Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 310

Buku 310

Namun Sukra itu pun kemudian bangkit sambil berkata, “Aku berharap bahwa pada suatu saat aku dapat berbuat sesuatu.”

“Tentu, Sukra,” jawab Glagah Putih.

Sukra berpaling memandang Glagah Putih. Tetapi tidak seperti biasanya, Glagah Putih nampak bersungguh-sungguh. Bahkan kemudian katanya, “Asal kau bersungguh-sungguh, maka kau akan dapat berbuat sesuatu.”

Tetapi Sukra itu justru bertanya, “Apakah aku kurang bersungguh-sungguh?”

“Sekarang kau memang bersungguh-sungguh. Tetapi maksudku, bahwa kau akan bertahan untuk waktu yang panjang. Bahkan dari tahun ke tahun.”

“Aku akan bertahan untuk waktu yang lama. Sebelum aku mampu berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikan ini, aku tidak akan berhenti berlatih.”

“Kau harus berdoa untuk itu.”

Sukra mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk, “Ya. aku akan mencoba untuk itu.”

Sukra pun kemudian melangkah pergi. Ketika ia sampai di belakang dapur, diraihnya kapak kecilnya untuk membelah kayu bakar. Sementara Glagah Putih pun kemudian bangkit pula dan melangkah mengitari halaman.

Glagah Putih kemudian telah pergi ke dapur pula. Namun demikian ia sampai di pintu, dilihatnya Ki Jayaraga telah melangkahi tlundak pintu itu sambil menjinjing cangkul.

“Ki Jayaraga akan pergi ke mana?”

“Seharusnya tadi pagi-pagi aku membuka pematang untuk mengairi sawah di simpang empat dekat gumuk kecil itu.”

“Sekarang Ki Jayaraga akan pergi ke sawah?” bertanya Glagah Putih.

“Kasihan tanaman yang menjadi kehausan itu.”

“Tetapi Ki Jayaraga tentu masih letih.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Aku sudah beristirahat cukup lama. Bukankah di sawah aku tidak akan berbuat apa-apa selain membuka pematang untuk mengalirkan air? Kemudian selanjutnya aku hanya tinggal menungguinya saja.”

Dari dapur terdengar suara Sekar Mirah, “Aku juga sudah minta agar besok saja sawah itu dialiri. Atau barangkali Sukra dapat pergi untuk hari ini.”

Tetapi Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Biarlah aku pergi ke sawah. Di rumah aku juga hanya merenung. Bukankah lebih baik aku berada di sawah menunggui air sambil tiduran di gubuk?”

Glagah Putih pun tersenyum, sementara Rara Wulan bertanya, “Di tengah hari nanti, Ki Jayaraga akan pulang atau Sukra harus membawa kiriman ke sawah?”

“Sebelum tengah hari aku akan pulang,” jawab Ki Jayaraga.

Demikianlah, maka Ki Jayaraga pun segera berangkat ke sawah sambil memanggul cangkul. Meskipun orang tua itu semalam suntuk tidak tidur dan bahkan telah terlibat dalam pertempuran yang sengit, namun ia masih tetap nampak segar. Setelah mandi, minum minuman hangat, wajah Ki Jayaraga itu nampak terang. Meskipun ia tidak dapat menghindari garis-garis umurnya, namun ternyata dukungan wadagnya masih tetap utuh.

Demikianlah, seisi rumah itu masih tetap melakukan tugas mereka sehari-hari sebagaimana hari-hari yang lain. Namun Rara Wulan hari itu tidak pergi berbelanja. Selain masih ada persediaan kebutuhan dapur, ia dapat memetik daun kacang panjang, so dan kroto di kebun belakang.

Di barak, Agung Sedayu juga melakukan tugas-tugasnya seperti biasa, sehingga tidak ada kesan bahwa semalam suntuk ia tidak tidur, dan bahkan bertempur di tepian Kali Praga.

Di sore hari, di saat-saat sebagaimana hari-hari sebelumnya, Agung Sedayu melarikan kudanya pulang. Jika kudanya berlari lebih kencang dari hari-hari yang lain, karena Agung Sedayu masih memikirkan luka-luka di tubuh Sekar Mirah. Nampaknya Sekar Mirah menjadi sedikit manja, sehingga ia menunggu Agung Sedayu pulang untuk mengganti obat-obat yang melekat di tubuhnya.

Menjelang senja, maka seisi rumah itu duduk berkumpul di ruang dalam. Minuman hangat masih mengepul. Sambil meneguknya, mereka masih memperbincangkan orang-orang yang mengaku saudara seperguruan Sekar Mirah itu.

“Apakah aku bersalah, bahwa aku tidak membunuhnya?” bertanya Sekar Mirah tiba-tiba.

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “Nyi Dwani sudah menyerah. Menurut paugeran para prajurit pun tidak dibenarkan membunuh lawan yang sudah menyerah dan tidak berdaya.”

“Tetapi para prajurit akan menawan lawan-lawannya yang menyerah,” desis Sekar Mirah.

“Tetapi langkahmu sudah benar,” sahut Ki Jayaraga, “seandainya orang itu mendendam, itu adalah urusannya. Semakin kerdil jiwa seseorang, maka dendam semakin tebal melapisi dinding jantungnya. Namun orang yang hidupnya dibayangi oleh dendam yang tidak berkeputusan, tidak akan pernah merasakan ketenangan.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih-lah yang berdesis, “Tetapi bagaimanapun juga kita tidak boleh mengabaikan dendam yang menyala di hati mereka.”

“Ya,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “kita memang harus selalu berhati-hati. Tetapi betapapun hitamnya hati seseorang, namun tentu masih ada percikan-percikan sinar terang di dalamnya. Seandainya dendam itu menyala di hati, perlakukan yang pernah dialaminya tentu akan mempengaruhinya sikapnya kemudian.”

“Tetapi bagaimana menurut Kakang, sikap Saba Lintang?”

“Agaknya hatinya memang sekeras batu. Memang mungkin seorang telah membunuh tunas kata-kata nuraninya sendiri.”

“Tetapi mudah-mudahan Ki Saba Lintang pun sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang jernih di hari-hari mendatang. Sebagai pemegang tongkat, maka ia tentu akan berusaha menegakkan wibawanya dengan cara apapun juga.”

“Tetapi Ki Saba Lintang telah melihat kenyataan, bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu pantas untuk memegang tongkat kepemimpinan dari perguruannya,” sahut Ki Jayaraga.

“Ki Saba Lintang akan dapat menghasut saudara-saudara seperguruannya,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Kau yakin, bahwa ia memang saudara seperguruan Sekar Mirah, sehingga ia berhak untuk merencanakan pembangunan kembali perguruan itu?” bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih terdiam. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah pun berkata, “Tetapi bagaimana tongkat itu dapat jatuh ke tangan Ki Saba Lintang, tetap menjadi sebuah pertanyaan.”

“Ya. itu merupakan satu pekerjaan tersendiri untuk mengetahuinya. Pada suatu saat, aku akan menemui Kakang Untara. Tentu dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mumpung tidak ada tugas-tugas berat bagi para prajurit dari Pasukan Khusus, sehingga aku akan dapat meninggalkannya beberapa hari.”

“Aku ikut bersama Kakang,” desis Glagah Putih pun agak ragu.

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Apakah kau sudah sangat rindu kepada ayahmu? Baiklah kita bicarakan pada saatnya. Tetapi yang penting justru Mbokayu Sekar Mirah. Persoalannya adalah persoalan perguruannya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian mengangguk sambil berdesis, “Ya. Sangat penting bagi Mbokayu. Tetapi seandainya aku dapat ikut.”

“Dan aku ditinggal sendiri?” desis Rara Wulan.

Agung Sedayu tertawa. Sementara itu Sekar Mirah pun tersenyum sambil berkata, “Tidak. Tentu tidak, Rara.”

“Bukannya aku menjadi ketakutan. Tetapi rumah ini tentu akan menjadi sepi. Ki Jayaraga tentu akan lebih banyak berada di sawah. Sukra lebih senang menunggui pliridannya.”

“Kau tidak akan sendiri,” berkata Glagah Putih kemudian, “mungkin kau juga ingin menempuh sebuah perjalanan, Rara.”

“Sudahlah,” potong Agung Sedayu, “kita akan membicarakannya kemudian. Yang penting sekarang, kita harus tetap berhati-hati dimanapun kita berada.”

Tetapi wajah Rara Wulan sudah terlanjur menjadi buram.

Sekar Mirah-lah yang kemudian berkata, “Nah, Rara. Kita sekarang menyiapkan makan malam.”

Rara Wulan pun kemudian bangkit pula.

Sementara itu, senja pun telah turun. Sukra mulai sibuk menyalakan lampu minyak. Di ruang dalam, di pendapa, dapur gandok, di serambi dan beberapa tempat yang lain. Sedangkan Sekar Mirah dan Rara Wulan mulai menyiapkan makan malam di dapur.

Sementara itu, di ruang dalam, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih berbincang tentang sekelompok orang yang mengaku saudara-saudara seperguruan Sekar Mirah itu.

Namun berapa saat kemudian, mereka pun telah duduk lagi dalam satu lingkaran, termasuk Sekar Mirah dan Rara Wulan, untuk makan malam.

Malam itu seisi rumah itu pun telah tidur dengan nyenyak. Sebenarnya bahwa mereka merasa letih dan mengantuk. Apalagi Sekar Mirah, yang di tubuhnya masih terdapat beberapa buah luka. Sementara itu Glagah Putih pun masih belum pulih sepenuhnya

Sukra yang mengetahui bahwa seisi rumah itu sedang letih, telah melakukan latihan sendiri tanpa mengganggu Glagah Putih. Dengan tekun ia mengulangi unsur-unsur gerak yang pernah diajarkan oleh Glagah Putih. Berulang kali, sehingga keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

Sukra itu tidak menghiraukan kawan-kawannya yang memanggilnya untuk bermain sembunyi-sembunyian, ketika bulan naik di atas cakrawala di sebelah timur.

Baru menjelang tengah malam Sukra berhenti berlatih. Ketika ia keluar dari sanggar, ia masih mendengar suara kawan-kawannya yang bermain-main. Namun Sukra sudah merasa letih, sehingga ia tidak tertarik lagi untuk ikut bermain.

Setelah keringatnya agak kering, Sukra telah pergi ke pakiwan. Membersihkan diri, kemudian pergi ke biliknya. Seperti yang lain pun, Sukra yang letih itu pun telah tidur dengan nyenyaknya.

Pagi-pagi benar seisi rumah itu sudah terbangun. Tubuh mereka terasa menjadi semakin segar. Glagah Putih merasa bahwa segala-galanya sudah menjadi pulih kembali. Sementara luka-luka Sekar Mirah pun sudah menjadi semakin baik. Sedangkan kekuatan Sekar Mirah rasa-rasanya telah menjadi utuh pula.

Karena itu, mereka segera melakukan kewajiban mereka dengan sebaik-baiknya.

Seperti biasanya, ketika matahari mulai naik, Agung Sedayu pun telah melarikan kudanya menuju ke barak prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun pagi itu Agung Sedayu terkejut. Dua orang Lurah prajurit utusan Ki Patih Mandaraka telah berada di baraknya.

Agung Sedayu pun kemudian telah menemui mereka di sebuah ruangan yang khusus. Kedua utusan itu ingin berbicara dengan Agung Sedayu tanpa ada orang lain, meskipun mereka para pembantu Agung Sedayu di barak itu.

“Nampaknya ada sesuatu yang penting,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Sedikit penting,” jawab salah seorang dari keduanya.

Sejenak kemudian, mereka pun telah duduk bertiga di sebuah ruangan yang khusus, sehingga pembicaraan mereka tidak dapat didengarkan oleh siapapun yang tidak berada di dalam ruangan itu.

“Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata salah seorang dari kedua orang utusan itu, “Ki Lurah dipanggil menghadap Ki Patih Mandaraka.”

“Apakah ada masalah yang penting bagi Pasukan Khusus di Tanah Perdikan ini?”

“Bukan tentang Pasukan Khusus ini Ki Lurah.”

“Jadi, tentang apa?”

“Sebaiknya Ki Lurah berbicara langsung dengan Ki Patih.”

“Barangkali kau mendengar serba sedikit persoalan apa yang akan diperintahkan oleh Ki Patih?”

“Aku tidak pasti Ki Lurah. Tetapi yang aku dengar serba sedikit, adalah kebangkitan sebuah perguruan yang pernah hidup dan besar di jaman kuasa Arya Penangsang di Jipang.”

Jantung Agung Sedayu berdesis. Sementara utusan itu berkata, “Sejak Arya Penangsang terbunuh, kemudian Ki Patih Mantahun dan para pengikutnya, perguruan itu seakan-akan telah menjadi pecah dan berserakan. Kini tiba-tiba tercium oleh para petugas sandi, usaha untuk membangkitkan kembali perguruan itu. Ada usaha untuk mengumpulkan murid-murid atau siapapun yang mempunyai kaitan dengan perguruan itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi jantungnya serasa berdebar semakin cepat.

Sementara itu, utusan itu pun berkata, “Tetapi mungkin aku keliru, Ki Lurah. Karena itu sebaiknya Ki Lurah menghadap, dan akan mendapat penjelasan langsung dari Ki Patih Mandaraka.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Aku akan segera menghadap. Tetapi apakah Ki Patih tidak memberikan waktu kepadaku, kapan aku harus menghadap?”

“Besok, Ki Lurah. Jika tugas-tugasmu di sini dapat kau tinggal, maka besok Ki Patih menunggumu di Kepatihan.”

“Besok aku akan menghadap Ki Patih di Kepatihan.”

“Terima kasih. Nanti aku akan menyampaikan kesediaan Ki Lurah untuk menghadap besok.”

Hari itu juga kedua utusan itu kembali ke Mataram. Dalam keterangan mereka yang masih belum dapat dipastikan kebenarannya, mereka mengatakan bahwa orang-orang, yang sedang berusaha membangunkan kembali perguruan itu sedang menghubungi orang-orang terpenting dari perguruan mereka.

“Siapakah yang dimaksud dengan orang-orang terpenting itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Memang tidak begitu jelas. Tetapi para petugas sandi itu mengatakan, bahwa ada semacam ciri kepemimpinan dari perguruan itu.”

“Apakah ujud dari ciri itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Tongkat baja putih.”

Debar jantung Agung Sedayu menjadi semakin cepat berdetak di dalam dadanya. Tetapi ia tidak bertanya lebih banyak lagi. Besok ia akan mendengar langsung dari Ki Patih Mandaraka tentang usaha kebangkitan sebuah perguruan.

Hari itu Agung Sedayu lebih banyak merenungi keterangan kedua utusan Ki Patih Mandaraka itu. Agung Sedayu hampir yakin, bahwa yang dimaksud oleh Ki Patih Mandaraka itu adalah perguruan yang sedang dirintis kebangkitannya oleh Ki Saba Lintang. Namun jika itu benar, maka agaknya akan menyangkut Sekar Mirah pula. Sekar Mirah adalah salah seorang di antara mereka yang memiliki tongkat ciri dari perguruan yang mengalir dari Kepatihan Jipang itu.

Namun Agung Sedayu masih belum berniat untuk membicarakannya dengan istrinya. Ia ingin berbicara lebih dahulu dengan Ki Patih Mandaraka

Meskipun demikian, Agung Sedayu sudah mulai memikirkan sikap yang sebaiknya diambil oleh Sekar Mirah.

Ketika Agung Sedayu kemudian pulang ke rumahnya, maka yang disampaikan kepada Sekar Mirah dan orang-orang seisi rumahnya adalah perintah Ki Patih untuk menghadap.

“Persoalan apa yang akan dibicarakannya, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu menggeleng, Katanya, “Aku belum tahu, Mirah.”

“Dan besok Kakang akan pergi ke Mataram?” bertanya Sekar Mirah pula

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk.

“Sendiri?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku akan pergi bersama dua orang pembantuku.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Agaknya ia ingin untuk dapat ikut bersama Agung Sedayu ke Mataram. Tetapi Agung Sedayu memang tidak mengajaknya. Justru karena Glagah Putih dikenal dengan baik oleh Ki Patih, maka Glagah Putih tentu akan diperkenankan untuk mendengarkan pembicaraannya dengan Ki Patih itu. Meskipun Glagah Putih sudah bersikap cukup dewasa, tetapi jika persoalannya benar menyangkut Sekar Mirah, mungkin Glagah Putih mempunyai sikap sendiri. Selebihnya, Glagah Putih harus ikut menjaga keselamatan keluarga, jika Ki Saba Lintang menjadi kehilangan kendali dan datang kembali ke rumah itu.

Di keesokan harinya, Agung Sedayu berangkat ke barak lebih pagi dari kebiasaannya. Ia telah menitipkan rumah dan isinya kepada Ki Jayaraga.

“Nampaknya Ki Saba Lintang memang seorang yang keras kepala,” berkata Agung Sedayu.

“Baiklah, Ki Lurah,” sahut Ki Jayaraga, “kami yang kau tinggal di rumah akan saling menjaga.”

Demikianlah, Sekar Mirah, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan telah melepaskan Agung Sedayu di regol halaman. Sukra pun ikut pula bersama mereka, justru berdiri di paling depan.

Agung Sedayu sempat menepuk bahu anak itu sambil berkata, “Jangan terlalu banyak bermain di sungai, Sukra. Nanti kulitmu menjadi bersisik.”

Sukra tidak menjawab. Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Sukra sudah memberikan pliridannya kepada kawannya.”

“Tidak aku berikan kepada kawanku,” Sukra ternyata telah membantah.

“Jadi?” bertanya Glagah Putih.

“Aku hanya meminjamkannya untuk waktu yang tidak terbatas.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ya. Dipinjamkan kepada kawannya untuk waktu yang tidak terbatas.”

Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun telah meninggalkan regol rumahnya menuju ke barak. Dari baraknya, Agung Sedayu akan langsung pergi ke Mataram.

Di sepanjang jalan Agung Sedayu sempat merenungi persoalan yang akan dihadapinya, jika benar apa yang dikatakan oleh kedua utusan Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi kenapa aku yang dipanggil oleh Ki Patih?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Agung Sedayu tidak tahu jawabnya. Tetapi hal itu sangat menggelisahkannya. Kenapa Ki Patih Mandaraka tidak memanggil kakaknya, Untara, yang memimpin sebuah pasukan yang besar di Jati Anom. Tidak pula para senapati yang lain, yang pangkat dan kedudukannya lebih tinggi dari sekedar seorang Lurah prajurit

Untara-lah yang pernah menghancurkan sisa-sisa pasukan Jipang di sekitar Jati Anom, yang dipimpin oleh seorang perwira Jipang yang tangguh, Tohpati yang juga bergelar Macan Kepatihan. Salah seorang dari mereka yang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan yang besar. Yang diturunkan antara lain oleh seorang yang ilmunya jarang ada duanya. Ki Patih Mantahun dari Jipang, pada saat Arya Penangsang berkuasa.

Namun debar di jantung Agung Sedayu itu menjadi semakin cepat berdentang di dadanya Seorang lagi yang memiliki tongkat kepemimpinan adalah saudara muda seperguruan Ki Patih Mantahun, yang bernama Ki Sumangkar. Sedangkan tongkat itu kemudian berada di tangan murid Ki Sumangkar itu. Sekar Mirah.

“Apakah Ki Patih Mandaraka mengetahui bahwa istriku adalah salah seorang dari mereka yang mewarisi ilmu dari perguruan yang telah pecah, dan yang kemudian akan dibangkitkan lagi itu?”

Namun Agung Sedayu akan dapat menceritakan apa yang baru saja dialami oleh Sekar Mirah. Perang tanding melawan seorang perempuan yang bernama Nyi Dwani. Seorang yang ingin merebut tongkat baja putih itu dari tangan Sekar Mirah. Sudah tentu bahwa dengan sepasang tongkat baja putih di tangan Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani, mereka akan lebih mudah mempengaruhi orang-orang yang merasa dirinya terkait oleh perguruan yang telah pernah pecah berserakan itu sepeninggal Ki Patih Mantahun.

Tetapi Agung Sedayu tidak berangan-angan lebih banyak lagi. Di hadapannya adalah gerbang barak Pasukan Khusus prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun telah berada di dalam baraknya. Dua orang prajurit pilihan yang ditunjuknya telah siap pula untuk berangkat ke Mataram bersama dengan Agung Sedayu, yang mendapat perintah untuk menghadap Ki Patih Mandaraka.

Setelah memberikan beberapa pesan kepada seorang yang dipercaya untuk mewakilinya selama Agung Sedayu pergi, maka ia pun segera bersiap untuk berangkat

“Menurut rencana, kami akan pulang hari ini,” berkata Agung Sedayu kepada pembantunya yang dipercayainya mewakilinya memimpin isi barak itu. “Tetapi segala sesuatunya tergantung pada keadaan. Jika diperlukan, maka aku akan bermalam di Mataram.”

Demikianlah, sejenak kemudian, selagi panas matahari belum menggatalkan kulit, Agung Sedayu telah memacu kudanya bersama dua orang pengawalnya menuju ke Mataram.

Beberapa saat lamanya mereka menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Sinar matahari pagi memang agak menyilaukan mata mereka, karena mereka berkuda ke arah timur.

Ketika mereka sampai di tepian, ternyata beberapa buah rakit telah hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang dari barat ke timur, dan dari timur ke barat. Beberapa orang di antara mereka menuntun kuda beban yang membawa hasil bumi mereka ke pasar. Yang lain membawa hasil kerajinan tangan.

Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya harus menunggu beberapa saat lamanya, sebelum mereka mendapat kesempatan untuk naik ke atas sebuah rakit, yang baru mendarat di sisi barat serta menurunkan penumpangnya.

Demikian mereka sampai di seberang sebelah timur, maka mereka pun segera melanjutkan perjalanan mereka. Kuda-kuda mereka pun segera berlari pula langsung menuju ke Mataram.

“Kita langsung pergi ke Kepatihan,” berkata Agung Sedayu, demikian mereka memasuki pintu gerbang kota.

Sementara itu, matahari sudah menjadi semakin tinggi. Jalan-jalan nampak ramai. Orang berlalu lalang, sementara satu dua orang berkuda lewat. Mereka melintas dengan kecepatan yang terkendali. Apalagi di jalan-jalan simpang. Meskipun demikian, ada juga satu dua orang yang berkuda tanpa menghiraukan keselamatan orang lain, dengan melarikan kuda mereka kencang-kencang meskipun di jalan yang terhitung ramai.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya itu pun langsung menuju ke Kepatihan. Mereka berhenti di pintu gerbang dan berloncatan turun. Kemudian mereka menuntun kuda mereka memasuki halaman.

Dua orang prajurit yang bertugas menghentikan mereka. Namun ketika mereka melihat bahwa orang itu adalah Ki Lurah Agung Sedayu dan pengawalnya, maka prajurit itu pun segera mempersilakannya masuk.

Seorang Lurah prajurit yang berada di serambi gandok sebelah barat mempersilakan Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya duduk menunggu. Lurah itu akan menyampaikan kepada Ki Patih, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu telah datang.

Sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah diterima oleh Ki Patih di serambi samping, menghadap ke longkangan di belakang pintu seketheng. Sementara itu dua orang prajurit yang mengawalnya menunggu di serambi, tempat para prajurit bertugas.

Dengan nada dalam Ki Patih itu pun berkata, “Sudah agak lama kita tidak bertemu, Ki Lurah.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menyahut, “Ya, Ki Patih. Sudah agak lama aku tidak menghadap Ki Patih.”

“Kau tentu sibuk, Agung Sedayu. Aku telah mendengar laporan, bahwa kau sedang berusaha meningkatkan kemampuan prajurit-prajuritmu. Bahkan ada beberapa orang yang kau tilik secara pribadi, sehingga mereka akan menjadi prajurit pilihan.”

“Bukankah itu memang tugasku, Ki Patih?”

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Nah, kali ini ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu, Ki Lurah.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat pula sambil berdesis, “Ya, Ki Patih.”

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Barangkali kau juga sudah mendengar Agung Sedayu, bahwa para petugas sandi telah mencium adanya satu usaha untuk menghimpun kembali sebuah perguruan yang telah pecah, bersamaan dengan terbunuhnya Ki Patih Mantahun dari Jipang, dan kemudian disusul oleh seorang Senapati Jipang yang pilih tanding. Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”

“Dua orang utusan Ki Patih telah menyinggungnya, meskipun hanya sekilas. Karena menurut keterangan mereka, mereka pun belum tahu secara pasti, apa yang telah terjadi dengan perguruan itu.”

“Ya. Demikian aku mendengar laporan tentang usaha itu, maka aku pun segera memanggilmu.”

“Ya, Ki Patih. Perintah apakah yang harus aku lakukan?”

“Aku belum akan memberikan perintah apa-apa, Agung Sedayu. Aku baru akan membicarakan persoalannya.”

Agung Sedayu mengangguk hormat pula.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka kemudian, “menurut laporan para petugas sandi, perguruan Kedung Jati yang besar itu akan bangkit kembali. Meskipun Ki Patih Mantahun dan saudara seperguruannya, Ki Sumangkar, sudah tidak ada, tetapi berapa orang murid dari perguruan itu merasa terpanggil untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Kepalanya tertunduk, sementara jantungnya menjadi berdebaran.

“Ki Lurah, sebaiknya aku berkata berterus terang. Aku sudah tahu bahwa pada perguruan itu terdapat ciri kepemimpinan, yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap mereka yang merasa terkait dan berkepentingan dengan perguruan itu.”

Jantung Agung Sedayu menjadi semakin berdebaran.

Sementara Ki Patih berkata selanjutnya, “Dan aku pun telah mengetahui bahwa salah seorang dari mereka yang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati itu, adalah istri Ki Lurah.”

Agung Sedayu memang tidak ingin menyembunyikan kenyataan itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Ya, ciri kepemimpinan perguruan Kedung Jati berupa tongkat itu diterimanya dari gurunya, Ki Sumangkar. Saudara seperguruan Ki Patih Mantahun.”

“Karena itu Ki Lurah, maka aku ingin membicarakan persoalan ini dengan Ki Lurah, sebelum aku mengambil keputusan untuk melakukan sesuatu. Panembahan Senapati pun sependapat, bahwa aku harus berbicara dengan Ki Lurah lebih dahulu. Jika sebelum aku mendapat penjelasan dari Ki Lurah ada orang lain yang mendapat tugas untuk menyelesaikan persoalan ini, aku takut terjadi salah paham dengan istri Ki Lurah.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Patih. Memang pernah terjadi sesuatu dengan istriku sehubungan dengan rencana beberapa orang untuk menghimpun dan membangunkan kembali perguruan Kedung Jati itu.”

“Apa yang pernah terjadi, Ki Lurah?”

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan apa yang pernah terjadi dengan istrinya. Kedatangan beberapa orang yang ingin menyeretnya ke dalam satu pertemuan untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu. Agung Sedayu pun telah menceritakan bahwa justru telah terjadi perang tanding antara istrinya dan Nyi Dwani. Bahkan dalam perang tanding itu kemudian telah terjadi persoalan baru, sehingga perang tanding itu pun akhirnya menjadi meluas. Seorang di antara orang-orang yang mendatangi istrinya itu telah terbunuh.

Ki Patih mendengarkan laporan Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jika pertemuan itu diselenggarakan di Tanah Perdikan, apakah Nyi Lurah bersedia untuk menjadi salah seorang pemimpin dari susunan perguruan yang bangkit kembali itu?”

“Jika pertemuan itu dilakukan di Tanah Perdikan, serta istriku mampu menanamkan pengaruhnya, maka ia akan dapat memberikan arah kepada perguruan yang baru itu.”

“Namun ternyata maksud mereka tidak demikian,” berkata Ki Patih, “mereka justru ingin mengambil tongkat itu dari tangan istrimu.”

“Ya, Ki Patih.”

“Ki Lurah Agung Sedayu,” berkata Ki Patih kemudian, “biarlah aku melengkapi keteranganku. Menurut pendengaran para petugas sandi, kebangkitan perguruan Kedung Jati itu bukan sekedar kebangkitan sebuah perguruan.”

“Maksud Ki Patih?”

“Sebagian besar dari penggeraknya adalah mereka yang menganggap bahwa Panembahan Senapati tidak berhak memimpin Mataram yang tumbuh semakin besar.”

Jantung Agung Sedayu berdebar semakin cepat. Namun Ki Patih Mandaraka itu pun berkata, “Tetapi aku yakin bahwa di antara mereka tidak termasuk Nyi Lurah Agung Sedayu. Aku percaya akan kesetiaan keluarga Ki Lurah.”

Agung Sedayu tidak menyahut. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “justru karena Nyi Lurah termasuk salah seorang dari mereka yang memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati itu, maka aku akan minta kepadamu untuk menelusuri rencana kebangkitan dari perguruan itu.”

“Kami akan melakukah sejauh kemampuan kami, Ki Patih.”

“Sayang, bahwa benturan itu sudah terjadi pada langkah pertama dari rencana itu. Mungkin orang yang menamakan diri Saba Lintang itu tidak akan menghubungi istrimu kembali.”

“Dendamnya masih menyala di hatinya.”

“Ya. Jika orang itu datang, tentu untuk mencari kesempatan membalas dendam. Bukan untuk berbicara tentang rencana-rencana yang akan dilakukannya.”

“Meskipun demikian, Ki Patih, jika Ki Patih memang memerintahkan kepada kami, maka kami akan berusaha. Meskipun kami tidak memastikan diri untuk dapat menguak sampai tuntas, namun setidak-tidaknya keterangan-keterangan yang kami dapatkan, akan melengkapi laporan para petugas sandi.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi mungkin terjadi, bahwa penelusuran para petugas sandi akan sampai juga kepada Nyi Lurah Agung Sedayu. Karena itu, maka pada saatnya aku ingin mengatur agar tidak terjadi salah paham antara petugas sandi dengan Nyi Lurah Agung Sedayu. Aku percaya, bahwa Ki Lurah akan dapat mengendalikan Nyi Lurah. Bukan saja karena Ki Lurah memiliki kelebihan dari Nyi Lurah, sehingga Nyi Lurah tidak berani bergerak. Tetapi lebih dari itu, Ki Lurah dapat mengendalikan Nyi Lurah dari segi keyakinan, bahwa usaha untuk membangkitkan kembali perguruan itu dengan tujuan menentang usaha Mataram untuk mempersatukan daerah yang luas di Tanah ini, adalah satu langkah yang salah.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Ia sadar, bagaimanapun juga ada kecurigaan Ki Patih terhadap istrinya, sehingga Ki Patih telah membebankan tugas kepadanya untuk mengendalikan Sekar Mirah.

Dengan nada dalam Agung Sedayu itu pun berkata, “Ki Patih. Aku akan berusaha sejauh dapat aku lakukan untuk mengendalikan Sekar Mirah. Tetapi peristiwa yang terjadi kemarin malam itu pun satu pertanda, bahwa Sekar Mirah tidak mudah untuk dapat dibujuk dan kemudian diperalat mereka. Bahkan mungkin mereka memperhitungkan kemungkinan untuk menyingkirkan Sekar Mirah, kemudian menguasai tongkat baja putihnya.”

“Ya. Menurut ceritamu, agaknya mereka memang berniat demikian. Tetapi setelah usaha itu gagal, mungkin mereka akan mempergunakan cara lain. Mereka akan dapat memakai cara yang lebih halus dari sebuah perang tanding.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Kemungkinan itu memang ada Ki Patih. Namun aku berjanji untuk mengendalikannya.”

“Nah, Agung Sedayu. Hal inilah yang ingin aku sampaikan kepadamu. Pada waktu yang tidak terlalu lama, aku akan memanggilmu lagi. Kita akan berbicara dengan para petugas sandi, agar tidak terjadi kesalah-pahaman itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami menunggu perintah, Ki Patih. Istriku akan melakukan apa saja, serta bekerja bersama para petugas sandi. Bahkan seluruh keluargaku. Jika benar ada usaha untuk mengguncang kekuasaan Mataram, maka adalah tugas kami untuk melawan.”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Sudah banyak yang kau lakukan bagi Mataram, Agung Sedayu. Panembahan Senapati pun mengenalmu sejak masa mudanya. Karena itu, maka aku dan Panembahan Senapati tidak mempunyai alasan untuk tidak mempercayaimu.”

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menyahut, “Terima kasih, Ki Patih. Aku akan menjunjung tinggi kepercayaan ini. Tentu saja dalam batas-batas kemampuanku.”

“Kau juga adik seorang senapati pilihan yang memimpin sebuah pasukan yang besar di Jati Anom. Itu dapat menambah keyakinan kami, bahwa kau tidak akan pernah bergeser dari garis perjuanganmu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun terasa betapa ia masih harus berpegangan nama kakaknya untuk mendapat kepercayaan dari Ki Patih Mandaraka, meskipun ia sudah berbuat apa saja bagi Mataram.

Tetapi Agung Sedayu tidak menjadi sakit hati. Ia tidak dapat menyingkir dari kenyataan, bahwa istrinya adalah salah seorang murid dari perguruan yang pernah berkiblat pada Kadipaten Jipang semasa Arya Penangsang berkuasa. Nampaknya permusuhan yang saat itu menyala antara Jipang dan Pajang, asapnya masih saja mengepul untuk waktu yang panjang, hingga pusat pemerintahan telah berpindah dari Pajang ke Mataram.

Dalam pada itu, Ki Patih pun kemudian berkata, “Baiklah, Agung Sedayu. Kau sudah mendapat gambaran dari persoalan yang sedang kita hadapi. Sebenarnya kita berharap bahwa setelah peristiwa Pati, Mataram akan dapat menjadi tenang. Tetapi tiba-tiba saja ada persoalan yang menggelitik, yang tidak dapat kita abaikan.”

Agung Sedayu hanya dapat mengangguk dan mengiyakan. Katanya, “Mudah-mudahan kita akan segera dapat mengatasinya, Ki Patih. Selama ini Mataram sudah berhasil mengatasi persoalan-persoalan rumit yang dihadapinya. Mudah-mudahan persoalan yang timbul ini tidak lebih berat dari yang pernah dihadapi Mataram sebelumnya.”

Ki Patih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ya. Agaknya persoalan ini memang tidak seberat yang pernah kita hadapi. Tetapi justru karena sifatnya yang berbeda, maka kita pun harus mempunyai cara yang berbeda pula untuk menghadapinya.”

“Ya, Ki Patih.”

“Yang kita hadapi sekarang adalah lawan di bawah permukaan. Kita tidak segera dapat melihat, siapakah lawan kita dan di mana mereka berada. Dari mana mereka akan menyerang, serta sasaran yang manakah yang mereka pilih.”

“Ya, Ki Patih.”

“Meskipun demikian, kita yakin bahwa kita akan dapat mengatasi persoalan ini. Bahkan kita berharap bahwa persoalan ini tidak mengguncang ketenangan tata kehidupan Mataram, yang sudah semakin mapan.”

“Ya, Ki Patih,” Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam.

“Baiklah, Agung Sedayu,” berkata Ki Patih, “persoalan kita sudah selesai untuk kali ini. Tetapi aku akan memanggilmu lagi pada kesempatan yang lain. Aku pun minta agar kau dapat memberikan laporan yang ada hubungannya dengan usaha kebangkitan perguruan Kedung Jati itu. Setiap keterangan akan dapat menambah bahan untuk mencari pemecahannya.”

“Ya, Ki Patih.”

“Namun untuk sementara, persoalan ini masih merupakan persoalan yang sangat terbatas. Hanya pembantu-pembantuku yang tepercaya yang mendengarnya, termasuk kedua orang utusanku yang memanggilmu kemarin. Kau pun harus ikut menjaga, agar persoalan ini tidak tersebar. Jika usaha kita untuk mengikuti jejak mereka dapat mereka ketahui, maka mereka akan menjadi semakin berhati-hati.”

“Baik, Ki Patih, Aku akan menjaga bahwa hal ini tidak akan menebar sampai keluar lingkungan keluargaku.”

“Terima kasih. Mudah-mudahan kita tidak mengalami kesulitan untuk menangani persoalan ini.”

“Ki Patih,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku mohon ijin agar keluargaku diperkenankan untuk ikut menelusuri jejak mereka yang berusaha membangkitkan kembali perguruan yang pernah besar di bawah kepemimpinan Ki Patih Mantahun, serta Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu.”

“Aku tidak berkeberatan. Agung Sedayu. Tetapi tidak sejak sekarang. Sudah aku katakan bahwa aku akan memanggil beberapa orang pemimpin dari prajurit sandi. Aku ingin membicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan, agar tidak terjadi salah paham.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menyahut, “Ya, Ki Patih.”

“Nah, aku kira tidak ada lagi yang harus kita bicarakan hari ini Agung Sedayu. Namun kau tidak perlu tergesa-gesa pulang. Masih ada waktu untuk berbicara tentang hal-hal yang lain. Sementara itu, biarlah disuguhkan hidangan bagimu.”

“Terima kasih, Ki Patih. Biarlah aku duduk di luar. Aku datang bersama dua orang prajuritku.”

“Di mana mereka sekarang?”

“Di luar Ki Patih. Bersama para prajurit yang bertugas.”

“Baiklah. Tetapi jangan pulang dulu. Bukankah masih banyak waktu?”

“Ya, Ki Patih.”

“Kenapa tidak kau ajak Glagah Putih?”

“Pada kesempatan lain aku akan membawanya.”

Agung Sedayu pun kemudian mohon diri untuk berada di luar bersama para pengawalnya. Namun Ki Patih itu pun berkata, “Nanti, kalau kau akan kembali ke Tanah Perdikan, aku masih akan memberikan beberapa pesan kepadamu.”

“Ya, Ki Patih,” jawab Agung Sedayu.

“Aku akan menghadap Panembahan Senapati sebentar, meskipun tidak ada pasowanan hari ini.”

“Ya, Ki Patih.”

Sejenak kemudian, Agung Sedayu pun sudah berada di tempat para prajurit yang sedang bertugas. Kedua orang pengawalnya juga berada di tempat itu, ramai berbincang dengan para prajurit yang ada di serambi itu. ,

Beberapa saat kemudian, para pelayan di Kepatihan telah menghidangkan minuman hangat dan makanan bagi Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya.

“Silahkan,” berkata Lurah prajurit yang bertugas, “itu minuman kami sudah hampir habis.”

Selagi Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya meneguk minuman, maka Ki Patih yang duduk di punggung kudanya melintas di halaman, diiringi oleh dua orang pengawalnya.

Namun kuda itu berhenti sejenak. Tangan Ki Patih itu pun kemudian melambai memanggil Agung Sedayu.

Dengan tergesa-gesa Agung Sedayu pun berlari-lari kecil mendekat

“Kau tidak usah menunggu aku. Jika kau akan kembali ke Tanah Perdikan, aku mengucapkan selamat jalan.”

“Terima kasih, Ki Patih,” sahut Agung Sedayu sambil membungkuk hormat.

Ki Patih terdiam sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita akan berbicara lagi beberapa hari mendatang. Kau dapat membicarakan dengan istrimu lebih dahulu, apa yang sebaiknya kalian lakukan.”

“Baik, Ki Patih.”

“Terima kasih atas kedatanganmu, Ki Lurah.”

Agung Sedayu membungkuk hormat sambil berdesis, “Kami yang di Tanah Perdikan Menoreh selalu menunggu perintah.”

Ki. Patih Mandaraka itu pun tersenyum. Kudanya pun kemudian bergerak, sementara Ki Patih berkata, “Aku hanya ingin kau duduk, minum minuman hangat dan makan makanan yang sudah disiapkan. Tidak ada pesan apa-apa lagi, Ki Lurah.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun sambil tersenyum ia menyahut, “Terima kasih, Ki Patih. Kami sudah minum minuman hangat dan makan makanan yang dihidangkan kepada kami, sampai habis.”

Ki Patih Mandaraka pun tertawa. Sementara itu digerakkannya kendali kudanya, sehingga kudanya pun berjalan semakin cepat menyusup regol Kepatihan dan turun ke jalan.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya telah minta diri kembali ke Tanah Perdikan. Lurah prajurit yang memimpin para prajurit yang bertugas mengantarnya sampai ke regol halaman. Kemudian melepaskan Agung Sedayu dan kedua prajuritnya meninggalkan Kepatihan.

Demikianlah, Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya telah melarikan kuda mereka kembali ke Tanah Perdikan.

Kedua orang prajurit yang mengawal Agung Sedayu itu pun mengetahui, bahwa tentu ada masalah yang terhitung rumit bagi Agung Sedayu. Agaknya ada perintah yang berat yang harus dilakukannya. Tetapi keduanya tidak merasa pantas untuk bertanya. Jika Ki Lurah Agung Sedayu menganggap perlu, ia akan mengatakannya. Jika Ki Lurah itu tidak mengatakan apa-apa, berarti bahwa persoalannya masih belum perlu disampaikan kepada mereka.

Di sepanjang jalan pulang. Agung Sedayu lebih banyak berdiam diri. Kudanya berlari di paling depan. Kemudian kedua orang pengawalnya berada di belakangnya. Bahkan di jalan-jalan yang ramai, ketiga ekor kuda itu berlari berurutan satu-satu.

Di sore hari mereka telah berada di barak mereka. Ketiganya sempat beristirahat sejenak. Para pengawal Agung Sedayu itu pun telah pergi ke dapur untuk makan. Sementara seorang petugas telah mempersiapkan makan bagi Agung Sedayu di sebuah ruang yang khusus.

Tetapi Agung Sedayu tidak berminat untuk makan. Meskipun di Kepatihan Mataram Agung Sedayu hanya makan sepotong makanan, tetapi rasa-rasanya perutnya tidak menjadi lapar sama sekali.

Karena itu, Agung Sedayu pun justru ingin segera pulang dan membicarakan persoalannya dengan keluarganya.

Beberapa saat kemudian, setelah Agung Sedayu menerima laporan dari orang yang diserahinya memimpin barak itu selama ia pergi, maka Agung Sedayu pun telah memberikan beberapa perintah kepadanya pula.

“Sampai besok,” berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan pulang.”

“Baik, Ki Lurah,” jawab prajurit yang diserahinya tugas.

Demikianlah, Agung Sedayu pun segera melarikan kudanya menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan.

Ketika Agung Sedayu memasuki regol halaman rumahnya, Agung Sedayu berusaha untuk menghilangkan kesan kegelisahan hatinya. Ia berusaha bersikap seperti biasa, tanpa beban persoalan sama sekali

Sekar Mirah yang diberi tahu oleh Sukra bahwa Agung Sedayu telah pulang, segera menyongsongnya. Sukra-lah yang kemudian menuntun kuda Agung Sedayu ke kandang, sementara Agung Sedayu langsung masuk ke ruang dalam.

“Aku kira kau bermalam di Mataram, Kakang,” berkata Sekar Mirah.

“Tidak, Mirah. Tidak banyak persoalan yang aku bicarakan dengan Ki Patih Mandaraka.”

“Tentang apa?” bertanya Sekar Mirah.

“Nanti, setelah aku mandi, aku akan bercerita.”

“Rahasia?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak. Bukan rahasia. Karena itu, nanti aku akan menceritakannya.”

Rara Wulan pun kemudian menghidangkan minuman hangat. Sementara Glagah Putih yang masih berkeringat setelah membelah kayu bakar di belakang rumah berkata, “Aku mandi dulu, Kakang.”

“Tubuhmu masih basah oleh keringat. Biarlah aku dahulu saja yang mandi.”

“Silakan Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Di mana Ki Jayaraga?”

“Belum pulang.”

“Ke mana?”

“Ke sawah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Nampaknya berada di sawah dapat memberikan ketenteraman bagi Ki Jayaraga. Ia lebih banyak berada di sawah daripada di rumah.”

“Di rumah, tidak ada yang dapat dikerjakan oleh Ki Jayaraga,” sahut Glagah Putih, “sedangkan di sawah, ada saja pekerjaan. Membuka pematang untuk mengalirkan air. Menyiangi tanaman. Menaruh rabuk di sela-sela batang padi, dan masih banyak lagi.”

Namun Sekar Mirah pun menyahut, “Kehadiran Ki Jayaraga kadang-kadang membuat orang-orang yang membantu menggarap sawah menjadi segan. Mereka terpaksa bekerja keras sebagaimana Ki Jayaraga. Mereka pun kadang-kadang terpaksa pulang senja.”

“Tetapi kadang-kadang Ki Jayaraga justru mempersilakan mereka pulang lebih dahulu,” sahut Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Sawah bagi Ki Jayaraga adalah satu dunia yang tenang dan damai. Kegelisahan di masa-masa lampau membuatnya selalu merindukan ketenangan itu.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Namun mereka pun kemudian melihat Ki Jayaraga itu memasuki ruang dalam lewat pintu samping. Ia tertegun melihat Agung Sedayu yang sudah berada di ruang dalam.

“Ki Lurah sudah pulang?” desis Ki Jayaraga

“Ya, Ki Jayaraga,” jawab Agung Sedayu, “tidak banyak masalah yang kami bicarakan.”

Namun Agung Sedayu pun kemudian pergi ke pakiwan.

Ketika lampu-lampu minyak sudah menyala, seisi rumah itu duduk di ruang dalam sambil meneguk minuman hangat.

Pada kesempatan itulah Agung Sedayu berkata, “Ada persoalan yang perlu aku bicarakan dengan kalian.”

“Tentang apa, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Ternyata persoalan yang dikemukakan oleh Ki Patih Mandaraka menyentuh kita sekeluarga.”

Yang mendengarkan keterangan Agung Sedayu itu menjadi termangu-mangu. Namun Sekar Mirah-lah yang kemudian tanggap. Meskipun agak ragu ia pun bertanya, “Tentang perguruan itu?”

Agung Sedayu mengangguk. “Laporan yang sampai ke Mataram bukan tentang perang tanding itu, tetapi tentang usaha beberapa orang untuk membangkitkan kembali perguruan yang pernah menggetarkan Pajang. Perguruan Kedung Jati. Beberapa orang terpenting pada saat itu adalah Ki Patih Mantahun, Ki Sumangkar, dan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.”

Sekar Mirah menundukkan kepalanya. Jika disebut-sebut nama juru masak yang mengikuti gerak pasukan Macan Kepatihan itu, maka mau tidak mau tentu akan sampai kepada tongkat baja putihnya, yang sekarang berada di tangan Sekar Mirah.

Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Bagaimana sikap Ki Patih Mandaraka, yang tentu mewakili sikap Mataram?”

“Ki Patih Mandaraka ingin usaha untuk menyusun kembali perguruan Kedung Jati itu mendapat pengawasan sebaik-baiknya,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Dengan nada rendah Sekar Mirah itu pun bertanya, “Apakah Ki Patih menyebut-nyebut namaku sebagai salah satu pemilik tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati itu?”

“Ya,” nada suara Agung Sedayu merendah, “namun aku pun telah melaporkan apa yang baru saja terjadi.”

Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Namun Agung Sedayu pun berkata, “Dengan laporanku, maka Ki Patih dapat mempertimbangkan kedudukanmu di antara orang-orang seperguruanmu yang ingin membangkitkan kembali perguruan Macan Kepatihan itu. Bahkan Ki Patih pun mengetahui, bahwa ada pihak-pihak yang ingin memanfaatkan rencana itu. Mereka bukan murid-murid dari perguruan Kedung Jati yang besar itu. Tetapi mereka ingin menumpang kebesaran nama itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk, meskipun ia masih saja merasa cemas bahwa persoalannya akan menjeratnya, justru karena ia memiliki tongkat baja putih itu. Mungkin Agung Sedayu yang sudah lama menunjukkan darma baktinya kepada Mataram itu akan dapat melindunginya. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat membayangkan, sejauh manakah perlindungan itu dapat diberikan. Atau justru dapat terjadi sebaliknya. Karena istri Agung Sedayu adalah salah seorang murid dari perguruan Macan Kepatihan yang sampai batas akhir hidupnya menentang Pajang, Agung Sedayu sendiri justru akan mendapat penilaian yang buruk.

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tetapi kita tidak boleh menjadi gelisah. Ki Patih Mandaraka cukup mengerti kedudukan kita. Karena itu, mungkin kita justru akan diikutsertakan dalam usaha untuk mengamati gerak mereka yang ingin membangkitkan kembali perguruan itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah ia bertanya, “Apakah Mataram sudah mendapatkan tanda-tanda bahwa usaha untuk membangkitkan kembali perguruan itu akan berpengaruh buruk terhadap tatanan kehidupan, atau tatanan pemerintahan di Mataram?”

“Agaknya belum Glagah Putih,” jawab Agung Sedayu, “karena itu, yang dilakukan Mataram adalah sekedar mengamati, apakah yang akan dilakukan oleh orang-orang yang menyebut dirinya murid-murid dari perguruan Kedung Jati itu. Jika timbul kecurigaan, itu adalah sangat wajar, karena Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka tahu benar apa yang pernah dilakukan oleh Jipang di bawah kepemimpinan Arya Penangsang terhadap Pajang. Jika Panembahan Senapati itu dianggap kelanjutan dari kuasa Sultan Pajang, meskipun pada saat mengalirnya kepemimpinan harus terjadi pergolakan, maka wajar sekali jika orang-orang yang mengaku murid-murid perguruan Kedung Jati memusuhi Mataram.”

Namun di luar dugaan, Sekar Mirah pun bertanya, “Jadi Kakang menganggap wajar jika aku bersikap seperti itu juga?”

“Tidak. Bukan begitu maksudku, Mirah,” sahut Agung Sedayu dengan serta-merta, “maksudku, adalah wajar jika orang-orang Mataram menduga yang demikian.”

“Tetapi Kakang mengatakan bahwa wajar sekali jika orang-orang yang mengaku murid-murid Kedung Jati itu memusuhi Mataram,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Ki Jayaraga-lah yang kemudian menengahi, “Maksud Ki Lurah, jika ada orang-orang perguruan Kedung Jati itu yang memusuhi Mataram, adalah wajar, ditilik dari sikap para pemimpinnya di masa lampau. Tetapi tentu tidak semua orang dari perguruan itu yang bersikap demikian. Terbukti bahwa di dalam lingkungan perguruan yang masih belum berhasil bangkit kembali itu telah terjadi perpecahan.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Sementara Agung Sedayu berdesis, “Ya. Begitulah yang aku maksudkan. Mungkin lidahku agak kurang mapan mengucapkannya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku akan dapat tersudut karena usaha beberapa orang itu. Seharusnya aku membunuh Nyi Dwani dan kita lenyapkan pula Ki Saba Lintang dan Empu Wisanata. Dengan demikian, kita akan dapat menyerahkan kedua tongkat baja putih itu bersama-sama, sebagai pertanda bahwa tidak ada niat dari perguruan Kedung Jati untuk melawan Mataram. Jika kemudian ada sekelompok orang yang bergerak untuk menentang Mataram dengan landasan nama perguruan Kedung Jati, maka itu adalah fitnah semata-mata.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Saat itu kita tidak mengetahui bahwa persoalannya akan menyusup masuk ke dalam Istana Panembahan Senapati. Jika saja kita mengetahuinya, maka kita akan menangkap mereka dan menghadapkannya kepada Ki Patih Mandaraka.”

“Tetapi mereka sudah terlanjur pergi,” berkata Ki Jayaraga, “karena itu, kita akan menempuh cara yang harus kita sesuaikan dengan langkah-langkah yang akan diambil oleh para prajurit sandi dan Mataram, agar tidak terjadi salah paham.”

Agung Sedayu pun menyahut, “Ya, Itulah sebabnya maka dalam waktu dekat aku akan dipanggil lagi ke Mataram.”

“Dengan demikian, apakah Kakang akan pergi ke Jati Anom?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Aku tidak dapat pergi sebelum aku dipanggil lagi oleh Ki Patih Mandaraka, karena aku tidak tahu kapan aku harus menghadap.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika Kakang menunggu perintah Ki Patih, aku dapat pergi sendiri ke Jati Anom. Aku dapat menemui Kakang Untara dan berbicara tentang tongkat baja putih yang pernah dimiliki oleh Tohpati, yang pernah dikalahkannya itu.”

“Jangan, Mirah,” sahut Agung Sedayu, “aku yakin bahwa Kakang Untara tentu juga akan dipanggil Ki Patih Mandaraka. Aku akan dapat berbicara dengan Kakang Untara di Mataram.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sekilas. Namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya.

“Namun satu hal yang menguntungkan kita, bahwa kita telah melakukan satu langkah yang memastikan sikap kita terhadap usaha kebangkitan perguruan itu,” berkata Glagah Putih.

Namun Sekar Mirah pun menyahut, “Kemungkinan lain adalah, tuduhan bahwa aku telah terlibat dalam persaingan untuk memperebutkan kedudukan kepemimpinan pada perguruan yang akan disusun kembali itu.”

“Aku akan dapat menjelaskan persoalannya, Mirah,” desis Agung Sedayu.

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Sebaiknya kita tidak usah terlalu cemas memikirkan sikap Mataram. Aku yakin bahwa segala sesuatunya akan dipertimbangkan masak-masak. Di antara mereka yang akan dipanggil selain Ki Lurah Agung Sedayu, tentu juga Angger Untara. Bukan saja sebagai seorang Tumenggung yang menjabat sebagai Senapati di Jati Anom, tetapi juga karena pada waktu itu Angger Untara-lah yang telah berhasil menghancurkan pasukan Jipang yang tersisa, di bawah pimpinan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, salah seorang dari mereka yang memiliki tongkat kepemimpinan perguruan Kedung Jati.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk, sementara Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Nah, Angger Untara dan Ki Lurah Agung Sedayu tentu dapat memberikan banyak penjelasan tentang tongkat-tongkat baja putih itu. Yang sekarang salah satunya adalah di tangan Ki Saba Lintang.”

“Di mana kita dapat mencari Ki Saba Lintang? Kita tidak pernah bertanya di manakah tempat tinggalnya atau padepokannya, atau apapun yang dapat memberikan petunjuk di mana orang itu berada,” gumam Glagah Putih.

“Seandainya kita bertanya, maka jawabnya tentu bukan yang sesungguhnya,” sahut Ki Jayaraga, “Ki Saba Lintang dapat saja menyebut nama sebuah padukuhan atau sebuah padepokan, atau apa saja.”

“Ya,” Glagah Putih berdesis, “apalagi ia mempunyai maksud yang tersembunyi.”

“Sebaiknya kita memang menunggu,” berkata Agung Sedayu kemudian, “tetapi pembicaraan ini merupakan bekal bagiku nanti.”

Meskipun di hari berikutnya Sekar Mirah berusaha untuk tetap bersikap tenang, namun terkesan juga pada sikap dan tingkah lakunya, bahwa ia masih saja diburu oleh kegelisahan. Bagaimanapun juga Sekar Mirah berusaha, namun ia tidak dapat melupakan persoalan yang sedang menjadi pembicaraan di Mataram itu. Usaha beberapa orang untuk menghimpun kembali murid-murid dari perguruan Kedung Jati.

Yang sedikit memberikan ketenangan pada Sekar Mirah adalah bahwa suaminya termasuk orang yang akan diajak berbicara tentang usaha Mataram untuk mengamati, dan jika perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasinya.

Dalam pada itu, di hari-hari berikutnya Agung Sedayu tidak berani meninggalkan Tanah Perdikan. Setiap saat ia akan dapat dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka. Karena bagi Agung Sedayu persoalannya sangat penting, maka ia berusaha untuk dapat hadir pada pertemuan yang akan diselenggarakan itu. Selain bahwa kehadirannya itu adalah satu kewajiban bagi Agung Sedayu sebagai seorang prajurit.

Yang kemudian berusaha untuk meredakan kegelisahan Sekar Mirah bukan hanya Agung Sedayu saja, tetapi juga Ki Jayaraga, Glagah Putih dan bahkan Rara Wulan.

Hari-hari rasanya menjadi tidak menentu. Agung Sedayu menunggu kapan ia mendapat perintah untuk datang ke Mataram.

Ketegangan dari hari ke hari terasa semakin menekan jantung. Rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sabar menunggu perintah untuk datang ke Mataram.

Baru setelah lewat sepekan, dua orang utusan prajurit telah memanggil Ki Lurah Agung Sedayu untuk datang ke Mataram. Tetapi perintah itu sangat mendebarkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, karena perintah itu menyebutkan bahwa Agung Sedayu diperintahkan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka bersama istrinya, Nyi Lurah Agung Sedayu.

“Kenapa Sekar Mirah juga harus menghadap?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia hanya dapat menduga jawabnya.

“Aku mendapat perintah untuk besok menghadap Ki Patih, Mirah,” berkata Agung Sedayu demikian ia sampai di rumah. Ia pun telah memberitahukan pula, bahwa Sekar Mirah juga harus menghadap.

“Semakin cepat agaknya semakin baik, Kakang. Kita segera tahu, apa yang dikehendaki oleh Mataram sebenarnya.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya, Mirah. Segala-galanya akan segera menjadi jelas. Kita tidak perlu berteka-teki lagi dari hari ke hari.”

“Aku siap, Kakang. Besok aku akan ikut bersama Kakang ke Mataram.”

“Baiklah. Besok kita pergi ke barak lebih dahulu. Kita akan pergi bersama dengan dua orang pengawal.”

“Apakah kita masih memerlukan pengawal?” bertanya Sekar Mirah.

Ya. Dalam perjalanan tugas, aku dibenarkan membawa pengawal,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Ketika hal itu diketahui oleh Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka pun menjadi berdebar-debar juga. Agaknya tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu telah menjadi perhatian para pemimpin di Mataram.

“Segala-galanya akan menjadi lebih pasti,” berkata Agung Sedayu.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk pula. Katanya, “Segala sesuatunya akan diletakkan di tempatnya.”

Demikianlah, di hari berikutnya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah meninggalkan regol halaman rumahnya sebelum matahari terbit. Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan melepas mereka di luar regol. Beberapa saat mereka mengamati derap kaki-kaki kuda, hingga kuda-kuda itu menghilang di kelok jalan.

“Mudah-mudahan tidak terjadi salah paham,” desis Ki Jayaraga. “Peristiwa yang baru saja terjadi di tepian akan dapat menjadi bahan pertimbangan sikap Nyi Lurah Sekar Mirah.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Rara Wulan berdesis, “Jadi ada juga baiknya peristiwa itu terjadi. Dengan demikian terbukti bahwa Nyi Lurah tidak berada di antara mereka, yang ingin menyusun kembali perguruan itu dengan tujuan yang dapat mengguncang ketenangan Mataram.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia juga berpendapat sebagaimana di katakan oleh Rara Wulan. Bahkan ia telah membunuh salah seorang dari mereka, sengaja atau tidak sengaja.

Dalam pada itu, di perjalanan Sekar Mirah sempat mempersoalkan pakaiannya. Apakah ia akan menghadap Ki Patih dengan pakaian yang dikenakannya itu? Apakah dengan demikian ia tidak dianggap deksura?

“Tetapi kau tidak dapat berbuat lain, Mirah. Kau tidak dapat mengenakan pakaian sebagaimana seorang perempuan, karena kau harus menempuh perjalanan berkuda.”

“Jadi menurut pertimbangan Kakang?”

“Ki Patih Mandaraka akan mengerti. Kecuali jika kita harus menghadap Panembahan Senapati.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Tetapi ia sudah mempersiapkan pakaian sepengadeg jika ia harus berganti pakaian.

Demikianlah, mereka berkuda dengan cepat menuju ke barak. Sekar Mirah sengaja membawa tongkat baja putihnya, karena ia menduga tongkat baja putih itu akan dipersoalkan.

Keduanya pun kemudian telah memasuki gerbang barak Pasukan Khusus. Setelah duduk sejenak di ruangan yang disediakan untuk menerima tamu, maka dua orang prajurit terpilih telah siap untuk mengawal Ki Lurah Agung Sedayu dan istrinya ke Mataram.

Sejenak Agung Sedayu masih berbincang dengan orang yang dipercayainya untuk memimpin para prajurit yang ada di dalam barak itu. Baru kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah bersama dua orang prajurit berangkat ke Mataram.

Tidak ada hambatan berarti di perjalanan. Mereka melintasi Kali Praga dengan sebuah rakit bersama dengan beberapa orang yang lain.

Seorang di antara mereka yang berada di atas rakit itu tiba-tiba saja bertanya kepada Sekar Mirah, “He, apakah kau seorang prajurit perempuan?”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Dengan nada rendah ia pun menjawab, “Bukan, Ki Sanak.”

“Tetapi kau menyeberangi Kali Praga bersama tiga orang prajurit.”

Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya. Dengan segan ia pun kemudian menjawab pendek, “Ya.”

“Apa hubunganmu dengan prajurit-prajurit itu?” bertanya orang itu pula.

Sekar Mirah pun kemudian melemparkan pandangan matanya ke tepian di seberang. Seorang prajurit yang mengawalnya-lah yang menjawab, “Ia adalah keluarga salah seorang di antara kami. Apa salahnya jika ia pergi bersama kami?”

“Oh,” orang itu mengangguk-angguk, “perempuan ini agaknya merasa sangat berbangga bahwa ia keluarga seorang prajurit.”

Wajah Sekar Mirah menjadi panas. Prajurit yang mengawalnya pun menjadi marah pula.

“Apa keberatanmu?” bertanya prajurit itu.

Orang itu tertawa. Katanya, “Jangan marah. Setiap aku bertemu dengan prajurit, mereka tentu sedang marah.”

“Kami juga mempunyai perasaan. Pertanyaanmu menyinggung perasaan kami,” jawab prajurit itu.

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Jangan mudah tersinggung. Nanti kau akan menjadi cepat tua.”

Agung Sedayu-lah yang kemudian juga tertawa. Katanya, “Kau benar, Ki Sanak. Jika kami cepat marah, maka kami akan cepat menjadi tua.”

“Ternyata kau juga mempunyai otak,” berkata orang itu, “tetapi jarang sekali prajurit Mataram yang sempat mempergunakan akalnya.”

Kedua orang prajurit yang mengawal Agung Sedayu itu benar-benar menjadi marah. Tetapi mereka masih melihat Agung Sedayu tertawa. Bahkan katanya, “Kenapa kau menganggap bahwa para prajurit Mataram jarang yang sempat mempergunakan otaknya?”

“Mereka berbuat apa saja yang diperintahkan kepada mereka tanpa menilai, apakah yang dilakukan itu benar atau tidak benar. Bahkan kadang-kadang tidak masuk akal.”

“Seharusnya kau lebih banyak mengenal tugas-tugas seorang prajurit, Ki Sanak. Mungkin kau pernah dikecewakan oleh seorang prajurit. Tetapi kemudian kau anggap bahwa semua prajurit berbuat seperti prajurit yang kau kenal itu.”

“Semua prajurit yang kenal adalah orang-orang yang mengerikan. Anakku laki-laki dibunuh oleh prajurit. Anakku perempuan dilarikan seorang prajurit.”

“Apakah prajurit yang melarikan anak perempuan Ki Sanak itu juga yang membunuh anak laki-lakimu?”

“Tidak.”

“Kenapa anakmu dibunuh?”

Wajah orang itu menjadi merah. Dengan lantang ia berkata, “Kalian juga melarikan seorang perempuan?”

“Maksudmu?”

“Perempuan ini.”

“Aku tidak melarikannya. Ia adalah keluargaku.”

“Sekarang. Tetapi dahulu kau tentu melarikannya juga.”

“Katakan Ki Sanak, apakah anak perempuan itu dilarikan, atau lari bersama-sama seorang prajurit?”

“Persetan dengan anak itu,” geramnya.

Agung Sedayu memberi isyarat kepada kedua orang pengawalnya untuk tidak berbuat apa-apa. Namun ia pun berkata, “Kau kecewa terhadap prajurit karena anak laki-lakimu dibunuh, sedangkan anak perempuanmu lari dengan seorang prajurit. Tetapi kau belum menjawab, kenapa anakmu itu dibunuh.”

“Itu bukan urusanmu.”

“Baik,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak akan mengurusnya. Tetapi kau pun jangan mengurus perempuan yang pergi bersama kami. Kebetulan saja kita bersama-sama dalam satu rakit menyeberangi Kali Praga.”

Orang itu terdiam. Tetapi gemeretak giginya masih menunjukkan kemarahannya yang menghentak-hentak di dadanya Namun Agung Sedayu dapat mengerti kenapa ia membenci prajurit, meskipun agaknya kematian anak laki-laki itu bukanya tanpa sebab. Sedangkan anak perempuannya yang lari bersama seorang prajurit itu tentu juga ada alasannya.

Ketika orang itu terdiam, maka Agung Sedayu pun tidak menghiraukannya lagi. Meskipun demikian, kedua orang pengawalnya masih saja merasa belum dapat menyingkirkan kemarahannya. Bahkan Sekar Mirah masih juga merasa terganggu.

Orang itu kemudian duduk saja sambil bertopang dagu di atas rakit yang berenang menyeberang ke tepian sebelah timur. Beberapa saat kemudian para penumpangnya telah berloncatan turun. Membayar biaya penyeberangan dan melangkah di atas pasir tepian.

Tetapi ternyata laki-laki yang di atas rakit yang berjalan di sebelah Sekar Mirah itu masih berkata, “Prajurit yang membunuh anakku itu belum saling mengenal. Prajurit itu hanya mendapat perintah untuk menangkap anakku tanpa sebab. Sudah tentu anakku melawan.”

Sekar Mirah pun menyahut hampir di luar sadarnya, “Anakmu terbunuh dalam perkelahian?”

“Seharusnya prajurit itu tidak menjalankan perintah tanpa mempergunakan otaknya.”

Agung Sedayu menggamit Sekar Mirah agar Sekar Mirah tidak usah menanggapinya. Namun orang itu masih berkata, “He, kenapa kau mau dibawa oleh prajurit-prajurit itu?”

Sekar Mirah mencoba untuk berdiam diri saja sebagaimana diisyaratkan oleh Agung Sedayu. Tetapi laki-laki itu mendesaknya, “He, kenapa? Kau tentu bukan anak salah seorang dari ketiga orang prajurit itu. Mereka masih terlalu muda untuk menjadi ayahmu. Kau tentu perempuan yang dipelihara oleh prajurit-prajurit itu.”

Kesabaran Sekar Mirah sudah sampai ke puncak. Tiba-tiba saja tangannya telah terayun memukul mulut orang itu.

Orang itu mengaduh kesakitan. Dari sela-sela bibirnya menitik darah.

“Kalau bibirmu bergerak lagi, aku akan mematahkan beberapa gigi di mulutmu.”

“Uh,” orang itu mengusap mulutnya dengan lengan bajunya. Namun kemudian, ia pun melangkah dengan cepat menjauhi Sekar Mirah sambil berkata geram, “Perempuan iblis. Aku akan membuat perhitungan kelak.”

“Orang itu menjengkelkan sekali,” geram salah seorang prajurit pengawalnya.

“Memang kadang-kadang masih ada prajurit yang merusak citranya sendiri. Citra yang buram itulah yang menghantuinya,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi anaknya itu tentu ditangkap karena satu sebab.”

Agung Sedayu mengangguk. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita masih akan menempuh perjalanan.”

Mereka pun kemudian telah meloncat ke punggung kuda mereka. Kuda-kuda itu berjalan di antara orang-orang yang ada di tepian. Yang baru saja menyeberang dan yang akan menyeberang.

Beberapa orang memandang Sekar Mirah dengan kerut di dahi. Meskipun yang terjadi begitu cepat, tetapi ada juga orang yang melihat bahwa Sekar Mirah telah memukul mulut laki-laki yang berjalan di sebelah perempuan yang menuntun kuda itu.

Beberapa orang yang tidak tahu persoalannya telah menyesalkan perbuatan Sekar Mirah itu. Seorang perempuan berdesis, “Mentang-mentang perempuan itu berjalan bersama tiga orang prajurit. Apa salah laki-laki itu?”

“Kalau aku jadi laki-laki itu,” sahut kawannya, “aku buat perempuan itu menjadi jera.”

“Siapa yang berani melakukannya? Perempuan itu tentu akan dilindungi oleh ketiga orang prajurit yang bersamanya itu, apapun hubungan mereka dengan perempuan itu.”

Sementara itu, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan kedua orang pengawalnya telah melanjutkan perjalanan di atas punggung kuda ke Mataram.

Keempat orang itu langsung menuju ke Kepatihan. Meskipun Sekar Mirah agak merasa canggung dengan pakaiannya, tetapi menurut Agung Sedayu Ki Patih akan dapat mengerti.

“Ki Patih akan memberikan perintah-perintah lebih lanjut. Kita belum tahu, seberapa luas pertemuan yang akan diselenggarakan, dan di mana diselenggarakannya. Apakah di Kepatihan atau di salah satu bangsal di Istana Panembahan Senapati.”

Sekar Mirah mengangguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Demikianlah, ketika mereka memasuki halaman Kepatihan, maka Lurah prajurit yang bertugas telah menyampaikan kepada Ki Patih Mandaraka bahwa Agung Sedayu dan istrinya telah datang.

“Bawa mereka ke serambi kanan,” perintah Ki Patih Mandaraka

Demikianlah, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah dibawa ke serambi kanan, sementara kedua orang pengawalnya menunggu di tempat para prajurit yang bertugas.

Ketika Ki Patih menemui mereka, maka yang pertama-tama dikatakan oleh Agung Sedayu adalah, “Kami mohon maaf bahwa istriku mengenakan pakaian yang khusus, yang barangkali tidak berkenan di hati Ki Patih.”

Ki Patih tertawa. Katanya, “Aku mengerti. Bukankah kalian telah menempuh perjalanan di atas punggung kuda? Jika Nyi Lurah tidak mengenakan pakaian seperti itu, justru akan mengalami kesulitan.”

“Terima kasih atas perkenan Ki Patih,” berkata Sekar Mirah sambil membungkuk hormat.

“Baiklah. Besok akan diselenggarakan sebuah pertemuan di antara beberapa orang pemimpin di Mataram. Aku berharap bahwa kalian berdua dapat menghadirinya.”

“Kami sudah siap, Ki Patih.”

“Malam ini kau tidur di sini. Malam nanti kita dapat berbincang-bincang. Mungkin ada sesuatu yang penting yang dapat kita sampaikan besok dalam pertemuan itu.”

Seperti yang dikatakan oleh Ki Patih Mandaraka, maka malam itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan kedua orang pengawalnya bermalam di Mataram, di Kepatihan.

Rara Wulan yang di rumah memang menjadi gelisah. Tetapi Ki Jayaraga mencoba menenangkannya. Katanya, “Nampaknya pembicaraan tentang perguruan yang akan dibangunkan dari pingsannya itu cukup panjang. Mungkin Ki Lurah dan Nyi Lurah harus bertemu dan berbicara dengan banyak pihak. Dengan Ki Patih, dengan Senapati Mataram yang berkedudukan di Jati Anom, dengan para pemimpin petugas sandi, dan bahkan mungkin mereka harus menghadap Panembahan Senapati sendiri.”

“Tetapi beberapa hari yang lalu, Kakang Agung Sedayu tidak perlu bermalam di Mataram,” sahut Rara Wulan.

“Saat itu baru dilakukan pembicaraan pendahuluan. Sekarang agaknya mereka telah terlibat dalam pembicaraan yang sebenarnya di Mataram.”

“Kita memang tidak perlu cemas, Rara. Tugas seorang prajurit memang tidak dapat dibatasi ruang maupun waktu. Mereka kadang harus bertugas di tempat yang tidak diduganya dan pada saat yang tidak diperhitungkan sebelumnya.”

Rara Wulan mengangguk kecil. Meskipun demikian, kecemasan itu masih membayang di wajahnya.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Patih, maka demikian malam turun, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah dipanggil menghadap di serambi kanan. Hadir pada pertemuan itu pula seorang perwira dari pasukan sandi Mataram, Ki Rangga Wirareja.

“Kita akan sekedar berbincang. Besok aku akan menghadap Panembahan Senapati untuk memberikan laporan tentang usaha untuk membangkitkan kembali perguruan yang pernah besar pada masa Arya Penangsang memerintah di Jipang, dan pecah, bahkan hilang, setelah Macan Kepatihan terbunuh. Namun sebelum itu, kita akan berbicara dengan beberapa orang lebih dahulu, termasuk Untara.”

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya Ki Patih.”

“Nah, sekarang kami ingin mendengar keterangan Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah, apa yang pernah terjadi selengkapnya, sehubungan dengan rencana beberapa orang untuk menghidupkan kembali perguruan yang pernah hilang itu.”

“Ki Patih. Untuk mendapatkan laporan langsung, maka biarlah istriku menceritakan apa yang pernah dialaminya sejak awal,” berkata Agung Sedayu.

“Baik,” sahut Ki Patih, “semakin lengkap ceritanya akan semakin baik.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun minta Sekar Mirah menceritakan sejak kedatangan Ki Saba Lintang untuk pertama kalinya bersama Ki Welat Wulung di rumahnya. Saat mereka memperkenalkan diri serta menyampaikan maksudnya untuk menyelenggarakan satu pertemuan bagi saudara-saudara seperguruan mereka.

Sekar Mirah pun kemudian berbicara pula tentang perang tanding yang terjadi di tepian Kali Praga, sehingga Ki Welat Wulung terbunuh oleh Glagah Putih.

Ki Patih Mandaraka dan Ki Rangga Wirareja mendengarkan dengan penuh perhatian.

Namun demikian Sekar Mirah selesai, dengan serta-merta Ki Rangga pun bertanya, “Kenapa tongkat baja putih itu kau biarkan dibawa oleh perempuan yang bernama Nyi Dwani dan laki-laki yang bernama Saba Lintang itu?”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Pada saat itu aku tidak sempat banyak berpikir. Karena aku tidak membutuhkan tongkat itu, serta aku tidak merasa berhak untuk memilikinya, maka tongkat itu aku biarkan dibawa oleh Nyi Dwani dan Ki Saba Lintang.”

“Kau telah melakukan kesalahan besar,” berkata Ki Rangga Wirareja dengan nada keras, “Ki Saba Lintang akan mempergunakan tongkat itu untuk melebarkan pengaruhnya.”

“Saat itu aku tidak berpikir sejauh itu,” jawab Sekar Mirah.

“Tetapi bukankah kau tahu, Ki Saba Lintang ingin membangunkan kembali perguruan itu?”

“Ya,” jawab Sekar Mirah, “tetapi aku tidak segera menghubungkannya dengan usaha-usaha yang dapat mengganggu ketenangan Mataram.”

“Jika bukan kau, seharusnya Ki Lurah Agung Sedayu, sebagai seorang Lurah prajurit, dapat memperhitungkan kemungkinan itu. Seharusnya Ki Lurah mencegah penyerahan kembali tongkat baja putih itu kepada Ki Saba Lintang. Pencegahan itu akan sangat besar artinya pada wibawa Ki Saba Lintang.”

“Seperti yang dikatakan oleh istriku, Ki Rangga, aku saat itu tidak berpikir terlalu jauh. Aku hanya tahu bahwa istriku tidak berhak atas tongkat itu, karena ia masih memiliki tongkat miliknya sendiri.”

“Aku tidak percaya bahwa Ki Lurah tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan yang benar.” Ki Rangga memang menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Bagaimanapun juga, kau merasa berkewajiban untuk mendukung rencana saudara-saudara seperguruan Nyi Lurah.”

“Bagaimana menurut Ki Rangga tentang perang tanding itu?” bertanya Agung Sedayu.

Wajah Ki Rangga nampak semakin bersungguh-sungguh. Dengan nada berat ia berkata, “Yang terjadi bukan karena perbedaan sikap tentang rencana kebangkitan perguruan itu, tetapi semata-mata perebutan pengaruh di lingkungan para murid dari perguruan itu. Siapakah yang menang, dia-lah yang paling berhak mendampingi Ki Saba Lintang memimpin perguruan yang bakal bangkit kembali itu.”

“Tidak,” sahut Sekar Mirah dengan serta-merta

Tetapi Agung Sedayu-lah yang berkata selanjutnya, “Jika demikian, setelah kemenangan itu, lalu apa yang kira-kira dilakukan oleh Sekar Mirah, menurut penalaran Ki Rangga?”

Wajah Ki Rangga menjadi merah. Sesaat itu terdiam. Namun kemudian ia pun berkata, “Nyi Lurah agaknya belum melakukan apa-apa. Tetapi pada saat-saat mendatang, akan terbukti bahwa Nyi Lurah akan tampil sebagai salah seorang pemimpin dari perguruan yang akan bangkit itu.”

“Menurut nalar, jika alasan perang tanding yang terjadi itu sebagaimana Ki Rangga katakan, maka Sekar Mirah tentu sudah membunuh Nyi Dwani. Tetapi ternyata hal itu tidak dilakukannya.”

Ki Rangga Wirareja menjadi semakin tegang. Namun yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Ki Patih Mandaraka. Tidak terlalu keras. Tetapi terasa menghentak-hentak jantung.

“Aku sengaja ingin mendengarkan kalian mempersoalkan hal itu. Aku ingin Ki Rangga Wirareja mendengar alasan-alasan yang sebenarnya kenapa hal itu terjadi. Aku berharap bahwa Ki Rangga Wirareja dapat memahaminya.”

Ki Rangga memandang Ki Patih sekilas. Namun kemudian ia pun menundukkan kepalanya

Sementara itu Ki Patih berkata lebih lanjut, “Persoalan ini tidak berdiri sendiri, Ki Rangga. Jika kita ingin menilainya, maka kita harus menilainya secara utuh. Tidak sepotong-sepotong. Kita tidak dapat dengan serta-merta mengatakan bahwa Ki Lurah Agung Sedayu merasa berkewajiban untuk mendukung rencana-rencana saudara seperguruan istrinya. Dugaan itu mungkin benar, jika kita tidak mengenal Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah sebelumnya. Apa saja yang pernah mereka lakukan. Bukan saja untuk lingkungan kecil mereka, tetapi untuk Mataram.”

Ki Rangga Wirareja menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah mengetahui apa yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu sebagai seorang Lurah prajurit.

“Nah, Ki Lurah. Besok tentu masih ada pertanyaan dan pendapat seperti itu. Aku minta Ki Lurah dan Nyi Lurah memberikan jawaban sebagaimana jawaban-jawaban Ki Lurah dan Nyi Lurah tadi. Jangan ragu-ragu, siapa pun yang bertanya. Meskipun seorang Pangeran sekalipun. Aku sendiri percaya sepenuhnya apa yang Ki Lurah dan Nyi Lurah katakan itu.”

Ki Rangga Wirareja menarik nafas dalam-dalam. Ia masih ingin mengatakan bahwa sikap seseorang dapat berubah. Yang baik dapat menjadi buruk, dan yang buruk dapat menjadi baik. Demikian pula kesetiaan Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah terhadap Mataram, dapat juga berubah, jika mereka melihat sesuatu yang akan menjadi lebih berarti bagi mereka

Namun sebelum hal itu dikatakan, Ki Patih yang seakan-akan dapat membaca perasaannya itu berkata, “Memang tidak mustahil bahwa seseorang karena sesuatu hal dapat berubah sikap. Termasuk Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah. Jika mereka melihat satu kemungkinan yang jauh lebih baik bagi masa depannya, maka sikap mereka akan dapat goyah. Tetapi itu pun dapat diperkirakan, sesuai dengan sifat dan watak seseorang. Seorang yang tamak akan lebih cepat tergetar oleh kemungkinan-kemungkinan seperti itu. Tetapi ada juga orang yang lebih mementingkan keyakinan yang mendasar daripada gebyar keduniawian seperti itu. Derajad, pangkat, sempat, dan apa lagi, yang dapat terlepas setiap saat.”

Ki Rangga Wirareja harus menahan diri. Ternyata Ki Patih telah menjawab pendapatnya yang belum sempat dikatakannya.

Namun Ki Patih itu pun berkata, “Tetapi pernyataan Ki Rangga itu memang ada baiknya diutarakannya sekarang, sehingga Ki Lurah dan Nyi Lurah besok tidak akan terkejut jika ada pernyataan dan pertanyaan mengenai hal itu.”

“Terima kasih atas kepercayaan Ki Patih terhadap kami. Tetapi sebenarnyalah tidak ada yang menarik pada rencana membangkitkan kembali perguruan itu. Apalagi sejak semula sudah diwarnai oleh nafsu ketamakan seseorang. Jika usaha ini dihubungkan kembali dengan kebangkitan Jipang di bawah kepemimpinan Arya Penangsang dan Ki Patih Mantahun, itu tidak akan berarti sama sekali,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Patih Mandaraka mengangguk kecil. Katanya, “Ya, aku sependapat. Seandainya seseorang mampu menguasai Jipang kembali dan melepaskan diri dari Mataram, bahkan kemudian mampu menghapus keberadaan Mataram, lalu apa yang akan diterima oleh Nyi Lurah? Apakah Nyi Lurah kemudian akan menjadi seorang Tumenggung, atau bahkan Pepatih di Jipang?”

Ki Rangga Wirareja masih tetap berdiam diri.

“Nah, sudahlah,” berkata Ki Patih, “pembicaraan kita sudah cukup. Besok kita akan berbicara pada satu pertemuan yang lebih luas. Kemudian akan menghadap Panembahan Senapati untuk menyampaikan laporan tentang hal itu.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian mengangguk hormat. Sementara Ki Patih berkata, “Beristirahatlah. Sudah disediakan bilik buat kalian dan kedua orang pengawal kalian.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kemudian telah mohon diri dari pertemuan itu. Ketika mereka sampai di serambi gandok, seorang abdi Kepatihan telah membawanya ke dalam bilik yang telah disediakan. Sebuah untuk Ki Lurah dan Nyi Lurah, dan sebuah lagi bagi kedua orang pengawalnya.

Sementara itu, Ki Rangga Wirareja pun telah minta diri pula. Namun Ki Patih pun masih berkata, “Aku percaya kepada Ki Lurah. Mereka tidak akan berkhianat terhadap Mataram. Keduanya bukan orang yang tamak terhadap gebyar duniawi. Mereka akan setia kepada keyakinan mereka.”

Ki Rangga mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Patih.”

“Nah, selamat malam.”

Ki Rangga itu pun kemudian meninggalkan rumah Ki Patih Mandaraka. Ia sempat merenung di sepanjang perjalanannya pulang. Ia percaya bahwa pengabdian Agung Sedayu terhadap Mataram dapat dikatakan melampaui kebanyakan prajurit Mataram yang mempunyai kedudukan yang sejajar dengannya. Tetapi bujukan seorang perempuan kadang-kadang dapat meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan.

“Menurut Ki Patih, Nyi Lurah tidak akan berbuat demikian,” ia bergumam sendiri.

Di hari berikutnya, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah bersiap-siap untuk menghadiri sebuah pertemuan yang akan diselenggarakan di Kepatihan. Baru kemudian setelah pertemuan itu berakhir, Ki Patih akan menghadap Panembahan Senapati.

“Tidak banyak orang yang aku panggil hari ini,” berkata Ki Patih, “Selain Untara, Ki Tumenggung Wirayuda dan Ki Rangga Wirareja, masih ada tiga orang Senapati. Sementara itu, Panembahan Senapati akan menugaskan Pangeran Singasari untuk hadir pula dalam pertemuan itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Yang akan datang dalam pertemuan itu adalah Pangeran Singasari.

“Kenapa tidak Pangeran Mangkubumi?” pertanyaan itu bergetar di hatinya. Tetapi segala sesuatunya akan dapat berlangsung sesuai atau tidak sesuai dengan keinginannya.

Agung Sedayu, Sekar Mirah serta kedua orang pengawalnya masih sempat makan pagi sebelum para tamu yang lain datang.

Ketika matahari naik sepenggalah, maka satu-satu para pemimpin yang diundang oleh Ki Patih telah datang. Untara pun kemudian telah datang pula, bersama Sabungsari dan dua orang pengawalnya.

Pertemuan antara kedua kakak beradik itu terasa memberikan kegembiraan kepada keduanya. Bahkan juga Sekar Mirah dan Sabungsari nampak cerah. Sudah agak lama mereka tidak saling bertemu.

“Aku berangkat di dini hari,” berkata Untara.

“Kenapa tidak kemarin sore?”

“Aku memang merencanakan untuk datang kemarin sore,” sahut Untara, “tetapi ternyata ada kesibukan yang memaksa aku untuk menundanya. Karena itu di dini hari, lewat tengah malam, aku berangkat. Berkuda sambil menikmati dinginnya embun. Sedikit terkantuk-kantuk di punggung kuda yang berlari tidak terlalu kencang.”

Demikianlah, beberapa saat kemudian Pangeran Singasari pun telah hadir pula. Dengan demikian, maka pertemuan di bangsal samping di Kepatihan itu pun segera dimulai.

Di antara mereka yang hadir, selain Pangeran Singasari, nampak Ki Tumenggung Wirayuda, Ki Rangga Wirareja, Untara dan Sabungsari dari Jati Anom, Agung Sedayu dan Sekar Mirah, serta beberapa orang Senapati.

“Nampaknya rencana kebangkitan kembali perguruan Kedung Jati itu mendapat perhatian yang sangat besar,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Sebelumnya ia tidak mengira bahwa para pemimpin di Mataram telah tergerak untuk menanggapi usaha kebangkitan kembali sebuah perguruan, yang pernah menjadi besar di masa kejayaan Arya Penangsang di Jipang.

Beberapa saat kemudian, Ki Patih Mandaraka pun telah membuka pertemuan itu. Dengan singkat Ki Patih menguraikan laporan tentang usaha kebangkitan kembali perguruan Kedung Jati itu.

Tiba-tiba saja Pangeran Singasari pun berkata, “Aku lihat di sini hadir Nyi Lurah Agung Sedayu. Bukankah Nyi Lurah termasuk salah seorang dari mereka yang sedang kita bicarakan di sini?” Lalu katanya kepada Ki Patih, “Apakah Nyi Lurah itu memang dipanggil untuk menghadiri pertemuan ini, atau ia telah menyelundup dalam pertemuan ini dengan maksud-maksud tertentu? Justru karena suaminya telah diperintahkan untuk hadir, maka ia telah memanfaatkan kesempatan untuk mengetahui, apakah yang akan kita lakukan terhadap orang-orang dari perguruan yang telah pecah namun berusaha untuk menghimpun diri kembali itu.”

Ki Patih Mandaraka tiba-tiba bertanya, “Apakah Pangeran sudah pernah mengenal Nyi Lurah Agung Sedayu sebelumnya?”

“Tetapi aku tahu bahwa perempuan itu adalah Nyi Lurah Agung Sedayu. Salah seorang murid dari perguruan Kedung Jati yang justru memiliki tongkat baja putih pertanda kepemimpinan dari perguruan itu. Perempuan itu adalah murid Ki Sumangkar, saudara seperguruan Ki Patih Mantahun. Dan kita semua mengenal, siapakah Patih Mantahun itu.”

“Aku yang memanggilnya, Angger Pangeran.”

“Apakah Paman Mandaraka sudah berpikir panjang?”

“Sudah, Pangeran.”

“Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa apa yang kita bicarakan di sini sekarang, nanti sore sudah merembes keluar?”

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Aku mengenal betul kedua orang suami istri itu, sebagaimana Panembahan Senapati mengenal mereka. Aku sengaja memanggil Nyi Lurah Agung Sedayu, agar kita semuanya dapat langsung mendengar apa yang telah terjadi atas mereka yang berniat untuk membangun kembali perguruan Kedung Jati itu. Maksudku bukan perguruan di Kedung Jati, tetapi perguruan yang dinamai Kedung Jati.”

Pangeran Singasari termangu-mangu sambil sekali-sekali memandang Sekar Mirah, yang duduk sambil menundukkan kepalanya itu.

Dengan nada tinggi ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Kita akan mendengarkan keterangan Nyi Lurah. Tetapi sebaiknya kita menyusun rencana untuk mengatasi bangkitnya perguruan itu tanpa kehadirannya.”

“Aku memerlukan bukan saja keterangan-keterangannya, Pangeran, tetapi juga pendapat-pendapatnya. Sudah aku katakan bahwa kita tidak perlu mencurigainya. Tetapi baiklah, aku akan minta Nyi Lurah untuk menceritakan, apa yang pernah terjadi dalam usaha membangkitkan kembali perguruan yang pernah menjadi besar pada masa Jipang diperintah oleh Arya Penangsang Itu.”

Mereka yang hadir dalam pertemuan itu pun terdiam. Mereka mendengarkan dengan bersungguh-sungguh ketika Nyi Lurah Sekar Mirah menceritakan pertemuannya dengan Ki Saba Lintang sejak awal.

Seperti yang diduga, maka Pangeran Singasari pun kemudian bertanya, “Kenapa kalian lepaskan orang yang bernama Ki Saba Lintang itu?”

Seperti pesan Ki Patih Mandaraka, maka Nyi Lurah dan suaminya Ki Lurah telah memberikan penjelasan sebagaimana dikatakan kepada Ki Rangga Wirareja.

Namun seperti Ki Rangga Wirareja, Pangeran Singasari pun kurang puas terhadap jawaban-jawaban Sekar Mirah dan Agung Sedayu. Bahkan Pangeran Singasari itu pun bertanya, “Apakah perang tanding itu bukan merupakan arena perebutan pengaruh di lingkungan mereka, atau hanya sekedar sebuah permainan untuk mengelabui Mataram?”

Namun yang menjawab adalah Ki Patih Mandaraka sendiri, “Untuk mengelabui siapa? Perang tanding itu dilakukan tanpa diketahui oleh orang lain kecuali keluarga Ki Lurah Agung Sedayu. Baru ketika persoalan tentang bangkitnya kembali perguruan Kedung Jati itu dibicarakan, mereka memberitahukan bahwa telah pernah terjadi perang tanding. Sedangkan jika perang tanding ini merupakan semacam persaingan untuk berebut pengaruh, maka seharusnya Nyi Lurah sudah membunuh lawannya.”

Wajah Pangeran Singasari masih berkerut. Namun kemudian Untara pun telah berkata, “Ampun Pangeran. Bukan karena Agung Sedayu itu adalah adikku, tetapi aku dapat memberikan sedikit penjelasan tentang sikap Ki Sumangkar pada saat hancurnya pasukan Jipang, yang terakhir di sekitar Sangkal Putung. Ki Sumangkar yang lebih senang disebut sebagai juru masak daripada saudara seperguruan Patih Mantahun itu. Ki Sumangkar mempunyai perbedaan sikap dengan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Nah, sikap Ki Sumangkar itulah yang kemudian berpengaruh terhadap muridnya, Sekar Mirah, yang kemudian menjadi istri Agung Sedayu. Karena itu, aku sebagai Senapati Prajurit Mataram di Jati Anom, justru merasa perlu untuk menghadirkannya dalam pembicaraan ini. Kita bahkan akan dapat bekerja bersama dengan Nyi Lurah, yang mudah-mudahan masih dapat berhubungan selanjutnya dengan orang-orang yang berusaha membangkitkan perguruan itu. Perguruan itu bukan merupakan kelanjutan mutlak dari arah perjuangan perguruan itu pada masa kekuasaan Arya Penangsang di Jipang. Kita masih belum tahu pasti, apa yang sebenarnya diinginkan oleh orang-orang yang berusaha untuk membangun kembali perguruan itu.”

Pangeran Singasari masih saja termangu-mangu. Namun Ki Patih Mandaraka pun kemudian bertanya, “Apakah Angger Pangeran masih meragukan kesetiaan Ki Lurah Agung Sedayu?”

“Aku tahu apa yang telah dilakukan Ki Lurah. Aku pun tahu hubungan yang dekat antara Ki Lurah dengan Panembahan Senapati.”

“Apakah Pangeran menganggap bahwa segala sesuatunya dapat berubah, termasuk sikap Ki Lurah terhadap Mataram?”

“Ya,” jawab Pangeran Singasari.

Sementara itu Ki Tumenggung Wirayuda pun berkata, “Aku berpendapat bahwa kita dapat bekerja bersama Nyi Lurah Agung Sedayu. Kita sudah tahu dengan jelas, siapakah Nyi Lurah Agung Sedayu. Di mana rumahnya dan siapakah suaminya, serta kedudukan suaminya. Kita tahu latar belakang kehidupan Nyi Lurah. Kita tahu bahwa Nyi Lurah selama ini hidup tenang di Tanah Perdikan Menoreh bersama suaminya. Dan yang mendukung kepercayaan kita kepadanya adalah keterangan Senapati di Jati Anom, Ki Tumenggung Untara, tentang sikap Ki Sumangkar, yang tentu mempengaruhi sikap Nyi Lurah Agung Sedayu.”

Ternyata Pangeran Singasari tidak mengeraskan hatinya terhadap sikapnya. Beberapa orang yang hadir masih memberikan tanggapannya, sehingga akhirnya dapat meyakinkan Pangeran Singasari bahwa mereka dapat bekerja sama dengan Nyi Lurah Agung Sedayu, untuk menelusuri jejak mereka yang ingin membangkitkan kembali sebuah perguruan, yang sangat berpengaruh pada masa Arya Penangsang memegang pimpinan di Jipang.

Dengan kesepakatan itulah, para pemimpin Mataram itu telah menentukan langkah-langkah yang akan diambil kemudian.

Meskipun demikian, masih juga ada beberapa orang yang menaruh curiga kepada Nyi Lurah Agung Sedayu, bahwa justru karena ia memiliki tongkat kepemimpinan dari perguruan Kedung Jati itu, maka ia akan melindungi perguruannya itu.

Tetapi yang lain telah menjadi yakin, bahwa sebenarnya Sekar Mirah belum pernah merasa terikat oleh perguruan itu. Ia adalah murid tunggal Ki Sumangkar, yang selama berguru tidak pernah berada di dalam sebuah padepokan atau perguruan, yang membuatnya merasa sekeluarga dengan murid-murid perguruan Kedung Jati yang lain, yang tidak pernah dikenalnya.

Pertemuan itu akhirnya memutuskan untuk melakukan kerja sama antara para petugas sandi Mataram dengan Nyi Lurah Agung Sedayu. Nyi Lurah akan berusaha untuk mendapat keterangan sebanyak-banyaknya tentang perguruan yang akan dibangkitkan lagi itu, jika masih mungkin. Sebaliknya, Ki Lurah Agung Sedayu diberi wewenang untuk mempergunakan kekuatan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, jika kekuatan dari orang-orang yang ingin membangkitkan perguruan Kedung Jati itu cukup besar. Karena pertemuan itu, sesuai keterangan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, memperhitungkan dua kemungkinan yang dapat terjadi. Orang-orang yang menyebut murid-murid perguruan Kedung Jati itu akan datang menemui Sekar Mirah untuk ikut memimpin perguruan itu setelah ia memenangkan perang tanding, atau mereka akan datang dengan membawa dendam, karena kematian Ki Welat Wulung serta kekalahan Nyi Dwani.

“Dengan demikian, maka kita akan dapat mulai,” berkata Ki Patih Mandaraka. “Tetapi pesanku, persoalan ini tidak usah diangkat ke permukaan, sehingga tidak akan menimbulkan keresahan. Kita akan menanganinya dengan diam-diam. Mudah-mudahan persoalannya memang tidak begitu besar dan tidak begitu rumit.”

“Tetapi kita harus tetap berhati-hati menghadapi gerakan ini, Paman. Kita tidak dapat melupakan apa yang pernah dilakukan oleh perguruan yang akan bangkit lagi itu. Kesetiaan mereka kepada Paman Arya Jipang akan dapat membuat mereka melakukan perbuatan-perbuatan di luar penalaran wajar.”

“Bukan kesetiaan,” sahut Ki Patih Mandaraka, “tetapi justru pamrih. Kebangkitan dari perguruan itu serta kesetiaan mereka kepada Arya Penangsang, tidak lebih dari sekedar landasan.”

Pangeran Singasari mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Aku akan melaporkan hasil dari pembicaraan ini kepada Panembahan Senapati.”

“Baik, Pangeran. Tetapi aku pun akan menghadap Panembahan setelah pertemuan ini selesai.”

“Kebetulan sekali Paman, kita akan bersama-sama menghadap. Kita akan dapat membicarakan langkah-langkah yang kita putuskan dalam pertemuan ini. Laporan kita akan dapat saling melengkapi.”

“Baiklah Pangeran, kita akan pergi bersama-sama nanti. Tetapi aku minta Ki Tumenggung Untara, Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah jangan kembali lebih dahulu. Mungkin ada pembicaraan yang masih akan berlangsung di antara kita.”

Untara, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun mengangguk hormat. Sementara itu Ki Patih berkata, “Yang lain, setelah pembicaraan ini selesai diperkenankan meninggalkan Kepatihan, karena tempat tinggal serta tempat tugas mereka tidak sejauh Jati Anom dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Setelah memantapkan keputusan yang mereka ambil dalam pertemuan itu, maka Ki Patih pun telah menutup pertemuan itu pula.

Beberapa saat kemudian, para pemimpin yang hadir dalam pertemuan itu telah meninggalkan Kepatihan. Kaki-kaki kuda pun berderap. Sementara Pangeran Singasari masih tinggal di Kepatihan, menunggu Ki Patih berbenah diri. Sedangkan Untara, Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah dipersilahkan untuk beristirahat di gandok sebelah kanan.

Di perjalanan pulang dari Kepatihan, dua orang perwira prajurit sandi ternyata masih tetap mencurigai Nyi Lurah Agung Sedayu. Sehingga karena itu, seorang di antara mereka berkata, “Kita tidak dapat percaya sepenuhnya kepada perempuan itu. Meskipun Ki Lurah seorang prajurit pilihan, serta pengabdian yang pernah ditunjukkan kepada Mataram cukup besar, tetapi tangis istrinya akan dapat mempengaruhi jiwanya.”

Yang lain pun kemudian menyahut, “Atau dengan diam-diam istrinya telah melakukan gerakan yang mendukung saudara-saudara seperguruannya. Lewat telinga Ki Lurah, ia dapat mendengar rencana-rencana Mataram yang akan dilakukan untuk menahan gerakan mereka.”

“Justru orang-orang seperti Nyi Lurah itu akan dapat menjadi lawan yang paling sulit untuk dikalahkan.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Patih terlalu percaya kepada suami istri itu. Ki Patih lebih terpukau pada pengabdian yang pernah diberikan oleh Agung Sedayu, daripada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi kemudian.”

“Kita akan membuktikan, bahwa kecurigaan kita beralasan.”

Sementara itu, Ki Patih bersama-sama dengan Pangeran Singasari serta dua orang prajurit pengawal Pangeran Singasari dan dua orang prajurit pengawal Ki Patih, telah meninggalkan Kepatihan menuju ke istana untuk menghadap Panembahan Senapati.

Mereka akan memberikan laporan hasil dari pertemuan yang telah diselenggarakan di Kepatihan.

Di Kepatihan, Untara masih membicarakan usaha untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati itu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Di dalam pembicaraan yang bebas itu, Untara justru mendapat lebih banyak keterangan tentang orang yang menyebut dirinya Ki Saba Lintang, Ki Welat Wulung, Empu Wisanata dan Nyi Dwani. Untara pun mendapat lebih banyak gambaran tentang sifat orang-orang yang disebut oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Sabungsari yang juga masih berada di Kepatihan karena Untara masih diminta untuk tinggal, ikut pula dalam pembicaraan itu.

“Memang tugas para prajurit sandi untuk mengikuti perkembangan dari usaha untuk membangkitkan kembali perguruan Kedung jati itu. Tetapi apa salahnya jika kita ikut membantu mereka,” berkata Untara kepada Sabungsari.

Sabungsari mengangguk kecil. Katanya, “Asal tidak terjadi salah paham. Mungkin cara yang kita tempuh tidak sesuai dengan cara yang mereka pergunakan, atau bahkan bertentangan.”

“Jika kemungkinan itu terjadi pada satu saat, maka kita harus mengalah. Yang kita lakukan justru harus membantu usaha mereka. Bukan sebaliknya,” sahut Untara. Namun kemudian ia pun menambahkan, “Kecuali Sekar Mirah. Ia memang mendapat tugas bersama-sama dengan para prajurit sandi itu.”

“Sebenarnya aku merasa cemas,” berkata Sekar Mirah, “apakah aku dapat melakukan tugas ini dengan baik. Aku justru cemas, jika aku salah langkah, aku akan dikira dengan sengaja melakukannya untuk kepentingan Ki Saba Lintang dengan para pengikutnya.”

“Tentu tidak,” sahut Untara, “jika tugas ini kita lakukan dengan jujur dan bersungguh-sungguh, maka kita tentu akan berhasil dengan baik.”

Dalam pada itu, Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya, “Kakang. Sebenarnya yang ingin aku ketahui, bagaimana mungkin tongkat yang satu, yang pernah dimiliki oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu, dapat berada di tangan Ki Saba Lintang?”

“Pertanyaan itulah yang aku takutkan,” berkata Untara. ”Aku memang pernah menyimpan tongkat baja putih itu. Tetapi setelah sekian lama berada di dalam simpanan dan tidak pernah disentuh lagi, justru aku hampir melupakannya.”

“Apakah Kakang tidak dapat menduga, siapakah yang telah mengambilnya?”

Untara menggeleng. Namun kemudian ia pun berkata, “Menurut dugaanku, tentu ada seseorang yang telah mengambil tongkat itu di luar setahuku. Tongkat itu disimpan cukup lama. Baru kemudian, setelah orang melupakannya, maka ada usaha untuk membangkitkan kembali perguruan itu. Karena tongkat yang satu lagi ada pada Sekar Mirah, maka mereka terpaksa menghubungi Sekar Mirah.”

“Tetapi sikap mereka tidak jujur,” desis Sekar Mirah.

“Ya. Menurut pendapatku, sesuai dengan cerita kalian berdua, Nyi Dwani agaknya diharapkan akan dapat memiliki tongkat yang ada di tangan Sekar Mirah.”

“Agaknya memang demikian,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Tetapi aku sedang mengingat-ingat orang-orang yang pernah berada di dalam pasukanku, namun yang kemudian tidak lagi. Mereka yang pergi dengan cara yang baik, karena masa tugas mereka sudah selesai dan tidak diperpanjang lagi. Tetapi lebih dari itu, adalah mereka yang meninggalkan pasukan dengan cara yang tidak wajar. Selama ini ada beberapa orang yang meninggalkan pasukan sebelum batas waktu tugas mereka berakhir.”

“Kakang tidak mencari mereka yang lari itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentu. Aku sudah mencari mereka. Tetapi aku tidak pernah menghubungkan kepergian mereka dengan tongkat baja putih, yang terus terang agak aku lupakan itu.”

“Mereka akan dapat menjadi salah satu jalan untuk menelusuri tongkat baja putih itu sehingga dapat sampai ke tangan Ki Saba Lintang.”

“Besok aku akan mengumpulkan para perwira di barakku untuk menemukan orang itu. Tetapi untuk menemukan mereka, juga merupakan pekerjaan yang sangat rumit.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti kesulitan itu, karena orang-orang yang lari dari kesatuannya itu tentu berusaha untuk menyembunyikan dirinya. Mengganti namanya, atau sengaja membuat dirinya berbeda.

Meskipun demikian, namun usaha itu dapat dilakukan di samping usaha-usaha yang lain.

“Kita harus selalu berhubungan,” berkata Untara, “aku dapat merasakan bahwa ada beberapa orang yang tidak mau mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka masih saja curiga bahwa Sekar Mirah merupakan salah seorang dari mereka yang ingin membangkitkan kembali perguruan Kedung Jati. Karena itu, maka kita setiap kali harus saling memberikan keterangan.”

“Ya, Kakang,” sahut Agung Sedayu dan Sekar Mirah hampir bersamaan.

Namun kemudian Sekar Mirah itu pun bertanya, “Apakah sebaiknya aku memberi-tahukan kepada Kakang Swandaru atau tidak?”

“Jangan dulu, Mirah,” sahut Agung Sedayu, “kita tahu sifat Swandaru. Ia cepat terseret arus. Ia akan dapat mengambil tindakan sendiri, yang justru akan merugikan kedudukanmu yang sedang menjadi sorotan. Baik oleh orang-orang yang mengaku murid dari perguruan Kedung Jati, maupun oleh para prajurit sandi di Mataram.”

“Ya. Aku sependapat,” berkata Untara, “jika Swandaru mengetahui, maka ia akan mengambil tindakan terbuka.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk. Dengan nada datar Agung Sedayu berkata, “Swandaru memang sulit untuk mengendalikan perasaannya.”

Namun ternyata pembicaraan mereka terputus ketika dua orang prajurit datang ke Kepatihan.

“Menjunjung perintah Panembahan Senapati, Ki Tumenggung Untara, Ki Lurah Agung Sedayu dan Nyi Lurah di panggil untuk menghadap.”

Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Adalah satu kesempatan yang jarang sekali didapatnya untuk dapat menghadap langsung Panembahan Senapati di Paseban Dalam.

Namun Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula mengingat persoalan yang sedang dihadapinya.

“Jangan gelisah,” berkata Untara ketika ia melihat Sekar Mirah berkali-kali menyeka keringat di keningnya.

Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Dengan mengenakan pakaian yang telah dipersiapkan dari Tanah Perdikan Menoreh, maka Sekar Mirah bersama Agung Sedayu dan Untara telah pergi ke istana. Mereka tidak dapat naik di punggung kuda, karena Sekar Mirah mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan perempuan. Ia tidak berani mengenakan pakaian khususnya untuk menghadap Panembahan Senapati, karena dengan demikian ia akan dapat dianggap deksura dan tidak mengerti unggah-ungguh.

Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka bertiga telah diantar memasuki Paseban Dalam. Mereka pun kemudian telah duduk di belakang Ki Patih Mandaraka serta Pangeran Singasari, yang masih juga menghadap.

“Paman Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari memang menunggu kalian di sini,” berkata Panembahan Senapati ketika ketiganya sudah duduk sambil menundukkan kepala mereka.

“Hamba Panembahan,” Untara dan Agung Sedayu berbareng menyahut

“Kalian tentu sudah mengetahui, kenapa aku memanggil kalian bertiga,” berkata Panembahan Senapati selanjutnya.

“Hamba Panembahan,” Untara-lah yang menjawab.

“Paman Patih Mandaraka telah menceritakan apa yang pernah kau alami, Nyi Lurah,” suara Panembahan Senapati datar, “sehingga tidak perlu mengulanginya lagi. Yang ingin aku tanyakan adalah, bagaimana tanggapanmu atas rencana mereka? Apakah mereka dengan jujur ingin membangun perguruan mereka lagi dengan tujuan yang murni sebagai murid-murid sebuah perguruan, atau rencana untuk menghimpun saudara-saudara seperguruan dari perguruan Kedung Jati itu hanya sekedar alasan untuk tujuan lain, yang dapat menimbulkan keresahan?”

Nyi Lurah termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Apalagi di hadapan Panembahan Senapati.

Namun karena Sekar Mirah tidak ingin Panembahan Senapati mendapat kesan yang salah, maka ia pun kemudian menjawab, “Ampun, Panembahan. Menurut pendapat hamba, orang-orang yang pernah datang kepada hamba telah dibekali dengan niat yang tidak jujur. Cara yang mereka tempuh pun telah menunjukkan ketidak-jujuran itu. Bahkan menurut penglihatan hamba, serta pendapat Kakang Lurah Agung Sedayu, keempat orang yang datang kepada hamba itu bukan semuanya murid mumi dari perguruan Kedung Jati.”

“Dari mana hal itu kau ketahui?” bertanya Panembahan Senapati.

“Ketika kami harus berperang tanding, maka ilmu yang nampak pada orang-orang yang mengaku saudara seperguruan hamba itu bukan ilmu perguruan Kedung Jati yang murni. Bahkan unsur-unsur dari perguruan Kedung Jati yang nampak hanya sedikit sekali. Mungkin mereka hanya pernah berada di sebuah padepokan dari perguruan Kedung Jati. Namun kemudian perguruan itu telah pecah, sehingga mereka harus berguru kepada orang lain.”

“Apakah kau tidak bersama-sama dengan mereka ketika kau berguru di perguruan Kedung Jati?”

“Hamba tidak pernah berada di perguruan Kedung Jati, Panembahan. Hamba berguru kepada Ki Sumangkar, di luar perguruan. Bahkan mungkin perguruan Kedung Jati pada waktu itu sudah pecah setelah Jipang dikalahkan, sementara sisa-sisa pasukannya yang berada di sekitar Sangkal Putung dan dipimpin oleh Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan, dihancurkan oleh Kakang Untara.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya karena itulah maka mereka justru ingin menyingkirkan Nyi Lurah karena Nyi Lurah tidak akan pernah dapat menyatukan pendapat dengan mereka.”

“Hamba Panembahan,” jawab Sekar Mirah.

“Baiklah,” berkata Panembahan Senapati kemudian. Lalu Panembahan itu pun berkata kepada Untara, “Ki Tumenggung. Kau yang pada kesempatan terakhir berhadapan dengan Macan Kepatihan serta Ki Sumangkar, apakah kau dapat membenarkan keterangan Sekar Mirah?”

“Hamba Panembahan. Ki Sumangkar sejak semula seakan-akan memang membuat garis pemisah dengan Ki Patih Mantahun serta Macan Kepatihan. Ki Sumangkar tidak pernah dengan sungguh-sungguh bertempur bersama Macan Kepatihan. Ia lebih senang menjadi juru masak, yang membatasi dirinya di seputar dapur pasukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan itu.”

“Ki Lurah,” berkata Panembahan Senapati kemudian, “aku setuju bahwa para prajurit sandi akan bekerja bersama Nyi Lurah. Karena Nyi Lurah bukan prajurit, maka aku minta kau akan dapat membimbingnya dalam tugas itu.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk hormat. Sambil menyembah ia menyahut, “Hamba akan melakukan perintah Panembahan dengan sebaik-baiknya.”

Agung Sedayu tidak tahu apa yang sudah dibicarakan antara Panembahan Senapati dengan Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Singasari. Namun kemudian Panembahan Senapati itu pun berkata kepada Pangeran Singasari, “Kita akan dapat menyelesaikannya dengan baik. Kita tidak usah membuat airnya keruh.”

“Aku yakin, Panembahan,” berkata Ki Patih Mandaraka, “mungkin mereka berhasil menimbulkan gejolak di permukaan. Tetapi tidak akan mengguncang pilar-pilar yang menyangga tegaknya wibawa Angger Panembahan.”

“Ya, Paman,” Panembahan Senapati mengangguk-angguk, “aku minta segala sesuatunya dapat diselesaikan dengan baik. Aku yakin bahwa tidak semua orang yang terjebak dalam usaha membangunkan kembali perguruan itu tahu niat yang sebenarnya terkandung di dalam hati beberapa orang di antara mereka. Tentu ada di antara mereka yang dengan niat yang baik ingin membangun perguruan itu kembali. Nah, mereka tentu tidak pantas ditangani sebagaimana kita menangani orang-orang yang ingin mempergunakan kebangkitan perguruan itu sebagai alat untuk kepentingan mereka.”

“Ya, Panembahan,” sahut Ki Patih Mandaraka, “tetapi mereka yang mempunyai niat baik itu pun harus diamati. Jika mereka masih tetap berpijak pada sikap dan tujuan mereka sejak semula, maka mereka pun harus mendapat penanganan yang bersungguh-sungguh pula. Meskipun penanganannya memang berbeda dengan orang-orang yang ingin memanfaatkan keadaan itu.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi jika dendam itu masih meracuni jiwa mereka, maka mereka tidak akan pernah merasa hidup tenteram.”

“Sekarang, beberapa orang agaknya telah meniupkan kembali kebencian itu, dengan mengipasi peletik api yang masih tersisa di dalam hati mereka.”

“Baiklah,” berkata Panembahan Senapati kemudian, “aku percaya kepadamu Ki Lurah, justru karena aku mengenalmu jauh sebelum kau bertugas sebagai seorang prajurit.”

“Hamba mengucapkan terima kasih atas kepercayaan ini, Panembahan.”

“Kau dapat bekerja bersama dengan Ki Tumenggung Untara,” berkata Panembahan Senapati selanjutnya. Lalu katanya kepada Untara, “Bantu adikmu. Kau dapat melakukan apa saja, yang menurut pertimbangan dan perhitunganmu, terbaik kau lakukan.”

“Hamba, Panembahan,” jawaban Untara.

“Nah, pelaksanaannya akan diatur oleh Paman Patih Mandaraka. Mudah-mudahan dapat berlangsung seperti yang kita harapkan. Jika getarnya harus timbul di permukaan, hendaknya jangan terlalu besar sehingga dapat menimbulkan gejolak. Rakyat Mataram memang sedang letih setelah mengalami berbagai macam benturan yang menggoreskan luka di dinding jantung kita.”

“Aku akan mencobanya, Ngger,” Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk.

Demikianlah, pertemuan kecil itu pun segera berakhir. Panembahan Senapati masih sempat bertanya tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya. Perkembangannya dan persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Beberapa saat kemudian, Untara, Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu pun diperkenankan meninggalkan Paseban Dalam. Mereka masih akan kembali ke Kepatihan, karena kuda-kuda mereka masih berada di sana. Sementara itu, Sabungsari dan para pengawal Untara masih menunggu di Kepatihan.

Demikian Untara, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sampai di Kepatihan, maka mereka pun segera bersiap-siap untuk kembali ke tempat tinggal mereka masing-masing. Sekar Mirah pun telah mengenakan pakaian khususnya.

Meskipun demikian, mereka masih menunggu Ki Patih Mandaraka kembali ke Kepatihan.

Demikian Ki Patih datang, maka mereka pun segera minta diri. Untara akan kembali ke Jati Anom, sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Patih Mandaraka tidak menahan mereka. Pembicaraan mereka sudah selesai. Mereka akan langsung dapat mulai dengan tugas mereka masing-masing.

“Jika kau harus meninggalkan barakmu, Ki Lurah, kau harus menyerahkannya kepada orang yang benar-benar dapat dipercaya. Kau pun harus melapor kepada Panglima Pasukan Khusus di Mataram untuk mendapatkan persetujuan.”

“Apakah aku dapat berterus terang tentang tugas ini kepada Panglima?”

“Ya, Kau dapat melaporkan tugas yang langsung diperintahkan oleh Panembahan Senapati kepadamu.”

“Baik, Ki Patih,” jawab Agung Sedayu.

Sementara itu kepada Untara, Ki Patih pun berpesan, “Kau siapkan kelompok-kelompok kecil yang dapat bergerak setiap saat dan benar-benar dapat dipercaya.”

“Ya, Ki Patih,” jawab Untara.

Demikianlah, sejenak kemudian Untara dan Sabungsari pun telah siap untuk meninggalkan Kepatihan. Agung Sedayu ternyata masih sempat berbisik di telinga Sabungsari, “Kapan kau lengkapi hidupmu dengan sebuah keluarga yang utuh? Jangan menunggu kau menjadi tua.”

Sabungsari tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun sepeninggal Untara dan Sabungsari, pertanyaan Agung Sedayu itu justru telah tertuju kepada dirinya sendiri. Keluarganya pun masih belum merupakan keluarga yang utuh. Di dalam rumahnya belum pernah terdengar tangis seorang bayi. Belum pernah terdengar rengek manja kanak-kanak, dan istrinya belum pernah mencuci popok, gurita dan pakaian bayi yang lain.

Tetapi Agung Sedayu mendekap pertanyaan itu di dalam dadanya. Ia tidak sampai hati mengucapkannya di hadapan istrinya. Sekar Mirah akan dapat menjadi bersedih, karena Sekar Mirah sudah sejak lama merindukan seorang anak. Tetapi agaknya mereka berdua masih belum dikaruniai keturunan.

Agung Sedayu tidak dapat merenung terlalu lama. Ia pun segera mengajak Sekar Mirah serta para pengawalnya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Selama Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di Mataram, tidak terjadi sesuatu yang menarik di Tanah Perdikan. Orang-orang yang pernah dilihat berkeliaran di malam hari, justru tidak pernah nampak lagi.

Di rumah, Sukra dengan sungguh-sungguh berlatih olah kanuragan. Glagah Putih lebih banyak menyediakan waktu bagi anak itu di sore dan malam hari. Demikian besar hasrat yang menyala di dada anak itu, sehingga Glagah Putih pun tidak menyia-nyiakannya.

Seperti yang diduga oleh Glagah Putih sejak semula, Sukra adalah anak yang cerdas. Ia cepat menangkap unsur-unsur gerak yang baru yang diajarkan oleh Glagah Putih. Ditambah oleh ketekunannya dan niat yang membara di dalam dadanya.

Ketika Agung Sedayu kemudian kembali, Sukra justru menjadi cemas. Jika Agung Sedayu membawa tugas bagi Glagah Putih, maka latihan-latihan yang diberikan oleh Glagah Putih akan terhambat.

Tetapi ternyata Glagah Putih tidak mendapat tugas untuk meninggalkan Tanah Perdikan. Dengan demikian, Sukra pun berharap, bahwa latihan-latihannya tidak akan terganggu. Setidak-tidaknya untuk beberapa hari mendatang.

Namun di hari-hari mendatang, yang tekun berlatih bukan hanya Sukra saja. Rara Wulan semakin banyak berada di dalam sanggar bersama Sekar Mirah. Sementara itu Sekar Mirah sendiri setiap hari telah menyisihkan waktu bagi dirinya sendiri. Ia masih harus bekerja keras untuk semakin mematangkan ilmunya.

Dengan demikian, rumah Agung Sedayu itu telah diwarnai dengan kerja keras untuk meningkatkan ilmu para penghuninya.

Meskipun demikian, tugas mereka sehari-hari tidak terganggu karenanya. Apalagi Ki Jayaraga. Ia tidak pernah melalaikan tugasnya untuk pergi ke sawah.

Beberapa hari telah berlalu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih belum mulai dengan langkah-langkah mereka, untuk membantu para petugas sandi Mataram mengamati gerakan orang-orang yang berusaha untuk menyusun kembali sebuah perguruan yang telah pecah, bersamaan dengan pecahnya kekuasaan Arya Penangsang di Jipang.

Hari-hari yang nampaknya tidak diwarnai dengan kegiatan apapun itu, telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh Sekar Mirah untuk semakin membajakan diri, sambil menunggu apakah masih akan ada orang yang datang menghubunginya setelah perang tanding yang dilakukannya melawan seorang perempuan yang disebut bernama Nyi Dwani.

Sebenarnyalah, Sekar Mirah tidak sia-sia menunggu. Seorang laki-laki yang berjanggut dan berkumis putih telah datang kepadanya menjelang tengah hari.

“Apakah aku berhadapan dengan Nyi Lurah Agung Sedayu?” bertanya orang itu setelah duduk di pendapa ditemui oleh Sekar Mirah.

“Ya. Ki Sanak. Tetapi siapakah Ki Sanak ini?”

“Orang memanggilku Ki Sawung Semedi.”

“Ki Sawung Semedi,” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah keperluan Ki Sawung Semedi datang menemui aku?”

“Aku datang untuk mohon maaf, Nyi Lurah,” jawab Ki Sawung Semedi.

“Minta maaf tentang apa? Apakah Ki Sanak pernah merasa bersalah kepadaku?”

“Bukan aku. Tetapi seorang yang semula kita harapkan datang menjadi suh pengikat keluarga yang telah berserakan.”

“Maksud Ki Sawung Semedi?”

“Bukankah Ki Saba Lintang pernah datang menemui Nyi Lurah?”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun ia pun menjawab, “Ya, Ki Sawung Semedi. Ki Saba Lintang memang pernah datang kemari.”

“Tetapi ia sudah menimbulkan onar. Ia membawa seorang perempuan yang akan diperistrikannya. Namanya Nyi Dwani. Itu tidak menjadi soal bagi keluarga perguruan Kedung Jati yang sudah berserakan itu, jika saja Saba Lintang tidak terlalu bernafsu untuk merebut tongkat yang ada pada Nyi Lurah, agar dimiliki oleh perempuan yang bernama Nyi Dwani itu. Ia berharap jika tongkat itu ada di tangan Nyi Dwani dan Nyi Dwani kelak menjadi istrinya, maka Saba Lintang dan Nyi Dwani akan menjadi sepasang suami istri yang akan memegang kepemimpinan perguruan Kedung Jati yang akan bangkit itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi ia tetap menyadari bahwa ia harus berhati-hati menghadapi orang-orang yang tidak dikenal sebelumnya. Orang-orang yang tidak diketahui sifat dan wataknya.

Sementara itu, Ki Sawung Semedi itu pun berkata, “Nyi Lurah, kami sudah mengambil keputusan, bahwa kepemimpinan perguruan kita harus tetap berada di tangan Nyi Lurah.”

“Siapakah yang kau maksud dengan kami?” bertanya Sekar Mirah.

Ki Sawung Semedi itu tertegun sejenak. Dahinya berkerut dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Maaf Nyi Lurah. Yang aku maksud dengan kami adalah beberapa orang yang sudah menyatakan dirinya untuk ikut membangun perguruan Kedung Jati. Kami tetap mengakui Ki Saba Lintang sebagai salah seorang pemimpin kami, tetapi yang seorang lagi bukan orang yang dipilih oleh Ki Saba Lintang. Apalagi seorang perempuan yang ingin diperistrinya. Tetapi hak itu harus tetap berada di tangan Nyi Lurah.”

“Apakah aku harus bekerja bersama dengan Ki Saba Lintang dan Empu Wisanata?”

“Kita memang tidak dapat mengingkari kepemimpinan Ki Saba Lintang. Sedangkan Empu Wisanata terseret dalam perjuangan ini karena ia ayah Nyi Dwani.”

“Jadi Empu Wisanata bukan murid perguruan Kedung Jati?”

“Bukan Nyi Lurah. Empu Wisanata memang menyatakan kesediaan untuk membantu Ki Saba Lintang untuk membangun perguruan Kedung Jati. Tetapi itu merupakan kerja sukarela. Tetapi kita tahu bahwa Empu Wisanata mengharapkan anaknya akan dapat menjadi pasangan Ki Saba Lintang, memimpin sebuah perguruan yang pernah besar dan akan menjadi besar kembali.”

“Lalu, apakah rencana Ki Saba Lintang dalam waktu dekat?”

“Sebuah pertemuan. Kami tetap menginginkan sebuah pertemuan pendahuluan.”

“Jadi, apakah tugas Ki Sawung Semedi ini sebenarnya? Sekedar minta maaf, atau ada tugas yang lain?”

“Baiklah aku menyampaikannya sama sekali Nyi. Sebenarnya aku juga bertugas untuk minta keterangan Nyi Lurah, tentang kesediaan Nyi Lurah untuk hadir dalam sebuah pertemuan.”

“Aku pernah mengatakan kepada Ki Saba Lintang bahwa pertemuan itu sebaiknya diselenggarakan di Tanah Perdikan.”

“Kami mohon, Nyi. Kami mohon Nyi Lurah bersedia bertemu dengan beberapa orang murid perguruan Kedung Jati di ujung Kali Geduwang.”

“Di rumah Empu Wisanata?”

“Ya, Nyi.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah mengatakan berpuluh kali. Aku bersedia datang jika pertemuan itu diselenggarakan di Tanah Perdikan. Apalagi setelah Nyi Dwani menantang perang tanding. Bahkan aku pun yakin bahwa Nyi Dwani tentu juga bukan murid perguruan Kedung Jati. Mungkin ia sering berlatih bersama Ki Saba Lintang, sehingga Ki Saba Lintang dapat memberikan beberapa petunjuk tentang unsur-unsur gerak yang merupakan ciri dari perguruan Kedung Jati. Aku memang melihat unsur-unsur itu. Tetapi terlalu kecil jika dibandingkan dengan keseluruhan ilmu Nyi Dwani.”

“Aku pun harus berterus terang, Nyi. Nyi Dwani memang bukan murid perguruan Kedung Jati. Dugaan Nyi Lurah memang tepat. Nyi Dwani adalah murid dari perguruan lain, yang oleh Ki Saba Lintang diberikan beberapa petunjuk mengenai ciri-ciri perguruan Kedung Jati.”

“Mereka memang kurang berhati-hati. Justru mereka menantang untuk menyelenggarakan perang tanding antara aku dan Nyi Dwani. Bukankah dengan demikian mereka menunjukkan diri, bahwa mereka telah berbohong?”

“Nyi Lurah benar. Hal itu dilakukan dengan alasan sebagaimana aku katakan. Ki Saba Lintang ingin memegang pimpinan perguruan Kedung Jati bersama Nyi Dwani. Sepasang tongkat itu akan berada di tangan suami istri.”

“Itu pertanda bahwa niat mereka membangun kembali perguruan Kedung Jati tidak disertai kejujuran.”

“Itulah yang kami sesalkan. Beberapa orang yang kemudian sempat mengadakan pembicaraan, telah minta Ki Saba Lintang untuk meluruskan sikapnya. Kami tidak akan mengganggu gugat niat Ki Saba Lintang menikah untuk yang ketiga kalinya dengan Nyi Dwani, yang juga akan menikah untuk ketiga kalinya. Itu hak mereka, jika mereka memang sudah sepakat. Tetapi hal itu tidak ada hubungannya dengan kepemimpinan pada perguruan ini.”

“Tetapi Ki Saba Lintang itu mendendam kami. Aku, suamiku dan seluruh keluargaku,” berkata Nyi Lurah.

Orang yang mengaku bernama Ki Sawung Semedi itu berkata, “Semuanya sudah diluruskan. Termasuk dendam yang membakar jantung Ki Saba Lintang.”

“Bagaimana dengan Ki Welat Wulung?”

“Kami harus mengikhlaskannya. Sebenarnya Ki Welat Wulung justru seorang murid perguruan Kedung Jati yang setia. Kesetiaannya itu tercermin pada kesetiaannya kepada Ki Saba Lintang. Tetapi cacat jiwa Ki Welat Wulung telah menyeretnya ke dalam malapetaka.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia melihat sikap yang agak berbeda pada Ki Sawung Semedi. Agaknya dada Ki Sawung Semedi itu lebih lapang dari dada Ki Saba Lintang, apalagi Ki Welat Wulung.

Meskipun demikian, Sekar Mirah itu pun masih juga tetap pada pendiriannya. Karena itu, maka ia pun berkata, “Ki Sawung Semedi. Aku hargai pengakuan beberapa orang yang bersedia membantu usaha membangunkan kembali perguruan Kedung Jati, terhadap kepemimpinanku, karena aku memiliki tongkat ciri dari perguruan. Tetapi aku minta pengakuan itu diujudkan dalam satu sikap yang nyata. Aku minta pertemuan itu diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak di tempat lain.”

Ki Sawung Semedi menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah., “Kami mengakui kepemimpinan Nyi Lurah sebagaimana kami mengakui kepemimpinan Ki Saba Lintang. Selebihnya, kami juga mendengar pendapat saudara-saudara kami. Katakanlah, bahwa pilihan Ki Saba Lintang mempunyai nilai yang sama dengan pilihan Nyi Lurah. Namun pilihan Ki Saba Lintang itu masih didukung beberapa suara lagi, sehingga dengan demikian, jika dimisalkan timbangan, maka pilihan Ki Saba Lintang lebih berat dari pilihan Nyi Lurah.”

“Jika demikian, tinggalkan aku. Aku tidak dapat ikut mendukung gerakan kebangkitan perguruan Kedung jati.”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Sawung Semedi selanjutnya, “kami memang tidak akan dapat memaksa Nyi Lurah untuk memenuhi keinginan kami. Tetapi kami mohon Nyi Lurah mempertimbangkan nama baik Nyi Lurah, yang bertanggung jawab atas pemilikan tongkat ciri perguruan itu.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Sebuah pertanyaan telah mencuat di hatinya, “Apakah benar pemilikan tongkat itu berarti tanggung jawab terhadap perguruan Kedung Jati?”

Dalam pada itu, Ki Sawung Semedi itu pun berkata, “Nyi Lurah. Kami mengakui hak Nyi Lurah atas tongkat itu. Tetapi kami pun ingin mempertanyakan, apakah sudah ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi Nyi Lurah?”

Sekar Mirah memang menjadi agak bimbang. Ia menyadari bahwa setiap hak harus diimbangi dengan kewajiban.

“Sebenarnyalah semuanya sudah siap, Nyi Lurah. Kami tinggal menunggu kehadiran Nyi Lurah di ujung Kali Geduwang.”

Untuk beberapa saat Sekar Mirah terdiam. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Sawung Semedi. Kehadiranku di dalam lingkungan perguruan Kedung Jati berbeda dengan kalian. Aku adalah murid tunggal Ki Sumangkar. Aku tidak dibebani tanggung jawab terhadap guruku. Kewajibanku adalah menjalankan segala perintah, petunjuk dan mengikuti nasihat-nasihatnya. Aku tidak diwajibkan untuk tunduk kepada kehendak kalian. Karena itu, maka biarlah Ki Saba Lintang memegang pimpinan tunggal pada perguruan yang akan bangkit itu. Aku akan meneruskan jalur pewarisan ilmu yang ditempuh guruku.”

Wajah Ki Sawung Semedi itu memegang sejenak. Namun kemudian Ki Sawung Semedi itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku dapat mengerti, Nyi Lurah.”

Sekar Mirah justru menjadi termangu-mangu mendengar jawaban Ki Sawung Semedi. Bahkan Ki Sawung Semedi itu pun berkata, “Baiklah, aku akan mencoba meyakinkan saudara-saudara kita akan sikap Nyi Lurah. Pewarisan ilmu yang terjadi pada Nyi Lurah memang berbeda dengan yang kami alami. Nyi Lurah memang tidak pernah tinggal di padepokan, tetapi Nyi Lurah langsung di tangani oleh Ki Sumangkar. Namun dengan demikian, adalah tidak aneh jika ilmu Nyi Lurah justru berada di atas rata-rata tingkat ilmu kami. Justru karena itu, maka kami harus mempunyai perhatian khusus kepada Nyi Lurah.”

“Aku tidak menginginkan perhatian khusus itu. Aku hanya ingin kalian mengerti tentang aku.”

“Ya, ya, Nyi Lurah. Aku akan menyampaikannya kepada saudara-saudara kita.”

“Terima kasih, Ki Sawung Semedi.”

Ki Sawung Semedi itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku akan mohon diri. Selanjutnya aku-lah yang diutus untuk menemui Nyi Lurah. Ki Saba Lintang tidak lagi bersedia datang menemui Nyi Lurah. Nampaknya ia masih belum dapat menjinakkan perasaan dendamnya. Jika ia datang kemari, akan mungkin terjadi salah paham karena Ki Saba Lintang tidak dapat mengendalikan dirinya. Sementara itu ia harus mengakui bahwa ilmunya tidak lebih tinggi dari ilmu Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Silakan, Ki Sawung Semedi. Katakan kepada saudara-saudara kita bahwa aku tetap pada pendirianku. Tetapi aku sama sekali tidak berkeberatan jika kalian menyelenggarakan pertemuan tanpa aku, Aku tidak berkeberatan jika Ki Saba Lintang memegang kendali sepenuhnya terhadap perguruan Kedung Jati itu.”

“Baik, baik, Nyi Lurah. Perkenankan aku meninggalkan Tanah Perdikan.”

“Ke mana Ki Sawung Semedi akan pergi sekarang?”

“Ke ujung Kali Geduwang. Saudara-saudara kita sudah berkumpul di sana.”

“Kenapa kalian memutuskan pertemuan itu akan dilakukan di ujung Kali Geduwang? Padahal menurut keterangan Ki Saba Lintang, ujung Kali Geduwang itu justru merupakan pilihan terakhir.”

Ki Sawung Semedi tersenyum. Katanya, “Nyi Lurah tentu tahu, kenapa akhirnya justru ujung Kali Geduwang itu menjadi pilihan. Terutama bagi Ki Saba Lintang.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka Ki Sawung Semedi itu pun minta diri. Sampai saat terakhir, wajah Ki Sawung Semedi tetap nampak jernih.

Sekar Mirah mengantarnya sampai ke regol halaman. Sementara itu Rara Wulan sempat melihat orang berjanggut putih itu dari pintu seketheng yang sedikit terbuka.

Demikian orang itu melangkah menjauh, Sekar Mirah pun segera melangkah kembali naik ke pendapa dan masuk ke ruang dalam.

“Siapakah orang itu, Mbokayu?” bertanya Rara Wulan.

“Salah seorang murid dari perguruan Kedung Jati.”

“Kawan Ki Saba Lintang?”

“Ya.”

“Untuk apa ia datang kemari?”

“Nampaknya orang itu mengambil alih tugas Ki Saba Lintang. Orang itu mencoba membujuk agar aku bersedia datang di pertemuan yang diselenggarakan di ujung Kaki Geduwang.”

“Masih lagu lama,” desis Rara Wulan.

“Ya. Meskipun didendangkan oleh orang lain. Namun nampaknya orang yang bernama Ki Sawung Semedi ini berusaha untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dibuat oleh Ki Saba Lintang. Ki Sawung Semedi mencoba membujuk dengan cara yang lain.”

“Apa yang dilakukan?” bertanya Rara Wulan.

“Nampaknya ia berusaha mengekang perasaannya. Ia berusaha untuk tetap berwajah jernih, tersenyum dan mengangguk-angguk.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun bertanya, “Bukankah orang itu berjanggut dan berkumis putih?”

“Ya, kenapa?”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Jika saja orang itu masih muda.”

Sekar Mirah pun tertawa pula. Katanya, “Jika saja ia masih muda, mungkin ia akan membujukku dengan cara lain.”

Keduanya berhenti tertawa ketika Glagah Putih melangkah masuk. Sambil mengerutkan dahinya, ia bertanya, “Apa yang kalian tertawakan?”

Rara Wulan-lah yang menjawab, “Tidak apa-apa. Hanya sebuah dongeng lucu yang diceritakan oleh Mbokayu Sekar Mirah.”

“Apakah aku juga boleh mendengar?”

“Nanti saja. Sekarang sudah terlambat.”

“Aku juga punya cerita lucu,” berkata Glagah Putih.

“Tentang itik beranak ayam? Aku sudah mendengar.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun Sekar Mirah-lah yang kemudian berkata,” Baiklah. Kau boleh mendengar dongeng lucu ini. Nanti aku juga akan menceritakan kepada kakakmu.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun Sekar Mirah pun kemudian berkata, “Duduklah.”

Glagah Putih nampak ragu-ragu. Tetapi Sekar Mirah dan Rara Wulan pun kemudian telah duduk pula bersamanya di ruang dalam.

Dengan sungguh-sungguh Glagah Putih mendengarkan cerita Sekar Mirah tentang Ki Sawung Semadi yang membujuknya untuk pergi ke ujung Kali Geduwang, sebagaimana pernah dilakukan oleh Ki Saba Lintang. Tetapi nampaknya cara yang dilakukan oleh Ki Sawung Semedi agak berbeda dengan cara yang dipergunakan oleh Ki Saba Lintang.

Tetapi sampai cerita Sekar Mirah itu berakhir, Glagah Putih tidak mendengar peristiwa yang lucu dan pantas ditertawakan. Bahkan Glagah Putih itu justru berkata, “Mbokayu harus lebih berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Ki Sawung Semedi. Justru karena ia mampu menguasai dirinya, maka ia dapat berbuat lebih licik dari Ki Saba Lintang.”

“Ya. Aku memang menanggapinya dengan berhati-hati,” jawab Sekar Mirah.

“Tetapi apakah yang lucu dari peristiwa itu?”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun Rara Wulan-lah yang tertawa berkepanjangan.

“Kenapa Rara tertawa?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah cerita itu lucu?” Sekar Mirah justru bertanya.

“Apa yang lucu?”

Rara Wulan justru tertawa semakin keras. Bahkan Sekar Mirah pun telah tertawa pula.

Glagah Putih menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ditertawakan oleh Rara Wulan dan Sekar Mirah.

Namun Sekar Mirah pun akhirnya berkata, “Cerita itu sendiri tidak lucu. Tetapi Rara Wulan-lah yang membuat cerita itu lucu. Rara Wulan membayangkan bahwa orang yang datang itu adalah seorang yang masih muda dan tampan, yang membujukku untuk pergi ke ujung Kali Gadung.”

“Ah,” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun mulai tersenyum pula.

“Yang lucu adalah Rara Wulan,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Glagah Putih yang tersenyum itu pun berkata, “Jika yang datang masih muda dan tampan, tentu yang dibujuknya bukan hanya Mbokayu Sekar Mirah.”

Rara Wulan yang masih tertawa, itu pun tiba-tiba terdiam. Dengan kerut di kening ia bertanya, “Jadi siapa?”

Glagah Putih-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Meskipun bukan murid perguruan Kedung Jati.”

“Jadi siapa?”

Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Sambil berjalan ke arah pintu ia tertawa sambil menjawab, “Barangkali Sukra, atau yang lain.”

Rara Wulan pun tiba-tiba bangkit. Namun Glagah. Putih telah melangkahi pintu samping dan turun ke longkangan.

“Sudahlah. Glagah Putih juga telah membuat cerita lucu sendiri.”

Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian terdengar Sekar Mirah itu tertawa sambil berkata, “Marilah kita pergi ke dapur.”

Rara Wulan tidak menjawab. Ketika kemudian Sekar Mirah melangkah ke dapur, maka Rara Wulan pun mengikutinya pula. Namun masih juga terdengar Sekar Mirah itu tertawa.

Di sore hari, ketika seisi rumah itu duduk di pringgitan sambil menghirup minuman hangat, Sekar Mirah telah menceritakan kehadiran Ki Sawung Semedi kepada Agung Sedayu dan Ki Jayaraga Keduanya mendengarkan cerita Sekar Mirah itu dengan bersungguh-sungguh. 

Namun seperti Glagah Putih, Ki Jayaraga pun berkata, “Nyi Lurah harus menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang seperti Ki Sawung Semedi. Nampaknya ia lebih dapat mengendalikan dirinya, sehingga ia pun lebih pandai berpura-pura. Ia dapat menyembunyikan kemarahannya. Ia pun dapat menahan gejolak perasaannya. Ia dapat menunggu dengan sabar kesempatan terbaik untuk menjebak sasarannya.”

Sekar Mirah Mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan semakin berhati-hati, Ki Jayaraga.”

“Apakah orang itu akan datang lagi?” bertanya Agung Sedayu.

“Mungkin orang itu akan datang lagi, Kakang,” jawab Sekar Mirah.

“Mungkin kau dapat menyadap beberapa keterangan tentang rencana pertemuan itu.”

“Jika ia datang kembali, aku akan berusaha Kakang. Tetapi tadi pagi aku masih menunjukkan sikapku sebelumnya. Aku tidak bersedia datang jika pertemuan itu tidak diadakan di Tanah Perdikan ini.”

“Ya. Kau memang tidak dapat menunjukkan perubahan sikap dengan tiba-tiba, karena hal itu justru akan dapat menimbulkan kecurigaan.”

“Menurut keterangan Ki Sawung Semedi, saat ini beberapa orang telah berkumpul di ujung Kali Geduwang. Mereka tinggal menunggu kesediaanku untuk datang.”

“Kita mengharap orang itu akan datang lagi.”

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Apakah sebaiknya aku pergi ke ujung Kali Geduwang?”

Agung Sedayu menggeleng sambil berkata, “Tidak banyak gunanya Glagah Putih. Yang dapat kau lihat hanyalah suasana pertemuan itu. Tetapi sulit bagimu untuk mengetahui apa yang mereka bicarakan dalam pertemuan itu, karena kau tidak akan mendapat kesempatan untuk memasuki ruangan pertemuan. Bahkan kemungkinan yang buruk akan dapat terjadi pada dirimu. Apalagi jika Ki Saba Lintang dapat mengetahui kehadiranmu di ujung Kali Geduwang. Kematian Ki Welat Wulung tidak akan pernah dilupakannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, aku mengerti. Tetapi setidak-tidaknya aku dapat mengetahui di mana pertemuan itu diselenggarakan.”

“Tetapi dibandingkan dengan bahaya yang kau hadapi, maka hasilnya tidak akan seimbang.”

Glagah Putih pun terdiam. Rara Wulan yang sudah menjadi cemas bahwa Glagah Putih akan pergi ke ujung Kali Geduwang, menarik nafas dalam-dalam.

“Kita akan merencanakan kemudian, apa yang akan kita lakukan,” berkata Agung Sedayu, “tetapi Sekar Mirah akan berusaha agar orang itu tetap menghubunginya.”

“Tetapi Nyi Lurah harus tetap berhati-hati. Orang itu tentu akan dapat mengatakan yang putih menjadi hitam, dan yang hitam menjadi putih,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“.Aku akan selalu mengingatnya, Ki Jayaraga,” sahut Sekar Mirah.

“Baiklah. Kita akan menunggu perkembangannya. Jika orang itu tidak kembali lagi, maka kita harus mengambil langkah-langkah yang dapat membantu para petugas sandi mengamati para murid dari Kedung Jati itu.”

Tetapi malam itu mereka belum tahu, langkah-langkah apa yang akan dapat mereka ambil. Namun Glagah Putih masih menyatakan pendapatnya, “Ada baiknya kita tahu, di mana mereka menyelenggarakan pertemuan itu.”

“Aku sependapat. Tetapi untuk mengambil langkah itu, kita harus mempunyai perhitungan yang cermat,” sahut Agung Sedayu. “Kita jangan terjebak pada satu keadaan yang justru akan dapat menyulitkan langkah-langkah kita selanjurnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara Ki Jayaraga berkata, “Kita memang tidak boleh tergesa-gesa menentukan apa yang akan kita lakukan. Yang sebaiknya kita lakukan adalah menunggu, meskipun sudah tentu ada batasnya. Jika saja Ki Sawung Semedi itu kembali.”

Menunggu memang terasa menjemukan. Rasa-rasanya hari-hari pun berjalan sanggat lamban. Namun seisi rumah Agung Sedayu itu dapat mengisi waktu-waktu luang mereka dengan kesibukan di sanggar. Bahkan Sukra pun ikut menyibukkan dirinya pula, meskipun ia lebih banyak mempergunakan sanggar terbuka di sudut kebun belakang bersama Glagah Putih. Tetapi sanggar itu ternyata cukup memadai.

Sementara itu, para petugas sandi pun belum menunjukkan langkah-langkah berarti. Masih belum nampak gejolak yang menarik perhatian. Yang dilakukan oleh para petugas sandi barulah mengamati keadaan. Beberapa orang sumber dari para petugas sandi itu seakan-akan justru telah kehilangan jejak.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar