Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 331

Buku 331

Sedikit wayah sepi bocah, para pengawal telah berkumpul di sebuah ara-ara perdu yang luas, di pinggir sungai yang mengalir membelah Kademangan Sangkal Putung. Hanya kebetulan saja, karena sama sekali tidak mereka rencanakan, bulan pun nampak hampir bulat di langit. Sinarnya yang lembut menyelimuti pasukan pengawal Sangkal Putung yang sudah siap untuk berangkat itu.

Tidak ada isyarat apa-apa kecuali aba-aba yang diteriakkan oleh Swandaru, disahut oleh para pemimpin kelompok.

Menjelang wayah sepi uwong, maka pasukan itu pun mulai tergerak.

Sementara itu, dari tempat lain, pasukan yang lebih besar dari pasukan pengawal Sangkal Putung itu telah bergerak pula. Pasukan segelar sepapan dengan segala macam tanda kebesaran. Tunggul, umbul-umbul serta rontek dan kelebet. Di bawah cahaya bulan, maka pasukan itu nampak sebagai seekor naga raksasa yang mengenakan mahkota di kepalanya, bergerak menelusuri jalan bulak yang panjang. Berkelok-kelok menyusup di bawah daun turi yang batangnya tumbuh berjajar di sebelah-menyebelah jalan bulak itu.

Beberapa orang berilmu tinggi ada di dalam pasukan itu. Pasukan yang memang dipersiapkan dengan baik untuk menghadapi kekuatan yang besar, yang dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi pula.

Pasukan itu dipimpin langsung oleh Untara. Seorang Senapati perang yang besar, yang patut dibanggakan oleh Mataram.

Apalagi bahwa di dalam pasukan itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Selain Untara, Agung Sedayu dan Sekar Mirah ada pula di dalamnya. Bahkan Ki Jayaraga, Empu Wisanata, Glagah Putih yang diikuti oleh Rara Wulan, serta Nyi Dwani yang tidak mau ditinggalkan ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, di dalam pasukan Untara itu terdapat pula Sabungsari.

“Kau tidak boleh tergores senjata meskipun hanya setebal rambut, Sabungsari.”

“Kemungkinan yang dapat saja terjadi, Glagah Putih.”

“Tetapi kau lain. Bukankah kau akan segera memasuki satu dunia baru? Kau sudah menunda-nunda terlalu lama. Mungkin bagimu sendiri tidak begitu banyak timbul persoalan. Tetapi bagi seorang perempuan, lain.”

“Ah, kau membuat hatiku kuncup. Aku akan minta ijin Ki Tumenggung, bahwa sebaiknya kali ini aku tidak ikut.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun Sabungsari itu justru tertawa.

“Sudahlah. Lihat Rara Wulan itu. Agaknya ia mulai kedinginan. Udara di sini memang lebih dingin dari Tanah Perdikan Menoreh dan di Kotaraja.”

“Ia tidak boleh terpisah dari Mbokayu Sekar Mirah. Mbokayu sudah menetapkan syarat. Jika Rara Wulan ikut, ia harus tunduk kepada perintah Mbokayu Sekar Mirah. Terakhir mereka bertiga harus bersama-sama menghadapi semua gejolak di medan pertempuran, yang mungkin akan terasa ganas.”

“Bertiga siapa?”

“Rara Wulan, Mbokayu Sekar Mirah dan Nyi Dwani.”

“Oh,” Sabungsari mengangguk-angguk.

“Ki Jayaraga dan Empu Wisanata mendapat tugas lain. Di hutan Lemah Cengkar nanti, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata akan bergabung dengan Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Dibayangkannya apa yang bakal terjadi di sisi utara hutan Lemah Cengkar itu. Pertempuran yang akan terjadi tentu akan merupakan pertempuran yang sangat keras. Orang-orang yang berada di perkemahan di Lemah Cengkar adalah orang-orang yang mendendam.

Pasukan prajurit Mataram di Jati Anom itu telah bergerak melingkar. Mereka akan menghadapi pasukan yang ada di perkemahan, justru dari sebelah utara. Sementara itu Swandaru membawa pasukannya melewati sisi selatan Lemah Cengkar yang berpenghuni meskipun tidak begitu ramai, melalui jalan setapak mendekati perkemahan para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.

Dalam pada itu, pasukan Ki Ambara itu pun sudah bersiap pula untuk bergerak ke Jati Anom. Seperti yang sudah mereka sepakati, pasukan Ki Ambara itu akan menyerang Jati Anom bersama-sama dengan pasukan Swandaru dari Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, seorang pengawas telah berlari-lari menemui Ki Ambara di perkemahannya. Dengan nafas yang terengah-engah pengawas itu memberikan laporan apa yang dilihatnya.

“Katakan dengan jelas!” bentak Ki Saba Lintang.

“Prajurit Mataram itu justru bergerak ke perkemahan kita.”

“Kau mengigau, he?”

“Aku berkata sebenarnya, Ki Saba Lintang.”

“Kau bermimpi?”

“Tidak. Kami berdua berada di ujung hutan itu. Kami berdua melihat kedatangan pasukan itu.”

“Dimana kawanmu sekarang?”

“Ia masih mengamati pasukan itu.”

“Gila! Tentu Agung Sedayu sudah berkhianat. Pada saat terakhir ia telah mengirimkan utusannya untuk memberitahukan rencana ini kepada Untara,” Ki Ambara menggeram.

“Aku sudah meragukan sejak semula,” berkata Ki Saba Lintang.

“Kita siapkan pasukan untuk menghadapinya. Adalah justru kebetulan, kita tidak usah pergi ke Jati Anom. Kita akan menghancurkan mereka di sini.”

“Bagaimana dengan pasukan Sangkal Putung?”

“Biarlah mereka menghancurkan sisa-sisa pasukan Untara yang tertinggal di baraknya.”

“Tetapi pasukan itu cukup besar. Kita memerlukan pasukan dari Sangkal Putung untuk membantu kita,” berkata pengawas itu.

“Untara tentu meninggalkan sebagian dari prajuritnya di baraknya. Untara tentu tahu juga bahwa Swandaru akan menyerangnya pula.”

“Kita akan melihat pasukan yang datang itu,” berkata Ki Ambara.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang pun segera memerintahkan para pemimpin kelompok-kelompok yang ada di dalam pasukannya untuk bersiap sepenuhnya. Mereka akan menghadapi pasukan Untara yang justru datang menyerang ke perkemahan itu.

Ki Lurah Wira Sembada justru tersenyum sambil berkata, “Apakah kita bertempur di Jati Anom atau di sini, sama saja bagi kita. Bahkan jika Untara itu datang kemari, ia tidak akan dapat mengerahkan seluruh kekuatannya. Sebagian harus ditinggalkannya di Jati Anom.”

“Ya. Aku sependapat. Tetapi yang datang itu adalah pasukan yang cukup besar.”

“Mereka berjalan di jalan yang sempit, sehingga iring-iringan itu nampaknya menjadi sangat panjang.”

Ki Lurah Wira Sembada itu pun menyahut, “Aku mempunyai pengalaman yang luas menghadapi pertempuran-pertempuran yang besar. Kemenangan sebuah pasukan tidak ditentukan hanya dengan jumlah prajurit yang banyak serta persenjataan yang lengkap, tetapi juga ditentukan oleh kemampuan orang-orang yang ada di dalamnya. Nah, kita percaya kepada kemampuan setiap orang di dalam pasukan kita. Kita pun mempunyai beberapa orang berilmu tinggi yang akan dapat menyapu prajurit yang dibawa Untara kemari.”

“Ya. Aku sependapat,” berkata Ki Ambara, “marilah kita lihat, dimana mereka menempatkan pasukan mereka.”

Para pemimpin dari pasukan di perkemahan itu pun kemudian keluar dari hutan Lemah Cengkar di sisi utara itu untuk melihat pasukan Mataram yang telah berada di depan mereka. Pasukan yang besar itu telah menebar di padang perdu di sebelah utara hutan itu. Ternyata pasukan Untara itu datang dengan segenap tanda-tanda kebesaran pasukannya. Pada induk pasukan yang tepat berada di depan perkemahan itu, terdapat beberapa tunggul, rontek, umbul-umbul dan kelebet. Para prajurit itu sempat menanamnya berjajar di padang perdu itu.

“Gila!” geram Ki Saba Lintang.

“Jangan segera menjadi cemas,” desis Ki Lurah Wira Sembada.

“Aku tidak menjadi cemas. Tetapi Agung Sedayu ternyata sangat licik.”

Sementara itu, Ki Ambara yang melihat gelar pasukan Untara di bawah cahaya bulan itu berkata, “Untara memang cekatan. Agaknya baru tadi siang Agung Sedayu sempat memberi tahu kepada Untara. Tadi pagi aku masih berkeliaran di Jati Anom. Aku sama sekali tidak melihat tanda-tanda kesiagaan pasukan. Kini tiba-tiba saja pasukan segelar sepapan telah berada di hadapan kita.”

Sementara itu, selagi para pemimpin dari pasukan yang ada di perkemahan itu termangu-mangu, mereka melihat beberapa orang prajurit maju mendekati mereka. Seorang di antara mereka membawa sebuah corong yang dibuat dari kulit.

Ternyata prajurit dengan corong kulit itu adalah Untara sendiri. Dengan mempergunakan corong kulit itu Untara berkata, “He, Ki Saba Lintang. Menyerahlah! Kau tidak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melawan. Kau sudah dikepung!”

Telinga Ki Saba Lintang menjadi merah. Ternyata Untara mengetahui bahwa gerakan itu adalah kepanjangan gerakan Ki Saba Lintang. Karena itu, maka Ki Saba Lintang itu pun melangkah beberapa langkah maju sambil menjawab keras-keras, “Kami akan melumatkan pasukan kalian! Jumlah kalian tidak cukup memadai untuk melawan kami. Kemampuan secara pribadi pun para prajurit tidak akan dapat mengimbangi kemampuan kami seorang-seorang. Katakan kepada Untara, bahwa sebaiknya Untara-lah yang menyerah.”

“Aku-lah Untara.”

“Bagus!” teriak Ki Saba Lintang, “Pasukanmu akan kami hancurkan di sini. Sedang pasukanmu yang tersisa di barakmu akan dihancurkan oleh Swandaru. Jangan terkejut jika Swandaru dengan berani akan melawan Mataram. Langkah pertamanya adalah menghancurkan Jati Anom.”

“Kami sudah mengepung Sangkal Putung seperti kami mengepung pasukanmu di sini. Swandaru tidak akan mampu bergerak lagi. Besok, demikian fajar menyingsing, Swandaru sudah akan menjadi bandan. Kami akan membawanya ke Mataram sebagai tawanan.”

“Jangan bangga, Untara. Pasukanmu yang mengepung Sangkal Putung akan dihancurkan oleh pasukan pengawal Sangkal Putung yang dipimpin oleh Swandaru. Sementara itu, pasukanmu yang di sini akan kami hancurkan pula.”

“Kau bermimpi, Ki Saba Lintang. Bangunlah dan hadapi kenyataan ini dengan penalaran yang bening.”

“Kau-lah yang bermimpi. Kau kira pasukanmu mampu menguasai Sangkal Putung?”

“Kami sudah membuat perhitungan yang cermat.”

“Kami-lah yang akan menghancurkan pasukanmu.”

“Baiklah, jika kau berkeberatan untuk menyerah. Kami masih memberi kesempatan kepadamu sampai fajar menyingsing. Jika kesempatan ini kau sia-siakan, maka akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan di sini.”

“Jika pertumpahan darah itu terjadi di sini, Mataram-lah yang bertanggung jawab. Kenapa Mataram menolak permohonan Sangkal Putung untuk ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan.”

“Sangkal Putung memang belum waktunya menjadi tanah perdikan, Ki Saba Lintang.”

“Ternyata Mataram tidak tahu diri. Pengorbanan yang telah diberikan oleh Sangkal Putung adalah sia-sia saja, sehingga menurut Mataram Sangkal Putung masih belum pantas untuk menjadi tanah perdikan. Karena itu, maka Sangkal Putung akan membuktikan bahwa bukan saja pantas untuk menjadi sebuah tanah perdikan, tetapi Sangkal Putung justru akan menghancurkan Mataram.”

Untara tertawa. Katanya, “Baiklah. Kalian masih mempunyai kesempatan untuk memperpanjang mimpi sampai esok pagi saat matahari terbit. Kami akan menunggu.”

Ki Saba Lintang tidak menjawab. Sementara itu, Untara dan beberapa prajurit pengawalnya telah kembali ke induk pasukannya.

Ki Saba Lintang pun menggeram. Katanya, “Agung Sedayu benar-benar telah mengkhianati saudara seperguruannya. Swandaru ternyata juga dikepung. Mudah-mudahan Swandaru dapat mengatasinya dan bahkan menghancurkan pasukan Mataram yang mengepungnya. Pasukan yang mengepung Sangkal Putung tentu bukan pasukan yang kuat. Sebagian besar kekuatan Untara tentu ada di sini.”

Ki Ambara mengangguk-angguk kecil. Sementara itu Wiyati pun bertanya, “Tetapi bukankah Swandaru tidak berkhianat?”

“Tidak. Swandaru justru terkepung sekarang,”

“Jika Swandaru berkhianat, aku akan menemuinya.”

“Untuk apa?”

“Keluarganya-lah yang akan aku hancurkan. Aku akan menemuinya dan mengatakan bahwa aku mengandung. Pandan Wangi tentu tidak akan mau menerima kenyataan itu.”

“Tidak, Swandaru tidak berkhianat. Bahkan aku agak mencemaskannya, apakah Swandaru akan dapat bertahan. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan dapat mengirimkan bantuan kepadanya, kecuali setelah kita menghancurkan pasukan Untara yang mengepung perkemahan kita.”

Wiyati mengangguk-angguk. Namun ia pun berdesis, “Tetapi kita tidak akan dapat sampai ke Mataram esok malam. Kita tidak tahu, apakah pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga telah dikhianatinya, sehingga justru pasukan khususnya telah menghambat gerakan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kita akan mengirimkan penghubung berkuda ke Tanah Perdikan.”

“Apakah ada yang dapat lolos dari kepungan? Aku kira, Untara pun telah benar-benar mengepung kita. Bukan sekedar datang dari satu sisi.”

“Ya,” Ki Ambara mengangguk-angguk, “jalan setapak yang menyusup ke hutan itu tentu juga sudah dijaga. Bahkan mungkin orang-orang Untara sudah menebar di hutan itu. Setiap jengkal tanah, setiap batang pohon dan setiap gerumbul liar, telah dijaga dengan ketat oleh pasukan Mataram yang dari Jatim Anom.”

“Jadi?”

“Besok kita akan melihat suasana.”

Wiyati menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bangkit sambil berkata, “Aku akan beristirahat. Masih ada waktu.”

Wiyati seakan-akan tidak menghiraukan lagi apa yang bakal terjadi. Namun Ki Ambara dan Ki Saba Lintang benar-benar menjadi marah. Semua rencana yang telah disusun menjadi pecah. Mereka tidak tahu pasti, apakah Tanah Perdikan Menoreh akan menepati janji mengepung Mataram atau tidak.

“Ternyata Agung Sedayu bukan seorang laki-laki sebagaimana aku bayangkan. Janjinya kepada Swandaru tidak ditepatinya. Dibiarkannya saudara seperguruannya mengalami kesulitan karena pengkhianatannya,” berkata Ki Saba Lintang.

“Tetapi menurut pendapatku, Ki Gede tidak akan mengambil sikap dengan tergesa-gesa. Ia mempertaruhkan anak perempuannya. Jika ia tidak memenuhi keinginan Swandaru, maka anak perempuannya akan kehilangan kehormatannya. Bahkan mungkin lebih dari sekedar dipulangkan,” sahut Ki Ambara.

“Apa maksud Ki Ambara?”

“Agaknya tergantung keadaan Sangkal Putung esok pagi. Jika Untara benar-benar menghancurkan Sangkal Putung, maka Swandaru akan mengambil sikap.”

“Jika Swandaru tertangkap?”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam.

“Baiklah. Yang penting bagi kita sekarang adalah menghancurkan pasukan Untara. Jika kita sempat melakukannya sebelum dini hari, kita akan dapat mengirim bantuan kepada Sangkal Putung. Mudah-mudahan Swandaru dapat bertahan sampai lewat tengah malam, sehingga Sangkal Putung dapat kita selamatkan.”

“Aku kira Swandaru akan dapat bertahan sampai dini hari. Pasukannya cukup kuat. Pada hari-hari terakhir, Swandaru telah menyelenggarakan latihan-latihan yang berat. Nampaknya Swandaru telah mengerahkan semua kekuatan yang ada. Bukan hanya para pengawal, tetapi semua anak-anak muda, bahkan semua laki-laki yang masih pantas untuk maju ke medan pertempuran.”

Keduanya terdiam sesaat. Mereka melihat para prajurit Mataram yang menempatkan dirinya. Namun nampaknya sebagian dari mereka pun telah beristirahat. Mereka menyempatkan diri untuk berbaring dimanapun. Di rerumputan, di atas batu-batu padas atau di mana saja, sementara sebagian dari mereka bertugas berjaga-jaga. Sedangkan tunggul, rontek, umbul-umbul dan kelebet masih saja berdiri tegak berjajar. seakan-akan meneriakkan kebesaran prajurit Mataram di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara.

Malam pun merambat semakin dalam. Orang-orang yang berada di dalam pasukan Ki Ambara pun berusaha untuk dapat beristirahat sebaik-baiknya. Mereka tidak jadi berangkat ke Jati Anom. Tetapi kedudukan mereka justru bertahan menghadapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom.

Menjelang dini hari, orang-orang yang bertugas di dapur telah menjadi sibuk. Mereka harus menyediakan makan bagi mereka yang akan bertempur sebelum fajar menyingsing.

Ternyata bahwa kedua belah pihak tidak merencanakan untuk menyerang sebelum fajar. Di dalam kegelapan, mereka akan sulit untuk membedakan kawan dan lawan, meskipun jika dipaksakan, mereka tidak akan dapat ingkar untuk bertempur di malam hari. Tetapi ternyata kedua belah telah menunggu langit menjadi terang.

Namun pasukan Untara agaknya telah siap sebelum cahaya fajar nampak di langit. Mereka telah selesai makan dan menyiapkan segala sesuatunya. Mereka pun telah berada di dalam kelompok masing-masing, bersiap untuk menyerang.

Pasukan Ki Saba Lintang pun harus menyesuaikan dirinya. Mereka tidak mau menyesali kelambatan mereka, jika tiba-tiba saja pasukan Mataram itu menyerang.

Ternyata bahwa Untara memang tidak menunggu matahari terbit. Ketika saatnya menginjak terang tanah, maka terdengar isyarat bagi pasukan yang dipimpin oleh Untara, bende yang berbunyi untuk pertama kalinya. Bukan hanya bende di induk pasukan, tetapi suara bende itu menjalar dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain. Sehingga orang-orang yang berada di perkemahan itu yakin, bahwa mereka benar-benar telah dikepung. Bahkan di dalam hutan Lemah Cengkar pun terdapat kelompok-kelompok prajurit Mataram. Ternyata bahwa suara bende pun bergaung di dalam hutan itu pula.

Isyarat yang pertama itu merupakan perintah bagi para prajurit untuk meneliti semua kelengkapan yang diperlukan. Bukan hanya busurnya, tetapi juga sejumlah anak panah di dalam endongnya. Mereka yang bersenjata tombak pun menyiapkan pula senjata jarak pendek di lambung. Pisau belati atau keris, yang barangkali memberikan keteguhan tekad. Mereka yang membawa perisai dan pedang pun harus benar-benar yakin, bahwa perisainya tidak akan meloncat dari tangannya selagi berada di medan pertempuran.

Beberapa saat kemudian, maka bende pun berbunyi untuk kedua kalinya. Sahut-menyahut, menjalar melingkari perkemahan.

Ki Saba Lintang tidak merasa perlu membunyikan isyarat. Setiap orang di dalam pasukannya tahu pasti, bahwa isyarat bunyi bende yang kedua kalinya itu adalah perintah untuk bersiap menyerang.

Semua orang menjadi berdebar-debar. Prajurit yang paling berpengalaman pun merasa berdebar-debar pula. Pertempuran adalah rimba yang ditumbuhi belukar ujung senjata.

Dalam pada itu, pasukan pengawal Sangkal Putung yang berada di sisi selatan pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan.

Swandaru memang berharap Ki Ambara dan Wiyati tidak tahu, bahwa pasukannya sudah berada di medan justru untuk melawan mereka. Jika hal itu diketahui sejak awal, maka Ki Ambara dan Wiyati tentu akan berusaha untuk menghancurkannya. Mungkin Ki Ambara akan berusaha untuk membuka rahasianya dengan segala cara, sehingga justru pada saat yang sangat gawat itu, terjadi keretakan antara dirinya dan Pandan Wangi.

Kegelisahan Swandaru tentang kemungkinan terjadinya pemerasan itu pun telah lenyap, bersamaan dengan bunyi bende yang kedua. Tidak ada waktu lagi bagi Ki Ambara dan Wiyati untuk memerasnya, karena sejenak kemudian akan terdengar bunyi bende yang ketiga.

Untara ternyata telah menunggu sejenak. Mungkin Ki Ambara mempunyai pikiran lain, sehingga pertumpahan darah dapat dihindarkan. Namun agaknya Ki Ambara dan Ki Saba Lintang merasa bahwa kekuatannya akan mampu mengalahkan pasukan Untara, yang menurut dugaannya terbagi menjadi dua. Mengepung pasukannya di sisi utara hutan Lemah Cengkar, serta mengepung pasukan Swandaru di Kademangan Sangkal Putung.

Ketika langit menjadi semakin terang, sedikit lewat fajar, maka terdengarlah bende berbunyi untuk ketiga kalinya.

Suara bende itu menjalar bersahutan melingkari perkemahan.

Rontek, umbul-umbul dan kelebet masih tetap berkibar di tempatnya. Namun para prajurit Mataram itu telah mengangkat tunggul-tunggul kebesaran pada kelompoknya masing-masing.

Sejenak kemudian, menjelang matahari terbit, terdengarlah sorak yang membahana. Pasukan Mataram yang berada di Jati Anom di bawah pimpinan Untara itu pun mulai bergerak.

Agung Sedayu, Sekar Mirah, Rara Wulan, Nyi Dwani dan Glagah Putih berada di dalam pasukan itu pula. Mereka berada di kelompok khusus di dalam pasukan induk.

Sekar Mirah masih memperingatkan kepada Rara Wulan, agar ia selalu berada di dekatnya. Rara Wulan mengangguk.

“Lawan kita kali ini adalah orang-orang yang kadang-kadang tidak terkendali, Rara.”

“Aku mengerti, Mbokayu.”

“Aku mengenal watak dan sifat mereka,” berkata Nyi Dwani, “karena aku pernah menjadi bagian dari mereka.”

Rara Wulan mengangguk.

Sementara itu, Ki Jayaraga dan Empu Wisanata telah berada di antara pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, bersama Swandaru dan Pandan Wangi. Keberadaan kedua orang berilmu tinggi itu membuat Swandaru dan Pandan Wangi menjadi semakin berbesar hati. Mereka tahu, bahwa di dalam pasukan Ki Ambara itu terdapat beberapa orang berilmu tinggi. Beberapa orang pemimpin padepokan dan bekas pemimpin prajurit dari Jipang, dan bahkan beberapa orang Pati yang dapat mereka hubungi.

Dalam pada itu, demikian pasukan Mataram bergerak, maka pasukan Ki Ambara pun telah bergerak pula. Ki Saba Lintang merasa tidak perlu lagi menyembunyikan dirinya. Agaknya segala sesuatunya sudah menjadi jelas bagi Untara karena pengkhianatan Agung Sedayu. 

Ketika pasukan Mataram itu berlari-lari mendekati perkemahan, maka pasukan Ki Ambara pun telah menyongsong mereka dengan senjata merunduk.

Namun pasukan Ki Ambara tidak hanya menghadapi pasukan yang datang dari arah depan perkemahan mereka. Tetapi mereka sadar, bahwa perkemahan itu sudah dikepung. Karena itu, sebagian dari pasukan Ki Ambara itu sudah disiapkan untuk menghadapi pasukan yang datang dari hutan di belakang perkemahan mereka..

Namun mereka sama sekali tidak menduga bahwa pasukan yang berada di belakang perkemahan itu di antaranya adalah pasukan dari Kademangan Sangkal Putung, karena Ki Ambara justru mencemaskan Kademangan Sangkal Putung yang dikepung oleh Untara.

Dalam pada itu, adalah ciri dari pasukan prajurit Mataram yang terbiasa bertempur dalam gelar yang mapan, telah terdengar isyarat dengan suara bende bahwa mereka yang berada di depan perkemahan di isyaratkan untuk menyusun gelar Wulan Tumanggal. Sementara itu, pasukan yang berada di arah samping harus menyesuaikan diri, menyambung gelar Wulan Tumanggal sehingga kepungan itu akan dapat menjadi temu gelang.

Sambil bergerak ke arah perkemahan, maka pasukan yang sudah terlatih itu dengan cepat telah menempatkan diri dalam gelar yang mapan.

Untara sendiri berada di pasukan induk. Agung Sedayu dan Sabungsari menjadi senapati pengapitnya. Di belakangnya, kelompok khusus yang di antaranya terdiri dari Glagah Putih, Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan. Sementara itu, di kedua ujung gelar, dua orang lurah prajurit terpilih seakan-akan menjadi tanduk bersama kelompoknya. Sedangkan beberapa kelompok yang lain menebar memanjang.

Selain mereka, maka kelompok yang lain lagi tetap berada di sebelah-menyebelah perkemahan, sedangkan pasukan Sangkal Putung telah menutup di bagian belakang.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang yang berada di hadapan induk pasukan Mataram, sama sekali tidak terpengaruh oleh tatanan gerak pasukan Mataram yang tersusun menjadi gelar. Orang-orang di dalam pasukan Ki Ambara justru lebih percaya kepada kemampuan mereka seorang-seorang, sehingga mereka sama sekali tidak memerlukan gelar.

Di antara mereka yang berada di induk pasukan Ki Ambara adalah Ki Lurah Wira Sembada, di samping beberapa orang berilmu tinggi lainnya. Para pemimpin perguruan dan padepokan yang berhasil dipengaruhi oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Sementara itu, sebagian dari para pengikut Ki Saba Lintang yang berada di dalam pasukan itu, adalah orang-orang yang mendendam karena kekalahan mereka di Tanah Perdikan Menoreh.

Seorang yang berjanggut putih tetapi rambutnya justru masih hitam, yang berada di belakang Ki Ambara, berkata, “Aku justru ingin bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu itu.”

“Ia tidak berada di sini,” berkata seorang yang bertubuh raksasa, yang nampaknya masih lebih muda dari orang berjanggut putih itu.

“Kenapa?”

“Ia berada di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia sedang sibuk menghalangi Ki Gede Menoreh mempersiapkan pasukannya untuk menyerang Mataram esok.”

“Mungkin pula ia berada di sini,” sahut Ki Lurah Wira Sembada, “tetapi jika ia berada di sini, aku-lah yang akan menghadapinya. Aku ingin membuat perbandingan, manakah yang lebih baik, prajurit Demak atau prajurit Mataram.”

“Kau sudah terlalu tua menghadapinya. Meskipun kau dapat menahan ujudmu untuk tetap nampak lebih muda dari umurmu yang sebenarnya, tetapi kau sudah rapuh. Tulang-tulangmu sudah tidak keras lagi. Bahkan darah di nadimu sudah tidak mengalir teratur.”

Tetapi Ki Lurah Wira Sembada tertawa. Katanya, “Ki Garangan Seta. Janggutmu sudah putih meskipun rambutmu masih hitam. itu pertanda bahwa kau terlalu banyak bicara daripada berpikir.”

Tetapi orang yang dipanggil Garangan Seta itu tidak sempat menjawab. Gelar pasukan Mataram sudah ada di depan hidung mereka. Karena itu, maka mereka pun telah memusatkan perhatian mereka kepada pasukan lawan.

Demikian kedua pasukan itu berbenturan, maka teriakan-teriakan menjadi semakin gemuruh. Untuk menghentakkan ayunan senjata mereka, maka beberapa orang telah berteriak nyaring.

Sementara itu, kedua orang lurah prajurit yang berada di ujung sayap gelar pasukan Mataram masih sempat memerintahkan para prajuritnya yang bersenjata busur dan anak panah untuk menyerang menjelang terjadi benturan.

Serangan busur dan anak panah itu ternyata dapat menghambat gerak para pengikut Ki Saba Lintang. Bahkan sebelum benturan terjadi, beberapa orang telah terjatuh karena dadanya ditembus oleh anak panah.

Seorang yang berkumis tebal, telah jatuh tersungkur ketika anak panah mengenai bahunya. Dua orang kawannya berusaha untuk menolongnya dan membawanya menepi. Disandarkannya orang itu pada sebatang pohon yang tumbuh di padang perdu.

“Anak iblis, orang-orang Mataram!” teriaknya.

“Tenanglah. Duduk sajalah di sini. Biarlah nanti orang lain datang menolongmu. Kami harus segera maju ke medan perang.”

“Bawa aku ke medan!”

“Kau terluka.”

“Aku belum sempat berperang. Cabut anak panah ini!”

“Biarlah orang yang berpengetahuan tentang obat-obatan nanti mengobatimu.”

“Cabut anak panah itu, tolong.”

“Kau akan kesakitan.”

“Tidak apa-apa. Aku ingin bertempur.”

Kedua orang kawannya saling berpandangan. Sementara orang itu berteriak, “Pertempuran baru saja dimulai. Aku belum sempat membunuh orang Mataram!”

Karena kedua kawannya berdiam diri, orang berkumis tebal itu berteriak, “Cabut anak panah ini, atau aku bunuh kalian berdua!”

“Setan kau!” geram kawannya, “Dalam keadaan yang gawat, kau masih juga mengancam.”

Tetapi kawannya yang lain berkata, “Baik. Tetapi jangan salahkan aku jika darahmu memancar dari luka.”

“Persetan!”

Kawannya memegang anak panah itu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan tangannya itu pun menjadi gemetar.

“Cepat! Jika kau tidak berani mencabut anak panah itu, kau bukan laki-laki.”

Orang itu memalingkan wajahnya. Sambil mengatupkan giginya rapat-rapat, ditariknya anak panah yang menancap di bahu orang berkumis tebal itu.

Darah pun mengalir dengan derasnya. Namun orang berkumis tebal itu mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong bajunya, “Tolong, taburkan obatku ini.”

Kawannya pun membuka bajunya dan kawannya yang lain menaburkan serbuk yang ada di dalam bumbung kecil itu.

Orang berkumis tebal itu menyeringai menahan pedih. Namun arus darahnya perlahan-lahan menyusut, sehingga akhirnya menjadi mampat.

“Darahmu yang mengalir dari lukamu sudah menyusut. Tunggu sampai mampat sama sekali. Kami berdua harus segera pergi ke medan pertempuran yang sudah menyala.”

“Pergilah. Aku akan segera menyusul.”

Kedua orang yang telah menolong orang berkumis tebal itu segera meninggalkannya menuju ke medan. Sementara orang berkumis tebal itu masih duduk bersandar sebatang pohon. Namun lukanya itu sudah mulai mampat.

Ternyata bukan hanya ia sendiri yang telah terluka oleh anak panah yang dilontarkan oleh para prajurit Mataram. Beberapa orang telah dibawa menepi. Bahkan ada di antara mereka yang tidak dapat ditolong lagi. Anak panah itu menancap di dadanya, langsung menusuk jantung.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran pun telah berkobar dengan sengitnya. Prajurit Mataram tetap bertempur dalam gelar yang mapan. Sementara lawannya memancing untuk terlibat dalam perang brubuh yang berbaur. Namun ternyata para prajurit Mataram yang terlatih tetap terikat dalam gelar Wulan Tumanggal.

Namun di sisi kiri dan kanan perkemahan, pasukan Mataram memang tidak memasang gelar utuh. Namun mereka tetap bertempur dalam keterikatan di antara mereka.

Dalam pada itu, pasukan Ki Ambara yang harus menahan gerak maju pasukan yang menyerang dari belakang, tidak mengira bahwa lawan mereka terlalu kuat. Meskipun kemudian benturan telah terjadi, tetapi para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang itu tidak tahu, bahwa lawan mereka adalah pasukan dari Sangkal Putung yang dipimpin langsung oleh Swandaru.

Dengan demikian, maka pasukan Ki Ambara itu pun segera terdesak, sehingga pemimpin-pemimpin kelompok yang harus menahan arus pasukan dari belakang itu mengirimkan penghubung untuk minta bantuan dari pasukan induk.

“Jadi mereka juga menempatkan pasukan yang kuat di arah belakang perkemahan?”

“Ya,” jawab penghubung itu, “bahkan sangat kuat, dipimpin oleh beberapa orang berilmu tinggi. Di antaranya adalah seorang perempuan.”

“Seorang perempuan?”

“Ya.”

“Apakah perempuan itu bersenjata tongkat baja putih, dengan di dampingi oleh Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Tongkat baja putih seperti apa?” bertanya penghubung itu.

“Seperti tongkat Ki Saba Lintang.”

“Tidak. Perempuan itu bersenjata sepasang pedang tipis di sepasang tangannya.”

Namun sebelum Ki Ambara mengambil keputusan, seorang penghubung yang lain datang berlari-lari menemui Ki Ambara pula. Dengan nafas terengah-engah penghubung itu berkata, “Ki Ambara. Ternyata pasukan yang berada di arah belakang adalah pasukan dari Sangkal Putung.”

Ki Ambara terkejut sekali seperti disengat lebah di tengkuknya. Dengan nada tinggi ia mengulangi, “Pasukan Sangkal Putung katamu?”

“Ya.”

“Kau jangan mengigau!”

“Aku berkata sebenarnya. Bahkan dipimpin langsung oleh Ki Swandaru.”

“Gila! Apa yang sebenarnya terjadi dengan Swandaru dan Agung Sedayu?”

“Pasukan kita telah terdesak. Agaknya pasukan dari Sangkal Putung itu terlalu kuat untuk ditahan gerak majunya.”

Wajah Ki Ambara menjadi merah. Kepada Ki Saba Lintang ia pun berkata, “Terserah kepada Ki Saba Lintang untuk memimpin induk pasukan. Aku akan melihat, apakah benar pasukan yang berada di belakang perkemahan ini adalah pasukan dari Sangkal Putung, yang dipimpin langsung oleh Swandaru sendiri.”

“Baik, Ki Ambara.”

“Cari Wiyati. Aku akan menemui Swandaru bersama Wiyati. Perempuan yang bersenjata pedang rangkap itu tentu Pandan Wangi, istri Swandaru, yang menurut pendengaranku juga memiliki ilmu yang tinggi.”

Sejenak kemudian, bersama Wiyati, Ki Ambara pergi ke bagian belakang perkemahannya. Dengan nada tinggi Wiyati pun berkata, “Aku akan menghadapi istri Kakang Swandaru itu.”

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Ki Ambara dan Wiyati bersama sekelompok orang yang justru datang dari satu perguruan, berpindah untuk membantu pasukan yang berada di bagian belakang perkemahan.

Ketika Ki Ambara dan Wiyati serta Ki Ajar Mawanti bersama murid-muridnya sampai di arena pertempuran di bagian belakang perkemahan, maka Ki Ambara memang meyakini bahwa pasukan yang kuat itu adalah pasukan Sangkal Putung.

“Kita akan mencari Swandaru,” berkata Ki Ambara kepada Wiyati dan Ki Ajar Mawanti.

Ki Ambara tidak memerlukan waktu terlalu lama. Ketika ia melihat gejolak yang keras di dalam pasukannya yang berada di bagian belakang perkemahan itu, maka ia pun segera menduga bahwa para pemimpin pasukan yang datang dari Sangkal Putung itu berada di sana.

Sebenarnyalah, ketika Ki Ambara, Wiyati dan Ki Ajar Mawanti memasuki lingkaran yang bergejolak dengan keras itu, mereka melihat Swandaru dan Pandan Wangi bertempur melawan sekelompok orang dari pasukan yang bertugas di bagian belakang perkemahan itu.

Dengan nada yang bagaikan membara Ki Ambara menyibak orang-orang sambil berteriak, “Minggir! Biarlah pengkhianat ini aku hadapi!”

Para pengikut Ki Ambara itu pun segera menyibak. Mereka menebar dan bertempur melawan para pengawal Sangkal Putung yang menyerang mereka dengan garang. Sementara itu, murid-murid Ki Ajar Mawanti pun telah menebar pula

Kedatangan murid-murid Ki Ajar Mawanti memberi kesempatan kepada para pengikut Ki Ambara untuk bernafas. Sedangkan laju pasukan Sangkal Putung pun telah tertahan pula.

Swandaru yang melihat kedatangan Ki Ambara dengan wajah merah membara, sempat tersenyum dan berkata, “Selamat bertemu kembali Ki Ambara.”

“Pengkhianat kau, Swandaru!” geram Ki Ambara dengan suara bergetar, “Ternyata kau adalah orang yang paling licik yang aku kenal.”

“Maaf, Ki Ambara. Aku tidak dapat berbuat lain. Untuk menghadapi kelicikanmu, aku pun harus menempuh jalan serupa. Jika aku tidak melakukannya, maka aku-lah yang akan terjebak.”

“Kau telah mempermainkan kepercayaanku kepadamu untuk menempuh jalan ke Mataram. Aku mendukungmu karena kau ingin merebut kekuasaan Panembahan Senapati, yang juga berasal dari orang kebanyakan itu. Tetapi inilah yang telah terjadi.”

“Jangan menyesal, Ki Ambara. Aku dan Kakang Agung Sedayu adalah bagian dari Mataram itu.”

“Bukan hanya itu!” teriak Ki Ambara, “Kau juga telah mempermainkan cucuku, Wiyati.”

“Cucumu?” bertanya Swandaru.

“Ya. Dengar apa yang dikatakannya!”

“Cucumu siapa?” bertanya Swandaru.

“Kau tidak usah berpura-pura, Kakang,” Wiyati pun segera melangkah maju, “aku sedang mengandung sekarang. Tetapi aku sengaja memasuki arena pertempuran ini. Jika aku mati, maka bayimu pun akan mati.”

Terasa jantung Swandaru bergejolak. Tetapi ia pun segera menyadari dengan siapa ia berhadapan. Mulut Ki Ambara dan Wiyati yang beracun itu benar-benar tidak dapat dipercaya. Karena itu, maka Swandaru benar-benar tidak lagi merasa segan untuk melakukan hal yang sama. Apalagi di sebelahnya ada Pandan Wangi.

Sebenarnyalah bahwa jantung Pandan Wangi bagaikan berhenti berdetak. Ia tidak bersiap mendengar pengakuan seorang perempuan yang sudah mengandung benih dari suaminya itu.

Namun tiba-tiba Swandaru bertanya kepada perempuan itu, “Siapa kau?”

Wiyati-lah yang terkejut. Dengan geram ia pun berkata, “Kau bukan saja licik, Kakang Swandaru. Kau ternyata pengecut yang terkutuk. Kenapa kau masih dapat bertanya, siapa aku?”

“Jadi, kau ingin aku mengiyakan saja ceritamu? Siapakah yang licik dan pengecut? Kau mencoba untuk mempergunakan cara yang tidak terbiasa di dalam pertempuran, untuk mempengaruhi ketahanan jiwani lawan-lawanmu.”

“Setan kau, Swandaru!” geram Ki Ambara

Wiyati-lah yang tiba-tiba berteriak seperti kicau burung betet, yang mengalir sulit untuk disisipi, “Dengar, Pandan Wangi. Selama ini di luar pengetahuanmu, suamimu selalu datang ke rumah Kakek. Bukan untuk berbicara tentang kuda. Tetapi ia datang karena aku ada di rumah Kakek. Ia memikatku dan berjanji untuk menikahiku. Ia berjanji untuk menjadikan aku istrinya, yang akan bersama-sama memerintah sebuah tanah perdikan yang bernama Sangkal Putung. Tetapi kau dengar apa yang dikatakannya itu?”

Namun dengan kerasnya Swandaru berteriak, “Perempuan tidak tahu malu! Jika kau benar pernah berhubungan dengan aku, kau tidak akan meneriakkannya di hadapan banyak orang. Kau tidak akan menemui aku di medan pertempuran seperti ini. Karena itu hanya akan mempermalukanmu. Kau tentu hanya seorang pelaku yang didalangi oleh Ki Ambara. Alangkah rendah budimu. Kau korbankan cucumu untuk mendapat kemenangan dengan cara yang jauh lebih licik dari caraku mengelabuhimu.”

“Pandan Wangi!” teriak Wiyati pula, “Kau dan aku sama-sama perempuan. Kau tentu dapat merasakan betapa perihnya hatiku diperlakukan seperti ini oleh Kakang Swandaru.”

Sebelum Swandaru menjawab, tiba-tiba saja Empu Wisanata pun melangkah maju sambil berkata kepada Ki Ambara, “Kau telah mempergunakan cara ini pula kali ini. Kau masih mengenali aku? Beberapa tahun yang lalu, kau juga mempergunakan cara seperti ini untuk menundukkan Resi Reja Salam, yang bertempur bersama istrinya yang berilmu tinggi, Nyi Reja Salam. Kau berhasil, sehingga Nyi Reja Salam meninggalkan medan karena marah. Sepeninggal Nyi Reja Salam, kau berhasil membunuh Ki Reja Salam, karena Ki Reja Salam harus melawan empat orang laki-laki licik seperti kau.”

Wajah Ki Ambara menjadi sangat tegang. Hampir di luar sadarnya ia pun berdesis, “Aku pernah mengenalmu.”

“Tentu. Kita pernah berada di dalam satu pasukan di bawah pimpinan Ki Saba Lintang. Ternyata sampai sekarang kau masih menjadi pengikut Ki Saba Lintang.”

“Kau memfitnah aku!”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Kau tentu berusaha untuk memeras Nyi Pandan Wangi sekarang. Setidak-tidaknya untuk meretakkan hubungan mereka, agar pasukan Sangkal Putung menjadi lemah. Tetapi kau keliru, Ki Ambara. Nyi Pandan Wangi bukan Nyi Reja Salam, yang meskipun berilmu tinggi, tetapi penalarannya sangat dangkal.”

Kemarahan Ki Ambara bagaikan membakar ubun-ubun, sehingga tiba-tiba saja ia berteriak keras sekali. Suaranya melingkar-lingkar bagaikan mengguncang udara di atas medan.

“Kau ternyata lebih gila dari Swandaru! Kau siapa, he?”

“Kau benar-benar tidak ingat kepadaku?”

“Katakan, siapa namamu!”

“Namaku Wisanata. Orang memanggilku Empu Wisanata.”

Ki Ambara termenung sejenak. Katanya, “Aku ingat nama itu. Tetapi mulutmu memercikkan bisa ular bandotan hitam yang paling tajam.”

“Ki Ambara. Sayang, anakku Dwani tidak ada di sini. Jika saja ia ada di sini, maka ia akan dapat bercerita panjang tentang caramu yang licik dan kotor itu. Karena waktu kau berhadapan dengan Ki Reja Salam, Dwani-lah yang berperan sebagai Wiyati sekarang ini. Dwani-lah yang harus berkata kepada Ki Reja Salam di hadapan istrinya, bahwa ia sudah mengandung.”

“Setan kau, Iblis!” teriak Ki Ambara yang mengumpat sejadi-jadinya.

Namun Empu Wisanata pun berkata selanjutnya, “Untung aku ada di sini sekarang, Ki Ambara. Jika tidak, mungkin kau akan berhasil, sebagaimana kau menipu Ki Reja Salam dan istrinya.”

Ki Ambara tidak tahan lagi mendengar kata-kata Empu Wisanata. Tiba-tiba saja ia pun meloncat menyerang dengan garangnya.

Namun Empu Wisanata telah bersiap sepenuhnya. Karena itu, ketika Ki Ambara meloncat menerkamnya, Empu Wisanata pun segera mengelak, sehingga serangan Ki Ambara justru hampir saja mengenai Ki Jayaraga.

“Tinggalkan orang ini, Empu. Biarlah aku mengurusnya,” berkata Ki Jayaraga.

Ki Ambara tidak bertanya lagi. Kata-kata Ki Jayaraga itu membuat telinganya bagaikan terbakar. Karena itu, maka Ki Ambara pun telah menyerang Ki Jayaraga pula.

Ki Ajar Mawanti tertawa melihat sikap Ki Ambara. Katanya, “Sabarlah sedikit, Ki Ambara. Jika kau terseret arus perasaanmu, kau tidak akan dapat menilai lawanmu dengan baik. Hadapilah orang yang akan mengurusmu itu. Biarlah aku tangkap Empu Wisanata hidup-hidup. Nampaknya menyenangkan untuk berbincang-bincang panjang dengan orang itu.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Peringatan Ki Ajar Mawanti itu agak mengendapkan gejolak di dadanya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Baiklah. Aku tidak ingin bertempur dengan penalaran yang kabur. Ia terlalu pandai mengaduk perasaan, sehingga aku memang hampir kehilangan penalaran.”

“Ia tidak akan dapat berbuat demikian terhadapku.”

“Menarik sekali,” desis Ki Jayaraga. “Nah, jika kau sudah tenang kembali dan penalaranmu pulih, marilah, kita akan bertempur. Matahari sudah menjadi semakin tinggi.”

Ki Ambara memandang Ki Jayaraga dengan tajamnya. Sementara itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Kita belum pernah saling mengenal. Kau tentu belum pernah melihat aku, dan aku pun belum pernah melihatmu.”

“Bersiaplah,” geram Ki Ambara

Tetapi Ki Jayaraga seakan-akan tidak mendengarnya. Katanya selanjutnya, “Kecuali jika kau ikut Ki Saba Lintang menyerang Tanah Perdikan. Mungkin sepintas kau pernah melihat aku.”

“Tutup mulutmu!”

“Jangan marah. Kau akan kehilangan penalaranmu lagi. Bukankah kawanmu sudah memperingatkanmu?”

Ki Ambara tidak mendengarkannya lagi. Ia pun segera bergeser mendekat. Tetapi ia tidak lagi menyerang membabi buta karena kemarahannya yang seakan-akan membakar otaknya.

Dalam pada itu, Ki Ajar Mawanti-lah yang telah menghadapi Empu Wisanata. Sambil tertawa Ki Ajar Mawanti itu berkata, “Kau pandai membakar hatinya. Ki Ambara memang seorang yang jantungnya mudah menyala. Dan kau telah berhasil menyalakannya.”

Empu Wisanata tidak menjawab. Tetapi ia pun telah bersiap sepenuhnya menghadapi Ki Ajar Mawanti.

Dalam pada itu, Wiyati yang marah itu mengusap matanya. Demikian kemarahan bergejolak di dadanya, sehingga ia tidak menyadari bahwa matanya menjadi merah dan basah.

“Pandan Wangi,” geram Wiyati, “aku tidak berhasil membakar kecemburuanmu karena iblis tua itu. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghancurkan perasaan Swandaru. Aku akan membunuhmu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga, sebagai seorang perempuan, hatinya tergetar pula. Apalagi jika ia mengingat bahwa Swandaru terlalu sering pergi ke rumah Ki Ambara. Bahkan Swandaru selalu pulang malam dengan alasan apapun juga. Namun ia tidak mau terseret oleh arus perasaannya. Dihadapinya Wiyati dengan hati yang mengendap.

“Bersiaplah untuk mati, Pandan Wangi. Meskipun aku pernah mendengar bahwa kau berkemampuan tinggi, namun kau tidak akan dapat mengalahkan aku.”

Pandan Wangi tersenyum sambil berdesis, “Kau cantik sekali, Wiyati.”

“Tutup mulutmu!” geram Wiyati.

“Jangan terlalu garang. Seharusnya kau bersikap luruh untuk melengkapi kecantikanmu yang nampak sendu.”

Wiyati tidak menyahut lagi. Namun terasa betapa mengendapnya perasaan Pandan Wangi. Rasa-rasanya Wiyati tidak akan mampu mengatasi wibawanya yang terasa sangat menekan perasaannya.

Namun pertempuran yang terjadi di sekitarnya, telah menyulut lagi api di jantungnya. Karena itu, maka tiba-tiba saja Wiyati itu menengadahkan wajahnya. Pedangnya telah bergetar di tangannya.

Dengan nada berat dan datar Wiyati itu pun berkata, “Bersiaplah, Pandan Wangi. Kau atau aku yang akan mati di sini.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ketika Wiyati menjulurkan pedangnya, pedang Pandan Wangi pun bersilang di depan dadanya.

Keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran. Keduanya memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Pedang Wiyati berputaran dengan cepatnya. Namun serangan-serangannya tidak segera mampu menembus pertahanan Pandan Wangi yang rapat. Sepasang pedang di tangannya seakan-akan telah memagari tubuhnya dengan rapat. Setiap serangan Wiyati selalu membentur putaran pedang Pandan Wangi.

Di sisi lain, Empu Wisata pun telah bertempur pula melawan Ki Ajar Mawanti. Keduanya adalah orang-orang yang bukan saja memiliki ilmu yang tinggi, tetapi keduanya adalah orang-orang yang berpengalaman luas.

Sementara itu, Ki Ambara yang darahnya bagaikan mendidih di dalam tubuhnya, segera meningkatkan serangan-serangannya terhadap Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga yang benar-benar sudah siap menghadapinya, telah mengimbanginya. Betapapun Ki Ambara berusaha menekan dengan serangan-serangan yang cepat, namun Ki Jayaraga sama sekali tidak terdesak. Bahkan serangan-serangan Ki Jayaraga pun sekali-sekali justru telah mengejutkan Ki Ambara.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi antara kedua pasukan induk pun menjadi semakin panas pula. Namun sebagaimana Swandaru yang tidak mengikat diri pada seorang lawan sehingga berkesempatan untuk menilai seluruh pasukan dari Sangkal Putung, maka Untara pun berusaha untuk membebaskan diri pula. Kedua orang senapati pengapitnya-lah yang telah menahan orang-orang yang berniat untuk langsung berhadapan dengan Untara.

Namun Agung Sedayu yang bertempur menghadapi beberapa orang lawan, terkejut ketika ia mendengar namanya dipanggil.

“Agung Sedayu. Kau mengamuk seperti banteng terluka.”

Agung Sedayu bergeser surut. Dahinya berkerut ketika ia melihat seseorang yang menyibak lawan-lawannya.

“Ki Lurah Wira Sembada,” desis Agung Sedayu.

Ki Lurah Wira Sembada yang mendekatinya tertawa. Katanya, “Ternyata kau adalah seorang pengkhianat yang tabah, sehingga kau berani datang ke medan ini.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Sambil melangkah mendekat ia pun bertanya, “Aku tidak tahu maksudmu.”

“Setelah kau khianati Ki Ambara, kau masih juga berani memasuki medan ini.”

“Apakah aku berkhianat?”

“Jadi kau tidak merasa berkhianat? Bahkan ternyata saudara seperguruanmu juga berkhianat. Dengan licik Swandaru telah mengelabui Ki Ambara. Untara, seorang Senapati perang Mataram yang namanya dikenal di seluruh Pajang, Demak, Pati, dan bahkan seluruh tlatah Bang Wetan itu, telah berbuat licik pula.”

“Apa yang dilakukan oleh Kakang Untara?”

“Senapati besar itu mengatakan bahwa Sangkal Putung telah dikepungnya. Tetapi ternyata bahwa para pengawal Sangkal Putung justru ikut menyerang perkemahan ini.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau juga seorang lurah prajurit seperti aku. Kau tentu mengenal gelar dom sumuruping banyu.”

“Itu bukan gelar perang, tetapi cara yang ditempuh oleh mereka yang tidak yakin akan kekuatannya sendiri.”

“Begitukah yang dilakukan oleh Ki Ambara?”

Ki Lurah Wira Sembada itu tertawa. Katanya, “Ya. Ki Ambara memang tidak yakin akan kekuatannya untuk melawan Mataram. Ia pun mempergunakan cara itu. Dom sumuruping banyu. Ia sempat menusuk punggung Swandaru dengan jarumnya itu. Tetapi akhirnya yang terjadi adalah sebaliknya. Kau dan Swandaru adalah dua orang saudara seperguruan yang dapat bekerja sama dengan sangat rapi untuk menjebak Ki Ambara.”

“Karena itu, seharusnya Ki Ambara menyerah saja.”

Namun Ki Lurah Wira Sembada itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau memang lucu, Agung Sedayu. Kenapa Ki Ambara harus menyerah? Kekuatannya yang ada di sini jauh lebih besar dari kekuatan pasukanmu, meskipun sudah bergabung dengan pasukan pengawal dari Sangkal Putung. Gabungan dari kekuatan mereka yang berkhianat terhadap kepercayaan sahabatnya, tidak akan dapat mengimbangi kekuatan yang dikhianatinya.”

“Itukah menurut pengamatanmu, Ki Lurah?”

“Ya. Dan sekarang adalah urusan kita sendiri. Aku sudah mengatakan bahwa aku ingin membuat perbandingan, siapakah yang lebih baik. Prajurit Demak atau prajurit Mataram.”

“Tetapi kau sudah terlalu tua untuk bertempur melawan aku, Ki Lurah Wira Sembada. Bukankah umurmu jauh lebih tua dari ujudmu? Mungkin hanya wajahmu saja-lah yang masih nampak lebih muda dari umurmu. Tetapi lihat kulitmu yang sudah berkerut seperti kulit jeruk purut.”

Ternyata Ki Lurah Wira Sembada justru tertawa. Sambil memandangi kulit tubuhnya, ia berkata, “Pandangan matamu tajam sekali Ki Lurah Agung Sedayu. Kau melihat keriput di kulitku. Tetapi keriput kulitku ini pun belum sedalam keriput orang-orang lain yang sudah seumurku.”

“Ya. Aku percaya, Ki Lurah. Namun bagaimanapun juga, kau sudah terlalu tua.”

Ki Lurah Wira Sembada masih tertawa. Katanya, “Jangan risaukan. Kemampuanku masih utuh. Masih sebagaimana aku menjadi Lurah prajurit di Demak. Bahkan semakin tua, pengalaman dan pengetahuanku menjadi semakin luas.”

“Aku percaya, Ki Lurah.”

“Nah, sekarang kita akan menakar kemampuan. Manakah yang lebih baik di antara kita.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya,

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah Wira Sembada pun bergeser selangkah maju, kemudian menyamping. Dengan hati-hati ia meloncat sambil mengayunkan tangannya.

Namun Agung Sedayu pun telah bersiap sepenuhnya. Dengan tangkasnya Agung Sedayu meloncat surut. Namun kemudian ia pun segera meloncat sambil menjulurkan kakinya. Tetapi serangannya tidak menyentuh lawannya.

Namun keduanya bergerak semakin lama semakin cepat. Mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing, sehingga pertempuran itu menjadi semakin sengit.

Sementara itu, Ki Saba Lintang pun telah turun ke arena. Yang kebetulan menyongsongnya adalah senapati pengapit yang seorang lagi, Sabungsari.

Ki Saba Lintang yang marah itu tidak mengatakan sesuatu. Ketika ia melihat seseorang sengaja datang untuk menyongsongnya, maka ia pun segera menyerangnya. Tongkat baja putihnya berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali mematuk dengan garangnya mengarah ke dada.

Tetapi Sabungsari cukup tangkas. Kakinya berloncatan dengan cepatnya menghindari serangan-serangan lawannya. Namun tiba-tiba saja Sabungsaril-ah yang meloncat menyerang.

Ketika kedua senapati pengapit Untara bergeser menjauh, maka Glagah Putih telah bergerak maju. Namun langkahnya terhenti, ketika di hadapannya berdiri seorang yang berwajah cacat.

“Kau mau ke mana, Anak Muda?” bertanya orang itu,

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun justru bertanya pula, “Siapakah yang kita cari di sini?”

Orang berwajah cacat itu tertawa. Suaranya yang parau itu terasa menghentak-hentak dada Glagah Putih. Katanya, “Agaknya kau seorang yang senang berkelakar, he? Baiklah. Kita bertemu di sini. Kita dapat menjadi pasangan bermain yang menyenangkan.”

“Mungkin, Ki Sanak. Tetapi siapakah namamu?”

“Namaku? Kau masih ingin mengenal nama seseorang yang kau temui di medan?”

“Ya.”

“Namaku Welat Wulung. Nah, sekarang sebut pula namamu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Namaku Glagah Putih.”

“Ternyata kau adalah anak muda yang sangat berani. Seumurmu, kau telah dengan tatag memasuki arena yang keras seperti ini. Kau pun telah berani menengadahkan wajahmu di hadapan Welat Wulung.”

“Aku belum pernah mengenalmu. Mungkin kelak jika aku sudah mengetahui tingkat ilmumu, aku akan menjadi gemetar ketakutan.”

Welat Wulung yang wajahnya cacat itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau lucu sekali. Jika saja aku tidak menjumpaimu di medan pertempuran, aku senang mengajakmu berbincang. Kau tentu pandai juga bercerita. Ceritamu tentu cerita-cerita lucu. Kadang-kadang aku merasa hidup ini mulai menjemukan. Aku kadang-kadang tidak lagi tertarik untuk membunuh. Tetapi aku menyenangi cerita-cerita lucu itu.”

“Jika kau menjadi jemu membunuh, kenapa kau datang juga ke medan ini?”

“Sudah aku katakan, kadang-kadang aku menjadi jemu berada di medan pertempuran. Aku merasa jemu membunuh orang. Tetapi jika keinginanku membunuh itu sudah mulai menggelegak lagi, maka keinginanku itu tidak akan dapat ditahan-tahan lagi,.”

“Dan sekarang?”

“Sayang. Jantungku telah terbakar oleh keinginan untuk membunuhmu. Kemudian membunuh Untara. Jika Agung Sedayu belum terbunuh, aku-lah yang akan membunuhnya.”

“Jika kau mati lebih dahulu?”

“Pertanyaanmu juga lucu. Pertanyaan yang menyenangkan. Jika aku mati lebih dahulu, maka aku akan datang kepadamu di malam Jumat Kliwon. Aku akan mencekikmu. Tetapi aku akan memelihara kau tetap hidup, agar setiap Jumat Kliwon aku mempunyai permainan yang menyenangkan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Orang yang dihadapi itu terasa aneh. Wajahnya yang seram sama sekali tidak sejalan dengan tingkah lakunya. Ia banyak tertawa dan nampaknya senang pula berkelakar.

Tetapi tiba-tiba saja orang itu berkata, “Tetapi bukan waktunya untuk tertawa berkepanjangan sekarang. Bukankah kita akan bertempur?”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Kita akan bertempur.”

“Bersiaplah. Kita akan bertempur tanpa senjata. Aku akan menyimpan golokku. Aku akan membunuhmu dengan tanganku. Membantingmu dan menindih perutmu dengan lututku. Jari-jari di kedua tanganku akan mencekikmu. Kau tentu berusaha untuk membebaskan diri. Kau berusaha untuk mengangkat tanganku. Tetapi kau tidak berhasil. Lututku pun semakin menekan perutmu, sehingga kau akan kehilangan segala harapan. Nafasmu akan terputus di kerongkonganmu dan kau akan mati.”

“Begitu mudahnya?”

“Itu rencanaku. Jika ternyata kau mempunyai rencana lain, terserah kepadamu. Mungkin rencanaku yang akan terjadi. Mungkin rencanamu.”

Glagah Putih pun tertawa. Orang itu memang aneh. Katanya, “Bagaimana jika aku saja yang menangkap pergelangan sebelah tanganmu. Aku pilin tanganmu ke belakang. Kemudian aku tekan sehingga kau terbungkuk. Pada saat tanganmu patah, aku hantam tengkukmu dengan sisi telapak tanganku, sehingga tulang lehermu patah dan kau akan mati.”

Orang itu justru tertawa terbahak-bahak. Katanya, “Baik. Marilah kita mencoba, apakah kita dapat melaksanakan rencana kita masing-masing.”

Glagah Putih tertawa pula.

Namun sejenak kemudian Welat Wulung itu pun sudah bergerak sambil menjulurkan tangannya menggapai wajah Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih bergeser ke samping, sehingga tangan Welat Wulung tidak menyentuhnya.

“Ayo, Anak Muda. Aku sudah mulai. Aku yang akan menindih perutmu dengan lutut, atau kau akan memilin tanganku hingga patah.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun mulai berloncatan menghindari serangan-serangan Welat Wulung.

Welat Wulung bertempur dengan tangkasnya. Tetapi sekali-sekali suara tertawanya masih saja meledak. Meskipun Welat Wulung mulai meningkatkan kemampuannya, tetapi sama sekali tidak nampak gejolak kebenciannya.

Dengan demikian, maka sikap Glagah Putih terhadap lawannya yang ujudnya menyeramkan itu pun agak berbeda. Ia tidak terlalu bersungguh-sungguh. Meskipun demikian, Glagah Putih tidak menjadi lengah. Ia sadar sepenuhnya bahwa kemungkinan lain dapat saja terjadi.

Mungkin orang itu dengan sengaja membuat lawannya menjadi lengah, sehingga tiba-tiba saja Welat Wulung itu memukul tepat di ulu hati.

Namun bagaimanapun juga pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Meskipun Welat Wulung masih saja tertawa, tetapi serangan-serangannya ternyata sangat berbahaya. Tubuhnya sangat lentur, sehingga ia mampu bergerak dan menggeliat dengan cepat dengan arah yang sulit ditebak.

Dengan demikian, maka Glagah Putih harus menjadi sangat berhati-hati. Latihan-latihan yang berat, serta pengalamannya yang luas, membuatnya mampu mengimbangi tingkat ilmu Welat Wulung yang semakin ditingkatkan.

“He, kau anak muda,” berkata Welat Wulung itu ketika ia gagal menghantam dada Glagah Putih dengan telapak tangannya, “kau membuat jantungku berdenyut semakin cepat. Dari mana kau mewarisi ilmumu itu, he?”

“Tentu dari guru-guruku,” jawab Glagah Putih

“Guru-gurumu? Kau mempunyai berapa orang guru?”

“Ada beberapa. Bahkan orang-orang yang pernah bertempur melawanku pun ada yang aku anggap sebagai guruku, karena dari mereka aku dapat menyadap ilmu untuk melengkapi ilmuku.”

“Tetapi bagaimana kau dapat membuat ilmumu utuh?”

“Aku harus menyaringnya. Bahkan aku juga dapat menyadap ilmumu sekarang ini.”

“Dan kau juga menganggap aku sebagai gurumu?”

“Ya.”

Welat Wulung tertawa terbahak-bahak Katanya, “Jadi kau sekarang sedang berusaha membunuh gurumu? Jika demikian, maka pada kesempatan yang lain, kau pun akan membunuh guru-gurumu yang lain.”

“Aku sekedar membela diri.”

“Omong kosong! Kau-lah yang menemui aku di medan ini. Jangan ingkar.”

“Tetapi tadi kau belum menjadi guruku.”

Orang itu tertawa berkepanjangan sehingga perutnya terguncang-guncang. Katanya di sela-sela tertawanya, “Kau jangan licik. Kau dengan sengaja membuat lelucon di sini. Namun tiba-tiba kau akan menerkam pergelangan tanganku. Kemudian kau pilin sampai patah.”

“Karena itu, berhati-hatilah.”

Orang itu berhenti tertawa. Dikerutkan dahinya. Namun ternyata ia masih saja tersenyum-senyum sendiri.

“Awas. Aku mulai bersungguh-sungguh,” berkata Glagah Putih.

Welat Wulung pun meloncat ke samping menghindari serangan Glagah Putih. Namun serangan-serangan Glagah Putih datang susul menyusul, sehingga Welat Wulung tidak sempat lagi untuk tertawa.

Meskipun demikian, Glagah Putih masih saja mempunyai perasaan lain kepada orang yang berwajah cacat dan menyeramkan itu.

Dalam pada itu, pertempuran di seluruh medan pun menjadi semakin sengit. Meskipun para pengikut Ki Saba Lintang bertempur dengan mengandalkan kemampuan mereka seorang-seorang, namun pasukan Mataram yang dipimpin oleh Untara itu masih tetap dalam gelar mereka yang utuh. Kedua sayapnya bergerak perlahan-lahan maju menekan lawan di kedua sisi. Sementara itu, para prajurit yang memang bertugas di sisi kanan dan kiri dari kepungan yang temu gelang itu pun bergeser setapak demi setapak.

Tetapi perlawanan para pengikut Ki Saba Lintang pun menjadi semakin garang pula. Para murid beberapa perguruan yang sempat terbujuk dan kemudian terhisap ke dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu pun bertempur dengan sengitnya pula. Beberapa orang di antara mereka justru terjun ke medan pertempuran untuk menguji kemampuan ilmu mereka, setelah mereka berguru beberapa tahun.

Namun ada di antara mereka yang bernasib malang. Sasaran untuk menguji kemampuan mereka ternyata bukan yang seharusnya. Mereka langsung berhadapan dengan para prajurit yang sudah terlatih dan berpengalaman, yang bertempur dalam satu ikatan gelar yang lebih mementingkan kerja sama di antara mereka.

Dengan demikian, maka beberapa orang di antara para murid itu tidak sempat membanggakan ilmu mereka. Para murid dari beberapa perguruan itu bagaikan dilemparkan langsung ke dalam api pertempuran yang menyala menggapai langit.

Namun saudara-saudara perguruan mereka yang lebih berpengalaman berusaha untuk memberikan ruang gerak kepada mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran di sebelah sisi utara hutan Lemah Cengkar itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Sementara itu, panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit.

Keringat pun mulai mengalir membasahi tubuh mereka yang sedang bertempur itu. Bukan saja keringat, darah pun mulai mengalir pula menitik di atas bumi.

Dalam pada itu, Nyi Dwani yang bertempur bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mendesak lawan mereka. Sekelompok orang bersama-sama melawan Sekar Mirah yang bersenjata tongkat baja putih seperti senjata pemimpin mereka, Ki Saba Lintang.

Namun Nyi Dwani terkejut ketika tiba-tiba saja di hadapannya berdiri kakak perempuannya, Nyi Yatni.

“Dwani,” Yatni berdiri sambil tersenyum. Di tangannya tergenggam pedang yang berkilat-kilat disentuh cahaya matahari.

“Mbokayu,” desis Nyi Dwani dengan wajah yang tegang.

“Kau akan menyesal, kenapa kau tidak membunuhku pada saat kau berhasil mengalahkan aku dalam perang tanding itu. Sekarang kita bertemu di medan pertempuran. Kita akan mengulangi lagi perang tanding yang akan menentukan hidup dan mati.”

“Jangan, Mbokayu. Pilihlah lawan yang lain.”

“Kau pernah memenangkan perang tanding itu, Dwani. Kau harus memberi kesempatan kepadaku untuk menebus kekalahanku. Jika kau bunuh aku pada waktu itu, maka kau tidak perlu menghadapi aku dalam perang tanding lagi, Dwani.”

“Pilihlah lawan yang lain, Mbokayu.”

Nyi Yatni tertawa. Katanya, “Dari mana kau tahu bahwa aku sudah mematangkan ilmuku, Dwani, sehingga kau yakin tidak akan memenangkan perang tanding jika terulang lagi?”

“Bukan tentang menang dan kalah, Mbokayu. Tetapi apakah kita dilahirkan untuk bertengkar dan bahkan saling membunuh?”

Nyi Yatni tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau menjadi ketakutan, Dwani. Kasihan sekali Tetapi sudah suratan nasibmu, bahwa kau akan mati di sini.”

Sebelum Nyi Dwani menjawab, tiba-tiba saja Rara Wulan melangkah maju mendesak Nyi Dwani sambil berkata lantang, “Serahkan kepadaku, Nyi Dwani!”

“Rara,” Nyi Dwani terkejut, “jangan!”

“Biarlah aku menghadapinya, Nyi Dwani. Aku bukan sanak dan bukan kadangnya. Tidak akan ada hambatan apapun di dalam diriku untuk mengakhiri perlawanannya.”

“Tetapi jangan, Rara,” cegah Nyi Dwani.

“Berilah aku kesempatan,” sahut Rara Wulan.

Namun Nyi Dwani menggeleng.

“Kau ingin mati di medan pertempuran ini, Anak Manis?” geram Nyi Yatni yang menjadi marah sekali terhadap Rara Wulan.

“Aku-lah yang akan membunuhmu,” sahut Rara Wulan.

“Baik. Aku tantang kalian berdua untuk melawanku bersama-sama,” berkata Nyi Yatni.

“Rara, jangan!”

Tetapi nampaknya Rara Wulan tidak menghiraukannya. Namun ketika Rara Wulan melangkah maju, seseorang menarik lengannya sambil berkata, “Rara. Mundurlah.”

Rara Wulan berpaling. Dilihatnya Sekar Mirah berdiri di belakangnya

“Beri aku kesempatan, Mbokayu,” pinta Rara Wulan.

Tetapi Sekar Mirah menggeleng sambil menjawab, “Tidak, Rara.”

“Aku sudah berada di medan. Siapapun yang aku hadapi, tidak menjadi soal.”

“Ingat, Rara. Kau boleh ikut ke medan, tetapi kau harus tunduk kepada perintahku. Sekarang aku perintahkan kau meninggalkan pertempuran itu. Biarlah Nyi Dwani menyelesaikannya.”

Wajah Rara Wulan menegang. Namun ia tidak dapat membantah perintah Sekar Mirah.

Namun dengan demikian, Nyi Yatni tidak mau melepaskan adik perempuannya. Dengan lantang itu pun berkata, “Nah, Dwani, orang-orang Mataram itu telah melepaskanmu. Itu berarti bahwa kau sudah direlakan untuk mati.”

Namun Sekar Mirah yang masih mendengar kata-kata itu berkata, “Tidak. Aku yakin bahwa Nyi Dwani akan dapat melindungi dirinya sendiri.”

Tetapi Nyi Yatni itu tertawa. Katanya, “Apalagi di siang hari. Dwani menyandarkan ilmunya pada cahaya bulan. Tanpa cahaya bulan, Dwani bukan apa-apa.”

“Kau salah, Nyi Yatni. Cahaya matahari mempunyai kekuatan jauh lebih besar dari cahaya bulan. Nyi Dwani telah berhasil menyadap kekuatan panasnya matahari untuk membakar tenaga yang tersimpan di dalam tubuhnya sehingga terurai. Akibatnya, tenaga dalamnya akan menjadi berlipat-lipat.”

Nyi Yatni mengerutkan dahinya. Keterangan Sekar Mirah itu membuat jantungnya berdebaran.

Tetapi Nyi Dwani sendiri juga terkejut. Semula ia tidak mengerti, apa yang dimaksud oleh Sekar Mirah. Namun kemudian Nyi Dwani itu menarik nafas dalam-dalam. Sekar Mirah berusaha untuk mengimbangi sentuhan jiwani atas dirinya. Jika kakak perempuannya itu berusaha melemahkan ketahanan jiwaninya dengan menyebut bahwa kemampuannya bersandar kepada cahaya bulan, maka Sekar Mirah mengatakan bahwa dirinya sudah menemukan sumber kekuatan yang lebih besar. Cahaya matahari.

Meskipun yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu tidak lebih dari gertakan semata, namun ternyata bahwa Nyi Yatni terpengaruh pula olehnya.

“Perempuan itu bohong, Dwani. Kau hanya yakin bahwa cahaya bulan-lah yang dapat meningkatkan kemampuanmu.”

“Kita sudah beberapa saat berpisah, Mbokayu. Kau tidak dapat mengikuti perkembangan ilmuku,” sahut Nyi Dwani. “Tetapi kenapa kita harus bertengkar?”

“Jangan mengigau lagi. Bersiaplah. Aku akan membunuhmu!”

Nyi Dwani tidak mempunyai kesempatan lagi. Kakak perempuannya itu pun telah meloncat menyerangnya. Pedangnya terjulur lurus mengarah ke dada, tanpa ragu-ragu.

“Mbokayu,” desis Nyi Dwani.

Tetapi kakak perempuannya tidak menghiraukannya. Pedangnya yang terjulur tanpa menyentuh tubuh lawannya itu berputar, kemudian menebas mendatar.

Nyi Dwani itu pun meloncat surut. Namun kakak perempuannya itu memburunya. Diayunkannya pedangnya mengarah ke leher Nyi Dwani. Tetapi dengan tangkasnya Nyi Dwani menghindarinya.

Ketika sekali lagi Nyi Yatni mengayunkan pedangnya ke arah bahu Nyi Dwani, maka Nyi Dwani tidak menghindarinya, tetapi ditangkisnya serangan itu dengan pedangnya pula.

Ketika terjadi benturan, maka Nyi Yatni terkejut. Meskipun di langit tidak ada bulan, tetapi tenaga Nyi Dwani rasa-rasanya justru menjadi semakin kuat.

“Apakah benar yang dikatakan Nyi Lurah Sekar Mirah, bahwa sinar matahari itu telah mampu diserapnya untuk membakar tenaganya yang tersimpan di dalam dirinya?”

Nyi Yatni yang terkejut itu meloncat surut. Agaknya Nyi Dwani tanggap, bahwa Nyi Yatni terkejut karena benturan yang telah terjadi itu. Karena itu maka Nyi Dwani tidak memburunya. Sambil tersenyum, ia pun berkata, “Kau yakini kata-kata Nyi Lurah, Mbakayu. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah bertempur. Kita dapat memisahkan diri dari pertempuran ini, dan bersikap sebagai dua orang bersaudara kandung.”

“Jika kau pasrah akan kekalahanmu, Dwani, tundukkan kepalamu. Aku akan memenggalnya. Aku malu mempunyai seorang adik seorang pengkhianat.”

“Aku tidak berniat berkhianat, Mbokayu.”

“Cukup! Kita akan bertempur. Jangan banyak bicara lagi.”

Nyi Dwani memang tidak mempunyai kesempatan lagi. Ia pun kemudian harus berloncatan menghindari serangan-serangan kakak perempuannya yang datang seperti badai. Agaknya Nyi Yatni benar-benar ingin membunuhnya. Tidak ada lagi sentuhan ikatan saudara kandung yang tersisa. Yang nampak pada sikap dan kata-katanya adalah justru kebenciannya.

Sambil menyerang sejadi-jadinya, Nyi Yatni pun berkata, “Aku sudah berubah, Dwani. Kau tentu terkejut melihat perkembangan ilmuku.”

Sambil menghindari serangan-serangan kakak perempuannya, Nyi Dwani pun berkata, “Aku juga sudah berubah, Mbokayu.”

Sekar Mirah masih sempat memperhatikan pertempuran antara dua orang kakak beradik itu beberapa saat. Namun kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan harus bertempur melawan orang-orang yang menyerang mereka dengan garangnya

Namun Sekar Mirah terkejut ketika tiba-tiba seorang perempuan muda berdiri di hadapannya. Seorang perempuan cantik yang bersenjata sebatang tombak pendek.

“Kau tentu Nyi Lurah Agung Sedayu,” berkata perempuan muda itu.

“Ya, Ki Sanak. Kau siapa?”

“Namaku Mangesthi, Nyi Lurah. Aku adalah anak Ki Sekar Tawang, seorang pemimpin padepokan kecil di padukuhan Tengaran.”

“Oh,” Sekar Mirah mengangguk-angguk, “apa hubunganmu dengan Ki Saba Lintang, sehingga kau turun ke medan pertempuran?”

Mangesthi memandang Nyi Lurah dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kami sama-sama merasa dikhianati oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Dan bahkan kemudian baru kami ketahui, bahwa Swandaru pun telah berkhianat pula.”

“Agaknya banyak yang kau ketahui, Mangesthi.”

“Aku tahu segala-galanya, Nyi Lurah,” jawab Mangesthi. “Nah, sekarang aku datang untuk membuat perhitungan. Sebentar lagi Ki Lurah akan menyesali pengkhianatannya, karena ia harus berhadapan dengan Ki Lurah Wira Sembada. Seorang Lurah prajurit Demak yang mampu menahan ketuaannya. Betapapun tinggi ilmu Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia akan segera dibinasakan oleh Ki Lurah Wira Sembada.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Pertanyaan aneh, Nyi Lurah. Kita berada di medan pertempuran.”

Sebelum Sekar Mirah menjawab, Rara Wulan melangkah maju. Namun Sekar Mirah pun segera mengamitnya. Katanya, “Tunggu, Rara.”

Dahi Rara Wulan berkerut. Dengan kecewa dia bertanya, “Apakah aku hanya boleh menonton pertempuran ini?”

Mangesthi tersenyum. Diamatinya Rara Wulan sambil berdesis, “Tidak, Anak Manis. Kau akan segera mendapatkan lawan.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun Mangesthi itu pun kemudian mengangkat tombaknya,

Terdengar seseorang bersuit nyaring. Seorang gadis yang lain tiba-tiba saja muncul dari antara para pengikut Ki Saba Lintang.

“Kau memanggil aku?” bertanya gadis itu kepada Mangesthi.

“Ya. Tahan perempuan itu agar tidak menggangguku. Aku akan membuat perhitungan dengan Nyi Lurah Agung Sedayu. Suaminya adalah seorang pengkhianat besar, sehingga istrinya pun harus ikut menanggung dosanya.”

Gadis itu memandang Rara Wulan sejenak. Matanya yang bulat menyorotkan gejolak di dalam dadanya. Sedang wajahnya nampak seakan-akan merah membara.

Gadis itu juga bersenjata sebatang tombak pendek seperti Mangesthi. Namun Sekar Mirah dapat mengenali, bahwa ilmu gadis itu masih belum setingkat dengan Mangesthi.

Ketika Sekar Mirah berpaling kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu memandanginya seakan-akan bertanya, apakah ia diijinkan untuk menghadapi gadis bersenjata tombak pendek itu.

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian mengangguk mengiyakan. Namun bagaimanapun juga ia harus mempertanggung-jawabkannya. Sementara itu, ia sadar bahwa lawannya yang bernama Mangesthi itu tentu memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan tidak tertutup kemungkinan bahwa Sekar Mirah sendiri akan mengalami kesulitan.

Tetapi Sekar Mirah sudah berusaha sebaik-baiknya. Menjelang saat-saat ia turun ke medan yang keras itu, ia sudah mengasah ilmunya sehingga menjadi semakin tajam. Demikian pula Rara Wulan, dan bahkan Nyi Dwani.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun telah merasa bersiap sepenuhnya, meskipun ia tidak boleh meremehkan lawannya.

Gadis bersenjata tombak itu pun segera bergeser mendekati Rara Wulan. Dengan pendek ia pun bertanya, “Siapa namamu?”

Rara Wulan pun menjawab dengan singkat pula, “Rara Wulan. Siapa kau?”

“Janti,” gadis itu merundukkan tombaknya. Dengan serta-merta maka Janti itu pun segera meloncat menyerang.

Rara Wulan memang agak terkejut karenanya. Namun ia masih sempat mengelak. Ketika Janti berusaha memburunya dengan menjulurkan tombaknya, maka Rara Wulan telah menepis ujung tombak itu dengan pedangnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Dalam sekilas, Sekar Mirah melihat bahwa Rara Wulan tidak akan segera mengalami kesulitan.

“Mudah-mudahan perempuan itu ilmunya masih dapat diimbangi oleh Rara Wulan. Bahkan seandainya perempuan itu meningkatkan ilmunya sampai ke puncak,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Mangesthi pun sambil tersenyum berkata, “Gadis itu adalah kawanku bermain. Mudah-mudahan kawanmu itu tidak mengecewakan. Sebelum kawanmu itu nanti mati, hendaknya ia dapat memberikan perlawanan yang memadai.”

Sekar Mirah pun tertawa pendek. Katanya, “Bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku juga berharap, Nyi Lurah tidak terlalu mudah mati.”

Sekar Mirah itu tertawa semakin panjang. Katanya, “Kau nampaknya terlalu yakin akan kemampuanmu. Baiklah. Kita akan menguji, siapakah yang terbaik di antara kita.”

Keduanya pun kemudian segera menyiapkan diri. Ketika Sekar Mirah memutar tongkat baja putihnya sehingga meninggalkan seleret tabir putih, Mangesthi mengerutkan dahinya. Ia sudah mendengar bahwa Sekar Mirah adalah salah seorang dari mereka yang memiliki tongkat baja putih, lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati. Tongkat sebagaimana dimiliki oleh Ki Saba Lintang.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Mangesthi telah mulai menjulurkan ujung tombaknya. Sekar Mirah bergeser ke samping sambil menyentuh landean tombak itu dengan tongkat baja putihnya, sehingga arah ujung tombak itu bergeser.

Namun tombak itu dengan cepat berputar. Tiba-tiba saja tombak itu menebas mendatar.

Sekar Mirah pun mulai berloncatan. Dengan tangkas pula ia menghindari serangan-serangan lawannya yang dengan cepat datang susul menyusul.

Namun sekali-sekali Sekar Mirah pun telah membenturkan tongkat baja putihnya untuk menjajagi kekuatan tenaga dalam serta kemampuan lawannya. Meskipun Sekar Mirah sadar bahwa Mangesthi itu masih belum mengerahkan kekuatan dan kemampuannya sampai ke puncak, namun Sekar Mirah mulai dapat menduga tataran ilmu gadis itu.

Ternyata menurut pengamatan Sekar Mirah, Mangesthi adalah gadis yang berbahaya. Gadis itu memiliki kemampuan yang tinggi serta tenaga yang besar.

Namun Mangesthi telah tergetar pula. Bukan hanya tangannya, tetapi jantungnya. Mangesthi merasakan sentuhan tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu mengalirkan tenaga yang sangat kuat. Sementara itu Mangesthi sadar pula, bahwa Sekar Mirah pun masih belum mengerahkan tenaga dan kemampuannya.

Terapi Mangesthi terlalu yakin akan ilmunya. Ia sudah menempa diri dalam latihan-latihan yang sangat berat. Karena itu, menurut pendapat Mangesthi, maka bekalnya sudah lebih dari cukup untuk turun ke medan perang.

Mangesthi sempat mengingat saat-saat ia meninggalkan padepokannya.

“Pergilah, Mangesthi.”

“Ayah akan menjadi kesepian.”

“Tetapi aku merasa tidak adil dengan mengurungmu di padepokan, sementara jiwamu ingin lepas terbang seperti burung mengitari bumi ini.”

“Aku mohon restu, Ayah.”

“Sebagai seorang perempuan, kau sudah memiliki bekal yang cukup. Kemampuanmu melampaui kemampuan para prajurit laki-laki. Daya tuhan tubuhmu, tenaga dalammu, dan segala-galanya kau memiliki kelebihan. Karena itu, kau dapat mengujinya di medan pertempuran,”

Mangesthi terkejut justru karena Sekar Mirah berdiri dengan kaki renggang sambil memegang pangkal dan ujung tongkat baja putihnya dengan kedua tangannya.

“Kenapa kau berhenti bertempur?” bertanya Mangesthi.

“Bukan aku yang berhenti, tetapi kau. Lain kali berhati-hatilah. Jika kau alihkan perhatianmu pada persoalan yang lain, apalagi satu kenangan atau satu angan-angan, maka kau akan mengalami kesulitan. Kau adalah seorang perempuan. Aku tidak tahu apakah kau seorang gadis atau bukan, tapi kau berilmu tinggi. Kau tempa dirimu di dalam sanggar di bawah bimbingan seorang yang berilmu sangat tinggi, bahkan andaikan gurumu itu ayahmu. Tetapi kau adalah orang baru di dalam dunia olah kanuragan, Kau masih belum memiliki cukup pengalaman. Bahkan kau seorang perenung, yang sebenarnya sangat berbahaya bagi mereka yang turun di gelanggang pertempuran.”

Mangesthi memandang Sekar Mirah dengan kerut dahinya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Apakah kau sebenarnya sudah mendapat kesempatan untuk membunuhku?”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Perang tidak sama artinya dengan pembunuhan, meskipun di dalam perang itu terjadi pembunuhan serta perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang sangat keji.”

“Kau maksudkan, bahwa jika kau mau, kau sudah dapat membunuhku? Begitu?”

Sekar Mirah justru tertawa. Tetapi ia pun menggeleng. Katanya, “Tidak. Bukan begitu. Tetapi setidak-tidaknya aku tidak terlalu mudah mati.”

Mangesthi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baik. Aku berhutang satu angka. Aku akan membebaskanmu pada kesempatan membunuhmu yang pertama. Sesudah itu, aku tidak mempunyai hutang lagi kepadamu. Pada kesempatan ke-dua, aku benar-benar akan membunuhmu.” 

“Kita tidak usah saling mengancam. Mangesthi.”

Mangesthi mengangguk. Katanya, “Baik. Sekarang bersiaplah. Kita akan melanjutkan pertempuran.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri.

Sejenak kemudian, Mangesthi pun sudah menyerang dengan sengitnya. Kakinya berloncatan dengan tangkasnya. Tombak pendeknya terayun-ayun mendebarkan jantung. Bahkan, satu ketika tombak itu terjulur lurus ke depan. Ujungnya yang tajam runcing, seolah-olah memburu tubuh Sekar Mirah yang berusaha untuk menghindar,

Tetapi Sekar Mirah tidak selalu berusaha menghindar. Sekali-sekali tongkatnya menebas dengan keras, sehingga arah serangan Mangesthi pun bergeser.

Ternyata Mangesthi memang masih memerlukan pengalaman lebih banyak untuk menghadapi Sekar Mirah. Serangan-serangannya tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Tetapi sebaliknya, tongkat Sekar Mirah telah beberapa kali menyentuh tubuh Mangesthi.

Mangesthi terdorong beberapa langkah surut ketika tongkat baja putih Sekar Mirah berhasil menyeruak pertahanan Mangesthi dan mendorong bahunya. Mangesthi hampir saja kehilangan keseimbangan. Dengan susah payah ia berusaha untuk tetap berdiri tegak.

Sekar Mirah melihat kesempatan terbuka pada saat Mangesthi belum sempat memperbaiki kedudukannya. Namun melihat perempuan yang masih muda itu, hati Sekar Mirah terkekang. Ia tidak sampai hati untuk meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya mengarah ke dahinya.

Karena itu, Sekar Mirah tidak memburunya. Meskipun ia meloncat mendekat, namun tongkatnya tidak menghantam kening.

Perlahan-lahan Sekar Mirah meletakkan tongkatnya di atas bahu Mangesthi sambil berkata, “Anak Manis, kau adalah harapan bagi masa depan padepokanmu. Jika kau adalah anak pemimpin padepokan itu, maka kau akan mewarisinya. Kecuali jika kau mempunyai seorang saudara laki-laki.”

Dengan cepat Mangesthi mengayunkan tombaknya, menebas mendatar menyambar ke arah dada. Namun dengan cepat pula Sekar Mirah membentur landean tombak itu dengan tongkat baja putihnya.

Mangesthi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata geram, “Jangan terlalu dekat, Nyi Lurah. Aku dapat menusuk perutmu dengan tombak pendekku.”

Sekar Mirah tersenyum. katanya, “Kau dapat saja berusaha menusuk perutku. Tetapi kau tidak akan berhasil. Aku dapat menangkis serangan tombakmu. Aku juga dapat meloncat menghindarinya.”

“Kau terlalu merendahkan aku, Nyi Lurah.”

“Tidak. Aku mengagumimu, Mangesthi. Pada umurmu yang masih muda itu, kau sudah memiliki kemampuan yang demikian tinggi. Mungkin dasar ilmumu tidak kalah dari ilmuku. Tetapi aku sudah jauh lebih tua dari umurmu, sehingga pengalamanku sudah jauh lebih banyak dari pengalamanmu.”

Mangesthi memandang Nyi Lurah dengan tajamnya. Kemudian sambil menggeretakkan giginya ia berkata, “Nyi Lurah, jangan berusaha melunakkan hatiku. Kita bertemu di medan pertempuran. Kita akan menyelesaikan persoalan kita dengan cara yang pantas bagi dua orang lawan yang bertemu di medan.”

Sebelum Sekar Mirah menjawab, tombak Mangesthi sudah merunduk. Sejenak kemudian ujung tombak itu mematuk ke arah perut Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah memang tangkas. Dengan cepat ia bergeser menyamping, sehingga ujung tombak lawannya tidak menyentuh kulit Sekar Mirah.

Dengan cepat Mangesthi mengayunkan tombaknya, menebas mendatar menyambar ke arah dada. Namun dengan cepat pula Sekar Mirah membentur landean tombak itu dengan tongkat baja putihnya.

Benturan yang keras telah terjadi. Namun sekali lagi Mangesthi harus melangkah surut. Terasa tangannya menjadi panas. Bahkan kulit telapak tangannya terasa terkelupas.

Tetapi Mangesthi tidak menyerah. Dihentakkannya ilmu yang diwarisinya dari ayahnya. Tombaknya pun segera bergerak menyambar-nyambar. Berputar, mematuk dan menikam ke arah dada. Namun ujung tombak itu sama sekali tidak pernah mengenai sasarannya. Bahkan semakin sering terjadi benturan-benturan senjata, maka telapak tangan Mangesthi menjadi semakin sakit.

Dalam pada itu, tongkat baja putih Sekar Mirah-lah yang sering mengenai tubuh Mangesthi. Beberapa kali Mangesthi terdorong surut, dan bahkan beberapa kali ia hampir kehilangan keseimbangannya.

Hati Mangesthi itu justru menjadi semakin panas. Ia merasa dipermainkan oleh Nyi Lurah Agung Sedayu. Seolah-olah ia masih terlalu kanak-kanak di dalam olah kanuragan.

Karena itu, maka Mangesthi itu pun telah sampai kepada batas pengendalian diri. Ia juga sudah dibekali oleh ayahnya dengan ilmu pamungkas yang sangat berbahaya, yang hanya dipergunakan dalam keadaan yang memaksa.

Dalam menghadapi Sekar Mirah, Mangesthi merasa bahwa ia sudah tidak lagi dapat berbuat banyak tanpa ilmu pamungkas yang telah diwarisinya dari ayahnya.

Karena itu, maka Mangesthi itu pun telah meloncat mengambil jarak. Tombaknya pun berdiri tegak di depan dadanya. Satu tangannya menggenggam landean hampir pada pangkalnya, yang lain menahan landean itu di tengah-tengah dengan telapak tangannya

Sekar Mirah yang hampir saja meloncat memburunya terkejut. Ia melihat sikap Mangesthi itu dengan jantung yang berdebaran.

Karena itu, maka Sekar Mirah tidak memburunya. Ia justru meloncat selangkah surut. Diamatinya Mangesthi yang sedang mempersiapkan dirinya untuk menghentakkan ilmu puncaknya

Sekar Mirah tidak mau kehilangan kesempatan. Ia adalah istri Agung Sedayu yang sudah berpuluh kali melakukan latihan-latihan bersama. Murid Sumangkar itu pun telah melengkapi ilmu dengan pengalaman yang sangat luas pula.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun telah mempersiapkan dirinya pula untuk menghadapi puncak ilmu lawannya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka tombak Mangesthi itu pun mulai bergetar. Ketika tombak itu kemudian merunduk, maka jantung Sekar Mirah menjadi semakin berdebar-debar.

Ujung tombak Mangesthi yang bergetar itu, seakan-akan telah berubah menjadi tiga ujung tombak yang bergetar bersama-sama.

Sekar Mirah bergeser selangkah ke samping. Ia sadar, bahwa ujung tombak itu tetap saja satu sebagaimana semula. Tetapi ilmu yang tinggi telah membuat getaran tombak itu seakan-akan menjadi ujud kewadagan. Tiga buah mata tombak.

Sekar Mirah harus berusaha dengan kemampuan ketajaman panggraitanya untuk tetap mengenali ujung tombak yang sebenarnya, dari tombak pendek di tangan Mangesthi itu.

Meskipun demikian, kadang-kadang Sekar Mirah terkejut oleh serangan-serangan Mangesthi yang memang agak membingungkannya.

Dalam pada itu, pertempuran menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan kemampuan dan kekuatan mereka. Para pemimpin dan orang-orang yang berilmu tinggi telah menemukan lawan mereka masing-masing. Sedang yang lain harus menghadapi kelompok-kelompok untuk menahan kegarangannya.

Dalam pada itu, panas pun semakin lama menjadi semakin terik. Bukan saja panasnya matahari bagaikan membakar kulit, tetapi juga panasnya darah yang mendidih dibakar oleh kemarahan dan kebencian.

Beberapa orang justru telah terbaring diam di arena. Kawan-kawan mereka berusaha mengangkat mereka dan membawanya ke belakang garis pertempuran.

Di arah belakang perkemahan, pasukan Ki Ambara berusaha untuk menghalau serangan-serangan para pengawal dari Sangkal Putung. Dengan dendam yang sengaja dinyalakan oleh para pimpinan kelompok mereka dengan menyebut bahwa Swandaru telah berkhianat, maka para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang itu bertempur dengan kekuatan yang menghentak-hentak. Bahkan sebagian dari mereka bertempur sambil berteriak-teriak. Meneriakkan nama Swandaru yang berkhianat.

Namun teriakan-teriakan itu telah membakar kemarahan para pengawal dari Sangkal Putung. Setelah mengasah diri beberapa lama, maka kemampuan mereka pun rasa-rasanya menjadi semakin tajam.

Dengan demikian, maka usaha para pengikut Ki Ambara dan Ki Saba Lintang untuk mengusir mereka tidak dapat berlangsung dengan lancar. Bahkan sekali-sekali justru para pengawal Sangkal Putunglah yang telah mendesak mereka.

Dengan demikian maka garis pertempuran di arah belakang perkemahan pasukan Ki Ambara itu bagaikan terguncang-guncang. Sekali garis pertempuran itu bergeser ke dalam. Sekali-sekali keluar.

Namun di beberapa tempat, pertempuran seakan-akan tidak bergeser dari tempatnya. Orang-orang berilmu tinggi yang telah bertemu di pertempuran membuat lingkaran tersendiri, yang seakan-akan tidak terjamah oleh para pengawal mereka.

Wiyati yang sangat marah menyerang Pandan Wangi sejadi-jadinya. Pedangnya berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali terdengar teriakannya nyaring meninggi. Bahkan sekali-sekali Wiyati itu menjerit untuk mengurangi tekanan kebencian di dalam dadanya.

Pandan Wangi yang sudah mengendap ternyata tidak terbawa oleh irama gerak lawannya yang gelisah, marah dan dendam. Dengan tenang Pandan Wangi mengimbangi kegarangan Wiyati. Bahkan semakin lama serangan-serangan Wiyati bukan saja semakin keras, tetapi juga nampak semakin kasar.

Swandaru bertempur tidak terlalu jauh dari Pandan Wangi, sehingga ia sekali-sekali sempat melihat apa yang terjadi dengan Pandan Wangi dan Wiyati.

Setiap kali jantung Swandaru pun berdesir. Ternyata bahwa Wiyati di medan pertempuran itu bukan Wiyati yang lembut dan manja. Tetapi Wiyati adalah seorang perempuan yang keras dan bahkan agak kasar,

Swandaru pun menjadi semakin yakin, bahwa ia telah berhadapan dengan permainan yang rumit. Karena itu, maka ia sama sekali tidak merasa bersalah, karena ia pun telah berpura-pura pula. Permainannya hanya sekedar mengimbangi permainan licik Ki Ambara dan Ki Saba Lintang.

Wiyati yang dilihatnya di pertempuran, berbeda sama sekali dengan Wiyati yang sering ditemuinya di rumah Ki Ambara. Wajahnya di mata Swandaru tidak lagi nampak bening. Tetapi wajahnya menjadi keras seperti batu padas.

Namun betapapun juga Wiyati mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak dapat mengimbangi ilmu Pandan Wangi. Bahkan ketika Wiyati sampai ke ilmu puncaknya, ia tetap saja tidak dapat memecahkan pertahanan Pandan Wangi.

Pakaian Wiyati telah basah oleh keringat. Di padepokannya ia sudah ditempa dengan keras. Namun ternyata bahwa di medan pertempuran yang sebenarnya, ada beberapa hal yang masih harus dipelajarinya.

Pandan Wangi yang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang luas, bukan sekedar kawan berlatih. Unsur-unsur geraknya kadang-kadang sama sekali tidak diduga-duganya, sehingga Wiyati menjadi bingung.

Dengan demikian, maka Wiyati pun menjadi semakin terdesak. Bahkan ketika ujung pedang Pandan Wangi dengan cepat menyeruak pertahanan Wiyati, maka segores luka yang tipis telah tergurat di bahunya.

Wiyati meloncat mundur. Wajahnya menjadi merah padam. Sedangkan giginya gemeretak oleh kemarahan yang terasa menghentak-hentak jantung.

Pandan Wangi tidak memburunya. Sambil berdiri tegak dengan sepasang pedang bersilang di dadanya, Pandan Wangi pun berkata, “Kau tidak mempunyai banyak kesempatan, Wiyati. Menyerahlah. Kita dapat berbicara kemudian.”

Tetapi Wiyati itu pun menyahut, “Pantang aku menyerah, Pandan Wangi. Aku benar-benar akan membunuhmu!”

Pandan Wangi memandang Wiyati dengan tajamnya. Wiyati yang sudah tergores senjata Pandan Wangi itu pun telah bersiap untuk menyerangnya.

“Kenapa kau ingin membunuhku, Wiyati?”

Wiyati yang sudah tidak dapat berpikir bening itu tidak dapat mempergunakan kesempatan itu untuk membakar hati Pandan Wangi. Bahkan dengan geram ia pun berkata, “Swandaru telah berkhianat. Ia harus dibunuh! Kau pun harus dibunuh pula!”

“Tugas ini bukan tugasmu, Wiyati. Jika kita benar-benar ingin saling membunuh, maka aku-lah yang akan membunuhmu.”

“Kau terlalu sombong. Kau akan menyesali kesombonganmu!”

Pandan Wangi tidak sempat menjawab. Wiyati pun menyerangnya seperti arus prahara.

Hentakan-hentakan ilmu Wiyati ternyata sempat menekan Pandan Wangi sesaat. Wiyati yang sudah sampai pada ilmu puncaknya itu, cukup berbahaya. Hampir saja senjata Wiyati mengoyak lambung Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi masih sempat dengan cepat bergeser. Namun ujung pedang Wiyati sempat mengoyakkan baju Pandan Wangi.

“Sekejap lagi, perutmu-lah yang akan aku koyakkan!”

Pandan Wangi tidak menyahut. Ia harus menangkis serangan-serangan Wiyati yang datang membadai.

Pandan Wangi yang menyadari kedudukannya, tidak membiarkan lawannya mendesaknya. Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera meningkatkan ilmunya pula

Dengan demikian, maka Wiyati benar-benar berada dalam kesulitan. Sekali lagi ujung senjata Pandan Wangi menggores lengan Wiyati.

“Wiyati,” berkata Pandan Wangi, yang tidak memburu lawannya ketika lawannya meloncat surut, “jika kau tidak menyerah, maka ujung pedangku akan dapat menggores wajahmu yang cantik itu.”

“Persetan dengan kau, Pandan Wangi!” geram Wiyati. Namun tiba-tiba seorang perempuan telah hadir pula di medan pertempuran itu. Seorang perempuan yang telah separuh baya.

“Jangan cemas, Wiyati,” berkata perempuan separuh baya itu.

“Bibi,” desis Wiyati.

“Aku datang atas ijin gurumu. Aku marah kepadanya, karena kau yang masih sangat muda sudah dibebani tugas yang berat. Aku sudah menduga bahwa di dalam pertempuran ini kau akan menghadapi lawan yang berat.”

“Aku akan membunuhnya, Bibi.”

Perempuan itu memandang Pandan Wangi dengan seksama. Lalu katanya, “Baru kemarin dulu aku datang. Gurumu memberi tahu bahwa kau berada di sini untuk menyerang dan menghancurkan pasukan Mataram di Jati Anom. Tetapi yang terjadi ternyata lain.”

“Ya, Bibi.”

“Sekarang, kau temui lawan yang berilmu tinggi. Sebenarnya tingkat ilmunya tidak terpaut banyak dari ilmu yang telah kau sadap dari gurumu. Tetapi kau sama sekali belum berpengalaman. Sementara itu, lawanmu itu sudah mempunyai pengalaman yang agaknya cukup luas. Siapakah perempuan itu?”

“Istri Swandaru. Pengkhianat yang sangat curang, licik dan tidak tahu diri.”

Perempuan separuh baya itu tertawa Katanya, “Sudahlah. Jangan hanyut dalam arus perasaanmu. Kau akan kehilangan kendali atas ilmumu. Sekarang, biarlah aku menyelesaikan pertempuran ini.”

“Tidak, Bibi. Aku ingin membunuhnya dengan tanganku.”

“Baik, baik. Lakukanlah. Aku akan memaksanya berlutut untuk menundukkan kepalanya. Kau-lah yang akan memenggalnya.”

“Aku ikut bertempur bersama Bibi.”

Perempuan itu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau harus tetap berhati-hati. Perempuan ini sangat berbahaya.”

Pandan Wangi mendengarkan saja pembicaraan itu. Namun jantungnya pun berdebaran. Perempuan yang datang itu agaknya seorang perempuan yang berilmu lebih tinggi dari perempuan muda yang bernama Wiyati itu.

“Siapa nama perempuan itu?” bertanya perempuan yang disebut bibi itu.

“Pandan Wangi. Suaminya bernama Swandaru. Pengkhianat terbesar yang pernah hidup di bumi Mataram.”

Perempuan itu tertawa. Katanya, “Rupa-rupanya kau sangat membencinya.”

“Ya. Aku membenci pengkhianat sampai ke ujung rambutku.”

Perempuan yang disebut bibi itu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Pandan Wangi. Adalah nasibmu yang sangat malang, bahwa kau telah bertemu dan berhadapan dengan aku.”

“Kau siapa?” bertanya Pandan Wangi.

“Aku adalah adik seperguruan dari guru Wiyati. Karena itu ia menganggap aku sebagai bibinya Maksudnya bibi guru.”

“Siapa namamu?”

“Kanthil Kuning.”

“Namamu membuat bulu tengkukku meremang.”

“Kenapa? Apakah kau membayangkan bahwa ada hubungan antara bunga kanthil dengan kembang telon bersama kenanga dan mawar?”

“Di belakang rumah tetanggaku ada pohon bunga kanthil.”

Perempuan itu tertawa. Katanya kemudian, “Bersiaplah. Kita akan bertempur. Umurmu tidak akan lebih panjang dari sepenginang lagi. Karena, itu sebut nama orang tuamu.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia harus berhadapan dengan dua orang lawan. Seorang di antaranya memiliki ilmu yang lebih tinggi dari yang lain.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun harus berhati-hati. Ketika ia sempat memperhatikan pertempuran di sekitarnya, ia melihat beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putung. Dalam keadaan yang memaksa ia akan dapat berlindung di dalam sengitnya pertempuran serta minta beberapa orang pengawal untuk memisahkan kedua orang lawannya. Namun Pandan Wangi bukan seorang yang berjiwa kecil. Karena itu, maka ia berniat untuk menghadapi lawannya seorang diri.

Beberapa saat kemudian, maka orang yang menyebut dirinya Kanthil Kuning itu pun mulai menyerang. Perempuan itu mempergunakan senjata yang agak aneh. Seutas tali sebesar ibu jari kaki, yang semula membelit di lambungnya.

Namun Pandan Wangi sudah sering pula berlatih dengan Swandaru yang bersenjata cambuk. Karena itu, maka ujung tali itu tidak terlalu mengejutkannya.

Sementara itu, Wiyati yang merasa mendapatkan seorang kawan, telah menyerang pula sejadi-jadinya. Namun Pandan Wangi masih mampu menghindar dan menangkis serangan-serangan kedua lawannya.

Namun Nyi Kanthil Kuning semakin lama telah meningkatkan ilmunya pula. Serangan-serangannya datang seperti angin ribut. Susul menyusul. Sementara Wiyati pun mengganggunya dari segala arah.

Namun sepasang pedang Pandan Wangi berputaran dengan cepat di seputar tubuhnya, seakan-akan telah membuat perisai yang tipis memutari tubuhnya itu.

Serangan-serangan Wiyati selalu membentur tabir tipis itu. Bahkan hampir saja pedang Wiyati terpental dari tangannya.

Kemampuan Wiyati memang belum setinggi Mangesthi yang bertempur melawan Sekar Mirah di depan perkemahan itu. Namun Nyi Kanthil Kuning itulah yang menjadi sangat berbahaya bagi Pandan Wangi.

Sementara itu, para prajurit Mataram di Jati Anom telah mengerahkan kemampuan mereka. Gelar yang dipasang masih tetap utuh, meskipun satu dua orang telah gugur. Bahkan rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin rapat menekan pasukan Ki Saba Lintang. Mereka yang terlalu percaya akan kemampuan seorang-seorang, telah membentur perang gelar yang sangat rapat. Para prajurit itu seolah-olah telah menyatu dalam satu susunan pasukan yang memanjang, yang tidak dapat disusupi oleh kilat sekali pun.

Namun dalam pada itu, sambil bertempur Pandan Wangi sempat bertanya kepada Nyi Kanthil Kuning, “Bagaimana kau dapat masuk ke medan pertempuran ini?”

Nyi Kanthil Kuning tertawa. Katanya, “Orang-orangmu memang terlalu dungu. Ketika aku berada di antara mereka, tidak seorang pun yang sempat memperhatikan aku, sehingga aku mampu menembus lingkaran pertempuran dan berada di dalamnya.”

“Luar biasa. Kau memang licin sekali. Berapa orang dapat kau bunuh selama kau menyusup memasuki arena ini?”

“Tentu tidak seorang pun. Aku bukan orang yang dungu seperti orang-orangmu. Jika aku membunuh seorang saja di antara mereka, maka perhatian orang-orangmu segera tertuju kepadaku.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia kagum akan kendali diri Nyi Kanthil Kuning itu, sehingga ia dapat berada di dalam lingkaran pertempuran itu.

Sementara itu sambil meloncat mengambil jarak, Nyi Kanthil Kuning itu pun berkata, “Tentu saja aku tidak akan dapat menyusup di celah-celah gelar yang rapat dari para prajurit Mataram itu. Tetapi aku yakin, bahwa di sisi ini, pasukan yang kurang serasi ini masih dapat memberikan jalan kepadaku.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Sementara itu, serangan-serangannya semakin cepat untuk mengimbangi serangan kedua lawannya yang datang silih berganti.

Namun Nyi Kanthil Kuning benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Serangan-serangannya sangat berbahaya bagi Pandan Wangi. Apalagi Pandan Wangi masih merasa sangat terganggu oleh Wiyati yang sangat bernafsu untuk membunuhnya.

Pandan Wangi menjadi semakin marah, ketika ia sadar bahwa Nyi Kanthil Kuning sengaja memancing perhatiannya untuk memberikan kesempatan kepada Wiyati menyerangnya, dan bahkan jika mungkin mengakhiri perlawanannya.

Ternyata semakin lama Pandan Wangi merasa semakin sulit menghadapi kedua lawannya. Apalagi ketika Nyi Kanthil Kuning menyerangnya dengan hentakan-hentakan ilmu yang mengejutkan.

Pada saat-saat perhatian Pandan Wangi tertuju kepada Nyi Kanthil Kuning, maka Wiyati selalu mempergunakan waktu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya Wiyati menyerangnya. Dengan menjulurkan pedangnya, Wiyati berusaha menggapai tubuh Pandan Wangi.

Untuk beberapa lama Pandan Wangi masih dapat menghindari dan menangkis serangan-serangan lawannya. Namun serangan-serangan itu semakin lama menjadi semakin cepat.

Ketika senjata Nyi Kanthil Kuning yang berupa seutas tali sebesar ibu jari kaki itu terjulur mematuk ke arah dada, maka Pandan Wangi pun meloncat surut. Namun tali itu pun kemudian melingkar dan berputar, seakan-akan hendak membelit tubuh Pandan Wangi. Dengan tangkasnya Pandan Wangi mengelak sambil menebas tali itu dengan pedangnya Namun tali itu menjadi demikian lemasnya, sehingga tajam pedang Pandan Wangi tidak dapat memutuskannya

Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa lawannya yang bernama Nyi Kanthil Kuning itu benar-benar seorang yang berilmu tinggi serta mempunyai sejenis senjata yang khusus.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi harus mengerahkan kemampuannya untuk melawannya.

Dalam pada itu, Wiyati yang mendendamnya selalu berusaha mempergunakan kesempatan untuk melumpuhkan Pandan Wangi. Wiyati dalam wataknya yang sebenarnya itu ingin benar-benar membunuh Pandan Wangi dengan tangannya. Sementara itu, Nyi Kanthil Kuning yang tanggap akan gejolak perasaan Wiyati, berusaha untuk menarik seluruh perhatian Pandan Wangi, sehingga terbuka kesempatan bagi Wiyati untuk menghentikan perlawanannya.

Karena itu, maka serangan-serangan Nyi Kanthil Kuning pun menjadi semakin sengit. Ujung talinya terayun-ayun di seputar Pandan Wangi. Kadang-kadang tali itu terjulur mematuk seperti kepala seekor ular bandotan.

Pandan Wangi pun menjadi semakin sulit. Selagi Pandan Wangi sibuk menghindari ujung tali Nyi Kanthil Kuning yang memburunya itu, tiba-tiba saja Wiyati meloncat menyerangnya dari arah lambung.

Pandan Wangi terkejut. Nyi Kanthil Kuning dengan tangkas menghentakkan talinya sendal pancing, justru menggiring Pandan Wangi untuk tidak memperhatikan serangan Wiyati.

Pandan Wangi terhenyak sesaat. Namun dengan tangkasnya Pandan Wangi pun melenting tinggi, berputar di udara, dan ketika ia menjatuhkan dirinya pada kedua kakinya, ia sudah berada di belakang Wiyati.

Tetapi Pandan Wangi tidak dapat menghindari serangan Wiyati sepenuhnya. Ujung senjata Wiyati menggores paha Pandan Wangi memanjang, sehingga paha Pandan Wangi yang sedang meloncat tinggi-tinggi itu telah terluka.

Wajah Pandan Wangi menjadi merah padam. Luka di pahanya telah membuat darahnya bagaikan mendidih. Karena itu, maka dengan tajamnya dipandanginya Wiyati sambil berdesis, “Kau licik, Anak Manis. Baiklah. Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Tetapi Nyi Kanthil Kuning itu tertawa. Katanya, “Jangan merajuk, Pandan Wangi. Pahamu telah terluka. Pakaianmu pun telah terkoyak. Kau tidak mempunyai harapan lagi. Kenapa tidak kau panggil suamimu?”

Tiba-tiba saja terdengar suara Swandaru, “Aku di sini. Biarlah aku menyelesaikan perempuan ini, Pandan Wangi. Kau mengurus gadis kecil yang kehilangan akal itu.”

Wiyati menjadi tegang. Jika bibinya harus bertempur melawan Swandaru, maka ia sudah meyakini bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Pandan Wangi, meskipun Pandan Wangi sudah terluka.

Namun Pandan Wangi itu pun tiba-tiba berkata, “Kakang Swandaru. Lepaskan keduanya Aku akan menyelesaikan mereka. Kecuali jika aku sudah hampir mati.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sampai hati membiarkan Pandan Wangi bertempur sendiri. Tetapi jika ia memasuki arena itu, maka Pandan Wangi tentu akan tersinggung.

Karena itu, maka Swandaru hanya dapat berdiri di pinggir arena. Bahkan ketika dua orang pengawal Tanah Perdikan mendekatinya, Swandaru itu berkata, “Biarkan Pandan Wangi mengatasinya sendiri.”

“Tetapi Nyi Pandan Wangi sendiri.”

“Lindungi saja di luar arena,” berkata Swandaru.

Kedua, pengawal itu mengetahui maksudnya. Mereka harus mengawasi dan mencegah bila ada orang lain yang mencampurinya.

Dalam pada itu, Nyi Kanthil Kuning agaknya tersinggung perasaannya, bahwa Pandan Wangi tidak memerlukan bantuan suaminya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kau terlalu sombong, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi luka di pahanya telah membuatnya mengambil keputusan untuk menerapkan ilmu pamungkasnya yang dikuasainya dengan sangat baik, karena ilmu itu seakan-akan telah ditemukannya sendiri selagi ia mengembangkan ilmunya, justru tanpa bimbingan gurunya sekaligus ayahnya, Ki Gede Menoreh. Dengan berlandaskan pada pengalamannya, unsur-unsur gerak yang menyusup di dalam ilmunya dari pengaruh ilmu cambuk suaminya, serta daya penalarannya yang tinggi, maka Pandan Wangi itu telah menguasai ilmu yang akan sangat mengejutkan lawannya.

Dalam keadaan terdesak, maka ilmu itu pun telah diterapkannya. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Serangan-serangan Nyi Kanthil Kuning menjadi semakin garang. Sementara itu Wiyati pun berusaha mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya.

Bahkan Nyi Kanthil Kuning itu telah berkata dengan lantang, “Aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri, Pandan Wangi. Tetapi Wiyati-lah yang akan menggoreskan senjatanya, tidak di pahamu, tetapi di wajahmu, agar kau kehilangan kecantikanmu. Namun terakhir Wiyati akan menusuk lambungmu dan mengakhiri hidupmu.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Gejolak dadanya telah menghentakkan ilmunya yang mengejutkannya itu.

Nyi Kanthil Kuning memang terkejut ketika tiba-tiba terasa goresan ujung pedang tipis Pandan Wangi di kulitnya, meskipun ia sudah meloncat menghindar.

“Gila! Apa yang terjadi?” katanya di dalam hatinya.

Namun ketika sekali lagi kulitnya tergores, maka ia pun berkata di dalam hatinya, “Gila! Pandan Wangi memiliki ilmu yang jarang ada duanya itu.”

Sebenarnyalah Pandan Wangi menjadi semakin garang dengan ilmunya. Kecepatan geraknya telah membuat ujung-ujung senjatanya seakan-akan telah bergerak mendahului ujud kewadagannya

Nyi Kanthil Kuning yang memiliki pengalaman yang luas, segera mengenali jenis ilmu yang dimiliki oleh Pandan Wangi itu. Karena itu, maka ia pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Ia ingin meyakinkan pengenalannya atas ilmu Pandan Wangi itu.

Namun Pandan Wangi tidak memberikan kesempatan. Dengan cepat pula ia memburunya, sementara itu pedangnya bergerak melampaui kecepatan pengamatan Nyi Kanthil Kuning.

Namun agaknya Wiyati terlambat mengenali ilmu Pandan Wangi. Pada saat Pandan Wangi memburu Nyi Kanthil Kuning yang berusaha mengambil jarak, Wiyati mencoba mempergunakan kesempatan itu. Dengan cepat ia meloncat menyerang Pandan Wangi dari belakang. Senjatanya terayun dengan derasnya, langsung ke arah tengkuk Pandan Wangi.

Namun Pandan Wangi ternyata sempat mengetahui bahwa Wiyati telah menyerangnya. Satu hentakan kekuatan telah membuat Wiyati berteriak di luar sadarnya.

Namun teriakan Wiyati itu adalah sebuah tengara bahwa bencana telah menimpanya.

Pada saat senjata Wiyati terayun dengan derasnya disertai oleh teriakan nyaring, maka Pandan Wangi dengan cepat merendahkan dirinya. Senjata Wiyati itu terayun sejengkal di atas kepala Pandan Wangi. Namun pada saat yang bersamaan, pedang Pandan Wangi yang berada di tangan kirinya terjulur lurus mengarah ke lambung.

Wiyati melihat uluran senjata Pandan Wangi. Dengan cepat ia menggeliat menghindarinya.

Namun Wiyati itu terkejut sekali. Ujung pedang Pandan Wangi yang menurut penglihatan matanya masih berjarak sejengkal dari lambungnya, tiba-tiba saja telah menggapai lambungnya itu.

Karena itu, maka Wiyati pun telah menjerit sambil meloncat jauh-jauh. Namun lambungnya telah terluka. Darah telah mengalir dari lukanya yang menganga

Nyi Kanthil Kuning pun terkejut. Ia merasa bersalah bahwa ia tidak memperingatkan Wiyati tentang ilmu lawannya yang mengejutkan itu.

Dengan demikian, maka kemarahan Nyi Kanthil Kuning itu pun semakin meluap. Sementara itu Wiyati menjadi gemetar. Meskipun Wiyati masih sanggup berdiri, tetapi darah yang mengalir semakin lama menjadi semakin banyak.

Swandaru berdiri termangu-mangu. Ada niatnya untuk mendekati Wiyati. Tetapi sikap itu tentu tidak menguntungkan suasana dalam keseluruhan.

Jantung Pandan Wangi sendiri menjadi tergetar melihat keadaan Wiyati. Meskipun perempuan itu telah melukai pahanya, tetapi ada perasaan iba di hatinya. Perempuan itu masih terlalu muda untuk mengalaminya.

Namun Pandan Wangi tidak mempunyai banyak kesempatan. Nyi Kanthil Kuning yang marah itu telah menyerangnya sejadi-jadinya. Tali di tangannya itu berputar dan menggeliat, kemudian mematuk dan menebas ke arah leher.

Pandan Wangi menjadi sangat berhati-hati. Jika tali itu menjerat lehernya, maka ia tentu akan tercekik jika tali itu dihentakkannya. Sementara itu, pedangnya tidak mampu memotong tali itu, karena setiap sentuhan tajam pedangnya, tali itu rasa-rasanya menjadi begitu lemasnya.

Namun dengan ilmunya yang dikembangkannya sendiri, Pandan Wangi mampu mengatasi kemampuan lawannya.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun semakin mendesak lawannya itu. Tetapi ketika ujung tali lawannya sempat mengenai dadanya, maka Pandan Wangi itu terdorong beberapa langkah surut. Demikian kuatnya hentakan ujung tali itu di dadanya, sehingga membuat Pandan Wangi kehilangan keseimbangannya.

Namun demikian Pandan Wangi itu terjatuh, maka ia pun segera berguling beberapa kali. Dengan cepat ia melenting bangkit berdiri.

Pada saat yang bersamaan, tali Nyi Kanthil Kuning itu menyambar ke arah leher. Pandan Wangi tidak sempat menghindarinya. Ditangkisnya tali itu dengan pedangnya di tangan kirinya. Namun tali itu justru telah membelit pedang Pandan Wangi.

Nyi Kanthil Kuning telah menghentakkan talinya dengan sekuat tenaganya. Demikian tiba-tiba, sehingga agaknya Pandan Wangi tidak dapat mempertahankannya.

Karena itu, hentakan tali Nyi Kanthil Kuning itu telah merenggut sebuah pedang tipis dari tangan kiri Pandan Wangi.

Namun agaknya Pandan Wangi telah membuat perhitungan yang tepat. Pada saat pedangnya di tangan kirinya dilepasnya, maka Pandan Wangi telah meloncat dengan cepat sekali sambil menjulurkan pedang di tangan kanannya.

Nyi Kanthil Kuning berusaha untuk menghindari. Namun ujung pedang Pandan Wangi telah menggapai tubuhnya mendahului ujud kewadagannya. Karena itu, maka Nyi Kanthil Kuning itu hanya dapat mengeluh tertahan ketika dadanya ditembus oleh ujung pedang Pandan Wangi, langsung mengoyak jantungnya.

Nyi Kanthil Kuning itu terlempar selangkah surut. Demikian Pandan Wangi menarik pedangnya, maka Nyi Kanthil Kuning itu pun terbanting jatuh di tanah.

Nyi Kanthil Kuning tidak sempat mengerang. Pandan Wangi melangkah mendekatinya. Memungut pedangnya dan berdiri termangu-mangu.

Beberapa orang pengikut Ki Saba Lintang tidak mampu mendekatinya, karena para pengawal Sangkal Putung justru telah mendesaknya

Tiba-tiba saja Pandan Wangi teringat pada Wiyati. Gadis itu terbaring di tanah. Tiga orang pengawal Tanah Perdikan berdiri di sebelah-menyebelahnya. Sementara itu pertempuran di sekitarnya masih berlangsung dengan sengitnya

Ternyata Wiyati masih bertahan. Ketika Pandan Wangi kemudian berjongkok di sampingnya, Wiyati itu membuka matanya.

“Wiyati,” desis Pandan Wangi.

Wiyati justru tersenyum. Terasa getar jantung Pandan Wangi menghentak dadanya. Wiyati masih sangat muda untuk mati. Meskipun perempuan itu bersikap garang dan bahkan berusaha untuk membunuhnya, namun rasa-rasanya Pandan Wangi tidak sampai hati untuk membiarkan perempuan yang masih sangat muda itu terbunuh.

“Panggilkan tabib yang ikut di dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan,” perintah Pandan Wangi kepada seorang pengawal yang berdiri termangu-mangu di sebelahnya.

Namun Wiyati berdesis, “Tidak ada gunanya, Nyi. Terima kasih. Agaknya umurku memang tidak cukup panjang. Tetapi rasa-rasanya aku memang sudah waktunya untuk meninggalkan dunia yang samar ini.”

Swandaru sudah berdiri pula di belakang Pandan Wangi. Keringat dingin mengalir membasahi punggungnya, ketika ia mendengar Pandan Wangi bertanya kepada Wiyati, “Anak Manis. Apakah kau benar-benar mengandung?”

Sejenak Wiyati memandang Pandan Wangi. Namun kemudian dipandanginya Swandaru yang semakin lama menjadi semakin kabur.

Akhirnya Wiyati itu pun menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak, Nyi. Orang tua itu benar. Aku memang diminta untuk membantu Ki Ambara memfitnah Ki Swandaru, dengan mengaku sedang mengandung. Dengan demikian, maka jantung Nyi Pandan Wangi diharapkan akan terbelah.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Pandan Wangi mengusap keringat di kening Wiyati, “Bertahanlah, Wiyati. Kau akan dirawat dengan baik.”

Sejenak kemudian, seorang tabib telah menyibak dan berjongkok di sebelah Pandan Wangi.

“Siapa ini? Bukanlah ia bukan orang Sangkal Putung?” bertanya tabib itu.

“Orang Sangkal Putung atau bukan, tetapi tugasmu menyelamatkan nyawa seseorang dalam batas kemampuanmu serta atas perkenan-Nya. Siapapun orang itu.”

Tabib itu tidak menjawab. Namun sebelum ia sempat mengobati luka-luka Wiyati yang parah, maka tiba-tiba saja Wiyati menggapai tangan Pandan Wangi. Dipeganginya tangan itu erat-erat.

“Maafkan aku, Nyi,” suara Wiyati terdengar sangat dalam.

“Wiyati,” desis Pandan Wangi, “kenapa kau minta maaf kepadaku?”

“Aku sudah melukaimu, Nyi.”

“Aku melukaimu lebih parah lagi. Kita berada di medan pertempuran, Wiyati.”

“Mungkin aku dapat melupakan itu. Kita saling melukai. Tetapi itu terjadi di peperangan. Namun aku menyesal bahwa aku sudah memfitnah, meskipun gagal.”

“Sudahlah, Wiyati. Lupakan. Biarlah luka-lukamu diobati.”

Mata Wiyati menjadi semakin redup.

“Wiyati. Kau masih terlalu muda untuk meninggalkan dunia ini. Bertahanlah.”

Tetapi mata Wiyati itu pun kemudian terpejam. Ada sesuatu yang ingin diucapkan. Namun Wiyati sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Pandan Wangi menundukkan kepalanya Terasa matanya menjadi panas. Dengan jari-jarinya yang gemetar, Pandan Wangi mengusap matanya.

Swandaru pun kemudian memegang kedua lengan Pandan Wangi. Ditariknya agar Pandan Wangi itu bangkit berdiri.

Namun tabib yang sudah berada di tempat itu melihat luka di paha Pandan Wangi. Karena itu, maka katanya, “Biar luka itu aku obati, Nyi.”

Pandan Wangi tidak menolak. Dibiarkannya tabib itu menaburkan obat pada luka Pandan Wangi

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Ki Ambara yang sempat melihat sekilas kematian Nyi Kanthil Kuning serta hilangnya Wiyati dari arena pertempuran, menjadi sangat cemas. Sementara itu, ia sendiri tidak mempunyai banyak kesempatan, karena lawannya ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Dalam pada itu, Pandan Wangi yang sudah tidak terikat oleh lawan yang tangguh, bersama-sama Swandaru telah mengacaukan ketahanan pasukan Ki Ambara yang bertempur di belakang perkemahannya itu.

Bahkan pasukan Ki Saba Lintang yang bertempur di bagian depan perkemahan pun mendapat tekanan yang sangat berat dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, yang bertempur dalam gelar yang tetap utuh. Bagaimanapun juga usaha pasukan Ki Saba Lintang, namun mereka tidak berhasil memecahkan gelar Mataram itu.

Untara yang memegang kendali pimpinan sepenuhnya, memerintahkan lewat para penghubung dan berbagai isyarat, untuk bergeser maju terus. Meskipun perlahan-lahan, namun pasukan Mataram di Jati Anom itu memang bergerak maju.

Sementara itu, Glagah Putih masih bertempur melawan Welat Wulung. Orang yang berwajah menyeramkan. Cacat di wajahnya membuatnya nampak semakin garang.

Tetapi setiap kali Welat Wulung itu masih saja tertawa. Ketika orang itu menerkam dada Glagah Putih dengan jari-jarinya yang mengembang, namun ternyata luput karena Glagah Putih dengan cepat menghindar, orang itu justru tertawa Katanya, “Hampir saja aku dapat membuat lima buah lubang di dadamu, Glagah Putih.”

“Hampir. Tetapi kau tidak berhasil.”

“Sebentar lagi dadamu akan berlubang. Darahmu akan menyembur dari setiap lubang di dadamu. Kemudian kau akan jatuh terkulai di tanah karena kehabisan darah, sehingga akhirnya kau akan mati.”

“Apakah kau tidak jadi membantingku dan menekan tubuhku dengan lututmu?”

Welat Wulung meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Ternyata Welat Wulung itu tertawa berkepanjangan.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak memburunya. Ia menganggap bahwa lawannya yang seorang ini agak aneh. Bahkan kemudian Glagah Putih berkata di dalam hatinya, “Apakah ada yang kurang pada orang ini?”

Di sela-sela derai tertawanya, ia pun berkata, “Baik. Baik. Aku akan membunuhmu dengan menekan perutmu dengan lututku, kemudian mencekik lehermu sampai nafasmu terputus.”

“Kau kira aku akan diam saja dan membiarkan leherku kau cekik?”

“Aku tidak memaksamu.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Bagaimana jika aku memaksamu, memilin tanganmu ke belakang dan mematahkannya?”

“Jangan begitu,” berkata Welat Wulung, “jika aku tidak memaksamu, maka kau pun jangan memaksaku.”

“Baik. Aku tidak akan memaksamu membiarkan tanganmu aku pilin. Tetapi aku akan berusaha melakukannya,” berkata Glagah Putih.

Orang itu berhenti tertawa. Sambil bergeser maju ia pun berkata, “Bersiaplah.”

Sekali lagi orang itu menerkam dengan jari-jari tangannya yang mengembang. Namun dengan sigapnya Glagah Putih pun menghindar. Bahkan sambil memutar tubuhnya, Glagah Putih mengayunkan kakinya mendatar.

Hampir saja kaki Glagah Putih menyambar kening. Namun Welat Wulung masih sempat mengelak. Bahkan dengan tangkasnya Welat Wulung meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping.

Glagah Putih tidak sempat mengelak. Karena itu, maka ia memiringkan tubuhnya dan menahan serangan lawannya dengan sikunya di samping tubuhnya.

Benturan kekuatan pun telah terjadi. Glagah Putih tergetar selangkah surut. Namun Welat Wulung pun menyeringai menahan sakit di pergelangan kakinya. Ia pun harus meloncat beberapa langkah surut.

Glagah Putih tidak membiarkannya Dengan cepat ia memburunya dan menyerangnya dengan garang.

Welat Wulung tidak tertawa lagi. Serangan-serangan Glagah Putih menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian kaki Glagah Putih pun telah mengenai lambung.

Welat Wulung meloncat mengambil jarak. Glagah Putih yang melihat lawannya menyeringai menahan sakit, tidak memburunya

“Kau menyakiti aku, Anak Muda,” desis orang itu.

“Bukankah kita sudah berniat bukan saja saling menyakiti, tetapi kau atau aku yang akan mati di pertempuran ini?”

“Itulah yang aku benci dari sebuah pertempuran,” berkata Welat Wulung.

Glagah Putih terkejut. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Apa yang kau benci?”

“Membunuh atau dibunuh.”

“Bukankah kau juga berniat membunuhku?”

“Ya.”

“Dan aku pun bertekad untuk membunuhmu.”

“Itulah yang aku katakan, bahwa aku benci karenanya. Aku juga membenci niatku sendiri untuk membunuhmu. Jika saja kita tidak turun di medan perang, mungkin kita akan dapat berkelakar sepanjang hari.”

“Ya.”

“Tetapi di sini kita harus saling membunuh. He, apakah kau kenal aku sebelumnya?”

Glagah Putih menggelengkan kepalanya.

“Nah. Aku juga belum pernah mengenalmu. Tetapi demikian kita berkenalan, kita sudah siap untuk membunuh atau dibunuh. Itukah ujud pergaulan hidup antara kita yang disebut manusia?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi heran, “Apa sebenarnya yang dikehendaki orang ini?”

“Apakah ia sedang menjebak aku?” bertanya Glagah Putih di dalam hatinya. Namun ia pun kemudian berkata kepada diri sendiri, “Di sini tidak ada lagi kepercayaan di antara sesama. Saling curiga, dan bahkan seperti kata Welat Wulung, masing-masing berusaha untuk membunuh.”

Namun Glagah Putih tidak dapat merenung terlalu lama. Welat Wulung pun kemudian berkata nyaring, “Marilah kita lakukan apa yang harus kita lakukan di sini. Kita adalah bagian dari gejolak yang terjadi di tempat ini. Kita memang sudah ada di dalamnya, sehingga kita tidak akan melepaskan diri dari putaran peristiwa ini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Welat Wulung-lah yang tiba-tiba telah menyerangnya dengan garangnya.

Namun Glagah Putih sudah siap menghadapinya. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun segera berlangsung semakin sengit.

Meskipun demikian, Glagah Putih sekali-sekali masih sempat melihat apa yang terjadi dengan Rara Wulan. Rara Wulan pun masih bertempur dengan sengitnya melawan seorang gadis yang umurnya tidak jauh terpaut dari umur Rara Wulan. Namun seperti Rara Wulan, gadis itu pun merupakan gadis yang tangkas. Yang bertempur dengan garangnya

Tetapi Rara Wulan telah menempa dirinya pula. Gadis itu telah berlatih dengan keras di bawah tuntunan Sekar Mirah, dan kadang-kadang Glagah Putih, dan bahkan Agung Sedayu sendiri telah turun ke sanggar.

Karena itu, maka Rara Wulan pun mampu mengimbangi tataran kemampuan lawannya

Di putaran pertempuran yang lain, Sekar Mirah masih bertempur dengan serunya melawan Mangesthi, yang telah menerapkan ilmu pamungkasnya. Ujung tombak pendeknya tiba-tiba saja seolah-olah menjadi lebih dari satu. Ujung-ujung tombak itu bergetar dengan cepat menyerang ke arah tubuh Sekar Mirah.

Mula-mula Sekar Mirah memang menjadi bingung. Tetapi pemusatan nalar budinya sangat membantunya. Dengan ketajaman penglihatan batin serta panggraitanya yang terlatih, maka setiap kali Sekar Mirah pun dapat mengenali ujung tombak yang sebenarnya dari tombak lawannya itu.

Meskipun demikian, perlawanan Sekar Mirah sempat dipengaruhi oleh lawannya itu, sehingga pertahanannya terkuak. Sekar Mirah meloncat surut untuk mengambil jarak, ketika terasa ujung tombak Mangesthi menyentuh bahunya.

Segores tipis luka telah tergurat di bahunya.

Sekar Mirah berdesis menahan pedih. Darah pun mulai mengembun dari luka itu.

Jantung Sekar Mirah pun menjadi semakin panas. Lawannya masih terlalu muda, tetapi ia telah mampu melukainya.

Karena itu, maka Sekar Mirah memang tidak ada pilihan lain. Jika ia tidak menghentakkan ilmunya, maka luka akan menggores lagi di tubuhnya. Bahkan mungkin di keningnya, atau bahkan di lehernya, sehingga selesailah perlawanannya.

Karena itu, maka Sekar Mirah yang memiliki pengalaman yang jauh lebih luas dari lawannya itu pun segera menghentakkan kemampuannya pula. Ditingkatkannya tenaga dalamnya, serta dipertajam penglihatan mata batinnya, sehingga Sekar Mirah itu mampu mengenali dengan cepat ujung tombak yang sebenarnya dari lawannya yang masih sangat muda itu.

Sebenarnyalah bahwa ilmu Mangesthi adalah ilmu yang rumit. Namun ternyata bahwa ilmunya itu masih belum mampu untuk menundukkan lawannya, istri Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Serangan-serangan Sekar Mirah pun menjadi semakin cepat pula. Ilmu Mangesthi tidak lagi mampu mengelabui penglihatan Sekar Mirah serta membuatnya menjadi bingung. Tetapi dengan mapan Sekar Mirah mengatasi serangan-serangan ujung tombak Mangesthi yang sangat berbahaya itu.

Benturan-benturan yang terjadi, justru telah menyulitkan kedudukan Mangesthi. Tongkat baja putih Sekar Mirah terayun semakin cepat, didorong oleh tenaga yang semakin kuat

Mangesthi akhirnya kembali terdesak. Ilmu pamungkasnya ternyata tidak mampu mengakhiri perlawanan Sekar Mirah.

Meskipun demikian, Mangesthi tidak berputus asa. Dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuannya untuk mengatasi lawannya. Tetapi Mangesthi harus melihat kenyataan, bahwa kemampuannya masih tetap berada di bawah kemampuan Sekar Mirah.

Sementara itu, Sekar Mirah yang telah terluka itu harus mengerahkan kemampuannya pula. Perlahan-lahan ia mampu mendesak lawannya. Meskipun sekali-sekali ujung tombak Mangesthi itu masih sangat berbahaya baginya.

“Menyerahlah,” berkata Sekar Mirah.

Mangesthi meloncat surut. Sekar Mirah memburunya, tetapi ia tidak segera menyerang. Sekali lagi Sekar Mirah itu berkata, “Menyerahlah. Kau tidak mempunyai pilihan.”

Tetapi Mangesthi tidak menjawab. Ujung tombaknya yang merunduk itu masih bergetar.

“Masih ada kesempatan bagimu,” berkata Sekar Mirah.

Namun tidak diduga sama sekali oleh Sekar Mirah. Tiba-tiba saja Mangesthi itu meloncat menyerang. Ujung tombaknya segera bergetar, sehingga seakan-akan tiga buah ujung tombak menyerang bersama-sama.

Sekar Mirah terkejut. Dengan cepat ia meloncat surut. Ia pun segera berusaha mengenali ujung tombak yang sebenarnya dari ketiga ujung tombak yang nampak di mata wadagnya.

Ketika Sekar Mirah dapat mengenali ujung tombak yang sebenarnya dari senjata lawannya yang bergetar itu, ujung tombak itu sudah terlalu dekat dengan tubuhnya

Dengan cepat Sekar Mirah berusaha menangkis serangan itu dengan menepis tombak itu ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Namun ujung tombak itu masih juga menyentuh lengannya.

Baju Sekar Mirah terkoyak. Bahkan kulitnya pun telah tergores pula. Darah pun segera menitik dari luka-lukanya. Kemarahan Sekar Mirah pun telah membakar jantung di dadanya. Karena itu, demikian ia menjadi mapan, serangannya pun datang bagaikan angin prahara.

Serangan-serangan itu sangat membingungkan Mangesthi. Ia seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk membalas menyerang. Bahkan ketika ia mencoba untuk menyongsong serangan Sekar Mirah dengan ujung tombaknya, maka dengan keras sekali tongkat Sekar Mirah menyambar landean tombak Mangesthi.

Tombak pendek Mangesthi adalah tombak yang baik. Tombak andalan dari perguruannya. Karena itu, betapapun kerasnya pukulan Sekar Mirah, tombak itu tidak dapat dipatahkannya.

Tetapi tangan Mangesthi-lah yang ternyata tidak mampu menahan derasnya ayunan tongkat Sekar Mirah. Kekuatan yang sangat besar itu telah melemparkan tombak pendek Mangesthi dari tangannya, sehingga terjatuh beberapa langkah daripadanya

Ketika Mangesthi berusaha untuk meloncat dan meraih tombaknya, maka Sekar Mirah segera meloncat menghalangi. Dengan cepat tongkat baja Sekar Mirah itu berhasil mematuk ulu hati Mangesthi, sehingga Mangesthi itu terbungkuk sambil memegangi bagian bawah dadanya.

Kesempatan untuk menghantam tengkuk Mangesthi dengan tongkat baja putih itu pun terbuka. Sekar Mirah dengan cepat mengangkat tongkatnya. Namun ketika tongkat itu hampir terayun, sesuatu telah bergetar di dada Sekar Mirah. Seperti Pandan Wangi, ia menganggap bahwa lawannya itu masih terlalu muda untuk mati.

Karena itu, maka niatnya diurungkannya. Tongkatnya tidak jadi terayun menghantam tengkuk Mangesthi. Jika saja hal itu dilakukan, maka tulang di leher Mangesthi tentu akan patah.

Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Untunglah bahwa tongkatnya yang mematuk Mangesthi justru pangkalnya, pada ujud tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan. Jika saja yang mengenainya adalah bagian ujungnya, mungkin tongkat itu sudah melubangi kulitnya.

Sekar Mirah itu justru menjadi tegang ketika ia melihat Mangesthi itu terjatuh menelungkup. Tangannya masih memegang bagian bawah dadanya di arah ulu hatinya

Ketika tubuh itu ditelentangkan, ternyata Mangesthi itu menjadi pingsan.

Ketika dua orang prajurit Mataram di Sangkal Putung mendekatinya, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Serahkan anak ini kepada tabib yang bertugas di medan. Kemudian bawa ia sebagai seorang tawanan ke belakang garis pertempuran. Ia adalah tawananku.”

“Baik, Nyi Lurah.”

Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang prajurit yang membawa Mangesthi itu ke belakang garis pertempuran.

Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah teringat kepada Rara Wulan yang sedang bertempur pula. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun segera bergeser dari tempatnya

Dalam pada itu, Rara Wulan masih bertempur dengan sengitnya melawan Janti. Seorang perempuan muda yang tangguh. Tombak pendeknya berputaran dengan cepatnya seperti baling-baling. Sekali-sekali tombak itu terjulur lurus mengarah ke dada Rara Wulan. Namun dengan tangkasnya Rara Wulan meloncat menghindar dan menangkis dengan pedangnya. Bahkan serangan-serangan Janti itu selalu dibalas dengan serangan pula.

Ternyata keduanya cukup tangkas, sehingga sulit untuk menebak, siapakah yang akan unggul dalam pertempuran itu.

Namun agaknya Janti sempat melihat sekilas, Mangesthi diusung ke belakang garis pertempuran. Tidak oleh kawan-kawannya, tetapi oleh dua orang prajurit Mataram.

Jantung Janti berdebar semakin cepat. Perempuan itu menjadi cemas, apakah Mangesthi itu sudah mati, atau masih hidup tetapi jatuh ke tangan lawan.

Namun justru karena itu, maka Janti itu pun telah meningkatkan kemampuannya sampai ke puncak. Serangan-serangannya datang bertubi-tubi seperti banjir.

Tetapi Rara Wulan sudah bertekad untuk membuktikan kepada Sekar Mirah, bahwa ia bukannya sekedar anak bawang di medan pertempuran. Karena itu, maka Rara Wulan pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Pedangnya menyambar-nyambar dengan garangnya. Sekali-sekali membentur landean tombak pendek lawannya. Sekali-sekali menepis, namun kemudian pedangnya menggeliat dan terjulur menggapai ke arah lambung.

Namun Janti masih sempat meloncat menepi. Tombaknya berputar dengan cepat, kemudian terayun mendatar menyambar ke arah kening.

Dengan cepat, melampaui kecepatan ujung tombak yang terayun itu, Rara Wulan merendahkan diri pada lututnya. Pedangnya dengan cepat terjulur lurus.

Janti terkejut. Ujung pedang Rara Wulan telah mengoyak bajunya. Bahkan kulitnya pun terasa pedih. Agaknya ujung pedang itu telah tergores di kulitnya pula.

Janti pun terhuyung-huyung surut. Rara Wulan telah siap untuk memburunya. Namun tiba-tiba dua orang anak muda telah siap melindungi Janti yang telah terluka.

Rara Wulan tertegun. Sementara itu, seorang dari kedua orang anak muda itu berkata, “Kau akan mati di pertempuran ini, gadis manis.”

“Siapakah kalian berdua?” bertanya Rara Wulan.

“Kami terlambat menyelamatkan Mangesthi, karena prajurit Mataram memagari arena. Tetapi sekarang, kami berhasil menerobos masuk ke dalam lingkungan pertempuran ini.”

Rara Wulan menggeretakkan giginya. Sekali lagi ia bertanya, “Siapakah kalian?”

“Kami adalah cantrik dari sebuah perguruan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang, ayah Mangesthi.”

“Bagus,” berkata Rara Wulan, “marilah. Aku akan menghadapi kalian bertiga.”

“Kau terlalu sombong, gadis kecil. Tetapi kau akan mati selagi kau masih sangat muda.”

Rara Wulan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan pun meloncat menyerang dengan garangnya.

Kedua orang anak muda itu pun berloncat memencar. Janti yang berdiri di antara mereka berdua segera merundukkan tombaknya. Meskipun tubuhnya telah tergores luka, namun ia masih mampu memutar tombaknya dengan cepat.

Namun kedua orang anak muda yang berloncat memencar itu telah siap untuk meloncat menyerang Rara Wulan dari dua arah, justru pada saat perhatian Rara Wulan tertuju kepada Janti.

Tetapi seorang dari kedua anak muda itu terkejut. Terdengar ia berteriak mengumpat ketika tiba-tiba saja tombaknya terlepas dari tangannya. Janti dan anak muda yang lain dan bahkan Rara Wulan pun berpaling ke arahnya. Sementara itu, anak muda itu justru meloncat menjauh.

Jantung mereka pun menjadi berdebaran ketika mereka melihat Sekar Mirah berdiri tegak. Tangan kirinya memegang tongkat baju putihnya, sedangkan tangan kanannya memegang tombak anak muda yang sudah siap menyerang Rara Wulan.

“Jangan begitu,” berkata Sekar Mirah, “itu namanya licik.”

“Kenapa?” bertanya anak muda itu, “Kita berada di medan pertempuran. Janti tidak sedang berperang tanding dengan lawannya. Sehingga karena itu, ia tidak harus menghadapi lawannya seorang diri.”

“Kau benar, anak muda,” Sekar Mirah mengangguk-angguk, “terimalah tombakmu kembali.”

Anak muda itu terkejut Sekar Mirah justru melemparkan tombak pendek anak muda itu kembali kepadanya.

Dengan heran anak muda itu menangkap tombak yang dilemparkan kembali kepadanya itu. Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Apa maksudmu?”

“Kau akan dapat bertempur kembali. Bukankah Rara Wulan tidak sedang berperang tanding dengan Janti yang sudah terluka itu?”

“Lalu?”

“Seperti juga Janti, Rara Wulan pun dapat bertempur bersama-sama. Tidak hanya bersama aku seorang diri, tetapi aku dapat memberikan isyarat kepada beberapa orang untuk datang dan membantuku membantai kalian bertiga.”

Ketiga orang itu berdiri termangu-mangu. Namun Sekar Mirah pun kemudian berkata, “Tetapi aku tidak akan memanggil mereka. Cukup kami berdua. Aku dan Rara Wulan.”

Anak muda yang seorang lagi pun menggeram. Katanya, “Kau juga seorang perempuan yang sombong. Kau kira kau ini siapa, he? Agaknya kau belum mengenal para cantrik dan mentrik dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang.”

“Siapapun gurumu, namun ternyata kawanmu yang bernama Janti itu tidak dapat mengimbangi kemampuan Rara Wulan.”

“Persetan dengan kau! Jangan menyesal jika kau akan mati.”

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun berdesis, “Hati-hatilah, Rara.”

Rara Wulan pun segera mempersiapkan dirinya menghadapi lawannya. Sementara itu, Sekar Mirah tidak membiarkan Rara Wulan bertempur sendiri. Ketika ketiga orang cantrik dan mentrik dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang itu memencar, keduanya justru saling mendekat. Rara Wulan dan Sekar Mirah itu berdiri hampir saling membelakangi.

Ketika ketiga orang lawannya itu bergerak memutar, maka Rara Wulan dan Sekar Mirah benar-benar berdiri beradu punggung.

Sejenak kemudian, ketiga orang itu pun telah mulai menyerang berganti-ganti. Meskipun sudah terluka, tetapi Janti masih tetap garang. Serangan-serangannya tidak kalah berbahayanya dengan kedua orang anak muda yang bertempur bersamanya.

Tetapi betapapun mereka menyerang, namun serangan-serangan mereka tidak pernah berhasil. Bersama Sekar Mirah, maka Rara Wulan pun menjadi semakin mapan. Ilmu dan kemampuannya seakan-akan justru meningkat.

Ketiga orang lawan mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Tetapi serangan-serangan mereka seakan-akan tetap saja tidak berarti. Serangan-serangan mereka selalu membentur penahanan Sekar Mirah dan Rara Wulan yang menjadi semakin rapat

Sementara itu, para prajurit Mataram di Jati Anom yang dipimpin langsung oleh Untara itu pun semakin mendesak lawan mereka. Gelar pasukan Untara itu masih tetap utuh. Setiap orang dengan cepat menyesuaikan diri, jika ada di antara mereka yang gugur, sehingga gelar Wulan Tumanggal tidak pernah terkuak dan mampu disusup oleh lawan.

Kedua senapati pengapit dalam gelar itu bertempur dengan garangnya. Mereka menahan orang-orang berilmu tinggi yang ingin memecahkan gelar pasukan Mataram, atau ingin langsung menghadapi senapati prajurit di Jati Anom.

Ki Saba Lintang yang marah itu pun berteriak, “Kenapa kau tidak mau minggir? Aku ingin bertemu dengan Untara langsung. Aku ingin membunuhnya, kemudian menghancurkan pasukannya.”

“Jangan berteriak-teriak, Ki Saba Lintang. Kau adalah pemimpin tertinggi dari perguruan Kedung Jati. Sepantasnya gejolak jantungmu itu sudah mengendap.”

Ki Saba Lintang tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat sambil mengayunkan tongkat baja putihnya mengarah ke kepala Sabungsari.

Namun Sabungsari masih mampu mengelak. Bahkan dengan pedangnya ia menepis tongkat baja putih Ki Saba Lintang, sehingga ayunan tongkat baja putih itu tidak menyentuh kulitnya. Bahkan dengan cepat Sabungsari telah meloncat sambil menjulurkan pedangnya.

Tetapi serangannya itu tidak mengenai tubuh lawannya. Dengan cepat Ki Saba Lintang meloncat menghindar. Bahkan dengan satu putaran, tongkatnya menebas ke arah dada. Tetapi Sabungsari pun mampu mengelak. Dengan tangkasnya ia meloncat surut, sehingga serangan Ki Saba Lintang itu tidak mengenai sasarannya.

Demikianlah, keduanya semakin meningkatkan ilmu mereka merambat menuju puncak.

Para pemimpin dari kedua belah pihak yang lain pun semakin meningkatkan ilmu mereka pula. Ki Ambara yang dianggap memiliki ilmu mumpuni, ternyata terbentur pada seorang yang ilmunya sangat tinggi pula. Ternyata Ki Ambara berhadapan dengan orang yang sulit ditundukkannya.

Ki Ambara ternyata salah perhitungan. Ia mengira bahwa hanya Agung Sedayu sajalah yang perlu diperhitungkan di antara orang-orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Ketika ia mendapat laporan tentang pertempuran sebelumnya yang terjadi di Tanah Perdikan, maka Ki Ambara justru sempat marah. Ia menduga bahwa orang-orang yang berada di pihak Ki Saba Lintang waktu itu bukan orang yang sepatutnya terpilih untuk menjadi salah seorang pemimpin di dalam pasukan Ki Saba Lintang itu.

Tetapi kini ia benar-benar berhadapan dengan kekuatan yang sangat besar. Menilik pakaiannya, maka lawannya itu tentu bukan prajurit Mataram. Ia juga belum pernah nampak berada di Sangkal Putung. Karena itu, maka Ki Ambara menduga bahwa lawannya itu adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi lawannya itu memang telah menyebut pertempuran di Tanah Perdikan Menoreh.

“Tentu Agung Sedayu tidak datang sendiri ke Sangkal Putung,” berkata Ki Ambara di dalam hatinya, “tentu ada beberapa orang berilmu tinggi yang dibawanya, selain para senapati dan Swandaru beserta istrinya.”

Ki Ambara itu menggeram. Wiyati merupaku satu pukulan yang sangat berat baginya. Anak yang diakuinya sebagai cucunya itu rasanya benar seperti cucunya sendiri. Ia berharap bahwa Wiyati akan dapat bertahan, apalagi setelah seorang perempuan yang berilmu tinggi membantunya.

Namun ternyata kedua-duanya telah dibunuh oleh Pandan Wangi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar