Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 311

Buku 311

Namun yang diperhitungkan oleh Sekar Mirah adalah benar. Orang yang menyebut dirinya Ki Sawung Semedi itu memang datang menemuinya lagi.

Sekar Mirah yang sudah membawa bekal pesan-pesan dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga memang menjadi semakin berhati-hati. Tetapi Sekar Mirah berusaha untuk tidak menunjukkan kecurigaannya kepada Ki Sawung Semedi.

Dengan ramah Sekar Mirah menerima Ki Sawung Semedi di pringgitan. Bahkan kemudian Rara Wulan pun telah menghidangkan minuman dan makanan. Namun Rara Wulan tidak ikut menemui Ki Sawung Semedi di pringgitan.

“Aku terpaksa datang lagi menemui Nyi Lurah,” berkata Ki Sawung Semedi.

“Aku tidak pernah merasa berkeberatan atas kedatangan Ki Sawung Semedi,” sahut Sekar Mirah.

“Terima kasih, Nyi Lurah,” berkata Ki Sawung Semedi selanjutnya, “ternyata aku masih tetap menjadi utusan saudara-saudara kami untuk menemui Nyi Lurah.”

“Apalagi yang ingin Ki Sawung Semedi katakan?”

“Permohonan kami masih tetap, Nyi Lurah,” berkata Ki Sawung Semedi, “kami masih tetap ingin melihat sepasang tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu hadir bersama-sama.”

“Sebenarnya itu tidak perlu. Mungkin hanya sekedar kepuasan hati. Tidak ada artinya sama sekali.”

“Kehadiran sepasang tongkat baja putih itu memberikan kekuatan jiwani kepada kami. Terus terang, Nyi Lurah, beberapa orang memang menuntut untuk menghadirkan sepasang tongkat baja putih itu, untuk menunjukkan kebulatan tekad kita membangun kembali perguruan yang sudah compang-camping ini. Beberapa orang tidak bersedia ikut bersama kami, jika sepasang tongkat kepemimpinan itu tidak dapat ditunjukkan dalam pertemuan itu.”

Nyi Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Sawung Semedi. Terus terang, aku tidak begitu tertarik pada usaha untuk menghimpun kembali murid-murid perguruan Kedung Jati. Selain aku tidak pernah akrab dengan mereka, aku pun tidak melihat gunanya. Untuk apa sebenarnya kita bersusah-payah berusaha untuk membangkitkan kembali perguruan yang sudah terkoyak-koyak itu? Selama ini murid-murid perguruan Kedung Jati sudah berpencar. Kenapa kita tidak membiarkan saja mereka berpencar?”

“Kebangkitan kembali perguruan Kedung Jati itu mempunyai alasan yang sangat mendasar bagi perguruan.”

“Tetapi aku tidak mengerti. Bahkan tersentuh pun tidak.”

“Aku mengerti, Nyi Lurah. Nyi Lurah menjadi sangat kecewa kepada Ki Saba Lintang dan kepada Nyi Dwani, sehingga Nyi Lurah pun menjadi kecewa pula kepada perguruan kita. Sebaiknya Nyi Lurah membedakan antara perguruan kita yang ingin kita junjung tinggi itu, dengan orang-orang yang terlalu bernafsu untuk memiliki kekuasaan.”

“Dan ternyata orang-orang yang terlalu bernafsu itu masih tetap kalian junjung di atas kepala kalian,” sahut Sekar Mirah dengan serta-merta.

Ki Sawung Semedi terdiam sejenak. Bahkan kemudian ia pun berkata, “Kami harus kembali pada kenyataan, bahwa Ki Saba Lintang-lah yang memiliki satu di antara sepasang tongkat itu.”

“Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku tidak melihat manfaat dari kebangkitan kembali perguruan itu, Ki Sawung Semedi. Baik bagi bekas para cantrik perguruan Kedung Jati, maupun bagi kebesaran nama perguruan itu sendiri. Bahkan jika kita salah langkah, maka nama perguruan Kedung Jati akan menjadi semakin tercemar.”

Ki Sawung Semedi menjadi bimbang. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Kita bukan kanak-kanak lagi, Ki Sawung Semedi. Kita tidak sekedar memenuhi keinginan yang sedang melonjak-lonjak di dalam hati. Tetapi pada setiap langkah, kita harus memperhitungkan untung ruginya. Seandainya aku harus bersusah payah ikut berusaha membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati dengan mengorbankan waktu yang seharusnya dapat aku berikan kepada keluargaku, apakah itu seimbang? Sementara kebangkitan perguruan Kedung Jati tidak lebih sekedar keinginan para cantrik dan keluarga perguruan yang telah terpecah itu untuk dapat bertemu, mengenang masa kejayaan, bergurau dan bertukar pengalaman. Kemudian setelah bersusah payah, sebulan dua bulan, perguruan yang sudah tercerai berai itu akan bercerai berai lagi.”

“Tidak. Jangan seperti itu, Nyi Lurah.”

“Jika kita berkumpul beramai-ramai tanpa tujuan apapun, bukankah itu hanya sekedar membuang-buang waktu? Sementara waktuku akan lebih berharga jika aku berikan kepada keluargaku.”

“Tentu bukannya tanpa tujuan.”

“Tujuannya apa? Sampai sekarang tidak pernah ada orang yang mengatakan kepadaku, apakah tujuan dari kebangkitan kembali perguruan ini. Jika aku diakui setiap salah seorang pemimpin, kenapa justru aku tidak tahu apa-apa?”

“Tetapi dalam pertemuan itu, kita akan dapat menetapkan satu tujuan, yang tentu saja akan berarti bagi kita semuanya.”

“Setiap orang akan dapat mengemukakan keinginan-keinginan mereka, sehingga menjadi simpang siur. Akhirnya kita tidak akan menemukan apa-apa.”

Ki Sawung Semedi menjadi bingung. Bahkan gelisah. Ada sesuatu yang menyumbat di dadanya, tetapi ia tidak dapat mengatakannya.

Sekar Mirah terdiam pula. Ia memang menunggu jawaban Ki Sawung Semedi. Tetapi nampaknya Ki Sawung Semedi itu masih merenungi jawaban yang akan dikatakannya.

Baru beberapa saat kemudian, Ki Sawung Semedi itu berkata, “Nyi Lurah. Sebenarnyalah bahwa kami bukannya tidak menyiapkan rencana yang terbaik yang dapat kami lakukan. Ki Saba Lintang telah menyusun rencana lengkap bagi perguruan kita sesudah perguruan itu bangkit. Bukan saja susunannya, kepemimpinannya dan orang-orang terpenting yang akan ikut serta memimpin perguruan itu, tetapi juga dasar dan landasan dari perguruan yang akan dibangun kembali itu. Landasannya serta tujuannya.”

“Dan kalian berharap bahwa aku, salah seorang di antara dua orang pemimpin perguruan itu, datang tanpa bahan apa-apa untuk dibicarakan? Kalian membayangkan bahwa aku akan duduk saja seperti golek kayu di depan sentong tengah?”

Ki Sawung Semedi menjadi semakin gelisah. Keringatnya mulai mengembun di keningnya.

“Nyi Lurah. Aku tidak mendapat wewenang untuk menyampaikan rencana itu kepada Nyi Lurah. Termasuk tujuan dari kebangkitan kembali dari perguruan ini.”

“Jangan katakan apa-apa jika kau memang tidak mempunyai wewenang.”

“Tetapi bagaimana dengan sikap Nyi Lurah?”

“Lalu apa yang kalian kehendaki dari aku? Apakah jika aku hadir dalam pertemuan itu, aku harus menyumbat telingaku dengan kapuk atau bahkan dengan sabut kelapa, agar aku tidak dapat mendengarnya?”

“Pertanyaan itu memang masuk akal. Tetapi justru karena suami Nyi Lurah adalah seorang Lurah Prajurit, bahkan dari Pasukan Khusus.”

“Kalian menjadi curiga bahwa aku akan menyampaikannya kepada suamiku, dan suamiku sebagai seorang prajurit akan mengambil tindakan?”

Ki Sawung Semedi mengangguk kecil.

“Sudahlah. Jangan mempersulit diri sendiri. Tinggalkan saja aku. Kalian tidak akan merasa terganggu.”

“Sudah aku katakan. Sebagian dari saudara-saudara kita menghendaki kedua orang yang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan kita untuk hadir dan memimpin pertemuan itu.”

“Kau membuat kepalaku pusing, Ki Sawung Semedi. Pertentangan yang timbul dalam keterangan-keterangan yang kau berikan membuat aku semakin tidak yakin akan keberhasilan usaha ini.”

“Maaf Nyi Lurah. Aku mohon maaf. Tetapi jika Nyi Lurah bersedia hadir, maka segala sesuatunya akan jelas.”

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Aku tidak mau kau dorong untuk meloncat ke tempat yang gelap yang tidak aku ketahui apa yang ada di dalamnya. Apalagi setelah timbul kecurigaan-kecurigaan sebelumnya. Karena itu, untuk ke sekian kalinya aku berkata, tinggalkan aku. Jangan bimbang.”

“Nyi Lurah, untuk ke sekian kalinya aku mohon, karena sebagian dari saudara-saudara kita memerlukan kehadiran Nyi Lurah,” sahut Ki Sawung Semedi.

“Kembalilah kepada Ki Saba Lintang, Ki Sawung Semedi. Bertanyalah apa maunya yang sebenarnya. Jika keinginannya masuk di akalku, aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan baru.”

“Baiklah,” jawab Ki Sawung Semedi, “aku sudah menyanggupi untuk menjadi penghubung. Meskipun aku harus berjalan hilir mudik pada jarak yang jauh, aku akan menjalaninya.”

“Aku juga mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Sawung Semedi.”

Demikianlah, maka Ki Sawung Semedi itu pun minta diri. Seperti pada kedatangannya yang terdahulu, wajah Ki Sawung Semedi nampak tetap terang. Ia sama sekali tidak menunjukkan gejolak, seandainya itu terjadi di dalam hatinya.

Sambil tersenyum orang tua itu mengangguk hormat ketika ia turun ke jalan, “Aku mohon diri.”

Sekar Mirah yang mengantarkannya sambil ke pintu regol mengangguk pula sambil berdesis, “Selamat jalan, Ki Sawung Semedi.”

“Terima kasih,” jawab Ki Sawung Semedi.

Sejenak kemudian orang itu sudah menjadi semakin jauh. Ia sama sekali tidak berpaling. Sementara itu, Sekar Mirah telah melangkah kembali ke pendapa.

Ketika Sekar Mirah ke pendapa, Rara Wulan sedang sibuk membenahi mangkuk minuman dan makanan. Dengan nada datar ia berkata, “Apalagi yang dikatakannya?”

“Aku jemu mendengarnya. Masih seperti ketika ia datang. Tetapi aku sengaja memancing agar ia berbicara tentang rencana orang-orang yang dikatakannya telah berkumpul itu.”

“Ia mau mengatakannya?”

“Ternyata Ki Sawung Semedi cukup berhati-hati. Agaknya memang ada yang ingin dikatakannya. Tetapi ia tidak mendapat wewenang untuk itu.”

“Apakah orang itu dapat dipercaya?”

“Bagaimanapun juga kita harus berhati-hati.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Aku memang memancingnya untuk datang kembali. Aku berharap bahwa semakin banyak yang dikatakannya, sehingga kita akan dapat mengintip serba sedikit, apa yang dikehendakinya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Dengan nada datar ia berkata, “Mudah-mudahan ia akan membawa keterangan yang Mbokayu kehendaki.”

“Aku ingin tahu, untuk apa sebenarnya perguruan yang sudah lama tertidur nyenyak itu harus dibangunkan kembali.”

Dengan nada datar Rara Wulan itu pun bertanya, “Bukankah itu yang ingin diketahui oleh Mataram, sebagai landasan sikap mereka terhadap perguruan yang akan dibangkitkan kembali itu?”

“Ya,” Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Ia pun kemudian melangkah masuk sambil membawa mangkuk-mangkuk minuman dan makanan.

Di sore hari, Sekar Mirah pun telah menyampaikan pembicaraannya dengan Ki Sawung Semedi kepada Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, ketika mereka duduk di serambi kanan sambil menghirup minuman hangat.

“Ternyata kita memang harus bersabar,” berkata Agung Sedayu, “mudah-mudahan mereka kembali sambil membawa keterangan itu. Namun kita pun harus bersiap menghadapi kemungkinan, bahwa apa yang dikatakan itu tidak benar.”

“Kakang,” tiba-tiba Sekar Mirah itu pun berkata dengan nada berat, “setelah aku mempertimbangkan beberapa kemungkinan, maka aku mempunyai pendapat, yang jika Kakang setujui, mungkin akan dapat membantu memperjelas persoalannya.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia sudah merasa bahwa Sekar Mirah tentu ingin menempuh jalan yang cukup berbahaya.

Meskipun demikian Agung Sedayu itu pun bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?”

“Bagaimana pendapat Kakang, jika aku bersedia datang ke pertemuan yang akan diselenggarakan di ujung Kali Geduwang itu?”

Yang dengan serta-merta menyahut adalah Glagah Putih, “Itu akan dapat membahayakan keselamatan Mbokayu.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi nampaknya ia sudah memikirkannya masak-masak. Katanya, “Tanpa masuk ke dalam lingkungan itu, sulit bagi kita untuk dapat mengetahuinya. Mungkin Ki Sawung Semedi akan mengatakannya. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu, yang dikatakan oleh Ki Sawung Semedi itu mungkin tidak benar.”

“Tetapi bahayanya akan besar sekali, Nyi Lurah,” desis Ki Jayaraga.

“Kita tidak mempunyai cara lain,” sahut Sekar Mirah.

“Kita akan dapat mengambil cara yang sedikit kasar,” berkata Ki Jayaraga.

“Cara apa?” bertanya Sekar Mirah.

“Kita berusaha untuk dapat menangkap salah seorang diri mereka yang ikut dalam pertemuan di ujung Kali Geduwang itu,” jawab Ki Jayaraga.

“Tetapi dengan demikian, maka mereka akan menjadi lebih berhati-hati. Jika mereka sadar bahwa salah seorang dari mereka hilang, maka gerakan mereka selanjutnya akan lebih sulit untuk dilacak,” sahut Sekar Mirah.

Ki Jayaraga mengangguk kecil. Namun kemudian ia berkata, “Nyi Lurah. Kita akan bekerja keras untuk dapat mengungkap niat mereka yang sebenarnya. Tetapi tidak dengan cara yang sangat berbahaya. Jika Nyi Lurah masuk ke dalamnya, maka akan sulit bagi Nyi Lurah untuk dapat keluar lagi. Mereka tahu bahwa suami Nyi Lurah adalah pemimpin prajurit dari Pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan.”

“Tetapi apakah mereka akan melakukan kekerasan terhadapku? Jika demikian, maka mereka telah membuka permusuhan terbuka dengan Kakang Agung Sedayu, yang mereka ketahui dapat mengarahkan prajurit dari Pasukan Khusus untuk menindak mereka.”

“Nampaknya maksud mereka mengharap kehadiran Sekar Mirah sekarang sudah kabur,” berkata Agung Sedayu, “semula niat mereka tentu hanya untuk memiliki tongkat baja putih itu. Mereka yakin bahwa Nyi Dwani akan dapat mengalahkan Sekar Mirah. Tetapi mereka mempergunakan cara yang licik. Mereka dengan sengaja menimbulkan suasana yang keruh sehingga bermuara pada satu perang tanding. Tetapi usaha mereka gagal. Nyi Dwani tidak dapat mengalahkan Sekar Mirah. Sekarang, mereka agaknya telah menyusun rencana baru yang masih belum dapat kita tebak.”

“Karena itu, maka biarlah aku memasuki lingkungan mereka, Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Itu tentu sangat berbahaya. Jika mereka tidak mempunyai niat tertentu dengan kedatanganmu, mereka tidak akan mengundangmu, karena mereka tahu bahwa suamimu adalah seorang prajurit.”

“Kakang. Setiap langkah mengandung kemungkinan untuk terantuk batu. Sebaiknya kita harus berani mengambil langkah, meskipun kemungkinan buruk itu dapat terjadi.”

Agung Sedayu menjadi tegang. Sebagai seorang prajurit, ia dapat melihat langkah-langkah yang memungkinkan untuk dapat menyadap tujuan orang-orang yang berusaha membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati, meskipun tidak mustahil bahwa undangan itu tidak lebih dari satu jebakan saja. Tetapi sebagai seorang suami. Agung Sedayu memang merasa berkeberatan untuk melepaskan istrinya menempuh jalan yang sangat berbahaya itu.

Ki Jayaraga pun menggeleng sambil berdesis, “Sebaiknya kita memilih jalan lain.”

Tetapi Sekar Mirah pun berkata, “Ki Jayaraga. Setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk mengabdi. Sekarang aku mendapat kesempatan itu. Aku akan melakukannya. Tetapi tentu saja aku mohon perlindungan Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, sejauh dapat kalian lakukan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Beri aku waktu, Sekar Mirah. Aku akan mempertimbangkan. Bahkan mungkin saja ditemukan cara lain yang tidak terlalu berbahaya.”

“Pada satu hari, Ki Sawung Semedi itu akan datang. Pada saat itulah aku harus memberikan jawaban yang pasti kepadanya.”

“Tetapi tentu tidak besok. Mungkin sepekan, dua pekan lagi.”

“Agaknya tidak terlalu lama Kakang. Menurut Ki Sawung Semedi, beberapa orang sudah berkumpul di ujung Kali Geduwang. Karena itu, maka ia tentu akan segera kembali.”

“Tetapi bukankah kita dapat memperhitungkan perjalanan orang itu, Mirah? Kita tahu bahwa ujung Kali Geduwang itu berada di sisi selatan kaki Gunung Kukusan. Sementara itu, agaknya Ki Sawung Semedi itu hanya berjalan kaki. Bukankah ia tidak membawa seekor kuda ketika ia datang kemari?”

“Ketika ia datang kemari, ia memang tidak membawa seekor kuda. Tetapi kita tidak tahu apakah ia membawa seekor kuda tetapi ditinggalkan di satu tempat, ditunggui oleh seseorang.”

“Memang mungkin sekali,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “bahkan mungkin sekali Ki Sawung Semedi tidak harus kembali lebih dahulu ke kaki Gunung Kukusan, tetapi ia sekedar menemui kawannya yang dapat diajak membuat pertimbangan-pertimbangan.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Karena itu, maka kita harus membuat pertimbangan yang masak sebelum kita mengambil langkah.”

“Tetapi aku minta pendapatku dipertimbangkan,” berkata Sekar Mirah kemudian. “Aku tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku berharap jika Ki Sawung Semedi datang lagi, maka aku berharap akan dapat menyanggupinya, datang ke ujung Kali Geduwang di kaki Gunung Kukusan.”

“Tetapi Mbokayu pernah mengatakan bahwa Mbokayu tidak akan pernah mengubah keputusan Mbokayu.”

“Dengan pertimbangan terakhir, maka aku kira aku memang harus mengubah keputusan itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok aku akan mengambil keputusan. Malam ini aku ingin berbicara dengan Ki Jayaraga dan Glagah Putih. Kemudian besok aku akan berbicara dengan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus di barak untuk dapat menentukan sikap. Besok sore aku akan mengatakan kepadamu, keputusanku itu.”

Sekar Mirah mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih Kakang. Aku berharap bahwa Kakang dapat mendukung sikapku ini. Jika dengan demikian aku dapat memberikan sedikit keterangan untuk melengkapi keterangan yang diperoleh para prajurit sandi, maka aku akan mendapat kepuasan tersendiri.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi memang sangat berat baginya untuk menyetujui keinginan Sekar Mirah untuk mengabdikan diri dengan caranya itu.

Dengan demikian, maka pembicaraan mereka pun terhenti. Sekar Mirah telah mengajak Rara Wulan untuk pergi ke dapur. Sementara itu, malam pun mulai turun. Lampu minyak segera dinyalakan di mana-mana.

Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih duduk di pringgitan. Ketika Sukra memasang lampu di pringgitan, ia sempat menggamit Glagah Putih sambil berbisik, “Lampu di gandok masih belum dinyalakan.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tolong, nyalakan sekalian. Aku masih akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu.”

Sukra tidak menjawab. Ia sempat memandang Agung Sedayu sekilas. Tetapi Agung Sedayu itu tidak sedang memperhatikannya.

Sukra pun kemudian telah meninggalkan serambi setelah lampu di serambi itu menyala. Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih berbicara tentang maksud Sekar Mirah memasuki lingkungan perguruannya, yang sebenarnya belum pernah dihayatinya sebagai satu lingkungan yang pernah membesarkannya dalam olah kanuragan.

Namun ternyata sebagaimana Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih merasa berkeberatan untuk melepaskan Sekar Mirah, meskipun seandainya dengan diam-diam mereka mengikutinya. Tetapi karena mereka belum mengetahui lingkungan yang akan dipergunakan untuk menyelenggarakan pertemuan itu, maka sulit bagi mereka untuk menggambarkan, perlindungan yang bagaimanakah yang dapat mereka berikan kepada Sekar Mirah itu.

Meskipun Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak menyangsikan lagi kemampuan Sekar Mirah, namun ia akan berhadapan dengan beberapa orang berilmu tinggi.

“Sebaiknya Ki Lurah tidak mengijinkannya,” berkata Ki Jayaraga

“Sekar Mirah adalah seorang yang keras hati,” desis Agung Sedayu, “mudah-mudahan ia dapat mengerti.”

Glagah Putih yang juga mengenal sifat-sifat Sekar Mirah, termangu-mangu sejenak. Bahkan hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Mbokayu Sekar Mirah ingin memberikan arti dari hidupnya bagi Mataram.”

“Ya,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang prajurit, ia mengerti arti pengorbanan bagi satu pengabdian. Tetapi apakah pengorbanan yang siap diberikan oleh Sekar Mirah itu dalam keadaan yang paling buruk, akan memberikan arti yang seimbang?

Namun akhirnya, sesuai dengan pendapat Ki Jayaraga dan Glagah Putih, Agung Sedayu ingin mencegah agar Sekar Mirah tidak datang ke pertemuan yang akan dapat menyulitkan keadaannya itu. Agung Sedayu berharap agar Sekar Mirah membuat pertimbangan-pertimbangan yang lebih mendalam tentang niatnya untuk pergi ke ujung Kali Geduwang.

Sebenarnya Agung Sedayu pun pernah memikirkan kemungkinan seperti yang dimaksud oleh Sekar Mirah itu. Namun Sekar Mirah harus mendapat perlindungan yang cukup dari beberapa orang berilmu, serta sekelompok prajurit yang dengan diam-diam mendekati tempat pertemuan itu. Namun dengan demikian, kehadiran orang-orang berilmu yang menyertai Sekar Mirah akan mengekang setiap pembicaraan di dalam pertemuan itu, sehingga tujuan mereka yang sebenarnya juga tidak akan terungkap.

“Seandainya aku berpura-pura menyatakan diri mendukung kesediaan Sekar Mirah untuk menjadi salah seorang pemimpin dari perguruan Kedung Jati yang akan dibangkitkan lagi itu, apakah mereka dapat mempercayaiku?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Namun akhirnya Agung Sedayu berpendapat bahwa sebaiknya Sekar Mirah tidak pergi ke ujung Kali Geduwang.

“Tidak akan banyak keterangan yang akan dapat disadap dari sana,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “bagaimanapun juga Sekar Mirah adalah istri seorang Lurah prajurit Mataram.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “besok setelah aku pulang dari barak, aku akan menyampaikannya kepada Sekar Mirah. Aku kira orang yang menyebut dirinya Sawung Semedi itu masih belum akan datang esok pagi.”

Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka di pagi hari berikutnya Agung Sedayu masih belum menyinggung persoalan pertemuan antara orang-orang yang ingin membangkitkan kembali perguruan yang sudah pecah itu. Sekar Mirah pun tidak mendesak suaminya. Ia mengerti bahwa Agung Sedayu harus segera pergi ke barak. Jika ia membuka pembicaraan tentang niatnya pergi ke Kali Geduwang, maka pembicaraan itu akan dapat menjadi panjang.

Karena itu, maka Sekar Mirah harus bersabar, menunggu suaminya itu pulang.

Di baraknya, Agung Sedayu lebih banyak merenung. Ia masih dicengkam oleh persoalan yang menyangkut niat Sekar Mirah untuk menghadiri pertemuan itu, agar ia dapat mengetahui niat dan tujuan dari mereka yang dengan sungguh-sungguh ingin berusaha untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati itu.

“Tidak,” Agung Sedayu itu pun berkata kepada diri sendiri, “sebaiknya Sekar Mirah memang tidak pergi.”

Namun yang terjadi adalah di luar kehendak Agung Sedayu. Bahkan di luar kehendak Sekar Mirah, Ki Jayaraga, apalagi Glagah Putih.

Ketika Sekar Mirah sedang sibuk di dapur, tiba-tiba saja seorang gadis datang berlari-lari menemuinya.

“Nyi Lurah,” berkata gadis itu gagap.

“Apa? Ada apa?” bertanya Sekar Mirah, “tenanglah. Katakan apa yang terjadi.”

“Wulan,” suaranya bagaikan tercekik di kerongkongan.

“Kenapa dengan Rara Wulan?”

“Tadi, tadi kami berbelanja ke pasar bersama-sama.”

“Lalu?” hati Sekar Mirah mulai berdebar.

“Dua orang telah menangkapnya ketika kami berjalan di bulak sebelah.”

“Ditangkap?” wajah Sekar Mirah menjadi tegang. “Rara Wulan membiarkan dirinya ditangkap?”

“Wulan mencoba melawan. Tetapi kedua orang itu lebih kuat dan membuat Rara Wulan tidak berdaya.”

“Apakah jalan itu sepi? Apakah tidak ada orang laki-laki yang lewat, yang dapat membantu Rara Wulan?”

“Orang-orang itu membawa pedang. Seorang membawa sepotong besi. Seorang laki-laki yang mencoba menolong telah dilukai dengan pedang itu sehingga luka parah. Yang lain di pukul dengan tongkat besi itu sehingga tulang kakinya retak.”

“Di mana Rara Wulan sekarang?”

“Rara Wulan telah dibuatnya pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tetapi Rara Wulan pun kemudian telah dibawa pergi. Ternyata kedua orang itu membawa dua ekor kuda.”

“Rara Wulan dilarikan dengan kuda itu?”

“Ya.”

Jantung Sekar Mirah bagaikan membara. Tetapi ia tidak kehilangan akal. Ia tahu bahwa tidak mungkin baginya untuk berusaha mengejar Rara Wulan yang dibawa oleh dua orang berkuda. Jaraknya tentu sudah terlalu jauh. Tetapi Sekar Mirah pun harus berbuat sesuatu yang cepat.

“Terima kasih,” berkata Sekar Mirah kepada gadis itu, “kami akan mencarinya.”

Demikian gadis itu minta diri, maka Sekar Mirah pun segera memanggil Sukra. Katanya, “Pergilah ke sawah. Minta Ki Jayaraga pulang segera. Kemudian kau cari Glagah Putih. Jika ia tidak ada di banjar, maka ia berada di rumah Ki Gede. Jika ia pergi ke padukuhan lain, kau minta tolong salah seorang pengawal untuk memanggilnya segera. Ada satu hal yang penting.”

Sukra tidak bertanya lagi. Ia mendengar bahwa gadis yang baru saja datang itu memberitahukan bahwa Rara Wulan telah diculik orang.

Karena itu, maka Sukra pun ingin cepat memberitahukannya kepada Ki Jayaraga, yang sudah pergi ke sawah.

Dengan kencangnya Sukra berlari menyusuri jalan padukuhan. Kemudian mengambil jalan pintas, meniti pematang dan tanggul-tanggul parit.

Sukra sama sekali tidak menghiraukan ketika seorang kawannya bertanya, “Sukra! Kau mau ke mana?”

Sukra justru berlari semakin kencang.

Ketika ia melihat Ki Jayaraga yang sedang menyiangi tanaman, meskipun masih agak jauh, Sukra itu sudah berteriak, “Ki Jayaraga! Ki Jayaraga!”

Ki Jayaraga mengangkat wajahnya. Dilihatnya Sukra berlari-lari menyusuri pematang. Bahkan demikian tergesa-gesa, anak itu telah tergelincir dan jatuh ke dalam lumpur.

Namun dengan cepat anak itu bangkit dan berlari lagi mendekati Ki Jayaraga yang termangu-mangu.

“Ada apa?” bertanya Ki Jayaraga yang menjadi berdebar-debar. Ingatannya langsung tertuju kepada Ki Sawung Semedi. Karena itu, maka Ki Jayaraga itu pun segera menepi.

“Ada apa?” Ki Jayaraga bertanya lagi.

“Rara Wulan,” nafas Sukra menjadi kembang kempis.

“Kenapa dengan Rara Wulan?”

Sukra mencoba mengatur pernafasannya. Serba sedikit ia sudah berlatih, sehingga karena itu maka sejenak kemudian nafasnya pun telah menjadi lebih teratur. “Ki Jayaraga. Rara Wulan telah diculik orang.”

“He?” jantung Ki Jayaraga bagaikan telah tersentuh api, “Bagaimana hal itu dapat terjadi?”

“Silakan pulang. Nyi Lurah kebingungan sendiri di rumah.”

“Baik. Aku akan segera pulang.”

“Aku akan mencari Glagah Putih.”

Sukra tidak menunggu jawaban Ki Jayaraga. Ia pun segera berlari kembali ke padukuhan untuk mencari Glagah Putih di banjar atau di rumah Ki Gede, atau di mana saja.

Sepeninggal Sukra, Ki Jayaraga pun segera memakai bajunya. Ia tidak sempat membersihkan kakinya di pancuran. Sambil memanggul cangkulnya, ia pun berjalan tergesa-gesa pulang.

Demikian ia sampai di rumah, ia melihat Sekar Mirah sudah memakai pakaian khususnya. Di tangannya tergenggam tongkat baja putihnya. Namun Sekar Mirah belum tahu, apa yang akan dilakukannya.

Meskipun Sekar Mirah seorang perempuan yang memiliki banyak kelebihan dari perempuan-perempuan yang lain, bahkan kemampuannya tidak akan kalah dari kemampuan seorang laki-laki yang berilmu sekali pun, namun di ujung matanya nampak titik-titik air, yang kemudian meleleh di pipinya yang menjadi kemerah-merahan.

“Ki Jayaraga,” Sekar Mirah pun melangkah menyongsong Ki Jayaraga yang naik ke pendapa, “Rara Wulan diculik orang.”

“Tenanglah, Nyi Lurah. Duduklah.”

“Kita tidak dapat membiarkannya.”

“Aku sependapat. Tetapi bukankah kita harus memperhitungkan banyak kemungkinan yang terjadi?”

“Aku pasti bahwa Rara Wulan tentu diambil Ki Sawung Semedi atau Ki Saba Lintang. Salah seorang dari dua orang yang mengambil Rara Wulan itu bersenjata sepotong besi. Mungkin yang dimaksud oleh gadis yang pergi bersama Rara Wulan itu adalah tongkat baja putih. Sedangkan yang mempunyai tongkat baja putih adalah Ki Saba Lintang.”

“Nyi Lurah jangan mengambil langkah-langkah lebih dahulu. Biarlah aku pergi ke barak.”

Sekar Mirah mengangguk.

Tetapi sebelum Ki Jayaraga pergi ke kandang kuda, Glagah Putih dan dua orang pengawal dengan tergesa-gesa memasuki regol halaman. Bahkan Glagah Putih pun kemudian berlari-lari kecil langsung naik ke pendapa.

“Apa yang terjadi Mbokayu?” bertanya Glagah Putih.

Sekar Mirah yang berdiri di pringgitan segera menyongsongnya, “Sukra sudah mengatakannya?”

“Aku belum bertemu dengan Sukra.”

“Jadi?”

“Ada beberapa orang terluka. Para pengawal sedang mengurus mereka. Mereka mengatakan, bahwa Rara Wulan telah diculik orang. Tetapi beberapa orang laki-laki yang berusaha menolongnya tidak berhasil.”

“Ya. Aku mendengar dari seorang gadis yang pergi ke pasar bersama Rara Wulan.”

“Jadi berita itu benar?”

“Menurut pendapatku, mereka tidak berbohong.”

“Jika demikian kita harus menyusulnya.”

“Ke mana? Kita harus memperhitungkan langkah-langkah kita.”

“Ke ujung Kali Geduwang.”

“Sebaiknya kita menunggu Ki Lurah, Glagah Putih,” desis Ki Jayaraga, “aku baru saja akan melangkah ke kandang ketika kau datang.”

“Jika demikian, biarlah aku saja yang pergi ke barak prajurit itu menyusul Kakang Agung Sedayu.”

“Pergilah. Tetapi hati-hati. Jangan terlalu kencang. Mungkin kau sendiri tidak apa-apa. Tetapi justru berbahaya bagi orang lain.”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Baik, Ki Jayaraga. Aku akan berhati-hati.”

Demikianlah, Glagah Putih pun segera pergi ke kandang. Kepada para pengawal yang datang bersamanya, ia pun minta agar mereka tetap berada di rumah itu. Mungkin Sekar Mirah perlu bantuan mereka.

Sejenak kemudian, Glagah Putih pun telah melarikan kudanya menuju ke barak Pasukan Khusus.

Sukra yang melihat Glagah Putih memacu kudanya itu pun tanggap, bahwa Glagah Putih tentu pergi ke barak Ki Lurah Agung Sedayu.

Kedatangan Glagah Putih yang nampak tergesa-gesa itu mengejutkan Agung Sedayu. Semula ia mengira bahwa Sekar Mirah telah berangkat tanpa menunggunya, karena Sekar Mirah tentu mengira bahwa Agung Sedayu akan melarangnya.

Namun ternyata dugaan Agung Sedayu keliru. Tetapi Agung Sedayu tidak kalah terkejut, ketika ia mendengar Rara Wulan telah diculik orang.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera bersiap untuk pulang. Diserahkannya pimpinan barak itu kepada seorang prajurit yang dipercayanya.

“Jika besok aku tidak datang, perintahkan salah seorang pergi ke rumahku. Mungkin aku perlu menyampaikan pesan.”

“Baik, Ki Lurah,” jawab prajurit itu.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah berpacu menyusuri jalan pulang.

Sekar Mirah tidak dapat menahan tangisnya ketika Agung Sedayu datang. Meskipun ia masih juga menggenggam tongkat baja putihnya, tetapi air matanya mengalir semakin deras dari kedua belah matanya.

“Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi ke pasar.”

“Sudahlah Mirah. Kita tidak memperhitungkan bahwa mereka ternyata sangat licik.”

“Lalu apa yang dapat kita lakukan sekarang, Kakang?”

“Kita akan pergi ke ujung Kali Geduwang. Kita tidak tahu apakah Rara Wulan dibawa ke sana. Tetapi satu-satunya tempat yang kita kenal adalah ujung Kali Geduwang itu. Kita akan mencari rumah Empu Wisanata. Mungkin kita akan mempergunakan kekerasan untuk memaksa mereka menunjukkan di mana Rara Wulan disembunyikan.”

“Kita akan berangkat sekarang,” berkata Sekar Mirah kemudian.

“Kita akan singgah di Mataram. Kita akan memberikan laporan apa yang telah terjadi dengan Rara Wulan.”

Sekar Mirah pun mengangguk-angguk.

“Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu, “siapkan kuda-kuda kita. Kita tidak boleh membuang-buang waktu. Kita akan pergi ke ujung Kali Geduwang. Tetapi kita akan singgah di Mataram sebentar. Mungkin ada sesuatu yang dapat kita jadikan petunjuk.”

Tetapi sebelum mereka berangkat, mereka terkejut ketika mereka melihat seseorang penunggang kuda memasuki regol halaman rumah Agung Sedayu tanpa turun dari kudanya. Bahkan orang berkuda itu masih tetap duduk di punggung kudanya ketika kudanya sudah berdiri di depan tangga pendapa.

Agung Sedayu melangkah menuruni tangga, diikuti oleh Glagah Putih. Dipandanginya orang yang duduk di punggung kuda di punggung kuda dengan wajah tengadah itu.

“Siapa kau dan apa maksudmu datang kemari?” bertanya Agung Sedayu.

Orang itu tersenyum. Katanya, “Kau kehilangan anggota keluargamu?”

Glagah Putih melangkah maju. Namun Agung Sedayu menahannya.

“Kau tentu salah seorang dari mereka,” geram Glagah Putih.

Orang itu tertawa. Katanya, “Ya. Aku salah seorang dari mereka.”

“Di mana Rara Wulan sekarang?” geram Glagah Putih.

“Gadis itu dalam keadaan baik. Kau tidak usah cemas.”

“Aku bunuh kau!” hampir saja Glagah Putih meloncat. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menahannya

“Kalian dapat saja membunuh aku sekarang. Tetapi jika aku tidak kembali kepada pemimpinku, maka Rara Wulan pun akan mengalami nasib buruk.”

“Kalian ternyata sangat licik.”

“Ya. Kami memang licik. Tetapi hanya dengan cara seperti ini kami akan dapat mencapai cita-cita kami.”

“Apakah yang kalian kehendaki, sehingga kalian telah menculik Rara Wulan?” bertanya Agung Sedayu.

Orang itu memandang Agung Sedayu dengan tatapan mata yang membayangkan kemenangan. Katanya, “Kaukah Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Ya. Aku Agung Sedayu.”

“Bagus. Ki Lurah. Ki Saba Lintang bersedia mengembalikan Rara Wulan segera. Tetapi Rara Wulan harus ditukar dengan tongkat baja putih Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Iblis yang licik,” geram Sekar Mirah sambil melangkah maju.

“Terserah kepada Nyi Lurah, apakah Nyi Lurah berkenan atau tidak. Jika Nyi Lurah berkeberatan menyerahkan tongkat baja putih itu, maka Rara Wulan untuk selamanya tidak akan pernah kembali kemari. Ayah dan ibunya tentu akan menyalahkan Ki Lurah dan Nyi Lurah.”

Suasana yang tegang telah mencengkam orang-orang yang berada di pendapa itu. Sedangkan orang yang masih duduk di punggung kudanya itu memandang mereka seorang demi seorang sambil tersenyum. Katanya kemudian, “Ingat. Rara Wulan ada di tangan kami. Banyak hal yang dapat terjadi atasnya. Ia dapat saja mendapat perlakuan yang baik. Tetapi dapat pula sebaliknya. Semuanya itu tergantung kepada kebijaksanaan kalian.”

Terdengar gigi Glagah Putih gemeretak. Namun ia sadar, jika ia terdorong untuk mengambil tindakan terhadap orang itu, maka nasib Rara Wulan tentu akan menjadi semakin buruk. Satu-satunya jalan termudah untuk melepaskan Rara Wulan adalah menyerahkan tongkat baja putih milik Sekar Mirah.

“Tetapi apakah Mbokayu Sekar Mirah mengijinkan?”

Sementara mereka dicengkam ketegangan, orang berkuda itu pun berkata, “Aku tidak minta keputusan kalian sekarang. Ki Saba Lintang memberikan waktu sepekan. Sepekan lagi aku akan datang untuk mengambil tongkat baja putih itu. Jika sepekan lagi Nyi Lurah masih merasa keberatan, maka kami dapat berbuat apa saja atas Rara Wulan. Sebenarnya aku sendiri berharap agar Nyi Lurah tidak bersedia menyerahkan tongkat itu, agar kami tidak usah menyerahkan kembali Rara Wulan.”

“Gila!” geram Glagah Putih, “Aku tantang siapapun di antara kalian untuk berperang tanding!”

Tetapi orang itu tertawa berkepanjangan, sehingga hampir saja Glagah Putih kehilangan kendali. Sambil tertawa orang itu berkata, “Perang tanding bukan penyelesaian yang adil menurut kami. Bagi kami, yang adil adalah kesempatan untuk mempergunakan otak kami. Kami tidak berkeberatan disebut licik, curang, tidak mempunyai harga diri, atau kata apapun yang paling buruk yang dapat kalian lontarkan kepada kami.”

Jantung Glagah Putih bagaikan membara melihat sikap dan mendengar kata-kata orang itu. Namun Glagah Putih masih harus tetap mengendalikan dirinya.

Beberapa saat kemudian, orang itu pun berkata lantang, “Aku akan pergi. Ingat, sepekan lagi aku akan datang lagi ke tempat ini untuk mengambil tongkat baja putih itu. Atau jika tidak, kami akan membawa Rara Wulan ke tempat yang tidak akan pernah kalian bayangkan.”

Ternyata orang itu tidak menunggu jawaban. Dengan cepat ia menggerakkan kendali kudanya. Kudanya pun seakan-akan tanggap, sehingga kuda itu pun segera meloncat dan berlari keluar dari halaman rumah Agung Sedayu itu.

Yang terdengar kemudian adalah gemeretak gigi Glagah Putih.

Namun mereka pun dikejutkan oleh sikap Sekar Mirah. Sekar Mirah itu pun kemudian terduduk di tangga pendapa itu. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya. Agaknya Sekar Mirah tidak dapat membendung lagi gejolak yang mengguncang dadanya, sehingga tangisnya pun seakan-akan telah meledak.

“Mirah,” Agung Sedayu pun kemudian duduk di sampingnya. Ia tahu betapa ketegangan telah mencengkamnya. Tongkat baja putihnya adalah semacam pertanda keberadaannya di dalam dunia olah kanuragan. Namun Sekar Mirah tentu tidak akan dapat membiarkan Rara Wulan mengalami nasib yang sangat buruk. Sekar Mirah pun harus memikirkan perasaan Glagah Putih. Anak muda itu tentu merasa berdiri di persimpangan jalan. Ia tidak akan dapat memaksa Sekar Mirah menyerahkan tongkat baja putihnya. Tetapi anak muda itu tentu tidak mau membiarkan Rara Wulan mengalami nasib yang lebih buruk daripada mati.

Namun adalah di luar dugaan, bahwa Glagah Putih melangkah mendekatinya sambil berdesis, “Mbokayu tidak usah menyerahkan tongkat baja putih itu. Kita akan menemukan Rara Wulan dengan cara yang lain. Setidak-tidaknya kita mempunyai waktu lima hari.”

“Aku tidak akan sampai hati membiarkan Rara Wulan di tangan mereka.”

“Kita akan mencarinya, Mbokayu.”

Sekar Mirah masih terisak. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan pergi ke ujung Kali Geduwang. Mungkin Rara Wulan masih belum sampai ke sana. Tetapi jika benar kita menemukan rumah Empu Wisanata, maka kita akan menunggu di sekitar rumah itu.” 

Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Dalam pada itu. Agung Sedayu pun berkata, “Marilah. Kita segera bersiap. Kita masih akan singgah di Mataram.”

Sementara yang lain bersiap, ternyata Agung Sedayu sempat menemui Ki Gede untuk minta diri. Namun Agung Sedayu minta Ki Gede merahasiakan rencananya. Demikian pula Glagah Putih yang berbicara dengan Prastawa.

Demikianlah, sejenak kemudian segala sesuatunya sudah bersiap. Glagah Putih minta kepada dua orang pengawal untuk sekali-sekali melihat rumah itu, serta menitipkan Sukra yang akan kesepian di rumah sendiri.

“Kami akan pergi,” berkata Glagah Putih, “kalian tidak usah menceritakan rencana-rencana kami yang sempat kalian dengar, untuk membantu kelancaran usaha kami. Aku yakin kalian mengerti maksudku itu.”

Pengawal itu mengangguk. Mereka memang menyadari bahwa rencana kepergian mereka serta arahnya, sebaiknya tidak diketahui oleh banyak orang.

Sukra yang menyadari bahwa dirinya akan ditinggal sendiri memang menjadi gelisah. Tetapi ia tidak dapat mengelak. Ia tahu bahwa seisi rumah itu memang harus pergi, jika mereka tidak mau kehilangan Rara Wulan.

Dalam pada itu, kuda-kuda pun telah dipersiapkan. Namun mereka sepakat bahwa di Mataram nanti, mereka masih akan minta hilangnya Rara Wulan untuk dirahasiakan. Mereka berharap orang tua Rara Wulan yang menjadi semakin tua itu untuk tidak mendengarnya lebih dahulu. Agung Sedayu ingin membebaskan Rara Wulan, sebelum keluarga Rara Wulan mengetahui bahwa Rara Wulan pernah diculik orang.

Di Mataram, mereka langsung menghadap Ki Patih Mandaraka untuk menyampaikan rencana mereka langsung pergi ke ujung Kali Geduwang.

Adalah kebetulan bahwa Ki Patih tidak sedang pergi. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera dapat menghadap. Bahkan bukan hanya Agung Sedayu sajalah yang diterima oleh Ki Patih, tetapi juga Glagah Putih, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.

Ki Patih mendengarkan laporan Agung Sedayu dengan seksama. Sambil mengangguk-angguk Ki Patih itu pun kemudian berkata, “Apakah kalian memerlukan bantuan?”

“Biarlah kami mencoba mengatasinya, Ki Patih. Namun jika perlu, kami akan mohon diperkenankan menghubungi Kakang Untara.”

“Baik. Untara tentu akan bersedia membantumu.”

“Apakah kami diperkenankan berhubungan dengan Ki Tumenggung Wirayuda?”

“Tentu. Supaya tidak terjadi salah paham dengan para prajurit sandi.” Bahkan Ki Patih pun kemudian berkata, “Biarlah Ki Tumenggung Wirayuda dipanggil kemari.”

“Terima kasih, Ki Patih,” Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam.

Namun dalam pada itu, sambil menunggu Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu mohon agar orang tua Rara Wulan, termasuk Ki Lurah Branjangan, untuk tidak diberi tahu lebih dahulu.

“Kami akan berusaha secepatnya mengambil Rara Wulan.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika mereka mendengar, mereka tentu akan menjadi sangat gelisah.”

“Jika mereka mengambil langkah-langkah sendiri, maka persoalannya akan menjadi semakin rumit,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wirayuda pun telah datang pula ke Kepatihan. Sebagaimana dilaporkan kepada Ki Patih, maka Agung Sedayu pun telah memberitahukan rencananya untuk mencari Rara Wulan.

“Aku mohon agar tidak terjadi salah paham dengan para prajurit sandi.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.

“Aku mohon untuk sementara para prajurit sandi untuk tidak menurunkan orang-orangnya dalam persoalan ini,” jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung Wirayuda menarik nafas panjang. Ketika ia memandang wajah Ki Patih Mandaraka, maka Ki Patih itu justru tersenyum, “Sebaiknya memang demikian. Ki Tumenggung.”

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk hormat sambil menjawab, “Baiklah. Ki Patih. Untuk sementara prajurit sandi tidak akan turun dalam persoalan ini. Untuk sementara para prajurit sandi hanya akan mengamati keadaan, apakah ada gerakan-gerakan yang mencurigakan dari orang-orang yang berniat membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati itu.”

“Terima kasih, Ki Tumenggung,” desis Agung Sedayu.

“Tetapi kami memerlukan laporan lengkap hasil dari usaha kalian, Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda.

“Baik, Ki Tumenggung. Berhasil atau tidak berhasil, kami akan memberikan laporan.”

“Kapan kalian akan mencari Rara Wulan?”

“Hari ini,” jawab Agung Sedayu.

“Kenapa tidak besok?”

“Kami tidak mau kehilangan waktu.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun segera minta diri. Kepada Ki Tumenggung Wirayuda, Agung Sedayu juga berpesan agar orang tua Rara Wulan tidak mengetahui bahwa anaknya telah diculik orang.

“Aku tidak ingin keluarga Rara Wulan menjadi sangat gelisah,” berkata Agung Sedayu.

“Baiklah,” Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika kalian tidak berhasil, orang tuanya justru harus segera mengetahuinya.”

“Kami minta waktu sekitar sepekan,” jawab Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, sebelum Agung Sedayu meninggalkan Kepatihan, Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Jika kau memang akan pergi ke ujung Kali Geduwang, maka sebaiknya kalian tinggalkan kuda kalian sebelum kalian memanjat kaki Gunung Kukusan.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Sementara itu, Ki Patih berkata selanjutnya, “Kau tidak akan dapat membawa kuda kalian. Bahkan kuda kalian hanya akan menjadi beban.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Kegelisahan dan ketergesa-gesaan membuatnya tidak sempat memikirkan kemungkinan itu.

“Tetapi kepada siapa kuda-kuda itu harus kami titipkan? Sedangkan tanpa kuda, kami akan banyak kehilangan waktu.”

“Sebaiknya kau lewati sebuah padukuhan yang bernama Jatisrana.”

Dengan nada rendah Agung Sedayu berdesis, “Jatisrana?”

“Ya. Jatisrana. Kau dapat menitipkan kudamu di padukuhan itu. Jika kalian bawa kuda kalian, maka kalian tidak akan dapat menyusup ke celah-celah yang rumit. Sedangkan agaknya kau perlu melakukannya, justru karena kalian mencari seseorang yang tersembunyi.”

“Ya, Ki Patih. Tetapi aku belum mengenal orang-orang Jatisrana. Apakah orang-orang Jatisrana dapat dipercaya dan tidak akan menyulitkan pekerjaan kami?”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Pergilah ke padukuhan Jatisrana. Temui orang yang bernama Ki Wijil. Seorang petani biasa. Hidupnya pun sederhana.”

“Ki Wijil?” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Ya. Namanya Ki Wijil. Meskipun ia seorang yang sederhana, tetapi ia memiliki cakrawala yang luas. Katakan, bahwa kau datang kepadanya atas petunjukku.”

“Apakah Ki Wijil mempercayaiku?” bertanya Agung Sedayu

Ki Patih merenung sejenak. Namun kemudian katanya sambil menepuk bahu Agung Sedayu, “Katakan, bahwa kau datang dari celah-celah bukit berpasir.”

“Celah-celah bukit berpasir?” ulang Agung Sedayu.

“Ki Wijil mengenal nama panggilanku, Podang Mas. Jika menyebutnya, maka ia akan percaya bahwa kau memang datang atas petunjukku.”

“Podang Mas dari bukit berpasir.”

“Bagus,” desis Ki Patih Mandaraka, yang kemudian memberi ancar-ancar letak padukuhan itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu bersama Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Sekar Mirah telah meninggalkan Kepatihan.

Ki Patih Mandaraka yang berdiri di tangga pendapa Kepatihan berdesis, “Kasihan. Ki Lurah itu tentu menjadi sangat cemas. Rara Wulan itu memang menjadi tanggung jawabnya.”

“Ki Lurah adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Mudah-mudahan ia berhasil menemukan anak itu.”

“Mudah-mudahan. Aku berharap Ki Wijil akan membantunya, setelah ia tahu bahwa Agung Sedayu datang karena petunjukku.”

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Namun ia menjadi semakin yakin bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu tidak terlibat langsung dengan rencana kebangkitan kembali perguruan Kedung Jati.

Dalam pada itu , Agung Sedayu berempat telah memacu kudanya. Agung Sedayu ingin singgah di Jati Anom untuk memberitahukan kepada Untara, bahwa bersama beberapa orang ia sedang mencari Rara Wulan.

Ketika mereka berempat sampai di Jati Anom, langit pun telah menjadi suram. Lampu minyak sudah dinyalakan di barak prajurit Mataram di Jati Anom, yang mempergunakan rumah Untara sebagai bangunan utama dari barak itu.

Untara memang terkejut ketika seseorang memberitahukan bahwa Agung Sedayu dan istrinya, bahkan bersama Glagah Putih dan Ki Jayaraga, telah datang berkunjung.

“Tentu tidak sekedar berkunjung,” berkata Untara yang kemudian bergegas menemuinya. Bahkan kepada istrinya Untara itu pun berkata, “Marilah, kita temui Agung Sedayu dan Sekar Mirah.”

Berdua mereka pun kemudian menemui Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Ki Jayaraga di pringgitan rumahnya, yang menjadi bagian dari bangunan utama barak pasukan Mataram di Jati Anom.

Setelah mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Untara pun kemudian berkata, “Kedatangan kalian memang agak mengejutkan. Aku harap kalian hanya sekedar menengok keluarga kami di Jati Anom, dan barangkali juga keluarga Sangkal Putung.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang wajah kakaknya, dilihatnya kerut di keningnya. Agaknya Untara memang sudah menduga bahwa tentu ada sesuatu yang penting, meskipun ia tidak mengucapkannya.

“Kakang,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kami datang untuk menyampaikan keluhan.”

“Kenapa? Bukankah bukan kebiasaanmu untuk mengeluh? Apalagi ada Ki Jayaraga di rumahmu.”

Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan.

“Jadi Rara Wulan hilang?”

“Ya, Kakang.”

Untara termangu-mangu sejenak. Berita itu telah mengejutkannya. Apalagi Untara mengetahui bahwa serba sedikit Rara Wulan memiliki kemampuan untuk membela diri.

Tetapi orang yang mengambilnya tentu orang yang berilmu tinggi. Bahkan mungkin justru orang yang memiliki tongkat baja putih itulah yang telah melakukannya sendiri.

“Jadi kalian akan pergi ke kaki Gunung Kukusan?”

“Ya, Kakang. Kami akan pergi ke ujung Kali Geduwang. Satu-satunya tempat yang kami kenal di antara beberapa tempat yang pernah disebut oleh Ki Saba Lintang, meskipun kami juga belum pernah pergi ke ujung Kali Geduwang sebelumnya.”

“Apakah kau tidak membayangkan, bahwa di ujung Kali Geduwang telah menunggu sekelompok orang berilmu tinggi, atau sebaliknya mereka sama sekali tidak membawa Rara Wulan ke sana?”

“Kami sudah memperhitungkannya, Kakang. Jika ternyata menurut pengamatan kami di kaki Gunung Kukusan itu terdapat kekuatan yang besar, maka kami akan mohon bantuan Kakang untuk mengirimkan pasukan berkuda ke tempat itu.”

Untara itu pun mengangguk-angguk. Ia mengerti betapa gawatnya keadaan Rara Wulan. Jika gadis itu tidak dapat dibebaskan dalam waktu yang singkat, maka ia akan dapat terjerumus ke dalam satu keadaan yang sangat parah.

Karena itu, Untara pun kemudian berkata, “Baiklah, Agung Sedayu. Aku akan mempersiapkan sekelompok pasukan berkuda yang dapat bergerak setiap saat. Tetapi jarak dari Jati Anom ke Gunung Kukusan itu masih terlalu jauh.”

“Aku tentu tidak akan dapat minta bantuan prajurit Pajang, yang lebih dekat dari Gunung Kukusan, untuk kepentingan seperti ini,” berkata Agung Sedayu.

“Sebaiknya kau memang tidak menghubungi prajurit Pajang.”

“Seandainya yang menjadi Panglima di sini bukan Kakang Untara, aku kira aku juga tidak dapat minta bantuan untuk kepentingan yang sebenarnya sangat pribadi ini.”

“Untungnya aku akan dapat mempertanggung-jawabkan, karena persoalannya menyangkut usaha untuk membangunkan kembali perguruan Kedung Jati, yang pada dasarnya memang menjadi perhatian para pemimpin di Mataram.”

“Aku mengucapkan terima kasih, Kakang.”

“Selanjutnya, jika kau sudah sampai di medan, kau harus segera memberitahukan kepadaku, apabila kau memang memerlukan bantuan. Dengan demikian setidak-tidaknya pasukan berkuda itu akan dapat mendekati sasaran, sehingga setiap saat diperlukan, pasukan itu akan dapat bergerak dengan cepat.”

“Baik, Kakang. Demikian kami dapat melihat keadaan, kami akan segera memberitahukan kepada Kakang, apabila kami menghadapi kekuatan yang besar yang tidak akan dapat kami atasi sendiri.”

“Baiklah. Aku menunggu kabar darimu.”

“Terima kasih Kakang. Kami akan segera meneruskan perjalanan. Tetapi jika Kakang tidak berkeberatan, apakah aku dapat mengajak Sabungsari bersama kami?”

“Jadi kalian akan berangkat malam ini?”

“Waktu kami sangat sempit, Kakang.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu betapa gelisahnya hati Agung Sedayu dan Sekar Mirah, terlebih-lebih lagi Glagah Putih.

Namun istri Untara-lah yang kemudian mencegahnya, “Tunggu sebentar. Hanya sebentar. Kalian harus minum dan makan lebih dahulu. Betapapun kalian ingin memanfaatkan waktu, tetapi kalian harus juga makan.”

Agung Sedayu tidak dapat menolak, sementara Untara telah memerintahkan prajurit yang bertugas untuk memanggil Sabungsari.

Ternyata mereka memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Istri Untara telah menghidangkan makan dan minum bagi tamu-tamunya. Meskipun bukan nasi hangat, tetapi karena sayurnya telah dipanasi, sementara mereka memang mulai merasa lapar, maka mereka pun telah mencoba untuk dapat makan secukupnya

Tetapi kegelisahan yang bergejolak di hati mereka membuat mereka nampak tergesa-gesa. Nasi pun mengalir dengan sendat di tenggorokan.

Sementara itu Sabungsari pun telah datang pula. Ketika ia mendengar permintaan Agung Sedayu, maka dengan serta-merta Sabungsari menyatakan kesediaannya. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepada Ki Tumenggung.”

“Aku tidak berkeberatan,” berkata Untara kemudian.

Demikianlah, setelah makan dan berbenah diri, maka Sabungsari pun telah bersiap untuk pergi ke Gunung Kukusan.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun telah minta diri. Sementara itu Sabungsari pun telah siap dengan kudanya pula.

“Hati-hatilah,” pesan Untara kepada mereka yang berangkat ke ujung Kali Geduwang itu.

Lima ekor kuda pun kemudian telah berderap meninggalkan rumah Untara, yang menjadi bagian dari bangunan utama barak prajurit Mataram di Jati Anom.

Namun ternyata Agung Sedayu masih mengajak mereka yang. pergi bersamanya itu singgah di padepokan kecil yang dipimpin oleh Ki Widura. Mereka mohon restu agar mereka berhasil mendapatkan Rara Wulan kembali.

“Kalian juga akan singgah di Sangkal Putung?” bertanya Ki Widura.

“Tidak Paman,” jawab Agung Sedayu, “Adi Swandaru kadang-kadang sulit mengendalikan diri. Ia cepat mengambil sikap sebelum dipikir masak-masak. Bahkan kadang-kadang tidak menghiraukan pendapat orang lain.”

Widura mengangguk kecil. Seperti Untara maka ia pun berpesan, “Berhati-hatilah. Jika kau perlukan, beberapa orang cantrik dapat kau panggil.”

“Terima kasih, Paman,” jawab Agung Sedayu.

Ketika iring-iringan kuda itu berlari meninggalkan padepokan kecil di Jati Anom itu, malam sudah menjadi semakin gelap. Tetapi kelima orang yang memiliki ketajaman penglihatan itu mampu mengendalikan kuda mereka dengan baik.

Malam itu mereka langsung menuju ke Jatisrana di kaki Gunung Kukusan. Jarak itu memang panjang. Beberapa kali mereka harus berhenti. Kuda-kuda mereka memerlukan istirahat. Minum dan makan rerumputan di tanggul-tanggul parit.

Kegelisahan telah membuat orang-orang itu tidak mengenal lelah. Jika kuda-kuda mereka sudah cukup beristirahat, maka mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka.

Meskipun demikian, di dini hari mereka merasa perlu untuk beristirahat lebih lama untuk memulihkan kesegaran tubuh mereka.

Namun pada saat fajar menyingsing, mereka telah mendekati padukuhan Jatisrana. Meskipun mereka belum pernah pergi ke Jatisrana, tetapi mereka yang telah mempunyai pengalaman pengembaraan itu tidak banyak kesulitan untuk menemukannya, berdasarkan atas petunjuk dan ancar-ancar dari Ki Patih Mandaraka.

Pada saat matahari naik, kelima orang berkuda itu telah memasuki padukuhan. Seperti yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, mereka pun segera menemukan sebuah simpang tiga di dalam padukuhan itu. Di sudut simpang tiga itulah letak rumah Ki Wijil. Di halamannya terdapat sebatang pohon gayam tua yang merimbun.

“Kita akan menemuinya,” desis Agung Sedayu.

Berlima mereka pun kemudian turun dari kuda mereka dan menuntunnya memasuki halaman rumah yang terhitung luas, meskipun seperti yang dikatakan oleh Ki Patih, rumahnya sebagaimana rumah kebanyakan petani yang hidup sederhana. Kedatangan mereka berlima memang mengejutkan isi rumah itu. Seorang perempuan yang sudah ubanan menyongsong mereka dengan kerut di dahi.

“Siapakah kalian, Ngger? Apakah ada yang kalian cari?” bertanya perempuan itu.

“Ya, Bibi,” jawab Agung Sedayu.

“Barangkali aku dapat membantu, Ngger?”

“Bibi, kami sedang mencari rumah Ki Wijil.”

“Oh. rumah ini memang rumah Ki Wijil.”

“Apakah Ki Wijil ada?”

“Ada Ngger. Marilah. Biarlah aku memanggilnya.”

Kelima orang itu pun kemudian telah dipersilakan naik. Pendapa rumah Ki Wijil pun sederhana dan tidak terlalu luas.

Setelah mengikat kuda-kuda mereka di halaman, kelima orang itu pun segera naik dan duduk di atas sehelai tikar pandan yang putih bergaris-garis hijau lumut.

Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki tua telah keluar dari ruang dalam. Umurnya sebaya dengan umur Ki Patih Mandaraka. Di belakangnya, seorang anak muda mengikutinya. Mereka pun kemudian telah duduk pula bersama kelima orang tamu itu.

“Maaf, Ngger, “orang tua itu berkata, “kami belum pernah mengenal kalian sebelumnya. Karena itu, jika berkenan di hati Angger, kami ingin mengetahui siapakah Angger semuanya ini. Agaknya Angger telah mengetahui namaku. Sedangkan anak ini adalah anakku. Namanya Sayoga. Tetapi sebagaimana anak-anak pedesaan, ia adalah anak yang bodoh dan tidak mengenal unggah-ungguh.”

“Aku datang dari Mataram.”

“Mataram?”

“Ya. Kami datang dari celah-celah bukit berpasir.”

“Oh.”

“Kami datang atas pesan Ki Podang Mas.”

“Oh,” Ki Wijil mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mohon maaf Ngger. Aku tidak tahu, bahwa Angger adalah utusan Ki Patih Mandaraka. Tetapi siapakah Angger ini?”

“Namaku Agung Sedayu, Ki Wijil. Aku seorang Lurah prajurit Mataram. Perempuan ini adalah istriku, namanya Sekar Mirah. Sedangkan yang lain adalah Ki Jayaraga, seorang sesepuh di Tanah Perdikan Menoreh. Glagah Putih, salah seorang pengawal Tanah Perdikan, dan Sabungsari. seorang prajurit yang berada di bawah pimpinan Ki Tumenggung Untara di Jati Anom.”

“Selamat datang di rumah ini, Ki Jayaraga dan Angger sekalian,” berkata Ki Wijil, “selanjutnya aku ingin mengetahui, tugas apakah yang kalian emban dari Ki Patih Mandaraka?”

“Kami tidak sedang mengemban tugas yang dibebankan oleh Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patih Mandaraka telah berkenan menunjukkan jalan bagi kami yang sedang mengalami kesulitan.”

Ki Wijil mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun bertanya, “Apakah yang dapat aku lakukan Ngger?”

Agung Sedayu pun kemudian telah menceritakan kesulitannya sehingga ia datang ke padukuhan Jatisrana, untuk kemudian melanjutkan perjalanan memanjat kaki Gunung Kukusan.

Ki Wijil itu pun kemudian berdesis, “Bagi kami, apakah perintah itu datang dari Ki Patih atau sekedar atas petunjuk Ki Patih Mandaraka, tidak ada bedanya Ngger. Jika Ki Patih menunjuk agar Angger datang kemari, maka sudah tentu Ki Patih menganggap bahwa seharusnya aku ikut campur.”

“Kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Wijil.”

“Aku tentu akan bersedia. Ki Patih Mandaraka adalah kawan bermain waktu kami masih remaja. Itulah sebabnya ia masih sering menyebut dirinya Podang Mas. Aku dan beberapa orang kawan memang memanggilnya Podang Mas. Ia pandai melantunkan kidung. Suaranya bagus. Namun bukan itu saja. Ia adalah seorang yang pantas dianut. Suaranya tidak sekedar seperti burung oceh-ocehan, merdu dan memancarkan keriangan. Tetapi setiap katanya mengandung makna.”

“Ki Wijil,” berkata Agung Sedayu kemudian, “Ki Patih berpesan agar kami menitipkan kuda-kuda kami di sini. Dalam tugas kami, kuda-kuda kami tidak akan menguntungkan, karena justru hanya akan menjadi beban di perjalanan yang rumit.”

“Ki Patih benar, Ngger. Sebaiknya Angger menitipkan kuda-kuda Angger di sini.”

“Tetapi lebih dari itu, Ki Wijil, kami mohon petunjuk, apa yang harus kami lakukan.”

Ki Wijil menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seandainya bukan atas petunjuk Ki Patih, Ngger, aku tidak akan melibatkan diri. Tetapi jika Ki Patih sudah mengisyaratkan, maka aku tentu akan berusaha untuk membantu sejauh dapat aku lakukan.”

Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Ki Wijil. Aku adalah orang tua yang sangat sempit penglihatanku. Itulah sebabnya, aku tidak dapat memberikan petunjuk apapun kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Bahkan aku pun ikut berpengharapan, bahwa Ki Wijil dapat menuntun perjalanan kami.”

“Ki Jayaraga agaknya telah merendahkan diri. Tetapi baiklah. Aku akan berusaha membantu kalian.”

“Kami ingin menemui Empu Wisanata dan Nyi Dwani yang tinggal di ujung kali Geduwang.”

“Biarlah kami menjadi penunjuk jalan. Kami akan membawa kalian ke ujung Kali Geduwang. Tetapi rumah orang yang bernama Empu Wisanata itu tentu tidak tepat di sekitar ujung Kali Geduwang, karena di sana tidak ada rumah tempat tinggal. Mungkin yang dimaksud adalah sebuah padepokan kecil, yang tidak terlalu jauh dari padukuhan yang kami anggap tertinggi di kaki Gunung Kukusan.”

“Apakah perjalanan akan sangat sulit untuk mencapai tempat itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak Ngger,” jawab Ki Wijil, “memang ada jalan yang menuju ke sana. Ke padukuhan yang tertinggi itu. Namun juga ke padepokan kecil yang letaknya tidak terlalu jauh dari padukuhan itu. Namun jalan yang akan ditempuh memang jalan yang berliku, naik dan turun, berbatu-batu padas, dan beberapa kali melewati pinggir hutan. Tetapi sepanjang perjalanan kita akan melalui beberapa padukuhan yang lain.”

“Apakah Ki Wijil sudah pernah pergi ke padepokan itu?”

Ki Wijil tersenyum. Katanya, “Aku memang sering mendaki kaki Gunung Kukusan sampai ke tempat yang mungkin dapat aku capai. Karena itu, aku pun pernah melewati padukuhan yang tertinggi dan padepokan yang terpencil itu. Tetapi seperti yang aku katakan, tidak benar-benar berada di ujung Kali Geduwang, karena tidak ada orang yang tinggal di sana.”

“Baiklah, Ki Wijil. Jika Ki Wijil berkenan memberikan ancar-ancar ke mana kami harus pergi.”

Ki Wijil termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya bukan sekedar ancar-ancar. Seperti yang sudah aku katakan, kami, maksudku aku dan anakku, akan menjadi penunjuk jalan. Kami memang sudah beberapa pekan tidak memanjat naik.”

“Kami sebenarnya tidak ingin merepotkan Ki Wijil.”

Ki Wijil tertawa Katanya, “Kami sudah terbiasa menempuh perjalanan naik, Ngger. Apalagi kami tahu, Angger mendapat pesan dari Ki Juru Martani, yang sekarang menjabat sebagai Pepatih di Mataram itu.”

“Terima kasih, Ki Wijil,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kapan Angger bermaksud berangkat ke padepokan itu?”

“Jika Ki Wijil berkenan, kami ingin berangkat secepatnya, karena waktu kami sangat sempit. Sepekan sejak kemarin, orang yang datang ke Tanah Perdikan itu akan kembali untuk mengambil tongkat baja putih itu. Jika mereka tidak menjumpai kami di rumah, maka mereka akan dapat mengambil langkah yang sangat menyakitkan bagi Rara Wulan,” jawab Agung Sedayu.

Ki Wijil mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan bersiap.”

“Siapakah yang kemudian akan tinggal di rumah?”

“Ibunya anak ini, Ngger. Istriku”

“Bibi yang tadi menerima kami?”

“Ya,” Ki Wijil mengangguk-angguk.

“Sendiri?”

“Tidak Ngger. Ada orang lain yang tinggal bersama kami. Orang itu akan dapat merawat kuda-kuda kalian selama kalian pergi mendaki kaki Gunung Kukusan.”

Demikianlah, sejenak kemudian maka Ki Wijil dan anaknya pun sudah bersiap. Nyi Wijil melepas mereka di halaman. Namun Nyi Wijil itu sempat berbisik di telinga Sekar Mirah, “Berhati-hatilah Ngger. Yang tidak terduga dapat terjadi.”

“Baiklah Bibi. Kami akan berhati-hati.”

Demikianlah, mereka pun segera meninggalkan rumah Ki Wijil. Ki Wijil minta agar mereka membiarkan kuda-kuda mereka di halaman.

“Biarlah orangku itu nanti mengaturnya,” berkata Ki Wijil. Sejenak kemudian, mereka pun telah menempuh sebuah perjalanan yang lebih berat. Jaraknya memang tidak terlalu jauh. Tetapi mereka mulai memanjat kaki Gunung Kukusan.

Sayoga berjalan di paling depan bersama Glagah Putih. Nampaknya mereka sebaya. Di perjalanan mereka pun mulai menjadi akrab. Sayoga dapat menceritakan keadaan di sekitarnya. Beberapa padukuhan yang mereka lewati, hutan-hutan pegunungan yang lebat, sawah yang selalu basah, serta parit yang mengalir tanpa pernah berhenti.

“Ada sendang di bawah pohon cangkring raksasa itu,” berkata Sayoga

Glagah Putih memandang ke arah telunjuk Sayoga. Yang dilihatnya bukan hanya sebatang pohon cangkring raksasa. Tetapi di sebelahnya juga terdapat beberapa pohon besar yang lain.

“Yang berdiri tegak di sebelahnya dengan batang yang lurus itu adalah pohon nyamplung.”

“Jika saja aku mempunyai banyak waktu,” berkata Glagah Putih.

“Di bawah pohon-pohon raksasa itu terdapat sebuah mata air yang terhitung besar. Airnya bening, sebening mata seorang gadis yang cantik.”

Glagah Putih tiba-tiba berpaling. Dipandanginya wajah Sayoga sejenak. Lalu terdengar Glagah Putih itu berdesis, “Apakah mata seorang gadis cantik itu selalu bening?”

Sayoga tertawa Katanya, “Pantasnya, mata seorang gadis cantik itu sebening air yang memancar dari mata air di bawah pohon-pohon raksasa itu.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “mata yang keruh memang akan dapat mengurangi kecantikan seorang gadis.”

Sayoga masih tertawa. Katanya, “Karena itu, maka kita harus berusaha agar pepohonan di kaki bukit ini tetap berdiri.”

“Apakah ada petugas khusus yang menjaga agar pepohonan di kaki gunung ini tetap utuh?”

“Tidak. Tetapi kami mempunyai cara tersendiri untuk menjaga agar pepohonan tidak ditebangi.”

“Bagaimana caranya?”

“Ayah mempunyai cara yang lucu.”

“Ya. Tetapi bagaimana?” desak Glagah Putih yang tidak sabar menunggu.

“Kadang-kadang ayah memasang semacam sesaji di bawah pohon-pohon raksasa, sehingga menimbulkan kesan bahwa pohon raksasa itu bukan pohon kebanyakan. Ada penunggunya yang tinggal di dalamnya. Dengan demikian, maka orang-orang di sekitarnya tidak akan menebangi pohon-pohon itu tanpa pertimbangan yang masak.”

“Satu cara yang bagus sekali,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “agaknya cara itu dapat berhasil.”

“Ya. Setidak-tidaknya mengurangi jumlah pepohonan raksasa yang ditebangi. Hanya jika ada kepentingan yang sangat mendesak sajalah seseorang menebang pohon raksasa. Itu pun harus disertai dengan laku yang panjang, agar mereka tidak mendapat kutukan dari penunggu pohon-pohon raksasa itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Salah satu cara yang baik.”

Sayoga hanya tersenyum saja. Sementara kakinya masih melangkah memanjat kaki Gunung Kukusan.

Glagah Putih masih memandangi pepohonan lereng pegunungan itu. Jika pepohonan itu tidak ada, maka jika hujan turun di lereng gunung, air akan langsung mengalir menyusuri jalur-jalur di antara batu-batu padas dengan derasnya, menuruni lereng.

“Banjir,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya

Tetapi Glagah Putih tidak sempat untuk merenungi hutan lereng pegunungan itu. Ketika satu dua padukuhan sudah dilewati, hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di padepokan kecil yang disebut Ki Wijil. Namun Ki Wijil sendiri tidak mengenal orang yang bernama Empu Wisanata

Ki Jayaraga yang berjalan bersama Ki Wijil sempat bertanya, “Menurut pengenalan Ki Wijil, siapakah yang memimpin padepokan kecil di sebelah padukuhan itu?”

“Aku mengenal orang itu, Ki Jayaraga. Tetapi namanya bukan Empu Wisanata. Para cantrik memanggilnya Ki Ajar Trikaya. Seorang kepercayaannya bernama Pulut Majuga. Kemudian beberapa murid utama yang tidak aku kenal seorang demi seorang. Sedangkan yang lain adalah para cantrik, dengan tataran yang berbeda-beda.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Ketika Ki Jayaraga bertanya tentang ujud dan ciri-ciri orang yang bernama Ki Ajar Trikaya, Ki Wijil tidak dapat menyebutnya.

“Nampaknya tidak ada yang terlalu khusus padanya,” berkata Ki Wijil, “rambutnya yang ubanan seperti juga kita. Tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah, seperti juga kita. Sikapnya, kata-katanya dan tingkah lakunya tidak ada yang aneh. Ia seorang yang ramah dan lembut. Namun ia termasuk seorang yang berilmu tinggi. Salah seorang murid utamanya seorang anak muda yang tampan, berilmu tinggi, namun cacat.”

“Cacat?”

“Ya. Ia seorang yang bisu,” jawab Ki Wijil. “Meskipun ia terhitung murid yang baru, tetapi ia adalah murid yang sangat dekat dengan Ki Ajar Trikaya. Bahkan lebih dekat dari Putut Majuga.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berdesis, “Ki Wijil banyak mengetahui keadaan padepokan itu?”

“Jika aku naik, aku sering singgah di padepokan itu. Mudah-mudahan Ki Ajar Trikaya dapat memberikan beberapa petunjuk tentang dua orang ayah dan anak perempuannya yang bernama Empu Wisanata dan Nyi Dwani itu.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang berjalan di belakangnya, menjadi cemas. Jika mereka tidak dapat menemukan orang yang bernama Empu Wisanata dan Nyi Dwani, maka mereka akan menjadi sulit untuk merintis jalan. Bahkan rasa-rasanya waktu yang tersedia tidak akan cukup panjang. Tetapi kemungkinan lain adalah, mereka terjebak ke dalam satu lingkaran kekuatan yang akan mengurungnya dan tidak memberi jalan untuk keluar lagi.

Tetapi kemungkinan-kemungkinan itu harus ditempuh. Jika mereka silau dengan kemungkinan-kemungkinan buruk, maka mereka tidak akan pernah menemukan Rara Wulan.

Dalam pada itu, mereka pun memanjat terus. Jalan semakin lama terasa menjadi semakin menanjak. Hutan pegunungan menjadi semakin lebat. Tetapi di antaranya masih digelar sawah yang selalu basah, yang dibatasi dengan padang perdu yang memisahkan dengan hutan-hutan lebat.

Bagaimanapun juga, Sekar Mirah tetap yakin bahwa di tempat itu akan dapat dicari jalur untuk menemukan sarang yang sebenarnya dari orang yang menyebut dirinya Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang menyebut tempat yang berada di ujung Kali Geduwang, maka meskipun tidak banyak berarti, tetapi tentu ada hubungan antara Ki Saba Lintang dengan tempat yang disebutnya itu. Jika tidak ada hubungan apapun, maka Ki Saba Lintang tentu akan menyebut tempat yang lain.

Semakin tinggi mereka bergerak di kaki Gunung Kukusan, padukuhan pun menjadi semakin jarang mereka temui.

Dalam pada itu, matahari pun bergeser semakin jauh melewati puncak langit. Keringat pun telah membasahi seluruh tubuh mereka yang memanjat kaki gunung itu. Namun karena mereka adalah orang-orang yang cukup terlatih, maka daya tahan mereka pun dapat meyakinkan mereka, bahwa mereka akan sampai ke tujuan.

Udara pun terasa menjadi semakin sejuk. Meskipun matahari terasa semakin menyengat kulit, namun panasnya bagaikan diserap oleh dedaunan yang hijau segar. Angin yang berhembus terasa menyentuh kulit, menyusup panasnya sinar matahari.

Ketika kemudian mereka berdiri di atas sebuah gumuk kecil di kaki gunung, itu, maka Ki Wijil pun menunjuk segerumbul pepohonan yang rimbun, yang mencuat di antara tanaman padi di sawah.

“Itulah padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Trikaya.”

Ki Jayaraga menarik nafas panjang. Dipandanginya sekelompok pepohonan yang nampak hijau. Padepokan itu cukup luas, hampir seluas padukuhan yang disebut sebagai padukuhan yang tertinggi itu.

Sawah di sekitarnya adalah sawah yang digarap oleh para cantrik dari padepokan itu. Di sebelah padepokan itu terdapat sebuah pategalan dan ara-ara yang ditumbuhi rerumputan yang subur untuk memelihara ternak.

“Jadi padepokan itu mampu mencukupi semua kebutuhannya sendiri?”

“Ya. Bahkan mereka sempat menjual kelebihan hasil sawah mereka.”

“Sebuah padepokan yang menarik,” desis Ki Jayaraga, “agaknya penghuninya dapat hidup tenang dan tenteram. Mereka juga tidak kekurangan sandang, pangan dan papan.”

“Ya. Meskipun tidak berlebihan, tetapi mereka memang tidak merasa kekurangan.”

“Jadi menurut Ki Wijil, apakah kita akan bersama-sama memasuki padepokan itu?”

“Apa salahnya?” jawab Ki Wijil, “Padepokan itu tentu tidak akan berkeberatan menerima kita semuanya. Bukankah kita hanya ingin sekedar mendapat keterangan? Agaknya Ki Ajar Trikaya tidak akan berkeberatan untuk memberikan keterangan, sepanjang tidak merugikan padepokannya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun ia pun berkata, “Meskipun demikian, kedatangan kita akan dapat mengejutkan mereka.”

“Mungkin. Tetapi kita akan dapat memberikan penjelasan,” berkata Ki Wijil.

Namun Sabungsari yang berjalan di belakang Agung Sedayu, yang juga mendengar pembicaraan Ki Jayaraga dan Ki Wijil itu, berdesis, “Apakah kita semuanya akan memasuki padepokan itu?”

“Menurut Ki Wijil, tidak ada salahnya.”

Sabungsari menggamit Agung Sedayu yang memperlambat langkahnya, “Sebaiknya sebagian dari kita berada di luar saja.”

“Kenapa?”

“Bukan maksudku mencurigai isi padepokan itu. Tetapi bukankah tidak ada salahnya kita berhati-hati?”

“Jadi siapakah yang akan memasuki padepokan itu?”

“Kau dan Nyi Lurah, bersama Ki Wijil. Aku, Glagah Putih dan Ki Jayaraga, serta anak Ki Wijil itu, akan menunggu saja di luar padepokan.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku akan membicarakannya.”

Agung Sedayu pun kemudian melangkah menyusul Ki Wijil dan berjalan di sebelahnya. Sementara Sabungsari berjalan di belakang bersama Sekar Mirah.

Ketika hal itu dikemukakan kepada Ki Wijil, maka Ki Wijil itu pun menarik nafas panjang sambil berdesis, “Baiklah, jika Ki Lurah akan sangat berhati-hati. Biarlah aku bersama-sama Ki Lurah dan Nyi Lurah sajalah yang masuk ke dalam padepokan.”

“Kami mohon maaf, Ki Wijil. Mungkin kami terlalu curiga kepada orang lain. Tetapi justru karena keadaan kami, maka kami merasa harus berhati-hati.”

Ki Wijil mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku mengerti, Ki Lurah.”

“Tetapi sama sekali bukan berarti bahwa kami tidak percaya kepada Ki Wijil. Jika kami tidak percaya kepada Ki Wijil, akan sama artinya dengan kami tidak percaya kepada Ki Patih Mandaraka, yang memberikan petunjuk agar kami berhubungan dengan Ki Wijil di padukuhan Jatisrana.”

“Aku mengerti, Ki Lurah. Aku sama sekali tidak merasa tersinggung dengan sikap hati-hati Ki Lurah.”

“Terima kasih, Ki Wijil.”

Demikianlah, Ki Wijil pun kemudian bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah berjalan mendahului yang lain. Sementara itu, Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga memperlambat jalan mereka. Namun kemudian mereka tidak lagi berjalan di jalan setapak yang menuju ke padepokan. Tetapi mereka kemudian berjalan di antara gumuk-gumuk kecil pohon perdu dan batu-batu padas, mendekati gerbang padepokan.

Tetapi mereka harus berhati-hati. Jalan terasa licin. Batu-batu padas di bawah kaki mereka ternyata basah meskipun hujan tidak turun beberapa lama

Jalan setapak yang dilalui Ki Wijil, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun sekali-sekali menurun, namun kemudian memanjat naik. Kemudian untuk beberapa saat mereka berjalan di tanah yang datar.

Di sebelah-menyebelah, sawah disusun dengan rapi, seperti tangga raksasa di depan istana raksasa yang menjulang tinggi.

Beberapa saat kemudian, mereka bertiga telah melangkah mendekati gerbang padepokan. Sebuah padepokan yang menyerupai sebuah padukuhan yang tidak begitu besar. Dinding batu yang ditata berkeliling padukuhan. Sebuah gerbang yang terbuat dari kayu dan bambu yang rapi, terdapat pada dinding depan padepokan itu.

Demikian mereka berdiri di pintu gerbang yang terbuka, mereka sudah melihat kegiatan di padepokan itu. Para cantrik sibuk dengan tugas mereka masing-masing.

Beberapa orang cantrik nampak sedang sibuk menjemur padi. Sedang yang lain sibuk membelah kayu bakar.

“Di belakang bangunan utama padepokan itu terdapat barak yang memanjang yang dihuni oleh para cantrik. Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok yang tataran kemampuannya setingkat.”

“Apakah mereka juga dituntun dalam berbagai bidang kerja selain olah kanuragan?”

“Ya. Mereka pandai bertani, memelihara ternak, memelihara ikan, dan beberapa orang memiliki keterampilan sebagai pandai besi, sebagai undhagi dan keterampilan yang lain.”

Tetapi Agung Sedayu tidak sempat bertanya lebih lanjut. Dua orang cantrik yang melihat kehadiran mereka segera mendekat.

“Maaf, Ki Sanak. Apakah Ki Sanak sedang mencari seseorang atau mempunyai keperluan lain?”

Ki Wijil tersenyum. Katanya, “Kau baru di sini?”

“Memang belum lama, Ki Sanak.”

“Itulah sebabnya kau belum mengenal aku.”

Orang itu mengerutkan dahinya Dengan ragu orang itu bertanya, “Siapakah Ki Sanak ini?”

Ki Wijil tertawa. Katanya, “Apakah Ki Ajar Trikaya ada?”

Cantrik itu memandang wajah Ki Wijil dengan kerut di kening. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ki Ajar sedang sakit.”

“Oh. Sejak kapan Ki Ajar itu sakit?” bertanya Ki Wijil.

“Sudah agak lama. Tetapi sakit Ki Ajar tidak begitu nampak pada ujud lahiriahnya. Ia masih berjalan-jalan di pagi hari, pergi ke pakiwan sendiri, dan bahkan sering menimba air untuk mengisi pakiwan. Tetapi murid utama Ki Ajar yang selalu mendampinginya itu selalu berusaha untuk mencegah agar Ki Ajar tidak mengerjakan sesuatu yang apalagi terhitung pekerjaan yang berat.”

“Putut Majuga, maksudmu?”

“Kakang Majuga sedang pergi. Ia mendapat tugas khusus dari Ki Ajar. Tetapi sampai sekarang masih belum kembali.”

“Oh,” Ki Wijil mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Tugas ke mana?”

Cantrik itu menggeleng sambil menjawab, “Tidak seorang pun tahu. Di sore hari kami para cantrik masih melihat Kakang Putut Majuga. Tetapi ketika kami terbangun menjelang fajar, Kakang Majuga sudah tidak ada di padepokan. Bahkan para cantrik yang bertugas berjaga-jaga di malam hari pun tidak melihat Kakang Putut Majuga meninggalkan padepokan.”

Ki Wijil mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Adalah kebetulan bahwa aku singgah. Barangkali aku dapat menengok keadaan Ki Ajar Trikaya.”

“Aku tidak tahu, apakah Ki Ajar dapat menerima tamu.”

“Bukankah sakitnya tidak parah?”

“Kami tidak tahu, apakah sebenarnya sakit Ki Ajar itu parah atau tidak.”

Ki Wijil mengerutkan dahinya Namun seorang cantrik yang lain telah mendatanginya. Seorang cantrik yang lebih tua dari cantrik yang terdahulu.

“Ki Wijil?” desis cantrik itu.

“Nah, kau dapat mengenali aku.”

“Tentu Ki Wijil,” jawab cantrik itu, “sudah agak lama Ki Wijil tidak singgah di padepokan ini.”

“Ya. Sudah agak lama,” jawab Ki Wijil

“Sudah terjadi beberapa perubahan di sini, Ki Wijil.”

“Maksudmu?”

“Ki Ajar sedang sakit.”

“Siapa yang sekarang memegang pimpinan? Menurut cantrik ini, Putut Majuga juga tidak ada di padepokan.”

“Ya. Kakang Putut Majuga sedang pergi.”

“Jadi, siapakah yang memerintah?”

“Saudara seperguruan Ki Ajar Trikaya, dan empat orang pembantunya, dibantu oleh dua orang murid utama Ki Ajar yang belum lama dipanggil ke padepokan ini. Seorang di antaranya cacat.”

Ki Wijil mengangguk-angguk. Dahinya nampak berkerut. Namun kemudian dengan nada datar ia berkata, “Terakhir aku datang ke padepokan ini, murid utama Ki Ajar Trikaya yang cacat itu sudah berada di sini.”

Cantrik itu mengangguk. Tetapi ia tidak dapat bercerita lebih banyak. Meskipun agaknya masih ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi cantrik itu terpaksa mengurungkannya. Dari pendapa bangunan utama padepokan itu, seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan berteriak, “He, apa yang kalian lakukan di situ?”

Cantrik yang tua itu pun kemudian melangkah mendekat ke pendapa. Di bawah tangga pendapa ia berkata, “Ada tiga orang tamu, Paman.”

“Kenapa kau yang menemuinya? Apakah itu kewajibanmu?”

“Mereka baru saja datang. Kami menanyakan keperluannya,” jawab cantrik itu. Lalu katanya, “Apalagi seorang di antara mereka adalah Ki Wijil. Seseorang yang sudah sering kali datang ke padepokan ini.”

“Seringkah?” orang yang bertubuh tinggi itu mengulang, “jika ia sudah sering kali kemari, kenapa aku belum pernah melihatnya sebelumnya?”

“Memang sudah agak lama Ki Wijil tidak datang kemari.”

“Cukup!” bentak orang itu, “Kau terlalu banyak bicara. Kau kira kau berhak berbicara panjang lebar di hadapanku?”

Cantrik itu memang terdiam. Sementara orang itu pun berkata lantang, “Kemarilah, Ki Sanak! Siapa yang kau cari?”

Ki Wijil memang melihat perubahan yang terjadi di padepokan itu. Agaknya selama ia tidak berkunjung, beberapa orang baru telah berdatangan. Bukan saja anak-anak muda yang menyatakan diri menjadi cantrik di padepokan itu, tetapi juga orang-orang yang kemudian justru mengendalikan padepokan ini.

“Marilah kita mendekat,” berkata Ki Wijil kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Agung Sedayu pun mengangguk.

Bertiga mereka melangkah mendekati orang yang masih saja berdiri di pendapa itu. Dengan angkuhnya orang itu pun kemudian bertanya, “Kau cari siapa, he?”

Ki Wijil memandang orang itu dengan tajamnya. Kemudian dengan nada rendah ia menjawab, “Aku ingin bertemu dengan Ki Ajar Trikaya. Aku orang Jatisrana yang sudah sering datang kemari. Tetapi pada saat terakhir aku memang sudah agak lama tidak naik, sehingga aku tidak tahu bahwa Ki Ajar sedang sakit.”

“Nah, kau sudah tahu bahwa Ki Ajar sedang sakit. Lain kali sajalah jika Ki Ajar Trikaya sudah sembuh.”

“Aku ingin menengoknya justru saat ia sedang sakit.”

Orang itu bergeser selangkah maju sambil berkata, “Tidak, kau dengar? Pergilah. Besok jika Ki Ajar Trikaya sudah sembuh, datanglah kembali.”

“Aku hanya ingin menengoknya. Jika sakitnya parah, aku tidak akan mengganggunya. Aku tidak akan berbicara apa-apa. Aku hanya ingin melihat keadaannya.”

“Sudah aku sudah katakan, bahwa kau tidak boleh menemuinya.”

Tetapi Ki Wijil tidak beringsut pergi. Katanya, “Aku mohon, Ki Sanak.”

Orang itu menjadi marah. Sementara itu, seorang yang lain telah keluar dari ruang tamu dan melangkah mendekati orang yang bertubuh tinggi itu.

“Ada apa?” orang itu bertanya.

“Orang ini memaksa untuk menemui Ki Ajar Trikaya. Sudah aku katakan bahwa Ki Ajar Trikaya sedang sakit, ia tidak dapat menemui siapa pun untuk sementara. Tetapi orang ini agaknya ingin memaksa.”

Orang yang baru keluar dari ruang dalam itu melangkah maju. Sejenak ia berdiri termangu-mangu memandangi Ki Wijil, Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Berbeda dengan orang yang lebih dahulu berdiri di pendapa, orang ini bertubuh sedang. Bahkan sedikit gemuk. Perutnya yang besar dilingkari dengan ikat pinggang yang bertimang emas.

“Pergilah Ki Sanak. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kata kami, maka kami akan mendorong kalian keluar. Jika kalian tetap bersikeras, maka kami akan memaksa kalian dengan cara yang keras pula.”

Ki Wijil termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah keberatan Ki Sanak jika aku menemui Ki Ajar Trikaya yang sedang sakit itu? Apakah kalian mengira bahwa kedatanganku akan dapat membuatnya semakin parah? Tidak, Ki Sanak. Ia akan bergembira jika aku datang menengoknya. Sakitnya tentu akan terasa lebih ringan. Nah, katakan kepada Ki Ajar Trikaya, bahwa akulah yang datang. Tentu ia akan menerimanya.”

“Kau sudah terlalu banyak bicara, Ki Sanak. Pergilah selagi kau mempunyai kesempatan.”

“Tolong, katakan kepada Ki Ajar Trikaya. Jika Ki Ajar Trikaya yang menolak aku datang, apa boleh buat.”

Kedua orang yang berdiri di pendapa itu menjadi marah. Orang yang bertubuh tinggi itu membentak, “Cukup! Jangan banyak bicara lagi. Pergilah!”

Namun dalam ketegangan itu, tiba-tiba terdengar sedikit keributan di ruang dalam. Tiba-tiba saja pintu terbuka. Ki Ajar Trikaya telah melangkah sambil mengibaskan tangan orang yang mencoba menahannya.

Demikian Ki Ajar Trikaya berdiri di pintu, maka ia pun berkata lantang, “Ki Wijil. Kaukah itu?”

“Ki Ajar,” sahut Ki Wijil sambil melangkah naik ke pendapa.

Kedua orang yang sudah berdiri di pendapa itu mencoba menghalangi. Namun kemudian Ki Ajar Trikaya itu pun berkata, “Biarlah Ki Wijil itu naik. Aku senang sekali karena ia datang menengokku saat aku sakit.”

Ki Wijil tidak menghiraukan lagi kedua orang yang mencoba menghalanginya itu. Kepada Agung Sedayu ia pun berkata, “Marilah Ngger. Kita temui Ki Ajar Trikaya. Mudah-mudahan sakitnya tidak terlalu parah.”

Sejenak kemudian, Ki Wijil telah duduk di hadapan Ki Ajar Trikaya. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah duduk pula di sebelahnya. Sementara itu, kedua orang yang mencoba menahan Ki Wijil telah duduk pula bersama mereka. Sedangkan di belakang Ki Ajar duduk seorang yang disebut muridnya itu.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah memandang orang itu hampir tidak berkedip. Sementara itu, Ki Ajar pun telah memperkenalkannya, “Ini salah seorang murid utamaku. Putut Jaka Dwara. Tetapi sayang anak yang tampan dan lembut ini mengalami cacat. Ia bisu, meskipun tidak tuli. Tetapi ada sesuatu di tenggorokannya, sehingga ia tidak dapat berbicara.”

Ki Wijil mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Ia mengerti makna dari kata-kata?”

“Ya,” Ki Ajar mengangguk-angguk.

Sementara itu Putut Jaka Dwara itu selalu menundukkan wajahnya yang nampak bersih. Meskipun ia bukan kanak-kanak lagi, bahkan sudah lewat dewasa, namun wajahnya memang nampak kekanak-kanakan.

“Apakah ia sama sekali tidak dapat mengeluarkan suara?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.

“Tidak,” Ki Ajar Trikaya menggeleng. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi agaknya aku belum pernah mengenal kedua orang ini, Ki Wijil. Siapakah mereka ini?”

“Keduanya adalah suami istri, Ki Ajar. Laki-laki ini adalah kemenakanku.”

“Oh,” Ki Ajar itu pun mengangguk-angguk, “di mana mereka tinggal?”

“Mereka tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Di sebelah barat Kali Praga.”

“Di sebelah barat Mataram, maksudmu?”

“Ya, Ki Ajar.”

“Demikian jauhnya.”

“Sudah agak lama kami tidak mengunjungi Paman Wijil,” sela Agung Sedayu.

“Aku mengucapkan selamat datang di padepokan kecil yang tidak berarti ini, Angger berdua.”

“Terima kasih, Ki Ajar. Kami merasa senang sekali mendapat kesempatan untuk mengunjungi Ki Ajar serta Adi Putut Dwara. Kesempatan yang sebelumnya tidak pernah aku duga, bahwa pada suatu saat aku akan dapat berada di sebuah padepokan yang sejuk serta damai ini.”

Ki Ajar tersenyum, sementara kedua orang yang mencoba menghalangi kehadiran Ki Wijil itu nampak gelisah. Bukan saja kedua orang itu. Tetapi murid utama Ki Ajar Trikaya yang cacat itu pun nampak sangat gelisah pula.

Dalam pada itu, salah seorang dari kedua orang yang menghalangi Ki Wijil itu pun berkata, “Ki Ajar. Aku minta Ki Ajar kembali ke dalam bilik Ki Ajar. Nanti keadaan Ki Ajar memburuk lagi. Hari ini Ki Ajar merasa sedikit ringan. Tetapi jika Ki Ajar terlalu lama berada di luar, sakit Ki Ajar akan menjadi semakin parah.”

Ki Ajar itu pun tertawa. Katanya, “Aku sudah tua. Seandainya penyakitku tidak terobati, aku tidak menyesal.”

“Jangan begitu, Ki Ajar. Ki Ajar adalah sandaran bagi seisi padepokan ini.”

Ki Ajar tertawa. Suara tertawanya terasa menggelitik perasaan Ki Wijil.

“Jangan memperlakukan aku seperti kanak-kanak.”

Putut Jaka Dwara yang cacat itu tidak dapat mengucapkan kata-kata, tetapi tangannya mulai menarik-narik lengan Ki Ajar, dan memberi isyarat Ki Ajar segera masuk kembali.

Tetapi Ki Ajar itu pun berkata, “Sebentar lagi, Jaka Dwara. Bukankah kau juga senang dapat berbicara dengan orang lain? Selama ini kita hanya selalu berhubungan dengan orang-orang seisi padepokan ini saja.”

Putut Jaka Dwara menggeleng. Namun demikian, Ki Ajar itu pun berkata, “Sabarlah sedikit. Aku merasa sehat hari ini.”

“Justru karena itu, Ki Ajar jangan terlalu lama berada di luar,” berkata orang yang bertubuh gemuk.

“Sudahlah. Jika kalian ingin meninggalkan aku di sini, tinggalkan aku. Masuklah kalian, agar kalian tidak menjadi sakit.”

Wajah kedua orang yang semula berniat menahan Ki Wijil itu menjadi tegang. Sementara Putut Jaka Dwara itu kembali menarik lengan Ki Ajar.

Tiba-tiba saja wajah Ki Ajar menegang. Hanya sesaat. Namun kemudian Ki Ajar pun telah mengusap keringat yang mengembun di kening. Demikian pula wajah Putut Jaka Dwara itu, juga menjadi berkeringat pula.

Namun dalam pada itu, sambil tersenyum Ki Ajar itu pun bertanya, “Bukankah tidak ada sesuatu yang penting Ki Wijil?”

Ki Wijil tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya nampak menegang sejenak. Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Meskipun yang terjadi hanya sekejap, tetapi ketiganya mengetahui bahwa telah terjadi sentuhan kekuatan ilmu antara Ki Ajar Trikaya dengan orang yang disebutnya murid utamanya yang cacat, yang disebutnya Putut Jaka Dwara itu.

Agaknya Putut Jaka Dwara berusaha memaksa Ki Ajar Trikaya dengan kekuatan tenaga dalamnya agar Ki Ajar meninggalkan pendapa. Tetapi Ki Ajar telah melawannya dengan tenaga dalam pula, sehingga Putut Jaka Dwara tidak berhasil memaksakan kehendaknya.

Namun dalam pada itu, Ki Wijil pun segera menyadari bahwa ia harus menjawab pertanyaan Ki Ajar Trikaya, yang ingin menyamarkan sentuhan kekuatan ilmu yang baru saja terjadi itu.

Karena itu, maka sambil tertawa Ki Wijil pun menjawab, “Tidak Ki Ajar. Tidak ada yang penting. Kebetulan saja aku dan kemenakanku ini lewat tidak jauh dari padepokan ini, sehingga aku telah mengajaknya untuk singgah.”

“Syukurlah,” Ki Ajar mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku merasa senang sekali bahwa Ki Wijil telah dalang menengok keadaanku. Mudah-mudahan aku segera menjadi baik.”

“Mudah-mudahan Ki Ajar. Mudah-mudahan Ki Ajar segera sembuh. Jika Ki Ajar sembuh kelak, maka kami akan mencoba mohon bantuan Ki Ajar.”

“Bantuan apa, Ki Wijil? Jika saja aku dapat melakukannya.”

“Bukan sesuatu yang penting, Ki Ajar. Sebaiknya Ki Ajar memikirkan kesehatan Ki Ajar lebih dahulu.”

Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Sebenarnya kami sedang mencari seseorang, Ki Ajar. Barangkali Ki Ajar dapat memberikan beberapa petunjuk.”

“Oh,” Ki Ajar mengangguk-angguk, “petunjuk apa Ngger?

Agung Sedayu memandang Ki Wijil sejenak, seakan-akan minta pertimbangan.

“Jika kau menganggap perlu untuk mengatakannya sekarang, katakanlah. Jika yang kau inginkan hanya sekedar petunjuk, maka agaknya Ki Ajar tidak akan berkeberatan.”

“Ya, Paman. Tetapi jika Ki Ajar tidak merasa terganggu. Apalagi dalam keadaan sakit seperti sekarang ini.”

“Tidak. Aku tidak akan terasa terganggu.”

Namun tiba-tiba Putut Jaka Dwara itu menariknya lagi. Sekali lagi terjadi ketegangan sejenak. Tetapi Putut Jaka Dwara itu tidak mampu memaksa Ki Ajar untuk beringsut dari tempatnya.

“Ki Ajar,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sebenarnyalah aku sedang mencari seseorang.”

“Siapa yang kau cari Ngger?”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu telah memotong, “Siapa pun yang dicarinya, bukankah Ki Ajar Trikaya tidak berkepentingan?”

“Jika kita mampu, menolong orang lain adalah kepentingan setiap orang,” jawab Ki Ajar. Bahkan katanya kemudian, “Jika kau belum pernah mendengar aku mengajarkan kepada cantrik-cantrikku, maka dengarlah sekarang, bahwa menjadi kewajiban kita untuk menolong orang lain jika kita mampu. Sudah tentu menolong dalam arti yang baik untuk kepentingan yang baik pula.”

“Apakah Ki Ajar tahu, bahwa pertolongan yang diinginkan orang ini untuk satu kepentingan yang baik?”

“Bagaimana aku dapat menilai baik atau buruk, jika ia belum mengatakannya?”

Orang bertubuh tinggi itu terdiam. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Demikian pula orang yang bertubuh agak gemuk itu.

Apalagi orang yang disebut murid utama Ki Ajar, yang cacat itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Ajar. Apakah Ki Ajar mengenal seseorang yang bernama Empu Wisanata?”

“Empu Wisanata?” dahi Ki Ajar berkerut.

“Ia mengaku tinggal di ujung Kali Geduwang. Padahal menurut Ki Wijil, tidak ada lagi tempat pemukiman yang lebih tinggi dari padepokan ini.”

Ki Ajar Trikaya itu termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis, “Aku belum pernah mendengar nama itu, Ngger. Aku berkata sebenarnya. Mungkin seseorang telah mengaku bernama Empu Wisanata, yang menyebut tempat ini sebagai tempat tinggalnya.”

“Aku memang sudah mengira, Ki Ajar,” jawab Agung Sedayu, “tetapi sebenarnya bukan orang itulah yang aku cari. Tetapi aku sedang mencari orang lain. Namanya Ki Saba Lintang. Seandainya aku bertemu dengan Empu Wisanata, aku juga hanya ingin bertanya, di mana kami dapat menemui Ki Saba Lintang.”

“Nama itu pun belum pernah aku dengar Ngger,” jawab Ki Ajar Trikaya dengan sungguh-sungguh. Dengan nada dalam ia pun kemudian berkata, “Untuk apa Angger mencari orang yang bernama Ki Saba Lintang itu?”

“Aku sangat kecewa pada sikapnya.”

“Oh,” Ki Ajar Trikaya mengangguk-angguk.

“Dua hari yang lalu, Ki Saba Lintang datang menemui istriku. Ada semacam pembicaraan tentang sebuah rencana yang penting. Tetapi kedatangannya dua hari yang lalu ternyata sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan rencananya itu.”

“Jadi untuk apa ia datang menemui Angger?”

“Ternyata Ki Saba Lintang berbicara tentang seorang gadis.”

“Seorang gadis?”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Dengan nada berat ia berkata, “Ki Ajar. Aku mempunyai adik sepupu. Seorang gadis yang cantik. Beberapa kali Ki Saba Lintang datang menemui istriku untuk membicarakan persoalan yang penting, ia telah melihat gadis sepupuku itu. Sekali menghidangkan minuman, lain kali secara kebetulan sepupuku itu sedang duduk-duduk di serambi gandok. Nampaknya dua orang di antara mereka yang sering menemui istriku itu, termasuk seorang di antaranya adalah Ki Saba Lintang, tertarik kepada gadis sepupuku itu.”

“Oh,” Ki Ajar Trikaya mengangguk-angguk.

“Dua hari yang lalu, Ki Saba Lintang datang ke rumah menemui istriku. Tetapi persoalan yang dibicarakan bukan persoalan yang menyangkut kepentingan yang besar itu. Yang dibicarakan oleh Ki Saba Lintang adalah tentang gadis sepupuku itu.”

“Oh.”

“Ki Saba Lintang datang ke rumah dengan orang yang menyebut dirinya bernama Ki Sawung Semedi.”

Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak sedang memperhatikan Putut Jaka Dwara, namun mereka melihat sekilas, bahwa Putut itu beringsut setapak mendekati Ki Ajar Trikaya. Keringatnya semakin banyak membasahi keningnya. Dengan lengan bajunya sekali-sekali ia mengusap keringat di keningnya itu.

“Lalu, apa yang terjadi?” bertanya Ki Ajar.

“Ki Saba Lintang ingin memiliki sepupuku. Ia akan menukar dengan kepentingan yang besar dari persoalan-persoalan yang telah dibicarakan dengan istriku sebelumnya.”

“Jadi?”

“Tentu saja gadis sepupuku itu menolak. Ki Saba Lintang sudah terlalu tua baginya. Namun yang tidak terduga-duga itu pun terjadi.”

“Maksud Angger?”

“Rara Wulan itu hilang. Dua orang menyaksikan bagaimana orang itu menculik Rara Wulan yang sedang mencuci pakaian di pinggir sungai.”

“Jadi, diambilnya gadis itu?”

“Ya.”

“Bohong!” teriak orang yang bertubuh tinggi.

“Apa yang bohong?” justru Ki Ajar-lah yang bertanya.

“Cerita itu cerita bohong!”

“Kenapa kau dapat menganggap bahwa cerita itu bohong?” desis Ki Ajar Trikaya.

Ternyata Sekar Mirah tanggap pada cerita Agung Sedayu itu. Karena itu, maka ia pun menambahinya, “Aku juga seorang perempuan Ki Ajar. Aku dapat merasakan, betapa tajamnya pandangan mata Ki Saba Lintang terhadap Rara Wulan. Rasa-rasanya ingin langsung menembus sampai ke pusat jantungnya.”

“Jadi, Ki Saba Lintang mengambil sepupu Angger Agung Sedayu dengan paksa?”

“Ya, Ki Ajar. Padahal menurut pengamatanku, usia Ki Saba Lintang jauh lebih tua dari Rara Wulan. Sudah tentu bahwa Rara Wulan merasa berkeberatan,” sahut Agung Sedayu.

Bahkan Sekar Mirah pun berkata, “Tetapi agaknya memang demikian sifat Ki Saba Lintang. Ketika aku pertama kali bertemu, sebelum Ki Saba Lintang melihat Rara Wulan, matanya terasa menjadi liar. Ia memandang aku dari ujung rambut sampai ke ujung kakiku.”

“Ah,” desah Ki Ajar, “apakah orang itu mengaku tinggal di ujung Kali Geduwang?”

“Bukan orang itu yang tinggal di ujung Kali Geduwang, Ki Ajar. Tetapi orang lain, sahabat orang itu. Jika kami datang kemari, kami berharap bahwa Empu Wisanata akan dapat menunjukkan ke mana aku harus mencari Ki Saba Lintang.”

“Itu fitnah!” bentak orang yang bertubuh agak gemuk itu, “Jadi kalian datang untuk menyebarkan fitnah?”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “kau belum mengenal orang yang bernama Ki Saba Lintang. Tetapi ajak sekali saja Ki Saba Lintang itu singgah di rumahmu dan melihat istrimu, maka kau akan percaya kepadaku.”

Wajah-wajah di sekitar Ki Ajar Trikaya itu menjadi tegang. Orang yang bertubuh tinggi dan bertubuh gemuk itu bahkan menjadi panas. Sementara wajah Putut Jaka Dwara seakan-akan telah membara. Keringatnya membasahi keningnya dan bahkan pakaiannya.

Tiba-tiba saja orang itu bangkit berdiri dan melangkah meninggalkan Ki Ajar Trikaya.

Orang yang bertubuh tinggi dan bertubuh gemuk itu terkejut. Yang bertubuh tinggi dengan serta-merta telah menyusulnya sambil berkata, “Jaga Ki Ajar! Jangan biarkan ia terlalu lama berada di luar.”

Sebelum orang bertubuh gemuk itu menjawab, orang bertubuh tinggi itu telah hilang di balik pintu pringgitan.

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Ajar termangu-mangu. Katanya, “Entahlah. Aku tidak tahu, apa yang telah terjadi.”

Sejenak kemudian, telah terdengar derap kaki kuda. Tiga orang berkuda melarikan kuda mereka di sebelah pendapa bangunan utama padepokan itu, menuju ke pintu gerbang.

Seorang di antara mereka adalah Putut Jaka Dwara.

Orang-orang yang duduk di pendapa itu memandang dengan kerut di dahi. Tetapi mereka tidak berbuat sesuatu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun tidak berbuat apa-apa pula.

“Kenapa mereka pergi?” bertanya Ki Ajar Trikaya kepada orang yang bertubuh gemuk.

“Tentu saja ada persoalan penting, Ki Ajar,” jawab orang itu. Lalu katanya, “Sebaiknya Ki Ajar masuk saja ke dalam bilik.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku merasa segar hari ini. Apalagi jika sahabat-sahabatku datang menengokku.”

Dalam pada itu, Ki Wijil yang duduk bersama mereka memang heran. Ia tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, yang ternyata berbeda dengan apa yang dikatakan kepadanya saat mereka berada di Jatisrana. Ia pun menjadi bingung melihat sikap Putut Jaka Dwara dan kedua orang yang semula menahannya untuk tidak menemui Ki Ajar Trikaya.

Tetapi Ki Wijil percaya, bahwa sikap Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu tentu mengandung maksud tertentu yang belum sempat dijelaskan kepadanya.

Sementara itu, Agung Sedayu pun berkata, “Aku mohon maaf, Ki Wijil dan Ki Ajar Trikaya. Mungkin sikap kami kurang dapat dimengerti. Tetapi nanti kami akan menjelaskannya.”

Sementara itu, orang yang gemuk itu sekali lagi berkata, “Ki Ajar. Aku mohon Ki Ajar masuk kembali ke dalam bilik Ki Ajar. Angin dan udara yang tidak baik ini akan dapat membuat sakit Ki Ajar menjadi parah.”

Tetapi jawaban Ki Ajar mengejutkan orang itu, “Apakah aku sakit?”

“Ki Ajar memang sakit,” jawab orang itu, “karena itu, aku persilakan Ki Ajar masuk. Sejak semula Ki Ajar merasa bahwa Ki Ajar tidak sakit. Tetapi jika sesak nafas dan denyut jantung yang tidak teratur itu kambuh, maka Ki Ajar hanya dapat mengeluh dan merintih.”

Ki Ajar Trikaya justru tertawa. Katanya, “Kau orang yang terlalu baik. Kau berusaha menjaga kesehatanku sebaik-baiknya. Aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sebaiknya kau lupakan saja, karena sebenarnya aku tidak sakit.”

Orang yang bertubuh gemuk itu menjadi sangat tegang. Untuk beberapa saat lamanya ia duduk bagaikan membeku.

Sementara itu, tiga ekor kuda berlari kencang keluar dari regol halaman padepokan yang luas. Beberapa saat kuda itu masih berlari. Namun kemudian lari kuda itu harus diperlambat ketika mereka sampai di tempat yang agak sulit. Jalan yang turun dan mendaki. Batu-batu padas yang runcing tetapi licin. Jalan yang kadang-kadang menjadi sempit dan miring.

Pada saat ketiga ekor kuda itu bergerak tidak lebih cepat dari orang yang sedang berjalan, maka tiba-tiba saja telah muncul empat orang dari balik gerumbul-gerumbul perdu di sebelah-menyebelah jalan. Mereka adalah Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga.

Para penunggang kuda itu telah menarik kendali kuda mereka, demikian mereka melihat orang-orang itu meloncat menghadang di tengah jalan.

Ki Jayaraga yang berdiri di paling depan itu pun mengangguk hormat sambil berdesis, “Kita bertemu lagi, Empu Wisanata.”

Wajah orang yang disebut Empu Wisanata itu menjadi tegang. Sementara itu, kedua orang yang lain sejenak menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Namun tiba-tiba saja Empu Wisanata itu pun berkata, “Kita kembali ke padepokan.”

“Tunggu, Empu,” berkata Ki Jayaraga.

Tetapi ketiga orang penunggang kuda itu telah memutar kudanya dan melarikannya menuju ke padepokan.

Tetapi Putut Jaka Dwara itu terkejut. Tiba-tiba saja seseorang telah memegang kendali kudanya sambil berkata, “Jangan tergesa-gesa. Bukankah kita dapat berbicara?”

Glagah Putih yang memegangi kendali kuda itulah yang kemudian terkejut, ketika Putut Jaka Dwara itu melecut pergelangan tangannya dengan cemeti kudanya. Demikian Glagah Putih melepaskan kendali kuda itu, maka kuda itu pun berlari menyusul kedua ekor kuda yang lain. Meskipun kuda-kuda itu tidak dapat berlari kencang, namun mereka yang berlari menyusulnya itu pun harus berhati-hati agar mereka tidak tergelincir jatuh, sementara batu-batu padas yang runcing itu telah menyakiti kaki mereka.

Tetapi Ki Jayaraga pun kemudian berkata, “Biarlah mereka kembali ke padepokan. Mungkin kita dapat berbicara dengan mereka nanti.”

“Lalu apa yang terjadi dengan Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah dan Ki Wijil?”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi dengan cepat mereka bergerak memasuki regol halaman padepokan itu pula.

Dalam pada itu, keadaan di padepokan itu sudah menjadi tegang. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Wijil tidak lagi duduk di pendapa. Tetapi mereka sudah berdiri di halaman. Sementara itu, beberapa orang berdiri di tangga pendapa dengan wajah yang tegang.

Di sebelah-menyebelah Ki Ajar Trikaya berdiri dua orang yang berwajah keras dan kasar.

Dalam pada itu. Empu Wisanata, Putut Jaka Dwara dan seorang lagi, setelah meloncat turun dari punggung kudanya, segera naik ke pendapa pula.

Orang yang bertubuh tinggi dan orang yang bertubuh gemuk itu pun sudah berada di pendapa itu pula.

Orang yang berkuda bersama Empu Wisanata dan Putut Jaka Dwara itu pun kemudian berdiri di paling depan. Dengan wajah tegang ia berkata kepada seorang yang berjanggut dan berkumis putih, “Empu. Orang-orang ini telah melanggar hak kita atas padepokan ini.”

Tetapi Ki Ajar itu pun menyahut, “Apa yang telah mereka lakukan sehingga kau dapat mengatakan bahwa mereka telah melanggar hak kita atas padepokan ini? Mereka datang untuk menengok aku yang kalian sebut sedang sakit. Bukankah itu tidak melanggar hak siapa pun? Bahkan mereka telah berbuat satu kebaikan atas sahabatnya.”

“Sudahlah Ki Ajar,” berkata orang yang kembali bersama Empu Wisanata dan Putut Jaka Dwara itu, “kau tidak usah ikut campur. Kami akan mempersilakan Ki Ajar untuk masuk kembali ke dalam bilik. Kami akan menyelesaikan orang-orang yang telah dengan sombong memasuki padepokan ini.”

“Aku peringatkan, mereka adalah tamu-tamuku.”

“Aku tidak peduli,” berkata orang itu. Lalu katanya kepada orang berjanggut dan berkumis putih itu, “Kami mohon perintah Empu.”

Orang berjanggut dan berkumis putih itu pun memandang Ki Ajar Trikaya sejenak. Kemudian dipandangnya orang-orang yang berada di halaman.

Sementara itu, Ki Jayaraga, Glagah Putih, Sabungsari dan Sayoga pun telah memasuki halaman padepokan itu pula.

“Siapa pula mereka itu?” bertanya orang berjanggut putih itu.

Agung Sedayu yang kemudian berpaling menjawab, “Mereka adalah sanak kadangku. Ketika aku memasuki padepokan ini, aku minta mereka menunggu di luar. Rasa-rasanya tidak enak memasuki padepokan ini bersama-sama dengan banyak orang.”

Orang berjanggut putih itu pun berkata, “Kalian memang telah menimbulkan keresahan di padepokan ini. Karena itu, maka kalian harus ditangkap. Kalian harus menjalani pengadilan dan menerima hukuman yang akan dijatuhkan kepada kalian.”

Ketika Ki Ajar bergeser, maka kedua orang yang berdiri di sebelah-menyebelahnya telah menangkap lengannya. Namun tiba-tiba saja kedua orang itu terdorong beberapa langkah surut

Dengan tangkasnya Ki Ajar Trikaya itu pun meloncat turun dari pendapa dan berdiri di sebelah Ki Wijil. Katanya, “Aku sudah jemu dengan permainan kalian. Aku tidak tahu apakah Ki Wijil bersedia membantuku. Tetapi rasa-rasanya sudah saatnya aku bergerak bersama para cantrik dari padepokan ini. Jika dengan demikian kami harus musnah, kami tidak berkeberatan. Mumpung ada orang lain yang menjadi saksi, bahwa di padepokan ini Ki Ajar Trikaya sudah dimusnahkan oleh orang-orang yang ingin merebut padepokan ini dengan kekerasan.”

Orang berjanggut putih itu masih tetap tenang. Dengan nada rendah ia berkata, “Apa yang membuatmu menjadi demikian gelisah, Ki Ajar? Jika kau terlalu letih, maka bayangan-bayangan buruk itu tentu akan segera datang kembali. Karena itu, beristirahatlah. Kau akan menjadi tenang kembali. Bayangan-bayangan buruk itu akan segera hilang.”

“Bayangan buruk yang mana Empu?” bertanya Ki Ajar, “Bukankah orang-orangmu yang telah membuat bayangan-bayangan buruk di padepokan ini? Kau paksa aku seakan-akan sedang sakit. Kau takut-takuti para cantrik dengan segala macam cara. Tetapi semuanya itu sudah berakhir. Aku dan para cantrik akan bangkit untuk melawan kalian, meskipun sekali lagi aku tegaskan, seisi padepokan ini akan musnah. Aku tahu bahwa kalian adalah orang-orang berilmu tinggi. Tetapi ilmu yang tinggi itu tidak akan dapat membunuh kebenaran yang ada di padepokan ini.”

Dua orang cantrik yang ada di halaman itu menyaksikan pembicaraan itu dengan berdebar-debar. Ketika seorang lagi datang, maka ia pun memberi isyarat untuk memperhatikan pembicaraan itu.

Cantrik yang datang kemudian itu pun kemudian dengan tangannya telah memanggil cantrik yang lain, dan yang lain, sehingga akhirnya beberapa orang cantrik berusaha ikut mendengarkan pembicaraan yang terjadi di tangga pendapa.

“Aku dan para cantrik sudah jemu. Kami akan bangkit. Apapun yang terjadi.”

Para cantrik itu menjadi tegang. Mereka saling berbisik di antara mereka. Namun mereka terkejut ketika terdengar seseorang membentak, “Apa yang kalian lakukan di sini, he?”

Para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka berkata, “Dengarlah pembicaraan di tangga pendapa itu.”

“Persetan! Pergi! Kerjakan tugas-tugas kalian. Biarlah para pemimpin kita menyelesaikan persoalan mereka, sementara kalian menyelesaikan tugas-tugas kalian sendiri.”

“Kami tidak akan pergi,” .

“Kau berani menentang aku?”

“Aku minta kau dengar pembicaraan itu. Ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.”

“Cukup! Pergi ke belakang!”

Cantrik itu pun tidak menjawab. Tetapi ia tidak beringsut di tempatnya. Sementara itu, Ki Ajar pun tidak goyah pula pada sikapnya.

Orang yang berjanggut putih itu pun kemudian berkata, “Kedatangan orang yang bernama Ki Wijil itu telah mengacaukan penalaran Ki Ajar yang sakit. Karena itu, maka Ki Wijil beserta orang-orang yang datang bersamanya harus ditangkap.”

Tetapi Ki Jayaraga-lah yang melangkah ke depan sambil berkata, “Maaf, Ki Ajar Trikaya. Mungkin Ki Ajar belum mengenal aku. Tetapi perkenankan aku ikut mencampuri persoalan ini.”

“Silakan, Ki Sanak,” sahut Ki Ajar Trikaya.

Ki Jayaraga itu pun kemudian memandang orang-orang yang berdiri di tangga dan di pendapa Dengan jelas Ki Jayaraga itu pun berkata, “Yang kami kenal dari semuanya adalah Empu Wisanata. Aku tidak tahu, apakah orang itu di sini juga mempergunakan nama Empu Wisanata. Kepadanya aku ingin bertanya, permainan apakah yang sedang dilakukannya di sini.”

“Kau siapa?” orang yang dikenal bernama Empu Wisanata itu bertanya.

“Jangan begitu, Empu. Bukankah kita sahabat lama? Demikiankah cara Empu menyambut kehadiran seorang sahabat?”

Namun sebelum Empu Wisanata menjawab, Glagah Putih itu pun bertanya sambil menunjuk Putut Jaka Dwara, “Siapakah orang ini?”

Yang menjawab adalah Ki Ajar Trikaya, “Putut Jaka Dwara.”

“Apakah benar, bahwa Putut Jaka Dwara itu salah seorang murid utama Ki Ajar Trikaya,” bertanya Ki Wijil.

Ki Ajar tertawa. Katanya, “Tidak. Itu termasuk permainan yang sedang terjadi di padepokan ini.”

Sedangkan Sekar Mirah pun kemudian bertanya, “Apakah benar ia cacat?”

Ki Ajar masih saja tertawa. Katanya, “Bertanyalah langsung kepadanya.”

Sekar Mirah-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Nyi Dwani. Jangan berpura-pura begitu. Kenapa kau harus bersembunyi di balik nama Putut Jaka Dwara?”

Wajah Putut itu menjadi merah. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Nah, aku sudah mengira. Ketika aku melihat Empu Wisanata di atas punggung kuda, maka aku langsung mengenalinya sebagai Nyi Dwani. Tetapi kenapa ia memakai pakaian seperti seorang laki-laki? Meskipun Mbokayu Sekar Mirah juga mengenakan pakaian yang khusus, tetapi ia tetap seorang perempuan.”

“Untuk menyembunyikan suara perempuannya itulah agaknya, maka ia lebih baik tidak berbicara sama sekali dan mengaku cacat bisu.”

“Jadi kalian sudah saling mengenal?” bertanya Ki Ajar Trikaya.

“Inilah orang-orang yang aku cari,” jawab Agung Sedayu.

“Oh,” Ki Ajar Trikaya mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi jika mereka menyebut ujung Kali Geduwang itu, yang dimaksud adalah padepokan ini.”

“Agaknya memang demikian, Ki Ajar. Ternyata bahwa aku telah menemukan mereka di padepokan ini.”

“Aku tidak akan pernah melupakan paras yang cantik dari seorang perempuan yang bernama Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah, “meskipun ia mengenakan pakaian dan mengaku dirinya laki-laki. Ikat kepalanya dan bahkan sedikit sapuan debu di wajahnya agar kelihatan kasar. Namun aku tetap mengenalinya.”

Nyi Dwani masih tetap diam. Namun Sekar Mirah pun kemudian berkata lantang kepada beberapa orang cantrik yang masih tetap berada di halaman, “Lihatlah, betapa cantiknya Putut Jaka Dwara.”

“Cukup!” ternyata Nyi Dwani tidak mampu menahan gejolak di dadanya, sehingga ia pun telah memotong kata-kata Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah itu masih berkata selanjurnya, “Sayang, bahwa kecantikannya masih diperbandingkan dengan kecantikan seorang gadis yang baru saja meningkat dewasa. Seharusnya Ki Saba Lintang tetap mengagumi kecantikan dan kematangan Nyi Dwani, daripada mengambil seorang gadis kecil yang masih belum mengenal pahit getirnya kehidupan.”

“Diam kau Sekar Mirah! Atau aku yang akan membungkam mulutmu itu?” teriak Nyi Dwani dengan suara seorang perempuan.

Dalam pada itu, beberapa orang cantrik pun saling berbisik, “Jadi Kakang Putut Jaka Dwara itu seorang perempuan?”

“Kau dengar namanya tadi disebut Nyi Dwani.”

“Kenapa hal itu dilakukannya?”

“Menurut Ki Ajar Trikaya, permainan sudah selesai. Selama ini kita telah diombang-ambingkan oleh permainan kasar orang-orang berilmu tinggi yang mampu menguasai Ki Ajar, karena Ki Ajar hanya seorang diri.”

“Sekarang kalian sudah tahu,” geram orang yang tadi memaksa para cantrik itu untuk kembali ke pekerjaan mereka masing-masing di belakang, namun perintahnya tidak pernah dipatuhi. Lalu katanya kemudian, “Kalian mau apa?”

Para cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua di antara mereka berkata, “Kami menunggu perintah Ki Ajar Trikaya. Jika selama ini kami diam, itu juga karena perintah Ki Ajar Trikaya. Tetapi jika Ki Ajar memerintahkan kami bergerak, maka kami pun akan bergerak.”

“Setan! Aku tidak akan memberi kesempatan kalian menunggu. Aku ingin tahu, apa yang akan kalian lakukan.”

Cantrik itu menjadi tegang. Namun pada saat itu, Ki Ajar pun berkata, “Sekali lagi aku katakan, permainan ini sudah selesai.”

Pernyataan Ki Ajar itu bagaikan aba-aba yang diberikan kepada para cantriknya. Dengan dada tengadah cantrik, yang tertua di antara mereka yang berkerumun itu pun berkata, “Semuanya sudah selesai. Kami sudah siap untuk menegakkan kembali panji-panji perguruan kami, atau kami akan dimusnahkan sama sekali.”

“Kalian sudah menjadi gila. Kalian tahu akibat dari kegilaan kalian itu?”

“Sudah aku katakan. Akibatnya, kami akan tegak kembali atau musnah sama sekali. Kami siap menghadapi akibat yang manapun yang akan terjadi.”

Orang yang berusaha menguasai para cantrik itu pun menjadi sangat marah. Sejenak kemudian terdengar orang itu bersuit nyaring untuk memberi isyarat kepada kawan-kawannya, bahwa para cantrik mencoba untuk melawan.

Tetap para cantrik itu kemudian telah mempersiapkan diri. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Beri tahu Kakang Supi dan Kakang Sentana.”

Dua orang cantrik berlari meninggalkan kawan-kawannya. Ketika orang yang mencoba menguasai mereka itu mencoba untuk menghalanginya, cantrik yang tertua itu pun telah menyerangnya, disusul oleh para cantrik yang lain.

Ilmu orang yang mencoba menguasai para cantrik itu memang lebih tinggi dari para cantrik yang melawannya. Tetapi jumlah para cantrik itu cukup banyak, sehingga karena itu, maka sambil bertempur orang itu selalu berloncatan mundur.

Dalam pada itu, di depan bangunan utama, suasana sudah menjadi demikian panasnya. Mereka memang sempat berpaling dan melihat bahwa para cantrik justru telah mulai lebih dahulu.

Orang yang berjanggut putih yang terdiri di pendapa itu pun berkata, “Ini sudah merupakan satu pemberontakan. Ki Wijil dan kawan-kawannya harus bertanggung jawab atas peristiwa ini, karena sebelumnya tidak terjadi sesuatu. Karena itu, maka yang pertama-tama harus ditangkap adalah Ki Wijil dan kawan-kawannya. Jika mereka melawan, maka mereka akan menghadapi kekerasan. Kematian adalah akibat yang terjadi dalam tindak kekerasan. Karena itu, jangan menyalahkan kami.”

Orang berjanggut putih itu menjadi tegang, ketika ia mendengar Sekar Mirah berkata lantang, “Bagus. Nyi Dwani. Apakah kita masih sempat bermain-main sekarang ini? Bukankah permainan kita masih belum tuntas? Sebenarnya kami datang tidak untuk berkelahi. Tetapi apa boleh buat, jika kalian memaksakan kehendak kalian untuk berkelahi.”

Wajah Nyi Dwani pun menjadi semakin tegang. Di malam hari, saat purnama memancar dengan cerah, ia tidak mampu mengalahkan Sekar Mirah. Apalagi saat ini.

Sementara itu, Ki Jayaraga pun berkata, “Empu Wisanata. Aku tidak menyangka bahwa kita akan mendapat kesempatan lagi untuk berkelahi. Agaknya memang aneh bahwa orang-orang tua masih harus berkelahi. Tetapi seperti yang dikatakan Nyi Lurah, jika kalian mencoba memaksa kami untuk melakukannya, maka kami pun akan melakukannya.”

“O, o, o, “orang berjanggut putih itu menyahut, “jadi kami telah kedatangan sekelompok perampok yang sengaja ingin mengacaukan padepokan kami. Sekelompok perampok yang agaknya sudah mengadakan pembicaraan sebelumnya dengan orang dalam. Dengan Ki Ajar Trikaya. Baiklah. Jangan biarkan mereka mendapat kesempatan untuk keluar lagi dari padepokan ini.”

“Empu,” berkata Ki Ajar Trikaya, “para cantrik akan menjadi saksi, siapakah yang mengemban kebenaran di padepokan ini. Justru mereka sudah mulai menuntut kebebasan mereka. Jangan terkejut jika orang-orangmu akan dihancurkan oleh para cantrik yang sudah terlalu lama merasa ditindas.”

Orang berjanggut putih itu memang memandang ke samping bangunan utama. Beberapa orang cantrik memang sudah mulai bertempur. Jumlah mereka semakin lama menjadi semakin banyak.

Beberapa orang yang di tempatkan orang berjanggut putih itu di antara para cantrik mencoba untuk mengatasi mereka. Tetapi jantung para cantrik serasa sudah meledak. Dua orang cantrik yang bernama Supi dan Sentana, yang agaknya masih tetap menjadi panutan kawan-kawannya, telah hadir pula di antara mereka.

“Ki Ajar sudah memerintahkan agar kita mengakhiri mimpi buruk ini.”

Supi dan Sentana mula-mula merasa ragu. Tetapi ketika mereka mendengar sepatah dua patah kata yang diucapkan orang-orang di depan pendapa padepokan induk, serta sikap Ki Ajar Trikaya, maka mereka pun menjadi yakin, bahwa mereka harus segera bangun.

Dengan demikian, maka Supi dan Sentana itu pun telah melibatkan diri pula dalam pertempuran melawan lima orang pengikut orang berjanggut putih itu.

Kelima orang itu pun segera saja telah terdesak. Biasanya, jika kelima orang itu menghadapi keadaan gawat, maka para pengikut orang berjanggut putih yang berilmu tinggi selalu ikut campur. Bahkan pernah terjadi dua orang cantrik dihukum cambuk sampai hampir mati, karena keduanya tidak tunduk kepada perintah. Beberapa orang cantrik, termasuk Supi dan Sentana, yang ingin membela mereka, dengan cepat ditundukkan dan mengalami siksa yang berat untuk lebih dari sepekan.

Tetapi orang-orang berilmu tinggi itu sedang sibuk di pendapa, menghadapi orang-orang yang agaknya juga berilmu tinggi.

Dalam keadaan yang semakin gawat itu, maka orang berjanggut putih itu pun telah meneriakkan aba-aba, “Tangkap Ki Wijil dan kawan-kawannya! Kita akan menghukumnya di hadapan para cantrik yang telah terpengaruh oleh para perampok ini. Agaknya Ki Ajar Trikaya sedikit demi sedikit telah mengajari mereka untuk memberontak.”

Tetapi Ki Wijil-lah yang menyahut, “Kau masih saja menganggap kami anak-anak yang tidak tanggap akan keadaan. Empu, yang aku sayangkan, bahwa Empu-lah yang tidak tanggap pada keadaan.”

Wajah orang berjanggut putih itu menjadi tegang. Dengan lantang ia pun berkata, “Jangan membuang waktu lagi! Kita selesaikan mereka sampai orang yang terakhir.”

Orang-orang yang berada di pendapa itu pun segera bergerak turun. Sementara itu, orang-orang yang ada di depan pendapa itu pun segera memencar. Sekar Mirah nampaknya telah siap untuk bertemu lagi dengan Nyi Dwani. Sementara Ki Jayaraga tersenyum sambil berdesis, “Empu Wisanata. Bukankah Empu masih belum jenuh melihat wajahku?”

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun berbisik di telinga Ki Wijil, “Biarlah aku menghadapi orang berjanggut putih itu, Ki Wijil.”

“Biarlah aku menyelesaikannya, Ngger.”

“Aku-lah yang paling berkepentingan dengan padepokan ini.”

Ki Wijil menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun akhirnya Ki Wijil itu pun yakin, bahwa Agung Sedayu memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi orang berjanggut putih itu, yang agaknya merupakan pimpinan dari orang-orang yang telah menguasai padepokan yang terpencil itu.

Karena itu, maka Ki Wijil pun berdesis, “Berhati-hatilah, Ngger.”

“Dalam keadaan terpaksa, aku akan mohon bantuan Ki Wijil,” berkata Agung Sedayu.

Ki Wijil tersenyum. Namun ia tidak sempat menjawab, karena orang-orang yang turun dari pendapa itu mulai menyerangnya.

Seorang yang berusaha meninggalkan padepokan itu bersama Empu Wisanata dan Nyi Dwani itulah yang langsung menyerang Ki Wijil sambil, berkata lantang, “Kaulah sumber keributan yang terjadi di padepokan kami yang tenang ini!”

Ki Wijil bergerak surut. Namun ia masih sempat menjawab, “Aku memang merasakannya, Ki Sanak. Alangkah tenang dan damainya padepokan ini karena aku sering datang kemari, sebelum kalian dengan paksa menguasai padepokan ini.”

“Persetan dengan mimpi burukmu!” jawab lawan Ki Wijil.

Ki Wijil tidak menjawab. Tetapi ia sudah siap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Seperti yang diharapkan oleh Sekar Mirah, maka Nyi Dwani pun telah meloncat untuk menghadapi Sekar Mirah. Sejenak kemudian keduanya pun sudah berhadapan, sementara Sekar Mirah telah bergeser menjauhi tangga pendapa.

“Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah kemudian, “inikah persiapan bagi sebuah pertemuan besar antara para murid perguruan Kedung Jati itu?”

“Ya,” jawab Nyi Dwani, “padepokan ini akan menjadi ajang pertemuan itu, jika tidak ada perubahan. Tetapi kau telah merusak persiapan yang sudah hampir menjadi matang itu.”

“Kami minta maaf, Nyi Dwani. Kami sama sekali tidak sengaja. Sebagaimana kami katakan tadi, bahwa kami sedang mencari Ki Saba Lintang, yang lebih dahulu merusak segala-galanya. Aku yang sudah mulai memikirkan kemungkinan untuk menerima tawaran kalian, telah dikaburkan dengan ketamakan orang yang bernama Ki Saba Lintang, yang justru seorang yang sampai saat ini dipercaya sebagai seorang pemimpin tertinggi dari perguruan yang bakal dibangun kembali itu.”

“Bukankah itu hanya fitnah?”

“Fitnah? Buat apa aku memfitnah?” bertanya Sekar Mirah. Namun kemudian ia bertanya, “Kapan kau bertemu dengan Ki Saba Lintang yang terakhir kalinya?”

“Kira-kira dua pekan yang lalu.”

“Apakah ia tidak berbicara tentang Rara Wulan?”

“Sama sekali tidak.”

“Ketika Ki Welat Wulung masih hidup, matanya yang liar itulah yang aku curigai. Ia selalu memandang wajah Rara Wulan tanpa berkedip. Namun ternyata sepeninggal Welat Wulung, Ki Saba Lintang yang melakukannya. Justru lebih kasar.”

Nyi Dwani menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Nah Nyi Dwani. Aku sudah siap.”

Nyi Dwani memandang Sekar Mirah dengan sorot mata yang memancarkan kebimbangan hatinya. Dengan nada rendah ia pun kemudian berkata, “Apakah aku harus bertempur lagi melawanmu?”

“Kenapa?”

“Aku sudah kau kalahkan justru dalam perang tanding. Tetapi kau saat itu tidak membunuhku, meskipun kau dapat melakukannya.”

“Jadi?”

“Ada dua alasan kenapa aku ragu-ragu. Pertama, di bawah cahaya bulan yang dapat membakar kemampuanku, aku sudah kau kalahkan. Apalagi dalam keadaan seperti ini. Kedua, aku sudah berhutang budi kepadamu. Seandainya aku yang menang waktu itu, maka aku tentu sudah membunuhmu.”

“Lupakanlah,” jawab Sekar Mirah, “kita akan mencoba lagi.”

“Aku memang akan melakukannya. Tetapi aku tahu, itu hanya sia-sia saja.”

Sekar Mirah menatap mata Nyi Dwani yang redup. Ada semacam kepasrahan yang membayang. Rasa-rasanya di mata itu tidak lagi nampak pengharapan sama sekali.

Apalagi ketika kemudian Nyi Dwani berdesis, “Nyi Lurah. Aku tahu bahwa kau tidak akan memberi ampun kepadaku untuk yang kedua kalinya, jika kita membenturkan ilmu sekarang ini.”

“Aku tidak akan membunuhmu, Nyi Dwani. Terus terang, aku justru ingin bekerja bersamamu. Kita mempunyai kepentingan yang sama, meskipun dari sisi pandang yang berbeda.”

“Maksudmu?”

“Jika kau jujur, katakanlah, bahwa kau mencintai Ki Saba Lintang.”

Nyi Dwani termangu-mangu sejenak. Bahkan Nyi Dwani itu sempat mengedarkan pandangan matanya berkeliling. Di seputarnya pertempuran telah menyala. Hanya orang berjanggut putih itu saja-lah yang masih berdiri di atas tangga pendapa, sementara Agung Sedayu berdiri tegak beberapa langkah di hadapannya.

“Siapakah orang berjanggut putih itu, Nyi Dwani?”

“Empu Tunggul Pawaka. Ia termasuk orang yang dihormati di antara para pendukung Ki Saba Lintang. Ia mendapat tugas untuk menguasai padepokan ini. Seandainya padepokan ini pada suatu saat diperlukan, maka padepokan ini akan diambil alih oleh perguruan Kedung Jati.”

“Apalagi padepokan ini juga-lah yang disebut-sebut Ki Saba Lintang sebagai salah satu pilihan tempat untuk menyelenggarakan pertemuan itu?”

Nyi Dwani mengangguk.

“Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?”

“Terserah kepada Nyi Lurah. Aku sudah tidak mempunyai kesempatan lagi.”

“Sudah aku katakan. Aku tidak akan membunuhmu, Nyi. Bahkan mungkin kita dapat bekerja sama. Tetapi kau masih belum menjawab, apakah kau mencintai Ki Saba Lintang?”

Nyi Dwani itu mengangguk. Katanya, “Ya. Aku tidak akan ingkar.”

“Terima kasih atas kejujuranmu,” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Bagaimana jika kita mengadakan semacam kesepakatan untuk bekerja bersama?”

“Maksudmu?”

“Kau tidak akan kehilangan Ki Saba Lintang. Dan kami tidak akan kehilangan Rara Wulan.”

Nyi Dwani tidak segera menjawab. Namun pandangan matanya pun kemudian menerawang menembus kekosongan.

Sementara itu, orang berjanggut putih itu telah menuruni tangga pendapa. Selangkah ia maju mendekati Agung Sedayu yang masih berdiri termangu-mangu.

“Apakah kau memang menunggu aku?” bertanya orang berjanggut putih itu.

“Ya, Empu. Tetapi perkenankan aku bertanya, siapakah nama Empu. Sejak tadi aku hanya mendengar orang menyebutmu Empu. Tetapi aku belum mendengar namamu disebut.”

Orang berjanggut putih itu tersenyum. Katanya, “Namaku Tunggul Pawaka. Eh, barangkali aku kurang memperhatikan, apakah namamu tadi sudah disebut?”

“Namaku Agung Sedayu, Empu.”

“Aku kagum akan keberanianmu. Kau dengan sengaja telah menunggu aku dan siap bertempur melawanku.”

“Sebenarnya aku bukan orang yang mempunyai kesenangan untuk berkelahi. Jika itu aku lakukan di sini, maka karena aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Empu Tunggul Pawaka itu tertawa. Katanya, “Kau bicara yang aneh-aneh saja. Kau sudah memasuki padepokan. Tetapi kau masih berkata bahwa kau tidak ingin berkelahi.”

“Benar, Empu. Ketika aku memasuki padepokan ini, sebenarnya aku, istriku dan Ki Wijil ingin menemui Ki Ajar Trikaya. Tetapi ternyata keadaan padepokan ini sudah berubah, sehingga yang terjadi adalah seperti yang kita lihat sekarang ini.”

“Apapun yang ingin kau lakukan, tetapi kesiapanmu untuk melawan aku sungguh-sungguh menunjukkan keberanianmu. Tetapi anak-anak yang berani meraba bara yang merah itu sama sekali bukan karena keberaniannya. Tetapi karena ketidaktahuannya. Aku kira kau sekarang juga seperti kanak-kanak itu. Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi. Bukankah ada beberapa orang tua yang datang bersamamu, termasuk Ki Wijil? Tetapi bukan mereka yang siap untuk menghadapi aku. Tetapi kau, yang masih terhitung muda dibandingkan dengan aku. Tentu saja bukan hanya umurnya, tetapi tentu juga kematangan ilmunya.”

“Mungkin Empu. Tetapi jika kita harus bertempur, apa boleh buat. Meskipun aku lebih senang jika kita tidak usah beradu kekerasan.”

“Apakah ini suatu permohonan ampun?”

“Tidak, Empu,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak ingin mohon maaf, karena aku tidak bersalah. Empu-lah yang mengambil keputusan untuk melakukan kekerasan.”

Empu Tunggul Pawaka tertawa lagi. Katanya, “Aku senang terhadap sikapmu. Tetapi itu juga pertanda bahwa kau tentu berilmu tinggi.”

“Mudah-mudahan Empu benar.”

“Nah, sekarang bersiaplah. Aku harap kau tidak mengecewakan aku yang sudah terlanjur mengagumimu.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih, Empu. Tetapi apa yang Empu kagumi? Apakah Empu Wisanata dan Nyi Dwani belum pernah bercerita tentang aku, tentang istriku, dan tentang Tanah Perdikan Menoreh?”

“Cerita tentang apa?”

“Tentang perjalanan mereka ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Empu Tunggul Pawaka yang berjanggut putih itu menggeleng, sambil menjawab, “Tidak. Mereka tidak bercerita tentang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka juga tidak bercerita tentang orang yang bernama Agung Sedayu.”

“Bahkan mereka datang bersama Ki Saba Lintang.”

Empu Tunggul Pawaka itu menjawab, “Aku jarang berbicara dengan Saba Lintang, dengan Wisanata dan dengan Dwani. Kami hanya berbicara tentang hal-hal yang penting.”

“Tentang tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati?”

“Ya. Tongkat yang dimiliki oleh Saba Lintang.”

“Bukankah tongkat itu ada sepasang?”

“Satu lagi akan dimiliki oleh Dwani. Tetapi tongkat itu masih berada di pertapaannya. Meskipun demikian, Saba Lintang telah mendapatkan isyarat, sehingga tinggal menunggu saatnya untuk mengambilnya.”

“Oh,” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Cerita yang menarik. Empu.”

“Ya. Aku sudah mengatakan kepada Saba Lintang, bahwa aku baru akan tampil jika kedua tongkat itu sudah berada di tangannya.”

“Empu-lah yang sangat mengagumkan,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kau terlambat mengagumi aku, Agung Sedayu,” jawab Empu Tunggul Pawaka. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi kenapa hal itu kau katakan kepadaku sekarang?”

“Aku baru yakin jika Empu seorang yang sangat pandai mengendalikan perasaan, berpura-pura dan menyamarkan keadaan, sebagaimana Empu memasang topeng di wajah padepokan ini.”

Wajah Empu Tunggul Pawaka menjadi tegang. Dengan lantang ia bertanya, “Apa yang kau maksud?”

“Terus terang Empu. Sikap, kata-kata dan cerita Empu meragukan aku. Juga pengakuan Empu bahwa Ki Saba Lintang, Empu Wisanata dan Nyi Dwani tidak pernah bercerita tentang Tanah Perdikan Menoreh, dan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi.”

Telinga Empu Tunggul Pawaka itu bagaikan telah tersentuh api. Dengan garangnya ia bertanya, “Kau memang harus mati!”

“Permainan Empu hampir sempurna. Tetapi ketidak-tahuan Empu yang berlebihan, justru sangat meragukan.”

Empu Tunggul Pawaka tidak menjawab lagi. Ia pun segera bersiap untuk menyerang Agung Sedayu. Namun Empu itu sempat berteriak, “Jaka Dwara. Jangan ragu-ragu. Bunuh saja perempuan itu.”

Tetapi Agung Sedayu justru menyahut, “Bukankah Empu tahu bahwa Nyi Dwani tidak mampu mengalahkan Sekar Mirah? Bagaimana Empu dapat memerintahkan kepada Nyi Dwani untuk membunuhnya? Apakah itu bukan berarti bahwa Empu-lah yang telah dengan sengaja menyurukkan Nyi Dwani ke dalam genggaman maut?”

“Cukup!” teriak Empu Tunggul Pawaka. Getar suaranya terasa menggetarkan udara. Dari mulurnya yang terasa udara panas berhembus menyentuh kulit Agung Sedayu.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia sadar sepenuhnya bahwa orang yang bernama Empu Tunggul Pawaka itu tentu orang yang berilmu tinggi. Tetapi Agung Sedayu pun harus menyadari pula, bahwa ternyata di belakang orang yang bernama Ki Saba Lintang itu terdapat banyak orang berilmu tinggi.

Empu Tunggul Pawaka itu tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera menyerang Agung Sedayu dengan garangnya.

Meskipun janggutnya dan rambutnya telah memutih, namun ternyata bahwa Empu Tunggul Pawaka masih seorang berilmu tinggi yang garang. Dukungan kewadagannya masih tetap menggetarkan lawannya. Agung Sedayu pun telah benar-benar bersiap. Ia tidak mau terjebak ke dalam kesulitan karena kelengahannya. Karena itu, maka dengan tangkasnya ia pun segera berloncatan mengimbangi serangan-serangan Empu tunggul Pawaka.

Dengan demikian pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya.

Nyi Dwani pun telah menyerang Sekar Mirah pula.

“Ternyata kau seorang yang mampu mempergunakan segala macam senjata, Nyi,” desis Sekar Mirah.

“Senjata apapun yang aku pergunakan, tidak akan ada gunanya untuk melawan ilmumu, Nyi Lurah. Kenapa kau tidak langsung saja memukul tengkukku dengan tongkatmu itu?”

“Sudah aku katakan, kita dapat bekerja sama. Kau akan tetap hidup. Dan kau tidak akan kehilangan Ki Saba Lintang.”

“Tawaranmu memang menarik.”

“Pertimbangkanlah Nyi.”

“Bagaimana aku dapat mempertimbangkan, jika aku harus bertempur?”

“Kau tahu, aku tidak bersungguh-sungguh.”

“Ya. Jika kau bersungguh-sungguh, aku sudah mati.”

“Kau masih mempunyai kesempatan, Nyi.”

Nyi Dwani tidak menjawab. Tetapi perempuan itu berloncatan sambil memutar pedangnya.

Bagaimanapun juga Sekar Mirah tetap berhati-hati. Ia tidak dapat mempercayai sepenuhnya Nyi Dwani, yang dapat saja memanfaatkan kelengahannya sehingga ujung pedangnya menghujam ke jantungnya.

Pertempuran di padepokan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Bukan saja orang-orang berilmu tinggi di halaman bangunan utama. Tetapi para cantrik pun telah memutuskan ikatan yang membelenggu kebebasan mereka selama beberapa orang berilmu tinggi itu datang ke padepokan mereka. Sejak orang-orang itu mengambil kepemimpinan padepokan dari tangan Ki Ajar Trikaya dan memaksa Ki Ajar sakit beberapa lama, para cantrik itu kedudukannya tidak lebih dari budak-budak yang harus bekerja keras untuk kepentingan orang-orang itu.

Tetapi Ki Ajar Trikaya yang sendiri tidak mampu melawan beberapa orang berilmu tinggi yang diturunkan ke padepokan itu. Di antara mereka adalah Empu Tunggul Pawaka.

Pada saat para cantrik itu melihat satu kesempatan, maka mereka telah bergerak serentak. Orang-orang berilmu tinggi itu sedang terikat dalam pertempuran di halaman bangunan utama, sehingga karena itu maka para cantrik itu harus dengan cepat menguasai orang yang selama ini memperlakukan mereka dengan keras dan kasar, sebagaimana memerintah budak-budak belian.

Orang-orang yang garang itu ternyata memang tidak dapat bertahan terlalu lama. Jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah para cantrik yang marah. Cambuk mereka yang untuk beberapa lama sangat ditakuti, tidak dapat menghentikan kemarahan para cantrik yang tertimbun di dalam jantung mereka.

Di halaman, orang-orang berilmu tinggi yang untuk beberapa lama berkuasa di padepokan itu, sedang berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Kedatangan Ki Wijil bersama beberapa orang itu telah merusakkan segala rencana yang sudah disusun oleh orang-orang yang mengambil alih padepokan itu. Ki Ajar Trikaya yang selama ini dianggap sakit itu pun bertempur dengan tangkasnya. Sama sekali tidak ada kesan bahwa Ki Ajar itu sedang sakit, karena sebenarnyalah Ki Ajar memang tidak sakit.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar