Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 305

Buku 305

Tetapi sebelum Agung Sedayu sempat menyerang, tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bagaikan melayang dengan kaki terjulur lurus menyamping menyambar keningnya.

Agung Sedayu terkejut. Dengan cepat ia memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan sambaran kaki Ki Tumenggung. Tetapi adalah di luar dugaannya bahwa demikian cepatnya Ki Tumenggung Wimbasara mengayunkan tangannya menebas ke samping.

Agung Sedayu terlambat mengelak. Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara melampaui gerak Agung Sedayu, sehingga tangan Ki Tumenggung-lah yang kemudian menyambar kening.

Agung Sedayu terhuyung-huyung sejenak. Keningnya serasa terbentur sebongkah batu hitam. Sekilas matanya menjadi kabur.

Namun Agung Sedayu bukan kebanyakan orang. Dengan menghentakkan daya tahannya, maka Agung Sedayu segera menguasai keseimbangannya kembali. Namun ketika serangan berikutnya datang, Agung Sedayu meloncat mengambil jarak.

Kecepatan gerak Ki Tumenggung Wimbasara memang luar biasa. Meskipun Agung Sedayu sudah mengambil jarak, namun dalam sekejap kemudian serangannya telah menghambur memburu Agung Sedayu. Kaki Ki Tumenggung sekali lagi terjulur ke arah dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang tidak mengelak. Namun waktu yang sekejap itu sudah cukup baginya untuk mengembangkan ilmu kebalnya.

Karena itu, maka serangan Ki Tumenggung berikutnya seakan-akan tidak lagi menyakitinya.

Ki Tumenggung-lah yang kemudian terkejut. Tetapi orang berilmu tinggi itu pun segera menyadari bahwa lawannya yang muda daripadanya itu memiliki ilmu kebal.

“Luar biasa, Ki Lurah,” berkata Ki Tumenggung, “kau sempat mengembangkan ilmu kebalmu untuk melindungi dirimu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Ki Tumenggung itu juga memiliki ilmu kebal dari jenis apapun juga. Mungkin Aji Lembu Sekilan sebagaimana dimiliki oleh lawannya kemarin. Tetapi mungkin juga Aji Tameng Waja, atau bahkan yang sebelumnya belum dikenalnya.

Dengan demikian, maka pada pertempuran berikutnya kedua orang itu sudah berada pada tataran yang semakin tinggi. Seperti yang diduga oleh Agung Sedayu, orang itu pun memiliki ilmu kebal, sehingga sebagaimana serangan-serangan lawannya yang seakan-akan tidak dapat mengenai sasarannya, demikian pula serangan-serangan Agung Sedayu.

Namun keduanya berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka dan berusaha untuk menembus ilmu kebal lawan masing-masing. Tetapi kedua belah pihak telah meningkatkan ilmu kebal mereka pula.

Dengan demikian, yang terjadi kemudian seakan-akan adalah sekedar benturan-benturan ilmu yang tidak berkesudahan. Namun keduanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Ketika keduanya menghentakkan kemampuan mereka dilambari dengan tenaga dalam yang terungkap sampai tuntas, maka serangan-serangan mereka mulai mengguncangkan ilmu kebal masing-masing.

Namun justru karena itu, Ki Tumenggung Wimbasara tidak lagi mempercayakan diri kepada ilmu kebalnya. Ketika Agung Sedayu berhasil mengayunkan tangannya dan mengenai pundak Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung telah merasakan betapa kekuatan yang sangat besar dari Lurah prajurit Mataram itu dapat menggoyahkan ilmu kebalnya. Namun demikian kaki Ki Tumenggung menyapu betis Agung Sedayu dengan kekuatan yang luar biasa, maka Agung Sedayu seakan-akan telah tergelincir jatuh. Meskipun dengan cepat ia sempat meloncat bangkit, namun Agung Sedayu sadar bahwa ilmu kebalnya telah digoyahkan oleh lawannya. Bahkan udara yang menjadi panas di saat Agung Sedayu meningkatkan ilmu kebalnya sampai ke puncak, sama sekali tidak mempengaruhi lawannya sama sekali.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung tidak saja bertumpu pada ilmu kebalnya. Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, Ki Tumenggung sempat membingungkan Agung Sedayu. Seakan-akan Ki Tumenggung Wimbasara itu setiap kali lenyap dari tempatnya. Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari arah yang tidak diduganya, dengan kekuatan yang kemampuan yang sangat tinggi, sehingga mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu.

Beberapa kali Agung Sedayu harus menyeringai menahan sakit. Bahkan kulit dan dagingnya mulai terasa menjadi memar.

Namun bukan hanya Agung Sedayu saja-lah yang menjadi kesakitan. Lawannya yang memiliki ilmu yang sangat tinggi dan pengalaman yang sangat luas pun setiap kali harus menahan desah di mulutnya. Perasaan nyeri dan sakit rasa-rasanya telah menembus sampai ke tulang.

Agung Sedayu yang menyadari bahwa lawannya mampu bergerak demikian cepatnya sehingga sulit diikuti dengan penglihatan mata wadag, telah memaksa Agung Sedayu menerapkan ilmunya meringankan tubuhnya untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya. Sementara itu, untuk mengetahui lawannya di setiap saat agar tidak lepas dari pengamatannya, Agung Sedayu telah menerapkan ilmunya Sapta Panggraita. Meskipun lawannya seakan-akan hilang dari penglihatannya tetapi Agung Sedayu tetap mengetahui di mana lawannya itu berada.

Kemampuan Agung Sedayu itu benar-benar di luar dugaan Ki Tumenggung Wimbasara. Seorang Lurah prajurit yang terhitung masih muda, ternyata sudah memiliki ilmu yang luar biasa.

Para prajurit dari Pati dan para prajurit Mataram yang menyertai Panembahan Senapati memasuki halaman istana itu berdiri mematung di tempatnya. Pertempuran yang terjadi benar-benar merupakan pertarungan dua kemampuan yang sangat tinggi. Kedua orang itu mampu bergerak dengan cepat, sehingga kadang-kadang mereka terlambat mengikuti apa yang terjadi. Dengan ilmu meringankan tubuhnya, Agung Sedayu seakan-akan tidak menyentuh tanah. Sekali-sekali tangannya mengembang sambil bergerak bagaikan mengambang di udara. Sementara itu, Ki Tumenggung Wimbasara setiap kali seakan-akan hilang dari tempatnya berdiri. Namun tiba-tiba saja serangannya segera melibat lawannya seperti badai. Namun Agung Sedayu setiap kali mampu menghindar dengan kecepatan yang tidak kasat mata.

Pertempuran itu pun berlangsung beberapa lama. Keduanya saling menyerang dan saling bertahan. Sekali-sekali mereka menghindar, tetapi kadang-kadang mereka dengan sengaja menangkis serangan-serangan itu sehingga terjadi benturan-benturan.

Namun pertempuran dengan mengandalkan kecepatan gerak itu tidak segera dapat mereka selesaikan. Jika sekali-sekali serangan mereka menyusup pertahanan lawan dan bahkan menembus ilmu kebal mereka masing-masing, ternyata bahwa serangan itu tidak pernah berhasil melumpuhkan lawan.

Karena itu, keduanya pun kemudian telah berpaling kepada kemampuan mereka yang lain. Mereka tidak lagi mengandalkan kepada kecepatan bergerak semata-mata. Tetapi mereka juga mulai mengembangkan tenaga dalam yang mereka ungkapkan sampai ke dasar. Dengan demikian, gerak mereka nampaknya menjadi semakin lamban. Tetapi setiap gerak selalu memancarkan tenaga yang sangat besar.

Jika kemudian terjadi benturan-benturan, maka kedua-duanya kadang telah terdorong surut.

Serangan yang sangat kuat dilandasi dengan tenaga dalam yang sangat besar telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut. Serangan yang menyusul kemudian, telah menghantam dada Agung Sedayu. Hanya karena Agung Sedayu dilindungi dengan ilmu kebalnya saja-lah, maka iga-iganya tidak rontok di dalam dadanya.

Meskipun demikian Agung Sedayu yang belum berhasil berdiri dengan mapan, telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah.

Beberapa kali Agung Sedayu berguling. Sementara itu Ki Tumenggung Wimbasara telah meloncat memburunya.

Namun Agung Sedayu yang masih menerapkan ilmunya meringankan tubuh, dengan kecepatan yang tidak kasat mata telah berdiri tegak dan siap menghadapi serangan Ki Tumenggung Wimbasara. Karena itu, ketika serangan itu benar-benar datang, Agung Sedayu telah bersiap untuk menghadapinya.

Yang terjadi kemudian adalah satu benturan ilmu yang keras. Dua kekuatan yang sangat besar telah saling mendera.

Orang-orang yang menyaksikannya menjadi semakin tegang. Panembahan Senapati bahkan sempat menahan nafas sejenak.

Serangan Ki Tumenggung Wimbasara yang datang bagaikan angin prahara itu telah membentur pertahanan Agung Sedayu yang kokoh, seperti batu karang yang tegak di tebing yang menghadap ke lautan yang ganas.

Ternyata kedua orang yang telah membenturkan kekuatan dan kemampuan mereka itu pun sama-sama telah terguncang. Keduanya telah tergetar dan terdorong surut beberapa langkah.

Meskipun keseimbangan mereka goyah, namun keduanya masih mampu bertahan sehingga keduanya tetap berdiri tegak. Namun kedua-duanya merasa betapa dada mereka menjadi nyeri. Untunglah bahwa kedua-duanya telah melindungi diri mereka dengan ilmu kebal dan ketahanan tubuh yang tinggi, sehingga mereka masih tetap mampu untuk bertempur.

Namun keduanya tidak ingin bertempur lebih lama lagi. Keduanya adalah prajurit yang utuh. Karena itu, mereka pun telah bersiap melakukan perang tanding sampai tuntas, apapun yang bakal terjadi atas dirinya.

Karena itu, ketika semua kemampuan telah tertumpah namun mereka masih belum melihat akhir dari perang tanding itu, maka Ki Tumenggung Wimbasara sampai pada keputusan untuk membuat penyelesaian terakhir. Tetapi sebagai seorang prajurit, ia tidak ingin memenangkan perang tanding dengan cara yang tidak terhormat. Apalagi lawannya adalah seorang Lurah yang masih terhitung muda.

Karena itu, sesaat kemudian Ki Tumenggung Wimbasara itu pun kemudian berkata lantang, “Ki Lurah. Ternyata kemampuan Ki Lurah berada jauh di atas dugaanku. Dengan demikian, aku harus mengakui bahwa Ki Lurah sampai tataran ini mampu mengimbangi ilmuku. Karena itu aku tidak mempunyai pilihan lain. Karena perang tanding ini harus berakhir, maka aku ingin memperingatkan Ki Lurah bahwa aku akan menapak pada ilmu simpananku. Kecuali jika Ki Lurah berniat mengakhiri pertempuran ini.”

“Maksud Ki Tumenggung?” bertanya Agung Sedayu.

“Jika Ki Lurah mengaku kalah untuk menghindari akibat terburuk yang dapat terjadi karena ilmu simpananku, maka aku tidak akan mempergunakannya. Kewajibanku kemudian adalah perang tanding melawan Panembahan Senapati.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Bagaimana jika aku ingin menanggapi ilmu simpanan Ki Tumenggung dengan ilmu pamungkas yang pernah aku warisi dari guruku?”

Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Apakah Ki Lurah tahu, apa yang aku maksud dengan ilmu simpananku?”

“Ki Tumenggung,” jawab Ki Lurah Agung Sedayu, “kita sudah menjajagi kemampuan kita masing-masing. Tentu aku tahu apa yang Ki Tumenggung maksudkan, sebagaimana Ki Tumenggung juga mengetahui apa yang aku maksud dengan ilmu pamungkasku.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Bersiaplah. Aku hanya bermaksud untuk memperingatkanmu, karena aku tidak ingin disebut licik karena aku dianggap tiba-tiba saja menyerangmu.”

“Aku hargai sikap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Ki Tumenggung adalah seorang prajurit.”

Ki Tumenggung Wimbasara itu pun kemudian telah mempersiapkan diri. Setelah bertempur beberapa lama dan agaknya akan berlangsung tanpa berkesudahan, maka Ki Tumenggung benar-benar ingin mengakhiri pertempuran itu.

Sementara itu Agung Sedayu pun telah bersiap pula. Sebagai seorang yang memiliki berbagai macam ilmu, maka Agung Sedayu telah menghimpun semua tenaga dan kekuatannya. Dengan memusatkan nalar dan budinya, Agung Sedayu siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi dalam benturan puncak ilmunya dengan ilmu simpanan lawannya.

Agung Sedayu masih menerapkan ilmu kebal untuk menghambat kemampuan ilmu lawannya. Dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya, serta mengangkat tenaga dalamnya sampai ke dasar untuk mendukung kekuatan ilmunya, maka Agung Sedayu berdiri tegak menghadap ke arah lawannya.

Sementara Ki Tumenggung Wimbasara, saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola telah membangunkan ilmu simpanannya. Ki Tumenggung itu telah menggosokkan kedua telapak tangannya yang terkatup itu. Semakin lama semakin tebal. Bahkan warnanya pun kemudian menjadi kemerah-merahan.

Sementara itu Agung Sedayu pun telah siap pula melepas ilmu pamungkasnya. Dengan tajamnya dipandanginya telapak tangan Ki Tumenggung Wimbasara. Agung Sedayu mengerti bahwa Ki Tumenggung akan melepaskan ilmu simpanannya dari telapak tangannya.

Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Tumenggung telah mengangkat tangan kanannya. Ketika ia mengayunkan tangannya untuk melontarkan ilmunya, Agung Sedayu melihat seleret sinar yang kemerah-merahan meloncat dari telapak tangan Ki Tumenggung.

Bersamaan dengan itu, dari kedua mata Agung Sedayu pun telah memancar kekuatan aji pamungkasnya, membentur serangan Ki Tumenggung Wimbasara.

Namun jantung Agung Sedayu terasa berdesir. Demikian ia melepaskan ilmunya dengan lambaran segenap kekuatan dan kemampuannya, barulah ia menyadari bahwa ia melihat keragu-raguan pada gerakan tangan Ki Tumenggung Wimbasara.

Namun semuanya sudah terjadi. Agung Sedayu terlambat menyadari. Karena itu, ketika benturan itu terjadi, maka akibatnya sangat mendebarkan.

Sebenarnyalah, pada saat terakhir Ki Tumenggung Wimbasara memang menjadi sedikit ragu. Lawannya, Lurah prajurit Mataram itu, masih terhitung muda. Jika ia mengerahkan segenap kemampuan dan kekuatan ilmunya, maka Lurah prajurit Mataram yang masih terhitung muda itu akan dapat menjadi lumat karenanya. Karena itu, pada saat terakhir, Ki Tumenggung Wimbasara sedikit mengekang ilmunya yang telah diluncurkannya.

Namun hal itu berakibat sangat buruk bagi Ki Tumenggung Wimbasara. Ia tidak menyadari betapa tinggi ilmu Agung Sedayu. Karena itu, ilmunya yang dilontarkannya dengan sedikit ragu itu telah membentur puncak ilmu Agung Sedayu, yang meluncur dilambari dengan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya.

Karena itulah, maka gelombang balik yang terjadi karena benturan itu telah menghantam Ki Tumenggung Wimbasara, yang justru sedang mengekang ilmunya yang telah meluncur. Getaran gelombang balik dari benturan itu, didorong oleh kekuatan yang dahsyat dari kekuatan ilmu Agung Sedayu, telah menghentak dan menghantam tubuh dan bahkan bagian dalam dada Ki Tumenggung Wimbasara.

Dengan demikian, Ki Tumenggung Wimbasara itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terbanting di tanah dengan derasnya. Beberapa kali ia telah berguling. Namun Ki Tumenggung tidak mampu lagi untuk bangkit berdiri. Bahkan seisi dadanya rasa-rasanya telah meledak dan pecah berserakan.

Karena itulah, nafas Ki Tumenggung menjadi sesak. Pandangan matanya menjadi kabur.

Beberapa orang prajuritnya segera berlari menghambur mengelilinginya. Seorang Eangga berjongkok di sampingnya sambil menggeram, “Kami akan menuntut balas kematian Ki Tumenggung.”

Tetapi Tumenggung Wimbasara berkata perlahan sekali, “Tidak. Jangan. Tidak akan ada artinya lagi.”

“Kesetiaan kami akan kami buktikan. Kami akan menyeret korban sebanyak-banyaknya di antara orang-orang Mataram itu.”

Ki Tumenggung menggeleng lemah. Katanya, “Ternyata kesetiaan tidak selalu diujudkan dengan bela pati.”

Para prajurit Pati itu termangu-mangu. Sementara Ki Tumenggung berkata, “Aku kagumi kemampuan Lurah prajurit itu.”

Para prajurit Pati masih saja termangu-mangu. Sementara itu keadaan Ki Tumenggung menjadi semakin parah. Darah mulai mengalir dari sela-sela bibirnya.

Namun ia masih berkata, “Jika aku tidak lagi dapat bertahan, maka kalian-lah yang harus mengatakan kepada Panembahan Senapati, bahwa Kanjeng Adipati Pragola sudah tidak ada di istana ini lagi. Tetapi katakan pula satu permohonan, agar Panembahan Senapati dapat mengendalikan prajurit-prajuritnya untuk tidak merusak dan menghancurkan istana ini.”

Para prajuritnya mengangguk-angguk.

Sejenak Ki Tumenggung terdiam. Nafasnya menjadi semakin sesak. Dengan suara yang sangat lemah ia berkata, “Salamku kepada Ki Lurah itu. Aku ternyata gagal untuk melakukan perang tanding melawan Panembahan Senapati.”

Para prajurit Pati itu tidak sempat menjawab. Ki Tumenggung itu pun kemudian telah menutup matanya.

Sementara itu, Agung Sedayu pun terbaring dengan lemahnya. Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka berlutut di sampingnya, sementara Pangeran Mangkubumi mengamati keadaan. Ia tidak boleh lengah. Masih ada sekelompok prajurit Pati di seputar tubuh Ki Tumenggung Wimbasara.

“Kau harus bertahan Agung Sedayu,” desis Panembahan Senapati yang menjadi berdebar-debar melihat keadaan Agung Sedayu.

“Ampun Panembahan,” berkata Agung Sedayu, “hamba mohon Panembahan mengambil sebutir obat di kantong ikat pinggang hamba yang sebelah kanan.”

Panembahan Senapati pun melakukannya sebagaimana diminta oleh Agung Sedayu. Diambilnya sebutir obat yang berada di dalam sebuah bumbung kecil yang disimpannya di kantong ikat pinggangnya yang besar.

Agung Sedayu itu pun berusaha untuk membuka bibirnya, sehingga Panembahan Senapati sempat memasukkan sebutir obat itu di dalam mulutnya.

Obat itu pun seakan-akan telah mencair dan mengalir lewat kerongkongan Agung Sedayu.

Namun demikian, keadaan Agung Sedayu masih tetap mencemaskan mereka yang mengerumuninya. Ki Patih Mandaraka bahkan menjadi sangat tegang.

“Ampun Panembahan. Hamba mohon disampaikan kepada Ki Tumenggung. Hamba mengucapkan terima kasih, bahwa di saat terakhir Ki Tumenggung berusaha mengekang ilmunya. Jika tidak, maka hamba tentu sudah menjadi lumat.”

“Baik, baik Agung Sedayu,” sahut Panembahan Senapati. Namun kemudian Panembahan Senapati pun mengetahui bahwa Ki Tumenggung Wimbasara telah gugur.

Panembahan Senapati itu pun menarik nafas dalam-dalam. Kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, Panembahan Senapati memerintahkan untuk membawa Agung Sedayu menepi.

“Bawa Ki Lurah ke tempat yang teduh.”

Ki Mandaraka-lah yang selalu berada di sisinya. Sementara Panembahan Senapati berdesis, “Paman Tumenggung memang seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Ki Patih Mandaraka hanya mengangguk-angguk saja. Sementara Panembahan Senapati pun berkata pula, “Seharusnya memang aku sendiri yang menghadapinya.”

Ki Patih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tidak Panembahan. Seandainya Agung Sedayu tidak mengakhirinya, di sini masih ada aku. Meskipun mungkin aku juga tidak dapat mengalahkannya.”

“Paman Tumenggung nampaknya ragu-ragu untuk membinasakan Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu yang masih terhitung muda dibanding dengan Paman Tumenggung itu, sudah memiliki ilmu yang sangat tinggi. Keragu-raguannya itu telah mengakhiri perlawanannya.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Ia mengakui, seandainya Ki Tumenggung Wimbasara di saat terakhir tidak menjadi ragu-ragu, maka mungkin sekali kedua-duanya akan tidak mampu bertahan lebih lama lagi.

Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu dibawa ke tempat yang teduh, serta pengaruh obat yang ditelannya, maka nafasnya perlahan-lahan menjadi lebih teratur. Meskipun keadaannya masih terlalu lemah. Bahkan untuk mengangkat kepalanya Agung Sedayu mengalami kesulitan.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati sebagai seorang pemimpin, tidak dapat terikat pada keadaan Agung Sedayu. Setelah menyerahkan Agung Sedayu kepada Ki Patih Mandaraka, maka Panembahan Senapati bersama pengiringnya pun segera bergeser mendekati sekelompok perwira dan prajurit Pati yang telah meletakkan tubuh Ki Tumenggung di pendapa.

Seorang Rangga yang mendapat pesan Ki Tumenggung pun segera melangkah maju menemui Panembahan Senapati untuk menyampaikan pesan itu.

Panembahan Senapati mendengarkan pesan itu dengan seksama. Namun kemudian jantungnya terasa berdentang lebih keras, “Jadi Adimas Adipati telah meninggalkan istana bersama pengiringnya?”

“Ya, Panembahan.”

“Ke mana?” bertanya Panembahan Senapati.

“Tidak seorang pun yang mengetahuinya, Panembahan”

Panembahan Senapati memang menjadi sangat kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Kanjeng Adipati sudah meninggalkan istana tanpa diketahui tujuannya.

Ketika Panembahan Senapati masih termangu-mangu, maka Pangeran Mangkubumi pun berkata, “Apakah kita dapat mempercayainya begitu saja?”

Panembahan Senapati menggeleng. Katanya, “Tentu tidak. Kami akan melihat kebenaran keterangan prajurit ini.”

“Tetapi kami tetap memohon agar istana ini tidak dihancurkan. Kami tidak akan dapat menghalangi Panembahan untuk naik dan masuk ke dalamnya.”

Panembahan Senapati memandang Pangeran Mangkubumi sesaat. Namun kemudian katanya, “Perintahkan kepada para prajurit untuk berjaga-jaga di depan istana ini. Kita akan masuk ke dalamnya hanya dengan beberapa orang prajurit saja.”

“Tetapi…,” nampak keragu-raguan membayang di wajah Pangeran Mangkubumi.

“Aku percaya bahwa Adimas Adipati tidak akan mempergunakan akal yang licik.”

Sejenak kemudian, Panembahan Senapati dan Pangeran Mangkubumi telah siap untuk memasuki Istana Pati. Tetapi mereka tidak akan meninggalkan Ki Patih Mandaraka yang masih menunggui Agung Sedayu.

Ki Patih Mandaraka pun kemudian telah memerintahkan agar beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus membawa Agung Sedayu keluar pintu gerbang istana agar segera mendapat perawatan, meskipun Agung Sedayu sendiri telah menyediakan obat-obatan bagi dirinya sendiri sesuai dengan pengetahuan yang diwarisinya dari gurunya Kiai Gringsing, langsung atau melalui tulisan di dalam kitab yang ditinggalkannya.

Demikianlah, Panembahan Senapati telah memasuki Istana Pati hanya dengan beberapa pengiringnya. Mereka telah melihat segala bilik dan ruang. Namun Kanjeng Adipati Pragola tidak dapat ditemukannya.

Panembahan Senapati benar-benar menjadi kecewa. Meskipun istana itu seakan-akan sudah dikepung rapat, namun Kanjeng Adipati dengan pasukan terpilihnya masih dapat menyusup dan menghilang dari istana. Sementara itu, para prajurit Pati yang lain masih tetap berjaga-jaga di panggung dan di sudut-sudut halaman istana.

Pati memang tidak menyatakan dengan resmi menyerah, meskipun Panembahan Senapati telah menduduki kota dan istana.

Kekecewaan itu telah menjalar kepada seluruh prajurit dan pengawal Mataram yang menyertainya. Kekesalan itu seakan-akan memuncak, ketika Panembahan Senapati menjatuhkan perintah, bahwa hanya kelompok prajurit tertentu saja-lah yang diperkenankan memasuki dan bertugas di dalam lingkungan istana. Mereka bertugas untuk melucuti senjata para prajurit Pati yang masih bertugas di dalam istana itu. Tetapi mereka juga bertugas untuk menjaga keutuhan Istana Pati.

Kekecewaan para prajurit dan pengawal dari Mataram itu tidak dapat disembunyikan lagi. Para prajurit dan pengawal yang berada di luar dinding istana, mulai menunjukkan kegelisahan mereka. Ancang-ancang yang terakhir, ternyata tidak berarti apa-apa. Mereka batal menyerang dan memasuki dinding istana Pati.

Prajurit dan para pengawal dalam pasukan Mataram terdiri dari orang-orang kebanyakan sebagaimana orang-orang lain. Kelebihan mereka adalah karena mereka mendapat latihan-latihan khusus olah keprajuritan dan olah kanuragan. Namun perasaan kecewa yang bergejolak di dalam dada mereka, akhirnya meletup juga. Panembahan Senapati dan para pemimpin Mataram mengalami kesulitan untuk mengekang para prajurit dan pengawal yang kecewa itu akhirnya menjarah isi kota.

Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka serta para pemimpin yang lain dengan susah payah berusaha untuk mencegah mereka. Bahkan Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukan khusus pengawalnya untuk menahan gejolak perasaan para prajurit itu.

Tetapi mereka mengalami kesulitan.

Akhirnya Panembahan Senapati tidak mempunyai cara lain. Diperintahkannya seorang perwira menabuh bende Kiai Bicak.

Ternyata suara bende itu benar-benar berpengaruh. Suaranya bagaikan menggetarkan seluruh kota. Sementara itu, para pemimpin Mataram telah memerintahkan seluruh pasukannya ditarik kembali ke pesanggrahan.

Meskipun agak mengalami kesulitan, akhirnya para prajurit dan pengawal Mataram telah ditarik dari Pati. Meskipun demikian, masih ada kelompok-kelompok prajurit yang khusus mendapat perintah untuk mengamankan kota, karena dalam keadaan yang kalut itu para penjahat akan dapat memanfaatkan keadaannya.

Sementara itu, Panembahan Senapati telah memerintahkan dua orang perwira penghubung untuk berbicara dengan para prajurit Pati yang tertawan. Jika prajurit dan pengawal Mataram meninggalkan Pati, mereka harus mengambil alih pengamanan di seluruh kota dan istana.

Dalam pada itu, ketika beberapa orang mempertanyakan bunyi bende yang mereka anggap sebagai isyarat kemenangan itu, Panembahan Senapati lewat para pemimpin Mataram berkata, “Kita sudah memenangkan perang. Tetapi suara bende itu juga akan memberikan isyarat kemenangan kita terhadap nafsu yang menyerang jantung kita. Perjuangan melawan nafsu itu akan tidak kalah beratnya dari perjuangan merebut Pati. Karena itu, dengan isyarat suara bende yang bergaung di seluruh kota itu, kita telah menang melawan nafsu kita untuk menjarah Pati, meskipun hal itu sudah mulai kita lakukan.”

Para prajurit hanya dapat menundukkan kepala mereka. Tetapi Pati memang sudah terlanjur menjadi porak-poranda. Banyak orang kehilangan harta benda mereka tanpa dapat bertanya kepada siapapun juga. Apalagi menuntut agar harta-benda itu dapat kembali kepada mereka.

Namun mereka hanya dapat mengeluh serta melontarkan semua kesalahan kepada terjadinya perang.

Panembahan Senapati yang kecewa itu pun segera memerintahkan pasukan Mataram untuk bersiap-siap. Mereka harus segera kembali ke Mataram. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola.

Namun sebelum pasukan Mataram itu sampai di Mataram, beberapa orang penghubung telah diperintahkan untuk mendahului kembali ke Mataram dengan berkuda.

Dengan menempuh jalan yang berbeda-beda, para penghubung itu harus memberikan berita bahwa Kanjeng Adipati Pragola lepas dari tangan Panembahan Senapati. Sehingga dengan demikian, maka para prajurit yang tinggal di Mataram dapat mempersiapkan diri. Memang mungkin saja terjadi, Kanjeng Adipati Pragola membawa kelompok-kelompok prajurit terpilih memasuki Mataram.

Di pesanggrahan. Agung Sedayu mendapat perawatan yang bersungguh-sungguh. Tabib yang merawatnya tidak berkeberatan Agung Sedayu itu mempergunakan obat-obatnya sendiri, karena tabib itu sudah mengetahui bahwa Agung Sedayu juga memiliki pengetahuan tentang pengobatan.

Namun keadaannya memang mencemaskan. Glagah Putih yang datang ke pesanggrahan pasukan induk Mataram menungguinya siang malam. Swandaru pun banyak berada di dekatnya meskipun setiap kali Swandaru harus melihat pasukan pengawalnya.

Selagi Agung Sedayu masih sangat lemah, Panembahan Senapati telah memerintahkan pasukannya untuk bersiap-siap.

“Kita tidak dapat terlalu lama di sini,” berkata Panembahan Senapati kepada para panglima dan senapati, “persediaan makanan kita sudah sangat menipis, karena sebagian sudah terbakar. Untunglah bahwa kita cepat menyelesaikan pertempuran, apapun yang terjadi kemudian. Jika kita harus bertahan di sini tiga empat hari lagi sebelum kita berhasil memecah Pati, maka kita benar-benar akan kekurangan makan. Tetapi pada keadaan kita sekarang, kita masih berharap bahwa sampai nanti kita menginjakkan kaki kita kembali di bumi Mataram, kita masih belum akan menjadi kelaparan.”

Para panglima dan senapati mengangguk-angguk. Mereka mempunyai perhitungan yang sama dengan Panembahan Senapati.

Tetapi pertimbangan Panembahan Senapati tidak hanya agar mereka tidak kekurangan pangan. Tetapi Panembahan Senapati pun menyatakan kecemasannya pula bahwa Adipati Pragola yang hilang dari Pati justru bergerak ke Mataram. Meskipun hanya dengan pasukan yang kecil, tetapi jika Mataram lengah, maka mereka akan dapat menghancurkan kota. Meskipun sesaat kemudian mereka harus meninggalkannya.

“Aku sudah memerintahkan beberapa orang penghubung untuk mendahului kembali ke Mataram. Tidak hanya dua tiga orang. Tetapi beberapa orang yang memencar,” berkata Panembahan Senapati.

Maka kemudian Panembahan Senapati memerintahkan pasukannya kembali ke Mataram. Setelah merasa cukup beristirahat, maka pasukan Mataram mulai menempuh perjalanan pulang.

Dengan amben bambu Agung Sedayu dibawa dalam keadaan yang sangat lemah kembali ke Mataram. Para prajurit dari Pasukan Khusus berganti-ganti telah mengusungnya. Di dalam pasukan itu, tidak hanya Agung Sedayu yang diusung dengan amben bambu. Tetapi demikian pula para prajurit yang terluka. Sedangkan para prajurit dan pengawal yang gugur, telah dikubur di tempat yang khusus dengan pertanda yang akan dapat dikenali kemudian.

Sementara itu, mereka yang terluka lebih ringan telah dinaikkan ke dalam pedati yang semula terisi oleh bahan pangan, yang berjalan terguncang-guncang

Semula Agung Sedayu juga minta kepada para prajuritnya untuk di tempatkan saja di sebuah pedati. Tetapi prajurit-prajuritnya tetap berniat untuk membawanya di atas sebuah amben bambu yang diberi palang bambu di bawahnya.

Glagah Putih telah memberitahukan kepada Prastawa bahwa ia akan berada bersama Agung Sedayu, sehingga ia tidak dapat ikut mengawasi pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita tinggal menempuh perjalanan pulang,” berkata Prastawa, “agaknya tidak ada persoalan yang rumit.”

Glagah Putih yang sebenarnya juga masih belum pulih sepenuhnya itu, tidak lagi merasakan gangguan pada dirinya. Bahkan ia merasa seakan-akan segala-galanya telah pulih kembali seperti sediakala.

Ketika pasukan itu berhenti untuk beristirahat dan bermalam di perjalanan, Swandaru sempat menunggui Agung Sedayu beberapa lama. Tetapi Swandaru tidak banyak berbicara. Ia tahu bahwa dalam keadaan demikian, sebaiknya Agung Sedayu lebih banyak beristirahat sepenuhnya.

Namun kepada seorang pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, Swandaru sempat berkata, “Luka dalam Kakang Agung Sedayu memang agak parah. Tetapi kita masih mempunyai cukup harapan bahwa Kakang Agung Sedayu akan menjadi baik.”

Pemimpin pengawal Sangkal Putung itu mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bahkan kemudian katanya, “Kembalilah ke pasukanmu. Katakan kepada para pengawal bahwa aku masih berada di sini. Jika besok saatnya pasukan bergerak dan aku belum kembali ke pasukan, bergeraklah. Kalian tidak usah menunggu aku. Tetapi jika keadaan Kakang Agung Sedayu membaik, aku akan berada di antara kalian.”

Pengawal itu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan Ki Lurah segera menjadi baik.”

Malam itu, Agung Sedayu masih berbaring dengan lemahnya. Perkembangan keadaannya terasa sangat lamban. Meskipun demikian, orang-orang yang menungguinya masih tetap berpengharapan. Bahkan Ki Patih yang juga selalu menjenguknya berkata, “Aliran darahnya sudah menjadi semakin lancar. Berdoa sajalah, agar Yang Maha Agung mengulurkan tangannya untuk penyembuhannya.”

Glagah Putih yang menungguinya masih saja gelisah. Tubuh Agung Sedayu masih saja terasa panas. Sekali-sekali terdengar ia berdesah.

Tetapi lewat tengah malam, panas Agung Sedayu mulai berkurang. Nafasnya sudah mengalir dengan teratur. Demikian pula aliran darahnya menjadi semakin lancar.

Swandaru yang juga mengikuti perkembangan keadaan Agung Sedayu sempat menarik nafas panjang. Bersama beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu, ia duduk di serambi. Wajah-wajah mereka sudah tidak lagi terlalu tegang.

Seorang Lurah prajurit pengawal yang duduk di sebelah Swandaru dengan nada rendah berdesis, “Mudah-mudahan perkembangan keadaan Ki Lurah Agung Sedayu itu berlanjut. Jika sampai esok pagi, keadaannya tidak kembali memburuk, maka segala kesulitan telah dilaluinya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Malam ini adalah saat-saat paling gawat bagi Kakang Agung Sedayu.”

“Ki Lurah Agung Sedayu adalah seorang yang luar biasa. Tidak ada seorang pun di antara para Lurah prajurit yang memiliki tataran kemampuan yang setingkat dan bahkan yang mendekati tingkat ilmunya. Bahkan para perwira yang lebih tinggi tingkatnya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang yang ikut mendengarkan pembicaraan itu menyahut, “Ki Lurah Agung Sedayu pernah melakukan pengembaraan bersama Panembahan Senapati. Karena itu, meskipun tidak setinggi Panembahan Senapati sendiri, namun Ki Lurah itu mempunyai beberapa persamaan di dalam menjalani laku, sehingga iapun mampu mencapai satu tataran ilmu yang sangat tinggi.”

Orang-orang yang mendengar keterangan itu mengangguk-angguk. Namun Swandaru pun kemudian berkata, “Sebenarnya Kakang Agung Sedayu dapat mencapai tataran yang lebih baik dari yang dapat dicapainya sekarang.”

Beberapa orang berpaling kepadanya. Sementara Swandaru itu pun berkata selanjutnya, “Jika saja Kakang Agung Sedayu lebih tekun menempa diri berdasarkan atas ilmu yang diwariskan oleh Guru kepadanya.”

“Maksudmu?” bertanya Lurah prajurit dari pasukan pengawal itu.

“Sejak Kakang Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak sempat lagi memperdalam ilmunya yang sebenarnya sudah sampai di puncak. Beberapa kali aku memperingatkannya. Tetapi nampaknya Kakang Agung Sedayu telah menghabiskan waktunya untuk tugas-tugas yang diembannya.”

“Apakah kau saudara Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya seseorang.

“Aku saudara seperguruannya,” jawab Swandaru.

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu, seorang prajurit yang telah mengenal Swandaru sebelumnya berkata, “Ia saudara muda seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu. Ia pemimpin pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung.”

Orang-orang itu pun mengangguk-angguk pula. Beberapa orang memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Kesan yang mereka dapat dari kata-kata Swandaru itu adalah, bahwa saudara muda Ki Lurah ini masih memiliki kelebihan dari Ki Lurah Agung Sedayu.

Karena itu, beberapa orang itu pun menjadi merasa segan kepada orang yang sedikit gemuk namun memang berkesan meyakinkan itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu hampir tanpa beringsut itu muncul dari pintu. Swandaru pun kemudian telah bangkit berdiri sambil bertanya, “Bagaimana keadaannya, Glagah Putih?”

“Masih seperti tadi, Kakang,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi bukankah tidak memburuk?”

“Tidak, Kakang. Bahkan Kakang Agung Sedayu sudah tidak nampak gelisah. Sekarang Kakang Agung Sedayu sedang tidur.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Kau akan pergi ke mana?”

“Tidak ke mana-mana. Mumpung Kakang Agung Sedayu tidur, aku akan ke pakiwan sebentar,” jawab Glagah Putih.

“Pergilah,” desis Swandaru, “biarlah aku menungguinya.”

Ketika Swandaru kemudian masuk ke ruang dalam, maka dilihatnya Agung Sedayu memang sedang tidur. Di dekatnya duduk tabib yang merawatnya dengan penuh kesungguhan.

Swandaru kemudian duduk di sebelah tabib itu sambil bertanya perlahan, “Bagaimana keadaannya?”

“Kita akan melihat apa yang akan terjadi malam ini sambil berdoa. Kita sudah berusaha sejauh dapat kita lakukan. Obat-obatan dari Ki Lurah Agung Sedayu sendiri adalah obat yang terbaik menurut pendapatku. Terakhir harapan kita hanya tertuju kepada-Nya. Kita hanya dapat memohon.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Kakang Agung Sedayu yang mendapat kepercayaan sangat tinggi dari Panembahan Senapati seharusnya lebih tekun melengkapi dirinya dengan bekal yang terbaik.”

“Ia sudah memiliki bekal yang terbaik.”

“Tetapi sebenarnya Kakang Agung Sedayu masih mempunyai kemungkinan untuk meningkatkan ilmunya jika ada kemauan padanya. Tetapi Kakang Agung Sedayu nampaknya tidak mempunyai waktu lagi, meskipun jika ia benar-benar ingin melakukannya, tentu ia akan dapat membagi waktunya bagaimanapun sempitnya. Aku sudah beberapa kali memperingatkannya. Beberapa kali aku menjadi cemas melihat keadaan seperti ini. Setiap kali Kakang Agung Sedayu mengalami luka perah seperti ini.”

“Lawannya kali ini adalah saudara seperguruan Kanjeng Adipati Pragola,” berkata tabib itu. “Kita tahu betapa tinggi ilmu Kangjeng Adipati, meskipun masih belum menyamai Panembahan Senapati.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya seakan-akan ditujukan kepada diri sendiri, “Pada saat terakhir, Ki Tumenggung itu merasa ragu.”

“Sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Wimbasara itu adalah seorang yang baik. Panembahan Senapati sendiri menghormatinya. Tetapi sebagai seorang prajurit ia berdiri di atas pijakan yang sangat kokoh.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Aku mengerti. Tetapi yang aku maksudkan adalah kelemahan Kakang Agung Sedayu. Apa jadinya jika Ki Tumenggung itu tidak digelitik oleh keragu-raguan di saat terakhir? Apa jadinya dengan Kakang Agung Sedayu? Bukankah itu pertanda bahwa ilmu Ki Tumenggung itu masih lebih tinggi dari ilmu Kakang Agung Sedayu?”

“Ya. Agaknya ilmu Ki Tumenggung itu memang lebih tinggi dari ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Namun Ki Lurah masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.”

“Seandainya,” berkata Swandaru, “seandainya Kakang Agung Sedayu mau mendengarkan aku, maka ia tidak perlu bergantung pada satu kebetulan sebagaimana yang telah terjadi. Tetapi Kakang Agung Sedayu memang mampu mengimbangi lawannya karena memiliki bekal ilmu yang memadai.”

Tabib yang merawat Agung Sedayu itu tidak menjawab lagi. Sementara itu terdengar Agung Sedayu berdesah dengan tarikan nafas yang dalam. Tetapi Agung Sedayu tidak terbangun.

Swandaru-lah yang kemudian bergeser mendekati saudara seperguruannya. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang masih tidur itu. Namun wajah itu tidak lagi nampak terlalu pucat, ketika Swandaru menyentuh lehernya, makaia pun berdesis, “Badannya tidak lagi terlalu panas.”

Sementara itu, malam pun menjadi semakin dalam. Di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.

Namun perintah Panembahan Senapati sudah sampai pada semua pimpinan kelompok prajurit, “Besok, menjelang fajar, pasukan Mataram akan melanjutkan perjalanan.”

Ketika sampai dini hari keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, maka Swandaru pun berkata kepada Glagah putih yang telah duduk di sampingnya, “Aku akan melihat pasukanku. Hati-hatilah dengan Kakang Agung Sedayu. Jika perjalanan ini harus dimulai lagi, pastikan bahwa Kakang Agung Sedayu tidak akan terganggu di perjalanan.”

“Baik, Kakang,” sahut Glagah Putih.

“Di perjalanan aku akan menyempatkan diri melihat keadaannya. Namun nampaknya puncak kecemasan tentang keadaannya telah lewat. Tabib itu berpendapat bahwa jika malam ini keadaannya tidak memburuk, maka Kakang Agung Sedayu akan menjadi semakin baik. Meskipun demikian, ia harus tetap mendapat perawatan terbaik.”

“Ya, Kakang,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

Demikianlah, Swandaru pun telah meninggalkan rumah yang dipergunakan untuk menempatkan Agung Sedayu yang terluka parah.

Demikian Swandaru pergi, seorang prajurit mendekati Glagah Putih sambil mengerutkan dahinya. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Saudara seperguruan Ki Lurah Agung Sedayu itu menyesali sikap Ki Lurah yang tidak sempat mengembangkan ilmunya lebih jauh.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tahu apa yang dikatakan oleh Swandaru. Tentu orang gemuk itu menyesali, seolah-olah Agung Sedayu tidak mau meningkatkan ilmunya meskipun Swandaru membiarkan kitab Kiai Gringsing ada di tangan Agung Sedayu.

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Anak muda itu hanya mengangguk-angguk saja, justru karena Glagah Putih sudah mengenal dengan baik sifat Swandaru.

Meskipun demikian, Glagah Putih itu melihat betapa Swandaru menjadi gelisah melihat keadaan Agung Sedayu.

Dalam pada itu, beberapa orang yang menaruh perhatian sangat besar terhadap Agung Sedayu hampir tidak tidur semalam suntuk. Tabib yang merawatnya, Glagah Putih, Swandaru, dan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus sama sekali tidak memejamkan mata. Tetapi tugas yang akan mereka lakukan di hari berikutnya tidak seberat saat mereka datang ke Pati, sehingga meskipun mereka tidak tidur sekejappun, mereka tidak akan terlalu terganggu.

Menjelang fajar, semuanya telah bersiap. Glagah Putih merasa agak tenang bahwa keadaan Agung Sedayu tidak memburuk, sehingga dengan demikian ia berharap bahwa keadaannya akan menjadi semakin baik, meskipun masih harus ditempuh perjalanan panjang.

Namun ada satu dua orang yang ternyata tidak lagi mampu bertahan. Ada dua orang yang malam itu menyusul kawan-kawannya yang telah gugur. Mereka langsung dimakamkan di padukuhan tempat pasukan itu berhenti.

Meskipun Agung Sedayu masih minta untuk di tempatkan di sebuah pedati saja agar tidak sangat merepotkan para prajuritnya, namun para prajuritnya tetap berniat untuk mengusungnya agar tubuh Agung Sedayu tidak terlalu terguncang-guncang.

Dalam kesibukannya, ternyata Panembahan Senapati juga menyempatkan diri melihat keadaan Agung Sedayu itu.

“Bagaimana keadaanmu Agung Sedayu?” bertanya Panembahan Senapati sambil meraba tubuh Agung Sedayu.

“Hamba merasa sudah menjadi semakin baik, Panembahan,” jawab Agung Sedayu.

“Syukurlah. Mudah-mudahan perjalanan ini tidak memperburuk keadaanmu.”

“Semoga tidak, Panembahan.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ki Patih Mandaraka dan Pangeran Mangkubumi yang mengiringi Panembahan Senapati itu pun sempat memberikan beberapa pesan pula.

“Kau sudah tidak terlalu pucat,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, ketika fajar mewarnai langit, Panembahan Senapati pun memerintahkan pasukan Mataram yang besar itu mulai bergerak.

Perjalanan memang masih jauh. Tetapi para prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu tidak merasa terlalu tegang sebagaimana saat mereka berangkat. Bahkan mereka merasa bangga bahwa mereka telah membawa berita kemenangan, karena mereka telah berhasil memasuki kota Pati.

Tetapi sementara itu, dalam perjalanan pulang, wajah Ki Patih Mandaraka nampak murung. Sama-sekali tidak mencerminkan kemenangan yang telah dicapai oleh pasukan dari Mataram itu. Sekali-sekali Ki Patih Mandaraka itu justru berjalan menyendiri. Di dalam riuhnya pasukan yang bergerak, Ki Patih merasakan satu kediaman yang mencengkam jantungnya

Bahkan kadang-kadang Ki Patih Mandaraka itu berjalan kaki di antara para prajurit dari Pasukan Khusus yang mengiringi Agung Sedayu, yang ditandu dengan sebuah amben bambu.

Panembahan Senapati yang melihat keadaan Ki Patih Mandaraka itu mengerti, apa yang sedang bergejolak di dalam hatinya. Bahkan sebenarnya hati Panembahan Senapati sendiri juga merasakan, betapa segala-galanya yang digelar di atas bumi ini tidak langgeng. Panembahan Senapati mengerti bahwa Ki Patih Mandaraka sekali-sekali telah diganggu oleh kenangan masa-masa yang pernah dijalaninya, saat Ki Pemanahan dan Ki Panjawi masih hidup dalam ikatan persaudaraan yang sangat rukun. Hampir setiap saat keduanya selalu bersama. Jika seseorang bertemu dengan Ki Pemanahan, maka di situ tentu ada Ki Panjawi. Kedua-duanya seakan-akan tidak pernah terpisah.

Berdua mereka mendapat tugas dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya untuk menyingkirkan Arya Penangsang.

Keduanya memang berhasil. Tetapi justru karena itu, mereka telah memasuki jalan simpang. Ki Panjawi yang mendapat tanah Pati, segera dapat membangun diri, karena Pati memang sudah berujud satu lingkungan yang ramai. Ki Panjawi tidak terlalu sulit mengembangkan Pati menjadi satu daerah yang sedemikian besar. Sementara itu, Ki Pemanahan harus bekerja keras untuk membuka hutan Mantaok. Ketika kemudian Mataram menjadi daerah yang tumbuh, maka Ki Pemanahan telah disebut pula Ki Gede Mataram.

Tetapi Ki Gede Mataram sama sekali tidak diganggu oleh perasaan iri hati terhadap Pati. Semuanya itu justru telah mendorong Ki Gede untuk bekerja keras bersama putranya, Raden Sutawijaya.

Ki Patih Mandaraka memang tidak dapat melupakannya. Betapa Pemanahan dan Panjawi itu hidup dalam suasana yang sangat akrab.

Namun anak-anaknya ternyata telah berdiri berseberangan di medan perang yang garang. Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati, putra Ki Gede Pemanahan, telah berperang melawan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati, putra Ki Panjawi.

Ki Patih Mandaraka, yang akrab pula dengan kedua-duanya, merasa sangat prihatin atas peristiwa itu. Tetapi bagaimanapun juga, Ki Patih sendiri telah terlibat pula di dalamnya. Ia telah berdiri di satu pihak dari keduanya yang berperang itu.

Sementara itu pasukan yang besar itu berjalan terus. Panembahan Senapati sendiri tidak selalu berada di atas punggung kudanya, sebagaimana Ki Patih Mandaraka. Namun karena itu, para panglima dan senapati pun kadang-kadang telah turun pula dan berjalan di antara para prajurit dan pengawal.

Sementara itu, para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh yang ikut dalam pasukan itu, berganti-ganti mengusung Agung Sedayu yang terbaring lemah. Panas matahari yang terik menerpa tubuhnya, namun seorang prajurit memayunginya. Jika daun itu kemudian layu dibakar panasnya cahaya matahari, maka seorang prajurit yang lain telah mencari gantinya pula di padukuhan yang mereka lewati.

Namun ketika mereka harus bermalam lagi di perjalanan, ternyata keadaan Agung Sedayu sudah menjadi lebih baik. Tetapi seorang lagi prajurit yang harus dilepaskan. Karena lukanya yang sangat parah, maka prajurit itu tidak dapat diselamatkan.

Dalam pada itu, wajah Glagah Putih pun ikut menjadi terang. Swandaru tidak pula nampak gelisah. Harapan mereka tumbuh semakin besar, sejalan dengan keadaan Agung Sedayu yang membaik.

Dalam pada itu, para penghubung berkuda yang mendapat tugas untuk mendahului pasukan telah sampai di Mataram. Mereka telah menyampaikan pesan Panembahan Senapati kepada panglima yang bertugas mengawal kota. Pangeran Singasari.

Demikian pesan itu sampai, maka Mataram segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan kekuatan yang ada, Mataram siap menghadapi segala kemungkinan.

Namun para petugas yang diperintahkan untuk mengamati keadaan di luar dinding kota tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Bahkan beberapa orang yang dikirim agak jauh keluar kota juga tidak melihat gerak pasukan sama sekali. Apalagi pasukan yang besar.

Karena itu, Pangeran Singasari mengambil kesimpulan bahwa Kanjeng Adipati Pragola tidak akan membawa pasukan ke Mataram. Meskipun demikian, Pangeran Singasari tidak lengah. Para prajurit masih berada dalam kesiagaan tertinggi. Sementara para petugas sandi masih tersebar jauh di luar kota.

Sementara itu, pasukan Mataram telah merayap semakin dekat. Tetapi pasukan itu masih harus bermalam lagi di perjalanan, sementara persediaan bahan pangan menjadi semakin sedikit.

Namun para pemimpin Mataram itu tidak merasa cemas. Persediaan itu masih cukup, dan dalam dua hari mereka sudah akan sampai di Mataram.

Dalam pada itu, selagi pasukan Mataram masih berada di perjalanan, sebuah padepokan yang dipimpin oleh Kiai Warangka, yang terletak di dekat Kronggahan, telah diguncang oleh pertengkaran antara saudara seperguruan.

Ketika tiga orang yang ditugaskan untuk melihat apakah di padepokan Kiai Warangka itu terdapat sebuah peti tembaga yang diperkirakan berisi harta benda yang sangat banyak, memberikan laporan bahwa penglihatan mata batin mereka tidak menyentuh ada sebuah peti tembaga yang besar di padepokan Kiai Warangka, maka Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri sama sekali tidak percaya.

Bahkan mereka menganggap bahwa Ki Resa justru telah mencoba untuk melindungi Kiai Warangka.

“Agaknya kau telah diracuni oleh kesediaan Kakang Warangka untuk memberi upah lebih banyak dari yang aku berikan,” geram Kiai Timbang Laras.

“Tidak, Kiai Timbang Laras,” jawab Ki Resa, “aku adalah orang tua yang masih mempunyai harga diri. Aku masih percaya bahwa mulutku dapat berbicara dengan benar.”

“Apa maksudmu dengan harga diri?” bertanya Jatha Beri.

“Apakah aku akan menjual namaku serta kepercayaan orang lain kepadaku?”

“Kau telah menjual harga dirimu. Ternyata kau bersedia menerima upah yang kami berikan kepadamu.”

“Upah untuk apa? Bukankah upah itu Kiai berikan untuk satu tugas yang tidak bertentangan dengan paugeran Mataram? Tidak pula bertentangan dengan nuraniku sendiri. Bukankah aku diupah untuk mengetahui, apakah di padepokan itu ada sebuah peti atau tidak? Dan itu sudah aku lakukan dengan baik sesuai dengan kemampuanku.”

“Di samping upah yang aku berikan, maka kau juga menerima upah dari Kakang Warangka untuk tidak mengatakan apa yang sebenarnya kau lihat.”

“Kiai jangan menghina aku. Aku masih dapat mencari makan dengan cara yang lebih terhormat daripada sebuah pengkhianatan.”

“Seandainya kami menghinamu, kau mau apa Ki Resa?” tiba-tiba saja Ki Jatha Beri menyahut, “Kau akan marah?”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Perbatang dan Pinuji berganti-ganti. Katanya, “Bertanyalah kepada kedua orangmu itu. Apa yang mereka tangkap dengan penglihatan batin mereka. Apakah mereka melihat peti tembaga yang besar itu di padepokan Kiai Warangka. Aku selalu menangkap getar yang mereka pancarkan. Tetapi aku juga tidak pernah mendapat isyarat tentang peti tembaga itu.”

Kiai Timbang Laras memandang kedua orang yang ditugaskannya menyertai Ki Resa. Namun keduanya justru menunduk.

Dengan nada tinggi, Kiai Timbang Laras itu pun kemudian bertanya kepada mereka, “Apa kerja kalian di padepokan Kakang Warangka? Makan dan minum, tidur atau apa?”

“Tidak, Kiai. Kami sudah berusaha sejauh dapat kami lakukan. Tetapi kami memang tidak menangkap getar adanya peti tembaga itu. Baik dengan tangkapan wadag maupun tangkapan batin, Kiai. Karena itu kami berkesimpulan, bahwa peti itu memang sudah tidak berada di padepokan itu.”

“Jika tidak ada di padepokan itu, lalu dimana? Apakah kalian tidak dapat melihat? Lalu apa artinya kemampuan penglihatan batin kalian jika penglihatan kalian sama saja dengan penglihatanku?”

“Kiai,” berkata Ki Resa, “kami dapat melihat geledeg, ajug-ajug, amben dan apa lagi, karena benda-benda itu ada.”

“Itu penglihatan wadag kalian. Penglihatan mata kalian yang tidak berbeda dengan penglihatan mataku,” geram Kiai Timbang Laras.

“Benar, Kiai. Tetapi tangkapan penglihatan batin kami pun tidak berbeda. Kami dapat menangkap getar keberadaan benda itu meskipun benda-benda itu tidak kasat mata. Tetapi jika benda-benda itu memang tidak ada, getar apakah yang dapat kami tangkap, betapapun tajamnya penglihatan batin kami? Sebagaimana kami tidak akan dapat melihat sesuatu dengan mata wadag kami betapapun tajamnya penglihatan mata kami itu, jika yang kami lihat itu memang tidak ada.”

“Tetapi benda itu ada. Peti itu ada. Aku pernah melihatnya. Peti itu tidak akan dapat begitu saja lebur ke ketiadaan. Meskipun barangkali peti itu tidak ada lagi di padepokan, tetapi peti itu tentu ada di satu tempat. Nah, katakan, dimanakah peti itu berada menurut penglihatanmu.”

“Kiai,” berkata Ki Resa, “Kiai tentu tahu keterbatasan kemampuan seseorang. Apakah Kiai mengartikan bahwa aku mampu melihat isi bumi ini? Apapun dan dimanapun? Tidak, Kiai. Aku tidak mempunyai kemampuan sejauh itu. Penglihatanku sangat terbatas. Seandainya peti itu memang ada, maka keberadaannya ada di luar jangkauan kemampuan penglihatanku.”

“Omong kosong! Semua cerita tentang kelebihanmu tidak ada artinya sama sekali. Karena itu, maka persetujuan kita batal. Aku tidak akan mengupahmu sekeping uang pun.”

Ki Resa tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan menuntut. Aku memang harus merasa bahwa aku memang sudah gagal. Itu berarti bahwa perjanjian kita pun batal.”

“Bagus,” geram Kiai Timbang Laras, “jika demikian, tidak ada gunanya lagi kau berada di padepokanku. Pergilah! Aku muak melihat wajahmu.”

“Baik, Kiai. Aku minta diri. Keluargaku tentu sudah menunggu aku pulang. Mereka akan menjadi gelisah jika aku terlalu lama pergi. Perjalanan malam hari seperti ini akan sangat menyenangkan,” berkata Ki Resa. Namun katanya pula, “Meskipun demikian, aku ingin memperingatkan kepada Kiai, bahwa kedua orang yang bersamaku mencoba melihat peti tembaga itu sama sekali tidak bersalah, jika mereka tidak mengetahui di mana peti yang dicari itu berada. Mereka sudah berusaha sebagaimana aku juga berusaha. Tetapi kami telah gagal menurut penilaian Kiai.”

“Cukup! Pergilah!” bentak Kiai Timbang Laras.

Ki Resa tidak berbicara lagi. Iapun segera bangkit berdiri. Turun ke halaman dan mengambil kudanya. Sejenak kemudian, Ki Resa itu sudah menuntun kudanya keluar regol padepokan Kiai Timbang Laras.

Namun demikian Ki Resa hilang di balik pintu regol, Kiai Timbang Laras itu pun berkata kepada Perbatang dan Pinuji, “Selesaikan orang itu. Bawa dua orang kawanmu, agar pekerjaanmu tidak terlalu sulit untuk kau lakukan. Cepat!”

Perbatang dan Pinuji pun segera bangkit. Berlari-lari mereka mengambil kuda mereka sambil menyampaikan perintah Kiai Timbang Laras kepada dua orang yang berada di gandok. Mereka adalah para cantrik yang sedang bertugas berjaga-jaga bersama dengan beberapa cantrik yang lain yang berada di regol.

Sejenak kemudian, empat orang telah berpacu menyusul Ki Resa yang berkuda ke arah barat.

Beberapa saat keempat orang itu memacu kudanya. Mereka menyusuri jalan yang panjang dalam kegelapan malam yang telah menyelubungi wajah bumi.

Tetapi setelah beberapa lama mereka memacu kuda mereka, mereka tidak segera dapat menyusul Ki Resa. Sementara itu jalan yang mereka lalui adalah jalan yang lurus yang tidak bercabang. Tidak pula ada simpangan.

Ki Resa itu bagaikan hilang begitu saja ditelan gelapnya malam.

“Waktu kita tidak bertaut banyak,” berkata Perbatang.

“Ya,” sahut Pinuji hampir berteriak, “demikian kita mendengar derap kaki kuda Ki Resa, kita pun segera menyusulnya.”

“Padahal tidak ada jalan lain.”

Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Bukan saja karena mereka kehilangan buruan mereka. Tetapi mereka membayangkan kemarahan Kiai Timbang Laras, yang kadang-kadang tidak terbendung sehingga keputusan yang diambilnya tidak terkendali sama sekali.

Tetapi mereka benar-benar tidak dapat menyusul Ki Resa. Bahkan derap kaki kudanya pun tidak mereka dengar pula.

Akhirnya, Perbatang dan Pinuji serta kedua orang cantrik yang menyertai mereka itu pun berhenti.

“Kita tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata Perbatang hampir putus asa.

Pinuji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa yang dapat kita lakukan sekarang?”

Tetapi salah seorang cantrik yang menyertai mereka pun berkata, “Kita harus menemukan orang itu.”

“Bagaimana mungkin kita dapat menemukannya,” sahut Perbatang.

“Bukankah salah seorang dari kita mengetahui rumahnya? Kita datang ke rumahnya. Kita akan menyelesaikannya meskipun di hadapan keluarganya,” sahut cantrik yang lain.

Perbatang dan Pinuji menjadi ragu-ragu. Hampir bergumam Pinuji berkata, “Rumahnya jauh sekali. Sehari perjalanan.”

“Apa boleh buat,” jawab cantrik itu, “jika kita pulang tanpa membawa pertanda kematiannya, maka kita-lah yang akan digantung.”

“Kenapa kita harus berbuat demikian sekarang? Bukankah beberapa saat yang lalu kita tidak pernah melihat, bahkan membayangkannya pun tidak, perlakukan yang demikian terhadap sesama kita?”

“Tetapi keadaan sudah berubah. Kiai Timbang Laras juga sudah berubah,” jawab cantrik itu pula.

“Sejak kehadiran Ki Jatha Beri,” desis Perbatang.

“Tidak,” jawab salah seorang cantrik yang menyertainya, “Kiai Timbang Laras sendiri menyadari kelemahannya. Ia harus bersikap lebih baik jika ia ingin padepokannya bertambah maju. Sekarang, setelah Kiai Timbang Laras berhubungan dengan Ki Jatha Beri, ia dapat belajar daripadanya dan perubahan itu datang sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya Kiai Timbang Laras dapat menyesuaikan diri dengan sikap yang seharusnya dari seorang pemimpin padepokan, jika padepokannya ingin menjadi besar.”

Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu adalah cantrik dari padepokannya. Namun sikapnya membuat keduanya menjadi heran.

Namun Perbatang pun kemudian masih bertanya, “Bagaimana pendapat kalian berdua?”

“Kita pergi ke rumah Ki Resa.”

“Jika Ki Resa tidak ada di rumah?”

“Kita ambil siapa saja yang ada di rumahnya. Anaknya atau cucunya atau siapa saja.”

Perbatang dan Pinuji terkejut. Dengan serta-merta Perbatang pun bertanya, “Untuk apa?”

Kedua cantrik itu justru menjadi heran. Seorang di antara mereka berkata, “Bukankah itu wajar? Kita bawa salah seorang keluarga mereka. Justru yang terdekat dengan Ki Resa. Kita memaksa Ki Resa untuk datang mengambilnya.”

“Lalu Ki Resa kita habisi?” desis Pinuji.

“Ya.”

“Lalu bagaimana dengan keluarganya yang kita bawa?”

“Orang itu tidak berarti apa-apa. Kita akan melepaskannya atau membunuhnya, tidak ada bedanya.”

“He,” tiba-tiba Perbatang bertanya, “kau salah seorang dari sekelompok cantrik yang baru?”

“Ya,” jawab cantrik itu, “aku memang baru di padepokan Kiai Timbang Laras.”

“Sebelumnya kau berada di perguruan mana?” bertanya Pinuji dengan dahi yang berkerut.

“Kami adalah murid Ki Jatha Beri.”

“Pantas,” Perbatang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku tidak setuju dengan pendapatmu. Jika kita berurusan dengan Ki Resa, maka kita akan menyelesaikannya dengan orang itu. Tidak dengan keluarganya.”

“Itu hanya satu cara,” jawab cantrik itu.

“Satu cara yang keji. Jika kita ingin membunuh Ki Resa, maka kita harus berhadapan dengan orangnya. Ki Resa yang terbunuh atau kita yang akan mati.”

Cantrik itu tertawa. Katanya, “Kau ingin menjadi seorang laki-laki jantan? Itu sama sekali tidak perlu. Yang penting, kita dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada kita. Cara apapun yang kita pergunakan.”

“Tidak. Aku tidak mau,” jawab Perbatang.

“Jika demikian, tunjukkan saja rumahnya. Kami akan datang dan mengambil salah seorang keluarganya. Perempuan atau anak-anak.”

“Tidak. Meskipun kami sudah melihat rumahnya, tetapi kami tidak akan menunjukkan.”

“Jadi kalian akan berkhianat?” bertanya salah seorang cantrik itu.

Telinga Perbatang dan Pinuji menjadi panas. Dengan geram Perbatang menjawab, “Tidak, kami akan mencari Ki Resa sampai kami menemukan orangnya.”

“Itu perbuatan yang sangat bodoh. Berapa lama kalian akan mencari?”

“Tidak ada batasan waktu yang diberikan oleh Kiai Timbang Laras,” jawab Pinuji.

Kedua cantrik itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Sekarang, beri saja kami ancar-ancar. Biarlah kami yang menyelesaikannya.”

Tetapi Perbatang berkata dengan tegas, “Tidak. Aku tahu bahwa kalian akan berbuat licik. Kalian akan menculik perempuan atau kanak-kanak. Aku tidak mau.”

“Jangan membuat kami kehabisan kesabaran,” berkata salah seorang cantrik itu.

Telinga Perbatang dan Pinuji bagaikan tersentuh bara. Dengan suara bergetar menahan kemarahan Perbatang berkata, “Kalian mau apa? Kami adalah orang-orang terdekat dari Kiai Timbang Laras.. Kalian adalah cantrik-cantrik baru yang harus tunduk pada perintah kami.”

“Tidak,” jawab salah seorang cantrik itu, “kami bukan budak-budak kalian meskipun kami berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Tetapi kami mendapat tugas untuk mengawasi kalian jika terjadi pengkhianatan seperti ini.”

“Bagus,” geram Pinuji, “jika demikian, apa yang akan kalian lakukan? Melaporkan kami kepada Kiai Timbang Laras?”

“Kami harus memaksa kalian pulang,” geram cantrik itu.

“Kami adalah orang-orang bebas yang dapat menentukan sikap sendiri,” geram Pinuji.

“Jika demikian, kami harus memaksa kalian dengan kekerasan. Kami tidak mempunyai pilihan lain.”

Perbatang dan Pinuji pun kemudian segera mempersiapkan diri. Kemarahan mereka serasa telah membakar ubun-ubun.

Sementara itu, kedua orang cantrik yang ternyata semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu pun telah bersiap pula.

Sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi di antara mereka. Perbatang dan Pinuji masing-masing menghadapi seorang cantrik.

Ternyata kedua orang cantrik yang baru itu bukannya orang yang belum berilmu. Sebagai pengikut Jatha Beri yang justru mendapat tugas untuk mengamati padepokan Kiai Timbang Laras, maka keduanya memiliki bekal yang cukup.

Tetapi Perbatang dan Pinuji bukannya cantrik yang baru kemarin sore berada di padepokan itu. Untuk waktu yang lama keduanya mendapat kepercayaan dari Kiai Timbang Laras.

Karena itulah, pertempuran itu pun segera meningkat menjadi semakin sengit. Para cantrik yang merasa wajib untuk bertindak atas Perbatang dan Pinuji berusaha untuk dengan cepat menangkap dan membawa mereka menghadapi Ki Jatha Beri. Namun dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang marah itu pun ingin segera menyelesaikan pertempuran itu.

Karena itu, maka salah seorang di antara kedua cantrik itu pun kemudian berkata, “Sebaiknya kalian berdua menyerah saja, dan bersama-sama dengan kami menghadap Kiai Timbang Laras dan Kiai Jatha Beri. Jika kalian menyerah, maka aku akan mohon agar hukuman atas pengkhianatan kalian diperingan. Seandainya kalian harus dihukum mati, maka kematian kalian adalah kematian yang terbaik. Tetapi jika kalian melawan, aku akan mengusulkan hukuman yang terberat yang dapat diberikan kepada seseorang. Jika kalian mendapat hukuman mati, kematian kalian adalah kematian yang akan kalian tempuh dengan cara yang paling sulit. Bahkan mungkin kalian harus menunggu berhari-hari untuk sampai pada batas kematian yang sebenarnya.”

Pinuji yang menghadapi cantrik itu dengan serta-merta menyahut, “Kau kira kami akan segera bersimpuh di hadapanmu? Kami bukan kanak-kanak yang dapat kau takut-takuti dengan caramu.”

“Persetan kau Pinuji! Jika kau tetap keras untuk melawan, kami-lah yang akan memutuskan apakah kalian akan kami bunuh atau akan kami tinggalkan di sini, agar tubuhmu yang tidak lagi dapat bangkit akan menjadi mangsa anjing liar.”

“Aku sudah memutuskan bahwa kalian tidak akan pernah dapat kembali ke padepokan kami. Kalian telah mengotori padepokan Kiai Timbang Laras dengan sikap dan cara hidup yang kasar dan curang,” geram Pinuji.

“Kau benar-benar pengkhianat,” sahut cantrik itu, “karena itu kau harus mati. Aku akan membunuhmu dengan caraku.”

Cantrik itu pun segera menarik goloknya. Dengan tangkasnya ia memutar goloknya itu sambil berkata, “Satu-satu anggota badanmu akan terpisah dari tubuhmu. Tetapi kau tidak akan mati malam ini. Malam nanti anjing-anjing liar akan menyelesaikanmu. Baru besok sisa-sisa tubuhmu ditemukan orang yang lewat jalan ini untuk pergi ke pasar.”

Tetapi cantrik itu terkejut bukan buatan. Ketika mulutmu masih bergerak, tiba-tiba saja kaki Pinuji terjulur dengan derasnya menghantam dadanya.

Cantrik itu terdorong beberapa langkah surut, bahkan kemudian cantrik itu terdorong jatuh. Namun dengan cepat ia berguling menjauh, kemudian dengan cepat melenting berdiri.

Dengan kasar cantrik itu mengumpat. Namun Pinuji telah berdiri tegak dengan pedang yang sudah tercabut dari wrangkanya teracu ke arahnya.

Pinuji tidak berbicara lebih banyak lagi. Tetapi setapak ia bergeser maju sambil menjulurkan pedangnya menggapai tubuh lawannya.

Cantrik itu bergeser mundur. Goloknya pun berputar pula dengan cepat untuk melindungi tubuhnya

Namun serangan Pinuji pun kemudian datang seperti gelombang yang datang beruntun menggempur batu-batu karang di pantai.

Cantrik itu bertempur semakin keras dan garang. Goloknya yang besar dan berat itu berputar semakin cepat. Namun sekali-sekali golok itu terayun menyerang ke arah leher Pinuji. Tetapi Pinuji dengan tangkas menghindar atau menebas serangan itu, sehingga tidak menyentuh sasarannya

Di lingkaran pertempuran yang lain, Perbatang bertempur dengan sengitnya pula. Cantrik yang menjadi lawannya itu pun berusaha untuk menekannya. Namun ternyata Perbatang bukan anak-anak yang baru belajar berjalan.

Seperti kawannya, cantrik itu pun telah menarik senjatanya pula. Sebuah pedang yang besar dan panjang.

Namun demikian ia menggenggam pedangnya, Perbatang pun telah memegang pedangnya pula. Dengan demikian, Perbatang pun kemudian telah bertempur dengan mempertaruhkan ilmu pedang masing-masing.

Kedua cantrik pengikut Ki Jatha Beri itu telah berusaha meningkatkan ilmu mereka. Mereka bertempur semakin lama semakin keras. Bahkan kemudian menjadi semakin kasar. Yang nampak bukan lagi cantrik dari perguruan Kiai Timbang Laras, yang mempunyai garis keturunan ilmu yang sama dengan perguruan Kiai Warangka. Tetapi unsur-unsur yang dipergunakan kemudian adalah ilmu yang mereka warisi dari Ki Jatha Beri. Ilmu yang keras dan kasar, namun sangat berbahaya.

Meskipun demikian, Perbatang dan Pinuji sama sekali tidak menjadi gentar. Murid perguruan Kiai Timbang Laras itu bertempur dengan garangnya pula.

Bahkan kemudian Perbatang telah berhasil mendesak lawannya. Pedangnya yang sekali-sekali menjulur mematuk ke arah tubuh lawannya mampu mendesaknya, sehingga beberapa kali cantrik itu meloncat surut.

Tetapi cantrik yang bertempur dengan kasar itu telah menghentak-hentakkan serangannya. Kadang-kadang orang itu mampu mengejutkan Perbatang. Namun kemudian, serangan-serangan Perbatang terasa semakin lama menjadi semakin berbahaya.

Bahkan kemudian ketika cantrik itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher Perbatang, dengan keras pula Perbatang membentur serangan itu. Dengan cepat Perbatang memutar pedangnya dengan hentakan yang kuat, sehingga hampir saja pedang lawannya terlepas dari tangannya. Tetapi cantrik itu menggenggam pedangnya dengan erat, betapapun telapak tangannya terasa bagaikan terbakar.

Tetapi Perbatang tidak menghentikan serangannya. Demikian pedangnya berputar, dengan cepat ia meloncat ke samping. Pedangnya bergerak dengan cepat menggapai tubuh lawannya.

Cantrik yang masih berdebar-debar karena pedangnya yang hampir saja terlepas dari tangannya itu, terkejut sekali. Ia mencoba menangkisnya. Meskipun ia berhasil menggeser arah serangan Perbatang, namun ujung pedang Perbatang itu masih sempat menyentuh pundaknya.

Cantrik itu meloncat surut. Pundaknya terasa menjadi pedih. Cairan yang hangat kemudian telah mengalir dari lukanya.

Cantrik itu mengumpat kasar. Serangannya kemudian datang bergulung-gulung seperti angin prahara. Namun pertahanan Perbatang sama sekali tidak menjadi goyah. Pertahanannya justru menjadi semakin mantap, sementara serangan-serangannya menjadi semakin berbahaya.

Murid Jatha Beri itu mulai menjadi gelisah. Ternyata kemampuan Perbatang itu lebih tinggi dari perhitungannya. Bahkan setelah ia mengerahkan segenap kemampuannya pun, ia tidak mampu menguasai lawannya yang memiliki ilmu pedang yang tinggi.

Sementara itu, serangan-serangan Perbatang pun justru menjadi semakin cepat dan berbahaya. Ujung pedang Perbatang itu rasa-rasanya berdesing-desing di seputar telinga cantrik yang selalu terdesak itu.

Lawan Pinuji yang menggenggam golok yang besar itu mencoba mencari keseimbangan ketika ia melihat kawannya terdesak. Jika saja ia mempunyai kesempatan lebih cepat menyelesaikan Pinuji, maka berdua dengan kawannya mereka akan dengan cepat pula menyelesaikan Perbatang.

Tetapi Pinuji bukan seorang yang lemah. Bahkan bukan Pinuji yang kemudian terdesak, tetapi justru cantrik itulah yang setiap kali harus bergeser surut

Serangan-serangan Pinuji-lah yang kemudian mewarnai keseimbangan pertempuran itu. Pedangnya bergerak dengan cepat. Sekali terjulur menggapai tubuh lawannya, namun kemudian tiba-tiba saja telah menebas dengan derasnya. Tetapi kemudian pedang itu berputar dan mematuk seperti seekor ular.

Betapapun cantrik itu berusaha mengimbangi dengan serangan-serangannya yang keras dan kasar, namun ilmu pedang Pinuji memiliki kelebihan dari kemampuan lawannya itu.

Dengan demikian, keseimbangan pertempuran itu pun mulai menjadi goyah. Kedua cantrik murid Jatha Beri itu ternyata sulit mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji.

Apalagi kemarahan Perbatang dan Pinuji nampaknya tidak dapat diredakan lagi. Kedua orang cantrik itu benar-benar akan membunuhnya. Bahkan dengan cara yang sangat buruk.

Karena itu, Perbatang itu pun berkata dengan lantang, “Sudah saatnya kalian dimusnahkan dari padepokan Kiai Timbang Laras!”

Tetapi cantrik yang bertempur melawannya tidak dengan mudah menyerah kepada keadaan. Pada saat yang paling sulit, cantrik itu telah menarik sebilah pisau belati. Dengan cepat sekali pisau itu dilemparkan ke arah dada Perbatang.

Untunglah Perbatang melihat lontaran pisau itu. Dengan cepat pula Perbatang mengelak. Tetapi pisau itu masih tetap menyambar dan menggores lengannya, sehingga segores luka telah menganga di lengannya.

Luka itu justru membuat Perbatang semakin marah. Dengan garangnya Perbatang meloncat sambil menjulurkan pedangnya mengarah ke dada cantrik itu. Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak. Selangkah ia bergeser. Tetapi Perbatang itu tidak melepaskannya. Pedang yang terjulur itu segera terayun menebas dengan derasnya.

Cantrik itu masih berusaha menangkis serangan itu. Namun pedang Perbatang segera berputar. Satu loncatan panjang dengan pedang yang terjulur lurus, mematuk langsung menghujam ke arah jantung.

Terdengar cantrik itu berteriak sambil mengumpat kasar. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ujung pedang Perbatang benar-benar telah menukik melubangi jantungnya.

Sejenak kemudian suara cantrik itu pun segera lenyap. Demikian tubuhnya terjatuh di tanah, maka nafasnya pun telah terhenti.

Cantrik yang bertempur melawan Pinuji itu melihat kawannya yang terbunuh oleh Perbatang. Dengan demikian ia tidak berpengharapan lagi. Perbatang akan dapat bergabung dengan Pinuji melawannya bersama-sama.

Karena itu, cantrik itu pun berniat untuk melarikan diri. Jika ia sempat sampai ke padepokan, maka ia akan dapat menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri.

Tetapi Pinuji sama sekali tidak memberi kesempatan. Demikian lawannya berusaha menghindar dari pertempuran, Pinuji itu dengan cepat memotong jalannya.

Cantrik yang hampir berputus asa itu telah mengayunkan goloknya menebas ke arah dada. Tetapi Pinuji sempat mengelak. Demikian golok itu terayun, dengan cepat pula Pinuji meloncat. Pedangnya-lah yang kemudian terayun menyambar lambung.

Cantrik itu tidak dapat mengelak. Lambungnya telah terkoyak oleh tajamnya pedang Pinuji.

Sejenak kemudian dua orang cantrik itu telah terkapar di pinggir jalan. Keduanya ternyata tidak mampu mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Dua orang murid dari padepokan Kiai Timbang Laras.

Sejenak Perbatang dan Pinuji termangu-mangu. Kedua orang itu akhirnya memutuskan untuk meninggalkan saja kedua orang cantrik yang terbunuh itu.

“Biarlah besok orang-orang yang menemukan, menguburkannya,” berkata Perbatang, “kita tidak dapat melakukannya sekarang.”

Pinuji mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Kita akan melaporkannya kepada Kiai Timbang Laras, bahwa orang-orang Jatha Beri yang ada di padepokan kita mempunyai tugas khusus yang diberikan oleh Ki Jatha Beri itu.”

Perbatang mengangguk-angguk pula. Tetapi sebelum ia menjawab, kedua orang itu terkejut Dengan cepat keduanya meloncat surut sambil mengacukan senjatanya.

Yang kemudian berdiri di hadapan mereka adalah Ki Resa yang sedang mereka buru itu.

“Ki Resa,” desis Perbatang.

“Ya,” jawab Ki Resa, “apakah kalian sedang mencari aku?”

“Ya. Kami memang sedang menyusul Ki Resa,” jawab Perbatang.

“Kalian mendapat perintah untuk membunuh aku?” bertanya Ki Resa pula.

“Ya.”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku memang sudah memperhitungkan hal itu. Itulah sebabnya aku tidak berpacu terus. Demikian aku keluar dari padepokan, aku telah membawa kudaku bersembunyi. Aku justru berkuda di belakang kalian.”

“Kau memang cerdik, Ki Resa,” sahut Pinuji.

“Aku tahu bagaimana kalian berselisih dengan kedua orang cantrik itu. Aku ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian berdua, bahwa kalian tidak mau melakukan sebagaimana akan dilakukan oleh kedua cantrik itu, yang ternyata adalah para pengikut Ki Jatha Beri.”

“Sekarang kita sudah berhadapan. Kami bertekad untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada kami,” berkata Perbatang.

“Kau sudah terluka.”

“Luka ini tidak berpengaruh sama sekali.”

“Mungkin. Tetapi jika kau menghentakkan tenaga untuk bertempur, maka darah akan mengalir terus dari lukamu. Seseorang akan dapat menjadi lemah karena kekurangan darah. Karena itu, aku anjurkan kau obati dahulu lukamu itu agar menjadi mampat.”

“Tidak perlu, Ki Resa. Aku akan mengobatinya setelah persoalan kita selesai. Setelah kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan sebaik-baiknya.”

“Membunuh aku?” bertanya Ki Resa.

Pertanyaan itu telah menghentakkan Perbatang dan Pinuji ke dalam keadaan yang rumit. Karena itu keduanya tidak segera dapat menjawabnya.

Ki Resa justru tersenyum. Katanya, “Nah, jika kalian memang akan melaksanakan perintah dengan baik, lakukanlah. Kalian tidak usah mencari aku ke mana-mana. Kalian tidak usah menculik perempuan atau kanak-kanak.”

Perbatang dan Pinuji justru menjadi ragu-ragu. Mereka bukannya menjadi gentar berhadapan dengan Ki Resa. Tetapi justru mereka tahu bahwa Ki Resa telah melakukan pekerjaannya sebagaimana disanggupinya dengan baik. Jika kemudian Ki Resa itu mengambil kesimpulan bahwa peti tembaga itu tidak ada di padepokan Kiai Warangka, itu sama sekali bukan kesalahannya.

Memang kedua murid dari padepokan Kiai Timbang Laras itu juga bertanya di dalam hati, apakah mungkin Ki Resa itu berbuat curang atau sengaja menyesatkan.

Namun keduanya berpendapat, seandainya kecurigaan itu ada, seharusnya sejak awal Kiai Timbang Laras harus sudah memikirkannya. Kesan dari sikap Kiai Timbang Laras kemudian adalah seakan-akan Ki Resa harus memberikan jawab sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras.

Karena kedua orang itu termangu-mangu, maka Ki Resa pun berkata, “Perbatang dan Pinuji. Sebenarnya aku juga ingn memberikan jawaban sebagaimana dikehendaki oleh Kiai Timbang Laras. Aku memang dapat berpura-pura, memberi jawaban asal saja aku sebut di mana peti itu disembunyikan di dalam lingkungan padepokan Kiai Warangka. Tetapi sejak semula, pekerjaanku ini bukan alat untuk menipu. Karena itu, aku harus mengatakan sesuai dengan penglihatanku.”

Perbatang-lah yang kemudian menjawab, “Sebenarnya sejak semula kami sudah ragu, Ki Resa. Tetapi kami tidak dapat menolak perintah Kiai Timbang Laras, meskipun kami merasa heran bahwa Kiai Timbang Laras sekarang benar-benar telah berubah. Sejak Ki Jatha Beri ada di padepokan, segala-galanya sudah lain dari sebelumnya. Aku tidak tahu, kenapa demikian besar pengaruh Ki Jatha Beri terhadap Kiai Timbang Laras.”

“Jadi apakah yang akan kau lakukan?”

“Kami berniat untuk kembali, menemui Kiai Timbang Laras dan melaporkan apa yang sudah terjadi.”

“Bagaimana dengan Ki Jatha Beri?”

“Aku akan melaporkan apa adanya. Aku justru ingin tahu tanggapan Kiai Timbang Laras dan sikap Ki Jatha Beri.”

“Tetapi kalian akan dapat dihukum mati.”

“Jika Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menyimpang dari kepribadiannya, maka biarlah kami menjadi korbannya.”

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Katanya, “Baiklah. Mudah-mudahan Kiai Timbang Laras masih mempunyai kesempatan mempergunakan penalarannya menghadapi persoalan ini.”

Demikianlah, Perbatang dan Pinuji pun telah meloncat ke punggung kudanya. Namun ketika mereka akan meninggalkan tempat itu, Ki Resa pun berkata, “Kau melupakan kedua orang cantrik itu.”

“Kami sengaja membiarkannya.”

“Jika kau memang ingin mengatakan apa yang sudah terjadi sebagaimana adanya, kenapa tidak kau bawa saja?”

Perbatang dan Pinuji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Perbatang itu pun berkata, “Baiklah. Jika Pinuji tidak berkeberatan, kami akan membawanya.”

Pinuji memang agak ragu. Tetapi akhirnya ia pun berkata, “Baiklah. Kita akan membawanya.”

Dengan demikian, maka Perbatang dan Pinuji itu pun telah menaikkan tubuh kedua orang cantrik itu ke atas kuda mereka masing-masing, dan kemudian menuntun kuda-kuda itu ke padepokan.

Ketika Perbatang dan Pinuji memasuki padepokan, para cantrik pun segera mengerumuninya.

“Apa yang telah terjadi?” para cantrik itu pun saling bertanya.

Tetapi Perbatang dan Pinuji tidak mengatakan sesuatu. Keduanya melangkah menuju ke bangunan utama padepokan itu untuk langsung bertemu dengan Kiai Timbang Laras.

Ki Timbang Laras memang masih berada di bangunan induk itu. Ia pun segera bangkit ketika ia melihat Perbatang dan Pinuji membawa tubuh dua orang cantrik di atas punggung kuda mereka.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Kiai Timbang Laras.

Perbatang dan Pinuji pun segera naik ke pendapa. Mereka berdua memang sudah berniat untuk mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi kepada Kjai Timbang Laras. Bahkan seandainya Ki Jatha Beri duduk pula bersamanya

Tetapi sikap Kiai Timbang Laras memang mengejutkan Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras tidak mempertimbangkan laporan Perbatang dan Pinuji sebagai satu ancaman bagi kemandirian perguruan Kiai Timbang Laras, tetapi sebaliknya, Kiai Timbang Laras itu menjadi sangat marah.

“Jadi kau bunuh saudara-saudara sendiri?”

“Tetapi kami mempunyai alasan yang kuat, kenapa hal ini kami lakukan, Kiai.”

“Apapun alasannya, apakah aku pernah mengajarkan kepadamu untuk membunuh saudara-saudara kita sendiri?”

“Tetapi Kiai juga tidak pernah mengajarkan untuk menculik perempuan dan anak-anak.”

“Itu tergantung pada kepentingannya. Kau harus menerapkan ajaranku dengan bijaksana.”

Perbatang dan Pinuji menjadi berdebar-debar. Sementara itu Perbatang masih mencoba untuk menjelaskan, “Kiai. Apakah Kiai tidak merasa tersinggung jika ada orang lain yang datang ke padepokan ini justru untuk mengawasi kita? Apakah orang-orang baru yang sejak semula memang para pengikut Ki Jatha Beri itu, suatu saat tidak akan mengganggu kebebasan kita di dalam perguruan kita sendiri?”

“Tutup mulutmu, Perbatang!” bentak Kiai Timbang Laras, “Aku justru memerlukan Ki Jatha Beri. Ia akan dapat memberikan terang bagi padepokan kita, serta memberikan harapan atas masa depan yang lebih baik.”

Perbatang yang menyadari bahwa Kiai Timbang Laras benar-benar sudah menjadi marah, tidak berkata apapun lagi. Mereka menyadari apa yang akan terjadi atas diri mereka.

Sebenarnyalah Kiai Timbang Laras telah memerintahkan untuk menangkap Perbatang dan Pinuji. Kiai Timbang Laras justru memberitahukan kepada Ki Jatha Beri, bahwa dua orang cantrik yang sejak sebelumnya adalah para pengikut Ki Jatha Beri, telah dibunuh oleh Perbatang dan Pinuji.

“Mereka harus dihukum mati!” teriak Ki Jatha Beri, “Aku sendiri yang akan menghukum mereka!”

“Silakan, Ki Jatha Beri,” sahut Kiai Timbang Laras.

Perbatang dan Pinuji tidak mempunyai kesempatan untuk membela diri. Semula mereka berharap bahwa Kiai Timbang Laras akan melindunginya. Tetapi ternyata yang terjadi adalah sebaliknya.

Karena itu, maka keduanya hanya dapat pasrah, apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Bahkan mereka sudah membayangkan bahwa mereka akan mengalami nasib yang sangat buruk di saat kematian mereka, karena mereka akan mati di tangan Ki Jatha Beri.

Ki Jatha Beri yang marah itu telah memerintahkan agar Perbatang dan Pinuji dimasukkan ke dalam bilik tertutup. Mereka akan menjalani hukuman mati di keesokan harinya.

Ki Jatha Beri pun telah memerintahkan empat orang cantrik yang sejak semula adalah pengikut Ki Jatha Beri untuk menjaga bilik itu.

“Dua orang di depan dan dua orang di belakang,” geram Ki Jatha Beri. Bahkan ia menambahkan, “Beri isyarat jika keduanya berusaha untuk melarikan diri. Jika kalian lengah dan keduanya terlepas, maka kalianlah akan menjadi gantinya. Besok kalian akan aku hukum mati menurut caraku.”

Perbatang dan Pinuji tidak melawan. Keduanya pun kemudian telah dimasukkan ke dalam bilik dengan tangan dan kaki terikat pada tiang di dalam bilik itu. Tidak ada kemungkinan bagi keduanya untuk melarikan diri.

Dalam pada itu, para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras, ternyata telah tersinggung pula. Tetapi mereka tidak berani berbuat sesuatu. Kiai Timbang Laras, pemimpin dan guru mereka yang mereka hormati dan mereka takuti, justru telah menjerumuskan Perbatang dan Pinuji ke dalam keadaan yang paling sulit. Keduanya besok akan dihukum mati dengan cara yang barangkali belum pernah mereka lihat sebelumnya

Malam itu Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang cantrik yang sejak sebelum berada di padepokan adalah pengikutnya, untuk menyiapkan hukuman mati itu.

Para cantrik padepokan Kiai Timbang Laras tidak tahu pasti, apa yang telah dibuat oleh orang-orang itu. Mereka membuat tiang dan kemudian menanamnya di halaman padepokan. Dua pasang patok kayu yang kuat.

Tetapi para cantrik itu membayangkan bahwa besok mungkin Perbatang dan Pinuji akan diikat pada dua pasang patok kayu itu. Tangan mereka akan direntangkan. Demikian pula kaki mereka. Selanjutnya mereka tidak tahu apa yang akan terjadi.

Dalam kegelisahan itu, para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras hanya dapat mengusap dada bahwa Ki Jatha Beri itu masih dapat tidur nyenyak. Begitu ia marah-marah dan memerintahkan membuat alat untuk menghukum mati Perbatang dan Pinuji, orang itu langsung masuk ke dalam biliknya dan tidur mendengkur.

“Begitu tidak berharganya nyawa Perbatang dan Pinuji di mata Ki Jatha Beri.”

Tetapi para cantrik itu tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji yang terikat kaki dan tangannya di dalam sebuah bilik yang sempit benar-benar sudah pasrah. Mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Mereka merasakan ikatan pada tangan dan kakinya itu begitu kuat, sehingga tidak mungkin untuk dapat dilepaskan lagi.

Sementara itu, ada empat orang yang berjaga-jaga di luar. Dua orang mengawasi bagian depan dan dua orang di bagian belakang bilik itu.

Bagi Perbatang dan Pinuji, sisa malam itu terasa amat panjang. Mereka ingin matahari segera terbit. Jika mereka harus mati, biarlah kematian itu segera datang, meskipun mereka sadar bahwa cara yang paling buruk akan terjadi pada saat kematian mereka.

Dalam pada itu, sisa malam itu terasa menjadi semakin dingin di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan para cantrik bagaikan dicengkam oleh kegelisahan. Dua orang cantrik yang meronda berkeliling merasa tengkuk mereka meremang.

Namun mereka berjalan terus.

Untuk mengusir ketegangan yang menyusup ke dalam jantung mereka, seorang di antara mereka pun berdesis, “Kasihan Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji.”

“Ya,” yang lain menyahut, “aku tidak tahu kenapa Kiai Timbang Laras benar-benar berubah. Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji adalah dua orang yang termasuk di antara mereka yang dekat dengan Kiai Timbang Laras. Keduanya adalah orang-orang yang dipercaya. Bahkan kedua orang itu pula yang diperintahkan untuk menyertai Ki Resa ke padepokan Kiai Warangka.”

“Semuanya sudah berubah. Bahkan sikap Kiai Timbang Laras dengan saudara-saudara seperguruannya juga sudah berubah. Jika dahulu Kiai Timbang Laras sangat menghormati Kiai Warangka, sekarang sama sekali tidak. Bahkan Kiai Timbang Laras itu sempat mencurigai kakak seperguruannya itu.”

“Ki Jatha Beri telah menebarkan racun di padepokan ini,” geram yang lain.

Keduanya terdiam. Mereka melangkah sampai di sudut padepokan. Beberapa saat mereka berhenti. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Kita kembali ke gardu.”

Kawannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku merasa ada ketenangan di sini. Di gardu itu ada cantrik yang baru, yang sebelumnya adalah pengikut Ki Jatha Beri. Di sana kita tidak dapat berbicara bebas seperti ini.”

Kawannya mengangguk-angguk. Bahkan kemudian orang itu duduk di atas sebuah batu sambil berkata, “Baiklah. Kita beristirahat di sini sebentar.”

Namun ketika kawannya juga akan duduk, mereka terkejut. Sesosok tubuh tiba-tiba muncul dari balik gerumbul, sudah di dalam dinding padepokan. Karena itu, maka kedua orang cantrik itu dengan sigap meloncat bangkit. Senjata mereka pun segera teracu kepada sosok tubuh yang tiba-tiba muncul itu.

Tetapi orang itu mengacukan kedua tangannya sambil berdesis, “Sabar Ki Sanak, sabar.”

“Siapa kau?” bertanya salah seorang cantrik itu.

“Apakah kau tidak mengenal aku?” bertanya orang itu.

“Ki Resa,” desis cantrik itu.

“Ya: Aku ingin mendapat keterangan tentang Perbatang dan Pinuji. Semula aku akan mencarinya sendiri. Tetapi setelah aku mendengar pembicaraan kalian, maka aku memberanikan diri untuk menemui kalian. Terus-terang, aku ingin menyelamatkan mereka.”

“Maksud Ki Resa?”

“Aku tidak akan melibatkan kalian. Aku hanya ingin kalian memberitahu, di mana sekarang Perbatang dan Pinuji.”

“Keduanya ditahan sekarang. Besok pagi mereka akan dihukum mati. Hukuman itu akan dilakukan sendiri oleh Ki Jatha Beri dengan caranya.”

“Apakah Kiai Timbang Laras tidak melindungi mereka?”

“Itulah yang kami sesalkan. Kiai Timbang Laras justru ikut menghukum mereka dengan menyerahkan mereka kepada Ki Jatha Beri.”

“Baiklah aku berterus terang kepada kalian. Tunjukkan kepadaku, di mana mereka ditahan. Aku akan berusaha membebaskan mereka, meskipun aku tahu bahwa usaha itu akan sangat berbahaya. Aku minta kalian tidak memberikan isyarat. Seperti sudah aku katakan, aku tidak akan melibatkan kalian.”

“Isyarat apa yang Ki Resa maksudkan?”

“Kalian jangan memberi isyarat kepada para cantrik bahwa seseorang telah menyusup ke dalam padepokan ini.”

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa.”

Cantrik itu pun kemudian memberikan ancar-ancar di mana Perbatang dan Pinuji ditahan.

“Terima kasih. Doakan agar aku berhasil menyelamatkan kedua orang saudara seperguruan kalian, yang menurut pendapatku tidak bersalah itu.”

Demikianlah, Ki Resa pun segera menyusup kembali ke dalam gerumbul-gerumbul perdu. Namun kemudian, orang itu telah bergeser untuk melaksanakan rencananya.

Sementara itu, langit sudah mulai dibayangi oleh cahaya fajar. Sisa malam pun menjadi semakin sempit

Ketika burung-burung liar bernyanyi di pepohonan, serta ayam jantan berkokok saling bersahutan, maka padepokan itu sudah mulai menjadi sibuk. Di dapur perapian sudah menyala. Para cantrik yang bertugas sudah menjerang air untuk membuat minuman.

Namun tiba-tiba padepokan Kiai Timbang Laras itu menjadi gempar. Para cantrik yang berjaga-jaga di depan dan di belakang bilik tahanan Perbatang dan Pinuji telah terbaring di tanah. Mereka sudah mati terbunuh. Nampaknya empat orang itu tidak sempat memberikan perlawanan sama sekali.

Para cantrik pun menjadi sibuk. Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri, maka keduanya menjadi sangat marah. Beberapa orang pengikut Ki Jatha Beri pun telah mengumpat-umpat kasar. Empat orang di antara mereka terbunuh, setelah dua orang sebelumnya sudah dibunuh pula oleh Perbatang dan Pinuji.

Ubun-ubun Ki Jatha Beri bagaikan terbakar. Dengan serta merta maka mereka yang bertugas berjaga-jaga malam itu segera dipanggil.

Namun yang lebih menggemparkan lagi, ternyata Perbatang dan Pinuji sudah tidak ada di dalam bilik itu. Tali pengikat tangan dan kakinya terlepas tanpa bekas terpotong tajamnya senjata.

Dua kelompok cantrik yang bertugas malam itu telah menghadap. Sekelompok yang bertugas sampai tengah malam, sedang yang sekelompok yang bertugas sejak tengah malam.

Tetapi kedua kelompok cantrik itu tidak dapat memberikan penjelasan apa-apa. Mereka justru meronda mengelilingi padepokan. Adapun bilik yang dipergunakan untuk menahan Perbatang dan Pinuji berada di tengah-tengah padepokan. Sedangkan kelompok-kelompok cantrik yang bertugas itu terdiri dari cantrik yang sudah lama berada di padepokan itu bersama-sama dengan para cantrik yang baru, yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri.

Dengan demikian, Ki Jatha Beri mengalami kesulitan untuk begitu saja menuduh para cantrik kawan-kawan Perbatang dan Pinuji-lah yang telah melepaskan kedua orang tawanan itu, karena di dalam tugas para cantrik itu sudah berbaur. Apalagi para pengikut Ki Jatha Beri itu sengaja mengawasi para cantrik yang telah lebih dahulu berada di padepokan itu.

Kiai Timbang Laras pun ternyata telah ikut menjadi sangat marah. Kiai Timbang Laras sebagai pemimpin padepokan telah mengumpulkan semua cantrik. Dengan suara bergetar oleh kemarahan yang menghentak jantungnya, Kiai Timbang Laras itu telah mengancam, “Jika akhirnya aku mengetahui siapa yang telah melakukannya, maka hukuman yang belum pernah mereka bayangkan akan aku terapkan.”

Para cantrik itu hanya dapat diam sambil menundukkan wajah mereka. Para cantrik itu memang menjadi ketakutan melihat kemarahan Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri. Perasaan yang sebelumnya belum pernah mereka rasakan.

Dalam pada itu, Perbatang dan Pinuji masih berada dalam perjalanan. Mereka dengan cepat menjauhi padepokan yang telah mereka huni bertahun-tahun. Sementara itu, Kiai timbang Laras dan Ki Jatha Beri telah memerintahkan beberapa orang berkuda untuk mencari kedua orang yang berhasil melarikan diri dari bilik tahanannya itu.

“Tangkap mereka hidup-hidup. Aku sendiri yang akan menghukum mereka,” geram Ki Jatha Beri.

Tetapi Perbatang dan Pinuji sudah menjadi semakin jauh. Kiai Resa yang menyertai keduanya, berjalan sambil menuntun kudanya.

“Kita sudah jauh dari padepokan,” berkata Ki Resa.

“Kenapa Ki Resa berusaha membebaskan kami?” bertanya Perbatang.

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tahu bahwa seharusnya kalian berdua tidak dihukum mati.”

“Kiai Timbang Laras tidak mau melindungi kami berdua,” desis Pinuji.

“Itulah yang mengherankan kami,” sambung Perbatang, “segala-galanya sudah berubah.”

“Karena itu, aku berusaha untuk menyingkirkan kalian dari bilik itu.”

“Apakah Ki Resa tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa kami berdua masih tetap akan membunuh Ki Resa? Apalagi dalam keadaan terjepit seperti sekarang. Jika kami berhasil membawa Ki Resa kembali ke padepokan hidup atau mati, mungkin Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri akan memaafkan kami.”

Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku masih percaya bahwa kalian berdua bukan orang yang tidak berjantung. Namun seandainya demikian, aku pun masih percaya bahwa aku akan dapat menyelamatkan diri. Aku yakin, jika terjadi benturan kekerasan di antara kita, maka aku-lah yang akan membunuh kalian berdua.”

Perbatang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin Ki Resa benar. Karena itu, lebih baik kami tidak mencobanya.”

Ki Resa masih tertawa. Katanya, “Kesombongan kadang-kadang memang ada gunanya.”

Namun Pinuji-lah yang kemudian bertanya, “Kita akan ke mana sekarang, Ki Resa?”

“Aku akan mengajak kalian pulang ke rumahku. Aku harus menyingkirkan keluargaku. Jika pikiran kedua orang yang kalian bunuh itu juga tumbuh di kepala kawan-kawannya, maka keluargaku akan terancam.”

“Jika demikian, aku ingin mempersilakan Ki Resa mendahului kami. Kami juga akan pergi ke rumah Ki Resa. Tetapi sebaiknya Ki Resa cepat-cepat pulang dan menyelamatkan keluarga Ki Resa.”

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan mendahului kalian. Tetapi aku berharap bahwa kalian langsung menuju ke rumahku.”

“Baik, Ki Resa. Kami akan langsung pergi ke rumah Ki Resa.,” sahut Perbatang.

Ki Resa yang tiba-tiba saja teringat keselamatan keluarganya segera meloncat ke punggung kudanya. Sejenak kemudian, kuda itu pun telah berlari di jalan bulak yang panjang.

Perbatang dan Pinuji tidak menempuh jalan yang sama. Mereka justru menyusup melalui jalan pintas. Lewat lorong-lorong kecil dan jalan setapak. Keduanya menduga bahwa Ki Jatha Beri dan Ki Timbang Laras tidak akan berdiam diri. Mereka tentu memerintahkan para cantrik untuk mencarinya.

Dalam pada itu, Ki Resa memacu kudanya secepat-cepatnya. Beberapa orang yang sedang bekerja di sawah atau mereka yang sedang berjalan dan berpapasan, memandangi orang yang berpacu itu dengan dahi yang berkerut. Seorang di antara mereka yang berdiri di pematang berdesis, “Orang yang tidak tahu diri. Apa dikiranya jalan itu milik kakeknya? Jika kuda itu menyentuh orang yang sedang berjalan, akibatnya akan sangat buruk.”

Demikian pula orang-orang yang berjalan kaki. Debu yang dihamburkan oleh kaki-kaki kuda itu membuat mereka terbatuk-batuk.

Tetapi Ki Resa tidak menghiraukan mereka. Ia ingin segera sampai di rumahnya.

Ki Resa menarik nafas panjang demikian ia memasuki halaman rumahnya. Ia tidak melihat suasana yang mencemaskan. Ia melihat keluarganya masih dalam keadaan tenang.

Ki Resa tidak mau membuat keluarganya gelisah. Tetapi ia pun tidak ingin keluarganya menjadi korban. Karena itu, maka Ki Resa ingin menyampaikan persoalan yang sedang dihadapinya itu dengan berhati-hati.

Betapapun Ki Resa merasa gelisah, namun ia tidak menunjukkan kegelisahannya itu. Dengan wajah jernih, Ki Resa memanggil anak perempuannya yang tinggal bersamanya. Anak perempuannya yang sudah ditinggal suaminya meninggal dunia.

“Di mana ibumu?” bertanya Ki Resa

“Di belakang, Ayah. Ibu sedang menampi beras.”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Panggil ibumu dan panggil kedua orang anakmu.”

Anak perempuan Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun Ki Resa berkata, “Aku menunggu di sini.”

“Ada apa sebenarnya Ayah?” bertanya anak perempuannya itu.

Ki Resa mencoba untuk menghapus kesan kegelisahan itu di wajahnya. Katanya, “Panggillah. Aku ingin berbicara dengan kalian.”

Anak perempuannya itu tidak bertanya lagi. Ia pun segera memanggil ibunya dan kedua orang anaknya yang sedang bermain di halaman belakang, di dekat neneknya menampi beras.

Sejenak kemudian, mereka pun telah terkumpul. Ki Resa, istrinya, anak perempuannya dan dua orang cucunya yang masih kecil.

“Nyi,” berkata Ki Resa kepada istrinya, “bukan maksudku melibatkan kalian dalam kesulitan yang aku alami karena pekerjaanku.”

Wajah istrinya berkerut. Meskipun Ki Resa berusaha untuk mengatakan dengan sangat berhati-hati, tetapi istrinya mampu menangkap kegelisahan di dalam hati suaminya. Bahkan anaknya pun telah mendesaknya, “Ada apa sebenarnya? Sebaiknya Ayah berterus terang. Kami memaklumi tugas-tugas Ayah, sehingga jika terjadi sesuatu yang akan menyangkut diri kami, sebaiknya Ayah berterus terang. Kami akan berusaha membantu menurut kemampuan kami.”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku akan berterus terang,” suara Ki Resa merendah, “aku ingin minta kalian meninggalkan rumah ini untuk sementara.”

“Kenapa, Ayah?” bertanya anak perempuannya.

“Aku berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang sedang kehilangan kendali nalarnya. Mereka akan membunuh aku. Tetapi itu tidak penting. Yang membuat aku gelisah, justru karena mereka tidak berhasil membunuh aku, maka mereka akan mengambil keluargaku dan memaksa aku untuk menyerah.”

Anak perempuannya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ayah. Aku adalah anak Ayah. Bukankah Ayah pernah serba sedikit memberi petunjuk, bagaimana aku harus membela diri?”

“Aku mengerti. Tetapi bagaimana dengan anak-anakmu dan ibumu?”

“Biarlah ibu membawa anak-anak bersembunyi di rumah Paman di ujung padukuhan. Aku akan berada di rumah ini bersama Ayah. Kecuali jika Ayah juga ingin menghindari mereka. Aku akan menyertai Ayah.”

“Yang kita hadapi adalah tidak hanya satu dua orang. Tetapi sepadepokan. Karena itu, sebaiknya kau antarkan ibumu ke rumah pamanmu. Biarlah aku menunggu di sini.” Ki Resa termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat ia berkata, “Kau tentu tidak dapat membayangkan, siapa yang akan kita hadapi. Mereka adalah orang-orang dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang sedang terpengaruh oleh sifat-sifat hitam Ki Jatha Beri.”

Anak perempuan Ki Resa itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Siapapun mereka, Ayah. Aku tidak dapat membiarkan Ayah sendiri menghadapi mereka.”

Ki Resa memang sangat bimbang. Ia tidak akan sampai hati menjerumuskan anak perempuannya ke dalam kesulitan. Bahkan mungkin hidupnya akan dihabisi dengan cara yang sangat buruk. Namun dalam pada itu, selagi mereka masih berbincang, terdengar derap kaki kuda di kejauhan. Tidak hanya satu dua ekor kuda. Tetapi beberapa.

“Mereka datang,” desis Ki Resa.

Anak perempuannya pun segera bangkit sambil mendorong kedua anaknya, “Ibu, bawa mereka pergi lewat regol butulan.”

Nyi Resa tidak ingin terlambat. Karena itu, maka tanpa bertanya lagi kedua orang cucunya telah dibawanya menyingkir.

Anak Ki Resa itu pun dengan tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Ketika ia keluar lagi, maka ia telah mengenakan pakaian seorang laki-laki.

Dalam pada itu, beberapa ekor kuda yang berderap di jalan padukuhan itu langsung menuju ke rumah Ki Resa. Agaknya satu dua orang cantrik telah melihat rumahnya, sehingga ia telah membawa kawan-kawannya untuk menangkap Ki Resa.

Ketika mereka berangkat, Ki Jatha Beri telah meneriakkan perintah, “Tangkap Perbatang dan Pinuji! Jika Resa tidak ada di rumahnya, maka bawa anak atau istrinya atau cucunya!”

Karena orang-orang berkuda itu belum menemukan Perbatang dan Pinuji, maka mereka pun telah menuju ke rumah Ki Resa. Jika mereka tidak membawa seorang pun kembali ke padepokan, maka Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras tentu akan menjadi semakin marah.

Beberapa saat kemudian, sebelas orang berkuda telah memasuki halaman rumah Ki Resa. Jumlah yang tidak tanggung tanggung. Kelompok-kelompok yang dikirim untuk mencari Perbatang dan Pinuji, bahkan juga Ki Resa, harus meyakinkan mampu menangkap ketiga orang itu hidup-hidup.

Sejenak kemudian halaman rumah Ki Resa itu telah penuh dengan kuda. Sementara itu di tangga rumahnya, Ki Resa dan anak perempuannya yang berpakaian seperti seorang laki-laki, berdiri tegak dengan pedang di lambung.

“Ki Resa,” desis seorang cantrik. Ia termasuk seorang cantrik yang baru, tetapi sebelumnya ia adalah pengikut Ki Jatha Beri. Justru cantrik yang baru itulah yang memimpin sekelompok cantrik yang mendapat perintah untuk mencari Perbatang dan Pinuji. Tetapi kelompok itu bukan satu-satunya kelompok yang keluar dari padepokan. Tetapi ada tiga kelompok yang masing-masing terdiri dari sepuluh orang, dengan arah yang berbeda-beda. Sementara cantrik itu pun berkata selanjutnya, “Kami mendapat perintah untuk membawa Ki Resa ke padepokan.”

“Kenapa?” bertanya Ki Resa.

“Bertanyalah kepada Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri.”

“Jika kalian ingin membawa aku, maka kalian harus dapat mengatakan apa keperluannya. Aku sangat menghargai waktuku.”

“Kau tidak usah banyak bicara, Ki Resa. Kau harus menyerahkan kedua tanganmu. Kami akan mengikatnya dan membawamu menghadap Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri.”

“Jangan berkata begitu Ki Sanak,” jawab Ki Resa, “aku tidak merasa mempunyai persoalan apapun dengan padepokanmu.”

“Jangan banyak bicara! Kami masih harus mencari Perbatang dan Pinuji,” berkata cantrik itu.

Ki Resa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa dengan Perbatang dan Pinuji?”

“Keduanya harus ditangkap. Mereka telah membunuh saudara-saudara kami. Mereka harus menjalani hukuman mati.”

“Dengan demikian Perbatang dan Pinuji itu jelas bersalah. Tetapi apakah aku juga bersalah?”

“Cukup!” bentak cantrik itu, “Menyerahlah!”

Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku lebih senang mati di sini daripada mati di padepokan kalian. Apalagi mati di bunuh oleh Ki Jatha Beri, orang yang tidak dapat menempatkan diri. Bukankah ia berada di padepokan Kiai Timbang Laras? Tetapi seakan-akan Ki Jatha Beri-lah yang berkuasa. Tetapi menurut pendapatku, Kiai Timbang Laras juga salah. Ia terlalu lemah menghadapi sikap Ki Jatha Beri. Seharusnya Kiai Timbang Laras memberikan perlindungan kepada Perbatang dan Pinuji.”

“Cukup!” bentak cantrik itu, “Kau tidak usah mengigau Ki Resa. Sekarang, serahkan tanganmu!”

Adalah di luar dugaan ketika tiba-tiba Ki Resa pun berkata, “Baiklah. Marilah. Jika kalian memang ingin mengikat aku, ikatlah. Jumlah kalian memang terlalu banyak untuk dilawan..”

Cantrik itu justru termangu-mangu sejenak. Ia tidak mengira bahwa begitu mudahnya Ki Resa menyerah.

Sementara itu anak perempuan Ki Resa yang berpakaian laki-laki itu menjadi tegang. Tetapi ia mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia menduga bahwa ayahnya tidak benar-benar akan menyerah.

Dalam pada itu, dengan isyarat cantrik yang memimpin sekelompok kawan-kawannya itu memberi perintah kepada kedua orang kawannya. Dua orang cantrik yang sejak semula memang pengikut Ki Jatha Beri.

Ki Resa sudah menduganya menilik ujud dan sikapnya. Tetapi ia masih meyakinkan dirinya, “Aku belum pernah melihat kalian berdua.”

“Tutup mulutmu!” bentak salah seorang di antara kedua orang cantrik itu. Namun kemudian iapun berkata, “Aku orang baru.”

“Apakah kalian berdua semula juga murid Ki Jatha Beri?”

Dengan bangga cantrik itu menjawab, “Ya. Kami adalah murid-murid Ki Jatha Beri.”

Ki Resa tidak bertanya lagi. Seorang dari kedua orang cantrik itu membawa seutas tali ijuk yang kuat untuk mengikat tangan Ki Resa. Sementara Ki Resa telah menjulurkan kedua belah tangannya.

“Jangan terlalu keras,” berkata Ki Resa sambil tersenyum.

Tanpa berpikir panjang, seorang di antara mereka telah memegang pergelangan tangan Ki Resa, sedang yang seorang lagi melingkarkan tali ijuk itu.

Namun tiba-tiba kedua orang itu menjerit. Keduanya terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling di tanah.

Demikian keduanya bangkit berdiri, tangan mereka sudah menjadi merah kehitam-hitaman, seakan-akan kedua tangan mereka telah terbakar.

Beberapa orang cantrik yang masih berada di punggung kuda mereka itu pun terkejut. Ketika mereka menyadari apa yang terjadi, maka cantrik yang memimpin sekelompok orang yang akan menangkap Ki Resa itu berteriak, “Kau licik, Ki Resa! Curang dan tidak tahu diri! Kau harus menyadari bahwa perbuatanmu itu akan dapat membuatmu menjadi semakin sulit!”

Tetapi Ki Resa tertawa. Katanya, “Aku sudah berada dalam kesulitan sejak semula. Karena itu, aku tidak akan menjadi cemas, bahwa aku akan menjadi semakin sulit.”

“Sekarang menyerahlah! Jangan licik!”

“Siapa yang licik?” sahut Ki Resa, “Apapun yang terjadi, aku sudah siap. Sudah aku katakan bahwa bagiku lebih baik mati di sini daripada mati di tangan Jatha Beri. Bukankah kalian tahu bahwa Ki Jatha Beri tidak lagi berjantung seperti kita? Jantung Ki Jatha Beri itu berbulu.”

“Diam kau iblis!” geram cantrik yang menjadi pemimpin di antara mereka. Lalu tiba-tiba cantrik itu berteriak, “Kita akan menangkapnya hidup-hidup. Bunuh orang yang membantunya. Kita tidak memerlukan mereka.”

Para cantrik itu pun segera berloncatan turun. Mereka menambatkan kuda-kuda mereka di halaman. Dua orang yang tangannya bagaikan terbakar itu telah bersiap pula melibatkan diri, meskipun perasaan sakit dan nyeri terasa menyengat-nyengat. Namun demikian, mereka masih dapat mempergunakan kaki mereka.

Ki Resa pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Setidak-tidaknya masih ada delapan orang yang harus dilawannya, bersama anak perempuannya yang masih belum sepenuhnya dapat diandalkan.

Jika Ki Resa kemudian menjadi cemas, bukannya karena dirinya sendiri. Tetapi justru karena anak perempuannya.

Sejenak kemudian, para cantrik itu pun mulai menebar. Mereka mengurung Ki Resa agar tidak sempat melarikan diri. Namun para cantrik itu pun menyadari bahwa Ki Resa adalah seorang yang berilmu tinggi.

Namun jumlah para cantrik itu terlalu banyak. Dengan senjata teracu mereka telah bersiap untuk meloncat menyerang dari beberapa arah. Dua di antara para cantrik itu mengarahkan perhatian mereka kepada anak Ki Resa yang berpakaian seperti laki-laki itu. Tetapi tidak seorang pun di antara para cantrik itu yang mengetahui bahwa anak Ki Resa itu seorang perempuan.

Namun dalam pada itu, ketika mereka sudah siap untuk bertempur, tiba-tiba saja mereka terkejut. Tiba-tiba saja mereka mendengar seseorang berkata lantang, “Jadi, inikah para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras?”

Semua orang yang ada di halaman ini berpaling. Yang berdiri di regol halaman rumah Ki Resa itu adalah Perbatang dan Pinuji.

Cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Kebetulan sekali, Perbatang dan Pinuji.”

“Kenapa kebetulan?” bertanya Pinuji.

“Kami mendapat tugas untuk menangkap kalian hidup-hidup, bersama Ki Resa.”

Tetapi Pinuji tertawa. Katanya, “Untuk menangkap Ki Resa sendiri saja, belum tentu kalian mampu. Apalagi bersama kami berdua, dan barangkali ada seorang yang lain yang akan berpihak kepada Ki Resa.”

“Setan kau berdua! Jangan mencoba melawan kami, jika kalian tidak ingin nasib kalian menjadi semakin buruk.”

“Apa pedulimu dengan nasib kami? Kami juga tidak peduli akan nasib kalian. Biarlah kalian semuanya akan mati di sini.”

Cantrik yang memimpin kelompok itu pun kemudian berteriak memberikan perintah, “Tangkap semuanya hidup-hidup! Biarlah Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras memberikan hukuman bagi mereka karena pengkhianatan mereka.”

Perbatang tertawa pula. Katanya, “Pertempuran yang menarik. Agaknya kami-lah yang akan membunuh kalian. Kalian agaknya mendapat perintah untuk menangkap kami hidup-hidup. Karena itu, kami tidak akan takut mati dalam pertempuran ini. Tetapi sebaliknya kami dapat membunuh kalian sesuka hati kami.”

“Licik kau! Tetapi kau tidak akan lepas dari tanganku.”

Perbatang dan Pinuji tertawa pula berkepanjangan. Sementara Ki Resa menyahut, “Aku juga menjadi kasihan kepada para cantrik ini. Mereka tidak boleh membunuh, tetapi mereka boleh dibunuh.”

Pemimpin dari para cantrik itu pun segera berteriak, “Cepat, tangkap mereka! Jangan sampai lepas!”

Sementara itu Perbatang pun berteriak pula, “Maaf, Ki Resa! Kami akan ikut dalam permainan yang nampaknya akan sangat menarik ini!”

“Silakan,” jawab Ki Resa, “bukankah mereka selain mencari aku, juga mencari kalian berdua?”

Perbatang dan Pinuji pun kemudian telah mengambil jarak. Mereka pun segera bersiap dengan senjata di tangan. Mereka tidak mau ditangkap hidup-hidup oleh orang-orang yang akan dapat membawa mereka ke dalam satu malapetaka yang sangat sulit.

Para cantrik itu pun mulai menyerang. Bahkan cantrik yang tangannya telah terbakar itu pun ikut pula. Mereka mencoba untuk mempergunakan kaki mereka atau tubuh mereka untuk menghalangi orang-orang buruan itu melarikan diri.

Tetapi tiga dari antara para cantrik itu nampak ragu-ragu. Mereka adalah para cantrik yang sejak semula berada di padepokan Kiai Timbang Laras. Perasaan mereka menjadi demikian tertekan sehingga mereka tidak segera dapat mengambil sikap. Rasa-rasanya sulit bagi mereka untuk bertempur melawan Perbatang dan Pinuji, yang sudah sejak lama berkumpul dalam satu padepokan. Sementara para cantrik yang lain itu adalah orang-orang baru, yang justru ingin menunjukkan kekuasaan mereka.

Perbatang dan Pinuji melihat keragu-raguan mereka. Meskipun mereka tidak mengatakan sesuatu, tetapi keduanya tidak dengan serta-merta menyerang mereka pula.

Dengan demikian yang langsung bertempur dengan bersungguh-sungguh adalah delapan orang yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri, sementara dua di antara mereka sudah tidak banyak berdaya.

Karena itu, pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Bahkan anak perempuan Ki Resa pun menunjukkan kemampuannya pula. Tanpa mengucapkan sapatah kata pun, anak Ki Resa itu berhasil mendesak seorang lawannya. Seorang cantrik yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Betapapun cantrik itu menyerangnya dengan keras dan kasar, namun sulit baginya untuk mengalahkan anak Ki Resa itu,

Sementara itu Ki Resa dengan cepat pula telah melumpuhkan seorang di antara para cantrik itu. Bahkan kemudian menyusul seorang lagi. Keduanya terkapar di halaman tanpa dapat bergerak lagi.

Pemimpin para cantrik yang melihat ketiga orang cantrik Kiai Timbang Laras itu ragu-ragu telah berteriak, “Kalian juga akan berkhianat?”

Ketiga orang cantrik itu tidak menjawab. Tetapi mereka tidak segera terjun ke medan pertempuran.

Justru karena itu, maka seorang demi seorang cantrik lainnya itu pun berjatuhan. Luka yang menganga di tubuh mereka telah mengalirkan darah yang merah segar.

Dalam pada itu, pemimpin dari para cantrik itu tidak lagi melihat kesempatan untuk dapat menyelesaikan tugasnya. Karena itu, ia sudah mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat itu dengan orang-orangnya yang tersisa.

Namun ia masih sempat berteriak kepada para cantrik yang ragu-ragu, “Aku akan melaporkan pengkhianatanmu ini!”

Para cantrik itu tidak menjawab. Mereka masih tetap ragu-ragu untuk mengambil keputusan. Sementara itu, para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu sudah semakin tidak berdaya

Namun dalam pada itu, selagi pertempuran itu masih berlangsung, sementara cantrik yang memimpin kawan-kawannya itu sudah mengambil keputusan untuk meninggalkah arena pertempuran, terdengar derap kaki kuda mendekati halaman rumah Ki Resa itu.

Dengan demikian maka pertempuran yang berlangsung di halaman itu seakan-akan telah terhenti.

Ki Resa pun menjadi berdebar-debar. Yang memasuki halaman rumahnya adalah sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras, yang sebagian besar di antara mereka adalah para pengikut Ki Jatha Beri.

Kedatangan mereka telah membesarkan hati para cantrik yang masih mampu bertahan. Bahkan cantrik yang memimpin kawan-kawannya yang datang lebih dahulu itu pun berteriak, “Bagus! Sekarang saatnya kita menyeret ketiga orang itu di belakang kaki kuda kita. Kita akan mengikat leher mereka dan menariknya di belakang kuda kita.”

Sepuluh orang cantrik telah memasuki halaman rumah itu. Dua di antara mereka adalah cantrik yang memang sudah lama berada di padepokan Kiai Timbang Laras.

“Apa yang terjadi di sini?” bertanya cantrik yang memimpin kelompok kedua itu.

“Pengkhianatan,” jawab pemimpin dari sekelompok pertama.

“Untunglah kami datang. Hampir saja kami mengambil arah lain dari perburuan kami. Tetapi kami ingin singgah dan melihat rumah orang yang bernama Resa itu.”

“Kita tidak saja menangkap Resa, Perbatang dan Pinuji. Tiga orang cantrik yang bersamaku itu juga berkhianat.”

“Mereka tidak akan kita tangkap hidup-hidup. Kita ikat kakinya dan kita akan menyeretnya di belakang kuda kita yang akan kita pacu dengan cepat.”

Namun tiba-tiba saja Perbatang itu tertawa. Katanya, “Apakah kalian tahu siapakah yang dimaksud dengan pengkhianat?”

“Persetan!” geram cantrik yang memimpin kelompok pertama, “Kita sudah kehilangan banyak waktu.”

“Cepat! Kita selesaikan mereka! Kita tangkap Resa, Perbatang dan Pinuji hidup-hidup,” sahut cantrik yang memimpin kelompok kedua, “tetapi itu bukan berarti kalian harus membiarkan kepala kalian dibelah sekedar untuk membiarkan mereka hidup.”

Ki Resa-lah yang tertawa. Katanya, “Nah, cantrik yang ini nampaknya lebih cerdik.”

Cantrik yang memimpin kelompok pertama berteriak pula, “Persetan kau, Resa! Kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.”

Sejenak kemudian, para cantrik itu pun sudah menghambur mempersiapkan diri mereka masing-masing. Mereka pun sudah memegang senjata di tangan mereka pula. Dengan garangnya mereka mengacukan senjata mereka.

Namun tiga orang cantrik murid Kiai Timbang Laras yang datang lebih dahulu masih juga ragu-ragu. Dua orang cantrik Kiai Timbang Laras yang datang kemudian, yang sudah bersiap untuk bertempur pula, telah tertegun melihat sikap saudara-saudara mereka. Apalagi ketika mereka melihat Perbatang dan Pinuji.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja salah seorang cantrik dari ketiga orang yang datang bersama kelompok yang terdahulu itu berteriak, “Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji, aku berdiri di pihakmu!”

“Setan kau! Pengkhianat!” teriak cantrik yang memimpin kelompok itu, “Aku cincang kau sampai lumat!”

Belum lagi gema suaranya lenyap, cantrik padepokan Kiai Timbang Laras yang datang kemudian itu pun berteriak juga, “Aku juga berdiri di pihak Kakang Perbatang dan Kakang Pinuji!”

“Gila!” cantrik yang memimpin kelompok yang kedua itu berteriak marah, “Kalian akan dihukum picis.”

Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Bahkan mereka pun segera mempersiapkan senjata mereka dan siap untuk terlibat dalam pertempuran itu.

Sejenak kemudian pertempuran pun terjadi dengan garangnya. Para cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras namun yang mengalir dari sumber yang berbeda itu, telah bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka. Para cantrik yang merasa lebih lama berada di padepokan itu, merasa bahwa orang-orang baru itu telah mendesak mereka dengan cara yang licik. Bukan karena mereka telah menunjukkan kelebihan di bidang apapun, tetapi semata-mata karena mereka datang bersama Ki Jatha Beri.

Orang-orang yang tinggal di sekitar rumah Ki Resa menjadi gempar. Mereka tahu bahwa di halaman rumah Ki Resa telah terjadi pertempuran. Tetapi mereka tidak tahu, apa yang harus mereka lakukan. Mereka tidak berani melibatkan diri ke dalam pertempuran itu. Namun mereka juga mencemaskan nasib Ki Resa, yang menurut pengertian mereka telah diserang oleh orang-orang berkuda yang jumlahnya banyak sekali.

Namun dalam pada itu, Ki Resa sendiri sama sekali tidak menjadi cemas. Ia bertempur tidak terlalu jauh dari anak perempuannya. Sementara itu di beberapa tempat yang terpisah, saudara-saudara seperguruan Perbatang dan Pinuji telah bertempur di pihaknya.

Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Mereka benar-benar merasa dikhianati oleh murid-murid Kiai Timbang Laras. Sementara itu para murid kiai timbang Laras itu pun tidak sempat memikirkan apa yang akan mereka lakukan kemudian, setelah mereka menentang perintah guru dan sekaligus pemimpin padepokannya itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Para pengikut Ki Jatha beri jumlahnya memang lebih banyak. Tetapi lawan mereka, terutama Perbatang dan Pinuji, memiliki banyak kelebihan dari para pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur dengan keras dan kasar itu.

Namun agaknya kedua belah pihak telah dibakar oleh kemarahan dan bahkan dendam. Perbatang dan Pinuji merasa tersisih dari padepokan yang telah dihuninya bertahun-tahun. Bahkan ketika Ki Jatha Beri berniat menghukum mati dengan cara yang paling tidak terhormat, Kiai Timbang Laras, gurunya dan bahkan pemimpinnya, sekali tidak memberinya perlindungan.

Karena itu, dendamnya kepada Ki Jatha Beri dan orang-orangnya bagaikan membakar ubun-ubun.

Sementara itu, para cantrik yang semula adalah pengikut Ki Jatha Beri pun menjadi dendam pula, karena mereka merasa dikhianati. Para cantrik yang pergi bersama mereka itu seakan-akan telah menusuk mereka dari belakang.

Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin keras. Kedua belah pihak benar-benar bertempur antara hidup dan mati.

Kedua belah pihak tidak lagi mempunyai pertimbangan-pertimbangan lain kecuali berusaha membunuh lawannya sebanyak-banyaknya. Semakin banyak mereka membunuh, maka mereka akan menjadi semakin banyak mendapat kepuasan.

Namun ternyata Ki Resa adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka setiap kali cantrik yang berada di sekitarnya pun telah terlempar beberapa langkah surut. Terbanting di tanah atau jatuh terjerembab. Namun kemudian lawan-lawan Ki Resa menjadi semakin parah lagi.

Ki Resa terkejut ketika ia melihat anak perempuannya itu meloncat jauh untuk mengambil jarak. Bahkan kemudian jatuh berguling beberapa kali. Ketika perempuan itu bangkit maka lengannya telah terluka. Darah mulai mengalir dari lukanya itu.

“Kenapa kau, he?” bertanya Ki Resa dengan cemas.

Anaknya tidak menjawab. Ia tidak ingin diketahui bahwa ia adalah seorang perempuan, meskipun nampaknya lawannya mulai curiga dengan sikapnya.

Namun dalam pada itu, kecemasan Ki Resa tentang anaknya, akibatnya menjadi sangat buruk bagi para pengikut Ki Jatha Beri.

Ki Resa benar-benar menjadi marah bahwa anaknya telah terluka, sehingga darah mulai membasahi bajunya. Apalagi ketika kemudian melawan dua orang, anaknya itu mulai terdesak. Bahkan telah tersudut dalam bahaya.

Karena itu, maka Ki Resa itu pun telah menghentakkan ilmunya.

Dalam saat yang terhitung singkat, kedua orang yang bertempur melawan anaknya itu telah dilemparkannya dari arena. Keduanya terpelanting jatuh dan tidak bangkit kembali.

Demikian pula Perbatang dan Pinuji yang mendendam kepada para pengikut Ki Jatha Beri. Mereka tidak pernah mempertimbangkan untuk mengampuni lawan-lawannya.

Karena itu, maka seorang demi seorang para pengikut Ki Jatha Beri itu jatuh tersungkur. Para murid Kiai Timbang Laras memang tidak ingin berbuat tanggung-tanggung. Senjata mereka tidak sekedar menggores lambung atau mengoyak bahu lawannya. Tetapi senjata-senjata mereka telah membelah perut lawannya dan menukik menghunjam jantung.

Para cantrik yang semula adalah para pengikut Ki Jatha Beri itu menyadari bahwa mereka tidak mempunyai harapan lagi. Lawan mereka yang jumlahnya lebih sedikit itu ternyata mampu mengalahkan mereka. Terutama karena di antara mereka terdapat Ki Resa, Perbatang dan Pinuji.

Pada saat-saat terakhir, kedua orang cantrik yang memimpin kedua kelompok kawan-kawannya memburu Perbatang, Pinuji dan Ki Resa itu tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, mereka pun telah memutuskan untuk menghindar dari pertempuran. Apalagi setelah sebagian besar kawan-kawannya terkapar mati di halaman rumah Ki Resa itu.

Kedua orang itu pun akhirnya saling memberikan isyarat yang hanya mereka ketahui di antara mereka saja. Bahkan kawan-kawan mereka tidak mengetahui isyarat itu.

Namun ketika kedua orang itu dengan tangkas meloncat keluar dari arena, maka Perbatang dan Pinuji yang mencurigai sikap keduanya dengan cepat telah memotong jalan mereka.

“Jangan lari Ki Sanak!” berkata Perbatang, “Kau sudah mendapat kepercayaan untuk memimpin sekelompok cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras. Karena itu kalian tentu termasuk orang-orang terpilih, sehingga kalian tentu memiliki kelebihan dari para cantrik yang lain, termasuk kami berdua.”

“Persetan!” geram salah seorang dari mereka, “Apa maumu?”

“Aku hanya ingin memperingatkanmu. Tidak sepantasnya para pemimpin melarikan diri dan membiarkan anak buahnya mati terbakar panasnya api pertempuran.”

“Persetan dengan igauanmu!” geram cantrik itu sambil menyerang Perbatang.

Tetapi Perbatang telah benar-benar bersiap menghadapinya. Karena itu, ia pun segera bergeser memiringkan tubuhnya.

Serangan itu tidak mengenai sasarannya. Namun ketika cantrik itu bersiap untuk menyerangnya kembali, justru Perbatang-lah yang telah meloncat mendahuluinya.

Tetapi cantrik itu masih sempat mengelak, sehingga serangan Perbatang pun tidak mengenai sasarannya.

Sementara itu, Pinuji telah bertempur dengan cantrik yang memimpin kelompok yang lain. Pinuji yang bergerak dengan cepat dan tangkas itu memaksa lawannya untuk mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi sulit bagi kedua cantrik itu untuk mengimbangi kemampuan Perbatang dan Pinuji. Dengan demikian, keadaan kedua orang cantrik itu pun menjadi semakin sulit

Sementara itu, kawan-kawannya menjadi semakin menyusut. Tidak seorang pun di antara para cantirk itu yang dapat lolos. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang terkapar di halaman rumah Ki Resa itu masih hidup. Tubuh-tubuh yang terbujur lintang itu sama sekali tidak lagi ada yang bernafas.

Kedua orang cantrik itu melihat keadaan kawan-kawannya dengan jantung yang berdebaran. Tetapi mereka pun menyadari, apa yang akan terjadi atas diri mereka.

Namun seorang di antara para cantrik itu berkata, “Jangan bangga dengan kemenangan kecilmu. Besok, kalian akan mendapat hukuman yang tidak pernah kalian bayangkan sebelumnya.”

“Tidak akan ada orang yang tahu, apa yang terjadi,” berkata Perbatang.

“Ki Jatha Beri mempunyai beribu telinga dan beribu pasang mata.”

“Tetapi Ki Jatha Beri tidak mampu mencari kami berdua bersama Ki Resa.”

“Sekarang belum. Tetapi pada saatnya pasti.”

Perbatang tertawa. Katanya, “Apapun yang terjadi atas diri kami, kau sudah tidak akan melihatnya lagi, karena sebentar lagi kau akan mati. Kemudian kami semua akan bersembunyi di padepokan Kiai Warangka. He, dengar! Camkan ini! Tetapi kalian tidak akan pernah mempunyai kesempatan untuk menyampaikannya kepada Ki Jatha Beri atau kepada Kiai Timbang laras.”

“Persetan kau!” geram cantrik itu.

Perbatang tertawa berkepanjangan sambil bertempur dengan garangnya.

Sebenarnyalah bahwa Perbatang dan Pinuji telah mendesak kedua lawannya sehingga mereka kehilangan kesempatan sama sekali.

Kedua cantrik itu pun menyadari bahwa mereka tidak akan memenangkan pertempuran. Mereka pun tidak akan dapat lolos pula dari tangan Perbatang dan Pinuji. Namun mereka tidak akan menyerah, karena mereka menyadari bahwa menyerah tidak akan ada gunanya.

Dengan demikian, dengan tanpa harapan kedua orang cantrik itu bertempur terus.

Saat-saat terakhir itu pun akhirnya datang pula. Pinuji memang sudah tidak sabar lagi. Dengan garangnya, ia menyerang lawannya dengan putaran pedangnya yang cepat

Lawannya masih berusaha untuk melawan sejauh dapat dilakukan. Tetapi kesempatannya menjadi semakin kecil.

Orang-orang yang lain ternyata tidak mencampuri pertempuran itu. Para cantrik murid-murid Kiai Timbang Laras, Ki Resa dan anak perempuannya, sama sekali tidak ikut melibatkan diri. Mereka memang membiarkan Perbatang dan Pinuji bertempur seorang melawan seorang dengan kedua cantrik itu.

Orang-orang yang berdiri di halaman itu menahan nafasnya ketika mereka mendengar desah tertahan. Pengikut Ki Jatha Beri yang bertempur melawan Pinuji itu terdorong beberapa langkah surut. Tangan kirinya memegangi lambungnya. Sementara darah dengan derasnya mengucur dari sela-sela jari-jarinya.

Pinuji tidak membiarkan lawannya itu mengambil jarak. Ketika cantrik itu meloncat menjauh, Pinuji telah melenting memburunya. Ujung pedangnya terjulur lurus menggapai dadanya.

Dengan satu hentakan yang kuat, Pinuji telah menekan pedang itu, sehingga ujungnya menghujam sampai ke jantung.

Orang itu berteriak. Bukan karena kesakitan. Tetapi karena kemarahan, kebencian dan dendam yang bergejolak di dalam dadanya. Alangkah sakitnya, ketika ia sadar sepenuhnya bahwa ia tidak akan mampu membalaskan dendamnya itu.

Sejenak kemudian suaranya itu pun lenyap ditelan gemeresiknya suara angin di dedaunan. Angin yang basah tiba-tiba bertiup kencang. Di langit mendung mengambang hanyut ke utara.

Pinuji telah kehilangan lawannya. Cantrik itu mati terkapar di halaman sebagaimana kawan-kawannya.

Namun cantrik yang bertempur melawan Perbatang pun tidak mempunyai kesempatan lagi. Perbatang memang ingin menghabisi lawannya. Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang akan memberikan laporan kepada Ki Jatha Beri tentang peristiwa yang telah terjadi di halaman rumah Ki Resa itu.

Sejenak kemudian, cantrik itu pun telah terlempar pula. Ayunan senjata Perbatang yang menyilang telah mengoyak dada lawannya, sehingga luka telah menganga.

Cantrik itu pun terbanting jatuh. Ia hanya sempat menggeliat dengan berdesah. Namun kemudian, tubuhnya pun menjadi diam.

Dengan demikian, pertempuran pun benar-benar telah berhenti. Langit menjadi semakin muram. Mendung menjadi semakin tebal menggantung di langit.

Sejenak kemudian, titik-titik hujan pun mulai jatuh. Beberapa orang tetangga Ki Resa masih saja bertanya-tanya, apa yang terjadi. Namun tidak seorangpun di antara mereka yang memberanikan diri untuk datang dan memasuki halaman itu.

Sejenak Ki Resa dan para murid Kiai Timbang Laras itu termangu-mangu. Namun akhirnya mereka mengambil keputusan untuk mengubur orang-orang yang terbunuh itu di kebun belakang. Jauh di bawah rumpun bambu yang lebat. Tempat yang jarang sekali disentuh oleh keluarga Ki Resa sendiri.

Namun anak perempuan Ki Resa sempat berbisik di telinga ayahnya, “Bagaimana jika ibu mengetahuinya?”

“Pada suatu saat, kita akan memindahkannya,” jawab Ki Resa, “kita akan menguburkannya di kuburan. Namun tidak sekarang.”

Anak perempuannya mengangguk-angguk.

Demikianlah, di bawah hujan yang akhirnya bagikan tercurah dari langit, Ki Resa, Perbatang, Pinuji dan para cantrik murid Kiai Timbang Laras itu menggali lubang, mengusung sosok tubuh orang-orang yang telah terbunuh itu ke kebun yang masih merupakan hutan bambu di belakang. Mereka telah menguburkan tubuh-tubuh itu di antara rumpun-rumpun bambu.

Hujan yang lebat itu seakan-akan telah menghapus segala jejak dari pertempuran yang telah terjadi. Tetangga-tetangga Ki Resa pun harus menunggu hujan menjadi reda untuk datang dan bertanya, apa yang telah terjadi di halaman rumah itu.

Namun kemudian para cantrik Kiai Timbang Laras itu harus menunggu hujan menjadi terang dengan pakaian basah kuyup. Mereka duduk di serambi sambil berbincang apa yang akan mereka lakukan kemudian. Pada suatu saat Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras akan dapat mendengar apa yang telah terjadi. meskipun mereka sudah berusaha untuk menghapuskan segala jejak.

Namun Ki Resa-lah yang kemudian berkata, “Aku anjurkan kepada kalian agar kalian datang dan mohon perlindungan kepada Kiai Warangka. Aku yakin bahwa Kiai Warangka tidak akan berkeberatan sama sekali. Meskipun demikian, harus dipikirkan kemungkinan bahwa kehadiran kalian akan memperburuk hubungan antara Kiai Warangka dengan Kiai Timbang Laras.”

Perbatang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ki Resa. Tetapi kita pun harus berterus terang tentang kemungkinan bahwa hubungan kedua orang saudara seperguruan itu akan bertambah buruk.”

Pinuji-lah yang kemudian berkata, “Tetapi kita tidak mempunyai pilihan lain. Mudah-mudahan Kiai Warangka tidak berkeberatan memberi perlindungan kepada kita, karena Kiai Timbang Laras sudah tidak lagi dapat kita harapkan.”

“Kalian memang harus mencoba,” berkata Ki Resa, “tetapi aku percaya bahwa Kiai Warangka akan dapat memberikan perlindungan kepada kalian.”

Tetapi Perbatang pun kemudian bertanya, “Tetapi bagaimana dengan Ki Resa sendiri?”

Ki Resa tertawa. Katanya, “Jangan pikirkan aku dan anakku. Kami dapat melindungi diri kami sendiri. Jika perlu, kami dapat mengungsi ke tempat yang tidak akan dapat ditemukan oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Bahkan jika perlu kami juga akan menghubungi Kiai Warangka. Bukankah di padepokan Kiai Warangka ada seorang yang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan’Menoreh? Jika aku terjepit karena diburu oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras, aku akan dapat lari ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Perbatang dan Pinuji mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba salah seorang cantrik bertanya, “Bagaimana dengan kuda-kuda itu Kakang Perbatang?

Perbatang mengerutkan dahinya. Ada banyak kuda di halaman. Kuda-kuda itu tentu akan menarik perhatian banyak orang.

Namun tiba-tiba saja Perbatang itu pun berkata, “Mumpung hujan lebat. Ki Resa, apakah Ki Resa sependapat jika kuda-kuda itu aku bawa ke padepokan Kiai Warangka?”

Ki Resa mengangguk sambil menjawab, “Aku kira itu lebih baik. Di sana kuda-kuda itu akan terpelihara.”

“Jika demikian, mumpung hujan masih turun,” berkata Pinuji, “bahkan nampaknya telah menjadi deras lagi.”

Akhirnya mereka pun sepakat. Justru pada saat hujan lebat, tidak akan banyak orang yang melihat apa yang telah merela lakukan.

Demikianlah, sejenak kemudian Perbatang, Pinuji dan para cantrik pun telah bersiap untuk membawa kuda-kuda yang berada di halaman rumah itu ke padepokan Kiai Warangka. Sementara Ki Resa berniat untuk melindungi diri sendiri bersama keluarganya.

Perbatang, Pinuji dan para cantrik itu pun kemudian telah membawa kuda-kuda itu menembus hujan yang lebat. Memang tidak banyak orang yang sempat melihat, karena mereka telah berlindung di dalam rumah mereka masing-masing.

Perjalanan ke padepokan Kiai Warangka termasuk perjalanan yang agak panjang. Sementara itu, cuaca menjadi semakin buram. Meskipun malam belum turun, tetapi suasananya sudah melampaui suasana senja.

Hari itu, Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras menunggu kedatangan orang-orang yang ditugaskan untuk memburu Perbatang dan Pinuji, bahkan Ki Resa, dengan jantung yang berdebaran. Ketika matahari mulai turun dan kemudian bersembunyi di balik mendung, mereka menjadi semakin gelisah. Sekelompok cantrik yang juga mendapat perintah untuk memburu Perbatang dan Pinuji sudah kembali ke padepokan. Mereka dengan jantung yang berdenyut semakin cepat oleh kecemasan, telah melaporkan bahwa mereka tidak berhasil menemukan Perbatang dan Pinuji. Mereka juga tidak bertemu dengan ke Resa.

“Kalian tidak pergi ke rumah Ki Resa?”

“Belum seorang pun di antara kami yang pernah melihat rumah Ki Resa,” jawab cantrik yang memimpin kelompok itu, yang kebetulan juga pengikut Ki Jatha Beri.

Ki Jatha Beri hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu Kiai Timbang Laras pun bertanya, “Di mana kedua kelompok cantrik yang lain yang keluar padepokan bersama dengan kalian?”

“Kami telah pergi memencar,” jawab cantrik itu, “kami mengambil arah yang berbeda-beda.”

Ki Timbang Laras pun kemudian berkata, “Mudah-mudahan salah satu kelompok di antara mereka berhasil, meskipun seandainya hanya membawa Ki Resa saja.”

“Tetapi yang paling bersalah adalah Perbatang dan Pinuji,” geram Ki Jatha Beri, “mereka telah membunuh saudara mereka sendiri.”

Ya,” Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk, “mereka memang harus dihukum berat.”

“Hukuman mati dengan caraku. Aku yang akan melaksanakan hukuman itu sendiri.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk mengiakan.

Namun demikian mereka menjadi cemas. Langit menjadi semakin gelap oleh mendung yang tebal. Meskipun di padepokan Kiai Timbang Laras hujan belum turun, tetapi di sisi lain nampaknya air tercurah dari langit.

Bahkan sampai malam turun, kedua kelompok cantrik yang lain masih belum kembali. Agaknya mereka benar-benar ingin kembali ke padepokan sambil membawa buruan mereka.

“Mereka takut pulang sebelum mereka berhasil, meskipun hanya seorang saja di antara mereka. Atau setidak-tidaknya keluarga Ki Resa, yang dapat dipergunakan untuk memancing Ki Resa itu sendiri agar datang ke padepokan ini,” berkata Kiai Timbang Laras.

Ki Jatha Beri mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan mereka berhasil. Betapapun kecil hasilnya.”

Tetapi sampai kesabaran mereka sampai ke batas, dua kelompok para cantrik yang telah dikirim untuk memburu Perbatang dan Pinuji yang berhasil lolos dari bilik tahanan mereka, serta Ki Resa, tidak juga kembali

Dalam pada itu, kedatangan Perbatang, Pinuji dan beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras memang telah mengejutkan Kiai Warangka serta Ki Jayaraga, yang untuk sementara masih berada di padepokan Kiai Warangka.

Ketika kemudian Kiai Warangka mendengar dari Perbatang dan Pinuji apa yang telah terjadi di padepokan Kiai Timbang Laras, maka Kiai Warangka pun kemudian berdesis, “Aku sudah mengira, bahwa ada sesuatu yang tidak sewajarnya terjadi di padepokan Timbang Laras.”

Ki Serat Waja menarik nafas panjang. Katanya, “Sayang sekali. Kenapa Kakang Timbang Laras begitu mudahnya terpengaruh oleh Ki Jatha Beri. Apa yang telah terjadi sebenarnya dengan Kakang Timbang Laras?”

“Nampaknya memang tidak ada apa-apa yang terjadi,” jawab Perbatang, “hanya setiap kali Kiai Timbang Laras pergi meninggalkan padepokan untuk satu dua hari bersama Ki Jatha Beri. Namun kemudian kembali lagi. Tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Segalanya berjalan seperti biasanya. Namun perubahan sikap dan sifat Kiai Timbang Laras-lah yang kemudian telah menggelisahkan kami. Nampaknya pengaruh Ki Jatha Beri perlahan-lahan telah menyusup dan bahkan kemudian mencengkam jantung Kiai Timbang Laras tanpa disadari.”

Kiai Warangka mendengarkan keterangan Perbatang dan Pinuji dengan seksama. Dengan nada berat Kiai Warangka itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Kami akan memberikan perlindungan kepada kalian di sini. Tetapi jika kelak Timbang Laras datang untuk mengambil kuda-kudanya, maka biarlah kuda-kuda itu dibawanya.”

“Tetapi bagaimana dengan kami?” bertanya Pinuji.

“Kalian kami terima sebagai keluarga kami Jika Timbang Laras tidak lagi dapat melindungi kalian, maka biarlah kami berusaha melindungi kalian.”

“Terima kasih, Kiai,” berkata Pinuji dengan nada berat, “kami memang merasa seakan-akan anak ayam yang kehilangan induk. Karena itu, kami akan merasakan kehangatan perlindungan Kiai serta keluarga padepokan ini.”

“Apakah Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri mengetahui bahwa kalian berada di sini sekarang?” bertanya Ki Jayaraga.

“Agaknya sekarang belum. Tetapi pada suatu saat, agaknya mereka akan mengetahuinya pula,” jawab Perbatang.

“Baiklah,” desis Kiai Warangka, “apapun yang akan terjadi, itu adalah akibat dari kesediaan kami melindungi kalian. Sebenarnya perlindungan kami terutama kami tujukan terhadap perlakuan Ki Jatha Beri. Orang itu tidak berhak untuk menghukum kalian. Sementara itu Timbang Laras telah kehilangan kepribadiannya. Bahkan Timbang Laras telah datang ke padepokan ini untuk mempertanyakan peti tembaga itu.”

Perbatang dan Pinuji serta para cantrik yang ikut bersama mereka merasa menjadi tenang karena kesediaan Kiai Warangka melindungi mereka. Karena dengan demikian, mereka tidak lagi merasa sebagai orang-orang liar yang tidak mempunyai tempat untuk hinggap, sedangkan burung di langit saja mempunyai sarang untuk tinggal..

“Nah, jika demikian, kalian harus mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungan ini. Cobalah hidup dengan cara dan kebiasaan sebagaimana orang-orang padepokan ini. Selain itu kalian pun harus menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu yang terjadi di sini. Meskipun sumber ilmu kalian sama dengan kami di sini, tetapi ada unsur-unsur yang arah perkembangannya berbeda dan masih harus disesuaikan,” berkata Kiai Warangka.

“Terima kasih, Kiai. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Kami akan menyesuaikan dengan kehidupan di padepokan ini, dan kami akan mengerjakan tugas apapun yang dibebankan kepada kami.”

Demikianlah, sejak hari itu beberapa orang cantrik dari padepokan Kiai Timbang Laras telah berada di padepokan Kiai Warangka. Mereka mencoba menyesuaikan diri dengan kesungguhan hati. Sementara para cantrik dari padepokan Kiai Warangka pun berusaha memberikan tempat dan kesempatan sebaik-baiknya kepada mereka.

Sementara itu, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri harus menunggu tanpa akhir kedatangan kedua kelompok cantrik yang memburu Perbatang dan Pinuji. Sementara sebagian besar dari para cantrik itu adalah justru para pengikut Ki Jatha Beri, sehingga karena kemarahan Kiai Jatha Beri maka rasa-rasanya ubun-ubunnya telah terbakar.

Namun orang-orangnya itu pun tidak dapat ditemukannya pula.

Namun akhirnya Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras telah mengambil kesimpulan bahwa para cantrik agaknya telah dibinasakan oleh Ki Resa.

“Ternyata Ki Resa tentu tidak sendiri,” berkata Ki Jatha Beri, “ia tentu mempunyai beberapa orang pengikut, atau mungkin murid-muridnya yang telah membantunya.”

“Kita harus menyelidikinya,” desis Kiai Timbang Laras.

“Tetapi kita harus berhati-hati. Ki Resa tidak boleh lepas dari tangan kita, sementara kita sadari bahwa Ki Resa adalah seorang berilmu tinggi,” geram Ki Jatha Beri.

Tetapi Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak segera dapat menemukan Ki Resa yang hilang dari rumahnya. Bukan hanya Ki Resa sendiri, tetapi seluruh keluarganya. Demikian pula Perbatang dan Pinuji. Jejaknya sama sekali tidak tercium oleh Ki Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa keduanya justru berada di padepokan Kiai Warangka.

Namun demikian, Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri tidak menghentikan usahanya untuk mendapatkan peti tembaga yang diduga disimpan oleh Kiai Warangka. Sehingga setelah Kiai Jatha Beri dan Kiai Timbang Laras merasa tidak lagi dapat menemukan Ki Resa, Perbatang dan Pinuji, maka perhatian mereka kembali tertuju kepada peti tembaga itu.

Dalam pada itu, di tanah Perdikan Menoreh, telah diselenggarakan penyambutan para pengawal yang kembali dari Mataram. Setelah mereka mendapat sambutan yang hangat di Kotaraja, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana juga para pengawal dari berbagai tempat, termasuk dari para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, telah kembali ke tempat masing-masing. Swandaru pun telah membawa pasukan pengawalnya kembali pulang, dengan kebanggaan bahwa mereka telah ikut serta memenangkan sebuah pertempuran yang besar di Pati.

Namun sebelum berpisah dengan Agung Sedayu yang masih belum pulih kembali, ia sempat berpesan, “Kakang. Tidak jemu-jemunya aku menasihatkan agar Kakang bersedia menyediakan waktu sedikit di setiap hari untuk kepentingan Kakang pribadi. Jika Kakang hanya menekuni tugas-tugas Kakang, maka rasa-rasanya memang tidak akan pernah ada waktu luang. Tetapi sebagai seorang Lurah prajurit, maka Kakang memerlukan bekal yang lebih tinggi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata selanjutnya, “Dalam tugas-tugas Kakang selanjutnya, Kakang seharusnya telah meningkatkan ilmu Kakang sampai ke puncak.”

Agung Sedayu masih mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah, Adi Swandaru. Aku akan menyisihkan waktu untuk itu.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Kakang akan lekas sembuh dan pulih kembali. Tetapi sayang, aku belum mempunyai kesempatan singgah. Mungkin dalam waktu dekat aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kami menunggu kedatanganmu, Swandaru.”

Ketika kemudian mereka berpisah, Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Namun ia hanya dapat menahan diri. Sementara Agung Sedayu sendiri tidak pernah menyanggah pesan-pesan yang selalu diberikan oleh Swandaru.

Sebenarnya Panembahan Senapati sendiri serta Ki Patih Mandaraka minta agar Agung Sedayu untuk sementara tetap berada di Mataram. Namun Agung Sedayu ingin kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama dengan pasukannya.

Dalam pada itu, secara khusus Panembahan Senapati telah menemui Agung Sedayu yang masih lemah. Tanpa ada orang lain, Panembahan Senapati berkata kepada Agung Sedayu, “Kita pernah melakukan pengembaraan bersama, Agung Sedayu. Aku mengenalmu dengan baik dan kau mengenal aku dengan baik. Kita pernah mencoba mencari, menerawang sisi-sisi dari kehidupan. Kita pernah belajar membaca arti dari kediaman yang sepi, tetapi juga gejolak angin prahara yang bagaikan mengguncang perbukitan. Kita pernah duduk sambil bercanda dengan hangatnya perapian di saat-saat dingin mencengkam. Tetapi kita juga pernah berlaga dengan panasnya matahari yang membakar hutan-hutan di lereng pegunungan. Bahkan juga getar panasnya api yang terpancar dari berbagai macam ilmu yang tinggi. Kita juga pernah berendam dalam tenangnya air sendang yang bening, tetapi kita juga pernah hanyut dan berenang menentang arus banjir bandang. Bukan saja banjir bandang yang tumpah dari derasnya air hujan di lereng pegunungan yang gundul karena ulah kita, tetapi banjir bandang yang menderu dari dahsyatnya ilmu kanuragan.”

Agung Sedayu yang masih lemah itu hanya mengangguk-angguk saja.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar