Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 324

Buku 324

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Tidak. Tidak apa-apa.”

Yang mendengarnya pun tertawa pula.

Namun Glagah Putih pun kemudian minta diri untuk meninggalkan pertemuan itu, karena ia berjanji untuk bertemu dengan Prastawa.

“Apakah ada sesuatu yang penting?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi kami akan pergi ke padukuhan Sembung untuk menghadiri upacara pernikahan pemimpin pengawal Sembung.”

“Siapa namanya?” bertanya Agung Sedayu.

“Wirit.”

“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “anak muda yang kumisnya tipis itu?”

“Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih, “Prastawa menganggap perlu untuk hadir. Bukan sekedar ikut bergembira, tetapi ada sesuatu yang memaksanya harus datang.”

“Ada apa?”

“Istrinya berasal dari sebelah timur Kali Praga.”

“Ya, kenapa kalau dari sebelah timur Kali Praga? Mbokayumu justru berasal dari Sangkal Putung.”

“Memang tidak apa-apa, kalau gadis itu tidak membawa persoalan tersendiri.”

“Persoalan apa?”

“Seorang anak muda sepadukuhan dengan gadis itu di sebelah timur Kali Praga, jatuh cinta pada gadis itu. Demikian besar cintanya, sehingga anak muda itu mengancam akan membunuh laki-laki yang akan memperistri gadis itu.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian bertanya, “Tetapi bagaimana Wirit dapat memperistrinya?”

“Orang tuanya-lah yang memilih calon istrinya itu. Mereka masih mempunyai hubungan darah.”

“Seharusnya orang tua gadis itulah yang menjelaskan kepada orang tua anak muda yang merasa kehilangan itu.”

“Sudah. Itu sudah dilakukan. Tetapi anak muda itu tidak mempedulikannya. Bahkan anak muda itu tidak tunduk kepada kendali orang tuanya sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Datanglah. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Mungkin tiba-tiba saja jantung anak muda itu bergejolak. Tetapi setelah mengendap, maka ia akan dapat menerima kenyataan.” Namun kemudian Agung Sedayu itu pun bertanya, “Bagaimana sikap gadis itu sendiri?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak begitu jelas, Kakang. Tetapi menurut kata orang, gadis itu tidak merasa pernah menanggapi keinginan anak muda itu. Tetapi entahlah, apa yang terjadi sebenarnya.”

“Baiklah. Amati keadaan. Jangan biarkan terjadi kericuhan. Sekali lagi aku berharap, bahwa anak muda itu tidak akan mengganggu upacara pernikahan itu.”

Demikian, sejenak kemudian Glagah Putih pun telah pergi ke Sembung. Tapi ia singgah di rumah Prastawa, karena ia sudah berjanji untuk pergi bersamanya.

Ternyata upacara pernikahan itu diselenggarakan sedikit meriah. Di rumah Wirit malam itu diselenggarakan pertunjukan tari topeng sampai dini hari.

Tidak seperti biasanya, upacara pernikahan itu kebanyakan diselenggarakan di rumah pengantin perempuan. Di rumah pengantin laki-laki hanya diselenggarakan upacara ngunduh pengantin. Tetapi pernikahan Wirit itu diramaikan di rumah pengantin laki-laki, sekedar untuk menghindari gejolak yang mungkin terjadi jika keramaian upacara pengantin itu diselenggarakan di rumah pengantin perempuan, di sebelah timur Kali Praga.

Menjelang wayah sepi bocah, rumah Wirit sudah ramai. Para tamu yang diundang untuk merestui pengantin sekaligus menonton tari topeng sudah banyak yang hadir. Sementara itu di halaman pun telah banyak orang yang ingin menonton pula. Bahkan anak-anak dari padukuhan-padukuhan terdekat pun ada yang datang untuk menonton. Beberapa orang yang berjualan bermacam-macam makanan pun telah mulai menggelar dagangannya. Mereka berharap terutama anak-anak akan banyak membelinya.

Sepasang pengantin telah duduk di ruang dalam, setelah upacara temu selesai. Mereka bahkan sudah berganti pakaian, duduk dikelilingi oleh keluarga terdekat. Mereka menunggu para tamu yang datang cukup banyak. Baru mereka akan keluar dan duduk di pringgitan bersama para tamu beberapa lama.

Prastawa dan Glagah Putih pun telah duduk di antara para tamu pula. Mereka berkumpul di antara beberapa orang yang masih terhitung muda, agar mereka dapat ikut mengalir pada pembicaraan serta gurau dan kelakar mereka. Mereka tidak akan duduk bersama orang-orang tua, yang perhitungannya terarah pada hal yang berbeda dengan perhitungan mereka yang masih terhitung muda.

Ketika para tamu sudah menjadi semakin banyak, maka seseorang telah memberitahukan bahwa sepasang pengantin akan hadir di pringgitan dan duduk bersama para tamu.

Para tamu pun serentak berdiri. Sepasang pengantin diiringi oleh orang-orang tua dan keluarga terdekat, keluar dari ruang dalam dan duduk di pringgitan bersama para tamu.

Seorang yang dituakan mengadakan sesorah pendek. Kemudian hidangan pun mulai mengalir, sementara para nayaga sudah duduk di tempatnya, di depan gamelan yang segera mulai berbunyi.

Anak-anak dan orang-orang yang berada di halaman pun mulai bergeser mendekati pendapa. Anak-anak menjadi ramai dan saling mendesak untuk mendapat tempat di paling depan. Sementara itu orang-orang tua malahan ada yang sengaja berdiri di tempat yang terlindung dari terang lampu dan oncor yang menyala di halaman.

Sejalan dengan mengalirnya hidangan, maka pertunjukan pun berlangsung. Mengalir pula dari satu adegan ke adegan berikutnya, diiringi oleh bunyi gamelan yang bertalu-talu. Kadang-kadang menghentak keras, kuat dan gagah. Namun kemudian menukik, merendah dan bahkan menjadi sangat lembut.

Para tamu pun mulai menikmati minuman hangat dan berbagai jenis makanan yang dihidangkan, sambil menonton tari topeng yang sangat menarik itu.

Glagah Putih dan Prastawa semakin tenggelam dalam pembicaraan kawan-kawan mereka. Sekali-kali terdengar suara tertawa serentak. Namun kemudian anak-anak muda itu tersadar, bahwa orang-orang yang berada di sekitarnya berpaling kepada mereka.

Bahkan Glagah Putih dan Prastawa mulai melupakan kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

Demikianlah, waktu pun berlalu setapak demi setapak. Hidangan pun beruntun di suguhkan kepada para tamu. Sehingga menjelang tengah malam, maka kepada para tamu itu pun dihidangkan makan.

Sementara itu, tari topeng pun berlangsung terus. Berganti-ganti para penari tampil di atas pentas. Di sela-sela suara gamelan yang ngerangin. terdengar suara tembang mengalun.

Namun tiba-tiba orang-orang yang berada di pendapa itu terkejut. Seorang laki-laki muda dengan serta-merta meloncat ke pendapa. Para penari pun terkejut pula. Mereka serentak bergeser menjauh.

Laki-laki muda yang berdiri di pendapa itu pun tiba-tiba berteriak, “Manakah anak muda yang bernama Wirit? Ia telah berani mengambil calon istriku dengan laku yang licik! Nah, aku tantang anak muda yang bernama Wirit itu berhadapan dengan aku sebagai laki-laki!”

Glagah Putih dan Prastawa yang juga terkejut telah bangkit berdiri. Namun sebelum keduanya mendekati laki-laki muda itu, seorang laki-laki separuh baya telah lebih dahulu melangkah mendekati laki-laki itu.

Prastawa dan Glagah Putih justru bergeser mendekati orang-orang tua yang duduk di sebelah sepasang pengantin yang justru bagaikan mematung itu.

Glagah Putih yang duduk di belakang seorang yang berkumis putih bertanya, “Siapakah orang itu? Yang berteriak-teriak dan yang datang mendekatinya?”

“Laki-laki itulah yang berniat untuk memperistri pengantin perempuan ini. Sedangkan laki-laki yang menemuinya itu adalah pamannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk Sementara itu, laki-laki yang mendekat itu pun berkata, “Tangkil. jangan kehilangan akal seperti itu.”

“Jangan ikut campur, Paman. Aku akan menyelesaikan persoalanku dengan anak muda yang merasa dirinya satu-satunya laki-laki di dunia ini.”

“Kau tidak pantas melakukannya. Apalagi dalam suasana seperti ini. Kau tentu tidak ingin menjadi tontonan di Tanah Perdikan ini.”

“Persetan dengan orang-orang di Tanah Perdikan ini! Aku ingin menantang Wirit. Jika Wirit tidak berani menghadapi aku, biarlah ia menunjuk seorang yang memiliki ilmu tertinggi di Tanah Perdikan ini untuk mewakilinya. Siapakah yang menang, ialah yang pantas untuk mengambil perempuan itu.”

“Tangkil. Kau harus menyadari apa yang kau lakukan itu.”

“Paman! Sekali lagi aku peringatkan. Paman jangan ikut campur!”

“Aku memang sudah mendapat pesan dari ayahmu, Tangkil. Aku harus mencegahmu. Ingat istri dan anakmu.”

“Jangan sebut-sebut perempuan gila itu lagi! Aku muak melihatnya. Biarlah ia disambar petir bersama anaknya!”

“Kau dahulu juga tergila-gila kepadanya. Sekarang kau menjadi muak.”

“Paman, minggirlah! Atau aku akan memaksa Paman dengan kekerasan.”

“Jangan begitu, Tangkil. Sadarilah yang kau lakukan di sini. Betapapun tinggi ilmumu, tetapi kau berada di Tanah Perdikan Menoreh. Para petugas di sini dapat mengusirmu seperti mengusir anjing liar.”

“Jika itu yang ingin mereka lakukan, biarlah mereka lakukan. Tetapi itu pertanda bahwa Wirit bukan seorang laki-laki. Ia hanya berani berlindung di belakang banyak orang. Tetapi itu tidak akan menolongnya. Ia tidak akan dapat berlindung terus sepanjang umurnya. Sementara itu dendamku tidak akan pernah padam sampai ke batas umurku.”

“Pulanglah, Tangkil. Renungkan sehari dua hari, apakah yang kau lakukan itu tepat menurut nuranimu.”

“Minggir, Paman!”

“Tidak!”

Tiba-tiba saja laki-laki yang dipanggil Tangkil itu mendorong pamannya dengan keras sekali, sehingga pamannya itu terlempar dan jatuh di lantai pendapa.

Tetapi dengan serta-merta pamannya itu bangkit. Ia sama sekali tak berniat untuk minggir. Ia tetap saja berdiri menghalangi, tak berniat untuk melangkah mundur.

Tangkil tidak lagi sekedar mendorongnya. Tetapi Tangkil itu memukul dagu pamannya itu keras sekali, sehingga pamannya itu terbanting jatuh.

Bagian belakang kepala pamannya itu telah terbentur lantai pendapa, sehingga pamannya menggeliat dan kemudian pingsan.

Glagah Putih dan Prastawa pun telah bangkit berdiri pula. Tetapi Wirit pun telah berdiri tegak. Ditahannya Glagah Putih dan Prastawa yang akan bergerak ke tengah-tengah pendapa.

“Aku-lah yang dicarinya,” berkata Wirit, “aku akan membuat perhitungan dengan caranya.”

“Wirit,” desis Glagah Putih.

“Apapun yang akan terjadi. Aku juga laki-laki seperti orang itu.”

“Bagus!” teriak Tangkil, “Ternyata kau juga mempunyai harga diri. Marilah! Kita membuat perhitungan.”

Wirit tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekat.

“Kakang,” pengantin perempuan itu pun berpegangan pada tangannya, “jangan!”

“Ia menantangku.”

“Biarlah para bebahu mengusirnya.”

“Tidak. Ia menantang aku. Aku harus melayaninya, jika aku tidak ingin kehilangan harga diriku.”

“Tetapi ia jahat sekali.”

“Justru aku harus menghentikannya.”

Wirit tidak mau dihentikan. Ia pun melangkah mendekati Tangkil yang berdiri di pendapa.

Tetapi Tangkil itu pun kemudian berkata, “Kita akan mengadu tataran kemampuan kita. Tidak di pendapa, tetapi di tempat yang lebih luas. Di halaman!”

Wirit tidak menjawab. Sementara itu Tangkil langsung melangkah turun ke halaman.

Orang-orang yang berada di pendapa dan halaman rumah itu menjadi sangat tegang. Beberapa orang berusaha menolong paman Tangkil yang pingsan.

Sementara itu anak-anak dan orang-orang yang berada di halaman itu pun telah menyibak, sedangkan mereka yang berada di pendapa telah turun pula.

Glagah Putih dan Prastawa pun telah turun pula dari pendapa. Mereka segera menempatkan diri.

Ketika Wirit telah berhadapan dengan Tangkil, maka beberapa orang telah membawa pengantin perempuan masuk ke ruang dalam, meskipun mula-mula perempuan itu tidak mau.

Glagah Putih-lah yang kemudian maju mencoba untuk menengahi pertengkaran itu.

“Kenapa kalian akan berkelahi?”

“Kau siapa? Kau tidak usah turut campur!” bentak Tangkil.

“Tangkil. Bukankah perempuan itu satu pribadi yang utuh? Kenapa kau mencoba merebutnya dari suaminya? Sebaiknya sekarang kita bertanya kepada perempuan itu, bagaimanakah sikapnya terhadap kedua orang laki-laki yang menginginkannya. Perempuan itu bukan benda mati yang dapat diperebutkan begitu saja, tanpa didengar keinginannya.”

“Ia inginkan aku,” jawab Tangkil.

“Biarlah perempuan itu sendiri yang mengatakannya Sementara itu, kau masih harus ingat istri dan anakmu. He, bukankah kau sudah beristri?”

“Tutup mulutmu! Pergi, atau aku akan mengoyak mulutmu dan merontokkan gigimu!”

“Jangan kasar begitu. Marilah kita bicara untuk mencari penyelesaian. Menurut pendapatku, biarlah perempuan itu memilih. Bukan kalian berdua berkelahi dengan perempuan itu sebagai taruhan, karena perempuan itu bukan sekedar benda mati.”

“Persetan dengan igauanmu. Minggir!”

Wirit-lah yang kemudian berkata, “Minggirlah, Glagah Putih. Biarlah aku menyelesaikannya. Kau dapat menilai, apakah aku mengecewakanmu dan mengecewakan Prastawa dalam olah kanuragan atau tidak.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia benar-benar mencegahnya, apalagi dengan kekerasan, tentu harga diri Wirit juga akan tersinggung. Apalagi di hadapan keluarga istrinya, atau bahkan mungkin istrinya akan ikut menyaksikannya pula.

Karena itu, maka Glagah Putih pun justru telah bergeser beberapa langkah surut.

“Aku akan melayani Tangkil,” berkata Wirit.

Tidak ada yang dapat mencegah. Kedua orang itu pun segera mempersiapkan diri untuk menakar tingkat ilmu mereka masing-masing.

Sejenak mereka saling memandang. Namun kemudian Tangkil-lah yang menyerang Wirit lebih dahulu sambil berteriak nyaring. Kakinya terjulur lurus mengarah ke perut Wirit. Tetapi Wirit dengan cepatnya mengelak. Bahkan sambil memutar tubuhnya, kaki Wirit terayun mendatar.

Tetapi Tangkil pun meloncat surut menghindar.

Demikianlah, maka keduanya pun segera berloncatan saling menyerang, menghindar dan bahkan kadang-kadang keduanya telah membenturkan kekuatan mereka, sehingga kedua-duanya telah terguncang.

Setelah beberapa saat mereka berkelahi, Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak melihat kelebihan orang yang bernama Tangkil itu. Sebaliknya, Glagah Putih melihat bahwa Wirit tidak sia-sia berlatih dengan sungguh-sungguh. Sebagai pemimpin pengawal di padukuhannya, Wirit adalah anak muda pilihan. Anak muda itu beberapa kali mendapat kesempatan mengikuti latihan-latihan bagi para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan.

Karena itu, Wirit pun tidak mengecewakan. Dengan demikian, maka perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Ketika kaki Tangkil sempat menembus pertahanan Wirit dan mengenai lambungnya, maka Wirit pun tergetar dan terdorong beberapa langkah surut. Namun dengan cepat Wirit memperbaiki keadaannya. Ketika Tangkil mengulangi serangannya, Wirit telah membuka kesempatan untuk menghindar. Bahkan dengan cepat ia mengayunkan tangannya mendatar, masuk mengenai rusuk Tangkil.

Terdengar Tangkil mengaduh sambil membungkukkan tubuhnya. Namun pada saat itu pula Wirit mengulangi serangannya. Tangannya dengan cepat menyambar kening, sehingga Tangkil terhuyung-huyung ke samping. Bagaimanapun juga ia mencoba mempertahankan keseimbangannya, namun Tangkil itu pun terjatuh di tanah.

Meskipun Tangkil cepat bangkit, namun jantungnya serasa membara. Anak Tanah Perdikan itu berhasil menjatuhkannya. Kemarahan yang sangat telah membakar seluruh isi dadanya. Darahnya bagaikan mendidih memanasi seluruh tubuhnya.

Serangan-serangan Tangkil pun kemudian datang membadai. Tangan dan kakinya tidak henti-hentinya menyerang Wirit. Tetapi pertahanan Wirit justru menjadi semakin rapat, sehingga serangan-serangan itu sebagian justru tidak menyentuh tubuhnya.

Beberapa orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi sangat tegang. Mereka melihat serangan datang silih berganti. Keduanya pun berdesah kesakitan silih berganti pula.

Dengan demikian, orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu tidak segera dapat mengambil kesimpulan, siapakah yang akan menang dan siapakah yang akan kalah. Kedua-duanya memiliki kesempatan untuk menang dan kemungkinan untuk kalah.

Glagah Putih dan Prastawa pun menjadi tegang. Perhatian mereka sepenuhnya terjadi tertuju kepada kedua orang yang sedang berkelahi itu.

Namun ketajaman penglihatan serta penilaian Glagah Putih terhadap kemampuan kedua orang itu membuatnya tidak menjadi terlalu tegang. Menurut perhitungan Glagah Putih, Wirit akan dapat memenangkan perkelahian itu.

Menurut pertimbangan Glagah Putih, jika Wirit sendiri yang mengalahkan Tangkil, maka persoalan akan selesai. Tangkil harus selalu ingat, bahwa ia sudah dikalahkan oleh Wirit dalam satu perkelahian yang jujur, menurut permintaan Tangkil itu sendiri.

Tetapi kalau dalam perkelahian itu Wirit membuat sedikit saja kesalahan, maka mungkin saja mengalami kesulitan. Peristiwa yang tiba-tiba itu mungkin saja dapat terjadi.

Karena itu, maka Glagah Putih memperhatikan perkelahian itu dengan sungguh-sungguh.

Namun seperti yang diperhitungkan oleh Glagah Putih, maka semakin lama menjadi semakin jelas bahwa Wirit akan dapat memenangkan perkelahian itu. Beberapa kali serangannya sempat mengenai bagian tubuh lawannya yang paling lemah, sehingga beberapa kali Tangkil harus meloncat mengambil jarak.

Tetapi Wirit tidak pernah memberinya kesempatan. Setiap kali Tangkil berusaha meloncat menjauh, maka Wirit pun selalu memburunya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih sempat menarik nafas panjang. Ia mulai memperhatikan sekilas orang yang berdiri di seputar arena. Namun perhatiannya pun segera tertarik kepada seorang yang sudah separuh baya. Orang yang belum pernah dikenalnya sama sekali.

Memang mungkin saja orang-orang dari padukuhan-padukuhan lain datang untuk menonton keramaian. Tetapi jika orang itu orang Tanah Perdikan Menoreh, maka setidak-tidaknya Glagah Putih pernah melihatnya.

Tetapi orang yang sudah separuh baya itu nampak asing. Orang itu pun nampaknya menjadi tegang menyaksikan perkelahian yang sengit itu.

Namun agaknya orang yang sudah separuh baya itu tidak sendiri. Ada dua orang yang berdiri di sebelah-menyebelahnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan orang-orang dan anak-anak yang berdiri tegang menyaksikan perkelahian itu.

Glagah Putih yang tidak lagi mencemaskan keadaan Wirit itu pun menggamit Prastawa. Tanpa memandang orang separuh baya itu, Glagah Putih bertanya, “Kau kenal orang separuh baya itu, Prastawa?”

“Yang mana?”

“Jangan memandang ke arahnya dengan serta-merta. Orangnya berdiri di dekat pohon jambu air. Di sebelah-menyebelahnya berdiri dua orang yang juga tidak aku kenal. Keduanya lebih muda dari orang yang sudah separuh baya.”

Prastawa memang tidak segera memandang ke arah orang itu. Namun kemudian ia pun mendapat kesempatan untuk memperhatikan wajahnya.

“Aku belum pernah melihat orang itu,” berkata Glagah Putih.

Prastawa menggeleng. Katanya, “Aku juga belum pernah mengenalnya.”

“Aku curiga pada sikapnya. Aku akan mendekatinya.”

“Aku ikut.”

“Jangan. Kau di sini saja. Perhatikan Wirit dan Tangkil yang sudah menjadi semakin lemah. Jangan ada kecurangan. Tetapi tahan Wirit jika ia kemudian kehilangan kendali. Jika Tangkil sudah tidak berdaya, hentikan Wirit.”

Prastawa mengangguk, sementara Glagah Putih pun segera menyelinap di antara orang-orang yang berdiri sekitar arena.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih sudah berdiri di belakang orang yang sudah separuh baya itu.

Beberapa saat perkelahian masih saja terjadi dengan sengitnya Namun tenaga Tangkil sudah menjadi semakin susut. Serangan-serangan Wirit, meskipun dengan tenaga yang juga sudah menurun, semakin sering mengenai tubuhnya. Bahkan beberapa kali Tangkil hampir saja kehilangan keseimbangannya.

Namun Wirit pun tidak lagi segarang semula. Ia mulai memperhitungkan tenaganya. Ia tidak menyerang tanpa perhitungan. Ia menyadari bahwa tenaganya sudah menjadi semakin menyusut.

Tetapi latihan-latihan yang berat yang dilakukan oleh Wirit sangat membantunya. Apalagi Wirit mempunyai pategalan yang letaknya di atas bukit. Setiap kali dengan sengaja Wirit berlari-lari menuju ke pategalannya. Dengan demikian, maka ketahanan tubuh Wirit ternyata lebih baik dari lawannya.

Itulah sebabnya maka pada saat-saat terakhir, setiap orang pun hampir memastikan bahwa Wirit akan dapat mengalahkan lawannya. Dan itu berarti bahwa orang yang datang menantangnya itu tidak akan mengusik lagi istrinya.

Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, khususnya dari padukuhan itu, mulai bersorak dalam hati. Mereka benar-benar sudah yakin bahwa Wirit akan mengalahkan lawannya.

Sebenarnyalah Tangkil memang sudah semakin lemah. Namun ia masih berusaha melawan dengan sisa-sisa tenaganya. Setiap kali ia memandang orang yang berdiri di dekat pohon jambu air. Orang yang sudah separuh baya bersama kedua orang kawannya.

Tetapi orang yang sudah separuh baya itu tidak berbuat apa-apa. Di belakangnya berdiri Glagah Putih, sambil berdesis, “Jangan mengganggu perkelahian itu Ki Sanak. Jika kau meloncatkan kerikil itu ke arah Wirit dan mengenainya sehingga mempengaruhi perkelahian itu, maka aku akan menyiapkan para pengawal yang ada di tempat ini. Wirit adalah pemimpin pengawal padukuhan. Para pengawal tentu tidak akan membiarkan kecurangan itu.”

Orang yang sudah separuh baya itu menggeram. Kedua orang yang berdiri di sampingnya pun menggeretakkan gigi mereka. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka harus berpikir ulang untuk mencampuri perkelahian itu. Meskipun orang yang sudah separuh baya itu berilmu tinggi, tetapi melawan pengawal dan anak-anak muda sepadukuhan, orang itu harus membuat perhitungan yang sangat cermat.

Dalam pada itu, Tangkil menjadi semakin terdesak. Tenaganya sudah menjadi semakin jauh menyusut. Serangan-serangan Wirit menjadi semakin tidak terelakkan lagi.

Setiap kali Tangkal memandang ke arah orang separuh baya dan kedua orang kawannya itu. Tetapi mereka bertiga sama sekali tidak berbuat apa-apa. Kerikil di antara jari-jari tangannya masih belum dilontarkannya, karena setiap kali Glagah Putih masih memperingatkannya.

Akhirnya Tangkil menjadi tidak berdaya. Ketika tangan Wirit menghantam dagunya, maka wajah Tangkil pun terangkat. Satu pukulan lagi mengenai dadanya, sehingga tulang-tulang iganya serasa berpatahan.

Tangkil itu pun terhuyung-huyung. Ia tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga akhirnya Tangkil itu pun jatuh telentang.

Ketika Wirit meloncat memburunya, maka langkahnya tertahan. Prastawa telah meloncat mendekatinya dan menangkap lengannya.

“Ia sudah tidak berdaya,” berkata Prastawa.

“Anak itu sudah menghinaku.”

“Ya. Dan kau sudah membalasnya. Itu sudah cukup.”

Sebenarnya Wirit masih belum puas. Tetapi ia tidak dapat melawan wibawa Prastawa, pemimpin pengawal di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga ia harus menghentikan serangan-serangannya.

Namun Tangkil ternyata tidak segera dapat bangkit. Ketika ia mencoba untuk berdiri, maka ia pun telah terduduk kembali.

“Jangan mencoba melawanku lagi, Tangkil!” geram Wirit, “Kalau saja aku tidak ditahan Kakang Prastawa, aku ingin mematahkan lehermu.”

Tangkil tidak menjawab. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia memang kalah. Tetapi orang yang sudah separuh baya yang sudah berjanji untuk membantunya, ternyata tidak berbuat apa-apa.

Tetapi ketika Prastawa kemudian menarik Wirit mundur dan membawanya ke tangga pendapa, maka orang separuh baya itu bersama kedua orang kawannya berlari-lari mendekati Tangkil.

Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi Glagah Putih melangkah beberapa langkah maju.

“Kenapa kau diam saja?” bentak Tangkil ketika orang itu berusaha membantunya berdiri.

Orang separuh baya itu berdesis, “Nanti aku jelaskan.”

“Untuk apa kau jelaskan nanti? Kesempatannya sudah lewat. Aku sudah kalah di hadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, yang tentu akan mengejekku.”

“Marilah kita pergi.”

Tangkil tidak menjawab ketika orang separuh baya itu membantunya berjalan meninggalkan halaman itu.

Dalam pada itu, tanpa ada yang memerintah, maka hampir berbareng beberapa orang berteriak, “Pergi sajalah! Jangan pernah kembali!”

“Pergi, pergi!” teriak yang lain.

Tetapi Glagah Putih dan Prastawa segera memberi isyarat agar mereka diam.

“Biarlah mereka pergi, “kata Glagah Putih.

Sejenak kemudian, halaman rumah Wirit itu pun menjadi ribut. Orang-orang yang semula dicekam ketegangan, tiba-tiba saja merasa dadanya terlepas dari himpitan ketegangan.

Beberapa saat kemudian, suasana pun menjadi tenang. Tetapi para penari sudah tidak lagi dapat meneruskan lakon yang sedang mereka mainkan. Sebagian dari mereka sudah tidak lagi mempunyai keberanian untuk tampil.

“Jangan takut,” berkata seorang pengawal, “kami akan mengawal rumah ini, tidak akan ada apa-apa lagi.”

Tetapi ada di antara mereka yang benar-benar tidak lagi berani tampil. Sehingga karena itu, maka dengan menyesal tari topeng itu tidak dapat dilanjutkan lagi.

Anak-anak pun menyesal karenanya. Tetapi sebagian dari mereka sudah berlari-larian pulang ketika terjadi perkelahian.

Namun dalam pada itu, pengantin perempuan yang berada di ruang dalam ditunggui oleh beberapa orang perempuan, dadanya menjadi lapang ketika ia mengetahui bahwa orang yang memburunya itu dapat dikalahkan oleh suaminya. Dengan demikian, perempuan itu merasa dirinya berada di bawah perlindungan yang memberikan ketenangan kepadanya.

Meskipun malam itu tari topeng tidak dapat dilanjutkan, tetapi sanak kadang dan tetangga-tetangga yang datang untuk meramaikan upacara pernikahan itu tidak tergesa-gesa pulang. Mereka menunggu sampai hidangan yang terakhir yang sudah terlanjur disiapkan. Jika mereka pulang lebih dahulu, maka hidangan yang sudah disiapkan itu akan menjadi sia-sia.

Baru di dini hari, tamu-tamu yang hadir di rumah Wirit itu minta diri. Bersama-sama dengan para tamu, maka Glagah Putih dan Prastawa pun telah minta diri pula.

Tetapi rumah Wirit itu kemudian tidak menjadi sepi. Masih ada beberapa orang anak muda yang tinggal, yang masih meneruskan pembicaraan mereka, bergurau dan berkelakar dengan riuhnya. Sekali-sekali terdengar suara tawa mereka meledak. Tangkil yang datang dari seberang Kali Praga itu pun menjadi bahan kelakar mereka yang dapat mengundang tawa.

Dalam keremangan dini hari, Glagah Putih dan Prastawa berjalan di bulak panjang. Dinginnya terasa semakin menggigit sampai ke tulang. Di langit, bintang gemintang nampak berkedipan seakan-akan bersama-sama mengerling ke arah bumi.

“Dinginnya,” desis Prastawa.

“Di rumah Wirit tidak terasa dinginnya,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Kita mendapat suguhan wedang jahe yang hangat. Nasi yang masih mengepul dan makanan berbagai jenis.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Perutku menjadi terlalu kenyang.”

“Akibatnya mata menjadi sangat mengantuk. Jika saja Tangkil tidak datang, barangkali aku sudah tidak betah bertahan. Mataku terasa sangat berat.”

“Jika Tangkil tidak datang, kita pun tidak akan mengantuk, karena pertunjukan tari topeng itu akan berlangsung terus,” .

“Gamelan yang ngerangin justru dapat membuatku tidur.”

Keduanya berjalan semakin cepat. Dengan demikian mereka dapat. mengurangi tusukan dingin malam.

Untuk beberapa saat keduanya terdiam. Prastawa berjalan sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sekali-sekali ia berdesah kedinginan.

Namun tiba-tiba saja langkah-langkah mereka terhenti. Empat orang tiba-tiba saja telah meloncat ke tengah jalan, menghentikan Glagah Putih dan Prastawa.

“Bukankah kau yang telah menggangguku di halaman rumah pengantin itu?” bertanya orang yang separuh baya, yang menunggui Tangkil berkelahi melawan Wirit.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun bertanya, “Dari mana kau tahu bahwa aku akan berjalan lewat jalan ini?”

“Aku punya mulut untuk bertanya kepada seseorang yang berada di halaman rumah Wirit. Orang itu memberitahukan kepadaku, bahwa kau tinggal di padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu maka aku menunggumu di sini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku memang tinggal di padukuhan induk. Apakah kalian mempunyai keperluan dengan aku?”

“Jangan berpura-pura tidak tahu. Kami akan membuat perhitungan dengan kau, Anak Muda.”

“Perhitungan apa?”

“Kau telah menggagalkan usahaku untuk membantu Tangkil. Kau cegah aku melontarkan kerikil yang akan dapat memecahkan pemusatan perhatian Wirit terhadap lawannya. Bahkan kerikil yang aku lontarkan itu juga akan dapat menyakitinya.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Katanya, “Aku hanya ingin menyelamatkan kalian, Ki Sanak. Jika aku membiarkan kau melakukannya, maka para pengawal padukuhan itu akan dengan serentak melibatkan diri. Aku tahu kalian adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Tetapi kalian tentu tidak akan dapat melawan para pengawal sepadukuhan. Bahkan semua laki-laki yang ada di rumah itu pun akan melibatkan dirinya pula.”

“Tidak akan ada orang yang tahu, apa yang aku lakukan.”

“Tentu ada. Jika mereka mula-mula tidak melihat itu, karena perhatian mereka tertuju sepenuhnya pada perkelahian antara Wirit dan Tangkil. Tetapi jika kau benar-benar melemparkan kerikil-kerikil itu, maka mereka tentu akan mengetahuinya. Maka akan terjadilah malapetaka atas kalian.”

“Persetan!” geram Tangkil, “Tetapi aku harus mendapatkan sasaran untuk melepaskan dendamku. Aku tidak peduli tentang apapun. Tetapi aku harus memukuli anak Tanah Perdikan ini sampai pingsan. Bahkan jika ia mencoba melawan, aku tidak akan segan-segan membunuhnya, dan membiarkan mayatnya terkapar di bulak panjang ini, sampai saatnya besok ada seseorang yang akan menemukannya.”

“Kenapa kau menjadi garang?” bertanya Glagah Putih.

Orang itu justru maju selangkah sambil berkata, “Berlututlah! Pikul-lah akibatnya, bahwa kau telah mencampuri urusan orang lain.”

“Aku tidak dapat membiarkan kau menjadi sasaran kemarahan orang-orang sepadukuhan.”

“Omong kosong! Tentu bukan itu alasanmu.”

“Seandainya bukan itu, aku berhak mencampuri perkara Wirit dan Tangkil. Wirit adalah orang Tanah Perdikan ini. Kau tidak boleh berlaku curang dengan memecah pemusatan perhatian Wirit terhadap lawannya. Jika hal itu terjadi, maka Wirit akan dapat kalah dan namanya menjadi cemar. Meskipun mungkin orang-orang sepadukuhan dapat mencegah agar Tangkil tidak membawa istri Wirit, tetapi Wirit akan merasa dirinya tidak mampu melindungi istrinya dan ia akan menjadi rendah diri.”

“Persetan dengan sesorahmu! Aku akan membungkam mulutmu.”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku sudah mengatakan alasanku, kenapa aku mencegahmu. Aku tidak ingin terjadi keributan yang lebih parah. Tetapi aku juga tidak ingin Wirit dicurangi. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau dapat mengerti alasan-alasan itu atau tidak.”

“Aku tidak peduli! Tetapi aku akan melepaskan kemarahanku sekarang ini.”

“Baiklah. Jika kau harus keras kepala untuk membuat keributan, aku akan melayanimu.”

Orang itu tidak berkata apa-apa lagi. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang Glagah Putih.

Glagah Putih memang sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu ketika orang yang separuh baya itu mengayunkan kakinya, maka Glagah Putih pun bergeser ke samping, sehingga serangan itu sama sekali tidak mengenainya.

Tetapi orang itu tidak berhenti. Ia pun berusaha memburunya. Dengan serta-merta ia pun telah menyerang pula. Dengan memutar tubuhnya ia mengayunkan kakinya mendatar.

Tetapi sekali lagi serangannya itu tidak mengenai lawannya.

Orang itu menggeram marah. Serangan-serangannya pun kemudian datang membadai. Beruntun susul menyusul.

Namun Glagah Putih tidak membiarkan dirinya diburu oleh serangan-serangan lawannya terus-menerus. Karena itu, ketika ia mendapat kesempatan, maka justru Glagah Putih-lah yang telah menyerang orang yang sudah separuh baya itu.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih begitu tangkas, sehingga dapat mempergunakan kesempatan kecil itu untuk membalas menyerang.

Orang yang sudah separuh baya itu tidak mengelak. Ia merasa yakin akan tenaga dan kemampuannya. Karena itu, maka dengan sengaja ia membentur serangan Glagah Putih itu.

Tetapi orang itu terkejut sekali ketika benturan itu terjadi. Orang itu terlempar beberapa langkah surut. Bahkan ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia jatuh terguling di tanah.

Dengan cepat orang itu melenting berdiri. Ia ingin melihat akibat benturan itu pada lawannya yang masih muda itu.

Terdengar orang itu mengumpat kasar. Ia melihat Glagah Putih sama sekali tidak bergetar surut. Bahkan Glagah Putih justru maju mendekatinya.

Orang yang sudah separuh baya itu pun menyadari, bahwa lawannya yang masih muda itu tentu orang yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka orang yang sudah separuh baya itu harus menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak dapat lagi merendahkan lawannya yang masih muda itu.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Orang yang sudah separuh baya itu telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin segera mengalahkan Glagah Putih sebelum fajar.

Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Justru orang itulah yang setiap kali terpental surut. Serangan-serangan Glagah Putih-lah yang lebih banyak menembus pertahanan orang itu dan mengenai sasarannya.

Dalam keadaan terdesak, maka orang itu pun telah memberi isyarat kepada kedua orang kawannya untuk melibatkan diri dalam perkelahian itu. Bahkan Tangkil pun telah ikut pula turun ke gelanggang.

Tetapi Prastawa tidak membiarkan Glagah Putih bertempur sendiri melawan empat orang. Prastawa pun kemudian telah ikut pula bertempur. Bahkan Prastawa itu pun kemudian harus melawan Tangkil dan seorang di antara keempat orang itu, sementara orang yang sudah separuh baya itu dibantu oleh seorang kawannya bertempur melawan Glagah Putih.

Tetapi dua orang yang bertempur melawan Glagah Putih itu tidak dapat berbuat banyak. Bahkan Tangkil yang tulang-tulangnya masih terasa sakit, bersama seorang kawannya, segera terdesak oleh Prastawa yang bertempur dengan garang.

Ketika kaki Prastawa mengenai dada Tangkil yang masih lemah itu, maka Tangkil pun telah terlempar jatuh, berguling melewati tanggul parit dan tercebur ke dalamnya.

Dengan susah-payah Tangkil berusaha merangkak naik ke atas tanggul parit dan bergulir ke pinggir jalan. Pakaiannya menjadi basah kuyup, sementara nafasnya menjadi terengah-engah.

Tangkil memang berusaha untuk berdiri. Tetapi kedua kakinya rasa-rasanya tidak lagi dapat menyangga tubuhnya dengan baik. Apalagi dadanya terasa menjadi sesak, sehingga Tangkil itu menjadi susah untuk bernafas.

Karena itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah menonton perkelahian itu. Seorang yang bertempur melawan Prastawa tidak dapat bertahan terlalu lama. Orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk memberikan perlawanan. Setiap kali serangan Prastawa mengenainya dan melemparkannya beberapa langkah surut.

Sedangkan kedua orang yang bertempur melawan Glagah Putih pun sudah menjadi semakin terdesak. Orang yang sudah separuh baya itu sudah kehilangan akal untuk mengatasi serangan-serangan Glagah Putih. Apalagi sejenak kemudian, kawannya itu sudah tidak berdaya lagi. Ketika tangan Glagah Putih menyambar keningnya, maka anak itu terdorong beberapa langkah ke samping. Ketika kakinya terantuk batu. maka ia jatuh menimpa sebatang pohon turi yang tumbuh di atas tanggul parit di pinggir jalan.

Orang itu tertatih-tatih berdiri. Tetapi ia sudah tidak sanggup lagi untuk bertempur.

Karena itu, maka sejenak kemudian lawan Glagah Putih yang seorang lagi pun telah meloncat mengambil jarak. Dengan suara yang bergetar, orang yang sudah separuh baya itu pun berkata, “Sudahlah, Anak Muda. Aku menyerah. Aku ternyata tidak mampu mengimbangi ilmumu.”

Glagah Putih pun tidak memburunya lagi. Dengan dahi yang berkerut ia pun berkata, “Kau yakini sikapmu?”

“Ya, Anak Muda.”

“Kau akui kesalahanmu?”

“Ya, Ki Sanak. Aku dan kawan-kawanku termasuk Tangkil mohon maaf. Kami memang salah.”

Glagah Putih pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pulanglah. Tetapi jangan mencoba-coba lagi. Apapun yang kalian lakukan, tidak akan berhasil.”

“Baik, Ki Sanak,” jawab orang yang sudah separuh baya itu.

“Jangan libatkan anak-anak muda di padukuhanmu dalam persoalan ini. Batasi saja sampai sekian, agar tidak menjadi berkepanjangan.”

“Ya, Ki Sanak.”

“Pulanglah. Jika kalian mengaku salah, maka kalian harus bertanggung jawab atas pengakuan itu. Kalian tidak akan melakukannya lagi.”

“Ya, Ki Sanak.

Glagah Putih pun kemudian memberi kesempatan keempat orang itu meninggalkannya, bersama Prastawa yang berdiri termangu-mangu di tengah-tengah bulak panjang itu.

Tangkil yang kesakitan berjalan sambil memegangi dadanya yang terasa pepat. Sedangkan seorang kawannya berjalan agak terbungkuk-bungkuk karena punggungnya yang sakit Seorang lagi setiap kali berdesah. Telinganya terasa sakit sekali.

Meskipun demikian, Tangkil itu masih berkata, “Anak-anak muda Tanah Perdikan itu menjadi besar kepala.”

“Kita memang tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Tetapi aku tidak berhenti sampai di sini,” berkata Tangkil.

“Kau mau apa?”

“Aku ajak kawan-kawanku mengambil Wirit dan istrinya. Kami akan membawanya ke seberang Kali Praga. Kami akan mengikat Wirit dan merendamnya di Kali Praga. Sedangkan istrinya akan aku bawa pulang.”

“Sudahlah. Jangan memperpanjang persoalan ini.”

“Aku harus menebus kekalahanku.”

“Tidak ada gunanya. Jangankan anak-anak seberang timur Kali Praga, sedangkan sepasukan orang-orang terlatih yang akan menguasai Tanah Perdikan Menoreh itu pun dapat dikalahkan,” berkata orang separuh baya itu. Lalu katanya pula, “Jika aku mengantarmu menemui Wirit, justru karena kita hanya berempat. Kau dan Wirit akan berkelahi seorang melawan seorang.”

“Tetapi kita kemudian berkelahi melawan anak padukuhan induk itu.”

“Salah kita. Dan kita sudah dikalahkan. Untung bahwa anak-anak muda itu bukan orang-orang yang bengis, sehingga kita dibiarkan meninggalkan Tanah Perdikan itu.”

“Tetapi mereka menyakiti kita.”

“Salah kita. Jika kita tidak mencegatnya di bulak panjang ini, maka kita tidak disakiti. Kecuali kau, yang memang telah melakukan perkelahian seorang melawan seorang.”

“Tetapi aku mempunyai banyak kawan yang akan bersedia membantuku.”

“Jika kau coba juga, maka tentu akan jatuh korban. Banyak di antara kita akan mati. Dan jika itu terjadi, maka kau-lah yang harus bertanggung jawab.”

Tangkil menjadi ragu-ragu. Ia mengakui kebenaran kata-kata orang yang sudah separuh baya itu.

Tetapi hatinya masih terasa panas. Sakit di punggungnya, di dadanya, di keningnya dan di banyak tempat itu, tidak membuatnya menjadi takut mengalaminya lagi.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Prastawa telah melanjutkan perjalanannya kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun di sepanjang jalan, mereka masih saja berbicara tentang Tangkil. Orang yang keras kepala yang tidak mudah mengakui kenyataan yang dihadapinya.

“Tetapi aku kira orang itu tidak akan kembali,” berkata Prastawa.

“Mudah-mudahan,” sahut Glagah Putih.

Ketika keduanya kemudian sampai ke padukuhan induk, fajar telah membayang di langit. Keduanya pun segera berpisah. Masing-masing langsung pulang ke rumah mereka.

Keduanya memang tidak sempat untuk tidur barang sekejap, karena mereka harus segera menunaikan kewajiban mereka.

Ketika matahari terbit. Glagah Putih pergi ke sumur untuk mengisi jambangan di pakiwan. Tetapi jambangan itu sudah penuh, sehingga Glagah Putih justru termangu-mangu.

Sukra melangkah mendekatinya sambil berdesis, “Kau pulang pagi?”

Glagah Putih mengangguk.

“Kau tentu mabuk tuak setelah menari tayub semalam suntuk dengan tledek-tledek cantik.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tidak ada tari tayub di rumah Wirit.”

“Jadi kenapa kau fajar baru pulang?”

“Tidak ada tari tayub. Tetapi di rumah Wirit diselenggarakan tari topeng.”

“Tari topeng tidak semalam suntuk.”

Glagah Putih tertawa. Tetapi ia justru bertanya, “Kau yang mengisi jambangan ini?”

“Ya. Seharusnya kaulah yang mengisinya.”

“Aku memang akan mengisi jambangan itu. Tetapi kau sudah mengisi lebih dahulu.”

“Tetapi kau harus menukarnya.”

“Menukar apa?”

“Ajari aku bermain cambuk.”

“Kau yang mabuk,” jawab Glagah Putih, “kau tahu bahwa ilmu cambukku baru di tataran dasar.”

“Biar saja.”

“Tentu aku tidak berhak untuk mengajar orang lain.”

“Tidak ada yang tahu.”

“Inilah yang tabu bagi mereka yang belajar olah kanuragan. Aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu, bahwa kau ingin mempelajari ilmu cambuk. Aku tidak tahu, bagaimana sikap Kakang Agung Sedayu. Apakah ia segera mengajarimu, atau bahkan sebaliknya.”

Tetapi Sukra itu melangkah mendekat sambil berdesis, “Jangan. Jangan katakan.”

“Kau tentu akan selalu memaksa-maksa aku untuk mempelajari ilmu cambuk.”

“Tidak, tidak. Aku akan diam.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sukra pun melangkah pergi sambil menundukkan kepalanya.

Glagah Putih menjadi iba kepada anak itu. Katanya, “Jangan cemas. Aku tidak akan mengatakannya.”

Sukra itu berpaling. Katanya, “Terima kasih.”

Dalam pada itu. Tangkil ternyata masih saja mendendam. Tetapi tidak seorang pun di antara kawan-kawannya yang bersedia membantunya menyeberang Kali Praga untuk membalas sakit hatinya.

“Kami masih belum gila,” berkata seorang kawannya, yang sudah mendengar dari orang yang separuh baya yang mengantar Tangkil pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, apa yang telah terjadi.

“Kita pergi dengan diam-diam ke rumah Wirit.”

“Pergilah sendiri.”

“Pengecut!”

“Kau yang tidak tahu diri. Kita semuanya pernah mendengar, bagaimana anak-anak muda Tanah Perdikan mengusir pasukan yang besar, yang terdiri dari gerombolan-gerombolan penjahat dan prajurit yang merasa sakit hati terhadap Mataram. Lalu apakah bobot kita? Tidak lebih dari seekor cleret gombel yang sombong. Yang tidak yakin bahwa sebatang randu alas yang besar akan kuat menahan tubuhnya, sehingga harus digoyang-goyangkannya lebih dahulu sebelum ia memanjat.”

Tangkil mengerutkan dahinya. Namun akhirnya Tangkil harus mengurungkan niatnya, karena tidak seorangpun yang mau membantunya pergi ke Tanah Perdikan dengan diam-diam.

Di hari-hari mendatang, terasa kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh menjadi tenang. Para petani, pedagang, orang-orang yang bekerja di sawahnya sendiri atau diupah oleh orang lain, dan orang-orang dalam tugas mereka masing-masing, dapat melakukan kewajiban mereka dengan tenang.

Tidak ada gangguan, baik di siang hari maupun di malam hari. Para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan tidak lagi dicengkam oleh ketegangan.

Meskipun demikian, para pengawal tidak menjadi lengah. Di malam hari, gardu-gardu tetap terisi. Banjar-banjar padukuhan pun tidak pernah menjadi kosong.

Dengan demikian, maka para bebahu padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan mempunyai kesempatan untuk bekerja keras, meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Jalan pun menjadi semakin rata. Jembatan-jembatan, bendungan-bendungan dan parit-parit.

Dalam pada itu, ternyata bukan saja Tanah Perdikan Menoreh yang terasa tenang. Mataram pun terasa damai. Tidak ada gejolak yang muncul di permukaan.

Pemerintahan di kadipaten-kadipaten pun berjalan dengan baik. Hubungannya dengan Mataram terasa tidak ada masalah.

Sementara itu, Glagah Putih mempunyai banyak kesempatan untuk menuntun Sukra dalam olah kanuragan. Sukra pun bekerja dengan sungguh-sungguh tanpa mengenal lelah. Kapan saja ia mempunyai kesempatan, maka Sukra telah berada di dalam sanggar. Terutama sanggar terbuka di halaman belakang rumah Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka ilmunya pun dengan cepat meningkat.

Dalam pada itu, Empu Wisanata dan Nyi Dwani, lewat Agung Sedayu, mohon kepada Ki Gede untuk memiliki sebidang tanah. Mereka berniat untuk tinggal di Tanah Perdikan Menoreh untuk seterusnya.

Berbeda dengan Ki Jayaraga, yang telah menyatakan kepada Agung Sedayu untuk tinggal bersamanya.

“Jika Ki Lurah tidak berkeberatan, anggap aku sebagai ayahmu yang tinggal di rumah anaknya.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tentu aku tidak berkeberatan. Apalagi Ki Jayaraga hanya seorang diri.”

Memang keadaannya berbeda dengan Empu Wisanata. Empu Wisanata tidak sendiri. Tetapi ia hidup bersama anak perempuannya. Bahkan masih ada kemungkinan anak perempuannya itu menempuh kehidupan sebagai kebanyakan orang. Berumah tangga dan mempunyai anak.

Ki Gede tidak berkeberatan. Diberinya Empu Wisanata sebidang tanah garapan yang dapat dikerjakannya bersama anaknya, Nyi Dwani, untuk menyangga hidup mereka sehari-hari.

Tetapi ternyata Nyi Dwani tidak hanya dapat membantu ayahnya bekerja di sawah. Tetapi Nyi Dwani juga memiliki kepandaian menganyam perkakas dapur dari bambu

Ternyata keduanya dapat menyesuaikan dirinya dengan kenyataan yang mereka hadapi. Mereka pun kemudian telah menempatkan dirinya pada satu tataran kehidupan yang sederhana. Bertani dan menganyam perkakas dapur dari bambu.

Ternyata bahwa pekerjaan itu mampu menopang hidup mereka sehari-hari.

Tanpa malu-malu Nyi Dwani membawa hasil anyamannya ke pasar bersama Empu Wisanata.

Di hari-hari sibuk mengerjakan sawah, Empu Wisanata selalu bertemu dan kadang-kadang berangkat bersama-sama Ki Jayaraga ke sawah. Letak sawah yang digarap Empu Wisanata dan sawah Agung Sedayu, yang dikerjakan antara lain oleh Ki Jayaraga, tidak terlalu jauh.

Rara Wulan yang sering mengirim makanan ke sawah, sering bertemu dan berjalan bersama-sama dengan Nyi Dwani.

Dengan demikian, meskipun rumah mereka kemudian terpisah, tetapi hubungan antara keluarga Empu Wisanata dan keluarga Agung Sedayu masih tetap akrab. Apalagi Empu Wisanata dan Nyi Dwani merasa berhutang budi kepada keluarga Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Dalam pada itu, ketenangan di Mataram terasa pengaruhnya sampai ke mana-mana. Perguruan-perguruan pun berkembang dengan baik Para pedagang dapat melakukan tugas mereka dengan tenang. Tidak ada bahaya yang menghadang di perjalanan mereka.

Namun ketenangan itu tidak mampu membuat hati Ki Saba Lintang menjadi tenang. Gejolak di jantungnya masih saja membara. Keinginannya untuk membangkitkan satu kekuatan yang besar masih belum pernah padam.

Ia masih saja membidik Swandaru sebagai sasarannya.

“Aku harus mendapatkan seorang perempuan cantik yang cerdas dan mau bekerja sama, Paman,” berkata Ki Saba Lintang kepada orang yang dituakannya.

Orang yang dipanggilnya paman itu menarik nafas dalam-dalam.

“Sulit, Ki Saba Lintang. Biasanya seorang perempuan yang cantik itu sulit untuk diajak bekerja bersama untuk tugas-tugas yang berbahaya seperti ini.”

“Tetapi tentu ada.”

“Bagaimana dengan Nyi Yatni?”

“Tidak, Paman. Aku tidak mau kehilangan untuk kedua kalinya. Aku sudah kehilangan Nyi Dwani. Sekarang aku mempunyai Nyi Yatni, yang menurut pendapatku tidak berbeda dengan Nyi Dwani. Mungkin kemampuan Nyi Dwani lebih tinggi dari Nyi Yatni. Tetapi dengan berlatih siang dan malam seperti sekarang ini, aku harap Nyi Yatni akan dapat menyamai kemampuan Nyi Dwani.”

“Baiklah. Kau masih harus mencarinya. Tetapi tentu tidak mudah.”

“Aku mengerti, Paman. Tetapi bukankah kita tidak tergesa-gesa? Aku tidak mau membuat rencana dan melaksanakan segera, tetapi gagal seperti yang sudah pernah terjadi.”

“Ya. Itu pertanda bahwa kau menjadi lebih matang dalam berpikir dan bersikap. Mudah-mudahan dengan demikian, kau akan berhasil.”

“Aku mohon Paman membantu aku mencari perempuan cantik, cerdas, dan bersedia bekerja. Tetapi ia harus setia dan tidak berkhianat seperti Nyi Dwani.”

Orang yang dipanggil paman itu tersenyum. Katanya, “Jika saja aku bertemu dengan perempuan seperti itu. Tetapi aku sudah tidak mempunyai daya tarik apa-apa untuk membujuk seorang perempuan cantik, cerdas, berani dan setia.”

Tetapi Ki Saba Lintang itu pun menjawab, “Paman tidak perlu mempunyai daya tarik apa-apa. Paman tinggal menunjukkan saja daya tarik yang dimiliki oleh Swandaru.”

“He?” orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Ya. Yang harus memiliki daya tarik adalah Swandaru.”

“Dan Swandaru sudah memilikinya.”

Orang tua itu pun tertawa. Katanya, “Tugasku hanya menunjukkan kepada perempuan cantik itu?”

“Ya.”

“Sayang.”

“Kenapa?”

“Swandaru sudah beristri dan bahkan beranak. Kebanyakan perempuan tidak mau dimadu.”

“Itu tidak penting bagi perempuan yang bersedia bekerja bersama dengan kita itu. Apakah Swandaru sudah beristri atau belum, apakah ia mempunyai anak atau belum, sama sekali tidak penting. Istri dan anaknya itu kelak akan disingkirkan. Bahkan Swandaru sendiri akan disingkirkan,” berkata Ki Saba Lintang.

“Lalu apa yang tersisa bagi perempuan itu?”

“Jika perempuan itu kelak berkeberatan bahwa Swandaru disingkirkan, maka perempuan itu juga akan disingkirkan.”

“He?”

“Bukankah perempuan itu sudah tidak berguna lagi?”

Orang yang dipanggil paman itu mengerutkan dahinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia pun berkata, “Ya. Perempuan itu tidak berguna lagi.”

“Nah, sekarang tugas kita yang mendesak adalah menemukan perempuan itu.”

Orang yang dipanggil paman itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku ingin kenal dengan Swandaru, anak Ki Demang Sangkal Putung itu. Aku ingin tahu, kenapa kau yakin dengan keberhasilan rencanamu itu.”

“Kita akan mengusahakan agar rencana kita ini berhasil.”

Orang yang dipanggil paman itu mengangguk-angguk.

Beberapa hari kemudian, maka orang yang dipanggil paman itu sudah terlibat dalam urusan jual beli kuda dengan Swandaru. Lewat seorang saudagar kuda, maka orang dipanggil paman itu telah menjual kudanya yang besar dan tegar kepada Swandaru, yang memang seorang penggemar kuda.

Demikian melihat kuda orang yang dipanggil paman oleh Ki Saba Lintang itu, maka Swandaru langsung ingin memilikinya.

Setelah beberapa kali tawar-menawar, maka akhirnya harga pun disepakati.

Dengan jual beli itu. maka orang yang dipanggil paman oleh Ki Saba Lintang itu pun kemudian dapat mengenal Swandaru.

Bahkan perkenalan itu menjadi semakin lama semakin akrab. Orang itu ternyata memiliki pengetahuan yang luas sekali tentang kuda. Sementara Swandaru adalah seorang penggemar kuda.

Perkenalan yang semakin akrab itu tidak menimbulkan persoalan apa-apa pada Swandaru dan keluarganya. Ki Demang, Pandan Wangi dan orang-orang di sekitarnya tidak mempunyai keberatan apa-apa terhadap kehadiran orang itu di dalam kehidupan Swandaru, karena orang itu dapat mengisi waktu-waktu luang Swandaru dengan berbincang dan menilai kuda.

Tidak jarang keduanya berkuda menyusuri jalan-jalan kademangan dan kadang-kadang berputaran di padang rumput. Kadang-kadang dilarikannya kudanya sekencang-kencangnya, namun kadang-kadang diperintahkannya kudanya menari dengan langkah-langkah kecil.

“Angger Swandaru,” berkata orang itu, “jika Angger Swandaru masih menginginkan kuda yang baik, aku akan dapat mengusahakannya. Tetapi harganya mungkin lebih tinggi dari kuda yang telah Angger beli. karena kuda itu adalah satu di antara kuda-kudaku sendiri.”

“Berapa ekor kuda yang Paman Ambara miliki?” bertanya Swandaru.

“Tidak banyak, Ngger. Aku seorang penggemar kuda. Tetapi kegemaranku itu tidak didukung oleh kemampuanku untuk memiliki kuda-kuda yang baik. Aku bukan seorang yang berkecukupan. Karena itu, maka setiap kali aku ingin membeli seekor kuda, maka aku terpaksa melepaskan kudaku yang lain. Tetapi pada umumnya kuda-kudaku adalah kuda yang baik.”

“Apakah aku dapat sekali-sekali datang ke rumah Paman Ambara untuk melihat kuda-kuda Paman itu?”

“Silakan Ngger. Silakan singgah di Kajoran. Angger akan dapat melihat kuda-kudaku.”

“Lain kali, Paman. Lain kali aku singgah di rumah Paman Ambara.”

Ketika keinginan Swandaru itu disampaikan oleh Ki Ambara kepada Ki Saba Lintang, maka Ki Saba Lintang pun berkata, “Paman seharusnya mempunyai anak seorang gadis yang sangat cantik.”

“Dari mana aku mendapatkan seorang anak perempuan yang cantik, cerdas, dan setia itu?”

“Kita akan berusaha. Usahakan agar Swandaru itu tidak terlalu cepat pergi ke rumah Paman.”

“Tidak apa-apa. Jika kelak perempuan yang kita inginkan itu kita dapatkan, maka aku akan dapat minta Swandaru datang lagi ke rumahku. Tidak hanya sekali. Tetapi berkali-kali.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, harus dipersiapkan rumah yang memadai di Kajoran. Ki Ambara bukan sekedar orang yang menumpang di rumah sanak kandangnya, tetapi Ki Ambara memang tinggal di Kajoran. Di belakang rumahnya terdapat kandang kuda yang berisi beberapa ekor kuda yang besar dan tegar, yang menarik perhatian Swandaru.”

“Ya. Kau harus mengusahakannya.”

“Bukan satu hal yang sulit, Paman. Jauh lebih mudah dan pada mencari seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, berani dan setia.”

Ki Ambara tersenyum. Katanya, “Terserah kepadamu, Ki Saba Lintang.”

Sebenarnyalah, beberapa hari kemudian Ki Ambara sudah tinggal di rumahnya sendiri. Rumah yang dibeli oleh Ki Saba Lintang. Di belakang rumah dibuat kandang kuda. Tetapi kandang itu harus tidak berkesan baru. Beberapa ekor kuda berada di kandang itu.

Di rumah Ki Ambara tinggal sepasang suami istri yang bekerja padanya. Suaminya seorang yang memelihara kuda, dan istrinya bekerja di dapur. Sementara itu masih ada lagi seorang anak muda yang membantu membersihkan halaman rumah yang terhitung luas. Membelah kayu bakar, mengisi jambangan di pakiwan dan mengisi gentong di dapur, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Beberapa hari kemudian, Ki Ambara pun telah siap menerima kedatangan Swandaru. Kepada para pembantunya. Ki Ambara minta agar mereka menganggap bahwa mereka sudah lama tinggal di padukuhan Kajoran.

“Kepada tamu-tamuku kalian harus mengatakan, seandainya mereka bertanya kepadamu, bahwa kalian sudah lama bekerja padaku dan aku sudah lama tinggal di Kajoran.”

“Bagaimana jika tamu-tamu Ki Ambara itu bertanya kepada tetangga di sebelah-menyebelah?”

“Tamu-tamuku tidak mempunyai waktu untuk melakukannya,” jawab Ki Ambara.

Demikianlah, hubungan antara Ki Ambara dan Swandaru berlangsung terus. Ki Ambara sering berkunjung ke rumah Swandaru, sehingga keluarga Swandaru mengenalnya dengan baik. Pandan Wangi pun mengenalnya dengan baik pula.

Ketika Ki Ambara mempersilakan Swandaru datang ke rumahnya untuk melihat-lihat kudanya, maka Swandaru pun menyatakan kesediaannya.

“Bersama Nyi Pandan Wangi. Bukankah Nyi Pandan Wangi juga seorang penggemar kuda?”

“Ia bukan penggemar kuda, Ki Ambara. Tetapi Pandan Wangi memang seorang penunggang kuda yang baik.”

“Ajak ia ke rumahku, Ngger.”

“Baik, Paman. Aku akan mengajaknya.”

“Nah, kapan Angger akan pergi ke rumahku? Biarlah aku menjemput, agar Angger tidak usah bertanya-tanya sepanjang jalan.”

“Tidak akan terlalu sulit, Paman.”

“Jangan, Ngger. Sebaiknya kita membuat janji. Aku akan datang kemari menjemput Angger berdua.”

Swandaru tidak ingin mengecewakan Ki Ambara. Karena itu, maka ia pun berkata, “Jika demikian, baiklah. Aku akan berkunjung ke rumah Ki Ambara di akhir pekan. Aku akan mengajak istriku. Mudah-mudahan ia tidak berkeberatan.”

“Sekali-sekali menjelajahi kademangan-kademangan yang lain untuk melihat-lihat keadaan. Tetapi aku yakin, bahwa Kademangan Sangkal Putung adalah kademangan terbaik di daerah ini, Ngger.”

“Mungkin di satu sisi, Paman. Tetapi di sisi, lain, tentu ada kekurangannya. Kademangan-kademangan itu tentu mempunyai kelebihannya sendiri-sendiri. Itulah yang pantas aku lihat.”

Sebenarnyalah di akhir pekan, Swandaru dan Pandan Wangi pun telah bersiap-siap untuk pergi. Ternyata Pandan Wangi merasa senang juga melihat-lihat keadaan di luar kademangannya, karena Pandan Wangi jarang sekali melakukannya. Pandan Wangi jarang sekali bepergian Tetapi jika ia sudah keluar dari regol halaman rumah di atas punggung kuda, maka ia akan sampai di Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi di akhir pekan itu, Pandan Wangi akan ikut suaminya pergi mengunjungi seorang sahabatnya di Kajoran.

Memang satu perjalanan yang menyenangkan. Bagi Swandaru, jalan ke Kajoran itu telah dikenalnya dengan baik. Sedangkan Pandan Wangi memang pernah melewatinya, tetapi hanya sekali-sekali saja.

Bersama Ki Ambara, Pandan Wangi dan Swandaru berkuda melewati bulak-bulak panjang dan pendek. Mereka berkuda melewati padukuhan yang jarang mereka lihat.

Kajoran memang tidak terlalu jauh. Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah memasuki regol halaman rumah Ki Ambara.

Halaman rumah Ki Ambara adalah halaman yang sejuk. Sepasang pohon nangka yang besar tumbuh di depan pendapa. Sedangkan di sebelah-menyebelah pendapa, di depan gandok kiri dan kanan, tumbuh pohon belimbing lingir. Dengan demikian, maka udara di halaman rumah itu terasa sejuk.

“Marilah Angger berdua. Naiklah.”

Setelah menambatkan kuda mereka di patok-patok yang tersedia, keduanya pun naik ke pendapa.

Ki Ambara melayani tamunya dengan baik sekali. Pembantunya segera menghidangkan minuman dan makanan. Dipersilahkannya keduanya makan dan minum, dengan ramah sekali.

Beberapa saat kemudian, setelah duduk dan berbincang sebentar, Ki Ambara mengajak Swandaru dan Pandan Wangi untuk melihat kuda-kudanya.

Di kandang Ki Ambara terdapat lima ekor kuda. Seperti yang dikatakan, bahwa kuda-kuda Ki Ambara adalah kuda-kuda yang baik. Kuda-kuda yang besar dan tegar.

Bukan saja Swandaru yang senang sekali memperhatikan kuda-kuda Ki Ambara, tetapi Pandan Wangi pun tidak jemu-jemunya melihat kuda-kuda itu. Dari yang satu ke yang lain. Namun kemudian kembali lagi pada yang pertama.

“Jika Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi ingin mencoba, aku persilakan,” berkata Ki Ambara.

“Terima kasih,” jawab Pandan Wangi, “lain kali saja Ki Ambara. Lain kali aku akan datang untuk mencoba kuda-kuda Ki Ambara.”

“Silakan, Ngger. Silakan.”

“Bukankah Ki Ambara tidak berkeberatan?”

“Tentu tidak Ngger. Aku akan menerima Angger dengan senang hati.”

Pandan Wangi pun tersenyum. Senyumnya membuatnya menjadi semakin cantik.

“Di mana didapat seorang gadis yang cantiknya melebihi, setidak-tidaknya menyamai Pandan Wangi, untuk memikat Swandaru,” berkata Ki Ambara di dalam hati.

Menurut Ki Ambara, kecantikan Pandan Wangi adalah puncaknya kecantikan.

Beberapa lama Swandaru dan Pandan Wangi berada di rumah Ki Ambara. Setelah minum semangkuk dan makan beberapa potong makanan. Swandaru dan Pandan Wangi pun mohon diri.

“Sering-seringlah datang, Angger Pandan Wangi.”

“Aku senang dapat berkunjung ke rumah Ki Ambara. Lain kali aku tentu akan datang lagi. Bukankah kedatanganku tidak mengganggu kegiatan sehari-hari Ki Ambara?”

“Tidak. Tentu tidak. Aku sudah tua. Aku tidak lagi pantas bekerja. Pekerjaanku sekarang tinggal bermain-main dengan kuda. Untuk hidupku sehari-hari, aku ditopang oleh sebidang tanah yang digarap oleh tetangga sebelah. Selain itu, anak-anakku masih membantuku.”

“Berapa orang anak Ki Ambara?”

“Empat. Tiga laki-laki dan seorang perempuan.”

“Semua sudah berkeluarga?”

Ki Ambara itu mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Ya. Beruntunglah aku, bahwa anak-anakku sangat baik kepadaku.”

Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Ki Ambara adalah seorang ayah yang beruntung.”

“Tetapi istriku telah meninggal tiga tahun yang lalu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Masa-masa sepi. Jadi Ki Ambara sendiri di sini?”

“Ya. Dengan beberapa orang pembantu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sekali lagi ia minta diri, “Kami sudah cukup lama mengganggu Ki Ambara.”

“Tidak. Aku sama sekali tidak merasa terganggu.”

“Terima kasih atas sambutan Ki Ambara,” berkata Swandaru kemudian.

“Aku antar Angger berdua sampai ke regol padukuhan.”

“Tidak usah, Ki Ambara. Terima kasih.”

“Tidak apa. Aku ingin menghormati tamu-tamuku.”

Swandaru dan Pandan Wangi tidak menolak. Mereka pun kemudian mengambil jalan sebagaimana mereka datang, hanya arahnya sajalah yang berlawanan.

Demikian mereka sampai di regol padukuhan. maka Ki Ambara yang duduk di punggung kuda itu pun berkata, “Sampai di sini, Ngger.”

“Terima kasih, Ki Ambara. Terima kasih.”

Sejenak kemudian, kuda Swandaru dan Pandan Wangi pun segera berlari. Tetapi keduanya tidak melarikan kuda mereka seperti sedang berpacu.

Ketika Ki Ambara sampai di rumahnya kembali, Ki Saba Lintang duduk di tangga pendapa. Ki Saba Lintang mengenakan pakaian seorang pembantu di rumah itu.

“Satu permulaan yang menjanjikan harapan,” berkata Ki Saba Lintang.

“Pandan Wangi selanjutnya tidak akan menaruh curiga jika Swandaru datang kemari. Juga setelah seorang anak gadisku datang.”

“Ki Ambara mengatakan bahwa keempat anak Ki Ambara sudah menikah.”

“He?”

Ki Saba Lintang tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Gadis itu adalah cucu Ki Ambara. Anak perempuan dari anak Ki Ambara yang tertua.”

“Atau anak perempuanku itu berselisih dengan suaminya, dan untuk sementara tinggal di rumah ini.”

Ki Saba Lintang masih saja tertawa berkepanjangan. Namun tiba-tiba saja Ki Saba Lintang itu bertanya, “Ki Ambara. Jika ada seorang perempuan di sini, apakah Pandan Wangi tidak menjadi curiga, jika Swandaru sering datang mengunjungi Ki Ambara?”

“Bukankah perempuan itu sadar, untuk apa ia di sini? Untuk apa ia berhubungan dengan Swandaru? Dengan demikian, maka akan sangat mudah diatur bahwa Pandan Wangi tidak akan pernah bertemu dengan perempuan itu.”

“Seandainya Pandan Wangi ikut Swandaru datang kemari?”

“Bukankah di rumah ini ada beberapa buah bilik yang cukup luas untuk menyembunyikan perempuan itu?”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk.

“Perempuan itu akan bersembunyi dengan sadar, karena ia tahu tujuan hubungannya dengan Swandaru. Akan berbeda jika ia berhubungan dengan Swandaru karena hubungan pribadi tanpa tujuan yang lebih besar. Mungkin ia justru dengan sengaja menampilkan dirinya pada saat-saat Pandan Wangi datang kemari bersama Swandaru. Sengaja menyakiti hati Pandan Wangi, sehingga akhirnya Pandan Wangi akan meninggalkan Swandaru.”

“Apa salahnya jika perempuan itu berhasil menguasai Swandaru sepenuhnya?”

“Kenapa tiba-tiba kau menjadi bodoh, Ki Saba Lintang? Jika Pandan Wangi pulang ke Tanah Perdikan Menoreh, apakah kau akan dapat memanfaatkan Swandaru, dan apalagi Pandan Wangi, untuk membujuk Ki Gede Menoreh agar Tanah Perdikan Menoreh menempatkan diri di samping Sangkal Putung? Bukankah kau ingin menguasai Tanah Perdikan Menoreh, meskipun yang harus tampil orang lain? Aku misalnya.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ya, Ki Ambara benar.”

“Nah, sekarang cari perempuan itu. Aku kira aku tidak akan sanggup.”

“Aku akan mencari, Ki Ambara.”

“Tetapi jangan menimbulkan persoalan dengan Nyi Yatni. Jika perempuan itu sangat cantik, yang akan terlibat bukan hanya Swandaru.”

Ki Saba Lintang tertawa pula. Katanya, “Ki Ambara agaknya lebih curiga dari Yatni sendiri. Yatni sudah tahu bahwa aku harus menemukan seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, berani dan setia.”

Ki Ambara tertawa pula.

Di hari-hari berikutnya, hubungan antara Ki Ambara dan Swandaru menjadi semakin akrab. Beberapa pekan kemudian. Swandaru telah membeli lagi seekor kuda yang baik bagi Pandan Wangi.

Pandan Wangi sendiri pergi bersama Swandaru untuk melihat kuda itu di rumah Ki Ambara. Demikian Pandan Wangi melihat kuda itu. maka ia pun segera tertarik.

“Kau senang, Pandan Wangi?” bertanya Swandaru.

Pandan Wangi mengangguk. Katanya, “Aku ingin mencobanya, Kakang.”

“Silakan, Silakan Nyi. Nyi Pandan Wangi dapat membawa kuda itu barang sepekan. Jika Nyi Pandan Wangi sesuai, aku silakan untuk mengambilnya. Jika ternyata tidak, tidak apa-apa.”

Pandan Wangi memandang Swandaru dengan kerut di dahi. “Jika aku bawa kuda itu, bagaimana dengan kudaku?”

“Biarlah kuda Nyi Pandan Wangi ditinggal saja di sini. Aku akan memeliharanya dengan baik.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Ki Ambara.”

Demikianlah, kuda yang baru itu telah dibawa pulang oleh Pandan Wangi, sementara kudanya ditinggalkannya di rumah Ki Ambara.

Sampai pada saat Pandan Wangi membawa kuda Ki Ambara, Ki Saba Lintang masih belum mendapatkan seorang perempuan yang sesuai untuk tinggal bersama Ki Ambara untuk diaku sebagai cucunya, atau anaknya, jika perempuan itu sudah tidak lagi pantas disebut seorang gadis.

Tetapi Ki Saba Lintang memang tidak tergesa-gesa. Belajar pada pengalaman, maka ia harus cermat dengan rencananya, meskipun memerlukan waktu yang cukup panjang.

Dalam pada itu. ternyata Pandan Wangi merasa sesuai dengan kuda yang dibawanya dari Ki Ambara. Karena itu, maka ia minta agar Swandaru membeli kuda itu.

Swandaru pun tidak berkeberatan. Swandaru yang pernah merasa bersalah, ingin menebus kesalahannya dengan sedikit menyenangkan Pandan Wangi. Karena itu, maka setelah sepekan, Swandaru dan Pandan Wangi datang lagi ke rumah Ki Ambara untuk melaksanakan jual beli kuda itu.

“Lalu bagaimana dengan kudaku?” bertanya Pandan Wangi kepada Swandaru.

“Biarlah aku menuntunnya. Kuda itu juga baik. Barangkali dapat dipergunakan Ayah.”

“Ayah sudah punya kuda sendiri.”

“Tetapi menurut pendapatku, kuda itu masih lebih baik dari kuda Ayah.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk.

Hari itu Pandan Wangi mendapat seekor kuda yang baru. Kuda yang memang lebih baik dari kudanya yang lama.

“Ki Ambara dapat menyelam sambil minum,” berkata Ki Saba Lintang.

Ki Ambara tertawa.

“Berapa Ki Ambara mendapat keuntungan dari menjual kuda itu?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Cukupan,” jawab Ki Ambara, “tetapi mereka tentu tidak akan membeli lagi dalam waktu dekat. Tetapi Swandaru telah memberikan gagasan padaku untuk berjual beli kuda. Aku sudah mempunyai sumber, di mana aku dapat membeli kuda dengan harga yang agak murah.”

“Kepada siapa Ki Ambara akan menjualnya?”

“Kau harus membeli seekor. Orang-orangmu harus kau wajibkan membeli kuda kepadaku, dengan harga yang tinggi.”

Ki Saba Lintang tertawa berkepanjangan. Katanya, “Itu namanya pemerasan.”

Ki Ambara pun tertawa semakin keras sehingga perutnya terguncang-guncang.

Demikianlah, hubungan Ki Ambara dengan keluarga Swandaru menjadi semakin rapat. Niat Ki Ambara untuk menjadi pedagang kuda pun benar-benar dilaksanakannya. Beberapa orang bebahu Sangkal Putung telah terpengaruh pula oleh Swandaru. Mereka ingin juga membeli kuda yang baik seperti kuda Swandaru.

Ki Ambara memang seorang yang tahu benar tentang kuda. Ia dapat memilih kuda yang benar-benar baik dan dapat membelinya dengan harga yang pantas, sehingga ia mendapat keuntungan yang baik dari perdagangan kudanya.

Bahkan akhirnya bukan saja para bebahu di Sangkal Putung. Cerita tentang kuda-kuda Ki Ambara menjalar ke kademangan-kademangan lain.

Tetapi ada juga bebahu yang harus menahan keinginannya, karena harga kuda yang baik itu juga cukup tinggi.

“Besok panen aku sudah merencanakan untuk menikahkan anak perempuanku. Mungkin aku harus menunda keinginanku untuk membeli seekor kuda yang baik pada panenan berikutnya, atau berikutnya lagi,” berkata Ki Kamituwa di Sangkal Putung.

“Ah, Ki Kamituwa itu tentu hanya sekedar berkelakar. Jangan tunggu uangmu sampai karatan,” berkata Ki Jagabaya.

“He, bukankah aku harus menabung dari waktu ke waktu? Anakku perempuan sudah dewasa. Aku tidak mau anakku menjadi perawan kasep.”

“Berapa umur anakmu?”

“Sudah tujuh belas.”

“Baru tujuh belas.”

“Sudah tujuh belas.”

Ki Jagabaya tertawa Ki Kamituwa pun tertawa pula.

Pandan Wangi menjadi semakin tidak menaruh keberatan terhadap hubungan yang semakin akrab antara Swandaru dan Ki Ambara. Ki Demang Sangkal Putung pun menganggap bahwa kegemaran Swandaru terhadap kuda tidak mengganggu kewajiban yang sudah ditekuninya kembali, setelah untuk beberapa lama ia salah jalan.

Bahkan dengan kudanya yang baru, ia semakin sering berkeliling kademangan untuk melihat-lihat perkembangan yang telah bertunas kembali, setelah beberapa saat lamanya seakan-akan menjadi layu.

Para bebahu yang telah membeli kuda pun menjadi semakin sering pula menyusuri jalan-jalan kademangan. Selain memamerkan kuda-kuda mereka yang baru, para bebahu itu juga ingin meyakinkan diri sendiri, bahwa kuda-kuda yang dibelinya itu memang haik.

Sebenarnyalah bahwa kuda-kuda itu memang baik. Ki Ambara tidak mau menodai namanya, terutama di Sangkal Putung, karena ia berkepentingan sekali dengan kademangan itu.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun telah mengajak Ki Ambara untuk menemui seorang pengikut Ki Saba Lintang yang setia dan dapat dipercaya. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang sedang tumbuh dewasa.

“Mungkin gadis itu dapat Ki Ambara akui sebagai cucu Ki Ambara,” berkata Ki Saba Lintang.

“Kita akan menemui gadis itu. Kita akan melihat kemungkinannya. Apakah gadis itu cukup cantik, cukup cerdas dan cukup berani. Tetapi sangat sulit untuk mengetahui kesetiaannya kepada tujuan kita.”

“Marilah kita lihat,” berkata Ki Saba Lintang, “tetapi tentu gadis itu bukan satu-satunya calon.”

“Baiklah. Untuk menemuinya, kita memerlukan waktu berapa lama, Ki Saba Lintang?”

“Mungkin kita harus bermalam dua malam termasuk perjalanannya.”

“Baiklah. Tetapi aku harus memberi tahu Swandaru, agar ia tidak datang ke rumah selagi aku pergi.”

“Bukankah para pembantu Ki Ambara dapat memberitahukan bahwa Ki Ambara sedang pergi?”

“Aku tidak ingin Swandaru dan apalagi Pandan Wangi berbicara terlalu panjang dengan para pembantuku. Apalagi dengan tetangga-tetanggaku. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai panggraita yang tajam. Semakin banyak mereka berbicara dengan para pembantu, semakin banyak yang ingin mereka ketahui.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.”

Karena itu, maka Ki Ambara telah pergi menemui Swandaru untuk memberitahukan bahwa ia akan pergi selama tiga hari.

Swandaru yang menerima Ki Ambara bersama istrinya di pringgitan itu pun bertanya, “Ki Ambara akan pergi ke mana?”

“Sudah lama aku tidak menengok anak-anakku, Ngger. Tetapi di samping itu, aku ingin mendapat hubungan baru tentang perdagangan kuda. Aku benar-benar ingin memperluas perdagangan kudaku. Jika semula hanya sekedar sambilan, aku ingin benar-benar menjadi seorang pedagang kuda.”

“Selamat jalan, Ki Ambara. Mudah-mudahan perjalanan Ki Ambara menyenangkan dan berhasil baik.”

“Terima kasih, Ngger. Aku perlukan minta diri agar Angger tidak pergi mengunjungiku selagi aku pergi, sehingga perjalanan Angger sia-sia.”

“Bukankah jaraknya tidak jauh. Ki Ambara? Seandainya aku menemukan rumah Ki Ambara kosong, aku tidak merasa kehilangan banyak waktu dan tenaga.”

Demikianlah, maka Ki Ambara pun telah terbebas dari kecemasan bahwa Swandaru akan datang ke rumahnya dan berbicara banyak dengan pembantu-pembantunya.

Meskipun Ki Ambara sudah memberikan banyak pesan-pesan seandainya ada orang yang bertanya tentang dirinya, tetapi bagi Ki Ambara, lebih baik Swandaru dan Pandan Wangi tidak pergi ke rumahnya.

Perjalanan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang memang agak panjang. Mereka pergi ke Tengaran. Sebuah padukuhan yang terletak di pinggir kaki Kali Gandu, di kaki Gunung Merbabu.

“Kita akan pergi ke sebuah padepokan kecil, Ki Ambara,” berkata Ki Saba Lintang di perjalanan.

“Siapa yang berada di padepokan itu?”

“Ki Sekar Tawang. Sebelum mendirikan sebuah padepokan di Tengaran, ia pernah menjadi prajurit Jipang. Waktu itu ia masih muda. Ia adalah salah seorang kepercayaan Macan Kepatihan.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Siapa namanya waktu ia masih muda?”

“Warayang. Ia seorang prajurit yang baik.”

“Warayang?”

“Ya. Kenapa?”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku telah mengenalnya. Ia memang seorang prajurit yang baik. Ia pantas memimpin sebuah padepokan.”

“Jadi Ki Ambara sudah mengenalnya?”

“Ya. Aku sudah mengenalnya.”

“Itu tidak mustahil. Kita memang bersumber dari perguruan yang sama. Dengan demikian, maka hubungan kita dengan Ki Sekar Tawang akan menjadi lebih akrab.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Rencana kita menjadi lebih mapan. Sejak lama aku sudah mengusulkan agar kita bekerja sama dengan orang-orang yang benar-benar seperguruan. Orang-orang dari perguruan Kedung Jati. Kita dapat bekerja bersama orang lain yang mempunyai kepentingan yang sama, tetapi kita tidak boleh justru menjadi alat mereka.”

“Tentu tidak, Ki Ambara.”

“Bayangkan, Ki Saba Lintang. Seandainya kita berhasil menguasai Tanah Perdikan Menoreh waktu itu, apakah untuk seterusnya kita akan dapat bekerja sama dengan baik dengan kekuatan seluruh kekuatan yang ada? Kita akan segera terpecah sesuai dengan kepentingan kekuatan-kekuatan yang ada itu sendiri. Seandainya kita dapat mempertahankan kerja sama itu, tetapi langkah berikutnya akan merupakan langkah-langkah yang sangat rumit. Saling mencurigai, saling mendahului dan saling berebut pengaruh.”

Ki Saba Lintang menarik nafas panjang. Sejenak ia merenungi kata-kata Ki Ambara. Namun kemudian Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Tetapi bukankah kita akan menyeret Sangkal Putung untuk berjuang bersama-sama dengan kita?”

“Ya. Kita masih akan berjuang bersama beberapa pihak. Tetapi kita akan memilih kawan. Warayang, misalnya. Ia memang saudara kita. Mungkin ada beberapa padepokan. Kita juga akan berhubungan dengan kekuatan Jipang yang masih mungkin dikumpulkan. Mungkin kekuatan dari Pati. Kemudian kita telah memilih Sangkal Putung menjadi salah satu unsur kekuatan kita. Tidak seperti saat Ki Saba Lintang menyerang Tanah Perdikan Menoreh, di samping kekuatan yang memang pantas untuk berjuang bersama-sama dengan kita, tetapi unsur-unsur yang lain adalah unsur-unsur yang hitam. Gerombolan-gerombolan perampok, padepokan-padepokan yang dipimpin oleh orang-orang yang tidak pada tempatnya. Sikap dan pendirian yang tidak mapan, serta orang-orang yang bertualang untuk mencoba-coba mencari kekuasaan.”

“Ya. Aku mengakui semuanya itu, Ki Ambara.”

“Tetapi itu merupakan pelajaran bagi kita. Kita tidak boleh membuat kesalahan serupa lagi. Karena itu, kita harus memilih kawan yang sadar sepenuhnya untuk apa kita berjuang.”

“Ya, Ki Ambara.”

“Nah. sekarang aku ingin bertanya kepada Ki Saba Lintang. Bukankah Ki Saba Lintang berharap bahwa Sangkal Putung akan dapat mengajak Tanah Perdikan Menoreh melibatkan diri dalam perjuangan ini?”

“Ya,” jawab Ki Saba Lintang.

“Untuk itu Ki Saba Lintang harus tidak ada lagi. Tanah Perdikan Menoreh tidak akan dapat menerima kehadiran Ki Saba Lintang.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sadari hal itu, Ki Ambara. Karena itu, seperti yang sudah aku katakan, Ki Ambara-lah yang akan berdiri di depan. Aku akan berada di belakang. Jika kelak semuanya sudah terjadi, maka biarlah aku tampil di hadapan orang-orang Tanah Perdikan. Mereka-lah yang bergantian hilang dari peredaran. Tetapi untuk selama-lamanya.”

“Satu permainan yang sulit. Setiap orang Tanah Perdikan akan dapat mengenal wajah Ki Saba Lintang dan Nyi Yatni, meskipun nama kalian berganti.”

“Kami tidak akan tampil di hadapan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, Ki Ambara. Bukankah itu sudah aku katakan?”

“Ya. Aku hanya mengingatkan. Aku minta Ki Saba Lintang merencanakan dengan masak, cara Ki Saba Lintang menyembunyikan diri dari penglihatan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Demikian pula dengan Nyi Yatni. Apalagi di tanah perdikan sekarang ada Empu Wisanata dan Nyi Dwani.”

“Terima kasih. Kami akan sangat berhati-hati. Kami tahu bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Setidak-tidaknya beberapa orang pemimpinnya.”

Ki Ambara mengangguk-angguk.

Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Kuda mereka berlari di atas jalan berbatu-batu. Tetapi bekas roda pedati telah membuat alur jalur memanjang di jalan itu.

Perjalanan mereka adalah perjalanan yang panjang. Di tengah hari mereka singgah di sebuah kedai di pinggir jalan. Kedai yang tidak terlalu banyak dikunjungi orang.

Di kedai itu Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mendengar rerasan orang-orang yang duduk di kedai itu pula. Agaknya tlatah Mataram memang mulai terasa tenang dan tenteram. Bukan saja tidak terdengar lagi berita tentang perang, atau pengumpulan bahan pangan yang akan dibawa oleh para prajurit dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, dalam usaha mereka mempersatukan Mataram. Tidak pula ada pajak-pajak tambahan untuk biaya perang yang besar, tidak ada lagi panggilan bagi anak-anak muda untuk ikut menjadi prajurit yang akan dikirim ke medan-medan perang di tempat yang jauh.

Para petani benar-benar mendapat kesempatan untuk mengerjakan sawah mereka. Para saudagar tidak lagi merasa cemas untuk berdagang. Para peternak tidak kehilangan ternak mereka di kandang-kandangnya.

Di malam hari di bulak-bulak panjang tidak lagi berkeliaran para penyamun. Di padukuhan-padukuhan tidak lagi dihantui oleh pencuri, perampok, berandal dan kecu.

Bukan saja karena para prajurit ditugaskan berada di sudut-sudut negeri yang jauh dari keramaian, tetapi juga karena kesejahteraan rakyat yang meningkat, sehingga tidak perlu ada pencuri, penyamun ataupun perampok.

“Mereka akan segera tertidur,” berkata Ki Ambara.

“Maksud Ki Ambara?”

“Jika keadaan tenang dan sama sekali tidak ada gejolak, maka mereka akan segera tertidur. Para prajurit pun tertidur pula. Mereka tidak akan dengan sigap menangani persoalan-persoalan yang tumbuh dan berkembang. Para prajurit di Jati Anom pun akan tertidur. Bukankah untuk memecah Mataram maka pasukan Untara di Jati Anom dan pasukan Agung Sedayu di Tanah Perdikan harus dihancurkan? Dalam satu sergapan yang tiba-tiba, tidak sulit adalah menghancurkan pasukan Agung Sedayu. Bukan karena kekuatan Pasukan Khusus itu lebih besar dari kekuatan pasukan Untara, tetapi Agung Sedayu sendiri sudah merupakan bagian dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jika mungkin, justru membawa pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu untuk ikut serta bersama kita.”

“Kesetiaan Agung Sedayu sulit untuk diungkit.”

“Ya,” berkata Ki Saba Lintang, “tetapi jika kita sudah dapat memegang Swandaru dan Pandan Wangi, maka mereka akan dapat menunjuk Ki Gede Menoreh.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu rangkaian yang sulit. Seorang perempuan untuk mempengaruhi Swandaru tanpa diketahui oleh Pandan Wangi. Kemudian Swandaru harus membujuk Pandan Wangi untuk mengikuti niatnya. Pandan Wangi harus membujuk ayahnya di Tanah Perdikan Menoreh untuk melawan Mataram. Selebihnya, Ki Gede diharapkan akan dapat mempengaruhi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, di samping Swandaru diharapkan akan dapat membujuk adiknya untuk berpihak kepadanya.”

“Ya. Satu rangkaian panjang yang rumit. Tetapi kita akan mencobanya. Di samping itu, kita siapkan kawan-kawan kita yang dapat dipercaya. Kita harus menghindari kekuatan-kekuatan yang tidak diketahui arahnya, sebagaimana saat kita menyerang Tanah Perdikan.”

Ki Ambara tersenyum. Katanya, “Ya. Itulah kerja panjang yang harus kita lakukan.”

“Sekali lagi aku tegaskan, Ki Ambara. Kita tidak boleh tergesa-gesa.”

Demikianlah, setelah mereka tidak lagi haus dan lapar, maka keduanya pun telah meninggalkan kedai itu, setelah mereka membayar harga makanan dan minuman serta sekedar perawatan dan rumput bagi kuda-kuda mereka.

Sejenak kemudian, di hadapan mereka telah terbentang lagi jalan yang memanjang menggapai cakrawala.

Keduanya pun melarikan kuda mereka lebih kencang. Tetapi mereka tidak mendera kuda mereka seperti sedang berpacu di arena pacuan kuda.

Perjalanan ke Tengaran memang perjalanan yang cukup panjang. Bukan saja jaraknya, tetapi jalan pun semakin lama terasa semakin sulit. Mereka menyusuri jalan melingkar di kaki Gunung Merapi, dan kemudian di kaki Gunung Merbabu.

Beberapa kali mereka harus berhenti. Mereka memberi kesempatan kuda-kuda mereka untuk beristirahat. Baru kemudian mereka melanjutkan perjalanan mereka lagi.

Sekali-sekali mereka harus memanjat jalan naik. Tetapi kemudian mereka dengan hati-hati meluncur jalan sempit menurun. Bahkan mereka harus berkuda di jalan setapak di pinggir hutan. Tetapi satu saat mereka menyusup memasuki padang perdu yang semak-semaknya berduri.

“Apakah kita harus bermalam di jalan?” bertanya Ki Ambara.

“Tidak, Ki Ambara. Kita sudah tidak terlalu jauh lagi.”

Ki Ambara memandang matahari yang sudah berada di punggung bukit. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam dan malam pun akan turun.

Tetapi Tengaran memang sudah ada di hadapan mereka.

“Yang di hadapan kita itu adalah Tengaran,” berkata Ki Saba Lintang.

Ki Ambara mengangguk-angguk. Tetapi Ki Ambara itu pun masih juga bertanya, “Tengaran memang sudah nampak di hadapan kita. Tetapi berapa kali lagi kita masih harus menuruni lembah, dan kemudian beberapa kali lagi kita harus melewati puncak-puncak perbukitan? Yang nampaknya tinggal selangkah itu ternyata masih terlalu panjang.”

Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Kita akan segera sampai sebelum wayah sepi wong.”

“Kuda kita sudah terlalu letih meskipun kita sudah beristirahat beberapa kali.”

“Kita selesaikan perjalanan kita. Tidak usah terlalu cepat. Biarlah kuda-kuda kita berjalan sesuka mereka saja.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu senja pun mulai turun. Ki Ambara tidak ingin memaksa kudanya berjalan terus. Karena itu, maka ia pun berkata, “Kita beristirahat sejenak. Biarlah kuda-kuda itu minum. Mumpung ada sumber air yang jernih.”

Ki Saba Lintang tidak memaksa. Mereka pun segera turun dari kuda mereka. Membiarkan kuda-kuda itu minum di sebuah sumber air yang jernih. Bahkan kuda-kuda itu sempat makan rumput yang segar sambil beristirahat.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang pun duduk di atas batu padas sambil memandang ke sebuah padukuhan yang mulai menjadi remang-remang. Beberapa lembah dan bukit-bukit kecil masih harus dilewati sebelum mereka sampai ke padukuhan yang menurut Ki Saba Lintang sudah dekat di hadapan mereka itu.

“Apakah kau sudah sering pergi ke padepokan itu, Ki Saba Lintang?”

“Sudah, Paman,” jawab Ki Saba Lintang, “Paman tidak usah cemas bahwa kita akan tersesat.”

“Aku tidak takut tersesat, meskipun aku sendiri. Apalagi padukuhan itu sudah nampak dari sini.”

“Yang kita lihat itu adalah padukuhan Tengaran. Padepokan Tengaran tidak berada di padukuhan itu. Tetapi padepokan itu berada tidak terlalu jauh dari padukuhan itu.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Sementara Ki Saba Lintang berkata, “Padepokan itu hanyalah sebuah padepokan kecil.”

Ki Ambara tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih terangguk; angguk.

Ketika kemudian malam mendesak senja, maka keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka.

“Silakan Ki Ambara di belakang,” berkata Ki Saba Lintang.

“Kenapa?”

“Jalan akan menjadi semakin rumpil. Batu-batu padas yang miring. Tetapi masih dalam batas yang tidak sangat berbahaya.”

Ki Ambara tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan berkuda di belakang Ki Saba Lintang. Untunglah langit cerah. Jika hujan turun, nampaknya jalan ini menjadi licin.”

“Ya. Jika hujan turun, mungkin beberapa kali kita harus turun dan menuntun kuda kita.”

Ki Ambara mengangguk-angguk.

Beberapa lama lagi mereka masih harus menyusun jalan yang turun dan naik. Namun akhirnya, seperti yang dikatakan oleh Ki Saba Lintang, menjelang wayah sepi wong mereka mendekati padukuhan Tengaran.

“Kita tidak memasuki jalan ke padukuhan Tengaran itu, Ki Ambara,” berkata Ki Saba Lintang.

“Kenapa? Bukankah jalan itu jalan yang lebih besar dan lebih baik dari jalan yang selama ini kita lalui? Nampaknya jalan itu adalah jalan induk padukuhan Tengaran.”

“Ya. Kita memang tidak akan melewati padukuhan Tengaran. Kita akan melingkar lewat jalan yang lebih kecil. Tetapi jauh lebih baik dari jalan yang baru saja kita lalui, meskipun tidak sebesar jalan induk itu.”

Ki Ambara tidak menjawab. Diikutinya saja Ki Saba Lintang yang memang mengambil jalan yang lain dari jalan induk padukuhan Tengaran itu.

Ketika mereka memasuki jalan kecil yang melingkari padukuhan Tengaran, Ki Saba Lintang pun berkata, “Jika kita memasuki padukuhan Tengaran di malam hari, maka kita akan mendapat banyak pertanyaan dari mereka yang sedang meronda. Mungkin gardu-gardu memang belum terisi sekarang. Tetapi seandainya sudah, maka kita akan berhenti dua tiga kali untuk menjawab pertanyaan. Meskipun akhirnya kita tidak akan mereka ganggu, tetapi kita akan kehilangan waktu.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Apakah padukuhan itu sering didatangi pencuri atau perampok, atau penjahat yang lain?”

“Tidak. Tengaran termasuk padukuhan yang tenang. Tetapi sudah menjadi kebiasaan mereka untuk bertanya kepada orang-orang yang lewat di padukuhan mereka di malam hari. Mungkin kebiasaan itu timbul ketika Tengaran sebelumnya pernah dibayangi oleh kejahatan.”

Ki Ambara tidak bertanya lebih lanjut.

Untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. Rasa-rasanya malam menjadi semakin dingin. Titik-titik embun mulai terasa membasahi pakaian mereka.

Di parit di sebelah jalan itu terdengar air gemericik mengalir di antara bebatuan. Sementara kuda mereka tidak lagi berlari-lari. Tetapi kuda-kuda yang letih itu berjalan saja terkantuk-kantuk.

“Itulah padepokan Tengaran yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang,” berkata Ki Saba Lintang kemudian.

Ki Ambara mengangguk-angguk. Di tengah-tengah bulak menyembul padepokan yang mereka tuju, seperti sebuah pulau kecil di tengah-tengah lautan tanaman padi di sawah.

Ketika keduanya menjadi semakin dekat, maka mereka pun mulai melihat cahaya lampu minyak yang menyala di regol padepokan. Selebihnya, padepokan itu agaknya memang sudah tidur.

Perlahan-lahan Ki Saba Lintang dan Ki Ambara maju mendekati regol padepokan itu. Sejenak mereka berhenti di depan pintu regol yang tertutup.

Keduanya pun kemudian meloncat turun. Namun ketika Ki Saba Lintang menyentuh pintu regol itu, ternyata pintu regol itu tidak diselarak dari dalam.

Karena itu, maka Ki Saba Lintang pun telah mendorongnya sehingga pintu terbuka.

Perlahan-lahan keduanya memasuki halaman padepokan yang sudah sepi. Namun panggraita mereka ternyata menangkap isyarat bahwa ada orang yang mengawasi mereka berdua.

Karena itu, maka Ki Saba Lintang dan Ki Ambara itu pun berjalan saja menuntun kuda mereka menuju ke pendapa.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian keduanya pun telah mengikat kuda-kuda mereka pada patok-patok bambu yang telah disediakan.

Tetapi sebelum mereka naik tangga pendapa, mereka telah mendengar suara seseorang, “Selamat datang di padepokan kami, Ki Sanak.”

Keduanya mengurungkan niat mereka. Kaki mereka yang sudah terangkat itu pun telah mereka letakkan kembali.

“Selamat malam,” berkata Ki Saba Lintang dengan nada rendah.

“Ki Saba Lintang?” terdengar suara itu bertanya.

“Ya,” jawab Ki Saba Lintang.

Seorang tiba-tiba saja telah berdiri di bawah sebatang pohon belimbing yang rimbun. Setapak demi setapak ia melangkah maju mendekati Ki Saba Lintang.

“Ki Sekar Tawang,” desis Ki Saba Lintang kemudian.

“Marilah, Ki Saba Lintang. Silahkan naik ke pendapa.”

“Aku datang bersama Ki Ambara.”

“Ambara?”

“Ya.”

“Apakah kau lupa kepadaku. Warayang?”

“Ambara? Jadi benar kau Ambara dari pasukan berkuda Jipang pada waktu itu?”

“Ya.”

Ki Sekar Tawang pun mendekatinya sambil tertawa. Katanya sambil menepuk kedua belah lengan Ki Ambara dengan kedua tangannya, “Kau masih seperti dahulu.”

“Aku sudah semakin tua Warayang. Kau-lah yang masih nampak muda.”

“Di dalam gelap. Tetapi terang minyak di pendapa itu akan menunjukkan kerut-kerut di wajahku. Aku juga sudah tua Ambara.”

Keduanya tertawa, “Marilah, naiklah.”

Ketiga orang itu pun naik ke pendapa dan duduk di pringgitan.

“Kedatangan Ki Saba Lintang dan Ki Ambara mengejutkan aku,” berkata Ki Sekar Tawang.

“Bukankah aku sudah berpesan, bahwa aku akan datang?” sahut Ki Saba Lintang.

“Ya. Tetapi aku tidak mengira bahwa Ki Saba Lintang datang malam ini.”

“Aku kira Ki Sekar Tawang sengaja menungguku.”

“Tidak, Ki Saba Lintang. Aku terbiasa tidur lewat tengah malam. Sebelum tidur aku memang sering berada di halaman.”

Ki Ambara-lah yang menyahut, “Satu laku prihatin, Warayang. Untuk masa depan anak cucu.”

Ki Sekar Tawang tertawa. Dengan nada datar ia menyahut, “Ya. Kita wajib menjalani laku bagi anak cucu. Karena masa depan ada pada mereka.”

Ki Ambara pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun berkata, “Aku datang untuk melanjutkan pembicaraan kita, Ki Sekar Tawang.”

Ki Sekar Tawang yang bernama Warayang di masa mudanya itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bukankah kita dapat membicarakannya besok?”

“Tentu, Ki Sekar Tawang. Aku tidak tergesa-gesa.”

“Sekarang Ki Saba Lintang dan Ki Ambara tentu merasa letih.”

“Tidak. Aku tidak letih,” jawab Ki Saba Lintang.

“Dibanding dengan kuda-kuda kami,” sahut Ki Ambara.

Ketiganya tertawa.

Sejenak kemudian, Ki Sekar Tawang pun telah masuk ke ruang dalam. Dibangunkannya dua orang cantrik yang tidur di ruang belakang.

“Guru,” kedua cantrik itu tergagap.

“Tidak ada apa-apa. Maaf, aku mengejutkan kalian. Aku hanya minta kalian merebus air bagi dua orang tamuku.”

“Oh. Baik, baik, Guru.”

Kedua orang cantrik itu pun segera pergi ke dapur untuk merebus. air.

Ki Sekar Tawang pun kemudian kembali ke pendapa. Bertiga mereka berbincang kesana-kemari.

Sudah lama sekali Ki Ambara dan Ki Sekar Tawang tidak bertemu. Karena itu, maka banyak sekali cerita yang dapat mereka katakan tentang diri mereka masing-masing.

“Kau pantas menjadi seorang pemimpin padepokan, Warayang,” berkata Ki Ambara.

“Satu pelarian, Ambara. Terus terang aku katakan, bahwa pada suatu saat, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Karena itu, maka aku pun telah menyepi. Hidup di tempat yang jauh dari sentuhan kesibukan. Aku memilih tempat ini, yang waktu itu masih merupakan padang perdu yang tidak dihiraukan oleh orang-orang Tengaran.”

“Tempat ini sekarang nampaknya menjadi sebuah pemukiman yang baik.”

“Ya. Berkat kerja keras maka aku telah dapat membangun sebuah padepokan, meskipun kecil dan barangkali tidak berarti. Tidak ada orang yang pernah memperhitungkan padepokan kecilku ini.”

“Aku selalu menghubungi, Ki Sekar Tawang,” sela Ki Saba Lintang.

Ki Sekar Tawang tersenyum. Katanya, “Ya. Ki Saba Lintang selalu menghubungi padepokan kecil ini.”

“Bukankah itu berarti bahwa Ki Saba Lintang memperhitungkan padepokanmu?”

Ki Sekar Tawang tersenyum. Katanya, “Ya. Aku berterima kasih atas perhatian Ki Saba Lintang atas padepokanku ini.”

“Kau ikut ke Tanah Perdikan Menoreh pada waktu itu, Warayang?”

“Jika aku ikut, kita pasti bertemu di medan.”

“Aku tidak ikut,” desis Ki Ambara.

“Oh. Aku juga tidak. Ki Saba Lintang memang tidak memperhitungkan padepokan ini waktu itu.”

“Bukan begitu, Ki Sekar Tawang. Waktu itu aku bekerja sama dengan orang-orang yang tidak pasti. Aku tidak mau padepokan ini justru tenggelam ke dalamnya.”

Ki Sekar Tawang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Ambara berkata, “Waktu itu, aku memang dihubungi oleh Ki Saba Lintang. Aku juga menyatakan kesediaanku. Tetapi nampaknya Ki Saba Lintang tergesa-gesa. Ia tidak menunggu aku pulang.”

“Kau pergi ke mana waktu itu, Ambara?”

“Aku berada di timur. Dalam perjalanan khususku.”

“Jika saat itu aku tidak segera bertindak, maka pimpinan pasukan itu tentu sudah diambil alih oleh orang lain,” berkata Ki Saba Lintang.

“Nampaknya hubungan antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain agak kurang serasi,” berkata Ki Sekar Tawang.

“Tepat. Itulah sebabnya kami tidak berhasil waktu itu.”

“Itu lebih baik,” berkata Ki Ambara, “jika waktu itu pasukan gabungan itu dapat mengalahkan Tanah Perdikan, maka kelompok-kelompok itu akan segera tercabik-cabik sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing. Bahkan tentu akan timbul pertikaian yang keras dari kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Korban akan menjadi lebih banyak lagi, sementara sasaran utamanya tidak akan dapat digapai.”

Ki Sekar Tawang mengangguk-angguk.

Pembicaraan di antara mereka pun ternyata berkelanjutan. Sambil menghirup minuman hangat, mereka berbicara ke sana kemari. Tetapi Ki Saba Lintang masih belum mulai berbicara tentang kepentingannya yang sebenarnya datang ke padepokan itu, karena Ki Sekar Tawang minta mereka berbicara di keesokan harinya saja.

Setelah berbicara beberapa lama, maka Ki Sekar Tawang pun segera mempersilahkan tamu-tamunya untuk masuk ke ruang dalam. Katanya, “Kami ingin mempersilakan kalian makan seadanya. Nasi dingin, sayur dingin tanpa lauk. Hari sudah terlalu malam untuk menangkap seekor ayam untuk dikorbankan bagi kalian.”

Ki Saba Lintang dan Ki Ambara tertawa. Dengan nada datar Ki Saba Lintang pun kemudian berkata, “Aku sedang lapar, Ki Sekar Tawang. Apapun yang kau hidangkan, akan aku makan. Sebenarnya kami sudah merasa cemas, bahwa kami tidak akan dipersilakan untuk makan, karena sudah terlalu malam.”

“Sudah aku katakan. Aku masih mempunyai nasi dan sayur. Tetapi sudah dingin.”

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga sudah berada di ruang dalam. Ki Sekar Tawang minta kepada kedua cantriknya untuk menyediakan nasi dan sayur seadanya.

Tetapi para cantrik itu agaknya mengerti apa yang harus mereka lakukan tanpa mendapat perintah. Ternyata sayur yang dingin itu sudah dipanasi, sehingga menjadi hangat. Meskipun nasinya dingin, tetapi dengan sayur kluwih yang hangat, rasa-rasanya dapat juga mengurangi dinginnya malam.

Ternyata Ki Saba Lintang benar-benar lapar. Jika ia mengatakan bahwa ia lapar, bukan sekedar basa basi. Ia memang benar-benar lapar.

Karena itu, maka bersama Ki Ambara mereka pun makan dengan lahapnya.

Setelah makan malam, maka keduanya pun pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tangan mereka, sebelum mereka masuk ke dalam bilik yang disediakan bagi mereka di gandok kanan. Para cantrik telah membersihkan bilik itu pula.

Ketika keduanya bangun menjelang fajar, maka padepokan itu rasa-rasanya telah terbangun pula. Para cantrik telah menjadi sibuk dengan kewajiban mereka masing-masing.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Ki Saba Lintang dan Ki Sekar Tawang sendiri, padepokan itu adalah padepokan yang kecil saja. Tidak terlalu banyak cantrik yang ada di padepokan itu. Tetapi ternyata di padepokan itu terdapat pula beberapa orang mentrik yang tinggal di barak yang terpisah oleh dinding bambu yang tinggi.

Menjelang matahari terbit, para cantrik dan mentrik pun telah berkumpul. Agaknya menjadi kebiasaan mereka menjelang matahari terbit, mereka melakukan latihan-latihan ringan untuk memanaskan tubuh mereka. Namun ternyata bahwa dalam latihan ringan itu, keringat para cantrik dan apalagi mentrik sudah membasahi tubuh mereka. Latihan seperti itu bukan saja dapat memanaskan tubuh mereka, tetapi dapat pula meningkatkan daya tahan serta kelenturan tubuh mereka.

Nampaknya segala kegiatan para cantrik dan mentrik itu sudah tersusun rapi. Dari satu kewajiban ke kewajiban yang lain. Segalanya dapat berjalan dengan lancar.

Setelah latihan ringan itu, maka para cantrik dan mentrik telah tersebar dalam tugas mereka masing-masing.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mendapat kesempatan untuk melihat-lihat suasana padepokan kecil itu di pagi hari. Semua orang nampak sibuk pada tugas yang sudah dibebankan kepada mereka masing-masing. Sementara itu, di saat matahari terbit, maka beberapa orang telah siap untuk pergi ke sawah.

Mereka yang akan pergi ke sawah itu mendapat kesempatan untuk singgah di dapur. Mereka mendapat makan pagi mereka sebelum mereka meninggalkan padepokan. Mereka baru akan kembali setelah lewat tengah hari.

Para mentrik pun telah mendapat tugas mereka masing-masing. Ada di antara mereka yang harus pergi ke dapur. Sedang yang lain membersihkan halaman dan perabot-perabot di bangunan induk padepokan itu.

“Kau telah meletakkan tugas yang sangat berat di pundakmu sendiri,” berkata Ki Ambara.

“Kenapa?” bertanya Ki Sekar Tawang.

“Kau memberi kesempatan kepada gadis-gadis itu untuk berada di padepokan ini.”

“Aku hanya tidak ingin anakku sendirian di sini. Karena anakku perempuan, maka aku pun memberi kesempatan kepada sepuluh orang gadis untuk berada di padepokan ini. Hanya sepuluh.”

Ki Ambara mengangguk-angguk sambil berdesis, “Aku mengerti.”

“Tetapi barak mereka terpisah dari barak para cantrik.”

Ki Ambara masih saja mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau ajari juga murid-muridmu dalam olah kanuragan?”

“Ya. Aku mencoba menempa para cantrik dan mentrik agar mereka memiliki ilmu kanuragan yang mencukupi. Apalagi jumlah kami hanya sedikit. Karena itu tingkat kemampuannya harus tinggi, jika mereka tidak ingin pada akhirnya padepokan ini akan musnah. Bahkan jika segerombolan perampok mendatangi, kami tidak dapat berbuat apa-apa.”

“Aku mengerti,” berkata Ki Ambara, “tetapi kapan kau beri kesempatan para cantrik untuk berlatih, jika mereka tenggelam dalam tugas mereka sehari-hari semuanya?”

“Aku memang tidak dapat membagi, sebagian melakukan kerja sehari-hari, sebagian berlatih. Jumlah kami tidak banyak.”

“Lalu?”

“Kami membagi waktu sebaik-baiknya. Di pagi hari mereka melakukan latihan yang diikuti oleh semua cantrik dan mentrik. Kemudian di siang hari, mereka mulai memasuki sanggar berganti-ganti. Kemudian latihan-latihan khusus kami lakukan setelah matahari terbenam.”

“Menarik sekali,” desis Ki Ambara, “seandainya aku masih muda, aku ingin menjadi cantrik di padepokan ini.”

Ki Sekar Tawang tertawa. Katanya, “Jika kau menjadi cantrik di padepokan ini, lalu aku jadi apa?”

“Jadi pemimpin padepokan,” Ki Sekar Tawang tertawa.

Demikianlah, bersama dengan Ki Saba Lintang, Ki Ambara sempat melihat-lihat apa yang dikerjakan oleh para cantrik dan mentrik di pagi hari.

Namun ketika matahari menjadi semakin tinggi, Ki Sekar Tawang telah mempersilahkan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang untuk duduk di pringgitan.

Sambil menghirup minuman hangat dan makan makanan yang dihidangkan, maka Ki Sekar Tawang pun berkata, “Ki Saba Lintang. Barangkali kita sudah dapat melanjutkan pembicaraan kita tentang persoalan yang pernah Ki Saba Lintang ajukan.”

“Untuk itulah aku datang kemari, Ki Sekar Tawang.”

“Nah, bagaimana menurut Ki Saba Lintang? Apakah Ki Saba Lintang jadi memerlukan seorang gadis yang cerdik, berani dan setia? Setia kepada tujuan perjuangan yang kita lakukan? Bukan setia kepada laki-laki yang dijeratnya.”

“Ya. Aku dan Ki Ambara ingin melihat kemungkinan yang Ki Sekar Tawang sanggupkan itu. Lewat seorang kepercayaan Ki Sekar Tawang, menunjuk seorang gadis anak Ki Sekar Tawang sendiri.”

“Ah, bukan begitu,” jawab Ki Sekar Tawang, “bukan anakku sendiri.”

Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Katanya, “Tetapi kepercayaan Ki Sekar Tawang itu mengatakan demikian. Anak perempuan Ki Sekar Tawang.”

“Agaknya telah terjadi salah paham. Mungkin aku memang berkata anakku. Tetapi bukan anak yang dilahirkan oleh istriku. Tetapi anak asuhku. Salah seorang mentrik di padepokan ini.”

Dahi Ki Saba Lintang pun berkerut. Ia memang merasa agak kecewa bahwa yang dimaksud oleh Ki Sekar Tawang bukan anak gadis Ki Sekar Tawang sendiri.

Tetapi Ki Ambara pun berkata, “Bukankah tidak ada bedanya? Aku tidak dapat menyalahkan Ki Sekar Tawang. Aku justru merasa heran, bahwa Ki Sekar Tawang merelakan anaknya untuk menjalankan tugas yang sangat berat dan akan berlangsung lama. Bahkan mungkin akibatnya akan terasa tidak berkesudahan.”

“Maksud Ki Ambara?”

“Siapapun perempuan itu, tidak penting bagi kita. Tetapi ia harus cantik, berani, cerdas dan setia kepada tugasnya. Ia tidak boleh tergelincir ke dalam kepentingan pribadinya.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Ki Ambara benar.”

“Ada satu hal yang perlu kalian ketahui. Bukan aku tidak mau melepaskan anakku untuk melibatkan diri dalam satu perjuangan, tetapi salah satu alasannya adalah bahwa anakku tidak cantik. Ia tidak mungkin dapat memikat hati Swandaru yang istrinya sangat cantik itu. Tetapi aku mempunyai seorang murid yang mungkin dapat dianggap memenuhi syarat. Cantik, cerdas, berani dan setia kepada perjuangannya.”

“Ki Sekar Tawang sudah memberitahukan kepada gadis itu?”

“Secara pasti belum.”

“Apakah ia akan sanggup melakukannya?”

“Aku sudah sedikit memberikan sentuhan di hatinya. Mudah-mudahan ia menerima tugas ini dengan keyakinan. Kakeknya, adalah seorang prajurit Jipang yang terbunuh oleh prajurit Pajang pada waktu itu. Prajurit Pajang itu namanya Pemanahan, ayah Panembahan Senapati. Seperti kita ketahui, Ki Gede Pemanahan sudah tidak ada. Yang ada sekarang tinggal Panembahan Senapati itu sendiri.”

“Berapa umur perempuan itu sekarang?”

“Ia masih muda. Ketika kakeknya seorang prajurit yang menjabat sebagai seorang senapati di Jipang itu terbunuh, gadis itu belum dilahirkan. Bahkan ibu gadis itu masih sangat muda. Kematian kakeknya berakibat buruk bagi keluarganya. Ayahnya yang dianggap keturunan seorang pemberontak, tidak mendapat tempat yang baik di lingkungannya. Ibunya pun tersisih dari pergaulan, sehingga hidup keluarganya serasa menjadi terasing.”

Ki Ambara menarik nafas panjang. Katanya, “Aku percaya. Meskipun tidak semua keturunan prajurit Jipang mendapat perlakuan tidak adil, tetapi ada orang-orang tertentu bekas prajurit Jipang yang tersisih. Antara lain adalah aku sendiri.”

Ki Sekar Tawang pun tersenyum sambil berkata, “Aku juga. Meskipun aku bukan apa-apa. Aku hanya seorang prajurit kecil yang waktu itu masih sangat muda.”

Ki Saba Lintang menarik nafas panjang. Sementara itu, Ki Sekar Tawang berkata selanjutnya dengan suara yang tiba-tiba merendah, “Aku harus menyingkir dari pergaulan luas. Mungkin karena jiwaku yang kerdil, mungkin karena orang-orang di sekitarku memang muak melihatku. Aku pun kemudian terlambat mendapat jodoh. Istriku juga seorang yang merasa dirinya terbuang, karena orang tuanya juga menjadi prajurit Jipang. Pada usiaku yang sudah terlalu jauh, aku baru mempunyai seorang anak perempuan.”

“Apakah ibunya juga berada di sini?” bertanya Ki Ambara.

Ki Sekar Tawang memandang wajah Ki Ambara sejenak. Namun kemudian ditatapnya regol padepokannya di kejauhan. Dengan suara dalam ia pun berkata, “Tidak. Ia sudah tidak berada di manapun sekarang di dunia ini.”

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Mereka mengerti maksud Ki Sekar Tawang. Apalagi Ki Sekar Tawang itu pun kemudian menjelaskan, “Istriku meninggal saat anakku itu masih kecil. Aku-lah yang membesarkannya. Baginya aku adalah ayahnya dan juga ibunya.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Seandainya anak Ki Sekar Tawang itu memenuhi segala syarat yang diperlukan, cantik, berani, cerdas, dan setia, Ki Sekar Tawang tentu sangat berat untuk melepaskannya.

Tetapi Ki Sekar Tawang tidak terlalu lama terbenam dalam kenangan pahitnya. Ia pun kemudian berkata dengan nada tinggi, “Marilah Ki Ambara dan Ki Saba Lintang, kita lihat para mentrik itu. Biarlah mereka berkumpul di sanggar dan memperlihatkan kemampuan mereka kepada kalian berdua.”

Ki Saba Lintang dan Ki Ambara pun kemudian mengikuti Ki Sekar Tawang untuk melihat kegiatan para mentrik di barak mereka.

Ki Sekar Tawang pun kemudian memerintahkan seorang mentrik untuk memanggil anak gadisnya.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang terkejut ketika mereka melihat seorang gadis muda yang sangat cantik mendekati Ki Sekar Tawang. Dengan manjanya gadis itu bertanya, “Ayah memanggil aku?”

“Ya, Mangesthi. Aku ingin memperkenalkan kau dengan kedua orang tamuku. Seorang bernama Ki Ambara, kawan Ayah sejak Ayah masih muda. Seorang yang lebih muda itu adalah Ki Saba Lintang, seorang yang mempunyai cita-cita sangat tinggi. Ki Saba Lintang adalah harapan bagi masa depan, setelah Jipang tidak lagi berkumandang.”

“Ah, Ki Sekar Tawang,” potong Ki Saba Lintang.

Tetapi Ki Sekar Tawang masih saja berkata, “Karena itu kau harus memberi hormat kepada mereka.”

Gadis yang sedang mekar dan bernama Mangesthi itu pun membungkuk hormat sambil berdesis, “Hormatku bagi Paman berdua.”

“Beruntunglah kau, Ki Sekar Tawang,” berkata Ki Ambara, “kau mempunyai seorang anak gadis yang sangat cantik. Ibunya tentu juga cantik seperti anak gadisnya.”

Ki Sekar Tawang menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Mangesthi. Kumpulkan para mentrik di sanggar.”

“Kapan, Ayah?”

“Sekarang.”

“Sekarang?”

“Ya.”

“Baik, Ayah.”

Mangesthi pun kemudian berlari-lari kecil meninggalkan ayahnya Ditemuinya dua orang mentrik yang sedang berada di dekat lumbung padi. Mereka sedang sibuk menjemur padi yang nanti akan ditumbuk.

“Panggil semua kawan-kawan kita,” berkata Mangesthi.

“Semua?”

“Ya. Semua.”

“Yang sedang berada di dapur?”

“Ya.”

“Tetapi…..?”

“Biarlah para cantrik menyelesaikan. Ayah memerintahkan kita semuanya berkumpul.”

“Baiklah, Mangesthi. Tetapi kita harus bersiap-siap untuk makan siang dengan sayur dan lauk yang kurang enak.”

“Bukankah tidak setiap hari?”

“Ya, Mangesthi.”

Sejenak kemudian, sepuluh orang mentrik telah berkumpul bersama Mangesthi. Sebelas orang gadis yang telah ditempa di padepokan yang dipimpin oleh Ki Sekar Tawang.

Ki Sekar Tawang pun kemudian memerintahkan para mentrik itu masuk ke dalam sanggar terbuka di bagian belakang halaman padepokan kecil itu.

“Itulah mereka Ki Saba Lintang,” berkata Ki Sekar Tawang, ketika ia bersama kedua orang tamunya memasuki sanggar terbuka itu.

Ki Saba Lintang dan Ki Ambara termangu-mangu sejenak. Selain Mangesthi, terdapat sepuluh orang gadis yang semuanya juga sangat cantik.

Sementara itu Ki Sekar Tawang pun berkata, “Bersiaplah untuk mengadakan latihan. Latihan yang sangat khusus. Tamu-tamu kita ingin melihat dan memberikan penilaian terhadap kalian.”

Para mentrik itu saling berpandangan. Namun kemudian Ki Sekar Tawang berkata, “Bergantilah. Kenakan pakaian yang biasa kalian pakai untuk berlatih.”

Para mentrik itu pun dengan tergesa-gesa memasuki sebuah bilik yang tersedia di sebelah sanggar itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah kembali dengan pakaian khusus mereka.

“Silakan Ki Ambara dan Ki Saba Lintang duduk,” berkata Ki Sekar Tawang.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang pun kemudian duduk di pinggir sanggar itu untuk menyaksikan gadis-gadis cantik itu berlatih, termasuk Mangesthi.

Beberapa saat kemudian, seorang seorang dari para mentrik itu mulai turun ke arena. Mereka mempertunjukkan dasar-dasar ilmu yang telah mereka pelajari beberapa lama di padepokan itu.

Ternyata gadis-gadis itu adalah gadis-gadis yang tangkas.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang menjadi semakin terpukau ketika Mangesthi turun untuk menunjukkan kemampuannya. Seorang gadis yang cantik yang sedang mekar, dalam pakaian yang khusus, berloncatan menunjukkan kemampuannya yang tinggi.

“Warayang,” desis Ki Ambara, “jika anakmu yang juga muridmu perempuan itu mampu mencapai tataran ilmu setinggi itu, lalu kau berada di tataran yang mana?”

“Ah, kau masih saja senang mengada-ada, Ambara.”

“Bukan mengada-ada. Anakmu berada di lapis langit ke tujuh. Kau tentu ada di lapis ke sebelas.”

“Kenapa sebelas? Tidak sepuluh?”

“Sepuluh. Tetapi masih lebih sedikit.”

Ki Sekar Tawang tertawa. Ki Saba Lintang dan Ki Ambara pun tertawa pula.

Sebenarnyalah Mangesthi telah menunjukkan kemampuannya yang menakjubkan. Dalam umurnya yang muda, gadis itu telah menguasai ilmu yang tinggi.

Namun yang dicari oleh Ki Ambara dan Ki Saba Lintang adalah seorang gadis yang tidak perlu berilmu tinggi, tetapi memiliki keberanian dan kecerdasan. Seorang gadis yang mempunyai landasan ilmu yang tinggi, memang akan dapat menjadi alas keberanian dan percaya diri. Tetapi kecerdikan dan kesetiaan juga menjadi unsur yang penting.

Dalam pada itu, gadis-gadis penghuni padepokan itu masih menunjukkan kemampuan mereka. Tidak hanya seorang-seorang, tetapi mereka pun menunjukkan kemampuan bertempur dan menggunakan senjata. Keris, pisau belati, luwuk, pedang, parang, bindi dan tombak bertangkai panjang dan pendek. Bahkan ada di antara mereka yang menunjukkan kemampuan mempergunakan senjata sebatang tongkat baja yang bentuknya mirip dengan tongkat baja Ki Saba Lintang.

“Kau ajari gadis-gadismu mempergunakan senjata apa saja, Ki Sekar Tawang,” berkata Ki Saba Lintang.

“Ya. Dalam keadaan yang gawat, mereka harus dapat mempergunakan apa saja.”

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian gadis-gadis cantik itu telah memperagakan kemampuan mereka mempergunakan senjata tali, kain panjang, selendang, kapak pembelah kayu, sepotong dahan patah, bahkan pasir dan batu-batu kerikil.

“Nampaknya jadi aneh, Warayang,” desis Ki Ambara.

“Apa yang aneh?”

“Seorang gadis cantik yang nampak lembut, bertempur bersenjatakan kapak.”

“Apanya yang aneh?”

“Kelembutannya jadi seakan-akan lenyap tertelan oleh ujud senjatanya. Kalau orangnya seperti aku, barangkali pantas mempergunakan kapak atau linggis, bahkan sumbat kelapa. Tetapi aku merasa sayang melihat jari-jari yang lentik itu menggenggam tangkai kapak.”

Ki Sekar Tawang tertawa. Katanya, “Nah, bukankah kebiasaanmu mengada-ada masih saja kau bawa sampai tua?”

Ki Ambara pun tertawa pula.

Beberapa saat kemudian, peragaan kemampuan gadis-gadis cantik itu pun diakhiri dengan peragaan yang sangat mendebarkan. Mangesthi bertempur melawan lima orang gadis sekaligus. Bahkan mereka mempergunakan senjata. Mangesthi bersenjatakan rantai yang berwarna putih mengkilap. Sementara kelima gadis yang lain mempergunakan lima jenis senjata yang berbeda. Seorang membawa pedang, seorang membawa sepasang pisau belati panjang, seorang membawa tombak pendek, seorang tongkat baja dan seorang lagi menggenggam sebilah keris, yang ukurannya lebih besar dan lebih panjang dari kebanyakan keris.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang sempat menahan nafas untuk beberapa lama. Wajah mereka nampak tegang.

Keduanya dengan serta-merta bertepuk tangan ketika peragaan kemampuan Mangesthi itu berakhir.

“Bukan main,” berkata Ki Ambara.

“Jangan kau puji permainan sederhana anakku itu. Yang nampak baru ketangkasan lahiriahnya. Anak itu masih harus mengembangkan tenaganya, serta berlatih mengangkat kekuatan-kekuatan dari unsur-unsur yang berada di dalam dirinya.”

“Luar biasa. Ia akan menjadi seorang yang tidak ada duanya.”

“Anak itu adalah anak buangan. Anak seorang prajurit dari satu pemerintahan yang dikalahkan. Tersisih dan dijauhi orang. Karena itu, anakku harus mempunyai kelebihan untuk mengangkat kembali harga dirinya dan harga diri keluarganya. Karena itu, maka aku telah menyatakan diri untuk mendukung niat Ki Saba Lintang bekerja bersama dengan orang-orang Pati, yang tentu juga banyak yang mengalami nasib seperti aku dan kau, Ambara.”

Ki Ambara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ternyata kau telah berbuat sesuatu yang jauh lebih berarti dari yang kulakukan, Warayang.”

“Hanya inilah yang dapat aku lakukan. Kemudian, jika akan bermanfaat bagi perjuangan kita, aku akan menyerahkan salah seorang mentrik untuk melakukan tugas yang sangat berat, sebagaimana dimaksudkan oleh Ki Saba Lintang.”

“Terima kasih, Ki Sekar Tawang,” desis Ki Saba Lintang, “tetapi aku mohon untuk dapat berbicara dengan mereka seorang demi seorang, agar aku dapat memilih orang yang tepat untuk mengemban tugas yang sangat berat itu.”

“Tentu, Ki Saba Lintang. Lakukan apa yang ingin Ki Saba Lintang lakukan.”

Setelah gadis-gadis itu beristirahat, maka Ki Saba Lintang dan Ki Ambara pun mulai menilik mereka seorang demi seorang. Sepuluh orang gadis yang semuanya cantik dan semuanya memiliki kemampuan yang setara.

“Kita tidak ingin menilai kemampuan olah kanuragan mereka, Paman. Yang ingin kita nilai adalah kecantikan mereka, kecerdasan mereka, keberanian, dan yang paling sulit adalah menilai kesetiaan mereka.”

Ki Ambara mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan mendapatkan kesan setelah kita berbicara dengan mereka. Jika perlu tidak hanya sekali. Mungkin kita perlu berbicara dengan mereka dua dan bahkan tiga kali.”

“Ya. Kita akan minta ijin kepada Ki Sekar Tawang.”

“Nampaknya tidak terlalu sulit. Tetapi Ki Sekar Tawang agaknya tidak pernah melepaskan anak satu-satunya.”

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Saba Lintang dan Ki Ambara yang berada di dalam sanggar tertutup di padepokan itu memanggil kesepuluh orang gadis itu seorang demi seorang.

Berbagai macam persoalan ditanyakan oleh Ki Saba Lintang dan Ki Ambara. Ditiliknya ketahanan jiwani mereka. Kadang-kadang Ki Ambara atau Ki Saba Lintang membentaknya. Mengejutkan mereka dengan hentakan-hentakan ilmu kanuragan yang sangat tinggi.

Ketika seorang gadis menjawab dengan sikap yang tidak dikehendaki oleh Ki Saba Lintang, maka gadis itu pun telah dibentak-bentaknya. Bahkan ditantangnya untuk membuat perbandingan ilmu.

“Kau jangan sombong, Anak Manis. Kau baru mulai dengan dasar-dasar ilmu kanuragan, kau sudah merasa bahwa kau adalah orang yang terkuat di dunia.”

Tetapi ternyata gadis itu tidak menjadi ketakutan. Bahkan ia pun menjawab, “Mari, Ki Sanak. Siapapun kau, aku tidak akan gentar. Seberapapun tinggi ilmumu, aku akan melayanimu. Kalah atau menang bukan persoalan bagiku. Aku tidak boleh bersikap seperti anak manja yang ketakutan melihat mata yang terbelalak. Menangis dan bersembunyi di pelukan ibunya.”

Ki Saba Lintang memang menjadi heran melihat ketahanan jiwani gadis itu. Sebenarnya untuk menilai keberanian gadis itu, sudah cukup baginya. Namun Ki Saba Lintang harus tidak menarik kembali tantangannya.

Sejenak kemudian, Ki Saba Lintang turun di arena di tengah-tengah sanggar tertutup itu. Ia benar-benar mencoba kemampuan gadis yang berani itu.

Namun dengan kematangan ilmunya, dalam waktu yang pendek gadis itu sudah tidak berdaya. Gadis itu tidak dapat berusaha melepaskan tangannya yang terpilin di belakang tubuhnya.

Tetapi gadis itu sama sekali tidak mengeluh. Betapapun Ki Saba Lintang menekan tangan gadis itu, ia tetap tidak berteriak kesakitan, meskipun mulutnya harus menyeringai menahan nyeri.

Ki Saba Lintang yang kagum itu pun kemudian melepaskan tangan gadis itu. Ditepuknya pundaknya sambil tersenyum. Katanya, “Aku bangga terhadap keberanian dan ketabahanmu.”

Gadis itu termangu-mangu. Ia pun menjadi heran, bahwa tiba-tiba saja Ki Saba Lintang itu tersenyum setelah membentak bentaknya dan bahkan berkelahi melawannya.

“Duduklah,” berkata Ki Saba Lintang.

Gadis itu pun duduk dengan dahi berkerut.

Beberapa pertanyaan masih diajukan oleh Ki Ambara. Jawaban gadis itu semakin meyakinkan akan pribadinya yang sangat kuat.

Tetapi bukan hanya seorang itu saja yang membuat Ki Ambara dan Ki Saba Lintang kagum. Gadis-gadis yang lain pun mempunyai kelebihannya masing-masing. Namun pada umumnya para mentrik di padepokan Ki Sekar Tawang itu adalah gadis-gadis yang memiliki syarat yang diperlukan untuk melaksanakan rencana yang disusun oleh Ki Saba Lintang.

Cantik, cerdas, berani, dan tabah.

“Mudah-mudahan mereka juga memiliki kesetiaan yang tinggi,” berkata Ki Ambara.

“Hal itu akan kita bicarakan dengan Ki Sekar Tawang. Kita tidak dapat memilih salah seorang dari mereka. Pilihan terakhir memang tergantung kepada Ki Sekar Tawang. Siapakah di antara mereka yang dianggap memiliki kesetiaan yang paling tinggi, maka gadis itulah yang akan menjadi anak atau cucu Ki Ambara,” berkata Ki Saba Lintang dengan bersungguh-sungguh.

Ki Ambara mengangguk-angguk.

Demikianlah, ketika penilaian terhadap gadis-gadis itu selesai, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang telah menemui Ki Sekar Tawang. Disampaikannya hasil penilaian mereka kepada Ki Sekar Tawang.

“Aku mengagumi mentrik-mentrikmu, Warayang,” berkata Ki Ambara.

“Aku sudah berusaha sebaik-baiknya Ambara. Tetapi hanya itulah yang ada.”

“Yang ada itu sudah lebih baik dari yang aku inginkan,” berkata Ki Saba Lintang. Namun katanya kemudian, “Tetapi yang tidak dapat aku tentukan adalah, apakah mereka setia akan tugas yang dibebankan kepada mereka. Meskipun Swandaru sudah tidak muda lagi, tetapi ia seorang yang terhitung tampan. Swandaru pun tentu tidak mudah untuk dapat dibelokkan arah dan pandangan, serta sikapnya terhadap Mataram.”

Ki Sekar Tawang menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Aku pernah mengatakan kepada kalian, bahwa sebenarnya aku sudah mempunyai pilihan. Tetapi aku sengaja memberi kesempatan kepada kalian untuk menilai sepuluh orang mentrik yang ada di padepokan ini.”

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Saba Lintang pun berkata, “Bagi kami, semua mentrik padepokan ini memiliki semua syarat yang kami perlukan, sehingga yang manapun yang Ki Sekar Tawang berikan, kami akan menerimanya, jika Ki Sekar Tawang yakin akan kesetiaannya.”

“Ki Saba Lintang dan Ki Ambara. Seperti yang sudah aku katakan, yang satu ini mempunyai latar belakang kehidupan keluarga yang barangkali dapat mendukung. Seperti yang sudah aku katakan, kakeknya adalah seorang prajurit Jipang. Kemudian kehidupan keluarganya seakan-akan tersisih. Dengan demikian ada benih dendam yang telah ditabur di dalam hatinya. Mudah-mudahan benih ini dapat tumbuh dan hidup dengan subur, sehingga gadis ini akan merasa terikat pada satu perjuangan untuk membalas dendam kepada keturunan Pemanahan itu.”

“Siapa nama gadis itu?”

“Wiyati.”

“Wiyati,” Ki Saba Lintang dan Ki Ambara mengangguk-angguk. Gadis itu adalah gadis yang sangat mengagumkan keberanian dan ketabahannya. Gadis itu sama sekali tidak merasa kecil di hadapan kedua orang tamu padepokannya. Bagi gadis itu, kedua tamu itu masih belum jelas, seberapa jauh ia harus menghormatinya Tetapi gadis itu merasa wajib untuk mempertahankan harga diri perguruannya di hadapan orang yang belum dikenalnya dengan baik.

“Bukankah Ki Saba Lintang dan Ki Ambara tahu gadis yang bernama Wiyati itu?”

“Ya. Aku tahu,” sahut Ki Saba Lintang.

“Nah, bagaimana menurut pendapat Ki Saba Lintang dan Ki Ambara?”

“Bagi kami tidak ada masalah. Gadis itu cukup cantik, cerdas, berani dan tabah. Jika latar belakang kehidupan keluarganya mendukung lebih dari yang lain, maka kami setuju saja jika Ki Sekar Tawang menunjuknya.”

“Baiklah. Nanti kita berbicara dengan gadis itu,” berkata Ki Sekar Tawang. “Sekarang aku persilahkan kalian beristirahat. Bukankah kalian tidak terikat oleh waktu?”

“Tidak. Kami memang tidak terikat oleh waktu. Tetapi aku harus berada di rumah besok lusa.”

“Tidak terikat oleh waktu, tetapi hanya sampai lusa?” desis Ki Sekar Tawang.

Ki Ambara dan Ki Saba Lintang tertawa.

Demikianlah, lewat senja Ki Sekar Tawang duduk di ruang dalam bersama Ki Ambara dan Ki Saba Lintang. Ki Sekar Tawang telah minta kepada Mangesthi untuk memanggil Wiyati menghadap.

Beberapa saat kemudian, Mangesthi telah datang kembali bersama Wiyati.

Kesannya sangat berbeda sekali. Wiyati yang berada di sanggar dengan pakaian khususnya, dengan Wiyati dan datang menghadap dengan pakaian seorang gadis kebanyakan. Wajahnya menunduk dan sikapnya yang luruh lembut. Sama sekali tidak ada kesan kegarangannya, keberanian dan ketabahannya. Apalagi landasan ilmunya yang sudah mapan.

“Wiyati,” berkata Ki Sekar Tawang.

Wiyati masih tetap duduk sambil menunduk. Suaranya pun lirih. Bibirnya seakan-akan tidak bergerak sama sekali, “Ya, Guru.”

“Apakah kau masih ingat, bahwa aku pernah berkata kepadamu tentang sebuah perjuangan untuk membalas dendam kepada keturunan Pemanahan?”

“Ya, Guru. Aku tidak akan pernah lupa.”

“Ada seribu cara untuk membalas dendam, Wiyati.”

“Maksud Guru?”

“Kau tidak akan pernah dapat membalas dendam kepada Panembahan Senapati dengan cara langsung. Panembahan Senapati sekarang adalah penguasa tertinggi di Mataram. Se;aom Panembahan Senapati seorang yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya, Panembahan Senapati pun dipagari oleh para prajurit pengawal yang terlatih.”

“Tetapi hasrat untuk membalas dendam itu tidak akan pernah padam, Guru.”

“Aku mengerti. Tetapi kita tidak boleh kehilangan akal. Kita mempunyai nalar yang dapat kita pergunakan untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Karena itu, kita hanya dapat melakukan apa yang dapat kita lakukan. Jika kita memaksa diri untuk melakukan yang lebih dari kemungkinan yang tergapai, maka kita tidak melakukan balas dendam, tetapi kita justru bunuh diri.”

“Jadi apa yang harus aku lakukan, Guru?”

“Jika kau bertekad keras untuk membalas dendam, maka kau dapat melakukannya bersama kedua orang tamu kita ini. Kau diperlukannya. Jika kau berhasil, maka yang kau lakukan itu akan sama nilainya dengan jika kau berhasil membunuh anak Pemanahan itu.”

“Apa yang harus aku lakukan?”

“Nanti Ki Saba Lintang akan memberitahukan kepadamu, jika kau bersedia melakukannya.”

Gadis yang bernama Wiyati itu termangu-mangu sejenak. Dengan wajah yang tetap menunduk ia pun berkata perlahan, “Jika Guru memerintahkan, apapun yang harus aku lakukan, aku tidak akan ingkar.”

“Aku mengerti, Wiyati. Tetapi apakah tugas ini sejalan dengan niatmu sendiri?”

“Ya, Guru. Meskipun seandainya yang harus aku lakukan bertentangan dengan keinginanku, aku akan tetap melakukannya.”

“Aku percaya akan kesetiaanmu kepada perguruan dan gurumu,” desis Ki Sekar Tawang. “Jika demikian, nanti Ki Saba Lintang akan memberitahukan secara khusus tugas yang harus kau emban. Mungkin ada pengorbanan yang harus kau berikan untuk mendukung tugasmu yang berat itu. Tetapi Wiyati, tugas ini adalah tugas sukarela. Jika kau merasa berkeberatan atas pengorban yang harus kau berikan, kau dapat mengatakannya kepadaku. Jangan segan, karena aku tidak akan merasa kecewa terhadap keberatanmu itu. Sekali lagi aku katakan, tugas ini adalah tugas sukarela.”

“Aku akan mengorbankan apa saja, Guru. Bahkan nyawaku.”

“Mungkin lebih berat dari nyawamu.”

“Apakah yang ada padaku yang lebih berharga dari nyawaku, Guru?”

Ki Sekar Tawang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau akan mendengar dari Ki Saba Lintang.”

Wiyati termangu-mangu sejenak. Kepala yang tunduk bahkan menjadi semakin menunduk.

“Ki Saba Lintang,” berkata Ki Sekar Tawang kemudian, “aku kira Ki Saba Lintang dapat menyampaikannya kepada Wiyati sekarang. Agaknya tidak ada yang ditunggu lagi. Wiyati sudah menyatakan kesediaannya.”

“Baiklah, Ki Sekar Tawang,” sahut Ki Saba Lintang.

“Mendekatlah, Wiyati,” berkata Ki Sekar Tawang.

Wiyati beringsut. Seperti seorang gadis pemalu ia mendekati Ki Saba Lintang. Wajahnya tetap menunduk. Jari-jarinya bermain di pangkuannya.

Ki Saba Lintang pun kemudian menguraikan tugas yang akan diemban oleh Wiyati, jika Wiyati bersedia. Ia akan menjadi cucu Ki Ambara. Selanjutnya, tugas Wiyati adalah memikat hati Swandaru dan kemudian menjadi istri gelapnya, di luar pengetahuan Pandan Wangi, istri Swandaru.

“Tugasmu yang sangat berat adalah membujuk Swandaru untuk bersedia bekerja bersama kakekmu. Ki Ambara, untuk menghancurkan Mataram. Sementara itu, Swandaru harus membujuk istrinya dan adiknya, yang berada di Tanah Perdikan Menoreh bersama suaminya.”

Wajah Wiyati nampak menjadi tegang. Tugas itu memang sangat berat.

“Nah, Wiyati, itu adalah gambaran sekilas tentang tugasmu. Jika kau benar-benar berniat dan bersedia menanggung segala akibatnya, maka aku akan menerangkan tugasmu sampai hal yang sekecil-kecilnya. Tentu saja tidak sekaligus di hari ini. Sambil berjalan, aku akan memberikan petunjuk-petunjuk.”

Wiyati termangu-mangu sejenak. Ia pun mengerti, apa yang dimaksud oleh gurunya dengan pengorbanan yang lebih berharga dari nyawanya. Justru karena ia seorang perempuan.

Ki Sekar Tawang-lah yang kemudian berkata, “Wiyati. Kau mempunyai waktu semalam untuk merenungkannya. Kau tidak usah menjawabnya sekarang. Tetapi besok pagi, kami ingin mendengar sikapmu. Apakah kau menerimanya atau tidak. Jangan ragu-ragu mengatakannya. Bagi kami, apakah menerima atau menolak, sama saja.”

Wiyati mengangguk kecil. Seperti seorang gadis lugu yang harus menjawab apakah ia menerima seorang laki-laki tampan dan setia untuk menjadi suaminya.

“Baiklah. Kembalilah ke bilikmu, Wiyati. Kau tidak usah menceritakan kepada kawan-kawanmu, tugas apakah yang akan dibebankan kepadamu. Kawan-kawanmu akan mengerti, bahwa persoalan yang kita bicarakan di sini masih persoalan yang dirahasiakan. sehingga mereka tidak akan mendesakmu untuk menceritakan, karena mereka tahu apa yang dimaksud dengan rahasia.”

“Aku mohon diri, Guru,” suaranya lirih, seperti desir angin lembut menyentuh dedaunan.

Sejenak kemudian. Wiyati pun telah meninggalkan ruangan itu. Namun Mangesthi masih tetap duduk di sebelah ayahnya.

“Kenapa Ayah tidak memberikan tugas itu kepadaku?” bertanya Mangesthi.

Ki Sekar Tawang pun tersenyum. Katanya, “Aku belum siap untuk kau tinggal dalam kesepian. Mangesthi.”

“Tugas ini sangat menantang.”

“Kau akan mendapat tugas yang mungkin lebih menarik pada saatnya nanti.”

“Kapan Ayah akan siap hidup sendiri tanpa aku?”

“Aku belum dapat mengatakannya, Mangesthi. Tetapi yang pasti tidak pada waktu dekat ini. Mungkin dua tahun, mungkin tiga tahun atau lebih.”

“Mungkin pula tidak akan pernah, Ayah.”

Ki Sekar Tawang tidak menjawab. Orang tua itu menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya anaknya tanpa berkedip. Namun kemudian Ki Sekar Tawang pun berdesah, “Akan datang waktunya bagimu, Mangesthi.”

Mangesthi tidak menjawab. Ditundukkannya wajahnya.

Dalam pada itu Ki Ambara pun berkata, “Mangesthi. Apa yang kita lakukan adalah satu permulaan. Masih banyak tugas yang akan membebani kita. Mungkin justru lebih menantang dari tugas yang sekarang akan dilakukan oleh Wiyati. Karena itu, maka pada saatnya kau akan mendapat tugas yang tepat.”

Mangesthi memandang Ki Ambara sekilas. Dengan suara yang dalam gadis itu pun berkata, “Apapun yang akan aku lakukan kemudian, bukanlah satu rintisan sebagaimana dilakukan oleh Wiyati.”

“Keberhasilan satu perjuangan tidak ditentukan oleh urutan waktu, tetapi ditentukan oleh nilai-nilai dari sikap dan perbuatan,” berkata Ki Sekar Tawang.

Wajah Mangesthi pun telah menunduk lagi.

“Aku berjanji, Mangesthi,” berkata Ki Sekar Tawang, “kita akan sampai pada satu tahap perjuangan yang menentukan. Kau akan menjadi salah seorang di antara mereka yang akan menjadi penentu itu.”

Mangesthi tidak menjawab.

Malam pun kemudian menjadi semakin malam. Ki Sekar Tawang-lah yang kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.

“Besok siang kami akan kembali,” berkata Ki Saba Lintang.

“Besok siang?”

“Ya. Kami akan menempuh perjalanan di siang hari, sore hari dan malam hari. Besok lusa Ki Ambara sudah harus berada di rumahnya.”

“Perjalanan yang berat.”

“Ya. Mungkin semalam suntuk kami harus bergerak, meskipun kami dapat beristirahat di sepanjang perjalanan.”

Ki Sekar Tawang mengangguk-angguk. Sementara Ki Saba Lintang berkata, “Satu ujian ketahanan tubuh bagi Wiyati.”

“Ya,” Ki Sekar Tawang mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tetapi aku yakin bahwa Wiyati akan dapat mengatasinya.”

Dengan demikian, Ki Saba Lintang dan Ki Ambara pun segera masuk ke dalam bilik yang disediakan bagi mereka. Keduanya tidak lagi banyak berbincang. Beberapa saat kemudian keduanya pun telah tidur lelap.

Wiyati-lah yang tidak segera dapat tidur. Ia sadar bahwa tugas itu adalah tugas yang sangat berat. Ia harus melakukannya dengan modal keperempuanan-nya, bukan ilmu kanuragan yang telah ditekuninya. Tetapi pada suatu saat, mungkin sekali ia harus mempergunakan kemampuannya itu.

Wiyati mulai membayangkan apa yang harus dilakukan. Menerima seorang laki-laki memasuki lingkaran hidupnya yang sangat pribadi, sehingga ia akan kehilangan kesempatan untuk memasuki kehidupan keluarga yang wajar. Ia tidak akan dapat merasakan kasih sayang sejati dari seorang suami yang didambakannya. Ia harus memasuki satu kehidupan yang penuh dengan kepura-puraan. Tidak hanya untuk satu dua hari atau satu dua bulan. Mungkin harus dijalaninya berbilang tahun, sehingga masa mudanya telah terlampaui.

Tetapi gadis itu telah memantapkan hatinya. Semuanya itu akan dilakukannya sebagai laku untuk membalaskan dendam kematian kakeknya, serta kehidupan yang sangat pahit bagi keluarganya.

Maka diputuskannya untuk menerima laki-laki yang telah beristri itu. Diputuskannya untuk menjalani satu kehidupan yang tidak sewajarnya. Ia harus menjadi istri gelap seorang laki-laki. Ia harus membuainya dalam sebuah mimpi yang paling indah. Kemudian membujuknya, menyeret laki-laki itu ke dalam lingkaran perjuangannya.

“Jika dengan demikian dendamku terbalaskan, aku akan melakukannya.”

Karena itulah, ketika di pagi hari berikutnya Ki Sekar Tawang, Ki Ambara dan Ki Saba Lintang memanggilnya, maka Wiyati pun menyatakan kesediaannya.

“Aku akan melakukannya, Guru,” berkata Wiyati sambil menundukkan kepalanya.

“Bagus, Wiyati. Kau telah memasuki tahap perjuangan yang sebenarnya. Hati-hatilah. Kau akan menjadi cucu Ki Ambara. Ki Ambara adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas. Ia akan menjadi kakekmu dan sekaligus menjadi gurumu. Dengarkan nasihat dan petunjuk-petunjuknya, sebagaimana kau mendengarkan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk dari kakekmu sendiri.”

“Ya, Guru.”

“Nah, perintah-perintah selanjutnya akan datang dari kakekmu dan Ki Saba Lintang.”

“Ya, Guru.”

“Sekarang bersiaplah. Kau akan berangkat siang nanti. Perjalanan yang akan kau tempuh cukup panjang. Mungkin semalaman kau akan berada di jalan menuju ke rumah Ki Ambara.”

“Ya, Guru.”

Wiyati pun kemudian meninggalkan ruang dalam. Mangesthi yang mengikutinya, menepuk bahunya sambil berdesis, “Berbahagialah kau, Wiyati. Kau mendapat kesempatan pertama untuk merintis jalan serta membuka pintu perjuangan yang akan berlangsung panjang. Aku sudah memohon kepada Ayah untuk mendapatkan kesempatan ini. Tetapi Ayah tidak menyetujuinya.”

Wiyati tersenyum. Katanya, “Kau memang harus menemani Guru, Mangesthi. Guru akan menjadi sangat kesepian jika kau pergi. Kehadiran kami di padepokan ini pun diharapkannya dapat menemanimu. Jika kau pergi, maka semua mentrik pun harus pergi.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar