Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 309

Buku 309

Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Rara. Bukankah bukan kita, dan bukan pula Nyi Dwani, yang menentukan kapan aku akan terbujur diam tanpa menyapamu lagi? Kenapa kita harus menjadi gelisah?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling memandangi wajah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, yang dilihatnya justru keduanya tersenyum-senyum saja.

Tetapi Glagah Putih tidak tersenyum sebagaimana keduanya.

“Sudahlah,” berkata Empu Wisanata, “sekarang tentukan waktunya. Pilih tempat yang mapan. Tepian Kali Praga memanjang dari ujung sampai ke ujung Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah,” berkata Ki Saba Lintang, “aku berpendapat bahwa perang tanding itu dilakukan di malam hari agar tidak menjadi tontonan. Beberapa hari lagi bulan akan bulat. Adapun tepian yang dipilih adalah tepian di sebelah utara jalur penyeberangan selatan. Tepian itu luas dan sepi. Meskipun tidak terlalu jauh dari jalur penyeberangan, tetapi jarang sekali orang yang akan sampai ke tempat itu, karena tempat itu dilingkungi oleh semak-semak belukar, meskipun tepiannya sendiri bersih dan lapang.”

“Baik,” jawab Sekar Mirah, “pada malam bulan penuh, aku akan berada di tepian sebelah utara jalur penyeberangan selatan.”

“Aku hormati kesediaan Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “meskipun Nyi Lurah tidak bersedia mempertaruhkan tongkat perguruan, namun Nyi Lurah sudah menunjukkan kesungguhan Nyi Lurah dengan mempertaruhkan justru nyawa Nyi Lurah sendiri. Tetapi akhir dari perang tanding itu akan mempengaruhi sikap saudara-saudara seperguruan kita.”

“Bagiku, sikap saudara-saudara seperguruan itu tidak penting. Tetapi aku berpegang pada sikap bahwa orang lain tidak dapat semena-mena memaksakan kehendaknya kepadaku, apapun alasannya. Aku juga berpegang pada hak yang tidak dapat diganggu gugat oleh orang lain, siapa pun mereka itu.”

Ki Welat Wulung memandang Sekar Mirah dengan sorot mata bagaikan menyala. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa pada waktu itu. Nyi Lurah Sekar Mirah itu sudah sepakat untuk berperang tanding melawan Nyi Dwani. Kesepakatan itu telah mengakhiri segala perselisihan yang terjadi.

Meskipun dalam keadaan yang sangat marah, Ki Welat Wulung setiap kali sempat memandang wajah lugu Rara Wulan. Gadis itu sangat cantik. Ki Welat Wulung bersyukur bahwa Rara Wulan akan ikut pergi ke arena perang tanding yang hanya akan disaksikan oleh enam orang yang lain.

Tiba-tiba saja di hati Ki Welat Wulung itu telah timbul harapan bahwa perang tanding itu akan meluas. Apa salahnya jika ia membuat persoalan baru setelah Nyi Dwani mengakhiri perlawanan Nyi Lurah Agung Sedayu? Tidak akan ada yang menyebut sebagai satu kecurangan. Nyi Dwani berperang tanding dengan bersih. Yang terjadi kemudian adalah timbulnya persoalan baru.

“Bukan salahku,” berkata Ki Welat Wulung di dalam hatinya, “salah gadis itu. Kenapa ia cantik. Agaknya tidak bersalah pula meskipun umurku jauh lebih tua dari gadis itu, tiba-tiba menginginkannya.”

Di luar sadarnya Ki Welat Wulung itu membayangkan, bahwa di tepian itu tidak hanya Nyi Lurah saja-lah yang akan terkapar mati. Tetapi juga ketiga orang saksi itu pun akan mati.

“Setelah Nyi Lurah mati, maka ketiga orang saksi dari Tanah Perdikan itu tidak akan mampu melawan kami berempat. Tidak ada orang yang memiliki kemampuan setingkat dengan Empu Wisanata. Ki Lurah yang diakui tataran ilmunya yang tinggi itu akan dihancurkan bukan saja namanya, tetapi juga tubuhnya. Orang tua yang bernama Jayaraga itu akan menjadi lumat oleh Kakang Saba Lintang, dan anak muda itu akan aku remukkan menjadi debu. Belum lagi Nyi Dwani yang bertangan api itu, akan dapat membantu mempercepat kemenangan kami.”

Dengan demikian, maka perhatian Ki Welat Wulung itu pun seakan-akan telah terikat pada Rara Wulan. Sebelumnya, hatinya yang panas tidak banyak memberinya kesempatan untuk mengamati wajah gadis itu. Tetapi demikian Nyi Dwani dan Nyi Lurah mendapatkan kesepakatan, maka perhatiannya menjadi semakin besar terhadap gadis yang berwajah cantik itu.

Rara Wulan pun kemudian merasa, betapa sorot mata Ki Welat Wulung itu bagaikan menusuk sampai ke pusat jantungnya. Berbeda dengan tatapan mata kemarahan yang ditujukannya kepada Sekar Mirah.

Sekali-sekali Rara Wulan melihat pandangan mata Ki Welat Wulung itu seolah-olah akan mencengkeramnya.

Dalam pada itu, setelah Sekar Mirah dan orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruannya itu mendapat kesepakatan, maka Agung Sedayu pun masih sempat mempersilakan tamu-tamunya itu sambil tersenyum, “Marilah, minumlah. Tentu sudah dingin.”

“Terima kasih,“ Empu Wisanata mengangguk. Tangannya pun meraih mangkuk minuman dan kemudian menghirupnya.

Ki Saba Lintang, Ki Welat Wulung dan Nyi Dwani pun kemudian telah minum pula beberapa teguk.

Namun sejenak kemudian, Ki Saba Lintang pun telah minta diri untuk meninggalkan rumah Agung Sedayu itu, bersama dengan kawan-kawannya.

Sepeninggal orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruan Sekar Mirah itu, maka Sekar Mirah pun menjadi sangat tegang. Ia sudah menahan gejolak perasaannya selama ia menemui orang yang mengaku saudara seperguruannya itu. Karena itu, demikian orang-orang itu pergi, maka rasa-rasanya Sekar Mirah ingin berteriak sepuas-puasnya.

Agung Sedayu melihat ketegangan jiwa Sekar Mirah yang sebaiknya dapat dilepaskan. Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Marilah. Kita akan pergi ke sanggar.”

“Bagus,” jawab Sekar Mirah dengan serta-merta.

“Kau harus melepaskan ketegangan jiwamu itu,” desis Agung Sedayu.

Sekar Mirah dengan tergesa-gesa telah masuk ke dalam biliknya, mengenakan pakaian khususnya, dan pergi ke sanggar bersama Agung Sedayu, sambil menjinjing tongkat baja putihnya.

“Apa yang akan dilakukan oleh Mbokayu Sekar Mirah?” bBertanya Rara Wulan.

“Sekedar mengendurkan ketegangan jiwanya. Jika tidak, ia dapat menjadi pingsan karenanya. Ia sudah menahan gejolak perasaannya selama menemui orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruannya itu. Meskipun Mbokayu Sekar Mirah nampak tersenyum dan tertawa, tetapi sebenarnyalah hatinya bergejolak. Nah, keadaan itulah yang membuat jiwanya menjadi sangat tegang sekarang ini.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu, Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah hilang di balik pintu sanggarnya.

Lampu minyak yang redup sudah dinyalakan di dalam sanggar oleh Sukra. Sementara itu, Sekar Mirah pun segera meloncat ke tengah sanggarnya, siap untuk melakukan latihan-latihannya.

Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sekar Mirah. Bagaimanapun hatimu bergejolak, tetapi kau harus tetap mengendalikan diri dalam latihan-latihan yang akan kau lakukan. Kau tidak boleh memaksa diri melampaui batas kemampuan dan daya tahan tubuhmu. Kau jangan terseret oleh arus perasaanmu. Tuangkan kekesalan yang tertahan itu. Namun kau harus berada dalam bingkai kesadaranmu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Pesan Agung Sedayu itu sudah mulai mengendurkan ketegangan jantungnya, sebelum ia menumpahkannya lewat unsur-unsur geraknya.

Sekar Mirah pun kemudian telah mulai menggerakkan tangan dan kakinya. Mula-mula perlahan-lahan. Betapapun jantungnya bergejolak, ternyata Sekar Mirah tetap menyadari bahwa ia tidak boleh terlepas dari kendali.

Untuk beberapa lama Sekar Mirah berada di sanggar. Namun sebelum tengah malam, Sekar Mirah menghentikan latihan-latihannya. Rasa-rasanya kekesalan yang mengganjal jantungnya telah tertumpah semuanya.

Hari-hari pun kemudian terasa terlalu panjang. Di siang hari, matahari menjadi sangat lamban mengarungi langit. Sementara malam hari, bahkan waktu terasa berhenti. Lima, enam kali Sekar Mirah terbangun, ia masih mendengar suara ayam jantan yang berkokok di dini hari. Bahkan Sekar Mirah pernah kehilangan pengamatan waktu. Ia sudah merasa terlalu lama berada di pembaringan, sehingga karena itu maka Sekar Mirah pun telah bangun dan pergi ke dapur untuk menyalakan perapian.

Tetapi ia menjadi heran, bahwa Sukra masih belum bangun. Glagah Putih yang terbiasa bangun pagi-pagi juga masih berada di dalam biliknya. Bahkan Ki Jayaraga masih terbatuk-batuk di pembaringan.

Ternyata malam masih sangat panjang. Sekar Mirah justru harus menambah lagi air yang dijerangnya, setelah sekian lama mendidih di atas api.

Sekar Mirah hanya merasa tenang jika ia mengisi waktu-waktunya yang terasa sangat panjang itu dengan latihan-latihan yang berat di sanggarnya, atau di kebun belakang, atau di lereng bukit di sela-sela pepohonan hutan, atau di padang perdu di antara semak-semak belukar. Namun karena perang tanding itu akan dilakukan di atas pasir tepian, maka Sekar Mirah pun telah berlatih pula di atas hamparan pasir, sehingga kakinya terbiasa untuk bergerak seakan-akan tanpa hambatan. Pasir yang semula bagaikan menghisap telapak kakinya itu, kemudian menjadi terbiasa baginya.

Namun pada suatu senja, Sekar Mirah itu duduk di serambi samping rumahnya sambil merenungi telapak tangannya. Matanya nampak redup dan keningnya berkerut dalam.

“Kenapa Sekar Mirah?” bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah masih saja memandangi telapak tangannya. Kemudian katanya, “Kakang, ternyata aku bukan seorang perempuan yang baik.”

“Kenapa?”

“Seorang perempuan yang baik adalah seorang perempuan yang lemah lembut, kulitnya halus seperti beludru, serta telapak tangannya lembut seperti sutra.” Sekar Mirah itu berhenti sebentar. Lalu katanya pula, “Tetapi lihat kulitku yang terbakar sinar matahari, serta telapak tanganku yang menjadi kasar dan bahkan kehitam-hitaman. Latihan-latihan dengan pasir yang panas itu membuat tanganku tidak seperti tangan seorang perempuan.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kita bukan orang-orang yang berkedudukan tinggi. Bukan priyayi yang tinggal di rumah-rumah yang besar berhalaman luas, yang terletak di pusat kota atau di sekeliling istana. Tetapi kita adalah orang-orang kebanyakan yang tinggal di pedesaan. Aku adalah seorang prajurit, yang setiap hari tangannya menggenggam hulu senjata dalam latihan-latihan yang berat. Sedangkan kau adalah istri prajurit, yang hidup di antara para petani di Tanah Perdikan ini. Cobalah kau lihat tangan perempuan-perempuan yang tinggal di sekitar kita di Tanah Perdikan ini. Tangan mereka pun tentu menjadi kasar oleh kerja keras. Luka bekas ani-ani di saat mengetam padi, atau bekas tusukan duri ketika menyisir daun pandan untuk membuat tikar yang putih bergaris-garis.”

“Tetapi tanganku tidak menjadi kasar karena kerja keras. Bahkan kehitam-hitaman.”

“Bukankah itu juga karena kerja kerasmu? jika perempuan yang lain bekerja keras di sawah, di lumbung atau di semak-semak pohon pandan, maka kau bekerja keras di sanggar. Jika kerja mereka akan berarti bagi banyak orang, maka hasil kerjamu pun dapat kau amalkan untuk kepentingan banyak orang.”

Sekar Mirah tidak menyahut Tetapi ia masih tetap mengamati tangannya yang menjadi kasar. Sisi telapak tangannya mengeras, dan kulit pada ruas jari-jarinya pun menjadi tebal.

“Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu, “jangan kecewa dengan keadaanmu. Kau justru dapat berbangga, bahwa tidak setiap perempuan dapat menjadi seperti kau.”

Sekar Mirah mengangguk. Meskipun demikian Sekar Mirah itu pun berdesis, “Apakah Kakang tidak menjadi kecewa?”

“Kenapa aku harus kecewa? Bukankah aku membantumu membuat tanganmu menjadi seperti itu?”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.

Untuk beberapa saat mereka telah berdiam diri. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Dua hari lagi, bulan akan bulat.”

“Ya. Kau masih mempunyai waktu dua hari lagi untuk mempersiapkan dirimu. Kau harus yakin bahwa kau tidak bersalah. Kau mempertahankan hakmu, sehingga apa yang kau lakukan sudah benar.”

“Ya, Kakang,” desis Sekar Mirah.

“Meskipun demikian, meskipun kau yakin akan dirimu sendiri, tetapi kau pun harus tetap bersandar kepada Sumber Hidupmu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia tidak menjawab lagi Tetapi ia masih tetap merenungi tangannya. Terbayang kembali latihan-latihan yang telah dilakukannya sehingga tangannya menjadi agak kehitam-hitaman, dan terhitung kasar bagi tangan seorang perempuan. Ia membayangkan kembali, bagaimana tangannya yang terbuka dengan jari-jari merapat harus memukul sasaran-sasaran yang disiapkan di sanggar. Dengan sisi telapak tangannya, dengan telapak tangannya, dengan ujung jari-jarinya yang merapat, tetapi juga dengan dua jarinya yang merenggang. Menekan dan mengetuk urat-urat nadi dengan ujung-ujung jari, termasuk ibu jarinya. Kemudian dengan jari-jarinya yang merapat menusuk-nusuk seonggok pasir. Bahkan kemudian pasir yang berada di dalam kotak yang besar bercampur kerikil. Terakhir, pasir dan kerikil itu dipanasi, semakin lama semakin panas.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Laku kewadagan itu telah melengkapi laku seutuhnya yang harus dijalaninya. Latihan pernafasan, mengungkap tenaga dalam sampai tuntas, memanfaatkan segala macam unsur yang ada di dalam dirinya, yang keras dan yang lunak.

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “lupakan tanganmu. Kau memang tidak memerlukan tangan yang halus dan lembut seperti beludru. Syukurlah bahwa tanganmu itu akan dapat kau pergunakan untuk melindungi namamu dan nyawamu. Bahkan kemudian untuk melindungi mereka yang diperlakukan keras dan kasar, namun tidak mampu untuk melindungi dirinya sendiri. Mereka yang teraniaya oleh ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berdesis, “Ya, Kakang. Aku mengerti.”

“Nah, kau sekarang harus mempergunakan waktumu sebaik-baiknya. Kau harus banyak beristirahat agar tenagamu utuh. Tetapi kau pun harus mampu memusatkan nalar budi, menghadapi masa-masa yang berat bagimu. Nyi Dwani adalah orang yang terlalu yakin akan kemampuan di dalam dirinya. Tetapi kau pun yakin pula akan kemampuanmu. Tetapi kau masih mempunyai bekal yang lebih baik. Kau tidak meremehkan Nyi Dwani, sebagaimana Nyi Dwani meremehkanmu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Kakang.”

“Baiklah. Seperti yang sudah pernah aku katakan, kau tidak boleh terlalu tegang.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan berusaha, Kakang.”

“Nah, kenapa kita tidak duduk di luar? Meskipun bulan belum bulat, tetapi sinarnya tidak jauh berbeda.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Marilah, Kakang.”

Keduanya pun kemudian melangkah keluar. Ketika mereka berada di longkangan, mereka melihat cahaya bulan yang tersangkut di dedaunan. Di langit hanya bintang-bintang yang cahayanya cemerlang sajalah yang nampak bergayut.

Keduanya pun kemudian telah pergi ke halaman depan lewat seketheng. Demikian mereka turun ke halaman, mereka melihat Glagah Putih, Rara Wulan dan Sukra duduk di tangga pendapa.

Sekar Mirah memang sempat melupakan persoalan-persoalan yang bergejolak di dalam dadanya. Di halaman seberang jalan, terdengar anak-anak bermain-main dengan riangnya. Terdengar sekelompok anak-anak perempuan melantunkan lagu-lagu dolanan.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dalam ketegangan jiwa, ia tidak dapat mendengar gadis-gadis kecil itu dengan riangnya berdendang.

“Kau tidak bermain bersama kawan-kawanmu Sukra?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku sedang menunggu,” jawab Sukra. “Aku sudah mendengar anak-anak melagukan lagu dolanan. Anak-anak perempuan. Tetapi anak-anak laki-laki baru akan mulai sebentar lagi.”

Agung Sedayu tersenyum. Namun kemudian bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu pun telah duduk pula di tangga pendapa rumahnya.

“Aku akan mengambil tikar,” berkata Rara Wulan sambil bangkit berdiri.

“Tidak usah, Rara,” desis Sekar Mirah, “biarlah kita duduk di tangga ini saja.”

Rara Wulan pun kemudian duduk kembali. Sementara itu Sukra-lah yang berdiri. Di luar regol halaman terdengar seseorang memanggilnya.

“Kenapa tidak kau bawa kawan-kawanmu bermain di halaman ini saja?” bertanya Agung Sedayu.

“Terlalu sempit,” jawab Sukra.

“Jadi kau akan bermain di mana?”

“Sepanjang tepian.”

Agung Sedayu tersenyum. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Apakah kau akan masuk ke dalam sanggar atau tidak?”

“Tentu. Lewat tengah malam. Aku akan bermain sampai tengah malam.”

Glagah Putih tersenyum. Ia tidak dapat memaksakan keterikatan Sukra pada waktu-waktu berlatih. Bagaimanapun juga jiwa anak itu harus berkembang sebagai anak-anak yang lain. Ia butuh bermain sebagaimana anak-anak menjelang remaja sebayanya. Ia tidak boleh terkungkung sehingga ia akan kehilangan masa-masa yang paling menggembirakan.

Demikianlah, sejenak kemudian Sukra pun segera berlari menghambur keluar regol halaman.

Glagah Putih tersenyum. Ia pun berjalan tergesa-gesa ke regol pula. Dilihatnya beberapa orang anak sebaya Sukra sedang berunding di pinggir jalan.

“Kau ikut bermain sembunyian, Kakang?” bertanya seorang kawan Sukra.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jika ada kawan yang sebaya, aku mau ikut bermain bersama kalian.”

“Benar?” bertanya yang lain, “Aku akan memanggil Kakang. Ia tentu mau bermain bersama Kakang Glagah Putih.”

Glagah Putih tertawa semakin panjang. Katanya, “Besok sajalah. Bukankah lusa bulan purnama? Nah, waktunya bermain sampai jauh malam.”

Sejenak kemudian, anak-anak itu pun bergegas pergi ke tepian. Mereka akan bermain sembunyi-sembunyian di sepanjang tepian sungai.

“Berhati-hatilah!” pesan Glagah Putih, “Jangan sampai menginjak seekor ular yang banyak berkeliaran di gerumbul-gerumbul perdu sepanjang tanggul.”

Anak-anak itu mengangguk. Tetapi sebentar kemudian mereka pun sudah menghambur berlari-larian menuju ke tepian. Tetapi agaknya mereka masih akan memanggil beberapa orang kawan lagi.

Malam itu Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di tangga pendapa sampai jauh malam. Suara tembang dolanan mengalun, dilagukan oleh gadis-gadis yang sudah meningkat remaja.

Ketika Sekar Mirah kemudian berada di biliknya, maka seperti malam-malam sebelumnya, rasa-rasanya waktu berhenti beredar. Suara-suara malam yang ngelangut membuat malam serasa menjadi semakin panjang.

“Jangan terlalu kau pikirkan,” berkata Agung Sedayu.

“Bagiku, persoalan yang aku hadapi sekarang sulit untuk aku lewati begitu saja. Persoalannya menyangkut sebuah perguruan. Tongkat pertanda perguruan dan saudara-saudara seperguruan.”

“Kau percaya kepada semua cerita Ki Saba Langit, Ki Welat Wulung, Empu Wisanata dan Nyi Dwani?”

“Tidak seluruhnya,” jawab Sekar Mirah.

“Nah, jika demikian, jangan terlalu banyak kau risaukan. Kau menerima warisan itu langsung dari orang yang kau anggap gurumu. Karena itu, maka sikapmu, sebagaimana aku katakan berkali-kali, sudah benar.”

Sekar Mirah mengangguk.

Meskipun demikian, Sekar Mirah tidak dapat tidur dengan nyenyak. Beberapa kali ia terbangun. Sementara malam serasa masih saja tidak beringsut Dan waktu pun seakan-akan telah berhenti.

Tetapi di hari berikutnya, segala-galanya telah berubah. Sekar Mirah tidak lagi nampak gelisah dan tegang. Beberapa petunjuk Agung Sedayu telah membuat Sekar Mirah mampu melepaskan diri dari belitan perasaannya menghadapi perang tanding yang akan dilakukannya, besok malam, saat bulan purnama.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah pun merasakan bahwa Sekar Mirah akan menjadi semakin tegar menghadapi perempuan yang bernama Nyi Dwani itu.

Bahkan Ki Jayaraga sempat berbisik di telinga Agung Sedayu, “Perubahan yang menentukan telah terjadi di dalam diri Angger Sekar Mirah. Nampaknya Ki Lurah berhasil meyakinkannya.”

“Pada dasarnya Sekar Mirah memang mempunyai keyakinan yang kuat di dalam dirinya, Ki Jayaraga. Ia tidak akan menjadi tegang seandainya tiba-tiba saja ia diserang dan harus bertempur mempertahankan dirinya. Tetapi justru karena ada tenggang waktu beberapa hari itulah, maka Sekar Mirah sempat berangan-angan, sehingga jantungnya justru diterkam oleh ketegangan.”

“Dengan keyakinannya yang semakin kuat, maka tidak ada lagi yang harus dicemaskan,” sahut Ki Jayaraga.

Dengan demikian, Sekar Mirah menyongsong saat-saat yang menentukan itu dengan sikap yang mapan. Bahkan kemudian Sekar Mirah seakan-akan tidak menghiraukan lagi apa yang akan terjadi

Meskipun demikian, di sanggar Sekar Mirah masih melakukan latihan-latihan ringan untuk sekedar melemaskan tubuhnya, tanpa menimbulkan ketegangan baru.

Akhirnya malam yang ditunggu itu pun semakin mendekat. Betapapun lambatnya waktu merayap, tetapi hari-hari pun telah terlampaui.

Ketika senja turun menjelang malam bulan purnama, Sekar Mirah telah mempersiapkan diri lahir dan batinya. Ia berada di sanggar beberapa saat lamanya bersama Agung Sedayu. Mereka telah menenangkan hati, mengheningkan nalar dan budi. Sebentar lagi, Sekar Mirah akan pergi ke tepian Kali Praga, sebelah utara jalur penyeberangan selatan, untuk melakukan perang tanding.

Tingkat kepasrahan Sekar Mirah pun menjadi semakin tinggi, sehingga ia pun menjadi semakin tenang karenanya.

Ketika gelap turun, maka seisi rumah itu telah meninggalkan rumah mereka. Kepada Sukra Agung Sedayu berpesan, jika ia pergi bermain, semua pintu supaya diselarak, termasuk pintu seketheng.

“Jangan lupa. Lewat saja pintu butulan di longkangan. Kau. dapat memanjat di sebelah pintu seketheng yang kau selarak dari dalam.”

“Ki Lurah dan seisi rumah ini akan pergi ke mana?”

Glagah Putih-lah yang menepuk bahunya sambil menjawab, ”Menikmati cahaya bulan purnama.“

Sukra termangu-mangu sejenak. Dipandanginya mereka seorang demi seorang, dengan penuh pertanyaan di sorot matanya. Agaknya anak itu merasakan lewat penggraitannya, bahwa sesuatu akan terjadi.

Di luar sadarnya anak itu pun bertanya, “Apakah aku boleh ikut bersama seisi rumah ini, menikmati bulan purnama?”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau akan dicari kawan-kawanmu. Bermain sajalah bersama kawan-kawanmu di tepian. Tetapi ingat, jangan menginjak ular jika kau dan kawan-kawanmu bersembunyi di semak-semak.”

Sukra mengangguk. Tetapi di wajahnya nampak kegelisahan hatinya. Meskipun tidak terungkapkan, tetapi sesuatu bergejolak di dalam dadanya

Bahwa seisi rumah ini bepergian bersama, agaknya tidak pernah dilakukan sebelumnya

Namun peringatan Glagah Putih kepada Sukra merupakan peringatan pula bagi Agung Sedayu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah memberikan sebutir obat penangkal racun kepada Sekar Mirah. Meskipun Agung Sedayu sendiri tidak memerlukan, namun Agung Sedayu selalu menyediakan obat penangkal racun dan bisa.

Demikianlah, kelima orang itu pun telah meninggalkan regol halaman. Tetapi mereka tidak bersama. Di saat bulan terang, tentu banyak anak-anak bermain. Bukan saja di halaman-halaman rumah yang luas, tetapi tentu juga di sepanjang jalan. Mereka berlari-larian, berkejaran dan main sembunyi-sembunyian. Jika mereka melihat seisi rumah itu berjalan bersama-sama, maka mereka tentu akan bertanya-tanya sebagaimana Sukra, meskipun barangkali tidak diucapkan.

Karena itu, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mengambil jalan sendiri, sementara Glagah Putih dan Ki Jayaraga memilih jalan yang lain. Namun mereka berjanji untuk bertemu di tempat yang sudah ditentukan.

Dengan cepat kelima orang itu melintasi jalan padukuhan induk, bulak-bulak panjang dan pendek menuju ke tepian Kali Praga, di sebelah utara jalur penyeberangan. Mereka akan sampai ke tempat itu pada saat bulan naik sepenggalah.

Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Bulan yang terbit nampak kemerah-merahan. Selembar awan tipis melayang menyapu wajah langit. Kelelawar yang berkeliaran menyambar-nyambar menangkap mangsanya

Kelima orang yang berjalan terpisah itu pun kemudian bertemu. Mereka mengambil jalan pintas, menyusuri tanggul parit induk. Kemudian melintasi susukan, lewat sebuah wot bambu yang menyilang di atasnya.

Ketika mereka sempat memandang air yang mengalir di bawah wot bambu itu, maka mereka melihat wajah bulan yang memantul berkilat-kilat oleh riak-riak kecil di permukaannya

Sementara itu bulan menjadi semakin tinggi. Malam pun justru seakan-akan menjadi semakin terang. Bulan bulat memancarkan cahaya peraknya merata di lingkaran cakrawala.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah melintasi semak-semak yang tumbuh di atas tanah yang lembab berair. Namun beberapa saat kemudian mereka telah berada di atas tepian berpasir.

Tiba-tiba saja Sekar Mirah memegang tangan suaminya. Tetapi hanya sesaat. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia melepaskan tangan itu. Bahkan Sekar Mirah pun kemudian berjalan di paling depan.

Ketika mereka sampai ke tepian, mereka pun melihat empat orang duduk di atas pasir sambil menghadap ke arah bulan yang sudah menjadi semakin tinggi. Kedatangan Sekar Mirah seakan-akan telah membangunkan mereka dari keterpakuan mereka memandang bulan yang bulat itu.

Terdengar suara Nyi Dwani dengan nada tinggi., “Selamat malam saudara-saudaraku. Aku sudah merasa cemas bahwa kalian berhalangan hadir di tepian ini.”

“Aku sudah menunggu-nunggu terlalu lama. Rasa-rasanya waktu berhenti berputar,” jawab Sekar Mirah. “Aku tidak tahu kenapa harus menunggu bulan bulat. Mungkin ada hubungan antara ilmumu dengan cahaya bulan. Semakin terang cahaya bulan di langit, maka ilmumu akan menjadi semakin tinggi.”

Tiba-tiba wajah Nyi Dwani berkerut. Seakan-akan di luar sadarnya Nyi Dwani itu menyahut, “Apa salahnya aku menghubungkan ilmuku dengan cahaya bulan? Jika aku mampu menyerap dan memanfaatkan getar cahaya bulan, bukankah aku tidak menyalahi syarat perang tanding ini?”

“Tidak,” jawab Sekar Mirah, “tetapi ilmu dari jalur perguruanku tidak ada hubungannya dengan cahaya bulan.”

Nyi Dwani tersentak. Namun Empu Wisanata-lah yang menyahut, “Kau memang baru sampai pada tataran permulaan dari kebulatan ilmu dari perguruan kita, Nyi Lurah. Tetapi kami sudah sampai pada tataran puncaknya, sehingga ada beberapa hal yang masih belum kau kenal dari ilmu perguruan kita ini.”

Sekar Mirah tersenyum Katanya, “Aku tidak akan menganggap kalian curang seandainya kalian datang dengan membawa landasan ilmu dari perguruan manapun juga. Bahkan tanpa satupun unsur gerak dari perguruanku yang kau kenali.”

“Cukup!” teriak Nyi Dwani, “Kau tidak usah mengada-ada Nyi Lurah. Malam sudah semakin larut. Kita jangan terlalu banyak membuang waktu.”

Tetapi jawab Sekar Mirah membuat jantung Nyi Dwani bagaikan terbakar. Katanya, “Kenapa tergesa-gesa? Sebenarnya Nyi Dwani, aku ingin beristirahat setelah aku berjalan dengan tergesa-gesa ke tepian ini.”

Namun Empu Wisanata-lah yang menyahut, “Baiklah. Beristirahatlah.” Lalu katanya kepada anaknya, “Dwani, sebaiknya kau tidak usah tergesa-gesa. Nyi Lurah masih ingin menikmati indahnya cahaya bulan di tepian Kali Praga. Mungkin ia tidak akan mempunyai kesempatan lagi sesudah malam ini. Purnama ini adalah purnama yang terakhir baginya.”

Tetapi Ki Saba Lintang segera menyahut, “Nyi Lurah dapat saja beristirahat. Tetapi jangan sekedar mengulur waktu, sementara Ki Lurah telah menyiapkan prajurit dari Pasukan Khusus segelar sepapan.”

“Tidak, Ki Saba Lintang,” sahut Agung Sedayu, “aku tetap menghormati kesepakatan istriku dengan saudara-saudara seperguruannya.”

“Baiklah,” berkata Sekar Mirah kemudian, “kita akan mulai permainan ini. Waktuku memang tidak banyak. Aku juga sedang menanak nasi di rumah. Aku harus segera pulang sebelum nasiku menjadi hangus.”

“Kau terlalu sombong, Nyi Lurah,” geram Nyi Dwani.

“Bukan maksudku.”

“Sudahlah,” berkata Ki Saba Lintang, “jika Nyi Lurah sudah siap, maka perang tanding ini akan segera dimulai.”

Sekar Mirah mengangkat wajahnya. Dilihatnya bulan menjadi semakin tinggi. Sebentar lagi bulan itu akan mencapai puncak langit.

Sekar Mirah tersenyum. Ia pernah mendengar cerita suaminya dan cerita Ki Jayaraga, bahwa orang yang menghubungkan ilmunya dengan cahaya bulan mempunyai kepercayaan, semakin terang cahaya bulan, ilmunya menjadi semakin tinggi. Puncak dari tataran ilmunya adalah apabila bulan purnama itu ada di puncak langit. Tetapi jika bulan itu mulai tergelincir menuruni lengkung langit di sebelah barat, maka ilmu itu pun akan menjadi semakin menyusut.

Tetapi Sekar Mirah tidak menjadi gentar. Pengaruh sinar bulan itu lebih banyak justru pada pengaruh jiwani. Meskipun Sekar Mirah mengerti bahwa arti dari pengaruh jiwani itu sangat penting, namun Sekar Mirah sudah siap untuk mengatasinya.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun berkata, “Bersiaplah. Aku akan memimpin perang tanding.”

“Kenapa kau?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku memegang tongkat perguruan.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu di sebelahnya. Agung Sedayu juga memegang tongkat, meskipun tongkat itu milik Sekar Mirah. Namun sebelum Sekar Mirah mengatakan sesuatu, Agung Sedayu itu pun berkata, “Silahkan Ki Saba Lintang. Silahkan memimpin perang tanding ini. Tetapi setelah perang tanding ini mulai, kita akan sekedar menjadi saksi.”

“Ya. Kita memang tidak lebih dari saksi.”

Demikianlah, Ki Saba Lintang itu pun telah mempersilahkan Nyi Dwani dan Sekar Mirah untuk berdiri berhadapan pada jarak beberapa langkah. Sambil mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi, Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Demi keluhuran nama perguruan kita, maka akan diselenggarakan perang tanding ini dengan jujur. Perang tanding antara Nyi Dwani dan Nyi Lurah Agung Sedayu. Akhir dari perang tanding ini akan membuktikan, siapakah yang paling baik di antara mereka. Jika perguruan kita harus kehilangan salah seorang yang terbaik di antara kita, adalah semata-mata tumbal yang akan menjadi pupuk kesuburan perkembangan perguruan kita selanjutnya. Nah, bersiaplah kalian yang akan berhadapan dalam perang tanding ini. Apapun yang akan terjadi, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar. Semuanya dilakukan atas kesadaran bahwa kehormatan tertinggi adalah pada perguruan.”

Nyi Dwani pun kemudian segera mempersiapkan diri. Demikian pula Sekar Mirah. Kedua-duanya sama sekali tidak bersenjata. Mereka akan menyelesaikan perang tanding itu dengan tangan mereka, yang akan menyalurkan getar kekuatan ilmu mereka.

Demikianlah, perang tanding itu pun segera dimulai. Agung Sedayu pun kemudian berdiri tidak terlalu jauh dari Empu Wisanata, sementara Ki Jayaraga berdiri di seberang, di dekat Ki Saba Lintang. Di sisi yang lain, Glagah Putih berdiri di sebelah Rara Wulan.

Dalam pada itu, perhatian Ki Welat Wulung pun segera terbagi. Ia ingin memperhatikan perang tanding itu. Tetapi sekali-sekali ia menyempatkan diri memandang Rara Wulan. Gadis itu menjadi semakin cantik oleh sinar bulan yang bulat.

Setapak-setapak Ki Welat Wulung bergeser. Memang tidak menarik perhatian. Seakan-akan kakinya tergerak karena perhatiannya yang terpusat pada perang tanding itu.

Dalam pada itu, ternyata Nyi Dwani memang seorang perempuan yang garang. Demikian perang tanding itu mulai, maka ia langsung menyerang. Serangan-serangan itu masih sekedar untuk menjajaki kemampuan lawannya, namun kadang-kadang serangan itu terasa mulai berbahaya.

Namun Sekar Mirah pun telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak saja sekedar menghindari serangan-serangan Nyi Dwani, tetapi Sekar Mirah pun mulai menyerangnya pula.

Sementara itu Ki Welat Wulung pun telah berdiri beberapa langkah saja di sebelah Rara Wulan. Namun ia masih harus menunggu perang tanding itu selesai. Ia harus menunggu Nyi Dwani membunuh Sekar Mirah lebih dahulu. Baru kemudian ia akan membuat persoalan baru. Ki Welat Wulung menyadari, bahwa ia tidak boleh mengganggu perang tanding yang baru terjadi itu.

Di bawah terangnya bulan purnama, perang tanding itu pun berlangsung. Semakin lama menjadi semakin cepat. Nyi Dwani yang garang itu berloncatan dengan cepatnya. Kedua tangannya menyambar-nyambar dengan jari-jari mengembang, seperti jari-jari burung elang menangkap anak ayam.

Tetapi Sekar Mirah pun tidak kalah tangkasnya. Dengan kecepatan yang tinggi pula, Sekar Mirah selalu mampu menghindari serangan-serangan Nyi Dwani. Bahkan ia sempat mengejutkan Nyi Dwani ketika kakinya sempat menyambar pergelangan tangannya.

Nyi Dwani pun menggeram. Ia semakin meningkatkan ilmunya. Nyi Lurah Agung Sedayu itu tidak boleh merasa berbesar hati oleh kemenangan-kemenangan kecil sekalipun.

Tetapi ternyata hal itu tidak mudah dilakukannya Adalah di luar dugaannya, bahwa Sekar Mirah mampu sekali-sekali mengejutkannya dengan serangan-serangan yang tiba-tiba dan tidak terduga-duga.

Sebenarnyalah Sekar Mirah melihat unsur-unsur gerak yang dikenalinya sebagai bagian dari ilmu dari perguruannya. Tetapi di samping itu Sekar Mirah pun melihat, bahwa ilmu Nyi Dwani itu juga diwarnai oleh ilmu dari perguruan lain, tentu termasuk ilmu yang dihubungkannya dengan getar cahaya bulan.

Dalam pada itu, Sekar Mirah masih tetap berada di jalur ilmu perguruannya. Ia masih belum menampakkan warna-warna lain yang dapat memperkaya ilmunya. Namun ternyata bahwa ilmu yang masih berada di jalur perguruannya itu pun banyak yang tidak dikenali oleh Nyi Dwani. Pada unsur-unsur yang lebih rumit, Nyi Dwani kadang-kadang tersentak dan terkejut

Ki Saba Lintang mengikuti perang tanding itu dengan tegang. Di tangannya tergenggam tongkat perguruan yang dibanggakannya. Namun sekali-sekali jantungnya bergetar jika Nyi Dwani nampak terkejut oleh serangan-serangan Sekar Mirah.

Di luar arena, Agung Sedayu yang berilmu sangat tinggi mengamati perang tanding itu dengan seksama. Ia pun segera mengerti bahwa ilmu yang dikuasai Nyi Dwani yang terutama adalah justru tidak sejalan dengan ilmu dari perguruan Sekar Mirah.

Meskipun demikian, Agung Sedayu melihat bahwa Nyi Dwani memang seorang yang berilmu tinggi.

Ki Jayaraga pun mengikuti perang tanding itu dengan seksama. Perang tanding itu masih belum membahayakan bagi kedua belah pihak, meskipun mereka sudah semakin meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Tetapi mereka masih belum bernafsu untuk dengan cepat mengakhirinya.

Empu Wisanata pun masih menganggap perang tanding itu masih berada pada tataran permulaan. Kedua belah pihak masih sedang memanaskan darah mereka, sebelum mereka akan memasuki satu perang tanding yang bersungguh-sungguh.

Namun semakin lama mereka pun bergerak semakin cepat. Sekali-sekali Nyi Dwani mengangkat wajahnya memandang bulan yang hampir sampai ke puncak langit.

Sikap Nyi Dwani itu tidak terlepas dari perhatian Sekar Mirah. Bahkan Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun melihat betapa Nyi Dwani memperhatikan sekali letak bulan yang ada di langit

Semakin dekat bulan dengan puncak langit, maka ilmu Nyi Dwani pun telah ditingkatkannya pula. Serangan-serangannya mulai berbahaya. Tangannya mulai menyambar langsung ke tempat-tempat yang berbahaya bagi Sekar Mirah.

Hampir saja jari-jari Nyi Dwani sempat mencengkam leher Sekar Mirah. Untunglah Sekar Mirah bergerak cepat menghindarinya. Namun jari-jari Nyi Dwani sudah sempat menyentuh leher Sekar Mirah.

Sekar Mirah merasa lehernya menjadi pedih. Nampaknya kuku Nyi Dwani sempat menggores di lehernya meskipun tidak berarti.

Perasaan pedih di leher Sekar Mirah itu telah memacunya untuk meningkatkan ilmunya pula. Ia pun bergerak semakin cepat. Kakinya berloncatan dengan ringan, sehingga tubuhnya pun seakan-akan melayang-layang mengitarinya

“Ternyata perempuan ini juga berilmu tinggi,” berkata Nyi Dwani di dalam hatinya

Sebelumnya Nyi Dwani memang sudah menduga bahwa Nyi Lurah Agung Sedayu yang telah menerima salah satu tongkat perguruan itu tentu berilmu tinggi. Namun setelah ia mengalami perang tanding itu, maka Nyi Dwani harus mengakui bahwa kemampuan Sekar Mirah berada pada tataran yang lebih tinggi dari dugaannya. Karena itu, maka Nyi Dwani pun harus berhati-hati menghadapinya. Tetapi Nyi Dwani memang terlalu yakin akan dirinya sendiri. Dengan demikian, Nyi Dwani tidak pernah menjadi ragu-ragu bahwa ia akan dapat menyingkirkan Sekar Mirah. Kemudian ia harus mendapatkan tongkat itu, meskipun harus dengan paksaan kekerasan.

Nyi Dwani yang semula merasa cemas bahwa tongkat Sekar Mirah itu akan disembunyikan, merasa berlega hati bahwa tongkat itu sekarang ada di sekitar arena. Meskipun ada di tangan Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi.

Tetapi sebagaimana Nyi Dwani meyakini ilmunya, maka ia pun yakin bahwa ayahnya tidak akan pernah dikalahkan oleh siapapun juga. Apalagi setelah ayahnya menjalani laku di atas Gunung Kukusan beberapa waktu yang lalu.

Karena itu, setelah ia menyingkirkan Sekar Mirah, maka ayahnya akan mengambil tongkat itu dari tangan Agung Sedayu.

Nyi Dwani tersenyum sendiri sambil berloncatan menghindari serangan Sekar Mirah. Apalagi ia telah mendengar bagaimana Ki Welat Wulung memuji kecantikan Rara Wulan. Gadis yang tumbuh dewasa. Bagi Ki Welat Wulung, usia seorang perempuan tidak pernah menjadi pertimbangannya. Jika ia tertarik pada seorang perempuan, apakah ia masih gadis kencur ataukah sudah mempunyai cucu, ia tidak pernah menghiraukannya.

Ki Welat Wulung itu menurut dugaan Nyi Dwani tentu akan mengambil Rara Wulan, sehingga tentu akan timbul persoalan baru setelah perang tanding itu selesai. Dalam keributan itulah Empu Wisanata akan mendapat kesempatan untuk mengambil tongkat dari tangan Agung Sedayu, meskipun ia harus membunuh Lurah prajurit itu.

Dalam pada itu, perang tanding itu pun menjadi semakin sengit. Apalagi ketika bulan menjadi semakin dekat dengan puncak langit.

Agung Sedayu memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Agung Sedayu sendiri pernah mengalami bertempur melawan seseorang yang menghubungkan ilmunya dengan getar cahaya bulan. Namun ia melihat perbedaan ilmu Nyi Dwani dengan ilmu yang dimiliki orang yang pernah bertempur melawannya.

Menurut pengamatan Agung Sedayu, ia masih belum mencemaskan keadaan Sekar Mirah, karena ia tahu Sekar Mirah pun masih belum sampai pada puncak ilmunya.

Tetapi ketika bulan merambat naik, maka Sekar Mirah pun harus meningkatkan ilmunya pula. Menurut perasaan Sekar Mirah, ilmu Nyi Dwani itu pun memang meningkat sejalan dengan kedudukan bulan di langit.

Namun setiap kali ia berusaha mengingat pesan Agung Sedayu, bahwa pengaruh bulan itu lebih banyak pada sisi jiwani daripada sisi ilmunya. Karena Nyi Dwani demikian yakin akan pengaruh cahaya bulan itu, maka keyakinannya itu telah mempengaruhi jiwanya, sehingga seakan-akan ilmunya memang meningkat.

Namun Sekar Mirah memang harus meningkatkan ilmunya ketika ia merasa semakin terdesak, sehingga ia pun segera dapat mengimbangi kemampuan Nyi Dwani itu lagi. Bahkan dengan hentakan ilmunya, kadang-kadang Sekar Mirah justru mampu mendesak lawannya yang garang itu.

Empu Wisanata memperhatikan pertempuran itu dengan seksama. Sekali-sekali ia memandang bulan di langit. Semakin lama semakin tinggi, sebagaimana ilmu Nyi Dwani yang semakin meningkat. Tenaga Nyi Dwani pun seakan-akan menjadi semakin kuat pula. Bahkan tenaga dalamnya yang mendukung ilmunya pun menjadi semakin besar pula.

Tetapi menurut pengamatan Empu Wisanata, bukan saja ilmu Nyi Dwani yang meningkat semakin tinggi. Bukan saja kekuatan dan tenaga Nyi Dwani yang semakin besar. Tetapi kemampuan Sekar Mirah pun mengimbangi Nyi Dwani. Bahkan Sekar Mirah pun sekali-sekali juga menyempatkan diri menengadahkan wajahnya, memandang bulan yang terang di langit

“Apakah Nyi Lurah juga memiliki ilmu yang dipengaruhi oleh getar cahaya bulan?” bertanya Empu Wisanata di dalam hatinya.

Namun ia tidak sempat bertanya-tanya lebih jauh. Nyi Dwani telah hampir sampai ke puncak kemampuannya. Bahkan ia mulai menerapkan unsur-unsur gerak yang khusus, yang sama sekali belum pernah dikenal oleh Sekar Mirah pada ilmunya. Namun Sekar Mirah pun menduga bahwa ilmu itu tentu diwarisi dari Empu Wisanata, yang disebut sebagai ayahnya itu.

Dalam pada itu, Nyi Dwani pun kemudian telah mengerahkan kemampuannya. Demikian bulan sampai di atas kepalanya, maka Nyi Dwani itu pun berkata, “Sekar Mirah. Ucapkan selamat tinggal kepada suamimu, kepada adikmu dan kepada saksi-saksimu yang kau bawa kemari. Sebentar lagi, perlawananmu akan segera aku akhiri. Jangan menyesal, bahwa karena kesombonganmu maka kau harus mempertaruhkan nyawamu.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menyadari bahwa saat bulan tepat di atas kepala, maka Nyi Dwani akan mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perang tanding itu.

Atas dasar perhitungan itulah, Sekar Mirah tidak ingin membiarkan ilmu Nyi Dwani benar-benar terpengaruh oleh kedudukan bulan, meskipun berdasarkan pengaruh jiwani. Karena itu, justru ketika bulan ada di puncak langit, maka Sekar Mirah telah menghentakkan ilmunya. Sekali ia menengadahkan wajahnya ke langit, memandang bulan dan bahkan mengangkat kedua tangannya. Namun kemudian Sekar Mirah telah meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Nyi Dwani, yang menganggap saat itu merupakan saat terpenting pada perang tanding itu, terkejut. Di saat ia ingin menerapkan ilmu puncaknya tepat pada saat bulan di atas kepala, ia melihat lawannya seakan-akan telah melakukan hal yang sama, meskipun dengan laku yang berbeda.

Keheranan dan kebimbangan Nyi Dwani yang sesaat itu telah dipergunakan oleh Sekar Mirah dengan sebaik-baiknya Serangan-serangannya-lah yang kemudian datang membadai pada puncak ilmunya.

Serangan-serangan yang datang bagaikan banjir bandang itu telah menggetarkan pertahanan Nyi Dwani. Justru pada saat ia merasa berada pada puncak ilmunya, namun Nyi Dwani itu justru harus berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya.

Ternyata yang menjadi sangat terkejut bukan hanya Nyi Dwani. Empu Wisanata, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung pun menjadi sangat terkejut pula. Mereka menduga bahwa Nyi Dwani akan mengakhiri perlawanan Sekar Mirah tepat pada saat bulan berada di puncak. Namun justru pada saat itu Nyi Dwani harus berloncatan surut untuk mengambil jarak, karena serangan-serangan Sekar Mirah yang seakan-akan tidak terbendung.

Namun beberapa saat kemudian Nyi Dwani berhasil memperbaiki kedudukannya. Serangan-serangan Sekar Mirah pun seakan-akan telah mengendur. Bahkan seakan-akan Sekar Mirah memberinya kesempatan untuk bernafas.

“Marilah Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah, “bulan masih berada di atas kepala. Bukankah kesempatan ini yang kau tunggu? Jika pada kesempatan ini kau tidak dapat mengalahkan aku, maka kau sudah tidak akan berpengharapan lagi.”

Wajah Nyi Dwani menjadi sangat tegang. Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Marilah Nyi Dwani. Jangan berputus asa. Bulan masih berada di puncak.”

Kemarahan Nyi Dwani benar-benar membakar ubun-ubunnya. Tetapi serangan Sekar Mirah yang tiba-tiba justru di saat bulan mencapai puncaknya itu telah mempengaruhinya. Apalagi ketika Sekar Mirah itu berkata, “Ternyata kita benar-benar saudara seperguruan. Empu Wisanata telah salah menilai kemampuanku. Empu Wisanata mengira bahwa aku masih belum sampai pada tataran tertinggi dari kebulatan ilmu di perguruan kita. Empu Wisanata mengira bahwa aku baru sampai pada tataran permulaan sehingga aku belum mengenal ilmu yang paling rumit dari perguruan kita. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku pun menunggu bulan bulat di langit. Aku tidak usah menyembunyikan kenyataan itu, bahwa kita memang benar-benar saudara seperguruan.”

Wajah Nyi Dwani menjadi sangat tegang. Bahkan ia menjadi bingung, bahwa tiba-tiba Nyi Lurah itu juga mengaku bahwa ilmunya telah dipengaruhi oleh getar cahaya bulan.

Namun Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, “Jangan bingung, Nyi Dwani. Marilah, kita akan bertempur pada puncak ilmu kita. Ilmu yang sama-sama kita junjung tinggi.”

Jantung Nyi Dwani telah bergejolak. Ternyata lawannya juga memiliki ilmu yang sama. Padahal menurut pengertiannya, ilmunya yang berada di bawah pengaruh getar cahaya bulan itu sama sekali tidak disadapnya dari jalur perguruan yang sama dengan jalur perguruan Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah tidak memberinya kesempatan untuk merenungi kata-katanya. Nyi Dwani pun tidak sempat menguji kebenarannya, apakah Sekar Mirah benar-benar menghubungkan ilmunya dengan getar sinar bulan purnama, sebagaimana Nyi Dwani sendiri. Tetapi sikap dan kata-kata Sekar Mirah cukup memberikan kesan yang demikian.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun telah mulai menyerang lawannya. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka Nyi Dwani merasa bahwa ilmu Sekar Mirah benar-benar telah meningkat.

Nyi Dwani yang memang sudah menerapkan ilmunya, menempatkan diri dalam sentuhan getar cahaya bulan, benar-benar telah terpengaruh oleh sikap dan kata-kata Sekar Mirah. Apalagi ketika serangan-serangan Sekar Mirah datang beruntun. Rasa-rasanya getar cahaya bulan telah lebih dahulu terhisap dan berpengaruh pada ilmu Sekar Mirah, sehingga sulit bagi Nyi Dwani untuk meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Ternyata Empu Wisanata yang berilmu tinggi melihat kegelisahan di hati Nyi Dwani. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu justru tertawa sambil berkata, “Dwani. Betapa lawanmu menjadi kebingungan karena kau telah hampir sampai pada puncak ilmumu, sehingga untuk sedikit memberikan ketenangan pada dirinya sendiri, ia pun berusaha untuk memanfaatkan sinar bulan purnama. Tetapi ternyata tidak ada sentuhan sama sekali antara getar sinar bulan dan ilmunya, karena ia memang tidak mengerti arti dari sinar bulan. Aku tetap pada pendapatku, bahwa apa yang diterima Nyi Lurah masih terlalu sempit untuk dapat menyamai ilmu dan kemampuan kita.”

Yang tertawa kemudian justru Ki Jayaraga. Katanya, “Apakah kau ingin ikut berperang tanding? Sebaiknya kita membuat kesepakatan tersendiri, Empu.”

“Apa maumu?” bertanya Empu Wisanata.

“Apapun kemampuan kita, sebaiknya kita tidak mengganggu perang tanding yang sedang terjadi.”

“Apakah aku sudah mengganggu?”

“Ya,” jawab Ki Jayaraga. “Kasihan Nyi Dwani. Perhatiannya sudah terpecah. Ia harus menghadapi Nyi Lurah dalam perang tanding, sementara ia juga harus mendengarkan sesorahmu.”

“Cukup!” bentak Empu Wisanata.

Tetapi sebelum Ki Jayaraga menyahut, Agung Sedayu berdesis, “Sst. Biarkan mereka yang berperang tanding memusatkan nalar budi mereka, justru di saat-saat mereka sampai ke puncak sebagaimana bulan yang berada di atas kepala kita.”

“Tetapi Nyi Lurah tidak memiliki kemampuan menyadap getar cahaya bulan sehingga dapat mengangkat bobot ilmunya.”

“Lihat,” desis Agung Sedayu.

Empu Wisanata memang terdiam. Diperhatikannya anaknya perempuan yang sedang berperang tanding. Agaknya Nyi Dwani telah mengerahkan segala kemampuan. Ia mencoba memusatkan nalar budinya untuk sampai pada tataran tertinggi ilmunya, di bawah pengaruh cahaya bulan bulat di langit.

Namun Sekar Mirah pun telah sampai ke puncak ilmunya pula. Tenaga dan kekuatannya pun menjadi semakin bertambah-tambah. Tubuhnya seakan-akan menjadi semakin ringan, sehingga Sekar Mirah itu mampu bergerak semakin cepat

Namun Sekar Mirah terkejut melihat telapak tangan Nyi Dwani yang menjadi merah membara. Ternyata pada puncak ilmunya, Nyi Dwani yang merasakan pengaruh getar cahaya bulan pada ilmunya itu telah mampu mengungkapkan ilmu pamungkasnya.

Ketika dengan garangnya Nyi Dwani menyerang Sekar Mirah dengan ayunan-ayunan telapak tangannya yang membara, maka Sekar Mirah pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak.

Sebenarnyalah Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Tetapi ia sudah mengetahui dan mendapat beberapa petunjuk dari Agung Sedayu, apa yang harus dilakukan jika ia menghadapi berbagai macam ilmu, termasuk ilmu sebagaimana dihadapinya saat itu.

“Jangan lari, Nyi Lurah,” geram Nyi Dwani.

Betapapun dada Sekar Mirah berdebar, namun ia berusaha untuk tetap tenang. Namun sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula sampai ke tataran tinggi.

Tangan Sekar Mirah yang terlatih, yang menurut Sekar Mirah agak kurang pantas bagi seorang perempuan karena warnanya yang kehitam-hitaman dan agak kasar, seakan-akan telah mengeras sekeras batu hitam.

Namun bukan saja tangannya yang menjadi sangat berbahaya, tetapi dengan dukungan tenaga dalamnya, maka kekuatan Sekar Mirah pun seakan-akan menjadi berlipat pula.

Dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang perempuan itu menjadi semakin sengit. Serangan demi serangan meluncur dengan derasnya. Pengaruh telapak tangan yang membara itu, membuat udara di medan perang tanding itu seakan-akan menjadi semakin panas.

Namun Sekar Mirah cukup berhati-hati. Ia sudah melatih tangannya dengan pasir dan kerikil yang telah dipanasi. Tetapi ia tahu bahwa telapak tangan Nyi Dwani yang membara itu akan dapat membakar kulitnya jika tubuhnya sempat tersentuh.

Karena itu, maka Sekar Mirah harus menjadi semakin berhati-hati. Ia harus berusaha untuk tidak tersentuh serangan telapak tangan Nyi Dwani yang membara itu.

Tetapi serangan Nyi Dwani datang membadai. Tangannya terayun-ayun memburu ke mana Sekar Mirah menghindar.

Namun Sekar Mirah mampu mengatasi panasnya udara. Ia sudah terlalu sering berdiri di atas seonggok pasir dan kerikil yang dipanasi. Tetapi sudah tentu bukan sentuhan telapak tangan yang membara itu pada kulitnya.

Dalam pada itu, pertempuran itu menjadi semakin cepat dan semakin seru. Serangan demi serangan datang susul menyusul. Sehingga akhirnya serangan-serangan itu mampu menyentuh tubuh lawannya.

Sekar Mirah terkejut ketika lengannya tersentuh telapak tangan Nyi Dwani. Bukan hanya pakaiannya yang menjadi hangus. Tetapi kulitnya pun telah terluka bakar, sebagaimana tersentuh bara api.

Tetapi ketika tangan Sekar Mirah berhasil mengenai pundak lawannya, maka rasa-rasanya tulang Nyi Dwani menjadi retak. Tangan Sekar Mirah menjadi terasa sekeras batu hitam.

Dengan demikian, pertempuran itu benar-benar menjadi arena yang garang. Keduanya telah bertempur habis-habisan. Mereka sadar bahwa perang tanding itu tidak hanya sekedar menentukan siapa yang kalah dan siapa yang menang. Tetapi perang tanding itu akan berakhir dengan kematian.

Orang-orang yang menjadi saksi dari pertempuran itu menjadi tegang. Kedua orang perempuan itu berloncatan saling menyerang dan saling menghindar.

Namun dalam pada itu, bulan telah bergeser semakin ke barat. Perlahan-lahan bulan itu mulai turun.

Tetapi Nyi Dwani masih belum berhasil membunuh Sekar Mirah.

Meskipun tangan Nyi Dwani bukan baru sekali menyentuh tubuh Sekar Mirah, namun Sekar Mirah masih tetap tegar. Ia tidak menghiraukan beberapa bagian bajunya yang hangus. Ia tidak terpengaruh oleh luka-luka bakar di kulitnya.

Empu Wisanata mulai menjadi gelisah. Jika bulan semakin turun di barat, maka puncak kemampuan Nyi Dwani pun akan mulai menyusut, meskipun perlahan-lahan.

Empu Wisanata juga berharap bahwa Sekar Mirah juga akan mengalami keadaan yang sama seperti Nyi Dwani. Semakin rendah bulan di sisi langit sebelah barat, maka ilmunya semakin menjadi menyusut pula.

Meskipun demikian, keduanya masih bertempur pada puncak kemampuan mereka. Beberapa kali Sekar Mirah harus berusaha menghindar libatan ilmu lawannya. Namun pada kesempatan lain, serangan-serangannya mendorong lawannya untuk mengambil jarak menjauhinya. Sentuhan tangan Sekar Mirah memang tidak dapat menjadi sepanas telapak tangan Nyi Dwani. Namun sentuhan-sentuhan tangan Sekar Mirah bagaikan mampu meremukkan tulang-tulang.

Pertempuran memang menjadi semakin sengit. Serangan-serangan mereka semakin sering menembus pertahanan lawan. Lengan, bahu dan bahkan punggung Sekar Mirah telah tersentuh tangan Nyi Dwani. Bukan saja bajunya yang koyak terbakar, tetapi kulit Sekar Mirah pun telah terluka pula. Meskipun demikian, Sekar Mirah tidak menghiraukan perasaan pedih yang menggigit. Ia tidak ingin tenggelam ke dalam perasaan sakitnya, sehingga justru nyawanya akan direnggut oleh lawannya.

Dengan daya tahan yang tinggi Sekar Mirah berusaha untuk tidak menghiraukan perasaan sakitnya. Bahkan Sekar Mirah pun tidak menghiraukan bajunya yang telah terkoyak. Sekar Mirah lebih memperhatikan nyawanya, yang setiap saat akan dapat direnggut oleh Nyi Dwani.

Namun dalam pada itu, serangan Sekar Mirah pun telah mampu menguak pertahanan Nyi Dwani. Lawan Sekar Mirah itu mengaduh tertahan ketika tangan Sekar Mirah menyentuh pundaknya. Rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi retak. Sementara itu serangan berikutnya telah menggapai lambung, sehingga rasa-rasanya isi perut Nyi Dwani akan tumpah.

Dalam pada itu, bulan semakin bergeser ke barat. Nyi Dwani yang sudah terlanjur meyakini pengaruh getar sinar bulan pada ilmunya, memang sangat terpengaruh oleh kedudukan bulan. Justru setelah ia mengerahkan puncak kemampuannya pada saat bulan berada di tempat tertinggi, ia tidak berhasil menghentikan perlawanan Sekar Mirah. Lawannya serasa telah meremukkan tulang-tulangnya dan merontokkan isi perutnya

Empu Wisanata, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung menjadi sangat cemas melihat kenyataan itu. Nyi Dwani ternyata tidak mampu menyelesaikan perang tanding itu. Ilmu Nyi Dwani yang tinggi masih dapat diimbangi oleh Sekar Mirah. Meskipun telapak tangan Nyi Dwani berhasil menyentuh tubuh Sekar Mirah, tetapi Sekak Mirah sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Ia masih tetap garang. Serangan-serangannya benar-benar mengenai sasarannya.

Ketiga orang saksi yang dibawa oleh Nyi Dwani itu benar-benar telah menjadi cemas. Setapak bulan menapak semakin ke barat, maka kegelisahan mereka pun semakin meningkat.

Sebenarnyalah Nyi Dwani merasa semakin nyeri, dan lambungnya yang sakit membuat perutnya menjadi mual. Justru pada saat bulan berada di puncak, Nyi Dwani tidak mampu berbuat banyak. Bahkan kadang-kadang ia justru telah terdesak.

Apalagi ketika bulan sudah melampaui puncaknya dan surut ke arah barat.

Berbeda dengan Nyi Dwani, Sekar Mirah yang tidak merasa terpengaruh oleh getar cahaya bulan sama sekali tidak merasakan bahwa ilmunya mulai menyusut. Bahkan dengan kecepatan yang seakan-akan menjadi semakin tinggi, Sekar Mirah menekan lawannya dengan serangan-serangan yang berbahaya.

Nyi Dwani benar-benar menjadi semakin gelisah. Nyi Dwani tidak mau melihat susutnya kemampuannya karena susutnya tenaga, setelah ia bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Setelah ia bertempur habis-habisan untuk menghancurkan lawannya, serta untuk mempertahankan dirinya.

Meskipun serangan-serangan Nyi Dwani masih kadang-kadang mengejutkan Sekar Mirah, namun Sekar Mirah mulai benar-benar menekan lawannya. Ketahanan tubuh Sekar Mirah mampu mengatasi rasa sakit pada luka-luka bakar di tubuhnya. Sementara Nyi Dwani justru merasa seakan-akan tulang-tulangnya menjadi retak di mana-mana, di setiap sentuhan tangan Sekar Mirah.

Empu Wisanata melihat kesulitan yang dialami oleh Nyi Dwani. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa Sekar Mirah mampu bertahan sampai bulan menuruni kaki langit di sisi barat.

Karena itu, maka tidak ada kesempatan lain bagi Nyi Dwani untuk menyelesaikan perang tanding itu, selain dengan mempergunakan senjata.

Adalah di luar dugaan Sekar Mirah, bahwa ketika Nyi Dwani terdesak sehingga meloncat mundur untuk mengambil jarak, Empu Wisanata berkata, “Tidak ada perjanjian bahwa dalam perang tanding ini tidak boleh mempergunakan senjata.”

Agung Sedayu yang mendengar kata-kata Empu Wisanata itu bergerak setapak mendekati arena. Di sisi lain, Ki Saba Lintang menyahut, “Ya. Memang tidak ada perjanjian. Karena itu, Nyi Dwani dan Nyi Lurah diperkenankan mempergunakan senjata.”

Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika Ki Saba Lintang kemudian berkata kepada Nyi Dwani, “Kau dapat mempergunakan tongkat perguruan ini Nyi Dwani. Pertanda bahwa kau telah mendapat restu dari penguasa tertinggi dari perguruan ini.”

Sekar Mirah meloncat mundur. Dengan lantang ia pun berkata, “Siapakah yang berhak atas tongkat itu? Ki Saba Lintang atau Nyi Dwani?”

“Kami sama-sama berhak atas tongkat itu, karena kami bersama-sama memimpin perguruan yang besar ini.”

Jawaban itu membuat Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika sejenak kemudian ia melihat Ki Saba Lintang melemparkan tongkat itu kepada Nyi Dwani.

Nyi Dwani yang kemudian membawa tongkat yang semula dibawa Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Nyi Lurah. Kita akan sampai pada babak terakhir dari perang tanding ini. Bersiaplah. Kita. akan meyakini siapakah sebenarnya yang paling berhak atas tongkat perguruan. Siapa yang memiliki kemampuan lebih tinggi untuk mempermainkan tongkat itu, maka ia adalah orang yang paling pantas memilikinya.”

“Nyi Dwani,” berkata Sekar Mirah, “yang terjadi ini adalah perampokan atas tongkat perguruan. Kalian bukan murid-murid murni dari perguruan kami. Siapapun yang merasa berilmu tinggi dapat berbuat sebagaimana kailan lakukan. Datang, menantang perang tanding dengan mempertaruhkan pertanda-pertanda tertinggi dari sebuah perguruan terbaik di muka bumi. Aku tidak berpendirian bahwa tidak ada orang yang dapat mengatasi puncak-puncak ilmu dari perguruan kita. Karena itu, memang mungkin sekali seseorang datang untuk merampok tongkat pertanda dari perguruanku, dengan dalih sebagaimana kalian katakan.”

“Jadi kau menuduh aku akan merampok tongkatmu?” bertanya Nyi Dwani.

“Ya. Karena kau bukan murid dari perguruan kami. Kau kira aku tidak mengenal ciri-ciri perguruan kami? Kau memang dapat menunjukkan beberapa unsur gerak dari perguruan kami. Tetapi ketika ilmumu meningkat semakin tinggi, bahkan ketika kau sampai pada puncak ilmu, maka ciri-ciri itu sama sekali sudah tidak dapat dikenali lagi. Apalagi hubungan antara ilmumu dengan getar cahaya bulan.”

Nyi Dwani mengerutkan dahinya. Ia sadar, bahwa Nyi Lurah itu ternyata tidak menghubungkan ilmunya dengan kedudukan bulan.

Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang-lah yang menyahut, “Nyi Lurah. Kau tidak usah merajuk seperti itu. Sekarang hadapi apa yang kau hadapi dalam perang tanding yang sudah disepakati. Apapun yang terjadi, adalah akibat dari kesepakatan itu.”

“Aku tidak akan mengingkari kesepakatan itu, Ki Saba Lintang. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku tidak berhadapan dengan saudara seperguruanku. Karena itu, kau tidak perlu mengekang diri dengan segala macam pertimbangan.”

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar mendengar pernyataan Sekar Mirah. Agaknya Sekar Mirah benar-benar tidak akan mengekang dirinya lagi. Akibat dari sikapnya itu, maka agaknya perang tanding ini benar-benar akan diakhiri dengan satu kematian.

Dalam pada itu, maka Nyi Dwani pun kemudian berkata dengan nada tinggi melengking, “Bersiaplah Sekar Mirah. Aku akan membunuhmu dengan tongkat pertanda perguruan ini.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun berpaling kepada Agung Sedayu sambil berkata, “Kakang. Aku terpaksa mempergunakan tongkat itu. Apa boleh buat.”

Agung Sedayu melangkah mendekati Sekar Mirah untuk menyerahkan tongkat baja putihnya. Ia melihat ketegangan di wajah istrinya itu.

Sambil menyerahkan tongkat baja putih itu Agung Sedayu pun berkata, “Bukan salahmu.”

Sekar Mirah mengangguk. Desisnya, “Doakan aku Kakang.”

“Aku akan berdoa untukmu,” sahut Agung Sedayu perlahan sambil tersenyum.

Ternyata senyum Agung Sedayu mempunyai arti yang besar bagi Sekar Mirah. Jantungnya yang berdebar-debar itu pun mereda. Segala sesuatunya menjadi lebih tenang di hadapan matanya. Seperti yang dibisikkan oleh Agung Sedayu, “Bukan salahmu.”

Sekar Mirah pun kemudian telah menggenggam tongkatnya erat-erat. Ia menerima tongkat itu langsung dari gurunya. Ia tidak merampok atau mencuri, atau menipu untuk mendapat tongkatnya itu, Karena itu, maka Sekar Mirah pun menjadi semakin mantap.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang perempuan yang masing-masing menggenggam tongkat di tangannya itu sudah bersiap. Tongkat yang mirip yang satu dengan yang lain. Namun tongkat di tangan Nyi Dwani agak lebih panjang dari tongkat yang dibawa oleh Sekar Mirah. Sejenak kemudian keduanya pun mulai bergeser. Tongkat mereka pun mulai berputar. Nyi Dwani-lah yang mula-mula menjulurkan tongkatnya. Namun sekedar memancing serangan lawannya

Sekar Mirah yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan itu pun bergeser selangkah surut. Ketika Nyi Dwani memburunya sambil mengayunkan tengkarnya mendatar, Sekar Mirah menangkisnya.

Benturan itu tidak terlalu keras. Keduanya masih belum meningkatkan kekuatan mereka.

Di luar sadarnya, Sekar Mirah mengangkat wajahnya memandang bulan di langit. Bulan itu sudah semakin bergeser ke barat

Nyi Dwani pun tanpa disengaja telah mengangkat wajahnya pula. Ia pun melihat bahwa bulan sudah bergeser semakin jauh dari puncak langit.

Terasa darah Nyi Dwani tersiap di jantungnya. Bulan itu akan bergeser semakin jauh, seolah-olah akan meninggalkannya di lingkaran perang tanding yang berat itu.

Namun sejenak kemudian Nyi Dwani menggeram, “Kau akan mati malam ini, Nyi Lurah.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Kau mengancamku sejak bulan ada di atas kepala kita.”

“Diam!” teriak Nyi Dwani.

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Bulan itu merangkak terus meninggalkan kau sendiri di pertempuran yang akan menjadi semakin ganas. Tetapi itu adalah salahmu sendiri, karena kau yang mulai mempergunakan tongkat sebuah perguruan yang dihormati. Padahal kau tahu bahwa kau tidak berhak.”

“Cukup!” Nyi Dwani berteriak semakin keras.

Empu Wisanata-lah yang kemudian menyahut, “Jangan hiraukan kata-katanya. Nyi Lurah sekedar menghibur dirinya sendiri menjelang saat kematiannya.”

Namun terdengar Ki Jayaraga tertawa meledak sehingga tubuhnya terguncang-guncang.

“Kenapa kau tertawa?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Empu Wisanata lucu. Nampaknya menjelang hari-hari tuanya ia masih suka bergurau, meskipun agak tidak masuk akal.”

Wajah Empu Wisanata menjadi panas. Namun Agung Sedayu berkata pula, “Biarlah mereka yang berperang tanding memusatkan nalar budi mereka.”

Empu Wisanata pun terdiam, betapapun jantungnya bergejolak. Demikian pula Ki Jayaraga dan Ki Saba Lintang.

Sementara itu, Ki Welat Wulung menjadi semakin dekat dengan Rara Wulan. Sedangkan Rara Wulan dan Glagah Putih tidak menghiraukannya. Perhatian mereka sepenuhnya tertuju pada perang tanding, yang tentu akan menjadi semakin sengit setelah kedua orang yang berperang tanding itu masing-masing menggenggam tongkat yang ujudnya hampir sama. Tongkat ciri dari sebuah perguruan yang sama.

Demikianlah, sejenak kemudian Sekar Mirah mulai menggerakkan tongkatnya kembali. Sekali tongkat itu mematuk lawannya. Tetapi dengan memiringkan tubuhnya, Nyi Dwani berhasil menghindarinya.

Namun kemudian keduanya pun bergerak semakin cepat. Kedua tongkat itu pun berputaran dengan cepatnya. Tongkat itu pun kemudian terayun-ayun, menebas, berputar, dan sekali-sekali terjulur lurus mematuk ke arah dada lawan.

Namun keduanya masih mampu menghindari serangan-serangan itu. Bergeser, meloncat atau menangkisnya.

Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat. Benturan-benturan pun semakin sering terjadi.

Ternyata Nyi Dwani telah menguasai tongkat itu dengan baik. Bukan saja Sekar Mirah yang menjadi heran, tetapi juga Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi heran. Nyi Dwani tentu sudah sering melatih diri mempergunakan tongkat itu. Jika benar tongkat itu ada di tangan Ki Saba Lintang, maka Nyi Dwani tentu tidak akan demikian menguasainya, sehingga tongkat itu menjadi berbahaya di tangannya.

Tetapi Sekar Mirah seakan-akan justru sudah menyatu dengan tongkatnya. Ia benar-benar menguasai tongkat yang diterimanya dari gurunya itu. Apalagi setelah ia menjalani laku bersama Agung Sedayu, maka tongkat itu seakan-akan lekat pada telapak tangan Sekar Mirah meskipun jari-jari Sekar Mirah tidak menggenggamnya

Dengan demikian, maka sekali-sekali Sekar Mirah telah mengejutkan Nyi Dwani. Kadang-kadang yang dilakukan Sekar Mirah justru yang tidak terpikirkan oleh Nyi Dwani. Unsur-unsur gerak Sekar Mirah kadang-kadang terasa aneh. Namun sangat berbahaya.

Nyi Dwani ternyata memang tidak mampu mengenali dengan cermat, apakah Sekar Mirah hanya mempergunakan unsur-unsur gerak ilmu dari perguruannya atau tidak. Sementara itu, Sekar Mirah yang meyakini bahwa Nyi Dwani bukan murid perguruannya seutuhnya, tidak lagi membatasi ilmunya pada unsur-unsur gerak yang diwarisinya dari perguruannya. Sekar Mirah telah bertempur dengan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya. Ilmunya pun kemudian telah diwarnai dengan unsur-unsur gerak dari ilmu yang lain, namun yang luluh menyatu dengan ilmunya.

Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, bahkan Rara Wulan, melihat warna-warna lain pada ilmu Sekar Mirah. Pengaruh ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa, dan perguruan Orang Bercambuk, dan bahkan dari ilmu yang diturunkan oleh Ki Jayaraga.

Kelengkapan ilmu itu membuat kemampuan Sekar Mirah menjadi sangat tinggi.

Dalam pada itu, pada puncak ilmunya, bukan saja telapak tangan Nyi Dwani yang membara, tetapi tongkat baja putih itu pun mulai nampak membara pula.

Namun menurut pengamatan Sekar Mirah, ilmu Nyi Dwani itu masih belum mampu lebur ke dalam senjata ciri perguruan Sekar Mirah itu. Tongkat baja putih itu hanya membara di sekitar genggaman tangannya.

Meskipun demikian, Sekar Mirah menyadari bahwa panasnya akan mengaliri sepanjang tubuh tongkat baja putih itu.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Nyi Dwani yang telah sampai ke puncak kemampuannya memang menjadi sangat berbahaya. Di bawah cahaya bulan yang sudah bergeser semakin ke barat, tongkat Nyi Dwani yang membara itu benar-benar nampak mengerikan. Putarannya yang deras bagaikan gulungan asap yang kemerah-merahan yang memburu untuk melibat lawannya.

Tetapi Sekar Mirah cukup tangkas. Meskipun beberapa kali ia harus berloncatan surut, namun tongkat baja putih Nyi Dwani itu masih belum sempat mengenainya.

Tetapi Nyi Dwani tidak pernah melepaskan lawannya. Ketika Sekar Mirah meloncat surut untuk menghindari ayunan tongkat lawannya, maka Nyi Dwani itu pun telah memburunya.

Sekar Mirah terkejut ketika tongkat baja putih di tangan Nyi Dwani itu sempat menyentuh lengannya. Terasa betapa panasnya menyengat kulit, sementara bau pakaiannya yang terbakar telah menyengat hidung.

Sekar Mirah berdesah tertahan. Luka-lukanya sebelumnya terasa pedih dan nyeri. Sedangkan lengannya itu telah terluka bakar pula.

Sementara itu Nyi Dwani menjadi semakin garang. Dengan tangkasnya ia memburu. Ujung tongkatnya sekali lagi mematuk. Tetapi Sekar Mirah meloncat menyamping. Namun tongkat Nyi Dwani itu pun berputar. Sambil menggeliat Nyi Dwani mengayunkan tongkatnya mendatar ke arah lambung. Tetapi Sekar Mirah masih sempat meloncat surut selangkah, sehingga tongkat Nyi Dwani tidak mengenai lambungnya.

Nyi Dwani yang berhasil mendesak Sekar Mirah itu berusaha untuk segera mengakhiri pertempuran. Tongkatnya kemudian terayun deras sekali. Nyi Dwani telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuannya. Pada puncak ilmunya, Nyi Dwani yang merasa bahwa getar cahaya bulan telah mempengaruhinya, merasa yakin akan dapat menghentikan perlawanan Sekar Mirah.

Mereka yang menjadi saksi dari perang tanding itu menjadi berdebar-debar. Bahkan Rara Wulan telah bergeser setapak. Ia menjadi sangat cemas melihat keadaan Sekar Mirah.

Agung Sedayu yang sejak semula nampak tenang-tenang saja, telah mengerutkan dahinya. Wajahnya nampak menjadi tegang.

Tetapi Sekar Mirah tidak membiarkan tongkat Nyi Dwani itu memecahkan kepalanya. Karena itu, ketika Sekar Mirah tidak lagi sempat mengelak, maka Sekar Mirah telah menangkis serangan Nyi Dwani.

Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi ragu-ragu. Ia sadar bahwa keragu-raguan akan sangat merugikannya.

Dengan segenap kemampuannya, Sekar Mirah pun telah mengayunkan tongkatnya pula menyongsong ayunan tongkat Nyi Dwani. Pada puncak ilmunya, didukung oleh tenaga dalamnya yang mapan serta keterampilan yang tinggi, maka tongkat Sekar Mirah itu telah membentur serangan lawannya.

Benturan antara dua ilmu yang tinggi, yang tersalur pada dua buah tongkat ciri dari satu perguruan yang sama, telah terjadi dengan dahsyatnya. Tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah membentur tongkat di tangan Nyi Dwani.

Benturan ilmu itu ternyata telah sangat mengejutkan Nyi Dwani. Tongkat Sekar Mirah yang membentur tongkat baja putih yang membara di tangan Nyi Dwani itu seakan-akan telah memancarkan cahaya kilat yang sangat menyilaukan, sehingga dalam sekejap Nyi Dwani tidak dapat melihat lawannya.

Pada saat yang demikian, maka sekali lagi Sekar Mirah mengayunkan tongkatnya menghantam tongkat baja di dalam genggaman tangan Nyi Dwani. Ketika sekali lagi cahaya itu memancar dari tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah, maka terasa tangan Nyi Dwani, yang matanya silau dan seakan-akan tidak melihat sesuatu itu, tidak mampu mempertahankan tongkatnya. Sehingga tongkatnya itu terpental dan jatuh beberapa langkah dari kakinya.

Dengan serta-merta Nyi Dwani itu melangkah surut. Namun pada saat yang bersamaan, demikian Nyi Dwani mampu melihat dengan jelas, ujung tongkat baja putih Sekar Mirah sudah terletak di pundaknya.

Nyi Dwani terkejut bukan buatan. Ujung tongkat baja Sekar Mirah itu menekan pundaknya bagaikan sebongkah batu hitam yang sangat berat yang harus dipanggulnya.

Nyi Dwani berdiri tegak dengan sisa tenaganya. Ia harus mengerahkan tenaga untuk bertahan agar ia tidak harus berjongkok di hadapan Sekar Mirah.

“Apa katamu sekarang Nyi Dwani?” geram Sekar Mirah.

Nyi Dwani tidak segera menjawab. Terasa tulang-tulangnya bagaikan berpatahan. Sementara itu tekanan ujung tongkat Sekar Mirah itu seakan-akan tidak tertahankan.

“Katakan, apa yang sebaiknya kita lakukan. Aku memberimu kesempatan untuk tetap hidup, jika itu kau kehendaki.”

Nyi Dwani memandang wajah Sekar Mirah dengan geramnya. Sementara itu pundaknya menjadi semakin berat menahan tekanan kekuatan ilmu Sekar Mirah yang tersalur lewat ujung tongkatnya itu.

Empu Wisanata, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung menjadi sangat tegang. Sejenak mereka justru bagaikan membeku melibat kenyataan yang tidak pernah mereka bayangkan itu. Ternyata kemampuan Sekar Mirah mampu mengatasi kemampuan Nyi Dwani. Ilmu Sekar Mirah itu memang lebih tinggi dari ilmu Nyi Dwani. Demikian pula tongkat baja putih Sekar Mirah itu, jauh lebih akrab dengan pemiliknya daripada tongkat di tangan Nyi Dwani.

Dalam ketegangan yang mencengkam itu, tiba-tiba saja Ki Welat Wulung telah meloncat menerkam Rara Wulan. Jari-jarinya segera mencengkeram leher Rara Wulan yang sedang dicengkam oleh ketegangan pula.

Rara Wulan terkejut bukan buatan. Tetapi demikian ia menyadari keadaannya, maka jari-jari Ki Welat Wulung telah mencengkam lehernya.

Semua orang terkejut karenanya. Bahkan Nyi Dwani pun terkejut. Semuanya tidak menyangka bahwa hal itu akan terjadi.

Wajah Glagah Putih menjadi merah. Ia berdiri dalam jarak hanya dua tiga langkah dari Rara Wulan. Namun ia tidak dapat mencegah hal itu terjadi.

Waktu yang dibutuhkan Ki Welat Wulung memang hanya sekejap. Rara Wulan benar-benar sudah berada di bawah kekuasaan Welat Wulung.

Agung Sedayu dan Ki Jayaraga berdiri membeku. Mereka tidak segera menemukan jalan keluar tanpa membahayakan jiwa Rara Wulan.

“Ki Welat Wulung,” berkata Glagah Putih dengan suara bergetar karena gejolak kemarahan yang membakar jantungnya, “marilah kita selesaikan persoalan ini sebagaimana Nyi Dwani menyelesaikan persoalannya dengan Mbokayu Sekar Mirah. Jika kau memang seorang laki-laki, aku tantang kau berperang tanding. Jika kau berhasil membunuhku, tidak ada yang akan dapat mencegahmu lagi.”

“Persetan dengan igauanmu,” geram Welat Wulung. Lalu katanya kemudian, “Nyi Lurah, lepaskan tongkat baja itu! Letakkan tongkat itu perlahan-lahan di atas pasir. Kemudian kau mundur beberapa langkah.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Welat Wulung membentak, “Cepat! Atau gadis ini akan mati.”

Sekar Mirah benar-benar kebingungan. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Namun ketika kemudian Nyi Dwani bergerak mundur. Sekar Mirah tidak dapat mencegahnya.

Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih menjadi semakin tegang ketika mereka melihat Nyi Dwani memungut tongkat baja putih, yang terlempar dari tangannya. Kemudian menyerahkannya kembali kepada Ki Saba Lintang.

“Aku akan segera memiliki tongkat baja putih yang menjadi hakku,” berkata Nyi Dwani.

“Aku tidak mengira bahwa perang tanding ini akan berakhir dengan kecurangan seperti ini.”

“Perang tanding ini terganggu sebentar, Nyi Lurah. Dan kita akan melanjutkannya.”

Jantung Sekar Mirah bagaikan berhenti berdetak. Ia mengerti maksud Nyi Dwani. Setelah tongkatnya berada di tangan Nyi Dwani, maka perang tanding itu akan dilanjutkan. Tetapi tentu masih tetap dibayangi oleh ancaman bagi jiwa Rara Wulan.

Dalam pada itu, Ki Welat Wulung pun berteriak lagi, “Cepat, Nyi Lurah! Letakkan tongkat itu! Kemudian kau menjauhinya. Tongkat itu akan diambil oleh yang berhak.”

Sekar Mirah tidak mempunyai pilihan lain. Ketika ia melihat Rara Wulan menyeringai menahan sakit karena cekikkan jari-jari tangan Ki Welat Wulung, maka perlahan-lahan Sekar Mirah pun meletakkan tongkat baja putihnya.

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan berteriak, “Jangan Mbokayu! Jangan serahkan tongkat baja putih itu! Biar apa saja yang akan dilakukan atas diriku. Aku sudah siap menjalaninya.”

“Diam, kau anak iblis!” teriak Ki Welat Wulung, sambil mengguncang leher Rara Wulan sehingga Rara Wulan mengaduh tertahan. Nafasnya bagaikan tersumbat, sedangkan lehernya terasa sakit. Tetapi Sekar Mirah tidak sampai hati membiarkan Rara Wulan dicekik, dan bahkan mungkin nyawanya harus dikorbankannya.

Karena itu, Sekar Mirah pun benar-benar telah meletakkan tongkat baja putih itu.

Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih masih berdiri mematung di tempatnya. Keringat dingin telah mengalir membasahi seluruh tubuh mereka.

Tetapi mereka masih belum mengetahui, apa yang harus mereka lakukan.

Mereka menyadari bahwa jika mereka tidak menemukan jalan, maka salah seorang harus dikorbankan. Jika tidak Rara Wulan, tentu Sekar Mirah. Bahkan mungkin lebih banyak lagi. Selama Rara Wulan masih di tangan Welat Wulung, maka Welat Wulung masih mungkin memeras dengan licik. Setelah Sekar Mirah dibinasakan oleh Nyi Dwani yang menurut mereka dilakukan dalam perang tanding, namun yang tidak seimbang karena Nyi Dwani akan mempergunakan tongkat baja putih Sekar Mirah, maka mereka akan dapat menuntut kematian Glagah Putih atau Ki Jayaraga, atau bahkan Agung Sedayu sendiri.

Dalam pada itu, terdengar Ki Welat Wulung berteriak lagi kepada Sekar Mirah, “Nyi Lurah! Cepat melangkah mundur menjauhi tongkatmu itu!”

Rara Wulan masih saja mencoba berteriak, “Jangan Mbokayu! Jangan lepaskan tongkat itu!”

Ki Welat Wulung tidak saja mencekik Rara Wulan. Tetapi sekali lagi gadis itu diguncangnya, sehingga Rara Wulan hampir saja muntah-muntah.

Ketegangan benar-benar telah mencengkam, sebagaimana jari-jari Ki Welat Wulung mencengkam leher Rara Wulan.

Yang terdengar kemudian adalah suara Empu Wisanata, “Ki Lurah. Nampaknya garis pepesten ini tidak dapat dihindari. Kami benar-benar tidak pernah merencanakan untuk berbuat sebagaimana yang terjadi. Tetapi jika memang demikian yang harus terjadi, maka terjadilah. Bukan kami yang minta agar Rara Wulan ikut menyaksikan perang tanding ini. Kehadirannya sebenarnya telah melanggar kesepakatan kita, bahwa masing-masing hanya akan membawa tiga orang saksi.”

“Tetapi kalian tidak berkeberatan ketika Rara Wulan menyatakan keinginannya untuk ikut menyaksikan perang tanding ini.”

“Benar, Ki Lurah. Itulah yang aku maksud bahwa garis pepesten itu harus terjadi. Seandainya Rara Wulan tidak ingin menyaksikan perang tanding ini, maka yang terjadi akan lain.”

Agung Sedayu adalah seorang yang tidak mudah untuk menganggap seseorang bersalah. Tetapi saat itu Agung Sedayu menggeram dengan wajah yang terasa panas, “Kalian orang-orang yang licik. Apakah kelicikan ini telah kalian rencanakan sebelumnya?”

“Jangan marah Ki Lurah. Tidak akan ada gunanya. Sebaiknya sekarang Ki Lurah bersiap-siap untuk menyaksikan bagaimana Nyi Lurah mengakhiri perang tanding ini. Sebentar lagi Dwani akan mengambil tongkat yang diletakkan oleh Nyi Lurah. Kemudian, perang tanding ini akan dilanjutkan dengan jujur.”

“Apa yang jujur?” teriak Glagah Putih, “Dalam keadaan seperti ini kalian masih mengatakan perang tanding dengan jujur?”

Ki Saba Lintang tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan menyesali nasib. Agaknya bagi kalian, nasib memang tidak akan dapat diubah dengan cara apapun.”

Glagah Putih menggeletakkan giginya. Tetapi ia masih belum menemukan cara yang terbaik untuk membebaskan Rara Wulan, serta tidak membiarkan Sekar Mirah menyelesaikan perang tanding yang curang itu.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah masih belum bergerak mundur meskipun ia sudah meletakkan tongkat baja putihnya. Karena itu, maka sekali lagi Ki Welat Wulung berteriak dengan suara serak, “Nyi Lurah! Cepat, melangkah mundur!”

Sekar Mirah benar-benar menjadi bingung. Namun ketika ia melihat keadaan Rara Wulan, Nyi Lurah merasa tidak mempunyai pilihan. Karena itu, maka selangkah ia bergerak mundur.

Namun pada saat itu terdengar Rara Wulan berteriak sekali lagi, “Jangan Mbokayu! Jangan tinggalkan tongkat itu!”

Pada saat itu juga Ki Welat Wulung sekali lagi mengguncang-guncang leher Rara Wulan.

Agaknya demikian keras tekanan jari-jari Ki Welat Wulung, sehingga Rara Wulan telah muntah. Bahkan kemudian Rara Wulan itu menjadi terbungkuk sambil memegangi perutnya.

Ki Welat Wulung yang tangannya tidak mau menjadi kotor, di luar sadarnya dengan serta-merta telah melepaskan tangannya, dan membiarkan Rara Wulan membungkukkan badannya sambil memegangi perutnya yang mual.

Tetapi justru karena itu, Ki Welat Wulung menjadi lengah. Rara Wulan tiba-tiba saja telah menghantam perutnya dengan sikunya. Kemudian dengan cepat mendorong Ki Welat Wulung dengan sekuat tenaganya.

Ki Welat Wulung tidak mengira bahwa gadis itu memiliki kemampuan dan keberanian untuk melepaskan dirinya. Bahkan tenaganya ternyata cukup kuat, sehingga serangan sikunya pada perutnya membuat perutnya itu terasa sakit. Kemudian dorongannya juga cukup kuat untuk membuat jarak antara Ki Welat Wulung dan Rara Wulan.

Glagah Putih yang tegang itu cepat tanggap. Ternyata Rara Wulan tidak benar-benar akan muntah. Ia mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari tangan Welat Wulung.

Karena itu, demikian terdapat jarak antara Rara Wulan dan Ki Welat Wulung, maka Glagah Putih pun segera meloncat menyerang Ki Welat Wulung yang masih terkejut karena sikap Rara Wulan.

Namun Ki Welat Wulung itu sempat melihat serangan kaki Glagah Putih. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk menangkis serangan itu.

Tetapi serangan itu demikian derasnya, sehingga Ki Welat Wulung yang belum siap benar menghadapi keadaan itu menjadi terhuyung-huyung beberapa langkah surut.

Dengan cepat Rara Wulan pun segera meloncat ke belakang Glagah Putih yang siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu Empu Wisanata. Ki Saba Lintang dan Nyi Dwani sendiri terkejut melihat kesempatan yang dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Rara Wulan. Nyi Dwani yang merasa terdesak oleh Sekar Mirah, dengan serta-merta berusaha untuk menggapai tongkat baja putih yang tertinggal oleh Sekar Mirah beberapa langkah surut. Tetapi demikian Nyi Dwani membungkuk untuk meraih tongkat itu, kaki Sekar Mirah telah menghantam dadanya dengan kuatnya, sehingga Nyi Dwani terlempar dan jatuh terguling beberapa kali.

Ternyata dengan tangkasnya Sekar Mirah telah mendapatkan tongkatnya kembali.

Dalam pada itu, Nyi Dwani yang terguling beberapa kali telah bangkit berdiri beberapa langkah dari Ki Saba Lintang. Dengan suara parau Nyi Dwani itu pun berkata, “Berikan tongkat itu kepadaku! Iblis perempuan itu berhasil menggapai tongkatnya kembali.”

Sejenak kemudian, Nyi Dwani telah berhadapan lagi dengan Sekar Mirah. Sementara itu, Glagah Putih telah berdiri di antara Rara Wulan dan Welat Wulung.

“Terserah kepadamu,” berkata Glagah Putih, “apakah kita akan berperang tanding sekarang, atau menunggu sampai perang tanding antara Nyi Dwani dan Nyi Lurah selesai.”

“Licik kau perempuan binal!” geram Ki Welat Wulung.

“Jangan berbicara tentang kelicikan!” sahut Glagah Putih, “Sekarang apa maumu? Aku siap melayanimu.”

Ki Welat Wulung tidak segera menjawab. Sementara itu Sekar Mirah telah bersiap dengan tongkat baja putihnya, menghadapi Nyi Dwani yang menjadi semakin gelisah.

Dalam pada itu, Empu Wisanata pun menjadi tegang pula. Ia sadar bahwa anak perempuannya tidak akan mampu menghadapi Nyi Lurah Agung Sedayu. Satu akhir dari perang tanding yang sebelumnya sama sekali tidak diduganya

Dalam pada itu, Empu Wisanata pun harus mengambil sikap. Sesaat ia mencoba menilai kekuatan yang ada. Empu Wisanata itu datang berempat bersama dengan Nyi Dwani, sementara Nyi Lurah datang berlima dengan Rara Wulan. Menilik sikap dan keberaniannya, Rara Wulan juga memiliki sedikit kemampuan. Tetapi menurut Empu Wisanata, kemampuan Rara Wulan itu dapat diabaikan saja.

Empu Wisanata memang agak ragu untuk mengambil keputusan. Namun agaknya Ki Saba Lintang-lah yang lebih dahulu bersikap. Dengan lantang ia pun berkata, “Persoalan yang timbul kemudian telah berkembang semakin luas. Persoalannya kemudian tidak sekedar perang tanding antara Nyi Dwani dan Nyi Lurah. Tetapi gadis yang ikut menonton perang tanding ini telah menumbuhkan persoalan baru. Bahkan anak muda itu telah menantang Ki Welat Wulung untuk berperang tanding.”

“Jadi, maksudmu?” Glagah Putih menjadi tidak sabar.

“Kita tidak terikat lagi pada kesepakatan kita. Kau telah melakukan pelanggaran yang mendasar dari perjanjian yang sudah kita buat.”

“Aku?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab Ki Saba Lintang.

Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan itu tiba-tiba saja menyahut, “Sebaiknya kita tidak peduli lagi siapakah yang memulai. Kita tinggal memilih. Kita kembalikan pada kesepakatan kita semula, menjadi saksi perang tanding antara Nyi Dwani dengan Nyi Lurah, atau kesepakatan itu kita lupakan saja sama sekali.”

“Kau menantang Ki Jayaraga?” teriak Ki Saba Lintang.

“Tidak,” jawab Ki Jayaraga.

“Setan tua! Kau telah mengaburkan kehadiran kita di sini. Karena itu, kita tidak akan terikat lagi dengan kesepakatan yang telah kita buat,.”

“Terserah kepadamu. Kami akan melayanimu.”

Empu Wisanata-lah yang kemudian menyahut, “Marilah, jika kita yang tua-tua ini masih harus bermain-main di tepian.”

Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Ia sadar bahwa Empu Wisanata itu telah memilihnya sebagai lawan.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia benar-benar telah sembuh dan bahkan telah pulih kembali. Karena itu, ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ki Jayaraga itu sadar sepenuhnya bahwa Empu Wisanata itu tentu seorang yang berilmu sangat tinggi.

Sementara itu agaknya Glagah Putih-lah yang tidak sabar lagi. Katanya, “Kita tidak datang ke tempat ini untuk berbicara. Jika kita akan berkelahi, marilah kita berkelahi.”

Tanpa menunggu lagi, Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri menghadapi Ki Welat Wulung. Kemarahannya rasa-rasanya sudah tidak dapat ditahankannya lagi. Bahkan kemudian ia pun menggeram, “Ki Welat Wulung. Marilah kita berhadapan sebagai laki-laki. Tidak sepantasnya kita berbuat licik sebagaimana kau lakukan terhadap Rara Wulan.”

Suasana pun menjadi bertambah tegang. Sementara itu Nyi Dwani dan Sekar Mirah justru berdiri mematung. Mereka menunggu, apa yang kemudian akan terjadi.

Namun nampaknya Nyi Dwani sudah dapat mengambil kesimpulan. Karena itu, ia pun telah berada pada puncak kemampuannya. Tongkat baja putih yang ada di tangannya itu pun telah membara, meskipun tidak seluruhnya.

Sekar Mirah terkejut ketika tongkat itu pun telah terayun. Hampir saja tongkat itu menyambar kepalanya. Untunglah warna bara pada tongkat yang terayun itu sempat memberinya peringatan, sehingga Sekar Mirah sempat mengelak. Dengan cepat Sekar Mirah merendahkan diri, sehingga ayunan tongkat itu berdesing di atas kepalanya.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Nyi Dwani dan Sekar Mirah itu pun telah berlangsung lagi dengan sengitnya. Namun Nyi Dwani sudah mengenal kelebihan tongkat Sekar Mirah. Dalam benturan yang keras pada puncak ilmunya, tongkat Sekar Mirah bagaikan memancarkan cahaya yang menyilaukan. Dengan demikian, maka untuk selanjutnya Nyi Dwani harus berhati-hati.

Namun bagaimanapun juga kemampuan Sekar Mirah memang melampaui kemampuan Nyi Dwani, sehingga Nyi Dwani pun kemudian telah terdesak lagi.

Meskipun demikian, baik Ki Saba Lintang maupun Empu Wisanata berharap bahwa Nyi Dwani akan dapat bertahan lebih lama dari waktu yang diperlukan oleh Empu Wisanata atau Ki Welat Wulung atau Ki Saba Lintang untuk mengalahkan lawannya Dengan demikian, maka salah seorang dari mereka akan dapat segera membantu Nyi Dwani melawan Nyi Lurah Sekar Mirah, karena mereka sudah tidak terikat lagi pada kesepakatan perang tanding.

Demikianlah, sejenak kemudian perang tanding itu pun telah meluas. Glagah Putih yang tidak sabar lagi telah menyerang Ki Welat Wulung, sementara Ki Welat Wulung pun telah siap untuk bertempur. Bahwa Rara Wulan dapat melepaskan diri dari tangannya, itu pun telah membuat darahnya bagaikan mendidih.

Ki. Saba Lintang yang semakin mencemaskan keadaan Nyi Dwani pun segera mendapatkan Agung Sedayu, yang nampaknya juga sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Dengan lantang Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Ki Lurah. Aku sudah mendengar bahwa Ki Lurah adalah prajurit yang pilih tanding.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sekali-sekali ia masih menyempatkan diri melihat Sekar Mirah yang bertempur melawan Nyi Dwani. Kemudian Glagah Putih dan Ki Welat Wulung. Sementara itu, Empu Wisanata pun telah berhadapan dengan Ki Jayaraga. Seandainya Empu Wisanata tidak memilih lawannya, maka Agung Sedayu ingin berhadapan dengan orang yang mengaku ayah Nyi Dwani itu.

Namun yang kemudian berdiri di hadapannya adalah Ki Saba Lintang, yang sudah tidak menggenggam tongkat baja putih lagi, karena tongkat itu kemudian telah diserahkan kembali kepada Nyi Dwani, yang harus melanjutkan pertempurannya melawan Sekar Mirah.

Dalam pada itu, Nyi Dwani memang menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak lagi berani memandang langsung setiap benturan senjata. Setiap kali kilat masih memancar dan membuat pandangan Nyi Dwani menjadi silau.

Meskipun demikian, Nyi Dwani itu pun menjadi semakin terdesak. Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah sekedar memperpanjang waktu. Ia berharap bahwa salah seorang akan dapat segera mengalahkan lawannya dan membantunya.

Yang paling diharapkannya adalah Ki Welat Wulung. Menurut penilaian Nyi Dwani, lawan Ki Welat Wulung adalah seorang anak muda, yang menurut perhitungannya tentu masih belum memiliki kemantapan ilmu. Kegarangannya hanyalah karena dorongan perasaannya setelah Ki Welat Wulung berusaha menguasai Rara Wulan, tetapi gagal.

Namun Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan memperhatikan pertempuran antara Nyi Dwani dan Sekar Mirah lebih lama lagi. Namun menurut pengamatan Agung Sedayu, asal Sekar Mirah tidak melakukan kesalahan yang mendasar, maka ia tidak akan dikalahkan oleh Nyi Dwani.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang itu pun mulai bergeser. Sebuah serangan tangan mulai menggapai tubuh Agung Sedayu. Namun serangan itu masih belum bersungguh-sungguh, sehingga dengan memiringkan tubuhnya, Agung Sedayu telah luput dari serangan itu.

Namun demikian, serangan itu telah disusul dengan serangan-serangan berikutnya.

Sambil meloncat dan menjulurkan kakinya mendatar, Ki Saba Lintang berkata, “Sayang, bahwa hari ini seisi rumah Ki Lurah akan kami musnahkan. Semuanya akan mati di tepian ini. Jika besok atau lusa seseorang menemukan tubuh-tubuh yang membeku di sini, maka Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi gempar.”

“Kami akan berusaha membela diri, Ki Saba Lintang,” jawab Agung Sedayu, “tidak seorangpun yang akan membiarkan dirinya dibunuh di dalam pertempuran. Kecuali jika sejak awal ia sudah berniat untuk membunuh diri.”

Ki Saba Lintang meloncat sambil menjulurkan tangannya. Tetapi dengan tangkas Agung Sedayu menepis tangan itu menyamping, sementara itu dengan tangannya yang lain Agung Sedayu menyerang ke arah lambung. Tetapi Ki Saba Lintang menggeliat. Tubuhnya berputar dengan cepat Kakinya terayun mendatar mengarah kening.

Tetapi dengan cepat Agung Sedayu merendahkan diri.

Dengan demikian maka pertempuran di tepian itu pun menjadi semakin sengit. Glagah Putih yang marah menyerang Ki Welat Wulung dengan garangnya. Tetapi Ki Welat Wulung pun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Jika ia dapat segera membinasakan anak itu, maka ia pun akan segera menguasai Rara Wulan. Bukan saja ia akan mendapat gadis itu, tetapi dengan menguasai gadis itu, maka ia akan dapat menghentikan pertempuran. Nyi Dwani akan dapat membunuh Sekar Mirah, sehingga yang tersisa lainnya pun akan segera dapat disingkirkan.

Tetapi ternyata Ki Welat Wulung tidak segera dapat menguasai Glagah Putih. Ternyata anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun Ki Welat Wulung semakin meningkatkan ilmunya, namun Glagah Putih masih mampu mengimbanginya. Bahkan karena kemarahan yang membakar jantungnya, maka Glagah Putih pun justru menjadi semakin garang.

Rara Wulan memperhatikan pertempuran di tepian itu dengan jantung yang berdebaran. Sementara itu lehernya masih terasa sakit. Namun Rara Wulan itu merasa sangat bersyukur bahwa ia telah mendapatkan jalan untuk melepaskan dirinya dari tangan Ki Welat Wulung. Jika saja ia tidak mampu melepaskan diri, maka jiwa Sekar Mirah tentu terancam. Bahkan Ki Welat Wulung mungkin sekali tidak akan mau melepaskannya.

Dalam pada itu, bulan semakin jauh mengarungi sisi langit di sebelah barat. Meskipun cahayanya masih terang, tetapi bayangan orang-orang yang bertempur itu pun menjadi semakin panjang.

Sekar Mirah setiap kali masih menyempatkan diri memandang bulan yang bulat itu. Ia sadar sepenuhnya bahwa Nyi Dwani benar-benar terpengaruh oleh getar cahaya bulan itu. Karena itu, setiap kali Sekar Mirah memandang bulan, maka jantung Nyi Dwani itu berdesir. Sementara serangan-serangan Sekar Mirah pun menjadi semakin garang. Tongkat baja putihnya menyambar-nyambar seperti kepak sayap burung alap-alap yang sedang memburu mangsanya

Dengan demikian, Nyi Dwani semakin terdesak ke dalam kesulitan. Sementara itu, Ki Welat Wulung masih belum mampu mengalahkan lawannya yang masih muda itu.

Ketika Ki Welat Wulung menyadari keseimbangan pertempuran antara Nyi Dwani dan Sekar Mirah yang semakin berbahaya itu, maka ia pun telah menghentakkan kemampuannya. Ia harus dengan cepat menyelesaikan lawannya dan menangkap Rara Wulan.

Hentakan-hentakan ilmu Ki Welat Wulung memang telah mengejutkan. Glagah Putih pun terdesak beberapa langkah surut. Bahkan Rara Wulan pun telah ikut bergeser menjauh.

Dengan cemas Rara Wulan menyaksikan pertempuran yang semakin sengit antara Glagah Putih dan Ki Welat Wulung. Apalagi pada saat-saat Glagah Putih terdesak.

Namun Glagah Putih segera memperbaiki kedudukannya. Ketika Ki Welat Wulung mendesaknya, Glagah Putih telah meningkatkan kemampuannya pula, sehingga Glagah Putih pun kemudian tidak harus berloncatan surut.

Meskipun Ki Welat Wulung telah mengerahkan segenap kemampuannya, namun ternyata bahwa ia tidak dapat mendesak Glagah Putih lagi. Bahkan serangan-serangan Glagah Putih pun semakin lama menjadi semakin berbahaya. Bahkan kemudian serangan-serangan Glagah Putih telah mampu menembus pertahanan Ki Welat Wulung. Sekali-sekali serangan Glagah Putih telah mengenai sasarannya, sehingga Ki Welat Wulung harus berdesah menahan sakit.

Namun Ki Welat Wulung pun mampu pula menguak pertahanan Glagah Putih. Ketika Ki Welat Wulung menyerang Glagah Putih dengan serangan beruntun, maka tangan Ki Welat Wulung telah menyentuh bahu Glagah Putih.

Keseimbangan Glagah Putih memang menjadi goyah. Tetapi tubuhnya yang liat masih tetap mampu bertahan. Namun Glagah Putih harus meloncat mengambil jarak.

Ki Welat Wulung meloncat pula memburunya. Tetapi Glagah Putih yang sudah berhasil memperbaiki kedudukannya, dengan cepat justru telah mendahului menyerang. Ki Welat Wulung terkejut. Ia tidak menyangka bahwa anak muda itu mampu dengan cepat memperbaiki kedudukannya, dan bahkan siap untuk menyerang.

Ki Welat Wulung tidak sempat menghindar. Karena itu, maka ia pun telah menangkis serangan itu.

Benturan telah terjadi. Tangan Glagah Putih yang terayun menebas ke arah kening, telah membentur tangan Ki Welat Wulung yang menangkisnya.

Keduanya telah tergetar. Ki Welat Wulung dapat merasakan betapa besarnya kekuatan anak muda itu. Tangannya yang membentur tangan Glagah Putih itu terasa menjadi nyeri.

Ki Welat Wulung pun menggeram. Ia sadar bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi, sehingga sulit baginya untuk dapat dengan cepat menyelesaikannya.

Karena itu, maka Welat Wulung pun segera menarik senjatanya. Sebuah pedang yang tipis dan lentur.

Glagah Putih meloncat surut. Sementara itu, Welat Wulung telah menggerakkan pedangnya. Namun ketika Ki Welat Wulung mengayunkan pedangnya mendatar, terasa sambaran angin menerpa wajah Glagah Putih. Sementara itu, Glagah Putih pun menyadari bahwa pedang yang lentur itu ternyata dapat menjadi pedang yang kukuh seperti selembar besi baja yang tebal.

Glagah Putih tidak mau menjadi korban sentuhan pedang yang tajamnya melampaui tajamnya welat pring wulung, yang sentuhannya dapat mengoyak kulit dagingnya. Namun kemudian dapat menjadi sekokoh baja, yang dapat meremukkan tulang-tulangnya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah mengurai ikat pinggangnya. Ikat pinggang yang di tangannya menjadi senjata yang jarang ada duanya.

Ki Welat Wulung tertegun melihat senjata Glagah Putih. Dengan lantang ia pun berkata, “Apakah kau tidak mempunyai senjata yang lebih baik dari ikat pinggang itu? Lihat senjataku. Senjataku inilah yang bernama Pedang Welat Wulung.”

“Kau sendirikah yang menamai pedangmu seperti namamu, atau sebaliknya karena kau mempunyai sebilah pedang yang dinamai Welat Wulung, maka kau menyebut dirimu Welat Wulung?”

“Persetan! Apapun yang kau katakan, pedangku akan menghabisimu.”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun sudah siap menghadapi pedang yang dinamai Welat Wulung itu.

Untuk meyakinkan lawannya bahwa ikat pinggangnya bukan sembarang ikat pinggang, maka ketika Welat Wulung mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher, Glagah Putih telah memiringkan tubuhnya. Namun sekaligus Glagah Putih telah membentur pedang itu dengan ikat pinggangnya

Benturan yang keras telah terjadi. Ki Welat Wulung benar-benar terkejut karenanya. Ia tidak mengira bahwa Glagah Putih akan membenturkan ikat pinggangnya. Sehingga karena itu, hampir saja pedang itu terlepas dari tangannya.

Dengan sigap Ki Welat Wulung meloncat mengambil jarak. Glagah Putih yang sengaja tidak memburunya, berdiri tegak sambil menggenggam ikat pinggangnya pada ujung dan pangkalnya.

“Apa katamu dengan ikat pinggangku?”

“Kau dapatkan dari iblis manakah senjatamu itu?”

“Aku menerima senjata ini dari salah seorang pemimpin di Mataram. Nah, karena itu berhati-hatilah. Kita akan bertempur sampai tuntas.”

Ki Welat Wulung tidak menjawab. Namun dengan cepat ia pun meloncat sambil menjulurkan pedangnya ke arah dada Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih cukup tangkas. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya. Sementara itu tangannya telah mengayunkan ikat pinggangnya dengan cepat.

Hampir saja ujung ikat pinggang itu menampar wajah Ki Welat Wulung. Namun Ki Welat Wulung masih mampu menghindarinya.

Ketika Glagah Putih memburunya, Ki Welat Wulung justru telah mengayunkan pedang tipisnya menebas ke arah lehernya. Tetapi dengan tangkas Glagah Putih merentangkan ikat pinggangnya dengan kedua belah pihak tangannya. Ketika pedang tipis itu menyentuh ikat pinggangnya, maka ikat pinggang itu pun telah mengendur, sehingga yang terjadi adalah benturan yang lunak. Namun dengan serta-merta Glagah Putih telah menarik rentangannya, sehingga hentakannya hampir saja melemparkan pedang Ki Welat Wulung.

Karena itu, Ki Welat Wulung pun berusaha menguasai pedangnya sebaik-baiknya kembali sambil meloncat surut

Glagah Putih pun meloncat menyusulnya. Tetapi Glagah Putih itu pun terkejut. Tiba-tiba saja ujung pedang itu telah menyongsongnya. Dengan serta-merta Glagah Putih menggeliat, sehingga ia mampu membebaskan dirinya. Tetapi pedang itu pun menggeliat pula memburunya.

Glagah Putih meloncat sambil memiringkan tubuhnya. Namun sebuah sentuhan kecil telah menggores lengannya. Hanya sentuhan kecil saja. Tetapi sentuhan kecil itu ternyata telah mengoyak lengan Glagah Putih, sehingga luka pun telah menganga.

Pedang itu tajamnya benar-benar melampaui tajam welat pring wulung.

Ketika Rara Wulan melihat sentuhan pedang itu di tangan Glagah Putih, maka ia pun menjadi semakin berdebar-debar. Meskipun ia yakin akan kemampuan Glagah Putih, tetapi Rara Wulan pun sadar bahwa Ki Welat Wulung juga seorang yang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, darah Glagah Putih bagaikan mendidih. Karena itu, maka ia pun menjadi semakin garang, meskipun Glagah Putih tidak kehilangan penalarannya.

Dengan cepat Glagah Putih melibat lawannya. Ikat pinggangnya berputar-putar semakin cepat. Benturan-benturan yang terjadi kemudian semakin menggelisahkan orang yang menyebut nama senjatanya itu sebagaimana namanya sendiri.

Namun luka di lengan Glagah Putih justru membuat Ki Welat Wulung semakin sulit. Glagah Putih yang sadar bahwa semakin banyak darah yang tertumpah akan membuat tubuhnya semakin lemah, berusaha untuk mempercepat pertempuran itu.

Serangan-serangan Glagah Putih kemudian datang bergulung-gulung. Susul-menyusul. Ikat pinggangnya berputaran menyambar-nyambar.

Ki Welat Wulung yang juga ingin menyelesaikan pertempuran itu lebih cepat, telah mengerahkan segenap kemampuannya pula. Pedangnya terayun-ayun mendebarkan jantung.

Dalam pada itu, bulan pun semakin terdorong ke sisi barat. Selembar awan tipis mengalir dari selatan, mengarungi langit yang terbentang dari cakrawala sampai ke cakrawala.

Keringat di tubuh Ki Welat Wulung bagaikan terperas. Demikian pula keringat Glagah Putih yang bercampur dengan titik-titik darahnya. Ketika di kejauhan terdengar gonggong anjing hutan bersahutan, maka Welat Wulung meloncat beberapa langkah surut. Dalam benturan yang sangat keras, Welat Wulung yang tangannya telah basah oleh keringat tidak mampu mempertahankan pedang tipisnya. Ketika benturan itu terjadi, pedang itu sudah goyah di tangannya. Ketika kemudian ikat pinggang Glagah Putih itu berputar melibat pedangnya, maka pedang itu benar-benar telah terlepas.

Namun Ki Welat Wulung tidak segera menyerah. Ketika Glagah Putih berdiri dengan kaki renggang sambil memegang ujung dan pangkal ikat pinggangnya dengan kedua belah tangannya, ia pun mengeram, “Menyerahlah!”

Tetapi Ki Welat Wulung sama sekali tidak menghiraukannya. Ketika pedangnya sudah terjatuh di pasir tepian, maka Ki Welat Wulung itu berdiri tegak menghadap pada Glagah Putih. Sambil menggeram Ki Welat Wulung itu pun menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya.

Glagah Putih pun segera tanggap. Ia pun segera mengalungkan ikat pinggangnya di lehernya. Sebelah kakinya pun ditariknya setengah langkah ke belakang. Kemudian Glagah Putih itu pun merendah pada lututnya.

Semua itu dilakukan dengan cepatnya. Ketika Ki Welat Wulung menghentakkan tangannya ke arah Glagah Putih, maka Glagah Putih pun telah mengacukan tangannya ke depan dengan telapak tangannya menghadap ke arah lawannya.

Kedua orang itu pun telah melontarkan ilmu pamungkas mereka masing-masing. Seleret sinar telah memancar dari telapak tangan Ki Welat Wulung. Tetapi telapak tangan Glagah Putih pun seakan-akan telah melontarkan gumpalan cahaya yang tajam.

Ketika dua kekuatan ilmu itu berbenturan, getarannya telah menumbuhkan gelombang kekuatan yang dahsyat.

Namun ternyata kekuatan getar gelombang ilmu Glagah Putih mempunyai kekuatan yang lebih besar. Meskipun Glagah Putih juga terdorong beberapa langkah surut dan jatuh telentang di tepian, namun akibat yang terjadi pada Ki Welat Wulung agaknya jauh lebih parah lagi.

Dalam benturan yang terjadi, selain getaran ilmu yang berhasil menyusup mengenai tubuh lawannya, namun gelombang yang melontar kembali memantul ke sumbernya oleh benturan yang terjadi telah membuat keadaan mereka menjadi semakin parah. Terutama Ki Welat Wulung yang kekuatan ilmunya berada di bawah kekuatan ilmu Glagah Putih.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun segera berlari mendapatkan Glagah Putih yang terbaring. Dengan sangat cemas Rara Wulan berjongkok di sisinya. Namun di bawah cahaya bulan yang cerah, Rara Wulan melihat Glagah Putih itu tersenyum kepadanya, meskipun juga harus menyeringai menahan sakit.

“Kakang,” desis Rara Wulan.

Dengan suara yang lemah Glagah Putih menyahut, “Aku tidak apa-apa, Wulan.”

Pelan-pelan Glagah Putih berusaha untuk bangkit. Rara Wulan yang kemudian duduk di atas pasir berusaha untuk membantunya.

Demikian Glagah Putih duduk, kedua kakinya pun segera bersilang. Sambil memandang tubuh Ki Welat Wulung ia berdesis, “Bagaimana dengan orang itu?”

“Aku akan melihatnya, Kakang.”

“Jangan!” Glagah Putih mencegahnya, “Orang itu berilmu tinggi dan licik. Jika kau dapat ditangkapnya, meskipun ia dalam keadaan yang lemah, maka kau benar-benar berada dalam bahaya.”

Rara Wulan mengangguk. Ia dapat mengerti peringatan Glagah Putih itu. Ki Welat Wulung memang seorang yang sangat berbahaya.

Namun Ki Welat Wulung itu sama sekali tidak bergerak. Ia terbaring diam di atas pasir tepian.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah menyilangkan tangan di dadanya. Ia pun kemudian berdesis, “Berjaga-jagalah Wulan. Pegang ikat pinggangku. Dalam keadaan terpaksa kau dapat mempergunakannya. Aku memerlukan waktu beberapa saat untuk menata kembali pernafasan, aliran darahku dan kerja urat serta syarafku.”

Rara Wulan pun kemudian meraih ikat pinggang Glagah Putih. Ikat pinggang itu menurut Rara Wulan adalah ikat pinggang kulit biasa. Namun di tangan Glagah Putih, ikat pinggang itu menjadi senjata yang sangat berbahaya.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun telah memejamkan matanya. Dipusatkannya nalar budinya untuk mengatur pernafasannya, memperbaiki tatanan tubuhnya setelah ia terlempar dan terpelanting jatuh karena dorongan getaran ilmu lawannya, serta getar gelombang yang memantul pada benturan yang terjadi itu.

Sementara itu, orang-orang yang lain masih juga bertempur dengan sengitnya. Mereka hanya sempat mengerling melihat tubuh Ki Welat Wulung yang terlempar dan terbanting jatuh, namun yang kemudian sama sekali tidak bergerak lagi. Sementara Glagah Putih telah bangkit dan duduk bersila, memusatkan nalar budinya untuk mengatur pernafasannya, serta memperbaiki tatanan segala unsur di dalam tubuhnya.

Kekalahan Ki Welat Wulung telah mengguncang jiwa Nyi Dwani. Selain bulan yang menjadi semakin rendah, serangan-serangan Sekar Mirah pun menjadi semakin garang. Meskipun Nyi Dwani sempat mengetahui bahwa setiap benturan ilmu yang memancar pada sentuhan kedua tongkat baja putih itu menimbulkan cahaya yang menyilaukan, sehingga Nyi Dwani dapat menempatkan diri untuk mengatasinya, namun kemampuan Sekar Mirah yang sangat tinggi benar-benar sulit untuk diimbangi.

Dalam pada itu, Empu Wisanata pun ternyata tidak segera mampu menguasai Ki Jayaraga. Sebagaimana Empu Wisanata tidak mengira bahwa ilmu Sekar Mirah ternyata lebih tinggi dari ilmu Nyi Dwani, ia pun tidak mengira bahwa Ki Jayaraga akan mampu mengimbangi ilmu Empu Wisanata itu. Bertahun-tahun Empu Wisanata menjalani laku di ujung Kali Geduwang di lambung Gunung Kukusan. Namun ternyata orang Tanah Perdikan Menoreh itu mampu mengimbanginya.

Sementara itu, Ki Saba Lintang yang menjalani lakunya dengan menjelajahi lingkungan yang luas di antara Gunung Kukusan, Gunung Lawu, Pegunungan Kendeng, Gunung Telamaya, Gunung Merbabu dan Gunung Merapi, kemudian Pegunungan Menoreh, telah membentur ilmu yang tinggi dari seorang Lurah Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun Agung Sedayu memang nama yang mencuat dari beberapa nama senapati pilihan di Mataram. Tetapi Ki Saba Lintang yang merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi, yang tidak kalah dari ilmu para tumenggung di Mataram, merasa heran bahwa Lurah prajurit dari Pasukan Khusus itu mampu mengimbanginya. Betapapun namanya menjulang tinggi di antara para Lurah prajurit, namun kemampuan ilmu Agung Sedayu benar-benar di luar dugaan Ki Saba Lintang.

“Ternyata Tanah Perdikan Menoreh memiliki orang-orang berilmu tinggi. Seorang anak muda yang masih ingusan saja mampu mengalahkan Welat Wulung, yang sudah kenyang makan pahit asamnya dunia olah kanuragan.”

Sebenarnyalah bahwa Ki Saba Lintang pun tidak dapat mengingkari kenyataan. Ia bukan saja tidak mampu mengalahkan Agung Sedayu dengan segera, tetapi justru semakin lama semakin terasa tekanan-tekanan yang semakin berat. Dengan kecepatan yang tinggi Agung Sedayu mampu menghindari serangan-serangan Ki Saba Lintang. Loncatan-loncatan Ki Saba Lintang yang semakin cepat, tidak mampu mendahului gerak Ki Lurah itu.

Namun Ki Saba Lintang yang sudah mengerahkan segenap tenaga dalamnya untuk meningkatkan kekuatan yang kecepatan geraknya, mulai menduga bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuh yang justru lebih tinggi dari ilmu Ki Saba Lintang sendiri.

Karena itu, maka Ki Saba Lintang harus menemukan cara yang lain untuk dapat mengatasi kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, keduanya masih bertempur dengan sengitnya.

Ki Saba Lintang ternyata kurang cermat menilai isi dari Tanah Perdikan Menoreh. Selama ia bertualang, perhatiannya yang terbesar memang pada peningkatan ilmunya, sehingga ia kurang memperhatikan nama-nama dari orang-orang terkuat di daerah yang telah dijelajahinya. Beberapa tahun ia menenggelamkan diri untuk mencapai satu tataran ilmu sebagaimana dicapainya sekarang ini. Namun ketika ia muncul kembali dengan rencana yang sudah disusunnya dengan baik, ia masih juga menjumpai kesulitan. Meskipun ia sudah mengorbankan waktunya yang cukup banyak untuk menilai kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu serta istrinya, namun ternyata penilaiannya masih belum tepat benar.

Mungkin kemampuan Ki Lurah Agung Sedayu itulah yang lebih tinggi dari penilaiannya, atau justru karena ia terlalu berbangga dengan peningkatan ilmunya, sehingga ia terlalu yakin bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak akan dapat mengalahkannya. Demikian pula ia terlalu yakin akan kemampuan Empu Wisanata, yang telah menenggelamkan diri menjalani laku di Gunung Kukusan, serta kemampuan Nyi Dwani, yang meremehkan kemampuan Sekar Mirah.

Bahkan Welat Wulung telah mengakhiri pertempuran melawan anak-anak dengan kematiannya.

Dalam pada itu, Ki Saba Lintang tidak lagi mengandalkan pada kecepatan geraknya, yang ternyata tidak mampu melampaui kecepatan gerak Agung Sedayu. Karena itu, Ki Saba Lintang itu pun telah mempersiapkan serangan-serangan barunya.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin sengit, serta kegagalan Ki Saba Lintang menembus pertahanan Agung Sedayu, maka Ki Saba Lintang pun telah siap menggunakan senjata yang diandalkannya.

Agaknya Agung Sedayu dapat melihat kesiapan Ki Saba Lintang itu. Karena itu, Agung Sedayu pun menjadi semakin berhati-hati. Meskipun ia belum berhasil mengenai Ki Saba Lintang dengan serangan yang benar-benar berarti, namun Ki Saba Lintang mulai terdesak oleh sentuhan-sentuhan yang semakin lama terasa semakin menyakiti tubuh Ki Saba Lintang.

Nampaknya Ki Saba Lintang tinggal menunggu saat terbaik untuk mulai melepaskan serangan barunya.

Sebenarnyalah, ketika Agung Sedayu mendesaknya, Ki Saba Lintang telah meloncat mengambil jarak. Demikian Agung Sedayu berusaha memburunya, maka dari tangan Ki Saba Lintang telah meluncur sebuah benda kecil yang menyambar ke arah dada Agung Sedayu.

Untunglah bahwa Agung Sedayu memang sudah siap menghadapi segala macam serangan. Karena itu, maka dengan sigapnya Agung Sedayu pun meloncat menghindar.

Namun serangan itu tidak hanya meluncur sekali. Demikian Agung Sedayu meloncat menghindar, maka serangan berikutnya telah datang menyusul.

Agung Sedayu segera dapat mengenali senjata-senjata kecil yang meluncur dari tangan Ki Saba Lintang. Pisau-pisau belati kecil yang sangat tajam dan runcing itu akan dapat menembus masuk ke dalam kulit dagingnya jika berhasil mengenai sasarannya. Bahkan Agung Sedayu juga menduga, bahwa pisau-pisau kecil yang runcing yang dilontarkan dengan tenaga yang sangat besar itu juga beracun.

Dengan menerapkan ilmunya meringankan tubuh, maka Agung Sedayu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi, untuk setiap kali menghindari serangan-serangan itu. Justru melampaui kecepatan gerak tangan Ki Saba Lintang.

Namun Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan pisau-pisau kecil Ki Saba Lintang. Karena itu, ketika Agung Sedayu meloncat berputaran di udara kemudian jatuh berguling menghindari serangan beruntun, maka demikian ia tegak berdiri, di tangannya telah tergenggam senjatanya. Sebuah cambuk berjuntai panjang.

Sekali cambuknya meledak memekakkan telinga, sehingga orang-orang yang berada di tepian itu terkejut. Bahkan Empu Wisanata pun terkejut. Namun kemudian Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Jadi inikah senjata Ki Lurah yang sangat terkenal itu?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi selangkah Agung Sedayu maju mendekati Ki Saba Lintang.

“Hanya itukah yang dapat kau tunjukkan kepadaku tentang ilmu cambukmu?” bertanya Ki Saba Lintang, “Ternyata kau hanya dapat mengejutkan burung pipit yang hinggap di batang padi di sawah. Tetapi tidak dapat menakut-nakuti orang-orang berilmu. Apalagi berilmu tinggi.”

Sekali lagi Agung Sedayu menghentakkan cambuknya. Sekali lagi udara tepian Kali Praga itu tergetar.

“Apa yang ingin kau tunjukkan dengan permainan kasarmu itu, Ki Lurah?” teriak Ki Saba Lintang, “Apakah kau sengaja menyerang selaput telingaku? Kau berharap bahwa kau akan dapat memecahkan selaput telingaku, kemudian mengharap aku menyerah?”

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ketika sekali lagi ia menghentakkan cambuknya, maka sama sekali tidak terdengar ledakan yang memekakkan telinga itu.

Wajah Ki Saba Lintang menjadi tegang. Empu Wisanata yang bertempur melawan Ki Jayaraga pun telah meloncat surut selangkah.

Ki Jayaraga tidak memburunya Tetapi ia justru bertanya, “Apa yang terjadi? Empu tertarik pada permainan cambuk itu?”.

Empu Wisanata menjadi semakin gelisah. Ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Hentakan cambuknya memberikan pertanda, bahwa Ki Saba Lintang tidak akan dapat mengalahkannya. Bahkan dengan ilmu Rog-rog Asem yang dimiliki oleh Ki Saba Lintang pun, Agung Sedayu tidak akan dapat ditundukkan. Lecutan cambuknya, jika dilambari dengan puncak ilmunya, maka tidak akan ada seorang pun yang mampu bertahan. Bahkan orang yang berilmu kebal sekalipun. Kecuali hanya satu dua orang yang sudah sampai pada tataran ilmu yang sangat tinggi.

Dengan demikian, maka Empu Wisanata sudah tidak berpengharapan. Pisau-pisau kecil Ki Saba Lintang tidak akan berarti banyak. Jika cambuk Agung Sedayu itu diputar dengan cepat, maka pisau-pisau yang dilontarkan akan rontok di pasir tepian.

Sementara itu, Empu Wisanata sendiri merasa sulit sekali untuk menundukkan Ki Jayaraga, yang tubuh tuanya itu masih saja liat. Bahkan Empu Wisanata merasa ragu untuk membenturkan ilmu pamungkasnya, karena Empu Wisanata pun yakin bahwa Ki Jayaraga tentu juga memiliki ilmu pamungkas yang dapat dibanggakannya.

Dalam keadaan yang demikian, maka Empu Wisanata pun serasa tenggelam ke dalam kebimbangan.

Dalam keadaan yang rumit, serta dalam ketegangan yang memuncak itu, tiba-tiba terdengar Nyi Dwani berteriak sambil meloncat mengambil jarak, “Nyi Lurah, aku menyerah!”

Sekar Mirah tertegun. Ia memang tidak segera memburu. Nyi Dwani benar-benar sudah tidak berdaya. Meskipun ia masih menggenggam tongkat baja putih yang diambilnya lagi dari tangan Ki. Saba Lintang, tetapi perlawanannya sudah tidak banyak berarti lagi. Beberapa kali tongkat Nyi Lurah sempat menyentuhnya. Meskipun hanya sentuhan-sentuhan kecil, tetapi rasa-rasanya tulang-tulangnya telah berpatahan. Sementara itu, panas yang membara pada telapak tangannya dan yang kemudian membuat tongkat baja putihnya juga membara di sebelah-menyebelah genggaman tangannya, rasa-rasanya telah menjadi pudar, sejalan dengan semakin rendahnya kedudukan bulan.

Ternyata betapapun Nyi Dwani berusaha, namun ia benar-benar tidak lagi merasa mempunyai kesempatan untuk memenangkan perang tanding itu.

Ketika Sekar Mirah maju selangkah dengan tongkat baja putihnya di dalam genggaman, maka Nyi Dwani itu pun telah berlutut. Diletakkannya tongkat baja putihnya di depan lututnya sambil memohon, “Aku mohon ampun, Nyi Lurah. Aku sudah merasa kalah.”

Sekar Mirah berdiri tegak dengan tongkat baja putihnya. Kedua tangannya telah memegangi pangkal dan ujungnya dengan kuatnya, seakan-akan takut direnggut oleh Nyi Dwani yang sudah menyerah itu.

Dalam pada itu, penyerahan Nyi Dwani itu bagaikan perintah terhadap kedua lingkaran pertempuran yang lain untuk berhenti. Empu Wisanata dan Ki Saba Lintang pun telah berloncatan menjauhi lawan-lawannya, sementara Ki Jayaraga dan Agung Sedayu pun tidak memburunya pula.

Sejenak tepian itu dicengkam oleh kesepian yang tegang. Yang terdengar adalah angin malam yang bertiup dari arah laut, berdesah di daun perdu dan semak-semak batang ilalang.

Bulan masih nampak tergantung di langit, meskipun menjadi semakin rendah. Sinarnya masih terang, memantul di air Kali Praga. Pasir yang kehitam-hitaman terhampar luas.

Yang menyerah adalah Nyi Dwani. Empu Wisanata dan Ki Saba Lintang menjadi sangat ragu-ragu untuk menentukan sikap. Mereka bahkan seakan-akan menunggu keputusan Nyi Lurah. Jika Nyi Lurah kemudian mengakhiri perang tanding itu dengan kematian, maka mereka tidak akan membiarkan leher mereka dipancung dengan cambuk.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah selesai dengan pemusatan nalar budinya. Keadaannya sudah menjadi berangsur membaik. Meskipun dadanya masih terasa agak sesak, tetapi sudah tidak terasa sangat mengganggu. Jantungnya telah berdetak lebih teratur, dan darahnya telah mengaliri seluruh tubuhnya sampai ke urat-urat yang paling lembut.

Perlahan-lahan Glagah Putih pun bangkit berdiri. Rara Wulan pun berdiri tegak pula di sampingnya

Semuanya memang menunggu keputusan Sekar Mirah. Ia dapat mengakhiri perang tanding itu dengan kematian, sebagaimana kesepakatan semula. Tetapi jika hatinya tidak terluka, Sekar Mirah dapat mengampuni lawannya yang sudah menyerah.

Dalam ketegangan itu terdengar Sekar Mirah berkata dengan nada berat, “Bergeserlah. Tinggalkan tongkat itu di tempatnya.”

Nyi Dwani tidak membantah. Ia pun bergeser mundur, sementara tongkatnya tergolek di atas pasir tepian.

Namun sambil bergeser surut Nyi Dwani itu pun berdesis, “Aku mohon ampun.”

Sekar Mirah masih berdiri tegak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Tidak sepantasnya aku membunuh seseorang yang telah menyerah. Aku ampuni kau, Nyi Dwani. Tetapi aku tidak tahu, apakah Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga juga akan mengampuni lawan-lawan mereka.”

Suasana kembali menjadi tegang. Ketika mereka menginjakkan kaki di Tanah Perdikan jauh sebelum perang tanding itu terjadi, mereka tidak akan bermimpi bahwa pada suatu saat mereka harus menyatakan diri untuk menyerah. Tetapi dalam keadaan sebagaimana dihadapi malam itu, mereka tidak mempunyai pilihan lain, jika mereka masih ingin tetap hidup.

Kepala Ki Saba Lintang serasa menjadi sangat pening menghadapi keadaan yang tidak pernah diperhitungkannya itu. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan lagi.

Ternyata Agung Sedayu dan Ki Jayaraga justru bersikap menunggu. Mereka berdiri tegak di hadapan lawan-lawan mereka Namun mereka tidak kehilangan kewaspadaan, bahwa keduanya dapat saja dengan tiba-tiba menyerang mereka

Namun akhirnya, Empu Wisanata itu berkata, “Kami harus mengakui kekalahan kami. Kami pun mengucapkan terima kasih kepada Nyi Lurah, bahwa Nyi Lurah telah mengampuni Dwani.”

“Lalu, apa yang akan kau lakukan, Empu?” bertanya Ki Jayaraga.

“Jika kalian mengijinkan, kami akan meninggalkan tempat ini. Kami akan kembali ke kaki Gunung Kukusan.”

“Pergilah. Dan jangan mencoba untuk kembali lagi,” terdengar suara Sekar Mirah yang bergetar.

Ki Saba Lintang masih tetap berdiam diri. Giginya justru gemeretak menahan gejolak perasaannya. Ia tidak pernah bermimpi untuk merendahkan dirinya, menyerah kalah dalam sebuah pertempuran.

Tetapi pada saat itu, ia memang tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya ia berusaha melepaskan diri dengan menyingkir dari medan, mungkin ia dapat berhasil. Tetapi ia tidak akan dapat meninggalkan Nyi Dwani yang tidak berdaya Jika ia melakukan tindakan yang bodoh dan mengungkit kemarahan Nyi Lurah, maka yang akan menjadi korban adalah Nyi Dwani. Sementara itu, Ki Saba Lintang tidak ingin kehilangan perempuan itu. Dikatakan atau tidak dikatakan, Ki Saba Lintang memang mempunyai pamrih tertentu terhadap perempuan itu, sementara nampaknya Nyi Dwani pun menanggapinya.

Dalam ketegangan yang semakin mencengkam, Agung Sedayu pun berkata, “Nah, apakah kalian menerima tawaran Sekar Mirah atau tidak?”

“Baiklah,” Empu Wisanata-lah yang menyahut, “kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan itu.”

Namun Agung Sedayu masih juga bertanya, “Bagaimana pendapatmu, Ki Saba Lintang? Apakah kau masih mempunyai pertimbangan lain? Atau kau mempunyai cara yang lebih baik, terutama bagi kehormatanmu sendiri?”

Ki Saba Lintang menggeram. Ia tahu bahwa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu adalah satu tantangan. Karena itu, maka ia pun menjawab, “Ki Lurah. Aku tidak dapat mengimbangi kemampuanmu sekarang. Tetapi jika kau memang berlapang dada, maka aku akan kembali lagi pada suatu saat. Aku akan menantangmu untuk melakukan perang tanding. Ingat, dalam perang tanding itu aku akan membunuhmu.”

Agung Sedayu justru tersenyum. Katanya, “Kita berbicara tentang diri kita sekarang, Ki Saba Lintang.”

“Aku tahu. Sudah aku katakan, bahwa sekarang aku dapat kau kalahkan. Tetapi aku akan datang menantangmu dan membunuhmu.”

“Baiklah. Aku menunggu saat itu. Yang penting bagiku, bahwa kau sekarang sudah mengakui kekalahan.”

Wajah Ki Saba Lintang menjadi panas. Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Kita akan menyelesaikan persoalan antara kalian dengan istriku. Persoalan yang menyangkut rencana kalian membangun kembali perguruan kalian yang sudah tercerai berai. Namun sayang, bahwa kalian tidak menunjukkan sikap sebagai saudara seperguruan istriku. Tetapi yang nampak pada kalian adalah nafsu untuk menyingkirkan istriku. Bahkan membunuhnya. Apalagi tingkah laku Ki Welat Wulung yang tidak mencerminkan sikap seorang laki-laki. Tetapi justru karena itu, agaknya ia harus menebus dengan nyawanya. Seorang korban sudah cukup. Sekarang, seperti kata istriku, pergilah. Bawa tubuh Ki Welat Wulung.”

“Persoalan dengan Nyi Lurah masih belum selesai.”

“Ya. Tetapi bukankah persoalan itulah yang menjadi sebab peristiwa di tepian ini? Tetapi terserah kepada kalian, apakah kalian masih akan menyelesaikan persoalan ini atau tidak.”

“Bukankah tidak mungkin menyelesaikannya sekarang?” Ki Saba Lintang masih sempat berkata lantang.

Namun Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, “Seperti seekor katak yang sombong, kau gelembungkan perutmu hanya dengan angin, Ki Saba Lintang. Itu tidak ada gunanya sama sekali. Jika kau memang ingin kembali, kembalilah. Persoalannya mungkin sudah tidak menyangkut rencana untuk membangun kembali sebuah perguruan, tetapi semata-mata sebuah dendam yang membakar jantung. Tetapi aku tidak berkeberatan.”

Telinga Ki Saba Lintang bagaikan tersengat bara. Tetapi ia memang harus mengakui kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Namun seperti yang dikatakan, Ki Saba Lintang memang ingin kembali. Ia sudah memiliki bekal ilmu yang tinggi. Ia tinggal menyempurnakannya. Dengan Aji Rog-Rog Asem yang matang, maka ia akan menghancurkan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu. Apalagi jika pada suatu saat Nyi Dwani mampu mengalahkan Sekar Mirah, sehingga tidak menghambat rencananya untuk membunuh Agung Sedayu. Atau sama sekali tidak datang bersama Nyi Dwani.

Dalam pada itu, terdengar Agung Sedayu itu berkata pula, “Sekali lagi aku minta, pergilah. Bawa tubuh Ki Welat Wulung. Kemudian aku tinggal menanti, kapan kalian akan datang lagi.”

Ki Saba Lintang menggeram. Dengan lantang ia berkata kepada Empu Wisanata, “Marilah kita pergi, Empu. Bahwa Agung Sedayu membiarkan kita pergi kali ini, adalah sama artinya dengan Agung Sedayu itu menggali kuburannya sendiri.”

“Sudahlah, jangan banyak bicara,” sahut Ki Jayaraga, “keputusan itu masih dapat berubah. Jika kau tidak menjaga mulutmu, maka aku akan membuka pertempuran lagi. Aku akan membunuh lawanku, meskipun Nyi Lurah mengampuni Nyi Dwani. Tetapi jika keadaan menjadi semakin buruk, maka pengampunan itu akan dapat ditinjau kembali.”

Bagaimanapun juga Ki Saba Lintang harus memperhatikan peringatan itu. Karena itu, maka ia pun segera beranjak meninggalkan Agung Sedayu, dan mendekati Nyi Dwani yang masih berlutut.

Sekar Mirah melangkah surut. Ia harus berhati-hati. Jika Ki Saba Lintang itu menjadi gila, maka ia akan dapat melakukan sesuatu yang berbahaya.

Namun Agung Sedayu tidak kurang berhati-hati. Ia mengikuti Ki Saba Lintang beberapa langkah.

“Marilah, Nyi Dwani,” berkata Ki Saba Lintang kemudian sambil menarik lengan Nyi Dwani.

Namun Nyi Dwani itu terkejut ketika Sekar Mirah berkata, “Bawa tongkat itu, Nyi Dwani. Aku tidak memerlukan dua batang tongkat. Suamiku, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, juga tidak memerlukan, karena mereka bukan murid dari perguruan yang kita akui bersama. Mungkin kelak, jika Rara Wulan sudah dewasa pada tataran ilmunya, ialah yang akan berhak memilikinya.”

Wajah Nyi Dwani menjadi tegang. Ia hampir tidak percaya pada pendengarannya. Namun Sekar Mirah itu mengulanginya, “Nyi Dwani. Ambil tongkat itu, jika kau masih tetap mengaku saudara seperguruanku. Tetapi kau sudah mengetahui, siapakah yang paling pantas memilikinya. Siapa yang paling pantas memimpin perguruan kita, jika kita ingin membangunkannya kembali. Dan kalian tahu, di mana pertemuan itu sebaiknya dilakukan. Tidak di ujung Kali Geduwang.”

Tidak ada yang menjawab. Namun dengan ragu-ragu Nyi Dwani bergeser maju mendekati tongkat yang diletakkannya di tepian.

Karena Nyi Dwani masih tetap ragu-ragu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata pula, “Ambillah. Sekar Mirah sudah merelakan tongkat itu. Itu sebagai pertanda bahwa ia sama sekali tidak memiliki nafsu yang tamak terhadap kepemimpinan perguruannya, jika memang akan dibangunkan kembali.”

Ki Saba Lintang berdiri tegak mematung. Sementara Nyi Dwani, meskipun dengan keragu-raguan yang sangat, telah memungut tongkat baja putih itu.

“Pergilah,” geram Sekar Mirah.

Empu Wisanata pun kemudian telah mendekati Nyi Dwani pula. Kemudian membimbingnya pergi sambil berkata, “Saba Lintang. Kita akan meninggalkan tempat ini. Kita akan membawa Welat Wulung.”

Ki Saba Lintang tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian melangkah ke arah tubuh Ki Welat Wulung yang terbaring.

Ternyata Ki Welat Wulung memang sudah terbunuh.

Ki Saba Lintang itu pun kemudian mengangkat tubuh Ki Welat Wulung dan diletakkannya di bahunya. Ternyata kekuatan Ki Saba Lintang memang sangat besar. Meskipun tubuh Ki Welat Wulung cukup besar, namun Ki Saba Lintang itu mampu membawanya sambil berjalan tegap di atas pasir.

Empu Wisanata-lah yang kemudian berkata, “Kami minta diri. Kami telah gagal. Aku sendiri ingin mengucapkan terima kasih, bahwa aku masih dapat mengajak Dwani pulang.”

Tidak ada yang menjawab.

Empu Wisanata memang menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah pergi sambil berkata, “Selamat malam.”

Ternyata Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menjawab hampir berbareng, “Selamat malam.”

Sejenak kemudian, maka Empu Wisanata itu telah melangkah semakin jauh bersama anak perempuannya. Di depan mereka, Ki Saba Lintang berjalan mendahului tanpa berpaling sama sekali. Agaknya jantungnya benar-benar dibakar oleh dendam yang menyala-nyala.

Sekar Mirah memandang langkah Nyi Dwani dengan tegang. Sementara itu bulan masih nampak di langit, meskipun menjadi semakin rendah. Tetapi cahayanya masih nampak cerah di wajah tepian berpasir basah.

Namun ketika Empu Wisanata dan Nyi Dwani itu menjadi semakin jauh, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah telah berlari memeluk Agung Sedayu. Ketegangan yang menggelembung di dalam dadanya rasa-rasanya telah meledak.

Agung Sedayu pun menepuk punggung Sekar Mirah sambil berkata, “Semuanya sudah berlalu, Mirah.”

“Ya, Kakang,” suara Sekar Mirah tenggelam di dalam isaknya.

“Kau telah melampaui saat-saat yang paling menegangkan.”

“Ya, Kakang. Tetapi mereka masih akan kembali.”

“Biarlah mereka kembali. Bukankah kita selalu siap menyambut kedatangan mereka? Kapanpun mereka kehendaki. Besok, lusa, atau setahun lagi.”

Sekar Mirah mengangguk. Dilepaskannya pelukannya, dan diusapnya matanya yang basah.

“Kau sudah membuktikan bahwa kau memang berhak atas tongkat itu,” berkata Ki Jayaraga kemudian. Sekar Mirah mengangguk.

“Rara,” desis Sekar Mirah kemudian.

Rara Wulan pun mendekatinya. Sekar Mirah pun kemudian merangkul Rara Wulan sambil berkata, “Hampir saja kau menjadi korban.”

Mata Rara Wulan juga menjadi basah. Katanya, “Seperti yang dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu, Mbokayu. Kita sudah melampaui masa-masa yang paling menegangkan.”

Sekar Mirah mengangguk. Sambil mengusap rambut Rara Wulan ia pun berdesis, “Ya, Rara. Tetapi jika terjadi sesuatu atas dirimu, maka aku-lah yang paling bersalah.”

“Tidak. Mbokayu tidak dapat menyalahkan diri sendiri.”

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Marilah, kita pulang. Mudah-mudahan kita sampai di rumah sebelum pagi, sehingga tidak harus menjawab banyak pertanyaan orang-orang yang sedang menyapu halaman.”

Namun Ki Jayaraga pun kemudian bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana keadaanmu Glagah Putih?”

“Tidak apa-apa, Ki Jayaraga. Aku dapat berjalan pulang.”

Demikianlah, mereka pun segera meninggalkan tepian. Mereka memilih jalan memintas, melewati lorong-lorong sempit dan pematang-pematang sawah. Seperti saat mereka berangkat, maka mereka telah memilih jalan yang berbeda.

Meskipun mereka merasa letih oleh pertempuran yang baru terjadi, bahkan luka-luka bakar di tubuh Sekar Mirah, namun agar mereka tidak kesiangan, maka mereka telah berjalan dengan cepat menuju ke padukuhan induk. Bahkan mereka telah mempergunakan tenaga dalam untuk mendorong langkah mereka agar segera sampai ke tujuan.

Hampir saja mereka menjadi kesiangan. Untunglah bahwa jalan-jalan masih sepi ketika mereka mendekati padukuhan induk.

Demikian mereka memasuki halaman, maka terdengar ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Sebentar lagi, induk-induk ayam akan membawa anak-anaknya turun ke halaman. Sementara beberapa orang mulai turun menyapu halaman.

Derit senggot timba di sumur-sumur pun mulai terdengar. Sementara di langit mulai membayang cahaya fajar yang kemerah-merahan.

Glagah Putih ternyata masih lemah. Tenaganya masih belum pulih benar. Karena itu, ketika ia memaksa diri untuk berjalan dengan kecepatan yang tinggi ketika mereka kembali ke padukuhan induk, tenaganya seperti dikuras kembali. Dengan nafas yang terengah-engah ia duduk di dalam biliknya. Bahkan kemudian Glagah Putih pun harus kembali memusatkan nalar budinya, untuk mengatur pernafasannya serta tatanan bagian-bagian dari tubuhnya.

Baru ketika langit menjadi terang, Glagah Putih itu keluar dari biliknya.

Tetapi demikian ia melangkah di longkangan, Agung Sedayu pun telah memanggilnya dan berkata, “Glagah Putih. Beristirahatlah. Kau memang harus beristirahat.”

“Keadaanku sudah baik, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Jangan memaksa diri, Glagah Putih. Kau harus beristirahat agar kau segera dapat menjadi pulih kembali, sebagaimana Mbokayumu Sekar Mirah. Aku juga minta agar Mbokayumu berusaha memulihkan tenaganya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, “Baik, Kakang. Aku akan banyak beristirahat hari ini.”

“Rara Wulan pun harus menenangkan dirinya. Mungkin tubuhnya tidak menjadi lelah, tetapi tentu ketegangan yang terjadi semalam membuat jiwanya menjadi letih pula. Dalam keadaan yang demikian, kalian benar-benar harus menempatkan diri sebaik-baiknya.”

Glagah Putih mengangguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi Kakang sendiri?”

“Aku juga akan beristirahat. Tetapi biarlah aku beristirahat di barak saja.”

“Jadi Kakang akan pergi ke barak hari ini?”

“Ya Aku sudah terlalu sering tidak datang ke barak.”

“Tetapi Kakang tentu juga harus beristirahat.”

“Sudah aku katakan, aku akan beristirahat di barak.”

Glagah Putih termangu-mangu, sementara Agung Sedayu menepuk bahunya sambil berkata, “Lawanku cukup berbaik hati. Ia tidak mempergunakan puncak ilmunya, sehingga aku tidak mengalami guncangan di dalam diriku sebagaimana kau alami. Demikian pula Ki Jayaraga. Agaknya Empu Wisanata menganggap bahwa benturan ilmu puncak justru tidak menguntungkannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun Agung Sedayu pun berkata lirih, “Tetapi orang-orang itu justru menjadi orang-orang yang berbahaya bagi kita. Aku yakin bahwa mereka akan kembali. Terutama Ki Saba Lintang. Ia memerlukan waktu beberapa lama untuk menyempurnakan ilmu Rog-Rog Asemnya. Ilmu yang memang jarang ada bandingnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi bukankah kita akan selalu siap menghadapi mereka jika mereka datang lagi kemari?”

Agung Sedayu mengangguk. Namun katanya, “Tetapi tentu dengan kesiagaan yang lebih tinggi. Karena itu, kita harus selalu mengasah ilmu kita agar selalu menjadi lebih tajam.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ah, langit sudah menjadi semakin terang. Aku harus segera bersiap.”

Setelah minum minuman hangat serta makan pagi, maka Agung Sedayu pun kemudian telah siap berangkat ke barak. Ia pun telah berpesan kepada Rara Wulan agar lebih banyak beristirahat.

Sekar Mirah mengantar Agung Sedayu sampai ke regol halaman. Dengan nada dalam Sekar Mirah pun berkata, “Kau tidak tidur semalam suntuk Kakang.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku dapat tidur di barak.”

“Ah, tentu tidak,” sahut Sekar Mirah.

“Kau-lah yang harus tidur. Rawat luka-lukamu dengan baik. Jangan lupa, kau ganti obat itu menjelang sore hari.”

“Aku menunggu Kakang datang,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengganti obatmu itu nanti, setelah aku pulang dari barak.”

Demikianlah, sejenak kemudian kuda Agung Sedayu pun telah berlari menuju ke barak para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Sepeninggal Agung Sedayu, Sekar Mirah pun segera masuk kembali ke dalam rumahnya. Tubuhnya memang masih terasa letih. Perang tanding yang terjadi di tepian itu benar-benar telah mengurus tenaganya. Bahkan tubuhnya telah terluka pula.

Tetapi Sekar Mirah masih juga pergi ke dapur. Rara Wulan-lah yang kemudian memperingatkannya, “Sebaiknya Mbokayu beristirahat saja. Biarlah aku menyelesaikan pekerjaan dapur.”

“Kau juga tidak tidur semalam suntuk Rara.”

“Tetapi aku tidak berbuat apa-apa.”

“Kau mengalami ketegangan jiwa.”

“Aku sudah melupakannya.”

Namun Sekar Mirah tidak membiarkan Rara Wulan bekerja sendiri di dapur. Serba sedikit Sekar Mirah juga membantunya. Namun setiap kali ia masih harus berdesah. Luka-lukanya memang terasa pedih. Tetapi agaknya obat yang diberikan oleh Agung Sedayu dengan cepat telah memperingan luka-luka yang dideritanya itu.

Glagah Putih yang juga masih merasa letih, duduk di bebatur rumah di sebelah gandok. Angin yang bertiup perlahan terasa sejuknya mengusap tubuhnya. Matahari yang naik semakin tinggi melemparkan cahayanya menembus dedaunan.

Sukra pun melangkah mendekatinya. Sambil duduk di sebelahnya Sukra itu pun bertanya, “Apa yang sudah terjadi semalam?”

“Tidak apa-apa,” jawab Glagah Putih, “kami berjalan-jalan menikmati terangnya bulan bulat.”

“Jangan bohong. Aku melihat luka-luka di tubuh Nyi Lurah. Kau pun nampak sangat letih. Tentu telah terjadi sesuatu dengan orang-orang yang sering datang kemari itu.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sedikit salah paham. Tetapi semuanya sudah dapat diselesaikan dengan baik.”

Sukra mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Kapan aku diperkenankan ikut bersama kalian?”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Ikut apa?”

Sukra tidak menjawab. Dilontarkan pandangan matanya menembus sela-sela pepohonan yang tumbuh di halaman samping. Sinar matahari yang menyusup di antara dedaunan yang bergerak-gerak di atas tanah yang lembab.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar