Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 306

Buku 306

Namun Agung Sedayu itu terkejut ketika Panembahan Senapati itu berkata, “Tetapi perjalanan ini mendekatkan kita kepada batas akhir dari segala-galanya.”

“Panembahan,” desis Agung Sedayu, “jika nanti senja turun dan malam menjadi gelap, bukankah itu berarti bahwa kita berada di dalam penantian untuk menyongsong matahari yang terbit esok?”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Sudahlah, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kau lekas sembuh dan benar-benar pulih kembali. Kita akan mencoba menikmati cahaya langit di senja hari. Agung Sedayu, tiba-tiba saja aku merindukan kedamaian hati. Damai dengan sesama dan damai dengan Yang Maha Pencipta.”

“Panembahan,” Agung Sedayu menjadi semakin heran mendengar kata-kata Panembahan Senapati itu.

Tetapi Panembahan Senapati menepuk bahu Agung Sedayu sambil berkata, “Salamku buat Ki Gede Menoreh, dan buat seluruh penghuni Tanah Perdikan.”

Agung Sedayu memandang Panembahan Senapati dengan sebangsal pertanyaan tersimpan di dadanya

Ketika kemudian Panembahan Senapati meninggalkan Agung Sedayu, ia sempat berkata, “Aku merasa bersyukur bahwa aku sudah mempersiapkan putraku.”

Sikap Panembahan Senapati itu tidak segera dapat dilupakan oleh Agung Sedayu. Rasa-rasanya ada pesan yang ingin disampaikan. Tetapi pesan itu tidak terucapkan dengan wantah.

Sementara itu, Ki Patih Mandaraka sempat melepas pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu yang masih lemah duduk di atas punggung kudanya. Sambil mengucapkan terima kasih, Agung Sedayu mohon diri untuk membawa para prajurit dari Pasukan Khususnya bersama para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Sejenak kemudian, iring-iringan itu pun meninggalkan Mataram menempuh perjalanan yang tidak terlalu panjang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika pasukan itu sampai di Kali Praga, para prajurit itu harus dengan sabar menunggu gilirannya. Beberapa buah rakit hilir mudik membawa para prajurit dari Pasukan Khusus dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Namun demikian mereka menyeberang, maka kedua pasukan itu pun telah berpisah. Agung Sedayu menyerahkan pasukannya kepada seorang kepercayaannya, karena dalam keadaannya, Agung Sedayu akan beristirahat di rumahnya.

Karena itu, Agung Sedayu kemudian berada di dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan, yang akan langsung menuju ke padukuhan induk. Pasukan itu akan melaporkan kehadirannya kepada Ki Gede Menoreh. Baru kemudian mereka akan kembali ke padukuhan mereka masing-masing.

Pasukan pengawal itu disambut dengan meriah di Tanah Perdikan Menoreh. Namun di samping itu, maka seperti yang pernah terjadi beberapa kali, air mata pun telah menitik membasahi bumi Menoreh. Di samping mereka yang pulang dengan kebanggaan di dalam dada, ternyata ada pula di antara pengawal yang tertinggal dan tidak akan pernah kembali lagi.

Jantung Sekar Mirah pun terasa berdegup semakin cepat ketika ia ikut menyambut kedatangan para pengawal itu. Sekar Mirah melihat keadaan Agung Sedayu yang lemah, yang harus di bantu oleh Glagah Putih turun dari kuda, kemudian dipapah naik ke banjar.

Agung Sedayu tidak dapat berdiri berjajar bersama Ki Gede dan para bebahu menyambut para pengawal yang berada di halaman banjar yang luas itu. Tetapi Agung Sedayu langsung dipersilakan duduk di pringgitan banjar, bersandar dinding.

Sekar Mirah semula mengira bahwa Agung Sedayu tidak berada di antara para pengawal Tanah Perdikan. Sekar Mirah menyangka bahwa Agung Sedayu akan berada di antara para prajurit dari Pasukan Khusus, langsung kembali ke baraknya. Namun ternyata Agung Sedayu dalam keadaan yang lemah justru berada bersama para pengawal.

Karena itu, Sekar Mirah pun langsung bergegas mendapatkan Agung Sedayu di pringgitan banjar.

“Kakang,” wajah Sekar Mirah membayangkan kecemasannya.

Tetapi Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Segala sesuatunya sudah lampau. Keadaanku sudah berangsur semakin baik.”

“Apa yang telah terjadi. Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Sebagaimana sering terjadi di medan pertempuran. Tetapi Yang Maha Agung masih melindungi aku.”

Di wajah Sekar Mirah masih membayang kecemasannya. Kepada Glagah Putih yang selalu mendampingi Agung Sedayu, Sekar Mirah itu pun bertanya, “Apa yang telah terjadi, Glagah Putih?”

“Benturan ilmu yang dahsyat. Kakang Agung Sedayu ternyata telah bertemu dan bertempur melawan salah seorang saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola.”

“Ah,” desah Sekar Mirah.

“Tetapi sekarang Kakang Agung Sedayu sudah ada di sini dengan selamat.”

Sekar Mirah menarik nafas panjang. Namun ia pun berdesis, “Yang Maha Agung masih melindungi Kakang.”

“Ya,” desis Agung Sedayu, “bahkan keadaanku sudah menjadi semakin baik. Saat-saat yang paling gawat itu telah lewat.”

Dalam pada itu, upacara penyambutan pun telah selesai. Para pengawal akan segera kembali ke padukuhan masing-masing. Namun Ki Gede masih menjanjikan penyambutan yang lebih meriah bagi para pengawal.

“Di setiap padukuhan akan diselenggarakan keramaian,” berkata Ki Gede kepada para pengawal itu.

Namun keramaian itu akan dapat menjadikan hati yang terluka menjadi semakin pedih. Namun Ki Gede pun telah minta kepada para bekel dan bebahu untuk selalu berhubungan dengan mereka. Meringankan beban batin mereka yang kehilangan sanak kadangnya di medan.

Sementara itu, Agung Sedayu masih sempat sedikit berbincang dengan Ki Gede. Dari Prastawa, Ki Gede sudah mendengar apa yang telah terjadi dengan Agung Sedayu.

Ki Gede pun kemudian telah mempersilakan Agung Sedayu untuk segera pulang dan beristirahat agar keadaannya menjadi semakin baik.

Rara Wulan pun merasa bersyukur, bahwa Glagah Putih dapat kembali dengan selamat. Ia pun bersyukur bahwa Agung Sedayu tidak mengalami keadaan yang lebih buruk lagi.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang sedang berada di padepokan Kiai Warangka itu pun telah memerlukan pulang ketika ia mendengar bahwa Agung Sedayu, Glagah Putih dan para pengawal telah pulang kembali, untuk mengucapkan selamat.

Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menceritakan keadaan Agung Sedayu seluruhnya. Apa yang tidak diceritakannya kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, telah diceritakannya kepada Ki Jayaraga.

“Keadaanku sangat parah waktu itu, Ki Jayaraga,” berkata Agung Sedayu.

“Kami semuanya sudah cemas,” desis Glagah Putih, “seakan-akan sudah tidak ada harapan lagi. Tetapi ternyata Yang Maha Agung masih mengaruniakan umur lebih panjang lagi bagi Kakang Agung Sedayu.”

“Kita harus bersyukur,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

“Keadaanku sudah menjadi jauh lebih baik sekarang, meskipun aku masih sangat lemah.”

“Aku dapat membayangkan keadaan Ki Lurah Agung Sedayu pada waktu itu dengan melihat keadaannya sekarang,” berkata Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga berjanji tidak akan bercerita lebih banyak lagi kepada Sekar Mirah dan Rara Wulan, agar mereka tidak menjadi cemas meskipun itu sudah lewat.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga menceritakan bahwa untuk sementara ia berada di padepokan Kiai Warangka, karena persoalan yang terjadi antara Kiai Warangka dan adik seperguruannya nampaknya semakin berlarut-larut.

“Jadi persoalan itu masih belum selesai?” bertanya Glagah Putih.

“Memang belum,” jawab Ki Jayaraga, “persoalannya justru menjadi semakin rumit. Adik seperguruan Kiai Warangka telah dipengaruhi oleh seorang yang bernama Ki Jatha Beri. Orang yang sebelumnya aku kenal bernama Ki Jatha Andhapan. Ternyata orang itu mampu mengubah sifat dan watak Kiai Timbang Laras, saudara muda Kiai Warangka.”

“Menarik sekali,” berkata Glagah Putih.

“Itulah sebabnya aku untuk sementara berada di padepokan Kiai Warangka. Seorang lagi adik seperguruan Kiai Warangka juga berada di padepokan itu.”

“Kepada siapa ia berpihak?” bertanya Glagah Putih.

“Ia berpihak kepada Kiai Warangka. Namanya Ki Serat Waja.”

“Ki Jayaraga,” berkata Glagah Putih, “setelah beristirahat sepekan, rasa-rasanya aku ingin juga pergi ke padepokan Kiai Warangka. Aku ingin untuk beberapa lama tinggal di sebuah padepokan yang tidak terlalu sepi sebagaimana padepokan Orang Bercambuk di Jati Anom, yang kini dipimpin oleh ayahku.”

“Padepokan Kiai Warangka memang terhitung cukup besar Ngger. Tetapi sekarang padepokan itu sedang dibayang-bayangi oleh persoalan yang rumit di antara saudara seperguruan.”

“Jika aku berada di padepokan itu, aku akan mengikuti saja apa yang akan dilakukan oleh Ki Jayaraga, yang sudah mengetahui keadaannya lebih dalam. Aku yakin bahwa jika aku mengikuti Ki Jayaraga, maka aku tentu berada di pihak yang benar.”

Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Agung Sedayu pun meng-angguk-angguk pula. Bagi Glagah Putih, Ki Jayaraga adalah salah seorang gurunya, sehingga ia tidak akan ragu-ragu mengikuti sikapnya.

Tetapi Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Kau jangan tergesa-gesa pergi lagi Glagah Putih. Beristirahatlah untuk waktu yang cukup.”

“Bukankah sepekan sudah cukup lama, Ki Jayaraga? Segala-galanya tentu sudah pulih kembali.”

“Kau membutuhkan suasana yang tenang setelah kau berada di dalam hiruk-pikuknya peperangan. Kau harus mendinginkan darahmu yang bergelora selama kau berada di tengah-tengah peperangan. Darah, desah dan jerit kesakitan, sorak kemenangan tetapi juga umpatan dan kutukan, tetapi juga rintihan yang menyayat, masih membayangimu. Jika dalam keadaan yang demikian kau terantuk pada sedikit persoalan yang menyinggung perasaanmu, maka darahmu akan dengan cepat mendidih lagi.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti keterangan Ki Jayaraga. Karena itu ia tidak membantah. Namun Glagah Putih itu akan dapat tiba-tiba saja mengikuti pergi ke padepokan di dekat Kronggahan itu. Karena jaraknya memang tidak terlalu jauh, meskipun letaknya di seberang bukit.

Demikianlah, untuk beberapa hari Ki Jayaraga berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sementara itu keadaan Agung Sedayu pun menjadi semakin baik. Bahkan kemudian telah menjadi sembuh sama sekali, meskipun tenaganya masih belum pulih kembali.

Ketika Ki Jayaraga kemudian berniat kembali ke padepokan Kiai Warangka, maka Glagah Putih telah menemuinya.

“Apakah aku diizinkan untuk ikut, Ki Jayaraga?”

“Kau baru saja kembali, Glagah Putih. Apakah kau tidak ingin beristirahat lebih lama?”

“Bukankah aku dapat beristirahat di padepokan Kiai Warangka untuk beberapa hari?”

“Apakah kau sudah berbicara dengan Rara Wulan?” bertanya Ki Jayaraga.

“Jika Ki Jayaraga mengizinkan aku pergi, aku akan berbicara dengan Rara Wulan.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya sulit baginya untuk menolak keinginan Glagah Putih menyertainya. Meskipun demikian ia berkata, “Berbicaralah dengan kakakmu.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berbicara dengan Kakang Agung Sedayu.”

Namun kemudian Ki Jayaraga itu berkata, “Tetapi jika kau menduga bahwa kau akan dapat beristirahat di padepokan Kiai Warangka, maka dugaanmu itu akan keliru. Sudah aku katakan, bahwa di padepokan itu sedang terjadi pergolakan antara dua orang saudara seperguruan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti, Ki Jayaraga.”

“Meskipun yang membayang bukan perang seperti Mataram melawan Pati, tetapi bahaya yang mengancam setiap orang yang berada di padepokan itu tidak akan banyak berbeda.”

“Aku mengerti, Guru,” desis Glagah Putih pula.

“Jika demikian, baiklah. Tetapi kau harus berbicara dengan Kakangmu Agung Sedayu, dengan Mbakayumu Sekar Mirah, dan Rara Wulan.”

Ketika hal itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu tidak dapat melarangnya. Ia menyadari gejolak jiwa anak-anak muda yang tidak dapat duduk termenung tanpa melakukan sesuatu. Untunglah bahwa Glagah Putih memilih melakukan sesuatu yang berarti bagi dirinya sendiri dan bagi banyak orang.

Namun ketika Glagah Putih mengatakan niatnya kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Bukankah kau baru saja kembali dari medan perang yang garang?”

“Aku sudah cukup lama beristirahat, Wulan,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi rasa-rasa keringatmu belum kering, Kakang.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku ingin mendapatkan satu pengalaman baru di padepokan Kiai Warangka. Bukan sekedar berada di dalam satu barisan yang besar dan kemudian berbenturan dalam perang yang besar pula. Tetapi di sebuah padepokan, aku dapat menemukan persoalan-persoalan yang langsung menyangkut sisi-sisi kehidupan ini.”

“Tetapi padepokan itu pun sedang bergejolak sekarang ini. Jika kau berada di padepokan itu, maka yang kau jumpai juga tidak lebih dari kekerasan seperti yang kau jumpai dalam peperangan.”

“Aku mengerti Wulan. Tetapi di padepokan aku seakan-akan dapat melihat satu kehidupan yang lengkap dan utuh. Sisi hubungan antara sesama dan lingkungan, serta sisi hubungan dengan Penciptanya.”

“Apakah hal seperti itu tidak dapat kau temukan di Tanah Perdikan ini? Apalagi Tanah Perdikan ini adalah satu lingkungan yang terbuka, sementara di padepokan Kiai Warangka adalah satu lingkungan yang tertutup, meskipun tidak mutlak.”

“Wulan. Kekhususan itulah yang ingin aku alami. Selebihnya, aku ingin mendapatkan satu pengalaman baru dalam olah kanuragan. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku sadap dari Kiai Warangka dan padepokannya.”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti bahwa sulit baginya untuk menahan Glagah Putih. Ketika hal itu dikatakannya kepada Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun berkata, “Seorang laki-laki yang masih muda, memang sulit untuk dikekang jika jantungnya sedang bergejolak. Sebaiknya kau biarkan Glagah Putih pergi. Jika tidak, justru akan menjadi lebih sulit lagi. Bukankah ia pergi ke padepokan Kiai Warangka bersama gurunya?”

Rara Wulan mengangguk.

“Nah, biarkan ia pergi untuk sementara. Berdoalah bagi keselamatannya. Glagah Putih bukan termasuk seorang laki-laki yang mudah kehilangan pengamatan diri.”

Akhirnya Glagah Putih pun dilepas oleh seisi rumah itu untuk pergi bersama gurunya ke padepokan Kiai Warangka.

Perjalanan ke padepokan itu adalah perjalanan yang tidak terlalu panjang. Karena itu, mereka tidak memerlukan waktu terlalu lama pula.

Ketika Ki Jayaraga dan Glagah Putih sampai di padepokan, mereka masih merasakan suasana yang tegang. Beberapa orang masih nampak berjaga-jaga dengan senjata di tangan. Beberapa orang cantrik duduk bergerombol di sudut-sudut. Sementara penjagaan di pintu regol agak diperkuat.

Ketika kemudian Ki Jayaraga dan Glagah Putih bertemu dengan Kiai Warangka, sebelum Ki Jayaraga bertanya, Kiai Warangka sudah bercerita, “Timbang Laras dan Jatha Beri beserta beberapa orang pengiringnya baru saja meninggalkan padepokan ini.”

“Oh,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

“Ternyata mereka berhasil menelusuri jejak perjalanan kuda-kuda mereka. Meskipun saat Perbatang dan Pinuji menggiring kuda-kuda itu hujan turun dengan lebatnya, namun Kiai Timbang Laras berhasil mendapat petunjuk ke mana kuda-kuda itu digiring.”

“Lalu, apa yang mereka lakukan?” bertanya Ki Jayaraga.

“Mereka minta kembali kuda-kuda mereka.”

“Bukankah Kiai Warangka memang berniat untuk menyerahkan kuda-kuda itu kembali kepada mereka, jika mereka minta?”

“Ya. Aku sudah mengembalikan semua kuda yang dibawa ke padepokan ini.”

“Jika demikian, bukankah tidak ada persoalan baru selain peti tembaga itu?”

“Ada,” jawab Kiai Warangka, “mereka minta kita menyerahkan orang-orangnya yang ada di padepokan ini.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga, bahwa kehadiran beberapa orang dari padepokan Kiai Timbang Laras akan membuat hubungan antara kedua orang saudara seperguruan itu menjadi semakin buruk. Tetapi Ki Jayaraga mengerti bahwa mereka memerlukan perlindungan. Jika mereka tidak mendapat perlindungan di padepokan Kiai Warangka, maka jiwa mereka memang yang sudah berada di bawah pengaruh Ki Jatha Beri. Seorang yang sebelumnya telah pernah dikenal oleh Ki Jayaraga sebagai seorang pemimpin dari lingkungan hitam.

Namun untuk meyakinkan sikapnya, Ki Jayaraga itu pun bertanya kepada Kiai Warangka, “Bagaimana pendapat Kiai tentang orang-orang itu?”

“Aku tidak dapat melepaskan dan membiarkan mereka digantung di halaman padepokannya sendiri.”

“Ya,” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka memang memerlukan perlindungan.”

Sementara itu Kiai Warangka dan Ki Serat Waja beserta beberapa orang yang membantu Kiai Warangka memimpin padepokan itu, telah mengucapkan selamat datang kepada Glagah Putih. Mereka menyambut gembira kedatangan anak muda itu. Namun Kiai Warangka pun kemudian berkata, “Tetapi Angger datang ke padepokan kami justru pada saat padepokan kami sedang dibayangi oleh perselisihan antara kedua padepokan yang dipimpin oleh saudara seperguruan.”

“Aku sudah mendapat keterangan dari Ki Jayaraga,” sahut Glagah Putih, “mudah-mudahan perselisihan itu tidak menjalar dan menjadi semakin berkembang.”

“Mudah-mudahan Angger. Tetapi nampaknya pengaruh seseorang telah mencengkam jantung saudara muda seperguruanku, sehingga hubungan kami rasa-rasanya menjadi semakin jauh.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Kiai Warangka itu pun berkata, “Tetapi itu adalah persoalan kami Ngger. Biarlah kami mencoba menyelesaikannya dengan baik. Sementara itu aku harap Angger merasa kerasan di sini. Angger dapat melihat apa saja yang ingin Angger lihat di sini.”

“Terima kasih Kiai, “sahut Glagah Putih, “di padepokan ini, aku berharap bahwa aku akan mendapatkan pengalaman-pengalaman baru yang dapat menjadi bekal hidupku di masa mendatang.”

Kiai Warangka tertawa. Katanya, “Tidak ada apa-apa di padepokan ini, Ngger. Tetapi mudah-mudahan yang tidak ada apa-apanya ini dapat berarti, betapapun kecilnya, bagi Angger. Aku berharap bahwa Angger dapat menganggap padepokan ini sebagai padepokan Angger sendiri. Demikian pula hendaknya Angger dapat berhubungan dengan para cantrik dengan baik pula. Karena sebenarnyalah mereka adalah orang-orang yang kurang pengetahuan.”

Glagah Putih mengangguk hormat sambil berkata, “Aku akan berusaha sebaik-baiknya, Kiai.”

Demikianlah, Glagah Putih pun untuk sementara telah berada di padepokan Kiai Warangka itu. Glagah Putih berusaha untuk benar-benar dapat luluh dalam pergaulan dengan para cantrik di padepokan itu. Glagah Putih melakukan apa yang dilakukan oleh para cantrik.

Dengan demikian, maka hubungan antara Gagah Putih dan para cantrik pun dengan cepat menjadi akrab. Bahkan dengan para cantrik yang semula murid Kiai Timbang Laras.

Perbatang dan Pinuji, serta beberapa orang cantrik yang minta perlindungan ke padepokan itu, tidak merahasiakan persoalan yang terjadi pada mereka, sehingga mereka telah berada di padepokan itu.

“Tetapi jika terjadi benturan antara padepokan ini dengan padepokan Kiai Timbang Laras, itu bukan karena salah kalian,” desis Glagah Putih.

“Kami telah memperburuk hubungan antara kedua padepokan ini,” desis Perbatang.

“Tetapi persoalan yang sebenarnya tidak terletak pada kalian. Apakah kalian berada di sini atau tidak, maka perselisihan itu sudah terjadi.”

Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Namun masih membayang di matanya perasaan bersalah itu.

Dalam waktu dua tiga hari, Glagah Putih telah mengenal padepokan itu dengan baik. Glagah Putih pun telah sempat melihat lingkungan yang dipergunakan oleh padepokan Kiai Warangka itu untuk beternak.

Perbatang dan Pinuji yang pernah berada di padepokan itu sebelumnya untuk melihat dengan mata batinnya apakah peti tembaga dari padepokan itu masih ada atau tidak, juga baru melihat peternakan itu kemudian. Pada kehadirannya yang pertama, Perbatang dan Pinuji hanya melihat padepokan induk itu saja.

Namun ternyata bahwa selain padepokan induk, itu masih terdapat bagian-bagian dari padepokan Kiai Warangka yang tidak kalah pentingnya. Bahkan Perbatang dan Pinuji agak terkejut juga melihat kekuatan yang sebenarnya yang terdapat di padepokan itu.

Namun Perbatang dan Pinuji kemudian telah menjadi bagian dari padepokan itu pula. Padepokan yang ternyata lebih besar dari padepokan yang telah ditinggalkannya.

Namun yang dicemaskan oleh Perbatang dan Pinuji adalah justru kehadiran Ki Jatha Beri, yang telah menghujamkan pengaruhnya di padepokan Kiai Timbang Laras.

Bagaimanapun juga, Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik yang kemudian berada di padepokan Kiai Warangka itu, tidak dapat melepaskan begitu saja tali yang pernah mengikat diri mereka dengan padepokan itu. Mereka akan merasa kehilangan jika benar-benar Ki Jatha Beri berhasil mencengkam dan kemudian menggenggam padepokan yang semula dipimpin oleh Kiai Timbang Laras.

Namun mereka sadar bahwa satu-satunya tempat yang dapat melindunginya adalah padepokan Kiai Warangka itu. Meskipun dengan demikian mereka seakan-akan telah menjadi sebab hubungan yang semakin buruk.

Sebenarnyalah bahwa persoalan yang menyangkut kedua padepokan itu bukan saja tentang peti tembaga yang belum ditemukan, tetapi juga tentang orang-orang yang telah menyeberang itu.

Seperti yang dicemaskan sejak semula, setelah pembicaraan yang panjang tidak menemukan titik temu, maka Kiai Timbang Laras mulai menunjukkan sikap yang lebih kasar lagi.

Namun seisi padepokan Kiai Warangka itu terkejut ketika salah seorang dari petugas di pintu regol padepokan itu melaporkan bahwa seorang berkuda tengah mendatangi padepokan itu.

“Siapa?” bertanya Kiai Warangka.

“Masih terlalu jauh untuk dapat dikenali, Kiai,” jawab cantrik itu.

Namun sebelum Kiai Warangka mengambil sikap tertentu, seorang cantrik yang lain yang juga bertugas di regol telah datang memberikan laporan, “Kiai. Yang datang adalah Ki Resa, orang yang pernah berada di padepokan ini.”

“Ki Resa?” Kiai Warangka mengulangi, namun Kiai Warangka pun kemudian ingin melihat sendiri, apakah cantrik itu tidak keliru.

Dari sebuah lubang di pintu regol yang dapat ditutup dan dibuka, Kiai Warangka dapat melihat seorang yang duduk di atas punggung kudanya berderap tidak terlalu cepat menuju ke pintu gerbang padepokan.

Orang itu memang Ki Resa.

“Buka pintunya,” desis Kiai Warangka.

Para cantrik yang bertugas di regol itu pun kemudian telah membuka pintu sebelum Ki Resa sampai di depan regol.

Ki Resa tersenyum ketika ia melihat Kiai Warangka sendiri berdiri di pintu menyambutnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat turun dari kudanya.

Dengan ramah Kiai Warangka mempersilakan tamunya memasuki padepokannya.

Beberapa saat kemudian, Ki Resa itu sudah duduk di pendapa bersama Kiai Warangka, Ki Serat Waja, Ki Jayaraga, Glagah Putih serta Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik yang menyeberang dari perguruan Kiai Timbang Laras.

“Bagaimana dengan keluarga Ki Resa?” bertanya Perbatang.

Ki Resa tersenyum. Katanya, “Aku telah menyembunyikan keluargaku di tempat yang aman. Aku berharap bahwa Kiai Timbang Laras dan Jatha Beri tidak menemukan mereka.”

“Lalu, bagaimana dengan Ki Resa sendiri?”

“Jika Kiai Warangka berkenan, untuk sementara aku akan tinggal di sini. Aku tidak berkeberatan jika Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tahu bahwa aku berada di sini.”

“Tetapi apakah hal itu tidak akan berbahaya bagi keluarga Ki Resa? Jika mereka mengetahui Ki Resa berada di sini, maka mereka merasa aman untuk memburu keluarga Ki Resa untuk dipergunakan memaksa Ki Resa menyerah.”

“Aku berharap bahwa mereka tidak akan dapat menemukan keluargaku, karena keluargaku sudah berada di tempat yang agak jauh, di sebuah padukuhan yang jarang didatangi oleh orang lain kecuali penghuni padukuhan itu sendiri. Mereka tinggal pada keluarga yang tidak pernah dibicarakan orang. Di padukuhan itu mereka tinggal pada seorang yang masih mempunyai hubungan keluarga dan dapat dipercaya.”

“Syukurlah,” desis Perbatang kemudian, “ternyata Ki Jatha Beri mempergunakan segala cara untuk memaksakan kehendaknya tanpa menghiraukan nilai-nilai tatanan kehidupan.”

“Sayangnya Kiai Timbang Laras telah terpengaruh oleh sikap itu.”

“Itulah yang membuat aku prihatin,” sahut Kiai Warangka, “bahkan nampaknya sulit bagiku untuk menyeret Timbang Laras dari desakan pengaruh Jatha Beri.”

Dengan demikian, maka sejak hari itu Ki Resa telah berada di padepokan itu pula. Sehingga dengan demikian maka padepokan itu menjadi semakin ramai. Glagah Putih yang mulai berhubungan dengan Ki Resa mengetahui bahwa Ki Resa mempunyai kelebihan dari orang lain. Ki Resa telah banyak menjalani laku untuk berusaha memahami isyarat-isyarat itu, untuk kemudian diterjemahkannya.

Bagi Glagah Putih, kemampuan Ki Resa itu sangat menarik perhatian. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa laku yang di jalani oleh Ki Resa tentu tidak hanya empat, lima tahun, untuk sampai pada tatarannya yang sekarang.

Meskipun demikian, hubungannya dengan Ki Resa telah memberikan satu pengalaman tersendiri bagi Glagah Putih. Meskipun Glagah Putih tidak memasuki laku untuk mendalami ilmu itu, tetapi serba sedikit Glagah Putih dapat mengerti, apa yang telah terjadi di dalam diri Ki Resa. Apalagi kepada Glagah Putih Ki Resa sengaja tidak menyembunyikan sesuatu.

Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih mencari pengalaman baru lahir dan batinnya di dalam padepokan Kiai Warangka, maka yang tidak dikehendaki itu telah terjadi.

Kiai Timbang Laras yang telah kehabisan kesabaran, ternyata telah datang bukan saja bersama dengan Ki Jatha Beri, tetapi juga bersama beberapa orang yang namanya pernah didengar oleh Ki Jayaraga.

Kiai Warangka menerima saudara seperguruannya itu di pendapa pada bangunan utama padepokannya, bersama Ki Jayaraga dan Ki Serat Waja.

Kiai Timbang Laras tidak lagi minta kepada saudara seperguruannya itu agar menunjukkan peti tembaga yang masih belum diketahui berada di mana, tetapi Kiai Timbang Laras datang dengan ancaman.

“Aku sudah kehilangan kesabaran, Kakang,” berkata Kiai Timbang Laras, “jika dalam waktu sepekan Kakang tidak menyerahkan peti itu bersama murid-muridku yang berkhianat, maka aku terpaksa untuk datang dengan kekuatan penuh. Aku akan tinggal di padepokan ini untuk waktu yang tidak ditentukan bersama para cantrik dan orang-orang yang aku percaya. Karena ternyata saudara-saudara seperguruanku sendiri tidak dapat dipercaya lagi.”

“Timbang laras,” berkata Kiai Warangka, “kau tentu tahu jawabku, karena aku sendiri memimpin sebuah padepokan.”

“Aku tidak mau meraba-raba hati orang. Katakan, agar saudara-saudaraku yang ternyata lebih mengerti tentang diriku dari saudara seperguruanku, dapat langsung mendengarnya.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Meskipun dengan berat ia pun kemudian berkata, “Timbang Laras. Adakah seorang pemimpin padepokan akan begitu saja melepaskan padepokannya dan menyerahkannya pada orang lain, meskipun orang lain itu saudara seperguruannya? Timbang Laras. meskipun kau datang dengan orang-orang yang kau anggap lebih mengerti tentang dirimu daripada saudara-saudara seperguruanmu, yang aku yakin akan bekerja bersamamu mengusik padepokan ini, namun aku tidak akan beranjak dari tempatku, apapun yang terjadi. Bahkan seandainya aku harus bermusuhan dengan saudara seperguruanku sendiri, aku akan tempuh juga.”

“Bagus Kakang. Jika demikian persoalannya sudah jelas. Aku tinggal menunggu sepekan lagi. Jika Kakang mengeraskan hati Kakang, maka aku tidak akan memberikan peringatan sekali lagi. Aku akan langsung datang bersama kekuatan yang ada di belakangku. Aku akan mengusir Kakang dan para cantrik penghuni padepokan ini. Aku akan tinggal di sini, sementara aku akan sempat menggantung Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang pengkhianat yang lain.”

“Timbang Laras. Jika sepekan lagi kau datang dengan tekadmu itu, maka apa boleh buat. Aku akan menghadapimu benar-benar sebagai lawan. Aku akan melupakan ikatan persaudaraan kita. Sebelum kita bersama-sama berguru, kita memang orang lain. Biarlah itu terjadi.”

Kiai Timbang Laras menggeram. Katanya, “Kakang telah benar-benar lupa diri. Kakang sudah melupakan sangkn paraning dumadi. Maaf Kakang. Bukan maksudku mengucapkan kutukan, tetapi meskipun aku terhitung lebih muda, tetapi apa yang aku katakan akan terjadi atas Kakang, karena Kakang sudah kehilangan watak seorang saudara tua, yang sebenarnya akan dapat menjadi pengganti guru.”

“Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “ternyata nalar budimu sudah begitu keruh, sehingga akalmu benar-benar telah berbalik. Apakah yang kau maksudkan dengan sangkan paraning dumadi itu? Apa pula yang kau maksudkan tentang diriku, bahwa aku sudah kehilangan watak seorang saudara tua?”

“Kakang jangan berpura-pura bodoh. Atau Kakang memang sedang menganggap aku terlalu bodoh, sehingga aku tidak dapat menerapkan pengertian kata-kata yang aku ucapkan tepat pada tempatnya? Kakang, baiklah. Apa yang akan terjadi sepekan lagi, biarlah terjadi. Tetapi Kakang jangan menyesali diri. Kakang akan kehilangan padepokan ini, sehingga Kakang harus hidup dalam petualangan yang tidak berkeputusan, atau Kakang harus mencari belas kasihan orang lain yang mau memberikan tempat berteduh bagi Kakang.”

“Alangkah sakitnya hidup sebagaimana kau bayangkan. Tetapi yang akan terjadi adalah sebaliknya. Padepokan ini akan semakin berkembang dengan baik. Aku akan menjadi semakin tenang hidup di sini bersama para cantrik dan sanak kadang. Kami akan menjadi semakin dekat dengan Yang Maha Pencipta.”

“Bermimpilah selagi Kakang masih sempat. Tetapi Kakang tahu, siapakah yang datang bersamaku sekarang. Mereka adalah orang-orang yang memiliki nama besar dan pengikut yang tersebar di banyak tempat. Namun yang sekarang sudah dihimpun menyatu untuk menanggapi sikap Kakang yang menjadi sekeras batu itu.”

Tetapi Kiai Warangka tertawa Katanya, “Biarlah aku menunggu kedatanganmu, adikku. Sepekan akan terasa terlalu lama bagiku.”

Wajah Kiai Timbang Laras menjadi merah. Ternyata bahwa kakak seperguruannya sama sekali tidak gentar melihat beberapa orang yang datang bersamanya.

Dalam pada itu, seorang di antara mereka yang datang bersama Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri itu berkata, “Saudara seperguruanmu ini memang sangat sombong, Kiai Timbang Laras. Kenapa kau masih saja menyabarkan hatimu, menunggu sampai sepekan lagi?”

Kiai Warangka mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang itu. Orang yang bertubuh tinggi besar, kegemuk-gemukan. Ia tidak memakai ikat kepala dengan baik, sehingga kepalanya yang botak itu nampak mengkilap.

Kiai Timbang Laras menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun menjawab, “Bagaimanapun juga aku tidak dapat melupakan ikatan persaudaraan kami. Ia adalah saudara tua seperguruanku. Aku masih menaruh hormat kepadanya, apapun yang dilakukannya.”

Kiai Warangka justru tertawa. Katanya, “Terima kasih Timbang Laras, bahwa kau masih mempunyai sedikit rasa persaudaraan. Aku menghargainya. Tetapi jika kawan-kawanmu tidak sabar menunggu sampai sepekan, datanglah esok atau lusa.”

Tetapi Kiai Timbang Laras menggeleng. Katanya, “Tidak, Kakang. Aku tetap akan menunggu dalam sepekan. Mungkin dalam sepekan ini, Kakang menyadari bahwa Kakang sudah salah langkah. Dengan demikian kita tidak perlu bertengkar lebih jauh. Apalagi dengan mengorbankan para cantrik.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya, “Para cantrik memang tidak seharusnya dikorbankan. Aku setuju itu, Timbang Laras.”

“Baiklah Kakang. Mudah-mudahan dalam sepekan ini hati Kakang akan menjadi jernih.”

Kiai Timbang Laras kemudian telah minta diri. Beberapa orang yang datang bersamanya pun meninggalkan padepokan itu pula. Seorang yang bertubuh tinggi besar agak kegemukan dan berkepala botak yang berkuda di sebelah Kiai Timbang Laras itu pun berkata, “Untuk apa kau menundanya sampai sepekan?”

“Bertanyalah kepada beberapa orang kawanmu. Mereka baru siap besok lusa. Selebihnya kita akan mempunyai waktu untuk mengatur orang-orang kita yang datang dari berbagai penjuru itu,” jawab Kiai Timbang Laras.

Orang yang berkepala botak itu terdiam. Sementara seorang yang berkumis lebat berkata, “Orang-orangku baru datang esok pagi.”

“Aku sependapat dengan Kiai Timbang Laras,” berkata Ki Jatha Beri, “kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

Orang berkepala botak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Ternyata baru aku dan orang-orangku sajalah yang telah bersiap.”

Kiai Timbang Laras tidak menjawab lagi. Kuda-kuda itu pun kemudian berpacu lewat bulak-bulak panjang.

Dalam pada itu, di padepokan Kiai Warangka, Ki Jayaraga pun berkata, “Kiai harus benar-benar bersiap. Beberapa orang di antara mereka adalah orang-orang yang benar-benar liar. Aku tidak percaya bahwa Kiai Timbang Laras sebelumnya pernah berhubungan dengan mereka. Yang menghubungkan Kiai Timbang Laras dengan mereka tentu Ki Jatha Beri. Di bawah pengaruh Ki Jatha Beri segala sesuatunya dapat menjadi rusak.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi sangat prihatin atas peristiwa ini, Ki Jayaraga. Jika benar mereka datang sepekan lagi, itu berarti bahwa beberapa orang cantrik akan gugur. Sementara itu mereka tidak jelas apakah yang sebenarnya terjadi. Yang mereka tahu, mereka harus bertempur dengan mempertaruhkan nyawa mereka demi padepokannya.”

“Orang-orang itu mempunyai banyak pengikut, Kiai. Mereka adalah orang-orang yang namanya telah cacat.”

“Aku akan berbicara dengan beberapa orang cantrik tertua di padepokan ini, Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga, Ki Serat Jiwa dan bahkan Glagah Putih serta Ki Resa, juga diminta hadir dalam pembicaraan itu. Kiai Warangka juga memanggil Perbatang dan Pinuji untuk ikut mendengarkan pembicaraan antara Kiai Warangka dengan cantrik-cantrik tertuanya.

Perbatang yang mengikuti pembicaraan itu dengan seksama kemudian berkata, “Kiai. Untuk menghindari benturan kekerasan, aku mohon Kiai menyerahkan aku dan Pinuji kepada Kiai Timbang Laras. Biarlah kami menjalani hukuman mati. Namun kami tidak akan menyeret beberapa orang lain ke dalam kesulitan.”

Tetapi Kiai Warangka menggeleng. Katanya, “Tidak Perbatang. Persoalan pokok bukan karena kalian ada di sini. Tetapi karena peti itu. Sementara persoalan-persoalan lain yang telah menyusul, itu sengaja telah disusun oleh Kiai Timbang Laras.”

Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pinuji pun berkata, “Kiai. Apakah jika Kiai menyerahkan kami, Kiai Timbang Laras masih tetap akan datang menyerang padepokan ini?”

“Aku kira ia tidak akan mengurungkannya. Peti itu nampaknya sangat penting bagi Timbang Laras. Tetapi justru karena ia datang dengan banyak orang, aku tidak tahu apakah menurut dugaan Timbang Laras di dalam peti itu berisi harta benda yang sangat banyak, sehingga cukup memuaskan jika dibagi untuk sekian banyak orang.”

Perbatang dan Pinuji mengangguk-angguk. Tetapi mereka sependapat dengan beberapa orang yang ikut dalam pembicaraan itu. Semuanya itu tidak akan terjadi, jika Ki Jatha Beri tidak berada di padepokan itu.

Akhirnya dalam pembicaraan itu telah diambil keputusan, bahwa Kiai Warangka dan seisi padepokan itu akan mempertahankan padepokan mereka, apapun yang terjadi atas diri mereka. Perbatang dan Pinuji yang sudah berada di padepokan itu pun juga menyatakan untuk ikut mempertaruhkan diri bersama para penghuni padepokan itu.

“Jika aku tidak berada di padepokan ini, maka aku sudah tidak akan dapat bertahan hidup. Karena itu, hidup matiku kemudian akan aku peruntukkan bagi padepokan ini.”

“Terima kasih,” desis Kiai Warangka, “kesediaan kalian akan sangat berarti bagi seisi padepokan ini.”

“Tenaga kami di sini tidak lebih dari sejumput garam yang ditaburkan ke dalam laut.”

Dengan keputusan bahwa apapun yang terjadi padepokan itu harus dipertahankan, maka kegiatan para cantrik pun segera meningkat. Mereka segera mengamati dinding padepokan. Mereka segera memperbaiki jika ditemukan kelemahan-kelemahan pada dinding itu. Sementara itu, para cantrik pun telah mempersiapkan anak panah dalam jumlah yang tidak terbatas. Demikian pula lembing. Mereka membuat lembing dari jenis pring cendani dengan bedor besi.

Di samping senjata lontar itu, para cantrik pun telah mempersiapkan senjata mereka sebaik-baiknya.

Namun di keesokan harinya, dua orang berkuda telah memacu kuda mereka menuju ke regol padepokan Kiai Warangka. Para petugas di regol yang melihat keduanya segera bersiap. Tetapi karena yang nampak hanya dua orang saja, maka para petugas telah membuka pintu regol. Sementara beberapa orang cantrik telah bersiap-siap di belakang pintu. Sedangkan dua orang yang lain telah melaporkannya kepada Kiai Warangka yang berada di pendapa.

Dalam pada itu, demikian kedua orang yang memacu kudanya itu memasuki regol halaman padepokan, maka pintu pun telah tertutup kembali.

Demikian kedua orang itu berada di dalam regol, maka keduanya pun segera meloncat turun. Namun masih membayang di wajah mereka, kegelisahan yang mencengkam jantung mereka.

Kiai Warangka yang mendapat laporan tentang kedatangan kedua orang itu pun segera pergi ke pintu gebang. Namun Perbatang dan Pinuji yang juga ingin melihat kedua orang itu pun segera mengikuti Kiai Warangka menemui kedua orang itu.

Ternyata sentuhan pada perasaan kedua orang itu terbukti. Yang datang itu memang dua orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras.

“Kenapa kalian datang kemari?” bertanya Perbatang tidak sabar.

“Kami melarikan diri dari padepokan,” jawab seorang dari mereka.

“Kenapa kalian lari kemari?” bertanya Pinuji pula.

“Kami memang ingin menemui Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji.”

“Dari mana kalian tahu bahwa kami berada di sini?” bertanya Perbatang pula.

“Seluruh isi padepokan mengetahui bahwa Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji ada di sini. Kiai Timbang Laras sendiri yang memberitahukan kepada kami. Kiai Timbang Laras telah memerintahkan kepada kami, jika sepekan lagi kami memasuki padepokan ini, kami harus membunuh Kakang Perbatang, Kakang Pinuji dan Ki Resa.”

“Bagaimana dengan Kiai Warangka?” bertanya Perbatang hampir di luar sadarnya

“Kami harus menangkap Kiai Warangka dan para cantrik yang menyerah. Sedangkan mereka yang melawan, harus dibinasakan.”

Wajah Perbatang dan Pinuji menjadi tegang.

“Marilah. Aku persilakan kalian duduk.”

Setelah menambatkan kuda mereka pada patok-patok yang tersedia, keduanya pun telah dipersilakan naik ke pendapa. Kiai Warangka-lah yang kemudian berkata, “Ki Sanak. Berceritalah apa yang ingin kalian ceritakan kepada Perbatang dan Pinuji.”

Salah seorang dari kedua orang itu pun kemudian berkata, “Kiai Timbang Laras dan kawan-kawannya telah menyiapkan sebuah pasukan yang sangat besar. Beberapa orang sahabat Kiai Timbang Laras membawa para pengikutnya. Mereka menyusun kekuatan yang tentu tidak akan terlawan oleh padepokan ini, betapapun kuat dan besarnya padepokan Kiai Warangka ini.”

Kedua orang itu pun kemudian telah memberikan keterangan secara terperinci, kekuatan yang sedang disusun di padepokan Kiai Timbang Laras.

“Bahkan besok atau lusa masih akan datang lagi kelompok-kelompok pengikut sahabat-sahabat Ki Timbang laras.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Apapun yang terjadi, kita tidak akan lari meninggalkan padepokan ini.”

“Tetapi jika Kiai Warangka dan para cantrik tetap berada di padepokan, mereka tentu akan menumpas isi padepokan ini. Mungkin Kiai Timbang Laras tidak akan melakukannya. Tetapi orang-orang yang datang bersamanya tidak akan terkendali lagi.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kemungkinan itu memang ada. Tetapi setiap jengkal tanah dari padepokan ini harus kita pertahankan, meskipun taruhannya adalah nyawa. Jika kami harus mati karena kami mempertahankan padepokan ini, itu adalah akibat dari hak dan kewajiban kami.”

Tetapi Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Kiai Warangka. Ada cara yang lain dapat kita tempuh untuk menyelamatkan padepokan ini tanpa melepaskan hak dan kewajiban.”

“Maksud Ki Jayaraga?” bertanya Kiai Warangka.

“Jika Kiai Warangka untuk sementara meninggalkan padepokan ini tetapi dengan janji kepada diri sendiri untuk kembali, maka itu bukan berarti bahwa Kiai Warangka telah melepaskan hak serta mengingkari kewajiban.”

Kiai Warangka tersenyum. Tetapi betapa pahitnya senyuman itu. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak sempat membayangkan, betapa sakitnya meninggalkan padepokan ini hanya karena menghindari kematian.”

“Kiai,” berkata Ki Jayaraga, “di kalangan keprajuritan pun dikenal cara seperti itu. Satu ketika pasukan segelar sepapan menghindari dari benturan kekuatan. Tetapi pasukan itu akhirnya mendapatkan kemenangan, karena pasukan itu mampu mempergunakan perhitungan waktu dan keadaan yang tepat.”

“Aku memang bukan seorang prajurit, Ki Jayaraga, apalagi prajurit yang baik. Mungkin aku terhitung seorang cengeng, yang berpijak sekedar pada perasaannya tanpa pertimbangan nalarnya. Tetapi benar-benar sulit bagiku untuk menyingkir dari padepokan ini karena ingin menyelamatkan diri.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti perasaan Kiai Warangka. Tanah ini sama artinya dengan nyawanya sendiri.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja. Glagah Putih bertanya kepada Perbatang, “Kakang Perbatang, apakah kedua orang ini dapat dipercaya?”

Perbatang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku percaya kepada mereka.”

“Maaf jika hal ini aku tanyakan kepadamu. Seandainya ia mendengar satu rahasia di antara kita di sini, apakah ia tidak akan lari dan memberitahukannya kepada Kiai Timbang Laras?”

“Tidak,” suara Perbatang justru menjadi lebih tegas.

“Baiklah,” berkata Glagah Putih kemudian. Orang-orang yang mendengar pertanyaan Glagah Putih itu menjadi heran. Bahkan Ki Jayaraga pun menjadi heran pula.

Namun Glagah Putih segera menjelaskan, “Kiai Warangka. Bukan maksudku memperkecil arti para cantrik yang ada di padepokan ini. Tetapi aku tidak ingin terlepas dari kenyataan serta perhitungan nalar, bahwa dua buah kekuatan itu dapat diperbandingkan sesuai dengan jumlah serta ke-mampuan orang-orangnya. Menurut keterangan kedua orang cantrik itu, kita mendapat gambaran seberapa besarnya kekuatan Kiai Timbang Laras bersama sahabat-sahabatnya itu.”

Tetapi Ki Serat Waja telah memotong, “Aku setuju dengan pendapat bahwa mereka bukan sahabat-sahabat Kakang Timbang Laras. Tetapi mereka adalah sahabat-sahabat Ki Jatha Beri.”

“Ya. Aku juga sependapat,” sahut Glagah Putih, “namun selebihnya, kita harus menghadapi mereka dengan perhitungan atas dasar perbandingan kekuatan itu. Tanpa mempertimbangkannya, maka kita akan terjerumus ke dalam satu keadaan yang tidak wajar dan tidak seimbang. Yang akan terjadi adalah pembantaian. Bukan pertempuran.”

Kiai Warangka tertawa pendek. Katanya, “Perhitungan seorang yang memiliki pengetahuan perang yang baik. Tetapi aku pun tidak dapat terlepas dari kenyataan tentang padepokan ini. Inilah segala-galanya yang kita miliki. Dengan ini pula-lah kami akan bertahan.”

“Kiai,” betapapun Glagah Putih merasa ragu, namun ia pun akhirnya berkata pula, “aku mempunyai pendapat, yang aku tidak tahu apakah Kiai Warangka setuju atau tidak. Aku memang tidak dapat langsung mencampuri persoalan Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras. Dua orang saudara seperguruan. Karena itu, segala sesuatunya terserah kepada Kiai. Namun yang ingin aku sampaikan kepada Kiai Warangka, apakah Kiai Warangka tidak berkeberatan jika aku akan membawa beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadapi orang-orang yang dibawa oleh sahabat-sahabat Ki Jatha Beri? Jelasnya, biarlah Ki Jatha Beri juga tidak mencampuri persoalan antara Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras.”

Kiai Warangka mengerutkan dahinya. Terjadi sedikit ketegangan di dalam jiwanya Glagah Putih yang muda itu ternyata dapat menawarkan satu pemecahan yang dapat dipertimbangkan. Anak muda itu cukup berhati-hati mengemukakan tawarannya agar tidak menyinggung perasaannya.

Meskipun Glagah Putih itu masih muda, tetapi ia sudah cukup dewasa dengan gagasan serta sikapnya.

Namun Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, “Angger Glagah Putih. Angger dapat memilih sikap terbaik bagi padepokan ini. Meskipun yang terjadi tidak akan banyak berbeda, tetapi dasar gagasan Angger aku hargai. Tetapi bukankah para pengawal Tanah Perdikan baru saja kembali dari medan yang berat di Pati? Mereka tentu perlu beristirahat. Apalagi arti dari pertempuran yang terjadi di sini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Pati.”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tidak ada bedanya Kiai. Sepanjang kami berjuang untuk tujuan yang baik dan benar menurut keyakinan kami. Menurut pendapatku, tidak seharusnya Ki Jatha Beri melakukan sebagaimana dilakukan sekarang ini. Kehadirannya di padepokan Kiai Timbang Laras telah merenggangkan dan bahkan membuat dua padepokan yang dipimpin oleh dua orang saudara seperguruan menjadi retak. Apapun alasannya, padepokan Kiai Timbang Laras harus dipisahkan dari pengaruh Ki Jatha Beri.”

“Kakang,” Ki Serat Waja pun menyela, “jika para pengawal Tanah Perdikan tidak berkeberatan serta diizinkan oleh penguasa Tanah Perdikan Menoreh, seharusnya Kakang berterima kasih atas kesediaan Glagah Putih. Dengan demikian maka Kakang akan mendapat kesempatan untuk menyelesaikan persoalan Kakang dengan Kakang Timbang Laras.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Apakah sudah sepantasnya jika persoalan yang timbul di padepokan ini harus menyeret para pengawal Tanah Perdikan Menoreh?”

“Dalam hal ini, aku melihat bahwa persoalannya bukan persoalan murni yang timbul antara dua orang saudara seperguruan. Tetapi justru karena hadirnya Ki Jatha Beri.”

“Tetapi apakah kehadiran beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan tidak menimbulkan persoalan dengan orang-orang Kronggahan?”

“Biarlah salah seorang dari kita menemui Ki Bekel Kronggahan, agar tidak menyinggung kuasanya atas tanah ini.”

Ki Warangka memang tidak segera mengambil keputusan. Ia masih menimbang-nimbang, apakah memang pantas baginya untuk melibatkan Tanah Perdikan Menoreh ke dalam persoalannya.

Tetapi ternyata Ki Serat Waja menyetujuinya pula. Sementara itu, Ki Jayaraga berkata, “Kiai. Menurut pendapatku, ini merupakan satu gagasan yang baik. Biarlah Tanah Perdikan Menoreh mencegah Ki Jatha Beri mencampuri persoalan yang timbul antara dua orang bersaudara.”

Akhirnya Kiai Warangka itu pun berkata, “Baiklah. Aku mengucapkan terima kasih kepadamu, Ngger. Namun segala sesuatunya bergantung kepada Ki Gede Menoreh. Apakah Ki Gede mengijinkan pasukannya pergi ke padepokan ini atau tidak.”

“Aku adalah salah seorang dari pengawal Tanah Perdikan, meskipun aku tidak lahir dan dibesarkan di Tanah Perdikan itu,” berkata Galah Putih kemudian.

Dengan persetujuan Kiai Warangka, Glagah Putih pun berniat untuk segera kembali ke Tanah Perdikan dan berbenah diri. Waktunya sangat sempit. Ia tidak boleh terlambat datang ke padepokan itu.

Maka segala rencana pun telah disusun. Dua orang cantrik tertua yang sudah sering berhubungan dengan Ki Bekel di Kronggahan harus menghubungi Ki Bekel. Mereka memberitahukan kemungkinan yang bakal terjadi di padepokan. Mereka juga memberitahukan bahwa sebuah pasukan kecil dari Tanah Pakan datang.

Ternyata Ki Bekel juga menaruh perhatian yang besar terhadap keadaan di padepokan itu. Dengan sungguh-sungguh Ki Bekel itu bertanya, “Apa yang dapat kami bantu, Ngger?”

“Terima kasih, Ki Bekel. Kami tidak ingin melibatkan padukuhan ini. Kami hanya mohon agar hal ini dirahasiakan.”

“Baik, Baik Ngger. Percayalah.”

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah berpacu di atas punggung kuda. Dengan demikian mereka akan dapat menghemat waktu. Namun dalam pada itu, Kiai Warangka pun telah memerintahkan cantrik-cantriknya untuk mengadakan pengamatan di sekeliling padepokan. Jika mereka melihat orang-orang yang mencurigakan berkeliaran, mereka harus ditangkap.

Ketika Glagah Putih memberitahukan rencananya kepada Agung Sedayu, Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia sendiri masih belum pulih sepenuhnya. Karena itu Agung Sedayu tidak dapat membantu rencana Glagah Putih. Tetapi Agung Sedayu setuju, seandainya Ki Gede tidak berkeberatan.

“Temuilah Prastawa. Ajak Prastawa menghadap Ki Gede.”

Glagah Putih memang bergerak dengan cepat.

Ternyata segala sesuatunya berjalan lancar. Dengan alasan yang kuat, Glagah Putih berhasil meyakinkan Prastawa dan Ki Gede, sehingga kedua-duanya menyetujui rencana Glagah Putih untuk membawa pasukan kecil ke padepokan Kiai Warangka.

Namun dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu tidak sampai hati melepas para pengawal begitu saja, meskipun Agung Sedayu mengetahui bahwa kemampuan para pengawal Tanah Perdikan cukup tinggi. Namun iapun telah minta Glagah Putih untuk menemui seorang kepercayaan Agung Sedayu di barak Pasukan Khususnya.

“Aku membayangkan betapa kerasnya orang-orang yang bakal berkumpul di padepokan Kiai Timbang Laras itu. Menurut perhitungan, batas sasaran mereka bukan sekedar padepokan Kiai Warangka,” berkata Agung Sedayu, “tetapi padepokan Kiai Warangka hanya akan mereka jadikan landasan dari gerak selanjutnya. Semua alasan yang dikatakan oleh Kiai Timbang Laras yang telah terpengaruh oleh Ki Jatha Beri itu, semuanya hanya sebuah tirai yang menutupi rencana panjang mereka.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Katanya, “Alangkah pendeknya penalaranku. Aku tidak berpikir sejauh itu.”

Ki Jayaraga pun tersenyum. Katanya, “Aku tidak pernah mengatakannya, meskipun aku telah memikirkannya.”

Glagah Putih memandang Ki Jayaraga dengan sorot mata yang membayangkan keheranannya. Bahkan kemudian Glagah Putih pun bertanya, “Kenapa Ki Jayaraga tidak mengatakannya?”

Ki Jayaraga tidak menjawab. Tetapi ia justru tertawa.

Karena itu, Glagah Putih-lah yang kemudian bergumam, “Aku tahu. Ki Jayaraga ingin mengetahui seberapa panjangnya penalaranku. Ternyata aku telah mengecewakan.”

“Tidak Glagah Putih,” sahut Ki Jayaraga, “tetapi perhatianmu telah tertuju kepada bagaimana mencari jalan keluar bagi padepokan Kiai Warangka, sehingga kau tidak memikirkan hal-hal yang lain. Tetapi kau mempunyai gagasan yang harus sangat dihargai. Seandainya kau mengatakan bahwa Tanah Perdikan siap membantu padepokan Kiai Warangka, kesannya akan berbeda. Meskipun apa yang akan terjadi nanti hampir tidak ada bedanya.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia mengakui kebenaran kata-kata gurunya itu, karena sebenarnya pikirannya tertuju pada cara untuk menyelamatkan padepokan Kiai Warangka tanpa menyinggung perasaannya. Namun seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, padepokan itu tentu sekedar landasan untuk satu pencapaian yang lebih besar lagi. Seberapapun banyaknya harta benda yang disimpan dalam peti tembaga itu, tentu tidak akan memberikan kepuasan kepada sekian banyak orang yang akan ikut bersama Kiai Timbang Laras memasuki padepokan Kiai Warangka, seandainya peti itu menjadi tujuan akhir.

Karena itu pula-lah, Glagah Putih telah pergi ke barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu.

“Baiklah,” berkata seorang yang dipercaya oleh Agung Sedayu untuk mewakilinya memimpin pasukan itu selama kesehatannya belum pulih sepenuhnya, “besok sebelum senja, dua kelompok prajurit dari Pasukan Khusus sudah akan berada di banjar padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.”

Glagah Putih segera tahu artinya. Orang itu menyetujui mengirimkan dua kelompok Pasukan Khusus.

Agung Sedayu telah ikut mencegah Rara Wulan yang semula ingin ikut ke padepokan Kiai Warangka. Betapa inginnya gadis itu pergi bersama Glagah Putih, meskipun ia tahu bahwa mungkin sekali akan terjadi benturan kekerasan di padepokan itu.

“Kita masih belum mendapatkan kepastian tentang lawan yang akari dihadapi, Rara Wulan,” berkata Agung Sedayu, “selebihnya dari sisi pandang yang lain, kau memang kurang pantas pergi ke padepokan itu bersama Glagah Putih.”

“Di sini aku juga tinggal bersama Kakang Glagah Putih,” jawab Rara Wulan.

“Di sini setiap orang sudah mengenal Glagah Putih. Setiap orang sudah mengenal aku dan Mbokayumu Sekar Mirah. Dan setiap orang sudah mengenalmu. Tetapi para cantrik di padepokan itu tentu akan merasa heran, bahwa kau berada di sana.”

Rara Wulan tidak membantah lagi. Ia tahu bahwa Agung Sedayu akan tetap mencegahnya meskipun ia memaksa.

Demikianlah, di hari berikutnya menjelang senja, semua pasukan telah dipersiapkan. Beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan dan dua kelompok prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Pasukan itu, sebagaimana telah dibicarakan dengan Kiai Warangka, akan datang di malam hari. Seandainya orang-orang Ki Jatha Beri melihat kedatangan itu, mereka tidak akan dengan mudah dapat menilai kekuatan yang akan memasuki padepokan Kiai Warangka itu.

Namun dalam pada itu, para cantrik padepokan Kiai Warangka juga telah mengadakan pengamatan khusus di sekitar padepokan. Mereka harus membersihkan lingkungan itu dari para pengikut Ki Jatha Beri.

Demikianlah, pada hari yang keempat, lewat tengah malam, para pengawal Tanah Perdikan dan prajurit dari Pasukan Khusus yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan itu telah berada di padepokan Kiai Warangka. Mereka langsung mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan di hari berikutnya. Waktu yang sepekan yang dikatakan oleh Kiai Timbang Laras akan dapat berarti bahwa Kiai Timbang Laras itu akan datang tepat pada hari kelima, tetapi juga mungkin pada hari berikutnya.

Tetapi ketika matahari naik mereka tidak melihat gerakan apapun juga di luar padepokan, maka seisi padepokan itu memperhitungkan bahwa Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri akan datang di hari berikutnya.

Sebenarnyalah bahwa kekuatan yang berkumpul di padepokan Kiai Timbang Laras juga sudah siap untuk melakukan serangan. Tetapi menurut pertimbangan para pemimpinnya, pada hari kelima itu akan mereka pergunakan untuk mendekati padepokan Kiai Warangka. Di malam hari mereka akan mengatur landasan serangan yang akan mereka lakukan menjelang fajar.

Hari itu, Kiai Warangka masih sempat berbincang dengan para pemimpin padepokan itu dan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan serta prajurit dari Pasukan Khusus yang datang ke padepokan itu. Ketika Glagah Putih mengemukakan pendapat Agung Sedayu, maka Kiai Warangka pun langsung menyetujuinya.

“Aku sependapat, Ngger,” Kiai Warangka mengangguk-angguk.

Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Ki Jatha Beri dan kawan-kawannya tentu mempunyai jangkauan yang sangat jauh. Dari padepokan ini, mereka akan merambat sampai ke perbukitan. Kemudian meloncati perbukitan, menguasai Tanah Perdikan Menoreh. Dari Tanah Perdikan Menoreh, mereka mulai mengintip Mataram dan sekitarnya. Nampaknya mereka akan membuka hubungan yang luas dengan kekuasaan yang ada di luar Mataram, untuk menghimpit Mataram dan melenyapkannya.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Sebuah mimpi buruk. Tetapi jika hal ini terjadi bersamaan dengan perang antara Mataram dan Pati, apakah memang ada hubungannya?”

Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, “Tentu belum dapat diketahui. Tetapi seandainya Kanjeng Adipati Pragola yang tidak tertangkap itu berusaha untuk bangkit, tentu tidak akan mempergunakan cara seperti ini.”

“Mungkin Ki Jatha Beri akan membuat landasan untuk menguasai lingkungan ini dari sisi yang lain,” berkata Kiai Warangka, “mereka akan menguasai daerah ini sebagai hutan perburuan, sehingga tidak akan ada kelompok lain yang berani memasuki lingkungan ini untuk berburu. Termasuk daerah di sekitar padepokan ini, Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, tetapi di luar Kotaraja. Meskipun lambat laun mereka akan dapat mengembangkan kekuasaan mereka.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Berbagai kemungkinan memang dapat terjadi. Tetapi sudah tentu bukan sekedar menguasai padepokan ini. Karena itu, maka Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit Mataram ikut merasa berkepentingan.”

Selagi perbincangan itu masih berlangsung, dua orang cantrik telah menghadap Ki Warangka. Mereka adalah dua orang cantrik yang mendapat tugas untuk mengawasi lingkungan di luar padepokan.

Seorang di antara mereka berkata, “Kami sudah melihat pasukan Kiai Timbang Laras datang. Pasukan itu memang besar. Dari bukit kecil itu, kami melihat iring-iringan yang panjang.”

“Mereka tidak akan langsung menyerang,” berkata Ki Jayaraga, “mereka akan menyerang esok pagi menjelang fajar.”

“Baiklah,” berkata Kiai Warangka, “kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Bantuan dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari barak Pasukan Khusus akan sangat berarti bagi kami di sini.”

Perbatang dan Pinuji pun berusaha untuk menyesuaikan diri. Demikian pula Ki Resa. Di padepokan itu ia merasa mempunyai banyak teman untuk melawan Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri yang selalu memburunya.

Kiai Warangka pun kemudian segera menegaskan kembali segala pesan yang telah diberikan kepada para pemimpin di padepokannya, para cantrik dan putut.

Cantrik yang mengawasi keadaan yang datang kemudian, telah memberikan laporan yang sama pula. Bahkan mereka sempat melihat pasukan itu dipecah menjadi beberapa bagian yang saling memisahkan diri. Nampaknya mereka akan mengepung padepokan Kiai Warangka itu dari segala arah.

Namun Kiai Warangka memang sudah memperhitungkannya. Bahkan Kiai Warangka telah menarik semua kekuatannya ke padepokan induk. Bahkan ternak dan binatang peliharaan yang lain pun telah dibawa ke padepokan induk.

Sementara itu, para cantrik pun telah mempersiapkan arena yang cukup untuk bertempur jika orang-orang yang menyerang padepokan itu berhasil memasuki padepokan. Mereka akan memanfaatkan medan yang mereka kenal dengan baik itu untuk menjebak lawan-lawan mereka.

Latihan-latihan telah mereka lakukan dengan sebaik-baiknya. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus akan menyesuaikan diri.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras itu telah berada di sekitar padepokan. Nampaknya dengan sengaja mereka menunjukkan kekuatan mereka. Mereka telah menempatkan kelompok-kelompok pasukannya di sekeliling padepokan, sehingga padepokan itu benar-benar telah terkepung.

Kiai Warangka, Ki Jayaraga, Ki Serat Waja, Glagah Putih, Ki Resa dan para pemimpin kelompok para pengawal Tanah Perdikan serta prajurit dari Pasukan Khusus, serta para putut dari padepokan itu, telah naik pula ke panggungan yang memanjang di belakang dinding di sebelah-menyebelah pintu gerbang.

Dalam pada itu, beberapa orang berkuda telah mendekati regol padepokan. Di antara mereka adalah Kiai Timbang Laras, Ki Jatha Beri dan beberapa orang yang nampak keras dan garang. Bahkan Ki Jayaraga terkejut ketika ia melihat seorang yang berkumis dan berjanggut putih. Bahkan alisnya pun telah menjadi putih pula.

Sambil duduk di atas kudanya, ia membawa sebuah tongkat yang tidak terlalu panjang. Tongkat dengan lukisan seekor ular naga yang membelit sebatang kayu.

“Naga Dakgrama,” desis Ki Jayaraga.

Kiai Warangka yang mendengar nama itu berpaling. Dengan nada rendah ia bertanya, “Yang mana?”

“Orang yang berkumis, berjanggut dan alisnya sudah putih. Membawa tongkat yang tidak terlalu panjang, dan di pundaknya di sangkutkan sehelai kain berwarna merah. Di bawah ikat kepalanya, rambutnya yang nampak sedikit tergerai juga sudah memutih seperti kumis janggutnya.”

“Jadi orang itu juga ikut serta,” desis Kiai Warangka.

Ki Jayaraga mengangguk kecil. Dengan kerut di kening ia bertanya, “Apakah Kiai Warangka belum pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya?”

“Belum Ki Jayaraga,” jawab Kiai Warangka, “tetapi aku pernah mendengar namanya.”

“Orang itu termasuk orang yang tidak berjantung. Aku tidak mengira bahwa pada suatu saat orang itu akan sampai di daerah ini.”

“Aku menjadi kasihan kepada Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “kenapa ia telah terjebak ke dalam satu kumpulan orang-orang seperti itu?”

“Sehingga Kakang Timbang Laras telah melupakan saudara seperguruannya sendiri.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat menjawab.

Sementara itu, orang-orang berkuda yang mendekati regol padepokan itu pun mulai berbicara. Yang mula-mula berbicara adalah Kiai Timbang Laras, “Kakang. Kau lihat bahwa aku tidak datang sendiri.”

Kiai Warangka yang berada di atas panggungan di belakang dinding padepokan di sebelah regol itu pun menyahut, “Ya, Timbang Laras. Aku melihat kau datang bersama beberapa orang kawan-kawanmu. Banyak sekali.”

“Nah, Kakang,” berkata Timbang Laras pula, “kau tidak mempunyai pilihan lain. Serahkan padepokanmu ini kepada kami!”

“Untuk apa, Timbang Laras? Bukankah kau sudah mempunyai padepokan sendiri?”

“Aku akan mengaduk seluruh padepokan ini untuk menemukan peti itu.”

Tetapi Ki Serat Waja nampaknya tidak sabar lagi. Ia pun segera menyahut, “Apa artinya peti itu bagi sekian banyak orang, Kakang? Apa kau kira isinya akan dapat kalian bagi rata kepada semua orang dalam nilai uang sekeping-sekeping?”

“Kau tidak usah ikut campur Serat Waja!” bentak Timbang Laras.

“Kenapa? Kau dan Kakang Warangka adalah saudara seperguruanku pula.”

Belum lagi Kiai Timbang Laras menjawab, Jatha Beri telah berteriak, “Buat apa berbicara dengan mereka. Tidak akan ada gunanya!”

“Kita membuang-buang waktu saja,” geram seorang yang bertubuh gemuk dan membawa sebuah kapak yang besar, “biarlah aku memecahkan pintu gerbangnya sekarang, meskipun baru besok kita akan memasuki padepokan ini.”

“Kenapa tergesa-gesa?” berkata orang yang disebut Naga Dakgrama. “Aku masih letih sekarang. Aku ingin beristirahat. Jika aku bersedia datang kemari, itu semata-mata karena aku ingin memperkenalkan diri. Mungkin orang-orang padepokan ini belum pernah melihat ujud orang yang bergelar Naga Dakgrama.”

Ki Jayaraga dengan sengaja berdiri di belakang, sehingga tidak nampak dari depan regol padepokan itu. Ia sengaja menghindar agar Ki Naga Dakgrama tidak melihatnya.

“Seperti Jatha Beri, ia akan terkejut melihat aku di sini. Meskipun mungkin Jatha Beri sudah memberitahukan kepadanya, tetapi jika tiba-tiba besok kami akan berhadapan, maka tentu akan sangat menarik baginya.”

Kiai Warangka tersenyum sambil berkata, “Jadi Ki Jayaraga sudah memilih lawan?”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin satu kebetulan kami harus bertemu di sini.”

Kiai Warangka tidak menjawab. Sementara Kiai Timbang Laras pun berkata, “Kakang. Kami memang hanya sekedar ingin memperkenalkan diri. Besok pagi-pagi, sebelum fajar, kami akan datang lagi. Kakang tentu sudah tahu seberapa banyak orang yang datang bersama kami. Nah, apakah Kakang masih merasa mungkin untuk akan tetap mempertahankan padepokan ini, itu sama sekali bukan karena Kakang seorang pemberani. Bukan pula karena Kakang seorang laki-laki sejati, karena seorang laki-laki sejati tidak akan hanyut dibawa arus perasaannya. Tetapi penalarannya akan ikut menentukan sikapnya. Nah, jika Kakang tetap bertahan, maka berarti bahwa Kakang dan para cantrik padepokan ini akan membunuh diri.”

“Terima kasih atas peringatanmu. Timbang Laras. Ternyata masih juga tersisa ikatan persaudaraan di antara kita. Masih ada sisa belas kasihanmu, sehingga kau telah memperingatkan kami, seisi padepokan ini, untuk menghindarkan diri dari kematian. Tetapi sayang Timbang Laras, bahwa aku tidak dapat memenuhinya. Aku akan mempertahankan padepokan ini apapun yang terjadi. Persoalan padepokan ini adalah persoalan antara aku dan kau. Antara dua orang saudara seperguruan. Aku tidak ingin orang lain ikut campur. Aku tidak ingin Jatha Beri atau Naga Dakgrama atau siapapun yang lain, mencampuri persoalan antara aku dan adik seperguruanku.”

Namun tiba-tiba orang yang bertubuh gemuk dan membawa kapak itu tertawa. Katanya, “Kau memang bodoh Warangka. Mau tidak mau, itu harus terjadi. Kau tidak akan dapat memilih. Kau akan berhadapan dengan kami semuanya.”

Kiai Warangka itu pun menyahut, “Aku minta kalian tahu diri. Aku minta Timbang Laras juga menghargai padepokan ini, yang aku warisi dari guru yang membesarkan aku dan kau Timbang Laras.”

Orang-orang yang ada di depan regol itu tertawa. Jatha Beri pun kemudian berteriak, “Jangan merajuk, Kiai Warangka! Jangan menjual belas kasihan seperti itu. Kau kira adik seperguruanmu mau mendengarnya?”

“Aku tidak merajuk, Ki Sanak. Tetapi baiklah. Kita akan bertemu besok. Aku kira kalian tidak sabar lagi sehingga akan berusaha memasuki padepokanku hari ini.”

“Sudahlah, Kiai Timbang Laras.,” berkata Ki Jatha Beri, “saudara seperguruanmu sudah mulai mengigau. Biarlah besok ia mengakhiri igauannya itu.”

Suara tertawa meledak di antara orang-orang yang berada di depan regol itu. Glagah Putih hampir saja kehilangan kesabaran. Tetapi ketika ia bergerak, maka Ki Jayaraga menggamitnya sambil berdesis, “Biarkan mereka pergi.”

Orang-orang berkuda itu memang pergi, tetapi tidak terlalu jauh. Para pengikut mereka pun sudah menebar di sekeliling padepokan itu.

“Jumlah mereka memang terlalu banyak untuk dihadapi oleh seisi padepokan ini sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Timbang Laras, jika seisi padepokan ini akan bertahan, maka kita akan dapat dibinasakan.”

“Tetapi seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, biarlah Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras menyelesaikan persoalan mereka sendiri.”

“Besok pagi, para pendatang itu akan menyadari bahwa mereka akan berhadapan dengan lawan yang lain,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Malam itu sebelum beristirahat, Glagah Putih sempat memberikan pesan-pesan terakhirnya kepada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Para pengawal yang memiliki kemampuan prajurit dan mempunyai pengalaman yang luas. Mereka memiliki kemampuan secara pribadi, tetapi mereka juga memiliki kemampuan bertempur dalam kelompok-kelompok mereka, bahkan perang gelar sekali pun. Apalagi para prajurit dari Pasukan Khusus yang ditempa dalam barak yang khusus pula. Mereka adalah prajurit-prajurit pilihan yang dapat bertempur menghadapi segala jenis lawan.

“Nah, sekarang beristirahatlah. Kalian harus menyimpan tenaga kalian. Besok kita akan bertempur mempertaruhkan hidup dan mati kita. Tetapi malam ini kalian sempat berdoa, semoga Yang Maha Agung melindungi kita yang berjuang untuk kebaikan.”

Seperti para pengawal dan prajurit, Glagah Putih pun beristirahat pula bersama mereka. Demikian pula para pemimpin padepokan itu, serta para cantrik dan putut. Meskipun demikian, para petugas yang berada di panggungan tidak lengah sama sekali. Mereka mengawasi keadaan di sekitar padepokan yang memang terbuka. Yang terbentang di seputar padepokan adalah padang perdu yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul liar dan rerumputan.

Para cantrik yang bertugas melihat orang-orang yang mengepung padepokan itu membuat perapian. Sebagian dari mereka juga mulai berbaring. Namun yang lain telah menyiapkan tangga-tangga bambu, tali-tali yang terbuat dari ijuk dan jangkar-jangkar besi. Alat-alat yang memang terbiasa dipergunakan oleh pasukan yang ingin memasuki lingkungan berdinding.

Sementara itu, para cantrik yang berada di sebelah-menyebelah regol menduga bahwa pintu regol tidak akan dibuka dengan cara yang wajar. Tidak dengan sepotong kayu yang besar dan panjang. Tetapi orang-orang berilmu tinggi akan memecahkan pintu regol dengan ilmu mereka. Terutama orang yang bersenjata kapak sangat besar itu. Nampaknya ia merasa mampu memecahkan pintu regol dengan sekali ayun.

Tetapi semuanya itu sudah diperhitungkan. Para cantrik memang sudah mempersiapkan arena yang cukup luas di halaman depan. Kemudian di samping dan di antara bangunan-bangunan yang ada. Para cantrik akan memanfaatkan medan untuk menjebak lawan-lawan mereka. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sejak di halaman depan akan berusaha menekan para pengikut orang-orang yang datang bergabung dengan Kiai Timbang Laras, sementara para cantrik akan memilih lawan di antara para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang cantrik yang telah berada di tempat itu akan memberikan isyarat, di kelompok yang mana mereka berada.

“Mudah-mudahan mereka tidak berbaur,” berkata Perbatang kepada Ki Serat Waja sebelum Perbatang beristirahat

“Itulah yang aku cemaskan. Jatha Beri dan kawan-kawannya memang terlalu licik. Tetapi seandainya demikian, apa boleh buat. Para pengawal Tanah Perdikan akan dapat menyesuaikan diri. Jumlah mereka pun cukup banyak. Lebih banyak dari yang aku duga. Apalagi di antara mereka terdapat dua kelompok prajurit dari Pasukan Khusus, yang tidak diragukan lagi kemampuannya.”

Perbatang mengangguk-angguk. Namun dengan pandangan kosong ia pun berdesis, “Kasihan saudara-saudaraku yang pernah berguru kepada Kiai Timbang Laras dengan sungguh-sungguh. Akhir dari laku yang mereka jalani ternyata sangat buruk. Mudah-mudahan besok mereka dapat dipisahkan dari orang-orang gila yang datang bersama mereka.”

“Seandainya mereka berbaur, bukankah kalian dapat mengenali ilmu mereka? Seandainya mereka berbaur dan tanpa mengenakan ciri-ciri khusus, maka satu-satunya cara untuk mengenali mereka adalah pada tatanan gerak dan ilmu mereka.”

Perbatang mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan mengatakan kepada saudara-saudaraku di perguruan ini. Kami sendiri yang memang berasal dari perguruan Kiai Timbang Laras akan langsung dapat mengenali mereka.”

“Ilmu kita sebenarnya bersumber dari perguruan yang sama. Karena itu, maka saudara-saudara kita dari perguruan Kakang Warangka tentu akan dapat mengenalinya pula dengan cepat. Demikian pula sebaliknya.”

“Jika saja racun yang ditaburkan oleh Jatha Beri itu masih belum terlalu dalam merasuk ke dalam tulang sumsum saudara-saudara kita itu.”

Dengan nada dalam Ki Serat Waja berkata, “Bagaimanapun juga kita memang harus berhati-hati. Kita memang tidak tahu, apakah mereka masih merasa mempunyai ikatan dengan kita atau tidak.”

Perbatang menundukkan kepalanya. Satu pilihan yang sangat sulit.

Meskipun demikian, Perbatang dan Ki Serat Waja memang memberikan beberapa pesan kepada para cantrik dan putut, agar mereka mencoba memisahkan tanggapan mereka terhadap para murid dari perguruan Kiai Timbang Laras dan para pendatang.

“Tetapi jika mereka sama berbahayanya, apa boleh buat,” berkata Ki Serat Waja.

Demikianlah, malam itu para cantrik, para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus dapat beristirahat tanpa terganggu. Yang bertugas pun dapat bergantian sesuai dengan ketentuan. Tidak ada tanda-tanda yang menarik perhatian mereka, karena agaknya orang-orang yang mengepung padepokan itu pun memerlukan waktu untuk beristirahat pula.

Namun di dini hari, beberapa orang petugas khusus sudah mulai melakukan tugas mereka. Perapian mulai menyala dan air pun mulai dijerang.

Baru kemudian, para cantrik, putut, pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun terbangun. Mereka pun segera berbenah diri. Beberapa buah sumur yang ada di padepokan yang terhitung luas itu pun telah ditimba airnya. Bergantian mereka mandi atau sekedar mencuci muka. Yang tidak telaten menunggu pakiwan yang berisi dua atau tiga orang, mereka langsung menyiram tubuh mereka di pelataran sumur.

Tetapi mereka yang malas, hanya sekedar membasahi tangan mereka untuk mengusap wajah-wajah mereka saja.

Seorang cantrik muda yang hanya mencuci mukanya saja berdesis, “Nanti, jika pertempuran sudah selesai, aku akan mandi keramas.”

“Kau kira perang tentu selesai hari ini?”

“Entahlah. Jika perang baru selesai esok, biarlah aku mandi esok. Atau bahkan mungkin aku harus mandi dengan darah.”

“Jangan berkata begitu,” desis kawannya, “berdoalah. Doa kita akan didengar-Nya, meskipun keputusan akhir ada di tangan-Nya pula.”

Cantrik muda itu tersenyum. Katanya, “Ya, tentu kita akan berdoa. Kau kira aku akan membiarkan hidupku direngut orang?”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi kawannya yang sudah selesai mandi itu pun kemudian berpakaian sambil Berkata, “Akhirnya kita selesai berbareng meskipun kau tidak mandi.”

“Kau tidak berhenti berbicara, sehingga aku tidak sempat beranjak dari pelataran sumur ini.”

Demikianlah, sejenak kemudian para cantrik, para pengawal dan para prajurit yang tidak mengenakan pakaian keprajuritannya pun sudah siap. Mereka sudah minum minuman hangat dan makan sekenyang-kenyangannya. Jika pertempuran berlangsung sehari penuh dan mereka tidak sempat makan lagi, tenaga mereka tidak boleh terkuras habis sebelum matahari merendah.

Para cantrik yang bertugas berjaga-jaga pun melihat di kejauhan, orang-orang yang mengepung padepokan itu pun sudah bersiap pula. Para petugas di dapur pun telah lebih dahulu sibuk. Kemudian yang lain pun telah bersiap-siap pula. Di antara mereka telah mempersiapkan peralatan yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding dan memasuki halaman padepokan.

Ketika seorang putut yang tidak sabar mengusulkan agar pasukan yang ada di dalam padepokan itu justru yang keluar mendahului menyerang, maka Kiai Warangka pun berkata, “Kita akan menunggu. Jika mereka berhasil memasuki padepokan ini, kita pun sudah siap. Tetapi untuk memasuki padepokan ini, mereka sudah harus mengorbankan banyak orang, sehingga kekuatan mereka tentu sudah menyusut meskipun mungkin hanya sebagian kecil. Sementara itu, di dalam lingkungan padepokan ini kita dapat memanfaatkan medan yang sudah kita kenal dengan baik. Bukankah kita sudah mempersiapkan jebakan-jebakan bagi mereka? Nah, sebelum matahari terbenam, kita harus sudah dapat mengusir mereka keluar lagi dari padepokan ini. Kita tidak tahu, apakah di hari berikutnya mereka akan mengulangi serangannya atau tidak.”

Putut itu mengangguk-angguk. Tetapi darah mudanya serasa telah mendidih ketika ia melihat orang-orang yang mengepung padepokan itu dengan sikap yang yakin telah siap untuk menyerang, seakan-akan mereka telah memastikan diri akan menang.

Menjelang fajar, segalanya sudah dipersiapkan. Orang-orang yang mengepung padepokan itu pun sudah siap pula, sementara para cantrik pun sudah siap berada di panggungan dengan busur dan anak panah. Sebagian dengan lembing-lembing pring cendani yang siap dilontarkan.

Namun sebagian yang lain telah siap di tempat-tempat yang telah disediakan. Di seputar halaman depan padepokan. Halaman samping dan belakang. Di antara dinding-dinding bangunan, serta mempersiapkan jebakan-jebakan. Jika orang-orang yang menyerang padepokan itu memecahkan pintu regol, yang menurut perhitungan tidak akan terlalu sulit dilakukan oleh orang-orang berilmu tinggi, maka pasukan yang memasuki padepokan itu akan dengan cepat mengalir dan melebar ke seluruh lingkungan padepokan. Namun mereka akan menebar pula di tempat-tempat yang khusus, yang memang diharapkan untuk segera mereka datangi.

Mereka diharapkan untuk memasuki longkangan-longkangan yang berpintu rahasia. Jika sekelompok di antara para penyerang itu memasuki longkangan yang telah dipersiapkan, maka pintu di ujung longkangan itu akan ditutup, sehingga kesannya memang bukan sekedar pintu tertutup. Tetapi longkangan itu seakan-akan tidak pernah ada, sehingga para penyerang itu akan mengalir ke longkangan yang lain. Dengan jenis pintu yang sama, maka longkangan itu pun dapat tertutup pula, sementara longkangan yang lain lagi akan terbuka. Sementara itu, para cantrik, putut dan pengawal Tanah Perdikan telah siap di setiap longkangan untuk menyambut mereka. Sedangkan para prajurit dari Pasukan Khusus, dengan sebagian pengawal dan cantrik serta putut, akan menunggu di tempat-tempat terbuka di dalam lingkungan padepokan itu. Para prajurit dari Pasukan Khusus yang terlatih dengan baik untuk menghadapi lawan siapa pun juga itu, akan langsung menyongsong para penyerang yang memasuki pintu gerbang. Beberapa orang cantrik yang ditugaskan berada di antara mereka, di antaranya adalah para cantrik yang melarikan diri dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang telah disamarkan.  Mereka akan memberikan petunjuk, yang manakah di antara para penyerang itu murid dari padepokan Kiai Timbang Laras, dan yang mana yang bukan. Namun dalam keadaan yang paling gawat, maka pengamatan itu tentu tidak akan terlalu cermat.

Sejenak kemudian, para cantrik yang berada di atas panggungan telah memberikan isyarat bahwa lawan mereka telah mulai bergerak.

Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Glagah Putih telah naik ke panggungan pula. Sementara Ki Jayaraga, Ki Resa serta Perbatang dan Pinuji berada di halaman depan padepokan.

Beberapa orang berkuda yang kemarin telah mendekati pintu gerbang, telah mendahului pasukan yang mulai bergerak itu. Seperti kemarin, beberapa orang itu telah mendekati pintu gerbang. Kiai Timbang Laras yang berada di antara mereka pun telah berteriak, “Kakang Warangka! Aku datang untuk menghancurkan padepokan ini, jika Kakang tidak segera pergi meninggalkannya. Pasukan kami cukup kuat untuk menumpas seisi padepokan ini dalam waktu singkat. Sebelum matahari sampai di puncak langit, maka pekerjaan kami tentu sudah selesai. Selebihnya tinggal menyingkirkan tubuh yang terbaring membeku yang berserakan di mana-mana.”

“Lakukanlah, Timbang Laras. Tetapi seperti sudah aku katakan kemarin, bahwa persoalan yang sebenarnya adalah persoalan antara aku dan kau, adik seperguruanku. Karena itu, maka biarlah orang lain tidak mencampurinya.”

“Kau masih saja merajuk Kiai Warangka!” teriak Ki Jatha Beri, “Kau lihat kami sudah ada di sini. Kami akan ikut memasuki padepokan, menghancurkan semua yang melawan kehadiran kami.”

“Kami masih memberi kesempatan hidup bagi mereka yang menyerah!” teriak Kiai Timbang Laras pula.

Tetapi Ki Jatha Beri dengan cepat menyambung, “Tetapi mereka akan menjadi budak-budak kami sepanjang hidup mereka.”

Kiai Warangka pun menjawab dengan tenang meskipun suaranya cukup lantang, “Ki Jatha Beri, maaf bahwa aku dan para cantrik tidak akan sempat melayani kalian karena kesibukan kami untuk melayani adik seperguruanku itu. Biarlah aku serahkan kepada orang lain yang sudah siap melayani kedatangan kalian, sehingga barangkali pekerjaan kalian tidak akan selesai sebelum tengah hari. Atau bahkan sampai senja sekalipun. Tetapi jika kalian merasa jemu dengan pekerjaan kalian yang tidak terselesaikan itu, kalian akan dapat meninggalkan padepokan ini melalui pintu gerbang, yang aku yakin akan kalian pecahkan itu.”

“Setan kau! Apa yang akan kau lakukan?” teriak Ki Jatha Beri.

“Aku hanya ingin memberi kepuasan. Jika karena kesibukan kami, kami tidak dapat menghiraukan kedatangan kalian, maka kalian tentu akan sengat kecewa. Karena itu, biarlah orang lain yang melakukannya.”

“Kakang, apakah Kakang akan berbuat licik?” teriak Kiai Timbang Laras.

“Tidak. Aku akan menyambutmu dengan baik, Timbang Laras. Aku hanya ingin memperingatkan, bahwa orang lain sebaiknya tidak ikut campur dalam persoalan di antara kita. Itu saja.”

Kiai Timbang Laras pun menggeram. Katanya, “Jika kau berbuat licik Kakang, maka akibatnya akan sangat buruk bagi padepokan ini.”

“Apakah kita akan mempersoalkan pengertian licik sehari penuh, sehingga rencanamu akan tertunda sampai esok?”

Kiai Timbang Laras menggeretakkan giginya. Dengan lantang ia pun berteriak, “Bersiaplah! Kita akan segera mulai!”

Namun Kiai Warangka justru tertawa sambil menjawab, “Aku sudah siap sejak sepekan yang lalu.”

Dua orang di antara orang-orang berkuda itu pun segera memacu kudanya kembali ke pasukan induknya. Sementara itu, orang yang berkepala botak dan membawa kapak yang besar itu segera mendekati pintu gerbang.

Dalam pada itu, Kiai Warangka pun kemudian menyadari bahwa perang telah dimulai. Ketika kedua orang berkuda itu sampai di induk pasukannya, maka sejenak kemudian telah terdengar lengking panah sendaren yang lepas ke udara.

Bukan orang-orang yang datang menyerang itu saja-lah yang mengerti, bahwa suara panah sendaren itu berarti perintah untuk mulai menyerang. Tetapi orang-orang yang berada di dalam lingkungan padepokan itu pun mengerti pula. Karena itu, orang-orang yang ada di dalam padepokan itu pun segera bersiap sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, orang-orang yang mengepung padepokan itu pun segera berlari-lari mendekat. Jumlah mereka memang cukup banyak, karena mereka terdiri dari beberapa perguruan dan kelompok-kelompok yang mempunyai jumlah pengikut yang besar pula.

Dengan demikian, maka serangan atas padepokan itu datang dari beberapa penjuru. Namun para pemimpin mereka agaknya memang memusatkan kekuatan terbesar pada sisi depan dari padepokan itu.

Dengan isyarat yang terdengar itu, Kiai Warangka pun telah menjatuhkan perintah pula kepada para cantrik yang ada di panggungan untuk melepaskan senjata mereka.

Namun orang yang bersenjata kapak yang besar itu sudah sampai di pintu gerbang. Seorang yang lain telah melindunginya dari serangan anak panah dari para cantrik dari atas panggungan. Tetapi justru karena orang berkepala botak dan bersenjata kapak itu melekat pada pintu gerbang yang di atasnya beratap, maka agak sulit untuk langsung membidiknya.

Sementara itu, orang berkapak itu segera mengayunkan kapaknya. Ternyata kekuatan orang itu memang luar biasa. Ketika kapaknya mengenai pintu gerbang padepokan, maka seakan-akan seluruh padepokan itu bergetar.

Tetapi Kiai Warangka memang tidak terlalu menekankan kepada penyelamatan pintu gerbang itu, justru karena para cantrik telah bersiap untuk bertempur di dalam padepokan. Kiai Warangka pun memperhitungkan bahwa orang-orang yang menyerang padepokan itu tidak akan berusaha untuk menimbulkan kerusakan, apalagi membakar bangunan-bangunan yang ada, justru karena mereka menginginkan untuk menjadikan padepokan itu landasan dari gerak mereka selanjutnya.

Demikianlah, setiap ayunan kapak orang yang berkepala botak itu, dinding padepokan itu telah terguncang, sementara padepokan itu sendiri bagaikan bergetar.

“Luar biasa,” geram Glagah Putih. Namun Glagah Putih itu pun segera berdiri menuruni tangga panggungan itu.

“Kau akan ke mana, Ngger?” bertanya Kiai Warangka.

Glagah Putih yang sudah berada di tengah-tengah tangga panggungan itu berhenti sambil menjawab, “Orang berkapak itu sangat menarik.”

Kiai Warangka menarik nafas panjang. Ia menyadari bahwa agaknya Glagah Putih akan mempersiapkan diri untuk menghadapi orang yang memiliki tenaga sangat besar itu.

Dalam pada itu, Kiai Warangka pun kemudian berkata kepada Ki Serat Waja, “Kau sajalah yang memimpin perlawanan dari panggungan ini. Aku akan turun. Jika Kakangmu Timbang Laras memasuki padepokan ini, biarlah aku yang menyongsongnya..”

“Biar aku sajalah, Kakang,” sahut Ki Serat Waja, “sudah lama aku berpisah dengan Kakang Timbang Laras. Aku ingin mencoba, apakah Kakang Timbang Laras sudah mendapat kemajuan.”

Kiai Warangka tersenyum. Katanya, “Aku-lah yang ditantangnya. Biarlah aku melayaninya.”

Ki Serat Waja tidak dapat mencegahnya. Ketika Kiai Warangka kemudian turun dari panggungan, maka Ki Serat Waja pun segera mengamati orang-orang yang datang menyerang itu, tanpa menghiraukan lagi orang berkepala botak yang berusaha memecahkan pintu regol.

Demikian orang-orang yang menyerang itu memasuki jarak jangkau serangan anak panah, maka Ki Serat Waja segera memerintahkan untuk melepaskan anak panah sebanyak dapat mereka lontarkan.

Anak panah itu memang menghambat gerak maju orang-orang yang datang menyerang itu. Namun sambil berteriak-teriak mereka mengacu-acukan senjata mereka. Sebagian mereka membawa perisai untuk melindungi diri. Tetapi yang lain mampu menepis serangan anak panah itu dengan senjata mereka.

Namun di samping itu, beberapa orang telah jatuh pula. Mereka bahkan telah terinjak-injak oleh kawan-kawannya yang berlari-lari mendekati dinding padepokan.

Beberapa orang di antara mereka membawa tangga-tangga bambu. Yang lain membawa tali dan jangkar. Sementara itu, orang berkapak itu masih berusaha untuk memecahkan pintu gerbang yang terbuat dari kayu.

Ketika orang-orang yang berlari-lari mendekati dinding itu menjadi semakin dekat, maka para cantrik yang berada di panggungan telah melemparkan lembing-lembing yang dibuat dari pring cendani berbedor besi yang tajam, sehingga memerlukan tenaga yang lebih besar untuk menepisnya. Sementara itu, anak panah masih saja meluncur seperti hujan.

Dalam pada itu, bukan hanya di sisi depan sajalah para penyerang berusaha untuk meloncati dinding dengan tangga dan tali. Tapi mereka yang menyerang lewat samping pun telah melakukannya pula.

Tetapi ternyata tidak terlalu mudah bagi mereka untuk melakukannya. Para cantrik yang berada di panggungan di belakang dinding padepokan itu telah mendorong ujung-ujung tangga itu sehingga tangga-tangga itu roboh.

Tetapi para penyerang itu berusaha terus. Dilindungi oleh anak panah yang meluncur seperti hujan untuk mengimbangi serangan anak-anak panah yang datang dari balik dinding.

Namun kedudukan para cantrik yang berada di balik dinding itu lebih menguntungkan. Mereka berada di tempat yang lebih tinggi. Sebagian tubuh mereka terlindung oleh dinding itu sendiri.

Dalam pada itu, orang berkepala botak yang berusaha memecah pintu itu ternyata tidak lagi bekerja sendiri. Beberapa orang pengikutnya yang juga bersenjata kapak telah membantunya berusaha memecahkan pintu gerbang itu.

Ternyata memecahkan pintu gerbang yang kokoh itu tidak semudah yang dibayangkan oleh orang berkepala botak itu. Meskipun demikian, perlahan-lahan pintu gerbang itu pun menjadi retak dan kemudian mulai pecah.

Sementara itu, matahari sudah menjadi semakin tinggi. Tetapi masih belum sampai ke tengah hari.

Demikian mereka melihat pintu gerbang itu mulai pecah, orang-orang menyerang padepokan itu bersorak semakin gemuruh. Mereka berteriak-teriak dengan keras dengan mengucapkan kata-kata kasar. Menurut pendapat mereka, pecahnya pintu gerbang akan sama artinya dengan pecahnya pertahanan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka itu.

Namun sebelum pintu gerbang itu benar-benar pecah, Ki Serat Waja berteriak bukan saja dengan kemampuan wadagnya, namun dengan dorongan ilmunya, sehingga suaranya bagaikan menggetarkan udara di atas padepokan itu dan sekitarnya. “Kakang Timbang Laras! Jika pintu itu pecah, dan kau memasuki padepokan itu, maka sepeti yang dikatakan oleh Kakang Warangka, bahwa orang-orang lain tidak akan dapat mencampuri persoalan antara kau dan Kakang Warangka!”

Jantung Kiai Timbang Laras menjadi berdebar-debar mendengar suara Ki Serat Waja yang mengatasi gemuruhnya sorak-sorai pasukan yang menyerang padepokan itu. Namun Kiai Timbang Laras itu pun menjawab dengan landasan ilmu yang sama, “Sudah aku katakan Serat Waja, kau tidak usah ikut campur! Atau kau sekedar ingin memamerkan ilmumu yang sudah berkembang demikian jauh?”

“Aku hanya ingin memperingatkanmu Kakang. Juga orang-orang yang datang bersamamu. Jika mereka ingin masuk, biarlah mereka dipersilakan masuk. Tetapi mereka tidak akan disambut oleh Kakang Warangka, karena Kakang Warangka tidak ingin berurusan dengan mereka.”

“Tentu Jayaraga yang gila itu! Biarlah aku akan menghancurkannya. Ia sudah banyak merusak lingkunganku!” teriak Ki Jata Beri.

Tetapi Ki Serat Waja tertawa. Suara tertawanya seakan-akan melingkar-lingkar menghentak-hentak di setiap dada. Katanya, “Antara lain adalah Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga sudah menyiapkan sambutan yang meriah bagi kalian.”

“Setan kau, Serat Waja! Jangan terlalu bangga dengan ilmumu itu!” teriak Timbang Laras.

“Tidak, Kakang. Sekali lagi aku katakan, aku hanya ingin memperingatkanmu.”

“Cukup! Aku tidak memerlukan nasihatmu.”

Ki Serat Waja tidak sempat menjawab. Orang-orang yang menyerang padepokan itu bersorak meledak bagaikan meruntuhkan langit. Pintu gerbang itu benar-benar telah pecah.

Demikianlah, sejenak kemudian orang-orang yang berjejal di depan pintu gerbang itu pun segera mengalir memasuki padepokan. Sementara itu dari sisi-sisi yang lain mereka sama sekali tidak berhasil memasuki padepokan dengan meloncat dinding.

Dengan demikian maka seperti yang diperhitungkan sebelumnya, orang-orang yang memasuki padepokan itu tentu akan segera mengalir ke lingkungan yang sudah dipersiapkan.

Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan, serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun telah bersiap sepenuhnya. Namun di sisi lain, sengaja pertahanan diperlemah, sehingga pertahanan itu akan segera terbuka. Para penyerang itu pun akan segera digiring ke jebakan-jebakan yang sudah dipersiapkan dengan baik.

Demikianlah, segera terjadi pertempuran yang sengit. Kiai Timbang Laras dan para pemimpin dari pasukan penyerang itu terkejut. Mereka tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan pasukan yang sangat kuat.

Demikian kedua pasukan itu berbenturan, maka segera terasa betapa para prajurit dari Pasukan Khusus itu membelah pasukan penyerang dengan tajamnya. Demikian benturan terjadi, para penyerang itu merasa telah membentur pertahanan yang sangat kuat. Bahkan dalam waktu sekejap, korban pun mulai jatuh.

Tetapi di tempat lain, para penyerang itu bersorak dengan riuhnya. Mereka berhasil memecahkan pertahanan para cantrik padepokan itu. Demikian mereka menyibak, maka para penyerang itu pun segera menusuk langsung memasuki Iongkangan-longkangan di padepokan itu.

Namun demikian mereka mulai masuk, mereka segera merasa betapa medan menjadi sangat rumit.

Tiba-tiba saja pintu-pintu bangunan di sebelah-menyebelah longkangan itu pun terbuka. Anak panah dengan derasnya meluncur dari setiap pintu. Namun demikian perhatian mereka tertuju ke pintu-pintu itu, mereka telah dijepit dari arah yang berlawanan.

Para penyerang itu baru menyadari bahwa mereka telah terjebak. Karena itu, mereka pun segera menghentakkan kekuatan dan kemampuan mereka untuk melepaskan diri dari jebakan yang mendebarkan itu.

Tetapi medan itu pun terasa bagaikan padang yang panasnya seperti neraka. Dalam longkangan yang tidak terlalu luas, mereka mendapat serangan dari segala jurusan.

Tetapi para penyerang itu mengira bahwa keadaan itu tidak akan bertahan terlalu lama. Mereka mempunyai banyak kawan yang memasuki padepokan itu, sehingga dalam waktu singkat padepokan itu tentu sudah akan dapat dihancurkan.

“Sebentar lagi, kami akan menginjak kepala kalian!” teriak salah seorang pemimpin kelompok dari orang-orang yang terjebak itu. Lalu katanya pula, “Seisi padepokan ini sudah kami kuasai!”

Tidak ada yang menjawab. Namun keadaan orang-orang yang terjebak di longkangan itu menjadi semakin sulit, sementara di ujung longkangan pintu telah tertutup, sehingga longkangan itu tidak akan segera dapat diketahui adanya. Jika ada kelompok-kelompok yang mengalir, maka mereka akan segera terjebak di longkangan-longkangan yang lain.

Sementara itu di halaman, pertempuran telah menjadi semakin seru. Para prajurit dari Pasukan Khusus telah mendapat petunjuk, ciri-ciri para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Namun memang sulit untuk memilahkan mereka, karena mereka telah berbaur dengan para pengikut Ki Jatha Beri, Ki Naga Dakgrama dan yang lain-lain.

Demikian pula para pengawal Tanah Perdikan. Mereka ternyata sulit sekali untuk memilih lawan. Sehingga karena itu, maka mereka melawan siapapun yang telah menyerang mereka.

Tetapi Kiai Timbang Laras memang benar-benar terkejut melihat perlawanan di dalam padepokan yang luas itu. Demikian banyak orang yang berada di dalam padepokan. Jauh lebih banyak dari yang diperkirakan.

Namun Kiai Timbang Laras pun segera mengetahui, bahwa yang berada di dalam padepokan itu bukan saja para cantrik dan putut. Tetapi mereka tentu datang dari luar padepokan.

Sahabat-sahabat Ki Jatha Beri pun mulai mengumpat-umpat. Mereka telah mendapat keterangan yang berbeda dari kenyataan yang mereka hadapi. Ternyata jumlah lawan lebih banyak dari yang mereka gambarkan sebelumnya.

Tetapi mereka sudah berada di benturan kekuatan itu, sehingga mereka tidak dapat berbuat lain kecuali bertempur habis-habisan. Jika mereka ragu-ragu atau bahkan gelisah, maka mereka tentu akan segera digilas oleh lawan mereka, yang jumlahnya agaknya lebih banyak dari jumlah mereka.

Tetapi kawan-kawan Ki Jatha Beri itu merasa bahwa para pengikutnya mempunyai pengalaman yang lebih luas dari sekedar para cantrik yang terbiasa berada di padepokan saja. Meskipun para cantrik juga mendapat latihan olah kanuragan di samping pengetahuan-pengetahuan yang lain, tetapi para cantrik tidak mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi para pengikut mereka, meskipun jumlah para cantrik lebih banyak.

Kiai Timbang Laras, Ki Jatha Beri dan kawan-kawannya tidak tahu bahwa yang ada di padepokan itu adalah dua kelompok prajurit dari Pasukan Khusus dan para pengawal Tanah Perdikan, yang berkepentingan dengan gerakan Ki Jatha Beri untuk membuat landasan kekuatan di padepokan Kiai Warangka itu.

Dalam pada itu, para pemimpin dari pasukan yang menyerang itu pun tidak sekedar menonton para pengikutnya bertempur. Tetapi mereka pun telah melibatkan diri pula. Apalagi ketika mereka melihat kelompok-kelompok orang yang memiliki kemampuan bertempur yang tinggi.

Orang berkapak dan berkepala botak itu melihat sekelompok orang yang memiliki kemampuan yang membuatnya gelisah. Para pengikutnya yang dianggapnya berpengalaman sangat luas itu, ternyata telah mengalami kesulitan menghadapi mereka. Karena itu, maka orang itu pun langsung memasuki arena dengan kapaknya yang besar itu.

Tetapi Glagah Putih yang selalu mengamatinya telah datang menyongsongnya.

Orang berkapak itu termangu-mangu melihat anak muda itu. Karena itu, iapun segera bertanya, “He, Anak Muda. Apa maksudmu menyongsong aku?”

“Kita berada di medan perang, Ki Sanak,” jawab Glagah Putih.

“Kau akan melawan aku?” bertanya orang berkapak itu.

“Pertanyaan yang aneh. Bersiaplah, kita akan bertempur,” berkata Glagah Putih.

Tetapi orang berkapak itu masih merasa heran. Tetapi kemudian ia menjadi marah dan menggeram, “Apakah kau sedang membunuh diri?”

“Kita tidak mempunyai banyak waktu untuk berbincang.”

“Baiklah. Aku akan segera membelah kepalamu.”

Glagah Putih pun segera bergeser mendekat. Di tangannya sudah tergenggam pedang panjangnya, sementara kapak yang besar di tangan orang berkepala botak itu sudah mulai terayun-ayun.

Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar melihat kapak yang besar itu. Kapak yang telah memecahkan pintu gerbang. Namun ternyata tidak dengan sekali ayun, dan bahkan kemudian dibantu oleh beberapa orang kawan-kawannya yang juga bersenjata kapak.

Sejenak kemudian kedua orang itu sudah terlibat dalam pertempuran, di antara para pengikut orang-orang berkapak itu dengan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan para prajurit dari Pasukan Khusus. Pertempuran yang semakin lama menjadi semakin garang. Ketika tubuh mereka telah menjadi basah oleh keringat, darah mereka pun menjadi semakin panas. Tenaga dan kemampuan pun menjadi semakin terungkap.

Kapak orang yang berkepala botak itu terayun-ayun mengerikan. Tenaganya yang besar membuatnya sama semakin tidak terasa berat untuk memutar kapaknya dengan satu tangannya.

Namun Glagah Putih dengan tangkas menghadapinya. Kakinya berloncatan dengan cepat, sementara pedangnya pun berputar semakin cepat pula melindungi tubuhnya. Tetapi sekali-sekali pedang itu pun menebas mendatar atau terjulur lurus menusuk ke arah jantung.

Tetapi tidak mudah menggapai tubuh orang berkepala botak itu. Ia pun mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi. Meskipun tubuhnya agak gemuk, tetapi ternyata iapun bertempur dengan tangkas pula.

Sementara Glagah Putih bertempur melawan orang berkapak, pertempuran pun menjalar semakin jauh. Ki Naga Dakgrama memang terkejut ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ki Jayaraga. Dengan nada tinggi ia berteriak, “He, jadi biangnya bajak laut ini ada di sini juga!”

“Apakah Jatha Andhapan tidak mengatakan kepadamu?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ia memang sudah mengatakan kepadaku. Tetapi demikian aku bertemu langsung dengan biangnya bajak laut ini, aku memang menjadi ber-debar-debar.”

“Kenapa kau tidak lari saja?” bertanya Ki Jayaraga.

Ki Naga Dakgrama tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau masih saja suka bergurau. Tetapi sekarang kita mempunyai cara lain untuk bergurau.”

“Aku mengerti,” jawab Ki Jayaraga, “marilah. Kita akan bermain. Aku memang sudah menunggumu. Aku berniat untuk memisahkanmu dari Kiai Timbang Laras. Biarlah Kiai Timbang Laras menyelesaikan persoalannya dengan kakak seperguruannya.”

Ki Naga Dakgrama mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi kau dan Warangka sudah merencanakan jebakan yang licik ini?”

Ki Jayaraga-lah yang tertawa. katanya, “Kau juga masih saja senang berkelakar. Tetapi istilahmu menarik sekali. Kau sebut sebuah jebakan. Padahal kau dan kawan-kawanmu-lah yang memaksa untuk masuk ke padepokan ini. Bahkan dengan memecahkan pintu.”

Ki Naga Dakgrama itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita memang dapat menyebut menurut sudut padang kita masing-masing. Setelah rambut kita putih dan kulit kita berkerut, kita akan menakar kemampuan kita masing-masing. Aku tahu bahwa ilmumu tentu sudah jauh meningkat, tetapi jangan mengira bahwa ilmuku mandeg di tengah jalan.”

“Tentu tidak. Orang-orang seperti kau tentu selalu berusaha untuk menambah ilmu,” sahut Ki Jayaraga. Namun tiba-tiba Ki Jayaraga itu bertanya, “Dakgrama, apa sebenarnya alasanmu dan kawan-kawanmu ingin menguasai padepokan ini?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Ki Naga Dakgrama, “kami datang bersama Kiai Timbang Laras. Nah, Kiai Timbang Laras-lah yang berkepentingan dengan kakak seperguruannya.”

“Jangan berbohong. Kita sudah sama-sama berambut putih.”

Ki Naga Dakgrama tertawa lagi. Katanya, “Aku sudah tahu bahwa kau memandang jauh ke depan. Baiklah. Aku akan berterus terang. Kami memang ingin memiliki landasan yang kokoh di daerah selatan ini. Kami sudah mengira bahwa Pati akan kalah. Mataram akan menguasai Pati. Tetapi kami tidak akan membiarkan Mataram dengan kokohnya mencengkeram Pati. Pati harus bangkit. Karena itu, kami akan menarik perhatian Mataram ke arah ini, sehingga Pati mempunyai kesempatan menyusun tenaga.”

“Jangan mengigau,” desis Ki Jayaraga, “kenapa kau tidak berkata sebenarnya? Kenapa kau bahkan menyangkut-pautkan kedudukan Pati di hadapan Mataram?”

“Kau tidak percaya?” bertanya Ki Naga Dakgrama.

“Aku tidak percaya. Sebaiknya kau katakan yang sebenarnya tanpa menyangkut-pautkan nama Pati, atau tegasnya tanpa menimpakan tanggung jawab dari tingkah lakumu kepada Pati.”

Ki Naga Dakgrama mengerutkan dahinya. Namun demikian katanya, “Baiklah. Aku akan berkata sebenarnya.”

“Katakan. Bukankah kau tidak akan dirugikan? Atau bahkan jika persoalannya menarik, aku akan dapat bergabung bersama kalian.”

“Setan tua!” Ki Naga Dakgrama itu tertawa pula berkepanjangan, “Dengarlah. Kau tidak usah membujukku seperti membujuk anak-anak.” Ki Naga Dakgrama itu berhenti sejenak. Lalu katanya, “Kami ingin menguasai daerah ini sampai ke Tanah Perdikan Menoreh. Kami akan menjadikan daerah ini sampai ke batas Kali Praga di sisi timur, dan ke barat seluruh daerah Jabanrangkah, melintasi Kali Bagawanta, Kali Jali dan bahkan Kali Luk Ula hingga tanpa batas, menjadi daerah perburuan kami. Namun lambat laun jika kaki kami sudah tertanam dan mengakar sampai ke perut bumi, maka kami bukan lagi sekedar mencari daerah perburuan. Tetapi kami akan menanamkan kekuasaan kami di daerah ini, yang bagi Mataram akan menjadi jauh lebih berbahaya dari Pati.”

Ki Jayaraga-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kenapa kau terpengaruh juga oleh pikiran yang kekanak-kanakan seperti itu? Kau anggap apa Panembahan Senapati di Mataram dan Kanjeng Adipati Pragola di Pati? Kau kira kau dapat menyusun kekuatan melampaui Pati? Naga Dakgrama, kau tidak membuat perhitungan yang matang untuk menghadapi Mataram. Kau harus tahu apa yang telah terjadi di Prambanan. Kemudian di Pati, yang baru saja selesai. Apa pula yang kau andalkan, bahwa suatu saat kau akan lebih berbahaya dari Kanjeng Adipati Pragola di Pati?’

“Jangan merendahkan aku dan kawan-kawanku, kau dan barangkali murid-muridmu memang hanya terbiasa merampok atau merompak di laut. Kalian tidak pernah mengadakan gerakan yang lebih mendasar di satu lingkungan tertentu.”

“Baiklah, Naga Dakgrama. Bersiaplah selagi kau sempat.

(terdapat bagian yang tidak terbaca di sini)

Di padepokan ini ada Glagah Putih, anak muda yang baru pulang dari medan pertempuran di Pati, yang ilmunya sulit diimbangi. Di padepokan ini ada Ki Serat Waja, adik seperguruan Kiai Timbang Laras sendiri, yang tentu juga akan memisahkan saudara-saudara seperguruannya dengan orang lain. Di padepokan ini ada juga Ki Resa. He. bukankah Kiai Timbang Laras dan Jatha Beri sedang mengejar-ngejar Ki Resa? Ia tentu dengan senang hati akan menemui Jatha Beri.”

“Ternyata Kiai Warangka juga licik seperti adik seperguruannya. He, bukankah kau sependapat jika disebut Timbang Laras itu licik?”

“Aku sependapat. Tetapi kenapa kau termasuk salah satu alat bagi kelicikannya?”

Ki Naga Dakgrama tertawa lagi. Katanya, “Siapakah yang diperalat? Kami atau Timbang Laras? Dengar. Timbang Laras sekarang sedang tergila-gila kepada seorang perempuan yang diaku sebagai adik Jatha Beri. Jatha Beri memang pintar. Dengan jerat perempuan itu, Timbang Laras benar-benar menjadi seperti seekor kerbau yang dicocok hidung. Nah, kami ikut pula naik ke punggung kerbau yang berlari-lari di bawah kendali Jatha Beri itu.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi dengan cara itu Jatha Beri berhasil memegang kendali di padepokan Kiai Timbang Laras?”

Ki Naga Dakgrama tertawa semakin keras. Katanya, “Aku percaya bahwa Timbang Laras memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kelemahan jiwaninya telah menjerumuskannya ke dalam kesulitan, karena ia harus bertempur melawan saudara seperguruannya.”

“Terima kasih atas keteranganmu, Naga Dakgrama. Sekarang, apakah kita akan bertempur, atau kau akan melarikan diri saja?”

“Sudahlah. Jangan bergurau terus. Sebentar lagi salah seorang dari kita akan mati. Kau atau aku.”

“Aku memilih kau saja-lah yang mati,” sahut Ki Jayaraga.

Ki Naga Dakgrama mengumpat Tetapi ia masih saja tertawa.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua orang tua itu pun telah bersiap. Ki Jayaraga dan Ki Naga Dakgrama adalah orang-orang tua yang berilmu tinggi. Ilmu mereka benar-benar sudah matang, sehingga pertempuran antara keduanya adalah pertempuran antara ilmu yang jarang ada duanya.

Dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan tertegun ketika ia bertemu dengan Ki Serai Waja yang juga masih terhitung muda dibanding dengan orang itu. Namun orang itu langsung mengenalinya. Dengan lantang iapun telah menyapanya, “Serat Waja. Kenapa kau tidak memihak Timbang Laras? Kenapa kau memihak Warangka? Bukankah kedua-duanya adalah saudara seperguruanmu?”

Dengan tenang Ki Serat Waja menjawab, “Kakang Timbang Laras telah mempunyai banyak kawan. Karena itu, biarlah aku membantu memilahkan orang-orang yang berdatangan ini, sehingga persoalannya akan dikembalikan kepada persoalan yang sewajarnya. Persoalan antara Kakang Warangka dan Kakang Timbang Laras.”

“Maksudmu?” bertanya Ki Jelanthir.

“Kalau kau ingin ikut campur, maka kau akan berhadapan dengan aku. Bukankah Kakang Warangka telah mengatakan bahwa ia tidak mau dicampuri orang lain? Ia ingin menyelesaikan persoalan antara saudara seperguruan ini tanpa campur tangan siapapun juga.”

“Kau kira kau akan dapat mencegah aku?” bertanya Ki Jelanthir.

“Kenapa tidak? Aku sudah siap untuk mengusir siapapun yang mau mencampuri persoalan kedua orang saudara seperguruanku itu.”

“Menyingkirlah sebelum kau mati!”

Ki Serat Waja tertawa pendek. Katanya, “Jangan mengancam begitu. Tidak ada gunanya. Kita sudah sama-sama dewasa, dan memang sudah siap untuk memasuki medan.”

Ki Jelanthir menggertakkan giginya. Dengan geram ia berkata, “Kau memang demit yang licik. Baiklah. Kiai Warangka tidak akan dapat menyalahkan aku jika aku membunuhmu.”

“Kakang tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Ia juga tidak akan menyalahkan aku jika aku membunuhmu.”

Ki Jelanthir tidak dapat menahan diri lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat sambil berteriak, “Kaulah yang pertama-tama akan mati!”

Ki Serat Waja tidak menjawab. Tetapi ia pun segera meloncat menghindari serangan itu. Bahkan tiba-tiba saja tubuhnya berputar. Dengan cepat Ki Serat Waja telah membalas menyerang.

Dengan demikian maka kedua orang itu segera terlihat dalam pertempuran yang sengit. Ki Serat Waja yang masih terhitung muda dibandingkan dengan lawannya itu justru telah menyerang dengan garangnya. Sementara itu Ki Jelanthir berusaha untuk menghindar. Tetapi dalam setiap kesempatan, Ki Jelanthir itu pun tidak melepaskannya

Dengan demikian, pertempuran di antara kedua orang berilmu tinggi itu menjadi semakin sengit. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Benturan-benturan pun segera terjadi. Namun keduanya memang memiliki kekuatan dan kemampuan yang tinggi.

Dalam pada itu, pertempuran di halaman padepokan itu pun semakin menjalar kemana-mana. Tetapi tidak seperti mimpi-mimpi para pemimpin gerombolan yang datang bersama Kiai Timbang Laras, ternyata pertahanan di padepokan itu demikian kuatnya, sehingga sulit bagi mereka untuk dengan cepat menyelesaikan pertempuran.

Jika semula mereka mengira bahwa demikian pintu gerbang dipecahkan maka seisi padepokan akan segera dimusnahkan, ternyata sama sekali tidak terjadi. Bahkan mereka seakan-akan merasa terhimpit oleh kekuatan yang besar, yang tersebar di seluruh padepokan.

Beberapa orang sudah terjebak di dalam longkangan-longkangan, sedangkan yang lain menjadi kebingungan karena keadaan medan yang kusut.

Namun di tempat-tempat terbuka, mereka mendapat perlawanan yang sangat kuat. Apalagi mereka yang kebetulan berhadapan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di padepokan itu pula. Sementara itu, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berpengalaman luas pun dengan keras telah menekan gerombolan-gerombolan yang menyerang padepokan itu.

Ki Jatha Beri yang marah itu pun bertempur dengan garangnya. Dengan ilmunya yang tinggi, ia menyapu menyibak kelompok-kelompok yang mencoba menahannya. Satu dua orang terlempar jatuh, menyeringai menahan sakit. Bahkan ada di antara mereka yang tulang-tulangnya serasa patah, sehingga tidak mampu lagi untuk bangkit sendiri.

Namun tiba-tiba saja Ki Jatha Beri itu terkejut ketika ia mendengar seseorang memanggilnya, “Ki Jatha Beri. Kau mengamuk seperti seekor harimau yang terluka. Sayang, kau hanya dapat menakut-nakuti anak-anak.”

Ki Jatha Beri berpaling. Ketika ia melihat Ki Resa, maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Ki Resa! Nah, aku temukan kau di sini. Cepat, kemari! Aku memerlukanmu.”

Ki Resa memang melangkah mendekat. Sementara Ki Jatha Beri kemudian membentak, “Berjongkok! Mohon ampun kepadaku, supaya hukumanmu menjadi lebih ringan. Supaya aku tidak menyeretmu di belakang kaki kuda. Jika kau mohon ampun, maka aku akan memenggal lehermu sehingga kau tidak menderita berkepanjangan.”

Ki Resa masih berdiam diri, sementara Ki Jatha Beri berkata selanjutnya, “Tetapi jika kau menolak, kau akan mengalami kesulitan di saat kematianmu.”

Namun tiba-tiba Ki Resa tertawa. katanya, “Kau kira kau dapat memerintah aku?”

“Setan kau! Aku memberimu kesempatan yang terakhir.”

“Aku tidak akan pernah mempergunakan kesempatan yang kau berikan, Ki Jatha Beri. Tetapi aku justru bertanya kepadamu, apakah kau sudah menyebut nama ayah dan ibumu? Sebentar lagi, aku akan mengantarkanmu ke ambang pintu kematianmu.”

“Kau berani membantah aku?”

Ki Resa tertawa berkepanjangan Katanya, “Kita sekarang berdiri pada tataran yang sama. Kita mempunyai kesempatan yang sama. Kau dapat membunuh aku, tetapi aku jaga dapat membunuhmu. Kau dapat membentak aku, aku pun dapat membentakmu. Kau dapat berlindung di belakang orang-orangmu, aku pun dapat melakukannya pula.”

“Kau pengkhianat!” geram Ki Jatha Beri, “Baik. Jika kau berlindung di padepokan ini, maka akhirnya kau akan mati juga.”

“Cacing akan menggeliat jika terinjak kaki. Apalagi aku, Ki Jatha Beri.”

Ki Jatha Beri yang menjadi sangat marah itu pun segera meloncat menyerang. Tetapi Ki Resa itu pun telah mempersiapkan diri dengan baik. Karena itu, dengan tangkas pula ia mengelak, sehingga serangan itu tidak mengenai sasaran.

Namun Ki Jatha Beri yang marah itu pun segera mengulangi serangannya pula.

Demikianlah, sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata Ki Resa mampu memberikan perlawanan yang seimbang. Ia bukan seorang yang harus berjongkok untuk mohon ampun. Tetapi ia benar-benar berdiri pada tataran yang sederajad dengan Ki Jatha Beri. Bahkan sekali-sekali Ki Resa mampu mengejutkan lawannya.

Ki Jatha Beri menjadi semakin marah. Ki Resa bukan saja orang yang diburunya, tetapi juga orang yang kini berani menghinanya, menentang perintahnya dan bahkan melawannya.

Namun Ki Jatha Beri harus melihat kenyataan. Ia tidak dapat segera mengalahkan Ki Resa. Meskipun Ki Jatha Beri sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi, namun Ki Resa itu juga mampu melakukannya, sehingga kemampuan mereka berdua masih saja seimbang.

“Iblis manakah yang telah membantumu Resa?” Ki Jatha Beri menggeram.

Tetapi Ki Resa menjawab, “Kau-lah yang sudah berdiri di atas sifat dan watak iblis itu. He, kenapa kau mampu mempengaruhi Kiai Timbang Laras sehingga kehilangan kepribadiannya?”

“Itu bukan persoalanmu,” geram Ki Jatha Beri sambil meloncat menyerang. Namun Ki Resa dengan cepat mengelak. Bahkan Ki Resa yang bergeser menyamping itu telah memutar tubuhnya. Dengan cepat tangannya terjulur lurus ke arah dada.

Tetapi Ki Jatha Beri sempat meloncat surut. Ketika Ki Resa mencoba memburunya, maka kaki Ki Jatha Beri-lah yang terjulur menyongsongnya. Ki Resa dengan cepat menggeliat. Tubuhnya berputar dengan cepat. Kakinya yang terayun tiba-tiba saja telah mengarah ke dada Ki Jatha Beri.

Ki Jatha Beri terkejut Tetapi kedua lengannya itu berhasil menangkis serangan itu, sehingga satu benturan kekuatan telah terjadi.

Sekali lagi Ki Jatha Beri terkejut. Ternyata kekuatan Ki Resa cukup besar untuk menggetarkan pertahanannya. Bahkan keseimbangannya pun sempat menjadi goyah. Hampir saja Ki Jatha Beri jatuh berguling. Tetapi dengan tangkasnya Ki Jatha Beri meloncat mengambil jarak. Ki Resa tidak memburunya Seakan-akan sengaja memberi kesempatan kepada Ki Jatha Beri untuk memperbaiki kedudukannya. Bahkan Ki Resa itu sempat berdiri bertolak pinggang sambil tertawa.

“Hati-hatilah Ki Jatha Beri,” berkata Ki Resa, “orang yang sudah seumur kita ini kadang-kadang memang sudah tidak dapat bersikap dengan mapan. Unsur kewadagan kita sudah mulai melemah. Betapapun tinggi ilmu kita, bahkan sampai menyentuh langit sekalipun, tetapi jika keadaan wadag kita sudah tidak mendukungnya, maka ilmu itu tidak akan ada gunanya lagi.”

“Cukup!” bentak Ki Jatha Beri.

Ki Resa justru tertawa. Katanya, “Jangan marah. Kita berada di medan pertempuran. Sebentar lagi akulah yang akan berteriak kepadamu, berjongkoklah dan minta ampun kepadaku.”

“Setan kau!”

“Kau tidak akan dapat melakukannya lagi. Kau hanya dapat berteriak kepadaku jika berada dalam lingkunganmu, di antara para pengikutmu, atau di padepokan Kiai Timbang Laras yang telah berhasil kau pengaruhi.”

Kemarahan Ki Jatha Beri benar-benar telah membakar jantungnya. Karena itu, iapun segera menghentakkan ilmunya, melanda Ki Resa seperti banjir bandang. Tetapi Ki Resa telah siap menghadapinya. Iapun telah menghentakkan ilmunya pula, sehingga Ki Resa masih mampu mengimbangi lawannya.

Sementara itu, pertempuran telah berkobar di mana-mana. Orang-orang yang menyerang padepokan itu semula mengira bahwa mereka tidak akan mendapat banyak perlawanan. Ketika mereka menembus sampai ke tengah-tengah padepokan, mereka mengira bahwa mereka memang tidak mendapat perlawanan yang berarti. Namun kemudian ternyata bahwa lawan ada di mana-mana. Hal itu mereka sadari setelah mereka berada jauh di tengah-tengah lawan itu sendiri.

Meskipun demikian, beberapa kelompok di antara mereka yang menyerang padepokan itu masih mengira bahwa mereka tidak banyak menemui perlawanan. Demikian mereka memasuki padepokan itu. mereka langsung menembus ke tengah-tengah padepokan itu, menusuk jauh ke jantungnya. Mereka tertegun ketika mereka melihat halaman di tengah-tengah padepokan itu telah dipagari dengan batang-batang bambu yang hampir rapat. Di dalamnya terdapat lembu dan kerbau. Bahkan sekelompok kuda yang besar dan tegar, dalam lingkungan pagar terpisah.

Orang-orang itu menjadi gembira. Mereka merasa menemukan satu padang perburuan yang penuh dengan binatang yang sudah terikat. Mereka tinggal memungutnya berapa saja mereka inginkan.

“Kita akan menjadi gemuk jika kita berada sepekan di sini,” berteriak salah seorang dari mereka.

Tetapi sebelum yang lain menyahut, mereka mulai membelalakkan mata mereka. Dari longkangan-longkangan di sekitar halaman tengah padepokan itu, muncul kelompok-kelompok dengan senjata teracu di tangan.

“Setan!” geram seorang yang bertubuh tinggi besar dan berjambang tebal, “Hancurkan mereka!”

“Menyerahlah!” berkata salah seorang pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan, “Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membebaskan diri.”

“Iblis kau! Kau kira kami siapa dan kau siapa? Kami datang untuk menghancurkan kalian.”

“Sayang. Kalian telah menyurukkan diri ke dalam malapetaka. Menyerahlah. Kami akan memberi kesempatan kalian untuk hidup.”

Tetapi orang berjambang tebal itu berteriak lantang, “Bunuh mereka!”

Pertempuran segera meledak. Tetapi para pengawal Tanah Perdikan cukup berhati-hati. Mereka menjaga agar tidak seorangpun di antara orang-orang yang menyerang itu merusak pagar. Jika hal itu terjadi, maka binatang-binatang itu akan berlari-larian dan bahkan dapat mengacaukan pertempuran.

Karena itu, atas perintah yang melompat dari mulut ke mulut, para pengawal Tanah Perdikan telah memancing lawan mereka. Ketika pertempuran terjadi, para pengawal itu bergerak mundur menjauhi pagar bambu di halaman tengah padepokan itu. Demikian terdapat jarak, maka kelompok yang lain segera mengisinya, sehingga para penyerang itu tidak lagi dapat merusak pagar itu.

Dari sisi lain, sekelompok cantrik justru sempat mencegat para penyerang, sehingga mereka tidak pernah sampai ke pagar bambu yang di dalamnya berisi beberapa ekor lembu dan kerbau, sedangkan di sebelahnya terdapat beberapa ekor kuda yang. besar dan tegar terkurung dalam lingkungan tersendiri.

Dalam pertempuran yang semakin seru itu, sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Warangka itu telah bertemu dengan sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Namun para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras menjadi bimbang ketika mereka melihat Perbatang dan Pinuji ada di antara mereka. Bahkan ada pula cantrik yang lain telah berada bersama keduanya.

“Pengkhianat!” teriak seorang putut dari padepokan Kiai Timbang Laras, “Kenapa Kakang Perbatang dan Pinuji ada di antara mereka?”

“Seharusnya kau sudah tahu jawabnya,” sahut Perbatang.

“Aku tidak tahu. Yang aku tahu bahwa kau telah berkhianat, karena kau telah memihak kepada musuh,” geram putut itu.

Perbatang tertawa. Katanya, “Tidak seorang pun akan membiarkan dirinya dibantai selagi masih ada kesempatan untuk menghindar. He, apakah yang kau lakukan ketika kau melihat saudara-saudaramu dikurung dalam bilik yang pengap, menunggu hukuman yang sangat mengerikan yang akan dijatuhkan kepada mereka oleh orang lain, yang tiba-tiba berkuasa di padepokan kita? Apakah kalian sama sekali tidak tersentuh, melihat aku dan Pinuji menunggu dengan hati yang kecut, orang yang bernama Jatha Beri itu mau menghukum mati kami berdua? Kiai Timbang Laras sama sekali tidak lagi melindungi kami. Saudara-saudaraku membiarkan aku diperlakukan tidak adil, dan bahkan ada yang bersorak kegirangan di dalam hati. Buat apa aku tetap berada di dalam padepokan seperti itu? Di sini aku mendapat perlindungan. Di sini aku mendapat banyak kawan yang justru sehati menghadapi perlakuan yang tidak adil. Nah, bukan salahku jika aku menyeberang.”

Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras terdiam. Pertempuran pun seakan-akan telah mereda pula.

Namun tiba-tiba terdengar seseorang berteriak, “He, kenapa kalian menjadi bingung? Hancurkan para penghuni padepokan ini yang melawan! Kalianlah yang akan berkuasa di sini!”

Seorang yang bertubuh gemuk muncul di antara mereka. Seorang yang berwajah garang. Perbatang mengenal orang itu. Ia memang orang padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi semula orang itu adalah pengikut Ki Jatha Beri, yang tiba-tiba saja telah mendapat kekuasaan di padepokan Kiai Timbang Laras.

Ketika orang itu melihat Perbatang, maka katanya, “Oh, jadi pengkhianat itu ada di sini.”

“Kau kecewa bahwa kau tidak mendapat kesempatan untuk ikut membantaiku seandainya aku tidak melarikan diri?”

“Iblis kau!” geram orang itu.

Perbatang tertawa. Katanya, “Kau tidak pantas untuk menjadi seorang pemimpin di lingkungan kami. Kau hanya pantas menjadi pemimpin di antara sekelompok perampok, penyamun atau perompak. Tetapi tidak di padepokan Kiai Timbang Laras.”

“Persetan dengan mulutmu, pengkhianat!” geram orang itu.

Perbatang masih tertawa. Katanya, “Di sini aku mendapat tempat. Aku menemukan saudara-saudara yang sebenarnya. Ilmu kami pun bersumber dari mata air yang sama, sehingga kami dengan cepat dapat menyesuaikan diri. Tetapi kau bukan dari antara kami. Kau adalah pendatang yang tiba-tiba saja mendapat tempat yang terlalu baik, karena sebelumnya kalian bersarang di hutan-hutan dan lereng-lereng gunung. Jika kita mulai bertempur, maka ilmumu adalah ilmu yang asing. Yang kasar dan tidak berwatak.”

“Cukup!” teriak orang itu, “Aku akan mengoyak mulutmu!”

Perbatang tidak berkata apapun lagi. Namun Pinuji-lah yang berteriak, “Marilah, saudara-saudaraku! Kita akan bertempur dengan orang-orang yang berilmu iblis. Tetapi kita yakin, bahwa ilmu yang kita miliki adalah ilmu yang bersih. Karena itu, jangan dikotori dengan nafsu-nafsu hitam.”

Seorang yang bertubuh tinggi dan berwajah kasar tiba-tiba telah menyerang Pinuji. Orang itu pun datang dari antara para pengikut Ki Jatha Beri yang tiba-tiba mendapat kepercayaan di padepokan Kiai Timbang Laras.

Tetapi Pinuji cukup tangkas. Dengan cepat ia bergeser. Namun tiba-tiba ia pun telah membalas menyerang.

Namun orang itu pun segera menggenggam senjatanya. Sebuah golok yang panjang. Namun Pinuji pun telah memegang pedangnya pula.

Sejenak kemudian, Pinuji pun telah terlibat dalam pertempuran melawan orang bertubuh tinggi dan bersenjata golok itu.

Orang itu bertempur dengan garangnya. Serangan-serangannya datang membadai. Goloknya yang panjang berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali menebas dan pada kesempatan lain terjulur lurus.

Namun serangan-serangan itu tidak pernah menyentuh sasaran. Pinuji dengan tangkas pula menghindari atau menangkis serangan-serangan itu, sehingga serangan-serangan itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan sekali-sekali Pinuji telah membalas menyerang pula.

Namun benturan-benturan yang terjadi telah mengejutkan orang bertubuh tinggi itu. Ternyata Pinuji mempunyai kekuatan yang cukup besar, bahkan sekali-sekali tangan orang bertubuh tinggi itu terasa pedih, jika benturan yang terjadi telah menggetarkan senjata di dalam genggamannya.

Dalam pada itu, Perbatang pun telah terlibat dalam pertempuran pula melawan orang yang bertubuh gemuk. Orang itu bersenjata sepotong tongkat baja yang tidak terlalu panjang. Pada pangkal tongkat itu terdapat sebuah bulatan baja putih.

Perbatang yang bersenjata sebilah pedang, bertempur dengan tangkasnya pula. Dengan cepat kakinya berloncatan, sementara pedangnya berputaran dengan cepat, sehingga sebuah gumpalan yang berwarna keputih-putihan seakan-akan telah melindungi tubuhnya.

Ternyata orang bertubuh gemuk itu benar-benar memiliki kekuatan yang sangat besar. Ketika pedang Perbatang menyentuh tongkat baja orang yang bertubuh gemuk itu, Perbatang menyadari bahwa lawannya itu memang memiliki kekuatan yang besar.

Namun dengan demikian Perbatang dapat menempatkan dirinya. Ia harus mampu membuat perhitungan sebaik-baiknya menghadapi ayunan tongkat baja yang berat itu.

Dengan demikian maka Perbatang harus mengembangkan unsur-unsur geraknya. Ia tidak akan membenturkan pedangnya langsung melawan tongkat baja itu, karena jika benturan yang keras terjadi, maka mata pedangnya akan dapat rompak, atau bahkan pedangnya akan dapat patah.

Dengan demikian, Perbatang harus berhati-hati. Ia menjadi lebih banyak menghindar daripada menangkis serangan lawannya yang garang.

Tetapi itu bukan berarti bahwa Perbatang segera terdesak. Ia memang beberapa kali berloncatan mundur. Tetapi setiap kali ia berdiri dengan sikap yang mapan, menunggu serangan lawannya. Bahkan dalam kesempatan tertentu, Perbatang pun dengan cepat meloncat menyerang lawannya.

Apalagi ketika kemudian Perbatang menemukan kelemahan lawannya yang gemuk itu. Meskipun kekuatannya sangat besar, tetapi ia ternyata agak lamban. Karena itu, Perbatang harus berusaha untuk mengatasi kekuatan lawannya dengan kecepatan geraknya. Jika ia tidak mampu melampaui kecepatan gerak lawannya, maka ia tidak akan memenangkan pertempuran itu. Tulang tengkoraknya akan retak dihantam tongkat baja lawannya yang memiliki kekuatan yang tinggi itu.

Dengan demikian, Perbatang pun telah mengerahkan kemampuannya untuk meningkatkan kecepatan geraknya.

Sebenarnyalah bahwa kecepatan gerak Perbatang telah membingungkan orang bertubuh gemuk itu. Meskipun ia memiliki kekuatan yang sangat besar, tetapi kadang-kadang ia merasa kehilangan lawannya, sehingga ia harus meloncat mengambil jarak.

Dengan demikian maka pertempuran antara orang bertubuh gemuk yang kekuatannya sangat besar itu, melawan Perbatang yang memiliki ketangkasan dan kecepatan gerak melampaui lawannya, menjadi semakin sengit. Keduanya memiliki kelebihan mereka masing-masing, tetapi juga kekurangan.

Namun agaknya Perbatang lebih cerdik dari lawannya. Otak Perbatang ikut menentukan sikapnya, sementara orang bertubuh gemuk itu bertempur sekedar mengandalkan tenaganya

Sementara itu, Kiai Timbang Laras benar-benar menjadi berdebar-debar melihat medan dalam keseluruhan. Yang dihadapinya jauh berbeda dengan yang diperhitungkan sebelumnya. Ia mengira bahwa ia datang bersama pasukan yang jauh lebih besar dari isi padepokan itu. Namun ternyata yang mereka hadapi adalah lawan yang kuat dan tangguh.

“Apakah sejak semula Perbatang dan Pinuji sudah berniat untuk berkhianat?” geram Kiai Timbang Laras, karena berdasarkan laporan Perbatang dan Pinuji yang berada di padepokan Kiai Warangka bersama Ki Resa untuk mencari peti tembaga itu, padepokan Kiai Warangka tidak memiliki kekuatan yang cukup besar.

Namun tiba-tiba Kiai Timbang Laras menyadari, bahwa tentu ada kekuatan lain yang ikut campur, dengan alasan untuk mengembalikan persoalan yang timbul antara Kiai Warangka dan Kiai Timbang Laras.

Dalam pada itu, Kiai Timbang Laras menyaksikan betapa para cantriknya menjadi ragu-ragu melawan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, sementara para cantrik Kiai Warangka masih juga mengekang diri. Kiai Timbang Laras juga melihat, betapa para cantrik yang semula adalah para pengikut Kiai Jatha Beri berusaha untuk melecut saudara-saudaranya untuk bertempur dengan sungguh-sungguh.

Kiai Timbang Laras mengumpat ketika ia melihat Perbatang dan Pinuji bertempur bersama para cantrik dari padepokan Kiai Warangka

“Pengkhianat!” geramnya kemudian.

Dengan geram Kiai Timbang Laras telah memasuki arena pertempuran yang sengit di antara para cantrik dari padepokannya, termasuk para pengikut Ki Jatha Beri, dengan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, namun yang di dalamnya terdapat pula para pengawal Tanah Perdikan dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus. Atas petunjuk para cantrik, mereka berusaha untuk dapat berhadapan dengan para pengikut Ki Jatha Beri yang berada di antara para cantrik dari padepokan Kiai Warangka, sehingga mereka tidak sempat terlalu banyak mencampuri persoalan antara kedua padepokan yang dipimpin oleh dua orang saudara seperguruan.

Dalam pada itu. Kiai Timbang Laras telah menjadi semakin dekat dengan Perbatang dan Pinuji yang sedang bertempur dengan sengitnya.

Dengan geram Kiai Timbang Laras itu pun kemudian berkata lantang, “He, kalian pengkhianat yang tidak tahu diri! Kemanapun kalian bersembunyi, akhirnya aku dapat menemukan kalian juga.”

“Kami mencari perlindungan di sini, Kiai.”

“Kenapa kau cari perlindungan di sini?” bertanya Kiai Timbang Laras.

“Aku tidak mendapat perlindungan lagi di padepokan Kiai,” jawab Perbatang. Namun ia harus berloncatan menghindari serangan lawannya yang bertubuh gemuk itu.

Sementara itu, Kiai Timbang Laras pun berteriak, “Siapa yang tidak mendapat perlindungan di padepokanku? Kau dan Pinuji yang telah membunuh saudara sendiri?”

“Apakah aku telah membunuh saudaraku sendiri?”

“Ya. Kau telah membunuh saudaramu sendiri.”

“Kalau mereka saudaraku, mereka tentu tidak akan membunuhku sehingga aku dan Pinuji harus mempertahankan diri.”

“Cukup! Sekarang aku sendiri-lah yang akan membunuhmu. Jangan menyesali nasibmu yang buruk itu.”

“Aku tidak akan menyesal seandainya Kiai berhasil membunuh aku sekarang. Itu wajar sekali. Tetapi aku tidak dibunuh oleh para pedatang di padepokan, yang tiba-tiba saja merasa berkuasa melampaui orang-orang yang telah lama mengabdikan diri.”

“Aku akan membungkam mulutmu!” geram Kiai Timbang Laras.

Tetapi ketika Kiai Timbang Laras meloncat mendekati Perbatang, maka tiba-tiba saja ia mendengar seseorang berkata, “Kau akan melawan murid-muridmu sendiri Timbang Laras? Ingat, sebuas-buasnya seekor harimau, ia tidak akan menelan anaknya sendiri.”

Kiai Timbang Laras tertegun. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kiai Warangka berdiri tegak di antara para cantriknya yang seakan-akan melindunginya.

“Kakang Warangka.”

Kiai Warangka melangkah mendekat. Sambil tersenyum ia berkata, “Timbang Laras. Sudah aku katakan, bahwa kita akan menyelesaikan persoalan di antara kita. Aku tidak mau orang lain mencampuri persoalan ini.”

“Kau curang, Kakang. Kau mencari bantuan dari luar padepokanmu.”

“Tidak. Aku tidak mencari bantuan. Aku hanya minta sahabat-sahabatku untuk mencegah orang lain ikut mencampuri persoalan di antara kita. Biarlah mereka mencegah Jatha Beri, Naga Dakgrama dan orang-orang lain yang datang bersamamu, untuk tidak melibatkan diri ke dalam persoalan di antara kita.”

Ki Timbang Laras menggeram. Katanya, “Apapun yang kau lakukan, Kakang. Kau tidak akan berhasil menyelamatkan padepokan ini. Kami akan berhasil menyapu bersih seisi padepokan ini, siapapun mereka.”

“Jangan membohongi dirimu sendiri, Timbang Laras. Kau lihat apa yang telah terjadi sebenarnya.”

Kiai Timbang Laras memang menjadi gelisah. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Ia benar-benar harus berhadapan dengan Kiai Warangka.

Keduanya adalah saudara seperguruan. Tetapi Kiai Warangka, baik umurnya maupun ilmunya, lebih tua dari Kiai Timbang Laras. Karena itu, Kiai Timbang Laras memang harus berpikir ulang untuk langsung berhadapan dengan Kiai Warangka. Semula ia mengira bahwa salah seorang dari orang-orang berilmu tinggi yang ada di padepokannya akan sempat bertempur dan mengalahkan Kiai Warangka. Tetapi ternyata mereka telah menghadapi lawan masing-masing.

Tetapi Kiai Timbang Laras masih tetap berpengharapan. Jika salah seorang dari mereka dengan cepat dapat menyelesaikan lawan mereka, maka orang itu akan segera dapat membantunya.

Naga Dakgrama adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Kiai Timbang Laras berharap bahwa ia dengan cepat dapat membinasakan lawannya, siapapun lawannya itu. Dengan demikian, maka Naga Dakgrama itu akan segera dapat datang membantunya untuk bersama-sama menghentikan perlawanan Kiai Warangka.

Dalam kebimbangan, terdengar Kiai Warangka berkata, “Marilah Timbang Laras. Jika kau pilih cara ini untuk menyelesaikan persoalan di antara kita, biarlah aku melayanimu.”

Kiai Timbang Laras menggeram. Namun kemudian ia pun berkata, “Kakang. Kau sudah menjadi semakin tua. Wadagmu tentu sudah mulai rapuh. Bagaimanapun juga kemudaanku akan memberikan banyak pengaruh dalam pertempuran di antara kita.”

Kiai Warangka tertawa. Katanya, “Berapakah selisih umur kita sebenarnya?”

Kiai Timbang Laras termangu-mangu sejenak. Namun sebenarnyalah selisih umurnya dengan Kiai Warangka tidak begitu banyak. Kiai Warangka hanya lebih tua beberapa tahun saja, sehingga keadaan wadagnya pun tidak jauh berbeda dengan keadaannya sendiri.

Demikianlah, keduanya pun segera bersiap. Mereka adalah saudara seperguruan. Mereka mengenal ilmu masing-masing dengan baik. Meskipun keduanya berusaha mengembangkan ilmu dasar mereka dengan cara dan berdasarkan atas pengalaman serta pengenalan mereka terhadap lingkungan mereka masing-masing, namun pada dasarnya mereka berdiri di atas landasan yang sama.

Tetapi Kiai Warangka yang lebih tua umur dan tataran ilmunya, memiliki beberapa kelebihan dari Kiai Timbang Laras. Meskipun demikian, jika Kiai Warangka itu berbuat kesalahan sedikit saja, maka akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk baginya.

Dengan hati-hati Kiai Timbang Laras mulai bergeser, Ketika ia mulai menyerang, maka Kiai Warangka pun mulai bergerak ke samping pula. Namun ketika tiba-tiba Kiai Timbang Laras menyerangnya seperti badai, Kiai Warangka memang terkejut, sehingga ia harus meloncat surut untuk mengambil jarak.

Tetapi Kiai Timbang Laras tidak memberinya kesempatan. Dengan garangnya Kiai Timbang Laras memburunya dan menyerang dengan cepat.

Pertempuran segera meningkat. Kiai Timbang Laras sengaja mengejutkan Kiai Warangka. Serangan-serangannya datang beruntun dengan hentakan-hentakan ilmu yang tinggi.

Kiai Warangka memang melihat warna-warna lain yang mencuat dalam ilmu saudara seperguruannya. Tetapi pengalamannya yang luas serta ketekunannya di sanggar untuk mengembangkan ilmunya, membuat Kiai Warangka akhirnya dapat mengatasinya. Serangan-serangan yang mengejutkan dari Kiai Timbang Laras tidak lagi berhasil mengguncang pertahanan Kiai Warangka. Bahkan sebaliknya, Kiai Wasangka-lah yang mulai menyerang dengan cepatnya.

Namun kedua orang saudara seperguruan itu benar-benar mumpuni. Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit

Di sekitarnya para cantrik pun bertempur dengan garangnya pula. Mereka pun bersumber dari landasan ilmu yang sama. Meskipun ilmu mereka berkembang di padepokan yang berbeda, namun dasar-dasar ilmu mereka dapat saling mereka kenali

Karena itu, maka para cantrik itu pun masih saja dibayangi oleh kebimbangan. Apalagi karena Perbatang dan Pinuji serta beberapa orang lainnya, yang semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras, telah bertempur di pihak Kiai Warangka.

Tetapi Kiai Timbang Laras sendiri telah bertempur tanpa mengekang diri. Ketika keringatnya mulai membasahi kulitnya, Kiai Timbang Laras menjadi semakin garang. Ia memang berusaha untuk sama sekali tidak mengingat lagi, siapakah yang dihadapinya. Kiai Timbang Laras tidak lagi mau mengenali unsur-unsur gerak Kiai Warangka yang dapat mengingatkannya, bahwa lawannya itu adalah saudara seperguruannya.

Dengan demikian, maka Kiai Timbang Laras telah bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya

Tetapi Kiai Warangka tidak kehilangan akal. Ia tetap berusaha mengenali saudara seperguruannya, mengenali ilmunya dan dengan sadar menghadapinya dalam satu pertempuran yang garang dan keras.

Sementara itu, pertempuran memang telah menebar ke seluruh padepokan. Orang-orang yang datang menyerang padepokan itu sudah berada di dalam padepokan melalui pintu gerbang utama dan pintu-pintu gerbang butulan yang telah dibuka dari dalam. Namun para cantrik dan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di panggungan pun semuanya telah turun dan melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit.

Orang-orang yang menyerang padepokan itu telah bertempuran dengan keras dan kasar, sebagaimana pengalaman mereka bertahun-tahun dalam petualangan mereka. Menurut perhitungan mereka, para cantrik tidak akan mampu bertahan sampai lewat tengah hari, karena para cantrik yang belum banyak berpengalaman itu akan segera kehilangan kesempatan untuk bertahan. Mereka tidak akan kuat, baik secara wadag maupun tekad, untuk menghadapi tekanan yang keras dan kasar itu.

Tetapi ternyata yang mereka hadapi jauh berbeda dengan perhitungan mereka itu. Apalagi mereka yang kebetulan berhadapan dengan para prajurit dari Pasukan Khusus, yang menyusup di antara mereka yang mempertahankan padepokan itu. Para prajurit itu sama sekali tidak terkejut dan apalagi menjadi gentar menghadapi orang-orang yang keras dan kasar. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu juga mampu bertempur dengan keras. Bukan sekedar mengandalkan tenaga dan kekasaran, tetapi mereka mempunyai landasan ilmu dan perhitungan yang mapan, karena mereka adalah prajurit-prajurit yang terlatih dengan baik.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar