Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 308

Buku 308

Sekar Mirah tidak segera menjawab. Tetapi Ki Saba Lintang itu justru menyerahkan tongkat itu sambil berkata, “Lihatlah, Nyi Lurah. Dengan memegang langsung tongkat ini, Nyi Lurah akan merasakan getaran keaslian tongkat itu. Sengaja atau tidak sengaja.”

Seakan-akan di luar sadarnya, Sekar Mirah telah menerima tongkat itu. Diamatinya tongkat itu dari pangkal sampai ke ujungnya. Memang hampir tidak ada bedanya dengan tongkat miliknya sendiri, kecuali panjangnya yang berselisih sedikit saja.

Sambil menyerahkan kembali tongkat itu, Sekar Mirah berkata, “Aku percaya bahwa tongkat itu adalah tongkat yang asli. Tetapi bagaimana tongkat ini sampai ke tangan Ki Saba Lintang, juga merupakan persoalan tersendiri.”

“Maksud Nyi Lurah, mungkin tongkat ini aku curi, atau aku rebut dengan kekerasan dari orang yang berhak?”

“Hal seperti itu akan dapat terjadi,” jawab Sekar Mirah.

Ki Saba Lintang tertawa. Katanya, “Memang mungkin. Tetapi jangan takut bahwa aku telah mencuri tongkat ini, karena memang aku-lah yang berhak atas tongkat ini. Tetapi biarlah lain kali saja aku ceritakan, sejak kapan aku menerima tongkat ini. Bukan sekedar menerima dan berhak memilikinya, tetapi juga bertanggung jawab atas kelangsungan ajaran dari perguruan kita.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Saba Lintang itu berkata selanjutnya, “Tetapi karena bukan hanya aku sendiri yang memiliki pertanda kepemimpinan ini, tetapi juga Nyi Lurah Agung Sedayu, maka aku berusaha untuk dapat bertemu dengan Nyi Lurah.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia pun kemudian bertanya, “Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Kita harus merencanakan bersama, Nyi Lurah. Bukan aku sendiri yang menentukannya, tetapi kita berdua. Untuk membuat rencana kita lebih sempurna, kita akan dapat mengajak beberapa orang saudara kita, antara lain Welat Wulung ini,” jawab Ki Saba Lintang.

Sekar Mirah tiba-tiba menjadi gelisah. Tetapi sejenak kemudian menjawab, “Ki Saba Lintang. Aku adalah seorang perempuan yang sudah bersuami. Karena itu, aku akan berbicara dengan suamiku lebih dahulu.”

“Persoalan ini adalah persoalan perguruan kita, Nyi Lurah. Agaknya memang tidak ada hubungannya dengan Ki Lurah Agung Sedayu, yang ilmunya bersumber dari Perguruan Orang Bercambuk.”

“Tetapi aku tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban sebagai seorang istri.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku hargai sikap Nyi Lurah sebagai seorang istri. Aku pun beristri pula. Seperti Nyi Lurah, setiap kali istriku mengambil langkah penting, ia selalu minta ijin, setidak-tidaknya memberitahukan kepadaku. Tetapi untunglah bahwa istriku dan aku bersumber pada mata air yang sama. Kami menyadap ilmu dari garis perguruan yang sama.”

“Jika demikian, maka biarlah nanti jika Kakang Agung Sedayu pulang, aku akan berbicara.”

“Dalam hal ini, justru Nyi Lurah dapat minta bantuan Ki Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian maka Ki Lurah akan dapat kita libatkan dalam usaha kita mengembangkan perguruan kita,” berkata Ki Saba Lintang. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku tahu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tentu sangat sibuk dengan tugasnya. Karena itu, sebaiknya kita tidak mengganggu tugasnya. Kita tidak perlu membuat Ki Lurah menjadi bertambah sibuk.”

“Maksud Ki Saba Lintang?”

“Sebagai seorang istri yang tahu benar kesibukan suaminya, maka justru untuk membantu agar suami Nyi Lurah tidak terganggu, baik waktunya maupun pikirannya. Nyi Lurah dapat saja melakukannya sendiri. Maksudku tidak usah mengganggu Ki Lurah Agung Sedayu. Aku tahu bahwa Nyi Lurah bukan seorang istri yang manja sehingga tidak dapat berdiri sendiri.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, justru Rara Wulan-lah yang menjadi sangat tegang menghadapi sikap orang itu. Seandainya ia tidak merasa segan kepada Sekar Mirah, maka ia tentu sudah menjawabnya.

Sementara itu, Sekar Mirah pun nampak menjadi ragu-ragu. Setelah merenung sejenak, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Aku akan memikirkannya, Ki Saba Lintang.”

Ki Saba Lintang tersenyum. Katanya, “Sejak semula aku yakin bahwa Nyi Lurah tidak akan menolak tugas yang seharusnya memang wajib kita pikul bersama. Sehingga tongkat yang ada di tangan kita tidak sekedar menunjukkan hak kita sebagai pewaris utama dari perguruan kita, tetapi juga dapat kita buktikan bahwa kita juga pengemban utama dari kewajiban terberat dari perguruan kita itu.”

Sekar Mirah tidak segera menyahut. Di wajahnya nampak keragu-raguan yang bergejolak di dalam dadanya

Namun Sekar Mirah pun kemudian telah mempersilakan tamunya untuk meneguk minuman yang telah dihidangkan.

Beberapa saat kemudian, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung itu pun telah minta diri. Sambil mengangguk hormat Ki Saba Lintang itu pun berkata, “Lain kali kami akan datang lagi, Nyi Lurah. Tetapi sekali lagi, kami tidak ingin mengganggu tugas serta kesibukan Ki Lurah Agung Sedayu.”

Sekar Mirah pun kemudian mengantar tamunya sampai ke regol halaman bersama Rara Wulan. Mereka memandangi kedua orang itu berjalan menjauh dengan dahi yang berkerut.

Rara Wulan yang menahan diri selama ikut menemui kedua orang itu pun kemudian bertanya, “Mbakayu, apa maksud mereka sebenarnya menemui Mbokayu?”

“Bukankah kau dengar sendiri, apa yang mereka inginkan?” jawab Sekar Mirah.

“Tetapi rasa-rasanya ada yang aneh.”

“Aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku justru merasa kurang senang bahwa Ki Saba Lintang mengatakan tidak ingin mengganggu kesibukan Kakang Agung Sedayu. Mungkin aku hanya sekedar berprasangka. Tetapi rasa-rasanya ada niatnya untuk menyeret aku dalam kerja di luar pengetahuan Kakang Agung Sedayu.”

“Aku juga merasakan demikian. Itulah sebabnya aku menganggap orang itu agak aneh.”

“Ya. Agaknya memang ada yang disembunyikannya.”

“Mungkin mereka sengaja datang di saat seperti itu. Saat Kakang Agung Sedayu tidak ada. Atau bahkan orang itu tahu bahwa Kakang Glagah Putih dan Ki Jayaraga juga tidak ada.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Untung aku mengajakmu menemuinya, sehingga kau ikut mendengar pembicaraan ini. Agaknya penerimaan kita terhadap sikap orang itu bersamaan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Nyi Lurah Agung Sedayu pun berkata, “Kita menunggu Kakang Agung Sedayu.”

Meskipun kemudian keduanya telah kembali pada kerja mereka masing-masing, tetapi keduanya masih merenungi sikap dan kata-kata kedua orang tamu itu. Terutama Ki Saba Lintang. Sekar Mirah juga mencoba untuk menelusuri kemungkinan, dari manakah Ki Saba Lintang itu mendapatkan tongkat yang menurut penilikan Sekar Mirah sepintas, memang tongkat asli sebagaimana tongkatnya.

“Ada banyak cara untuk memiliki tongkat itu,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. Bahkan kemudian ia pun berkata kepada diri sendiri, “Bahkan mungkin tongkat itu memang lebih dari dua buah.”

Tetapi sikapnya kemudian akan ditentukan setelah berbicara dengan Agung Sedayu.

Namun Sekar Mirah pun telah berpesan kepada Rara Wulan agar tidak mengatakan kepada siapa pun sebelum ia bertemu dengan Agung Sedayu.

“Jangan beri tahukan Glagah Putih. Biarlah ia ikut mendengar bersama Kakang Agung Sedayu sore nanti,” pesan Sekar Mirah.

Sebenarnyalah Rara Wulan tidak mengatakannya kepada Glagah Putih, ketika Glagah Putih pulang dari banjar.

Baru di sore hari, setelah Agung Sedayu beristirahat, mandi dan duduk di serambi, Sekar Mirah yang duduk bersamanya berkata, “Kakang, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Nampaknya Sekar Mirah bersungguh-sungguh. Karena itu, Agung Sedayu pun bertanya, “Apa ada persoalan yang penting yang harus segera kita tanggapi?”

“Ya, Kakang. Sebaiknya kita berbicara dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.”

Dahi Agung Sedayu berkerut. Wajahnya pun menjadi bersungguh-sungguh.

“Ada apa dengan Glagah Putih dan Rara Wulan?”

Pertanyaan itu mengejutkan Sekar Mirah. Ia segera menyadari arah tanggapan Agung Sedayu. Karena itu dengan serta-merta ia pun menyahut, “Bukan persoalan Glagah Putih dan Rara Wulan. Tetapi aku ingin keduanya ikut mendengarkan persoalan yang ingin aku sampaikan kepada Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku sudah menjadi berdebar-debar. Sebenarnyalah kita harus semakin memperhatikan mereka. Bagaimanapun juga kita menyadari bahwa keduanya telah dewasa sepenuhnya. Meskipun aku percaya kepada keduanya, bahwa keduanya mempunyai ketahanan jiwani yang teguh, tetapi semakin lama semakin terasa betapa keduanya menuntut segera adanya penyelesaian yang tuntas.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian ia tidak mau mengecewakan Agung Sedayu. Karena itu, maka katanya, “Ya, Kakang. Kita harus menyisihkan waktu untuk berbicara tentang mereka berdua.”

“Aku akan berbicara dengan Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah itu sudah menjadi semakin tua. Tetapi untungnya Ki Lurah tidak menjadi pikun. Kesadarannya masih tetap segar. Bahkan tubuhnya pun masih nampak sehat dan tegar.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Kakang. Selain itu, masih ada satu hal yang ingin aku bicarakan. Meskipun tidak menyangkut langsung Glagah Putih dan Rara Wulan, aku minta Kakang mengijinkan mereka ikut mendengarkan.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata, “Sekar Mirah, aku belum mengetahui persoalan apa yang ingin kau katakan. Tetapi jika kau menganggap bahwa sebaiknya keduanya ikut mendengarnya, maka sudah tentu aku tidak akan berkeberatan.”

“Baiklah Kakang. Aku akan memanggil keduanya.”

Sejenak kemudian, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah duduk bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi mereka telah berpindah tempat. Mereka berempat pun kemudian duduk di ruang dalam.

Sekar Mirah pun kemudian menceritakan tentang kedua orang tamu yang datang menemuinya sambil membawa tongkat baja putih, sebagaimana dimiliki oleh Sekar Mirah.

Agung Sedayu mendengarkan cerita Sekar Mirah itu dengan seksama. Demikian pula Glagah Putih.

“Pada suatu saat, mereka akan datang lagi Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah kau dapat mengenali, apakah tongkat yang dibawanya itu bukan sekedar tongkat yang dibuat mirip dengan tongkatmu?”

“Menurut penglihatanku sekilas, tongkat itu memang tongkat asli, Kakang. Meskipun demikian, mungkin saja aku telah dikelabuinya. Bahkan seandainya tongkat itu asli, namun cara untuk memiliki tongkat itu pun dapat dilakukan dengan banyak cara,” jawab Sekar Mirah.

Glagah Putih yang sangat tertarik kepada cerita Sekar Mirah itu pun bertanya, “Apakah yang mereka kehendaki dari Mbokayu Sekar Mirah, yang juga memiliki tongkat seperti itu? Mendirikan sebuah perguruan? Orang bernama Saba Lintang dan Mbokayu Sekar Mirah bersama-sama memimpin perguruan itu?”

“Sudah aku katakan, segalanya akan direncanakan lebih dahulu. Orang itu akan datang lagi kemari. Agaknya ia akan mengajak menyusun rencana itu.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “sebaiknya kau tidak menolaknya. Kita masih belum tahu apakah maksudnya itu baik atau tidak. Jika maksudnya memang baik, sudah tentu kau dapat membantunya. Tentu saja dengan keterbatasanmu sebagai seorang yang sudah berkeluarga. Bahkan aku akan dapat membantumu, menurut kemampuanku dan keterbatasan waktuku.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Namun ia pun kemudian berkata, “Ada sesuatu yang mengganggu perasaanku. Ki Saba Langit selalu mengatakan kepadaku agar aku tidak mengganggu Kakang Agung Sedayu. Ki Saba Langit seakan-akan berusaha untuk memisahkan persoalan ini dengan kedudukanku sebagai seorang istri. Itulah yang membuat perasaanku kurang mapan.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata, “Aku mengerti keragu-raguanmu. Tetapi justru untuk mengetahui maksudnya, kau jangan tergesa-gesa menghindari orang itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sementara dengan serta-merta Rara Wulan berkata, “Bagus. Mbokayu dapat berpura-pura.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak sepenuhnya berpura-pura. Kalau maksudnya ternyata baik, maka maksud itu dapat di tanggapi dengan baik pula. Meskipun demikian, kita harus yakin, bahwa kebaikan itu tidak sekedar di permukaan.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi nampaknya ia masih tetap ragu-ragu. Karena itu, maka katanya, “Tetapi aku minta Glagah Putih dan Rara Wulan untuk membantuku di saat-saat Kakang Agung Sedayu tidak berada di rumah. Bukan karena aku takut kepada orang itu. Meskipun ia memiliki tongkat yang pada dasarnya lebih tua, setidak-tidaknya demikianlah anggapan orang-orang yang berkiblat pada perguruan ini. Tetapi mungkin aku akan mengambil langkah yang salah.”

“Baik Mbokayu. Aku akan berusaha untuk ikut mengawasi orang itu. Jika orang itu bertindak di luar kewajaran, maka aku tidak akan membiarkannya.”

“Terima kasih,” berkata Sekar Mirah, “pada pertemuan pertama aku sudah merasa bahwa sikap orang itu tidak wajar.”

“Kau masih mempunyai waktu untuk mengamati lebih dalam lagi,” berkata Agung Sedayu selanjutnya.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun bagaimanapun juga Sekar Mirah harus sangat berhati-hati menghadapi orang itu.

Justru karena sikap itu, maka Sekar Mirah pun telah menjadi semakin sering berada di sanggarnya. Malam itu juga Sekar Mirah dengan mengenakan pakaian khususnya telah pergi ke sanggar.

Agung Sedayu tidak membiarkan istrinya berlatih sendiri. Karena itu, Agung Sedayu pun telah berada di dalam sanggar itu pula.

“Bagaimanapun juga aku harus mempersiapkan diriku,” berkata Sekar Mirah, “jika hal yang tidak dikehendaki itu terjadi, maka aku sudah siap menghadapinya.”

“Kau terlalu berprasangka, Mirah,” sahut Agung Sedayu.

“Mungkin, Kakang. Tetapi apa salahnya untuk berhati-hati.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bagus. Setidak-tidaknya kehadiran orang itu telah mendorongmu untuk berlatih lebih banyak dari sebelumnya.”

“Selama ini aku lebih banyak berada di sanggar untuk kepentingan Rara Wulan, daripada kepentinganku sendiri.”

“Tetapi bagaimanapun juga, ilmumu sudah jauh lebih maju. Kau sudah merambah pada puncak ilmumu sehingga apa yang dapat dilakukan Ki Sumangkar sudah hampir kau kuasai seluruhnya.”

“Kakang ingin menyenangkan hatiku.”

“Aku mempunyai cara lain untuk menyenangkan hatimu. Cara yang wajar, yang tidak usah harus menimbulkan kesan yang salah. Bukankah selama ini aku selalu berkata jujur kepadamu jika kita berada di sanggar?”

“Ya, Kakang,” suara Sekar Mirah menurun.

“Nah, kita akan mulai.”

Sekar Mirah pun segera bersiap, mumpung masih belum terlalu malam. Sementara itu Agung Sedayu pun telah bersiap pula. Ia akan menjadi kawan berlatih bagi Sekar Mirah, sekaligus membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan ilmunya.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah mulai berlatih. Agung Sedayu yang memiliki ilmu lebih tinggi dari Sekar Mirah, lebih banyak melayani. Tetapi sekali-sekali Agung Sedayu juga mengejutkan Sekar Mirah dengan serangan-serangannya yang tiba-tiba. Tetapi sebagian besar serangan Agung Sedayu justru untuk melatih kecepatan berpikir dan bertindak bagi Sekar Mirah menghadapi pendadakan.

Dengan demikian, maka ilmu Sekar Mirah menjadi semakin terbuka. Perkembangan ilmu Sekar Mirah memang menjadi bukan saja semakin meningkat, tetapi juga menjadi semakin melebar. Unsur-unsur geraknya menjadi semakin mantap dan landasan geraknya pun menjadi semakin mapan.

Semakin lama keduanya pun bergerak semakin cepat. Tenaga dalam mereka pun mulai terangkat ke permukaan, sehingga dengan demikian tenaga mereka menjadi semakin besar. Setiap gerak tubuh mereka telah menggetarkan udara di sekitarnya, sehingga udara itu pun telah mengalir pula sepanjang garis serangannya.

Sambil mengimbangi serangan-serangan Sekar Mirah, Agung Sedayu memperhatikan tataran kemampuan Sekar Mirah. Beberapa bulan terakhir, Sekar Mirah benar-benar telah memasuki tataran tertinggi dari landasan ilmu yang pernah disadapnya.

Beberapa saat kemudian, Sekar Mirah telah sampai ke puncak kemampuannya. Serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya. Agung Sedayu yang memiliki ilmu lebih tinggi dari istrinya itu pun harus berhati-hati, karena sentuhan serangan Sekar Mirah benar-benar akan dapat menyakitinya jika Agung Sedayu tidak mengenakan lapisan ilmu kebalnya

Tetapi Agung Sedayu memang sengaja tidak mempergunakannya. Ia ingin tahu, sejauh mana kekuatan Sekar Mirah yang didukung dengan tenaga dalamnya itu mampu menggetarkan pertahanan lawannya.

Ternyata Sekar Mirah memang sudah sampai ke puncak. Serangan-serangannya menjadi sangat berbahaya. Ketika serangan Sekar Mirah itu sempat menyentuh pundak Agung Sedayu, maka pundak itu benar-benar terasa menjadi nyeri.

Namun demikian, sekali-sekali Agung Sedayu juga mengenainya. Sekar Mirah harus siap dengan ketahanan tubuhnya, sehingga serangan lawan yang sempat mengenainya tidak dengan serta-merta menghentikan perlawanannya.

Ternyata Sekar Mirah benar-benar seorang perempuan yang luar biasa. Tataran ilmunya sudah benar-benar berada pada tataran yang tinggi.

Tetapi sebenarnyalah bahwa ilmu Sekar Mirah sudah tidak murni lagi. Pengaruh ilmu dari jalur Perguruan Orang Bercambuk serta Perguruan Ki Sadewa nampak mewarnai ilmu Sekar Mirah. Namun semua itu nampak luluh menyatu, sehingga tidak terasa saling menghambat. Bahkan sebaliknya, keragaman unsur-unsur gerak yang dikuasai Sekar Mirah telah membuat ilmunya menjadi semakin matang.

Sebagaimana Agung Sedayu sendiri, Sekar Mirah juga tidak membatasi diri pada bingkai ilmu yang sempit. Tetapi ilmu dari jalur perguruan yang manapun, jika watak dan sifatnya sesuai, akan dapat menjadi bahan untuk menyempurnakan ilmunya.

Agung Sedayu tidak menganggap bahwa cara itu menunjukkan ketidaksetiaannya kepada perguruan yang dianutnya, tetapi Kiai Gringsing sendiri pernah berkata, “Jangan berpandangan sempit. Setiap orang berhak meningkatkan ilmunya dengan cara yang paling sesuai dengan orang itu sendiri. Jika tidak demikian, maka ilmu kanuragan akan sampai ke batas dan tidak akan dapat berkembang lagi. Menerapkan unsur-unsur dari jalur perguruan lain bukan merupakan pertanda ketidaksetiaan. Tetapi justru akan dapat mengembangkan ilmu itu sendiri. Tentu saja dengan sangat berhati-hati, agar tidak terjadi benturan di dalam diri. Lebih dari itu, dalam watak dan sifat ilmunya, serta tujuan dari sebuah perguruan, sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya dalam ruang lingkup kehidupan di antara sesama.”

Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah mengembangkan dan menyempurnakan ilmunya.

Sedikit lewat tengah malam, Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah menghentikan latihan mereka. Pakaian Sekar Mirah telah menjadi basah oleh keringat.

“Aku kira cukup untuk malam ini, Mirah. Besok kita dapat berlatih lagi.”

Sekar Mirah mengangguk. Namun beberapa saat ia masih duduk bersila dengan kedua belah tangannya diletakkan di lututnya, setelah beberapa kali ia berjalan mengelilingi sanggarnya,

Baru kemudian setelah segala sesuatunya berjalan wajar, Sekar Mirah itu pun bangkit berdiri dan melangkah keluar sanggarnya bersama Agung Sedayu.

“Kau sama sekali tidak berkeringat, Kakang,” desis Sekar Mirah.

“Ah, raba bajuku yang basah ini,” sahut Agung Sedayu.

“Tetapi bagi Kakang, latihan ini tidak lebih banyak mengeluarkan tenaga dari mengisi jambangan di pakiwan.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Tetapi anggapan itu baik bagimu Sekar Mirah. Itu berarti bahwa kau masih belum puas dengan tataran kemampuan yang kau capai.”

“Tetapi bukankah itu berarti bahwa segala-galanya bergerak dengan sangat lamban? Sampai umurku sejauh ini, ilmuku masih saja berkisar di antara menyapu halaman dan mengisi jambangan pakiwan.”

“Kau memandangnya dari sisi yang buram, Mirah. Sebaiknya kau memandangnya dari sisi yang lain. Sudah aku katakan, bahwa kau sudah mewarisi semua yang ditinggalkan oleh Ki Sumangkar. Bahkan jika kau percaya, kau memiliki beberapa kelebihan.”

“Tetapi aku belum setingkat dengan Ki Sumangkar.”

“Ya. Aku tidak ingin memberikan kesan yang salah. Kau masih harus meningkatkan tenaga dalammu. Penguasaanmu terhadap pengaruh keadaan di seputarmu. Getar timbal balik antara tenaga dalam yang mendukung kemampuanmu dengan tenaga yang melandasinya.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Jika kau ingin menukik lebih dalam lagi, maka kau harus menjalani laku khusus sebagaimana pernah aku jalani. Tetapi kau dapat menempuh jalan lain, karena laku yang aku jalani itu sebenarnya tidak lebih dari mempercepat runutan perkembangannya.”

Sekar Mirah memandang wajah suaminya sejenak, sehingga langkah mereka terhenti. Dengan nada tinggi Sekar Mirah bertanya, “Jadi maksud Kakang, peningkatan ilmu itu dapat dicapai tanpa menjalani laku sebagaimana Kakang jalani?”

“Bukan begitu maksudku, Mirah. Laku itu harus tetap di jalani. Tetapi dengan cara yang lain.”

“Cara lain yang mana yang Kakang maksudkan?”

“Tidak seberat cara yang pernah aku jalani. Tetapi memerlukan waktu yang lebih panjang dan bertahap.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya Katanya, “Apakah Kakang sependapat jika aku menjalani laku itu?”

“Aku tidak berkeberatan Sekar Mirah. Jika aku harus menjalani laku beberapa kali dalam waktu yang singkat, maka kau akan dapat menjalaninya untuk waktu yang lebih panjang. Tidak dalam waktu tiga hari tiga malam pati geni, tetapi kau dapat menempuhnya dalam waktu selapan atau lebih.”

“Jika demikian, besok aku akan mulai.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau tidak dapat dengan tergesa-gesa mulai menjalani laku itu Sekar Mirah. Tetapi kau harus membuat persiapan-persiapan lebih dahulu. Persiapan-persiapan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan bagian dari laku yang harus kau jalani.”

“Maksud Kakang?”

“Kau harus mempersiapkan diri, sehingga kau berada dalam satu keadaan yang siap untuk mulai menjalani laku itu.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu pun merupakan laku yang harus aku jalani. Mungkin laku pendahuluan atau laku awal.”

Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Sebut saja laku awal. Tetapi cara ini bagimu lebih baik dari cara yang pernah aku tempuh. Bukan maksudku kau tidak memiliki ketahanan untuk menjalani laku seperti yang aku jalani. Tetapi laku itu akan mengurungmu selama tiga hari tiga malam. Kemudian untuk beberapa hari kau harus memulihkan kewajaran wadagmu. Nah, dalam waktu yang sekian lama itu, maka aku akan menjadi kesepian.”

“Ah, kau ini ada-ada saja Kakang. Jika baru kemarin sore kita menikah, perasaan sepi itu terasa wajar. Tetapi kita sudah menikah bertahun-tahun.”

Agung Sedayu justru tertawa berkepanjangan. Katanya, “Justru kita sudah menikah bertahun-tahun.”

“Kau ini Kakang,” desis Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, “Aku akan menurut mana yang terbaik menurut Kakang.”

Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sekarang kita akan mandi. Kau sajalah yang mandi lebih dahulu.”

“Keringatku masih belum kering Kakang.”

“Aku akan mengisi jambangannya dahulu.”

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun kemudian duduk di undakan pintu butulan rumahnya sambil menunggu keringatnya kering.

Setelah keduanya mandi, serta duduk beristirahat sejenak sambil minum, barulah keduanya pergi ke dalam bilik mereka.

Di hari berikutnya, Sekar Mirah benar-benar mulai mempersiapkan dirinya untuk memasuki suatu keadaan yang siap untuk mulai menjalani laku. Dengan petunjuk Agung Sedayu, Sekar Mirah mulai mengatur kebiasaannya. Latihan-latihan kewadagan yang harus di jalani pada saat-saat tertentu. Jenis makanan yang harus dimakan, tetapi yang juga tidak boleh dimakan. Saat-saat untuk mengheningkan nalar dan budinya, serta penelusuran jalur kehidupannya menjelang masa-masa yang akan dijalaninya. Menambatkan diri kepada satu kesadaran dari keberadaannya dalam hubungannya dengan Maha Penciptanya. Mempelajari dan mengenali lingkungan serta watak dan tabiatnya.

Meskipun demikian, Sekar Mirah tidak meninggalkan tugasnya sehari-hari. Sekar Mirah masih tetap bangun pagi-pagi, meskipun berada di sanggar sampai lewat tengah malam. Ia harus menyediakan minuman dan makan pagi bagi suaminya. Sekar Mirah pun kemudian masih harus bekerja di dapur sepeninggal Agung Sedayu. Belanja ke pasar, dan membersihkan perabot rumahnya bersama Rara Wulan. Namun karena Rara Wulan mengetahui bahwa Sekar Mirah menjadi semakin sering berada di sanggar, maka Rara Wulan berusaha untuk dapat membantu lebih banyak pula. Rara Wulan tidak menuntut terlalu banyak kepada Sekar Mirah untuk meningkatkan ilmu gadis itu dengan latihan-latihan yang panjang.

Demikianlah, maka kehadiran dua orang yang mengaku sebagai saudara yang mewarisi ilmu dari jalur yang sama itu, justru telah mendorong Sekar Mirah untuk berlatih semakin banyak. Bahkan mulai menjalani laku awal untuk mencapai tataran tertinggi dari ilmunya.

Sebenarnyalah bahwa sambil menjalani laku awal, Sekar Mirah menunggu kehadiran orang yang mengaku saudara seperguruannya itu. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, ia harus mengetahui dengan pasti maksud yang sebenarnya dari kedua orang itu.

Tetapi kedua orang itu tidak segera datang. Namun hal itu justru yang diharapkan oleh Sekar Mirah. Ia berharap bahwa orang itu akan datang lagi setelah ia selesai menjalani laku.

Tetapi ternyata orang itu datang lebih cepat dari yang diharapkan oleh Sekar Mirah. Belum lagi sebulan, kedua orang itu telah datang lagi. Pada saat rumah itu kosong, karena Glagah Putih pergi ke banjar dan Rara Wulan pergi berbelanja.

Setelah keduanya duduk di pringgitan, maka Ki Saba Lintang pun berkata, “Aku hanya sebentar Nyi Lurah. Aku hanya ingin tahu, apakah persoalan yang kami sampaikan beberapa waktu yang lalu sudah Nyi Lurah renungkan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudah, Ki Saba Lintang. Aku juga sudah menyampaikannya kepada Kakang Agung Sedayu.”

Ki Saba Lintang mengerutkan dahinya. Nampak pada sinar matanya gejolak di hatinya. Namun Ki Saba Lintang itu kemudian berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Bahkan Ki Saba Lintang itu pun tersenyum sambil berkata, “Nyi Lurah memang seorang istri yang baik. Tetapi seharusnya Nyi Lurah tanggap akan keadaan suaminya. Sudah aku katakan, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tentu terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya, sehingga jika hal itu Nyi Lurah sampaikan, mungkin akan justru dapat mengganggu perasaannya”

“Kakang Agung Sedayu nampaknya tidak merasa terganggu. Tetapi Kakang Agung Sedayu tidak dapat menanggapinya dengan sikap yang pasti.”

“Baiklah Nyi Lurah, jika Nyi Lurah sudah terlanjur menyampaikannya. Tetapi untuk selanjutnya kita akan dapat bekerja sendiri.”

“Apa sebenarnya yang akan kita kerjakan?”

“Sudah aku katakan, bahwa kita akan membicarakannya.”

“Baiklah. Marilah sekarang kita bicarakan,” jawab Sekar Mirah.

Tetapi Ki Saba Lintang itu tertawa Katanya, “Tidak begitu tiba-tiba, Nyi Lurah.”

“Jadi bagaimana menurut rencana Ki Saba Lintang?” bertanya Sekar Mirah kemudian.

“Jika kita ingin berbicara tentang satu rencana yang besar, maka kita harus membuat persiapan-persiapan yang matang.”

“Maksud Ki Saba Lintang?”

“Kita harus menentukan, di mana pembicaraan itu dilakukan. Kita harus menentukan siapa yang akan hadir dalam pertemuan itu, dan kita harus menentukan waktunya. Dengan demikian, maka pembicaraan kita akan menghasilkan keputusan yang berarti.”

“Jadi maksud Ki Saba Lintang, kita sekarang akan membicarakan rencana pertemuan itu?”

Ki Saba Lintang mengangguk sambil menjawab, “Ya, Nyi Lurah. Kita akan menentukan, di mana pertemuan itu diadakan.”

“Aku dapat menyediakan tempat bagi pertemuan itu,” berkata Sekar Mirah.

“Di mana?” bertanya Ki Saba Lintang.

“Ki Gede Menoreh tentu tidak akan berkeberatan jika aku meminjam banjar padukuhan ini. Di banjar itu segala keperluan telah tersedia. Selain pendapa yang luas, pringgitan dan ruang dalam, di belakang terdapat serambi yang dapat dipergunakan untuk bermalam beberapa orang yang ikut dalam pembicaraan itu. Ada dapur dan ada pakiwan. Sumur yang airnya tidak pernah susut di segala musim.”

Ki Saba Lintang tersenyum sambil menjawab, “Nyi Lurah. Pertemuan ini adalah pertemuan dari keluarga satu perguruan yang besar yang anggotanya telah tersebar. Karena itu, maka pertemuan itu harus diselenggarakan di tempat yang khusus.”

“Jadi?” bertanya Sekar Mirah.

“Pertemuan itu harus dapat berlangsung tanpa terganggu.”

“Lalu pertemuan semacam itu dapat dilakukan di mana menurut Ki Saba Lintang?”

“Kita harus memilih tempat terbaik, Nyi Lurah.”

“Tempat terbaik itu di mana?” desak Sekar Mirah.

“Beberapa orang terpenting dari perguruan kita berada di kaki Gunung Kendeng, Nyi Lurah.”

“Kaki Gunung Kendeng? Jadi pertemuan itu akan dilakukan di kaki Gunung Kendeng?”

“Salah satu di antara beberapa tempat yang dapat dipilih,” jawab Ki Saba Lintang.

“Selain di kaki Gunung Kendeng?”

“Jika tidak di kaki Gunung Kendeng, pertemuan itu dapat dilakukan di Anggebayan, di kaki Gunung Kukusan. Di sana ada satu dua orang saudara kita yang berpengaruh.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Selain kedua tempat itu?”

“Tidak jauh dari Anggebayan, di ujung Kali Geduwang.”

“Siapa yang tinggal di sana?”

“Seorang saudara kita tinggal di tempat itu.”

“Ki Saba Lintang. Jika ada satu orang saja tinggal di ujung Kaki Geduwang, lalu tempat itu dianggap baik untuk menyelenggarakan pertemuan itu, kenapa tidak di sini saja? Di sini ada aku. Aku tentu lebih berharga bagi perguruan ini daripada orang yang tinggal di ujung Kali Geduwang.”

“Orang itu terhitung salah seorang terpenting dari perguruan kita Nyi Lurah.”

“Jika demikian, apa artinya tongkat yang ada padaku? Menurut Ki Saba Lintang, justru karena aku memiliki tongkat itu, maka aku adalah salah satu dari orang terpenting dari perguruan kita. Sedangkan satu lagi tongkat itu ada pada Ki Saba Lintang.”

Wajah Ki Saba Lintang menegang sejenak. Sementara itu, Ki Welat Wulung pun berkata, “Orang yang tinggal di ujung Kali Geduwang itu adalah seorang yang akan dapat ikut menentukan masa depan perguruan kita. Jika pertemuan itu diselenggarakan dekat dengan tempat tinggalnya, maka ia akan tidak berkeberatan untuk datang.”

“Aku berkeberatan,” berkata Sekar Mirah, “aku minta pertemuan ini diselenggarakan di sini. Ingat, aku adalah orang terpenting dari perguruan ini di samping Ki Saba Lintang. Kalian tidak dapat menentukan lain. Jika aku dan Ki Saba Lintang tidak menemukan kesepakatan, maka aku tidak akan ikut campur.”

“Jangan begitu, Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita memang sedang melakukan penjajagan-penjajagan. Karena itu, kita akan dapat membicarakannya.”

“Jika Ki Saba Lintang mengakui bahwa aku, Sekar Mirah, salah seorang pewaris tongkat pertanda perguruan kita, maka Ki Saba Lintang harus mengakui bahwa kedudukanku lebih penting dari orang yang tinggal di ujung Kali Geduwang itu. Aku juga mempunyai kedudukan lebih penting dari orang yang tinggal di kaki Gunung Kemukus, atau yang tinggal di kaki Gunung Kendeng.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mohon Nyi Lurah merenungkannya. Segala sesuatunya itu kita lakukan untuk kepentingan perguruan kita. Semakin kuat dukungan saudara-saudara kita, maka kedudukan kita akan menjadi semakin kuat pula.”

Tetapi Sekar Mirah menggelengkan kepala. Katanya, “Aku tetap pada pendirianku, Ki Saba Lintang. Jika Ki Saba Lintang ingin aku hadir dalam pertemuan itu, maka pertemuan itu akan diselenggarakan di kaki Pegunungan Menoreh.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Ki Welat Wulung bergeser setapak. Tetapi Ki Saba Lintang menggamitnya.

“Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “kita memang belum menetapkan di mana kita akan bertemu dan berbicara. Kita juga belum menentukan kapan pertemuan itu diadakan, serta siapa saja yang akan kita undang. Karena itu, masih ada waktu bagi Nyi Lurah untuk merenung sekali lagi. Namun agaknya kita sudah melangkah maju. Nyi Lurah sudah menyatakan kesediaan Nyi Lurah untuk bertemu dan berbicara. Namun satu hal yang ingin aku sampaikan kepada Nyi Lurah, bahwa di manapun nanti kita bertemu untuk berbicara, maka yang akan hadir dalam pertemuan itu adalah hanya saudara-saudara kita. Aku kira perguruan manapun juga akan mempunyai ketentuan yang sama, bahwa hanya saudara-saudara seperguruan sajalah yang akan hadir untuk berbicara dalam pertemuan yang penting.”

“Aku mengerti, Ki Saba Lintang,” jawab Sekar Mirah, “namun Ki Saba Lintang pun aku harap dapat mengerti. Sebagai seorang istri, aku tidak akan dapat dengan leluasa pergi ke tempat yang jauh seorang diri.”

“Segala sesuatunya juga akan tergantung kepada suami Nyi Lurah. Menurut pendapatku, Ki Lurah Agung Sedayu juga seorang yang berilmu tinggi. Ia tentu akan menghargai perguruan istrinya, sehingga ia tidak akan berkeberatan untuk mengijinkan Nyi Lurah melakukan kegiatan bagi perguruan Nyi Lurah.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Seandainya Kakang Agung Sedayu tidak berkeberatan, maka agaknya akulah yang berkeberatan untuk meninggalkan keluargaku untuk menempuh perjalanan jauh dan panjang sendiri. Kecuali jika aku masih seorang gadis. Aku tidak merasa terikat oleh apapun juga.”

Ki Saba Lintang tertawa pendek. Katanya, “Nyi Lurah ternyata seorang istri yang dimanjakan oleh suaminya”

“Aku tidak ingkar. Aku memang seorang istri yang manja. Dan aku justru merasa bersyukur bahwa suamiku telah memanjakan aku,” jawab Sekar Mirah.

“Biarlah Nyi,” berkata Ki Saba Lintang, “namun kita sudah selangkah maju. Lain kali aku akan datang menemui Nyi Lurah lagi. Kami berharap bahwa kami akan mendapat kemajuan setapak lagi dan setapak lagi.”

“Mudah-mudahan,” berkata Sekar Mirah, “sementara itu, aku akan mulai menyiapkan tempat di kaki Pegunungan Menoreh ini.”

Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Welat Wulung itu pun berkata, “Sebenarnya Nyi Lurah mempunyai banyak kesempatan. Mumpung Nyi Lurah masih belum mempunyai momongan.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun pandangan matanya menjadi semakin tajam, seakan-akan menembus langsung ke jantung

“Ki Welat Wulung,” dengan suara parau Nyi Lurah itu pun berkata lantang, “untuk apa kau sebut-sebut itu? Aku sampai sekarang memang belum mempunyai momongan. Tetapi buat apa kau menyindirku? Jika kau ingin mengatakan bahwa aku atau suamiku mandul, kenapa kau tidak menyatakannya berterus terang? Tetapi aku masih tetap berpengharapan, bahwa Yang Maha Agung akan memberi aku momongan. Bahkan seandainya tidak pun, Ki Welat Wulung tidak berhak menyinggung dengan cara yang kasar itu.”

Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung terkejut. Mereka tidak mengira bahwa perkataan Ki Welat Wulung itu telah membuat Sekar Mirah menjadi marah.

Dengan cepat Ki Saba Lintang pun berkata, “Maaf Nyi Lurah. Bukan maksud kami untuk menyinggung perasaan Nyi Lurah. Kami hanya ingin menekankan, bahwa kemungkinan Nyi Lurah untuk hadir dalam pertemuan itu sangat besar. Hal ini didorong oleh satu harapan bahwa Nyi Lurah benar-benar akan hadir.”

“Sudah aku katakan bahwa aku akan hadir jika pertemuan itu diselenggarakan di sini. Aku tidak akan mengubah sikapku. Terserah kepada kalian, apakah kalian bersedia atau tidak”

“Kami akan mempertimbangkan, Nyi Lurah. Tetapi sasaran yang ingin kami gapai adalah berlangsungnya pertemuan itu. Karena itu, kami akan berusaha untuk mengatasi segala macam persoalan yang timbul, yang dapat menghambat pertemuan itu.”

“Baiklah,” berkata Sekar Mirah, “aku menunggu kesediaan kalian. Barangkali juga beberapa orang lain yang dianggap penting untuk hadir.”

Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Nyi Lurah. Agaknya kami sudah terlalu lama mengganggu Nyi Lurah. Karena itu, maka kami akan mohon diri.”

“Ki Saba Lintang, pada kesempatan lain aku harap Ki Saba Lintang datang di sore hari. Dengan demikian Ki Saba Lintang akan dapat bertemu dan berbicara dengan suamiku.”

“Baik, baik, Nyi Lurah, besok pada kesempatan lain aku akan berusaha untuk dapat bertemu dan berbicara dengan Ki Lurah. Agaknya akan merupakan satu kehormatan bagiku untuk dapat berbincang dengan pewaris utama dari Perguruan Orang Bercambuk.”

“Aku akan mengatakannya kepada Kakang Agung Sedayu. Kakang Agung Sedayu tentu akan dengan senang hati menerima kalian.”

Demikianlah, kedua orang itu pun telah minta diri. Sekar Mirah mengantar mereka sampai ke regol halaman. Bagaimanapun juga, Sekar Mirah harus berhati-hati, apalagi tidak ada orang lain di rumah itu.

Namun kedua orang itu tidak berbuat apa-apa. Keduanya meninggalkan regol halaman.

Untuk beberapa lama Sekar Mirah masih berdiri di regol halaman rumahnya Diamatinya jalan yang membujur lewat di depan rumahnya itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian.

Sementara itu kedua orang tamunya berjalan semakin lama semakin jauh.

Sekar Mirah itu pun menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian melangkah ke pendapa, ia melihat Sukra berdiri di pintu seketheng.

Sekar Mirah tersenyum memandang anak itu.

“Kau mencari aku?” bertanya Sekar Mirah.

Sukra tidak menjawab. Tetapi ia justru bertanya, “Mereka sudah pulang?”

“Kedua tamu itu maksudmu?”

Sukra mengangguk.

“Ya. Jika kau sejak tadi berada di situ, bukankah kau melihat aku mengantarkan sampai ke regol?”

“Mereka tidak berbuat apa-apa?”

“Maksudmu?”

“Nyi Lurah hanya sendiri di rumah. Jika keduanya orang yang berniat kurang baik, mereka dapat berpura-pura menjadi tamu, sementara mereka tahu bahwa yang tinggal di rumah hanya Nyi Lurah sendiri.”

Sekar Mirah tertawa pendek. Ternyata anak itu cukup berhati-hati. Sambil mendekati anak itu, Sekar Mirah berkata, “Jika keduanya berbuat tidak sewajarnya, maka sudah tentu kau akan membantu aku.”

“Tidak Nyi Lurah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa jika keduanya orang berilmu. Tetapi aku tentu dapat memukul kentongan di longkangan itu.”

Sekar Mirah benar-benar tertawa. Sambil menepuk bahu anak itu Sekar Mirah berkata, “Kau anak baik, Sukra. Kau akan menjadi orang yang baik pula kelak.”

Sukra justru menundukkan kepalanya. Sementara Sekar Mirah tidak jadi naik ke pendapa. Tetapi ia masuk ke dalam lewat longkangan.

Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan datang sambil menjinjing keranjang. Gadis itu langsung pergi ke dapur, sementara Sekar Mirah berada di ruang dalam.

Sukra yang sedang mengisi jambangan itu pun kemudian bercerita bahwa ada dua orang tamu datang menemui Sekar Mirah.

“Mereka sudah pergi?” bertanya Rara Wulan,

“Ya. Mereka sudah pergi.”

“Di mana Mbokayu Sekar Mirah sekarang?”

“Di dalam.”

Rara Wulan pun kemudian dengan tergesa-gesa masuk ke ruang dalam. Sementara itu Sekar Mirah masih sibuk meneruskan kerjanya yang tertunda. Membersihkan perabot rumahnya yang dilekati debu.

“Apakah yang datang kemari Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung itu lagi, Mbokayu?” bertanya Rara Wulan.

Sekar Mirah mengangguk. Katanya, “Ya. Mereka berdua,”

“Bukankah mereka tidak mengganggu Mbokayu?”

Sekar Mirah tersenyum. Sambil menggeleng ia berkata, “Tidak. Seperti kedatangannya yang pertama, mereka menawarkan sebuah pertemuan.”

“Sebuah pertemuan? Kapan dan di mana?”

Sekar Mirah pun kemudian menceritakan pembicaraannya dengan kedua orang itu. Sekar Mirah pun menceritakan sikapnya pula.

“Aku sependapat. Jika pertemuan itu diselenggarakan di sini, Mbokayu tidak usah pergi jauh yang tentu memerlukan waktu berhari-hari. Kita belum tahu sifat dan watak orang-orang yang akan datang berkumpul itu. Jika mereka datang kemari, maka mereka akan dapat diawasi.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka masih akan datang lagi. Aku sudah minta agar mereka datang di saat Kakang Agung Sedayu ada di rumah.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun gadis itu kemudian akan kembali ke dapur.

“Aku membeli terong Mbokayu.”

“Bagus. Kakang Agung Sedayu senang lodeh terong. Tetapi Glagah Putih tidak begitu senang, meskipun ia tidak pernah menolak apa saja yang dihidangkan padanya.”

“Aku juga membeli kacang panjang buat Kakang Glagah Putih.”

“Ya. Ia senang kacang panjang. Tetapi Glagah Putih tentu akan mengatakan, kenapa tidak memetik sendiri di sawah. Ia menanam kacang panjang di pematang.”

“Tetapi buahnya masih terlalu muda untuk dipetik.”

“Ya. Memang masih terlalu muda. Kau sudah melihatnya?”

“Aku kemarin memetik daunnya,” jawab Rara Wulan.

“Oh, ya. Kemarin kau membuat urap lambayung.”

Demikianlah, maka Rara Wulan pun telah kembali ke dapur.

Sementara Sekar Mirah berkata, “Aku selesaikan kerjaku ini dahulu Wulan. Kedua orang itu datang terlalu pagi, sehingga mengganggu pekerjaanku.”

“Silakan Mbokayu,” jawab Rara Wulan sambil melangkah ke dapur.

Di sore hari, ketika Agung Sedayu duduk di serambi sambil menghirup minuman hangat, Sekar Mirah telah duduk pula bersamanya untuk menceritakan kedatangan kedua orang yang sebelumnya telah pernah datang pula ke rumah itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Sikapmu sudah benar, Mirah. Jika pertemuan itu diadakan di Tanah Perdikan ini, maka semua kegiatan orang-orang itu dapat diawasi.”

“Aku sama sekali tidak tertarik dengan pertemuan itu Kakang. Tetapi jika mereka memenuhi permintaanku untuk bertemu di sini, jika Kakang tidak berkeberatan, aku akan datang.”

“Aku setuju, Mirah. Meskipun kau harus berhati-hati.”

“Seandainya mereka setuju, maka aku pun akan menentukan waktu. Tentu sesudah aku selesai menjalani laku.”

“Ya,” desis Agung Sedayu, “kau sudah berada di separuh jalan. Laku awal telah hampir selesai kau jalani. Malam nanti kita akan melihat, apakah laku awal yang kau jalani sudah lengkap.”

Sekar Mirah mengangguk kecil.

Sementara itu, Glagah Putih pun telah duduk pula bersama mereka. Kepada Glagah Putih, Agung Sedayu berpesan, “Kau juga harus ikut menjaga ketenangan keluarga ini, Glagah Putih. Kita belum tahu pasti, apakah kedua orang itu berniat baik atau tidak. Jika mereka berniat kurang baik, maka jauh sebelum hal-hal yang tidak kita inginkan terjadi, kita harus berusaha mencegahnya.”

“Baik, Kakang,” jawab Glagah Putih.

Dalam pada itu, ketika senja mulai turun, Sekar Mirah pun segera mempersiapkan diri. Ia masih menjalani laku awal sebelum menjalani laku yang sebenarnya. Namun menurut pendapatnya tidak ada batas yang jelas antara laku awal dan laku yang sebenarnya itu.

Malam itu, Sekar Mirah dan Agung Sedayu sampai lewat tengah malam berada di dalam sanggarnya. Sekar Mirah telah mengerahkan segenap kemampuannya dalam olah kanuragan. Sekar Mirah pun telah menghentakkan kemampuannya mempergunakan senjatanya.

Agung Sedayu mengamati dengan seksama. Dengan jelas Agung Sedayu melihat betapa pengaruh ilmu dari perguruan lain mewarnai ilmu yang dimiliki oleh Sekar Mirah. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menyesalinya. Demikian pula Sekar Mirah. Unsur-unsur gerak Sekar Mirah justru nampak menjadi semakin kaya. Lubang-lubang kelemahan pada ilmu Sekar Mirah seakan-akan telah tersumbat oleh pengaruh yang menjadi mapan itu.

Sedikit lewat tengah malam, Sekar Mirah telah duduk di amben bambu di sudut sanggar. Sementara itu Agung Sedayu telah memberikan beberapa petunjuk bagi Sekar Mirah yang akan segera menjalani laku yang sebenarnya.

“Kau telah siap menjalani laku mulai besok lusa Mirah,” berkata Agung Sedayu.

“Kenapa besok lusa?”

“Besok kau dapat beristirahat. Lusa kau akan mulai. Tetapi seperti yang akan aku katakan, kau tidak akan menjalani laku sebagaimana aku jalani. Dalam menjalani laku, kau dapat melakukan kegiatanmu sehari-hari. Mencuci pakaian, pergi ke pasar, dan kesibukan di dapur. Tetapi sudah tentu bahwa waktumu tidak lagi selonggar sebelum kau menjalani laku. Pada saat-saat tertentu kau harus sudah berada di sanggar.”

Sekar Mirah mengangguk.

“Tetapi seperti yang aku katakan, kau memerlukan waktu sepuluh kali lipat dari waktu yang aku perlukan.”

“Sepuluh kali?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya. Jika dalam salah satu jenis laku yang aku jalani berlangsung tiga hari tiga malam, maka kau akan menjalani laku selama tiga puluh hari tiga puluh malam.”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Kenapa tidak yang tiga hari itu saja, Kakang?”

“Sudah aku katakan, laku itu sangat berat. Sementara kau akan benar-benar terbenam di dalam sanggar selama itu. Sedangkan laku yang aku tawarkan tidak demikian.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Ia sadar, bahwa agaknya masih ada alasan yang lain yang tidak disebutkan oleh Agung Sedayu. Mungkin Agung Sedayu memperhitungkan bahwa laku itu terlalu berat baginya. Tetapi Agung Sedayu tidak ingin menyinggung perasaannya.

Demikianlah, Sekar Mirah pun benar-benar telah mempersiapkan dirinya untuk memasuki satu masa yang sangat berat. Tetapi laku itu juga merupakan pertanda kesungguhan usahanya untuk mencapai satu tujuan. Hanya dengan laku yang berat ilmu itu akan dapat digapainya

Di hari berikutnya, Sekar Mirah benar-benar menikmati masa istirahatnya. Meskipun demikian, secara jiwani, Sekar Mirah tidak beristirahat. Ia justru telah mempersiapkan dirinya untuk memasuki satu masa yang sulit. Hanya dengan tekad yang membaja laku itu akan dapat dijalaninya sampai tuntas.

Hari pun rasa-rasanya berjalan dengan lambat. Sekar Mirah memang lebih banyak berada di sanggarnya daripada di luar sanggar. Sekar Mirah tidak lagi mempunyai waktu untuk membimbing Rata Wulan. Tetapi untuk mengisi waktu, Rara Wulan selalu berlatih dengan Glagah Putih.

Ternyata latihan-latihan itu pun banyak memberikan arti bagi kemajuan ilmu Rara Wulan. Wawasannya menjadi semakin luas. Kecepatannya menanggapi keadaan pun menjadi semakin tinggi. Selain itu latihan-latihan itu sendiri telah meningkatkan ketahanan tubuh Rara Wulan itu pula.

Hari dan hari pun telah dilalui. Laku yang di jalani Sekar Mirah pun menjadi semakin panjang. Sementara ilmunya pun menjadi semakin meningkat

Di saat Sekar Mirah menjalani laku, maka ia pun telah melupakan segala-galanya. Bahkan Sekar Mirah tidak ingat lagi bahwa dua orang pada suatu saat akan datang menemuinya untuk berbicara tentang pertemuan yang akan diselenggarakan, menghimpun kembali kekuatan dari sebuah perguruan yang seakan-akan telah dilupakan orang.

Meskipun di pagi hari Sekar Mirah masih mempunyai waktu untuk melakukan kegiatannya sehari-hari, tetapi sebenarnyalah waktunya sangat terbatas. Rara Wulan-lah yang seakan-akan telah mengambil alih semuanya.

Namun Rara Wulan pun telah menjadi terampil pula. Di dapur, ke pasar, serta menyediakan makan dan minuman bagi seisi rumah.

Sukra pun mengetahui pula kesibukan Rara Wulan. Karena itu, ia pun ikut menjadi sibuk. Ia banyak mengurangi kegiatannya di sungai di malam hari, agar ia dapat bangun pagi-pagi sekali untuk mencuci mangkuk, kuali dan dandang, dan peralatan dapur yang lain. 

Setiap malam Sukra hanya turun ke sungai sekali saja, agar ia tidak terlambat bangun di pagi harinya.

Dengan tekun dan dengan kesungguhan hati Sekar Mirah menjalani laku yang berat itu. Tetapi karena jiwanya yang bergelora, maka segala hambatan dapat diatasinya.

Karena itu, maka setapak demi setapak Sekar Mirah pun telah memanjat sampai ke puncak.

Agung Sedayu yang membimbing Sekar Mirah mencapai tataran tertinggi dari ilmunya, merasa kagum atas kemauan Sekar Mirah. Nampaknya kedatangan orang yang mengaku saudara seperguruannya itu benar-benar mendorongnya untuk benar-benar pantas disebut sebagai salah satu dari dua orang terbesar di lingkungan perguruannya. Sebagai pemegang tongkat ciri dari perguruannya, maka Sekar Mirah memang harus mempertanggung-jawabkannya, bahwa ia benar-benar salah satu dari dua orang terbaik dari perguruannya.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu sendiri adalah bukan orang dari jalur perguruan yang sama dengan Sekar Mirah. Tetapi karena ilmunya yang tinggi dan mapan, maka Agung Sedayu mampu membimbing Sekar Mirah sampai ke puncak.

Demikianlah, Sekar Mirah telah mendekati hari-hari terakhir. Kemampuannya benar-benar telah jauh meningkat. Laku yang dijalaninya dengan kesungguhan hati itu telah membuahkan hasil yang diharapkan.

Akhirnya Sekar Mirah pun sampai pada hari-hari terakhir dari laku yang dijalaninya. Semakin dekat dengan hari terakhir, maka laku yang dijalaninya menjadi semakin berat. Bukan saja latihan-latihan di sanggar yang hampir makan waktu semalam suntuk di setiap hari. Tetapi di luar sanggar pun Sekar Mirah harus melengkapi laku dengan berbagai macam kewajiban.

Sementara itu di siang hari, Sekar Mirah pun mempunyai kewajiban untuk berada di dalam sanggar seorang diri. Agung Sedayu sudah memberikan beberapa petunjuk, apa yang harus dilakukannya, sehingga dapat mendukung pembajaan diri yang dilakukan di dalam sanggar.

Ketika Sekar Mirah kemudian sampai di hari terakhir, maka Agung Sedayu telah minta kepadanya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

“Besok sejak dini hari, kau akan berada di sanggar. Aku sudah memberitahukan kepada para pemimpin kelompok di barakku, bahwa aku tidak datang.”

“Maksud Kakang, Kakang besok akan berada di rumah sehari penuh?”

“Bukan hanya di rumah sehari penuh. Tetapi seperti aku katakan, kita akan berada di sanggar sejak dini hari.”

Wajah Sekar Mirah menjadi cerah. Betapapun wajahnya nampak letih, namun tekadnya yang membara di hatinya, membuatnya tetap tegar menghadapi laku yang betapapun beratnya. Apalagi Sekar Mirah tahu bahwa ia sudah berada di ujung keberhasilan.

“Berdoalah,” berkata Agung Sedayu, “mudah-mudahan kau dapat melampaui hari terakhirmu dengan baik.”

Sekar Mirah mengangguk. Tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh.

Malam itu, Sekar Mirah justru tidak berada di sanggar. Ia harus mempersiapkan dirinya untuk menjalani laku di hari terakhir, mulai dini hari.

Menjelang tengah malam, Sekar Mirah telah bersiap. Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah makan sebuah pisang koja. Minum air putih semangkuk. Kemudian Sekar Mirah pun telah melakukan segala kewajibannya menjelang saat ia memasuki sanggar.

Sebelum fajar, Sekar Mirah dan Agung Sedayu telah berada di sanggar. Beberapa saat keduanya mempersiapkan badan dan jiwanya. Mereka memohon bimbingan kepada Yang Maha Agung untuk menjalani laku di hari terakhir bagi Sekar Mirah.

Tepat pada saat matahari terbit, ketika sinarnya yang kekuning-kuningan mulai meraba dinding, maka Sekar Mirah pun segera mulai dengan puncak laku yang harus dijalaninya.

Ternyata bukan hanya Sekar Mirah sajalah yang harus memusatkan segala nalar budinya. Agung Sedayu pun harus melakukannya pula. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjadi tegang pula. Mereka seakan-akan ikut hanyut ke dalam puncak laku yang sedang di jalani oleh Sekar Mirah itu.

Sehari itu Sekar Mirah dan Agung Sedayu sama sekali tidak keluar dari sanggar. Sampai matahari merunduk dan menyusup cakrawala

Sukra yang menyalakan lampu di dalam rumah, di pendapa dan gandok, bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah aku juga harus menyalakan lampu di dalam sanggar?”

“Jangan masuk,” jawab Glagah Putih.

“Jadi, apakah kita biarkan saja sanggar itu tetap gelap?”

“Jika Kakang Agung Sedayu nanti memerintahkan untuk menyalakan lampu di sanggar, barulah kau menyalakannya.”

Sukra mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian pergi ke dapur. Sedangkan Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di serambi belakang sambil mengamati pintu sanggar yang berada di halaman belakang.

Tetapi pintu sanggar itu masih belum terbuka ketika gelap malam mulai turun.

Glagah Putih-lah yang kemudian menyalakan lampu di sudut luar sanggar, dekat dengan pintu sanggar yang tertutup.

Namun kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan melihat lewat sela-sela dinding, cahaya lampu di dalam sanggar. Agaknya Agung Sedayu sendiri telah menyalakan lampu di dalam sanggar.

Namun dengan demikian, Glagah Putih dan Rara Wulan menduga bahwa keduanya tentu tidak akan segera keluar dari dalam sanggar itu meskipun malam telah turun.

Dalam pada itu, saat terakhir yang menegangkan itu berjalan maju setapak demi setapak. Glagah Putih yang juga pernah menjalani laku, dapat membayangkan betapa letihnya Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah tidak memilih laku yang harus dijalani langsung tiga hari tiga malam, namun yang sehari penuh itu pun tentu sangat melelahkan.

Sementara itu, Rara Wulan telah menyediakan air abu merang untuk mandi keramas, jika Sekar Mirah itu keluar dari dalam sanggarnya.

Dalam ketegangan itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tersentak ketika mereka mendengar suara Sekar Mirah yang menghentak. Kemudian di dalam sanggar itu bagaikan telah memancar kilat yang sangat terang. Kilat yang pecah dan menghambur bertaburan memancar menerpa dinding sanggar.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi suasana pun kemudian menjadi hening. Tidak terdengar desir yang lembut sekali pun.

Glagah Putih yang sudah pernah menjalani laku pun dapat membayangkan, apa yang sudah terjadi. Nampaknya Sekar Mirah benar-benar telah mengakhiri laku yang dijalaninya Selanjutnya Sekar Mirah dan Agung Sedayu tentu sedang mengendurkan tatanan urat dan syaraf mereka, serta kemudian mengatur pernafasan sebelum segala-galanya benar-benar selesai.

Beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan menunggu. Sementara itu, malam pun menjadi semakin malam.

Angin yang sejuk berhembus menggamit dedaunan yang bergayut di tangkainya. Selembar daun kuning melayang dan jatuh di tanah. Bintang-bintang menebar memenuhi langit yang biru. Sehelai mega putih mengalir lewat, dihanyutkan angin ke utara.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan tiba-tiba telah bangkit, ketika mereka melihat pintu sanggar itu terbuka.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berlari ke pintu sanggar, mereka melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah berdiri di pintu sanggar itu. Sekar Mirah menjinjing tongkat baja putihnya, sementara Agung Sedayu berdiri di sisinya.

“Mbokayu,” desis Rara Wulan.

Sekar Mirah tersenyum. Di bawah cahaya lampu di sudut luar sanggar itu, wajah Sekar Mirah nampak pucat. Pakaiannya basah oleh keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya

“Apakah kau sudah menyediakan air abu merang?” bertanya Agung Sedayu.

“Sudah, Kakang,” jawab Rara Wulan.

“Aku akan mandi keramas lebih dahulu, Wulan,” desis Sekar Mirah.

“Marilah Mbokayu,” sahut Rara, Wulan.

Tetapi ketika ia akan membimbing, Sekar Mirah itu pun berkata sambil tersenyum, “Aku akan berjalan sendiri, Wulan”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Sekar Mirah itu melangkah ke pakiwan. Langkahnya masih tetap tegak, meskipun Agung Sedayu mengikutinya di belakang.

Berlari-lari Rara Wulan mengambil air abu merang yang sudah disiapkannya dan dibawanya ke pakiwan, sementara Glagah Putih telah menyiapkan lampu di muka pintu pakiwan.

Sejenak kemudian, Sekar Mirah pun telah mandi keramas. Rara Wulan menungguinya di depan pintu, sementara Glagah Putih dan Agung Sedayu telah pergi ke serambi belakang.

Sukra pun kemudian ikut menjadi sibuk pula. Ia pun telah menyiapkan minuman hangat serta beberapa potong makanan lunak. Beberapa saat kemudian, seisi rumah itu pun telah duduk di ruang dalam, sementara Sukra berada di dapur memanasi makan yang disediakan bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi dalam ketegangan, Glagah Putih dan Rara Wulan pun masih juga belum makan, sehingga mereka akan makan bersama-sama

Sekar Mirah yang telah mandi keramas serta meneguk minuman hangat, nampak mulai menjadi segar kembali, meskipun tubuhnya masih lemah.

Meskipun wajah Sekar Mirah masih nampak pucat, tetapi di bibirnya nampak senyumnya yang cerah. Laku yang berat telah dijalaninya hingga sampai ke puncaknya.

Sambil mengucap syukur, Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, “Segala sesuatunya telah lampau. Dengan bimbingan-Nya, aku telah berhasil memanjat sampai ke puncak kemampuan menurut tatanan ilmu perguruanku, Rara. Pada suatu saat kau pun akan mampu melakukannya.”

Rara Wulan mengangguk sambil berkata, “Mudah-mudahan aku mempunyai kesempatan sebagaimana Mbokayu Sekar Mirah.”

“Kau akan mendapat kesempatan Wulan,” jawab Sekar Mirah.

Rara Wulan menarik nafas panjang sambil berpaling kepada Glagah Putih. Namun hanya sekilas.

Malam itu, Sekar Mirah masih belum banyak bercerita. Tubuhnya masih terlalu lemah. Setelah makan makanan yang lunak serta menghirup minuman hangat, maka Agung Sedayu pun minta Sekar Mirah untuk beristirahat.

“Kau dapat tidur nyenyak di sisa malam ini, Mirah,” berkata Agung Sedayu.

“Ya, Kakang. Aku memang merasa sangat letih.”

“Apakah Kakang tidak merasa letih?” bertanya Glagah Putih kepada Agung Sedayu.

“Tentu. Tetapi aku tidak mengerahkan tenaga lahir batin sebagaimana Sekar Mirah.”

Demikianlah, Sekar Mirah pun telah pergi ke biliknya, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih masih duduk di ruang dalam. Rara Wulan yang juga merasa lelah setelah menunggu dengan tegang Sekar Mirah hingga selesai menjalani laku, juga telah berada di dalam biliknya.

“Mbokayu Sekar Mirah akan menghadapi orang-orang yang mencarinya kemari itu dengan lebih tenang, setelah ia mencapai tataran puncak ilmunya,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Bahkan Sekar Mirah memiliki unsur-unsur yang lebih kaya, justru karena Sekar Mirah dengan terbuka menerima pengaruh dari luar perguruannya. Sudah tentu yang memberikan dukungan dan manfaat bagi ilmu Sekar Mirah sendiri.”

“Itu akan mengejutkan saudara-saudara seperguruannya yang berpegangan teguh pada dasar ilmunya, yang menganggap kesediaan menerima pengaruh itu adalah ketidak-setiaan pada sumbernya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku, kau, dan bahkan Ki Jayaraga, juga tidak berpegangan teguh pada satu jalur perguruan.”

Glagah Putih sempat merenungi ilmunya sendiri. Sebagaimana dikatakan Agung Sedayu, ilmunya justru menjadi semakin mapan dengan menyerap pengaruh ilmu dari jalur perguruan yang lain. Jika pada dasarnya ia mempelajari landasan ilmu kanuragan dari jalur ilmu Ki Sadewa, namun kemudian ia adalah juga murid Ki Jayaraga. Bahkan ia adalah salah satu murid utama dari Perguruan Orang Bercambuk. Namun dengan demikian, ia telah menguasai unsur-unsur dari ketiga jalur ilmu itu. Sementara itu pengaruh Raden Rangga pun nampak kuat pula di dalam dirinya.

Justru karena itu, maka ilmu yang dikuasainya justru nampak menjadi kaya. Sementara itu pengalamannya pun telah ikut membentuk ujud dari ilmunya itu.

Meskipun demikian, ilmunya bukanlah gumpalan-gumpalan ilmu yang sekedar saling menopang. Tetapi telah menjadi luluh di dalam dirinya, sehingga menjadi kesatuan ilmu yang utuh dengan kelebihan-kelebihannya

Dalam pada itu, Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Glagah Putih, meskipun Mbokayumu sudah berhasil menggapai puncak ilmunya, namun kau harus mengamatinya. Meskipun kita tidak boleh berprasangka buruk kepada seseorang sebelum kita melihat tanda-tandanya, namun kita dapat saja berhati-hati menghadapi persoalan-persoalan .yang samar-samar.”

“Ya Kakang. Tetapi kedatangan mereka yang sudah dua kali itu, justru pada saat kita tidak ada di rumah. Bahkan terakhir Mbokayu hanya sendiri di rumah, sehingga Sukra sempat menjadi cemas dan berdiri saja di pintu seketheng.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mbokayumu juga bercerita tentang Sukra. Ia sudah siap memukul kentongan jika perlu.”

“Tetapi ia mempunyai sifat yang baik. Jika Kakang tidak berkeberatan, biarlah aku serta sedikit memberikan latihan kepadanya. Mungkin ia akan dapat menjadi seorang pengawal yang baik. Atau bahkan lebih dari itu. Ia dapat menjadi seorang prajurit”

“Aku tidak berkeberatan. Tetapi jaga agar ia tetap dalam keseimbangan nalar dan perasaannya, sehingga ia tidak menjadi terlalu yakin akan dirinya, sehingga karena itu menjadi sombong.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Aku akan berusaha Kakang.”

“Nah, malam telah larut, beristirahatlah.”

Glagah Putih mengangguk kecil sambil menjawab, “Aku juga sudah mengantuk, Kakang.”

Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke biliknya pula. Dibaringkannya tubuhnya di pembaringan. Beberapa saat ia sempat berangan-angan. Namun kemudian Glagah Putih itu pun telah tertidur nyenyak pula. Meskipun ia tidak lebih dari menunggu di luar sanggar selama Sekar Mirah menjalani laku, namun rasa-rasanya ia menjadi letih juga.

Di hari berikutnya, seperti biasa Glagah Putih telah bangun di dini hari. Seperti biasa ia pun segera melakukan kewajiban-kewajibannya.

“Sebaiknya Mbokayu beristirahat saja dahulu. Biarlah aku selesaikan pekerjaan di dapur bersama Sukra,” berkata Rara Wulan.

“Aku sudah hampir pulih, Rara. Jika aku duduk saja tanpa berbuat apa-apa, maka justru akan merasa tubuhku lemah.”

Rara Wulan tidak dapat mencegah Sekar Mirah yang ikut sibuk di dapur, karena Sekar Mirah sendiri menghendakinya.

Sementara itu Sukra dan Glagah Putih telah sibuk mengisi gentong di dapur. Glagah Putih yang menimba air, sementara Sukra yang membawa kelenting yang telah penuh air ke dapur. Tetapi Sukra tidak mau membawa kelenting di lambungnya seperti kebanyakan yang dilakukan oleh perempuan. Tetapi Sukra membawa kelenting di atas kepalanya.

Ketika Agung Sedayu sudah selesai berbenah diri, ia pun duduk di ruang dalam bersama dengan Sekar Mirah. Sambil menghirup minuman hangat Agung Sedayu pun berkata, “Kau masih harus banyak beristirahat. Ketahanan tubuhmu memang luar biasa. Meskipun demikian, jangan memaksa diri. Besok kau tentu sudah pulih kembali.”

Sekar Mirah mengangguk kecil sambil tersenyum, “Aku nanti akan tidur sampai sore.”

Agung Sedayu pun tertawa pula. Katanya, “Biarlah Glagah Putih tetap berada di rumah hari ini.”

“Ya, Kakang,” jawab Sekar Mirah.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah siap untuk berangkat ke baraknya.

Seperti kepada Sekar Mirah, Agung Sedayu pun berpesan pula kepada Glagah Putih agar ia tidak pergi ke mana-mana hari itu, karena Sekar mirah belum pulih sepenuhnya.

“Besok, Mbokayumu tentu sudah pulih kembali. Ia memiliki ketahanan badan yang luar biasa. Apalagi setelah terlatih dengan baik.”

“Baik Kakang,” Glagah Putih mengangguk, “hari ini aku akan tinggal di rumah saja.”

Sebenarnyalah bahwa hari itu Glagah Putih tidak pergi ke banjar. Tidak pula pergi ke rumah Ki Gede, atau bersama Prastawa pergi ke padukuhan-padukuhan. Tetapi sehari penuh Glagah Putih berada di rumah. Ia ikut membelah kayu bakar dengan kapak. Glagah Putih pun ikut membuat tempat pembuangan sampah di halaman belakang, karena yang sudah ada sudah hampir penuh.

Ketika Glagah Putih duduk di serambi belakang sambil mengusap keringatnya, kemudian menghirup air kendi yang segar, Sukra pun mendekatinya sambil berkata, “Jika kau setiap hari berada di rumah, aku tentu merasa senang.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Hanya hari ini. Meskipun besok aku berada di rumah, tetapi besok aku tidak akan melakukan apa-apa”

Sukra pun tertawa pula. katanya, “Besok aku yang akan membelah kayu bakar, memotong dahan yang merunduk ke atas jalan di sebelah, kemudian memotong-motong dan membelahnya. Kau besok harus memetik kangkung, mengupas bawang merah dan bawang putih, memotong buncis, dan kerja lain di dapur membantu Rara Wulan.”

Glagah Putih mendorong dahi Sukra sambil berdesis, “Sudah sana. Bukankah kau belum membersihkan pakiwan? Kuras airnya. Nanti aku yang mengisinya.”

Sukra pun kemudian melangkah ke pakiwan.

Hari itu Sekar Mirah masih banyak beristirahat. Ia tidak terlalu lama berada di dapur. Sebelum tengah hari, Sekar Mirah telah berada di ruang dalam. Namun Sekar Mirah tidak telaten duduk sendiri. Ia pun kemudian telah pergi ke serambi belakang, duduk di lincak panjang melihat Sukra yang telah sibuk kembali dengan kerjanya. Ia sudah selesai membersihkan pakiwan. Sementara Glagah Putih menimba air mengisi jambangan, Sukra telah sibuk menjemur kayu bakar yang telah dibelah-belah.

Namun beberapa saat kemudian, Sekar Mirah telah berada di pembaringannya. Tubuhnya memang masih terasa lemah.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka setelah hari itu Sekar Mirah banyak beristirahat, di keesokan harinya ia telah menjadi pulih kembali.

Bahkan wajahnya seakan-akan menjadi semakin cerah sejalan dengan peningkatan ilmunya.

Meskipun Sekar Mirah telah pulih kembali, tetapi hari itu Glagah Putih masih tetap berada di rumahnya. Ia hanya pergi sebentar menemui Prastawa, untuk mengatakan bahwa hari itu ia tidak pergi ke banjar.

“Bukankah kau tidak sakit?” bertanya Prastawa.

“Tidak. Aku hanya ingin beristirahat. Ada sesuatu yang dilakukan di rumah.”

“Apa?” bertanya Prastawa.

Glagah Putih menjadi bingung. Karena itu, ia hanya tertawa saja tanpa menjawab pertanyaan Prastawa.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang mempunyai lebih banyak waktu luang di saat-saat Tanah Perdikan tenang, telah memanggil Sukra di serambi belakang.

Sukra yang kemudian duduk bersama Glagah Putih di serambi itu pun berkata, “Aku sedang memberikan makanan buat kuda-kuda di kandang. Kudamu makannya banyak sekali. Hampir dua kali lipat kuda yang lain.”

“Ah, kau ini mengada-ada saja,” sahut Glagah Putih.

“Kudamu lebih besar dan lebih tegar dari kuda-kuda yang lain.”

“Seberapa jauh selisihnya.”

Sukra termangu-mangu Baru kemudian ia menjawab, “Seperti aku dan kau. Kalau makan, kau pun jauh lebih banyak dari aku.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Pantas kau tidak seperti aku. Kau akan tetap kerdil, dan bahkan kau akan dapat menjadi sakit-sakitan kelak.”

“Mulai besok, aku akan makan sebanyak kau makan,” berkata Sukra sambil tertawa pula.

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih, “duduklah. Kita akan berbicara bersungguh-sungguh.”

“Tentang apa?”

“Kita akan meningkatkan latihan-latihan kita. Untuk beberapa saat ini aku tidak mempunyai tugas-tugas penting, sehingga waktuku agak longgar.”

“Beberapa saat yang lalu, kau juga berkata begitu. Tetapi kau bahkan pergi ke padepokan yang sedang kalut itu.”

“Tetapi sekarang persoalan itu sudah selesai. Para pemimpinnya sudah menemukan kata sepakat.”

“Tetapi sebentar lagi tentu ada persoalan baru.”

“Mudah-mudahan tidak.”

“Nampaknya yang akan menjadi pusat persoalannya sekarang adalah Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Kenapa?” bertanya Sukra

“Kedua orang yang datang itu nampaknya orang-orang aneh. Tidak seperti tetangga-tetangga kita.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Mereka adalah orang-orang berilmu tinggi.”

“Ki Lurah juga berilmu tinggi. Tetapi sikapnya wajar. Tidak berbeda dengan tetangga-tetangga kita yang tidak berilmu tinggi,” Sukra seakan-akan hanya sekedar bergumam bagi dirinya sendiri.

“Sudahlah. Selagi ada waktu,” berkata Glagah Putih kemudian, “sebaiknya kau tidak usah turun ke sungai. Berikan pliridanmu kepada salah seorang kawanmu.”

Sukra mengerutkan dahinya Katanya, “Pliridan itu memberikan kewajiban yang khusus bagiku. Ada keterikatan, sehingga aku seakan-akan harus melaksanakannya pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Tanpa pliridan itu, aku akan menjadi sangat malas. Aku akan segera tidur begitu gelap turun, dan baru bangun setelah fajar. Tetapi justru karena ada pliridan itu, aku tidur agak lebih malam dan bangun di dini hari.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak itu mampu memaksa dirinya sendiri untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuatnya. Justru karena itu, maka Glagah Putih pun menganggap bahwa Sukra akan mampu menempa dirinya sendiri, dengan sedikit dorongan serta petunjuk-petunjuk yang mendasar.

Dengan wajah yang bersungguh-sungguh Glagah Putih pun berkata, “Kau dapat mengalihkan kegiatanmu dengan pliridanmu itu. Kau dapat berada di sanggar pada saat-saat tertentu. Jika sanggar tertutup itu dipergunakan, kau dapat mempergunakan sanggar terbuka untuk berlatih.”

“Sanggar terbuka yang mana?” bertanya Sukra

“Besok kita akan membuatnya. Kakang Agung Sedayu tidak akan berkeberatan. Kita akan memotong bambu, beberapa batang kayu dan sebatang pohon kelapa.”

Sukra mengangguk-angguk kecil. Ia sudah terlalu sering berada di dalam sanggar, sehingga ia mengetahui apa saja yang ada di dalamnya.

“Nah, latihanmu besok akan sampai pada tataran memotong bambu dan kayu. Bukankah kau sudah mempunyai bentuk mula dari sanggar di sudut kebun belakang itu? Kita tinggal melengkapinya besok.”

“Baru sebuah palang bambu yang ada di sana,” berkata Sukra.

“Nah, jika kau setuju, hari ini kau dapat menyerahkan pliridanmu kepada salah seorang kawanmu. Anak itu tentu akan senang menerimanya.”

“Aku tidak akan memberikannya. Aku hanya akan meminjamkannya untuk waktu yang tidak terbatas.”

“Kau memang kikir.”

Sukra mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Nah, sudahlah. Pembicaraan kita sudah selesai,” berkata Glagah Putih. Namun kemudian katanya, “Aku akan memberikan beberapa petunjuk awal agar kau tidak terlalu tergantung kepada keberadaanku. Tanpa aku, kau akan dapat berlatih sendiri dengan baik.”

Sukra mengangguk-angguk. Ia menyadari bahwa agaknya Gagah Putih bersungguh-sungguh ingin menuntunnya, meskipun Sukra juga menyadari bahwa setiap saat Glagah Putih itu akan terlibat ke dalam satu persoalan, yang akan menghisap seluruh tenaga dan waktunya. Namun mumpung ada kesempatan, betapapun kecilnya, akan dapat dimanfaatkannya sebaik-baiknya

Hari itu Sukra menemui seorang kawannya yang masih agak lebih kecil dari dirinya. Anak itu menjadi heran mendengar Sukra akan meminjamkan pliridannya kepadanya.

Justru karena itu, maka untuk beberapa saat kawannya itu berdiri saja termangu-mangu.

“Kau kenapa?” bertanya Sukra.

“Maksudmu, aku boleh membuka dan menutup pliridanmu setiap malam?”

“Ya. Sampai kelak jika aku minta kembali.”

“Kenapa kau tidak menutup dan membuka sendiri? Pliridanmu termasuk pliridan yang baik, Sukra. Beberapa kali sungai itu banjir, pliridanmu tidak hanyut. Hanya rusak sedikit, yang dengan mudah dapat kau perbaiki.”

“Sudahlah, pakailah. Mungkin dua tiga bulan. Mungkin lebih. Tetapi mungkin juga sebelumnya.”

“Baik. Terima kasih. Tetapi kau juga harus mengatakannya kepada satu dua orang kawan yang lain, agar tidak terjadi salah paham. Mungkin saja mereka menganggap bahwa kau terlantarkan pliridan itu, sehingga siapa pun berhak menutup dan membukanya.”

“Baik. Aku akan mengatakan kepada kawan-kawan bahwa aku serahkan untuk sementara pliridan itu kepadamu.”

“Terima kasih, terima kasih.”

Dengan demikian, sejak hari itu Sukra sudah tidak turun lagi ke sungai di malam dan di dini hari. Tetapi bersama Glagah Putih, Sukra meningkatkan latihan-latihan kanuragan. Setiap malam Sukra harus melakukan latihan. Bahkan kadang-kadang di siang hari, dan kapan saja ada waktu luang.

Nampaknya Glagah Putih juga mulai bersungguh-sungguh. Bersama Sukra, Glagah Putih telah membuat tempat latihan terbuka, yang meskipun sederhana tetapi memenuhi kebutuhan.

Apalagi setelah Rara Wulan kembali melakukan latihan-latihan bersama Sekar Mirah. Maka waktu Glagah Putih menjadi semakin luas.

Seperti yang dikatakan, Glagah Putih tidak saja melakukan latihan bersama. Tetapi Glagah Putih juga memberikan beberapa petunjuk, sehingga setiap saat Sukra dapat berlatih sendiri jika ia mempunyai waktu.

Sementara itu, ketika Sekar Mirah sudah menjadi benar-benar pulih kembali, maka Glagah Putih pun telah sering berada di banjar lagi. Bersama Prastawa, Glagah Putih masih tetap meningkatkan kesiagaan dan kemampuan para pengawal. Meskipun di saat itu keadaan Tanah Perdikan terasa tenang, namun para pengawal Tanah Perdikan tidak boleh menjadi lengah.

Dalam pada itu, ketika rumah Agung Sedayu nampak sepi karena Glagah Putih sedang pergi ke banjar, sementara Rara Wulan pergi berbelanja, dua orang yang pernah datang ke rumah Agung Sedayu itu pun telah datang lagi.

Ketika keduanya sudah duduk di pringgitan, maka Sekar Mirah yang menemui mereka pun langsung berkata, “Bukankah aku mohon kalian datang di saat-saat Kakang Agung Sedayu ada di rumah?”

Ki Saba Lintanglah yang menjawab, “Maaf, Nyi Lurah. Sebenarnya kami juga ingin dapat bertemu langsung dengan Ki lurah Agung Sedayu, tetapi ternyata waktu kami sangat sempit, sehingga kami harus mempergunakannya sebaik-baiknya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia pun kemudian bertanya, “Jadi, apa lagi yang harus kita bicarakan?”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “kami masih ingin berbicara tentang pertemuan yang kami anggap sangat penting itu. Pertemuan itu akan sangat berarti bagi satu kebangkitan. Perguruan kita selama ini telah tertidur nyenyak.”

“Aku mengerti,” jawab Sekar Mirah.

“Jika demikian, maka marilah kita sepakat untuk memutuskan bahwa pertemuan itu harus berlangsung.”

“Maksud Ki Saba Lintang?” bertanya Sekar Mirah.

“Maksudku, marilah kita bertekad dan berjanji, apapun hambatannya, pertemuan itu harus dapat dilangsungkan.”

“Ki Saba Lintang,” sahut Sekar Mirah. Ia harus berhati-hati menanggapi persoalan-persoalan yang diajukan oleh Ki Saba Lintang. Karena itu, maka ia pun berkata selanjutnya, “Aku setuju pertemuan itu dilaksanakan. Tetapi bukan berarti bahwa aku harus tunduk kepada kalian, apapun syaratnya. Katakanlah, mengenai tempat misalnya. Juga mengenai waktu.”

“Kita belum berbicara tentang tempat dan waktu, Nyi Lurah. Kita baru sampai pada landasan pikiran, bahwa pertemuan itu harus berlangsung apapun hambatannya. Kita bertekad untuk mengatasi semua hambatan. Jika perlu, kita harus mengorbankan kepentingan pribadi kita masing-masing.”

Ternyata Sekar Mirah menggelengkan kepalanya. Katanya, “Apakah kita harus memperbaharui pembicaraan kita? Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak akan dapat ikut dalam pertemuan itu, jika pertemuan itu diselenggarakan di luar Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Jangan mulai dari sana, Nyi Lurah. Seperti aku katakan, kita mulai dari pembicaraan yang paling mendasar, pertemuan itu harus diselenggarakan.”

“Aku yang mau kita mulai dari sana. Menurut pendapatku, kita harus mulai dari pengertian bahwa pertemuan itu harus diselenggarakan. Pertemuan yang pertama akan diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Nyi Lurah. Jika demikian, Nyi Lurah akan dapat dikira mementingkan diri sendiri.”

Sekar Mirah mengerutkan dahinya. Namun tiba-tiba dengan nada rendah ia berkata, “Baiklah. Daripada aku menjadi penghambat dari pertemuan itu, maka lupakan saja aku.”

Kedua orang tamu Sekar Mirah itu saling berpandangan. Namun kemudian Ki Saba Lintang itu tersenyum sambil berkata, “Maksud kami bukan demikian, Nyi Lurah. Apalagi Nyi Lurah adalah salah seorang dari pemilik ciri khusus perguruan kita. Karena itu, Nyi Lurah harus terlibat di dalamnya. Bahkan seharusnya Nyi Lurah memegang peranan dalam usaha membangkitkan kembali perguruan kita ini.”

“Aku memang harus mengakui bahwa aku terlalu mementingkan diriku sendiri. Tetapi aku tidak dapat berbuat lain. Karena itu, kalian tidak perlu menghiraukan orang yang mementingkan diri sendiri.”

“Sama sekali tidak ada niat kami untuk meninggalkan Nyi Lurah, justru karena Nyi Lurah merupakan salah satu pilar dari perguruan kami.”

“Jika demikian, segala sesuatunya terserah kepada kalian. Aku sudah menyatakan sikapku. Apakah sikap itu dapat diterima, atau tidak.”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “baiklah aku memberikan sedikit keterangan untuk membuka jalan pembicaraan kita lebih lanjut. Ternyata sebagian besar dari orang-orang terpenting yang sempat aku temui, memilih ujung Kali Geduwang sebagai tempat pertemuan yang pertama. Mungkin pertemuan berikutnya akan dapat diselenggarakan di Tanah Perdikan ini.”

Sekar Mirah menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Saba Lintang. Aku tetap pada sikapku. Pertemuan itu harus diselenggarakan di Tanah Perdikan ini. Atau, jika semuanya berkeberatan, lupakan saja aku. Kalian dapat menyelenggarakan pertemuan di mana saja kalian kehendaki, tanpa aku.”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang dengan nada rendah, “kami mohon dengan sungguh-sungguh Nyi Lurah berkenan datang ke ujung Kali Geduwang itu.”

“Sudah aku katakan, aku tidak bersedia.”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang selanjutnya, “yang tinggal di ujung Kali Geduwang adalah salah seorang terpenting di lingkungan kita. Ia juga seorang perempuan sebagaimana Nyi Lurah. Ia juga mengalami kesulitan untuk meninggalkan rumahnya.”

“Nah, bukankah tidak hanya aku saja yang tidak terlalu mudah untuk meninggalkan keluarga? Ternyata perempuan itu juga tidak mau pergi dari rumahnya, Nah, kenapa kalian tidak memilih aku? Aku adalah salah seorang pemilik ciri dari pertanda kebesaran perguruan kita.”

“Orang itu sangat kami hormati.”

“Siapakah perempuan itu?”

“Perempuan itu adalah anak Empu Wisanata. Namanya Nyi Dwani. Umurnya kira-kira sedikit lebih tua dari Nyi Lurah.”

Wajah Sekar Mirah nampak berkerut. Dipandanginya kedua orang itu dengan tajamnya. Dengan nada tinggi Sekar Mirah itu pun berkata, “Jika kau hormati orang itu lebih dari aku, pergilah kepadanya. Mintalah orang yang kau sebut Nyi Dwani itu untuk bersamamu memimpin perguruan kita.”

“Tetapi Nyi Dwani tidak memiliki pertanda apapun sebagaimana yang Nyi Lurah miliki.”

“Kenapa orang itu tidak memilikinya?”

“Tidak seorang pun di antara kita yang dapat menyebutnya. Tetapi jika kita mengadakan pertemuan, serta kita sependapat untuk membangun kembali perguruan yang tertidur ini, maka akan diadakan semacam penilaian kembali, siapakah yang berhak memiliki pertanda pemegang kekuasaan tertinggi dari perguruan kita.”

“Maksudmu, keabsahanku memiliki tongkat itu akan dipertanyakan?”

“Maaf Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “maksud kami, kami justru akan mengukuhkan kepemimpinan Nyi Lurah. Tentu saja sesudah diadakan semacam pembuktian tentang keabsahan pemilikan tongkat baja pertanda kepemimpinan perguruan itu.”

“Sekarang menjadi jelas bagiku,” berkata Sekar Mirah, “kalian ingin merampas tongkat itu dari tanganku.”

“Tidak. Jangan salah paham. Sudah aku katakan, kami justru ingin mengukuhkan kepemimpinan Nyi Lurah. Jika kelak diadakan semacam pendadaran, itu sekedar membuktikan bahwa Nyi Lurah memang berhak atas tongkat itu, sehingga kepemimpinan Nyi Lurah tidak akan diragukan lagi.”

“Aku tidak akan datang. Terserah kepada kalian, apakah kalian akan meragukan pemilikanku atas tongkat itu atau tidak. Aku tidak peduli apakah kepemimpinanku diabsahkan atau tidak. Dikukuhkan atau bahkan diingkari.”

“Jangan begitu, Nyi lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “bukankah kita satu keluarga besar yang saling menghormati? Kita harus terbuka yang satu dengan yang lain.”

“Sekali lagi aku tegaskan, aku minta pertemuan itu dilangsungkan di sini.”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Welat Wulung yang nampaknya tidak telaten mendengar pembicaraan itu, “sebaiknya Nyi Lurah bersedia untuk melakukan pendadaran. Tongkat itu hanya pantas dimiliki oleh para murid pada tataran tertinggi.”

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Dengan lantang ia pun menjawab, “Tidak seorang pun dapat menggelitik aku tentang pemilikanku atas tongkat itu. Ketika aku menerima tongkat itu, aku tidak berurusan dengan kalian. Karena itu, kalian tidak berhak berbicara tentang tongkat itu.”

Ternyata Ki Welat Wulung tidak dapat menahan diri lagi. Dengan lantang ia pun berkata, “Nyi Lurah. Jika Nyi Lurah tidak berani memasuki pendadaran untuk membuktikan bahwa Nyi Lurah memang pantas memiliki tongkat kepemimpinan itu, berarti bahwa Nyi Lurah bukan seorang yang bertanggung jawab.”

“Ki Welat Wulung. Ketika aku menerima tongkat itu, sama sekali tidak ada pernyataan dari Guru, bahwa seorang yang memilikinya harus mempunyai tataran tertentu. Guru tidak pula mengatakan bahwa aku akan menjadi salah seorang pemimpin dari perguruan ini. Karena itu, maka aku berhak melepaskan diri dari keterikatanku dengan kalian.”

“Tidak,” sahut Ki Welat Wulung.

Namun Ki Saba Lintang pun segera menggamitnya. Yang kemudian berbicara adalah Ki Saba Lintang, “Sekali lagi aku mohon, Nyi Lurah jangan salah paham. Niat kami mula-mula adalah mengukuhkan kedudukan Nyi Lurah.”

“Aku sudah tahu latar belakang dari niat kalian menyelenggarakan pertemuan itu. Karena itu, maka aku tidak akan mengulangi lagi pernyataanku. Jika kalian masih ingin menyertakan aku, pertemuan itu harus diadakan di sini. Dan tidak akan ada penilaian kembali terhadap pemilikan tongkat itu.”

“Baiklah Nyi Lurah. Kami mohon diri. Tetapi kami mohon Nyi Lurah mempersiapkan diri untuk memasuki pendadaran, yang mau tidak mau harus Nyi Lurah lakukan. Tidak ada orang lain dari luar perguruan kita yang dapat ikut mencampuri persoalan yang akan kami selenggarakan.”

“Tidak ada orang yang dapat memaksa aku untuk melakukan apa yang tidak aku sukai,” jawab Sekar Mirah.

Wajah Ki Welat Wulung menjadi tegang. Namun Ki Saba Lintang masih dapat tersenyum sambil berkata, “Nyi, kami mohon diri. Sekali lagi kami mohon, Nyi Lurah jangan salah mengerti. Kami bermaksud baik. Terutama bagi tegaknya kembali perguruan kita.”

“Silakan,” jawab Sekar Mirah.

Kedua orang itu pun kemudian bangkit dan melangkah menuruni pendapa. Sekar Mirah tidak mengantar mereka sampai ke regol halaman. Tetapi ia terdiri saja di tangga.

Demikian kedua orang itu keluar dari regol halaman, maka Sekar Mirah pun berpaling. Dilihatnya Sukra berdiri di pintu seketheng. Seperti yang terdahulu, Sukra siap memukul kentongan jika diperlukan. Glagah Putih mengenal betul suara kentongan di rumah itu, sehingga ia akan segera pulang jika ia mendengarnya. Seandainya Glagah Putih pergi ke padukuhan lain, maka tentu ada orang laing yang mendengarnya dan berbuat sesuatu.

Sekar Mirah yang berdiri di tangga pendapa itu memandanginya sambil tersenyum. Katanya, “Kau amati kedua orang tamu itu, Sukra?”

“Ya, Nyi,” jawab Sukra ragu.

“Terima kasih,” desis Sekar Mirah sambil melangkah naik ke pendapa. Lewat pintu pringgitan Sekar Mirah masuk ke ruang dalam. Wajahnya masih nampak buram. Hatinya merasa kesal.

Sejenak Sekar Mirah duduk. Namun kemudian ia pun segera bangkit berdiri dan melangkah ke dapur. Dikerjakannya apa saja yang dapat dikerjakan, sambil menunggu Rara Wulan pulang.

Ketika Rara Wulan pulang dan masuk ke dalam dapur, ia melihat kerut di dahi Sekar Mirah yang duduk di depan perapian menanak nasi.

“Ada apa Mbokayu?” bertanya Rara Wulan.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengendapkan perasaannya yang terguncang.

“Duduklah,” Sekar Mirah pun kemudian duduk di atas amben bambu.

Rara Wulan pun kemudian duduk di amben itu pula. Sekar Mirah yang masih merasa kesal itu pun telah menceritakan kedatangan kedua orang itu.

“Mereka datang lagi?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Niat mereka menjadi semakin jelas. Mereka tidak bermaksud baik. Terutama terhadap aku.”

“Apa maksudnya?”

Sekar Mirah pun kemudian telah menceritakan maksud kedatangan kedua orang itu, yang menampakkan semakin jelas niat buruk mereka.

“Mereka ingin merampas tongkat Mbokayu,” desis Rara Wulan.

“Ya. Mereka menginginkan tongkat itu. Mereka telah merencanakan cara yang licik. Mereka ingin menjebak aku dalam satu lingkaran pendadaran, yang tentu mereka buat terlalu berat sehingga berada di luar kemampuan seseorang.”

“Mbokayu jangan melayaninya.”

“Aku sudah mengatakan kepada mereka, aku tidak mau hadir dalam pertemuan di manapun juga. Kecuali di Tanah Perdikan ini.”

“Tepat sekali,” sahut Rara Wulan, “di sini segala-galanya dapat diawasi.”

“Kita akan berbicara dengan Kakangmu Agung Sedayu dan Glagah Putih.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun terbayang di angan-angannya, sekelompok orang yang dengan kasar berusaha merenggut tongkat baja milik Sekar Mirah. Namun di dalam hati, Rara Wulan itu pun berkata, “Namun Mbokayu Sekar Mirah telah mencapai tataran tertinggi dari ilmunya, yang sudah dilengkapi dengan warna-warna lain yang membuat ilmu Mbokayu Sekar Mirah menjadi semakin lengkap, dan mempunyai kelebihan dari ilmu dasar perguruannya sendiri. Karena dengan demikian ilmunya menjadi semakin lengkap.”

Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah benar-benar telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi karena kelicikan orang-orang yang ingin merampas tongkatnya itu.

Bahkan Sekar Mirah menduga, mereka sama sekali bukan orang-orang yang pantas untuk membangkitkan kembali perguruan yang telah lama seakan-akan tidak berbekas lagi itu.

Justru karena itu, maka setiap hari Sekar Mirah telah menyisihkan waktunya untuk selalu mengasah ilmunya. Bahkan setiap kali Sekar Mirah berada di sanggar bersama Rara Wulan, maka ia menyempatkan diri untuk mempertajam penguasaannya atas ilmunya yang sudah dikuasainya sampai ke puncaknya itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata sependapat dengan Sekar Mirah. Mereka belum pernah bertemu dan apalagi berbicara langsung, tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih mulai menjadi curiga akan niat baik kedua orang itu.

Bahkan Glagah Putih pun berkata, “Agaknya mereka mendapatkan tongkat yang satu lagi itu juga dengan cara yang licik.”

“Mungkin sekali,” sahut Sekar Mirah. Namun katanya kemudian, “Tetapi mereka tidak akan pernah mendapatkan tongkatku itu.”

Untuk memantapkan tekad Sekar Mirah, Agung Sedayu pun menyempatkan diri untuk sekali-sekali berada di sanggar bersama Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah sudah sampai ke puncak, namun dengan setiap kali mengasahnya, maka kemampuan Sekar Mirah pun menjadi semakin matang. Pengaruh ilmu yang sudah menyatu di dalam dirinya dari perguruan yang lain, telah menjadikan ilmunya semakin bulat utuh.

“Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu pada suatu malam, setelah mereka selesai berlatih di sanggar, “menurut pendapatku, ada maksud kedua orang yang datang padamu itu untuk menyudutkanmu. Mereka sudah menyebut nama seseorang yang mereka anggap memiliki kedudukan yang tinggi. Bahkan mereka telah memberatkan perempuan itu, sehingga mereka ingin menyelenggarakan pertemuan itu di ujung Kali Geduwang. Karena itu, aku menduga bahwa mereka ingin memindahkan tongkat yang kau miliki itu ke tangannya”

“Aku akan mempertahankannya, Kakang.”

“Aku mengerti. Tetapi menurut perhitunganku, mereka akan memperbandingkan ilmu perempuan yang disebutnya bernama Nyi Dwani itu dengan ilmumu.”

“Aku juga sudah menduganya Kakang. Mereka akan membuat semacam arena untuk mempertaruhkan tongkat itu.”

“Apa jawabmu jika mereka menawarkan hal itu kepadamu?”

“Aku akan menerima tantangan itu. Tetapi sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemilikan tongkat itu. Ia dapat membunuhku di arena jika perempuan itu memang menghendaki, dan ia berhasil mengalahkan aku. Tetapi aku tidak akan menyerahkan tongkat ini kepadanya. Jika aku harus mati di arena, maka aku mohon Kakang melindungi tongkatku. Lebih baik tongkat itu dimusnahkan, daripada harus aku serahkan kepada orang yang tidak aku ketahui dengan pasti, maksud dan tujuannya.”

“Bagus, Mirah. Tetapi kau tidak akan dikalahkannya jika mereka menawarkan perbandingan ilmu itu kepadamu. Aku yakin itu. Ilmumu telah meningkat selangkah panjang. Sisipan unsur-unsur ilmu dari perguruan Orang Bercambuk, dari perguruan Ki Sadewa, dan bahkan dengan pengembangannya, telah menyatu luluh di dalam dirimu. Penguasaanmu mengungkapkan tenaga dalammu sangat mengagumkan. Ketahanan tubuhmu ternyata melampaui ketahanan tubuh mereka yang berilmu tinggi sekali pun. Terakhir, dengan ilmumu, kau telah mampu menghancurkan batu padas yang keras itu. Kilatan cahaya dari hentakan ilmumu menandakan penguasaanmu yang matang atas semuanya yang kau miliki.”

“Kakang hanya ingin membesarkan hatiku.”

“Tidak. Aku tidak mau menyesatkan perasaanmu. Selebihnya, kau juga sudah melatih diri menghadapi jenis-jenis ilmu yang dapat membingungkanmu. Seandainya orang itu memiliki ilmu yang sejenis dengan ilmu yang kesannya mampu menyentuh sasaran di luar jangkauan wadagnya, kau pun telah berlatih untuk mengatasinya. Bahkan jika orang itu memiliki kemampuan untuk menyerang dari jarak jauh pun, kau sudah menguasai cara terbaik untuk melawannya. Kau pun akan mampu mengatasinya jika lawanmu mempergunakan berjenis-jenis senjata rahasia yang paling kecil sekalipun. Kau juga sudah belajar melawan Aji Pacar Wutah yang mengerikan itu.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Kakang. Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan Kakang, yang telah memberikan latihan-latihan dengan bersungguh-sungguh.”

“Aku tidak kecewa, Mirah. Kau pun harus meyakinkan dirimu sendiri. Meskipun demikian, kau harus tetap berserah diri kepada Yang Maha Agung.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kakang. Seterusnya aku hanya tinggal menunggu, kapan tantangan itu bakal datang. Karena seperti Kakang, aku pun yakin bahwa hal itu akan terjadi.”

“Kau tidak usah menunggu dengan tegang, Mirah. Bahkan lupakan saja persoalan yang menyangkut dengan tongkatmu itu. Jika hal itu benar-benar datang, barulah kita akan menanggapinya.”

Sekar Mirah mengerti maksud Agung Sedayu. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku akan berusaha, Kakang.”

“Yang penting, lakukan yang ingin kau lakukan dengan ilmumu. Jika perlu kita akan pergi ke lereng bukit. Menyenangkan sekali menghirup segarnya udara menjelang senja. Namun tempat itu juga merupakan tempat yang baik untuk berlatih.”

Mata Sekar Mirah menjadi berkilat-kilat. Ajakan Agung Sedayu itu sangat menyenangkannya. Berjalan-jalan di lereng bukit menjelang senja.

Tetapi yang kemudian benar-benar dilakukan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah bukan sekedar berjalan-jalan di lereng bukit. Tetapi mereka pun kemudian dengan teratur pergi ke lereng bukit setiap tiga hari sekali. Mereka berlari-lari di sela-sela hutan lereng pegunungan, di atas tanah berbatu padas. Mereka menyusuri jalan setapak yang sempit, rumpil dan naik turun.

Kemudian di atas bukit, di tempat yang luang dan terbuka, mereka melakukan latihan-latihan yang berat. Beberapa kali Agung Sedayu menyaksikan Sekar Mirah yang sudah menguasai puncak ilmunya itu meloncat sambil mengayunkan tongkatnya menghantam batu-batu padas. Sepercik cahaya yang terang memancar, disusul ledakan batu-batu padas yang pecah berderai.

Latihan-latihan yang dilakukan itu membuat Agung Sedayu semakin mantap atas kemampuan Sekar Mirah. Bahkan Agung Sedayu yakin, orang-orang lain yang pada dasarnya beralaskan ilmu dari perguruan yang sama dengan Sekar Mirah, akan mengalami kesulitan menghadapinya, justru karena unsur-unsur yang dikuasai oleh Sekar Mirah tidak dapat ditebak lagi. Meskipun masih dapat dilacak ciri pokok dari ilmunya, tetapi ilmu yang sudah berkembang itu menjadi jauh lebih padat dari dasar ilmu Sekar Mirah itu sendiri.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun kadang-kadang telah ikut pula ke perbukitan. Mereka pun ternyata menyenangi kebiasaan itu. Mereka pun menyenangi melakukan latihan-latihan di sela-sela hutan lereng pegunungan, serta di tempat terbuka di ujung perbukitan.

Namun dalam pada itu, Prastawa mulai mendapat laporan dari para pengawal, bahwa ada di antara para pengawal yang sempat melihat orang-orang yang tidak dikenal berada di Tanah Perdikan.

“Mereka tentu berilmu tinggi,” berkata salah seorang pengawal, “jika kami berusaha menemui mereka, mereka selalu berhasil menghindar. Sehingga belum seorang pun di antara kami yang sempat menemui mereka.”

“Apakah ada laporan tentang pencurian atau perampokan atau tindak kejahatan yang lain?” bertanya Prastawa.

“Tidak,” jawab pengawal itu.

Ketika Glagah Putih kemudian mendengar laporan itu pula, maka Glagah Putih mencoba menghubungkannya dengan orang-orang yang pernah disebut oleh Sekar Mirah.

Ternyata bahwa kedua orang yang pernah datang ke rumah Sekar Mirah itu dengan sengaja telah mengganggu ketenangan Sekar Mirah. Selagi Sekar Mirah sendiri di rumah, kedua orang itu telah datang lagi. Yang mereka katakan masih saja tidak berubah. Ki Saba Lintang masih saja tersenyum-senyum. Namun Ki Welat Wulung sekali-sekali kehilangan kendali dan bahkan mulai membentak.

Tetapi Sekar Mirah justru menjadi semakin tenang menghadapi mereka. Meskipun kedua orang itu datang lagi beberapa pekan kemudian, sikap Sekar Mirah tidak goyah sama sekali. Meskipun Ki Saba Lintang sambil tersenyum mencoba untuk memancing agar Sekar Mirah merasa tersinggung harga dirinya, namun Sekar Mirah tidak kehilangan penalarannya. Bahkan ketika Ki Welat Wulung membentaknya, Sekar Mirah tidak menjadi gugup dan marah.

Namun Glagah Putih-lah yang kemudian berniat untuk sekali-sekali menemui kedua orang itu. Karena itu, kadang-kadang Glagah Putih hanya pergi sebentar saja, dan ketika matahari sepenggalah, Glagah Putih telah pulang kembali.

Ternyata usaha Glagah Putih itu berhasil. Beberapa saat setelah Agung Sedayu berangkat ke barak, Glagah Putih pun telah meninggalkan regol halaman rumahnya bersama-sama dengan Rara Wulan. Namun arah perjalanan mereka-lah yang berbeda. Rara Wulan pergi ke pasar, sementara Glagah Putih pergi ke banjar.

Tetapi Glagah Putih hanya sebentar berada di banjar. Seperti yang sudah beberapa kali dilakukannya, Glagah Putih pun meninggalkan banjar untuk melihat, apakah di rumahnya ada tamu.

Agaknya kali ini Glagah Putih berhasil. Beberapa saat setelah ia pergi, dua orang tamu telah datang menemui Sekar Mirah. Seperti biasanya kedua orang itu telah mengganggu ketenangan Sekar Mirah. Mereka masih saja menawarkan satu pertemuan di ujung Kali Geduwang. Beberapa kali keduanya menyebut Nyi Dwani sebagai seorang perempuan yang paling pantas dihormati.

Tetapi Sekar Mirah sudah menjadi semakin kebal. Ia sama sekali tidak terpancing. Bahkan Sekar Mirah pun kemudian menjadi semakin tidak menghiraukan kedua orang tamunya.

Ki Welat Wulung menjadi semakin tidak sabar lagi. Dengan nada tinggi bertanya, “Kenapa kau ketakutan untuk pergi ke ujung Kali Geduwang, Nyi?”

Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi marah. Atas petunjuk Agung Sedayu, maka Sekar Mirah menjadi seenaknya saja, “Aku lebih senang perempuan yang bernama Nyi Dwani itu datang kepadaku. Biarlah perempuan itu yang menempuh perjalanan panjang. Bukan aku.”

“Ya, kenapa?” desak Ki Welat Wulung yang menjadi semakin jengkel.

Sekar Mirah memandang orang itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia menjawab seakan-akan tanpa dipikirkan lebih dahulu, “Malas atau takut, atau katakan apa saja sekehendakmu. Atau barangkali ada istilah lain yang lebih baik.”

Darah Ki Welat Wulung bagaikan mendidih membakar ubun-ubunnya. Dengan wajah tegang ia membentak, “Nyi Lurah tidak dapat berbuat seenaknya! Nyi Lurah berhadapan dengan sebuah perguruan. Perguruan Nyi Lurah sendiri. Sebuah perguruan yang besar.”

Tetapi Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, “Kau bermimpi. Perguruan besar yang mana yang kau maksud? Bukankah kita sedang memikirkan cara untuk membangkitkan kembali perguruan yang tertidur?”

“Nyi Lurah telah menghina perguruan Nyi Lurah sendiri.”

“Aku adalah seorang yang ingin berpijak pada kenyataan. Bukan mimpi-mimpi indah yang akan lenyap seperti asap jika kita terbangun.”

“Cukup!” Welat Wulung memotong dengan suara bergetar.

Tetapi Sekar Mirah tetap saja pada sikapnya. Katanya, “Jangan marah. Ingat. Kalian berada di rumahku.”

Ki Welat Wulung hampir saja kehilangan pengamatan diri. Bahkan Ki Saba Lintang tidak lagi nampak tersenyum. Dahinya berkerut dan matanya mulai menjadi semburat merah.

Pada saat keadaan menjadi semakin tegang itulah Glagah Putih memasuki regol halaman. Ketika pintu berderit, maka orang-orang yang duduk di pendapa itu berpaling.

Kedua orang itu tiba-tiba menjadi gelisah. Mereka tahu bahwa anak muda yang memasuki regol halaman rumah itu adalah Glagah Putih, saudara sepupu Agung Sedayu. Mereka memperhitungkan bahwa Glagah Putih itu baru akan kembali setelah tengah hari.

Tetapi tiba-tiba saja Glagah Putih itu sudah melangkah menyeberangi halaman.

Glagah Putih tersenyum ketika ia melihat Sukra berdiri di seketheng. Seperti biasanya setiap kali Sukra selalu mengawasi dua orang yang datang menemui Sekar Mirah. Jika terjadi sesuatu, Sukra sudah siap untuk memukul kentongan.

Sejenak kemudian, Glagah Putih pun telah duduk di pendapa. Sambil mengangguk hormat Glagah Putih pun berkata, “Aku kira Ki Sanak sudah mengenal siapa aku, sebagaimana Ki Sanak mengenal Mbokayu Sekar Mirah.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Saba Lintang-lah yang menyahut, “Aku memang sudah mengenalmu, Anak Muda.”

“Pengenalan kalian baik sekali. Kalian mengenal Mbokayu Sekar Mirah seakan-akan kalian telah menjadi akrab sejak lama.”

“Kami saudara seperguruan Nyi Lurah.”

“Ya. Mbokayu pernah bercerita tentang kalian,” jawab Glagah Putih. Lalu katanya pula, “Mbokayu pun menceritakan bahwa kalian telah beberapa kali datang kemari. Tetapi aku dan Kakang Agung Sedayu belum pernah bertemu dengan kalian. Aku merasa beruntung sekali bahwa kali ini aku sempat ikut menemui kalian berdua.”

“Kami pun merasa bergembira dapat bertemu dengan kau, Anak Muda.”

“Aku ingin mempersilakan kalian datang di sore hari, di saat Kakang Agung Sedayu ada di rumah.”

“Sebenarnya kami juga ingin datang di sore hari. Tetapi waktu yang dapat kami sediakan kebetulan adalah di pagi hari seperti ini.”

“Jika kita membuat janji, maka Kakang Agung Sedayu tidak akan berkeberatan untuk menunggu kehadiran kalian.”

“Terima kasih, Anak Muda. Kami tidak ingin mengganggu Ki Lurah Agung Sedayu, yang tentu terlalu sibuk dengan tugas-tugasnya yang berat itu.”

“Tidak terlalu sibuk. Pada saat-saat tertentu, Kakang dapat saja meninggalkan baraknya barang satu dua hari.”

“Aku kira itu tidak perlu dilakukannya. Keperluan kami pun hanya untuk bertemu dan berbicara dengan Nyi Lurah. Tidak dengan yang lain.”

“Karena itu agaknya kalian selalu datang pada saat Mbokayu sendiri di rumah.”

Wajah Ki Saba Lintang menegang sejenak. Namun ia pun berusaha untuk tersenyum sambil berkata, “Hanya kebetulan, Anak Muda.”

Glagah Putih tertawa. Namun Ki Welat Wulung menyahut geram, “Seperti sudah kami katakan, keperluan kami hanya dengan Nyi Lurah. Buat apa kami harus bertemu dengan yang lain.”

Glagah Putih memandang Welat Wulung dengan tajamnya. Kemudian ia pun berkata, “Ki Sanak. Meskipun kau seperguruan dengan Mbokayu, dengar. Adalah tidak sepantasnya jika kau datang dengan sengaja di saat-saat Mbokayu sendiri di rumah. Mbakayu adalah seorang perempuan yang sudah berkeluarga. Ia mempunyai kewajiban dan kesibukan di saat-saat seperti ini. Mbokayu Sekar Mirah harus masuk di dapur. Harus mencuci pakaian. Harus membersihkan perabot rumah, dan kewajiban-kewajiban yang lain.”

Wajah kedua orang tamu Sekar Mirah itu menjadi merah. Ki Welat Wulung yang darahnya lebih cepat menjadi panas menyahut, “Nyi Lurah Agung Sedayu tidak mengeluh sebagaimana kau keluhkan itu. Kenapa kau tiba-tiba meributkannya.”

“Itulah yang aku maksudkan, bahwa unggah-ungguh Mbokayu Sekar Mirah jauh lebih mapan dari kalian. Mbokayu masih menghormati kedatangan kalian. Mbokayu tidak sampai hati untuk mengatakan keberatan keberatannya kepada kalian. Karena itu, biarlah aku saja yang menyampaikannya.”

Ki Welat Wulung benar-benar menjadi marah. Tetapi Ki Saba Lintang mendahuluinya berkata, “Biarlah. Kami minta diri.”

Sekar Mirah-lah yang kemudian menjawab, “Silahkan, Ki Saba Lintang. Adikku telah memperjelas sikapku. Yang tidak dapat aku katakan, telah dikatakan oleh adikku.”

Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung pun kemudian telah bangkit berdiri. Demikian pula Sekar Mirah dan Glagah Putih. Ketika Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung turun dari pendapa, Sekar Mirah dan Glagah Putih berdiri saja di tangga pendapa, sambil memandangi kedua orang itu melangkah menyeberangi halaman.

Namun sebelum keduanya keluar dari halaman, Ki Saba Lintang sempat berkata dengan suara yang bergetar, “Ini bukan yang terakhir aku datang kemari, Nyi Lurah. Pada saatnya aku akan datang lagi. Kita akan berbicara lebih mengarah lagi tentang tongkat yang kau simpan.”

“Silhakan, Ki Saba Lintang,” jawab Sekar Mirah.

Namun Glagah Putih menyambung, “Jika kalian memang datang dengan niat yang baik, datanglah di saat Kakang Agung Sedayu ada di rumah. Jangan menunggu rumah ini sepi.”

Ki Welat Wulung masih akan menjawab. Tetapi Ki Saba Lintang menggamitnya.

Sejenak kemudian, keduanya pun telah meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu.

Glagah Putih dan Sekar Mirah masih berdiri di tangga pendapa ketika Sekar Mirah itu bertanya, “Apakah kau mengetahui bahwa kedua orang itu datang kemari?”

“Tidak Mbokayu,” jawab Glagah Putih.

“Sesudah beberapa kali kau lakukan, kau berhasil menemui mereka. Bagaimana menurut kesanmu?”

“Menurut pendapatku, mereka bukan orang-orang yang jujur. Aku setuju dengan sikap Mbokayu. Jangan pergi ke mana-mana. Biarlah mereka datang lagi. Biar saja apapun yang mereka katakan.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang benar-benar harus mempersiapkan diri.”

Keduanya berpaling ketika Sukra pun melangkah mendekati mereka Dengan dahi yang berkerut ia pun bertanya, “Kenapa keduanya tidak ditangkap saja?”

“Kenapa ditangkap?” bertanya Glagah Putih.

“Nampaknya keduanya berniat kurang baik. Jika aku mampu, aku akan menangkap mereka dan menyerahkannya kepada Ki lurah Agung Sedayu. Bukankah pemimpin di rumah ini adalah Ki Lurah Agung Sedayu.?”

Glagah Putih dan Sekar Mirah tersenyum. Glagah Putih yang kemudian turun ke halaman berkata, “Kita tidak dapat menangkap orang begitu saja tanpa alasan yang kuat.”

“Tetapi keduanya sudah menunjukkan sikap yang kurang baik,” sahut anak itu.

“Tetapi itu belum cukup, Sukra. Meskipun demikian, kita memang harus berhati-hati menghadapi mereka.”

Sukra mengangguk-angguk. Sementara itu, Rara Wulan pun telah datang pula dari pasar. Bajunya basah oleh keringat.

“Kakang sudah pulang?” bertanya Rara Wulan kepada Glagah Putih.

“Aku ingin bertemu dengan tamu-tamu Mbokayu Sekar Mirah.”

“Dan kau dapat bertemu dengan mereka?”

“Ya Aku bertemu dengan mereka. Baru saja keduanya keluar dari halaman rumah ini. Apakah kau tidak bertemu dengan kedua orang itu? Bukankah kau pernah ikut menemui mereka?”

“Aku dapat mengenali mereka jika aku bertemu. Tetapi nampaknya ia tidak mengambil jalan yang aku lewati dari pasar,” jawab Rara Wulan.

“Sudahlah. Marilah. Nampaknya kau letih. Kau agak lama berbelanja pagi ini,” ajak Sekar Mirah.

“Ada orang pingsan Mbokayu,” jawab Rara Wulan, “aku membantu menolongnya. Nampaknya ia memang sedang sakit. Tetapi ia memaksa diri pergi ke pasar untuk berbelanja, karena besok akan ada perhelatan di rumahnya”

“Tetapi bukankah orang itu kemudian menjadi sadar dan tidak apa-apa?” bertanya Sekar Mirah.

“Untunglah ada seorang tetangganya yang juga sedang berbelanja, sehingga tetangganya itu dapat mengantarnya pulang sekaligus menyerahkannya kepada keluarganya”

“Apakah orang itu sudah selesai berbelanja?”

“Nampaknya sebagian besar keperluannya sudah dibelinya.”

Sekar Mirah pun kemudian telah mengajak Rara Wulan untuk pergi ke dapur. Sementara Glagah Putih duduk di tangga pendapa bersama Sukra.

Sambil menepuk bahunya, Glagah Putih pun berkata, “Sukra. Kau harus lebih bersungguh-sungguh berlatih, agar kau dapat membantu jika terjadi sesuatu di rumah ini. Bukan sekedar memukul kentongan.”

“Tetapi kau sendiri mengatakannya, bahwa kau memerlukan waktu bertahun-tahun?”

“Ya. Aku memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menjadi seorang yang berilmu tinggi. Seperti Nyi Lurah Sekar Mirah. Ia mulai berguru sejak ia masih remaja. Aku pun mulai dengan latihan-latihan olah kanuragan ketika aku meningkat remaja.”

“Bukankah aku juga?” bertanya Sukra.

“Ya. Jika kau tekun, kau akan menjadi seorang yang setidak-tidaknya akan diperhitungkan di Tanah Perdikan ini.”

Sukra mengangguk. Katanya, “Aku akan berlatih dengan bersungguh-sungguh.

Sebenarnyalah kehadiran dua orang yang mengaku seperguruan dengan Sekar Mirah itu telah mendorong seisi rumah Agung Sedayu itu untuk berlatih sebaik-baiknya. Seakan-akan mereka telah didesak oleh waktu untuk segera meningkatkan ilmu mereka.

Namun dengan demikian, maka suasana di rumah Agung Sedayu itu menjadi lebih hidup.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang masih berada di padepokan Kiai Warangka pun telah sembuh sama sekali. Tenaganya telah pulih kembali, sehingga Ki Jayaraga pun mulai didera oleh kerinduan terhadap Tanah Perdikan Menoreh, yang sudah dianggapnya menjadi kampung halamannya.

Karena itu maka pada suatu hari, Ki Jayaraga itu telah muncul di regol halaman rumah Agung Sedayu. Beberapa saat setelah senja, justru pada saat seisi rumah itu duduk-duduk di pringgitan sambil menghirup minuman hangat, setelah semua kerja diselesaikan. Ketika mereka melihat Ki Jayaraga bersama dua orang cantrik yang menemaninya, maka mereka yang berada di pringgitan itu pun segera menyongsongnya.

Berebut mereka mengucapkan selamat datang kepada Ki Jayaraga, yang kemudian telah dipersilakan naik dan duduk di pringgitan pula.

Dengan cekatan Rara Wulan pun segera mempersiapkan minuman dan makanan pula bagi mereka

Beberapa saat kemudian, mereka telah saling menceritakan keadaan mereka masing-masing. Ki Jayaraga menceritakan keadaan di padepokan yang sudah benar-benar menjadi tenang kembali. Semuanya berjalan seperti sediakala. Para cantrik pun dapat bekerja dengan tenang. Mereka dapat menimba berbagai macam ilmu tanpa dibayangi oleh kegelisahan.

Namun berbeda dengan cerita yang menggembirakan itu, Agung Sedayu pun telah menceritakan pula kehadiran dua orang yang nampaknya dengan sengaja membuat Sekar Mirah menjadi gelisah dan tidak tenang. Mengungkit harga dirinya, dan berusaha memaksanya untuk melakukan sebagaimana mereka kehendaki.

Ki Jayaraga mendengarkan cerita Agung Sedayu itu dengan seksama. Sekali-sekali Sekar Mirah telah membubuhinya. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat pula ikut bercerita tentang kedua orang itu.

“Kau memang harus berhati-hati,” berkata Ki Jayaraga kemudian sambil mengangguk-angguk. “Jangan terpancing dengan cara apapun juga. Sikap Nyi Lurah sudah benar. Nyi Lurah tidak akan pergi kemana-mana. Biarlah mereka datang kemari.”

“Menurut perhitunganku, perempuan yang disebut Nyi Dwani itu tentu akan datang. Orang itu tentu ingin merampas tongkatku dengan cara apapun juga. Yang akan dilakukan mula-mula menurut dugaanku adalah menantangku untuk berperang tanding. Ia tentu berharap untuk dapat menang, dan tongkat itu sebagai taruhannya,” sahut Sekar Mirah.

“Jika hal itu terjadi?” bertanya Ki Jayaraga

Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika memandang Agung Sedayu, maka Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Ia akan menerima tantangannya itu.”

Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Namun dengan serta-merta Rara Wulan pun berkata, “Mbokayu telah menyelesaikan laku untuk mencapai tataran tertinggi ilmunya.”

Ki Jayaraga tercenung sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Jadi kau sudah mencapai tataran puncak ilmumu?”

Sekar Mirah tidak menjawabnya. Tetapi ia justru telah menundukkan kepalanya. Sehingga Agung Sedayu yang menjawabnya, “Sejauh dapat dijangkaunya, Ki Jayaraga.”

“Bagus, bagus,” berkata Ki Jayaraga sambil tersenyum, “aku mengucapkan selamat. Mudah-mudahan akan berguna bukan saja bagimu sendiri, tetapi akan berguna bagi banyak orang.”

“Terima kasih, Ki Jayaraga,” sahut Sekar Mirah dengan nada dalam, “tetapi puncak ilmuku itu tentu tidak berarti apa-apa menurut perbandingan ilmu dengan ilmu dari perguruan lain.”

“Jangan berkata begitu. Setiap jalur perguruan mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Menurut dugaanku, karena yang ada di sini adalah Ki Lurah Agung Sedayu, maka kau capai tataran puncakmu dalam bimbingan Ki Lurah.”

Sekar Mirah mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Jayaraga.”

“Nah, Ki Lurah tentu sudah menutup lubang-lubang kelemahanmu dengan landasan ilmu dari perguruan yang berbeda,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Mudah-mudahan, Ki Jayaraga,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “aku berharap bahwa Sekar Mirah akan dapat mengimbangi kemampuan perempuan yang disebut bernama Nyi Dwani itu. Aku tidak tahu seberapa tinggi tingkat ilmunya. Tetapi persiapan Sekar Mirah cukup masak, jika mereka memaksakan perang tanding itu.”

“Tetapi aku sudah bertekad untuk tidak mempertaruhkan tongkat itu, Ki Jayaraga,” Sekar Mirah menyambung, “aku akan menerima tantangannya untuk berperang tanding. Ia dapat membunuhku jika ia menang. Tetapi aku tidak akan merelakan tongkatku diserahkan kepadanya. Aku mohon Kakang Agung Sedayu, Glagah Putih, Rara Wulan, dan karena Ki Jayaraga ada di sini, juga Ki Jayaraga, untuk melindungi tongkatku itu.”

“Kau tidak akan dikalahkannya, Nyi Lurah,” berkata Ki Jayaraga, “beri kesempatan aku melihat tataran ilmumu itu nanti di sanggar”

Sekar Mirah justru tertunduk, meskipun nampak bibirnya tersenyum. Sementara Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Ki Jayaraga tentu masih letih. Biarlah besok atau lusa Sekar Mirah menunjukkannya.”

“Tidak. Aku tidak letih.”

Lalu ia pun bertanya kepada para cantrik yang menemaninya dalam perjalanan, “Bukankah kalian juga tidak letih?”

Kedua cantrik itu tersenyum. Namun mereka tidak menjawab.

Demikianlah, untuk beberapa saat mereka masih duduk di pringgitan. Mereka berbincang tentang banyak hal. Ki Jayaraga juga menceritakan apa yang telah dilakukan oleh Kiai Warangka sepeninggal Glagah Putih, untuk meningkatkan bobot padepokannya. Bukan saja dari segi penuangan ilmu kepada para cantrik, tetapi juga peningkatan kesejahteraan mereka.

Malam itu kedua orang cantrik yang menemani perjalanan Ki Jayaraga itu dipersilakan bermalam di rumah Agung Sedayu. Ketika malam menjadi semakin dalam, serta setelah keduanya dipersilahkan makan malam, maka kedua cantrik itu telah dipersilahkan beristirahat di gandok kanan.

Tetapi Ki Jayaraga masih belum ingin beristirahat. Seperti yang sudah dikatakannya, ia ingin berada di sanggar, untuk melihat tataran tertinggi ilmu yang telah dicapai oleh Sekar Mirah.

Sebenarnya Sekar Mirah merasa agak segan untuk memamerkan ilmunya kepada Ki Jayaraga. Namun Agung Sedayu telah berbisik di telinganya, “Lakukan. Demikian mendesaknya keinginan Ki Jayaraga untuk melihat ilmumu sampai pada tataran puncak. Ia bermaksud baik. Kau tidak usah merasa segan.”

Dengan demikian, maka Sekar Mirah pun tidak menolak ketika Ki Jayaraga kemudian minta agar Sekar Mirah bersedia untuk memperagakannya di dalam sanggar.

Bukan saja Ki Jayaraga yang kemudian berada di sanggar. Tetapi Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun juga berada di dalam sanggar pula

Beberapa saat kemudian, setelah Sekar mirah mempersiapkan diri sebaik-baiknya, maka Sekar Mirah pun segera menunjukkan kemampuannya setelah ia mencapai pada tataran tertinggi.

Ki Jayaraga memperhatikan bagaimana Sekar Mirah berloncatan melalui unsur-unsur gerak yang paling sederhana sampai pada unsur yang paling rumit. Sekar Mirah pun kemudian telah menunjukkan penguasaannya atas ilmunya sampai ke tataran puncak.

Seperti yang diduga, ilmu Sekar Mirah pun tidak dapat disebut mumi lagi. Ki Jayaraga melihat pengaruh perguruan Orang Bercambuk dan perguruan Ki Sadewa ikut mewarnai ilmu Sekar Mirah. Bahkan mampu menutup kelemahan-kelemahan yang ada di dalam ilmunya itu. 

Beberapa kali Ki Jayaraga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia ikut merasa berbangga, bahwa Sekar Mirah telah menjalani laku dan berhasil mencapai tataran puncak ilmunya

Glagah Putih pun menjadi kagum atas keberhasilan Sekar Mirah. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, Glagah Putih mengakui bahwa Sekar Mirah telah dapat berdiri dalam jajaran teratas bagi orang-orang berilmu tinggi. Meskipun demikian, Sekar Mirah masih harus banyak berlatih untuk mengembangkan ilmu puncak yang sudah dikuasainya itu.

Sekar Mirah memang belum sampai pada tataran kemampuan Agung Sedayu. Bahkan masih belum berada pada lapisan yang sama dengan Glagah Putih. Tetapi Sekar Mirah sudah memiliki modal yang lengkap untuk menempatkan dirinya pada tataran puncak bagi perguruannya.

Ketika Sekar Mirah kemudian berhenti memperagakan kemampuannya di hadapan Ki Jayaraga, maka Ki Jayaraga itu pun berkata, “Luar biasa. Aku melihat satu ungkapan ilmu yang lengkap. Rasa-rasanya tidak ada lubang-lubang seujung duri pun yang akan dapat ditembus. Meskipun demikian, jika Nyi Lurah dan Ki Lurah tidak berkeberatan, aku ingin melengkapi ilmu Nyi Lurah dengan unsur-unsur gerak yang berbeda sekali. Jika ia harus menghadapi saudara seperguruannya, maka unsur-unsur yang lain sekali itu akan dapat membingungkan mereka. Namun aku yakin, bahwa unsur-unsur yang berbeda sama sekali itu tidak akan mengacaukan penguasaan Nyi Lurah atas ilmu Nyi Lurah sendiri. Biarlah Ki Lurah mengikutinya, sehingga jika ada kesalahan yang aku lakukan, Ki Lurah dapat menegurnya.”

Sekar Mirah memang menjadi ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata, “Sekar Mirah tentu tidak akan menolaknya. Ia akan sangat berterima kasih. Semua bekal yang dapat dihimpun akan dikumpulkannya, agar jika benar perempuan yang bernama Nyi Dwani itu datang kepadanya, Sekar Mirah tidak harus menjadi korban ketamakan orang-orang yang mengaku saudara-saudara seperguruannya itu.”

“Aku senang sekali atas kesempatan ini, Ngger. Aku akan merasa bahwa hidupku tidak sia-sia. Aku berbangga atas Glagah Putih yang telah mampu mewarisi ilmuku selengkapnya. Aku pun akan berbangga bahwa ilmuku akan dapat ikut mewarnai ilmu Nyi Lurah Agung Sedayu.”

“Aku-lah yang akan merasa senang sekali, Ki Jayaraga. Aku mengucapkan terima kasih atas perkenan Ki Jayaraga.”

“Aku ingin Nyi Lurah dapat memberikan peringatan terhadap orang-orang yang tamak itu. Meskipun aku belum pernah bertemu, tetapi rasa-rasanya orang itu sangat menjengkelkan.”

Demikianlah, maka Ki Jayaraga yang baru pulang dari padepokan Kiai Warangka itu langsung merasa ikut bertanggung jawab atas keberhasilan Sekar Mirah untuk mempertahankan kedudukannya di mata saudara-saudara seperguruannya. Bahwa Sekar Mirah memang orang yang paling berhak untuk menguasai tongkat itu. Tidak seorang pun yang pantas mengambilnya dari tangannya.

“Besok aku akan mulai jika Nyi Lurah tidak berkeberatan. Tetapi tidak perlu mengikat diri sebagaimana saat Nyi Lurah menjalani laku. Kita akan dapat mempergunakan waktu kapan saja kau sempat. Tidak pula ada keterikatan seberapa panjang waktu yang harus kita pergunakan.”

“Terima kasih, Ki Jayaraga,” sahut Sekar Mirah sambil mengangguk hormat.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah keluar dari sanggar.

Ketika matahari terbit di hari berikutnya, kedua orang cantrik yang menyertai Ki Jayaraga kembali ke Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah minta diri. Mereka harus kembali ke padepokan hari itu, sebagaimana pesan Kiai Warangka.

Sementara itu, sejak hari itu Sekar Mirah sering berada di sanggar bersama Ki Jayaraga. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, tidak ada keterikatan waktu. Sementara itu Ki Jayaraga juga sudah mulai sibuk lagi dengan kerjanya di sawah, sebagaimana dilakukan sebelum ia berada di padepoka Kiai Warangka.

Dalam pada itu, laporan tentang orang-orang yang berkeliaran di malam hari masih saja disampaikan kepada Prastawa. Namun tidak seorang pengawal pun yang pernah dapat bertemu dan berbicara langsung dengan orang-orang itu.

Glagah Putih yang beberapa kali ikut meronda, ternyata tidak pernah menjumpai orang-orang yang tidak dikenal, yang berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, dari hari ke hari Glagah Putih tidak lagi merasa perlu untuk menjebak kedua orang yang mengaku saudara seperguruan Sekar Mirah. Ki Jayaraga pun hampir setiap hari ada di rumah. Ia pergi ke sawah setelah matahari tinggi, setelah Rara Wulan pulang dari pasar. Sehingga dengan demikian Sekar Mirah tidak pernah sendiri lagi di rumah, hanya ditemani oleh Sukra.

Tetapi kedua orang itu memang tidak merasa perlu lagi untuk menunggu kapan Sekar Mirah berada di rumahnya sendiri. Mereka merasa tidak berhasil menggoyahkan ketabahan hati Sekar Mirah menghadapi mereka berdua. Karena itu, maka mereka akan menempuh jalan yang lebih kasar.

Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung ternyata telah datang ke rumah Sekar Mirah justru di sore hari, di saat Agung Sedayu dan seisi rumah lengkap berada di rumah.

Sekar Mirah memang terkejut oleh kedatangan mereka. Apalagi mereka tidak hanya berdua, tetapi mereka datang berempat. Selain Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung, bersama mereka telah datang seorang laki-laki yang lebih tua, dan seorang perempuan cantrik yang umurnya sebaya dengan Sekar Mirah.

Sekar Mirah pun kemudian telah mempersilahkan mereka naik ke pringgitan. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga pun ikut pula menemui keempat tamunya itu. Mereka langsung menduga bahwa perempuan itulah yang disebut-sebut sebagai Nyi Dwani. Seorang perempuan yang berilmu tinggi, yang tinggal di ujung Kali Geduwang. Sedangkan laki-laki yang lebih tua itulah agaknya ayah Nyi Dwani, Empu Wisanata.

Agung Sedayu-lah kemudian yang mengucapkan selamat datang kepada tamu-tamunya, dengan unggah-ungguh yang utuh sebagaimana seseorang menerima tamu yang dihormatinya.

“Kami memenuhi keinginan Nyi Lurah, agar kami datang berkunjung saat Ki Lurah ada di rumah,” berkata Ki Saba Lintang, setelah ia dan para tamu yang lain memperkenalkan dirinya

“Terima kasih, Ki Saba Lintang,” jawab Agung Sedayu, “kesediaan Ki Saba Lintang dan para tamu yang lain merupakan satu kehormatan bagiku.”

“Kami ingin agar dalam pertemuan kali ini, kami dapat menuntaskan pembicaraan kami dengan Nyi Lurah, tentang usaha kami untuk membangun kembali perguruan kami.”

“Satu usaha yang sangat baik, Ki Saba Lintang.”

“Mungkin kami juga mohon bantuan Ki Lurah dan sanak kadang di Tanah Perdikan ini.”

“Kami akan membantu apa yang dapat kami bantu.”

“Sebelumnya, kami mengucapkan terima kasih, Ki Lurah,” Ki Saba Lintang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi sebelumnya kami mohon maaf Ki Lurah, bahwa pembicaraan kami akan merupakan pembicaraan khusus bagi saudara-saudara seperguruan kami.” 

“Silahkan, Ki Saba Lintang, silahkan. Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Terima kasih, Ki Lurah,” desis Ki Saba Lintang. Namun pembicaraan mereka pun terputus ketika Rara Wulan kemudian keluar dari pintu pringgitan untuk menghidangkan minuman hangat serta makanan. Namun bersama dengan Rara Wulan, Glagah Putih telah keluar pula dan duduk di pringgitan, bersama dengan mereka yang sudah lebih dahulu berada di pringgitan itu.

Ki Saba Lintang memandang Glagah Putih sekilas, namun anak muda itu agaknya tidak menghiraukannya. Ia duduk saja di sebelah Ki Jayaraga, sambil membantu Rara Wulan menghidangkan minuman.

Namun setelah minuman itu dihidangkan, Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak kembali masuk ke ruang dalam. Mereka justru ikut duduk menemui tamu-tamu mereka.

Untuk beberapa saat Ki Saba Lintang termangu-mangu. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Sekar Mirah telah mendahuluinya, “Ki Saba Lintang, meskipun pembicaraan selanjutnya adalah pembicaraan antara saudara seperguruan, tetapi biarlah keluargaku ikut mendengarkannya. Mereka akan menjadi saksi dari pembicaraan ini.”

Ki Saba Lintang termangu-mangu sejenak. Namun Ki Welat Wulung-lah yang menyahut, “Pembicaraan antara saudara seperguruan adalah rahasia perguruan. Sebaiknya tidak ada orang lain yang mendengarnya.”

“Apakah Empu Wisanata juga saudara seperguruan kita?” bertanya Sekar Mirah.

Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung saling berpandangan sejenak. Namun Empu Wisanata sendiri-lah yang menyahut, “Ya. Aku adalah saudara seperguruan Nyi Lurah.”

“Apakah Empu dapat membuktikannya? Maksudku, apakah Empu memiliki kemampuan sebagaimana salah seorang murid dari perguruan kami?”

Empu Wisanata menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya. Aku dapat membuktikannya”

“Di belakang rumah ini ada sanggar. Keluargaku akan meninggalkan pertemuan ini jika Empu Wisanata dapat membuktikan bahwa ia adalah saudara seperguruanku. Bahkan aku juga ingin melihat Ki Saba Lintang, Ki Welat Wulung dan Nyi Dwani sendiri. Aku mengenal betul warna ilmu dari perguruanku.”

“Sudahlah,” berkata Nyi Dwani, “biarlah keluarga Nyi Lurah hadir dalam pembicaraan ini.”

Ki Saba Lintang menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Biarlah Ki Lurah menjadi saksi dari pembicaraan ini.”

“Terima kasih,” sahut Sekar Mirah. Lalu katanya, “Nah, apa yang akan kita bicarakan sekarang?”

“Nyi Lurah,” berkata Ki Saba Lintang, “saat ini Nyi Dwani sudah meringankan langkah untuk datang ke Tanah Perdikan. Nyi Dwani sendiri yang akan mengundang Nyi Lurah untuk pergi ke ujung Kali Geduwang.”

“Nyi Lurah,” berkata Nyi Dwani kemudian sambil tersenyum, “aku memerlukan datang ke Tanah Perdikan untuk menyampaikan undangan, agar Nyi Lurah bersedia untuk pergi ke tempat kami di ujung Kali Geduwang. Kami tinggal di tempat terpencil, namun yang justru karena itu akan dapat menjadi tempat yang baik bagi sebuah pertemuan.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang Ki Saba Lintang, Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, “Apakah Ki Saba Lintang tidak mengatakan keputusanku?”

“Maksud Nyi Lurah?” bertanya Nyi Dwani.

“Aku hanya bersedia menghadiri sebuah pertemuan yang diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ki Saba Lintang memang pernah mengatakannya, Nyi Lurah. Tetapi aku mohon Nyi Lurah mempertimbangkan sekali lagi. Pertemuan ini adalah sebuah pertemuan yang mempunyai tujuan yang besar, yang akan memberikan arti bagi banyak orang. Karena kebangkitan sebuah perguruan, akan mempengaruhi perjalanan hidup dari mereka yang semula telah tersebar dan memencar, tanpa ikatan apapun yang satu dengan yang lain.”

“Justru karena itu, maka aku bersedia menyediakan tempat dan kelengkapannya di sini untuk tujuan yang baik itu. Aku bersedia menyediakan penginapan, makanan, dan ruang pertemuan yang diperlukan, berapa pun yang akan hadir dalam pertemuan itu.”

“Nyi Lurah. Sebuah pertemuan bukan sekedar tempat dan kelengkapannya. Tetapi juga nama-nama yang mempunyai pengaruh akan menentukan,” berkata Ki Saba Lintang, “nama Nyi Dwani dan Empu Wisanata akan mendorong saudara-saudara kita untuk bersedia menghadiri pertemuan itu.”

Tetapi Sekar Mirah itu pun menjawab, “Apa bedanya jika pertemuan ini diselenggarakan di sini, dengan menyebutkan bahwa Empu Wisanata dan Nyi Dwani akan menghadirinya?”

“Kesannya akan jauh berbeda,” berkata Nyi Dwani, “jika pertemuan itu diselenggarakan di tempat tinggalku, maka wibawaku akan utuh. Mereka datang ke tempat tinggalku, di bawah naungan ayahku, dan aku sendiri-lah yang akan memimpin pertemuan itu.”

“Kenapa Nyi Dwani yang akan memimpin pertemuan itu?”

“Aku dan Ki Saba Lintang, karena kebetulan Ki Saba Lintang memiliki tongkat ciri perguruan kita.”

“Aku juga memilikinya. Bukankah dengan demikian berarti bahwa aku lebih berhak memimpin daripada Nyi Dwani sendiri? Karena itu, biarlah pertemuan itu diselenggarakan di sini. Aku dan Ki Saba Lintang akan memimpin pertemuan itu.”

Wajah Nyi Dwani berkerut. Dengan nada datar ia berkata, “Aku mempunyai pengaruh jauh lebih besar dari Nyi Lurah.”

“Apakah dasarnya bahwa pengaruhmu lebih luas? Maksudmu karena kau mengenal lebih banyak orang di antara saudara seperguruan kita?”

“Ya. Mereka menghormati aku. Mereka tahu pasti, siapakah aku dan apa yang dapat aku lakukan. Sementara Nyi Lurah, hanyalah karena secara kebetulan Nyi Lurah memegang tongkat perguruan.”

Terasa jantung Sekar Mirah mulai bergejolak. Tetapi ketika ia memandang suaminya, nampaknya Agung Sedayu masih tetap tenang saja. Demikian pula Ki Jayaraga. Namun ketika ia memandang Glagah Putih, wajah Glagah Putih nampak berkerut.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Sekar Mirah terpengaruh oleh ketenangan sikap Agung Sedayu, sehingga Sekar Mirah pun telah menguasai dirinya. Dengan tenang ia menjawab, “Apakah secara kebetulan aku memiliki tongkat itu? Apakah secara kebetulan pula Ki Saba Lintang menguasai tongkatnya? Apakah mungkin ada orang lain yang secara kebetulan juga menguasai tongkat-tongkat seperti itu?”

“Sudahlah Nyi Lurah,” berkata Nyi Dwani, “jangan mempersulit persoalan yang kita hadapi. Untuk membangun kembali sebuah perguruan adalah satu kerja yang besar, yang rumit. Kalau Nyi Lurah justru mempersulit persoalan, maka tugas kami menjadi semakin berat.”

Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, “Kenapa justru kau seakan-akan berhak menentukan segala sesuatunya, Nyi Dwani? Kenapa bukan Ki Saba Lintang? Kenapa bukan aku?”

Ki Saba Lintang-lah yang menyahut, “Aku sudah berbicara dengan Nyi Dwani sebelumnya.”

Namun Sekar Mirah pun menggeleng, “Tidak ada orang yang dapat mengubah keputusanku. Pertemuan itu harus diselenggarakan di sini. Di Tanah Perdikan Menoreh. Atau tinggalkan aku. Kalian dapat mengadakan pertemuan itu tanpa aku, jika aku memang tidak kalian anggap penting.”

“Nyi Lurah tentu kami anggap penting.”

“Apa yang kalian katakan sama sekali tidak sejalan. Di satu pihak kalian menganggap aku penting. Tetapi di pihak lain kalian tidak menghiraukan aku sama sekali.”

Ki Welat Wulung ternyata tidak sabar lagi. Katanya, “Apa pamrihmu dengan mempersulit persoalan ini? Jika orang lain menganggap bahwa pengaruhmu sama sekali tidak dapat mengimbangi pengaruh Nyi Dwani, kau mau apa? Apakah kau akan menuntut orang yang tidak menghargaimu sebagaimana kau inginkan?”

Glagah Putih beringsut setapak. Tetapi Agung Sedayu menggamitnya, sehingga Glagah Putih itu berpaling. Tetapi wajah Agung Sedayu sama sekali tidak berubah. Seperti air di wajah kolam yang diam, beku. Rasa-rasanya Glagah Putih ingin melemparkan segenggam pasir, agar wajah air di kolam itu mulai bergetar.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam.

Namun Sekar Mirah masih berhasil menguasai perasaannya. Katanya, “Nampaknya jalan pikiran kita tidak dapat bertemu. Karena itu, aku lebih baik tidak ikut campur. Jika kalian akan menyelenggarakan pertemuan, lakukanlah.”

“Kau tidak dapat begitu, Nyi Lurah,” sahut Empu Wisanata, “kau harus mempertanggung-jawabkan kedudukanmu sebagai salah seorang dari pemegang tongkat perguruan. Kecuali jika kau serahkan tongkat itu kepada orang lain.”

Sekali lagi Glagah Putih beringsut. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.

Dalam pada itu, Sekar Mirah pun menjawab, “Sudah aku katakan. Ketika aku menerima tongkat ini, aku tidak dibebani tanggung jawab apapun juga kecuali tanggung jawab terhadap diriku sendiri, sebagai seorang yang mendapat kepercayaan dari gurunya. Karena itu, jangan memaksa aku.”

Ki Welat Wulung-lah yang menyahut, “Silahkan Nyi Lurah berdiri di luar lingkaran perguruan. Tetapi Nyi Lurah harus menyerahkan kembali tongkat perguruan itu kepada kami.”

“Kepada siapa?” bertanya Sekar Mirah. Menilik nada suaranya, ia masih tetap mampu mengendalikan perasaannya

“Nyi Lurah,” berkata Nyi Dwani, “biarlah aku mengambil alih tugas Nyi Lurah. Berikanlah tongkat itu kepadaku. Kami untuk selanjutnya tidak akan mengusik ketenangan keluarga Nyi Lurah.”

Tiba-tiba saja Sekar Mirah tertawa pula. Katanya, “Inilah akhir dari segala pembicaraan yang berkepanjangan itu. Aku sudah menduga bahwa arahnya tentu ke sana. Bahkan seandainya aku bersedia hadir dalam sebuah pertemuan, maka keinginan terakhir kalian adalah mengambil tongkat itu dan menyerahkannya kepada orang lain. Dalam hal ini adalah Nyi Dwani.”

“Tidak ada pilihan lain, Nyi Lurah,” berkata Empu Wisanata, “itu adalah keputusan yang paling bijaksana. Nyi Lurah tidak akan terganggu lagi, sementara perguruan kami akan segera bangkit kembali. Tentu saja kami tidak akan pernah melupakan Nyi Lurah serta kebijaksanaan Nyi Lurah ini.”

“Sayang, Empu. Aku bukan orang yang bijaksana. Aku adalah orang yang keras kepala dan berpegang kepada kepentingan diri sendiri. Tidak bertanggung jawab, dan tidak menghiraukan tata pergaulan dalam sebuah perguruan. Dengar Empu, aku tidak akan pernah hadir dalam pertemuan di luar Tanah Perdikan, dan aku tidak akan pernah menyerahkan tongkat itu kepada orang lain.”

“Tidak mungkin,” sahut Nyi Dwani dengan serta-merta, “Nyi Lurah harus menyerahkan tongkat itu kepadaku.”

“Kau akan merampok tongkat itu?”

“Tidak,” jawab Nyi Dwani, “aku ingin menguji, siapakah yang paling pantas memiliki tongkat itu.”

“Tidak akan ada pendadaran. Tidak akan ada persoalan apapun tentang pemilikan tongkat itu.”

“Maksud Nyi Lurah?”

“Tongkat itu tongkatku. Tidak ada persoalan apa-apa lagi.”

Orang-orang yang mengaku saudara seperguruan Sekar Mirah itu menjadi tegang. Ki Welat Wulung-lah yang kemudian berkata dengan nada keras, “Itu tidak mungkin. Tongkat dapat diperebutkan.”

“Jadi bagaimana caranya kalian akan memperebutkan tongkat itu? Aku sudah bertanya kepada Nyi Dwani, apakah kalian akan merampok tongkatku.”

“Jika perlu kami ingin mengambil tongkat itu dengan paksa,” geram Ki Welat Wulung.

“Adikku dapat memukul kentongan. Seisi Tanah Perdikan akan keluar dari rumahnya. Nah, kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu.”

“Kau ternyata sangat licik.”

Sekar Mirah menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak licik. Aku berlandaskan pada hak. Jika kalian ingin merampas hakku, maka itu sama artinya dengan merampok. Kami dapat memperlakukan kalian sebagai perampok.”

“Nyi Lurah,” berkata Nyi Dwani, “jadi bagaimana harus aku katakan kepadamu, bahwa aku ingin menguji kemampuanmu?”

“Maksudmu?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku menantang Nyi Lurah, untuk menilai siapakah yang terbaik di antara kita.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa arah pembicaraan itu pada akhirnya akan bermuara pada tantangan seperti itu. Meskipun demikian, Sekar Mirah masih juga berdebar-debar.

Namun Sekar Mirah berusaha untuk tetap tenang. Ia sama sekali tidak ingin menunjukkan satu kesan apapun setelah ia mendengar tantangan itu. Wajahnya tetap dingin. Sementara suaranya justru menjadi datar, “Kau menantang aku?”

“Ya. Biarlah saudara-saudara seperguruan kita mengetahui, siapakah yang memiliki ilmu lebih tinggi, sehingga lebih berhak memiliki tongkat perguruan itu.”

“Nyi Dwani. Sudah aku katakan bahwa aku tidak akan mempertaruhkan tongkat itu. Tongkat itu adalah milikku. Tidak seorangpun dapat mengganggunya lagi,” jawab Sekar Mirah. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika Nyi Dwani ingin menjajagi ilmuku, aku tidak akan berkeberatan. Aku akan menerima tantangan Nyi Dwani.”

“Lalu, buat apa perbandingan ilmu itu dilakukan, tanpa mempertaruhkan tongkat itu?” bertanya Empu Wisanata

“Aku tidak tahu. Bukankah Nyi Dwani yang menginginkannya?”

“Aku menginginkan satu pertarungan yang memperebutkan tongkat itu,” sahut Nyi Dwani.

“Tongkat itu tidak untuk dipertaruhkan, tetapi untuk dipertahankan. Kalian tidak usah menyebut-nyebut lagi usaha untuk merebut tongkat itu. Tetapi sekali lagi aku katakan, jika Nyi Dwani memang menantangku, maka aku tidak akan berkeberatan melayaninya. Kita akan saling menjajagi kemampuan kita masing-masing dengan jujur. Siapa yang memiliki ilmu yang lebih tinggi. Tetapi tidak dengan mempertaruhkan tongkat itu.”

“Nyi Lurah sudah menyerah sebelum penjajagan ilmu itu dimulai. Aku tahu bahwa sebenarnya Nyi Lurah mengakui, sehingga Nyi Lurah tidak berani mempertaruhkan tongkat itu.”

“Itu terserah kepadamu, Nyi Dwani. Tetapi kau tidak akan dapat memaksaku memenuhi keinginanmu.”

Wajah Nyi Dwani terasa menjadi panas, namun tiba-tiba saja Nyi Dwani pun berkata, “Tanpa mempertaruhkan sesuatu, penjajagan ilmu itu tidak ada gunanya. Nah, Nyi Lurah. Jika kau memang yakin akan ilmumu, kau dapat memilih. Kau pertaruhkan tongkat itu, atau kau pertaruhkan nyawamu.”

Sekar Mirah-lah yang kemudian menjadi sangat tegang. Dengan lantang ia bertanya, “Maksudmu kau menantang perang tanding>”

“Ya.”

“’Baik,” jawab Sekar Mirah dengan serta-merta, “aku memilih yang kedua. Aku dan kau akan mempertaruhkan nyawa kita. Kita akan berperang tanding.”

Suasana pun segera menjadi semakin panas. Namun kemudian Empu Wisanata pun berkata, “Jika itu sudah menjadi kesepakatan, maka kita akan menentukan kapan perang tanding itu dilakukan. Dan kita pun akan menentukan tempat yang terbaik, sehingga perang tanding itu dapat dilangsungkan dengan jujur.”

“Di Tanah Perdikan ini banyak terdapat tempat yang dapat kita pergunakan untuk berperang tanding tanpa terganggu.”

“Aku yakin kalau Nyi Lurah juga tidak akan berani melakukannya di luar Tanah Perdikan. Karena itu, maka aku memilih tempat meskipun di Tanah Perdikan ini, tetapi yang berkesan bebas dari pengaruh keadaan di sekitarnya”

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Ia benar-benar merasa tersinggung oleh pernyataan Nyi Dwani itu. Karena itu, maka Sekar Mirah pun berkata lantang, “Sebutkan, di mana kau ingin melakukan perang tanding itu.”

“Aku tantang kau berperang tanding di tepian Kali Praga,” sahut Nyi Dwani. “Bukankah tepian sisi barat Kali Praga masih termasuk daerah Tanah Perdikan Menoreh?”

“Baik. Aku tidak berkeberatan. Beberapa orang kau akan membawa saksi?”

“Tiga orang. Ayah, Ki Saba Lintang dan Ki Welat Wulung.”

“Aku juga akan membawa tiga orang saksi,” sahut Sekar Mirah. “Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih.”

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan menyela, “Aku juga akan ikut menjadi saksi.”

Sekar Mirah berpaling kepadanya. Sambil tersenyum Sekar Mirah pun berkata, “Kau tinggal di rumah saja, Rara. Belum waktunya kau menyaksikan perang tanding seperti ini.”

“Tetapi aku tidak mau membiarkan Mbokayu pergi sendiri.”

“Aku tidak sendiri, Rara.”

“Tetapi aku akan menjadi saksi.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam, sementara Glagah Putih berdesis, “Pada saatnya kau akan menjadi saksi, Rara.”

“Aku akan menjadi saksi saat Mbokayu Sekar Mirah berperang tanding. Aku ingin melihat langsung akhir dari perang tanding itu.”

Namun tiba-tiba saja justru Nyi Dwani yang menyahut, “Apa salahnya jika anak itu ikut menyaksikan perang tanding itu? Ia tentu sudah memperhitungkan bahwa ia akan menunggui saat-saat terakhir Mbokayunya. Mungkin ia masih sempat mendengarkan pesan-pesan Nyi Lurah untuknya.”

“Kau terlalu menghina Mbokayu Sekar Mirah,” geram Rara Wulan.

Sambil tertawa Nyi Dwani menyahut, “Jangan marah. Aku justru membantumu agar kau dapat menyaksikan perang tanding itu.”

Jantung Rara Wulan hampir meledak karenanya. Ia tidak tahan mendengarkan betapa Nyi Dwani itu sangat merendahkan Sekar Mirah.

Namun nampaknya Sekar Mirah sendiri tidak menghiraukannya. Bahkan ia pun berkata, “Nah, jika sudah ada persetujuan, maka kau dapat ikut bersama kami Rara. Berterima-kasihlah kepada Nyi Dwani yang telah berbaik hati kepadamu.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengerti, kenapa Sekar Mirah tidak menjadi marah.

Yang jantungnya terasa membengkak adalah Ki Welat Wulung. Ia menjadi sangat tidak senang melihat sikap Sekar Mirah yang tetap tenang menghadapi perang tanding. Bahwa Sekar Mirah itu tidak menjadi marah meskipun Nyi Dwani sangat meremehkannya.

Namun dalam pada itu, Ki Saba Lintang pun berkata, “Kita akan menentukan waktu, kapan perang tanding itu akan diselenggarakan. Tetapi tentu tidak dalam waktu yang terlalu lama. Kami harus segera mempersiapkan pertemuan di ujung Kali Geduwang.”

“Tetapi pertemuan itu tentu tanpa Nyi Dwani,” sahut Rara Wulan.

Nyi Dwani memandang Rara Wulan dengan sorot mata yang membara. Namun demikian perempuan itu tertawa, betapapun asamnya. Katanya, “Kau masih terlalu muda untuk mengenal kerasnya dunia olah kanuragan. Sebaiknya kau bersiap-siap untuk melihat kenyataan pahit di tepian Kali Praga itu. Jika pada saat kau pergi ke tepian kau masih dapat menyandarkan kepalamu di bahu Mbokayumu, maka pada saat kau pulang, kau akan mengusung Mbokayumu yang sudah tidak akan mampu menyapamu lagi untuk selamanya.”

“Tidak!” teriak Rara Wulan.

Tetapi Nyi Dwani tertawa berkepanjangan. Katanya, “Jangan menyesali nasib buruk Mbokayumu.”

Tetapi Ki Welat Wulung justru menjadi semakin tidak senang melihat Sekar Mirah tidak menjadi marah. Bahkan Sekar Mirah itu ikut tertawa pula. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga pun tersenyum menyaksikan pembicaraan itu, meskipun mereka berusaha untuk tidak mencampurinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar