Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 330

Buku 330

Namun Swandaru tidak mau menyerah kepada kenyataan itu. Ia justru melihat Agung Sedayu menjadi lengah. Karena itu, maka Swandaru pun telah meloncat sambil mengayunkan cambuknya.

Swandaru sempat melihat Agung Sedayu meloncat. Namun tiba-tiba saja Swandaru itu berdiri bagaikan membeku. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia melihat bukan hanya seorang Agung Sedayu yang meloncat menghindar, tetapi tiga orang Agung Sedayu.

Kepala Swandaru menjadi pening. Tebing padas yang berguguran di belakangnya itu telah membuat jantungnya hampir terlepas. Dan kini ia melihat tiga orang Agung Sedayu bergerak saling menjauhi yang satu dengan yang lain.

Swandaru sadar, bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat menjadi tiga. Ilmunya yang tinggi yang telah membuatnya menjadi bingung.

Pada saat Swandaru termangu-mangu, maka tiga orang Agung Sedayu itu pun telah menyerang bersama-sama.

Swandaru yakin, bahwa dengan ketajaman penglihatan mata hatinya ia akan dapat melihat, yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya. Namun ia tidak mempunyai kesempatan. Ketiga sosok Agung Sedayu itu pun segera berloncatan, berputar di udara, berlari saling menyilang, dan gerakan-gerakan lain yang telah membingungkannya.

Namun tiba-tiba saja terasa betisnya disengat oleh rasa nyeri yang luar biasa. Ternyata ujung cambuk Agung Sedayu telah menyobek kulit dan dagingnya.

Swandaru yang bagaikan membeku itu benar-benar kebingungan. Sebelum ia dapat menentukan apa yang harus dilakukan, tiba-tiba pergelangan tangannya telah dipatuk oleh ujung cambuk Agung Sedayu.

Sebelum Swandaru menyadari apa yang sedang terjadi, maka sekali lagi cambuk salah satu dari sosok Agung Sedayu itu menghentak.

Swandaru menjadi seperti kanak-kanak yang terlibat dalam pusaran angin yang besar. Ia benar-benar tidak tahu, apa yang harus dilakukannya. Tubuhnya menjadi terombang-ambing serta berguncang-guncang. Pusat dari kebingungannya adalah ketika tiba-tiba saja cambuknya bagaikan dihisap oleh kekuatan yang tidak dapat dilawannya.

Demikian cambuknya terlepas dari tangannya, maka yang nampak berdiri di hadapannya adalah satu sosok saja Agung Sedayu, yang menggenggam dua buah cambuk di kedua tangannya.

Sejenak Swandaru memandang kakak seperguruannya itu dengan mata yang terbelalak. Ia telah melihat apa yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu. Ilmu kebal, ilmu meringankan tubuh, sorot matanya yang mampu menggugurkan tebing, ilmunya yang dapat membuat lawan kebingungan dengan hadirnya tiga sosok ujudnya, dan tentu saja banyak lagi.

Swandaru pun menyadari, bahwa Agung Sedayu masih berusaha untuk menahan dirinya. Ia tidak langsung melumatkan tubuhnya dengan sorot matanya, tetapi Agung Sedayu itu hanya mengugurkan tebing di belakangnya.

Gejolak perasaan Swandaru itu pun dibumbui pula oleh perasaan nyeri, pedih dan sakit pada luka-luka di tubuhnya.

Karena itu, maka pada puncak gejolak perasaan di dalam dadanya, maka Swandaru itu pun telah berlutut di hadapan Agung Sedayu sambil berdesis, “Kakang, aku minta ampun.”

Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Wajahnya nampak berbeda dengan wajah yang setiap kali dilihat oleh Swandaru. Agung Sedayu di mata Swandaru tidak lagi seorang yang mengecewakan, karena dianggapnya tidak mampu menggapai tataran puncak ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Bukan pula orang yang sikapnya mengambang, yang malas, yang tidak mempunyai pendirian yang teguh. Bahkan seorang yang malas yang tidak mampu mewarisi ilmu dengan tuntas.

Tetapi di mata Swandaru yang terluka cukup parah itu, Agung Sedayu pada waktu itu tidak ubahnya dengan Kiai Gringsing itu sendiri. Bahkan ia telah melihat apa yang belum pernah dilihatnya pada gurunya itu semasa hidupnya.

Sejenak Pancuran Watu Item dan sekitarnya itu telah dicengkam oleh keheningan. Bahkan dedaunan pun seakan-akan tidak lagi bergoyang disentuh angin. Yang terdengar adalah suara pancuran air yang jatuh pada sebuah batu hitam.

Namun keheningan itu kemudian dipecahkan oleh desah Pandan Wangi, yang kemudian berlari ke arah Swandaru yang masih berlutut. Darah masih mengalir dari luka-luka di tubuhnya.

“Kakang!” Pandan Wangi pun telah berlutut pula.

Swandaru tersenyum melihat Pandan Wangi berlari mendekatinya. Namun tiba-tiba saja matanya menjadi buram. Penglihatannya semakin kabur, seakan-akan segala-galanya menjadi kekuning-kuningan.

“Kakang,” Pandan Wangi pun kemudian memeluk Swandaru yang menjadi sangat lemah.

Ki Gede dan Glagah Putih pun segera mendekatinya pula. Dibantunya Pandan Wangi meletakkan tubuh Swandaru itu, berbaring di atas tanah yang berdebu.

Sekar Mirah pun berlari pula mendekati Agung Sedayu yang masih berdiri tegak. Dengan suara bergetar ia pun bertanya, “Kau baik-baik saja, Kakang?”

“Aku tidak apa-apa, Mirah. Lihat keadaan kakakmu.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya. Namun yang dilihatnya adalah Agung Sedayu yang tersenyum.

Sambil menepuk bahu Sekar Mirah, Agung Sedayu pun berkata, “Lukaku tidak seberapa, Mirah.”

Sekar Mirah mengangguk. Ia pernah melihat keadaan Agung Sedayu lebih parah dari luka-lukanya pada waktu itu.

Sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Marilah, kita lihat keadaan Swandaru.”

Keduanya pun kemudian mendekati Swandaru, yang telah dikerumuni oleh mereka yang berada di Pancuran Watu Item itu.

“Ki Jayaraga,” berkata Agung Sedayu, “aku membawa obat bagi luka-lukanya untuk sementara, sebelum Adi Swandaru mendapat pengobatan yang lebih baik.”

Ki Jayaraga mengangguk. Katanya, “Biarlah aku taburkan obat itu keluka-luka Angger Swandaru.”

Wajah Swandaru yang terbaring itu menjadi semakin pucat. Pandan Wangi yang menunggui dengan mata yang basah itu pun menjadi gelisah pula.

Dengan hati-hati Ki Jayaraga telah menaburkan obat di luka-luka yang masih saja berdarah. Terasa betapa panas dan pedihnya, sehingga Swandaru itu pun menggeliat. Namun sesaat kemudian Swandaru itu pun terdiam. Pingsan.

Agung Sedayu yang juga terluka itu pun berjongkok di sisi Swandaru. Bersama dengan Ki Jayaraga, Ki Gede dan Empu Wisanata, Agung Sedayu mengobati seluruh luka-luka di tubuh Swandaru. Sehingga untuk itu, maka tubuh Swandaru itu pun harus diputar, sekali menelentang, kemudian menelungkup.

“Kakang Swandaru,” desah Pandan Wangi. Matanya menjadi semakin basah melihat keadaan Swandaru. Namun Ki Jayaraga pun berkata dengan nada dalam, “Keadaannya akan segera menjadi baik. Nyi.”

Dengan daun pisang liar yang tumbuh di dekat pancuran, Glagah Putih mengambil air dari pancuran. Setitik demi setitik air itu pun diteteskan di bibir Swandaru.

Sementara itu, Sekar Mirah telah berusaha menaburkan obat pada luka-luka di tubuh Agung Sedayu. Tetapi luka-luka di tubuh Agung Sedayu itu tidak separah luka-luka di tubuh Swandaru.

Beberapa saat kemudian, maka Swandaru telah menjadi sadar kembali. Terdengar ia berdesah tertahan-tahan.

“Kakang Swandaru,” desis Pandan Wangi. Sementara itu Sekar Mirah telah berjongkok di sebelahnya.

“Kau akan segera menjadi baik, Kakang.”

Swandaru yang membuka matanya perlahan-lahan itu melihat dua orang perempuan yang paling dekat di hatinya. Pandan Wangi, istrinya, dan Sekar Mirah, adiknya.

Ketika Swandaru akan bangkit, maka Agung Sedayu pun berdesis, “Jangan bergerak-gerak dahulu, Adi Swandaru.”

Swandaru memandang Agung Sedayu yang juga berjongkok di sebelah Sekar Mirah. Menurut penglihatannya yang masih agak kabur, Agung Sedayu adalah seorang yang perkasa, sebagaimana gurunya.

“Kakang. Aku mohon ampun, Kakang.”

“Sudahlah, lupakan. Kau harus beristirahat sebaik-baiknya. Bukan saja wadagmu, tetapi juga nalar budimu.”

Swandaru mengangguk.

“Jika keadaanmu berangsur baik, kau akan dapat duduk di atas punggung kuda dengan baik pula. Kita akan pulang bersama-sama.”

Demikianlah, untuk beberapa saat lamanya mereka berada di Pancuran Watu Item. Glagah Putih telah diminta untuk pulang mengambil pakaian bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Jika mereka masih mengenakan pakaian yang koyak-koyak dan berdarah, maka mereka akan dapat menarik perhatian banyak orang.

“Cepat sedikit, Glagah Putih.”

“Baik, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Ternyata obat yang diberikan oleh Agung Sedayu dapat bekerja dengan baik. Darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh Swandaru, dan juga di tubuh Agung Sedayu sendiri, menjadi pampat.

Meskipun demikian, keadaan Swandaru masih mencemaskan. Tubuhnya menjadi lemah. Sedangkan jika ia terlalu banyak bergerak, maka luka-lukanya itu akan dapat berdarah kembali.

Karena itu, maka Swandaru itu pun dijaga agar tidak bergerak-gerak. Dibiarkannya ia berbaring di atas tanah berdebu.

Baru kemudian, setelah Glagah Putih datang kembali dengan membawa pakaian bagi Agung Sedayu dan Swandaru, maka Swandaru itu pun dibantu untuk dapat duduk dan berganti baju.

Setelah beristirahat sejenak, maka Swandaru pun telah dinaikkan ke atas punggung kudanya. Dengan hati-hati kuda itu pun kemudian berjalan menuruni lambung perbukitan, menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Swandaru itu langsung dibawa ke rumah Ki Gede Menoreh. Bahkan Agung Sedayu pun ikut pula mengantarnya sampai ke rumah Ki Gede.

Beberapa orang yang melihat iring-iringan itu memang bertanya-tanya, darimana sajakah mereka.

“Kami hanya melihat-lihat keadaan,” jawab Prastawa.

Jawaban itu tidak memuaskan orang-orang yang bertanya. Tetapi mereka tidak mendesak.

Ketika Swandaru telah diletakkan di pembaringan, maka Agung Sedayu dan yang lain pun telah dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun ternyata Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani tidak singgah di rumah Ki Gede. Mereka langsung pergi ke rumah Agung Sedayu.

Agung Sedayu juga tidak terlalu lama berada di rumah Ki Gede. Ketika keadaan Swandaru sudah nampak tenang, maka Agung Sedayu pun telah minta diri.

“Silahkan, Ki Lurah,” Ki Gede mempersilahkan, “Ki Lurah juga harus beristirahat.”

“Aku akan mengantar Kakang Agung Sedayu, Ki Gede,” Sekar Mirah pun minta diri.

“Silahkan, silahkan, Nyi Lurah.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah minta diri pula kepada Swandaru dan Pandan Wangi. Demikianlah pula Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Aku minta maaf, Glagah Putih,” desis Swandaru.

“Aku-lah yang minta maaf, Kakang.”

Swandaru mencoba tersenyum. Katanya, “Ternyata selama ini mata hatiku telah buta. Aku tidak dapat melihat tataran kemampuan Kakang Agung Sedayu yang sebenarnya.”

“Sudahlah,” sahut Agung Sedayu, “beristirahatlah. Tugas kita masih banyak. Karena itu, keadaanmu harus segera menjadi baik.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, Kakang.”

Di halaman, Agung Sedayu berdesis kepada Prastawa, “Jaga Adi Swandaru baik-baik, Prastawa. Ia tidak boleh terlalu banyak bergerak.”

Prastawa mengangguk sambil menyahut, “Baik, Ki Lurah.”

“Jaga agar darahnya tidak mengalir lagi dari lukanya. Ki Gede pun harus segera memanggil seorang tabib yang baik. Jika nanti sore tabib itu belum datang, beritahukan kepadaku. Biarlah aku sendiri merawatnya.”

“Baik, Ki Lurah.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu, Sekar Mirah. Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah meninggalkan rumah Ki Gede.

Ketika mereka sampai di rumah, Agung Sedayu terkejut melihat Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani telah bersiap untuk menempuh perjalanan.

“Kalian akan pergi kemana?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami harus segera pergi ke Kajoran. Mudah-mudahan kami dapat menangkap Ki Ambara dan perempuan cantik itu. Bahkan mungkin masih ada orang lain lagi di antara mereka.”

“Hanya bertiga? Mungkin di tempat itu terdapat kekuatan yang besar. Ki Ambara tentu bukan orang kebanyakan. Demikian pula perempuan itu. Pembantu di rumah itu, pekatiknya, dan beberapa orang lagi.”

“Jika Kakang mengijinkan, aku akan pergi bersama mereka,” berkata Glagah Putih pula.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika benar apa yang dikatakan oleh Empu Wisanata tentang Ki Ambara, maka di belakangnya tentu terdapat kekuatan yang cukup besar. Karena itu, maka kalian tidak dapat dengan begitu saja pergi ke Kajoran.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Glagah Putih.

“Kita akan membicarakannya,” sahut Agung Sedayu.

“Kita akan kehilangan waktu,” berkata Empu Wisanata.

“Aku mengerti, tetapi jangan terjebak karenanya,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Baiklah,” berkata Ki Jayaraga, “bagaimana menurut pendapat Ki Lurah?”

Mereka pun kemudian duduk di pringgitan untuk merundingkan langkah yang sebaiknya akan mereka ambil. Seperti biasanya, maka Agung Sedayu cukup berhati-hati untuk mengambil sikap.

Dengan nada suara yang dalam, Agung Sedayu pun berkata, “Ki Jayaraga, kami sangat berterima kasih atas kesediaan Ki Jayaraga untuk membantu kami memecahkan persoalan ini. Tetapi kami tidak ingin terjadi sesuatu atas Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani.”

“Kita tidak boleh membiarkan kesempatan ini lewat, Ki Lurah.”

“Aku mengerti. Tetapi aku mohon Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani bersabar sampai esok pagi. Esok pagi aku akan berbicara dengan Swandaru. Keadaannya tentu sudah berangsur baik. Gejolak di dadanya juga sudah mereda. Ia akan dapat berpikir lebih bening.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami menunggu sampai esok pagi.”

“Terima kasih atas kesediaan Ki Jayaraga. Jika besok Ki Jayaraga benar-benar akan berangkat, aku tidak berkeberatan jika Glagah Putih ikut bersama kalian.”

“Terima kasih, Kakang,” desis Glagah Putih.

“Aku pun berterima kasih atas kesediaan Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani untuk menunda kepergiannya.”

Karena penundaan itu, maka Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun telah minta diri. Dengan sungguh-sungguh Empu Wisanata itu pun berkata, “Besok pagi-pagi, aku sudah akan berada di sini lagi.”

Agung Sedayu pun tersenyum. Katanya, “Baiklah, Empu Wisanata. Pagi-pagi sekali aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi sudah tentu aku harus menunggu Swandaru bangun. Jika masih tidur, aku tidak akan membangunkannya.”

Empu Wisanata tersenyum. Katanya, “Aku mengerti, Ki Lurah.”

Sepeninggal Empu Wisanata dan Nyi Dwani, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga masih berbincang-bincang di pringgitan.

Menurut Agung Sedayu, ia ingin berbicara dengan Swandaru tanpa ditunggui oleh Pandan Wangi.

“Aku akan berbicara tentang Ki Ambara dan perempuan cantik yang ada di rumahnya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata orang-orang itu telah memanfaatkan kelemahan Kakang Swandaru. Aku yakin, bahwa keinginannya untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan, bersumber dari rumah itu.”

“Tetapi apakah keuntungan mereka jika Sangkal Putung menjadi sebuah Tanah Perdikan?” bertanya Ki Jayaraga.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia pun berkata, “Yang penting tentu bukan tanah perdikan itu, Ki Jayaraga.”

“Jadi, apa yang menguntungkan bagi mereka?”

Agung Sedayu mencoba mengurai persoalan yang sedang dihadapi oleh Swandaru itu. Ia mencoba menghubungkan dengan keterangan Empu Wisanata, bahwa Ki Ambara adalah seorang di antara para pemimpin yang berpengaruh dari gerakan yang menyatakan dirinya ingin membangun kembali perguruan Kedung Jati. Mereka sudah mencoba menyeret Sekar Mirah, karena Sekar Mirah memiliki satu dari sepasang tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati. Tetapi mereka telah gagal. Mereka telah gagal pula mencoba menguasai Tanah Perdikan dengan kekerasan. Agung Sedayu pun sudah mendapat keterangan tentang gerakan yang sudah merembes mendekati Sangkal Putung.

“Ki Jayaraga,” berkata Agung Sedayu kemudian, “yang penting bagi Ki Ambara bukanlah tanah perdikan itu. Yang penting adalah bahwa Swandaru telah mengajukan permohonan, yang menurut perhitungan Ki Ambara justru akan ditolak.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku mengerti, Ki Lurah. Jika permohonan itu ditolak, maka hati Angger Swandaru akan terbakar. Dengan demikian, maka Sangkal Putung akan dapat ditiup untuk bangkit melawan Mataram. Karena istri Angger Swandaru berasal dari Tanah Perdikan Menoreh, maka diharapkan Tanah Perdikan Menoreh akan membantunya. Bahkan Ki Lurah juga akan dilibatkan pula. Karena itu, bunyi tantangan Angger Swandaru sangat mencurigakan.”

“Begitulah agaknya yang terjadi, Ki Jayaraga. Tetapi itu baru dugaan kita. Apakah dugaan itu benar atau tidak, masih harus dicocokkan dengan kenyataan yang terjadi.”

“Aku setuju dan sependapat, Kakang,” berkata Sekar Mirah, “tentu perempuan cantik itu yang telah meniupkan gagasan gila itu di telinga Kakang Swandaru. Ternyata nalar Kakang Swandaru sendiri terlalu dangkal sehingga dapat diperalat, yang bahkan harus melibatkan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Perempuan itu muda dan cantik,” desis Ki Jayaraga, “sehingga karena itu, maka Angger Swandaru tidak sempat mempergunakan penalarannya.”

“Mereka telah mempelajari kelemahan Kakang Swandaru,” desis Sekar Mirah.

“Baiklah, Ki Lurah,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “mudah-mudahan Angger Swandaru besok bersedia memberikan banyak keterangan yang kita perlukan.”

“Aku masih menganggap bahwa ada beberapa hal yang masih harus disembunyikan dari Pandan Wangi. Entahlan nanti, jika persoalannya sudah menjadi semakin jelas.”

Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Aku sependapat, Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Mbokayu Pandan Wangi sudah cukup mengalami tekanan batin. Bebannya jangan diperberat lagi dengan cerita buram tentang Kakang Swandaru dan perempuan cantik itu. Setidak-tidaknya untuk sementara.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, maka sejenak kemudian merekapun telah pergi ke bilik masing-masing. Esok pagi Agung Sedayu akan bangun pagi-pagi, kemudian pergi menemui Swandaru untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang orang yang bernama Ki Ambara.

Malam itu Agung Sedayu tidak dapat tidur terlalu lama. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun. Setelah selesai berbenah diri dan minum minuman hangat yang sudah disediakan oleh Sekar Mirah, maka Agung Sedayu pun segera pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Swandaru.

Ternyata Swandaru yang masih sangat lemah itu sudah bangun. Pandan Wangi sudah duduk pula di bibir pembaringan setelah menyediakan minuman hangat bagi suaminya.

Sekali-sekali terdengar Swandaru berdesah. Tubuhnya masih terasa nyeri dimana-mana.

Ki Gede yang juga sudah bangun, mempersilahkan Agung Sedayu langsung pergi ke bilik Swandaru.

“Marilah, Kakang,” Pandan Wangi mempersilahkan Agung Sedayu duduk di bibir pembaringan.

“Maaf, Pandan Wangi,” berkata Agung Sedayu, “aku akan berbicara sedikit dengan Adi Swandaru tentang surat yang telah dikirimnya ke Mataram.”

“Silahkan, Kakang,” desis Pandan Wangi. Iap un mengerti bahwa tidak sepantasnya ia ikut mendengarkannya. Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun berkata, “Maaf, Kakang, aku akan pergi ke dapur sebentar.”

“Silahkan. Silahkan, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi pun kemudian telah meninggalkan bilik itu. Ia benar-benar pergi ke dapur untuk membuat minuman bagi Agung Sedayu.

Demikian Pandan Wangi meninggalkan bilik itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Adi Swandaru, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Mungkin keadaanmu masih terlalu lemah, tetapi kita harus mengambil langkah-langkah yang cepat.”

“Apakah kita akan ke Mataram hari ini, Kakang?” bertanya Swandaru.

“Tidak. Ada persoalan lain yang ingin aku tanyakan kepadamu.”

“Persoalan apa, Kakang?”

“Aku minta kau siap mendengarkan pertanyaanku. Mungkin pertanyaanku tidak menyenangkan bagimu. Apalagi selagi kau dalam keadaan seperti ini. Tetapi kita dikejar waktu, Adi.”

“Tentang apa, Kakang? Meskipun aku masih dalam keadaan seperti ini, tetapi aku siap mendengarkan. Betapapun pahitnya persoalan yang akan kau tanyakan, aku akan memberikan keterangan dengan jujur, apa yang aku ketahui.”

“Kau kenal dengan Ki Ambara?”

“Ya, Kakang, Aku kenal. Bukankah aku pernah menceritakan, bahwa aku telah membeli beberapa ekor kuda dari Ki Ambara? Ia adalah seorang pedagang kuda yang tahu benar tentang watak dan sifat seekor kuda.”

“Apakah hubunganmu dengan Ki Ambara sekedar dalam persoalan jual beli kuda?”

“Maksud Kakang?”

“Maaf, Adi Swandaru. Aku terpaksa menanyakan kepadamu, justru saat Pandan Wangi tidak ikut mendengarkannya. Siapakah perempuan muda yang cantik yang tinggal di rumah Ki Ambara?”

“Kakang…” suara Swandaru serasa tiba-tiba hilang.

“Semua itu tentu ada hubungannya dengan niat yang membakar jantungmu untuk menjadikan Sangkal Putung sebagai tanah perdikan.”

Wajah Swandaru menjadi tegang, namun Agung Sedayu segera berkata, “Kau harus membuka hatimu Swandaru, agar kau tidak terhimpit oleh beban perasaanmu. Jika kau tidak menyembunyikan sesuatu, maka dadamu justru akan terasa lapang.”

“Darimana Kakang mengetahuinya?”

“Kita harus mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan persoalan ini. Siapa yang telah memberikan keterangan kepadaku, itu sama sekali tidak penting.”

Swandaru mengangguk kecil. Hampir tidak terdengar ia pun berdesis, “Kau benar, Kakang.”

“Ketahuilah, Adi. Ki Ambara adalah salah seorang pemimpin yang terpercaya dari mereka yang telah mengikat diri dalam satu gerombolan, yang semula menyatakan diri untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati.”

“Kakang?” Swandaru terkejut.

“Ki Ambara adalah kepercayaan Ki Saba Lintang.”

“Jadi?”

“Kau telah dijebaknya. Tetapi yang aku belum tahu hubungannya adalah perempuan cantik yang ada di rumah Ki Ambara. Tentu perempuan itulah yang telah diumpankan kepadamu. Mulutnya yang tersenyum manis itu pula-lah yang telah menghembuskan racun di telingamu. Nampaknya Ki Ambara dan Ki Saba Lintang telah mempelajari dengan baik pribadimu, antara lain kelemahanmu.”

Terasa debar jantung Swandaru itu menjadi semakin keras menghentak-hentak di dadanya.

Sekilas dikenangnya kembali apa yang pernah dilakukannya di rumah Ki Ambara. Seakan-akan telah berdesing di telinganya bisikan-bisikan lembut yang diucapkan oleh Wiyati. Kemudian Ki Ambara telah menghunjamkannya lebih dalam ke pusat jantungnya. Sangkal Putung harus menjadi tanah perdikan,

Swandaru memandang langit-langit biliknya. Nafasnya pun terasa semakin memburu oleh kegelisahan yang menghimpit.

Terasa hangatnya nafas Wiyati di telinganya. Mantapnya dukungan Ki Ambara yang menyatakan kesiagaan beberapa padepokan untuk mendukung cita-citanya, menjadikan Sangkal Putung tanah perdikan, atau justru merebut Mataram dari tangan Panembahan Senapati yang sedang sakit.

Tiba-tiba saja Swandaru itu pun berdesis, “Tolong aku, Kakang. Tolong, lepaskan aku dari belenggu ini.”

“Swandaru,” Agung Sedayu bergeser, “ada apa?”

Adalah di luar dugaan Agung Sedayu, Swandaru yang perkasa di medan pertempuran itu melelehkan air mata. Tanpa dapat menahan perasaannya, Swandaru itu menangis.

“Tolong aku, Kakang.”

“Apa yang kau rasakan?”

“Jebakan itu. Aku telah terjebak ke dalam pusaran lumpur yang ganas.”

“Belum terlambat untuk meloncat keluar dari dalam jebakan itu, Adi.”

“Apa yang sebenarnya terjadi menurut penglihatanmu, Kakang?”

“Seperti yang telah aku katakan, dan seperti yang kau katakan sendiri, kau telah dijebaknya. Ki Saba Lintang yang mengetahui kegemaranmu dan sekaligus kelemahanmu, telah menugaskan Ki Ambara untuk menyentuh hatimu lewat kegemaranmu terhadap kuda yang baik, namun sekaligus menjeratmu pada kelemahanmu terhadap seorang perempuan cantik, muda, dan barangkali manja.”

“Kakang benar.” Swandaru mengusap matanya. “Apakah Pandan Wangi mengetahuinya?”

“Mudah-mudahan belum,” desis Agung Sedayu.

“Tolong aku, Kakang. ”

“Adi Swandaru, katakan, apa saja yang pernah dijanjikan oleh perempuan itu atau oleh Ki Ambara kepadamu.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba menghentikan air matanya yang masih saja meleleh dari pelupuknya. Kemudian dicobanya pula untuk menenangkan hatinya yang sedang bergejolak.

Baru kemudian Swandaru menceritakan pembicaraan-pembicaraannya dengan Ki Ambara dan gadis yang bernama Wiyati. Kesediaan Ki Ambara untuk mendukung sikapnya. Bahkan Ki Ambara sudah menjanjikan kekuatan yang besar untuk membantu Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, menghimpit Mataram dari timur dan barat.

Ternyata Swandaru berusaha untuk bersikap jujur. Semuanya diceritakannya kepada Agung Sedayu, sepanjang ingatannya.

Agung Sedayu mendengarkannya dengan saksama. Dihubungkannya peristiwa-peristiwa sebelumnya, yang sedang berlaku, dan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi.

Ketika Swandaru selesai dengan ceritanya, maka Agung Sedayu pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Agaknya tidak jauh menyimpang dari dugaanku.”

“Mata hatiku telah menjadi kabur, Kakang.”

“Yang penting bagi Ki Ambara bukan pengakuan bagi Sangkal Putung sebagai tanah perdikan.”

“Aku baru dapat melihatnya kemudian.”

“Ki Ambara justru memperhitungkan bahwa permohonanmu akan ditolak. Dan itulah yang diharapkannya.”

“Alangkah dungunya aku,” desis Swandaru, “semalam baru aku dapat melihat dengan jelas, bahwa aku telah terjebak.”

“Tetapi belum terlambat, Adi.”

“Surat permohonanku telah berada di Mataram.”

“Kita akan datang untuk mencabutnya.”

“Tetapi aku sempat menyinggung perasaan Ki Tumenggung Wirayuda, dan barangkali Ki Patih Mandaraka.”

“Jika keadaanmu sudah baik. Kita akan menghadap. Namun jika kau sependapat, sebelum kau sendiri sempat bertemu dengan Ki Tumenggung, aku akan pergi mendahului, agar persoalanmu dibekukan dan suratmu tidak sampai jatuh ke tangan orang lain lagi,” berkata Agung Sedayu.

“Silahkan, Kakang. Aku pasrah. Apa yang baik menurut Kakang, tentu akan baik pula akibatnya.”

“Selain itu, Adi Swandaru, bagaimana menurut pendapatmu, jika aku mengirimkan orang untuk menangkapnya? Siapa saja yang berada di rumah Ki Ambara?”

“Selain Ki Ambara dan Wiyati, ada beberapa orang pembantunya, yang terutama mengurusi kuda-kudanya serta kebunnya yang terhitung luas. Mungkin juga sawah dari ladangnya.”

“Mereka tentu orang-orang pilihan yang ditempatkan oleh Ki Saba Lintang di rumah itu.”

Namun kemudian dengan serta-merta Swandaru pun berkata, “Kakang, aku mohon Kakang memperhatikan kesediaan Ki Ambara untuk membantuku dengan mengerahkan kekuatan kewadagan. Agaknya janji itu bukan sekedar pernyataan Ki Ambara untuk mendorongku agar aku pergi ke Mataram segera, tetapi aku yakin bahwa Ki Ambara benar-benar mempersiapkan sebuah pasukan yang kuat. Jika ia tahu bahwa aku menyadari jebakan yang dibuatnya, mungkin mereka akan dapat mengambil sikap di luar dugaan kita.”

“Dendam?” bertanya Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk. Katanya, “Mungkin Sangkal Putung akan dapat menjadi sasaran dendam itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya, “Jika demikian, sebaiknya bukan sekedar menangkap Ki Ambara dan perempuan cantik serta orang-orang yang ada di rumah Ki Ambara.”

“Ya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tugas itu tidak dapat sekedar dibebankan kepada Ki Jayaraga dan Empu Wisanata. Tetapi jika Ki Ambara sudah menyiapkan sebuah pasukan, mereka harus dihadapi dengan pasukan pula.

Karena itu, maka Ki Jayaraga dan Empu Wisanata harus bersabar. Diperlukan dua tiga hari untuk mengatur perlawanan menghadapi Ki Ambara yang kuat.

“Jika demikian, aku harus pergi sendiri,” berkata Agung Sedayu.

“Kakang akan pergi kemana?”

“Sangkal Putung.”

“Tunggu besok pagi, Kakang. Aku tentu sudah dapat ikut bersama Kakang pergi ke Sangkal Putung.”

“Keadaanmu masih terlalu lemah, Swandaru. Besok pun kau belum siap untuk pergi ke Sangkal Putung.”

“Bukankah aku hanya akan duduk di atas punggung kuda?”

“Tetapi luka-lukamu parah.”

“Bukankah kita tidak tergesa-gesa di perjalanan?”

“Ya. Tetapi kita akan melihat keadaanmu esok.”

“Selain obat yang dioleskan pada luka-lukaku, aku mendapat obat yang harus aku minum dari seorang tabib yang sangat baik.”

“Sebaiknya kita lihat saja esok. Kau jangan mempertaruhkan dirimu, karena tugas ini dapat diemban oleh orang lain.”

Swandaru tidak menjawab. Namun Agung Sedayu pun berkata, “Sudahlah, Swandaru. Cukup untuk kali ini. Aku harus memberi keterangan kepada Ki Jayaraga dan Empu Wisanata, agar mereka sedikit menahan diri.”

Namun ketika kemudian Agung Sedayu keluar dari bilik Swandaru, Pandan Wangi telah menunggunya di luar dengan minuman hangat. Katanya, “Minum dahulu, Kakang.”

Agung Sedayu terpaksa duduk di ruang dalam bersama Ki Gede dan Pandan Wangi sejenak. Baru setelah meneguk minuman hangatnya, Agung Sedayu pun minta diri.

Seperti yang dikatakan, Empu Wisanata pagi-pagi telah berada di rumah Agung Sedayu. Beberapa saat setelah Agung Sedayu berangkat ke rumah Ki Gede, maka Empu Wisanata dan Nyi Dwani telah datang.

Namun Agung Sedayu pun segera menjelaskan sesuai dengan keterangan Swandaru. Yang akan mereka hadapi bukan hanya Ki Ambara, seorang perempuan muda yang bernama Wiyati, serta beberapa orang di rumah Ki Ambara, tetapi mereka akan berhadapan dengan sebuah pasukan yang kuat.

“Tetapi pasukan itu tidak berada di Kajoran,” berkata Ki Jayaraga.

“Mungkin Ki Jayaraga, Empu Wisanata, Nyi Dwani dan Glagah Putih dapat menangkap mereka. Tetapi pasukan yang besar itu akan luput dari tangan pasukan Mataram. Mereka akan menjadi api di dalam sekam, yang setiap saat akan dapat membakar seisi lumbung yang ada.”

“Jadi?”

“Kita harus menjebak seluruh pasukan itu.”

“Bagaimana kita akan dapat menjebak mereka?”

“Kita pergunakan Adi Swandaru.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada kecewa ia pun berkata, “Apa boleh buat. Untuk kepentingan yang lebih besar, kami harus melepaskan kesempatan ini.”

“Mudah-mudahan kita akan mendapatkan ikan yang lebih besar. Bukan hanya Ki Ambara, perempuan cantik yang bernama Wiyati itu, serta satu dua orang yang berada di Kajoran.”

“Mudah-mudahan.”

“Namun untuk itu, aku pun akan pergi ke Sangkal Putung.”

Ki Jayaraga dan Empu Wisanata mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Empu Wisanata pun berkata, “Jadi kami masih harus menunggu lagi?”

“Ya, Empu. Pada saatnya aku akan memberitahu. Jika benar Adi Swandaru besok dapat pergi ke Sangkal Putung, mungkin persoalannya akan lebih cepat kita selesaikan.”

“Jika demikian, sebaiknya aku minta diri.”

“Kenapa tergesa-gesa, Empu? Bukankah Empu dapat berada di sini sampai siang nanti, atau bahkan sampai sore nanti?”

“Jika aku tidak pergi keman-mana, aku harus pergi ke sawah. Aku akan mengairi tanamanku yang baru tumbuh.”

“Jika Empu pergi?”

“Tanahnya masih sedikit basah. Aku sudah berpesan kepada anak muda yang tinggal di sebelah. Jika aku tidak pulang esok, aku minta ia bersedia mengairi sawah itu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Nah, tinggallah Empu di sini. Aku pergi ke barak dan langsung ke Mataram.”

“Ke Mataram?”

“Membekukan surat Adi Swandaru, agar tidak menjalar kemana-mana.”

Ki Jayaraga dan Empu Wisanata itu pun mengangguk-angguk kecil.

Agung Sedayu kemudian telah memberitahukan pula kepada Sekar Mirah, Nyi Dwani dan Rara Wulan, bahwa Agung Sedayu akan pergi ke Mataram.

“Aku akan pergi ke barak lebih dahulu,” berkata Agung Sedayu.

“Hati-hatilah, Kakang,” pesan Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Aku akan membawa dua orang prajurit untuk kawan berbincang di jalan.”

“Kakang tidak mengajak Glagah Putih?”

“Glagah Putih?”

“Biarlah ia belajar bergaul dengan orang-orang Mataram.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah aku mengajak Glagah Putih bersamaku.”

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih telah bersiap. Jika ia harus pergi bersama Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani, ia tinggal berangkat saja.

Namun ternyata bahwa ia justru akan pergi bersama Agung Sedayu ke Mataram.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun telah melarikan kuda mereka menuju ke barak Pasukan Khusus. Namun mereka tidak lama berada di barak. Bersama dua orang prajurit pilihan, maka mereka segera menempuh perjalanan ke Mataram.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih bukan orang asing di Mataram. Anak muda itu sudah dikenal dengan baik oleh Ki Tumenggung Wirayuda dan Ki Patih Mandaraka.

Karena itu. maka ketika mereka sampai di rumah Ki Tumenggung Wirayuda, Glagah Putih sama sekali tidak merasa canggung.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian diterima oleh Ki Tumenggung di pringgitan.

“Baru saja aku pulang,” berkata Ki Tumenggung.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian telah berbicara langsung pada persoalannya. Ia mempertanyakan surat Swandaru, apakah surat itu sudah sampai ke tangan orang lain lagi selain Ki Patih Mandaraka.

Ki Tumenggung menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak, Ki Lurah. Ki Patih memang yakin, bahwa Ki Lurah akan mengambil jalan terbaik.”

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun bagi Agung Sedayu, sikap Swandaru itu justru dapat memaksa Swandaru untuk mengurungkan niatnya, dan apalagi memaksakan kehendaknya.

Ki Tumenggung Wirayuda itu pun tersenyum. Katanya kemudian, “Kita akan menghadap Ki Patih Mandaraka.”

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Wirayuda. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah pergi ke Kepatihan, sementara dua orang prajurit yang menyertai Ki Lurah tinggal di rumah Ki Tumenggung Wirayuda.

Kedatangan mereka di rumah Ki Patih disambut dengan baik. Nampaknya Ki Patih memang baru akan beristirahat. Namun Ki Patih dengan senang hati menerima kedatangan mereka.

“Aku mendahului Adi Swandaru menghadap Ki Patih,” berkata Agung Sedayu.

“Kenapa dengan Swandaru?” bertanya Ki Patih sambil tersenyum

Seperti yang diceritakan kepada Ki Tumenggung, maka Agung Sedayu pun telah menyampaikan pula kepada Ki Patih Mandaraka, apa yang kemarin terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Namun dengan demikian, aku dapat memaksa Adi Swandaru menarik kembali permohonannya,” berkata Agung Sedayu.

“Memang sudah saatnya, Ki Lurah. Bahkan menurut pendapatku sudah agak terlambat. Ki Lurah terlalu memanjakan anggapan Swandaru tentang tingkat ilmu Ki Lurah. Jika saja Ki Lurah tidak terlambat, aku kira Swandaru tidak akan sampai pada langkah yang membingungkan itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya, Ki Patih. Aku merasa. Tetapi aku kira langkah Adi Swandaru di bawah pengaruh seorang yang sangat licik.”

“Ki Lurah memang tidak akan dapat tinggal diam. Aku yakin, bahwa pasukan sebagaimana dikatakan oleh orang yang disebut Ki Ambara itu memang ada. Kekuatan itu tentu akan membayangi kekuatan yang akan disiapkan oleh Swandaru di Sangkal Putung.”

“Aku juga berpendapat demikian, Ki Patih. Karena itu, maka kami sedang mencari jalan terbaik untuk memancing kekuatan itu keluar dari sarang mereka. Atau setidak-tidaknya kami dapat mengetahui sarang mereka.”

“Ya. Apakah Ki Lurah sudah menemukan jalan itu?”

“Kami akan coba memanfaatkan Adi Swandaru.”

“Apakah Swandaru dapat dipercaya?”

“Menurut pendapatku, Swandaru mulai melihat kenyataan tentang Ki Ambara dan seorang perempuan cantik yang diumpankan kepadanya.”

“Syukurlah. Tetapi kau harus tetap sangat berhati-hati, Ki Lurah.”

“Ya, Ki Patih. Kami mohon restu.”

“Jika kau memerlukan bantuan kami, apapun yang kau perlukan, katakan saja kepadaku. Aku akan berusaha memenuhinya.”

“Terima kasih, Ki Patih,” Agung Sedayu membungkuk hormat.

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ki Lurah, persoalan permohonan Swandaru untuk menjadikan Sangkal Putung sebuah tanah perdikan, aku anggap sudah selesai. Meskipun Swandaru sendiri belum menyatakannya, tetapi aku percaya kepada Ki Lurah, bahwa pada saatnya akan datang kemari untuk menyatakan sendiri.”

“Aku harap dalam dua tiga hari ini, Ki Patih. Aku pun berharap bahwa Swandaru akan segera dapat kembali ke Sangkal Putung untuk menuntaskan persoalannya dengan Ki Ambara dan pasukannya. Jika hal itu tertunda terlalu lama. mungkin Ki Ambara sudah dapat mencium kegagalannya sehingga mengambil langkah lain. Setidak-tidaknya kami akan dapat kehilangan jejak pasukan yang disebut-sebut oleh Ki Ambara itu. Sementara kekuatan itu nyata ada, namun tersimpan, sehingga pada suatu saat akan dapat meledak.”

“Baiklah. Aku percaya bahwa Ki Lurah akan dapat mengatasinya.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri. Hatinya sudah menjadi lapang, bahwa persoalan yang ditimbulkan oleh Swandaru di Mataram sudah dapat dibekukan sebelum menjalar kemana-mana. Jika beberapa orang pemimpin yang lain terlanjur mengetahuinya, maka persoalannya akan menjadi lain. Apalagi jika Pangeran Adipati Anom yang mendengarnya.

Sebelum mereka meninggalkan Kepatihan, maka Ki Patih itu pun bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah kau akan ikut bersama kakakmu ke Sangkal Putung?”

“Jika Kakang Agung Sedayu mengijinkan,” jawab Glagah Putih.

Ki Patih itu pun menepuk pundak Glagah Putih sambil berkata, “Pergilah. Kau dapat membantu kakakmu. Pada saatnya kau harus tumbuh lebih besar dari kakakmu, dari guru-gurumu yang lain, sehingga ilmu yang kau warisi semakin lama akan tumbuh dan berkembang. Bukan sebaliknya, menjadi semakin kerdil.”

“Mohon restu, Ki Patih.”

“Aku berdoa untukmu.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

Kepada Agung Sedayu, Ki Patih itu pun berkata, “Jangan sia-siakan benih yang baik ini. Kau semakin lama menjadi semakin tua. Sedangkan Glagah Putih masih akan berkembang dan akhirnya menjadi masak, sebelum akhirnya juga akan menjadi tua sebagaimana aku, kau dan setiap orang.”

“Ya, Ki Patih. Aku berusaha.”

Ki Patih mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Sejenak kemudian, bertiga mereka meninggalkan regol halaman Kepatihan. Mereka langsung menuju ke rumah Ki Tumenggung Wirayuda. Para prajurit yang menyertai Agung Sedayu masih berada di rumah Ki Tumenggung.

Hari itu juga Agung Sedayu dan Glagah Putih kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, setelah mereka menjelaskan semua persoalan yang terjadi sehingga Swandaru telah datang ke Mataram, dengan surat permohonan agar Sangkal Putung dapat menjadi sebuah tanah perdikan.

Ketika malam turun, Agung Sedayu dan Glagah Putih memasuki regol halaman rumah mereka. Sekar Mirah dan Rara Wulan pun menyambut mereka di tangga pendapa. Sementara Sukra berada di halaman.

Sambil menerima kendali kuda Glagah Putih, Sukra itu berdesis, “Aku lebih senang pulang dari bepergian, daripada sekedar menerima kuda-kuda yang letih.”

Glagah Putih mengerutkan dahi. Katanya, “Baik. Aku akan mengatakannya kepada Kakang Agung Sedayu, agar sekali-sekali kau mendapat kesempatan untuk pergi, sementara Kakang Agung Sedayu menunggu kau pulang untuk menerima kudamu yang letih.”

“Maksudku bukan Ki Lurah.”

“Tentu Kakang Agung Sedayu.”

“Tidak, bukan. Tetapi kau.”

“Bohong. Kau tentu ingin menyindir Kakang Agung Sedayu.”

“Tidak, sungguh tidak.”

Ketika Glagah Putih melangkah menyusul Agung Sedayu yang sudah naik tangga pendapa, Sukra menarik baju Glagah Putih, “Jangan katakan. Aku tidak bermaksud menyindir Ki Lurah.”

“Baik. Tetapi janji!”

“Janji apa?”

“Kau pijit kakiku nanti malam.”

“Kau sudah janji lebih dahulu.”

(ada halaman yang hilang)

Swandaru dan Pandan Wangi akan kembali ke Sangkal Putung. Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyertai mereka sampai di Mataram. Tetapi selanjutnya mereka akan menempuh perjalanan mereka masing-masing.”

Di rumah, Agung Sedayu masih berbicara dengan Ki Jayaraga, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Ternyata Rara Wulan tidak mau tinggal di rumah sendiri. Gadis itu telah memaksa untuk ikut bersama mereka ke Sangkal Putung.

“Tetapi kau harus menurut semua perintahku, Rara,” berkata Sekar Mirah.

“Baik, Mbokayu.”

“Janji?”

“Janji.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi kita harus bersiap lahir dan batin. Tugas ini termasuk tugas yang rumit.”

“Ya, Kakang.”

Malam itu, Agung Sedayu dan mereka yang terlibat dalam kesepakatan itu berusaha untuk beristirahat sebaik-baiknya. Namun ternyata ada semacam ketegangan di dalam jantung mereka, sehingga mereka tidak dapat langsung tidur dengan nyenyak.

Pagi-pagi sekali Swandaru dan Pandan Wangi pun telah bersiap. Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Mereka akan bersama-sama pergi ke Mataram, untuk dengan resmi membatalkan permohonan Swandaru agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi sebuah tanah perdikan.

Meskipun masih lemah, tetapi Swandaru sudah nampak segar. Dari tabib yang merawatnya, Swandaru masih dibekali obat-obatan yang harus diminum serta dioleskan pada luka-lukanya.

“Kita akan menempuh perjalanan perlahan-lahan saja,” berkata Swandaru, “aku masih belum dapat berpacu.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah kita tidak dibatasi waktu?”

Sebelum matahari terbit, maka mereka berempat telah berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Dua orang yang menyertai Pandan Wangi ikut kembali ke Sangkal Putung pula bersama mereka.

Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi, meskipun keduanya berada di Tanah Perdikan. Hari-hari mereka dijalani dengan kejemuan yang semakin memuncak, karena mereka tidak berbuat apa-apa di rumah Ki Gede.

Perjalanan mereka ke Mataram mereka tempuh dalam waktu yang jauh lebih panjang dari perjalanan-perjalanan yang pernah mereka lakukan. Kuda-kuda itu seakan-akan hanya berlari-lari kecil.

Ketika mereka sampai di tepian, rakit yang sudah siap menunggu tidak telaten menanti mereka yang berjalan dengan lamban. Dua orang berkuda dan beberapa ekor kuda beban yang datang kemudian, ternyata justru naik lebih dahulu ke atas rakit.

Namun Swandaru tidak berkeberatan. Dibiarkannya orang-orang itu naik dan meninggalkannya di tepian, menunggu rakit berikutnya.

Karena perjalanan mereka tidak secepat biasanya, maka mereka sampai di Mataram setelah matahari memanjat semakin tinggi di langit. Berempat mereka singgah di rumah Ki Tumenggung Wirayuda. Sementara mereka naik ke pringgitan, dua orang yang menyertai mereka menunggu di halaman.

Dari rumah Ki Tumenggung, mereka berempat pergi ke Kepatihan untuk menemui Ki Patih Mandaraka. Sementara kedua orang yang menyertai mereka menunggu di rumah Ki Tumenggung.

Dengan penuh penyesalan, Swandaru telah mencabut surat permohonan yang pernah diserahkannya agar Sangkal Putung ditetapkan menjadi tanah perdikan.

“Jika aku harus mencabut dengan surat pula, maka aku akan segera mengirimkannya,” berkata Swandaru.

Ki Patih Mandaraka pun tersenyum. Katanya, “Seharusnya memang begitu, Swandaru. Tetapi di hadapan kakakmu, Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya, di hadapan istrimu, serta Ki Tumenggung Wirayuda, maka persoalan permohonan aku anggap selesai. Aku akan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa. Tidak pernah ada surat yang kau serahkan kepada para pemimpin di Mataram.”

“Terima kasih, Ki Patih,” suara Swandaru bergetar, “aku mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekhilafan itu. Untunglah bahwa ada Kakang Agung Sedayu yang dapat menghentikan kegilaanku itu. Aku tidak tahu, apa jadinya seandainya tidak ada Kakang Agung Sedayu. Atau seandainya Kakang Agung Sedayu tidak mempedulikan apa yang aku lakukan.”

“Sejak semula aku memang yakin, bahwa Ki Lurah tidak akan membiarkan kau tersuruk ke dalam satu sikap yang akan dapat menyulitkanmu di kemudian hari. Ternyata keyakinanku itu kemudian terbukti.”

Swandaru hanya dapat menundukkan kepalanya.

“Nah, pesanku kepadamu Swandaru,” berkata Ki Patih, “selanjutnya kau harus berhati-hati. Bicarakan langkah-langkahmu dengan kakakmu, Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ya, Ki Patih. Aku akan selalu mengingatnya.”

Beberapa lama mereka berada di Kepatihan. Ki Patih sempat memberikan beberapa pesan yang sangat berarti bagi Swandaru.

Ketika kemudian Swandaru suami istri dan Agung Sedayu bersama istrinya minta diri, maka Ki Patih itu pun berkata, “Swandaru. Aku tahu apa yang telah terjadi atas dirimu. Kemarin kakakmu Ki Lurah sudah menceritakannya. Jika kau mau, di samping obat-obatan yang kau dapat, aku akan memberimu obat yang juga sangat baik. Cobalah, mudah-mudahan akan dapat menambah kekuatan dan daya tahan tubuhmu untuk mengatasi saat-saat yang sulit, sebagaimana kau alami sekarang ini.”

“Tentu saja, Ki Patih. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.”

Ki Patih Mandaraka itu pun kemudian telah memberikan beberapa butir obat reramuan sebesar kacang tanah kepada Swandaru.

“Sekarang, makanlah sebutir. Nanti setelah kau sampai di rumah, sebutir lagi. Besok kau makan pagi sebutir dan sore sebutir. Mudah-mudahan keadaanmu menjadi semakin cepat membaik.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

Seperti yang dikatakan Ki Patih Mandaraka, maka Swandaru pun telah menelan reramuan obat-obatan itu sebutir. Kemudian diteguknya minuman hangat yang disuguhkan oleh seorang pembantu di rumah Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, setelah yang lain pun meneguk minuman mereka, maka mereka pun meninggalkan rumah Ki Patih Mandaraka bersama Ki Tumenggung Wirayuda.

Sejenak mereka singgah di rumah Ki Tumenggung, untuk selanjutnya mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Sangkal Putung.

Tetapi seperti yang sudah mereka sepakati, maka Swandaru dan Pandan wangi akan mengambil jalan yang biasanya mereka tempuh. Sedangkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan mengambil jalan lain. Mereka tidak langsung pergi ke Sangkal Putung. tetapi mereka akan pergi ke Jati Ariom.

“Hati-hatilah di jalan,” pesan Agung Sedayu.

“Ya, Kakang. Tetapi perjalanan kami tentu akan lebih tenang, karena kami berempat. Sedangkan Kakang hanya berdua.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak akan ada hambatan di perjalanan.”

Dengan demikian maka mereka pun segera berpisah. Mereka mengambil jalan mereka masing-masing. Agung Sedayu dan Sekar Milah mengambil jalan sidatan yang lebih kecil.

Dalam pada itu, Swandaru, Pandan Wangi dan dua orang yang menyertai mereka, telah menempuh perjalanan melalui jalan yang terbiasa mereka lalui. Jalan yang termasuk banyak dilalui orang yang melintas dari timur ke barat, atau sebaliknya.

Di perjalanan, Swandaru mulai merasakan pengaruh obat yang diberikan oleh Ki Patih Mandraka. Terasa tubuh Swandaru menjadi semakin segar. Meskipun kekuatannya tidak tumbuh dengan serta merta, namun darahnya serasa menjadi semakin lancar beredar di dalam tubuhnya,

“Reramuan apakah yang terdapat di dalam butiran obat yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka?” desis Swandaru.

“Kenapa, Kakang?” bertanya Pandan Wangi.

“Tubuhku terasa semakin segar. Nyeri yang kadang-kadang masih terasa, seakan-akan telah hilang. Meskipun aku masih merasa lemah, tetapi aku tidak merasa letih sama sekali.”

“Meskipun demikian, Kakang tidak boleh memaksa diri. Kita tidak perlu berpacu terlalu cepat.”

“Ya. Aku memang tidak melarikan kudaku seperti dalam pacuan. Tetapi nampaknya kita dapat menempuh perjalanan ini sedikit lebih cepat.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Katanya, “Tetapi Kakang masih harus menjaga diri.”

Swandaru tersenyum. Ia merasakan betapa Pandan Wangi mencemaskan keadaannya.

Dengan demikian, maka Swandaru menjadi semakin merasa bersalah, bahwa ia seakan-akan telah berpaling dari istrinya itu. Ia telah membiarkan dirinya tersuruk ke dalam pengaruh seorang perempuan cantik yang bernama Wiyati.

Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Siapakah diantara keduanya yang lebih cantik? Pandan Wangi atau Wiyati?”

Jantung Swandaru menjadi berdebar-debar. Wiyati memang lebih muda. Tetapi setelah ia menyadari bahwa kemudaannya itu justru telah menjadi racun baginya, maka bagi Swandaru, kecantikan Wiyati tidak lebih dari sebuah kedok belaka. Seperti seorang penari topeng yang memerankan watak yang dikehendaki oleh dalangnya, maka Wiyati pun tidak lebih dari seorang pemeran dalam rangkaian cerita yang panjang dan rumit, yang disusun oleh Ki Saba Lintang dan Ki Ambara.

Tiba-tiba saja Pandan Wangi itu terkejut ketika ia mendengar Swandaru menggeram.

“Ada apa, Kakang?” bertanya Pandan Wangi.

Pertanyaan itu pun telah mengejutkan Swandaru. Namun kemudian ia pun menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menjadi sedemikian bodohnya.”

“Sudahlah, Kakang. Bukankah sebagaimana dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu, bahwa kita belum terlambat? Dan itu pun telah nyata setelah kita menghadap Ki Patih Mandaraka. Ki Patih itu mengatakan bahwa persoalan ini dianggap sudah selesai, sehingga Kakang tidak perlu memikirkannya lebih jauh. Yang kemudian harus Kakang pikirkan adalah kesepakatan yang harus kita lakukan.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti, Pandan Wangi.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Sementara itu, matahari menjadi semakin terasa panasnya memanggang kulit.

Empat orang berkuda itu menempuh jalan bulak yang panjang dengan kecepatan yang sedang-sedang saja. Dua orang penunggang kuda yang melarikan kuda mereka dengan kencang, telah melampaui mereka. Debu yang kelabu berhamburan di belakang kaki kuda yang berlari kencang itu. Penunggangnya yang berpakaian rapi sama sekali tidak berpaling. Pendok wrangka keris mereka yang agaknya dibuat dari emas, nampak berkilat-kilat ditimpa cahaya matahari. Namun di samping keris dipunggung, mereka juga membawa pedang di lambung.

Swandaru dan Pandan Wangi tidak menghiraukan mereka, sebagaimana kedua orang itu tidak menghiraukan Swandaru dan Pandan Wangi.

Namun seorang pengawal yang menyertainya terdengar bertanya kepada kawannya, “Apakah ada yang mereka kejar?”

“Entahlah,” jawab kawannya, “tetapi nampaknya keduanya tergesa-gesa.”

Tetapi keduanya pun tidak membicarakannya lebih panjang lagi.

Sementara itu, di jalan yang lebih kecil dan sedikit melingkar, Agung Sedayu dan Sekar Mirah melarikan kuda mereka di kaki Gunung Merapi. Mereka akan langsung menuju ke Jati Anom. Mereka tidak menyertai Swandaru dan Pandan Wangi, agar rencana mereka dapat dilaksanakan dengan baik.

Perjalanan yang agak panjang itu memang agak melelahkan. Sekali-sekali kuda-kuda mereka harus memanjat jalan yang mendaki. Namun kemudian mereka menuruni jalan yang agak terjal berbatu-batu padas. Jalan yang mereka tempuh memang tidak semulus jalan yang dilalui oleh Swandaru dan Pandan Wangi. Tetapi karena mereka tidak mengalami kesulitan pada tubuh mereka sebagaimana Swandaru, maka perjalanan itu tidak terasa terlampau sulit.

Tetapi justru karena Agung Sedayu dan Sekar Mirah menempuh jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang, maka perjalanan mereka ternyata diawasi oleh sekelompok orang yang berwajah garang.

“Kita hentikan mereka,” berkata orang yang tertua di antara mereka. Orang yang rambutnya sudah ubanan. Tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu masih nampak kuat dan tegar.

“Nampaknya keduanya adalah sepasang saudagar yang sombong, sehingga berani memilih jalan ini,” sahut kawannya.

“Setidak-tidaknya kita akan mendapatkan sepasang kuda yang bagus.”

“Marilah. Kita cegat mereka di sebelah gumuk kecil itu,” berkata orang yang ubanan itu.

Lima orang itu pun segera berloncatan di antara batu-batu padas. Mereka pun kemudian menuruni tebing yang terjal, dan berdiri di tengah jalan yang tidak begitu lebar itu. Orang yang tertua di antara mereka itu berdiri sambil bertolak pinggang di paling depan. Kemudian empat orang kawannya berdiri berjajar di belakangnya.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang muncul dari balik tikungan, terkejut ketika mereka melihat di depan mereka berdiri lima orang yang dengan sengaja menghadang di tengah jalan.

“Hati-hatilah, Sekar Mirah. Mudah-mudahan mereka bukan bagian dari para pengikut Ki Saba Lintang. Jika mereka bagian dari kelompok itu dan dapat mengenali kita, maka rencana kita akan dapat terganggu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ditariknya kendali kudanya, sehingga kudanya berlari semakin lambat.

Beberapa langkah dari mereka yang berdiri di tengah jalan itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah menghentikan kuda mereka.

“Kenapa kalian menghentikan kami, Ki Sanak?” bertanya Agung Sedayu.

“Kalian lewat di daerah kuasaku,” jawab orang berambut putih itu.

“Maaf, Ki Sanak. Kami tidak mengetahuinya. Tetapi bukankah kami tidak berbuat apa-apa kecuali lewat?”

“Kau harus tahu, bahwa setiap orang yang lewat di daerah kuasaku harus membayar pajak.”

“Pajak?”

“Ya. Kalian berdua harus membayar pajak.”

“Berapa kami harus membayar pajak?”

“Kuda kuda kalian harus kalian tinggalkan.”

“Uwa,” berkata seorang dari kelima orang itu. Seorang yang masih muda, meskipun wajahnya nampak kotor dan tidak terpelihara sama sekali, “tidak hanya kuda-kuda mereka.”

“Ya. Tidak hanya kuda-kuda kalian, tetapi semua harta yang kalian milik. Perhiasan dan uang.”

“Yang seorang di antara mereka berdua ternyata perempuan, Uwa.”

Laki-laki yang rambutnya ubanan itu menggeram, “Kau selalu berbicara tentang perempuan.”

“Aku membutuhkan perempuan itu. Ia harus tinggal di tempat kita setidak-tidaknya semalam. Baru besok mereka boleh melanjutkan perjalanan.”

“Pikiran gila, Le,” sahut seorang yang perutnya besar.

“Aku tidak merugikan kau, Paman.”

“Tidak hanya semalam, Le,” berkata orang yang perutnya besar, “perempuan itu harus diserahkan sebagai pajak yang khusus. Jika tidak, laki-laki itu akan kami bunuh. Kami miliki semuanya termasuk perempuan itu.”

Telinga Sekar Mirah terasa tersentuh api. Tetapi ia masih menahan diri. Dibiarkannya orang-orang itu berbicara sesuka hati.

“Nah, turunlah dari kuda kalian!”

Agung Sedayu tidak menyahut. Tetapi ia pun segera turun dari kudanya. Demikian pula Sekar Mirah.

“Nah, jika kalian menurut perintah kami, maka kalian tidak akan kami sakiti.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian, “minggirlah. Biarlah kami lewat. Jangan ganggu kami, karena kami pun tidak mengganggu kalian.”

Orang-orang itu terkejut. Mereka mengira bahwa kedua orang itu menjadi ketakutan dan tidak melawan sama sekali. Tetapi ternyata dugaannya salah.

Orang yang rambutnya ubanan itu mengerutkan dahinya. Suaranya menjadi semakin keras, “Jangan membuat persoalan, Ki Sanak. Tinggalkan kuda-kuda itu di sini. Demikian pula semua harta benda dan uang yang kalian bawa.”

“Termasuk perempuan itu,” anak muda yang wajahnya kotor itu menyambung.

“Ya,” sahut orang yang perutnya besar, “aku juga membutuhkannya. bahkan kita semua membutuhkannya.”

“Jangan memaksa,” berkata Agung Sedayu, “nanti akan dapat timbul salah paham.”

“Kau tidak perlu menjawab!” orang berambut ubanan itu berteriak, “Pergi! Tinggalkan semuanya! Kau hanya boleh pergi sendiri. Tinggalkan semuanya, termasuk pakaianmu itu.”

“Aku tidak mempunyai banyak waktu,” berkata Agung Sedayu, “minggirlah.”

Orang berambut ubanan itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Dengan keras ia pun membentak, “Jangan main-main, Ki Sanak. Jika kau tidak mau mendengar kata-kataku, kau akan dapat menjadi lumat di sini.”

“Aku ulangi lagi, minggirlah. Waktuku tidak banyak.”

“Jika waktumu sempit, pergilah! Pergilah, kau dengar?”

“Aku akan pergi. Tidak ada sehelai pun bulu kudaku yang akan aku tinggalkan. Apalagi dua ekor kuda.”

“Persetan! Kau harus tahu akibatnya jika kau keras kepala.”

Dengan tenang Agung Sedayu pun kemudian menambatkan kudanya pada sebatang kayu randu yang tumbuh di pinggir jalan. Demikian pula Sekar Mirah. Keduanya pun kemudian telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Jika kalian tidak mau minggir, maka aku akan memaksa kalian.”

“He, apakah kau sudah gila? Kau melihat kami berlima yang sudah siap untuk melumatkanmu?”

“Kalian pun telah melihat kami berdua bersiap untuk menyingkirkan kalian.”

“Apa yang dapat kau lakukan, he? Kau hanya berdua dengan seorang perempuan. Apa yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan? Apa pula yang dapat kau lakukan di hadapan kami?”

“Baiklah. Agaknya kami harus memaksa kalian untuk minggir. Bersiaplah.”

Orang yang berambut ubanan itu menggeram. Ia benar-benar merasa terhina oleh sikap Agung Sedayu. Sebagai seorang pemimpin perampok yang ditakuti, maka ia pun menggeram, “Agaknya kalian belu, pernah mendengar nama Ajag Telagawana. Aku-lah yang disebut Ajag Telagawana, bersama para pengikutku. Jika kami sudah mulai bertindak, maka tidak akan ada yang tersisa dari korban yang bakal jatuh.”

“Kami belum pernah mendengar nama itu. Tetapi jika benar nama itu dapat menakuti anak-anak di sekitar tempat ini, maka nama itu harus dihapuskan dari lingkungan ini.”

“Gila! Orang ini memang orang gila! Cepat, lumatkan laki-laki yang tidak tahu diri itu! Aku setuju, biarkan perempuan itu hidup. Biarkan ia tinggal bersama kita sehingga kita menjadi jemu.”

Keempat pengikut orang yang menyebut dirinya Ajag Telagawana itu pun segera mulai bergerak. Mereka segera mengayun-ayunkan senjata-senjata mereka.

Agung Sedayu dan Sekar Mirahpun segera mempersiapkan diri. Karena orang-orang yang mencegat mereka itu sudah menggenggam senjatanya, maka sekar Mirah pun telah mengambil senjatanya pula, yang terselip di pelana kudanya. Sebatang tongkat baja putih, yang pada pangkalnya terdapat hiasan berwujud tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.

Orang-orang yang dipimpin oleh orang yang menyebut dirinya Ajag Telagawana itu memang tertarik melihat tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Tongkat itu tentu bukan tongkat kebanyakan yang tidak mempunyai arti apa-apa.

Dengan demikian, maka orang-orang itu pun segera menduga bahwa perempuan yang memegang tongkat itu pun tentu bukan orang kebanyakan. Apalagi menilik sikapnya, yang tetap saja tidak menjadi gentar menghadapi kelima orang yang ujudnya garang-garang itu.

Sementara itu, Agung Sedayu sendiri tidak mempergunakan senjata apapun juga. Namun diterapkannya ilmu kebalnya untuk mengatasi sentuhan senjata lawan-lawannya.

Sejenak kemudian justru Sekar Mirah-lah yang telah meloncat mendekat sambil memutar tongkat baja putihnya. Terdengar pada ayunan tongkat itu, suara angin yang berdesir.

Suara itu telah membuat jantung orang-orang yang mencegatnya itu tergetar. Namun orang berambut ubanan itu berteriak, “Bunuh saja mereka berdua jika mereka melawan!”

Kawan-kawannya pun segera berloncatan sambil menebas dan menusuk dengan senjata-senjata mereka. Ada yang bersenjata golok, parang, kapak dan ada pula yang bersenjata bindi.

Namun benturan-benturan yang terjadi dengan tongkat baja putih Sekar Mirah,telah mengejutkan mereka. Namun mereka tidak mempunyai waktu. Sekar Mirah pun segera menyerang mereka dengan tangkasnya. Sementara Agung Sedayu pun telah mulai bertempur pula.

Dua orang di antara mereka telah bertempur melawan Sekar Mirah. Dua yang lain melawan Agung Sedayu, sementara orang yang berambut ubanan itu masih saja mengamati pertempuran itu dengan dahi yang berkerut.

Meskipun Agung Sedayu tidak bersenjata, tetapi kedua lawannya yang bersenjata golok dan kapak tidak mampu berbuat apa-apa. Agung Sedayu menangkis serangan-serangan senjata mereka hanya dengan tangannya, yang dilambarinya dengan ilmu kebalnya.

Ternyata kedua orang lawan Agung Sedayu itu tidak berdaya berbuat apa-apa. Dalam waktu yang sangat singkat keduanya sudah terdesak. Senjata mereka seakan-akan tidak berarti sama sekali.

“Ternyata keduanya adalah sepasang iblis,” geram orang yang rambutnya ubanan itu.

Karena itu, maka ia tidak dapat membiarkan orang-orangnya bertempur dalam kesulitan. Karena itu ,maka orang berambut ubanan itu sendiri langsung terjun ke dalam arena pertempuran melawan Agung Sedayu.

Selama ini ia merasa menjadi orang yang sangat ditakuti. Karena itu, maka ia merasa bahwa tidak ada orang yang memiliki kemampuan seimbang dengan kemampuannya.

Karena itu, dengan garangnya ia melibat Agung Sedayu bersama kedua orang pengikutnya.

Tetapi orang yang menyebut dirinya Ajag Telagawana itu terkejut. Ketika senjatanya membentur lengan Agung Sedayu, maka hampir saja senjatanya itu terlepas. Sementara itu, lengan Agung Sedayu sama sekali tidak teriuka karenanya.

Belum lagi Ajag Telagawana itu menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, kaki Agung Sedayu terjulur dengan kerasnya menghantam dadanya.

Ajag Telagawana itu terlempar dan terbanting menimpa tebing yang berbatu padas. Terdengar orang itu mengaduh tertahan. Tulang belakangnya terasa bagaikan patah.

Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka kedua orang pengikutnya telah terlempar pula menimpanya.

Ajag Telagawana yang ubanan itu mengumpat dengan kasar. Kepada pengikutnya ia berteriak, “Dimana matamu, he? Kalian tidak melihat bahwa aku sedang berusaha untuk bangkit?”

Kedua orang pengikutnya sama sekali tidak menjawab. Tetapi hampir di luar sadar, mereka memandang ke arah Agung Sedayu.

“Bunuh iblis itu!” geram Ajag Telagawana.

Tetapi belum lagi kedua orang pengikut Ajag Telagawana itu beranjak dari tempatnya, tongkat baja putih Sekar Mirah telah menghantam lambung salah seorang lawannya. Anak muda yang wajahnya kotor, yang menginginkan agar Sekar Mirah itu tinggal.

Anak muda itu berteriak nyaring sambil berusaha meloncat mengambil jarak. Seorang kawannya yang dengan cepat berusaha menyerang, telah terlempar beberapa langkah. Namun akhirnya ia tidak dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga jatuh berguling di tanah.

Ketika keduanya berusaha bangkit, mereka melihat Sekar Mirah itu berdiri bertolak pinggang dengan tongkat baja putihnya digenggam tangan kanannya.

“Nah, bukankah kalian ingin aku tinggal bersama kalian?” berkata Sekar Mirah.

Anak muda yang berwajah kasar itu tidak menjawab. Terhuyung-huyung ia bangkit berdiri. Namun Sekar Mirah tiba-tiba saja bergeser maju sambil menjulurkan tongkatnya yang berbentuk tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan itu menyentuh dada anak muda yang berwajah kasar itu.

Sekali lagi anak muda itu terdorong beberapa langkah mundur. Sekali lagi ia jatuh terlentang di atas tanah yang keras berbatu padas itu.

Kawannya yang juga berusaha bangkit berteriak kesakitan, ketika kaki Sekar Mirah menyambar dagunya. Wajah orang itu terangkat. Namun kemudian ia terlempar menimpa tebing.

Ketika ia berusaha untuk bangkit, ternyata bahwa tulang-tulangnya terasa betapa sakitnya, sehingga ia pun sekali lagi terjatuh dan terbaring di tanah.

Jantung Ajag Telagawana itu tergetar melihat kedua orang pengikutnya tidak lagi mampu bangkit. Perempuan yang bersenjata tongkat baja putih itu masih berdiri bertolak pinggang.

Kemarahannya pun telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kedua orang pengikutnya itu sudah tidak berdaya lagi.

Meskipun demikian, Ajag Telagawana itu masih mencoba menghentakkan ilmunya sambil berteriak nyaring, “Bunuh orang itu! Kemudian bunuh perempuan itu!”

Kedua pengikut Ajag Telagawana bersama Ajag Telagawana sendiri telah meloncat menyerang Agung Sedayu. Namun tanpa mereka sadari apa yang terjadi, ketiga orang itu hampir bersamaan telah terlempar pula. Mereka terbanting jatuh dan berguling di atas tanah yang keras. Bahkan Ajag Telagawana sendiri telah terlempar demikian kerasnya, sehingga ia tidak dapat menghindar ketika kepalanya membentur sebongkah batu hitam yang keras.

Ajag Telagawana itu berteriak keras sekali. Kepalanya yang membentur batu itu pun telah terluka dan mengalirkan darah.

Ketika Ajag Telagawana itu berusaha untuk bangkit, maka iapun segera terhuyung-huyung dan kembali jatuh terbaring di tanah. Matanya menjadi berkurang-kunang, sedangkan nafasnya bagaikan bekejaran di lubang hidungnya.

Kedua orang pengikutnya yang juga menjadi sangat kesakitan, tidak lagi berusaha untuk bangkit. Ketika mereka melihat Ajag Telagawana tidak mampu untuk melanjutkan perlawanan, maka mereka memilih untuk tetap terbaring di tanah, seperti kedua orang kawannya yang bertempur melawan perempuan yang bertongkat baja putih itu.

Agung Sedayu melangkah mendekati Ajag Telagawana. Ternyata Ajag Telagawana itu menjadi semakin parah, karena darahnya yang banyak mengalir dari lukanya.

Bahkan kemudian Ajag Telagawana itu pun merintih menahan sakit, bukan saja di kepalanya, tetapi di seluruh tubuhnya. Bahkan tangan dan kakinya yang sebelah kanan seakan-akan menjadi sulit untuk digerakkan.

“Apa yang telah terjadi?” suaranya hanya dapat didengarnya sendiri.

Pandangan matanya yang menjadi kabur melihat lawannya itu berdiri selangkah di sisinya.

Agung Sedayu yang berdiri tegak di sebelahnya pun berkata dengan nada datar, “Aku sudah berkata bahwa waktuku tidak banyak. Tetapi kau tidak mau mendengarkan.”

“Siapakah kau, yang telah mampu mengalahkan Ajag Telagawana?” desis orang ubanan itu.

“Itu tidak penting bagimu. Besok, kalau aku kembali lagi melalui jalan ini, aku akan mencarimu sampai ketemu. Jika kau masih menyamun di jalanan ini atau di manapun juga, aku akan membunuhmu.”

Ajag Telagawana itu mengerang. Namun kemudian ia pun menjadi pingsan.

“Rawat lurahmu itu,” berkata Agung Sedayu kepada para pengikut Ajag Telagawana. “Jika kalian cepat mengobatinya, ia tentu masih akan dapat tertolong. Tetapi ingat, kapan-kapan aku akan kembali lagi mencari kalian.”

Para pengikut Ajag Telagawana tidak menyahut. Mereka hanya memandangi saja, ketika kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah melangkah ke kuda mereka. Melepas ikatannya dan kemudian meloncat naik.

“Kalian sudah menyamun waktuku,” berkata Agung Sedayu geram.

Sejenak kemudian keduanya telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Jati Anom.

“Mudah-mudahan Swandaru tidak terhambat oleh apapun di perjalanan,” berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk. Katanya kemudian, “Tetapi bersama Kakang Swandaru, selain Pandan Wangi, masih ada para pengawal.”

Namun sebenarnya lah bahwa perjalanan Swandaru tidak terhambat. Namun Swandaru memang tidak dapat melarikan kudanya cepat-cepat. Ketika dua orang penunggang kuda yang tergesa-gesa melewatinya, seorang di antara mereka sempat berteriak, “Jika tidak berani naik kuda, jangan berada di jalan! Jalan ini bukan milikmu atau milik kakekmu!”

Telinga Swandaru menjadi panas. Hampir saja ia menyentuh perut kudanya dengan tumitnya. Tetapi Pandan Wangi yang tanggap segera mendekati sambil berdesis, “Biarlah. Mereka tentu sangat tergesa-gesa. Mungkin hatinya sudah kisruh sejak berangkat.”

“Aku ingin menyumbat mulutnya.”

“Kau sedang dalam keadaan terluka, Kakang.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kau-lah yang akan menyumbat mulut mereka.”

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Lupakan saja.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kenapa semua orang nampak tergesa-gesa?”

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Bukan semua orang tergesa-gesa. Kita-lah yang lambat. Tetapi tidak apa-apa. Semuanya mempunyai kepentingan masing-masing.”

Swandaru mengangguk-angguk.

Ketika Swandaru merasa haus. maka mereka pun berhenti di sebuah kedai. Kuda-kuda mereka pun perlu istirahat pula, meskipun kuda-kuda itu tidak berlari kencang.

Beberapa saat mereka berhenti di kedai itu. Setelah minum dan makan, serta kuda-kuda mereka pun telah mendapat makan dan minum pula, mereka pun melanjutkan perjalanan mereka.

Ternyata perjalanan ke Sangkal Putung itu mereka tempuh dalam waktu yang hampir dua kali lipat dibanding dengan perjalanan yang biasa mereka lakukan sebelumnya.

Ketika mereka memasuki regol halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung, maka seorang pembantu di rumah itu dengan tergesa-gesa menyambut mereka. Orang itu langsung menerima kuda Swandaru dan Pandan Wangi, kemudian membawanya ke belakang.

Ki Demang pun segera menerima mereka pula. Ki Demang langsung mengajak mereka duduk di ruang dalam.

Ki Demang yang semula merasa cemas tentang Swandaru yang pergi ke Mataram, ketika melihat Pandan Wangi tersenyum serta wajah Swandaru yang terang, menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya tidak ada masalah yang sulit. Mereka pun tidak mendapat kesulitan di pejalanan.

“Ayah,” berkata Swandaru, “sebaiknya Ayah jangan bertanya dahulu apa yang aku dapatkan dari perjalananku. Nanti malam aku akan berbicara secara khusus, bersama Pandan Wangi.”

“Katakan yang pokok-pokok saja,” agaknya Ki Demang ingin segera tahu.

“Jangan cemas, Ayah,” sahut Pandan Wangi, “Kakang Swandaru telah mendapat jalan terang oleh kuasa-Nya. Tidak ada yang mencemaskan, meskipun mungkin kita akan menghadapi kerja keras.”

“Apakah permohonanmu diterima?”

“Sabarlah, Ayah,” Pandan Wangi masih saja tersenyum

Sikap Pandan Wangi itu agaknya dapat menenangkan hati Ki Demang. Karena itu, maka ia tidak memaksanya.

Setelah keringat mereka yang baru datang itu kering, maka Swandaru itu pun berkata kepada Pandan Wangi, “Mandilah. Aku akan segera mandi pula kemudian.”

Demikianlah, bergantian mereka mandi. Ketika Swandaru setelah mandi masuk ke dalam biliknya, maka ia minta Pandan Wangi mengobati luka-lukanya dengan obat yang dibawanya dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Bukankah Kakang harus minum obat yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka?”

Swandaru mengangguk. Katanya, “Ya. Aku akan minum obat itu setelah makan nanti.”

Menjelang makan malam, maka Swandaru dan Pandan Wangi telah duduk di ruang dalam bersama Ki Demang. Agaknya Ki Demang ingin segera mendengar hasil perjalanan Swandaru dan Pandan Wangi. Karena itu, maka Ki Demang pun segera mengajak mereka makan malam.

Sebenarnyalah, demikian mereka selesai makan, maka Ki Demang itu pun berkata, “Nah, sekarang tentu sudah waktunya aku mendengar, apa hasil perjalanan kalian ke Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Swandaru tidak menangguhkan lagi pembicaraan mereka. Nampaknya Ki Demang benar-benar sudah tidak sabar lagi.

Karena itu, maka Swandaru pun kemudian telah menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, tanpa ada yang disembunyikan. Kemudian Swandaru itu pun berkata, “Ayah, Ayah tidak usah menjadi cemas. Semuanya telah diselesaikan dengan tuntas. Dari Tanah Perdikan Menoreh, kami singgah di Mataram untuk mencabut kembali surat permohonanku, yang untungnya masih berada di tangan Ki Patih Mandaraka. Bahkan Ki Patih itu pun kemudian berkata bahwa ia menganggap bahwa persoalan tentang tanah perdikan itu sudah selesai.”

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berdesis, “Syukurlah. Yang Maha Agung masih melindungi Kademangan Sangkal Putung. Mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak akan terjadi sesuatu.”

Namun Swandaru pun berkata, “Ayah. Persoalan kita dengan Mataram memang sudah selesai. Tetapi kita masih mempunyai persoalan yang lain.”

“Persoalan apa lagi, Swandaru?”

“Persoalan dengan Ki Ambara.”

“Kau mempunyai persoalan apa dengan Ki Ambara?”

Tanpa menyebut nama Wiyati, Swandaru menceritakan bahwa ia telah berada di bawah pengaruh Ki Ambara, sehingga ia berkeras untuk mengusulkan agar Kademangan Sangkal Putung ditetapkan menjadi tanah perdikan.

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Dengan suara yang datar ia pun bertanya, “Jadi. apa yang akan kita lakukan?”

Swandaru pun kemudian menguraikan rencananya, yang sudah disusun bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah di Tanah Perdikan Menoreh.

“Baiklah,” berkata Ki Demang sambil mengangguk-angguk, “jika demikian, kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

“Jangan sampai bocor, Ayah. Rencana ini hanya kita saja-lah yang mengetahui, setidak-tidaknya untuk sementara. Baru kemudian rencana ini kita sampaikan kepada para penghuni Sangkal Putung.”

“Aku mengerti, Swandaru,” berkata ayahnya, “namun kita harus menyadari, bahwa kita akan menghadapi keadaan yang gawat. Mudah-mudahan kita akan dapat menyelesaikan rencana ini dengan baik.”

“Kita akan menunggu saat yang terbaik untuk melaksanakannya, Ayah,” berkata Swandaru kemudian.

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Dibayangkannya apa yang harus dilakukannya untuk dapat melaksanakan rencana itu dengan baik.

“Kita harus berpura-pura,” berkata Ki Demang.

“Ya. Kita harus berpura-pura.”

“Satu permainan yang sulit.”

“Tetapi itu harus kita lakukan.”

“Baiklah. Tetapi bagaimana kau akan menghubungi Ki Ambara?”

“Kita akan menunggu, Ayah.”

Ki Demang mengangguk-angguk pula.

Namun dengan demikian, Ki Demang tidak lagi dicengkam oleh kegelisahan. Jika kemudian ia nampak gelisah, maka kegelisahan itu adalah bagian dari permainan yang harus dilakukannya dalam rangka satu rencana yang lebih besar.

Di hari berikutnya, Swandaru sudah nampak berjalan-jalan di jalan padukuhan induk, meskipun hanya sampai ke pintu gerbang. Sebenarnyalah bahwa Swandaru masih sangat lemah. Namun obat yang dibawanya dari Tanah Perdikan, serta obat yang diberikan oleh Ki Patih Mandaraka, telah banyak sekali membantu perkembangan keadaan Swandaru. Perlahan-lahan kekuatannya telah tumbuh kembali. Luka-lukanya mulai menjadi kering.

Hari itu Swandaru memang nampak gelisah. Meskipun rencana sudah disusun dengan baik, tetapi ada satu yang masih tersembunyi, khususnya bagi Pandan Wangi. Jika pada suatu saat Ki Ambara dan Wiyati dengan sengaja muncul di hadapan Pandan Wangi, maka Swandaru akan kebingungan.

“Tetapi Ki Ambara masih memerlukan aku,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Hari itu, Ki Ambara tidak muncul di Sangkal Putung. Namun Swandaru yakin, bahwa satu dua orang pengikut Ki Ambara sudah mengetahui, bahwa ia sudah pulang dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Besok atau lusa Ki Ambara tentu akan datang.”

Orang Sangkal Putung sendiri tidak ada yang bertanya apa yang telah terjadi dengan Swandaru, yang nampaknya menjadi sangat letih dan kesakitan.

Di hari berikutnya, perhitungan Swandaru itu pun terbukti. Ki Ambara telah datang mengunjunginya di Sangkal Putung.

Kedatangannya disambut oleh Swandaru dengan hangat. Namun wajah Swandaru menampakkan kesan tentang hatinya yang buram.

Keduanya pun kemudian duduk di pringgitan. Pandan Wangi sendiri-lah yang kemudian menyuguhkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Lama tidak bertemu, Ki Ambara,” sapa Pandan Wangi.

“Ya, Nyi,” jawab Ki Ambara, “Nyi Pandan Wangi juga sudah lama tidak berkunjung ke Kajoran.”

“Sibuk sekali, Ki Ambara. Ki Ambara juga sudah lama tidak berkunjung kemari.”

Ki Ambara tertawa. Katanya, “Ternyata kita masing-masing mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, Nyi.”

Pandan Wangi tersenyum, meskipun wajahnya nampak resah.

Demikian Pandan Wangi masuk ke ruang dalam, Ki Ambara berkata, “Demikian aku mendengar bahwa Angger Swandaru kembali, aku segera datang kemari. Kenapa Angger Swandaru tidak pergi ke Kajoran?”

“Rasa-rasanya tulang-tulang di tubuhku berpatahan, Ki Ambara.”

“Kenapa?”

“Orang-orang Mataram memang gila. Mereka menolak permohonanku.”

“Jadi?” nampak kerut di dahi Ki Ambara.

“Bukan saja menolak, tetapi mereka telah menghina aku dan Kademangan Sangkal Putung. Mereka sama sekali tidak menganggap bahwa Sangkal Putung telah berjasa dan pantas untuk ditetapkan menjadi Tanah Perdikan. Menurut orang-orang Mataram, sampai sekarang Sangkal Putung justru masih memerlukan perlindungan.”

“Gila orang-orang Mataram. Apakah Ki Swandaru disakiti oleh orang-orang Mataram?”

“Memang tidak.”

“Jadi kenapa tubuh Ki Swandaru terasa bagaikan berpatahan dan kesakitan?”

“Seperti yang aku rencanakan, aku langsung pergi ke Tanah Perdikan. Mula-mula Agung Sedayu memang menolak untuk membantuku, sementara Ki Gede tidak mempunyai sikap. Ia menurut saja apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu bersedia membantu, maka Ki Gede pun akan membantu. Jika Agung Sedayu menolak, Ki Gede pun akan menolak.”

“Apakah Agung Sedayu bersedia membantu?”

“Seperti aku katakan, semula Agung Sedayu menolak. Maka aku pun membuat sayembara. Aku tantang Agung Sedayu mengadu kemampuan dan ilmu. Siapa yang kalah, harus tunduk.”

“Agung Sedayu bersedia?”

“Kami mengucapkan janji laki-laki. Disaksikan oleh beberapa orang saja, keluarga kami terdekat, maka kami pun berkelahi. Aku tundukkan Agung Sedayu. Ia menangis dan mohon ampun. Aku pun menetapkan bahwa aku-lah yang pantas menjadi saudara tua. Dan seperti janji sebelumnya, yang kalah harus tunduk kepada yang menang. Segala perintahnya harus dijalankan.”

“Akhirnya Agung Sedayu bersedia?”

“Ya. Tetapi ia minta waktu beberapa hari. Ia tidak dapat dengan serta merta memerintahkan kepada prajurit-prajuritnya. Sebagian dari mereka terdiri dari orang-orang yang setia kepada Mataram.”

“Apakah Agung Sedayu tidak akan ingkar?”

“Tidak. Sementara itu, Ki Gede pun tidak dapat menolak. Apalagi ketika aku mengancam akan menyerahkan kembali Pandan Wangi, jika Ki Gede tidak menepati janjinya.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa tulang-tulang Ki Swandaru bagaikan berpatahan?”

“Aku salah menilai Agung Sedayu, Ki Ambara. Aku kira perbedaan tataran ilmu kami jauh. Tetapi ternyata tidak. Kelebihanku dari Agung Sedayu hanya beberapa lapis tipis, sehingga ketika kami bertanding, hampir saja aku tidak berhasil mengalahkannya. Namun dengan kelebihanku yang tidak terlalu banyak, serta pengalamanku yang luas, aku akhirnya dapat menundukkannya.”

“Untunglah, Angger Swandaru akhirnya menang.”

Sambil menunjukkan sebagian dari luka-lukanya, Swandaru pun berkata, “Inilah hasilnya.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Bagaimana keadaan Agung Sedayu?”

“Keadaannya lebih parah. Aku hampir kehilangan kendali diri. Justru karena itu, ia minta waktu. Aku tidak berkeberatan. Aku beri waktu tiga pekan, la harus menyiapkan pasukannya. Demikian pula Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, aku dapat mempersiapkan pasukanku di sini.”

“Ki Swandaru benar-benar ingin menghancurkan Mataram?”

“Ya. Aku mulai dari pasukan Untara di Jati Anom.”

“Bagus,” Ki Ambara mengangguk-angguk, “aku akan membantu Angger Swandaru.”

“Siapkan pasukan Ki Ambara.”

“Apakah aku dapat menyiapkan pasukanku di Sangkal Putung?”

“Tidak apa-apa, Ki Ambara. Ki Ambara dapat menempatkan pasukan yang berhasil Ki Ambara himpun itu di sini. Tetapi apakah petugas sandi Untara tidak akan melihatnya?”

“Ya. Memang kurang menguntungkan,” berkata Ki Ambara kemudian. “Mataram tentu akan menghubungi Untara tentang permohonan Ki Swandaru yang ditolak. Mataram tentu akan mengawasi kademangan ini lewat para petugas sandinya di Jati Anom. Jika ada pasukan asing di sini, akan dapat menimbulkan kecurigaan bagi para petugas sandi itu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi bagaimana menurut pertimbangan Ki Ambara?”

“Mungkin aku dapat mempergunakan tempat lain yang lebih terlindung. Pada saatnya aku akan menghubungi Angger Swandaru.”

“Jangan terlalu lama, Ki Ambara. Aku akan sembuh dan pulih kembali selambat-lambatnya sepekan. Aku akan segera menyusun kekuatan. Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu dan Ki Gede juga mempersiapkan pasukannya. Namun sebelum kita bergerak, aku ingin tahu apakah pasukan itu benar-benar mampu menggoyahkan kekuasaan Mataram, setelah sebelumnya menghancurkan pasukan Untara.”

Ki Ambara tersenyum. Katanya, “Kekuatan Mataram tidak berada di Mataram. Ketika Mataram memerangi kekuatan di Timur, maka yang dikerahkan sebagian adalah para prajurit dari beberapa Kadipaten. Demikian pula ketika Mataram mengalahkan Pati. Jika Ki Swandaru dapat merunduk Mataram sebelum sempat mengumpulkan kekuatan dari luar Mataram sendiri, maka Mataram tentu akan pecah. Kemudian, tugas Angger Swandaru adalah mempertahankan apa yang sudah Angger kuasai.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun iapun berkata, “Meskipun demikian, kita tidak dapat meremehkan Mataram. Di Mataram ada orang-orang berilmu tinggi. Bukan saja yang telah menjadi semakin tua, tetapi yang muda-muda, yang baru tumbuh itu pun memiliki kekuatan yang besar.”

“Jangan cemas. Kita mempunyai Angger Swandaru, Angger Agung Sedayu, beberapa orang berilmu tinggi lainnya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian di dalam pasukanku pun ada beberapa orang berilmu tinggi pula. Beberapa orang pemimpin padepokan yang dapat diyakini memiliki kemampuan yang tinggi.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sementara Ki Ambara berkata selanjutnya, “Jangan ragu-ragu, Ki Swandaru.”

“Aku percaya, Ki Ambara.”

“Nah, marilah kita melakukan tugas kita masing-masing. Dafam dua tiga hari aku dapat menentukan tempat untuk menghimpun kekuatan yang akan bergabung dengan kekuatan Ki Swandaru.”

“Terima kasih, Ki Ambara.”

“Dalam dua tiga hari ini, Angger Swandaru dapat pergi ke Kajoran.”

Swandaru mengerutkan dahinya. Katanya, “Dalam keadaanku sekarang ini, aku tidak dapat pergi, Ki Ambara. Pandan Wangi akan bertanya-tanya, kenapa aku memaksa untuk pergi sebelum keadaanku pulih kembali.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Dalam dua tiga hari ini, aku akan datang kembali. Aku akan memberitahukan kepada Ki Swandaru, persiapan-persiapan yang dapat aku lakukan untuk mendukung niat Angger Swandaru.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih, Ki Ambara. Jika aku dapat menghancurkan Mataram, aku tidak akan melupakan Ki Ambara dan mereka yang telah membantuku.”

Ki Ambara tersenyum. Katanya, “Kami melakukannya tanpa pamrih, Ki Swandaru. Tetapi ayah Panembahan Senapati itu telah terlalu banyak berbuat dosa, sehingga terlalu banyak orang yang mendendamnya. Sekarang, kita tinggal mengungkit saja dendam yang terpendam itu. Anak-anak, saudara-saudara dan sahabat-sahabat, serta saudara-saudara seperguruan mereka yang pernah disakiti hatinya dan bahkan disakiti tubuhnya, apalagi yang dibunuh dengan sewenang-wenang, akan dengan senang hati berjuang bersama-sama dengan kita. Anak Pemanahan itulah yang kini menjadi sasaran, justru pada saat ia sedang sakit. Tetapi orang-orang yang hatinya pernah disakiti oleh Pemanahan itu ingin dendamnya dilepaskan sebelum Panembahan Senapati dibunuh oleh penyakitnya itu.”

“Panembahan Senapati tidak akan meninggal karena penyakitnya. Ada berpuluh tabib yang merawatnya. Meskipun demikian, hidup mati seseorang memang tidak ditentukan oleh orang itu sendiri, atau oleh para tabib yang merawatnya.”

“Baiklah,” berkata Ki Ambara, “sebaiknya kita memang cepat-cepat saja bergerak. Jika mungkin, sebelum waktu yang tiga pekan itu.”

“Secepatnya kita akan bergerak. Jika semuanya sudah siap, kita akan segera melakukannya.”

Ki Ambara masih beberapa lama berbincang dengan Swandaru. Mereka sepakat, bahwa mereka harus bergerak secepatnya, sebelum gerakan mereka tercium oleh petugas sandi dari Mataram.

“Sasaran kita yang pertama adalah pasukan Untara di Jati Anom,” berkata Swandaru.

Namun Ki Ambara pun bertanya, “Bukankah Agung Sedayu itu adik Ki Untara?”

“Ya.”

“Apakah jika kita menghancurkan Untara, Agung Sedayu tidak akan tersinggung?”

“Aku sudah mengatakannya, bahwa aku akan menghancurkan pasukan Untara. Hal itu terpaksa aku lakukan, karena Untara tidak akan dapat diajak bekerja bersama.”

“Agung Sedayu tidak berkeberatan?”

“Ia terikat oleh janjinya sendiri. Namun untuk menjaga perasaannya, aku memang tidak mengharapkan bantuannya. Pasukan pengawal Sangkal Putung serta pasukan yang terhimpun oleh Ki Ambara akan dapat menghancurkannya, namun kemungkinan itu juga tergantung kepada kekuatan pasukan Ki Ambara.”

Ki Ambara tertawa. Katanya, “Jangan cemas, Ki Swandaru. Bahkan mungkin Ki Swandaru akan terkejut melihat pasukan yang akan mendukung Kademangan Sangkal Putung. Beberapa padepokan dan perguruan akan ikut ambil bagian. Mereka adalah orang-orang yang terlatih, baik di dalam kelompok masing-masing, maupun seorang-seorang.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih, Ki Ambara. Seperti yang aku katakan, untuk mendapatkan satu keyakinan, aku ingin melihat pasukan itu.”

“Tentu, Ki Swandaru.”

“Jangan menganggap bahwa aku tidak percaya kepada Ki Ambara dan pasukannya.”

“Tidak. Tentu tidak, Ki Swandaru. Aku justru menghargai sikap kepemimpinan Ki Swandaru yang berhati-hati menghadapi satu kerja besar. Sudah seharusnya Ki Swandaru melakukannya.”

“Terima kasih atas pengertian Ki Ambara.”

Sejenak kemudian, maka Ki Ambara pun segera meninggalkan rumah Swandaru, setelah minta diri pula kepada Pandan Wangi.

“Begitu tergesa-gesa, Ki Ambara?”

“Sudah cukup, Nyi. Aku hanya ingin menengok Ki Swandaru yang sudah agak lama tidak bertemu.”

“Terima kasih atas kunjungan ini, Ki Ambara,” berkata Pandan Wangi kemudian sambil tersenyum.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Ambara pun telah meninggalkan Sangkal Putung.

Demikian ia sampai di Kajoran, maka i apun segera berbincang dengan Ki Saba Lintang. Ki Ambara pun telah menceriterakan apa yang telah dilakukan oleh Swandaru di Tanah Perdikan Menoreh.

Wiyati yang ikut mendengarkan cerita Ki Ambara itu berkata, “Aku yakin bahwa kita akan berhasil. Kakang Swandaru tentu akan dapat memaksakan kehendaknya. Baik lewat istrinya Pandan Wangi, maupun lewat saudara seperguruannya, yang juga adik iparnya itu.”

“Tetapi nampaknya Ki Swandaru masih belum begitu yakin akan kekuatan kita.”

“Setiap saat pasukan kita dapat digerakkan,” sahut Ki Saba Lintang.

“Dimana kita akan menempatkan pasukan kita? Jika kita tempatkan pasukan itu di Sangkal Putung, tentu akan segera menimbulkan kecurigaan. Setelah Mataram menolak permohonannya, maka Swandaru pun akan selalu diawasi.”

“Kita tidak akan menempatkan pasukan itu di Sangkal Putung. Kita akan menempatkan pasukan kita di sisi utara hutan Lemah Cengkar.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Pasukan itu akan terlindung di sana. Tetapi kita harus membangun perkemahan dan mempunyai persediaan makanan yang cukup.”

“Apakah itu sulit?”

“Tidak. Sama sekali tidak. Dalam waktu yang pendek, semuanya sudah akan tersedia. Dalam sepekan ini segala-galanya telah siap.”

“Aku akan kembali ke Sangkal Putung dalam dua atau tiga hari. Tetapi Swandaru baru akan bergerak sekitar dua atau tiga pekan lagi. Ternyata luka-luka di tubuh Swandaru cukup parah. Sementara itu, Agung Sedayu terluka lebih parah lagi. Swandaru memberi waktu tiga pekan kepada Agung Sedayu untuk menyiapkan pasukannya dan pasukari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jika demikian, setelah dua pekan kita mempersiapkan diri, baru kita akan menyerang pasukan Untara, agar Mataram tidak sempat mengadakan persiapan-persiapan. Kita harus mematangkan pembicaraan dengan Tanah Perdikan Menoreh, kapan kita akan mulai. Tidak boleh ada tenggang waktu antara serangan kita untuk menghancurkan pasukan Untara, dengan serangan besar-besaran ke Mataram dari dua arah. Dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung. Kita tidak boleh memberi kesempatan pasukan dari Ganjur dan dari Gejayan untuk berada di Kotaraja. Jika kemudian mereka datang setelah kita menguasai kota, maka kita akan menghancurkannya.”

“Kita akan membicarakannya dengan matang. Dua hari lagi aku akan bertemu dengan Swandaru. Aku akan minta Swandaru memanggil Agung Sedayu sebelum sampai pada batas waktu yang ditentukan.”

“Ya. Semua pembicaraan harus matang. Kita tidak boleh gagal lagi setelah sekian lama kita menunggu.”

“Yang kemudian harus kita pikirkan, bagaimana setelah Mataram jatuh,” berkata Ki Ambara kemudian.

“Swandaru bukan apa-apa. Kita dapat mengancamnya untuk menghadirkan Wiyati di tengah-tengah keluarganya, jika Swandaru tidak mau tunduk kepada kehendak kita.”

“Seandainya ia tidak menghiraukannya?”

“Biarlah Wiyati membunuhnya,” sahut Ki Saba Lintang tegas.

Pembicaraan itu masih berlangsung beberapa lama. Hari itu juga Ki Saba Lintang akan meninggalkan Kajoran untuk menghubungi kawan-kawannya. Kekuatan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh akan memberikan banyak arti bagi perjuangan mereka. Namun yang kemudian harus disingkirkannya.

Dalam pada itu.

(ada halaman yang hilang)

apa yang harus mereka lakukan segera. Yang ditekankannya adalah bahwa waktunya sudah terlalu sempit, sehingga dengan demikian maka para pengawal Kademangan Sangkal Putung harus bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan mereka. Baik kemampuan perang gelar, maupun kemampuan mereka seorang-seorang.

Dalam keadaan yang demikian, Swandaru semakin merasa bahwa Sangkal Putung memang terlalu kecil untuk menepuk dada, apalagi menantang Mataram. Tidak ada orang lain yang dapat dibanggakan di Sangkal Putung selain dirinya sendiri dan istrinya Pandan Wangi.

Dalam keadaan yang gawat itu, Swandaru menyadari betapa rapuh penalarannya, sehingga ia begitu mudahnya di pengaruhi oleh Ki Ambara. Swandaru pun kemudian dapat membaca dengan jelas, bahwa ia sudah masuk ke dalam perangkap.

Namun Swandaru itu merasa bersyukur bahwa segala sesuatunya masih belum terlanjur dimanfaatkan oleh Ki Saba Lintang. Bahkan seandainya ia berhasil, maka Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi landasan perjuangan Ki Saba Lintang selanjutnya. Bahkan Swandaru pun mulai yakin, bahwa dirinya dan para pemimpin Tanah perdikan Menoreh akan disingkirkan untuk selama-lamanya.

“Alangkah bodohnya aku,” berkata Swandaru kepada diri sendiri. Namun ia merasa lebih bodoh lagi, bahwa ia mengira begitu rendahnya ilmu Agung Sedayu.

“Mataku telah buta dan telingaku tuli. Kenapa akau tidak tahu bahwa kemampuan Kakang Agung Sedayu itu sudah menggapai langit? Seandainya aku menjadi Kakang Agung Sedayu, tentu adik seperguruannya sudah terkapar mati di arena itu.”

(ada halaman yang hilang)

Ketika seorang pemimpin pengawal bertanya kepadanya apakah yang akan terjadi, sehingga Sangkal Putung harus melakukan latihan lebih berat dari biasanya, maka diisyaratkannya bahwa dalam waktu dekat, Sangkal Putung akan berguncang.

“Kita adalah anak-anak yang lahir dan dibesarkan di Sangkal Putung. Kita adalah orang-orang yang paling berkepentingan dengan kelangsungan segenap kehidupan yang ada di dalamnya. Bukan saja kesejahteraannya, tetapi juga kehormatan dan harga dirinya. Karena itu, maka kita harus bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam waktu yang dekat ini.”

Pemimpin pengawal itu tidak mendesaknya. Tetapi ia merasakan tekanan kata-kata Swandaru itu.

Karena itu. maka para pengawal pun telah berlatih dengan bersungguh-sungguh. Bahkan seakan-akan mereka tidak melakukan pekerjaan lain kecuali berlatih dan berlatih.

Seperti yang dijanjikan, setelah dua hari sejak kunjungannya, Ki Ambara telah datang lagi di Sangkal Putung.

Kedatangannya diterima oleh Swandaru dengan akrab, dan segera dipersilahkannya naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.

“Bagaimana keadaan Angger Swandaru?” bertanya Ki Ambara demikian ia duduk.

“Sudah menjadi semakin baik, Ki Ambara.”

“Syukurlah. Tetapi Angger Swandaru masih belum berkunjung ke Kajoran?”

“Setiap hari Pandan Wangi masih mengobati luka-lukaku, Ki Ambara. Pandan Wangi minta agar aku tidak pergi kemanapun. Selama ini aku hanya dapat pergi ke tempat-tempat latihan. Itupun hanya sebentar-sebentar. Namun aku dapat langsung memberikan petunjuk-petunjuk kepada para pemimpin pengawal.”

“Syukurlah. Mudah-mudahan persiapan Ki Swandaru benar-benar mencapai tataran yang diinginkan.”

“Aku yakin, Ki Ambara. Pada dasarnya para pengawal Sangkal Putung adalah para pengawal yang baik. Yang mempunyai dasar kemampuan yang tinggi serta pengalaman yang luas. Mereka tidak berada di bawah tataran para prajurit Mataram. Karena itu, aku berani membenturkan para pengawal Kademangan Sangkal Putung dengan prajurit Mataram. Bahkan para prajurit dari Pasukan Khusus sekalipun.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Sokurlah. Mudah-mudahan orang-orang yang telah menyatakan kesediaan membantuku, akan dapat mengimbangi kemampuan para pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

“Aku berharap demikian, Ki Ambara.”

“Dalam sepekan ini mereka sudah akan bersiap.”

“Dalam pekan ini?”

“Kami akan berada dalam kesiagaan tertinggi setelah dua pekan. Kita akan segera merencanakan serangan terhadap pasukan Untara, kemudian kita akan langsung pergi ke Mataram, sebelum Mataram sempat mendatangkan para prajuritnya yang berada di luar Kotaraja.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Menghancurkan Mataram akhirnya bukan sekedar mimpi. Aku akan segera berada di Mataram. Jika anak Pemanahan itu dapat duduk di atas tahta, maka apa salahnya jika anak Demang Sangkal Putung akan disebut Panembahan?”

“Tentu, Ngger, tentu. Bukan hanya seorang Kepala Tanah Perdikan, tetapi seorang Panembahan yang berkuasa di Mataram.”

Swandaru itu pun tertawa berkepanjangan.

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Swandaru sudah mulai mabuk membayangkan kemungkinan yang bakal diraihnya.

Ketika kemudian Ki Ambara kembali ke Kajoran, maka bukan saja Ki Ambara yang tertawa berkepanjangan, tetapi Wiyati yang merasa telah berhasil tertawa pula.

“Ki Saba Lintang akan merasa sangat bergembira pula, jika ia tahu bahwa Swandaru seakan-akan telah kehilangan kesadarannya, siapa dirinya. Ia sudah merasa seakan-akan duduk di atas tahta di Istana Mataram, disembah oleh seorang Pepatih, para Tumenggung dan Nayaka Praja,” berkata Ki Ambara.

“Kasihan Kakang Swandaru” desis Wiyati. Namun ia tertawa dengan suara yang lepas.

Dalam pada itu, Swandaru telah mempersiapkan para pengawal sebaik-baiknya. Tetapi Swandaru masih belum mengatakan, apa yang akan terjadi kemudian. Swandaru belum mengatakan, siapakahyang akan dihadapi oleh para pengawal Sangkal Putung itu.

Dalam sepekan, maka pasukan yang kuat benar-benar telah berada di hutan Lemah Cengkar di sisi utara.

Ki Ambara telah datang lagi ke Sangkal Putung untuk memberitahukan kepada Swandaru, bahwa pasukannya telah berada di sisi utara hutan Lemah Cengkar.

“Apakah kita sudah siap untuk bertempur?” bertanya Swandaru.

“Dalam dua pekan ini kita akan sudah siap untuk bertempur. Aku minta Angger Swandaru memanggil Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh. Kita harus mematangkan semua rencana.”

“Baiklah, Ki Ambara. Aku akan memanggil Agung Sedayu untuk datang sepekan lagi. Aku tidak peduli apakah ia sudah pulih kembali atau belum.”

“Tetapi tenaganya sangat kita butuhkan, Ki Swandaru.”

“Setelah ia datang, maka kita akan dapat melihat keadaannya. Agung Sedayu mempunyai berbagai macam obat terbaik. Guru adalah seorang tabib pilihan. Agaknya di dalam ilmu pengobatan, Agung Sedayu memiliki minat yang tinggi, lebih tinggi dari olah kanuragan, sehingga ia dapat mewarisi sebagian dari ilmu pengobatan yang dikuasai oleh Guru.”

Ki Ambara mengangguk-angguk.

Mereka pun kemudian telah sepakat untuk menentukan sebuah pertemuan yang lebih lengkap, sehingga mereka dapat menyusun rencana yang lebih meyakinkan.

Tetapi Swandaru sendiri tidak pergi menemui Agung Sedayu di Jati Anom. Ia telah memerintahkah seorang kepercayaannya untuk menemui Agung Sedayu, memanggilnya untuk datang di Sangkal Putung pada hari yang sudah ditentukan.

Tetapi kepercayaan Swandaru itu sudah dipesan mawanti-wanti, bahwa ia tidak boleh membocorkan rahasia itu.

“Kau harus mengatakan bahwa kau telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, memanggil Kakang Agung Sedayu.”

“Baik, Ki Swandaru.”

“Jika kau tidak dapat menyimpan rahasia ini, taruhannya adalah hancurnya Kademangan Sangkal Putung, leherku dan leher Kakang Agung Sedayu. Termasuk lehermu juga.”

“Baik, Ki Swandaru.”

Demikianlah, maka kepercayaan Swandaru itu telah pergi ke Jati Anom untuk menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Tetapi kepada setiap orang, ia mengatakan bahwa ia akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku akan hadir dalam pertemuan itu.”

“Datanglah sebelumnya, Ki Lurah. Ki Swandaru akan membicarakan segala sesuatunya sebelum pertemuan itu berlangsung.”

“Baiklah. Aku akan datang sehari sebelum pertemuan itu berlangsung.”

Tetapi utusan yang dikirim oleh Swandaru itu tidak segera kembali ke Sangkal Putung. Untuk memberikan kesan bahwa ia benar-benar pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, maka kepercayaan Swandaru itu bermalam satu malam di Jali Anom.

Dalam pada itu, setiap perkembangan keadaan selalu disampaikan oleh Agung Sedayu kepada Untara, sehingga Untara pun dapat mengikutinya.

Sebenarnyalah bahwa Untara pun telah menyiapkan pasukannya untuk menghadapi segala kemungkinan. Ia akan menunggu serangan yang akan dilancarkan atas kesatuannya yang berada di Jati Anom. Namun Untara harus menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan di Sangkal Putung.

Sehari sebelum pertemuan itu diselenggarakan, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berada di Sangkal Putung. Mereka telah menyusun rencana, apa yang harus mereka lakukan menghadapi pertemuannya dengan Ki Ambara dan beberapa orang yang akan membantu Swandaru menghancurkan Mataram. Namun lebih dahulu mereka akan menghancurkan pasukan Untara di Jati Anom.

Dalam pertemuan itu, segala sesuatunya telah disusun dengan rapi. Bahkan hari-harinya pun telah ditentukan.

“Aku tidak tahu menahu tentang serangan Swandaru atas Jati Anom,” berkata Agung Sedayu.

Swandaru tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan, Untara adalah urusanku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Aku tahu bahwa Untara adalah kakak kandungmu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia berdesis, “Terima kasih, Kakang.”

Ki Ambara dan yang hadir di pertemuan itu tersenyum. Meskipun sebagian besar dari mereka belum pernah mengenal Agung Sedayu secara pribadi, namun mereka tahu bahwa sebelumnya Agung Sedayu adalah saudara tua seperguruan Swandaru. Setelah Agung Sedayu dikalahkan dalam perang tanding di Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu-lah yang kemudian memanggilnya Kakang. Adalah kebetulan pula bahwa Agung Sedayu telah menikah dengan adik perempuan Swandaru.

Demikianlah, mereka pun telah mematangkan pembicaraan di antara beberapa orang itu. Di samping Ki Ambara, hadir dua orang yang wajahnya nampak sangat garang. Bahkan wajah seorang di antaranya nampak cacat bekas goresan senjata.

“Besok aku akan melihat keadaan pasukan di sisi utara hutan Lemah Cengkar itu,” berkata Swandaru.

Orang yang wajahnya cacat itu pun berkata, “Silahkan. Agaknya kau tidak percaya kepada kekuatan kami. Besok kau akan mengetahui, bahwa kami tidak sedang bermain-main. Kami sadar bahwa kami akan menyerang Mataram.”

“Baiklah. Tetapi bagaimana kami besok dapat sampai ke perkemahanmu?”

Orang yang wajahnya cacat itu berkata, “Ki Ambara akan membawamu.”

“Baik. Terima kasih,” Swandaru pun mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Ambara telah singgah di rumah Swandaru. Agung Sedayu yang masih berada di rumah Swandaru telah ikut bersama mereka pergi ke sisi utara hutan Lemah Cengkar. Swandaru dan Agung Sedayu memang terkejut melihat pasukan yang berkemah di hutan itu. Bukan saja jumlahnya cukup besar, tetapi nampaknya mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki pengalaman yang luas. Beberapa orang pemimpinnya nampaknya orang berilmu tinggi.

“Luar biasa,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Ia telah membandingkan kekuatan itu dengan kekuatan yang ada di Sangkal Putung.

Agung Sedayu pun menyadari bahwa kekuatan itu cukup besar untuk dihadapi. Seandainya pasukan itu menyerang Sangkal Putung, maka Sangkal Putung tentu akan pecah. Kekuatan para pengawal di Sangkal Putung saja tidak akan dapat mengimbangi kekuatan itu.

Swandaru dan Agung Sedayu pun kemudian telah diperkenalkan dengan para pemimpin dari pasukan yang sedang berkemah itu. Mereka adalah orang-orang yang nampak sangat meyakinkan.

Namun, Ki Ambara sebelumnya sudah memberitahukan bahwa Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh akan datang bersama Swandaru, sehingga orang-orang yang telah terlibat langsung dalam pertempuran di Tanah Perdikan Menoreh, tidak menampakkan dirinya.

“Agung Sedayu mempunyai ingatan yang sangat kuat,” berkata Ki Ambara.

Beberapa saat setelah Swandaru dan Agung Sedayu menyaksikan kekuatan yang tersimpan di perkemahan itu, maka mereka pun segera minta diri. Mereka telah melihat jumlah orang yang cukup besar, persenjataan yang baik, perbekalan yang mencukupi, dan agaknya juga kesetiaan yang tinggi.

Ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, orang yang wajahnya cacat oleh goresan senjata itu sempat bertanya, “Ki Lurah Agung Sedayu, bukankah kata-katamu benar-benar dapat dipegang?”

Agung Sedayu memandang Swandaru sekilas. Kemudian ia pun menjawab, “Janjiku terutama aku ucapkan kepada Kakang Swandaru. Kami sudah membuat janji seorang laki-laki.”

“Aku tahu. Tetapi maksudku adalah kekuatan di belakangmu. Apakah kau benar-benar dapat menggerakkan pasukanmu serta seluruh kekuatan Tanah Perdikan Menoreh? Karena Ki Gede Menoreh tidak dapat datang dalam pertemuan ini.”

“Aku sudah mengatakannya kepada Kakang Swandaru. Meskipun aku harus mengorbankan beberapa orang di dalam pasukanku.”

“Apa maksudmu?”

“Aku harus menyingkirkan beberapa orang yang nampaknya akan menghalangi usahaku, menyeret orang-orangku ke dalam rencana ini. Tetapi semuanya sudah aku rencanakan dengan baik. Aku sudah mempersiapkan orang-orangku yang setia, untuk pada saatnya menyingkirkan mereka.”

Orang berwajah cacat itu pun kemudian telah memperkenalkan seorang yang umurnya kira-kira sebaya dengan Agung Sedayu. Katanya, “Ia juga seorang Lurah prajurit dari Demak. Ia juga pernah memimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang tangguh.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Nampaknya orang itu masih terlalu muda, jika pada saat Demak masih berdiri, ia sudah menjadi seorang Lurah prajurit.

Orang yang wajahnya cacat itu tiba-tiba tertawa. Katanya, “Jangan terkejut. Orang ini memiliki ilmu yang jarang dimiliki orang lain. Ia dapat menghambat ketuaan yang mencengkamnya. Sebenarnyalah bahwa umurnya jauh lebih tua dari ujudnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika orang itu dapat menghambat gerak ketuaannya, maka ia tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Selagi Agung Sedayu memperhatikan orang itu, maka orang itu pun berkata, “Aku juga sudah mendengar tentang kebesaran namamu, Ki Lurah. Semoga namamu menjadi semakin besar, meskipun mungkin sekali kebesaran namamu bukan karena kelebihan ilmumu, tetapi semata-mata karena orang lain dengan sengaja ingin mencuatkan namamu untuk kepentingan tertentu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin, Ki Lurah. Eh, siapakah nama Ki Sanak?”

“Namaku Wira Sambada.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Sementara Ki Lurah Wira Sembada itu bertanya, “Kau pernah mendengar namaku?”

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Belum, Ki Lurah.”

“Bagus. Sekarang kau sudah mendengar, bahwa di Demak pernah ada seorang Lurah prajurit dari Pasukan Khusus berkuda yang bernama Wira Sembada.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Ki Lurah.”

“Sekarang, kita dari angkatan yang berbeda akan bekerja bersama. Bukan maksudku untuk bersaing. Tetapi aku hanya ingin menguji, siapakah yang lebih baik di antara para Lurah terpilih pada masa kejayaan Demak, dan pada masa Mataram sekarang ini.”

“Tetapi aku bukan orang terbaik di antara para Lurah prajurit di Mataram, Ki Lurah Wira Sembada.”

Ki Lurah Wira Sembada itu tertawa. Katanya, “Namamu adalah nama yang paling dikenal di antara para Lurah prajurit di Mataram. Memang mungkin kau bukan yang terbaik, tetapi kau dapat dipakai untuk melihat tataran rata-rata Lurah prajurit dari Pasukan Khusus di Mataram.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Swandaru tertawa sambil berkata, “Jika Agung Sedayu pantas menjadi seorang Lurah prajurit, maka aku sepantasnya menjadi seorang Tumenggung. Setidak-tidaknya seorang Rangga dalam tatanan keprajuritan Mataram.”

Ki Ambara tiba-tiba saja menyela, “Kedudukan seseorang tidak selalu ditentukan oleh tingkat kemampuan dan kelebihannya. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu telah mengenal dan dikenal oleh Panembahan Senapati di masa mudanya.”

Swandaru tiba-tiba saja menyahut, “Ya. Kawan, kenalan dan hubungan-hubungan lain akan sangat menentukan.”

Ki Lurah Wira Sembada tertawa. Katanya, “Kita akan dapat membuktikan di dalam perang yang bakal datang.”

Suara tertawa Swandaru pun menjadi semakin keras dan berkepanjangan. Sementara itu Agung Sedayu hanya berdiam diri saja, bahkan seperti seorang yang kebingungan.

“Baiklah,” berkata Swandaru kemudian, “aku minta diri. Kita sudah menyusun rencana dengan baik. Kita semuanya harus menepati waktu, jika kita tidak ingin gagal.”

“Sehari sebelum saatnya kita bergerak, aku akan menemui Ki Swandaru lagi,” berkata Ki Ambara.

“Bagus. Aku berharap bahwa Agung Sedayu sudah pulih sepenuhnya. Tenggang waktu kita kelak hanya sehari.”

“Agaknya aku sudah baik, Kakang.”

“Bukan hanya sudah baik, tetapi pulih kembali.”

“Ya. Pulih kembali. Sekarang pun telah hampir pulih.”

“Bagus. Kita tidak boleh gagal. Jika kita gagal, maka kita tentu akan dilumatkan. Terutama Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya,” sahut Ki Ambara, “dan kalian tidak akan pernah dapat bangkit kembali untuk selama-lamanya.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Swandaru, Agung Sedayu dan Ki Ambara pun bersiap untuk meninggalkan perkemahan itu. Sambil melangkah ke kuda mereka, Agung Sedayu dan Swandaru sempat melihat kekuatan yang tersimpan di dalam perkemahan itu. Apalagi Ki Ambara dengan sengaja menunjukkan kekuatan itu kepada Swandaru.

Dalam perjalanan pulang, Ki Ambara tidak singgah di Sangkal Putung. Tetapi ia langsung pulang ke Kajoran.

Namun Ki Ambara itu sempat bertanya, “Kapan Ki Lurah kembali ke Tanah Perdikan?”

“Segera Ki Ambara. Mungkin hari ini.”

“Hari ini?” bertanya Ki Ambara.

“Jangan mengigau. Lihat, dimana matahari sekarang?” sahut Swandaru.

Mereka bertiga menengadahkan wajah mereka. Matahari ternyata sudah melampaui puncaknya, dan bahkan sudah mulai tergelincir ke barat.

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Besok, pagi-pagi sekali.”

“Apakah Nyi Lurah juga akan kembali ke Tanah Perdikan besok pagi bersama Ki Lurah?”

“Ya.”

Tetapi Swandaru menyahut, “Kau belum bertanya kepadanya, apakah Sekar Mirah akan ikut ke Tanah Perdikan atau tidak.”

“Aku memerlukannya. Aku membutuhkan dorongan kekuatan jiwani untuk melakukan tugas ini.”

“Jangan mementingkan diri sendiri,” geram Swandaru.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Segala sesuatunya terserah kepada Sekar Mirah. Tetapi jika Sekar Mirah akan tetap berada di sini, kau jangan memaksanya untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia ingin mulai dari kampung halamannya, sementara kau akan datang dari Tanah Perdikan, langsung ke Mataram.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Segala sesuatunya terserah kepada Sekar Mirah. Tetapi aku menginginkannya ikut kembali ke Tanah Perdikan. Mungkin aku memerlukan bantuannya, bukan saja dorongan jiwani, tetapi juga kemampuan dan ilmunya.”

Swandaru mengerutkan dahinya. Katanya, “Kita akan berbicara dengan Sekar Mirah.”

Agung Sedayu pun terdiam. Dipandanginya jalan yang panjang yang terbentang di hadapannya.

Ketika mereka sampai di sebuah jalan simpang, maka Ki Ambara pun berkata, “Kita akan berpisah di sini. Aku akan langsung pulang ke Kajoran.”

Demikian mereka berpisah, maka masing-masing telah melarikan kuda mereka lebih cepat. Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata, “Aku akan kembali ke Jati Anom segera.”

Swandaru nampaknya tanggap. Karena itu, maka ia pun menyahut, “Baiklah, Kakang. Mungkin Ki Ambara besok akan mengirimkan orangnya untuk mengamatinya kemana Kakang pergi.”

Seperti yang dikatakan di perjalanan pulang dari hutan di sisi utara Lemah Cengkar, maka Agung Sedayu pun segera berbenah diri. Bersama Sekar Mirah ia pun meninggalkan Sangkal Putung dan kembali ke Jati Anom. Mereka tidak mau diamati oleh petugas sandi, yang mungkin akan dikirim oleh Ki Ambara esok pagi.

Demikianlah, maka segala persiapan telah berjalan lancar. Latihan-latihan di Sangkal Putung pun berlangsung terus. Para pengawal masih tetap tidak mengetahui, apa yang harus mereka lakukan kembali. Namun mereka justru berlatih bersungguh-sungguh untuk menghadapi teka-teki yang semakin lama menjadi semakin mencengkam.

Para pengawal yang masih belum tahu siapakah yang akan mereka hadapi itu tidak ingin menyesal di medan. Jika tiba-tiba saja mereka harus berhadapan dengan pasukan yang memiliki kekuatan yang besar, mereka tidak boleh membiarkan diri mereka digilas tanpa dapat memberikan perlawanan yang berarti.

Dari hari ke hari, Sangkal Putung rasa-rasanya semakin dicengkam oleh ketegangan. Mereka masih harus menduga-duga, apa yang akan terjadi beberapa hari lagi. Rasa-rasanya mereka harus siap untuk meloncat ke dalam kegelapan.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang tidak tinggal diam. Mereka mengirimkan beberapa orang petugas sandi untuk mengamati perkembangan Sangkal Putung. Mereka memang melihat kesibukan yang semakin meningkat. Latihan-latihan yang semakin keras.

Namun orang yang dikirim untuk mengamati perjalanan Agung Sedayu tidak berhasil melihat kepergian Agung Sedayu dari Sangkal Putung.

Ketika Ki Ambara menemui Swandaru, Swandaru itu berkata, “Sekar Mirah akhirnya ikut suaminya ke Tanah Perdikan.”

“Bukankah itu wajar sekali?” sahut Ki Ambara, “Bahkan sudah seharusnya Nyi Lurah mengikuti suaminya.”

“Ya. Karena itu, aku tidak mencegahnya. Segala sesuatunya terserah kepada Sekar Mirah.”

Kedatangan Ki Ambara itu terutama untuk mematangkan segala rencana. Waktu yang telah ditetapkan harus dipegang segala pihak dengan sebaik-baiknya. Jika terjadi kelambatan salah satu pihak, maka akibatnya akan dapat menjadi buruk sekali.

Ki Ambara dan Swandaru bahkan telah merencanakan arah serangan mereka. Pada saat fajar menyingsing di hari yang ditentukan, pasukan Sangkal Putung akan menyusup dari arah selatan, langsung menuju ke barak pasukan Mataram yang dipimpin Utara. Sementara itu, pasukan yang dipimpin Ki Ambara akan memasuki Jati Anom dari sisi utara. Kedua pasukan itu akan mengepung barak dan memecahkan pertahanan pasukan Untara hari itu juga.

“Jangan diberi kesempatan untuk menunda kekalahan. Hari itu juga pasukan itu harus dihancurkan. Kita tidak mempunyai waktu untuk beristirahat. Pasukan kita akan langsung menuju ke Mataram, Sebelum fajar, Mataram harus sudah dikepung, meskipun baru setelah matahari terbit kita menyerang. Mungkin pasukan kita sangat letih. Tetapi jika ada tenggang waktu, penghubung dari Jali Anom akan sempat memberi laporan kepada Mataram, sehingga Mataram akan dapat mendatangkan pasukan yang berada di Ganjur dan barangkali dari barak yang lain, untuk memperkuat pertahanan mereka.”

“Ya,” Swandaru mengangguk-angguk, “pasukan kita memang akan menjadi sangat letih. Tetapi pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh adalah pasukan yang masih segar.”

“Ya. Kita pun akan sangat menghemat tenaga di Jati Anom. Kita tidak akan mengerahkan segenap tenaga yang ada. Sebagian dari kita harus tetap segar, sampai kita memasuki pintu gerbang Mataram.”

“Kekuatan Untara agaknya tidak terlalu besar, sehingga tidak akan sangat memeras tenaga,” desis Swandaru.

Ki Ambara mengangguk-angguk. Ia sudah merencanakan bahwa pasukan Untara itu harus dihancurkan menjelang sore hari. Pasukannya dan pasukan Sangkal Putung akan sempat beristirahat sejenak sambil makan. Baru kemudian mereka akan menempuh perjalanan panjang ke Mataram. Mereka berharap bahwa tengah malam mereka akan sampai di Mataram, langsung mengepung Kotaraja bersama-sama dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh, yang juga sudah harus berada di Mataram menjelang tengah malam. Mereka masih mempunyai waktu sedikit untuk beristirahat dan mengatur diri. Menjelang fajar, baru mereka mempersiapkan diri untuk menyerang pintu gerbang. Pintu gerbang induk dan pintu gerbang samping di empat penjuru.

Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang segar akan menjadi ujung tombak serangan mereka. Kemudian pasukan yang sudah letih dari para pengawal Sangkal Putung dan pasukan Ki Ambara akan mendukung mereka.

“Tetapi orang-orang berilmu tinggi dari Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh dan dari pasukanku akan tetap berada di paling depan. Aku yakin bahwa mereka masih akan mampu bertempur tanpa berhenti tiga hari tiga malam lagi,” berkata Ki Ambara.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun iapun berdesis, “Tegas yang sangat berat.”

“Kita akan bersama-sama memikulnya,” berkata Ki Ambara.

Swandaru tersenyum. Katanya, “Mataram akan menyesali keangkuhannya.”

Ki Ambara pun tersenyum. Namun Ki Ambara itu berkata pula di dalam hatinya, “Tersenyum dan tertawalah sekarang, Swandaru, selagi kau sempat. Setelah itu, kau, istrimu, ayahmu, saudara seperguruanmu yang kau tundukkan itu, akan segera menangisi kebodohanmu di saat-saat terakhir hidupmu.”

Namun Ki Ambara itu berkata, “Apakah Ki Swandaru tidak ingin bertemu dengan Wiyati?”

“Aku masih sangat memerlukan Pandan Wangi, Ki Ambara. Justru pada saat-saat seperti ini. Jika aku salah langkah, maka akibatnya akan buruk sekali bagi perjuangan ini.”

Ki Ambara tersenyum. Katanya, “Baiklah. Pada saat pasukan kita menduduki Mataram, Wiyati juga akan berada di Mataram. Ia akan berada di Mataram bersama beberapa orang perempuan pilihan, yang harus menyiapkan makan dan perbekalan untuk mendukung perjuangan kita selanjutnya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah, Ki Ambara.”

Dengan demikian, maka rencana serangan mereka terhadap pasukan Untara itu pun menjadi semakin matang.

Sementara itu, pasukan Mataram yang berada di Jati Anom tidak luput dari pengamatan para petugas sandi yang dikirim oleh Ki Ambara, meskipun mereka harus sangat berhati-hati. Ki Ambara sadar, bahwa petugas sandi Mataram adalah orang-orang yang sangat licin, sehingga sulit bagi para petugas sandi yang dikirim oleh Ki Ambara dapat dengan leluasa melakukan tugas mereka di sekitar Jati Anom.

Namun dari pengamatan para petugas sandi yang dikirim Ki Ambara, ia mendapat laporan bahwa pasukan Mataram di Jati Anom itu tidak menunjukkan peningkatan kegiatan mereka. Latihan-latihan yang mereka selenggarakan sama sekali tidak lebih keras sebagaimana mereka lakukan sehari-hari. Pasukar yang dipimpin oleh Untara itu sama sekali tidak meningkatkan pengamatan mereka atas lingkungan di sekitarnya. Pintu gerbang baraknya tetap terbuka. Seperti biasanya pada hari-hari tertentu, dua tiga kali sepekan, pedagang sayur-sayuran, telur, gula kelapa dan bahkan beras memasuki pintu gerbang barak itu dengan leluasa, untuk menyerahkan bahan-bahan makan itu.

Bahkan seorang petugas sandi yang dikirim Ki Ambara berhasil menyusup di antara para penjual sayuran yang tidak mengetahui siapakah orang itu sebenarnya, masuk ke dalam barak.

Di barak itu memang tidak nampak persiapan apa-apa. Setelah latihan-latihan yang memang diselenggarakan setiap hari, para prajurit itu pun lebih banyak beristirahat di dalam barak. Sekali-sekali sekelompok prajurit berkuda meronda mengelilingi Jati Anom.

Ketika hal itu dilaporkan kepada Ki Ambara, maka ia pun berdesis, “Kasihan Untara. Dalam waktu yang dekat, baraknya akan musnah. Kami tidak ingin menawan seorang pun dari antara para prajurit Mataram. Jika mereka mati terbunuh di pertempuran, tidak ada orang yang menyalahkan kami.”

Bahkan dua hari menjelang hari yang ditentukan oleh Ki Ambara dan Swandaru, nampaknya rakyat Jati Anom akan menyelenggarakan keramaian Merti Desa. Panen mereka yang baru saja berlangsung nampaknya berhasil dengan baik, sehingga mereka akan merayakan keberhasilan mereka dengan menyelenggarakan keramaian di sawah Ki Bekel yang padinya baru saja dipetik.

“Tayub,” orang-orang Jati Anom mulai riuh membicarakannya.

Tratag pun sudah mulai dibangun. Di bawah tratag itu lah tari tayub akan diselenggarakan. Sebelumnya, para penghuni Kademangan Jati Anom akan menyelenggarakan makan kembul di bawah tratag itu juga. Setiap keluarga akan membawa makanan, minuman dan nasi serta lauk pauknya untuk dimakan bersama-sama, di tengah-tengah sawah yang baru saja mereka panen dengan hasil yang sangat memuaskan.

Ketika malam keramaian itu tiba, maka sawah yang biasanya gelap gulita di malam hari itu, menjadi terang benderang. Bukan saja lampu oncor di tengah-tengah arena tayub, tetapi lampu-lampu minyak, oncor jarak dan dlupak minyak kelapa, menyala dimana-mana. Di sawah itu bertebaran orang-orang yang berjualan bermacam-macam makanan. Mereka yang biasanya bekerja di sawah, tiba-tiba saja menjadi seorang penjual jenang sumsum dan jenang gempol. Yang lain menjual nasi pecel dan rempeyek udang.

Malam keramaian itu tidak luput dari perhatian Ki Ambara. Dengan keramaian itu, maka Ki Ambara menilai bahwa Utara benar-benar tidak menduga, bahwa esok lusa Jati Anom akan menjadi abu yang berserakan dihembus angin dari lautan.

Dengan demikian, Ki Ambara sudah memastikan, bahwa mereka akan berhasil dengan tidak banyak menemui kesulitan. Pasukan Sangkal Putung dan pasukan Ki Ambara itu akan menyergap dengan tiba-tiba dari arah yang berbeda.

“Sebelum matahari sepenggalah, maka pasukan Untara yang berada di luar barak sudah akan dapat dihancurkan,” berkata Ki Ambara.

Seorang kawannya yang ikut menyaksikan tari tayub di tengah-tengah sawah itu tersenyum. Katanya, “Agung Sedayu benar-benar seorang yang memegang janji. Seharusnya ia dapat saja mengirimkan seseorang untuk memberi tahu Untara, bahwa baraknya akan diserang.”

“Untungnya, Agung Sedayu tidak berbuat demikian,” sahut Ki Ambara. “Sejak semula aku yakin bahwa Agung Sedayu tidak akan melanggar janji, jika itu sudah diucapkan.”

Kawan Ki Ambara itu mengangguk-angguk.

“Marilah, kita pulang,” berkata Ki Ambara kemudian.

Tetapi kawannya menggeleng, “Nanti dulu, Ki Ambara. Aku akan menonton tayub.”

“Kau akan turun ke arena untuk ngibing?”

Orang itu nampak ragu-ragu. Ki Ambara-lah yang kemudian berkata, “Kau tidak boleh ikut ngibing, apalagi sambil minum tuak. Jika kau mabuk dan membuka rahasia kita, maka semuanya akan berantakan. Semua yang sudah direncanakan dengan cermat, akan pecah berserakan.”

“Aku hanya akan nonton saja, Ki Ambara.”

“Baiklah. Aku akan menemanimu sebentar. Aku juga sudah lama tidak menonton tayub.”

Kawan Ki Ambara itu tertawa sambil berdesis, “Ternyata Ki Ambara tertarik juga nonton tayub.”

“Aku akan menjaga agar kau tidak ikut serta ngibing. Aku tahu sifatmu. Jika kau melihat seorang penari tayub yang wajahnya bulat dan kulitnya justru kehitam-hitaman, kau tentu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.”

“Ah, tidak, Ki Ambara, aku benci kepada orang berwajah bulat.”

“Kau datang dari sebuah padukuhan di balik gunung. Dekat batu dan jauh ratu. Karena itu, kau mempunyai selera yang aneh.”

Orang itu tersinggung. Tetapi ia tidak berani membantah lagi.

Ki Ambara pun terdiam pula. Sementara itu di bawah tratag, tari tayub itu sudah dimulai. Semakin lama menjadi semakin panas. Satu dua orang mulai turun ke arena untuk ikut menari. Bahkan ada di antara mereka yang mulutnya berbau tuak.

Darah kawan Ki Ambara itu terasa panas di dalam tubuhnya. Namun Ki Ambara itu masih saja berdiri di sampingnya.

Karena itu, maka orang itu hanya dapat melihat para penari tayub itu dari kejauhan.

Sebelum tengah malam, justru pada saat lagu-lagu iringannya menjadi semakin menggelitik, Ki Ambara itu berkata, “Marilah kita pulang. Kau sangka di antara para penonton itu tidak ada petugas sandi yang dikirimkan Untara?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah lagi. Ki Ambara sudah memberi kesempatan kepadanya untuk menonton sampai menjelang tengah malam.

Namun keramaian itu semakin memperkuat keyakinan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang, bahwa Untara masih belum tahu bahwa Jati Anom dan barak pasukannya diintai oleh kekuatan yang besar, yang akan dapat menghancurkannya.

Di hari berikutnya, Ki Ambara sendiri berjalan-jalan di Jati Anom. Masih tidak ada tanda-tanda persiapan. Baik oleh para prajurit dari pasukan Untara yang tinggal di dalam barak, maupun yang tinggal di rumah Untara serta di rumah-rumah sekitarnya.

Rumah Untara-lah yang akan menjadi sasaran pertama. Rumah itu akan dihancurkan dengan seluruh isinnya, sementara pasukannya yang lain akan mengepung barak.

“Hari terakhir para prajurit Mataram sempat menghirup udara yang sejuk di kaki Gunung Merapi ini,” berkata Ki Ambara di dalam hatinya.

Ki Ambara sendiri sudah tidak lagi kembali ke Kajoran. Ia sudah berada di antara pasukan yang kuat di sisi utara hutan Lemah Cengkar. Bahkan Wiyati dan Ki Saba Lintang pun sudah berada di perkemahan itu pula.

Dalam pada itu, pasukan yang dipersiapkan oleh Ki Saba Lintang itu pun sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Malam nanti mereka akan bergerak.

Dalam pada itu, para pengawal Sangkal Putung pun telah mengakhiri masa-masa latihan yang berat. Mereka tinggal menunggu perintah terakhir, apa yang harus mereka lakukan.

Dalam pada itu, ternyata bukan hanya para pengawal saja-lah yang telah menempa diri. Ternyata pada hari-hari terakhir, Pandan Wangi pun menjadi semakin sering berada di sanggarnya. Dikembangkannya sendiri ilmu yang telah dimilikinya. Getar yang bergejolak tajam di dalam dadanya, telah disalurkannya lewat bekal ilmu yang dimilikinya.

Ternyata bahwa gelora yang menyala di dalam dadanya, sebenarnya sejak beberapa tahun sebelumnya telah nampak gejalanya di dalam ungkapan ilmunya. Getar kekuatannya dan dipadu dengan tenaga dalamnya, telah memancarkan sentuhan kewadagan. Kemampuan yang tumbuh karena perkembangan ilmunya, didasari pada laku yang keras.

Ternyata bahwa Pandan Wangi mampu mematangkan kemampuannya, sehingga getar kewadagan serangan-serangannya mendahului ujud kewadagan itu sendiri.

Ketika Pandan Wangi berada di dalam sanggarnya berdua dengan Swandaru, maka Swandaru sempat terkejut melihat kemampuan Pandan Wangi yang mendebarkan itu. Dengan nada berat ia pun berkata, “Kau tidak pernah mengatakannya sebelumnya, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah ia pun menjawab, “Kakang, sudah lebih dari lima kali aku mengatakan kepada Kakang Swandaru. Bahkan aku pernah mohon Kakang Swandaru memberikan beberapa petunjuk untuk mengembangkan ilmu yang seakan-akan tumbuh dari perpaduan ilmu yang telah aku miliki, dengan laku yang aku tempuh selama ini dengan sangat berhati-hati, karena aku tidak mau tersesat. Jika terasa jalan mulai menepi, aku berhenti untuk mengulanginya, sehingga peningkatannya berjalan sangat lamban. Tetapi aku tidak pernah berhenti berusaha, Kakang.”

Swandaru menarik nafas panjang. Dengan wajah yang suram ia berkata, “Maafkan aku Pandan Wangi. Selama ini aku merasa diriku seorang yang berilmu sangat tinggi. Tidak ada orang lain yang dapat menyamai apalagi melebihi ilmuku, termasuk Kakang Agung Sedayu. Namun perbandingan ilmu di Tanah Perdikan itu memberikan arti yang sangat besar bagiku, karena dengan demikian aku sempat menengok kepada diriku sendiri, sehingga aku dapat menyadari, betapa kecilnya aku di dunia olah kanuragan.”

“Tidak. Kakang tidak harus merasa diri Kakang terlalu kecil. Kakang hanya kalah dibandingkan dengan Kakang Agung Sedayu. Tetapi ingat Kakang, Kakang Agung Sedayu adalah orang aneh. Karena itu, Kakang tidak usah merasa rendah diri untuk turun ke dunia olah kanuragan. Jarang sekali ada orang seperti Kakang Agung Sedayu. Baik sifat dan wataknya, maupun tingkat kemampuannya.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berdesis, “Aku pun harus merasa rendah diri di hadapanmu, Pandan Wangi. Selama ini aku telah dibutakan oleh kebanggaanku atas kemampuanku, yang ternyata tidak lebih dari hitamnya kuku dibanding dengan kemampuan Kakang Agung Sedayu.”

“Jangan begitu, Kakang. Ilmu Kakang masih lebih tinggi dari ilmuku, sehingga Kakang tidak harus merasa rendah diri.”

“Kau merendah, Pandan Wangi.”

“Tidak, Kakang.”

“Selama ini semua orang merendah di hadapanku. Kakang Agung Sedayu, kau, Sekar Mirah, dan bahkan anak ingusan itu. Glagah Putih.”

“Tidak, Kakang, tidak.” Pandan Wangi mendekati suaminya, “Kakang tidak boleh merasa rendah diri seperti itu. Besok di medan pertempuran, Kakang akan menemukan kembali kebanggaan Kakang atas ilmu Kakang, dalam kewajaran.”

Swandaru mengangguk.

“Nah, kita akan menghentikan latihan-latihan ini, Kakang. Besok segala sesuatunya harus sudah siap, dan bahkan mulai bergerak.”

Swandaru mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, ternyata yang telah mengasah ilmunya bukan saja hanya Pandan Wangi. Sekar Mirah pun telah mempertajam ilmunya. Bahkan semua orang yang akan terlibat dalam pertempuran yang bakal terjadi.

“Baiklah. Kita akan beristirahat. Besok kita akan mempersiapkan segala-galanya. Kita pun akan mempertaruhkan semua yang ada di atas bumi Sangkal Putung. Jika kita gagal, maka bukan saja Jati Anom akan menjadi karang abang, tetapi juga Sangkal Putung akan dilindas oleh kekuatan pasukan Ki Ambara yang memang sangat kuat itu.”

Demikianlah, Swandaru dan Pandan Wangi itu pun telah menghentikan kegiatan mereka di sanggar, sebagaimana para pengawal kademangan menghentikan latihan-latihan mereka. Mereka harus beristirahat sebaik-baiknya, menjelang benturan kekuatan yang sebenarnya.

Tetapi seorang pemimpin kelompok masih juga bertanya, “Untuk apa kita mengadakan latihan jauh lebih berat dari biasanya?”

“Belum ada perintah. Tetapi nampaknya kita akan menghadapi lawan yang berat.”

“Besok agaknya perintah itu baru turun. Mudah-mudahan tidak terlalu mengejutkan.”

Tetapi perintah yang datang kemudian tidak menunggu sampai esok. Menjelang senja, maka Swandaru telah memanggil semua pemimpin kelompok pengawal di Sangkal Putung,

“Malam ini kita bergerak,” berkata Swandaru. “Besok menjelang fajar, kita akan mulai menyerang.”

Para pemimpin kelompok itu mendengarkan perintah Swandaru dengan seksama. Swandaru yang didampingi Pandan Wangi itu dengan terperinci telah menguraikan apa yang harus dilakukan oleh para pengawal dari Sangkal Putung itu.

“Yang kita hadapi adalah kekuatan yang besar, yang dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi,” berkata Swandaru, “tetapi jangan gentar. Kita tidak sendiri.”

Para pengawal mendengarkan perintah Swandaru itu dengan seksama. Terasa ketegangan mencengkam jantung mereka.

Dugaan mereka pun ternyata benar. Mereka akan berhadapan dengan kekuatan yang besar, dengan orang-orang yang berilmu dan berpengalaman luas. Karena itu, maka Swandaru telah memerintahkan mereka untuk mengasah ilmu mereka pada saat-saat menjelang pertempuran yang mendebarkan itu.

“Jangan mengecewakan. Malam nanti kita bergerak. Kita akan mengepung lawan kita, agar tidak seorang pun yang mampu meloloskan diri.”

Ketika malam turun, maka para pengawal pun telah dipersiapkan. Terasa bahwa telah terjadi gejolak di Kademangan Sangkal Putung. Keluarga para pengawal sudah menduga, bahwa para pengawal itu akan segera turun ke medan perang yang keras. Tetapi mereka tidak mengira bahwa hal itu akan terjadi dengan cepatnya.

Beberapa orang dengan jantung yang terasa berdenyut semakin cepat telah melepaskan anak laki-laki mereka, suami-suami mereka, dan keluarga mereka yang lain. Anak-anak memeluk ayahnya, seakan-akan tidak mau melepaskannya lagi.

“Kita tidak mempunyai banyak waktu,” berkata Swandaru kepada para pemimpin kelompok.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar