Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 303

Buku 303

Ketika malam turun menyelimuti padukuhan-padukuhan yang dipergunakan sebagai tempat berkemah para prajurit Mataram itu, suasana pun menjadi sepi. Para prajurit masih belum mapan sesuai dengan pembagian tempat yang sedang disusun. Tetapi mereka masih menebar di sekitar banjar padukuhan. Sementara itu, para prajurit dan pengawal yang berjaga-jaga pun masih mereka lakukan sebagaimana sebelumnya. Namun di malam hari jumlah prajurit dan pengawal yang berjaga-jaga menjadi berlipat. Para prajurit dan para pengawal dari Mataram itu masih belum tahu apa yang berada di sekitar mereka, sehingga mereka benar-benar harus waspada.

Sebenarnyalah ketika malam turun, beberapa orang yang mendapat tugas dari para pemimpin di Pati untuk melemahkan kedudukan Mataram di perkemahannya telah bersiap-siap melakukan tugas mereka. Tetapi mereka menyadari bahwa mereka masih belum dapat berbuat banyak di malam itu, karena para prajurit dan pengawal dari Mataram tentu masih berada dalam kesiagaan tertinggi karena mereka berada di tempat yang asing dan sangat berbahaya.

Karena itu, yang mereka lakukan malam itu adalah sekedar melihat-lihat dan mengamati keadaan. Mungkin mereka dapat melihat dan menemukan tempat-tempat yang lemah, yang dapat mereka pergunakan untuk mulai dengan tugas-tugas mereka.

Ketika malam menjadi semakin malam, di padukuhan yang dipergunakan untuk berkemah induk pasukan Mataram, telah mendapat pengawasan yang ketat dari para petugas sandi dari Pati. Dua orang pemimpin padepokan yang berilmu tinggi, berusaha untuk mendekat. Dengan kemampuannya yang tinggi, dua orang tua mampu menyusup di antara para prajurit dan pengawal yang bertugas, sehingga berdua mereka dapat masuk ke satu di antara ketiga padukuhan yang dipergunakan untuk berkemah.

Malam yang kelam ternyata telah melindungi keduanya. Kemampuan mereka menyerap bunyi gemeresik kakinya di daun kering, membuat para prajurit dan pengawal yang bertugas tidak mendengar langkah mereka menyusup dan kemudian meloncati dinding padukuhan.

Demikian mereka berada di dalam kebun yang terhitung luas di padukuhan itu, mereka merasa ruang gerak mereka menjadi lebih lapang. Penjagaan tidak lagi seketat di luar padukuhan.

Diam-diam kedua orang itu bergerak menyusuri kebun dan halaman. Mereka meloncati dinding dari kebun dan halaman yang satu ke yang lainnya. Mereka pun kemudian tertegun ketika mereka melihat beberapa buah pedati di halaman banjar.

“Bahan pangan mereka masih ada di dalam pedati,” desis seorang di antara mereka.

“Mereka belum sempat menyimpannya di dalam ruangan yang mereka pergunaan sebagai lumbung.”

“Atau mereka sengaja membiarkan bahan pangan mereka tetap berada di dalam pedati, sehingga setiap saat dapat mereka bawa bergerak dengan leluasa?”

“Tentu tidak,” jawab kawannya, “apalagi setelah mereka mengetahui bahwa Pati akan bertahan di dalam dinding kota. Gerak pasukan Mataram menjadi sangat terbatas.”

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara yang lain berkata selanjutnya, “Tetapi kita tidak dapat berbuat banyak hari ini. Di banjar itu terdapat banyak prajurit yang berjaga-jaga.”

“Besok mereka akan lengah. Kita akan mulai bergerak..”

Karena itu, kedua orang itu tidak berbuat sesuatu selain mengamati pasukan yang ada di dalam padukuhan itu.

Mereka pun menyadari, bahwa induk pasukan dari Mataram itu tidak hanya berkemah di satu padukuhan, tetapi mereka berkemah di tiga padukuhan.

Setelah malam menjadi semakin larut, maka mereka berdua pun segera keluar dari padukuhan yang terbesar di antara ketiga padukuhan yang dipergunakan itu.

“Berhati-hatilah. Menurut dugaan dan pengamatan para petugas sandi, Panembahan Senapati dan beberapa orang berilmu tinggi ada di padukuhan itu. Jika kita terjebak, maka sulit bagi kita untuk dapat melepaskan diri.”

Kawannya tersenyum. Katanya, “Sebenarnya seberapa tingginya ilmu Panembahan Senapati? Apakah dalam perang tanding yang jujur, seorang lawan seorang, Panembahan Senapati mampu mengalahkan Kanjeng Adipati Pragola?”

“Panembahan Senapati juga seorang yang pilih tanding.”

“Ia dikelilingi oleh orang-orang berilmu. Jika perlu, mereka akan bertempur di dalam satu kelompok. Nah, kelicikan seperti itulah yang diperhitungkan oleh Kanjeng Adipati Pragola.”

Kawannya tidak menjawab. Sambil mengangguk ia mengamati padukuhan terbesar yang terbentang di hadapannya.

Demikianlah, kedua orang itu pun bergeser semakin dekat. Dengan ketajaman penglihatan mereka, keduanya dapat melihat di mana para prajurit berjaga-jaga, sehingga dengan demikian keduanya mencoba untuk menembus penjagaan sebagaimana mereka lakukan di padukuhan sebelah.

Ternyata apa yang dapat mereka lakukan di padukuhan sebelah, dapat pula mereka lakukan di padukuhan yang lebih besar itu. Mereka berdua pun ternyata dapat menyusup masuk ke dalamnya.

Namun keduanya memang harus sangat berhati-hati. Nampaknya penjagaan di padukuhan yang lebih besar itu lebih ketat dari padukuhan sebelah, sehingga dengan demikian maka keduanya menjadi semakin yakin bahwa Panembahan Senapati memang berada di padukuhan itu.

Namun karena itu pula, keduanya tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Mereka tidak ingin ditangkap oleh para prajurit pilihan, yang tentu berada di sekitar rumah yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati.

Di tengah malam, kedua orang itu telah berada di luar padukuhan. Mereka merayap menjauhinya setelah mereka melihat beberapa hal yang ada di dalam padukuhan itu.

Menjelang fajar, beberapa orang pemimpin padepokan itu telah berkumpul. Mereka melaporkan tugas mereka masing-masing. Mereka telah menyampaikan hasil pengamatan mereka, yang sebagian besar hampir sama. Bahwa bahan pangan masih berada di pedati. Bahkan para prajurit dan pengawal masih berada di sembarang tempat. Namun penjagaan pun berada di mana-mana pula.

Seorang di antara para pemimpin padepokan itu berkata, “Mulai esok, semuanya akan berubah. Jika keadaan semakin teratur, maka penjagaan akan menjadi semakin kendur. Dalam dua hari ini, kita hanya dapat mengamati mereka. Jangan berbuat sesuatu. Jika kita mengganggu mereka, maka penjagaan akan menjadi semakin ketat. Kesempatan kita untuk melaksanakan tugas kita akan menjadi semakin sempit. Karena itu kita tidak boleh tergesa-gesa.”

“Aku setuju,” jawab pemimpin padepokan yang lain, “tetapi jika kita terlalu lama bertindak, maka Pati sudah pecah. Pasukan Mataram sudah berhasil memasuki dinding kota.”

“Tidak semudah itu. Dinding kota Pati tidak terbuat dari gudir. Di belakang dinding, para prajurit sudah siap dengan berbagai macam senjata. Aku yakin bahwa pasukan Mataram tidak akan dapat memasuki kota dalam sehari. Kemudian jika bahan pangan mereka berhasil kita bakar, pasukan Mataram tidak akan mampu bergerak lagi. Pasukan Pati-lah yang akan keluar dari kota untuk menghancurkan pasukan Mataram di perkemahannya.”

“Kita harus melihat persoalannya dengan pertimbangan yang wajar. Kita tidak boleh terpengaruh oleh kesetiaan kita kepada salah satu pihak, agar penilaian kita benar dan berdasarkan atas penalaran.”

“Bagaimana mungkin kita terlepas dari unsur kesetiaan?” desis seorang yang lain.

“Kita tidak akan meninggalkannya. Tetapi untuk menilai keadaan, kita jangan terkecoh oleh perasaan seperti itu. Kita harus mempergunakan penalaran yang wajar.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk, sementara orang itu berkata, “Namun setelah kita mendapatkan penilaian yang wajar, maka kita akan berpijak pada kesetiaan kita untuk menentukan langkah. Bukan sekedar membabi buta. Tetapi berperhitungan.”

Para pemimpin padepokan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Hari yang akan datang, dan malam nanti, kita akan menentukan langkah-langkah yang paling baik. Besok malam kita akan mulai menjalankan tugas kita.”

“Tetapi bukan berarti bahwa kita harus berdiam diri di hari ini. Kita dapat menyerang prajurit dan pengawal Mataram di luar perkemahan mereka. Kita dapat menyerang dan kemudian menyingkir dari arena.”

“Tetapi sekali lagi, kita jangan memasuki perkemahan, tetapi kita harus melakukannya di luar perkemahan. Sehingga mereka tidak merasa perlu untuk memperkuat penjagaan di perkemahan mereka.”

Pagi itu para pemimpin padepokan itu telah membuat beberapa rumusan tentang tugas-tugas yang akan mereka emban bersama beberapa kelompok prajurit yang ditinggalkan di padepokan-padepokan.

Dalam pada itu ketika matahari terbit, para prajurit Mataram telah diperintahkan untuk mengatur perkemahan mereka masing-masing. Beberapa orang yang bertugas khusus untuk menata perkemahan itu telah membagi tempat tinggal bagi para prajurit dan pengawal. Kemudian mereka pun menentukan rumah yang akan mereka pergunakan sebagai lumbung bahan pangan serta tempat untuk menyimpan peralatan.

Selain itu, mereka pun telah menentukan pula tempat-tempat yang harus mendapat pengawasan khusus serta penjagaan yang rapat, selain regol-regol padukuhan.

Ketika matahari mulai memanjat naik, para prajurit dan pengawal pun mulai bekerja keras. Selain mengatur tempat-tempat bagi perkemahan kesatuan mereka, para prajurit dan pengawal harus membantu pula memindahkan bahan pangan dari pedati-pedati ke dalam lumbung, serta menyimpan peralatan di tempat-tempat penyimpanan, termasuk cadangan senjata.

Di perkemahannya, Glagah Putih, Prastawa dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh juga ikut menjadi sibuk pula. Selain mengatur dan membersihkan dua rumah yang akan mereka tempati, sebagian dari mereka ikut pula memindahkan bahan pangan ke dalam sebuah rumah yang mereka pergunakan sebagai lumbung.

Dalam pada itu, jauh dari perkemahan itu, Ki Warangka di sebuah padepokan dekat padukuhan Kronggahan, tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan Menoreh, telah menerima Ki Jayaraga. Sementara itu adik seperguruan Kiai Warangka yang disebut Ki Serat Waja, telah berada di padepokan itu pula. Demikianlah Ki Jayaraga kemudian telah diperkenalkan dengan Ki Serat Waja. Mereka bersama-sama menunggu kedatangan Kiai Timbang Laras, yang bermaksud datang lagi ke padepokan itu untuk membicarakan tentang peti tembaga yang besar yang pernah dilihatnya berada di sanggar guru mereka.

“Aku juga pernah melihat peti itu, tetapi kemudian aku tidak menghiraukannya lagi,” berkata Ki Serat Waja.

“Tetapi apakah kau juga menuduh aku menyembunyikan peti itu, yang menurut dugaan Timbang Laras berisi harta warisan?”

“Aku tidak pernah berpikir sekian jauhnya, Kakang. Seandainya benar peti itu berisi harta benda yang bernilai tinggi, aku juga tidak menuduh Kakang telah menyembunyikannya.”

“Terima kasih, Ki Serat Waja. Dugaan kakangmu itu membuat hatiku menjadi sedih. Seandainya akhirnya aku dapat membuktikan bahwa peti itu tidak aku miliki, namun tuduhan itu menyatakan bahwa tidak ada lagi kepercayaan di antara kita.”

Ki Serat Waja mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi itu bukan salah Kakang Warangka. Nampaknya Kakang Timbang Laras telah kehilangan akal. Kebutuhan yang besar yang mendesaknya, telah memaksanya untuk menanyakan tentang warisan itu.”

“Rencananya melampaui kemampuan yang dapat disediakannya. Ia ingin mengembangkan padepokannya.”

“Sebenarnya ia mempunyai rencana yang baik. Tetapi ia menempuh cara yang keliru. Ia tidak mengingat dukungan yang ada, sehingga ia telah mencari-cari dengan tanpa mempedulikan nilai-nilai yang lain. Nilai-nilai persaudaraan dan kepercayaan.”

“Jika rencananya itu wajar, ia tentu tidak akan menempuh cara yang kasar seperti itu,” berkata Ki Jayaraga, “mungkin rencananya itu sedemikian mendesaknya, sehingga ia tidak dapat mengelak lagi.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berdesis, “Lalu rencana apa yang telah dibuatnya? Menurut keterangannya ia akan mengembangkan padepokannya.”

“Jika hanya sekedar mengembangkan padepokannya, Kakang Timbang Laras tidak akan kehilangan akalnya seperti itu.”

“Kita memang tidak akan mudah untuk mengetahuinya. Bahkan Kiai Timbang Laras sendiri agaknya tidak mau mengatakannya,” sahut Ki Jayaraga.

“Ya. Agaknya memang demikian,” berkata KiSerat Waja sambil mengangguk-angguk.

“Kita hanya dapat menunggunya,” desis Kiai Warangka kemudian.

Sebenarnyalah, Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga hanya dapat menunggu kedatangan Kiai Timbang Laras. Dengan sekedar meraba-raba, mereka tidak akan menemukan persoalan yang sebenarnya.

Menurut perhitungan Kiai Warangka, pada hari itu Kiai Timbang Laras akan datang lagi ke padepokan Kiai Warangka. Karena itu, seisi padepokan itu telah bersiap-siap menerimanya. Jika Kiai Timbang Laras datang sambil tersenyum, maka Kiai Warangka juga akan menerimanya sambil tersenyum. Tetapi jika Kiai Timbang Laras datang dengan senjata telanjang, maka Kiai Warangka harus melindungi padepokannya.

Seperti ketika Kiai Timbang Laras datang ke padepokan itu beberapa hari sebelumnya, orang-orang padepokan itu menduga bahwa ia akan datang tidak terlalu pagi.

Namun ternyata hari itu Kiai Timbang Laras masih belum menampakkan diri. Ketika senja turun, Kiai Warangka pun menganggap bahwa Kiai Timbang Laras tidak akan datang pada hari itu.

“Mungkin besok,’” berkata Kiai Warangka.

Ki Serat Waja mengangguk-angguk. Di luar sadarnya, ia pun mengulang, “Mungkin besok.”

Ketika malam kemudian menyelimuti padepokan Kiai Warangka, maka Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga yakin bahwa Kiai Timbang Laras tidak akan datang hari itu.

Namun sebenarnyalah Kiai Timbang Laras telah berada di sekitar padepokan Kiai Warangka. Dengan diam-diam Kiai Timbang Laras dan beberapa orang kepercayaannya malam itu telah merayap mendekati padepokan.

Namun Kiai Timbang Laras tidak melihat sesuatu yang luar biasa

“Agaknya mereka memang tidak ingin menjebak aku,” desis Kiai Timbang Laras. .

Tetapi orang yang bercambang dan berkumis lebat yang ada di sebelahnya berdesis, “Kau jangan terlalu percaya kepada saudara seperguruanmu.”

“Tetapi Kakang Warangka bukan seorang yang licik,” jawab Kiai Timbang Laras.

“Itu menurut penilaianmu. Tetapi siapa tahu jika perubahan itu terjadi di dalam dirinya. Sifat dan watak seseorang memang dapat berubah. Mungkin karena satu peristiwa yang telah mengguncang jiwanya. Tetapi mungkin juga karena pamrih yang berlebihan, sehingga seseorang dapat melupakan saudara seperguruannya. Bahkan saudara kandungnya sendiri.”

Kiai Timbang Laras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah kita tidak melihat sesuatu di padepokan itu? Tidak ada penjaga-penjaga yang khusus. Tidak ada isyarat apapun yang menunjukkan bahwa Kakang Warangka akan menjebak aku.”

“Mudah-mudahan kau benar,” orang bercambang dan berkumis lebat itu.

“Aku yakin,” gumam Kiai Timbang Laras kemudian.

“Jika demikian, pergilah besok menemui kakak seperguruanmu itu. Tetapi bagaimanapun juga kau harus berhati-hati. Seseorang yang sudah mulai dengan kecurangan, maka ia akan dapat berbuat curang jauh lebih besar lagi. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak mencemaskan Kakang Warangka.”

“Tetapi ingat, Kiai Timbang Laras. Saudara seperguruanmu sudah mulai curang sejak awal. Sejak ia mengingkari warisan yang menurut pendapatmu seharusnya ada di dalam sanggar khusus gurumu. Pengingkarannya itu sendiri sudah merupakan satu pertanda buruk bagimu.”

Kiai Timbang Laras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Besok kita temui Kakang Warangka. Ia harus berbicara tentang warisan guru.”

“Jika ia tetap menolak?”

“Aku berharap, Kakang Warangka tidak menolaknya.”

“Seandainya itu terjadi? Jika ia tidak ingin menyembunyikannya, ia tentu sudah mengatakannya.”

“Jika Kakang Warangka tetap keras, apa boleh buat. Aku akan memaksanya.”

“Kita tidak usah mengharapkan benturan antara Kiai Warangka dengan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Orang-orangmu ternyata sangat dungu,” desis Kiai Timbang Laras.

“Jangan hiraukan anak-anak itu. Aku sudah menghukum mereka,” sahut orang yang bercambang dan berkumis lebat itu.

“Dua orangku sendiri telah terjebak pula. Untunglah menurut pengertian orang-orangmu, mereka sedang dalam pendadaran untuk memasuki padepokanku,” desis Kiai Timbang Laras.

“Yang penting sekarang, bagaimana rencanamu dapat kau laksanakan,” berkata orang bercambang dan berkumis lebat itu.

“Kau tidak perlu berpura-pura di hadapanku,” berkata Kiai Timbang Laras, “meskipun aku harus mengatakan hal seperti itu kepada Kakang Warangka.”

Orang bercambang dan berkumis lebat itu tertawa. Katanya, “Jangan tersinggung. Bukankah sudah menjadi kesepakatan kita?”

“Aku tahu. Tetapi aku tidak senang kau berpura-pura itu.”

“Tetapi bukankah benar bahwa semua itu telah menjadi rencanamu?”

“Kenapa kau masih mengatakannya?” geram Kiai Timbang Laras.

Orang berjcmbang dan berkumis lebat itu tertawa lagi. Tetapi ia harus menahan tertawanya agar tidak meledak-ledak.

Kedua orang itu pun kemudian menjauhi padepokan Kiai Warangka bersama orang-orangnya. Mereka akan bermalam di tempat yang sudah mereka siapkan. Esok, mereka akan datang ke padepokan Kiai Warangka, tanpa menunjukkan kesan bahwa mereka telah bermalam semalam di padang perdu. Mereka harus menunjukkan seolah-olah mereka baru datang dari padepokan Kiai Timbang Laras.

Dalam pada itu, malam itu di perkemahan prajurit Mataram, suasana nampak tenang. Tetapi beberapa orang pemimpin padepokan yang setia kepada Kanjeng Adipati Pati sibuk mengamati perkemahan orang-orang Mataram. Mereka harus menentukan tempat-tempat yang akan menjadi sasaran serangan mereka. Para pemimpin padepokan itu sudah bersepakat bahwa malam itu mereka harus menemukan sasaran. Esok malam, lewat tengah malam, mereka akan menyusup ke tengah-tengah perkemahan dan membakar lumbung-lumbung padi orang-orang Mataram.

Tetapi sebelum hal itu terjadi, para pemimpin kelompok itu sepakat bahwa tidak seorangpun boleh melakukan serangan di dalam padukuhan yang dipergunakan sebagai pesanggrahan itu. Jika hal itu terjadi, maka penjagaan akan menjadi semakin rapat, sehingga serangan yang sebenarnya akan mengalami kesulitan.

Tetapi serangan terhadap orang-orang Mataram itu boleh dilakukan di luar padukuhan. Jika hal itu terjadi, maka perhatian para senapati prajurit Mataram itu akan tertuju ke luar, sehingga perhatian ke dalam justru akan berkurang.

Malam itu, padukuhan-padukuhan yang dijadikan tempat perkemahan itu memang tidak terusik. Suara-suara malam terdengar di kebun dan halaman. Suara jangkrik dan belalang. Angkup nangka yang tertiup angin malam. Kelopak kelelawar dan kokok ayam jantan di tengah malam.

Di tempat-tempat yang telah ditentukan, para prajurit dan pengawal berjaga-jaga dengan kewaspadaan yang tinggi. Tidak ada yang terlepas dari pengamatan mereka. Seakan-akan tidak selembar daun ilalang pun yang luput dari penglihatan para prajurit dan pengawal yang bertugas itu.

Namun, sebenarnyalah ada yang lolos dari pengawasan mereka. Para pemimpin padepokan masih juga ada yang menyusup memasuki padukuhan itu untuk meyakinkan diri, bahwa mereka akan dapat melakukan tugas mereka di hari yang ditentukan. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa.

Menjelang fajar, para prajurit pun telah bangun. Beberapa orang di antara mereka segera mandi dan berbenah diri di sumur. Tetapi ada di antara mereka yang pergi ke sungai atau susukan yang tidak jauh dari padukuhan mereka. Di perkemahan pasukan Mataram sebelah kiri, tempat para prajurit dan para pengawal yang antara lain pengawal Tanah Perdikan Menoreh, beberapa orang prajurit telah menyusup keluar dari padukuhan. Mereka mengetahui bahwa tidak jauh dari padukuhan itu terdapat sebuah sungai. Air sungai yang jernih itu terasa segar ketika beberapa orang prajurit itu mencebur dan membenamkan diri di kala mereka mandi.

Tetapi ternyata beberapa orang di antara mereka tidak kembali ke padukuhan. Beberapa orang yang terakhir berada di sungai itu, bukan saja tidak kembali ke padukuhan tempat mereka berkemah, tetapi mereka tidak akan pernah dapat kembali ke Mataram.

Ketika matahari terbit, pemimpin kelompoknya mulai mencarinya. Para pemimpin kelompok yang harus meneliti anak buahnya itu mendapatkan beberapa orangnya yang tidak ada di tempat.

Hilangnya beberapa orang prajurit itu telah menggemparkan seisi perkemahan yang berada di sisi sebelah kiri itu. Beberapa orang yang juga mandi di sungai mengatakan bahwa ketika mereka kembali, memang masih ada beberapa orang kawannya yang tertinggal. Nampaknya mereka masih belum selesai berendam di air yang segar itu.

Seorang Senapati kemudian telah membawa beberapa kelompok prajurit pergi ke sungai untuk mencari kawan-kawannya yang hilang.

Senapati dan para prajurit itu pun terkejut ketika mereka sampai di tepian. Mereka melihat beberapa orang kawan mereka terbujur di atas pasir.

Para prajurit itu pun segera berlari-larian. Darah mereka serasa mendidih di dalam jantung ketika mereka melihat kawan-kawannya mereka itu terbunuh dengan luka di seluruh tubuh.

“Pembunuhan yang biadab,” geram Senapati yang memimpin beberapa kelompok prajurit itu.

Namun tiba-tiba terdengar seorang prajurit berteriak, “Masih ada yang hidup!”

Senapati itu pun kemudian telah berlari-lari mendekat. Iapun kemudian berjongkok di sisi sesosok tubuh yang terbaring diam. Pakaiannya yang basah kuyup menunjukkan bahwa orang itu semula tentu terbaring di dalam air. Masih nampak bekas di pasir tepian, orang itu merangkak keluar dari air dan kemudian terbaring di tepian.

“Apa yang terjadi?” bertanya pemimpin kelompok prajurit yang terluka parah itu.

Dengan suara yang hampir tidak terdengar prajurit itu menjawab, “Kami tiba-tiba saja diserang oleh tiga orang.”

“Hanya tiga orang?” bertanya Senapati yang berjongkok di sampingnya.

“Ya,” desis orang itu, “tetapi begitu tiba-tiba. Segalanya terjadi sebelum kami sempat menyadari keadaan. Mereka bersenjata pedang dan keris.”

“Apakah mereka mengatakan sesuatu ketika mereka menyerang kalian dengan tiba-tiba itu?” Namun Senapati itu pun kemudian berkata, “Bawa orang itu ke perkemahan. Mudah-mudahan nyawanya dapat tertolong. Jangan kehilangan waktu. Keadaannya sudah demikian parahnya.”

Beberapa orang prajurit pun telah mengangkat tubuh yang sudah menjadi sangat lemah itu. Sementara Senapati yang memimpin beberapa kelompok prajurit itu berkata, “Kita bawa tubuh-tubuh yang telah membeku itu semuanya ke perkemahan”

Empat orang telah terbunuh. Seorang terluka parah.

Ketika tubuh-tubuh prajurit yang gugur itu dibawa memasuki perkemahan, maka darah para prajurit dan pengawal yang menyaksikannya telah menggeletak. Kemarahan telah mencengkam isi dada mereka.

Seorang prajurit tiba-tiba saja berteriak, “Apalagi yang kita tunggu? Besok kita memasuki kota!”

Beberapa orang kawannya telah menyahut pula, sehingga suaranya terdengar gemuruh memenuhi padukuhan.

Tetapi para senapati tidak dapat menentukan sikap sendiri. Segalanya harus tunduk kepada perintah Panembahan Senapati.

Prajurit yang masih hidup itu pun segera di tangani oleh seorang tabib yang memang berada di dalam pasukan Mataram untuk merawat para prajurit yang terluka. Dengan seksama tabib itu memeriksa keadaan prajurit yang terluka berat itu. Untuk meningkatkan daya tahan tubuhnya, prajurit itu telah mendapat cairan obat yang berwarna kuning kecokelatan.

Setelah minum obat itu, keadaan prajurit itu menjadi lebih baik. Sementara tabib itu dapat merawat luka-lukanya

Kepada Senapati yang mengambilnya dari tepian, prajurit yang keadaannya menjadi sedikit membaik itu sempat bercerita, apakah yang telah terjadi di tepian.

Bersama beberapa orang kawannya ia pergi ke sungai untuk mandi. Mereka tidak sabar menunggu pakiwan yang jumlahnya kurang memadai bagi sekian banyak orang. Karena itu, ia memilih mandi di sungai yang tidak begitu jauh. Airnya jernih, segar dan terasa sedikit hangat.

Ketika kawan-kawannya selesai mandi, lima orang masih berada di sungai. Ketika mereka baru berpakaian, tiba-tiba saja tiga orang berloncatan dari balik gerumbul perdu. Keremangan pagi masih menyaput penglihatan mereka atas ketiga orang itu. Namun yang terjadi kemudian adalah demikian cepatnya, sehingga mereka berlima tidak sempat memberikan perlawanan yang berarti. Mereka pun terpelanting dan jatuh terbaring di tepian ketika ujung-ujung pedang dan keris mengoyak kulit mereka.

Prajurit yang masih hidup itu pun terdorong jatuh ke dalam air. Untunglah bahwa wajahnya tidak terbenam ke dalam air. Betapapun pedihnya, prajurit itu berusaha untuk menahankannya.

Karena ia tidak bergerak sama sekali, maka iapun telah disangka mati sebagaimana kawan-kawannya. Sementara itu darah dari tubuhnya yang mengalir mewarnai air sungai di keremangan pagi itu membuat lawannya tidak lagi melihat, apakah ia masih hidup.

Baru ketika ketiga orang itu pergi, maka prajurit itu berusaha merangkak ke pasir tepian.

Beberapa lama ia menunggu. Ketika jantungnya mulai dicengkam oleh perasaan putus asa, ia tinggal dapat menyerahkan segala-galanya kepada Yang Maha Agung.

Justru pada saat yang demikian, kawan-kawannya telah datang menolongnya.

“Kita harus segera membuat laporan ke induk pasukan,” berkata Senapati yang telah mencari para prajurit yang hilang itu.

Dengan tergesa-gesa Panglima pasukan yang bergerak di sisi sebelah kiri itu menyusun laporan. Kemudian diperintahkannya dua orang penghubung berkuda untuk pergi ke induk pasukan, memberikan laporan tentang empat orang prajurit yang telah gugur. Yang lebih penting dari laporan tentang gugurnya para prajurit itu adalah pemberitahuan tentang serangan-serangan gelap, yang dapat terjadi di-mana-mana.

Demikianlah, dua orang prajurit telah diperintahkan untuk pergi ke pasukan induk.

Namun dalam pada itu, serangan gelap seperti itu tidak hanya terjadi di pasukan yang berada di sisi sebelah kiri.

Pada malam itu juga, tiga orang peronda keliling di padukuhan induk juga telah terbunuh ketika mereka mengamati keadaan di bulak yang memisahkan satu padukuhan dengan padukuhan lainnya yang dipergunakan oleh pasukan induk.

Sedangkan di pasukan yang berada di sebelah kanan, dua orang prajurit yang pergi ke parit di luar padukuhan di malam hari karena tidak dapat bertahan sampai esok, sementara yang seorang lagi karena perutnya sakit, tidak pula kembali ke padukuhan. Baru di pagi hari mereka ditemukan sudah tidak bernyawa lagi.

Laporan-laporan itu membuat para senapati di padukuhan induk menjadi marah. Mereka telah mengeluarkan perintah agar pasukan Mataram dimanapun berada, lebih memperhatikan keadaan di luar padukuhan. Mereka harus mengawasi setiap gerak. Jangan keluar padukuhan dalam kelompok-kelompok yang terlalu kecil, sehingga tidak sempat memberikan perlawanan. Jika perlu, setiap kelompok peronda dilengkapi dengan kentongan yang meskipun kecil, tetapi suaranya akan dapat didengar dari kejauhan.

Namun peristiwa-peristiwa itu telah memperingatkan orang-orang Mataram, bahwa Pati tidak sekedar berperisai dinding-dinding kota. Kekuatannya masih juga tersebar di luar dinding. Bahkan mampu menyerang para prajurit Mataram.

Karena itulah, maka para prajurit Mataram menjadi semakin berhati-hati. Tetapi sebenarnyalah perhatian mereka lebih tertuju keluar padukuhan.

Dalam pada itu, hari itu para prajurit Mataram telah melakukan persiapan-persiapan terakhir. Jika perintah untuk menyerang itu datang, pasukan itu seluruhnya akan segera bergerak menuju ke pintu-pintu gerbang kota. Pintu gerbang utama dan pintu-pintu gerbang yang lain.

Tetapi ternyata perintah untuk menyerang yang mereka harapkan akan datang pada hari itu, masih belum mereka terima.

Panembahan Senapati memang menunda perintah untuk menyerang. Beberapa orang petugas sandi melihat prajurit Pati berkeliaran di luar dinding kota, sehingga Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk memastikan apakah pasukan Pati akan bertahan di belakang dinding kota atau menyongsong pasukan Mataram dalam perang gelar.

Sejalan dengan itu, para senapati telah memerintahkan para prajurit untuk lebih berhati-hati. Mereka tidak boleh berkeliaran di luar padukuhan yang mereka pergunakan sebagai tempat berkemah.

Sementara itu, di padepokannya Kiai Warangka masih saja menunggu kedatangan adik seperguruannya. Ia masih berharap bahwa pada hari itu, Kiai Timbang Laras akan datang.

Ketika matahari mencapai puncak langit, Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga tidak lagi mengharap, bahwa hari itu Kiai Timbang Laras akan datang. Dengan nada rendah Kiai Warangka berkata, “Ternyata Timbang Laras masih saja sulit untuk dimengerti. Sejak masih bersama-sama tinggal di perguruan, aku tidak dapat memahaminya. Kadang-kadang ia bersikap wajar, sangat wajar. Tetapi kadang-kadang aku tidak mengerti sama sekali, apa yang dikehendakinya.”

“Ciri wanci, Kakang. Rasa-rasanya tidak akan dapat berubah sampai akhir hayatnya.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya, “Ia masih juga sempat mengombang-ambingkan perasaanku sekarang ini. Bukankah dengan demikian aku akan selalu merasa gelisah, sebelum persoalannya menjadi jelas?”

Ki Serat Waja mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya kita tidak usah memikirkannya lagi. Jika ia ingin datang, biarlah ia datang. Jika tidak, biar sajalah ia tidak datang.”

“Jika Timbang Laras jujur, aku dapat berbuat demikian. Tetapi jika Timbang Laras tidak jujur, akan dapat terjadi sesuatu yang mengejutkan. Dengan licik, ia masih saja dapat menyalahkan aku.”

“Sudahlah Kakang,” sahut Ki Serat Waja, “jangan hiraukan lagi. Jika besok Kiai Timbang Laras itu tidak datang juga, biarlah aku pergi ke padepokannya untuk mendapatkan penjelasan, apakah yang sebenarnya terjadi, dan apa yang sebenarnya dikehendaki.”

“Apakah Ki Serat Waja perlu pergi ke padepokan Kiai Timbang Laras?” bertanya Ki Jayaraga.

“Sebenarnya memang tidak, Ki Jayaraga. Karena segala sesuatunya dimulai dari Kiai Timbang Laras. Tetapi sebagai saudara seperguruan, kami masih ingin saling menghormati.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku mengerti. Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Kiai Timbang Laras adalah saudara seperguruan. Sayang, sikap Kiai Timbang Laras tidak mencerminkan sikap seorang saudara seperguruan. Tetapi memang tidak berarti bahwa sikap itu harus dibalas dengan sikap yang sama.”

Kiai Warangka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan Timbang Laras segera menyadari, bahwa ia telah menapak pada jalan yang keliru.”

Namun dalam pada itu, pembicaraan itu telah terputus. Seorang cantrik telah datang menghadap dengan tergesa-gesa.

“Kiai, kami telah melihat kedatangan Kiai Timbang Laras bersama beberapa orang pengiringnya.”

“Oh,” Kiai Warangka mengangguk-angguk, “biarlah mereka masuk ke dalam padepokan. Aku akan menerimanya di pendapa bangunan utama padepokan itu.”

Cantrik itu pun segera pergi ke pintu gerbang padepokan. Para cantrik yang bertugas pun segera telah membuka pintu gerbang itu, demikian petugas yang berada di panggungan memberikan isyarat akan kedatangan mereka

Dua orang putut telah menunggu di belakang pintu gerbang. Dengan hormat, keduanya telah mempersilakan Kiai Timbang Laras dan pengiringnya memasuki pintu gerbang itu.

Kiai Timbang Laras dan orang yang bercambang dan berkumis lebat itu berjalan di paling depan. Diserahkannya kuda mereka kepada para pengiringnya. Sementara seorang cantrik telah menunjukkan, di mana kuda-kuda itu harus ditambatkan.

Sejenak kemudian, Kiai Timbang Laras dan pengiringnya telah dipersilakan naik ke pendapa, diterima oleh Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga

Tetapi orang yang bercambang dan berkumis lebat itu terkejut melihat Ki Jayaraga ada di padepokan itu. Tetapi Ki Jayaraga pun terkejut pula melihat kedatangan orang itu.

“Setan tua! Apa yang kau lakukan di sini?” geram orang bercambang dan berkumis lebat itu.

“Kau, Jatha Andhapan?” desis Ki Jayaraga.

“Namaku bukan Jatha Andhapan. Kau tahu itu. Atau kau sengaja menghina aku?”

“Nama itulah yang aku kenal sejak kau berada di pesisir utara. Kau tidak usah malu memakai gelarmu yang pernah kau bangga-banggakan itu.”

Sebelum orang bercambang itu menyahut, Kiai Timbang Laras pun berkata, “Apakah kau pernah mengenal Ki Jayaraga?”

“Aku pernah mengenal iblis tua itu. Ia adalah biang dari segala macam perampok, penyamun dan bahkan bajak laut yang ganas sekali di laut utara. Ia adalah orang yang paling dibenci, tetapi juga paling ditakuti.”

Kiai Timbang Laras mengerutkan keningnya. Namun kemudian Kiai Warangka pun berkata, “Marilah. Silakan duduk. Nanti kita akan bercerita tentang banyak hal.”

Tetapi Kiai Timbang Laras itu masih bertanya kepada orang bercambang itu, “Kau berkata sebenarnya?”

“Untuk apa aku harus berbohong?”

“Jadi Kakang sengaja memanggil orang itu? Ketika aku berkunjung kemari beberapa hari yang lalu, Kakang sama sekali tidak menyinggung tentang masa lampau orang yang dianggap sebagai sahabatnya itu.”

“Duduklah,” desis Kiai Warangka.

Kiai Timbang Laras pun kemudian duduk di sebelah orang yang disebut Jatha Andhapan itu. Di belakangnya, duduk pula beberapa orang pengiringnya.

Demikian mereka telah duduk, dengan serta-merta Kiai Timbang Laras pun mengulangi pertanyaannya, “Kenapa Kakang telah memanggil dan berhubungan dengan orang itu?”

“Sebenarnya aku ingin mempertanyakan keselamatan kalian, keadaan padepokan kalian dan kenyamanan perjalanan kalian. Tetapi Timbang Laras tergesa-gesa ingin mengetahui, kenapa Ki Jayaraga berada di sini.”

“Aku baru tahu sekarang, bahwa Ki Jayaraga adalah pemimpin segala macam penjahat di tanah ini.”

“Aku mengenal Ki Jayaraga bukan baru hari ini,” jawab Kiai Warangka, “aku mengenalnya sudah sejak lama. Aku mengetahui bahwa beberapa orang muridnya menjadi perampok, penyamun dan bahkan bajak laut di laut utara, juga tidak baru hari ini. Karena itu aku sama sekali tidak terkejut. Tetapi tentu saja dengan beberapa keterangan.”

“Keterangan untuk mencuci noda-noda di tangannya,” geram orang yang disebut Jatha Andhapan.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Jatha Andhapan. Kita saling mengenal dengan baik. Aku tidak menyembunyikan kenyataan tentang diriku kepada orang-orang di sekitarku. Aku mengatakan sejujurnya siapa aku. Nah, apakah kau juga akan mengatakan siapakah kau yang sebenarnya? Tentu saja kau tidak akan dapat berbohong, karena aku ada di sini.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi hampir berteriak ia menyahut, “Namaku bukan Jatha Andhapan! Kau kira aku tidak mengerti arti kata Andhapan?”

“Bukankah kau berbangga dengan nama itu?” bertanya Ki Jayaraga.

Orang yang bercambang dan berkumis lebat itu menggeram. Sementara Kiai Warangka berkata, “Sebaiknya kita tidak usah mempersoalkan masa lalu kita masing-masing. Kita dapat duduk dan berbincang dengan baik tanpa saling mencurigai.”

“Kiai Warangka,” berkata orang yang disebut Jatha Andhapan itu, “Tidak seorangpun yang dapat mempercayai Jayaraga lagi. Seandainya kita tidak mempersoalkan masa lalu Jayaraga, kita akan terjebak. Ia dapat mengambil keuntungan dengan cara apapun juga dari persoalan yang timbul pada orang lain.”

“Ki Jayaraga ada di sini atas undanganku. Ia tamuku. Karena itu, aku harus menghormatinya. Lebih dari itu, kehadirannya di sini atas pengetahuan Ki Gede Menoreh, sehingga Ki Jayaraga dapat mengatasnamakan pemimpin Tanah Perdikan itu.”

“Alangkah bodohnya Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang dapat dikelabui olehnya.”

“Aku tidak pernah mengelabuinya,” berkata Ki Jayaraga, “Ki Gede Menoreh mengetahui siapa aku sebenarnya. Ki Gede tahu bahwa tidak seorang pun dari murid-muridku yang menjadi orang, dalam arti yang sesungguhnya. Mereka telah terperosok ke dalam kehidupan yang kelam. Aku tidak ingkar.”

“Tentu ada yang kau sembunyikan,” sahut Jatha Andhapan.

“Sudah aku katakan. Kita tidak usah mempersoalkan masa lampau. Sekarang, aku terima kalian di padepokan ini tanpa prasangka buruk,” potong Kiai Warangka.

“Baiklah,” berkata Kiai Timbang Laras, “kita tidak perlu mempersoalkan masa lampau itu.”

“Nah, dengan demikian, kita tidak akan terjebak dalam ketegangan sebelum kita berbicara apapun juga,” sahut Kiai Warangka.

Orang-orang yang di pendapa itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak dapat dengan serta merta memulihkan suasana yang sumbang.

Namun dalam pada itu, orang yang bercambang dan berkumis lebat itu pun berkata, “Kiai Warangka. Namaku bukan Jatha Andhapan, tetapi Jatha Beri.”

Ki Jayaraga tersenyum. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu Dalam pada itu, Kiai Warangka telah mempersilakan tamu-tamunya untuk menghirup minuman hangat yang telah dihidangkan oleh para cantrik, serta mencicipi makanan yang telah disuguhkan pula.

Dalam pada itu, Kiai Timbang Laras pun kemudian bertanya kepada saudara seperguruannya yang lain, “Kapan kau datang Serat Waja?”

“Dua hari yang lalu. Kakang Warangka telah memanggil agar aku segera datang kemari.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Katanya, “Ada masalah yang akan kita bicarakan, Serat Waja.”

“Kakang Warangka sudah mengatakannya,” jawab Ki Serat Waja.

“Nah, jika demikian, bagaimana pendapatmu?”

Tetapi Kiai Warangka-lah yang menyahut, “Kita akan membicarakannya nanti. Sekarang, aku ingin mempersilakan Timbang Laras dan Ki Jatha Beri serta para pengiringnya beristirahat. Bukankah malam nanti kalian akan bermalam di sini?”

“Tidak,” yang menjawab adalah Ki Jatha Beri, “jika di sini aku tidak bertemu dengan iblis tua itu, mungkin aku bersedia untuk bermalam di sini. Tetapi alangkah bodohnya aku, jika sekarang, dengan hadirnya Jayaraga, kami bersedia bermalam di sini.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau melihat bayanganmu sendiri, Jatha Beri. Tetapi terserah kepadamu. Aku tidak tahu apakah Kiai Timbang Laras mempercayaimu sehingga Kiai Timbang Laras juga tidak akan bermalam di padepokan ini.”

Kiai Timbang Laras justru menjadi tegang. Ia tidak bersiap untuk menghadapi keadaan itu. Ia tidak tahu bahwa Ki Jatha Beri menolak untuk bermalam karena di padepokan itu ada Kiai Jayaraga.

Dalam pada itu, Ki Jatha Beri itu pun berkata kepada Kiai Timbang Laras, “Jika malam ini kita bermalam di sini, tidak seorangpun di antara kita, termasuk para cantrik, dapat keluar dengan selamat dari padepokan ini.”

Kiai Timbang Laras masih saja termangu-mangu, sementara Kiai Warangka berkata, “Jika kami ingin berbuat curang, maka beberapa hari yang lalu kami sudah dapat menyelesaikannya. Kami tidak usah menunggu Timbang Laras datang untuk kedua kalinya.”

“Tetapi waktu itu padepokan ini belum bersiap untuk melakukannya,” berkata Ki Jatha Beri.

“Kami sudah tahu sebelumnya bahwa Timbang Laras akan datang. Kami sudah tahu apa yang akan dipersoalkan oleh Timbang Laras. Jika kami ingin menjebaknya, atau katakanlah atas hasutan Ki Jayaraga, maka hal itu dapat kami lakukan saat itu.”

“Itulah liciknya Jayaraga,” berkata Ki Jatha Beri.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Kau dapat saja memutar balikkan keadaan sesuai dengan bayangan kelam di kepalamu. Tetapi segala sesuatunya terserah kepadamu.”

“Ya,” ulang Kiai Warangka, “terserah kepada kalian. Di mana kalian akan bermalam.”

Ki Jayaraga justru tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau orang yang berpengalaman Jatha Beri. Seharusnya kau tahu, bahwa pikiran-pikiran kotormu itu sama sekali tidak masuk akal.”

“Jangan membujuk,” geram Ki Jatha Beri.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Tidak. Aku tidak akan membujuk agar kau bersedia bermalam di sini. Tetapi aku mentertawakan kebodohanmu. Seandainya kami ingin menjebakmu, bagaimana mungkin kau dapat meninggalkan padepokan ini malam nanti?”

Wajah Ki Jatha Beri menjadi tegang. Di luar sadarnya ia berpaling kepada para pengiringnya yang juga menjadi tegang.

Kiai Timbang Laras pun termangu-mangu. Ia sadar bahwa jumlah pengiringnya tidak terlalu banyak. Jika saudara seperguruannya berniat buruk, maka bermalam atau tidak bermalam, nasibnya akan sama saja.

Namun dalam pada itu, Ki Jatha Beri itu pun menyahut, “Jika kami harus mati, biarlah kami mati dengan pedang di tangan. Tidak mati dalam tidur yang tidak dapat bangun kembali.”

“Baiklah. Baiklah,” berkata Kiai Warangka, “lakukan apa yang baik bagi kalian.”

“Nah, jika demikian, maka sebaiknya kita segera menyatakan persoalan pokok dari kedatangan kita,” berkata Ki Jatha Beri.

Kiai Timbang Laras pun termangu-mangu sejenak. Namun demikian iapun berkata, “Kakang Warangka. Seperti yang sudah aku katakan, aku ingin Kakang berterus terang tentang warisan yang ditinggalkan oleh Guru bagi kita. Jika sekarang Serat Waja ada di sini, biarlah ia menjadi saksi, serta biarlah ia mendapatkan bagiannya.”

“Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “aku sudah bertanya kepada Serat Waja, apakah ia mengetahui di mana peti tembaga yang besar itu. Tetapi Serat Waja juga tidak mengetahuinya. Bagaimana aku dapat memberi jawaban kepadamu, karena yang kau tanyakan itu tidak pernah ada padaku?”

“Kakang,” berkata Timbang Laras, “Kakang jangan mencoba menghambat rencanaku. Mungkin Kakang sengaja menggagalkan rencana yang aku susun dengan baik itu. Mungkin Kakang pernah mendengar dari siapapun juga, bahwa padepokanku akan menjadi padepokan yang terbesar di atas Tanah ini.”

“Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka, “aku akan ikut merasa senang sekali jika kau pada suatu saat akan dapat membangun sebuah padepokan yang besar. Yang mempunyai cantrik yang sangat banyak. Yang mampu mengembangkan ilmu dan pengetahuan tentang banyak hal. Tidak ada sama sekali niatku untuk menghambatnya. Tetapi yang kau minta itu tidak pernah aku punyai.”

“Kakang,” berkata Kiai Timbang Laras, “jika demikian, aku minta izin untuk mencarinya sendiri di padepokan ini. Mungkin peti itu disembunyikan di satu tempat.”

“Silakan, Timbang Laras. Carilah di seluruh padepokan ini. Aku sama sekali tidak berkeberatan.”

Namun Ki Serat Waja-lah yang menyela, “Kakang Timbang Laras. Kakang Warangka memang telah mengijinkan. Jadi Kakang dapat saja melakukannya. Tetapi yang mengganjal di hatiku, kenapa Kakang benar-benar telah kehilangan kepercayaan terhadap saudara seperguruan. Aku menjadi curiga, bahwa yang akan Kakang lakukan itu dilandasi oleh dorongan dan bujukan orang lain.”

“Ki Serat Waja,” berkata Kiai Timbang Laras, “sebenarnya aku tidak pernah kehilangan kepercayaan terhadap saudara-saudara seperguruanku, selama apa yang kita lakukan masing-masing masuk akal. Tetapi apa yang dilakukan Kakang Warangka itu sama sekali tidak masuk akal. Bagaimana mungkin peti tembaga sebesar itu dapat hilang, meskipun di masa peralihan pernah terjadi sedikit benturan di padepokan ini.”

“Biarlah Timbang Laras merasa puas, Serat Waja. Biarlah ia mencari dengan cara apapun juga. Mungkin ia akan mencari isyarat dengan menjalani laku. Dengan berpuasa dan kemudian pati geni. Atau dengan cara kewadagan. Ia akan menggali tempat-tempat yang dicurigainya.”

“Kami akan mempergunakan kedua cara itu bersama-sama,” jawab Kiai Timbang Laras.

“Silakan, aku akan membantu. Jika kau dapat menemukan peti itu, aku akan merasa ikut beruntung, karena aku juga akan dapat ikut menikmati warisan itu bersama Serat Waja.”

“Kiai Warangka mempunyai akal yang sangat licik. Ia akan mendapat keuntungan, apapun yang terjadi dengan peti itu,” desis Ki Jatha Beri.

“Aku tidak mempunyai niat apapun dengan peti itu, Timbang Laras,” berkata Kiai Warangka.

“Aku akan menjadi saksi, Kakang Timbang Laras. Tetapi sebelumnya, biarlah aku mengatakan, bahwa aku tidak akan minta apapun juga jika warisan itu ditemukan. Apakah warisan itu berupa keping-keping uang, atau gumpalan-gumpalan emas dan perak, atau berujud pusaka ataupun intan berlian.”

Wajah Timbang Laras menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja Ki Jatha Beri berkata, “Kami bukan kanak-kanak yang dapat kau kelabui. Kau tentu sudah mendapatkan jauh lebih banyak dari yang tersisa.”

Ki Serat Waja menggeretakkan giginya. Namun Kiai Warangka berkata, “Baiklah. Kini kami akan berusaha melayani Timbang Laras.”

“Kiai Timbang Laras,” berkata Ki Jatha Beri, “aku kira tidak akan banyak gunanya seandainya kita mencarinya di padepokan ini. Peti itu tentu sudah disembunyikan, bahkan mungkin di luar padepokan. Aku yakin bahwa Jayaraga telah mendalangi dengan licik. Kemungkinan yang dapat kita tempuh adalah mencarinya dengan laku. Jika cara itu tidak berhasil, maka kita akan mempergunakan cara terakhir.”

Kiai Timbang Laras mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Kiai Warangka, tatapan matanya memancarkan kecurigaan yang tajam. Seakan-akan tidak ada lagi ikatan persaudaraan dan apalagi kepercayaan di antara mereka.

Ki Serat Waja melihat pancaran mata saudara seperguruannya itu. Terasa sesuatu tergetar di dadanya.

Sementara itu, Kiai Timbang Laras pun berkata, “Ya. Dalam waktu lima hari ini kami akan minta orang-orang yang memiliki ketajaman penglihatan batin untuk menjalani laku. Mereka akan melihat dimana peti itu disembunyikan. Jika mereka gagal, maka seperti yang dikatakan oleh Ki Jatha Beri, kami akan mempergunakan cara yang terakhir.”

“Cara apa yang Kakang maksud dengan cara terakhir itu?” bertanya Ki Serat Waja.

“Pada saatnya kau akan mengetahuinya, jika kau masih tetap berada di padepokan ini.”

Dalam pada itu Kiai Warangka pun berkata, “Apapun yang kau lakukan, aku sama sekali tidak berkeberatan, Timbang Laras. Jika kau memilih untuk menjalani laku, maka jalanilah. Jika kau ingin menjalaninya di padepokan ini, aku akan menyediakan tempat bagimu. Sebuah bilik semadi yang baik.”

“Sudah aku katakan, Kakang. Bukan aku yang akan menjalani. Aku akan minta tiga orang yang memiliki ilmu yang mumpuni untuk menjalani laku di padepokan ini. Jika malam nanti kami meninggalkan padepokan ini, ketiga orang itu akan tinggal. Kami akan menunggu sampai hari kelima. Kemudian kami akan datang menjemput mereka. Jika terjadi sesuatu atas mereka, maka kami akan menuntut pertanggungjawaban Kakang.”

“Silakan, Timbang Laras. Sudah aku katakan, aku akan menyediakan tempat semadi bagi mereka yang akan menjalani laku. Kami akan bertanggung jawab atas keselamatan mereka, asal mereka tidak membunuh dirinya sendiri di ruang semadinya.”

“Gila,” geram Ki Jatha Beri, “mereka bukan orang-orang cengeng yang akan membunuh dirinya, karena mereka tidak berjiwa kerdil.”

Kiai Warangka tersenyum. “Nah, siapakah yang tinggal di antara orang-orangmu?” bertanya Kiai Warangka kemudian.

Kiai Timbang Laras pun memberi isyarat kepada ketiga orang yang datang bersamanya. Satu di antara mereka adalah orang yang sudah separuh baya. Sedangkan yang dua orang masih nampak muda. Wajahnya bersih dan matanya bagaikan bersinar.

“Mereka-lah yang akan tinggal dan menjalani laku. Mereka memerlukan waktu lima hari. Tetapi jika perlu, dapat terjadi sampai tujuh hari tujuh malam.”

“Baiklah. Mereka akan aku anggap sebagai keluarga sendiri di padepokan ini,” berkata Kiai Warangka.

Ki Serat Waja menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.

Malam itu, Kiai Timbang Laras benar-benar tidak mau bermalam di padepokan. Menurut Kiai Timbang Laras, mereka akan kembali ke padepokannya yang jauh.

“Kami sudah terbiasa menempuh perjalanan siang dan malam,” berkata Kiai Timbang Laras.

Kiai Warangka memang tidak menahannya. Ia ingin membiarkan saja apa yang akan dilakukan oleh Timbang Laras, selama tidak mengganggu padepokannya.

Demikianlah, sepeninggal Kiai Timbang Laras, Ki Jatha Beri dan para pengiringnya yang lain, Kiai Warangka telah menunjukkan kepada ketiga orang yang ditinggalkan oleh Kiai Timbang Laras untuk menjalani laku, tempat untuk melakukan semadi. Dengan cara itu, mereka ingin menemukan peti tembaga yang hilang dari padepokan Kiai Warangka, yang diduga berisi warisan yang tidak ternilai harganya.

“Nah, apakah tempat ini memadai Ki Sanak?” bertanya Kiai Warangka.

Salah satu laki-laki yang masih terhitung muda itu-lah yang menjawab, “Sudah, Kiai. Tempat ini sudah cukup.”

“Apakah kelengkapan dari semadi Ki Sanak bertiga? Kami akan menyediakannya. Kami pun ingin mendapat keterangan tentang bentuk laku yang akan Ki Sanak jalani bertiga. Mungkin Ki Sanak akan berpuasa pada saat-saat tertentu. Di siang hari atau di malam hari. Berpuasa utuh, atau hanya beberapa jenis makanan, atau bahkan pati geni?”

“Besok kami akan mulai menjalani laku itu Kiai. Malam nanti kami akan menentukan laku yang akan kami jalani. Besok pagi kami akan memberitahukan kepada Kiai.”

“Baik, baik Ki Sanak. Biarlah adikku Serat Waja mendampingi kalian. Bukan dalam arti semadinya, tetapi setiap kebutuhan yang kalian perlukan, katakan kepadanya. Setiap hari ia akan mengunjungi kalian. Kami ingin memberikan kesempatan kepada kalian seluas-luasnya dan pelayanan yang sebaik-baiknya, karena kami tidak ingin laku yang kalian jalani ini gagal.”

“Terima kasih, Kiai.”

“Di luar ruang ini kami tempatkan dua orang cantrik, yang setiap saat dapat melayani Ki Sanak bertiga. Maksudku, mereka merupakan pembantu-pembantu Serat Waja, yang tentu tidak setiap saat berada di sekitar bilik ini. Para cantrik itu akan dapat Ki Sanak minta untuk memanggilnya jika diperlukan.”

Laki-laki yang terhitung masih muda itu pun menjawab, “Baik Kiai. Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang Kiai berikan kepada kami. Apalagi kami di sini mendapat perlakuan yang sangat baik.”

“Sekarang, silakan beristirahat. Mudah-mudahan segala sesuatunya dapat berlangsung dengan baik. Sejak malam ini dua orang cantrik itu sudah berada di depan bilik ini.”

“Terima kasih, Kiai,” sahut orang yang masih terhitung muda itu.

Demikianlah, tiga orang pengikut Kiai Timbang Laras telah berada di padepokan Kiai Warangka. Namun malam itu mereka masih belum memasuki laku yang akan mereka jalani untuk mengetahui, di manakah disimpan peti tembaga yang besar itu.

Namun sejak malam itu, Kiai Warangka telah meletakkan pengawasan atas tiga orang itu. Selain dua orang cantrik yang bertugas di depan bilik yang disediakan itu, beberapa orang yang lain harus mengawasi dari jarak yang agak jauh. Namun Kiai Warangka itu sudah berpesan kepada para cantrik, bahwa orang-orang itu tentu berilmu tinggi, sehingga mereka harus berhati-hati menghadapi ketiga orang itu.

Dalam pada itu, Ki Serat Waja pun bertugas untuk ikut mengamati mereka. Para cantrik telah mendapat perintah agar jika mereka melihat sesuatu yang mencurigakan, mereka harus segera memberitahukan kepada Ki Serat Waja, yang berada di sebuah bilik yang khusus, yang sudah diketahui dengan baik oleh para cantrik.

Tetapi agaknya pada malam yang pertama itu, ketiga orang yang ditinggalkan oleh Kiai Timbang Laras itu belum akan berbuat sesuatu. Karena itu, mereka pun telah berbaring di dalam bilik mereka. Bahkan beberapa saat kemudian, mereka pun telah tertidur.

Namun para cantrik yang bertugas tidak pernah lengah. Mereka mengamati bilik yang disediakan kepada ketiga orang pengikut Kiai Timbang Laras itu dengan seksama.

Dalam pada itu, para prajurit dan pengawal yang berada di dalam pasukan Mataram telah tertidur lelap pula, selain mereka yang bertugas. Para prajurit dan pengawal yang bertugas itu mengamati segala sudut dan segala sisi padukuhan yang mereka pergunakan sebagai tempat perkemahan. Pasukan-pasukan kecil meronda sampai beberapa puluh patok di luar padukuhan. Mereka yang meronda itu justru bersiap sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan, setelah beberapa orang kawan mereka diserang dan terbunuh di luar padukuhan.

Namun malam itu, para pemimpin padepokan yang berpihak kepada Pati serta beberapa orang prajurit pilihan, telah memutuskan untuk menyusup masuk ke dalam padukuhan-padukuhan yang dipergunakan para prajurit Mataram untuk berkemah. Mereka harus menghancurkan persediaan bahan pangan dan perlengkapan bagi pasukan Mataram.

Sejak malam turun, mereka telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Beberapa prajurit pilihan itu telah bertekad melakukan tugas mereka berpijak pada kemungkinan yang paling buruk.

Ketika malam menjadi semakin malam, para pemimpin padepokan serta para prajurit itu sudah bersiap. Sementara itu para prajurit dan pengawal Mataram menjadi semakin berhati-hati menghadapi serangan-serangan sebagaimana pernah terjadi di luar padukuhan.

Malam rasa-rasanya menjadi bertambah gelap melampaui malam-malam sebelumnya. Suara jangkrik dan belalang yang bersahutan terdengar di semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu. Angin malam yang basah seakan-akan telah menaburkan embun di dedaunan. Dinginnya serasa menembus sampai ke tulang.

Di padukuhan tempat pasukan Mataram di sisi kanan berkemah, Swandaru berada di antara para pengawal yang bertugas. Meskipun malam dingin, tetapi Swandaru justru tidak mengatupkan bajunya. Keringatnya nampak mengembun.

“Aku merasa gelisah,” berkata Swandaru kepada beberapa orang pengawal Kademangan Sangkal Putung.

Para pengawalnya yang bertugas pun telah ikut menjadi gelisah pula. Bahkan seorang di antara mereka bertanya, “Apakah ada tanda-tanda bahwa akan terjadi sesuatu?”

“Aku tidak tahu,” jawab Swandaru, “tetapi tingkatkan kesiagaan. Awasi lingkungan kita dengan baik. Biarlah aku berbicara dengan Ki Demang Semanu. Pasukan pengawalnya ada di rumah sebelah. Mudah-mudahan Ki Demang belum tidur.”

Ternyata Ki Demang Semanu memang belum tidur. Seperti Swandaru, iapun merasa gelisah.

“Kita memang harus bersiaga sepenuhnya, Ngger,” berkata Ki Demang Semanu.

“Malam ini terasa dingin, Ki Demang. Tetapi keringatku membasahi pakaianku.”

“Angger gelisah?”

“Ya. Rasa-rasanya akan terjadi sesuatu.”

“Firasat Angger tajam. Baiklah. Kami akan bersiap sepenuhnya. Kami akan menempatkan para petugas lebih dari seharusnya.”

Swandaru pun kemudian telah kembali ke rumah yang dipergunakan oleh pasukannya. Seperti Ki Demang Semanu, Swandaru pun meningkatkan kesiagaannya pula.

Sampai menjelang tengah malam, para petugas tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Sepi malam terasa semakin menekan. Bahkan kantuk pun rasa-rasanya tidak lagi dapat dihindari.

Tetapi para prajurit dan pengawal yang bertugas tidak ingin kehilangan kewaspadaan. Mereka yang merasa sangat mengantuk, segera melangkah hilir mudik. Seorang yang hampir tidak mampu mengatasinya, telah dengan tergesa-gesa pergi ke dapur.

Kepada petugas yang berjaga-jaga di dapur prajurit itu berkata, “Kau masih punya apa malam ini?”

“Apa maksudmu? Nasi? Jika kau lapar, aku masih mempunyai nasi. Tetapi lauknya sudah tidak ada, kecuali sambal lombok goreng dan sedikit gudeg manggar.”

“Ya. Aku minta nasi, sedikit gudeg manggar dan sambal.”

“Kau kenapa tiba-tiba saja menjadi kelaparan? Apakah tadi kau tidak makan?”

“Aku harus berjuang melawan mataku.”

“Malam ini rasa-rasanya memang lain. Aku juga mengantuk sekali. Tetapi sebelumnya aku peringatkan. Jika kau makan sekarang, kau justru akan menjadi semakin mengantuk.”

“Jika aku makan sambal, maka mataku akan segera terbuka.”

“Seketika itu memang. Tetapi beberapa saat kemudian, yang terjadi tentu sebaliknya, matamu akan terpejam, dan kau akan tertidur nyenyak.”

“Tidak. Jika mataku sudah terlanjur terbuka, aku akan melakukan apa saja agar aku tidak mengantuk.”

Ternyata prajurit itu tidak seorang diri mencari makanan di dapur. Tiga orang yang lain dari lingkungan tugas yang berbeda, telah pergi ke dapur pula dengan diam-diam.

Seorang dari mereka berkata, “Aku sudah mendapat ijin dari pimpinan kelompokku.”

“Aku minta ijin pergi ke belakang, karena perutku sakit..”

“Jika kau makan sambal terlalu banyak sekedar untuk membuka matamu, maka perutmu benar-benar akan sakit.”

Sambal yang pedas itu memang dapat membuka mata mereka. Setelah minum beberapa teguk, para prajurit itu pun segera kembali ke tempat tugas masing-masing.

Kepedasan, berjalan ke dan dari dapur, memang membuat mata mereka terbuka untuk beberapa saat. Namun setelah mereka kembali ke dalam tugas mereka, maka mata mereka mulai mengantuk lagi.

Sementara itu, para pemimpin pasukan Mataram yang ada di padukuhan itu juga merasakan suasana yang mencekam itu. Dingin malam, udara yang seakan-akan menghembuskan bius yang membuat mata mereka mengantuk.

Tetapi ketika seorang Rangga yang bertugas mengamati para prajurit melaporkan bahwa mereka yang bertugas berjaga-jaga tetap berada di tempat mereka dan dalam kesiagaan tertinggi, serta mereka yang bertugas meronda juga melakukan kewajiban mereka dengan baik, maka para senapati itu menjadi tenang.

Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam, perasaan kantuk itu rasa-rasanya menjadi semakin mencengkam. Bahkan seakan-akan tidak terlawan lagi.

Perasaan kantuk itu juga menghinggapi para senapati. Namun justru karena itu, para senapati itu berusaha untuk tetap bertahan. Mereka yang sebenarnya mendapat kesempatan untuk beristirahat, justru bertahan untuk tetap duduk bersama para senapati yang lain.

Swandaru justru menjadi curiga, bahwa sesuatu telah terjadi. Ketika ia turun dari pendapa, dilihatnya dua orang pengawal di serambi gandok telah tertidur. Tetapi dua orang yang berada di regol masih tetap pada tugas mereka, meskipun kesadaran mereka kadang-kadang mulai terganggu.

Swandaru pun kemudian telah membangunkan kedua orang pengawal yang tertidur di serambi gandok. Setelah memberikan peringatan kepada mereka, Swandaru pun berkata, “Kau bertanggung jawab nyawa sekian banyaknya.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Mereka sendiri merasa heran, karena hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

Dari serambi gandok, Swandaru pergi ke longkangan. Dua orang yang bertugas masih duduk dengan tombak di tangan. Tetapi sekali-kali mereka pun mulai merunduk.

Justru karena itu, Swandaru telah membangunkan dua orang pemimpin pengawal dari Sangkal Putung. Sebenarnya keduanya mendapat giliran untuk beristirahat, sementara dua orang pemimpin yang lain sedang bertugas.

“Hubungi kawanmu itu. Sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di sini.”

Dengan demikian, para pengawal dari Sangkal Putung itu telah meningkatkan kewaspadaan mereka. Betapapun perasaan kantuk menyerang, namun mereka berusaha untuk tetap tidak memejamkan mata mereka.

Namun yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Semakin malam, suasana menjadi semakin mencengkam. Apalagi ketika di kejauhan terdengar suara burung kedasih.

Swandaru tiba-tiba saja merasa curiga terhadap suara burung kedasih itu. Mula-mula ia berniat untuk memberikan laporan kepada para senapati. Namun Swandaru pun kemudian menganggap bahwa para senapati tentu sudah tanggap terhadap keadaan.

Karena itu, Swandaru mengurungkan niatnya. Namun bersama beberapa orang pengawal terpilih, Swandaru telah siap berbuat sesuatu jika diperlukan.

Dalam pada itu, meskipun para petugas masih tetap berada di tempatnya dan berusaha untuk tetap sadar, serta di tangannya masih tergenggam tombak telanjang, namun perhatian mereka menjadi semakin terbatas. Mereka lebih banyak memperhatikan diri sendiri agar tidak tertidur, daripada memperhatikan lingkungan yang menjadi tanggung jawab pengamatan mereka.

Dalam keadaan yang demikian, beberapa orang tengah merayap di antara semak-semak di halaman rumah yang sepi di dalam padukuhan itu. Mereka menghindari beberapa rumah yang dihuni oleh para prajurit dan pengawal. Pengaruh sirep yang tajam telah membius seisi padukuhan itu.

Namun para senapati justru menjadi curiga terhadap suasana yang sangat mencekam. Beberapa kali para senapati memerintahkan pada petugas yang berjaga-jaga di rumah yang mereka pergunakan sebagai pusat kendali pasukan, untuk meronda berkeliling. Bahkan setiap kali salah seorang dari mereka langsung turun menemui Senapati yang bertugas memimpin penjagaan malam itu.

Sebenarnyalah bahwa Senapati yang bertugas memimpin penjagaan malam itu juga sudah menjadi curiga terhadap suasana yang agak lain. Senapati itu pun telah berbuat yang terbaik untuk mengatasinya.

Namun ternyata bahwa beberapa orang masih juga mampu menyusup masuk ke dalam lingkungan dinding padukuhan.

Hal yang serupa juga terjadi di padukuhan-padukuhan yang lain yang dipergunakan sebagai perkemahan prajurit Mataram, kecuali sebuah padukuhan yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati dan para panglima dan senapati tertinggi dari pasukan Mataram itu. Agung Sedayu dan pasukan khususnya, yang kemudian bertugas sebagai salah satu bagian dari pasukan pengawal Panembahan Senapati, telah mengerahkan para prajurit dari Pasukan Khusus untuk mengatasi suasana. Agung Sedayu sendiri malam itu selalu bergerak bersama-sama dengan beberapa orang prajurit terpilih untuk mengamati keadaan. Sementara itu, beberapa orang dari pasukannya telah di tempatkan secara khusus di tempat-tempat terpenting, termasuk lumbung-lumbung bahan makan dan rumah-rumah yang dipergunakan untuk menyimpan peralatan.

Dalam pada itu, lewat tengah malam, padukuhan-padukuhan yang dipergunakan untuk perkemahan para prajurit dan pengawal itu dikejutkan oleh suara anak panah sendaren yang melengking mengoyak sepinya malam. Suara anak panah sendaren itu terdengar sahut menyahut dari satu tempat ke tempat yang lain.

Para prajurit dan pengawal yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. Sebagian dari mereka mengira bahwa suara anak panah sendaren itu merupakan isyarat bahwa prajurit Pati akan segera datang menyerang.

Karena itu, dengan mata setengah terpejam para prajurit itu pun memusatkan perhatian mereka keluar dinding padukuhan. Para prajurit yang bertugas di regol padukuhan telah bersiap sepenuhnya.

Dua orang di antara mereka telah keluar dari regol untuk memperhatikan keadaan. Demikian pula para prajurit yang bertugas di regol-regol padukuhan yang lain. .

Swandaru yang berada di antara para pengawal telah memberikan isyarat untuk membangunkan semua pengawal dan secepatnya bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.

Para pengawal Kademangan Sangkal Putung memang sigap. Mereka telah ditempa oleh pengalaman yang panjang, sehingga dalam keadaan yang gawat, mereka dengan cepat telah mempersiapkan diri.

Namun dalam pada itu, selagi para prajurit dan pengawal menunggu peristiwa yang bakal terjadi, di luar dugaan mereka, api mulai berkobar di lumbung bahan pangan. Beberapa orang prajurit yang bertugas menjaga lumbung itu telah terkapar di halaman. Di punggung mereka terdapat luka bekas tusukan senjata. Nampaknya para prajurit itu sama sekali tidak sempat memberikan perlawanan.

Api itu memang sangat mengejutkan. Para prajurit dan pengawal yang melihat api itu segera berteriak, “Api! Api!”

Padukuhan itu pun segera menjadi gempar. Para prajurit pun segera berlari-lari ke arah api yang menjadi semakin besar.

Tetapi ternyata para senapati masih tidak kehilangan akal. Meskipun mereka memerintahkan semua prajurit dan pengawal memadamkan api, tetapi mereka memerintahkan para prajurit dan pengawal yang bertugas tetap berada di tempatnya.

Dalam kesibukan itu, ternyata Swandaru telah mengambil langkah sendiri. Ia justru tidak menuju ke tempat api yang menyala. Ketika ia melihat bayangan yang berlari di antara pohon-pohon perdu di halaman rumah sebelah, maka iapun segera mengejarnya bersama beberapa orang pengawal.

Agar para pengawalnya tidak kehilangan jejak, maka setiap kali Swandaru membunyikan cambuknya yang menghentak menggetarkan udara malam.

Ternyata bukan hanya Swandaru yang berlari mengejar bayangan yang terbang itu bersama beberapa orang pengawalnya. Ki Demang Semanu pun ternyata telah ikut memburu pula bersama orang-orang pilihannya. Bahkan seorang senapati yang melihat telah meloncat pula memburu bayangan itu.

Ternyata Swandaru tidak berhenti ketika orang yang diburu itu meloncati dinding padukuhan. Dua orang prajurit yang bertugas terkejut. Namun yang dilihatnya kemudian adalah beberapa orang yang berkejaran masuk ke dalam gelap.

Kedua orang prajurit itu termangu-mangu. Mereka tidak segera dapat memutuskan, apakah mereka akan ikut mengejar orang yang berlari itu atau tidak. Mereka tidak berani meninggalkan tugas mereka begitu saja, karena jika terjadi sesuatu di tempat itu, maka mereka harus bertanggung jawab.

Dalam pada itu, Swandaru yang berlari kencang sekali, berhasil mendekati beberapa orang yang dikejarnya. Sementara itu beberapa orang yang berlari-lari di belakangnya berusaha mempercepat langkah mereka.

Sekali-sekali Swandaru masih menghentakkan cambuknya. Suaranya menggelepar menggetarkan udara malam.

Namun orang yang dikejar oleh Swandaru itu tidak ingin berlari terus. Ketika orang itu sampai di sebuah simpang empat di bulak yang panjang, maka iapun segera berhenti. Demikian pula beberapa orang yang lain yang lari bersama mereka. Bahkan kemudian terdengar orang yang bersuit nyaring.

Swandaru yang melihat orang-orang yang diburunya itu berhenti, maka iapun telah berhenti pula. Swandaru termangu-mangu sejenak ketika ia melihat beberapa orang muncul dari dalam semak-semak.

Nampaknya orang-orang yang diburunya itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dalam keadaan yang memaksa, orang-orang yang bersembunyi itu harus segera melibatkan diri. Tetapi Swandaru juga tidak sendiri. Beberapa saat kemudian, Ki Demang Semanu pun telah menyusulnya. Bahkan kemudian seorang Senapati telah sampai ke tempat itu pula, disusul oleh beberapa orang pengawal dari Sangkal Putung, Semanu, dan beberapa orang prajurit yang mengawal Senapatinya.

Tetapi orang-orang yang muncul dari balik semak-semak itu juga cukup banyak. Mereka adalah para cantrik dari padepokan yang setia kepada Pati, serta yang terlibat dalam usaha pembakaran lumbung-lumbung padi di padukuhan.

“Kalian tidak dapat lepas dari tangan kami,” geram Swandaru.

Tetapi seorang di antara pemimpin padepokan itu tertawa, matanya, “Nasibmu memang buruk, Ki Sanak. Kesombonganmu telah menjerumuskan kau ke dalam kesulitan ini. Kau mengira bahwa kau akan dapat mengejar dan menangkap kami.”

“Kalian memang tidak akan dapat lari lagi.”

“Bukan saja karena cantrik-cantrikku telah siap membantuku. Tetapi kau akan mati tanpa arti di tanganku.”

Swandaru menggeram. Katanya, “Kau salah menilai dirimu sendiri. Kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang akan terkapar mati di sini.”

Orang itu tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “Sayang waktu kita bercanda terlalu sempit. Sebenarnya aku ingin memberikan berbagai macam pertunjukan kepadamu. Tetapi sayang, kita sedang dalam kesibukan. Sedangkan akhirnya dari pertemuan ini sudah pasti. Kalian semuanya akan mati. Dengan demikian aku tidak mempunyai waktu lagi untuk menunjukkan kepada kalian permainanku yang terbaik.”

Tetapi Senapati yang ikut menyusul orang-orang padepokan itu tidak dapat bersabar. Karena itu, iapun telah memerintahkan kepada beberapa orang prajurit yang ikut bersamanya, “Tangkap mereka! Hidup atau mati!”

Tetapi orang yang diburu itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau tentu seorang senapati prajurit. Tetapi baiklah. Silakan melakukan apa yang ingin kau lakukan. Sementara itu, kawanmu yang bersenjata cambuk ini nampaknya tidak tahu tataran kemampuan dan ilmu seseorang. Dengan ledakan-ledakan cambuknya yang memekakkan telinga itu, ia mengira bahwa ia adalah seorang yang memiliki ilmu cambuk yang sudah mumpuni. Tetapi kawanmu ini tidak lebih dari seorang penggembala kambing di padang-padang rumput yang luas, yang suara cambuknya sanggup menakut-nakuti anjing-anjing liar.”

Swandaru menjadi sangat marah mendengar penghinaan itu. Karena itu, maka Swandaru pun segera memusatkan nalar budinya. Ia sudah menjalani laku untuk menguasai tataran tertinggi ilmu cambuknya. Meskipun belum mampu menggapai tataran kemampuan puncak sebagaimana Agung Sedayu, namun Swandaru adalah seorang murid utama Kiai Gringsing yang mewarisi ilmu segala tataran ilmu cambuknya.

Karena itu, seakan-akan di luar kehendaknya, tangannya telah menghentak. Ujung cambuknya pun menggelepar. Suaranya tidak begitu keras, tidak menggetarkan selaput telinga. Namun getaran hentakan ujung cambuk itu telah menghentak sampai ke isi dada orang-orang yang dikejarnya.

Orang yang semula mentertawakan Swandaru itu terkejut. Hentakan cambuk itu menunjukkan betapa tinggi kemampuan dan betapa besar tenaga dalam yang dimiliki oleh orang yang agak kegemuk-gemukan itu

“Anak iblis! Darimana kau mampu mewarisi ilmu cambukmu itu?” geram orang yang semula mentertawakan kemampuan Swandaru itu

Namun dalam pada itu, Senapati yang merasa memiliki wewenang lebih besar dari pemimpin pengawal Sangkal Putung dan Semanu itu berteriak, “Apalagi yang kita tunggu? Kita akan menyerang mereka!”

Para prajurit dan para pengawal tidak menunggu lagi. Serentak mereka bergerak dengan senjata teracu.

Orang-orang yang bermunculan dari semak-semak itu pun segera menyongsong mereka. Mereka adalah para cantrik dari beberapa padepokan, yang agaknya telah pernah mendapatkan latihan-latihan olah kanuragan.

Tetapi para pengawal dari Sangkal Putung, Semanu dan para prajurit yang sempat datang ke tempat itu, telah ditempa pula oleh latihan-latihan dan pengalaman. Karena itu, mereka pun segera melibat lawan-lawannya dalam pertempuran yang sengit.

Swandaru sendiri telah berhadapan dengan seorang pemimpin padepokan yang berilmu tinggi. Namun hentakan cambuk Swandaru yang hampir tidak menimbulkan bunyi itu justru telah membuat lawannya sangat berhati-hati.

Seorang pemimpin padepokan yang lain harus berhadapan dengan Ki Demang Semanu, yang mempunyai kegemaran menyusuri beberapa sungai di malam hari sambil berendam di dalam airnya yang dingin.

Dalam pada itu, para prajurit dan pengawal dari Mataram harus bekerja keras untuk menahan tekanan lawannya yang jumlahnya lebih banyak. Ada niat dari para prajurit untuk memanggil bantuan.

Namun waktunya tentu cukup panjang, sementara itu tenaga setiap orang sangat diperlukan.

Senapati prajurit Mataram yang sempat ikut mengejar orang-orang yang melarikan diri itu pun harus bertempur dengan orang yang berilmu tinggi. Dalam waktu singkat Senapati itu telah terdesak, sehingga ia merasa perlu untuk memanggil dua orang prajurit kepercayaannya untuk membantu.

Meskipun demikian, Senapati dan kedua orang prajurit itu masih mengalami kesulitan. Lawannya adalah seorang yang memang berilmu tinggi.

Di putaran pertempuran yang lain, Ki Demang Semanu juga mendapat tekanan yang sangat berat. Meskipun demikian, Demang yang memiliki landasan kekuatan dan kemampuan yang cukup itu masih mampu bertahan untuk beberapa lama Namun beberapa saat kemudian, Ki Demang Semanu itu pun mulai terdesak pula.

Swandaru, murid utama Kiai Gringsing itu-lah yang justru membuat lawannya menjadi gelisah. Seorang pemimpin padepokan yang berwibawa serta memiliki ilmu yang tinggi, harus menghadapi kenyataan bahwa lawannya yang masih muda dan agak gemuk itu-lah yang membuatnya mengalami kesulitan. Senjata yang berujud cambuk itu ternyata sangat berbahaya. Pada juntainya terdapat beberapa karah besi yang membuat cambuk Swandaru menjadi semakin berbahaya.

Swandaru ternyata juga memikirkan pertempuran itu secara keseluruhan. Ia tidak sekedar memikirkan dirinya sendiri.

Karena itu, Swandaru pun setiap kali memperhatikan keadaan pertempuran itu dalam keseluruhan. Senapati yang memiliki wewenang lebih tinggi dari para pemimpin pengawal itu ternyata menjadi semakin terdesak. Meskipun dua orang prajurit pilihan telah menempatkan diri bersamanya, namun lawannya benar-benar seorang berilmu tinggi.

Dengan demikian Swandaru seakan-akan telah memikul beban ganda. Ia harus menghadapi lawannya yang juga berilmu tinggi, namun ia juga harus memperhatikan keadaan di sekitarnya. Jika keadaan menjadi sangat buruk, maka ia harus mengambil langkah yang diperlukan untuk mengatasinya. Nampaknya Senapati yang kebetulan ikut mengejar orang-orang yang telah membakar lumbung bahan pangan dan tempat menyimpan peralatan itu, bukan seorang yang dapat diandalkan.

Menghadapi seorang pemimpin dari sebuah padepokan, Senapati itu mengalami kesulitan meskipun dua orang prajurit bertempur bersamanya. Sementara itu, Ki Demang Semanu juga harus memeras tenaga dan kemampuannya. Meskipun Ki Demang Semanu memiliki bekal ilmu yang cukup, tetapi menghadapi seorang pemimpin padepokan, beberapa kali ia terdesak.

Sementara itu, benturan senjata terdengar gemerencing memenuhi seluruh arena yang menjadi semakin luas. Beberapa orang mulai berteriak dan bersorak.

Tetapi suaranya tidak mampu menggapai padukuhan yang tengah dikacaukan oleh kebakaran yang menjadi semakin besar.

Para prajurit dan pengawal telah dikerahkan untuk memadamkan api. Dengan bumbung, kelenting dan bahkan tempayan dan kuali, para prajurit berusaha untuk memadamkan api. Beberapa orang yang lain telah menebas batang-batang pisang dan dilontarkan ke dalam api. Sedangkan yang lain lagi, telah merobohkan bangunan di sebelah menyebelah bangunan yang terbakar, agar api tidak merambat ke mana-mana.

Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa ia harus berpacu dengan waktu. Jika Ki Demang Semanu atau Senapati yang dibantu oleh dua orang prajurit itu lebih dahulu dikalahkan oleh lawannya, maka hancurlah seluruh pasukan kecil yang bertempur itu.

Karena itu, Swandaru tidak lagi berbasa-basi. Ia langsung mengerahkan ilmu cambuk yang diwarisinya dari gurunya. Langsung, atau yang diwarisinya lewat kitab yang ditinggalkan oleh gurunya itu bagi murid-murid utamanya.

Lawannya benar-benar merasa heran, bahwa ia telah berhadapan dengan seorang pengawal yang berilmu tinggi, yang mampu mengimbangi ilmunya.

“Darimana orang ini mempelajari ilmu cambuknya?” geram lawan Swandaru itu.

Pemimpin padepokan yang bersenjata sebilah luwuk yang besar dan yang seakan-akan membara itu mengalami kesulitan untuk melawan ilmu cambuk Swandaru.

Sementara itu cambuk Swandaru berputaran terayun menebas, menggeliat sendal pancing, dan sekali-sekali mematuk mengerikan.

Pemimpin padepokan yang bersenjata luwuk yang bagaikan membara itu memang mengalami kesulitan. Karena itu, dituangkannya segala ilmu dan kemampuannya untuk melawan kemampuan ilmu cambuk Swandaru.

Pemimpin padepokan itu tahu bahwa pakaian yang dipakai oleh Swandaru bukanlah pakaian prajurit. Meskipun nampaknya orang yang gemuk itu mengenakan seragam sebagaimana dipakai oleh beberapa orang yang lain di samping mereka yang mengenakan seragam prajurit Mataram, namun kemampuannya justru melampaui seorang senapati prajurit.

Ketika pemimpin padepokan itu sampai ke puncak kemampuannya, maka luwuk di tangannya yang bagaikan membara itu telah memancarkan getaran ilmunya. Udara di sekitar orang itu pun kemudian telah menjadi semakin lama semakin panas.

Swandaru yang mulai merasakan getaran panasnya api itu, menjadi semakin marah. Apalagi ketika ia melihat kesulitan yang semakin mendesak senapati yang bertempur bersama dua orang prajuritnya. Senapati itu tidak dapat lagi memanggil prajurit yang lain untuk membantunya, karena semuanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula, sementara Ki Demang Semanu harus memeras segenap tenaganya untuk bertempur habis-habisan. Meskipun demikian, Ki Demang Semanu itu menjadi terdesak pula.

Dalam keadaan yang demikian, Swandaru benar-benar merasa mengemban tugas yang sangat berat. Meskipun ia dapat mengelakkan pertanggung-jawaban jika terjadi bencana atas pasukan kecil itu, tetapi ia tidak dapat begitu saja mencuci tangan dan sekedar mencari kesempatannya sendiri.

Karena itu, ketika ia merasakan getar panas yang terpancar dari ilmu lawannya, maka Swandaru pun harus mengambil sikap yang mampu mengatasi keadaan.

Karena itu, untuk mencegah lawannya mendapat kesempatan memusatkan nalar budinya agar dalam memancarkan ilmunya, Swandaru justru telah memasuki lingkaran yang mulai menjadi panas. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya untuk mengatasi perasaan panas yang menyengat itu, sambil mengayun-ayunkan cambuknya. Ujung cambuknya pun berputaran, menggapai dan seakan-akan menikam tubuh lawannya. Gerak Swandaru menjadi demikian cepatnya, sehingga lawannya harus berusaha untuk mengimbanginya

Perlahan-lahan usaha Swandaru itu berhasil. Lawannya semakin merasa kesulitan untuk memusatkan nalar budinya. Setiap kali ujung cambuk Swandaru selalu memburunya. Bahkan sekali-sekali mulai menyentuh kulitnya.

Ketika Senapati dan kedua orang prajurit yang bertempur bersamanya menjadi semakin terhimpit oleh serangan-serangan lawannya, Swandaru telah menghentakkan ilmunya. Ia harus dapat mengalahkan lawannya sebelum Senapati itu kehilangan kesempatan untuk melawan.

Sebenarnyalah Senapati itu benar-benar mengalami kesulitan. Lawannya seorang pemimpin sebuah padepokan, benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Beberapa kali Senapati itu harus berloncatan mundur untuk menyelamatkan diri.

Namun ketika serangan lawannya mengalir bagaikan debur ombak lautan menghantam batu-batu karang di tebing, Senapati itu benar-benar kehilangan kesempatan. Ketika dengan tergesa-gesa Senapati itu menghindari serangan lawannya, di luar perhitungannya kakinya telah terantuk batu yang besar, sehingga Senapati itu jatuh terlentang.

Pada saat itu, lawannya telah meloncat sambil mengayunkan senjata ke arah dada.

Senapati itu sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Senjata lawannya itu sudah terayun dengan derasnya.

Namun yang terjadi memang di luar dugaan. Seorang di antara kedua orang prajurit yang bertempur bersama berlari sekencang-kencangnya sambil menjulurkan pedangnya ke arah lawannya yang sedang mengayunkan senjatanya.

Serangan itu demikian tiba-tiba. Karena itu, lawannya itu harus menanggapinya. Senjatanya yang telah diayunkan itu terpaksa diurungkan. Dengan tangkasnya lawannya itu bergeser selangkah menghindari serangan prajurit itu.

Namun, demikian serangan itu lepas dari sasaran, maka justru senjata pemimpin padepokan itu-lah yang telah terhunjam di lambung prajurit yang menyerangnya itu.

Prajurit itu menggeliat. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Ketika senjata pemimpin padepokan itu ditarik, lambung prajurit itu telah terkoyak.

Tetapi ia sudah menyelamatkan Senapatinya, yang memanfaatkan kesempatan itu untuk berguling menjauh dan kemudian melenting berdiri.

Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat. Pemimpin padepokan itu menggeram. Matanya bagaikan menyala memandang Senapati yang berhasil menyelamatkan diri itu.

Sementara itu seorang prajurit terkapar jatuh dengan berlumuran darah yang keluar dari lambungnya yang koyak.

“Iblis kau!” geram pemimpin padepokan yang gagal membunuh Senapati prajurit Mataram itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagaimanapun juga, kau tidak akan sempat lolos dari tangan-ku.”

Senapati itu termangu-mangu. Ia sadar bahwa ia akan mengalami kesulitan untuk menghadapi lawannya yang garang itu, setelah seorang kawannya terbunuh. Bersama dua orang prajurit, Senapati itu tidak mampu mengatasi lawannya. Apalagi seorang di antara mereka telah terbunuh.

Dalam pada itu, Swandaru melihat kesulitan yang dialami oleh Senapati itu. Sementara itu, tidak ada lagi prajurit yang akan dapatmem-bantunya, karena setiap orang harus berusaha untuk mempertahankan hidupnya sendiri. Seakan-akan dalam pertempuran itu telah disusun lawan mereka masing-masing.

Dalam keadaan yang demikian itulah, Swandaru telah menghentakkan kemampuannya. Ia tidak ingin terlambat. Jika Senapati itu sampai terbunuh, maka nasib Ki Demang Semanu tentu akan menjadi semakin buruk, sementara Ki Demang masih berusaha untuk bertahan.

Dengan segenap kemampuannya maka Swandaru telah berada di dalam puncak ilmu cambuknya. Ujung cambuknya yang menggelepar hampir tidak melepaskan bunyi yang getarnya menggerakkan selaput telinga. Tetapi getar juntai cambuk Swandaru telah menggetarkan isi dada lawannya yang bersenjata luwuk itu.

Swandaru masih juga mengabaikan pancaran panas yang seakan-akan menyelimuti tubuh lawannya. Dengan mengerahkan daya tahannya, Swandaru tidak menghiraukan gelombang panas yang menyengatnya meskipun tubuhnya menjadi basah oleh keringat. Bukan saja karena geraknya, tetapi juga karena panasnya udara yang melanda tubuhnya itu.

Lawan Swandaru menjadi berdebar-debar melihat sikap lawannya. Pemimpin padepokan yang bertempur melawan Swandaru itu memang tidak dapat mengerahkan ilmunya benar-benar sampai tuntas. Setiap kali ia masih harus memperhatikan kejaran ujung cambuk Swandaru. Jika saja untuk sekejap lawannya yang agak gemuk itu menghentikan serangannya, maka ia akan dapat memancarkan panas lebih tinggi, sehingga untuk selanjutnya orang bercambuk itu tidak akan berani memasuki lingkaran udara panas di sekitarnya.

Tetapi Swandaru menyadari hal itu sepenuhnya. Karena itu, Swandaru sama sekali tidak mau memberi kesempatan. Ia memburu lawannya kemanapun ia menghindar atau mengambil jarak.

Namun semakin lama memang terasa tubuh Swandaru menjadi semakin lemah. Panas yang memancar dari ilmu lawannya itu bagai panasnya api yang memanggangnya di atas perapian. Keringat Swandaru benar-benar bagaikan diperas dari tubuhnya.

Tetapi justru karena itu kemarahan Swandaru tidak terkendali lagi. Tanpa menghiraukan keadaannya sendiri, Swandaru pun menyerang lawannya pada jarak yang semakin dekat

Ternyata kecepatan ujung cambuk Swandaru tidak lagi dapat dielakkan. Seperti kepala seekor ular bandotan, ujung juntai cambuk Swandaru itu telah menjilat perut lawannya.

Pemimpin padepokan itu terkejut bukan buatan. Perutnya terasa menjadi sangat pedih. Orang itu semakin terkejut ketika tangannya meraba perutnya itu. Terasa darahnya yang hangat telah menitik.

Kain pemimpin padepokan itu telah terkoyak bagaikan tersentuh api. Ternyata ujung cambuk Swandaru masih juga menembus kulit. Ujung cambuk itu bagaikan ujung sebilah pedang yang melubangi perutnya.

Pemimpin padepokan itu menggeram. Luka di tubuhnya itu membuat lawan Swandaru itu bagaikan menjadi gila.

Namun dengan demikian, ilmunya yang dilontarkan menjadi guncang pula. Udara panas itu kadang-kadang terasa membakar, namun kadang-kadang menurun dengan cepat

Dalam pada itu, tenaga Swandaru pun sebenarnya telah menyusut. Keringatnya terlalu banyak mengalir. Sementara itu, ia sudah terlalu lama mengerahkan segenap kekuatan, dan kemampuannya mulai menyusut pula.

Justru karena itu Swandaru tidak mau terlambat. Ia mempergunakan kesempatan terakhir untuk menyelesaikan lawannya.

Sebenarnyalah Swandaru tidak mau melepaskan lawannya yang sudah terluka. Dengan derasnya Swandaru menghentakkan cambuknya sendal pancing.

Lawannya mencoba untuk menghindar. Tetapi ketika ujung cambuk itu masih memburunya, maka orang itu berusaha menebas juntai cambuk Swandaru itu dengan luwuknya.

Tetapi juntai cambuk itu tidak terputus. Bahkan tiba-tiba saja cambuk itu seakan-akan telah menggeliat. Ujungnya dengan cepat membelit pergelangan tangannya

Satu hentakan yang sangat kuat hampir saja membuat senjatanya meloncat dari genggamannya. Tetapi orang itu cukup tangkas, sehingga dengan cepat senjata itu telah berada di dalam genggaman tangan kirinya. Bahkan kemudian dengan cepat orang itu meloncat sambil menjulurkan ujung luwuknya.

Swandaru memang terkejut. Dengan cepat ia berusaha mengelak. Namun ternyata bahwa ujung luwuk itu sempat mengenai bahunya

Swandaru menggeram. Bahunya sudah mulai terluka.

Ternyata luka itu telah mendorong Swandaru untuk menumpahkan segenap ilmu dan kemampuannya.

Ujung cambuknya yang sudah terurai itu berputar sekali di atas kepalanya. Kemudian satu hentakan yang sangat kuat menghantam tubuh lawannya

Pemimpin padepokan itu masih berusaha menangkis serangan itu. Tetapi serangan itu demikian kuatnya. Juntai cambuk Swandaru itu memang tertahan oleh senjata lawannya yang juga mengerahkan tenaga dan kemampuannya yang tersisa. Namun ujung juntainya masih juga membelit leher lawannya itu.

Ketika Swandaru kemudian menarik cambuknya, maka ujung juntai cambuk itu sempat mengoyak kulit daging pada leher lawannya itu.

Terdengar teriakan kesakitan, namun hanya sesaat. Pemimpin padepokan itu terputar sejenak. Namun kemudian ketika juntai cambuk Swandaru terlepas, orang itu pun segera terlempar dan terbanting jatuh.

Sekali orang itu menggeliat. Namun kemudian tarikan nafasnya pun telah terhenti.

Swandaru masih sempat merenunginya sejenak. Namun kemudian ia melihat Senapati yang sudah terdesak itu menjadi semakin terdesak. Nampaknya lawan Senapati itu juga merasa berpacu dengan waktu.

Tetapi yang kemudian kehilangan kesempatan untuk mengelakkan serangan pemimpin padepokan yang bertempur dengan Senapati itu adalah justru seorang prajurit yang bertempur bersamanya. Seperti kawannya, prajurit itu pun telah tertusuk senjata lawannya pada saat ia ingin membantu Senapati itu menghindari serangan lawannya itu.

Tetapi senjata lawannya itu tidak menusuk tepat di jantung, tetapi sedikit ke tepi, sehingga prajurit itu tidak mati seketika. Meskipun demikian, orang itu pun telah jatuh terjerembab dan tidak mampu bangkit lagi.

Senapati itu tinggal seorang diri. Ia harus menghadapi lawan yang mempunyai tataran ilmu lebih tinggi.

Ketika pemimpin padepokan itu melangkah maju, maka Senapati itu pun bergeser surut. Nampaknya memang tidak ada lagi harapan. Ilmu pemimpin padepokan itu memang terpaut banyak dengan Senapati itu.

Tetapi pada saat yang gawat itu, Swandaru telah berdiri tegak beberapa langkah dari arena pertempuran itu. Dengan nada berat Swandaru itu pun berkata, “Biarlah aku ikut menentukan akhir dari pertempuran ini.”

Senapati itu tidak menjawab. Betapapun harga dirinya melambung, namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya itu.

Sementara itu, lawannya-lah yang menyahut, “Marilah. Kalian akan mati bersama-sama.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Tetapi Senapati itu tidak menolaknya. Karena itu, maka iapun melangkah mendekat sambil berkata kepada lawan Senapati itu, “Aku sudah membunuh kawanmu.”

“Persetan! Aku tidak peduli!” geramnya.

“Kau tidak usah berpura-pura. Kau tahu apa yang dapat terjadi atas dirimu.”

“Jangan banyak bicara,” geram orang itu.

Swandaru memang tidak berbicara lagi. Cambuknya pun mulai berputar. Sementara Senapati itu pun bergeser beberapa langkah daripadanya.

Bagaimanapun juga, pemimpin padepokan itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Kawannya adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi orang bercambuk itu dapat membunuhnya.

Namun iapun tidak dapat ingkar pula. Bahkan orang itu pun yang kemudian harus dihadapinya.

Dalam pada itu, Swandaru masih juga memperhatikan Ki Demang Semanu. Ia harus memeras tenaganya untuk bertahan lebih lama lagi. Sementara itu, para pengawal dan prajurit masih harus bertempur melawan para cantrik yang jumlahnya memang lebih banyak.

Sejenak kemudian, Swandaru dan Senapati itu telah mulai bertempur pula. Kemudian keseimbangan pertempuran telah berubah. Pemimpin padepokan yang menghadapi dua orang lawan itu pun segera telah terdesak. Ternyata bahwa orang yang bersenjata cambuk itu memiliki ilmu yang tinggi.

Dengan demikian, pemimpin padepokan itu harus bekerja keras untuk dapat melindungi dirinya dari kejaran ujung cambuk Swandaru. Tetapi ujung cambuk Swandaru itu bagaikan mempunyai mata. Kemanapun lawan Swandaru itu bergeser, ujung cambuk Swandaru itu dengan cepat telah memburunya.

Orang itu mengumpat kasar ketika ujung cambuk Swandaru memburunya justru saat orang itu meloncat mengambil jarak untuk menghindari serangan Senapati itu. Ujung cambuk Swandaru itu telah menyengat pundaknya, sehingga rasa-rasanya tulangnya telah retak.

Dengan demikian, maka orang itu semakin berada dalam kesulitan. Kehadiran Swandaru telah mengacaukan segala-galanya.

Betapapun kemarahan mencengkam jantungnya tetapi ia tidak dapat ingkar atas kenyataan yang dihadapinya. Swandaru memang seorang yang berilmu tinggi. Sentuhan cambuknya hampir melumpuhkan sebelah tangannya.

Tetapi orang itu tidak dapat merenungi lawannya terlalu lama. Senapati yang hampir saja dilumpuhkannya itu telah menyerangnya. Senjatanya berputaran menebas ke arah dadanya.

Dengan tangkasnya pemimpin padepokan itu meloncat menghindari serangan itu. Tetapi demikian kakinya menyentuh tanah, kembali ia terkejut. Ujung cambuk Swandaru itu telah mengenai kakinya. Betisnya-lah yang telah dikoyakkan oleh karah-karah juntai cambuk Swandaru.

Pemimpin padepokan itu mengaduh tertahan. Perasaan sakit telah menggigit luka di betisnya.

Pemimpin padepokan itu benar-benar kehilangan kesempatan. Tangannya bagaikan lumpuh sebelah. Demikian pula kakinya yang sebelah.

Ketika kemudian juntai cambuk Swandaru berputar lagi di atas kepalanya, orang itu tidak dapat berbuat lain. Dengan serta-merta dilemparkannya senjatanya sambil berteriak, “Aku menyerah!”

Swandaru yang hampir saja menghentakkan cambuknya itu telah menahan diri. Lawannya itu telah meletakkan senjatanya, sehingga tidak sepantasnya ia masih menyerangnya.

Demikian pula Senapati yang bertempur bersama Swandaru itu. Betapapun kemarahan dan dendam membakar dadanya karena dua orang prajuritnya telah dibunuh oleh orang itu, namun sebagai seorang prajurit Senapati itu tidak dapat berbuat lain kecuali menerima penyerahan itu.

Pada saat yang demikian, lawan Ki Demang Semanu itu harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Jika kedua orang pemimpin padepokan yang bersamanya membakar lumbung bahan pangan itu sudah tidak berdaya, maka ia tidak mampu bertahan seorang diri. Karena itu, iapun telah memanfaatkan kesempatan yang masih ada.

Dengan sigapnya orang itu meloncat menjauhi Ki Demang Semanu, yang sebenarnya sudah tidak terlalu banyak mempunyai kesempatan itu. Kemudian dengan tangkasnya orang itu melenting menjauh dan kemudian melarikan dirinya, memasuki kegelapan malam.

Ki Demang Semanu tidak dapat mengejarnya. Demikian lawannya meloncat meninggalkannya, ia memang berusaha untuk memburu. Tetapi lawannya ternyata sempat berlari lebih cepat dan menghilang.

Swandaru dan Senapati yang baru saja menerima penyerahan lawannya itu terlambat menyadari bahwa lawan Ki Demang Semanu itu telah melarikan diri. Karena itu, mereka tidak sempat pula untuk mengejar dan menangkapnya.

Namun mereka menganggap bahwa apa yang telah mereka lakukan itu sudah cukup. Ketika seorang pemimpin padepokan terbunuh oleh Swandaru, sementara seorang lagi terluka parah dan menyerah, sedangkan yang lain melarikan diri, para cantrik dari para pemimpin padepokan itu telah menjadi kacau-balau. Mereka tidak mempunyai sandaran lagi.

Karena itu, yang dapat mereka lakukan kemudian adalah menyerah atau melarikan diri.

Beberapa orang cantrik di antara mereka mempunyai kemampuan yang lebih baik. Karena itu, mereka-lah yang pertama-tama mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari tangan para prajurit dan pengawal Mataram. Sementara itu, sebagian besar dari para cantrik telah tertangkap.

Sejenak kemudian, Senapati dari Mataram itu telah mengumpulkan para prajurit yang menyertainya. Demikian pula Swandaru dan Ki Demang Semanu telah mengumpulkan para pengawal pula.

“Marilah. Kita kembali ke padukuhan,” ajak Senapati Mataram itu.

“Bagaimana dengan orang-orang yang terluka?” bertanya Swandaru.

“Sudah tentu kita akan membawa kawan-kawan kita yang terluka dan gugur ke padukuhan.”

“Maksudku, orang-orang yang telah menyerang padukuhan itu? Kita tentu akan membawa para tawanan. Tetapi apakah kita akan membawa mereka yang terbunuh di peperangan ini?”

“Tidak perlu,” jawab Senapati itu, “kawan-kawan mereka ada yang berhasil melarikan diri. Biarlah mereka nanti mengurus kawan-kawannya yang terbunuh.”

“Yang terluka?” bertanya Ki Demang Semanu.

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Biarlah para tawanan itu membawa kawan-kawan mereka yang terluka parah, yang masih hidup.”

“Mereka membutuhkan pertolongan segera,” desis Ki Demang Semanu.

Ketika mereka berjalan kembali ke padukuhan, Senapati Mataram itu sempat mengucapkan terima kasih beberapa kali kepada Swandaru, kepada Ki Demang Semanu dan kepada semuanya yang telah terlibat dalam pertempuran itu. Namun khusus kepada Swandaru ia berkata, “Kau sudah menyelamatkan nyawaku.”

“Bukankah itu kewajiban kita semuanya di pertempuran?” jawab Swandaru.

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata di dalam hati, “Orang bercambuk ini ternyata memiliki kemampuan yang tinggi, melampaui kemampuan para prajurit. Menurut pendapatku, ia patut mendapat penghargaan yang pantas.”

Senapati itu sudah berjanji kepada dirinya sendiri bahwa ia akan menyampaikannya kepada Untara, bahwa anak Demang Sangkal Putung itu bukan saja telah menyelamatkan nyawanya, tetapi ia sudah menunjukkan kemampuan yang tinggi.

Ketika beberapa kelompok prajurit dan pengawal itu sampai di padukuhan, api telah padam. Sekitar separuh dari persediaan bahan pangan dan peralatan telah terbakar. Di sana-sini masih nampak asap yang mengepul, sementara beberapa orang prajurit masih sibuk menyiram dengan air, agar api yang tersisa itu tidak membesar lagi dan membakar bahan pangan yang tersisa.

Para senapati yang ada di padukuhan itu telah mengadakan pertemuan khusus. Mereka tidak dapat ingkar lagi bahwa ternyata mereka telah lengah.

Tetapi ternyata kebakaran itu tidak hanya terjadi di padukuhan itu saja. Beberapa orang prajurit dan pengawal juga melihat langit menjadi merah di arah barat.

Beberapa saat kemudian, para penghubung pun telah berpacu dari satu padukuhan ke padukuhan lain. Keterangan terakhir menyatakan bahwa padukuhan yang dipergunakan sebagai perkemahan dari pasukan yang disiapkan untuk menjadi sayap-sayap gelar kelak di sisi kiri dan kanan, dan bahkan dua padukuhan lain yang dipergunakan oleh pasukan induk, dapat disusupi oleh orang-orang yang memang mendapat tugas untuk membakar lumbung-lumbung bahan pangan dan persediaan peralatan.

Di padukuhan yang berada di sisi kiri, Glagah Putih menyesali kelengahannya, sehingga kebakaran itu juga terjadi. Apa yang dilakukan Mataram pada saat pasukan Pati berada di Prambanan, telah dilakukan pula oleh orang-orang Pati. Menghancurkan persediaan pangan dan perlengkapan.

Kebakaran yang terjadi itu telah membuat Panembahan Senapati menjadi marah. Dengan keras Panembahan Senapati telah memperingatkan para panglimanya, agar kelengahan itu tidak terjadi lagi.

“Tanpa dukungan pangan dan perlengkapan, maka pasukan Mataram tidak akan dapat bertahan lama di Pati. Jika perang berkepanjangan, pasukan Mataram akan mengalami kelaparan, atau harus merampok ke padukuhan-padukuhan.”

Peringatan keras dari Panembahan Senapati kepada para panglima itu telah membuat mereka meningkatkan kewaspadaan.

Tetapi kebakaran itu juga memperingatkan kepada Panembahan Senapati, agar ia tidak menunda-nunda lagi serangan untuk memasuki dinding kota Pati. Semakin lama para prajurit dan para pengawal menunggu, mereka akan menjadi semakin gelisah.

Karena itu, Panembahan Senapati pun segera memerintahkan pula para prajurit dan pengawal bersiap.

Menjelang malam. Panembahan Senapati telah memanggil para panglima dan senapati untuk berkumpul di padukuhan induk.

“Bawa pengawal yang cukup. Ternyata bahwa orang-orang Pati masih berkeliaran di sekitar padukuhan ini,” perintah Panembahan Senapati.

Dalam pertemuan itu, Panembahan Senapati telah mengeluarkan perintah yang masih harus dirahasiakan, bahwa besok pasukan Mataram akan menjajaki kekuatan prajurit Pati yang mempertahankan kota.

Semua panglima dan senapati telah mendapat perintah, agar serangan itu dilakukan dengan persiapan yang bersungguh-sungguh. Baru setelah para prajurit dan pengawal berada di hadapan dinding kota, para pemimpin kelompok akan diberi tahu bahwa yang dilakukan oleh para prajurit dan pengawal itu barulah sekedar penjajagan. Namun penjajagan itu diharapkan sudah dapat memancing semua kekuatan dan perlengkapan yang dipergunakan oleh para prajurit Pati untuk mempertahankan diri.

“Jika rencana ini diketahui oleh Pati, maka apa yang diperlihatkan Pati besok tentu sekedar untuk menyesatkan perhitungan kita.”

Ternyata para panglima dan senapati telah menyimpan rahasia itu rapat-rapat. Mereka bahkan dengan sengaja menunjukkan bahwa Mataram telah mempersiapkan serangan besar-besaran atas kota Pati yang tertutup. Semua kekuatan dan kemampuan akan dikerahkan.

Malam itu, nampak kesibukan yang memuncak di padukuhan-padukuhan yang di pergunakan sebagai tempat perkemahan. Para prajurit dan pengawal telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Beberapa prajurit bahkan telah mempersiapkan tangga-tangga bambu yang jumlahnya cukup banyak. Tali serabut kelapa dan jangkar-jangkar besi.

Para panglima dan senapati sengaja memancing perhatian, karena mereka yakin bahwa tentu masih ada para petugas sandi dari Pati yang berkeliaran di sekitar padukuhan-padukuhan itu.

Sebenarnyalah bahwa dua orang petugas sandi sedang membayangi padukuhan yang dipergunakan oleh prajurit dan pengawal Mataram yang disiapkan di sisi sebelah kanan. Mereka berusaha untuk melihat apa yang telah terjadi dengan kawan-kawan mereka yang telah menjadi tawanan di padukuhan itu.

Ternyata para cantrik dari berbagai padepokan serta prajurit-prajurit pilihan dari Pati itu tidak menjadi ketakutan, meskipun beberapa orang pemimpin padepokan gagal menghindar.

Dua orang petugas sandi itu terdiri dari seorang putut yang berilmu tinggi dan seorang lurah prajurit dari pasukan khusus Pati yang mumpuni dan memiliki pengalaman yang luas.

Malam itu keduanya berusaha mendekati padukuhan yang dipergunakan sebagai tempat berkemah bagi prajurit Mataram. Justru pada padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan induk. Meskipun penjagaan menjadi semakin ketat, tetapi kedua orang itu dengan berani merayap mendekat.

“Apakah kawan-kawan kita dibawa ke padukuhan tempat pasukan ini tinggal?” bertanya putut itu sambil berbisik.

“Kita tidak akan dapat mengetahuinya,” jawab Lurah prajurit itu, “tetapi setidak-tidaknya kita dapat melihat kegiatan mereka.”

“Nanti kita melihat pasukan yang berada di sisi kanan itu.”

Lurah prajurit itu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berdesis, “Kesibukan yang luar biasa, Nampaknya mereka sedang bersiap-siap.”

“Mereka mempersiapkan tangga-tangga bambu.”

“Mereka akan menyerang,” desis Lurah prajurit itu.

“Ya. Mereka akan menyerang,” sahut putut itu pula.

“Kita akan melihat padukuhan di sisi kanan itu.”

Dengan tergesa-gesa kedua orang itu telah meninggalkan pasukan induk yang berada di padukuhan itu. Pada pasukan induk itu mereka telah mendapat kesan, bahwa pasukan Mataram itu sedang bersiap-siap untuk melakukan serangan besar-besaran.

Dengan sangat berhati-hati mereka melihat pasukan Mataram yang ada di sisi sebelah kanan. Lurah prajurit itu sempat memperingatkan kawannya, “Hati-hati. Pasukan yang ada di padukuhan ini nampaknya merupakan pasukan yang paling garang.”

Meskipun kedua orang itu berhasil merayap mendekat, tetapi mereka tidak dapat melihat apa yang terjadi dengan kawan-kawan mereka.

“Setidak-tidaknya kawan-kawan kita tidak diperlakukan seperti seekor bintang,” desis putut itu.

Ternyata mereka sama sekali tidak takut untuk mencari celah-celah penjagaan yang ketat itu, sehingga keduanya dapat memasuki padukuhan yang gelap. Mereka merayap dari halaman ke halaman, sehingga mereka akhirnya sampai ke halaman rumah di samping banjar.

Tetapi mereka tidak melihat kawan-kawan mereka yang tertawan itu diperlakukan dengan sewenang-wenang di halaman banjar.

Meskipun demikian, mereka telah melihat kegiatan para prajurit Mataram yang sangat menggelisahkan itu. Persiapan-persiapan yang matang itu juga dilakukan oleh para prajurit yang berada di sisi sebelah kanan itu.

Karena itu, keduanya sependapat bahwa pasukan Mataram itu akan menyerang demikian fajar menyingsing.

Dengan tergesa-gesa keduanya meninggalkan padukuhan itu. Lurah prajurit itu pun kemudian justru mengajak kawannya untuk berlari-lari kecil.

“Kita telah membuang waktu. Sebenarnya kita tidak perlu pergi dari satu padukuhan yang lain yang jaraknya cukup jauh. Seharusnya dari padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan induk itu, kita langsung memberikan laporan,” desis lurah Prajurit itu.

Baru di dini hari keduanya dapat memberikan laporan tentang kegiatan pasukan Mataram itu.

“Laporan kalian semakin meyakinkan kami bahwa Mataram memang akan bergerak,” jawab seorang Senapati yang menerima laporan itu.

“Jadi sudah ada laporan lain yang sampai kemari?” bertanya Lurah prajurit itu.

Senapati itu mengangguk. Katanya, “Pasukan Pati sudah bergerak untuk menanggapi serangan yang bakal datang.”

“Syukurlah,” desis Lurah prajurit itu.

“Tetapi laporanmu penting, untuk semakin meyakinkan laporan yang terdahulu.”

Sebenarnyalah Senapati itu telah meneruskan laporan dari kedua orang itu. Namun sementara itu, pasukan Pati memang sudah bergerak. Pati telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan untuk mempertahankan kota. Panggungan-panggungan di belakang dinding kota telah terisi. Berbagai jenis senjata lontar telah siap dipergunakan.

Pati yang memang sudah bersiap itu dalam waktu singkat telah sampai pada kesiagaan tertinggi. Jika pasukan Mataram itu datang, maka pasukan itu akan dihancurkan sebelum sempat meraba dinding dan pintu gerbang kota.

Dalam pada itu, di dini hari segala sesuatunya sudah siap. Para prajurit Mataram sempat beristirahat sejenak. Kemudian makan dan membawa sedikit bekal.

Beberapa saat kemudian, pasukan Mataram itu pun telah mulai bergerak. Para penghubung berkuda memacu kuda mereka, membawa perintah-perintah dan pesan-pesan.

Pada saatnya, isyarat sandi pun telah dilontarkan..

Demikianlah, pasukan Mataram yang besar itu pun bergerak. Mereka membawa segala macam peralatan yang diperlukan. Tidak seorang pun di antara para prajurit yang tahu, bahwa apa yang mereka lakukan itu sekedar penjajagan.

Hanya para panglima dan senapati terpenting saja-lah yang mengetahui perintah Panembahan Senapati. Apalagi Panembahan Senapati sendiri juga ikut di dalam pasukan yang mendekati dinding kota itu.

Sesuai dengan rencana yang telah dimatangkan dalam pertemuan antara para panglima dan senapati yang dipimpin sendiri oleh Panembahan Senapati, ketiga bagian dari pasukan Mataram itu mendekati sasaran dari tiga arah. Pasukan induk akan mendekati kota langsung ke arah pintu gerbang utama. Sementara yang lain akan menyerang kota di sisi kiri dan kanan pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati.

Kesungguhan para prajurit Mataram itu telah dilihat dan dilaporkan pula oleh para petugas sandi dari Pati, sehingga untuk menanggapi serangan itu, Pari telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada.

Kesiapan tertinggi Pati itulah yang memang diharapkan oleh Panembahan Senapati.

Ketika pasukan Mataram mendekati dinding kota dalam tiga larik pasukan, maka pasukan Mataram itu seolah-olah menjadi sebuah trisula raksasa yang siap untuk menusuk Pati dengan tiga buah ujungnya.

Namun Panembahan Senapati memberikan isyarat agar pasukannya berhenti beberapa puluh patok dari dinding kota. Namun orang-orang yang berada di atas panggung telah melihat kebesaran pasukan Mataram itu. Umbul-umbul, rontek, kelebet dan tunggul-tunggul kebesaran setiap kekuatan yang ada di dalam pasukan itu.

Namun Pati pun tidak mau ketinggalan. Umbul-umbul dan rontek pun terpasang pula di atas dan di sekitar pintu gerbang kota.

Pada saat pasukan Mataram itu berhenti, para panglima dan senapati telah memanggil semua pemimpin kelompok di dalam kesatuannya masing-masing. Para senapati itu memerintahkan, bahwa serangan yang mereka lakukan bukan serangan dalam pengertian habis-habisan.

“Kita memang akan menyerang. Kita akan menunjukkan apa yang dapat kita lakukan. Tetapi serangan itu harus dijelaskan bahwa Panembahan Senapati tidak akan menerobos benteng Pati pada hari ini juga. Dengan demikian, para prajurit harus menyesuaikan diri. Panembahan Senapati tidak menginginkan agar kita dapat merebut Pati pada hari ini.”

Para pemimpin kelompok itu pun segera tanggap. Mataram tidak memasuki Pati pada hari ini. Mereka pun segera tanggap pula, bahwa hari itu mereka baru sekedar ingin mengetahui, apa yang sebenarnya ingin mereka ketahui.

Dalam waktu yang singkat, para pemimpin kelompok telah menyampaikan perintah itu pula kepada para prajurit di dalam kelompoknya.

Memang ada di antara para prajurit yang menjadi kecewa. Ada yang menyesal bahwa mereka telah menjadi tegang sepanjang malam karena mereka mengira di keesokan harinya, mereka akan bertempur habis-habisan untuk merebut Pati.

Tetapi sebagaimana dikatakan oleh senapati, para pemimpin kelompok itu berkata, “Penjajagan kali ini memberikan beberapa pemecahan pada kesulitan-kesulitan yang kita hadapi. Kita juga akan mendapatkan cara untuk mengurangi korban sebanyak-banyaknya.”

Namun di dalam hati para prajurit itu berkata, “Tetapi dalam penjajagan kita, kita sudah harus menyerahkan korban. Justru nilainya tidak setinggi mereka yang gugur dalam perang yang sebenarnya.”

Tetapi para pemimpin kelompok itu berkata selanjutnya, “Mungkin dalam penjajagan ini kita harus sudah menyerahkan korban. Tetapi korban itu adalah bebanten yang diserahkan untuk mendapatkan kemungkinan yang jauh lebih baik di hari berikutnya. Karena itu, maka yang gugur dalam penjajakan ini adalah justru mereka yang bersedia menyerahkan diri sebagai tumbal keselamatan kawan-kawannya, saudara-saudaranya dan gegayuhan yang lebih tinggi.”

Para prajurit itu termangu-mangu. Namun mereka pun mengangguk-angguk mengiakan.

Dengan demikian, tidak ada lagi keragu-raguan dari para prajurit itu atas tugas yang mereka emban pada hari itu.

Demikianlah, pada saat yang ditentukan, pasukan itu pun mulai bergerak. Pasukan induk yang dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati berada di tengah, menghadap gerbang utama. Pasukannya kemudian mengalir mekar melebar di depan kota. Sementara itu, yang lain pun telah melebar pula, sehingga ujung-ujung pasukan induk dan sayap-sayapnya telah bertaut.

Pati memang tidak dikepung temu-gelang. Pasukan Mataram berada di setengah putaran kota. Meskipun demikian, ada beberapa kelompok pasukan Mataram yang perintahkan untuk berjaga-jaga dan mengamati sisi yang lain dari kota itu. Mereka harus segera memberikan isyarat dan berusaha menghambat jika ada pasukan yang berusaha melarikan diri. Tetapi mereka tidak diizinkan untuk mengganggu para pengungsi, meskipun dengan kemungkinan bahwa orang-orang yang melarikan diri berada di antara para pengungsi itu.

Ketika matahari terbit, pasukan Mataram itu mulai bergerak. Para prajurit yang membawa busur dan anak panah harus berada di tempat yang ditentukan, untuk melindungi pasukan yang akan mendekati dinding dan pintu gerbang.

Para prajurit Pati yang melihat pasukan Mataram itu bergerak serentak, maka aba-aba pun telah terdengar sahut menyahut. Kanjeng Adipati Pati sendiri berada di panggungan di sisi pintu gerbang utama. Dengan memegang perisai di tangan kiri, Kanjeng Adipati ingin melihat gerak pasukan Mataram.

Gerak pasukan Mataram itu semakin lama menjadi semakin cepat. Benar-benar sebagaimana sebuah serangan yang menentukan.

Karena itulah, Pati benar-benar telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Segala macam senjata, kemampuan dan cara bertahan telah diperlihatkan.

Panembahan Senapati memang ada di antara para prajurit Mataram. Dengan seksama Panembahan Senapati memperhatikan pertahanan pasukan Pati.

Demikianlah, para prajurit Mataram juga sudah mempersiapkan tangga-tangga bambu yang panjang. Para prajurit yang membawa tangga itu pun berlari-lari mendekati dinding. Namun langkah mereka pun kemudian tertahan oleh hujan anak panah yang dilontarkan dari atas panggungan.

Para senapati Mataram pun segera memerintahkan agar para prajurit yang bersenjata busur dan anak panah telah membalas serangan anak panah yang menghambur dari panggungan di belakang dinding itu.

Untuk beberapa saat, pertempuran terjadi antara para prajurit yang bersenjata panah. Sedangkan para prajurit Mataram yang lain masih belum bergerak lagi.

Untuk beberapa saat keadaan medan itu tidak mengalami perubahan. Anak panah meluncur dari kedua belah pihak tidak henti-hentinya.

Tetapi sementara itu, para prajurit Mataram ingin mencoba mempergunakan sebuah perlindungan dari anyaman bambu yang cukup lebar dengan diberi bingkai bambu pula. Dengan empat buah kaki yang ditahan oleh tiang bambu, anyaman bambu itu menjadi sebuah perisai raksasa yang dapat melindungi beberapa orang prajurit.

Dengan berperisai anyaman bambu yang diberi bingkai itu, kelompok-kelompok pasukan Mataram bergerak mendekati dinding dan pintu gerbang. Di setiap kelompok nampak beberapa orang prajurit membawa tangga-tangga bambu yang akan mereka pergunakan untuk memanjat dinding.

Demikianlah, para prajurit dari Pati telah menghujani perisai raksasa itu dengan anak panah. Tetapi anak panah itu tidak banyak menghambat, karena anak panah itu tidak dapat menembus perisai-perisai itu meskipun hanya dibuat dari bambu.

Para prajurit Pati yang melihat perisai-perisai raksasa itu memang menjadi cemas. Anak panah mereka justru tertancap pada perisai yang terbuat dari anyaman bambu itu, sehingga anyaman bambu itu menjadi seakan-akan berbulu anak panah.

Para prajurit Mataram yang mempergunakan perisai anyaman bambu itu memang terlindung. Sementara kawan-kawan mereka, dari jarak jangkau panah mereka, menyerang tanpa henti-hentinya, sebagaimana para prajurit Pati yang ada di panggungan di belakang dinding kota.

Dalam pada itu, para prajurit yang berada di bawah perlindungan perisai raksasa yang dibuat dari anyaman bambu itu sudah mendekati dinding. Anak panah dari panggung di belakang dinding itu sudah menjadi semakin jarang menggapai tubuh mereka.

Sejenak kemudian, orang-orang Mataram itu sudah memasang tangga-tangga bambu berjajar melekat dinding.

Namun dalam pada itu, orang-orang Pati itu nampak telah menemukan satu cara yang terbaik untuk mengatasi perisai-perisai bambu itu. Batu.

Tetapi karena para prajurit Pati sendiri belum menyediakan batu cukup banyak, maka serangan-serangan mereka tidak terlalu banyak menimbulkan kesulitan.

Karena itu, beberapa puluh buah tangga memang sudah terpasang pada dinding kota itu. Beberapa orang prajurit memang mencoba untuk memanjat. Tetapi orang-orang Pati itu telah berusaha untuk mendorong tangga-tangga itu, sehingga orang-orang yang mencoba-coba memanjat akan berjatuhan bersama-sama dengan tangga yang roboh itu.

Karena prajurit Mataram memang tidak berniat untuk memasuki dinding kota, maka mereka pun tidak berjuang mati-matian. Yang mereka lakukan benar-benar sebuah penjajagan saja.

Prajurit Pati memang heran ketika mereka melihat prajurit Mataram yang demikian mudahnya mengurungkah serangan-serangannya. Demikian pula para prajurit yang telah mencapai pintu gerbang. Tidak ada usaha yang bersungguh-sungguh untuk memecahkan pintu gerbang itu.

Serangan itu benar-benar telah memancing para prajurit Pati untuk mempergunakan segala macam cara yang akan mereka pergunakan. Hal itulah yang ingin diketahui oleh orang-orang Mataram.

Namun para prajurit Mataram pun harus merelakan orang-orang Pati menemukan cara terbaik untuk melawan perisai anyaman bambu itu.

Perang yang terjadi memang tidak mengungkapkan kekuatan Mataram yang sebenarnya. Para prajurit yang memasang tangga-tangga bambu ternyata tidak berusaha benar-benar memanfaatkannya. Kegagalan-kegagalan kecil telah membuat prajurit dan pengawal dari Mataram itu mengurungkan usahanya menggapai bibir dinding kota.

Akhirnya para prajurit Pati pun menyadari, bahwa mereka telah terpancing. Mereka pun akhirnya mengetahui bahwa Mataram tentu baru sekedar menjajagi pertahanan Pati.

Kanjeng Adipati Pragola sendiri yang memerintahkan untuk menghentikan perlawanan.

“Tetapi para prajurit harus tetap berada di tempat dan bersiaga sepenuhnya,” perintah Kanjeng Adipati, “kita sudah melihat sendiri, betapa liciknya orang-orang Mataram.”

Pasukan Pati memang menghentikan perlawanan. Yang mereka lakukan kemudian adalah sekedar berjaga-jaga. Mereka membiarkan para prajurit dan pengawal Mataram berada di sekitar dinding kota.

Kelompok-kelompok prajurit Mataram masih saja melontarkan anak panah. Namun akhirnya Panembahan Senapati memerintahkan, pasukan Mataram untuk mundur dari medan.

Matahari yang telah melewati puncak langit itu, panasnya bagaikan membakar kulit. Berangsur-angsur pasukan Mataram itu mundur dari medan, setelah setengah hari lewat sedikit menjajagi kekuatan pertahanan Pati.

Ketika para prajurit itu sampai di perkemahan, Panembahan Senapati pun langsung memanggil para panglima dan senapati Mataram, serta para pemimpin pasukan pengawal yang ada di dalam pasukannya. Dengan singkat Panembahan Senapati telah memberikan beberapa petunjuk dan pesan kepada mereka, sesuai dengan hasil penjajagan yang telah dilakukan oleh pasukan Mataram.

Karena menurut laporan bahan pangan yang tidak terbakar masih mencukupi untuk beberapa hari, maka Panembahan Senapati belum akan menyerang Pati di keesokan harinya.

“Kita akan melengkapi peralatan kita sesuai dengan gelar pertahanan pasukan Pati,” berkata Panembahan Senapati, “nanti, lewat para panglima dan senapati, aku akan memberikan perintah-perintah selanjutnya.”

Demikianlah, setelah pertemuan itu dianggap selesai, Panembahan Senapati telah berbicara secara khusus dengan beberapa orang terdekat

Ternyata pertemuan itu menghasilkan kesimpulan bahwa Mataram masih harus menyempurnakan alat-alat yang akan mereka pakai untuk memasuki benteng pertahanan Kanjeng Adipati Pati.

“Kita tidak usah tergesa-gesa,” berkata Panembahan Senapati, “tetapi kita akan berhasil dengan korban yang sekecil-kecilnya. Meskipun hari ini kita sudah kehilangan beberapa orang terbaik kita, namun itu adalah pengorbanan yang sangat berarti bagi langkah-langkah kita selanjutnya.”

Dengan perhitungan yang cermat berdasarkan penilaian dari segala sisi, maka pasukan Mataram masih dapat bertahan untuk beberapa hari lagi di tempat itu.

Di hari berikutnya, para prajurit telah membuat beberapa peralatan yang lebih baik. Tangga-tangga bambu telah dibuat berkaki, sehingga tidak perlu disandarkan pada dinding pertahanan Pati. Perisai-perisai yang besar yang terbuat dari anyaman bambu yang kuat, lebih diperkuat lagi untuk menahan batu-batu yang dilontarkan dari atas dinding. Karena menurut perhitungan, para prajurit Pati tentu sudah menyediakan batu-batu yang lebih besar.

Para prajurit pun telah mempersiapkan jangkar-jangkar besi serta tali-tali serabut kelapa. Beberapa potong kayu yang panjang, yang akan dipergunakan untuk memecahkan pintu gerbang.

Persiapan-persiapan itu tidak dapat mereka selesaikan dalam satu hari.

Tetapi para prajurit Pati pun tidak tinggal diam. Mereka juga mempelajari dan membicarakan cara orang-orang Mataram menyerang benteng pertahanan Pati. Orang-orang Pati pun telah mempersiapkan senjata-senjata yang paling baik, termasuk batu-batu yang cukup besar, yang sebelumnya tidak dilakukan.

Dengan persiapan-persiapan itu, Mataram ingin mengurangi korban dengan keberhasilan tertinggi, sementara Pati ingin mempertahankan setiap jengkal tanahnya

Dalam pada itu, selagi para prajurit dan pengawal dari Mataram sibuk menyiapkan alat-alat yang lebih baik untuk memasuki dinding kota, sementara Pati berusaha memperkuat pertahanannya, maka jauh dari Pati telah terjadi peristiwa yang lain.

Di padepokan Kiai Warangka, tiga orang sedang melakukan semadi untuk mencoba melihat, apakah sebuah peti tembaga yang besar yang pernah berada di padepokan itu di saat padepokan itu belum dipimpin oleh Kiai Warangka, masih ada atau peti itu sudah berada di tempat lain. Ketiga orang itu mencari petunjuk-petunjuk atau isyarat-isyarat di dalam semadinya untuk menemukan peti-peti itu.

Ternyata ketiga orang itu mempunyai cara yang berbeda. Seorang di antara mereka melakukan semadi di dalam ruang yang telah disediakan. Tetapi dua orang yang lain, setelah semalam berada di dalam bilik itu, ternyata telah minta ijin untuk melakukannya di luar, justru di tempat yang agak jauh dari bangunan-bangunan yang ada di padepokan itu.

Meskipun demikian orang-orang itu tidak terlepas dari pengawasan para cantrik dari padepokan Kiai Warangka. Bukan saja orang yang melakukan semadi di dalam ruangan. Tetapi juga orang yang melakukan semadi di luar ruangan:

Tetapi kedua orang yang melakukan semadi di luar ruangan itu hanya dilakukan di malam hari. Di siang hari keduanya melepaskan diri dari semadi mereka dan hidup sebagaimana seseorang menjalani hidup sehari-hari. Mandi, makan, minum dan kegiatan-kegiatan yang lain.

Namun orang yang berada di dalam bilik itu sama sekali tidak terlepas dari suasana semadinya. Orang itu hanya makan sekali sehari di tengah malam. Minum beberapa teguk dan sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Tanpa menyentuh air sama sekali.

“Paman Resa yang sebenarnya harus menjalani semadi penuh untuk menemukan peti itu,” berkata Perbatang, salah seorang yang terhitung muda. Lalu katanya, “Sedangkan kami berdua harus membantunya. Karena itu, maka hanya kami lakukan di malam hari. Untuk mendapat suasana yang segar serta penglihatan batin yang jauh, kami berdua berada di luar ruangan.”

Ki Serat Waja yang mendapat tugas untuk melayani mereka meng-angguk-angguk. Katanya, “Kami juga berharap agar usaha ini berhasil. Karena dengan demikian, padepokan Kakang Warangka tentu juga akan dapat dikembangkan, meskipun sama sekali tidak bermaksud menyaingi rencana Kakang Timbang Laras.”

“Ya,” jawab Perbatang, “alangkah baiknya jika kedua padepokan ini dapat berkembang bersama-sama.”

“Seandainya aku dapat membantu, maka aku pun akan membantunya,” berkata Ki Serat Waja.

“Apa yang Ki Serat Waja lakukan, sudah merupakan bantuan yang sangat besar bagi kami.”

Ki Serat Waja tertawa. Katanya, “Hanya itu-lah yang dapat kami lakukan.”

Demikianlah, dari hari ke hari semadi itu berlangsung. Suasana di dalam bilik yang dipergunakan untuk melakukan semadi oleh Ki Resa itu suasananya memang menjadi lain. Udara di dalam bilik itu menjadi panas. Tubuh Ki Resa sendiri telah basah oleh keringat. Tetapi selama semadi, Ki Resa sama sekali tidak menyentuh air.

Para cantrik yang bertugas di depan bilik itu kadang-kadang memang merasakan sesuatu yang mendebarkan. Hal-hal yang tidak dapat mereka cerna dengan nalar telah terjadi.

Pada suatu malam, ketika kentongan berbunyi dengan irama dara muluk di tengah malam, di dalam bilik itu nampak cahaya yang sangat terang. Seolah-olah matahari telah terbit di dalam ruang semadi itu.

Tetapi hal itu tidak terlalu lama terjadi. Beberapa saat kemudian, sinar yang terang itu pun mulai meredup, sehingga akhirnya yang nampak tidak lebih dari cahaya lampu minyak yang ada di dalam ruang itu.

Pada saat yang lain, ketika cantrik yang lain pula yang bertugas di depan bilik itu, telah terjadi pula peristiwa yang mendebarkan. Pintu dan dinding bagian depan bilik itu bergetar dengan keras, seakan-akan telah diguncang oleh gempa yang besar. Tetapi bagian lain dari padepokan itu sama sekali tidak merasakan getaran itu.

Pertanda-pertanda yang aneh itu membuat para cantrik percaya bahwa orang yang ada di dalam bilik, yang disebut Ki Resa itu, memang seorang yang memiliki kemampuan yang tinggi.

Ketika hal itu disampaikan kepada Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga, maka mereka pun menjadi tertarik pula.

Namun tanggapan lain pun telah diberikan oleh berapa orang cantrik. Mereka telah memberikan laporan tentang dua orang yang lain, yang juga mempunyai tugas untuk bersama-sama Ki Resa mencari peti yang hilang itu.

“Nampaknya mereka juga mempunyai tugas lain,” berkata salah seorang cantrik.

“Tugas apa?” bertanya Ki Serat Waja.

“Mengamati keadaan padepokan ini. Mereka agaknya ingin mengetahui kekuatan yang sebenarnya dari padepokan ini.”

Kiai Warangka mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga. Karena itu, kita sisihkan sebagian dari para cantrik untuk berada di kebun sayur-sayuran dan di lingkungan peternakan. Sejak semula aku sudah curiga bahwa Timbang Laras mempunyai maksud yang kurang baik. Apalagi ketika ia datang bersama orang yang bernama Ki Jatha Beri itu.”

Ki Jayaraga pun mengangguk-angguk. Katanya, “Memang tidak ada jeleknya kita berhati-hati. Jatha Beri memang orang yang berbahaya. Aku kira, Jatha Beri-lah yang telah menghasut Kiai Timbang Laras, sehingga Kiai Timbang Laras sampai hati mempertanyakan peti tembaga itu. Seandainya itu timbul dari niatnya sendiri, kenapa baru sekarang? Kenapa tidak sejak saat ia memisahkan diri dan mendirikan sebuah padepokan?”

“Aku juga mengira begitu, Ki Jayaraga,” berkata Kiai Warangka, “karena itu, maka aku pun telah berprasangka kurang baik terhadap saudara seperguruanku sendiri. Aku telah mengaburkan kenyataan tentang padepokan ini, karena aku ingin berhati-hati dan tidak terjebak ke dalam kesesatan nalar Timbang Laras.”

“Menurut pendapatku, apa yang Kakang lakukan itu benar. Menghadapi Ki Jatha Beri maka kita memang harus berhati-hati,” desis Ki Serat Waja.

Ki Jayaraga pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Kiai Warangka tidak usah menyalahkan diri sendiri. Kalau Kiai Warangka berprasangka buruk terhadap saudara seperguruan sendiri, itu tentu ada sebabnya. Apalagi setelah Kiai Warangka melihat kehadiran Kiai Timbang Laras bersama Jatha Beri.”

Kiai Warangka menarik nafas panjang. Namun katanya kepada Ki Serat Waja, “Meskipun demikian Serat Waja, kau harus tetap bersikap baik kepada ketiga orang itu. Mudah-mudahan mereka tidak memanasi keadaan, sehingga yang akan timbul adalah permusuhan yang berkepanjangan.”

Ki Serat Waja mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku akan berusaha, Kakang.”

Sebenarnyalah sikap Ki Serat Waja kepada ketiga orang itu tetap baik, meskipun laporan-laporan dari para cantrik menjadi semakin meyakinkannya bahwa orang-orang yang ditinggalkan oleh Kiai Timbang Laras itu, terutama dua orang yang melakukan semadi di luar ruangan, berusaha untuk mengetahui segala seluk beluk tentang padepokan ini.

Tetapi Ki Serat Waja dan para cantrik yang melayani mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan. Para cantrik tidak pernah memberikan keterangan selengkapnya tentang padepokan itu.

Demikianlah, ketika mereka sampai pada hari kelima, maka yang tidak wajar itu telah terjadi pula di dalam ruangan tempat Ki Resa bersamadi.

Malam itu ternyata Ki Resa tidak makan sama sekali. Biasanya di tengah malam Ki Resa itu, meskipun hanya sedikit, selalu makan dan meneguk air putih.

Para cantrik yang bertugas seakan-akan sudah merasakan getar ketidakwajaran itu sejak sore hari. Apalagi ketika malam itu Ki Resa menolak untuk makan.

Karena itu, para cantrik itu minta agar Ki Serat Waja juga berada bersama para cantrik itu untuk melihat, apa yang akan terjadi.

Ki Serat Waja pun memenuhi keinginan para cantrik itu. Sejak malam menjelang sepi wong, Ki Serat Waja sudah berada di antara para cantrik itu.

Demikianlah, ketika tengah malam lewat, suasana di sekitar tempat semadi itu menjadi semakin menegangkan. Tanpa diketahui sumbernya, mereka telah mendengar suara berderak-derak seperti dinding bambu yang koyak..

Beberapa saat kemudian, mereka yang berada di luar ruangan itu melihat sinar yang berkilat. Sekali, dua kali. Dan bahkan berulang kali.

Para cantrik menjadi tegang. Ki Serat Waja yang ada di antara para cantrik itu menjadi sangat berhati-hati. Dengan seksama Ki Serat Waja memperhatikan apa yang terjadi di dalam ruangan itu, meskipun yang nampak dari luar tidak lebih dari kilatan-kilatan cahaya. Namun ketika malam menjadi semakin dalam, maka kilat yang seakan-akan sambar-menyambar itu menjadi semakin sering terjadi. Suaranya pun menjadi semakin keras, dan ruangan tempat orang itu bersemadi pun menjadi bergetar.

Di dini hari, maka ruangan itu benar-benar telah berubah seakan-akan menjadi berantakan. Ledakan-ledakan kecil telah mengguncang bilik itu. Kadang-kadang para cantrik yang menyaksikannya menjadi cemas, bahwa bangunan itu akan roboh.

Tetapi menjelang fajar, segala-galanya telah mereda. Cahaya kilat yang sambar-menyambar dengan suara yang gemuruh itu sudah tidak terdengar lagi.

Ketika kemudian cahaya langit menjadi merah, ruangan itu sudah menjadi sepi.

Di pepohonan, burung-burung pun mulai berkicau. Suaranya yang bening terdengar saling bersahutan. Lagu pagi yang merdu mengumandang di dahan dan ranting-ranting.

Para cantrik yang bertugas dan Ki Serat Waja masih duduk di tempatnya. Ketika cantrik yang bertugas berikutnya telah datang, ternyata cantrik yang bertugas semalam masih belum beranjak dari tempatnya.

“Kenapa kalian tidak beristirahat?” bertanya cantrik yang baru datang.

“Aku akan berada di sini sebentar lagi.”

Para cantrik yang baru datang itu mengetahui, bahwa ada sesuatu yang sangat menarik perhatian mereka.

Demikianlah, ternyata beberapa saat kemudian, pintu bilik itu telah terbuka. Mereka melihat Ki Resa berdiri di ambang pintu bilik semadinya.

“Aku sudah selesai,” berkata Ki Resa, “aku tidak perlu memperpanjang semadiku sampai hari ketujuh.”

Ki Serat Waja mendekatinya sambil bertanya, “Apa yang Ki Resa perlukan sekarang.?”

“Air landha merang. Aku harus mandi keramas,” jawab Ki Resa. Namun tiba-tiba iapun bertanya, “Di mana kedua orang saudaraku itu?”

“Nanti sebentar mereka akan datang,” jawab Ki Serat Waja, “biasanya setelah bersemadi semalam suntuk, keduanya lalu mandi dan berbenah diri. Baru kemudian datang kemari.”

Sebenarnyalah sesaat kemudian, dua orang yang juga bersemadi di padepokan itu meskipun tidak penuh sebagaimana Ki Resa, telah datang pula.

“Paman Resa,” desis Perbatang.

“Terima kasih atas dukungan kalian,” berkata Ki Resa.

“Jadi, bagaimana Paman?” bertanya Perbatang.

“Aku akan mandi dan keramas. Nanti baru kita akan berbicara mengenai tugas kita,” berkata Ki Resa itu.

“Baiklah,” berkata Perbatang, “silakan Paman Resa mandi dan keramas dahulu.”

Ketika seorang cantrik telah menyiapkan landha merang, maka Ki Resa pun telah berada di pakiwan untuk mandi keramas. Baru beberapa saat kemudian, Ki Resa itu selesai berbenah diri.

Ki Serat Waja pun kemudian telah mempersilakan Ki Resa itu duduk di bangunan utama padepokan itu. Sebagai seorang yang pernah menjalani beberapa macam laku, maka Ki Serat Waja pun tahu, apa yang pantas disuguhkan bagi seseorang yang baru saja selesai menjalani laku yang keras.

Sejenak kemudian, di hadapan Ki Resa telah dihidangkan minuman hangat dan bubur beras yang cair.

“Terima kasih, terima kasih,” desis Ki Resa, “orang-orang yang sering menjalani laku tentu mengetahui makanan apakah yang paling baik bagi seorang yang baru saja selesai menjalani laku.”

“Menurut kata orang, Ki Resa,” berkata Ki Serat Waja yang menemani Ki Resa, yang tubuhnya terasa menjadi segar setelah ia meneguk minuman hangat dan makan bubur cair yang hangat pula.

Dua orang kawannya pun telah duduk bersama Ki Resa di pendapa. Setelah selesai makan bubur cair itu, Perbatang pun kemudian bertanya, “Paman. Seperti yang Paman katakan, bagaimanakah hasil semadi yang telah Paman lakukan? Kami berdua telah mencoba untuk membantu sejauh dapat kami lakukan.”

“Aku merasakan getar dukungan kalian,” jawab Ki Rasa, “tanpa dukungan kalian, usahaku akan sia-sia. Keberadaan kalian berdua di luar bilik itu seakan-akan telah memperluas tebaran pandangan batinku. Karena itu, aku menjadi semakin yakin akan hasil pengamatan semadiku.”

“Jadi bagaimana hasilnya menurut Paman?”

Ki Resa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita akan menyampaikan kepada Kiai Timbang Laras.”

Kedua orang kawannya itu pun mengangguk-angguk. Pinuji, salah seorang dari kawan Ki Resa itu pun berkata, “Kita akan menyesuaikan hasil penglihatan kita masing-masing. Meskipun tugas kami membantu Paman Resa, tetapi kami pun telah mendapatkan isyarat-isyarat di dalam semadi kami. Isyarat-isyarat itu memang kami teruskan kepada Paman Resa untuk diterjemahkan bersama isyarat-isyarat lain yang dapat Paman tangkap. Tetapi bukankah kami juga berhak untuk berbicara tentang isyarat-isyarat itu?”

“Tentu, Pinuji, Kita dapat saja berbicara tentang isyarat yang kita lihat. Maksudku, semuanya itu akan kita bicarakan bersama Kiai Timbang Laras. Karena Kiai Timbang Laras adalah orang yang paling berkepentingan dengan semadi itu, sehingga aku akan berbicara pertama kali dengan Kiai Timbang Laras. Tentu saja bersama Pinuji dan Perbatang.”

Pinuji tidak ingin memaksa Ki Resa untuk berbicara lebih jauh. Sudah menjadi sifat dan watak Ki Resa yang teguh pada sikapnya, sehingga jika ia sudah menyatakan keberatannya, maka apapun yang dikatakan, Ki Resa tentu akan tetap berkeberatan.

“Jadi, apakah kita akan segera kembali ke padepokan Kiai Timbang Laras?” bertanya Perbatang.

“Ya. Kita tidak akan terlalu lama di sini. Bukankah tugas kita sudah selesai?” bertanya Ki Resa.

Kedua orang yang menyertainya dalam semadi, meskipun hanya di malam hari, itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan segera kembali.”

“Hari ini dan malam nanti kita dapat beristirahat. Besok pagi-pagi kita akan berangkat sebelum matahari terbit. Perjalanan di dini hari adalah perjalanan yang paling menyenangkan,” berkata Ki Resa.

Dengan demikian, maka pada hari itu dan malam harinya, ketiga orang itu masih tetap berada di padepokan. Kiai Warangka dan Ki Jayaraga yang kemudian ikut menemui ketiga orang itu pun merasa sama sekali tidak keberatan, jika ketiga orang itu akan bermalam lagi.

“Kapan saja kalian kehendaki,” berkata Kiai Warangka.

Sementara mereka berada di padepokan, seperti biasanya Pinuji dan Perbatang telah melihat-lihat isi padepokan itu.

Ki Resa yang masih nampak letih, lebih banyak duduk-duduk di pendapa bersama Kiai Warangka, Kiai Timbang Laras dan Ki Jayaraga.

Ternyata kepada mereka, Ki Resa telah mengatakan apa yang telah dilihatnya dalam semadinya, “Kiai Warangka, peti itu tidak ada di padepokan ini. Aku yakin itu. Akupun yakin bahwa Kiai Warangka dan Ki Serat Waja tidak bersalah sama sekali. Peti itu meninggalkan padepokan ini, sebelum Kiai Warangka memimpin padepokan ini.”

Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga memang agak terkejut mendengar pengakuan itu. Ki Resa merasa keberatan dan tidak mau mengatakannya kepada kedua orang kawannya. Tetapi Ki Resa justru telah mengatakannya kepada Kiai Warangka dan Ki Serat Waja. Bahkan di depan Ki Jayaraga, yang juga seorang tamu bagi padepokan itu.

Ki Resa yang seakan-akan mengetahui perasaan Kiai Warangka, Ki Serat Waja dan Ki Jayaraga itu pun berkata, “Aku memang tidak ingin mengatakan kepada kedua orang itu. Mereka merasa diri mereka terlalu penting. Bahkan seakan-akan mereka-lah yang menentukan segala-galanya. Mereka tentu juga akan mengatakan bahwa penglihatan mereka-lah yang sangat mempengaruhi hasil dari penglihatanku. Sikap itu-lah yang ingin aku manfaatkan. Biarlah di depan Kiai Timbang Laras dan Ki Jatha Beri aku mengatakan bahwa apa yang aku lihat hanyalah pantulan dari penglihatan mereka. Baru kemudian aku akan mengatakan bahwa peti itu tidak ada di sini, dan tidak ada di mana-mana di dalam jangkauan Kiai Warangka, Kiai Timbang Laras dan Ki Serat Waja. Meskipun bukan berarti tidak dapat dicari sama sekali. Namun aku tidak akan mengatakan kemudian untuk menemukannya.”

Ketiga orang yang mendengarkannya itu mengangguk-angguk. Mereka menemukan sikap yang lain pada Ki Resa.

“Selain terlalu rumit, serta harus menjalani laku yang sangat berat, akhirnya peti itu akan jatuh ke tangan orang-orang yang tamak.”

“Siapakah Ki Rasa sebenarnya?” bertanya Kiai Warangka, “Aku melihat perbedaan sikap antara Ki Resa dengan orang-orang yang nampaknya bekerja sama dengan Ki Resa.”

“Aku bukan salah seorang dari mereka,” jawab Ki Resa. “Mereka datang kepadaku karena menurut pendapat mereka aku dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh orang lain. Aku sengaja menyatakan kesediaanku. Agar mereka percaya, aku menuntut upah yang tinggi, sesuai dengan barang-barang yang akan dapat ditemukan di dalam peti itu. Ternyata mereka juga menyertakan kedua orang yang menurut mereka juga memiliki penglihatan jiwani.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar