Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 332

Buku 332

Namun ketika Ki Ambara bertekad untuk segera membalas kematian Wiyati, ternyata bahwa lawannya bukan seorang yang mudah dikalahkannya.

Ketika Ki Ambara meningkatkan ilmunya, maka Ki Jayaraga pun telah melakukan hal yang sama. Dengan demikian maka Ki Jayaraga masih saja tetap mampu mengimbangi kemampuan Ki Ambara.

Dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi yang tidak terikat lagi dalam pertempuran melawan orang yang berilmu tinggi, telah banyak menghentikan perlawanan para pengikut Ki Saba Lintang. Beberapa orang laki-laki yang berwajah garang, mencoba bersama-sama menyerang Swandaru dan Pandan Wangi. Namun mereka tidak berhasil menyingkirkan kedua orang itu dari arena.

Seorang di antara mereka yang bertubuh raksasa bertempur dengan bindi yang besar di tangannya. Namun bindi yang besar itu kadang-kadang justru menjadi kebingungan untuk melawan pedang tipis Pandan Wangi. Apalagi cambuk Swandaru yang masih saja menghentak-hentak dengan bunyi yang memekakkan telinga. Nampaknya Swandaru tidak tergesa-gesa meningkatkan ilmunya sampai tataran yang tinggi, yang membuat hentakan cambuknya tidak lagi menggelegar seperti suara guruh di saat udan salah mangsa.

Namun suara cambuk Swandaru yang gemuruh dan bahkan hampir memekakkan telinga itu nampaknya berhasil membuat para pengikut Ki Ambara itu menjadi sangat gelisah.

“Jangan takut kepada suara cambuk itu!” teriak Ki Ambara, “Suara cambuk itu tidak lebih menggetarkan jantung dari suara cambuk para gembala di padang rumput. Jika iring-iringan gembala itu akan menyimpang, maka para gembalanya telah menghentakkan cambuk mereka, sehingga suaranya memekakkan telinga.”

Swandaru juga mendengarnya. Tetapi ia tidak menghiraukannya. Bagi para pengikut Ki Ambara, hentakan-hentakan yang meledak-ledak itu mempunyai pengaruh yang lebih besar daripada cambuk itu tidak meledak sama sekali. Jarang para pengikut Ki Ambara yang dapat menilai ledakan cambuk itu, selain suaranya yang mengguntur.

Swandaru sendiri memang tidak ingin membunuhi lawan-lawannya. Jika ia meningkatkan ilmunya, maka sentuhan ujung cambuknya akan dapat mengelupas kulit daging sampai ke tulang. Tetapi jika cambuknya justru meledak-ledak, maka ujungnya hanya mampu mengoyak kulit dan menimbulkan luka di permukaan.

Dalam pada itu, maka kecemasan mulai merambah jantung Ki Ambara sepeninggal Wiyati dan Nyi Kanthil Kuning. Tidak ada yang dapat menahan Pandan Wangi dan bahkan Swandaru.

Karena itu, maka Ki Ambara itu pun berniat untuk dengan cepat menyelesaikan lawannya yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Tetapi ternyata bahwa yang terjadi tidak seperti yang dikehendaki.

Demikian pula Ki Ajar Mawanti yang telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya melawan Empu Wisanata. Ternyata bahwa Ki Ajar Mawanti pun tidak mampu menyelesaikan tugasnya. Empu Wisanata ternyata adalah seorang yang berilmu tinggi pula.

Dalam pada itu, baik di arah depan maupun di arah belakang perkemahan, pasukan Ki Saba Lintang menjadi semakin terjepit. Orang-orang berilmu tinggi yang ada di dalam pasukannya, ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan lawan-lawan mereka. Bahkan para prajurit yang dipimpin Untara itu semakin lama menjadi semakin mendesak, sehingga ruang gerak pasukan Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itu menjadi semakin sempit.

Dalam pertempuran yang terjadi di antara pepohonan hutan di sisi utara Lemah Cengkar itu, maka Empu Wisanata berhasil mendesak dan menguasai lawannya, Ki Ajar Mawanti. Ilmu Rog-Rog Asem yang dilontarkan oleh Ki Ajar Mawanti tidak dapat menghancurkan pertahanan Empu Wisanata. Getaran yang timbul dari ilmu Rog-Rog Asem yang ternyata belum sempat dimatangkannya itu, tidak banyak mempengaruhi pertahanan Empu Wisanata.

Bahkan serangan-serangan Empu Wisanata yang seperti angin prahara dilambari ilmunya yang tinggi, telah membuat perlawanan Ki Ajar Mawanti terguncang-guncang.

Ternyata bahwa Ki Ajar Mawanti itu bukan orang yang tangguh tanggon. Dalam keadaan yang rumit, Ki Ajar Mawanti telah berbuat sangat licik. Dengan isyarat dia memanggil orang-orangnya sepadepokan. Demikian mereka bergeser dan mencari kesempatan untuk mendekatinya, maka Ki Ajar Mawanti segera memerintahkan mereka untuk mengeroyok Empu Wisanata.

Orang-orang itu tidak menunggu perintah untuk kedua kalinya. Merekapun dengan serta-merta telah melibat Empu Wisanata tanpa malu-malu.

Empu Wisanata segera mengalami kesulitan. Dengan cepat ia berusaha untuk meloncat surut mengambil jarak. Bahkan masuk ke dalam pasukan yang sedang berbenturan.

Beberapa orang pengawal yang melihat kelicikan itu, segera memburu pula. Mereka yang ditinggalkan oleh lawan-lawannya yang berusaha untuk menerobos masuk dan mengeroyok Empu Wisanata, telah memburu pula.

Tetapi waktu yang sekejap itu ternyata sangat merugikan Empu Wisanata. Ia tidak sempat menghindari semua serangan yang datang itu. Meskipun Empu Wisanata dengan tangkasnya berloncatan, namun beberapa ujung senjata sempat menyentuh kulitnya

Tiga orang lawan terlempar dari arena. Mereka tidak sempat mengerang. Luka yang dalam menyilang di dada mereka.

Sementara itu, beberapa orang pengawal Tanah Perdikan telah berada di sekitarnya.

Namun Empu Wisanata menjadi kecewa Dalam keadaan yang rumit, ia tidak sempat melihat kemana Ki Ajar Mawanti melarikan diri.

Pusaran pertempuran di seputar Empu Wisanata telah terlihat oleh Swandaru dan Pandan Wangi. Dengan cepat mereka pun bergerak mendekatinya. Namun ketika mereka sudah berada di tempat itu, maka Ki Ajar Mawanti sudah tidak ada di arena.

“Licik!” desis Pandan Wangi.

“Ya. Licik sekali,” sahut Swandaru.

Dalam pada itu, para pengawal pun telah berhasil menghalau para pengikut Ki Ajar Mawanti, sehingga Empu Wisanata telah menjadi bebas kembali.

Namun ternyata beberapa buah luka telah tergores di tubuhnya.

Tetapi Empu Wisanata masih sempat menahan diri. Ia tidak mengamuk di antara para pengikut Ki Ajar Mawanti. Bahkan Empu Wisanata justru berusaha menahan dirinya.

“Luka Empu harus diobati,” berkata Swandaru.

Empu Wisanata mengangguk. Justru setelah lawan-lawannya dihalau dari sekitarnya, maka Empu Wisanata itu menyadari bahwa luka-lukanya termasuk cukup parah.

“Beristirahatlah, Empu,” desis Swandaru.

Beberapa orang telah memapah Empu Wisanata ke belakang garis perang.

Demikian Ki Ajar Mawanti lenyap dari medan, maka keseimbangan pertempuran segera menjadi berat sebelah. Ki Ambara ternyata masih belum mampu mengalahkan Ki Jayaraga. Sementara itu, para pengikutnya yang berada di bagian belakang perkemahan menjadi semakin tertekan dan kehilangan kesempatan.

Ki Ambara melihat keadaan itu. Ia tidak lagi berpengharapan untuk dapat bertahan.

Karena itu, maka ia pun segera memerintahkan seorang penghubung dengan isyarat rahasia, untuk menghubungi Ki Saba Lintang.

Ki Jayaraga tidak tahu maksud isyarat itu. Tetapi Ki Jayaraga tahu pasti, bahwa Ki Ambara akan mengambil langkah-langkah tertentu untuk menyelamatkan pasukannya yang masih tersisa.

Karena itu, maka Ki Jayaraga-lah yang kemudian berusaha untuk menjaga agar Ki Ambara tidak sempat melarikan dirinya.

Seperti yang diduga oleh Ki Jayaraga, maka penghubung itu pun segera mencari Ki Saba Lintang yang bertempur di arah depan perkemahan, melawan salah seorang senapati pengapit dari gelar pasukan Mataram di Jati Anom yang semakin menekan.

Teriakan-teriakan yang tidak dimengerti oleh orang lain telah didengar oleh Ki Saba Lintang, yang juga sudah menyadari betapa sulitnya untuk dapat tetap bertahan.

Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Ki Ambara, apakah kau sedang memerintahkan orang-orangmu untuk melarikan diri dari medan? Mungkin satu dua di antara mereka berhasil lepas dari tangan para pengawal dan para prajurit. Tetapi sebagian besar dari mereka akan tertangkap. Karena itu, kenapa kau tidak memerintahkan pasukanmu untuk menyerah saja?”

Ki Ambara tidak menjawab. Tiba-tiba saja Ki Ambara itu meloncat menyerang dengan garangnya. Namun Ki Jayaraga dengan tangkasnya menghindarinya.

Ki Ambara justru tidak lagi menggenggam senjata. Tetapi serangan-serangannya justru menjadi semakin dahsyat. Agaknya Ki Ambara lebih percaya kepada ilmunya daripada kepada senjatanya.

Angin yang tajam tiba-tiba saja menyambar-nyambar tubuh Ki Jayaraga. Sentuhan getaran angin itu terasa sangat pedih di kulitnya. Semakin lama serangan itu menjadi semakin tajam, sehingga Ki Jayaraga itu menduga, bahwa pada saatnya angin yang terlontar dari ilmu Ki Ambara itu akan dapat melukainya.

Ki Ambara masih saja berloncatan. Tangannya bergerak-gerak dengan cepat seakan-akan melemparkan benda-benda kecil yang tidak kasatmata. Namun yang melibat Ki Jayaraga adalah getar angin yang sangat tajam.

Ki Jayaraga pun kemudian meningkatkan daya tahan tubuhnya. Ia sadar bahwa ia berhadapan dengan ilmu yang sangat tinggi dan jarang sekali ditemui lagi.

Seperti yang diduga, maka sentuhan-sentuhan angin itu semakin lama menjadi semakin tajam. Bahkan kulitnya mulai terluka seperti terkena sentuhan duri.

Ki Jayaraga tidak mempunyai pilihan lain. Maka dengan tangkasnya ia melenting tinggi, berputar di udara untuk menghindari serangan-serangan yang lebih parah. Demikian ia berdiri tegak selangkah di depan lawannya, maka tangannya pun segera terayun dengan derasnya, dilampiri dengan ilmu andalannya, Aji Sigar Bumi.

Yang terjadi demikian cepatnya, sehingga Ki Ambara tidak sempat menghindarinya. Dengan kedua tangannya yang bersilang di depan wajahnya ia mencoba untuk menangkis serangan itu.

Tetapi ilmu Ki Jayaraga yang disebutnya Aji Sigar Bumi itu ternyata mempunyai kekuatan yang sangat besar.

Ki Ambara yang menjadi kepercayaan Ki Saba Lintang itu tidak mampu untuk menahan gempuran Aji Sigar Bumi.

Ki Ambara itu terdorong beberapa langkah surut. Matanya menjadi berkunang-kunang. Dunia rasa-rasanya berputar semakin lama semakin cepat. Ingatan Ki Ambara pun menjadi kabur. Ia tidak lagi dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga karena itu, maka ia pun telah terjatuh di tanah.

Para pengawal Sangkal Putung yang menyaksikannya bersorak. Ki Ambara ternyata tidak mampu mengimbangi tataran ilmu Ki Jayaraga.

Dengan demikian, maka pasukan Ki Ambara yang berada di bagian belakang perkemahannya itu telah kehilangan sandaran. Karena itu, maka mereka telah pecah berlarian, untuk bergabung dengan kawan-kawan mereka yang berada di bagian depan perkemahan itu.

Medan pertempuran itu pun menjadi bergejolak. Sementara itu, para pengawal Sangkal Putung berusaha memburu mereka.

Gejolak itu pun telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki Saba Lintang dan para pengikutnya. Guncangan-guncangan yang terjadi memungkinkan beberapa orang justru menyelinap di antara para pengikutnya, tanpa menghiraukan pengorbanan yang harus diberikan oleh para pengikutnya itu.

Sabungsari menjadi sangat marah ketika Ki Saba Lintang tiba-tiba saja menghilang. Ia masih sempat melihat Ki Saba Lintang itu menyelinap. Dengan kemampuannya yang tinggi, maka Sabungsari telah menyerang Ki Saba Lintang itu dengan sorot matanya. Namun demikian serangan itu meluncur, Ki Saba Lintang sudah berada di belakang seorang pengikutnya. Yang terdengar adalah teriakan pengikutnya itu. Namun segera suara teriakannya berhenti.

Sabungsari tidak dapat memburunya. Ketika beberapa orang menyerangnya, ia memang berhasil menguakkannya. Kemarahan yang membakar jantungnya menyebabkan beberapa orang yang berusaha menahannya terbunuh. Bahkan Sabungsari telah berusaha menyibak jalan dengan sorot dari matanya.

Namun akhirnya Sabungsari menyadari, bahwa yang dilakukannya itu akan dapat menimbulkan banyak kematian. Sementara itu Ki Saba Lintang belum tentu dapat ditemukannya. Karena itu, maka Sabungsari pun telah menghentikan usahanya. Ia tidak lagi mengaduk medan untuk menemukan Ki Saba Lintang. Pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu memungkinkan Ki Saba Lintang luput dari kejaran penglihatan Sabungsari.

Dengan demikian, keadaan pasukan dari para pengikut Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itu menjadi semakin kacau. Mereka sudah kehilangan tali pengikat untuk mempersatukan pasukan yang sudah goyah itu.

Meskipun demikian, Welat Wulung masih saja bertempur dengan garangnya. Ketika ia merasa terdesak, maka Welat Wulung itu pun telah sampai ke puncak kemampuannya Dipergunakannya senjata rahasianya yang jarang sekali keluar dari kantong ikat pinggangnya

Glagah Putih melihat Welat Wulung itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya. Ia pun segera teringat kepada Aji Pacar Wutah. Karena itu, maka Glagah Putih pun segera menahan diri untuk tidak dengan tergesa-gesa menyerangnya.

Namun ternyata Welat Wulung tidak menerapkan senjata rahasianya yang disebut Pacar Wutah. Tetapi dari mulutnya telah meluncur benda yang berwarna kemerah-merahan. Tidak terlalu besar. Sedikit lebih kecil dari biji melinjo, tetapi ujudnya bulat penuh.

Glagah Putih terkejut. Dengan cepat ia meloncat menghindari serangan itu. Namun demikian ia berdiri tegak, maka dari mulut Welat Wulung telah meluncur lagi benda serupa. Tetapi tidak kemerah-merahan. Warnanya agak cokelat kehitam-hitaman.

Glagah Putih masih belum tahu jenis senjata rahasia lawannya. Namun dua orang prajurit Mataram telah berteriak nyaring. Namun suaranya segera terdiam.

“Licik kau, Glagah Putih,” geram Welat Wulung, “seharusnya kau tidak menghindar, sehingga aku tidak perlu membunuh orang yang tidak setataran ilmunya dengan ilmuku.”

“Itu perbuatan gila,” jawab Glagah Putih, “kau kira aku sudah ingin mati? Kau-lah yang harus berhati-hati!”

Welat Wulung tertawa. Tetapi suaranya seakan-akan tertahan-tahan. Agaknya di mulutnya masih terdapat beberapa buah benda yang menjadi senjata rahasianya itu.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak mau kehilangan waktu. Pada saat itu pula, ia pun telah menerapkan ilmunya pula. Ia tidak mau sekedar menjadi sasaran serangan Welat Wulung.

Namun Welat Wulung telah mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan serta-merta ia telah menghembuskan senjata rahasia dari mulurnya, sebagaimana seorang yang sedang menyumpit.

Glagah Putih melenting tinggi, sehingga senjata rahasia yang berwarna kehijau-hijauan itu tidak mengenainya Namun demikian kaki Glagah Putih menyentuh tanah, maka tubuhnya pun telah terdorong surut. Sesuatu telah menyengat pundaknya. Sebutir senjata rahasia yang berwarna kehitam-hitaman telah menyambarnya.

Namun ketika senjata rahasia berikutnya hampir saja menyambar dahinya, Glagah Putih telah menjatuhkan dirinya. Namun bersamaan dengan itu, sambil masih berbaring di tanah, Glagah Putih telah menjulurkan kedua tangannya mengarah ke tubuh Welat Wulung, yang sudah siap untuk menyerangnya lagi.

Welat Wulung terkejut. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih memiliki kemampuan untuk menyerangnya dengan cara yang menggetarkan jantung.

Welat Wulung memang berusaha untuk menghindar. Namun serangan Glagah Putih itu masih saja juga mengenai lambungnya.

Welat Wulung terlempar beberapa langkah surut. Ia terbanting jatuh di tanah yang lembab. Lambungnya serasa bagaikan terbakar.

Namun ternyata orang itu mempunyai daya tahan yang sangat tinggi. Tertatih-tatih Welat Wulung itu bangkit berdiri. Namun pada saat yang bersamaan Glagah Putih pun telah berdiri pula.

Namun pada saat Glagah Putih menghentakkan ilmunya, darah bagaikan menyembur dari lukanya. Dari sebuah lubang kecil yang agaknya cukup dalam.

Meskipun demikian, Glagah Putih sudah siap untuk melontarkan ilmunya pula, meskipun darah akan memancar sampai titik yang terakhir.

Tetapi Welat Wulung yang berdiri tertatih-tatih itu akhirnya berjongkok sambil mengangkat tangannya. Katanya dengan suara sendat, “Aku menyerah, anak muda. Kau menang. Aku akan membuang semua senjata rahasiaku.”

Tanpa diminta, Welat Wulung itu pun telah memuntahkan senjata rahasia yang masih beberapa butir di mulutnya. Bulatan-bulatan yang beraneka ragam. Ada yang merah, ada yang biru, ada yang ungu.

Tetapi Glagah Putih tidak segera mempercayainya. Mungkin masih ada satu yang tersisa. Yang satu itu tentu akan dapat melubangi dahinya

“Aku bersumpah, anak muda,” Welat Wulung menjadi semakin lemah.

Welat Wulung pun kemudian telah terduduk. Sementara itu, Glagah Putih masih mencoba mempertahankan keseimbangannya, meskipun darahnya masih saja mengalir dari lukanya yang kecil tetapi dalam. Untunglah bahwa luka yang dalam itu tidak berada di arah jantung. Seandainya senjata rahasia itu mengenai dada Glagah Putih di arah jantung, mungkin senjata rahasia itu sudah bersarang di jantungnya.

Sementara itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan sudah berada di sebelah Glagah Putih. Mereka pun kemudian membantu Glagah Putih dan membawanya duduk bersandar di sebatang pohon.

Tetapi kawan-kawan Welat Wulung yang sudah terdesak, tidak berhasil menyelamatkan Welat Wulung yang terluka parah, karena para prajurit Mataram pun segera mengelilinginya.

Ternyata Welat Wulung tidak berbohong. Ia sudah memuntahkan semua senjata rahasia dari mulutnya.

Dalam pada itu, seorang tabib yang ikut dalam pasukan Untara itu pun segera menangani Glagah Putih. Ia berusaha setidak-tidaknya memampatkan darah yang masih saja mengalir.

Namun usahanya tidak segera berhasil. Darah Glagah Putih masih saja mengalir dari lubang lukanya yang dalam.

Sementara itu, keadaan Welat Wulung pun menjadi semakin parah. Namun ia masih bertanya, “Bagaimana keadaan anak muda yang terluka itu?”

“Untuk apa kau bertanya?” bentak seorang lurah prajurit.

“Jangan berprasangka buruk. Aku ingin membantu melepaskannya dari kesulitan.”

“Katakan!”

“Adakah tabib yang yang baik yang berada di medan?”

Lurah prajurit itu pun segera berlari menyampaikan pertanyaan Welat Wulung itu kepada Sekar Mirah.

Tabib yang merawat Glagah Putih itu pun segera bangkit dan mengikuti lurah prajurit itu.

“Aku bukan tabib yang baik. Tetapi aku akan berusaha,” berkata tabib itu.

Welat Wulung pun kemudian berkata, “Pergunakan sisa senjata rahasia yang aku muntahkan dari mulutku untuk menghisap senjata rahasia yang ada di dalam tubuh anak muda itu.”

“Kau berkata dengan jujur?”

“Nyawaku sudah di ujung rambut. Aku tidak ingin membuat dosa baru.”

Tabib itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun ingin mencoba, meskipun dengan sangat berhati-hati.

Diambilnya tiga butir senjata rahasia yang tidak sempat dipergunakan oleh Welat Wulung.

“Senjata rahasia itu aku buat dari batu akik,” berkata Welat Wulung dengan sendat.

Tabib itu memperhatikan butiran-butiran bulat yang beraneka warna itu. Menurut penglihatan tabib itu, senjata rahasia itu memang dibuat dari batu akik.

Dengan hati-hati tabib itu meletakkan sebutir senjata rahasia itu di luka Glagah Putih.

Terasa luka itu menjadi nyeri. Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan sakit.

Namun senjata rahasia yang ada di dalam tubuh Glagah Putih tidak juga mau keluar.

Baru kemudian lurah prajurit yang mengawasi Welat Wulung itu datang lagi menemui tabib itu. Katanya, “Jika sebutir dari batu akik itu tidak dapat mengisap keluar senjata rahasia yang ada di dalam, pergunakan dua bersusun atau bahkan ketiga-tiganya.”

Tabib itu memang mencobanya. Dua batu akik yang bulat itu diletakkan di luka Glagah Putih bersusun. Terdengar Glagah Putih Mengaduh.

“Bagaimana?” bertanya tabib itu.

“Ada yang bergerak di dalam, sakit sekali.”

Tabib itu pun kemudian memilin ujung baju Glagah Putih, katanya, “Gigitlah!”

Lalu katanya kepada para prajurit yang ada di sekitarnya, “Pegangi tangan dan kakinya!”

“Kiai,” berkata Rara Wulan, “kau yakin kalau batu akik itu akan menolong, atau sebaliknya?”

“Nampaknya begitu, Ngger. Aku justru yakin.”

“Kau bertanggung jawab atas keselamatan Kakang Glagah Putih,” berkata Rara Wulan selanjutnya.

Tabib itu tidak menjawab. Namun kemudian diletakkannya ketiga batu akik yang bulat itu bersusun di luka Glagah Putih.

Glagah Putih meronta. Beberapa orang prajurit yang memegangi tangan dan kakinya hampir saja terlempar. Namun tabib itu pun berkata, “Senjata rahasia itu sudah terhisap keluar.”

Sebenarnyalah ketika tabib itu menyingkirkan ketiga batu akik yang dipergunakannya untuk menghisap senjata rahasia yang sudah berada di dalam tubuh Glagah Putih, ia melihat senjata rahasia itu sudah berada di mulut lubang lukanya.

Dengan hati-hati tabib itu menekan di samping lubang luka itu, sehingga senjata rahasia itu akhirnya keluar dari lubang luka.

Darah masih mengalir. Tetapi setelah senjata rahasia itu keluar, maka taburan obat luka dari tabib itu telah menghambat arus darah di lubang luka itu, sehingga perlahan-lahan menjadi mampat.

Ketika keadaan Glagah Putih membaik, maka perhatian Sekar Mirah pun berpindah. Ditinggalkannya Rara Wulan yang menunggui Glagah Putih, yang masih dirawat oleh tabib dari kesatuan Mataram di Jati Anom.

Sementara itu, para prajurit Mataram di Jati Anom sudah semakin menguasai medan. Gerakan-gerakan yang terjadi semata-mata usaha untuk menyelamatkan diri dari beberapa orang pemimpin yang masih tersisa, dengan mengorbankan murid-muridnya atau para pengikutnya

Dalam pada itu, Sekar Mirah melihat Untara yang berdiri termangu-mangu menunggui Agung Sedayu yang sedang bertempur. Karena itu, maka dengan serta-merta Sekar Mirah pun mendekat pula.

“Ki Lurah,” berkata Agung Sedayu, “pertempuran sudah hampir selesai. Kau harus segera mengambil keputusan.”

Ki Lurah Wira Sembada yang masih bertempur dengan garangnya itu tersenyum. Katanya, “Bukankah kita tidak terpengaruh oleh pertempuran di sekitar kita? Aku datang untuk membuat perbandingan ilmu antara prajurit Demak dan Mataram sekarang ini. Biar saja pertempuran berakhir. Kita akan menyelesaikan niat kita untuk membuat perbandingan tataran ilmu itu. Kecuali jika Ki Lurah Agung Sedayu merasa perlu untuk mendapat bantuan dari orang lain.”

“Bukan begitu maksudku, Ki Lurah Wira Sembada. Tetapi apakah masih ada gunanya kita bertempur sekarang ini?”

“Ingat tujuan kita sejak semula. Kita membuat perbandingan kemampuan antara seorang Lurah prajurit Demak dan seorang Lurah prajurit Mataram. Kita tidak usah menghiraukan keadaan di sekeliling kita.”

Agung Sedayu tidak dapat mengelak. Ketika serangan-serangan Ki Lurah Wira Sembada menjadi semakin keras, maka Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya pula, sehingga kedua-duanya telah mengerahkan kemampuan mereka.

Namun nampaknya Ki Lurah Wira Sembada masih tetap tenang. Ia memang tidak menghiraukan apakah pasukan Ki Saba Lintang sudah tidak berdaya sama sekali atau tidak. Bahkan kemudian ketika pasukan itu benar-benar sudah digulung oleh para prajurit Mataram di Jati Anom serta para pengawal Sangkal Putung.

“Beri kami kesempatan,” berkata Ki Lurah Wira Sembada.

Ternyata kata-kata itu diulang oleh Ki Lurah Agung Sedayu, “Biarlah. Beri kami kesempatan.”

Yang terjadi kemudian adalah sebuah arena yang luas. Beberapa orang pemimpin dari para prajurit Mataram di Jati Anom berdiri mengelilingi, kemudian Swandaru dan Pandan Wangi serta Ki Jayaraga, yang telah sampai ke tempat itu pula. Sekar Mirah dan bahkan Glagah Putih yang dibantu oleh Rara Wulan dan seorang prajurit, juga berada di lingkungan yang memutari arena pertempuran antara dua orang Lurah prajurit dari masa pemerintahan yang berbeda.

Ternyata Ki Lurah Wira Sembada adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia mampu mengimbangi setiap tataran ilmu Agung Sedayu. Ketika Agung Sedayu menerapkan ilmu kebalnya, maka Ki Lurah Wira Sembada juga menerapkan ilmu kebalnya pula. Ketika kemudian Agung Sedayu mempergunakan ilmunya untuk membuat tubuhnya seakan-akan tidak berbobot, maka Ki Lurah Wira Sembada juga menerapkan ilmu meringankan tubuhnya

Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat tegang. Keduanya kadang-kadang tergetar surut. Namun kadang-kadang Ki Lurah Agung Sedayu-lah yang terdorong beberapa langkah. Namun kemudian, Ki Lurah Wira Sembada-lah yang terdesak mundur.

Dengan demikian, maka rasa-rasanya pertempuran itu akan dapat berlangsung lama sekali. Mungkin pada saat matahari terbenam nanti, keduanya masih akan bertempur terus.

Namun hampir berbareng keduanya tiba-tiba meloncat surut mengambil jarak. Keduanya membuat gerakan yang hampir serupa pula.

“Jauhi arena!” teriak Ki Jayaraga yang tahu benar, apa yang akan terjadi.

Sebenarnyalah bahwa keduanya telah sampai kepada puncak ilmu mereka. Hampir berbareng pula keduanya melepaskan ilmu yang sama. Dari sepasang mata mereka masing-masing telah meluncur sinar yang bagaikan memancar meluncur dengan derasnya.

Yang menyaksikan pertempuran itu terkejut. Mereka menyaksikan keduanya berloncatan menghindar. Namun demikian mereka tegak berdiri, maka serangan itu pun telah meluncur pula. Berganti-ganti.

Tetapi kecepatan gerak keduanya memungkinkan keduanya melepaskan diri dari sentuhan serangan itu.

Namun agaknya keduanya harus bekerja terlalu keras untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan sorot mata dari kedua belah pihak. Karena itu, untuk mengurangi bebannya, maka tiba-tiba saja Ki Lurah Wira Sembada yang melenting tinggi itu, telah berubah seakan-akan menjadi tiga orang. Dengan demikian, maka ada waktu baginya, selama lawannya menentukan yang manakah yang harus mendapat serangannya.

Tetapi pada saat yang bersamaan pula, Agung Sedayu pun telah menerapkan ilmunya Kakang Kawah Adi Ari-Ari, sehingga tubuhnya seakan-akan telah berubah menjadi tiga orang.

“Gila kau, Ki Lurah Agung Sedayu! Ternyata kau mampu mengimbangi ilmu seorang Lurah prajurit pada masa kejayaan Demak!”

Agung Sedayu tidak menjawab. Dipersiapkannya segala kemampuannya untuk menghadapi Ki Lurah Wira Sembada, yang nampaknya telah menimbun berbagai macam ilmu di dalam dirinya.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak memiliki tingkat kemampuan yang seimbang. Bukan hanya pada jenis ilmunya, tetapi juga pada bobotnya.

Serangan-serangan yang datang meluncur dengan cepat. Namun justru karena ujud mereka yang rangkap tiga, maka setiap kali masing-masing harus menilai, yang manakah lawan mereka yang harus menjadi pusat sasaran serangan-serangan mereka.

Dalam pada itu, betapapun cepat mereka bergerak, tetapi serangan-serangan mereka yang meluncur dengan cepat lewat sorot mata masing-masing, sempat juga menyentuh kulit.

Dalam pada itu, nampaknya Ki Lurah Wira Sembada tidak lagi telaten dengan permainannya. Tiba-tiba saja ia meloncat surut mengambil jarak. Ujudnya yang tinggal satu itu pun berdiri tegak sambil berkata, “Menjemukan sekali, Ki Lurah Agung Sedayu. Luka-luka kecil ini membuat kulitku terasa pedih. Namun rasa-rasanya pertempuran dengan cara ini sama sekali tidak memuaskan.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun telah kembali ke dalam ujudnya yang satu. Dengan suara yang berat ia pun menyahut, “Lalu, apa maksudmu?”

“Kita akan berhadapan dengan tanggon. Aku akan mempergunakan senjataku. Jika kau tidak membawa senjata, pinjamlah senjata siapa pun yang kau yakini akan dapat melindungi dirimu sendiri.”

Ki Lurah Wira Sembada tidak menunggu lagi. Ia pun segera mengurai seutas rantai yang membelit lambungnya.

Rantai baja hitam.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Ki Lurah Wira Sembada pun berkata, “Nah, cepat! Usahakan senjata apapun, agar aku tidak merasa curang karena mempergunakan senjata melawanmu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia pun segera mengurai senjatanya pula. Cambuknya yang membelit lambung di bawah bajunya.

Ki Lurah Wira Sembada terkejut. Hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Cambuk itu. Kau-kah yang sekarang mewarisinya?”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Kemudian ia pun menjawab, “Jika yang kau maksud perguruan Orang Bercambuk, salah seorang pewarisnya adalah aku.”

“Bagus,” berkata Ki Lurah Wira Sembada, “aku ingin tahu, kau berada di tataran yang mana.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun menghentakkan cambuknya sendal pancing. Suaranya menggelegar seperti ledakkan guruh di langit

Ki Lurah Wira Sembada tiba-tiba saja tertawa berkepanjangan sambil berkata, “Itukah tataran kemampuanmu yang mengaku mewarisi cambuk dari perguruan Orang Bercambuk?”

Namun demikian mulut Ki Lurah Wira Sembada itu terkatup, Agung Sedayu sekali lagi menghentakkan cambuknya. Sama sekali tidak menimbulkan bunyi. Namun terasa bagi mereka yang berilmu tinggi, betapa getar kemampuan yang sangat tinggi menyusup ke dalam dada. 

“Kau mempermainkan aku, Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Sama sekali tidak.”

“Aku sudah terlanjur menertawakan kemampuan ilmu cambukmu. Ternyata aku keliru. Bukankah kau sengaja mempermalukan aku?”

“Jika demikian, aku minta maaf.”

Ki Lurah Wira Sembada termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Sikapmu itu sangat menarik, Ki Lurah. Jika saja kita dapat bersama-sama dalam satu kesatuan, kita berdua akan dapat membersihkan lawan yang betapapun kuatnya dan dari mana pun datangnya.”

“Itu sikap yang berlebihan, Ki Lurah Wira Sembada.”

“Ya. Sikap sombong dan tinggi hati.”

“Sekarang, apa yang akan kita lakukan?”

Ki Lurah Wira Sembada itu termangu-mangu.

Dalam pada itu, orang-orang yang berdiri di seputar arena menjadi semakin tegang. Swandaru berdiri dengan jantung yang berdebaran. Kenapa sebelumnya ia tidak pernah melihat Agung Sedayu bertempur seperti itu? Jika saja ia pernah melihatnya, maka ia tidak akan pernah merendahkannya dan menganggap saudara tua seperguruannya itu malas dan tidak mau memperdalam ilmunya. Bahkan Swandaru sering mengguruinya dengan sikap yang sangat dungu.

“Kenapa Kakang Agung Sedayu selalu mengiyakan saja?” pertanyaan itu telah bergejolak di dalam dadanya.

Kalau saja ia tidak sedang dalam tugas yang sama-sama diemban waktu itu, ia tentu sudah menyembunyikan wajahnya di rumahnya.

Dalam pada itu, Ki Lurah Wira Sembada dan Ki Lurah Agung Sedayu pun sudah mempersiapkan diri sepenuhnya dengan senjata masing-masing. Suasana yang tegang itu pun menjadi semakin mencengkam.

Ketika rantai baja hitam Ki Lurah Wira Sembada mulai bergetar, maka Agung Sedayu pun mulai menggerakkan ujung juntai cambuknya.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah menyala kembali. Rantai baja hitam di tangan Ki Lurah Wira Sembada itu pun terayun-ayun mengerikan. Sementara cambuk Agung Sedayu pun berputaran pula.

Nampaknya keduanya memang lebih mantap bertempur dengan mempergunakan senjata andalan masing-masing. Mereka saling menyerang, saling menghindar dan sekali-sekali terdengar desah perlahan. Ujung-ujung senjata mereka itu pun sempat juga menyentuh meskipun segores kecil kulit mereka, sehingga darah pun mulai mengembun. Jika saja keduanya tidak melapisi diri mereka dengan ilmu kebal, maka luka-luka telah menganga di tubuh mereka.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi pening. Mereka melihat dua bayangan yang berputaran. Kadang-kadang bagaikan berkejaran, saling mendesak. Namun kemudian masing-masing meloncat surut mengambil jarak.

Semakin lama Swandaru pun merasa semakin kecil. Betapa ia pernah menganggap bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu saudara tua seperguruannya itu.

Sementara itu, getar hentakan senjata mereka telah menggetarkan pepohonan, merontokkan daun-daunnya. Bahkan mematahkan dahan-dahannya yang tersentuh ayunan senjata kedua orang lurah prajurit yang sedang bertempur dalam puncak ilmu mereka

Pertempuran itu memang berlangsung lama. Keduanya telah terluka di beberapa tempat. Hanya karena perlindungan ilmu kebal masing-masing, maka kulit daging mereka tidak terkelupas sampai ke tulang.

Namun ketika matahari menjadi semakin rendah, Ki Lurah Wira Sembada pun telah meloncat mengambil jarak. Diangkatnya sebelah tangannya sambil berkata, “Tunggu! Tunggu, Agung Sedayu.”

Agung Sedayu masih sempat mengendalikan dirinya. Ia pun kemudian berhenti menyerang dan berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Ki Lurah Wira Sembada. Namun Agung Sedayu masih tetap berhati-hati. Mungkin Ki Lurah Wira Sembada itu menyerangnya dengan tiba-tiba.

Namun ternyata Ki Lurah itu pun bertanya kepada Agung Sedayu, “Ini hari apa, Agung Sedayu?”

Agung Sedayu masih harus mengingat-ingat. Namun terdengar seseorang di luar arena berkata, “Hari Rabu.”

“Rabu apa?”

“Rabu Pon.”

“Jadi kita bertempur mulai Selasa Pahing, Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ya, Ki Lurah. Kita sekarang sudah berada di awal hari Rabu Pon, setelah lewat tengah hari.”

Ki Lurah Wira Sembada menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Ki Lurah. Aku sudah terlalu tua untuk melawanmu. Kau adalah bibit yang masih segar, yang masih mempunyai masa depan yang panjang.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Lurah Wira Sembada yang telah menjadi lurah prajurit sejak Demak masih berdiri.

Tiba-tiba Agung Sedayu melihat perubahan yang terjadi pada Ki Lurah Wira Sembada. Ki Lurah itu menjadi terengah-engah. Nafasnya bagaikan akan terputus di kerongkongan.

“Apakah mataku menjadi kabur?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Sesaat sebelumnya ia melihat Ki Lurah Wira Sembada itu bertempur dengan tegarnya. Meloncat-loncat, melenting tinggi, berputar di udara sambil memutar rantai baja hitamnya.

Namun tiba-tiba saja Ki Lurah Wira Sembada itu menjadi seperti seorang kakek tua yang baru saja berlari-lari diburu anjing.

“Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Lurah Wira Sembada, “kemarilah. Mendekatlah.”

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia melangkah mendekat, ketika Ki Lurah Wira Sembada kemudian terduduk sambil melepaskan rantai baja hitamnya.

“Ya, Ki Lurah,” desis Agung Sedayu.

“Ternyata kau seorang lurah prajurit yang luar biasa. Ilmumu mampu mengimbangi ilmuku. Bahkan ternyata selisih umur kita telah memaksa aku harus tunduk kepadamu.”

“Maksud Ki Lurah?”

“Aku menyerah.”

“Baiklah, Ki Lurah. Ki Lurah akan diperlakukan dengan baik oleh para prajurit Mataram,.”

Tetapi di sela-sela nafasnya yang terengah-engah Ki Lurah Wira Sembada berkata, “Perlakukan aku wajar-wajar saja. Sebagaimana seorang prajurit yang gugur di pertempuran.”

“Tetapi Ki Lurah tidak gugur.”

“Nafasku sudah akan putus. Selain itu, waktuku memang sudah sampai. Aku mampu mempertahankan ujudku untuk tetap nampak muda. Tetapi aku tidak dapat mempertahankan umurku yang merambat semakin tua. Sekarang waktunya memang sudah sampai, Ki Lurah. Tolong, berikan tanganmu kepadaku.”

“Untuk apa, Ki Lurah?”

“Yakinkan dirimu, bahwa aku bermaksud baik.”

Agung Sedayu masih saja ragu-ragu, sehingga Ki Lurah Wira Sembada itu pun berkata sekali lagi, “Berikan telapak tanganmu, Ki Lurah.”

Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Sementara itu, Ki Lurah Wira Sembada yang terduduk itu nampak menjadi semakin lemah.

Dengan sorot matanya yang menjadi sayu, Ki Lurah Wira Sembada itu memandang Agung Sedayu dengan penuh harap. Katanya, “Ki Lurah. Jangan sia-siakan permintaanku yang terakhir. Ulurkan telapak tanganmu.”

Ki Lurah Agung Sedayu tidak dapat menolak. Ia pun melangkah mendekat. Diulurkannya tangannya menjangkau tangan Ki Lurah Wira Sembada, yang dengan susah payah diangkatnya

Tiba-tiba saja Ki Jayaraga dan Sekar Mirah bergeser mendekat. Demikian pula beberapa orang yang lain. Mereka masih saja curiga bahwa lawan Agung Sedayu itu akan berbuat curang.

Dalam pada itu, demikian tangan Agung Sedayu menjangkau tangan Ki Lurah Wira Sembada, terasa getaran yang kuat serasa mengalir dari tubuh yang lemah itu ke tubuh Agung Sedayu. Dari urat-urat darah Ki Lurah Wira Sembada ke urat-urat darah Ki Lurah Agung Sedayu.

Hampir di luar sadarnya ketika Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian duduk di sebelah Ki Lurah Wira Sembada yang masih memegangi tangan Ki Lurah Agung Sedayu.

“Semoga yang tersisa dalam hidupku ini dapat mengalir dan menyatu bersamamu, Ki Lurah. Semoga dengan demikian, tataran ilmumu akan menjadi semakin bertambah mantap. Ada beberapa persamaan di antara kita. Yang sama itulah yang akan bertimbun di dalam dirimu. Kau akan menjadi orang yang memiliki ilmu linuwih, Ki Lurah.”

Suara Ki Lurah Wira Sembada menjadi semakin lemah. Pegangan tangannya pun menjadi semakin lemah pula.

“Apa yang telah terjadi, Ki Lurah? Baru saja kau masih tegar berloncatan di medan. Tiba-tiba kau menjadi begitu lemah.”

Ketika Ki Lurah Wira Sembada mengangkat wajahnya Agung Sedayu terkejut. Wajah itu nampak pucat dan cekung. Matanya redup dan sama sekali tidak bercahaya. Kerut-kerut di dahi dan di pipinya nampak seakan-akan menjadi semakin dalam.

“Ki Lurah?”

Ki Lurah itu tersenyum. Katanya, “Aku menjalani laku berbulan-bulan untuk dapat mempertahankan ujud kewadaganku. Aku mendapatkan beberapa jenis dedaunan dan akar-akaran yang dapat menjadi obat, yang diusapkan di kulitku dan yang harus aku minum. Tetapi obat-obatan itu hanya sekedar berpengaruh pada ujud lahiriahku. Obat-obatan itu tidak dapat memperpanjang umurku. Hari ini, umurku itu sudah sampai pada batas waktu yang ditentukan.”

“Ki Lurah,” desis Agung Sedayu.

“Aku titipkan yang tersisa dari hidupku. Aku tahu bahwa kau akan mempergunakan ilmumu untuk tujuan yang baik. Untuk satu pengabdian yang bercita-cita tinggi.”

Tiba-tiba pegangan tangan Ki Lurah Wira Sembada itu terlepas. Dengan sigapnya Agung Sedayu bergeser. Ditahannya kepala Ki Lurah Wira Sembada dengan lengannya.

“Ki Lurah,” desis Agung Sedayu.

Ki Lurah yang mulai memejamkan matanya itu berusaha untuk membuka kembali. Tiba-tiba saja bibirnya tersenyum. Katanya, “Aku sudah puas bahwa di akhir hayatku, aku dapat bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Ki Lurah Wira Sembada itu menutup kembali matanya, untuk selama-lamanya. Agung Sedayu pun kemudian meletakkan kepala Ki Lurah Wira Sembada. Ketika ia bangkit berdiri, dilihatnya beberapa orang mengerumuninya. Di antara mereka adalah Sekar Mirah dan Swandaru.

“Kau tidak apa-apa, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak, Mirah. Aku tidak apa-apa.”

“Kita mengucap syukur, Kakang.”

“Ya. Kita mengucap syukur.”

Namun pada tubuh Agung Sedayu terdapat beberapa goresan luka yang perlu diobatinya.

“Selenggarakan tubuh Ki Lurah Wira Sembada ini dengan baik,” berkata Agung Sedayu kepada seorang pemimpin kelompok prajurit Mataram di Jati Anom.

Demikianlah, maka beberapa orang pemimpin yang letih dan terluka, baik dari Jati Anom maupun dari Sangkal Putung, telah dikumpulkan di perkemahan pasukan Ki Ambara, yang sudah dibersihkan dan dijaga dengan ketat.

Namun Sekar Mirah dan Rara Wulan pun kemudian telah menemukan Nyi Dwani yang duduk sambil menangisi sesosok mayat yang terbujur di hadapannya. Sementara pakaian Nyi Dwani sendiri telah dibasahi oleh darahnya.

“Nyi,” Sekar Mirah berjongkok di sebelahnya, “kenapa? Kau terluka parah.”

Nyi Dwani menggeleng. Sambil menunjuk sosok mayat di hadapannya ia pun berkata, “Mbokayu Yatni.”

“Nyi Yatni?”

Sambil mengusap matanya yang basah, Nyi Dwani mengangguk.

“Siapakah yang membunuhnya?” bertanya Sekar Mirah.

Nyi Dwani berusaha untuk menahan tangisnya. Tetapi isaknya justru terasa menyesakkan dadanya. Dengan patah-patah ia pun menjawab, “Aku. Aku telah membunuh saudaraku sendiri.”

Tiba-tiba seorang perempuan yang lain telah berjongkok pula di sebelahnya. Pandan Wangi.

Dengan suara yang dalam, Pandan Wangi itu pun berkata, “Itu adalah pepesten, Nyi. Aku juga pernah melakukannya di luar kehendakku sendiri.”

Nyi Dwani mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dengan tajamnya, seakan-akan ingin melihat, apa yang ada di balik bola matanya.

Namun tangis Nyi Dwani mereda. Ketika kemudian Sekar Mirah menarik lengannya, maka Nyi Dwani pun bangkit berdiri.

“Kau juga terluka, Nyi,” berkata Sekar Mirah.

Nyi Dwani memandang pakaiannya yang bernoda darah. Pedangnya telah dilemparkannya ke tanah, demikian ia menusuk jantung kakak perempuannya.

“Pedangmu, Nyi.”

“Pedang itu telah menghunjam di jantung saudara kandungku.”

“Kau tentu masih memerlukannya.”

Nyi Dwani tidak menolak ketika kemudian Pandan Wangi memungut pedang itu dan menyarungkannya ke sarungnya, yang masih tergantung di lambung Nyi Dwani.

Sejenak kemudian, maka para pemimpin dari Jati Anom dan Sangkal Putung itu pun telah berada di perkemahan yang sangat sederhana, tetapi memenuhi kebutuhan. Beberapa orang prajurit dan pengawal masih sibuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sedangkan yang lain mengurusi para tawanan, serta mengawasi para tawanan yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan meninggal di pertempuran.

Bahkan sampai matahari terbenam, mereka masih sibuk di bekas medan pertempuran. Beberapa orang mempergunakan obor belarak dan oncor biji jarak.

Ketika menjelang tengah malam mereka berbincang di perkemahan yang ditinggalkan oleh Ki Saba Lintang itu, maka Untara pun berkata kepada Agung Sedayu, “Kau harus segera kembali ke Tanah Perdikan, Agung Sedayu. Ki Saba Lintang tahu, bahwa Tanah Perdikan kini sedang kosong. Yang tinggal hanyalah Ki Gede dan Pasukan Khususmu. Jika ada satu dua orang berilmu tinggi yang tertinggal di dalam pasukan Ki Saba Lintang, mereka akan dapat melepaskan dendamnya di Tanah Perdikan Menoreh dengan cara yang khusus, karena mereka tidak akan berani menyerang Tanah Perdikan itu dengan terbuka. Mereka tahu, bagaimana juga Pasukan Khususmu dan para pengawal Tanah Perdikan merupakan paduan kekuatan yang cukup besar. Tetapi mereka dapat menyusup dengan licik dan mengancam keselamatan Ki Gede.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Kakang. Besok aku akan kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi biarlah Sekar Mirah menemui ayahnya. Demikian pula yang lain, akan pergi bersama kami.”

“Bukan, maksudku bukan besok pagi. Mungkin besok lusa atau hari berikutnya. Glagah Putih tentu memerlukan waktu. Agaknya ia pun ingin bertemu dengan ayahnya di padepokan. Paman tentu segera mendengar apa yang telah terjadi di sini.”

“Mungkin Glagah Putih dapat aku tinggalkan untuk sementara di padepokan.”

“Tidak, Kakang,” sahut Glagah Putih, “aku akan ikut pulang. Besok keadaanku sudah akan membaik.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang juga terluka. Namun ia tidak mengatakan apa-apa.

Menjelang dini hari, maka mereka pun telah dipersilakan untuk beristirahat di tempat yang sangat sederhana. Tetapi mereka pun sudah terbiasa untuk berada di sembarang tempat, sehingga meskipun hanya selembar ketepe dari daun kelapa, namun bagi mereka itu sudah cukup untuk alas tidur.

Namun sebagian para prajurit dan pengawal masih saja sibuk. Yang lain bertugas dan bersiap-siap, mungkin para pengikut Ki Saba Lintang masih akan ada yang dengan licik mencoba menyusup ke dalam perkemahan itu.

Namun malam itu tidak terjadi sesuatu. Mereka yang tidur di perkemahan dapat tidur nyenyak, meskipun tidak terlalu lama.

Di hari berikutnya, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan menyempatkan diri untuk mengunjungi Ki Widura. Obat yang kemudian diberikan oleh Agung Sedayu, ternyata sangat membantu keadaan Glagah Putih.

Ki Widura hanya dapat mengucap syukur, bahwa segala sesuatunya sudah dapat di atasi dengan baik.

“Adi Swandaru dan istrinya belum dapat ikut bersama kami sekarang, Paman,” berkata Agung Sedayu, “Adi Swandaru masih sibuk. Pada kesempatan lain, ia akan datang mengunjungi Paman.”

“Baiklah, Agung Sedayu. Adikmu Swandaru tidak akan pergi ke mana-mana. Karena itu, kapan-kapan ia akan mempunyai waktu luang.”

“Besok kami akan kembali Tanah Perdikan, Paman,” berkata Agung Sedayu.

“Begitu tergesa-gesa?”

“Kakang Untara mengisyaratkan agar aku segera berada di Tanah Perdikan Menoreh yang kosong sekarang ini.”

Ki Widura mengangguk-angguk.

“Sebenarnya hari ini aku akan berangkat ke Tanah Perdikan. Tetapi aku masih harus menghadap Paman, sementara Sekar Mirah harus minta diri kepada ayahnya di Sangkal Putung.”

Pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama, namun cukup memadai bagi Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka pun sempat bertemu dan berbincang dengan para cantrik di padepokan itu.

Hari itu Untara memberi kesempatan kepada mereka yang akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh untuk berada di Sangkal Putung. Bahkan Swandaru dan Pandan Wangi pun telah dipersilahkan untuk kembali pula.

“Biarlah para prajurit menyelesaikan tugas mereka di sini,” berkata Untara. “Hari ini kalian sempat beristirahat. Esok kalian akan menempuh perjalanan panjang. Apalagi bagi mereka yang terluka.”

Sebenarnyalah, sehari itu mereka beristirahat di Sangkal Putung. Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Glagah Putih tidak bersedia ditinggalkan di Sangkal Putung. Meskipun mereka terluka, tetapi mereka merasa sanggup untuk menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh, asal mereka tidak berpacu dengan waktu.

“Besok kita berangkat pagi-pagi sekali,” berkata Agung Sedayu, “selagi udara masih segar.”

Di Sangkal Putung, mereka yang terluka mendapat perawatan sebaik-baiknya. Bukan saja obat bagi luka-luka mereka, tetapi mereka juga minum obat untuk meningkatkan daya tahan tubuh mereka, agar mereka tidak menjadi sangat latih di perjalanan esok.

Seperti yang direncanakan, maka sebelum matahari terbit, semuanya sudah siap untuk berangkat. Ternyata Untara pun menyempatkan diri untuk hadir di Sangkal Putung, melepas kepergian beberapa orang yang akan kembali ke Tanah Perdikan, setelah menunaikan kewajiban mereka yang mendebarkan di sisi utara hutan Lemah Cengkar.

Sebelum berangkat, dalam kesempatan tersendiri, Swandaru telah mengakui segala perbuatannya kepada Agung Sedayu. Hampir saja ia terjerumus ke dalam jurang kenistaan yang paling dalam. Bukan saja di hadapan Mataram dan di hadapan saudara tuanya, tetapi lebih dari itu, di hadapan Penciptanya.

“Mereka memanfaatkan kelemahanmu, Adi Swandaru,” berkata Agung Sedayu.

“Ya, Kakang.”

“Ingat itu. Kau tidak boleh terperosok ke dalam lubang yang sama.”

“Aku mengerti, Kakang.”

Hari itu, sebelum matahari terbit, maka sebuah iring-iringan kecil telah meninggalkan Sangkal Putung. Mereka dilepas di regol padukuhan induk oleh Ki Demang, Swandaru, Pandan Wangi, Untara, Sabungsari dan beberapa orang pemimpin yang lain.

“Kalian tidak usah berpacu di sepanjang jalan. Tidak ada yang akan memberikan hadiah kepada yang menang. Kalian harus ingat kepada mereka yang terluka,” berkata Untara.

“Keadaanku sudah berangsur baik, Kakang,” sahut Glagah Putih.

Untara tersenyum. Katanya, “Salamku kepada Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.”

Iring-iringan itu memang tidak terlalu cepat bergerak. Kuda-kuda mereka berlari-lari kecil menyusuri jalan-jalan bulak. Rerumputan yang tumbuh di tanggul parit masih basah oleh embun yang turun di dini hari.

Di sepanjang jalan mereka sempat mendengar kicau burung-burung liar yang bertengger di pepohonan, menyongsong terbitnya matahari.

Iring-iringan kecil itu melintas di beberapa padukuhan yang masih kelihatan sepi. Namun beberapa orang telah turun ke jalan untuk pergi ke pasar. Yang lain nampak menyapu halaman, sedang di sana-sini terdengar senggot timba yang berderit.

Perjalanan iring-iringan beberapa orang berkuda itu memang cukup panjang. Sementara itu, Agung Sedayu berniat untuk singgah di Mataram, sekaligus memberikan laporan apa yang telah terjadi di sisi utara hutan Lemah Cengkar, tidak terlalu jauh dari Jati Anom itu. Meskipun Agung Sedayu pun yakin bahwa Untara tentu sudah mengirimkan penghubung untuk menyampaikan laporan itu.

“Kesempatan beristirahat bagi mereka yang terluka,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin jauh dari Sangkal Putung. Matahari yang kemudian terbit, perlahan-lahan telah memanjat langit. Semakin lama semakin tinggi.

Keringat mulai mengalir di tubuh orang-orang yang menunggang kuda itu. Terasa panasnya matahari semakin menyengat kulit

Ketika mereka sampai ke Kali Opak, arus Kali Opak tidak terlalu deras, sehingga mereka dapat langsung menyeberang dengan hati-hati.

Pada saat-saat tertentu Kali Opak tidak dapat di seberangi. Mereka harus mempergunakan rakit bambu untuk menyeberang. Tetapi pada saat-saat yang lain, mereka dapat menyeberanginya begitu saja.

Beberapa ratus patok dari Kali Opak, iring-iringan itu pun berhenti di sebuah kedai yang cukup besar. Mereka juga memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat, meskipun kuda-kuda itu tidak berlari kencang.

Kehadiran mereka, beberapa orang bersama-sama ke dalam kedai itu, agaknya memang menarik perhatian beberapa orang. Tetapi karena mereka yang datang bersama-sama itu bersikap biasa-biasa saja, maka orang-orang yang lebih dahulu berada di kedai itu pun tidak menghiraukan mereka lagi.

Sekar Mirah-lah yang kemudian memesan minum dan makan bagi mereka.

Beberapa saat lamanya mereka beristirahat. Kuda-kuda mereka pun mendapat minum dan makan pula. Baru setelah mereka tidak lagi merasa haus dan lapar, maka mereka pun minta diri kepada pemilik kedai itu.

Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Glagah Putih sudah nampak lebih baik. Bahkan Glagah Putih rasa-rasanya tidak lagi sedang terluka. Meskipun lubang di pundaknya itu masih terasa sakit, tetapi sudah menjadi jauh lebih baik dari saat sebuah batu akik menembus masuk ke dalamnya.

“Batu akik itu aku simpan dengan baik,” berkata Glagah Putih, “bukan hanya yang mengenai tubuhku. Tetapi semuanya yang aku dapatkan.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kau akan menjadi pedagang batu akik.”

Ketika mereka mengambil kuda-kuda mereka, seorang anak muda dengan pakaian yang terhitung bagus, menunggui kuda Glagah Putih. Demikian Glagah Putih mendekati kudanya, anak muda itu bertanya, “Apakah kuda ini kudamu?”

“Ya,” jawab Glagah Putih.”

“Bagus sekali.”

“Terima kasih,” Glagah Putih membungkuk hormat.

“Apakah kudamu itu boleh aku beli?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sayang, Ki Sanak. Kuda ini hadiah dari seorang tua yang sangat aku hormati.”

“Kau dapat menyebut berapa saja harganya.”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Maaf, Ki Sanak.”

Anak muda itu nampak kecewa. Namun kemudian ia bergeser surut.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan kedai itu. Seperti sebelumnya, mereka tidak berpacu terlalu kencang. Mungkin bagi Glagah Putih tidak lagi terlalu banyak menyulitkannya. Tetapi mungkin lain bagi Empu Wisanata dan Nyi Dwani.

Di perjalanan itu Rara Wulan pun sempat bertanya kepada Sekar Mirah, “Bagaimana dengan Mangesthi, Mbokayu?”

“Aku serahkan kepada Pandan Wangi. Biarlah Pandan Wangi menanganinya. Kasihan, ia masih terlalu muda. Hari depannya masih panjang.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba saja mereka terkejut ketika mereka melihat anak muda yang melihat-lihat kuda Glagah Putih itu menyusul mereka bersama tiga orang berwajah garang. Beberapa puluh langkah mereka mendahului. Namun kemudian mereka pun berhenti dan berbalik menghadap ke arah iring-iringan itu.

“Ah, anak itu,” desis Ki Jayaraga, “apa tidak ada kerja yang lebih baik selain mengganggu orang?”

Ternyata ketiga orang yang menyertai anak muda yang mengenakan pakaian yang baik itu juga masih terhitung muda.

Iring-iringan itu terpaksa berhenti. Agung Sedayu yang berkuda di paling depan menghentikan kudanya, beberapa langkah di depan kuda anak muda yang mengenakan pakaian yang baik dan tentu harganya mahal.

Di sela-sela bajunya nampak timangnya terbuat dari emas yang ditretes dengan permata.

“Maaf, aku mengganggu perjalanan kalian,” berkata anak muda itu.

“Apa maksudmu, Ki Sanak?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku masih mengajukan tawaran untuk membeli kuda anak muda itu.”

“Bukankah sudah dijawab, bahwa kuda itu tidak dijual?”

“Tentu ada harganya,” berkata anak muda yang berpakaian mahal itu, “berapapun kau sebut harganya, aku akan membayarnya.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun jawabnya kemudian, “Anak muda. Kuda itu adalah kuda pemberian. Adalah tidak pantas bahwa hadiah dari seorang tua yang dihormati itu dijual.”

“Anak itu tidak berniat menjualnya. Tetapi aku-lah yang berniat membelinya.”

“Maaf, anak muda. Dengan menyesal, kami tidak dapat menyerahkannya.”

“Bukankah jika kuda itu aku beli akan lebih baik, daripada jika kuda itu aku ambil begitu saja?”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Rasa-rasanya dadanya sudah menjadi jenuh oleh perselisihan-perselisihan, apalagi perselisihan yang tidak berarti seperti itu.

“Nah, pikirkan baik-baik.”

“Jangan memaksa, anak muda. Bukankah aku tidak sendiri? Aku tahu bahwa kau mengajak tiga orang kawanmu untuk memaksakan kehendakmu. Tetapi bukankah iring-iringan kami juga terdiri dari beberapa orang?”

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Apa arti kalian dan kawan-kawan kalian bagi kami.”

“Tetapi siapakah sebenarnya anak muda ini?”

“Pertanyaan yang bagus. Mungkin akan dapat membuka hatimu. Aku adalah anak Ki Panji Secapraja, yang tinggal di Sambisari. Nah, jika ayahku tahu bahwa kalian telah menentang kehendakku, maka kalian akan menyesal sepanjang umurmu.”

“Jadi kau anak Ki Panji Secapraja?”

“Kau mengenal ayahku?”

“Belum, anak muda. Tetapi akan lebih baik jika kau katakan saja kepada ayahmu, bahwa kau gagal merampas seekor kuda anak muda yang sedang lewat.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara yang berat menekan ia bertanya, “Jadi kau benar-benar akan melawan?”

“Bukan melawan. Tetapi aku tidak dapat membiarkan kau merampas milik seseorang.”

“Bukankah sudah aku katakan, bahwa aku akan membelinya?”

“Tetapi kuda itu tidak dijual.”

“Baik. Jika demikian aku memang harus merampasnya. Tetapi aku tidak perlu menyampaikan kepada Ayah. Apa yang dapat aku lakukan sendiri, akan aku lakukan.”

“Anak muda. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa aku adalah seorang prajurit. Karena itu, aku ingin memperingatkan kepadamu, jangan kau lakukan.”

“Setiap orang dapat mengaku dirinya prajurit.”

Agung Sedayu pun menyingkapkan baju dan memperlihatkan timang yang dikenakannya. Katanya, “Meskipun aku tidak mengenakan pakaian seorang prajurit, tetapi jika kau anak seorang Panji, kau tentu dapat mengenali bentuk timang seperti ini. Ayahmu pun tentu sering mengenakannya pula.”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Persetan dengan kau!”

“Aku seorang Lurah prajurit. Bersamaku adalah para petugas sandi yang sedang menjalankan tugasnya. Jika kau memaksa diri untuk mencoba merampas kuda anak. muda itu, maka meskipun kau berempat, kami akan mampu mengalahkan kalian, karena kami adalah orang-orang terlatih.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang. Namun dengan geram ia berkata, “Jika kau memang tanggon, tunggu di sini. Aku akan memberitahukan kepada ayahku.”

“Bagus. Aku akan menunggu.”

“Jika kau hanya seorang Lurah prajurit, maka dengan wewenang dan kuasa ayahku di daerah ini, kau akan dibuatnya menjadi jera.”

“Aku akan menunggu, anak muda, tetapi jangan terlalu lama. Katakan kepada Ki Panji Secapraja, bahwa seorang lurah prajurit sedang menunggunya untuk melaporkan tindakan anaknya yang tidak terpuji.”

“Persetan kau, Ki Lurah!” geram anak muda itu. Kemudian anak muda itu pun berpaling kepada ketiga orang kawannya, “Cegah mereka meninggalkan tempat ini. Aku akan memanggil Ayah.”

Demikian anak muda itu memacu kudanya, Sekar Mirah pun berdesis, “Baru saja kita beristirahat. Sekarang kita harus beristirahat lagi.”

Bahkan Sekar Mirah pun telah meloncat turun dari kudanya. Demikian pula Rara Wulan, dan bahkan Glagah Putih dan yang lain-lain. Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun telah turun pula dan duduk di tanggul parit, di pinggir jalan.

Ketiga orang anak muda yang mengawasi mereka memang merasa heran, bahwa di antara mereka sama sekali tidak nampak kegelisahan. Mereka duduk-duduk dan berbincang-bincang seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Namun dengan demikian ada baiknya juga bagi ketiga orang itu. Orang-orang yang lewat tidak menaruh perhatian berlebihan. Mereka hanya berpaling sesaat, melihat beberapa orang berkuda sedang beristirahat dan duduk-duduk di pinggir jalan.

Dalam pada itu, anak muda yang mengaku anak Ki Panji Secapraja itu pun memacu kudanya pulang. Demikian ia memasuki halaman rumahnya, maka ia pun segera meloncat turun. Dengan tergesa-gesa seorang abdi telah menyongsongnya dan menerima kudanya yang diserahkan kepadanya.

“Ayah ada di rumah?” bertanya anak muda itu.

“Ada, Raden.”

Anak muda itu pun segera meloncat naik pendapa rumahnya, melintasi pringgitan dan langsung masuk ke ruang dalam.

“Ayah! Ayah!” anak muda itu berteriak.

“Ada apa?” jawab ayahnya yang duduk di serambi sambil minum minuman hangat setelah makan siang.

“Ayah ditantang oleh seorang lurah prajurit.”

“He? Duduklah. Bicaralah yang mapan. Jangan tergesa-gesa.”

“Ayah ditantang seorang lurah prajurit. Aku tidak berbohong Ayah.”

“Kenapa? Apa sebabnya?”

“Aku menginginkan kudanya. Tetapi ia tidak memberikannya. Ia mengaku seorang lurah prajurit. Ketika aku mengatakan bahwa ayahku seorang panji, ia bahkan menantang.”

“Menantang bagaimana?”

“Ia sama sekali tidak merasa takut, meskipun aku anak seorang panji.”

“Tetapi kau bermaksud merampas kudanya?”

“Aku sudah mengatakan bahwa aku akan membelinya. Kuda itu juga bukan kuda lurah prajurit itu sendiri, tetapi seorang anak muda yang kebetulan berkuda bersamanya,.”

“Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa kau tidak sepantasnya berbuat seperti itu? Jika ia berkeberatan, kau tidak boleh memaksanya.”

“Itu tidak penting, Ayah. Yang penting lurah prajurit itu sudah berani menentang kuasa Ayah di sini.”

“Siapa nama lurah prajurit itu?”

Anak muda itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak bertanya, Ayah.”

Ki Panji Secapraja itu pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau tentu telah membuat ulah lagi.”

“Bagaimanapun juga, bukankah tidak pantas jika seorang lurah prajurit berani menantang seorang panji?”

Ki Panji masih duduk di tempatnya. Sementara itu Nyi Panji telah datang pula sambil bertanya, “Ada apa?”

“Seorang lurah prajurit yang lewat telah menantang kuasa yang di sini,” jawab anaknya.

“Lurah prajurit? Apakah ia gila?”

“Aku sudah memberitahukan kepada Ayah.”

“Kau diam saja, Ki Panji?”

“Anakmu tentu sudah membuat perkara.”

“Tetapi ia hanya seorang lurah, Ayah,” sahut anaknya.

“Ki Panji,” berkata Nyi Panji, “jika kebiasaan seperti itu tidak diselesaikan dengan tuntas, akan menjadi kebiasaan bahwa seorang lurah prajurit berani menantang seorang panji, yang mendapat wewenang di satu daerah tertentu, seperti di Sambisari dan sekitarnya ini.”

Ki Panji masih tetap duduk di tempatnya.

“Ki Panji!” desak istrinya, “Ki Panji akan membiarkannya? Dengan demikian nama Ki Panji akan tercemar. Jika lurah prajurit itu pergi ke Mataram, maka ia akan bercerita bahwa Ki Panji Secapraja tidak berani bertindak atas dirinya, hanya seorang lurah prajurit.”

Akhirnya Ki Panji bangkit juga berdiri. Sambil membenahi pakaiannya ia pun berkata, “Aku akan bertemu lurah prajurit itu. Tetapi aku juga akan mengusut persoalannya, kenapa ia menantang aku. Tentu ada sebabnya. Hanya jika ternyata lurah prajurit itu bersalah, aku akan bertindak atasnya.”

Ki Panji pun kemudian telah memungut kerisnya dan menyelipkannya di punggungnya. Namun kemudian digapainya pula tombak pendeknya.

Ketika ia berdiri di tangga pendapa, maka ia pun memerintahkan dua orang pengawalnya untuk menyertainya.

Anak Ki Panji itu tersenyum. Ia akan melihat seorang lurah prajurit dihajar oleh ayahnya seperti beberapa pekan sebelumnya, karena lurah prajurit itu berani menentang kuasanya.

Sejenak kemudian, Ki Panji, anak laki-lakinya dan dua orang pengawalnya berpacu menyusuri jalan sidatan menuju ke jalan utama yang menuju ke Mataram.

Dari kejauhan anak laki-lakinya itu pun berkata, “Itulah mereka, Ayah.”

“Siapa mereka?”

“Lurah prajurit dan beberapa orang yang katanya petugas sandi dari Mataram.”

“Petugas sandi?”

“Mereka dapat saja berbohong, Ayah. Ada beberapa orang perempuan bersama mereka. Ada orang tua, ada anak muda. Tidak ada seorangpun yang menunjukkan sikap seorang prajurit. Apalagi prajurit dalam tugas sandi. Hanya seorang saja yang dapat menunjukkan timang keprajuritan seperti milik Ayah.”

Ki Panji mengerutkan dahinya. Dipercepatnya derap kaki kudanya, sehingga beberapa saat kemudian Ki Panji telah sampai di jalan yang lebih besar yang menuju ke Mataram.

Dilihatnya tiga orang yang tentu pengawal anak laki-lakinya masih duduk di atas punggung kuda, sedangkan beberapa orang duduk di atas tanggul parit.

Ki Panji menghentikan kudanya. Sambil menjinjing tombak pendeknya Ki Panji pun bertanya, “Siapa di antara kalian yang mengaku lurah prajurit?”

Agung Sedayu yang berdiri di pinggir jalan itu pun melangkah maju sambil berkata, “Aku, Ki Panji Secapraja.”

Ki Panji Secapraja terkejut. Orang itu memang seorang lurah prajurit. Ki Secapraja mengenal lurah yang satu itu. Lurah prajurit yang diserahi memimpin Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

“Ki Lurah Agung Sedayu?”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Sebagai seorang lurah prajurit, maka ia harus menghormati Ki Panji Secapraja. Tetapi sebelumnya ternyata mereka sudah saling berkenalan. Ki Panji Secapraja mengenal Ki Lurah Agung Sedayu di rumah Ki Patih Mandaraka. Meskipun ia hanya seorang lurah prajurit, tetapi ia mempunyai pengaruh yang besar di lingkungan beberapa orang pemimpin di Mataram. Bahkan Ki Patih Mandaraka pun sangat menghargainya.

Karena itu, maka Ki Panji pun dengan tergesa-gesa meloncat turun dari kudanya. Kedua orang pengawalnya yang melihat Ki Panji tergesa-gesa turun, telah turun pula dari kuda mereka. Bahkan Ki Panji pun kemudian telah melemparkan tombaknya kepada salah seorang pengawalnya, “Bawa tombak itu! Aku tidak memerlukannya.”

Anak Ki Panji menjadi bingung. Demikian pula ketiga orang kawannya. Orang itu memang lurah prajurit. Tetapi anak muda itu melihat, ayahnya menaruh hormat kepada lurah prajurit itu lebih dari kebiasaannya bersikap terhadap seorang lurah.

“Tetapi siapa saja yang bersama-sama dengan Ki Lurah?” bertanya Ki Panji.

“Kami sedang mengemban tugas. Besok atau lusa Ki Panji akan mendengar, apa yang telah terjadi di Jati Anom.”

Ki Panji Secapraja mengerutkan dahinya. Ia pun kemudian bertanya, “Bukankah Ki Tumenggung Untara ada di Jati Anom?”

“Ya. Aku diperbantukan kepada Kakang Tumenggung, Ki Panji. Sekarang tugas itu sudah selesai. Kami akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun kami akan singgah di Mataram untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.”

“Jika demikian, aku persilahkan Ki Lurah dan saudara-saudaraku yang lain untuk singgah di Sambisari.”

“Terima kasih, Ki Panji. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. Waktu kami tidak terlalu banyak. Bahkan sebenarnya kami tidak ingin berhenti di sini, apalagi mohon Ki Panji datang ke tempat ini. Tetapi nampaknya putra Ki Panji itu berkeras untuk minta kami menunggu Ki Panji.”

Ki Panji memandang anaknya dengan sorot mata yang tajam. Terasa jantung anak muda itu berdesir. Ayahnya tidak pernah memandangnya seperti itu. Rasa-rasanya sorot mata ayahnya itu menghunjam menusuk ke jantungnya.

“Aku sudah mengira bahwa anak itu telah membuat perkara. Apa yang sudah dilakukannya, Ki Lurah?”

“Tidak apa-apa, Ki Panji. Nampaknya putra Ki Panji itu tertarik kepada kuda adikku, Glagah Putih.”

“Glagah Putih? Aku pernah mendengar namanya.”

“Mungkin, Ki Panji. Ia tinggal bersamaku di Tanah Perdikan. Aku sering mengajaknya menghadap Ki Patih Mandaraka.”

“Oh. Apakah anakku memaksanya untuk memiliki kuda itu?”

“Tidak, Ki Panji. Putra Ki Panji ingin membeli kuda itu. Tetapi adikku berkeberatan, karena kuda itu pemberian seseorang yang dihormatinya sebagai kenang-kenangan.”

“Apa yang dilakukan anakku kemudian?”

“Tidak apa-apa. Putra Ki Panji hanya mengatakan bahwa ia adalah putra Ki Panji Secapraja. Karena aku pernah mengenal Ki Panji, maka ada baiknya aku bertemu dengan Ki Panji, agar tidak terjadi salah paham.”

“Aku minta maaf atas tingkah laku anakku, Ki Lurah. Aku memang harus membimbingnya lebih jauh lagi. Mungkin ia terlalu manja, karena kebetulan anakku hanya seorang itu. Tetapi aku sadari, bahwa kemanjaannya tidak boleh melampaui batas.”

Agung Sedayu tersenyum. katanya, “Masih ada kesempatan, Ki Panji.”

“Kadang-kadang anakku itu merasa lebih berkuasa dari aku sendiri di Sambisari.”

Wajah anak muda itu menjadi pucat. Keringatnya mengalir membasahi punggungnya.

Namun sambil tersenyum Agung Sedayu itu pun berkata, “Ki Panji tentu akan menemukan cara terbaik untuk mengubah sikap putra Ki Panji itu. Mudah-mudahan Ki Panji segera berhasil.”

Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah Ki Lurah. Aku minta Ki Lurah dan Ki Sanak yang lain singgah barang sebentar.”

“Terima kasih, Ki Panji. Kami justru akan minta diri untuk melanjutkan perjalanan. Ki Panji dapat menghubungi Kakang Untara, untuk mengetahui apa yang baru saja terjadi di Jati Anom. Selanjutnya kami akan singgah barang sebentar di Mataram.”

“Baktiku kepada Ki Patih Mandaraka.”

“Baik, Ki Panji.”

“Selamat jalan, Ki Lurah dan Ki Sanak semuanya. Sayang kalian tidak bersedia singgah barang sebentar.”

“Terima kasih, Ki Panji.”

Sekali lagi Agung Sedayu dan sekelompok orang yang bersamanya menuju ke Mataram itu minta diri. Anak Ki Panji memandang iring-iringan itu dengan bingung, apa yang sebenarnya telah terjadi dengan ayahnya.

Namun anak muda itu terkejut. Tiba-tiba saja cemeti kuda ayahnya telah mengenai punggungnya

Anak itu mengaduh kesakitan. Ketika ia memandang wajah ayahnya, sorot mala ayahnya bagaikan membara.

“Untunglah kau tidak dibantai oleh Ki Lurah Agung Sedayu, atau oleh anak muda yang bernama Glagah Putih itu!”

Anak muda itu menyeringai menahan pedih di punggungnya. Sementara itu ayahnya pun berkata, “Jika kau masih berbuat seperti itu, maka kau akan aku titipkan di padepokan yang dapat membuatmu berubah. Aku mengenal seorang pemimpin padepokan yang mampu berbuat demikian dengan caranya.”

Anak muda itu menundukkan kepalanya. Namun ia masih saja menahan sakit

“Kita pulang!” berkata Ki Panji.

Anak muda itu tidak membantah. Sementara itu, Ki Panji pun telah meloncat ke punggung kudanya dan berpacu pulang, diikuti oleh kedua orang pengawalnya. Di belakang mereka, anak muda itu mengikutinya bersama ketiga orang kawan-kawannya.

Demikian mereka sampai di rumah, maka Nyi Panji menyongsong kedatangan suaminya di tangga pendapa. Dengan nada tinggi Nyi Panji itu pun bertanya, “Lurah prajurit dari mana yang telah berani menantang Ki Panji itu?”

“Anakmu yang harus dibuat jera dengan tingkah-tingkahnya itu!” sahut Ki Panji.

“Kenapa?”

“Untung saja anak itu tidak dibantai oleh Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Siapa?”

“Ki Lurah Agung Sedayu.”

Wajah Nyi Panji nampak menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kenapa dengan Ki Lurah Agung Sedayu? Kenapa Ki Panji justru berkata bahwa untung saja anak itu tidak dibantai oleh lurah itu? Seandainya lurah itu berani berbuat demikian, apakah Ki Panji tidak dapat melumatkannya menjadi debu?”

“Lurah yang satu ini tidak.”

“Kenapa? Apa bedanya dengan lurah prajurit yang lain? Bukankah Kakang seorang Panji? Lurah yang manapun di Mataram akan tunduk menghormati Kakang.”

“Lurah yang satu ini berbeda. Ia memiliki kemampuan tidak ada duanya di lingkungan para prajurit Mataram.”

“Tetapi ia seorang Lurah.”

“Tetapi ia mempunyai kedudukan yang khusus di mata para pemimpin di Mataram.”

“Melebihi seorang Panji?”

“Melebihi seorang Panji. Melebihi seorang Rangga, dan bahkan melebihi seorang Tumenggung.”

“Aku tidak percaya,” berkata Nyi Panji sambil mencibirkan bibirnya.

“Katakan kepada anakmu, agar ia mencoba sekali lagi mengganggu Ki Lurah Agung Sedayu. Anak itu akan menjadi bahan tertawaan banyak orang di pinggir jalan.”

“Kakang memang tidak pernah memberi hati kepada anakmu. Jika ia berani melawan anakmu, bukankah Ki Panji akan menghukumnya?”

“Aku yang akan dihukum menjadi pengewan-ewan. Pokoknya tidak seorang pun Panji di Mataram yang sudah mengenal Ki Lurah Agung Sedayu akan berani mengusiknya, meskipun dalam ujud kewadagan pangkat dan kedudukannya lebih tinggi.”

“Itu suatu kebiasaan buruk bagi Mataram.”

“Kebiasaan anak-anak panji seperti anakmu itu adalah kebiasaan yang lebih buruk lagi.”

“Tergantung kepada sikap Ki Panji.”

“Cukup!” tiba-tiba saja Ki Panji membentak.

Nyi Panji terkejut. Ki Panji tidak pernah membentaknya. Beberapa kali anaknya dianggapnya bersalah. Tetapi setiap kali Nyi Panji selalu membelanya.

Ki Panji itu pun berkata selanjutnya, “Aku sudah berkata kepada anakmu. Jika ia tidak menghentikan tingkah lakunya serta sikapnya yang seakan-akan lebih kuasa dari kuasaku di Sambisari, ia akan aku kirim ke padepokan Sawangan.”

“Ki Panji?”

“Aku bersungguh-sungguh.”

Nyi Panji memandang Ki Panji dengan tatapan mata yang aneh. Namun Ki Panji tidak menghiraukannya lagi. Ia pun segera melangkah masuk ke ruang dalam, langsung ke serambi.

Nyi Panji memandanginya dengan kerut di kening. Kemudian dipanggilnya anaknya. Hampir berbisik Nyi Panji itu pun bertanya, “Kenapa dengan ayahmu?”

“Entahlah. Tetapi nampaknya ayah sangat hormat kepada orang yang disebut Ki Lurah Agung Sedayu itu. Menurut Ki Lurah, Ki Lurah itu akan singgah di Mataram bertemu dengan Ki Patih Mandaraka. Ayah pun minta Ki Lurah menyampaikan baktinya kepada Ki Pauh Mandaraka.”

“Ki Lurah itu akan langsung menghadap Ki Patih? Omong kosong! Jarak antara seorang lurah dan seorang patih itu jauh sekali.”

“Tetapi Ayah percaya.”

Nyi Panji termangu-mangu sejenak. Namun mulutnya pun masih berkomat-kamit, “Lurah apa itu?”

Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu bersama kelompoknya telah melanjutkan perjalanannya. Mereka memang akan singgah di Mataram. Ki Lurah akan langsung bertemu dan berbicara dengan Ki Patih Mandaraka.

Memang jarang sekali seorang lurah prajurit dapat langsung bertemu dan berbicara dengan Ki Patih tanpa dipanggil, kecuali lurah prajurit yang memang bertugas di Kepatihan.

Iring-iringan itu memang tidak berpacu terlalu cepat. Kuda-kuda itu berlari-lari kecil menyusuri jalan yang panjang. Namun mereka memang tidak dapat berkuda lebih cepat lagi. Mereka yang terluka mulai mereka letih oleh perjalanan mereka itu.

Ketika iring-iringan itu memasuki gerbang kota, beberapa orang memang memperhatikan dengan kerut di dahi. Bahkan demikian pula para prajurit yang bertugas di pintu gerbang. Namun ketika mereka melihat Ki Lurah Agung Sedayu, maka para prajurit itu tidak bertanya lagi.

Iring-iringan itu pun langsung menuju ke rumah Ki Patih Mandaraka. Prajurit yang bertugas di Kepatihan pun menghentikan iring-iringan itu di pintu gerbang. Namun kemudian karena di antara mereka terdapat Agung Sedayu, maka iring-iringan itu pun dipersilakan langsung masuk ke halaman.

“Ki Patih tidak ada di rumah, Ki Lurah.”

“Oh, di mana?”

“Di istana.”

“Di istana?”

“Ya. Sejak semalam Ki Lurah. Menjelang tengah malam, Ki Patih dipanggil ke istana.”

“Bagaimana keadaan Panembahan Senapati?”

Prajurit yang bertugas di kepatihan itu pun berdesis dengan agak ragu, “Nampaknya keadaannya menjadi semakin gawat.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Biarlah saudara-saudaraku berada di sini. Aku titipkan mereka di Kepatihan. Aku akan ke istana.”

“Silakan, Ki Lurah,” berkata prajurit itu.

Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada Sekar Mirah dan orang-orang yang berada di dalam iring-iringan itu. Kepada Ki Jayaraga, Agung Sedayu memberikan beberapa pesan dan menitipkan mereka semua kepadanya.

“Baiklah, Ki Lurah,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi bukankah Ki Lurah tidak terlalu lama?”

“Tidak. Aku hanya ingin melihat keadaan Panembahan Senapati saja.”

Prajurit yang bertugas itu pun kemudian telah mempersilakan mereka yang ditinggalkan di Kepatihan itu untuk berada di serambi gandok kiri. Sementara Agung Sedayu telah menuntun kudanya keluar pintu gerbang Kepatihan dan melarikannya ke istana.

Di istana pun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan untuk masuk ke dalam. Kepada prajurit yang bertugas, Agung Sedayu minta agar disampaikan kepada Ki Patih Mandaraka, bahwa ia ingin menghadap.

Prajurit itu pun kemudian lewat Pelayan Dalam menyampaikan pesan itu kepada Ki Patih, yang bersama-sama dengan beberapa orang keluarga istana berada di sebuah ruangan di depan bilik Kanjeng Panembahan Senapati yang sedang dalam keadaan sakit. Bahkan keadaannya menjadi semakin gawat dan mengkhawatirkan.

Dua orang tabib yang paling baik di Mataram berada di dalam bilik itu. Namun agaknya mereka hanya wenang berusaha. Namun apa yang harus terjadi, akan terjadi pula. Saat-saat datang dan pergi seseorang memang tidak ditentukan oleh sesamanya.

“Bawa Ki Lurah masuk.”

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun telah berada di antara mereka. Ki Patih Mandaraka memberikan isyarat agar Ki Lurah Agung Sedayu maju mendekatinya.

Di ruangan itu duduk pula Pangeran Pati, yang telah ditetapkan untuk menggantikan kepemimpinan Panembahan Senapati.

“Marilah, Ki Lurah,” desis Putra Mahkota itu.

Agung Sedayu pun menyembah sambil menyahut, “Hamba, Pangeran.”

“Keadaan Ayahanda menjadi semakin gawat. Apakah Ki Lurah akan melihat keadaannya? Jarang sekali Ayahanda menanyakan seseorang. Tetapi dalam ketidak-sadarannya, Ayahanda menyebut nama Ki Lurah. Mungkin karena Ayahanda pernah melakukan pengembaraan bersama Ki Lurah Agung Sedayu di masa mudanya.”

Agung Sedayu berpaling ke arah Ki Patih Mandaraka untuk minta pertimbangannya.

Ki Patih pun mengangguk sambil berkata, “Masuklah ke dalam bilik itu, Ki Lurah. Kanjeng Panembahan Senapati memang menyebut-nyebut namamu.”

Agung Sedayu pun kemudian dengan berjalan sambil berjongkok memasuki bilik Panembahan Senapati, yang ditunggui oleh dua orang tabib yang paling baik di Mataram.

Agung Sedayu terkejut melihat keadaan Panembahan Senapati yang pucat sekali. Badannya nampak kurus, sementara matanya terpejam.

Agung Sedayu pun kemudian duduk bersila di lantai, di sisi pembaringan Panembahan Senapati. Salah seorang tabib yang menunggui itu pun berdesis di telinga Panembahan Senapati, “Panembahan, Ki Lurah Agung Sedayu datang menghadap. Bukankah kemarin Panembahan menyebut namanya?”

Tetapi Panembahan Senapati tidak bergerak sama sekali. Matanya masih tetap terpejam.

Sekali lagi tabib itu menyampaikan kepada Panembahan Senapati bahwa Agung Sedayu menghadap. Tetapi Panembahan Senapati yang sudah berada dalam keadaan yang gawat itu tidak mendengarnya.

“Sudahlah,” desis Agung Sedayu, “biarlah Kanjeng Panembahan Senapati tidur nyenyak.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian menyembah sambil berdesis, “Hamba sudah menghadap, Panembahan. Perkenankan hamba berada di luar bersama Putra Mahkota dan Ki Patih Mandaraka, serta para keluarga istana yang lain.”

Namun ketika Agung Sedayu bergeser, maka tabib yang menyampaikan kehadirannya itu berdesis, “Ki Lurah, Panembahan Senapati mendengar suaramu.”

Ternyata Panembahan Senapati itu membuka matanya.

Agung Sedayu pun kemudian berdiri pada lututnya di sisi pembaringan Panembahan Senapati. Sambil menyembah sekali lagi Ki Lurah itu pun berkata, “Hamba menghadap, Kanjeng Panembahan.”

Panembahan Senapati itu memandanginya sambil tersenyum. Perlahan-lahan bibirnya bergerak menyebut nama Agung Sedayu.

“Hamba, Kanjeng Panembahan.”

Tetapi Panembahan Senapati tidak berkata apa-apa lagi. Matanya kembali terpejam. Namun senyumnya masih tersangkut di bibirnya yang kering.

“Apakah ada titah Panembahan?” desis Agung Sedayu.

Tetapi Panembahan Senapati itu seakan-akan tidak mendengarnya. Ia sudah dalam keadaan sebagaimana sebelum Agung Sedayu memasuki bilik itu.

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sekali lagi ia menyembah. Kemudian ia pun berdesis, “Hamba akan berada di luar bilik ini, Panembahan.”

Panembahan Senapati masih tetap diam. Bibirnya yang masih nampak tersenyum itu bergerak. Tetapi tidak ada suara apapun yang terdengar, sementara matanya tetap terpejam.

Dengan isyarat, kedua orang tabib yang menunggui Kanjeng Panembahan Senapati itu mempersilahkan Ki Lurah Agung Sedayu untuk keluar.

“Apakah Ayahanda menyadari kehadiranmu, Ki Lurah?” bertanya Putra Mahkota yang masih tetap berada di depan bilik.

“Kanjeng Panembahan Senapati menyebut nama hamba satu kali,” jawab Agung Sedayu, “namun kemudian Kanjeng Panembahan Senapati tertidur kembali.”

“Ayahanda tidak tertidur,” desis Putra Mahkota itu, “tetapi kesadaran Ayahanda kadang-kadang timbul, namun kadang-kadang hilang.”

“Hamba, Pangeran,” desis Ki Lurah.

“Ki Lurah,” bertanya Ki Patih Mandaraka kemudian, “apakah kau mempunyai keperluan lain, atau kau sengaja datang untuk menengok keadaan Kanjeng Panembahan Senapati?”

“Kedua-duanya, Ki Patih,” jawab Ki Lurah.

“Baiklah. Marilah kita berbicara di serambi luar.”

Ki Patih Mandaraka itu pun kemudian mohon diri kepada Putra Mahkota yang ada di ruang itu, untuk berbicara dengan Agung Sedayu di serambi luar.

“Silakan, Eyang,” desis Putra Mahkota yang nampak letih itu.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Patih Mandaraka sudah duduk di serambi luar. Dengan nada berat Ki Patih Mandaraka itu pun bertanya, “Ada persoalan penting yang ingin kau laporkan?”

“Ya, Ki Patih. Kami baru saja datang dari Sangkal Putung.”

“Kami siapa?”

“Kami, beberapa orang langsung singgah di Kepatihan. Tetapi Ki Patih tidak ada. Aku pun kemudian menyusul Ki Patih ke istana ini.”

“Apa yang terjadi di Sangkal Putung?”

Dengan singkat Ki Lurah pun segera melaporkan, apa yang telah terjadi di sisi utara hutan Lemah Cengkar. Bahkan pasukan Mataram di Jati Anom yang dipimpin langsung oleh Ki Tumenggung Untara, serta pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, telah menghancurkan pasukan Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang sendiri masih berhasil meloloskan diri.

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah bahwa pasukan Ki Saba Lintang itu sudah dapat dihancurkan. Memang sayang, bahwa Ki Saba Lintang sendiri tidak dapat tertangkap.”

“Ki Saba Lintang bersembunyi di balik punggung orang-orangnya. Ia membiarkan orang-orangnya mati untuk melindunginya.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Namun kemudian Ki Patih itu pun bertanya, “Ki Saba Lintang masih membawa tongkat baja putihnya?”

“Ya, Ki Patih.”

“Tongkat baja putih itu harus dapat diambil dari tangannya. Selama ia masih membawa tongkat baja putih itu, ia masih akan selalu membuat keributan. Bahkan pada suatu saat, Ki Saba Lintang itu akan yakin bahwa siapa yang memiliki tongkat baja putih itu, akan dapat memegang kendali kekuasaan tertinggi di Mataram. Karena Ki Saba Lintang meyakini bahwa tongkat baja putih itu berasal dari Jipang. Sedangkan menurut pendapatnya, jalur kekuasaan itu sebenarnya dari Demak mengalir ke Jipang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Sudahlah, Ki Lurah. Kita akan dapat membicarakannya lebih panjang lagi pada kesempatan lain. Sekarang, perhatian semua keluarga istana tertuju kepada Panembahan Senapati.”

“Aku mengerti, Ki Patih.”

“Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat pulang ke Kepatihan segera. Tetapi jika kalian ingin menginap, aku persilakan kalian menginap. Biarlah kalian dilayani seperlunya oleh para abdi di Kepatihan. Mereka sudah tahu, siapakah Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Aku akan berbicara dengan saudara-saudaraku yang datang bersamaku.”

“Mereka tentu tidak berkeberatan. Biarlah nanti aku mengirimkan orang dari istana untuk menyampaikan perintahku, bahwa Ki Lurah dan beberapa orang yang bersamanya akan menginap di Kepatihan.”

“Kami mengucapkan terima kasih, Ki Patih.”

“Aku juga mengucapkan terima kasih. Nampaknya kehadiranmu juga memberikan sentuhan sendiri kepada Panembahan Senapati.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun kemudian mohon diri. Ki Patih yang melepasnya di pintu serambi itu pun berkata, “Hati-hatilah di jalan besok, Ki Lurah. Orang-orang yang terluka itu harus mendapat perhatian khusus di perjalanan.”

“Ya, Ki Patih,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “aku mohon disampaikan kepada Pangeran Adipati Anom serta para keluarga istana, bahwa aku mohon diri. Kami berterima kasih bahwa kami mendapat kesempatan untuk bermalam di Kepatihan.”

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Baiklah. Akan aku sampaikan kepada wayah Pangeran Adipati Anom serta para keluarga istana, bahwa Ki Lurah mohon diri dari istana dan bermalam di Kepatihan.”

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah melarikan kudanya ke Kepatihan. Namun ada sesuatu yang rasa-rasanya tetap menahannya di istana.

Ketika Ki Lurah Agung Sedayu sampai di Kepatihan dan menyampaikan pesan Ki Patih bahwa mereka diperkenankan bermalam di Kepatihan, Ki Jayaraga menjadi ragu-ragu. Demikian pula Sekar Mirah. Namun ketika mereka melihat keadaan Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang letih lahir dan batinnya, maka Ki Jayaraga pun akhirnya berkata, “Baiklah. Kita akan menginap semalam di Kepatihan. Apalagi Ki Patih sendiri sudah memberikan pesan agar kita bermalam.”

Sebenarnyalah Empu Wisanata dan Nyi Dwani merasa berterima kasih atas keputusan Ki Jayaraga. Mereka benar-benar telah merasa letih, meskipun mereka sempat beberapa kali beristirahat.

Malam itu, iring-iringan yang akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh itu bermalam satu malam di Kepatihan. Seperti yang dikatakannya, Ki Patih telah memerintahkan seorang abdi di istana untuk menyampaikan pesannya kepada abdi Kepatihan, untuk melayani Ki Lurah Agung Sedayu dan rombongannya dengan sebaik-baiknya, sementara Ki Patih sendiri masih belum dapat meninggalkan istana.

Dengan demikian, maka keadaan Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun menjadi semakin baik. Apalagi Glagah Putih, yang seakan-akan benar-benar telah sembuh, meskipun lukanya masih basah.

Malam itu mereka dapat tidur nyenyak sekali di Kepatihan. Selain mereka mendapat tempat bermalam yang baik, mereka pun tidak perlu cemas bahwa mereka akan mengalami gangguan pada malam itu. Di Kepatihan terdapat sejumlah prajurit yang bertugas berjaga-jaga.

Meskipun demikian, Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga telah mengatur waktu bagi mereka berdua, agar salah seorang di antara mereka ada yang tetap berjaga.

Pagi-pagi sekali, mereka yang akan melanjutkan perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh itu sudah bangun. Mereka segera menyelesaikan kewajiban mereka masing-masing serta berbenah diri. Mereka berniat untuk meninggalkan Kepatihan sebelum matahari terbit.

Dalam pada itu, ternyata para abdi di Kepatihan itu pun telah menyiapkan segala-galanya sebelum mereka berangkat. Para abdi telah menyiapkan makan pagi serta minuman hangat bagi mereka.

Bahkan ketika mereka sedang makan pagi di serambi samping, Ki Patih Mandaraka telah datang dari istana.

Ketika Ki Patih masuk ke serambi, maka mereka yang ada di serambi itu pun serentak berdiri. Namun Ki Patih pun berkata, “Silhakan. Kalian harus makan dan minum secukupnya sebelum menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Terima kasih, Ki Patih. Kami telah mendapat kesempatan sebaik-baiknya di Kepatihan. Kami dapat tidur dengan nyenyak, serta makan bukan saja secukupnya, tetapi lebih dari itu,” berkata Agung Sedayu.

Ki Patih tertawa. Katanya, “Bukan apa-apa. Aku datang juga sekedar untuk melepas kalian kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, serta kesempatan berganti pakaian. Aku harus segera kembali ke istana.”

Demikianlah, setelah makan pagi dan minum minuman hangat secukupnya, maka Agung Sedayu dan rombongannya pun segera minta diri.

“Selamat jalan. Pada kesempatan lain, aku menunggu laporan dari Ki Tumenggung Untara.”

“Ya, Ki Patih. Mungkin hari ini akan datang penghubung dari Jati Anom.”

“Sayang, aku tentu belum dapat menemuinya. Tetapi biarlah Ki Tumenggung Wirareja menerimanya.”

Demikianlah, Ki Patih melepas mereka di pintu gerbang Kepatihan. Sebuah iring-iringan yang akan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Seorang-seorang mereka minta diri serta mengucapkan terima kasih kepada Ki Patih Mandaraka.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun sudah meninggalkan Kepatihan

Sementara itu, Ki Patih pun dengan tergesa-gesa pergi ke pakiwan. Ia harus membenahi pakaiannya dan segera kembali ke istana.

Ketika iring-iringan itu keluar dari gerbang kota, matahari pun telah memanjat langit sepenggalah. Sinarnya sudah mulai terasa gatal di kulit. Sementara itu, demikian mereka keluar dari gerbang kota, maka iring-iringan itu pun melarikan kuda mereka sedikit lebih cepat, meskipun mereka masih harus selalu menjaga keadaan Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Namun keadaan mereka sudah menjadi berangsur semakin baik.

Dalam pada itu, di perjalanan, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih saja selalu membicarakan keadaan Panembahan Senapati. Nampaknya Panembahan Senapati sendiri sudah memperhitungkan hari-hari terakhirnya, sehingga sebagai seorang yang memegang kuasa di Mataram, Panembahan Senapati telah mempersiapkan penggantinya. Sehingga pada saat Panembahan Senapati itu pergi, tidak akan timbul persoalan di antara para pewarisnya.

Menjelang tengah hari, maka iring-iringan itu sudah berada di tepian Kali Praga. Tidak semua orang dalam rombongan itu bersama kudanya dapat dibawa dalam satu rakit. Karena itu, maka mereka pun menyeberang ke sebelah barat Kali Praga dengan dua rakit. Di antara mereka masih ada satu dua orang lain yang menyeberang bersama mereka.

Kedatangan iring-iringan itu di Tanah Perdikan disambut dengan gembira oleh para pemimpin dan bahkan para penghuni Tanah Perdikan itu. Agung Sedayu mengajak rombongannya langsung menghadap Ki Gede di rumahnya.

“Syukurlah,” berkata Ki Gede, “Yang Maha Agung masih melindungi kita semuanya. Mudah-mudahan keadaan Swandaru dan Pandan Wangi pun menjadi semakin baik untuk seterusnya.”

“Mudah-mudahan, Ki Gede,” jawab Agung Sedayu.

Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu minta diri, maka Ki Gede pun telah mencegahnya. Ki Gede telah memerintahkan para pembantu di rumahnya untuk memotong beberapa ekor ayam, untuk menyambut mereka yang baru datang dari Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun sempat pula memberitahukan bahwa keadaan Panembahan Senapati menjadi semakin parah.

“Segala sesuatunya diserahkan kepada Yang Maha Agung,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ya. Apalagi yang dapat kita lakukan? Kita memang wenang berusaha. Namun keputusan terakhir berada di tangan Yang Maha Agung.”

Demikianlah, maka Ki Gede pun kemudian telah menjamu mereka yang baru pulang dari Sangkal Putung. Ki Gede telah memanggil Ki Argajaya, Prastawa dan para pemimpin Tanah Perdikan itu yang lain.

Baru kemudian Ki Gede melepaskan mereka yang baru datang dari Tanah Perdikan itu untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang terluka itu sebenarnya dipersilahkan oleh Sekar Mirah untuk tinggal di rumahnya selama luka mereka masih belum sembuh benar. Namun keduanya berkeras untuk langsung pulang ke rumah mereka sendiri.

“Baiklah, Empu,” berkata Agung Sedayu, “selama Empu dan nyi Dwani masih belum sembuh benar, biarlah setiap kali rumah Empu diamati oleh para pengawal. Aku atau Ki Jayaraga, atau Glagah Putih atau Sekar Mirah dan Rara Wulan, atau siapapun, akan sering datang untuk menengok keadaan Empu.”

“Terima kasih,” jawab Empu Wisanata, “aku sudah menjadi berangsur baik.”

“Luka-lukaku pun sudah hampir sembuh, Ki Lurah,” berkata Nyi Dwani.

“Syukurlah,” desis Ki Lurah Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka mereka pun segera berpisah, Empu Wisanata dan Nyi Dwani pulang ke rumah yang disediakan bagi mereka, sementara Agung Sedayu dan yang lain-lain telah pulang ke rumah Ki Lurah.

Dalam pada itu, luka Glagah Putih sudah menjadi semakin baik. Bahkan Glagah Putih sendiri sudah tidak terlalu banyak terpengaruh oleh luka-lukanya itu, meskipun Glagah Putih tidak pernah terlambat mengobati luka-lukanya serta minum obat, untuk meningkatkan daya tahannya serta menguatkan tubuhnya.

Agung Sedayu pun merasa lega setelah ia berada di rumahnya. Ki Lurah itu tidak habis-habisnya mengucap syukur kepada Yang Maha Agung, yang selalu melindungi. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi keluarganya, sanak kadangnya dan orang-orang yang terdekat dengan dirinya. Namun Agung Sedayu pun tidak pernah melupakan, bahwa ada di antara mereka yang bersama-sama berjuang melawan pasukan Ki Saba Lintang, telah gugur. Beberapa pengawal Sangkal Putung dan beberapa orang prajurit Mataram di Jati Anom.

Namun bagi Agung Sedayu sendiri, satu tugas yang berat telah terlampaui. Meskipun Agung Sedayu sadar bahwa tugas-tugas yang lain pada saatnya tentu akan datang, menuntut kesediaannya untuk melakukannya

Tetapi rasa-rasanya pada hari itu, semua beban sempat diletakkan. Di sore hari, ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah duduk di serambi samping, mereka sempat menikmati minuman hangat serta ketela pohon rebus yang masih mengepul. Ketika Rara Wulan ikut duduk bersama mereka, maka Agung Sedayu pun bertanya, “Kau lihat Ki Jayaraga?”

“Ki Jayaraga pergi ke sawah, Kakang.”

“Ke sawah?”

“Ya. Katanya Ki Jayaraga sudah rindu kepada batang padi yang ditinggalkannya pergi beberapa hari ke Jati Anom.”

“Di mana Glagah Putih?”

“Bersama Sukra, di belakang.”

Sebenarnyalah Glagah Putih duduk di depan sanggar di halaman belakang bersama Sukra. Dengan nada berat Sukra pun berkata, “Aku selalu berlatih sendiri. Tidak pernah ada hari yang kosong.”

“Bagus,” jawab Glagah Putih.

“Sekarang, marilah kita masuk ke dalam sanggar.”

“Kau jangan melihat dari sisi kepentinganmu saja. Aku letih, dan aku pun terluka di pundakku.”

“Terluka?”

Glagah Putih pun menyingkapkan baju dan menunjukkan luka kepada Sukra.

“Pundakmu berlubang?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sebagaimana kau lihat. Tetapi keadaannya sudah jauh lebih baik.”

“Jenis senjata apakah yang telah menusuk pundakmu, sehingga bekas lukanya seperti itu?”

“Akik. Batu akik.”

“He? Aku bertanya dengan sungguh-sungguh.”

“Ya. Batu akik. Dengan sejenis ilmu tertentu, batu akik itu dilontarkan lewat mulutnya. Batu akik itu meluncur dengan kecepatan dan kekuatan yang sangat tinggi.”

Sukra menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah luka itu sudah tidak sakit lagi?”

“Masih. Masih terasa nyeri. Tetapi sudah jauh berkurang. Karena itu, jangan ajak aku masuk ke sanggar hari ini. Mungkin besok, meskipun aku hanya sekedar melihat apa yang kau lakukan.”

Sukra bangkit berdiri. Ia pun kemudian melangkah ke pakiwan sambil berdesis, “Aku harus mengisi jambangan. Dengan alasan pundakmu terluka, kau tentu tidak mau membantu aku menimba air.”

Glagah Putih tertawa

Sementara itu langit pun menjadi buram. Seperti yang diduga oleh Sukra, maka seorang demi seorang seisi rumah itu pun pergi ke pakiwan untuk mandi. Namun ternyata meskipun pundaknya terluka, Glagah Putih serba sedikit juga membantu Sukra mengisi jambangan. Bahkan Agung Sedayu pun ikut menimba air pula.

Dalam pada itu, setelah malam turun, Ki Jayaraga baru pulang dari sawah sambil memanggul cangkul. Wajahnya nampak cerah, bahkan sambil berdendang perlahan-lahan, Ki Jayaraga pergi ke pakiwan.

Setelah mandi serta duduk di ruang dalam menghadapi makan malam, Sekar Mirah sempat berkata, “Wajah Ki Jayaraga nampak begitu cerah malam ini.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tanaman di sawah kita nampaknya tidak terganggu, meskipun kita pergi beberapa hari.”

“Bukankah ada Sukra dan anak sebelah yang membantu kita merawat tanaman di sawah?”

“Ya. Tetapi semula aku cemas bahwa mereka tidak mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Ternyata mereka juga mencintai tanaman di sawah itu seperti aku.”

Agung Sedayu yang mendengarkan pembicaraan itu tertawa. Katanya, “Setiap petani, bahkan aku yang sudah berada di lingkungan keprajuritan, mencintai tanaman di sawah, karena tanaman di sawah itu akan memberikan bahan makan bagi kita.”

“Ya,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk, “jika kita mencintai tanaman itu, maka tanaman itu pun akan memberikan yang terbaik bagi kita.”

“Ki Jayaraga benar,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

Ketika mereka kemudian makan malam, maka pembicaraan mereka pun telah beralih kepada Panembahan Senapati yang sakitnya menjadi semakin parah.

Malam itu, ternyata seisi rumah itu dapat tidur dengan nyenyak. Lebih nyenyak dari saat mereka tidur di Kepatihan. Rasa-rasanya tidak lagi ada persoalan yang tersangkut di hati mereka.

Di hari berikutnya, seperti biasanya Agung Sedayu pun telah bersiap di saat matahari terbit. Kudanya pun sudah siap pula di halaman. Sebentar lagi Agung Sedayu akan pergi ke barak setelah beberapa hari meninggalkannya.

Namun sebelum Agung Sedayu berangkat, justru seorang prajuritnya telah datang bersama dua orang prajurit dari Mataram.

Jantung Agung Sedayu berdebar. Dipersilahkannya tamunya duduk di pringgitan rumahnya.

“Pagi-pagi kalian telah sampai di sini,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kami mendapat perintah dari Ki Patih Mandaraka. Ketika kami sampai di barak, Ki Lurah masih belum datang. Sementara itu kami tahu, bahwa Ki Lurah sudah kembali ke Tanah Perdikan. Karena itu, kami datang kemari.”

“Apakah ada keperluan yang sangat penting?”

“Ya,” jawab seorang di antara mereka, “kami mendapat tugas untuk menyampaikan berita duka bagi seluruh rakyat Tanah Perdikan ini, lewat Ki Lurah Agung Sedayu.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Dengan wajah yang tegang ia pun mendengarkan salah seorang di antara kedua orang utusan Ki Patih itu berkata, “Ki Lurah. Semalam, Kanjeng Panembahan Senapati telah mangkat.”

“Kanjeng Panembahan Senapati telah mangkat?” ulang Ki Lurah dengan suara yang bergetar.

“Ya. Dengan tenang Kanjeng Panembahan Senapati mangkat .”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ki Lurah memang sudah menduga bahwa saat itu akan segera datang, menilik keadaan Kangjeng Panembahan Senapati. Meskipun demikian, tidak seorang pun yang dapat memperhitungkan dengan tepat saat-saat seseorang dipanggil kembali menghadap Penciptanya.

“Ki Patih ada di istana waktu itu?” bertanya Ki Lurah Agung Sedayu.

“Ya, Ki Lurah. Semua keluarga istana lengkap. Juga Ki Patih Mandaraka serta beberapa orang terdekat.”

“Apakah ada titah yang lain?”

Prajurit dari Mataram itu menggeleng. Katanya, “Tidak ada titah yang lain, Ki Lurah.”

“Baiklah. Aku dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus akan segera berangkat ke Mataram.”

“Kami mohon diri untuk mendahului kembali ke Mataram, Ki Lurah.”

“Silahkan. Kami akan segera menyusul.”

Kedua orang prajurit itu pun segera mohon diri. Sementara itu, prajurit yang dari barak Pasukan Khusus itu pun telah mohon diri pula. Kepada prajurit dari Pasukan Khusus itu, Agung Sedayu berpesan untuk disampaikan kepada empat orang yang akan diajak pergi bersamanya ke Mataram.

Sepeninggal para prajurit itu, Agung Sedayu pun minta diri kepada keluarganya untuk tidak saja pergi ke barak, tetapi ia akan langsung pergi ke Mataram.

“Aku tidak tahu, apakah sore nanti aku dapat kembali, apa tidak,” berkata Agung Sedayu.

“Sebaiknya Kakang menyesuaikan diri dengan keadaan di Mataram.”

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sekar Mirah. Sebaiknya kau sendiri pergi menemui Ki Gede untuk menyampaikan berita duka ini. Rakyat Tanah Perdikan sudah sepantasnya berkabung atas mangkatnya Kanjeng Panembahan Senopati.”

“Baik, Kakang. Aku akan pergi menghadap sendiri.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun meninggalkan rumahnya dilepas oleh seluruh keluarganya, termasuk Ki Jayaraga.

Sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah berpacu menuju ke baraknya, dan selanjutnya bersama dengan empat orang prajurit pilihan, mereka pun segera pergi ke Mataram.

Hari itu Mataram benar-benar berkabung. Para Adipati dari timur dan dari pesisir utara telah diberi tahu semalam, demikian Kanjeng Panembahan Senopati mangkat.

Pertanda duka tidak hanya nampak di Kotaraja, tetapi di Kadipaten-Kadipaten, di lingkungan-lingkungan yang terkecil, bahkan di pedesaan, nampak pernyataan rakyat Mataram yang sedang berkabung.

Sebelum mangkat, Panembahan Senapati masih sempat berpesan kepada Ki Patih Mandaraka, untuk menjaga ketenangan keluarganya. Sekali lagi Kanjeng Panembahan menekankan, bahwa Putra Mahkota sebaiknya segera ditetapkan menjadi penggantinya.

Ternyata bahwa Agung Sedayu tidak dapat pulang pada hari itu juga. Ia sempat bertemu dan berbicara dengan Untara dan beberapa orang senapati yang lain. Para senapati telah membicarakan pengamanan seluruh negeri, di bawah Ki Patih Mandaraka.

“Perhatian kita jangan semuanya tertumpah kepada mangkatnya Panembahan Senapati di sini. Semua senapati harus diperingatkan, bahwa ada kemungkinan orang-orang yang ingin memanfaatkan kesempatan ini.”

Dengan demikian, maka para senapati pun telah sibuk menempatkan pasukannya di tempat-tempat penting, bukan saja di sekitar Kotaraja. Bahkan Ki Patih telah mengirimkan penghubung ke beberapa tempat yang jauh. Penghubung berkuda yang memacu kuda-kuda mereka menempuh perjalanan yang panjang, menghubungi para senapati Mataram yang bertugas di tempat-tempat yang jauh itu.

Sementara itu, bersamaan dengan para penghubung yang memberitahukan mangkatnya Panembahan Senapati kepada para Adipati dan Bupati, Ki Patih pun telah berpesan agar mereka berhati-hati menanggapi keadaan.

Pada saat jenazah Panembahan Senapati dibawa ke makam, rakyat Mataram bagaikan tumpah sepanjang jalan. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir kepada Kanjeng Panembahan Senapati, yang menjadi cikal bakal lajer kekuasaan di Mataram.

Dalam pada itu, maka Ki Patih Mandaraka mengumumkan bahwa Mataram akan berkabung selama empat puluh hari empat puluh malam. Kemudian, Mataram akan segera mempersiapkan penobatan seorang raja yang baru di Mataram, sebagaimana dipesankan oleh Kanjeng Panembahan Senapati.

Seperti juga di tempat-tempat lain, maka suasana berkabung itu pun terasa di Tanah Perdikan Menoreh. Namun seperti di tempat-tempat lain pula, Tanah Perdikan Menoreh telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ki Lurah Agung Sedayu sendiri berada di Mataram selama tiga hari tiga malam. Baru kemudian Ki Lurah Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, bersama dengan keempat prajurit yang pergi bersamanya ke Mataram.

Namun pada saat Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan, Ki Patih Mandaraka pun berpesan, “Dalam waktu dua pekan, aku minta kau kembali menemui aku, Ki Lurah.”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menyahut, “Baik, Ki Patih. Sepuluh hari lagi aku akan menghadap di Kepatihan.”

“Ya. Datanglah ke Kepatihan. Jika aku tidak ada di rumah, biarlah seorang prajurit menyusulku ke istana, karena agaknya aku tidak akan pergi ke mana-mana kecuali ke istana, dalam waktu dekat ini.”

“Ya, Ki Patih.”

“Salamku buat Ki Gede Menoreh serta buat seluruh keluargamu.”

Ketika kemudian Agung Sedayu memacu kudanya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka pesan Ki Patih itu rasa-rasanya masih didengarnya. Dua pekan lagi ia harus menghadap Ki Patih Mandaraka di, Mataram.

“Tentu ada yang penting,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian telah memerintahkan keempat orang prajuritnya langsung kembali ke barak, sementara Agung Sedayu sendiri langsung kembali ke rumahnya di padukuhan induk Tanah Perdikan.

Demikian ia sampai di rumahnya, maka Agung Sedayu pun telah menceritakan upacara agung pemakaman Kanjeng Panembahan Senapati.

Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata pula, “Ketika aku mohon diri, Ki Patih pun berpesan agar dalam waktu dua pekan lagi aku datang menghadap Ki Patih di Mataram.”

“Apakah ada yang penting, Kakang?”

“Aku belum tahu, Sekar Mirah. Sebenarnya bahwa aku juga merasa berdebar-debar memikirkannya. Tentu saja perintah yang penting yang harus aku lakukan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun menyadari bahwa suaminya adalah seorang prajurit. Bagi seorang prajurit, maka perintah yang dibebankan kepadanya harus dilaksanakannya.

Di hari-hari berikutnya, meskipun masih terasa betapa rakyat Mataram berkabung, namun kehidupan sehari-hari berjalan sebagaimana biasa. Mereka yang mempunyai kewajiban di sawah, telah pergi ke sawah. Para pedagang juga pergi ke pasar sebagaimana biasanya. Tetapi mereka yang mengadakan kesuka-riaan, telah dibatalkan atau ditunda sampai setelah empat puluh hari empat puluh malam mangkatnya Panembahan Senapati.

Ki Lurah Agung Sedayu sendiri juga melakukan tugasnya sehari-hari di baraknya. Setiap pagi, seperti biasa ia pergi ke barak. Di sore hari Ki Lurah itu pulang ke rumahnya.

Namun sebenarnyalah Agung Sedayu setiap kali masih saja berdebar-debar. Dari hari ke hari, ia masih saja memikirkan, tugas apalagi yang akan dibebankan kepadanya, justru pada saat Panembahan Senapati mangkat.

Pada hari yang kesepuluh, seperti perintah Ki Patih Mandaraka, maka Agung Sedayu pun telah pergi ke Mataram disertai dua orang prajuritnya.

Ketiganya pun langsung menuju ke Kepatihan. Agung Sedayu harus menghadap Ki Patih pada hari itu juga.

Ketika Agung Sedayu sampai di Kepatihan, Ki Patih Mandaraka memang sedang berada di istana. Karena itu, maka Agung Sedayu telah minta tolong agar salah seorang prajurit yang bertugas di Kepatihan pergi ke istana untuk memberitahukan kehadirannya.

Tetapi ternyata prajurit itu kembali tanpa Ki Patih Mandaraka. Bahkan prajurit itu membawa perintah, agar Ki Lurah Agung Sedayu langsung pergi ke istana

Jantung Ki Lurah Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Ia pun kemudian bersama kedua orang prajuritnya langsung pergi ke istana.

Ki Patih Mandaraka kemudian menerima Ki Lurah Agung Sedayu di serambi samping kiri. Ki Lurah menjadi semakin berdebar-debar, ketika bukan saja Ki Patih Mandaraka yang menerimanya, tetapi ternyata bahwa Pangeran Adipati Anom juga hadir di serambi itu.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “sebenarnya perintah ini sudah diberikan oleh Kanjeng Panembahan Senapati, namun pada saat Kanjeng Panembahan Senapati menjadi semakin parah, tidak menyinggungnya lagi. Namun karena Pangeran Adipati Anom mendengar pula niat Kanjeng Panembahan Senapati untuk memberikan perintah itu, maka agaknya sekarang Pangeran Adipati Anom menganggap perlu untuk membicarakannya lagi.”

Agung Sedayu menundukkan kepalanya. Ia pun kemudian menyembah sambil berkata, “Hamba menunggu perintah Pangeran Adipati Anom.”

Pangeran Adipati Anom itu memandanginya dengan tajamnya. Putra Mahkota yang masih terhitung muda itu sudah mengenal Ki Lurah dengan baik, tetapi pengenalannya tidak setajam ayahandanya. Bahkan ayahandanya pernah melakukan pengembaraan bersama dengan Ki Lurah Agung Sedayu itu, meskipun tidak terlalu lama.

“Ki Lurah,” berkata Pangeran Adipati Anom.

“Hamba, Kanjeng Pangeran.”

Ternyata perintahnya singkat dan tegas, “Ayahanda menghendaki tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang itu.”

Di luar sadarnya Ki Lurah Agung Sedayu mengangkat wajahnya. Namun kemudian wajah itu telah tertunduk lagi.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih menjelaskan, “maksud Kanjeng Pangeran Adipati Anom, kau dapat memerintahkan siapa saja untuk mencari tongkat baja putih peninggalan Macan Kepatihan Jipang itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun berkata, “Apakah maksud Kanjeng Pangeran, hamba harus membawa prajurit hamba untuk mencari tongkat baja putih itu?”

Ki Patih menggeleng sambil berkata, “Bukan itu maksudnya, Ki Lurah. Kau tentu akan mengalami kesulitan jika kau bawa pasukanmu untuk mencari tongkat baja putih itu.”

Ki Lurah Agung Sedayu masih saja menunduk dan mendengarkan dengan seksama.

“Ki Lurah,” Ki Patih meneruskan, “kau dapat memerintahkan satu dua orang yang paling kau percaya untuk menjalankan perintah itu. Misalnya kau dapat minta satu atau dua orang prajurit pilihan untuk melakukannya. Tetapi kau juga dapat minta misalnya Glagah Putih, untuk mencari tongkat baja putih itu. Karena aku yakin kau tidak akan mungkin minta Sekar Mirah yang juga memiliki tongkat yang sama untuk memburunya.”

Terasa jantung Ki Lurah Agung Sedayu berdesir. Perintah ini adalah perintah yang sangat khusus. Bahkan mungkin ada hubungannya dengan tongkat baja putih yang berada di tangan Sekar Mirah. Jika Ki Patih menyebut nama istrinya, bukannya secara kebetulan semata-mata.

Namun agaknya Ki Patih telah menyebut pula nama Glagah Putih. Ki Patih tahu pasti kemampuan Glagah Putih. Karena itu, maka agaknya nama Glagah Putih bukannya sekedar contoh saja. Tetapi agaknya Ki Patih memang telah menunjuk Glagah Putih untuk melakukannya.

Ternyata dugaan Ki Lurah itu tidak luput. Sejenak kemudian Ki Patih pun berkata, “Ki Lurah. Bukankah Glagah Putih masih belum terikat oleh tugas tertentu?”

“Belum, Ki Patih.”

“Aku tahu bahwa Glagah Putih adalah seorang anak muda yang mumpuni. Apakah terbersit di dalam hatimu, untuk menugaskan Glagah Putih mencari tongkat baja putih itu?”

“Aku akan berbicara dengan Glagah Putih, Ki Patih.”

“Baiklah. Kau masih mempunyai waktu. Berbicaralah dengan Glagah Putih. Jika Glagah Putih bersedia, ajak anak muda itu kemari. Aku dan Kanjeng Pangeran Adipati Anom akan memberikan pesan-pesan kepadanya. Tetapi jika Glagah Putih tidak bersedia atau karena pertimbangan lain kau tunjuk orang lain, maka bawa orang itu kemari.”

“Ya, Ki Patih.”

“Ingat, Ki Lurah,” suara Pangeran Adipati Anom berat, “tongkat baja putih itu harus kau bawa kemari, karena tongkat baja putih itu selalu menimbulkan persoalan di hari-hari mendatang. Tongkat itu akan selalu mengungkit kekuasaan atas bumi Mataram yang dianggap kelanjutan dari kekuasaan yang tumbuh di Pajang. Kekuasaan yang tidak sah, karena aliran kekuasaan dari Demak seharusnya menuju ke Jipang.”

“Hamba, Pangeran,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Terserah caramu dan siapapun yang akan melakukannya. Aku tidak mempersoalkan tongkat baja putih yang ada di tangan istrimu, karena aku yakin bahwa kau akan mampu mengendalikannya.”

“Hamba, Pangeran.”

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “Glagah Putih merupakan seorang anak muda yang mempunyai landasan kemampuan yang cukup tinggi. Ia adalah sahabat Raden Rangga pada masa hidupnya. Kalau Raden Rangga mempunyai ilmu yang seakan-akan tidak ada batasnya, maka Glagah Putih tentu sudah tepercik ilmu Raden Rangga itu pula.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Patih, aku akan membawa Glagah Putih menghadap.”

“Pangeran Adipati Anom tidak memberikan batasan waktu. Mungkin sebulan, mungkin setengah bulan, bahkan mungkin setahun. Yang penting, pada suatu saat tongkat baja putih itu diserahkan kepada Pangeran Adipati Anom.”

“Ya, Ki Patih.”

“Nah, Ki Lurah. Biarlah Eyang Patih Mandaraka memberikan penjelasan yang lebih terperinci,” berkata PangeranAdipati Anom.

“Hamba, Pangeran.”

Demikianlah, maka Pangeran Adipati Anom yang masih terhitung muda itu meninggalkan serambi samping kiri, masuk ke ruang dalam istana. Sementara Ki Patih Mandaraka masih tinggal bersama Agung Sedayu di serambi.

“Pangeran Adipati Anom masih terlalu muda untuk memegang jabatannya,” desis Ki Patih Mandaraka

Ki Lurah Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Ki Patih pun berkata selanjutnya, “Ia akan memikul beban yang cukup berat. Mataram yang sedang memantapkan diri, tentu akan banyak menghadapi tantangan.”

“Ya, Ki Patih. Kanjeng Panembahan Senapati sedang memanjat ke puncak kekuasaannya di Mataram.”

“Tidak seorangpun dapat memperhitungkan umur seseorang. Ternyata umur Kanjeng Panembahan Senapati tidak terhitung panjang. Aku-lah yang sebenarnya telah terlalu tua untuk ikut mengendalikan pemerintahan di Mataram.”

“Ki Patih Mandaraka masih sangat dibutuhkan oleh Mataram.”

“Mungkin dalam satu dua tahun ini. Sementara itu, banyak para Pangeran yang mempunyai kebijaksanaan yang tinggi, yang akan membantu Pangeran Adipati Anom kelak setelah memegang kepemimpinan di Mataram.”

“Nampaknya memang begitu, Ki Patih. Tetapi Pangeran Adipati Anom yang muda itu memerlukan lanjaran yang lurus, agar pemerintahan di Mataram tidak menjadi lentur. Untuk itu, Ki Patih Mandaraka masih sangat dibutuhkan.”

Ki Patih itu tersenyum. katanya, “Mungkin masih diperlukan untuk melengkapi paseban, di saat di selenggarakan Paseban Agung.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.

“Nah, Ki Lurah,” berkata Ki Patih kemudian, “menurut pendapatku, sebaiknya kau minta Glagah. Putih untuk pergi dan menemukan tongkat baja putih yang dibawa oleh Ki Saba Lintang itu. Tetapi ingat, jangan kau paksa Glagah Putih untuk mendapatkannya. Yang harus mendapatkan tongkat baja putih itu adalah Ki Lurah. Dengan demikian, jika Glagah Putih itu tidak berhasil, jangan bebankan tanggung jawab kepadanya. Ia masih muda.”

“Ya, Ki Patih.”

“Ki Lurah dapat memerintahkan kepada orang lain untuk melakukannya. Bukankah Pangeran Adipati Anom tidak memberikan batas waktu?”

“Sekarang memang tidak, Ki Patih,” jawab Ki Lurah, namun tiba-tiba saja Ki Lurah itu terdiam.

Sambil tersenyum justru Ki Patih Mandaraka-lah yang melanjutkan, “Mungkin besok atau lusa Pangeran Adipati Anom itu menjatuhkan perintah, agar tongkat baja putih itu dalam sepekan ada di tanganmu.”

Ki Lurah Agung Sedayu pun tersenyum pula.

“Nah, Ki Lurah, seandainya Glagah Putih bersedia, ajak anak muda itu kemari. Tetapi sebaiknya kau bawa Glagah Putih menemui aku lebih dahulu di Kepatihan.”

“Ya, Ki Patih.”

“Nah, sekarang pulanglah. Ajak Glagah Putih berbicara. Jelaskan persoalannya. Tunjukkan bahayanya, agar ia tidak merasa terjebak pada saat-saat ia menjalankan tugas itu.”

“Baik, Ki Patih. Aku akan datang bersama anak itu.”

Demikianlah, maka Ki Lurah Agung Sedayu pun segera mohon diri. Dua orang prajurit yang menyertainya yang menunggu di gardu para petugas di istana pun telah minta diri pula kepada para prajurit yang bertugas.

Sejenak kemudian, ketiganya telah melarikan kuda mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Di sepanjang jalan, Ki Lurah Agung Sedayu tidak terlalu banyak berbicara. Ia lebih banyak diam sambil merenungi perintah Pangeran Adipati Anom untuk menemukan tongkat baja putih itu.

Agung Sedayu sempat menjadi bimbang. Ia harus memilih di antara beberapa orang yang mungkin melakukannya. Dirinya sendiri, Glagah Putih, atau Ki Jayaraga. Ia tidak dapat minta tolong Empu Wisanata, yang tentu dengan serta-merta akan dicurigai oleh Ki Saba Lintang.

Namun tebersit juga di kepalanya pertanyaan, “Bagaimana jika Nyi Dwani? Nyi Dwani mempunyai hubungan yang khusus dengan Ki Saba Lintang. Nyi Yatni yang kemudian telah menengahinya, telah terbunuh di Lemah Cengkar.”

Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menggeleng. Jika ketahanan jiwani Nyi Dwani yang justru goyah, maka usaha untuk mendapatkan tongkat baja putih itu menjadi semakin jauh.

Karena itu, maka akhirnya Ki Lurah kembali lagi kepada Glagah Putih. Nampaknya tidak ada orang lain yang lebih baik dari Glagah Putih.

Tetapi Ki Lurah memang agak mencemaskan keselamatan Glagah Putih. Meskipun Glagah Putih mempunyai ilmu yang tinggi, namun tugas yang akan diembannya adalah tugas yang sangat berat

“Sebaiknya aku berbicara dengan Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih sendiri,” berkata Ki Lurah di dalam hatinya.

Ketika mereka sampai di Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu tidak singgah lebih dahulu di baraknya, tetapi ia langsung pulang ke rumahnya. Sementara itu, kedua orang prajurit yang menyertainya diperintahkannya kembali ke barak mereka.

Sampai di rumah, Ki Lurah tidak segera menyampaikan perintah Pangeran Adipati Anom itu kepada Glagah Putih. Namun Ki Lurah pun telah minta seisi rumahnya untuk berkumpul dan berbicara setelah lewat senja.

Demikianlah, seperti yang diminta oleh Ki Lurah Agung Sedayu, lewat senja seisi rumahnya telah berkumpul. Ki Lurah Agung Sedayu sendiri, Sekar Mirah, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan.

Kepada mereka Agung Sedayu pun telah menyampaikan perintah Pangeran Adipati Anom, untuk menyerahkan tongkat baja putih yang pada saat itu masih berada di tangan Ki Saba Lintang.

“Apakah kita harus menangkap Ki Saba Lintang?” bertanya Ki Jayaraga.

“Yang penting, kita harus merampas tongkat baja putih itu dari tangannya, dan menyerahkannya kepada Pangeran Adipati Anom,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu.

“Kenapa dengan tongkat baja putih itu?” bertanya Sekar Mirah.

“Tongkat itu akan dapat selalu menimbulkan persoalan. Tongkat itu akan dapat menjadi lambang kebangkitan satu kekuatan untuk menentang Mataram. Bahkan mungkin pada suatu saat, tongkat itu akan dapat menjadi lambang kekuasaan Jipang yang mengaku lajer dari kuasa raja-raja di Tanah ini.”

“Tetapi tongkat itu lambang dari sebuah perguruan,” berkata Sekar Mirah.

“Yang dicemaskan adalah ada kesempatan untuk memberikan arti yang berbeda, untuk kepentingan tertentu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Tongkat baja putih itu tidak lagi menjadi lambang sebuah perguruan yang dikenal sebagai Perguruan Kedung Jati, tetapi pada suatu saat tongkat itu akan dapat menjadi lambang kekuasaan tandingan dari kekuasaan di Mataram.

“Karena itu, maka tongkat baja putih itu harus diserahkan kepada Pangeran Adipati Anom, yang tidak berapa lama lagi akan menjadi raja di Mataram, menggantikan Kanjeng Panembahan Senapati.”

Namun Sekar Mirah pun berkata, “Aku akan dapat menjelaskan, bahwa tongkat itu sama sekali bukan lambang kekuasaan di atas Tanah ini, karena aku juga memilikinya.”

“Tetapi jika keyakinan itu sengaja dihembuskan oleh segolongan tertentu sehingga tersebar di satu lingkungan yang luas, maka akan sulit bagi kita untuk mengimbanginya.”

Sekar Mirah pun mengangguk mengiakan. Dengan nada berat ia pun berkata, “Apakah tugas itu akan dibebankan kepadaku, karena aku juga memiliki tongkat yang serupa?”

“Tidak, Sekar Mirah. Perintah itu diberikan kepadaku. Tetapi memang tidak harus aku sendiri yang melaksanakannya.”

“Jadi, siapa menurut Kakang yang pantas untuk melakukannya?”

“Ada beberapa orang yang pantas untuk mencobanya. Tetapi tidak mengikat.”

“Maksud Kakang?”

“Salah seorang dari kita.”

“Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “beri aku kesempatan. Biarlah aku berbuat sesuatu dalam hidupku, sehingga hidupku pernah mempunyai arti, meskipun hanya selembut debu,.”

Namun sebelum Ki Lurah Agung Sedayu menjawab, maka Glagah Putih pun berkata, “Kakang, aku menunggu perintahmu. Sebaiknya bukan Ki Jayaraga yang pergi. Biarlah Ki Jayaraga tetap tinggal di sini. Ki Jayaraga sudah terlalu lama mengembara. Aku adalah yang termuda di antara kita semuanya.”

Ki Lurah Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ki Patih Mandaraka memang menyebut nama Glagah Putih. Sementara itu, nampaknya Glagah Putih sendiri telah menyatakan bukan sekedar bersedia untuk melakukannya, tetapi Glagah Putih sendiri telah memintanya.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kemudian, “beri aku kesempatan. Jika aku yang melakukannya, maka itu akan berarti bahwa Ki Jayaraga telah melakukannya pula. Jika muridnya menjalankan tugas, maka itu berarti bahwa gurunya telah melakukannya pula.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi sebelum ia mengucapkan sepatah kata jawaban, maka Rara Wulan pun menyela, “Aku akan menyertai Kakang Glagah Putih, Kakang Agung Sedayu.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Katanya, “Rara Wulan. Seandainya aku menyetujui Glagah Putih pergi untuk menemukan tongkat baja putih itu, maka aku tentu akan berkeberatan jika kau ikut pergi bersamanya.”

“Kenapa?”

“Tugas itu adalah tugas yang sangat berbahaya. Bahkan kita semuanya sama sekali tidak dapat membayangkan, apa yang akan ditemui oleh Glagah Putih di perjalanannya.”

“Apapun yang akan ditemuinya, namun aku bertekad untuk menyertainya.”

“Jangan, Rara,” berkata Sekar Mirah, “seandainya Glagah Putih yang harus berangkat, itu berarti bahwa Glagah Putih akan mengemban tugas dari Pangeran Adipati Anom, yang sebentar lagi akan naik tahta di Mataram. Sementara itu, jika kau pergi bersamanya, kau tidak akan dapat membantunya. Justru kau akan menghambat Glagah Putih menjalankan perintah dari Kanjeng Pangeran Adipati Anom.”

“Aku tidak akan mengganggunya. Aku justru ingin membantunya. Mungkin ilmuku masih terlalu rendah dibandingkan dengan Kakang Glagah Putih, tetapi aku akan dapat menjadi kawan di sepanjang perjalanannya. Aku akan dapat ikut memikul bebannya.”

“Ada beberapa keberatan jika kau pergi bersamanya,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Perjalanan Glagah Putih adalah perjalanan yang sangat berbahaya. Kepergian Glagah Putih bukanlah sekedar pengembaraan biasa. Ia mengemban perintah Kanjeng Pangeran Adipati Anom yang sebentar lagi akan duduk di atas singgasana di Mataram. Selebihnya, renungkan, Rara. Apakah pantas Rara Wulan, seorang gadis, pergi mengembara bersama seorang anak muda yang bukan suaminya dan bukan pula sanak kadangnya?”

“Kakang?” Rara Wulan memang terkejut. Baru kemudian ia menyadari, bahwa Glagah Putih itu masih tetap orang lain baginya

Tiba-tiba saja Rara Wulan itu menutup wajahnya. Di luar sadarnya air matanya mengalir di pipinya.

“Kakang,” berkata Rara Wulan di sela-sela isaknya, “aku mengerti, Kakang. Tetapi apakah Kakang menduga bahwa aku tidak akan mampu menjaga jarak?”

“Tidak. Bukan aku. Tetapi apa kata orang nanti di sepanjang perjalananmu? Jika seseorang bertanya kepadamu siapakah laki-laki muda yang bersamamu itu, maka apa jawabmu?”

Rara Wulan terdiam. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Sebaliknya jika seseorang bertanya kepada Glagah Putih, siapakah perempuan muda yang bersamanya itu. Mungkin kalian dapat mengelabui mereka. Tetapi sampai kapan?”

Ruangan itu pun menjadi hening sesaat. Rara Wulan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih nampaknya menjadi gelisah.

Tiba-tiba sambil masih menundukkan kepalanya Rara Wulan pun berkata, “Kakang, bukankah Kakang Glagah Putih dapat mengaku aku sebagai adiknya?”

Sekar Mirah Menarik nafas panjang. Dengan sareh ia pun berkata, “Mungkin orang lain pada satu saat dapat mempercayaimu, Rara. Tetapi bukankah sudah banyak orang yang tahu bahwa kau bukan adik Glagah Putih? Sementara itu kau sendiri juga tahu, bahwa kau bukan adik Glagah Putih.”

Mata Rara Wulan masih basah. Di sela-sela isaknya ia pun berkata, “Tetapi aku ingin ikut Kakang Glagah Putih. Aku ingin melihat, apa yang ada di balik cakrawala. Aku tidak mau dikungkung dalam kehidupan yang sempit di Tanah Perdikan ini saja.”

“Kau akan mendapat kesempatan, Rara. Tetapi tidak sekarang. Bukankah kau masih muda, sehingga waktumu masih panjang.”

“Jika Kakang Glagah Putih pergi, aku juga akan pergi. Jika Kakang Glagah Putih tidak mengijinkan aku mengikutinya, aku akan pergi sendiri.”

“Jangan begitu, Rara. Kau menjadi tanggung jawabku di sini,” berkata Sekar Mirah, “kau tidak boleh menuruti kehendakmu sendiri.”

“Mbokayu,” tangis Rara Wulan, “ijinkan aku pergi mengikuti Kakang Glagah Putih. Aku akan menanggung segala akibatnya, tanpa menuntut tanggung jawab siapa pun. Bahkan tanggung jawab Kakang Glagah Putih.”

“Rara!”

“Bukankah aku juga berhak melihat dunia ini seperti orang lain?”

“Tentu, tentu, Rara. Tetapi sudah aku katakan, pada saatnya nanti Rara akan mendapat kesempatan.”

“Aku tidak mau kesempatan itu datang setelah aku menjadi tua dan tidak lagi mempunyai gairah untuk mengenali kehidupan di balik cakrawala.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Rara. Beri waktu sedikit untuk mematangkan ilmumu. Beri batasan waktu, Glagah Putih akan menjemputmu.”

Tetapi rasa-rasanya hati Rara Wulan sudah mengeras. Sambil menggeleng ia pun berkata, “Aku akan ikut Kakang Glagah Putih. Sudah lama aku bermimpi untuk mengembara, melihat isi dunia ini. Jika aku tidak mempergunakan kesempatan ini, maka aku tidak akan mendapatkannya lagi.”

“Rara,” Glagah Putih pun kemudian berkata, “aku minta kau mempertimbangkan baik-baik. Bukan aku berkeberatan mengajakmu melihat isi dunia ini, tetapi kali ini, seandainya Kakang Agung Sedayu memerintahkan aku pergi, aku akan mengemban tugas Kanjeng Pangeran Adipati Anom. Jika kau pergi juga bersamaku, maka kesannya bagi Kanjeng Pangeran Adipati Anom, aku tidak bersungguh-sungguh mengemban tugasku.”

Rara Wulan mengangkat wajahnya. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Katanya, “Jika kau tidak mau membawa aku bersamamu, aku akan pergi sendiri. Aku sudah cukup dewasa, sehingga aku akan dapat melindungi diriku sendiri. Biarlah aku melihat lingkungan yang lebih luas dari Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan lebih luas dari Mataram dan sekitarnya.”

“Jangan begitu. Rara. Kau tidak dapat sekedar menuruti keinginanmu sendiri.”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun itu bukan berarti bahwa ia bersedia untuk tinggal di Tanah Perdikan.

Bahkan Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Rara. Aku belum menentukan bahwa yang aku minta untuk pergi adalah Glagah Putih.”

“Kakang,” berkata Rara Wulan, “aku tahu bahwa Kakang tentu akan memerintahkan Kakang Glagah Putih untuk pergi. Jika niat itu batal, tentu aku-lah yang menyebabkannya. Karena itu, maka lebih baik aku pergi saja dari rumah ini. Tetapi aku tidak akan pulang ke Mataram.”

“Hatimu keras seperti batu,” berkata Agung Sedayu.

Rara Wulan tidak menjawab.

Meskipun demikian, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tahu pasti, bahwa Rara Wulan tidak ingin mengurungkan niatnya.

Karena itu, untuk meredakan niatnya, Agung Sedayu pun berkata, “Rara. Jika kau berkeras untuk pergi bersama Glagah Putih, apa boleh buat. Tetapi aku menentukan satu syarat.”

Dengan serta-merta Rara Wulan mengangkat wajahnya sambil bertanya, “Apa syaratnya, Kakang?”

“Kalian harus sudah menikah.”

“He?” Rara Wulan terkejut. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah.

Berbeda dengan Rara Wulan, wajah Glagah Putih justru menjadi pucat. Tetapi Glagah Putih menyadari, bahwa yang dimaksud oleh Agung Sedayu tentu hanya merupakan cara untuk menahan agar Rara Wulan tidak memaksa untuk mengikutinya.

Tetapi jawaban Rara Wulan sangat mengejutkan semua orang yang ada di ruang itu. Tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun berkata, “Aku tidak berkeberatan, Kakang, asal Kakang datang menghubungi orang tuaku. Aku tidak memerlukan upacara besar-besaran. Yang penting kami sudah menikah dengan sah, dan pantas untuk pergi bersama-sama kemanapun kami kehendaki.”

Karena jawaban yang tidak terduga-duga itu, ruangan itu pun telah dicengkam oleh ketegangan. Agung Sedayu untuk sesaat justru tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya Rara Wulan dengan tajamnya.

Baru beberapa saat kemudian, setelah getar di jantungnya mereda, Agung Sedayu itu pun bertanya, “Kau sadari apa yang kau katakan itu, Rara?”

“Aku sadari sepenuhnya, Kakang.”

“Rara,” berkata Sekar Mirah. Suaranya masih terasa bergetar oleh getar di dadanya, “Seharusnya kau tahu nilai pernikahan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan.”

“Aku tahu, Mbokayu. Pernikahan adalah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama.”

“Hanya itu?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Pernikahan adalah satu ikatan janji yang agung antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Mungkin masing-masing mempunyai latar belakang kehidupan yang berbeda. Tetapi keduanya harus menyesuaikan dirinya. Keduanya akan memberikan pengorbanan yang seimbang untuk menegakkan ikatan pernikahan itu, dilandasi dengan kasih yang bersumber dari Yang Maha Kasih.”

“Jika demikian, kita tidak akan dapat dengan serta-merta menyatakan kesediaan kita untuk menikah.”

“Kami, yang Mbokayu maksudkan? Aku dan Kakang Glagah Putih yang sudah lama saling mengenal?”

“Ya.”

“Mbokayu. Jika aku memutuskan untuk bersedia menikah, itu bukan keputusan yang serta-merta. Kami sudah lama mempersiapkan diri lahir dan batin. Kami sudah lama saling menjajagi dan berusaha untuk menyesuaikan diri.”

Glagah Putih yang menjadi sangat gelisah dengan gagap menyela, “Tetapi aku masih belum siap menurut ukuran kewadagan, Rara. Aku belum mempunyai pekerjaan. Bagaimana aku dapat menghidupi keluargaku?”

“Kakang,” sahut Rara Wulan, “pernikahan kita adalah syarat untuk dapat mengembara bersama. Kita tidak akan segera menyusun sebuah keluarga dan hidup di dalamnya. Kita akan mengembara, kau dan aku. Aku tidak memerlukan sebuah rumah betapapun kecilnya. Aku tidak memerlukan uang belanja untuk keperluan kita sehari-hari. Aku tidak memerlukan pakaian selain yang aku pakai, apalagi perhiasan. Aku tidak memerlukan apa-apa yang harus kau penuhi. Kita akan hidup di sepanjang jalan. Di bulak-bulak panjang. Mungkin di hutan-hutan atau di sepanjang lereng pegunungan. Kita hanya memerlukan bekal sekedarnya, untuk mulai dengan pengembaraan ini.”

“Bukan itu yang akan terjadi jika menikah.”

“Ya. Itulah yang akan terjadi.”

“Jika demikian, apakah artinya perjanjian agung sebagaimana kau katakan?”

“Apakah kita tidak dapat melakukannya di dalam pengembaraan kita? Apakah kita tidak dapat saling menyesuaikan diri dalam perjalanan yang panjang itu? Apakah kita tidak dapat saling memberikan pengorbanan dengan ikhlas serta saling mengasihi? Lalu apa lagi?”

“Rara,” Sekar Mirah masih berusaha untuk berbicara dengan lembut, “nampaknya kau tahu benar arti dari sebuah pernikahan, Rara. Semua itu kau katakan dengan lancar, tetapi seperti gejolak air di permukaan. Tidak terasa kedalamannya.”

“Aku berkata sebenarnya menurut kata nuraniku, Mbokayu. Aku tidak mempertentangkan pernikahan kami dengan pengembaraan yang akan kami lakukan bersama-sama.”

Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menjadi kebingungan untuk mengatasi niat Rara Wulan. Agaknya ia benar-benar sudah mengambil keputusan untuk pergi bersama Glagah Putih untuk melihat luasnya cakrawala. Selama ini Rara Wulan merasa terkungkung di dalam bingkai Tanah Perdikan Menoreh. Jarang sekali ia pergi melihat dunia di luar batas Tanah Perdikan.

Agung Sedayu pun akhirnya berkata, “Baiklah. Besok kita akan berbicara lagi.”

“Kenapa besok, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Kita akan sempat menenangkan jantung kita masing-masing. Mudah-mudahan besok kita dapat berbicara dalam suasana yang lebih tenang.”

“Kakang berharap aku berubah sikap?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

Rara Wulan menggeleng. Katanya, “Aku tidak akan berubah sikap. Apalagi Kakang Agung Sedayu sendiri yang menentukan syaratnya, sementara aku bersedia memenuhinya. Jika besok Kakang Glagah Putih menolak, maka semuanya akan berakhir sampai di sini.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata hati Rara Wulan telah menjadi sekeras batu. Maka bagi Glagah Putih, tidak ada jalan lain kecuali memenuhi keinginannya itu.

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Beristirahatlah. Besok kita akan berbicara lagi.”

Rara Wulan pun segera bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke biliknya. Dijatuhkannya dirinya di pembaringannya menelungkup. Disembunyikan wajahnya di balik kedua telapak tangannya.

Rara Wulan itu pun menangis pula

Sementara itu, Glagah Putih masih duduk bersama Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, sedangkan Sekar Mirah menyusul Rara Wulan ke biliknya.

Di dalam bilik Rara Wulan, Sekar Mirah pun duduk di bibir pembaringan. Dibelainya kepala gadis yang menangis itu sambil berkata lembut, “Sudahlah, Rara. Jika Rara memang berkeras untuk pergi, apa boleh buat. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu, sebaiknya Rara Wulan menikah lebih dahulu. Karena Rara masih mempunyai orang tua, maka biarlah persoalannya dibicarakan dengan orang tua, Rara. Apalagi orang tua Rara bukan orang kebanyakan, karena orang tua Rara Wulan adalah seorang pejabat di Mataram.”

Rara Wulan itu pun kemudian bangkit dan duduk di sebelah Sekar Mirah. Di sela-sela isak tangisnya, Rara Wulan itu pun berkata, “Apakah dengan demikian Kakang Agung Sedayu ingin bersandar kepada orang tuaku?”

“Maksud Rara Wulan?”

“Kakang Agung Sedayu memperhitungkan bahwa orang tuaku tidak akan mengijinkannya.”

“Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi Kakang Agung Sedayu, dan tentu saja orang banyak, akan membicarakan kepergianmu berdua dengan Glagah Putih. Jika kalian masih tetap orang lain, maka kalian tentu akan menjadi bahan pembicaraan yang berkesan kurang baik.”

“Aku mengerti, Mbokayu. Tetapi seandainya orang tuaku tidak mengijinkan, aku akan tetap pergi.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hargai kekerasan hatimu, Rara. Tetapi aku minta kau tidak terlalu larut dalam arus perasaanmu. Selebihnya, Kakang Agung Sedayu masih harus menghadap Ki Patih Mandaraka untuk menyampaikan pilihannya, siapakah yang akan pergi mencari tongkat baja putih itu. Bahkan mungkin Glagah Putih tidak akan sendiri. Jika Ki Mandaraka menghendaki seseorang untuk pergi bersama Glagah Putih, maka Glagah Putih tidak akan dapat menolak.”

“Mbokayu,” berkata Rara Wulan, “mungkin ada banyak cara untuk mencegahku. Tetapi aku sudah mengambil keputusan untuk pergi.”

“Apa yang sebenarnya mendorongmu untuk dengan tiba-tiba berniat pergi mengikuti Glagah Putih? Bukankah kemungkinan bagi Glagah Putih mengembara juga baru saja kau dengar?”

“Mbokayu. Sebenarnya keinginan ini sudah lama tumbuh di dalam hatiku. Karena itu ketika Mbokayu dan Kakang Agung Sedayu pergi ke Jati Anom untuk menghadapi para pengikut Ki Saba Lintang, aku pun ingin sekali untuk ikut serta. Sekarang, tiba-tiba saja aku mendengar bahwa Kakang Glagah Putih akan mendapat tugas untuk mencari tongkat baja putih itu. Bukankah ini kesempatan pula bagiku untuk melihat-lihat luasnya cakrawala?”

“Rara,” berkata Sekar Mirah, “seharusnya kau tidak tergesa-gesa. Bukankah kau sedang berguru, memperdalam ilmu, khususnya ilmu kanuragan? Kau sebaiknya bersabar sampai kau memiliki landasan ilmu yang kokoh.”

“Aku akan dapat meningkatkan ilmu di sepanjang perjalananku bersama Kakang Glagah Putih. Serba sedikit aku sudah mempunyai bekal.”

Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas panjang. Nampaknya sulit untuk mencegah Rara Wulan agar tidak ikut dalam pengembaraan yang akan dilakukan oleh Glagah Putih.

Dalam pada itu, Agung Sedayu sudah memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa ia akan diajak bersama-sama menghadap Ki Patih Mandaraka.

“Kau akan mendapatkan pesan-pesannya.”

“Baik, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Namun tidak seorang pun yang dapat mencegah niat Rara Wulan.

Karena itu, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun akhirnya mengalah. Tetapi agar mereka tidak harus menanggung beban tanggung jawab sepenuhnya, maka mereka akan menghubungi orang tua Rara Wulan. Bahkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun benar-benar ingin mengatur agar keduanya menikah lebih dahulu, sebelum mengembara bersama-sama.

Ketika Glagah Putih menghadap Ki Patih Mandaraka, maka Agung Sedayu telah berterus terang menyampaikan kepada Ki Patih, bahwa Glagah Putih akan menjalankan tugasnya bersama dengan seorang gadis yang bernama Rara Wulan. Agung Sedayu pun mengatakan, bahwa keduanya akan menikah lebih dahulu sebelum keduanya berangkat menjalankan tugas itu.

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Baiklah. Jika itu yang mereka kehendaki. Tetapi kau harus memberitahukan kepada Rara Wulan, bahwa tugas ini sangat berat.”

“Ya, Ki Patih.”

“Glagah Putih,” berkata Ki Patih kemudian, “perjalananmu bukan perjalanan tamasya dan berbulan madu.”

“Ya, Ki Patih.”

“Nah, marilah kita menghadap Pangeran Adipati Anom. Tetapi kepada Pangeran Adipati Anom, kalian tidak perlu menceritakan, bahwa Glagah Putih akan pergi bersama dengan Rara Wulan yang akan menjadi istrinya.”

“Ya, Ki Patih.”

“Biarlah Glagah Putih menerima perintah ini langsung dari Pangeran Adipati Anom.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar