka.

Ketika senja turun, maka Nyi Citra Jati telah mengumpulkan keempat anak angkatnya. Dengan hati yang berat, Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Anak-anakku. Bukan maksudku untuk menaburkan perpecahan di antara saudara sendiri. Tetapi sudah tentu bahwa kalian tidak seharusnya membiarkan diri kalian menjadi korban dendam mbokayumu Srini. Sebenarnya Srini mendendam kepada Ayah dan Ibu, yang menurut Srini tidak mengasihinya. Tidak membiarkan Srini memilih jalan sesuai dengan seleranya. Tetapi Ayah dan Ibu memang dengan keras melarang Srini berhubungan dengan laki-laki yang sekarang menjadi suaminya. Namun dendam yang tersimpan di hatinya tidak akan membara seperti sekarang ini, seandainya Srini tidak menyadap ilmu hitam yang bahkan kemudian telah mewarnai jalan hidupnya. la mengira bahwa ilmu hitam itu dapat memberikan kebahagiaan kepadanya. Seandainya ia menemukan kebahagiaan itu, sebenarnya sekedar terpenuhi keinginan-keinginan kewadagannya saja. Keinginan-keinginan duniawinya saja.”

Saudara-saudara angkatnya itu pun mengangguk-angguk.

“Anak-anakku. Sebaiknya kalian mempersiapkan diri sebaik¬baiknya. Jika malam nanti mbokayumu datang lagi untuk menumpahkan dendamnya, apa boleh buat. Kita harus membela diri. Memang mungkin Srini datang bersama kawan-kawannya, orang-orang berilmu tinggi. Tetapi kita jangan menyerah begitu saja. Kalian harus berusaha.”

Anak-anak angkat Nyi Citra Jati itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Namun di wajah mereka nampak betapa mereka sudah pasrah pada keadaan. Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka tidak akan dapat melawan Srini yang memiliki ilmu yang tinggi.

Namun Nyi Citra Jati itu pun berkata, “Anak-anakku. Ada cara yang barangkali dapat membantu, setidak-tidaknya memberikan kesempatan kepada kita untuk memanfaatkan gelapnya malam, menghindar dari tangan mereka.”

“Apakah kita akan melarikan diri, Ibu?”

“Kita menyelamatkan diri. Menyelamatkan diri bukanlah perbuatan yang licik. Jika lawan kita menurut perhitungan kita memang tidak terlawan, maka kita tidak perlu membunuh diri.”

“Apa yang harus kita lakukan?”

“Bukankah kita belajar mempergunakan busur dan anak panah? Mempergunakan bandil, paser dan tulup?”

“Ya, Ibu.”

“Jika perlu, kita akan mempergunakannya. Kita manfaatkan gelapnya malam. Rimbunnya gerumbul-gerumbul perdu. Dari celah-celah pepohonan dan rumpun bambu di kebun belakang, kita menyerang lawan kita dengan panah, bandil atau tulup. Demikian kita menyerang, maka kita akan menyusup di kegelapan, sehingga kita mendapat kesempatan untuk keluar dari kebun lewat pintu-pintu butulan. Karena itu, kita tidak perlu menyelarak pintu-pintu butulan.”

“Bagaimana dengan Mbokayu Rara Wulan?”

“Aku akan membawanya pergi. Tetapi kita akan berdoa, semoga Srini tidak begitu cepat kembali.”

Anak-anak angkatnya pun mengangguk-angguk.

“Nah, kalian tahu dimana busur dan anak panah kita itu kita simpan. Kalian tahu, dimana kita menyimpan bandil, tulup dan paser. Paser untuk dilemparkan, dan paser-paser untuk dilontarkan dengan tulup.”

“Ya, Ibu.”

“Siapkan. Meskipun belum tentu harus kita pergunakan.”

Namun anak-anak Nyi Citra Jati itu masih juga nampak ragu-ragu.

Mereka sadar sepenuhnya, bahwa mereka hanyalah anak angkat, sementara Srini adalah anak kandungnya. Dalam keadaan yang menentukan, apakah Nyi Citra Jati itu benar-benar akan merelakan anak perempuannya itu?

Namun Nyi Citra Jati itu pun mengulanginya, “Masih ada kesempatan, anak-anakku.”

Anak-anak Nyi Citra Jati itu pun kemudian telah pergi ke bilik khusus, di belakang sentong yang dipergunakan oleh Ki Citra Jati dan Nyi Citra Jati. Mereka telah mengambil senjata sesuai dengan keterampilan mereka. Dua orang mengambil busur dan anak panah. Seorang mengambil bandil, dan seorang lagi mengambil tulup dan paser-paser kecil, yang dapat dilontarkan dengan tulup. Jika keadaan memaksa, maka mereka akan bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu, rumpun pisang dan rumpun bambu, sambil menyerang dari jarak jauh. Sementara itu, mereka dibenarkan oleh Nyi Citra Jati untuk mencari jalan keluar dan menghindarkan diri.

Dalam pada itu, di bukit, Glagah Putih masih menjalani laku menurut petunjuk dan tuntutan yang diberikan oleh Ki Citra Jati. Ternyata Glagah Putih tidak memerlukan waktu sampai tengah malam. Ketika suara rindingnya menggelepar meninggi bagaikan menggapai awan, maka terasa seakan-akan seluruh isi dada Glagah Putih pun menggelepar pula, tertumpah lewat suara rindingnya. Pada saat terakhir dari laku yang harus di jalaninya, maka disalurkannya tenaga dalamnya yang sudah menjadi semakin tinggi tatarannya, serta segenap kekuatan ilmunya, lewat getar suara rindingnya.

Ki Citra Jati dapat merasakan, betapa dahsyatnya getar suara rinding yang terlontar itu. Bukit-bukit seakan-akan bergetar dan pepohonanpun berguncang. Bintang-bintang yang bergayutan di langit pun rasa-rasanya akan runtuh menimpa bumi. Dengan isyarat, Ki Citra Jati pun kemudian mulai meredakan ungkapan kemampuan ilmu Glagah Putih lewat suara rindingnya. Suara rinding itu pun semakin lama menjadi semakin perlahan. Merendah, dan kemudian berhenti sama sekuli.

Glagah Putih yang duduk bersilang kaki itu nampak menjadi sangat letih. Nafasnya pun menjadi terengah-engah. Seluruh tubuhnya telah basah oleh keringat yang mengalir di seluruh wajah kulitnya.

Namun Ki Citra Jati itu pun telah mengisyaratkan agar Glagah Putih duduk memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya.

Ternyata Glagah Putih tidak memerlukan waktu terlalu lama. Iapun dapat menyelesaikan laku yang harus dijalani, sedikit lebih cepat dari yang seharusnya.

“Kau memang luar biasa, Glagah Putih. Aku sudah mengira. Sekarang kau menjadi salah satu dari beberapa orang pemain rinding yang baik. Biasanya memang perempuan yang termain rinding. Tetapi ada juga laki-laki yang menyenanginya. Antara lain adalah aku, dan beberapa orang kawan-kawanku. Sekarang bertambah satu lagi, kau.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

“Glagah Putih. Jika kau sudah beristirahat, marilah kita pulang. Kau tentu sangat letih. Namun aku juga mencemaskan kemungkinan kehadiran adikmu, Srini.”

Glagah Putih memang merasa sangat letih. Tetapi ketika ia mendengar nama Srini, maka rasa-rasanya ia mampu mengatasi perasaan letihnya. Glagah Putih kemudian juga mencemaskan Rara Wulan, yang juga sedang menjalani laku di dalam sanggar.

Karena itu, sebelum tengah malam, keduanya telah meninggalkan gumuk kecil itu, kembali ke padukuhan tempat tinggal Ki Citra Jati.

Di jalan pulang itu, kaki Glagah Putih rasa-rasanya beberapa kali terantuk batu. Mungkin karena Glagah Putih dan Ki Citra Jati itu tergesa-gesa, sementara mereka dalam keadaan yang sangat letih. Namun Glagah Putih justru menjadi semakin gelisah.

Sementara itu, malam pun menjadi semakin dalam. Beberapa buah bintang telah mulai bergeser, meskipun masih belum sampai ke tengah malam.

Di rumahnya. Nyi Citra Jati masih saja dicengkam oleh ketegangan. Ia masih mencemaskan kemungkinan Srini datang kembali bersama dengan kawan-kawan dan para pengikutnya.

Dalam pada itu, terasa dinginnya malam semakin menggigit. Sementara itu, anak-anak angkatnya tidak berada di dalam rumahnya. Dua orang berada di dalam kandang. Dan dua orang yang lain berada di dalam lumbung.

Padmini yang berada di lumbung bersama Baruni, sekali-sekali mengusap keningnya yang basah. Meskipun malam dingin, tetapi keringatnya mengembun di kening dan punggungnya.

“Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu, Baruni,” bisik Padmini.

Baruni mengangguk sambil berdesis, “Mudah-mudahan, Mbokayu. Kasihan Ibu. Hatinya telah terkoyak. Jika ia bersungguh-sungguh melawan Mbokayu Srini, mungkin Mbokayu akan terbunuh. Jika itu terjadi, maka Ibu pun akan menjadi sangat berduka ”

Namun tiba-tiba saja Padmini menutup mulut adiknya dengan telapak tangannya. “Sst,” desis Padmini.

Baruni terdiam. Ia memang mendengar desir lembut di sebelah lumbung padi.

Namun keduanya tetap berdiam diri.

Pamekas dan Setiti yang berada di kandang pun menjadi sangat berhati-hati. Mereka pun mendengar langkah-langkah kaki di sebelah kandang.

Setiti menarik nafas dalam-dalam. Disiapkannya sebuah paser kecil dan dimasukkannya ke dalam lubang tutupnya. Sementara itu Pamekas pun telah menyiapkan bandilnya pula.

Ternyata ada beberapa orang yang berkeliaran di halaman belakang rumah, sehingga dada keempat anak angkat Nyi Citra Jati itu menjadi berdebar-debar.

Nyi Citra Jati pun menjadi sangat tegang. Panggraitanya sudah menangkap isyarat kehadiran beberapa orang di halaman rumahnya.

“Srini, Srini. Kenapa kau dapat hanyut oleh arus yang membawamu ke dunia yang hitam itu,” Nyi Citra Jati yang berada di ruang dalam rumahnya itu pun berdesis.

Namun tiba-tiba saja Nyi Citra Jati itu bangkit. Dengan cepat ia keluar lewat pintu butulan, menuju ke sanggar.

Di dalam sanggar, Rara Wulan masih tetap menjalani laku sebagaimana ditunjukkan oleh Nyi Citra Jati. Meskipun demikian, perhatiannya sempat tertuju kepada Nyi Citra Jati yang dengan perlahan-lahan membuka pintu dan melangkah perlahan-lahan masuk ke dalam sanggar.

Nyi Citra Jati tidak dapat membiarkan Rara Wulan mengalami kesulitan dan bahkan mendapat malapetaka, justru pada saat menjalani laku. Tetapi Nyi Citra Jati pun tidak ingin Rara Wulan gagal sehingga harus mengulanginya kembali, jika tidak terpaksa sekali.

Karena itu, maka Nyi Citra Jati memerlukan menemui Rara Wulan yang tengah menjalani laku itu.

“Wulan,” desis Nyi Citra Jati dengan nada suara yang lembut. Rara Wulan menarik nafas panjang. Dilepaskannya pemusatan nalar budinya sejenak.

“Dengar, anakku. Kau jangan terpengaruh oleh apa yang terjadi di luar sanggar. Tunggu isyaratku. Mungkin kau harus berbuat sesuatu di sela-sela laku yang kau jalani. Tetapi ingat, kau tunggu isyaratku.”

“Apa yang terjadi, Ibu?”

“Permainan yang buruk. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, jangan terpengaruh oleh permainan yang buruk itu. Kau sedang menjalani laku yang berat. Jika kau terpengaruh, mungkin sekali pengaruh itu akan dapat mengganggu laku yang sedang kau jalani. Apa pun yang terjadi, jangan kau hiraukan.”

Ya, Ibu.”

“Yakinkan dirimu. Percayalah kepadaku.”

“Ya, Ibu.”

Nyi Citra Jati mencium pipi Rara Wulan yang basah oleh keringat. Kemudian ditepuknya bahunya sambil berdesis, “Kau memang luar biasa. Kau lalui waktu dengan kesan yang memberikan kebanggaan kepadaku. Aku belum pernah menemui seorang murid yang memiliki kelebihan sebagaimana kau, Wulan.”

“Terima kasih, Ibu. Semoga aku tidak mengecewakan Ibu sampai batas akhir.”

Nyi Citra Jati pun kemudian keluar dari sanggar. Tetapi ia tidak segera masuk ke dalam rumahnya. Tetapi Nyi Citra Jati justru bergeser, menghilang di bayangan segerumbul pohon soka yang sedang berbunga.

Sebenarnyalah bahwa beberapa orang memang sudah berada di halaman rumah Nyi Citra Jati. Tetapi mereka belum berbuat sesuatu. Sebagian dari mereka berada di kebun belakang. Yang lain berada di halaman samping.

Nyi Citra Jati yang memiliki penglihatan yang sangat tajam itu pun sempat melihat bayangan-bayangan yang bergerak di antara pepohonan di halaman samping. Namun Nyi Citra Jati itu masih tetap berdiam diri di belakang segerumbul pohon soka.

“Jika saja mereka tidak terperosok ke belakang tanaman perdu ini pula,” berkala Nyi Citra Jati di dalam hatinya.

“Agaknya mereka masih menunggu Srini, atau suaminya,” berkata Nyi Citra Jati kepada diri sendiri.

Yang kemudian dicemaskan oleh Nyi Citra Jati adalah anak-anak angkatnya. Mereka memang sudah mewarisi ilmu dari Nyi Citra Jati dan Ki Citra Jati. Tetapi masih banyak yang harus mereka lakukan untuk mencapai tataran ilmu yang tinggi.

“Mudah-mudahan kegelapan serta pengenalan mereka atas lingkungan ini dapat membantu,” berkata Nyi Citra Jati di dalam hatinya

Menurut pengamatan Nyi Citra Jati, agaknya Srini dan orang-orangnya masih belum tahu bahwa Rara Wulan berada di sanggar, sedang menjalani laku khusus pada jalur kedua untuk mewarisi ilmu Pacar Wutah Puspa Rinonce. Ternyata bahwa perhatian mereka sama sekali tidak tertuju ke sanggar.

“Mudah-mudahan mereka tidak tahu bahwa Rara Wulan sedang berada di sanggar. Mudah-mudahan mereka juga tidak tahu, bahwa Glagah Putih pun sedang menjalani laku di gumuk kecil itu. Mungkin mereka melihat Ki Citra Jati dan Glagah Putih datang kemudian pergi lagi. Tetapi mudah-mudahan mereka tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Setidak-tidaknya tidak tahu waktu yang diperlukan dalam laku yang sedang dijalani oleh Glagah Putih, yang akan selesai pada tengah malam ini.”

Nyi Citra Jati menarik nafas dalam-dalam.

Dalam pada itu, malam pun telah bergulir terus. Tengah malam lewat. Nyi Citra Jati memang menjadi gelisah. Biasanya Rara Wulan dapat beristirahat di tengah malam. Tetapi jika ia keluar dari sanggar, maka ia akan dapat terlihat. Sementara dalam menjalani laku, kekuatan dan kemampuan, terutama dukungan kewadagannya, tidak berada dalam keadaan siap.

Jantung Nyi Citra Jati pun bergetar ketika ia mendengar isyarat di halaman depan. Di sepinya malam, terdengar suara burung tuhu memekik tinggi.

Sejenak kemudian, suara itu telah disahut oleh suara burung kolik dari kebun di belakang rumah Nyi Citra Jati.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata Nyi Citra Jati.

Sementara itu, Padinini pun telah menggamit adiknya sambil berdesis, “Kita tidak mempunyai pilihan lain.”

“Ya, Mbokayu.”

“Hati-hatilah, Baruni. Semoga kita mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

Sejenak keduanya termangu-mangu. Mereka mendengar langkah beberapa orang yang agaknya sedang mengepung rumah Ki Citra Jati itu.

Padmini itu mendengar seseorang berkata perlahan-lahan. Namun karena orang itu berdiri di dekat lumbung, maka Padmini pun dapat mendengarnya. “Jangan ada yang lolos seorangpun. Kita akan menangkap mereka hidup-hidup. Tetapi jika mereka melawan, maka kita tidak mempunyai pilihan lain.”

“Bagaimana dengan Nyi Citra Jati?”

“Itu bukan tugas kita. Biarlah orang-orang berilmu tinggi yang berada di halaman depan yang mengurusnya.”

Kemudian mereka pun terdiam. Yang terdengar adalah langkah-langkah kaki.

Padmini pun kemudian menggamit adiknya dan berdesis, “Marilah.”

Keduanya pun kemudian dengan hati-hati keluar dari lumbung. Mereka merayap di balik gerumbul-gerumbul perdu. Kemenangan pertama merekapertama dari orang-orang yang berdatangan itu adalah, bahwa mereka menguasai medan dengan baik.

“Hanya Mbokayu Srini yang mengenal lingkungan ini sebaik kita,” bisik Padmini.

Dengan anak panah yang sudah melekat di busurnya, mereka bergerak dengan sangat berhati-hati.

Di sisi lain, Pamekas dan Setiti pun telah keluar dari kandang pula. Mereka harus lebih berhati-hati, agar kuda yang ada di dalam kandang itu tidak terkejut dan bahkan meringkik.

Sementara itu di halaman di depan rumah, Srini dan suaminya, Gunung Lamuk, berdiri bertolak pinggang. Bersama mereka ada dua orang yang berwajah garang. Seorang di antara kedua orang yang berwajah garang itu bertubuh tinggi kekurus-kurusan. Sebagian rambutnya yang sudah memutih nampak tergerai di bawah kepalanya. Kumisnya yang tebal, yang sebagian juga sudah memutih, menyilang di bawah hidungnya. Pada kedua belah pergelangan tangannya, melilit sejenis akar yang berwarna hitam mengkilat. Sebelah ujungnya dibentuk seperti kepala ular, sedang ujung yang lain merupakan ekornya. Tubuhnya melilit tiga empat kali di pergelangan tangan orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.

“Inikah rumah kedua orang tuamu, Srini?” bertanya orang itu.

“Ya, Guru. Tetapi agaknya Ayah tidak ada di rumah.”

“Ayahmu pergi ke mana?”

“Aku tidak tahu pasti, Guru. Tetapi Ayah pergi bersama anak angkatnya ke arah bukit-bukit kecil. Jika seorang di antara kami mencoba untuk mengikutinya, Ayah tentu dapat melihatnya.”

“Sampai sekarang ayahmu belum kembali?”

“Belum, Guru. Dua orang yang aku tugaskan untuk mengawasi jalan di luar padukuhan ini, belum melihat Ayah pulang.”

“Apa yang dilakukannya di gumuk kecil itu?”

“Entahlah, Guru. Tetapi agaknya ayah sedang mewariskan salah satu ilmunya kepada anak angkatnya yang telah dilindunginya dari tangan kami itu.”

“Ibumu?”

“Ibu ada di rumah. Orang yang mengawasi rumah ini tidak melihat Ibu keluar dari regol halaman.”

“Apa yang dilakukannya?”

“Tentu melindungi anak angkatnya, yang dikasihaninya lebih dari anak kandungnya sendiri.”

“Maksudmu, kau?”

“Ya, Guru.”

“Baiklah. Kita akan menghancurkan isi rumah ini. Aku akan membantumu menangkap seisi rumah ini hidup-hidup. Tetapi jika ada di antara mereka terbunuh, jangan salahkan aku dan saudara-saudara seperguruanmu.”

“Ya, Guru.”

“Gunung Lamuk,” berkata orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu pula, “kau awasi adik-adik angkat Srini. Mereka sudah diberi bekal oleh ibunya. Jangan biarkan mereka melarikan diri.”

“Rumah ini sudah dikepung, Guru.”

“Baiklah. Marilah kita naik. Aku akan memanggil ibumu.”

Srini, suaminya, bersama kedua orang itu pun segera naik ke pendapa. Di depan pintu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu berkata lantang, “Nyi Citra Jati! Menyerahlah, agar tidak timbul pertumpahan darah. Anakmu tidak akan menyakitimu. Yang ia inginkan adalah anak angkatmu. Seorang saja. Tidak semuanya.”

Tidak ada jawaban. Pintu rumah itu tetap saja tertutup, meskipun lampu di ruang dalam nampak menyala dengan terang.

“Nyi. Kau dengar suaraku? Aku datang bersama anak perempuanmu.”

Karena masih saja tidak ada jawaban, maka Srini-lah yang berteriak, “Ibu! Kau dengar? Aku datang bersama Guru!”

Pintu rumah itu bagaikan membeku. Dinding, tiang kerangka rumah itu bagaikan membeku.

“Jika kau tidak mau membuka pintunya, Nyi, aku akan merusaknya.”

Nyi Citra Jati mendengar teriakan-teriakan itu. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya. Nyi Citra Jati itu masih tetap mengawasi pintu sanggarnya dari balik segerumbul pohon soka.

“Ibu! Ibu!” teriak Srini, “Jika Ibu tetap berkeras, maka hatiku pun akan menjadi sekeras batu hitam.”

Dalam pada itu. anak-anak angkat Nyi Citra Jati menjadi tegang. Sebenarnya Nyi Citra sudah mengisyaratkan agar mereka berusaha untuk meninggalkan halaman. Namun Padmini itu berbisik di telinga adiknya, “Apakah kita akan sampai hati meninggalkan Ibu sendiri menunggui Mbokayu Rara Wulan yang sedang berada di sanggar? Lalu apa yang akan terjadi dengan Ibu, dan kemudian apa pula yang akan terjadi dengan Mbokayu Rara Wulan?”

Adiknya pun mengangguk. Katanya, “Kita tidak akan pergi. Apapun yang terjadi.”

“Mungkin kemampuan kita tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Mbokayu Srini dan suaminya, seandainya Ibu akan menghadapi gurunya. Tetapi kita tidak akan lari jika Ibu dan Mbokayu Rara Wulan masih berada di sanggar.”

Karena itu, maka keduanya pun justru telah mempersiapkan anak panah dan busurnya.

“Apa boleh buat,” desis Baruni.

Ternyata Pamekas dan Setiti pun tidak ingin meninggalkan ibunya untuk bertempur sendiri. Mereka pun tahu, siapakah yang datang. Meskipun tidak jelas, tetapi mereka juga mendengar Srini itu menyebut seseorang dengan Guru.

“Selama ini kita sudah diasuhnya sebagai anak sendiri. Bahkan kita sudah mewarisi sebagian ilmunya pula. Apakah kita akan membiarkannya?” berkata Setiti.

Pamekas mengangguk. Katanya, “Kita akan tetap disini bersama Ibu.”

“Sekarang apa yang akan kita lakukan?”

“Kita mendekati kepungan itu. Bukan kita yang licik, jika kita menyerang mereka sambil bersembunyi.”

Dalam pada itu, Srini menjadi tidak sabar lagi. Ketika gurunya berteriak sekali lagi, sementara pintu tetap tidak dibuka, maka ia pun berkata kepada suaminya, “Kita akan memecahkan pintu.”

Sejenak kemudian, terdengar pintu berderak pecah. Srini, suaminya, gurunya, dan seorang lagi yang berwajah garang, segera memasuki rumah yang sudah terbuka itu. Namun mereka tidak menemukan siapa-siapa di dalam rumah itu. Bahkan ketika mereka memasuki setiap sentong yang ada, serta ke dapur.

Rumah itu kosong. Mereka tidak menemukan Nyi Citra Jati. Mereka juga tidak menemukan Rara Wulan dan anak-anak angkat yang lain.

“Mereka telah melarikan diri,” geram gurunya.

“Tidak mungkin. Mereka tidak keluar lewat regol depan. Tidak pula lewat butulan. Semua pintu keluar halaman diawasi.”

“Jika demikian, mereka tentu masih ada di halaman ini.”

Yang terdengar adalah teriakan-teriakan yang merupakan aba-aba, yang dilontarkan lewat mulut Gunung Lamuk, yang berdiri di pintu dapur yang menghadap ke belakang.

“Mereka ada di luar! Rumah ini kosong! Cari sampai ketemu! Jangan ada yang terlewatkan!” teriak Gunung Lamuk.

Orang-orang yang sebelumnya mengepung rumah itu pun segera menebar. Mereka mencari isi rumah itu di seluruh halaman dan kebun di belakang.

Anak-anak Nyi Citra Jati tidak dapat hanya berdiam diri dan bersembunyi. Orang-orang yang mencari mereka itu pun segera menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar