Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 318

Buku 318

Agung Sedayu menggeleng sambil menjawab, “Belum Ki sanak. Baru sekarang aku mendengar namamu.”

“Ternyata namamu lebih semarak dari namaku, Ki Lurah. Aku sudah mendengar nama kebanggaan prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan ini. Juga nama kebanggaan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Terima kasih atas pujianmu itu, Ki Sanak.”

“Tetapi sayang bahwa aku datang untuk mematahkan nama besarmu. Dengan demikian, maka namaku pun akan segera menjadi lebih semarak dari namamu sekarang.”

“Kau bertempur bagi kepentingan Ki Saba Lintang?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Darpatenaya tertawa. Katanya, “Begitulah. Kau akan mempergunakan kesempatan untuk memecah-belah pasukan kami? Bertanya seperti itu? Kau tentu ingin mengatakan, kenapa aku bersedia bertempur untuk Ki Saba Lintang.”

“Kau aneh, Ki Sanak. Tetapi baiklah aku berusaha mengerti, bahwa Ki Saba Lintang tidak penting bagimu. Perjuangan yang kau lakukan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kepemimpinan Ki Saba Lintang.”

“Nah, ternyata kau cukup cerdas, Ki Lurah. Kau memang pantas untuk menjadi Lurah prajurit. Dahulu, semuda kau, aku sudah menjadi Rangga, karena kemampuanku melampaui kemampuan setiap Lurah prajurit. Sebenarnya setiap orang mengakui bahwa kemampuanku berada di atas segala senapati dan panglima. Tetapi aku masih belum mempunyai kesempatan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun pada suatu saat, aku tentu akan menjadi seorang pemimpin yang besar, yang dapat disejajarkan dengan Panembahan Senapati.”

“Mungkin saja, Ki Sanak.”

“Bukan hanya satu kemungkinan, bahkan sekarang pun jika Panembahan Senapati bersedia, aku siap untuk berperang tanding. Jika Mataram menjadi taruhan, maka aku tentu akan merebut singgasana. Aku akan menjadi Maharaja di Mataram.”

“Besok sajalah bermimpi jika kau masih sempat.. Sekarang, kau tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kau berada di bawah perintah Ki Saba Lintang.”

“Besok aku akan memilin lehernya.”

“Kau salah. Jika kau hari ini menang, maka esok tubuhmu sudah terayun di tiang gantungan. Kau kira Ki Saba Lintang seorang yang dungu?”

Ki Darpatenaya tertawa berkepanjangan. Suaranya menggelegar mengguncang-guncang seluruh medan.

“Sudah aku kira, bahwa yang namanya Agung Sedayu, Lurah prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan adalah seorang yang ahli mengadu domba,” berkata Ki Darpatenaya, “tetapi aku bukan jenis orang yang mudah terbakar perasaanku. Aku masih dapat mempergunakan penalaranku dengan baik.”

“Aku tidak berniat mengurangi harga dirimu karena kau sekarang, menurut kenyataan yang aku lihat, berada di bahwa perintah Ki Saba Lintang. Tetapi baiklah. Jika kau merasa seorang yang mumpuni, maka kita akan membuktikannya.”

“Bersiaplah Ki Lurah Agung Sedayu. Aku ingin tahu, apakah kemampuanmu juga sebesar namamu. Atau namamu melambung karena prajurit-prajuritmu yang pilih tanding.”

“Mungkin kedua-duanya, Ki Sanak.”

“Persetan! Seandainya demikian, maka sekarang kau akan bertemu dengan orang yang akan menghentikan segala-galanya bagimu. Pasukan Khusus di Tanah Perdikan ini akan berganti pimpinan.”

“Baiklah. Aku sudah siap menghadapi semua kemungkinan.”

Ki Darpatenaya pun melangkah mendekat, sementara Agung Sedayu pun sudah siap untuk menyambutnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Darpatenaya itu pun telah mulai menyerang, meskipun masih belum bersungguh-sungguh. Ki Darpatenaya baru sekedar memancing lawannya.

Agung Sedayu bergeser selangkah. Namun ia harus berloncatan lagi ketika Ki Darpatenaya memburunya.

Demikianlah, keduanya pun mulai terlibat dalam pertempuran. Kedua belah pihak mulai dengan menjajagi kemampuan lawannya. Baik Agung Sedayu maupun Ki Darpatenaya harus berhati-hati menghadapi lawan yang mereka sadari berilmu tinggi.

Namun dalam pada itu, orang-orang berumu tinggi yang berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu mulai turun ke medan. Suranata yang kecewa ternyata tidak kembali ke medan di sisi utara. Bersama Wira Aran, saudara seperguruannya, Suranata justru bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang.

“Ayahmu berada di medan sebelah utara,” berkata Ki Saba Lintang.

“Aku tidak ingin lagi bertemu dengan Ayah,” jawab Suranata.

“Jadi?”

“Biarlah orang lain membunuhnya. Kalau saja semalam aku tidak bertemu dengan Ayah, mungkin aku masih tetap ingin bertemu dan berhadapan dengan Ayah. Tetapi tiba-tiba saja niatku berubah. Aku akan membunuh siapa saja yang aku temui di medan.”

Bersama Wira Aran, Suranata bertempur di induk gelar pasukan Ki Saba Lintang. Mereka seakan-akan menjadi senapati pengapit Ki Darpatenaya. Keduanya berusaha untuk mencegah para prajurit atau pengawal yang akan membantu Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu tidak terbiasa menunggu bantuan. Bahkan pertempuran yang semakin lama menjadi semakin sengit itu telah menyibak para prajurit, pengawal, serta pengikut Ki Saba Lintang.

Karena itulah, maka Suranata dan Wira Aran tidak lagi terikat pada pertempuran antara Ki Darpatenaya dan Agung Sedayu. Mereka pun tidak merasa perlu untuk pada suatu saat membantunya. Mereka terlalu yakin bahwa Ki Darpatenaya tidak akan terkalahkan oleh siapa pun juga. Tidak pula dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu.

Karena itu, maka Suranata dan Wira Aran telah mencari sasaran yang lain.

Suranata yang hatinya masih buram karena pertengkaran yang terjadi antara kedua saudara perempuannya, telah melepaskan kekesalannya kepada para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan. Dengan ilmunya yang tinggi, maka Suranata telah mengacaukan gelar pasukan Agung Sedayu, justru di induk gelarnya.

Sementara itu Wira Aran yang terlalu bangga akan dirinya, ingin menunjukkan kepada lawannya tetapi juga kepada kawan-kawannya sendiri. Wira Aran ingin menepuk dada dengan kemenangan-kemenangannya. Setiap kali ia melemparkan seorang lawan dari arena, maka ia pun segera berteriak nyaring memekikkan kemenangannya itu.

Tetapi langkah Wira Aran pun terhenti ketika seseorang telah dengan tiba-tiba saja berdiri di hadapannya.

Wajah Wira Aran menjadi tegang. Seorang perempuan dengan pakaiannya yang khusus berdiri sambil tersenyum memandanginya.

“Kau mengamuk seperti seekor harimau yang terluka,” desis perempuan itu.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian berdesis, “Apakah aku berhadapan dengan Srigunting Kuning?”

Nyi Wijil tidak ingin banyak berbicara. Karena itu, maka ia pun segera menjawab, “Ya. Kau benar, Ki Sanak.”

“Apakah kau mempunyai nyawa rangkap? Bukankah Srigunting Kuning sudah mati?”

“Aku sudah hidup lagi,” jawab Nyi Wijil.

“Omong kosong! Kau bukan Srigunting Kuning.”

“Baik. Aku bukan Srigunting Kuning.”

“Setan kau! Sebut namamu!”

“Aku dapat mengucapkan nama apapun di hadapanmu.”

“Baik. Baik. Kau akan mati tanpa aku kenal namamu.”

“Ada dua kemungkinan,” jawab Nyi Wijil, “aku mati tanpa kau kenali namaku, atau kau-lah yang mati tanpa mengenal namaku.”

“Kau ternyata sosok iblis betina.”

“Sebut apapun menurut kehendakmu. Tetapi iblis tidak akan pernah mati.”

“Aku akan membunuhmu.”

Nyi Wijil itu pun tertawa. Namun ia masih juga bertanya, “Siapa namamu Ki Sanak? Atau kau juga tidak ingin dikenal?”

“Aku tidak pernah merahasiakan namaku. Aku adalah Wira Aran. Kau perlu mengenalinya sebelum kau mati.”

Nyi Wijil mengangguk kecil. Katanya, “Kita akan melihat, siapakah yang akan mati.”

Wira Aran tidak menyahut lagi. Tetapi dengan tangkasnya ia meloncat menyerang Nyi Wijil. Tetapi Nyi Wijil pun sudah siap menyambut serangannya.

Suranata sempat melihat saudara seperguruannya bertempur melawan seorang perempuan. Namun seperti Wira Aran, Suranata pun merasa heran bahwa ia masih dapat bertemu dengan Srigunting Kuning.

Tetapi agaknya Suranata pernah mendengar dua sosok Srigunting Kuning yang putih dan Srigunting Kuning yang hitam.

“Tentu Srigunting Kuning yang putih,” berkata Suranata di dalam hatinya, “Srigunting Kuning yang hitam sudah mati.”

Namun Suranata itu pun menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang yang sudah ubanan mendekatinya.

Kekecewaan yang tertimbun di dalam dirinya terhadap ayahnya, terhadap saudara-saudara perempuannya, dan terhadap keadaan di sekitarnya, yang ditumpahkannya kepada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah terhambat.

“Kau siapa, Kakek Tua?” geram Suranata.

“Kau lupa kepadaku?” bertanya Ki Wijil.

Suranata mengerutkan dahinya. Namun ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Aku pernah bertemu dengan kau, Kek. Di rumah Agung Sedayu, ketika aku melihat keadaan Dwani.”

“Ya. Bukankah kau anak laki-laki Empu Wisanata?”

Suranata mengerutkan dahinya. Ia pun kemudian berpaling ke arah saudara seperguruannya yang sedang bertempur dengan Srigunting Kuning.

“Perempuan itu adalah perempuan yang kau lihat di dalam rumah Agung Sedayu itu pula,” berkata Ki Wijil.

“Pantas,” desis Suranata.

“Apa yang pantas?” bertanya Ki Wijil.

“Ayah menyebut kalian suami istri yang mampu melumatkan gunung.”

Ki Wijil tersenyum. Katanya, “Ayahmu memang senang bergurau.”

“Aku percaya itu, Ki Wijil. Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan Ki Wijil, bahwa aku bukan gunung yang mudah kau lumatkan.”

“Tentu,” sahut Ki Wijil, “kau bukan gunung. Gunung tidak akan dapat mengamuk di medan pertempuran seperti ini. Kau jauh lebih berbahaya dari gunung berapi sekali pun.”

“Jika demikian, silakan menyingkir dari medan ini, Ki Wijil. Aku menghindar dari medan di sisi utara Tanah Perdikan ini karena aku tidak mau bertemu dengan Ayah, yang menurut pendengaranku berada di sana Tetapi di sini aku bertemu dengan salah seorang kawan Ayah. Sebaiknya aku menghindari orang-orang yang sudah aku kenal sebelumnya.”

“Ngger,” berkata Ki Wijil, “kenapa kau tidak meninggalkan Ki Saba Lintang saja? Sebenarnya untuk apa kau bertempur bersamanya? Mungkin kau memang mempunyai gegayuhan. Tetapi sebaiknya gegayuhan itu kau capai melalui jalan lain. Bukan cara ini. Justru mungkin kau akan menemukan cara yang lebih baik dari bergabung dengan Ki Saba Lintang.”

Suranata menarik nafas panjang. Katanya, “Tidak, Ki Sanak. Cara ini adalah cara yang terbaik dan terdekat menurut pendapatku. Meskipun jalanku tidak selalu sejajar dengan jalan yang ditempuh oleh Ki Saba Lintang, tetapi kali ini aku merasa sesuai dengan cara yang dipilihnya.”

“Jika demikian, Ngger, maka aku harus berusaha untuk menghentikannya. Angger tentu tahu, bahwa usaha Ki Saba Lintang itu tidak akan berhenti sampai di sini. Seandainya ia berhasil menguasai Tanah Perdikan ini dan berhasil mendapatkan tongkat baja putih yang satu lagi, apakah tongkat itu akan diberikannya kepada Nyi Yatni atau Nyi Dwani, maka Ki Saba Lintang tentu akan melanjutkan peperangan yang telah dikobarkannya. Jalan selanjutnya adalah menuju Mataram, dan mempergunakan Tanah Perdikan ini sebagai landasan.”

“Aku tahu itu,” sahut Suranata

“Pada langkah-langkah awal, semua golongan yang ada di dalam gerombolan Ki Saba Lintang akan tetap bulat. Tetapi kemudian, mereka akan saling menyingkirkan. Pada saat itu, kau akan merasa kecewa, Ngger. Gegayuhanmu akan cabar. Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yang kau harapkan pada saat kau menyatakan dirimu bekerja bersama Ki Saba Lintang. Kau pun akan kehilangan saudara-saudara perempuanmu.”

“Sudahlah, Ki. Jangan sebut-sebut saudara-saudara perempuanku.”

“Kau masih mempunyai waktu untuk menarik diri dari perjuangan yang tidak pasti bagimu ini, Ngger. Sementara itu, taruhannya terlalu besar bagimu.”

“Aku sudah terlanjur basah, Ki. Karena itu, jangan hiraukan apa yang terjadi padaku. Kita akan bertempur. Salah seorang di antara kita akan mati. Aku tahu, kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Pikirkanlah, Ngger.”

“Aku justru memikirkan yang lain. Apakah Nyi Wijil itu orang yang sama dengan Srigunting Kuning?”

Ki Wijil tersenyum. Katanya, “Apakah padanya nampak ciri-ciri Srigunting Kuning itu?”

“Aku pernah mendengar nama Srigunting Kuning. Tetapi ada dua nama yang agak membingungkan. Yang satu disebut Srigunting Kuning yang putih, sedangkan yang lain adalah Srigunting Kuning yang hitam.”

Ki Wijil justru tertawa. Katanya, “Yang jelas perempuan itu adalah Nyi Wijil. Istriku yang pernah diperkenalkan oleh Empu Wisanata kepadamu, saat kau kunjungi adikmu di rumah Ki Lurah Agung Sedayu.”

Suranata mengangguk-angguk. Katanya, “Sudahlah, Ki. Sebaiknya Ki Wijil sajalah yang meninggalkan medan ini. Biarlah aku tempuh cara yang telah aku pilih ini, meskipun aku tahu bahwa jalan masih sangat panjang untuk sampai kepada gegayuhanku itu.”

Tetapi Ki Wijil itu pun kemudian berkata, “Sayang Ngger. Aku pun sudah menempatkan diri di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pendapatku, orang-orang Menoreh sekarang ini sedang berjuang untuk mempertahankan haknya. Karena itu, maka aku telah menyatakan diriku bergabung dengan mereka.”

“Jika demikian, maka kita akan berhadapan.”

“Agaknya memang begitu, Ngger.”

Suranata pun telah bergeser setapak. Katanya, “Baiklah Ki Wijil. Bersiaplah. Bagiku agaknya memang lebih baik aku bertemu dengan Ki Wijil daripada dengan ayahku sendiri.”

Ki Wijil pun telah mempersiapkan diri pula. Ia sadar bahwa Suranata tentu tidak sekedar mengandalkan selembar ilmunya. Tetapi Suranata tentu sudah membawa bekal ilmu yang cukup, sehingga sebelumnya ia merasa cukup kuat untuk menghadapi ayahnya sendiri. Jika kemudian Suranata itu menghindar dari medan di sisi utara, bukannya ia merasa bahwa ilmunya kurang memadai. Tetapi pada saat-saat terakhir, ia merasa enggan bertempur dan bahkan akan saling membunuh dengan ayahnya sendiri.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah terlibat dalam pertempuran. Mula-mula kedua belah pihak baru sekedar menjajagi yang satu terhadap yang lain. Namun kemudian mereka pun semakin meningkatkan ilmu mereka.

Dalam pada itu, di induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang, orang-orang yang berilmu tinggi telah menebar pula. Seorang yang masih muda yang berwajah tampan berkata kepada Ki Saba Lintang, “Biarlah aku berada di sayap kanan saja, Ki Saba Lintang. Nampaknya sayap kiri pasukan lawan mampu mengguncang sayap pasukan kita.”

“Baiklah. Pergilah ke sayap kanan.”

“Sebelum terjadi pertempuran ini, aku memang merasa heran mendengar cerita bahwa pasukan kita dapat didesak oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku mengira bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang setiap hari kerjanya pada pematang sawah mereka. Namun ternyata mereka adalah prajurit-prajurit yang dapat diandalkan..”

“Di antara mereka tentu terdapat prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus.”

“Aku tahu. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun agaknya memiliki pengalaman keprajuritan yang luas.”

“Ya,” sahut Ki Saba Lintang, “sebagian mereka selalu ikut bersama para prajurit Mataram dalam perang yang besar. Sebagian dari mereka ikut pergi ke Madiun, dan yang lain pernah ikut ke Pati.”

Orang berwajah tampan itu pun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke sayap kanan.”

Sepeninggal orang itu, seorang penghubung telah memberikan laporan bahwa di sayap kiri, pasukan Ki Saba Lintang itu mengalami kesulitan.

“Kami berusaha untuk menahan kemajuan pasukan Tanah Perdikan, Ki Saba Lintang . Tetapi seorang anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh telah mempengaruhi seluruh medan.”

“Hanya karena satu orang?”

“Keadaan kedua pasukan dapat dikatakan seimbang, meskipun pasukan kita harus mengerahkan segenap kemampuan. Tetapi justru karena yang seorang itu, maka keseimbangan pun terasa terganggu.”

“Apakah orang itu berilmu tinggi?”

“Agaknya memang demikian.”

“Agung Sedayu sendiri?”

“Bukan, Ki Saba Lintang. Anak muda itu pada pertempuran yang lalu tidak berada di medan ini.”

Ki Saba Lintang menjadi berdebar-debar. Lalu katanya kepada dua orang saudara seperguruan yang menurut pendapat Ki Saba lintang dapat diandalkan, “Kalian berdua, pergilah!”

“Terima kasih. Aku merasa tersiksa di sini mengawal Ki Saba Lintang. Kami akan menyelesaikan orang yang sombong itu. Kami akan membawa kepalanya kemari agar Ki Saba Lintang dapat mengenalinya.”

Ki Saba Lintang tidak menjawab. Meskipun ia tidak ingin mendapatkan kepala itu, tetapi dibiarkannya saja kedua orang itu untuk melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Jika keduanya dicegah, maka akibatnya akan kurang baik bagi pasukannya, karena keduanya akan dapat pergi begitu saja tanpa berbuat apa-apa di peperangan itu.

Sejenak kemudian, kedua orang saudara seperguruan itu pun segera meninggalkan pasukan induk untuk pergi ke sayap kiri.

Dua-duanya adalah orang-orang yang terhitung gemuk. Namun mereka mampu bergerak sangat tangkas, seolah-olah tubuh mereka tidak mempunyai bobot sama sekali.

Di sayap kanan, anak muda yang tampan itu pun telah berusaha untuk mengetahui, apakah sebabnya maka pasukan Ki Saba Lintang itu bagaikan diguncang-guncang.

Ternyata di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh, anak muda yang tampan itu melihat seorang yang berilmu tinggi bertempur di antara para pengawal Tanah Perdikan.

“Tentu inilah antara lain yang menyebabkan kesulitan di sayap itu.”

Orang berwajah tampan itu pun kemudian telah mendekatinya. Dengan kerut di dahinya, anak muda berwajah tampan itu menyaksikan orang itu bertempur melawan sekelompok orang yang mengepungnya. Namun orang itu sama sekali tidak mengalami kesulitan.

Pada saat orang berwajah tampan itu mendekat, ia melihat seorang di antara mereka yang mengepung orang berilmu tinggi itu terlempar dan jatuh terbanting.

“Minggirlah!” berkata orang berwajah tampan itu dengan suara lantang, “Orang ini agaknya benar-benar berilmu tinggi.”

Orang-orang yang sedang mengepung lawannya itu pun menyibak. Sementara orang yang berada dalam kepungan itu pun berdiri tegak sambil memandang orang berwajah tampan yang melangkah mendekatinya.

“Luar biasa, Ki Sanak. Siapakah kau?”

Orang yang berada dalam kepungan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Namaku Sabungsari.”

“Sabungsari,” desis orang berwajah tampan itu.

“Kau siapa?” bertanya Sabungsari.

Orang itu tersenyum sambil menjawab, “Namaku Tunjung Tuwuh.”

Sabungsari mengangguk-angguk Katanya, “Nama yang bagus. Apakah kau sudah lama bekerja bersama Ki Saba Lintang?” tanyanya?”

“Pertanyaan yang rasa-rasanya tidak ada hubungannya dengan pertemuan kita di sini.”

“Maaf,” desis Sabungsari, “kau masih muda. Menilik ujudmu, kau lain dengan orang-orang yang mengepungku”

“Apa bedanya?” Tunjung Tuwuh itu tertawa.

“Menilik ujudmu, agaknya kau seorang dari lingkungan yang lebih mapan dari orang-orang lain di medan itu.”

“Satu kebetulan. Tetapi di sisi lain dari pasukan Ki Saba Lintang adalah bekas prajurit, yang menurut ujud lahiriahnya memang tidak seperti orang-orang yang mengepungmu. Tetapi ujud lahiriah bukan ukuran. Kami mempunyai satu tekad untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Untuk apa?”

Tunjung Tuwuh itu tertawa semakin keras. Katanya, “Pertanyaanmu aneh-aneh, Sabungsari. Bersiap sajalah sebelum kau akan mati. Matilah dengan wajah tengadah, sebagaimana seorang yang mati di medan perang.”

“Aku belum ingin mati,” jawab Sabungsari.

“Ingin atau tidak ingin. Aku akan memaksamu untuk mati.”

“Kau lucu. Baiklah. Kita akan mencoba saling memaksa.”

Dahi Tunjung Tuwuh berkerut. Katanya dengan nada berat, “Kau tidak akan mempunyai kesempatan untuk keluar dari pertempuran ini. Hanya namamu sajalah yang akan dikenang oleh kawan-kawanmu, orang tuamu dan oleh pemimpin kelompokmu. Tetapi pemimpin kelompokmu itu, jika masih sempat hidup, akan segera melupakanmu dan menggantikan para pengawal yang telah mati dengan orang-orang baru.”

“Kidungmu bernada sedih Tunjung Tuwuh. Kenapa kau tidak mendendangkan lagu gembira?”

“Aku bersedih karena setiap kali aku harus membunuh musuh-musuhku. Tetapi salah mereka sendiri, karena mereka tidak mau mendengarkan peringatan-peringatanku.”

“Kasihan sekali kau Tunjung Tuwuh. Hidupmu ibarat kegelapan yang tidak berbatas waktu.”

“Cukup, Sabungsari! Bersiaplah untuk mati!”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapinya.

Demikianlah, sejenak kemudian Tunjung Tuwuh itu pun telah meloncat menyerang Sabungsari. Tetapi Sabungsari telah bersiap sepenuhnya, sehingga sejenak kemudian keduanya segera terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Sementara itu di sayap yang lain, dua orang saudara seperguruan telah berada di medan pula. Seorang penghubung telah menunjukkan kepada kedua orang saudara seperguruan itu, seorang anak muda yang telah bertempur dengan garangnya.

“Siapakah namanya?”

“Aku belum sempat mengetahuinya,” jawab penghubung itu.

Kedua orang saudara seperguruan itu pun dengan serta-merta telah mendatangi Glagah Putih, yang sedang dengan garangnya menghadapi beberapa orang yang mengepungnya.

Kehadiran kedua orang saudara seperguruan itu telah menghentikan Glagah Putih. Dengan geram salah seorang dari kedua orang saudara seperguruan itu bertanya, “Namamu siapa anak muda?”

“Glagah Putih,” jawab anak muda itu.

“Kau pengawal Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya yang lain.

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Aku tidak percaya,” berkata orang itu pula, “apakah kau salah seorang prajurit dari Pasukan Khusus?”

“Bukan,” jawab Glagah Putih, “sudah aku katakan, aku salah seorang pengawal Tanah Perdikan. Nah apa yang kau maui?”

“Pertanyaanmu aneh. Kau sendiri, untuk apa pergi ke medan? Berbelanja? Atau sekedar ingin mencoba pusaka yang baru?”

“Aku sadari sepenuhnya untuk apa aku berada di medan, serta untuk apa pula aku berperang.”

Seorang di antara kedua orang saudara seperguruan itu menyahut, “Kau kira aku tersesat sampai ke tempat ini?”

“Aku adalah pengawal Tanah Perdikan ini. Jika aku berada di medan, itu sudah jelas. Aku membela dan mempertahankan Tanah Perdikan ini. Kau?”

“Juga sudah jelas. Kami ingin menghancurkan perlawanan para pengawal Tanah Perdikan ini. Kemudian mendudukinya dan memanfaatkan untuk perjuangan kami selanjutnya.”

“Kalian tahu, apa yang kalian lakukan? Apa yang kalian perjuangkan?”

“Jangan menghina kami, Glagah Putih. Seandainya kau mampu melawan, tetapi kau tidak akan dapat melawan kami berdua. Bersiaplah.”

“Aku sudah bersiap sejak aku mendengar isyarat untuk maju ke medan ini.”

“Anak setan! Jangan terlalu sombong! Kesombonganmu tidak akan berarti apa-apa jika kau nanti terkapar mati.”

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Kita tidak akan dapat mengatakan, siapakah yang akan mati. Aku, atau salah seorang dari kalian, atau kalian berdua.”

Kedua orang itu tidak bertanya lebih lama. Keduanya pun segera bersiap. Seorang di antara mereka menggeram, “Kami akan membunuhmu sekarang.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Ia pun mulai bergeser selangkah ke samping.

Kedua orang lawannya pun segera mengambil jarak. Dengan ayunan kakinya, seorang di antara mereka mulai memancing pertempuran.

Ketika seorang pengawal meloncat mendekati Glagah Putih untuk membantunya, maka Glagah Putih pun berkata, “Hadapi lawanmu. Jika aku memerlukanmu, aku akan memanggilmu.”

Orang itu pun menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia meloncat meninggalkan Glagah Putih, memasuki arena pertempuran yang semakin seru. Orang-orang yang semula mengepung Glagah Putih pun telah mendapatkan lawan mereka masing-masing.

Sejenak kemudian maka Glagah Putih telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan kedua orang saudara seperguruan itu. Ternyata keduanya adalah orang-orang yang garang. Serangan-serangan mereka datang dengan cepat susul-menyusul. Meskipun keduanya nampak agak gemuk, tetapi keduanya mampu bergerak dengan cepat

Dengan demikian, maka Glagah Putih harus menyesuaikan dirinya. Ia harus meningkatkan ilmunya untuk mengimbangi serangan-serangan kedua orang lawannya yang datang beruntun itu.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan kedua orang lawannya itu pun segera meningkat semakin keras.

Di sisi utara, kedua pasukan yang bertempur itu pun menjadi semakin garang. Dengan susah payah pasukan Tanah Perdikan berusaha untuk bertahan. Pasukan cadangan yang sudah diturunkan ke medan, memang berhasil memperkokoh pertahanan itu. Mereka adalah tenaga-tenaga yang masih segar.

Tetapi kekuatan lawan pun rasa-rasanya telah meningkat pula, sehingga karena itu maka pasukan Tanah Perdikan itu harus mengerahkan segala kekuatan yang ada di dalam pasukan itu.

Namun dalam pada itu, para petugas sandi dan pengawas dari Tanah Perdikan Menoreh itu terkejut ketika mereka melihat segerombolan orang yang melintas di tengah-tengah bulak, menyusup ke belakang pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

“Pasukan itu!” desis seorang pengawal dari sebuah padukuhan.

“Tentu bukan pasukan Tanah Perdikan. Prastawa sudah memberitahukan bahwa setiap gerakan pasukan dari para pengawal atau prajurit tentu akan membawa kelebet lambang kesatuan mereka masing-masing, atau kelebet para pengawal dari padukuhan mereka. Tetapi gerombolan itu tidak membawa pertanda apa-apa.”

“Siapkan penghubung berkuda.”

Sejenak kemudian, dua orang penghubung berkuda pun telah memacu kudanya menuju ke padukuhan induk. Pengawal di padukuhan itu masih belum membunyikan kentongan, yang dapat menimbulkan keresahan bagi seluruh Tanah Perdikan, karena suara kentongan itu akan mengumandang dan disambut oleh kentongan-kentongan di padukuhan-padukuhan yang lain.

“Apakah kita akan mencegahnya?” bertanya seorang pengawal.

“Tentu tidak mungkin,” jawab kawannya, “berapa jumlah kita yang ada di sini sekarang?”

Kawannya menarik nafas. Bahkan seandainya gerombolan itu berpaling ke padukuhan mereka, maka mereka justru harus menghindar.

“Pengawal dari lima atau enam padukuhan yang tertinggal di padukuhan masing-masing, baru memadai untuk menghentikan mereka. Itu pun tanpa satu keyakinan untuk dapat mengusir mereka, apalagi menghancurkan mereka.”

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara itu kawannya berkata, “Tiga atau empat orang di antara kita akan mengikuti gerombolan itu dari jarak yang cukup jauh. Yang lain, empat atau lima orang tinggal di padukuhan ini, sekedar untuk dapat memberikan isyarat jika diperlukan.”

“Untuk apa kami mengikuti mereka?”

Pengawal yang mempunyai gagasan untuk mengikuti gerombolan itu pun berkata, “Mereka tentu akan berbuat sesuatu. Menurut arah perjalanan mereka, agaknya mereka akan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan ini.”

“Jadi kenapa kami yang hanya tiga atau empat orang harus mengikutinya?”

“Kita akan memberitahukan kepada para pengawal di setiap padukuhan agar mengirimkan tiga atau empat orang pengawal menurut keadaan padukuhan masing-masing. Jika terkumpul delapan padukuhan yang sempat kita hubungi, berarti akan dapat berkumpul sekitar dua puluh sampai tiga puluh orang. Nah, jumlah itu akan sangat berarti bagi padukuhan induk. Kekuatan gerombolan itu agaknya cukup besar, dan sudah diperhitungkan akan dapat mengalahkan para pengawal dan pengawal cadangan yang ada di padukuhan induk.”

Kawannya mengangguk-angguk: Katanya, “Baik. Siapa yang akan pergi?”

Akhirnya tiga orang pengawal telah meninggalkan padukuhan itu dan berusaha mengikuti gerak gerombolan yang memang menuju ke padukuhan induk. Tetap ketiga orang itu tidak berani terlalu dekat dengan gerombolan itu. Mereka hanya berani menelusuri jejaknya saja.

Sementara itu, seorang di antara para pengawal itu telah berlari menuju padukuhan terdekat untuk memberitahukan rencananya bersama kawan-kawannya.

Ternyata para pengawal di padukuhan itu pun setuju. Mereka telah mengirimkan empat orang untuk pergi ke padukuhan induk.

“Tetapi kita harus berhati-hati. Jika kita terjebak oleh gerombolan yang agaknya cukup kuat itu, kita akan menjadi ndog pengamun-amun.”

Namun seorang di antara mereka meneruskan hubungan itu ke padukuhan berikutnya. Mereka berharap bahwa sekitar dua puluh lima sampai tiga puluh orang akan dapat terkumpul, untuk membantu pasukan cadangan di padukuhan induk.

Dalam pada itu, dua orang penghubung berkuda telah sampai ke padukuhan induk. Mereka pun segera menyampaikan laporan tentang pecahan pasukan Ki Sirna Sikara yang langsung menuju ke padukuhan induk.

Ki Gede pun segera memanggil Ki Sura Panggah yang berada di banjar padukuhan induk.

“Baiklah Ki Gede,” berkata Ki Sura Panggah, “aku akan segera mempersiapkan pasukan cadangan untuk melawan mereka.”

“Ini bukan untuk pertama kalinya bahwa padukuhan induk ini mendapat serangan langsung,” berkata Ki Gede, “karena itulah, maka padukuhan induk ini sudah dilengkapi dengan dinding dan pintu gerbang yang memadai.”

“Jika Ki Gede berkenan, kami akan menyongsong mereka di luar dinding padukuhan,” berkata Ki Sura Panggah.

“Kita akan melihat kekuatan mereka, Ki Sura Panggah,” berkata Ki Gede, “jika kekuatan mereka terlalu besar, maka sebaiknya kita akan bertahan di dalam dinding padukuhan.

“Tetapi orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu akan dapat menjadi berbahaya bagi padukuhan-padukuhan lain. Jika mereka gagal memasuki padukuhan induk, mereka akan melepaskan kemarahan dan dendam mereka kepada padukuhan-padukuhan lain sepanjang jalan, pada saat mereka menarik diri. Bahkan mungkin mereka akan menduduki satu dua padukuhan, sebagai landasan serangan mereka terhadap padukuhan induk pada kesempatan lain.”

“Tetapi jika induk pasukan mereka di medan pertempuran di sisi utara tidak berhasil mendesak pasukan Tanah Perdikan, maka keadaan pasukan yang menduduki padukuhan di dalam lingkungan Tanah Perdikan ini menjadi sangat gawat”

“Ki Gede benar. Tetapi pada gerak mundur, mereka akan dapat menimbulkan malapetaka jika pasukan Tanah Perdikan tidak menghalaunya sampai keluar perbatasan, atau menangkap dan memaksa mereka menyerah.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Sura Panggah. Jika menurut perhitungan Ki Sura Panggah kita dapat menahan mereka di luar dinding padukuhan induk dan menghalau mereka sampai keluar perbatasan. Tetapi jika kita dalam kesulitan, maka aku minta Ki Sura Panggah memerintahkan seluruh pasukan menarik diri, masuk ke dalam pintu gerbang padukuhan induk.”

“Ya Ki Gede, kami akan mengadakan penelitian langsung di medan.”

Sementara itu, dua orang penghubung telah memberitahukan bahwa gerombolan yang menuju padukuhan induk sudah menjadi semakin dekat.

“Mereka telah membakar beberapa rumah di padukuhan sebelah, Ki Gede.”

“He?” Ki Gede terkejut. Dengan lantang ia pun bertanya, “Bagaimana dengan para penghuninya?”

“Sebagian besar telah keluar dari padukuhan itu, dan berusaha mencapai padukuhan terdekat.”

“Para pengawal?”

“Jumlahnya tidak memadai. Karena itu, mereka justru membantu perempuan dan anak-anak yang mengungsi.”

Wajah Ki Gede menjadi tegang. Tiba-tiba saja Ki Gede itu menggeram, “Aku sendiri akan memimpin pasukan untuk melawan mereka.”

“Jangan, Kakang!” cegah Ki Argajaya, “Kakang harus tetap berada di sini. Kakang mengendalikan pertempuran di segala medan. Mungkin ada hal-hal yang perlu mendapat pemecahan segera. Jika Kakang tidak berada di sini, maka akan dapat terjadi kelambatan-kelambatan.”

“Tetapi mereka sudah berbuat melampaui batas.”

“Serahkan pimpinan pasukan cadangan kepada Ki Sura Panggah. Sementara itu, aku juga akan berada di dalam pasukan itu.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Aku serahkan pimpinan pasukan itu kepada Ki Sura Panggah dan kepadamu.”

“Kami akan menjalankan tugas ini sebaik-baiknya, Ki Gede,” sahut Ki Sura Panggah.

Sementara itu, dua orang pengawal di pintu gerbang pun telah menghadap. Mereka melihat asap yang mengepul tinggi dari padukuhan sebelah.

“Kebakaran, Ki Gede,” berkata pengawal itu.

“Berhati-hatilah,” berkata Ki Gede, “segerombolan musuh sudah berada di padukuhan itu.”

Dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Sura Panggah dan Ki Argajaya pun telah berada di pintu gerbang. Pada prajurit dan pengawal yang disiapkan sebagai pasukan cadangan setelah mereka menghancurkan pasukan lawan di sisi selatan sebelumnya, tidak dapat beristirahat terlalu lama. Tugas yang berat telah menunggu mereka di depan pintu gerbang padukuhan induk itu.

Sejenak kemudian, pasukan itu pun sudah siap. Ki Sura Panggah telah memberikan perintah agar pasukan itu bergerak, keluar pintu gerbang.

“Kita akan bertempur di luar pintu padukuhan induk. Tugas kita menggagalkan serangan mereka, menghalau dan menghancurkan pasukan itu.”

Beberapa kelompok prajurit dan pengawal pun kemudian telah berada di pintu gerbang. Mereka pun segera mempersiapkan diri menyongsong pasukan lawan yang telah keluar dari padukuhan sebelah, merayap menuju ke padukuhan induk.

“Jumlah mereka cukup banyak,” desis Ki Sura Panggah.

“Lebih banyak dari pasukan cadangan ini,” sahut Ki Argajaya.

“Tetapi kita akan melumatkan mereka,” geram Ki Sura Panggah.

Ki Sura Panggah pun sempat memberitahukan kepada para pemimpin kelompok untuk berhati-hati, “Songsong mereka dengan senjata lontar. Jumlah mereka cukup banyak.”

Pasukan Ki Sura Panggah itu bergeser beberapa puluh patok dari dinding padukuhan induk. Kepada pengawal di pintu gerbang, Ki Sura Panggah memerintahkan untuk menutup pintu gerbang dan menyelarak kuat-kuat dari dalam. Petugas di panggungan harus siap mengamati keadaan, jika pasukan Tanah Perdikan memerlukan berlindung di belakang dinding padukuhan, maka mereka harus dengan cepat membuka pintu gerbang dan bersiap melindungi pasukan yang bergerak masuk, dengan anak panah dan lembing.

Ki Sura Panggah dan Ki Argajaya telah membawa pasukannya untuk menyongsong pasukan lawan yang datang menyerang padukuhan induk. Ia pun telah memerintahkan para prajurit dan pengawal yang bersenjata busur dan anak panah untuk bersiap di tempat terbaik.

“Pada saat pasukan itu menyeberangi jalan, maka mereka berada di tempat terbuka. Maka kalian harus memanfaatkannya. Kalian lepaskan anak panah kalian untuk mengurangi jumlah lawan,” perintah Ki Sura Panggah.

Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal yang bersenjata busur dan anak panah pun segera menyelinap di balik tanaman serta pematang. Mereka berusaha mendekati jalan yang menyilang di hadapan mereka. Sementara itu, Ki Sura Panggah beserta pasukannya yang lain justru berdiri di pematang dengan senjata yang teracu.

Mereka pun segera terlihat oleh pasukan yang menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan itu. Karena itu, maka pemimpin pasukan itu pun segera memberikan perintah untuk menyerang.

Namun demikian mereka sampai di atas tanggul di pinggir jalan yang menyilang itu, anak panah pun telah meluncur dari busur-busurnya. Susul-menyusul dari balik pepohonan, pematang, dan tanaman yang tumbuh subur di sawah.

Orang-orang yang sedang berlari-larian itu terkejut. Beberapa orang di antara mereka sempat berusaha menangkis atau berlindung di balik mereka. Tetapi beberapa orang yang terkejut ternyata terlambat untuk menyelamatkan diri.

Beberapa orang pun telah terguling di jalan dengan darah yang mengalir dari lukanya. Sebagian dari mereka telah mengaduh menahan sakit. Tetapi sebagian lagi justru tidak sempat menggeliat karena anak panah itu menancap di dada, langsung menusuk jantung.

Pemimpin pasukan yang menyerang padukuhan induk itu berteriak marah sekali. Ternyata mereka menjadi lengah, sehingga mereka tidak menyadari bahwa mereka terjebak dalam jangkauan anak panah lawan.

Pasukan itu memang terhambat. Namun mereka pun kemudian melanjutkan serangan mereka ke arah padukuhan induk.

Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan yang telah melontarkan anak panah mereka, tidak dapat mempergunakan busur mereka lagi ketika pasukan lawan itu justru berlari-larian ke arah mereka. Karena itu, maka mereka pun segera meletakkan busur mereka dan menarik pedang atau jenis senjata mereka yang lain. Sementara itu, kawan-kawan mereka pun telah berlari-larian pula menyongsong lawan yang datang menyerang itu.

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit, beberapa puluh patok dari pintu gerbang padukuhan induk yang ditutup rapat. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin memanas, sementara terik matahari pun menjadi panas pula

Pemimpin dari pasukan yang menyerang itu pun telah berteriak-teriak memberikan aba-aba. Dengan lantang pemimpin pasukan penyerang itu berkata, “Kita akan membantai mereka dan seisi padukuhan induk itu hingga lumat, untuk menebus kekalahan kita di sisi selatan!”

Namun pemimpin pasukan yang menyerang itu terkejut ketika seseorang mendekatinya sambil berkata lantang, “Kita bertemu lagi Ki Pringgareja!”

Ki Pringgareja itu pun menggeram. Katanya, “Setan alas kau, Sura Panggah! Kenapa kau berada di sini?”

“Aku tahu kau akan datang kemari. Karena itu, aku bawa pasukanku kemari. Aku ingin menyempurnakan kemenanganku di sisi selatan itu.”

“Iblis kau! Kau kira kami akan memberi kemenangan lagi kepadamu?”

“Kau tidak usah memberikan itu. Kami akan mengambil kemenangan itu sendiri.”

“Persetan! Sekarang bersiaplah untuk mati. Kami akan memecahkan pintu gerbang padukuhan induk itu dan menghancurkan semua isinya. Memaksa para pemimpin Tanah Perdikan yang pengecut dan tidak berani turun ke medan untuk menyerahkan Tanah Perdikan ini kepada kami.”

Ki Sura Panggah tertawa. Katanya, “Mimpi yang bagus. Ternyata tanpa tidur pun kau dapat bermimpi.”

Ki Pringgareja tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun langsung menyerang Ki Sura Panggah.

Tetapi Ki Sura Panggah telah bersiap sepenuhnya sehingga karena itu, maka pertempuran pun segera menjadi sengit.

Ternyata jumlah para penyerang yang cukup banyak itu memang berpengaruh sekali. Betapapun para prajurit dan pengawal yang dipimpin oleh Ki Sura Panggah itu mengerahkan kekuatan dan kemampuannya, namun perlahan-lahan tetapi pasti, pasukan Ki Pringgareja itu mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh mendekati dinding padukuhan induk.

Para pengawal yang ada di panggungan sebelah menyebelah pintu gerbang telah bersiap-siap. Beberapa orang telah siap untuk mengangkat selarak. Sedangkan beberapa orang telah mempersiapkan anak panah, busur dan lembing. Mereka harus melindungi pasukan Tanah Perdikan itu jika mereka akan berlindung di belakang dinding padukuhan induk.

Namun dalam pada itu, para pengawal yang menyusul pasukan penyerang itu dari beberapa padukuhan, telah mendekati medan. Mereka terdiri dari kelompok-kelompok kecil yang jumlahnya hanya sekitar tiga atau empat orang. Namun kelompok-kelompok itu berusaha untuk berkumpul menyatukan diri sebelum menyerang pasukan lawan.

“Sudah berapa orang terkumpul di sini?” bertanya salah seorang pengawal yang berpengaruh di antara kawan-kawannya, yang kemudian dianggap sebagai pemimpin kelompok.

“Tiga belas orang,” desis kawannya

“Kita tidak usah menunggu lebih banyak lagi. Pasukan yang mempertahankan padukuhan induk itu sudah semakin terdesak.”

“Kita akan menyerang mereka dari belakang?” bertanya seorang di antara mereka

“Tidak. Sangat berbahaya, karena jumlah yang sangat kecil ini.”

“Jadi?”

“Kita melingkari lawan. Kita menyerang dari samping.”

“Baik. Marilah segera kita lakukan. Keadaan pasukan yang bertahan itu semakin terdesak.”

Tiga belas orang itu pun kemudian telah melingkari arena. Dengan jumlah yang kecil itu, mereka telah menyerang lawan dari arah samping.

Kedatangan mereka memang mengejutkan. Tiba-tiba saja mereka muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu di pematang. Sedang yang lain menyelinap dari balik tanaman yang hijau di sawah.

Jumlah mereka memang hanya sedikit. Tetapi serangan mereka terhadap lambung pasukan lawan ternyata juga berpengaruh.

Dalam pada itu, beberapa kelompok yang lain pun telah mendekat pula. Seorang yang bertugas untuk mengumpulkan para pengawal yang berdatangan dari beberapa padukuhan itu pun memberitahukan bahwa tiga belas orang telah menyerang lambung.

“Kanan atau kiri?” bertanya para pengawal yang datang kemudian.

“Lambung kanan,” jawab petugas itu.

Para pengawal itu pun kemudian sepakat untuk menyerang lawan di lambung yang lain. Lambung kiri.

“Berapa orang yang terkumpul?” bertanya salah seorang di antara mereka.

“Sembilan belas orang,” jawab petugas itu.

Para pengawal itu pun kemudian telah memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi pemimpin kelompok yang mereka bentuk itu.

Sejenak kemudian, maka sembilan belas orang itu pun telah bergerak ke lambung sebelah kiri, untuk membantu pasukan Tanah Perdikan yang mempertahankan padukuhan induk itu. Sementara itu, seorang yang bertugas untuk menunggu kawan-kawannya yang mungkin masih akan datang, masih tetap dalam tugasnya.

Sebenarnyalah, bahwa masih ada beberapa orang yang berdatangan. Dua orang, kemudian dua orang lagi, dan terakhir tiga orang.

“Tujuh orang,” desis pengawal yang bertugas itu.

“Apa yang harus kami lakukan?” bertanya salah seorang dari ke tujuh orang itu.

“Pergilah ke lambung kanan. Yang lain di lambung kiri.”

Dalam pada itu, seperti yang melibatkan diri di ujung medan sebelah kanan dari pertempuran itu, maka kehadiran sembilan belas orang di lambung kiri itu telah mengejutkan pula. Dengan serta-merta mereka terjun ke medan pertempuran. Pemimpin mereka telah meneriakkan isyarat sandi bagi setiap pengawal dan prajurit yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan, maupun para pengawal yang bertugas di padukuhan-padukuhan untuk hari itu, sehingga para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Tanah Perdikan yang sudah terlibat dalam pertempuran segera mengenali mereka.

Ternyata kehadiran kelompok-kelompok pengawal yang langsung turun ke medan itu sangat berpengaruh. Getar dari guncangan-guncangan yang terjadi di kedua ujung pasukan lawan itu telah merambat sampai ke seluruh tubuh pasukan.

Ternyata Ki Pringgareja juga merasakan getaran itu. Sebagian kekuatan pasukan itu rasa-rasanya telah terhisap ke kedua ujungnya.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Pringgareja di dalam hatinya.

Seperti yang pernah terjadi dalam pertempuran di sisi selatan, seorang penghubung telah berteriak di belakang Ki Sura Panggah, sengaja agar lawannya dapat mendengar, “Dua kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan telah datang dan langsung melibatkan diri di kedua ujung medan pertempuran itu!”

Ki Sura Panggah sudah mendengar dengan jelas. Tetapi sambil bertempur melawan Ki Pringgareja ia berteriak bertanya, “Dua kelompok pasukan pengawal dari mana?”

Yang memberikan laporan, prajurit dari Ganjur yang sudah tahu benar tugasnya itu, menjawab, “Pasukan cadangan dari padukuhan sebelah!”

Namun Ki Pringgareja pun berteriak, “Persetan dengan pasukan cadangan itu!”

Ki Sura Panggah justru melompat surut untuk mengambil jarak sambil tertawa, “Jangan tergetar jantungmu mendengar laporan itu, Ki Sanak. Kalian memang terlalu berani untuk memikul akibat buruk dengan menyerang langsung padukuhan induk ini. Ki Gede tidak terlalu bodoh untuk mengosongkan pertahanan di padukuhan induk ini, karena Ki Gede tahu bahwa padukuhan induk ini akan mendapat serangan langsung, berdasarkan atas pengalamannya. Sudah beberapa kali padukuhan induk itu mendapat serangan, tidak hanya dengan pasukan kecil sebagaimana yang kau bawa ini.”

“Cukup!” teriak Ki Pringgareja sambil meloncat menyerang dengan garangnya. Namun ia masih juga berteriak, “Aku akan menghancurkan padukuhan induk ini! Aku akan membuatnya menjadi karang abang. Kau tidak akan dapat menyelamatkannya. Pasukanku cukup kuat untuk melawan pasukan dalam jumlah dua kali lipat!”

“Jangan sesumbar Ki Pringgareja. Aku akan menghancurkan pasukanmu sekali lagi. Kali ini kau tidak akan luput dari tanganku.”

“Persetan dengan kau, Sura Panggah! Pastikan siapakah aku ini, karena kau tidak akan pernah melihat lagi wajah orang lain. Kau akan segera mati!”

Tetapi Ki Sura Panggah tertawa lebih keras. Katanya, “Suaramu seakan-akan mampu membelah langit. Marilah, kita akan membuktikan, siapakah yang terbaik di antara kita berdua. Kemenanganku terdahulu bukan hanya satu kebetulan.”

Ki Pringgareja tidak menjawab lagi. Tetapi sambil berteriak ia meloncat menyerang Ki Sura Panggah.

Demikianlah, pertempuran di antara keduanya telah menyala lagi. Dua orang pemimpin yang berilmu tinggi. Mereka berloncatan saling menyerang dan saling bertahan. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras.

Sementara itu, kedudukan para prajurit dan pengawal yang mempertahankan padukuhan induk itu pun menjadi semakin baik. Pasukan Ki Pringgareja tidak lagi mampu mendesak maju.

Dalam pada itu, Ki Argajaya yang juga berada di dalam pertempuran itu mempunyai pengaruh yang besar bagi keseimbangan kedua pasukan itu. Dengan kemampuannya yang tinggi, Ki Argajaya telah menggetarkan medan. Tiga orang yang mencoba menghentikannya, harus mengerahkan kemampuannya. Namun seorang di antara mereka pun telah terlempar dari arena pertempuran. Sedangkan kedua orang yang lain, dengan mengerahkan kemampuan mereka mencoba untuk mengimbangi kemampuan Ki Argajaya.

Namun dalam pada itu, seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan telah menggenapi lawan Ki Argajaya menjadi tiga orang lagi. Sementara itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu agaknya memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.

Karena itulah, maka Ki Argajaya harus meningkatkan kemampuannya pula untuk melawan ketiga orang itu.

“Siapa kau?” geram orang bertubuh tinggi itu, “Nampaknya kau salah seorang pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Argajaya termangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Persetan dengan kau! Siapa namamu?”

“Apakah itu penting?”

“Aku ingin membunuh orang yang aku kenal namanya.”

“Karena itu, aku tidak perlu menyebut namaku, karena kau tidak akan dapat membunuhku.”

Orang bertubuh tinggi itu menggeram. Tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan garangnya. Kedua orang yang lain telah melibatkan diri pula.

Ki Argajaya pun harus bertempur melawan tiga orang lagi. Seorang di antaranya adalah orang yang memiliki ilmu melampaui kawan-kawannya.

Tetapi Ki Argajaya sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan garangnya senjatanya pun berputaran menyambar-nyambar.

Dalam pada itu, pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit, sementara cahaya matahari pun menjadi semakin membakar kulit. Telapak tangan pun telah menjadi basah oleh keringat.

Ternyata Ki Gede tidak dapat tinggal diam duduk di pendapa rumahnya sambil menunggu laporan-laporan dari para penghubung. Apalagi di depan pintu gerbang padukuhan induk telah terjadi pertempuran, sehingga para penghubung akan menjadi ragu-ragu untuk memasuki padukuhan induk.

Tetapi Ki Gede berharap bahwa para penghubung akan tanggap pada keadaan dan memasuki padukuhan induk itu lewat pintu regol butulan, yang dijaga oleh beberapa orang prajurit di atas panggungan. Para prajurit itu akan mengetahui jika ada seseorang akan memasuki padukuhan induk, sehingga pintu regol butulan itu akan dibuka.

Dalam pada itu, Ki Gede sendiri telah berdiri di panggungan di sebelah pintu gerbang utama padukuhan induk Tanah Perdikan. Tombak pendeknya digenggamnya erat-erat sambil memandangi pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya. Beberapa orang pengawal khusus Ki Gede telah siap pula untuk menerima perintah apa saja yang akan diberikan oleh Ki Gede.

Ketika pasukan Tanah Perdikan itu terdesak perlahan-lahan mendekati dinding padukuhan induk, Ki Gede menjadi berdebar-debar. Hampir saja ia langsung terjun ke medan bersama beberapa orang pengawal khususnya. Namun kemudian dari panggungan itu Ki Gede melihat kelompok-kelompok pengawal yang berdatangan untuk membantu pasukan yang terdesak itu, sehingga keseimbangan pun telah berubah.

Dada Ki Gede menjadi agak lapang. Pasukan Tanah Perdikan tidak lagi terdesak surut perlahan-lahan. Kehadiran kelompok-kelompok pengawal dari padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk itu ternyata mempunyai pengaruh yang besar. Bukan saja lambung pasukan lawan yang mengalami kesulitan, tetapi kesulitan itu telah merambat ke seluruh bagian pasukan yang menyerang padukuhan induk itu.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di perbatasan sebelah barat Tanah Perdikan serta di sisi utara, menjadi semakin sengit pula. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan untuk menghancurkan lawan. Pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itu pun telah berusaha dengan segenap kekuatan untuk memecah pertahanan pasukan Tanah Perdikan. Tetapi usaha itu selalu saja sia-sia.

Dalam pada itu, di induk gelar pasukan Tanah Perdikan, Agung Sedayu harus bertempur menghadapi Ki Darpatenaya, yang berniat untuk membunuhnya sebelum Ki Darpatenaya itu akan bergeser ke pertempuran di medan yang lain, untuk membunuh Empu Wisanata.

Tetapi tidak mudah untuk membunuh Agung Sedayu. Ki Darpatenaya yang merasa dirinya mempunyai kemampuan melampaui semua orang itu, menyangka bahwa ia akan dapat dengan cepat membunuh Agung Sedayu, meskipun ia menyadari bahwa Agung Sedayu itu berilmu tinggi. Tetapi ternyata nyawa Agung Sedayu itu cukup liat.

Serangan-serangan Ki Darpatenaya yang dianggapnya akan dapat menentukan akhir dari pertempuran, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu pun merasakan bahwa serangan-serangan Ki Darpatenaya memang menjadi semakin berbahaya. Tangan Ki Darpatenaya itu serasa menjadi semakin keras. Benturan-benturan yang terjadi kemudian telah menyakiti tulang Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu bukan lawan yang lunak bagi Ki Darpatenaya. Semakin lama Agung Sedayu itu justru menjadi semakin cepat bergerak. Tangan Ki Darpatenaya yang menjadi semakin keras seperti batu, justru tidak menyakitinya.

Ki Darpatenaya adalah orang yang cukup berpengalaman. Ketika kekuatan ilmunya yang tersalur di tangannya tidak menyakiti Agung Sedayu, maka ia pun mulai mengakui bahwa Agung Sedayu bukan sekedar memiliki kemampuan kewadagan dan keterampilan serta menguasai unsur-unsur gerak yang rumit.

“Itukah sebabnya namamu menjadi besar, Agung Sedayu?” berkata Ki Darpatenaya

“Apa?” bertanya Agung Sedayu

“Kau memiliki ilmu kebal. Sentuhan tanganku sama sekali tidak kau hiraukan.”

“Aku sudah sangat mengenali jenis ilmu Brajamusti itu, Ki Sanak. Karena itu, aku tidak terkejut karenanya.”

“Jangan terlalu sombong, Ki Lurah. Yang kau hadapi bukan Aji Brajamusti. Tetapi Aji Wukir Sewu. Wataknya jauh berbeda.”

“Aku berhadapan dengan Aji Brajamusti. Tetapi jika kemudian kau akan menerapkan Aji Wukir Sewu, silakan Ki Sanak.”

Ki Darpatenaya tidak menjawab. Tetapi serangannya kemudian datang membadai. Sentuhan-sentuhan tangannya menjadi semakin keras. Sentuhan tangan itu meskipun tidak menyakitinya, tetapi dapat dirasakan betapa besar kekuatannya. Semakin lama semakin besar. Meskipun tidak memecahkan ilmu kebalnya, namun kekuatannya demikian besar sehingga mampu mengguncang ketahanan sikap Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak dapat menghadapi Aji Wukir Sewu itu dengan berlindung di balik ilmu kebalnya saja. Namun kemudian Agung Sedayu pun telah mengetrapkan kemampuannya meringankan tubuhnya.

Dengan demikian maka serangan-serangan Ki Darpatenaya itu pun kemudian sulit untuk menyentuhnya. Agung Sedayu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Meloncat, melenting, berputar di udara, dan bahkan bergeser dengan kaki yang bagaikan tidak menyentuh tanah.

Perlawanan Agung Sedayu itu telah membuat lawannya menjadi semakin marah, tetapi juga gelisah. Dengan mengerahkan tenaga dan kemampuannya, Ki Darpatenaya masih belum mampu mengatasi kecepatan gerak Agung Sedayu.

Ki Darpatenaya pun menjadi sangat marah. Karena itu, maka Ki Darpatenaya itu pun tidak menunggu lebih lama lagi. Tiba-tiba saja Ki Darpatenaya itu sudah mencabut pedangnya.

Sambil mengacukan pedangnya, Ki Darpatenaya itu pun berkata, “Aku ingin tahu, apakah ilmu kebalmu mampu menahan tajamnya pedang pusakaku, Kiai Galih, yang dialasi dengan kekuatan Aji Wukir Sewu?”

Dahi Agung Sedayu pun berkerut. Lawannya akan menggabungkan dua kekuatan yang diyakini akan dapat mengoyak ilmu kebalnya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus berhati-hati.

Sejenak kemudian, maka pertempuran antara kedua orang berilmu tinggi itu pun menjadi semakin sengit. Pedang Kiai Galih di tangan Ki Darpatenaya yang memiliki kekuatan Aji Wukir Sewu, ternyata sangat berbahaya. Ketika ujung pedang itu sempat menukik ke arah pundak Agung Sedayu, meskipun pedang itu tidak menghujam di pundak Agung Sedayu, tetapi pundak Agung Sedayu telah sempat tergores oleh ujung pedang itu, sehingga darahnya telah menitik dari luka itu.

Agung Sedayu meloncat surut, sementara Ki Darpatenaya tidak memburunya. Ki Darpatenaya memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk melihat bahwa kekuatan Aji Wukir Sewu-nya mampu mendorong pedangnya yang disebutnya Kiai Galih menembus ilmu kebal lawannya.

Sambil tertawa Ki Darpatenaya itu pun berkata, “Nah, kau lihat Agung Sedayu? Pundakmu itu terluka. Dengan demikian, kau yakini bahwa pedangku akan dapat mengoyak perutmu, menembus jantung di dadamu, atau menyobek lambungmu.”

“Ya, aku percaya Ki Sanak. Tetapi sentuhan-sentuhan tipis itu tidak akan banyak berpengaruh. Ujung pedangmu tidak akan mampu menusuk sampai ke jantung. Kau memerlukan kekuatan yang sangat besar untuk menembus ilmu kebalku. Dengan Aji Wukir Sewu itu kau hanya dapat menggores ujung pedangmu di pundakku, seperti terpatuk ujung duri di tangkai kembang mawar hutan.”

“Mungkin sentuhan pertama itu tidak menyakitimu, Ki Lurah. Tetapi sentuhan berikutnya akan mengejutkanmu.”

Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Ki Darpatenaya itu pun meloncat menyerangnya. Pedangnya berputar dengan cepat kemudian teracu ke arah dada dilambari dengan Aji Wukir Sewu. Demikian besar kekuatan Ki Darpatenaya dengan alas Aji Wukir Sewunya, sehingga seakan-akan Ki Darpatenaya mampu memindahkan seribu gunung.

Karena itulah, maka Agung Sedayu benar-benar harus berhati-hati menghadapi ujung pedang Ki Darpatenaya itu.

Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit di medan di perbatasan barat Tanah Perdikan itu. Kedua pasukan saling mendesak dengan garangnya. Kedua belah pihak bertempur dengan kerasnya, mengerahkan segenap kemampuan.

Namun bagaimanapun juga usaha pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, namun mereka tidak berhasil mendesak pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Medan pertempuran itu rasa-rasanya masih belum beringsut dari semula.

Meskipun demikian, korban sudah berjatuhan. Beberapa orang di antara mereka yang ada di dalam pasukan itu, terpaksa berhenti bertempur untuk menolong kawan-kawannya yang terluka. Mereka membawa kawan-kawan mereka itu ke belakang garis pertempuran, sementara mereka pun segera kembali ke medan. Sedangkan kawan-kawan mereka yang terluka itu segera dirawat oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan pengobatan. Orang-orang yang sudah lewat separuh baya, tetapi masih kokoh, telah turun pula untuk membantu merawat para prajurit dan pengawal yang terluka.

Dalam pada itu, Suranata masih bertempur melawan Ki Wijil. Keduanya memiliki bekal ilmu yang tinggi, sehingga karena itu maka pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin seru. Suranata yang telah mengembara menjelajahi daerah yang luas itu, mempunyai sebangsal pengalaman yang dapat mematangkan ilmunya.

Namun yang dihadapinya adalah Ki Wijil. Seorang yang berilmu tinggi pula. Dilengkapi dengan dukungan pengetahuannya dan pengalaman yang sangat luas pula.

Karena itulah, maka Suranata pun segera merasakan tekanan yang semakin lama menjadi semakin berat, sehingga akhirnya Suranata itu mulai terdesak.

Tetapi Suranata yang sedang dicengkam oleh gejolak jiwanya itu tidak segera melihat kenyataan itu. Dengan garangnya ia mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyelesaikan pertempuran itu.

Tetapi ternyata justru Suranata sendiri yang semakin mengalami kesulitan. Serangan-serangannya selalu dapat dipatahkan. Namun dalam pada itu, serangan-serangan Ki Wijil semakin sering mengenainya. Beberapa kali tubuh Suranata tergores ujung senjata Ki Wijil. Meskipun goresan-goresan itu tidak menghentikan perlawanannya, namun darah telah menitik dari luka-lukanya itu.

Dalam puncak kemarahannya, maka Suranata tidak lagi menyandarkan diri kepada senjatanya. Tetapi Suranata ingin segera mengakhiri pertempuran dengan ilmu pamungkasnya.

Namun Ki Wijil dapat membaca niat Suranata itu. Karena itu, maka Ki Wijil berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada Suranata untuk memusatkan nalar budinya sampai kepada puncak ilmunya.

Serangan-serangan Ki Wijil justru menjadi semakin membadai. Ujung senjata yang berputar menyambar-nyambar semakin sering menyentuh kulit Suranata.

Beberapa kali Suranata mencoba mengambil jarak. Tetapi Ki Wijil benar-benar telah mengerahkan tenaganya untuk memburunya, menyerangnya, dan merampas segala kesempatan yang mungkin dapat dilakukan.

Suranata itu pun menggeram marah sekali. Ki Wijil rasa-rasanya selalu saja melekat di hadapannya, sehingga Suranata benar-benar tak mempunyai kesempatan.

Namun Suranata tidak menyerah. Dihentakkannya segenap tenaga dan kemampuannya untuk menahan serangan Ki Wijil. Namun kemudian Suranata itu pun meloncat mengambil jarak.

Suranata tidak menghiraukan lagi serangan-serangan Ki Wijil, ia berusaha dengan kesempatan yang sekejap itu untuk melepaskan ilmu pamungkasnya.

Tetapi kecepatan gerak Ki Wijil memang tidak tertandingi oleh Suranata. Pada saat Suranata berlutut pada satu kakinya sambil mengangkat tangannya, maka sebilah pisau belati telah menyambar bahunya. Demikian kerasnya sehingga Suranata itu terdorong dan kehilangan keseimbangannya.

Pada saat yang bersamaan, Suranata melepaskan ilmu puncaknya. Dari telapak tangannya yang dihentakkannya, meluncur seleret sinar dengan derasnya. Tetapi arahnya sudah tidak terkendali lagi. Sinar itu meluncur naik ke udara

“Licik, kau Ki Wijil!” geram Suranata yang kemudian jatuh telentang. Pisau belati yang dilemparkan oleh Ki Wijil masih menancap di bahunya. Katanya dengan suara tersendat, “Kau tidak berani beradu ilmu. Di saat kau tahu bahwa aku berusaha untuk melepaskan ilmu pamungkasku, kau tidak berani beradu dada. Seharusnya kau pun bersiap untuk membentur ilmu puncakku dengan ilmu puncakmu. Ternyata bahwa kau tidak lebih dari seorang yang sekedar berpijak pada ilmu kewadagan.”

Ki Wijil berdiri termangu-mangu. Ia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, Suranata tidak akan melepaskan ilmu puncaknya Jika hal itu dilakukannya, maka lukanya itu akan dapat membunuhnya. Urat-urat nadinya yang terpotong oleh pisau belati itu akan memancarkan darah, sehingga jantung Suranata itu akan menjadi kering.

“Sudahlah, Ngger. Jangan terlalu banyak bergerak. Redamlah kemarahanmu itu.”

“Kenapa kau tidak berani membenturkan ilmumu? Bukankah kau suami Srigunting Kuning?”

Ki Wijil menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Suranata sejenak. Wajahnya menjadi sangat tegang menahan kesakitan yang mencekam lukanya.

Ketika Suranata itu akan bangkit, maka Ki Wijil itu pun mencoba menahannya. Katanya, “Jangan paksa dirimu. Berbaring sajalah.”

Suranata yang lemah itu pun berbaring kembali. Nafasnya menjadi terengah-engah.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah melingkari Ki Wijil dan Suranata yang terbaring diam. Dengan garangnya mereka menghalau orang-orang yang mencoba mendesak dan berusaha untuk mengambil Suranata yang terluka.

“Angger Suranata,” berkata Ki Wijil, “aku memang tidak ingin membenturkan ilmuku dengan ilmu yang mungkin dilepaskan oleh Angger Suranata.”

“Kenapa?” geram Suranata yang kesakitan, sementara Ki Wijil berjongkok di sebelahnya.

“Aku tidak berniat menyombongkan diri, tetapi aku harap Angger Suranata menyadari kenyataan itu. Aku tahu bahwa saudara perempuan Angger Suranata sedang dalam keadaan terluka. Terluka tubuhnya dan terluka hatinya. Karena itu, maka sebaiknya Angger Suranata tetap hidup. Nyi Yatni itu sangat memerlukan Angger Suranata.”

Wajah Suranata menjadi tegang. Sementara itu, Ki Wijil pun berkata selanjurnya, “Jika kita beradu ilmu puncak, maka aku tidak akan dapat mengendalikan diri lagi. Sedangkan aku yakin bahwa kematangan ilmu Angger Suranata masih selapis di bawah kematangan ilmuku. Karena itu, aku cari jalan lain untuk menghentikanmu tanpa membenturkan ilmu kita masing-masing.”

“Kau terlalu sombong, Ki Wijil,“ geram Suranata.

“Bukan maksudku, Ngger.”

“Kau kira benturan ilmu di antara kita akan dapat membunuhku, Ki Wijil? Atau kau sendiri yang menjadi ragu-ragu, bahwa ilmumu akan dapat mengimbangi ilmu pamungkasku?”

“Angger Suranata. Kau jangan ingkar dari kenyataan ini. Jika aku sekedar ingin membunuhmu, tanpa ilmu pamungkas itu pun aku dapat melakukannya.”

Wajah Suranata menjadi merah. Sementara itu, perasaan sakit semakin mencengkamnya

“Aku akan menarik pisau itu dari bahu Angger Suranata,” berkata Ki Wijil, “bertahanlah. Aku akan menaburkan obat di lukamu agar darahnya menjadi mampat. Kemudian biarlah kau dibawa oleh orang-orangmu ke tempat saudara perempuanmu.”

Suranata menggeram. Katanya, “Tinggalkan aku. Jika aku mati, kau tidak akan merasa kehilangan, Ki Wijil.”

Tetapi Ki Wijil tidak menghiraukannya. Disiapkannya bumbung berisi obat untuk memampatkan darah. Kemudian dicabutnya pisau belatinya yang tertancap di bahu Suranata.

Terdengar Suranata itu berteriak nyaring. Perasaan sakit benar-benar telah menusuknya sampai ke tulang sumsum.

Namun Ki Wijil pun kemudian telah menaburkan obat yang akan dapat memampatkan darah yang memancar dari luka itu.

Sejenak kemudian, Ki Wijil pun bangkit berdiri. Ia pun memberi isyarat agar para pengawal yang bertempur di sekitarnya itu bergeser mundur.

Sebenarnyalah, demikian para pengawal menyibak, maka beberapa lawan pun dengan serta-merta telah berloncatan ke arah tubuh Suranata. Beberapa orang pun kemudian telah memungut tubuh itu dan menggotongnya, menyibak kawan-kawannya ke belakang garis pertempuran.

Namun Suranata itu masih hidup. Bahkan terngiang di telinganya kata-kata Ki Wijil, bahwa Ki Wijil tidak berniat untuk membunuhnya

“Jika aku sempat melepaskan ilmu puncakku, maka Ki Wijil tentu akan membenturnya dengan ilmu puncak pula,” berkata Suranata di dalam hatinya. Jika itu terjadi, maka agaknya tidak berlebihan sebagaimana yang dikatakan oleh Ki Wijil, bahwa ilmunya masih selapis di bawah ilmu Ki Wijil. Sehingga benturan ilmu itu tentu akan menghanguskan dadanya.

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian menyeringai menahan sakit. Meskipun demikian, ternyata obat Ki Wijil itu benar-benar telah jauh mengurangi arus darahnya yang memancar dari lukanya.

“Kenapa Ki Wijil tidak mau membunuhku?”

Meskipun Ki Wijil tidak menyaksikan sendiri, agaknya ia sudah mendengar apa yang terjadi di halaman rumah Ki Gede. Perselisihan antara kedua orang saudara perempuannya.

Suranata itu menarik nafas dalam-dalam. Ki Wijil itu berkata kepadanya, “Saudara perempuan Angger Suranata sedang dalam keadaan terluka. Terluka tubuhnya dan terluka hatinya.”

“Yatni memang memerlukan aku,” berkata Suranata di dalam hatinya

Sementara itu, keseimbangan pertempuran telah mulai berguncang. Wira Aran yang bertempur melawan Nyi Wijil, ternyata tidak mempunyai banyak kesempatan. Ujung pedang Nyi Wijil yang disebutnya sebagai Srigunting Kuning itu, selalu memburunya ke mana saja ia bergerak. Kecepatan gerak Nyi Wijil benar-benar secepat gerak seekor burung srigunting yang sedang menyambar belalang.

Sebenarnyalah Wira Aran bukan lawan Nyi Wijil. Karena itu, maka akhirnya Wira Aran itu harus mengakui kelebihan Nyi Wijil.

Dengan demikian, maka Wira Aran itu pun kemudian telah berusaha untuk mendapatkan bantuan dari orang-orang yang bertempur di bawah pimpinan Ki Saba Lintang itu.

“Hancurkan perempuan iblis ini!” teriak Wira Aran.

Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Teriakan Wira Aran itu tidak segera mendapat tanggapan, karena orang-orang dalam pasukan Ki Saba Lintang itu masih harus menghadapi lawan mereka masing-masing.

Namun kemudian dua orang di antara mereka berhasil melepaskan diri dari lawan-lawan mereka dan bergabung dengan Wira Aran, melawan perempuan yang disangkanya Srigunting Kuning itu

Nyi Wijil pun kemudian bertempur melawan ketiga orang itu. Mereka berusaha untuk mengepung Nyi Wijil dan menyerangnya dari arah yang berbeda-beda.

Tetapi Nyi Wijil cukup tangkas menghadapi mereka bertiga. Dengan cepatnya ia berloncatan sambil memutar senjatanya. Bahkan sekali- kali melenting keluar dari lingkaran kepungan ketiga orang lawannya.

Namun ketiga orang itu pun kemudian menjadi gelisah ketika Ki Wijil yang sudah kehilangan lawannya menyibak medan pertempuran, dan melangkah mendekati Nyi Wijil yang bertempur melawan ketiga orang lawan itu.

Tetapi Ki Wijil tidak segera melibatkan diri. Sejenak ia mengamati pertempuran antara Nyi Wijil dan ketiga orang lawannya, termasuk Wira Aran.

Namun kemudian ia pun tersenyum. Pertempuran itu tidak membahayakan Nyi Wijil.

Wira Aran menjadi semakin gelisah melihat Ki Wijil mendekati arena itu. Jika Ki Wijil melibatkan diri, maka sulit baginya bertiga untuk menghadapi kedua orang suami istri itu.

Tetapi sebelum Ki Wijil memasuki arena pertempuran itu, salah seorang dari kedua orang yang membantu Wira Aran itu telah terlempar dari arena. Segores luka yang panjang menyilang di dadanya

Wira Aran menjadi semakin cemas. Kawannya yang tinggal seorang itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa berdua mereka tidak akan mampu melawan Nyi Wijil. Apalagi jika Ki Wijil melibatkan dirinya pula.

Karena itu, ketika Nyi Wijil semakin menekan keduanya, maka kedua orang itu pun telah berusaha membaur dalam pertempuran yang seru, di antara orang-orang yang berada di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu

Tetapi sebelum Wira Aran tenggelam di dalamnya, Nyi Wijil telah menyusulnya. Sementara itu Ki Wijil sudah mendampinginya, sehingga orang-orang yang akan mendekatinya telah dihalaunya.

“Jangan menghindar, Wira Aran!” Ki Wijil-lah yang berkata lantang, “Seharusnya kau berhadapan dengan Empu Wisanata, sebagaimana pernah kau katakan bahwa kau tidak akan pernah melupakannya, ketika kau bersama Suranata menemuinya di rumah Agung Sedayu.”

“Persetan dengan Empu Wisanata!” geram Wira Aran.

“Karena Empu Wisanata tidak ada di sini, maka biarlah Nyi Wijil saja-lah yang mewakilinya”

“Jika kalian tidak menyingkir, aku akan membunuh kalian!”

“Kau-lah yang tidak pantas untuk tetap hidup. Kau tentu telah menghasut Suranata untuk berani melawan ayahnya,” geram Nyi Wijil.

Wira Aran masih akan menyusup di antara pertempuran yang masih berlangsung.

Namun dengan cepat Nyi Wijil menyusulnya, sehingga Wira Aran tidak dapat melarikan dirinya lagi. Sementara itu, seorang yang bertempur bersamanya telah berusaha untuk membantunya sejauh dapat dilakukannya

Ki Wijil ternyata tidak mencampurinya. Ia bahkan ikut melibatkan diri bertempur bersama para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan.

Wira Aran memang tidak dapat lepas dari tangan Nyi Wijil. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Nyi Wijil masih juga memberinya peringatan, “Menyerahlah, Wira Aran! Kau harus ditangkap hidup-hidup dan dibawa menghadap Empu Wisanata.”

“Persetan, Nenek-Nenek Buruk! Kau tidak dapat memaksakan kehendakmu atasku! Sekali lagi aku beri kau kesempatan untuk melarikan diri dari medan. Jika kau tolak kesempatan terakhir ini, maka kau akan mati!”

Namun demikian mulut Wira Aran tertutup, maka terdengar ia berteriak nyaring. Ujung senjata Nyi Wijil telah mengoyak lambungnya, sehingga luka pun telah menganga.

Wira Aran terhuyung-huyung. Ia pun kemudian telah berteriak-teriak mengumpat dan mengaduh, sambil berguling-guling menahan sakit.

Nyi Wijil berdiri termangu-mangu. Namun kemudian ditinggalkannya Wira Aran yang terluka parah itu. Tidak ada niat Nyi Wijil untuk membunuhnya. Jika kawan-kawannya sempat menolongnya, biarlah ia tetap hidup. Jika ia masih juga mendendamnya, maka Nyi Wijil akan menunggunya.

Dalam pada itu, Ki Wijil dan Nyi Wijil pun kemudian telah bergabung dengan para prajurit dan pengawal dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Kehadiran mereka benar-benar telah mengacaukan perlawanan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Bersama dengan para prajurit dan pengawal, maka Ki Wijil dan Nyi Wijil itu telah mendesak pasukan lawan. Mereka tidak sempat menyusun kelompok-kelompok untuk menahan Ki Wijil dan Nyi Wijil, karena para prajurit dan pengawal seakan-akan tidak pernah memberi kesempatan.

Beberapa orang memang sempat menolong Wira Aran. Tetapi luka-luka Wira Aran terhitung sangat parah. Kegelisahannya serta geraknya yang terlalu banyak, seakan-akan telah memeras darahnya dari tubuhnya.

Berbeda dengan Suranata yang lebih tenang, apalagi Ki Wijil telah memberinya obat untuk mengurangi arus darahnya.

Karena itu, keadaan Suranata masih jauh lebih baik dari keadaan Wira Aran.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah berhadapan dengan dua orang bersaudara seperguruan. Dua orang yang terhitung agak gemuk, tetapi ternyata mereka memiliki ilmu yang tinggi.

Seorang di antara kedua orang bersaudara yang berdiri di hadapan Glagah Putih berdesis, “Kau tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga, Glagah Putih. Lari pun kau tidak akan dapat melakukannya.”

Glagah Putih tidak segera menjawab. Namun ia pun meloncat ke samping ketika lawannya yang seorang lagi menyerangnya.

Tetapi lawannya yang lain pun segera memburunya. Ujung senjatanya yang telah digenggamnya terayun mendatar menebas ke arah dada.

Tetapi Glagah Putih sempat mengelak. Ujung pedang itu tidak menyentuhnya sama sekali. Sementara itu, lawannya yang seorang lagi telah meloncat menjulurkan pedangnya. Namun dengan tangkasnya Glagah Putih dapat menangkis dengan pedangnya pula.

Tetapi kedua orang lawannya itu pun semakin meningkatkan ilmunya pula. Semakin lama semakin tinggi.

Glagah Putih pun harus bertempur semakin keras pula. Dua orang lawannya adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Di sisi selatan, Glagah Putih harus bertempur menghadapi tiga orang saudara seperguruan yang disebut Rewanda Lantip. Bertiga mereka merupakan kekuatan yang sulit diatasinya, meskipun akhirnya Glagah Putih mampu mengalahkan mereka. Kemudian dalam pertempuran di sisi barat itu, ia harus menghadapi sepasang saudara seperguruan. Meskipun kedua orang ini tidak bertempur sekasar ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu, namun keduanya tidak kalah berbahaya dari mereka.

Pedang kedua orang saudara seperguruan itu terayun-ayun mengerikan. Berganti-ganti keduanya terjulur, menebas, terayun mendatar dan kadang-kadang menikam ke arah jantung.

Tetapi kecepatan gerak Glagah Putih mampu melindunginya. Pedang Glagah Putih pun kemudian berputar dengan cepatnya.

Namun agaknya kedua orang lawannya yang tidak segera dapat mengalahkannya itu tidak telaten lagi. Keduanya pun kemudian telah merambah ke ilmu puncak mereka. Kedua pedang itu pun bergerak beruntun dengan cepatnya. Sekali-kali kedua belah pedang itu justru bersentuhan yang satu dengan yang lain. Bahkan kadang-kadang berbenturan.

Glagah Putih mulai menyadari bahwa kedua orang lawannya telah sampai kepada ilmu puncak mereka. Sentuhan-sentuhan senjata mereka telah memancarkan bunga api yang bercahaya menyilaukan mata Glagah Putih. Pada saat yang demikian, maka kedua orang lawannya itu menyerangnya berbareng dari arah yang berbeda

Glagah Putih semakin lama menjadi semakin terdesak. Setiap kali ia harus meloncat mengambil jarak apabila matanya menjadi silau oleh kilatan loncatan api pada sentuhan kedua bilah pedang lawan-lawannya.

Namun ternyata Glagah Putih pun telah terlambat melenting ketika matanya bagaikan tertusuk oleh cahaya yang berkilat-kilat, sehingga ia sama sekali tidak dapat melihat sesuatu.

Glagah Putih itu menggeram ketika terasa lengannya menjadi pedih. Seleret luka telah mengoyak lengannya, sehingga darah pun telah mengalir dari lukanya itu.

Jantung Glagah Putih memang menjadi panas. Karena itu, ia justru telah menyarungkan pedangnya. Yang kemudian digenggamnya adalah ikat pinggangnya

Dengan ikat pinggang yang rasa-rasanya sudah menjadi sangat mapan di tangannya, Glagah Putih menjadi semakin garang. Ketika kedua orang lawannya menyentuhkan pedang-pedang mereka yang satu dengan yang lain, Glagah Putih tidak berusaha mengambil jarak. Glagah Putih justru meloncat mendekati cahaya yang menyilaukan itu. Dengan ikat pinggangnya ia memukul percikan bunga api yang memancarkan cahaya yang menusuk matanya.

Kedua orang lawannya terkejut. Karena sikap Glagah Putih itu tidak mereka duga sebelumnya, maka pedang mereka pun telah tergetar. Bahkan seorang di antara mereka benar-benar tidak sempat mempertahankan pedangnya, sehingga pedangnya itu pun telah terjatuh di tanah.

Untunglah bahwa kawannya cepat bertindak. Orang itu telah memutar pedangnya dan menyerang langsung dengan menjulurkan pedangnya itu ke arah perut.

Glagah Putih meloncat surut. Sementara itu, seorang dari kedua lawannya yang kehilangan pedangnya itu sempat memungutnya.

Namun Glagah Putih tidak membiarkannya. Dengan cepatnya ia melenting. Ikat pinggangnya berputar dengan cepat. Satu tebasan mendatar telah membuat lawannya yang baru saja menjulurkan pedangnya harus menangkisnya.

Benturan yang keras telah terjadi. Lawan Glagah Putih itu harus mempertahankan pedangnya agar tidak terlepas. Namun telapak tangannya terasa bagaikan menyentuh bara.

Orang itu meloncat surut. Kawannya yang telah menggenggam pedangnya dengan cepat mendekatinya. Kedua pedang itu pun bersentuhan, sehingga cahaya yang silau telah memancar.

Tetapi kedua orang itu ternyata salah hitung. Cahaya yang silau itu tidak membuat lawan mereka kebingungan. Tetapi Glagah Putih justru memanfaatkan saat seperti itu.

Glagah Putih tahu pasti bahwa kedua senjata lawan-lawannya itu sedang bersentuhan. Seperti yang pernah terjadi, maka jika ia memukul titik percikan yang menyilaukan itu, maka ia akan dapat mengenai kedua senjata lawannya.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan dialasi oleh kekuatan ilmu Sigar Bumi, maka Glagah Putih meloncat sambil mengayunkan ikat pinggangnya. Ia yakin bahwa ikat pinggangnya akan mampu membawa beban ilmunya. Jika ia mempergunakan pedangnya, mungkin pedangnya akan patah, jika pedang lawan terbuat dari bahan yang lebih baik. Tetapi Glagah Putih percaya akan kelebihan ikat pinggangnya itu.

Karena itu, ketika ikat pinggang Glagah Putih itu mengenai pusat percikan bunga api yang menyala menyilaukan itu, maka sekali lagi ikat pinggangnya menghantam dua bilah pedang dari kedua orang lawannya. Benturan yang terjadi jauh lebih keras dari benturan sebelumnya. Pedang seorang dari mereka telah terlempar dari tangannya, sedangkan pedang yang sebilah lagi telah patah di tengah.

Kedua orang lawan Glagah Putih itu berloncatan surut. Kedua-duanya tidak lagi dapat mempergunakan senjata mereka untuk melawan.

Namun kedua orang itu tidak segera menyerah. Justru karena mereka kehilangan senjata mereka, maka keduanya pun telah mengerahkan ilmu puncak mereka.

Jantung Glagah Putih berdesir ketika ia melihat kedua orang itu berloncatan saling mendekat. Keduanya pun kemudian berpegangan sebelah tangan masing-masing. Sedangkan tangan yang lain mereka angkat bersama-sama mengarah kepada Glagah Putih.

Glagah Putih yang memiliki pengalaman yang luas itu segera mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang saudara seperguruan itu. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan diri.

Disangkutkannya ikat pinggangnya di lehernya, sementara ia siap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, justru karena kedua orang lawannya harus bekerja bersama, maka mereka memerlukan waktu sekejap lebih lama dari Glagah Putih sendiri. Karena itu, demikian mereka mengangkat tangan mereka, maka Glagah Putih pun telah meloncat sambil berguling beberapa kali. Namun tanpa bangkit berdiri, Glagah Putih yang kemudian berlutut di satu lututnya itu, telah mengangkat tangannya pula.

Seleret sinar telah meluncur menyambar Glagah Putih dari kedua tangan dua orang bersaudara yang saling berpegangan itu. Namun sinar itu tidak mengenai sasarannya, karena Glagah Putih dengan cepat mengelakkan diri. Bahkan Glagah Putih pun telah membalas menyerang.

Kedua orang saudara seperguruan itu tidak mengira bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mampu membalas menyerangnya dari jarak jauh.

Keduanya memang berusaha mengelak. Tetapi ternyata seorang di antara mereka telah terlambat. Serangan Glagah Putih telah menyambar seorang di antara kedua orang saudara seperguruan itu, sementara yang lain telah berloncatan sambil menjatuhkan dirinya menyamping.

Terdengar teriakan kesakitan. Orang yang telah dikenai serangan Glagah Putih itu terpelanting beberapa langkah. Tubuhnya terbanting jatuh dengan derasnya.

Dalam pada itu, seorang di antara kedua saudara seperguruan yang luput dari serangan Glagah Putih itu telah berusaha mempersiapkan diri pula. Tanpa dukungan kekuatan saudara seperguruannya, orang itu telah menyerang Glagah Putih.

Tetapi ternyata Glagah Putih telah bersiap pula. Ia memang berusaha untuk tidak membenturkan ilmunya ketika ia menyadari bahwa kedua orang lawannya itu telah menggabungkan kekuatan puncak ilmu mereka. Namun Glagah Putih tidak mengelak ketika ia mendapat serangan hanya oleh seorang di antara mereka.

Karena itu, pada waktu yang bersamaan, Glagah Putih telah mengangkat tangannya pula. Kedua telapak tangannya pun dibukanya menghadap ke arah lawannya.

Dengan demikian, maka telah terjadi benturan ilmu dari dua orang yang berilmu tinggi.

Benturan ilmu itu ternyata telah menimbulkan getaran yang bergelombang, berbalik ke arah mereka yang telah melontarkannya.

Demikian serunya benturan yang terjadi, serta gelombang getar balik ilmu mereka masing-masing, maka kedua orang yang sedang beradu ilmu itu telah terpelanting beberapa langkah surut.

Glagah Putih yang terdorong beberapa langkah itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga anak muda itu telah terjatuh berguling di tanah.

Dua orang pengawal Tanah Perdikan dengan cepat berlari mendekat, sebelum lawan-lawan mereka mengambil kesempatan untuk mencelakai Glagah Putih.

Seorang di antara mereka berlutut di sebelah tubuh Glagah Putih. Dengan susah payah ia membantu Glagah Putih yang berusaha untuk bangkit dan duduk bersandar pada kedua belah tangannya.

“Jangan paksakan untuk duduk,” berkata pengawal itu.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian justru duduk bersila sambil meletakkan kedua telapak tangannya di lututnya.

Nafas Glagah Putih pun menjadi sesak. Karena itu, maka Glagah Putih mencoba untuk memperbaiki keadaannya. Sementara itu, perasaan nyeri telah mencengkam dadanya.

Dua orang pengawal yang berdiri di dekatnya bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan, dengan senjata telanjang.

Namun tidak seorang pun lawan yang sempat mendekatinya. Pertempuran masih saja berlangsung dengan sengitnya. Sorak gemuruh yang menggetarkan medan justru telah menggetarkan jantung di setiap dada lawan.

Kegelisahan melanda orang-orang yang berada di dalam pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Saba Lintang itu. Dua orang saudara seperguruan yang menjadi kebanggaan para prajurit pengikut Ki Saba Lintang itu ternyata dapat dilumpuhkan oleh anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.

Sebenarnyalah dalam benturan ilmu yang terjadi, Glagah Putih yang memiliki kematangan ilmu selapis lebih tinggi dari lawannya telah berhasil menghentikan perlawanannya. Dari sela-sela bibir lawannya menitik darah yang segar. Ternyata benturan ilmu itu telah menghancurkan bagian dalam tubuhnya.

Demikian ia terpelanting jatuh, maka ia tidak mampu untuk bangkit kembali. Meskipun orang itu masih sempat mengerang, namun kemudian maut pun telah menjemputnya. Sementara saudara seperguruannya telah terlebih dahulu menarik nafasnya yang terakhir.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun ternyata telah terluka di bagian dalam tubuhnya. Jika saja ia tidak menghindari benturan yang terjadi melawan kedua orang saudara seperguruan yang menyatukan kekuatan mereka, maka tentu Glagah Putih yang akan mengalami bencana itu.

Kematian dua orang saudara seperguruan itu telah mengguncang medan. Orang-orang dalam pasukan Ki Saba Lintang itu menjadi kecut. Mereka menganggap bahwa kedua orang saudara seperguruan itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Namun ternyata anak muda dari Tanah Perdikan itu mampu mengalahkannya

Meskipun kemudian Glagah Putih tidak lagi bertempur di antara para pengawal Tanah Perdikan karena luka-luka di bagian dalam tubuhnya, namun kematian kedua orang saudara seperguruan itu sangat mempengaruhi ketahanan jiwa mereka.

Karena itu, maka guncangan-guncangan keseimbangan pertempuran telah terjadi. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mendesak lawan-lawan mereka beberapa langkah maju.

Kegelisahan telah terjadi dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu. Semakin lama terasa tekanan yang semakin berat dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan Ki Saba Lintang menjadi semakin gelisah. Para penghubungnya telah memberikan laporan, bahwa keadaan pasukannya semakin lama menjadi semakin sulit.

Ki Saba Lintang sendiri akhirnya telah turun ke medan. Seorang pengawalnya yang masih muda dan berilmu tinggi, selalu berada bersamanya.

Namun kelompok-kelompok yang kuat dari para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah menahannya. Mereka sempat meninggalkan lawan-lawan mereka, karena lawan-lawan mereka bagaikan telah dihisap oleh Ki Wijil dan Nyi Wijil, setelah mereka mematahkan perlawanan Suranata dan Wira Aran.

Di induk gelar, Agung Sedayu masih berhadapan dengan Ki Darpatenaya, seorang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia sengaja turun ke medan untuk membunuh Agung Sedayu. Kemudian ia pun akan bergeser ke medan pertempuran di sisi utara, untuk membunuh Empu Wisanata yang telah berkhianat.

Namun setelah bertempur beberapa lama, ternyata Ki Darpatenaya masih belum dapat membunuh Agung Sedayu.

“Aku salah hitung,” berkata Ki Darpatenaya di dalam hatinya, “seharusnya aku membunuh Empu Wisanata lebih dahulu, baru kemudian Agung Sedayu. Jika aku membunuh Wisanata yang berkhianat itu, maka orang-orang berilmu tinggi di sisi utara itu akan dengan cepat menggulung pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sementara aku menyempatkan diri membunuh Agung Sedayu.”

Tetapi Ki Darpatenaya sudah terlanjur berhadapan dengan Agung Sedayu yang berilmu kebal. Namun demikian, ujung senjatanya telah mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu itu.

Tetapi luka Agung Sedayu tidak mempengaruhi perlawanannya. Dengan demikian, maka pertempuran pun masih berlangsung dengan sengitnya. Pedang Ki Darpatenaya yang disebutnya Kiai Galih itu beberapa kali mengguncang ilmu kebal Agung Sedayu. Bahkan sekali lagi ujung pedang itu tergores di lengan Agung Sedayu. Memang tidak dalam, hanya seleret tipis. Namun luka itu membuat Ki Darpatenaya semakin bernafsu. Ia menjadi semakin yakin bahwa ujung pedangnya akan mampu mengakhiri pertempuran itu.

“Siapa pun Agung Sedayu dan ada berapa lapis ilmumu pun, namun kau tidak akan mampu bertahan sepenginang lagi.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia pun menyadari bahwa pedang lawannya memang sangat berbahaya. Dengan dialasi ilmu lawannya yang tinggi itu, maka pedangnya menjadi sangat berbahaya. Agung Sedayu pun menduga, bahwa semakin lama serangan-serangan lawannya akan menjadi semakin berbahaya.

“Ki Lurah,” berkata Ki Darpatenaya, “ilmu Wukir Sewu pada akhirnya akan dapat menyelesaikan pertempuran ini.”

Tetapi Agung Sedayu tersenyum sambil berkata, “Kau kira aku akan menyerah dan membiarkan ujung pedangmu mematuk jantungku, Ki Sanak?”

“Kau tidak mempunyai pilihan.”

Agung Sedayu menjawab, “Aku masih mempunyai beberapa pilihan.”

Ki Darpatenaya memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian ia pun berkata, “Bersiaplah untuk mati, Agung Sedayu.”

Ketika Ki Darpatenaya itu sudah bersiap untuk menyerangnya, maka Agung Sedayu pun berkata, “Aku akan menunjukkan salah satu pilihan itu.”

Ki Darpatenaya termangu-mangu sejenak. Wajahnya berkerut ketika ia melihat Agung Sedayu mengurai cambuknya.

“Senjatamu aneh, Ki Lurah. Atau kau menganggap bahwa aku bagimu tidak lebih dari seekor kerbau yang dungu?”

“Bukan aku yang mengatakan.”

“Mengatakan apa?”

“Bahwa kau tidak lebih dari seekor kerbau yang dungu.”

“Persetan! Tetapi kau akan menyesali kesombonganmu di saat kematianmu. Kau lawan pedangku Kiai Galih serta ilmuku Wukir Sewu, dengan cambuk seorang gembala?”

“Bersiaplah. Bukan maksudku memperlakukan kau seperti seekor kerbau. Tetapi senjataku memang berwujud cambuk seperti ini.”

“Bagus,” sahut Ki Darpatenaya, “mungkin aku akan dapat mempelajari serba sedikit ilmu cambukmu sebelum kau mati. Tetapi aku akan sempat mengingat-ingat, bahwa kau adalah guruku dalam ilmu menggembala kambing.”

“Ternyata kerbau masih terlalu kuat,” sahut Agung Sedayu, “memang kau lebih tepat disebut seekor kambing.”

“Iblis kau!” geram Ki Darpatenaya, “Aku tidak mengira bahwa kau ternyata terlalu sombong.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi cambuknya mulai berputar. Tiba-tiba saja cambuk itu meledak dengan kerasnya, seakan-akan getarannya dapat meruntuhkan gunung.

Tetapi Ki Darpatenaya justru berteriak, “Ternyata kesombonganmu sama sekali tidak seimbang dengan kemampuanmu! Anak gembala yang masih telanjang pun mampu meledakkan cambuknya seperti itu.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia melangkah mendekat. Dipeganginya tangkai cambuknya dengan tangan kanannya. Sedangkan ujung juntainya dipeganginya dengan tangan kirinya.

Ki Darpatenaya telah bersiap pula. Ia sadar bahwa ledakan cambuk itu bukan ukuran tingkat kemampuan Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal itu.

Sebenarnyalah, ketika kemudian Agung Sedayu menghentakkan lagi cambuknya sendal pancing, maka jantung orang itu pun menjadi berdebar-debar. Meskipun cambuk itu tidak lagi meledak, dan bahkan seakan-akan sekedar berdesis, namun terasa di jantung Ki Darpatenaya getar yang menyesakkan dada.

Sejenak kemudian, maka pertempuran itu pun berlangsung semakin mencengkam ketika Agung Sedayu mulai menyerang dengan cambuknya. Juntainya seakan-akan memiliki penglihatan, sehingga selalu memburu ke mana Ki Darpatenaya meloncat.

“Ilmu iblis!” geram Ki Darpatenaya

“Aku sedang mengajarimu, bagaimana menggembalakan seekor kambing,” berkata Agung Sedayu.

Ki Darpatenaya menggeram. Pedangnya pun berputar semakin cepat. Satu tebasan mendatar menyilang ayunan ujung cambuk Agung Sedayu.

Tetapi Ki Darpatenaya terkejut. Pedangnya yang disebutnya Kiai Galih, yang terbuat dari baja pilihan, yang tajamnya melampaui tajamnya welat pring wulung, tidak mampu memutuskan juntai cambuk Agung Sedayu.

Bahkan hampir saja pedang yang disebut sebagai pusakanya itu terlepas dari tangannya

“Ternyata kemampuan ilmu Agung Sedayu memang sangat mendebarkan,” berkata Ki Darpatenaya di dalam hatinya.

Sekali lagi ia menyesali dirinya. Kenapa ia tidak lebih dahulu membunuh Empu Wisanata sebelum berhadapan dengan Agung Sedayu.

Pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ki Darpatenaya harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghindari kejaran ujung cambuk Agung Sedayu. Bahkan kesempatannya untuk menyerang, apalagi kesempatan untuk menghentakkan seluruh kemampuannya agar dapat menembus ilmu kebal lawannya, menjadi sangat sempit.

“Jika saja aku menemui Empu Wisanata lebih dahulu,” berkata Ki Darpatenaya di dalam hatinya, “aku tentu tidak memerlukan waktu yang panjang sebagaimana membunuh Agung Sedayu ini. Baru kemudian aku dapat bertempur melawan Agung Sedayu tanpa merasa dikejar oleh waktu.”

Tetapi Ki Darpatenaya masih merasa yakin akan dapat membunuh lawannya. Ki Darpatenaya itu tidak hanya bersandar kepada selapis ilmunya. Ia tidak sekedar mengandalkan pusakanya yang disebutnya Kiai Galih. Ia juga tidak hanya bertumpu pada ilmu Wukir Sewu-nya.

Sementara itu ujung cambuk Agung Sedayu semakin menekannya. Bahkan Ki Darpatenaya menggeliat ketika terasa ujung cambuk Agung Sedayu justru telah menyengat punggungnya.

Ki Darpatenaya memang merasa punggungnya menjadi pedih. Bahkan terasa cairan yang hangat meleleh dari lukanya.

Namun luka itu telah membuat Ki Darpatenaya menjadi semakin garang. Pedangnya berputar semakin cepat. Bahkan kemudian yang nampak adalah semacam kabut di seputar tubuhnya. Gulungan kabut itu pun kemudian bergerak semakin mendekati Agung Sedayu.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ketika gulungan kabut yang menutupi tubuh Ki Darpatenaya itu menjadi semakin dekat, maka Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya menghantam gulungan kabut itu.

Gulungan kabut itu memang tergetar selangkah surut. Namun gulungan kabut itu tidak menjadi pecah. Bahkan semakin lama menjadi semakin dekat.

Agung Sedayu menyadari bahwa yang nampak seperti gulungan kabut putih, dan bahkan memercikkan kilatan pantulan cahaya matahari itu, adalah tajamnya pedang yang disebut Kiai Galih itu. Karena itu Agung Sedayu pun justru bergeser surut. Ia pun sadar bahwa Ki Darpatenaya telah menerapkan ilmunya yang lebih berbahaya pula. Sentuhan gulungan kabut putih itu akan dapat mengoyak kulit dagingnya, karena ilmu Ki Darpatenaya mampu memecahkan ilmu kebalnya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya. Dengan kemampuan puncaknya dalam ilmu cambuk, serta dilambari dengan puncak kekuatan tenaga dalamnya, maka Agung Sedayu pun sekali lagi mengayunkan cambuknya menghantam gulungan kabut yang semakin mendekatinya.

Ki Darpatenaya-lah yang kemudian terkejut. Ilmunya-lah yang kemudian pecah, sehingga Ki Darpatenaya sendiri terpental beberapa langkah surut. Dan bahkan Ki Darpatenaya itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga jatuh berguling.

Namun dengan tangkasnya Ki Darpatenaya itu bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ketika Agung Sedayu kemudian memburunya dan mengayunkan cambuknya mendatar, Ki Darpatenaya itu sempat meloncat dan berputar sekali di udara. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka ia pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah jantung Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu sempat mengelak. Ujung pedang itu tidak menyentuhnya. Bahkan dengan cepat Agung Sedayu berputar sambil menebas mendatar dengan cambuknya.

Ki Darpatenaya terlambat mengelak. Ujung Cambuk Agung Sedayu masih mampu menggapai lambungnya.

Meskipun tidak terlalu dalam, namun segores luka telah membekas di lambungnya. Seperti luka di pundak Agung Sedayu, maka luka itu pun telah berdarah pula.

Ternyata titik-titik darah pada kedua orang yang sedang bertempur itu telah membuat mereka menjadi semakin garang.

Ternyata Ki Darpatenaya benar-benar seorang yang pilih tanding. Dalam keadaan yang terdesak, maka pedangnya telah berputar kembali sehingga gulungan asap putih telah menyelimuti dirinya.

Namun gulungan asap putih itu tidak bergerak mendekati Agung Sedayu. Tetapi gulungan asap putih itu benar-benar menjadi asap, yang seolah-olah diterbangkan angin. Lenyap. Bersama Ki Darpatenaya.

“Gila!” geram Agung Sedayu. Namun sebelum Agung Sedayu sempat berbuat sesuatu, terasa sentuhan angin di belakangnya.

Agung Sedayu terkejut. Tetapi ujung pedang lawannya itu telah menyentuh punggungnya pula. Bagaimanapun juga ilmu kebal Agung Sedayu masih juga berarti dalam pertempuran itu, sehingga luka di punggungnya tidak lebih parah dari luka di punggung Ki Darpatenaya.

Dengan cepat Agung Sedayu telah menerapkan ilmu Sapta Panggraita, sambil meloncat mengambil jarak.

Sesaat kemudian, Agung Sedayu pun telah melihat gumpalan asap itu lagi ketika Agung Sedayu memutar tubuhnya.

Dengan cepat Agung Sedayu menghentakkan cambuknya melecut ke arah Ki Darpatenaya. Tetapi Ki Darpatenaya sempat meloncat surut, sehingga ujung cambuk itu tidak mengenainya.

Ketika Agung Sedayu kemudian bersiap untuk menyerangnya, maka asap putih itu pun telah menguap bagaikan ditiup angin yang kencang.

Namun Agung Sedayu telah menerapkan Aji Sapta Panggraita. Meskipun mata kewadagannya tidak dapat melihat, tetapi ia dapat merasakan di mana Ki Darpatenaya berada. Bahkan Aji Sapta Pangrasa yang juga diterapkannya, dapat merasakan sentuhan angin lembut oleh getar putaran pedang Ki Darpatenaya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi lawan yang tidak dilihatnya, tetapi dirasakan kehadirannya serta diketahui arahnya itu.

Cambuk Agung Sedayu-lah yang kemudian berputar dengan cepat mengelilingi tubuhnya. Ia tidak ingin Ki Darpatenaya mendahuluinya menyerang dari arah yang tidak diduganya. Bagaimanapun juga kecepatan panggraita dan perasaannya masih juga agak gagap menanggapi gerak cepat lawannya yang tidak dilihatnya dengan mata wadagnya.

Namun demikian, Ki Darpatenaya itu sudah merasa sangat terhambat. Bahkan di luar sadarnya ia pun berdesis, “Luar biasa. Ki Lurah mempunyai lambaran yang berlapis-lapis. Ia mampu mengatasi Aji Panglimunanku.”

Meskipun demikian, Agung Sedayu telah dicengkam oleh ketegangan yang amat sangat. Ia harus benar-benar memusatkan perhatiannya untuk menangkap isyarat dari Aji Sapta Panggraita dan Sapta Pangrasa, untuk mengetahui di mana letak dan arah serangan Ki Darpatenaya.

Namun Agung Sedayu masih juga berhasil menghindari atau menangkal serangan-serangan Ki Darpatenaya. Cambuknya-lah yang bergerak dengan cepat pula. Berputar, menebas, menghentak senda pancing, dan bahkan mematuk seperti seekor ular.

Tetapi Agung Sedayu harus menghadapi kenyataan, bahwa ujung pedang Ki Darpatenaya itu telah menggores kulitnya pula. Terasa pinggang Agung Sedayu menjadi pedih. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, namun darah telah menitik pula dari lukanya itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu ternyata tidak dapat sekedar mempercayakan diri kepada ilmu Sapta Panggraita dan Sapta Pangrasa, karena ia tidak dapat mengimbangi kecepatan serangan-serangan Ki Darpatenaya yang tidak dapat dilihatnya dengan mata wadagnya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun harus berusaha untuk mengelabui lawannya. Ia pun harus dapat membuat lawannya kebingungan.

Ketika kemudian serangan-serangan Ki Darpatenaya menjadi semakin cepat dan semakin berbahaya, serta sentuhan-sentuhan ujung pedangnya itu beberapa kali menyengat kulit Agung Sedayu meskipun tidak menggoreskan luka, maka Agung Sedayu pun telah menerapkan ajinya yang lain. Kakang Kawah Adi Ari-Ari.

Ki Darpatenaya-lah yang kemudian menjadi bingung. Tiba-tiba saja ia melihat tiga orang Agung Sedayu yang memencar. Sekali-sekali ketiganya bergerak saling berpencar. Namun kemudian ketiganya berlari berputar-putar sehingga ketiganya berbaur menjadi satu, sebelum berpisah lagi.

Dengan kekuatan penglihatan batinnya, maka Ki Darpatenaya akhirnya memang dapat mengetahui yang manakah Agung Sedayu yang sebenarnya Tetapi setiap kali ketiganya berbaur, sehingga setiap kali, Ki Darpatenaya harus memusatkan nalar budinya untuk dapat mengetahui lawannya yang sebenarnya.

Sementara itu, serangan-serangan Agung Sedayu pun datang beruntun. Cambuknya berputaran dan menghentak-hentak dengan garangnya.

Dengan Aji Sapta Panggraita dan Sapta Pangrasa, Agung Sedayu mampu mengarahkan serangannya, meskipun Agung Sedayu tidak dapat memilih sasaran pada tubuh Ki Darpatenaya.

Ternyata Ki Darpatenaya-lah yang kemudian mengalami kesulitan.

Beberapa kali ujung cambuk Agung Sedayu dapat mengenainya. Satu hentakan sendal pancing yang dilambari dengan puncak ilmu cambuknya sempat menyentuh paha Ki Darpatenaya, sehingga pahanya telah terkoyak.

“Iblis kau, Agung Sedayu!” teriak Ki Darpatenaya.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi dengan pengamatan ilmunya, ia mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ujudnya yang seakan-akan menjadi tiga sosok itu berdiri di arah yang berbeda.

Ki Darpatenaya ternyata justru meloncat menjauh untuk mengambil jarak. Ia tidak lagi memutar pedangnya. Ia pun tidak lagi mengetrapkan Aji Panglimunan. Tetapi Ki Darpatenaya itu telah bersiap mempergunakan ilmunya yang lain.

Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri pula. Kedua ujudnya yang semu itu pun menjadi semakin kabur, sehingga akhirnya lenyap sama sekali.

Yang kemudian berhadapan adalah Ki Darpatenaya dan Agung Sedayu, pada jarak beberapa langkah.

Ketika Agung Sedayu melihat lawannya mempersiapkan ilmu puncaknya yang lain, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap pula. Ketika ia melihat Ki Darpatenaya menyarungkan pedangnya, maka tahulah Agung Sedayu, apa yang akan dilakukannya.

Agung Sedayu pun kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang menghadap ke arah Ki Darpatenaya. Tangan kanannya memegang tangkai cambuknya, sementara tangan kirinya menggenggam ujung cambuknya. Namun Agung Sedayu telah memusatkan nalar budinya untuk menghadapi serangan Ki Darpatenaya berikutnya.

Agung Sedayu masih belum tahu, apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu. Tetapi yang pasti, tentu puncak dari ilmu-ilmunya.

Tidak ada kesempatan untuk meloncat menyerang dengan cambuknya. Yang dapat dilakukan oleh Agung Sedayu adalah menghadapi serangan itu dengan ilmunya pula.

Ki Darpatenaya pun kemudian berdiri sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Sejenak ia berdiri tegak. Namun tiba-tiba Ki Darpatenaya itu menghembuskan kabut dari mulutnya. Kabut yang berwarna merah kehitam-hitaman.

Kabut itu meluncur dengan cepat ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak tahu, apakah kabut itu mengandung racun atau tidak. Tetapi yang kemudian terasa mendahului sentuhan kabut itu adalah udara yang menjadi panas.

Karena itu, Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Ia pun tidak meloncat menghindar, karena kabut itu akan mengalir tidak berkeputusan mengejarnya kemanapun ia menghindar. Sementara itu Agung Sedayu pun yakin bahwa kabut yang merah kehitam-hitaman itu akan mampu menembus ilmu kebalnya.

Karena itu, yang dilakukan oleh Agung Sedayu adalah membentur ilmu Ki Darpatenaya itu dengan ilmunya pula.

Demikian kabut itu meluncur, maka dari kedua belah mata Agung Sedayu telah memancar seleret sinar yang tajam. Sinar yang langsung membentur kabut yang merah kehitam-hitaman itu.

Benturan ilmu yang dahsyat telah terjadi. Kabut itu pecah berderai, berserakan sebelum menyentuh tubuh Agung Sedayu. Namun getar benturan itu sebagian telah berbalik menimpa Agung Sedayu sendiri, sehingga Agung Sedayu terlempar beberapa langkah surut. Untunglah bahwa ilmu kebalnya masih tetap melindunginya, meskipun getar balik kemampuan ilmunya itu sempat menyakitinya.

Meskipun demikian, Agung Sedayu tidak dapat mempertahankan keseimbangannya sehingga Agung Sedayu itu pun terjatuh berguling di tanah.

Agung Sedayu memang tidak segera dapat bangkit. Beberapa orang prajurit yang bertempur bersamanya beserta beberapa orang pengawal telah berlari-lari mengerumuninya. Namun beberapa orang di antara mereka pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, keadaan Ki Darpatenaya justru lebih buruk lagi. Ki Darpatenaya itu telah terlempar beberapa langkah surut, terbanting jatuh dan tidak dapat bangkit kembali. Nafasnya menjadi terengah-engah. Isi dadanya serasa telah runtuh dari pegangannya.

Beberapa orang juga telah melingkarinya. Seorang di antara mereka berjongkok di sampingnya sambil berdesis, “Ki Darpatenaya? Ki Darpatenaya?”

Terdengar Ki Darpatenaya itu berdesah menahan sakit. Namun kemudian ia pun berdesis, “Aku akan membunuhnya.”

“Apakah Ki Darpatenaya membawa obat yang dapat meringankan keadaan Ki Darpatenaya?” bertanya orang yang berjongkok itu.

Ki Darpatenaya memandanginya dengan tatapan mata yang tajam. Dalam keadaannya yang sulit itu, ia masih juga menggeram pula, “Jangan biarkan Agung Sedayu melarikan diri.”

“Tidak,” sahut orang yang berjongkok di sampingnya, “Agung Sedayu tidak dapat bangkit lagi.”

“He? Ia sudah mati?”

“Mungkin ia sudah mati.”

“Akhirnya aku dapat membunuhnya. Sekarang, aku akan membunuh Empu Wisanata.”

Ki Darpatenaya itu memaksa untuk bangkit. Namun tiba-tiba dari sela-sela bibirnya mengalir darahnya yang segar.

Ki Darpatenaya itu terbatuk. Kepalanya yang sudah diangkatnya itu diletakkannya kembali. Tangan orang yang berjongkok di sampingnya itulah yang menahan kepalanya itu.

Mata Ki Darpatenaya pun mulai menjadi pudar. Orang yang berjongkok itu bertanya pula, “Di mana obat yang Ki Darpatenaya bawa itu?”

Tetapi Ki Darpatenaya tidak menjawabnya. Matanya yang redup itu pun kemudian terpejam. Tetapi masih terdengar ia berdesis, “Akhirnya aku bunuh Ki Lurah Agung Sedayu, yang namanya berkibar di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.”

Suaranya pun menjadi semakin lambat, dan bahkan kemudian hilang bersamaan dengan tarikan nafasnya yang terakhir.

Pada saat itulah, Agung Sedayu bangkit dan duduk dibantu oleh dua orang prajuritnya. Dengan suara lirih ia berdesis, “Cari hubungan dengan Glagah Putih, Sabungsari, atau Kiai Wijil dan Nyi Wijil.”

Belum lagi mulutnya terkatup rapat, terdengar jawaban, “Aku di sini, Ki Lurah.”

“Ki Wijil?”

“Ya, Ki Lurah.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Wijil dan Nyi Wijil pun berjongkok di sebelahnya duduk.

Dengan suara yang bergetar Agung Sedayu pun bertanya, “Bagaimana dengan Ki Darpatenaya?”

Seorang prajurit menjawab, “Ki Darpatenaya telah meninggal.”

“Kau pasti?” bertanya Agung Sedayu

“Nampak pada suasana orang-orang yang mengusungnya ke belakang medan.”

“Ki Saba Lintang sendiri tentu akan segera tampil,” berkata Ki Wijil.

“Terima kasih Ki Wijil. Tetapi bagaimana dengan Glagah Putih dan Sabungsari?”

“Glagah Putih telah menyelesaikan lawannya, meskipun Glagah Putih juga terluka di dalam. Tetapi ia tidak apa-apa,” jawab prajuritnya.

“Sabungsari?”

“Kami masih menunggu seorang penghubung.”

“Kenapa menunggu? Pergilah! Lihat, apa yang terjadi dengan Sabungsari.”

Sementara seorang penghubung berusaha mencari keterangan tentang Sabungsari, maka Ki Wijil dan Nyi Wijil-lah yang kemudian berada di induk pasukan. Sedangkan Agung Sedayu telah dipapah mundur ke belakang medan pertempuran. Dengan dikawal oleh beberapa orang prajurit, Agung Sedayu duduk di bawah sebatang pohon yang rindang. Meskipun ia terluka di dalam, tetapi Agung Sedayu masih tetap mengikuti jalannya pertempuran lewat para penghubung yang hilir mudik.

Pada saat itu, Sabungsari pun ternyata telah sampai di puncak ilmunya.

Lawannya Tunjung Tuwuh telah menyerangnya dengan lontaran-lontaran paser beracun, sehingga Sabungsari tidak sempat mendekatinya.

Karena itu, maka Sabungsari telah melawan Tunjung Tuwuh dengan ilmu pamungkasnya.

Ketika paser-paser kecil itu memburunya kemanapun ia meloncat mengelak, maka Sabungsari menjadi tidak sabar lagi. Dengan langkah-langkah panjang Sabungsari meloncat menjauh, mengambil jarak sampai keluar jangkauan paser-paser itu.

“Jangan lari!” teriak Tunjung Tuwuh.

Tanpa memperhitungkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, Tunjung Tuwuh itu telah meloncat memburunya. Namun pada saat itu pula, Sabungsari melontarkan ilmunya. Mirip dengan ilmu yang dimiliki Agung Sedayu, maka dari kedua mata Sabungsari telah memancar sinar yang gemerlap, meluncur menyambar tubuh Tunjung Tuwuh.

Tunjung Tuwuh yang tidak mengira akan mendapat serangan yang demikian dahsyatnya, terkejut bukan kepalang. Dengan cepat ia berusaha untuk mengelak. Dijatuhkannya tubuhnya ke samping, kemudian berguling dengan cepat. Namun, demikian ia bangkit, maka serangan Sabungsari berikutnya telah meluncur dengan cepatnya.

Tidak ada kesempatan bagi Tunjung Tuwuh untuk melepaskan diri. Meskipun sekali lagi ia meloncat dan berputar di udara, namun serangan Sabungsari itu menyentuh tubuhnya.

Tubuh Tunjung Tuwuh itu bagaikan diputar. Sentuhan serangan Sabungsari itu bagaikan telah membakar bahunya, sehingga Tunjung Tuwuh itu kehilangan keseimbangannya.

Dengan derasnya Tunjung Tuwuh itu terbanting jatuh. Kemudian ia pun menggeliat kesakitan sambil berdesah tertahan.

Beberapa orang dengan cepat menolongnya dan membawanya ke belakang medan pertempuran.

Sabungsari sama sekali tidak menghalanginya. Bahkan ia pun melarang ketika beberapa orang telah siap untuk memburunya menyelesaikan Tunjung Tuwuh itu, meskipun sudah berada di antara kawan-kawannya.

“Sudah cukup!” teriak Sabungsari, “Jangan menyerang orang yang sudah tidak berdaya!”

Orang-orang yang sudah siap untuk mengejar Tunjung Tuwuh itu pun tertegun. Sementara Sabungsari pun berkata, “Masih banyak lawan yang harus kita hadapi.”

Dalam pada itu, penghubung yang diperintahkan untuk menghubungi Sabungsari telah melihat apa yang terjadi. Tetapi untuk mengesahkan tugasnya, maka ia pun telah mendekati Sabungsari sambil berkata, “Apa yang dapat aku laporkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Kedudukan kita mantap,” sahut Sabungsari, “kita akan bergerak maju.”

“Bagaimana dengan lawan yang kau hadapi?”

“Namanya Tunjung Tuwuh. Tetapi orang itu tidak menjadi masalah lagi di sayap ini.”

“Ya. Aku memang melihatnya.”

“Sampaikan kepada Ki Lurah. Tetapi bagaimana dengan Ki Lurah sendiri?”

“Ki Lurah mengalami luka dalam. Tetapi keadaannya sudah menjadi semakin baik.”

Sabungsari pun kemudian berkata, “Baik. Keadaan terakhir, aku akan memasuki medan lagi. Kita harus dapat segera menghalau lawan. Kita tidak perlu menunggu senja. Keadaan pasukan lawan di sayap ini sudah menjadi semakin buruk.”

Penghubung itu pun kemudian meninggalkan Sabungsari, yang kemudian berada di antara para pengawal Tanah Perdikan.

Ketika penghubung itu kemudian melaporkan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu pun telah memerintahkan lewat para penghubung kepada setiap pemimpin kelompok, untuk dengan segera menghalau pasukan lawan. Jika mungkin pasukan itu harus dihancurkan, sehingga tidak akan mempunyai kekuatan untuk menyerang kembali. Setidak-tidaknya dalam waktu dekat.

Sementara itu Agung Sedayu pun telah menerima laporan tentang keadaan Glagah Putih. Namun laporan itu juga menyebutkan bahwa Glagah Putih telah mendapat pengobatan seperlunya.

Para pemimpin kelompok pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera memerintahkan setiap orang dalam kelompoknya untuk mengerahkan kemampuan mereka. Tanda-tanda bahwa pasukan lawan sudah kehilangan kesempatan semakin jelas. Perlawanan mereka tidak lagi terasa garang. Guncangan-guncangan pun telah terjadi pada garis pertempuran itu.

Orang-orang berilmu tinggi yang masih bertempur di antara para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan pun ikut menentukan, bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu pun semakin menekan pasukan lawan.

Ki Saba Lintang pun telah mendapat laporan tentang keadaan pasukannya. Ia pun telah mendapat laporan bahwa beberapa orang berilmu tinggi telah dilumpuhkan. Dua orang saudara seperguruan yang bertempur melawan Glagah Putih telah terbunuh. Tunjung Tuwuh telah tidak berdaya lagi. Suranata tidak lagi mampu melawan karena luka-lukanya, sementara Wira Aran telah menjadi pingsan. Keadaannya bahkan menjadi buruk sekali. Sedangkan Ki Darpatenaya yang berniat untuk membunuh Agung Sedayu dan Empu Wisanata, justru telah terbunuh oleh Agung Sedayu.

“Darpatenaya mati?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Ya,” jawab seorang penghubung.

Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia pun tersenyum dan berkata kepada pengawalnya yang paling dipercaya, “Orang itu memang harus mati.”

“Kenapa?” bertanya kepercayaan Ki Saba Lintang itu.

“Aku membencinya. Jika ia mendapat kesempatan, maka ia tentu akan mengambil alih kepemimpinan kita, orang-orang yang telah sepakat untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati yang diperluas. Ia merasa memiliki banyak kelebihan dari aku dan orang-orang lain yang bergabung dengan kita.”

Pengawalnya menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berdesis, “Tetapi pasukan kita sekarang terdesak. Jika Ki Darpatenaya benar-benar dapat membunuh Agung Sedayu di medan ini, dan kemudian membunuh Empu Wisanata di medan utara, maka kita akan mempunyai kesempatan untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan dapat mencapai padukuhan induk selambat-lambatnya esok siang.”

“Jika Ki Darpatenaya berhasil, apakah kita masih akan dapat ikut memasuki padukuhan induk?”

Pengawalnya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin Ki Darpatenaya akan memanfaatkan kemenangan itu. Tetapi ia tidak akan dapat bertindak dengan serta-merta. Ia harus memperhitungkan sikap banyak orang dengan berbagai macam sikap. Tetapi bahwa Ki Saba Lintang-lah yang memiliki tongkat baja putih itu, pengaruhnya akan sangat besar.”

“Sudahlah. Sekarang, apa yang harus aku lakukan?”

“Menurut Ki Saba Lintang?”

“Kita akan turun ke medan.”

“Apakah ada gunanya?”

“Jadi?” bertanya Ki Saba Lintang. “Bagaimana laporan dari sisi utara?”

“Pemimpin pasukan Tanah Perdikan terluka parah. Tetapi orang lain telah mengambil alih. Seorang setua Empu Wisanata. Tetapi bukan Empu Wisanata.”

“Selanjutnya?”

“Belum ada laporan berikutnya.” jawab pengawal Ki Saba Lintang yang paling dipercaya itu. Ia pun kemudian berkata, “Sebaiknya kita bertahan saja sampai senja. Mudah-mudahan pasukan di sisi utara mampu memecahkan pertahanan pasukan Tanah Perdikan, sementara pasukan khusus yang langsung menuju ke padukuhan induk berhasil menduduki padukuhan induk itu.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Karena itu, maka kita harus turun ke medan. Masih ada beberapa orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh yang berada di medan.”

Demikianlah, Ki Saba Lintang bersama pengawalnya yang paling dipercayanya itu, diikuti oleh beberapa orang pengawal pilihan, telah maju ke medan. Ki Saba Lintang pun telah memberikan perintah kepada seluruh pasukannya untuk berusaha bertahan sampai matahari terbenam.

Dalam pada itu, matahari memang sudah menjadi semakin rendah. Beberapa saat lagi, senja akan turun. Namun berita terakhir yang sampai kepada Ki Saba Lintang membuat jantungnya berdegup semakin cepat

Pasukan yang bertempur di sisi utara dapat didesak mundur oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun pimpinan pasukan Tanah Perdikan itu terluka parah.

Sebenarnyalah, pimpinan pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berada di sisi utara terluka parah. Prastawa pingsan ketika para pengawalnya sempat menyelamatkannya. Lukanya sangat parah di lambung dan di bahunya.

Ki Jayaraga-lah yang telah mengambil alih pimpinan. Dalam keadaan yang gawat, maka Ki Jayaraga tidak mempunyai pilihan. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di dalam pasukan di sisi utara itu telah mengenalnya.

Di bawah pimpinannya, pasukan yang marah itu telah mendesak pasukan yang dipimpin oleh Ki Sirna Sikara.

Sementara itu, pasukan yang memisahkan diri dan menyerang langsung padukuhan induk itu pun telah pecah dan tidak berdaya. Ki Pringgareja tidak berhasil membalas dendam. Namun Ki Pringgareja sendiri yang mampu lolos dari maut di medan di sisi selatan, justru telah terbunuh. Pasukannya pun pecah bercerai berai. Sebagian dari antara mereka berhasil meloloskan diri, sebagian yang lain menyerah, dan sebagian lagi terbunuh di pertempuran.

Keadaan Prastawa memang gawat. Seorang penghubung khusus telah melarikan kudanya ke padukuhan induk. Namun penghubung itu harus mengambil jalan melingkar, karena jalan yang akan dilaluinya menjadi arena pertempuran yang menebar, ketika para pengawal Tanah Perdikan sedang memburu lawan-lawannya yang melarikan diri.

Penghubung itu memasuki padukuhan induk lewat pintu regol butulan.

Ketika penghubung itu sampai di rumah Ki Gede, maka dari pengawal yang berada di rumah itu, penghubung itu diberi tahu bahwa Ki Gede berada di gerbang utama padukuhan induk Tanah Perdikan itu.

Dengan tergesa-gesa penghubung itu telah menemui Ki Gede, dan menyampaikan berita bahwa Prastawa terluka parah.

Jantung Ki Gede menjadi berdebaran. Ia pun telah memerintahkan seseorang menyiapkan dua ekor kuda bagi dirinya dan Ki Argajaya. Sementara itu, diperintahkannya seorang penghubung untuk menyampaikan perintahnya kepada Sekar Mirah, bahwa Sekar Mirah bertanggung jawab atas keselamatan padukuhan induk.

Sekar Mirah terkejut mendengar perintah itu, tetapi ia tidak sempat bertanya. Ki Gede dan Ki Argajaya yang disusul di antara pasukan yang berada di luar padukuhan induk, telah berpacu ke medan di sebelah utara bersama dua orang pengawal berkuda.

Ketika mereka sampai di medan, pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil mendesak pasukan lawan. Ki Jayaraga telah berhasil membunuh Ki Sirna Sikara, yang berusaha menghentikannya. Tetapi justru Ki Sirna Sikara-lah yang terbunuh di pertempuran itu.

Sementara tidak seorang pun yang dapat menghalangi Sayoga yang bertempur dengan garangnya di antara para pengawal Tanah Perdikan Menoreh serta para prajurit.

Tetapi pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak sempat memburu pasukan lawan yang hampir saja pecah. Langit pun menjadi suram oleh senja yang telah turun.

Dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan yang bertempur di perbatasan di sebelah barat, telah berhasil menghalau pasukan lawan pula. Ki Saba Lintang memang memerintahkan pasukannya untuk bertahan. Meskipun demikian, pasukan Ki Saba Lintang itu harus memelihara keutuhan pasukannya sambil bergerak mundur.

Ki Argajaya dengan tegang duduk di sebuah amben panjang, di padukuhan di belakang garis pertempuran di sisi utara. Karena keadaan luka-lukanya, maka Prastawa telah dibawa ke padukuhan itu. Seorang tabib yang terbaik telah datang untuk berusaha mengobatinya

“Kenapa bukan aku saja,” geram Ki Argajaya.

“Kita semuanya akan selalu berdoa. Mudah-mudahan obat-obatan yang diberikan kepadanya akan dapat meringankan penderitaannya. Semoga Yang Maha Agung akan mempergunakan para tabib, obat-obatan dan segala perawatan, sebagai lantaran penyembuhnya,” berkata Ki Gede Menoreh.

“Kita akan membawanya ke padukuhan induk.”

“Jangan sekarang,” cegah tabib yang mengobatinya, “ia perlu beristirahat. Biarlah keadaannya membaik. Baru kemudian kita akan membawanya ke padukuhan induk.”

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Namun dengan gelisah ia pun bertanya kepada tabib yang mengobatinya, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

“Aku akan berusaha sambil berdoa. Mudah-mudahan keadaan Prastawa segera menjadi baik.”

Dalam pada itu, Prastawa sendiri masih tetap diam. Matanya terpejam. Namun nafasnya sudah menjadi semakin teratur.

“Apakah istrinya perlu diberi tahu?” bertanya Ki Argajaya

“Jangan sekarang,” sahut Ki Gede, “kita tunggu sampai esok. Syukurlah jika keadaannya sudah membaik.”

Ki Argajaya nampak sangat gelisah. Tetapi ia menjadi agak tenang ketika ia melihat tarikan nafas Prastawa menjadi semakin teratur. Darah sudah tidak lagi mengalir dari lukanya

Sementara itu senja pun menjadi semakin muram. Perlahan-lahan malam pun turun menyelimuti Tanah Perdikan Menoreh.

Medan pertempuran yang riuh, garang dan berbau darah, telah menjadi sepi. Yang nampak adalah beberapa orang yang membawa obor blarak dan oncor biji jarak, mengamati orang-orang yang terbaring diam di bekas arena pertempuran itu. Mereka telah mengumpulkan orang-orang yang telah terbunuh di medan. Mereka telah menolong dan merawat orang-orang yang terluka tetapi masih bertahan hidup.

Yang terdengar di bekas arena pertempuran itu adalah rintihan kesakitan.

Angin berhembus kencang. Langit nampak muram. Bintang-bintang pun kemudian telah lenyap ditelan awan yang mengambang.

“Marilah. Kita harus segera menyelesaikan tugas kita. Nampaknya langit menjadi mendung. Sebelum hujan, mereka yang terluka harus sudah dibawa ke padukuhan.”

Tetapi seorang kawannya yang menengadahkah wajahnya ke langit berkata, “Mudah-mudahan hujan tidak turun. Angin yang kencang akan menghembus mendung ke utara.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun mereka pun memang menjadi semakin cepat menyelesaikan tugas mereka. Dengan ekrak mereka mengangkut tubuh-tubuh yang lemah dan tidak berdaya, sambil mengerang menahan sakit. Sementara yang lain, telah mengumpulkan tubuh-tubuh yang telah membeku.

“Orang-orang Ki Saba Lintang tidak ada yang turun ke bekas arena pertempuran itu,” berkata seorang pengawal.

“Agaknya mereka sengaja menunggu setelah kita selesai,” sahut kawannya

“Mereka tidak percaya bahwa kita menghormati paugeran perang dengan baik”

“Mereka sendiri yang tidak menghormatinya. Mereka sendiri yang membuat bayangan-bayangan kotor.”

“Sudahlah. Jangan pedulikan,” berkata pemimpin kelompoknya, “kita selesaikan tugas kita.”

“Tetapi jika kawan-kawan mereka tidak menghiraukan lagi?”

“Nanti, setelah kita yakin bahwa mereka ditelantarkan oleh kawan-kawan mereka, kita berkewajiban menyelamatkan mereka yang masih hidup, dan menguburkan mereka yang terbunuh.”

Ternyata hal itu terjadi di perbatasan sebelah barat dan di bekas arena pertempuran di sisi utara. Orang-orang yang masih segar dari pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang dan Ki Sirna Sikara itu tidak menghiraukan lagi kawan-kawan mereka yang tertinggal di arena

Berbeda dengan Ki Sirna Sikara yang terbunuh di medan, ternyata Ki Saba Lintang masih sempat menyelinap dan menyelamatkan diri, meskipun pengawalnya yang paling dipercaya itu terluka parah. Namun dalam gerak mundur, para pengikutnya masih dapat melindunginya tanpa menghiraukan korban yang jatuh.

Sementara itu, keadaan di perkemahan pasukan Tanah Perdikan Menoreh menjadi sangat sibuk. Bahkan laki-laki. yang telah ubanan ikut pula membantu merawat orang-orang yang terluka. Beberapa perempuan yang berhati tegar telah menyediakan diri untuk turun pula ke perkemahan.

Suasana yang serupa telah terjadi pula di padukuhan induk. Sekar Mirah yang mau tidak mau harus memegang pimpinan, telah memerintahkan membawa orang-orang yang terluka ke banjar.

Dalam pada itu, Ki Gede dan Ki Argajaya dengan gelisah menunggui Prastawa yang terluka parah. Namun lewat tengah malam Prastawa telah menjadi berangsur baik. Matanya yang terpejam sekali-sekali telah dibukanya. Bahkan Prastawa itu sekali-sekali tersenyum kepada Ki Gede, kepada ayahnya, dan orang-orang yang menungguinya.

Tetapi tabib yang merawatnya berkata kepadanya, “Kau harus beristirahat mutlak.”

Prastawa mengerti bahwa jika tidak perlu sekali, ia tidak boleh bergerak dan berbicara.

Sementara itu, titik-titik minuman telah diteteskan ke bibirnya agar selalu basah, serta tenggorokannya tidak terasa sangat kering.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang sudah menjadi semakin baik telah memerintahkan dua orang petugas sandi untuk mengamati kegiatan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Apakah mereka bersiap-siap untuk menyerang besok pagi. Menilik keadaan pasukan mereka yang hampir saja dapat dipecahkan seandainya senja tidak segera turun, maka Ki Saba Lintang tidak akan terlalu bodoh untuk mengerahkan pasukannya menyerang pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tentu menyadari bahwa di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh masih terdapat orang-orang berilmu tinggi yang akan dapat turun ke medan. Sementara itu, Ki Saba Lintang telah banyak kehilangan para pemimpinnya. Bahkan seorang yang dengan sengaja mencari Agung Sedayu telah terbunuh pula.

Sebenarnyalah malam itu Ki Saba Lintang telah berbicara dengan para pemimpin pasukannya yang tersisa. Namun Ki Saba Lintang telah memerintahkan pengawasan yang ketat terhadap pasukan lawan. Ki Saba Lintang tidak ingin malapetaka terjadi lagi sebagaimana terjadi pada pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja di sisi selatan, yang justru mendapat serangan dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa orang pemimpin yang sempat berkumpul bersama Ki Saba Lintang itu nampak sudah tidak bergairah lagi. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi atas pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Seorang yang perutnya buncit berkata, “Jika kita memaksa diri, maka besok sebelum matahari mencapai puncak langit, kita tentu sudah hancur berantakan.”

Seorang yang berkepala botak pun berkata, “Ya. Tidak ada gunanya lagi melanjutkan pertempuran. Hari ini kita sudah terlalu memaksa diri. Korban sudah terlalu banyak jatuh. Tanah Perdikan Menoreh masih dapat mengerahkan semua laki-laki sampai yang ubanan sekalipun untuk menambah jumlah pasukan mereka. Sementara itu, kita sudah tidak dapat menambah jumlah lagi. Jika masih ada kawan-kawan kita yang datang, jumlahnya hanya satu dua. Dan itu tidak berarti sama sekali.”

Ternyata para pemimpin yang lain pun sependapat. Suranata yang terluka parah, ketika ditemui oleh seorang pemimpin yang ingin mendengar pendapatnya, berkata, “Kita tidak akan mampu melawan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya kita salah hitung, sehingga kita terperosok ke dalam neraka ini.”

Ketika pendapat itu kemudian disampaikan kepada Ki Saba Lintang, maka Ki Saba Lintang pun akhirnya memutuskan untuk tidak menyerang Tanah Perdikan.

“Esok kita beristirahat,” berkata Ki Saba Lintang.

“Apakah kita akan tetap berada di sini?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi berdada bidang.

“Ya. Kita akan bersiap-siap untuk menarik diri.”

“Yang terjadi atas Ki Pringgareja dapat terjadi atas kita, jika kita tidak meninggalkan tempat ini sekarang.”

“Sebaiknya kita meninggalkan tempat ini sebelum fajar. Kita mempunyai waktu untuk bersiap-siap.”

Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana dengan kawan-kawan kita yang dalam keadaan terluka parah? Apakah kita tidak menunggu keadaan mereka sedikit lebih baik? Jika kita besok sehari semalam masih berada di sini, kita mendapat kesempatan untuk mengatur segala-galanya.”

“Kita tinggalkan mereka yang sudah tidak mungkin mengikuti perjalanan mundur kita.”

Ki Saba Lintang menarik nafas panjang. Ada semacam pertentangan di dalam dadanya

“Ki Saba Lintang tidak dapat hanya memikirkan mereka yang terluka saja tanpa memikirkan kami. Padahal dalam keadaan yang paling gawat, kami-lah yang akan dapat berbuat sesuatu bagi keselamatan sisa-sisa pasukan kita.”

“Ki Saba Lintang,” berkata yang lain, “jika kita menunggu sampai besok, maka kita tentu akan dilumatkan di sini. Para pengintai dari Tanah Perdikan Menoreh tentu sudah dapat menilai keadaan kita di sini, sehingga mereka besok akan datang untuk menginjak kepala kita sampai hancur.”

Akhirnya Ki Saba Lintang tidak dapat bersikap lain kecuali menyetujui pendapat para pemimpin pasukannya yang tersisa. Apalagi Ki Saba Lintang menyadari, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi di dalam pasukannya sebagian besar telah ditebas habis oleh orang-orang yang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Baiklah,” berkata Ki Saba Lintang kemudian, “kita akan meninggalkan tempat ini. Kumpulkan semua orang yang tersisa. Panggil orang-orang yang masih berada di Pucang Kerep. Dua orang harus mendahului kita menemui orang-orang kita yang berada di sisi utara Tanah Perdikan ini. Beri tahukan agar mereka segera mempersiapkan diri. Pemimpin mereka yang ada di sini sekarang, akan segera kembali untuk memberikan penjelasan.”

“Biar kita sendiri saja yang memberitahukan kepada mereka, agar tidak terjadi salah paham,” berkata seorang yang berkepala botak.

“Kita masih akan menentukan langkah-langkah berikutnya,” jawab Ki Saba Lintang.

“Jika demikian, salah seorang dari kami akan menyertai kedua orang penghubung itu.”

Demikianlah, sejenak kemudian tiga ekor kuda telah berderap di kegelapan malam menuju ke sisi utara Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu, beberapa orang masih membicarakan apa yang akan mereka lakukan setelah mereka menarik diri.

“Untuk sementara kita akan berkumpul di hutan di sebelah Gunung Tidar,” berkata Ki Saba Lintang, “kita akan menentukan langkah-langkah kita selanjutnya.”

“Kita masing-masing masih mempunyai tempat tinggal,” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku tahu. Tetapi bukankah gegayuhan kita tidak akan terhenti sampai di sini? Apakah dengan kekalahan ini kita akan menjadi berputus asa, dan tidak lagi berniat untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati?”

“Baiklah,” berkata orang yang perutnya buncit, “kita akan menentukan langkah itu kemudian.”

Demikianlah, mereka pun telah mengambil keputusan untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

Sepeninggal para pemimpin yang tersisa, Ki Saba Lintang masih berbicara dengan pengawal kepercayaannya yang terluka. Dengan nada menyesal kepercayaan Ki Saba Lintang itu berkata, “Seharusnya kita susun dahulu perguruan Kedung Jati serta tatanan unda-usuk kekuasaan dan wewenang. Baru kita mengambil langkah-langkah besar seperti ini.”

“Aku mengerti. Tetapi sulit untuk melaksanakannya. Orang-orang liar itu sulit untuk diatur, apalagi dalam tatanan unda-usuk kekuasaan dan wewenang.”

“Setidak-tidaknya kita sendiri harus mempunyai lajer yang maton. Kita dapat memetik pengalaman dari apa yang terjadi. Seandainya Tanah Perdikan Menoreh dapat kita duduki, maka persoalan kepemimpinan akan menjadi masalah. Siapakah yang akan memimpin pasukan gabungan ini menuju ke Mataram? Apalagi jika Ki Darpatenaya berhasil membunuh Agung Sedayu. Atau Ki Sirna Sikara benar-benar berhasil menembus pertanahan Tanah Perdikan Menoreh di sisi utara, serta Ki Pringgareja dapat menguasai padukuhan induk Tanah Perdikan.”

Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Tetapi semula aku masih berharap bahwa tongkat baja putih yang satu lagi akan jatuh ke tangan Nyi Dwani, atau kemudian Nyi Yatni. Dengan sepasang tongkat baja putih itu, aku yakin akan mendapat pengakuan untuk memimpin kekuatan yang besar ini. Satu himpunan kekuatan yang didasari pada kebangkitan perguruan Kedung Jati.”

“Setelah perang ini selesai, kita dapat membayangkan bahwa semuanya itu baru merupakan bayangan. Setiap kelompok kekuatan kita masih belum mempunyai ikatan yang mapan. Sebagian dari kita adalah orang-orang yang bercita-cita. Sebagian lagi berdiri di atas dendam yang membara di dalam jantung mereka. Sebagian lagi bergabung dengan kita tanpa tujuan apa-apa.”

“Ya. Kita memang tergesa-gesa mengambil langkah,” berkata Ki Saba Lintang.

“Pertemuan di hutan sebelah Gunung Tidar, seharusnya bukan pertemuan untuk merencanakan serangan-serangan berikutnya. Tetapi bagaimana kita dapat menyusun diri sebaik-baiknya. Semuanya harus jelas. Termasuk tatanan unda-usuk kekuasaan dan wewenang.”

“Aku sependapat.”

Pengawal terpercayanya itu melanjutkan, “Nah, jika demikian, Ki Saba Lintang tidak usah memerintahkan seluruh pasukan ini berangkat bersama-sama, seakan-akan kita sudah merupakan satu kesatuan yang utuh. Biarlah kelompok-kelompok yang ingin berangkat lebih dahulu, berangkat meninggalkan kita. Dengan satu kesepakatan untuk bertemu di hutan sebelah Gunung Tidar.”

Ki Saba Lintang pun mengangguk-angguk. “Kita akan membawa orang-orang yang terluka sejauh dapat kita lakukan. Kita mempunyai beberapa buah pedati di Pucang Kerep. Apakah itu pedati milik kita?” bertanya Ki Saba Lintang.

Pengawal kepercayaan Ki Saba Lintang itu pun tersenyum sambil berkata, “Apakah ada bedanya, apakah pedati itu milik kita atau milik orang-orang Pucang Kerep?”

Ki Saba Lintang tidak menjawab.

Demikianlah, maka di perkemahan itu telah terjadi kesibukan yang meningkat. Ternyata setiap orang telah berkumpul dalam kelompok-kelompok mereka masing-masing. Sama sekali tidak lagi nampak kesatuan yang utuh, yang tunduk pada satu perintah.

Tanpa diperintahkan, kelompok-kelompok itu telah bersiap untuk berangkat meninggalkan perkemahan itu menurut kebijaksanaan pemimpin mereka masing-masing.

Ki Saba Lintang sengaja tidak menegur mereka. Dibiarkannya kelompok-kelompok itu bergerombol dan bersiap untuk meninggalkan perkemahan.

“Mereka tidak menunggu tengah malam,” berkata pengawal kepercayaan Ki Saba Lintang.

Tetapi para pemimpin itu masih sedikit menghargai keterikatan mereka. Mereka masih memberitahukan kepada Ki Saba Lintang bahwa mereka akan berangkat.

“Tidak usah menjelang fajar,” berkata seorang yang bertubuh raksasa.

“Menjelang fajar adalah batas terakhir,” berkata Ki Saba Lintang.

Demikianlah, sekelompok demi sekelompok orang-orang yang berada di perkemahan itu beranjak pergi. Rasa-rasanya mereka ingin segera menjauhi neraka yang telah membakar beberapa orang kawan-kawan mereka.

“Tidak ada yang kita dapatkan di sini,” geram orang bertubuh raksasa itu di antara kawan-kawannya.

“Kematian,” sahut kawannya

“Jahanam orang-orang Tanah Perdikan Menoreh!” berkata orang bertubuh raksasa itu lagi, “Dendam ini tidak akan padam sampai akhir hayatku.”

Sementara itu, beberapa buah pedati yang diambil dari Pucang Kerep merambat lamban mendekati perkemahan. Sementara itu, Ki Saba Lintang masih juga memikirkan kawan-kawannya yang terluka.

Namun ketika Ki Saba Lintang mengajak Suranata, maka Suranata itu pun berkata, “Tinggalkan aku di sini!”

Ki Saba Lintang terkejut mendengar jawaban itu. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kenapa kau ingin tinggal? Bagaimana dengan saudara perempuanmu itu?”

“Aku titipkan Yatni kepadamu, Ki Saba Lintang,”

“Nyi Yatni itu tidak akan mau pergi sendiri tanpa kau.”

“Aku akan berbicara dengan Yatni.”

Ketika kemudian Nyi Yatni menemui Suranata, maka Yatni pun menangis. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kakang akan menemui Dwani. Ternyata Kakang telah berpihak kepadanya.”

“Tidak Yatni. Aku tidak akan menemui Dwani.”

“Ayah?”

“Tidak. Aku tidak akan menemui siapa-siapa. Tetapi aku tidak ingin menjadi beban.”

“Tetapi jika Kakang ditinggalkan di sini, keadaan Kakang akan menjadi semakin gawat. Tidak ada orang yang merawat luka-luka Kakang.”

“Aku sudah berangsur baik, Yatni. Aku dapat merawat diriku sendiri.”

“Lalu apa yang akan Kakang lakukan?”

“Aku akan menyusul kalian ke hutan di kaki Gunung Tidar.”

“Jika kita sudah berangkat meninggalkan tempat itu?”

“Aku akan mencari kalian di utara Gunung Kendeng. Bukankah Ki Saba Lintang mempunyai landasan yang mapan di sebelah utara Gunung Kendeng?”

“Jika kita sudah bergerak lagi ke tempat lain?”

“Bukankah kalian dapat meninggalkan pesan di padepokan di sebelah Gunung Kendeng itu? Aku akan mencari kalian. Tetapi aku tidak dapat mengatakan, kapan aku dapat bertemu dengan kalian.”

“Kenapa Kakang tidak berangkat bersama kami?” bertanya Yatni.

“Aku percayakan kau kepada Ki Saba Lintang”

“Apa sebenarnya yang Kakang maui?”

“Aku tidak dapat melupakan begitu saja tongkat baja putih di tangan Nyi Lurah itu. Aku tahu bahwa Dwani sudah kehilangan gairah perjuangannya, sehingga tidak mungkin diharapkan lagi. Apalagi ia berada di Tanah Perdikan bersama Ayah. Karena itu, aku masih bermimpi bahwa kau pada suatu saat akan memegang tongkat baja putih itu, Yatni,” berkata Suranata.

“Saudara seperguruan Kakang itu sudah kehilangan harapan.”

Suranata menarik nafas dalam-dalam.

“Bukan saja kehilangan harapan. Tetapi Wira Aran telah meninggal belum lama ini,” lanjut Nyi Yatni.

Suranata tidak menanggapinya Tetapi matanya menerawang memandang langit-langit barak perkemahannya yang berbuat dari ilalang.

Lampu minyak yang redup terletak di sebuah ajuk-ajuk yang tinggi di sudut ruang itu.

“Sudahlah. Jangan hiraukan aku,” desis Suranata

“Jika kau tinggal, Kakang, kau akan berada di sini bersama orang-orang yang sudah tidak berdaya lagi. Yang sudah tidak dapat bergerak sama sekali. Orang-orang yang nyawanya sudah berada di ujung rambutnya. Jika mereka mati, maka Kakang akan tinggal bersama mayat-mayat yang tidak terurus.”

“Kenapa mereka kalian tinggalkan?”

“Kami akan membawa orang-orang kami. Gerombolan-gerombolan yang selama ini bertempur bersama kami, telah sepakat untuk meninggalkan kawan-kawan mereka yang sudah tidak berpengharapan untuk dapat hidup lebih lama lagi.”

“Apakah kau tidak dapat membawa mereka, Ki Saba Lintang? Serta menguburkan orang-orang yang terbunuh?”

“Kita sudah menapak ke jalan yang lain sejak semula. Kita pun tidak mengirimkan kelompok-kelompok yang mengambil kawan-kawan kita yang tertinggal di medan, terutama yang masih bertahan hidup,” jawab Ki Saba Lintang.

“Kenapa kau lakukan itu?”

“Aku tidak dapat berbuat lebih banyak lagi dari yang dapat aku lakukan sekarang ini. Aku pun harus segera meninggalkan tempat ini, jika aku dan orang-orang tidak ingin disergap oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Saba Lintang pun berkata, “Aku harus memperhitungkan orang-orang yang masih dapat melakukan sesuatu, yang jumlahnya lebih banyak dari mereka yang sudah tidak berdaya, terluka dan apalagi terbunuh.”

“Kau sudah tidak menghiraukan arti hubungan kita dengan mereka selama ini”

“Aku tidak mempunyai pilihan lain, Suranata.”

“Baiklah. Tinggalkan aku. Aku akan menempuh jalanku sendiri untuk sementara, sebelum aku akan bergabung kembali dengan kalian. Apakah di hutan sebelah Gunung Tidar, atau di sebelah utara Gunung Kendeng,” berkata Suranata.

Nyi Yatni mengusap matanya yang basah. Katanya, “Aku minta diri Kakang. Tetapi jika Kakang masih ingin mendapatkan tongkat baja putih itu untukku, aku sangat berterima kasih.”

“Aku akan berusaha, Yatni. Tongkat itu akan sangat berarti bagimu.”

Malam itu, ketika orang terakhir yang masih mampu berjalan meninggalkan perkemahan itu, Suranata masih berbaring di pembaringan bambu beralaskan anyaman daun kelapa yang sudah mengering. Seorang yang berperawakan kecil, berkumis tipis, menyempatkan diri untuk mendekati pembaringannya sambil berdesis, “Kau tidak ikut bersama kami, Suranata?”

Suranata menggeleng. Suaranya lemah, “Tidak, Bengkring. Aku akan tinggal di sini.”

“Besok orang-orang Tanah Perdikan akan memasuki bekas perkemahan ini.”

“Ya.”

“Kau akan ditangkap dan diperlakukan dengan buruk sekali.”

“Mudah-mudahan tidak. Mungkin aku dapat meninggalkan tempat ini sebelum fajar.”

“Kau masih terlalu lemah.”

“Lukaku sudah diobati. Aku pun sudah menelan obat untuk menambah kekuatan tubuhku sekedarnya.”

“Tetapi darahmu akan mengalir lagi.”

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah kawan-kawanmu sudah berangkat, Bengkring?”

“Mereka baru mulai bergerak.”

“Berangkatlah! Nanti kau ketinggalan.”

“Mereka berjalan seperti siput.”

“Pergilah.”

“Segala-galanya menjadi lain.”

“Apa yang lain?”

“Kawan-kawan kita yang terluka parah, ditinggalkan begitu saja. Aku tahu bahwa yang melakukan bukan Ki Saba Lintang, karena Ki Saba Lintang membawa orang-orangnya yang terluka. Tetapi bukankah Ki Saba Lintang itu panglima kita? Ia bertanggung jawab terhadap semua orang dalam pasukannya. Ia dapat memerintahkan setiap pemimpin kelompok atau gerombolan yang bergabung kepadanya untuk membawa semua orang-orangnya.”

“Kau kira Ki Saba Lintang mempunyai kekuasaan untuk itu?”

Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bergumam, “Belum lagi kita berbicara tentang orang-orang yang terluka di medan perang, sehingga tidak mampu beranjak dari tempatnya, sementara kawan-kawannya tidak sempat menolong dan menyingkirkan mereka.”

“Jangan menambah lukaku menjadi pedih, Bengkring.”

“Maaf, Suranata.”

“Aku tidak menyalahkanmu. Aku mengerti perasaanmu.”

“Karena itu pula kau tidak mau pergi bersama kami,” desis Bengkring, “Kau ingin menunjukkan kesetia-kawananmu terhadap orang-orang yang tidak berdaya. Kau akan ikut mengalami keadaan yang terburuk yang dapat terjadi dengan mereka. Bahkan seandainya orang-orang Tanah Perdikan tidak datang kemari dan kalian akan kelaparan dan kehausan, kau akan mengalaminya juga.”

“Sudahlah Bengkring, pergilah. Kau termasuk orang yang selamat. Tidak segores lukapun terdapat pada kulitmu. Dengan terampil kau mampu menghindari setiap ujung senjata yang mengarah ke tubuhmu. Sekarang, pergilah. Kau diperlukan oleh orang-orang yang terluka di sepanjang perjalanan. Mereka memerlukan orang-orang seperti kau. Orang-orang yang tidak terlalu mementingkan diri sendiri.”

Bengkring menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Dalam keadaan seperti ini kita akan dapat menilai, apakah kita mempunyai arti bagi orang lain. Mungkin kita adalah orang-orang yang dianggap sampah bagi kebanyakan orang yang hidup wajar. Tetapi kita jangan menjadi sampahnya sampah. Dosa apakah yang lebih besar daripada seorang yang dianggap berkhianat dan memberontak. Tetapi yang berkhianat dan memberontak itu hendaknya masih juga mempunyai arti bagi orang lain.”

“Pergilah,” desis Suranata, “kau termasuk salah seorang yang masih dapat memberikan arti bagi orang lain.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar