Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 323

Buku 323

Lawannya itu pun mulai menjadi gelisah. Kekalahan saudara seperguruannya bukan karena kelengahan atau karena saudara seperguruannya itu meremehkan lawannya. Tetapi ilmu perempuan itu memang lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki oleh saudara seperguruannya. 

Karena itu, maka saudara seperguruan Kebo Remeng yang bertempur melawan Sekar Mirah itu menjadi sangat berhati-hati. Ia tidak mau mengalami nasib yang sama seperti saudara seperguruannya yang sudah tidak berdaya karena lukanya yang parah.

Sementara itu, dua orang yang bertempur melawan Sabungsari pun telah mengerahkan kemampuan mereka. Mereka berdua juga tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi. Saudara-saudara seperguruan Kebo Remeng itu merasa bahwa kemampuan mereka jarang ada bandingannya. Namun tiba-tiba saja di tepi Kali Opak, mereka menjumpai seorang lawan yang tidak segera dapat mereka kalahkan. Bahkan mereka harus bertempur berpasangan.

Namun sebenarnyalah bahwa Sabungsari pun harus mengerahkan kemampuannya pula. Melawan dua orang saudara seperguruan Kebo Remeng, Sabungsari merasakan sebagai beban yang sangat berat.

Tetapi Sabungsari mempunyai bekal yang cukup. Ilmunya yang semakin tinggi telah menempatkannya dalam tataran orang-orang yang pilih tanding.

Dengan demikian pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Sabungsari berloncatan dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk mengimbangi lawannya yang bertempur berpasangan.

Dalam keadaan yang semakin berat, maka Sabungsari kemudian telah menarik pedangnya. Dengan ilmu pedang yang tinggi, Sabungsari menahan serangan-serangan kedua lawannya.

Tetapi kedua orang lawannya pun telah menarik senjata mereka pula. Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng ini ternyata mempergunakan senjata yang berbeda pula dengan saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah. Keduanya bersenjata pedang yang putih berkilat-kilat.

Ternyata ilmu pedang keduanya pun cukup tinggi, sehingga Sabungsari harus meningkatkan ilmu pedangnya sampai ke puncak.

Namun kemudian ternyata bahwa kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu pun mengalami kesulitan untuk segera mengalahkan Sabungsari. Bahkan kemampuan ilmu pedang Sabungsari mulai mampu menguak pertahanan kedua orang lawannya.

Tetapi bukan berarti bahwa ujung-ujung pedang lawannya itu tidak dapat menembus pertahanan Sabungsari sama sekali.

Ketika tubuh mereka yang bertempur itu menjadi basah oleh keringat sehingga seakan-akan mereka baru saja mencelupkan diri di dalam aliran Kali Opak, maka ujung-ujung senjata mereka mulai menyentuh kulit lawan. Sehingga pakaian mereka tidak saja basah oleh keringat, tetapi juga basah karena darah mereka yang mulai menitik dari luka.

Sabungsari harus meloncat beberapa langkah surut ketika pedang salah seorang lawannya menyentuh lengannya. Tetapi ketika lawannya itu memburunya dan menebas dengan pedangnya ke arah leher, Sabungsari sempat merendah. Namun tangannya yang menggenggam pedang terjulur menggapai menyentuh lambung.

Lawannya itu meloncat surut. Tetapi lawannya yang lain mengayunkan pedangnya dengan sekuat tenaganya mengarah ke dadanya.

Tetapi Sabungsari dengan tangkasnya meloncat surut. Sementara itu lawannya yang lain lagi telah menyerangnya pula dengan tebasan mendatar.

Sabungsari tidak menghindar. Dengan tangkasnya ia menangkis serangan itu. Ditepisnya pedang lawannya itu ke samping. Namun dengan cepat ia memutar pedangnya dan terjulur lurus ke arah dada.

Lawannya melihat serangan itu. Tetapi ia terhambat menggeliat, sehingga ujung pedang itu telah melukai bahunya.

Tetapi pada saat yang bersamaan, lawan Sabungsari yang lain pun telah menyerangnya pula. Sabungsari dengan tergesa-gesa meloncat menghindar. Namun goresan kecil telah menggores di lambungnya. Bajunya yang terkoyak pun kemudian telah menjadi merah oleh titik-titik darah yang mengembun di lukanya itu.

Ternyata kedua saudara seperguruan Kebo Remeng itu tidak dapat menahan diri lagi. Mereka ingin segera mengakhiri pertempuran itu. Karena itu, maka mereka pun segera meningkatkan kemampuan mereka sampai ke puncak.

Dalam keadaan yang paling gawat, maka seorang di antara keduanya telah memberikan isyarat, sehingga kedua orang itu telah berloncatan mengambil jarak.

Sabungsari yang telah terluka dan menitikkan darah itu segera menyadari, bahwa kedua lawannya tentu akan segera sampai pada puncak ilmunya.

Sebenarnyalah bahwa kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah mengambil keputusan untuk menyudahi Sabungsari. Karena itu, maka mereka pun akan segera merambah ke ilmu pamungkas mereka.

Sabungsari yang menyadari bahwa keadaan menjadi sangat gawat, maka ia pun telah mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah menyarungkan pedang mereka. Sebelum Sabungsari sempat menyarungkan pedang pula, maka serangan yang sangat gawat itu telah datang.

Kedua orang saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah melontarkan ke arah tubuh Sabungsari semacam butiran-butiran pasir dengan genggaman tangannya, yang diambilnya dari sebuah kampil yang terselip di ikat pinggang di bawah bajunya.

Sabungsari memang terkejut mendapat serangan yang disadari tentu sangat berbahaya itu. Taburan butiran-butiran yang seperti pasir itu menebar menghambur ke arah tubuh Sabungsari dari dua arah.

Sabungsari pun berusaha untuk menghindar, karena ia tidak dapat menangkis serangan itu dengan putaran pedangnya.

Karena itu, maka Sabungsari pun segera meloncat tinggi-tinggi. Berputar di udara dan hinggap di tanah dengan kedua kakinya.

Tetapi serangan dari kedua lawannya pun telah datang lagi, sehingga Sabungsari harus sekali lagi meloncat menghindar sambil mengambil jarak.

“Jangan lari!” teriak salah seorang lawannya.

Tetapi Sabungsari tidak melarikan diri. Ketika kedua lawannya memburunya dan siap untuk melontarkan serangannya, Sabungsari pun telah bersiap pula. Tiba-tiba dari matanya memancar sorot yang meluncur menghantam salah seorang dari kedua orang lawannya.

Orang itu terkejut. Tetapi ia tidak mempunyai kesempatan. Pada saat ia mengangkat tangannya, maka sorot yang seakan-akan meluncur dari mata Sabungsari itu telah menusuk dadanya.

Orang itu mengaduh tertahan. Rasa-rasanya isi dadanya telah meledak. Orang itu terpental beberapa langkah surut. Tangannya yang menggenggam senjata itu pun terkulai di sisi tubuhnya yang berguling di tepian.

Namun pada saat yang hampir bersamaan, saudara seperguruannya telah berhasil melontarkan butiran-butiran seperti butir-butir pasir itu.

Sabungsari yang sedang menyerang lawannya dengan sorot matanya itu, memang agak terlambat menghindar, sehingga ia tidak dapat menghindar sepenuhnya. Sebagian butiran-butiran yang terhambur itu menyentuh tubuhnya.

Ternyata panas yang amat sangat telah menyengat. Ternyata butiran-butiran seperti pasir itu panasnya melampaui panasnya api. Tetapi panas itu tidak menyengat tangan saudara-saudara seperguruan Kebo Remeng itu sendiri.

Sabungsari yang menghindar dengan menjatuhkan dirinya itu pun berguling dengan cepat menjauh. Namun ia sadari bahwa lawannya tentu akan memburunya. Karena itu, sambil meningkatkan daya tahan tubuhnya, tanpa sempat bangkit berdiri, Sabungsari telah menyerang lawannya dengan sorot matanya.

Lawannya tidak mengira bahwa hal itu mampu dilakukan oleh Sabungsari yang masih terbaring. Karena itu, maka lawannya itu terlambat menyadari bahwa serangan Sabungsari itu meluncur mengarah ke tubuhnya.

Orang itu pun terlempar beberapa langkah surut. Senjata rahasianya masih belum sempat ditaburkannya ke arah Sabungsari.

Teriakan nyaring telah menggetarkan tepian Kali Opak. Orang yang terjatuh itu tidak sempat menggeliat lagi. Demikian suaranya lenyap dari tepian, maka tubuhnya pun telah terdiam pula.

Sabungsari pun segera meloncat bangkit. Namun tiba-tiba saja terasa tubuh menjadi gemetar. Panas yang melampaui panasnya bara itu seakan-akan telah merambat perlahan-lahan lewat pembuluh-pembuluh darahnya.

Sabungsari pun kemudian telah duduk kembali. Ia sadar, semakin banyak ia bergerak, maka racun yang berada di butiran-butiran yang panasnya melampaui bara itu akan semakin cepat menjalar.

Sambil menyeringai menahan kesakitan di tubuhnya, Sabungsari telah mengambil sebutir obat penangkal racun. Sabungsari tidak tahu, apakah obat penangkalnya dapat menangkal racun yang mengandung panas itu.

Ketika sebutir obat penangkal racun itu ditelannya, maka seluruh tubuhnya menjadi semakin gemetar. Namun kemudian panas di pembuluh darahnya itu terasa seakan-akan berhenti menjalar.

Agaknya obat penangkal racun yang ditelan oleh Sabungsari itu berpengaruh juga, meskipun tidak sepenuhnya berhasil menangkal panasnya racun itu.

Sabungsari yang duduk di pasir tepian itu pun kemudian menyilangkan tangannya di dadanya. Dipusatkannya nalar budinya, sambil mengatur pernafasan dan meningkatkan tenaga dalamnya sampai ke puncak, untuk mengatasi rasa panas, sakit dan nyeri di tubuhnya.

Dalam pada itu, Kebo Remeng terkejut melihat kedua saudara seperguruannya dihancurkan oleh Sabungsari. Sedangkan yang seorang lagi, tidak mampu melawan dan mengatasi ilmu Nyi Lurah.

Karena itu, maka Kebo Remeng itu pun meloncat mundur sambil berteriak kepada saudara seperguruannya yang seorang lagi, yang masih menungguinya bertempur melawan Agung Sedayu, “Bunuh orang yang sedang mengatasi rasa sakitnya itu! Ia tidak akan mampu memberikan perlawanan yang berarti.”

“Licik sekali!” sahut Agung Sedayu, “Itu bukan sikap seorang laki-laki.”

“Persetan! Lakukan, cepat! Sebelum orang itu berhasil mengatasi kesulitan di dalam tubuhnya itu.”

Saudara seperguruan Kebo Remeng memang menjadi ragu-ragu. Apakah ia pantas menyerang seseorang yang sedang dalam keadaan tidak berdaya.

Tetapi Kebo Remeng berteriak sekali lagi, “Lakukan sekarang! Jangan ragu-ragu! Orang itu harus mati lebih dahulu sebelum Agung Sedayu dan istrinya itu!”

Saudara seperguruan Kebo Remeng itu memang tidak dapat berbuat lain.

Dengan tangkasnya ia pun segera meloncat. Kematian dua orang saudara seperguruannya oleh orang yang sedang terluka di bagian dalam tubuhnya itu telah membakar jantungnya pula. Juga kekalahan salah seorang saudara seperguruannya oleh istri Agung Sedayu itu.

Bahkan saudara seperguruannya yang bertempur melawan Sekar Mirah itu belum sempat mempergunakan ilmu pamungkasnya.

“Orang itu terlalu meremehkan lawannya, sehingga ia menjadi lengah,” berkata saudara seperguruan Kebo Remeng itu di dalam hatinya.

Tetapi kematian saudara-saudara seperguruannya memang pantas ditebus dengan kematian pula. Bahkan selagi ia tidak berdaya.

Namun Agung Sedayu tidak membiarkannya. Ia pun menyadari, bahwa keadaan Sabungsari masih belum memungkinkannya memberikan perlawanan yang memadai atas saudara seperguruan Kebo Remeng itu. Tanpa senjata rahasianya itu pun saudara seperguruan Kebo Remeng itu akan dengan mudah membunuh Sabungsari. Dengan ayunan pedang menebas leher, maka kepala Sabungsari akan terlepas.

Sabungsari yang baru memusatkan nalar budinya, tidak menyadari bahaya yang mengancamnya. Jika sesuatu akan terjadi pada dirinya, maka hal itu akan terjadi.

Tetapi yang mengejutkannya itu pun telah terjadi. Demikian saudara seperguruan Kebo Remeng itu meloncat berlari ke arah Sabungsari, dengan mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, Agung Sedayu pun meloncat pula. Satu loncatan panjang dengan satu putaran di udara memotong arah saudara seperguruan Kebo Remeng.

Demikian kaki Agung Sedayu menginjak pasir tepian, maka tiba-tiba saja tangannya pun mengayunkan cambuknya yang telah diurainya.

Cambuk itu tidak meledak. Tetapi sentuhannya pada paha saudara seperguruan Kebo Remeng itu telah melumpuhkannya. Daging di kedua pahanya telah terkoyak. Seperti sebatang dahan kayu yang patah, orang itu roboh jatuh di tanah. Terdengar orang itu berdesah kesakitan. Darah mengalir dari luka di kedua pahanya, menembus kainnya yang terkoyak.

Namun Agung Sedayu masih sempat berkata, “Kau tentu membawa obat bagi lukamu itu. Obatilah, agar arus darahnya berkurang. Jika tidak, maka kau akan mati kehabisan darah.”

Tetapi Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan lain. Kebo Remeng yang marah telah memburunya. Dua pisau belati pendek meluncur mengarah ke tubuh Agung Sedayu.

Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menghindarinya. Dua buah pisau belati itu tidak mengenainya.

“Anak iblis!” berkata Kebo Remeng sambil meloncat mendekat.

Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya.

Kebo Remeng yang marah itu pun telah menggenggam dua batang tongkat baja di kedua tangannya. Tongkat baja putih, tetapi yang ujudnya berbeda dari tongkat baja putih Sekar Mirah yang menjadi lambang kepemimpinan perguruan Kedung Jati.

“Kau memang luar biasa, Agung Sedayu. Aku tidak mengira bahwa ilmumu setinggi itu. Lebih tinggi dari yang kuduga. Tetapi semakin tinggi ilmumu, aku akan menjadi semakin bangga, karena namaku akan menjadi semakin dikenal oleh banyak orang.”

“Namamu memang akan banyak dikenal, Kebo Remeng. Tetapi untuk itu, kau jangan menjadikan aku sebagai landasannya, karena aku tentu akan mempertahankan diri.”

“Persetan kau, Agung Sedayu! Kau, istrimu dan kawanmu telah membunuh dan melukai saudara-saudara seperguruanku. Karena itu, kau akan menerima hukuman yang pantas. Hukuman mati!”

“Sejak semula kau sudah berniat membunuhku. Tetapi sejak semula aku pun telah mempertahankan diri untuk melindungi nyawaku. Karena aku tidak mau mati muda.”

Kebo Remeng tidak menyahut. Tetapi kedua tongkat baja putihnya pun segera terayun-ayun mengerikan.

Ketika Agung Sedayu mengayunkan cambuknya, maka Kebo Remeng itu telah menahan juntai cambuk Agung Sedayu dengan tongkatnya. Ketika ujung cambuk Agung Sedayu melilit tongkat baja itu, maka telah terjadi tarik-menarik antara keduanya. Ternyata kekuatan Kebo Remeng pun dapat dibanggakan. Agung Sedayu tidak berhasil merampas tongkat baja itu.

Demikian ujung cambuk itu terurai, maka Kebo Remeng pun segera meloncat mendekati Agung Sedayu. Tongkatnya terayun deras sekali mengarah ke kening Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sempat menghindar dengan merendahkan diri. Bersamaan dengan itu, ujung cambuk Agung Sedayu pun telah menyambar ke arah kaki Kebo Remeng.

Tetapi Kebo Remeng berhasil meloncat menghindarinya, sehingga ujung cambuk itu tidak menyentuhnya.

Dengan demikian pertempuran di antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kemampuan yang sangat tinggi, serta menguasai senjata masing-masing dengan sangat baik.

Yang masih bertempur di sisi lain adalah Sekar Mirah. Sekar Mirah merasa beruntung, bahwa ia telah dengan cepat menghentikan perlawanan seorang saudara seperguruan Kebo Remeng. Jika ia harus bertempur melawan dua orang saudara seperguruan Kebo Remeng, maka Sekar Mirah tentu akan mengalami kesulitan.

Meskipun demikian, Sekar Mirah sempat melihat senjata rahasia saudara-saudara seperguruan Kebo Remeng yang sangat berbahaya itu. Karena itu, ia harus sangat berhati-hati menghadapi senjata itu.

Untuk menghindari kemungkinan yang buruk, maka Sekar Mirah harus berusaha menghentikan serangan senjata yang mengerikan itu sejak awal. Jika orang itu tidak berkesempatan menggenggam senjata rahasianya yang disimpannya dalam kampil yang terkait di ikat pinggangnya di bawah bajunya, maka orang itu tidak akan pernah sempat menyerangnya.

Dengan demikian, maka Sekar Mirah berusaha bertempur pada jarak jangkau baja putihnya. Ia tidak pernah memberi kesempatan lawannya mengambil jarak. Setiap kali lawannya meloncat menjauhinya untuk mengambil jarak, maka Sekar Mirah selalu memburunya. Bahkan dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Dengan demikian, maka lawannya memang mengalami kesulitan untuk mempergunakan senjata rahasianya. Tetapi ia masih mempunyai senjata yang lain.

Dengan ilmu yang tinggi orang itu melawan kegarangan tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Benturan-benturan pun semakin sering terjadi. Meskipun seorang perempuan, namun dilandasi tenaga dalamnya yang tinggi, Sekar Mirah mampu mengimbangi kekuatan lawannya itu.

Bahkan kemampuan Sekar Mirah yang tinggi, telah memaksa lawannya setiap kali terdesak. Tetapi lawannya tidak pernah sempat mengambil jarak dari Sekar Mirah.

Ketika orang itu memaksa mencoba mengambil senjata rahasianya dari tempatnya dengan memindahkan senjatanya ke tangan kirinya, maka tongkat baja putih Sekar Mirah sempat menggores lengannya.

Dengan demikian, maka lawan Sekar Mirah itu tidak berani lagi mengendurkan perlawanannya, karena tongkat baja putih itu akan menyentuh bukan saja lengannya, tetapi keningnya, atau tengkuknya, atau bagian-bagian lain yang berbahaya.

Sebenarnyalah, tekanan-tekanan yang semakin berat telah menggelisahkan lawan Sekar Mirah itu. Betapapun garangnya saudara seperguruan Kebo Remeng itu, namun menghadapi Sekar Mirah seorang melawan seorang, ternyata ia segera mengalami kesulitan.

Tongkat baja putih Sekar Mirah telah berhasil menyentuh lambungnya, pundaknya, kakinya dan bahkan perutnya. Ujung tongkat baja putih Sekar Mirah itu tidak selalu menggores dan melukainya. Kadang-kadang sentuhan pada ujungnya memang dapat mengoyak kulit. Tetapi pukulan pada batang tongkat itu terasa meremukkan tulang.

Semakin lama orang itu benar-benar mengalami kesulitan. Sementara itu, ia seakan-akan tidak mempunyai kesempatan memisahkan diri dari Sekar Mirah. Betapapun orang itu berusaha, tetapi ia tidak pernah dapat berhasil, sehingga orang itu seakan-akan menjadi kehilangan akal.

Dalam keadaan yang tidak terkendali, orang itu memaksa diri untuk dapat mengambil senjata rahasianya. Sekali lagi ia memindahkan senjatanya pada tangan kirinya, sementara tangan kanannya berusaha untuk mengambil segenggam butiran senjata rahasianya.

Tetapi sebelum ia berhasil, maka tongkat baja putih Sekar Mirah telah mengenai lengannya. Tidak begitu keras karena orang itu sempat meloncat menjauh, tetapi tulang lengannya itu serasa telah retak.

Yang dilakukan orang itu kemudian adalah memaksa diri. Ia tidak akan dapat menunggu kesempatan. Karena itu, apapun yang akan terjadi, harus ditempuhnya. Mungkin ia harus mati bersama-sama dengan perempuan itu.

Maka orang itu tidak lagi sempat membuat perhitungan-perhitungan yang rumit. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sejauh-jauhnya sambil memungut segenggam butiran senjata rahasianya.

Namun Sekar Mirah tidak melepaskannya. Dengan sigapnya ia memburunya. Untuk menutup jarak, Sekar Mirah telah menjulurkan tongkatnya ke arah dada.

Ujung tongkat itu memang mendorong saudara seperguruan Kebo Remeng yang sedang meloncat itu. Tubuhnya terdorong dan terlempar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian orang itu kehilangan keseimbangannya yang jatuh terguling.

Namun orang itu tidak menghiraukan dirinya lagi. Dibiarkannya tubuhnya jatuh telentang di pasir tepian seperti sebatang pisang yang ditebang.

Ketika Sekar Mirah meloncat mendekat, maka orang itu telah berhasil memungut segenggam senjata rahasianya dan langsung melontarkannya kepada Sekar Mirah.

Sekar Mirah terkejut. Tetapi ia masih mempunyai kesempatan. Dengan cepat ia meloncat tinggi-tinggi, berputar di udara dan kemudian jatuh beberapa langkah dari orang itu pada kedua kakinya.

Tetapi lawannya berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu. Dengan cepat ia memungut senjata rahasianya lagi dan siap dihamburkannya ke arah Sekar Mirah.

Sekar Mirah tidak mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang rumit. Yang dilakukannya adalah memungut pasir tepian segenggam dan dilontarkannya ke arah lawannya, sambil menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh.

Senjata rahasia yang terhambur itu telah berbenturan dengan segenggam pasir yang ditaburkan oleh Sekar Mirah.

Tetapi tenaga yang melontarkannya berbeda. Betapapun besar tenaga Sekar Mirah yang dilambari oleh tenaga dalamnya, namun masih belum seimbang dengan tenaga yang dilambari dengan ilmu pamungkas saudara seperguruan Kebo Remeng itu. Untunglah bahwa Sekar Mirah telah berguling menjauh, sehingga serangan saudara seperguruan Kebo Remeng itu tidak mengarah ke sasaran yang sudah bergeser dari tempatnya. Namun demikian, ada juga butiran-butiran senjata rahasia yang mengenai lengan Sekar Mirah.

Sekar Mirah berdesis menahan panas yang menyengat. Ditingkatkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit.

Namun dalam pada itu, pasir yang dilontarkan oleh Sekar Mirah, ternyata ada juga yang terhambur ke wajah lawannya dan menusuk mata. Karena itu, maka mata saudara seperguruan Kebo Remeng itu terasa sangat pedih. Adalah di luar sadarnya, bahwa orang itu pun kemudian telah memejamkan matanya dan menggosok-gosokinya dengan tangannya.

Sekar Mirah melihat kesempatan itu. Betapapun lengannya terasa panas dan nyeri, namun Sekar Mirah itu pun segera meloncat bangkit.

Tanpa menghiraukan rasa sakitnya, maka Sekar Mirah itu dengan cepat menyerang lawannya yang masih memejamkan matanya.

Saudara seperguruan Kebo Remeng yang berilmu tinggi itu menyadari kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya. Tetapi ia terlambat bertindak. Tongkat baja putih Sekar Mirah segera terayun ke arah kening.

Ketajaman pendengaran lawannya memang mendengar desing senjata Sekar Mirah yang terayun. Betapapun pedih matanya, ia mencoba untuk membukanya.

Dengan pandangan mata yang kabur ia melihat Sekar Mirah mengayunkan tongkat baja putih. Karena itu, ia masih mencoba untuk menangkisnya dengan senjatanya.

Tetapi perlawanan itu tidak banyak berarti. Meskipun arah tongkat baja putih Sekar Mirah bergeser, namun tongkat baja putih itu masih mengenai pundaknya.

Tulang-tulang di pundak saudara seperguruan Kebo Remeng itu benar-benar menjadi retak. Perasaan sakit yang sangat telah mencengkamnya. Keseimbangannya pun menjadi goyah, sehingga orang itu pun kemudian terhuyung-huyung jatuh di tepian.

Sekar Mirah yang menjadi sangat cemas dengan senjata rahasia lawannya itu, masih menebas dengan tongkat baja putihnya sekali lagi, menghantam lengan tangan yang satu lagi.

Orang itu berteriak nyaring oleh kemarahan, kecewa dan kesakitan yang amat sangat. Namun kemudian tubuhnya terbaring di tepian itu.

Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Namun, demikian lawannya tidak berdaya, maka perasaan panas yang menyengat tubuhnya itu terasa semakin tajam.

Saudara seperguruan Kebo Remeng itu pun terbaring diam. Pingsan.

Yang kemudian masih bertempur adalah Kebo Remeng sendiri melawan Agung Sedayu. Keduanya telah mengerahkan kemampuannya semakin tinggi. Sepasang tongkat baja di tangan Kebo Remeng menjadi semakin berbahaya.

Seperti Sabungsari, Sekar Mirah pun telah menelan sebutir obat menangkal racun.

Perasaan panas itu memang berkurang. Dengan memusatkan nalar budinya, maka Sekar Mirah seakan-akan telah mendesak racun yang berada di dalam pembuluh darahnya, keluar.

Butiran-butiran sepanas bara yang beracun itu merupakan senjata yang sangat berbahaya. Tetapi baik Sabungsari maupun Sekar Mirah telah berhasil menangkalnya.

Sabungsari-lah yang lebih dahulu menjadi semakin baik. Ia pun kemudian bangkit berdiri. Mencoba menggerakkan anggota badannya yang sudah terasa semakin baik. Sendi-sendinya yang semula hampir menjadi kejang, telah menjadi lemas kembali.

Sejenak dipandangnya Agung Sedayu dan Kebo Remeng yang sedang bertempur. Agaknya keadaan Agung Sedayu tidak membahayakannya. Karena itu, maka Sabungsari masih sempat mendekati Sekar Mirah yang sedang berusaha untuk memperbaiki keadaannya, mengatur pernafasannya dan menekan racun yang berada di dalam darahnya untuk keluar.

Sebagaimana Sabungsari, maka darah yang pekat pun kemudian terdesak keluar, sehingga yang mengalir adalah darah yang merah segar. Dengan demikian, seperti Sabungsari, maka yang ditaburkan Sekar Mirah di lukanya adalah serbuk obat bagi luka-lukanya.

Sabungsari membiarkan Sekar Mirah mengatasi kesulitan di dalam dirinya dengan duduk di tepian. Sabungsari sendiri kemudian melangkah mendekati arena pertempuran.

Sambil bertempur Kebo Remeng pun berteriak, “Jika kau berani melibatkan diri, maka racun di dalam tubuhmu akan semakin cepat membunuhmu.”

Tetapi Sabungsari pun menjawab, “Racunmu sudah tidak berbahaya lagi bagiku, apapun yang aku lakukan. Panas apinya pun sudah tidak terasa lagi. Karena itu, seandainya aku melibatkan diri dalam pertempuran itu, tidak ada lagi yang akan menghambatku. Tetapi aku tidak melakukannya. Aku ingin tahu, seberapa jauh kemampuan orang yang akan menyingkirkan Agung Sedayu.”

“Persetan!” geram orang itu, “Setelah membunuh Agung Sedayu, aku tentu akan membunuhmu. Kemudian membunuh perempuan yang licik itu.”

Sabungsari tidak menjawab. Diamatinya pertempuran antara Agung Sedayu dan Kebo Remeng itu dengan seksama.

Semula Sabungsari menduga bahwa Agung Sedayu sengaja mengulur waktu. Mungkin ia ingin menghentikan perlawanan saudara tua dari keenam saudara seperguruan itu terakhir kali.

Tetapi ternyata dugaan Sabungsari itu salah. Agung Sedayu tidak sengaja menghentikan perlawanan saudara tertua dari sekelompok saudara seperguruan itu terakhir. Apalagi mengingat keadaan Sekar Mirah yang syukurlah dapat mengatasi kesulitannya. Juga keadaan Sabungsari sendiri yang dapat berakibat buruk.

Namun sebenarnyalah Kebo Remeng adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Ia memiliki kemampuan jauh lebih tinggi dari saudara-saudara seperguruannya. Selain waktunya berguru jauh lebih panjang, pengalamannya pun jauh lebih banyak.

Karena itu, untuk mengakhiri perlawanan Kebo Remeng, Agung Sedayu pun harus mengerahkan kemampuannya.

Sebenarnyalah Agung Sedayu telah menerapkan ilmu meringankan tubuh serta ilmu kebalnya, selain ilmu cambuknya yang jarang ada bandingannya. Tetapi lawannya pun memiliki ilmu yang sangat tinggi. Permainan tongkat baja putih yang sangat berbahaya bagi lawannya.

Seperti Agung Sedayu, ternyata Kebo Remeng juga memiliki kemampuan bergerak sangat cepat. Tubuhnya nampak sangat ringan, seakan-akan tidak berbobot. Agaknya Kebo Remeng juga mempunyai kemampuan meringankan tubuh seperti Agung Sedayu.

Namun ketika tongkat baja putihnya menyentuh tubuh Agung Sedayu, maka orang itu menggeram, “Iblis kau, Agung Sedayu! Kau memiliki juga ilmu kebal?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya kemudian seakan-akan tidak dapat mengenai sasaran, karena tertahan oleh lapisan yang tidak kasat mata.

“Lembu Sekilan,” desis Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang yang memiliki ilmu sangat tinggi itu menjadi semakin cepat. Keduanya mampu bergerak cepat. Melenting tinggi. Berputar di udara dan meloncat pada jarak yang panjang.

Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian justru melangkah surut menjauhi Kebo Remeng, dan mendekati Sekar Mirah yang masih sedang mengatur pernafasannya dan memperbaiki keadaannya, setelah ia berhasil mendesak keluar racun dari dalam dirinya dengan obat penangkal racun.

“Orang itu akan dapat menjadi gila dan menyerang orang-orang yang tidak berdaya,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Karena itu, maka Sabungsari telah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan tidak terduga sebelumnya, orang itu akan dapat menyerang Sekar Mirah atau dirinya sendiri.

Sementara itu, Agung Sedayu masih bertempur dengan sengitnya. Serangan-serangan kedua belah pihak telah membentur ilmu kebal mereka masing-masing, meskipun dari jenis yang berbeda.

Namun kemampuan ilmu cambuk Agung Sedayu ternyata sangat tinggi. Ketika ujung cambuknya menghentak sendal pancing dengan landasan ilmu puncaknya, maka ujung juntai cambuk Agung Sedayu itu pun telah menembus Aji Lembu Sekilan yang melindungi tubuh Kebo Remeng itu.

Kebo Remeng terkejut, sehingga ia pun meloncat surut. Segores luka telah menyilang di bahunya. Meskipun luka itu tidak dalam karena tertahan oleh ilmu Lembu Sekilan, tetapi bahwa kulitnya telah terluka, membuat jantung Kebo Remeng berdegup semakin keras.

Agung Sedayu tidak memburunya. Tetapi bahwa ujung cambuknya telah mampu menembus ilmu kebal lawannya, telah membuat Agung Sedayu semakin yakin bahwa ia akan dapat mengalahkan lawannya.

“Namamu yang besar itu bukan sekedar omong kosong, Agung Sedayu.”

“Kau masih mempunyai kesempatan Kebo Remeng. Menyerahlah. Ikutlah aku. Aku akan singgah ke Mataram untuk menyerahkan kau kepada para prajurit Mataram. Kau akan diadili dan akan mendapat hukuman tidak lebih dari yang seharusnya kau terima, karena perbuatanmu ini.”

“Persetan, Agung Sedayu! Sebagai seorang yang berilmu tinggi, pandanganmu terhadap keseimbangan ilmu sangat kerdil. Dengan segores kecil luka, kau sudah merasa dirimu menang.”

“Aku tidak merasa diriku menang,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku akan menawarkan satu penyelesaian yang lebih baik dari sebuah perkelahian dan apalagi kematian. Di sini sudah terkapar beberapa orang saudara seperguruanmu. Sebagian dari mereka sudah mati. Sebagian yang lain luka parah dan pingsan. Seharusnya kau tidak usah menambah korban lagi.”

“Masih ada tiga orang yang harus mati. Kau, istrimu dan kawanmu itu.”

“Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Mereka dapat membunuhmu.”

“Omong kosong! Sekarang bersiaplah untuk mati, Agung Sedayu. Kita akan bertempur. Tidak sekedar berbicara.”

Agung Sedayu memang tidak pernah menjadi lengah. Ia sadar dengan siapa ia berhadapan.

Sejenak kemudian, maka lawannya telah mulai menyerang lagi. Serangannya menjadi semakin sengit. Tetapi Agung Sedayu pun telah siap menghadapinya, apapun yang akan dilakukan oleh Kebo Remeng.

Seperti saudara-saudara seperguruannya, maka Kebo Remeng pun kemudian telah menyerang Agung Sedayu dengan senjata rahasia. Segenggam butiran-butiran yang oleh landasan ilmunya menjadi sepanas bara dan beracun. Namun senjata-senjata rahasia itu tidak mampu mematahkan perlawanan Agung Sedayu. Dengan tangkasnya Agung Sedayu meloncat ke samping, sehingga senjata rahasia itu tidak menyentuh tubuhnya.

Tetapi serangan itu tidak terhenti. Demikian kaki Agung Sedayu menginjak pasir tepian, maka serangan kedua pun telah datang pula.

Demikian cepatnya. Namun demikian cepat pula Agung Sedayu meloncat, justru mendekat.

Sebelum orang itu sempat memungut senjata rahasianya, maka Agung Sedayu telah menyerangnya dengan cambuknya, sehingga orang itulah yang harus meloncat menghindar. Tetapi Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ia pun memburunya sambil menghentakkan ujung cambuknya pula.

Sekali lagi Kebo Remeng harus meloncat mengambil jarak. Namun ketika Agung Sedayu memburunya, maka Kebo Remeng pun tiba-tiba telah memutar sepasang tongkat baja putihnya demikian cepat di seputar tubuhnya. Dari tongkat baja putih itu seakan-akan telah mengepul asap putih. Bukan sekedar bayangan putaran tongkat baja putih itu. Tetapi benar-benar asap yang mengepul di putaran tongkat itu telah menutup seluruh tubuh Kebo Remeng.

Agung Sedayu justru mengambil jarak. Ia tidak dapat melihat di mana Kebo Remeng berdiri di dalam lindungan asap putih yang semakin tebal itu. Bahkan kepulan asap itu semakin lama menjadi semakin meluas.

Sabungsari yang melihat kepulan asap itu menjadi berdebar-debar. Demikian pula Sekar Mirah, yang telah mampu mengatasi kesulitan di dalam tubuhnya. Panasnya bara yang menyengat kulitnya pun mulai berangsur berkurang.

Sekar Mirah itu pun kemudian berdiri di samping Sabungsari dengan tegak. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Meskipun Agung Sedayu menerapkan ilmu kebalnya, tetapi kekuatan dan kemampuan lawannya yang tinggi itu agaknya akan mampu menembus ilmu kebalnya itu.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu masih mempelajari kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan, tiba-tiba saja Kebo Remeng telah menyerangnya dengan senjata-senjata rahasianya. Butiran-butiran seperti pasir yang panas dan beracun.

Serangan itu demikian tiba-tiba muncul dari kepulan asap putih yang menyelubungi Kebo Remeng.

Agung Sedayu mencoba untuk meloncat menghindar. Namun ia terlambat. Meskipun sudah dilindungi oleh ilmu kebalnya, namun kemampuan lawannya ternyata berhasil menembusnya.

Panas itu menyengat tubuh Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu harus meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak mencemaskan racun di dalam tubuhnya, karena Agung Sedayu kebal akan segala macam racun dan bisa.

Meskipun tubuhnya disengat oleh panasnya butir-butir senjata rahasia lawannya, namun Agung Sedayu tidak meloncat menjauh. Dalam keadaan yang gawat itu, Agung Sedayu justru meloncat mendekat. Dengan mengerahkan segenap ilmunya, puncak ilmu cambuk Agung Sedayu itu telah membentur ilmu puncak lawannya. Lawannya yang berada di belakang asap putih itu menangkis serangan Agung Sedayu dengan tongkat baja putihnya.

Namun hentakan ilmu cambuk yang dahsyat itu ternyata mampu mengguncang kemapanan ilmu lawannya, sehingga kabut yang menyelimuti dirinya itu pun telah bergejolak. Ketika sekali lagi cambuk Agung Sedayu menghentak, maka asap putih itu bagaikan diputar oleh angin prahara, sehingga terkuak.

Namun pada saat itu, Kebo Remeng yang memegang sepasang tongkatnya pada satu tangannya, telah menyerang Agung Sedayu lagi dengan senjata rahasianya yang dihamburkan ke arah tubuhnya.

Dengan tangkas Agung Sedayu mencoba meloncat menghindar. Namun ternyata Agung Sedayu yang berada pada jarak yang terhitung dekat, tidak mampu menghindar seluruhnya, sehingga sebagian dari senjata lawannya itu masih juga sempat mengenai tubuh Agung Sedayu. 

Dalam keadaan yang mendesak, Agung Sedayu tidak dapat berbuat lain kecuali menghentakkan ilmu-ilmu puncaknya. Agung Sedayu tidak sempat lagi meloncat mendekat dan menyerang dengan cambuknya, karena lawannya tentu akan dengan cepat mendahuluinya menyerang dengan senjata rahasianya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun juga telah berdiri tegak. Dipeganginya juntai cambuknya, sementara itu dipusatkannya nalar budinya untuk mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada dirinya.

Dari sorot mata Agung Sedayu itu pun kemudian telah memancar seleret sinar yang langsung menusuk ke arah dada Kebo Remeng.

Kebo Remeng terkejut. Dengan cepat ia meloncat ke samping sambil menjatuhkan dirinya dan berguling menjauh.

Kebo Remeng memang berhasil menghindar dari serangan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak melepaskannya. Ketika Kebo Remeng meloncat bangkit, maka Agung Sedayu pun telah meloncat mendekatinya. Sekali lagi ia menyerang lewat sorot matanya, tepat pada saat Kebo Remeng tegak berdiri.

Kebo Remeng tidak sempat menghindar. Ia memang berusaha sekali lagi menjatuhkan dirinya. Tetapi serangan Agung Sedayu itu telah lebih dahulu menyambarnya tepat di dadanya, menembus Aji Lembu Sekilan.

Orang itu terpental beberapa langkah. Tubuhnya kemudian jatuh terbanting di pasir tepian.

Kebo Remeng masih sempat menggeliat. Aji Lembu Sekilannya telah menahan kekuatan ilmu Agung Sedayu sehingga tidak menghanguskan isi dadanya.

Meskipun demikian, kekuatan ilmu Agung Sedayu itu masih mampu menghentak dada Kebo Remeng dan menghentikan jantungnya sehingga tidak berdenyut lagi.

Sesaat kemudian, tubuh Kebo Remeng itu pun terbaring diam di pasir tepian Kali Opak. Tidak ada tarikan nafas. Tidak ada detak jantungnya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu melangkah mendekat. Kebo Remeng benar-benar sudah kehilangan nyawanya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, maka Sabungsari dan Sekar Mirah pun melangkah mendekatinya.

“Kau tidak apa-apa, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu harus menahan panas yang menggigit kulitnya. Namun Agung Sedayu tidak mencemaskan racun yang menusuk kulitnya dan menyentuh aliran darahnya. Pada dasarnya Agung Sedayu memang sudah kebal akan racun dan bisa.

Beberapa saat Agung Sedayu, Sabungsari dan Sekar Mirah masih memerlukan untuk beristirahat. Mereka duduk di atas pasir tepian, di antara orang-orang yang terbaring diam. Ternyata tiga orang di antara mereka sudah terbunuh. Tiga orang masih bernafas, meskipun luka mereka terhitung parah.

“Apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka? Apakah kita akan membawa mereka yang masih hidup ke Mataram?” bertanya Sabungsari.

Tetapi Agung Sedayu menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak, Sabungsari. Kita akan meninggalkan mereka di tepian. Biarlah yang hidup mengurus kawan-kawannya yang terbunuh. Kemudian biarlah mereka menyampaikan kabar kematian Kebo Remeng kepada kawan-kawannya, agar mereka mengetahui apa yang sudah terjadi atas orang yang berilmu tinggi itu.”

“Tetapi mereka akan menjadi orang-orang yang sangat berbahaya. Tidak bagiku, karena mereka belum mengenal aku dan aku pun akan berada di dalam lingkungan para prajurit. Tetapi bagi Nyi Lurah?”

“Juga tidak bagiku, Sabungsari,” sahut Sekar Mirah, “aku akan selalu berada di dekat Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka akan dapat melindungi aku, sementara para pengawal Tanah Perdikan akan dapat bergerak dengan cepat jika mereka diperlukan.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, jika itu keputusan Ki Lurah dan Nyi Lurah.”

“Marilah, kita berbicara dengan salah seorang dari mereka yang masih bertahan.”

Ketiga orang itu pun kemudian bangkit. Dengan hati-hati mereka mendekati seorang di antara keenam orang saudara seperguruan itu yang masih dapat bertahan hidup.

Sambil berjongkok di sisinya, Agung Sedayu berdesis, “Ki Sanak.”

Orang itu membuka matanya. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka ia pun mencoba untuk bangkit.

“Jangan bergerak dahulu. Kau harus tetap berbaring. Nampaknya kau masih terlalu lemah.”

Orang itu meletakkan kembali kepalanya sambil berdesah.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “aku akan mencoba mengobati lukamu. Mudah-mudahan berarti.”

“Kenapa kalian tidak membunuhku?”

“Tidak ada gunanya. Kami membiarkan kalian hidup. Usahakan untuk mengubur kawan-kawanmu yang terbunuh. Tiga orang saudara seperguruanmu mati. Yang tiga, termasuk kau, terluka parah.”

“Aku juga akan mati.”

“Tidak. Sudah aku katakan, aku akan mencoba membantu mengobatimu.”

“Kau akan membubuhkan racun?”

“Kalau kami ingin membunuhmu, kami tidak akan memakai cara itu. Lebih mudah bagi kami untuk membenamkan senjata kami di dadamu daripada kami meracun luka-lukamu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terserah kepadamu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun telah mengambil bumbung kecil dari kantong bajunya.

“Mudah-mudahan obat ini dapat membantumu, sehingga keadaanmu akan menjadi semakin baik,” berkata Agung Sedayu.

Orang itu sama sekali tidak menjawab.

Dengan hati-hati Agung Sedayu pun kemudian telah menaburkan obat di luka orang itu. Sementara itu, seperti juga saudara-saudara seperguruannya, orang itu juga membawa kampil berisi senjata rahasia, yang ujudnya seperti butiran-butiran pasir itu.

“Tetapi ilmu ini bukan sejenis Aji Pacar Wutah,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sambil mengobati luka-luka orang itu, Agung Sedayu berkesempatan menyentuh senjata rahasia orang itu. Namun butiran-butiran yang masih berada di dalam kampil itu sama sekali tidak terasa panas.

“Agaknya kekuatan ilmu orang itulah yang telah membuat senjata rahasia itu menjadi panas seperti bara,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya pula.

Namun sebuah pertanyaan telah mengusiknya, “Bagaimanakah jika yang dilontarkan itu segenggam pasir? Apakah pasir itu juga dapat menjadi sepanas bara meskipun tidak beracun?”

Tetapi Agung Sedayu tidak segera menanyakannya. Yang kemudian ditanyakannya adalah, “Siapakah yang menugaskan kalian mencegat kami berdua?”

“Kebo Remeng.”

“Jangan berbohong. Kebo Remeng sudah mati. Ia memang tidak akan dapat mengiyakan atau mengingkarinya.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu mendesaknya, “Tentu bukan karena Kebo Remeng sekedar ingin memperoleh nama baik di antara kawan-kawannya. Seandainya benar demikian, siapakah kawan-kawannya itu?”

Orang itu menjadi sangat bimbang. Obat yang ditaburkan oleh Agung Sedayu memang serasa menggigit, Hanya sesaat. Namun kemudian nyeri dan sakit pada luka-lukanya itu terasa berkurang.

Sikap Agung Sedayu itu ternyata mempengaruhinya. Betapapun keras hatinya, betapapun kelam warna jantungnya, namun sikap Agung Sedayu sangat menyentuh perasaannya. Ia bukan saja tidak dibunuhnya, tetapi justru diobatinya seperti mengobati kawannya sendiri. 

Hampir di luar sadarnya orang itu berdesis, “Kebo Remeng adalah salah seorang kawan dekat Ki Saba Lintang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Sekar Mirah, ia pun berkata, “Kau dengar nama yang disebutnya itu?”

Sekar Mirah mengangguk.

Sementara itu, kepada Sabungsari Agung Sedayu itu pun berkata, “Ingat nama itu?”

Sabungsari mengangguk.

Sambil bangkit berdiri Agung Sedayu pun berkata, “Biarlah orang ini mengurus kawan-kawannya.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berbisik di telinga Sabungsari, “Sampaikan kepada Kakang Untara. Jika sempat, hubungi pula Adi Swandaru. Ki Saba Lintang sudah merambah ke daerah ini. Kita tidak jelas, gerakan apakah yang akan mereka lakukan di sini. Tetapi katakan kepada Kakang Untara, bahwa Ki Saba Lintang ingin menguasai Tanah Perdikan Menoreh sekedar untuk landasan meloncat ke Mataram. Jika ia mulai berpaling ke daerah ini, maka Ki Saba Lintang akan mengulangi apa yang pernah dilakukan oleh Macan Kepatihan.”

“Baik, Ki Lurah.”

“Kau sendiri, berhati-hatilah. Mungkin orang-orang yang hidup itu dapat mengenalimu pada suatu saat, jika mereka menjumpaimu.”

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Demikian pula Sabungsari. Tetapi mereka masih harus membenahi pakaian mereka lebih dahulu, agar tidak menarik perhatian orang di sepanjang jalan.

Demikianlah, sejenak kemudian maka mereka pun telah mengambil kuda-kuda mereka. Agung Sedayu masih mendekati orang yang telah diobatinya itu sambil berkata, “Aku tinggalkan obat ini di sini. Obati kawan-kawanmu yang masih hidup. Kemudian terserah, apa yang akan kau lakukan terhadap kawan-kawanmu. Mungkin kau akan pergi ke tempat penyeberangan dan minta tolong kepada orang lewat dengan alasan apapun juga. Mungkin kau akan pergi ke padukuhan terdekat, atau apapun yang akan kau lakukan.”

Orang itu memandang Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari berganti-ganti. Orang-orang itu benar-benar tidak membuminya. Bahkan meninggalkan obatnya untuk mengobati saudara-saudara seperguruannya.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah meloncat ke punggung kudanya dan siap meninggalkan orang-orang yang terluka dan yang terbunuh itu di tepian.

Demikian mereka sampai di tempat penyeberangan, maka Sabungsari pun telah memisahkan dirinya. Agung Sedayu dan Sekar Mirah menuju ke barat, sedangkan Sabungsari menuju ke timur.

“Selamat jalan,” desis Sabungsari.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyahut hampir bersamaan, “Selamat jalan.”

Namun sebelum mereka berpisah, Agung Sedayu sempat mengingatkan, “Jangan lupa. Sampaikan kepada Kakang Untara. Laporkan apa yang terjadi. Sampaikan pula pesanku tadi kepadanya.”

“Baik, Ki Lurah.”

Kuda Sabungsari pun kemudian berlari dengan kencang meninggalkan Kali Opak menuju ke Jati Anom, sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah memacu kudanya ke arah Mataram. Namun keduanya pun telah memutuskan untuk tidak singgah di Mataram sebagaimana mereka berangkat.

“Orang-orang Ki Saba Lintang telah berada di sebelah timur Gunung Merapi. Mereka tentu melihat kehadiran kita di Sangkal Putung atau Jati Anom. Mereka menunggu kita pulang dan mencoba untuk mencegat kita.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Beruntunglah bahwa kita bertemu dengan Sabungsari di jalan, sehingga ia dapat membantu kita menghadapi orang yang menyebut dirinya Kebo Remeng bersama dengan saudara-saudara seperguruannya itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ada seribu cara bagi Yang Maha Agung untuk menyelamatkan kita.”

“Ya. Kita memang harus bersyukur,” desis Sekar Mirah. Perasaan panas di kulitnya itu rasa-rasanya masih saja membekas.

“Keuntungan kita yang lain dengan kehadiran Sabungsari, peristiwa ini segera diketahui oleh Kakang Untara, dan kalau Sabungsari sempat, Adi Swandaru pun mengetahuinya pula.”

“Aku kira untuk menanggapi persoalan yang sangat penting ini, Sabungsari akan pergi ke Sangkal Putung. Atau mungkin orang lain yang diperintahkannya menyampaikan persoalan ini ke Sangkal Putung,” sahut Sekar Mirah.

“Aku kira Sabungsari tidak akan menyampaikan kepada Adi Swandaru lewat orang lain.”

“Mudah-mudahan.”

Keduanya pun memacu kudanya di jalan yang terhitung tidak terlalu sepi. Ada satu dua orang berkuda yang lewat di jalan itu untuk menempuh perjalanan yang panjang.

Ketika mereka berkuda mendekati Mataram, mereka sengaja mencari jalan lain. Mereka merasa tidak ada keperluan apapun di Mataram, sehingga mereka merasa tidak perlu singgah.

Tetapi sebelum mereka memasuki jalan pintas untuk menghindari Mataram, Agung Sedayu dan Sekar Mirah merasa perlu untuk berhenti. Kuda-kuda mereka tentu merasa lelah setelah berlari dari Prambanan melintas jalan yang panjang, dan bahkan lewat di sebelah hutan Tambak Baya.

Ketika mereka melewati beberapa buah kedai yang berdiri berjajar membelakangi sebuah pasar yang sudah nampak sepi, mereka pun berhenti. Mereka memasuki sebuah di antara kedai-kedai yang berjajar itu, setelah menyerahkan kuda mereka kepada seorang yang memang bertugas untuk mengurusi kuda-kuda para tamunya.

“Tolong, kuda itu juga lapar dan haus,” desis Agung Sedayu.

“Baik, Ki Sanak,” jawab orang yang menerima kuda Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah berada di dalam kedai itu. Meskipun mereka telah membenahi pakaian mereka, namun pakaian mereka masih tetap nampak kusut dan bahkan koyak di beberapa tempat.

“Mudah-mudahan tidak ada orang yang menghiraukan kita,” berkata Sekar Mirah.

Ternyata memang tidak ada yang tertarik pada pakaian mereka yang kusut.

Tetapi jika ada yang tertarik kepada mereka, bukan karena pakaian yang kusut. Beberapa orang anak muda justru tertarik kepada seorang perempuan yang cara berpakaiannya tidak banyak dilakukan oleh perempuan lain.

Semula anak-anak muda itu hanya saling membicarakannya yang satu dengan yang lain. Mereka tertawa tertahan-tahan. Sekali-sekali mereka berpaling kepada Sekar Mirah. Kemudian saling membicarakannya.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengetahui bahwa ada beberapa orang anak muda yang memperhatikan mereka. Tetapi keduanya tidak menghiraukannya. Mereka tidak ingin terjadi keributan. Karena itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyibukkan diri dengan minuman dan makanan yang mereka pesan.

Beberapa saat kemudian, dua orang anak muda yang lain telah memasuki kedai itu pula. Ternyata kedua orang itu adalah kawan-kawan anak-anak muda yang memperhatikan Sekar Mirah dan agaknya sedang membicarakannya itu.

Tetapi menilik sikap kawan-kawannya, maka kedua orang itu mempunyai pengaruh yang khusus di antara mereka. Pakaian mereka pun nampak lebih baik. Sikap mereka agak lain dengan kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu ada di kedai itu.

Demikian kedua orang anak muda itu duduk, maka kawan-kawannya segera memberitahukan tentang seorang perempuan yang berpakaian lain dengan perempuan kebanyakan.

Ternyata sikap kedua orang itu berbeda dengan sikap kawan-kawannya. Jika kawan-kawannya hanya membicarakannya dan menertawakannya tetapi tertahan-tahan, maka kedua orang itu sama sekali tak ingin menyembunyikan sikapnya.

Seorang di antara mereka langsung berdiri dan bertanya, “Di mana perempuan itu?”

Kawan-kawannya yang semula memperhatikan pakaian Sekar Mirah dengan sikap yang agak segan, maka sikap mereka pun menjadi lebih terbuka.

Seorang telah menunjuk Sekar Mirah sambil berkata, “Itulah, yang duduk bersama laki-laki itu.”

Kedua orang anak muda yang datang kemudian, dan bahkan kawan-kawan mereka yang lain pun serentak memandang ke arah Sekar Mirah. Salah seorang anak muda yang datang kemudian itu pun bertanya, “Apa yang aneh? Perempuan itu memang cantik. Tetapi sayang wajahnya nampak kusut.”

“Lihat pakaiannya. Aneh, kan? Bukankah pakaiannya lain dari pakaian kebanyakan perempuan?”

“Apa yang lain?”

“Jika ia berdiri, akan nampak jelas.”

Anak muda itu tertawa.

Sejak semula Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak menghiraukan mereka. Tetapi semakin lama rasa-rasanya jantung Sekar Mirah mulai tergetar. Telinganya menjadi panas dan darahnya mengalir semakin cepat.

Di luar sadarnya Sekar Mirah itu berdesis, “Anak-anak itu semakin menjengkelkan.”

“Jangan hiraukan mereka.”

“Aku sudah mencoba.”

“Aku mengerti. Marilah kita tinggalkan tempat ini. Kuda-kuda kita tentu sudah cukup beristirahat, makan dan minum.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Agung Sedayu pun kemudian memanggil pelayan kedai itu dan membayar harga makanan dan minuman mereka.

Namun tiba-tiba salah seorang anak muda yang datang kemudian itu mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Biarlah aku saja yang membayarnya.”

Agung Sedayu memandang anak muda itu sekilas. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Terima kasih, Anak Muda.”

“Tidak apa-apa, Ki Sanak. Aku mempunyai cukup uang untuk membeli kedai ini sekali pun.”

“Aku percaya, Anak Muda,” Agung Sedayu mengangguk hormat, “terima kasih.”

Namun ketika Agung Sedayu menyerahkan uang itu, anak muda itu menggeser tangannya sambil berdesis, “Aku bersungguh-sungguh Ki Sanak. Kau dapat mempergunakan uangmu itu untuk bekal perjalananmu. Menilik kudamu yang tegar, kau memang bukan jenis orang yang tidak mempunyai bekal cukup. Tetapi menilik pakaianmu dan wajahmu yang kusut, nampaknya kau sedang kehabisan uang di perjalanan.”

Tetapi Agung Sedayu pun menggeleng. Katanya, “Tidak anak muda. Kami tidak kehabisan uang.”

“Jadi kau menolak pemberianku ini?”

“Bukan maksudku. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Kami minta maaf, bahwa kami tidak dapat menerima pemberian Anak Muda. Mungkin ada orang lain yang lebih memerlukan daripada kami. Kedermawanan Anak Muda akan sangat berarti bagi mereka.”

“Aku dapat memberi uang kepada banyak orang. Uangku tidak akan habis jika aku membayar harga makanan dan minuman kalian berdua.”

“Kami mohon maaf, bahwa kami tidak dapat menerimanya.”

“Sudahlah,” berkata anak muda yang seorang lagi yang datang bersamanya, “jangan hiraukan orang sombong itu. Ia merasa lebih kaya dari kita. Untuk apa kau memaksa-maksa.”

Anak muda yang akan membayar harga makanan dan minuman Agung Sedayu itu menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah jika kalian menolak. Mudah-mudahan kalian tidak kehabisan bekal di perjalanan.”

“Kami akan berhemat Anak Muda. Apalagi kami tidak menempuh perjalanan yang jauh.”

“Kalian akan pergi ke mana?”

“Kami akan pergi ke seberang Kali Praga.”

“Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya, Anak Muda.”

“Kau orang Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya, Anak Muda.”

“Apakah perempuan-perempuan di Tanah Perdikan Menoreh berpakaian seperti perempuan itu?”

“Tidak semuanya,” jawab Agung Sedayu, “hanya mereka yang bepergian jauh serta naik kuda saja-lah yang berpakaian seperti istriku ini.”

“Cara berpakaian yang sangat menarik bagi seorang perempuan,” berkata anak muda itu.

“Terima kasih atas pujian Anak Muda.”

Anak muda itu masih akan berbicara lagi, tetapi kawannya yang datang bersamanya itu telah menariknya sambil berkata, “Buat apa kau berbicara dengan mereka? Mereka sudah menolak uluran tanganmu.”

Anak muda itu masih juga berpaling dan berkata, “Selamat jalan ke Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak.”

“Terima kasih, Anak Muda.”

Kedua anak muda itu pun segera bergabung kembali pada kawan-kawannya, duduk bersama mereka. Agaknya mereka masih membicarakan pakaian Sekar Mirah, karena setiap kali masih ada di antara mereka yang berpaling ke arah Sekar Mirah.

Namun dalam pada itu, sekelompok anak muda itu nampak terkejut. Di muka pintu kedai itu berdiri seorang anak muda yang juga berpakaian rapi. Di belakangnya berdiri tiga orang anak muda yang lain. Sedang di belakang mereka nampak dua orang yang bertubuh tegap dan berwajah seram.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang sudah beranjak dari tempatnya justru terhenti. Mereka melihat ketidakwajaran hubungan antara anak-anak muda yang telah berada di dalam kedai itu dengan anak-anak muda yang berada di luar kedai.

Beberapa orang lain yang berada di dalam kedai itu pun nampak tegang. Bahkan pemilik kedai yang menerima uang pembayaran dari Agung Sedayu itu pun nampak gelisah pula.

“Ada apa?” bertanya Agung Sedayu hampir berbisik kepada pemilik kedai itu.

“Dua kelompok anak muda yang bermusuhan. Jika mereka bertemu, mereka akan dapat membuat keributan tanpa menghiraukan tempat yang dapat saja mereka rusakkan,” jawab pemilik kedai itu perlahan-lahan.

“Apakah keduanya kelompok anak-anak muda yang sering berbuat kejahatan atau tidak? Atau sekedar kenakalan anak-anak muda?”

“Semula sekedar kenakalan anak-anak muda. Tetapi akhir-akhir ini kelompok yang masih berada di luar pintu itu sudah disusupi oleh orang-orang yang memang sejak lama berada di dalam dunia kejahatan. Tingkah laku mereka pun berubah. Kenakalan mereka pun menjurus kepada hal-hal yang jahat. Mereka mulai mengganggu ketenangan hidup orang banyak dengan memeras, dan bahkan merampok dan menyamun.”

“Apakah tidak ada tindakan dari Ki Demang atau para bebahu yang lain?”

“Mereka licik sekali. Sulit untuk membuktikan kejahatan mereka. Meskipun banyak orang yang menyaksikan kejahatan mereka, tetapi pada umumnya tidak seorang pun yang berani menjadi saksi. Mereka lebih senang diam dan menghindarkan diri. Aku pun tidak akan bersedia menjadi saksi kejahatan mereka.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu pemilik kedai itu pun berkata, “Silakan meninggalkan kedai ini Ki sanak, daripada kalian akan terperangkap dalam perselisihan yang kalut.”

Tetapi Agung Sedayu itu pun menjawab, “Mereka berada di pintu. Apakah aku dapat lewat?”

“Ada pintu samping.”

Tetapi sebelum Agung Sedayu keluar lewat pintu samping, justru anak-anak muda yang sudah berada di dalam kedai itulah yang keluar lewat pintu samping.

Tetapi demikian mereka berada di luar kedai, maka kedua kelompok anak muda itu sudah berhadapan.

“Kalian akan lari, he?” terdengar suara berat, yang disusul oleh suara tertawa berkepanjangan.

“Tidak. Bukankah kami tidak pernah lari? Katakan, kapan kami lari menghindar jika kami bertemu dengan kalian?” jawab anak muda yang menawarkan membayar makan dan minum Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Ya. Kalian memang tidak pernah lari. Tetapi agaknya sekarang kalian menjadi sangat ketakutan.”

“Apakah nampaknya kami menjadi ketakutan?” bertanya anak muda yang seorang lagi, yang datang bersama anak muda yang akan membayar makanan dan minuman itu.

Terdengar lagi suara tertawa. Di sela-sela suara tertawa itu terdengar seseorang berkata dengan nada berat, ”Sekarang kami hadir bersama dua orang anggota kami yang baru. Kedua paman kami telah bergabung dengan kami. Nah, jangan menyesal, bahwa kalian bertemu dengan kedua paman kami ini.”

“Apakah kami harus menjadi ketakutan terhadap kedua orang paman kalian itu? Bukankah keduanya bukan hantu atau gendruwo yang mengerikan?”

“Kalian masih dapat bergurau sekarang. Tetapi sebentar lagi kalian akan menyesali sikap kalian selama ini.”

“Tidak. Kami tidak akan pernah menyesal. Sekarang, kalian datang bersama kedua orang paman kalian yang kalian bangga-banggakan. Tetapi jumlah kami lebih banyak dari jumlah kalian.”

“Apa artinya jumlah yang lebih banyak itu? Seorang dari paman kami akan dapat mengalahkan sepuluh orang di antara kalian. Nah, sekarang jumlah kalian kurang dari sepuluh.”

Tetapi anak-anak muda yang semula ada di dalam kedai itu tertawa. Seorang di antaranya tertawa lebih keras dari kawan-kawannya. Sedangkan yang lain berkata, “Apakah paman kalian memiliki ilmu iblis sehingga dapat mengalahkan sepuluh orang lawan?”

“Kalian akan mencoba?”

“Tentu!”

“Bagus. Kita akan mencoba sekarang.”

Kedua kelompok anak muda itu pun segera bersiap untuk berkelahi. Namun sebelum mereka benar-benar berkelahi, Agung Sedayu yang berdiri di pintu samping kedai itu bertanya lantang, “Kenapa kalian akan berkelahi? Bukankah tidak ada alasan sama sekali bagi kalian untuk berkelahi? Sekelompok di antara kalian berada di kedai ini. Sedang sekelompok yang lain baru saja datang. Kalian belum bertemu, berbicara dan apalagi terjadi perselisihan. Tiba-tiba kalian sudah saling menantang. Bukankah itu aneh?”

Anak muda yang berpakaian rapi yang belum sempat masuk ke dalam kedai itu pun bertanya, “Kau siapa?”

“Aku orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku sekedar lewat dan singgah di kedai ini.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa kau peduli apakah kami akan berkelahi atau tidak? Apakah sangkut pautmu dengan kami atau dengan kelompok bajing gering itu?”

“Setan kau! Siapakah yang menyebut kelompok kami bajing gering? Kau? Orang-orang kelompok kucing kelaparan?”

“Coba, sebut sekali lagi! Kami akan mengoyak mulutmu dan mulut kawan-kawanmu yang menyebutnya lagi!”

“Kau kira aku takut menyebutnya lagi?”

Agung Sedayu tiba-tiba telah memotongnya, “Kalian tidak lebih dari sekelompok orang yang kekanak-kanakan. Sadarilah, apakah untungnya kalian berkelahi.”

“Diam kau, orang asing!” geram anak muda yang belum sempat masuk ke dalam kedai itu, “Jika kau masih berbicara lagi, maka mulutmu juga akan aku koyak.”

“Jangan terlalu garang, Anak Muda,” Agung Sedayu masih juga menyahut, “cobalah agak tenang. Renungkan kata-kataku. Bukankah tidak ada sebabnya yang dapat membuat kalian harus berkelahi?”

“Kami tidak tiba-tiba saja ingin berkelahi,” berkata anak muda yang akan membayar makanan dan minuman Agung Sedayu itu, “kami sudah lama bertengkar. Kami memang selalu siap berkelahi jika kami bertemu dimanapun dan kapanpun. Bahkan di saat-saat terakhir, kami sudah agak lama tidak bertemu dan tidak berkelahi. Nah, sekarang kita bertemu di sini.”

“Haruskah kalian berkelahi?” bertanya Agung Sedayu.

“Kami mempertahankan harga diri kelompok kami.”

“Jangan ikut campur!” berkata anak muda yang tidak sempat masuk ke dalam kedai itu, “Lihat sajalah, kami akan melumatkan anak-anak yang tidak tahu diri itu.”

“Siapa yang tidak tahu diri?” sahut seorang anak muda dari kelompok yang lain, “Kalian-lah yang selalu mencoba merendahkan kami.”

“Apalagi sekarang,” berkata anak muda yang belum sempat masuk ke dalam kedai, “kalian akan menyesali sikap kalian selama ini. Kalian hari ini harus berjongkok mencium telapak kaki kami. Baru kalian dapat meninggalkan kedai ini.”

Anak-anak muda yang datang lebih dahulu itu tertawa hampir bersamaan. Namun suara tertawa mereka terputus. Tiba-tiba salah seorang dari dua orang yang garang, yang disebut paman-paman mereka yang berada di dalam kelompok yang datang kemudian itu, membentak, “Cukup! Kenapa kalian menjadi seperti orang kepanjingan iblis? Kali ini kami benar-benar akan menunjukkan kepada kalian, bahwa kalian tidak berarti apa-apa bagi kami. Kami akan membuktikannya sekarang.”

Suara orang itu demikian garangnya, sehingga jantung anak-anak muda dari kelompok yang lain itu tergetar.

Agung Sedayu pun segera mengetahui, bahwa orang itu bukan orang kebanyakan. Orang itu tentu mempunyai latar belakang yang berbeda dengan anak-anak muda yang bermusuhan itu. Ia tidak tampil sebagai anak-anak muda nakal yang perlu mendapat perhatian untuk sekedar diluruskan. Tetapi orang itu memiliki latar belakang kehidupan yang berbeda. Bahkan latar belakang kejahatan, yang bukan sekedar harus diluruskan.

“Inilah yang telah dikatakan oleh pemilik kedai itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sementara itu Sekar Mirah yang masih berada di dalam kedai, menggamit Agung Sedayu sambil berdesis, “Orang itu agak berbeda, Kakang.”

“Ya. Agaknya memang demikian.”

Namun kelompok yang lain tidak begitu saja menyatakan diri untuk mengalah. Meskipun mereka harus mengakui di dalam diri mereka masing-masing bahwa dua orang yang berada di dalam kelompok yang lain itu membuat mereka gelisah.

Anak muda yang akan membayar makanan dan minuman Agung Sedayu itu pun berkata, “Apa yang sebenarnya kalian kehendaki sekarang?”

“Kalian harus mencium telapak kaki kami semuanya,” jawab anak muda yang datang kemudian dan belum sempat masuk ke dalam kedai.

Tetapi salah seorang yang disebut paman mereka itu memotong, “Tidak hanya mencium telapak kaki kami. Kalian harus benar-benar bertobat. Bukan hanya dengan kata-kata. Tetapi kalian harus membuktikannya dengan menyerahkan semua milik kalian yang kalian bawa sekarang ini.”

“He?” anak muda yang berpakaian rapi yang seorang lagi dari kelompok yang lain itu terkejut, “Apa maksudmu?”

“Serahkan semua milik kalian. Timang, pendok, cincin dan batu-batu berharga lainnya, serta apa saja yang kalian bawa.”

“Kalian akan merampok kami?”

“Mulutmu-lah yang kotor. Buat apa kami merampok orang-orang miskin seperti kalian? Yang kami lakukan adalah sekedar memberikan peringatan bagi kalian. Jika kalian hanya sekedar harus mencium kaki kami, maka kalian tentu tidak akan segan-segan mengulanginya dua tiga kali.”

“Tetapi kami memang tidak ingin melakukannya,” berkata anak muda yang berpakaian rapi dari kelompok yang sama dengan kedua orang yang garang itu.

“Jangan cemas,” jawab orang yang disebut pamannya itu, “cara ini adalah cara yang terbaik yang dapat kita tempuh untuk membuat mereka benar-benar jera dan takluk kepada kita.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang. Tetapi ia tidak berkata apa-apa.

Anak-anak muda dari kedua kelompok itu menjadi tegang. Namun Agung Sedayu melihat bahwa anak-anak muda di antara mereka yang datang kemudian dan yang belum sempat masuk ke dalam kedai itu pun menjadi bimbang.

Tetapi orang yang disebut pamannya itu berkata, “’Minggirlah! Kami berdua-lah yang akan membuat mereka menjadi jera. Memaksa mereka mencium kaki kita semua dan menyerahkan semua miliknya, sebagai pertanda bahwa mereka sudah menjadi jera dan tidak akan berani melawan kita untuk selamanya.”

“Tetapi kenapa harus merampas milik mereka?” jawab anak muda yang berpakaian rapi.

“Kami berdua-lah yang bertanggung jawab.”

Yang seorang lagi justru berkata, “Kenapa kalian menjadi heran? Bukankah kita sudah sering melakukannya?”

“Tetapi tidak terhadap anak-anak itu. Mungkin terhadap orang-orang asing yang belum kita kenal.”

“Justru anak-anak itulah yang harus dibuat jera.”

Anak-anak muda yang berada dalam satu kelompok dengan dua orang yang garang itu saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka tidak berani mencegah kedua orang yang berwajah garang itu, sehingga anak-anak muda itu pun benar-benar telah menyibak.

Tinggal kedua orang itulah yang akan menghadapi sekelompok anak-anak muda yang datang lebih dahulu di kedai itu.

Dua orang di antara mereka yang berpakaian lebih baik dari kawan-kawannya nampak menjadi ragu-ragu, Tetapi mereka tidak dapat begitu saja menyerah. Mereka masih harus mempertahankan harga diri mereka.

Agung Sedayu-lah yang menjadi cemas. Anak-anak muda itu akan benar-benar mengalami bencana jika mereka harus berhadapan dengan kedua orang itu.

“Apakah kita akan mencegahnya?” bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah pun menjadi ragu-ragu juga. Tetapi keduanya telah keluar dari pintu butulan dan berdiri di halaman samping kedai itu.

“Apakah kalian akan turut campur?” bertanya seorang di antara kedua orang yang berwajah garang itu.

Namun tiba-tiba seorang yang lain berdesis, “Yang seorang itu perempuan.”

“Ya. Yang seorang perempuan.”

“Cantik. Dengan pakaian yang asing itu menjadi sangat menarik.”

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Tetapi Agung Sedayu justru berbisik, “Ini satu kesempatan Sekar Mirah.”

“Kesempatan apa?” bertanya Sekar Mirah yang tidak menangkap maksud Agung Sedayu.

“Untuk menarik perhatian mereka. Biarlah kedua orang itu berhadapan dengan kita. Tidak dengan anak-anak muda itu. Mereka adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Dalam benturan pertama saja, agaknya akan ada di antara anak-anak muda itu yang akan menjadi pingsan.”

Sekar Mirah justru tersenyum.

Sementara itu kedua orang itu masih saja memperhatikan Sekar Mirah. Ketika mereka melihat Sekar Mirah tersenyum, maka seorang di antara mereka berkata, “He, kau tersenyum kepadaku?”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun ia berdesis, “Jadi, aku akan dijadikan umpan justru karena aku perempuan?”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “karena yang akan kita pancing adalah laki-laki.”

“Jika yang akan kita pancing perempuan?”

“Kita tidak memancing perempuan.”

“Ah, kau,” Sekar Mirah itu bersungut.

“He, apa yang kalian bicarakan?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

“Kalian nampak lucu,” tiba-tiba saja Sekar Mirah menjawab.

“Lucu?” orang itu memandang Sekar Mirah dengan heran, “Apa yang lucu?”

“Kalian masih ingin berkelahi dengan anak-anak.”

Jawaban Sekar Mirah itu mengejutkan mereka. Seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak yakin akan sikapmu dan kata-katamu. Apa maksudmu?”

“Tidak apa-apa. Aku kagum melihat ujud kalian. Kalian benar-benar laki-laki yang mengagumkan.”

“He,” kedua orang itu melangkah berbareng mendekat, “aku tidak tahu maksudmu.”

“Mereka sudah mulai melupakan anak-anak muda itu,” desis Agung Sedayu.

“Maksudku, kalian adalah laki-laki yang nampaknya kuat, berkemampuan tinggi dan gagah berani.”

“Ya,” sahut yang lain, “kau telah menyebut kami dengan sebutan yang tepat.”

“Nah, kalau begitu, kalian harus menjaga harga diri kalian. Kalian tidak pantas berkelahi dengan anak-anak.”

“Itu bukan urusanmu. Tetapi sudahlah. Kau tidak usah menghiraukan perkelahian itu. Aku ingin tahu, siapakah laki-laki yang bersamamu ini?”

“Ini kakakku. Kakakku yang sulung. Aku adiknya yang bungsu.”

“Perempuan ini benar adikmu?”

“Ya. Adikku yang bungsu seperti yang dikatakannya.”

Kedua orang itu menjadi semakin dekat. Hanya dua langkah saja di hadapan Sekar Mirah. Sekar Mirah-lah yang melangkah surut hampir melekat dinding kedai itu.

“Aku ingin mempersilakan kalian singgah di rumahku,” berkata salah seorang dari kedua orang itu.

“Maaf, kami tergesa-gesa,” Agung Sedayu-lah yang menjawab.

“Aku tidak minta kau yang singgah,” sahut salah seorang dari kedua orang itu. Lalu katanya pula, “Jika kau tergesa-gesa, pergilah! Tetapi tinggalkan adikmu di sini. Nanti pada saatnya akan aku antarkan perempuan ini pulang.”

“Jangan,” jawab Agung Sedayu, “nanti ibu marah jika aku tidak pulang bersama adikku yang bungsu.”

Tetapi Sekar Mirah justru berkata, “Kenapa Kakang berkeberatan aku tinggal? Ki Sanak ini akan mengantarkan aku pulang pada saatnya.”

“Nah, kau dengar?“ kedua orang itu hampir berteriak.

Tetapi Agung Sedayu berkata, “Tidak. Kau harus pulang bersamaku. Kita belum mengenal kedua orang ini. Tiba-tiba kau ingin tinggal bersama mereka.”

“Apa salahnya?”

“Tidak.”

“Baiklah. Jika demikian, aku pulang bersamamu.”

“Tidak!” kedua orang itulah yang menyahut hampir bersamaan. Seorang di antara mereka pun berkata, “Perempuan itu harus tinggal di sini.”

“Ibuku akan marah sekali.”

“Aku tidak peduli”

“Jangan, Ki Sanak,” sahut Agung Sedayu.

“Maaf, Ki Sanak. Aku tidak dapat tinggal di sini. Kakakku tidak setuju. Karena itu, aku akan pulang bersama kakakku saja.”

“Tidak. Kau harus tinggal. Biarlah kakakmu pergi lebih dahulu, atau menunggumu di sini.”

“Menunggu sampai kapan? Nanti sore?”

“Sepekan atau dua pekan.”

“Begitu lama?“ Sekar Mirah hampir berteriak. Sebenarnyalah kulitnya telah meremang. Sehingga ia pun kemudian berkata, “Sudahlah. Marilah kita pergi, Kakang.”

“He, tidak semudah itu. Sudah aku katakan, kau harus tinggal.”

“Kakakku tidak mengijinkan.”

“Jangan memaksa, Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu. Pembicaraan itu membuatnya menjadi muak. Karena itu, maka ia pun berkata, “Minggirlah. Kami akan meninggalkan tempat ini.”

“Tidak! Jika kau akan pergi, pergilah! Adikmu harus tinggal di sini.”

Semula Agung Sedayu memang sengaja memancing perhatian kedua orang itu. Tetapi perhatian mereka yang berlebihan membuat jantungnya berdegup semakin cepat. Apalagi ketika kemudian Sekar Mirah bergeser semakin mendekat.

Sekar Mirah sama sekali tidak takut melawan mereka. Bahkan mereka berdua sekalipun. Tetapi sikap dan kata-kata orang itu membuat Sekar Mirah meremang.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun sampai pada permainannya yang terakhir. Kedua orang itu harus melepaskan perhatian mereka terhadap anak-anak muda dari kelompok yang lebih dahulu datang ke kedai itu.

Dengan lantang Agung Sedayu pun berkata, “Pergi kalian berdua! Kami akan pulang. Jangan halangi kami!”

“Kau akan menyesali sikapmu,” geram salah seorang dari keduanya.

“Kau tidak dapat menahan kami.”

“Bukan kau, tetapi adikmu.”

“Juga tidak!”

“Kami akan memaksanya.”

Tiba-tiba saja Agung Sedayu tertawa. Ia telah berhasil memancing persoalan dengan kedua orang itu. Karena itu, maka katanya, “Bagaimana kalian akan memaksa kami di hadapan sekian banyak saksi?”

“Persetan dengan semuanya! Mereka tidak akan berani bersaksi. Kami akan membunuh orang yang berani bersaksi terhadap sikap dan perbuatan kami.”

Namun tiba-tiba saja seorang di antara anak-anak muda yang telah lebih dahulu tiba di kedai itu berteriak, “Kami akan bersaksi!”

Kedua orang itu berpaling. Namun dengan cepat Agung Sedayu menarik perhatian mereka kembali, “Kalian tidak dapat memaksa kami, bahkan seandainya tidak ada seorang pun yang menyaksikan perbuatan kalian.”

“Apa maksudmu?”

“Jika kalian berani memaksa kami, maka kami akan menghancurkan kalian sampai lumat.”

“He?” kedua orang itu menjadi heran, “Kau menantang kami berdua?”

“Bukan aku. Tetapi adikku ini.”

Keduanya saling berpandangan sejenak. Sementara itu Sekar Mirah telah berusaha mengatur perasaannya.

“Apa sebenarnya yang kalian maksudkan?”

“Tegasnya, pergi dari sini, atau aku akan memaksa kalian pergi,” berkata Sekar Mirah. Suaranya seakan-akan telah berubah menjadi garang. Bahkan sambil bertolak pinggang ia bergeser selangkah maju.

Kedua orang itu benar-benar bingung menghadapi sikap Sekar Mirah. Anak-anak muda dari kedua kelompok itu pun bingung pula. Lebih-lebih anak-anak muda yang sempat berada di dalam kedai itu.

Kedua orang yang berwajah garang itu benar-benar merasa tersinggung oleh sikap Sekar Mirah. Seorang di antara mereka berkata, “Aku tahu sekarang. Jadi jelasnya kalian sengaja memancing persoalan. Kalian ingin memalingkan perhatian kami dari anak-anak muda itu.”

“Ya,” jawab Sekar Mirah.

“Baik,” berkata salah seorang dan mereka, “kalian berhasil memancing perhatian kami. Tetapi kalian akan menyesal, karena kami benar-benar menghendaki perempuan ini. Kami akan membawanya ke tempat tinggal kami.”

“Pergilah! Jangan ganggu kami, dan jangan ganggu anak-anak itu.”

“Persetan kau, perempuan sombong!”

Sekar Mirah tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepat tangannya terayun menampar mulut orang itu. Demikian kerasnya sampai wajah orang itu berpaling.

Orang itu mundur selangkah. Perasaan pedih menyengat mulurnya. Ketika tangannya mengusap mulutnya itu, terasa cairan yang hangat meleleh dari sela-sela bibirnya.

Orang itu menjadi sangat marah. Dengan cepat ia meloncat maju. Kedua tangannya terjulur ke depan mencengkam ke arah leher Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah benar-benar tangkas. Dengan sigapnya ia pun meloncat sambil berputar. Kakinya terayun mendatar dan dengan derasnya kakinya menyambar dada orang itu.

Orang itu terhuyung-huyung beberapa langkah. Bahkan kemudian kehilangan keseimbangannya, sehingga orang itu terjatuh di tanah.

Kawannya dengan mengerahkan segenap tenaganya mencoba menyerang Sekar Mirah. Dengan jari-jari yang mengembang orang itu berusaha untuk menerkam wajah Sekar Mirah. Tetapi dengan cepat Sekar Mirah merendah, sehingga tangan orang itu tidak menyentuh sasarannya. Namun pada saat yang hampir bersamaan, tangan Sekar Mirah terjulur menghantam lambung orang itu.

Orang itu mengaduh tertahan. Perasaan sakit dan mual telah menerkam perutnya sehingga ia pun terbungkuk karenanya. Kedua tangannya di luar sadarnya menekan lambungnya yang kesakitan.

Sementara itu, tangan Sekar Mirah pun telah terayun menyambar dagunya sehingga wajah orang itu terangkat. Pukulan Sekar Mirah sekali lagi telah mengenai keningnya. Pukulan itu terasa demikian kerasnya sehingga orang itu terpelanting jatuh. Bahkan orang itu pun telah menjadi pingsan.

Semuanya itu terjadi dalam waktu yang singkat Ketika seorang yang lain tertatih-tatih bangkit berdiri, maka ia tidak lagi mempunyai keberanian untuk melawan Sekar Mirah.

Karena itu, maka ia pun mengangkat kedua tangannya ke depan sambil berkata, “Jangan. Jangan. Aku menyerah.”

“Pergilah! Jangan kembali lagi! Kau telah merusak perangai anak-anak muda itu. Kau memanfaatkan mereka untuk kepentinganmu. Kau bawa anak-anak muda itu dari dunia kenakalan ke dunia kejahatan, yang memang jaraknya menjadi semakin dekat. Kau bawa mereka meloncat tanpa mereka sadari.”

“Ampun. Aku mohon ampun.”

“Kau harus menyingkir dari dunia mereka.”

“Mereka-lah yang menghendaki untuk bergabung bersama kami.”

“Bohong!” bentak Sekar Mirah, “Kau-lah yang datang dan hadir ke dunia mereka, tetapi dengan niat yang buruk.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara Sekar Mirah berkata, “Bangunkan kawanmu yang pingsan. Ajak ia pergi, atau kalian harus menghadapi aku sampai batas akhir perlawananmu.”

“Aku tidak tahu maksudmu.”

“Tegasnya, jika aku menemuimu berada di lingkungan anak-anak muda yang nakal lagi, maka aku akan membunuhmu.”

“Tidak. Aku tidak akan melakukannya lagi.”

“Kami memang tidak yakin bahwa kalian benar-benar akan menjadi jera. Tetapi setidak-tidaknya anak-anak muda itu sendiri akan dapat mengambil pengalaman, bahwa kenakalan mereka akan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain yang mengarah pada kejahatan. Jika kalian sekedar ingin bermain pahlawan-pahlawanan dengan berkelahi melawan sesama anak-anak muda, maka kalian telah diajak meloncat selangkah lebih jauh. Berkelahi dan merampas milik orang lain yang sebenarnya tidak kalian perlukan, karena kalian sebenarnya lebih kaya dari orang-orang yang kalian rampas miliknya itu.”

Anak-anak muda yang datang kemudian bersama kedua orang itu menjadi berdebar-debar. Mereka mulai menilai apa yang telah mereka lakukan pada hari-hari terakhir, setelah kedua orang yang mereka sebut paman itu bergabung dengan mereka.

“Nah, berhentilah dengan tingkah laku kalian, agar kalian tidak menjadi keledai yang dungu yang ditunggangi oleh orang-orang yang benar-benar jahat seperti kedua orang ini.”

Anak-anak muda itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Nah, pulanglah. Kalian adalah pribadi-pribadi yang hilang. Temukan diri kalian kembali, yang berarti bagi hidup kalian di tengah-tengah sesama.”

Anak-anak muda itu masih tercenung di tempatnya.

Kedua kelompok anak-anak muda itu masih saja termangu-mangu di tempatnya. Sedangkan anak-anak muda yang lebih dahulu berada di kedai itu, merasa telah keliru menilai perempuan yang berpakaian agak asing bagi kebanyakan perempuan itu.

“Kenapa mereka tidak menjadi marah ketika kita memperbincangkan mereka, dan bahkan menganggap mereka sebagai bahan pembicaraan yang mengasyikkan? Jika saja saat itu mereka marah kepada kita, maka kita akan dapat dilumatkannya dalam sekejap.”

Karena anak-anak muda itu masih tetap saja di tempatnya, maka sekali lagi Sekar Mirah berkata, “Pulanglah! Temuilah ayah dan ibu kalian di rumah. Katakan dengan terus terang, apa yang telah kalian lakukan. Berjanjilah kepada mereka, bahwa kalian akan menghentikan kenakalan kalian, karena tidak bermanfaat sama sekali. Orang tua kalian akan merasa berbahagia sekali, jika kalian benar-benar melakukannya.”

Anak-anak muda itu masih saja membeku. Namun kemudian seorang di antara anak-anak muda yang sempat berada di kedai itu, melangkah mendekati Sekar Mirah. Anak muda yang akan membayar harga makanan dan minuman Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Nyii Sanak. Kami mohon maaf atas kenakalan kami. Juga kesombonganku yang melampaui batas. Tetapi Nyi Sanak sama sekali tidak menjadi marah. Seandainya Nyi Sanak tidak memaafkan kami, maka kami akan mengalami kesulitan yang sangat besar.”

“Lupakan. Sekarang ajak kawan-kawanmu pulang. Jangan berkeliaran lagi. Jika kalian masih melakukannya, maka pada satu saat, kelompok kalian-lah yang akan disusupi oleh orang-orang yang akan memanfaatkan kalian untuk melakukan kejahatan yang sebenarnya.”

“Aku mengerti.”

“Pergunakan waktumu baik-baik. Jangan kau sia-siakan hari-harimu, karena hari-hari itu tidak akan pernah datang kembali.”

“Terima kasih atas peringatan Ki Sanak. Kami akan mencoba untuk mematuhinya.”

Sekar Mirah tersenyum.

Sambil mengangguk hormat anak muda itu berkata, “Aku minta diri. Kawan-kawan juga minta diri.”

“Baik. Pulanglah.”

Kepada Agung Sedayu anak muda itu pun mengangguk hormat pula sambil berkata, “Kami minta diri.”

“Silakan, Anak-Anak Muda.”

Sepeninggal sekelompok anak-anak muda itu, maka kelompok yang lain pun telah minta diri pula.

“Kami mohon maaf,” berkata anak muda yang berpakaian rapi.

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Renungkan apa yang telah terjadi. Mungkin kalian masih melakukannya setelah sepekan atau dua pekan lagi, karena kalian telah melupakan apa yang sekarang terjadi. Tetapi setidak-tidaknya kalian pernah mendapat peringatan tentang tingkah laku kalian. Terserah kepada kalian, apakah perasaan kalian masih dapat tersentuh atau tidak.”

Anak muda itu mengangguk hormat. Katanya, “Kami akan mengingatnya.”

“Pulanglah.”

“Baiklah. Kami akan pulang. Tetapi bagaimana dengan kedua orang ini?”

“Apakah kau masih memerlukan mereka?”

Anak muda itu nampak ragu-ragu. Ketika ia berpaling kepada mereka, orang yang pingsan itu mulai menjadi sadar kembali.

“Tinggalkan mereka. Mereka bukan bagian dari kalian,” berkata Sekar Mirah.

Anak muda itu mengangguk sambil berdesis, “Baik, Nyi Sanak. Kami akan pulang. Kami akan mencoba menempuh jalan yang lebih baik dari jalan yang pernah kami lewati.”

“Belum terlambat, Ki Sanak.”

Sekali lagi anak muda itu mengangguk. Kemudian berdesis, “Kami minta diri.”

Anak-anak muda itu pun kemudian meninggalkan tempat itu. Sementara kedua orang yang semula disebutnya paman itu masih menunggu, apa yang harus mereka lakukan.

Namun Sekar Mirah sendiri ternyata menjadi ragu-ragu untuk berbicara langsung dengan kedua orang itu. Karena itu, maka ia pun berdesis kepada Agung Sedayu, “Kenapa Kakang diam saja?”

“Bukankah persoalannya sudah selesai?”

“Dua orang itu?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Kami tidak akan mengambil tindakan apa-apa terhadap kalian sekarang. Tidak untuk seterusnya. Pergilah! Ingatlah apa yang telah terjadi di tempat ini. Jangan ganggu anak-anak itu lagi. Kami sudah tahu, di mana mereka tinggal. Setiap saat kami akan dapat berhubungan dengan mereka dan bertanya tentang kalian. Tetapi kami pun tahu, bahwa kalian akan dapat berbuat jahat lagi di tempat lain. Tetapi kita akan sering bertemu.”

“Tidak. Kami tidak akan melakukannya lagi.”

“Mudah-mudahan watakmu belum terpahat di jantungmu. Memang tidak akan pernah terlambat bagi orang yang mencari jalan kembali. Tetapi jika kami menjumpai kalian masih berbuat lagi, memanfaatkan kenakalan anak-anak muda, maka tidak akan ada ampun lagi bagi kalian. Jabatan dan kedudukan kami memungkinkan kami menyingkirkan kalian.”

Kedua orang itu memandang Agung Sedayu dengan cemas.

Namun Agung Sedayu pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Pergilah! Setiap kali kita akan selalu bertemu. Mungkin kau tidak melihat kami, tetapi kami akan melihat kalian. Jika tidak dengan mata kami sendiri, maka ada beribu mata yang dapat membantu kami. Bukan hanya di Mataram dan sekitarnya, tetapi terbentang di daerah yang sangat luas, meliputi Tanah Perdikan Menoreh, namun juga sampai ke Prambanan, dan bahkan seberang Kali Dengkeng, Bendagantungan, Sangkal Putung, dan lebih jauh lagi. Bahkan sampai ke ujung Tanah ini sekali pun.”

Kedua orang itu mengerutkan dahinya. Sementara Agung Sedayu pun melanjutkannya, “Karena di mana-mana sikap dan tingkah laku seperti yang baru saja kau jalani, akan dimusuhi oleh banyak orang.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi juga tidak segera beranjak dari tempatnya.

“Pergilah!” ulang Agung Sedayu.

Kedua orang itu pun segera bangkit. Tubuh mereka masih terasa sakit. Tetapi mereka meninggalkan tempat itu sambil sekali lagi mengangguk hormat, sambil berdesis, “Terima kasih, Ki Sanak.”

Dengan langkah yang nampak berat, keduanya meninggalkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Demikian mereka turun ke jalan, maka mereka pun melangkah tanpa berpaling lagi.

Demikian orang itu menjauh, maka pemilik kedai itu pun mendekati Agung Sedayu sambil bertanya, “Kalian tidak takut keduanya mendendam?”

“Mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi.”

“Mungkin mereka memanggil kawan-kawan mereka. Lima orang atau enam orang, atau lebih, mencegat perjalanan kalian.”

“Tidak. Mereka tidak akan melakukannya. Mudah-mudahan mereka mengerti, bahwa yang mereka lakukan itu tidak baik.”

“Tetapi orang-orang seperti itu, sulit untuk dapat diluruskan. Selagi mereka masih bernafas, maka mereka masih akan melakukan pekerjaan terkutuk itu.”

“Tetapi aku sudah menunjukkan kepada kalian, kepada anak-anak muda dan kepada orang-orang yang menyaksikannya, bahwa orang itu adalah orang biasa yang dapat dilawan dan dikalahkan. Jika kau tidak berani menghadapinya seorang lawan seorang, hadapi orang itu bersama-sama orang sepadukuhan. Atau semua laki-laki yang berada di kedai-kedai ini.”

“Untuk itu diperlukan keberanian Ki Sanak.”

“Ya. Memang diperlukan keberanian.”

Pemilik kedai itu memandanginya dengan mata yang tidak berkedip. Sementara itu Agung Sedayu pun bertanya, “Apakah kau dan laki-laki para pemilik kedai ini tidak mempunyai keberanian sama sekali?”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Sudahlah Ki Sanak. Mudah-mudahan hati anak-anak itu terbuka. Mereka-lah yang penting, karena hari-hari mereka masih panjang. Orang-orang jahat itu jika tidak mau menghentikan tingkah lakunya, tentu akan segera dijerat oleh para petugas di daerah ini. Mungkin hanya menunggu waktu saja.”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk.

“Kami minta diri.”

“Terima kasih, Ki Sanak.”

Demikianlah, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mengambil kuda mereka. Sejenak kemudian, maka kuda-kuda itu telah berpacu meninggalkan tempat itu menuju ke barat.

Perjalanan mereka selanjurnya tidak terhambat. Ketika mereka mendekati Kali Praga maka mereka pun berhenti sejenak. Mereka membiarkan kuda-kuda mereka minum air parit yang bening.

Baru kemudian mereka meneruskan perjalanan mereka ke tepian.

Di tepian, mereka harus menunggu rakit yang sedang menyeberang ke arah timur, karena rakit yang berada di seberang timur sudah penuh.

Beberapa saat kemudian, rakit yang menyeberang itu sudah merapat, sementara yang sudah penuh sudah mulai bergerak.

Beberapa saat kemudian orang-orang yang berada di atas rakit itu sudah berloncatan turun. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun segera menuntun kuda mereka naik ke atas rakit, bersama beberapa orang yang lain.

Seorang anak muda yang duduk di atas rakit itu sempat bergeremang, “Jadi aku harus menyeberang bersama kuda?”

“Bukankah hal seperti ini sudah biasa?” sahut pemilik rakit itu.

“Tetapi tidak sepenuh ini. Ternyata kau tidak memikirkan kenyamanan orang-orang yang menyeberang. Yang kau pikirkan hanya uangnya saja.”

“Jika kau tidak mau naik rakit bersama kuda, turunlah. Naiklah rakit yang lain.”

Namun rakit yang datang kemudian dari seberang, ternyata juga membawa seekor kuda. Sementara itu, di tepian sebelah timur, tiga orang berkuda sudah menunggu. Rakit yang kemudian, justru akan membawa tiga orang penunggang kuda.

Anak muda yang menggerutu itu justru terdiam. Jika ia diam dan ikut bersama rakit yang kemudian, maka ia harus naik bersama tiga ekor kuda.

Sejenak kemudian rakit itu pun telah meluncur, menyilang arus Kali Praga yang airnya berwarna kecokelatan. Semakin lama semakin ke tengah, dan mendekati sisi sebelah barat.

Demikian rakit itu merapat, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun menuntun kuda mereka turun ke tepian.

Sambil menarik nafas panjang Sekar Mirah pun berkata, “Bersyukurlah kita, bahwa kita telah sampai di rumah.”

“Ya. Kita memang wajib bersyukur bahwa kita sudah berhasil menembus hambatan-hambatan di perjalanan saat kita berangkat, selama kita berada di Sangkal Putung dan di perjalanan pulang.”

Sekar Mirah tersenyum. Dipandanginya Kali Praga yang lebar dan yang airnya berwarna cokelat. Kemudian dipandanginya tepian berpasir, dan beberapa patok lagi, sawah yang hijau membentang.

Anak muda yang berakit bersama mereka dan yang bergeremang karena harus berakit bersama dua ekor kuda, menghampirinya sambil bertanya, “Kalian belum pernah menyeberang ke sebelah barat Kali Praga?”

Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia pun menjawab, “Sudah, Ki Sanak.”

“Di mana rumah kalian?”

“Tanah Perdikan Menoreh.”

“He? Tanah Perdikan? Kenapa kalian keheranan melihat tanah yang terbentang itu? Bukankah itu bagian dari Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya. Kami bukan merasa heran. Tetapi kami mengagumi tanah kami yang subur.”

“Itu bagian dari kesombongan kalian yang berbangga atas dirinya sendiri.”

“Kesombongan? Kami tidak bermaksud menyombongkan diri. Kami bangga atas tanah kami. Itu saja.”

“Ki Sanak. Kami tinggal di seberang perbukitan itu. Tanah kami tidak kalah suburnya dengan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi aku tidak pernah menjadi heran dan kagum melihat tanah kami.”

“Seharusnya Ki Sanak juga mengaguminya dan berbangga karenanya.”

“Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh memang terlalu berbangga dengan dirinya sendiri. Dengan kesuburan tanahnya, dengan kemampuan para pengawalnya, sehingga baru-baru ini mampu menyelamatkan diri dari serangan gerombolan-gerombolan liar yang ingin menguasai tanah itu. Tetapi ketahanan Tanah Perdikan itu bukan karena kemampuan para pengawalnya. Di Tanah Perdikan itu terdapat sepasukan prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh seorang yang bernama Agung Sedayu.”

“Tetapi prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan itu tidak begitu banyak, Ki Sanak.”

“Kau jangan memperkecil arti Pasukan Khusus itu. Kau jangan memperkecil nama Ki Lurah Agung Sedayu. Jika Ki Lurah itu mendengarnya, maka kepalamu akan diketuknya dengan jarinya sehingga berlubang. Hanya dengan ujung jarinya.”

“Aku tidak memperkecil arti Pasukan Khusus itu. Tetapi sebagai orang Tanah Perdikan Menoreh, aku memang berbangga atas kemampuan para pengawalnya. Pasukan Khusus yang jumlahnya hanya sedikit itu tidak banyak berarti. Tanpa Pasukan Khusus itu pun, Tanah Perdikan Menoreh akan dapat menyelamatkan dirinya sendiri, Ki Sanak.”

“Kau telah meremehkan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah Agung Sedayu, agar kau dicarinya. Lima jari-jarinya akan melubangi kepalamu hanya dengan satu sentuhan.”

“Kau mengenal Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Tentu. Aku sering melewati jalan di belakang barak Pasukan Khusus. Aku sering singgah dan berbincang-bincang dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Kau bohong.”

Wajah anak muda itu menjadi tegang. Katanya, “Tidak. Aku tidak berbohong.”

“Jika yang kau maksud Ki Lurah Agung Sedayu pemimpin Pasukan Khusus, kau tentu berbohong. Menurut pendengaranku, Ki Lurah itu seorang yang sombong. Ia tidak mau berkenalan dengan orang-orang kebanyakan.”

“Kau sekali lagi menyinggung perasaannya. Kau akan menyesal. Jika kau bertanggung jawab atas ucapanmu, katakan, siapa namamu. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Namaku Merta, dan ini istriku Nyi Merta.”

“Di padukuhan mana kau tinggal?”

“Di Gemulung.”

“Kau orang Gemulung?”

“Ya.”

“Bagus. Besok Ki Lurah Agung Sedayu akan mencarimu di Gemulung. Jangan menyesal jika kepalamu besok akan di lubangi.”

“Aku akan melapor Ki Gede Menoreh untuk mendapat perlindungan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia pun bertanya, “Apakah Ki Gede bersedia melindungimu?”

“Tentu. Ki Gede akan melindungi rakyatnya.”

“Aku tidak yakin. Tetapi ingat, aku akan memberitahukan kepada Ki Lurah Agung Sedayu tentang suami istri yang bernama Meria yang telah merendahkannya, dan memperkecil arti Pasukan Khusus dari prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Salamku buat Ki Lurah,” berkata Agung Sedayu sambil tersenyum.

Mata anak muda itu terbelalak. Orang yang mengaku bernama Merta dari Gemulung itu benar-benar merendahkannya. Ia tentu tidak percaya bahwa ia mengenal Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. 

Karena itu dengan geram ia pun berkata, “Aku akan benar-benar singgah. Bukan saja aku yang kau rendahkan, karena kau tidak percaya bahwa aku mengenal Ki Lurah Agung Sedayu, tetapi kau juga meremehkan Ki Lurah, seolah-olah kehadiran Ki Lurah dan Pasukan Khususnya di Tanah Perdikan ini tidak berarti apa-apa.”

“Jangan merajuk, Anak Muda,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku tidak bermaksud merendahkanmu. Apalagi meremehkan Ki Lurah agung Sedayu.”

“Aku ingat-ingat sikapmu Ki Sanak. Aku ingat-ingat nama dan wajahmu. Aku ingat-ingat padukuhanmu. Aku akan mengajak Ki Lurah Agung Sedayu mencarimu.”

Ki Lurah itu tertawa sambil berkata, “Sudahlah, Anak Muda. Selamat berpisah. Mudah-mudahan kita akan bertemu lagi.”

Anak muda itu menggeretakkan giginya. Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun meninggalkannya termangu-mangu di tepian.

Beberapa orang lewat di belakang anak muda yang berdiri termangu-mangu itu. Bahkan rakit yang berikutnya telah berhenti pula merapat. Orang-orang yang membawa kuda mereka menyeberang telah turun pula dari rakit dan menuntun kuda mereka di tepian. Namun mereka pun segera meloncat naik dan meneruskan perjalanan mereka ke seberang bukit. Bahkan mungkin ke tempat yang lebih jauh lagi.

Anak muda yang memandang Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang semakin jauh itu pun telah melangkahkan kaki pula. Perjalanannya masih cukup jauh. Sementara itu ia hanya berjalan kaki saja.

“Aku akan benar-benar singgah di barak pasukan khusus itu. Aku akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu dan melaporkan sikap dua orang suami istri itu.”

Sejenak kemudian, anak muda itu pun telah berjalan menyusuri jalan-jalan yang berada di dalam lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Jalan-jalan yang terpelihara dengan baik. Di sebelah-menyebelah jalan menjelujur parit dengan airnya yang jernih mengalir gemericik. Bahkan di musim kering pun air di parit itu akan tetap mengaliri sawah di sebelah-menyebelah jalan, sehingga para petani dapat memetik padi setahun dua kali, di tambah dengan palawija semusim.

Anak muda itu berjalan dengan cepat. Selain tujuannya masih jauh, ia benar-benar ingin menemui Ki Lurah Agung Sedayu.

Namun anak muda itu menjadi ragu-ragu ketika ia mendekati regol barak Pasukan Khusus. Ia memang belum mengenal pemimpin pasukan yang bernama Ki Lurah Agung Sedayu itu. Ia hanya mengenal namanya serta mendengar kebanggaan banyak orang atas nama itu.

Tetapi anak muda itu ingin mendapat pujian dari Ki Lurah karena ia sangat memperhatikan kebesaran namanya. Karena itu, maka ia pun telah memberanikan diri berhenti di depan pintu gerbang halaman barak Pasukan Khusus itu.

Ketika ia dengan ragu-ragu mendekati penjaga di regol itu, prajurit yang bertugas itu pun bertanya, “Apakah kau mencari seseorang, Anak Muda?”

Anak muda itu mengangguk. Katanya, “Aku ingin bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ya.”

“Apakah ada keperluan penting?”

“Ya, Ki Sanak. Ada sesuatu yang ingin aku sampaikan kepada Ki Lurah. Mungkin hal ini penting bagi Ki Lurah.”

“Sayang, Anak Muda. Ki Lurah tidak ada di barak.”

“Oh. Apakah Ki Lurah sedang pergi keluar?”

“Ya.”

“Ke mana?”

Prajurit dari Pasukan Khusus itu ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat mengatakan kepada orang-orang yang tidak berkepentingan atau orang-orang yang tidak dikenalnya, kemana pemimpinnya pergi. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Ki Lurah sedang melihat-lihat keadaan di Tanah Perdikan Menoreh, Anak Muda.”

“Kapan Ki Lurah pulang? Nanti sore? Nanti malam?”

“Aku tidak dapat mengatakannya. Jika Ki Lurah nganglang untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan, mungkin ia memerlukan waktu dua atau tiga hari.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Ki Sanak. Jika demikian, dua atau tiga hari lagi aku akan datang lagi untuk menemui Ki Lurah.”

“Barangkali kau meninggalkan pesan?”

“Tidak Ki Sanak. Biarlah aku datang saja menghadap Ki Lurah Agung Sedayu.” Namun dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Apakah Ki Lurah bersedia menerima aku?”

“Jika kau membawa masalah yang penting, Ki Lurah tentu akan menerimanya.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” desis anak muda itu.

Anak muda itu pun kemudian telah minta diri. Tetapi sekali lagi ia berkata, “Dua atau tiga hari lagi, aku akan datang menghadap Ki Lurah Agung Sedayu.”

Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah memasuki padukuhan induk. Beberapa orang yang melihatnya menyapanya dan bertanya tentang keselamatannya.

“Lama Ki Lurah tidak kelihatan,” desis seorang anak muda.

Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Bukankah sekarang aku sudah kelihatan?”

Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah memasuki halaman rumahnya, maka Rara Wulan yang melihatnya pertama kali, berlari-lari menyambutnya. Kemudian disusul oleh Glagah Putih.

Yang kemudian juga muncul dari pintu pringgitan dan bergegas melintasi pendapa turun ke halaman adalah Nyi Dwani.

Dari pintu seketheng Sukra pun ikut menyambut kedatangan mereka berdua. Diterimanya kedua ekor kuda yang nampak letih itu dan dituntunnya ke belakang.

“Bagaimana keadaan kalian serta seluruh keluarga kita?” bertanya Agung Sedayu.

“Baik, Kakang,” jawab Glagah Putih, “tidak ada kesulitan apa-apa di rumah dan di seluruh Tanah Perdikan.”

“Syukurlah,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Marilah naik Mbokayu,” Rara Wulan pun mempersilakan.

Mereka pun segera naik ke pendapa, langsung ke ruang dalam. Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu justru terus ke pintu butulan untuk pergi ke pakiwan, mencuci kaki, tangan dan wajah mereka yang berkeringat.

Rara Wulan dan Nyi Dwani pun kemudian sibuk di dapur menyiapkan minuman dan makan bagi mereka yang baru pulang, sementara Glagah Putih berbicara beberapa saat di ruang dalam.

“Di mana Ki Jayaraga dan Empu Wisanata?”

“Mereka pergi ke sawah sejak pagi.”

“Sejak pagi?” bertanya Sekar Mirah, “Sampai hampir senja begini?”

“Ya. Sejak kemarin keduanya sibuk menyiangi batang padi. Kemarin keduanya juga hampir sampai senja.”

“Di siang hari mereka tidak pulang?”

“Tidak.”

“Siapa yang mengantarkan makan dan minum mereka?”

“Sukra,” jawab Rara Wulan.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian bersama Sekar Mirah, mereka pun berganti pakaian sebelum duduk di ruang dalam, menghirup minuman hangat sambil berbincang-bincang.

Rara Wulan dan Nyi Dwani yang telah selesai mempersiapkan makan bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah menghidangkannya di ruang dalam. Namun Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak segera ingin makan. Tetapi mereka ingin menunggu Ki Jayaraga dan Empu Wisanata.

Demikian langit menjadi buram, maka Ki Jayaraga dan Empu Wisanata pun memasuki halaman rumah. Mereka mengenakan caping di kepala mereka, memanggul cangkul sambil menjinjing parang. Bahkan Ki Jayaraga tidak mengenakan bajunya, tetapi bajunya itu disangkutkannya di pundaknya yang sebelah.

Ketika keduanya mengetahui bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah pulang, maka mereka pun segera menemuinya di ruang dalam. Namun kemudian mereka pun bergantian pergi ke pakiwan untuk mandi.

Lampu pun telah menyala di ruang dalam, di bilik-bilik dan di dapur. Bahkan di pendapa dan gandok kanan dan kiri.

Beberapa saat kemudian, seisi rumah itu telah berkumpul di ruang dalam. Berganti-ganti Agung Sedayu dan Sekar Mirah bercerita tentang perjalanan mereka. Keduanya pun telah bercerita pula tentang orang-orang Ki Saba Lintang yang mencegat perjalanan mereka di Prambanan.

Orang-orang yang ada di ruang dalam itu mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sejalan dengan pikiran Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka Sabungsari memang harus memberikan laporan itu bukan saja kepada Ki Untara, tetapi juga kepada Swandaru dan Ki Widura.

Namun Sekar Mirah pun sempat pula bercerita tentang anak muda yang ingin mengadu kepada Ki Lurah Agung Sedayu, karena Agung Sedayu sendiri dan Sekar Mirah telah dituduhnya merendahkan lurah prajurit dari Pasukan Khusus itu.

“Oh,” Rara Wulan sempat tertawa, “menarik sekali. Senang rasanya menerima pengaduan anak muda itu.”

“Tetapi jika anak muda itu benar ingin mengadu, ia tidak akan bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, karena Ki Lurah tidak berada di baraknya,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Ketika kemudian mereka makan, pertanyaan-pertanyaan kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih saja tidak berkeputusan. Yang paling menarik bagi Rara Wulan adalah justru anak muda yang akan mengadu kepada Ki Lurah Agung Sedayu.

Berbeda dengan Rara Wulan, Ki Jayaraga masih bertanya tentang senjata rahasia yang melukai Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Kalau saja Ki Lurah sempat membawa senjata rahasia itu,” berkata Ki Jayaraga.

“Ya. Tetapi waktu itu aku tidak sempat berpikir seperti itu,” sahut Agung Sedayu.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang berilmu tinggi serta mempunyai wawasan yang luas, maka rasa-rasanya Ki Jayaraga ingin mengetahui lebih banyak tentang jenis senjata rahasia yang telah menyentuh tubuh Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Sabungsari.

Yang kemudian dapat dilihat oleh Ki Jayaraga dan Empu Wisanata adalah bekas-bekasnya saja, yang menimbulkan luka di tubuh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Serba sedikit, dalam pembicaraan itu telah disinggung pula mengenai perkembangan sikap Swandaru di dalam putaran kehidupan di Sangkal Putung.

“Mudah-mudahan segala sesuatunya menjadi baik,” desis Sekar Mirah.

Orang-orang yang mendengarkan keterangan Sekar Mirah itu tidak bertanya lebih jauh. Jika sedikit saja mereka salah ucap, agaknya akan dapat menyinggung perasaan Sekar Mirah.

Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung sedang menerima kunjungan Sabungsari dan dua orang prajurit yang menamaninya di perjalanan.

Setelah memberikan laporan kepada Untara tentang kegiatan yang dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh serta kunjungannya di Mataram, maka Sabungsari pun telah melaporkan pula bahwa perjalanan Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah terhambat di Prambanan.

Karena itu, ketika Sabungsari minta ijin kepada Untara untuk langsung pergi ke Sangkal Putung, Untara tidak melarangnya.

“Apakah kau tidak lelah?” bertanya Untara.

“Memang sedikit lelah, Ki Tumenggung. Tetapi barangkali berita ini penting bagi Swandaru.”

“Pergilah. Bawalah kawan di perjalanan. Mungkin peristiwa yang terjadi di Prambanan itu dapat menimbulkan gejolak pada kawan-kawan mereka. Jika mereka berhasil melacakmu, maka kau akan diawasi. Karena itu, jangan pergi sendiri.”

Karena itulah, maka Sabungsari pergi ke Sangkal Putung bersama dengan dua orang prajurit.

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung yang mendengarkan keterangan Sabungsari tentang perjalanan Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Dengan nada berat Ki Demang pun berkata, “Untunglah mereka bertemu dengan kau, Ngger.”

“Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah benar-benar orang pilih tanding, sehingga mereka dapat lolos dari orang-orang yang ingin membunuh mereka itu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya Kakang Agung Sedayu sudah menjadi lebih maju dalam olah kanuragan. Selama ini aku merasa sangat prihatin akan kemajuan ilmu Kakang Agung Sedayu. Apalagi setelah ia diangkat menjadi Lurah prajurit. Agaknya Kakang Agung Sedayu telah merasa dirinya mapan. Ia merasa aman dikelilingi oleh prajurit dari Pasukan Khusus yang memiliki kemampuan tinggi.”

Sabungsari menarik nafas panjang, seakan-akan ingin mengendapkan setiap kata Swandaru yang menggelitik telinganya itu.

“Tetapi untunglah,” berkata Swandaru lebih lanjut, “akhir-akhir ini Kakang Agung Sedayu seakan-akan telah terbangun dari tidurnya. Mungkin ada satu dua orang prajuritnya yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga Kakang Agung Sedayu merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya, agar ia tetap orang yang disegani di kesatuannya.”

Sabungsari mengangguk-angguk sambil menjawab, “Mungkin. Namun karena itu, maka Ki Lurah sekarang adalah orang yang berilmu sangat tinggi.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Ya. Aku juga merasa bersyukur. Jika saja Kakang Agung Sedayu tidak menjadi jemu untuk menempa diri, ia akan dapat setidak-tidaknya mendekati kemampuanku, karena kami memang bersumber dan berlandaskan pada dasar ilmu yang sama. Tergantung apa yang kami kerjakan kemudian. Sedangkan untuk menentukan bobot ilmu, agaknya tergantung pada banyak hal. Antara lain kepribadian seseorang serta dasar kekuatan kewadagan sejak semula, sejak seseorang mulai menyadap ilmu.”

Sabungsari mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Kakang Agung Sedayu adalah seorang yang lemah pada mulanya. Wadagnya tidak begitu kokoh, sementara itu ia sering ragu-ragu untuk mengambil sikap. Selain itu, Kakang Agung Sedayu memang sedikit malas.”

Sabungsari menjadi gelisah. Ki Demang agaknya melihat kegelisahan itu. Karena itu, maka Ki Demang yang sebenarnya juga merasa kurang mapan mendengarkan pendapat Swandaru itu pun telah mengalihkan pembicaraan. Ki Demang kembali bertanya tentang orang-orang yang telah mengganggu Agung Sedayu dan Sekar Mirah di perjalanan.

“Jadi menurut Ki Lurah berdua serta Angger Sabungsari, orang-orang yang untuk sementara dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu telah mulai bergerak di lingkungan ini?”

“Ya. Setidak-tidaknya di sekitar Prambanan. Tetapi nampaknya gerakan mereka justru berada di arah timur dari Prambanan. Karena Sangkal Putung mempunyai hubungan erat dengan Nyi Lurah Agung Sedayu, yang kebetulan memiliki satu di antara dua buah tongkat baja putih dari perguruan Kedung Jati, maka Sangkal Putung mungkin saja mendapatkan perhatian khusus dari mereka. Apalagi Sangkal Putung juga pernah menjadi daerah pilihan Macan Kepatihan pada waktu itu.”

Ki Demang Sangkal Putung itu pun mengangguk-angguk. Katanya kemudian kepada Swandaru, “Kita harus semakin meyakinkan diri, bahwa para pengawal Sangkal Putung siap menghadapi segala kemungkinan. Kita harus menjadi lebih kuat dari saat-saat Macan kepatihan ingin menerkam kademangan yang subur ini. Para pengawal yang meskipun menjadi semakin tua, tetapi pada saat-saat gawat mereka akan tetap menjadi kekuatan yang dapat diandalkan, di samping anak-anak muda yang kemudian tumbuh.”

“Ayah tidak usah mencemaskannya,” berkata Swandaru, “barangkali sejak beberapa bulan yang lalu ketahanan kademangan ini nampak menjadi lesu. Aku harus mengakui bahwa aku telah terjerumus dalam arus yang menyesatkan. Tetapi sekarang masa-masa itu sudah lewat. Sangkal Putung telah bangkit kembali. Bahkan nafasnya menjadi lebih segar.”

“Aku percaya kepadamu, Swandaru,” berkata ayahnya, “tetapi kita harus tetap berhubungan dengan Ki Tumenggung Untara di Jati Anom, sebagaimana pada saat Macan Kepatihan ada di sekitar kademangan ini.”

“Tetapi kita tidak perlu minta Ki Tumenggung untuk menempatkan sebagian dari pasukannya di sini, sebagaimana saat itu sepasukan prajurit di bawah pimpinan Ki Widura berada di Sangkal Putung.”

“Jika keadaan menjadi sangat gawat, aku kira Ki Tumenggung tidak akan berkeberatan untuk menempatkan sebagian pasukannya di sini,” berkata Sabungsari.

“Tidak. Dahulu kedudukan kami masih sangat lemah. Tetapi Sangkal Putung telah ditempa oleh keadaan. Sekarang Sangkal Putung mempunyai pengawal yang cukup kuat.”

“Tetapi kita tidak boleh merasa terlalu berbangga diri,” berkata Ki Demang. Lalu katanya kepada Sabungsari, “Jika perlu, Ngger, kami akan menghubungi Ki Tumenggung di Jati Anom.”

“Ki Tumenggung Untara akan selalu membuka pintu bagi Ki Demang. Bukan saja dalam hubungannya dengan kegawatan keadaan, tetapi mungkin Ki Tumenggung dapat membantu dalam bidang apapun juga, sejauh dapat dilakukannya.”

“Terima kasih, Ngger. Aku percaya, karena aku mengenal Angger Untara dengan baik sejak daerah ini dipanaskan oleh kehadiran Macan Kepatihan dan para pengikutnya.”

“Ya, Ki Demang.”

“Tetapi adalah kebetulan, bahwa justru Sekar Mirah-lah yang mewarisi salah satu di antara tongkat-tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati itu.”

“Tetapi tongkat itu tentu hanya sekedar alasan, Ayah,” sahut Swandaru, “untunglah bahwa Sekar Mirah tidak mudah untuk dapat dihisap oleh gerakan yang mengaku berniat untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati, dan bahkan menurut Kakang Agung Sedayu ingin menempatkan Sekar Mirah sebagai salah seorang pemimpinnya.”

“Tidak,” jawab ayahnya, “menurut pendapatku justru sebaliknya. Mereka benar-benar menginginkan tongkat itu. Kedudukan yang akan mereka berikan kepada Sekar Mirah itulah yang pura-pura. Karena tongkat itu akan mereka rampas, dan tentu saja Sekar Mirah akan mereka singkirkan.”

Tetapi Swandaru menggeleng. Katanya, “Tidak, Ayah. Mereka membutuhkan Sekar Mirah karena di belakang Sekar Mirah mereka mengharapkan Agung Sedayu. Seandainya Kakang Agung Sedayu tidak dapat membawa pasukannya, maka pengaruhnya di Tanah Perdikan Menoreh itulah yang mereka perlukan, selain kemampuannya yang dapat dianggap cukup tinggi. Kemudian karena Sekar Mirah anak Demang Sangkal Putung, maka Sangkal Putung tentu akan terseret pula ke dalamnya.”

“Memang ada beberapa kemungkinan, Ki Demang,” sahut Sabungsari, “tetapi yang jelas mereka telah melepaskan Tanah Perdikan Menoreh, setelah mereka gagal membujuk Nyi Lurah Agung Sedayu serta menguasai Tanah Perdikan Menoreh dengan kekerasan.”

“Ya,” sahut Swandaru, “mereka juga tidak akan dapat bermimpi lagi untuk dapat memanfaatkan kekuatan yang ada di kademangan ini. Jika mereka ingin menguasai kademangan ini, maka mereka tentu akan mempergunakan kekerasan sebagaimana mereka lakukan atas Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jika Tanah Perdikan Menoreh mendapat dukungan kekuatan dari para prajurit dan Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh meskipun jumlahnya hanya sedikit, maka di dekat Sangkal Putung juga terdapat barak prajurit yang lebih besar dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu,” berkata Sabungsari.”

“Ya,” Ki Demang mengangguk-angguk, “kita akan saling berhubungan.”

“Jangan cemaskan kami,” berkata Swandaru kemudian, “kami akan dapat menjaga diri. Hanya dalam keadaan yang sudah tidak ada kemungkinan lain, kami akan menghubungi pasukan yang ada di Jati Anom itu.”

“Baiklah,” Sabungsari mengangguk-angguk, “agaknya keperluanku sudah cukup. Aku sudah memberikan sedikit gambaran tentang gerakan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan Sangkal Putung.”

“Terima kasih, Ngger,” berkata Ki Demang, “mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa di daerah ini. Tetapi sudah tentu bahwa kami harus meningkatkan kewaspadaan kami.”

Demikianlah, maka Sabungsari pun telah minta diri bersama kedua orang prajurit yang menyertainya, kembali ke Jati Anom.

Jalan terasa sepi sekali. Malam pun menjadi semakin gelap. Tetapi bintang-bintang nampak berhamburan di langit.

Ketika mereka memacu kuda mereka tidak jauh dari hutan yang membujur panjang, terdengar suara-suara malam yang ngelangut. Namun di kejauhan sekali-sekali terdengar pula aum harimau lapar yang sedang mencari mangsa.

Tetapi aum harimau itu sama sekali tidak menggetarkan jantung Sabungsari dan kedua orang kawannya.

Sepeninggal Sabungsari, maka di Sangkal Putung, Ki Demang pun berkata kepada Swandaru, “Kau harus memperhatikan peringatan itu, Swandaru.”

“Ya, Ayah. Para pengawal Sangkal Putung telah berada di tatarannya kembali. Beberapa kademangan yang sempat mencibirkan bibir melihat Sangkal Putung seolah-olah menjadi layu, sekarang mereka sudah kembali mengakui bahwa Sangkal Putung merupakan sebuah kademangan yang besar. Bukan saja karena luas wilayahnya, tetapi justru karena isinya. Kesejahteraan rakyatnya dan kemampuannya melindungi diri sendiri.”

“Kau jangan takabur karena itu.”

“Tidak, Ayah. Meskipun aku yakin akan kelebihan kademangan ini, tetapi aku masih berusaha meningkatkan ketahanannya. Terutama untuk melindungi kademangan ini seutuhnya.”

“Baiklah. Aku percaya bahwa kau akan mampu mengatur, apa yang harus dilakukan oleh para pengawal dan bahkan seluruh rakyat Sangkal Putung, seandainya gerakan yang dipimpin Ki Saba Lintang itu benar-benar menjamah kademangan ini.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Ayah tidak usah menjadi cemas. Aku akan mengatur segala-galanya.”

Di hari berikutnya, Swandaru telah memanggil para pemimpin pengawal Kademangan Sangkal Putung di padukuhan-padukuhan. Disampaikannya pesan Sabungsari kepada mereka. Meskipun demikian Swandaru masih juga berpesan, “Tetapi kita tidak usah membuat rakyat Sangkal Putung menjadi resah. Karena itu, kalian harus berhati-hati serta mempergunakan cara yang terbaik untuk menyebarluaskan peringatan ini. Kalian harus berusaha agar peringatan ini sampai ke telinga setiap pengawal dan bahkan setiap laki-laki di Sangkal Putung, tetapi tidak menimbulkan kegelisahan.”

Para pemimpin pengawal di padukuhan-padukuhan itu mengangguk-angguk. Mereka mengerti yang dimaksudkan oleh Swandaru. Karena itu, maka mereka tidak akan dengan serta-merta menyampaikan peringatan itu. Tetapi mereka harus memilih kesempatan yang paling tepat. Tetapi segera.

Sejak hari itu, maka Sangkal Putung benar-benar meningkatkan kewaspadaannya. Latihan-latihan bagi para pengawal pun ditingkatkan, meskipun tidak semata-mata. Para pemimpin pengawal tidak mengubah hari-hari latihan atau menambah dengan hari-hari baru. Tetapi mereka tetap mempergunakan kesempatan latihan seperti biasanya, namun waktunya menjadi lebih panjang. Dengan demikian peningkatan latihan tidak menjadi terlalu memancing perhatian.

Swandaru sendiri hadir dalam latihan-latihan itu. Berganti-ganti dari satu padukuhan ke padukuhan yang lain. Dengan bersungguh-sungguh Swandaru memberikan petunjuk-petunjuk kepada para pemimpin pengawal untuk meningkatkan latihan-latihan bagi para pengawal itu.

Sebenarnyalah apa yang dilakukan oleh Sangkal Putung itu tidak luput dari pengamatan Ki Saba Lintang. Bahkan Ki Saba Lintang sendiri telah beberapa kali memasuki Kademangan Sangkal Putung. Kadang-kadang sebagai orang yang sekedar lewat. Pada kesempatan lain berada di pasar Sangkal Putung. Pada saat yang lain lagi, membawa kuda beban, menjual gerabah berkeliling Kademangan Sangkal Putung.

Setiap kali Ki Saba Lintang hanya tersenyum melihat peningkatan kesiagaan para pengawal. Kepada dirinya sendiri Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Terima kasih Swandaru. Lakukanlah dengan sebaik-baiknya. Aku memang memerlukan pengawal yang terlatih. Jika pengawalmu meningkat kemampuannya, maka kau dan kademanganmu akan menjadi lebih berarti bagiku.”

Swandaru sama sekali tidak memperhitungkan bahwa Ki Saba Lintang akan memasuki dan menguasai Sangkal Putung dengan cara lain. Tidak dengan kekerasan sebagaimana Ki Saba Lintang mencoba menguasai Tanah Perdikan Menoreh. Usahanya itu gagal sama sekali. Bahkan pasukannya menjadi terluka parah. Banyak para pemimpinnya serta orang-orang berilmu tinggi yang terbunuh.

Ketika Ki Saba Lintang yang menuntun kuda beban bertemu dan berpapasan dengan Swandaru bersama dua orang pengawalnya di jalan induk kademangan, Ki Saba Lintang tersenyum sendiri sambil bergumam, “Aku sudah tahu kelemahanmu Swandaru. Kau senang terhadap perempuan cantik. Meskipun istrimu itu cantik sekali, tetapi kau tunduk kepada seorang penari tayub. Bahkan hampir saja kademanganmu kau hancurkan.”

Ki Saba Lintang itu tertawa. Dituntunnya kuda bebannya berjalan terus, sehingga akhirnya Ki Saba Lintang itu keluar dari Kademangan Sangkal Putung.

“Bagaimana menurut pendapat Ki Saba Lintang tentang Sangkal Putung?” bertanya salah seorang pengikutnya, demikian Ki Saba Lintang kembali ke sarangnya.

Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Mereka sedang meningkatkan kemampuan mereka.”

“Jadi apalagi yang kita tunggu’? Membiarkan para pengawal kademangan itu semakin tinggi kemampuannya, sehingga kita akan menjadi semakin sulit untuk merebut Sangkal Putung?”

Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun menjawab, “Ya. Kita akan merasa kecewa jika kita menyerang Sangkal Putung tanpa mendapat perlawanan yang memadai.”

“Apakah kita ingin mendapat pengalaman yang sama sebagaimana kita menyerang Tanah Perdikan Menoreh?”

Ki Saba Lintang tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau memang dungu.”

Tetapi ketika ia berbicara dengan seorang kepercayaannya yang berilmu tinggi, Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita semuanya tidak sebodoh Kebo Remeng, yang menyurukkan kepalanya di bawah telapak kaki Agung Sedayu dan membiarkan lehernya dijerat dengan juntai cambuknya.”

“Apakah kita akan mencari seorang penari tayub yang sangat cantik untuk menjerat Swandaru?”

“Otakmu ternyata juga kering.”

“Bukankah kita sudah mengetahui kelemahan Swandaru?”

“Tetapi Swandaru bukan seorang yang bodoh. Meskipun ia seorang yang menuruti kemauannya sendiri, tetapi ia tidak akan tersuruk pada kesalahan yang sama. Jika kita mengirimkan sekelompok penari tayub ke kademangan itu, maka seisi kademangan segera akan menjadi curiga. Ki Demang, Pandan Wangi dan para pemimpin kademangan akan langsung memagari Swandaru, agar ia tidak terlibat lagi dalam hubungan dengan penari tayub, dan akan mengambil sikap yang tegas. Melarang rombongan tayub itu memasuki Sangkal Putung.”

“Jadi bagaimana?”

“Kita tidak perlu tergesa-gesa. Kita akan mencari cara terbaik. Sementara itu, tataran kemampuan para pengawal Sangkal Putung, yang akan kita pergunakan sebagai ujung tombak untuk menghancurkan pasukan Untara, menjadi semakin matang.”

Kepercayaannya mengangguk-angguk.

“Jika kita sudah menghancurkan kekuatan Untara, maka Jati Anom, Sendang Gabus, Pakuwon, Macanan, Ngupit, Babagan, Sangkal Putung, Semangkak, Barengan, Bendagantungan, akan kita kuasai. Kemudian semakin menjalar ke barat sampai ke Kali Dengkeng. Bahkan sampai ke Prambanan dan Kali Opak.”

“Apakah itu cukup?”

“Tentu tidak. Tetapi Swandaru akan membujuk Pandan Wangi, agar kekuatan Tanah Perdikan Menoreh bersatu dengan kekuatan dari Sangkal Putung untuk menjepit Mataram.”

Kepercayaan Ki Saba Lintang itu hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi ketika hal ini dikatakannya kepada seorang yang dituakannya, maka orang itu tersenyum. Katanya, “Tidak semudah menghitung jari-jari tanganmu, Ki Saba Lintang. Kalau kau pergunakan seorang perempuan untuk menjerat Swandaru, maka kau dapat membayangkan, bahwa Swandaru tidak akan dapat membujuk Pandan Wangi, karena hubungan mereka akan retak.”

“Tidak, Paman,” jawab Ki Saba Lintang, “hubungan Swandaru dengan perempuan itu harus tidak diketahui oleh Pandan Wangi.”

“Seandainya demikian, apakah pengaruh Pandan Wangi cukup besar di Tanah Perdikan Menoreh?”

“Kita akan menjanjikan kedudukan terbaik bagi Swandaru dan Agung Sedayu, jika mereka bersedia bersama-sama kita menghancurkan Mataram.”

“Namamu akan membuat Agung Sedayu dan kekuatan di Tanah Perdikan Menoreh menjadi muak.”

“Paman menganggap aku terlalu bodoh. Apakah mereka akan pernah mendengar namaku lagi?”

“Lalu, apa maumu sebenarnya?”

“Paman akan memimpin seluruh kekuatan yang akan kita himpun atas namaku. Jika aku berada di belakang Paman, maka namaku tentu bukan Saba Lintang. Orang-orang tidak akan lagi yang menyebut nama Saba Lintang.”

“Kau akan dapat mengganti namamu. Tetapi apakah kau dapat mengubah wajahmu? Atau kau akan selalu mengenakan topeng, agar tidak seorang pun yang mengenalmu sebagai Saba Lintang?”

“Paman,” berkata Ki Saba Lintang, “kita tidak sedang bermain-main. Kita harus memikirkan semuanya dengan seksama. Beberapa orang kita sedang menyusun kekuatan di sekitar Gunung Kendeng. Kita akan selalu mempelajari kegagalan-kegagalan kita sebelumnya. Karena itu, kita tidak akan tergesa-gesa.”

“Aku sependapat.”

“Persoalan yang kita angkat untuk menghimpun kembali perguruan Kedung Jati, ternyata tidak dapat mengikat Sekar Mirah. Karena itu kita akan memperhitungkan kembali, apakah persoalan itu lagi yang akan kita angkat, atau kita akan melahirkan gagasan-gagasan baru yang lebih menarik. Yang penting, kita akan menghancurkan Mataram. Para pendukung kekuasaan Jipang dan Pati yang telah disakiti hatinya oleh Panembahan Senapati akan tetap berada di antara kita, persoalan apapun yang akan kita angkat ke permukaan.”

Orang yang dituakan dan dipanggil paman oleh Ki Saba Lintang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku ingin berkenalan dengan Swandaru.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Paman harus berkenalan dengan Swandaru. Tetapi sekali lagi aku minta agar semua langkah kita tidak tergesa-gesa. Salah satu sebab kegagalan kita di Tanah Perdikan adalah bahwa persiapan kita belum benar-benar masak. Rasa-rasanya kita terlalu tergesa-gesa. Tetapi itu menjadi pengalaman yang sangat berharga.”

Orang tua yang dipanggil paman itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata kau bertambah bijaksana. Kekalahan itu agaknya memberimu banyak pelajaran.”

Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Agaknya memang begitu Paman. Tetapi ternyata bahwa kita harus mulai lagi dari permulaan. Tetapi justru karena itu, kita dapat merencanakan langkah kita sebaik-baiknya.”

Sebenarnyalah, seperti yang dikatakan oleh Ki Saba Lintang, maka yang dilakukannya bersama orang-orang yang dipercayanya untuk sementara adalah mengamati saja keadaan Sangkal Putung. Orang tua yang dipanggil paman oleh Ki Saba Lintang itu memang berusaha untuk dapat berkenalan dengan Swandaru. Tetapi dengan cara yang sangat wajar. Karena itu, maka ia tidak memaksakan diri untuk segera melakukannya.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah menemui Ki Gede Menoreh. Mereka telah melaporkan perjalanan mereka ke Sangkal Putung. Mereka telah menyampaikan perkembangan sikap Swandaru.

Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada berat itu pun berkata, “Terima kasih, Ki Lurah. Bagaimanapun juga aku memang mencemaskan kehidupan keluarga Pandan Wangi. Tetapi jika Angger Swandaru telah menyadari langkahnya yang keliru, maka dadaku menjadi lapang.”

“Nampaknya begitu, Ki Gede. Sikap Sekar Mirah telah mengejutkannya sejak Sekar Mirah datang di Sangkal Putung. Ternyata sikapnya yang mengejutkan itu mampu menggetarkan kesadaran kakaknya.”

Laporan Agung Sedayu dan Sekar Mirah agaknya memang memberikan ketenangan pada Ki Gede Menoreh. Ia tidak lagi merasa sangat gelisah mencemaskan masa depan keluarga anak perempuannya itu.

Di hari-hari berikutnya, maka Agung Sedayu telah pergi ke baraknya setiap hari seperti biasanya. Ia telah mengambil kembali tanggung jawabnya sebagai pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Selagi Agung Sedayu sibuk dalam tugasnya, Agung Sedayu mendapat laporan dari prajurit yang bertugas di gerbang depan baraknya, bahwa seorang anak muda ingin menemuinya.

“Untuk apa?” bertanya Agung Sedayu.

“Anak muda itu ingin menyampaikannya sendiri kepada Ki Lurah,” jawab prajurit itu.

Agung Sedayu memang bukan seorang yang sulit untuk ditemui. Karena itu maka Agung Sedayu itu pun berkata, “Silahkan Anak Muda itu menunggu sebentar. Aku akan segera menemuinya.”

“Baik, Ki Lurah.”

Dengan jantung yang berdebar-debar, anak muda itu menunggu. Keringat dingin telah membasahi punggungnya. Ada semacam penyesalan, kenapa ia begitu bernafsu untuk menghadap Ki Lurah Agung Sedayu. Jika persoalan yang dibawanya dianggap tidak berarti, mungkin Ki Lurah itu justru akan marah kepadanya, membentaknya dan bahkan mengusirnya.

Tetapi ia sudah berada di dalam barak. Jika ia begitu saja pergi sebelum bertemu dengan Ki Agung Sedayu, maka para prajurit yang bertugas akan mencurigainya.

Sejenak kemudian, maka seorang prajurit yang mendekatinya semakin membuat jantungnya berdebaran. Tetapi prajurit itu kemudian telah membawanya ke sebuah ruangan yang khusus dipergunakan oleh Agung Sedayu menerima tamu-tamunya.

Demikian anak muda itu sampai ke pintu, maka jantungnya serasa berhenti berdetak. Apalagi ketika prajurit itu berkata, “Itulah, Ki Lurah sudah menunggumu.”

Agung Sedayu pun terkejut pula. Namun ia pun tersenyum ketika ia melihat wajah anak muda itu menjadi pucat.

“Marilah Ki Sanak,” Agung Sedayu pun tersenyum sambil bangkit berdiri. “Duduklah.”

Tetapi anak muda itu justru membeku.

“Marilah. Jangan berdiri saja di situ.”

Melihat sikap anak muda itu, prajurit yang mengantarnya menjadi curiga. Ia pun melangkah mendekatinya sambil berkata kepada Ki Lurah, “Aku menunggu perintah, Ki Lurah.”

Tetapi Agung Sedayu masih saja tersenyum. Katanya, “Tinggalkan anak muda itu. Ia tamuku.”

Prajurit itu nampak bimbang. Namun ketika Agung Sedayu memberinya isyarat, maka ia pun segera beranjak pergi.

“Anak itu aneh,” berkata prajurit itu di dalam hatinya. Tetapi ia pun kemudian berdesis, “Jika ia berniat buruk, Ki Lurah tentu akan dapat mengatasinya sendiri. Ki Lurah pun telah memerintahkan aku pergi.”

“Duduklah,” Agung Sedayu mengulanginya.

Dengan ragu-ragu anak muda itu pun kemudian duduk. Tetapi pakaiannya sudah basah oleh keringat.

“Anak muda,” bertanya Agung Sedayu kemudian, “apakah kau mempunyai keperluan yang penting yang ingin kau sampaikan sendiri kepadaku?”

Anak muda itu kebingungan. Ia tidak segera menjawab. Namun Agung Sedayu-lah yang bertanya pula, “Apakah kau anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh?”

Dengan gelisah anak muda itu menyahut, “Bukan, Ki Lurah.”

“Jadi?”

“Aku tinggal di seberang bukit.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Itulah sebabnya, aku belum pernah melihatmu.”

Anak muda itu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Ki Lurah belum pernah melihat aku?”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Belum, Anak Muda.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun nampaknya ia masih tetap ragu-ragu.

“Katakan, Anak Muda, apakah keperluanmu? Jika aku dapat membantumu, aku akan membantu.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Beberapa hari yang lalu, aku telah datang kemari untuk menemui Ki Lurah. Tetapi Ki Lurah tidak ada di barak ini.”

“Aku tidak pergi ke mana-mana, Anak Muda. Pada hari-hari terakhir sejak beberapa bulan yang lalu, aku berada di barak setiap hari.”

“Apakah Ki Lurah tidak bepergian ke seberang Kali Praga?”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu tegas.

“Tetapi beberapa hari yang lalu, Ki Lurah tidak ada. Menurut prajurit yang bertugas, Ki Lurah sedang melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.”

“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “jika itu yang dimaksud, memang benar. Aku memang sering mengelilingi Tanah Perdikan ini untuk melihat-lihat keadaan. Terutama setelah baru-baru ini terjadi serangan yang tiba-tiba. Tetapi aku tidak keluar dari Tanah Perdikan ini.”

Anak muda itu menarik nafas panjang. Tetapi ia masih juga bertanya, “Tetapi apakah Ki Lurah tidak bepergian ke seberang Kali Praga bersama Nyi Lurah?”

“Tidak. Aku tidak pergi kemana-mana bersama istriku.” Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun bertanya, “Ada apa sebenarnya, Anak Muda?”

Anak muda itu nampak gelisah. Namun akhirnya ia pun berkata, “Ki Lurah. Apakah Ki Lurah pernah pergi ke Gemulung?”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi Agung Sedayu menjawab, “Ya, tentu. Gemulung adalah sebuah padukuhan kecil yang tidak jauh dari barak ini. Bukan hanya Gemulung. Aku sudah sering pergi ke semua padukuhan di Tanah Perdikan ini. Semua Demang dan Bekel aku kenal dengan baik.”

“Ki Lurah,” berkata anak muda itu, “aku pernah bertemu dengan dua orang suami istri dari Gemulung. Aku hampir keliru. Laki-laki Gemulung itu mirip sekali dengan Ki Lurah.”

“He?” Agung Sedayu beringsut, “Siapa namanya?”

“Ki Merta.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Aku sudah mengira, bahwa kau akan menyebut nama itu. Bukan hanya kau yang pernah keliru, Anak Muda. Beberapa orang memang mengatakan bahwa Ki Merta mirip dengan aku. Bahkan menurut orang-orang itu, suaranya pun mirip dengan suaraku. Di mana kau bertemu dengan Ki Merta? Apakah kau mempunyai persoalan dengan orang itu?”

“Tidak, Ki Lurah. Tidak. Aku hanya bertemu saja di Kali Praga. Ki Merta bersama Nyi Merta menyeberang dari timur ke barat. Kami berada dalam satu rakit.”

“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. “Apakah ada hubungannya dengan kedatanganmu kemari?”

“Tidak, Ki Lurah. Aku hanya terkejut melihat Ki Lurah yang mirip sekali dengan Ki Merta.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Jadi maksudmu? Kau mempunyai keperluan khusus?”

“Ya, Ki Lurah,” keringat anak muda itu sudah membasahi pakaiannya. Namun kemudian tiba-tiba saja ia berkata, “Apakah aku dapat diterima menjadi seorang prajurit?”

“He?” Agung Sedayu memandanginya dengan tajamnya, “Kau ingin menjadi seorang prajurit?”

“Ya, Ki Lurah.”

Agung Sedayu tersenyum. Ia tahu bahwa pikiran itu timbul dengan tiba-tiba untuk mengatasi ketegangannya.

“Anak Muda,” berkata Agung Sedayu, “kami tidak dapat menerima anak-anak muda yang berminat menjadi prajurit setiap saat. Ada saatnya Mataram menerima anak-anak muda untuk menjadi prajurit, itupun melalui pendadaran. Hanya mereka yang memiliki kemampuan yang memenuhi syarat dapat diterima menjadi seorang prajurit.”

“Kenapa harus dipilih di antara mereka yang berniat untuk menyerahkan pengabdiannya? Mungkin mereka yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan lebih rendah dari yang lain, tetapi jiwa pengabdiannya sangat tinggi, apakah ia tidak berhak untuk mendapat kesempatan mengabdikan diri?”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Tentu. Tentu anak muda. Setiap orang berhak untuk mendapat kesempatan mengabdikan dirinya.”

“Jadi, kenapa mereka tidak diterima? Kenapa harus diadakan pendadaran? Masih dapat dimengerti jika pendadaran itu dilakukan atas kesediaan mereka mengabdi. Bukan sekadar kemampuan.”

Agung Sedayu tertawa kecil. Katanya, “Semua orang mendapat kesempatan untuk mengabdi. Tetapi bukankah bidang pengabdian seseorang itu tidak hanya berada di bidang keprajuritan? Banyak lapangan yang dapat diterjuni untuk mengabdi. Karena itu, jika dilakukan pendadaran, itu sekadar untuk mengetahui ketepatan pilihan dan kemampuan seseorang. Jika ia tidak memiliki persyaratan cukup untuk mengabdi di bidang keprajuritan, ia dipersilahkan mengabdi lewat jalan lain. Mungkin ia memiliki keterampilan bertani, berdagang, berternak, atau bidang-bidang lain yang sesuai dengan kemampuannya.”

Anak muda itu tercenung sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-angguk kecil. Sekilas dipandanginya lagi wajah Agung Sedayu. Wajahnya bukan saja mirip dengan orang yang mengaku dari Gemulung itu. Tetapi agaknya wajah itu pula-lah yang dilihatnya di tepian Kali Praga.

Tetapi anak muda itu tidak mempertanyakannya lagi. Ki Lurah sudah menjawab, bahwa di hari-hari terakhir ia tidak pergi ke mana-mana. Ia juga tidak pergi menyeberang Kali Praga, sehingga orang yang dilihatnya di Kali Praga itu memang bukan Ki Lurah Agung Sedayu.

“Baiklah, Ki Lurah,” berkata anak muda itu, “aku mohon diri. Aku akan mengabdi menurut bidang yang aku kuasai. Memang tidak perlu harus menjadi seorang prajurit.”

“Bagus, Anak Muda.”

“Aku mohon diri.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Selamat jalan.”

Agung Sedayu melepas anak itu sampai ke halaman. Dipandanginya anak muda itu melangkah ke pintu gerbang. Mengangguk dan berbicara beberapa patah kata dengan penjaga.

Namun ternyata anak muda itu masih juga berpaling. Dilihatnya Agung Sedayu masih berdiri memandanginya. Bahkan kemudian mengangkat tangannya.

Sejenak kemudian, anak muda itu pun meninggalkan pintu gerbang barak prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu itu.

Namun anak muda itu tidak langsung meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Anak muda itu berusaha mencari padukuhan yang bernama Gemulung.

Setelah bertanya orang-orang yang ditemuinya di jalan, maka akhirnya anak muda itu dapat menemukan padukuhan yang bernama Gemulung. Sebuah padukuhan yang biasa saja, seperti padukuhan-padukuhan yang lain di Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah sungai kecil mengalir di pinggir padukuhan itu. Dari sungai kecil itu pula orang-orang Gemulung mengangkat air untuk mengaliri sawah mereka.

Begitu anak muda itu memasuki padukuhan Gemulung, maka ia pun segera menanyakan seorang yang berama Ki Merta.

Seorang remaja yang menuntun kambingnya yang akan digembalakannya di pinggir sungai kecil itu tertegun, ketika seorang anak muda bertanya kepadanya, “Kau kenal dengan seorang yang namanya Ki Merta?”

Remaja yang akan menggembalakan kambingnya itu menjawab dengan serta-merta, “Kenal, Ki Sanak.”

“Di mana rumahnya?”

“Ikuti saja jalan padukuhan ini. Kemudian Ki Sanak akan sampai pada sebuah gardu di pinggir jalan. Nah, gardu itu berada di halaman rumah Ki Merta.”

“Apakah Ki Merta itu sudah tua atau masih muda?”

Remaja itu termangu-mangu sejenak. Bahkan ia pun bertanya, “Siapakah sebenarnya yang kau cari?”

“Ki Merta. Kau kenal atau tidak dengan orang yang bernama Ki Merta?”

“Tentu kenal. Tetapi mungkin tidak hanya seorang yang bernama Merta. Karena itu aku bertanya, apakah yang dimaksud adalah Merta yang di halaman rumahnya itu terdapat gardu.”

“Apakah Merta yang itu masih muda?”

“Merta yang di halaman rumahnya terdapat gardu itu masih terhitung muda. Tetapi tidak semuda kau Ki Sanak.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Istrinya?”

“Bagaimana dengan istrinya? Istrinya seorang perempuan.”

“Maksudku, apakah istrinya cantik?”

“Ya, istrinya terhitung cantik.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Orang itulah yang aku cari. Tetapi aku tidak akan pergi ke rumahnya sekarang. Nanti sore saja aku akan menemuinya.”

Remaja yang akan menggembalakan kambing itu tidak bertanya lebih banyak tentang anak muda itu. Kambing-kambingnya sudah menjadi gelisah. Karena itu, maka remaja itu pun segera beranjak pergi sambil menuntun kambing-kambingnya.

Anak muda yang mencari rumah Ki Merta itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang yang ditemuinya di Kali Praga itu benar-benar bukan Ki Lurah Agung Sedayu, meskipun wajahnya mirip sekali.

Karena itu, maka anak muda itu pun kemudian meninggalkan padukuhan Gemulung dengan hati yang tidak terbebani. Bahkan anak muda itu harus menahan senyumnya.

“Aku hampir tidak dapat membedakan dua orang yang berlainan. Rasa-rasanya aku ingin bertemu lagi dengan Ki Merta, untuk melihat perbedaannya dengan Ki Lurah Agung Sedayu.”

Ketika anak muda itu kemudian menuruni tepian sungai kecil di pinggir padukuhan itu, ia melihat remaja yang menggembalakan kambing-kambingnya duduk di atas sebuah batu. Dilepaskannya saja kambing-kambingnya untuk makan rumput di tepian.

Remaja itu pun melihat anak muda itu menyeberang. Tetapi remaja itu menjadi heran. Pada saat anak muda itu sampai ke seberang, ia berpapasan dengan seorang. Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menghiraukannya, apalagi menyapanya, meskipun anak muda itu memandanginya sekilas.

Orang itulah yang bernama Merta, yang di halaman rumahnya terdapat gardu peronda.

“Ternyata anak muda itu tidak mengenal Paman Merta,” berkata remaja yang menggembalakan kambingnya itu di dalam hatinya.

Tetapi anak itu tidak berlari menyusul Ki Merta. Katanya di dalam hatinya, “Nanti saja aku akan mengatakannya kepadanya.”

Anak itu tidak mau meninggalkan kambing-kambing yang sedang digembalakannya. Seekor saja kambingnya terpisah, ia tentu akan menjadi bingung.

Di baraknya, Agung Sedayu juga menahan senyumnya. Tetapi ia sudah berusaha untuk tidak membuat anak itu malu atau bahkan merasa sangat bersalah, sehingga dapat menggelisahkannya untuk waktu yang lama.

“Cerita yang dapat menjadi oleh-oleh buat Sekar Mirah,” katanya di dalam hati.

Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu pulang, bukan saja Sekar Mirah yang tertarik mendengarkan cerita itu. Bukan saja Glagah Putih dan Rara Wulan, tetapi Ki Jayaraga, Empu Wisanata dan Nyi Dwani pun tertawa berkepanjangan.

“Kasihan anak itu,” berkata Glagah Putih.

“Aku sudah berusaha untuk tidak membuatnya malu,” berkata Agung Sedayu.

Seharusnya Kakang berterus terang,” berkata Glagah Putih, “bagi anak itu, pengalaman itu akan sangat berarti.”

“Aku juga berharap demikian, tetapi tidak dengan serta-merta. Mungkin pada suatu saat ia akan mengetahuinya juga. Setidak-tidaknya membuat anak itu memikirkan kemungkinan seperti itu dapat terjadi, sehingga ia tidak lagi bersikap semena-mena terhadap orang-orang yang tidak dikenalnya.”

“Kalau saja aku yang mengalami,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Kalau kau yang mengalami, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Rara Wulan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar