Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 317

Buku 317

Namun ketiga orang yang terhitung pendek itu mampu bergerak dengan cepat pula. Bahkan beberapa saat kemudian ketiganya telah menggenggam senjata mereka masing-masing. Semacam tongkat baja yang di ujungnya terdapat sebuah bulatan sebesar kepalan tangannya, yang semula terselip di punggung mereka.

Benturan-benturan yang kemudian terjadi, membuat Glagah Putih menjadi semakin berhati-hati. Ketiga orang itu ternyata memiliki kekuatan yang cukup besar, meskipun tubuhnya terhitung kecil.

Sementara itu, ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu pun merasa heran menghadapi lawannya yang masih muda itu. Sudah beberapa lama mereka bertempur, bahkan ketiganya terpaksa mempergunakan senjata mereka, namun anak muda itu masih mampu bertahan. Bahkan serangan-serangannya semakin lama semakin berbahaya bagi ketiga orang bertubuh pendek itu.

Bahkan pedang Glagah Putih yang berputaran itu rasa-rasanya telah berdesing semakin lama semakin dekat dengan telinga-telinga mereka.

Dengan demikian, maka ketiga orang yang bertubuh pendek itu pun semakin meningkatkan kemampuan mereka. Ketika seorang di antara mereka berteriak nyaring, maka ketiga orang itu pun kemudian telah meloncat surut selangkah. Namun kemudian mereka pun telah berlari-lari berputar di sekeliling Glagah Putih.

Glagah Putih menyadari bahwa ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu telah sampai ke puncak ilmu mereka. Karena itu, maka Glagah Putih pun menjadi semakin berhati-hati.

Sambil berlari berputar di sekeliling Glagah Putih, ketiga orang itu telah mengacu-acukan senjata mereka. Namun kemudian tongkat-tongkat mereka itu pun bergetar semakin cepat. Bahkan udara di sekitar tubuh Glagah Putih pun rasa-rasanya telah menggelepar pula.

Glagah Putih mulai merasakan hentakan-hentakan yang semakin kuat pada tubuhnya. Bahkan kemudian bentakan-bentakan itu terasa seakan-akan telah menekan dan memutar tubuhnya, mengikuti putaran ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu.

Glagah Putih mencoba untuk bertahan. Tetapi ia tidak dapat memusatkan nalar budinya untuk melawan tekanan yang memutar tubuhnya itu, karena setiap kali tongkat orang-orang itu terayun menggapai tubuhnya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun harus berusaha menangkis serangan-serangan itu, sementara tubuhnya rasa-rasanya masih saja diputar dengan kekuatan yang semakin besar.

Glagah Putih pun kemudian telah menyarangkan pedangnya. la pun mulai mengurai ikat pinggang kulitnya. Ia justru merasa lebih mapan dengan senjata itu.

Sejenak Glagah Putih pun membuat ancang-ancang. Ia sadar bahwa ia harus bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, jika ia berusaha memecahkan putaran ketiga orang lawannya itu.

Dalam pada itu, kepala Glagah Putih sudah mulai menjadi pening. Namun Glagah Putih pun kemudian justru telah bergerak berputar ke arah yang berlawanan dengan putaran ketiga orang lawannya. Ketika tongkat lawannya itu bergetar menggapainya, maka dengan sepenuh tenaga, Glagah Putih telah menebasnya.

Satu benturan yang keras telah terjadi. Terdengar seorang di antara ketiga orang itu berteriak. Rupa-rupanya teriakan itu merupakan isyarat bagi kedua orang saudaranya.

Dalam benturan yang terjadi itu, ternyata salah seorang dari ketiga orang itu telah kehilangan tongkatnya. Tongkat itu terlempar beberapa langkah dari putaran itu, sementara tangan orang yang kehilangan tongkatnya itu menjadi sangat pedih, seolah-olah kulitnya telah terkelupas.

Putaran itu pun kemudian telah berhenti. Dua orang di antara mereka berloncatan dengan tangkasnya. Tongkat di tangannya berputar dengan cepat, terayun menebas ke arah kepala Glagah Putih, sementara seorang di antara mereka dengan tangkasnya meloncat memungut tongkatnya yang terjatuh.

Demikian tongkat itu sudah berada di tangannya, maka kedua orang saudaranya pun segera berloncatan surut. Mereka mulai membuat ancang-ancang untuk melakukan serangan yang baru.

Sementara itu, pertempuran di seluruh arena itu menjadi bertambah seru. Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan semakin menguasai medan. Meskipun demikian, orang-orang yang berada di bawah pimpinan Ki Pringgareja itu masih berusaha memberikan perlawanan yang sengit. Semua orang yang berada di kemah mereka sudah dikerahkan. Para petugas yang biasanya berada di dapur, mereka yang terbiasa memelihara dan menyediakan peralatan, para penghubung, dan semua orang telah turun ke medan.

Ki Pringgareja sendiri masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Sura Panggah. Keduanya ternyata prajurit pilihan. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin seru. Mereka saling menyerang dan saling menghindar. Senjata-senjata mereka telah mulai menyentuh tubuh lawan, sehingga darah pun mulai menitik dari luka pada tubuh kedua belah pihak.

Para pengawal mereka tidak dapat banyak membantu, karena mereka harus melindungi nyawa mereka sendiri dalam pertempuran yang riuh itu. Kedua belah pihak yang terlibat dalam perang brubuh itu rasa-rasanya tidak lagi sempat memperhatikan kawan mereka yang bertempur sejengkal saja di dekatnya. Bahkan para prajurit yang terbiasa bertempur dalam satu kesatuan perang gelar, harus mempercayakan perlindungan nyawa mereka pada diri sendiri.

Para prajurit dari Pasukan Khusus telah menunjukkan kelebihan mereka. Namun para prajurit yang datang dari Ganjur pun mampu menyesuaikan diri dalam pertempuran yang menggetarkan itu. Sementara para pengawal yang di tempatkan di sisi selatan adalah pengawal yang telah berpengalaman luas menghadapi berbagai macam medan.

Tetapi orang-orang yang berada di bawah pimpinan Ki Pringgareja itu pun telah bertempur habis-habisan pula. Mereka tidak ingin dikalahkan lagi seperti hari sebelumnya, sehingga dengan demikian maka mereka pun telah mengerahkan segenap kemampuan mereka.

Sementara itu Sabungsari dan Ki Setra Puguh masih bertempur dengan sengitnya. Ki Setra Puguh menjadi semakin marah menghadapi Sabungsari yang tidak segera dapat dikalahkan itu. Bahkan semakin lama Sabungsari itu semakin mendesaknya.

Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Ki Setra Puguh merasa kemampuannya diimbangi oleh orang yang semula dianggapnya akan dapat segera diselesaikannya itu. Karena itu, maka kemarahannya terasa telah membakar ubun-ubunnya.

Sebenarnyalah Sabungsari pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Ki Setra Puguh ternyata memang berilmu tinggi. Kekuatannya sangat besar dan kecepatan gerakannya seakan-akan melampaui kecepatan hembusan angin di dedaunan.

Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Bahkan orang-orang yang bertempur di sekitarnya pun seakan-akan telah menyibak.

Ki Setra Puguh yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu ternyata masih belum mampu menghentikan perlawanan Sabungsari, sementara pertempuran menjadi semakin menekan. Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu satu demi satu mampu menyingkirkan lawan-lawan mereka, sehingga orang-orang di dalam pasukan Ki Pringgareja itu menjadi semakin menyusut.

Ki Setra Puguh tidak mau menerima kekalahan lagi. Ia tidak ingin mendengar lagi perintah Ki Pringgareja untuk melarikan diri dari arena pertempuran yang terjadi di sekitar perkemahan mereka.

“Jika kali ini kami harus melarikan diri lagi, maka kami benar-benar akan dilumatkan. Mereka tidak akan melepaskan kami. Orang-orang Tanah Perdikan itu akan mengejar dan membunuh kami seorang demi seorang, karena landasan utama kami masih terlalu jauh,” berkata Ki Setra Puguh di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa sebagian dari para prajurit dari Pasukan Khusus, para prajurit dari Ganjur dan para pengawal Tanah Perdikan telah mendekati perkemahan. Mereka mendesak terus selangkah demi selangkah.

Kemarin, pasukan Ki Pringgareja masih mempunyai tempat untuk mereka jadikan batas pelarian. Orang-orang di perkemahan dapat mereka kerahkan untuk membantu mempertahankan perkemahan itu. Tenaga-tenaga yang segar itu dapat mereka harapkan untuk membantu menghalau lawan jika memburu mereka.

Tetapi hari itu semua tenaga sudah dikerahkan. Serangan yang tiba-tiba, serta ketidaksiagaan pasukan di perkemahan itu, telah mengguncang pertahanan mereka.

Dengan pertimbangan-pertimbangan itulah, maka Ki Setra Puguh pun telah mengambil keputusan untuk menerapkan ilmu simpanannya. Ia harus dapat segera mengakhiri perlawanan pengawal Tanah Perdikan yang berilmu tinggi itu. Setelah itu, maka ia akan dapat menggilas para pengawal yang lain. Dengan menerapkan ilmunya yang tinggi, maka ia akan dengan cepat mengurangi kekuatan lawan.

Karena itu, Ki Setra Puguh tidak ingin bertempur lebih lama lagi. Ia harus segera membunuh lawannya yang telah menahannya terlalu lama dalam pertempuran yang meletihkan.

Dalam pada itu, Sabungsari semakin mendesaknya. Pedangnya berputaran dengan garang. Benturan-benturan yang terjadi memercikkan bunga-bunga api.

Sabungsari merasakan betapa lawannya berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran. Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan berpengalaman luas, maka Sabungsari segera merasakan bahwa lawannya akan segera sampai pada tataran puncak ilmunya.

Karena itu, maka Sabungsari pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sebenarnyalah Ki Setra Puguh mulai merambah jalan ke puncak ilmunya. Serangan-serangannya terasa semakin menekan. Rasa-rasanya Ki Setra Puguh memang sedang ancang-ancang untuk mengambil satu langkah yang menentukan.

Untuk menanggapinya, maka Sabungsari berusaha menekannya, agar Ki Setra Puguh tidak sempat memusatkan nalar budinya membangunkan ilmu puncaknya.

Meskipun demikian, namun akhirnya Ki Setra Puguh itu mendapat kesempatan pula untuk menerapkan ilmu puncaknya itu.

Dengan tanpa menyarungkan kerisnya, Ki Setra Puguh telah melontarkan serangannya yang menggetarkan. Ketika kesempatan itu terbuka, maka Ki Setra Puguh itu seakan-akan justru melekatkan kerisnya di dadanya, sementara tangan kirinya dihentaknya dengan telapak tangan terbuka ke arah Sabungsari.

Sabungsari yang sudah menduga bahwa serangan itu akan segera datang, telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan.

Tiba-tiba saja dari telapak tangan orang itu menyembur dengan derasnya asap putih, mengarah ke tubuh Sabungsari.

Sabungsari yang telah memperhitungkan akan datang serangan, meskipun ia belum tahu jenis ilmu lawannya, dengan cepat menjatuhkan diri menghindari semburan asap itu. Meskipun demikian, terasa udara yang panas menyentuh kulitnya.

Asap putih itu ternyata adalah uap panas yang mengalir dengan cepat bergulung menyembur ke sasaran.

Dalam pada itu, ternyata Ki Setra Puguh tidak membiarkan Sabungsari itu lolos dari serangannya. Demikian Sabungsari meloncat bangkit, maka serangan berikutnya telah datang lagi menyambarnya.

Sabungsari pun segera meloncat ke samping. Serangan itu tidak mengenainya. Tetapi sentuhan percikan awan panas itu rasa-rasanya telah menyengatnya.

Ketika serangan yang ketiga datang, maka Sabungsari tidak mempunyai pilihan lagi. Jika ia membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan Ki Setra Puguh, betapapun ia mampu bergerak cepat, namun pada saatnya kulitnya akan direbus dalam asap yang panasnya melampaui panasnya api itu.

Dengan tangkasnya Sabungsari menghindari serangan Ki Setra Puguh. Tetapi serangan ketiga itu masih sempat menyentuh lengannya.

Sabungsari menyeringai menahan sakit. Beberapa kali ia berloncatan, kemudian berputar di udara. Bahkan kemudian ia pun telah menjatuhkan dirinya sambil berguling.

Pada saat itu, Ki Setra Puguh telah mengangkat tangannya untuk melepaskan serangannya yang keempat. Tetapi Sabungsari sudah mengambil keputusan, bahwa ia harus melawan ilmu puncak Ki Setra Puguh. Ia tidak akan mampu melawan serangan-serangan itu dengan pedangnya atau mengandalkan kecepatannya bergerak. Apalagi Sabungsari sudah merasakan sentuhan-sentuhan serangan lawannya itu.

Karena itu, ketika Ki Setra Puguh itu melepaskan ilmunya, Sabungsari telah berlutut pada satu lututnya. Jari-jarinya tergenggam, sementara kedua tangannya menyilang di dadanya.

Dengan tajamnya Sabungsari memandang tangan Ki Setra Puguh yang terangkat. Ketika ia melihat asap putih mulai mengepul, dari sepasang matanya telah memancar seleret sinar yang menyambar ke arah tangan Ki Setra Puguh. Ternyata sinar yang memancar dari mata Sabungsari meluncur lebih cepat dari pancaran asap putih dari tangan Ki Setra Puguh.

Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Benturan antara dua kekuatan ilmu yang sangat tinggi. Tidak terdengar suara apapun. Tidak terjadi ledakan. Tetapi udara bagaikan diguncang. Cahaya yang silau memancar dari titik benturan. Kemudian lenyap sama sekali.

Sabungsari tergetar surut. Bahkan ia sudah kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh terguling. Dengan cepat Sabungsari berusaha bangkit. Meskipun ia berhasil, namun terasa dadanya menjadi pepat. Nafasnya terasa menyesakkan dadanya itu.

Dengan pandangan matanya yang agak kabur, Sabungsari melihat Ki Setra Puguh itu terbanting jatuh. Namun orang itu sama sekali tidak bergerak lagi. Tubuhnya berbaring diam.

Dua orang pengikutnya dengan serta-merta berloncatan berlari mendekatinya. Dua orang pengawal Tanah Perdikan yang bertempur melawan keduanya tertegun sejenak. Ternyata keduanya tidak memburunya, seakan-akan memberi kesempatan kepada keduanya untuk merawat Ki Setra Puguh.

Sementara itu, kedua orang pengawal Tanah Perdikan itu pun justru telah mendekati Sabungsari yang menjadi sangat lemah, setelah membenturkan ilmunya dengan ilmu Ki Setra Puguh.

Tetapi tidak seorang pun yang datang mengganggu Sabungsari, karena setiap orang harus bertempur untuk melindungi diri sendiri.

Sejenak Sabungsari berdiri tegak. Dipungutnya pedangnya yang terjatuh. Kemudian dimasukkannya ke dalam sarungnya yang tergantung di lambungnya.

Sejenak kemudian Sabungsari itu berdiri tegak. Wajahnya agak diangkatnya. Perlahan-lahan gejolak pernafasannya pun agak mereda. Beberapa kali Sabungsari harus menarik nafas dalam-dalam.

Dalam pada itu, pertempuran masih berlangsung dengan garangnya. Senjata masih terdengar berdentingan. Teriakan-teriakan nyaring, umpatan-umpatan kasar dan jerit kesakitan, memenuhi udara di atas medan pertempuran.

Namun ternyata pengaruh kematian Ki Setra Puguh terasa sekali pada orang-orang yang berada di dalam pasukan di bawah pimpinan Ki Pringgareja.

Ki Setra Puguh adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Jika ia dapat dikalahkan, maka yang mengalahkannya tentu orang yang memiliki ilmu lebih tinggi lagi. Karena itu, jika orang yang telah membunuh Ki Setra Puguh itu kemudian memasuki medan itu lagi, maka ia akan dapat membantai kelompok-kelompok yang akan menghadapinya. Sementara itu, sebelumnya kekuatan pasukan yang berada di bawah pimpinan Ki Pringgareja itu sudah mulai goyah.

Dalam pada itu, Ki Pringgareja masih bertempur melawan Ki Sura Panggah. Ternyata keduanya memiliki kemampuan yang seimbang. Sekali-sekali Ki Pringgareja telah mendesak Ki Sura Panggah. Namun kemudian Ki Sura Panggah-lah yang mendesak Ki Pringgareja. Sementara itu, tubuh mereka pun telah mulai tergores oleh luka. Semakin lama semakin banyak darah yang menitik dari luka-luka itu.

Namun dalam pada itu, Ki Sura Panggah bertempur dengan dada tengadah. Ia melihat kemungkinan-kemungkinan yang baik bagi pasukannya, sementara lawannya menjadi semakin gelisah.

Ki Pringgareja melihat kemungkinan buruk itu di sekitarnya. Dengan demikian, ia dapat membayangkan bahwa di seluruh medan, keadaannya tentu hampir sama saja. Ki Pringgareja itu masih berharap bahwa Ki Setra Puguh akan dapat menjadi tumpuan kemenangan bagi pasukannya. Apalagi setelah Ki Pringgareja itu mengetahui bahwa Rewanda Lantip telah turun ke medan pula.

Namun sampai saat tenaganya menyusut, serta darah semakin banyak meleleh dari luka-lukanya sebagaimana lawannya Ki Sura Panggah, masih belum ada laporan bahwa Ki Setra Puguh dan ketiga bersaudara yang disebut Rewanda Lantip itu berhasil menghancurkan kelompok-kelompok pengawal Tanah Perdikan. Kemarin Ki Pringgareja memang mendapat laporan dari Ki Setra Puguh, bahwa ia telah menjumpai seorang yang berilmu tinggi dalam pasukan Tanah Perdikan. Tetapi Ki Setra Puguh mengatakan bahwa ia akan dapat menghancurkan orang itu dengan cepat, jika ia sudah menghendaki.

“Dengan ilmuku, orang itu tidak akan berdaya.”

“Kenapa tidak kau lakukan di saat pasukan kita sudah terdesak?”

“Aku sudah siap melakukannya, tetapi perintah untuk mengundurkan diri itu datang terlalu cepat. Seandainya aku memaksa diri untuk melakukannya, sementara seluruh pasukan ditarik mundur, maka kerjaku akan sia-sia. Mungkin aku akan dapat membunuh banyak orang, tetapi aku juga akan dibantai di pertempuran. Betapapun tinggi ilmuku, tetapi aku tentu tidak akan dapat melawan seluruh kekuatan pasukan Tanah Perdikan itu.”

Ki Pringgareja memang tidak menyalahkannya. Namun ia berharap bahwa hari itu Ki Setra Puguh akan segera mempergunakan ilmunya yang tinggi, untuk mengakhiri perlawanan seorang pengawal yang berilmu tinggi.

“Apakah Ki Setra Puguh belum berhasil menemukan orang itu, sementara orang itu membunuh orang-orangku seperti menebas gerumbul ilalang?”

Memang tidak ada orang yang berani memberikan laporan tentang kematian Ki Setra Puguh kepada Ki Pringgareja. Kematian Ki Setra Puguh tentu akan sangat mempengaruhi ketahanan jiwaninya, sehingga mungkin akan membahayakan dirinya.

Tetapi justru penghubung dari Tanah Perdikan Menoreh-lah yang datang mendekati Ki Sura Panggah sambil berteriak, “Ki Sura Panggah. Sabungsari berhasil membunuh Ki Setra Puguh.”

“He?” Sambil bertempur Ki Sura Panggah berteriak pula. Ia sebenarnya sudah mendengar laporan itu. Tetapi Ki Sura Panggah sengaja bertanya, “Apa yang kau katakan?”

“Ki Setra Puguh telah terbunuh di medan. Sabungsari-lah yang telah membunuhnya.”

“Persetan kalian orang-orang Tanah Perdikan!” geram Ki Pringgareja, “Aku tidak peduli atas kematian Setra Puguh. Aku sama sekali tidak tergantung kepadanya. Pasukanku juga tidak tergantung kepadanya. Justru aku ingin ia mati, sehingga tidak mengganggu rencana-rencana perjuangan kami selanjutnya.”

Tetapi Ki Sura Panggah tertawa. Bahkan ia pun sempat bertanya, “Siapakah orang yang bernama Setra Puguh itu? Namanya senafas dengan namaku. Apakah ia seorang yang berilmu tinggi?”

“Seorang benalu yang licik. Ia pantas mati.”

Ki Sura Panggah tidak sempat bertanya lebih lanjut. Ki Pringgareja telah menyerang dengan garangnya. Dihentakkannya ilmunya, sehingga serangan-serangannya pun semakin garang.

Namun Ki Sura Panggah telah meningkatkan kemampuannya pula, sehingga karena itu maka pertempuran di antara kedua orang pemimpin pasukan itu menjadi bertambah sengit.

Tetapi dukungan bagi keduanya yang berubah dengan cepat. Orang-orang dalam pasukan Ki Pringgareja susut lebih cepat dari orang-orang dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Kesiapan mereka sebelum mereka mulai terlibat dalam pertempuran pun sangat berpengaruh pula bagi mereka, sehingga karena itu maka orang-orang di dalam pasukan Ki Pringgareja itu lebih cepat kehilangan dukungan kewadagan mereka. Tenaga mereka lebih cepat menjadi susut. Apalagi mereka yang mengetahui bahwa Ki Setra Puguh telah terbunuh.

Harapan mereka kemudian mereka sangkutkan pada Rewanda Lantip. Mereka berharap bahwa Rewanda Lantip akan dengan cepat menyelesaikan lawan mereka, sehingga Rewanda Lantip itu pun akan segera menghancurkan orang yang telah membunuh Ki Setra Puguh. Orang itu tentu sudah menjadi semakin lemah setelah membenturkan ilmunya, terdorong surut dan jatuh berguling di tanah.

Namun dalam pada itu, Rewanda Lantip ternyata tidak segera dapat menyelesaikan lawannya. Seorang anak muda yang kemudian telah menggenggam senjata andalannya. Tidak lagi sebilah pedang, tetapi ikat pinggang kulitnya.

Sebenarnyalah bahwa Rewanda Lantip tidak mampu menguasai lawannya yang hanya seorang itu. Namun Rewanda Lantip masih mempunyai senjata pamungkas. Karena itu, ketika pertempuran itu mulai menjadi kalut, serta setelah mereka mendengar bahwa Ki Setra Puguh telah terbunuh, mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Apalagi ketika mereka justru terdesak dan bahkan senjata anak muda itu mulai menyentuh kulit mereka.

Demikianlah, seorang di antara ketiga bersaudara yang disebut Rewanda Lantip itu telah memberikan isyarat.

Ketiganya kemudian telah bergerak dengan cepat setelah membuat ancang-ancang yang cukup. Seorang di antara mereka telah pernah kehilangan senjatanya setelah membentur senjata Glagah Putih. Beruntunglah bahwa orang itu masih sempat memungut senjatanya kembali. Tetapi peristiwa itu tidak boleh terulang lagi.

Ketika ketiga orang itu mulai menerapkan ilmu mereka, maka mereka justru telah menjauhi Glagah Putih. Mereka pun mulai berputar mengelilingi Glagah Putih. Mula-mula ketiganya menyerang Glagah Putih bergantian sebagaimana yang pernah mereka lakukan sebelumnya. Sambil berputar semakin cepat, tiba-tiba seorang di antara mereka meloncat maju sambil mengayunkan senjata mereka. Jika Glagah Putih menangkisnya dan bersiap untuk menyerang kembali, maka yang lain pun lelah meloncat menyerang pula.

Namun Glagah Putih ternyata mampu bergerak cepat mengimbangi kecepatan gerak ketiga orang lawannya, sehingga serangan-serangan mereka masih belum mengenai sasarannya.

Tetapi putaran mereka semakin lama menjadi semakin cepat. Yang kemudian membuat pening kepala Glagah Putih, bukannya putaran itu sendiri atau serangan-serangan mendadak dari arah yang tidak diduganya. Tetapi ketiga orang itu pun mulai berteriak-teriak. Semakin lama semakin keras, sehingga kemudian suara ribut itu terdengar seolah-olah suara sekelompok besar kera liar di hutan yang lebat, berteriak-teriak mengerubunginya.

Glagah Putih semakin lama memang menjadi semakin bingung. Sementara itu putaran yang semakin cepat itu seolah-olah telah menimbulkan angin pusaran, yang akan dapat mengurungnya dan bahkan memutar tubuhnya dan mengangkatnya ke udara.

Glagah Putih benar-benar menjadi bingung. Apalagi dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba saja kepala tongkat lawannya itu telah mengenai punggungnya.

Hampir saja Glagah Putih jatuh terjerembab. Tetapi daya tahan Glagah Putih yang besar telah menyelamatkannya. Jika ia benar-benar jatuh terjerembab di kaki salah seorang tiga bersaudara yang menyebut diri mereka Rewanda Lantip, maka serangan berikutnya akan dapat mematahkan perlawanannya. Ketiga orang pendek itu tentu akan mengerubutinya dengan pukulan-pukulan, sehingga ia menjadi tidak berdaya.

Dalam keadaan yang demikian, maka Glagah Putih pun telah mengambil keputusan mantap. Ia tidak saja mempergunakan ikat pinggang kulitnya. Tetapi ia pun harus mempergunakan kemampuan pamungkasnya.

Ketika putaran angin pusaran itu menjadi semakin cepat, serta teriakan-teriakan yang mirip teriakan seribu ekor kera itu semakin mencengkamnya, maka Glagah Putih pun segera menerapkan ilmu pamungkasnya. Ia tidak lagi sekedar berputar ke arah yang berlawanan sambil menebas dengan ikat pinggangnya, tetapi Glagah Putih justru menyangkutkan ikat pinggangnya di leher. Dengan cepat Glagah Putih itu berjongkok sambil memusatkan nalar budinya. Pada saat itu pula salah seorang di antara ketiga orang pendek itu telah meloncat mengayunkan tongkatnya. Tetapi justru karena Glagah Putih berjongkok, maka ayunan itu tidak menyentuhnya.

Pada saat itu, Glagah Putih benar-benar memusatkan perhatiannya pada salah seorang di antara ketiga orang lawannya yang sedang berlari berputar, tanpa menghiraukan yang lain. Bahkan seandainya yang lain mengulangi serangannya ke arah kepalanya. Namun pada saat itu Glagah Putih telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan terbuka, mengarah salah seorang di antara ketiga orang itu.

Seleret sinar telah meloncat dari kedua telapak tangannya itu. Demikian cepatnya meluncur dan menyambar tubuh salah seorang dari ketiga lawannya. Justru pada saat itu, Glagah Putih yang menyadari bahwa serangan dapat datang setiap saat, segera menjatuhkan dirinya dan berguling di tanah.

Sebenarnyalah salah seorang dari ketiga lawannya itu menjerit keras sekali, seperti jerit seekor kera yang diterkam oleh seekor harimau. Sementara itu, seorang yang lain telah mengayunkan tongkatnya mengarah ke kepala Glagah Putih. Namun karena Glagah Putih berjongkok dan bahkan menjatuhkan dirinya, maka ayunan tongkat itu tidak mengenai sasarannya.

Jerit seorang di antara ketiga orang bersaudara itu seakan-akan telah menggetarkan udara di atas medan pertempuran itu. Seorang di antara ketiga orang bersaudara itu telah terlempar beberapa langkah, kemudian tubuhnya terbanting di tanah. Demikian tubuh itu menghantam batu-batu padas, maka jerit yang mengerikan itu pun terdiam.

Namun orang itu pun terdiam pula untuk selama-lamanya.

Dalam pada itu, kedua orang bersaudara kembarnya telah berlari-lari mendekatinya. Keduanya telah menjatuhkan dirinya, memeluk saudaranya yang terbunuh itu, yang badannya seakan-akan telah hangus terbakar. Sementara benturan tubuh yang terlempar itu dengan batu padas, telah meremukkan tulang-tulangnya.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Punggungnya masih terasa sakit, seakan-akan tulang belakangnya telah retak.

Namun dalam pada itu, hatinya telah tergetar melihat kedua orang pendek itu menangisi saudara kembarnya yang terbunuh.

Sementara Glagah Putih masih termangu-mangu, terdengar teriakan kedua orang saudara kembar yang kehilangan seorang saudaranya itu. Suaranya nyaring tinggi, seakan-akan menusuk lubang telinga sampai ke otak.

Sebelum Glagah Putih sempat bergeser, maka kedua orang itu pun berloncatan dengan garangnya. Teriakan-teriakan mereka menjadi semakin meninggi. Tongkat mereka terayun-ayun semakin mengerikan.

Glagah Putih itu pun dengan cepat meloncat mundur. Namun kedua orang lawannya yang tersisa itu dengan berloncat-loncatan memburunya.

Keduanya tidak lagi bergerak melingkar. Tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan kendali nalarnya. Seperti anak-anak yang marah, keduanya berkelahi tanpa kendali sama sekali.

Glagah Putih harus menyesuaikan diri dengan tingkah laku lawannya. Bahkan Glagah Putih justru tidak sempat lagi untuk menyerang mereka dari jarak tertentu, karena mereka seakan-akan bertempur hampir lekat dengan anak muda itu.

Sekali-sekali Glagah Putih memang meloncat mengambil jarak. Tetapi keduanya berloncatan sambil mengayun-ayunkan senjata mereka.

Glagah Putih harus meloncat lagi mengambil jarak dengan berloncatan dan berputaran di udara. Namun demikian kedua kakinya menyentuh tanah, kedua lawannya itu telah menyusulnya dengan serangan-serangan yang seakan-akan membelit dari segala arah.

Namun akhirnya Glagah Putih tidak mempunyai pilihan lain. Ikat pinggang yang telah berada di tangannya, telah terayun-ayun menyongsong setiap serangan lawannya

Teriakan yang sangat nyaring terdengar membelah langit, ketika seorang dari kedua orang lawannya itu tergores ikat pinggang Glagah Putih di lambungnya, sehingga luka pun telah menganga. Darah mengucur dengan derasnya.

Meskipun demikian, orang itu sama sekali tidak menghentikan perlawanannya.

Dengan lambung yang terkoyak, orang itu justru menjadi semakin garang. Sorot matanya yang memancarkan keputus-asaannya, membuat orang itu seakan-akan justru membunuh diri.

Tetapi ia tidak mau mati sendiri. Ia harus membawa lawannya untuk mati pula bersamanya.

Demikian pula saudaranya yang seorang lagi. Orang itu sama sekali tidak memedulikan apapun lagi. Agaknya kematian saudara kembarnya telah memaksanya untuk siap mati pula.

Karena itu, maka keduanya sulit untuk ditahan lagi. Sekali ikat pinggang Glagah Putih telah menyambar pundak yang seorang lagi. Pundak itu telah terkoyak pula. Namun luka-luka itu seakan-akan tidak terasa sama sekali.

Glagah Putih yang bertempur dengan bersenjata ikat pinggang itu justru beberapa kali harus berloncatan mundur, dan bahkan hingga pakaiannya telah menjadi basah oleh keringat. Lawannya yang bermandikan darah itu seakan-akan tidak terasa sama sekali. Keduanya masih tetap bertempur dengan garangnya. Teriakan-teriakan nyaring masih terdengar memekakkan telinga.

Glagah Putih justru menjadi ngeri melihat keduanya. Meskipun Glagah Putih sudah memiliki pengalaman yang luas bertempur di medan yang garang, tetapi kedua orang itu membuat dadanya bergetar. Kengerian itu telah mengejar Glagah Putih ke manapun ia berloncatan. Keduanya seakan-akan bergelayut di belakang, di samping dan bahkan di depannya. Ketika Glagah Putih membentur tongkat lawan-lawannya sehingga terlepas, Glagah Putih itu sempat berteriak, “Menyerahlah! Kalian akan aku biarkan hidup!”

Tetapi keduanya sama sekali tidak mendengar. Dengan pakaian yang basah oleh darah, serta tanpa menggenggam senjata apapun, keduanya melawan Glagah Putih sejadi-jadinya

Justru karena itu, rasa-rasanya Glagah Putih tidak lagi dapat mengayunkan ikat pinggangnya. Jika ikat pinggangnya itu mengenai perut salah seorang dari lawannya, maka perut itu akan menganga. Demikian pula jika ikat pinggangnya menggores leher salah seorang dari mereka, maka leher itu pun akan nyaris terpotong.

Semakin lama Glagah Putih justru menjadi semakin bingung. Keduanya membelit di sekitarnya sambil menggapai-gapai, sementara mulut mereka tetap saja berteriak-teriak.

“Menyerahlah!” teriak Glagah Putih.

Suaranya hanya sekedar menggelepar di udara. Kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukannya.

“Menyerah, atau aku bunuh kalian!”

Teriakan itu hanya sia-sia saja

Dalam puncak kebingungannya Glagah Putih pun meloncat mengambil jarak. Dikenakannya kembali ikat pinggangnya, sehingga ia pun melawan kedua lawannya dengan tangannya.

Glagah Putih serasa kehilangan akal ketika seorang di antara kedua lawannya itu meloncat benar-benar bergelayut di punggungnya sambil menggigit pundaknya.

Pundak Glagah Putih itu pun terasa pedih. Gigitan itu benar-benar telah melukainya.

Karena itu, seakan-akan gerak naluriahnya, ketika Glagah Putih kemudian menggapai kepala orang itu. Sambil merendah sedikit pada lututnya, maka Glagah Putih pun kemudian telah menghentakkan kepala orang itu. Kakinya tiba-tiba menjadi tegak, tetapi badannya-lah yang sedikit membungkuk sambil menarik kepala orang itu.

Kaki orang bertubuh pendek itu terangkat. Sekali berputar di udara, kemudian tubuh itu terbanting jatuh di tanah. Demikian kerasnya, sehingga tulang belakangnya telah patah karenanya.

Orang itu tidak sempat mengerang. Ketika Glagah Putih melepaskannya, maka orang itu sama sekali sudah tidak bergerak.

Seorang di antara ketiga orang bersaudara kembar yang masih tetap hidup itu menangis meraung-raung. Dipeluknya saudara kembarnya yang baru saja terbunuh itu. Diguncang-guncangnya tubuh yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu.

Tetapi tubuh itu tetap diam. Nafasnya pun sudah tidak mengalir lagi dari lubang hidungnya.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Ia justru menjadi semakin bingung. Orang yang kehilangan saudaranya itu menjadi seperti anak yang kehilangan orang tuanya.

Namun sejenak kemudian orang itu pun segera bangkit berdiri, Matanya bagaikan menyala, sedangkan giginya gemeretak menahan kemarahan yang membakar jantung.

“Aku akan mencincangmu!” orang itu menggeram.

Glagah Putih memandang wajah orang itu dengan jantung yang berdebaran. Kematian kedua saudara kembarnya tentu merupakan pukulan yang sangat menyakitkan jiwanya. Karena itu, maka pukulan itu agaknya telah menyentuh syarafnya pula

Glagah Putih masih mencoba memperingatkannya, “Menyerahlah! Kau akan tetap hidup. Aku akan menjamin keselamatanmu.”

Tetapi orang itu seakan-akan tidak mendengarnya sama sekali. Karena itu, orang itu pun telah meloncat-loncat mendekati Glagah Putih. Teriakan-teriakannya yang bernada tinggi telah menggetarkan udara di medan, serta membuat Glagah Putih semakin sulit untuk berpikir.

Tetapi Glagah Putih tidak lagi berniat mempergunakan ilmunya yang akan dapat menghancurkan orang itu. Glagah Putih pun sadar, bahwa ia memang tidak perlu mempergunakan Aji Sigar Bumi atau ilmunya yang lain.

Namun sejenak kemudian, orang itu pun telah menyerangnya. Sambil meloncat-loncat tangannya menggapai-gapai. Jari-jarinya yang berkembang berusaha untuk dapat menerkam leher Glagah Putih.

Namun setiap kali orang itu telah terlempar beberapa langkah surut. Sekali kaki Glagah Putih telah menghantam perut orang itu, sehingga orang itu terlempar beberapa langkah. Namun kemudian ketika orang itu meloncat menyerang, tangan Glagah Putih telah menghantam dadanya, sehingga orang itu terdorong surut.

Tetapi orang itu seakan-akan tidak lagi merasa sakit. Serangan- serangan Glagah Putih yang mengenainya seakan-akan sama sekali tidak menyakitinya.

Karena itu, setiap kali orang itu terlempar, maka dengan cepat ia meloncat bangkit dan menyerang lagi dengan membabi buta.

Glagah Putih-lah yang bahkan beberapa kali meloncat surut. Serangan-serangan orang pendek itu datang beruntun, terus-menerus tidak ada henti-hentinya.

Namun akhirnya Glagah Putih menjadi letih. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga jantungnya. Ketika lawannya tinggal seorang, Glagah Putih justru menjadi semakin tegang. Namun bagaimanapun juga ia mencoba menghentikan pertempuran itu, ternyata Glagah Putih tidak berhasil.

Ketika orang pendek itu kemudian menyerangnya, maka dalam kegelisahannya Glagah Putih berhasil menangkap tangan orang yang sedang menggapai-gapai itu. Hampir di luar sadarnya, Glagah Putih memutar tubuh orang pendek itu. Dengan sekuat tenaganya orang itu pun telah dilemparkannya ke arah sebatang pohon yang besar, yang berada di sebelah arena pertempuran itu.

Yang terjadi kemudian adalah satu benturan yang sangat keras, sehingga pohon itu pun telah terguncang. Jerit kesakitan yang terdengar meninggi seakan-akan telah merontokkan daun-daunnya yang rimbun.

Glagah Putih justru memalingkan wajahnya. Tubuh orang pendek itu pun kemudian runtuh jatuh ke tanah.

Lengking suaranya pun sudah tidak terdengar lagi. Bahkan tarikan nafasnya telah berhenti pula

Tiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu telah terbunuh semuanya. Glagah Putih tidak berhasil mencegah kematian yang beruntun itu.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih masih berdiri termangu-mangu.

Sementara keseimbangan pertempuran pun sudah mulai menjadi berat sebelah. Kematian ketiga orang yang disebut Rewanda Lantip itu seakan-akan telah menjadi pertanda berakhirnya pertempuran itu.

Seorang penghubung dengan sengaja telah meneriakkan kematian ketiga orang bersaudara kembar itu kepada Ki Sura Panggah.

Dengan lantang penghubung itu berteriak, “Ki Sura Panggah! Tiga orang bertubuh pendek dan bertempur sambil berteriak-teriak memekakkan telinga telah terbunuh oleh Glagah Putih.”

“Siapakah ketiga orang itu?”

“Tiga orang berilmu tinggi. Mereka bertubuh pendek, berbulu lebih lebat dari bulu-bulu tubuhku, berteriak melengking-lengking dan bersenjata tongkat baja dengan kepala bulat sebesar kepalan tangan.”

Ki Pringgareja-lah yang berdesis perlahan dan hanya didengarnya sendiri, “Rewanda Lantip. Orang yang mampu membunuhnya itu tentu berilmu iblis.”

Namun kematian Rewanda Lantip benar-benar mencemaskan Ki Pringgareja.

“Sebelum aku sempat berbicara, ketiga orang itu sudah terbunuh,” berkata Ki Pringgareja kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, Ki Sura Panggah merasa kemenangan pasukannya sudah di ambang pintu. Karena itu, maka ia pun semakin menekan lawannya dengan serangan-serangan yang semakin cepat

Akhirnya Ki Pringgareja merasa bahwa pertempuran lebih lama lagi tidak akan memberikan harapan apa-apa bagi pasukannya. Kematian akan menjadi semakin banyak. Karena itu, selagi masih ada kesempatan, maka pilihan terakhir bagi Ki Pringgareja adalah meninggalkan medan.

Karena itu, ia pun segera meneriakkan isyarat, sementara Ki Pringgareja sendiri telah menyerang lawannya dengan hentakan-hentakan yang mengejutkan.

Tetapi sejenak kemudian, pasukan Ki Pringgareja itu pun segera pecah dan berpencar ketika isyaratnya diulang sambung-menyambung.

Sejenak kemudian, medan pertempuran itu telah menjadi hiruk-pikuk. Orang-orang yang melarikan diri itu berpencaran mencari jalan sendiri-sendiri. Namun cara itulah yang mereka anggap cara terbaik untuk melepaskan diri dari kejaran lawan mereka.

Para prajurit serta pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun telah menjadi letih. Karena itu, mereka tidak dapat memburu lawan-lawan mereka dengan sepenuh tenaga.

Dengan demikian, sebagian dari orang-orang yang melarikan diri itu memang luput dari kejaran para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Namun sebagian lagi telah menyerahkan diri. Mereka telah melemparkan senjata-senjata mereka serta berjongkok sambil meletakkan tangan mereka di kepala.

Pertempuran yang sengit di medan yang garang itu pun telah selesai. Para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan tidak lagi mengejar lawan-lawan mereka yang telah menjadi semakin jauh, menyusup di gerumbul-gerumbul perdu, melintasi parit, sungai dan melingkari gumuk-gumuk kecil.

Para prajurit dan para pengawal Tanah Perdikan itu pun kemudian sibuk dengan orang-orang yang telah menyerahkan diri, sementara itu yang lain mulai mengumpulkan kawan-kawan mereka yang telah terluka. Sekelompok yang lain mengumpulkan mereka yang telah gugur di medan.

Para prajurit dan pengawal pun kemudian mengawasi orang-orang yang tertawan, yang mereka perintahkan untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka.

Seorang pemimpin kelompok pengawal sambil mengacukan tombak pendeknya berkata, “Kumpulkan kawan-kawanmu yang masih hidup. Nanti kita akan mengumpulkan kawan-kawanmu yang terbunuh di medan. Mereka tidak lagi memerlukan perawatan. Sedangkan kawan-kawanmu yang masih hidup memerlukan pertolongan.”

Namun dalam pada itu, Ki Sura Panggah merasa sangat kecewa karena ia telah kehilangan Ki Pringgareja. Dalam kekalutan yang terjadi saat pasukan Ki Pringgareja itu menarik diri, ternyata Ki Pringgareja sempat menyelinap di antara orang-orangnya dan hilang dari medan.

Dalam pada itu, Ki Sura Panggah pun telah memerintahkan dua orang penghubungnya untuk memberikan laporan kepada Ki Gede, bahwa pasukannya sekali lagi telah berhasil menghancurkan pasukan yang dipimpin Ki Pringgareja.

“Mereka tentu tidak akan lagi berani menyerang,” berkata Ki Sura Panggah kepada para penghubungnya.

Sebenarnyalah pasukan Ki Pringgareja itu benar-benar telah dihancurkan. Meskipun ada yang berhasil menyelamatkan diri termasuk Ki Pringgareja sendiri, tetapi yang menyerah dan terluka cukup banyak. Apalagi orang-orang berilmu tinggi di antara mereka telah terbunuh di pertempuran.

Dalam pada itu, pasukan Ki Pringgareja benar-benar telah tidak lagi berdaya. Satu-satunya tempat yang dapat mereka pergunakan untuk menghimpun orang-orang yang tersisa adalah Krendetan, yang jaraknya cukup jauh.

Dalam pada itu, Ki Pringgareja yang berhasil menyelamatkan diri telah memerintahkan penghubungnya yang masih hidup untuk memberikan laporan kepada Ki Saba Lintang, bahwa pasukannya benar-benar telah hancur.

“Katakan, bahwa kami tidak mungkin dapat bangkit lagi,” berkata Ki Pringgareja, “kecuali jika Ki Saba Lintang mengirimkan pasukan baru segelar sepapan.”

Berita hancurnya pasukan Ki Pringgareja itu segera terdengar oleh semua orang di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Ketika Ki Gede menerima laporan itu, maka ia pun segera mengirimkan penghubung untuk menyampaikan berita itu kepada Agung Sedayu dan Prastawa. Namun dengan pesan, agar mereka justru menjadi semakin berhati-hati.

“Dendam itu akan membakar jantung mereka,” berkata Ki Gede kepada para penghubung, untuk disampaikan kepada Agung Sedayu dan Prastawa.

Pesan itu memang di tanggapi oleh setiap orang dengan sungguh-sungguh. Mereka menyadari kehancuran pasukan Ki Pringgareja tidak akan mengendurkan usaha orang-orang itu untuk merebut Tanah Perdikan. Meskipun pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja itu hancur, namun pasukan Tanah Perdikan, khususnya yang berada di sisi selatan itu, tentu telah terkoyak pula.

Ki Saba Lintang yang mendapat laporan itu segera memanggil para pemimpin yang berada di pasukannya dan yang ada di sisi utara, di bawah pimpinan Ki Sirna Sikara.

Ki Saba Lintang telah memerintahkan penghubung yang datang untuk memberikan laporan itu, menceritakan sendiri apa yang telah terjadi pada pasukan yang dipimpin oleh Ki Pringgareja

“Pasukan kami memang hancur,” berkata penghubung itu, “tetapi kami juga berhasil membuat pasukan Tanah Perdikan itu menjadi parah. Mereka harus menyerahkan korban yang cukup banyak. Orang-orang berilmu tinggi yang berhasil membunuh Ki Setra Puguh dan Rewanda Lantip juga mengalami luka parah di bagian dalam tubuhnya, sehingga mereka memerlukan perawatan yang bersungguh-sungguh.”

Ki Saba Lintang serta para pemimpin pasukannya mendengarkan laporan penghubung itu dengan sungguh-sungguh.

“Kita akan membalas kekalahan itu,” geram Ki Saba Lintang.

“Kita tidak akan menyerang besok,” berkata Ki Darpatenaya, “kita harus benar-benar siap untuk menghancurkan Tanah Perdikan. Tapi kita jangan terjebak seperti pasukan Ki Pringgareja. Besok kita mempersiapkan kelompok-kelompok pertahanan. Yang lain akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menggempur pasukan Tanah Perdikan itu lusa. Sementara kita sempat mengambil sisa-sisa pasukan Ki Pringgareja yang akan dapat mendukung pasukan kita, berapa pun jumlahnya.”

“Tetapi orang-orang Tanah Perdikan itu juga dapat menarik orang-orangnya yang tersisa di sisi selatan.”

“Mereka tidak akan melakukannya. Di sisi selatan masih harus nampak gerakan-gerakan sisa pasukan Ki Pringgareja, untuk mengikat pasukan Tanah Perdikan yang ada di sana. Jika petugas sandi mereka masih melihat kegiatan, setidak-tidaknya di Krendetan, maka mereka tidak akan meninggalkan pertahanan mereka.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita masih mempunyai waktu untuk mempersiapkan pasukan kita sebaik-baiknya.”

Tetapi Ki Sima Sikara pun berkata, “Kita memang mempunyai waktu cukup. Tetapi Tanah Perdikan juga mempunyai waktu yang cukup. Di hari pertama pasukanku sempat mendesak pasukan Tanah Perdikan. Penundaan waktu itu justru memberi kesempatan kepada orang-orang Tanah Perdikan untuk memperkuat diri. Mereka nampaknya telah mengumpulkan setiap laki-laki sampai yang sudah ubanan sekali pun. Demikian pula anak-anak remaja. Bagaimanapun juga mereka akan menambah kekuatan Tanah Perdikan itu.”

“Apakah kita akan gentar menghadapi remaja dan orang-orang tua yang ubanan?”

“Mungkin tidak, jika kita berhadapan langsung dengan mereka. Tetapi yang remaja dan yang ubanan itu ada di antara pasukan pengawal yang berpengalaman. Sementara remaja dan orang-orang ubanan itu seperti orang yang kesetanan. Mereka sama sekali tidak mengenal takut dan tanpa gentar memasuki medan. Berteriak-teriak sambil mengayun-ayunkan senjata mereka. Sementara itu orang-orang yang berpengalaman ada di antara mereka.”

“Jangan cemaskan remaja dan orang-orang ubanan,” berkata Ki Darpatenaya, “kita akan memerintahkan orang-orang kita untuk tidak ragu-ragu. Mereka harus membunuh siapa saja yang mereka temui di medan pertempuran. Termasuk remaja dan orang-orang ubanan, karena remaja dan orang-orang ubanan itu akan membunuh juga lawan-lawan mereka di medan perang. Apalagi orang-orang ubanan itu pada umumnya juga bekas pengawal atau prajurit, sehingga mereka mempunyai pengalaman perang yang cukup.”

Ki Sima Sikara mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berkata, “Aku minta orang-orang yang tersisa di sisi selatan itu berada di dalam pasukanku. Aku akan membawa semua orang dalam pasukan cadangan, serta orang-orang yang baru datang semalam dan orang-orang yang akan datang besok.”

“Baik,” berkata Ki Saba Lintang, “tetapi kita masih tetap berpegang pada rencana kita semula. Pasukanmu harus mampu memasuki Tanah Perdikan. Kau harus dapat menggapai padukuhan induk dan menguasainya. Sedangkan rencana kedua, jika rencana pertama gagal, kau harus menguasai beberapa padukuhan yang mengacu langkahmu ke padukuhan induk.”

Ki Sima Sikara mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berkata, “Pasukan Tanah Perdikan ternyata cukup kuat.”

Ki Darpatenaya-lah yang menyahut, “Ya. Justru karena itu, kita harus benar-benar bersiap. Bukankah kita mempunyai orang-orang yang berpengalaman? Di antara kita terdapat bekas prajurit, dan bahkan beberapa orang yang pernah menjadi senapati di pertempuran-pertempuran yang besar. Beberapa orang pemimpin padepokan yang berilmu tinggi. Beberapa orang pengembara yang mengenali lekuk-lekuk dunia ini. Kenapa kita harus gagal, hanya untuk menguasai sebuah Tanah Perdikan? Betapapun kuatnya Tanah Perdikan Menoreh, tetapi menurut penalaran kita, Tanah Perdikan tidak akan dapat bertahan setengah hari. Jika kita membuka serangan di saat fajar menyingsing, maka di tengah hari kita harus sudah menguasai padukuhan induknya, menghancurkan lapis-lapis pertahanannya dan membunuh para pemimpinnya.”

“Ki Darpatenaya tidak melihat langsung perlawanan orang-orang Tanah Perdikan,” berkata Ki Sima Sikara.

“Aku tahu,” jawab Ki Darpatenaya, “tetapi kita juga harus berani melihat kelemahan diri sendiri. Kelemahan kita bukannya pada pasukan yang ada pada kita. Tetapi karena kita sudah merasa kalah sebelum pertempuran dimulai.”

“Tidak,” sahut Ki Sima Sikara, “pasukanku sempat mendesak pasukan Tanah Perdikan. Tetapi mereka benar-benar dengan cepat menanggapi kekalahan mereka dengan mengirimkan pasukan cadangan, sehingga mereka sempat mendesak kita mundur lagi.”

“Kedatangan pasukan cadangan itu sebenarnya tidak berarti apa-apa, jika kita tidak mencemaskannya.”

“Aku menolak anggapan itu,” Ki Sima Sikara masih berkata dengan lantang, “aku sendiri berada di medan. Aku langsung menyaksikan bagaimana orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan itu bertahan. Di antara mereka terdapat Empu Wisanata yang berkhianat.”

“Aku tahu itu,” jawab Ki Darpatenaya, “kita harus menunjuk seseorang untuk menghukum Empu Wisanata. Jangan Ki Sima Sikara, karena Ki Sima Sikara diperlukan oleh seluruh pasukannya.”

“Jadi siapa?” bertanya Ki Sima Sikara.

Ki Darpatenaya menarik nafas panjang. Katanya, “Sebenarnya aku ingin membunuh Empu yang berkhianat itu. Tetapi aku juga ingin bertemu dengan Ki Lurah Agung Sedayu, yang namanya disanjung-sanjung itu. Aku ingin mengalami sendiri, menjajagi kemampuan Agung Sedayu.”

“Di dalam pasukan Tanah Perdikan itu juga terdapat Srigunting Kuning.”

“Tentu Srigunting Kuning yang putih,” desis Ki Darpatenaya, “tetapi aku tidak berniat untuk menemuinya. Dua orang yang ingin aku selesaikan dalam pertempuran ini, Agung Sedayu dan Empu Wisanata. Jika aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu, itu karena aku ingin menjajagi ilmunya. Sedangkan keinginanku untuk bertempur melawan Empu Wisanata, karena aku ingin membunuhnya. Ia pantas dihukum mati karena pengkhianatannya itu.”

“Jadi siapakah yang akan kau hadapi lebih dahulu?” bertanya Ki Sima Sikara.

Ki Darpatenaya memandang Ki Saba Lintang sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana menurut pendapat Ki Saba Lintang?”

“Terserah kepadamu. Jika kau tidak yakin dapat mengalahkan Agung Sedayu, kau dapat menemui Empu Wisanata lebih dahulu.”

Ki Darpatenaya mengerutkan dahinya. Dengan sorot mata yang tajam ia pun berkata, “Kau tidak yakin akan kemampuanku?”

“Kau tahu batas kemampuan Agung Sedayu?” Ki Saba Lintang justru bertanya.

“Hanya karena kau sendiri tidak mampu mengalahkannya, kau pun mulai meremehkan orang lain.”

“Aku sama sekali tidak meremehkanmu,” sahut Ki Saba Lintang, “tetapi aku sekedar menyatakan menurut pertimbangan nalar.”

“Aku akan menghadapi Agung Sedayu lebih dahulu. Aku akan membunuhnya. Kemudian aku akan membunuh Empu Wisanata.”

“Mereka berada di medan yang berbeda,” sahut Ki Sima Sikara.

“Aku minta disediakan seekor kuda. Aku akan membunuh Agung Sedayu sebelum matahari sampai ke puncak langit. Kemudian aku akan menuju ke medan yang lain untuk membunuh Empu Wisanata, sebelum pasukan Ki Sima Sikara memasuki padukuhan induk.”

“Terserah kepadamu,” berkata Ki Saba Lintang, “tetapi aku peringatkan bahwa Agung Sedayu adalah benar-benar seorang yang berilmu tinggi.”

“Kau tentu sudah mengenal aku dengan baik.”

“Ya.”

“Tetapi kau pun harus tahu, bahwa ada dua orang anak Empu Wisanata yang berada di antara kita,” desis Ki Sima Sikara.

“Aku tahu. Laki-laki dan perempuan,” jawab Ki Darpatenaya, “agaknya Ki Saba Lintang akan mengambil kedua orang anak perempuan Empu Wisanata itu sekaligus.”

“Persetan!” geram Ki Saba Lintang.

Namun Ki Sama Sikara-lah yang menyahut, “Anak perempuan Empu Wisanata yang muda itu telah ikut berkhianat bersama dengan ayahnya.”

“Oh,” Ki Darpatenaya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimanapun juga, tongkat baja putih yang satu lagi sangat diperlukan. Jika sepasang tongkat baja putih itu sudah berada di tangan kita, maka langkah kita akan menjadi pasti.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam, ia sadar bahwa yang dikatakan oleh Ki Darpatenaya itu semacam satu tuntutan kepada Ki Saba Lintang, bahwa jika ia benar-benar ingin memimpin satu gerakan yang ingin menegakkan kembali perguruan Kedung Jati, maka ia harus mendapatkan tongkat baja putih yang satu lagi.

“Ternyata hati Dwani sangat rapuh,” berkata Ki Saba Lintang di dalam hatinya, “nampaknya hati Yatni lebih tegar dan hati adiknya.”

Tetapi Ki Saba Lintang itu tidak mengatakan apa-apa lagi.

Sejenak kemudian pertemuan itu pun berakhir. Para pemimpin pasukan beserta pembantu-pembantunya pun segera kembali ke pasukan mereka masing-masing. Sementara itu perintah bagi Ki Pringgareja pun telah diberikan. Ia harus membawa sisa-sisa pasukannya ke utara untuk bergabung dengan Ki Sirna Sikara. Tetapi Ki Pringgareja masih harus meninggalkan kesan kegiatan di sisi selatan, agar pasukan Tanah Perdikan di sisi selatan itu tetap berjaga-jaga di tempatnya

Dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh sama sekali tidak menjadi lengah. Para petugas sandi pun selalu mengawasi kedudukan dan kegiatan lawan.

Menurut perhitungan para pemimpin di Tanah Perdikan. di hari berikutnya pasukan Ki Saba Lintang pun akan menyerang, kecuali pasukan di sisi selatan.

Sebenarnyalah pasukan yang dipimpin Ki Pringgareja sudah tidak mungkin untuk bangkit lagi. Meskipun mereka kemudian sempat berhimpun di padukuhan kecil, namun keadaan mereka sudah sangat parah. Jumlah mereka sudah jauh menyusui. Sebagian dari mereka telah terluka pula.

“Kita pergi ke Krendetan, “perintah Ki Pringgareja, “mungkin ada di antara mereka yang melarikan diri langsung pergi ke Krendetan.”

Namun sebelum mereka berangkat ke Krendetan. perintah dari Ki Saba Lintang pun datang. Ki Pringgareja dan pasukan yang tersisa harus pergi ke utara.

“Biarlah mereka yang sudah tidak mampu untuk bertempur, ditinggal di sini, untuk memberikan kesan bahwa masih ada gerakan di sisi selatan ini.”

Ki Pringgareja termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Pasukan kami telah hancur. Kami memerlukan waktu untuk memulihkan keberanian dari orang-orang yang tersisa untuk turun ke medan. Semalam tidak cukup bagi kami untuk beristirahat lahir dan batin.”

“Besok kita masih belum akan bergerak. Secepatnya lusa kita akan menyerang Tanah Perdikan,” berkata penghubung itu.

Ki Pringgareja merenung sejenak. Dendamnya telah membakar ubun-ubunnya. Katanya, “Aku akan segera bergerak ke utara dengan orang-orang yang tersisa. Tetapi kami akan pergi ke Krendetan lebih dahulu.”.

“Masih ada waktu sehari dan dua malam,” berkata penghubung itu.

Ki Pringgareja pun kemudian telah memanggil beberapa pemimpin kelompok yang sempat sampai di padukuhan kecil itu. Kepada mereka Ki Pringgareja itu pun berkata, “Satu kesempatan untuk membalas dendam. Jika kita pergi ke utara, maka kita akan bergabung dengan kekuatan yang besar. Pasukan di sisi utara mendapat tugas untuk mencapai padukuhan induk dan mendudukinya. Jika hal itu berhasil, maka kita akan dapat membalaskan sakit hati saudara-saudara kita yang terbunuh dan terluka.”

Ternyata orang-orang yang tersisa itu sependapat. Mereka merasa mendapat saluran untuk melepaskan dendamnya atas kekalahan yang mereka alami berturut-turut itu.

“Lewat tengah malam kita akan bergerak. Mereka yang tidak mampu lagi untuk bergerak ke utara dan bertempur di medan yang berat, akan tinggal di sini untuk membuat kesibukan, agar ada kesan bahwa kita mempertahankan kehadiran pasukan di sisi selatan. Asap di dapur harus tetap mengepul. Beberapa orang bersenjata tetap berjaga-jaga di depan perkemahan.”

“Apakah kami sengaja diumpankan?” bertanya seorang yang terluka di lambungnya yang pasti tidak akan dapat ikut bergerak ke utara.

“Jangan dungu! Gerakan ini merupakan bagian dari kebulatan gerak pasukan kita di seluruh Tanah Perdikan.”

“Kalau mereka datang menyerang?”

“Jika pengawas yang bertugas memberitahukan datangnya serangan, jangan mencoba melawan. Kalian dapat meninggalkan perkemahan kalian dan melarikan diri kemana saja. Kalian akan dapat berhimpun di Krendetan.”

Orang-orang yang merasa dirinya menjadi sangat lemah itu tidak dapat berbuat lain. Mereka harus menjalankan perintah itu, karena menentang perintah akan dapat berarti kesulitan.

Dengan demikian, maka pasukan yang sudah berhimpun itu pun sebagian telah bergerak mendahului meninggalkan Krendetan. Mereka akan membawa seluruh kekuatan yang tersisa, bahkan yang masih berada di Krendetan dalam tugas-tugas khususnya, untuk pergi ke utara bergabung dengan pasukan Ki Sima Sikara.

Demikianlah, seperti yang dikatakan oleh Ki Pringgareja bahwa sisa-sisa pasukannya bergerak ke utara setelah lewat tengah malam. Mereka menempuh perjalanan yang cukup panjang. Tetapi mereka mempunyai waktu yang cukup. Besok mereka masih mempunyai waktu sehari semalam.

“Kita akan beristirahat di perkemahan Ki Saba Lintang,” berkata Ki Pringgareja kepada orang-orang yang mengikutinya.

Sementara itu, pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berada di sisi selatan itu masih tetap berada di tempatnya. Namun mereka pun ternyata juga mendapat laporan bahwa beberapa kelompok orang telah bergerak dari Krendetan ke utara.

Ki Sura Panggah telah memastikan bahwa pasukan Ki Pringgareja telah bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang. Karena itu, menurut perhitungan Ki Sura Panggah, tidak akan ada pertempuran lagi di sisi selatan.

“Masih nampak penjagaan di sebuah padukuhan kecil. Agaknya mereka yang melarikan diri dari perkemahan mereka tidak langsung mundur ke Krendetan. Tetapi berhimpun di sebuah padukuhan kecil. Pasukan itu setiap saat akan dapat bergerak lagi.”

“Lihat padukuhan itu. Jika perlu, masuk ke dalamnya,” perintah Ki Sura Panggah kepada kedua orang petugas sandinya.

Sebenarnyalah kedua orang itu benar-benar memasuki padukuhan itu. Mereka pun benar-benar melihat bahwa tidak ada pertahanan yang memadai. Hanya ada beberapa orang yang berkeliaran di regol padukuhan, seakan-akan sedang berjaga-jaga. Tetapi selain kelompok orang di regol itu, tidak ada lagi kelompok-kelompok yang lain. Apalagi pasukan yang bersiap untuk bertempur.

Para petugas sandi itu tidak mengusik beberapa orang yang ada di regol padukuhan. Kedua orang petugas sandi itu sempat melihat bahwa mereka adalah orang-orang yang terluka.

Ketika keduanya kemudian menghadap Ki Sura Panggah, maka mereka pun meyakini bahwa tidak ada lagi pasukan yang mampu berbuat sesuatu yang berarti. Sementara itu, petugas sandi yang lain juga telah menemukan Krendetan yang tidak lagi menjadi tempat perkemahan prajurit Ki Pringgareja.

“Kita pun dapat bergerak ke utara,” berkata Ki Sura Panggah.

Tetapi Ki Sura Panggah harus menunggu perintah dari Ki Gede Menoreh, yang telah mereka sepakati memimpin seluruh pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Laporan-laporan pun sudah dikirim oleh Ki Sura Panggah. Bahkan Ki Sura Panggah pun telah mengusulkan agar pasukannya diperintahkan menuju ke utara, bergabung dengan pasukan Ki Lurah Agung Sedayu.

Tetapi agaknya Ki Gede belum meyakini bahwa tidak akan ada gangguan lagi di selatan. Karena itu, Ki Gede pun memerintahkan agar di selatan masih tetap ada beberapa kelompok prajurit yang bersiaga, sementara pasukan Ki Sura Panggah yang lain akan ditarik ke padukuhan induk.

“Pasukan Ki Sura Panggah akan bergerak setelah kita tahu pasti letak kelemahan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Sura Panggah tidak membantah. Agaknya pasukannya akan menjadi pasukan cadangan, untuk memberinya kesempatan beristirahat setelah bertempur habis-habisan.

Di hari berikutnya, pasukan Ki Saba Lintang dan pasukan Ki Sima Sikara yang tidak ada persiapan untuk menyerang, tetap memerintahkan orang-orang mereka untuk bersiaga sepenuhnya. Bahkan ketika fajar menyingsing, mereka telah berada di dalam gelar yang lengkap. Namun mereka masih belum bergerak. Mereka lebih banyak menunggu.

Baik Agung Sedayu maupun Prastawa tidak mengambil sikap seperti Ki Sura Panggah karena suasana dan medan yang berbeda.

Hari itu kedua belah pihak tidak terlibat dalam pertempuran. Tetapi kedua belah pihak memanfaatkan hari itu untuk memperkuat pasukan mereka masing-masing.

Sementara itu, Ki Sura Panggah telah membawa pasukannya ke padukuhan induk. Sedang seluruh pasukan cadangan yang lain telah diperintahkan oleh Ki Gede untuk memperkuat pasukan di sisi utara yang dipimpin oleh Prastawa, yang sempat terdesak cukup jauh dari garis benturan kedua pasukan itu.

Untuk mengatasi jarak yang panjang, maka Ki Gede telah mengumpulkan semua kuda yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Kuda-kuda itu akan dipergunakan oleh pasukan cadangan yang harus mengatasi waktu. Kuda-kuda yang dipergunakan oleh pasukan berkuda tidak cukup jumlahnya untuk membawa pasukan yang lebih besar.

Sementara itu, pasukan sandi tidak henti-hentinya melakukan pengawasan, agar pasukan Tanah Perdikan Menoreh tidak terjebak.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka persiapan pun nampak semakin meningkat. Ki Pringgareja telah membawa pasukannya meninggalkan perkemahan Ki Saba Lintang, menuju ke utara.

Dengan demikian pasukan Ki Sima Sikara benar-benar menjadi kuat. Pasukan cadangan dan orang-orang yang datang kemudian, seakan-akan semuanya bertimbun dalam pasukan di sisi utara itu.

Malam pun perlahan-lahan turun menyelimuti perbukitan di Tanah Perdikan Menoreh. Malam yang sepi namun dicengkam oleh ketegangan.

Kedua belah pihak telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Pasukan Ki Saba Lintang benar-benar telah siap untuk menyerang, sementara pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah meletakkan pertahanan yang memadai untuk menghadapi serangan itu.

Dalam pada itu, selagi para pemimpin pasukan pada kedua belah pihak sibuk mengatur rencana yang akan diterapkan oleh pasukan masing-masing, maka di rumah Ki Gede beberapa orang sibuk mempersiapkan segala sesuatunya bagi pasukan cadangan yang selalu siap untuk berangkat ke medan, serta pasukan pengawal yang memang bertugas di padukuhan induk.

Seperti di padukuhan-padukuhan di dekat medan, perempuan-perempuan sibuk di dapur melayani para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan yang masih berada di padukuhan induk.

Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani ikut dalam kesibukan itu. Bahkan Sekar Mirah-lah yang mendapat tugas untuk mengatur seluruh kegiatan di dapur.

Namun dalam pada itu, selagi mereka sedang sibuk sehingga keringat membasahi pakaian mereka, empat orang mendekati regol padukuhan induk yang dijaga oleh beberapa orang pengawal.

“Siapakah kalian berempat?” bertanya pemimpin pengawal yang sedang bertugas itu.

“Aku Suranata,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Kalian datang dari mana, dan untuk keperluan apa?”

“Terus terang, aku adalah anak Empu Wisanata.”

“Anak Empu Wisanata? Untuk apa kau datang kemari?”

“Aku akan bertemu dengan adikku, Nyi Dwani.”

“Apakah kau tidak mengetahui, bahwa Tanah Perdikan sekarang sedang berada dalam keadaan perang?”

“Ya Kami tahu. Tetapi ternyata kami berhasil menyusup di sela-sela para pengawal Tanah Perdikan yang bertugas, sehingga kami sampai di sini.”

“Kalian datang dari mana?”

“Kami adalah bagian dari pasukan Ki Sima Sikara,” jawab Suranata.

Beberapa orang pengawal itu pun dengan serta-merta telah merundukkan tombak mereka. Tetapi Suranata itu pun berkata, “Tetapi aku datang tidak atas nama Ki Sima Sikara. Aku datang atas namaku dan atas nama saudara perempuanku ini.”

“Untuk apa kau datang kemari? Apakah kau tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa kalian semuanya akan ditangkap?”

“Aku yakin bahwa kami tidak akan ditangkap.”

“Kenapa?”

“Kami datang untuk urusan keluarga,” berkata Suranata.

“Apa maksudmu?”

“Kami datang untuk menjemput adikku. Aku berharap bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh bersikap satria, sehingga tidak menghalangi aku apalagi menangkap aku. Jika kami sudah berhasil menjemput adikku, maka kami akan meninggalkan Tanah Perdikan ini dan keluar dari perbatasan. Meskipun besok kami akan datang kembali bersama seluruh pasukan kami yang kuat.”

“Kalian tentu sedang melakukan tugas sandi.”

“Kami bukan orang gila. Jika kami melakukan tugas sandi, kami tidak akan datang menemuimu yang sedang bertugas di gerbang padukuhan induk ini, karena kami datang melakukan tugas kami dengan baik di luar penglihatan para petugas di Tanah Perdikan.”

“Siapa yang akan kau jemput?”

“Tentu juga anak Empu Wisanata.”

Pemimpin pengawal pintu gerbang itu sudah mengetahui bahwa di dapur, seorang perempuan yang bernama Nyi Dwani adalah anak Empu Wisanata. Karena itu, maka ia pun berkata, “Bukankah Empu Wisanata berdiri di pihak Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ayahku telah berkhianat. Karena itu aku datang untuk menjemput adikku. Menurut pendengaranku, adikku tidak berada di medan, tetapi berada di padukuhan induk ini. Mungkin di rumah Agung Sedayu, tetapi mungkin di tempat lain.”

Pemimpin pengawal itu menjadi ragu-ragu. Namun katanya kemudian, “Ikut kami! Kalian akan kami bawa menghadap Ki Gede.”

“Baik,” jawab Suranata, “aku akan minta ijin Ki Gede untuk menemui adikku.”

Demikianlah, maka keempat orang itu pun telah dibawa menghadap Ki Gede. Kepada Ki Gede mereka pun mengatakan bahwa mereka hanya ingin bertemu dan menjemput Nyi Dwani.

“Aku tidak dapat berpisah dengan adikku,” berkata Nyi Yatni.

“Aku sudah mendengar bahwa kalian pernah datang menjemputnya. Tetapi Nyi Dwani tidak bersedia. Bahkan kalian hampir saja berhasil memperalat Nyi Dwani untuk mencuri tongkat baja putih Nyi Lurah Agung Sedayu. Tetapi gagal, karena Empu Wisanata sendiri-lah yang menghalanginya.”

“Ki Gede benar,” berkata Suranata, “tetapi kami datang sekali lagi kepadanya. Aku tahu bahwa Ayah berada di sisi utara. Ia berada di dalam pasukan yang akan menghadapi pasukan Ki Sima Sikara. Karena itu, kami datang untuk mendengar pendirian Nyi Dwani sendiri.”

“Seharusnya kalian tahu, bahwa maksud kalian itu akan sia-sia. Nyi Dwani tidak akan meninggalkan Tanah Perdikan ini.”

Nyi Yatni-lah yang menjawab, “Ki Gede. Jika saat itu Dwani menolak untuk itu bersamaku, semata-mata karena Dwani takut kepada Ayah. Ayah yang tidak setia lagi pada cita-citanya tentu mengancam agar Dwani tidak ikut bersamaku dan Kakang Suranata. Tetapi kami tahu bahwa sekarang Ayah berada di medan. Karena itu, maka aku akan menemui Dwani. Ia akan bersikap sesuai dengan nuraninya, karena ia tidak ditakut-takuti oleh ancaman Ayah.”

Ki Gede pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Biarlah Nyi Dwani dipanggil kemari.”

Sejenak kemudian, maka Nyi Dwani diikuti oleh Sekar Mirah dan Rara Wulan memasuki ruang itu pula. Demikian Nyi Dwani berdiri di pintu, maka Nyi Yatni pun segera menyongsongnya. Dipeluknya Nyi Dwani sambil berdesis, “Kau kelihatan kurus sekali Dwani. Apa yang sudah dilakukan Ayah terhadapmu? Apakah Ayah selalu menyakitimu?”

Nyi Dwani memandang kakak perempuannya dengan tajamnya. Didorongnya tubuh Nyi Yatni perlahan-lahan sambil berdesis, “Duduklah, Mbokayu.”

Nyi Yatni memandang wajah adik perempuannya. Kemudian digandengnya adiknya untuk diajak duduk di sisinya.

Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah duduk pula bersama dengan mereka.

“Ki Gede,” berkata Nyi Yatni, “kami akan mengajak adik kami keluar dari Tanah Perdikan ini. Keluar dari belenggu yang telah dipasang Ayah pada kedua tangan adikku ini.”

“Kami tidak akan menghalanginya. Segala sesuatunya tergantung kepada Nyi Dwani. Tetapi jika Nyi Dwani tidak ingin pergi bersamamu, maka tidak seorang pun dapat memaksanya.”

“Dwani tentu akan bersamaku,” jawab Nyi Yatni, “di sini hidupnya tersiksa. Agaknya Ayah memperlakukannya tidak sewajarnya. Kecantikannya menjadi pudar. Matanya tidak lagi bercahaya. Di bibirnya tidak lagi nampak senyumnya yang manis.”

“Segala sesuatunya terserah kepada Nyi Dwani.”

“Bukankah sudah pasti, bahwa ia akan ikut bersama kami?”

Tetapi tiba-tiba saja Nyi Dwani menyahut, “Kau belum bertanya kepadaku, Mbokayu.”

“Kau tidak usah takut, Dwani. Bukankah Ayah tidak ada?”

“Aku tidak pernah merasa ditakut-takuti oleh Ayah.”

“Sudahlah. Kau tidak usah segan. Kau dengar sendiri, bahwa Ki Gede pun sudah mengatakan bahwa segala sesuatunya tergantung kepadamu. Kepada nuranimu. Aku yakin bahwa Ki Gede akan bersikap sebagai seorang pemimpin. Apa yang sudah diucapkan tidak akan dicabutnya lagi. Karena itu, jangan takut. Marilah aku antar kau mendapatkan kebebasanmu. Selama ini Ayah telah membelenggumu. Membungkam mulutmu, mengikat kaki dan tanganmu, bahkan menutup matamu, sehingga kau tidak tahu lagi apa yang baik kau lakukan dan mana yang tidak.”

“Mbokayu,” berkata Nyi Dwani, “sudahlah. Aku bukan kanak-kanak lagi. Aku sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik bagiku. Mbokayu. Kembalilah. Aku tidak dapat ikut bersamamu.”

“Jangan begitu, Dwani. Sudah aku katakan, bahwa sekarang Ayah tidak ada di sini. Bukankah benar Ayah tidak ada di sini? Karena itu, jangan takut. Kau akan berada di bawah perlindungan kami.”

“Maaf, Mbokayu. Aku tidak dapat memenuhi keinginanmu.”

“Apakah kau masih bermimpi untuk memiliki tongkat baja putih Nyi Lurah Agung Sedayu? Sudahlah. Lupakanlah. Kami kelak yang akan mengambilnya langsung dari tangan Nyi Lurah. Jika kau ingin memilikinya, kami akan memberikannya kepadamu.”

Nyi Dwani tersenyum. Katanya, “Mungkin seorang anak masih akan mengubah sikapnya, jika kepadanya ditawarkan mainan yang menarik atau makanan yang disenanginya.”

“Dwani,” Suranata memotong, “kau harus mendengarkan kata-kata Mbokayumu, Dwani.”

“Aku mendengarkannya dengan baik, Kakang. Tetapi aku tidak dapat melakukannya. Aku mempunyai sikap yang berbeda dengan Mbokayu dan Kakang.”

“Kau tentu takut karena di sini ada Ki Gede, ada Nyi Lurah dan beberapa orang yang lain. Bahkan mungkin kau membayangkan bahwa di luar, para pengawal menunggu kita keluar dari regol halaman dengan ujung tombak yang merunduk,” berkata Suranata, “tetapi percayalah bahwa Ki Gede adalah seorang pemimpin yang besar. Kata-katanya dapat dipercaya. Ia tidak akan menjilat ludahnya lagi. Karena itu, jangan takut. Ki Gede sudah mengatakan, segala sesuatunya tergantung kepadamu.”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika Kakang ingin mendengar nuraniku, baiklah.” Nyi Dwani berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “Kakang, aku sudah memutuskan untuk tetap tinggal di Tanah Perdikan ini.”

“Dwani!” Suranata itu pun membentak. Agaknya ia sudah kehilangan kesabaran, “Kau tidak mempunyai pilihan. Mau tidak mau, kau harus ikut aku.”

“Maaf Kakang. Aku tidak mau.”

Wajah Suranata menjadi merah. Sementara itu Nyi Yatni pun berkata, “Jangan keras kepala, Dwani. Aku tahu, kau adalah anak bungsu yang manja. Tetapi dalam keadaan seperti ini. kau tidak akan dapat bermanja-manja.”

Tetapi Nyi Dwani masih saja menggeleng sambil berkata, “Tidak Mbokayu. Aku tidak sedang bermanja-manja. Tetapi aku sedang memantapkan pribadiku. Aku mulai belajar berpijak pada keyakinanku sendiri.”

“Kau tidak berpijak kepada keyakinanmu. Tetapi tentu Ayah yang telah membiusmu dengan asap pengkhianatannya.”

“Sudahlah. Jangan terlalu menjelek-jelekkan Ayah kita. Ayah itu adalah ayahku dan ayah kalian. Agaknya tidak pantas bagi kita, anak-anaknya, selalu menyumpahinya. Mengutuknya dan menyumpahinya.”

“Aku akan membawamu,” geram Suranata, “aku tidak akan bertanya lagi, apakah kau bersedia atau tidak.”

Nyi Dwani beringsut setapak. Sementara Nyi Yatni pun berkata, “Kau masih saja berhati batu seperti masa kanak-kanakmu. Apakah aku masih harus mencubit pantatmu agar kau mendengar kata-kataku?”

“Sebaiknya jangan lakukan. Aku tentu tidak hanya akan sekedar menangis seperti masa kanak-kanak itu.”

“Kau akan membalas?” bertanya Nyi Yatni.

“Tujuanku bukan untuk membalas. Tetapi jika Mbokayu masih akan mencubit pantatku, aku tentu akan melindungi pantatku itu.”

“Setan kau, Dwani!” geram Suranata.

Namun Ki Gede Menoreh pun berkata, “Sudah aku katakan, tidak seorang pun yang dapat memaksanya.”

“Ki Gede,” berkata Nyi Yatni, “persoalan ini adalah persoalan keluarga. Tidak seorang pun dapat mencampurinya. Besok jika aku sudah bergabung dengan pasukan Ki Saba Lintang, maka kita akan bertempur. Tetapi sekarang aku datang atas nama pribadiku untuk mengurus adikku yang nakal.”

“Hanya anak-anak sajalah yang masih harus selalu menurut saudara-saudara tuanya. Tetapi aku bukan kanak-kanak lagi. Aku sudah mampu menilai sikap kalian dan sikapku sendiri.”

“Cukup!” bentak Nyi Yatni. Lalu katanya kepada Ki Gede, “Aku minta kesempatan untuk menyelesaikan masalah keluargaku.”

“Nyi Dwani berada di dalam lingkunganku. Aku wajib melindunginya.”

“Itu sikap yang berlebihan, Ki Gede. Ki Gede tidak berhak mencampurinya.”

Sebelum Ki Gede menjawab, ternyata Nyi Dwani telah mendahuluinya, “Ki Gede. Aku mohon ijin, untuk menyelesaikan persoalan ini.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi tegang.

Pernyataan Nyi Dwani itu ternyata mengejutkan Nyi Yatni. Namun pernyataan itu juga menyentuh jantungnya.

“Dwani. Kau mau apa?”

“Tidak mau apa-apa, Mbokayu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku tidak mau pergi bersamamu. Sedangkan jika kau akan mencubit pantatku seperti masa kanak-kanak, aku tentu akan mengelak. Itu saja.”

Nyi Yatni memandang Nyi Dwani dengan sorot mata yang menyala, sementara Suranata menggeretakkan giginya oleh kemarahan yang bergejolak di dadanya.

Nyi Yatni sempat membayangkan Dwani kecil yang tidak pernah berani membantahnya. Anak itu hanya dapat menangis terisak-isak. Bahkan Dwani tidak berani mengatakan kepada ayah dan ibunya, bahwa ia sudah dinakali oleh Yatni. “Awas! Jika kau katakan kepada Ayah atau Ibu, maka nanti malam aku cubiti pantatmu lima kali lipat.” Dwani pun hanya dapat menahan tangis, karena menangis pun ia diancam oleh Yatni.

Bahkan apapun yang dipunyai Dwani, termasuk permainan yang dibuatnya sendiri, telah dirampasnya. Jika Yatni senang dengan permainan itu, maka permainan itu dipergunakan untuk bermain. Jika tidak, maka permainan itu pun dirusaknya. Dwani sama sekali tidak berdaya.

Tetapi beruntunglah, bahwa menjelang dewasa Yatni itu telah meninggalkan keluarganya, mengikuti seorang laki-laki tanpa seijin ayah dan ibunya. Suranata pun tidak pernah sesuai dengan ayahnya, sehingga akhirnya Suranata pun meninggalkan keluarganya pula.

Yatni memang pernah kembali ketika ia ditinggalkan oleh laki-laki itu. Tetapi kemudian ia pun segera pergi lagi bersama laki-laki yang lain, yang tidak kalah jahatnya dengan laki-laki yang pertama. Bahkan hampir saja Dwani menjadi korban laki-laki itu. Itu pun ia masih harus dihajar oleh Yatni, karena laki-laki itu mengatakan bahwa Dwani telah menggodanya.

Keadaan itulah yang membuat Empu Wisanata merasa wajib melindungi gadis bungsunya. Ia mempunyai cara yang menarik. Gadis itu ditempanya dengan ilmu kanuragan, agar ia dapat melindungi dirinya sendiri.

Tetapi Empu Wisanata harus menangis ketika ternyata kemudian Dwani pun jatuh ke tangan seorang laki-laki yang buruk. Ternyata Dwani tergila-gila kepadanya.

Namun Dwani akhirnya mampu melepaskan diri dari laki-laki itu, meskipun dengan cara yang sangat menyakitkan. Ketika perselisihan antara Dwani dan suaminya terjadi tanpa dapat dikendalikan, maka mereka pun telah bertempur habis habisan. Ternyata Nyi Dwani-lah yang justru membunuh suaminya, yang pernah membuatnya tergila-gila.

Empu Wisanata pun mulai terpengaruh ketika anak bungsunya itu kembali kepadanya. Apalagi ketika kemudian anaknya berkenalan dengan seorang laki-laki yang dikiranya seorang yang baik.

Laki-laki itu bernama Ki Saba Lintang.

Tetapi ternyata sekali lagi Nyi Dwani terjerumus. Tetapi seperti kepada suaminya yang pertama, Nyi Dwani pun mencintai Ki Saba Lintang dengan sepenuh hati.

“Dwani!” bentak Yatni.

Nyi Dwani terkejut. Sementara Nyi Yatni berkata selanjutnya, “Bersiaplah! Kita berangkat sekarang.”

“Tidak!” jawab Nyi Dwani, “Sudah aku katakan. Aku tidak mau pergi bersamamu.”

“Aku akan memaksamu, Dwani,” berkata Nyi Yatni.

“Kau tidak berhak memaksa aku, Mbokayu. Sekali lagi aku katakan bahwa aku sudah dewasa. Aku bukan kanak-kanak lagi, sehingga karena itu maka aku berhak menentukan sikapku bagi kebaikanku.”

“Jadi kau juga akan berkhianat?” geram Suranata.

“Aku tidak merasa berkhianat kepada siapa-siapa.”

“Tetapi kau telah menyeberang!”

“Adalah wajar sekali jika sikap seseorang itu dapat berubah pada suatu saat,” jawab Nyi Dwani.

“Aku akan memaksamu.”

“Tidak. Aku berada pada satu lingkungan yang aku pilih sekarang.”

“Dwani,” suara Nyi Yatni menjadi lantang, “jika kau tidak mau pergi bersamaku, lebih baik aku membunuhmu.”

Jantung Nyi Dwani sama sekali tidak bergetar. Bahkan ia menjawab, “Sudah aku katakan, Mbokayu. Jika Mbokayu akan mencubit pantatku, aku akan melindunginya.”

“Aku tantang kau berperang tanding, Dwani,” suara Nyi Yatni bergetar.

“Gila!” Suranata berteriak, “Kita tidak ingin membunuhnya, Yatni. Tetapi kita ingin membawanya bersama dengan kita.”

“Tetapi ia menolak. Karena itu, bagiku lebih baik Dwani dihancurkan sama sekali daripada harus berkhianat.”

Suranata menjadi sangat tegang. Kedua perempuan itu adalah adiknya.

Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Dwani. Kau jangan keras kepala. Aku tidak ingin kalian terlibat ke dalam perang tanding. Tetapi aku justru ingin kita bertiga berkumpul menjadi satu seperti masa kanak-kanak kita.”

“Kau tahu sendiri, anak manja itu telah menolak kemauan baik kita,” sahut Nyi Yatni.

Suranata termangu-mangu sejenak. Sementara Nyi Yatni pun berkata, “Ki Gede. Aku minta orang-orang Tanah Perdikan tidak mencampuri persoalan antara keluarga kami.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun Ki Gede itu terkejut ketika tiba-tiba saja Nyi Dwani itu pun berkata, “Apakah Kakang Suranata akan melindungi aku jika aku ikut bersama Kakang?”

“Terlambat, Dwani!” teriak Nyi Yatni, “Kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi.”

“Yatni,” desis Suranata.

“Aku sudah berkeputusan untuk tidak mempunyai saudara perempuan,” sahut Nyi Yatni.

Yang terdengar adalah suara Dwani tertawa. Katanya, “Inilah sebenarnya yang dikehendaki Mbokayu, Kakang. Mbokayu tidak benar-benar ingin mengajakku berkumpul kembali. Kakang tentu tahu, apa yang selalu dilakukannya atasku sejak kita masih kanak-kanak. Dan sekarang Mbokayu masih ingin mengulanginya. Mbokayu ingin merampas permainanku”

“Apa maksudmu?” berkata Suranata.

“Seandainya aku bersedia ikut, maka aku tidak akan pernah dapat keluar dari perbatasan Tanah Perdikan ini. Besok pagi jika perang berkobar, pasukan Tanah Perdikan akan menemukan mayatku di medan. Hal itu tentu akan mempengaruhi Ayah yang berada di medan itu pula.”

“Tidak!” jawab Suranata.

“Mungkin Kakang tidak berniat berbuat demikian. Tetapi Kakang tidak akan dapat mencegah jika hal itu dilakukan oleh Mbokayu. Kali ini Mbokayu ingin merampas permainanku. Tetapi langkahnya harus tuntas. Aku harus mati.”

“Gila! Apa maksudmu, Dwani?” teriak Nyi Yatni.

“Untuk memiliki Ki Saba Lintang sepenuhnya, maka aku harus mati. Selama aku masih hidup, maka kemungkinan lain dapat terjadi kelak.”

“Persetan kau Dwani! Bersiaplah. Aku memang ingin membunuhmu, apapun alasannya.”

Nyi Dwani tertawa. katanya, “Aku sudah bersiap, Mbokayu. Aku sudah banyak berubah sekarang.”

“Kau jangan mencegah kami, Kakang. Biarlah kami melakukan permainan terakhir kami. Sekarang Dwani sudah berani menerima tantangan. Ia memang sudah berubah.”

Wajah Suranata menjadi tegang. Tetapi Nyi Yatni itu pun berkata, “Kakang Suranata akan mempunyai hanya seorang saudara perempuan. Kakang jangan mencegah aku. Jika aku gagal membunuh Dwani, maka aku-lah yang akan mati. Sementara itu Dwani sudah berkhianat, sedangkan aku adalah seorang yang setia pada cita-cita.”

Suranata memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia tidak dapat membela salah seorang dari kedua adiknya. Ia pun telah gagal untuk mencegah perang tanding yang gila itu.

Meskipun demikian, Suranata itu pun bertanya, “Yatni. Apakah tidak ada jalan lain untuk menyelesaikan persoalanmu dengan Dwani?”

“Salah seorang di antara kami harus mati, Kakang. Aku benci Dwani sejak kanak-kanak. Ia terlalu manja, sehingga aku harus tersisih dari kasih sayang orang tua kita. Dendamku kepadanya telah membakar jantungku, sehingga tidak akan dapat disembuhkan sampai salah seorang di antara kami mati.”

“Katakan, apakah karena api pencetus dendammu itu sehingga kau telah menempuh bahaya dengan mempertaruhkan nyawamu memasuki Tanah Perdikan dalam keadaan yang gawat ini, Mbakayu?” berkata Nyi Dwani.

“Aku hanya menunggu kesempatan terbaik.”

“Saat kau meragukan apakah Ki Saba Lintang mampu memenangkan perang ini, maka kau ingin meyakinkan bahwa kau adalah satu-satunya perempuan yang diharapkannya. Jika Ki Saba Lintang kalah dan kemudian melarikan diri, maka kau akan menjadi pendampingnya, tanpa mencemaskannya bahwa pada suatu saat ia akan lari lagi kepadaku.”

“Tutup mulutmu, Dwani!”

“Tetapi kau akan kecewa, Mbokayu. Dalam perang yang akan menyala lagi besok, Ki Saba Lintang akan terbunuh di medan.”

“Sejak kapan kau menjadi peramal, Dwani? Tetapi aku tidak peduli igauanmu. Sekarang aku tantang kau berperang tanding. Jika kau menolak, maka aku akan membunuhmu di hadapan Kakang Suranata, atau aku akan membunuh diri, sehingga Kakang Suranata hanya akan mempunyai seorang saudara perempuan saja.”

Nyi Dwani mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku terima tantanganmu, Mbokayu. Aku sudah jemu menjadi sasaran kekerasanmu. Karena itu, sudah saatnya aku melindungi diriku sendiri. Kakang, jangan cegah kami.” Lalu katanya kepada Ki Gede, “Kami mohon Ki Gede memperkenankan kami menyelesaikan persoalan keluarga kami tanpa campur tangan siapa pun juga, Ki Gede.”

Ki Gede masih saja termangu-mangu. Namun Nyi Dwani itu berkata selanjutnya, “Nyi Lurah, Rara Wulan, doakan agar aku dapat keluar dari pertikaian ini. Seandainya tidak, aku tidak akan menyesal, karena sejak kanak-kanak aku memang harus mengalah atau dikalahkan.”

“Apakah kau harus melayani dengan cara itu, Nyi Dwani?” bertanya Sekar Mirah.

“Cara ini adalah cara yang terbaik bagi kami, Nyi Lurah,” jawab Nyi Dwani.

Namun dalam pada itu, terdengar Nyi Yatni berkata lantang, “Persoalan ini adalah persoalanku dengan adikku, Nyi Lurah.”

Sekar Mirah terdiam. Tetapi wajahnya menjadi tegang.

“Aku pinjam halaman rumah ini, Ki Gede,” berkata Nyi Yatni kemudian.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki Gede tidak dapat mencegah perang tanding yang akan berlangsung itu.

Sejenak kemudian, beberapa orang berdiri di halaman melingkari sebuah arena. Beberapa orang pengawal Tanah Perdikan ikut mengawasi arena itu. Dua orang yang datang bersama Ki Suranata dan Nyi Yatni menjadi tegang.

“Kenapa hal ini harus terjadi?” bertanya seorang di antara mereka.

“Aku sudah mencoba mencegahnya,” desis Suranata.

“Apakah kau tidak dapat berbuat lebih keras untuk mencegah kedua orang saudara perempuanmu saling membunuh?”

“Jika aku mencegahnya, Yatni tentu akan menantang aku berperang tanding. Aku tidak akan dapat membunuhnya. Tetapi Yatni dapat melakukannya terhadapku, jika ia mendapat kesempatan,”

“Kami bukan orang baik-baik,” berkata yang lain, “tetapi kami tidak akan dapat berbuat seperti Nyi Yatni.”

“Tidak seorangpun mampu mengendalikan keliarannya. Jika ia berhasil mendapatkan Ki Saba Lintang, mudah-mudahan Ki Saba Lintang dapat menjinakkan kebinalannya.”

Suasana di halaman itu menjadi tegang. Nyi Yatni sudah berhadapan dengan adiknya, Nyi Dwani.

“Bersiaplah, Dwani!” geram Nyi Yatni.

Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi agak tenang melihat ketenangan Nyi Dwani.

Perlahan-lahan Nyi Dwani mengangkat wajahnya. Perempuan itu tersenyum melihat bulan memancar di langit. Meskipun bulan itu belum bulat, tetapi cahayanya cukup terang menyinari halaman rumah Ki Gede.

Nyi Dwani itu meletakkan telapak tangannya di dadanya. Kemudian mengacukannya ke arah bulan yang terapung di wajah langit yang jernih.

“Kau lihat bulan itu, Nyi Lurah?”

Di luar sadarnya Nyi Lurah pun mengangkat wajahnya. Demikian pula Rara Wulan. Mereka melihat bulan mengambang di sela-sela taburan bintang.

Dengan nada dalam Sekar Mirah menjawab, “Ya, Nyi Dwani. Bulan cerah.”

“Cahayanya mematangkan ilmuku, Nyi.” Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya kakak perempuan dengan tajamnya.

Sementara itu Nyi Yatni pun berkata, “Pandangilah bulan itu sepuas hatimu, Dwani. Malam ini adalah malam terakhir kau melihat bulan.”

“Cahayanya meresap mengaliri urat-urat darahku, Mbokayu. Marilah. Aku sudah bersiap.”

Demikianlah, kedua orang perempuan itu segera bersiap. Sambil bergeser selangkah Nyi Yatni menggeram, “Aku akan membunuhmu dengan tanganku, Dwani. Jika kau terbiasa bertempur dengan senjata, tariklah senjatamu.”

Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi ia justru bergerak mendekati kakak perempuannya.

Nyi Yatni itu pun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Tangannya terjulur lurus menggapai dada Nyi Dwani, tetapi dengan tangkas Nyi Dwani bergeser menyamping, sehingga tangan Nyi Yatni itu tidak menyentuhnya.

Namun serangan kaki Nyi Yatni-lah yang kemudian menyambar lambung. Namun Nyi Dwani pun sempat mengelak. Bahkan Nyi Dwani-lah yang kemudian meloncat menyerang. Tangannya menebas mendatar mengarah kening.

Namun dengan cepat Nyi Yatni menunduk, sehingga tangan itu melayang mendatar di atas kepalanya.

Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Keduanya saling berloncatan. Saling menyerang dan saling menghindar. Sekali-sekali Nyi Dwani terdesak. Namun kemudian Nyi Yatni-lah yang meloncat surut.

Namun perlawanan Nyi Dwani itu sangat mengejutkan Nyi Yatni. Ia tidak mengira bahwa adik perempuannya itu memiliki ilmu yang mapan, yang benar-benar mampu melindungi dirinya.

Nyi Yatni memang sudah mendengar bahwa adiknya telah berlatih olah kanuragan. Ayahnya-lah yang menuntunnya. Tetapi ia tidak mengira bahwa kemampuannya cukup tinggi.

Nyi Yatni kurang memperhitungkan bahwa Nyi Dwani pernah menempa dirinya sebelum ia menantang Nyi Lurah Agung Sedayu untuk berperang tanding. Sementara itu kepercayaan Nyi Dwani bahwa cahaya bulan yang meresap ke dalam dirinya mampu mendukung ilmunya, telah mempengaruhinya pula.

Meskipun Nyi Dwani tidak dapat mengalahkan Nyi Lurah Agung Sedayu, namun kemampuannya memang meningkat semakin tinggi. Bahkan perang tanding yang dilakukannya melawan Nyi Lurah memberikan pengalaman yang sangat berharga baginya.

Karena itu, ketika ia harus menghadapi kakak perempuannya, maka Nyi Dwani mampu bersikap lebih tenang dari kakak perempuan itu.

Nyi Yatni yang marah itu pun dengan cepat meningkatkan ilmunya. Serangan-serangannya datang membadai. Susul-menyusul tidak henti-hentinya.

Tetapi pertahanan Nyi Dwani pun sangat rapat. Bahkan sekali-sekali Nyi Dwani sempat membalas menyerang.

Nyi Yatni terkejut bukan buatan, sehingga di luar sadarnya ia sudah meloncat beberapa langkah surut, ketika tangan Nyi Dwani menyentuh bahunya. Tiga jari Nyi Dwani yang terjulur lurus telah mengenai pundak Nyi Yatni, sehingga Nyi Yatni harus berdesis menahan sakit yang menyengat sambil meloncat mengambil jarak.

Nyi Dwani tidak memburunya. Dengan tenang ia berdiri tegak di hadapan kakak perempuannya. Selangkah ia maju mendekat. Namun kemudian Nyi Dwani itu berdiri diam.

“Setan kau, Dwani!” geram Nyi Yatni, “Kau benar-benar tidak tahu diri. Kau kira kau sudah memenangkan perang tanding ini? Siapa yang menang dan siapa yang kalah akan nampak pada hasil terakhir dari perang tanding ini. Siapa yang terkapar mati, ialah yang kalah. Dan siapa yang hidup, ialah yang menang.”

Nyi Dwani sama sekali tidak menjawab. Namun ia pun segera bersiap untuk menyerangnya.

Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka. Serangan dibalas dengan serangan. Semakin lama semakin sering.

Nyi Dwani terdorong beberapa langkah surut ketika kaki Nyi Yatni singgah di lambungnya. Ketika Nyi Dwani berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya yang goyah, serangan Nyi Yatni telah memburunya. Tangan Nyi Yatni yang terayun mendatar menyambar membuat Nyi Dwani itu tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia pun jatuh terguling. Namun Nyi Dwani itu justru berguling beberapa kali, kemudian melenting tegak dan meloncat sambil berputar di udara. Demikian kedua kakinya melekat tanah, maka ia pun sudah siap menghadapi Nyi Yatni yang memburunya.

Demikian Nyi Yatni mendekat dan mengayunkan kakinya mendatar sambil memutar tubuhnya, Nyi Dwani justru menjatuhkan dirinya. Kakinya dengan derasnya menyapu kaki Nyi Yatni yang satu lagi.

Nyi Yatni terkejut. Kakinya tempat tubuhnya bertumpu itu terayun oleh tebasan kaki Nyi Dwani, sehingga Nyi Yatni pun telah terjatuh. Namun dengan cepat perempuan itu berguling dan melenting berdiri.

Namun demikian ia tegak, maka Nyi Dwani pun telah berdiri di hadapannya.

Demikianlah, perang tanding antara dua orang kakak beradik itu semakin lama menjadi semakin sengit.

Suranata dan kedua orang kawannya menjadi tegang. Siapa pun yang kalah, Suranata akan kehilangan seorang adiknya. Tetapi bagi Suranata, Nyi Yatni memang terasa lebih dekat daripada Nyi Dwani. Apalagi pada saat-saat terakhir.

Sementara itu, pertempuran di antara kedua orang kakak beradik itu menjadi semakin sengit. Setiap kali Nyi Dwani sempat memandang bulan yang bergeser di langit.

Semakin lama Nyi Yatni menjadi semakin heran. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Nyi Dwani itu mampu mengimbanginya. Bahkan setelah bertempur beberapa lama, masih belum ada tanda-tanda bahwa Nyi Yatni akan mampu mengalahkan adiknya.

Sekar Mirah dan Rara Wulan pun menjadi tegang. Sementara Sekar Mirah tidak dapat melepaskan Suranata dari pengamatannya. Ia tidak tahu, apa sebenarnya yang bergejolak di jantung laki-laki itu. Apakah ia benar-benar ingin mengambil Nyi Dwani atau ia pun berniat untuk melenyapkannya, karena Nyi Dwani tidak lagi patuh kepadanya.

Tetapi yang terjadi di lingkaran perang tanding itu telah membuat Suranata sangat gelisah. Ia melihat beberapa kelebihan Nyi Dwani dari kakak perempuannya.

Suranata memang tidak ingin Nyi Dwani terbunuh. Tetapi ia pun tidak ingin Nyi Yatni mati dalam perang tanding itu, Jika Dwani seakan-akan telah hilang, maka Yatni-lah perempuan yang dapat diharapkannya untuk mendampingi Ki Saba Lintang memimpin sebuah perguruan yang besar, bangkitnya kembali perguruan Kedung Jati dengan denyut nadi yang berbeda.

Karena itu, jantung Suranata itu bagaikan dihentak-hentakkan oleh perang tanding itu.

Ki Gede pun menyaksikan perang tanding itu dengan dada yang berdebaran. Meskipun Ki Gede dapat berdiri di luar persoalan yang sedang terjadi itu, namun bagaimanapun juga ia tidak dapat untuk tidak mempedulikannya. Nyi Dwani sudah beberapa lama berada di Tanah Perdikan, serta sudah menyatakan untuk bergabung dengan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu.

Sementara itu, pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin keras. Nyi Yatni telah mengerahkan kemampuannya untuk dengan cepat membunuh adiknya. Tetapi Nyi Dwani telah meningkatkan pula ilmunya. Ia tidak mau mati dibunuh oleh saudaranya sendiri.

Meskipun serangan-serangan Nyi Yatni menjadi semakin garang, namun Nyi Dwani masih mampu mengimbanginya. Ia pun bertempur semakin keras pula. Ia bergerak semakin cepat, berloncatan dengan tangkasnya menyusup di antara cahaya bulan yang terang.

Keringat pun telah membasahi seluruh tubuh kedua orang yang sedang bertempur itu.

Nyi Dwani beberapa kali terdorong surut. Keseimbangannya pun kadang-kadang telah terguncang jika serangan-serangan Nyi Yatni mengenai tubuhnya. Tetapi ia pun beberapa kali berhasil menggoyahkan keseimbangan Nyi Yatni. Bahkan beberapa kali terdengar Nyi Yatni berdesis menahan sakit yang menyengat tubuhnya.

Semakin lama justru Nyi Yatni-lah yang mulai terdesak. Serangan-serangan Nyi Dwani semakin sering mengenai tubuhnya dan menyakitinya.

Ketika kaki Nyi Dwani yang terjulur menyamping mengenai dadanya, maka Nyi Yatni pun telah terdorong beberapa langkah surut. Ia tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya yang goyah. Karena itu, maka Nyi Yatni itu pun telah jatuh berguling di tanah. Namun ketika Nyi Dwani memburunya, maka Nyi Yatni itu dengan cepat bangkit.

Nyi Dwani tertegun ketika tiba-tiba saja pedang Nyi Yatni telah teracu ke dadanya. Dengan geram Nyi Yatni itu pun menggeram, “Kau benar-benar tidak tahu diri, Dwani. Aku tidak lagi ingin mengendalikan diriku. Meskipun kau adikku, tetapi dadamu akan tembus oleh pedangku. Jantungmu akan terbelah, dan kau tidak akan pernah sempat melihat Ayah lagi.”

Nyi Dwani melangkah surut. Ia tahu bahwa kakak perempuannya memiliki ilmu pedang yang tinggi. Tetapi Nyi Dwani pun pernah berlatih dengan sungguh-sungguh. Ia pun mempunyai pengalaman bertempur dengan pedangnya melawan orang-orang berilmu tinggi.

Karena itu, maka Nyi Dwani pun telah menarik pedangnya pula.

“Mbokayu,” desis Nyi Dwani, “apakah kita benar-benar akan saling membunuh?”

Terdengar suara Suranata lantang, “Tidak! Sarungkan pedang kalian!”

Tetapi Nyi Yatni pun berteriak pula, “Tidak! Aku harus membunuh perempuan licik dan pengkhianat ini!”

“Yatni!” teriak Suranata, yang menjadi semakin tegang.

“Kau harus merelakan salah seorang dari kami!” sahut Nyi Yatni.

Suranata tidak dapat berbuat banyak. Nyi Yatni sudah memutar pedangnya. Kakinya bergerak dengan cepat, sehingga tubuhnya bagaikan mengapung di udara

Sementara itu Nyi Dwani pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Pedangnya pun telah bergetar. Ia siap menghadapi saudara perempuannya yang benar-benar berusaha untuk membunuhnya itu.

Sejenak kemudian, keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran. Pedang mereka pun berputar, menyambar mendatar, terayun dan menebas dengan cepat. Kemudian mematuk lurus ke arah dada.

Sekali-sekali terdengar pedang itu beradu. Bunga api memercik di udara, seperti puluhan kunang-kunang lembut yang berloncatan memencar.

Ketegangan di sekitar arena itu pun semakin mencekam. Di luar sadarnya Rara Wulan telah berpegangan lengan Sekar Mirah. Semakin lama semakin erat mencengkam.

Seorang kawan Suranata pun kemudian berdesis, “Kedua saudara perempuanmu itu ternyata berilmu tinggi. Jika mereka tidak dikuasai oleh gejolak perasaan mereka, sehingga keduanya dapat bertempur berpasangan, maka mereka akan menjadi hantu di medan perang.”

“Sayang sekali,” desis Suranata

Suranata terkejut ketika ia mendengar pekik tertahan. Nyi Yatni meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak.

“Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam dirimu, Dwani?” geram Nyi Yatni sambil meraba lengannya yang terluka. Titik-titik darah bergulir dari luka meskipun luka itu hanya segaris tipis.

Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi pedangnya terjulur lurus. Ujungnya yang menyentuh lengah Nyi Yatni itu bergetar.

Sambil bergerak selangkah maju Nyi Dwani memutar pedangnya. Kemudian sebuah loncatan kecil dibarengi dengan uluran pedang lurus-lurus menyerang ke arah jantung.

Nyi Yatni dengan tangkas menangkis serangan itu dengan menebas ke samping. Tetapi Nyi Dwani justru mengurungkan serangannya. Sambil menarik pedangnya ia bergeser ke samping. Dengan cepat pedangnya menebas mendatar.

Nyi Yatni terkejut, sehingga ia harus berloncatan surut beberapa langkah.

Ternyata Suranata pun terkejut Di luar sadarnya ia pun berdesis lirih, “Luar biasa. Ternyata Dwani maju dengan cepat.”

Seorang kawan Suranata pun berdesis, “Aku justru mencemaskan Nyi Yatni.”

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mereka berperang tanding dengan adil.”

Kawannya yang lain mengangguk. Katanya, “Nampaknya tidak ada jalan untuk menghentikan mereka sebelum salah seorang dari mereka terbunuh.”

“Yang terbunuh itu adalah saudara perempuanku, siapa pun mereka.”

Kedua orang kawan Suara itu terdiam.

Sebenarnyalah perang tanding itu menjadi semakin seru. Namun orang-orang yang berdiri di luar arena, yang sedikit mempunyai ilmu kanuragan, mulai melihat bahwa Nyi Dwani berhasil sedikit demi sedikit mendesak Nyi Yatni.

Beberapa saat kemudian, ujung pedang Nyi Dwani pun telah menyentuh bahu Nyi Yatni, sehingga Nyi Yatni itu sekali lagi harus meloncat surut. Tetapi sejenak kemudian, ujung pedang Nyi Yatni-lah yang telah menyentuh pundak Nyi Dwani.

Ketika keduanya sudah mulai terluka, maka pertempuran pun benar-benar tidak terkendali. Keduanya berloncatan dengan tangkasnya. Senjata mereka berputaran dengan cepatnya. Setiap kali terdengar kedua senjata itu beradu dengan kerasnya. Suaranya berdentang mengguncang jantung orang-orang yang menyaksikannya.

Namun sebenarnya-lah Nyi Yatni menjadi semakin terdesak. Nyi Dwani rasa-rasanya bergerak semakin cepat. Pedangnya berputaran. Pantulan cahaya bulan pada daun pedangnya yang berputar itu nampak bagaikan kilatan-kilatan cahaya, yang memancar dari dalam kabut yang putih.

Sebenarnyalah bahwa Nyi Yatni pun merasakan tekanan yang semakin berat. Tetapi Nyi Yatni yang sejak kanak-kanaknya tidak pernah mau mengalah, apalagi dikalahkan oleh Nyi Dwani, tidak mau melihat kenyataan itu. Bahkan Nyi Yatni itu berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuannya.

Hentakan ilmu Nyi Yatni memang mampu mengejutkan Nyi Dwani sehingga Nyi Dwani itu terdesak surut. Tetapi sejenak kemudian, perempuan itu pun menjadi mapan kembali. Serangan-serangan Nyi Yatni tidak mampu mendesaknya. Ujung pedang Nyi Yatni tidak mampu lagi menyentuh tubuh Nyi Dwani, yang juga mengerahkan kemampuannya.

Bahkan kemudian ujung pedang Nyi Dwani yang menebas menyilang telah menggores lambung Nyi Yatni serta mengoyakkan pakaiannya.

Kemarahan Nyi Yatni rasa-rasanya tidak dapat dibendung lagi. Tetapi apapun yang dilakukannya, namun Nyi Yatni itu tidak mampu lagi melukai tubuh adiknya. Nyi Dwani rasa-rasanya telah menjadi semakin mapan.

Sekali-sekali Nyi Dwani masih menengadahkan wajahnya ke langit. Dilihatnya bulan bergeser terus. Tetapi bulan masih tergantung tinggi di langit Masih banyak waktu bagi Nyi Dwani untuk menyelesaikan pertempuran itu, sebelum bulan itu bersembunyi di balik cakrawala.

Dalam pada itu, meskipun Nyi Yatni merasakan tekanan yang semakin berat dari serangan-serangan Nyi Dwani, apalagi tubuhnya yang telah terluka, sedangkan darahnya sudah mengalir menitik di atas bumi Menoreh, tetapi Nyi Yatni sama sekali tidak mau mengakui kenyataan itu. Ia masih saja merasa sebagaimana Yatni di masa kanak-kanak, yang dapat berlaku garang terhadap Dwani.

Dalam puncak kemarahannya, Nyi Yatni itu pun berkata lantang, “Kau harus menyerah, Dwani! Kau harus merelakan nyawamu. Aku inginkan itu. Dan kau tidak boleh membantah!”

Tetapi Nyi Dwani itu menyahut, “Nyawaku bukan barang mainan yang dapat kau rampas, Mbokayu! Kemudian jika kau tidak menyukainya, dapat kau rusakkan dan kau hempaskan ke lubang sampah. Nyawaku itu sangat berarti bagiku.”

“Aku tidak peduli! Aku ingin nyawamu!”

“Sayang. Kali ini aku tidak dapat memenuhi keinginanmu. Jika saja kau ingin merampas Ki Saba Lintang, ambillah. Campakkan jika kau tidak suka. Tetapi setialah kepadanya jika kau memang menghendakinya.”

Nyi Yatni meloncat surut. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, “Jika kau masih hidup, maka pada suatu saat kau akan mengambilnya kembali.”

“Aku berjanji.”

“Berjanji apa?”

“Aku tidak memerlukannya lagi. Aku akan mencari mainan lain yang lebih baik dan lebih sesuai bagiku,” jawab Nyi Dwani.

Suranata yang tegang itu menangkap satu kesempatan untuk melerai kedua saudara perempuannya. Karena itu, maka ia pun berkata lantang, “Yatni! Hentikan perang tanding ini! Bukankah Dwani sudah berjanji?”

“Kau percayai mulutnya yang lamis itu Kakang?”

“Ya. Aku mempercayainya.”

“Semua itu omong kosong. Dwani hanya ingin menyelamatkan diri dengan janji-janji palsunya. Pada saatnya ia akan merunduk aku dan membunuhku dengan menusuk punggungku.”

“Tidak. Aku dapat menjadi taruhan,” sahut Nyi Dwani.

“Tidak!” teriak Nyi Yatni.

Tiba-tiba saja serangannya justru datang seperti prahara yang melibat Nyi Dwani. Demikian sengitnya sehingga Nyi Dwani harus berloncatan surut

Tetapi Nyi Yatni tidak melepaskannya, ia justru memburu sambil berteriak, “Berikan nyawamu! Aku menginginkannya!”

Nyi Dwani tidak menjawab. Namun ketika Nyi Yatni meloncat sambil mengayunkan pedangnya ke arah leher adiknya, maka Nyi Dwani dengan cepat berjongkok. Demikian pedang Nyi Yatni terayun di atas kepala Nyi Dwani, maka pedang Nyi Dwani pun telah terjulur lurus.

Terdengar Nyi Yatni mengaduh tertahan. Ujung pedang Nyi Dwani telah menggores pinggang kakak perempuannya.

Pada saat Nyi Yatni itu meloncat surut, dengan cepat Nyi Dwani memburunya. Sebelum Nyi Yatni memperbaiki keadaannya, maka pedang Nyi Dwani dengan kerasnya telah menyambar pedang Nyi Yatni. Demikian keras dan tiba-tiba, sehingga Nyi Yatni tidak sempat mempertahankannya.

Pedang Nyi Yatni itu pun telah terlempar beberapa langkah daripadanya. Demikian Nyi Yatni bersiap meloncat memungut pedangnya, maka ujung pedang Nyi Dwani telah melekat di dadanya.

Nyi Yatni berdiri dengan tegangnya. Luka-luka di lengannya, di bahunya, di lambung, di pinggang, dan goresan-goresan kecil yang lain, terasa menjadi sangat pedih. Keringatnya yang mengalir ke lukanya, membuat luka itu semakin nyeri.

Tetapi ujung pedang Nyi Dwani itu sangat menegangkannya.

Bukan saja Nyi Yatni yang menjadi tegang. Suranata, kedua orang kawannya, Sekar Mirah, Rara Wulan, Ki Gede, dan orang-orang yang menyaksikannya, menjadi tegang pula.

Nyi Yatni memandang wajah adiknya dengan sorot mata penuh kebencian. Sementara itu Nyi Dwani pun berkata, “Kali ini aku tidak akan menyerahkan apa yang kau ingini itu, Mbokayu. Justru kau-lah yang harus menyerahkan kepadaku apa yang aku inginkan.”

“Setan kau, Dwani!” geram Nyi Yatni.

“Jika kau mati, maka segala-galanya itu tidak akan berarti lagi bagimu. Tongkat baja putih, kedudukan, Ki Saba Lintang, semuanya harus kau tinggalkan, rela atau tidak rela.”

“Jangan banyak bicara, Dwani! Jika kau akan membunuhku, bunuhlah!”

Nyi Dwani menggeretakkan giginya. Tangannya yang menggenggam tangkai pedangnya itu pun menjadi gemetar. Namun tiba-tiba di luar sadarnya, dipandanginya Nyi Lurah Agung Sedayu.

Ketika ia berperang tanding dengan Nyi Lurah, Nyi Lurah mempunyai kesempatan untuk membunuhnya. Tetapi saat itu Nyi Lurah tidak melakukannya.

“Persetan!” geram Nyi Dwani di dalam hatinya, “Aku bukan Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Namun Nyi Dwani menjadi ragu-ragu. Ujung pedangnya tidak segera menusuk dada kakak perempuannya. Bahkan Nyi Dwani itu pun sempat memandangi kakaknya yang berdiri dengan tegang di pinggir arena.

Ternyata Nyi Yatni memanfaatkan keragu-raguan itu. Dengan cepat Nyi Yatni telah menendang pergelangan tangan Nyi Dwani, sehingga pedangnya pun terlepas.

Demikian pedang Nyi Dwani terlepas, Nyi Yatni telah mengayunkan kakinya mendatar, menyerang ke arah perut.

Tetapi Nyi Dwani pun bergerak cepat pula. Sambil merendah, Nyi Dwani memiringkan tubuhnya. Dengan sikunya ia menangkis serangan kaki kakak perempuannya. Meskipun Nyi Dwani itu tergetar surut selangkah, namun dengan cepat pula Nyi Dwani menyerang. Dengan satu putaran, kakinya terayun mendatar menyambar dada kakak perempuannya yang sudah menjadi semakin lemah, karena darah yang menetes dari lukanya.

Nyi Yatni terdorong menyamping. Namun ia pun segera kehilangan keseimbangannya dan jatuh terbanting di tanah.

Demikian Nyi Yatni siap untuk bangkit, kaki Nyi Dwani telah menginjak dada kakak perempuannya.

Nyi Yatni memandang adiknya dengan tatapan mata yang sangat marah. Sebelumnya, Dwani sejak masa kecilnya tidak pernah menolak perintahnya. Tidak pernah menentang keinginannya. Tetapi tiba-tiba Dwani itu telah menginjak dadanya.

Nyi Yatni memang tidak dapat lagi melawan. Tubuhnya menjadi sangat lemah. Dadanya menjadi sesak. Ia tinggal menunggu apa yang akan dilakukan oleh Nyi Dwani atas dirinya. Memungut pedangnya dan kemudian menusuk dadanya.

Tetapi sekali lagi Nyi Dwani memandang Nyi Lurah Agung Sedayu, yang tidak membunuhnya dalam perang tanding.

Pandangan mata Nyi Lurah itu bagaikan bercahaya menerangi rongga dadanya. Tiba-tiba saja Nyi Dwani itu berlari ke arah Nyi Lurah Agung Sedayu. Dipeluknya Nyi Lurah itu sambil berdesis, “Aku tidak dapat membunuhnya, Nyi Lurah.”

Sekar Mirah memeluknya pula sambil berbisik, “Kau tidak harus membunuhnya, Nyi Dwani.”

Namun pada saat itu, Nyi Yatni itu tiba-tiba saja menghentakkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. Diraihnya pedang Nyi Dwani yang tergolek di sampingnya. Sambil berteriak Nyi Yatni itu telah berusaha melemparkan pedang itu ke arah adik perempuannya.

Tetapi kaki yang kuat telah menendang tangan Nyi Yatni, sehingga pedang itu tidak sempat meluncur ke arah Nyi Dwani.

Ketika Nyi Yatni berpaling, dilihatnya Suranata berdiri di sampingnya. Sebelum Nyi Yatni berkata sesuatu, Suranata itu telah memegang lengannya dan menariknya sambil berkata, “Kau tidak dapat berbuat curang seperti itu, Yatni, justru saat adikmu menunjukkan kebesaran jiwanya.”

Nyi Yatni pun berusaha untuk dapat berdiri tegak. Dipandanginya Suranata dengan tajamnya. Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Kau berpihak kepada Dwani?”

“Kau jangan gila, Yatni!” Suranata itu pun membentak, “Aku juga bukan orang baik-baik. Tetapi aku tidak akan melakukan sebagaimana kau lakukan itu.”

Nyi Yatni menggeretakkan giginya. Namun kemudian Suranata itu pun berkata, “Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Kita akan minta diri kepada Ki Gede.”

Namun sebelum Suranata minta diri, terdengar suara seseorang di antara mereka yang berdiri melingkari arena. Cahaya lampu minyak yang terayun dibelai angin malam, tidak begitu jelas menerangi wajah orang itu. Namun ketika orang itu berbicara, maka orang-orang di arena itu pun segera mengenalinya. Empu Wisanata.

Sambil melangkah maju, Empu Wisanata itu pun berkata, “Aku hargai sikapmu, Suranata. Aku minta maaf, bahwa selama ini aku hanya melihatmu pada sisi yang hitam.”

Suranata memandang wajah ayahnya dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku minta diri. Aku akan membawa Yatni pergi. Besok kita akan berada di tempat yang berseberangan, Ayah. Jika pertempuran itu berkobar lagi, Ayah tentu akan berdiri di antara para pengawal Tanah Perdikan.”

“Ya,” jawab Empu Wisanata.

“Ayah tahu, di mana aku akan berdiri?”

“Ya.”

“Selamat malam, Ayah,” berkata Suranata, yang kemudian minta diri kepada Ki Gede, “Kami minta diri Ki Gede. Terima kasih atas kesempatan yang telah Ki Gede berikan kepada kami.”

“Sekelompok pengawal akan mengantar kalian keluar dari Tanah Perdikan ini, Ki Sanak,” berkata Ki Gede.

Suranata termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Aku tidak ingin kalian menemui kesulitan di perjalanan. Selebihnya, para pengawal akan meyakinkan bahwa kalian benar-benar hanya akan lewat di atas Tanah Perdikan ini.”

Suranata mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih, Ki Gede.”

Suranata pun kemudian mendekati adik perempuannya yang berdiri di sebelah Nyi Lurah Agung Sedayu. Katanya, “Aku hargai sikapmu, Dwani. Kita sudah sama-sama dewasa. Kita berhak menentukan pilihan kita masing-masing. Selamat malam.”

“Selamat malam, Kakang,” suara Nyi Dwani sendat.

Suranata menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku minta diri, Dwani.”

Suranata pun kemudian telah mengajak Nyi Yatni yang menjadi sangat lemah meninggalkan tempat itu. Dipapahnya perempuan yang terluka cukup parah itu, sementara sekelompok pengawal telah diperintahkan untuk mengantar mereka keluar dari Tanah Perdikan.

Seorang di antara para pengawal itu telah membawa panah sendaren, untuk memberikan isyarat jika terjadi sesuatu.

“Agar tidak banyak persoalan di perjalanan, bawa mereka melalui jalan-jalan yang tidak banyak mendapat pengawalan. Jalan yang tidak melewati padukuhan-padukuhan atau tempat-tempat pengawasan,” pesan Ki Gede. Lalu katanya pula, “Jika terjadi salah paham, tunjukkan tunggul yang menyatakan bahwa kau telah mendapat wewenang dari aku.”

“Baik, Ki Gede,” jawab pemimpin kelompok itu.

Demikian Suranata, Nyi Yatni dan kedua orang kawannya pergi, maka Nyi Dwani pun segera berlari mendapatkan ayahnya yang berdiri di pinggir arena. Sambil memeluknya Nyi Dwani pun berdesis, “Syukurlah Ayah segera datang.”

“Angger Glagah Putih dan Sabungsari menjemputku.”

Glagah Putih dan Sabungsari pun bergeser maju. Sementara Ki Gede pun telah mendekati Glagah Putih sambil berdesis, “Untunglah kau jemput Empu Wisanata, sehingga ia sempat melihat apa yang telah terjadi di sini. Apa yang telah terjadi pada anak-anaknya.”

“Mbokayu Sekar Mirah yang memerintahkan aku menjemput Empu Wisanata.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam, sementara Empu Wisanata pun berdesis, “Terima kasih, Nyi Lurah, aku sempat menunggui anak-anakku yang sedang berselisih. Inilah gambaran dari kegagalan orang tua membina anak-anaknya, membentuk watak dan kepribadiannya. Aku harus merasa malu kepada mereka yang telah menyaksikan apa yang terjadi atas anak-anakku. Tetapi aku tidak dapat mengelak atas kenyataan ini.”

Ki Gede-lah yang kemudian melangkah mendekatinya. Katanya, “Sudahlah Empu. Marilah, aku persilakan Empu naik ke pendapa. Persoalan yang Empu hadapi, pernah juga terjadi padaku.”

Empu Wisanata. mengerutkan dahinya. Sementara itu, Ki Gede berkata, “Bertanyalah kepada orang-orang tua di Tanah Perdikan ini, apa yang terjadi atas keluargaku.”

Empu Wisanata menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Maaf Ki Gede. Aku harus kembali ke medan. Para pengawas melihat kesiagaan pasukan Ki Saba Lintang. itu meningkat. Mereka memperhitungkan bahwa pasukan yang berada di sisi utara itu akan bergerak esok pagi menjelang fajar. Agaknya pasukan yang berada di. arah barat pun akan bergerak pula esok pagi.”

Ki Gede mengangguk-angguk: Katanya, “Ya. Aku pun telah mendapat laporan. Aku juga sudah memperingatkan kepada Prastawa dan Ki Lurah Agung Sedayu untuk bersiaga menghadapi kemungkinan itu.”

“Karena itu, aku akan segera minta diri.”

“Aku ikut bersama Ayah,” desis Nyi Dwani.

Empu Wisanata itu pun menggeleng. Katanya, “Kau tetap di sini, Dwani. Bersama Nyi Lurah dan Angger Rara Wulan. Kau juga harus merawat luka-lukamu.”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sekar Mirah mendekatinya sambil berkata, “Sebaiknya Nyi Dwani tinggal bersamaku di sini.”

Nyi Dwani itu pun mengangguk. Namun ia pun kemudian berpesan, “Berhati-hatilah, Ayah.”

Empu Wisanata tersenyum. Katanya, “Aku akan berhati-hati, Dwani.”

Demikianlah, sejenak kemudian Empu Wisanata pun telah minta diri. Bersama seorang pengawal yang datang bersamanya dari sisi utara, Empu Wisanata melarikan kudanya. Ia tidak boleh terlambat. Ia masih memerlukan sedikit beristirahat untuk menghadapi pertempuran di keesokan harinya.

Sepeninggal Empu Wisanata, maka Glagah Putih dan Sabungsari pun minta diri kepada Ki Gede untuk pergi ke medan.

“Kalian berada di dalam pasukan cadangan bersama Ki Sura Panggah di banjar padukuhan induk.”

“Aku kira pasukan cadangan di sini cukup kuat, Ki Gede. Di sini ada Ki Sura Panggah dan Mbokayu Sekar Mirah, di samping Ki Gede sendiri, serta Ki Argajaya yang juga berada di banjar. Sementara itu, agaknya Kakang Agung Sedayu memerlukan kawan untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi di pasukan Ki Saba Lintang.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan besok kita mampu mengusir orang-orang yang berusaha untuk menguasai Tanah Perdikan ini.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka Glagah Putih dan Sabungsari telah minta diri kepada Ki Gede. Mereka pun juga minta diri kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Sejenak kemudian, dua ekor kuda telah berderap meninggalkan padukuhan induk, menuju ke garis pertahanan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu.

Sepeninggal Glagah Putih dan Sabungsari, Sekar Mirah pun telah mengajak Nyi Dwani ke dapur. Tetapi Sekar Mirah mempersilakan Nyi Dwani untuk beristirahat. Kepada Rara Wulan, Sekar Mirah minta untuk menungguinya.

Ternyata beberapa orang perempuan telah ikut menyaksikan keributan yang terjadi di halaman antara Nyi Dwani dan kakak perempuannya. Namun mereka kemudian telah berada di dapur itu lagi. Demikian Sekar Mirah, Rara Wulan dan Nyi Dwani memasuki pintu dapur, maka perempuan-perempuan itu telah menjadi sibuk kembali dengan tugas-tugas mereka.

“Rara,” berkata Sekar Mirah kepada Rara Wulan, “jaga Nyi Dwani sebentar. Aku akan memberikan pesan-pesan kepada mereka yang sedang sibuk di dapur. Nanti aku obati luka-luka Nyi Dwani.”

Rara Wulan mengangguk. Ditunggunya Nyi Dwani yang letih, yang duduk tepekur di amben panjang di sudut dapur. Tubuhnya masih saja gemetar oleh ketegangan. Sementara itu luka-lukanya masih terasa pedih.

Sekar Mirah pun kemudian sibuk memberikan pesan-pesan kepada beberapa orang perempuan tua yang akan dapat memimpin perempuan-perempuan yang lain, yang membantu bekerja di dapur itu.

“Aku akan merawat Nyi Dwani sebentar,” desis Sekar Mirah.

Baru sejenak kemudian Sekar Mirah telah membawa Nyi Dwani ke serambi samping, untuk merawat luka-lukanya bersama Rara Wulan serta mengobatinya.

“Kau harus beristirahat,” berkata Sekar Mirah, “biarlah aku minta sebuah bilik kepada Ki Gede.”

“Tidak usah, Nyi Lurah,” sahut Nyi Dwani, “aku akan berada di dapur saja. Aku dapat beristirahat di dapur. Aku tidak mau berada di dalam bilik sendiri.”

“Bukankah lingkungan ini terlindung?” bertanya Sekar Mirah.

“Bukan karena itu,” jawab Nyi Dwani, “aku akan merasa sangat sepi. Angan-anganku akan mengembara sampai ke mana-mana. Di dapur, meskipun aku tidak ikut membantu, namun aku melihat satu kesibukan.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah, jika itu yang kau kehendaki, Nyi.”

Dengan demikian, maka Nyi Dwani itu pun kemudian telah berada di dapur pula, meskipun tidak dapat ikut membantu kesibukan beberapa orang perempuan yang menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit dan pengawal yang berada di padukuhan induk.

Namun malam itu, di beberapa padukuhan di dekat medan pertempuran telah terjadi kesibukan yang serupa. Mereka mempersiapkan makan dan minum para prajurit dan pengawal yang esok akan turun ke medan. Apalagi setelah para petugas sandi menyatakan bahwa pasukan Ki Saba Lintang akan menyerang esok pagi. Baik yang berada di medan sebelah barat maupun yang berada di utara.

Laporan itu telah sampai pula kepada Ki Gede di padukuhan induk. Karena itu, maka Ki Gede pun telah memerintahkan kepada Agung Sedayu dan Prastawa untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, pasukan cadangan yang berada di padukuhan induk serta para pengawal yang masih bertugas di padukuhan-padukuhan pun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sejumlah kuda pun telah siap di padukuhan induk. Jika diperlukan, maka pasukan cadangan itu dapat bergerak dengan cepat ke tempat-tempat yang memerlukan.

Yang bersiap di padukuhan induk sebagai pasukan cadangan adalah pasukan Ki Sura Panggah, yang telah memecah kesatuan lawannya sehingga tidak berdaya lagi. Para petugas sandi pun sudah memastikan bahwa di sisi selatan tidak akan terjadi serangan lagi, sehingga jumlah pasukan yang bertugas di sisi selatan dapat disusutkan dan ditarik ke padukuhan induk.

Demikianlah, para pemimpin dari kedua pasukan yang siap untuk bertempur itu nampak menjadi sibuk. Mereka hanya mempunyai sedikit waktu untuk beristirahat. Meskipun demikian, mereka berusaha untuk menyimpan tenaga mereka sebaik-baiknya, untuk menghadapi pertempuran yang akan berkobar esok pagi.

Glagah Putih dan Sabungsari yang telah berada di dalam perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu pun segera melaporkan diri, bahwa mereka telah bersiap untuk ikut dalam pertempuran esok.

“Apakah keadaan kalian sudah pulih?” bertanya Agung Sedayu kepada Glagah Putih dan Sabungsari.

“Sudah,” jawab keduanya hampir berbareng.

“Baiklah. Jika demikian, sekarang pergunakan waktu yang sedikit untuk beristirahat.”

“Terima kasih, Kakang,” jawab Glagah Putih, “tetapi bagaimana dengan Kakang sendiri?”

“Aku sudah cukup beristirahat tadi,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih dan Sabungsari kemudian telah membaringkan dirinya di atas anyaman daun kelapa di sebuah barak yang memanjang. Beberapa orang pengawal masih tidur dengan nyenyaknya. Tetapi ada juga di antara mereka yang nampak gelisah. Agaknya pengawal itu dibayangi oleh mimpi buruk tentang pertempuran yang bakal terjadi esok pagi. Pertempuran yang akan berlangsung dengan keras.

Glagah Putih dan Sabungsari hanya sempat memejamkan matanya sekejap. Beberapa saat kemudian, mereka telah terbangun. Para prajurit dan pengawal pun telah terbangun pula. Mereka sudah mulai bersiap-siap. Ada di antara mereka yang pergi ke sungai. Tetapi ada di antara mereka yang merasa bahwa mereka tidak perlu mandi lebih dahulu. Sedangkan yang lain telah menyiapkan landa merang untuk mandi keramas. Seakan-akan mereka akan pergi ke tempat yang dikeramatkan.

Menjelang fajar, semua orang sudah siap. Mereka sudah makan dan sudah pula minum minuman hangat. Sejenak kemudian, mereka pun telah berada di dalam kelompok mereka masing-masing.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih sempat memberikan pesan-pesan kepada para pemimpin kelompok, apa yang sebaiknya mereka lakukan menghadapi lawan yang agaknya menjadi semakin banyak dan semakin kuat

“Agaknya ada orang-orang baru di dalam pasukan mereka,” berkata Agung Sedayu.

Tetapi di dalam pasukan Agung Sedayu itu pun terdapat orang-orang baru pula. Pasukan cadangan yang ada di padukuhan induk, sebagian telah diserahkan kepada Agung Sedayu, dan sebagian lagi kepada Prastawa. Sementara itu, Ki Sura Panggah telah mendapat tugas untuk menggantikan pasukan cadangan itu, setelah pasukannya berhasil menghancurkan pasukan lawan.

Ketika langit mulai diterangi cahaya fajar, maka pasukan yang dipimpin Agung Sedayu itu pun telah bersiap sepenuhnya. Laporan terakhir dari petugas sandi menyatakan bahwa pasukan lawan pun telah siap untuk bergerak pula.

Dalam pada itu, seperti yang pernah dilakukan sebelumnya, Prastawa ternyata telah memasang segala macam landa kebesaran. Rontek, umbul-umbul, kelebet dengan tunggul-tunggul. Prastawa pun mempergunakan bende sebagai isyarat bagi pasukannya yang telah disusunnya dalam gelar yang utuh. Gelar yang diterapkan bagi pasukannya telah berubah. Pasukan Tanah Perdikan itu telah menggelar pasukannya dalam gelar Garuda Nglayang.

“Biarlah seandainya lawan mempergunakan gelar yang sama. Tetapi mereka tidak mampu membuat gelar yang utuh, karena mereka terdiri dari kekuatan yang bercampur baur,” berkata Prastawa kepada para pemimpin, “tetapi kalian pun harus bersiap membuat gelar Jurang Grawah di dalam gelar Garuda Nglayang itu, jika diperlukan.”

Demikianlah, maka pasukan Tanah Perdikan yang dipimpin oleh Prastawa itu mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Prastawa telah memerintahkan seseorang bersiap memukul bende, yang akan dipergunakan sebagai isyarat kepada seluruh pasukannya yang menebar dalam gelar yang lebar.

Ketika semuanya sudah siap, maka Prastawa pun berdiri di kepala gelarnya sambil menunggu laporan petugas sandi yang mengamati gerak pasukan lawan.

Ketika langit menjadi kuning, petugas sandi itu pun telah datang dan memberikan laporan, bahwa pasukan lawan telah siap untuk bergerak.

Prastawa pun segera memberi isyarat kepada penghubungnya yang telah siap dengan bende di tangannya.

Sejenak kemudian, maka telah terdengar bende itu meraung-raung untuk yang pertama kalinya. Semua orang dalam pasukan yang dipimpin Prastawa itu pun telah memeriksa senjata mereka, kelengkapan mereka, serta senjata-senjata cadangan mereka. Pisau belati atau keling atau paser-paser kecil.

Beberapa saat kemudian, bende itu pun menggelegar untuk yang kedua kalinya. Suaranya melenting tinggi, menggetarkan udara di atas medan.

Para prajurit dan pengawal pun segera bersiap untuk bergerak. Rontek, umbul-umbul, kelebet dan tunggul pun telah terangkat tinggi-tinggi.

Sejenak kemudian, bende itu pun berbunyi untuk ketiga kalinya.

Demikian bende itu berhenti, maka pasukan yang dipimpin oleh Prastawa itu mulai bergerak, menyongsong pasukan lawan yang sudah bergerak maju pula. Ki Sima Sikara telah memerintahkan pasukannya untuk bergerak dalam gelar yang tidak sempurna.

Tetapi Ki Sima Sikara memang menganggap gelar itu tidak harus utuh sebagaimana pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Bukan berarti bahwa Ki Sima Sikara tidak mengenal gelar yang utuh. Ki Sima Sikara mengerti benar unsur-unsur gelar yang sering dipergunakan oleh pasukan segelar sepapan. Tetapi menurut pendapat Ki Sima Sikara, gelar itu tidak perlu utuh dan sempurna. Asal saja pasukannya melebar di bawah pimpinan para pemimpin kelompok yang bertanggung jawab, maka kemampuan pasukannya tidak akan kalah dari pasukan yang disusun dalam gelar yang utuh.

Demikianlah, kedua pasukan yang besar itu pun telah bergerak maju. Mereka melangkah semakin lama semakin cepat, sementara langit pun menjadi semakin terang.

Kedua pasukan itu tidak menghiraukan lagi, apakah kaki mereka menginjak-injak tanah persawahan, atau pategalan, atau padang perdu yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul yang berduri.

Beberapa saat kemudian, bersamaan dengan terbitnya matahari, kedua pasukan itu pun telah saling berhadapan. Dari kedua belah pihak terdengar teriakan yang bagaikan mengguncang langit. Dengan hentakan tenaga, kekuatan dan keberanian, mereka berlari menyongsong lawan. Senjata-senjata pun mulai merunduk.

Pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang berada dalam gelar yang lebih mapan, ternyata mempunyai kesempatan yang lebih baik. Beberapa kelompok di antara mereka yang bersenjata busur dan anak panah telah mempergunakan senjatanya itu. Mereka telah dilatih untuk menyerang dengan busur dan anak panah sambil berlari. Bahkan dengan naik kuda sekalipun.

Anak panah yang meluncur itu memang mengejutkan. Tetapi orang-orang dalam pasukan Ki Sima Sikara pun dengan tangkas berusaha melindungi diri mereka. Yang berperisai segera mengangkat perisai mereka. Yang bersenjata pedang, tombak, bindi dan jenis senjata yang lain berusaha menangkis anak panah yang meluncur ke arah mereka dengan memutar senjata mereka.

Tetapi ada beberapa orang di antara mereka yang telah terjatuh karena anak panah yang meluncur itu mengenai tubuh mereka. Kawan-kawannya yang berlari berusaha menghindar agar mereka tidak terantuk tubuh yang terguling. Tetapi ada pula yang berjatuhan saling menimpa. Namun dengan tangkasnya mereka telah meloncat bangkit dan berlari menyusul kawan-kawan mereka, kecuali yang tubuhnya tertembus anak panah.

Namun demikian kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah melempar lembing-lembing mereka. Mereka memang membawa lembing untuk dilemparkan menjelang terjadi benturan antara kedua pasukan itu. Orang-orang dalam pasukan Ki Sima Sikara itu mengumpat kasar. Ujung lembing yang meluncur bagaikan kejar-mengejar itu telah menghentikan beberapa orang di antara mereka pula.

Dengan demikian, sebelum benturan terjadi, pasukan Ki Sima Sikara sudah kehilangan beberapa orang di antara mereka. Beberapa orang telah terluka, dan bahkan kemudian telah terinjak dan tertindih oleh kawan-kawannya yang berlari di belakangnya. Namun bahkan ada di antara mereka yang telah kehilangan nyawanya sebelum sempat mendengar dentang senjata beradu.

Sejenak kemudian, matahari yang baru bangkit itu harus menyaksikan benturan antara dua kekuatan yang telah siap untuk bertempur habis-habisan.

Dalam pada itu, para pengawal Tanah Perdikan yang membawa rontek, umbul-umbul dan kelebet, telah menancapkan tiang-tiangnya di tanah, sementara tangan-tangan mereka pun segera menggenggam senjata-senjata mereka.

Dengan gelar yang bulat, pasukan Tanah Perdikan telah menempuh pasukan lawan yang menyerang sambil menghentak-hentak dan berteriak-teriak nyaring. Bahkan umpatan-umpatan kasar dan kata-kata yang kotor meluncur dari mulut mereka.

Namun ternyata ada pula di antara mereka yang berada di pasukan Ki Sirna Sikara itu yang merasa tidak senang dengan umpatan-umpatan kotor itu.

Dengan tenaga yang masih segar kedua pasukan itu saling mendesak. Sayap-sayap gelar pasukan Tanah Perdikan seakan-akan menampar sayap-sayap pasukan lawan yang kurang terjaga susunannya

Tetapi beberapa saat kemudian, pasukan yang hiruk-pikuk itu telah melanda seperti arus banjir. Sebagian dari mereka sama sekali tidak menghiraukan kawan-kawan mereka sendiri. Dengan mengandalkan kemampuan mereka seorang-seorang, mereka berusaha untuk mengoyak gelar pasukan Tanah Perdikan.

Tetapi para pengawal dan para prajurit yang ada di dalam pasukan Tanah Perdikan pun cukup berpengalaman melawan pasukan yang bertempur dengan berbagai macam cara yang berbeda-beda. Yang bertempur dalam perpaduan yang rapi, yang licin seperti belut, yang kasar sebagaimana segerombolan badak yang mengamuk, atau yang bergejolak seperti prahara.

Karena itu, maka para pengawal dan prajurit dalam pasukan Tanah Perdikan itu tidak terkejut lagi.

Beberapa orang pengawal yang belum banyak mempunyai pengalaman, mula-mula memang menjadi bingung. Tetapi latihan-latihan yang berat telah membuat mereka cepat menyesuaikan diri.

Kelompok-kelompok yang pasukannya telah dihancurkan di sisi selatan dan bergabung dalam pasukan Ki Sima Sikara, bertempur dengan dendam yang menyala di hati mereka. Mereka ingin membalas kekalahan mereka dengan menghancur-lumatkan pasukan Tanah Perdikan yang berada di sisi utara.

Namun di sisi utara pun mereka menghadapi pengawal dan prajurit, yang tangguh yang justru bertempur dalam satu kesatuan yang rapat.

Sementara itu di sisi barat, di perbukitan, pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu telah berbenturan dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang. Namun Ki Saba Lintang sendiri tidak langsung berada di paruh gelar pasukannya. Yang bermimpi untuk berhadapan dan kemudian membunuh Agung Sedayu adalah Ki Darpatenaya.

Setelah membunuh Ki Lurah Agung Sedayu, Ki Darpatenaya berniat untuk membunuh pula Empu Wisanata yang dianggapnya telah berkhianat.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi kemudian benar-benar merupakan pertempuran yang keras. Pasukan Ki Saba Lintang yang sudah benar-benar dipersiapkan dengan kekuatan yang semakin besar itu telah berusaha langsung mendesak gelar pasukan Tanah Perdikan

Tetapi pasukan Tanah Perdikan pun telah bersiap sepenuhnya. Agung Sedayu telah memanfaatkan hari-harinya untuk menyusun pasukan yang mantap untuk menghadapi pasukan Ki Saba Lintang.

Pasukan cadangan yang diserahkan kepada Ki Lurah itu telah dimanfaatkan sebaik-baiknya. Tenaga yang segar itu telah ditebarkan di sayap gelar pasukan Tanah Perdikan. Dengan demikian, maka sayap-sayap gelar pasukan Tanah Perdikan itu akan mengguncang sayap-sayap pasukan lawan. Tenaga-tenaga yang masih segar itu akan menghentak-hentak dan mendesak pasukan lawan yang sudah lebih lama berada di medan yang melelahkan.

Tetapi ternyata di dalam pasukan Ki Saba Lintang pun terdapat orang-orang baru yang masih segar, sebagaimana pasukan cadangan Tanah Perdikan yang diturunkan di arena.

Sementara itu, matahari pun semakin lama menjadi semakin tinggi. Panasnya terasa menyengat kulit yang basah oleh keringat.

Namun dalam pertempuran yang sengit itu, panas matahari tidak lagi mereka hiraukan. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada lawan-lawan mereka. Mereka tidak mau kehilangan nyawa mereka, meskipun kemungkinan itu akan mudah sekali terjadi di peperangan yang keras.

Sebagaimana diperintahkan, maka pasukan Ki Saba Lintang itu pun berusaha dengan sekuat tenaga untuk dapat mendesak, dan apabila mungkin memecahkan, pertahanan Tanah Perdikan. Orang-orang berilmu tinggi yang ada di dalam pasukan itu telah dikerahkan ke medan untuk menghancurkan lawan sebanyak-banyaknya tanpa kendali.

Tetapi para prajurit dan pengawal Tanah Perdikan telah terlatih untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi. Sebelum mereka mendapat bantuan dari orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi pula, maka mereka harus melawan orang berilmu tinggi itu dalam kelompok-kelompok. Mereka dibekali senjata-senjata lontar untuk mengganggu pemusatan nalar budi lawan-lawan mereka. Pisau-pisau kecil, paser-paser kecil, dan bahkan bandil dan apa saja yang dapat mereka lemparkan.

Karena itu, maka orang-orang berilmu tinggi yang tergabung dalam pasukan Ki Saba Lintang pun harus menghadapi kenyataan itu. Orang-orang yang dianggapnya lemah, tetapi dengan cerdik mengerubunginya dan menyerangnya dari segala arah. Mereka sama sekali tidak memberi kesempatan kepada orang berilmu tinggi itu untuk menerapkan puncak ilmunya, karena lawan yang mengerubunginya itu menyerangnya dari segala arah, berurutan seperti arus gelombang di lautan. Bahkan kadang-kadang dua atau tiga orang menyerang bersamaan. Sedangkan dalam keadaan yang sulit, mereka telah melemparkan senjata-senjata lontar mereka dari segala penjuru.

Meskipun demikian, orang-orang berilmu tinggi benar-benar sangat menyulitkan para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Tanah Perdikan. Bahkan tidak jarang beberapa orang yang tergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang dipersiapkan untuk melawan orang-orang berilmu tinggi itu harus terlempar dari medan dengan luka-luka yang parah.

Sementara itu, di paruh gelar pasukan yang dipimpin oleh Ki Saba Lintang itu, Ki Darpatenaya berusaha untuk dapat langsung bertemu dengan Agung Sedayu. Ia ingin segera menyelesaikan Ki Lurah yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi itu. Semakin cepat ia menyelesaikan Ki Lurah Agung Sedayu, maka namanya pun tentu akan semakin dihormati. Dalam kepemimpinan yang bakal diangkat pada perguruan Kedung Jati, ia akan dapat dengan mudah menyingkirkan Ki Saba Lintang.

“Buat apa harus menghormati Saba Lintang yang tidak memiliki kelebihan apapun juga itu?” Ki Darpatenaya itu tersenyum.

Di medan yang sengit itu Ki Darpatenaya tidak terlalu banyak terlibat. Tetapi jika seseorang menyerangnya, maka orang itu tentu akan terlempar jatuh dan tidak akan dapat bertempur lagi. Orang itu akan terluka parah atau bahkan terbunuh seketika.

Bahkan Ki Darpatenaya masih sempat bertanya-tanya di sepanjang medan yang dilaluinya, “Di manakah orang yang bernama Agung Sedayu? Lurah prajurit dari Pasukan Khusus yang dibangga-banggakan itu?”

Tetapi suaranya yang keras dan tajam itu, menggelepar di udara tanpa mendapat jawaban.

Namun beberapa saat kemudian, ketika benturan-benturan di antara kedua pasukan itu terjadi semakin keras, Ki Darpatenaya mulai kehilangan kesabaran. Dengan lantang Ki Darpatenaya itu berteriak nyaring, “Ki Lurah Agung Sedayu! Aku menunggu di sini! Kita akan bertempur sampai salah seorang di antara kita terbunuh.”

Ternyata Ki Darpatenaya tidak saja asal berteriak. Suaranya tidak saja menggetarkan udara di atas medan itu. Tetapi ternyata suara Ki Darpatenaya itu bagaikan menyusup di setiap dada dan mengguncang seluruh rongganya.

Getar itu terasa pula oleh Agung Sedayu. Ia merasakan seorang yang berilmu tinggi ada di medan. Justru telah berusaha mengguncangkan ketahanan pasukan Tanah Perdikan.

Meskipun Agung Sedayu menyadari bahwa ada beberapa orang berilmu tinggi di medan itu, tetapi yang seorang ini perlu mendapat perhatiannya secara khusus.

Sementara itu, seorang pengawal telah datang kepada Agung Sedayu untuk memberikan laporan seseorang yang berteriak-teriak mencarinya, Bahkan teriakannya telah menimbulkan kegelisahan para pengawal Tanah Perdikan.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku akan menemuinya.”

“Marilah, Ki Lurah,” berkata pengawal itu.

Agung Sedayu pun kemudian mengikuti pengawal itu mencari orang yang telah berteriak-teriak memanggil nama Agung Sedayu.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun telah berdiri di. hadapan orang yang bernama Darpatenaya itu.

“Kaukah yang berteriak-teriak memanggil namaku, Ki Sanak?”

“Oh, jadi kaukah yang bernama Agung Sedayu?”

“Ya. Akulah yang bernama Agung Sedayu itu.”

“Bagus. Ternyata kau benar-benar seorang senapati yang bertanggung jawab.”

“Kau siapa Ki Sanak?” bertanya Agung Sedayu.

“Namaku Darpatenaya. Kau pernah mendengar?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar