Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 296

Buku 296

Dengan teliti Untara telah memberikan perintah dan pesan kepada seluruh pemimpin kelompok dalam pasukannya. Kapan mereka mulai menyerang sasaran dan sejauh mana mereka bergerak. Isyarat kepada seluruh pasukan saat mereka harus menarik diri. Kemana mereka harus mundur, dan kemudian menentukan tempat untuk berkumpul seluruh pasukan pada kemungkinan pertama, kedua dan terakhir.

Beberapa saat kemudian, maka seluruh kekuatan yang ada telah diperintahkan untuk mulai bergerak. Mereka akan menyerang dari beberapa arah. Seperti saat mereka menyerang landasan pengamanan pasukan Pati, maka mereka dibagi dalam beberapa kesatuan, yang masing-masing akan menyerang dari arah yang berbeda.

Sementara itu, seluruh pasukan Pati pun telah mempersiapkan diri. Seperti yang telah mereka rencanakan, maka mereka akan berangkat sebelum fajar. Perjalanan yang sebenarnya sudah tidak terlalu jauh lagi itu akan ditempuh dalam waktu yang cukup lama oleh sebuah pasukan yang besar.

Karena itu, maka di dini hari setiap prajurit telah mulai bersiap-siap. Mereka harus membenahi diri. Senjata-senjata mereka, serta mempersiapkan pertanda-pertanda kebesaran.

Beberapa saat kemudian, telah terdengar suara bende yang dipukul sekali. Pertanda bahwa para prajurit harus sudah selesai berbenah diri. Kemudian terdengar suara bende yang kedua. Perintah bagi seluruh pasukan untuk berkumpul.

Pada saat itulah prajurit Mataram telah bersiap untuk menyerang. Para pengamat dan petugas sandi telah memberikan gambaran jajaran pasukan Pati, yang sudah tersusun dalam barisan yang sudah siap untuk berangkat menuju ke Prambanan.

Sementara itu, langit masih nampak kehitam-hitaman. Meskipun demikian, pertanda fajar sudah mulai menapak.

Para prajurit Mataram dan para pengawal beberapa kademangan mulai gelisah. Mereka mendapat pesan agar serangan mereka dilakukan sebelum fajar. Jika pasukan itu tidak segera berangkat, maka pasukan Untara itu akan kehabisan waktu, sehingga mereka harus bertempur sampai matahari terbit, dan bahkan mungkin saat matahari mulai memanjat langit.

Namun ternyata pasukan Pati itu memang tidak menunggu fajar. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi bende untuk yang ketiga kalinya. Pertanda bahwa pasukan Pati yang besar itu akan berangkat ke Prambanan.

Tetapi suara bende itu pun merupakan perintah bagi pasukan Mataram untuk menyerang. Karena itu, demikian sekelompok pasukan yang membawa pertanda kebesaran, umbul-umbul dan rontek mulai bergerak, maka para prajurit Mataram serta para pengawal yang sudah berada di sekitar tempat itu pun mulai bergerak. Dengan diam-diam mereka menyusup di antara pepohonan dan dinding-dinding halaman, mendekati pemusatan pasukan Pati di bulak di depan padukuhan Jati Anom. Pasukan Untara tidak saja menyerang dari arah Jati Anom, tetapi juga dari padukuhan yang lain, meskipun mereka harus melintasi daerah terbuka, tetapi tidak terlalu luas.

Yang mula-mula dilihat oleh para prajurit Pati adalah serangan prajurit Mataram yang harus melintasi tempat terbuka. Serangan itu memang cukup mengejutkan. Pasukan yang bergerak di keremangan sisa malam itu maju terlalu cepat.

Para Senapati dari Pati pun harus segera mengambil sikap. Mereka tidak menunggu perintah dari Kanjeng Adipati, namun pasukan yang langsung mendapat serangan telah menyongsong serangan itu.

Ternyata serangan itu tidak hanya datang dari satu arah. Demikian pertempuran terjadi, maka pasukan yang berada di padukuhan Jati Anom pun telah menyerang pula dengan garangnya.

Serangan itu sama sekali tidak terduga-duga. Karena itu, untuk beberapa saat, para prajurit Pati masih dikuasai oleh keterkejutan mereka. Namun kemudian para perwiranya segera mengambil sikap untuk mengatasi keadaan.

Jumlah prajurit Mataram serta para pengawal memang tidak sebesar pasukan Pati. Namun kejutan itu membuat mereka yang berada di dalam pasukan Pati, yang bukan sejak semula adalah prajurit, menjadi gelisah.

Demikianlah, sejenak kemudian pertempuran pun segera berkobar dengan sengitnya. Pasukan Mataram yang terpencar itu nampaknya memang banyak sekali. Mereka menyerang dari beberapa arah dengan gelar Glathik Neba di dalam keremangan sisa-sisa malam.

Ketika serangan itu kemudian didengar oleh Kanjeng Adipati, maka kemarahan Kanjeng Adipati rasa-rasanya sampai membakar ubun-ubunnya. Tetapi ketika Kanjeng Adipati itu berniat memimpin sendiri menumpas prajurit Mataram yang berani menyerang pasukannya yang besar itu, maka para Panglima telah mencegahnya.

“Satu penghinaan bagi Adipati Pati,” geram Kanjeng Adipati.

“Biarlah anak-anak menyelesaikannya, Kanjeng,” berkata salah seorang panglimanya.

Tetapi pasukan Pati yang baru mulai bergerak itu memang harus berhenti. Dari tempatnya, Kanjeng Adipati melihat pertempuran yang telah menyala di ekor iring-iringan pasukannya. Meskipun prajurit Mataram dan para pengawal itu terhitung banyak, tetapi memang tidak sebanding dengan pasukan Pati yang mulai bergerak itu.

“Orang-orang Mataram memang seperti demit,” geram Kanjeng Adipati, “mereka memang berani. Tetapi licik.”

Para Panglimanya tidak menyahut selain menganguk-angguk.

“Aku menunggu laporan kalian,” berkata Kanjeng Adipati itu.

Dalam pada itu, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Para prajurit Mataram dan para pengawal bertempur dengan berani. Meskipun yang di hadapan mereka adalah pasukan yang besar, namun pasukan yang dipimpin Untara itu sama sekali tidak gentar.

Kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlibat dalam pertempuran itu semakin lama menjadi semakin banyak. Dua orang Senapati Pati sudah terlibat dalam pertempuran itu. Namun prajurit Mataram dan para pengawal itu masih mendesak terus.

Kemarahan telah mencengkam jantung para Senapati Pati itu. Dua orang lagi bersama pasukannya telah terjun ke medan pertempuran. Sehingga dengan demikian, pertempuran telah membakar sebagian besar dari pasukan Pati yang harus berhenti bergerak itu.

Kanjeng Adipati memang menjadi semakin marah. Ketika warna fajar sudah membayang di langit namun pertempuran itu masih belum berakhir, maka Kanjeng Adipati itu pun kemudian menjatuhkan perintah, “Seluruh pasukan bergerak. Kepung prajurit Mataram itu.”

Para Panglima menyadari kemarahan Kanjeng Adipati itu, sehingga tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya.

Karena itu, maka perintah itu pun segera menjalar dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.

Namun Untara pun segera tanggap. Apalagi langit sudah menjadi merah.

Karena itu, maka iapun segera memberikan isyarat. Beberapa orang penghubung telah mendapat perintah untuk meluncurkan panah sendaren ke segala arah.

Anak panah sendaren itu merupakan perintah bagi para prajurit Mataram dan para pengawal serta para cantrik dari padepokan Orang Bercambuk, untuk meningalkan arena, selagi hari masih gelap.

Ternyata pasukan Untara itu bergerak lebih cepat dari pasukan Pati yang besar yang berusaha untuk mengepung lawan. Tetapi karena pasukan Mataram itu menyerang dari beberapa jurusan, maka gerak pasukan Pati pun terasa menjadi lamban.

Dengan demikian, pasukan Mataram telah luput dari kepungan prajurit Pati yang besar itu. Demikian pasukan Pati itu mulai bergerak, para prajurit Mataram itu telah menghilang ke segala arah, masuk ke padukuhan-padukuhan yang masih disaput oleh sisa-sisa kegelapan.

Kegagalan itu membuat Kanjeng Adipati semakin marah. Tetapi pasukan Mataram yang dipimpin Untara itu seakan-akan telah lenyap ditelan bumi.

Para Senapati Pati tidak memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengejar para prajurit Mataram, karena mereka harus segera berangkat ke Prambanan.

Jantung Kanjeng Adipati Pati rasa-rasanya hampir meledak.

Bagaimanapun juga keberangkatan pasukan Pati itu memang harus tertunda. Ternyata bahwa dalam sergapan yang tiba-tiba serta dalam pertempuran yang tidak terlalu lama itu, telah jatuh beberapa orang korban yang terbunuh. Sedangkan banyak di antara prajurit Pati yang terluka.

Dengan demikian, maka para prajurit Pati itu harus lebih dahulu menguburkan para korban. Sementara itu para prajurit yang terluka, apalagi yang parah pada kesempatan dua malam berturut-turut itu, akan menjadi beban pasukan Pati.

Meskipun demikian, pasukan Pati itu tetap merupakan pasukan yang besar.

Namun Kanjeng Adipati Pati itu pun telah mendapat laporan dari para petugas sandi, bahwa Mataram telah menempatkan pasukan yang besar pula di sebelah barat Kali Dengkeng.

Dalam pada itu. di saat-saat Untara menarik pasukannya di bawah bayangan fajar, Ki Tumenggung Wirayuda telah menyiapkan pasukannya dalam gelar sebagaimana dipergunakan di hari-hari sebelumnya. Tetapi dua orang petugas sandi yang mengamati perkemahan prajurit Pati melaporkan bahwa pasukan Pati telah ditarik dari perkemahan.

“Perkemahan prajurit Pati itu sudah kosong. Pasukan yang ada, menjelang dini justru telah meninggalkan perkemahan.”

“Kemana?” bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.

“Ke arah utara,” jawab petugas sandi itu. “Ketika mereka bersiap-siap, kami mengira bahwa mereka sedang mempersiapkan diri untuk mengulangi perang gelar. Tetapi ternyata bahwa pasukan itu justru bergerak meninggalkan perkemahan.”

“Kau sudah melihat perkemahan yang mereka tinggalkan?” bertanya Ki Tumenggung Wirayuda.

“Ya, kami sudah melihatnya. Perkemahan itu memang sudah kosong. Tetapi masih ada beberapa macam peralatan dan sisa-sisa bahan pangan dan perbekalan yang tertinggal. Tetapi nampaknya sudah tidak mencukupi untuk dua tiga hari lagi.”

Ki Tumenggung Wirayuda termangu-mangu sejenak. Kemudian dipanggilnya beberapa orang senapatinya untuk membicarakan laporan yang baru saja diterimanya itu.

“Mungkin Senapati Besar pasukan Pati itu tidak lagi melihat kemungkinan untuk dapat memenangkan pertempuran, sehingga ia mengambil kebijaksanaan untuk lebih baik menarik pasukannya.”

“Jika ia memaksakan pertempuran, maka pasukannya akan pecah hari ini,” berkata Agung Sedayu. “Jika hal itu terjadi, maka korbannya tentu akan banyak sekali.”

Ki Tumenggung Wirayuda sambil menganguk angguk berkata, “Ya. Pati memang tidak mempunyai pilihan lain. Tetapi itu bukan berarti bahwa tidak akan ada serangan berikutnya pada garis pertempuran ini.”

Agung Sedayu memang sependapat. Bahkan Lurah Prajurit dari Pasukan Kusus itu berkata, “Kita harus yakin, bahwa para prajurit Pati itu tidak mencari jalan lain untuk langsung menyerang pintu gerbang kota.”

“Ya. Kita harus melacak gerak mundur pasukan Pati itu,” berkata Ki Tumenggung Wirayuda.

“Harus ada orang yang ditugaskan untuk mengamati keadaan,” sahut Agung Sedayu.

Ki Tumenggung Wirayuda mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menunjuk seseorang, Agung Sedayu itu pun berkata, “Biarlah aku dan Glagah Putih melacak gerak mundur pasukan Pati itu. Tetapi mungkin tidak hanya kami berdua. Mungkin diperlukan empat orang lagi, yang terbagi dalam dua kelompok untuk mengamati keadaan. Namun ketiga kelompok kecil itu akan menempuh jalan yang berbeda.”

“Baiklah,” berkata Ki Tumenggung, “akan ada tiga kelompok yang akan mencoba mencari keterangan tentang pasukan Pati itu.”

Ki Tumenggung tidak menunda waktu lagi. Ketiga kelompok, yang satu di antaranya terdiri dari Agung Sedayu dan Glagah Putih, itu pun diperintahkan untuk segera berangkat.

Ki Lurah Uwangwung, yang juga mendapat tugas untuk mengamati keadaan bersama seorang prajuritnya yang terpilih, akan menelusuri Kali Code. Jika ia menemukan jejak penyeberangan Pasukan Pati, maka ia harus segera memberikan laporan. Sedangkan dua orang yang terdiri dari seorang prajurit penghubung dan seorang prajurit sandi, telah diperintahkan untuk mengamati di sisi lain. Mereka harus pergi ke padukuhan-padukuhan yang tidak terlalu jauh dari medan, untuk mencari keterangan jika orang-orang yang tidak mengungsi dari padukuhannya itu melihat sepasukan prajurit yang sedang bergerak.

Sementara ketiga kelompok kecil itu sedang berusaha menelusuri gerak pasukan Pati, maka para prajurit dan pengawal yang berada di perkemahan tetap bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan. Beberapa orang bertugas untuk berjaga-jaga pada jarak beberapa patok dari induk pasukannya, agar pasukan itu tidak dikejutkan oleh gerakan yang tiba-tiba dari pasukan lawan.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan hati-hati telah mendekati perkemahan pasukan Pati. Seperti dilaporkan oleh para petugas sandi, perkemahan itu memang telah kosong. Masih ada sisa bahan pangan, tetapi tidak cukup memadai.

“Agaknya mereka hampir kehabisan pangan,” berkata Glagah Putih.

“Itu hanya salah satu sebab,” sahut Agung Sedayu, “sebab lainnya adalah, kekuatan pasukan Pati itu sudah banyak susut.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, keduanya tidak menemukan sesuatu yang penting di perkemahan itu.

Karena itu, Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih untuk mengikuti jejak gerak mundur pasukan Pati.

Ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak banyak menemui kesulitan. Di sepanjang perjalanan, pasukan Pati itu ternyata telah meninggalkan jejak yang jelas. Batang-batang perdu di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lalui berpatahan. Bekas-bekas jejak kaki dan jejak kuda, setidak-tidaknya kuda beban.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengikuti jejak itu untuk beberapa lama. Tetapi mereka yakin bahwa jarak mereka dengan pasukan yang menarik diri itu tidak terlalu jauh. Pasukan yang meninggalkan perkemahan di dini hari itu tentu tidak dapat berjalan secepat Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Ketika matahari memanjat semakin tinggi, maka firasat Agung Sedayu serta jejak yang ditelusurinya itu mengatakan bahwa jarak mereka menjadi semakin dekat. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mengajak Glagah Putih untuk beristirahat.

“Kita tidak dapat mengikuti mereka pada jarak yang terlalu dekat. Sebenarnya sampai di sini kita sudah yakin bahwa pasukan Pati benar-benar ditarik mundur. Mungkin mereka mempunyai landasan perlawanan yang memang sudah dipersiapkan jika pasukannya terpaksa harus ditarik mundur. Mungkin garis pertahanan kedua, atau bahkan sampai ketiga,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mendengarkan keterangan kakak sepupunya itu sambil mengangguk-angguk. Tetapi ia sependapat dengan kakaknya, bahwa jarak pengamatan mereka sudah cukup jauh, sehingga mereka akan dapat mengambil kesimpulan bahwa pasukan Pati itu benar-benar telah ditarik. Tetapi jika memang benar telah dipersiapkan garis pertahanan kedua dan ketiga, maka pasukan Pati itu tentu akan segera menyusun pertahanannya. Mereka mungkin memperhitungkan bahwa pasukan Mataram akan menyusulnya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Glagah Putih itu pun beristirahat. Keduanya duduk di bawah sebatang pohon yang rindang.

Namun ketika Glagah Putih mulai mengantuk, maka Agung Sedayu berkata, “Kau jangan tertidur di situ.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil tersenyum ia berkata, “Jika hari ini aku harus berada di medan pertempuran, aku tentu tidak akan mengantuk. Tetapi duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sementara angin semilir lembut, mataku rasa-rasanya menjadi sangat berat.”

“Sebenarnya kita memang sudah letih. Kita bertempur sepanjang hari. Sampai jauh malam kau masih sibuk mencari korban pertempuran. Pagi-pagi kita harus sudah siap untuk maju ke medan lagi. Karena itu, adalah wajar jika kau mulai mengantuk. Akupun mengantuk pula.”

“Kita akan melanjutkan perjalanan. Tetapi perlahan-lahan, agar jarak di antara kita dan pasukan itu tidak terlalu dekat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ketika ia siap untuk bangkit, digamitnya Glagah Putih sambil berdesis, “Kau rasakan getar seseorang?”

“Ya,” sahut Glagah Putih, “tetapi tentu lebih dari seorang.”

“Dua orang,” jawab Agung Sedayu.

Keduanya membatalkan niatnya untuk bangkit. Keduanya kembali duduk di bawah bayangan dedaunan yang rindang.

Sebenarnyalah, dua orang kemudian melangkah mendekati. Dua orang yang muncul dari balik rumput perdu yang lebat.

Agung Sedayu memandang kedua orang itu dengan dahi yang berkerut. Namun kemudian iapun berdesis, “Hati-hatilah, Glagah Putih.”

“Siapakah mereka?” bertanya Glagah Putih.

“Entahlah,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak tahu, apakah mereka mempunyai hubungan dengan pasukan Pati atau tidak.”

Kedua orang itu melangkah semakin dekat. Namun kemudian mereka pun berhenti beberapa langkah di hadapan Agung Sedayu dan Glagah Putih, yang masih duduk di tempatnya.

“Ki Sanak,” salah seorang di antara kedua orang itu berdesis, “siapakah kalian berdua? Menurut pengamatan kami, jalur ini adalah jalur gerak mundur pasukan dari Pati. Apakah kalian termasuk prajurit Pati yang mengamati pasukan Mataram, jika pasukan Mataram itu menyusul?”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Ia tidak akan dapat mengingkari siapakah sebenarnya dirinya, karena ia mengenakan pakaian seorang prajurit. Pagi itu ia siap untuk turun ke medan pertempuran, sehingga ia mengenakan pakaian kebesaran seorang Lurah Prajurit Mataram.

Meskipun orang itu bertanya apakah ia prajurit Pati, tetapi Agung Sedayu yakin bahwa orang itu dapat mengenalinya sebagai prajurit Mataram.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun menjawab, “Ki Sanak. Kau tentu mengenali pakaianku. Karena itu, aku tidak usah menjawab pertanyaanmu itu.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Kau benar. Aku memang mengenali pakaianmu. Kau tentu seorang prajurit Mataram. Tetapi pakaian kawanmu itu bukan pakaian prajurit Mataram.”

“Ia bukan prajurit Mataram. Tetapi ia berdiri dan berjuang bersama-sama dengan para prajurit Mataram, karena itu merasa sebagai rakyat Mataram.”

“Bagus,” orang itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu bertanya, “Siapakah kalian Ki Sanak? Dan kenapa kalian berada di daerah yang dibayangi oleh perang? Sementara itu, kalian tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa kalian adalah prajurit. Atau berangkali kalian prajurit sandi dari Pati, yang justru bertugas sebagaimana kau tuduhkan atas kami berdua tadi?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu tertawa lagi sambil berkata, “Ternyata kau menebak tepat. Kami memang petugas sandi dari Pati. Nah, bukankah dengan demikian kita akan langsung berhadapan sebagai lawan?”

Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Begitukah kebiasaan seorang petugas sandi? Mengaku dengan menepuk dada kepada orang yang ditemui di pinggir jalan, dan yang bahkan jelas memakai pakaian seragam prajurit lawannya?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata dengan nada yang lebih keras, “Tidak apa. Kalian tidak akan dapat memberitahukannya kepada siapapun juga.”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “baiklah aku berterus terang. Aku bukan petugas sandi, dan bukan apa-apa. Tetapi aku benci kepada orang-orang Mataram. Jika aku berada di bayangan garis perang, aku memang mencari orang-orang Mataram yang berkeliaran sebagaimana kalian berdua.”

“Kenapa kalian membenci orang-orang Mataram?” bertanya Agung Sedayu.

“Persoalannya sangat pribadi. Ayahku pernah dihukum di Mataram. Ayahku memang bersalah, karena ayahku merampok. Tetapi hukuman yang dialami ayahku telah mengungkungnya sampai akhir hayatnya. Ayahku tidak pernah sempat keluar dari penjara, karena ayahku meninggal saat ia menjalani hukuman. Aku yakin bahwa ayah telah dibunuh oleh orang Mataram.”

“Kau hanya berprasangka buruk,” berkata Agung Sedayu.

“Tidak Ki Sanak. Ayahku baru menjalani hukuman selama 1 bulan. Ketika ayahku masuk penjara, ayahku nampak sehat dan tegar, karena hal itu disadarinya sejak ia menjatuhkan pilihan atas pekerjaan yang dipilihnya. Namun tiba-tiba keluarga kami diberi tahu bahwa ayah meninggal. Kami tidak dapat mengambil tubuhnya, karena menurut para prajurit Mataram tubuh ayahku telah dikubur.”

“Menurut keterangan petugas, kenapa ayahmu meninggal?” bertanya Agung Sedayu.

“Ayah meninggal karena sakit demam. Dan itu sama sekali tidak masuk akal.”

“Jika demikian, kenapa kau tidak mendendam kepada petugas yang menangani ayahmu selama di penjara?”

“Aku tidak tahu, siapakah orangnya. Karena itu, untuk memberi kepuasan kepada diriku sendiri, aku membunuh prajurit-prajurit Mataram. Aku pernah membunuh dua orang prajurit. Tetapi aku belum puas. Ayahku bagiku bernilai sama dengan sepuluh orang. Karena itu, aku pun datang kemari untuk mencari petugas-petugas yang melakukan tugasnya secara terpisah, seperti kalian berdua.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menggamit Glagah Putih sambil berkata, “Bangkitlah. Ternyata kita bertemu dengan seseorang yang hidup di bawah bayangan dendam yang tidak berkeputusan.”

Namun orang itu pun berkata, “Sebaiknya kalian berdua memperhatikan alam di sekeliling kalian untuk yang terakhir kalinya. Lihat matahari yang menjilat langit itu. Pepohonan yang hijau dan jejak pasukan Pati yang nampaknya sedang kalian ikuti. Sebentar lagi kalian akan mati. Tetapi tidak dalam pertempuran dengan prajurit Pati.”

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “kau tentu menyadari bahwa seorang prajurit adalah seorang yang telah ditempa untuk terjun ke dalarn kancah pertempuran. Jika kami hari ini ada di jalur pertempuran itu, bukannya kami tidak mempunyai bekal. Tetapi kami sudah mendapat latihan untuk bertempur dan berkelahi.”

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Dua orang yang pernah aku bunuh itu juga berkata demikian. Namun ternyata keduanya sama sekali tidak berarti apa-apa bagiku.”

“Kapan kau bunuh dua orang prajurit itu? Semalam, dalam mimpi?”

“Setan kau! Aku benar-benar telah membunuh prajurit-prajurit itu dengan tanganku. Aku tidak mempergunakan sepotong senjata pun. Sekarang, kami berdua juga akan membunuh kalian berdua dengan tangan kami. Tidak dengan sepotong senjata pun. He, kenapa kalian berdua tidak membawa senjata?”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Ki Sanak. Kenapa kau tidak bergabung saja dengan Pati? Kau akan mendapat kesempatan untuk membunuh prajurit-prajurit Mataram berapapun kau kehendaki, dalam pertempuran.”

“Buat apa aku bergabung dengan prajurit Pati? Kau lihat bahwa prajurit Pati itu justru telah meninggalkan pertempuran.”

“Jika kau ada di antara mereka, maka Pati tidak akan menarik diri.”

“Persetan,” geram orang itu, “sekarang bersiaplah. Jika kalian berdua akan mencoba melawan, cobalah. Tetapi kawanmu yang masih sangat mudah itu terpaksa tidak akan dapat melihat alam ini lebih lama lagi.”

“la bukan prajurit Mataram,” desis Agung Sedayu.

“Begiku sama saja. Ia adalah seorang anak muda yang ikut bertempur untuk Mataram.”

Agung Sedayu tidak ingin berbicara lebih lama lagi. Kedua orang itu sudah mulai mempersiapkan diri.

Seperti yang mereka katakan, keduanya memang tidak bersenjata. Tetapi keduanya tidak melihat cambuk yang melilit di bawah baju Agung Sedayu. Demikian pula mereka tidak menganggap ikat pinggang Glagah Putih sebagai senjata.

Karena itu, maka keduanya menganggap bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih juga tidak bersenjata. Tetapi dengan demikian, keduanya memang menduga bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih adalah dua orang prajurit yang memiliki kelebihan dari kebanyakan prajurit. 

Dalam pada itu, Agung Sedayu memang teringat kepada prajurit-prajurit yang lain yang mendapat tugas sebagaimana dilakukannya bersama Glagah Putih. Tetapi menurut pengertian Agung Sedayu, kedua orang itu tentu bukan hari itu membunuh dua orang prajurit Mataram.

Ketika kedua orang itu telah siap untuk bertempur, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah bersiap pula. Kepada Glagah Putih, Agung Sedayu itu berbisik, “Berhati-hatilah. Agaknya keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Jika perlu pergunakan ikat pinggangmu meskipun lawanmu tidak bersenjata.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sekilas Glagah Putih itu teringat kepada Raden Rangga. Seorang yang memiliki ilmu tanpa dapat dijajagi seberapa kedalamannya. Raden Rangga pula-lah yang telah memberikan alas pada ilmunya, sehingga ilmunya telah berada dalam tataran yang lebih tinggi. Kemampuannya menggapai sasaran tanpa menyentuhnya, dan bahkan kemudian puncak ilmu yang telah diwarisinya dari Ki Jayaraga, Aji Sigar Bumi, membuat anak muda itu menjadi seorang yang berilmu sangat tinggi. Apalagi Glagah Putih diakui sebagai salah seorang di antara murid utama dalam perguruan Orang Bercambuk.

Karena itulah, maka dengan mantap Glagah Putih telah menghadapi lawannya yang sudah menginjak umur separuh baya.

“Kau sangat mengagumkan, Anak Muda,” berkata orang yang sudah separuh baya itu, “kau sama sekali tidak nampak gelisah menghadapi pertempuran yang lain dengan perang gelar.”

“Apapun yang harus aku hadapi, akan aku hadapi. Meskipun aku bukan seorang prajurit, tetapi aku telah ditempa sebagai seorang prajurit pula.”

“Sebenarnya sayang sekali bahwa aku harus membunuhmu. Kau masih terlalu muda.”

“Justru karena itu, maka aku akan mempertahankan diri. Aku masih merasa terlalu muda untuk mati. Tetapi bukan kita yang menentukan kematian salah seorang di antara kita.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Wajahnya nampak menjadi bersungguh-sungguh sesaat. Namun kemudian ia mengangguk sambil berkata, “Kau benar Anak Muda. Karena itulah agaknya kau sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pertempuran, yang bagi seorang prajurit tentu pertempuran yang sangat khusus.”

“Ya,” jawab Glagah Putih singkat.

Orang itu pun kemudian mempersiapkan diri untuk bertempur melawan anak yang masih sangat muda itu, namun yang menurut pengamatannya memiliki bekal yang cukup mapan. Memang mungkin anak muda itu belum mengetahui tataran kemampuannya. Atau justru belum berpengalaman bertualang di dunia olah kanuragan selain lingkungan keprajuritan serta pengalaman perang gelar, sehingga ia tidak menyadari bahaya yang sebenarnya dihadapinya.

Sementara itu, seorang yang lain, yang mendendam terhadap prajurit Mataram karena kehilangan ayahnya, yang menurut pendapatnya mati dibunuh oleh prajurit Mataram di saat ia sedang menjalani hukuman, telah berhadapan dengan Agung Sedayu. Orang itu sudah mulai bergeser sambil mengayunkan tangannya, untuk memancing Agung Sedayu untuk segera mulai dengan pertempuran.

“Marilah. Bukankah kau prajurit Mataram? Sebelum mati, tunjukkan kepadaku kebesaran Mataram, lewat kemampuan para prajuritnya,” berkata orang itu.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Ia merasa betapa orang itu sangat merendahkan kemampuan para prajurit Mataram. Mungkin yang pernah dilakukannya adalah membunuh dua orang prajurit Mataram dengan mudahnya. Tetapi sudah tentu hal itu tidak boleh terulang kembali.

Tetapi orang itu kemudian berkata, “Ternyata kau berbeda dengan kedua orang prajurit yang telah aku bunuh itu. Kau masih lebih muda. Tetapi kau nampak lebih mantap.”

“Setiap prajurit Mataram mempunyai landasan sikap yang sama,” jawab Agung Sedayu.

Orang itu tidak berbicara berkepanjangan. Dengan kakinya ia menyerang. Namun serangan itu belum merupakan serangan yang bersungguh-sungguh. Karena itu, dengan melangkah ke samping serangan itu dapat dielakkan.

Tetapi serangan-serangan berikutnya mulai menjadi semakin bersungguh-sungguh. Orang itu bergerak semakin cepat. Kaki dan tangannya menyerang berganti-ganti.

Agung Sedayu memang berloncatan surut. Tetapi ia sama sekali tidak mengalami kesulitan menghindari serangan-serangan yang menjadi semakin cepat itu. Namun Agung Sedayu pun kemudian telah mulai membalas dengan serangan-serangan pula.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin bersungguh-sungguh. Serangan-serangan lawannya menjadi semakin berbahaya. Sasarannya mulai mengarah ke tempat tempat yang berbahaya di tubuh Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu pun segera menyesuaikan dirinya. Iapun bergerak lebih cepat. Ia sadar bahwa lawannya memang seorang yang berilmu tinggi, yang benar-benar mempersiapkan dirinya untuk bertualang melakukan balas dendam. Bukannya tidak mungkin bahwa orang itu telah bertahun-tahun menempa diri, menekuni ilmu untuk mendapat kepuasan dengan melepaskan dendamnya atas kematian ayahnya itu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah bertempur dengan sangat berhati-hati.

Sementara itu, semakin lama lawannya itu memang menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan bertenaga. Ayunan tangannya telah menimbulkan desir angin yang semakin lama terasa semakin kuat.

Namun dalam pada itu, lawan Agung Sedayu itu pun semakin meyakini bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu memang memiliki bekal yang tinggi. Ketika ia membunuh dua orang prajurit sebelumnya., rasa-rasanya ia tidak perlu mengerahkan terlalu banyak tenaga dan kemampuannya. Namun menghadapi prajurit yang masih terhitung muda ini, ia harus meningkatkan kemampuannya lebih tinggi lagi. Bahkan ketika terjadi benturan-benturan kekuatan, maka orang itu merasakan bahwa lawannya itu memiliki kekuatan yang sangat besar.

“Kemampuannya berada jauh di atas rata-rata prajurit Mataram,” berkata orang itu di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka orang itu pun semakin meningkatkan kemampuannya pula. Namun ia masih sempat bertanya, “Ki Sanak. Aku kagum akan kemampuanmu yang melampaui para prajurit yang lain. Aku justru merasa senang bertempur melawanmu, karena aku seakan-akan mendapat kawan bermain yang baik. Tetapi sebelum kau mati, aku ingin memperingatkan, semakin banyak keringatku mengalir, maka nasibmu akan menjadi semakin buruk.”

“Adakah yang lebih buruk dari kematian?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku tahu. Kematian bagi seorang prajurit bukanlah sesuatu yang menakutkan. Tetapi bahwa kematian yang terlalu lambat datangnya, sementara prajurit itu sendiri tidak berkemampuan untuk menolaknya, adalah keadaan yang sangat dibencinya.”

“Tetapi bagiku, yang paling aku benci adalah orang yang berusaha memperlakukan orang lain seperti yang kau katakan itu,” sahut Agung Sedayu.

Orang itu menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dengan loncatan panjang ia telah menyerang Agung Sedayu.

Agung Sedayu melenting ke samping, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya. Namun demikian kakinya menyentuh tanah, maka tubuh Agung Sedayu itu pun berputar dengan derasnya. Kakinya terayun mengarah ke kening lawannya.

Orang itu terkejut. Ia tidak menyangka bahwa secepat itu Agung Sedayu membalas serangannya. Meskipun demikian, orang itu masih sempat menghindar dengan menjatuhkan dirinya. Dua kali berguling, kemudian melenting berdiri.

Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkannya. Demikian orang itu berdiri, Agung Sedayu telah meloncat dengan cepat sambil menjulurkan kakinya menyamping.

Serangan itu datang demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak sempat menghindar. Meskipun demikian, orang itu berusaha untuk menangkis serangan Agung Sedayu itu dengan tangannya. Ditebasnya kaki yang terulur itu menyamping.

Tetapi serangan itu datang demikian kuatnya, sehingga benturan yang keras pun telah terjadi.

Meskipun serangan Agung Sedayu tidak mengenai sasarannya, namun benturan itu telah mengguncang keseimbangan lawannya.

Sekali lagi orang itu harus berguling beberapa kali. Baru kemudian ia meloncat bangkit berdiri dengan hati-hati. Tetapi demikian ia tegak, maka iapun siap untuk melawan setiap serangan.

Orang itu memang berhasil mengambil jarak, sehingga Agung Sedayu tidak menyerangnya pada saat ia tegak.

Meskipun demikian, lawannya itu menyadari bahwa prajurit Mataram yang masih terhitung muda itu bukan prajurit yang pernah dibunuhnya. Prajurit yang dihadapinya itu adalah prajurit yang memiliki ilmu yang tinggi.

Orang itu menggeram. Ia sudah menempa dirinya beberapa tahun untuk mematangkan rencananya membalas dendam, la baru puas jika ia sudah berhasil membunuh sedikimya sepuluh orang prajurit.

Tetapi ketika ia menghadapi prajurit yang ketiga, ia telah menjumpai prajurit yang berilmu tinggi.

Orang itu sekali-sekali sempat melihat apa yang terjadi dengan kawannya. Ia menyangka bahwa kawannya itu akan dengan cepat dapat menyelesaikan anak yang masih terlalu muda, yang telah melibatkan diri dalam perang antara Mataram dan Pati itu.

Tetapi orang itu merasa heran kawannya itu justru mulai terdesak.

“Apakah yang sebenarnya telah terjadi?” orang itu bertanya kepada diri sendiri.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih mulai mendesak lawannya yang sudah separuh baya itu. Dengan kecepatan yang tinggi, Glagah Putih telah mampu memotong serangan-serangan lawannya yang keras dan garang.

Lawannya yang memiliki pengalaman yang luas itu menjadi marah. Setiap kali ia menyerang, lawannya yang muda itu sempat mendahuluinya.

“Aku kagumi kemampuanmu yang tinggi Anak Muda, tetapi karena itu pula aku ingin membunuhmu lebih cepat,” geram orang itu.

Tetapi Glagah Putih menyahut, “Sebenarnya aku ingin mengampunimu. Tetapi karena kau masih mengigau untuk membunuh, maka aku akan dapat berubah pikiran.”

“Persetan,” geram lawan Glagah Putih, “ternyata kau anak yang tidak mempunyai unggah-ungguh. Kau kira aku kawan bermainmu? Anak-anak sebayamu, sehingga kau berani mengancamku seperti itu?”

Tetapi Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Jangan merajuk Ki Sanak. Meskipun kita tidak sebaya, tetapi kita sudah terlibat dalam permainan bersama. Karena itu, kita telah berdiri pada tataran yang sama.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi serangan-serangannya pun telah datang membadai. Bahkan Glagah Putih merasakan betapa kemarahan telah membakar jantung lawannya itu, sehingga ilmunya telah meningkat menjadi semakin tinggi.

Dengan tenaga dalamnya, orang itu telah mengangkat kekuatan tenaganya semakin besar. Ia mampu bergerak semakin cepat, sehingga serangan-serangannya pun menjadi semakin berbahaya. Tangannya bergerak dengan cepat menyerang dengan serangan beruntun. Sepasang tangannya itu seakan-akan telah tumbuh dan berkembang menjadi beberapa pasang.

Meskipun demikian Glagah Putih tidak menjadi gentar. Anak muda itu pun telah meningkatkan kemampuannya pula. Glagah Putih mulai meningkatkan tenaga dalamnya, sehingga benturan-benturan yang terjadi menjadi semakin keras. Benturan yang membuat keduanya tergetar surut.

Glagah Putih terkejut ketika ia merasa sambaran angin yang timbul dari ayunan gerak tangan lawannya terasa pedih di kulitnya, sehingga beberapa kali Glagah Putih harus mengambil jarak.

Namun dengan demikian Glagah Putih semakin menyadari bahwa lawannya telah merambah memasuki tataran ilmu puncaknya.

Karena itu, maka Glagah Putih pun menjadi semakin berhati-hati. Agaknya orang itu memang menyimpan ilmu yang dapat diandalkan, sehingga karena itu ia tidak membawa senjata apapun selama berpetualangan bersama kawannya yang mendendam itu.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah semakin meningkatkan ilmunya pula dari tataran ke tataran. Sehingga karena itu, maka kecepatan geraknya pun menjadi semakin bertambah-tambah. Untuk mengimbangi sambaran angin yang terasa pedih itu, Glagah Putih mampu meloncat dan melenting dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Lawan Glagah Putih itu mulai menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia sedang bertempur melawan anak iblis yang memiliki ilmu yang sulit dijajakinya.

Ketika orang itu meningkatkan ilmunya semakin tinggi, Glagah Putih pun telah melakukannya pula. Serangannya menjadi semakin cepat dan semakin rumit.

Dengan demikian, maka kedua orang itu telah mulai bertempur dengan landasan ilmu pada tataran yang tinggi.

Agung Sedayu pun sudah terlibat dalam pertempuran yang sengit pula. Lawannya yang tidak bersenjata itu memang mengandalkan ilmunya yang sangat tinggi.

Orang itu memang menjadi sangat marah ketika Agung Sedayu masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang sudah menjadi semakin meningkat.

Karena itu, maka orang itu pun tidak ingin bertempur berlama-lama. Iapun harus segera membunuh prajurit itu sebagai prajurit ketiga. Jika anak yang masih terlalu muda itu kemudian juga mati, ia adalah korbannya yang keempat, meskipun dilakukan dengan meminjam tangan kawannya yang sudah menyatakan diri untuk membantunya sepenuhnya.

Namun ternyata tidak mudah bagi orang itu untuk membunuh Agung Sedayu. Meskipun ia sudah meningkatkan ilmunya semakin tinggi, namun lawannya yang masih terhitung muda itu masih juga mampu mengimbanginya.

Karena itu, maka orang itu tidak mau lagi menyia-nyiakan waktu. Justru karena lawannya yang masih saja mengimbangi ilmunya, maka orang itu pun segera merambah ke tataran ilmunya yang tertinggi.

Dengan nada berat orang itu menggeram, “Kau ternyata mampu memancing ilmu pamungkasku. Ketika aku membunuh dua orang prajurit Mataram, maka aku sama sekali tidak menitikkan keringat setetespun. Namun kini kau ternyata sempat bertahan untuk beberapa lama, sehingga kau telah membuat darahku menjadi mendidih.”

“Ki Sanak. Kau masih mempunyai kesempatan untuk berpikir. Dendam bukan satu penyelesaian yang baik. Jika kau merasa bahwa yang pernah terjadi atas ayahmu itu tidak adil, maka kau dapat minta keadilan.”

“Omong kosong,” jawab orang itu, “seandainya aku menyampaikan sebab kematian ayahku yang tidak sewajarnya itu kepada para senapati atau kepada siapapun juga, maka justru nasibku-lah yang akan menjadi semakin buruk.”

“Jika kau sudah kehilangan kepercayaan kepada senapati, maka kau masih mempunyai satu kesempatan.”

“Apa?” bertanya orang itu.

“Pepe di depan paseban,” jawab Agung Sedayu.

Tetapi orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Hanya cecurut-cecurut yang penakut dan tidak mempunyai harga diri sajalah yang ingin menyelesaikan persoalan dengan pepe di alun-alun. Kau kira akan ada hasilnya? Jika aku pepe di alun-alun, maka aku hanya akan menjadi tontonan orang, sementara keadilan yang aku harapkan tidak akan pernah aku dapatkan.”

“Kau belum pernah mencobanya. Yang kau katakan itu adalah kebenaran-kebenaran yang terjadi di dalam angan-anganmu saja. Sementara angan-anganmu sudah dilandasi dengan prasangka-prasangka buruk. Dan prasangka buruk itu tumbuh dari endapan jiwamu yang kotor.”

“Setan kau. Aku ingin mengoyakkan mulutmu,” geram orang itu dengan marahnya.

“Jika hal itu ingin kau lakukan, kau tidak usah mengatakannya lebih dahulu, karena kita memang sudah terlibat dalam pertempuran,” sahut Agung Sedayu.

Orang itu menggeretakkan giginya. Kemarahannya sudah tidak terbendung lagi. Karena itu, maka sejenak kemudian orang itu pun telah menghentakkan tangannya mendatar.

Agung Sedayu terkejut. Hanya karena daya tahannya yang sangat tinggi, meskipun ia belum mengetrapkan ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu tidak menjadi pingsan karenanya. Namun serangan yang tidak menyentuhnya secara wadag itu telah melemparkan Agung Sedayu beberapa langkah surut, sehingga Agung Sedayu telah kehilangan keseimbangannya.

Agung Sedayu memang terhuyung-huyung dan kemudian terjatuh. Agung Sedayu justru berguling beberapa kali. Baru kemudian ia melenting untuk tegak berdiri. Tetapi Agung Sedayu telah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya. Dalam waktu sekejap Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya. la menyadari sepenuhnya bahwa lawannya adalah seorang yang memang berilmu sangat tinggi.

Orang itu mengerutkan dahinya. Ia tidak menyangka bahwa Agung Sedayu masih sempat bangkit. Ternyata prajurit Mataram yang terhitung muda itu mampu mengatasi serangan ilmunya yang dibangga-banggakan.

“Tulang-tulang iganya tidak berpatahan,” garam orang itu.

Sementara itu, Agung Sedayu sudah berdiri tegak. Serangan yang menghantam dadanya sebelum ia mengetrapkan ilmu kebalnya itu memang terasa sakit. Tetapi daya tahannya yang tinggi telah menyelamatkannya.

Setelah Agung Sedayu mengetrapkan ilmu kebalnya, maka ia berharap bahwa ilmunya itu akan semakin rapat melindunginya, sehingga ilmu lawannya itu tidak akan menghancurkannya.

Meskipun demikian, Agung Sedayu harus tetap berhati-hati. Ia masih harus memperhitungkan kemungkinan ilmu lawannya sangat tinggi sehingga mampu mengguncang bahkan mengoyak ilmu kebalnya, sehingga akibatnya bisa sangat buruk bagi dirinya.

Ketika orang itu melihat Agung Sedayu yang bangkit dan siap untuk melanjutkan pertempuran, maka ia sadar sepenuhnya bahwa ia benar-benar berhadapan dengan seorang prajurit yang berilmu tinggi, melampaui ilmu kebanyakan prajurit.

Dengan demikian, maka orang itu pun kemudian telah menghentakkan segenap kemampuannya. Ia tidak mau kehilangan kesempatan terakhir untuk menyelesaikan lawannya itu.

Dengan ilmu puncaknya, orang itu pun telah menyerang Agung Sedayu. Serangan-serangan yang sangat berbahaya. Jangkauan ilmu orang itu ternyata melampaui jangkauan kewadagannya. Meskipun tangan atau kakinya atau anggota badannya yang lain belum menyentuh tubuh lawannya, namun ilmu orang itu telah mengenai dan menghantam sasarannya.

Tetapi Agung Sedayu pun dengan cepat mengenali rahasia ilmu lawannya. Sehingga karena itu, maka iapun dengan cepat telah menempatkan dirinya di luar garis serangan lawannya itu. Jika sekali-sekali ia terlambat, maka ilmu kebalnya telah melindunginya, sehingga serangan-serangan itu tidak menyakitinya.

Perlawanan Agung Sedayu itu telah membuat lawannya mulai menjadi gelisah. Serangan-serangan ilmu yang dibanggakannya itu seakan-akan tidak banyak berarti bagi prajurit yang terhitung masih muda itu.

Meskipun orang itu meningkatkan ilmunya sampai ke puncak kemampuannya, namun Agung Sedayu masih saja dengan tegar menghadapinya.

Di lingkaran pertempuran yang lain, lawan Glagah Putih pun semakin meningkatkan ilmunya pula. Sambaran angin dari ayunan serangannya memang menjadi semakin tajam. Bahkan kemudian terasa seperti ujung-ujung duri yang menusuk-nusuk kulitnya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun harus lebih cepat bergerak menghindari serangan-serangan lawannya. Ia tidak saja harus menghindari serangan itu sendiri, tetapi juga harus menghindari sambaran angin yang menyertai setiap ayunan serangannya.

Namun orang itu semakin lama justru bergerak lebih cepat pula, sehingga Glagah Putih kadang-kadang terlambat menghindar, sehingga kulitnya terasa sangat nyeri dan pedih.

Glagah Putih pun kemudian harus menentukan sikap pula menghadapi lawannya itu. Dengan meningkatkan kemampuan, sekali-sekali Glagah Putih dengan sengaja telah memasuki batas sentuhan sambaran angin yang menyakitinya itu. Dengan meningkatkan daya tahannya, Glagah Putih sengaja tidak menghindar, tetapi justru membentur serangan lawannya.

Setiap kali terjadi benturan, lawannya selalu terkejut. Tenaga anak yang masih terlalu muda itu ternyata melampaui batas kekuatan tenaganya, sehingga beberapa kali orang itu harus terdesak surut. Bahkan Glagah Putih selalu berhasil mendorong lawannya beberapa langkah surut.

Akhirnya lawan Glagah Putih itu tidak sabar lagi. Ia telah menghentakkan segala kemampuan dan ilmu yang ada padanya. Bukan sekedar sambaran udara yang menimbulkan perasaan pedih serta bagaikan ditusuk-tusuk dengan ujung duri, tetapi getar udara yang timbul oleh ayunan serangan lawannya itu telah memancarkan getaran panas.

Glagah Putih memang terdesak surut. Tetapi sentuhan udara panas itu telah membuat jantungnya menjadi panas pula.

Dengan demikian, maka Glagah Putih yang terdesak itu semakin meningkatkan kemampuan ilmunya pula. Meskipun Glagah Putih masih belum mengetrapkan ilmu puncaknya, Aji Sigar Bumi, namun Glagah Putih telah mengetrapkan kemampuannya berdasarkan landasan ilmu yang mengalir dari Ki Sadewa lewat Agung Sedayu, yang telah berkembang di dalam dirinya.

Maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Sekali-sekali Glagah Putih memang harus menahan sakit jika sentuhan getar udara panas yang timbul dari hentakan ilmu lawannya menyentuh tubuhnya melampaui batas daya tahannya. Namun serangan Glagah Putih yang cepat dan dorongan kekuatan ilmunya itu setiap kali telah membentur tubuh lawannya. Serangan-serangan Glagah Putih yang menembus pertahanannya dan mengenai tubuhnya itu mulai menyakitinya pula.

Glagah Putih yang melihat keadaan lawannya, memang tidak meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi. Ia tidak pula mengetrapkan kemampuan puncaknya sebagai murid utama Orang Barcambuk. Namun perlahan-lahan ia merasa akan berhasil menguasai lawannya yang sudah separuh baya itu.

Lawan Glagah Putih memang menjadi semakin gelisah. Lawannya yang masih sangat muda itu ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Bahkan orang itu yakin, bahwa ilmu anak muda itu masih dapat ditingkatkan.

Dalam pada itu, lawan Agung Sedayu itu pun semakin mengalami kesulitan. Tetapi ia masih bertekad untuk mengalahkan prajurit yang masih terhitung muda itu.

Ketika kemudian ia meningkatkan ilmunya, maka tidak saja serangan-serangannya yang menjadi semakin garang dan melampaui kecepatan gerak wadagnya, namun jarak jangkau serangan-serangannya itu pun menjadi semakin jauh.

Serangan-serangan itu memang mulai membuat Agung Sedayu menjadi sibuk. Bahkan kemudian hentakan-hentakan ilmu lawannya itu mulai mengguncang ilmu kebalnya, meskipun masih belum mampu menembusnya.

Ketika kemudian Agung Sedayu menekannya lebih kuat, maka orang itu pun menjadi semakin terdesak. Tanpa menghiraukan serangan-serangannya, Agung Sedayu itu justru menjadi semakin garang.

Agung Sedayu yang semakin mendesak lawannya itu pun kemudian masih berusaha memperingatkannya. Katanya, “Ki Sanak. Masih ada kesempatan. Meskipun kau mengaku sudah membunuh dua orang prajurit Mataram, namun aku masih belum memutuskan untuk membunuhmu sekarang. Jika kau menyerah, maka aku akan membawamu menghadap Senapati Mataram yang bertugas menghadapi prajurit Pati yang menarik diri.”

“Persetan dengan igauanmu,” geram orang itu, “aku akan membunuhmu.”

“Kedudukanmu akan menjadi semakin sulit. Selagi aku belum berubah pendirian, menyerahlah,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia justru menyerang Agung Sedayu semakin sengit.

Agung Sedayu yang telah memberinya kesempatan untuk menghentikan perlawanan namun tidak dihiraukannya itu, tidak dapat berbuat lain kecuali memaksa lawannya, sehingga lawannya itu sama sekali tidak mampu melawannya lagi.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun telah meningkatkan kemampuannya lebih tinggi lagi.

Perlawanan orang itu menjadi semakin sia-sia. Kemampuan ilmunya yang dianggapnya tidak terlawan oleh para prajurit Mataram itu ternyata tidak berdaya di hadapan prajurit Mataram yang satu itu. Bahkan semakin lama serangan-serangan lawannya yang masih terhitung muda itu semakin banyak mengenai tubuhnya.

Agung Sedayu yang mengetrapkan ilmu kebalnya itu dapat menyusup menembus pertahanan lawannya semakin sering, sedangkan serangan lawannya yang mampu menghentak mendahului sentuhan wadagnya itu tidak mampu mengoyak pertahanannya, meskipun sekali-sekali terasa dapat mengguncangnya.

Namun akhirnya orang itu pun harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Beberapa kali orang itu terdorong surut, bahkan terganggu keseimbangannya, dan semakin lama semakin menyakitinya. Bahkan meskipun orang itu berhasil menangkis serangan Agung Sedayu, namun benturan yang terjadi kadang-kadang telah melemparkannya, sementara tulang-tulangnya menjadi nyeri.

Orang itu tidak mempunyai harapan lagi untuk mampu mengimbangi lawannya itu. Ketika kaki Agung Sedayu mengenai lehernya tepat di bawah telinganya, maka orang itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling.

Namun orang itu dengan cepat melenting terdiri. Dengan tangkasnya ia meloncat menjulurkan tangannya menyerang ke arah dada Agung Sedayu, yang justru sedang bergerak memburunya. Meskipun tangan orang itu tidak sampai menjangkau tubuh Agung Sedayu, namun serangannya itu telah mendahului ujud wadagnya dan menghantam dada Agung Sedayu.

Agung Sedayu terkejut. Ia memang tertahan, dan bahkan terdorong setapak surut. Namun ilmu kebalnya yang semakin ditingkatkan telah melindunginya, sehingga Agung Sedayu tidak merasa sakit sama sekali. Bahkan dengan cepat Agung Sedayu meloncat dengan tangan terjulur lurus mematuk dada.

Orang itu berusaha untuk mengelak, namun Agung Sedayu menahan serangannya. Tangannya berputar menebas mendatar.

Punggung telapak tangan Agung Sedayu ternyata telah menyambar keningnya lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu terdorong ke samping dan bahkan kehilangan keseimbangannya.

Demikian orang itu terjatuh, maka iapun segera berguling mengambil jarak. Baru beberapa putaran kemudian, orang itu meloncat dan bangkit berdiri.

Meskipun ia berhasil tegak pada kedua kakinya, namun terasa kepalanya menjadi sangat pening.

Ketika Agung Sedayu melangkah maju setapak demi setapak, maka orang itu pun menjadi sangat gelisah.

Bagi lawan Agung Sedayu itu memang tidak ada lagi harapan untuk dapat tetap bertahan. Karena itu, maka satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri adalah menghindar dari pertempuran. Orang itu akan mencari kesempatan lain. Tidak semua prajurit Mataram memiliki kemampuan sebagaimana lawannya yang masih terhitung muda itu.

“Aku akan membunuh tidak hanya sepuluh orang,” katanya di dalam hati, “kekalahan hari ini harus ditebus dengan paling sedikit lima orang, sehingga aku harus membunuh seluruhnya lima belas orang.”

Dengan keputusannya itu, maka lawan Agung Sedayu itu pun segera mencari kesempatan. Ia sama sekali tidak menghiraukan kawannya lagi. Ketika ia sempat menahan serangan Agung Sedayu dengan serangannya yang kadang-kadang masih mengejutkan itu, maka iapun segera meloncat dan berlari seperti anak panah yang lepas dari busurnya.

Agung Sedayu terkejut melihat kecepatan lari lawannya. Ia memang sudah mengira bahwa lawannya akan melarikan diri. Namun ia tidak mengira bahwa lawannya itu seakan-akan mampu terbang secepat burung alap-alap.

Agung Sedayu memang mencoba mengejarnya dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Tetapi ia tidak mau kehilangan buruannya yang berlari sangat cepat itu. Sementara itu Agung Sedayu menyadari bahwa lawannya yang membawa dendam itu adalah orang yang sangat berbahaya bagi prajurit Mataram, apalagi prajurit Mataram yang tidak memiliki bekal ilmu yang khusus.

Agung Sedayu tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan, karena orang itu berlari menuju ke semak-semak dan belukar. Yang terbayang di angan-angannya adalah pembunuhan-pembunuhan yang dapat dilakukan lagi oleh orang itu di kemudian, hari. Beberapa orang prajurit Mataram terancam untuk dijadikan korban dendamnya yang membara di jantungnya.

Karena itu, maka yang tersirat di hati Agung Sedayu hanyalah usaha untuk menghentikan pembunuhan-pembunuhan atas orang-orang yang tidak bersalah.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian Agung Sedayu yang merasa sulit untuk dapat menangkap orang yang dikejarnya itu, karena yang dapat dilakukan hanya sekedar menjaga jarak, telah memasuki tingkat ilmu pamungkasnya. Agar tidak kehilangan lawannya yang sangat berbahaya itu, Agung Sedayu justru menghentikan langkah. Namun demikian itu berdiri tegak, maka tiba-tiba dari matanya telah memancar getaran ilmunya, meluncur menyusul lawannya yang berlari sangat cepat itu.

Yang terdengar kemudian adalah lengking yang tinggi. Orang itu bagaikan terdorong dan terlempar beberapa langkah maju. Namun kemudian orang itu terjerembab dan sekali menggeliat, namun kemudian tubuh itu terdiam. Masih terdengar tarikan nafas. Namun kemudian nafas itu pun terputus.

Agung Sedayu pun kemudian berlari menyusul. Dengan jantung yang berdebaran Agung Sedayu kemudian berjongkok di sisi tubuh yang sudah tidak bernafas lagi itu.

Agung Sedayu meraba tubuh itu. Masih terasa kehangatan mengalir di urat-urat darahnya. Namun kemudian telah terhenti, sebagaimana jantungnya berhenti pula berdenyut.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, la sama sekali tidak bernafsu untuk membunuh. Yang terpikir olehnya adalah menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang masih akan dilakukan orang itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih masih bertempur dengan sengitnya. Namun semakin lama lawannya semakin kehilangan kesempatan. Sementara itu Glagah Putih masih belum sampai pada puncak kemampuannya.

Ketika lawan Glagah Putih itu melihat kawannya yang justru mengajaknya melakukan petualangan itu berlari meninggalkan pertempuran tanpa menghiraukan dirinya, maka ia menjadi sangat kecewa.

Karena itu, maka ia merasa tidak ada artinya bertempur lebih lama lagi. Apalagi ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa lawannya yang masih sangat muda itu memiliki ilmu yang tidak dapat diimbanginya.

Dengan demikian, ketika ia menjadi semakin terdesak, maka orang itu pun segera berloncatan mengambil jarak sambil berkata hampir berteriak, “Tunggu, tunggu.”

Glagah Putih masih meloncat memburunya. Tetapi orang itu pun kemudian menjulurkan tangannya ke depan menghadap Glagah Putih, “Tunggu Anak Muda.”

Glagah Putih memang mengekang dirinya. Ia mengamati sikap lawannya dengan hati hati, karena sikap demikian itu dapat saja menyesatkannya. Tiba-tiba dari telapak tangannya yang terbuka dan menghadapnya itu akan dapat meluncur serangan yang berbahaya.

Namun Glagah Putih tidak melihat tanda-tanda bahwa lawannya akan menyerang. Bahkan kemudian kedua tangannya itu pun seakan-akan terkulai di sisi tubuhnya.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Aku menyerah,” berkata orang itu.

“Karena kawanmu sudah melarikan diri dari medan?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak,” jawab orang itu, “aku memang akan menyerah.”

“Bohong,” geram Glagah Putih, “kau sama sekali tidak berniat menyerah. Tetapi karena kau sudah tidak mempunyai kesempatan lagi, maka kau baru menyatakan diri menyerah.”

“Aku memang akan menyerah,” orang itu mulai menjadi gelisah.

“Sudah terlambat,” jawab Glagah Putih.

Wajah orang itu menjadi sangat tegang dan bahkan pucat. Dengan ragu-ragu iapun bertanya, “Kenapa terlambat?”

Glagah Putih melihat wajah yang pucat itu. Keringatnya yang memang sudah membasahi pakaiannya, menjadi seakan-akan diperas dari tubuhnya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Jika kau menyerah, maka kau akan menjadi tawananku. Kau akan kami bawa ke induk pasukan kami.”

Orang itu memang menjadi ragu-ragu. tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia meneruskan perlawanan, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak.

Demikianlah, Glagah Putih telah membawa orang itu mendekati Agung Sedayu, yang kemudian telah bangkit berdiri di sebelah tubuh yang terbujur diam itu. Kepada orang yang menyerah itu Agung Sedayu berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain. Ia berlari terlalu cepat, sehingga sulit bagiku untuk dapat menangkapnya. Karena itu aku terpaksa menghentikannya.”

Orang yang dikalahkan orang Glagah Putih itu pun kemudian berjongkok di sisi tubuh kawannya. Sambil mengusap dahinya, ia berkata, “Nasibmu memang buruk. Tetapi kau telah mengambil jalan yang sesat.”

“Kenapa kau juga melakukannya?” tiba-tiba Glagah Putih bertanya.

“Aku memang sahabatnya, apalagi ia pernah menolongku, sehingga aku merasa berhutang budi kepadanya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Jadi seseorang yang telah berhutang budi itu harus melakukan apa saja untuk membalas budi?”

“Bukankah seekor binatang saja tahu membalas budi?” orang itu justru bertanya.

“Jika kau benar ingin membalas budi, bukan seperti yang kau lakukan sekarang ini. Seharusnya kau justru mencegahnya, agar orang itu tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sebaiknya dilakukan. Dengan demikian, kau akan mencegah orang itu terjerumus ke dalam satu perbuatan yang menjeratnya ke dalam kesulitan, dan bahkan kematian,” berkata Agung Sedayu.

“Penalaranku tidak dapat menjangkau pengertian sejauh itu. Aku hanya tahu, bahwa aku harus membalas budi. Itu saja.”

“Balas budi itu kau lakukan dengan membabi buta,” berkata Agung Sedayu.

Orang itu menundukkan kepalanya. Namun kemudian katanya, “Ya. Aku memang terlalu bodoh.”

“Sekarang, sebelum aku membawamu ke induk pasukanku, maka kita harus mengubur tubuh kawanmu itu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Tetapi dengan apa kita akan menggali lubang kuburnya?”

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang menjadi bingung. Mereka tidak mempunyai alat apapun yang dapat mereka pergunakan untuk menggali tanah yang bercampur padas.

Selagi mereka masih termangu-mangu, orang yang dikalahkan Glagah Putih itu pun berkata, “Jika kita tidak dapat menggali lubang, sebaiknya kita tutup saja tubuh itu dengan bebatuan, agar tidak dikoyak-koyak oleh binatang buas atau binatang malam yang lain.”

Mereka memang tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka mereka bertiga pun kemudian telah mengumpulkan bebatuan di sekitar tempat itu, yang untungnya terdapat banyak berserakan dimana-mana.

Ternyata kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berjalan beberapa ratus patok maju. Namun kemudian mereka tidak mendapatkan tanda-tanda yang mencurigakan, sehingga mereka pun berkesimpulan bahwa pasukan Pati memang benar-benar telah ditarik.

Sebenarnyalah bahwa Pasukan Pati memang sudah ditarik. Bahkan tidak hanya sekedar ditarik mundur. Tetapi pasukan itu ternyata telah ditarik untuk memperkuat pasukan Pati yang akan berkemah di sebelah timur Kali Dengkeng, sementara pasukan Mataram membangun perkemahan di Prambanan, sebelah barat Kali Dengkeng.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai ke perkemahan, empat orang prajurit yang lain yang juga bertugas untuk mengamati keadaan telah kembali pula. Mereka pun melaporkan bahwa mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Menurut pendapat mereka, pasukan Pati itu tentu sudah ditarik dari medan.

Namun beberapa orang petugas sandi mempunyai tugas yang lebih jauh dari tugas yang dibebankan kepada Agung Sedayu dan beberapa orang prajurit yang lain. Mereka ditugaskan untuk mengamati dan menelusuri pasukan Pati itu. Mereka harus memberikan laporan, kemana dan dimana pasukan Pati itu kemudian.

Ki Tumenggung Wirayuda masih belum dengan tergesa-gesa menarik mundur pasukannya. Pasukan Mataram itu masih tetap berada di perkemahannya. Mungkin masih akan terjadi sesuatu, sampai mereka menerima laporan yang meyakinkan dari para petugas sandi.

Dalam pada itu, di seberang-menyeberang Kali Dengkek dengan jarak beberapa ratus patok, kedua pasukan yang besar telah berkemah. Pasukan Pati di sebelah timur, dan pasukan Mataram di sebelah barat.

Pada hari-hari pertama, kedua pasukan itu masih belum bergerak sama sekali. Namun Kanjeng Adipati Pati telah menjadi sangat marah ketika mengetahui bahwa pasukan Mataram yang berkemah di Prambanan dipimpin oleh Kanjeng Pangeran Adipati Anom. Tidak dipimpin langsung oleh Panembahan Senapati.

“Orang-orang Mataram sangat merendahkan aku,” berkata Kanjeng Adipati Pati.

Namun Kanjeng Adipati Pati masih dapat menahan diri untuk tidak bergerak langsung menyeberangi Kali Dengkeng. Tetapi Kanjeng Adipati Pati masih sempat mengatur prajurit-prajuritnya.

Dalam pada itu, Untara yang telah berhasil menghambat dan mengurangi kekuatan Pati telah bergerak pula mendekati perkemahan prajurit Pati di sebelah timur Kali Dengkeng. Namun dalam pada itu, Untara telah mengirimkan beberapa orang penghubung, memberikan laporan dan menerima perintah-perintah dari induk pasukan di Prambanan. Penghubung itu dikirim pada waktu-waktu tertentu secara teratur.

Namun yang tidak diduga, dua orang prajurit sandi yang dikirim oleh Untara untuk melihat perkembangan keadaan secara umum di kaki Gunung Merapi sisi selatan, telah memberikan laporan bahwa mereka melihat gerakan pasukan yang cukup besar, justru datang dari arah barat.

“Mereka berhenti di sebuah padukuhan. Nampaknya pasukan itu kelelahan tanpa persediaan pangan yang cukup.”

“Kalian melihat ciri-cirinya?” bertanya Untara.

“Mereka menggulung semua rontek, umbul-umbul dan kelebet. Tetapi masih nampak tunggul-tunggul yang dapat kami kenali.”

“Menurut pendapatmu, pasukan dari mana?” bertanya Untara pula.

“Pasukan dari Pati,” jawab petugas sandi itu.

Untara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia memerintahkan untuk memastikan pasukan yang berhenti di sebuah padukuhan itu. Apakah benar pasukan itu memang pasukan dari Pati.

Sementara prajurit sandinya masih melakukan penyelidikan maka Untara lewat penghubungnya telah mendapat keterangan dari pasukan induk Mataram di Prambanan, bahwa pasukan Pati yang berada di arah utara Mataram telah menarik diri, meninggalkan perkemahannya.

Dengan demikian, Untara mengambil kesimpulan bahwa pasukan yang dilaporkan kepadanya itu adalah pasukan Pati yang ditarik dari medan di sebelah utara Mataram itu.

Sebaliknya Untara pun telah memberikan laporan pula bahwa prajurit sandinya telah melihat sepasukan prajurit yang nampak letih, berhenti di sebuah padukuhan.

Para perwira Mataram yang menerima laporan Untara itu segera mengambil kesimpulan, bahwa pasukan Pati yang telah ditarik dari sebelah utara Mataram itu diperintahkan bergabung dengan pasukan Pati yang ada di sebelah timur Kali Dengkeng.

Dengan kesimpulan itu, maka sebagian pasukan Ki Tumenggung Wirayuda pun kemudian akan ditarik dan ditempatkan di Prambanan. Sedangkan sebagian lagi akan tetap berada di depan pintu gerbang Kotaraja di sisi Utara, untuk menjaga segala kemungkinan. Adapun pasukan yang tinggal itu adalah para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram, serta para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, dua kekuatan yang sangat besar telah berhadapan di sebelah-menyebelah Kali Dengkeng. Namun agaknya kedua kekuatan itu masih belum bergerak. Keduanya masih menunggu kesempatan terbaik bagi mereka masing-masing.

Namun demikian, kedua kekuatan itu setiap hari telah meningkatkan kesiagaan mereka. Pasukan Pati yang ditarik dari arah utara Mataram itu pun telah bergabung dengan induk pasukan mereka di sebelah timur Kali Dengkeng.

Untara menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat perintah untuk bergabung dengan induk pasukan Mataram. Agaknya Mataram sudah berniat untuk mulai menyerang perkemahan pasukan Pati, yang dipimpin langsung oleh Kanjeng Adipati Pati.

Untara memang berangkat dengan membawa pasukannya ke Prambanan. Namun ia telah melaporkan pula, bahwa beberapa kelompok prajuritnya ditinggal di bawah pimpinan Sabungsari, untuk memotong setiap usaha pengiriman bahan pangan ke perkemahan orang-orang Pati. Di antara pasukan yang ditinggalkan itu adalah pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung.

Ternyata Swandaru adalah seorang pemimpin yang tangkas. Seperti seekor burung pasukan pengawal Sangkal Putung itu terbang sambil menyambar-nyambar. Beberapa iring-iringan bahan pangan yang berhasil dikumpulkan setelah lumbung utama di Ngaru-Aru dimusnahkan, telah dihancurkan oleh pasukan pengawal Sangkal Putung, sehingga pasukan Pati itu mulai terancam persediaan bahan pangannya.

Namun dengan demikian, maka Pati telah meningkatkan persiapannya untuk mempercepat pertempuran.

Dalam pada itu, Panglima pasukan Mataram pun ternyata berniat untuk segera menyerang pasukan Pati. Meskipun demikian, sebagaimana pesan Panembahan Senapati, maka Kanjeng Pangeran Adipati Anom masih diperintahkan untuk kembali lagi menemui pamannya, Kanjeng Adipati Pati. Kanjeng Pangeran Adipati Anom masih haus mencoba untuk melunakkan hati pamannya, agar perang dapat dihindarkan.

Karena itu, maka Pangeran Adipati Anom pun telah mengirimkan utusan untuk menyampaikan niat Pangeran Adipati Anom untuk bertemu dengan pamannya.

Meskipun dengan berat hati, namun Kanjeng Adipati Pati itu mempersilahkan Pangeran Adipati Anom untuk datang ke perkemahannya di keesokan harinya.

Kedatangan Pangeran Adipati Anom disambut sendiri oleh pamannya, Kanjeng Adipati Pati. Dipersilahkannya Pangeran Adipati Anom kemudian duduk di bangunan induk perkemahan para prajurit Pati, di sebuah padukuhan kecil di sebelah timur Kali Dengkeng.

Ternyata Kanjeng Adipati Pati masih bersikap ramah kepada kemanakannya. Kanjeng Adipati Pati itu juga bertanya tentang keselamatan Pangeran Adipati Anom. Bahkan keselamatan Panembahan Senapati serta kakak perempuannya, ibu Pangeran Adipati Anom itu.

“Ayahanda dan Ibunda dalam keadaan baik, Paman,” jawab Pangeran Adipati Anom. “Bagaimana dengan Paman sekeluarga di Pati, serta yang menyertai Paman sampai di sini?”

“Sebagaimana kau lihat, aku sehat-sehat saja Ngger,” jawab Kanjeng Adipati Pati. Namun sejenak kemudian Kanjeng Adipati itu pun bertanya, “Kenapa ayahandamu tidak datang menyambut aku di Prambanan?”

“Tidak, Paman. Ayah telah memerintahkan aku datang untuk menyambut Paman. Namun Ayahanda telah memberikan pesan untuk aku sampaikan kepada Paman,” jawab Pangeran Adipati Anom.

“O,” Kanjeng Adipati Pati mengangguk-angguk, “apa pesan ayahmu itu?”

“Paman Pragola,” berkata Pangeran Adipati Anom, “sebenarnyalah bahwa Ayahanda merasa sangat bersedih hati, bahwa dua kekuatan kini berhadap-hadapan di seberang-menyeberang Kali Dengkeng.”

Kanjeng Adipati Pragola dari Pati itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, “Aku juga merasa sedih Ngger. Bahkan kehadiran dua pasukan yang besar itu akan dapat menimbulkan perang yang besar pula.”

“Ya, Paman. Karena itu, Ayahanda ingin agar perang ini dapat diurungkan,” berkata Pangeran Adipati Anom kemudian.

“Bagaimana mungkin perang diurungkan, Ngger. Perang sudah terjadi. Aku telah kehilangan banyak prajurit. Orang-orang Mataram telah menyerang kedudukan-kedudukanku dan merusakkan milikku. Apakah dengan demikian aku masih dapat mengatakan bahwa sebaiknya perang diurungkan?”

Pangeran Adipati Anom mengerutkan dahinya. Katanya, “Siapa yang telah menyerang kedudukan-kedudukan Paman? Tidak ada seorangpun dari prajurit Mataram yang melakukannya. Tidak ada perintah dari seorang Panglima Mataram untuk melakukan hal itu.”

“Kau jangan berpura-pura seperti itu. Mungkin kau tidak tahu, karena kau tidak pernah terlibat dalam kegiatan keprajuritan. Karena kau Pangeran Adipati Anom yang akan menggantikan kedudukan ayahandamu, maka kau telah dimanjakan.”

“Tidak Paman. Aku adalah Panglima prajurit Mataram. Hanya ada satu orang yang kedudukannya lebih tinggi dari kedudukanku dalam tatanan keprajuritan Mataram. Ia adalah Ayahanda Panembahan Senapati.”

“Jika demikian, seharusnya kau tahu bahwa kelompok-kelompok prajuritmu telah menyerang kedudukanku. Jika kau tidak mengetahuinya, tentu hanya ada dua kemungkinan. Kau tidak peduli akan tugasmu, atau kau tidak mempunyai wibawa lagi, sehingga Panglima-Panglima yang kedudukannya lebih rendah dari kedudukanmu telah mengabaikan kuasamu.”

Pangeran Adipati Anom mengerutkan dahinya. Perkataan pamannya itu mulai menyentuh perasaannya. Dengan nada berat ia bertanya, “Paman, barangkali Paman dapat menolongku. Jika benar Panglima-Panglima Mataram telah memerintahkan penyerangan terhadap kedudukan Paman, maka sudah sepantasnya aku mengambil tindakan atas mereka, karena yang mereka lakukan itu telah menyalahi wewenang mereka. Mungkin Paman dapat menyebutkan, kedudukan Paman yang mana dan kapan terjadinya?”

“Kau tidak usah berpura-pura begitu Ngger. Bahkan orang lewat pun tahu, bahwa prajurit-prajuritmu telah menyerang kedudukanku di Jati Anom. Sebelumnya, Ngaru-Aru juga diserang.”

Pangeran Adipati Anom mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Paman, apakah Paman tidak keliru? Bukankah Jati Anom dan Ngaru-Aru itu bukan bagian dari kedudukan Paman?”

Wajah Kanjeng Adipati Pati menjadi tegang, sementara Pangeran Adipati Anom berkata selanjutnya, “Sepengetahuanku, kedudukan Paman adalah Pati dan sekitarnya. Kemudian permohonan Paman untuk menguasai daerah sebelah utara Gunung Kendeng telah diperkenankan oleh Ayahanda. Sementara itu, menurut pengetahuanku, tidak ada perintah sama sekali bagi Prajurit Mataram untuk berkeliaran di sebelah utara Gunung Kendeng. Apalagi menyerang kedudukan Paman Adipati.”

Telinga Adipati Pragola dari Pati itu terasa panas. Namun ia masih mengekang diri dan berusaha untuk tidak hanyut dalam arus perasaannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Angger Pangeran Adipati Anom. Sebaiknya kau pulang saja ke Mataram. Biarlah aku berbicara dengan ayahmu. Mungkin pembicaraan kami menghasilkan sesuatu.”

“Paman. Menurut Ayahanda, jika Paman menarik pasukan Paman sampai ke batas kuasa Paman, maka tidak akan pernah terjadi pertempuran. Tetapi karena Paman telah melintasi daerah wewenang Paman, maka kita berada di ambang peperangan. Selanjutnya, persoalan yang timbul akan dapat dibicarakan kemudian.”

“Pangeran Adipati Anom,” jawab Kanjeng Adipati Pati, “sebaiknya kita tidak usah berbicara tentang ayahmu. Aku mengenal ayahmu dengan baik. Aku tahu bahwa apa yang dikatakan tidak selalu dilakukan. Janjinya seperti mendung di langit. Kadang-kadang hujan jatuh. Kadang-kadang mendung itu lewat tanpa setitik air pun yang menetes.”

“Sayang Paman,” berkata Pangeran Adipati Anom, “Ayahanda memang tidak berniat untuk datang menemui Paman, kecuali jika Paman lebih dahulu mundur sampai ke garis batas.”

Wajah Adipati Pragola menjadi merah. Dengan menahan diri Kanjeng Adipati Pragola itu berkata, “Sudahlah Ngger. Aku tidak ingin berbicara dengan kanak-kanak untuk hal-hal yang penting. Pulanglah, baktiku buat ibumu. Mudah-mudahan ibumu sehat-sehat saja.”

“Ampun Paman. Aku tidak mempunyai rencana untuk kembali ke Mataram, selama Paman masih berada di sini. Jika sampai besok lusa Paman masih berada di sini, Paman jangan menyalahkan prajurit Mataram jika mereka menyeberang Kali Dengkeng. Menurut pendapat kami, daerah ini sama sekali bukan merupakan tempat yang benar bagi Paman. Sehingga Paman tidak dapat menuduh kami menyerang kedudukan Paman.”

Adipati Pragola harus menahan diri betapapun dadanya merasa sakit. Namun katanya kemudian, “Kau memang keras kepala seperti ayahmu. Tetapi ibumu juga seorang yang keras kepala. Barangkali aku juga. Tetapi aku peringatkan sekali lagi. Pulanglah. Aku ingin bicara dengan ayahandamu.”

“Ampun Paman. Aku tidak dapat memenuhi anjuran Paman. Sekarang perkenankanlah aku mohon diri. Tetapi besok lusa aku akan kembali. Mungkin aku tidak sendiri atau sekedar dengan dua tiga pengawal, Paman.”

Wajah Kanjeng Adipati Pragola dari Pati menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut ia bertanya, “Kau bermaksud mengancam Ngger?”

“Tidak Paman. Aku hanya ingin memperingatkan, sebaiknya sebelum besok lusa, Paman meninggalkan tempat ini.”

Telinga Kanjeng Adipati Pragola memang menjadi panas. Tetapi ia masih berusaha untuk mengekang perasaannya. Bahkan untuk mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki jika ia kehilangan kesabaran, maka katanya, “Baiklah. Aku sudah mendengar semuanya. Aku mengerti maksudmu. Tetapi sayang, bahwa aku tidak mempunyai pendapat yang sama. Meskipun demikian aku ingin memperingatkanmu Pangeran. Aku adalah pamanmu. Karena itu sebaiknya kau tidak usah mencampuri persoalan orang tua.”

“Paman,” berkata Pangeran Adiapti Anom, “aku mohon diri. Aku mohon maaf jika ada perkataanku dan sikapku yang tidak Paman kehendaki. Sekarang atau di waktu-waktu yang akan datang.”

“Tidak apa-apa Ngger. Aku mengerti kedudukanmu. Tetapi kau pun mengerti kedudukanku.”

Demikianlah, Kanjeng Pangeran Adipati Anom itu minta diri dan meninggalkan perkemahan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati.

Demikian Pangeran Adipati Anom itu sampai ke perkemahannya, maka iapun segera memerintahkan semua prajurit Mataram untuk mempersiapkan diri.

“Jika sampai besok lusa Paman Pragola tidak meninggalkan perkemahannya dan menarik pasukannya ke belakang garis batas kuasanya, maka kita akan mengusirnya.”

Para Panglima yang ikut bersamanya berkemah di Prambanan itu menyadari bahwa perang memang akan terjadi. Kanjeng Adipati Pati itu bukan saja dapat disebut melampaui batas kuasanya, tetapi sudah sangat jauh melintasi daerah sebelah utara Gunung Kendeng dan berada di depan hidung Panembahan Senapati di Mataram.

Dengan tegang Pangeran Adipati Anom menunggu, apakah ada gerakan pasukan Pati. Namun menurut pengamatan para petugas sandi, pasukan Pati justru mempersiapkan diri untuk berperang.

Dengan demikian, maka Pangeran Adipati Anom pun telah memerintahkan para Panglima untuk bersiaga sepenuhnya. Di keesokan harinya, pasukan Mataram itu akan menyerang kedudukan prajurit Pati. Prajurit Pati harus menyingkir dari tempat itu, sesuai dengan pesan Panembahan Senapati.

Persiapan prajurit Mataram itu tidak lepas dari pengamatan pada petugas sandi dari Pati. Ketika hal itu disampaikan kepada Kanjeng Adipati Pati, maka Kanjeng Adipati itu menjadi marah.

“Anak tidak tahu diri,” geram Kanjeng Adipati, “tetapi bukan semata-mata salah anak itu. Ayahnya benar-benar telah merendahkan martabatku. Karena itu, jika terjadi sesuatu atas anak itu, bukan salahku.”

Dengan demikian, malam itu kedua belah pihak benar-benar telah mempersiapkan pasukan. Nampaknya perang sudah tidak dapat dihindarkan lagi.

Menjelang tengah malam, Kanjeng Adipati Pragola dari Pati sempat melihat kesiagaan prajuritnya yang berada dalam perkemahan. Nampaknya sudah tidak mengecewakan lagi. Para Senapatinya telah mengatur, bahwa di dalam kesatuan-kesatuan kecil terdapat kelompok-kelompok yang disusunnya dengan tergesa-gesa. Dengan demikian, maka kekuatan prajurit Pati itu akan merata. Namun di samping kesatuan-kesatuan itu, maka Pati mempunyai kesatuan-kesatuan khusus yang menjadi andalan Kanjeng Adipati Pati. Pasukan yang diyakini akan dapat menjadi tajamnya ujung tombak gelar pasukan Pati.

Sebelum beristirahat, Kanjeng Adipati telah berusaha untuk menyalakan api di setiap dada para prajuritnya. Besok mereka akan menghadapi pasukan Mataram, karena Pangeran Adipati Anom agaknya tidak mau mendengarkan nasehatnya agar kembali saja ke Mataram, dan minta Panembahan Senapati datang sendiri ke medan.

Sebenarnyalah bahwa menjelang fajar, pasukan kedua belah pihak sudah bersiap. Pasukan Mataram dengan segala macam tanda kebesaran sudah berbaris dalam gelar yang besar di sebelah timur Prambanan.

Demikian pula para prajurit Pati pun telah bersiaga pula. Di bawah pimpinan langsung Kanjeng Adipati Pragola, para prajurit Pati akan turun ke medan.

Ketika langit menjadi merah, petugas sandi Pati yang mengamati pasukan Mataram telah memberikan laporan, bahwa prajurit Mataram dalam kesatuan yang besar telah benar-benar bergerak.

“Anak itu benar-benar tidak tahu diri,” berkata Adipati Pati itu, “sebaiknya ia tidak bermain-main dengan kesatuan yang demikian besarnya. Pangeran Adipati Anom itu tidak menyadari, bahwa benturan pasukan yang besar ini tentu akan makan korban yang tidak sedikit, sementara Pangeran Adipati Anom sendiri sekedar didorong oleh darahnya yang masih panas oleh kemudaannya. Apalagi anak itu telah mendapat wewenang penuh dari ayahnya, yang sengaja atau tidak, telah merendahkan aku.”

Tetapi Kanjeng Adipati tidak dapat berbuat lain kecuali menyongsong pasukan Mataram itu dengan pasukannya pula.

Pasukan Pati yang bergerak menjelang fajar itu merayap seperti seekor udang raksasa yang garang. Gelar Supit Urang, atau yang juga disebut Mangkara Juha itu, bergerak perlahan-lahan menyongsong gerak pasukan Mataram. Dalam gelar Supit Urang itu, maka tubuh dan ekor udang terisi oleh pasukan cadangan yang siap untuk tergeser menggantikan kedudukan para prajurit yang gugur.

Dengan gelar Supit Urang, maka pasukan Pati berniat untuk menjepit pasukan lawan dari kedua sisi. Sebagaimana seekor udang dengan capitnya menjepit mangsanya.

Dalam pada itu, Pangeran Adipati Anom telah memanggil para Panglimanya. Diperintahkannya kepada para Panglimanya untuk mempersiapkan gelar Cakra Byuha untuk melawan para prajurit Pati.

“Pangeran,” Tumenggung Sindutama memberanikan diri untuk menyampaikan pendapatnya, “hamba mohon Pangeran mempertimbangkan gelar perang yang akan kita pergunakan. Prajurit kita cukup banyak untuk menyusun gelar yang melebar. Menurut laporan, prajurit Pati telah membuat gelar Supit Urang. Bukankah gelar yang kita pergunakan sekarang sudah tepat Pangeran? Gelar Garuda Nglayang ini akan mampu mengimbangi gelar lawan, karena jumlah prajurit kita tidak kalah, atau setidak-tidaknya berselisih sedikit saja, dengan prajurit Pati. Apalagi kita tahu bahwa sebagian dari prajurit Pati adalah anak-anak muda dan laki-laki yang dengan tergesa-gesa dipungut dari padukuhan-padukuhan di sebelah utara Gunung Kendeng, sehingga mereka bukannya prajurit-prajurit yang terlatih baik.”

“Paman. Aku akan dengan cepat menghancurkan pasukan Pati yang ternyata tidak bersedia meninggalkan tempat ini dan kembali ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Karena itu, aku memerlukan gelar yang lebih baik dari gelar yang menebar.”

“Tetapi gelar Garuda Nglayang mempunyai kekuatan-kekuatan tertentu Pangeran. Apalagi untuk melawan gelar Supit Urang. Dengan gelar Cakra Byuha, kita akan dapat terjepit di tengah-tengah gelar lawan.”

Sementara itu, Tumenggung Yudapamungkas menyambung, “Pangeran. Jika hamba boleh berterus-terang, gelar Cakra Byuha memerlukan satu kemampuan tersendiri untuk melakukannya. Apakah pasukan kita yang besar ini mampu melakukannya?”

“Kenapa tidak?” Pangeran Adipati Anom yang muda itu justru bertanya, “Aku memerlukan gelar yang bulat menyatu, sehingga kekuatan kita terpusat untuk menghancurkan induk pasukan lawan.”

“Pangeran,” berkata Tumenggung Yudapamungkas, “hamba mohon ampun. Jika Pangeran benar-benar menginginkan gelar yang bulat menyatu, hamba usulkan untuk menyusun gelar Gedong Minep, karena hamba tahu bahwa Kanjeng Adipati Pati adalah orang yang jarang ada bandingnya di bumi Mataram.”

“Kau menyinggung perasaanku, Paman,” jawab Pangeran Adipati Pati Anom. “Aku bukan penakut yang harus mempergunakan gelar Gedong Minep dan bersembunyi di belakang punggung para Senapati. Aku akan memimpin langsung pasukan ini.”

“Para Senapati memang menjadi gelisah. Jika terjadi sesuatu dengan Pangeran Adipati Anom, maka mereka tentu akan dibebani tanggung jawab oleh Panembahan Senapati, karena Pangeran Adipati Anom telah dipersiapkan untuk menggantikan kedudukan Panembahan Senapati itu.”

Tetapi darah muda yang mengalir di tubuh Pangeran Adipati Anom itu ternyata telah membakar jantungnya. Sehingga Pangeran Adipati Anom benar-benar menginginkan gelar yang akan langsung memusatkan serangannya pada induk pasukan.

Namun akhirnya Tumenggung Sindutama berkata, “Jika demikian, hamba ingin mengusulkan gelar yang barangkali dapat memenuhi keinginan Pangeran, namun sekaligus memungkinkan untuk meredam kegarangan capit pada gelar lawan. Bagaimana jika Pangeran mempergunakan gelar Wukir Jaladri, karena gelar ini akan dapat bergerak lebih leluasa dari gelar Cakra Byuha yang rumit, meskipun jika dapat ditrapkan dengan baik akan berbahaya bagi lawan.”

Pangeran Adipati Anom, berpikir sejenak.

Akhirnya Pangeran Adipati Anom itu berkata, “Baik. Gerak selanjutnya dari pasukan Mataram akan berubah dari gelar Garuda Nglayang ke gelar Wukir Jaladri.”

Tumenggung Yudapamungkas dan Tumenggung Sindutama dengan segera menangani perintah itu. Para Senapati pun segera diperintahkan untuk menyesuaikan diri. Tumenggung Sindutama telah memilih beberapa orang Senapati terpercaya untuk berada di induk gelar Wukir Jaladri. Sedangkan para Senapati yang lain akan menggelar pasukannya sebagaimana dahsyatnya ombak yang bergulung-gulung membadai menghantam batu-batu karang di tebing.

Tumenggung Sindutama juga memerintahkan para Senapati untuk mengambil sikap menghadapi gerak gelar lawan yang hidup, sementara para Senapati yang berada di lambung gelar harus barhati-hati menghadapi serangan dari capit udang yang tajam, yang tentu akan menjadi pusat kekuatan gelar Supit Urang.

Demikianlah, ketika pasukan Mataram itu bergerak semakin jauh, maka perlahan-lahan gelar Garuda Nglayang telah berubah. Gelar Wukir Jaladri memang menjadi lebih menyatu.

Ketika perubahan gelar itu disampaikan kepada Kanjeng Adipati Pati oleh petugas sandi, maka Kanjeng Adipati itu pun menggeram, “Pangeran Adipati Anom memang sulit dikendalikan. Apakah Mataram tidak ada orang-orang tua yang dapat memberi nasehat kepadanya, atau malahan mereka membakar hati anak muda yang masih kurang perhitungan itu?”

Tetapi Kanjeng Adipati Pragola dari Pati itu mengerti gejolak perasaan Pangeran Adipati Anom, sehingga ia ingin dengan cepat menghancurkan pasukan Pati.

Tetapi pengalaman dan pengetahuan perang Pangeran Adipati Anom masih jauh di bawah kemampuan Kanjeng Adipati Pragola.

Dalam pada itu, para Senapati Mataram sendiri memang menjadi berdebar-debar. Tetapi menurut pendapat Tumenggung Sindutama dan Tumenggung Yudapamungkas, maka gelar Wukir Jaladri memberi lebih banyak kesempatan kepada para Senapati untuk mengambil sikap daripada gelar Cakra Byuha. Dalam keadaan yang gawat, maka para Senapati dapat mengambil kebijaksanaan sesuai dengan kemungkinan yang dihadapinya. Terutama mereka yang berada di lambung.

Dengan demikian maka pengalaman para Senapati akan dapat memberikan lebih banyak arti daripada gelar Cakra Byuha, yang lebih terikat pada satu kesatuan gerak yang mapan, sehingga jika terjadi sedikit saja kesalahan maka akibatnya akan menjadi sangat luas. Sementara itu Pangeran Adipati Anom yang akan memimpin langsung pasukan yang besar itu masih belum memiliki pengalaman yang cukup luas.

Ketika matahari mulai melemparkan sinar paginya, kedua pasukan itu pun telah berhadapan. Kanjeng Adipati Pragola tidak mau mengalami kesulitan saat pasukannya menyeberang Kali Dengkeng. Karena itu, sebelum matahari naik, pasukan Pati sudah berada di sisi sebelah barat.

Ternyata Pangeran Adipati Anom sama sekali tidak mengekang pasukannya yang besar. Iapun langsung memberikan isyarat agar pasukan Mataram itu menyerang pasukan Pati, yang sudah siap menyongsong pasukannya.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua pasukan yang besar itu telah bertempur. Pati dalam gelar Supit Urang itu segera berusaha mengurung pasukan Mataram, yang mempergunakan gelar yang lebih menyatu. Namun selain pusat gelarnya, para Senapatinya segera menyesuaikan diri dengan medan. Pasukan Mataram yang berada di lambung dengan cepat menempatkan diri menghadapi jepitan capit gelar Supit Urang yang garang itu.

Ternyata bahwa Senapati Mataram yang berpengalaman dan mendapat latihan khusus berusaha untuk menembus setiap celah-celah gelar pasukan Pati yang besar itu.

Gelombang demi gelombang menghantam garis pertahanan. Para prajurit Pati pun tidak kalah garangnya. Mereka berusaha menjepit gelar pasukan Mataram itu. Beberapa orang Senapati Pati memang menganggap bahwa Mataram telah salah memilih gelar untuk melawan pasukan Pati. Namun sebagian lagi menyadari, betapa Pangeran Adipati Anom yang muda itu ingin dengan cepat melumatkan induk pasukan Pati, tanpa menghiraukan bagian-bagian gelar yang lain.

Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama berkobar semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka, sehingga benturan-benturan menjadi semakin keras.

Ketika matahari naik semakin tinggi, para prajurit dari kedua belah pihak pun menjadi semakin garang. Namun di kedua belah pihak semakin nampak perbedaan antara para prajurit yang begitu saja diangkat dari padukuhan-padukuhan dengan latihan sekedarnya saja.

Prajurit-prajurit yang baru itu tidak mampu bertahan dalam tataran kemampuannya terlalu lama. Ketika keringat mulai terperas dari tubuhnya, tenaga mereka pun segera mulai menyusut. Apalagi ketika matahari terasa semakin terik membakar kulit.

Namun para prajurit Pati mempunyai sedikit keuntungan, bahwa mereka tidak menghadap ke arah matahari yang sedang naik, sehingga cahaya yang silau tidak mengganggu penglihatan mereka.

Ternyata dengan gelarnya, pasukan Mataram mampu mengimbangi tekanan gelar Supit Urang yang berusaha semakin menekan dari berbagai arah. Para Senapati Mataram yang berpengalaman mampu memanfaatkan ikatan yang longgar dalam gelar Wukir Jaladri, untuk mengimbangi kegarangan gelar Supit Urang pasukan Pati.

Namun dalam pada itu, kemudaan Pangeran Adipati Anom memang berpengaruh atas tatanan gerak gelar pasukan Mataram. Pangeran Adipati Anom yang berada di induk gelar tidak mau terkekang oleh gerak gelarnya. Sebagai seorang Senapati ia justru lebih banyak terbakar oleh kemarahannya, sehingga secara pribadi Pangeran Adipati Anom telah langsung berusaha menembus induk pasukan lawan dalam gelar Supit Urang.

Senapati yang berada di ujung gelar lawannya terkejut ketika tiba-tiba saja Pangeran Adipati Anom sendiri dengan pedang di tangan bertempur dengan garangnya. Dua orang Senapati pengapit Pangeran Adipati Anom tidak sempat menahannya agar Pangeran Adipati Anom tetap berada di dalam kesatuan induk pasukan. Sehingga karena itu, maka dua orang Senapati pengapitnya justru harus berada bersama Pangeran Adipati Anom itu sendiri, di garis benturan kedua pasukan.

Beberapa orang prajurit pengawal terpilih mengalami kesulitan ketika mereka berusaha untuk melindungi Pangeran Adipati Anom itu dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan, karena Pangeran Adipati Anom itu sendiri telah hanyut dalam arus kemudaannya daripada kebijaksanaan seorang Panglima.

Yang mengejutkan para Senapati pengapitnya, ketika tiba-tiba saja Pangeran Adipati Anom itu sudah berhadapan dengan Kanjeng Adipati Pragola dari Pati yang memimpin langsung pasukan dari Pati itu, Sehingga kedua Panglima perang itu telah berhadapan di garis benturan gelar.

Pangeran Adipati Anom sudah tidak duduk di punggung kudanya lagi. Benturan kedua gelar perang itu memang tidak banyak memberikan peluang bagi Pangeran Adipati Anom untuk bertempur di atas kuda, sehingga iapun meloncat turun dan bertempur bersama para Senapati dan prajurit, yang sejak semula tidak berkuda.

Dalam pada itu, Kanjeng Adipati Pati tidak bertempur di atas punggung kuda pula. Seperti Kanjeng Pangeran Adipati Anom, Kanjeng Adipati Pragola dari Pati telah turun dari kudanya pula.

Pertempuran antara kedua Panglima Perang itu tidak terhindar lagi.

“Kau memang keras kepala Pangeran,” geram Kanjeng Adipati Pragola.

“Ayahanda memerintahkan Paman mundur sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

“Jika terjadi sesuatu atasmu, itu adalah tanggung jawabmu sendiri,” geram Kanjeng Adipati Pati.

Pangeran Adipati Anom tidak menjawab. Dengan tangkasnya ia menyerang. Tetapi Kanjeng Adipati Pragola sangat tangkas. Ujung senjata Pangeran Adipati Anom tidak menyentuhnya. Bahkan Kanjeng Adipati masih sempat membalas serangan kemenakannya itu. Senjatanya terayun mendatar dengan cepatnya.

Tetapi dengan cepat pula Pangeran Adipati Anom meloncat surut, sehingga serangan itu tidak menyentuhnya.

Pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak bergerak semakin cepat. Namun serangan-serangan Pangeran Adipati Anom nampak semakin lama semakin jauh dari sasaran . Sedangkan serangan-serangan Kanjeng Adipati Pragola menjadi semakin cepat. Para Senapati pengapit dan para pengawal khusus mengalami kesulitan untuk melindungi setiap prajurit Pati yang akan melibatkan diri ke dalam pertempuran antara kedua Panglima Perang itu. Mereka berusaha menghadapi setiap prajurit dengan prajurit pula.

Sementara itu, pertempuran di lambung gelar pasukan Mataram itu pun menjadi semakin sengit. Ternyata prajurit Mataram memang memiliki kelebihan. Prajurit Pati yang terhitung baru, mulai terasa letih. Keringat mereka bagaikan diperas, sementara telapak tangan mereka yang menggenggam senjata erat-erat itu mulai merasa pedih. Apalagi dengan benturan-benturan yang keras, sehingga mereka harus menggenggam senjata mereka erat-erat agar tidak terlepas dari tangan mereka.

Perlahan-lahan prajurit Mataram yang ada di lambung justru mampu mendesak tekanan Supit Urang yang ingin menjepit gelar pasukan Mataram yang menyatu itu.

Para Senapati Mataram yang berpengalaman telah memanfaatkan gelar Wukir Jaladri itu untuk menunjukkan kelebihan mereka masing-masing.

Sementara itu, para prajurit terpilih berusaha untuk mendesak dan bahkan menyusup ke seberang garis benturan kedua gelar itu.

Namun para Senapati Prajurit Mataram itu terkejut. Ketika matahari sampai ke puncak langit, justru saat pasukan Mataram semakin mendesak pasukan lawan, terutama di lambung, maka terdengar isyarat agar pasukan Mataram itu mundur dari medan pertempuran.

“Tidak masuk akal,” geram seorang Senapati, “sebelum matahari turun, pasukan Pati tentu sudah akan pecah atau ditarik dari medan.”

Tetapi isyarat itu terdengar lagi. Sementara induk pasukan mulai bergeser perlahan-lahan mundur.

Demikianlah, pasukan Mataram memang ditarik mundur. Untunglah bahwa kekuatan Mataram seakan-akan masih utuh, sehingga pasukan Pati tidak mengoyak gelar pasukan Mataram di saat mereka bergerak mundur.

Bahkan kemudian terdengar perintah agar pasukan Pati tidak mendesak terus pasukan Mataram, karena pasukan Mataram yang bergerak mundur itu masih tetap berbahaya. Pada saat-saat tertentu, maka pasukan Mataram itu dapat menggeliat dan menyerang pasukan Pati jika pasukan Pati itu masih mendesaknya.

Dengan demikian, maka pasukan Pati itu pun kemudian telah menghentikan gerak majunya, sehingga dengan demikian kedua gelar itu pun segera telah terpisah. Pasukan Pati telah berhenti, sementara pasukan Mataram yang ditarik mundur itu bergerak lebih cepat.

Baru kemudian para Senapati yang berada di induk pasukan mengetahui, bahwa Pangeran Adipati Anom yang bertempur melawan Kanjeng Adipati Pati telah pingsan. Pangeran Adipati Anom sempat menangkis serangan ujung senjata Kanjeng Adipati Pati. Tetapi senjata itu dengan cepat berputar, sehingga landeannya-lah yang kemudian mengenai tengkuk Pangeran Adipati Anom.

Pangeran Adipati Anom terlempar beberapa langkah ke samping. Senapati pengapitnya dengan tangkasnya menangkap tubuhnya, sementara Senapati pengapit yang seorang lagi dengan cepat mengambil alih pertempuran melawan Kanjeng Adipati Pati, sementara para pengawal khusus Pangeran Adipati Anom dengan cepat berusaha melindunginya.

Dalam keadaan yang demikian, Pangeran Adipati Anom dengan cepat dibawa ke belakang garis benturan pasukan dalam gelarnya masing-masing. Para Senapati Mataram tidak mau menanggung akibat yang lebih buruk lagi, justru karena Pangeran Adipati Anom menjadi pingsan. Karena itu, maka Senapati yang berada di induk pasukan segera memberikan isyarat agar pasukan Mataram menarik diri dari medan, selagi mereka masih dalam keadaan yang mapan.

Ketika pasukan Mataram kemudian sampai di perkemahannya, maka para Senapati pun segera berkumpul. Pangeran Adipati Anom terbaring di pembaringan dengan wajah yang pucat. Namun perlahan-lahan Pangeran Adipati Anom itu pun menjadi sadar kembali.

Ketika Pangeran Adipati Anom akan bangkit, maka Tumenggung Yudapamungkas telah mencegahnya.

“Jangan duduk dahulu Pangeran. Sebaiknya Pangeran beristirahat dengan tenang.”

Pangeran Adipati Anom baru menyadari, bahwa tengkuknya serasa menjadi retak.

“Apa yang terjadi?” bertanya Pangeran Adipati Anom sambil meraba tengkuknya.

“Pangeran menjadi pingsan di medan,” jawab Tumenggung Yudapamungkas.

“Lalu, apa yang terjadi dengan seluruh pasukan?” bertanya Pangeran Adipati Anom pula.

“Kami telah menarik mundur pasukan, kembali ke perkemahan Sekarang kita berada di perkemahan, Pangeran.”

“Kenapa pasukan Mataram harus ditarik dari medan? Kita harus mengusir Paman Adipati Pragola.”

“Tetapi keadaan Pangeran tidak memungkinkan. Kami tidak dapat dengan cepat mengambil sikap, justru karena Pangeran menjadi pingsan. Yang dapat kami lakukan, justru saat pasukan kita masih terhitung utuh, maka kami menarik diri dari medan pertempuran. Keadaan Pangeran akan sangat berpengaruh bagi ketahanan jiwani para prajurit Mataram. Kami tidak ingin keadaan menjadi semakin buruk. Karena itu maka kami memutuskan untuk menarik pasukan Mataram dari medan.”

“Siapkan pasukan. Besok sebelum fajar, aku akan memimpin pasukan ini menggempur pasukan Pati. Paman Pragola harus menarik pasukannya sampai ke sebelan utara Pegunungan Kendeng.”

“Jangan Pangeran,” berkata Tumenggung Sindutama, “kami mohon Pangeran jangan turun dulu. Keadaan Pangeran tentu masih belum baik. Perasaan nyeri tentu masih akan mengganggu Pangeran, sementara itu lawan yang akan Pangeran hadapi adalah Kanjeng Adipati Pragola, seorang yang pilih tanding. Dalam keadaan ini, Pangeran lebih baik beristirahat. Itupun harus Pangeran lakukan di istana Tidak di sini.”

“Tidak,” jawab Pangeran Adipati Anom, “aku harus dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh Ayahanda kepadaku.”

“Tugas apakah yang dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada Pangeran? Apakah Panembahan Senapati memerintahkan Pangeran untuk memaksa Kanjeng Adipati Pragola untuk mundur sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng?”

“Ya,” jawab Pangeran Adipati Anom.

“Pangeran, menurut pengetahuan kami para Senapati, Pangeran memang mendapat perintah untuk menyampaikan pesan kepada Kanjeng Adipati Pragola, agar Kanjeng Adipati menarik pasukannya ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.”

“Jika hanya pesan itu yang harus aku sampaikan, buat apa aku membawa pasukan segelar sepapan?”

“Pasukan ini dapat memperkuat tekanan pesan Panembahan Senapati. Selain itu, para prajurit ini akan mempertahankan kehadiran Pangeran jika Pati menyerang.”

“Tetapi kita sudah berperang.”

“Pangeran,” kata Ki Tumenggung Sindutama, “sebenarnyalah keadaan Pangeran cukup gawat. Jika Pangeran memaksa diri untuk melakukan sesuatu, apalagi memimpin pertempuran yang besar sebagaimana yang terjadi, maka keadaan Pangeran akan menjadi semakin buruk.” 

Pangeran Adipati Anom itu terdiam. Kepalanya memang terasa pening. Bahkan perutnya serasa mual. Rasa-rasanya isi perutnya telah mendesak di dadanya sehingga akan tumpah keluar.

“Pangeran,” berkata Tumenggung Yudapamungkas, “Pangeran harus berbaring sehari ini. Besok Pangeran kami antar kembali ke Mataram. Panembahan Senapati harus segera mengetahui keadaan ini. Sementara itu, para prajurit akan tetap bersiaga penuh untuk menjaga agar pasukan Pati tidak dapat bergerak maju. Kami para Senapati juga sudah memanggil Untara dan pasukannya, untuk memperkuat pasukan Mataram yang ada di sini.”

“Aku akan menunggu perkembangan keadaanku. Jika besok keadaanku baik, maka besok aku akan memimpin pasukan Mataram maju ke medan pertempuran.”

“Kami para Senapati mohon agar Pangeran sedikit mengekang diri. Akhir dari perang antara Mataram dan Pati tidak semata-mata ditentukan hari ini atau besok.”

Pangeran Adipati Anom termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan Pangeran itu telah berdesah menahan nyeri di kepalanya.

“Sekarang sebaiknya Pangeran beristirahat. Pasukan Mataram selalu siap menghadapi setiap gerakan pasukan Pati.”

Pangeran Adipati Anom tidak menjawab. Kepalanya memang terasa bukan saja pening, tetapi sakit. Sementara mual di perutnya masih saja mengganggunya.

Di sisa hari itu Pangeran Adipati Anom mengikuti nasehat para Tumenggung, yang selain mempunyai pengalaman yang luas di medan perang, mereka pun tentu juga sudah jauh lebih banyak pengalaman di uisa mereka yang sudah setengah abad itu.

Malam itu para Senapati Mataram memutuskan bahwa mereka tidak akan bertempur di keesokan harinya. Namun mereka telah memerintahkan para prajurit untuk mempersiapkan diri bertahan di perkemahan, jika pasukan Pati menyerang mereka.

Keputusan itu memang tidak begitu menyenangkan bagi para prajurit Mataram. Mereka lebih senang maju ke medan dalam gelar. Tetapi mereka tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa Pangeran Adipati Anom dalam keadaan yang kurang menguntungkan untuk maju ke medan.

Malam itu juga para prajurit Mataram harus mempersiapkan pertahanan yang kuat. Beberapa puluh langkah dari barak, para prajurit Mataram menempatkan kelompok-kelompok prajurit yang di persenjatai dengan senjata lontar jarak jauh, terutama anak panah dan busur. Yang lain mempersiapkan lembing, dan orang-orang yang khusus telah menyiapkan bandil-bandil yang jarang dipergunakan.

Sementara itu Untara dan pasukannya dipersiapkan untuk mengganggu pasukan Pati dari arah lain, jika pasukan itu benar-benar menyerang perkemahan.

Yang dilakukan oleh pasukan Mataram itu diikuti dengan saksama oleh para petugas sandi dari Pati. Dengan persiapan-persiapan yang mapan, maka pertahanan Mataram merupakan pertahanan yang sangat kuat, yang tentu sulit untuk ditembus.

Laporan tentang persiapan prajurit Mataram itu pun kemudian telah dilaporkan pula kepada Kanjeng Adipati Pati. Ketika Kanjeng Adipati Pati kemudian memanggil para Senapati dan membicarakan perkembangan perang yang terjadi, maka Kanjeng Adipati dan para Senapati itu mengambil keputusan bahwa mereka tidak akan menyerang perkemahan prajurit Mataram.

“Tentu akan banyak sekali korban yang jatuh,” berkata Kanjeng Adipati.”

Namun seorang Senapati mencoba untuk mengingatkan, “Tetapi Kanjeng, kita harus mengingat bahwa persediaan bahan makan kita sangat terbatas, sejak Ngaru-Aru dihancurkan oleh orang-orang Mataram.”

“Kita akan mendapatkannya dari padukuhan-padukuhan di sekitar tempat ini,” jawab Kanjeng Adipati.

Beberapa orang Senapati memang kurang sependapat. Meskipun hal itu dapat dilakukan, tetapi apakah jumlahnya akan dapat mencukupi.

Tetapi mereka tidak mengatakannya.

Seperti para Senapati dari Mataram, maka para Senapati dari Pati pun sebenarnya ingin dengan cepat menyelesaikan pertempuran itu, apapun hasilnya. Tetapi mereka harus tunduk kepada perintah Kanjeng Adipati Pati.

Di hari berikutnya, para prajurit Pati memang tidak mensiagakan prajuritnya untuk menyerang. Bahkan Kanjeng Adipati Pati merencanakan untuk berkemah dalam waktu yang lama. Karena Kanjeng Adipati menjadikan perkemahan itu landasan utama bagi pasukan Pati untuk merebut dan menaklukkan Mataram.

Para petugas sandi dari Mataram pun melihat bahwa Pati tidak akan menyerang perkemahan Mataram pada hari itu. Bahkan para petugas sandi Mataram melihat kesibukan yang lain dari para prajurit Pati. Mereka telah menebangi pohon kelapa dan kemudian memagari perkemahan mereka dengan batang pohon kelapa itu.

Demikian banyak prajurit yang melakukannya, maka pekerjaan itu ternyata dapat dilaksanakan dengan cepat. Para prajurit Pati itu lelah membangun lingkungan tersendiri di luar sebuah padukuhan, sehingga seakan-akan sebuah alun-alun yang cukup luas di atas tanah persawahan yang kering.

Dalam pada itu, di hari berikutnya, ternyata keadaan Pangeran Adipati Anom masih belum baik. Kepalanya masih pening dan perutnya masih merasa mual. Tubuhnya terasa lemah, dan keringatnya bagaikan mengembun dari kulitnya tanpa berkeputusan.

“Pangeran harus pulang ke Mataram,” berkata Ki Tumenggung Sindutama.

Tetapi Pangeran Adipati Anom masih belum bersedia, la masih akan menunggu. Jika keadaannya membaik, maka ia akan memimpin kembali prajurit Mataram untuk mengusir prajurit Pati.

Tetapi ketika di hari berikutnya lagi keadaannya masih tetap saja, meskipun seorang tabib terbaik yang mengikuti pasukan Mataram itu sudah berusaha mengobatinya, maka Pangeran Adipati Anom mulai mempertimbangkan pendapat para Senapatinya.

Karena itu, maka pada hari berikutnya Pangeran Adipati Anom itu memanggil Tumenggung Sindutama dan Tumenggung Yudapamungkas, untuk mendengar pendapat mereka, apa yang sebaiknya dilakukannya.

“Menurut pendapat kami para Senapati, Pangeran sebaiknya kembali ke Mataram dan memberikan laporan selengkapnya kepada Panembahyan Senapati. Sementara Pangeran akan mendapat pengobatan yang lebih baik.”

Akhirnya Pangeran Adipati Anom menerima saran para Senapatinya itu, setelah beberapa hari keadaan Pangeran Adipati Anom masih belum menjadi baik.

Namun para Senapati memutuskan untuk membawa Pangeran Adipati Anom dengan diam-diam.

Karena itulah, maka ketika Pangeran Adipati Anom bersama sekelompok pengawal pilihan meninggalkan perkemahan, maka para Senapati berusaha untuk menjaga agar rahasia itu tidak merembes keluar. Bahkan para prajurit Mataram sendiri, kecuali beberapa orang Senapati dan prajurit pilihan yang ditugaskan mengawal, tidak mengetahui rencana keberangkatan Pangeran Adipati Anom ke Mataram.

Perjalanan berkuda Pangeran Adipati Anom memang merupakan perjalanan yang lamban. Beberapa kali Pangeran Adipati Anom harus beristirahat. Jika kepalanya menjadi sakit dan pening, sementara perutnya menjadi mual, maka perjalanan itu terhenti beberapa saat. Pangeran Adipati Anom berbaring dimana saja mereka berhenti.

Namun sebelum Pangeran Adipati Anom sampai ke pintu gerbang kota, para penghubung telah mendahuluinya untuk memberikan laporan bahwa Pangeran Adipati Anom kembali ke istana.

Panembahan Senapati memang sudah mendapat laporan sebelumnya tentang keadaan Pangeran Adipati Anom, meskipun Pangeran Adipati Anom sediri tidak menghendaki, karena ia masih ingin memimpin pasukan Mataram bertempur mengusir pasukan Pati sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Namun keadaannya ternyata tidak memungkinkannya.

Ketika Pangeran Adipati Anom kemudian sampai di istana, Panembahan Senapati sendiri telah menunggunya di pintu gerbang utama. Dengan kasih sayang seorang ayah, Panembahan Senapati membimbing putranya langsung masuk ke dalam sebuah bilik yang telah dipersiapkan. Sedangkan ibu Pangeran Adipati Anom itu kemudian hanya dapat menundukkan kepalanya. Butiran titik-titik air menetes dari pelupuknya.

Sebagai seorang ibu, ia menjadi sangat sedih melihat keadaan putranya. Apalagi putranya itu telah ditetapkan untuk menggantikan kedudukan Panembahan Senapati, memimpin Mataram yang di harapkan akan menjadi semakin besar.

Namun yang lebih menyedihkan lagi, Pangeran Adipati Anom telah dilukai oleh pamannya sendiri, Kanjeng Adipati Pragola dari Pati.

Panembahan Senapati nampaknya memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali turun ke medan pertempuran sendiri. Meskipun Panembahan Senapati menyadari siapa yang akan dihadapinya, tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Sebagai pemimpin tertinggi Mataram, ia harus memegang tongkat kepemimpinannya jika ia tidak ingin kehilangan wibawanya. Dan ia tidak menginginkan Mataram kehilangan gemanya, sehingga akhirnya setiap Adipati akan memalingkan wajahnya.

Itulah sebabnya, maka Panembaan Senapati memutuskan untuk berangkat ke medan perang.

“Terserah kepada Kakanda,” berkata ibu Pangeran Adiapti Anom sambil mengusap matanya yang basah, “adikku itu benar-benar sudah tidak lagi mengingat siapakah yang dihadapinya.”

Demikianlah, di keesokan harinya, Panembahan Senapati sendiri telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Prambanan. Segala macam pertanda kebesaran serta isyarat perang telah disiapkan. Panembahan Senapati sendiri akan pergi ke Prambanan dengan prajurit terbaik dari pasukan berkuda.

“Aku bawa pasukan pengawal dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Siapkan kuda hanya bagi mereka yang akan pergi bersamaku. Tidak semuanya. Pasukan Mataram yang ada di Prambanan sudah cukup kuat menghadapi pasukan Pati.”

Demikianlah, perintah pun segera disampaikan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Ia akan membawa dua kelompok prajurit terbaiknya bersama dengan pasukan pengawal dan pasukan berkuda.

Sementara itu Ki Tumenggung Wirayuda masih mendapat tugas untuk menjaga agar tidak ada prajurit Pati yang menyusup memasuki kota.

Ketika segala keperluan telah dipersiapkan, maka Panembahan Senapati telah menentukan, berangkat di keesokan harinya ke perkemahan di Prambanan.

Malam sebelumnya, dua orang penghubung telah mendahului untuk menyampaikan pemberitahuan akan kedatangan Panembahan Senapati sendiri, sehingga di perkemahan pun telah dilakukan persiapan penyambutan serta pengamanan seperlunya, tanpa menarik perhatian para petugas sandi dari Pati.

Di saat yang telah direncanakan, menjelang fajar Panembahan Senapati serta para pengawalnya, sepasukan prajurit berkuda, telah meninggalkan Kotaraja menuju ke Prambanan.

Derap kaki kuda pun menggetarkan udara di sepanjang perjalanan mereka. Debu terhambur dari kaki-kaki kuda yang berlari kencang.

Di sepanjang perjalanan, seakan-akan tidak sepatah katapun terucapkan. Baik oleh Panembahan Senapati sendiri maupun oleh prajurit-prajuritnya. Bahkan seorang kepercayaan Panembahan Senapati yang selalu bersamanya, Ki Patih Mandaraka.

Meskipun usia Ki Patih sudah menjadi semakin tua, namun ternyata Ki Patih Mandaraka masih tangkas duduk di punggung kudanya yang berlari kencang.

Kedatangan Panembahan Senapati di Prambanan membuat jantung para prjurit bagaikan menyala. Ketika Pangeran Adipati Anom dibawa kembali ke Mataram karena keadaannya, maka jantung para prajurit itu seraya menjadi kedinginan. Rasa-rasanya mereka dilepas di padang perburuan yang garang tanpa bimbingan tangan yang kuat dan bertenaga.

Demikian Panembahan Senapati itu hadir di perkemahan, maka para Senapati pun segera memerintahkan memasang segala pertanda kebesaran. Dengan terbuka para Senapati menyatakan bahwa Panembahan Senapati dari Mataram telah berada di perkemahan itu. Bersamaan dengan itu, maka pengamanan pun menjadi semakin rapat.

Pasukan Untara, khususnya yang berada di bawah pimpinan Sabungsari, masih bergerak seperti seekor burung alap-alap, sehingga prajurit Pati memang mengalami kesulitan dengan persediaan bahan pangan mereka.

Namun kesulitan bahan pangan itu telah memaksa Kanjeng Adipati Pragola dari Pati untuk mempercepat gerak pasukannya. Kanjeng Adipati Pragola merasa yakin akan dapat mengalahkan pasukan Mataram dan kemudian memasuki pintu gerbang kota, bukan saja tidak akan kekurangan bahan pangan lagi, tetapi Kanjeng Adipati Pati akan memegang kekuasaan tertinggi di Mataram dan segala wilayah yang mengakui kuasanya.

Kehadiran Panembahan Senapati di Prambanan memang diharapkannya. Dengan demikian ia akan memaksa pasukan Mataram menyerah sebelum pasukan Pati memasuki pintu gerbang kota.

Karena itu, maka demikian Kanjeng Adipati Pragola mengetahui bahwa Panembahan Senapati sudah berada di Prambanan, maka iapun segera memerintahkan para Senapatinya untuk mengatur pasukannya sebaik-baiknya.

“Yang kita hadapi sekarang adalah Panembahan Senapati itu sendiri. Seorang yang licik dan banyak akal. Bukan lagi anaknya yang baru belajar berjalan itu,” berkata Kanjeng Adipati Pragola dari Pati. “Karena itu, kita tidak boleh tertipu. Apapun yang akan ditawarkannya, aku tidak akan menerimanya, kecuali prajurit Mataram bersedia meletakkan senjatanya dan menjadi tawanan perang. Kita akan mengikat tangan mereka dan menggiring mereka ke sebuah barak di bawah ancaman ujung tombak.”

Demikianlah, para Senapati Pati telah memberikan perintah-perintah langsung kepada para pemimpin kelompoknya. Para prajurit Pati harus meyakinkan bahwa mereka akan memenangkan perang. Menguasai Mataram dan kemudian mengendalikan pemerintahan.

Di hari berikutnya, kedua belah pihak masih belum bersiap untuk turun ke medan. Panembahan Senapati masih ingin melihat kekuatan pasukannya, serta mendengarkan laporan selengkapnya tentang kekuatan pasukan Pati. Sementara itu Kanjeng Adipati Pati yang mengetahui bahwa Mataram masih belum akan bergerak, juga masih belum mempersiapkan serangan.

Namun Kanjeng Adipati Pati itu berkata kepada para Senapatinya, “Jika besok Mataram masih belum bergerak, kita akan datang menyerang mereka. Kita hancurkan perkemahannya dan kita akan menangkap Panembahan Senapati, hidup atau mati.”

Dengan perintah itu, maka para Senapati Pati telah benar-benar mempersiapkan diri. Berdasarkan atas pengalaman mereka bertempur melawan prajurit Mataram, maka para Senapati Pati telah menata kembali susunan prajurit mereka. Mereka membagi tataran prajurit Pati menjadi tiga. Tataran tertinggi adalah prajurit yang memang telah mendapat latihan-latihan yang berat dan teratur. Tataran kedua adalah prajurit yang dipersiapkan dalam keadaan yang khusus. Sedangkan tataran ketiga adalah mereka yang dipanggil dan dikumpulkan untuk menghadapi keadaan yang paling gawat.

Meskipun pada dasarnya para prajurit Mataram juga terdiri dari tataran-tataran yang sama, namun ada beberapa golongan dari tataran ketiga yang memiliki kemampuan prajurit, sebagaimana para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung dan sekitarnya.

Dengan tatanan dan susunan baru, maka Kanjeng Adipati Pati semakin yakin bahwa pasukannya akan dapat dengan cepat mengalahkan prajurit Mataram, sebelum mereka memasuki dinding kota.

Namun pada hari itu juga, Panembahan Senapati telah menemui para Senapati Mataram dan bahkan para pemimpin kesatuan dan kelompok. Panembahan Senapati menyempatkan diri berbicara dengan para prajurit di tempat mereka bertugas.

Sikap Panembahan Senapati membuat hati para prajurit Mataram itu mekar. Mereka semakin teguh pada sikap mereka, untuk mendorong Kanjeng Adipati Pati ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Pada hari itu pula Panembahan Senapati memerintahkan pasukan Mataram mempersiapkan diri. “Besok kita akan turun ke medan. Menilik isyarat yang dilihat oleh para petugas sandi, maka pasukan Pati pun telah mempersiapkan diri. Sebaiknya kita tidak sekedar bertahan di perkemahan. Kita juga akan menggerakkan pasukan dengan gelar yang paling baik utuk menghadapi prajurit Pati.”

Demikianlah, pada hari itu segala sesuatu telah dipersiapkan. Bahkan Utara telah mendapat perintah untuk menarik bagian dari pasukannya yang dipimpin oleh Sabungsari untuk berada di dalam gelar, sehingga semua kekuatan yang sebelumnya berada di Jati Anom akan berada di dalam gelar pasukan Mataram.

Swandaru dan pasukan pengawalnya yang dinilai memiliki kemampuan sebagaimana seorang prajurit, akan berada di gelar itu pula.

Malam itu, menjelang saat-saat kedua pasukan besar dari Pati dan Mataram bertemu di medan, Swandaru sempat menemui Agung Sedayu, yang berada di antara prajurit-prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kepada Agung Sedayu, Swandaru sempat memberikan beberapa pesan jika di keesokan harinya Agung Sedayu akan berada di medan pula.

“Prajurit Pati adalah prajurit yang berkemampuan tinggi,” berkata Swandaru, yang sempat menceritakan peranan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung sejak menjelang pertempuran yang terjadi di sebelah barat Kali Dengkeng.

Agung Sedayu mendengarkannya sambil mengangguk-angguk. Sementara Swandaru masih menceritakan keberhasilannya di beberapa medan pertempuran.

“Karena itu, Kakang harus berhati-hati menghadapi lawan esok pagi. Kanjeng Adipati Pragola yang mengetahui bahwa Panembahan Senapati sendiri turun ke medan dengan mengerahkan seluruh kekuatan yang ada, maka Pati pun tentu akan mengerahkan segenap kemampuannya pula. Orang-orang yang berilmu tinggi akan ditebarkan di medan.”

“Mudah-mudahan pasukanku dapat menyesuaikan dengan medan yang nampaknya garang sekali,” berkata Agung Sedayu .

“Ya. Pertempuran yang akan terjadi tentu akan menjadi seperti neraka,” berkata Swandaru.

“Tetapi aku yakin bahwa di pihak Mataram pun tentu banyak terdapat orang-orang berilmu tinggi. Ki Patih Mandaraka ada di antara kita. Beberapa orang Pangeran dan Senapati, yang namanya banyak dikenal di Mataram.”

“Ya. Aku juga yakin. Tetapi yang perlu kita persiapkan bagi diri kita sendiri, apa yang dapat kita lakukan, jika tiba-tiba saja orang-orang berilmu tinggi dari Pati itu ada di hadapan kita,” sahut Swandaru.

“Aku mempunyai kelompok-kelompok kecil yang meyakinkan,” jawab Agung Sedayu, “dua atau tiga orang prajurit dari Pasukan Khususku akan berkelompok untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi dari Pati itu.”

“Kau akan menyesal Kakang,” berkata Swandaru, “dua orang prajurit tidak akan mampu mengalahkan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bayangkan, apakah dua atau tiga orang prajuritmu, meskipun mereka dari Pasukan Khusus, dapat melawan aku meskipun aku seorang diri? Dalam waktu yang pendek, cambukku akan memenggal leher ketiga orang prajuritmu itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Sambil menarik nafas panjang ia berkata kepada dirinya sendiri, “Untung tidak ada Glagah Putih. Kemudaannya membuatnya mudah tersinggung mendengar cerita Swandaru, yang kadang-kadang memang agak kurang terkendali sehingga dapat menggelitik telinga.”

Tetapi Agung Sedayu sendiri mampu menjaga perasaannya. Ia tidak menunjukkan sikap apapun mendengarkan kata-kata Swandaru itu. Bahkan Agung Sedayu itu mengangguk-angguk kecil.

“Jadi bagaimana sebaiknya menurut pendapatmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Kakang harus mulai dari diri Kakang sendiri,” jawab Swandaru.

“Maksudmu, aku harus meningkatkan ilmuku?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Tentu saja tidak untuk waktu yang pendek sekarang ini. Apapun yang Kakang usahakan tentu sudah terlambat. Tetapi jika Kakang dapat keluar dari pertempuran ini dengan selamat, maka Kakang harus dengan bersungguh-sunggung mempelajari isi kitab Guru. Kakang meskipun bertugas di barak Pasukan Khusus, harus menyisihkan waktu untuk kepentingan Kakang sendiri. Jika ilmu Kakang menjadi semakin tinggi, maka kedudukan Kakang di lingkungan Pasukan Khusus itu juga akan menjadi semakin kuat. Mungkin pada suatu saat, Kakang tidak hanya sekedar menjadi seorang Lurah Prajurit yang memimpin satu kesatuan Pasukan Khusus. Tetapi kakang akan menjabat kedudukan yang lebih tinggi dalam jajaran Pasukan Khusus itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Namun katanya kemudian, “Tetapi apa yang sebaiknya aku lakukan sekarang ini menghadapi pasukan Pati?”

“Malam ini Kakang harus menyiapkan kelompok-kelompok yang lebih besar. Jangan hanya terdiri dari dua atau tiga orang prajurit, meskipun dari Pasukan Khusus. Tetapi sedikitnya lima orang. Itupun mereka akan mengalami kesulitan jika mereka benar-benar bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi di antara prajurit Pati.”

“Tetapi dalam pertempuran gelar, kadang-kadang kita tidak banyak mendapat kesempatan untuk mengerahkan ilmu andalan kita. Kita terlalu sibuk menghadapi lawan di sekitar kita, sehingga waktu untuk melepaskan ilmu kita menjadi sangat sempit.”

“Itu pertanda bahwa Kakang masih belum sampai pada tataran yang tinggi dari ilmu Perguruan Orang Bercambuk. Jika Kakang sudah sampai pada tataran yang tinggi, maka waktu yang diperlukan untuk melepaskan ilmu tidak lebih dari hadirnya niat itu sendiri,” jawab Swandaru. “Jika para pemimpin dari Pati itu mencapai tataran yang tinggi, bahkan tataran tertinggi dari ilmunya, maka Kakang akan terkejut, bahwa tiba-tiba saja ilmu puncak mereka sudah mereka trapkan.”

Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Ia mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh Swandaru. Bahkan bagi Agung Sedayu, hal itu sama sekali sudah tidak asing lagi, karena ia sudah terbiasa melakukannya.

Karena Agung Sedayu tidak menjawab, maka Swandaru pun berkata, “Nah, Kakang. Kita masih mempunyai waktu untuk beristirahat. Kita akan saling mendoakan, mudah-mudahan kita dapat keluar dari pertempuran dengan selamat. Aku minta Kakang berhati-hati. Jika Kakang tidak sempat menyusun kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari lima orang, maka setidak-tidaknya kelompok khusus yang akan dapat melindungi Kakang sendiri. Aku pun telah melakukan hal yang sama. Aku telah menunjuk orang-orang tertentu untuk menghadapi orang-orang berilmu tinggi, sebelum aku sendiri sempat menanganinya.”

“Aku masih mempunyai kesempatan untuk itu,” jawab Agung Sedayu, “setidak-tidaknya dua atau tiga kelompok.”

“Baiklah Kakang,” berkata Swandaru kemudian, “aku akan kembali ke pasukanku. Aku juga ingin segera beristirahat. Besok di dini hari kita harus sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jika kita sudah turun ke medan, maka kita tidak akan mendapat kesempatan untuk berbuat apapun juga kecuali bertempur.”

“Yang Maha Agung akan melindungi kita,” desis Agung Sedayu.

Demikianlah, Swandaru pun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu yang termangu-mangu. Bahkan kemudian sambil menarik nafas panjang, Agung Sedayu itu berdesah. Tetapi ia sudah tahu benar sifat dan tabiat adik seperguruannya, yang kebetulan juga menjadi kakak iparnya itu.

Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu masih sempat menemui para pemimpin kelompoknya. Iapun kemudian minta agar mereka beristirahat sebaik-baiknya, karena tenaga mereka akan diperas besok di pertempuran.

Malam itu juga Panembahan Senapati telah memerintahkan para Senapati untuk siap dalam gelar Garuda Nglayang. Panembahan Sanapati pun telah menunjuk pasukan yang akan berada di kepala dan paruh gelarnya. Yang berada di pangkal lehernya, dan pasukan yang akan berada di sayap, badan dan ekor gelar. Panembahan Senapati pun telah menentukan pasukan-pasukan cadangan yang berada di tubuh dan ekor gelar, untuk mengambil alih pertempuran jika keadaan menjadi gawat karena susutnya jumlah prajurit. Atau karena tarik matahari membuat para prajurit kelelahan, haus dan lapar, sehingga mereka sempat untuk beristirahat beberapa saat, berlindung di balik sayap gelar yang diisi oleh para prajurit dari pasukan cadangan.

Ketika malam menjadi semakin dalam, maka perkemahan prajurit Mataram itu pun menjadi sepi. Para Senapati dan para prajurit telah lelap dalam istirahat mereka. Sedikit lewat tengah malam, mereka harus sudah bangun dan bersiap-siap untuk memasuki gelar dan turun ke medan.

Hanya para prajurit yang bertugas saja yang masih berjaga-jaga di tempat-tempat tertentu untuk mengawasi keadaan jika ada gerakan yang mencurigakan. Selain itu secara khusus Panembahan Senapati pun mendapat pengawalan dari para prajurit pilihan.

Di sebelah timur Kali Dengkeng, Kanjeng Adipati Pragola pun telah mempersiapkan pasukannya pula. Kanjeng Adipati tidak berniat untuk merubah gelar perangnya. Yang berubah hanyalah susunan prajurit sesuai dengan tatarannya.

Kepada para Senapatinya, Adipati Pragola mengatakan bahwa Mataram tentu tidak akan mempergunakan gelar sebagaimana dipilih oleh Pangeran Adipati Anom.

“Aku kira Mataram akan mempergunakan gelar Garuda Nglayang,” berkata Kanjeng Adipati Pragola.

Para Senapati sependapat, bahwa Mataram memang tidak akan mempergunakan lagi gelar Wukir Jaladri yang lebih bersifat untung-untungan itu. Jika pada pertempuran yang pernah terjadi, pasukan Pati yang mempergunakan gelar Supit Urang justru terguncang oleh gelar Wukir Jaladri pasukan Mataram, karena pasukan Pati sama sekali tidak mengira bahwa gelar itu akan dipergunakan oleh Mataram. Seandainya sejak semula Pati bersiap menghadapinya, maka gelar Wukir Jaladri itu akan dapat dihimpit dan bahkan mungkin dapat dipecahkannya.

Seperti Panembahan Senapati, maka Kanjeng Adipati Pati itu pun telah menentukan letak pasukan dengan perhitungan dan tatanan, setelah para Senapati memperhatikan tataran kemampuan para prajurit. Para Senapati pun telah menempatkan para prajurit Pati yang telah ditarik dari sisi utara Mataram di dalam gelarnya.

Demikianlah, sebelum tengah malam kedua perkemahan itu menjadi hening. Para petugas dengan sungguh-sungguh memperhatikan keadaan di sekitar perkemahan. Sementara para petugas sandi dari kedua belah pihak, saling mengamati kedudukan lawan.

Namun para petugas sandi itu tidak melihat sesuatu yang menarik perhatian di kedua belah pihak. Namun mereka mengambil kesimpulan bahwa justru karena itu, esok pagi kedua pasukan yang besar akan bertemu dengan bertempur di medan. Pertempuran yang tentu merupakan pertempuran yang sangat seru, karena kedua belah pihak akan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada.

Hening malam di kedua perkemahan itu mulai terusik ketika tengah malam tiba. Mereka yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi para prajurit, mulai sibuk di dapur. Api di perapian mulai menyala, sementara asap membubung tinggi di langit yang hitam.

Sebelum turun ke medan, para prajurit harus sudah makan dan minum secukupnya. Bahkan beberapa orang prajurit yang bertugas khusus akan menyediakan bekal selama perang terjadi. Dalam keadaan yang mendesak, para prajurit ada yang memerlukan minuman dan bahkan makanan di medan.

Di dini hari, para prajurit mulai bangkit dari pembaringan. Mereka mulai mempersiapkan diri mereka. Meneliti senjata mereka serta kelengkapan yang akan mereka bawa ke medan perang.

Menjelang fajar, semuanya telah bersiap. Setiap kesatuan sudah berada di tempatnya masing-masing, siap untuk memasuki gelar. Dalam kesiagaan itu, Swandaru masih sempat menemui Agung Sedayu dan bertanya, “Kau berada di mana?”

“Aku mendapat perintah untuk berada di pangkal leher gelar,” jawab Agung Sedayu. “Aku berada di bawah perintah Ki Tumenggung Yudapamungkas, yang akan selalu berhubungan dengan Senapati pendamping. Tetapi masih ada seorang lagi yang akan selalu berada di sisi Panembahan Senapati.”

“Siapa?”

“Ki Patih Mandaraka.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku berada di sayap kiri bersama-sama dengan pasukan Kakang Untara.”

“Tugasmu berat,” desis Agung Sedayu.

“Sebenarnya aku lebih senang berada di tempatmu. Sayang, aku tidak mendapat perintah untuk berada di induk pasukan. Para Senapati terpenting dari Pati tentu akan berada di induk pasukan dalam gelar mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-anguk. Namun katanya, “Tetapi sayap gelar akan dapat menentukan, apakah gelar dalam keseluruhan harus maju atau mundur.”

“Bukan hanya sayap-sayapnya. Seluruh bagian gelar akan dapat menentukan,” jawab Swandaru.

“Ya,” desis Agung Sedayu kemudian, “keseluruhan gelar merupakan satu kesatuan.”

“Nah, sudahlah,” berkata Swandaru, “aku harus siap di tengah-tengah pasukanku. Nampaknya sebentar lagi kita akan bergerak memasuki gelar. Di saat matahari terbit, kita akan terlibat dalam pertempuran besar melawan Pati.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “kita akan bertempur di silaunya cahaya matahari. Karena kita akan menghadap ke arah matahari terbit.”

“Satu keuntungan bagi Pati,” sahut Swandaru.

Namun pembicaraan mereka pun segera terhenti. Kesibukan di perkemahan itu pun meningkat. Panembahan Senapati telah berada di luar kemah khususnya pula.

Sejenak kemudian, semua prajurit telah berada di tempatnya. Mereka pun siap memasuki gelar Garuda Nglayang. Gelar yang akan dipergunakan oleh pasukan Mataram untuk melawan gelar Supit Urang yang akan dipergunakan oleh pasukan dari Pati.

Pada saat terakhir, Panembahan Senapan telah memerintahkan agar para Senapati berusaha di saat pasukan berbenturan, untuk menarik sayap kiri surut beberapa langkah ke belakang, sehingga garis benturan akan menjadi sedikit condong. Dengan demikian, maka para prajurit Mataram tidak akan tepat menghadapi ke arah matahari terbit.

Kecermatan Panembahan Senapati membuat para Senapati menjadi lebih berbangga terhadap kepemimpinannya. Mereka semakin percaya, bahwa di bawah pimpinan Panembahan Senapati sendiri, Mataram tentu akan dengan cepat berhasil mendesak pasukan Pati dan kemudian memaksanya mundur ke sebelah utara Pegunungan Kendeng.

Demikianlah, ketika saatnya tiba, Panembahan Senapati pun telah memanggil semua Senapati. Kemudian memberikan perintah dan pesan-pesan terakhirnya sebelum pasukannya mulai bergerak.

Pada saat itu, datang laporan dari petugas sandi bahwa prajurit Pati sudah mulai bergerak. Mereka berusaha untuk berada di sebelah barat Kali Dengkeng jika benturan terjadi. Prajurit Pati tidak mau mengulangi kesalahan prajurit Jipang di bawah pimpinan Adipati Arya Penangsang, yang pasukannya dihancurkan saat mereka menyeberangi Bengawan Solo karena Adipati Jipang yang darahnya panas itu sulit mengekang perasaannya.

Nampaknya Panembahan Senapati memaklumi maksud Kanjeng Adipati Pragola. Namun Panembahan Senapati tidak terpengaruh oleh gerakan pasukan Pati itu. Panembahan Senapati memang tidak merencanakan untuk menjebak pasukan Pati saat mereka menyeberang Kali Dengkeng. Karena jika kedua pasukan itu bertemu di sebelah-menyebelah Kali Dengkeng, maka mungkin kedua pihak mengerti akibat buruk yang dapat terjadi. Sebagaimana Pati yang mengakui kebesaran pasukan Mataram, maka Mataram pun mengakui kebesaran lawan.

Ketika langit menjadi semakin cerah, maka pasukan Mataram pun mulai bergerak. Sebuah gelar perang telah tersusun rapi. Gelar Garuda Nglayang.

Para prajurit Mataram tidak lagi sempat menghiraukan kaki-kaki mereka yang menginjak-injak tanaman yang tumbuh di sawah. Mereka tidak lagi sempat mengingat, apakah kakinya menginjak lumpur atau pematang, atau mengoyak batang kacang panjang yang merambat pada lanjarnya yang memagari kotak-kotak sawah di pematangnya, atau tanggul-tanggul parit dengan gemercik airnya yang jernih.

Gelar Garuda Nglayang yang melebar itu bergerak serempak menyongsong gerak gelar Supit Urang dari pasukan Pati yang tidak kalah besarnya.

Ketika kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, maka para prajurit Pati yang berada di supit gelar pun mulai membuat gerakan-gerakan ancang-ancang. Namun sayap pasukan Mataram pun telah malai bergetar pula. Kepak sayap garuda raksasa itu akan menimbulkan getar udara menghentak gelar pasukan lawan.

Kanjeng Adipati Pragola dari Pati yang memimpin pasukan Pati berada di kepala gelarnya pula.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua Panglima tertinggi dari kedua pasukan itu telah menjatuhkan perinlah kepada pasukannya untuk dengan cepat membentur lawan mereka.

Hampir bersamaan pasukan Mataram dan pasukan Pati itu bersorak gemuruh, seakan-akan meruntuhkan langit. Getar teriakan kedua belah pihak itu bagaikan mengguncang mega-mega, sehingga langit pun menguak di sebelah timur. Dan matahari pun kemudian mulai melemparkan sinarnya ke lembar-lembar awan yang tipis di udara dan dedaunan pada pepohonan yang menancap di bumi.

Pada saat yang demikian, kedua belah pasukan yang besar itu mulai berbenturan.

Namun para prajurit Mataram pun segera teringat akan perintah Panembahan Senapati, bahwa benturan kedua gelar itu harus dibuat condong, sehingga para prajurit Mataram tidak menjadi silau karenanya.

Mula-mula supit gelar pasukan Pati di sisi kanan menduga bahwa benturan kedua pasukan itu telah menggetarkan ketahanan gelar pasukan Mataram. Namun gerak mundur sayap kiri gelar pasukan Mataram itu demikian manisnya dalam tatanan keutuhan seluruh gelarnya, sehingga akhirnya garis benturan kedua gelar itu menjadi condong, dilihat dari arah matahari terbit.

Beberapa orang Senapati Pati pun kemudian menyadari kecerdikan para prajurit Mataram. Untuk menghindari silaunya cahaya matahari, dengan sengaja mereka telah membuat garis benturan kedua pasukan itu berubah dengan menarik sayap kiri gelarnya.

Namun gelar Supit Urang dari Pati itu tidak mempunyai kesempatan untuk menggeser kembali garis benturan itu, karena para prajurit Mataram dari ujung sayap kiri sampai ke ujung sayap kanan menyadari sepenuhnya, bahwa mereka harus mempertahankan garis benturan itu jika mereka tidak ingin diganggu oleh silaunya sinar matahari pagi.

Demikianlah, sejak benturan terjadi, maka pertempuran pun telah menyala dengan sengitnya. Kedua belah pihak menyadari sepenuhnya bahwa mereka harus menyesuaikan dengan kemungkinan bahwa perang akan terjadi dalam waktu yang panjang, sehingga mereka harus menghemat tenaga. Tetapi mereka tidak dapat melakukannya karena suasana pertempuran yang panas itu telah membakar jantung setiap prajurit yang sedang bertempur.

Supit gelar pasukan Pati mulai menunjukkan kemampuan mereka yang sebenarnya sebagai prajurit yang benar-benar menguasai perang gelar. Supit gelar yang besar itu mulai bergerak, menganga dan siap menjepit sayap gelar pasukan Mataram.

Tetapi para prajurit Mataram pun terdiri dari prajurit terlatih pula. Sayap garuda raksasa itu pun kemudian telah mengepak dan memukul supit gelar lawannya yang menganga itu.

Perang pun benar-benar telah membakar dataran persawahan di sebelah barat Kali Dengkeng itu.

Untuk sementara Panembahan Senapati masih belum terjun langsung di pertempuran. Sebagai Panglima tertinggi, ia berusaha untuk mengendalikan pertempuran dari ujung sayap sampai ke ujung sayap yang lain. Setiap kali ia menerima laporan dari penghubung yang membawa laporan dari para Senapati. Tetapi juga memerintahkan para penghubung untuk menyampaikan perintah-perintah dan petunjuk-petunjuk kepada para Senapati.

Demikianlah, ketika matahari naik semakin tinggi, pertempuran pun menjadi semakin garang. Kedua belah pihak seakan-akan menjadi semakin panas dibakar oleh kemarahan di setiap dada. Senjata mereka pun terayun-ayun mendebarkan jantung. Benturan-benturan yang keras telah terjadi. Teriakan-teriakan kemarahan, umpatan-umpatan, tetapi juga jerit kesakitan berbaur dengan dentang senjata yang beradu, membuat medan itu menjadi semakin kalut.

Pertempuran di induk pasukan pun terjadi tidak kalah garangnya dengan pertempuran di ujung-ujung sayap pasukan. Bukan saja keringat yang mulai menitik, tetapi juga darah yang mengalir dari luka.

Prajurit dan pengawal dari kedua belah pihak telah mulai ada yang tergores ujung-ujung senjata. Semakin tinggi matahari, maka ujung-ujung tombak, pedang dan jenis-jenis senjata yang lain seakan-akan semakin haus pula.

Di sayap kiri yang semula sedikit harus bergeser mundur untuk menghindari sinar matahari yang silau, ternyata menjadi sangat sulit untuk diguncang oleh supit gelar lawannya. Para prajurit Mataram yang berada di sayap sebelah kiri, serta para pengawal Kademangan Sangkal Putung dan sekitarnya, memiliki kemampuan yang tinggi untuk tetap bertahan.

Sekelompok prajurit Pati yang berada di supit gelar lawannya melihat kesatuan yang berada di sayap kiri tidak mengenakan pakaian keprajuritan Mataram. Mereka melihat satu noda kelemahan pada sayap kiri gelar Garuda Nglayang itu. Karena itu, Senapati yang memimpin supit kanan pasukan Pati itu telah memerintahkan seorang Senapati bawahannya untuk memanfaatkan noda yang dianggap sebagai kelemahan itu.

Senapati yang mendapat perintah itu pun dengan cepat tanggap. Karena itu, ia berusaha untuk menghunjamkan tajamnya supit gelar menusuk ke noda yang dianggapnya sebagai kelemahan itu.

Senapati itu bersama beberapa prajurit pilihan berusaha untuk memecahkan noda kelemahan itu, dan kemudian memanfaatkan lubangnya untuk menusuk masuk dan menghancurkan sayap kiri itu, dari dalam gelar Garuda Nglayang itu sendiri.

Namun Senapati itu terkejut. Kesatuan yang tidak mengenakan pakaian keprajuritan Mataram itu ternyata adalah pasukan pengawal Sangkal Pulung dan sekitarnya. Meskipun memang ada di antara mereka yang kemampuannya berada di bawah rata-rata prajurit Pati, tetapi sebagian terbesar para pengawal Kademangan Sangkal Putung memiliki kemampuan prajurit pula.

Bahkan ketika Senapati yang memimpin kelompok prajurit itu berusaha untuk menjadi ujung tombak yang akan menusuk di tempat yang dianggapnya lemah itu, ia terkejut. Seorang pengawal yang sedikit gemuk dengan senjata cambuk di tangan telah menyongsongnya. Cambuknya dihentakkannya, sehingga ledakan cambuk itu seakan-akan telah mengoyakkan selaput telinga.

Senapati itu melangkah mundur. Diperhatikannya orang yang sedikit kegemuk-gemukan itu. Nampaknya ia adalah pemimpin pasukan pengawal yang dihadapinya.

Sekali lagi suara cambuk Swandaru meledak. Suaranya benar-benar memekakkan telinga.

Namun Senapati yang nampaknya memiliki kemampuan yang memadai itu tertawa. Katanya, “He, di sini bukan tempat orang menggembala kerbau. Pergilah ke pinggir Kali Dengkeng sambil memandikan kerbaumu.”

Swandaru tidak segera menjawab. Tetapi sekali lagi cambuknya meledak.

Tetapi Senapati itu tertawa pula.

Dengan demikian Swandaru mengetahui bahwa lawannya tentu juga berilmu tinggi, sehingga orang itu dapat mengetahui bahwa ledakan cambuknya sama sekali tidak bertenaga, selain sebuah hentakan yang dapat menimbulkan gelegar yang memekakkan telinga.

Namun ketika kemudian hentakan cambuk Swandaru itu tidak lagi meledak, maka orang itu justru terkejut sekali lagi.

“Setan,” geramnya, “orang-orang ini datang dari mana?”

Swandaru mendengar geremang itu. Karena itu, iapun kemudian menjawab, “Aku pemimpin pengawal dari Kademangan Sangkal Putung. Kebetulan aku adalah anak Ki Demang Sangkal Putung.”

“Darimana kau hisap ilmu iblismu itu?”

“Kenapa ilmu iblis?” bertanya Swandaru.

“Kau memiliki kemampuan ilmu cambuk yang tinggi.”

“Kau siapa?” tiba-tiba Swandaru bertanya, “Tidak banyak prajurit yang mengenali tataran kemampuanku hanya dengan mengenali bunyi cambukku.”

“Bersiaplah untuk mati,” geram Senapati itu.

Tetapi Swandaru masih berkata, “Aku tidak yakin bahwa kemampuanmu mengenali tataran ilmuku itu kau dapatkan selama kau menjadi seorang prajurit. Seorang prajurit, yang tentu juga berlaku di Pati, hanya mampu bertempur dalam perang gelar seperti ini. Perang dalam satu kelompok raksasa. Lawan bertabur dimana-mana, tanpa mengandalkan kemampuan pribadi masing-masing.”

“Penglihatan mata ilmumu memang tajam. Pengetahuanmu pun meyakinkan bahwa kau mempunyai landasan ilmu yang tinggi. Bersiaplah. Kita akan bertempur dengan cara kita,” tantang Senapati itu.

Darah Swandaru yang cepat menjadi panas itu pun segera menggelegak. Sambil bertolak pinggang ia menjawab, “Bagus. Itu barulah seorang prajurit laki-laki.”

Senapati itu tidak menjawab. Tetapi senjatanya, sebilah luwuk yang berwarna kehitam-hitaman dengan pamor yang seperti berkedip di bawah cahaya matahari, mulai berputar.

Swandaru menjadi sangat berhati-hati. Ia percayakan lingkungannya kepada para pengawal Sangkal Putung, yang tahu apa yang harus mereka lakukan jika Swandaru ingin bertempur seorang melawan seorang.

Dengan demikian, Swandaru pun segera terlibat dalam sebuah pertempuran yang sengit.

Seperti yang diduga oleh Swandaru, lawannya memang memiliki kemampuan melampaui kemampuan kebanyakan prajurit. Senapati itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Serangan-serangannya datang beruntun seperti badai mengguncang dedaunan. Namun Swandaru yang memiliki ilmu yang tinggi itu mampu mengimbangi kemampuan lawannya. Dalam hentakan kemampuan Senapati itu, Swandaru tetap tegak di atas sepasang kakinya yang kokoh, bagaikan menghunjam sampai ke pusat bumi.

Sementara itu cambuk Swandaru berputar seperti baling-baling. Sekali-sekali menghentak dengan deras, namun kemudian menggeliat menebas dengan cepatnya.

Pertempuran yang menjadi semakin sengit itu seakan-akan telah menyibak para prajurit Pati dan para pengawal Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah memberikan tempat yang cukup untuk melakukan perang tanding, di antara riuhnya pertempuran gelar antara kedua pasukan yang besar itu.

Sementara itu, para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom yang dipimpin langsung oleh Untara, benar-benar telah menggetarkan garis pertempuran. Untara dengan kemampuan perang gelarnya telah bertempur dengan kekuatan yang mengehentak hentak. Lapisan-lapisan prajuritnya menyerang susul-menyusul, seperti ombak di bibir samudra menghentak tebing.

Sayap yang lain dari gelar Garuda Nglayang itu pun telah beberapa kali mengguncang supit gelar lawannya. Namun pasukan Pati yang kuat itu masih juga mampu bertahan. Prajurit-prajurit yang berpengalaman yang berada di lapis pertama dengan pengalaman mereka yang luas, setiap kali mampu menutup lubang-lubang yang timbul karena luka-luka selama pertempuran terjadi. Para prajurit Pati dengan sigapnya hadir di hadapan setiap prajurit Mataram yang mencoba untuk menyusup memasuki garis benturan kedua gelar perang itu.

Di induk pasukan, pertempuranpun berlangsung dengan sengitnya pula. Panembahan Senapati sendiri masih belum turun di garis pertempuran. Ia masih mengendalikan pertempuran dari kepala gelar Garuda Nglayang.

Demikian pula Kanjeng Adipati Pati. Kanjeng Adipati juga masih berada di kepala gelar Supit Urang-nya. Nampaknya kedua-duanya masih belum menganggap sangat penting untuk turun ke medan, sementara para Senapatinya masih mampu mengendalikan dan mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di medan.

Semakin tinggi matahari, maka pertempuran menjadi semakin sengit. Ketika matahari melampui puncak langit, maka kedua belah pihak pun mulai menunjukkan kemampuan serta pengalaman mereka. Para prajurit yang mulai lelah, berusaha untuk tetap tegar di teriknya panas matahari. Keringat dan darah telah menitik di bumi yang semakin membara.

Dalam keadaan yang demikian, maka gelombang-gelombang mulai bergejolak di kedua gelar itu. Prajurit dan pengawal yang semula berada di tubuh gelar telah mulai mengambil alih medan.

Prajurit-prajurit yang berada di tubuh gelar, bergerak maju merembes di sela sela para prajurit yang sedang bertempur, langsung menjulurkan senjata mereka. Sementara para prajurit yang letih mendapat kesempatan untuk beristirahat, meskipun masih tetap harus bersiaga sepenuhnya untuk setiap saat terjun ke gelanggang. Lapis pertama benturan gelar dapat saja menjadi lentur oleh hentakan-hentakan dari pertempuran itu sendiri.

Dengan demikian, nyala api pertempuran tidak menjadi surut meskipun matahari mulai condong. Para prajurit yang bertugas merawat mereka yang terluka dan membawa ke belakang garis pertempuran pun telah bekerja tanpa sempat beristirahat. Sedangkan kelompok-kelompok yang lain telah mempersiapkan minuman dan makanan untuk menambah ketegaran para prajurit dan pengawal.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar